Soni A. Nulhaqim

106

Transcript of Soni A. Nulhaqim

Page 1: Soni A. Nulhaqim
Page 2: Soni A. Nulhaqim

Soni A. NulhaqimMuhammad Fedryansyah

Eva Nuriyah HidayatWidati Wulandari

Maulana Irfan

Pandiva Buku

Tinjauan TeoritisManajemen KonflikSosial dan Hukum

Page 3: Soni A. Nulhaqim

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.Dilarang mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta, kecuali

mencantumkan identitas pemegang hak cipta.

Page 4: Soni A. Nulhaqim

iii

Perpustakaan Nasional RI: Katalog Dalam Terbitan (KDT)Soni A. Nulhaqim, Muhammad Fedryansyah, Eva Nuriyah Hidayat,

Widati Wulandari, Maulana IrfanTinjauan Teoritis Manajemen Konflik Sosial dan Hukum/

Soni A. Nulhaqim, Muhammad Fedryansyah, Eva Nuriyah Hidayat, Widati Wulandari, Maulana Irfan; editor: Lailla Khusnul Khotimah—Yogyakarta: Pandiva Buku 2020.viii + 97 hal; 20 cmISBN: 978-602-5583-13-11. Judul I. Soni A. Nulhaqim

TINJAUAN TEORITIS MANAJEMEN KONFLIK SOSIAL DAN HUKUM

Penulis:Soni A. Nulhaqim, Muhammad Fedryansyah, Eva Nuriyah Hidayat,

Widati Wulandari, Maulana IrfanEditor:

Lailla Khusnul KhotimahPerancang Isi:Halim IlyasinDesain Kover:Halim Ilyasin

Cetakan Pertama: Maret 2020

PANDIVA BUKUMidClass Outlet

Gang Puntodewo No. 163 D, Jaranan, Kanoman, BanguntapanBantul, Daerah Istimewa Yogyakarta 55198

Page 5: Soni A. Nulhaqim

iv

Pengantar

S tudi tentang konflik dan resolusi konflik semakin digandrungi, baik oleh praktisi maupun akademisi. Peristiwa yang berkaitan dengan konflik semakin

marak terjadi. Padahal, di sisi lain, kehidupan harmonis sangat didambakan. Kondisi ini semakin memperkuat fakta bahwa masyarakat memiliki dua wajah, yaitu konflik dan harmoni. Akademisi bergerak untuk meneliti fenomena tersebut dengan

Page 6: Soni A. Nulhaqim

v

tujuan menemukan pemikiran baru dan model intervensinya, sedangkan praktisi berusaha membuat kebijakan, program dan proyek percontohannya dalam penanggulanan konflik sosial. Dari beragam konflik, tulisan ini mengangkat konflik sosial dilihat dari dua perspektif, yaitu hukum dan kesejahteraan sosial, serta konflik agraria yang paling banyak dijumpai di Indonesia.

Pada Bab 1 akan diuraikan bahwa dalam perjalanan peradaban manusia, tidak sedikit konflik yang terjadi, baik konflik perorangan maupun konflik antar negara. Konflik dalam berbagai aspek kehidupan dapat dikaji dari peristiwa terjadinya konflik, pemicu konflik, maupun dampak dari konflik itu sendiri. Konflik muncul akibat pola interaksi antar manusia di lingkungannya. Manakala interaksi antar manusia terjadi, akan muncul dinamika kehidupan antar manusia.

Pada Bab 2 akan diuraikan pemahaman terhadap konflik, penyajian konflik yang dianggap sebagai realitas dalam kehidupan manusia, dan beberapa definisi konflik. Pembahasan Bab 3 fokus pada pembahasan kebijakan dan perundang-undangan hukum Indonesia. Diuraikan juga pentingnya Undang-Undang Agraria, UUPA sebagai Hukum Agraria Nasional, dan masalah-masalah dan Solusi UUPA. Hukum berperan penting dalam proses penyelesaikan konflik, seperti masalah jumlah tanah yang terbatas yang mengakibatkan perebutan hak atas tanah, kemudian memicu terjadinya konflik sengketa tanah. Hukum bertujuan menciptakan keadilan, ketertiban, kemakmuran, dan kebahagiaan.

Page 7: Soni A. Nulhaqim

vi

Bab 4 membahas manajemen penanganan konflik sosial dari perspektif hukum, pembahasan konflik, serta teori-teori mengenai tujuan hukum dan model keadilan restoratif. Bab 5 fokus pada pembahasan manajemen penanganan konflik sosial dalam kesejahteraan sosial, konflik sosial, tipe konflik, serta konflik dari perspektif kesejahteraan sosial.

Tulisan ini memerlukan penyempurnaan lebih lanjut, baik dari tinjauan teori maupun kasus-kasus yang relevan. Namun, akhirnya penulis memberanikan diri untuk menerbitkannya dengan tujuan untuk menambah khazanah pengetahuan tentang konflik dan penanganannya. Kritik dan saran yang bersifat konstruktif sangat dinantikan dan tentunya menjadi bekal saat melengkapi tulisan ini. Terima kasih kepada para kolega yang tidak pernah lelah untuk memotivasi dan menyemangati agar selalu berkarya dan berkarya. Semoga Allah SWT menjadikan tulisan ini sebagai ilmu yang bermanfaat dan memberikan berkah kepada penulis dan para pembaca.

Salam Hangat,

Penulis

Page 8: Soni A. Nulhaqim

vii

Daftar Isi

Pengantar.....iv

Daftar Isi.....vii

BAB 1Pendahuluan.....1

BAB 2Memahami Konflik.....5

Page 9: Soni A. Nulhaqim

viii

BAB 3Kebijakan dan Perundang-undangan Hukum Indonesia.....9

A. PENTINGNYAUNDANG-UNDANGAGRARIA 11B. UUPASEBAGAIHUKUMAGRARIANASIONAL 13C. MASALAH-MASALAHDANSOLUSIUUPA 16

BAB 4Manajemen Penanganan Konflik Sosial dalam Perspektif Hukum.....18

A. HUKUMDANMANAJEMENKONFLIK 19B. RESTORATIVE JUSTICE SEBAGAI REAKSI ATAS KONFLIK

SOSIAL 28C. KEWENANGAN DISKRESIONAL KEPOLISIAN DALAM SISTEM

PERADILANPIDANAINDONESIA 38D. PENANGANAN KONFLIK SOSIAL DALAM HUKUM

INDONESIA 60

BAB 5Manajemen Penanganan Konflik Sosial dalam Kesejahteraan Sosial.....72

A. KONFLIKSOSIAL 73B. KONFLIK SOSIAL DALAM PERSPEKTIF KESEJAHTERAAN

SOSIAL 82

Daftar Pustaka.....87

Tentang Penulis.....93

Page 10: Soni A. Nulhaqim

1

BAB 1

Pendahuluan

M anusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Dalam karya Palutus (195 SM), manusia disebut homo homini lupus. Artinya, manusia sering

menikam manusia lainnya demi alasan kelangsungan hidupnya, baik alasan kekuasaan maupun alasan kesejahteraan bagi bangsanya. Manusia dapat bertindak secara kejam kepada manusia lainnya.

Page 11: Soni A. Nulhaqim

2

Jika melihat sejarah kemunculan konflik antar manusia, konflik telah terjadi di masa Nabi Adam, berawal dari pertarungan yang dilakukan oleh kedua anak Nabi Adam, yaitu Qabil dan Habil. Dalam kisah ini, dapat dikatakan bahwa pertarungan antar Qabil dan Habil menjadi awal terjadinya konflik manusia yang ada di muka bumi.

Dalam perjalanan peradaban manusia, tidak sedikit konflik yang terjadi, baik secara perseorangan maupun antarnegara, dimulai sejak masa kerajaan, sampai pada era peperangan modern yang diakhiri perang dunia kedua. Namun, konflik itu sendiri tidak berakhir begitu saja. Hingga kini, konflik tetap terjadi.

Konflik terjadi karena ketidaknyamanan pihak lain atas situasi yang terjadi atau karena pihak lain ingin memperluas kekuasaan. Konflik muncul sebagai wujud proses dinamika manusia dalam kehidupan. Maka, konflik dapat dilihat dari berbagai aspek kehidupan, baik dari peristiwa terjadinya konflik, pemicu konflik, maupun dampak dari konflik itu sendiri.

Munculnya konflik bisa terjadi sebagai akibat pola interaksi antar manusia di lingkungannya. Manakala interaksi manusia terjadi, akan muncul dinamika kehidupan antar manusia di dalamnya.

Berbagai pola dapat terjadi, berbagai penyebab bisa terjadi, dan berbagai solusi pun bisa terjadi. Pada akhirnya, manusia, baik individu, keluarga, kelompok, komunitas, dan masyarakat dapat membentuk pola kompromi atas dinamika yang terjadi di dalamnya.

Page 12: Soni A. Nulhaqim

3

Dalam berbagai pandangan, konflik dianggap sebagai aktivitas yang merugikan umat manusia. Namun, pandangan lain yang menyatakan bahwa konflik dapat menimbulkan pola konstruktif pun banyak dikemukakan oleh para ahli. Sebagai contoh, konflik sosial dapat menghasilkan sebuah model integrasi sosial dalam masyarakat yang berkonflik. Dengan kata lain, konflik sosial dapat memunculkan harmonisasi sosial dalam kehidupan bermasyarakat.

Gambar 1.1.Warga Yogyakarta yang terdampak sengketa agraria akibat adanya Sultan

dan Pakualam Ground berangkat mencari keadilan ke Ibu Kota, sore ini Jumat (23/9). Mereka akan meminta pemerintah pusat mengembalikan hak

konstitusional setiap warna negara atas kepemilikan tanah(Sumber: merdeka.com)

Page 13: Soni A. Nulhaqim

4

Permasalahan mengenai konflik tanah antara masyarakat Gumuk Pasir dan Sultan Daerah Istimewa Yogyakarta (Sultanat Ground dan Pakualaman Ground) terus berlanjut. Permasalahan ini adalah konflik agraria menyangkut pembangunan bandara New Yogyakarta International Airport (NYIA) yang tentunya tidak terjadi tanpa sebab.

Jika kita melihat permasalahan ini lebih dalam, ada ketidakpastian hukum agraria di Yogyakarta. Indonesia telah memiliki Undang-Undang Pokok Agraria yang tentunya merupakan turunan dari UUD 1945 untuk melegitimasi sertifikat hak atas tanah, termasuk di dalamnya tanah eks swapraja kepada masyarakat, sehingga salah satu konflik yang banyak terjadi di Indonesia adalah konflik kepemilikan tanah.

Memahami konflik tidak cukup dengan melihat satu aspek dan satu perspektif saja, tetapi perlu melihat dari berbagai disiplin ilmu. Sebab, penanganan konflik yang menyeluruh membutuhkan pemahaman multidisipliner agar penanganan resolusi konflik sesuai akar permasalahannya.

Page 14: Soni A. Nulhaqim

5

BAB 2

Memahami Konflik

K onflik merupakan fenomena yang selalu muncul dalam kehidupan masyarakat sebagai realitas yang tidak dapat dihindari dan akan selalu dan

terus terjadi. Menurut Dahrendorf, tokoh pengembang Teori Konflik, dinyatakan bahwa konflik dan konsensus adalah bagian dari dua sisi mata uang dalam kehidupan. Meskipun

Page 15: Soni A. Nulhaqim

6

demikian, apabila konflik tersebut dibiarkan dan tidak dikelola dengan saksama, yang terjadi adalah kerugian bagi kehidupan masyarakat. Akan timbul banyak korban, baik harta atau nyawa, serta tata kehidupan sosial yang tidak aman dan tidak sehat. Konflik merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat.1

Sebagai realitas yang tidak dapat dihindarkan dalam kehidupan manusia, konflik dapat pula dianggap sebagai masalah sosial yang sulit untuk diselesaikan. Pandangan ini memberikan kesan bahwa konflik berbeda dengan masalah sosial lainnya. Oleh karena itu, penanganannya juga membutuhkan metode yang berbeda dengan masalah sosial yang lain. Potensi konflik atau konflik yang terjadi perlu dikelola, sehingga tidak hanya menjadi mudarat, tetapi juga memberi manfaat. Sebagaimana dinyatakan Coser, konflik bersifat fungsional, yaitu untuk melonggarkan ketegangan serta membuka katup penyelamat konflik.2

Melihat pemahaman mengenai konflik tersebut, dapat dikatakan bahwa penanganan konflik memerlukan pemahaman yang komprehensif. Pemahaman tersebut akan mencegah munculnya pola-pola penanganan yang justru akan mengaburkan pokok permasalahan. Pemahaman komprehensif merujuk pada pemahaman konflik yang tidak saja dilihat dari peristiwa konflik yang terjadi, akan tetapi juga

1 Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, hal. 16 2 Coser, Lewis. 1956. The Function Of Social Conflict. New York: Free Press

Page 16: Soni A. Nulhaqim

7

melihat akar masalah konflik dan sistem sosial yang ada di masyarakat.

Pada buku yang ditulis Dean G. Pruitt dan Jeffrey Z. Rubin, Webster mengatakan bahwa istilah “conflict” di dalam bahasa aslinya berarti suatu “perkelahian, peperangan, atau perjuangan” yang berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Kemudian, istilah “conflict” meluas dan tidak hanya terbatas pada konfrontasi fisik, tetapi juga menyangkut aspek psikologis. Konflik hampir ditemukan dalam segala aspek interaksi kehidupan umat manusia.3

Lebih lanjut, Webster memberikan batasan yang lebih luas bahwa konflik berarti persepsi mengenai perbedaan kepentingan (perceived divergence of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dicapai secara simultan.4 Kepentingan yang dimaksud adalah perasaan seseorang mengenai hal yang sesungguhnya diinginkan, kemudian menjadi sentral pemikiran yang melandasi tindakan yang membentuk inti dari sikap, tujuan, dan niat.

Terdapat kepentingan yang bersifat universal, ada pula yang bersifat spesifik. Contoh kepentingan yang bersifat universal antara lain kebutuhan, rasa aman, kebahagiaan, dan kesejahteraan. Kepentingan yang bersifat spesifik contohnya

3 Pruitt, Dean G. dan Jeffrey Z. Rubin.2004. Teori Konflik Sosial. Penerjemah: Helly P. Soetjipto & Sri Mulyantini Soetcipto. Jakarta: Pustaka Pelajar.

4 ibid.

Page 17: Soni A. Nulhaqim

8

dapat dilihat pada kasus Palestina yang ingin memiliki tanah airnya.

Sebelum kepentingan satu pihak bertentangan dengan kepentingan pihak lain, kepentingan-kepentingan tersebut harus diterjemahkan ke dalam suatu aspirasi yang di dalamnya mengandung “tujuan” dan “standar”. Tujuan adalah akhir dari suatu perjuangan, sedangkan standar adalah tingkat pencapaian minimal yang lebih rendah, sehingga orang menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak memadai.

