SOSIOLOGI ANTROPOLOGI AMMATOA KAJANG BULUKUMBA SULAWESI SELATAN.pdf
-
Upload
hamka-wickwichy -
Category
Documents
-
view
1.022 -
download
8
description
Transcript of SOSIOLOGI ANTROPOLOGI AMMATOA KAJANG BULUKUMBA SULAWESI SELATAN.pdf
SOSIOLOGI ANTROPOLOGI ARSITEKTUR
KAMPUNG ADAT AMMATOA KAJANG TANA TOA KAB. BULUKUMBA
SULAWESI SELATAN
Oleh:
Hamka, ST.
136060500111002
Program Pasca Sarjana Arsitektur Lingkungan Binaan
Universitas Brawijaya, Malang
2013/2014
ABSTRAK
Sosio-antropologi dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu sangat berpengaruh
terhadap kondisi lingkungan tempat tinggalnya, membentuk pola permukiman dan juga tata
ruang huniannya. Seperti yang terjadi pada kebanyakan komunitas masyarakat etnis yang ada
di Indonesia dan salah satunya adalah suku adat ammatoa Kajang di Bulukumba. Masyarakat
suku ini, dalam kehidupannya masih sangat memegang kuat tradisi dan pola hidup yang
senantiasa harmonis dengan alam, dan memiliki sistem sosial dan juga budaya yang unik
serta berbeda dari yang lainnya. Mulai dari kepercayaan, tradisi, adat, sistem sosial, hingga
kehuniannya sangat dipengaruhi oleh alam, bahkan dikawasan ini masyarakat tidak
menggunakan teknologi yang ada sekarang, seperti listrik dan barang-barang elektronik.
Semua rumah warga dibangun dengan bentuk yang sama, konsep ini menunjukkan
kesederhanaan dan sebagai simbol keseragaman. Dalam keseharian tidak pernah
menggunakan alas kaki dan selalu menggunakan pakaian yang berwarna hitam. Meski
terlihat sangat primitif, namun mereka juga mengenal teknologi yang meski masih sangat
sederhana. Selain itu, masyarakat suku Kajang dalam kesehariaanya senantiasa berpegang
teguh terhadap apa yang didapatkan dari alam tempat mereka hidup. Dengan konsep tersebut
mengharuskan pengunjung yang datang harus mengikuti aturan-aturan adat yang berlaku,
seakan menghidupkan pepatah yang mengatakan “dimana kaki berpijak disitu langit
dijunjung”.
1. PENDAHULUAN
Suku Kajang merupakan salah satu suku yang tinggal di pedalaman secara turun
temurun, tepatnya di Kecamatan Kajang, Kab. Bulukumba. Daerah itu dianggap sebagai
tanah warisan leluhur yang harus dijaga dan mereka menyebutny Tana Toa atau Kampung
Tua. Masyarakatnya lebih dikenal dengan nama masyarakat Ammatoa Kajang. Ammatoa
adalah sebutan bagi peimimpin adat mereka yang diperoleh secara turun temurun. Amma
artinya Bapak, sedangkan Toa berarti yang diTuakan (Heryati, 2013).
Masyarakat ammatoa Kajang dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu Rilalang
Embayya (Tanah Kamase-masea) lebih dikenal dengan nama Kajang Dalam yang dikenal
sebagai Kawasan Adat Ammatoa dan Ipantarang Embayya (Tanah Kausayya) atau lebih
dikenal dengan nama Kajang Luar (Aminah dalam Heryati, 2013).
. Meskipun terbagi menjadi dua kelompok, tidak ada perbedaan diantara keduanya.
Sejak dulu hingga sekarang, mereka selalu berpegang teguh pada ajaran leluhur. Berdasarkan
ajaran leluhur, masyarakat Suku Kajang harus selalu menjaga keseimbangan hidup dengan
alam dan para leluhur. Bagi masyarakat Kajang, modernitas juga dianggap sebagai pengaruh
yang dapat menyimpang dari aturan adat dan ajaran leluhur sehingga mereka tidak mudah
untuk menerima.
Kehidupan masyarakat Kajang sangat dipengruhi oleh kepercayaan yang dianut yaitu
“patuntung” yang bersumber dari “pasang rikajang” yaitu berupa pesan, petuah, amanah
yang sifatnya sakral dan hukumnya wajib untuk dilaksanakan. Dalam Pasang itu juga
terdapat amanah untuk selalu hidup sederhana, selaras dan menjaga alam, khususnya hutan,
karena dari alam tersebutlah mereka mendapatkan sumber kehidupan.
Kesederhanaan Suku Kajang juga terlihat dari bentuk rumahnya, semua rumah warga
dibangun dengan bentuk dan dari bahan yang sama . Bangunan rumahnya terbuat dari kayu,
sementara atapnya terbuat dari ijuk. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan sebagai simbol
keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara
masyarakat Suku Kajang.
Dalam membuat sebuah rumah, masyarakat Kajang harus mematuhi beberapa aturan
adat yang berlaku. Salah satunya, mereka hanya boleh membangun rumah dari kayu. Rumah
tidak boleh dari batu bata ataupun tanah. Bagi mereka, hanya orang matilah yang diapit
tanah, sementara rumah untuk tempat orang hidup. Jika rumah dari batu bata ataupun tanah,
meskipun penghuni rumah itu masih hidup, mereka akan dianggap mati oleh seluruh
masyarakat Kajang.
