Soil Nailing

31
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Soil Nailing 2.1.1 Sejarah Soil Nailing Soil nailing pertama kali diaplikasikan sebagai perkuatan untuk sebuah dinding penahan tanah di Perancis (1961). Kemudian dikembangkan oleh Rabcewicz (1964, 1965), untuk digunakan dalam galian terowongan, yang dikenal dengan “The New Austrian Tunneling Method” (NATM). Metode ini mengkombinasikan perkuatan pasif dari batangan baja dan shotcrete (adukan beton yang ditembakkan dengan tekanan tinggi pada suatu permukaan). Adanya perkuatan pasif dari batangan besi pada sekeliling dinding terowongan, sangat mengurangi beban yang harus diterima struktur terowongan jika dibandingkan dengan metode konvensional. Perbandingan antara kedua metode ini ditunjukkan secara skematis pada gambar di bawah. Gambar 2.1 Perbandingan Skematis Antara Austrian Tunneling Method dan Metode Konvensional (Sumber: “Soil Nail Walls”, Report FHWA-IF-03-017)

description

BAHAN KULIAH

Transcript of Soil Nailing

Page 1: Soil Nailing

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Soil Nailing

2.1.1 Sejarah Soil Nailing

Soil nailing pertama kali diaplikasikan sebagai perkuatan untuk sebuah

dinding penahan tanah di Perancis (1961). Kemudian dikembangkan oleh

Rabcewicz (1964, 1965), untuk digunakan dalam galian terowongan, yang

dikenal dengan “The New Austrian Tunneling Method” (NATM).

Metode ini mengkombinasikan perkuatan pasif dari batangan baja dan

shotcrete (adukan beton yang ditembakkan dengan tekanan tinggi pada suatu

permukaan). Adanya perkuatan pasif dari batangan besi pada sekeliling dinding

terowongan, sangat mengurangi beban yang harus diterima struktur terowongan

jika dibandingkan dengan metode konvensional. Perbandingan antara kedua

metode ini ditunjukkan secara skematis pada gambar di bawah.

Gambar 2.1 Perbandingan Skematis Antara Austrian Tunneling Method dan

Metode Konvensional

(Sumber: “Soil Nail Walls”, Report FHWA-IF-03-017)

Page 2: Soil Nailing

Salah satu dinding tanah yang menggunakan perkuatan soil nailing

ditemukan pada proyek pelebaran jalan kereta api dekat Versailles, Perancis

(1972), dengan lereng setinggi 18 meter dengan kemiringan 70°. Metode ini

dipilih, karena dianggap lebih efektif dari segi biaya, dan proses konstruksinya

lebih cepat dibandingkan dengan metode konvensional lain. Dengan berbagai

kelebihannya, kemudian metode ini berkembang pesat di Eropa, dan sekitarnya,

terutama di Perancis dan Jerman.

Pada saat ini, dinding soil nailing banyak digunakan sebagai struktur

perkuatan pada tanah galian, baik sebagai struktur sementara maupun sebagai

struktur permanen. Seiring perkembangan teknik perencanaan, dan teknik

konstruksi, aplikasi soil nailing akan terus berkembang.

Gambar 2.2 Potongan Melintang Lereng Dengan Perkuatan Soil Nailing

(Sumber: “Soil Nail Walls”, Report FHWA-IF-03-017)

Page 3: Soil Nailing

2.1.2 Elemen Dasar Dinding Soil Nailing

Secara umum elemen-elemen yang diperlukan dalam praktek soil nailing

adalah:

• Nail Bars

Batangan baja yang umum digunakan pada soil nailing, adalah

baja ulir yang sesuai dengan standar ASTM A615, dengan daya dukung

tarik 420 MPa (60 ksi atau Grade 60) atau 520 MPa (75ksi atau Grade

75). Ukuran diameternya yang tersedia adalah 19, 22, 25, 29, 32, 36, dan

43 mm, serta ukuran panjang mencapai 18 m (Tabel 2.1).

Tabel 2.1 Properti Baja Ulir [ASTM A615, Fy = 420 dan 525 MPa (60 dan 75 ksi)]

(Sumber: Byrne et al, 1998)

Diameter Luas Penampang Berat Jenis Kuat Leleh Kapasitas Beban AksialInggris mm inch2 mm2 lbs/ft Kg/m ksi MPa Kips kN

60 414 26,4 118 #6 19 0,44 284 0,86 21,8 75 517 33,0 147 60 414 36,0 160 #7 22 0,60 387 0,99 25,1 75 517 45,0 200 60 414 47,4 211 #8 25 0,79 510 1,12 28,4 75 517 59,3 264 60 414 60,0 267 #9 29 1,00 645 1,26 32,0 75 517 75,0 334 60 414 76,2 339 #10 32 1,27 819 1,43 36,3 75 517 95,3 424 60 414 93,6 417 #11 36 1,56 1006 1,61 40,9 75 517 117,0 520 60 414 135,0 601 #14 43 2,25 1452 1,86 47,2 75 517 168,8 751

