SOSIOLOGI BAB VIII MASYARAKAT MULTIKULTURAL …sertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/MODUL...
Transcript of SOSIOLOGI BAB VIII MASYARAKAT MULTIKULTURAL …sertifikasi.fkip.uns.ac.id/file_public/2017/MODUL...
SUMBER BELAJAR PENUNJANG PLPG 2017
MATA PELAJARAN/PAKET KEAHLIAN
SOSIOLOGI
BAB VIII
MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN
STRATIFIKASI SOSIAL
ALI IMRON, S.Sos., M.A.
Dr. SUGENG HARIANTO, M.Si.
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
DIREKTORAT JENDERAL GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
2017
1
BAB VIII
MASYARAKAT MULTIKULTURAL DAN STRATIFIKASI SOSIAL
A. Kompetensi Inti
Menguasai standar kompetensi dan kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu
B. Kompetensi Dasar
Memahami masyarakat multikultural dan stratifikasi sosial
C. Uraian Materi Pembelajaran
1. Konsep Masyarakat Multikultural
Istilah masyarakat majemuk pertama kali dikemukakan oleh J.S. Furnivall untuk
menggambarkan masyakarat Indonesia pada masa Hindia-Belanda. Menurut Furnivall,
masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih elemen
yang hidup sendiri-sendiri tanpa ada pembauran satu sama lain di dalam suatu kesatuan
politik. Indonesia sebagai masyarakat majemuk, Furnivall sebut sebagai suatu tipe
masyarakat daerah tropis dimana mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai
memiliki perbedaan ras. Orang-orang Belanda yang minoritas adalah penguasa bagi
sebagian besar orang Indonesia pribumi yang menjadi warga negara kelas tiga di negeri
sendiri. Orang-orang dari golongan Timur Asing (Tionghoa, India, dan Arab) menduduki
golongan menengah (Nasikun, 1987: 12).
Dalam kehidupan politik, ditandai oleh tidak adanya kehendak bersama (common
will). Masyarakat Indonesia pada masa itu merupakan suatu masyarakat yang tumbuh di
atas dasar sistem karta tanpa ikatan agama. Orang-orang Belanda, Timur Asing, dan
Pribumi melalui agama, kebudayaan, dan bahasa masing-masing, mempertahankan atau
memelihara pola pikiran dan cara-cara hidup mereka masing-masing. Dalam kehidupan
ekonomi, ditandai tidak adanya permintaan sosial yang dihayati bersama oleh seluruh
elemen masyarakat. Kebutuhan-kebutuhan ekonomi tidaklah terorganisir, melainkan
bersifat seksional dan tidak ada permintaan sosial yang dihayati bersama.
2
Furnivall menyimpulkan bahwa masyarakat majemuk adalah suatu masyarakat yang
sistem nilai yang dianut oleh berbagai kesatuan sosial sedemikian rupa sehingga para
anggota masyarakat kurang memiliki loyalitas terhadap masyarakat sebagai keseluruhan,
kurang memiliki homogenitas kebudayaan bahkan kurang memiliki dasar-dasar untuk
saling memahami satu sama lain. Suatu masyarakat adalah bersifat majemuk sejauh
masyarakat itu secara struktural memiliki sub-sub kebudayaan yang bersifat diverse.
Nasikun menjelaskan struktur masyarakat Indonesia memiliki dua ciri yang unik. Secara
horizontal, ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial berdasarkan
perbedaan-perbedaan suku bangsa, agama, adat serta kedaerahan. Secara vertikal,
struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya perbedaan-perbedaan vertikal antara
lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam. Perbedaan-perbedaan horizontal itulah
yang menjadi ciri masyarakat Indonesia yang majemuk (Nasikun, 1987: 15).
Clifford Geertz (dalam Nasikun, 1987: 20), mengartikan masyarakat majemuk
sebagai masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih berdiri
sendiri-sendiri, dalam masing-masing sub sistem terikat ke dalam oleh ikatan-ikatan yang
bersifat primordial. Pierre L. van den Berghe (dalam Nasikun, 1987: 31), menyebutkan
beberapa karakteristik sebagai sifat-sifat dasar suatu masyatakat majemuk. Pertama,
terjadinya segmentasi ke dalam bentuk kelompok-kelompok yang acapkali memiliki
subkebudayaan yang berbeda satu sama lain. Kedua, memiliki struktur sosial yang
terbagi-bagi ke dalam lembaga-lembaga yang bersifat nonkomplementer. Ketiga, kurang
mengembangkan konsensus diantara para anggota masyarakat terhadap nilai-nilai yang
bersifat dasar. Keempat, secara relatif acapkali mengalami konflik-konflik diantara
kelomopok yang satu dengan yang lain. Kelima, secara relatif integrasi sosial tumbuh di
atas paksaan. Keenam, adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok lain.
Sejak 17 Agustus 1945, kemajemukan masyarakat Indonesia terjadi diantara
golongan pribumi. Ditandai oleh golongan Eropa yang sebelumnya menempati kedudukan
sangat penting di masyarakat Indonesia terlempar keluar dari struktur masyarakat
Indonesia. Menurut Nasikun (1987), ada tiga faktor yang menyebabkan kemajemukan
masyarakat Indonesia. Pertama, keadaan geografis yang membagi wilayah Indonesia atas
kurang lebih 13.000 pulau. Keadaan geografis ini menyebabkan kemajemukan suku
3
bangsa. Kedua, kenyataan bahwa Indonesia terletak di antara samudera Indonesia dan
samudera Pasifik sangat mempengaruhi terciptanya kemajemukan agama dalam
masyarakat Indonesia. Ketiga, iklim yang berbeda-beda dan struktur tanah yang tidak
sama diantara berbagai kepulauan di Nusantara menyebabkan kemajemukan regional
Indonesia.
Gambar 8.1 Keragaman Etnis Sebagai Bentuk Masyarakat Multikultur
Sumber: http://www.mistersosiologi.com/2015/05/masa-depan-multikulturalisme-di-Indonesia-materi-sosiologi.html
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan
seseorang tentang ragam kehidupan di dunia ataupun kebijakan kebudayaan yang
menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam
budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai,
sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut. Multikulturalisme berhubungan
dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau
memiliki kepentingan tertentu. “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan
dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang
menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang
terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai
pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azra, 2007: 30).
4
Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa
macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan
konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat
serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural
communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world,
system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and
practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007: 33). Multikulturalisme mencakup
suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu
penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum,
dikutip Lubis, 2006: 174). Ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam
kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002,
merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000).
Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan
tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama
dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat
kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan
kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar). Berbagai
macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik
multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama
Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007,
meringkas uraian Parekh):
1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok
kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya
minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang
membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur
kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang,
hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan
kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan
kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur
dominan.
5
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural
utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan
menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa
diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara
hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka
menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat
dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-
kelompok kultural tidak terlalu terfokus dengan kehidupan kultural otonom; tetapi
lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan
perspektif-perspektif distingtif mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama
sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi
terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam
percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan
kultural masing-masing.
2. Integrasi Sosial
Integrasi berasal dari bahasa Inggris "integration", yang berarti kesempurnaan atau
keseluruhan. Integrasi sosial dimaknai sebagai proses penyesuaian diantara unsur-unsur
yang saling berbeda dalam kehidupan masyarakat sehingga menghasilkan pola kehidupan
masyarakat yang memilki keserasian fungsi. Definisi lain mengenai integrasi adalah suatu
keadaan dimana kelompok-kelompok etnik beradaptasi dan bersikap komformitas
terhadap kebudayaan mayoritas masyarakat, namun masih tetap mempertahankan
kebudayaan mereka masing-masing. Integrasi memiliki dua pengertian, pertama,
bermakna pengendalian terhadap konflik dan penyimpangan sosial dalam suatu sistem
sosial tertentu. Kedua, disebut integrasi sosial adalah jika yang dikendalikan, disatukan,
atau dikaitkan satu sama lain itu adalah unsur-unsur sosial atau kemasyarakatan.
Suatu integrasi sosial diperlukan agar masyarakat tidak bubar meskipun
menghadapi berbagai tantangan, baik merupa tantangan fisik maupun konflik yang terjadi
secara sosial budaya. Bagaimana masyarakat majemuk bisa diintegrasikan? Terdapat dua
6
pendekatan teoritis yang menjelaskan integrasi masyarakat. Dua pendekatan teoritis itu
adalah: pendekatan fungsionalisme structural dan pendekatan konflik. Pendekatan
fungsionalisme struktural (dalam Nasikun, 1987: 40) yang dikembangkan oleh Talcott
Parsons dan para pengikutnya mengembangkan anggapan dasar sebagai berikut:
a. Masyarakat haruslah dilihat sebagai suatu sistem dari bagian-bagian yang saling
berhubungan;
b. Hubungan pengaruh mempengaruhi diantara bagian-bagian tersebut adalah bersifat
timbale balik;
c. Sekalipun integrasi sosial tidak pernah dapat dicapai dengan sempurna, namun
secara fundamental sistem sosial selalu cenderung bergerak ke arah keseimbangan
yang bersifat dinamis;
d. Sekalipun disfungsi, ketegangan-ketegangan, dan penyimpangan-penyimpangan
senantiasa terjadi, namun dalam jangka panjang keadaan tersebut akan teratasi
dengan sendirinya melalui penyesuaian-penyesuaian dan proses institusionalisasi;
e. Perubahan-perubahan di dalam sistem sosial pada umumnya terjadi secara gradual,
melalui penyesuaian-penyesuaian dan tidak secara revolusioner;
f. Perubahan-perubahan social terjadi melalui tiga macam kemungkinan:
(1) penyesuaian-penyesuaian sistem sosial terhadap perubahan-perubahan dari luar;
(2) pertumbuhan melalui proses diferensiasi struktural dan fungsional; serta
(3) penemuan-penemuan baru oleh anggota masyarakat;
g. Faktor paling penting yang memiliki daya mengintegrasikan suatu sistem sosial
adalah konsensus diantara anggota masyarakat mengenai nilai-nilai kemasyarakatan
tertentu.
