Spinal Cord Injury

24
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Definisi Spinal cord injury atau cedera medula spinalis adalah trauma atau kerusakan dari medula spinalis yang mengakibatkan gangguan fungsional baik sementara atau permanen pada fungsi motorik, sensorik atau otonom. 1 Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke medula spinalis dapat ikut terputus. 1 Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Saraf Pusat. saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat dari otak dan dilindungi oleh tulang belakang Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. 2 1

description

panggul sempit

Transcript of Spinal Cord Injury

Page 1: Spinal Cord Injury

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiSpinal cord injury atau cedera medula spinalis adalah trauma atau

kerusakan dari medula spinalis yang mengakibatkan gangguan fungsional baik

sementara atau permanen pada fungsi motorik, sensorik atau otonom.1

Trauma medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada

tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum

longitudainalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk

kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah ke

medula spinalis dapat ikut terputus.1

Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Saraf Pusat. saraf yang

tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat dari otak dan

dilindungi oleh tulang belakang Terbentang dari foramen magnum sampai

dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis

atau conus medullaris.2

Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan

antara perifer dan otak. Terdapat 31 pasang saraf spinal; 8 pasang saraf

servikal, 12 pasang saraf thorakal, 5 pasang saraf lumbal, 5 pasang saraf sacral

dan 1 pasang saraf coxigeal. Akar saraf lumbal dan sacral terkumpul yang

disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan saraf keluar melalui

intervertebral foramina. Saraf spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan

ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.2

1

Page 2: Spinal Cord Injury

Gambar 1. Gambaran secara posterior Kolumna vertebralis

Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The spinal cord and the ascending and descending tracts. In Snell RS . Clinical Neuroanatomy. 7 th Edition. Lippincott William & Willkis, Philadelphia.2010.

B. Etiologi

Sejak tahun 2005 etiologi utama CMS adalah Kecelakaan lalu lintas (39,2%), terjatuh (28,3%), kekerasan atau luka tembak (14,6%), olahraga (terutama diving 8,2%) akibat lainnya ( 9,7%).3

Cedera sumsum tulang belakang terjadi akibat patah tulang belakang dan

terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat

hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Didaerah

torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks. Fraktur

dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi,

sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar,

contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran

darah, atau perdarahan.3,4

Kelainan sekunder pada sumsum belakang dapat disebabkan hipoksemia

dan iskemia. Iskemia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi. Perlu

2

Page 3: Spinal Cord Injury

diketahui bahwa kerusakan pada sumsum tulang belakang merupakan

kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan

saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan

fungsi disebabkan oleh kerusakan yang sebenarnya dari jaringan saraf atau

disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.4

C. Patofisiologi

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan

kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis

tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi.3 Efek trauma yang tidak

langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesipada medulla spinalis

disebut whiplash/trauma indirek, ini adalah gerakan dorsopleksi dan

anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.

Trauma whiplas terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun

torakalis bawah misal, pada waktu duduk dikendaraan yang sedang berjalan

cepat kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak

tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia. Trauma

tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi,tekanan

vertical (terutama pada T.12 ampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami

medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat trauma

terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk

sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam

beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan

peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah.4

Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis

kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan

pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis. Laserasi medulla spinalis

merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena

tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas

tulang belakang (fraktur dan dislokasi). lesi transversa medulla spinalis

3

Page 4: Spinal Cord Injury

tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa,

kuadrantransversa).4

Hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang

berbentuk lonjong dan bertempat di substansia grisea. Trauma ini bersifat

whiplash yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh

terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi medulla

spinalis terjadi karena dislokasi medulla spinalis dapat terjepit oleh

penyempitan kanalis vertebralis.4

Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra

meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah

yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis.4 Gejala yang didapat

sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses

didalam kanalis vertebralis. Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan

whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada

trauma whislap, radiks colmna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan

gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat

hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis

traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang,

maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan

terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan

menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma

yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior

spinal.5

4

Page 5: Spinal Cord Injury

Gambar 2.tingkat SCI

Gambar dikutip dari : Snell RS. Chapter 4. The spinal cord and related disease. In Snell RS . Clinical Neurology and neurosurgery. 7 th Edition.

Lippincott William & Willkis, Philadelphia.2010.

