Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan...

28
Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 75

Transcript of Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan...

Page 1: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 75

Page 2: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

76

BAB VI.

SOLIDARITAS, ORGANISASI DAN PEMBANGUNAN PEDESAAN Studi Kasus Pada Dua Komunitas Pertanian Dataran Tinggi

di Kabupaten Gunung Kidul

Pembangunan seringkali disejajarkan degan evolusi sosial yang dipercepat (accelerated social evolution), yang tidak saja menyangkut masalah perubahan teknologi fisik namun juga teknologi non fisik (misalnya:

perubahan pola organisasi dan budaya masyarakat). Perubahan teknologi

umumnya dikaitkan dengan modernisasi, dan tidak harus diartikan sebagai

westernisasi sebagaimana diartikan oleh banyak ahli dari Barat, (misalnya oleh Lerner, 1958). Modernisasi itu sendiri adalah semacam keharusan bagi

pembangunan masyarakat pedesaan. Dengan demikian dapat dikemukakan

bahwa makna pembangunan masyarakat pedesaan mempunyai arti lebih luas dibanding modernisasi.

Tulisan ini mengulas solidaritas, organisasi masyarakat tingkat desa, dan pembangunan pedesaan. Pembangunan pedesaan tidak dapat mele-

paskan diri dari campur tangan pemerintah atas desa. Namun demikian,

pembangunan pedesaan itu sendiri harus tetap menjadi bagian dari budaya masyarakat pedesaan. Ketepatan pencapaian pembangunan yang dimaksud,

tidak dapat mengabaikan unsur solidaritas yang mendasari kolektivitas dan

keorganisasian masyarakat di tingkat bawah. Perkembangan solidaritas dan keorganisasian masyarakat tingkat desa sedikit banyak akan dipengaruhi

oleh ketersediaan sumberdaya (fisik, hayati, dan manusia) dan lingkungan-

nya yang menopang kehidupan masyarakat pedesaan dimaksud. Dalam tulisan ini dianggap bahwa antara solidaritas, organisasi masyarakat tingkat

desa dan pembangunan pedesaan saling mempunyai keterkaitan, dan hal

ini menarik untuk dibahas secara khusus.

Mengingat sekitar 80 persen penduduk tinggal di pedesaan, pembangunan pedesaan menjadi fokus penting pembangunan nasional. Menurut Korten (1981), pembangunan pedesaan hendak-nya diarahkan

untuk pengembangan masyarakatnya agar mereka dapat menolong dirinya

sendiri (helping the poor to help themselves). Dengan demikian, campur

tangan pemerintah hendaknya tidak hanya menekankan pemberian bantuan teknologi material, modal dan sarana fisik berdasar wewenang dan

kekuasaan yang dimiliki, namun juga perlu mengembangkan solidaritas dan

keorganisasian yang tumbuh dari bawah. Hal ini dilakukan bukan saja dalam rangka untuk menghemat biaya, namun juga untuk ketepatan

pencapaian pembangunan itu sendiri.

Dengan adanya campur tangan dari atas (pemerintah pusat), untuk mempercepat pembangunan pedesaan, pembentukan organisasi dari atas

desa memang sulit dihindarkan. Namun hal ini tidak perlu disertai anggapan bahwa masyarakat desa tidak mengenal cara berorganisasi. Jika

dikatakan bahwa sebelumnya masyarakat desa, yang berkembang dari

diferensiasi sosial sederhana ke komplek, tidak mengenal birokrasi, aturan tertulis ("formal"), pembagian wewenang dan kekuasaan yang terstruktur

Page 3: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 77

dalam hirarki formal, dan unsur-unsur modern lainnya, hal tersebut

mungkin bisa diterima. Memang sulit dibayangkan jika masyarakat

pedesaan seperti yang ada di Jawa akan terdorong dengan sendirinya untuk

menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi di Eropa pada abad 17-18. Selanjutnya juga akan sulit dibayangkan bahwa unsur-

unsur modern dalam berorganisasi pada masyarakat pedesaan akan lahir

dari bawah secara revolusioner.

Kasus yang diangkat dalam tulisan ini adalah dua komunitas

pertanian di dataran tinggi di kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa

Yogyakarta. Komunitas pertama (Desa Kedungpoh) adalah yang selama sekitar tiga tahun (1979-1982) memperoleh campur tangan cukup intensif

dari pemerintah atas desa, melalui Proyek Bangun Desa (Yogyakarta Rural Develompent Project) bantuan Bank Dunia. Sedang komunitas kedua (Desa

Katongan) adalah mewakili desa yang relatif kurang memperoleh campur tangan intensif dari pemerintah. Selanjutnya akan dilihat sampai seberapa

jauh dinamika yang terjadi pada organisasi masyarakat di tingkat desa dan

padukuhan di kedua komunitas tersebut. Selain itu juga akan dilihat ragam solidaritas yang berkembang di kedua komunitas, yang mendasari perkem-

bangan kehidupan keorganisasian masyarakatnya.

Perlu dikemukakan bahwa dalam tulisan ini tidak dikemuka-kan definisi yang terlalu ketat tentang organisasi. Organisasi masyarakat

dianggap sebagai gejala keteraturan yang didasarkan pada kebudayaan

masyarakat tersebut, dimana kerjasama dan kolektivitas untuk mencapai

tujuan bersama (umumnya lebih dari satu tujuan, dan tidak harus spesifik) ditegakkan. Dengan pendefinisian yang tidak terlalu ketat ini, diharapkan

akan dapat ditangkap gejala organisasi masyarakat di tingkat pedesaan yang

tampak samar-samar jika dilihat dari kecamatan masyarakat modern. Ukuran jumlah anggota, asal pembentukannya, tingkat keformalan-nya,

unsur kekarismaan dan kebirokrasian, dan kemutakhirannya dipakai untuk

melihat karakteristik organisasi yang ada di pedesaan.

Secara lebih rinci tulisan ini membahas, pertama, kerangka

pemikiran yang digunakan untuk melihat bahwa pengembangan organisasi

masyarakat tingkat desa, sebagai bagian kekuasaan atas desa, yang

merangkai sumberdaya manusia dan sumberdaya lingkungan (fisik dan hayati) diarahkan untuk pencapaian tujuan pembangunan pedesaan. Dalam

upaya merangkai sumberdaya tersebut dibutuhkan difusi teknologi material,

dan bantuan modal dan sarana fisik dari luar desa. Kedua, membahas penduduk dan pertanian yang mencakup penduduk (jumlah, pertumbuhan,

komposisi, dan mata pencahariannya), tanah pertanian (status penggunaan

tanah, sertifikasi tanah, dan pemilikannya oleh petani), dan perkembangan teknologi pertanian (terutama pada tanaman pangan utama: padi, jagung,

ubikayu dan kedele). Ketiga, membahas solidaritas masyarakat yang

mendasari kehidupan kerjasama atau kolektif di tingkat desa, termasuk di

bidang keorganisasiannya. Ada empat dimensi solidaritas yang dibahas, yaitu: solidaritas ketetanggaan, sosial budaya, birokratik, dan rasional.

Keempat, membahas organisasi masyarakat yang mencakup: di tingkat

pemerintahan desa, masyarakat desa, dan masyarakat padukuhan. Pada

Page 4: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

78

organisasi masyarakat di tingkat padukuhan tampak masih dapat dikenali ciri-ciri kehidupan masyarakat bawah. Sebaliknya pada tingkat desa lebih

banyak dikenali ciri-ciri kepentingan atas desa.

KERANGKA PEMIKIRAN

Pembangunan Pedesaan

Gambar 7 menerangkan secara sederhana tentang kerangka dampak

pengembangan organisasi masyarakat tingkat desa terhadap tujuan

pembangunan pedesaan. Kerangka (Gambar 7) tersebut dibaca dengan titik tolak bahwa struktur dan organisasi masyarakat tingkat desa dapat

dipandang sebagai alat atau "instrument" dan sekaligus sebagai tujuan.

Sebagai alat, organisasi masyarakat yang dimaksud mempunyai peranan dalam proses alih teknologi material ("penyuluhan"), dan untuk

melancarkan penyediaan fasilitas permodalan dan sarana fisik yang

dirangkai dalam jaringan birokrasi kekuasaan atas desa. Sebagai tujuan, keberadaan dari perkembangan struktur dan organisasi pada kelompok-

kelompok primer di pedesaan kemung-kinan besar tetap dijiwai oleh adanya

pergaulan ("solidaritas") yang bersifat kekeluargaan dan personal. Dengan demikian terbinanya keteraturan masyarakat desa merupakan konvergensi

dari sekian ragam tujuan yang sebagian dapat dicapai dengan cara mandiri

("self-determination") dari anggotanya. Atau dengan kata lain, gejala tersebut

adalah hal yang sudah mendarah daging di masyarakat sebagai perwujudan "naluri" (kolektif) mengadakan hubungan kerjasama ("tolong-menolong").