• Nail Head

Komponen nail head terdiri dari bearing plate (pelat penahan),

hex nut (mur persegi enam), washer (cincin yang terbuat dari karet atau

logam), dan headed stud (Gambar 2.2 dan Gambar 2.3) Bearing plate

Page 4: Soil Nailing

umumnya berbentuk persegi dengan panjang sisi 200-250 mm, tebal 19

m, dan kuat leleh 250 Mpa (ASTM A36), sedangkan untuk nut, dan

washer yang digunakan harus memiliki kuat leleh yang sama dengan

batangan bajanya.

Gambar 2.3 Nail Head

(Sumber: Porterfield et al. (1994))

• Grout (Cor beton)

Cor beton untuk soil nailing dapat berupa adukan semen pasir.

Semen yang digunakan adalah semen tipe I, II, dan III. Semen tipe I

(normal) paling banyak digunakan untuk kondisi yang tidak memerlukan

syarat khusus, semen tipe II digunakan jika menginginkan panas hidrasi

lebih rendah dan ketahanan korosi terhadap sulfat yang lebih baik

daripada semen tipe I., sedangkan semen tipe III digunakan jika

memerlukan waktu pengerasan yang lebih cepat.

Page 5: Soil Nailing

Gambar 2.4 Pengecoran (Grouting) melalui pipa tremi

(Sumber: Porterfield et al. (1994))

• Centralizers (Penengah)

Centralizers adalah alat yang dipasang pada sepanjang batangan

baja dengan jarak tertentu (0.5–2.5m) untuk memastikan tebal selimut

beton sesuai dengan rencana (Gambar 2.5), alat ini terbuat dari PVC atau

material sintetik lainnya.

Gambar 2.5 Centralizers (PVC)

(Sumber: http://www.williamsform.com)

• Wall Facing (Muka/Tampilan Dinding)

Pembuatan muka/tampilan dinding terbagi menjadi dua tahap.

Tahap pertama, muka/tampilan sementara (temporary facing) yang dibuat

dari shotcrete, berfungsi sebagai penghubung antar batangan-batangan

Page 6: Soil Nailing

baja (nail bars), dan sebagai proteksi permukaan galian tanah terhadap

erosi.

Gambar 2.6 Pembuatan Muka Sementara (Temporary Facing)

(Sumber: www.bydrillinginc.com)

Tahap berikutnya adalah pembuatan muka/tampilan permanen

(permanent facing). Muka permanen dapat berupa panel beton pracetak

terbuat dari shotcrete. Muka permanen memiliki fungsi yang sama

dengan muka sementara, tetapi dengan fungsi proteksi terhadap erosi

yang lebih baik, dan sebagai penambah keindahan (fungsi estetika).

Gambar 2.7 Muka Permanen (Permanent Facing) Soil Nailing

(Sumber: www.tc17.poly.edu)

Page 7: Soil Nailing

Sejalan dengan perkembangan aplikasi geosintetik dalam praktek

geoteknik, geosintetik juga dapat digunakan sebagai muka dari lereng

dengan perkuatan soil nailing, dengan pertimbangan bahwa geosintetik

memiliki permeabilitas yang lebih baik daripada menggunakan beton, dan

memungkinkan untuk menumbuhkan vegetasi, menjadikan tampilan

lereng tampak alamiah (Gambar 2.8).

Gambar 2.8 Perkuatan Soil Nailing Dengan Muka Geotekstil

• Drainage System (Sistem Drainase)

Untuk mencegah meningkatnya tekanan air pada lereng di

belakang muka dinding, biasanya dipasangkan lembaran vertikal

geokomposit di antara muka dinding sementara dan permukaan galian

(Gambar 2.9).

Gambar 2.9 Lembaran Geokomposit Pada Dinding Soil Nailing

(Sumber: www.bydrillinginc.com)

Page 8: Soil Nailing

Pada kaki lereng harus disediakan saluran pembuangan

(weephole) untuk air yang telah dikumpulkan oleh lembaran

geokomposit (Gambar 2.15).

2.1.3 Tahapan Konstruksi

Tahapan-tahapan pekerjaan sebuah konstruksi dinding soil nailing secara

umum digambarkan secara skematis seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10 Tahapan Konstruksi Dinding Soil Nailing Secara Umum

(Sumber: “Soil Nail Walls”, Report FHWA-IF-03-017)

Page 9: Soil Nailing

• Tahap 1. Galian Tanah

Galian tanah dilakukan secara bertahap dengan kedalaman galian

tertentu (umumnya 1-2 m), hingga mencapai rencana kedalaman galian.

