Spondilitis TB Kel. 1

61
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Spondilitis tuberculosis (TB) atau Infeksi spinal oleh tuberculosis sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius dalam hal ini termasuk deficit neurologis dan deformitas tulang yang permanen, sehingga diagnosis dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sering di salah artikan sebagai neoplama spinal atau spondilitits piogenik lainnya. Diagnosis baru dapat di tegakkan ketika stadium lanjut dan sudah terjadi deformitas tulang belakang yang berat serta deficit neurologis seperti paraplegia. (Zuwanda, Janitra, 2013) Negara Indonesia menempati peringkat ketiga setelah india dan china sebagai Negara dengan polpulasi penderita TB terbanyak. Sekitar 20% penderita TB paru akan mengalami penyebaran TB ektrapulmonal yang dapat berupa TB otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial. 11% dari TB ektrapulmonal adalah TB osteoartikular dan kurang lebih ½ dari penderita TB osteoartikular akan mengalami infeksi TB tulang belakang atau spondilitis TB. Secara umum, tatalaksana spondilitis TB yaitu dengan kemoterapi dengan OAT ( Obat Anti Tuberculosis), Asuhan keperawatan klien dengan gangguan Musculoskeletal Spondilitis Tuberculosis Page 1

description

asuhan keperawatan spondilitis TB

Transcript of Spondilitis TB Kel. 1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Spondilitis tuberculosis (TB) atau Infeksi spinal oleh tuberculosis sangat berpotensi menyebabkan morbiditas serius dalam hal ini termasuk deficit neurologis dan deformitas tulang yang permanen, sehingga diagnosis dini sangatlah penting. Diagnosis dini spondilitis TB sering di salah artikan sebagai neoplama spinal atau spondilitits piogenik lainnya. Diagnosis baru dapat di tegakkan ketika stadium lanjut dan sudah terjadi deformitas tulang belakang yang berat serta deficit neurologis seperti paraplegia. (Zuwanda, Janitra, 2013)

Negara Indonesia menempati peringkat ketiga setelah india dan china sebagai Negara dengan polpulasi penderita TB terbanyak. Sekitar 20% penderita TB paru akan mengalami penyebaran TB ektrapulmonal yang dapat berupa TB otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, dan endometrial. 11% dari TB ektrapulmonal adalah TB osteoartikular dan kurang lebih dari penderita TB osteoartikular akan mengalami infeksi TB tulang belakang atau spondilitis TB. Secara umum, tatalaksana spondilitis TB yaitu dengan kemoterapi dengan OAT ( Obat Anti Tuberculosis), Imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/saraf. (Zuwanda, Janitra, 2013)

WHO, 2005 memperkirakan bahwa jumlah kasus TB paru terbesar terdapat di Asia Tenggara (34% insiden TB secara global) termasuk Indonesia. Jumlah penderita diperkirakan akan meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penderita AIDS oleh infeksi HIV. (Zuwanda, Janitra, 2013)

Di negara berkembang penderita TB usia muda diketahui lebih rentan terhadap spondilitis TB daripada usia tua, sedangkan di Negara maju, usia munculnya spondilitis TB biasanya pada decade kelima dan keenam. TB osteoartikular banyak ditemukan pada penderita dengan HIV positif, imigran dari Negara dengan prevalensi TB yang sangat tinggi, usia tua, anak dibawah usia 15 tahun serta kondisi defisiensi imun lainnya. Pada pasien dengan HIV positif, insiden TB diketahui 500 kali lebih tinggi dibanding populasi dengan HIV negative. Di sisi lain, sekita 25-50% kasus baru TB di Amerika Serikat disebabkan oleh HIV positif. (Zuwanda, Janitra, 2013)

Oleh karena itu, penanganan atau tatalaksana yang tepat dalam menangani pasien dengan spondilitis tuberculosis sangat diperlukan untuk menurunkan angka morbiditas yang terjadi yaitu kemoterapi dengan OAT (Obat Anti Tuberculosis), Imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/saraf. (Zuwanda, Janitra, 2013)1.2 Rumusan Masalaha. Bagaimana memahami anatomi dan fisiologi system musculoskeletal?b. Bagaimana memahami Defisini spondilitis TB?c. Bagaimana memahami Etiologi spondilitis TB?d. Bagaimana memahami Manifestasi klinis spondilitis TB?e. Bagaimana memahami Patofisologi serta Web of Caution spondilitis TB?f. Bagaimana memehami penatalaksanaan spondilitis TB?

g. Bagaimana memahami pemeriksaan penunjang dan diagnostic dari spondilitis TB?

h. Bagaimana memahami komplikasi dan prognosis dari spondilitis TB?

i. Bagaimana memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system musculoskeletal spondilitis TB?

1.3 Tujuan

Tujuan umum:

Untuk memahami bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan system musculoskeletal spondilitis TB Tujuan Khusus:

a. Memahami anatomi dan fisiologi system musculoskeletal?

b. Memahami Defisini spondilitis TB?

c. Memahami Etiologi spondilitis TB?

d. Memahami Manifestasi klinis spondilitis TB?

e. Memahami Patofisologi serta Web of Caution spondilitis TB?

f. Memehami penatalaksanaan spondilitis TB?

g. Memahami pemeriksaan penunjang dan diagnostic dari spondilitis TB?

h. Bagaimana memahami komplikasi dan prognosis dari spondilitis TB?

i. Bagaimana memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan gangguan system musculoskeletal spondilitis TB?

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Anatomi Fisiologi System Musculoskeletal1. Sistem Rangka

Tulang rangka orang dewasa terdiri atas 206 tulang. Tulang adalah jaringan hidup yang akan suplai saraf dan darah. Tulang dapat bertumbuh dan memperbaiki dirinya sendiri setelah cedera. Tulang banyak mengandung bahan kristalin anorganik (terutama garam-garam kalsium) yang membuat tulang keras dan kaku, tetai sepertiga dari bahan tersebut adalah jaringan fibrosa yang membuatnya kuat dan elastic. (Sloane, 2003)a. Pembagian skeletal, yaitu :

1) Axial skeleton terdiri dari kerangka tulang kepala dan leher, tengkorak, kolumna vertebra, tulang iga, tulang hioid sternum.

2) Apendikular skeletom terdiri dari

a) kerangka tulang lengan dan kaki

b) ekstrimitas atas(skapula, klavikula, humerus, ulna, radial) dan tangan (karpal, metakarpal, falang)

3) Ekstrimitas bawah (tulangpelvis, femur, patela, tibia, fibula) dan kaki (tarsal, metatarsal, falang) (Suratun, 2008).

b. Fungsi utama tulang-tulang rangka adalah :1. Tulang memberikan topangan dan bentuk pada tubuh

2. Pergerakan. Tulang berartikulasi dengan tulang lain pada persendian dan berfungsi sebagai pengungkit. Jika otot-otot yang tertanam pada tulang berkontraksi, kekuatan yang diberikan pada pengungkit menghasilkan gerakan.