Suatu sistem sosial pada dasarnya tidak lain adalah suatu sistem dari tindakan-
tindakan. Sistem sosial terbentuk dari interaksi sosial yang terjadi diantara berbegai
individu yang tumbuh dan berkembang tidak secara kebetulan, meliankan tumbuh dan
berkembang di atas standar penilaian umum yang disepakati bersama oleh para anggota
masyarakat. Sedangkan pendekatan konflik (dalam Nasikun, 1987: 43) mengembangkan
anggapan-anggapan dasar sebagai berikut:
7
a. Setiap masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang tidak pernah
berakhir atau perubahan sosial merupakan gejala yang inheren dalam setiap
masyarakat;
b. Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya atau konflik
merupakan gejala yang inheren di dalam setiap masyarakat;
c. Setiap unsur di dalam suatu masyarakat memberikan kontribusi bagi terjadinya
disintegrasi dan perubahan-perubahan sosial; dan
d. Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau dominasi oleh sejumlah
orang atas sejumlah orang lain.
3. Stratifikasi Sosial
a. Struktur sosial
Sebelum membahas tentang stratifikasi sosial, terlebih dahulu harus dipahami
tentang konsep struktur sosial. Secara umum struktur sosial dapat didefinisikan sebagai
cara suatu masyarakat terorganisasi ke dalam hubungan-hubungan yang dapat diprediksi
melalui pola perilaku yang berulang antar-individu dan antar-kelompok dalam masyarakat
tersebut. Struktur sosial juga dapat didefinisikan sebagai susuan status dan peran yang
terdapat dalam satuan sosial ditambah nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur
interaksi antar-status dan peran tersebut. Menurut Emile Durkheim (dalam Ritzer, 1992:
47), struktur sosial berwujud apa yang dia sebut sebagai fakta sosial. Fakta sosial diartikan
sebagai cara berpikir, cara berperasaan, dan cara bertindak yang berada di luar individu
manusia (exterior) dan mempunyai kekuatan memaksa individu manusia itu (constrain).
Dalam kehidupan sehari-hari fakta sosial ini merupakan apa yang disebut sebagai
kesadaran kolektif (collective consciousness). Durkheim (Ritzer, 1992: 50), membedakan
fakta sosial menjadi dua, yaitu fakta sosial yang material dan fakta sosial nonmaterial.
Fakta sosial yang material merupakan barang sesuatu yang nyata yang berada di luar
individu dan mempunyai kekuatan memaksa. Sementara itu, fakta sosial nonmaterial
diartikan sebagai barang sesuatu yang dianggap nyata yang berada di luar individu
manusia dan mempunyai kekuatan memaksa seperti norma-norma sosial.
Menurut Max Weber (Ritzer, 1992: 50), struktur sosial tidak lain adalah hanyalah
nama dari sekumpulan individu. Keberadaan struktur sosial sangat ditentukan oleh ada
8
atau tidak ada sekumpulan individu tersebut. Bagi Weber yang riil dalam kehidupan
masyarakat adalah individu. Individu yang melakukan tindakan sosial. Weber membagi
tindakan sosial menjadi empat, yaitu tindakan rasional instrumental, tindakan rasionalitas
nilai, tindakan afektual, dan tindakan tradisional. Sedangkan menurut Karl Marx, struktur
sosial adalah sebuah instrumen yang diciptakan untuk melindungi kepentingan-
kepentingan kelas borjuis. Bahkan Marx mengatakan, negara adalah sebuah komite yang
dibentuk untuk menjamin kepentingan-kepentingan kelas borjuis tersebut. Negara bukan
sebuah institusi yang independen, melainkan sebuah komite yang tidak indipenden.
Anthony Giddens (Priyono, 2002: 32), menjelaskan bahwa struktur sosial adalah
sebuah skemata yang berada dalam dunia kesadaran manusia yang akan berwujud
menjadi struktur sosial apabila agen (individu pelaku tindakan) melakukan tindakan. Tidak
seperti Durkheim, Giddens menjelaskan bahwa hubungan antara struktur sosial dengan
agen bukan bersifat dualisme, melainkan bersifat dualitas. Struktur sosial selain bersifat
constraining juga bersifat enabling. Seperti telah dijelaskan pada definisi di atas, bahwa
struktur sosial adalah susunan status dan peran. Definisi ini menunjukkan bahwa status
dan peran menjadi unsur dari struktur sosial. Status adalah kedudukan atau posisi
seseorang atau kelompok orang dalam masyarakat. Status dapat diperoleh melalui
kelahiran atau keturunan, seperti laki-laki, perempuan, cantik, ganteng, anak, dan
keanggotaan kasta. Selain itu, status juga dapat diperoleh melalui prestasi seperti sarjana,
guru, dosen, dan presiden.
Sementara itu, yang dimaksudkan dengan peran adalah perilaku yang diharapkan
dari seseorang yang memgang status. Dalam peran ini seseorang tidak lain melaksakan
hak dan kewajiban sebagai konsekuensi dari status yang disandangnya. Dalam kehidupan
sehari-hari, seseorang memegang lebih dari satu status, yang mengharuskan melakukan
berbagai peran, apa yang disebut sebagai seperangkat peran (role set). Dalam
menjalankan peran acapkali terjadi apa yang disebut sebagai konflik peran. Ada dua
macam konflik peran, yaitu konflik peran tunggal dan konflik peran ganda. Konflik peran
tunggal adalah seseorang menyandang satu status tetapi memiliki beberapa peran yang
antara satu peran dengan peran lain bertentangan. Konflik peran ganda terjadi bila
seseorang menyandang lebih dari satu status, namun memiliki peran yang saling
9
berlawanan. Kondisi ini inkonsistensi status, yaitu seseorang memliki lebih dari satu status
yang derajadnya tidak sama (Horton dan Hunt, 1991: 15).
b. Definisi stratifikasi sosial
Acapkali terminologi stratifikasi sosial dicampuradukan dengan kelas sosial. Dua
terminologi itu merupakan dua hal yang berbeda, meskipun keduanya dipakai untuk
menggambarkan kondisi heterogenitas masyarakat secara vertikal. Stratifikasi sosial
adalah pengelompokkan masyarakat ke dalam strata-strata atau lapisan-lapisan secara
hirarkhis dalam satu sistem sosial berdasarkan dimensi kekuasaan, prestis, dan previles.
Terdapat beberapa konsep dalam definisi di atas yang masih membutuhkan penjelasan.
Anggota masyarakat berdasarkan status atau kedudukan yang tidak sederajat dalam
masyarakat dikelompokkan ke dalam strata-strata atau lapisan-lapisan secara hirarkhis.
Menurut Robert M. Z. Lawang (1984: 32), pengelompokan harus dilihat sebagai
proses dan hasil dari proses tersebut. Sebagai proses, pengelompokan berarti setiap
inidividu menggolongkan atau mendefinisikan dirinya sebagai orang yang termasuk dalam
suatu strata sosial atau lapisan sosial tertentu atau menganggap bahwa dirinya berada
lebih rendah atau lebih tinggi daripada orang lain. Dengan demikian, stratifikasi sosial
harus dipahamami sebagai proses orang perorang menempatkan diri pada strata sosial
tertentu. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa stratifikasi itu erat kaitannya dengan
diri seseorang secara subjektif dan bukan sesuatu yang berada di luar individu. Oleh
karena itu, perilaku seseorang dalam hubungannya dengan orang lain ditentukan
sebagian besar oleh definisi mengenai situasi yang dihadapi oleh seseorang.
Hasil dari proses seperti itu adalah anggota masyarakat dikelompokkan sekurang-
kurangnya ke dalam tiga strata, yaitu strata atas, strata menengah, dan strata bawah.
Suatu strata atau lapisan dalam masyarakat diduduki oleh orang-orang yang
berkedudukan sama dalam kontinum atau rangkaian kesatuan status sosial. Para anggota
suatu strata sosial tertentu acapkali memiliki jumlah pengahasilan, kekayaan, atau
pendidikan yang relatif sama. Namun, yang lebih penting daripada itu adalah mereka
yang berada dalam satu strata sosial tertentu memiliki sikap, nilai, dan gaya hidup yang
relatif sama. Penggolongan orang ke dalam beberapa lapisan seperti itu bersifat objektif
10
(Lawang, 1984: 35). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa stratifikasi sosial harus
dilihat sebagai kenyataan yang memiliki dua segi yaitu segi subjektif dan segi objektif.
Stratifikasi sosial sebagai kenyataan objektif sesuai dengan pendekatan yang
dikembangkan oleh Emile Durkheim, dan sebagai kenyataan subjektif sesuai dengan
pendekatan yang dikembangkan oleh Max Weber.
Kedua, pengelompokkan anggota masyarakat ke dalam strata-strata sosial tersebut
hanya berlaku untuk satu sistem sosial tertentu. Artinya, pengelompokkan tersebut tidak
dapat diberlakukan untuk seluruh sistem sosial dalam suatu masyarakat. Sistem sosial
dalam hubungannya dengan stratifikasi sosial dilihat sebagai sesuatu yang yang
membatasi penggolongan itu berlaku. Ketiga, lapisan-lapisan hirarkhis. Lapisan
memperlihatkan sifat dan kenyataan itu sendiri. Setiap lapisan memiliki sifat yang mampu
menghubungkan seseorang dengan orang lain yang berada di bawah atau di atasnya.
Dapat dikatakan bahwa tidak ada lapisan yang sama sekali tertutup. Artinya, lapisan
bersifat terbuka. Sementara itu, kata hirarkhis yang terdapat di belakang lapisan itu
berarti bahwa lapisan yang lebih tinggi itu lebih bernilai atau lebih besar dibandingkan
dengan lapisan di bawahnya.
Seperti telah dijelaskan di atas bahwa anggota masyarakat dapat dkelompokkan ke
dalam lapsan atas (upper), lapisan menengah (middle), dan lapisan bawah (lower).