Kedalaman galian tiap tahap harus disesuaikan dengan kemampuan

tanah, sehingga muka galian dapat berdiri tanpa perkuatan, dalam periode

waktu yang singkat (umumnya 24-48 jam). Dalam kasus tertentu, pada

tanah yang tidak dapat berdiri tanpa perkuatan selama galian, dapat

diberikan timbunan menerus (continuous berm) seperti pada Gambar 2.11

atau timbunan segmental dengan jarak tertentu (Gambar 2.12). Timbunan

tersebut hanya bersifat sementara, dan dapat dipindahkan setelah nail

bars terpasang dan beton cor cukup keras.

Gambar 2.11 Perkuatan Sementara Dengan Timbunan Menerus

(Continuous Berm)

(Sumber: “Soil Nail Walls”, Report FHWA-IF-03-017)

Page 10: Soil Nailing

Gambar 2.12 Perkuatan Sementara Dengan Timbunan Segmental

(Sumber: “Soil Nail Walls”, Report FHWA-IF-03-017)

• Tahap 2. Pengeboran Lubang Nail

Dalam pekerjaan soil nailing, metode pengeboran auger dengan

lubang terbuka (tanpa casing/selubung) paling banyak digunakan karena

pekerjaannya relatif lebih cepat dan biaya yang relatif lebih rendah.

Namun, untuk tanah yang kurang stabil, pengeboran berdiameter besar

harus dihindari, dan pengeboran dengan drill casing/selubung bor sangat

dianjurkan untuk menghindari keruntuhan tanah dalam lubang bor.

Gambar 2.13 Pengeboran Dengan Casing/Selubung

(Sumber: www.richardsondrilling.co.nz)

Page 11: Soil Nailing

• Tahap 3. Pemasangan Nail Bar

Batangan baja yang sudah terpasang dengan centralizers,

dimasukkan ke dalam lubang bor, dan kemudian dicor dengan beton.

Secara umum, pengecoran dengan menuangkan adukan beton,

menghasilkan ikatan yang cukup baik antara tanah dengan hasil

pengecoran. Namun, untuk kasus tertentu pada tanah yang lemah

memerlukan daya ikatan yang lebih tinggi, ini dapat dihasilkan dengan

melakukan pengecoran dengan tekanan tinggi (jet grouting). Adanya

tekanan juga dapat menghasilkan beton yang lebih padat, dan diameter

efektif pengecoran mengembung menjadi lebih besar, dengan demikian

kemampuan menahan gaya cabut juga menjadi lebih baik.

Gambar 2.14 Metode Pengecoran Dengan Tekanan Tinggi (Jet Grouting)

(Sumber: www.grouters.org)

• Tahap 4. Pemasangan Sistem Drainase

Aliran air ke dalam dinding galian harus dicegah. Oleh karena itu,

metode konvensional dalam pengendalian air permukaan dan drainase,

diperlukan selama masa konstruksi. Seperti yang telah dijelaskan

Page 12: Soil Nailing

sebelumnya, penambahan lembaran geokomposit vertikal, dapat

membantu mencegah peningkatan tekanan air tanah pada muka lereng.

Gambar 2.15 Sistem Drainase Pada Dinding Soil Nailing

(Sumber: “Soil Nail Walls”, Report FHWA-IF-03-017)

• Tahap 5. Pembuatan Muka Sementara (Temporary Wall Facing)

Muka sementara dari sebuah dinding soil nailing umumnya

terbuat dari shotcrete, dengan ketebalan antara 75 sampai 100 mm.

Lapisan shotcrete akan menjadi perkuatan sementara, dan melindungi

permukaan galian dari erosi, serta sebagai pengisi rongga-rongga yang

terbentuk akibat keretakan tanah. Pelaksanaan konstruksi muka

sementara dengan shotcrete dapat dilihat pada Gambar 2.16.

Gambar 2.16 Pembuatan Muka Sementara Dengan Shotcrete

(Sumber: Porterfield et al. (1994))

Page 13: Soil Nailing

Dalam pembuatan adukan untuk shotcrete ada dua syarat yang

saling berlawanan, dan harus dipenuhi, yaitu kemampuan ditembakkan

(shootability), dan kemampuan dipompa (pumpability). Shootability

adalah kemampuan adukan utuk menempel pada permukaan hingga

ketebalan tertentu, dan tidak mengelupas. Pumpability adalah

kemampuan adukan untuk mengalir seperti cairan, sehingga mudah

dipompa. Untuk memenuhi syarat shootability, adukan yang ideal adalah

adukan dengan kekentalan tinggi, sedangkan untuk pumpability

membutuhkan adukan yang berkemampuan alir baik, dan kekentalan

rendah. Oleh karena itu, kontraktor harus memperhatikan kedua syarat

tersebut dalam membuat adukan sehingga mudah dalam pelaksanaannya

dan menghasilkan dinding shotcrete yang baik.

