SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

38
BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Masyarakat Nelayan Aceh Penduduk atau masyarakat Aceh sebagian besar bermukim di kawasan pesisir. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2005 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir mencapai 50% dari total jumlah penduduk Aceh. Jumlah tersebut tersebar di 115 kecamatan yang berbatasan langsung dengan pantai. Secara umum jumlah wanita di Aceh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria. Usia produktif antara 15-64 tahun mendominasi penduduk Aceh yang terdiri dari berbagai macam suku baik asli maupun pendatang. Suku asli masyarakat Aceh terdiri dari suku Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulue, Singkil, dan Tamiang. Kedelapan suku tersebut mempunyai sejarah, budaya, dan bahasa yang sangat berbeda satu sama lain. Ekosistem pesisir menjadi penyedia jasa dan produk lingkungan bagi masyarakat pesisir. Saat ini jumlah nelayan di Aceh tercatat sebanyak 61.768 orang yang sebagian besar merupakan nelayan penuh. Nelayan tradisional Aceh lebih banyak melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan terumbu karang yang dekat dengan pantai. Alat tangkap yang digunakan antara

description

COASTAL DEVELOPMENT PROGRAM

Transcript of SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Page 1: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Masyarakat Nelayan Aceh

Penduduk atau masyarakat Aceh sebagian besar bermukim di kawasan

pesisir. Berdasarkan hasil survei yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada

tahun 2005 mencatat jumlah penduduk yang tinggal di wilayah pesisir

mencapai 50% dari total jumlah penduduk Aceh. Jumlah tersebut tersebar di

115 kecamatan yang berbatasan langsung dengan pantai. Secara umum jumlah

wanita di Aceh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah pria. Usia produktif

antara 15-64 tahun mendominasi penduduk Aceh yang terdiri dari berbagai

macam suku baik asli maupun pendatang. Suku asli masyarakat Aceh terdiri

dari suku Aceh, Alas, Aneuk Jamee, Gayo, Kluet, Simeulue, Singkil, dan

Tamiang. Kedelapan suku tersebut mempunyai sejarah, budaya, dan bahasa

yang sangat berbeda satu sama lain. 

Ekosistem pesisir menjadi penyedia jasa dan produk lingkungan bagi

masyarakat pesisir. Saat ini jumlah nelayan di Aceh tercatat sebanyak 61.768

orang yang sebagian besar merupakan nelayan penuh. Nelayan tradisional

Aceh lebih banyak melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan terumbu

karang yang dekat dengan pantai. Alat tangkap yang digunakan antara lain

pancing, trammel net, liftnet, dan fish gun. Armada penangkapan yang

digunakan oleh nelayan Aceh pada umumnya memiliki ukuran lebih kecil dari

30 GT dan beroperasi hanya di perairan teritorial dan sekitar pulau-pulau di

Aceh.

2.2 Pengetahuan Lokal

Melirik "SDA Aceh" Yang Masih Terabaikan

Page 2: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Daerah Aceh memiliki potensi sumber daya laut yang luar biasa. Namun

sayangnya, cuma sedikit potensi alam ini yang mampu dimanfaatkan secara

maksimal oleh Pemerintah Aceh. Sumber daya tersebut hingga kini masih

terabaikan tanpa mampu dijamah keperawanannya oleh para ahli di daerah ini.

Di sektor perikanan, pesisir pantai Aceh memiliki panjang 1.660 km dengan luas

perairan laut 295.370 km², terdiri atas luas wilayah perairan ( teritorial dan

kepulauan ) seluas 56.563 km² dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) seluas

238.807 km². Jenis ikan laut yang ditangkap: ikan kembung, layang, tongkol,

tuna, dan tembang. 

Potensi sumberdaya kelautan dan perikanan terdiri perikanan tangkap di laut dan

perairan umum (sungai, danau, waduk dan rawa-rawa) dan perikanan budidaya

(ikan air payau di tambak, di kolam, ikan di sawah (mina padi) atau budidaya ikan

dengan sistem keramba jaring apung, baik di laut maupun diperairan tawar). 

Gempa bumi dan tsunami 2004 telah menyebabkan kerusakan besar di sektor

kelautan dan perikanan. Produksi perikanan tangkap (kembung, laying, tongkol,

tuna, dan tembang) pada 2005 sebanyak 109.152,2 ton, sementara produksi 2004

mencapai 140.780,8 ton. 

Sedangkan produksi 2006 meningkat menjadi 154.000 ton. Potensi ikan tangkap

di Aceh 1,8 juta ton. 

Page 3: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Jika sektor perikanan Aceh mampu digarap secara maksimal, sektor ini

sebenarnya mampu menyerap 257.300 tenaga kerja atau sekitar 51.460 kepala

keluarga atau mencapai 31,68% dari 811.971 total tenaga kerja yang terserap di

sektor pertanian.

Potensi perikanan lainnya adalah budidaya rumput laut, kerapu, kakap, lobster dan

kerang mutiara dengan potensi sebaran seluas ±12.014 ha,membentang mulai dari

Sabang, Aceh besar, Aceh Barat, Aceh Selatan, Simeleu, sampai Pulau Banyak

Kabupaten Aceh Singkil. Pengembangan perikanan ini didukung oleh sebaran

luas terumbu karang seluas ±274.841 ha, membentang mulai dari Sabang, Aceh

Besar sampai pantai barat selatan Aceh.

Tidak hanya itu, Posisi Aceh juga berhadap langsung dengan lautan india yang

merupakan sarang ikan tuna di dunia. Namun sektor ini ternyata belum mampu

digarap maksimal oleh Pemerintah Aceh.

Sejumlah ikan tuna yang ditangkap oleh nelayan Aceh saat ini hanya ikan yang

berada di daerah teritorial. Sedangkan tuna yang berada di laut lepas belum

mampu sedikitpun dimanfaatkan oleh Pemerintah Aceh secara maksimal untuk

kepentingan masyarakatnya. 

Karena ketidakmampuan ini, keberadaan tuna akhirnya ’dijarah’ oleh nelayan dan

pemerintah dari negara-negara tetangga. Sedangkan Aceh hanya menjadi

penonton selama bertahun-tahun.

Parahnya lagi, Pemerintah Aceh saat ini bahkan belum mampu menyediakan

pelabuhan yang dinilai layak untuk dijadikan tempat persinggahan kapal-kapal

nelayan yang menangkap ikan tunas di lautan lepas. Kemudian, peluang inipun

kini malah diambil alih oleh provinsi lain, seperti Muara Baru Jakarta. kondisi ini

sangat memprihatikan sehingga perlu adanya pembenahan.