Namun, setiap lapisan masih dapat dibagi lagi ke dalam tiga lapisan sebagai berikut
(Lawang, 1984: 40-43):
Lapisan Atas (LAA=Lapisan Atas Atas) Lapisan Menengah (LAM=Lapisan Atas Menengah) Lapisan Bawah (LAB=Lapisan Atas Bawah)
Lapisan Atas (LMA=Lapisan Menengah Atas) Lapisan Menengah (LMM=Lapisan Menengah Menengah) Lapisan Bawah (LMB=Lapisan Menengah Bawah)
Lapisan Atas (LBA=Lapisan Bawah Atas) Lapisan Menengah (LBM=Lapisan Bawah Menengah) Lapisan Bawah (LBB=Lapisan Bawah Bawah)
11
Gejala stratifikasi sosial di masyarakat tidak selalu menampakan diri ke dalam
lapisan-lapisan hirarkhis dari atas ke bawah, dan sebaliknya. Gejala stratifikasi sosial juga
memperlihatkan seperti lingkaran kambiun. Apabila kita memotong pohon akan didapati
lapisan-lapisan yang disebut dengan lingkaran kambiun. Lingkaran yang paling dalam
disebut dengan teras, yang sangat keras. Semakin keluar lapisannya semakin kurang
keras. Seperti halnya lingkaran kambiun, stratifikasi sosial juga memperlihatkan adanya
lapisan atau lingkaran dalam, lingkaran tengah, dan lingkaran luar. Apabila kita
menggunakan dimensi stratifikasi sosial dapat dikatakan bahwa mereka yang berada pada
lingkaran dalam mempunyai kekuasaan lebih tinggi atau besar, lebih berprestis, dan lebih
berprevilese dibandingkan dengan mereka yang berada pada lingkaran tengah dan
lingkaran luar. Seperti halnya lapisan atas, menengah, dan bawah, lingkaran dalam,
tengah, dan luar juga dapat dibagi lagi menjadi tiga lingkaran seperti berikut ini (Lawang,
1984, 45):
Lingkaran Dalam (LDD=Lingkaran Dalam Dalam) Lingkaran Tengah (LDT=Lingkaran Dalam Tengah)
Lingkaran Luar (LDL=Lingkaran Dalam Luar)
Lingkaran Dalam (LTD=Lingkaran Tengah Dalam) Lingkaran Tengah (LTT=Lingkaran Tengah Tengah) Lingkaran Luar (LTL=Lingkaran Tengah Luar)
Lingkaran Dalam (LLD=Lingkaran Luar Dalam) Lingkaran Tengah (LLT=Lingkaran Luar Tengah) Lingkaran Luar (LLL=Lingkaran Luar Luar)
Keempat, dimensi kekuasaan, prestise, dan previlese. Kekuasaan adalah
kemampuan menggunakan sumber daya untuk mempengaruhi orang atau kelompok lain
agar mengikuti atau mentaati apa yang menjadi keinginannya. Dengan demikian, dapat
dikatakan bahwa seseorang dikatakan mempunyai kekuasaan apabila orang tersebut
mempunyai kemampuan menggunakan sumber daya yang dimilikinya untuk
mempengaruhi orang atau kelompok lain agar orang atau kelompok lain itu mengikuti
atau mentaati apa yang menjadi keinginannya. Antarindividu terdapat perbedaan dalam
hal pemilikan dan kemampuan menggunakan sumber daya. Meskipun seseorang memiliki
sumberdaya yang banyak, namun bila tidak dipergunakan untuk mempengaruhi orang
12
atau kelompok lain, maka orang itu tidak memiliki kekuasaan. Orang yang mampu
mempergunakan sumber daya yang dimilikinya untuk mempengaruhi orang lain, maka
orang tersebut memiliki kekuasaan.
Sedangkan prestise adalah kehormatan. Namun, kehormatan bersifat relatif.
Artinya, kehormatan harus dikaitkan dengan suatu kebudayaan atau sistem sosial
tertentu. Sementara itu, yang dimaksud dengan previlese adalah hak istimewa, hak
mendahului, dan hak untuk memperoleh perlakuan khusus. Studi-studi tentang
stratifikasi sosial mengkaitkan dengan dua hal, yaitu: ekonomi dan kebudayaan. Di bidang
ekonomi: uang, penghasilan, dan kekayaan merupakan instrumen bagi seseorang untuk
mendapatkan previlese. Dalam kehidupan sehari-hari kita menyaksikan betapa uang,
penghasilan, dan kekayaan menjadi faktor yang dapat membedakan perlakuan antara
mereka yang mempunyai uang, penghasilan, dan kekayaan, dan meraka yang tidak
memilikinya.
Konsep kelas sosial lebih sempit dari stratifikasi sosial. Konsep kelas sosial lebih
merujuk pada satu lapisan atau satu strata tertentu dalam sebuah stratifikasi sosial.
Dengan demikian yang dimaksudkan dengan kelas sosial adalah sebagai kelompok yang
anggota-anggotanya memiliki orientasi politik, nilai budaya, sikap, dan perilaku sosial
yang secara umum sama.
c. Determinan stratifikasi sosial
Secara umum dapat dikatakan bahwa yang menjadi determinan stratifikasi sosial
bukanlah tunggal, malainkan beragam. Menurut Lawang (1984: 50), sekurang-kurangnya
ada lima faktor yang menjadi penyebab masyarakat terstratifikasi ke dalam lapisan-
lapisan atau strata-strata, yaitu faktor ekonomi, pendidikan, suku bangsa, seks, dan usia.
Lima faktor tersebut dapat dilihat dalam kehidupan sehari-hari. Namun, yang harus
disadari bahwa lima faktor itu, signifikansi atau kadar pengaruhnya dalam pembentukan
stratifikasi sosial, baik sebagai proses maupun hasil tidak sama kuat dan berbeda-beda
sangat tergantung pada tahap perkembangan masyarakat dan konteks sosialnya.
13
1) Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi dalam stratifikasi sosial merujuk pada tinggi rendahnya pekerjaan,
pendapatan, dan kekayaan. Tinggi rendahnya pekerjaan, pendapatan, dan kekayaan
mempengaruhi stratifikasi sosial baik sebagai proses maupun hasil. Pada bagian ini
terlebih dahulu akan diuraikan faktor pekerjaan. Pekerjaan merupakan faktor determinan
stratifikasi sosial. Segera setelah orang mengembangkan jenis-jenis pekerjaan khusus
mereka menyadari bahwa beberapa jenis pekerjaan tertentu lebih terhormat daripada
jenis pekerjaan lain. Artinya, ada beberapa jenis pekerjaan lebih menawarkan kekuasaan,
prestise, dan previlese lebih tinggi dibandingkan pekerjaan-pekerjaan lain. Ada jenis
pekerjaan yang lebih memperlihatkan dimensi kekuasaan dibandingkan dimensi prestise
atau previlese. Sebaliknya ada jenis pekerjaan yang kebih memperlihatkan dimensi
prestise dibandingkan dimensi kekuasaan atau previlese.
Apabila seseorang ditanya: ”Apa jenis pekerjaan Anda sekarang?.” Kemudian
menjawab: ”Saya bekerja sebagai buruh tani di desa.” Secara umum di masyarakat jenis
pekerjaan sebagai buruh tani tidak memiliki kekuasaan, prestise, dan previlese. Mungkin
jenis pekerjaan ini memiliki prestise karena buruh tani tersebut adalah orang yang jujur,
namun, dia tidak memiliki sumber daya yang dapat dipakai untuk mempengaruhi orang
lain (kekuasaan) dan tidak memiliki hak istimewa (previlese). Sebaliknya, bila pertanyaan
yang sama dijawab: ”Saya bekerja sebagai salah satu anggora Dewan Perwakilan Rakyat di
Senayan Jakarta,” maka orang tersebut sudah tentu memiliki kekuasaan, prestise, dan
previlese yang tinggi.
Namun, hubungan antardimensi dalam satu jenis pekerjaan tidak selalu konsisten.
Ada jenis pekerjaan yang memperlihatkan dimensi prestise, namun tidak memiliki
dimensi kekuasaan dan previlese. Misalnya bila diajukan pertanyaan: ”Apa jenis pekerjaan
Anda sekarang?” Kemudian dijawab: ”Saya bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar di
daerah pedalaman di Papua?” Orang yang mengajukan pertanyaan akan mengagumi
orang itu. Artinya, jenis pekerjaan sebagai guru di daerah pedalaman lebih
memperlihatkan dimensi prestise dibandingkan dengan dimensi previlese dan kekuasaan.
Seseorang yang bekerja sebagai seorang guru sekolah dasar di daerah pedalaman tidak
memiliki kekuasaan dan previlese yang besar. Sebaliknya jika pertanyaan yang sama
14
kemudian dijawab: ”Saya bekerja sebagai salah satu Direktur di Bank Indonesia di
Jakarta,” maka orang tersebut dikategorikan sebagai yang yang memiliki kekuasaan dan
previlese yang sangat besar.
Ada kecenderungan di masyarakat bahwa orang akan memilih jenis pekerjaan yang
prestise yang tinggi. Mengapa? Jenis pekerjaan yang berprestise tinggi pada umumnya
memberikan penghasilan lebih tinggi, meskipun terdapat pengecualian. Jenis pekerjaan
yang berprestise tinggi umumnya memerlukan tingkat pendidikan tinggi. Pada semua
masyarakat, baik tradisional maupun modern, kita melihat bahwa orang-orang cenderung
diberikan status sosial sesuai dengan jenis pekerjaan dan orang dengan mudah memasuki
lapangan kerja yang sesuai dengan status sosialnya. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa pekerjaan merupakan aspek stratifikasi sosial yang penting, karena begitu banyak
segi kehidupan lain yang berkaitan dengan pekerjaan. Apabila kita mngetahui jenis
pekerjaan seseorang, maka kita bisa menduga tinggi rendahnya pendidikan, standar
hidup, teman-teman, jam kerja, dan kebiasaan sehari-hari keluarga. Kita bahkan bisa
menduga selera bacaan, selera rekreasi, standar moral, dan orientasi keagamaannya.
Dengan kata lain, setiap jenis pekerjaan merupakan bagian edari cara hidup yang sangat
berbeda dengan jenis pekerjaan lain.
Pendapatan merupakan konsep ekonomi. Pendapatan adalah semua yang diterima
seseorang selama satu bulan atau satu tahun yang dapat diukur dengan nilai ekonomi.
Berdasarkan ukuran ekonomi ini kita dapat membagi penduduk suatu daerah ke dalam
tiga kategori: pendapatan tinggi, pendapatan menengah, dan pendapatan rendah.
Pengelompokan masyarakat ke dalam tiga kategori tersebut beru merupakan kategori
ekonomi, belum merupakan stratifikasi sosial. Tiga kategori itu menjadi stratifikasi sosial
bila secara sosiologis dikaitkan dengan dimensi kekuasaan, prestise, dan previlese.
Dengan kata lain, tinggi rendahnya pendeapatan itu berpengaruh terhadap kehidupan
sosial, seperti dijelaskan pada tabel berikut.
15
Tabel 8.1 Hubungan Potensi Tingkat Pendapatan dengan Dimensi Kekuasaan, Prestise, dan Previlese
Tingkat
Pendapatan
Dimensi Stratifikasi Sosial
Kekuasaan Prestise Previlese
Tinggi (++) ++? ++? ++?
Sedang (+) +? +? +?
Rendah (-) -? -? -?