Kualitas dan keawetan shotcrete bergantung pada dua faktor,

yaitu kadar semen dalam adukan dan kepadatan dinding. Shotcrete

dengan kadar semen tinggi umumnya berkisar antara 350-410 kg semen

per m3, jumlah kadar semen harus disesuaikan untuk memenuhi syarat

shootability, dan pumpability. Kepadatan dinding bergantung pada kadar

udara yang masuk dalam adukan sewaktu ditembakkan. Peningkatan

kadar udara akan menurunkan kekuatan beton yang dihasilkan (sekitar

5% kuat tekan berkurang setiap 1% kandungan udara dalam adukan).

Perkuatan untuk shotcrete biasanya menggunakan jaring kawat

(wiremesh), ukuran jaring pada kawat harus disesuaikan dengan ukuran

agregat dalam adukan shotcrete.

Page 14: Soil Nailing

• Tahap 6. Pembuatan Muka Permanen (Permanent Wall Facing)

Metode yang umum dilakukan dalam pembuatan muka permanen

adalah dengan shotcrete, dan beton pracetak. Di samping dua metode ini,

masih banyak metode yang dapat dilakukan, dan masih terus

dikembangkan.

Pembuatan muka permanen dari shotcrete sama dengan yang

dilakukan dalam pembuatan muka sementara. Ketebalan muka permanen

dari shotcrete umumnya berkisar antara 150, dan 300 mm, belum

termasuk ketebalan dari dinding sementara. Pengecoran dilakukan secara

berlapis dengan ketebalan tiap lapisan antara 50 hingga 100 mm.

Muka permanen dengan beton pracetak digunakan untuk

menyesuaikan keindahan yang diinginkan, atau durabilitas yang

diinginkan. Contoh pelaksanaan konstruksi muka permanen dengan panel

beton pracetak ditunjukkan pada gambar di bawah.

Gambar 2.17 Konstruksi Muka Permanen (Permanent Facing) Dengan

Panel Beton Pracetak

(Sumber: Ellias et al. (1994))

Page 15: Soil Nailing

2.1.4 Evaluasi Kelayakan Konstruksi Dinding Soil Nailing

Evaluasi kelayakan konstruksi dinding soil nailing harus mencakup dari

segi teknis, dan dari segi ekonomis. Pertimbangan tersebut mencakup kondisi

tanah, kelebihan dan kekurangan dalam mengaaplikasikan soil nailing pada

proyek, perbandingan dengan metode alternatif lain, dan evaluasi biaya. Dalam

skripsi ini akan membahas pertimbangan dari dua aspek, yaitu kondisi tanah

serta kelebihan dan kekurangan soil nailing.

2.1.4.1 Evaluasi Jenis Tanah dan Kondisi Lapangan

Soil nailing dapat digunakan untuk banyak jenis tanah, dan kondisi.

Pengalaman dari berbagai proyek menunjukkan beberapa kondisi tanah yang

menguntungkan akan membuat metode soil nailing menjadi lebih efektif dari

segi biaya dibandingkan dengan teknik lain (“Soil Nail Walls”, Report FHWA-

IF-03-017).

Secara umum tanah yang dianggap baik untuk soil nailing adalah tanah

yang mampu berdiri tanpa perkuatan selama kira-kira 1 sampai 2 hari, dengan

kedalaman galian 1 sampai 2 m, dan sudut lereng vertikal atau mendekati

vertikal. Disamping itu, muka air tanah juga harus terletak di bawah semua

batangan besi. Berikut beberapa jenis tanah yang dianggap cocok untuk

mengaplikasikan soil nailing.

• Tanah keras sampai sangat keras dan berbutir halus (stiff to hard fine

grained soils). Tanah berbutir halus (kohesif) keras sampai sangat keras

mencakup lempung (clays), lanau berlempung (clayey silts), lempung

berlanau (silty clays), lempung berpasir (sandy clays), dan kombinasi dari

Page 16: Soil Nailing

jenis-jenis tersebut. Dari jenis-jenis tanah tersebut, sebaiknya disertai

dengan plastisitas rendah, untuk meminimalkan kemungkinan pergerakan

lateral dinding soil nailing dalam jangka panjang.

• Tanah granular padat hingga sangat padat dengan sedikit kohesi (dense to

very dense granular soils with some apparent cohesion). Tanah ini

mencakup tanah pasir, dan kerikil (gravel) dengan nilai N-SPT lebih dari

30 (Terzaghi et al, 1996), dan dengan sedikit agregat halus (kurang dari

10 sampai 15 persen).

Sebaliknya berikut beberapa contoh jenis tanah dan kondisi yang kurang

menguntungkan untuk menerapkan soil nailing:

• Tanah tidak berkohesi, bergradasi buruk, dan kering. Tanah tanpa kohesi

dengan gradasi buruk, dan dalam kondisi kering, sulit mencapai

kemiringan lereng vertikal atau hampir vertikal yang dibutuhkan dalam

soil nailing.