Bagi masyarakat Kajang, ajaran para leluhur memiliki arti penting. Begitu
pentingnya, mereka selalu menjalankan berbagai aktifitas kehidupan berdasarkan tradisi
leluhur. Aturan adat dari Sang Leluhur juga selalu mengikat setiap kegiatan mereka.
2. PEMBAHASAN
2.1. Struktur Adat Ammatoa Kajang
Sistem struktur adat suku Ammatoa Kajang pada komunitas adat Kajang di Tana Toa
(tanah tua) dipimpin oleh seorang disebut Ammatoa yang berarti bapak tertua atau pemimpin
tertua dan masyarakat suku Kajang sangat patuh terhadap Ammatoa. Ammatoa memegang
tampuk kepemimpinan di Tana Toa sepanjang hidupnya terhitung sejak dinobatkan sebagai
Ammatoa. Sebabnya proses pemilihan Ammatoa tidak gampang, sesuatu yang tabu di Tana
Toa bila seseorang bercita-cita jadi Ammatoa. Pasalnya, Ammatoa bukan dipilih oleh rakyat,
tetapi seseorang yang diyakini mendapat berkah dari Tu Rie‟A‟ ra‟na sang pencipta.
Di dalam penuturan Pasang berupa pesan atau pedoman hidup disebutkan bahwa
seorang Ammatoa adalah manusia pilihan, manusia utama. Seorang pemangku jabatan atau
status Ammatoa mempunyai keistimewaan dan kelebihan dan bahkan dianggap suci. Itulah
sebabnya menurut Pasang nama aslinya pantang disebutkan, sehingga ia dipanggil menurut
statusnya yaitu Ammatoa. Di dalam pasang diungkapkan bahwa Ammatoa adalah manusia
pertama yang muncul di dunia ini.
Ammatoa menjalankan jabatannya ia didampingi oleh angrongta (ibu) yang
menangani masalah tertentu. Ammatoa juga dibantu oleh Karaeng Tallu, dan ada‟limaya.
Karaeng tallu bertugas membantu dalam bidang pemerintahan (ada‟ tanaya). Adapun
Ada‟Limaya adalah pembantu Ammatoa yang khusus bertugas mengurusi masalah adat
(dewan adat). Struktur organisasi kekuasaan adat Tana Ammatoa Kajang dapat dilihat pada
skema diagram berikut.
Karaeng Tallua merupakan tri tunggal dalam bidang pemerintahan dan dikenal
dengan “tallu karaeng mingka se‟reji”. Ini berarti bahwa apabila ada upacara adat dan salah
satu orang di antaranya telah hadir dalam upacara adat tersebut, maka karaeng tallu sudah
dianggap hadir.
Dalam menjalankan peran dan fungsi sebagai pemimpin komunitas, Ammatoa
dibantu oleh majelis adat untuk mengurusi berbagai bidang. Petugas (harian) yang membantu
Amma Toa disebut kolehai dengan tugas masing-masing sebagai berikut:
Galla Pantama (timboro‟na tanaya) bertugas sebagai hakim
Galla Lombo bertugas dalam bidang pertanian
Galla Malleleng bertugas dalam bidang perikanan
Galla Puto bertugas sebagai juru bicara/Ammatoa
Gala Anjuru bertugas mengatur tamu yang akan menghadap Amma Toa
Galla Bantalang bertugas melindungi hutan di Bantalang
Gambar 1. Struktur Adat Ammatoa Kajang
(Sumber: Hamudy, 2008)
Galla Sapa bertugas melindungi hutan di Sapayya dan menyiapkan bangunan untuk upacara
adat.
Galla Sangkala bertugas melindungi hutan di Sangkala
Galla Ganta bertugas melindungi hutan di Ganta (hutan Bongo)
Tu Toa Sangkala bertugas pada bidang pertanahan di daerah sangkala
Tu Toa Ganta bertugas bertugas pada bidang pertanahan ( di daerah Ganta).
Anrong bertugas mengatur perlengkapan upacara “a‟nganro”.
Lompo Karaeng bertugas mengatur urutan “paccidongang”
Lompo Ada‟ bertugas mengatur urutan hidangan menurut kedudukan adat
Para pejabat di atas dalam menjalankan tugasnya bertanggung jawab langsung kepada
Amma Toa, berdasarkan adat (manajemen tradisional) yang diatur oleh Amma Toa. Adapun
urusan yang berkaitan dengan pemerintahan (formal) diserahkan sepenuhnya kepada
pemerintah daerah, secara formal mulai dari tingkat Kepala Desa, Camat dan seterusnya.
Komunitas Amma Toa tergolong sangat patuh/loyal kepada pemerintah.
Hal tersebut memang diamanatkan dalam Pasang:
“Igitte tau caddia ammuluki riadahang, suru‟ki riajoka, naki minahang
rihajo-hajona pamarentata naiya pamarentata iyamintu arong amma‟ta”.
Artinya:
Kita masyarakat perlu tunduk takluk di bawah petunjuk pemerintah. Sebab
pemerintah adalah orang tua kita”.
Sebagai orang yang dituakan, ini berarti bahwa Ammatoa adalah pengayom dan
suri tauladan bagi semua warga/ komunitasnya. Ia menjadi pelindung (Sanro) jika terjadi
bambang lantama ujung latoro. Artinya apabila negeri di landa wabah penyakit dan bahaya
peperangan Amma menjadi pelindung dan tumpuan utama komunitasnya. Amma
nilangngere, nituruki, siagang nipa‟la‟langngi. Artinya Amma didengar nasehatnya, ditiru
perbuatannya, dan dijadikan panutan. Sebagai penghubung manusia dan Tu Rie‟ A‟ra‟na
(Yang Berkehendak) timbal balik.
