SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH...

96

Click here to load reader

Transcript of SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH...

Page 1: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

SKRIPSI

PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI

PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat dalam menyelesaikan tugas akhir pada

Program Studi S1 Keperawatan

OLEH :

YULIANA BAYU PRASETYONINGSIH

NIM 30120113008K

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS

PADALARANG

2015

Page 2: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kesehatan menurut WHO merupakan keadaan sehat sejahtera baik

fisik, mental maupun sosial dan tidak hanya terbebas dari kelemahan ataupun

penyakit (Lemone, 2010); sedangkan menurut undang-undang RI nomor 36

tahun 2009, kesehatan merupakan situasi sehat baik fisik, mental, spiritual

ataupun sosial sehingga setiap individu dapat hidup secara produktif baik

sosial maupun ekonomi. Seseorang dikatakan memiliki kesehatan secara fisik

apabila seseorang tersebut merasa tidak sakit, tidak merasakan adanya

keluhan dan secara klinis dapat dibuktikan tidak adanya penyakit. Semua

organ tubuh berfungsi baik dan fungsi tubuh tidak terganggu (Notoatmodjo,

2014 ). Terjadinya perubahan kesehatan baik struktur dan fungsi tubuh atau

pikiran dipersepsikan sebagai sakit (Lemone, 2010). Sakit dapat terjadi pada

setiap individu, sehingga individu memerlukan bantuan medis untuk dapat

mengembalikan kesehatan mereka. Penyakit pada dasarnya dibedakan

menjadi penyakit dalam dan bedah. Salah satu tindakan yang dapat dilakukan

untuk mengobati penyakit bedah yaitu dengan tindakan pembedahan / operasi

(Lewis, 2011).

Pembedahan merupakan tindakan mengobati penyakit, deformitas

maupun perlukaan dengan menggunakan peralatan atau instrumen.

Pembedahan dilakukan karena beberapa alasan diantaranya untuk diagnostik ,

Page 3: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

2

pengobatan atau kuratif dengan cara mengangkat atau membuang salah satu

organ seperti amputasi dan apendektomi, restorative untuk meningkatkan

kemampuan klien,perbaikan organ yang mengalami kerusakan , paliatif untuk

meringankan gejala penyakit ,dan juga untuk alasan kosmetik untuk

meningkatkan ataupun merubah penampilan seseorang (Lewis, 2011).

Pembedahan baik yang dilakukan secara darurat ataupun yang

direncanakan dirasakan oleh tiap individu sebagai peristiwa yang kompleks

yang dirasa menegangkan. Pasien praoperatif seringkali mengalami

ketakutan. Takut terhadap nyeri atau kematian, takut karena ketidaktahuannya

apa yang akan terjadi (Smeltzer, 2010). Pasien yang akan menjalani operasi,

beresiko tinggi untuk mengalami kurang pengetahuan, salah satunya

pengetahuan yang berhubungan dengan mobilitas fisik pasien . Selain itu,

pembedahan akan menimbulkan perlukaan sebagai tindakan medis yang

invasif untuk mendiagnosa ataupun mengobati penyakit ataupun

memperbaiki perubahan bentuk yang terjadi (Lemone, 2010). Perlukaan yang

ditimbulkan dalam pembedahan akan menimbulkan keterbatasan pada pasien

untuk melakukan mobilisasi. Hal ini terjadi karena mereka takut hal tersebut

akan mempengaruhi luka operasi, mobilisasi menyebabkan nyeri dan bahkan

dapat menimbulkan komplikasi (Ignatavicius, 2010). Hal ini tentu saja akan

membuat pasien sulit untuk bergerak sehingga mobilisasi pasien menjadi

terganggu.

Pelaksanaan pembedahan juga memerlukan tindakan anestesi atau

pembiusan, salah satu anestesi yang digunakan yaitu anestesi umum untuk

Page 4: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

3

menghilangkan nyeri secara sentral disertai hilangnya kesadaran yang bersifat

reversibel (Rosdahl, 2015). Anestesi umum biasanya dimanfaatkan untuk

tindakan operasi yang memerlukan ketenangan pasien. Dengan penggunaan

anestesi, juga akan mempengaruhi pada mobilisasi pasien. Pasien yang tidak

sadar tidak dapat melakukan mobilisasinya. Efek ini dapat berlangsung

tergantung pada dosis anestesi yang digunakan. Mobilisasi dini paska bedah

harus dilakukan sesegera mungkin setelah pasien sadar dari pengaruh

anestesi, bahkan memiliki tujuan pasien dapat turun dari tempat tidur pada

hari yang sama dengan pelaksanaan operasi atau hari pertama setelah operasi,

walaupun pasien mengalami operasi besar. Jika hal ini tidak memungkinkan,

pasien harus melakukan miring kiri dan kanan setidaknya setiap 2 jam dan

juga melakukan latihan pergerakan kaki (Ignatavicius, 2010).

Kesulitan pasien dalam mobilisasi yang terus menerus akan

mempengaruhi terhadap proses penyembuhan klien. Komplikasi paska

operasi yang dapat terjadi bila pasien tidak melakukan mobilisasi dini

diantaranya yaitu masalah gangguan gastrointestinal seperti sulitnya

peristaltik usus kembali normal, sirkulasi darah, atelektasis, pneumonia

hipostatik, ataupun gangguan integumen dengan terjadinya dekubitus

(Smeltzer , 2010). Sirkulasi darah merupakan salah satu hal penting yang

harus dipertahankan pada pasien paska bedah, karena proses penyembuhan

luka membutuhkan sirkulasi darah yang baik. Bila sirkulasi darah baik,

otomatis perfusi ke jaringan terutama daerah luka dapat tercukupi yang

berakibat penyembuhan luka dapat terjadi secepatnya. Tetapi sebaliknya bila

Page 5: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

4

pasien takut atau sulit untuk mobilisasi, yang berakibat terjadinya komplikasi,

maka akan menambah waktu pasien untuk dirawat di rumah sakit yang akan

berdampak pada biaya perawatan rawat inap yang diperlukan klien. Kondisi

ini akan menimbulkan kerugian yang tidak sedikit bagi pasien maupun

keluarga.

Mobilisasi dini pada pasien paska operasi harus sesegera mungkin

dilakukan agar fungsi fisiologis pasien dapat segera kembali normal,seperti

keadaan pra bedah. Penelitian mengenai perilaku mobilisasi pada pasien

paska bedah sebelumnya pernah dilakukan, Marlitasari pada tahun 2010,

pada penelitian yang berjudul Gambaran Penatalaksanaan Mobilisasi Dini

oleh Perawat Pada Pasien Post Apendektomi di RS Muhammadiyah

Gombong menyimpulkan bahwa ada lima faktor yang mempengaruhi

pelaksanaan mobilisasi dini yaitu pengetahuan, sikap perawat, persepsi,

sumberdaya dan sikap petugas kesehatan lain. Dari kelima faktor tersebut dua

faktor yang memiliki hubungan bermakna yaitu faktor pengetahuan dan sikap

petugas. Pada penelitian yang dilakukan Tarmidzi pada tahun 2013 dengan

judul Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan

Pada Pasien Post Laparatomie yang Diberikan Mobilisasi Dini menyatakan

bahwa pelaksanaan mobilisasi dini dipengaruhi oleh pengetahuan yang

didapatkan dari pendidikan kesehatan atau edukasi dari tenaga medis. Apabila

pasien mengalami kurang pengetahuan mengenai mobilisasi dini maka akan

mempengaruhi sikap pasien sehingga pasien tidak akan melakukan mobilisasi

dini.

Page 6: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

5

Mobilisasi dini yang dilakukan oleh pasien paska bedah sangat besar

manfaatnya, salah satunya yaitu meningkatnya perfusi ke jaringan sehingga

terjadi peningkatan sirkulasi darah, yang berdampak pada meningkatnya

metabolisme baik karbohidrat, protein maupun lemak sehingga energi ATP

yang dihasilkan akan meningkat pula (Potter, 2010). Bila ATP yang

dihasilkan meningkat, energi pun akan meningkat sehingga pasien dapat

melakukan akivitas mandirinya, dengan demikian tingkat ketergantungan

pasien akan semakin menurun. Mobilisasi dini juga berpengaruh pada

penyembuhan luka operasi. Pada penelitian yang dilakukan Nainggolan pada

tahun 2013 dengan judul Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya

Penyembuhan Luka Paska Operasi Apendektomi menyatakan bahwa terdapat

hubungan mobilisasi dini dengan penyembuhan luka yang dibuktikan dengan

adanya proses penyembuhan luka pada pasien paska bedah apendektomi.

Rumah Sakit Santo Borromeus memiliki format Standar Operasional

Prosedur ( SOP ) untuk pasien paska operasi secara umum. SOP ini untuk

melatih pasien melakukan latihan aktif atau mobilisasi dini untuk operasi,

yaitu tindakan keperawatan yang dilakukan pada pasien paska operasi yang

sudah diperbolehkan mobilisasi duduk atau berjalan dengan cara bertahap.

Perawat memiliki tanggungjawab yang besar dalam memberikan

pengetahuan yang diperlukan bagi pasien, karena salah satu peran perawat

adalah sebagai seorang edukator. Melalui peran ini diharapkan perawat dapat

membantu pasien dalam meningkatkan tingkat pengetahuan kesehatan,

sehingga terjadi perubahan perilaku dari pasien setelah dilakukan pendidikan

Page 7: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

6

kesehatan. Penyuluhan memiliki banyak keuntungan diantaranya mengurangi

kecemasan, penyembuhan yang lebih cepat dengan komplikasi yang kecil,

dan berkurangnya waktu rawat bagi pasien. Pelaksanaan mobilisasi dini

memerlukan informasi yang jelas, pendampingan terutama oleh tim medis

(Burden, 2010).

Perawat harus mempersiapkan baik pasien maupun keluarganya untuk

menghadapi operasi yang akan dilaksanakan. Penyuluhan yang telah

terstruktur dengan baik telah terbukti akan menghasilkan manfaat yang besar.

Penyuluhan yang diberikan mengenai perilaku apa saja yang diharapkan

dilakukan oleh pasien pasca operasi, yang diberikan melalui format yang

terstruktur dan sistematik sesuai dengan prinsip pengajaran yang ada, akan

memberikan pengaruh yang positif bagi pemulihan pasien (Potter, 2010).

Penyuluhan yang ideal yaitu penyuluhan yang diberikan dengan terstruktur

dan kemudian informasi tersebut diperjelas dengan demonstrasi dan

pendampingan dalam melaksanakan latihan aktivitas fisik . Partisipasi dalam

demonstrasi ulang merupakan salah satu cara terbaik dalam pemberian

penyuluhan. Sehingga pasien dapat langsung ikut serta dalam pelaksanaan

pembelajaran (Bastable, 2012). Penyuluhan dan latihan fisik yang telah

disusun dapat mempengaruhi faktor-faktor paska operasi diantaranya yaitu

fungsi pernafasan, perasaan sehat, lama inap di rumah sakit, kecemasan

terhadap nyeri dan yang terutama kapasitas fungsi fisik. Latihan aktivitas

fisik dapat meningkatkan ambulasi dini pasien sehingga pasien dapat

melakukan aktivitas sehari-hari lebih awal ( Potter, 2010 ).

Page 8: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

7

Apendeksitis maupun tindakan apendektomi merupakan salah satu

kedaruratan abdomen yang sering dijumpai. Data WHO pada tahun 2008

angka kejadian apendiksitis di negara maju lebih tinggi daripada negara

berkembang, Amerika menangani 11 kasus/10.000 kasus apendiksitis setiap

tahunnya. Data Depkes pada tahun 2012, jumlah pasien yang menderita

apendiksitis sekitar 32 % dari jumlah populasi penduduk Indonesia.

Di Rumah Sakit Santo Borromeus, pada tahun 2014 ada sebanyak 337

tindakan operasi apendektomi. Dari bulan September hingga November 2014,

peneliti menjumpai 8 pasien paska bedah terutama operasi apendektomi

menyatakan 5 orang tidak melakukan mobilisasi dini karena takut jahitan

sobek, ataupun drain yang terpasang akan terlepas. Akan tetapi pada pasien

yang tidak melakukan mobilisasi dini tersebut waktu rawat menjadi lebih dari

5 hari, yang seharusnya rata-rata hari rawat 4 hari. 5 orang pasien mengatakan

jarang mendapatkan penyuluhan ataupun pembelajaran tentang mobilisasi

setelah operasi, hal ini yang menyebabkan mereka takut untuk bergerak.

Pada studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Desember 2014,

peneliti menemukan bahwa dari 5 pasien paska bedah laparatomie

apendektomi, hanya 2 yang melakukan mobilisasi dini, hal ini karena mereka

pernah memiliki pengalaman operasi sebelumnya, tetapi tehnik yang

dilakukan hanya mampu melakukan miring kiri dan kanan pada 24 jam

pertama. Dari 5 pasien tersebut juga hari rawat yang dialami semakin

bertambah dari yang harusnya 4 hari menurut standar RS Borromeus menjadi

5 hingga 6 hari rawat. Dan kelima pasien tersebut mengatakan bahwa

Page 9: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

8

penyuluhan mengenai mobilisasi dini didapatkan pasien setelah operasi tanpa

ada demontrasi latihan aktivitas fisik. Sehingga pasien tersebut mengatakan

bahwa mereka merasa takut dan belum siap untuk melakukan mobilisasi dini,

pasien yang seharusnya sudah memasuki perawatan minimal pada hari

pertama paska bedah, masih masuk dalam perawatan maksimal

(Smeltzer,2010)

Berdasarkan uraian dari latar belakang, maka peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian mengenai : Pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap

tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo

Borromeus Bandung.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang diuraikan di atas, maka rumusan

masalah yang diangkat oleh peneliti adalah : “ Apakah ada pengaruh latihan

aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di

Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung “.

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini meliputi tujuan umum dan khusus. Tujuan ini

dibedakan menjadi dua diantaranya :

1. Tujuan Umum

Mengetahui pengaruh pemberian latihan aktivitas fisik dengan tingkat

mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo

Borromeus Bandung.

Page 10: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

9

2. Tujuan Khusus

Tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk :

a. Mengidentifikasi tingkat mobilisasi pada pasien paska bedah

apendektomi sebelum diberikan latihan aktivitas fisik di RS Santo

Borromeus

b. Mengidentifikasi tingkat mobilisasi pada pasien paska bedah

apendektomi setelah diberikan latihan aktivitas fisik di RS Santo

Borromeus

c. Menganalisa pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap tingkat

mobilisasi paska bedah apendektomi di RS Santo Borromeus.

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian dapat dibagi menjadi dua yaitu manfaat secara teoritis dan

praktis. Adapun manfaat penelitian ini adalah :

1. Teoritis

Penelitian ini dapat digunakan untuk memperkuat teori-teori keperawatan

medikal bedah khususnya mengenai pengaruh latihan aktivitas fisik

terhadap tingkat mobilisasi pasien operasi apendektomi.