Dalam buku yang ditulis Soerjono Soekanto, Uger tidak memberikan pengertian konflik, tetapi membagi konflik atas tiga bagian, yaitu konflik antara kepentingan pribadi dengan kepentingan sosial, konflik antara kebebasan dengan paksaan, dan konflik antara negara dengan masyarakat. Lebih lanjut, Uger menempatkan studi hukum pada kerangka permasalahan umum dalam teori sosial seperti pada poin 1 sampai dengan 3.5

Rony Hanitjo menjelaskan konflik sebagai gejala yang melekat pada setiap masyarakat, sedangkan setiap masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir. Perubahan sosial yang demikian timbul karena adanya unsur-unsur yang saling bertentangan di dalam masyarakat.6

5 Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press

6 Ronny Hanitijo Soemitro. 1985. Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Remaja Karya

Page 18: Soni A. Nulhaqim

9

BAB 3

Kebijakan dan Perundang-undangan

Hukum Indonesia

T anah adalah sumber kehidupan bagi makhluk hidup, bagi manusia, hewan dan tumbuhan. Kita tahu bahwa makhluk hidup pasti tinggal di atas tanah,

Page 19: Soni A. Nulhaqim

10

tidak terkecuali di lautan yang bagian atasnya terdapat air. Tanah sangat erat hubungannya dengan kehidupan sehari-hari manusia. Bahkan, dapat dikatakan bahwa manusia senantiasa berhubungan dengan tanah, tidak hanya ketika hidup. Bahkan, ketika mati pun manusia masih tetap memerlukan tanah dan masih berhubungan dengan tanah.7

Sejak zaman dahulu kala, banyak terjadi sengketa tanah. Salah satu faktor penyebabnya adalah jumlah tanah yang terbatas. Hal ini mengakibatkan terjadinya perebutan hak atas tanah yang kemudian memicu konflik berupa sengketa tanah yang tidak kunjung selesai.

Manusia merupakan makhluk sosial (zoon politicon) yang saling membutuhkan satu sama lain, sehingga terdapat hubungan timbal balik di antara manusia. Namun, dengan adanya hubungan ini, akan timbul konflik akibat kepentingan yang berbeda-beda. Hukum memegang peranan penting dalam penyelesaian konflik.8

Terdapat pepatah yang mengatakan bahwa dalam masyarakat terdapat hukum yang berkembang. Pada buku “Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan” karangan Profesor Subekti, SH, dinyatakan bahwa hukum mempunyai tujuan yang sangat mulia, selaras dengan tujuan negara. Dalam hal ini, sesuai dengan tujuan Indonesia untuk menciptakan

7 K. Wantjik Saleh. 1982. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 78 Nurnangisih Amriani. 2011. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di

Pengadilan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada, hal. 1.

Page 20: Soni A. Nulhaqim

11

kemakmuran dan kebahagiaan rakyatnya.9 Selain itu, hukum dalam perspektifnya berfungsi sebagai alat untuk melayani tujuan bangsa dalam menciptakan keadilan dan ketertiban, serta aspek-aspek lain yang berguna untuk menciptakan kemakmuran dan kebahagiaan. Harapannya, ketenteraman dapat muncul dalam kehidupan masyarakat yang apabila dilanggar akan menimbulkan kegelisahan.

A. Pentingnya Undang-Undang Agraria

Seperti yang kita ketahui, Indonesia adalah negara yang memiliki banyak sumber daya alam berkat karunia Allah SWT. Elemen ini berfungsi untuk membangun negara Indonesia agar menjadi lebih makmur dan sejahtera dari sebelumnya. Hukum Agraria yang berlaku sekarang seyogianya menjadi sarana untuk mewujudkan mimpi dan tujuan negara. Namun, yang terjadi justru sebaliknya. Penerapan hukum menjadi penghambat bangsa Indonesia untuk mencapai cita-cita jika tidak dilaksanakan dengan benar. Hal ini dapat terjadi karena alasan-alasan berikut.10

1. Hukum agraria yang berlaku saat ini sebagian masih disusun berdasarkan tujuan dan dari sendi-sendi pemerintah penjajah zaman dahulu, sehingga bertentangan dengan kepentingan masyarakat dan

9 Subekti. 1958. Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan. Jakarta: Soeroengan10 Penjelasan Umum UUPA Angka II

Page 21: Soni A. Nulhaqim

12

negara dalam melaksanakan pembangunan negara Indonesia.

2. Hukum agraria memiliki sifat dualisme, yakni dengan adanya peraturan hukum adat di samping peraturan yang ada berdasarkan hukum barat sebagai akibat dari politik-hukum pemerintah jajahan.

3. Masih terdapat anggapan dari masyarakat bahwa hukum agraria tidak mempunyai jaminan kepastian.

Dengan adanya permasalahan di atas, perlu adanya hukum agraria nasional yang dapat menggantikan hukum yang berlaku saat ini, sehingga tidak bersifat dualisme dan dapat menjamin kepastian hukum di Indonesia.11

Tanah sangat penting bagi elemen kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya di muka bumi. Pentingnya tanah yang bermanfaat besar bagi makhluk hidup perlu diatur oleh pemerintah. Regulasi tentang agraria di Indonesia antara lain seperti berikut.

1. Undang-Undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).

2. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 14 tahun 2019.

11 Mertokusumo, Sudikno, 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Liberty, Yogyakarta

Page 22: Soni A. Nulhaqim

13

3. Peraturan Presiden Nomor 20 tahun 2015 tentang Badan Pertanahan Nasional.

4. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2015 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional.

5. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 38 Tahun 2016 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional dan Kantor Pertanahan.

6. Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional Bidang Pertanahan.

7. Peraturan Presiden Nomor 86 tentang Reforma Agraria.

B. UUPA sebagai Hukum Agraria Nasional

Seperti yang kita ketahui, Indonesia merupakan negara hukum, sehingga secara langsung ditegaskan bahwa Indonesia memiliki berbagai karakteristik hukum.12 Hal ini diatur dalam UUD 1945 yang telah menghasilkan berbagai Undang-Undang atau regulasi dari awal kemerdekaan hingga saat ini, salah

12 Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945

Page 23: Soni A. Nulhaqim

14

satunya adalah UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Agraria Indonesia.

Undang-Undang Agraria pada zaman kolonial Belanda tahun 1870 dikenal sebagai Agrarische Wet. Regulasi yang diatur adalah regulasi mengenai jangka waktu penggunaan tanah terhadap penyewa atau pemilik. Hal ini dilatarbelakangi oleh kebijakan pemerintah yang menyatakan bahwa tanah adalah milik pemerintah, sehingga masyarakat hanya mengenal dua kategori hak. Pertama, hak milik pribadi yang memungkinkan masyarakat dapat menggunakan tanah tersebut untuk mendirikan bangunan tempat tinggal. Kedua, hak milik usaha yang memungkinkan masyarakat untuk menggunakan tanah tersebut sebagai peruntukan usaha. Meskipun demikian, hukum ini tetap menguntungkan satu pihak, yakni pemerintahan Belanda.

Regulasi yang menetapkan jangka waktu penyewaan yang panjang bagi perusahaan mempunyai tujuan menarik pihak luar atau pihak asing untuk menanamkan modal di Indonesia. Tujuan utamanya adalah menambah modal dalam mengeksploitasi sumber daya alam dan kekayaan Indonesia.

Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, DPR RI mengesahkan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 tahun 1960 untuk mengganti Agrarische Wet dari pemerintah Belanda. Dengan adanya UUPA, terdapat dua hal yang dilihat dari segi berlakunya, yakni untuk mencabut hukum agraria pada masa pemerintahan Belanda di bidang pertanahan dan membangun hukum agraria nasional. Menurut Boedi Harsono,

Page 24: Soni A. Nulhaqim

15

adanya UUPA membuat perubahan fundamental dalam dunia hukum Indonesia, khususnya hukum bidang pertanahan. Perubahan tersebut mengenai struktur perangkat hukum, dasar-dasar konsep, dan isi.13

Undang-Undang Pokok Agraria memiliki program Panca Agraria yang memberlakukan pembaruan-pembaruan sebagai berikut.

1. Pembaruan hukum agraria berkonsepsi nasional dan pemberian kepastian hukum yang lebih jelas.

2. Penghapusan hak asing dan konsensi pemerintahan Belanda pada bidang agraria.

3. Mengakhiri eksploitasi oleh pemerintah kolonial secara berangsur-angsur.

4. Perombakan pemilikan yang bertujuan untuk mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan dikenal sebagai program landreform.

5. Perencanaan penggunaan sumber daya dan kekayaan negara dengan terencana.

13 Soeprapto. 1986. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktik. Jakarta: Universitas Indonesia Pers

Page 25: Soni A. Nulhaqim

16

C. Masalah-Masalah dan Solusi UUPA

Isi dan karakteristik UUPA memang sudah cukup baik. Namun, pada pelaksanaannya, seringkali ditemukan penyimpangan. Beberapa hal yang menjadi kelemahan regulasi adalah kurangnya sumber daya manusia pelaksana yang membuat UUPA sebagai badan tanpa kepala. Selain itu, pelaksanaan UUPA sering berbenturan dengan Keputusan Presiden yang secara konstitusi berada dalam posisi yang lebih rendah dibandingkan dengan UUPA sendiri.

Terdapat lima masalah agraria yang sering muncul di Indonesia, yakni fungsi sosial tanah (pasal 6), batas maksimum pemilikan tanah (pasal 7), pemilikan tanah absente/guntai (pasal 10), monopoli kepemilikan tanah (pasal 13), dan ketetapan ganti rugi tanah demi kepentingan umum (pasal 18).14

Sebagai contoh, masalah yang terjadi adalah ketidaksesuaian antara das sollen dengan das sein. Dalam bidang agraria Indonesia sering terjadi pelanggaran hukum UUPA pada pasal 7 tentang batas maksimum kepemilikan tanah. Hal ini tentunya menimbulkan ketimpangan dalam kontribusi kepemilikan tanah yang mengakibatkan ketimpangan ekonomi, sosiologis, politis dan lain-lain. Pada akhirnya, masyarakat lapisan bawah yang mayoritas petani memikul beban terberat akibat ketimpangan distribusi kepemilikan tanah.

14 Harsono, Boedi. 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Page 26: Soni A. Nulhaqim

17

Selain itu, muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan kepentingan antara masyarakat. Sebagian masyarakat memandang tanah sebagai ladang penghidupan, namun masyarakat lainnya memandang tanah untuk kegiatan ekonomi berskala besar.

Konflik yang muncul dari perbedaan ini memunculkan ekspansi besar-besaran. Meskipun demikian, dalam kasus ini pemodal lebih diuntungkan karena kebijakan Indonesia lebih condong kepada pertumbuhan ekonomi daripada pemerataan ekonomi. Atas dasar pembangunan, tanah-tanah masyarakat diambil alih oleh para investor atau pemodal.

Untuk mengatasi konflik maka Pengadilan Agraria (PA) dibentuk dan diselenggarakan. Pengadilan Agraria berfungsi untuk mengadili sengketa horizontal dan vertikal khususnya dalam bidang agraria. Pemerintah dan masyarakat pun akan lebih mudah menyelesaikan masalah karena yang kerap terjadi bukan hanya masalah aturan atau undang-undang saja, namun masalah perangkat keras pendukung dari undang-undang beserta sistem negara.

Page 27: Soni A. Nulhaqim

18

BAB 4

Manajemen Penanganan Konflik

Sosial dalam Perspektif Hukum

Page 28: Soni A. Nulhaqim

19

P ada Bab 4 akan diuraikan kajian teoritis mengenai manajemen atau penanganan konflik sosial dari perspektif hukum. Untuk menunjukkan korelasi

antara penanganan konflik sosial dengan hukum, akan dipaparkan konflik serta teori-teori mengenai tujuan hukum. Selanjutnya, akan dikemukakan model keadilan restoratif yang dinilai memberikan maanfaat lebih besar dibandingkan penegakan hukum pidana semata sebagai reaksi terhadap konflik sosial. Terkait model keadilan restoratif, akan dijelaskan mengenai kewenangan diskresional kepolisian yang seyogianya melakukan penegakan hukum pidana. Pada bagian akhir, akan diuraikan cara penanganan konflik sosial dalam hukum positif Indonesia.

A. Hukum dan Manajemen Konflik

Tidak ada satu masyarakat pun yang tidak pernah mengalami konflik antar anggota atau dengan kelompok masyarakat lainnya. Konflik akan hilang bersamaan dengan hilangnya masyarakat itu sendiri. Konflik dilatarbelakangi oleh perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan tersebut menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan, dan sebagainya.

Dengan membawa ciri-ciri individual dalam interaksi sosial, konflik merupakan situasi yang wajar dalam setiap

Page 29: Soni A. Nulhaqim

20

masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi. Sebaliknya, integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.

Konflik sosial yang terjadi umumnya melalui dua tahap, dimulai dari tahap disorganisasi atau keretakan dan terus berlanjut ke tahap disintegrasi atau perpecahan. Timbulnya gejala-gejala disorganisasi dan disintegrasi diakibatkan dari hal-hal berikut.

1. Ketidaksepahaman anggota kelompok tentang tujuan masyarakat yang awalnya menjadi pedoman bersama.

2. Norma-norma sosial tidak membantu anggota masyarakat dalam mencapai tujuan yang telah disepakati.

3. Kaidah-kaidah dalam kelompok yang dihayati oleh anggotanya bertentangan satu sama lain.

4. Sanksi menjadi lemah, bahkan tidak dilaksanakan dengan konsekuen.

5. Tindakan anggota kelompok sudah bertentangan dengan norma-norma kelompok.

Menurut Soerjono Soekanto, terjadinya konflik disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut.15

15 Soerjono Soekanto. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press

Page 30: Soni A. Nulhaqim

21

1. Terdapat perbedaan pendirian atau perasaan antar individu. Setiap manusia adalah individu yang unik. Artinya, setiap orang memiliki pendirian dan perasaan yang berbeda satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan akan sesuatu hal atau lingkungan yang nyata dapat menjadi faktor penyebab konflik sosial. Sebab, dalam menjalani hubungan sosial, seseorang tidak selalu sejalan dengan kelompoknya.

2. Terdapat perbedaan kepribadian anggota kelompok yang disebabkan perbedaan latar belakang kebudayaan. Sedikit banyak, seseorang akan dipengaruhi pola-pola pemikiran dan pendirian kelompoknya yang pada akhirnya memicu konflik karena ada perbedaan individu.

3. Terdapat perbedaan kepentingan atau tujuan di antara individu atau kelompok. Manusia memiliki perasaan, pendirian maupun latar belakang kebudayaan yang berbeda. Oleh karena itu, dalam waktu yang bersamaan, masing-masing orang atau kelompok memiliki kepentingan yang berbeda-beda. Terkadang, seseorang dapat melakukan hal yang sama untuk tujuan berbeda.

4. Adanya perubahan sosial yang cepat yang diikuti perubahan nilai atau sistem yang berlaku dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim terjadi. Tetapi, jika perubahan berlangsung cepat atau bahkan mendadak maka dapat memicu

Page 31: Soni A. Nulhaqim

22

terjadinya konflik sosial. Akan muncul kegoncangan proses-proses sosial di masyarakat, bahkan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang telah ada.

Untuk dapat menyelesaikan konflik yang terjadi di masyarakat, harus diketahui penyebab konflik. Dengan mengetahui sebab, konflik diharapkan bisa segera diselesaikan.

Dalam pandangan teori konflik, masyarakat selalu berada dalam kondisi perubahan dan setiap elemen masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik di masyarakat. Dalam pandangan teori ini juga dikatakan bahwa masyarakat disatukan oleh “ketidakbebasan yang dipaksakan”. Dengan demikian, posisi tertentu di dalam masyarakat mendelegasikan kekuasaan dan otoritas terhadap posisi yang lain. Fakta kehidupan sosial ini mengarahkan Dahrendorf kepada tesis sentralnya bahwa perbedaan distribusi kekuasaan dan otoritas “selalu menjadi faktor yang menentukan konflik sosial sistematis”.