2.2. Kepercayaan Suku Adat Ammatoa Kajang
Masyarakat Ammatoa Kajang seluruhnya beragama Islam, akan tetapi dalam
kehidupan beragama mereka masih memegang teguh ajaran-ajaran leluhur. Ajaran
kepercayaan leluhur yang dimaksud adalah Patuntung , kata Patuntung dalam dialek Konjo,
berasal dari kata “Tuntung” yang mendapat awalan Pa sama dengan awalan “Pe” dalam
bahasa Indonesia yang berarti “Penuntut” atau “Pelajar”. Jadi Patuntung maksudnya
seorang yang sedang mempelajari “Panggisengang” (ilmu pengetahuan) yang bersumber dari
“Pasang ri Kajang” yang mengandung pesan-pesan, petuah-petuah, pedoman atau petunjuk
yang ditaati, dan dituruti serta diamalkan demi kebahagian akhirat (Heryati, 2013).
Patuntung bagi masyarakat Kajang adalah suatu sistem kepercayaan dan menganggap
sebagi sumber kebenaran. Patuntung berarti sujud, artinya bahwa masyarakat kajang harus
patuh terhadap ajaran yang dari Turiek Akrakna (sang pencipta) melalui Ammatoa yang
pertama. Kepercayaan ini juga sangat melarang keras masuknya modernisasi karena mereka
menganggap bahwa tidak menghormati leluhurnya. Intinya, masyarakat kajang mengakui
sebagai masyarakat yang menganut agama islam tetapi mereka juga masih tetap mewariska
budaya leluhurnya dengan tetap menjalankan aturan-aturan adat atau pesan yang telah
disampaikan oleh Turiek akrakna melalui Ammatoa pertama (Tajuddin, 2013. SUKU ADAT
AMMATOA KAJANG KAB. BULUKUMBA SULAWESI SELATAN dalam
http://fatjrint.blogspot.com/2013/05/suku-adat-ammatoa-kajang-kab-bulukumba.html (17
oktober 2013).
Ajaran utama agama Patuntung adalah jika manusia ingin mendapatakan sumber
kebenaran maka manusia harus menyandarkan diri pada tiga pilar utama
a. Menghormati Turiek Akrakna (Tuhan)
b. Tanah yang diberikan Turiek Akrakna (tana toa atau lingkungan secara umum)
c. Dan nenek moyang (To Manurung atau Ammatoa)
Turiek Akrakna menurunkan perintahnya kepada masyarakat Kajang melalui passang
(pesan atau wahyu) yang diberikan kepada manusia pertama yang diturunkan ke dunia, To
Manurung atau yang kemudian disebut Ammatoa. Agar pasang tersampaikan dengan baik
maka Turiek Akrakna memerintahkan Ammatoa untuk menjaga dan menyebarkannya.
Ammatoa juga berfungsi sebagai mediator antara Turiek Akrakna dengan manusia. Makanya,
adat suku Kajang sering juga disebut adat Ammatoa.
2.3. Sumber Pedoman: Pasang Rikajang
Pasang merupakan pesan-pesan yang berisi pengetahuan hidup yang harus ditaati.
Jika tidak ditaati maka akan terjadi hal-hal buruk. Secara harfiah, Pasang berarti “Pesan”.
Akan tetapi dalam pengertian komunitas Ammatoa, Pasang mengandung makna yang lebih
dari sekedar pesan. Ia lebih merupakan sebuah amanat yang sifatnya sakral. Terbukti bahwa
Pasang merupakan sesuatu yang wajib hukumya untuk dituruti, dipatuhi dan dilaksanakan,
yang bila tidak dilaksanakan, akan berakibat munculnya hal-hal yang tidak diinginkan
seperti rusaknya keseimbangan sistem sosial dan ekologis, (Kajang: Ba‟bara) antara lain
berwujud penyakit tertentu (Kajang: Natabai Passau) pada yang bersangkutan maupun
terhadap keseluruhan warga .
Pasang ini merupakan sumber pedoman yang berisi pesan-pesan yang mengatur
segala-sendi kehidupan seperti ketuhanan, kemasyarakatan, pemerintahan hingga pesan
untuk menjaga alam. Berikut ini merupakan beberapa materi Pasang, sebagai berikut:
1. Pasang Sehubungan dengan “Religi Ketuhanan”
a. Anne Linoa pammari mariangji ahera pammantangang satuli-tuli. Artinya “ Dunia ini
hanya terminal sementara, akhiratlah tempat yang abadi
b. Tu Rie‟ A‟ra‟na ammantangi ri pangnga‟rakanna artinya “ Tu Rie‟ A‟ra‟na (Tuhan)
berbuat sesuai kehendaknya.
c. Abboyaku Suruga narie‟ nuerang mange riahera, napunna naraka nuhoja, naraka to
nuerang mange konjo. Artinya “ Carilah surga (semasa tinggal di dunia), sebab kalau neraka
yang engkau cari neraka juga yang kau bawa ke akhirat”.
Butir Pasang tersebut di atas mengandung ajaran tentang religi/ Ketuhanan, yang
bermakna harus melakukan perintahnya dan menghindari larangan Nya. Manusia juga harus
berusaha mencari nilai kebajikan demi kehidupan di hari kemudian. Sekalipun komunitas
Amma Toa tidak melaksanakan syariat Islam, tetapi sikap pengamalan Pasang ini adalah
perbuatan luhur sesuai ajaran Patuntung.
