Skripsi RAtna

85
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Terapi intravena adalah pemberian cairan atau obat ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu melalui pemasangan infus (Perry dan Potter, 2005). Terapi intravena melalui pemasangan infus digunakan untuk mengobati berbagai kondisi pasien di lingkungan perawatan Rumah Sakit. Sistem terapi ini memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dan dapat dilakukan secara kontinu. Menurut Joanne (1998) beberapa masalah bisa timbul pada pemberian terapi intravena melalui infus karena diberikan secara terus-menerus dan dalam jangka waktu yang lama antara lain dapat timbul kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu (misalnya phlebitis). Phlebitis merupakan inflamasi pada vena, yang ditandai dengan adanya daerah yang merah, 1

Transcript of Skripsi RAtna

Page 1: Skripsi RAtna

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Terapi intravena adalah pemberian cairan atau obat ke dalam pembuluh darah

vena dalam jumlah dan waktu tertentu melalui pemasangan infus (Perry dan Potter,

2005). Terapi intravena melalui pemasangan infus digunakan untuk mengobati

berbagai kondisi pasien di lingkungan perawatan Rumah Sakit. Sistem terapi ini

memungkinkan terapi berefek langsung, lebih cepat, lebih efektif, dan dapat

dilakukan secara kontinu. Menurut Joanne (1998) beberapa masalah bisa timbul

pada pemberian terapi intravena melalui infus karena diberikan secara terus-

menerus dan dalam jangka waktu yang lama antara lain dapat timbul kontaminasi

mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu (misalnya phlebitis).

Phlebitis merupakan inflamasi pada vena, yang ditandai dengan adanya daerah

yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah penusukan atau sepanjang vena

(Brunner dan Sudarth, 2002).

Di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan 80%-90% pasien

diberikan terapi intravena melalui infus. Masalah yang sering muncul dari

pemasangan infus di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan adalah

phlebitis. Idealnya pasien yang terpasang infus tidak mengalami phlebitis (Amina,

2010), sedangkan menurut Intravenous Nurses Sociaty (INS) angka standar

phlebitis yang direkomendasikan adalah 5% (Pujasari dan Sumarwati, 2002 dikutip

dari Hafifah, 2010). Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil studi pendahuluan

yang telah dilakukan penulis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan

1

Page 2: Skripsi RAtna

pada bulan Januari sampai dengan bulan Maret 2011 terdapat 39% kejadian

phlebitis, dalam hal ini ruangan tidak melakukan aseptik dressing. Sedangkan

selama tahun 2010 terdapat 13% kejadian phlebitis, dalam hal ini dilakukan aseptik

dressing tiap 48 jam sekali.

Menurut Perry dan Potter (2005) banyak faktor telah dianggap terlibat dalam

kejadian phlebitis, antara lain: faktor internal (usia, status nutrisi, stress, keadaan

vena, kondisi penyakit pasien seperti DM) dan faktor eksternal (faktor mekanis,

faktor kimia, faktor bakterial). Pada faktor bakterial yang berkontribusi terhadap

adanya phlebitis salah satunya adalah aseptik dressing/perawatan infus yang tidak

baik (Darmawan, 2008 dikutip dari Ghorbani, 2007). Aseptik dressing/perawatan

infus adalah perawatan pada tempat pemasangan infus terhadap pasien yang

terpasang infus. Aseptik dressing yang pernah dilakukan di ruang rawat inap anak

RSUD Syamrabu Bangkalan adalah tiap 48 jam sekali. Menurut Terry (1995) yang

berkontribusi terhadap adanya phlebitis adalah frekuensi penggantian balutan yang

jarang dilakukan yang dapat mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi

pemasangan sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis.

Kejadian phlebitis akibat pemasangan infus dapat menimbulkan kerugian

bagi banyak pihak terutama pasien itu sendiri (dalam hal ini adalah pasien anak).

Apalagi jika harus dipasang infus lagi dapat menimbulkan antara lain lama hari

perawatan bertambah panjang. Menurut Nursalam (2005) hospitalisasi yang lama

akan berdampak pada psikologis anak yang berakibat terjadinya distress

hospitalisasi (gangguan adaptasi), dengan adanya distress hospitalisasi bisa

menurunkan sistem imun, yang berakibat memperlambat proses penyembuhan.

Selain hari perawatan bertambah panjang penderitaan pun bertambah, rasa takut

2

Page 3: Skripsi RAtna

akan cedera tubuh dan nyeri saat pemasangan infus sering terjadi diantara anak-

anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang

mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan cenderung

menghindari perawatan medis (Wong, 2009 dikutip dari Pate dkk, 1996).

Dari beberapa teori diatas, terjadinya infeksi disebabkan adanya peranan host,

agent, environment, sehingga prinsip pencegahannya adalah memutuskan mata

rantai interaksi ketiga elemen tersebut. Salah satu pemutusan rantai elemen tersebut

dengan mengontrol interaksi yaitu dengan melakukan semua prosedur kerja dengan

baik dan benar yang meliputi Standar Operasional System (SOP) perawatan,

tindakan serta penggunaan alat yang baik (Suryaningsih, 2007 dikutip dari

Hasbullah, 1993). Pendeteksian dan penilain phlebitis bisa dilakukan dengan cara

melakukan aseptik dressing. Menurut Lee KE (2000) aseptik dressing dilakukan

tiap 24 jam sekali guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis

akibat infeksi kuman, sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara

dini. Mengingat semakin jarang aseptik dressing dilakukan maka gejala awal

phlebitis pun tidak dapat diobservasi lebih dini (Terry, 1995) .

3

Page 4: Skripsi RAtna

1.2 Identifikasi Masalah

Banyak faktor yang mempengaruhi terjadinya phlebitis, diantaranya adalah :

1.2.1 Faktor Internal

a. Usia

Pertahanan terhadap infeksi dapat berubah sesuai usia. Pada pasien anak

vena yang kecil dan keadaan yang banyak bergerak dapat mengakibatkan

kateter bergeser dan hal ini yang bisa menyebabkan phlebitis (Perry dan

Potter, 2005).

b. Status nutrisi

Pada pasien dengan gizi buruk mempunyai vena yang tipis sehingga mudah

rapuh, selain itu pada gizi buruk daya tahan tubuhnya kurang sehingga jika

terjadi luka mudah terkena infeksi (Perry dan Potter, 2005).

4

Faktor Internal :

- Usia - Stress

- Status nutrisi - Keadaan vena

- Faktor penyakit

Faktor eksternal :

- obat/cairan

- lokasi, lama pemasangan

- aseptik dressing

Tingginya angka

kejadian phlebitis

Page 5: Skripsi RAtna

c. Stress

Tubuh berespon terhadap stress dan emosi atau fisik melalui adaptasi imun.

Rasa takut akan cedera tubuh dan nyeri sering terjadi diantara anak-anak,

konsekuensi rasa takut ini dapat sangat mendalam dimana anak-anak yang

mengalami lebih banyak rasa takut dan nyeri karena pengobatan akan

merasa lebih takut terhadap nyeri dan cenderung menghindari perawatan

medis, dengan menghindari pelaksanaan pemasangan infus/berontak saat

dipasang bisa mengakibatkan phlebitis karena pemasangan yang berulang

dan respon imun yang menurun (Wong, 2009 dikutip dari Pate dkk, 1996).

d. Keadaan vena

Vena yang sering terpasang infus mudah mengalami phlebitis (Perry dan

Potter, 2005).

e. Faktor penyakit

Penyakit yang diderita pasien dapat mempengaruhi terjadinya phlebitis,

misalnya pada pasien Diabetes Militus (DM) yang mengalami aterosklerosis

akan mengakibatkan aliran darah ke perifer berkurang sehingga jika terdapat

luka mudah mengalami infeksi (Darmawan, 2008).

1.2.2 Faktor Eksternal

a. Obat atau cairan (faktor kimiawi)

Osmolaritas dan pH cairan infus yang tinggi selalu diikuti resiko phlebitis.

Mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut sempurna selama

pencampuran juga merupakan faktor kontribusi terhadap phlebitis (Terry,

1995).

5

Page 6: Skripsi RAtna

b. Lokasi dan lama pemasangan (faktor mekanis)

Phlebitis mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Pada penempatan

kateter yang baik yang perlu diperhatikan: bahan (resiko tertinggi untuk

phlebitis dimiliki kateter dengan bahan yang terbuat dari polivinil klorida),

ukuran kateter (ukuran kateter harus dipilih sesuai dengan ukuran vena dan

difiksasi dengan baik), lokasi pemasangan (dalam pemasangan diperlukan

skill yang memadai dan pemilihan lokasi perlu diperhatikan dimana kateter

yang dipasang pada daerah lekukan sering mengakibatkan phlebitis bila

pasien banyak gerak), dan lama pemasangan (Terry, 1995). The Centers for

Disease Control and Intravenous Nurses Society menganjurkan penggantian

kateter secara rutin tiap 72-96 jam untuk membatasi potensi terjadinya

phlebitis.

c. Aseptik dressing (faktor bakterial)

Faktor yang berkontribusi terhadap adanya phlebitis bakterial salah satunya

adalah tehnik aseptik dressing yang tidak baik. Pendeteksian dan penilain

phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing. Menurut

Lee KE (2000) perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna

melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi

kuman, sehingga kejadian phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini.