Tiap lesi di medula spinalis yang merusak daerah jaras kortikospinal

lateral dapat menimbulkan kelumpuhan upper motor neuron (UMN) pada otot-

otot bagian tubuh yang terletak dibawah tingkat lesi. Bila lesi bilateral atau

transversal medula spinalis di bawah tingkat servical maka dapat muncul suatu

paraplegi spastik, bila lesinya di tingkat servical maka akan muncul suatu

tetraplegi spastik. Paraplegi dan tetraplegi spastik dapat terjadi secara tiba-tiba

atau akut yang disebabkan oleh dislokasi atau fraktur tulang belakang akibat

trauma atau lesi vaskuler seperti: trombosis arteri spinalis, hematomielia,

aneurisma aorta disektans. Paraplegia atau tetraplegi spastik pada anak-anak

pada umumnya merupakan gejala cerebral palsy atau manifestasi penyakit

herediter yang menyertai keterbelakangan mental. Paraplegia atau tetraplegi

spastik yang berkembang secara sedikit demi sedikit dalam jangka waktu yang

bertahun-tahun biasanya disebabkan oleh Amyotrophic Lateral Sclerosis

(ALS), biasanya disertai defisit sensorik pada permukaan tubuh yang terletak

dibawah lesi, bahkan sebagian besar dapat terjadi gangguan miksi dan defekasi

5

Page 6: Spinal Cord Injury

Gambar 3. Mekanisme cedera flexi dan dislokasi dari C5-C6 dengan

robekan pada interspinosus dan posterior longitudinl ligaments, kapsul fecet,

dan diskus intervertebralis posterior.

Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the

Spine and Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology.

6

Page 7: Spinal Cord Injury

Gambar 4. Mekanisme cedera anterofleksi

Gambar dikutip dari : Sheerin F. Spinal Cord Injury : Causation and

Pathophysiology. Emerg Nurse. 2005.

Gambar 5. Mekanisme trauma Hiperekstensi

Gambar dikutip dari : Sheerin F. Spinal Cord Injury : Causation and

Pathophysiology. Emerg Nurse. 2005.

7

Page 8: Spinal Cord Injury

Gambar 6. Patofisiologi syock neurogenic

Gambar dikutip dari : Sheerin F. Spinal Cord Injury : Causation and

Pathophysiology. Emerg Nurse. 2005.

D. Gambaran Klinis

Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang

terjadi. Kerusakan meningitis lintang memberikan gambaran berupa

hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan

disertai shock spinal. shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum

tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa

ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya

adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan

fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi.

Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula

8

Page 9: Spinal Cord Injury

pada tanda gangguan fungsiotonom, berupa kulit kering karena tidak

berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih

dan gangguan defekasi Sindrom sumsum belakang bagian depan

menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai

hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,sedangkan rasa raba dan

posisi tidak terganggu.4 Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan.

Keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan

disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehingga sumsum tulang belakang

terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat.5

Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat

diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak

sehingga beban jatuh dan tulang belakang sekonyong-konyong

dihiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada

ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah

perianal tidak terganggu. Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra

lumbal 1 & 2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi,

miksi, impotensi serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbo kafernosa.6

E. Diagnosa

Evaluasi klinis pada pasien dengan CMS membutuhkan penilaian status

neurologis lengkap, namun serupa dengan pasien trauma lainnya evaluasi

klinis awal dilakukan Observasi primer. Pada observasi primer , ABC

(airway, Breathing, Circulation) dinilai terlebih dahulu. Setelah ketiga aspek

tersebut dinilai stabil, maka penilaiian status neurologis dilaksanakan.7

Dugaan adanya CMS didapatkan melalui anamnesis yang menyeluruh

baik mengenai mekanisme trauma dan gejala yang berhubungan dengan

trauma pada daerah spinal (umumnya nyeri) dan adanya defisit motorik ata

sensorik. CMS akut diduga apabila adanya ditemukan gejala otonom (retensio

urin, konstipasi, ileus, hipotermia, hipotensi, bradikardia) defisit motorik

9

Page 10: Spinal Cord Injury

(hemiplegia, tetraplegia, paraplegia) dan sensorik (hemiestesia,

hemihipestesia).7

Gambar 6. Metode ASIA dalam mengklasifikasikan CMS

Gambar dikutip dari : Krishblum et all. International standars for neurological classification of spinal cord injury .2011