2. Pasang sehubungan dengan kehidupan dan kemasyarakatan .
a. Ako naha-nahai lanupunnai numaeng taua napattiki songo‟ artinya “ Jangan berniat
memiliki sesuatu yang berasal dari tetesan keringat orang lain”.
Ini merupakan nasehat agar jangan mengambil hak orang lain.
b. Ako appadai tummue parring artinya “ jangan seperti orang membelah bambu.
Ini bermakna anjuran untuk berlaku adil.
c. Ako kalangnge-langngere, ako kaitte-itte, ako katappa-tappa, rikarambu lalang riasu
timuang. Artinya “jangan sebarang mendengar, jangan sembarang melihat, jangan sembarang
percaya kepada anjing yang melolong”.
Pesan ini mengandung makna jangan mudah terpengaruh oleh pendengaran dan
penglihatan. Harus ada filter untuk menyaring pengaruh / budaya yang belum tentu sesuai
dengan kepribadian bangsa.
3. Pasang sehubungan dengan pemerintahan
a. Bola-bola pa‟lettekang, baju-baju pasampeang, petta kalennu kamaseang kolantu‟nu,
naiya kala‟biranga a‟lele cera‟ minto‟i. Artinya “ Rumah-rumah dapat dipindahkan, baju-
baju dapat ditanggalkan, jaga dirimu kasihani lututmu, yang dikatakan kekuasaan mengalir
bagai darah
Pasang ini memberikan peringatan kepada pemimpin, bahwa kekuasaan itu tidak selamanya
dimiliki. Kekuasaan itu akan berpindah seperti darah yang mengalir dalam tubuh. Ini
merupakan anjuran kepada pemegang kekuasaan agar selalu melaksanakan amanah.
b. Lambusu‟nuji nukaraeng, gattannuji nu ada‟, sa‟bara‟nuji nu guru, pisonanuji nu
sanro.
Artinya, karena jujur engkau menjadi pemerintah, karena tegas engkau menjadi adat, karena
sabar engkau menjadi guru, karena pasrah engkau menjadi dukun.
Pasang ini bermakna bahwa seseorang yang memegang jabatan harus memiliki sifat, yaitu
jujur, tegas, sabar, dan pasrah.
4. Pasang sehubungan dengan pelestarian alam (hutan)
Sehubungan dengan pengelolaan/ pelestarian lingkungan (hutan), ada beberapa butir Pasang
yang merupakan ajaran pokok dalam melestarikan lingkungan.
a. Nipanjari inne linoa lollong bonena, lani pakkegunai risikonjo tummantanga
ribahonna linoa.Mingka u‟rangi toi ampallarroi linoa rikau tala rie‟ lana
pangngu‟rangiang. Artinya dijadikan bumi ini beserta isinya untuk dimanfaatkan oleh
manusia. Tetapi perlu diingat apabila bumi marah kepada engkau, tidak ada yang dapat
mencegahnya
Pasang ini mengandung makna bahwa manusia dilarang mengeksploitasi alam secara
berlebihan, sebab dapat menimbulkan bencana bagi manusia. Apabila alam murka, tidak
dapat dicegah atau dihindari.
b. “Jagai Linoa lollong bonena, kammayatompa langika siagang rupa taua, siagang
boronga”. Pasang ini berarti peliharalah bumi beserta isinya, begitupun langit, manusia
maupun hutan.
c. “Punna nita‟bangi kayua ri boronga, angnqurangngi bosi, appatanrei timbusua, anjo
boronga angkontai bosia, aka„na kayua appakalompo timbusu, raung kayua angngonta
bos”i.
Artinya: kalau pohon kayu di hutan ditebang, akan mengurangi hujan, meniadakan mata air.
Hutan itulah yang mengontak hujan, akarnya membesarkan mata air, daunnya yang menarik
hujan.
d. Punna erokko anna‟bang sipoko‟ kayu ri boronga, a‟lamunko rolo ruang
poko‟anggenna timbo. Artinya, kalau ingin menebang satu batang pohon kayu di dalam hutan
harus menanam dulu dua pohon sampai tumbuh dengan baik.
Menurut persepsi orang Kajang, ada keterkaitan antara hubungan alam jagad raya
(alang lompowa) dengan manusia (alang caddiyya) dalam menjamin kelangsungan sistem
sirkulasi hidrologi. Dalam Pasang disebutkan, bahwa punna lanumpanraki anjo boronga
nupanraki kalennu sanggena tuhusennu artinya „menghancurkan hutan berarti
menghancurkan diri sendiri, termasuk generasi yang akan datang. Sebaliknya, boronga
parallu nijarreki nitallassi naanre. ancuru‟ tolinowa anjo pasanna toriolowa artinya „hutan
harus dilestarikan, agar kehidupan ini tidak binasa sesuai pesan luluhur kita‟. Salah satu pasal
dalam Pasang ini mengandung suatu bentuk pesan mulia, bahwa melestarikan hutan berarti
menyelamatkan dunia beserta isinya, kedua bentuk akibat di atas sangat ditentukan oleh
keseimbangan alam (environmental equilibrium), (Gising, 2012).
Keseimbangan tersebut dapat berlangsung apabila mata rantai sirkulasi hidrologi tetap
terjamin. Sembilan pasal Pasang ri Kajang berikut mengisyaratkan perlunya keseimbangan
sistem sirkulasi hidrologi (Gising, 2012), dan bunyinya sebagai berikut:
Gambar 2 : Siklus hidrologi: tanah, laut, atmosfer, salju, air permukaan
(Sumber: proyeksipil.blogspot.com).