Perbedaan distribusi kekuasaan inilah yang kemudian memunculkan dua kelompok yang berbeda posisi, yakni kelompok dominan dan kelompok pada posisi subordinat. Mereka yang berada pada posisi dominan cenderung mempertahankan status quo sementara, sedangkan yang berada pada posisi subordinat selalu berupaya mengadakan perubahan terus-menerus. Konflik kepentingan dalam suatu kelompok selalu ada sepanjang waktu, setidaknya yang tersembunyi.

Page 32: Soni A. Nulhaqim

23

Konflik sosial dari perspektif hukum merupakan suatu persitiwa yang berdampak pada terganggunya tertib hukum dan perdamaian. Reaksi hukum terhadap konflik sosial menjadi amat penting. Oleh karena itu, perlu pengkajian hukum sebagai reaksi terhadap konflik sosial.

Dalam literatur ilmu hukum, definisi hukum dikembangkan oleh banyak pakar. Sejumlah definisi yang kerap dirujuk dalam literatur hukum Indonesia adalah definisi yang dikemukakan oleh E. Utrecht, C.S.T. Kansil dan Mochtar Kusumaatmadja. Menurut E. Utrecht, hukum adalah petunjuk hidup (perintah dan larangan) yang mengatur tata tertib kehidupan bermasyarakat yang seharusnya ditaati oleh anggota masyarakat yang bersangkutan, karena pelanggaran petunjuk hidup itu dapat menimbulkan tindakan dari pihak pemerintah.

Sejalan dengan definisi tersebut, C.S.T. Kansil menyatakan bahwa hukum mengadakan tata tertib pergaulan manusia sebagai keamanan dan ketertiban terpelihara. Adapun pendapat Mochtar Kusumaatmadja menyatakan bahwa hukum adalah seperangkat asas dan kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat dan meliputi juga lembaga (institusi) dan proses yang mewujudkan berlakunya kaidah tersebut dalam kenyataan.

Berangkat dari berbagai definisi hukum yang ada, berkembang sejumlah teori mengenai tujuan hukum. Secara sederhana, teori yang menjelaskan tentang tujuan hukum dapat dikelompokkan sebagai berikut.

Page 33: Soni A. Nulhaqim

24

1. Teori Etis (Keadilan)

Menurut teori etis (etische theorie), hukum semata-mata bertujuan mewujudkan keadilan. Teori ini pertama kali dikemukakan oleh filsuf Yunani, Aristoteles, dalam karyanya “Ethica Nicomachea” dan “Rhetorika” yang menyatakan bahwa hukum mempunyai tugas yang suci, yaitu memberi kepada setiap orang yang ia berhak menerimanya.16

Teori etis juga mengajarkan bahwa hukum semata-mata menghendaki keadilan, sehingga menurut teori ini, isi hukum semata-mata harus ditentukan oleh kesadaran etis mengenai hal yang adil dan hal yang tidak adil. Berikut ini merupakan jenis keadilan menurut teori etis.

a. Keadilan komutatif, yaitu keadilan yang didasarkan kepada kesenilaian antara prestasi dengan kontraprestasi, antara jasa dengan imbalan jasa dalam hubungan antara warga masyarakat.

b. Keadilan distributif, yaitu keadilan yang memberikan warga kecakapan dan jasanya.

c. Keadilan vindikatif, yaitu dengan memberikan ganjaran dan atau hukuman yang sesuai dengan kesalahan yang dilakukan.

16 Syahrani, Utrecht. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm.20

Page 34: Soni A. Nulhaqim

25

d. Keadilan protektif, yaitu dengan memberikan perlindungan kepada setiap manusia, sehingga tidak seorang pun akan mendapat tindakan sewenang-wenang.

2. Teori Manfaat/Kegunaan (Utility)

Menurut teori ini, hukum bertujuan mewujudkan apa yang bermanfaat atau berguna, yakni kebahagiaan sebanyak-banyaknya untuk orang banyak (the greatest happiness for the greatest number). Penganut teori ini antara lain adalah Jeremy Bentham (tahun 1748-1832), seorang ahli hukum dari Inggris yang terkenal dengan karyanya “Introduction To The Morals And Legislation”. Bentham merupakan pimpinan aliran pemikiran “kemanfaatan.”17 Penganut lainnya adalah John Austin dan J.S. Mill.

Menurut Bentham, hakikat kebahagiaan adalah kenikmatan dan kehidupan yang bebas dari kesengsaraan. Karenanya, maksud manusia melakukan tindakan adalah untuk mendapatkan kebahagiaan yang sebesar-besarnya dan mengurangi penderitaan. Teori ini secara analogis diterapkan pada bidang hukum, sehingga baik buruknya hukum harus diukur dari baik buruknya akibat yang dihasilkan oleh penerapan hukum itu.18

17 Ibid., hlm 2118 Ibid., hlm 22

Page 35: Soni A. Nulhaqim

26

3. Teori Gabungan

Menurut teori gabungan, tujuan hukum adalah mencapai ketertiban dan keadilan. Van Apeldoorn, salah seorang penganut teori ini mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah mengatur pergaulan hidup secara damai dan adil. Hukum menghendaki perdamaian. Perdamaian diantara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan menusia seperti kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan sebagainya terhadap yang merugikan. Van Apeldorn dalam bukunya “Inleiding Tot De Studie Van Her Nederlands Rechts” menyatakan,

“Tujuan hukum adalah untuk mengatur pergaulan hidup seara damai. Hukum menghendaki kedamaian. Kedamaian di antara manusia dipertahankan oleh hukum dengan melindungi kepentingan-kepentingan manusia yang tertentu yaitu kehormatan, kemerdekaan, jiwa, harta benda dan lain sebagainya terhadap yang merugikannya.

Kepentingan individu dan kepentingan golongan-golongan manusia selalu bertentangan satu sama lain. Pertentangan kepentingan-kepentingan ini selalu menyebabkan pertikaian dan kekacauan satu sama lain kalau tidak diatur oleh hukum untuk menciptakan kedamaian. Hukum mempertahankan kedamaian dengan mengadakan keseimbangan antara kepentingan yang dilindungi, dimana setiap

Page 36: Soni A. Nulhaqim

27

orang harus memperoleh sedapat mungkin yang menjadi haknya.”19

Sehubungan dengan hal tersebut, Mochtar Kusumaatmadja mengemukakan bahwa tujuan hukum adalah ketertiban (order). Untuk mencapai ketertiban dalam masyarakat, kepastian dalam pergaulan antar manusia dalam masyarakat harus diusahakan. Di samping ketertiban, tujuan hukum adalah mencapai keadilan isi dan ukurannya disesuaikan menurut masyarakat dan zamannya.

Bellefroid dalam bukunya “Inleiding Tot De Rechtswetenschap In Nederland”, dikatakan bahwa isi hukum harus ditentukan oleh dua asas, yaitu keadilan dan faedah.

Utrecht dalam buku Pengantar Dalam Hukum Indonesia menyatakan bahwa hukum bertugas menjamin kepastian hukum (rechszekerheid) dalam pergaulan manusia. Dalam tugas itu tersirat dua tugas lain, yaitu menjamin keadilan serta memastikan bahwa hukum tetap berguna. Tersimpul pula tugas ketiga, yaitu hukum menjaga agar masyarakat tidak main hakim sendiri (eigenrichting).20

Dari berbagai teori hukum, dapat dicermati bahwa terdapat sejumlah tujuan hukum yang utama, meliputi tujuan

19 Ibid.20 Ibid.

Page 37: Soni A. Nulhaqim

28

menciptakan keadilan, kemanfaatan, kepastian hukum, ketertiban dan perdamaian.

Konflik sosial berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan ketidakpastian hukum apabila tidak mendapat reaksi yang tepat atau memadai. Karenanya, dalam hal konflik sosial, hukum hendaknya tidak hanya berfungsi untuk menjamin kepastian dan mewujudkan keadilan, tetapi juga memberikan manfaat dan mampu mengembalikan perdamaian dan ketertiban (order) dalam masyarakat.

B. Restorative Justice Sebagai Reaksi atas Konflik Sosial

Pada bagian sebelumnya telah dikemukakan sejumlah teori mengenai tujuan hukum, antara lain tentang keadilan, ketertiban, kepastian hukum, serta kemanfaatan. Dipaparkan pula berbagai konsep keadilan yang berasal dari pemikiran teori etis. Berbeda dari konsep keadilan yang telah diuraikan, pada bagian ini akan dipaparkan konsep keadilan restoratif yang hendak mengutamakan pemulihan.

1. Pengertian Restorative Justice

Labelling terhadap pelaku tindak pidana yang telah menjalani proses peradilan pidana dianggap sebagai salah satu penyebab tingginya angka kejahatan. Pengulangan atau residivisme sangat mungkin terjadi apabila pendekatan melalui sistem peradilan pidana

Page 38: Soni A. Nulhaqim

29

semata-mata hanya ditujukan untuk menghukum terpidana, sehingga gagal untuk merehabilitasi pelaku. Lebih buruk lagi, pelaku yang telah menjalani hukuman, dengan adanya labelling akan dijauhi atau dikucilkan oleh masyarakat. Pelaku dianggap sebagai outsider. Dampaknya, subkultur kriminal akan tercipta, sehingga menyebabkan pelaku melakukan kejahatan kembali.

Guna meminimalisir dampak labelling akibat pidana atau hukuman, konsep restorative justice (keadilan restoratif) diterapkan untuk dijadikan alternatif dalam menyelesaikan perkara pidana. Braithwaite memberikan pernyataan berikut.

“the process of restorative justice as a method of bringing together all stakeholders in an undominated dialogue about the consequences of an injustice and what is to be done to put them right is important”.21

Konsep restorative justice didasarkan pada pemulihan kembali hubungan masyarakat rusak akibat tindak pidana melalui proses dialog. Dalam dialog dibahas konsekuensi tindak pidana dan upaya untuk memulihkannya. Penerapan restorative justice dianggap berhasil untuk menyelesaikan masalah kejahatan. Hipotesis terkait keefektifan restorative justice adalah sebagai berikut.22

21 Braithwaite, John. 2002. Restorative Justice and Responsive Regulation. England: Oxford University Press, hal. 12

22 Ibid., hlm. 45

Page 39: Soni A. Nulhaqim

30

a. Restorative justice memulihkan dan lebih memuaskan pihak korban dibandingkan praktik peradilan pidana.

b. Restorative justice memulihkan dan lebih memuaskan pihak pelaku dibandingkan praktik peradilan pidana.

c. Restorative justice memulihkan dan lebih memuaskan pihak masyarakat dibandingkan praktik peradilan pidana.

Merujuk hipotesis efektivitas restorative justice, dapat diuraikan cara berfungsinya restorative justice bagi korban, pelaku, dan masyarakat yang lebih memuaskan dibandingkan praktik peradilan pidana dalam menyelesaikan perkara pidana. Salah satu penyebabnya adalah keterlibatan mereka dalam proses penyelesaian. Pertama, korban tidak akan merasa diabaikan seperti apabila korban terlibat di dalam proses peradilan pidana. Melalui restorative justice, kepentingan korban dan hak korban lebih diakomodasi. Kedua, bagi pelaku, dengan mengakui kesalahan dan memulihkan hak korban, pelaku dapat diterima kembali oleh masyarakat. Terakhir, dengan keterlibatan masyarakat dalam proses penyelesaian, pemulihan pun akan dirasakan oleh masyarakat.

Efektivitas restorative justice juga dijelaskan dengan teori reintegrative shaming. Menurut Braithwaite, definisi dari reintegrative shaming adalah,

Page 40: Soni A. Nulhaqim

31

“disapproval that is respectful of the person, is terminated by forgiveness, does not label the person as evil, nor allows condemnation to result in a master status trait. The theory predicts that reintegrative shaming will result in less offending. Conversely, stigmatizing shaming is not respectful of the person, is not terminated by forgiveness, labels the person as evil, and allows them to attain a master status trait. The theory predicts that this latter type of shaming results in greater levels of offending.”

Menurut Braithwaite, kejahatan adalah perbuatan yang ditentang atau tidak disetujui masyarakat. Akan tetapi, tantangan sebagai reaksi kejahatan dilakukan dengan tetap menghormati pelakunya. Hal ini ditunjukkan dengan memaafkan, tidak melabel pelaku sebagai orang jahat, dan tidak menghujat pelaku. Melalui pendekatan ini, kejahatan atau pelanggaran dapat berkurang.

Kasus ini tidak berlaku apabila rasa malu yang menstigma diberikan kepada pelaku. Sebab, artinya tidak ada pemaafan atas perbuatan pelaku, melabel pelaku, dan menstigma. Pendekatan ini dipercaya akan meningkatkan angka kejahatan.

Reintegrative shaming merupakan respons atas kejahatan yang diuraikan oleh teori republikan dalam kriminologi. Menurut teori tersebut, kejahatan merupakan pengingkaran terhadap kedaulatan personal

Page 41: Soni A. Nulhaqim

32

(denial of personal dominion).23 Hal ini disebabkan lemahnya rasa bersalah yang dimiliki individu (lack of self-sanctioning conscience) dan sifat individualisme atau lemahnya keterikatan dalam masyarakat (lack of communitarianism),24 sehingga respon terhadap kejahatan adalah dengan reintegrative shaming.25

Teori reintegrative shaming dapat diterapkan dalam masyarakat communitarianism dan interdependency, yaitu masyarakat yang memiliki ikatan yang kuat antara individu dan masyarakatnya, serta masyarakat yang saling tergantung satu sama lain.26

Di dalam masyarakat communitarian, konsep reintegrative shaming hubungannya terbagi menjadi pemberian rasa malu (shaming) dan pengintegrasian kembali pelaku ke dalam masyarakat (reintegrative). Akan tetapi, peran negara tetaplah penting untuk mencapai tujuan reintegrative shaming. Sebab, dalam masyarakat communitarian, pemberian rasa malu (shaming) oleh negara menjadi hal yang penting.27 Meskipun demikian, dijelaskan bahwa di dalam masyarakat communitarian, pemberian rasa malu yang oleh masyarakat dapat

23 White, Rob & Fiona Haines. 2000. Crime and Criminology: An Introduction, Second Edition. England: Oxford University Press, hlm.176

24 Ibid., hlm. 17725 Ibid.26 Braithwaite, John. 1989. Crime, Shame and Reintegration. Sydney: Cambridge

University Press, hlm. 8427 Ibid., hlm. 86

Page 42: Soni A. Nulhaqim

33

menjadi lebih besar daripada rasa malu yang diberikan oleh negara. Rasa malu tersebut dapat diberikan oleh tetangga atau keluarga pelaku.28

Selanjutnya, yang terpenting dari reintegrative adalah diterimanya kembali pelaku ke dalam masyarakat serta adanya dukungan dari masyarakat kepada pelaku untuk memperbaiki dirinya meskipun reputasi pelaku sangat buruk. Tugas tersebut biasanya dilakukan oleh keluarga, kerabat, maupun orang-orang yang peduli terhadap pelaku.29

2. Penyelesaian Konflik Sosial Melalui Restorative Justice

Guna menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat, khususnya masalah hukum pidana, tidak semua kejahatan ditangani dengan upaya-upaya yang represif. Perlu melihat asal (nature) kejahatan tersebut dan akar permasalahan yang menyebabkan kejahatan, seperti pada masalah konflik sosial. Untuk menangani permasalahan konflik sosial, alternatif penyelesaiannya adalah dengan mengedepankan keterlibatan para pihak yang memiliki perkara serta pembentukan masyarakat disamping penyelesaian secara represif.