3. Perlindungan. System rangka melindungi organ-organ lunak yang ada dalam tubuh.

4. Pembentukan sel darah (hematopolesis). Sumsum tulang merah, yang ditemukan pada orang dewasa dalam tulang sternum, tulang iga, badan vertebra, tulang pipih ada cranium, dan pada bagian ujung tulang panjang, merupakan tempat produksi sel darah merah, sel darah putih, dan trombosit darah.

5. Tempat penyimpanan mineral. Matriks tulang tersusun dari sekitar 62% garam anorganik, terutama kalsium fosfat dan kalsium karbonat dengan jumlah magnesium, klorida, florida, sitrat yang lebih sedikit. Rangka mengandung 99 % kalsium tubuh. Kalsium dan fosfor dosimpan dalam tulang agar bias ditarik kembali dan dipakai untuk fungsi-fungsi tubuh : zat tersebut kemudian diganti melalui nutrisi yang diterima. (Sloane, 2003)c. Jenis Tulang

Ada empat jenis tulang yaitu tulang panjang,tulang pendek, tulang pipih, dan tulang tidak beraturan (Suratun, 2008).

1) Tulang panjang

Tulang panjang (misal femur, humerus) bentuknya silindris dan berukuran panjang seperti batang (diafisis) tersusun atas tulang kompakta, dengan kedua ujungnya berbentuk bulat (epifisis) tersusun atas kanselus. Tulang diafisis memiliki lapisan luar berupa tulang kompakta yang mengelilingi sebuah rongga tengah yang disebut kanal medula yang mengandung sumsum kuning. sumsum kuning terdiri dari lemak dan pembuluh darah, tetapi suplai eritrositnya tidak begitu banyak. Tulang epifisis terdiri dari tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah yang isinya sama seperti sum-sum kuning dan dibungkus oleh selapis tipis tulang kompakta. Bagian luar tulang panjang dilapisi jaringan fibrosa kuat yang disebut periosteum. Sumsum tulang adalah tempat produksi untuk semua elemen darah yang dibentuk: eritrosit, granulosit, monosit, limfosit, dan megakariosit (Suratun, 2008).

2) Tulang pendek

Tulang pendek ( misal falang, karpal) bentuknya hampir sama dengan tulang panjang, tetapi bagian distal lebih kecil daripada bagian proksimal, serta berukuran pendek dan kecil (Suratun, 2008).

3) Tulang pipih

Tulang pipih (misal, sternum, kepala, skapula, panggul) bentuknya gepeng, berisi sel-sel pembentuk darah, dan melindungi organ vital dan lunak dibawahnya. tulang pipih terdiri atas dua lapisan kompakta dan di bagian tengahnya terdapat lapisan spongiosa. tulang ini juga dilapisi oleh periosteum yang dilewati oleh dua kelompok pembuluh darah menembus tulang untuk menyuplai tulang kompakta dan tulang spongiosa (Suratun, 2008).

4) Tulang Tidak Beraturan

Tulang tidak beraturan (misal vertebra, telinga tengah) mempunyai bentuk yang unik sesuai fungsinya. tulang tidak beraturan terdiri dari tulang spongiosa yang dibungkus oleh selais tipis tulang kompakta (Suratun, 2008).

5) Tulang Sesamoid

Tulang sesamoid (misal patela) merupakan tulang kecil yang terletak di sekitar tulang yang berdekatan dengan persendian, berkembang bersama tendon dan jaringan fasia (Suratun, 2008).

2. ANATOMI KOLUMNA VERTEBRALIS

Rangkaian tulang belakang adalah sebuah struktur lentur yang dibentuk oleh sejumlah tulang yang disebut vertebra atau ruas tulang belakang. dia antara dua ruas tulang pada tulang belakang terdapat bantalan tulang rawan. Panjang rangkaian tulang belakang pada orang dewasa dapat mencapai 57 sampai 67 cm. Vertebra dikelompokkan dan dinamai sesuai dengan daerah yang ditempatinya (Evelyn, 2011).

a. Tujuh vertebra servikal atau ruas tulang bagian leher membentuk bagian belakang torax atau dada

b. Dua belas vertebra torakalis atau ruas tulang punggung membentuk bagian belakang torax atau dada

c. Lima vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang membentuk daerah lumbal atau pinggang.

d. Lima vertebra sakralis atau ruas tulang kelangkang membentuk sakrum atau tulang kelangkang

e. Empat vertebra kosigeus atau ruas tulang tulang tunggung membentuk tulang koksigeus atau tulang tungging.

Gambar 1. Anatomi Columna vertebra

1) Struktur Tulang Vertebra

a. Vertebra Cervicalis

Vertebra cervicalis memiliki corpus yang tipis dan memiliki corpus yang tipis, dan memiliki processus transversus, dibedakan dengan adanya foramen dan ujung dua tuberkel. vertebra cervicalis pertama berbeda karena : tidak mempunyai corpus-hanya sebuah arcus transversus tulang di bagian depan, b. facies articularis pada bagian dalam arcus transversus ini untuk processus odontoid ada axis c) facies articularis di bagian atas untuk artikulasi dengan permukaan inferior os occipital (John, 2002).

Axis (vertebra cervicalis ke 2) berbeda dengan adanya processus odontoid yang mencuat ke atas dari corpus dan berartikulasi dengan anterior atlas. provessus odontoid ini dalam perkembangannya merupakan corpus atlas yang telah dialihkan pada axis. provessus ini difiksasi oleh ligamen-ligamen (John, 2002).

b. Vertebra toracica

Berikut ini adalah vertebra tipikal. vertebra ini menjadi lebih besar dari atas ke arah bawah karena harus menopang berat badan yang makin besar, dan vertebra thoracica ke 12 merupakan vertebra masif yang menyerupai vertebra lumbalis (John, 2002).

c. Vertebra lumbalis Vertebra lumbalis atau ruas tulang pinggang adalah yang terbesar. badannya sangat besar dibandingkan dengan badan vertebra lainnya dan berbebtuk seperti ginjal. prosessus spinosusnya lebar dan berbentuk seperti kapalk kecil (Evelyn, 2011).d. Sakrum

Sakrum atau tulang kelangkang berbentuk segitiga dan terletak pada bagian bawah columna vertebralis, terjepit diantara kedua tulang inominata (atau tulang koxa) dan membentuk bagian belakang rongga pelvis (Evelyn, 2011).2 ) Fungsi Kolumna vertebralis

Columna vertebralis bekerja sebagai pendukung badan yang kokoh dan sekaligus juga bekerja sebagai penyangga dengan perantara tulang rawan cakram intervertebralis yang lengkungannya memberi fleksibilitas dan memungkin membungkuk tanpa patah. cakramnya juga berguna untuk menyerap guncangan yang terjadi bila menggerakkan badan seperti berlari dan meloncat, dan dengan demikian otak dan sumsum tulang belakang telindung terhadap goncangan (Evelyn, 2011).2.2 Definisi Spondilitis TB

Spondilitis TB atau dikenal dengan penyakit Potts disease adalah penyakit yang di sebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis yang mengenai tulang belakang (Naidich, et al, 2011).