2. Praktis

a. Bagi Manajemen Rumah Sakit Santo Borromeus

Sebagai bahan informasi mengenai pengaruh pemberian latihan

aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien paska bedah

apendektomi. Penelitian ini juga dapat menjadi bahan dasar dalam

Page 11: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

10

pembuatan SOP maupun pengambilan keputusan , serta pengambilan

kebijakan untuk melakukan penyegaran atau pelatihan ( in house

training ) bagi perawat, bagi pelaksanaan mobilisasi dini pasien paska

operasi khususnya paska bedah apendektomi di rumah sakit Santo

Borromeus.

b. Bagi Peneliti

Sebagai pengalaman pertama dalam mengaplikasikan ilmu yang

telah didapat selama kuliah khususnya pada mata ajar keperawatan

metodologi penelitian.

c. Bagi Institusi STIKes Santo Borromeus

Hasil penelitian ini dapat memberikan pengetahuan dan menambah

bahan bacaan ataupun kepustakaan bagi mahasiswa STIKes Santo

Borromeus tentang pengaruh latihan aktivitas fisik perawat pada

pasien setelah operasi dengan tingkat mobilisasi pasien paska bedah

apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

E. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mengenai pengaruh latihan aktivitas fisik dengan tingkat

mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus

dilaksanakan pada bulan Juni - Juli 2015. Penelitian ini dilaksanakan

berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan pada 5 pasien paska bedah

laparatomie di ruang Yosef 3 Dago dan Yosef 3 Surya Kencana , didapatkan

3 dari 5 pasien tidak mengerti mengenai aktivitas mobilisasi yang harus

Page 12: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

11

dilakukan paska bedah karena tidak mendapatkan pendidikan kesehatan

mengenai mobilisasi dini paska bedah, sedangkan 2 dari 5 mengetahui

mobilisasi dini karena pernah mengalami operasi sebelumnya tetapi tidak

mengetahui mobilisasi yang harus dilakukan secara tepat, hanya mengetahui

harus miring kiri dan kanan paska bedah. Penelitian ini dilakukan pada 15

pasien paska bedah apendektomi hari pertama di Rumah Sakit Santo

Borromeus Bandung, dengan menggunakan metode penelitian experiment,

dengan desain eksperimen semu ( Quasi experiment design ) dengan

rancangan penelitian pre and post test without control. Sampel yang

digunakan adalah purposive sampling, yaitu mengambil sampel penelitian

dengan pertimbangan tertentu sesuai dengan penelitian.

Page 13: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

12

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. KONSEP DASAR LATIHAN AKTIVITAS

1. Pengertian Latihan Aktivitas

Pengertian latihan aktivitas adalah aktivitas fisik untuk membuat

kondisi tubuh, meningkatkan kesehatan, dan mempertahankan kesehatan

jasmani. Hal ini juga digunakan sebagai terapi memperbaiki deformitas

atau mengembalikan seluruh tubuh ke status kesehatan maksimal (Potter,

2010). Pengertian latihan aktivitas menurut Smeltzer (2010) adalah

latihan fisik yang bila dilakukan dengan baik dan benar dapat bermanfaat

untuk mempertahankan ataupun meningkatkan kekuatan otot,

mempertahankan fungsi sendi, mencegah deformitas, meningkatkan

sirkulasi ataupun meningkatkan relaksasi. Pengertian lain dari latihan

aktivitas menurut Lemone (2010) adalah latihan yang dilakukan untuk

meningkatkan kemampuan fisik klien yang sebelumnya terganggu ke

kondisi semula.

2. Pengaruh Latihan Aktivitas

Potter (2010) menjelaskan pengaruh latihan aktivitas terhadap berbagai

sistem tubuh, yaitu :

Page 14: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

13

a. Sistem Kardiovaskuler

1) Meningkatkan curah jantung

2) Memperbaiki kontraksi miokardial, kemudian menguatkan otot

jantung

3) Menurunkan tekanan darah istirahat

4) Memperbaiki aliran balik vena

b. Sistem Respiratori

1) Meningkatkan frekuensi dan kedalaman pernafasan diikuti oleh

laju istirahat-kembali lebih cepat

2) Meningkatkan ventilasi alveolar

3) Menurunkan kerja pernafasan

4) Meningkatkan pengembangan diafragma

c. Sistem Metabolik

1) Meningkatkan laju metabolisme basal

Peningkatan metabolisme basal akan menghasilkan energi dan

ATP terutama dengan latihan aktivitas fisik. Sirkulasi darah pada

seluruh tubuh akan lebih baik bila dilakukan mobilisasi dini

terutama bagi sirkulasi abdomen serta motilitas usus.

2) Meningkatkan penggunaan glukosa dan asam lemak

3) Meningkatkan pemecahan trigliserida

4) Meningkatkan motilitas lambung

5) Meningkatkan produksi panas tubuh

Page 15: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

14

d. Sistem Muskuloskeletal

1) Memperbaiki tonus otot

2) Meningkatkan mobilisasi sendi

3) Memperbaiki toleransi otot untuk latihan

4) Mungkin meningkatkan massa otot

5) Mengurangi kehilangan tulang

e. Toleransi Aktivitas

1) Meningkatkan toleransi

2) Mengurangi kelemahan

f. Faktor Psikososial

1) Meningkatkan toleransi terhadap stress

2) Melaporkan “ perasaan lebih baik “

3) Melaporkan pengurangan penyakit (contoh : pilek dan influenza

virus)

3. Mekanisme Umum Kontraksi Otot Pada Latihan Aktivitas

Guyton (2012) menjelaskan timbul dan berakhirnya kontraksi otot terjadi

dalam urutan tahap-tahap berikut :

a. Suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf motorik

sampai ke ujungnya pada serabut otot

b. Di setiap ujung, saraf menyekresi substansi neurotransmiter yaitu

asetilkolin, dalam jumlah sedikit

Page 16: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

15

c. Asetilkolin bekerja pada area setempat pada membran serabut otot

untuk membuka banyak kanal “bergerbang asetilkolin” melalui

molekul-molekul protein yang terapung pada membran

d. Terbukanya kanal bergerbang asetilkolin memungkinkan sejumlah

besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian dalam membran serabut

otot. Peristiwa ini akan menimbulkan suatu potensial aksi pada

membran

e. Potensial aksi akan berjalan di sepanjang membran serabut otot

dengan cara yang sama seperti potensial aksi berjalan di sepanjang

membran serabut saraf

f. Potensial aksi akan menimbulkan depolarisasi membran otot, dan

banyak aliran listrik potensial aksi mengalir melalui pusat serabut

otot. Di sini, potensial aksi menyebabkan retikulum sarkoplasma

melepaskan sejumlah besar ion kalsium, yang telah tersimpan di

dalam retikulum ini

g. Ion-ion kalsium menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin

dan miosin, yang menyebabkan kedua filamen tersebut bergeser satu

sama lain, dan menghasilkan proses kontraksi

h. Setelah kurang dari satu detik, ion kalsium dipompa kembali ke dalam

retikulum sarkoplasma oleh pompa membran Ca++ , dan ion-ion ini

tetap disimpan dalam retikulum sampai potensial aksi otot yang baru

datang lagi; pengeluaran ion kalsium dari miofibril akan

menyebabkan kontraksi otot terhenti.

Page 17: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

16

4. Peranan Kontraksi Otot Rangka dalam Latihan Aktivitas

Guyton (2012) menjelaskan bahwa kontraksi otot rangka selama

latihan aktivitas dapat meningkatkan curah jantung dan tekanan arteri.

Sewaktu otot-otot rangka berkontraksi selama latihan fisik, otot-otot

tersebut menekan pembuluh darah di seluruh tubuh. Bahkan persiapan

untuk latihan fisik saja sudah mengencangkan otot-otot, sehingga terjadi

kompresi pembuluh darah dalam otot dan abdomen. Akibatnya adalah,

terjadi pemindahan darah dari pembuluh perifer ke jantung dan paru, dan

dengan demikian, akan meningkatkan curah jantung.

Keadaan ini merupakan efek yang penting dalam membantu

meningkatkan curah jantung sebesar lima sampai tujuh kali lipat yang

kadang-kadang terjadi selama latihan fisik. Selanjutnya, kenaikan curah

jantung merupakan bahan penting untuk meningkatkan tekanan arteri

selama latihan fisik, biasanya terjadi peningkatan dari tekanan rata-rata

normal (100 mmHg) hingga mencapai 130-160 mmHg.

5. Peranan Saraf dalam Latihan Aktivitas

Latihan aktivitas fisik yaitu pada latihan ektremitas, akan

mempengaruhi sistem saraf tepi. Sistem saraf tepi atau perifer mengatur

hubungan antara semua jaringan-jaringan dan organ-organ lain dengan

sistem saraf pusat (Brunner, 2010).

Potter, 2010, menjelaskan bahwa pada permulaan latihan aktivitas

fisik, sinyal tidak hanya dijalarkan dari otak menuju otot untuk

menimbulkan kontraksi otot tetapi juga ke pusat vasomotor untuk

Page 18: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

17

memulai perangsangan simpatis yang kuat di seluruh tubuh. Secara

bersamaan, sinyal parasimpatis ke jantung menjadi sangat lemah.

Menurut Guyton, 2012, timbul tiga efek sirkulasi utama :

a. Pertama, jantung dirangsang sehingga kecepatan denyut jantung dan

kekuatan pemompaannya menjadi sangat meningkat sebagai akibat

rangsangan simpatis ke jantung dan terbebasnya jantung dari

hambatan parasimpatis normal

b. Kedua, sebagian besar arteriol di sirkulasi perifer berkontraksi

dengan kuat kecuali arteriol-arteriol dalam otot yang aktif, yang

berdilatasi dengan kuat akibat pengaruh vasodilator lokal dalam otot.

c. Ketiga, dinding otot vena dan daerah kapasitatif lainnya pada

sirkulasi berkontraksi secara kuat, yang akan sangat meningkatkan

tekanan pengisian sistemik rata-rata.

6. Faktor yang Mempengaruhi Toleransi Latihan Aktivitas

Craven (2008) menjelaskan beberapa faktor yang mempengaruhi toleransi

latihan aktivitas, yaitu :

a. Faktor Fisiologis

Klien yang mengalami perubahan fungsi fisiologis seperti dispnu atau

nyeri dada selama latihan tidak akan tahan melakukan aktivitas seperti

pada klien yang tidak mengalaminya. Pada klien lemah tidak mampu

meneruskan aktivitas menyebabkan kelelahan dan kelemahan yang

menyeluruh. Secara singkat, faktor fisiologis yang berpengaruh

diantaranya :

Page 19: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

18

1) Frekuensi penyakit atau operasi dalam 12 bulan terakhir

2) Tipe penyakit atau operasi dalam 12 bulan terakhir

3) Status kardiopulmonar ( misalnya dispnu, nyeri dada )

4) Status muskuloskeletal ( misalnya penurunan massa otot )

5) Pola tidur

6) Keberadaan nyeri, pengontrolan nyeri

7) Tanda-tanda vital : frekuensi pernafasan dan nadi kembali ke

tingkat istirahat dalam 5 menit setelah latihan; tekanan darah

kembali seperti semula dalam 5-10 menit setelah latihan

8) Tipe dan frekuensi aktivitas latihan

9) Kelainan hasil laboratorium, seperti penurunan konsentrasi oksigen

arteri, penurunan kadar hemoglobin, kadar elektrolit yang tidak

normal.

b. Faktor Emosional

Orang yang depresi, khawatir atau cemas sering tidak tahan melakukan

aktivitas. Klien depresi biasa tidak termotivasi untuk berpartisipasi.

Klien khawatir atau cemas lebih mudah lelah karena mereka

mengeluarkan energi cukup besar dalam ketakutan dan kecemasannya.

Jadi mereka mengalami keletihan secara fisik dan emosi. Secara

singkat, faktor emosional yang berpengaruh diantaranya :

1) Suasana hati ( mood ) : depresi, cemas

2) Motivasi

3) Ketergantungan zat kimia ( misalnya obat-obatan, alkohol, nikotin)

Page 20: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

19

4) Gambaran diri

7. Tipe Latihan Aktivitas

Craven (2008) menyebutkan beberapa tipe latihan aktivitas, yaitu :

a. Aerobic exercise

Memerlukan oksigen untuk digunakan dalam produksi energi oleh

aktivitas metabolik oleh otot rangka. Kekuatan, gerakan otot yang

terus menerus ( seperti berjalan, lari, bersepeda, ski melintasi kota,

tarian aerobic, dan bermain tenis ) merupakan latihan aerobic untuk

meningkatkan denyut jantung seseorang agar kondisi kardiovaskular

meningkat.

b. Anaerobic exercise

Latihan ini digunakan ketika otot tidak mendapatkan oksigen yang

cukup dari darah dan latihan ini dapat menghasilkan energi tambahan

untuk waktu yang singkat. Tipe latihan aktivitas ini berguna saat

latihan ketahanan. Semua latihan ketahanan dapat menjadi anaerobic

ketika sumber oksigen berkurang.

c. Isotonic exercise

Latihan ini berbentuk latihan yang dinamis dengan tegangan yang

konstant pada otot, kontraksi otot, dan gerakan aktif. Kebanyakan otot

( seperti berjalan, lari, melakukan ADL ) adalah isotonik.

d. Isometric exercise

Latihan ini merupakan latihan yang statis dimana otot mengalami

tegangan dan kontraksi tetapi tidak ada perubahan panjang atau

Page 21: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

20

gerakan sendi. Contoh dari latihan isometrik diantaranya latihan

quadriseps untuk meningkatkan kekuatan otot kuadriseps,

mempertahankan kekuatan otot yang diimobilisasikan ( traksi,

balutan) dan latihan pertahanan.

8. Latihan Aktivitas ( Rentang Gerak )

Potter (2010) menjelaskan latihan aktivitas untuk melatih rentang gerak,

yaitu :

a. Leher, spina servikal

1) Fleksi : menggerakkan dagu menempel ke dada

2) Ekstensi : mengembalikan kepala ke posisi tegak

3) Hiperekstensi : menekuk kepala ke belakang sejauh mungkin

4) Fleksi lateral : memiringkan kepala sejauh mungkin ke arah setiap

bahu

5) Rotasi : memutar kepala sejauh mungkin dalam gerakan sirkuler

b. Bahu

1) Fleksi : menaikkan lengan dari posisi di samping tubuh ke depan

ke posisi di atas kepala

2) Ekstensi : mengembalikan lengan ke posisi di samping tubuh

3) Hiperekstensi : menggerakkan lengan ke belakang tubuh, siku

tetap lurus

4) Abduksi : menaikkan lengan ke posisi samping di atas kepala

dengan telapak tangan jauh dari kepala

Page 22: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

21

5) Adduksi : menurunkan lengan ke samping dan menyilang tubuh

sejauh mungkin

6) Rotasi dalam : dengan siku fleksi, memutar bahu dengan

menggerakkan lengan sampai ibu jari menghadap ke dalam dan ke

belakang

7) Rotasi luar : dengan siku fleksi, menggerakkan lengan sampai ibu

jari ke atas dan samping kepala

8) Sirkumduksi : menggerakkan lengan dengan lingkaran penuh

c. Siku

1) Fleksi : menekuk siku sehingga lengan bawah bergerak ke depan

sendi bahu dan tangan sejajar bahu

2) Ekstensi : meluruskan siku dengan menurunkan tangan

d. Lengan Bawah

1) Supinasi : memutar lengan bawah dan tangan sehingga telapak

tangan menghadap ke atas

2) Pronasi : memutar lengan bawah sehingga telapak tangan

menghadap ke bawah

e. Pergelangan Tangan

1) Fleksi : menggerakkan telapak tangan ke sisi bagian dalam lengan

bawah

2) Ekstensi : menggerakkan jari-jari sehingga jari-jari, tangan, dan

lengan bawah berada dalam arah yang sama

Page 23: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

22

3) Hiperekstensi : membawa permukaan tangan dorsal ke belakang

sejauh mungkin

4) Abduksi : menekuk pergelangan tangan miring ( medial ) ke ibu

jari

5) Adduksi : menekuk pergelangan tangan miring ( lateral ) ke arah

lima jari

f. Jari-jari Tangan

1) Fleksi : membuat genggaman

2) Ekstensi : meluruskan jari-jari tangan

3) Hiperekstensi : menggerakkan jari-jari tangan ke belakang sejauh

mungkin

4) Abduksi : meregangkan jari-jari tangan yang satu dengan yang lain

5) Adduksi : merapatkan kembali jari-jari tangan

g. Ibu jari

1) Fleksi : menggerakkan ibu jari menyilang permukaan telapak

tangan

2) Ekstensi : menggerakkan ibu jari lurus menjauh dari tangan

3) Abduksi : menjauhkan ibu jari ke samping ( biasa dilakukan ketika

jari-jari tangan berada abduksi dan adduksi )