28 Ibid.29 Ibid., hlm. 87

Page 43: Soni A. Nulhaqim

34

Konflik sosial diartikan sebagai perseteruan dan/atau benturan fisik dengan kekerasan antara dua kelompok masyarakat atau lebih yang berlangsung dalam waktu tertentu dan berdampak luas, yang mengakibatkan ketidakamanan dan disintegrasi sosial sehingga mengganggu stabilitas nasional dan menghambat pembangunan nasional.30 Perseteruan tersebut dapat disebabkan oleh banyak hal. Berdasarkan Pasal 5 UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik, konflik sosial dapat terjadi karena hal-hal berikut.

a. Permasalahan yang berkaitan dengan politik, ekonomi, dan sosial budaya.

b. Perseteruan antar umat beragama dan/atau inter umat beragama, antar suku, dan antar etnis.

c. Sengketa batas wilayah desa, kabupaten/kota, dan/atau provinsi.

d. Sengketa sumber daya alam antar masyarakat dan/atau antar masyarakat dengan pelaku usaha, atau

e. Distribusi sumber daya alam yang tidak seimbang dalam masyarakat.

Melihat penyebab konflik sosial, Indonesia bersama masyarakatnya yang heterogen dengan sumber daya

30 Pasal 1 angka 1 UU No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Page 44: Soni A. Nulhaqim

35

alam yang melimpah sangat rentan mengalami konflik sosial. Penanganan yang tepat menjadi kunci utama untuk mencegah dampak yang timbul, yaitu disintegrasi sosial, sehingga upaya reintegrasi menjadi kunci penyelesaian konflik sosial.

Salah satu pendekatan yang dapat menjelaskan upaya untuk reintegrasi pasca konflik adalah peacemaking criminology dan restorative justice. Pendekatan dengan memahami nilai-nilai yang diuraikan dalam kedua pendekatan tersebut digunakan untuk mendapatkan alternatif penyelesaian konflik sosial. Peacemaking criminology fokus pada penyembuhan (healing) dan pengampunan (forgiveness) daripada pembalasan (retribution) dan kekerasan (violence).31 Di dalam perspektif peacemaking criminology, untuk membuat lebih efektif maka kebaikan dan integritas tiap individu dilibatkan dalam tindakan-tindakan kolektif dan memberikan harapan bahwa institusi-institusi, serta masyarakat dapat bertransformasi dan secara efektif dapat menentukan permasalahan-permasalahan seperti kejahatan, sistem peradilan pidana, dan penghukuman.32

Peacemaking berpusat pada suatu ide bahwa kejahatan adalah suatu penderitaan (suffering),

31 Klenowski, Paul M. 2009. Peacemaking Criminology: Etiology of Crime or Philosophy of Life. Contemporary Justice Review. 12(2), hlm. 218

32 Braswell, Michael, Johm Fuller, dan Bo Lozoff. 2015. Corrections, Peacemaking, and Restorative Justice: Transforming Individuals and Institutions. USA: Routledge, hlm.29

Page 45: Soni A. Nulhaqim

36

sehingga untuk mengakhirinya maka penderitaan tersebut juga harus diakhiri. Penderitaan dapat berada pada level individu atau masyarakat.33 Sebelum dapat menghilangkan penderitaan orang lain, seseorang harus memahami sumber penderitaan yang terdapat dalam dirinya terlebih dahulu. Guna menghilangkan penderitaan tersebut, semua pihak terkait harus terlibat di dalam proses dan timbulnya kesadaran berdasarkan metode serta kebijakan-kebijakan yang baru dan efektif untuk menyelesaikan permasalahan hukum dan keadilan.34

Inisiatif-inisiatif untuk menerapkan konsep peacemaking berakar pada ide-ide restorative justice yang merupakan suatu bentuk keadilan dengan melihat kesalahan pelaku. Pada saat yang bersamaan, diakui pula pemikiran serta opini korban dan masyarakat tentang hukuman yang sepatutnya.35 Di beberapa negara, konsep restorative justice telah diadopsi dan menjadi alternatif penyelesaian perkara pidana.

Pada prinsipnya, konsep restorative justice merupakan suatu metode penyelesaian pelanggaran dengan melibatkan para pemangku kepentingan (stakeholders) melalui dialog yang seimbang antar pihak dan untuk mengembalikan keadilan seperti sediakala.36

33 Ibid.34 Ibid.35 Klenowski, Paul M. Op.Cit., hlm. 21936 Braithwaite, John. 1989. Crime, Shame and Reintegration. Sydney: Cambridge

University Press, hlm. 12

Page 46: Soni A. Nulhaqim

37

Metode ini dapat tercapai melalui upaya-upaya seperti mediasi antara pelaku dan korban. Mediasi dilakukan untuk mengembalikan hubungan antara korban dan pelaku serta masyarakat. Nilai-nilai yang baik dapat terwujud melalui mediasi, antara lain saling memaafkan, memperbaiki kerusakan atau kerugian, dan rekonsiliasi.37

Beberapa contoh penerapan pendekatan restorative justice menuju peacemaking adalah penyelesaian perang sipil di Bougainville (terkait upaya pemisahan pulau ini dari Papua New Guinea dan perseteruan antara faksi-faksi lokal yang berbeda). Penyelesaian diinisiasi oleh PEACE Foundation Melanesia dengan memberikan pelatihan untuk mediasi, yang pada akhirnya diharapkan menghasilkan 800 mediator berbasis desa yang aktif. Fungsi mediator adalah untuk menyelesaikan konflik pasca perang sipil. Hasilnya, masyarakat Bougainville pulih menggunakan pendekatan restorative justice dengan mengambil salah satu prinsip Melanesia, yaitu prinsip wan bel (“one belly”) atau rekonsiliasi.38

Konsep restorative justice pun sebenarnya telah diadopsi melalui program-progam pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan konflik sosial. Program-program yang dilakukan antara lain melalui:39

37 Ibid.38 Ibid., hlm. 177.39 Wawancara dengan H. Moerjono, Kepala Bidang Kewaspadaan Daerah Kesbangpol

Provinsi Jawa Barat, dilakukan pada hari Kamis, 26 Maret 2015

Page 47: Soni A. Nulhaqim

38

a. Forum Ketahanan Bangsa untuk pencegahan konflik. Masyarakat diminta untuk mengidentifikasi potensi konflik di daerah mereka masing-masing dan menemukan solusinya melalui dialog terbuka.

b. Program Forum Komunikasi Masyarakat

c. Forum Pembauran Kebangsaan

d. Forum Kerukunan Umat Beragama

e. Forum Kewaspadaan Dini Masyarakat

f. Komite/Komunitas Intelijen Daerah

C. Kewenangan Diskresional Kepolisian dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Mengacu pada konsep restorative justice di atas, penegakan hukum pidana melalui proses peradilan pidana formal tidak menjadi pilihan utama. Sementara itu, dalam rangkaian proses peradilan pidana, peran kepolisian sebagai pintu masuk ditegakkannya hukum pidana dan penjatuhan pidana perlu dikaji ulang. Berikut pemaparan kajian kewenangan diskresional kepolisian untuk melakukan upaya diversi terhadap peristiwa pidana.

Page 48: Soni A. Nulhaqim

39

1. Kepolisian Sebagai Salah Satu Sub Sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia

Lazimnya, secara operasional, penanggulangan kejahatan dilakukan melalui perumusan norma-norma hukum pidana yang di dalamnya terdapat unsur substansif, struktural dan kultural masyarakat tempat sistem hukum pidana diberlakukan. Sistem hukum pidana yang berhasil dirumuskan selanjutnya akan bekerja secara operasional melalui Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System).40

Di dalam Sistem Peradilan Pidana terkandung gerak sistemik dari sub sistem pendukungnya, yaitu Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Koreksi (Lembaga Pemasyarakatan), serta Advokat,41 (yang secara keseluruhan dan merupakan satu kesatuan (totalitas) berusaha menstransformasikan masukan (input) menjadi keluaran (output) tujuan SPP berupa re-sosialisasi pelaku tindak pidana (jangka pendek), pencegahan kejahatan (jangka menegah) dan kesejateraan sosial (jangka panjang).42

40 Muladi. 2002. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, hlm vii

41 Berdasarkan Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, Advokat menjadi salah satu sub sistem dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia.

42 Muladi, Op.Cit.

Page 49: Soni A. Nulhaqim

40

a. Pengertian Sistem Peradilan Pidana

Terdapat beberapa pengertian Sistem Peradilan Pidana menurut para ahli, baik ahli dalam negeri maupun luar negeri, diantaranya:

1) Mardjono Reksodipoetro

Sistem Peradilan Pidana adalah sistem pengendalian kejahatan yang terdiri dari lembaga-lembaga Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Pemasyarakatan Terpidana.43

Dalam kesempatan lain, Mardjono mengemukakan bahwa sistem peradilan pidana (criminal justice system) adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk menanggulangi masalah kejahatan.44 Kata ”menanggulangi” diartikan sebagai pengendalian kejahatan agar berada dalam batas toleransi masyarakat. Selanjutnya, menurut Mardjono, pada asasnya, tujuan sistem peradilan pidana dapat dirumuskan sebagai berikut.45

a) Mencegah masyarakat menjadi objek/korban kejahatan

43 Reksodipoetro, Mardjono. 1993. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.1

44 Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana – Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Binacipta, hlm. 15

45 Ibid.

Page 50: Soni A. Nulhaqim

41

b) Memecahkan kasus kejahatan, sehingga masyarakat puas karena keadilan ditegakkan dan yang bersalah dipidana.

c) Sebagai bentuk terapi prevensi agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi kejahatannya.

Bertolak dari tujuan di atas, Mardjono mengemukakan bahwa terdapat empat komponen dalam sistem peradilan pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan dan Lembaga Pemasyarakatan) yang diharapkan dapat bekerja sama dan membentuk suatu “integrated criminal justice system”. Apabila keterpaduan kerja dalam sistem tidak dilakukan, diperkirakan akan ada tiga kerugian berikut.46

a) Kesulitan menilai sendiri keberhasilan atau kegagalan masing-masing instansi terkait tugas bersama.

b) Kesulitan memecahkan masalah-masalah pokok masing-masing instansi (sebagai sub sistem dari sistem peradilan pidana).

c) Setiap instansi tidak terlalu memperhatikan efektivitas dari sistem

46 Ibid.

Page 51: Soni A. Nulhaqim

42

peradilan pidana secara menyeluruh karena pembagian masing-masing instansi yang kurang jelas.

2) Muladi

Sistem peradilan pidana merupakan suatu jaringan (network) peradilan yang menggunakan hukum pidana sebagai sarana utamanya, baik hukum pidana materiil, hukum pidana formal maupun hukum pelaksanaan pidana.47 Meskipun demikian, kelembagaan substansial harus dilihat dalam kerangka atau konteks sosial. Sifatnya yang terlalu formal apabila hanya dilandasi untuk kepentingan kepastian hukum akan membawa bencana berupa ketidakadilan. Dengan demikian, apa yang dikatakan sebagai precise justice, ukuran-ukuran yang bersifat materiil, yang nyata dilandasi asas-asas keadilan bersifat umum harus benar-benar diperhatikan dalam penegakan hukum.48

b. Sub Sistem Dalam Sistem Peradilan Pidana

1) Kepolisian

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan kepolisian sebagai suatu

47 Muladi, Op.Cit., hlm. 448 Ibid.

Page 52: Soni A. Nulhaqim

43

sub sistem peradilan pidana adalah Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Kepolisian); Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara; Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Tugas Kepolisian yang terkait dengan dan sebagai sub sistem peradilan pidana adalah fungsi penyelidikan (pasal 1 ayat 4 KUHAP, pasal 14 ayat (1) huruf a KUHAP dan UU Kepolisian). Selain polisi, dikenal pula ada pihak lain yang mempunyai kewenangan melakukan penyelidikan, seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) sebagaimana terdapat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 mengenai Pengadilan Hak Asasi Manusia.49

Dalam menjalankan fungsi penyelidikan dan penyidikan, polisi juga dibekali dengan asas-asas hukum pidana formal. Berikut akan dikemukakan matriks terkait dengan asas-asas tersebut.50

49 Sunaryo, Sidik. 2005. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press hlm. 227

50 Ibid., hlm. 228

Page 53: Soni A. Nulhaqim

44

Tabel 5.1Asas Hukum Pidana Formal

Asas UU Kepolisian KUHAP

Sederhana, cepat, biaya murah

Pasal 31 Pasal 50, 51, 110(1), 119, 122

Due Process of Law

Pasal 14 (1) huruf g; 15 (2); 16 (1) huruf 1 dan (2) huruf a; 17; 19 (1)

Pasal 7 (3), 18 (1), 21 (4), 32, 33, 47, 72

Efektif dan Efisien

Pasal 14 (1) huruf j ; 23

Pasal 18 (2), 34, 35, 38 (2), 33, 47, 72

Mekanisme Kontrol Akuntabilitas Publik

Pasal 10; 11; 18 (2); 27; 34; 35; 36; 37

Pasal 7 (2), 18 (3), 21 (2), 25 (1), 29 (3), 29 (4), 29 (7), 30, 95, 96, 31(1), 33 (3,4,5), 36, 47 (1,2), 49, 59, 71, 77, 79, 80, 109 (1,2,3), 110 (2), 124, 115, 77

Persamaan di Muka Hukum ’equality before the law’ semua orang di hadapan hukum sama

Pasal 13; 28 (1)

Pasal 21 (4)

2) Advokat

Advokat adalah orang yang berprofesi memberi jasa hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan yang memenuhi syarat ketentuan Undang-Undang (Pasal 1 ayat 1 Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat [UU Advokat]).

Page 54: Soni A. Nulhaqim

45

Sub sistem Advokat diatur dalam UU Advokat. Kelahiran UU Advokat menjadi filosofis penting dalam upaya mewujudkan profesi Advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab. Di dalam UU Advokat, profesionalisme Advokat didukung Komisi Kode Etik yang mengatur Etika Profesi.

3) Kejaksaan

Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksana putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, serta wewenang lain berdasarkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 mengenai Kejaksaan (selanjutnya disebut UU Kejaksaan).

Sub sistem Kejaksaan diatur dalam UU Kejaksaan. Asas-asas dalam sub sistem tersebut antara lain Asas Lembaga Kejaksaan (pasal 2 ayat (3) UU Kejaksaan), Asas Keseimbangan antara Publik dan Pemerintah, dan Asas Oportunitas.

Dalam UU Kejaksaan mulai dikenal adanya Majelis Kehormatan Jaksa. Berdasarkan Pasal 13 ayat (2) UU Kejaksaan, pengusulan pemberhentian secara tidak hormat dengan

Page 55: Soni A. Nulhaqim

46

alasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e UU Kejaksaan dilakukan setelah jaksa yang bersangkutan diberi kesempatan secukupnya untuk membela diri di hadapan Majelis Kehormatan Jaksa.

4) Pengadilan

Kedudukan lembaga peradilan dewasa ini mengalami pergeseran makna yang signifikan dalam konteks penegakan hukum dan keadilan untuk mewujudkan supremasi hukum. Namun, seiring dengan meningkatnya semangat reformasi di bidang hukum, fluktuasi apresiasi masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan yang benar-benar mandiri sebagai benteng terakhir dalam penegakan hukum dan keadilan menjadi suatu keharusan. Sementara itu, di sisi lain, fenomena degradasi tingkat kepercayaan masyarakat terhadap keberadaan lembaga peradilan semakin menunjukkan bukti bahwa masyarakat mulai mencari alternatif penyelesaian masalah yang dialami.51

Peraturan mengenai Kekuasaan Kehakiman telah diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, mulai dari Undang-Undang Nomor 14 tahun 1970, Undang-Undang

51 Ibid., hlm 231

Page 56: Soni A. Nulhaqim

47

Nomor 35 tahun 1999 mengenai Kekuasaan Kehakiman yang kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

Selanjutnya, mengenai Mahkamah Agung, dibentuk peraturan tersendiri, yakni dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 1985 mengenai Mahkamah Agung, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, dan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.