Page 4: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Potensi Perikanan Aceh Belum Digarap Optimal

Potensi Sumber Daya Alam (SDA) bidang perikanan yang ada di perairan Aceh

dinilai belum mampu digarap secara maksimal. Pemerintah Aceh periode ini, juga

dianggap kurang serius dalam mengenjot sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD)

bidang perikanan sehingga peluang tersebut telah diambil oleh provinsi lain,

seperti Sumatra Utara dan Sumatra Barat.

”Potensi perikanan yang ada di perairan Aceh saat ini belum dapat digarap

maksimal. Akibatnya, potensi tersebut malah dimanfaatkan oleh provinsi lain

untuk mengenjot PAD mereka. Sedangkan kita hanya diam menyaksikan kasus ini

terjadi,”ucap Muklisin, ahli perikanan Aceh dan dosen Fakultas Pertanian

Unsyiah, dalam diskusi mingguan Pusat Studi Adat Laot dan Kebijakan Perikanan

(Pushal-KP) Unsyiah, di Kantin AAC Dayan Dawood, Kamis ( 4/11).

Menurutnya, selain perikanan laut, potensi perikanan air tawar, perikanan air

payau, serta budidaya perikanan dinilai juga masih kurang digarap maksimal.

Keberadaan nelayan dan petani tambak juga dianggap masih kurang mendapatkan

perhatian dari pemerintah, terutama untuk peningkatan pengetahuan budidaya

ikan, serta kuncuran kredit.

Akibatnya, banyak cara-cara penangkapan yang dilakukan oleh para nelayan

dianggap justru membunuh populasi ikan, seperti penggunaan pukat harimau,

serta pencemaran air laut. Kasus seperti ini, ditemukan di danau Laut Tawar,

Kabupaten Aceh Tengah.

”Kondisi Danau laut tawar sangat memprihatinkan. Jaring ikan yang digunakan

oleh para nelayan disana bisa menangkap anak ikan. Padahal, telah ada Perda

yang mengatur hal ini, namun tidak diacukan. Belum lagi penggunaan bom racun

yang dapat membunuh telur ikan,”ungkap Muklisin.

Page 5: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Dirinya mengaku telah melakukan penelitian hal ini selama berbulan-bulan di

Danau Laut Tawar. Rekomendasi hasil penelitian ini juga telah disampaikan pada

Pemkab Aceh Tengah dan Dinas Perikanan Provinsi Aceh, tetapi tidak ada

tindaklanjuti yang berarti. 

”Masyarakat melakukan pelanggaran ini karena pengetahuan yang minim. Namun

Pemkab dan Pemprov ternyata juga tidak mau peduli hal ini karena sektor itu

tidak menjadi fokus pemasukan bagi PAD,”tutur dia.

Jika seandainya pemerintah fokus, tambahnya, pemerintah seharusnya mampu

memberikan pemahaman yang baik bagi nelayan, serta memberikan fasilitas

kredit untuk mengembangkan perekonomian mereka dan membangun fasilitas

perikanan yang memadai.

Seriuskan Pemerintah Penting

Dalam membangun sektor perikanan Aceh sebenarnya sangat diperlukan adanya

tingkat keseriusan yang tinggi dari pemimpin Aceh saat ini. Namun hal inilah

yang sulit dicari oleh masyrakat saat ini.

Jika kita merujuk pada Rencana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA)

yang diajukan oleh eksekutif ke legislatif beberapa waktu lalu. Maka secara jelas

dapat dilihat bahwa para Pemimpin Aceh saat ini sebenar masih kurang serius

untuk mengenjot Pendapatan Asli Daerah (PAD) melalui sektor perikanan. 

Mengapa demikian? Karena alokasi anggaran untuk bidang perikanan ternyata

masih sangat sedikit dibandingkan sektor lain. Pemerintah saat ini juga dinilai

masih terus mengandalkan sektor pertambangan yang tidak dapat diperbahrui

bidang sumber daya tersebut suatu saat habis. 

Sebagai contoh, mudahnya keluar izin untuk bidang pertambangan, seperti untuk

PT. Lhoong Setia Mining (LSM) di Aceh Besar dan PT.PSU di Aceh Selatan.

Page 6: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Padahal, dampak dari izin tersebut disinyalir telah merusak lingkungan dan

mendapatkan protes keras dari warga sekitar. 

Selain itu, Pemerintah Aceh saat ini juga dirasakan enggan untuk fokus pada

pembinaan nelayan Aceh. Para nelayan dan masyarakat pesisir Aceh saat ini

masih mengandalkan kemampuan pribadi dan alat tangkap tradisional dalam

setiap aktivitasnya. Hal inilah yang menjadi penyebab mengapa ikan-ikan yang

berada di perairan Aceh seperti tuna yang memiliki nilai jual tinggi akhirnya

malah menjadi tangkapan nelayan luar.

Bagi penulis, salah satu cara untuk mengenjot PAD Aceh kedepan, hanya dengan

memanfaatkan sektor pertanian dan perikanan. Kedua sektor ini memiliki SDA

yang melimpah. 

Pemerintah sejatinya perlu membangun fasilitas yang memadai bagi nelayan,

seperti pelabuhan ikan. Hal lain adalah pemberian kredit lunak agar nelayan Aceh

mampu mengembangkan diri dan tidak selalu identik dengan kemiskinan. Jika

sektor ini tidak dimanfaatkan, serta nelayan tidak diberikan fasilitas, maka sampai

kapan pun daerah ini tidak akan berkembang.Sebaliknya, potensi yang ada saat ini

malah akan dikuras oleh daerah lain

2.3 Religi

Masyarakat Aceh yang terkenal dengan ciri keIslamannya juga memiliki karakter-

karakter tersendiri dalam kehidupannya, yang terefleksikan dalam berbagai sistem

kebudayaan yang melingkupinya dengan karakteristik yang membedakan dengan

masyarakat di daerah atau tempat lain. Islam sebagai agama mayoritas masyarakat

Aceh memiliki peranan yang cukup besar dalam setiap aktivitas bermasyarakat,

yaitu sebagai pijakan utama dari berbagai bentuk aktivitas.

Agama merupakan bagian/unsur penting dalam kehidupan manusia yang dapat

Page 7: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

memberikan ajaran-ajaran yang berupa aturan-aturan serta petunjuk-petunjuk

yang dijadikan pedoman dalam kehidupan manusia dan diyakini kebenarannya.

Dalam kajian antropologi, agama dilihat sebagai sistem kebudayaan atau sebagai

pranata sosial atau sebagai seperangkat simbol yang dapat digunakan manusia

dalam kehidupan sosialnya.