Daerah insersi pada pemasangan infus merupakan jalan masuk kuman yang

potensial ke dalam tubuh, dengan perawatan infus tiap 24 jam dapat

memutus perkembangbiakan daripada kuman (Zahra, 2010). Menurut

Joanne (1998) phlebitis bisa disebabkan karena timbulnya kontaminasi

mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam periode tertentu. Penggantian

6

Page 7: Skripsi RAtna

balutan yang jarang dan tidak teratur dilakukan mengakibatkan kurangnya

observasi pada lokasi pemasangan dan pemutusan perkembangbiakan

kuman terjadi lebih lama sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari

phlebitis (Terry, 1995).

1.3 Batasan Masalah

Berdasarkan beberapa teori diatas peneliti membatasi masalah pada pasien yang

terpasang infus yang dilakukan aseptik dressing tiap 24 jam sekali dengan yang

dilakukan aseptik dressing tiap 48 jam sekali.

1.4 Rumusan Masalah

Apakah ada perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24

jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap

anak RSUD Syamrabu Bangkalan ?

1.5 Tujuan Penelitian

1.5.1 Tujuan Umum

Untuk menganalisa perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang

dilakukan tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian

phlebitis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan.

1.5.2 Tujuan Khusus

1.5.2.1 Untuk mengidentifikasi efektifitas aseptik dressing tiap 24 jam sekali terhadap

kejadian phlebitis.

7

Page 8: Skripsi RAtna

1.5.2.2 Untuk mengidentifikasi efektifitas aseptik dressing tiap 48 jam sekali terhadap

kejadian phlebitis.

1.5.2.3 Untuk menganalisa perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan

tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis.

1.6 Manfaat Penelitian

1.6.1 Bagi Responden

Dapat membantu pasien untuk mengurangi distress hospitalisasi terutama akibat

pemasangan infus, dan membantu pasien dalam menghadapi rasa takut terhadap

nyeri pemasangan infus yang berulang. Sehingga dengan adaptasi hospitalisasi

yang baik dapat mempercepat penyembuhan

1.6.2 Bagi Rumah Sakit

Sebagai bahan pertimbangan bagi institusi rumah sakit dalam meningkatkan

mutu pelayanan, khususnya dalam menurunkan angka kejadian phlebitis dan

dalam pembuatan SOP (Standar Operasional System) aseptik dressing

(perawatan infus) di Rumah Sakit.

1.6.3 Bagi Tenaga Kesehatan

Sebagai bahan pertimbangan dan tambahan informasi dalam pengelolaan

pencegahan phlebitis bagi profesi keperawatan.

1.6.4 Bagi Institusi Pendidikan

Untuk memberikan gambaran serta informasi bagi peneliti berikutnya yang

berkaitan dengan perawatan pada pasien yang terpasang infus dalam

menurunkan kejadian phlebitis agar lebih bisa dikembangkan dengan variabel

yang lebih luas.

8

Page 9: Skripsi RAtna

1.6.5 Bagi peneliti

Bagi peneliti agar dapat mengaplikasikan teori dan konsep dalam sebuah

penelitian dan dapat meningkatkan dalam pemberian asuhan keperawatan.

9

Page 10: Skripsi RAtna

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Dasar Teori

2.1.1 Prosedur Pemasangan Infus Pada Anak

Menurut Perry dan Potter (2005) terapi intravena adalah pemberian cairan

atau obat ke dalam pembuluh darah vena dalam jumlah dan waktu tertentu melalui

pemasangan infus. Dalam pemasangan infus diperlukan suatu prosedur

pemasangan infus, yaitu suatu tata cara pemasangan jalur pemberian cairan infus

dan obat melalui pembuluh vena perifer menggunakan infus set. Penetapan

prosedur ini bertujuan untuk mendapatkan jalur pemberian cairan dan obat yang

aman, aseptik, dan benar.

Adapun prosedur pemasangan infus pada bayi dan anak di RSUD Syamrabu

Bangkalan adalah :

a. Persiapan peralatan

1) Standart infus

2) Kateter intravena yang sesuai (sesuaikan dengan besar kecilnya vena tempat

insersi)

3) Infus set (pada bayi dan anak kecil memerlukan selang mikrodrip, yang

memberikan 60 tetes permenit) terbungkus steril.

4) Cairan dan obat sesuai perintah dokter.

5) Kapas alkohol 70%

6) Torniquet

7) Sarung tangan sekali pakai

10

Page 11: Skripsi RAtna

8) Plester yang sudah dipotong dan siap digunakan

9) Betadine dan kasa steril ukuran 2x2 cm

10) Verban dan gunting

11) Papan tangan (spalk)

12) Pakaian khusus dengan kancing dibagian bahu (mempermudah pelepasan

selang IV) jika tersedia

b. Persiapan pasien

1) Mengidentifikasi pasien

2) Beritahukan kepada keluarga pasien dan pasien tindakan yang akan

dilakukan, tenangkan pasien

3) Motivasi kepada keluarga untuk memakaikan pakaian berkancing di bahu jika

ada

c. Persiapan lingkungan

1) Atur pencahayaan dengan baik

2) Atur peralatan di tempat tidur atau meja tindakan, dekatkan dengan pasien

d. Pelaksanaan pemasangan infus

1) Cuci tangan

2) Buka kemasan steril dengan menggunakan teknik aseptik

3) Periksa cairan IV yang akan digunakan (5 benar, periksa warna dan tanggal

kadaluarsa)

4) Pilih tempat distal vena yang digunakan, jika banyak rambut pada tempat

insersi guntinglah

11

Page 12: Skripsi RAtna

5) Jika mungkin letakkan ekstrimitas pada posisi dependen. Letakkan tourniquet

10-12 cm di atas tempat insersi, tourniquet harus menyumbat aliran vena

bukan arteri

6) Kenakan sarung tangan sekali pakai

7) Pilih vena yang terdilatasi baik. Metode untuk membantu mendilatasi vena

meliputi: menggosok ekstrimitas dari distal ke proksimal di bawah tempat

vena yang dimaksud, menggenggam dan melepaskan genggaman, menepuk

perlahan di atas vena, memasang kompres hangat pada ekstrimitas misalnya

dengan waslap hangat

8) Bersihkan insersi dengan gerakan sirkuler menggunakan larutan betadine,

hindari menyentuh tempat yang telah dibersihkan, biarkan tempat tersebut

mengering sampai 30 detik. Jika pasien alergi betadine gunakan kapas

alkohol 70% selama 60 detik

9) Menusukkan jarum kateter intravena pada vena yang telah ditentukan.

Tusukkan jarum sedistal mungkin dari pembuluh vena dengan lubang jarum

menghadap ke atas, sudut tusukan 30° - 40°arah jarum sejajar arah vena, lalu

dorong

10) Bila jarum masuk ke dalam pembuluh vena, darah akan tampak masuk ke

dalam bagian reservor jarum, hentikan dorongan

11) Pisahkan bagian jarum dari bagian kateter dengan memutar bagian jarum

sedikit. Lanjutkan mendorong kateter ke dalam vena secara perlahan sambil

diputar sampai seluruh kateter masuk

12) Cabut bagian jarum seluruhnya perhatikan apakah darah keluar dari kateter,

lepaskan tourniquet, tahan bagian kateter dengan ibu jari kiri

12

Page 13: Skripsi RAtna

13) Hubungkan kateter dengan infus set yang sudah disediakan. Observasi

tetesan, bila lancar berikan betadine pada daerah insersi, lakukan fiksasi

dengan plester dan diperkuat dengan spalk

14) Atur tetesan sesuai indikasi, obsevasi reaksi pasien

15) Rapikan pasien dan peralatan, cuci tangan

16) Lakukan proses pendokumentasian

Dalam fikasasi kateter saat pemasangan infus ada beberapa metode (Zahra,

2010) yaitu :

a. Metode Chevron: potong plester ukuran 1,25 cm letakkan di bawah hubungan

kateter dengan bagian yang berperekat menghadap ke atas. Silangkan kedua

ujung plester melalui hubungan kateter dan rekatkan pada kulit pasien.

Rekatkan plester ukuran 2,5 cm melintang diatas sayap kateter dan selang

infus untuk memperkuat, kemudian berikan label.

b. Metode U: potong plester ukuran 1,25 cm dan letakkan bagian yang

berperekat di bawah hubungan kateter. Lipat setiap sisi plester melalui sayap

kateter, tekan ke bawah sehingga paralel dengan hubungan kateter. Lekatkan

plester lain diatas kateter untuk memperkuat. Pastikan kateter terekat

sempurna dan berikan label.

c. Metode H: potong plester ukuran 2,5 cm tiga buah, Rekatkan plester pada

sayap kateter, Berikan label.

