SMPIT Nur Hidayah

8
SMPIT Nur Hidayah Surakarta Nama : Adam Firdaus Kelas : 8B

description

s

Transcript of SMPIT Nur Hidayah

Page 1: SMPIT Nur Hidayah

SMPIT Nur Hidayah

Surakarta

Nama : Adam Firdaus

Kelas : 8B

Nomor : 2

Page 2: SMPIT Nur Hidayah

Ketata Negaraan berarti sistem penataan negara yang berisi suatu ketentuan mengenai struktur kenegaraan dan mengenai norma kenegaraan. Undang-Undang Dasar 1945 telah mengalami perubahan-perubahan mendasar sejak dari Perubahan Pertama pada tahun 1999 sampai ke Perubahan Keempat pada tahun 2002. Perubahan-perubahan itu juga meliputi materi yang sangat banyak, sehingga mencakup lebih dari 3 kali lipat jumlah materi muatan asli UUD 1945.  Jika naskah asli UUD 1945 berisi 71 butir ketentuan, maka setelah empat kali mengalami perubahan, kini jumlah materi muatan UUD 1945 seluruhnya mencakup 199 butir ketentuan. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa meskipun namanya tetap merupakan UUD 1945, tetapi dari sudut isinya UUD 1945 pasca Perubahan Keempat tahun 2002 sekarang ini sudah dapat dikatakan merupakan Konstitusi baru sama sekali .

Indonesia merupakan Negara yang demokrasi, tentunya aturan-aturan ketatanegaraan sangat kompleks. Dengan demikian untuk dapat menjalankan roda pemerintahan secara baik, akan sulit untuk dicapai jika hanya berdasarkan UUD 1945 yang sangat terbatas sebagai norma dasar ketatanegaraan. Maka untuk itu diperlukan pedoman lain berupa kebiasaan ketataengaraan, yang telah dilakukan sebagai pendamping norma hukum dasar yang tertulis. Konvensi ketatanegaraan sebagai konstitusi yang tidak tertulis mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyelengaraan pemerintahan, baik konvensi yang bersifat kebiasaan ketatanegaraan maupun konvensi yang bersifat kesepakatan. Konvensi ketatanegaraan mempunyai kedudukan yang sangat kuat dalam sistem hukum Indonesia. Konvensi ketatanegaraan merupakan bagian dari norma hukum konstitusi tidak tertulis yang berfungsi melengkapi, menyempurnakan atau bahkan merubah dan menyatakan tidak berlaku subtansi konstitusi tertulis (UUD 1945) sebagai norma hukum tertinggi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia . Setelah terbentuknya DPD pasca amandemen UUD 1945, telah melahirkan konvensi ketatanegaraan baru, yaitu pidato presiden di hadapan siding paripurna DPD dalam peringatan HUT RI Tanggal 17 Agustus. Beberapa dasar atau faktor yang mendorong atau memaksa ketaatan terhadap konvensi ketatanegaraan, yaitu : konvensi ditaati dalam rangka memelihara dan mewujudkan kedaulatan rakyat, konvensi merupakan salah satu upaya mewujudkan dan memelihara demokrasi, konvensi ditaati karena hasrat atau keinginan untuk memelihara tradisi pemerintahan konstitusional , konvensi ditaati karena setiap pelanggaran akan membawa atau berakibat pelanggaran terhadap kaidah hukum, konvensi ditaati karena didorong oleh hasrat atau keinginan agar roda pemerintahan Negara yang kompleks tetap dapat berjalan secara tertib, konvensi ditaati karena takut atau khawatir menghadapi ancaman hukuman tertentu seperti atau takut terkena

Page 3: SMPIT Nur Hidayah

sanksi politik tertentu seperti kehilangan jabatan, konvensi ditaati karena pengaruh pendapat umum  dan konvensi ketatanegaraan terutama di Indonesia ditaati karena merupakan suatu kebutuhan dalam penyelenggaraan Negara.

Dalam perjalanan sejarah ketatanegaraan Republik Indonesia yaitu sejak ditetapkan UUD 1945 pada tanggal 18 Agustus 1945, tercatat adanya beberapa konvensi dalam praktik penyelenggaraan negara.

Dalam kurun waktu pertama berlakunya UUD 1945 yaitu sejak tanggal 18 Agustus 1945 sampai dengan tanggal 27 Desember 1949, maupun kurun waktu kedua yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959 sampai sekarang, dapat kita telusuri terjadinya berbagai konvensi ketatanegaraan di Indonesia. Sebagaimana telah disinggung di atas hadirnya konvensi adalah hal yang wajar, karena UUD 1945 mengakomodasi adanya hukum dasar yang tak tertulis yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. Dengan Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945, terjadi perubahan dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia, yaitu dengan digantinya Kabinet Presidensial menjadi Kabinet Parlementer. Akibat perubahan itu kekuasaan eksekutif yang semula berada pada Presiden Soekarno beralih kepada Perdana Menteri (Syahrir). Terlepas dari adanya anggapan bahwa perubahan disebut adalah penyimpangan dari Kabinet Presidensial yang dianut oleh UUD 1945, namun menurut Menteri Penerangan RI pada waktu itu perubahan sistem tersebut adalah ditimbulkan dengan cara kebiasaan politik (convention). Perubahan ke arah sistem parlementer ini tidak diatur oleh UUD 1945, melainkan karena konvensi ketatanegaraan. Dalam bukunya Undang-undang Dasar Sementara Republik Indonesia, Prof.Soepomo menyatakan dengan Kabinet Syahrir telah timbul konvensi ketatanegaraan mengenai Kabinet Parlementer.