Dalam masyarakat tradisional melaksanakan muatan budaya itu antara lain

diwujudkan dalam pelaksanaan berbagai macam upacara tradisional yang

memang menjadi arena dan sarana sosialisasi bagi kebudayaan yang telah

dimantapkan lewat pewarisan tradisi. Upacara-upacara tersebut antara lain

berfungsi sebagai sarana untuk mengokohkan muatan kebudayaan yang didukung

oleh masyarakat yang bersangkutan. Keterikatan dan keterlibatan para anggota

masyarakat dalam kegiatan-kegiatan upacara merupakan bagian yang integral dan

berguna informatif bagi kehidupan sosial. Ia bukan hanya berhubungan unsur

emosi religius, organisasi keagamaan, tetapi juga unsur-unsur universal yang lain

(sistem kemasyarakatan, sosial, pengetahuan, teknologi, kesenian, keagamaan dan

ekonomi), sehingga mampu merangsang rasa solidaritas dan kesamaan nasib

diantara sesama anggota masyaraktnya.

Upacara-upacara yang berhubungan dengan adat dari suatu masyarakat pada

hakekatnya merupakan perwujudan kemampuan manusia untuk menyesuaikan diri

secara aktif terhadap lingkungannya, dimana kebudayaan sebagai pola tingkah

laku manusia diperoleh dan diwariskan melalui proses belajar dengan

menggunakan lambang yang mencakup benda dan peralatan karya manusia yang

terdiri dari gagasan-gagasan nilai-nilai budaya hasil abstraksi pengalaman para

pendukungnya yang selanjutnya mempengaruhi sikap dan tingkah laku

pendukung itu sendiri.

Sebagai salah satu aspek dalam unsur religi dari kebudayaan universal, maka

upacara tradisional juga memperlihatkan adanya muatan nilai-nilai budaya. Nilai-

nilai ini berfungsi besar dalam mengatur tingkah laku masyarakat pendukungnya.

Salah satu ciri penting dalam upacara tradisional adalah besarnya kekuatan unsur

Page 8: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

sakral yang dipandang sebagai magis yang bersumber dari sistem religi yang

dipegang bersama. Berdasarkan ciri tersebut tersebut, maka upacara tradisional

dapat dipandang sebagai suatu pranata sosial religius yang tidak tertulis tetapi

terpola dalam sistem ide atau gagasan bersama (collective representation) setiap

anggota masyarakatnya.

Upacara tradisional merupakan sistem aktivitas atau rangkaian tindakan yang

ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan

dengan berbagai macam peristiwa yang biasa terjadi di dalam masyarakat yang

bersangkutan. Upacara-upacara tradisional terdiri dari perbuatan-perbuatan yang

seringkali tidak dapat diterangkan lagi alasan atau asal usulnya. Perbuatan-

perbuatan itu dilakukan oleh orang-orang secara spontan dengan tak dipikirkan

lagi gunanya. Suatu upacara keagamaan yang kompleks seringkali dapat dikupas

kedalam beberapa unsur perbuatan yang khusus, yang terpenting diantaranya

adalah: (a) bersaji, (b) berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan

bernyanyi, (f) berprosesi, (g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i)intoxikasi,

(j) bertapa, (k)bersemedi.

Aktivitas selamatan atau upacara yang dilakukan masyarakat tradisional

merupakan salah satu usaha manusia sebagai jembatan antara dunia bawah

(manusia) dengan dunia ritus atas (Tuhannya). Melalui selamatan, sesaji atau ritus

maka diharapkan bisa menghubungkan manusia dengan dunia atas, dengan

leluhurnya, roh halus, dan Tuhannya, yang akan memberi berkah keselamatan

manusia di dunia ini. Prinsip inilah yang menjadi dasar pada upacara tradisional,

selamatan atau ritus yang dilakukan setiap komunitas atau masyarakat di

Indonesia.

Disadari atau tidak dalam kebudayaan pastilah terjadi perubahan. Perubahan

tersebut dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti nilai-nilai baru yang masuk

maupun kebudayaan lama dianggap tidak sesuai lagi. Perubahan tersebut secara

signifikan dapat mengakibatkan pergeseran fungsi suatu kebudayaan. Upacara-

upacara sebagai bagian dari kebudayaan bukan lagi semata-mata untuk memenuhi

Page 9: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

kebutuhan psikis, sakral namun dapat menjadi modal bagi pembangunan, strategi

ekonomi, konsolidasi sosial bahkan transformasi ilmu dan nilai.

Begitu pula yang terjadi dalam kebudayaan lokal yang dimiliki entititas-entitas di

Indonesia. Adapun perubahan tersebut dapat meliputi bentuk maupun esensi.

Seperti yang terjadi dalam masyarakat nelayan di Aceh yang melestarikan tradisi

Kenduri Laot sebagai tradisi mereka.

Seperti Apa Kenduri Laot?

Kenduri Laot atau sering disebut dengan Adat Laot merupakan tradisi masyarakat

pesisir di Provinsi Aceh. Peringatan Kenduri Laot yang dilaksanakan pada setiap

tahun salah satunya berfungsi untuk memperkuat eksistensi Lembaga Hukom

Adat Panglima Laot.

Seorang pemuka masyarakat yang bernama Hasan yang juga Sekretaris Panglima

Laot di Seunuddon Aceh Utara mengatakan, acara kenduri itu digunakan juga

sebagai sarana mensosialisasikan kembali aturan/hukum kelautan yang telah

digariskan oleh Endatu (nenek moyang).

Kenduri Laot berkembang secara turun temurun pada masyarakat pesisir Aceh.

Menurut sebagian masyarakat, asal muasal peringatan kenduri laot itu

dilatarbelakangi dengan peristiwa karamnya kapal yang digunakan oleh seorang

anak panglima yang pergi melaut pada jaman dahulu, namun anak panglima ini

selamat. Seekor ikan lumba-lumba telah mendamparkannya ke pinggir pantai.

Sebagai rasa syukur atas keselamatan anak panglima itu maka diadakanlah

Kenduri Laot selama tujuh hari-tujuh malam. Peringatan itu kemudian

berlangsung sampai sekarang.

Kenduri Laot merupakan upacara menjelang musim timur atau ketika musim barat

akan berakhir. Dahulu kenduri laot rutin dilaksanakan pada setiap desa pantai

yang merupakan wilayah Panglima Laot, baik di lhok (teluk) maupun di

kabupaten. Kenduri laot bagi masyarakat nelayan Aceh merupakan sebuah

Page 10: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

perwujudan hubungan antara manusia sebagai makhluk ciptaan dengan Sang

penciptanya dan juga lingkungan sekitarnya dalam menghadapi lingkungan

setempat.