Spondilitis TB telah ditemukan pada mumi dari Spanyol dan Peru pada tahun 1779. Infeksi mycobacterium tuberculosis terbanyak disebarkan melalui infeksi diskus. Mekanisme terjadinya infeksi ini biasanya menyebar secara hematogen. Secara epidemologi, TB merupakan penyakit infeksi pembunuh nomor 1 di dunia, 95% kasus berada dinegara berkembang. Organisasi WHO pada tahun 2000 memperkirakan 2 juta penduduk terserang dan 3 juta penduduk di seluruh dunia meninggal oleh karena TB. Komplikasi dari spondilitis TB dapat mengakibatkan morbiditas yang cukup tinggi dan dapat timbul secara cepat maupun lambat. Paralisis dapat tumbuh secara cepat di sebabkan oleh abses, sedangkan secara lambat oleh karena perkembangan dari kifosis, kolaps vertebra dengan retropulasi dari tulang dan debris. (Paramarta, Purniti, Subanada, Astawa, 2008)2.3 Etiologi

Tuberculosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh kuman Mycobaterium Tuberculosis yang merupakan anggota ordo Actinomicetales dan family Mycobacteriase. Basil tuberkel berbentuk batang lengkung, gram positif lemah yaitu sulit untuk diwarnai tetapi sekali berhasil diwarnai sulit untuk dihapus walaupun dengan zat asam. Hal ini disebabkan oleh kuman bacterium memiliki dinding sel yang tebal yang terdiri dari lapisan lilin dan lemak (asam lemak mikolat). Selain itu bakteri ini bersifat pleimorfik, tidak bergerak dan tidak membentuk spora serta memiliki panjang sekitar 2-4m. (Paramarta, Purniti, Subanada, Astawa, 2008)

2.4 Manifestasi KlinisPenderita memperlihatkan gejala-gejala hampir sama dengan gejala tuberkulosis pada umumnya, yaitu badan lemah/ lesu, nafsu makan berkurang, berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari serta sakit pada punggung. Pada anak anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night cries) (Rasjad, 2012). Nyeri punggung atau pinggang terjadi akibat spasme otot otot punggung, makin lama makin kaku karena sudah mulai terjadi deformitas. Bila penyakit berlanjut dan terjadi fraktur kompresi, dapat ditemukan gibus. Gibus tuberkulosis tidak terdapat penyempitan sela diskus pada gisbus traumatik dan gibus metastatik tumor korpus vertebra. (Sjamsuhidayat, 2010)

a. Pada vertebra servikal dapat ditemukan gejala kaku leher , nyeri vertebra yang menjalar ke oksipital atau lengan, yang dirasakan lebih hebat bila kepala ditekan ke arah kaudal. Dapat terjadi deformitas, lordosis-normal akan berkurang dan anak menopang kepalanya dengan lengan, abses retrofaringeal atau servikal, paralisa lengan diikuti oleh paralisa tungkai. Gejala neurologik dapat terjadi karena, subluksasi antar vertebra, penekanan medula spinalis atau radiks saraf serta diskus oleh tulang, terbentuknya abses, reaksi terhadap infeksi lokal, terjadinya vaskulitis tuberkulosa (Tachidjan, 1990). Pada vertebra servikal bawah dan torakal atas, ditemukan gejala lokal, misalnya kekakuan kifosis angular sampai gibbus, nyeri sepanjang pleksus brakialis. Abses retrofaringeal, supraklavikular dan mediastinal jarang menyebabkan gangguan saraf spinal. Bila terjadi penekanan saraf simpatis, akan timbul sindrom Horner dan kaku leher (Nazar, 2006).b. Infeksi di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test) (Tachidjan, 1990).c. Pada daerah torakal dan lumbal dapat ditemukan kifosis angular sampai gibbus, nyeri pada daerah tersebut dapat menyebar ke ekstrimitas bawah, khususnya daerah lateral paha, juga dapat ditemukan abses iliaka atau abses psoas. (Nazar, 2006)

d. Pada daerah lumbosakral dapat dijumpai gejala lokal misalnya deformitas, nyeri yang menyebar ke ekstrimitas bawah, abses psoas, dan gangguan gerak pada sendi panggul. (Nazar, 2006)

e. Di regio lumbar abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul (Miller, 1999).

Stadium Pott Paraplegia:

2.5 PatofisiologiDroplet Mycobacterium tuberculosis masuk melalui saluran napas dan akan menimbulkan fokus infeksi di jaringan paru. Fokus infeksi ini disebut fokus primer (fokus Ghon). Kuman kemudian akan menyebar secara limfogen dan menyebabkan terjadinya limfangitis lokal dan limfadenitis regional. Gabungan dari fokus primer, limfangitis lokal dan limfadenitis regional disebut sebagai kompleks primer. Jika sistem imun penderita tidak cukup kompeten infeksi akan menyebar secara hematogen/ limfogen dan bersarang di seluruh tubuh mulai dari otak, gastrointestinal, ginjal, genital, kulit, getah bening, osteoartikular, hingga endometrial (Vitriana, 2002).

Spondilitis TB dapat terjadi akibat penyebaran secara hematogen/limfogen melalui nodus limfatikus para-aorta dari fokus tuberkulosis di luar tulang belakang yang sebelumnya sudah ada. Pada anak, sumber infeksi biasanya berasal dari fokus primer di paru, sedangkan pada orang dewasa berasal dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Perjalanan infeksi pada vertebra dimulai setelah terjadi fase hematogen atau reaktivasi kuman dorman. Vertebra yang paling sering terinfeksi adalah vertebra torako-lumbal T8- L3, sedangkan yang paling jarang adalah C1-2 (Sjamsuhidajat, 2010). Jika pada orang dewasa spondilitis TB banyak terjadi pada vertebra torakal bagian bawah dan lumbal bagian atas, pada anak-anak spondilitis TB lebih banyak terjadi pada vertebra torakal bagian atas (Mason et all, 2005).

