SOL Intrakranial BAB II

71
1 BAB I PENDAHULUAN II.1 Latar Belakang Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005). Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan volume salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis Monroe-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan tekanan intracranial (Price, 2005). Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun, sedang menurut Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10% dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum (Iskandar, 2002).

description

sol intrakranial

Transcript of SOL Intrakranial BAB II

Page 1: SOL Intrakranial BAB II

1

BAB I

PENDAHULUAN

II.1 Latar Belakang

Space occupying lesion merupakan generalisasi masalah tentang adanya

lesi pada ruang intrakranial khususnya yang mengenai otak. Penyebabnya

meliputi hematoma, abses otak dan tumor otak (Ejaz butt, 2005).

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan

tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh jaringan

otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume

tertentu yang menghasilkan suatu tekanan intrakranial normal. Peningkatan

volume salah satu dari ketiga unsur utama mengakibatkan desakan ruang

yang ditempati unsur lainnya dan menaikkan tekanan intrakranial. Hipotesis

Monroe-Kellie memberikan suatu contoh konsep pemahaman peningkatan

tekanan intracranial (Price, 2005).

Tumor otak merupakan penyebab sebagian besar dari space occupying

lesion. Di Amerika di dapat 35.000 kasus baru dari tumor otak setiap tahun,

sedang menurut Bertelone, tumor primer susunan saraf pusat dijumpai 10%

dari seluruh penyakit neurologi yang ditemukan di Rumah Sakit Umum

(Iskandar, 2002).

Menurut penilitian yang dilakukan oleh Rumah Sakit Lahore, Pakistan,

periode September 1999 hingga April 2000, dalam 100 kasus space

occupying lesion intrakranial, 54 kasus terjadi pada pria dan 46 kasus pada

wanita. Selain itu, 18 kasus ditemukan pada usia dibawah 12 tahun. 28 kasus

terjadi pada rentan usia 20-29 tahun, 13 kasus pada usia 30-39, dan 14 kasus

pada usia 40-49 (Ejaz butt, 2005).

Di Indonesia data tentang tumor susunan saraf pusat belum dilaporkan.

Insiden tumor otak pada anak-anak terbanyak dekade 1, sedang pada dewasa

pada usia 30-70 dengan pundak usia 40-65 tahun (Iskandar 2002).

Page 2: SOL Intrakranial BAB II

2

I.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah

Tujuan Umum

Untuk mengetahui macam-macam pemeriksaan penunjang dalam

penegakkan diagnosis penyakit tropis dan indikasinya.

Untuk mengetahui pertimbangan dalam menggunakan pemeriksaan

penunjang.

Tujuan Khusus

Untuk menambah wawasan dan ilmu mengenai space occupying

lesion (SOL) intrakranial.

I.3 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh dari disusunnya referat ini adalah mampu

memberikan pengetahuan dan wawasan tentang space occupying lesion

(SOL) intrakranial bagi mahasiswa dan pembaca.

Page 3: SOL Intrakranial BAB II

3

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Prinsip hukum Monroe-Kellie

Ruang intra kranial ditempati oleh jaringan otak, darah, dan cairan

serebrospinal. Setiap bagian menempati suatu volume tertentu yang

menghasilkan suatu tekanan intra kranial normal sebesar 50 sampai 200

mmH2O atau 4 sampai 15 mmHg. Dalam keadaan normal, tekanan intra

kranial (TIK) dipengaruhi oleh aktivitas sehari-hari dan dapat meningkat

sementara waktu sampai tingkat yang jauh lebih tinggi dari normal. Ruang

intra kranial adalah suatu ruangan kaku yang terisi penuh sesuai kapasitasnya

dengan unsur yang tidak dapat ditekan, yaitu : otak (1400 g), cairan

serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml). Peningkatan volume

pada salah satu dari ketiga unsur utama ini mengakibatkan desakan ruang

yang ditempati oleh unsur lainnya dan menaikkan tekanan intra kranial

(Lombardo,2006 ).

Ruang intra krnial dibatasi oleh tuang-tulang kranium sehingga volume

dari ruang tersebut relatif tetap. Keseimbangan isi komponen dalam ruang

intra kranial diterangkan dengn konsep Doktrin Monro-Kellie

(Sumardjono,2004).

Isi ruang intra kranial adalah: (Sumardjono,2004).

1. Parenkhim otak, 1100-1200 gram, merupakan komponen paling

besar, kurang lebih 70%.

2. Komponen vaskuler, terdiri dari darah arteri, arteriole, kapiler,

venula, dam vena-vena besar 150 cc, kurang lebih 15-20%, tetapi

kapasitas variasi yang cukup besar.

3. Komponen CSS (Cairan Serebro Spinal) 150 cc, 15-20% pada

keadaan tertentu sangat potensial untuk pengobatan, karena CSS

dapat dikeluarkan.

Page 4: SOL Intrakranial BAB II

4

Gambar 2.1 Doktirn Monroe-Kellie (Sumardjono,2004)

Tekanan Intra Kranial (TIK) dipertahankan 10 mmHg. Jika TIK lebih dari

20 mmHg dianggap tidak normal, jika TIK lebih dari 40 mmHg termasuk

kenaikan TIK berat (Sumardjono,2004).

Otak yang mengalami kontusio akan cenderung menjadi lebih besar, hal

tersebut dikarenakan pembengkakan sel-sel otak dan edema sekitar kontusio.

Sehingga akan menyebabkan space occypying lesion (lesi desak ruang) intra

kranial yang cukup berarti. Karena wadah yang tetap tetapi terdapat adanya

tambahan massa, maka secara kompensasi akan menyebabkan tekanan intra

kranial yang meningkat. Hal ini akan menyebabkan kompresi pada otak dan

penurunan kesadaran. Waktu terjadinya hal tersebut bervariasi antara 24-48

jam dan berlangsung sampai hari ke 7-10 (Sumardjono,2004).

Page 5: SOL Intrakranial BAB II

5

Kenaikan TIK ini secara langsung akan menurunkan TPO (Tekanan

Perfusi Otak), sehingga akan berakibat terjadinya iskemia dan kematian. TIK

harus diturunkan tidak melebihi 20-25 mmHg. Bila TIK 40 mmHg maka

dapat terjadi kematian (Sumardjono,2004).

Gambar 2.2 Hubungan Tekanan Intrakranial, Ruang Intrakranial dan isinya

(Sumardjono,2004)

II.2 Space Occupying Lesion Intrakranial

II.2.1 Definisi Space Occupying Lesion

Space occupying lesion intrakranial (lesi desak ruang intrakranial)

didefinisikan sebagai neoplasma, jinak atau ganas, primer atau

sekunder, serta setiap inflamasi yang berada di dalam rongga tengkorak

yang menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan menempati

ruang di dalam otak. Space occupying lesion intrakranial meliputi

tumor, hematoma, dan abses (Ejaz Butt, 2005).

II.2.2 Mekanisme Patofisiologi Space Occupying Lesion

Kranium merupakan kerangka baku yang berisi tiga komponen

yaitu otak, cairan serebrospinal (CSS) dan darah. Kranium mempunyai

sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum dan memiliki

Page 6: SOL Intrakranial BAB II

6

tentorium yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum.

Timbulnya massa yang baru di dalam kranium seperti neoplasma, akan

menyebabkan isi intrakranial normal akan menggeser sebagai

konsekuensi dari space occupying lesion (SOL).

Cairan serebrospinal diproduksi terutama oleh pleksus koroideus

ventrikel lateral, tiga, dan empat. Dua pertiga atau lebih cairan ini

berasal dari sekresi pleksus di keempat ventrikel, terutama di kedua

ventrikel lateral. Saluran utama aliran cairan, berjalan dari pleksus

koroideus dan kemudian melewati sistem cairan serebrospinal. Cairan

yang disekresikan di ventrikel lateral, mula-mula mengalir ke dalam

ventrikel ketiga. Setelah mendapat sejumlah cairan dari ventrikel ketiga,

cairan tersebut mengalir ke bawah di sepanjang akuaduktus Sylvii ke

dalam ventrikel keempat. Cairan ini keluar dari ventrikel keempat

melalui tiga pintu kecil, yaitu dua foramen Luschka di lateral dan satu

foramen Magendie di tengah, dan memasuki sisterna magna, yaitu suatu

rongga cairan yang terletak di belakang medula dan di bawah serebelum

(Guyton, 2007).

Sisterna magna berhubungan dengan ruang subrakhnoid yang

mengelilingi seluruh otak dan medula spinalis. Cairan serebrospinal

kemudian mengalir ke atas dari sisterna magna dan mengalir ke dalam

vili arakhnoidalis yang menjorok ke dalam sinus venosis sagitalis besar

dan sinus venosus lainnya di serebrum (Guyton, 2007).

Page 7: SOL Intrakranial BAB II

7

Gambar 2.3 Pembentukan Cairan Serebrospinal

(Guyton, 2007)

Peningkatan tekanan intrakranial didefinisikan sebagai peningkatan

tekanan dalam rongga kranialis. Ruang intrakranial ditempati oleh

jaringan otak, darah, dan cairan serebrospinal. Setiap bagian

menempati suatu volume tertentu yang menghasilkan suatu tekanan

intrakranial normal sebesar 50 – 200 mm H2O atau 4 – 15 mm Hg.