Kenduri laut ini dilangsungkan dengan menggalang iuran dari para nelayan sesuai

kemampuan. Mereka yang tergolong kaya, harus menyumbang lebih banyak.

Besarnya sumbangan itu ditentukan melalui musyawarah yang melibatkan warga.

Musyawarah itu juga menentukan jadwal pelaksanaan kenduri.

Pertama-tama dalam upacara kenduri laot dimulai dengan tahap persiapan. Dalam

tahap ini dipersiapkan antara lain berbagai persajian makanan yang diperuntukkan

untuk tamu-tamu juga warga masyarakat yang mengikuti upacara. Selain itu juga

dipersiapkan perlengkapan peusijuk sebagai prosesi utama pelaksanaan upacara

kenduri laot dan juga perahu sebagai pengangkut sesaji yang akan dibawa ke

tengah laut.

Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia, maka

tahap berikutnya yaitu pelaksanaan upacara. Dalam pelaksanaannya upacara

kenduri laot memiliki perbedaan-perbedaan pada daerah yang melaksanakannya

baik mengenai waktu ataupun ritual didalamnya, namun pada intinya sama. Tahap

ini dimulai pada pagi hari atau setelah sembahyang Shubuh selesai dilakukan.

Peserta pertama yang hadir adalah peserta tadarrus membaca ayat-ayat suci Al-

Quran.

Setelah itu panglima laot memulai memandaikan kerbau yang akan disembelih,

selesai dimandikan kerbau tersebut dipeusijuk(ditepung tawari) oleh panglima laot

yang diikuti oleh teungku/imum dan tokoh masyarakat. Ketika panglima laot

mempeusijuk (menepung tawari) kerbau, panglima laot dan peserta-peserta yang

hadir secara bersama-sama membaca takbir dan shalawat Nabi. Setelah kerbau

tersebut selesai dipeusijuk kemudian disembelih.

Adakalanya di daerah lain, sebelum kerbau disembelih, kerbau tersebut selama

Page 11: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

tujuh hari setiap sore sehabis shalat asar dilakukan upacara, yaitu diaraknya

kerbau menyusuri bibir pantai wilayah pantai dalam suatu kemukiman. Tidak

mengherankan selama tujuh hari sebelum acara kenduri laot dilaksanakan, pantai

selalu penuh ramai oleh masyarakat yang menyaksikannya.

Daging kerbau yang telah selesai disembelih kemudian dimasak. Semua masakan

baik daging kerbau maupun makanan lainnya tidak dibenarkan dimakan sebelum

ada perintah dari panglima laot dan panitia. Setelah daging dan nasi dimasak

sebagian langsung dipisahkan, untuk dinaikkan ke perahu bersama-sama dengan

orang-orang yang membaca doa. Sisa dari kerbau yang tidak dimasak seperti isi

perut dimasukkan kembali dalam kulit kerbau dan dijahit seperti semula. Perahu

yang membawa rombongan berangkat menuju ke tengah laut dengan membawa

sesaji berupa kepala kerbau dan isi perut serta tulang untuk dibuang ke tengah

laut. Dalam perjalanannya ke tengah laut tersebut dikumandangkan pula azan.

Setelah kira-kira sampai ditengah laut kemudian kapal yang membawa sesaji

tersebut berhenti dan menurunkan sesaji yang dibawa tersebut dan dilanjutkan

dengan membaca doa dari ayat-ayat Al-Quran seperti surat Yasin, Surat Al-

Fatihah, Surat Al-Ikhlas, serta doa-doa selamat dan doa syukur.

Sekembalinya dari laut, diadakan acara makan bersama dengan para undangan,

anak-anak yatim serta fakir miskin. Selesai makan, panglima laot memberi

petunjuk-petunjuk berkenaan dengan pantangan-pantangan melaut. Pantangan

turun melaut ini diterima oleh masyarakat nelayan sebagai suatu hukum adat yang

mengatur tingkah laku dalam melaut. Pantangan tersebut seperti dilarang turun

sehari penuh pada hari kenduri berlangsung, juga disebutkan pula hari yang tidak

dibenarkan untuk melaut yaitu pada hari jumat sejak terbit matahari hingga

selesainya shalat Jumat, bila nelayan berangkat ke laut pada malam Jumat harus

kembali ke darat sebelum pukul 08.00 pagi, pada hari raya Idul Fitri selama satu

hari penuh, Idul Adha dilarang melaut selama tiga hari terhitung hari pertama

sampai hari ketiga, dilarang juga untuk pergi ke laut bagi nelayan yang sedang

mengalami kemalangan/musibah kematian pada masyarakat nelayan hingga

Page 12: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

selesai penguburan.

Setelah panglima laot selesai memberikan nasehat-nasehatnya, adakala dari tetua

atau ulama dan pejabat pemerintah juga turut memberi sambutan yang intinya

adalah petuah-petuah menyangkut kehidupan bermasyarakat, dan doa kepada

Allah agar kehidupan nelayan diberkati. Setelah panglima laot dan juga pejabat-

pejabat pemerintah selesai memberikan nasehat-nasehatnya selesai pula acara

kenduri laot.

Transformasi Kenduri Laot

Seperti setiap organisme hidup, kebudayaan memiliki dua kecenderungan, yaitu

kecenderungan untuk tinggal tetap sama (statis), dan kecenderungan untuk

berubah. Selalu ada unsur baru yang bertambah, yang lain lagi akan hilang atau

diganti. Perubahan dn pergantian ini terjadi bukan dengan kebetulan, melainkan

sesuai dengan kebutuhan kebudayaan tertentu. Kebudayaan selalu berubah, karena

individu yang membantu masyarakat dan yang menjadi pemmbangunan

kebudayaan selalu mengubah rencana dan cara hidupnya, mencoba menyesuaikan

dengan lingkungannya, baik jasmani maupun rohani.

Perubahan kebudayaan dapat terjadi dengan teratur, tetapi kadang-kadang dia

kehilangan keseimbangan dan mengalami kekacauan. Ada kebudayaan yang

berubah lebih cepat dan ada yang berubah lebih lambat, tetapi semua berubah.

Karena perubahan adalah sifat hakiki kehidupan maka menolak perubahan berarti

bunuh diri secara budaya. Perubahan itu dapat terjadi karena (bencana) alam akan

tetapi juga dan lebih sering karena manusia. Manusia mengolah kehidupan agar

lebih cocok demi keselamatan dan kesejahteraannya. Namun perubahan itu

menimbulkan reaksi dari kehidupan dan manusia harus melakukan pengolahan

kembali. Demikianlah terus-menerus terjadi, seperti digambarkan dengan jelas

dan simbolis oleh orang Yunani Purba dalam mitos Odysseus. Adapun

pengolahan yang pertama-tama dilaksanakan manusia itu di lakukannya pada

tataran sistem, yaitu sistem gagasan. sistem perilaku dan sistem peralatannya,

Page 13: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Dengan sistem yang sudah diubahnya manusia menghadapi dan mengolah

kehidupan yang diharapkannya akan berubah ke arah yang lebih sesuai bagi

keselamatan dan kesejahteraannya. Kiranya jelas, bahwa manusia tidak dapat

mengolah kehidupan tanpa mengolah sistem-sistem yang sudah diciptakannya.