4) Adduksi : menggerakkan ibu jari ke depan tangan

5) Oposisi : menyentuhkan ibu jari ke setiap jari-jari tangan pada

tangan yang sama

Page 24: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

23

h. Pinggul

1) Fleksi : menggerakkan tungkai ke depan dan ke atas

2) Ekstensi : menggerakkan kembali ke samping tungkai yang lain

3) Hiperekstensi : menggerakkan tungkai ke belakang tubuh

4) Abduksi : menggerakkan tungkai ke samping menjauhi tubuh

5) Adduksi : menggerakkan tungkai kembali ke posisi medial dan

melebihi jika mungkin

6) Rotasi dalam : memutar kaki dan tungkai ke arah tungkai lain

7) Rotasi luar : memutar kaki dan tungkai menjauhi tungkai lain

8) Sirkumduksi : mengerakkan tungkai melingkar

i. Lutut

1) Fleksi : menggerakkan tumit ke arah belakang paha

2) Ekstensi : mengembalikan tungkai ke lantai

j. Mata Kaki

1) Dorsifleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk

ke atas

2) Plantarfleksi : menggerakkan kaki sehingga jari-jari kaki menekuk

ke bawah

k. Kaki

1) Inversi : memutar telapak kaki ke samping dalam ( medial )

2) Eversi : memutar telapak kaki ke samping luar ( lateral )

l. Jari-jari Kaki

1) Fleksi : melengkungkan jari-jari kaki ke bawah

Page 25: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

24

2) Ekstensi : meluruskan jari-jari kaki

3) Abduksi : merenggangkan jari-jari kaki satu dengan yang lain

4) Adduksi : merapatkan kembali bersama-sama

9. Latihan Aktivitas Paska Bedah Abdomen

Potter (2010) menjelaskan berbagai latihan aktivitas paska bedah

abdomen, yaitu :

a. Mengganti posisi

1) Instruksikan kepada klien untuk berbaring terlentang di bagian

kanan tempat tidur. Pasang kedua pembatas ditempat tidur

Rasional : perubahan posisi dimulai dari bagian kanan tempat

tidur sehingga bila klien miring ke kiri tidak menyebabkan klien

berguling ke pinggir tempat tidur.

2) Instruksikan klien untuk meletakkan tangan kirinya di atas tempat

insisi untuk menahan tempat insisi tersebut

Rasional : menyangga dan meminimalkan regangan pada tempat

jahitan selama perpindahan posisi

3) Instruksikan klien untuk mempertahankan kaki kirinya tetap lurus

dan kaki kanan ditekuk menyilang ke atas kaki kiri

Rasional : kaki yang lurus menstabilkan posisi klien. Kaki kanan

yang ditekuk akan memindahkan beban berat badan sehingga

perpindahan posisi akan lebih mudah

Page 26: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

25

4) Minta klien memegang pembatas tempat tidur bagian kiri dengan

menggunakan tangan kanannya, tarik ke arah kiri, dan miringkan

tubuhnya ke arah kiri

Rasional : menarik ke arah pembatas tempat tidur akan

mengurangi besarnya usaha yang dibutuhkan untuk perpindahan

posisi

5) Instruksikan klien untuk mengganti posisinya setiap 2 jam pada

saat klien terjaga

Rasional : mengurangi risiko komplikasi vaskular dan pulmonal

Gambar 2.1 Posisi miring

(Sumber : http://edu.move side.com)

b. Latihan kaki

1) Minta klien berada pada posisi terlentang di tempat tidur.

Demonstrasikan latihan kaki dengan melakukan latihan rentang

pergerakan sendi pasif dan dilanjutkan dengan penjelasan tentang

latihan tersebut

Rasional : memberi posisi anatomi normal pada ekstremitas bawah

Page 27: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

26

2) Rotasikan kedua pergelangan kaki membentuk lingkaran penuh.

Instruksikan klien untuk menggambarkan lingkaran dengan

menggunakan jempol kakinya. Ulangi sebanyak 5 kali

Rasional : latihan kaki mempertahankan mobilitas sendi dan

meningkatkan aliran balik vena yang akan mencegah terbentuknya

trombus

3) Lakukan dorsofleksi dan plantar fleksi secara bergantian pada

kedua kaki klien. Bimbing klien untuk merasakan kontraksi dan

relaksasi otot betis secara bergantian. Ulangi sebanyak 5 kali

Rasional : meregangkan dan mengontraksikan otot-otot

gastroknemius

4) Minta klien melanjutkan latihan kaki dengan melakukan fleksi dan

ekstensi lutut secara bergantian. Ulangi sebanyak 5 kali

Rasional : mengontraksikan otot kaki bagian atas dan

mempertahankan mobilitas lutut

5) Minta klien mengangkat kedua kaki secara tegak lurus dan

permukaan tempat tidur secara bergantian. Ulangi sebanyak 5 kali

Rasional : meningkatkan kontraksi dan relaksasi otot-otot

kuadriseps

6) Minta klien melakukan latihan ini minimal setiap 2 jam pada saat

klien terjaga. Instruksikan klien untuk menggabungkan

perpindahan posisi dan latihan kaki dengan latihan pernafasan

diafragma, spirometri simulasi, dan latihan batuk

Page 28: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

27

Rasional : pengulangan akan meningkatkan proses pembelajaran.

Latihan yang rutin akan menimbulkan kebiasaan pada klien.

Latihan yang harus dilakukan secara terus menerus terdiri dari

latihan kaki,perpindahan posisi, pernafasan, spirometri stimulasi

dan batuk.

7) Observasi kemampuan klien dalam melakukan kelima latihan

tersebut secara mandiri

Rasional : memastikan bahwa klien telah mempelajari teknik yang

tepat

8) Catat latihan yang telah didemonstrasikan dan kemampuan klien

melakukan latihan tersebut secara mandiri

Rasional : mendokumentasikan penyuluhan untuk dan

menyediakan data untuk pemberian instruksi yang lebih lanjut.

Gambar 2.2 Gerakan latihan fleksi kaki

( Sumber : Smeltzer ,tahun 2010)

Page 29: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

28

Gambar 2.3 Gerakan latihan rotasi kaki

( Sumber : Smeltzer ,tahun 2010)

B. KONSEP DASAR APENDIKSITIS DAN APENDEKTOMI

1. Pengertian

Apendiksitis adalah peradangan pada vermiform apendik yang

dapat menimbulkan nyeri akut abdomen (Lemone, 2010). Menurut

Smeltzer (2010) apendiksitis merupakan penyebab umum inflamasi akut

pada kuadran kanan bawah rongga abdomen, keadaan ini merupakan

penyebab paling umum untuk bedah abdomen darurat. Price (2005)

berpendapat bahwa apendiksitis adalah peradangan apendiks yang

mengenai semua lapisan dinding organ tersebut.

Dapat disimpulkan : Apendiksitis adalah peradangan pada mukosa

apendiks vermiformis dan mengenai semua lapisan dinding organ tersebut

sehingga menyebabkan nyeri akut pada abdomen.

Page 30: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

29

Gambar 2. 4 Apendiks normal dan Apendiksitis

(Sumber : http ://edu.appendicitis.com)

2. Anatomi Fisiologi

Gambar 2.5 Apendiks

(Sumber : http://www.apendic.com)

Smeltzer, 2010, menjelaskan bahwa apendiks veriformis (umbai

cacing) merupakan organ tambahan kecil, diverticulum (cabang) sekum,

melekat pada sekum tepat di bawah katup ileocecal .

Page 31: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

30

Fungsi Katup Ileosekal (valvula ileosekal) adalah untuk mencegah

aliran balik isi fekal dari kolon ke dalam usus halus dan diperantarai oleh

pleksus mieterikus. Berbentuk pipa buntu seperti cacing, dengan panjang

bervariasi sekitar 3-15 cm, dan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal pada

sekum, pada pertemuan tiga taenia colon yaitu taenia mesocolica, taenia

libera dan taenia omentalis.

3. Etiologi

Penyebab utamanya menurut Smeltzer, 2010 adalah obstruksi atau

penyumbatan yang disebabkan oleh :

a. Infeksi bakteri pada appendisitis akut

b. Hiperplasia jaringan limfoid yang merupakan penyebab terbanyak

c. Adanya benda asing seperti cacing, biji makanan, serta parasit

d. Striktur atau penyempitan pembuluh karena fibrosis karena

peradangan sebelumnya

e. Keganasan kanker (karsinoma, karsinoid )

4. Manifestasi klinis

Menurut Smeltzer, 2010, manifestasi klinis yang muncul pada klien

apendiksitis adalah :

a. Mual dan muntah dengan anoreksia akibat nyeri visceral

b. Obstipasi karena klien takut mengedan, klien apendiksitis akut juga

mengeluh obstipasi sebelum datangnya rasa nyeri dan beberapa klien

mengalami diare, hal tersebut timbul biasanya pada letak apendiks

pelvikal yang merangsang daerah rectum.

Page 32: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

31

c. Panas (infeksi) bila timbul komplikasi. Gejala lain timbul demam

yang tidak terlalu tinggi dengan suhu antara 37,50 C-38,50 C, tetapi

bila suhu lebih tinggi diduga terjadi perforasi.

d. Pada inspeksi, klien berjalan membungkuk sambil memegangi

perutnya yang sakit, timbul kembung bila terjadi perforasi, penonjolan

perut kanan bawah terlihat pada abses apendiks. Posisi klien biasanya

miring ke sisi yang sakit sambil melakukan fleksi pada sendi paha,

karena setiap ekstensi meningkatkan nyeri.

e. Pada palpasi

1) Nyeri tekan positip pada titik MC.Burney.

Pada palpasi didapatkan titik nyeri tekan kuadran kanan bawah atau

titik MC.Burney (setengah jarak antara umbilicus dengan tulang

ileum kanan) dan ini merupakan tanda kunci diagnosis.

Gambar 2.6 Titik MC. Burney

(Sumber: http://www.vetmed.com)

Page 33: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

32

2) Nyeri lepas positip pada rangsangan peritoneum. Reubond

tenderness (nyeri lepas) adalah rasa nyeri yang hebat di abdomen

kanan bawah (titik MC.Burney) saat tekanan tiba-tiba dilepaskan

3) Defens muscular positif pada rangsangan musculus rektus

abdominis. Defens muscular adalah nyeri tekan seluruh lapang

abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum

parietalis.

4) Rovsing sign positif pada penekanan perut sebelah kiri, maka nyeri

dirasakan pada sebelah kanan.

Gambar 2.7 Rovsing sign

area penekanan

(Sumber: http:// www.easynotcards.com)

f. Pada pemeriksaan fisik lainnya dapat ditemukan adanya:

1) Psoas sign positif, pada apendiks letak retrocaekal. Psoas sign

terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan

yang terjadi pada apendiks.

Page 34: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

33

Gambar 2.8 Psoas sign

(Sumber : http://www.arp.org)

2) Obturator sign positif. Posisi klien terlentang, kemudian lutut

difleksikan kemudian dirotasikan kearah dalam dan luar secara

pasif maka dikatakan positif bila terdapat nyeri.

Gambar 2.9 Obturator sign

(Sumber : http:// www.jamaevidence.com)

g. Pada perkusi didapatkan nyeri ketuk positif.

h. Pada auskultasi, dapat ditemui peristaltik normal, peristaltik tidak ada

bila telah terjadi ileus paralitik karena peritonitis akibat perforasi

apendiksitis.

Page 35: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

34

i. Rectal toucher atau colok dubur. Nyeri tekan pada arah jarum jam 9-

12.

5. Patofisiologi

Patogenesis umumnya diduga karena adanya obstruksi lumen, yang

biasanya disebabkan oleh fekalit (feses keras yang terutama disebabkan

oleh kurang serat). Kondisi obstruksi akan menyebabkan peningkatan

tekanan intra luminal yang dapat menyebabkan terjadinya oklusi arteria

terminalis apendikularis dan peningkatan perkembangan bakteri.

Penyumbatan pengeluaran sekret mucus mengakibatkan terjadinya

pembengkakan, infeksi, dan ulserasi. Bila keadaan ini dibiarkan

berlangsung terus, biasanya menyebabkan nekrosis, ganggren, dan

perforasi. Pada fase ini, pasien akan mengalami nyeri pada area

periumbilikal. Dengan berlanjutnya proses inflamasi, maka pembentukan

eksudat akan terjadi pada permukaan serosa apendiks. Ketika eksudat ini

berhubungan dengan parietal peritoneum, maka intensitas nyeri yang khas

akan terjadi.

Berlangsungnya proses obstruksi, bakteri akan berpoliperasi dan

meningkatkan tekanan intraluminal dan membentuk infiltrate pada

mukosa dinding apendiks yang disebut dengan apendiksitis mukosa,

dengan manifestasi ketidaknyamanan abdomen. Adanya penurunan

perfusi pada dinding akan menimbulkan iskemia dan nekrosis disertai

peningkatan tekanan intraluminal yang disebut apendiksitis nekrosis, juga

akan meningkatkan resiko perforasi dari apendiks. Proses fagositosis

Page 36: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

35

terhadap respon perlawanan pada bakteri memberikan manifestasi

pembentukan nanah atau abses yang terakumulasi pada lumen apendiks

yang disebut dengan apendiksitis suporatif.

Sebenarnya tubuh juga melakukan pertahanan untuk membantasi

proses peradangan ini dengan cara menutup apendiks dengan omentum

dan usus halus sehingga terbentuk massa periapendikular yang secara

salah dikenal dengan istilah infiltrate apendiks. Pada bagian dalamnya

dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami

perforasi. Namun, jika tidak terbentuk abses, apendiksitis akan sembuh

dan massa apendikular akan menjadi tenang dan selanjutnya akan

mengurai diri secara lambat.

Berlanjutnya kondisi apendiksitis akan meningkatkan resiko dari

terjadinya perforasi dan pembentukan massa apendikular. Perforasi

dengan cairan inflamasi dan bakteri masuk ke rongga abdomen lalu

memberikan respon inflamasi permukaan peritoneum atau terjadi

peritonitis. (Given, 2005).

6. Test Diagnostik

Lemone, 2010, menjelaskan test diagnostik untuk apendiksitis yaitu :

a. Pemeriksaan laboratorium

Sel darah putih / leukosit meningkat (di atas 12.000/mm3) sebagai

respon fisiologis untuk melindungi tubuh terhadap mikroorganisme

yang menyerang. Neutrofil juga meningkat sampai 75%. Hb tampak

Page 37: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

36

normal, laju endap darah (LED) meningkat pada keadaan appendisitis

infiltrat.

b. Pemeriksaan radiologi

Foto abdomen / ultrasonografi (USG) dapat menyatakan adanya

pengerasan material pada apendiks (fekalith), ileus terlokalisir.

c. Pemeriksaan urine

Normal, tetapi eritrosit / leukosit mungkin ada. Urine rutin penting

untuk melihat apa ada infeksi pada ginjal.