1. Punna hambangi linoa, Annapasaki buttaya subangiya.
Bila cuaca panas, maka itulah yang disebut bumi sedang bernafas.
2. Sangkammatonggi rupa tauyya manna pokok kaju annapasatongngi.
Seperti halnya dengan manusia, pohon pun juga bernapas.
3. Punna bangimi lanungmi antu nikkua langi.
Bila malam hari tiba turunlah embun.
4. Punna lanaimaki alloa assajangmintu langia anjari olong.
Jika matahari mulai meninggi, embun tersebut menguap menjadi awan.
5. Tugasa‟na olonga yamintu langngalle ere‟ inung ritamparanga.
Tugas awan adalah mengambil air minum di lautan.
6. Antumi olonga anjari bosi.
Awan itulah yang selanjunya berproses menjadi hujan.
7. Anjo akak kajua anampungi timbusu‟.
Akar kayu itu menampung air.
8. Nikua tumbusu‟ yamintu ere‟ buttayya.
Yang dimaksud dengan mata-air yaitu air tanah.
9. Narie‟ kaloro battu ri boronga, narie‟ tumbusu battu ri kajua battu ri kale‟lenga.
Ada sungai mengalir dari hutan dan adanya mata-air dari pepohonan dan belukar.
Pasal-pasal di atas memperlihatkan bagaimana proses terjadinya sirkulasi hidrolis
menurut pemahaman masyarakat suku adat Ammatoa kajang yang dituangkan dalam Pasang.
Sebuah bentuk kearifan lokal masyarakat yang sudah memiliki pengetahuan tradisonal yang
mampu berfungsi untuk mengatur segala sendi kehidupan yang ada didalam komunitas
mereka.
2.4. Prinsip Kesederhanaan
Hidup Kamase-masea adalah cara khusus komunitas Ammatoa di dalam
mempertahankan kelangsungan hidup kelompoknya dan di dalam melestarikan nilai-nilai
yang mereka jadikan pedoman hidup (Akib, 2003). Bagi masyarakat ammatoa khususnya
yang bermukim di dalam kawasan adat, konsep hidup kamase-masea adalah bentuk
kehidupan yang ideal dan “cukup”. Meraka ikhlas dan pasrah hidup secara sederhana
sebagai hidup yang telah ditakdirkan oleh yang Maha Kuasa, dan senantiasa bermohon agar
hidup seperti ini dilakukan oleh keturunan mereka.
Dalam kehidupan sehari-hari, konsep kesederhanaan nampak dalam wujud pakaian
adat dan sehari-hari yang berwarna hitam. Mereka hanya memilih satu warna yaitu hitam
sebagai pelambang kesederhanaan dan kejujuran dan harus dipatuhi karena merupakan
sebuah pesan dari nenek moyangnya atau pesan dari Turiek Akrakna. Bagi suku adat
Ammatoa, bukan warna hitam saja yang dijadikan sakral tetapi juga warna putih karena
mereka percaya dan menganggap bahwa di dunia ini hanya ada gelap terang yang berarti
hitam dan terang yang berarti putih. Warna hitam digunakan juga karena dapat
menselaraskan dan barmakna sederhana. Sedangkan putih hanya bisa digunakan oleh
masyarakat yang dianggap berilmu tinggi. Namun, tetaplah warna hitam dijadikan sebagai
warna sakral karena dapat bermakna persamaan derajat tanpa membeda-bedakan.
Gambar 3. Pakaian Adat Masyarakat Suku Kajang
(Sumber: dunia-kampus-sanggar-seni-panrita.blogspot.com)
Dalam keseharian tidak pernah menggunakan alas kaki dan selalu menggunakan
pakaian yang berwarna hitam, bahkan dikawasan ini masyarakat tidak menggunakan
teknologi yang ada sekarang, seperti listrik dan barang-barang elektronik serta prabot-prabot
dalam rumah tangga.
Mengenai kesederhanaan ini juga tercantum pada Pasang yang berbunyi
“Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-mase, a„dakkako nu kamase-mase,
a„meako nu kamase-mase” (berdiri engkau sederhana, duduk engkau sederhana, melangkah
engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana) – Filosofi masyarakat kampung adat
suku Kajang.
“Angnganre na rie‟, care-care na rie, Pammalli juku na rie‟, tan koko na galung rie,
Balla situju-tuju”. Artinya: hidup yang cukup itu adalah bila makanan ada, pakaian ada,
pembeli lauk ada, sawah dan ladang ada dan rumah yang sederhana saja.
Masyarakat adat Kajang hidup dari bertani dan memelihara hewan ternak.
Kesederhanaan Suku Kajang juga terlihat dari bentuk rumahnya, semua rumah warga
dibangun dengan bentuk dan dari bahan yang sama . Bangunan rumahnya terbuat dari kayu,
sementara atapnya terbuat dari ijuk. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan sebagai simbol
keseragaman. Mereka percaya, jika ada keseragaman tidak akan ada rasa iri diantara
masyarakat Suku Kajang.
2.5. Interaksi Sosial Budaya Suku Adat Ammatoa Kajang
Masyarakat adat Kajang dalam berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya, menganut
pada Pasang (pesan) yang wajib di laksanakan sehingga akan mempunyai sanksi yang tegas
terhadap penyimpangan yang terjadi. Menurut masyarakat adat Kajang, Pasang adalah norma
atau nilai yang harus dijunjung tinggi. Pelanggaran terhadap norma atau nilai itu, akan
mengakibatkan dijatuhkannya sanksi kepada pelakunya.
