SLE Pada Rongga Mulut

32
BAB I PENDAHULUAN Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis. Etiologi lupus eritmatosus sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat. Contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit lupus yang bermanifestasi pada kulit. Gejala penyakit ini bervariasi dari ringan sampai berat dan melibatkan banyak organ termasuk rongga mulut. Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik diseluruh dunia maupun di negara berkembang termasuk Indonesia. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta orang mengidap lupus, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan antara 270.000-1.500.000 orang mengidap lupus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria tetapi wanita lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1. Umumnya pada usia 18-65 tahun, tetapi paling sering antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun [2] . SLE ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika- Amerika, Asia dan Hispani serta dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras

Transcript of SLE Pada Rongga Mulut

Page 1: SLE Pada Rongga Mulut

BAB I

PENDAHULUAN

Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.

Etiologi lupus eritmatosus sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai

saat ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang

adekuat. Contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada

penyakit lupus yang bermanifestasi pada kulit. Gejala penyakit ini bervariasi

dari ringan sampai berat dan melibatkan banyak organ termasuk rongga

mulut.

Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik diseluruh dunia maupun di

negara berkembang termasuk Indonesia. Di seluruh dunia diperkirakan terdapat 5 juta

orang mengidap lupus, sedangkan di Amerika Serikat diperkirakan antara 270.000-1.500.000

orang mengidap lupus. Penyakit lupus ditemukan baik pada wanita maupun pria tetapi wanita

lebih banyak dibanding pria yaitu 9:1. Umumnya pada usia 18-65 tahun, tetapi paling sering

antara usia 25-45 tahun, walaupun dapat juga dijumpai pada anak usia 10 tahun [2]. SLE

ditemukan lebih banyak pada wanita keturunan ras Afrika-Amerika, Asia dan Hispani serta

dipengaruhi faktor sosioekonomi. Sebuah penelitian epidemiologi melaporkan insidensi rata-rata

pada pria ras kaukasia yaitu 0,3-0,9 (per 100.000 orang per tahun); 0,7-2,5 pada pria keturunan

ras Afrika-Amerika; 2,5-3,9 pada wanita ras Kaukasia; 8,1-11,4 pada wanita keturunan ras

Afrika-Amerika. Menelusuri epidemiologi SLE merupakan hal yang sulit karena diagnosis dapat

menjadi sukar dipahami[5].

Penatalaksanaan penyakit ini membutuhkan kerjasama multidisiplin dan

dukungan dari berbagai pihak, termasuk dari dokter gigi. Dokter gigi

diharapkan dapat memahami berbagai kelainan pada mulut dan gigi, karena

dapat membantu mendeteksi penyakit atau kelainan sistemik yang ada pada

pasien. Tulisan mengenai penyakit lupus eritematosus belum banyak

didapat, sehingga penulis merasa tertarik untuk membahasnya. Diharapkan

makalah ini dapat bermanfaat dalam menambah wawasan mengenai

manifestasi penyakit sistemik dalam rongga mulut dan penatalaksanaannya.

Page 2: SLE Pada Rongga Mulut

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Lupus Eritematosus

Lupus eritematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan dengan sistem

imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ[1]. Lupus Eritematosus didefinisikan

sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri[2].

B. Klasifikasi Lupus Eritematosus

Menurut Myers SA and Mary HE (2001) lupus eritematosus dibagi ke dalam 4 bagian besar,

yaitu[4]:

1. Chronic Cutaneous Lupus Erythematosus (CCLE). Dibagi lagi ke dalam 2 subtipe:

a. Discoid Lupus Erythematosus (DLE) Dibagi juga dalam beberapa subtipe yang jarang

terjadi :

1) Palmar-palmar Lupus Erythematosus

2) Oral Discoid lupus Erythematosus

3) LupusErythematosus panniculitis

b. Hypertrophic Lupus Erythematosus (HLE)

2. Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), memiliki subtype yang jarang terjadi

yaitu Neonatallupus Erythematosus (NLE)

3. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

4. Drug-Induced Lupus Erythematosus (DILE)

Menurut European Assosiation of Oral Medicine (2005) lupus eritematosus diklasifikasikan

menjadi[2]:

1. Discoid Lupus Erythematosus (DLE)

Page 3: SLE Pada Rongga Mulut

2. Systemic Lupus Erythematosus (SLE)

3. Bullous form

4. Neonatal form (NLE)

5. Acute Cutaneous form (ACLE)

6. Subacute Cutaneous form (SCLE)

7. Chronic Cutaneous form (CCLE)

8. Childhood onset (CSLE)

9. Drug Induced (DILE)

C. Etiologi Lupus Eritematosus

Etiologi lupus eritematosus seperti halnya penyakit autoimun lain adalah tidak diketahui[6].

Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu teori yang pertama menyebutkan bahwa pada

perkembangan penyakit mulai dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh

produksi sirkulasi autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies

(ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen yang berhubungan

dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan limfosit, kemudian limfosit bereaksi

menyerang selnya sendiri. Teori lainnya menyatakan autoantibodi lupus eritematosus merupakan

lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA[2]. Faktor-faktor seperti

paparan sinar matahari, infeksi dan obat-obatan dapat menjadi pencetus terjadinya reaksi lupus

eritematosus sistemik. Apapun etiologinya selalu terdapat predisposisi genetik yang

menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte Antigen) / MHC

(Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus eritematosus sistemik adalah

disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T yang berkurang sehingga memudahkan

terjadinya peningkatan autoantibodi[2].

D. Patogenesis Lupus Eritematosus

Autoantibodi pada lupus dibentuk untuk menjadi antigen nuklear (ANA dan anti-DNA).

Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun, yang diikuti oleh aktivasi komplemen

yang mempengaruhi respon inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal[7]. Ada tiga

Page 4: SLE Pada Rongga Mulut

faktor yang menjadi perhatian bila membahas patogenesis lupus yaitu: faktor genetik, lingkungan

dan kelainan pada sistem imun[6,8]. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita

lupus dengan resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot [6,7,8] Studi

lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA (Human Leucocyte

Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex)

mengatur produksi autoantibodi spesifik [6,8]. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi

komponen komplemen seperti C2, C4, atau C1q. Kekurangan komplemen dapat merusak

pelepasan sirkulasi kompleks imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu

terjadinya deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel

apoptosis sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun[6]. Faktor lingkungan

dapat menjadi pemicu pada penderita lupus seperti radiasi ultraviolet, tembakau, obat-obatan dan

virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan hilangnya toleransi karena menyebabkan

apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita

lupus dan memegang peranan dalam fase induksi yang secara langsung merubah sel DNA, serta

mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu menekan terjadinya kelainan

pada inflamasi kulit. Faktor lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan

bahwa perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat yang terkandung

dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik. Pengaruh obat juga memberikan gambaran

bervariasi pada penderita lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis

keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius terutama virus dapat

ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi

sel permukaan dan apoptosis[8]. Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu faktor

imunologis. Selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel intrinsik B menjadi dasar dari

patogenesis lupus eritematosus sistemik [6,8]. Beberapa autoantibodi ini secara langsung bersifat

patogen termasuk dsDNA (double-stranded DNA) yang berperan dalam membentuk kompleks

imun yang kemudian merusak jaringan[8].

E. Manifestasi Klinis Lupus Eritematosus Secara Umum

Penyakit Lupus Eritematosus sistemik atau lebih dikenal dengan istilah ”lupus” memiliki

manifestasi klinis yang bervariasi dan melibatkan multiorgan [2,5,9] yaitu sekitar 80% melibatkan

Page 5: SLE Pada Rongga Mulut

persendian, kulit, dan darah; sekitar 30-50% melibatkan ginjal, jantung, sistem saraf, dan sekitar

10-30% melibatkan trombosis arteri dan vena [10].

1. Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Kulit

Manifestasi pada kulit dapat berupa lesi ruam diskoid dan ruam malar. Ruam diskoid adalah

ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul

dan berbatas tegas dengan diameter 5-10 mm tidak gatal maupun nyeri. Pada kepala dapat

menyebabkan alopecia yang permanen. Ruam malar adalah ruam yang menyerupai kupu-kupu

pada wajah. Ruam-ruam tersebut dipicu oleh paparan cahaya matahari[6,11,12]. Lesi-lesi tersebut

penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak

beraturan. Dapat ditemukan pula berupa lesi kronis malignan, meskipun jarang, tetapi mengarah

pada kanker kulit nonmelanoma. Lesi mirip lichen planus (LP) juga dapat ditemukan dan

seringkali tumpang tindih antara LE dengan LP atau lesi dapat timbul juga karena penggunaan

terapi dengan antimalaria. Penyembuhan dari lesi diskoid akan meninggalkan jaringan yang

atropi dan jaringan parut [6].

Gambar 2.1. Lesi awal DLE Gambar 2.2. Butterfly Rash

Page 6: SLE Pada Rongga Mulut

Gambar 2.3. Jaringan atropi Gambar 2.4. Jaringan parut

Gambar 2.5. Kebotakan / alopecia Gambar 2.6. Eritematosa pada jari

2. Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Sistem Saraf Pusat

Penyakit lupus pada sistem saraf pusat (SSP) berhubungan dengan beberapa sindrom

neurologik yang berbeda. Manifestasi neuropsikiatrik lupus bervariasi dari ringan (seperti sakit

kepala) sampai berat (seperti stroke). Manifestasi utama dari Lupus SSP :

1. Disfungsi kognitif ( tidak dapat berpikir jernih, defisit memori)

2. Sakit kepala

3. Seizure

4. berubahnya kewaspadaan mental (stupor atau koma)

5. Meningitis aseptik

6. Stroke (gangguan suplai darah pada bagian–bagian otak yang berbeda)

7. Periperal neuropathy (contoh : hilang rasa, rasa geli, rasa terbakar pada tangan dan kaki)

8. Gangguan pergerakan

9. Myelitis (gangguan pada spinal cord)

10.visual alternation

11. Autonomic neuropathy (contoh: reaksi flushing atau mottled skin)

Spektrum manifestasi klinis lupus SSP sangat luas sehingga merupakan suatu sindrom klinis

utama pada lupus SSP yaitu berupa vaskulitis SSP yang merupakan inflamasi pada pembuluh

Page 7: SLE Pada Rongga Mulut

darah otak karena aktivitas lupus dan merupakan satu dari dua sindrom spesifik lupus SSP yang

dibuat oleh American College of Rheumatology. Biasanya terjadi pada awal perjalanan penyakit

(lebih dari 80% kejadian timbul saat lima tahun pertama dari perjalanan penyakit) yang

ditemukan pada 10% pasien lupus. Pasien memperlihatkan gejala demam, seizures, meningitis

like stiffness pada leher dan psychotic atau bizzare behaviour. MRI otak memperlihatkan daerah

infark singel atau multipel.