7. Komplikasi

Apabila apendiktomi ditunda pada keadaan ini akan timbul komplikasi

(Smeltzer, 2010) :

a. Peritonitis umum

b. terbentuknya abses di sekitar apendiks

c. Peradangan vena portal (phlebitis) dengan trombosis vena porta

d. Terbentuknya abses hati

e. Septikemia (kekerasan darah oleh bakteri patogenik dan atau zat-zat

yang dihasilkan oleh bakteri tersebut.

8. Penatalaksanaan

Lemone (2010) menjelaskan beberapa penatalaksanaan yaitu :

a. Medikasi

Sebelum pembedahan, cairan intravena diberikan untuk memulihkan

atau mempertahankan volume vaskular dan mencegah terjadinya

ketidakseimbangan elektrolit. Terapi antibiotik yaitu generasi ketiga

Page 38: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

37

cephalosporin efektif dalam melawan banyak bakteri gram negatif,

seperti cefoperazone ( Cefobid ), Cefotaxime ( Claforan ), Ceftazidime

( Fortaz ) atau ceftriaxone ( Rocephin ) dapat diberikan sebelum

pelaksanaan pembedahan. Pemberian antibiotik dapat diberikan

kembali selama operasi dan dilanjutkan setidaknya 48 jam paska

bedah.

b. Pembedahan

Pembedahan adalah sebuah proses invasif karena insisi dilakukan

pada tubuh atau ketika bagian tubuh diangkat. Pembedahan dilakukan

pada klien ketika terapi terbaik untuk gangguan yang dialaminya

adalah berupa perbaikan, pengangkatan, atau penggantian jaringan

atau organ tubuh (Rosdahl, 2015).

Lemone, 2010, menjelaskan bahwa pembedahan merupakan

pilihan bila terjadi apendiksitis akut, yaitu apendektomi, pembedahan

untuk membuang apendiks. Dalam pembedahan apendiksitis, dapat

dilakukan pendekatan laparaskopi (insersi endoskopi untuk melihat isi

abdomen ) ataupun laparatomie (pembedahan terbuka abdomen ).

Laparaskopi apendektomi membutuhkan insisi yang sangat kecil

melalui laparaskopi yang diinsersikan. Prosedur ini menghasilkan

beberapa keuntungan diantaranya dapat secara langsung melihat

apendiks utuk menegakkan diagnosa tanpa harus melakukan

laparatomie, hospitalisasi post operasi semakin pendek, jarang terjadi

Page 39: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

38

komplikasi paska bedah, penyembuhan untuk kembali ke aktivitas

normal menjadi lebih cepat.

Open apendektomi dilakukan dengan laparatomie. Insisi kecil

dilakukan secara transversal di titik McBurney, apendiks di isolasi dan

diligasi (diikat ) untuk mencegah kontaminasi pada sisi isi abdomen,

dan kemudian dibuang. Laparatomie dilakukan bila apendiks telah

ruptur. Hal ini kemudian diikuti dengan membuang kontaminasi dari

ruang peritoneal dengan irigasi menggunakan cairan normal saline

(Lemone, 2010).

c. Akibat Pembedahan

Pembedahan menurut Rosdahl, 2015, menimbulkan beberapa akibat

ketidaknyamanan, yaitu :

1) Nyeri

Nyeri biasanya merupakan ketidaknyamanan pertama

paskaoperasi yang disadari oleh klien. Nyeri dievaluasi setiap kali

tanda vital yang lain diukur. Untuk mengurangi nyeri dapat

dianjurkan untuk tehnik relaksasi, tarik nafas panjang dan dalam.

Haruyama, 2011, berpendapat bahwa dengan pernafasan

panjang dan dalam serta relaksasi maka akan memicu keluarnya

hormon endorfin. Hormon endorfin diproduksi oleh tubuh yaitu

oleh kelenjar pitutary, yang mampu menimbulkan perasaan

senang dan nyaman hingga membuat seseorang berenergi. Karena

Page 40: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

39

endorfin diproduksi oleh tubuh manusia sendiri, maka endorfin

dianggap sebagai zat penghilang rasa sakit yang baik.

Hormon endorfin merupakan salah satu sistem opium otak

disamping enkefalin. Pengaktifan sistem analgesia oleh sinyal-

sinyal saraf yang memasuki area periakuaduktal grisea dan

periventrikular yang berdekatan, dapat menekan hampir seluruh

sinyal-sinyal nyeri yang masuk melewati saraf perifer

(Guyton,2012).

2) Haus

Haus hampir selalu ada, biasanya karena penurunan cairan

praoperasi, kehilangan cairan selama pembedahan dan kekeringan

yang disebabkan oleh obat yang diberikan.

3) Distensi abdomen

Penghentian peristaltis usus secara sementara memungkinkan gas

terakumulasi di dalam usus klien sehingga menyebabkan distensi

abdomen.

4) Mual

Jika klien mengeluhkan mual, berikan obat antiemesis.

5) Retensi Urine

6) Konstipasi

Gangguan diet normal dan jadwal eliminasi, obat nyeri,

inaktivitas dan kelambatan peristaltik karena efek anestesi.

7) Gelisah dan Sulit Tidur

Page 41: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

40

8) Imobilisasi

Imobilisasi pada pasien paska bedah dapat terjadi pada

pembedahan. Tetapi pasien diharuskan untuk mobilisasi dini

setelah pasien sadar, terutama pada hari pertama pembedahan

sesuai dengan kondisi pasien.

d. Penatalaksanaan Paska Bedah

Pasien yang dipasang catheter sebelum operasi harus dilepas

sebelum mereka meninggalkan ruang operasi. Pasien kemudian dapat

memperoleh diet yang sesuai, dan melakukan ambulasi dini.

Mobilisasi sudah dapat dilakukan sejak pasien sadar penuh,

setidaknya 12-18 jam setelah pembedahan ( pada hari yang sama

dengan operasi atau selambat-lambatnya hari pertama post operasi,

pasien harus mobilisasi turun dari tempat tidur ). Bila hal tersebut

dapat dilakukan pasien dapat dipersiapkan pulang dalam waktu 24- 32

jam. Bila apendiksitis yang terjadi sudah dalam tahap perforasi atau

ganggren, akan diberikan oral antibiotik untuk beberapa hari. Pada

apendiksitis yang simple, tidak diperlukan antibiotik setelah dilakukan

operasi (Bland, Kirby, 2009)

Setelah pasien bangun dari pengaruh anesthesi, tempatkan pasien

pada posisi Fowler untuk menurunkan resiko kontaminasi cairan

peritoneal yang terinfeksi ke abdomen bagian atas (McCann, 2006).

Page 42: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

41

9. Anestesi (Pembiusan)

Anestesi menurut Rosdahl, 2015, adalah kehilangan sensasi secara

komplet atau sebagian. Anestesi bedah didefinisikan sebagai derajat

anestesi yang memungkinkan operasi dilakukan dengan aman dan

ditoleransi oleh klien, menghilangkan nyeri secara sentral disertai

hilangnya kesadaran yang bersifat reversibel.

Anestesi atau pembiusan pembedahan menurut Potter, 2010, terdiri

dari 4 macam, yaitu anestesi umum, anestesi regional, anestesi lokal dan

sedasi sadar. Anestesi umum menghasilkan imobilisasi, klien yang tenang

dan tidak bergerak dan tidak ingat prosedur bedah. Amnesia klien

bertindak sebagai alat pelindung dari peristiwa yang tidak menyenangkan

terhadap prosedur. Penyedia anestesi memberikan anestesi umum dengan

rute IV dan inhalasi melalui tiga fase anestesi, yaitu : induksi,

pemeliharaan, dan munculnya. Pembedahan yang membutuhkan anestesi

umum melibatkan prosedur mayor dengan manipulasi jaringan yang luas.

Durasi anestesi bergantung pada lamanya operasi.

C. MOBILISASI

1. Pengertian

Mobilisasi merupakan kebutuhan seseorang untuk melakukan aktivitas

yang dilakukan secara bebas dari satu tempat ke tempat yang lain

(Suratun, 2008). Mobilisasi merupakan kemampuan seorang individu

untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai tujuan memenuhi

Page 43: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

42

kebutuhan hidup sehat, serta penting untuk kemandirian. Mobilisasi

mengacu pada kemampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas,

sedangkan ketidakmampuan seseorang untuk bergerak dengan bebas

dikenal dengan imobilisasi (Potter, 2010)

2. Faktor – faktor yang mempengaruhi mobilisasi

Faktor-faktor yang mempengaruhi mobilisasi menurut Craven (2008),

antara lain :

a. Gaya Hidup dan Kebiasaan

Gaya hidup seseorang sangat tergantung dari tingkat pendidikannya.

Makin tinggi tingkat pendidikan seseorang akan diikuti oleh perilaku

yang dapat meningkatkan kesehatannya. Demikian halnya dengan

pengetahuan kesehatan tentang mobilitas seseorang akan senantiasa

melakukan mobilisasi dengan cara yang sehat.

b. Proses penyakit dan injury

Adanya penyakit tertentu yang diderita seseorang akan mempengaruhi

mobilitasnya, misalnya; seorang yang patah tulang akan kesulitan

untuk mobilisasi secara bebas. Demikian pula orang yang baru

menjalani operasi, karena adanya rasa sakit/nyeri yang menjadi alasan

mereka cenderung untuk bergerak lebih lamban. Ada kalanya klien

harus istirahat di tempat tidur karena menderita penyakit tertentu.

Page 44: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

43

c. Kebudayaan

Kebudayaan dapat mempengaruhi pola dan sikap dalam melakukan

aktivitas misalnya; pasien setelah operasi dilarang bergerak karena

kepercayaan kalau banyak bergerak nanti luka atau jahitan tidak jadi.

d. Tingkat energi

Seseorang melakukan mobilisasi jelas membutuhkan energi atau

tenaga. Orang yang sedang sakit akan berbeda mobilitasnya

dibandingkan dengan orang dalam keadaan sehat. Menurut Guyton,

2012, kebutuhan oksigen harus terpenuhi, bila tidak terpenuhi maka

metabolisme yang terjadi pada tubuh menjadi metabolisme anaerob.

Metabolisme anaerob ini akan menghasilkan asam laktat dan 2 ATP,

yang akan menyebabkan tingkat mobilisasi lebih tergantung.

e. Usia dan status perkembangan

Seorang anak akan berbeda tingkat kemampuan mobilitasnya

dibandingkan dengan seorang remaja.Hal ini sesuai dengan usia dan

juga status perkembangan dari setiap individu.

3. Tingkat mobilisasi

Kemampuan mobilitas atau tingkat mobilitas dikaji dengan tujuan untuk

menilai kemampuan klien untuk dapat bergerak baik ke posisi miring,

duduk, berdiri, bangun ataupun berpindah tanpa bantuan. Tingkat

mobilitas menurut Kneale (2011) adalah sebagai berikut :

Page 45: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

44

Tabel 2.1 tabel tingkat mobilitas skala ILOA (Iowa Level of Assistance)

Skor Tingkat Mobilitas

0 Independen / mandiri (Mampu melakukan

mobilisasi / mampu merawat diri sendiri secara

penuh tanpa bantuan atau pengawasan)

1 Diawasi (diawasi secara dekat, menggunakan alat

bantu, sendiri, tidak perlu dipegang)

2 Dibantu minimal (memerlukan bantuan sebagian,

memerlukan alat bantu untuk aktivitas)

3 Sedang / hanya di kursi, bila mobilisasi

memerlukan bantuan satu atau 2 orang, pengawasan

orang lain dan peralatan

4 Dibantu maksimal ( membutuhkan support yang

signifikan pada 3 atau lebih point sentuhan dan

membutuhkan satu atau lebih orang dan untuk

keselamatan saat aktivitas )

5 Tidak berdaya (melakukan aktivitas dengan bantuan

penuh)

6 Tidak dapat dinilai (tidak dapat di tes karena alasan

medis atau alasan keselamatan)

Page 46: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

45

4. Gangguan Mobilisasi

Potter (2010) menyebutkan gangguan-gangguan mobilisasi, yaitu :

a. Tirah baring

Tirah baring merupakan suatu intervensi dimana klien dibatasi untuk

tetap berada di tempat tidur untuk tujuan terapeutik. Lamanya tirah

baring tergantung penyakit atau cedera dan status kesehatan klien

sebelumnya. Pengaruh penurunan kondisi otot dikaitkan dengan

penurunan aktivitas fisik akan terlihat jelas dalam beberapa hari. Pada

individu normal dengan kondisi tirah baring akan mengalami

kurangnya kekuatan otot dari tingkat dasarnya pada rata-rata 3 %

sehari. Tirah baring juga dikaitkan dengan perubahan pada

kardiovaskuler, skelet, dan organ lainnya. Istilah atrofi disuse

digunakan untuk menggambarkan pengurangan ukuran normal serat

otot secara patologis setelah inaktivitas yang lama akibat tirah baring,

trauma, pemakaian gips atau kerusakan saraf lokal.

b. Imobilisasi

Gangguan mobilisasi fisik ( imobilisasi ) didefinisikan oleh North

American Nursing Diagnosis Association ( NANDA ) sebagai suatu

keadaan ketika individu mengalami atau berisiko mengalami

keterbatasan gerak fisik. Perubahan dalam tingkat mobilisasi fisik

dapat mengakibatkan instruksi pembatasan gerak dalam bentuk tirah

baring, pembatasan gerak fisik selama penggunaan alat bantu

Page 47: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

46

eksternal ( misalkan gips atau traksi ), pembatasan gerakan volunter

atau kehilangan fungsi motorik.

5. Bahaya Imobilisasi

Potter (2010) mengungkapkan bahwa bahaya imobilisasi adalah sebagai

berikut :

a. Sistem Metabolik

Imobilisasi dapat mempengaruhi sistem metabolik, sehingga dapat

mengurangi kemampuan tubuh untuk mengganti jaringan yang rusak

dan membangun kembali cadangan protein yang berkurang. Demikian

klien imobilisasi memerlukan diet tinggi protein, tinggi kalori dengan

tambahan vitamin B dan C.

b. Sistem Pernafasan

Klien imobilisasi rentan terhadap gangguan sistem pernafasan,

diantaranya statis sekret pulmonal, tidak patennya jalan nafas, dan

pertukaran gas yang tidak adekuat. Pada klien imobilisasi, obstruksi

jalan nafas merupakan hasil penyumbatan mukosa. Klien imobilisasi

dan tirah baring umumnya mengalami kelemahan. Jika kelemahan

berlanjut maka reflek batuk bertahap akan menjadi tidak efektif. Sekret

yang ada harus dikeluarkan untuk mengurangi risiko pneumonia.

c. Sistem Kardiovaskuler

Efek tirah baring atau imobilisasi pada sistem kardiovaskuler meliputi

hipotensi ortostatik, peningkatan beban jantung, dan pembentukan

trombus. Sehingga klien harus berpindah posisi secara bertahap.