10

Page 11: Spinal Cord Injury

F. Pemeriksaan Penunjang

1. Laboratorium

2. Radiologi

Foto vertebra sesuai letak kesi (posisi lateral dan anteroposterior

yang merupakan pemeriksaan yang fundamental untuk

mendiagnosa cedera spinal)

CT Scan/MRI (jauh lebih superior dibandingkan x-ray karena

dapat melihat potongan sagittal, koronal)

Dilakukan jika dengan hasil foto radiologi meragukan atau bila

akan dilakukan tindakan operatif.8

3. EKG

Bila terdapat aritmia jantung

G. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan trauma medulla spinalis

Manajemen pre hospital

1. Stabilisasi manual

2. Membatasi fleksi dan gerakan lain

3. Penanganan mobilitas

Manajemen di unit gawat darurat (UGD)

1. A (airway) : menjaga jalan nafas agar tetap lapang

2. B (breathing) mengatasi gangguan pernafasan, lakukan intubasi bila

adanya cedera medulla spinalis cervikal atas.

3. C (circulation) memperhatikan tanda-tanda hipotensi, harus dibedakan

antara syock hipovolemik (hipotensi, takikardi, akral dingin). Syock

neurogenik (hipotensi, bradikardi, ekstremitas hangat/ kering.

4. Selanjutnya

5. A. Pasang kateter untuk monitor hasil urin

6. B. pasang pipa nasogastrictube

11

Page 12: Spinal Cord Injury

Pemeriksaan umum

1. Jika ada fraktur kolumna vertebralis cervikalis segera fiksasi leher dengan

memasang collar neck.

2. Jika ada fraktur kolumna vertebralis torakalis, angkat pasien dalam

keadaaan terlungkup lakukan fiksasi torakal dengan torakolumbal brace.

3. Fraktur dalam lumbal, fiksasi lumbal dengan korset lumbal.

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan

1. Laboratorium darah lengkap, urine lengkap, gula darah sewaktu, ureum,

kreatinin, AGDA.

2. Radiologi : foto vertebra posisi AP/Lateral sesuai letak lesi.

3. CT Scan / MRI bila foto konvensional meragukan.

Penggunaan kortikosteroid

Pemberian Methilprednisolone dosis tinggi (bolus 30 mg/kgBB dalam 15

menit kemudian dilanjutkan 5,4 mg/kg BB dalam 23 jam) yang dimulai

seteah 8 jam setelah CMS tertutup dapat meningkatkan prognosis neurologis

pasien. Suatu penelitian Studi NASCIS menambahkan bahwa terapi

methilprednisolon yang dimulai dalam 3 jam setelah trauma harus dilanjutkan

selama 24 jam, sedangkan yang dimulai antara 3-8 jam pasca trauma harus

dilanjutkan selama 48 jam. Consortium for Spinal Cord Medicine tidak

merekomendasikan penggunaan neuroprotektan jenis apapun (steroid,

ganglioside GM-1, Gacyclidine, tirilazad dan naloxone) karena bukti klinis

belum didapatkan secara definit.6,7,9

Manajemen diruang rawat

1. Perawatan umum

a. Lanjutkan A,B,C sesuai keperluan

b. Usahakan suhu badan tetap normal

c. Jika ada gangguan miksi pasang kateter dan jika ada gangguan

defekasi berikan laksan/klisma.

12

Page 13: Spinal Cord Injury

2. medikamentosa

a. lanjutkan pemberian Methylprednisolon (mencegah proses

sekunder)

b. antispspastitas otot sesuai keadaan klinis

c. analgetik

d. mencegah dekubitus

e. mencegah trombosis vena dalam, dengan stocking khusus, dan

pemberian antikoagulan.

f. Mencegah proses sekunder dengan pemberian antioksidan

g. Terapi obat sesuai indikasi

Penanganan spesifik untuk komplikasi SCI

A. Sistem Respiratorius

Apabila lesi cukup tinggi setingkat C5 keatas (daerah servikal

dimana terdapat pula kelumpuhan pernapasan pentaplegia), maka

resusitasi dan kontrol resprasion diperlukan. Sebaiknya pada lesi diatas

C5 dilakukan intubasi.9

B. Sistem kardiovakular

Kemungkinan pada CMS terjadi syok neurogenik akibat syok spinal,

biasanya syok neurogenik terjadi bila lesi pada T6 akibat hilangnya tonus

simpatis. Hilangnya tonus tersebut mengakibatkan vasolidasi dan

bradikardi yang mengakibatkan syok. Syok pada CMS harus dibedakan

pada syok hipovolemik dan neurogenik karena apabila syok neurogenik

diberikan terlalu bayak cairan dapat me yebabkan edema paru.