Ruang intrakranial adalah suatu ruangan baku yang terisi penuh sesuai

kapasitasnya dengan unsur yang tidak dapat ditekan: otak (1400 g),

cairan serebrospinal (sekitar 75 ml), dan darah (sekitar 75 ml).

Peningkatan volume pada salah satu dari ketiga unsur utama

mengakibatkan desakan ruang yang ditempati oleh unsur lainnya dan

menaikkan tekanan intrakranial (Price, 2005).

Pada keadaan fisiologis normal volume intrakranial selalu

dipertahankan konstan dengan tekanan intrakranial berkisar 10-15

mmHg. Tekanan abnormal apabila tekanan diatas 20 mmHg dan diatas

40 mmHg dikategorikan sebagai peninggian yang parah. Penyebab

peningkatan intrakranial adalah cedera otak yang diakibatkan trauma

kepala. Aneurisma intrakranial yang pecah dapat menyebabkan

peningkatan tekanan intrakranial secara mendadak sehingga mencapai

Page 8: SOL Intrakranial BAB II

8

tingkatan tekanan darah arteri untuk sesaat. Tingginya tekanan

intrakranial pasca pecah aneurisma sering kali diikuti dengan

meningkatnya kadar laktat cairan serebrospinal dan hal ini

mengindikasi terjadinya suatu iskhemia serebri. Tumor otak yang

makin membesar akan menyebabkan pergeseran CSS dan darah

perlahan-lahan (Satyanegara, 2010).

Gambar 2.4 Skema Proses Desak Ruang Yang menimbulkan

Kompresi Pada Jaringan Otak dan Pergeseran Struktur Tengah.

(Satyanegara, 2010)

II.2.3 Macam-Macam Space Occupying Lesion

1. Tumor Otak

Tumor otak atau tumor intrakranial adalah neoplasma atau

proses desak ruang (space occupying lesion) yang timbul di dalam

rongga tengkorak baik di dalam kompartemen supertentorial maupun

infratentorial (Satyanegara, 2010)

Page 9: SOL Intrakranial BAB II

9

Keganasan tumor otak yang memberikan implikasi pada

prognosanya didasari oleh morfologi sitologi tumor dan konsekuensi

klinis yang berkaitan dengan tingkah laku biologis. Sifat-sifat

keganasan tumor otak didasari oleh hasil evaluasi morfologi

makroskopis dan histologis neoplasma, dikelompokkan atas

kategori-kategori (Satyanegara, 2010):

a. Benigna (jinak)

Morfologi tumor tersebut menunjukkan batas yang

jelas, tidak infiltratif dan hanya mendesak organ-organ

sekitar. Selain itu, ditemukan adanya pembentukan kapsul

serta tidak adanya metastasis maupun rekurensi setelah

dilakukan pengangkatan total. Secara histologis,

menunjukkan struktur sel yang reguler, pertumbuhan la,a

tanpa mitosis, densitas sel yang rendah dengan diferensiasi

struktur yang jelas parenkhim, stroma yang tersusun teratur

tanpa adanya formasi baru.

b. Maligna (ganas)

Tampilan mikroskopis yang infiltratif atau ekspansi

destruktur tanpa batas yang jelas, tumbuh cepat serta

cenderung membentuk metastasis dan rekurensi pasca

pengangkatan total.

Tumor otak menyebabkan timbulnya gangguan neurologik

progresif. Gangguan neurologik pada tumor otak biasanya

disebabkan oleh dua faktor, yaitu gangguan fokal akibat tumor dan

kenaikan intrakranial (Price, 2005).

Gangguan fokal terjadi apabila terdapat penekanan pada

jaringan otak dan infiltrasi atau invasi langsung pada aprenkim otak

dengan kerusakan jaringan neural. Perubahan suplai darah akibat

tekanan tumor yang bertumbuh menyebabkan nekrosis jaringan otak.

Gangguan suplai darah arteri pada umumnya bermanifestasi sebagai

hilangnya fungsi secara akut dan gangguan serebrovaskular primer.

Page 10: SOL Intrakranial BAB II

10

Serangan kejang sebagai manifestasi perubahan kepekaan neuron

dihubungkan dengan kompresi, invasi, dan perubahan suplai darah

ke jaringan otak. Beberapa tumor membentuk kista yang juga

menekan parenkim otak sekitar sehingga memperberat gangguan

neurologis fokal (Price, 2005).

Peningkatan tekanan intrakranial dapat disebabkan oleh

beberapa faktor yaitu bertambahnya massa dalam tengkorak,

terbentuknya edema sekitar tumor, dan perubahan sirkulasi cairan

serebrospinal. Pertumbuhan tumor akan menyebabkan bertambahnya

massa karena tumor akan mendesak ruang yang relatif tetap pada

ruangan tengkorak yang kaku. Obstruksi vena dan edema akibat

kerusakan sawar darah otak dapat menimbulkan peningkatan volume

intrakranial dan tekanan intrakranial. Obstruksi sirkulasi cairan

serebrospinal dari ventrikel lateralis ke ruangan subarakhnoid

menimbulkan hidrosefalus (Price, 2005).

Gambar 2.5 Skema Faktor Peningkatan Tekanan

Intrakranial

Dikutip dari: Buka Ilmu Bedah Saraf Satyanegara,

2010

Peningkatan tekanan intrakranial dapat membahayakan jiwa

apabila terjadi cepat akibat salah satu penyebab tersebut. Mekanisme

kompensasi antara lain bekerja menurunkan volume darah

intrakranial, volume cairan serebrospinal, kandungan cairan intrasel,

Page 11: SOL Intrakranial BAB II

11

dan mengurangi sel-sel parenkim. Peningkatan tekanan yang tidak

diobati mengakibatkan herniasi unkus atau serebelum. Herniasi

unkus timbul bila girus medialis lobus temporalis tergeser ke inferior

melelui incisura tentorial oleh massa dalam hemisfer otak. Herniasi

menekan mesensefalon menyebabkan hilangnya kesadaran dan

menekan saraf otak ketiga. Pada herniasi serebelum, tonsil

serebelum bergeser ke bawah melalui foramen magnum oleh suatu

massa posterior (Price, 2005).

Klasifikasi tumor otak diawali oleh konsep Virchow

berdasarkan tampilan sitologinya dan dalam perkembangan

selanjutnya dikemukakakn berbagai variasi modifikasi peneliti-

peneliti lain dari berbagai negara. Klasifikasi universal awal

dipeloporo oleh Bailey dan Cushing (1926) berdasarkan histogenesis

sel tumor dan sel embrional yang dikaitkan dengan diferensiasinya

pada berbagai tingkatan dan diperankan oleh faktor-faktor, seperti

lokasi tumor, efek radiasi, usia penderita, dan tindakan operasi yang

dilakukan. Sedangkan pada klasifikasi Kernohan (1949) didasari

oleh sistem gradasi keganasan di atas dan menghubungkannya

dengan prognosis.

Tabel 2.1 Klasifikasi Tumor Otak Oleh Chusing dan Kernohan

Cushing Kernohan

Astrositoma

Oligodendroglioma

Ependioma

Meduloblastoma

Glioblastoma multiforme

Astrositoma grade I dan II

Oligodendroglioma grade I−IV

Ependioma

Meduloblastoma

Astrositoma grade III dan IV

Page 12: SOL Intrakranial BAB II

12

Pinealoma (teratoma)

Ganglioneuroma (glioma)

Neuroblastoma

Papiloma pleksus khoroid

Tumor “unclassified”

Pinealoma

Neuroastrositoma grade I

Neuroastrositoma grade II−III

Tumor campur

Dikutip dari: Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010

Astrositoma

Astrositoma adalah kelompok tumor sistem saraf pusat primer

yang tersering. Astrositoma adalah sekelompok neoplasma heterogen

yang berkisar dari lesi berbatas tegas tumbuh lambat seperti

astrositoma pilositik hingga neoplasma infiltratif yang sangat ganas

seperti glioblastoma multiforme. Astrositoma berdiferensiasi baik

biasanya adalah lesi infiltratif berbatas samar yang menyebabkan

parenkim membesar dan batas substansia grisea/substansia alba

kabur (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambar 2.4 Astrositoma

(Vinay Kumar dkk, 2007)

Page 13: SOL Intrakranial BAB II

13

Gambar 2.6 MRI Anaplastik Astrositoma

(Buku Ilmu Bedah Saraf Sastranegara, 2010)

Oligodendroglioma

Oligodendroglioma paling sering ditemukan pada masa dewasa

dan biasanya terbentuk dalam hemisferium serebri. Kelainan

sitogenik yang sering terjadi pada oligodendroglioma adalah

hilangnya heterozigositas di lengan panjang kromosom 19 dan

lengan pendek kromosom 1. Secara makroskopis, oligodendroglioma

biasanya lunak dan galantinosa. Tumor ini memiliki batas yang lebih

tegas dibandingkan dengan astrositoma infiltratif dan sering terjadi

kalsifikias. Secara mikroskopis, oligodendroglioma dibedakan

dengan adanya sel infiltratif dengan nukleus bulat seragam (Vinay

Kumar dkk, 2007).