Page 48: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

47

Latihan rentang gerak harus dilakukan untuk mengurangi resiko

terjadinya komplikasi, selain mengurangi risiko kontraktur, tetapi juga

berefek mencegah pembentukan trombus. Latihan menyebabkan

kontraksi otot skelet, yang kebalikannya mendesak tekanan vena dan

mendukung aliran balik vena. Statis vena berkurang.

d. Sistem Muskuloskeletal

Klien imobilisasi harus mendapatkan beberapa latihan untuk mencegah

otot yang tidak digunakan secara berlebihan, atrofi, dan kontraktur

sendi. Jika klien tidak mampu menggerakkan sebagian atau seluruh

bagian tubuhnya maka perawat harus melakukan latihan rentang pasif

untuk semua sendi yang imobilisasi ketika memandikan klien dan

minimal dua atau tiga kali sehari. Latihan rentang gerak aktif

mempertahankan fungsi sistem muskuloskeletal.

e. Sistem Eliminasi

Klien imobilisasi dapat mengalami gangguan statis urine, distensi

kandung kemih, terbentuk batu dan infeksi.

f. Sistem Integumen

Risiko utama pada kulit akibat keterbatasan mobilisasi adalah

dekubitus.

g. Perubahan Psikososial

Pengkajian mengidentifikasi efek imobilisasi yang lama pada dimensi

psikososial klien. Orang yang cenderung depresi atau suasana hati

Page 49: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

48

yang tidak menentu berisiko tinggi mengalami efek psikososial selama

tirah baring atau imobilisasi.

6. Mobilisasi Paska Bedah

Smeltzer (2010) mengungkapkan bahwa mobilisasi dini pasca

bedah atau operasi dapat meningkatkan metabolisme dan pengisian

oksigen pada paru-paru, sehingga secara umum dapat meningkatkan

fungsi tubuh.

Pasien sering kali memiliki ketakutan bila tubuh digerakkan pada

posisi tertentu paska operasi akan mempengaruhi luka operasi, hal ini

tentu saja diakibatkan oleh kurangnya pengetahuan klien mengenai

mobilisasi dini. Padahal, justru hampir semua jenis operasi membutuhkan

mobilisasi atau pergerakan badan sedini mungkin. Dengan bergerak, masa

pemulihan untuk mencapai tingkat kondisi pra bedah dapat dipersingkat.

Dan tentu saja hal ini akan mengurangi waktu rawat rumah sakit,

menekan pembiayaan serta juga mengurangi stress psikis.

Mobilisasi dini akan mencegah kekakuan otot dan sendi sehingga

juga mengurangi nyeri, meningkatkan kelancaran peredaran darah,

memperbaiki pengaturan metabolisme tubuh, mengembalikan kerja

fisiologis organ-organ vital yang pada akhirnya justru akan mempercepat

penyembuhan luka. Menggerakkan badan atau melatih kembali otot-otot

dan sendi pasca operasi di sisi lain akan memperbugar pikiran dan

mengurangi dampak negatif dari beban psikologis yang tentu saja

berpengaruh baik juga terhadap pemulihan fisik. Pasien harus didukung

Page 50: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

49

untuk berani turun dari tempat tidur segera mungkin. Mobilisasi sudah

dapat dilakukan sejak pasien sadar penuh, setidaknya 12-18 jam setelah

pembedahan ( pada hari yang sama dengan operasi) dan bila hal ini dapat

dilakukan, pasien dapat dipersiapkan pulang dalam waktu 24- 32 jam.

Pelaksanaan mobilisasi dini terutama untuk mencegah komplikasi paru-

paru pada pasien lanjut usia.

D. KERANGKA KONSEP

Skema 2.1 Kerangka konsep

Variabel independent Variabel dependent

Latihan aktivitas fisik :

1. Mengganti posisi miring kiri dan miring kanan

2. Latihan kaki : memutar pergelangan kaki membentuk lingkaran penuh dengan posisi terlentang dan gerakan dorsofleksi

3. Latihan duduk 4. Latihan berdiri 5. Latihan jalan

Kemampuan untuk melakukan mobilisasi /

tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi

Page 51: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

50

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode dan Desain Penelitian

Metode penelitian merupakan suatu cara untuk memperoleh

kebenaran ilmu pengetahuan atau pemecahan suatu masalah, yang pada

dasarnya menggunakan metode ilmiah (Notoatmodjo, 2014). Sedangkan

desain penelitian merupakan suatu strategi penelitian dalam mengidentifikasi

suatu masalah sebelum perencanaan akhir pengumpulan data, serta dapat

dipergunakan oleh peneliti sebagai petunjuk dalam perencanaan dan

pelaksanaan penelitian untuk mencapai suatu tujuan atau untuk menjawab

pertanyaan penelitian (Nursalam, 2008).

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode atau rancangan

penelitian kuantitatif, yaitu dengan desain eksperimen semu (quasi

experiment design), dengan rancangan penelitian pre and post test without

control (Dharma, 2012). Metode penelitian eksperimen adalah adalah metode

penelitian percobaan (experiment research) dengan kegiatan percobaan

(experiment), yang bertujuan untuk mengetahui suatu gejala atau pengaruh

yang timbul, sebagai akibat dari adanya suatu perlakuan tertentu. Ciri khusus

dari penelitian eksperimen adalah dengan adanya percobaan atau trial.

Percobaan ini berupa perlakuan atau intervensi terhadap suatu variabel. Dari

perlakuan tersebut diharapkan terjadinya perubahan atau pengaruh terhadap

Page 52: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

51

variabel tersebut (Notoatmodjo, 2014). Quasi eksperiment design adalah

desain penelitian yang tidak mempunyai pembatasan yang ketat terhadap

randomnisasi, dan pada saat yang sama dapat mengontrol ancaman-ancaman

validitas. Disain penelitian quasi experiment merupakan penelitian yang

melakukan suatu intervensi pada sekelompok subyek dengan ataupun tanpa

kelompok pembanding. Rancangan penelitian pre and post test without

control, dimana intervensi dilakukan peneliti pada satu kelompok tanpa

pembanding yang efektifitas perlakuan dinilai dengan cara membandingkan

nilai pre test dan post test (Dharma, 2012). Alur penelitian ini adalah

(Budiman, 2011) :

Skema 3.1 Penelitian Pre eksperimental one group pre test-post test design

Penelitian ini meneliti pengaruh pemberian latihan aktivitas fisik terhadap

tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi.

Kelompok studi (pre test) Kelompok studi Kelompok studi

(post test)

Perlakuan Efek

Page 53: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

52

B. Variabel Penelitian

Variabel adalah ukuran atau ciri yang dimiliki oleh anggota-anggota

suatu kelompok yang berbeda dengan yang dimiliki oleh kelompok lain.

Variabel dapat juga diartikan sebagai konsep, ciri, sifat, atau ukuran yang

dimiliki atau didapatkan oleh satuan penelitian tentang suatu konsep

pengertian tertentu (Notoatmodjo, 2014). Penelitian ini memiliki dua

variabel, yaitu :

1. Variabel bebas (independent variable) adalah variabel risiko atau sebab

sehingga dapat juga diartikan variabel yang menjadi timbulnya variabel

tergantung. Pada penelitian ini yang menjadi variabel independent

adalah pemberian latihan aktivitas fisik pada pasien paska bedah

apendektomi.

2. Variabel tergantung (dependent variable) adalah variabel terpengaruh

atau terikat, atau dapat diartikan variabel efek atau akibat, variabel

tergantung dipengaruhi oleh variabel bebas . Dalam penelitian ini yang

menjadi variabel dependen adalah tingkat mobilisasi pada pasien paska

bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

C. Populasi, Sampel dan Tehnik Sampling

1. Populasi

Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas obyek/subyek yang

mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh

peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sugiyono,

Page 54: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

53

2012). Di Rumah Sakit Santo Borromeus dari bulan Juli hingga Desember

2014 rata-rata pasien yang dilakukan operasi apendektomi adalah 26

orang. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien yang dilakukan operasi

apendektomi hari pertama di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

2. Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh

populasi tersebut. Pada penelitian ini peneliti menggunakan sampel

karena keterbatasan waktu yang tersedia (Sugiyono, 2012). Dalam

penelitian keperawatan ini, kriteria sampel meliputi kriteria inklusi dan

kriteria eksklusi, dimana kriteria tersebut menentukan dapat dan tidaknya

sampel tersebut digunakan (Hidayat, 2007). Sampel yang diambil pada

penelitian ini yaitu 15 pasien paska bedah apendektomi hari pertama di

Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

3. Tehnik Sampling

Teknik sampling merupakan teknik pengambilan sampel. Penelitian ini

mengambil teknik sampling Nonprobability sampling dimana teknik

pengambilan sampel yang tidak memberi peluang atau kesempatan sama

bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel

(Sugiyono, 2012). Teknik sampel penelitian ini adalah sampling

purposive dimana menentukan pengambilan sampel dengan pertimbangan

tertentu. Pada penelitian ini pengambilan sampel secara purposive

dilakukan pada akhir bulan Juni – Juli tahun 2015.

Page 55: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

54

D. Kerangka Kerja Penelitian

Kerangka kerja penelitian adalah langkah-langkah yang akan dilakukan

dalam penelitian yang ditulis dalam bentuk kerangka atau alur penelitian

mulai dari desain hingga analisis data (Hidayat, 2007). Kerangka kerja pada

penelitian dapat dilihat pada skema 3.2

Page 56: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

55

Keterangan : : diteliti

: tidak diteliti

Skema 3.2 Kerangka kerja penelitian

Menentukan masalah atau fenomena

Studi pendahuluan

Pasien yang dirawat di RS Santo Borromeus

Kriteria Inklusi :

1. Pasien paska bedah apendektomi hari pertama

2. Pasien yang kesadaran compos mentis

3. TTV stabil 4. Tidak ada penyakit penyerta pada

sistem muskuloskeletal 5. Pasien dapat bekerja sama dan

bersedia diteliti

Kriteria Eksklusi :

1. Pasien yang tidak paska bedah apendektomi

2. Pasien yang tidak compos mentis 3. TTV tidak stabil 4. Ada penyakit penyerta pada

sistem muskuloskeletal 5. Pasien yang tidak dapat

bekerjasama dan tidak bersedia diteliti

Kelompok intervensi Latihan aktivitas fisik selama 20 menit dengan didampingi, yaitu latihan mengganti posisi,latihan

kaki,duduk, berdiri dan jalan

Melakukan observasi post latihan aktivitas setelah 24-32 jam paska bedah apendektomi, dengan menggunakan skala ILOA (post test)

Pengolahan data

Analisa data

Membuat laporan hasil penelitian

Melakukan observasi untuk mengetahui tingkat mobilisasi setelah 12-18 jam paska bedah

apendektomi dengan menggunakan skala ILOA

Page 57: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

56

E. Hipotesis Penelitian

Hipotesis penelitian adalah suatu pernyataan yang masih lemah dan

membutuhkan pembuktian untuk menegaskan apakah hipotesis tersebut dapat

diterima atau harus ditolak, berdasarkan fakta atau data empiris yang telah

dikumpulkan dalam penelitian. Hipotesis juga merupakan sebuah pernyataan

tentang hubungan yang diharapkan antara dua variabel atau lebih yang dapat

diuji secara empiris (Hidayat, 2007).

Hipotesis dalam penelitian ini adalah Ha diterima yang berarti ada

pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien paska

bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

F. Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti

untuk melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu

objek atau fenomena (Hidayat, 2007). Definisi operasional pada penelitian ini

dapat dilihat pada tabel 3.1

Page 58: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

57

N

o

Variabel Definisi

Operasional

Cara Ukur Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur

1 Variabel independen : latihan aktivitas fisik

Kegiatan penyuluhan dengan menjelaskan, mendemontrasi-kan dan mendampingi pasien mengenai pentingnya dan gerakan latihan aktivitas fisik mobilisasi dini kepada pasien yang telah menjalani operasi apendektomi hari 1 di RS Santo Borromeus Bandung

Memberikan check list pada lembar observasi

Lembar observasi (check list)

- -

2 Variabel dependen : tingkat mobilisasi paska operasi apendektomi

Upaya pasien dalam melakukan mobilisasi dini: gerakan kaki, duduk,berdiri dan jalan setelah operasi apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus

Melakukan observasi dengan memberikan tanda check list pada kolom yang telah disediakan

Lembar observasi dengan mengguna-kan skala ILOA

Tingkat mobilisasi : 0 : Mampu melakukan mobilisasi secara mandiri 1 : diawasi, mengguna-kan alat bantu 2 : mobilisasi dibantu minimal, memerlukan bantuan sebagian 3 : mobilisasi sedang, di kursi 4 : mobilisasi dibantu maksimal 5 :tidak berdaya 6 :tidak dapat dinilai (sumber : Kneale, 2011)

ordinal

Tabel 3.1 Definisi Operasional

Page 59: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

58

G. Metode dan Tehnik Pengumpulan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data adalah cara ilmiah untuk mendapatkan data

dengan tujuan dan kegunaan tertentu. Cara ilmiah berarti kegiatan

penelitian didasarkan pada ciri-ciri keilmuan yaitu rasional, empiris dan

sistematis (Sugiyono, 2012). Penelitian ini menggunakan metode

pengumpulan data dengan lembar observasi dengan skala ILOA (Iowa

Level of Assistance) dengan form checklist.

2. Teknik Pengumpulan Data

Langkah-langkah teknis pengumpulan data yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu :

a. Peneliti membuat surat ijin yang ditujukan kepada Rumah Sakit

Santo Borromeus Bandung

b. Setelah peneliti mendapatkan surat ijin, peneliti mencari responden

yang sesuai dengan kriteria inklusi secara pribadi di Rumah Sakit

Santo Borromeus Bandung. Langkah pertama adalah datang ke

ruangan rawat inap bedah yaitu Yosef 3 Dago, Yosef 3

Suryakencana, Yosef 5, Maria 4, Carolus 3, Carolus 5 dan

Vincensius, kemudian melihat daftar nama pasien dan papan

rencana operasi. Selain itu peneliti setiap harinya mendata adanya

rencana operasi dengan bekerjasama dengan perawat kamar operasi

untuk memberikan informasi bila ada rencana operasi apendektomi

Page 60: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

59

di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung. Peneliti mendata

waktu selesainya operasi dilakukan.

c. Setelah menetapkan pasien, peneliti datang ke kamar pasien lalu

mengenalkan diri dan menjelaskan maksud dan manfaat penelitian

kepada pasien secara pribadi.

d. Setelah pasien setuju untuk diteliti, peneliti memberikan lembar

persetujuan responden (informed consent ) dan telah ditandatangani

oleh pasien.

e. Peneliti melaksanakan pre test dengan cara mengobservasi tingkat

mobilisasi setelah 12 - 18 jam paska bedah dengan mengisi lembar

observasi dengan skala ILOA (Iowa Level of Assistance) dengan

form checklist.

f. Peneliti melakukan intervensi paska bedah yaitu latihan aktivitas

fisik didampingi secara pribadi selama 20 menit dengan melakukan

latihan :

1) Mengganti posisi : memasang pembatas tempat tidur, tidur

terlentang di bagian kanan tempat tidur, meletakkan tangan

kiri di atas luka operasi untuk menahan luka operasi tersebut,

pertahankan kaki kiri tetap lurus dan kaki kanan di tekuk

menyilang ke atas kaki kiri, memegang pembatas tidur bagian

kiri dengan menggunakan tangan kanan, tarik ke arah kiri,

miringkan tubuh ke arah kiri. Lakukan hal yang sama dengan

Page 61: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

60

mengganti posisi yang berlawanan untuk miring ke arah

kanan.

Gambar 3.1 posisi miring kanan

2) Latihan kaki dengan memutar pergelangan kaki : putarlah

kedua pergelangan kaki untuk membentuk lingkaran penuh,

gambarkan lingkaran dengan menggunakan jempol kaki.

Ulangi gerakan 5 kali.

Gambar 3.2 Memutar pergelangan kaki

Page 62: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

61

3) Meluruskan punggung kaki ke arah depan ( gerakan

dorsifleksion ). Lakukan bergantian masing-masing kaki,

ulangi gerakan 5 kali

Gambar 3.3 gerakan dorsifleksion

4) Menekuk punggung kaki ke arah dalam ( gerakan fleksi

plantar ) Lakukan bergantian masing-masing kaki, ulangi

gerakan 5 kali.