Sumber : Lawang, 1984: 60
Tanda tanya dalam tabel di atas berarti apakah bila seseorang mempunyai
pendapatan tinggi, juga mempunyai kekuasaan yang tinggi, prestise yang tinggi, dan
previlese yang tinggi dalam masyarakat? Tinggi rendahnya tingkat pendapatan tergambar
dalam tabel berikut.
Tabel 8.2 Hubungan Tingginya Tingkat Pendapatan dengan Dimensi Kekuasaan, Prestise, dan Previlese
Tingkat
Pendapatan
Dimensi Stratifikasi Sosial
Kekuasaan Prestise Previlese
++ ++ ++ ++
+ + +
- - -
+ ++ ++ ++
+ + +
- - -
- ++ ++ ++
+ + +
- - -
Sumber : Lawang, 1984: 62
Sebagai contoh di sebuah daerah ada seseorang yang mempunyai pendapatan
besar karena hasil korupsi. Dilihat dari dimensi kekuasaan, orang tersebut dapat
mempergunakan pendapatan tersebut untuk mempengaruhi orang lain agar orang lain
16
mengikuti atau mentaati apa yang menjadi keinginannya. Dengan kata lain, pendapatan
yang besar bisa dipergunakan untuk memperoleh kekuasaan. Dengan pendapatan yang
dimiliki, orang tersebut juga mempunyai hak-hak istimewa atau perlakuan khusus.
Misalnya, orang tersebut dapat memilih jenis pendidikan anak yang berkualitas, baik di
dalam maupun luar negeri. Bila sakit, orang tersebut mempunyai peluang besar untuk
menyembuhkan penyakitnya karena bisa berobat ke rumah sakit yang berstandar
internasional. Sebagian dari masyarakat kita yang mempunyai pendapatan besar
mempunyai kebiasaan berobat ke rumah sakit di Singapura, Jerman, Cina, Amerika
Serikat, dan negara lain. Namun dilihat dari dimensi prestise, masyarakat yang
mengetahui bahwa pendapatan yang besar merupakan hasil korupsi akan mencemooh,
mengolok-olok, bahkan mengucilkan orang tersebut. Dapat disimpulkan bahwa
pendapatan yang diperoleh dengan cara inkonstitusional (ilegal), meskipun mempunyai
dimensi kekuasaan dan previlese yang tinggi, namun dilihat dari dimensi prestise sangat
rendah. Sebaliknya, pendapatan yang diperoleh secara konstitusional ketiga dimensi
stratifikasi sosial tersebut mempunyai derajat yang tinggi.
Determinan ekonomi lain adalah kekayaan. Kekayaan juga merupakan konsep
ekonomi. Yang dimaksudkan dengan kekayaan adalah akumulasi harta benda yang
dimiliki seseorang atau keluarga. Kekayaan bisa berupa uang, barang-barang atau benda
berharga, tanah, rumah, kendaraan, dan surat berharga. Berdasarkan jumlah kekayaan
seseorang mengidentifikasi diri sebagai orang kaya atau miskin. Kaya dan miskin
merupakan kategori ekonomi, belum merupakan stratifikasi sosial. Kategori ekonomi
tersebut berubah menjadi stratifikasi sosial bila secara sosiologi dikaitkkan dengan tiga
dimensi yaitu kekuasaan, previlese, dan prestise. Dengan kata lain, dapat dikatakan
bahwa tinggi rendahnya kekayaan dapat mempengaruhi kehidupan sosial. Hubungan
antara tinggi rendahnya kekayaan dengan dimensi kekuasaan, prestise, dan previlese
dapat dijelaskan pada tabel berikut.
17
Tabel 8.3 Hubungan Potensi Tingkat Kekayaan dengan Dimensi Kekuasaan, Prestise, dan Previlese
Tingkat Kekayaan Dimensi Stratifikasi Sosial
Kekuasaan Prestise Previlese
Tinggi (++) ++? ++? ++?
Sedang (+) +? +? +?
Rendah (-) -? -? -?
Sumber : Lawang, 1984: 66
Tanda tanya dalam tabel dei atas berarti apakah bila seseorang dikatakan kaya, juga
mempunyai kekuasaan yang tinggi, prestise yang tinggi, dan previlese yang tinggi dalam
masyarakat? Tinggi rendahnya tingkat pendapatan tergambar dalam tabel berikut.
Tabel 8.4 Hubungan Tingginya Tingkat Pendapatan dengan Dimensi Kekuasaan,
Prestise, dan Previlese
Tingkat Kekayaan Dimensi Stratifikasi Sosial
Kekuasaan Prestise Previlese
++ ++ ++ ++
+ + +
- - -
+ ++ ++ ++
+ + +
- - -
- ++ ++ ++
+ + +
- - -
Sumber : Lawang, 1984: 68
Sebagai contoh di sebuah daerah ada seseorang tuan tanah yang mempunyai
kekayaan besar, namun kekayaannya dihasilkan dari hasil kejahatan. Dilihat dari dimensi
kekuasaan, orang tersebut dapat mempergunakan kekayaan memberikan jaminan hidup
bagi semua buruh tani yang sehari-hari bekerja di sawah. Pemberian jaminan hidup
18
seperti itu, menurut Peter Blau, mengakibatkan tuan tanah memiliki kekuasaan. Buruh
tani yang telah mendapatkan jaminan hidup membalas dengan loyalitas, ketaatan, dan
kepatuhan kepada tuan tanah. Dengan kata lain, dilihat dari dimensi kekuasaan, kekayaan
merupakan sumberdaya yang dapat dipakai untuk mempengaruhi orang lain agar orang
lain menataati apa yang menjadi keinginan dari pemilik sumber daya tersebut. Dapat
disimpulkan bahwa kekayaan yang diperoleh dengan cara inkonstitusional (ilegal),
meskipun mempunyai dimensi kekuasaan dan previlese yang tinggi, namun dilihat dari
dimensi prestise sangat rendah. Sebaliknya, pendapatan yang diperoleh secara
konstitusional ketiga dimensi stratifikasi sosial tersebut mempunyai derajat yang tinggi.
2) Faktor pendidikan
Faktor lain yang menjadi determinan stratifikasi sosial adalah pendidikan.
Masyarakat Indonesia lebih mementingkan dan menghargai pendidikan formal daripada
pendidikan nonformal. Namun secara soiologis, pendidikan baik formal maupun
nonformal menjadi determinan stratifikasi sosial apabila mempengaruhi kehidupan sosial.
Pendidikan sebagai determinan stratifikasi sosial dikaitkan dengan dimensi kekuasaan,
previlese, dan prestise. Pembahasan undang-undang politik tentang pemilihan presiden
dan wakil presiden di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tahun 2008 sangat alot
menyangkut tentang syarat-syarat calon presiden dan wakil presiden. Salah satu syarat
yang diperdebatkan adalah syarat tingkat pendidikan minimum bergelar sarjana bagi
calon presiden dan wakil presiden. Artinya, pendidikan memberi peluang bagi setiap
individu untuk memperoleh kekuasaan.
Secara teoritik dapat dikatakan bahwa seorang individu yang menggunakan
pengetahuan yang dimiliki untuk mempengaruhi orang lain dan orang lain mengikuti dan
mentaati keinginan pemilik pengetahuan, maka individu itu dikatakan memiliki
kekuasaan. Demikian sebaliknya, individu yang tidak memiliki pengetahuan kecil
kemungkinannya untuk memiliki kekuasaan. Pendidikan juga berkaitan dengan pekerjaan,
pendapatan, dan kekayaan. Tingkat pendidikan yang tinggi memungkinkan bagi individu
untuk mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan pendapatan besar. Dengan
pengahsilan yang besar, individu dapat melakukan akumulasi kekayaan. Sebaliknya,
dengan pendidikan yang rendah, seorang individu mempunyai peluang yang kecil untuk
19
mendapatkan pekerjaan yang menghasilkan penghasilan yang besar dan melakukan
akumulasi kekayaan. Individu dengan tingkat pendidikan rendah hanya bisa masuk pada
jenis-jenis pekerjaan yang berpenghasilan kecil. Dengan penghasilan yang kecil kecil
kemungkinan untuk melakukan akumulasi kekayaan.
Dilihat dari dimensi previlese, seseorang berpendidikan tinggi yang bekerja di
sektor-sektor pekerjaan dengan penghasilan tinggi mempunyai previlese yang besar.
Tidak demikian dengan seseorang berpendidikan rendah yang bekerja sebagai buruh
pabrik, buruh bangunan, pembantu rumahtangga, dan sejenisnya. Masyarakat
mengembangkan sikap lebih menghargai orang yang memiliki tingkat pendidikan tinggi
dibandingkan yang berpendidikan rendah. Penghargaan tinggi seperti itu mendorong
setiap orang untuk menempuh jenjang pendidikan tertinggi dengan berbagai cara, mulai
dari cara legal hingga ilegal, cara yang sungguh-sungguh hingga yang tidak sungguh-
sungguh. Namun tinggi rendahnya penghargaan masyarakat sangat tergantung dari cara
seseorang memperoleh gelar. Media massa sering mengungkap fakta perguruan tinggi
mempratikkan jual beli ijasah atau gelar.
3) Faktor suku bangsa
Selama ini faktor suku bangsa dianggap bukan menjadi faktor determinan
stratifikasi sosial. Dilihat dari teknik atau suku bangsa, secara empirik di lapangan,
masyarakat tidak dalam kondisi homogen. Dengan kata lain, tidak ada masyarakat yang
hanya terdiri dari satu etnik atau suku bangsa. Sebuah keniscayaan bahwa sebagian besar
masyarakat memiliki heterogenitas etnik atau suku bangsa. Misalnya, Indonesia dikenal
sebagai negara yang multietnik. Sebelum membahas lebih lanjut tentang pengaruh etnik
terhadap stratifikasi sosial, terlebih dahulu marilah kita pahami bersama apa yang
dimaksudkan dengan etnik atau suku bangsa, dan apa pula bedanya dengan ras. Yang
dimaksudkan dengan etnik adalah pengelompokan manusia ke dalam kelompok-
kelompok yang berbeda berdasarkan persamaan kebudayaan.