Sindrom Antiphospholipid. Siapapun yang memiliki antibodi antiphospholipid sebagai

bagian dari sindrom lupus beresiko membentuk bekuan darah yang dapat menghambat pembuluh

darah yang mensuplai otak. Bekuan darah pada otak (disebut kejadian thromboembolic) dapat

terjadi tiba-tiba dan biasanya tidak sakit. Pasien dapat mengalami paralisis yang tiba-tiba atau

tidak dapat bersuara.

Manifestasi SSP lainnya yaitu sakit kepala yang sering terjadi pada sekitar 45-50% pasien

lupus. Sakit kepala terjadi sebagai manifestasi akut selama penyakit lupus SSP aktif yang disertai

pula dengan komplikasi neurologik lainnya. Studi terdahulu menyebutkan sakit kepala migrain

sering terjadi pada pasien dengan lupus SSP.

Lupus myelitis mengarah pada disfungsi dari spinal cord. Hal ini merupakan komplikasi

yang serius dari lupus SSP yang dapat menyebabkan paralisis atau kelemahan dan bervariasi

mulai dari kesulitan menggerakkan anggota badan sampai terjadinya paraplegia.

Penyakit lupus juga bermanifestasi pada sistem saraf otonom (SSO), dimana SSO merupakan

bagian dari sistem saraf yang mengontrol fungsi tubuh yang tidak disadari, seperti pengaturan

detak jantung, bernafas, berkeringat dll. Manifestasi gangguan SSO contohnya pada terjadinya

gangguan kognitif, livedo reticularis ( amottled skin rash), rasa geli dan hilang rasa pada

ekstremitas. Pasien lupus yang mengalami gangguan kognitif biasanya mengeluhkan adanya rasa

kebingungan, kelelahan, kesulitan menyampaikan pikiran dan gangguan memori. Gejala

gangguan kognitif adalah intermiten.

Manifestasi lupus pada SSP lainnya yaitu terjadinya sindrom organ otak, yaitu ketika pasien

lupus mengalami stroke atau vaskulitis. Lesi ini dapat sembuh tetapi meninggalkan jaringan

parut yang dapat menyebabkan kelainan motorik, sensorik atau mental yang permanen atau

bahkan seizures. Kondisi ini menyebabkan kerusakan permanen pada SSP[13].

3. Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Ginjal

Page 8: SLE Pada Rongga Mulut

Manifestasi klinis lupus pada ginjal (lupus nephritis) terjadi pada kira-kira 50% pasien

dengan lupus. Gambaran klinis bervariasi dari kelainan yang asimtomatik sampai terjadinya

hipertensi, edema, sindrom nefrotik full-blown atau gagal ginjal yang progresif. Manifestasi

lupus pada ginjal jarang menjadi manifestasi awal lupus, tetapi sering ditemukan variasi derajat

proteinuria darah dalam urin dan abnormalitas sedimen urin pada ¼ penderita lupus. Pada

stadium lanjut dapat menjadi komplikasi yang serius sehingga menyebabkan kematian [14,15].

4. Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Mata

Manifestasi lupus pada mata dibagi berdasarkan dua aspek, yaitu aspek eksternal contohnya

pada gejala kekeringan mata yang menimbulkan ketidaknyamanan, rasa gatal, rasa seperti

berpasir (gritty) dan refleks berair (watering) yang timbul bila melibatkan kelenjar lakrimal

seperti pada Sjogren’s sindrome atau sindrom sicca, yaitu bila terjadi kerusakan pada kelenjar

saliva. Selain itu kelainan dapat ditemukan pada kulit disekeliling mata atau kelopak mata seiring

perubahan jaringan kulit pada penderita lupus. Kelainan eksternal lainnya yaitu mata merah yang

melibatkan konjungtiva dan episklera meskipun tanpa disertai rasa sakit. Selain itu dapat

dijumpai jaringan parut yang dapat membahayakan kornea.

Aspek lainnya yaitu aspek internal seperti pada vaskulitis retina dan inflamasi pembuluh

darah yang mengalami kerusakan (microangiopathy), sehingga retina dapat kehilangan daya

lihat. Pada pemeriksaan terlihat pembuluh retina yang menyempit berwarna putih dan adanya

cotton wool spots (potongan kecil berwarna putih pada retina) yang timbul karena

pembengkakan lokalisata yang sementara. Perubahan ini dapat ditemukan walau disertai gejala

lain.