Page 14: SOL Intrakranial BAB II

14

Prognosis untuk pasien dengan oligodendroglioma lebih sulit

diperkirakan. Usia pasien, lokasi tumor, ada tidaknya peningkatan

kontras dalam pemeriksaan radiografik, aktivitas proliferatif, dan

karakteristik sitogenik juga memiliki pengaruh pada prognosis

(Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma

Ependioma dapat terjadi pada semua usia. Sebagian besar

muncul di dalam salah stu rongga ventrikel atau di daerah sentralis

di korda spinalis. Ependimoma intrakranial paling sering terjadi pada

dua dekade pertama kehidupan sedangkan lesi intraspinal terutama

pada orang dewasa. Ependioma intrakranial paling sering timbul di

ventrikel keempat, tempat tumor ini mungkin menyumbat CSS dan

menyebabkan hidrosefalus dan peningkatan tekanan intrakranial

(Vinay Kumar dkk, 2007).

Ependimoma memiliki lesi yang berbatas tegas yang timbul dari

dinding ventrikel. Lesi intrakranial biasanya menonjol ke dalam

rongga ventrikuler sebagai massa padat, kadang-kadang dengan

papilar yang jelas (Vinay Kumar dkk, 2007).

Gambaran klinis ependimoma bergantung pada lokasi

neoplasma. Tumor intrakranial sering menyebabkan hidrosefalus dan

tanda peningkatan tekanan intrakranial. Karena lokasinya di dalam

sistem ventrikel, sebagian tumor dapat menyebar ke dalam ruang

subarakhnoid (Vinay Kumar dkk, 2007).

Page 15: SOL Intrakranial BAB II

15

Gambar 2.7 Ependimoma

(Vinay Kumar dkk, 2007)

Glioblastoma

Glioblastoma dapat timbul dengan masa yang berbatas tegas

atau neoplasma yang infiltratif secara difuse. Potongan tumor dapat

berupa masa yang lunak berwarna keabuan atau kemerahan, daerah

nekrosis dengan konsistensi seperti krim kekuningan, ditandai

dengan suatu daerah bekas perdarahan berwarna cokelat kemerahan

(Vinay Kumar dkk, 2007).

Page 16: SOL Intrakranial BAB II

16

Gambar 2.8 Glioblastoma

(Vinay Kumar dkk, 2007)

Gambar 2.9 MRI Glioblastoma

(Buku Ilmu Bedah Saraf Satyanegara, 2010)

Meduloblastoma

Page 17: SOL Intrakranial BAB II

17

Meduloblastoma merupakan neoplasma yang invasif dan

bertumbuh sangat cepat. Neoplasma ini sering ditemukan pada anak.

Sekitar 20% neoplasma otak pada anak adalah meduloblastoma

(Arthur, 2012).

Pada anak, lokasi tersering meduloblastoma adalah di

infratentorial, di bagian posterior vermis serebeli dan atap ventrikel

ke empat. Pada analisis kromosom ditemukan hilangnya informasi

genetik di bagian distal kromosom 17, tepatnya di bagian distal dari

regio yang mengkode protein p53 pada sebagian besar pasien. Ini

diduga bertanggung jawab terhadap perubahan neoplastik dari sel-sel

punca serebelum menjadi neoplasma (Arthur, 2012).

Kebanyakan pasien berusia 4 – 8 tahun. Diagnosis rata-rata

ditegakkan 1 – 5 bulan setelah mulai muncul gejala. Gejala klinis

yang ada timbul akibat hidrosefalus obstruktif dan tekanan tinggi

intrakranial. Biasanya anak akan terlihat lesu, muntah-muntah, dan

mengeluh nyeri kepala terutama di pagi hari. Selanjutnya akan

terlihat anak berjalan seperti tersandung, sering jatuh, melihat dobel,

dan mata menjadi juling. Pada tahap ini biasanya baru dilakukan

pemeriksaan neurologis yang secara khas akan memperlihatkan

papiledema atau paresis nervus abdusens (n. VI) (Arthur, 2012).

Gambar 2.10 Gambaran Skematik Meduloblastoma

Page 18: SOL Intrakranial BAB II

18

(Netter’s Neurology, 2012)

Tumor Pleksus Khoroid

Tampilan mikroskopis tumor pleksus khoroid adalah berupa

massa dengan konsistensi lunak, vaskuler, ireguler yang berbentuk

mirip dengan kembang kol. Tumor ini cenderung berbentuk sesuai

dengan kontur ventrikel yang ditempatinya dan berekstensi melalui

foramen-foramen ke dalam ventrikel lain yang berdekatan atau ke

dalam rongga subarakhnoid. Tumor ini mendesak jaringan otak

namun tidak menginvasinya (Vinay Kumar dkk, 2007).

Presentasi gejala tumor ini biasanya berupa tanda-tanda

peningkatan tekanan intrakranial disertai gejala neurologis fokal.

Tumor intraventrikel IV dapat menimbulkan gejala nistagmus dan

ataksia (Vinay Kumar dkk, 2007).

2. Hematom Intrakranial

Hematom Epidural

Fraktur tulang kepala dapat merobek pembuluh darah, terutama

arteri meningea media yang masuk dalam tengkorak melalui

foramen spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di

permukaan dalam os temporale. Perdarahan yang terjadi

menimbulkan hematom epidural. Desakan dari hematom akan

melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang kepala sehingga

hematom bertambah besar (R. Sjamsuhidajat, 2004).

Hematom yang meluas di daerah temporal menyebabkan

tertekannya lobus temporalis otek ke arah bawah dan dalam.

Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus (unkis dan sebagian

dari girus hipokampus) mengalami herniasi di bawah tepi tentorium.

Keadaan ini menyebabkan timbulnya tanda-tanda neurologik (Price,

2005).

Page 19: SOL Intrakranial BAB II

19

Kelainan ini pada fase awal tidak menunjukkan gejala atau

tanda. Baru setelah hematom bertambah besar akan terlihat tanda

pendesakan dan peningkatan tekanan intrakranial. Penderita akan

mengalami sakit kepala, mual, dan muntah diikuti dengan penurunan

kesadaran. Gejala neurologik yang teroenting adalah pupil mata

anisokor yaitu pupil ipsilateral melebar (R. Sjamsuhidajat, 2004).

Gambar 2.11 Hematom Epidural

(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)

Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom epidural, 4. Otak

terdorong kesisi lain

Hematom Subdural

Hematom subdural disebabkan oleh trauma otak yang

menyebabkan robeknya vena di dalam ruang araknoid. Pembesaran

hematom karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama. Oleh

Page 20: SOL Intrakranial BAB II

20

karena hematom subdural sering disertai cedera otak berat lain, jika

dibandingkan dengan hematom epidural prognosisnya lebih jelek (R.

Sjamsuhidajat, 2004).

Hematom subdural dibagi menjadi subdural akut bila gejala

timbul pada hari pertama sampai hari ketiga, subakut bila timbul

antara hari ketiga hingga minggu ketiga, dan kronik bila timbul

sesudah minggu ketiga (R. Sjamsuhidajat, 2004).

Hematom subdural akut menimbulkan gejala neurologik yang

penting dan serius dalam 24 sampai 48 jam setelah cidera.

Hematoma sering berkaitan dengan trauma otak berat dan memiliki

mortalitas yang tinggi. Hematoma subdural akut terjadi pada pasien

yang meminum obat antikoagulan terus menerus yang tampaknya

mengalami trauma kepala minor. Cidera ini seringkali berkaitan

dengan cidera deselarasi akibat kecelakaan kendaraan bermotor.

Defisit neurologik progresif disebabkan oleh tekanan pada jaringan

otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen magnum yang

selanjutnya menimbulkan henti nafas dan hilangnya kontrol atas

denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2005).

Hematom subdural subakut menyebabkan defisit neurologik

bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua

minggu setelah cidera. Riwayat klinis yang khas pada penderita

hematom subdurak subakut adalah adanya trauma kepala yang

menyebabkan ketidaksadaran, selanjutnya diikuti perbaikan status

neurologik yang bertahap. Namun, setelah jangka waktu tertentu

penderita memperlihatkan tanda-tanda status neurologis yang

memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara bertahap dalam

beberapa jam. Meningkatnya tekanan intrakranial akibat timbunan

hematom yang menyebabkan menjadi sulit dibangunkan dan tidak

merespon terhadap rangsangan vebral maupun nyeri. Peningkatan

tekanan intrakranial dan pergeseran isi kranial akibat timbunan darah

akan menyebabkan terjadinya herniasi unkus atau sentral dan

Page 21: SOL Intrakranial BAB II

21

timbulnya tanda neurologik akibat kompresi batang otak (Price,

2005).

Awitan gejala hematoma subdural kronik pada umumnya

tertunda beberapa minggu, bulan bahkan beberapa tahun setelah

cidera awal. Pada orang dewasa, gejala ini dapat dikelirukan dengan

gejala awal demensia. Trauma pertama merobek salah satu vena

yang melewati ruang subdural sehingga terjadi perdarahan lambat ke

dalam ruang subdural. Dalam 7 sampai 10 hari setelah perdarahan,

darah dikelilingi oleh membran fibrosa. Terjadi kerusakan sel-sel

darah dalam hematoma sehingga terbentuk peredaan tekanan

osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam hematoma.