4) Faktor gender
Apabila dilihat dari dimensi stratifikasi sosial (kekuasaan, previlese, dan prestise),
laki-laki memiliki kesempatan lebih banyak dibandingkan perempuan. Mengapa
20
demikian? Randal Collins menjawab bahwa manusia mempunyai dorongan yang sangat
kuat untuk memenuhi kebutuhan seksualnya. Walaupun laki-laki dan perempuan
memiliki dorongan seksual yang sama, namun mereka berbeda dalam kekuatan dan
bentuk fisiknya. Laki-laki lebih kuat dan besar daripada perempuan. Karena fisik laki-laki
lebih kuat dan besar, maka kekuatan memaksa laki-laki lebih besar kemungkinannya
digunakan daripada perempuan. Hal ini yang menyebabkan laki-laki lebih tinggi dalam
tiga dimensi stratifikasi sosial daripada perempuan.
Pada masyarakat Jawa yang berbudaya patriarkhi, laki-laki yang sudah berkeluarga
diposisikan sebagai kepala keluarga. Suami diposisikan sebagai pencari nafkah utama
dalam keluarga. Masyarakat mengkonstruksi suami bekerja di sektor publik dan istri
bekerja di sektor domestik. Apabila istri juga bekerja di sektor publik, masyarakat
menganggap hanya membantu suami. Apabila dalam sebuah keluarga yang secara
ekonomi tidak mampu dihadapkan pada pilihan untuk menyekolahkan anak laki-laki atau
anak perempuan, keluarga yang hidup pada masyarakat yang berbudaya patriarkhi
memilih anak laki-laki yang disekolahkan. Mengapa anak laki-laki dan bukan anak
perempuan? Jawabannya sederhanya bahwa anak laki-laki kelak akan menjadi kepala
keluarga dan menjadi pencari nafkah utama. Sementara itu, perempuan dikonstruksi
sebagai konco wingking (teman belakang). Artinya, tidak perlu sekolah tinggi toh nanti
akhirnya ke dapur juga.
5) Faktor usia
Usia juga dapat mempengaruhi stratifikasi sosial. Dalam stratifikasi ini anggota
masyarakat yang berusia lebih muda mempunyai hak dan kewajiban yang berbeda
dengan anggota masyarakat yang lebih tua. Pada masyarakat Jawa, misalnya, seorang
anak mempunyai kewajiban untuk menghormati orangtua. Tidak hanya menghormati,
seorang anak juga harus patuh dan berbakti kepada orangtuanya. Misalnya, ungkapan
Jawa yang berbunyi ”mikul duwur mendem jero wong tuwo.” Artinya, seorang anak harus
menjunjung tinggi martabat orangtua. Bagaimana anak yang tidak sesuai dengan
ungkapan tersebut? Anak yang seperti itu akan diberi label sebagai anak durhaka. Anak
yang tidak menghormati dan berbakti kepada orangtua. Pada sistem pemerintahan
21
kerajaan, anak sulung dari seorang raja biasanya mempunyai hak untuk mewarisi
kekuasaan.
Marilah kita lihat di dunia pekerjaan. Asas senioritas dipakai untuk mengangkat
seseorang dalam jabatan tertentu. Misalnya, dalam organisasi modern, kita sering
melihat adanya hubungan yang erat antara usia karyawan dengan pangkat atau jabatan
mereka. Dalam organisasi modern seorang karyawan hanya naik pangkat bila karyawan
itu telah berselang dalam jangka waktu tertentu. Apabila dikaitkan dengan diimensi
stratifikasi sosial, maka pegawai negeri yang memiliki pengalaman kerja lama mempunyai
peluang cukup besar untuk memiliki kekuasaan. Pegawai negeri sipil senior mengisi
jabatan-jabatan struktural di jajaran birokrasi. Sebaliknya, pegawai negeri sipil yang masa
kerjanya sedikit masih harus menunggu cukup lama untuk dapat menduduki jabatan-
jabatan struktural di jajaran birokrasi. Pengangkatan seseorang dalam jabatan
berdasarkan asas senioritas dalam bahasa Jawa dikatakan sebagai urut kacang. Artinya,
pegawai negeri sipil yang senior yang didahulukan, kemudian baru yang lebih yunior).
Secara sosiologis, anak-anak selalu disosialisasi nilai-nilai pentingnya menghormati
orang yang usianya lebih tua, seperti orangtua, kakek, nenek, paman, bibi, kakak, dan
seterusnya. Masyarakat kita akan memberi label anak durhaka untuk menyebut anak
yang tidak menghormati dan berbhakti kepada orangtuanya. Sebaliknya, orang yang
usianya masih anak-anak dianggap rendah, karena seperti orang Jawa ungkapkan anak
belum banyak memakan asam-garam (belum berpengalaman). Orang yang usianya tua
dianggap telah banyak makan asam garam (berpengalaman). Anak yang baru lahir
merupakan individu yang paling tidak berdaya. Peter L. Berger membandingkan manusia
dengan binatang. Kalau ayam baru menetas dari telur, dia langsung dapat mencotok
beras dengan paruhnya. Begitu pula sapi, kuda, dan kambing, mereka langsung berdiri
begitu lahir dari rahim induknya.
3. Perspektif teori stratifikasi sosial
1) Perspektif fungsionalisme
Teori-teori fungsionalisme tentang stratifikasi sosial harus dilihat dalam konteks
teori-teori fungsionalisme tentang masyarakat. Ketika kaum fungsionalis mencoba
menjelaskan sistem stratifikasi sosial, mereka memiliki seperangkat penjelasan dalam
22
kerangka kerja teori-teori yang lebih besar yang mencoba menjelaskan bekerjanya
masyarakat secara keseluruhan. Mereka berpendapat bahwa nasyarakat mempunyai
kebutuhan-kebutuhan dasar tertentu atau prasyarat fungsional yang harus dipenuhi bila
ingin bertahan hidup. Kaum fungsionalis beranggapan bahwa bagian-bagian dari
masyarakat merupakan bentuk yang secara keseluruhan terintegrasi dan mereka
menjelaskan sistem stratifikasi sosial diintegrasikan dengan bagian-bagian lain
masyarakat. Menurut perspektif ini, mempertahankan derajat keteraturan dan stabilitas
tertentu merupakan hal yang esensial bagi bekerjanya sistem sosial. Perspektif ini
menjelaskan bagaimana sistem stratifikasi membantu mempertahankan keteraturan dan
stabilitas dalam masyarakat.
a) Talcott Parsons: nilai-nilai dan stratifikasi
Parsons, seperti kaum fungsionalis lain, mempercayai bahwa keteraturan, stabilitas
dan kerjasama dalam masyarakat didasarkan pada konsensus nilai. Dalam istilah Parsons,
stratifikasi adalah rangking unit-unit dalam sisitem sosial sesuai dengan sistem nilai
bersama. Dengan kata lain, orang yang menempati rangking tinggi akan menerima
berbagai reward. Paling tidak mereka akan memiliki prestise yang tinggi sebab mereka
memberi contoh dan mewujudkan nilai-nilai bersama. Karena masyarakat yang berbeda-
beda memiliki sistem nilai yang berbeda, cara-cara mencapai kedudukan tinggi akan
bervariasi dari masyarakat ke masyarakat. Parsons berargumentasi bahwa masyarakat
mempunyai nilai-nilai prestasi, efisiensi, dan menekankan pada kegiatan produktif dalam
ekonomi.
Pandangan Parsons mendorong bahwa stratifikasi adalah sebuah bagian yang tak
terelakkan dari semua masyarakat manusia. Jika konsensus nilai merupakan komponen
esensial dari semua masyarakat, konsensus nilai mengikuti beberapa bentuk stratifikasi
yang merupakan hasil dari ranking individu sesuai dengan nilai-nilai bersama. Juga
terdapat keyakinan umum bahwa sistem stratifikasi adalah benar dan tepat, karena
merupakan perwujudan dari nilai-nilai bersama. Kaum fungsionalis cenderung melihat
hubungan antarkelompok sosial dalam masyarakat sebagai sebuah kerjasama dan saling
ketergantungan. Dalam masyarakat industri yang kompleks, perbedaan kelompok-
kelompok spesialisasi dalam aktivitas-aktivitas khusus. Tak ada satu kelompokpun yang
dapat memenuhi kebutuhan sendiri, kelompok itu sendiri tidak dapat memenuhi
23
kebutuhannya dari anggotanya. Untuk memenuhi kebutuhan itu dilakukan pertukaran
barang dan jasa dengan kelompok lain, dan karena itu hubungan antarkelompok social
adalah hubungan resprositas.
Hubungan-hubungan ini meluas ke strata dalam sebuah sistem stratifikasi. Setiap
kelas membutuhkan dan tergantung pada kelas lain, sejak saat itu tugas-tugas dalam
skala besar membutuhkan baik pelaksanaan dan organisasi. Dalam masyarakat dengan
spesialisasi pembagian pekerjaan yang tinggi, seperti masyarakat industri, banyak anggota
masyarakat akan terspesialisasi dalam dalam perencanaan dan organisasi sementara
lainnya akan mengikuti perintah mereka. Parsons berpendapat bahwa kecenderungan ke
arah ketidaksamaan ini tidak terelakkan sesuai kekuasaan dan prestise. Parsons
memberikan gambaran masyarakat Barat sebagai berikut:
“Organization on ever increasing scale is a fundamental feature of such a system. Such organization naturally involves centralization and differentiation of leadership and authority; so that those who take responsibility for coordinating the action of many others must have a different status in important respect from those who are essentially in the role of carrying out specifications laid down by others”
Jadi, orang yang mempunyai kekuasaan untuk mengorganisasi dan
mengkoordinasikan kegiatan-kegiatan akan mempunyai status sosial lebih tinggi
dibandingkan dengan yang mereka arahkan. Seperti perbedaan-perbedaan prestise,
Parsons berpendapat bahwa ketidaksamaan kekuasaan didasarkan pada pembagian nilai.
Kekuasaan adalah kewenangan yang mempunyai legitimasi di dalam mana kekuasaan
umumnya diterima sebagai adil dan patut oleh anggota masyarakat sebagai keseluruhan.
Kekuasaan diterima seperti itu sebab seseorang dalam posisi kewenangan menggunakan
kekuasaannya untuk mencapai tujuan-tujuan kolektif yang diambil dari nilai-nilai sentral
masyarakat.
2) Perspektif teori Davis dan Moore
Menurut Davis dan Moore, kesenjangan sosial merupakan keadaan yang tumbuh
tanpa disadari, yang diamanfaatkan oleh masyarakat untuk lebih memberikan jaminan
bagi terisinya jabatan-jabatan penting oleh orang-orang yang paling cakap. Oleh karena
itu, setiap masyarakat harus membedakan orang dari segi prestise dan penghargaan.