Penyakit ini pada umunya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentarral, bagian depan atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hipertermi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifisis, diskus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan kifosis. Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan meneyebar ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esofagus atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanay tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonumnatau regio glutea. (Rasjad, 2012)

Menurut Kumar perjalanan penyakit ini dibagi menjadi 5 stadium yaitu (Rasjad, 2012):

1. Stadium Implantasi

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selam 6 8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak anak umunya pada daerah sentral vertebra.

2. Stadium Destruksi Awal

Setelah stadium implantasi, selanjtunya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang sering pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

3. Stadium destruksi Lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang terjadi 23 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya kan terbnetu sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibus.

4. Stadium gangguan neurologis

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempnyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:

Derajat I: kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris

Derajat II: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya

Derajat III: terdapat kelemahan pada naggota gerak bawah yang membatasi gerak/ aktivitas penderita serta hipestesia/ anestesia

Derajat IV: terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai gangguan defekasi dan miksi.

5. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 35 tahun setelah timbulnya stadum implantasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang masif di sebelah depan

Gambar 3. Spondilitis tuberkulosis. A) Gibus thorakolumbar dengan hipertonus erektor trunkus. Penderita menyandarkan diri pada ekstremitas atas; B) 1. rarefaksi bagian anterior vertebra mulai nampak penyempitan diskus intervertebralis, 2. rarefaksi meluas, penyempitan jelas, 3. kompresi vertebra bagian ventral, terjadinya gibus, kompresi medulla spinalis.

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil). Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batsons yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:

a. Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.b. SentralInfeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.c. AnteriorInfeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.d. Bentuk atipikal :Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemen posterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%. Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.2.6 Pemeriksaan diagnostica. Sinar RontgenDiperlukan pengambilan gambar dua arah , antero-posterior (AP) dan lateral (L). Pada fase awal, akan tampak lesi osteolitik pada bagian anterior korpus vertebra dan osteoporosis regional. Penyempitan ruang diskus intervertebralis, menujukkan terjadinya kerusakan diskus. Pembengkakan jaringan lunak disekitar vertebra menimbulkan bayangan fusiform. Pada fase lanjut, kerusakan bagian anterior semakin parah. Korpus menjadi kolaps dan terjadi fusi anterior yang menghasilkan angulasi yang khas disebut gibbus. Bayangan opaque pada sisi lateral vertebra, memanjang kearah distal, merupakan gambaran abses psoas pada torakal bawah dan torakolumbal yang berbentuk fusiform.

b. Mielografi

Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural . Secara konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan ,disebut CTmielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis.

c. CT-Scan

Dapat memperlihatkan bagian-bagaian vertebra secara rinci dan melihat kalsifikasi jaringan lunak. Membantu mencari fokus yang lebih kecil, menentukan lokasi biopsi dan menetukan luas kerusakan.

d. MRI

Memiliki kelebihan dalam menggambarkan jaringan lunak dan aman digunakan. MRI juga memiliki kelebihan dalam mendiagnosa penyakit pada masa dini atau lesi multipel dibandingkan CT dan pemeriksaan radiologik konvensional. Gambaran lesi pada T1 weighted image adalah hypointense sedangkan pada T2 weighted image adalah hiperintens. Lesi juga dapat menjadi lebih jelas dengan injeksi Gadolinium DTPA intravena. Pada spondilitis tuberkulosa akan didapat gambaran dengan lingkaran inflamasi dibagian luar dan sekuester ditengah yang hipointens ; tetapi gambaran ini mirip dengan infeksi piogenik dan neoplasma sehingga tidak spesifik untuk spondilitis tuberkulosa.

e. Sidik Tulang

Dengan menggunakan Tc 99M methylene diphosphonate dan isotop gallium-67 , sidik tulang memberikan sensitifitas 92% dan spesifisitas 88%. Pemeriksaan ini tidak digunakan secara rutin.f. Mielografi

Melalui punksi lumbal dimasukkan zat kontras kedalam ruang subdural . Secara konvensional dibuat foto AP/L atau dilakukan pemeriksaan dengan CT-Scan ,disebut CTmielografi. Pemeriksaan ini dapat memberikan gambaran adanya penyempitan pada kanal spinalis dan atau tekanan terhadap medula spinalis (Moesbar, 2006).2.7 Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium

a. DarahSecara umum, sama dengan penderita penyakit kronik lainnya,sering ditemukan anemia hipokrom. Hitung-jumlah lekosit dapat normal atau meningkat sedikit, pada hitung jenis ditemukan monositosis. Laju endap darah meningkat tetapi tidak dapat menjadi indikator aktivitas penyakit. Nazar Moesbar Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang Suplemen (Ramachandran R, 2003)b. Tes TuberkulinDengan cara Mantoux, disuntikkan PPD 5 TU (0.1 ml) intrakutan. Reaksi pada tubuh dibaca setelah 48-72 jam. Jika indurasi < 5 mm dikatakan tes Mantoux negatif. Indurasi > 10 mm , tes Mantoux positif ; sedangkan indurasi 5 9 mm meragukan dan perlu diulang. (Ramachandran R, 2003)c. BakteriologiUntuk pemeriksaan balteriologik dan histopatologik diperlukan pengambilan bahan melalui biopsi atau operasi. Biopsi dapat dilakukan dengan cara fine needle aspiration dengan tuntunan CT atau video assisted thoracoscopy. Pemeriksaan terhadap bahan pemeriksaan yang diambil dengan biopsi dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikroskopik biasa, mikroskopik fluoresen atau biakan. Pada pemeriksaan mikroskopik dapat dilakukan pewarnaan Ziehl Nielsen, Tan Thiam Hok, Kinyoun-Gabbet atau denagn metoda fluorokrom yang memakai pewarnaan auramine dan rhodamine. Pemeriksaan ini membutuhkan sedikitnya 5 x 103 kuman per ml sputum. Hasil pemeriksaan ini dipengaruhi oleh : jenis spesimen, ketebalan sediaan apus yang dihasilkan, ketebalan pewarnaan, kemampuan dan keahlian pemeriksa. Beberapa cara yang dilakukan untuk meningkatkan sensitifitas hasil pemeriksaan sediaan apus secara mikroskopik, yaitu: cytocentrifugation dari bahan pemeriksaan sputum, mencairkan sputum dengan sodium hypochloride diikuti dengan sedimentasi selama satu malam. Jumlah basil tuberkulosis yang didapatkan pada spondilitis tuberkulosa lebih rendah bila dibandingkan dengan tuberkulosis paru. Juga pada pewarnaan biasa hanya sanggup mendiagnosa sekitar separuhnya. (Ramachandran R, 2003)d. KulturSemua spesimen yang mengandung mikobakteria harus di inokulasi melalui media kultur, karena : kultur lebih sensitif dari pada pemeriksaan mikroskopis, dapat mendeteksi hingga 10 bakteri per ml ; kultur dapat melihat perkembangan organisme yang diperlukan untuk identifikasi yang akurat dan dengan pembiakan kuman dapat dilakukan resistensi tes terhadap obat-obat anti tuberkulosa. (Ramachandran R, 2003)e. HistopatologiSecara histopatologik, hasil biopsi memberi gambaran granuloma epiteloid yang khas dan sel datia Langhans, suatu giant cell multinukleotid yang khas. (Ramachandran R, 2003)f. PCRPrinsip kerja PCR adalah 3 tahapan reaksi yang dilakukan pada suhu yang berbeda. Yaitu: denaturasi, aneling primer, dan polimerase. Ini adalah suatu proses amplifikasi DNA yang dilakukan berulangkali. Produk yang dihasilkan bertindak sebagai template untuk siklus berikutnya sehingga setiap siklus menghasilkan produk secara eksponensial. Dengan kemampuan ini PCR dapat mendeteksi basil tuberkulosa yang jumlahnya tidak cukup untuk bisa diperiksa secara mikroskopis atau bakteriologis. Jumlah kuman 10 1000 sudah dapat dideteksi dengan pemeriksaan ini. Target yang paling sering digunakan pada pemeriksaan ini adalah IS6110. Deteksi dengan menggunakan IS6110 ini dilakukan dari sputum (pada tuberkulosa paru) dan darah (pada tuberkulosa diluar paru). Pemeriksaan PCR memberikan sensitifitas 94.7% , spesifisitas 83.3% dan akurasi 92% terhadap bahan pemeriksaan yang berasal dari spondilitis tuberkulosa.g. ICT Tuberkulosis