Dalam kurun waktu kedua berlakunya kembali UUD 1945, yaitu sejak Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, sejarah ketatanegaraan Indonesia juga mencatat adanya konvensi-konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara. Seperti kita ketahui, pada periode Orde Lama, setiap tanggal 17 Agustus Presiden Republik Indonesia, mempunyai kebiasaan untuk berpidato dalam suatu rapat umum yang mempunyai kualifikasi tertentu, seperti rapat raksasa, rapat samodra dan lainnya. Dalam pidato itu dikemukakan hal-hal di bidang ketatanegaraan. Namun di bawah Orde Baru kebiasaan di atas telah ditinggalkan, sebagai gantinya pada setiap tanggal 16 Agustus Presiden Republik Indonesia menyampaikan pidato kenegaraan di hadapan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat.

Page 4: SMPIT Nur Hidayah

Sebagaimana telah kita ketahui bahwa di bawah pemerintahan Orde Baru telah diikrarkan tekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Hal ini berarti juga UUD 1945 harus dilestarikan. Upaya pelestarian ditempuh antara lain dengan cara tidak memperkenankan UUD 1945 untuk diubah. Untuk keperluan itu telah ditempuh upaya hukum antara lain :

1. Melalui TAP No.1/MPR/1983, pasal 104;

"Majelis berketetapan untuk mempertahankan UUD 1945, tidak berkehendak dan tidak akan melakukan perubahan terhadapnya serta akan melaksanakannya secara murni dan konsekuen"

2. Diperkenalkannya "Referendum" dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia lewat TAP No.IV/MPR/1983 untuk memperkecil kemungkinan mengubah UUD 1945.

Persoalan yang muncul ialah di satu pihak secara formal UUD 1945 harus dilestarikan dan dipertahankan dengan tidak mengubah kaidah-kaidah yang tertulis dalam UUD 1945 itu sendiri. Di pihak lain diakui, bahwa UUD 1945 seperti yang terdapat dalam Penjelasan : "Memang sifat aturan itu singkat. Oleh karena itu, makin supel (elastis) sifat aturan itu makin baik. Jadi kita harus menjaga supaya sistem Undang-undang Dasar jangan sampai ketinggalan jaman". Bagaimanakah mempertemukan kedua prinsip tadi? Di satu pihak UUD 1945 tidak boleh diubah, di pihak lain harus dijaga supaya sistem UUD 1945 jangan sampai ketinggalan zaman.

Menghadapi kedua prinsip ini, jalan yang harus ditempuh adalah mengatur cara melaksanakan UUD 1945. Salah satu bentuk ketentuan yang mengatur cara melaksanakan UUD 1945 adalah konvensi. Di sinilah arti dinamik dari gagasan melestarikan UUD 1945, artinya mempertahankan agar UUD 1945 mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman.

Maka pada periode Orde Baru, sejak tahun 1966 terdapat beberapa praktik

ketatanegaraan yang dapat dipandang sebagai konvensi yang sifatnya

melengkapi dan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Contoh konvensi-

konvensi yang timbul dan terpelihara dalam praktik penyelenggaraan negara,

yang sedang berjalan :

Page 5: SMPIT Nur Hidayah

1. Praktik di Lembaga Tertinggi Negara bernama Majelis

Permusyarawatan Rakyat (MPR), mengenai pengambilan keputusan

berdasarkan musyawarah untuk mufakat.

2. Seperti telah diuraikan di atas yaitu pidato Presiden setiap tanggal 16

Agustus di depan Sidang Paripurna DPR yang di satu pihak memberi laporan

pelaksanaan tugas pemerintah dalam tahun anggaran yang lewat, dan di lain

pihak mengandung arah kebijaksanaan tahun mendatang. Secara

konstitusional tidak ada ketentuan yang mewajibkan presiden menyampaikan

pidato resmi tahunan semacam itu di hadapan Sidang Paripurna DPR.

Karena presiden tidak tergantung DPR dan tidak bertanggung jawab pada

DPR, melainkan presiden bertanggung jawab kepada MPR. Kebiasaan ini

tumbuh sejak Orde Baru.

3. Jauh hari sebelum MPR bersidang presiden telah menyiapkan

rancangan bahan-bahan untuk Sidang Umum MPR yang aka datang itu.

Dalam UUD 1945 hal ini tidak diatur, bahkan menurut Pasal 3 UUD 1945

MPR-lah yang harus merumuskan dan akhirnya menetapkan GBHN. Namun

untuk memudahkan MPR, presiden menghimpun rancangan GBHN yang

merupakan sumbangan pikiran Presiden sebagai Mandataris MPR yang

disampaikan dalam upacara pelantika anggota-anggota MPR. Hal tersebut

merupakan praktik ketatanegaraan yang timbul dan terpelihara dalam praktik

penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis, yang sudah berulang kali

dilakukan pada masa pemerintahan Orde Baru.