24
Untuk itu, nasyarakat harus memiliki kadar kesenjangan social tertentu yang melembaga
(dalam Horton dan Hunt, 1992: 27). Davis dan Moore (Horton dan Hunt, 1992: 28),
berpendapat bahwa suatu jenis pekerjaan hendaknya diberi imbalan yang lebih tinggi
karena alasan tingginya tingkat kesulitan dan kepentingannya, sehingga memerlukan
bakat dan pendidikan yang lebih hebat pula. Mereka membenarkan bahwa hal tersebut
tidak berlaku pada masyarakat yang tidak bersifat kompetitif di mana kebanyakan jabatan
pekerjaan merupakan sesuatu yang diwariskan, bukannya sesuatu yang dicapai melalui
usaha. Walaupun imbalan mencakup prestise dan penghargaan masyarakat, namun uang
merupakan imbalan yang paling utama. Jadi, diperlukan ketidaksamarataan penghasilan
agar semua jenis pekerjaan dapat diduduki oleh orang-orang yang kemampuannya cocok
untuk jenis pekerjaan tersebut. Teori Davis dan Moore didukung oleh beberapa penelitian
empiris, yang menemukan bahwa memang terdapat keragaman imlaban yang
didadasarkan pada bakat dan latihan pendidikan, namun bukti yang menyangkut kadar
“kepentingan” suatu jenis pekerjaan masih tetap kabur.
Teori Davis dan Moore mendapatkan kritik dari para teoritisi konflik. Teori konflik
menyatakan bahwa pemberian kesempatan yang tidak sama dan diskriminasi kelas sosial
menghambat orang-orang kelas sosial rendah untuk mengembangkan bakat alam mereka
semaksimum mungkin. Di lain pihak, orang-orang yang berasal dari kelas social atas yang
tidak berbakat dapat bebas dari jenis pekerjaan yang berguna karena sikap dan harapan
mereka tidak bisa menerima jenis pekerjaan semacam itu. Para kritikus menilai bahwa
sistem kelas social merupakan sistem yang tidak berfungsi dalam menditribusikan
kesempatan kerja, sistem yang menyia-nyiakan bakat orang-orang hebat dari kelas social
yang tidak memiliki hak-hak istimewa dan juga menyia-nyiakan potensi sedang orang
yang tidak cakap dari kelas sosial yang memiliki banyak hak istimewa (Sanderson, 1993:
279-280).
4) Perspektif Weberian
Max Weber percaya bahwa stratifikasi sosial merupakan hasil dari memperebutkan
sumber-sumber langka di masyarakat. Walaupun ia melihat bahwa perjuangan ini
berkaitan dengan sumber-sumber ekonomi, dapat juga meliputi perjuangan untuk
kekuasaan politik dan prestise. Weber, seperti Karl Marx, juga melihat kelas dalam
terminologi ekonomi. Weber berpendapat bahwa kelas berkembang dalam ekonomi
25
pasar di mana individu-individu bersaing untuk memperoleh ekonomi. Weber
mendefinisikan kelas sebagai sebuah kelompok individu yang memiliki posisi yang sama
dalam sebuah ekonomi pasar, dan berdasarkan atas fakta itu menerima reward yang
sama. Dalam terminologi Weber, situasi kelas seseorang sesungguhnya situasi pasar.
Orang yang menjadi bagian dari situasi kelas yang sama juga menjadi bagian dari
kesempatan-kesempatan hidup yang sama. Posisi ekonomi mereka secara langsung
mempengaruhi kesempatan-kesempatan mereka untuk menghasilkan sesuatu yang
diinginkan dalam masyarakat, misalnya akses ke pendidikan yang lebih tinggi dan kualitas
perumahan yang baik.
Seperti Marx, Weber berpendapat bahwa pembagian kelas adalah mereka yang
memiliki sarana-saranan produksi dan yang tidak memiliki sarana-sarana produksi. Siapa
yang memiliki tanah akan menerima reward ekonomi tinggi dan menikmati kesempatan-
kesempatan kehidupan yang superior. Bagaimanapun Weber melihat pentingnya
perbedaan dalam situasi pasar dari kelompom pemilik dalam masyarakat. Khususnya,
berbagai ketrampilan dan pelayanan ditawarkan oleh perbedaan pekerjaan yang
mempunyai nilai-nilai pasar yang berbeda. Weber membedakan kelompok-kelompok
kelas dalam masyarakat kapitalis sebagai berikut:
1. the propertied upper class
2. the propertyless white-collar worker
3. the petty bourgeoisie
4. the manual working class
Dalam analisis kelasnya, Weber tidak sependapat dengan Marx dalam sejumlah isu
penting berikut ini:
1. Faktor-faktor lain yang signifikan daripada memiliki atau tidak memiliki tanah dalam
formasi kelas. Khususnya, nilai pasar ketrampilan berbagai the propertyless groups
dan hasil perbedaan-perbedaan dalam keuntungan ekonomi adalah cukup untuk
menghasilkan perbedaan kelas-kelas sosial.
2. Weber melihat tidak ada bukti untuk mendukung gagasan polarisasi kelas. Walaupun
ia melihat banyak penurunan dalam sejumlah hak the petty bourgeoisie untuk
berkompetisi dari perusahaan-perusaaan besar. Weber berpendapat bahwa the petty
26
bourgeoisie memasuki perdagangan pekerja kulit putih atau pekerja manual daripada
menjadi menyedihkan dalam pekerja manual yang tidak memiliki ketrampilan. Weber
juga berpendapat bahwa kelas menengah kulit putih daripada kontrak sebagai
perkembangan kapitalisme. Menurut Weber, perusahaan-perusahaan kapitalis dan
negara bangsa modern membutuhkan administrasi birokrasi rasional yang terdiri
sejumlah administrator dan staf juru tulis.Weber melihat sebuah diversifikasi kelas-
kelas dan sebuah ekspansi kelas menengah kulit putih, daripada sebuah polarisasi.
3. Weber menolak pandangan tentang tak terhindarkannya revolusi proletariat. Ia tidak
melihat ada alasan mengapa pembagian situasi kelas yang sama mempersyaratkan
pengembangan sebuah identitas bersama, mengakui kepentingan-kepentingan dan
menerima tindakan kolektif untuk kepentingan-kepentingan bersama. Misalnya,
Weber menganjurkan agar individu pekerja-pekerja manual yang kecewa dengan
situasi kelas mereka mungkin memberikan respon dalam berbagai cara. Mereka
mungkin mengeluh, sabotase mesin industri, dan sebagainya. Weber mengakui
bahwa sebuah situasi pasar bersama mungkin memberikan sebuah dasar bagi
tindakan kelas kolektif tetapi ia melihatnya hanya sebagai sebuah kemungkinan.
4. Weber menolak pandangan Marxis kekuasaan politik diperoleh dari kekuasaan
ekonomi. Ia berpendapat bahwa bentuk-bentuk kelas hanya sebuah kemungkinan
bagi kekuasaan dan bahwa distribusi kekuasaan dalam masyarakat tidak
membutuhkan hubungan ke distribusi ketidaksamaan kelas.
Berdasarkan bentuk-bentuk kelas sebagai kemungkinan dasar bagi formasi
kelompok, tindakan kolektif dan kemahiran kekuasaan politik, Weber berpendapat bahwa
terdapat landasan lain bagi aktivitas kelompok. Khususnya, bentuk-betuk kelompok
menyebabkan anggotanya membagi situasi status yang sama. Sebaliknya, kelas merujuk
pada distribusi reward ekonomi yang tidak merata, status merujuk distribusi ”pendapatan
sosial” yang tidak sama. Kelompok-kelompok okupasi, etnik, dan agama, serta gaya hidup,
oleh anggota masyarakat diberi derajat prestise dan penghargaan yang berbeda. Sebuah
kelompok status merupakan individu-individu yang memiliki sejumlah social honour
yang sama dan membagi situasi status yang sama. Tidak seperti kelas, anggota kelompok
status hampir selalu menyadari situasi status yang sama mereka. Mereka memiliki gaya
27
hidup sama, identitas dengan dan merasa memiliki kelompok status mereka, dan
seringkali menempatkan pembatasan pada cara dimana kelompok lain berinteraksi
dengan mereka.
Weber mengatakan bahwa kelompok status sampai pada bentuk perkembangan
mereka dalam sisitem kasta masyarakat Hindu tradisional di India. Kasta dan sub-kasta
dibentuk dan dibedakan sesuai dengan ”social honour”; gaya hidup dibedakan dalam
berbagai derajat prestise. Kasta juga memberikan sebuah contoh baik tentang proses
yang digambarkan oleh Weber sebagai pengakhiran sosial. Pengakhiran sosial meliputi
eksklusi banyak orang dari keanggotaan sebuah kelompok status. Dalam sistem kasta
social closure dicapai melalui larangan yang menghalangi anggota suatu kasta menikah
dengan anggota kasta lain.
Dalam banyak masyarakat, kelas dan situasi status secara tertutup dikaitkan.
Weber mencatat bahwa kekayaan tidak selalu dianggap sebagai sebuah kualifikasi status.
Walaupun orang yang membagi situasi kelas yang sama tidak akan memiliki kelompok
status yang sama. Kelompok status mungkin menciptakan pembagian dalam kelas-kelas.
Magaret Stacy menemukan bahwa anggota kelas pekerja manual membedakan tiga
kelompok status ke dalam kelas: kelas pekerja terhormat, kelas pekerja biasa, dan kelas
pekerja kasar. Faktor ekonomi mempengaruhi formasi kelompok-kelompok ini.
Kelompok-kelompok status dapat juga melintasi pembagian kelas.
Weber menyimpulkan bahwa stratifikasi sosial semata-mata bukan hanya oleh
dimensi stratifikasi ekonomi. Weber berpendapat, stratifikasi sosial tidak mudah
dijelaskan hanya melalui kelas. Pembedaan masyarakat dapat dilihat melalui kelompok
status, partai, dan kelas. Menurut Weber, kelas adalah sejumlah orang yang mempunyai
persamaan dalam hal peluang untuk hidup atau nasib. Peluang untuk hidup orang itu
ditentukan oleh kepentingan ekonomi berupa penguasaan atas barang serta kesempatan
untuk memperoleh penghasilan dalam pasaran komoditas atau pasaran kerja. Sebagai
akibat dari dipunyainya persamaan untuk menguasai barang dan jasa sehingga diperoleh
penghasilan tertentu, maka orang yang berada di kelas yang sama mempunyai persamaan
yang dinamakan situasi kelas. Situasi kelas adalah persamaan dalam hal peluang untuk
menguasai persediaan barang, pengalaman hidup pribadi, atau cara hidup. Kategori dasar
28
untuk membedakan kelas ialah kekayaan yang dimilikinya, dan faktor yang menciptakan
kelas ialah kepentingan ekonomi, pada titik ini konsep kelas Marx dan Weber adalah
sama, yaitu pembedaan kelas dan faktor yang mendorong terciptanya kelas.