Mata pencaharian masyarakat adat Ammatoa, pada umumnya petani, peternak,
sebagian kecil pedagang, pertukangan dan pegawai. Lokasi sawah dan ladang mereka cukup
jauh dari tempat tinggalnya sekitar 1-7 km. Petani umumnya mengerjakan sendiri sawah
ladang mereka. Kaum perempuan pekerjaannya menenun kain (sarung dan selendang)
Gambar 4. Rumah Masyarakat Suku Kajang
(Sumber: sosbud.kompasiana.com)
dengan bahan tenunnya berasal dari tanaman Tarum yang mereka tanam sendiri. Alat tenun
dan alat setrika dibuat dengan teknologi yang sangat sederhana. Hasil tenun ini dapat
dipasarkan langsung kepada pembeli yang datang terutama turis asing. Mata pencaharian
lainnya dari sektor pertanian adalah menanam komoditas jangka panjang seperti kayu jati dan
tanaman musiman. Jadi masyarakat melakukan interaksi salah-satunya tergantung dari mata
pencahariannya.
Bahasa yang digunakan oleh orang Kajang sehari-hari adalah Konjo, bahasa Konjo
merupakan rumpun bahasa Makassar yang berkembang tersendiri dalam suatu komunitas
masyarakat. Dalam hal pernikahan, masyarakat adat Tana Toa terikat oleh adat yang
mengharuskan menikah dengan sesama orang dalam kawasan adat. Jika tidak maka mereka
harus hidup di luar kawasan adat, pengecualian bagi pasangan yang bersedia mengikuti
segala aturan dan adat-istiadat yang berlaku di dalam kawasan adat.
Dalam kehidupan Masyarakat Kajang, kaum wanita diwajibkan bisa membuat kain
dan memasak. Sedangkan kaum pria diwajibkan untuk bekerja di ladang dan membuat
perlengkapan rumah dari kayu. Keahlian membuat perlengkapan dari kayu ini juga
merupakan kewajiban bagi kaum pria untuk berumah tangga. Setiap usai panen mereka selalu
menggelar upacara adat yang bertujuan sebagai ucapan terima kasih kepada Sang Pencipta.
Upacara adat yang disebut Rumatang ini dipimpin langsung oleh Ammatowa. Terdapat jenis
tarian adat yang bernama “Pubatte Passapu” atau “Sabung ayam” Tarian tersebut mengalir
begitu saja, tanpa latihan apalagi gladi resik Pabbatte Passapu menceritakan sabung ayam
yang diperagakan dengan passapu (ikat kepala).
Gambar 5. Pembuatan Kain Tenun
(Sumber: thephinisicenter.blogspot.com)
Gambar 6. Upacara Adat
(Sumber: shamawar.wordpress.com)
Gambar 7. Tarian Adat
(Sumber: http://arhamkis.blogspot.com/)
Gambar 8.Kegiatan menuju ke ladang
(Sumber: shamawar.wordpress.com)
2.6. Konsep Orientasi Rumah Suku Kajang
Dalam kawasan adat Tana Toa terdapat suatu kawasan inti yang berada di sekitar
rumah Ammatoa dan para pemangku adat. Kawasan inti ini terlihat dari letak atau pola
pemukiman yang menghadap ke arah Barat atau arah kiblat, yang masih menyesuaikan
dengan adat dan tradisi mereka. Setiap bentuk rumah Suku Kajang selalu sama, mereka
menganggap, persamaan itu sebagai simbol kebersamaan. Secara fisik tidak jauh beda dengan
rumah adat masyarakat bugis makassar struktur yang tinggi dan masih mempergunakan
kekayaan hutan disekitar untuk membuatnya.
Konsep orientasi rumah tradisional yang dalam bahasa Kajang disebut “Panjolang”
semua menghadap ke Barat. Dikarenakan arah barat, mengarah pada suatu “tempat” yang
terletak di sebelah barat yakni Pa‟rasangang iraya (perkampungan sebelah barat) yang
terletak dalam hutan adat Tupalo, dimana dalam sejarah leluhur manusia Kajang disebutkan
bahwa tempat itu merupakan tempat pertama kali leluhur mereka menginjakkan kaki di bumi
ini, atau dengan kata lain bahwa sebelah barat itulah awal mula keberadaan/kehidupan
manusia di bumi. Dan pada akhir hidupnya, leluhur tersebut memilih tempat untuk kembali di
Pa‟rasangang ilau (perkampungan di sebelah timur) yang terletak di dalam hutan
Karanjang. Kedua tempat ini merupakan pusat orientasi kegiatan/ritual termasuk orientasi
arah rumah.
Gambar 9. Konsep Orientasi Rumah Kajang
(Sumber: Heryati, 2013)
2.7. Rumah Suku Kajang
Rumah suku Kajang merupakan rumah traditional tipe rumah panggung, merupakan
ciri rumah suku Bugis-Makassar. Di Tana Toa, semua rumah warga dibangun dengan bentuk
yang sama. Konsep ini menunjukkan kesederhanaan dan sebagai simbol keseragaman.
Seperti pada umumnya rumah panggung tradisional, pola rumah suku Kajang juga dibagi
secara vertikal dan horizontal.
Secara vertikal, rumah adat Kajang dapat dibagi 3 bagian, yaitu:
Secara vertikal terbagi dalam 3 bagian, bagian atas disebut Para (3); merupakan
tempat yang dianggap suci biasanya dipakai untuk menyimpan bahan makanan, bagian
tengah disebut Kale Balla (2); sebagai tempat manusia menetap atau bertempat tinggal,
bagian bawah disebut Siring (1); sebagai tempat menenun kain atau sarung hitam (topeh
le‟leng) merupakan pakaian khas masyarakat Ammatoa. Konsep ini sekaligus merupakan
interpretasi dari wujud fisik manusia yang terdiri dari kepala, badan, dan kaki.