Wewenang atau kekuasaan formal atas desa yang didayagunakan

untuk merangkai aspek teknologi fisik (material), dan modal serta sarana fisik lainnya digolongkan sebagai variabel bebas. Posisi organisasi

masyarakat tingkat desa yang merangkai sumberdaya lingkungan (fisik dan

hayati), dan sumberdaya manusia dapat digolongkan sebagai variabel antara. Komponen tujuan pembangunan yang mencakup peningkatan

produktivitas, distribusi pendapatan dan kesejahteraan, penyerapan tenaga

kerja, partisipasi pengambilan keputusan, mobilitas status ("vertikal"), dan aspek spiritual (nilai, sikap dan kepercayaan) digolongkan sebagai variabel

tujuan pembangunan pedesaan (Inayatullah, 1979).

Dari kerangka tersebut terkandung makna bahwa gambaran tentang

masyarakat desa yang sepenuhnya mandiri sama sekali tidak sesuai kenyataan. Namun tetap penting ditekankan bahwa lingkungan pedesaan

mempunyai sumberdaya alam, hayati dan manusia (termasuk lembaga dan

organisasi) yang mampu mendukung masyarakatnya untuk berkembang. Hanya saja sumberdaya tersebut perlu memperoleh penanganan yang lebih

memadai melalui "petunjuk dan bimbingan" berupa pengaturan dan

pengendalian dari aparat pemerintah atas desa. Bahwa desa tidak dapat menolak campur tangan dari atas desa; karena unsur kekuasaan dan

wewenang, teknologi fisik ("material"), dan modal serta sarana fisik; hal itu

umumnya telah diterima sebagai kenyataan.

Page 5: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 79

Page 6: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

80

Solidaritas dan Organisasi Masyarakat

Jauh sebelum sosiologi diakui sebagai cabang ilmu, Ibn Khaldun

dalam bukunya berjudul Mukadimah (penerjemah Issawi, 1976) telah

menyatakan bahwa antara individu dan masyarakat merupakan kesatuan yang tidak terpisah-pisah. Menurut A. Comte dalam Bierstedt (1957),

masyarakat (asal kata "socious") diartikan sebagai "pergaulan manusia".

Menurut Spencer dalam Znaniecki (1945), bahwa masyarakat adalah sistem

yang mencakup unit-unit dasar (terkecil) bio-psikologi individu yang mendiami suatu wilayah tertentu dan dalam perjalanan waktu yang relatif

lama, umumnya lebih dari satu generasi. Apapun dasarnya, dalam

masyarakat akan dijumpai kumpulan individu yang satu sama lain terikat jalinan kerjasama ("tolong-menolong"). Selanjutnya, menurut Toynbee dalam Homans (1950), kerjasama bisa diwujudkan dalam bentuk "solidaritas",

yang jika dibesarkan dan dikuatkan dapat digunakan untuk menyelesaikan

masalah-masalah internal dalam masyarakat bersangkutan.

Diketengahkan oleh Tjondronegoro (1977), istilah organisasi

(demikian juga lembaga) tidak berasal dari khasanah bahasa Indonesia.

Dalam penggunaannya seringkali perbedaan arti antara lembaga dan organisasi dianggap tidak penting. Oleh Etzioni (1961) dan Sumner (1906)

kedua pengertian tersebut seakan-akan dapat dipertukarkan. Bagi ahli lain,

seperti Rivers (1926), Koentjaraningrat dalam Soekanto (1978) dan Znaniecki (1945) masih menganggap perlu memisahkan antara lembaga dan organisa-

si. Pendapat Tjondronegoro (1977) agak moderat, bahwa gejala organisasi

merupakan kelanjutan dari perkembangan lembaga masyarakat ke arah

yang lebih modern. Dalam kerangka pemikiran ini tidak menganggap penting mengetengahkan perbedaan pandangan di atas. Pengertian lembaga,

dalam beberapa hal, dicakup dalam organisasi. Sedang dalam hal lain,

pengertian lembaga adalah diterjemahkan sebagai aspek normatif yang mendasari hidupnya organisasi masyarakat di pedesaan.

Betapapun sederhananya suatu masyarakat hampir dapat dipasti-

kan bahwa dari masyarakat tersebut akan melahirkan budaya, yang selanjutnya budaya tersebut dapat berkembang dan melahirkan tatanan

baru sesuai dengan perkembangan situasi atau orientasi (baru) yang ingin

dicapai. Menurut Bertrand (1974) setiap dijumpai ada kebudayaan yang mapan dalam suatu masyarakat maka akan dijumpai juga adanya organi-

sasi. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada setiap masyarakat akan

dijumpai organisasi yang khas. Koentjaraningrat (1984) dan Keesing (1975) menunjukkan banyak contoh tentang adanya organisasi pada masyarakat

pertanian yang masih primitif. Munculnya organisasi masyarakat diawali

oleh keluarga atau hubungan kekerabatan, meningkat ke kelompok suku,

dan selanjutnya menjadi organisasi-organisasi yang relatif komplek. Diteri-manya negara membawahi sejumlah masyarakat tradisional (pedesaan),

muncul dalam bentuk kekuasaan atau pemerintahan atas desa ("nasional"),

hal itu menimbulkan cara pandang baru yang lebih kompleks lagi terhadap kajian organisasi dan kolektivitas masyarakat berukuran besar.

Page 7: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 81

Pada desa-desa di Jawa yang belum terkena langsung campur

tangan intensif dari pemerintah, pola organisasi masyarakatnya dapat

ditelusuri dari pola atau ciri solidaritas yang mendasarinya. Selanjutnya,

dengan mensintesakan pendapat Durkheim dalam Johnson (1987), tentang solidaritas, Weber dalam Johnson (1987), tentang perkembangan masyara-

kat ke arah tipe ideal ("nasional"), Etzioni (1961), tentang organisasi

komplek, dan Blau dan Meyer (1987) tentang birokrasi dalam masyarakat modern dapat dibuat kesejajaran pola organisasi dan solidaritas masyarakat

tingkat desa, yaitu sebagai berikut:

Organisasi masyarakat Solidaritas masyarakat

- Ketetanggaan - Kekeluargaan dan ketetanggaan - Pedukuhan - Sosial budaya

- Pemerintahan Desa - Birokratik

- Kesumberdayaan - Rasional

Lebih lanjut dapat diketengahkanbahwa secara teoritik organisasi masyarakat tingkat desa dapat ditinjau dengan pendekatan seperti berikut:

(1) Berdasar atas asal dibentuknya, dapat dibedakan pertama, yang

dibentuk dari kekuasaan atas desa (pemerintah pusat atau daerah); kedua, yang dibentuk melalui swadaya masyarakat dengan proses

sejarah yang menyertainya; ketiga, dibentuk atas dasar rumusan/

konsensus bersama antara pemerintah (atas desa) dan masyarakat desa.

(2) Berdasar atas keformalannya; pertama, organisasi masyarakat yang berbentuk formal, atau ada aturan tertulisnya; kedua, berbentuk non-

formal, atau tidak ada aturan tertulisnya; ketiga, berbentuk peralihan

dan non-formal ke formal, yang dalam hal ini disebut bentuk adaptif.

(3) Ditinjau dari hubungan pengendalian oleh atasan terhadap bawahan; pertama, pengendalian dengan hirarki wewenang ("kekuasaan") yang

melalui rantai birokrasi yang jelas; kedua, yang didukung oleh

hubungan kharismatik atau apresiatif; ketiga, yang pengendaliannya dengan kombinasi antara birokratik dan kharismatik.

(4) Berdasar ukuran jumlah anggotanya; pertama, organisasi berukuran

relatif besar (OB=organisasi besar), yang jumlah anggotanya sekitar 50

orang per organisasi; kedua, berukuran relatif kecil (OK=organisasi kecil), yang jumlah anggotanya sekitar 5-12 orang per organisasi; ketiga,

berukuran sedang (OS=organisasi sedang), yang jumlah anggotanya di

antara OK dan OB.