Saat ini, berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 Tentang Komisi Yudisial (selanjutnya disebut UU KY), dibentuk suatu badan yang bertugas untuk mengawasi perilaku hakim. Badan tersebut adalah Komisi Yudisial.

5) Lembaga Pemasyarakatan

Lembaga pemasyarakatan merupakan bagian terakhir sistem peradilan pidana. Sebagai sebuah tahapan pemidanaan terakhir, sudah seharusnya pada tingkatan ini terdapat berbagai harapan dan tujuan sistem peradilan pidana terpadu yang ditopang pilar-pilar proses pemidanaan, mulai dari lembaga kepolisian,

Page 57: Soni A. Nulhaqim

48

kejaksaan hingga pengadilan. Harapan dan tujuan tersebut dapat berupa aspek pembinaan dari penghuni lembaga pemasyarakatan (LAPAS) yang disebut narapidana.52

Sesuai dengan perubahan nama dari sistem kepenjaraan menjadi sistem kemasyarakatan, terdapat perubahan makna yang mendasar secara paradigmatik terhadap sistem pembinaan yang menjadi patron dari kehadiran LAPAS itu sendiri. Pengaturan mengenai sistem, organisasi, visi, misi dan tujuan dari sistem pemasyarakatan telah diatur dengan lugas dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan (UU LAPAS).53

c. Cara Kerja Sub Sistem Dalam Sistem Peradilan Pidana

Peradilan Pidana sebagai suatu sistem pada dasarnya merupakan open system, yakni suatu sistem yang geraknya untuk mencapai tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang sangat dipengaruhi oleh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia. Oleh karena itu, Sistem Peradilan Pidana dalam geraknya akan

52 Ibid., hlm. 23653 Ibid., hlm. 237

Page 58: Soni A. Nulhaqim

49

selalu mengalami interface (interaksi, interkoneksi dan interdependensi) dengan lingkungannya dalam peringkat-peringkat, masyarakat, ekonomi, politik, pendidikan dan teknologi, serta sub sistem-sub sistem dari sistem peradilan pidana itu sendiri.54

Selanjutnya, kata integrated sangat menarik perhatian bila dikaitkan dengan istilah system dalam the criminal justice system. Hal ini disebabkan istilah system yang seharusnya sudah mengandung keterpaduan (integration and coordination) di samping adanya karakteristik lain, seperti adanya tujuan-tujuan yang jelas dari sistem, proses: input-throughput-output and feedback, sistem kontrol yang efektif, negative-antropy dan sebagainya.55

Keterpaduan gerak sistemik sub sistem peradilan pidana dalam proses penegakan hukum tentu sangat diharapkan pelaksanaannya. Adapun salah satu indikator keterpaduan sistem peradilan pidana adalah ’sinkronisasi’ pelaksanaan penegakan hukum. Sinkronisasi di kalangan sub sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga pemasyarakatan (serta advokat)56 penting untuk diperhatikan dalam

54 Muladi, Op.Cit., hlm. viii55 Ibid., hlm. 156 Ditambahkan oleh penulis berdasarkan UU Advokat

Page 59: Soni A. Nulhaqim

50

kerangka sistem untuk mencapai tujuannya, menanggulangi kejahatan di dalam masyarakat.57

Istilah sinkronisasi mengandung makna keserempakan dan keselarasan. Sinkronisasi dalam hal ini sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem, dapat bersifat fisik dalam arti sinkronisasi struktural, dapat bersifat substansial, dan dapat pula bersifat kultural.

Pada sinkronisasi struktural, keserempakan dan keselarasan dituntut dalam mekanisme administrasi peradilan pidana pada kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Pada sinkronisasi substansial, keserempakan mengandung makna vertikal maupun horizontal terkait hukum positif yang berlaku, sedangkan sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap, dan falsafah yang secara menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.58

Pemahaman terhadap kerangka sinkronisasi di atas sangat penting, mengingat sistem peradilan pidana pada hakikatnya merupakan open system. Selain itu, pengaruh lingkungan masyarakat dan bidang-bidang kehidupan manusia terhadap

57 Ibid., hlm. viii58 Ibid., hlm. 1-2

Page 60: Soni A. Nulhaqim

51

keberhasilan pencapaian tujuannya (jangka pendek resosialisasi, jangka menengah pencegahan kejahatan dan jangka panjang kesejahteraan sosial) juga besar.59

2. Diskresi Kepolisian dalam Penegakan Hukum

Secara konseptual, inti dan arti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan penyerasian hubungan penjabaran nilai-nilai dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantah, serta sikap tindakan sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian dalam pergaulan hidup.60

Dalam kehidupan, manusia mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai hal yang baik dan hal yang buruk. Di dalam penegakan hukum, nilai-nilai tersebut perlu diserasikan, yang selanjutnya memerlukan penjabaran lebih konkret karena nilai-nilai tersebut umumnya bersifat abstrak. Penjabaran terjadi dalam bentuk kaidah-kaidah, dimana dalam hal ini adalah kaidah hukum, baik dalam hukum tata negara (suruhan atau perintah melakukan tindakan-tindakan tertentu ataupun tidak melakukannya), hukum pidana (larangan

59 Ibid., hlm. 260 Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hlm. 5

Page 61: Soni A. Nulhaqim

52

untuk melakukan perbuatan tertentu) dan hukum perdata tentang kaidah yang berisi kebolehan-kebolehan.61 Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman perilaku yang dianggap pantas untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian. Inilah yang menjadi konkretisasi penegakan hukum secara konsepsional.62

Bila kita berbicara mengenai penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya hal tersebut merupakan penerapan diskresi mengenai pembuatan suatu keputusan yang tidak diatur ketat oleh kaidah hukum, tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Sebagaimana yang dikatakan oleh LaFavre, mengutip pendapat Roscoe Pound, pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).63

Istilah diskresi merupakan istilah yang mempunyai banyak arti. Diskresi biasanya mengacu pada suatu kasus, dimana seseorang, subjek suatu peraturan, memiliki kekuasaan untuk memilih berbagai alternatif. Karena peraturan mempunyai aspek ganda maka suatu peraturan dapat mengandung pelimpahan diskresi pada suatu aspek, akan tetapi tidak pada aspek lainnya.

61 Ibid., hlm. 5-662 Ibid., hlm. 6-763 Ibid., hlm. 7

Page 62: Soni A. Nulhaqim

53

Kemungkinan ini menghasilkan empat tipe peraturan formal berikut.64

a. Peraturan yang bersifat pasti dan tetap dari dua segi, dimana publik maupun petugas sama-sama tidak memiliki pilihan.

b. Peraturan yang disebut otorisasi. Peraturan diskresioner ini berlaku bagi publik, tetapi tidak berlaku bagi petugas.

c. Peraturan privilege. Pada peraturan ini, berlaku diskresioner dalam dua segi. Seseorang yang memenuhi ketentuan dapat melaksanakannya atau tidak. Ada juga diskresi di sisi publik. Dalam jenis peraturan ini, secara teknis, pihak pelaksana tidak memiliki hak apa pun. Privilege merupakan hal yang umum dalam sistem hukum, khususnya dalam alokasi barang-barang yang jumlahnya terbatas.

d. Peraturan yang alternatifnya hanya dimiliki petugas.

Seorang penegak hukum, seperti halnya warga masyarakat juga memiliki beberapa kedudukan dan peranan sekaligus, sehingga tidak mustahil bila suatu saat akan timbul konflik. Apabila pada kenyataannya

64 Friedman, Lawrence M. 2009. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Terjemahan oleh M. KHozim. Bandung: Nusa Media, hlm. 42

Page 63: Soni A. Nulhaqim

54

terjadi kesenjangan antara peranan yang seharusnya dengan peranan yang sebenarnya dilakukan maka akan terjadi kesenjangan peranan.65

Apabila membahas penegak hukum, diskresi juga akan turut dibahas. Sebab, di dalam penegakan hukum, diskresi memegang peranan penting. Hal ini disebabkan faktor berikut.66

a. Tidak ada perundang-undangan yang lengkap untuk mengatur semua perilaku manusia.

b. Adanya keterlambatan penyesuaian perundang-undangan dengan perkembangan masyarakat, sehingga menimbulkan ketidakpastian.

c. Kurangnya biaya untuk menerapkan perundang-undangan yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang.

d. Adanya kasus-kasus individual yang memerlukan penanganan secara khusus.

Menurut Atmosudirdjo, diskresi diperlukan sebagai pelengkap dari Asas Legalitas. Atmosudirdjo juga membedakan diskresi menjadi diskresi bebas dan diskresi terikat. Pada diskresi bebas, undang-undang hanya menetapkan batas-batas dan administrasi. Negara bebas mengambil keputusan apa pun asalkan

65 Soerjono Soekanto, Op.Cit., hlm. 2166 Ibid., hlm. 21-22

Page 64: Soni A. Nulhaqim

55

tidak melanggar batas-batas. Pada diskresi terikat, undang-undang menerapkan beberapa alternatif dan administrasi. Negara bebas memilih salah satu alternatif.67

Penegak hukum sebagai golongan panutan dalam masyarakat hendaknya memiliki kemampuan-kemampuan tertentu sesuai aspirasi masyarakat. Para penegak hukum dituntut untuk dapat berkomunikasi dan mendapatkan pengertian dari golongan yang dituju, disamping harus dapat menjalankan peranan yang dapat diterima mereka.68 Selain itu, penegak hukum sebagai golongan panutan juga harus dapat memanfaatkan unsur-unsur pola tradisional tertentu, sehingga menggairahkan partisipasi golongan yang dituju ataupun masyarakat luas. Golongan panutan (penegak hukum) juga harus dapat memilih waktu dan lingkungan yang tepat dalam memperkenalkan norma-norma ataupun kaidah-kaidah hukum baru dan memberlakukan keteladanan yang baik.69

Bila berbicara kewenangan untuk melakukan diskresi, terdapat teori tentang kewenangan membuat keputusan yang hanya dapat diperoleh dengan cara berikut.70

67 Ibid., hlm. 2268 Ibid., hlm. 3469 Ibid.70 Hadjon, Philipus M. dkk. 2001. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia.

Yogyakaryta: Gadjah Mada University Press, hlm. 130.

Page 65: Soni A. Nulhaqim

56

a. Atribusi, yaitu wewenang yang melekat pada suatu jabatan.

b. Delegasi, yaitu adanya pemindahan atau pengalihan suatu kewajiban yang ada. Adapun pengertian-pengertian atribusi dan delegasi adalah alat-alat untuk membantu kewenangan suatu badan. Artinya, untuk atribusi dan delegasi, kewenangan membuat keputusan harus didasarkan pada suatu undang-undang formal.

c. Mandat, tidak ada sama sekali pengakuan kewenangan atau pengalihtanganan kewenangan.

Selanjutnya, apabila berbicara mengenai wewenang kepolisian untuk melakukan diskresi, dasar untuk melakukan proses tersebut diatur dalam Pasal 18 UU Kepolisian yang menyatakan bahwa:

(1) Untuk kepentingan umum, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak menurut penilaiannya sendiri.

(2) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), hanya dapat dilakukan dalam keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan serta Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Indonesia.

Pada penjelasan UU Kepolisian juga dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “bertindak menurut

Page 66: Soni A. Nulhaqim

57

penilaiannya sendiri” adalah suatu tindakan yang dapat dilakukan oleh anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dengan mempertimbangkan manfaat serta risiko tindakan dan betul-betul untuk kepentingan umum.

Pada pelaksanaan proses diskresi, penegak hukum, yaitu kepolisian tentunya akan mendapat hambatan-hambatan tertentu, seperti.71

a. Keterbatasan kemampuan untuk menempatkan diri dalam peranan pihak lain dengan siapa penegak hukum tersebut berinteraksi.

b. Tingkat aspirasi yang relatif belum tinggi.

c. Keinginan yang sangat terbatas untuk memikirkan masa depan, sehingga sangat sulit membuat suatu proyeksi atas sebuah permasalahan.

d. Belum adanya kemampuan untuk menunda pemuasan suatu kebutuhan tertentu, terutama kebutuhan materiil.

e. Kurangnya daya inovasi yang sebenarnya merupakan pasangan konservatisme.

Hambatan-hambatan tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan cara mendidik, melatih dan membiasakan diri penegak hukum untuk mempunyai sikap-sikap sebagai berikut.72

71 Ibid., hlm. 24-2572 Ibid., hlm. 25-26

Page 67: Soni A. Nulhaqim

58

a. Sikap terbuka terhadap perkembangan terkini. Dalam hal ini, berarti menghilangkan prasangka buruk terhadap hal-hal baru atau hal-hal yang berasal dari luar sebelum dicoba dan diketahui manfaatnya.

b. Selalu siap untuk menerima perubahan-perubahan setelah menilai kekurangan-kekurangan yang ada pada saat itu.

c. Peka terhadap masalah-masalah yang terjadi di sekitar dengan dilandasi kesadaran bahwa persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan dirinya.

d. Selalu mempunyai informasi dan data selengkap mungkin mengenai pendirian ataupun pendapatnya.

e. Orientasi ke masa kini dan masa depan yang sebenarnya merupakan suatu urutan.

f. Menyadari potensi-potensi yang ada di dalam dirinya dan percaya bahwa potensi-potensi tersebut dapat dikembangkan.

g. Selalu berpegang pada perencanaan dan tidak pasrah pada nasib yang buruk.

h. Percaya pada kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam meningkatkan kesejahteraan umat manusia.

Page 68: Soni A. Nulhaqim

59

i. Menyadari dan menghormati hak, kewajiban, maupun kehormatan diri sendiri atau pihak-pihak lain.

j. Berpegang teguh pada keputusan-keputusan yang diambil atas dasar penalaran dan perhitungan yang mantap.

Apabila penjabaran di atas adalah mengenai cara-cara penegak hukum untuk mengatasi hambatan yang muncul saat ataupun setelah melaksanakan kewenangannya diskresi, selanjutnya Lawrence Friedman mengungkapkan bahwa setidaknya terdapat tiga syarat untuk dapat mengontrol diskresi, yaitu:73

a. Harus ada aturan yang mengatur mengenai hal tersebut. Artinya, harus ada sumber tertentu yang menyatakan dengan jelas dan lugas mengenai apa saja yang harus dikerjakan oleh penegak hukum tersebut. Hal ini dikarenakan diskresi berkembang dari peraturan-peraturan yang kabur, sehingga terbuka untuk ditafsirkan.

b. Harus ada suatu sistem komunikasi dalam hubungan horizontal (ke atas dan ke bawah) untuk merujuk suatu peraturan kepada penegak hukum (dalam hal ini polisi yang akan melakukan diskresi) dan mengkomunikasikan peraturan-

73 Lawrence M. Friedman, Op. Cit., hlm. 49-50

Page 69: Soni A. Nulhaqim

60

peraturan tersebut serta mencari tahu cara kerja peraturan sehingga dapat dilaksanakan.

c. Harus ada cara tertentu untuk menjaga agar penegak hukum tetap berada pada jalurnya. Tujuannya, untuk memastikan kepatuhannya pada peraturan. Hal ini terkait “reward and punishment” walaupun mungkin seorang atasan dapat menemukan cara untuk memunculkan sikap patuh dari bawahannya secara sukarela.