Tidak seperti rumah suku rumpun Bugis-Makassar yang lainnya, keturunan Ammatoa
tidak melihat strata sosial dari bentuk dan model rumah. Pada timpa laja (atap bagian depan)
hanya dibuat 2 susun, sedangkan yang memiliki susunan timpa laja yang lebih dari 2
merupakan rumah yang berada diluar kampung adat Ammatoa Tana Toa Kajang.
Gambar10. Organisasi Ruang Vertikal
(Sumber: Heryati, 2013)
Para
Kale Balla
Siring
Gambar11. (a) Timpa Laja 2 susun, (b) Timpa laja lebih dari 2 susun
(Sumber: Heryati, 2013)
Secara horisontal pembagian ruang sebagai berikut:
Secara horisontal, rumah adat Kajang juga terdiri atas 3 bagian, yaitu:
1. Ruang depan (latta riolo) yang digunakan sebagai dapur dan ruang tamu.
2. Ruang tengah (latta tangaga) digunakan untuk ruang makan, ruang tamu adat, dan juga
ruang tidur untuk anggota keluarga.
3. Ruang belakang (Tala) menjadi bilik kepala keluarga dan dibatasi oleh dinding papan atau
bambu. Lantai bilik ini lebih tinggi sekitar 30 cm (3 latta = genggam pemilik rumah) dari
lantai ruang tengah dan dapur.
Dari tampak bangunan sangat sederhana, tanpa ornamen dan tidak dicat. Ini
merupakan cermin hidup masyarakat Ammatoa yang selalu hidup sederhana dan selalu
berorientasi pada lingkungan sebagaimana yang tercantum dalam aturan pasang. Dinding
terbuat dari papan yang di ketam dan di pasang melintang. Jendela–jendela kecil diletakkan
sedikit lebih tinggi dari lantai. Pintu keluar hanya ada satu buah, yaitu yang diletakkan pada
bagian tengah muka bangunan.
Tiang–tiangnya (benteng) ditanam ke dalam tanah, kayu ini biasanya disebut Na‟nasayya dan
istimewanya bila ada yang lapuk bisa langsung diganti tanpa perlu membongkar rumah. Tinggi tiang
ke lantai kurang lebih 2 meter, sehingga di bagian bawah rumah dimungkinkan melakukan kegiatan,
seperti : menenun, menumbuk padi atau jagung, tempat ternak, dan sebagainya. Pada tiang tengah,
benteng tangngaya biasanya digantungkan tanduk kerbau yang pernah dipotong untuk upacara,
misalnya : upacara perkawinan.
Gambar12. Organisasi Runag Horizontal
(Sumber: Heryati, 2013)
Latta Riboko
Latta Tangnga
Latta Riolo
Gambar13. Pallu/Dapur
(Sumber: Heryati, 2013)
Bagian lain adalah tiang pusat (pocci balla) yang merupakan analogi dari pusar pada
tubuh manusia dimana nutrisi ditransfer ke embrio dan tempat yang ditujukan untuk
perlindungan. Oleh karena itu Pocci Balla ini dianggap sebagai pusat yang membentuk
keseimbangan, selain itu secara mistik mempunyai nilai religius, dianggap keramat (suci).
Pada tiang ini mendapat perhatian yang paling penting diikuti dengan syarat-syarat termasuk
bahan/jenis kayu dan tata cara mendirikannya.
Dilihat dari letaknya tiang (benteng) dibedakan atas: a). Benteng Tangnga /Benteng
Pocci balla, merupakan tiang pusat yang terletak pada baris kedua dari depan dan kolom
kedua dari kiri rumah (A). b). Benteng Pokok Balla, merupakan tiang yang terletak pada
sudut kiri rumah (B).
Letak rumah tradisional di luar kawasan adat sekalipun masih dipengaruhi sistim
kekerabatan dimana anggota keluarga yang sudah berkeluarga dan merasa mampu untuk
mandiri cenderung menetap disekitar rumah keluarga inti, aturan-aturan yang mengikat
mengenai tata letak seperti mempertimbangkan hubungan kekerabatan antara orang tua dan
anak atau antara saudara (kakak dan adik)/antara yang muda dan tua tidak lagi menjadi hal
yang harus dipertimbangkan. Hal ini diakibatkan karena kondisi alam/lingkungan mereka
tinggal dan tergantung dari letak/tersedianya lahan kosong yang mereka miliki.
Gambar14. Susunan Pola Tiang (Benteng)
(Sumber: Heryati, 2013)
Gambar15. Tiang yang ditanam
(Sumber: Heryati, 2013)
Gambar16. Tanduk kerbau pada tiang tengah (Pocci Balla)
(Sumber: Heryati, 2013)
Gambar17. Sistem Konstruksi
(Sumber: Heryati, 2013)
3. KESIMPULAN
Sosio-Antropologi di kampung adat Ammatoa Tana Toa Kajang terwujud pada sikap
kebersamaan masyarakat terhadap kepatuhan pada aturan-aturan/ nilai-nilai tradisi dalam
Pasang yang dianut komunitas Ammatoa kajang tercermin pada tiap sendi-sendi kehidupan
seperti hubungan ke sang pencipta “Turiek Akrakna”, antara sesama, sistem kemasyarakatan,
sistem pemerintahan, pasang mengenai alam (hutan) dan juga pola permukiman dan rumah
tinggal masyrakatnya. Mulai dari pola pemukiman, orientasi bangunan yang semua
menghadap ke Barat sampai pada pola tata ruang, bentuk, dan struktur kontruksi rumah
memperlihatkan keseragaman (homogeneity). Dari segi tampak bangunan sangat sederhana,
tanpa ornamen dan tidak dicat. Ini merupakan cermin hidup masyarakat Ammatoa yang
selalu hidup sederhana dan selalu berorientasi pada lingkungan sebagaimana yang tercantum
dalam aturan/pasang mereka. Kekhasan ini digambarkan dalam istilah butta kamase-mase
(negeri prihatin) dan wilayah di luarnya mereka menyebutnya butta kausayya (negeri luar).