Sementara sistem-sistem itu sendiri dalam kehidupan sehari-hari kita sebut

sebagai kebudayaan. Kiranya jelas pula, Tanpa siap untuk berubah sesuai dengan

sifat hakiki kehidupan berarti tidak siap untuk berubah secara budaya. Masyarakat

yang tidak mau berubah akan mandek dan bahkan hancur, karena secara budaya

sikap seperti itu dapat dibandingkan dengan perbuatan bunuh diri.

Namun menerima perubahan atau siap untuk berubah dan mengubah tidak berarti,

merupakan kegiatan yang alamiah. Perubahan dilakukan secara sadar demi

keselamatan dan kesejahteraaan, kalau mungkin kesejahteraan yang lebih tinggi

daripada: sebelumnya. Dengan demikian perubahan itu harus dilakukan secara

kreatif. Perubahan harus dilakukan dengan pertama-tama mengidentifikasi

masalah-masalah secara tepat dan kemudian memberikan pemecahan terhadap

masalah-masalah itu secara tepat pula.

Transformasi mengandaikan suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk sosok

baru yang akan mapan. Transformasi diandaikan sebagai tahap akhir dari suatu

perubahan. Transformasi dapat dibayangkan sebagai suatu proses yang lama

bertahap-tahap akan tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang

cepat bahkan abrupt.

Berbagai ilustrasi tentang sudut pandang mengenai perubahan dan transformasi

tersebut menunjukkan bahwa masyarakat dibayangkan pada suatu masa, pada

suatu ketika, berubah bahkan menghendaki perubahan yang berakhir (sementara)

dengan suatu transformasi. Kenyataan tersebut juga menunjukkan cepat atau

lambat serat-serat budaya yang menyangga anyaman teguh suatu kebudayaan

masyarakat pada suatu saat akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak

dapat berfungsi lagi sebagai pengikat kesatuan kebudayaan. Transformasi adalah

Page 14: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

kondisi perubahan dari serat-serat budaya tersebut.

Tradisi kenduri laot yang berlaku dalam masyarakat nelayan di Aceh, tradisi yang

sarat dengan nilai-nilai sakral itu pun kini mengalami apa yang disebut dengan

transformasi. Sebagai bagian dari suatu unsur kebudayaan, kenduri laot yang

merupakan salah satu penyangga kebudayaan Aceh turut mengalami perubahan-

perubahan. Baik perubahan secara fisik, esensi, ataupun ide gagasan

dibelakangnya. Hal ini selain dipengaruhi oleh perubahan masa, juga dipengaruhi

unsur-unsur khilafiah keagamaan yang menumbuhkan dua pendapat berbeda

terhadap prosesi pelaksanaan kenduri laot.

Khilafiah itu bagi sebagian masyarakat dan ulama memandang tradisi kenduri laot

ini adalah sebuah acara adat yang sudah berlaku dalam masyarakat Aceh secara

turun temurun yang harus dipertahankan pelaksanaannya. Apalagi didalamnya

mengandung nilai-nilai sakral yang harus dijunjung manusia dalam melakukan

setiap aktifitasnya yang berhubungan dengan laut. Sementara di lain pihak

cenderung memandang bahwa upacara kenduri laot adalah sebuah tradisi yang

didalamnya sarat dengan pemahaman tahayyul yang tidak boleh dilakukan

masyarakat muslim.

Kini kenduri laot tidak saja hanya digelar untuk menandai akan dimulainya

musim melaut. Dalam suatu kesempatanpun, kenduri laot dilaksanakan untuk

merayakan pergantian panglima laot seperti yang terjadi di pelabuhan Lampulo.

Kenduri yang diadakan di pelabuhan Lampulo pada tanggal 2 April 2007 yang

lalu ini merupakan momen nelayan untuk menunjukkan kepada masyarakat bahwa

nelayan punya manajemen yang kuat serta menganut sistem demokratis dalam

pergantian panglima laot yang baru. Selain itu, dalam kenduri laot itu pun

dijadikan sebagai salah satu wadah aspirasi para nelayan Aceh khususnya nelayan

lampulo untuk menyampaikan keluhan serta masalah yang mereka hadapi baik

mengenai kelangkaan BBM untuk boat mereka dan lain sebagainya kepada

pemerintah yang hadir pada pelaksanaan acara tersebut.

Page 15: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Lain lagi yang dilakukan masyarakat Desa Lhok Puuk, Kecamatan Seuneuddon,

Kabupaten Aceh Utara, Nanggroe Aceh Darussalam. Dahulu dalam setiap kenduri

laot yang digelar selalu dilakukan pelarungan kepala kerbau, namun pada kenduri

yang berlangsung tanggal 12 Agustus 2004 tersebut tradisi melarung kepala

kerbau itu tidak dilakukan. Ada anggapan pelarungan kepala kerbau ke laut

bertentangan dengan paham-paham agama. Para nelayan kemudian sepakat tidak

melakukannya lagi. Apalagi dalam pertemuan dengan para panglima laot

beberapa waktu lalu, unsur ulama setempat telah menyampaikan hal itu dan

meminta pelarungan kepala kerbau itu lebih baik tidak dilakukan. Maka, saat

kenduri laut hari itu, kepala kerbau dan dagingnya yang lain digulai. Makanan itu

diberikan kepada undangan dan fakir miskin.

Dari segi makna yang terkandung dalam kenduri laot pun juga turut mengalami

pelebaran. Bisa dikatakan pada mulanya kenduri laot murni bersifat religius, kini

melebar ke ranah sosial kemasyarakatan. Dalam upacara kenduri laot mulai

disipkan pesan-pesan moral ajakan kepada masyarakat baik disampaikan ulama

ataupun pemerintah. Tidak ketinggalan pula diadakan acara sunatan massal bagi

anak-anak yang tinggal di sekitar lokasi acara.

Penutup

Dalam tradisi masyarakat Aceh sebagai masyarakat yang dikenal kental dengan

nilai-nilai keIslamannya, maka tidak mengherankan dengan berjalannya waktu.