Manifestasi lupus pada mata dapat pula dipengaruhi oleh kelainan pada organ lain akibat

lupus, misalnya manifestasi lupus pada ginjal dapat menyebabkan retensi cairan dan

menyebabkan pembengkakan pada kelopak mata. Keadaan bengkak pada kelopak mata dapat

menjadi tanda awal kekambuhan. Renal hypertension dapat menyebabkan retinopati hipertensi,

yang bermanifestasi seperti microangiopathy.

Manifestasi lupus pada sistem saraf dapat berpengaruh pada peningkatan tekanan cairan

serebrospinal yang kemudian dapat menjadi pseudotumor atau tumor intrakranial dan

menyebabkan pembengkakan pada saraf optik (pseudopapilledema). Perubahan ini tidak

menimbulkan gejala, tetapi bila tidak terdeteksi dan tidak diobati dapat menyebabkan kebutaan.

Page 9: SLE Pada Rongga Mulut

Manifestasi lupus pada sistem gastrointestinal juga dapat berpengaruh pada mata. Pankreatitis

akut dapat menyebabkan Purtscher’s retinopathy serta adanya cottonwool spots. Penglihatan

terpengaruh tetapi dapat sembuh kembali[16].

5. Manifestasi Lupus Eritematosus Pada Gastrointestinal

Manifestasi lupus pada saluran pencernaan merupakan hal yang paling mengganggu dan

dapat melemahkan pasien. Secara umum perkiraan persentase keterlibatan saluran

gastrointestinal pada penderita lupus adalah vomiting 5-10%, sakit abdomen 40-60%, dysphagia

5-10%, ascites 5-19%, jaundice 3-10%[17]. Keterlibatan organ pencernaan meskipun ringan, tapi

dapat pula menyebabkan beberapa komplikasi yang bisa menyebabkan kematian yaitu seperti

hemoragi, perforasi, ulserasi. Bila terdapat keterlibatan hepar, dapat ditemukan hepatomegali dan

penderita mengeluhkan rasa penuh pada daerah hepar, tetapi kondisi ini tidak mengarah pada

hepatitis atau cirrhosis[17].

G. Pemeriksaan Penunjang Lupus Eritematosus

Pemeriksaan penunjang yang sering dilakukan pada penyakit lupus adalah pemeriksaan

laboratorium darah. Hasil pemeriksaan darah dapat menunjukkan adanya anemia hemolitik,

trombositopeni, limfopenia atau leukopenia; erytrocytesedimentation rate (ESR) meningkat

selama penyakit aktif, test Coombs mungkin positif, level IgG mungkin tinggi, ratio albumin-

globulin terbalik, serum globulin meningkat, albumin dan sel darah merah juga sering ditemukan

pada urin [18].

Hasil pemeriksaan imunologis pada penderita lupus adalah untuk tes ANA, positif pada 95%

kasus lupus eritematosus sistemik. Tes sel lupus eritematosus sebenarnya spesifik tapi tidak

terlalu sensitif sehingga dihapus dari kriteria American College of Rheumatology (ACR). Tes

Double-stranded DNA / ds-DNA, anti-dsDNA sebetulnya spesifik tanpa tidak cukup sensitif,

biasanya mengindikasikan adanya penyakit pada ginjal. Tes antibodi anti-Sm sensitifitas kurang

dari 10% tetapi dengan spesifitas yang tinggi. Tes antinuklear ribonucleic acid protein (anti-

nRNP) menunjukkan hasil titer yang rendah pada penderita lupus eritematosus sistemik. Tes

antibodi anti-La positif pada penderita lupus. Tes antibodi anti-Ro positif pada 25% penderita

lupus, 40% penderita Sjogren’ syndrome. Tes komplemen serum, bila rendah menunjukkan

penyakit lupus sedang aktif biasanya disertai penyakit ginjal. Tes band lupus merupakan tes

Page 10: SLE Pada Rongga Mulut

imunofluoresen langsung pada kulit. Tes antiphopholipid termasuk antibodi antikardiolipin dan

antikoagulan lupus. Hasil tes ini positif pada penderita lupus[18].

Bila tes ANA positif atau bila ada kecurigaan kearah lupus eritematosus sistemik tetapi tes

ANA negatif, dilakukan tes lain yaitu anti RNP, anti doublestranded DNA, dan antibodi anti-

Smith. Pemeriksaan komplemen juga diperlukan. Antibodi anti-Smith biasa ditemukan pada 20%

penderita lupus[2]. Pemeriksaan penunjang lainnya yaitu pemeriksaan histologi dengan cara

biopsi. Hasil biopsi memperlihatkan gambaran atrofi pada epidermis yang signifikan, infiltrasi

limfosit yang dalam dan tidak sempurna dengan proses flame-shape rete dan membran dasar

yang menebal, hiperkeratosis, follicular plugging dan adanya infiltrasi sel inflamasi. Tes lupus

band memperlihatkan deposit imunoglobulin pada membaran dasar epitel. Deposit glanular

terutama IgM ditemukan pada membrane dasar dari lesi[2,19]

Gambar 2.7 Gambaran Histologi lupus eritematosus.