Gambar 3.4 gerakan fleksi plantar

Page 63: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

62

5) Latihan duduk

Gambar 3.5 Latihan duduk

6) Latihan berdiri

7) Latihan berjalan secara bertahap

8) Saat pemberian latihan aktivitas, peneliti juga mengajarkan

tehnik relaksasi tarik nafas panjang dan dalam agar pasien

merasa lebih nyaman.

g. Setelah 24 - 32 jam paska bedah peneliti melakukan post test

dengan mengobservasi tingkat mobilisasi pasien dengan mengisi

lembar observasi dengan skala ILOA (Iowa Level of Assistance)

dengan form checklist.

H. Instrumen Penelitian

Instrumen penelitian adalah alat yang digunakan untuk mengumpulkan data

oleh peneliti. Alat pengumpul data ini tergantung pada macam dan tujuan

penelitian serta data yang akan diambil atau dikumpulkan (Notoatmodjo,

2010 ).

Page 64: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

63

Penelitian ini menggunakan instrumen tingkat mobilisasi menurut Kneale

(2011) yaitu :

Tabel 3.2 Tabel tingkat mobilitas skala ILOA (Iowa Level of Assistance)

Skor Tingkat Mobilitas

0 Mobilisasi mandiri (mampu melakukan mobilisasi /

mampu merawat diri sendiri secara penuh tanpa

bantuan atau pengawasan)

1 Mobilisasi diawasi (diawasi secara dekat,

menggunakan alat bantu, sendiri, tidak perlu

dipegang)

2 Mobilisasi dibantu minimal (memerlukan bantuan

sebagian, memerlukan alat bantu untuk aktivitas)

3 Mobilisasi sedang / hanya di kursi, bila mobilisasi

memerlukan bantuan 1 atau 2 orang, pengawasan

orang lain dan peralatan

4 Mobilisasi dibantu maksimal (membutuhkan

support yang signifikan pada 3 atau lebih point

sentuhan dan membutuhkan satu atau lebih orang

dan untuk keselamatan saat beraktivitas)

5 Tidak berdaya (melakukan aktivitas dengan bantuan

penuh)

6 Tidak dapat dinilai (tidak dapat di tes karena alasan

medis atau alasan keselamatan)

Page 65: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

64

Instrumen pada penelitian ini merupakan instrumen yang sudah baku dan

telah teruji validitas dan reliabilitasnya dan sudah digunakan sebagai standar

pengukuran secara internasional untuk mengukur kemampuan melakukan

ambulasi atau tingkat bantuan yang diperlukan pasien, yaitu Iowa Level Of

Assistance Scale (ILOA Scale) dengan power penelitian 87% dan kesalahan tipe I

0.05. Instrumen dini juga telah dipergunakan pada penelitian yang dilakukan oleh

Eldawati yang berjudul Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Pre Operasi Terhadap

Kemampuan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah

pada tahun 2011.

I. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan suatu langkah yang harus ditempuh oleh

peneliti dalam melakukan penelitian guna mencari informasi dari jawaban

atas permasalahan yang sedang terjadi. Prosedur penelitian ini terbagi 3 yaitu:

1. Tahap Persiapan

a. Membuat judul penelitian

Peneliti membuat judul yang sesuai dengan masalah yang ada untuk

diteliti. Judul telah diajukan untuk menjadi judul penelitian pada

sidang proposal.

b. Membuat surat ijin penelitian

Setelah judul disetujui, kemudian membuat surat ijin dari STIKes

untuk melakukan penelitian di Rumah Sakit Santo Borromeus

Bandung.

Page 66: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

65

c. Memperoleh ijin penelitian di Rumah Sakit Santo Borromeus

Bandung.

d. Penyusunan proposal

Peneliti telah membuat proposal yang dibuat sesuai dengan

permasalahan yang ada dengan melihat referensi dan jurnal

penelitian.

e. Melakukan proses bimbingan atau konsultasi

Proses bimbingan telah dilakukan dengan mengajukan proposal ke

dosen pembimbing

f. Membuat instrumen penelitian

Untuk memudahkan pengambilan data maka peneliti telah membuat

lembar observasi tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi

dengan skala ILOA (Iowa Level of Assistance) dengan form

checklist.

g. Melakukan presentasi proposal

Proposal yang sudah disetujui telah dipresentasikan di depan dosen

penguji didampingi oleh dosen pembimbing.

h. Melakukan perbaikan lembaran observasi dan check list sesuai

masukan saat sidang proposal

2. Tahap Pelaksanaan

a. Menentukan responden sesuai dengan inklusi

b. Peneliti menjelaskan tujuan dan manfaat penelitian

c. Peneliti memberikan informed consent kepada responden

Page 67: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

66

d. Peneliti melakukan observasi tingkat mobilisasi dengan mengisi

lembar observasi dengan skala ILOA (Iowa Level of Assistance)

dengan form checklist pada pasien setelah 12-18 jam paska bedah

apendektomi

e. Peneliti memberikan latihan aktivitas fisik terhadap responden

f. Peneliti melakukan observasi tingkat mobilisasi setelah pelaksanaan

latihan aktivitas fisik dengan mengisi lembar observasi dengan skala

ILOA (Iowa Level of Assistance) dengan form checklist pada pasien

setelah 24-32 jam paska bedah apendektomi

g. Peneliti melakukan pengolahan data untuk mengidentifikasi tingkat

mobilisasi pasien paska bedah apendektomi

3. Tahap Penyelesaian

a. Peneliti mengevaluasi hasil pengolahan data yang telah dilakukan

untuk mengidentifikasi pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap

tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi di Rumah Sakit

Santo Borromeus Bandung

b. Peneliti menarik kesimpulan dari pengolahan data

c. Peneliti membuat laporan hasil penelitian

d. Peneliti menyajikan hasil pengolahan data

J. Metode Pengolahan Data

Pengolahan data penelitian dilakukan dengan menggunakan bantuan

perangkat lunak komputer. Metode pengolahan data penelitian ini terbagi

menjadi empat tahap, diantaranya : ( Riyanto, 2009 )

Page 68: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

67

1. Tahap Editing

Editing merupakan kegiatan untuk pengecekan lembar hasil observasi

terhadap responden. Dalam penelitian ini peneliti melakukan pengecekan

lembar observasi sebelum dan sesudah diberikan latihan aktivitas fisik

sudah terisi dengan lengkap dan jelas.

2. Tahap Coding

Pengkodean atau coding merupakan kegiatan mengubah data berbentuk

huruf menjadi data berbentuk angka/bilangan. Dalam penelitian ini

peneliti memberikan kode yaitu 0 untuk mobilisasi mandiri, mampu

melakukan mobilisasi / mampu merawat diri sendiri secara penuh, 1 :

Mobilisasi diawasi (menggunakan alat bantu, sendiri), 2 : Mobilisasi

dibantu minimal (memerlukan bantuan atau pengawasan orang lain), 3 :

Mobilisasi sedang ,hanya di kursi, bila mobilisasi memerlukan bantuan,

pengawasan orang lain dan peralatan, 4 : Mobilisasi dibantu maksimal

(sangat tergantung dan tidak dapat melakukan atau berpartisipasi dalam

perawatan), 5 : Tidak berdaya (melakukan aktivitas dengan bantuan

penuh) ,6: Tidak dapat dinilai (tidak dapat di tes karena alasan medis atau

alasan keselamatan)

3. Tahap Processing atau Entry Data

Setelah data selesai di koding, maka langkah selanjutnya peneliti

melakukan entry data, dilakukan dengan cara memasukkan data dari

lembar observasi yang telah dikumpulkan ke dalam komputer.

Page 69: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

68

4. Tahap Cleaning

Kemudian peneliti melakukan cleaning. Jika data sudah selesai

dimasukkan, data dicek kembali untuk melihat adanya kemungkinan

terjadi kesalahan dalam pengkodean dan ketidaklengkapan, kemudian

dilakukan koreksi.

K. Teknik Analisis Data

Analisis data adalah menginterpretasi data dengan maksud memperoleh

makna atau arti dari hasil penelitian tersebut. Analisa data memiliki tujuan

untuk memperoleh gambaran dari hasil penelitian yang telah dirumuskan

dalam tujuan penelitian, memberikan hipotesis-hipotesis penelitian yang

telah dirumuskan, serta memperoleh kesimpulan secara umum dari penelitian

yang merupakan kontribusi dalam pengembangan ilmu yang bersangkutan

(Notoatmodjo, 2014). . Tehnik analisa data dalam penelitian menggunakan

bantuan perangkat lunak berupa komputerisasi.

1. Analisa Univariat

Analisa univariat bertujuan untuk menjelaskan/mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian. Pada umumnya dalam analisis ini

hanya menghasilkan distribusi frekuensi dan presentase dari tiap variabel

(Notoatmodjo, 2010). Teknik analisa deskriptif univariat dalam penelitian

ini adalah distribusi frekuensi tingkat mobilisasi sebelum dan sesudah

dilakukannya latihan aktivitas fisik. Rumus yang digunakan peneliti untuk

Page 70: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

69

menentukan distribusi frekuensi menurut Arikunto,2006 adalah sebagai

berikut :

Presentasi

Keterangan :

P = jumlah persentase yang dicari

f = jumlah frekuensi untuk setiap kategori

n = jumlah responden/ populasi

Hasil perhitungan persentase tersebut dipresentasikan dengan

menggunakan data (Arikunto, 2006) yaitu :

100% : seluruhnya

90 – 99% : hampir seluruhnya

75 – 89% : sebagian besar

51 – 74% : lebih dari setengahnya

50% : setengahnya

25 – 49% : kurang dari setengahnya

6-24% : sebagian kecil

1-5% : hampir tidak ada

0% : tidak ada.

P = 𝑓𝑛

× 100 %

Page 71: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

70

2. Analisa Bivariat

Analisa data bivariat adalah analisa yang dilakukan terhadap dua variabel

yang diduga berhubungan atau berkorelasi untuk mengetahui hubungan

antar variabel (Notoatmodjo, 2010). Analisa bivariat digunakan untuk

melihat pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien

paska bedah apendektomi hari pertama. Peneliti melakukan perlakuan

berupa latihan aktivitas satu kali dan diperkirakan sudah mempunyai

pengaruh, kemudian hasilnya ditarik kesimpulan. Hipotesis penelitian ini

diuji mengunakan uji non parametrik Wilcoxon Signed Rank Test

dikarenakan data berdistribusi tidak normal dan jenis data kategorik

dengan kategorik. .

Pengolahan data berdasarkan tingkat kemaknaan 95 % atau α = 5 % atau

0,05 dengan menggunakan perangkat lunak komputerisasi. Interpretasi

hasil uji Wilcoxon yaitu dengan kriteria uji :

Jika P > α, dikatakan tidak bermakna maka Ho diterima artinya tidak ada

pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap tingkat mobilisasi pasien paska

bedah apendektomi

Jika P < α maka Ho ditolak artinya ada pengaruh latihan aktivitas fisik

terhadap tingkat mobilisasi pasien paska bedah apendektomi.

L. Etika Penelitian

Dalam melaksanakan penelitian khususnya jika yang menjadi subjek

penelitian adalah manusia, maka penelitian harus memahami hak dasar

manusia, maka peneliti harus memahami hak dasar manusia. Manusia

Page 72: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

71

memiliki kebebasan dalam menentukan dirinya, sehingga penelitian yang

dilaksanakan benar-benar menjunjung tinggi kebebasan manusia, oleh karena

itu penelitian ini mengacu pada Pedoman Nasional Etika penelitian Kesehatan

( KNEPK – Depkes RI, 2004 ), antara lain :

1. Menghormati martabat subjek penelitian

Penelitian yang dilakukan telah menjunjung tinggi martabat

seseorang (subyek penelitian). Peneliti telah mempertimbangkan hak –

hak subjek untuk mendapatkan informasi yang terbuka berkaitan dengan

jalannya penelitian serta memiliki kebebasan menentukan pilihan, bebas

dari paksaan untuk berpartisipasi dalam kegiatan penelitian (autonomy).

Pada penelitian ini, peneliti menyampaikan tujuan dari penelitian ini serta

memberikan formulir persetujuan subyek (informed consent) pada pasien

paska bedah apendektomi hari pertama di Rumah Sakit Santo Borromeus

untuk menjadi responden dan peneliti akan menjaga kerahasiaan identitas

responden dengan tidak mencantumkan nama responden. Setelah

responden menyetujui dan mengisi formulir persetujuan, maka penelitian

akan dilaksanakan.

2. Asas kemanfaatan

Penelitian yang dilakukan telah mempertimbangkan manfaat dan

resiko yang mungkin terjadi. Peneliti melaksanakan penelitian sesuai

dengan prosedur penelitian guna mendapatkan hasil yang bermanfaat

semaksimal mungkin bagi subyek penelitian dan dapat digeneralisasikan

Page 73: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

72

di tingkat populasi ( beneficence ). Peneliti telah meminimalisasi dampak

yang merugikan bagi subyek ( non maleficence).

Pada penelitian ini, peneliti melaksanakan penelitian sesuai dengan

prosedur penelitian agar dampak resiko yang merugikan seminimal

mungkin.

3. Berkeadilan

Setiap orang diberlakukan sama berdasarkan moral, martabat dan

hak asasi manusia. Prinsip keadilan memiliki konotasi keterbukaan dan

keadilan. Lingkungan penelitian dikondisikan agar memenuhi prinsip

keterbukaanya itu kejelasan prosedur penelitian. Prinsip keadilan

menekankan sejauh mana kebijakan penelitian membagikan keuntungan

dan beban secara martabat.

Pada penelitian ini, peneliti telah menjelaskan mengenai prosedur,

tempat, waktu kepada setiap responden.

M. Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian : Penelitian dilakukan pada akhir bulan Juni – Juli 2015

( jadwal terlampir ).

Tempat penelitian : Penelitian dilakukan di Rumah Sakit Santo Borromeus

Bandung terhadap pasien paska bedah apendektomi hari pertama di ruangan

Yosef 3 Dago, Yosef 3 Suryakencana, Yosef 5, Carolus 3, Carolus 5, Maria 4

dan Vinsensius.

N. Anggaran Penelitian

Terlampir

Page 74: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

73

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini peneliti menguraikan dan menganalisa data yang diperoleh

dari hasil penelitian dengan menentukan frekuensi dan presentasi kemudian

dianalisa untuk melihat adanya pengaruh antara dua variabel yaitu variabel

independen : latihan aktivitas fisik dan variabel dependen : tingkat mobilisasi

pasien paska operasi apendektomi. Selanjutnya akan diuraikan hasil penelitian

melalui analisa univariat dan bivariat.

A. Gambaran Umum Ruang Perawatan di Rumah Sakit Santo Borromeus

Rumah Sakit Santo Borromeus adalah salah satu rumah sakit swasta

tipe B yang ada di kota Bandung berdiri sejak tahun 1921 berawal dari

sebuah klinik kesehatan kecil yang di prakarsai oleh Suster- suster Cinta

Kasih Santo Carolus Borromeus. Saat ini Rumah Sakit Santo Borromeus

mempunyai 416 kapasitas tempat tidur, dengan kapasitas 28 tempat tidur

untuk pelayanan intensif yang terdiri dari (ICU, NICU-PICU, SU-IC), 70

kapasitas tempat tidur perawatan anak, 243 kapasitas tempat tidur perawatan

medical - surgical, 75 kapasitas tempat tidur perawatan kebidanan (kamar

bersalin dan perawatan bayi baru lahir).