Penatalaksanaan syok neurogenik antara lain pemberian cairan IV,

vasopresor dengan karakteristik alpha dan beta adrenergik (epinfrin,

norepinefrin, dan dopamine).9

C. Kulit

Perawatan posisi berganti dapat mencegah timbulnya decubitus yaitu

dengan cara miring kanan kiri telentang dan telungkup.9

D. Anggota gerak

13

Page 14: Spinal Cord Injury

Karena kelainan saraf maka timbul pula posisi sendi akibat

inbalance Kekuatan otot. Pencegahan ditujukan terhadap timbulnya

kontraktur sendi dengan melakukan fisioterapi, latihan dan pergerakan

sendi serta meletakkan anggota dalam posisi netral.9

E. Trakstrus urinarius

Untuk ini perlu apakah ganggua saraf menimbulkan gejala UMN dan

LMN terhadap vesika urinaria, karenanya maka kateterisasi perlu

dikerjakan dengan baik , agar tidak menimbulkan infeksi.9 F. Trakstrus digestivus

Menjamin kelancaran defekasi dapat dikerjakan secara manual. Lesi diatas

T12 dapat mengakibatkan hiperrefleksia dan spastik sfingter ani.

Sedangkan lesi dibawahnya dapat mengakibatkan arrefleksia dan flaccid

dari sfingter ani.10

1. Terapi reduksi non-operatif dan operatif

Setelah parameter sistemik sudah stabil, maka perhatikan stabilisasi

dari tulang belakang dan medulla spinalis. Setiap CMS yang tidak stabil harus

distabilkan untuk mencegah kerusakan lebih lanjutakibat pergerakan dan juga

yang melepaskan kompresi medulla spinalis. Pasien dengan trauma cervikal

dapat ditangani dengan menggunakan skeletal traction untuk mereduksi

dislokasi.10

Gambar 7. Halo traction

14

Page 15: Spinal Cord Injury

Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the

Spine and Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology

Gambar 8. Gardner- well tongs

Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the Spine and

Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology

Cedera medula spinalis pada daerah torakolumbal terjadi karena gaya

fleksi rotasi, maka penanganan dapat dilakukan konservatif pada daera tersebut

15

Page 16: Spinal Cord Injury

dengan postural reduction diranjang.

Gambar dikutip dari : Frieberg Magge SN, Chapter 60. Trauma to the Spine and

Spinal Cord. In : Jones HR. Srinivasan J. Neurology

DAFTAR PUSTAKA

16

Page 17: Spinal Cord Injury

1. Blumenfeld H. 2002. Neuroanatomy through clinical cases. Sanauer:

Assiciates. Inc. pp.23-36, 277-83.

2. Consortium Member Organizations and Steering Committee

Representatives. 2006.

3. Early acute management in adults with spinal cord injury: A clinical

practice guideline for health-care professionals.

4. The Journal Of Spinal Cord Medicine. 31(4); 403-79. DeGroot J, Chusid

JG. 2007.

5. Corelative neuroanatomy. Jakarta: EGC. hlm.30-42.

6. Evans R. 1996. Neurology and trauma.. Philadelphia: W.B. Saunders

Company. pp.276-77.

7. Felten DL, Jozefowicz RF. 2003. Netter’s atlas of human neuroscience.

USA: MediMedia. Inc. pp.138-49.

8. Hurlbert RJ. 2006. Strategies of medical intervention in the management

of acute spinal cord injury.

9. The Journal Of Spinal Cord Medicine. 3(1); 16-21. Perhimpunan Dokter

Spesialis saraf Indonesia (PERDOSSI). 2006.

10. Konsensus nasional penanganan trauma kapitis dan trauma spinal.

Jakarta: PERDOSSI. hlm.19-22. Mardjono M, Sidharta P. 2003.

17

Page 18: Spinal Cord Injury

18