Metode dan kondisi ini hanyalah teknik-teknik untuk mereduksi diskresi dalam kasus khusus dari tema yang lebih umum, yaitu “bagaimana membuat, mempengaruhi, ataupun mengubah perilaku hukum”. Akan tetapi, karena para penegak hukum dilengkapi dengan diskresi luas yang menjadi ciri umum dalam kehidupan modern, permasalahan akan menjadi lebih rumit dan lebih akut.74

D. Penanganan Konflik Sosial dalam Hukum Indonesia

Konflik sosial merupakan ancaman nyata bagi bangsa Indonesia. Kenyataan kemajemukan rakyat Indonesia dari segi suku, agama, ras dan budaya, kondisi perekonomian yang belum stabil, ketimpangan-ketimpangan sosial di

74 Ibid., hlm. 50

Page 70: Soni A. Nulhaqim

61

berbagai wilaya, serta dinamika politik transisional menjadikan Indonesia rentan mengalami konflik sosial.

Sejarah menunjukkan bahwa kemajemukan masyarakat berpengaruh terhadap terjadinya sejumlah konflik sosial berskala besar di Indonesia. Konflik di Poso dan Maluku antara umat Islam dan Kristiani, konflik di Sampit antara antara suku Dayak dan Madura, kekerasan terhadap etnis Cina terutama di Jakarta dan Solo, kekerasan terhadap penganut Ahmadiyah di berbagai wilayah di Jawa Barat, serta berulangnya konflik antara kelompok masyarakat di Aceh dan di Papua dengan aparat negara merupakan contoh nyata konflik masif yang terjadi di Indonesia.

Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal mengemukakan bahwa penyebab konflik sosial di Indonesia meliputi kesenjangan sosial-ekonomi, perebutan sumber daya alam, dan distorsi kebijakan konflik.75 Sementara itu, dalam laporan hasil penelitian LIPI, disebutkan bahwa penyebab konflik sosial di Indonesia dapat dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok faktor, yakni: distorsi kebijakan publik, patologi birokrasi, kesenjangan sosial ekonomi, perebutan sumber daya alam, masalah identitas adat dan kebudayaan, masalah penegakan hukum dan keadilan, serta disfungsi aparat keamanan.76

75 Ade Indonesia, Penanganan Konflik Sosial, Kompasiana 24 Desember 2013, <http://www.kompasiana.com/ade_indonesia/penanganan-koflik-sosial_ 552e59166ea834bc4f8b458f>

76 Lan, Tung Ju dkk. 2013. Kerangka Kerja Pencegahan Konflik Sosial di Indonesia: Strategi an Tindakan Penanganan Isu Konflik. Jakarta: LIPI Press, hlm. 2.

Page 71: Soni A. Nulhaqim

62

Distorsi kebijakan publik adalah kebijakan publik yang dibuat tanpa mengindahkan kepentingan umum serta tanpa didasari fakta objektif dan kebijakan publik yang memberikan keuntungan pada sekelompok masyarakat tertentu. Patologi birokrasi digambarkan sebagai penempatan jabatan publik yang tidak didasarkan pada profesionalitas, produktivitas kerja dan prestasi, tetapi didasarkan atas preferensi subjektif dan kepentingan politik/elite tertentu. Kesenjangan sosial ekonomi dapat terjadi akibat disparitas pembangunan antar daerah, kebijakan yang terlalu memihak pada pengelolaan sumber daya alam skala besar, dominasi kelompok tertentu di sektor ekonomi formal, serta bertambahnya jumlah kelompok miskin/marjinal pada sektor ekonomi informal.

Perebutan sumber daya ekonomi disebabkan oleh berbagai hal, seperti terbatasnya jumlah sumber daya ekonomi yang tidak dapat diperbarui, tidak meratanya potensi daerah, pengabaian situasi lingkungan, serta kebutuhan dan partisipasi masyarakat lokal dalam kebijakan pengembangan sumber daya alam. Masalah identitas adat dan kebudayaan digambarkan muncul sebagai akibat kegagalan pembentukan identitas nasional serta lemahnya pencegahan perkembangan politik identitas oleh negara. Distorsi penerapan hukum dijelaskan sebagai ketidakmampuan negara, lembaga peradilan, dan penegak hukum dalam menyelesaiakan kasus-kasus sengketa yang juga dipengaruhi oleh faktor perilaku korupsi aparatnya. Disfungsi aparat keamanan terjadi

Page 72: Soni A. Nulhaqim

63

akibat penyalahgunaan kekuasaan oleh oknum aparat yang menimbulkan keberpihakan aparat dalam konflik.77

Upaya penanganan masalah konflik sosial terus dilakukan oleh pemerintah, antara lain melalui regulasi. Pemerintah Indonesia pada dasarnya sejak lama telah menerbitkan berbagai regulasi hukum yang berkaitan dengan penanganan konflik sosial, antara lain:

1. Undang-Undang No 23 Prp Tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya, sebagaimana telah diubah dua kali, terakhir dengan UU No 52 Prp Tahun 1960

2. Undang-Undang No 27 Tahun 1997 tentang Mobilisasi dan Demobilisasi

3. Undang-Undang No 56 Tahun 1999 tentang Rakyat Terlatih

4. Undang-Undang No 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

5. Undang-Undang No 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara

6. Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi Undang-Undang

77 Ibid., hlm 2-4.

Page 73: Soni A. Nulhaqim

64

7. Undang-Undang No 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

8. Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang no 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah

9. Undang-Undang No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah

10. Undang-Undang No 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia

11. Undang-Undang No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, dan

12. Undang-Undang No 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial

13. Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Aturan-aturan di atas bersifat parsial dan belum secara komprehensif mengatur penanganan koflik sosial sesuai dinamika dan kebutuhan hukum masyarakat. Dilatarbelakangi pertimbangan di atas dan menyadari dampak buruk konflik sosial bagi stabilitas nasional dan pembangunan nasional, tahun 2012 Pemerintah menerbitkan Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial (Undang-Undang No 7 Tahun 2012).

Page 74: Soni A. Nulhaqim

65

Agar norma yang diatur dalam Undang-Undang Penanganan Konflik sosial dapat beroperasi, diterbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. PP ini mengatur lebih jauh ketentuan pencegahan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, bantuan penggunaan dan kekuatan TNI, pemulihan pasca konflik, peran serta masyarakat, pendanaan penanganan konflik, serta monitoring dan evaluasi.78

Seperti halnya peraturan perundang-undangan lainnya, peraturan di atas terbit berlandaskan kajian filosofis, sosiologis, maupun yuridis.79 Argumentasi tiga sudut pandang di atas merupakan landasan pemikiran adanya kebutuhan terhadap suatu peraturan baru.

Argumentasi filosofis lahirnya undang-undang ini adalah kehendak Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa tanpa adanya gangguan konflik antar kelompok dan golongan, juga melindungi bangsa Indonesia yang terdiri dari beragam suku bangsa, agama dan budaya, termasuk memberikan jaminan rasa aman dan bebas dari rasa takut dalam rangka terwujudnya kesejahteraan umum. Terakhir, berkaitan pula dengan tanggung jawab negara untuk memberikan perlindungan,

78 Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

79 Penjelasan Umum Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Page 75: Soni A. Nulhaqim

66

pemajuan, penegakan dan pemenuhan hak asasi. Upaya yang ditempuh adalah dengan menciptakan suasana aman, tenteram, damai dan sejahtera sebagai wujud hak setiap orang atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda di bawah kekuasaannya. Selain itu, terdapat hak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasinya, bebas dari rasa takut, jaminan terhadap hak hidup secara aman, damai, adil dan sejahtera.80

Argumentasi sosiologis terkait perlunya undang-undang ini adalah pertimbangan bahwa Indonesia dengan segala kemajemukannya yang masih diwarnai ketimpangan pembangunan, ketidakadilan dan kesenjangan sosial, ekonomi, politik, serta kemiskinan yang berpotensi untuk melahirkan konflik-konflik dalam masyarakat. Pertimbangan lainnya adalah Indonesia sebagai negara yang sedang mengalami transisi menuju masyarakat demokratis sangat terbuka bagi tumbuhnya gerakan radikalisme dan pengaruh asing. Hal ini sangat rawan dan berpotensi menimbulkan konflik. Kekayaan sumber daya alam dan daya dukung lingkungan yang semakin terbatas juga dipandang berpotensi menimbulkan konflik.

Konflik menyebabkan hilangnya rasa aman dan menciptakan rasa takut masyarakat, kerusakan lingkungan, kerusakan pranata sosial, kerugian harta benda, korban jiwa dan trauma psikologis (dendam, kebencian, perasaan

80 Ibid.

Page 76: Soni A. Nulhaqim

67

permusuhan), melebarnya segregasi antar pihak yang berkonflik, sehingga dapat menghambat terwujudnya kesejahteraan umum. Oleh karena itu, penanganan konflik hendaknya dilakukan secara komprehensif, integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan, serta tepat sasaran dengan didasarkan pada pendekatan dialogis dan cara damai berdasarkan landasan hukum yang memadai. Dalam mengatasi dan menangani berbagai konflik, pemerintah Indonesia belum memiliki format kebijakan penanganan konflik yang menyeluruh (comprehensive), integratif, efektif, efisien, akuntabel dan transparan serta tepat sasaran dengan mendasarkan pada pendekatan dialogis dan cara damai.81

Dari perspektif yuridis, dikemukakan bahwa peraturan perundang-undangan terkait penanganan konflik yang ada sudah tidak sesuai dengan perkembangan sistem ketatanegaraan, bersifat sektoral, reaktif, serta tidak memadai sebagai landasan hukum penanganan konflik yang komprehensif dan integratif.82 Dengan harapan dapat menjangkau permasalahan konflik sosial lebih komprehensif, ruang lingkup pengaturan dalam Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial ini tidak saja mengatur permasalahan penegakan hukum, tetapi juga aspek pencegahan konflik, penghentian konflik dan pemulihan pasca konflik. Hal ini berbeda dengan aturan yang telah ada, yaitu aturan yang secara parsial mengatur penanganan konflik sosial.

81 Ibid.82 Ibid.

Page 77: Soni A. Nulhaqim

68

Dalam peraturan perundang-undangan di atas disebutkan bahwa pencegahan konflik dilakukan dengan upaya memelihara kondisi damai dalam masyarakat, mengembangkan sistem penyelesaian perselisihan secara damai, meredam potensi konflik, dan membangun sistem peringatan dini.83 Upaya-upaya tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau pemerintah daerah, tetapi juga menjadi tanggung jawab masyarakat.

Berkenaan dengan upaya pencegahan konflik, pemerintah dan pemerintah daerah diberi kewenangan untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan berupa penguatan kerukunan umat beragama, peningkatan forum kerukunan masyarakat, peningkatan kesadaran hukum, pendidikan bela negara dan wawasan kebangsaan, sosialisasi peraturan perundang-undangan, pendidikan dan pelatihan perdamaian, pendidikan kewarganegaraan, pendidikan budi pekerti, penelitian dan pemetaan wilayah potensi konflik dan/atau daerah konflik, penguatan kelembagaan dalam rangka sistem peringatan dini, pembinaan kewilayahan, pendidikan agama dan penanaman nilai-nilai integrasi kebangsaan, penguatan/pengembangan kapasitas (capacity building), pengentasan kemiskinan, desa berketahanan sosial, penguatan akses kearifan lokal, penguatan keserasian sosial, dan bentuk kegiatan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

83 Pasal 6 ayat (1) Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Page 78: Soni A. Nulhaqim

69

Dalam melakukan pencegahan konflik, ditegaskan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah harus mengoptimalkan penyelesaian perselisihan secara damai melalui musyawarah mufakat dengan melibatkan tokoh masyarakat, seperti tokoh agama, tokoh adat dan atau unsur masyarakat lainnya termasuk pranata adat dan pranata sosial.

Penghentian konflik dalam peraturan perundang-undangan meliputi penghentian kekerasan fisik, penetapan status keadaan konflik, tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban, dan bantuan penggunaan serta pengerahan kekuatan TNI. Dalam undang-undang ini, secara tegas dinyatakan bahwa penghentian kekerasan fisik dikoordinasikan dan dikendalikan oleh POLRI, juga melibatkan tokoh masyarakat, tokoh agama, dan/atau tokoh adat. Sementara itu, penetapan status keadaan konflik menjadi kewenangan pemerintah daerah/pusat setelah berkonsultasi dengan DPRD/DPR.

Pengawasan terhadap pelaksanaan penanganan konflik selama status keadaan konflik dilakukan oleh DPR. Sejumlah pembatasan/pelarangan dapat dilakukan oleh pemerintah pada saat status keadaan konflik. Tindakan darurat penyelamatan dan perlindungan korban menjadi tanggung jawab pemerintah yang meliputi:

1. Penyelamatan, evakuasi, dan identifikasi korban konflik secara cepat dan tepat

2. Pemenuhan kebutuhan dasar korban konflik

Page 79: Soni A. Nulhaqim

70

3. Pemenuhan kebutuhan dasar pengungsi, termasuk kebutuhan spesifik perempuan, anak-anak dan kelompok orang yang berkebuthan khusus

4. Perlindungan terhadap kelompok rentan

5. Upaya sterilisasi tempat yang rawan konflik

6. Penyelamatan sarana dan prasarana vital

7. Penegakan hukum

8. Pengaturan mobilitas orang, barang, dan jasa dari dan ke daerah konflik

9. Penyelamatan harta benda korban konflik. Bantuan penggunaan dan pengerahan kekuatan TNI diminta oleh pemerintah (bupati/walikota/gubernur/presiden), bantuan dikoordinasikan oleh Polri.

Pemulihan pasca konflik meliputi upaya rekonsililasi, rehabilitasi, dan rekonstruksi. Upaya-upaya tersebut menjadi kewajiban pemerintah dan pemerintah daerah. Rekonsiliasi dalam undang-undang ditempuh melalui perundingan para pihak secara damai serta pemberian restitusi dan pemaafan. Proses rehabilitasi meliputi pemulihan kondisi psikologis, kondisi sosial-ekonomi, perbaikan lingkungan, penguatan relasi sosial dan kebijakan publik, pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat, peningkatan pelayanan kesehatan, serta pemulihan asset korban.

Dalam undang-undang juga diatur mengenai kelembagaan dan mekanisme penyelesaian konflik, yang

Page 80: Soni A. Nulhaqim

71

intinya mengakui dan mengedepankan fungsi pranata adat dan pranata sosial dalam upaya penyelesaian konflik, disamping fungsi satgas penyelesaian konflik sosial sebagai lembaga ad hoc (terdiri dari unsur pemerintah dan unsur masyarakat) yang dibentuk pemerintah atau pemerintah daerah. Artinya, berdasarkan undang-undang ini, penyelesaian konflik bukan hanya menjadi kewenangan pemerintah melalui pendekatan represif. Sekiranya, penyelesaikan juga didasarkan pada kesadaran adanya kearifan lokal (local wisdom) dalam masyarakat Indonesia.

Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa telah terjadi pergeseran cara pandang penyelesaian konflik sosial, yang sekaligus merupakan peristiwa pidana sedianya mendapatkan reaksi berupa penjatuhan pidana semata. Hal yang diatur dalam Undang-Undang Penanganan Konflik Sosial maupun peraturan pelaksananya menunjukkan kesadaran bahwa upaya represif melalui penjatuhan pidana saja tidak dapat memberikan hasil yang bermanfaat bagi masyarakat. Terlebih, disadari bahwa permasalahan yang menyebabkan munculnya konflik tidak dapat diselesaikan melalui penegakan hukum semata. Artinya, hukum Indonesia di bidang penanganan konflik sosial saat ini dirancang untuk menyelesaikan permasalahan konflik sosial agar lebih komprehensif dan didasarkan pada situasi masyarakat Indonesia.

Page 81: Soni A. Nulhaqim

72

BAB 5

Manajemen Penanganan Konflik

Sosial dalam Kesejahteraan Sosial

Page 82: Soni A. Nulhaqim

73

A. Konflik Sosial

M emahami konflik antar kelompok tidaklah sederhana. Terdapat banyak faktor yang menyebabkan timbulnya konflik antar kelompok.

Konflik dapat muncul karena masalah perekonomian, psikologis (kecemburuan, prasangka), hukum, ekonomi, serta perbedaan identitas kelompok (etnik, agama). Konflik antar kelompok (intergroup) juga bisa terjadi karena masalah politik, agama, etnik, sejarah dan ekonomi.84

Costarelli berpandangan bahwa hubungan antar kelompok harus dilihat dari perspektif kelompok, bukan individu. Setiap individu dalam masyarakat dikelompokkan berdasarkan kategori berbeda, misalnya jenis kelamin, suku, agama, dan pekerjaan. Maka, terbentuk identitas individu yang nantinya dapat membentuk identitas kelompok. Setiap kelompok merasa lebih unggul dari kelompok lain. kelompok menjadi pusat segalanya (etnosentris) dan cenderung besifat in-group serta melihat kelompok lain sebagai musuh. Hal-hal seperti ini berpotensi menimbulkan konflik intergroup.

84 Costarelli, S. 2006. Heldref Publications The Distinct Roles of Subordinate andSuperordinate Group Power, Conflict, and Categorization on Intergroup Prejudice in a Multiethnic Italian Territory. The Journal of Social Psychology. 146(1): 5-13

Page 83: Soni A. Nulhaqim

74

Tajfel and Turner dalam Hewstone & Cairns membedakan tipe konflik intergroup menjadi dua tipe, yaitu:85

1. Objective Vs Subjective Conflict

Konflik objektif merupakan konflik yang memiliki sasaran atau tujuan yang jelas, misalnya kekuasaan, kekayaan dan wilayah. Faktor penyebab konflik objektif biasanya tidak berasal dari faktor psikologis, tetapi lebih mengarah pada faktor sosial, ekonomi, politik, dan struktur sejarah. Konflik subjektif lebih mengarah pada faktor psikologis (prasangka, stereotip). Walaupun berbeda, konflik objektif dan subjektif dapat saling berkaitan. Konflik subjektif dapat bertahan lebih lama.

2. Explicit Vs Implicit Conflict

Konflik terbuka (eksplisit) adalah konflik legitimasi dan institusional berdasarakan peraturan atau norma (kompetisi antar grup atau kompetisi world cup dalam sepak bola). Hal ini berkaitan dengan cara seseorang bersikap dan berperilaku terhadap kelompok lain. Misalnya, perilaku diskriminasi dan sikap prasangka terhadap out group.

85 Hewstone, M. & Cairns, E. 2006. Social psychology and intergroup conflict. http://www.ripon.edu/academics/psychology.hewstone.htm

Page 84: Soni A. Nulhaqim

75

Konflik tersembunyi (implicit) adalah konflik yang mengacu pada perbedaan di dalam kelompok yang diakibatkan ketiadaan institusi yang jelas. Perbedaan dalam kelompok sengaja dihembuskan oleh anggota kelompok sendiri atau dari luar. Padahal, sebenarnya tidak ada hal yang berbeda secara mendasar.

Ditinjau dari penyebab konflik antar kelompok (intergroup), terdapat beberapa penyebab konflik antar kelompok, yaitu:

1. Kepentingan yang Sama

Bila dua kelompok mempunyai kepentingan sama terhadap sesuatu maka timbul persaingan untuk mendapatkannya. Ketika persaingan terjadi, ada upaya-upaya dari setiap kelompok untuk mendapatkan yang diinginkan, sehingga terkadang kelompok menggunakan tindakan-tindakan yang merugikan kelompok lain. Akibatnya, timbul konflik antar kelompok.86

2. Stereotip, Prasangka, dan Diskriminiasi

Menururt Sears, dkk, stereotip, prasangka, dan diskriminiasi merupakan tiga komponen dalam antagonisme kelompok. Pertama, stereotip termasuk komponen kognitif. Stereotip adalah keyakinan tentang

86 Bornstein. 2003. Intergroup Conflict: Individual, Group, and Collective Interests. Personality and Social Psychology Review, 7 (2): 129 – 145

Page 85: Soni A. Nulhaqim

76

sifat-sifat pribadi yang dimiliki orang dalam kelompok yang biasanya berdasarkan kategori sosial. Kedua, prasangka merupakan komponen afektif. Prasangka merupakan salah satu sikap yang cenderung negatif. Ketiga, diskriminasi merupakan komponen konatif. Diskriminasi adalah perlakuan berbeda dari pihak lain berdasarkan oleh keanggotaan kelompoknya.87

3. Sumber Daya

Sumber daya alam menjadi daya tarik yang luar biasa bagi kelompok-kelompok yang ingin mengambil keuntungan dari sumber daya tersebut. Sumber daya yang langka bisa menjadi sumber konflik.88

4. Identitas sosial atau kategori berbeda

Setiap kelompok mempunyai identitas sosial berbeda berkaitan dengan atribut yang dimiliki, seperti ciri-ciri, nilai yang dianut, tujuan, dan norma. Identifikasi sosial sangat berguna untuk proses katagori dan perbandingan sosial.89 Identitas seperti yang telah dijabarkan di atas didasarkan pada anggota yang memiliki kolektivitas besar.

87 Sears, D.O. dkk. 1985. Psikologi Sosial. Alih Bahasa : Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga

88 Swanstrom & Weissmann. 2005. Conflict, Conflict Prevention and Conflict Management and Beyond: A Conceptual Exploration. Uppsala: Central Asia-Caucasus Institute and Silk Road Studies Program

89 Grieve, P. G., & Hogg, M. A. 1999. Subjective uncertainty and intergroup discrimination in the minimal group situation. Personality and Social Psychology Bulletin. 25 (8): 926–940.

Page 86: Soni A. Nulhaqim

77

Kolektivitas bisa didasarkan pada kesamaan yang dimiliki anggota kelompok. Seseorang cenderung menilai homogen kelompoknya dan cenderung menilai kelompok lain berbeda. Perbedaan identitas dapat memicu timbulnya konflik antar kelompok bila tidak ditangani secara cepat dan tepat.

5. Ketidakadilan (Injustice)

Menurut teori keadilan (equity theory), konflik terjadi karena adanya ketidakadilan dalam distribusi yang membuat orang atau kelompok menjadi distress dan frustasi.

6. Perilaku Agresif

Perilaku agresif yang dilakukan suatu kelompok terhadap kelompok lain dapat menimbulkan konflik antar kelompok. Ketika suatu kelompok menyerang kelompok lain maka kelompok yang diserang akan membalas. Hal ini akan bisa berlanjut kepada konflik yang berkepanjangan.

Konflik sosial dapat dipahami melalui teori konflik yang merupakan salah satu teori dalam paradigma fakta. Ritzer menjelaskan bahwa ide pokok dalam teori konflik pada intinya dapat terbagi menjadi tiga pikiran besar: Pertama, bahwa masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai dengan adanya pertentangan terus-menerus di antara

Page 87: Soni A. Nulhaqim

78

unsur-unsurnya. Kedua, setiap elemen akan memberikan sumbangan pada disintegrasi sosial. Ketiga, keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanya disebabkan tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas oleh golongan yang berkuasa.90

Teori struktural yang ditentang oleh teori konflik mengandung tiga pemikiran utama: Pertama, masyarakat berada pada kondisi statis, atau tepatnya berada pada kondisi keseimbangan. Kedua, setiap elemen atau institusi memberikan dukungan terhadap stabilitas. Ketiga, anggota masyarakat terikat secara informal oleh norma-norma, nilai-nilai dan moralitas umum.

Galtung menyatakan bahwa kekerasan adalah perampasan kebutuhan dan termasuk suatu hal yang serius. Salah satu reaksinya adalah kekerasan langsung. Kemudian, tindakan kekerasan dapat dilakukan secara langsung (kekerasan langsung), dapat juga dilakukan tidak langsung, yakni melalui proses struktural (kekerasan struktural) dan kultural (kekerasan kultural). Kausal utama kekerasan ialah dari kekerasan kebudayaan yang melalui kekerasan struktural menuju pada kekerasan langsung.91

90 George Ritzer. 1992. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur oleh Alimandan. Jakarta: Rajawali Press

91 Galtung, J. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka.

Page 88: Soni A. Nulhaqim

79

1. Kekerasan Langsung

Kekerasan langsung adalah kekerasan yang terlihat secara langsung dalam bentuk kejadian-kejadian atau perbuatan-perbuatan (melukai, merusak bangunan dan simbol-simbol lawan, menyiksa dan membunuh). Kekerasan langsung ini mudah diidentifikasi dan terlihat karena merupakan manifestasi dari kekerasan kultural dan struktural.

Kekerasan langsung dapat dibagi menjadi kekerasan verbal dan fisik, dan kekerasan yang merugikan tubuh, pikiran atau jiwa. Semua kombinasi meninggalkan trauma yang mungkin membawa kekerasan atas waktu. Kekerasan aktor atau langsung didefinisikan dalam ruang orang, sosial, dunia dan dikehendaki, oleh individu-individu yang bertindak sendirian atau dalam kolektivitas.

2. Kekerasan Struktural

Kekerasan struktural adalah kekerasan yang disebabkan oleh struktur sosial. Kekerasan ini terbagi dalam politis (represif) dan ekonomis (eksploitatif), didukung oleh penetrasi, segmentasi, fragmentasi dan margilitas struktural. Disamping itu, juga terdapat kekerasan struktural horisontal yang berhubungan terlalu ketat dan terlalu longgar, atau bahkan tak berhubungan. Struktur dapat terlalu dominan (vertikal), terlalu ketat (horisontal) terlalu banyak (keduanya/dan), dan terlalu sedikit/kecil (tidak yang satu, tidak pula yang lain).

Page 89: Soni A. Nulhaqim

80

3. Kekerasan Kultural

Kekerasan kultural adalah kekerasan yang terdapat di dalam kultur (budaya) masyarakat atau orang-orang yang hidup di masyarakat. Kekerasan kultural menjadi potensi konflik kekerasan yang dapat diidentifikasi dalam simbol-simbol budaya seperti: istilah-istilah, peribahasa, mitos, benda budaya dan konsep budaya tertentu. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam simbol-simbol budaya dapat dianggap sebagai pembenaran terhadap konflik atau tindak kekerasan tertentu karena simbol-simbol budaya itu merupakan kristalisasi struktur sosio-kultural masyarakat.

Pengembangan teori konflik sebagai sebuah fenomena sosial mempunyai dimensi yang melahirkan berbagai perspektif dalam melakukan analisis dan mencari solusi. Dimensi konflik perlu dipahami sebagai landasan analisis dalam melakukan resolusi konflik dan membangun perdamaian. Secara umum, setidaknya terdapat tiga pendekatan dalam melihat dimensi konflik. Pertama, pendekatan yang berfokus pada dinamika konflik. Pada pendekatan ini, konflik dilihat sebagai fenomena dinamis dimana reaksi salah satu aktor konflik ditentukan dari aksi lawannya. Fokus ini melihat konflik dalam konsep triangle:

1. Sikap terhadap konflik (conflict attitude)

2. Perilaku konflik (behavior)

3. Konflik itu sendiri dalam bentuk, kontradiksi, atau ketidaksesuaian (incompatibility)

Page 90: Soni A. Nulhaqim

81

Konflik bisa dimulai dari salah satu sudut dari triangle ini, tetapi biasanya ditekankan pada dimensi C. Resolusi konflik dilakukan dengan cara transformasi transendental, melakukan kompromi atau pembatalan.

Resolusi secara transenden artinya berupaya agar tujuan konflik dapat tercapai. Resolusi kompromi artinya semua pihak yang berkonflik harus berkorban untuk tidak menerima seratus persen tuntutannya. Resolusi dengan pembatalan dilakukan dengan menghilangkan tujuan konflik. Dialog dan negosiasi dipandang sebagai salah satu cara. Dalam melakukan dialog dan negosiasi, perlu dilandasi pembangunan kekuatan ekonomi, kekuatan sosial, kekuatan militer dan kekuatan kultural (confidence building measures). Kedua, fokus pada kebutuhan dasar Dalam perspektif ini, konflik dilihat sebagai sebuah fenomena yang dinamis, yaitu sebagai fungsi sosial yang dinamis.

Ada pula konflik yang disebabkan oleh munculnya rasa frustasi akan kebutuhan tertentu. Konflik jenis ini disebut sebagai ‘konflik yang realistik’. Konflik disebabkan oleh ketiadaan mekanisme saluran, misalnya tidak dihargai masyarakat, tidak mempunyai akses pada kekuasaan dan politik. Resolusi konflik diarahkan kepada pemenuhan kebutuhan dasar, yaitu dengan memberikan akses kepada pihak-pihak yang berpotensi konflik. Tetapi, harus disadari bahwa menghentikan kekerasan bukan satu-satunya kepentingan pihak yang tengah berkonflik. Dalam perspektif ini, resolusi konflik menunggu momen yang matang (ripe moment). Peran pihak ketiga adalah mendorong atau

Page 91: Soni A. Nulhaqim

82

mempengaruhi kalkulasi tersebut dengan cara memberikan reward atau punishment.

B. Konflik Sosial dalam Perspektif Kesejahteraan Sosial

Kesejahteraan sosial memiliki makna yang luas dan bergantung sudut pandang mengingat kesejahteraan sosial dapat dilihat sebagai suatu disiplin, keadaan/tujuan, institusi, dan gerakan. Zastrow memandang tujuan kesejahteraan sosial sebagai berikut.

“Fullfill the social, financial, health, and recretional requirements of all individuals ini a society. Social welfare seeks to enhance the social functioning of all age groups, both rich and poor.”92

Ilmu Kesejahteraan Sosial dipandang sebagai suatu ilmu yang mencoba mengembangkan pemikiran, strategi, dan teknik untuk meningkatkan derajat kesejahteraan suatu masyarakat. Sejarah keberadaan Ilmu Kesejahteraan Sosial pada awalnya tidak dapat dilepaskan dari sejarah perjalanan disiplin Pekerjaan Sosial. Kedua disiplin tersebut mempunyai keterkaitan satu dengan lainnya, dimana Pekerjaan Sosial merupakan salah satu disiplin yang berperan dalam pembentukan Ilmu Kesejahteraan Sosial.

92 Zastrow, Charles. 1999. Introduction to Social Welfare Institutions (Social Problems, Services, and Current Issues) 4thEdition. Homewood, Illinois: The Dorsey Press

Page 92: Soni A. Nulhaqim

83

Kesejahteraan sosial sebagai suatu disiplin dijelaskan pula oleh Zastrow sebagai93

“study of agencies, programs, personnel, and policies which focus on delivery of social services to individual, groups, and communities.”