Peneliti mengambil tempat penelitian di Ruangan Yosef 3, Ruangan

Yosef 5, Ruangan Vincensius, Ruangan Maria 4, Ruangan Carolus 3 dan 5

Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung, yang merupakan ruangan rawat

Page 75: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

74

inap dewasa. Rata-rata jumlah pasien paska bedah apendektomi dari bulan

Juli hingga Desember 2014 di Rumah Sakit Santo Borromeus adalah 26

pasien per bulannya.

Rumah Sakit Santo Borromeus memiliki SOP mengenai mobilisasi dini

atau latihan aktif paska bedah secara umum yang diterapkan para perawat

yang menggunakan metode keperawatan MPKP untuk melakukan asuhan

keperawatan bagi pasien. Latihan aktif ini merupakan tindakan keperawatan

yang diberikan kepada pasien yang sudah diperbolehkan mobilisasi duduk

atau berjalan dengan cara bertahap. Bila diperlukan dapat dibantu dengan

alat, sehingga pasien mampu melakukan aktivitas kembali.

SOP latihan aktif ini bertujuan untuk memperlancar peredaran darah

dan sebagai proses rehabilitasi pasien. Pada SOP latihan aktif ini perawat

akan membantu pasien untuk berbaring setengah duduk, duduk di tempat

tidur, berdiri, sampai dengan membantu pasien berjalan secara perlahan-lahan

sesuai dengan kemampuan pasien. Pelaksanaan SOP latihan aktif ini pada

praktek nya yang ditemukan peneliti, bahwa dari 5 pasien paska bedah

apendektomi hanya 2 yang melakukan mobilisasi dini. Dari 5 pasien tersebut,

mengatakan pelaksanaannya tanpa ada demontrasi latihan aktivitas fisik dari

perawat, akibatnya pasien menanyakan mobilisasi yang harus dilakukan

paska operasi diantaranya paska bedah apendektomi.

Page 76: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

75

B. Gambaran Karakteristik Responden

Dalam penelitian ini didapatkan sejumlah 15 orang responden yang

mengalami operasi apendektomi, memenuhi kriteria inklusi dan bersedia

melakukan latihan aktivitas fisik. Distribusi frekuensi responden berdasarkan

jenis kelamin dapat dilihat pada tabel 4.1.

Tabel 4.1

Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin (n=15)

Jenis kelamin Jumlah Persentase (%)

Laki-laki 10 66,7

Perempuan 5 33,3

Total 15 100,0

Berdasarkan tabel 4.1, didapatkan data bahwa lebih dari setengah responden

memiliki jenis kelamin laki-laki sebanyak 10 orang ( 66,7 % )

Page 77: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

76

Distribusi responden berdasarkan usia dapat dilihat pada tabel 4.2.

Tabel 4.2

Distribusi Responden Berdasarkan Usia (n=15)

Usia Jumlah Persentase (%)

11-20 tahun 1 6,7

20-40 tahun

40-65 tahun

10

4

66,7

26,6

Total 15 100,0

Sumber : Rosdahl,2015

Berdasarkan tabel 4.2, didapatkan data bahwa lebih dari setengah responden

memiliki usia 20-40 tahun sebanyak 10 orang ( 66,7 % )

Page 78: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

77

C. Analisa Univariat

Distribusi frekuensi tingkat mobilisasi responden sebelum diberikan latihan

aktivitas fisik dapat dilihat pada tabel 4.3

Tabel 4.3

Distribusi Frekuensi Tingkat Mobilisasi Responden

Sebelum Latihan Aktivitas Fisik Pada Pasien Paska Apendektomi

di RS Santo Borromeus (n=15)

Tingkat Mobilisasi Jumlah Persentase (% )

Dibantu minimal 1 6,7

Sedang 2 13,3

Dibantu maksimal 12 80

Total 15 100

Berdasarkan tabel 4.3, dapat dijelaskan bahwa tingkat mobilisasi pada pasien

paska bedah apendektomi sebelum diberikannya latihan aktivitas fisik yaitu

sebagian besar tingkat mobilisasi dibantu maksimal yaitu 12 orang ( 80% ).

Page 79: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

78

Distribusi frekuensi tingkat mobilisasi responden setelah latihan aktivitas

fisik dapat dilihat pada tabel 4.4

Tabel 4.4

Distribusi Frekuensi Tingkat Mobilisasi Responden

Setelah Latihan Aktivitas Fisik Pada Pasien Paska Apendektomi

di RS Santo Borromeus (n=15 )

Tingkat Mobilisasi Jumlah Persentase (%)

Mandiri 5 33,3

Diawasi 6 40

Dibantu minimal 3 20

Sedang 1 6,7

Total 15 100

Berdasarkan tabel 4.4, dapat dijelaskan bahwa tingkat mobilisasi pada pasien

paska bedah apendektomi setelah diberikan latihan aktivitas fisik yaitu

kurang dari setengahnya tingkat mobilisasi diawasi yaitu 6 orang (40%).

Page 80: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

79

D. Analisa Bivariat

Analisa bivariat dilakukan untuk melihat gambaran pengaruh terhadap tingkat

mobilisasi sebelum dan setelah diberikan latihan aktivitas fisik. Analisa

pengaruh terhadap tingkat mobilisasi sebelum dan setelah dilakukan latihan

aktivitas fisik, dapat dilihat pada tabel 4.5

Tabel 4.5

Analisa Pengaruh Terhadap Tingkat Mobilisasi Sebelum dan

Setelah Pemberian Latihan Aktivitas Fisik

Pada Pasien Paska Bedah Apendektomi di RS Santo Borromeus

Median (minimum-maksimum)

Rerata±s.b P Value ( n )

Pretest 4,00 ( 2 – 4 ) 3,73±0,594 0,001 15

Post test 1,00 ( 0 – 3 ) 1,00±0,926 15

Berdasarkan dari tabel 4.5, didapatkan bahwa jumlah responden 15 pasien,

skor pretest Rerata±s.b = 3,73±0,594 dengan median 4,00 dan nilai minimum

2, maksimum 4. Skor post test Rerata±s.b = 1,00±0,926 dengan median 1,00

dan nilai minimum 0, nilai maksimum 3.

P Value yaitu 0,001 < α = 0,05. Hal tersebut menunjukkan terdapat pengaruh

yang bermakna terhadap tingkat mobilisasi antara sebelum dan sesudah

pemberian latihan aktivitas fisik pada pasien paska bedah apendektomi di

Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung

Page 81: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

80

E. Pembahasan

Dalam pembahasan ini, peneliti menjabarkan tentang hasil penelitian secara

univariat dan bivariat mengenai pengaruh terhadap tingkat mobilisasi

sebelum dan setelah pemberian latihan aktivitas fisik pada pasien paska bedah

apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung.

1. Analisa Univariat

a. Tingkat Mobilisasi Sebelum Pemberian Latihan Aktivitas

Apendektomi merupakan pembedahan yang dilakukan untuk

membuang apendiks. Dalam pembedahan apendiksitis, dapat

dilakukan pendekatan laparaskopi (insersi endoskopi untuk melihat isi

abdomen) ataupun laparatomie (pembedahan terbuka abdomen)

(Lemone, 2010). Bila terjadi pembedahan, salah satu gangguan yang

dapat terjadi adalah gangguan mobilisasi.

Mobilisasi merupakan kebutuhan seseorang untuk melakukan

aktivitas yang dilakukan secara bebas dari satu tempat ke tempat yang

lain (Suratun, 2008). Mobilisasi merupakan kemampuan seorang

individu untuk bergerak bebas, mudah, teratur, dan mempunyai

tujuan memenuhi kebutuhan hidup sehat, serta penting untuk

kemandirian. Mobilisasi mengacu pada kemampuan seseorang untuk

bergerak dengan bebas, sedangkan ketidakmampuan seseorang untuk

bergerak dengan bebas dikenal dengan imobilisasi (Potter, 2010).

Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada tabel 4.3,

tingkat mobilisasi yang dapat dilakukan oleh pasien paska bedah

Page 82: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

81

apendektomi hari pertama sebelum pemberian latihan aktivitas

didapatkan sebagian besar yaitu 12 orang (80%) memiliki tingkat

mobilisasi dibantu maksimal. Tingkat mobilisasi dibantu maksimal

berarti mobilisasi memerlukan support yang signifikan pada 3 atau

lebih point sentuhan dan membutuhkan satu atau lebih orang dan

untuk keselamatan saat aktivitas. Pada tingkat mobilisasi dibantu

maksimal perawat membantu pasien dalam mobilisasi dengan

membimbing pasien menggerakkan ekstremitasnya baik atas maupun

bawah dan memegang bagian tubuh pasien seperti tangan dan bahu

secara bersamaan, serta memerlukan pengawasan oleh satu atau lebih

bila pasien melakukan mobilisasi.

b. Tingkat Mobilisasi Setelah Pemberian Latihan Aktivitas

Setelah dilakukan latihan aktivitas fisik sesuai dengan prosedur,

didapatkan hasil yang menunjukkan pengaruh terhadap tingkat

mobilisasi yang bermakna antara sebelum dan sesudah dilakukan

latihan aktivitas fisik. Berdasarkan tabel 4.4, dapat dijelaskan bahwa

tingkat mobilisasi pada pasien paska bedah apendektomi hari pertama

setelah diberikan latihan aktivitas fisik didapatkan kurang dari

setengahnya yaitu 6 orang (40%) tingkat mobilisasi hanya perlu

diawasi. Tingkat mobilisasi diawasi berarti mobilisasi diawasi secara

dekat, pasien dapat menggunakan alat bantu, tetapi tidak perlu

dipegang .

Page 83: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

82

Latihan aktivitas fisik merupakan terapi aktivitas untuk

memperbaiki deformitas atau mengembalikan seluruh tubuh ke status

kesehatan maksimal (Potter, 2010), sedangkan menurut Lemone

(2010) adalah latihan yang dilakukan untuk meningkatkan

kemampuan fisik klien yang sebelumnya terganggu ke kondisi

semula. Setelah diberikan latihan aktivitas fisik, tingkat mobilisasi

pada pasien paska bedah apendektomi menjadi lebih minimal.

2. Analisa Bivariat

Pengaruh Terhadap Tingkat Mobilisasi Sebelum dan Setelah

Pemberian Latihan Aktivitas Fisik Pada Pasien Paska Bedah

Apendektomi

Berdasarkan hasil penelitian yang dapat dilihat pada tabel 4.5,

didapatkan bahwa jumlah responden 15 pasien, skor pretest Rerata±s.b =

3,73±0,594 dengan median 4,00 dan nilai minimum 2, maksimum 4. Skor

post test Rerata±s.b = 1,00±0,926 dengan median 1,00 dan nilai minimum

0, nilai maksimum 3. P Value yaitu 0,001 < α = 0,05. Hal tersebut

menunjukkan terdapat pengaruh terhadap tingkat mobilisasi yang

bermakna antara sebelum dan sesudah pemberian latihan aktivitas fisik

pada pasien paska bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus

Bandung.

Pembedahan adalah sebuah proses invasif karena insisi dilakukan

pada tubuh atau ketika bagian tubuh diangkat. Pembedahan dilakukan

pada klien ketika terapi terbaik untuk gangguan yang dialaminya adalah

Page 84: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

83

berupa perbaikan, pengangkatan, atau penggantian jaringan atau organ

tubuh ( Rosdahl, 2015).

Apendektomi merupakan pembedahan yang dilakukan untuk

membuang apendiks. Dalam pembedahan apendiksitis, dapat dilakukan

pendekatan laparaskopi (insersi endoskopi untuk melihat isi abdomen ),

insersi ini membutuhkan insisi yang kecil ataupun laparatomie

(pembedahan terbuka abdomen ) (Lemone, 2010).

Apendektomi akan menimbulkan perlukaan, menurut Smeltzer,

2010, bila terjadi cedera jaringan, maka jaringan yang cedera itu akan

melepaskan berbagai zat yang menimbulkan perubahan sekunder yang

dramatis di sekeliling jaringan yang tidak cedera. Reaksi peradangan ini

memerlukan peningkatan kebutuhan atau perfusi oksigen, dan

menyebabkan nyeri. Hal inilah yang dapat menyebabkan tingkat

mobilisasi pasien paska bedah apendektomi menjadi lebih tergantung

Rustianawati, 2013, dalam jurnal penelitiannya yang berjudul

Efektivitas Ambulasi Dini terhadap Penurunan Intensitas Nyeri pada

Pasien Post Operasi Laparatomi juga menyatakan bahwa ambulasi dini

dapat membantu mengurangi nyeri dengan P value < 0,05. Hal ini

disebabkan peningkatan curah jantung yang didapat dari latihan aktivitas

juga akan mengakibatkan peningkatan perfusi oksigen. Dengan adanya

peningkatan perfusi oksigen akan dapat membantu mengurangi nyeri

karena metabolisme yang terjadi adalah metabolisme aerob.

Page 85: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

84

Perawat harus memberikan informasi yang tepat maupun

pendampingan terhadap pasien untuk mampu melakukan aktivitas secara

bertahap. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tutur, 2013,

dalam penelitiannya yang berjudul Studi Fenomenologi Pengalaman

Ambulasi Dini Pasien Post Operasi Apendektomi Perforasi, menyatakan

bahwa pasien yang memiliki pengetahuan yang positif tentang manfaat

ambulasi dini pada pasien paska bedah apendektomi akan dapat

melakukan ambulasi dini. Latihan ambulasi dini hari pertama

memberikan pengaruh terhadap latar belakang pasien untuk melakukan

ambulasi dini paska operasi apendektomi.

Morrison, 2005, mengatakan oksigen memegang peranan penting

di dalam pembentukan kolagen, kapiler-kapiler baru, dan perbaikan epitel,

serta pengendalian infeksi. Jumlah oksigen yang dikirimkan untuk sebuah

luka tergantung diantaranya tingkat perfusi jaringan. Dengan demikian

bila kebutuhan oksigen terpenuhi rasa nyeri dapat teratasi dan proses

penyembuhan luka menjadi lebih cepat. Hal inilah yang mendasari

peneliti untuk memberikan teknik relaksasi tarik nafas panjang dan dalam,

saat latihan aktivitas dilakukan sehingga proses ventilasi menjadi lebih

maksimal.

Haruyama, 2011, berpendapat bahwa dengan pernafasan panjang

dan dalam serta relaksasi maka akan memicu keluarnya hormon endorfin.

Hormon endorfin diproduksi oleh tubuh yaitu oleh kelenjar pitutary, yang

mampu menimbulkan perasaan senang dan nyaman hingga membuat

Page 86: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

85

seseorang lebih berenergi. Karena endorfin diproduksi oleh tubuh

manusia sendiri, maka endorfin dianggap sebagai zat penghilang rasa

sakit yang baik. Guyton, 2012, menyatakan bahwa hormon endorfin

merupakan salah satu sistem opium otak disamping enkefalin.

Pengaktifan sistem analgesia oleh sinyal-sinyal saraf yang memasuki area

periakuaduktal grisea dan periventrikular yang berdekatan, dapat

menekan hampir seluruh sinyal-sinyal nyeri yang masuk melewati saraf

perifer. Bila pasien paska bedah apendektomi merasa nyaman maka

tingkat mobilisasi akan menjadi lebih minimal dibantu.

Kebutuhan oksigen harus terpenuhi, bila tidak terpenuhi maka

metabolisme yang terjadi pada tubuh menjadi metabolisme anaerob.