Bertambahnya ukuran hematoma ini dapat menyebabkan perdarahan

lebih lanjut akibat robekan membran atau pembuluh darah di

sekelilinhnya sehingga meningkatkan ukuran dan tekanan

hematoma. Jika dibiarkan mengikuti perjalanan alamiahnya, unsur-

unsur kandungan hematom subdural akan mengalami perubahan-

perubahan yang khas. Hematoma subdural kronik memiliki gejala

dan tanda yang tidak spesifik, tidak terlokalisasi, dan dapat

disebabkan oleh banyak proses penyakit lain. Gejala dan tanda

perubahan yang paling khas adalah perubahan progresif dalam

tingkat kesadaran termasuk apati, latergi, berkurangnya perhatian

dan menurunnya kemampuan untuk mempergunakan kecakapan

kognitif yang lebih tinggi (Price, 2005).

Page 22: SOL Intrakranial BAB II

22

Gambar 2.12 Stadium Perjalanan Klinis Alami Hematom Subdural

Dikutip dari: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, 2005

Hematom subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan

hematom epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut

dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang

(space occupying lesion) yang progresif sehingga tidak jarang

dianggap sebagai neoplasma atau demensia (R. Sjamsuhidajat,

2004).

Page 23: SOL Intrakranial BAB II

23

Gambar 2.13 Hematom Subdural

(Buku Ajar Ilmu Bedah, 2004)

Keterangan : 1. Os temporal, 2. Duramater, 3. Hematom subdural, 4. Otak

terdorong kesisi lain

Higroma Subdural

Higroma subdural adalah hematom subdural lama yang mungkin

disertai pengumpulan cairan serebrospinal di dalam ruang subdural.

Kelainan ini jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan

selaput arakhnoid yang menyebabkan cairan serebrospinal keluar ke

ruang subdural. Gambaran klinis menunjukkan tanda kenaikan

tekanan intrakranial, sering tanpa tanda fokal (R. Sjamsuhidajat,

2004).

II.3 Macam-Macam Keluhan dan Gejala yang Disebabkan oleh Space

Occupying Intracranial

II.3.1 Gejala Peningkatan Tekanan Intrakranial

Triad nyeri kepala, edema papil dan muntah secara umum

dianggap sebagai karakteristik peninggian tekanan intrakranial.

Namun demikian, dua pertiga pasien dengan lesi desak ruang

memiliki semua gambaran tersebut, sedang kebanyakan sisanya

umumnya dua. Simtomatologi peninggian tekanan intrakranial

tergantung pada penyebab daripada tingkat tekanan yang terjadi. Tak

ada korelasi yang konsisten antara tinggi tekanan dengan beratnya

gejala (Syaiful Saanin, 2012).

1. Nyeri Kepala

Page 24: SOL Intrakranial BAB II

24

Kebanyakan struktur di kepala tidak sensitif nyeri, ahli

bedah saraf dapat melakukan kraniotomi major dalam anestesia

lokal karena tulang tengkorak dan otak sendiri dapat ditindak

tanpa nyeri. Struktur sensitif nyeri didalam kranium adalah

arteria meningeal media beserta cabangnya, arteri besar didasar

otak, sinus venosus dan bridging veins, serta dura didasar fossa

kranial. Peninggian tekanan intrakranial dan pergeseran otak

yang terjadi membendung dan menggeser pembuluh darah

serebral atau sinus venosus serta cabang utamanya dan

memperberat nyeri lokal. Nyeri yang lebih terlokalisir

diakibatkan oleh peregangan atau penggeseran duramater

didaerah basal dan batang saraf sensori kranial kelima,

kesembilan dan kesepuluh. Nyeri kepala juga disebabkan oleh

spasme otot-otot besar didasar tengkorak. Ini mungkin

berdiri sendiri atau ditambah dengan reaksi refleks bila

mekanisme nyeri bekerja (Syaiful Saanin, 2012).

Pasien dengan peninggian tekanan intrakranial secara

klasik bangun pagi dengan nyeri kepala yang berkurang dalam

satu-dua jam. Nyeri kepala pagi ini pertanda terjadinya

peningkatan tekanan intrakrania; selama malam akibat posisi

berbaring, peninggian PCO2 selama tidur karena depresi

pernafasan dan mungkin karena penurunan reabsorpsi

cairan serebrospinal (Syaiful Saanin, 2012).

2. Muntah

Ditemukan pada peninggian tekanan intrakranial oleh

semua sebab dan merupakan tampilan yang terlambat dan

diagnosis biasanya dibuat sebelum gejala ini timbul. Gejala ini

mungkin jelas merupakan gambaran dini dari tumor ventrikel

keempat yang langsung mengenai nukleus vagal. Setiap lesi

hampir selalu meninggikan tekanan intrakranial akibat

obstruksi aliran cairan serebrospinal dan mungkin tidak mudah

Page 25: SOL Intrakranial BAB II

25

menentukan mekanisme mana yang dominan. Muntah akibat

peninggian tekanan intrakranial biasanya timbul setelah bangun,

sering bersama dengan nyeri kepala pagi. Walau sering

dijelaskan sebagai projektil, maksudnya terjadi dengan kuat

dan tanpa peringatan, hal ini jarang merupakan gambaran

yang menarik perhatian (Syaiful Saanin, 2012).

3. Papila Oedema

Papila oedema menunjukkan adanya oedema atau

pembengkakan diskus optikus yang disebabkan oleh

peningkatan tekanan intrakranial yang menetap selama lebih

dari beberapa hari atau minggu. Oedema ini berhubungan

dengan obstruksi cairan serebrospinal, dimana peningkatan

tekanan intrakranial pada selubung nervus optikus menghalangi

drainase vena dan aliran aksoplasmik pada neuron optikus dan

menyebabkan pembengkakan pada diskus optikus dan retina

serta pendarahan diskus. Papila oedema tahap lanjut dapat

menyebabkan terjadinya atrofi sekunder papil nervus optikus

(Syaiful Saanin, 2012).

II.3.2 Gejala Umum Space Occupying Lesion

Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial atau

akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering adalah

sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala hebat,

papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas) menyebabkan

gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna (jinak). Tumor

pada lobus temporal depan dan frontal dapat berkembang menjadi

tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa menyebabkan defisit

neurologis, dan pada mulanya hanya memberikan gejalagejala yang

umum. Tumor pada fossa posterior atau pada lobus parietal dan

oksipital lebih sering memberikan gejala fokal dulu baru kemudian

memberikan gejala umum (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Page 26: SOL Intrakranial BAB II

26

Tumor intrakranium pada umumnya dapat menyebabkan (Saanin,

2004, Bradley, 2000):

1. Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranium yang meninggi.

Gangguan kesadaran akibat peningkatan tekana intrakranium

dapat berakhir hingga koma. Tekanan intrakranium yang meninggi

dapat menyebabkan ruang tengkorak yang tertutup terdesak dan

dapat pula menyebabkan perdarahan setempat. Selain itu, jaringan

otak sendiri akan bereaksi dengan menimbulkan edema, yang

berkembang karena penimbunan katabolit di sekitar jaringan

neoplasmatik. Stasis dapat pula terjadi karena penekanan pada vena

dan disusuk dengan terjadi edema. Pada umumnya tumor di fosa

kranium posterior lebih cepat menimbulkan gejala-gejala yang

mencerminkan tekanan intrakranium yang meninggi. Hal ini

mungkin disebabkan karena aliran CSF pada aquaductus yang

berpusat di fosa kranium posterior dapat tersebumbat sehingga

tekanan dapat meninggi dengan cepat.

Fenomena peningkatan tekanan intrakranium dapat

diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu :

a. Sindroma unkus atau sindroma kompresi diansefalon ke lateral

Proses desak pertama kali terjadi pada bagian lateral dari

fosa kranium medial dan biasanya mendesak tepi medial unkus

dan girus hipokampus ke arah garis tengah dan ke kolong tepi

bebas daun tentorium. Karena desakan itu, bukan diansefalon

yang pertama kali mengalami gangguan, melainkan bagian

ventral nervus okulomotoris. Akibatnya, pada awalnya akan

kan terjadi dilatasi pupil kontralateral barulah disusul dengan

gangguan kesadaran. Biasanya, setelah ini akan terjadi herniasi

tentorial, yaitu keadaan terjepitnya diansefalon oleh tentorium.

Pupil yang melebar merupakan cerminan dari terjepitnya

nervus okulomotoris oleh arteri serebeli superior. Pada tahap

Page 27: SOL Intrakranial BAB II

27

berkembangnya paralisis okulomotoris, kesadaran akan

menurun secara progresif.

b. Sindroma kompresi sentral rostro-kaudal terhadap batang otak

Suatu tumor supratentorial akan mendesak ruang

supratentorial dan secara berangsur-angsur akan menimbulkan

kompresi ke bagian rostral batang otak. Tanda bahwa suatu

tumor supratentorial mulai menggangu diansefalon biasanya

berupa gangguan perangai. Yang pertama-tama terjadi adalah

keluhan cepat lupa, tidak bisa berkonsentrasi dan tidak bisa

mengingat.

Pada tahap dini, kompresi rostro-kaudal terhadap batang

otak akan menyebabkan :

Respirasi yang kurang teratur

Pupil kedua sisi sempit sekali

Kedua bola mata bergerak perlahan-lahan ke samping kiri

dan kanan

Gejala-gejala UMN pada kedua sisi

Pada tahap kompresi rostro-kaudal yang lebih berat, akan

terjadi :

Kesadaran menurun sampai derajat paling rendah

Suhu badan mulai meningkat dan cenderung untuk

melonjak terus

Respirasi cepat dan bersuara mendengkur

Pupil yang tadinya sempit berangsur-angsur melebar dan

tidak lagi bereaksi terhadap sinar cahaya

c. Herniasi serebelum di foramen magnum

Herniasi ini akan menyebabkan jiratan pada medula

oblongata. Gejala-gejala gangguan pupil, pernafasan, okuler

dan tekanan darah berikut nadi yang menandakan gangguan

pada medula oblongata, pons, ataupun mesensefalon akan

terjadi.