PENDUDUK DAN PERTANIAN

Penduduk

Tahun 1980 jumlah penduduk dan kepadatannya pada masing-

masing komunitas adalah 5677 jiwa (Kedungpoh) dan 5602 jiwa (Katongan), dan 526,13 jiwa per km2 dan 413,13 jiwa per km2. (Sebagai gambaran

kepadatan penduduk di Jawa rata-rata sekitar 650 jiwa per km2). Pada

tingkat kepadatan tersebut rata-rata setiap jiwa menempati bagian tanah seluas masing-masing 0,19 ha (Kedungpoh) dan 0,24 ha (Katongan). Dengan

Page 8: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

82

rata-rata ukuran keluarga adalah 4,82 jiwa (Kedungpoh) dan 4,66 jiwa (Katongan) per KK, maka rata-rata setiap KK bisa mengerjakan tanah 0,79

ha dan 0,62 ha per KK.

Tingkat pertumbuhan penduduk di kedua komunitas relatif rendah, yaitu 1,15 persen (Kedungpoh) dan 0,52 persen (Katongan) per tahun,

(angka pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 2,3 % per tahun). Dengan gambaran ini dapat dikatakan bahwa pertumbuhan jumlah penduduk di

kedua komunitas agaknya tidak menjadi kendala penting bagi

pengembangan masyarakatnya. Lebih-lebih, dengan keberhasilan program KB tingkat kelahiran dapat ditekan cukup kuat. Dengan angka tingkat

kematian relatif rendah (+ 15 per seribu penduduk) menunjukkan bahwa

secara demografis tingkat kemajuan peradaban masyarakat di kedua desa cukup tinggi. Diperkirakan di tahun-tahun mendatang jumlah penduduk

golongan umur muda dapat lebih sedikit dibanding sebelumnya. Distribusi

penduduk menurut umur relatif normal, yaitu dengan sex ratio 98,90 persen

(Kedungpoh) dan 94,60 persen (Katongan).

Golongan umur muda (16-35 tahun) umumnya menunjukkan gejala enggan tinggal di desa dan bekerja di pertanian. Jika dimungkinkan, sekitar

80 persen dari mereka lebih memilih bekerja di perkotaan. Prioritas kota

besar yang dituju berturut-turut adalah Jakarta, Yogyakarta, dan Semarang.

Lapangan kerja yang dipilih berturut-turut adalah pegawai negeri (80 persen), industri (35 persen), dan pedagang (25 persen). Pilihan sebagai

pegawai negeri ini bersesuaian dengan rata-rata keinginan orang tua (65

persen) terhadap anaknya. Menjadi pegawai kantoran atau "priyayi" dianggap mencerminkan status sosial tinggi. Pertanian dianggap bidang

pekerjaan yang kurang menggambarkan status sosial yang terhormat, atau

dengan kata lain dekat dengan status wong cilik.

Sebagian besar atau sekitar 80 persen penduduk bekerja di

pertanian, dan yang termasuk buruh tani sekitar 15 persen. Umumnya kegiatan pertanian gabungan dari tanaman pangan (padi gogo dan palawija),

peternakan dan tanaman karangkitri. Walaupun mata pencaharian lain

seperti pengrajin (+ 7,5 persen), pedagang (+ 5 persen) dan tukang (+ 6 persen) cukup dikenal namun kurang menonjol. Dengan memperhatikan

animo golongan muda dan keinginan orang tua terhadap anaknya untuk

tidak bekerja di pertanian atau pedesaan, di masa datang kemungkinan besar komposisi mata pencaharian tersebut akan bergeser ke non pertanian.

Tanah Pertanian

Sumberdaya tanah tidak saja penting untuk penyediaan pangan dan

sumber kehidupan, melainkan menurut Tjondronegoro (1980) juga penting

sebagai sumber kerukunan (atau "solidaritas") masyarakat di pedesaan. Dahulu semua tanah adalah milik kesultanan ("Raja"), dan petani (sebagai

kawula dalem atau abdi Sultan) dalam mengolah tanah berstatus sebagai

peminjam. Setelah pemerintahan nasional, status penggunaan tanah diatur dengan undang-undang. Status penggunaan tanah tersebut relatif sama

untuk setiap desa, yaitu berupa milik desa, perorangan (pekarangan, sawah,

Page 9: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 83

tegalan dan tanah kering), dan milik pemerintah (hutan negara, kuburan,

jalan, sungai dan lainnya).

Pemilikan tanah perorangan diatur oleh keagrariaan dengan sertifi-

kat tanah. Di desa Kedungpoh sertifikasi tanah hampir semuanya beres hingga model C, dan beberapa telah sampai model D. Di Desa Katongan,

karena tidak tersentuh program khusus, sertifikasi tanah masih tersendat.

Di Desa Katongan beberapa petani mengaku telah lebih dari sekali mem-bayar administrasi pembuatan sertifikat tanah (model C), namun tetap

belum memperoleh pelayanan yang memadai. Dalam kaitan dengan urusan

ini, petani cenderung lebih tertib daripada atasan desa. Karena pentingnya urusan tanah ini, wibawa pamong desa sering kurang memperoleh tempat di

hati petani.

Pemilikan tanah merupakan faktor penting untuk melihat stratifikasi sosial. Tabel 6 menunjukkan distribusi luas pemilikan tanah di kedua

komunitas. Berpatokan pada kriteria Sajogyo (1977) atas hasil Susenas

(1976), maka dapat dikatakan bahwa sebagian besar petani termasuk

golongan petani miskin, (pemilikan kurang dari 0,5 ha), dan lebih-lebih di Desa Katongan. Jumlah petani yang memiliki luas tanah di bawah 0,25 ha

masing-masing 23,80 persen (Kedungpoh) dan 46,70 persen (Katongan).

Keadaan ini menggambarkan bahwa kehidupan komunitas di kedua desa akan sukar jika hanya mengandalkan dari usaha mengolah tanah pertanian.

Faktor ini agaknya ikut menentukan persepsi masyarakat untuk tidak sela-

manya menggantungkan hidup di pertanian, terutama golongan mudanya. Tabel 6. Jumlah Kepala Keluarga (KK) yang Memiliki Tanah Menurut Jenis dan Luasnya

di Desa Kedungpoh dan Katongan, Tahun 1982

Luas tanah (ha)

Desa Kedungpoh (KK) Desa Katongan (KK)

Peka-rangan

Sawah Tanah kering

Jumlah Peka-rangan

Sawah Tanah Kering

Jumlah

0,25

0,25-0,50

0,50-0,75

0,75-1,00

1,00-1,25

1,25-1,50

1,50-1,75

1,75-2,00

2,00

160 (20,8) 325

(42,3) 100

(13,0) 150

(19,5) 12

(1,6) 10

(1,3) 6

(0,8) 5

(0,7) t.a.d

-

151 (32,3) 255

(54,5) 50

(10,7) 12

(2,5) t.a.d

- t.a.d

- t.a.d

- t.a.d

- t.a.d

-

273 (25,6) 300

(28,1) 200

(18,7) 175

(16,4) 60

(5,6) 28

(2,6) 20

(1,9) 12

(1,1) t.a.d

-

584 (23,8) 880

(38,2) 350

(15,2) 337

(14,6) 72

(3,1) 38

(1,7) 26

(1,1) 17 0,7) t.a.d

-

250 (62,2) 104

(25,9) 20

(5,0) 10

(2,5) 10

(2,5) 5

(1,2) 1

(0,2) t.a.d

- 2

(0,5)

t.a.d -

46 (34,9)

45 (34,1)

8 (6,1)

9 (6,8) 21

(15,9) 1

(0,8) t.a.d

- 2

(1,5)

221 (46,6) 164

(34,6) 55

(11,6) 10

(2,1) 6

(1,3) 15

(3,2) 1

(0,2) t.a.d

- 2

(0,4)

471 (46,7) 317

(31,2) 120

(11,9) 28

(2,8) 23

(2,5) 41

(4,1) 3

(0,3) t.a.d

- 6

(0,6)

Jumlah 768 (100)

468 (100)

1068 (100)

2304 (100)

402 (100)

132 (100)

474 (100)

1008 (100)

Sumber : Daftar Isian Penelitian Tata Desa 1982. Keterangan : t.a.d = tidak ada data

Page 10: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

84

Dari gambaran tersebut dapat ditarik beberapa implikasi, pertama, adalah masuk akal jika kemiskinan akan dekat atau (bahkan) melekat pada

kegiatan pertanian rakyat. Kedua, dalam kondisi seperti itu kiranya akan

sukar bagi petani untuk diajak aktif dalam pembangunan. Ketiga, adalah

tidak logis jika petani terus dibebani untuk menyediakan bahan pangan murah, dan mensubsidi secara tidak wajar bagi perkembangan industri di

perkotaan. Keempat, seyogyanya pengembangan industri dan perekonomian

non pertanian mampu menyerap kelebihan tenaga kerja di pertanian. Kelima, penggunaan saluran kekuasaan vertikal ke bawah perlu diimbangi

adanya kesadaran bahwa dengan sumberdaya yang sangat terbatas petani

telah berada pada ambang yang sukar untuk berpartisipasi dalam

pembangunan. Partisipasi masyarakat bisa dimunculkan dengan menerap-kan unsur paksaan ("halus" maupun "kasar"), namun hal itu sudah barang

tentu bertentangan dengan esensi pembangunan.