Sebuah nilai kearifan lokal yang tertuang dalam Pasang yang digunakan sebagai
pedoman hidup masyarakat adat Ammatoa Kajang. Pasang tersebutlah yang menjadi sumber
yang mempengaruhi serta membentuk sosial budaya dikawasan ini. Pasang yang berpesan
untuk hidup sederhana dan terus dilakukan oleh masyarakat di tempat ini tertuang dalam
Pasang itu sendiri yang berbunyi, “Ammentengko nu kamase-mase, accidongko nu kamase-
mase, a„dakkako nu kamase-mase, a„meako nu kamase-mase” (berdiri engkau sederhana,
duduk engkau sederhana, melangkah engkau sederhana, dan berbicara engkau sederhana) –
Filosofi masyarakat kampung adat suku Kajang.
Suku Kajang di kampung adat Ammatoa Tana Toa Kajang suku yang masih
memegang teguh adat dan tradisinya hingga saat ini. Meskipun sekarang sudah banyak suku
pedalaman yang meninggalkan adat dan tradisinya. Suku kajang juga merupakan suku yang
sangat tidak bisa menerima perubahan meskipun hanya sedikit. Mereka menganggap
perubahan itu melanggar hukum adat yang di buat oleh nenek moyang mereka. Suku unik,
alami, sederhana, alam yang masih asri, hutan yang masih terjaga, dan lain-lain, menjadikan
kajang saat ini menjadi salah satu favorit wisata budaya. Dengan perkembangan tersebut, dan
pada kenyataan kondisi sekarang, masyarakat suku ini sudah mulai menerima perubahan dan
pemikiran-pemikiran dari luar, meskipun harus melalui seleksi yang sangat ketat.
REFERENSI/DAFTAR PUSTAKA
Aminah, Sitti. 1989. Nilai-nilai Luhur Budaya Spritual Masyarakat Ammatoa Kajang.
Departemen P & K Sulawesi Selatan.
Akib, Yusuf, 2003. Potret Manusia Kajang, Pustaka Refleksi: Makassar.
Adriani et al, 2011. (Arsitektur Vernakular) Studi Bentuk Rumah Adat Suku Kajang,
http://wirda-utsukushi.blogspot.com/2011/02/arsitektur-vernakular-studi-bentuk.html
(diakses pada tanggal 14 oktober 2013)
Gising, 2012. SIMBOLISME DALAM TRADISI LISAN PASANG RI KAJANG:
TINJAUAN SEMIOTIK. Universitas Hananuddin. BAHASA DAN SENI, Tahun 40, Nomor
2, Agustus 2012.
Heryati, 2013. Menguak Nilai-nilai Tradisi Pada Rumah Tinggal Masyarakat Ammatoa-
Tanatoa Kajang di Sulawesi Selatan
Hijjang, 2005. Pasang dan Kepemimpinan Ammatoa:Memahami Kembali Sistem
Kepemimpinan Tradisional Masyarakat Adat dalam Pengelolaan Sumberdaya Hutan di
Kajang Sulawesi Selatan. Universitas Hasanuddin. ANTROPOLOGI INDONESIA Vol. 29,
No. 3, 2005
Hamudy, 2008. Perselingkuhan Politik Ammatoa:Kajian Antropologi Politik Di Kajang,
Bulukumba. Departemen Dalam Negeri. UNISIA, Vol. XXXI No. 70 Desember 2008:392-
416
Mahbud, 2008. HURUPU ' SULAPA EPPA', ETIKA LINGKUNGAN DAN KEARIFAN
LOKAL. Pusat Studi Pedesaan UNHAS. Jurnal Hutan Dan Masyarakat Vol. III No. 1 Mei
2008, 001-110.
Mengenal Budaya Bulukumba Bagian 2 Kajang, http://anshari
akbar.blogspot.com/2012/02/mengenal-budaya-bulukumba-bagians-2.html (diakses pada
tanggal 15 oktober 2013)
Noorwahdah et al, 2012. Makalah: Pola Interaksi Masyarakat Kajang. Sekolah Islam Athirah
Boarding School Bone, http://karlinaende.blogspot.com/2012/05/makalah-pola-interaksi-
masyarakat.html ( kamis 17 oktober 2013)
Syafri et al, 2011. Mengenal Suku Kajang. SMA Negeri 21 Makassar 2011/2012
Suku Kajang. http://dhiyaalfiyyahansar.blogspot.com/2013/04/suku-kajang.html (diakses
pada tanggal 13 oktober 2013)
Tajuddin, 2013. SUKU ADAT AMMATOA KAJANG KAB. BULUKUMBA SULAWESI
SELATAN, http://fatjrint.blogspot.com/2013/05/suku-adat-ammatoa-kajang-kab-
bulukumba.html (diakses 17 oktober 2013).