Upacara kenduri laot yang semula masih kental dengan pengaruh-pengaruh tradisi

lama yang cenderung ke arah pemujaan-pemujaan roh nenek moyang atau

penunggu-penungu laut yang bersifat animisme lambat laun mengalami

pergeseran.

Nilai-nilai Islam mulai masuk di dalamnya, seperti contohnya ketika di sebagian

wilayah sudah menghilangkan sesajian-sesajian yang dianggap sebagai ritual-

ritual mistis. Kepala kerbau yang dahulu dijadikan sesajen utamanya mulai

Page 16: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

dihilangkan digantikan dengan doa-doa yang lebih Islami. Dengan demikian

sebagai sebuah upacara tradisional, kenduri laot telah mampu merubah diri

dengan strategi-strategi adaftatifnya sehingga mampu berjalan beriringan dengan

ajaran-ajaran Islam tanpa memusnahkan bentuk diri secara kompromis. Kenduri

laot setidaknya telah merepresentasikan bagaimana sintesa budaya terjadi antara

adat dengan agama Islam di Aceh melalui dialog-dialog budaya yang tentunya

tidak akan berhenti di suatu titik, namun selalu berjalan.

Dalam membangun Aceh kedepan, hal yang perlu menjadi perhatian kita semua

adalah bagaimana memposisikan adat. Sejarah Aceh yang kita pelajari, betapa

adat dengan syari`at duduk bersanding antara satu dengan lainnya saling mengisi,

seperti gambaran hadist maja ini:

“Adat Bak Poe Teumeureuhom, Hukom Bak Syiah Kuala,

Qanun Bak Putroe Phang, Reusan Bak Lakseumana“.

“Agama ngoen adat lagei zat ngon sifat”.

“Agama hana adat tabeu”

“Adat hana agama bateui”

Sebuah kekayaan tentunya apabila potensi-potensi budaya yang telah disebut

diatas mampu dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat maupun pemerintah

khususnya dalam sektor pariwisata berbasis agama dan budaya sebagai ciri khas

utama yang dimiliki masyarakat Aceh.

Penulis:

Agung Suryo Setyantoro, S.S. adalah Peneliti pada Balai Pelestarian Sejarah dan

Nilai Tradisional Banda Aceh

http://gerbangaceh.blogspot.com/2007/12/kenduri-laot-dan-dinamika-

kekiniannya.html

Page 17: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Nelayan Aceh tak melaut peringati tsunami

 Para nelayan di seluruh Aceh diimbau tidak beraktivitas mencari nafkah di

perairan laut pada 26 Desember 2012 guna mengenang sewindu bencana alam

tsunami yang melanda kawasan pesisir provinsi itu.

"Sudah menjadi keharusan agar dipatuhi oleh nelayan Aceh untuk tidak melaut

sehari pada setiap 26 Desember termasuk tahun ini," kata Ketua Lembaga Hukom

Adat Laot atau Panglima Laot Aceh, T Bustamam di Banda Aceh, hari ini.

Pantang melaut sehari khususnya pada setiap 26 Desember itu untuk mengenang

keluarga dan sahabat nelayan yang telah menjadi korban bencana tsunami.

"Mari kita gunakan waktu pada hari itu untuk berzikir dan berdoa kepada Allah

SWT agar arwah para syuhada tsunami mendapat tempat layak di sisi-Nya dan

kita yang masih hidup dihindarkan dari musibah," kata dia menambahkan.

Tsunami 26 Desember 2004 merupakan bencana dahsyat dialami masyarakat

Aceh terutama penduduk di pesisir pantai di delapan kabupaten/kota dan

mengakibatkan sekitar 200 ribu warga hilang dan meninggal dunia.

"Sebagian besar dari syuhada tsunami itu menjadi korban karena dinyakini

Page 18: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

minimnya pengetahuan mereka terhadap bencana tersebut," kata Sekjen Lembaga

Hukum Adat Laot atau Panglima Laot Aceh Umar Abdul Aziz.

Dia menjelaskan, kebijakan libur pada hari 26 Desember juga sudah diterapkan

oleh Pemerintah Aceh pada 2011 yang menetapkan sebagai hari libur daerah.

"Kita berharap kebijakan yang bernilai edukatif ini dapat dipertahankan. Melalui

peringatan tsunami kita tidak hanya berkesempatan mendoakan orang-orang yang

menjadi korban, tapi juga dapat mewariskan pengetahuan kepada generasi muda

tentang peristiwa itu," kata dia menjelaskan.

Selain itu libur daerah pada setia 26 Desember sekaligus menghidupkan kearifan

generasi selanjutnya lebih siap dan mengetahui tindakan apa saja perlu dilakukan

agar terhidar dari dampak bencana yang mungkin timbul,  kata Umar menjelaskan

2.4 Ekonomi

Perlu Pemikiran Serius Terhadap Nelayan Aceh Utara

Saturday, 22 December 2012 05:42 Aceh

Laporan: Usman Cut Raja

Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Utara kini sedang giat merumuskan pembangunan sektor pertanian. Rasanya sektor kelautan terutama pemberdayaan kaum nelayan juga perlu dipikirkan, bahkan harus masuk dalam skala prioritas.

Page 19: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Masalahnya, masih sangat banyak warga nelayan yang mendiami pesisir pantai di Aceh Utara dililit kemiskinan.

Hal ini terlihat dari berjejernya rumah rumah tidak layak huni menghiasi pemukiman mareka. Mengapa banyak nelayan di Aceh Utara masih miskin ? Pertanyaan sederhana, namun cukup menggelisahkan yang harus segera dicari solusi untuk mengangkat derajat hidup kaum nelayan yang masih serba tertinggal itu.

Tgk Abu, salah seorang tokoh masyarakat pesisir di Kecamatan Muara Batu yang ditemui andalas di Kuala Bungkah belum lama ini menjelaskan, penyebab utama kemiskinan nelayan di banyak tempat di Aceh Utara terletak pada pola patron-klien yang begitu menggurita antara nelayan dengan majikan (toke bangku). Pola ini pula yang menyebabkan penghidupan kaum nelayan turun temurun tetap miskin.

Menurut Tgk Abu, pola ini sangat sulit untuk dihilangkan. Ini terjadi dikarenakan toke bangku adalah alternatif satu-satunya ketika nelayan menghadapi kesulitan sewaktu akan pergi melaut, baik itu keperluan semasa berada laut seperi solar, beras dan es pengawet ikan serta kebutuhan anak istri yang ditinggalkan di rumah.

Situasi ini membuat toke bangku mematok harga beli ikan dari nelayan semaunya, dan para nelayan mau tidak mau harus menerima konsekuensi tersebut. Realitas seperti ini terjadi secara berkesinambungan, sehingga anak anak warga nelayan yang belum dilahirkan pun akan ikut berutang dari pinjaman ayahnya.