Teknologi Pertanian

Karena pertanian masih menjadi tulang punggung kehidupan

perekonomian pedesaan, maka modernisasi pertanian sedikit banyak akan menggambarkan kemajuan masyarakat pedesaan (akibat adanya program

pembangunan). Dengan mengacu pada ahli evolusi tentang modernisasi,

antara lain Weber dan Parson, Harrison (1988) menyatakan bahwa teknologi

merupakan faktor penentu bagi modernisasi. Dalam kasus ini, adopsi teknologi pertanian dapat dijadikan indikator perkembangan masyarakat

pedesaan. Selain tingkat produktivitas tanaman pangan utama (padi gogo,

ubikayu; jagung dan kedele), perkembangan teknologi tersebut dapat ditelusuri dari penggunaan input produksi bukan tenaga kerja; seperti bibit,

pupuk, dan obat-obatan.

Penggunaan bibit unggul, terutama padi, umumnya telah dikenal petani. Sedangkan penggunaan pupuk dan obat-obatan (Tabel 7 dan 8),

walaupun terdapat perbedaan, tampaknya juga telah dikenal baik petani.

Adapun gambaran rata-rata petani di Desa Kedungpoh relatif lebih tinggi (dibanding Desa Katongan) tingkat adopsi teknologinya, hal ini dapat

dikatakan wajar.

Tabel 7. Tingkat Rata-rata Pemakaian Pupuk untuk Jenis Tanaman Pangan Utama per ha dalam Setahun, 1982

Jenis Pupuk Desa Kedungpoh Desa Katongan

Urea (Kg/ha)

TSP (Kg/ha)

Kandang (pikul/ha)

334,8

115,1

163,0

251,4

156,8

171,7

Pengaruh Proyek Bangun Desa memang terlihat cukup jelas pada adopsi teknologi pertanian. Dalam pelaksanaan di lapangan, pemberian

bantuan input produksi seperti pupuk dan obat-obatan termasuk instrumen

penting Proyek Bangun Desa. Bisa dimengerti jika pengaruh bantuan tadi

bisa ditunjukkan pada perkembangan teknologi pertanian tanaman pangan.

Page 11: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 85

Dari Tabel 9 digambarkan lebih jelas bahwa rata-rata produktivitas tanaman

pangan petani di Desa Kedungpoh lebih tinggi dibanding yang terjadi di Desa

Katongan. Apakah peningkatan produktivitas tanaman pangan tadi terus

berlanjut, hal itu masih tergantung pada sejauh mana perekonomian petani di kemudian hari masih mengandalkan pertanian tanaman pangan.

Tabel 8. Tingkat Rata-rata Obat-obatan yang Dipakai Petani untuk Tanaman Pangan

per ha dalam Setahun, 1982

Jenis Pupuk Desa Kedungpoh Desa Katongan

Furadan (Kg/ha)

Diazinon (Lt/ha)

S e v i n (Kg/ha)

Obat gabah (Kg/ha)

19,9

8,5

9,0

2,5

8,8

4,2

4,9

0,9

Tabel 9. Produktivitas Rata-rata per Hektar (ha) Beberapa Jenis Tanaman Pangan

Utama

Jenis tanaman

pangan utama

Desa Kedungpoh

(Kw/ha)

Desa Katongan

(Kw/ha)

Padi gogo1)

Ubikayu2)

Jagung3)

Kedele4)

22,43

29,25

3,24

3,60

21,60

13,04

2,73

3,36

Keterangan: 1) gabah kering panen; 2) ubikayu basah berkulit; 3) jagung pilihan (wose) 4) biji kedele (wose)

Tingkat produktivitas tanaman pangan utama yang relatif lebih tinggi di Kedungpoh disertai peningkatan curahan jam kerja yang lebih tinggi,

3792,4 jam kerja (Kedungpoh) dan 2781,1 jam kerja (Katongan) per tahun.

Dalam perhitungan faktor tenaga kerja sekitar 71,78 persen (Kedungpoh) dan 67,53 persen (Katongan) dari keseluruhan biaya produksinya,

keuntungan usahataninya adalah sekitar Rp. 225.000 (Kedungpoh) dan Rp.

210.000 (Katongan) per ha per tahun. Dengan rata-rata pemilikan dibawah

0,5 ha per KK, perbedaan tingkat keuntungan usahatani dari peningkatan produktivitas ("teknologi") sebesar tersebut diperkirakan tidak nyata

terhadap kesejahteraan petani.

Dengan tingkat pengeluaran rata-rata rumah tangga seperti digambarkan Tabel 10, pendapatan usahatani dari tanaman pangan jauh

dari mencukupi keperluan rumah tangga petani. Gejala yang tampak

menarik bahwa tingkat pengeluaran rata-rata rumah tangga petani Desa Kedungpoh lebih tinggi dari Desa Katongan. Dapat ditafsirkan, bahwa

dampak modernisasi ternyata meningkatkan secara nyata tingkat

pengeluaran rumah tangga, baik untuk pangan maupun non pangan (terutama pendidikan). Dari gambaran ini juga dapat ditafsirkan, bahwa

dampak modernisasi pertanian sekaligus mendorong petani untuk mencari

tambahan pendapatan dari luar pertanian. Hal ini tampak akan

Page 12: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

86

menimbulkan gejala tidak sehat, terutama jika sektor non pertanian tetap kurang bersahabat dengan petani kecil.

Tabel 10. Jumlah Rata-rata Pengeluaran Rumah Tangga dan Alokasinya Menurut

Jenis Pengeluarannya

Jenis pengeluaran Desa Kedungpoh Desa Katongan

(Rupiah) (%) (Rupiah) (%)

- Makan dan minum (termasuk

rokok)

- Pakaian

- Perkakas rumah

- Pendidikan

- Kesehatan

- Reakreasi

- Pajak

- Lain-lain (sumbangan, iuran dll)

594.492

54.130

11.310

130.580

10.340

10.600

1.923

43.900

69,35

6,31

1,32

15,23

1,21

1,24

0,22

5,12

444.345

56.896

9.800

95.800

11.060

8.700

1.196

46.000

65,95

8,44

1,45

14,22

1,64

1,29

0,18

6,83

Jumlah 857.900 100,00 673.797 100,00

SOLIDARITAS MASYARAKAT DESA

Solidaritas merupakan bagian esensial yang tidak dapat diabaikan

jika kita melihat masyarakat desa sebagai hasil dari proses sejarah dan kebudayaan manusia yang tinggal dalam batasan geografis yang jelas

(Durkheim, 1966; Hoogvelt, 1976 dan Hawley, 1950). Kekhasan solidaritas

atau kerjasama pada masing-masing komunitas desa dapat dilihat dari batasan lokasi, produksi dan ekonomi, keagamaan/kepercayaan, dan

derajat kebirokrasian dalam pembangunan pedesaan. Di setiap komunitas

desa akan menampakkan gejala solidaritas yang berbeda.

Solidaritas Ketetanggaan

Kehidupan ketetanggaan mencerminkan penggabungan antara

norma kekeluargaan dan aspek lokasional. Hubungan atau komunikasi

menggunakan media lisan (getok tular) dan tatap muka yang bersifat perso-

nal menjadi ciri umum yang mendasari solidaritas ketetanggaan. Disamping disebabkan sedikit dikuasainya bahasa tulis, menurut Vandemark dan Leth

(1977), bagaimana masyarakat berkomunikasi merupakan bahian sistem ni-

lai dan kelembagaan masyarakat tersebut. Lebih lanjut, solidaritas ketetang-gaan ini banyak diwarnai kegiatan tolong menolong bersifat kekeluargaan.