Tes immunokromatografi untuk mendeteksi mikobakterium tuberkulosa atau ICT Tuberkulosis adalah suatu pemeriksaan serodiagnostik dengan mengembangkan antigen untuk mendetekdi antibodi yang dihasilkan oleh tubuh penderita. Pemeriksaan ini menggunakan membran atau strip nitroselulose yang disensitisasi dengan antigen. Teknik pemeriksaan dengan metode ini cepat dan mudah. Strip dapat dibaca secara manual atau dibaca oleh densitometer. Antigen yang paling sering digunakan untuk mendiagnosa tuberkulosis adalah antigen 38 kDa dengan sensitifitas 45% 85% dan spesifisitas 98%. (Rini, 2004)

2.8 Penatalaksanaan (Paramarta, Purniti, Subanada, Astawa, 2008)Saat ini pengobatan spondilitis TB berdasarkan terapi diutamakan dengan pemberian obat anti TB dikombinasikan dengan imobilisasi menggunakan korset. Pengobatan non-operatif dengan menggunakan kombinasi paling tidak 4 jenis obat anti tuberkulosis. Pengobatan dapat disesuaikan dengan informasi kepekaan kuman terhadap obat. Pengobatan INH dan rifampisin harus diberikan selama seluruh pengobatan.

1. Terapi Konservatif

a. Tirah Baring

Tindakan dilakukan pada penyakit yang telah lanjut dan tidak tersedia keterampilan dan fasilitas yang cukup untuk melakukan operasi radikal spinal anterior atau bila terdapat masalah teknik yang membahayakan. Istirahat ditempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis, dan laboratorium. Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat ditempat tidur selama 3-6 minggu. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) tetapi tidak memberikan respon yang baik. Jika tidak ada perbaikan, terapi paling efektif pada lesi spinal adalah dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi pus tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa dan tulang yang terinfeksi, serta memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat.

b. Diet tinggi kalori tinggi protein (TKTP)

c. Gips Badan

Istirahat dapat digunakan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Penggunaan gips ini digunakan untuk fiksasi guna mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut

d. Medikamentosa (OAT)

Sekarang, penanganan spondilitis TB secara umum dibagi menjadi dua bagian yang berjalan dapat secara bersamaan, medikamentosa dan pembedahan. Terapi medikamentosa lebih diutamakan, sedangkan terapi pembedahan melengkapi terapi medikamentosa dan disesuaikan dengan keadaan individual tiap pasien. Pasien spondilitis TB pada umumnya bisa diobati secara rawat jalan, kecuali diperlukan tindakan bedah dan tergantung pada stabilitas keadaan pasien. Tujuan penatalaksanaan spondilitis TB adalah untuk mengeradikasi kuman TB, mencegah dan mengobati defi sit neurologis,serta memperbaiki kifosis

pada fase awal, terapi medikamentosa memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan terapi bedah. Namun, ketika deformitas kifosis telah melanjut, terapi medikamentosa justru tidak begitu berguna. Terapi OAT selama 9 bulan memberikan angka remisi yang lebih baik (hingga 99 persen) dibandingkan terapi OAT selama 6 bulan

Spondilitis TB dapat diobati secara sempurna hanya dengan OAT saja hanya jika diagnosis ditegakkan awal, dimana destruksi tulang dan deformitas masih minimal. terapi infeksi spondilitis TB adalah multidrug therapy. Secara umum, regimen OAT yang digunakan pada TB paru dapat pula digunakan pada TB ekstraparu, namun rekomendasi durasi pemberian OAT pada TB ekstraparu hingga saat ini masih belum konsisten antarahli. World Health Organization (WHO) menyarankan kemoterapi diberikan setidaknya selama 6 bulan. British Medical Research Council menyarankan bahwa spondilitis TB torakolumbal harus diberikan kemoterapi OAT selama 6 9 bulan. Untuk pasien dengan lesi vertebra multipel, tingkat servikal, dan dengan defi sit neurologis belum dapat dievaluasi, namun beberapa ahli menyarankan durasi kemoterapi selama 912 bulan

Sementara itu pengobatan anti tuberkulosa standar pengobatan berdasarkan program P2TB paru yaitu :

1. Kategori I untuk penderita baru BTA (-/+) / rontgen (+)

a. Tahap 1 diberikan Rifampisin 450 mg, etambutol 750 mg, INH 300 mg, dan pirazinamid 1500 mg per hari selama 2 bulan pertama (60 kali)

b. Tahap II diberikan rifampisin 450 mg, INH 600 mg 3 kali per minggu selama 4 bulan (54 kali)

2. Kategori II untuk penderita BTA (+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita yang kambuh.

a. Tahab I : diberikan streptomisin 750 mg diberikan 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya 3 bulan (90 kali)

b. Tahap II : INH 600 mg, Rifampisin 450mg dan etambutol 1250mg per 3 kali seminggu selama 5 bulan (66 kali). Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, LED menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyyeri dan spasme berkurang, serta gambaran radiologis ditemukan adanya union pada vertebra

Regimen 4 macam obat biasanya termasuk INH, rifampisin, dan pirazinamid dan etambutol. Lama pengobatan masih kontroversial. Meskipun beberapa penelitian mengatakan memerlukan pengobatan hanya 6-9 bulan, pengobatan rutin yang dilakukan adalah selama 9 bulan sampai 1 tahun. Lama pengobatan biasanya berdasarkan dari perbaikan gejala klinis atau stabilitas klinik pasien.Obat yang biasa dipakai untuk pengobatannya seperti pada Tabel :

Pemberian obat bila dikombinasikan antara INH dan rifampisin maka dosis dari INH tidak boleh lebih dari 10 mg/KgBB/hr dan dosis rifampisin tidak boleh lebih dari 15 mg/kgBB/hr serta dalam meracik tidak boleh diracik dalam satu puyer tetapi pada saat minum obat dapat bersamaan. Sebagai tambahan terapi, anti inflamasi non steroid kemungkinan digunakan lebih awal pada penyakit dengan inflamasi superfisial membran yang non spesifik untuk menghambat atau efek minimalisasi destruksi tulang dari prostaglandin.