Dimensi lain yang digunakan Weber ialah dimensi kehormatan. Manusia
dikelompokan dalam kelompok status. Kelompok status merupakan orang yang berada
dalam situasi status yang sama, dimana orang yang peluang hidupnya ditentukan oleh
ukuran kehormatan. Persamaan kehormatan status dinyatakan dalam persamaan gaya
hidup. Dalam bidang pergaulan hal ini dapat berupa pembatasan dalam pergaulan
dengan orang yang statusnya lebih rendah. Selain adanya pembatasan dalam pergaulan,
menurut Weber, kelompok status ditandai oleh adanya hak istimewa dan monopoli atas
barang dan kesempatan ideal maupun material. Dalam hal gaya hidup, hal ini bisa kita
lihat dari gaya konsumsi. Selain pembedaan melalui dimensi ekonomi dan kehormatan,
Weber menambahkan bahwa masyarakat juga dibedakan berdasarkan kekuasaan yang
dimilikinya. Menurut Weber, kekuasaan adalah peluang bagi seseorang atau sejumlah
orang untuk mewujudkan keinginan mereka sendiri melalui suatu tindakan komunal
meskipun mengalami tentangan dari orang lain yang ikut serta dalam tindakan komunal
itu. Bentuk dari tindakan komunal ini adalah partai yang diorientasikan pada diperolehnya
kekuasaan.
5) Perspektif konflik
Seluruh pemikiran Karl Marx berkaitan dengan kelas-kelas sosial. Meskipun Marx
sering berbicara tentang kelas-kelas sosial, namun ia tidak pernah mendefinisikan apa
yang dimaksud dengan istilah “kelas”. Justru Lenin, seorang marxis sekaligus pemimpin
revolusi Bolshevik 1917 yang termahsyur, yang mendefinisikan kelas sebagai berikut:
“Classes are large groups of people differing from each other by the place they occupy in a historically determined system of social production, by their relation (in most cases fixed and formulated in law) to the means of production, by their role in the social organization of labor, and, consequently, by the dimensions and mode of acquiring the share of social wealth of which they dispose. Classes are groups of people one of which can appropriate the labor of another owing to the different places they occupy in a definite system of social economy”.
29
Kaum marxis membedakan kelas-kelas sosial berdasarkan posisinya dalam produksi.
Menurut kaum marxis, “kriteria fundamental yang membedakan kelas-kelas adalah posisi
yang mereka duduki dalam produksi sosial, dan kosekuensinya menentukan relasi mereka
terhadap alat-alat produksi.” Relasi-relasi produksi di mana kelas-kelas menempati posisi
atas alat produksi menentukan peran mereka dalam organisasi sosial kerja, sebab kelas-
kelas memiliki fungsi-fungsi yang berbeda dalam produksi sosial. Dalam masyarakat
antagonis beberapa kelas mengatur produksi, mengatur perekonomian dan mengatur
seluruh urusan-urusan sosial, misalnya mereka yang memiliki keunggulan dalam kerja
mental. Sementara kelas-kelas lain menderita di bawah beban kewajiban kerja fisik yang
berat.
Biasanya, dalam masyarakat yang tebagi atas kelas-kelas, manajemen produksi
dijalankan oleh kelas yang memiliki alat produksi. Namun segera setelah beberapa relasi
produksi menjadi sebuah halangan bagi perkembangan tenaga-tenaga produktif, kelas-
kelas penguasa pun harus mulai memainkan peran yang berbeda dalam organisasi sosial
kerja. Ia berangsur-angsur kehilangan signifikansinya sebagai organisator produksi, dan
merosot posisinya menjadi sebuah sampah parasitis dalam tubuh masyarakat dan hidup
atas kerja keras orang lain. Seperti pada nasib tuan tanah feodal dulu, hal inilah yang
dialami oleh para borjuasi atau kapitalis kini.
Menurut Marx, kehancuran feodalisme dan lahirnya kapitalisme telah membuat
terpecahnya masyarakat menjadi dua kelas yang sifatnya antagonistis, yaitu kelas borjuis
yang memiliki, menguasai dan mengendalikan alat-alat produksi dan kelas proletar yang
tidak mempunyai alat-alat produksi. Dua kelas inilah yang dalam terminologi marxis
disebut kelas fundamental karena sifatnya yang tak terdamaikan atau antagonis.
Penghancuran atas salah satunya merupakan gerak sejarah yang dimanifestasikan melalui
perjuangan kelas. Marx menggambarkan bahwa masyarakat kapitalis seperti menggali
lubang kuburnya sendiri. Masyarakat kapitalis adalah masyarakat terakhir dalam sejarah
manusia dengan kelas-kelas antagonistisnya. Jalan yang mengarahkan kepada masyarakat
tanpa kelas terletak pada perjuangan kelas proletariat melawan segala bentuk
penindasan, demi membangun kekuatannya dalam masyarakat yang diciptakan untuk
melindungi kepentingan rakyat pekerja.
30
Marx memandang kelas pekerja sebagai kekuatan sosial utama di jaman
kapitalisme yang memiliki kemampuan untuk mengeleminasi sistem kapitalis dan
menciptakan sebuah masyarakat baru tanpa kelas yang terbebas dari eksploitasi. Dalam
hukum perkembangan masyarakat Marx berdasarkan salah satu jarannya tentang
materialisme histories, Pada awalnya tidak ada kelas dalam masyarakat yaitu pada jaman
komunal primitif. Pada jaman ini, orang harus saling tolong menolong dalam rangka terus
bertahan hidup dan melindungi diri berbagai macam binatang pemangsa. Hal ini
memaksa orang harus tinggal menetap, untuk bertahan hidup manusia saat itu berburu
hewan, mengumpulkan makanan (tanaman dan buah-buahan) yang dapat dimakan
bersama. Tempat tinggal mereka pun dibedakan, dan menjadi pembeda antara
kelompok manusia yang satu atas yang lainnya. Berbagai macam keterampilan, bahasa
muncul. Semua hal ini diidetifikasikan sebagai suku atau klan.
Pada saaat ini kerja awalnya dibedakan anatara laki-laki dan perempuan, lalu
dibedakan atas dasar kelompok-kelompok usia yang berbeda. Lalu berkembang pada
kakhasan pekerjaan rutin yang dilakukan oleh komunitas penanam, peternak dan
pemburu. Pembagian kerja merupakan hak prerogatif dari anggota komunitas yang tertua
dan paling berpengalaman. Namun demikian, mereka tidaklah dianggap sebagai kelas
yang memiliki privilese istimewa karena jumlah mereka yang sedikit jika dibandingkan
dengan mayoritas dewasa dikomunitas disamping hak mereka didapat melalui
persetujuan dari mayoritas dewasa. Posisi khusus mereka terletak pada otoritasnya,
bukan pada kepemilikan properti atau kekuatan mereka. Pada jaman ini produksi yang
dihasilkan orang dibuat hanya untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhan langsung, jadi
tidak terdapat lahan untuk mengakarnya ketidakadilan sosial.
Setelah jaman komunal primitif berangsur-angsur pudar, banyak hal yang menjadi
penyebab hal ini terjadi, selain keharusan sejarah. Kemunculan kelas-kelas sosial ini
terjadi akibat dari pembagian kerja secara sosial, di saat kepemilikan pribadi atas alat
produksi menjadi sebuah kenyataan. Marx melakukan stratifikasi terhadap masyarakat
berdasarkan dimensi ekonomi, dimana hal yang paling pokok menurut ia adalah
kepemilikan atas alat produksi. Seperti yang selalu dia katakan dalam berbagai
31
tulisannya, pembagian kerja yang merupakan sumber ketidakadilan sosial timbul saat
memudarnya masyarakat komunal primitif.
”Salah satu dari pra kondisi yang paling general dari kehadiran masyarakat yang terbagi atas kelas adalah perkembangan tenaga-tenaga produktif. Dalam perjalanan panjangnya, proses ini menimbulkan tingkat produksi yang bergerak jauh lebih tinggi dari yang dibutuhkan orang untuk melanjutkan hidupnya. Jadi surplus produk memberikan kepada umat manusia lebih dari yang dibutuhkannya, dan sebagai konsekuensinya, ketidakadilan sosial secara bertahap tumbuh dengan sendirinya dalam masyarakat”
Bersamaan dengan kepemilikan pribadi atas alat produksi yang menguasai
perkembangan tenaga-tenaga produktif, dan produksi individu atau keluarga telah
menghapuskan produksi komunal sebelumnya, ketidakadilan ekonomi menjadi tidak
terhindarkan lagi dan hal ini mengkondisikan masyarakat ke dalam kelas-kelas. Para
pemimpin dan tetua komunitas yang mempunyai otoritas dalam komunitas untuk
melindungi kepentingan bersama ini, termasuk dalam hal pengawasan dan pengambilan
putusan yang dianggap adil oleh komunitas. Hal demikian juga dapat disebut sebagai
kekuasaan negara elementer, namun pada dasarnya mereka tidak pernah berhenti
mengabdi pada komunitas.
Perkembangan tenaga-tenaga produktif dan penggabungan komunitas-komunitas
tersebut ke dalam entitas yang lebih besar mengarah pada pembagian kerja lebih lanjut.
Dalam perkembangnya terbentuklah badan-badan khusus yang berfungsi untuk
melindungi kepentingan bersama serta juri dalam perselisihan antar komunitas. Secara
bertahap badan-badan ini mendapat otonomi yang semakin besar dan memisahkan
dirinya dari masyarakat sekaligus merepresentasikan kepentingan kelompok sosial utama.
Otonomi ini dari pejabat urusan publik berubah menjadi bentuk dominasi terhadap
masyarakat yang membentuknya, dulunya abdi publik sekarang para pejabat itu berubah
menjadi tuan-tuan (lords). “Pada umumnya, perkembangan produksi sosial menuntut
adanya tenaga kerja manusia yang lebih banyak guna terlibat dalam produksi material.