Perwujudan nyata solidaritas ini, antara lain pertama, adalah

selametan dan kesripahan dan beberapa peringatan yang berkaitan dengan kematian (nyatus, nyewu, dan ngekoli). Kedua, adalah yang berkaitan

dengan upacara atau tradisi pernikahan. Gotong royong merupakan

kekayaan kehidupan ketetanggan, yang dalam praktek semacam kewajiban

sosial atau norma (hukum) tidak tertulis. Ketiga, solidaritas ini sedikit

Page 13: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 87

banyak juga mendasari kegiatan pertanian antar tonggo teparo, yang istilah

lokalnya lir gumanti (untuk luku, nggaru, macul, matun, dan panen).

Keempat, tolong menolong untuk membuat rumah (bahan dari pemilik),

terutama di bidang tenaga kerja, masih merupakan kasanah solidaritas ketetanggaan yang tetap hidup.

Dalam solidaritas ketetanggaan ini terkandung norma hukum,

walaupun tidak tertulis, yang jika dilanggar ada sangsinya. Sebagai contoh, seorang anggota atau warga ketetanggaan yang diketahui sering tidak

terlibat dalam kegiatan solidaritas untuk sementara waktu dikucilkan dari

pergaulan sehari-hari. Walaupun sangsi ini jarang digunakan, namun cu-

kup efektif untuk menjaga dan mempertahankan norma solidaritas kete-tanggaan. Dalam hal ini, unsur keamanan lingkungan tetangga termasuk

prioritas tujuan masyarakat yang penting. Secara mental, seorang warga

yang dikucilkan dan keamanan keluarganya kurang terjamin terasa sekali beratnya.

Solidaritas Sosial Budaya

Solidaritas dalam skala lebih besar, menurut Toynbee dalam

Homans (1950) bukan sekedar urusan unit keluarga namun juga tumbuh

untuk menggalang hubungan kolektivitas yang harmonis di tingkat

padukuhan. Dalam kaitan ini norma ketetanggaan diperluas hingga tingkat padukuhan atau kampung. Solidaritas di tingkat ini masih diwarnai

kebersamaan yang didasarkan atas norma kekeluargaan dan ketetanggaan.

Sebagaimana juga dikatakan Tjondronegoro (1977), yang menyebut istilah sodalitas, demokrasi sederhana ("primitif") yang menjunjung tinggi asas

musyawarah masih tampak hidup pada kehidupan solidaritas di tingkat

padukuhan. Pada tingkat inilah agaknya solidaritas sosial budaya asli masyarakat pedesaan dapat bertahan hidup.

Orang-orang yang dianggap mempunyai kelebihan di bidang pengeta-

huan umum, dan integritas kemasyarakatan didudukkan sebagai pemimpin dan penggerak solidaritas. Pada tingkat ini gerakan masyarakat tidak

menggambarkan kemauan elit masyarakat. Pengertian rukun, sebagaimana

juga ditangkap Geertz (1983) pada umumnya di masyarakat atau keluarga

Jawa, masih nyata mendasari kebersamaan sosial budaya. Norma hukum, ekonomi dan sosial masih tampak sebagai bagian budaya masyarakat.

Dalam bentuk kegiatan nyata, solidaritas ini ditunjukkan oleh masih

tebalnya semangat gugur gunung (istilah yang mirip dengan gotong royong). Semangat ini masih efektif untuk pembuatan sarana umum (misalnya:

jalan, balai padukuhan, langgar/masjid, dan pembuatan/perbaikan gorong-

gorong). Semangat ini juga tampak pada kegiatan pertukaran tenaga kerja di pertanian, dan lembaga sosial ekonomi padukuhan. Arisan rumah dan

lumbung padukuhan tidak dapat dilepaskan dan semangat solidaritas

berdasar sosial budaya ini. Dalam bentuk sangsi hukum, tampak lebih

keras dibanding pada solidaritas ketetanggaan. Sebagai contoh, bagi pemilik ternak yang lalai mengikat ternak (misalnya: sapi dan kambing) dan

kemudian ternak tersebut merusak tanaman (pagar) tetangga, pemilik

Page 14: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

88

ternak dapat dikenakan hukuman mengumpulkan batu kali sebanyak 1 kubik (1 m3).

Solidaritas Birokratik

Penerapan prinsip solidaritas di tingkat desa tidak lepas dari hukum-

hukum pengaturan formal dari atas desa. Hirarki, wewenang dan kekuasaan

formal berdasar aturan-aturan tertulis (Etzioni, 1964) yang ditentukan atas

desa berdasar Undang-undang nasional (UU RI No.5, 1979) telah diterima sebagai kenyataan. Dengan demikian, solidaritas masyarakat tidak saja

merangkai kepentingan bersama secara internal di tingkat desa, namun juga

dalam kaitannya dengan desa lain dan kepentingan lain secara vertikal. Dalam kerangka ini, desa tidak lagi menggambarkan unit otonomi yang

demokratis namun telah menjadi bagian kekuasaan formal atas desa, atau

menjadi bagian masyarakat yang serba komplek dan modern.

Dalam kaitan dengan hal tersebut, penerapan birokrasi menjadi

semacam keharusan untuk menggerakkan solidaritas masyarakat. Beberapa

contoh penggunaan birokrasi adalah untuk pelaksanaan program OPSUS, penarikan kredit BIMAS, penarikan pajak (IPEDA, sekarang PBB),

penyelenggaraan pemerintahan desa, kegiatan PKK dan keluarga berencana.

Pemanfaatan aspek birokrasi, untuk menggerakkan solidaritas di tingkat desa, tidak dapat dilepaskan dari penempatan Lurah atau Kepala Desa

sebagai pucuk pimpinan pemerintahan desa. Walaupun Kepala Desa dipilih

oleh rakyat, untuk jabatan selama 8 tahun, namun dalam organisasi

pemerintahan ia langsung dibawahi Camat.

Inisiatif atau penggerak solidaritas lahir dari atasan, dan petani

sebagai bawahan (atau sub ordinasi, istilah Redfield, 1982) hanya berhak

sebagai pemberi usul. Diterima atau tidaknya usulan ditentukan oleh atasan desa, dengan anggapan ("tidak selalu benar") bahwa atasan desa mempunyai

organ-organ khusus yang mengkaji usulan petani tersebut. Pelanggaran atas

norma solidaritas ini mengandung sangsi fisik, konsekuensi atas jabatan (jika ada), denda, hingga kurungan penjara. Acuan untuk penetapan hukum

adalah peraturan formal tertulis.

Solidaritas Rasional

Solidaritas ini didasarkan atas imbalan, atau pertukaran yang

individualistik atau rasional. Pada konsep solidaritas rasional ini lebih dekat

dengan pendekatan Weber daripada Durkheim dalam Johnson (1987). Ciri-ciri ekonomi petani, yang didasarkan dalam kegiatan produksi mulai tampak

jelas. Sejalan dengan perkembangan teknologi pertanian, menurut Simon

(1975), kegiatan pertanian berkembang ke arah efisiensi penggunaan tenaga kerja. Solidaritas rasional yang didasarkan atas pertimbangan ekonomi,

membuat kebudayaan pertanian lebih lengkap. Dalam pengertian Wolf

(1983), perkembangan penggunaan metode baru (ekotipe neoteknik) terkait dengan perluasan koalisi petani dan tatanan sosial yang lebih luas. Surplus

Page 15: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 89

ekonomi dari kegiatan pertanian diperlukan petani bukan saja untuk biaya

penggantian peralatan, namun juga untuk kepentingan seremonial.

Semula pertukaran faktor produksi dalam kegiatan pertanian lebih

dominan pada penggunaan tenaga kerja, dimana tenaga kerja merupakan input produksi pertanian yang penting, (setelah tanah). Istilah sambat sinambat, merupakan sistem upah-mengupah tradisional berdasar pertu-

karan tenaga kerja antar keluarga. Kemudian, akibat adanya pola penggara-pan tanah yang tidak seimbang dan munculnya pemilikan lahan sempit dan

buruh tani (tidak bertanah), upah-mengupah dengan hasil panen dan uang

tampak mulai dikenal. Imbalan uang biasanya digunakan oleh pemilik tanah

luas untuk mengupah buruh tani, terutama untuk pengolaan tanah dan pemeliharaan. Sedang pada kegiatan panen, sistem imbalan umumnya

dengan hasil panen ("bawon"). Sedang upah-mengupah antar petani kecil

sejajar dengan sambat sinambat atau lir gumanti, (uang tunai relatif sukar diperoleh).