2. Terapi PembedahanSelain memberikan medikamentosa, imobilisasi regio spinalis harus dilakukan. Pengobatan yang paling penting adalah imobilisasi dan artrodesis posterior awal. Jika terjadi Potts paraplegia maka pembedahan harus dilakukan.

Indikasi pembedahan antara lain :

a. Indikasi absolut :

Paraplegi dengan onset yang terjadi selama pengobatan konservatif, paraplegia memburuk atau menetap setelah dilakukan pengobatan konservatif, kehilangan kekuatan motorik yang bersifat komplit selama 1 bulan setelah dilakukan pengobatan konservatif, paraplegia yang disertai spastisitas yang tidak terkontrol oleh karena suatu keganasan dan imobilisasi tidak mungkin dilakukan atau adanya risiko terjadi nekrosis akibat tekanan pada kulit, paraplegia yang berat dengan onset yang cepat, dapat menunjukkan tekanan berat oleh karena kecelakaan mekanis atau abses dapat juga merupakan hasil dari trombosis vaskular tetapi hal ini tidak dapat didiagnosis, paraplegia berat lainnya, paraplegia flaksid, paraplegia dalam keadaan fleksi, kehilangan sensoris yang komplit atau gangguan kekuatan motoris selama lebih dari 6 bulan.

b. Indikasi relatif :

Paraplegia berulang yang sering disertai paralisis sehingga serangan awal sering tidak disadari, paraplegia pada usia tua, paraplegia yang disertai nyeri yang diakibatkan oleh adanya spasme atau kompresi akar saraf serta adanya komplikasi seperti batu atau terjadi infeksi saluran kencing.

Prosedur pembedahan yang dilakukan untuk spondilitis TB yang mengalami paraplegi adalah costrotransversectomi, dekompresi anterolateral dan laminektomi.

2.9 Komplikasi

Komplikasi yang dapat ditimbulkan oleh spondilitis tuberkulosa yaitu:1. Pottds paraplegiaa.

Komplikasi yang paling berbahaya, hanya terjadi pada 4 38 persen penderita.9 Potts paraplegia dibagi menjadi dua jenis: paraplegia onset cepat (early-onset) dan paraplegia onset lambat (late-onset) (Agrawal, 2010).

a. Paraplegia onset cepat terjadi saat akut, biasanya dalam dua tahun pertama. Paraplegia onset cepat disebabkan oleh kompresi medula spinalis oleh abses atau proses infeksi (Albar Z, 2002).b. Sedangkan paraplegia onset lambat terjadi saat penyakit sedang tenang, tanpa adanya tanda-tanda reaktifasi spondilitis, umumnya disebabkan oleh tekanan jaringan fibrosa/parut atau tonjolan-tonjolan tulang akibat destruksi tulang sebelumnya (Albar Z, 2002).2. Kifosis berat

Hal ini terjadi oleh karena kerusakan tulang yang terjadi sangat hebat sehingga tulang yang mengalami destruksi sangat besar (Paramarta dkk, 2008). Parthasarathy menyimpulkan bahwa pada pasien usia dibawah 15 tahun dan dengan kifosis lebih dari 30o cenderung tidak responsif terhadap pengobatan. Kifosis berat, selain memperburuk estetika, dapat mengurangi kemampuan bernafas.

3. Cedera corda spinalis (spinal cord injury).

Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa. Jika cepat diterapi sering berespon baik. MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis (Staf IKA UI, 2007).2.10 Prognosis

Prognosis pasien spondilitis TB dipengaruhi oleh: 1) usia, 2) deformitas kifotik, 3) letak lesi, 4) defisit neurologis, 5) diagnosis dini, 6) kemoterapi, 7) fusi spinal, 8) komorbid, 9) tingkat edukasi dan sosioekonomi. Usia muda dikaitkan dengan prognosis yang lebih baik (Vitriana, 2002). Diagnosis dini sebelum terjadi destruksi badan vertebra yang nyata dikombinasi dengan kemoterapi yang adekuat menjanjikan pemulihan yang sempurna pada semua kasus. Adanya resistensi terhadap OAT memperburuk prognosis spondilitis TB. Komorbid lain seperti AIDS berkaitan dengan prognosis yang buruk. Penelitian lain di Nigeria mengatakan bahwa tingkat edukasi pasien mempengaruhi motivasi pasien untuk datang berobat. Pasien dengan tingkat edukasi yang rendah cenderung malas datang berobat sebelum muncul gejala yang lebih berat seperti paraplegia (Njoku, 2007).

2.11 WOC ( terlampir)

BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN SPONDILTIS TUBERKULOSIS(ASKEP UMUM)

3.1 Pengkajian

1. Anamnesa

a. Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, tempat dan tanggal lahir, usia, alamat, nomor telepon, status pernikahan, pendidikan terakhir, pekerjaan, agama, suku, bangsa, dan nama penanggung jawab klien

b. Keluhan utama

Keluhan utama pada klien spondilitis TB adalah adanya nyeri punggung bagian bawah.

c. Riwayat Penyakit

1) Riwayat Kesehatan Sekarang

Awal gejala dapat dijumpai nyeri redikuler yang mengelilingi dada dan perut, nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang. Pasien sering mera lemah dan lesu, nafsu makan berkurang serta sakit pada punggung, pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari, BB turun, nyeri spinal menetap, nyeri redikuler yang mengelilingi dada atau perut. Suhu meningkat terutama pada malam hari, paraplegia, paraperesis, kifosis.

2) Riwayat Kesehatan Dahulu

Spondilitis tuberkolosa biasanya terjadi pada klien dengan penyakit tuberkolosis pada masa lalu (R. Sjamsu Hidajat,1997).

3) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyebaba spondilitis TB salah satunya adalah kontak dengan penderita penyakit TB atau lingkungan keluarga ada yang menderika penyakit tersebut.

d. Psikososial

Pasien akan merasa cemas dan terlihat sedih, kurang pengetahuan mengenai penyakit TB, pengobatan dan perawatannya sehingga membuat emosinya tidak stabil.2. Pemeriksaan Fisik

Review of Systema. B1 (Breathing) : Kaji pernafasan klien terkait otot bantu nafas, pernafasan cuping hidung, RR. Pada pasien dengan spondylitis TB biasanya terdapat Suara nafas tambahan ronki akibat peningkatan produksi.b. B2 (Blood) : Kaji perubahan denyut nadi serta tekanan darah pasien.

c. B3 (Brain) : Nyeri yang bervariasi, misal nyeri ringan sampai nyeri berat (dihubungkan dengan proses penyakit).d. B4 (Bladder) : Pada spondilitis TB daerah torakal dan servikal, tidak ada kelainan pada system ini.P ada spondilitis tuberkulosa daerah lumbal, sering didapatkan keluhan inkontinensia urine, ketidak mampuan mengkomunikasikan kebutuhan eliminasi urine.e. B5 (Bowel): Klien spondilitis TB sering ditemukan penurunan nafsu makan dan gangguan menelan karena adanya stimulus nyeri menelan dari abses faring sehingga pemenuhan nutrisi menjadi berkurangf. B6 (Bone)

1. Look : Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas, terlihat abses pada paravertebral, abdominal, inguinal.2. Feel : Akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, berbeda dengan abses piogenik yang terasa panas). Sensasi ini dapat dipalpasi didaerah lipat paha, fosa iliaka, retrofiring, atau di sisi leher (dibelakang otot sternokleidomastoideus), bergantung dari level lesi. Dapat juga teraba didaerah disekitar dinding dada.3. Move : Kelemahan anggota gerak (paraplegia) dan gangguan tulang belakang.

3. Pemeriksaan Laboratorium

a. Radiologi :

Terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior

Penyempitan diskus

Abses paravertebral (fusi form)

b. Laboratorium :

Laju endap darah meningkat

c. Tes kuberkulin : reaksi tuberculin biasanya positif3.2 Analisis DataNoDataAnalisa DataMasalah Keperawatan

1.Ds:

Klien mengatakan nyeri punggung bagian bawah

Do :

P: pasien merasakan nyeri di daerah punggung bagian bawah

Q : rasa nyeri redikuler dada atau perut

R : Punggung bagian bawah.

S : pasien mengatakan skala nyeri 6 ( 0 10 )

T: nyeri meningkat pada malam hari

Myobacterium tuberculosis

Terhirup masuk ke traktus respiratorius

Infeksi secara hematogen tuberculosis paru ke korpus vertebrata dekat diskus intervertebralis

Spondilitis TB

Kerusakan korpus vertebra dan agulasi vertebra ke depan

Kompresi radiks saraf pada vertebra torakalis

Stimulus nyeri

NyeriNyeri akut

2.DS:

-pasien mengatakan nyeri di tenggorokan dan sulit menelan

DO:

-Kurang nafsu makan

-lemah dan lesu

-Konjungtiva pucat

Denyut nadi lemah

Myobacterium tuberculosis

Terhirup masuk ke traktus respiratorius

Infeksi secara hematogen tuberculosis paru ke korpus vertebrata dekat diskus intervertebralis

Spondilitis TB

Kerusakan korpus vertebra dan agulasi vertebra ke depan

Gangguan mobilitas leher

Leher kaku dan pembentukan abses pada faring

Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari kebutuhanKetidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan

3. DS:

-Depersonalisasi bagian

tubuh

-Perasaan negatif tentang

tubuh

-Secara verbal

menyatakan perubahan

gaya hidup

DO :

-Perubahan aktual

struktur dan fungsi tubuh

-Kehilangan bagian tubuh

-Bagian tubuh tidak

BerfungsiMyobacterium tuberculosis

Terhirup masuk ke traktus respiratorius

Infeksi secara hematogen tuberculosis paru ke korpus vertebrata dekat diskus intervertebralis

Spondilitis TB

Kerusakan korpus vertebra dan agulasi vertebra ke depan

Perubahan vertebrata menjadi kifosis

Gibbus

Gangguan Body ImageGangguan Body Image

4. Faktor-faktor risiko :

-Prosedur Infasif

-Kerusakan jaringan dan

peningkatan paparan

lingkungan

-Malnutrisi

-Tidak adekuat pertahanan

sekunder (penurunan Hb,

Leukopenia, penekanan

respon inflamasi)

Myobacterium tuberculosis

Terhirup masuk ke traktus respiratorius

Infeksi secara hematogen tuberculosis paru ke korpus vertebrata dekat diskus intervertebralis

Spondilitis TB

Perubahan pada vertebrata lumbalis

Penekana radiks saraf oleh abses/ tulang yang bergeser

Abses lumbal

Resiko penyebaran infeksi

Resiko InfeksiResiko Infeksi

3.3 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme otot servikal

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan

3. dengan asupan nutrisi tidak adekuat akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan

4. Resiko infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang3.4 Intervensi

No.DiagnosaNOCNIC

1. Nyeri akut berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme otot servikal

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam

Pasien tidak mengalami

nyeri, dengan kriteria hasil:

a. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri,mencari bantuan)

b. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan manajemen nyeri

c. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas,frekuensi dan tanda nyeri)

d. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang

e. Tanda vital dalam rentang normal

f. Tidak mengalami gangguan tidura. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termasuk lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitasi

b. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan

c. Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan

d. Kurangi faktor presipitasi nyeri

e. Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi

f. Ajarkan tentang teknik non farmakologi: napas dalam, relaksasi, distraksi, kompres hangat/ dingin

g. Berikan informasi tentang nyeri seperti penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan dari prosedur

h. Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali

2. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelanSetelah dilakukan tindakan

keperawatan

selam 3x 24 jam.nutrisi kurang

teratasi dengan indikator:

Albumin serum

Pre albumin serum

Hematokrit

Hemoglobin

Dalam batas normala. Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien

b. Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat untuk mencegah konstipasi

c. Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan harian.

d. Monitor adanya penurunan BB dan gula darah

e. Monitor lingkungan selama makan

f. Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak selama jam makan

g. Monitor turgor kulit

h. Monitor intake nuntrisi

i. Informasikan pada klien dan keluarga tentang manfaat nutrisi

j. Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi selama makan

k. Anjurkan banyak minum

l. Pertahankan terapi IV line

m. Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik

3.