• Tanah dengan muka air tanah tinggi. Kondisi muka air tanah yang tinggi

memerlukan sistem drainase yang signifikan, agar massa tanah dapat

berdiri stabil. Selain itu, tingginya muka air tanah akan menyulitkan

proses pengeboran karena tanah dalam lubang bor akan mudah runtuh,

akibatnya kondisi ini memerlukan biaya yang besar untuk pemasangan

soil nailing. Kondisi air tanah yang merembes keluar dari muka lereng

juga akan menambah kesulitan konstruksi ketika pelaksanaan pekerjaan

shotcrete.

Page 17: Soil Nailing

• Tanah berbatu (soils with cobbles and boulders). Tanah dengan

mengandung banyak bebatuan akan menjadi masalah pada saat pekerjaan

pengeboran, dan dapat mengakibatkan peningkatan biaya atau

keterlambatan masa konstruksi.

• Tanah lunak hingga sangat lunak, dan berbutir halus. Jenis tanah tidak

cocok untuk konstruksi soil nailing karena daya ikatnya lemah, akibatnya

memerlukan nail bar yang sangat panjang untuk mencapai kapasitas ikat

yang dibutuhkan.

• Tanah organik. Tanah organik seperti lanau organik (organic silts),

lempung organik (organic clays), dan khususnya gambut (peat), memiliki

daya dukung geser rendah, sehingga daya ikat tanah terhadap sistem soil

nailing menjadi lemah. Akibatnya, memerlukan panjang nail bars yang

tidak ekonomis. Disamping rendahnya daya dukung geser, tanah organik

cenderung bersifat lebih korosif dibandingkan dengan jenis-jenis tanah

inorganik lainnya.

• Tanah atau air tanah korosif. Kondisi ini memerlukan sistem proteksi

terhadap korosi yang tinggi, dan akan mengakibatkan biaya konstruksi

menjadi tinggi. Selain itu, kondisi ini juga sangat tidak menguntungkan

untuk dinding soil nailing yang bersifat permanen atau jangka panjang.

• Tanah granular yang renggang (loose to very loose granular soils). Tanah

ini akan berdeformasi berlebih akibat getaran selama konstruksi. Jenis

tanah ini dalam kondisi jenuh air, juga tidak cocok karena rentan terhadap

liquefaction pada daerah gempa.

Page 18: Soil Nailing

Berbagai jenis tanah dan kondisi yang dijelaskan di atas, hanya

merupakan pendekatan dalam soil nailing. Oleh karena itu, diperlukan pengujian

lebih lanjut, baik uji lapangan maupun laboratorium, untuk mengevaluasi

kelayakan pelaksanaan konstruksi dengan soil nailing.

2.1.4.2 Evaluasi Kelebihan dan Kekurangan Soil Nailing

Adapun pertimbangan kelebihan soil nailing dibandingkan dengan

metode lain adalah:

• Volume baja untuk nail bars dalam soil nailing lebih sedikit

dibandingkan dengan ground anchors, karena umumnya batangan baja

dalam soil nailing lebih pendek. Material yang dibutuhkan juga relatif

lebih sedikit, jika dibandingkan dengan ground anchors.

• Luas area yang dibutuhkan dalam masa konstruksi lebih kecil

dibandingkan dengan teknik lain, sehingga cocok untuk pekerjaan yang

memiliki areal konstruksi terbatas.

• Dinding dengan soil nailing relatif lebih fleksibel terhadap penurunan,

karena dinding untuk soil nailing lebih tipis jika dibandingkan dengan

dinding gravitasi.

Disamping kelebihan-kelebihannya, berikut kekurangan dari metode soil

nailing:

• Metode soil nailing tidak cocok untuk daerah dengan muka air tanah

tinggi.

Page 19: Soil Nailing

• Soil nailing tidak cocok diaplikasikan untuk struktur yang membutuhkan

kontrol ketat terhadap deformasi. Hal ini dapat diatasi dengan

menggunakan post tension nail, namun langkah ini akan meningkatkan

biaya kosntruksi.

• Pelaksanaan konstruksi soil nailing relatif lebih sulit, sehingga

membutuhkan kontraktor yang ahli, dan berpengalaman.

2.2 Stabilitas Lereng

Stabilitas sebuah lereng ditunjukkan dari nilai faktor keamanannya, yang

merupakan perbandingan dari gaya-gaya yang mendorong lereng untuk longsor,

terhadap gaya-gaya dari penahan dari tanah.