H. Diagnosis Lupus Eritematosus

Untuk membedakan lupus dengan penyakit lain, ahli medis dari American Rheumatism

Association telah nenetapkan 11 kriteria kelainan yang terjadi dalam mendiagnosis lupus

eritematosus yaitu bila ada 4 poin dari 11 manifestasi kelainan. Kriteria ini dikemukan oleh Dr.

Graham Hughes pada tahun 1982 yaitu: ruam malar, ruam diskoid, fotosensitifitas, ulser pada

rongga mulut, artritis, serositis, gangguan pada ginjal, gangguan pada sistem saraf, gangguan

perdarahan, gangguan imunologis antibodi antinuklear[4,5,6].

Page 11: SLE Pada Rongga Mulut

I. Penatalaksanaan Lupus Eritematosus Secara Umum

Tujuan penatalaksanaan pada penderita lupus adalah untuk meningkatkan keadaan umum

penderita, mengontrol lesi yang ada mengurangi bekas luka dan untuk mencegah pertumbuhan

lesi lebih lanjut. Penderita lupus juga perlu mengetahui kemungkinan adanya manifestasi

sistemik yang beresiko serius, sehingga perlu dilakukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan

laboratorium secara regular[19].

Pengobatan sesuai standar medis meliputi pemberian kortikosteroid (topical atau intralesi)

dan antimalaria. Lupus Eritematosus memperlihatkan manifestasi dan gejala-gejala pada banyak

organ sehingga penatalaksanaan secara sistemik perlu dilakukan. Drug of choice yaitu anti

malaria hydroxychloroquine terutama pada pasien dengan poliartralgia dan manifestasi pada

kulit. Pengobatan ini memberi resiko kecil terhadap terjadinya retinopathy, karena bersifat

reversibel bila obat dihentikan[2]. Tetapi antimalaria kurang efektif pada pasien perokok.

Alternatif obat lainnya yaitu auranofin, thalidomide, topikal retinoid, interferon dan agen

imunosupresif. Thalidomide memberi keberhasilan penyembuhan pada lesi DLE tetapi sering

menyebabkan teratogenik dan resiko neuropati. Injeksi intralesi dengan kortikosteroid

(triamsinolon asetonid 3 mg/ml) juga berguna. Diantara agen imunosupresif, methotrexate sering

digunakan pada kasus lupus yang berat, disamping azathioprine dan mycophenole mofetil yang

sangat efektif[2,19].

J. Prognosis Lupus Eritematosus

Sejauh ini tidak ada pengobatan yang berhasil penuh pada penderita lupus eritematosa

sistemik, seperti yang bermanifestasi pada ginjal paling banyak menyebabkan kecacatan dan

kematian dan pada beberapa kasus perlu dilakukan dialysis serta transplantasi ginjal. Lebih dari

85% penderita lupus mengalami kelainan darah seperti trombositopeni dan anemi hemolitik.

Komplikasi lain yang dapat terjadi adalah stroke, emboli paru-paru, perikarditis dan

miokarditis[2].

Prognosis penderita lupus pada kulit seperti diskoid lupus lebih baik, meskipun lesi secara

kosmetik kurang bagus tapi tidak membahayakan jiwa dan biasanya tidak membuat penderita

harus mengubah pola hidupnya. Hanya 10% penderita diskoid lupus yang berkembang menjadi

sistemik lupus[11].

Page 12: SLE Pada Rongga Mulut

Prognosis penyakit lupus pada anak kurang bagus karena kematian lebih banyak terjadi

seperti yang dilaporkan pada sebuah studi retrospektif di Brazil, yang menyatakan kematian

selama 16 tahun berjalan adalah sebesar 24%. Kematian biasanya terjadi karena pengaruh

adanya infeksi (sebanyak 58%), penyakit SSP (36%), penyakit ginjal (7%). Bila penyakit mulai

timbul sebelum usia 15 tahun, maka keterlibatan ginjal dan hipertensi diprediksi dapat

menyebabkan kematian[20].

K. Pencegahan Lupus Eritematosus

Etiologi dari lupus adalah belum diketahui secara pasti sampai saat ini, tetapi beberapa

tindakan pencegahan dapat saja dilakukan. Pencegahan yang dapat dilakukan adalah pada

penggunaan obat-obat terapeutik, sehingga dapat dikurangi gejala dan tanda-tanda yang menjadi

efek sampingnya. Selain itu perlu diperhatikan pula penggunaan kacamata, sunscreen, pakaian

yang melindungi dan minyak atau pelembab untuk melindungi kulit dari sinar UVA sehingga

dapat mengurangi atau mencegah ruam pada kulit dan kemungkinan nausea[2].

Penggunaan obat steroid dapat mencegah timbulnya poliartritis dan lesi padakulit, tetapi pada

pasien dengan pengobatan steroid jangka panjang beresiko terkena osteoporosis, sehingga dosis

steroid perlu dikurangi sampai seminimum mungkin dan pasien juga perlu diberikan kalsium,

vitamin D, kalsitonin dan biophosphonates untuk meningkatkan pembentukan tulang.

