Songket Khas Palembang Sebagai Ratunya Kain Tenun
-
Upload
septian-adi-s -
Category
Documents
-
view
50 -
download
0
Transcript of Songket Khas Palembang Sebagai Ratunya Kain Tenun
Songket Khas Palembang Sebagai Ratunya Kain TenunSubmitted by edhie-rianto on Sun, 01/06/2013 - 06:22
INDONESIA terkenal sebagai penghasil berbagai macam songket, dan salah satunya yang terkenal
adalah kain songket asal Palembang. Songket Palembang memiliki ciri khas dengan warna-
warnanya yang bernuansa merah-emas dan motifnya yang indah. Ibaratnya sebuah gelar, songket
layak memperoleh gelar sebagai ratunya kain tenun.
Kain songket merupakan warisan budaya Indonesia yang menunjukkan perpaduan antara seni dan
keindahan. Teknik pembuatannya yang membutuhkan keahlian dan kecermatan menjadikan kain
tenun ini bernilai jual tinggi. Bagaimana tidak, diperlukan waktu minimal 3 bulan untuk menenun
helai demi helai benang sutra sebelum akhirnya menjadi selembar kain.
Kerajinan songket ini telah dimulai sejak zaman kerajaan Sriwijaya. Mulanya bahan yang
digunakan adalah kulit kayu, kemudian rajutan daun-daunan, dan akhirnya ditanamlah kapas
sebagai bahan dasar pembuatan kain tenun. Pada abad ke-7 sampai abad ke-11 Masehi,
Palembang yang dulu merupakan pusat kerajaan Sriwijaya memiliki pelabuhan yang ramai dan
menjadi tempat persinggahan dari berbagai budaya seperti bangsa Portugis, India, Srilanka dan
China. Persinggahan budaya tersebut secara tidak langsung mempengaruhi motif dan corak kain
songket, terutama China yang memberikan pengaruh warna merah dan keemasan yang kini
menjadi ciri khas songket Palembang.
Motif hias songket Palembang biasanya berbentuk geometris atau berupa aplikasi flora dan fauna
yang memiliki perlambangan yg baik. Misalnya saja motif bunga melati, bunga mawar, bunga
cengkeh, dan bunga tanjung yang harum melambangkan kesucian, keanggunan, rezeki, dan
segala kebaikan lain.
Motif lain yang biasanya terdapat pada songket Palembang yaitu motif nago betarung, tabur limar,
cantik manis (cempuk), lepus berakam, kenango makan ulet, bungo cino, bungo intan, bungo
jepang, bungo pacik, biji pare, nampan perak, pulir, bintang kayu apuy, bintang berante, tigo
negeri, dan lain-lain.
Ditenun dengan sepenuh hati
Bahan dasar pembuatan songket adalah benang, baik benang kapas ataupun benang sutra.
Songket berkualitas baik biasanya menggunakan benang sutra putih yang saat ini masih diimpor
dari China, Thailand, atau India. Adapun benang emas yang digunakan terdiri dari tiga macam,
yaitu benang emas Sartibi (dari Jepang), benang emas Bangkok, dan benang emas cabutan yang
berasal dari benang katun yang dicelupkan dalam larutan emas 24 karat. Benang emas cabutan
biasanya diperoleh dari kain songket antik yang sebagian kainnya sudah rusak dan diurai kembali.
Sebelum ditenun, benang diberi warna dengan cara dicelupkan pada warna yang diinginkan. Dulu
kain songket tradisional dicelup dengan menggunakan pewarna alami, seperti menggunakan kayu
sepang dan akar mengkudu untuk mendapatkan warna merah dan kunyit untuk mendapatkan
warna kuning. Pada waktu pencelupan ditambahkan pula tawas agar warnanya tidak luntur. Warna
dominan songket Palembang adalah merah, namun kini kain songket memiliki warna yang lebih
bervariasi karena menggunakan pewarna tekstil.
Setelah dicelup, benang kemudian dijemur di bawah terik matahari. Setelah kering dimulailah
proses desain (pencukitan) dengan menggunakan lidi sesuai dengan motif yang diinginkan, untuk
kemudian dilanjutkan dengan ditenun. Proses penenunan ini memerlukan ketelitian, ketekunan,
dan kesabaran. Menenun tidak dapat dilakukan dengan terburu-buru karena hasilnya nanti tidak
bagus, sebaliknya menenun harus dilakukan dengan sabar dan sepenuh hati. Hal itulah yang
menyebabkan proses pembuatan songket memerlukan waktu yang lama hingga berbulan-bulan.
Mengingat bahan baku yang masih diimpor, serta proses pembuatan yang lama dan rumit, maka
tidak heran jika harga kain songket cukup mahal. Songket juga sering dijadikan barang yang
bernilai tinggi sehingga dijadikan mahar, busana adat kebesaran, busana pengantin, atau menjadi
koleksi keluarga yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Jika dirunut kebelakang, dahulu kain songket memang hanya dikenakan oleh keluarga kerajaan
dan kaum bangsawan. Seiring dengan perkembangan zaman, kain songket pun mulai menyebar
keluar kerajaan. Meskipun demikian, hingga saat ini sebagian besar pengrajin songket biasanya
masih keturunan kerajaan atau bangsawan, karena keterampilan menenun songket memang
diperoleh secara turun temurun.
Songket Palembang dan Zainal Songket
Bicara mengenai songket Palembang tentunya tidak lepas dari nama Zainal Arifin, yang lebih
terkenal dengan nama Zainal Songket. Putra asli Palembang ini mewarisi kepiawaian menenun
songket turun temurun dari keluarganya yang juga tokoh pelestari songket, Ki Agus Haji Husin
Rahman dan Nyanyu Cek Ipah.
Zainal yang telah belajar seni menenun songket sejak usia 8 tahun sadar betul bahwa songket
adalah warisan budaya yang harus dilestarikan. Kerja keras dan komitmennya dalam melestarikan
songket selama 25 tahun terakhir ini memang patut diacungi jempol. Berkat keuletannya, Zainal
telah berhasil mengangkat citra songket tidak hanya dalam wilayah lokal, namun juga hingga ke
kancah internasional. Cakupan pelanggannya pun terbilang luas, mulai dari masyarakat biasa,
selebritis, hingga pejabat negara baik dalam maupun luar negeri.
Keunikan Zainal dibanding pengrajin songket lainnya yaitu dia tidak hanya sekedar merancang
motif dan menenun benang sutra menjadi kain songket, namun ia juga berhasil membuat sehelai
songket menjadi busana yang anggun dan moderen tanpa menghilangkan esensi tradisional dari
songket itu sendiri.
Untuk pengabdiannya dalam melestarikan budaya, Zainal telah menerima berbagai penghargaan
seperti Penghargaan Upakarti untuk kategori Jasa Pelestarian Produk Tradisional dan Budaya
Indonesia dari Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Penghargaan lain yang cukup berkesan bagi
Zainal yaitu yang diperoleh dari ibu negara Amerika Serikat, Laura Bush atas keindahan dan
keunikan kain-kain songket yang dipamerkannya saat Laura Bush berkunjung ke Bogor 2
November 2006 lalu.
Ketika ditanya perkembangan kain songket saat ini dibandingkan batik, Zainal mengungkapkan
kalau saat ini boleh saja batik sedang menjadi trend, namun Zainal yakin kalau keindahan songket
akan terus bertahan sepanjang zaman, tanpa mengenal kata musiman. Namun hal yang lebih
penting adalah bagaimana untuk terus menjaga warisan budaya asli Indonesia ini agar tidak
diklaim sebagai budaya milik bangsa lain. [traveltext/photo istimewa