Sistem imbalan yang berlaku secara kelembagaan ditunjukkan oleh

upah gaduh dan jasa peminjaman dari lumbung paceklik (umumnya di padukuhan). Istilah gaduh untuk ternak mirip dengan maro di pertanian

pangan. Artinya penggaduh atau pemaro berhak atas sebagian hasil dari

ternak yang dipelihara atau tanah yang digarap, sebagai imbalan jasa tenaga

kerjanya. Sedang bunga pinjaman dari lumbung paceklik yang harus dibayar adalah jasa menggunakan kekayaan masyarakat. Apabila pinjaman ini

digunakan untuk menegakkan institusi masyarakat, misalnya untuk

penyelenggaraan perkawinan, peminjam tidak dipungut bunga.

ORGANISASI MASYARAKAT

Pemerintahan Desa

Gambar 8 dan 9 menunjukkan struktur organisasi pemerintahan

desa di desa Kedungpoh dan Katongan. Tampak bahwa pemerintahan desa adalah bagian terbawah dari hirarki pemerintahan. Sebelum terintegrasi

dalam struktur pemerintahan nasional, puncak hirarki pemerintah adalah

Sultan atau Kesultanan Yogyakarta, (sekarang adalah Gubernur Kepala Daerah Tingkat I D.I. Yogyakarta). Kemudian berturut-turut adalah Bupati

(Kepala Daerah Tingkat II) dan Camat, (Kepala Daerah Tingkat III dan

seterusnya tidak ada). Di bawah Camat adalah Kepala Desa. Di bawah pemerintahan desa terdapat "anak pemerintahan" yang disebut padukuhan,

yang dikepalai oleh Kepala Dukuh atau Dukuh. Di bawah padukuhan,

walaupun tidak tampak dalam gambar, terdapat pedusunan (dikepalai oleh Dusun atau Kepala Dusun) dan keteranggaan (dikepalai oleh Ketua RT).

Pada hirarki kekuasaan atau pemerintahan tingkat Camat ke bawah

tidak dikenal pembagian kekuasaan yang tegas, seperti pada Daerah Tingkat

II, I, dan nasional. Pada hirarki Daerah Tingkat II ke atas, pembagian kekuasaan mencerminkan konsep "trias politika Montesque" (Budiardjo,

1977) cukup jelas. Hal ini ditunjukkan oleh pembagian kekuasaan di bidang

Page 16: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

90

Page 17: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 91

Page 18: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

92

Legislatif (MPR/DPR), Yudikatif (Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Negeri), dan Eksekutif (Presiden, Gubernur, dan Bupati). Di luar struktur

pemerintahan, organisasi-organisasi formal masyarakat diatur dengan UU

Keormasan (1985). Dari gambaran di atas tampak bahwa hirarki kekuasaan Camat ke bawah tidak memiliki wewenang otonom. Dalam UU Pemerintahan

Desa No.5, 1979, istilah otonomi desa tidak dikenal, dan desa adalah

bawahan langsung kecamatan.

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa organisasi pemerintahan desa lebih ditekankan dalam hubungannya dengan gejala hirarki kekua-

saan, kewenangan dan kebirokrasian. Sedangkan dalam penyelenggaraan

pemerintahan desa gejala tersebut sedikit banyak juga telah dipakai, yaitu adanya beberapa pembagian peran yang jelas: siapa yang berhak meme-

rintah dan diperintah, yang mengawasi dan diawasi, yang mengkoordinir

dan dikoordinir, pembagian tanggungjawab, dan kordinasi horisontal. Secara ringkas juga dapat dikatakan bahwa Kepala Desa membawahi gugus

kepamongan hingga Kepala Dukuh, dan semua unit organisasi dan perkum-

pulan masyarakat di tingkat desa. Karena tidak ada pembagian kekuasaan yang jelas, seakan-akan Kepala Desa berkuasa penuh ("absolut") tanpa

watak demokrasi. Mekanisme pengawasan dari bawah ke atas tidak tampak

terstruktur secara formal.

Organisasi dan Perkumpulan Masyarakat di Tingkat Desa dan

Padukuhan

Tabel 11 menggambarkan ragam, jumlah, dan karakteristik organi-sasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa. Sedang Tabel 12

menggambarkan hal yang sama di tingkat padukuhan. Melihat keragaman-

nya, antara organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa dan padukuhan tidak menunjukkan perbedaan yang menyolok. Secara umum

tampak, bahwa pada desa yang berdekatanpun menunjukkan adanya

perbedaan khas pada organisasi dan perkumpulan masyarakatnya, walau-pun beberapa hanya pada penamaannya. Demikian juga halnya di tingkat

padukuhan, gejala yang menarik bahwa ternyata jumlah organisasi dan

perkumpulan masyarakat di tingkat padukuhan lebih banyak dibanding di tingkat desa. Jumlah yang menonjol di tingkat desa adalah pada

organisasi pertanian (Kelompok Tani, dan KTW = Kelompok Tani Wanita)

dan organisasi pendidikan (Sekolah, BP3, Usaha Kesehatan Sekolah, dan

Kepramukaan). Jumlah yang menonjol di tingkat padukuhan adalah KKLKMD (Kelompok Kerja LKMD), Dasa Wisma (istilah lain dari KKLKMD di

desa Katongan), Kelompok Perondaan, dan Kelompok Tani.

Tampak ada semacam konsistensi pada karakteristik organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa maupun padukuhan. Di tingkat

desa, ukuran organisasi dan perkumpulan masyarakat antara berukuran

sedang (os) dan besar (sb). Organisasi berukuran besar (ob dan sb) lebih mendominasi daripada berukuran sedang (os). Sedang di tingkat padukuh-

an, ukuran organisasi dan perkumpulan masyarakat lebih dominan pada

ukuran sedang ke bawah. Gejala yang menarik, pada tingkat pendahuluan

Page 19: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 93

Page 20: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

94

Page 21: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 95

mulai tampak organisasi dan perkumpulan masyarakat berukuran kecil

(ok). Organisasi berukuran besar hanya dijumpai pada Desa Pancamarga,

yang merupakan bagian dari pemerintahan desa.

Ditinjau dari asal pembentukannya, sebagian besar organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa dibentuk oleh atasan desa (pm =

pemerintah). Beberapa yang tidak dibentuk pemerintah adalah OPA atau

Organisasi Pemakai Air (Desa Katongan), Regu Pemberantas Hama (Desa Katongan), Lumbung Paceklik (Desa Kedungpoh), arisan, kematian, dan

aliran kepercayaan (Desa Katongan). Sedang di tingkat padukuhan,

padukuhan, tampak bahwa organisasi dan perkumpulan masyarakat dari bawah lebih berkembang. Dari Tabel 12 juga ditunjukkan bahwa di tingkat

padukuhan inilah terjadi semacam "simbiosa" antara organisasi yang

dibentuk pemerintah (dari atas) dan masyarakat bawah. Gambaran ini sejalan degan penemuan Tjondronegoro (1977) tentang unit masyarakat

"sodalis", yang mencirikan demokrasi primitif.

Ditinjau dari sudut keformalannya, organisasi dan perkumpulan

masyarakat di tingkat desa sebagian besar berbentuk formal. Beberapa yang tidak menunjukkan tingkat keformalan yang tinggi adalah KTW, OPA, Regu

Pemberantas Hama, Arisan, Kematian, dan Aliran Kepercayaan. Sedang di

tingkat padukuhan, kecuali Desa Pancamarga, organisasi dan perkumpulan masyarakat yang bersifat formal hampir tidak dijumpai. Tampak jelas disini,

bahwa antara tingkat formalitas dan asal pembentukannya terdapat

hubungan erat. Organisasi dan perkumpulan yang dibentuk oleh masyara-kat bawah kurang menonjol dari segi formalitas.

Ditinjau dari hubungan pengendalian oleh atasan kepada bawahan,

organisasi dan perkumpulan masyarakat di tingkat desa sebagian besar merupakan kombinasi antara birokratik dan karismatik. Agaknya, kecuali

pada jalur pemerintahan, pengendalian organisasi dan perkumpulan

masyarakat desa tidak mudah dengan menerapkan asas birokratik.