Selain itu, pola hidup kalangan nelayan yang cenderung konsumtif atau berfoya-foya saat tangkapan ikan banyak. Hal ini pula yang menyebabkan nelayan tidak mampu meningkatkan taraf hidupnya. Umumnya, ketika belum sampai masa paceklik, nelayan menghambur-hamburkan uang hasil jerih payahnya tanpa berpikir untuk berinvestasi bagi kebutuhan jangka panjang. Kaum nelayan umumnya tidak kenal menabung.

Persoalan lain adalah lahan, juga menjadi masalah pokok bagi nelayan. Sehingga kehidupannya tak kunjung meningkat. Di daerah pesisir pantai, banyak ditemui kondisi tanah yang tidak layak untuk ditanami karena pengaruh dari air laut.

Dan sebagian besar nelayan tidak mempunyai tanah yang luas, praktis tanah untuk hunian tempat tinggal saja yang dimiliki.

Sementara itu, lanjut Tgk Abu regulasi bantuan yang dikeluarkan pemerintah untuk nelayan tidak sepenuhnya berpihak kepada nelayan.

Baik itu dari sistem itu sendiri dan juga oknum yang menjalankannya. Sebut saja, bantuan modal dan perlengkapan untuk nelayan terkadang tidak tepat sasaran. Jatuh ketangan yang bukan nelayan.

Page 20: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Umum diketahui bahwa program-program bantuan pemerintah banyak tidak tepat sasaran dikarenakan kurangnya riset yang dilakukan, dan juga terjadinya political will dari pemerintah. Pelaksanaan pembangunan seharusnya tidak hanya bertumpu di wilayah daratan.

Melainkan juga diwilayah pesisir tepi pantai juga harus masuk dalam skala prioritas bagi menunjang pertumbuhan ekonomi kalangan nelayan.

Hal lain adalah masih minimnya kualitas sumber daya manusia karena sebagian besar masyarakat nelayan berpendidikan rendah, rata-rata mereka hanya lulus ditingkat sekolah dasar dan paling tinggi tamat sekolah menengah pertama (SMP). Tingkat pendidikan sangat berpengaruh dan menjadi penyebab kemiskinan sangat lengket terhadap nelayan.

Lembaga Ekonomi Nelayan

Pada dasarnya diperlukan kepedulian dari berbagai pihak dalam memecahkan persoalan-persoalan nelayan di Aceh Utara. Baik itu dari kalangan pemerintah sendiri, akademisi, LSM, dan pihak lain yang peduli dengan kondisi social ekonomi yang dihadapi oleh masyarakat nelayan.

Dari hasil sharing lesehan tersebut mungkin akan lahir sebentuk ide atau gagasan tentang diperlukannya sebuah sarana yang efektif untuk memfasilitasi keberadaan para nelayan.

Sehingga apa yang menjadi kendala bagi mereka sedikit demi sedikit dapat teratasi. Sarana dalam bentuk lembaga ekonomi merupakan sebuah ide yang pas untuk menunjang kehidupan para nelayan.

Dengan adanya lembaga ekonomi ini diharapkan akan lebih mempermudah akses bagi pemenuhan kebutuhan para nelayan, dan tekhnis pengelolaannya murni untuk kepentingan nelayan. Sebut saja semacam koperasi.

Lembaga ekonomi berbentuk koperasi ini nantinya yang bertugas membuka akses pasar dalam rangka menunjang pendapatan nelayan.

Selain dibentuknya koperasi juga diperlukan pengorganisasian baik itu kalangan nelayan sendiri ataupun para istri nelayan guna memberikan pendidikan atau pelatihan sehingga pada gilirannya mereka tidak akan hanya bertumpu pada hasil tangkapan ikan saja, melainkan bisa melalui produk kreatif lainnya.

Sebenarnaya cukup banyak bidang usaha yang bisa dikembangkan. Sebagai contoh: pembuatan kerupuk ikan kemasan yang dikelola oleh para istri-istri

Page 21: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

nelayan. Koperasi yang dibentuk harus mampu pula mencari pangsa pasar dalam rangka pemasaran hasil produk.

Dari hasil inilah yang kemudian mampu menutupi kebutuhan hidup para istri nelayan selama ditinggal oleh sang suami, disamping penghasilan tambahan lain seperti arisan dan sebagainya.

Agar pola ini bisa diterapkan di masyarakat nelayan yang ada di Aceh Utara, dibutuhkan upaya nyata dari semua pihak untuk bagaimana membangkitkan semangat para nelayan agar dapat segera keluar dari himpitan kemiskinan yang melilitnya.

Akan sangat sulit jika tidak adanya kerjasama semua pihak, terutama pihak yang merasa peduli dan terpanggil hatinya untuk meringankan beban hidup para nelayan ini. Ayo, Siapa mau peduli.

2.5 Kelembagaan

Masyarakat Aceh yang sendi-sendi kehidupannya dilandasi dengan nilai

adat-istiadat serta nilai-nilai keagamaan yang kental, masyarakat nelayan  juga

sangat dipengaruhi dengan nilai-nilai tersebut, yang sebagiannya terlihat dari

organisasi kemasyarakatan yang terdapat pada masyarakat nelayan, yaitu lembaga

panglima laot.

Hukum  Adat laot yang dikelola dan dijalankan oleh Lembaga panglima

laot mengatur tentang tata cara kehidupan laut serta upacara-upacara kelautan

yang di lakukan oleh masyarakat nelayan. Seperti Khanduri Laot  dan acara-acara

lain yang bertujuan untuk kemaslahatan masyarakat nelayan.

Lembaga ini juga  berfungsi sebagai wadah tempat perkumpulan para

nelayan dan menjadi mediator atau menjadi penengah dalam menyelesaikan

sengketa diantara nelayan.

Kedudukan Lembaga Panglima laot  semakin jelas dan diakui dengan

keluarnya Keputusan Gubernur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor:

523.11/012/2005 (8 Maret 2005), yang  menyebutkan bahwa mengukuhkan

Panglima Laot dilakukan dalam rangka menyukseskan pembangunan subsektor

perikanan, dengan tugas dan wewenang dalam kedudukannya sesuai adat

membantu tugas pemerintah dalam pembangunan bidang subsektor perikanan dan

masyarakat nelayan dalam arti luas.

Page 22: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Dalam pelaksanaan Rencana Strategis Panglima Laot se-Aceh yang

dilaksanakan Panglima Laut Provinsi NAD pada 9-12 Desember 2006 di Banda

Aceh, seluruh fungsi dan peran yang menjadi tanggung jawab Panglima Laot juga

dibahas secara detail. Ada beberapa bahasan spesifikasi program, yang mencakup:

(a)   penguatan masyarakat nelayan,

(b)   penguatan hukum adat laot masyarakat nelayan,

(c)   pemberdayaan

(d)   program beasiswa untuk pelajar dari kalangan nelayan miskin, dan

(e)   memelihara lingkungan dari kerusakan.