Berbagai metode telah dikembangkan dalam analisa stabilitas lereng,

misalnya: metode irisan Bishop, metode irisan Janbu, metode baji (wedge

method), metode elemen hingga, dan berbagai metode lainnya. Seiring dengan

perkembangan teknologi komputer, telah dikembangkan berbagai program

komputer yang memfasilitasi kemampuan untuk mengaanalisa stabilitas lereng,

dan masing-masing program mengadopsi metode analisa yang berbeda. Ada dua

macam program yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu SLOPE/W, dan

PLAXIS.

2.2.1 Metode Bishop yang Disederhanakan ( Bishop’s Simplified Method)

Terdapat beberapa asumsi dalam metode yang dikemukakan oleh Bishop,

yaitu: bidang longsor yang menyerupai lingkaran dan terbagi menjadi beberapa

irisan, serta resultan gaya geser, dan gaya lateral antar irisan dianggap nol.

Page 20: Soil Nailing

Berikut skema dari gaya-gaya yang bekerja (Gambar 2.18), dan persamaan yang

dikemukakan oleh Bishop untuk analisa faktor keamanan lereng adalah:

( )[ ]

∑∑

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ +

−+=

Ftan'tan

1sinW

sec'tanubWb'cF

nnn

nnnn

αφα

αφ (2.1)

Keterangan:

F = faktor keamanan

c’ = kohesi efektif tanah

b n = lebar irisan n

Wn = berat tanah irisan n

n = jumlah irisan

u = tegangan air pori

φn = sudut geser efektif

αn = sudut kemiringan

bidang longsor irisan n

Gambar 2.18 Gaya yang Bekerja Dalam “Metode Irisan Bishop yang

Disederhanakan”

2.2.2 Metode Janbu yang Disederhanakan (Janbu’s Simplified Method)

Sama seperti pada metode Bishop, metode Janbu mengasumsikan

resultan gaya geser antar irisan adalah nol. Dalam metode ini, kesetimbangan

Page 21: Soil Nailing

gaya vertikal dan horisontal dapat tercapai, tetapi tidak untuk kesetimbangan

momen. Berikut persamaan dari metode Janbu:

( )[ ]

∑∑

⎟⎠

⎞⎜⎝

⎛ +

−+=

Ftan'tan

1tanW

sec'tanubWb'cF

nnn

n2

nnn

αφα

αφ (2.2)

Namun, persamaan ini menghasilkan nilai faktor keamanan yang kurang

akurat, karena kesetimbangan momen yang tidak terpenuhi. Oleh karena itu,

Janbu mengembangkan suatu faktor koreksi empiris (Gambar 2.19), untuk

mengoreksi nilai faktor keamanan dari persamaannya, sehingga nilai faktor

keamanan yang sudah dikoreksi (F’) menjadi:

F’ = fo x F (2.3)

Gambar 2.19 Faktor Koreksi Untuk Metode Janbu

(Sumber: Steve Yaeger )

Page 22: Soil Nailing

2.2.3 Perhitungan Manual

Dalam perhitungan manual, mengadopsi metode baji (wedge) dengan

bidang longsor planar. Dari diagram distribusi gaya pada Gambar 2.20,

didapatkan persamaan sebagai berikut:

0cosPsinPT tni=+−∑ αα (2.4)

0VsinPcosPW itn =−−− ∑αα (2.5)

Gambar 2.20 Gaya yang Bekerja Dalam Metode Baji (Wedge Method)

Variabel “P” dalam persamaan di atas merupakan gaya dari tanah pada

permukaan bidang longsor, dan dengan mempertimbangkan keseimbangan gaya,

maka:

FoSPP n

t = (2.6)

Pada tanah yang memiliki nilai kohesi, maka perlu diperhitungkan kuat

geser tanah pada sepanjang permukaan bidang longsor, berikut persamaan untuk

menghitung kuat geser:

FoScLS f= (2.7)

β α

h1

h2 H

Le1

Le2

Lf β

α

Pn

P

Pt

T1

V1

T2 V2

W

φ

Page 23: Soil Nailing

Dari persamaan 2.4, 2.5, 2.6, dan 2.7, nilai faktor keamanan dapat

dihitung dengan persamaan berikut:

∑ ∑∑ ∑

−−

−++=

αααφααφα

sinVcosTsinWtan)cosVsinT(tancosWcL

FoSii

iif (2.8)

Keterangan:

W = berat dari massa tanah yang longsor

FoS = faktor keamanan

c = kohesi tanah

Le = panjang nail bar di belakang bidang longsor

Lf = panjang bidang longsor

ΣTi = jumlah daya dukung terhadap gaya tarik

ΣVi = jumlah daya dukung gaya geser

α = sudut kemiringan bidang longsor terhadap garis horisontal

φ = sudut geser internal

• Gaya Geser dan Gaya Tarik Ijin Global

Untuk menentukan daya dukung tarik, dan geser yang akan digunakan

dalam perhitungan faktor keamanan, harus ditentukan terlebih dahulu daya

dukung dari tanah atau daya dukung nail bar yang akan berperan. Oleh karena

itu, daya dukung masing-masing harus dihitung terlebih dahulu dan diambil nilai

yang terkecil untuk perhitungan faktor keamanan.