Setelah dilakukan pemasangan infus observasi keperawatan diperlukan

untuk mempertahankan kecepatan tetesan infus dan melakukan observasi terhadap

adanya komplikasi atau masalah yang timbul akibat pemasangan infus (Joanne,

13

Page 14: Skripsi RAtna

1998). Menurut Perry dan Potter (2005) peran perawat dalam terapi intravena

adalah:

a. Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas, misalnya

phlebitis

b. Memastikan tidak ada kesalahan maupun kontaminasi cairan infus maupun

kemasannya

c. Memastikan cairan infus diberikan secara benar (pasien, jenis cairan, dosis,

cara pemberian dan waktu pemberian)

d. Memeriksa apakah jalur intravena tetap paten

e. Mengatur kecepatan tetesan sesuai dengan instruksi

f. Monitor kondisi pasien dan melaporkan setiap perubahan

2.1.2 Prosedur Aseptik Dressing (Perawatan Infus)

Observasi dan evaluasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan

abnormalitas adalah tugas dependen perawat untuk mengatasi beberapa masalah

selama pemberian terapi intravena. Salah satu masalah yang muncul dalam

pemberian terapi adalah phlebitis (Joanne, 1998). Untuk mengatasi phlebitis

observasi yang dilakukan perawat adalah menilai dan mendeteksi adanya

phlebitis, dengan cara aseptik dressing. Selain itu aseptik dressing bertujuan juga

untuk mencegah terjadinya infeksi dari kuman yang dapat menyebabkan phlebitis

bakterial (Zahra, 2010).

Aseptik dressing/perawatan infus adalah perawatan pada tempat

pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus. Menurut Lee KE (2000)

perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna melakukan pendeteksian dan

penilaian adanya phlebitis sehingga kejadian phlebitis akibat infeksi kuman dapat

14

Page 15: Skripsi RAtna

dicegah dan diatasi secara dini. Daerah insersi pada pemasangan infus merupakan

jalan masuk kuman yang potensial ke dalam tubuh, dengan perawatan infus tiap

24 jam dapat memutus perkembangbiakan daripada kuman (Darmawan, 2008

dikutip dari Ghorbani, 2007). Menurut Joanne (1998) phlebitis bisa disebabkan

karena timbulnya kontaminasi mikroba melalui titik akses ke sirkulasi dalam

periode tertentu.

Pada aseptik dressing yang dilakukan tiap 48 jam sekali rentang waktu

terhadap pemutusan perkembangbiakan kuman dilakukan lebih lama daripada

aseptik dressing tiap 24 jam sekali. Selain itu pendeteksian dan penilaian terhadap

terjadinya phlebitis lebih lambat. Menurut Terry (1995) jika penggantian balutan

jarang dilakukan mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan

infus sehingga kurang perhatian pada gejala awal dari phlebitis, selain jarangnya

penggantian balutan yang dapat mengakibatkan phlebitis bakterial adalah

ketidakteraturan penggantian balutan. Phlebitis dapat disebabkan karena

perawatan kateter pada daerah insersi yang tidak dilakukan dengan baik (Amina,

2010 dikutip dari Hanindito, 1999). Cara aseptik dressing/perawatan infus (Zahra,

2010) adalah:

a. Persiapan alat

1) Pinset anatomis 2 buah

2) Kasa steril dan lidi kapas

3) Sarung tangan steril

4) Plester/hypafik dan gunting

5) Alkohol 70% dalam tempatnya

6) Betadine atau iodin povidon solution 10% atau sejenisnya

15

Page 16: Skripsi RAtna

7) NaCl 0,9%

8) Bengkok 2 buah, satu berisi cairan desinfektan

9) Spalk dan verban

10) Penunjuk waktu

b. Persiapan pasien

1) Beritahukan kepada keluarga pasien dan pasien tindakan yang akan dilakukan

2) Menjelaskan tujuan dan prosedur yang akan dilakukan

c. Persiapan lingkungan

1) Menempatkan peralatan di dekat pasien dengan benar

2) Atur pencahayaan

d. Pelaksanaan

1) Lakukan verifikasi data sebelumnya

2) Mengatur posisi pasien (tempat tusukan terlihat dengan jelas, pastikan dekat

dengan perawat)

3) Mencuci tangan

4) Pakai sarung tangan

5) Buka balutan verban, buka plester memakai pinset dengan cara membasahi

plester dengan alkohol

6) Bersihkan daerah bekas plester

7) Bersihklan daerah insersi dengan NaCl 0,9%

8) Olesi tempat insersi dengan betadine atau sejenisnya

9) Tutup dengan kasa steril dengan rapi

10) Pasang plester dan penutup (diperkuat dengan spalk)

11) Atur kembali tetesan infus sesuai program

16

Page 17: Skripsi RAtna

12) Bersihkan peralatan, cuci tangan

13) Dokumentasikan tindakan

Pada evaluasi terhadap pemasangan infus The Centers for Disease Control

and Intravenous Nurses Society menganjurkan penggantian kateter secara rutin

tiap 72-96 jam untuk membatasi potensi terjadinya phlebitis.

2.1.3 Konsep Phlebitis

2.1.3.1 Pengertian Phlebitis

Menurut Cristine Brooker (2001) phlebitis adalah inflamasi pada vena.

Sedangkan menurut Hafifah (2010) dikutip dari Hankins (2001) phlebitis adalah

suatu peradangan atau inflamasi pada pembuluh darah vena yang disebabkan

oleh iritasi kimia maupun mekanik, yang mengakibatkan kerusakan pada

endotelium dinding-dinding pembuluh darah khususnya vena. Menurut Brunner

dan Sudarth (2002) phlebitis merupakan inflamasi pada vena, yang ditandai

dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan di daerah

penusukan atau sepanjang vena.

2.1.3.2 Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Phlebitis

Banyak faktor telah dianggap terlibat dalam terjadinya phlebitis.

Menurut Perry dan Potter (2005) faktor tersebut terdiri dari faktor internal (usia,

status nutrisi, stress, keadaan vena, kondisi penyakit pasien seperti DM) dan

faktor eksternal. Faktor eksternal terdiri dari:

a. Faktor Kimia: menurut Terry (1995) terdiri dari pH dan osmolaritas cairan

infus yang ekstrem, mikropartikel yang terbentuk bila partikel obat tidak larut

sempurna selama pencampuran, bahan kateter, kecepatan pemberian infus

17

Page 18: Skripsi RAtna

dan obat (kecepatan yang tidak cepat kurang menyebabkan iritasi daripada

pemberian cepat).

b. Faktor mekanis: faktor mekanis dikaitkan dengan penempatan kateter. Kateter

yang dimasukkan pada daerah lekukan sering menghasilkan phlebitis

mekanis, dalam hal ini ukuran kateter disesuaikan dengan ukuran vena dan

difiksasi dengan baik (Terry, 1995).

c. Faktor bakterial: salah satu yang berkontribusi dalam faktor bakterial adalah

tehnik aseptik dressing yang tidak baik (Terry, 1995). Pendeteksian dan

penilain phlebitis bisa dilakukan dengan cara melakukan aseptik dressing.

Menurut Lee KE (2000) perawatan infus dilakukan tiap 24 jam sekali guna

melakukan pencegahan adanya phlebitis dengan cara melakukan pendeteksian

dan penilaian adanya phlebitis akibat infeksi bakteri, sehingga kejadian

phlebitis dapat dicegah dan diatasi secara dini. Sedangkan menurut Perry dan

Potter (2005) infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat dikurangi

dengan mempertahankan sterilisasi sistem intravena saat mengganti larutan

dan balutan, penggantian larutan dan balutan sekurang-kurangnya setiap 24

jam.

Intervensi yang perlu dilakukan saat terjadi phlebitis adalah dengan

memindahkan kateter ke area insersi yang lain, jika parah melakukan kompres

hangat. Jika pasien mengalami peningkatan suhu (suhu meninggi secara tiba-tiba

atau bertahap), menggigil dan gemetar, frekuensi napas dan nadi meningkat

maka intervensi yang perlu dilakukan adalah dengan melakukan kultur bakteri

(diambil dari kateter dan vena) dan melakukan insersi ditempat lain untuk

pemberian obat (Joanne, 1998).

18

Page 19: Skripsi RAtna

Penggunaan kateter pada pemasangan infus yang tidak memperhatikan

standar medis menimbulkan masalah seperti phlebitis, menurut Santi Ariningsih

(2010) pada kejadian phlebitis mikroorganisme terbanyak adalah kolonisasi

Staphylococcus. Semua kateter dapat memasukkan bakteri ke dalam aliran

darah, mekanisme infeksi oleh bakteri dapat berupa infeksi lokal saat insersi

yang masuk ke dalam kateter atau kolonisasi yang diikuti oleh infeksi lewat rute

insersi. Menurut Santi Arinigsih kultur darah yang diambil dari kateter dan vena

dilakukan saat dijumpai tanda-tanda infeksi sistemik. Dari hasil uji statistik yang

dilakukan menunjukkan tidak ada pengaruh umur, jenis kelamin, kecepatan

tetesan, pemberian obat intravena, lokasi pemasangan dan lama pemasangan

terhadap kolonisasi bakteri. Sebaliknya penggunaan sarung tangan dan aseptik

dressing menunjukkan ada hubungan terhadap kolonisasi bakteri.

2.1.3.3 Ciri-ciri Phlebitis

Menurut Joanne (1998) vena pada daerah pemasangan infus dikatakan

phlebitis apabila terdapat dua tanda atau lebih dari tanda berikut, yaitu: nyeri,

kemerahan, bengkak, indurasi (pengerasan jaringan atau organ yang abnormal),

vena cord (struktur mirip tali/benang). Menurut Brunner dan Sudarth (2002)

phlebitis ditandai dengan adanya daerah yang merah, nyeri dan pembengkakan

di daerah penusukan atau sepanjang vena. Menurut Zahra (2010) ciri-ciri

phlebitis adalah terjadinya kemerahan, bengkak, dan nyeri tekan pada area

insersi.