Tidak ada komunitas yang sanggup mnyediakan hal itu sendiri, dan tenaga kerja manusia
tambahan disediakan oleh peperangan”. Cara lain pembentukan kelas adalah melalui
pembudakan terhadap bala tentara musuh yang tertangkap saat perang. Para peserta
32
perang mulai menyadari bahwa lebih bermanfaaat untuk membiarkan para tawanan
mereka terus hidup dan memaksa mereka untuk bekerja. Jadi hak-hak mereka sebagai
manusia dicabut dan diperlakukan tak ubahnya seperti binatang pekerja.
Dalam perkembangan masyarakat selanjutnya, kita akan mengenal kelas-kelas yang
saling bertentangan. Hal ini disebabkan karena kepentingan mereka selalu tidak dapat
diketemukan. Dalam terminologi marxis kelas dibedakan menjadi dua macam bentuk dan
sifatnya yaitu kelas-kelas fundamental dan kelas-kelas nonfundamental. Kelas-kelas
fundamental adalah kelas-kelas yang keberadaannya ditentukan oleh corak produksi
(mode of production) yang mendominasi dalam formasi sosial ekonomi tertentu. Setiap
formasi sosial ekonomi yang antagonistis memilki dua kelas fundamental. Kelas-kelas ini
bisa berupa pemilik budak dan budak, tuan feudal dan hambanya, ataupaun borjuasi dan
proletar. Kontradiksi-kontradiksi antagonistis diantara kelas-kelas tersebut berubah oleh
penggantian sistem yang berlaku dengan sebuah sistem baru yang progresif.
Kelas-kelas nonfundamental adalah bekas-bekas atau sisa-sisa dari kelas dalam
sistem yang lama dan masih bisa dilihat dalam sistem yang baru, biasanya kelas ini
menumbuhkan corak produksi yang baru dalam bentuk struktur ekonomi yang spesifik.
Sebagai contoh para pedagang, lintah darat, petani kecil dalam masyarakat kepemilikan
budak dengan kelas yang fundamental pemilik budak dan budak. Kelas-kelas fundamental
dan nonfundamental saling bergantung secara erat, karena dalam perkembangan
sejarahnya, kelas fundamental bisa menjadi non fundamental, dan demikian pula
sebaliknya. Sebuah kelas fundamental merosot menjadi sebuah kelas non fundamental
saaat corak produksi yang dominan yang mendasarinya secara bertahap berubah menjadi
sebuah struktur sosial ekonomi yang sekunder. Sebuah kelas non fundamental menjadi
fundamental saat sebuah struktur sosial ekonomi baru yang terdapat di dalam sebuah
formasi sosial ekonomi berubah menjadi corak produksi yang dominan.
Masyarakat juga bisa memiliki lapisan orang-orang yang tidak termasuk ke dalam
kelas-kelas tertentu, yaitu elemen-elemen tak berkelas yang telah kehilangan ikatan-
ikatan dengan kelas asalnya. Hal ini berlaku bagi lumpen-lumpen kapitalisme yang terdiri
atas orang-orang tanpa pekerjaan tertentu atau yang biasa disebut sebagai sampah-
sampah masyarakat, seperti pengemis, pelacur, pencuri dan sejenisnya. Selain kelas,
33
terdapat kelompok sosial besar lain yang garis pembatasnya terletak pada latar yang
berbeda dengan latar-latar pembagian kelas, ia munkin saja didasrkan pada usia, jenis
kelamin, ras, profesi, kebangsaaan, dan pembeda lainnya.
4. Kelompok-kelompok Sosial
Sosiolog Jerman bernama Ferdinand Tonnies membedakan kelompok sosial menjadi
gemeinschaft (paguyuban) dan gesselschaft (patembayan). Paguyuban adalah bentuk
kehidupan bersama yang anggotanya diikat oleh suatu hungan batin yang murni dan
alamiah serta bersifat kekal. Kehidupan bersama dalam paguyuban memiliki ciri-ciri,
hubungan sosial bersifat menyeluruh dan harmonis, bersifat pribadi, serta berlangsung
untuk kalangan sendiri, bukan untuk orang dari luar (eksklusif).
Menurut Tonnies, paguyuban mempunyai tiga bentuk, pertama, paguyuban karena
ikatan darah/keturunan (gemeinschaft by blood), yaitu merupakan ikatan yang didasarkan
pada ikatan darah atau keturunan. Contoh: keluarga dan kelompok kekerabatan. Kedua,
paguyuban karena tempat (gemeinschaft by place), yaitu paguyuban yang terdiri dari
orang-orang yang berdekatan tempat tinggal, sehingga saling dapat tolong menolong.
Contoh: rukun tetangga dan rukun warga. Ketiga, paguyuban karena jiwa pikiran
(gemeinschaft by mind), yaitu paguyuban yang terdiri dari orang-orang yang walaupun
tidak mempunyai hubungan darah atau tempat tinggalnya tidak berdekatan, namun
mereka mempunyai jiwa dan pikiran yang sama, dan mempunyai ideologi yang sama.
Tonnies mengartikan patembayan sebagai ikatan lahiriah yang bersifat pokok untuk
jangka waktu yang pendek. Patembayan terbentuk oleh kemampuan pikiran (imajinasi)
serta strukturnya bersifat mekanis yang memiliki beberapa komponen. Contoh : ikatan
antara pedagang dan organisasi dalam suatu pabrik/industri.
Sedangkan pembedaan kelompok sosial ke dalam membership group dan reference
group dilakukan oleh Robert K. Merton. Membership group merupakan kelompok dimana
setiap orang secara fisik menjadi anggota kelompok. Reference group adalah kelompok
sosial yang menjadi acuan bagi seseorang (bukan anggota kelompok) untuk membentuk
pribadi dan perilakunya. Seseorang yang bukan anggota kelompok sosial itu
mengidentifikasikan dirinya dengan kelompok tersebut.
34
5. Konflik Sosial
Secara sosiologis, yang dimaksud dengan konflik sosial adalan proses sosial yang
berlangsung dengan melibatkan orang-orang atau kelompok yang saling menantang
dengan ancaman kekerasan. Bahkan yang ekstrem, tidak hanya sekedar mempertahankan
hidup atau eksistensi, namun juga bertujuan untuk membinasakan eksistensi individu
atau kelompok yang dianggap menjadi lawan. Ada beberapa faktor yang menyebabkan
konflik sosial, antara lain perbedaan kepentingan, perbedaan kebudayaan, perbedaan
pendapat, perberdaan aliran atau ideologi, dan perubahan nilai yang berlangsung cepat.
Menurut Samuel P. Huntington, konflik di masa depan tidak lagi disebabkan oleh
faktor ekonomi, ideologi, dan politik, melainkan disebabkan oleh faktor SARA. Konflik
SARA menjadi gejala yang semakin kuat seiring dengan runtuhnya polarisasi ideologi
dunia ke dalam komunisme dan liberalisme. Setidaknya ada enam alasan. Pertama,
perbedaan antarperadaban tidak hanya riil tetapi juga mendasar. Kedua, dunia sekarang
semakin menyimpit. Interaksi orang yang berbeda beradaban semakin meningkat. Ketiga,
proses modernisasi ekonomi dan sosial dunia membuat orang atau masyarakat
tercerabut dari identitas lokal. Keempat, tumbuhnya kesadaran perdaban karena peran
ganda Barat. Kelima, karakteristik dan perbedaan budaya kurang bisa berkompromi
dibanding karakteristik ekonomi dan politik. Keenam, regionalisme ekonomi semakin
meningkat.
Karl Marx menjelaskan konflik sosial tidak dapat dilepaskan dari hubungan-
hubungan dalam proses produksi yang bersifat eksploitatif. Masyarakat yang terpolarisasi
ke dalam kelas borjuis dan kelas proletar seperti yang dialami masyarakat kapitalis akan
mengalami kehancuran akibat dari adanya revolusi sosial yang dilakukan oleh kelas
proletar. Masyarakat kapitalis digambarkan Marx sebagai masyarakat yang menggali
lubang kuburnya sendiri. Hubungan antara kelas borjuis dan kelas proletar bersifat
eksploitatif. Artinya, kela borjuis mengeksploitasi nilai lebih kelas proletar. Bahkan Marx
mengatakan sejarah dunia adalah sejarah perjuangan kelas. Selama masyarakat masih
terpolarisasi ke dalam kelas-kelas, maka akan selalu terjadi penindasan, ketidakadilan,
dan eksploitasi. Untuk mengatasi masalah itu, Marx menawarkan revolusi sosial untuk
menciptakan masyarakat tanpa kelas yang disebut dengan masyarakat komunis.
35
Sedangkan menurut Ralf Dahrendorf, konflik disebabkan adanya distribusi otoritas
yang tidak merata diantara individu atau kelompok. Sebagian individu memiliki dan
menggunakan otoritas, sebagian besar lainnya tidak memiliki dan tunduk pada
penggunaan otoritas. Individu atau kelompok yang memiliki atau menggunakan otoritas
merupakan kelas penguasa, sedangkan yang tidak memiliki atau tunduk pada penggunaan
otoritas merupakan kelas bawah. Kedua kelompok tersebut memiliki kepentingan yang
berbeda. Kepentingan kelas yang berkuasa adalah mempertahankan legitimasi posisi yang
dominan atau mempertahankan status quo. Sementara itu, kepentingan kelas bawah
adalah menantang legitimasi struktur otoritas yang ada.
Lewis A. Coser memiliki perspektif yang berbeda, dimana Coser melihat bahwa
konflik tidak hanya berdimensi negatif, namun juga memiliki dimensi positif. Coser
melihat bahwa konflik mempunyai sumbangan dalam membentuk dan mempertahankan
struktur sosial. Konflik merupakan proses yang bersifat instrumental dalam pembentukan,
penyatuan, dan pemeliharaan struktur sosial. Konflik dapat menetapkan dan menjaga
garis batas antara dua atau lebih kelompok. Konflik dengan kelompok lain dapat
memperkuat identitas kelompok dan menjaga agar tidak lebur ke dalam dunia sosial
sekelilingnya.
D. Referensi
Lawang, R.M.Z.. (1984). Buku Materi Pokok Pengantar Sosiologi. Jakarta: Universitas Terbuka.
Narwoko, J. D. dan Suyanto, B. (2004). Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta:
Prenada Media.
Nasikun. (1987). Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: Rajawali Press. Sanderson, S. K.. (1993). Sosiologi Makro. Edisi Kedua. Terjemahan. Jakarta: Rajawali
Press.
Soekanto, S. (2002). Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Press. Ritzer, G. (2002). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Terjemahan.
Jakarta: Rajawali Press. http://www.mistersosiologi.com/2015/05/masa-depan-multikulturalisme-di-Indonesia-materi-sosiologi.html