Page 28: SOL Intrakranial BAB II

28

2. Gejala-gejala umum tekanan intrakranium yang tinggi

Gejala umum timbul karena peningkatan tekanan intrakranial

atau akibat infiltrasi difus dari tumor. Gejala yang paling sering

adalah sakit kepala, perubahan status mental, kejang, nyeri kepala

hebat, papil edema, mual dan muntah. Tumor maligna (ganas)

menyebabkan gejala yang lebih progresif daripada tumor benigna

(jinak). Tumor pada lobus temporal depan dan frontal dapat

berkembang menjadi tumor dengan ukuran yang sangat besar tanpa

menyebabkan defisit neurologis, dan pada mulanya hanya

memberikan gejala-gejala yang umum. Tumor pada fossa posterior

atau pada lobus parietal dan oksipital lebih sering memberikan

gejala fokal dulu baru kemudian memberikan gejala umum

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

a. Sakit kepala

Merupakan gejala awal pada 20% penderita dengan tumor

otak yang kemudian berkembang menjadi 60%. Nyerinya

tumpul dan intermitten. Nyeri kepala berat juga sering

diperhebat oleh perubahan posisi, batuk, maneuver valsava dan

aktivitas fisik. Muntah ditemukan bersama nyeri kepala pada

50% penderita. Nyeri kepala ipsilateral pada tumor

supratentorial sebanyak 80 % dan terutama pada bagian

frontal. Tumor pada fossa posterior memberikan nyeri alih ke

oksiput dan leher. Sakit kepala merupakan gejala umum yang

dirasakan pada tumor intrakranium. Sifat dari sakit kepala itu

adalah nyeri berdenyut-denyut atau rasa penuh di kepala

seolaholah mau meledak. Nyerinya paling hebat di pagi hari,

karena selama tidur malam PCO2 arteri serebral meningkat

sehingga mengakibatkan peningkatan dari CBF dan dengan

demikian meningkatkan lagi tekanan intrakranium. Lokalisasai

nyeri yang unilateral akan sesuai dengan lokasi tumornya.

Page 29: SOL Intrakranial BAB II

29

Pada penderita yang tumor serebrinya belum meluas,

mungkin saja sakit kepala belum dirasakan. Misalnya, glioma

pada tahap dini dapat mendekam di otak tanpa menimbulkan

gejala apapun. Sebaliknya, astrositoma derajat 1 sekalipun

dapat berefek buruk jika menduduki daerah yang penting,

misalnya daerah bicara motorik Brocca.

Neoplasma di garis tengah fosa kranium posterior (tumor

infratentorial) dapat dengan cepat menekan saluran CSS.

Karena itu, sakit kepala akan terasa sejak awal dan untuk

waktu yang lama tidak menunjukkan gejala defisit neurologik.

Tumor infratentorial yang berlokasi di samping (unilateral)

cepat menimbulkan gejala defisit neurologik akibat pergeseran

atau atau desakan terhadap batang otak. Maka dari itu, tuli

sesisi, vertigo, ataksia, neuralgia trigeminus, oftalmoplegia

(paralisis otot-otot mata) dan paresis (paralisis ringan) perifer

fasialis dapat ditemukan pada pemeriksaan.

Definisi “sakit kepala” dan “pusing” harus dapat dibedakan

dengan jelas. Pusing kepala biasanya disebabkan oleh

oftalmoplegia (yang menimbulkan diplopia). Kombinasi

pusing kepala ataupun sakit kepala dan diplopia harus

menimbulkan kecurigaan terhadapa adanya tumor serebri,

terutama tumor serebri infratentorial.

b. Muntah

Muntah sering mengindikasikan tumor yang luas dengan

efek dari massa tumor tersebut juga mengindikasikan adanya

pergeseran otak. Muntah berulang pada pagi dan malam hari,

dimana muntah yang proyektil tanpa didahului mual

menambah kecurigaan adanya massa intrakranial.

Muntah sering timbul pada pagi hari setelah bangun tidur.

Hal ini disebabkan oleh tekanan intrakranium yang meninggi

selama tidur malam, di mana PCO2 serebral meningkat. Sifat

muntah dari penderita dengan tekanan intrakranium meninggi

Page 30: SOL Intrakranial BAB II

30

adalah khas, yaitu proyektil atau muncrat yang tanpa didahului

mual.

c. Kejang fokal

Kejang dapat timbul sebagai gejala dari tekanan

intrakranium yang melonjak secara cepat, terutama sebagai

gejala dari glioblastoma multiform. Kejang tonik biasanya

timbul pada tumor di fosa kranium posterior.

d. Gangguan mental

Gangguan konsentrasi, cepat lupa, perubahan kepribadian,

perubahan mood dan berkurangnya inisiatif adalah gejala-

gejala umum pada penderita dengan tumor lobus frontal atau

temporal. Gejala ini bertambah buruk dan jika tidak ditangani

dapat menyebabkan terjadinya somnolen hingga koma.

(4,9,10) Tumor di sebagian besar otak dapat mengakibatkan

gangguan mental, misalnya demensia, apatia, gangguan watak

dan serta gangguan intelegensi dan psikosis. Gangguan emosi

juga akan terjadi terutama jika tumor tersebut mendesak sistem

limbik (khususnya amigdala dan girus cinguli) karena sistem

limbik merupakan pusat pengatur emosi.

e. Edema Papil

Gejala umum yang tidak berlangsung lama pada tumor

otak, sebab dengan teknik neuroimaging tumor dapat segera

dideteksi. Edema papil pada awalnya tidak menimbulkan

gejala hilangnya kemampuan untuk melihat, tetapi edema papil

yang berkelanjutan dapat menyebabkan perluasan bintik buta,

penyempitan lapangan pandang perifer dan menyebabkan

penglihatan kabur yang tidak menetap.

f. Seizure

Page 31: SOL Intrakranial BAB II

31

Adalah gejala utama dari tumor yang perkembangannya

lambat seperti astrositoma, oligodendroglioma dan

meningioma. Paling sering terjadi pada tumor di lobus frontal

baru kemudian tumor pada lobus parietal dan temporal.

II.3.3 Gejala Lokal Space Occupying Lesion

Gejala lokal terjadi pada tumor yeng menyebabkan destruksi

parenkim, infark atau edema. Juga akibat pelepasan faktor-faktor ke

daerah sekitar tumor (contohnya : peroksidase, ion hydrogen, enzim

proteolitik dan sitokin), semuanya dapat menyebabkan disfungsi

fokal yang reversibel (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

1. Tumor di lobus frontalis / kortikal

Sakit kepala akan muncul pada tahap awal, sedangkan

muntah dan papiludema akan timbul pada tahap lanjutan.

Walaupun gangguan mental dapat terjadi akibat tumor di

bagian otak manapun, namun terutama terjadi akibat tumor di

bagian frontalis dan korpus kalosum. Akan terjadi kemunduran

intelegensi, ditandai dengan gejala “Witzelsucht”, yaitu suka

menceritakan lelucon-lelucon yang sering diulang-ulang dan

disajikan sebagai bahan tertawaan, yang bermutu rendah

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Kejang adversif (kejang tonik fokal) merupakan simptom lain

dari tumor di bagian posterior lobus frontalis, di sekitar daerah

premotorik. Tumor di lobus frontalis juga dapat menyebabkan

refleks memegang dan anosmia (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Tumor lobus frontal menyebabkan terjadinya kejang umum

yang diikuti paralisis post-iktal. Meningioma kompleks atau

parasagital dan glioma frontal khusus berkaitan dengan kejang.

Tanda lokal tumor frontal antara lain disartri, kelumpuhan

kontralateral, dan afasia jika hemisfer dominant dipengaruhi.

Anosmia unilateral menunjukkan adanya tumor bulbus

olfaktorius (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

Page 32: SOL Intrakranial BAB II

32

2. Tumor di daerah presentralis

Tumor di daerah presentralis akan merangsang derah

motorik sehingga menimbulkan kejang pada sisi kontralateral

sebagai gejala dini. Bila tumor di daerah presentral sudah

menimbulkan destruksi strukturil, maka gejalanya berupa

hemiparesis kontralateral. Jika tumor bertumbuh di daerah falk

serebri setinggi daerah presentralis, maka paparesis inferior

akan dijumpai (Saanin, 2004, Bradley, 2000).