Sedangkan menurut Terry (1995) tanda dari phlebitis adalah terdapat dua

atau lebih dari tanda phlebitis, yang terdiri dari: nyeri pada lokasi pemasangan

19

Page 20: Skripsi RAtna

kateter, erytema, edema, terdapat garis merah pada vena yang terpasang infus,

teraba keras. Skala phlebitis menurut Terry (1995) adalah sebagai berikut:

a. 0: tidak terdapat tanda phlebitis

b. 1+: terdapat satu tanda phlebitis

c. 2+ : terdapat lebih dari satu tanda phlebitis

d. 3+: terdapat jelas semua tanda dari phlebitis

Skor visual untuk phlebitis yang telah dikembangkan oleh Andrew Jakson

(2008) adalah:

a. Tempat insersi tampak sehat, skor 0 = tidak ada tanda phlebitis.

b. Terdapat salah satu tanda (nyeri atau kemerahan) pada derah insersi terlihat

jelas, skor 1 = mungkin tanda dini phlebitis.

c. Terdapat dua tanda (nyeri, kemerahan, pembengkakan) pada daerah insersi

terlihat jelas, skor 2 = stadium dini phlebitis.

d. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, pembengkakan) pada daerah

insersi terlihat jelas, skor 3 = stadium moderat phlebitis.

e. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, indurasi, vena cord) pada derah

insersi terlihat jelas, skor 4 = stadium lanjut atau awal trombophlebitis.

f. Terdapat semua tanda (nyeri, kemerahan, indurasi, vena cord, demam)

terlihat jelas, skor 5 = stadium lanjut trombophlebits.

Menurut Wong (2009) dikutip dari Markel (1997) untuk mendeteksi nyeri

pada anak menggunakan rentang skor: 0 = tidak ada nyeri, 10 = nyeri yang

terburuk. Skor ini meliputi wajah (0-2), tungkai (0-2), aktifitas (0-2), tangisan

(0-2), ketenangan (0-2). Skor ini disebut dengan skala FLACC (digunakan pada

anak usia 2 bulan sampai dengan 7 tahun).

20

Page 21: Skripsi RAtna

Tabel 2.1 Skala FLACC

Kriteria Nilai 0 Nilai 1 Nilai 2

Wajah Tidak ada ekspresi,senyuman tertentu

Seringai (kerutan), menarik diri, tidak berminat

kerutan konstan, rahang mengatup, dagu bergetar

Tungkai Posisi normal atau rileks

Tidak tenang, gelisah, tegang

Menendang atau tungkai ditarik ke atas

Aktifitas Berbaring tenang, posisi normal, bergerak dengan mudah

Menggeliat, bergerak ke depan dan ke belakang, tegang

Menekuk, kaku/ terkejut

Tangisan Tidak menangis (terbangun atau tertidur)

Merengek, terkadang mengeluh

Menangis terus, berteriak, sering mengeluh

Ketenangan Puas, rileks Ditenangkan dengan sentuhan, pelukan atau diajak berbicara, dapat didistraksi

Sulit untuk ditenangkan atau dinyamankan

Sumber : Dari Markel, dkk dalam Buku Ajar Keperawatan Pediatric Wong, Ed.6, Vol.2, 2009

2.1.4 Konsep Pertumbuhan dan Perkembangan Anak

2.1.4.1 Pertumbuhan dan perkembangan

Pertumbuhan adalah bertambahnya ukuran fisik dan struktur tubuh karena

adanya multiplikasi sel-sel tubuh dan juga karena bertambahnya besar sel.

Pertumbuhan pada masa anak-anak mengalami perbedaan yang bervariasi sesuai

bertambahnya umur anak (Nursalam, 2005).

Perkembangan adalah bertambahnya kemampuan dan fungsi tubuh yang

lebih komplek dalam pola yang teratur dan dapat diperkirakan sebagai hasil dari

proses diferensiasi sel, jaringan tubuh, organ-organ, dan sistemnya yang

terorganisasi ( Nursalam, 2005).

Masa prasekolah akhir (3-5 tahun), berdasarkan teori psikososial (Erikson)

anak berada pada fase inisiatif vs rasa bersalah. Pada masa ini berkembang rasa

21

Page 22: Skripsi RAtna

ingin tahu dan imaginasinya. Peran perawat dan orang tua untuk menjelaskan

secara sederhana tentang perawatan dan pengobatan perlu dilakukan untuk

menjawab rasa keingintahuan anak sehingga penolakan terhadap perawatan

medis bisa diminimalkan. Sedangkan menurut teori psikoseksual (Sigmund

Freud) berada pada fase phalik, dimana anak mulai mengenal perbedaan jenis

kelamin sehingga mempunyai kecenderungan meniru tingkah laku orang dewasa

sekitarnya.

1.4.2 Faktor Pertumbuhan dan Perkembangan

Pola pertumbuhan pada anak secara normal antara yang satu dengan yang

lainnya berbeda, karena dipengaruhi oleh interaksi banyak faktor. Menurut

Nursalam 2005 dikutip dari Soetjiningsih (2002) faktor yang mempengaruhi

pertumbuhan dan perkembangan terdiri dari faktor internal dan faktor eksternal,

yaitu:

a. Faktor Internal

1. Genetika

Mempengaruhi kecepatan pertumbuhan dan kematangan tulang, alat

seksual, serta saraf, sehingga merupakan modal dasar dalam mencapai hasil

akhir proses tumbuh kembang

2. Perbedaan ras

Tinggi badan orang Eropa akan berebda denagn orang Indonesia, dengan

demikian postur tubuh tiap bangsa berlainan

3. Keluarga

Ada keluarga yang cenderung mempunyai tubuh gemuk dan perawakan

pendek

22

Page 23: Skripsi RAtna

4. Jenis kelamin

Wanita akan mengalami masa pubertas lebih dahulu dibandingkan dengan

laki-laki

5. Umur

Masa pranatal, masa bayi, dan masa remaja merupakan tahap yang

mengalami pertumbuhan cepat dibandingkan masa lainnya

6. Kelainan kromosom

Dapat menyebabkan kegagalan pertumbuhan, misal Sindrom Down

7. Pegaruh hormon

Yang berpengaruh adalah hormon somatotropin yang dikeluarkan kelenjar

pituitari

b. Faktor eksternal

1. Faktor pra natal (selama kehamilan)

Dalam hal ini yang termasuk mempengaruhi adalah nutrisi ibu hamil,

kelainan endokrin, kelainan imunologi, psikologi ibu, dan adanya infeksi

(misal penyakit menular seksual)

2. Faktor kelahiran

Riwayat kelahiran dengan vakum ekstraksi dapat menyebabkan trauma

kepala pada bayi sehingga beresiko terjadinya kerusakan jaringan otak.

3. Faktor pascanatal

Yang berpengaruh diantaranya adalah status gizi, kelainan kongenital,

lingkungan fisik dan kimia, psikologis, sosial ekonomi, lingkungan

pengasuh, stimulasi, dan obat-obatan

23

Page 24: Skripsi RAtna

2.1.4.3 Kebutuhan Dasar untuk Tumbuh Kembang saat Hospitalisasi

Menurut Nursalam (2005), kebutuhan dasar ini terdiri dari asuh, asih, dan

asah, yaitu:

a. Asuh (kebutuhan fisik)

Yang termasuk kebutuhan fisik adalah nutrisi yang mencukupi, perawatan

kesehatan dasar (segera mendapatkan penanganan terhadap sakitnya,

termasuk dalam penganganan masalah yang timbul akibat diberikannya

terapi intravena seperti flebitis), kebersihan diri dan lingkungan (dalam hal

ini untuk mengurangi resiko tertularnya berbagai penyakit infeksi).

b. Asih (kebutuhan Emosi dan kasih sayang)

Pemenuhan kebutuhan emosi dan kasih sayang dapat dimulai saat anak

mulai mengalami hospitalisasi (sebelum masuk, selama hospitalisasi, saat

pemulangan). Hospitalisasi yang lama akan berdampak pada psikologis

anak yang berakibat terjadinya distress hospitalisasi (gangguan adaptasi),

dengan adanya distress hospitalisasi bisa menurunkan sistem imun, yang

berakibat memperlambat proses penyembuhan. Rasa takut akan cedera

tubuh dan nyeri saat pelaksanaan tindakan ( misal: pemasangan infus)

sering terjadi diantara anak-anak, konsekuensi rasa takut ini dapat sangat

mendalam dimana anak-anak yang mengalami lebih banyak rasa takut dan

nyeri karena pengobatan cenderung menghindari perawatan medis (Wong,

2009 dikutip dari Pate dkk, 1996).

c. Asah (kebutuhan stimulasi)

Stimulasi adalah perangsangan dari lingkungan luar, bisa berupa latihan

atau bermain.

24

Page 25: Skripsi RAtna

2.2 Kerangka Konsep

Pemasangan Infus

keterangan :

= tidak diteliti

= ditelliti

Gambar 2.1 Kerangka konseptual penelitian perbedaan aseptik dressing tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan.

25

Phlebitis

Aseptik dressing 24 jam Aseptik dressing 48 jam

Deteksi dan penilaian > cepat

Deteksi dan penilaian > lambat

Kuman > banyak

kuman > sedikit

Perhatian gejala awal

Perhatian gejala awal

Penanganan > cepat

Penanganan > lambat

Kejadian phlebitis ↓

Kejadian phlebitis ↓↓

Intervensi keperawatan

Page 26: Skripsi RAtna

Salah satu masalah yang bisa muncul dari pemasangan infus adalah phlebitis.