Metabolisme anaerob ini akan menghasilkan asam laktat dan 2 ATP. Bila

hal ini terjadi maka akan menimbulkan tingkat mobilisasi menjadi lebih

tergantung dan aktivitas memerlukan bantuan penuh dari orang lain

(Guyton, 2012).

Selain oksigenasi, Guyton, 2012, berpendapat bahwa pasien

apendektomi diharuskan untuk mobilisasi sedini mungkin. Mobilisasi dini

dapat diawali dengan latihan aktivitas. Latihan aktivitas fisik adalah

latihan yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan fisik klien yang

sebelumnya terganggu ke kondisi semula (Lemone, 2010)

Latihan aktivitas fisik yang dilakukan pada penelitian ini yaitu

pelaksanaan mobilisasi yang diawali dengan latihan ektremitas atas dan

bawah, akan mempengaruhi sistem saraf tepi. Sistem saraf tepi atau

Page 87: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

86

perifer mengatur hubungan antara semua jaringan-jaringan dan organ-

organ lain dengan sistem saraf pusat ( Brunner, 2010).

Guyton, 2011, menyatakan salah satu efek dari latihan fisik adalah

perangsangan kuat sistem saraf simpatis di seluruh tubuh dengan akibat

efek perangsangan pada seluruh sirkulasi. Pada permulaan latihan fisik,

sinyal tidak hanya dijalarkan dari otak menuju otot untuk menimbulkan

kontraksi otot tetapi juga ke pusat vasomotor untuk memulai

perangsangan simpatis yang kuat ke seluruh tubuh, secara bersamaan,

sinyal parasimpatis ke jantung menjadi sangat lemah (Potter, 2010).

Terdapat tiga efek sirkulasi utama pada latihan fisik yaitu

peningkatan pompa jantung, peningkatan kontraksi arteriol di sirkulasi

perifer dan peningkatan kontraksi dinding otot vena yang akan sangat

meningkatkan tekanan pengisian sistemik rata-rata. Hal ini merupakan

salah satu faktor yang paling penting dalam meningkatkan aliran balik

darah vena ke jantung dan, karena itu, meningkatkan curah jantung

(Guyton, 2011).

Peningkatan curah jantung akan meningkatkan perfusi oksigen ke

jaringan. Metabolisme yang terjadi bila oksigen yang tersedia mencukupi

adalah metabolisme aerob. Metabolisme aerob dalam tubuh akan bekerja

baik yang dapat menghasilkan energi atau ATP untuk beraktivitas. Bila

energi maupun ATP memadai tingkat mobilisasi seseorang akan lebih

mandiri (Morrison, 2005).

Page 88: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

87

Latihan aktivitas fisik juga akan menyebabkan terbentuknya

kekuatan aktif yang menyebabkan filamen-filamen aktin bergeser ke

dalam di antara filamen-filamen miosin. Hal ini menyebabkan terjadinya

kontraksi dan pergerakan otot. Latihan aktivitas fisik memberikan

pengaruh pada suatu potensial aksi berjalan di sepanjang sebuah saraf

motorik sampai ke ujungnya pada serabut otot. Di setiap ujung, saraf

menyekresi substansi neurotransmitter, yaitu asetilkolin. Hal ini

memungkinkan sejumlah besar ion natrium untuk berdifusi ke bagian

dalam membran serabut otot. Peristiwa ini akan menimbulkan suatu

potensial aksi pada membran. Potensial aksi akan menimbulkan

depolarisasi membran otot, dan banyak aliran listrik potensial aksi

mengalir melalui pusat serabut otot. Di sini, potensial aksi menyebabkan

retikulum sarkoplasma melepaskan sejumlah besar ion kalsium. Ion

kalsium ini akan menimbulkan kekuatan menarik antara filamen aktin dan

miosin, yang menyababkan kedua filamen tersebut bergeser satu sama

lain, dan menghasilkan proses kontraksi. Dengan demikian semakin

banyak kita beraktivitas makan semakin besar pula proses kontraksi yang

dihasilkan sehingga tingkat mobilisasi menjadi lebih mandiri

(Guyton,2012)

Sewaktu terjadinya latihan aktivitas atau pergerakan otot, otot-otot

tersebut menekan pembuluh darah di seluruh tubuh. Akibatnya adalah,

terjadi pemindahan darah dari pembuluh perifer ke jantung dan paru, dan

dengan demikian, akan meningkatkan curah jantung. Keadaan ini

Page 89: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

88

merupakan efek yang penting dalam membantu meningkatkan curah

jantung kadang-kadang sebesar lima sampai tujuh kali lipat. Peningkatan

curah jantung ini akan menyebabkan oksigenasi ke seluruh tubuh menjadi

lebih maksimal (Smeltzer, 2010).

Peningkatan oksigenasi akibat latihan aktivitas paska bedah akan

mempengaruhi pemulihan pasien paska operasi yang berdampak langsung

pada hari rawat pasien atau LOS ( Length Of Stay ). Hal ini dikemukakan

oleh dengan penelitian Mackay, 2005, yang berjudul Randomised Clinical

Trial of Physiotherapy After Open Abdominal Surgery in High Risk

Patients, bahwa dengan latihan fisik hari rawat pasien akan semakin

berkurang. Hal ini dikarenakan latihan fisik membantu untuk mencegah

terjadinya komplikasi paska bedah seperti gangguan pernafasan dan dapat

meningkatkan mobilisasi serta pemenuhan kebutuhan secara mandiri.

Potter, 2011, juga mengatakan bahwa latihan aktivitas fisik dapat

meningkatkan laju metabolisme basal. Sehingga energi dan ATP dapat

dihasilkan dengan latihan aktivitas.Sirkulasi darah pada seluruh tubuh

akan lebih baik bila dilakukan mobilisasi dini terutama bagi sirkulasi

abdomen serta motilitas usus. Hal ini didukung oleh penelitian yang

dilakukan oleh Mendes,2013, yang berjudul Early Mobilization Influence

to Peristaltic’s Recovery Time Intestine On Pasca’s Patient Hads Out

Abdomen, dalam penelitiannya menyatakan bahwa mobilisasi dini

berpengaruh terhadap pemulihan peristaltik usus dengan P value < 0,05.

Hal inipun semakin didukung didukung oleh Celik, 2015, dalam jurnalnya

Page 90: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

89

yang berjudul Constipation Risk in Patients Undergoing Abdominal

Surgery. Dalam penelitian ini didapatkan data bahwa mobilisasi sangatlah

efektif dalam mencegah konstipasi paska bedah dengan P < 0,05.

Penelitian dari Journal of Clinical Nursing yang dilakukan oleh

Kalisch, 2013, yang berjudul Outcomes of Inpatient Mobilization : a

literature review mendapatkan bahwa latihan aktivitas pasien paska bedah

memiliki beberapa keuntungan diantaranya mengurangi kelemahan,

meningkatkan fungsi fisik, mengurangi pneumonia dan juga mengurangi

nyeri. Keuntungan lainnya yaitu menurunkan LOS ( Length Of Stay )

pasien, sehingga akan berdampak menurunkan biaya perawatan.

Page 91: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

90

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dari akhir bulan

Juni sampai dengan Juli 2015 terhadap 15 orang pasien paska bedah

apendektomi, didapatkan hasil simpulan sebagai berikut :

1. Tingkat mobilisasi yang dapat dilakukan oleh pasien paska bedah

apendektomi hari pertama sebelum pemberian latihan aktivitas

didapatkan sebagian besar yaitu 12 orang (80%) memiliki mobilisasi

dengan bantuan maksimal.

2. Tingkat mobilisasi pada pasien paska bedah apendektomi hari pertama

setelah diberikan latihan aktivitas fisik didapatkan kurang dari

setengahnya yaitu 6 orang (40%) tingkat mobilisasi diawasi.

3. Ada pengaruh terhadap tingkat mobilisasi yang bermakna antara

sebelum dan sesudah pemberian latihan aktivitas fisik pada pasien paska

bedah apendektomi di Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung dengan

P value yaitu 0,001 < α = 0,05.

Page 92: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

91

B. Saran

Adapun saran yang dapat diberikan peneliti yaitu :

1. Bagi Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung

a. Peneliti menyarankan kepada pihak terkait perawat ruangan di

Rumah Sakit Santo Borromeus Bandung untuk melakukan latihan

aktivitas fisik kepada semua pasien paska bedah terutama pasien

paska bedah apendektomi sesuai dengan kondisi pasien.

b. Latihan aktivitas fisik kepada pasien paska bedah harus disertai

dilakukannya evaluasi berkala oleh masing-masing perawat primer

agar pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan dan SOP yang berlaku

c. Latihan aktivitas yang dilakukan sebaiknya diawali dengan

pemberian informasi dengan dibagikan leaflet latihan aktivitas

paska bedah dan dilakukan dengan pendampingan perawat.

d. Rumah Sakit Santo Borromeus telah memiliki SOP untuk

mobilisasi dini dan latihan aktivitas, peneliti menyarankan untuk

dilakukan pembacaan kembali SOP ini secara berkala sebagai

sarana untuk pengingat bagi perawat untuk dapat

melaksanakannya.

e. Penyimpanan SOP mobilisasi dini dan latihan aktivitas ini

sebaiknya ditempatkan di tempat yang dapat terlihat dan terbaca

setiap hari oleh para perawat.

Page 93: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

92

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Peneliti menyarankan untuk peneliti selanjutnya menjadikan hasil

penelitian ini sebagai data penunjang dan acuan untuk melakukan

penelitian selanjutnya. Peneliti selanjutnya dapat melanjutkan penelitian

mengenai pengaruh latihan aktivitas fisik terhadap pengurangan

intensitas nyeri pada pasien paska bedah apendektomi.

Page 94: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Suharsimi. ( 2006 ). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik.

Jakarta : PT Rineka Cipta. Bastable, Susan B.( 2012). Perawat Sebagai Pendidik : Prinsip-Prinsip

Pengajaran Dan Pembelajaran. Jakarta : EGC Bland, Kirby.(2009). General Surgery : Principles and International Practice.

London : W.B. Saunders Budiman. ( 2011). Penelitian Kesehatan. Bandung : PT Refika Aditama. Burden, Nancy (2010). Ambulatory Surgical Nursing. Philadelphia : W.B.

Saunders Company Celik.(2015). Constipation Risk in Patients Undergoing Abdominal Surgery.

Diperoleh 23 Juli 2015 dari http://reseachgate.net Craven, Ruth. ( 2008 ). Fundamental of Nursing. Philadelphia : Lippincot

Williams & Wilkins. Dharma, Kelana K. ( 2011 ). Metodologi Penelitian Keperawatan. Jakarta : CV

Trans Info Media. Eldawati.(2011). Pengaruh Latihan Kekuatan Otot Pre Operasi Terhadap

Kemampuan Ambulasi Dini Pasien Pasca Operasi Fraktur Ekstremitas Bawah Di RSUP Fatmawati Jakarta. Diperoleh tanggal 10 Januari 2015 dari http://lib.ui.ac.id

Etik Penelitian Kesehatan dituliskan oleh KNEPK DEPKES, (2014,

http://www.jarlitbangkes.or.id/2014/wp-content/uploads/2014/05/ KE.pdf, diperoleh 8 Februari 2015)

Given, Barbara A. (2005). Gastroenterology in Clinical Nursing. St. Louis : The

C.V.Mosby Company Guyton, Arthur C.(2012). Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC Haruyama, Shigeo.(2011). The Miracle of Endorphin. Jakarta: Mizan Media

Utama Hidayat, A.Aziz Alimul.(2007). Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah.

Jakarta: Salemba Medika

Page 95: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

Ignatavicius, D., & Workman, M. L. (2010). Medical Surgical Nursing Patient-Centered Collaborative Care. Missouri : Elsevier.

Kalisch, Outcomes of Inpatient Mobilization : a literature review. Diperoleh

tanggal 28 Juli 2015 dari http://ncbi.nlm.nih.gov Kneale D, Julia. (2011). Keperawatan Ortopedik dan Trauma. Jakarta : EGC Lemone, P., & Karen, B. (2010). Medical Surgical Nursing : Critical Thinking in

Client Care. New Jersey : Pearson Education Prerice Hall. Lewis, Sharon.L. (2011). Medical Surgical Nursing : Assessment and

Management of Clinical. Missouri : Elsevier Machfoedz, Ircham. ( 2005 ). Metodologi Penelitian. Yogyakarta : Fitramaya Mackay.(2005). Randomised Clinical Trial of Physiotherapy After Open

Abdominal Surgery in High Risk Patients. Diperoleh tanggal 4 Agustus 2015 dari http://ncbi.nlm.nih.gov

Marlitasari.(2010). Gambaran Penatalaksanaan Mobilisasi Dini oleh Perawat

Pada Pasien Post Apendektomi di RS Muhammadiyah Gombong. Diperoleh tanggal 15 Februari 2015 dari http://stikesmuhgombong.ac.id

McCann, Judith A. Schiling.(2006). Handbook of Medical Surgical Nursing.

Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. Mendes(2013). Early Mobilization Influence to Peristaltic’s Recovery Time

Intestine On Pasca’s Patient Hads Out Abdomen. Diperoleh tanggal 27 Juli 2015 dari http://jurnal.untan.ac.id

Morison, Moya J. (2005). Manajemen Luka. Jakarta : EGC Nainggolan.(2013).Hubungan Mobilisasi Dini Dengan Lamanya Penyembuhan

Luka Paska Operasi Apendektomi. Diperoleh tanggal 10 Juni 2015 dari http://akperhkbp.ac.id

Notoadmodjo, Soekidjo. (2014). Ilmu Perilaku Kesehatan. Jakarta : PT Rineka

Cipta. ________________ .(2010). Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT Rineka Cipta Nursalam. (2008). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu

Keperawatan Pedoman Skripsi, Tesis dan Instrumen Penelitian Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Page 96: SKRIPSI_FULL_PENGARUH LATIHAN AKTIVITAS FISIK TERHADAP TINGKAT MOBILISASI PASIEN PASKA BEDAH APENDEKTOMI DI RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS BANDUNG_YULIANA_BAYU.pdf

Potter, Patricia A. (2010). Fundamental Keperawatan Edisi 7; volume II. Jakarta :

Salemba Medika Price, Sylvia A. (2005).Patofisiologi : Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.

Jakarta : EGC Rosdahl, Caroline Bunker.(2015). Buku Ajar Keperawatan Dasar. Jakarta : EGC Rustianawati.(2013). Efektivitas Ambulasi Dini terhadap Penurunan Intensitas

Nyeri pada Pasien Post Operasi Laparatomi. Diperoleh tanggal 10 Januari 2015 dari http://e-jurnal.com

Sharon L, Lewis, et al. (2011). Medical Surgical Nursing Assessment &

Management of Clinical Problems. St. Louis : Elsevier. Smeltzer, Suzanne C. (2010). Brunner & Suddarth’s Textbook of Medical

Surgical Nursing. Philadelphia : Lippincot Williams & Wilkins. Suratun.(2008). Klien Gangguan Sistem Gastrointestinal. Jakarta : EGC Sugiyono. (2012). Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung :

Penerbit Alfabeta. Tarmidzi.(2013). Analisis Praktik Klinik Keperawatan Kesehatan Masyarakat

Perkotaan Pada Pasien Post Laparatomie yang Diberikan Mobilisasi Dini. Diperoleh tanggal 18 Juni 2015 dari http://lib.ui.ac.id

Tutur.(2013). Studi Fenomenologi Pengalaman Ambulasi Dini Pasien Post

Operasi Apendiktomi Perforasi. Diperoleh tanggal 15 Februari 2015 dari http://thesis.umy.ac.id