3. Tumor di lobus temporalis

Bila lobus temporalis kanan yang diduduki, gejala klinis

kurang menonjol. Kecuali, bila daerah unkus terkena, akan

timbul serangan “uncinate fit” pada epilepsi. Kemudian akan

terjadi gangguan pada funsgi penciuman serta halusinasi

auditorik dan afasia sensorik. Hal ini logis bila dikaitkan

dengan fungsi unkus sebagai pusat penciuman dan lobus

temporalis sebagai pusat pendengaran. Gejala tumor lobus

temporalis antara lain disfungsi traktus kortikospinal

kontralateral, defisit lapangan pandang homonim, perubahan

kepribadian, disfungsi memori dan kejang parsial kompleks

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

4. Tumor di lobus parietalis

Tumor pada lobus parietalis dapat merangsang daerah

sensorik. Jika tumor sudah menimbulkan destruksi strukturil,

maka segala macam perasa pada daerah tubuh kontralateral

yang bersangkutan tidak dapat dikenali dan dirasakan. Han ini

akan menimbulkan astereognosia dan ataksia sensorik. Bila

bagian dalam parietalis yang terkena, maka akan timbul gejala

yang disebut “thalamic over-reaction”, yaitu reaksi yang

berlebihan terhadap rangsang protopatik. Selain itu, dapat

Page 33: SOL Intrakranial BAB II

33

terjadi lesi yang menyebabkan terputusnya optic radiation

sehingga dapat timbul hemianopsia Daerah posterior dari lobus

parietalis yang berdampingan dengan lobus temporalis dan

lobus oksipitalis merupakan daerah penting bagi keutuhan

fungsi luhur sehingga destruksi pada daerah tersebut akan

menyebabkan agnosia (hilangnya kemampuan untuk

mengenali rangsang sensorik) dan afasia sensorik, serta

apraksia (kegagalan untuk melakukan gerakan-gerakan yang

bertujuan walaupun tidak ada gangguan sensorik dan motorik).

Tumor hemisfer dominan menyebabkan afasia, gangguan

sensoris dan berkurangnya konsentrasi yang merupakan gejala

utama tumor lobus parietal. Adapun gejala yang lain

diantaranya disfungsi traktus kortikospinal kontralateral,

hemianopsia/ quadrianopsia inferior homonim kontralateral

dan simple motor atau kejang sensoris (Saanin, 2004, Bradley,

2000).

5. Tumor pada lobus oksipitalis

Tumor pada lobus ini jarang ditemui. Bila ada, maka gejala

yang muncul biasanya adalah sakit kepala di daerah oksiput.

Kemudian dapat disusul dengan gangguan medan penglihatan.

Tumor lobus oksipital sering menyebabkan hemianopsia

homonym yang kongruen. Kejang fokal lobus oksipital sering

ditandai dengan persepsi kontralateral episodik terhadap

cahaya senter, warna atau pada bentuk geometri (Saanin, 2004,

Bradley, 2000)

.

6. Tumor pada korpus kalosum

Page 34: SOL Intrakranial BAB II

34

Sindroma pada korpus kalosum meliputi gangguan mental,

terutama menjadi cepat lupa sehingga melupakan sakit kepala

yang baru dialami dan mereda. Demensia uga akan sering

timbul dosertai kejang tergantung pada lokasi dan luar tumor

yang menduduki korpus kalosum (Saanin, 2004, Bradley,

2000).

7. Tumor pada Ventrikel Tiga dan Regio Pineal

Tumor di dalam atau yang dekat dengan ventrikel tiga

menghambat ventrikel atau aquaduktus dan menyebabkan

hidrosepalus. Perubahan posisi dapat meningkatkan tekanan

ventrikel sehingga terjadi sakit kepala berat pada daerah frontal

dan verteks, muntah dan kadang-kadang pingsan. Hal ini juga

menyebabkan gangguan ingatan, diabetes insipidus, amenorea,

galaktorea dan gangguan pengecapan dan pengaturan suhu

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

8. Tumor Batang Otak

Terutama ditandai oleh disfungsi saraf kranialis, defek

lapangan pandang, nistagmus, ataksia dan kelemahan

ekstremitas. Kompresi pada ventrikel empat menyebabkan

hidrosepalus obstruktif dan menimbulkan gejala-gejala umum

(Saanin, 2004, Bradley, 2000).

9. Tumor Serebellar

Muntah berulang dan sakit kepala di bagian oksiput

merupakan gejala yang sering ditemukan pada tumor

serebellar. Pusing, vertigo dan nistagmus mungkin menonjol.

II.3.4 Gejala Lokal yang Menyesatkan

Gejala lokal yang menyesatkan ini melibatkan neuroaksis kecil

dari lokasi tumor yang sebenarnya. Sering disebabkan oleh

Page 35: SOL Intrakranial BAB II

35

peningkatan tekanan intrakranial, pergeseran dari struktur-struktur

intrakranial atau iskemi. Kelumpuhan nervus VI berkembang ketika

terjadi peningkatan tekanan intrakranial yang menyebabkan

kompresi saraf. Tumor lobus frontal yang difus atau tumor pada

korpus kallosum menyebabkan ataksia (frontal ataksia) (Bradley,

2000).

Secara umum, tanda-tanda fisik yang dapat didiagnosis pada

tumor intrakranium (Bradley, 2000):

1. Papiledema (edema pada discus opticus) dapat timbul akibat

tekanan intrakranium yang meninggi atauapun karena penekanan

pada nervus optikus secara langsung. Papil akan terlihat berwarna

merah tua dan ada perdarahan di sekitarnya. Untuk melihat

papiledemea, dapat dilakukan funduskopi atau oftalmoskopi.

Karena ruang subarachnoid pada otak berlanjut hingga medula

spinalis, maka peningkatan tekanan intrakranial juga akan

tercermin pada ruang subarachnoid di medula spinalis. Pada

kedaan demikian, fungsi lumbal tidak boleh dilakukan dapat

menyebabkan herniasi serebelum di foramen magnus yang dapat

mengkahiri kehidupan.

2. Pada anak-anak, tekanan intrakranium yang meningkat dapat

menyebabkan ukuran kepala membesar atau terenggannya sutura.

3. Tekanan intrakranium yang meninggi mengakibatkan iskemi dan

gangguan pada pusatpusat vasomorotik serebral, sehingga

menimbulkan bradikardi (melambatnya denyut jantung) atau

tekanan darah sistemik meningkat secara progresif

4. Irama dan frekuensi pernapasan berubah. Kompresi pada batang

otak dari luar akan mempercepat pernafasan, sedangkan kompresi

sentral rostro-kaudal terhadap batang otak menyebabkan

pernafasan yang lambat namun dalam.

Page 36: SOL Intrakranial BAB II

36

5. Bagian-bagian dari tulang tengkorak dapat mengalami destruksi.

Penipisan tulang biasanya disebabkan meningioma yang bulat,

sedangkan penebalan tulang sebagai akibat rangsang dari

meningioma yang gepeng.

II.4 Penegakan Diagnostik SOL Intrakranial

Perubahan Tanda Vital (Lombardo,2006, Thamburaj, 2008, Eccher,2004 ):

a. Denyut Nadi

Denyaut nadi relatif stabil selama stadium awal dari peningkatan ICP,

terutama pada anak-anak. Bradikardi merupakan mekanisme kompensasi

yang mungkin terjadi untuk mensuplai darah ke otak dan mekanisme ini

dikontrol oleh tekanan pada mekanisme reflex vagal yang terdapat di

medulla. Apabila tekanan ini tidak dihilangkan, maka denut nadi akan

menjadi lambat dan irregular dan akhirnya berhenti.

b. Pernapasan

Pada saat kesadaran menurun, korteks serebri akan lebih tertekan

daripada batang otak dan pada pasien dewasa, perubahan pernafasan ini

normalnya akan diikuti dengan penurunan level dari kesadaran.Perubahan

pada pola pernafasan adalah hasil dari tekanan langsung pada batang otak.

Pada bayi, pernafasan irregular dan meningkatnya serangan apneu sering

terjadiantara gejala-gejala awal dari peningkatan ICP yang cepat dan dapat

berkembang dengan cepat ke respiratory arrest.

c. Tekanan Darah

Tekanan darah dan denyut nadi relatif stabil selama stadium awal dari

peningkatan ICP, terutama pada anak-anak. Dengan terjadinya

peningkatan ICP, tekanan darah akan meningkat sebagai mekanisme

kompensasi; Sebagai hasil dari respon Cushing, dengan meningkatnya

tekanan darah, akan terjadi penurunan dari denyut nadi disertai dengan

perubahan pada pola pernafasan. Apabila kondisi ini terus berlangsung,

maka tekanan darah akan mulai turun .

d. Suhu Tubuh

Page 37: SOL Intrakranial BAB II

37

Selama mekanisme kompensasi dari peningkatan ICP berlangsung,

suhu tubuh akan tetap stabil. Ketika mekanisme dekompensasi berubah,

peningktan suhu tubuh akan muncul akibta dari disfungsi dari hipotalamus

atau edema pada traktus yang menghubungkannya.

e. Reaksi Pupil

Serabut saraf simpatis menyebabkan otot pupil berdilatasi. Reaksi

pupil yang lebih lambat dari normalnya dapat ditemukan pada kondisi

yang menyebabkan penekanan pada nervus okulomotorius, seperti edema

otak atau lesi pada otak. Penekanan pada n. Oklulomotorius menyebabkan

penekanan ke bawah, menjepit n.Okkulomotorius di antara tentorium dan

herniasi dari lobus temporal yang mengakibatkan dilatasi pupil yang

permanen. N. okulomotorius (III) berfungsi untuk mengendalikan fungsi

pupil. Pupil harus diperiksa ukuran, bentuk dan kesimetrisannya dimana

ketika dibandingkan antara kiri dan kanan, kedua pupil harus memiliki

ukuran yang sama. Normalnya, konstriksi pupil akan terjadi dengan cepat.