Gaya geser, dan gaya tarik ijin dari sebuah nail bar dapat dihitung

dengan persamaan 2.9, dan 2.10.

Page 24: Soil Nailing

)90(tan412

RV2n

α−°+= (2.9)

)90tan(V4T α−°= (2.10)

Keterangan:

V = gaya geser ijin nail bar

T = gaya tarik ijin nail bar

Rn = daya dukung tarik nail bar (dapat dilihat pada Tabel 2.1)

Sedangkan untuk gaya geser ijin dari tanah dapat dihitung dengan

persamaan berikut.

Lo2DPV max= (2.11)

Keterangan:

V = gaya geser ijin pasif tanah,

D = diameter nail bar+grouting,

Lo = 4

sDKEI4 = panjang penyaluran,

EI = kekakuan nail bar, dengan diameter nail bar tanpa grouting,

Ks = modulus reaksi lateral tanah, ditentukan dari Gambar 2.21b

Pmax = 2Pu

= tegangan pasif yang dibatasi menjadi setengah dari tegangan

pasif ultimit,

= Pu dihitung dengan mengambil nilai terkecil dari persamaan berikut:

Page 25: Soil Nailing

z')DCzC(P 21u γ+= (2.12)

z'DCP 3u γ= (2.13)

z = 2/3H (2.14)

(Nilai koefisien C1, C2, dan C3, ditentukan dari Gambar 2.21a)

(a) Koefisien C1, C2, dan C3 (b) Modulus Reaksi Tanah Lateral

Gambar 2.21 Grafik Korelasi Untuk Tanah Pasir API

(Sumber: API, 1987)

Setelah mendapatkan gaya geser ijin terkecil antara nail bar dan tanah,

maka gaya tarik ijin pada nail bar perlu dibatasi, yang ditentukan dari persamaan

berikut:

1R

TR

V2

n

2max

2c

2max =+ (2.15)

Page 26: Soil Nailing

Keterangan:

Vmax = gaya geser ijin global,

Tmax = gaya tarik ijin global,

Rc = Rn/2 = daya dukung geser nail bar

• Gaya Tarik Ijin Dari Perkuatan Soil Nailing

Gaya tarik ijin dari masing-masing nail tidak boleh melebihi dari gaya

ijin global. Apabila lebih besar dari gaya ijin global, maka gaya ijin yang

digunakan adalah gaya ijin global, baik untuk gaya ijin tarik. Gaya ijin tarik

masing-masing nal bar per unit panjang tegak lurus bidang gambar dapat

dihitung dengan persamaan berikut.

FoS

fDLT maxei

π= (2.15)

fmax adalah daya dukung geser pada ikatan antara tanah dengan

permukaan sepanjang nail bar, sebaiknya dilakukan pengujian di lapangan

untuk medapatkan nilai ini. Berikut nilai fmax pada beberapa jenis tanah pasir.

Tabel 2.2 Daya Dukung Geser Soil Nailing Pada Tanah Pasir

(Sumber: Ellias and Juran, 1991)

Soil Type Ultimate Bond Strength (kN/m2)

Sand/gravel 100 – 180

Silty sand 100 – 150

Silty clayey sand 60 – 140

Silty fine sand 55 – 90

Page 27: Soil Nailing

2.2.4 Program SLOPE/W

Teori kesetimbangan batas (Limit Equilibrium Method) telah digunakan

sejak lama dalam dunia geoteknik. Pada tahun 1916, Petterson mengemukakan

metode analisa stabilitas lereng dengan membagi massa tanah menjadi beberapa

irisan vertikal, dan bidang longsor menyerupai lingkaran. Kemudian, Fellenius

(1936) mengenalkan “Metode Irisan Swedish/Ordinary” (Swedish/Ordinary

Method of Slices), dan dikembangkan oleh masing-masing, Janbu, dan Bishop

sekitar tahun 1950-an menjadi “Metode Irisan Janbu”, dan “Metode Irisan

Bishop”. Komputer mulai berkembang pada tahun 1960-an, sehingga

memungkinkan metode analisa yang membutuhkan iterasi perhitungan yang

lebih rumit, sehingga berkembanglah metode Morgenstern−Price (1965), dan

Spencer (1967).

SLOPE/W adalah sebuah program yang menggunakan teori

kesetimbangan batas modern, sehingga analisa dengan parameter kompleks, baik

dari kondisi geometri, tekanan air pori yang tidak seragam, dan bidang longsor

yang bervariasi, dapat dilakukan. Jika tidak ditentukan, metode analisa stabilitas

lereng yang akan digunakan program SLOPE/W adalah metode Ordinary,

Bishop, dan Janbu, serta Morgenstern-Price.