Observasi tempat penusukan (insersi) dan melaporkan abnormalitas adalah tugas

dependen perawat untuk mengatasi masalah phlebitis selama pemberian terapi

intravena. Pencegahan yang dapat dilakukan guna menurunkan phlebitis adalah dengan

aseptik dressing. Disini aseptik dressing dilakukan tiap 24 jam sekali dan tiap 48 jam

sekali.

Pada aseptik dressing tiap 24 jam sekali penilaian dan pendeteksian adanya

phlebitis > cepat dan perkembangbiakan kuman > sedikit. Sehingga perhatian gejala

awal adanya phlebitis meningkat. Dengan perhatian yang lebih awal maka penanganan

terhadap phlebitis lebih cepat, sehingga kejadian phlebitis lebih sedikit.

Pada aseptik dressing tiap 48 jam sekali penilaian dan pendeteksian adanya

phlebitis > lambat dan perkembangbiakan kuman > banyak. Hal ini mengakibatkan

perhatian gejala awal adanya phlebitis menurun. Dengan perhatian awal yang kurang

penanganan terhadap phlebitis lebih lambat, sehingga kejadian phlebitis lebih banyak.

2.3 Hipotesa Penelitian

Hipotesis adalah dugaan sementara dari rumusan masalah (Notoatmojo,

2005). Hipotesis penelitian ini (Ho) ditolak yaitu ada perbedaan efektifitas aseptik

dressing antara yang dilakukan tiap 24 jam sekali dengan tiap 48 jam sekali

terhadap kejadian phlebitis.

26

Page 27: Skripsi RAtna

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah sesuatu yang sangat penting dalam penelitian yang

memungkinkan pemaksimalan kontrol beberapa faktor yang bisa mempengaruhi

akurasi suatu hasil penelitian (Nursalam, 2008).

penelitian ini menggunakan desain penelitian static group comparison.

Merupakan rancangan preeksperimental dengan menambahkan kelompok kontrol,

dengan cara setelah perlakuan dilakukan pengamatan pada kelompok eksperimen

dan pada kelompok kontrol dilakukan pengamatan saja (Hidayat, 2010).

27

Page 28: Skripsi RAtna

3.2 Kerangka Kerja

Gambar 3.2 Kerangka kerja penelitian perbedaan aseptik dressing tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan

28

Populasi:

Pasien di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan selama bulan Juli

Sampling: Aksidental

Intervensi: aseptik dressing 24 jam

Intervensi: aseptik dressing 48 jam

Observasi tiap 24 jam hari ke 2,3,4,5

Observasi tiap 48 jam hari ke 3,5

Hasil observasi kejadian phlebitis

Hasil observasi kejadian phlebitis

Analisis data:

uji Fishe’r Exact Test

Kesimpulan

Kriteria Inklusi dan Eksklusi

Kelompok Eksperimen

Kelompok Kontrol

Page 29: Skripsi RAtna

3.3 Identifikasi Variabel

Variabel adalah perilaku atau karakteristik yang memberikan nilai beda

terhadap sesuatu (Nursalam, 2008 dikutip dari Soeparto, dkk. 2000). Pada

penelitian ini menggunakan dua variabel, yaitu:

a. Variabel independen

Variabel independen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya

menentukan variabel lain (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variabel

independennya adalah aseptik dressing yang dilakukan tiap 24 jam sekali dan

aseptik dressing tiap 48 jam sekali.

b. Variabel dependen

Variabel dependen adalah variabel yang dalam penelitian nilainya ditentukan

oleh variabel lainnya/variabel yang dipengaruhi oleh variabel independen

(Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini variabel dependennya adalah kejadian

phlebitis.

29

Page 30: Skripsi RAtna

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional merupakan penjelasan dari semua variabel dan istilah

yang akan digunakan dalam penelitian secara operasional sehingga mempermudah

dalam mengartikan penelitian (Nursalam, 2008).

Variabel Definisi Operasional Alat Ukur Skala Hasil UkurIndependen: (Aseptik dressing)

1. Aseptik dressing tiap 24 jam

2. Aseptik dressing tiap 48 jam

Perawatan pada tempat pemasangan infus terhadap pasien yang terpasang infus.

Kelompok eksperimen: dilakukan perawatan infus tiap 24 jam sekali.

Kelompok kontrol: dilakukan perawatan infus tiap 48 jam sekali.

SOP - -

Dependen(kejadian phlebitis)

dikatakan phlebitis apabila terdapat dua tanda dari tanda berikut, yaitu: nyeri tekan, kemerahan, bengkak, indurasi, vena cord

Kelompok eksperimen: dilakukan observasi pada hari ke 2,3,4,5

Kelompok kontrol: dilakukan observasi pada hari ke 3,5

Observasi Nominal 0: tidak phlebitis

1: phlebitis

Skor:0-1: tidak

phlebitis≥2: phlebitis

Skala skor modifikasi dari Terry (1995) dan Joanne (1998)

30

Page 31: Skripsi RAtna

3.5 Populasi dan Sampel

3.5.1 Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian (Arikunto, 2006). Populasi

pada penelitian ini adalah semua pasien anak yang masuk rumah sakit (MRS) di

ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu bangkalan pada tanggal 7 Juli sampai

dengan 7 Agustus 2011.

3.5.2 Sampel

Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang akan diteliti

(Arikunto, 2006). Pada penelitian ini sampel yang digunakan harus memiliki

kriteria inklusi dan eksklusi penelitian, yaitu:

a. Kriteria Inklusi:

1) Keluarga pasien bersedia bila pasien dijadikan responden

2) Pasien terpasang infus

3) Pasien berusia 3-5 tahun

4) Pasien dirawat pada hari pertama

5) Pasien tidak mengalami her opname

6) Pasien masuk rumah sakit (MRS) minimal selama 72 jam

b. Kriteria Eksklusi:

1) Pasien yang mendapatkan terapi injeksi intravena penytoin

2) Pasien yang tidak sadar atau mengalami penurunan kesadaran

3) Pasien yang mempunyai penyakit Diabetes Militus (DM)

3.5.3 Sampling

Sampling merupakan proses penyeleksian porsi dari populasi untuk dapat

mewakili populasi (Nursalam, 2008). Dalam penelitian ini menggunakan

31

Page 32: Skripsi RAtna

sampling aksidental, yaitu cara pengambilan sampel yang dilakukan dengan

kebetulan bertemu. Sebagai contoh, dalam menentukan sampel apabila dijumpai

ada, maka sampel tersebut diambil dan langsung dijadikan sebagai sampel utama

(hidayat, 2010).

3.6 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu

Bangkalan mulai tanggal 1 Juli sampai dengan tanggal 7 Agustus 2011. Pada

tanggal 7 Juli sampai dengan 21 Juli melakukan intervensi untuk kelompok

eksperimen, sedangkan tanggal 22 Juli sampai dengan 7 Agustus 2011 melakukan

intervensi untuk kelompok kontrol.

3.7 Alat Pengumpulan Data

Pengumpulan data adalah suatu proses pendekatan kepada subjek dan proses

pengumpulan karakteristik subjek yang diperlukan dalam suatu penelitian. Dalam

penelitian ini alat pengumpulan datanya menggunakan observasi tentang kejadian

phlebitis.

3.8 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data mulai dilakukan peneliti dari mengajukan surat penelitian

kepada institusi STIKES Ngudia Husada Madura, kemudian mengajukan surat

penelitian kepada kepala RSUD Syamrabu Bangkalan. Setelah mendapatkan ijin,

32

Page 33: Skripsi RAtna

peneliti memberikan surat persetujuan kepada keluarga yang bertanggung jawab

terhadap responden yang bersedia menjadi responden penelitian.

Setelah keluarga yang bertanggung jawab terhadap responden setuju, maka

dilakukan aseptik dressing tiap 24 jam sekali bagi kelompok eksperimen, dan

dilakukan aseptik dressing tiap 48 jam sekali bagi kelompok kontrol. Setelah

dilakukan kegiatan peneliti melakukan observasi pada kelompok eksperimen

diobservasi pada hari ke 2, 3, 4, 5, sedangkan pada kelompok kontrol dilakukan

observasi pada hari ke 3 dan ke 5. dalam mengumpulkan data peneliti memberikan

skor pada hasil observasi phlebitis yaitu, 0 – 1 = tidak phlebitis, ≥ 2 = phlebitis.

Setelah Data terkumpul dilakukan pengolahan data dan analisa data.

3.9 Pengolahan Data

3.9.1 Pemeriksaan data (Editing)

Setelah mengumpulkan data peneliti mengoreksi data yang telah didapat

dari hasil observasi di tempat pengumpulan data. Langkah ini dilakukan untuk

mengantisipasi kesalahan dari data yang dikumpulkan dan juga untuk

kelengkapan data, sehingga apabila ada kekurangan segera dapat dilengkapi.

3.9.2 Pemberian kode (Coding)

Peneliti memberikan kode pada data yang telah dikumpulkan. Pemberian

kode pada data dimaksudkan untuk membedakan aneka karakter. Nilai 0 jika

tidak phlebitis dan 1 jika ada phlebitis.