Pengendalian dengan unsur karisma seseorang hanya tampak pada organisasi aliran kepercayaan. Sedang di tingkat padukuhan, pengendalian

dengan unsur karisma seorang pemimpin relatif menonjol dibanding di

tingkat desa. Pengendalian yang sepenuhnya birokratik hanya tampa pada desa Pancamarga. Sifat pengendalian yang demikian sedikit banyak

berkaitan dengan tingkat pengetahuan masyarakat pedesaan (umumnya

buta tulis), asal pembentukannya dan tingkat keformalannya.

Dari penjelasan dengan beberapa kriteria tinjauan di muka

selanjutnya dapat ditarik gambaran bahwa organisasi dan perkumpulan

masyarakat di tingkat desa sebagian besar adalah berciri modern atau mutakhir. Sedang di tingkat padukuhan, ciri tradisional masih cukup besar

mewarnai kehidupan organisasi dan perkumpulan masyarakatnya. Ciri

modern tampak menonjol pada organisasi dan perkumpulan yang bergerak

di bidang produksi pertanian dan pemerintah. Memperhatikan tingkat keformalannya, asal pembentukannya, dan hubungan pengendalian antara

atasan dan bawahan dapat untuk menduga kemutakhiran suatu organisasi

dan perkumpulan masyarakat tingkat desa. Di tingkat padukuhan inilah

Page 22: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Menuju Transformasi Kelembagaan Dalam Pembangunan Pertanian dan Pedesaan

96

tampak terjadi proses transisi dari tradisional ke mutakhir, dimana antara yang tradisional dan mutahir relatif seimbang. Agaknya, kebudayaan

pedesaan yang mencirikan pola kehidupan tradisional masih dapat bertahan

di tingkat padukuhan.

KESIMPULAN

(1) Solidaritas dan organisasi masyarakat tingkat desa tidak saja merangkai antara kepentingan kekuasaan atas desa dan kepentingan masyarakat

bawah, namun juga sebagai pengintegrasian antara sumberdaya

manusia setempat (komunitas) dan sumberdaya lingkungan (fisik: tanah, iklim dan air; dan hayati: tanaman, hewan, dan mikro-

organisme). Oleh sebab itu bisa dikatakan bahwa sampai seberapa besar

solidaritas dan organisasi masyarakat tingkat desa dapat dikembangkan, tergantung juga dari energi sosial yang mendukungnya. Selain modal

dan teknologi, asset tanah menjadi salah satu penentu dinamika

solidaritas dan organisasi masyarakat tingkat desa.

(2) Untuk mempercepat laju perkembangan desa, pemerintah tampaknya

tidak punya pilihan lain kecuali ikut campur dalam perencanaan

maupun pelaksanaan pembangunan pedesaan. Campur tangan pemerintah, pada akhirnya diterima sebagai kenyataan, tidak saja dalam

kaitannya dengan perubahan teknologi fisik (material), namun juga

dengan struktur keorganisasian masyarakat pedesaan. Hal ini sejalan

dengan keinginan atasan desa, agar lingkungan dan komunitas pedesaan ikut mendukung terciptanya solidaritas yang lebih kuat di

tingkat nasional, (secara sosial budaya, birokratik, dan rasional).

Kuatnya solidaritas ini, tidak saja dalam rangka pencapaian kesejahteraan spiritual (status, nilai, sikap dan kepercayaan) namun

juga untuk kesejahteraan material (produktivitas, pendapatan,

ketenagakerjaan dan partisipasi masyarakat pedesaan).

(3) Solidaritas adalah bagian dari sumberdaya manusia ("kolektif") yang

cukup menjadi penentu bagi hidup dan berkembangnya organisasi

masyarakat di tingkat desa. Masyarakat pedesaan tampaknya tidak keberatan menerima pembentukan organisasi baru dari pemerintahan

atas desa. Hanya saja, organisasi baru yang lebih berfungsi sebagai alat

(instrumen), perlu diadaptasikan dengan kasanah budaya pedesaan

setempat. Terlihat, bahwa tanpa campur tangan dari luar pun, masyarakat pedesaan telah mengenal norma kerjasama dalam

berorganisasi. Adaptasi yang dimaksud adalah untuk mencapai

efektivitas dan efisiensi ("harmonisasi") pendayagunaan organisasi tersebut.

(4) Organisasi masyarakat yang tumbuh dari bawah umumnya dicirikan

oleh tingkat formalitas yang rendah, unsur ketradisian yang menonjol, pengendalian dengan kepemimpinan karimatik, berukuran relatif kecil,

dan dengan kompleksitas yang rendah (sederhana). Sebaliknya organi-

Page 23: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaan 97

sasi masyarakat yang dibentuk dari atas menunjukkan ciri keformalan

relatif tinggi, unsur-unsur modern relatif menonjol, pengendalian dengan

penggunaan asas birokrasi relatif nyata, berukuran relatif besar, dan

dengan kompleksitas relatif tinggi.

(5) Pada tingkat desa, organisasi dan perkumpulan masyarakatnya

mencirikan hasil bentukan dari atas atau setidak-tidaknya mencermin-

kan sebagai perpanjangan ciri dari atasan desa. Sedangkan di tingkat padukuhan, masih cukup jelas dicirikan oleh kasanah budaya setempat.

Ditampakkan juga, karena kuatnya cengkeraman kekuasaan dan

wewenang atasan desa melalui Kepala Desa, perwujudan demokrasi rakyat sulit berkembang. Walaupun perwujudan demokrasi di tingkat

desa tampak mulai memudar, namun hal ini masih terasa hidup di

tingkat padukuhan.

(6) Dikaitkan dengan pembangunan, agaknya pembentukan dan pengem-

bangan organisasi masyarakat di tingkat desa oleh pemerintah (pusat

dan daerah) lebih ditekankan untuk mengejar laju produksi dan

ekonomi pertanian. Penempatan Camat dan Kepala Desa sebagai saluran vertikal ke bawah, yang dikendalikan berdasar hirarki wewenang

dan kekuasaan dalam jalur pemerintahan (UU Pemerintahan Desa No.5,

1979), tampak efektif untuk melaksanakan kepentingan atas desa. Sedangkan unsur pemerataan kesejahteraan (pendapatan, kesempatan

kerja, partisipasi dan nilai dan kepercayaan) masyarakat seakan-akan

menjadi urusan keorganisasian yang tumbuh dari budaya setempat.

(7) Kebijaksanaan pemerintah dalam pembangunan pedesaan masih

condong mengutamakan pembentukan organisasi formal disertai gugus

birokrasi sebagai saluran pengawasan searah yang bersifat instruktif, dan kurang memanfaatkan organisasi informal yang berakar pada

solidaritas ketetanggaan dan sosial budaya. Kesan terburu-buru,

tampak pada upaya mengambil jalan pintas yaitu dengan menciptakan

organisasi baru pada hampr setiap ada program pembangunan. Pada saat itulah, fungsi dan peranan organisasi yang berakar dari bawah

mulai tergusur. Sebagai konsekuensinya pencapaian pemerataan, yang

seharusnya merupakan esensi pembangunan pedesaan, tidak menjadi semakin dekat.

(8) Tingkat kemajuan masyarakat pertanian di pedesaan tampak terhambat,

bukan oleh tidak mampunya petani menyerap teknologi pertanian modern, namun oleh pemilikan tanah pertanian yang terbatas. Dengan

dukungan sumberdaya tanah yang sangat sempit, sukar bagi

masyarakat pedesaan untuk mengembangkan solidaritas dan keorga-nisasiannya melebihi batas-batas pergaulan secara personal. Dengan

energi yang sangat terbatas, disebabkan sempit dan tidak meratanya

pemilikan tanah, solidaritas dan keorganisasian masyarakat di tingkat

desa dalam bentuk partisipasi petani diperkirakan akan sulit untuk mendukung pembangunan nasional.