Dari pendapat tersebut, dapat dilihat bahwa kesejahteraan sosial merupakan kajian mengenai lembaga, program dan kebijakan yang menitikberatkan layanan sosial kepada indiviu, kelompok, maupun komunitas. Selain sebagai suatu disiplin, kesejahteraan sosial juga dapat dipandang sebagai suatu kondisi. Kesejahteraan sosial sebagai suatu kondisi yaitu terpenuhinya kebutuhan material, spiritual dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan dirinya, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosial.

Mengacu pada dua pandangan kesejahteraan sosial tersebut, sebagai suatu disiplin dan sebagai suatu kondisi, akan dikaitkan dengan penanganan konflik komunal. Sebagai suatu disiplin, kesejahteraan sosial akan memberikan pemahaman mengenai bagaimana lembaga pelayanan, program-program layanan, maupun kebijakan yang diberikan kepada individu maupun komunitas terkait upaya-upaya penanganan dan penanggulangan konflik. Dalam konteks penanganan konflik, pelayanan sosial dapat menjadi salah satu alternatif yang mendorong terjadinya perubahan sosial di masyarakat, terutama dalam upaya peningkatan keberfungsian sosial

93 Ibid.

Page 93: Soni A. Nulhaqim

84

di masyarakat. Pelayanan sosial tidak hanya upaya untuk memulihkan, memelihara dan meningkatkan keberfungsian sosial individu dan keluarga, tetapi juga usaha untuk menjamin berfungsinya lingkungan sosial, seperti kelompok, organisasi dan masyarakat.

Selain pemahaman mengenai definisi kesejahteraan sosial, dalam praktiknya, kesejahteraan sosial dan pekerjaan sosial juga dilandasi oleh nilai-nilai. Berdasarkan nilai-nilai tersebut, seorang pekerja sosial tidak dapat lepas dari prinsip-prinsip praktik profesi pekerjaan sosial. Nilai-nilai tersebut akan muncul dalam sikap ketika memberikan pelayanan kepada klien. Sikap yang harus dikembangkan oleh pekerja sosial saat melakukan hubungan dengan klien di antaranya adalah:

1. Acceptance, merupakan prinsip pekerja sosial yang fundamental, yaitu dengan menunjukan sikap toleran terhadap keseluruhan dimensi klien. Dalam konteks penanganan konflik, nilai ini akan muncul ketika memahami tindakan yang diambil oleh pelaku maupun korban yang terlibat dalam peristiwa konflik.

2. Non-Judgemental, berarti pekerja sosial menerima klien apa adanya tanpa disertai prasangka atau penilaian. Sikap ini dapat membantu menerima klien (pelaku atau korban dalam peristiwa konflik) dengan segala keadaannya, menilai klien sebagai manusia dengan latar belakang sejarahnya sendiri, tidak menilai perilakunya, dan tidak memaksakan nilai-nilai yang dimiliki oleh pekerja sosial terhadap klien.

Page 94: Soni A. Nulhaqim

85

3. Individualisasi, berarti memandang dan mengapresiasi sifat unik klien.94 Setiap klien memiliki karakteristik kepribadian dan permasalahan yang unik dan berbeda individu lainya. Dalam memahami suatu peristiwa konflik yang terjadi di suatu komunitas, nilai ini akan membantu mengurai faktor-faktor yang menjadi penyebab ataupun pemicu peristiwa konflik yang terjadi.

4. Self Determination, ialah memberikan kebebasan pengambilan keputusan oleh klien.

5. Genuine/Congruence, berarti pekerja sosial sebagai seorang manusia yang berperan apa adanya, alami, tidak memakai topeng, pribadi yang asli dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

6. Mengontrol keterlibatan emosional, berarti pekerja sosial mampu bersikap objektif dan netral. Pekerja sosial harus dapat membedakan mana tanggung jawab dirinya dan tanggung jawab klien dalam memecahkan masalah. Mengontrol respons emosional dapat dilakukan dengan menghindari sikap simpati serta mengedepankan sikap empati.

7. Kerahasiaan (Confidentiality), pekerja sosial harus menjaga kerahasiaan informasi seputar identitas, isi pembicaraan dengan klien, pendapat professional

94 Biestek. 1957. The Casework Relationship. Loyola Pr

Page 95: Soni A. Nulhaqim

86

lain atau catatan-catatan kasus mengenai diri klien. Dalam penanganan konflik, kerahasiaan identitas pelaku maupun korban menjadi prinsip bagi pekerja sosial. Kerahasiaan ini merupakan bagian dari etika dalam praktik pekerjaan sosial.

Page 96: Soni A. Nulhaqim

87

Daftar Pustaka

Amriani, Nurnangisih. 2011. Mediasi Alternatif Penyelesaian Sengketa Perdata di Pengadilan. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada

Atmasasmita, Romli. 1996. Sistem Peradilan Pidana-Perspektif Eksistensialisme dan Abolisionisme. Bandung: Binacipta

Page 97: Soni A. Nulhaqim

88

Biestek. 1957. The Casework Relationship. Loyola Pr

Bornstein. 2003. Intergroup Conflict: Individual, Group, and Collective Interests. Personality and Social Psychology Review, 7 (2): 129 – 145

Braithwaite, John. 1989. Crime, Shame and Reintegration. Sydney: Cambridge University Press

Braithwaite, John. 2002. Restorative Justice and Responsive Regulation. England: Oxford University Press

Braswell, Michael, Johm Fuller, dan Bo Lozoff. 2015. Corrections, Peacemaking, and Restorative Justice: Transforming Individuals and Institutions. USA: Routledge

Coser, Lewis. 1956. The Function Of Social Conflict. New York: Free Press

Costarelli, S. 2006. Heldref Publications The Distinct Roles of Subordinate andSuperordinate Group Power, Conflict, and Categorization on Intergroup Prejudice in a Multiethnic Italian Territory. The Journal of Social Psychology. 146(1): 5-13

Friedman, Lawrence M. 2009. Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial. Terjemahan oleh M. KHozim. Bandung: Nusa Media

Klenowski, Paul M. 2009. Peacemaking Criminology: Etiology of Crime or Philosophy of Life. Contemporary Justice Review. 12 (2): 207-222

Page 98: Soni A. Nulhaqim

89

Lan, Tung Ju dkk. 2013. Kerangka Kerja Pencegahan Konflik Sosial di Indonesia: Strategi dan Tindakan Penanganan Isu Konflik. Jakarta: LIPI Press

Galtung, J. 2003. Studi Perdamaian: Perdamaian dan Konflik, Pembangunan dan Peradaban. Surabaya: Pustaka Eureka

George Ritzer, 1992, Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Penyadur oleh Alimandan. Jakarta: Rajawali Press

Grieve, P. G., & Hogg, M. A. 1999. Subjective uncertainty and intergroup discrimination in the minimal group situation. Personality and Social Psychology Bulletin. 25(8): 926–940.

Hadjon, Philipus M. dkk. 2001. Pengantar Hukum Administrasi Indonesia. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Harsono, Boedi . 2005. Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya. Jakarta: Djambatan

Hewstone, M. & Cairns, E. 2006. Social psychology and intergroup conflict. Diakses dari http://www.ripon.edu/academics/psychology.hewstone.htm

Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty

Page 99: Soni A. Nulhaqim

90

Muladi. 2002. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro

Nasikun. 2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada

Pruitt, Dean G. dan Jeffrey Z. Rubin.2004. Teori Konflik Sosial. Penerjemah: Helly P. Soetjipto & Sri Mulyantini Soetcipto. Jakarta: Pustaka Pelajar.

Reksodipoetro, Mardjono. 1993. Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Melihat Kepada Kejahatan dan Penegakan Hukum Dalam Batas-Batas Toleransi). Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Saleh, K. Wantjik. 1982. Hak Anda Atas Tanah. Jakarta: Ghalia Indonesia

Sears, D.O. dkk. 1985. Psikologi Sosial. Alih Bahasa: Michael Adryanto. Jakarta: Erlangga.

Syahrani, Ridwan. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Soekanto, Soerjono. 1983. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada

Soekanto, Soerjono. 1985. Perspektif Teoritis Studi Hukum Dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali Press

Page 100: Soni A. Nulhaqim

91

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1985. Beberapa Masalah Dalam Studi Hukum dan Masyarakat. Bandung: Remaja Karya

Soeprapto. 1986. Undang-Undang Pokok Agraria dalam Praktik. Jakarta: Universitas Indonesia Pers

Subekti. 1958. Dasar-Dasar Hukum dan Pengadilan. Jakarta: Soeroengan

Sunaryo, Sidik. 2005. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Malang: UMM Press

Syahrani, Utrecht. 1999. Rangkuman Intisari Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti

Swanstrom & Weissmann. 2005. Conflict, Conflict Prevention and Conflict Management and Beyond: A Conceptual Exploration. Uppsala: Central Asia-Caucasus Institute and Silk Road Studies Program

White, Rob & Fiona Haines. 2000. Crime and Criminology: An Introduction, Second Edition. England: Oxford University Press

Zastrow, Charles. 1999. Introduction to Social Welfare Institutions (Social Problems, Services, and Current Issues) 4th Edition. Homewood, Illinois: The Dorsey Press

Page 101: Soni A. Nulhaqim

92

Sumber Lain :

Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Peraturan Pemerintah No 2 Tahun 2015 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang No 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial

Ade Indonesia, Penanganan Konflik Sosial, Kompasiana 24 Desember 2013, https://www.kompasiana.com/ade_indonesia/%20552e59166ea834bc4f8b458f/penanganan-koflik-sosial

Page 102: Soni A. Nulhaqim

93

Tentang Penulis

Dr. Soni A, Nulhaqim, M.Si., lahir di Garut 4 Februari 1968. Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Selepas lulus sarjana, penulis langsung mengajar dan diangkat sebagai dosen tetap tahun 1994. Penulis mengajar Program Sarjana dan Pascasarjana pada Mata

Page 103: Soni A. Nulhaqim

94

Kuliah Konflik dan Kebencanaan, Administrasi Pekerjaan Sosial, Analisis Organisasi Pelayanan Sosial, dan Intervensi Organisasi Layanan Manusia. Penulis menyelesaikan studi S1 Kesejahteraan Sosial di Universitas Padjadjaran tahun 1993, S2 Sosiologi Kekhususan Kesejahteraan Sosial Universitas Indonesia tahun 2000, dan S3 Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Padjadaran tahun 2007.

Saat ini, penulis juga aktif sebagai Kepala Pusat Studi Konflik dan Resolusi Konflik FISIP UNPAD dan melakukan berbagai riset berkaitan dengan Studi Resolusi Konflik dan Lingkungan Harmoni, serta telah menghasilkan berbagai publikasi, baik di jurnal bereputasi lokal, nasional, maupun internasional.

Dr. Muhammad Fedryansyah, M.Si., lahir di Pontianak 19 Februari 1981. Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran sejak tahun 2008. Mata kuliah yang diajarkan di Program Sarjana antara lain Konflik dan Kebencanaan, Kebijakan Sosial, dan Pembangunan Sosial. Selain itu, penulis juga mengajar mata kuliah di Program Pascasarjana, yaitu Mata Kuliah Resolusi Konflik, Analisis Kebijakan Sosial, dan Social Protection. Penulis menyelesaikan S1 Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia (2003), S2

Page 104: Soni A. Nulhaqim

95

Kesejahteraan Sosial di Universitas Indonesia (2006), dan S3 Kesejahteraan Sosial di Universitas Padjadjaran (2015).

Saat ini, penulis aktif sebagai anggota dan peneliti di Pusat Studi Konflik dan Resolusi Konflik Universitas Padjadjaran, serta telah menghasilkan beberapa publikasi, diantaranya: Kapasitas Organisasi Lokal dalam Penanggulangan Bencana di Kecamatan Lembang Kabupaten Bandung Barat (2019), Kajian Evaluasi Kinerja Tenaga Pendamping Pada Program Layanan Sosial di Kabupaten Bandung (2018), Model Penanggulangan Bencana Berbasis Masyarakat di Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang (2017), serta Model Community Development dalam Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan di Kecamatan Jatinangor (2016). Selain itu, penulis juga aktif dalam kajian kebijakan dalam kebencanaan dan konflik sosial di Jawa Barat, baik sebagai narasumber, peneliti, maupun sebagai pekerja sosial.

Dr. Eva Nuriyah Hidayat, M.Si., lahir di Bandung 13 Maret 1972. Penulis adalah Dosen Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran sejak tahun 1999 dan mengajar Mata Kuliah Hak Asasi Manusia dan Pekerjaan Sosial, Pekerjaan Sosial Internasional, Kebijakan Sosial, dan Multikulturalisme Pekerjaan Sosial dan HAM. Penulis menyelesaikan S1

Page 105: Soni A. Nulhaqim

96

Kesejahteraan Sosial di Universitas Padjadjaran (1995), S2 Sosiologi Antropologi di Universitas Padjadjaran (2009), dan S3 Kesejahteraan Sosial di Universitas Padjadjaran (2015).

Saat ini, penulis aktif sebagai anggota dan peneliti di Pusat Studi Konflik dan Resolusi Konflik Universitas Padjadjaran dan telah menghasilkan beberapa publikasi, diantaranya: Coping Stress Karyawan dalam Menghadapi Stress Kerja (2015), LGBT dalam Prespektif HAM dan Pekerjaan Sosial (2016), Child Trafficking Tanggung Jawab Siapa (2017), dan Reintegrasi Anak Korban Kekerasan Seksual (2017). Selain itu, penulis aktif dalam penanganan masalah trafficking di Jawa Barat, baik sebagai narasumber, perumus pedoman penanganan trafficking di Jawa Barat, maupun sebagai pekerja sosial.

Dr. Widati Wulandari, SH., M.Crim., adalah pengajar di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, menekuni bidang Hukum Pidana, Kriminologi, Hukum Pidana Internasional dan Hak Asasi Manusia. Di samping itu, penulis juga teregistrasi sebagai mediator pada Pusat Mediasi Nasional. Penulis memperoleh gelar Sarjana Hukum dari Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (1996), Master of Criminology dari Law Faculty the University of Sydney (2003), dan Doktor Ilmu Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (2017).

Page 106: Soni A. Nulhaqim

97

Maulana Irfan, S.Sos., M.Ikom., lahir di Cirebon, 23 Maret 1970. Penulis menyelesaikan studi S1 di Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu SosiaI dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran pada tahun 1995 dan S2 Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran pada tahun 2012. Saat ini, penulis sedang menyelesaikan studi S3 di Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu SosiaI dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Penulis bergabung sebagai dosen di Program Studi Ilmu Kesejahteraan Sosial Fakultas Ilmu SosiaI dan Ilmu Politik Universitas Padjadjaran. Selain itu, penulis juga juga menjabat Sekretaris Pusat Studi Konflik dan Resolusi Konflik Universitas Padjadjaran. Kompetensi penulis adalah bidang Human Relation in Social Work. Aktivitas selain mengajar yang dijalani penulis adalah aktif sebagai pembicara, fasilitator, dan instruktur terkait kajian konfik antar relasi yang terjadi di masyarakat pertambangan, khususnya pada pelaksanaan Corporate Social Responsibility. Beberapa penulisan bersama yang pernah dihasilkan terpublikasi dalam jurnal nasional dan internasional, serta buku Social Entrepreneurship, Social Entreprise, dan Corporate Social Responsibility; Pemikiran, buku Konseptual dan Praktik, Masalah Sosial & Kewirausahaan Sosial Kumpulan Pemikiran Kontemporer, dan Aku, Jeruji dan Cita.