33

Page 34: Skripsi RAtna

3.9.3 Tabulasi (Tabulating)

Peneliti menyusun data, dimana penyusunan data merupakan

pengorganisasian data sehingga memudahkan dalam menjumlahkan, menyusun,

dan menata data yang akan digunakan untuk penyajian dan analisa data.

3.10 Analisa Data

3.10.1 Analisis Univariat

Notoatmojo (2005) analisis univariat hanya menghasilkan distribusi

dan presentase dari tiap variabel. Dalam penelitian ini menyajikan distribusi

variabel independen aseptik dressing tiap 24 jam dan variabel independen

aseptik dressing tiap 48 jam yang dikonfirmasi dengan prosentase dan narasi.

Penulisan prosentase hasil penelitian mengacu pada Nursalam (2008) yang

dikelompokkan menjadi mayoritas = apabila hasil menunjukkan 90-100%,

sebagian besar = 66-89%, lebih dari 50% (51-69).

3.10.2 Analisis Bivariat

Notoatmojo (2005) analisis bivariat yang dilakukan terhadap dua variabel

yang diduga mempunyai komparatif. Dalam penelitian ini menggunakan uji

Fishe’r Exact Test dengan α (taraf signifikasi) = 5% (0,05), jika P value < α

maka Ho ditolak (Tony Wijaya, 2009).

3.11 Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan permohonan ijin

kepada panitia etik dalam hal ini direktur RSUD Syamrabu Bangkalan dan subjek

yang diteliti. penekanan masalah etika penelitian ini adalah:

34

Page 35: Skripsi RAtna

a. Hak mendapatkan jaminan dari perlakuan yang diberikan (Right to Full

Discloure)

Peneliti akan memberikan penjelasan secara rinci tentang penelitian yang akan

dilakukan kepada keluarga pasien serta akan bertanggung jawab kepada subjek

penelitian jika terjadi sesuatu akibat dari penelitian yang dilakukan.

b. Lembar persetujuan menjadi responden (Inform Concent)

Lembar persetujuan diberikan kepada keluarga pasien yang memenuhi kriteria

sampel penelitian. Dalam lembar persetujuan memuat penjelasan tentang

maksud dan tujuan penelitian serta dampak yang mungkin terjadi selama

penelitian. Bila keluarga yang bertanggung jawab terhadap responden bersedia

maka responden diminta menandatangani lembar persetujuan menjadi

responden. Apabila menolak maka peneliti tidak dapat memaksa dan tetap

menghormati hak-hak responden.

c. Tanpa nama (Anonimity)

Peneliti menulis nomer kode pada masing-masing lembar pengumpulan data.

d. Kerahasiaan (Confidentiality)

Informasi yang diberikan oleh responden serta semua data yang terkumpul akan

disimpan, dijamin kerahasiaanya, dan hanya menjadi koleksi peneliti. Informasi

yang diberikan responden tidak akan diberikan kepada orang lain tanpa seijin

keluarga yang bertanggung jawab terhadap responden.

3.12 Keterbatasan Penelitian

a. Waktu penelitian yang bertepatan dengan bulan Ramadhan menjadikan

penelitian ini memiliki jumlah sampel yang sedikit.

35

Page 36: Skripsi RAtna

b. Pada kelompok aseptik dressing tiap 48 jam peneliti tidak dapat melakukan

intervensi secara langsung (hanya mengobservasi intervensi yang dilakukan

perawat ruangan).

c. Karena jumlah sampel yang sedikit penelitian ini tidak dapat memakai uji

statistik chi square seperti yang sudah diajukan dalam proposal penelitian.

36

Page 37: Skripsi RAtna

BAB 4

HASIL PENELITIAN

4.1 Data Umum

4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di ruang rawat inap anak RSUD Syamrabu

Bangkalan. RSUD Syamrabu Bangkalan merupakan Rumah Sakit dengan

klasifikasi tipe B yang beralamatkan di jalan Pemuda Kaffa No.09 Bangkalan.

RSUD Syamrabu terdiri dari instalasi rawat jalan, instalasi gawat darurat, dan

instalasi rawat inap. Ruangan rawat inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan terdiri

dari kelas 1, kelas 2, kelas 3 dan ruangan High Care Unit. Jumlah staff sebanyak

18 orang perawat (5 S1 Keperawatan, 11 D3 Keperawatan, 2 SPK), 2 orang

administrasi, dan 4 orang cleaning service.

4.1.2 Karakteristik Responden

a. Karakteristik responden berdasarkan usia

Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 07 Juli-21 Juli 2011

No Usia Anak Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

3- <4 tahun

4- <5 tahun

5 tahun

6

3

2

54.5

27,3

18,2

Jumlah 11 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

37

Page 38: Skripsi RAtna

Berdasarkan tabel 4.1 di atas menunjukkan bahwa lebih dari 50% responden

berusia 3- <4 tahun, sebanyak 6 responden (54,5 %)

Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011

No Usia Anak Frekuensi Prosentase

1.

2.

3.

3- <4 tahun

4- <5 tahun

5 tahun

6

2

2

60

20

20

Jumlah 10 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasar tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden berusia

3- <4 tahun, sebanyak 6 responden (60%)

b. Karakteristik responden berdasarkan jenis kelamin

Tabel 4.3 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 07 Juli-21 Juli 2011

No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase

1.

2.

Laki-laki

Perempuan

4

7

36,4

63,6

Jumlah 11 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden

berjenis kelamin perempuan, sebanyak 7 responden (63,6%)

38

Page 39: Skripsi RAtna

Tabel 4.4 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011

No Jenis Kelamin Frekuensi Prosentase

1.

2.

Laki-laki

Perempuan

4

6

40

60

Jumlah 10 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden

berjenis kelamin perempuan, sebanyak 6 responden (60%)

4.2 Data Khusus

Tabel 4.5 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Phlebitis Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 07 Juli-21 Juli 2011

No Kejadian plebitis Frekuensi Prosentase

1.

2.

Terjadi phlebitis

Tidak terjadi phlebitis

4

7

36,4

63,6

Jumlah 11 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden tidak

mengalami phlebitis, yaitu sebanyak 7 responden (63,6%)

39

Page 40: Skripsi RAtna

Tabel 4.6 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Phlebitis Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011

No Kejadian plebitis Frekuensi Prosentase

1.

2.

Terjadi phlebitis

Tidak terjadi phlebitis

6

4

60

40

Jumlah 10 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa lebih dari 50% responden

mengalami phlebitis, yaitu sebanyak 6 responden (60%)

Tabel 4.7 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Yang Mengalami Phlebitis Pada Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 7 Juli-21 Juli 2011

No Usia Frekuensi Kejadian Phlebitis Prosentase

1.

2.

3.

3- <4 tahun

4- <5 tahun

5 tahun

4

-

-

100

-

-

Jumlah 4 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa mayoritas yang mengalami

phlebitis adalah responden dengan usia 3- <4 tahun, yaitu sebanyak 4 responden

(100%)

40

Page 41: Skripsi RAtna

Tabel 4.8 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Usia Anak Yang Mengalami Phlebitis Pada Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011

No Usia Frekuensi Kejadian Phlebitis Prosentase

1.

2.

3.

3- <4 tahun

4- <5 tahun

5 tahun

6

-

-

100

-

-

Jumlah 6 100

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas dapat dijelaskan bahwa mayoritas yang mengalami

phlebitis adalah responden dengan usia 3- <4 tahun, yaitu sebanyak 6 responden

(100%)

Tabel 4.9 Distribusi Frekuensi Responden Berdasarkan Kejadian Phlebitis Di Ruang Rawat Inap Anak RSUD Syamrabu Bangkalan Tanggal 22 Juli-07 Agustus 2011

No Kejadian

phlebitis

Aseptik dressing 24 jam Aseptik dressing 48 jam

Frekuensi Prosentase Frekuensi Prosentase

1.

2.

Phlebitis

Tidak

phlebitis

4

7

36,4

63,6

6

4

60

40

Jumlah 11 100 10 100

α = 0,05

p value = 0.395

Sumber: Perolehan Data Dari Lapangan

Berdasarkan tabel di atas diperoleh hasil analisa bivariat dengan

menggunakan uji statistik Fisher’s Exact Test yaitu p value 0.395 > α (0,05) maka

41

Page 42: Skripsi RAtna

Ho gagal ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan efektifitas aseptik dressing

antara yang dilakukan tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis

42

Page 43: Skripsi RAtna

BAB 5

PEMBAHASAN

5.1 Kejadian Phlebitis Pada Aseptik Dressing Tiap 24 Jam

Berdasarkan tabel 4.5 didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden

selama dilakukan observasi serta perlakukan aseptik dressing tiap 24 jam terdapat

lebih dari 50% dari responden, sebanyak 7 responden (63,6%) tidak mengalami

phlebitis.

Hal ini dikarenakan pemutusan mata rantai host, agent, environment yang

berperan terhadap kejadian phlebitis dikontrol sedini mungkin. Pengontrolan

dilakukan guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis, sehingga

dapat segera melakukan tindakan pencegahan komplikasi akibat pemasangan infus

yang lebih parah.

Lee KE (2000) menjelaskan bahwa aseptik dressing perlu dilakukan tiap 24

jam sekali guna melakukan pendeteksian dan penilaian adanya phlebitis sehingga

kejadian phlebitis akibat infeksi kuman dapat dicegah dan diatasi secara dini.