Page 24: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Lingkungan Pedesaan

Komunitas Pedesaan

Variabel bebas Variabel antara Variabel tujuan

Gambar 7. Kerangka Dampak Pengembangan Organisasi Masyarakat Tingkat Desa, Sebagai Bagian Kekuasaan Atas Desa,

Terhadap Pembangunan Pedesaan

1. Produktivitas

2. Distribusi pendapatan dan kesejahteraan

3. Penyerapan tenaga

kerja

4. Partisipasi

pengambilan

keputusan 5. Mobilitas status ke atas

(“vertikal”)

6. Nilai, sikap dan

kepercayaan

Struktur dan Organisasi

Masyarakat Tingkat

Desa

Sumberdaya

Manusia

Wewenang Formal

kekuasaan Masyarakat

Desa

Modal dan

Sarana Fisik

Sumberdaya

Lingkungan: Fisik dan

Hayati

Teknologi Fisik

(Material)

Page 25: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Keterangan:

Garis perintah dan pengawasan Camat serta pertanggungjawaban (Kepala Desa) kepala Camat Garis perintah kepada Kepala-Kepala Bagian, Kepala Dukuh serta pertanggungjawabannya kepada Kepala Desa

Garis pengawasan instansi/lembaga yang ada di desa

Garis koordinasi instansi vertikal di desa

Garis koordinasi dan pelayanan administrasi

Gambar 8. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Kedungpoh, Kecamatan Nglipar

R a k y a t

Kep. Dukuh

Gentungan

Kep. Dukuh Kedungpoh

Lor

Kep. Dukuh

Nglerog

Kep. Dukuh Kedungpoh

Tengah

Kep. Dukuh Sinoa

Kep. Dukuh

Mojosari

Kep. Dukuh Kedungpoh

Kidul

Kep. Dukuh Gojo

Kep. Dukuh Kedungpoh

Kulon

Kep. Dukuh Klayer

Kep. Bagian Sosial

Kep. Bagian Agama

Kep. Bagian Kemakmuran

Kep. Bagian Keamanan

Kep. Bagian Umum

LKMD PKK Pertiwi Kel. Pemuda

Kepala Desa

C A M A T

Page 26: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Keterangan:

Garis perintah dan pengawasan Camat serta pertanggungjawaban (Kepala Desa) kepala Camat Garis perintah kepada Kepala-Kepala Bagian, Kepala Dukuh serta pertanggungjawabannya kepada Kepala Desa

Garis pengawasan instansi/lembaga yang ada di desa

Garis koordinasi instansi vertikal di desa

Garis koordinasi dan pelayanan administrasi

Gambar 9. Struktur Organisasi Pemerintahan Desa Katongan, Kecamatan Nglipar

R a k y a t

Kepala Dukuh

Ngrandu

Kepala Dukuh Klegung

Kepala Dukuh Djeruk Legi

Kepala Dukuh Kepuh Sari

Kepala Dukuh

Perbutan

Kepala Dukuh Nglabak

Kep. Bagian Sosial

Kep. Bagian Agama

Kep. Bagian Kemakmuran

Kep. Bagian Keamanan

Kep. Bagian Umum

LKMD

PKK Pertiwi Kel. Pemuda

Kepala Desa

C A M A T

Page 27: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Tabel 11. Jumlah dan Karakteristik Organisasi/Perkumpulan Masyarakat Tingkat Desa di Desa Kedungpoh dan Desa Katongan

Nama Perkumpulan/Organisasi

Kisaran jumlah

anggota 1)

Jumlah perkumpulan/

organisasi (buah/desa) 2)

A s a l 3)

Bentuk 4)

Sifat 5)

Kategori 6)

Kd.7) Kt.8) Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt.

1. Pemerintahan Desa 2. LKMD

3. PERTIWI 4. Dharma Wanita 5. Organisasi Politik 6. Kelompok Tani 7. KTW 8. OPA

9. Regu Pemberantas Hama 10. Lumbung Paceklik 11. Arisan 12. Pagar Desa 13. Kematian 14. Panti Asuhan

15. Dewan Kesejahteraan Masjid 16. Aliran Kepercayaan 17. WANRA 18. Sekolah 19. BP3

20. Usaha Kesehatan Sekolah 21. PKK 22. Pramuka 23. Karang Taruna

sb os

ob os ob os os -

- sb ob sb ob os

os -

os sb sb

ob sb sb sb

sb os

ob os ob os -

os

os -

ob -

ob -

os sb os sb sb

ob sb sb sb

1 1

1 1 3 18 10 -

- 1 1 1 1 1

1 - 1 8 6

6 1 6 1

1 1

1 1 3 12 - 1

1 - 2 - 1 -

1 1 1 5 4

4 1 4 1

pm pm

pm pm pm pm pm -

- sw al

pm sw pm

pm -

pm pm pm

pm pm pm pm

pm pm

pm pm pm pm -

sw

al - al -

sw -

pm al

pm pm pm

pm pm pm pm

fm fm

fm fm fm fm sf -

- sf sf sf fm -

fm fm fm fm fm

fm fm fm fm

fm fm

fm fm fm fm - if

if - sf -

fm sf

fm fm fm fm fm

fm fm fm fm

bk bk

bk sb bk sb sb -

- sb sb sb sb sb

sb -

bk bk sb

sb sb bk bk

Bk bk

bk sb bk sb -

sb

sb -

sb -

sb -

sb kr bk bk sb

sb sb bk bk

mr mr

mr mr mr mr mr -

- tr tr tr tr mr

mr -

mr mr mr

mr mr mr mr

mr mr

mr mr mr mr - tr

tr - tr - tr -

mr tr mr mr mr

mr mr mr mr

Keterangan: 1) ok = 12 orang per organisasi/perkumpulan 4) fm = formal 7) Kd. = Desa Kedungpoh os = 12 - 50 orang if = informal

ob = 50 - 100 orang sf = semi-formal. 8) Kt. = Desa Katongan sb = > 100 orang 5) kp = karismatik (apresiatif) bk = impersonal (birokratis) 2) Angka perkiraan sb = semi birokratik 3) pm = dibentuk oleh pemerintah 6) mr = mutakhir (modern) sw = oleh swadaya masyarakat td = tradisional al = oleh kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. tr = transisi dari tradisional ke mutakhir.

Page 28: Solidaritas, Organisasi dan Pembangunan Pedesaanpse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/tematik_pranadji_2003_set...menjalankan revolusi pertanian dan industri sebagaimana terjadi

Tabel 12. Jumlah dan Karakteristik Organisasi/Perkumpulan Masyarakat Tingkat Padukuhan di Desa Kedungpoh dan Desa Katongan

Nama Perkumpulan/Organisasi

Kisaran jumlah

anggota 1)

Jumlah

perkumpulan/ organisasi

(buah/desa) 2)

A s a l 3)

Bentuk 4)

Sifat 5)

Kategori 6)

Kd.7) Kt.8) Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt. Kd. Kt.

1. Desa Pancamarga 2. KKLKMD

3. "Dasa Wisma" 4. Kelompok Tani 5. Kelompok Tani Tanaman 6. Kelompok Tani Tanaman

7. Kelompok Tani Rumput 8. "Koperasi Padukuhan" 9. Lumbung Paceklik 10. Arisan 11. Kelompok Bangunan 12. Pengajian

13. Dewan Kesejahteraan 14. Kelompok Perondaan 15. "SISKAMLING" 16. PKK Padukuhan 17. PKAK

18. Kelompok Pendengar 19. Karawitan 20. Lain-lain

sb ok

- os os os os -

os os -

os -

ok

- os -

os ok

ok

sb -

ok os - - -

os

os os os os os ok

os os os -

ok

ok

1 1

- 8 6 6 6 -

1 2 - 2 -

41

- 1 - 1 1

td++)

1 40

60 8 - - - 1

1 2 1 2 1 60

1 1

td++) - 1

td++)

pm sw

- pm pm pm pm -

sw al -

sw -

sw

- pm - al sw

sw

pm -

sw pm - - -

sw

sw sw sw sw al sw

al pm pm -

sw

sw

fm if

- sf sf sf sf -

sf sf - if - if

- sf - sf if

if

fm -

if sf - - - if

if sf if if sf if

sf sf sf - if

if

bk kr

- sb sb sb sb -

kr sb -

sb -

kr

- sb -

kr kr

kr

bk -

kr sb - - -

kr

kr sb kr sb ksb kr

sb sb kr -

kr

kr

mr tr

- mr mr mr mr -

td td - td - td

- mr -

nr td

td

mr -

td mr - - - td

td td td td mr td

mr mr mr - td

td

Keterangan: 1) ok = 12 orang per organisasi/perkumpulan 4) fm = formal 7) Kd. = Desa Kedungpoh os = 12 - 50 orang if = informal ob = 50 - 100 orang sf = semi-formal. 8) Kt. = Desa Katongan sb = > 100 orang 5) kp = karismatik (apresiatif)

bk = impersonal (birokratis) ++) Data tidak tersedia atau tidak dapat ditaksir. 2) Angka perkiraan sb = semi birokratik 3) pm = dibentuk oleh pemerintah 6) mr = mutakhir (modern) sw = oleh swadaya masyarakat td = tradisional al = oleh kerjasama antara pemerintah dan masyarakat. tr = transisi dari tradisional ke mutakhir.