Page 13: SLE Pada Rongga Mulut

BAB III

MANIFESTASI KLINIS LUPUS ERITEMATOSUS PADA RONGGA MULUT

Lesi pada mukosa mulut merupakan yang tersering menjadi target pada lupus eritematosus,

seperti pada diskoid lupus eritematosus dan lupus eritematosus sistemik. Lesi terlihat sebagai

daerah eritematous yang berpusat dan dikelilingi oleh tepi putih yang meninggi. Lesi sering

ditemukan pada palatum, mukosa bukal dan palatum, dapat tidak spesifik dan terlihat seperti

ulser tanpa rasa sakit[2].

Gambar 2.8 Ulserasi putih ireguler pada bukal Gambar 2.9 erosi pada bukal

Page 14: SLE Pada Rongga Mulut

Gambar 2.9 Erosi pada palatum

Sekitar 75% penderita lupus mengeluhkan gejala pada rongga mulut seperti rasa kering, rasa

sakit dan rasa terbakar terutama ketika makan makanan panas dan pedas. Infiltrasi limfosit

kelenjar saliva minor ditemukan pada 50-75% pasien, baik mereka mengeluhkan adanya rasa

kering pada mulut ataupun tidak. Salivary flow rate yang tidak terstimulasi menurun pada

banyak penderita lupus eritematosus sistemik. Lupus eritematosus sistemik juga menjadi

komponen diagnosis dari Sjogren’s Syndrome[2].

Lesi spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa aphtae (canker

sores). Pada literatur, aphtae sering disebut juga sebagai stomatitis aphtous rekuren. Lesi ini

mengenai 15% pada populasi normal. Lesi aphtae seringnya berukuran kecil (kurang dari 1 cm),

terasa sakit dapat ditemukan pada mukosa bukal. Lesi pada lupus eritematosus cenderung lebih

lama, lebih besar dan terlihat pada palatum. Lesi oral pada penderita lupus diskoid menyerupai

plak berwarna merah yang dikelilingi oleh daerah putih. Lesi ini mirip dengan lichen planus[21].

Gambar 2.11 Lesi mirip lichen planus

Lesi non spesifik pada rongga mulut penderita lupus eritematosus dapat berupa lesi herpes

simpleks labialis. Lesi ini terasa sakit berupa kelompok kecil blister pada bibir dan gusi. Lesi ada

selama dua sampai empat minggu, dapat sembuh dengan sendirinya. Penderita lupus

eritematosus mendapatkan terapi imunosupresif sehingga menyebabkan lesi kambuh lebih sering

yaitu hampir setiap bulan. Lesi non spesifik lainnya adalah Steven – Jhonson’s Syndrome (SJS).

Penyakit ini merupakan komplikasi dari oral herpes yang jarang terjadi. Seperti herpes, SJS

dipicu oleh obat-obatan, yang tersering yaitu golongan sulfa. antikonvulsan serta obat pain killer.

Page 15: SLE Pada Rongga Mulut

Pada penderita ini terlihat ulser pada mata, mulut, hidung, genital dan kulit biasanya dua sampai

empat minggu setelah herpes sembuh. Lesi pada kulit disebut ”target” karena adanya konfigurasi

melingkar. Bila lesi ini bergabung sehingga terjadi erosi yang meluas penderita sebaiknya

dirawat di rumah sakit[21].

Gambar 2.10 Lesi herpes simplex

Lesi non spesifik lainnya berupa oral kandidiasis atau yang dikenal dengan thrush yang

menjadi komplikasi paling sering akibat penggunaan obat imunosupresif seperti kortikosteroid

sistemik. Thrush terlihat sebagai plak putih-merah yang dapat ditemukan pada berbagai tempat

di rongga mulut. Lesi biasanya asimtomatik tetapi penderita mengeluhkan rasa terbakar dan

kesulitan menelan. Lesi lain yang dapat ditemukan pada individu yang mendapat terapi

imunosupresif adalah kanker pada mukosa seperti karsinoma sel skuamosa yang mempengaruhi

kulit, oral dan genital. Lesi yang ditemukan biasanya berupa plak putih (leukoplakia) atau plak

merah (eritroplakia) pada daerah bukal atau lidah[21].

Page 16: SLE Pada Rongga Mulut

Gambar 2.11 Thrush

Gambar 2.11 Lesi prekanker Leukoplakia

Page 17: SLE Pada Rongga Mulut

BAB IV

PENATALAKSANAAN LUPUS ERITEMATOSUS DI BIDANG KEDOKTERAN GIGI

Kunci dalam penatalaksanaan masalah gigi dan mulut ada tiga faktor, yang pertama yaitu

komunikasi antara pasien dan tenaga medis, baik dokter atau dokter gigi. Pasien harus

menceritakan riwayat sekarang dan masa lalunya, termasuk riwayat pengobatan sebelumnya

sehingga dokter gigi dapat mengetahui keadaan medis pasien dengan baik, disamping

mendapatkan informasi langsung dari dokter yang merawat pasien sebelumnya. Jika pasien lupus

membutuhkan operasi gigi, maka perlu dilakukan komunikasi antara dokter gigi dengan dokter.