Menurut Perry dan Potter (2005) infeksi yang terkait dengan pemberian infus dapat

dikurangi dengan penggantian balutan sekurang-kurangnya setiap 24 jam.

Sedangkan menurut Darmawan (2008) yang dikutip dari Ghorbani (2007)

menyatakan bahwa aseptik dressing tiap 24 jam dapat memutus perkembangbiakan

kuman. Dimana kuman atau mikroba dapat masuk melalui daerah insersi ke

sirkulasi dalam periode tertentu yang dapat menyebabkan terjadinya phlebitis

(Joanne, 1998)

43

Page 44: Skripsi RAtna

Namun demikian pada kelompok aseptik dressing 24 jam masih ada yang

mengalami phlebitis (36,4%), hal ini dikarenakan yang berkontribusi terhadap

phlebitis bukan hanya aseptik dressing saja tetapi juga usia responden yang

mempengaruhi aktivitasnya. Berdasarkan tabel 4.1 lebih dari 50% responden

berusia 3- <4 tahun, sebanyak 6 responden (54,5%). Pada responden dengan usia 3-

<4 tahun tersebut resiko terjadi phlebitis lebih besar dari pada yang berusia > 4

tahun dikarenakan ukuran vena yang relatif lebih kecil dan aktifitas yang lebih

banyak dan tidak terkontrol.

Perry dan Potter (2005) menjelaskan bahwa pertahanan terhadap infeksi

dapat berubah sesuai usia. Pada pasien anak vena yang kecil dan keadaan yang

banyak bergerak dapat mengakibatkan kateter bergeser dan hal ini yang bisa

menyebabkan phlebitis.

5.2 Kejadian Phlebitis Pada Aseptik Dressing Tiap 48 Jam

Berdasarkan tabel 4.6 didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden

selama dilakukan observasi serta perlakukan aseptik dressing tiap 48 jam terdapat 6

responden (60%) yang mengalami phlebitis.

Hal ini bisa dikarenakan pemutusan mata rantai host, agent, environment

yang berperan terhadap kejadian phlebitis tidak dikontrol sedini mungkin. Pada

aseptik dressing tiap 48 jam pengontrolan kejadian phlebitis dilakukan lebih lama,

sehingga pemutusan perkembangbiakan kuman atau mikroba yang menjadi salah

satu penyebab phlebitis melalui kontaminasi daerah insersi dilakukan lebih lama

dan lebih jarang.

44

Page 45: Skripsi RAtna

Terry (1995) menjelaskan bahwa penggantian balutan yang jarang dilakukan

mengakibatkan kurangnya observasi pada lokasi pemasangan infus dan pemutusan

perkembangbiakan kuman terjadi lebih lama sehingga kurang perhatian pada gejala

awal dari phlebitis.

Namun pada kelompok aseptik dressing tiap 48 jam masih ada 40% yang

tidak mengalami phlebitis, hal ini dikarenakan banyak faktor yang berkontribusi

terhadap kejadian phlebitis diantaranya usia, keadaan vena, dan aktifitas pasien.

Berdasarkan tabel 4.2 terdapat lebih dari 50% responden berusia 3-<4 tahun,

sebanyak 6 responden (60%), sehingga terdapat 40% berusia 4 tahun atau lebih.

Pada responden yang berusia lebih dari 4 tahun ukuran venanya relatif lebih besar

dan aktifitasnta bisa dikontrol. Menurut Perry dan Potter (2005) pada pasien dengan

vena yang kecil dan banyak bergerak, serta sering dipasang infus akan mudah

mengalami phlebitis.

5.3 Perbedaan Efektifitas Aseptik Dressing Antara Yang Dilakukan Tiap 24 Jam

Dengan Tiap 48 Jam Terhadap Kejadian Phlebitis

Berdasarkan tabel 4.7 didapatkan data bahwa dari keseluruhan responden

selama dilakukan observasi dan perlakukan aseptik dressing tiap 24 jam terdapat 4

responden (36,4%) yang mengalami phlebitis dan 7 responden (63,6%) yang tidak

mengalami phlebitis. Sedangkan pada kelompok perlakukan aseptik dressing tiap

48 jam terdapat 6 responden (60%) yang mengalami phlebitis dan 4 responden

(40%) yang tidak mengalami phlebitis.

Berdasarkan data dari lapangan diperoleh hasil analisa bivariat dengan

menggunakan uji statistik Fisher’s Exact Test yaitu p value 0.395 > α (0,05) maka

45

Page 46: Skripsi RAtna

Ho gagal ditolak, yang berarti tidak ada perbedaan efektifitas aseptik dressing

antara yang dilakukan tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis.

Menurut Perry dan Potter (2005) banyak faktor yang mempengaruhi

terjadinya phlebitis, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Salah satu faktor

eksternal adalah aseptik dressing atau perawatan infus. Kontaminasi kuman atau

mikroba pada area insersi pemasangan infus penyebab phlebitis bakterial dapat

dicegah dengan melakukan aseptik dressing.

Dibutuhkan peran perawat untuk mengobservasi area insersi pemasangan

infus dan mencegah kontaminasi kuman atau mikroba, yaitu salah satunya

melakukan tehnik aseptik dressing dengan baik (Amina, 2010 dikutip dari

Hanindito, 1999).

Tidak adanya perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan

tiap 24 jam dengan tiap 48 jam terhadap kejadian phlebitis dikarenakan pada tiap-

tiap kelompok dilakukanlah aseptik dressing secara teratur dan pada kelompok usia

yang sama. Terry (1995) menjelaskan bahwa penggantian balutan yang jarang dan

tidak teratur dilakukan dapat menyebabkan kurangnya observasi pada lokasi

pemasangan dan pemutusan perkembangbiakan kuman terjadi lebih lama.

46

Page 47: Skripsi RAtna

BAB 6

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan tujuan penelitian, hasil penelitian, analisa data, dan pembahasan

yang telah diuraikan maka peneliti mendapatkan beberapa kesimpulan sebagai

berikut:

6.1.1 Pada aseptik dressing tiap 24 jam sekali lebih dari 50% anak tidak mengalami

phlebitis

6.1.2 Pada aseptik dressing tiap 48 jam sekali lebih dari 50% anak mengalami

phlebitis

6.1.3 Tidak ada perbedaan efektifitas aseptik dressing antara yang dilakukan tiap 24

jam sekali dengan tiap 48 jam sekali terhadap kejadian phlebitis

6.2 Saran

6.2.1 Bagi rumah sakit dan tenaga kesehatan

a. Hendaknya menetapkan Standar Operasional System (SOP) aseptik dressing

tiap 24 jam dan 48 jam untuk dijadikan acuan perawat pelaksana dalam

melakukan tehnik aseptik dressing dengan baik sesuai kebutuhan pasien

(usia, aktifitas,jenis penyakit) sehingga angka kejadian phlebitis bakterial

dapat diturunkan sampai 5%.

47

Page 48: Skripsi RAtna

b. Hendaknya selalu mengobservasi area insersi pemasangan infus guna

mencegah komplikasi pemberian terapi intravena. Observasi bisa dilakukan

dengan aseptik dressing yang baik dan teratur.

6.2.2 Bagi Orang tua pasien

Hendaknya dapat bekerjasama dengan perawat untuk memenuhi kebutuhan anak

selama hospitalisasi. Orang tua bersama dengan perawat menjelaskan secara

sederhana tentang perawatan dan pengobatan selama hospitalisasi, seperti saat

dilakukannya aseptik dressing dan pemasangan infus kepada anak sehingga

penolakan bisa diminimalkan

6.2.3 Bagi Institusi Pendidikan dan keperawatan

a. Untuk penelitian selanjutnya diharapkan melakukan penelitian untuk

mengidentifikasi phlebitis bakterial bukan hanya secara visual tetapi juga

secara pemeriksaan bakterial.

b. Pada penelitian selanjutnya diharapkan mengembangkan penelitian dengan

jumlah responden dan variabel yang lebih banyak sehingga memperoleh

hasil yang optimal.

48

Page 49: Skripsi RAtna

DAFTAR PUSTAKA

Alimul, Azis. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan Buku 1. Jakarta: Salemba Medika.

Alimul, Azis. 2009. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses Keperawatan Buku 2. Jakarta: Salemba Medika.

Amina. 2010. Perbedaan Kejadian Flebitis Pasien Yang Dilakukan Perawatan Luka Pada Pemasangan Infus Setiap Hari Dengan Yang Tidak Dilakukan Perawatan Luka. Bangkalan: STIKES Ngudia Husada Madura.

Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik Edisi Revisi 6. Jakarta: Rineka Cipta.

Asmadi. 2009. Teknik Prosedural Keperawatan: Konsep dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien. Jakarta: Salemba Medika.

Brooker, Christine. 2001. Kamus Saku Keperawatan. Jakarta: EGC.

Brunner dan Sudart. 2002. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:EGC.

Dahlan, Sopiyudin. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam Penelitian Kedokteran dan Kesehatan Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.

Hidayat, Alimul. 2010. Metode Penelitian Kebidanan dan Teknik Analisa Data. Jakarta; Salemba Medika.

Joanne. 1998. Terapi Intravena. Jakarta: EGC.

Lamb dan Britton. 1999. Patologi Umum dan Sistematik. Jakarta: EGC.