2.2.5 Program PLAXIS

PLAXIS adalah program yang mengacu pada teori elemen hingga, untuk

aplikasi geoteknik yang menggunakan model-model tanah untuk melakukan

analisis deformasi dan stabilitas, yang tidak dapat dilakukan dalam teori

kesetimbangan batas.

Page 28: Soil Nailing

Prosedur pemodelan grafis yang relatif mudah dilakukan, memungkinkan

pembuatan suatu model elemen hingga yang rumit dapat dilakukan dengan cepat,

sedangkan fasilitas yang tersedia dapat digunakan untuk menampilkan hasil

komputasi secara mendetil. Model geometri pada program merupakan geometri

dua dimensi yang mewakili model tiga dimensi sesungguhnya.

• Pemodelan Perilaku Tanah di Dalam Program PLAXIS

Dalam analisa ini pemodelan perilaku tanah dilakukan menurut

model Mohr-Coulumb. Pemodelan ini merupakan pendekatan awal

terhadap perilaku tanah yang umum dilakukan. Dalam model Mohr-

Coulomb membutuhkan lima buah parameter dasar, yaitu: modulus

Young (E), angka Poisson (ν), kohesi tanah (c), sudut geser (φ), dan sudut

dilatansi (ψ).

Hubungan kelima parameter dasar dapat dilihat pada kurva

tegangan-regangan dari uji triaksial terdrainase standar (Gambar 2.22).

Uji ini diawali dengan mengkompresi material secara isotropik dengan

tekanan keliling (σ3) tertentu. Setelah itu, tegangan aksial (σ1)

ditingkatkan, sedangkan tegangan radial dijaga agar tetap konstan. Dalam

tahap pembebanan ini, umumnya akan menghasilkan kurva seperti

Gambar 2.22a. Peningkatan volume umumnya terjadi pada pasir atau

batuan, dan peningkatan volume tersebut tidak dapat kembali lagi seperti

semula (irreversible). Dalam memodelkan peningkatan volume ini

diperlukan parameter sudut dilatansi.

Page 29: Soil Nailing

Model Mohr-Coulomb merupakan idealisasi dari hasil uji triaksial

terdrainase, yang menjadikan kurva tegangan-regangan menjadi

hubungan yang linear (Gambar 2.22b). Model Mohr-Coulomb sering juga

disebut dengan Model elastis-plastis sempurna.

Gambar 2.22 Hasil Uji Triaksial Terdrainase (a), dan Model Mohr-Coulomb (b)

(Sumber: Manual Plaxis v8)

Keterangan:

σ1 = tegangan aksial

σ1 = tegangan keliling konstan

ε1 = regangan aksial

εv = regangan volumetrik

-ε1

31 σσ −

E

1

φσσφ sincos2 31 −+c

-ε1

31 σσ −

εv

-ε1

εv

-ε1 1-2ν 1

1

ψψ

sin1sin2−

(a) (b)

Page 30: Soil Nailing

• Pemodelan Soil Nailing Dalam PLAXIS

Dalam PLAXIS, tidak terdapat elemen yang dapat memodelkan

soil nailing. Namun, banyak praktisi geoteknik yang mengatakan bahwa

pemodelan soil nailing dalam PLAXIS dapat didekati dengan elemen

pelat (plate) atau dengan elemen node to node anchor.

Pemodelan soil nailing dengan node to node anchor, memerlukan

parameter kekakuan tarik/tekan (EA), dan spasi (s) antar soil nailing

tegak lurus bidang. Sedangkan, dalam pemodelan dengan elemen pelat,

beberapa parameter perlu dikoreksi, mengingat elemen pelat merupakan

elemen yang menerus, sedangkan soil nailing dipasang dengan jarak

tertentu. Koreksi pertama adalah dengan membagi parameter kekakuan

tarik/tekan (EA), dan parameter kekakuan tekuk (EI) dalam elemen pelat,

dengan spasi (s) dalam soil nailing. Berikutnya adalah mengoreksi luas

permukaan yang mengalami gaya friksi, yaitu luas selimut pada nail bars,

dan pada pelat adalah luas permukaan atas dan bawah yang

bersinggungan dengan tanah. Koreksi ini dilakukan dengan memasukkan

nilai tertentu dalam parameter antarmuka (Rinterface), yang dihitung dengan

persamaan berikut:

Rinterface = lateA

A

p

nail (2.4)

Anail dalam persamaan tersebut adalah luas selimut satu nail bar,

sedangkan Aplate adalah luas permukaan pelat yang bersinggungan dengan

tanah (Gambar 2.23).

Page 31: Soil Nailing

Keterangan:

Anail = π.D.L

Aplate = 2.s.L

L = panjang nail bar

D = diameter nail bar

S = jarak antar nail bar tegak lurus bidang

Gambar 2.23 Soil Nail dan Plate

s

L

πD