Gangguan body image berhubungan dengan gangguan struktur tubuhSetelah dilakukan

tindakan keperawatan

selama 3x24 jam gangguan

body image

pasien teratasi dengan

kriteria hasil:

a. Body image positif

b. Mampu

c. Mengidentifikasi kekuatan personal

d. Mendiskripsikan secara factual perubahan fungsi tubuh

e. Mempertahankan interaksi sociala. Kaji secara verbal dan nonverbal respon klien terhadap tubuhnya

b. Monitor frekuensi mengkritik dirinya

c. Jelaskan tentang pengobatan, perawatan, kemajuan dan prognosis penyakit

d. Dorong klien mengungkapkan perasaannya

e. Identifikasi arti pengurangan melalui pemakaian alat bantu

f. Fasilitasi kontak dengan individu lain dalam kelompok kecil

4.Resiko infeksi berhubungan dengan pembentukan abses tulang

Setelah dilakukan tindakan

keperawatan selama 3x24 jam

pasien tidak mengalami

infeksi dengan kriteria

hasil:

a. Klien bebas dari tanda dan gejala infeksi

b. Menunjukkan kemampuan untuk mencegah timbulnya infeksi

c. Jumlah leukosit dalam batas normal

d. Menunjukkan perilaku hidup sehat

e. Status imun, gastrointestinal, genitourinaria dalam batas normal

a. Pertahankan teknik aseptif

b. Batasi pengunjung bila perlu

c. Cuci tangan setiap sebelum dan sesudah tindakan keperawatan

d. Gunakan baju, sarung tangan sebagai alat pelindung

e. Tingkatkan intake nutrisi

f. Monitor tanda dan gejala infeksi sistemik dan local

g. Inspeksi kulit dan membran mukosa terhadap kemerahan, panas, drainase

h. Dorong masukan cairan

i. Dorong istirahat

j. Ajarkan pasien dan keluarga tanda dan gejala infeksi

k. Kaji suhu badan pada pasien neutropenia setiap 4 jam

BAB IV

PENUTUP

4.1 KesimpulanInfeksi spinal oleh tuberculosis atau biasa disebut spondilitis tuberculosis sangat memerlukan penanganan atau diagnosis dini sebab sangat berpotensi terhadap peningkatan morbiditas terutama di Negara berkembang salah satunya adalah Indonesia. Peningkatan jumlah penderita Spondilitis TB sangat dipengaruhi oleh penyakit yang berhubungan dengan defisiensi system imun seperti AIDS yang disebabkan oleh Virus HIV. Spondilitis TB disebabkan oleh kuman mycobacterium tuberculosis yang menyebar secara hematogen ke ekstrapulmonal. Secara umum, tatalaksana spondilitis TB yaitu dengan kemoterapi dengan OAT ( Obat Anti Tuberculosis), Imobilisasi, dan intervensi bedah ortopedi/saraf. (Zuwanda, Janitra, 2013). Adapun masalah keperawatan yang dapat timbul akibat penyakit spondilitis TB meliputi nyeri akut, ketidakseimbangan nutrisi dan hambatan mobilitas fisik. Oleh karena itu perlu penanganan yang tepat dalam tatalaksana atau intervensi pada pasien dengan spondilitis TB sehingga dapat mengurangi angka morbiditas yang terjadi. 4.2 Saran

Penulis menyarankan agar perawat dan pembaca dapat memahami terkait dengan asuhan keperawatan pada klien dengan gangguan musculoskeletal khususnya pada pasien dengan Spondilitis TB (TB tulang spinal) sehingga dapat memudahkan kita terutama perawat dalam melakukan intervensi atau tatalaksana yang sesuai dengan kondisi pasien Spondilitis TB tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Agrawal V, Patgaonkar PR, Nagariya SP. 2010. Tuberculosis of Spine. Journal of Craniovertebral Junction and Spine 2010, 1: 14.

Albar Z. 2002. Medical treatment of Spinal Tuberculosis. Cermin Dunia Kedokteran No. 137,29.

Evelyn C Pearce. 2011. Anatomi dan fisiologi untuk paramedis. Jakarta : EGC. dikses tanggal 07-09-2014. Harsono, 2003. Spondilitis Tuberkulosa dalam Kapita Selekta Neurologi. Ed. II. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. pp. 195-197John, Gibson. 2002. Fisiologi dan Anatomi modern untuk perawat. Jakarta : EGC

Naidich, Castilo, Cha, et al. 2011. Imaging of The Spine. China: Saunder Elsevier.

Njoku CH, Makusidi MA, Ezunu EO. 2007. Experiences in Management of Potts paraplegia and Paraparesis in Medical Wards of Usmanu Danfodiyo University Teaching Hospital, Sokoto, Nigeria. Annals of African Medicine. Vol. 6, No .1, 22 25

Paramarta, Gede Epi, et al. 2008. Jurnal Spondilitis Tuberkulosis volume 10 No. 3. Bagian ilmu kesehatan anak dan bagian ilmu bedah ortopedi FK Udayana RS Sanglah Denpasar.

Paramarta, I.G. Purniti, P.S. Subanada, I.B. Astawa, P. 2008. Spondilitis TB. Sari Pediatri; 10(3) pp.177-83

Parthasarathy R, et al. A comparison between ambulant treatment and radical surgery - ten-year report. J Bone and Joint Surg 1999; 81B: 464-71.

Suratun, SKM, Heryati S.Kep, M.Kes dkk, 2008, Klien gangguan muskuloskeletal: seri asuhan keperawatan. Jakarta : EGC

Vitriana. 2002. Spondilitis Tuberkulosa. Bagian Ilmu Kedokteran Fisik dan Rehabilitasi FK-UNPAD/ RSUP dr. Hasan Sadikin , FK-UI/ RSUPN dr. Ciptomangunkusumo.

Vali P, Chaloupka R. Management of tuberculous Spondylitis. Scripta Medica (Brno) 2000;3:1658

Wilkinson, Judith M. 2009. Diagnosis Keperawatan Edisi 9. Jakarta: EGC

Zuwanda, Raka Janitra. 2013. Jurnal Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis TB vol. 40 No. 9. Dokter Umum di Jakarta, Dokter Umum Atambua NTT( Nusa Tenggara Timur). Zuwanda, Raka Janitra. Diagnosis dan Penatalaksanaan Spondilitis Tuberkulosis. Nusa Tenggara Timur. CDK-208/ vol. 40 no. 9, th. 2013Ramachandran R, Paramasivan CN. What is new in the diagnosis of tuberculosis. Indian Journal of Tuberculosis 2003; 6: 182 8.Moesbar, Nazar. Infeksi Tuberkulosa pada Tulang Belakang. Medan. Majalah Kedokteran Nusantara Volume 39: No. 3 :September 2006Vitriana. Spondilitis Tuberkulosa. Asuhan keperawatan klien dengan gangguan Musculoskeletal Spondilitis Tuberculosis

Page 28