KE, Lee. 2000. Efek Metode Aseptik Dressing dalam Flebitis. Jakarta: EGC.

Mardalis. 2009. Metode penelitian Suatu Pendekatan Proposal. Jakarta: Bumi Aksara.

49

Page 50: Skripsi RAtna

Notoatmojo, Soekidjo. 2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Nursalam; Rekawati Susilaningrum; Sri Utami. 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak (Untuk Perawat dan Bidan). Jakarta; Salemba Medika.

Nursalam. 2008. Konsep dan penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan; Pedoman Skripsi, Tesis, dan Instrumen Penelitian. Edisi 2. Jakarta; Salemba Medika.

Perry dan Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan: Konsep, Proses, dan Praktik Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC.

Sugihastuti. 2000. Bahasa laporan Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Tamher, Sayuti. 2008. Ilmu Patologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Jakarta: Trans Info Media.

Terry. 1995. Terapi Intravena. Jakarta: EGC.

Wijaya, Tony. 2009. Analisis Data Penelitian Menggunakan SPSS. Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta.

Wong. 2009. Buku Ajar Keperawatan Pediatrik edisi 6 Volume 2. Jakarta: EGC.

Ariningsih, Santi. 2010. Kolonisasi Mikroorganisme Pada Pemasangan Kateter Intravena Dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi. Diakses 25 Juni 2011, jam 16.00 WIB, dari Fakultas kedokteran Universitas Andalas. http://repository.unand.ac.id/id/eprint/179.

Darmawan, Iyan. 2008. Flebitis, Apa Penyebabnya, dan Bagaimana Cara Mengatasinya. Diakses 13 Mei 2011, jam 15.00 WIB, dari Otsuka Indonesia. [email protected].

Hafifah. 2010. Hubungan Pemasangan infus Dengan kejadian Flebitis. Diakses 25 Juni 2011, jam 16.00 WIB, dari STIKES Semarang. http://www.Library.upnvj.ac.id/pdf/2s1 keperawatan/0810712027/bab1.pdf .

NN. 2010. Prosedur Pemsangan Infus. Diakses 20 Mei 2011, jam 18. 00 WIB. http://blog.ilmukeperawatan.com/prosedur-pemasangan-infus.html.

50

Page 51: Skripsi RAtna

Suryaningsih, 2007. Hubungan antara Jenis Cairan Intravena dengan Tingkat Keparahan Flebitis. Diakses 12 Mei 2011, jam 17.00 WIB. dari Akper Unmuh Malang. http//Suryaningsih-youtube.blogspot.com/2007/10/hubungan-Cairan.html.

Zahra. 2010. Tehnik Pemasangan Infus. Diakses 20 mei 2011, dari STIKES Samarinda. http//zahra-youtube.blogspot.com/2010/10/tehnik-pemasangan-infus.html.

51

Page 52: Skripsi RAtna

Lampiran 1

PERMOHONAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Kepada bapak/ ibu yang terhormat,Saya Yuni Herawati, Nim: 101420109030

Yang bertanda tangan di bawah ini, mahasiswa program studi Ilmu Keperawatan

STIKES Ngudia Husada Madura akan melakukan penelitian dengan judul “Perbedaan

Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah

Dilakukan Discharge Planning di RSUD Syamrabu Bangkalan”.Hasil penelitian ini

akan bermanfaat bagi ilmu keperawatan serta peran perawat di Rumah Sakit.

Untuk itu saya mohon partisipasi Bapak/Ibu dalam penelitian yang saya lakukan.

Hasil dalam penelitian ini akan dipergunakan untuk pengembangan ilmu keperawatan

dan tidak dipergunakan untuk maksud-maksud tertentu.

Sebagai bukti kesediaan menjadi responden, saya mohon Bapak/Ibu bersedia

untuk menandatangani lembar persetujuan yang telah saya sediakan. Atas bantuan dan

partisipasinya saya ucapkan terima kasih.

Bangkalan, 28 Februari 2012

Hormat saya

Peneliti

52

Page 53: Skripsi RAtna

Lampiran 2

LEMBAR PERSETUJUAN MENJADI RESPONDEN PENELITIAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bersedia untuk

berpartisipasi sebagai peserta penelitian yang dilakukan mahasiswa program Studi

Keperawatan STIKES Ngudia Husada Madura yang bernama Yuni Herawati , Nim:

101420109030 dengan judul “.Perbedaan Kesiapan Pasien Post Op Appendictomy

menghadapi pemulangan sebelum dan sesudah dilakukan Discharge Planning di RSUD

Syamrabu Bangkalan.”

Atas dasar pemikiran dari penelitian yang dilakukan untuk pengembangan ilmu

keperawatan dan akan dijamin kerahasiaannya, maka saya memutuskan berpartisipasi

untuk menjadi responden. Tanda tangan di bawah ini menunjukkan bahwa saya telah

diberi penjelasan dan menyatakan setuju serta bersedia untuk menjadi responden.

Bangkalan, .... Maret 2012

Responden

(Tanda Tangan)

53

Page 54: Skripsi RAtna

Lampiran 5

LEMBAR OBSERVASI KEJADIAN PHLEBITIS

Inisial:

Umur Anak: tahun

Jenis kelamin: perempuan/ laki-laki

Aseptik Dressing: ............ jam

No Tanda phlebitis Tgl......

Hari ke 2

Tgl......

Hari ke 3

Tgl......

Hari ke 4

Tgl......

Hari ke 5

1. Nyeri tekan

2. Kemerahan

3. Bengkak

4. Indurasi

5. Vena cord

Total skor

Keterangan:

0 – 1 = tidak phlebitis

≥ 2 = phlebitis

54

Page 55: Skripsi RAtna

Lampiran 6

STANDAR OPERASIONAL SYSTEM (SOP) ASEPTIK DRESSING

PERSIAPAN ALAT

1. Pinset anatomis 2 buah

2. Kasa steril dan lidi kapas

3. Sarung tangan steril

4. Plester/hypafik dan gunting

5. Alkohol 70% dalam tempatnya

6. Betadine atau iodin povidon

solution 10% atau sejenisnya

7. NaCl 0,9%

8. Bengkok 2 buah, satu berisi cairan

desinfektan

9. Spalk dan verban

10. Penunjuk waktu

PERSIAPAN PASIEN

1 Beritahukan kepada keluarga

pasien dan pasien tindakan yang

akan dilakukan

2. Menjelaskan tujuan dan prosedur

yang akan dilakukan

PERSIAPAN LINGKUNGAN1. Menempatkan peralatan di dekat

pasien dengan benar

2. Atur pencahayaan

55

Page 56: Skripsi RAtna

PELAKSANAAN

1. Lakukan verifikasi data

sebelumnya

2. Mengatur posisi pasien (tempat

tusukan terlihat dengan jelas,

pastikan dekat dengan perawat)

3. Mencuci tangan

4. Pakai sarung tangan

5. Buka balutan verban, buka plester

memakai pinset dengan cara

membasahi plester dengan alkohol

6. Bersihkan daerah bekas plester

7. Bersihklan daerah insersi dengan

NaCl 0,9%

8. Olesi tempat insersi dengan

betadine atau sejenisnya

9. Tutup dengan kasa steril dengan

rapi

10. Pasang plester dan penutup

(diperkuat dengan spalk)

11. Atur kembali tetesan infus

sesuai program

12.

13.

14. Bersihkan peralatan, cuci tangan

15. Dokumentasikan tindakan

56

Page 57: Skripsi RAtna

Lampiran 7

REKAPITULASI HASIL PENELITIAN

A. Kelompok Aseptik Dressing Tiap 24 Jam

No Jenis

kelamin

Usia

(tahun)

Hari

ke 2

Hari

ke 3

Hari

ke 4

Hari

ke 5

Kejadian

phlebitis

kode

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

11.

Perempuan

Perempuan

Perempuan

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki

Laki-laki

Perempuan

5

4

3,5

3

3

4,5

3

3

3

5

4

0

0

0

0

1

0

0

0

0

0

0

0

0

0

0

2

0

0

0

1

0

0

1

0

0

0

-

0

1

0

2

0

0

1

0

2

0

-

0

2

0

-

0

0

Tidak

Tidak

Phlebitis

Tidak

Phlebitis

Tidak

Phlebitis

Tidak

Phlebitis

Tidak

Tidak

0

0

1

0

1

0

1

0

1

0

0

Keterangan :

0 : tidak phlebitis 2 : phlebitis

1 : tidak phlebitis

57

Page 58: Skripsi RAtna

B. Kelompok Aseptik Dressing Tiap 48 Jam

No Jenis kelamin Usia

(tahun)

Hari ke 3 Hari ke 5 Kejadian

phlebitis

Kode

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

9.

10.

Perempuan

Perempuan

Laki-laki

Perempuan

Laki-laki

Laki-laki

Laki-laki

Perempuan

Perempuan

Perempuan

3

3,5

3

3

3

3,5

5

4

4

5

0

2

3

2

1

1

0

0

0

0

2

-

-

-

2

3

1

0

1

0

Phlebitis

Phlebitis

Phlebitis

Phlebitis

Phlebitis

Phlebitis

Tidak

Tidak

Tidak

Tidak

1

1

1

1

1

1

0

0

0

0

Keterangan :

0 : tidak phlebitis

1 : tidak phlebitis

2 : phlebitis

3 : phlebitis

58