Prosedur operasi mungkin memerlukan perubahan pada dosis obat steroid dan memerlukan

antibiotik profilaksis terutama pada pasien lupus disertai penyakit jantung. Pemeriksaan setelah

operasi harus lebih sering dilakukan dalam jangka waktu yang lebih lama dibanding dengan

pasien non lupus. Faktor kedua yaitu perlu adanya pemeriksaan oleh diri sendiri (self

examination). Pemeriksaan rongga mulut harus dilakukan secara rutin oleh tiap individu di

rumah karena dengan demikian tanda-tanda kelainan pada rongga mulut dapat terdeteksi lebih

dini. Misalnya untuk kasus periodontal, bila pasien secara rutin menjaga kebersihan rongga

mulutnya dan memiliki kesadaran serta pengetahuan yang cukup mengenai kesehatan rongga

mulutnya maka keadaan yang lebih parah dapat terhindarkan. Faktor ketiga yaitu pencegahan,

misalnya untuk kasus periodontal, satu-satunya cara adalah dengan teknik penyikatan gigi yang

baik minimal dua kali sehari. Dapat pula disertai dengan penggunaan dental floss, dental tape,

dan rubber tips[22].

Penatalaksanaan lesi oral spesifik seperi lesi ulser atau apthae pada penderita lupus

eritematosus memerlukan kombinasi terapi kortikosteroid sistemik dengan anti-metabolit seperti

azathioprine (Imuran) atau mycophenolate mofetil (Cell Cept) dengan cyclophosphamide.

Sebagai terapi tambahan dapat diberikan Colchidne 0,6 mg dua kali sehari, Dapsone 100-150

mg/hari atau thalidomide 100-200 mg/hari. Sedangkan untuk lesi seperti lichen planus pada

diskoid lupus eritematosus dapat diterapi dengan kombinasi obat topikal dan sistemik. Terapi

Page 18: SLE Pada Rongga Mulut

topikal mengandung kortikosteroid seperti clebetasol gel (diaplikasikan 4-5 kali sehari) dengan

atau tanpa topikal tacrolimus ointment (2-3 kali sehari). Thalidomide 100-200 mg sehari dengan

atau tanpa hydroxychloroquine (Plaquenil) 200 mg dua kali sehari sangat efektif. Pemberian

terapi sistemik imunosupresif seperti azathioprine, mycophenolate mofetil atau leflunomide

(Arava) biasa diberikan pada kasus yang lebih berat meskipun jarang terjadi[21,22].

Penatalaksanaan lesi oral non spesifik seperti lesi herpes simplex labialis adalah dengan

mengurangi paparan obat kortikosteroid sistemik dan menggantinya dengan corticosteroid-

sparing drugs seperti azathioprine, mycophenolate mofetil dan cyclophosphamide yang

diberikan sejak awal. Pada beberapa penderita lupus eritematosus perlu juga memberikan terapi

herpes dengan obat antivirus seperti valacyclovir (valtrex) atau famciclovir (Famvir), sedangkan

untuk penatalaksanaan Steven Jhonson’s Syndrome tidak ada terapi yang efektif karena

penggunaan dosis tinggi obat kortikosteroid sistemik dapat menyebabkan kematian karena

infeksi[21].

Penatalaksanaan lesi non spesifik lainnya yaitu untuk kandidiasis pada penderita lupus dapat

diberikan prednisone dengan dosis yang diturunkan, nystatinoral lozenges atau pil, dan obat

antifungal seperti fluconazole (Diflucan), sedangkan penatalaksanaan lesi prekanker seperti

leukoplakia atau eritroplakia dapat dilakukan dengan operasi, electrocautery dan freezing. Selain

itu dapat diberikan krim topical imiquimod (Aldara). Kanker rongga mulut dapat dilakukan

penatalaksanaan dengan operasi pengangkatan secara luas dengan radiasi atau kemoterapi. Cara

terbaik untuk mencegah komplikasi ini pada penderita lupus eritematosus adalah dengan

penggunaan yang tepat agen imunosupresif[21]. Selain ditemukan lesi-lesi oral spesifik maupun

non spesifik, biasanya penderita lupus eritematosus mengeluhkan rasa mulut kering, rasa sakit

dan rasa terbakar pada rongga mulut. Dry mouth atau mulut kering pada penderita lupus

eritematosus dapat terjadi salah satunya dari penggunaan obat sistemik. Untuk membantu

menstimulasi saliva dapat dilakukan dengan mengunyah permen karet (yang mengandung

sorbitol, bukan sukrosa) atau pemberian obat kolinergik (sialogogues), tetapi terapi ini hanya

boleh diberikan oleh dokter spesialis mengingat efek samping yang bisa menyebabkan

bradikargi, berkeringat dan berkemih. Pyridostigmine dapat juga diberikan karena memberi efek

samping yang lebih kecil[23]. Penatalaksanaan untuk keluhan rasa sakit dan rasa terbakar pada penderita lupus

eritematosus adalah yang pertama dengan pemberian terapi untuk faktor organik yang

Page 19: SLE Pada Rongga Mulut

menyebabkan ketidaknyamanan, misalnya terapi untuk kandidiasis atau lichen planus baik secara

sistemik maupun topikal, kemudian dapat dicoba pemberian vitamin B1 300 mg dan vitamin B6

50 mg sebanyak tiga kali sehari selama empat minggu sebagai placebo[23].