Pemeriksaan fisik neurologis dalam menegakan diagnosis

a. Pemeriksaan mata yaitu ukuran pupil, bentuknya dan reaksinya

terhadap cahaya,pemeriksaan visus dan lapang pandang

penglihatan serta pemeriksaan gerakan bola mata

b. Pemeriksaan funduskopi untuk menentukan oedema pada papil

nervus optikus atau atrofi papil nervus optikus et causa papil

odema tahap lanjut.

c. Pemeriksaan motorik yaitu gerak, kekuatan, tanus, trofi, refleks

fisiologi, reflek patologis, dan klonus.

d. Pemeriksaan sensibilitas.

Pemeriksaan Penunjang

Elektroensefalografi (EEG)

Foto polos kepala

Arteriografi

Computerized Tomografi (CT Scan)

Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Page 38: SOL Intrakranial BAB II

38

II.5 Penatalaksanaan Keluhan dan Gejala Disebabkan Space Occupying

Lesion

Penanganan yang terbaik untuk peningkatan ICP adalah pengangkatan

dari lesi penyebabnya seperti tumor, hidrosefalus, dan hematoma.

Peningkatan ICP pasca operasi jarang terjadi hari-hari ini dengan

meningkatnya penggunaan mikroskop dan teknik khusus untuk menghindari

pengangkatan otak. Peningkatan ICP adalah sebuah fenomena sementara

yang berlangsung untuk waktu yang singkat kecuali ada cedera sekunder

segar karena hipoksia, bekuan atau gangguan elektrolit. Pengobatan

ditujukan untuk mencegah peristiwa sekunder. ICP klinis dan pemantauan

akan membantu. Berikut merupakan tindakan yang dapat dilakukan

(Widjoseno, 2004, Eccher,2004 ).

Trauma

1. Penanganan Primer

Tindakan utama untuk peningkatan ICP adalah untuk

mengamankan ABCDE (primary survey) pada pasien. Banyak pasien

dengan peningkatan ICP memerlukan intubasi. Pasien dengan skor

GCS kurang dari 8 harus diintubasi untuk melindungi airway. Yang

menjadi perhatian utama pada pemasangan intubasi ini adalah intubasi

ini mampu memberikan ventilasi tekanan positif yang kemudian dapat

meningkatkan tekanan vena sentral yang kemudian akan menghasilkan

inhibisi aliran balik vena sehingga akan meningkatkan ICP (Kaye,

2005, Eccher,2004 ).

Hati-hati dalam memperhatikan gizi, elektrolit, fungsi kandung

kemih dan usus. Pengobatan yang tepat untuk infeksi berupa

pemberian antibiotik harus dilaksanakan dengan segera. Pemberian

analgesia yang memadai harus diberikan walaupun pasien dalam

kondisi di bawah sadar (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

Posisi kepala pasien juga harus diperhatikan. Elevasi pada kepala

dapat menurunkan ICP pada komdisi normal dan pada pasien dengan

Page 39: SOL Intrakranial BAB II

39

cedera kepala melalui mekanisme penurunan tekanan hidrostatis CSF

yang akan menghasilkan aliran balik vena. Sudut yang dianjurkan dan

umumnya digunakan untuk elevasi pada kepala adalah 30o. Pasien

harus diposisikan dengan kepala menghadap lurus ke depan karena

apabila kepala pasien menghadap ke salah satu sisinya dan disertai

dengan fleksi pada leher akan meynebabkan penekanan pada vena

jugularis interna dan memperlambat aliran balik vena (Kaye, 2005,

Eccher,2004 ).

Hipoksia sistemik, gangguan hemodinamik dan gangguan pada

autoregulasi yang kemudian disertai dengan kejang dapat

membahayakan kondisi pasien dengan peningkatan ICP. Sehingga

banyak praktisi kesehatan yang kemudian menggunakan terapi

profilaksis fenitoin, terutama pada pasien dengan cedera kepala,

perdarahan subaraknoid, perdarahan intrakranial, dan kondisi yang

lainnya. Penggunaan fenitoin sebagai profilaksis pada pasein dengan

tumor otak dapat menghasilkan penurunan resiko untuk terjadinya

kejang, tapi dengan efek samping yang juga cukup besar (Kaye, 2005,

Eccher,2004 ).

2. Penanganan Sekunder

Hiperventilasi digunakan pada pasien dengan skor GCS yang

lebih dari 5. Pembuluh darah otak merespon dengan cepat pada

perubahan PaCO2. PaCO2 yang rendah dapat menyebabkan

vasokonstriksi, yang kemudian akan mengurangi komponen

darah dalam volume intrakranial, dimana peningkatan PaCO2

menyebabkan vasodilatasi. Hiperventilasi bertujuan menjaga

agar PaCO2 berada pada level 25 – 30 mm Hg sehingga CBF

akan turun dan volume darah otak berkurang dan dengan

demikian mengurangi ICP. Hiperventilasi yang berkepanjangan

harus dihindari dan menjadi tidak efektif setelah sekitar 24 jam.

Kecenderungannya adalah untuk menjaga ventilasi normal

dengan PaCO2 di kisaran 30 – 35 mmHg dan PaO2 dari 120-

Page 40: SOL Intrakranial BAB II

40

140 mmHg. Ketikaa ada pemburukan klinis seperti dilatasi

pupil atau tekanan nadi melebar, hiperventilasi dapat dilakukan

(sebaiknya dengan Ambu bag) sampai ICP turun. Hyper barik

O2, hipotermia masih dalam tahap percobaan, terutama di

Jepang. Mereka pada dasarnya menyebabkan vasokonstriksi

serebral dan mengurangi volume darah otak dan ICP (Kaye,

2005, Eccher,2004 ).

Osmotherapi berguna dalam tahap edema sitotoksik, ketika

permeabilitas kapiler yang masih baik, dengan meningkatkan

osmolalitas serum. Manitol masih merupakan obat yang baik

untuk mengurangi ICP, tetapi hanya jika digunakan dengan

benar: itu adalah diuretik osmotik yang paling umum

digunakan. Hal ini juga dapat bertindak sebagai scavenger

radikal bebas. Manitol tidak inert dan tidak berbahaya. Gliserol

dan urea merupak golongan yang jarang digunakan hari ini.

Beberapa teori telah dikemukakan mengenai mekanisme yang

mengurangi ICP (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

a. Dengan meningkatkan fleksibilitas eritrosit, yang

menurunkan viskositas darah dan menyebabkan

vasokonstriksi yang mengurangi volume darah otak dan

menurunkan ICP dan dapat mengurangi produksi CSF oleh

pleksus choroideus. Dalam dosis kecil dapat melindungi

otak dari iskemik karena fleksibilitas eritrosit meningkat

(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

b. Efek diuretik terutama di sekitar lesi, di mana integritas

sawar darah otak terganggu dan tidak ada pengaruh yang

signifikan pada otak normal. Lesi intraaxial merespon lebih

baik dari lesi ekstra aksial (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

c. Teori lain adalah, manitol dengan menarik air di ependyma

dari ventrikel dengan cara analog dengan yang dihasilkan

oleh drainase ventrikel. Dosis tradisional adalah 1 gm/kg/24

Page 41: SOL Intrakranial BAB II

41

jam 20% sampai 25% iv baik sebagai bolus atau lebih

umum secara bertahap. Tidak ada peran untuk dehidrasi.

Efek Manitol pada ICP maksimal adalah 1 / 2 jam setelah

infus dan berlangsung selama 3 atau 4 jam sebagai sebuah

aturan. Dosis yang benar adalah dosis terkecil yang akan

berpengaruh cukup terhadap ICP. Ketika dosis berulang

diperlukan, penggunaan garis dasar osmolalitas serum

meningkat secara bertahap dan saat ini melebihi 330

mosm / 1 terapi manitol harus dihentikan. Penggunaan lebih

lanjut tidak efektif dan cenderung menimbulkan gagal

ginjal. Diuretik seperti furosemid, baik sendiri atau bersama

dengan bantuan manitol untuk mempercepat ekskresi dan

mengurangi osmolalitas serum awal sebelum dosis

berikutnya. Beberapa mengklaim, bahwa furosemid manitol

dapat meningkatkan output. Beberapa memberikan

furosemid sebelum manitol, sehingga mengurangi overload

sirkulasi. Fenomena rebound adalah karena pembalikan

gradien osmoICP sebagai akibat kebocoran progresif dari

agen osmotik melintasi penghalang darah otak rusak, atau

karena ICP yang meningkat kembali (Kaye, 2005,

Eccher,2004).

3. Barbiturat dapat menurunkan ICP ketika tindakan-tindakan lain gagal,

tetapi tidak memiliki nilai profilaksis. Mereka menghambat peroksidasi

lipid dimediasi radikal bebas dan menekan metabolisme serebral;

persyaratan metabolisme otak dan dengan demikian volume darah otak

yang berkurang mengakibatkan penurunan ICP. Fenobarbital yang

paling banyak digunakan. Dosis 10 mg / kg pemuatan lebih dari 30

menit dan 1-3mg/kg setiap jam secara luas digunakan. Fasilitas untuk

memantau dekat ICP dan ketidakstabilan hemodinamik harus

menemani setiap terapi obat tidur (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

Page 42: SOL Intrakranial BAB II

42

4. Dosis tinggi terapi steroid sangat populer beberapa tahun yang lalu dan

masih digunakan oleh beberapa ahli. Ini mengembalikan integritas

dinding sel dan membantu dalam pemulihan dan mengurangi edema.