Ada dua hal yang tergambar, bahwa:

(1)    adat laot berusaha untuk tidak melahirkan sengketa dalam pengelolaan

sumberdaya –kalaupun ada, kemudian diupayakan melalui penegakan hukum adat

laot agar bisa diminimalisir dan dihilangkan;

(2)   secara khusus, dalam adat laot ditempatkan secara khusus masalah lingkungan

hidup dalam salah satu pengaturannya.

Jadi jelas, pengelolaan sumberdaya kelautan dan perikanan, secara khusus dibahas

oleh Panglima Laot sebagai sesuatu yang sangat penting dalam konteks

memelihara lingkungan dari kerusakan demi kesinambungan dan keberlanjutan.

Panglima Laut di Aceh

Provinsi Aceh (sekarang Nanggroe Aceh Darussalam) memiliki hukum adat laut

yang berlaku secara turun temurun dan hingga saat ini masih dipertahankan.

Hukum adat laut ini dibuat dan dirancang pada zaman Pemerintahan Sultan

Iskandar Muda (1607-1636).

Hukum adat laut di Nangroe Aceh Darussalam dikenal dengan istilah Panglima

Laut, hal ini dikarenakan sistem tradisional tersebut di pimpin oleh seorang

Panglima Laut. Tugas dari seorang Panglima Laut adalah memimpin adat,

kebiasaan dan menyelesaikan persengketaan yang terjadi di bidang penangkapan

ikan serta diberi tanggung jawab untuk mempertahankan hukum adat laut agar

tetap dilaksanakan sebagai pranata sosial dalam masyarakat nelayan.

Page 23: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Pada daerah yang berlaku hukum adat laut ini, diatur secara lokal pada masing-

masing wilayah kerjanya. Hukum adat laut ini mulanya tidak tertulis secara rinci

dan ketentuan sanksi pada masing-masing lokasi sangat bervariasi, karena pada

saat tersebut penangkapan ikan di laut masih menggunakan alat-alat yang

sederhana dan tidak menggunakan mesin.

Namun demikian, seiring dengan terjadinya perkembangan teknologi di bidang

perikanan tangkap pada tahun 1970-an, maka keberadaan hukum adat laut pun

mengalami perkembangan dan perubahan. Oleh karena itu, untuk mensikapi

perkembangan yang terjadi di bidang perikanan, maka pada Bulan Januari 1972

masyarakat mengadakan musyawarah lembaga panglima laut se Kabupaten Aceh

Besar. Hasil dari musyawarah ini adalah terbentuknya sebuah lembaga panglima

laut kabupaten yang kemudian menjadi hukum adat laut motor boat atau motor

tempel. Selain itu, hasil dari musyawarah tersebut adalah berhasil merumuskan

ketentuan serta cara penangkapan ikan dengan mempergunakan alat tangkap

payang, peraturan penangkapan ikan dengan motor boat dan peraturan dayung.

Setelah itu, pada Bulan Desember 1978 kembali diadakan musyawarah kedua

yang menghasilkan keputusan tentang perombakan dan penyempurnaan hukum

adat laut yang menyangkut persidangan hukuman adat laut dalam tata cara

penangkapan ikan dengan motor boat, ketertiban administrasi keuangan, serta

sanksi hukum yang dikenakan terhadap pelanggar ketentuan hukum adat laut.

Perkembangan hukum adat laut ini semakin mendapatkan legitimasi yang kuat

dari Pemerintah Daerah. Hal ini dapat dilihat dari ketetapan yang dikeluarkan oleh

Pemerintah Daerah Istimewa Aceh pada tahun 1990 melalui Peraturan Daerah

(Perda)

14

Nomor 2 Tahun 1990 tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat,

Kebiasaan- kebiasaan Masyarakat beserta Lembaga Adat di Provinsi Daerah

Istimewa Aceh.

Page 24: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

Selanjutnya pada Bulan Januari 1992 diadakan kembali musyawarah panglima

laut se Provinsi Daerah Istimewa Aceh yang bertujuan untuk menyeragamkan

aturan yang bersifat umum, seperti susunan organisasi dan lembaga hukum adat

laut, tugas panglima laut dan lain-lain. Kekuatan hukum diperkuat lagi setelah

Tahun 2000, Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan Undang-Undang

Nomor 44 Tahun 2000 tentang penyelenggaraan kehidupan adat (termasuk

lembaga panglima laut di dalamnya) menjadi kegiatan penting dalam undang-

undang ini. Namun sampai saat ini panglima laut secara formal belum merupakan

hukum positif yang memiliki kekuatan hukum yang mutlak, walaupun dari

panglima laut se-Aceh menyepakati untuk mengajukan Rancangan Peraturan

Daerah (Raperda) Hukum Adat Laut ke Dewan Perwakilan Rakyat Daerah

(DPRD) Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Menurut Peraturan Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 7 Tahun 2000

Pasal 1 ayat 14, panglima laut didefinisikan sebagai orang yang memimpin adat

istiadat, kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di bidang penangkapan ikan di laut,

termasuk mengatur tempat/areal penangkapan ikan dan penyelesaian sengketa.

Fungsi dan Tugas Panglima Laut :

. (1)  Membantu pemerintah dalam pembangunan perikanan dan pelestarian adat

istiadat dalam masyarakat nelayan.

. (2)  Memelihara dan mengawasi ketentuan hukum adat laut.

. (3)  Mengkoordinir setiap usaha penangkapan ikan di laut.

. (4)  Menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi antar sesama

anggota nelayan atau kelompoknya.

. (5)  Mengurus dan menyelenggarakan upacara adat laut.

. (6)  Menjaga dan mengawasi hutan bakau dan pohon-pohon lain di tepi pantai

agar jangan ditebang karena ikan akan menjauh ke tengah laut.

Page 25: SOCIAL COASTAL DEVELOPMENT

. (7)  Merupakan badan penghubung antara nelayan dengan pemerintah dan

panglima laut.

Adapun ketentuan-ketentuan yang diatur dalam hukum adat laut diantaranya

adalah (1) ketentuan tata cara penangkapan ikan dan sistem bagi hasil; (2)

ketentuan tentang penyelesaian sengketa antar nelayan dalam penangkapan ikan;

(3) pantangan turun ke laut; (4) ketentuan tentang adat social; serta (5) ketentuan

adat tentang pemeliharaan lingkungan.