RINGKASAN

Penyakit Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun

kronis yang melibatkan banyak organ. Etiologinya masih belum bisa

dipastikan, tetapi teori-teori yang ada memiliki patogenesis yang sama.

Penderita lupus eritematosus memiliki prognosis yang bervariasi dari ringan

sampai berat. Untuk kasus ringan prognosisnya baik bila diberikan terapi

yang adekuat, meskipun untuk setiap terapi dapat memberikan efek

samping. Manifestasi lupus eritematosus pada rongga mulut dibedakan

menjadi lesi spesifik biasanya berupa ulser atau lesi seperti lichen planus

dan bisa berupa lesi nonspesifik seperti lesi herpes simplex, Steven

Jhonson’s syndrome, kandidiasis / thrush atau lesi prekanker leukoplakia

atau eritroplakia. Penatalaksanaan manifestasi lupus eritematosus pada

rongga mulut biasanya dengan pemberian obat steroid sistemik dan topikal

atau obat anti jamur, disamping perlu juga pemberian vitamin sebagai

plasebo.

Page 20: SLE Pada Rongga Mulut

DAFTAR PUSTAKA

1. Greenberg MS, Michael G. Burket’s Oral Medicine Diagnosis & Treatment. 10thed. Hamilton: BC Decker Inc. 2003.

2. European Assosiation of Oral Medicine. Oral Lupus Erythematosus. School of Dental Medicine University of Zagreb. 2005.

3. Hochberg MC. The History of Lupus Erythematosus. Lupus Foundation of America Newsletter Article Library. 1993.

4. Myers SA, Mary HA. Cutaneous Manifestation of Lupus: Can You Recognize Them all ? Women’s Health in Primary Care. Vol 4 No 1. 2001.

5. Manzi S. Epidemiology of Systemic Lupus Erythematosus. The American Journal of Managed Care. Vol 7 No 16. 2001.

6. Kumar V, Abul KA, Nelson F. Pathologic Basis of Disease. 7th ed. Philadelphia: Elsevier saunders. 2005.

7. Marks JG, Miller JJ. Looking bill and Marks Principles of Dermatology. 4th

ed.Philadelphia: Elsevier inc. 2006.8. Wolff K,Goldsmith LA,Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ.

Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New york: McGraw Hill Medical. 2008.

9. Scully C, Roderick AC. Medical Problems in Dentistry. 5th ed. London: Elsevier Churchill Livingstone. 2005.

10. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik Pada Lupus Eritematosus Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

11. Carson R, De Witt. Discoid lupus Erythematosus. Gale encyclopedia of Medicine.2002.

12. Werth V. Current Treatment of Cutaneous Lupus Erythematosus. Dermatology online Journal Vol 7 No 1.2001.

13. Venuturupalli RS, Allan LM. CNS Lupus: Neurologic nd Psychiatric manifestation of Systemic Lupus Erythematosus. Lupus International. 2007

14. Gallelli B, De Angelis, Venture D, Meroni PL, Moroni G. SLE : Extra-renal Clinical Manifestation and Lupus Nephritis. Milano : Divisi Nefrologi Dialisa. 2005.

Page 21: SLE Pada Rongga Mulut

15. Macanovic M. Lupus Nephritis: a Summary. Lupus UK News & Views .No.60.2000.

16. Savage P. Lupus and the Eye. Lupus Foundation of America Lupus News vol 21 No 12.2001.

17. Cibik GM. Gastrointestinal Involvement in systemic Lupus Erythematosus. Bay Area Lupus Foundation,inc. 1984)

18. James WD, Berger TG, Elston DM. Andrew’s Disease of thr Skin Clinical Dermatology. 10th ed. Philadelphia: Saunders Elsevier. 2006.

19. Callen JP. Lupus Erythematosus, Discoid. e Medicine. 200720. Gill JM, Quisel AM, Rocca PV, Walters DT. Diagnosis of Systemic Lupus

Eythematosus. American family Physician. 2003.21. Nikolskaia O, Nousari HC. Oral Disease in Lupus Erythematosus. Lupus

News.No.2. 2002.22. Denbo JA. Dental Problems and the Lupus Patient. Michigan lupus

Information and Resources. 2006.23. Scully C, Dunitz M. Handbook of Oral Disease Diagnosis and

Management.Revised ed. London: Martin Dunitz Ltd. 2001.

MANIFESTASI LUPUS ERITEMATOSUS

PADA RONGGA MULUT

Disusun Oleh :

Melfrits R. Siwabessy (11.2009.070)

Vincentius A. Leo (11.2008.126)

Page 22: SLE Pada Rongga Mulut

Marlin L. Allo (11.2008.151)

Reiny Angelina (11-2008-136)

Jason Raymond Hotama (11-2009-015)

Helena Fabiani (11-2009-039)

Pembimbing :

Drg. Sri Murwati, MARS

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA

JAKARTA