Barbiturat dan agen anestesi lain mengurangi tekanan CBF dan arteri

sehingga mengurangi ICP. Selain itu mengurangi metabolisme otak

dan permintaan energi yang memfasilitasi penyembuhan lebih baik

(Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

5. Hipotermi dapat digunakan sebagai terapi adjuvant terhadap terapi

yang lain. Temperatur tubuh dibuat menjadi lebih rendah dari

temperature tubuh yang normal yaitu sekitar 32°C – 34 °C. Metode ini

dapat mungkin menurunkan ICP dengan menurunkan metabolisme dari

otak. Metode terapi hipotermia selama 48 jam atau kurang dapat

dipertimbangkan pada pasien dengan TCB. Metode terapi ini selama 8

jam atau lebih dapat dipertimbangkan untuk terapi pada peningkatan

ICP.. Penggunaan metode ini hanya direkomendasikan pada ahli yang

berpengalaman yang benar-benar mengerti perubahan fisiologi yang

berhubungan dengan hipotermia dan mampu merespon dengan cepat

perubahan tersebut. Komplikasi dari metode hipotermia ini meliputi

depresi jantung pada suhu di bawah 32°C. dan peningkatan insiden

komplikasi berupa infeksi seperti pneumonia telah dilaporkan pada

metode terapi ini (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

Penggunaan Koagulopati. Kerusakan parenkim otak yang berat

dapat terjadi karena adanya pelepasan thromboplastin pada jaringan

diamana hal ini akan mengaktivasi faktor instrinsik. Sindroma klinis

didiagnosa dengan adanya pemanjangan PT dan aktivasi sebagian dari

nilai APTT, penurunan level fibrinogen, peningkatan level fibrin, dan

penurunan jumlah platelet. APTT yang memanjang ditangani dengan

memberikan fresh frozen plasma. Kadar Fibrinogen di bawah 150

mg/dL memerlukan penanganan berupa pemberian krioprecipitate.

Pemberian platelet harus dilakukan untuk mengobati nyeri kepala pada

Page 43: SOL Intrakranial BAB II

43

pasien dengan jumlah platelet yang kurang dari 100.000/ml bila waktu

perdarahan memanjang (Kaye, 2005, Eccher,2004 ).

6. Intervensi bedah

Tekanan intrakranial (intracranial pressure, ICP) dapat diukur

secara kontinu dengan menggunakan transduser intrakranial. Kateter

dapat dimasukkan ke dlam entrikel lateral dan dapat digunakan untuk

mengeluarkan CSF dengan tujuan untuk mengurangi ICP. Drain tipe

ini dikenal dengan EVD (ekstraventicular drain). Pada situasi yang

jarang terjadi dimana CSf dalam jumlah sedikit dapat dikeluarkan

untuk mengurangi ICP, Drainase ICP melalui punksi lumbal dapat

digunakan sebagai suatu tindakan pengobatan (Eccher,2004 ,Gulli.

Dkk, 2010).

Kraniotomi adalah suatu tindakan yang dilakukan untuk

mengeluarkan hematom di di dalam ruangan intrakranial dan untuk

mengurangi tekanan intrakranial dari bagian otak dengan cara

membuat suatu lubang pada tulang tengkorak kepala. Kranioektomi

adalah suatu tindakan radikal yang dilakukan sebagai penanganan

untuk peningkatan tekanan intrakranial, dimana dilakukan

pengangkatan bagian tertentu dari tulang tengkorak kepala dan

duramater dibebaskan agar otak dapat membesar tanpa adanya

herniasi. Bagian dari tulang tengkorak kepala yang diangkat ini

desebut dengan bone flap. Bone flap ini dapat disimpan pada perut

pasien dan dapat dipasang kembali ketika penyebab dari peningkatan

ICP tersebut telah disingkirkan. Material sintetik digunakan sebagai

pengganti dari bagian tulang tengkorak yang diangkat. Tindakan

pemasangan material sintetik ini dkenal dengan cranioplasty

(Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Kraniotomi adalah salah satu bentuk dari operasi pada otak.

Operasi ini paling banyak digunakan dalam operasi untuk mengangkat

tumor pada otak. Operasi ini juga sering digunakan untuk mengangkat

bekuan darah (hematom), untuk mengontrol perdarahan, aneurisma

Page 44: SOL Intrakranial BAB II

44

otak, abses otak, memperbaiki malformasi arteri vena, mengurangi

tekanan intrakranial, atau biopsi (Gulli. Dkk, 2010).

Sebelum melakukan tindakan kraniotomi, terlebih dahulu harus

dilakukan pemeriksaan penunjang untuk memastikan penyebab dan

lokasi dari lesi di otak. Oleh karena itu dilakuakn neuroimaging.

Neuroimaging yang dapat dilakukan adalah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk,

2010):

CT scan

MRI

Arteriogram

Pasien yang akan dilakuakn tindakan kraniotomi dpat diberikan

pengobatan terlebih dahulu untuk mengurangi rasa cemas dan

mengurangi resiko terjadinya kejang, edema, dan infeksi setelah

operasi. Obata-obatan seperti heparin, aspirin dan golongan NSAID

memiliki hubungan dengan meningkatnya bekuan darah yang terjadi

pasca operasi. Obat-obatan ini harus disuntikkan 7 hari sebelum

operasi agar efeknya hilang sebelum operasi dilakukan.Sebagai

tambahan, dibutuhkan pemeriksaan laboratorium yang rutin atau yang

khusus sesuai dengan kebutuhan. Pasien tidak boleh makan dan minum

6-8 jam sebelum operasi dan kepala pasien harus dicukur sesaat

sebelum operasi dimulai (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Ada dua metode yang umumnya digunakan untuk membuka

tengkorak. Insisi dibuat pada daerah leher di sekitar os. Occipital atau

insisi melengkung yang dibuat di bagian depan telinga yang

melengkung ke atas mata. Insisi dilakukan hingga sejauh membran

tipis yang membungkus tulang tengkorak kepala. Selama insisi

dilakukan, ahli bedah harus menutup pembuluh darah kecil sebanyak

mungkin. Hal ini dikarenakan scalp merupakan daerah yang kaya akan

suplai darah (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Scalp ditarik ke belakang agar tulang dapat terlihat. Dengan

menggunakan bor kecepatan tinggi, dilakukan pengeboran mengikuti

pola lubang dan lakukan pemotongan mengikuti pola lubang yang

Page 45: SOL Intrakranial BAB II

45

telah ada hingga bone flap dapat diangkat. Hal ini akan memberikan

akses ke dalam kraium dan memudahkan untuk melakukan operasi di

dalam otak. Setelah mengangkat lesi di dalam otak atau setelah

prosedur yang lainnya selesai, tulang dikembalikan ke posisi semula

dengan menggunakan kawat halus. Membran, otot, dan kulit dijahit

dalam posisinya. Apabila lesinya adalah suatu aneurisma, maka arteri

yang terlibat diklem. Apabila lesinya adalah tumor, sebanyak mungkin

bagian dari tumor ini diangkat. Untuk kelainan malformasi arteri vena,

kelainannya dipotong kemudian disambung kembali dengan pembuluh

darah yang normal (Eccher,2004 ,Gulli. Dkk, 2010).

Hidrosepalus

Tindakan bedah pada hidrosefalus sesungguhnya telah dirintis sejak

beberapa abad yang silam oleh Ferguson pada tahun 1898 berupa membuat

shunt atau pintasan untuk mengalirkan cairan otak di ruang tengkorak yang

tersumbat ke tempat lain dengan menggunakan alat sejenis kateter

berdiameter kecil. Cara mekanik ini terus berkembang, seperti Matson

(1951) menciptakan pintasan dari rongga ventrikel ke saluran kencing

(ventrikulo ureter), Ransohoff (1954) mengembangkan pintasan dari

rongga ventrikel ke rongga dada (ventrikulo-pleural). Selanjutnya, Holter

(1952), Scott (1955), dan Anthony J Raimondi (1972) memperkenalkan

pintasan ke arah ruang jantung atria (ventrikulo-atrial) dan ke rongga perut

(ventrikulo-peritoneal) yang alirannya searah dengan menggunakan katup

pengaman.Teknologi pintasan terus berkembang dengan ditemukan bahan-

bahan yang inert seperti silikon yang sebelumnya menggunakan bahan

polietilen. Hal itu penting karena selang pintasan itu ditanam di jaringan

otak, kulit, dan rongga perut dalam waktu yang lama bahkan seumur hidup

penderita sehingga perlu dihindarkan efek reaksi penolakan oleh tubuh.

Tindakan dilakukan terhadap penderita yang telah dibius total, ada sayatan

kecil di daerah kepala dan dilakukan pembukaan tulang tengkorak dan

selaput otak yang selanjutnya selang pintasan ventrikel di pasang, disusul

kemudian dibuat sayatan kecil di daerah perut, dibuka rongga perut lalu

Page 46: SOL Intrakranial BAB II

46

ditanam selang pintasan rongga perut antara kedua ujung selang tersebut

dihubungkan dengan sebuah selang pintasan yang ditanam di bawah kulit

sehingga tidak terlihat dari luar (Rosmini, 2008).

BAB III

PENUTUP

III.1 Kesimpulan

III.2 Saran

Page 47: SOL Intrakranial BAB II

47

DAFTAR PUSTAKA