Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur...

144
ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR 23 TAHUN 2006 Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy) Disusun oleh: AINUR RAHMAN NIM : 109044100054 PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS) FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2014 M/1435 H

Transcript of Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur...

Page 1: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA

DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI

KEPENDUDUKAN NOMOR

23 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Disusun oleh:

AINUR RAHMAN

NIM : 109044100054

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)

FAKULTAS SYARI’AH DANHUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2014 M/1435 H

Page 2: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

ANALISA YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA

DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI

KEPENDUDUKAN NOMOR

23 TAHUN 2006

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi

Salah Satu persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)

Oleh:

Ainur Rahman

NIM : 109044100054

Dibawah Bimbingan

Dr. H. JM. Muslimin, MA.,

NIP. 196808121999031014

PROGRAM STUDI PERADILAN AGAMA (SAS)

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2014 M/1435 H

Page 3: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI

Skripsi yang berjudul "ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI

INDONESIA SETELAH BERLAKLINYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI

KEPENDUDUKAN NoMoR 23 TAHUN 2006" telah diujikan dalam sidang

munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah "Iakarta pada 9

Mei 2014 Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

sarjana syariah (S.SV) pada Plogram Studi Ahwal al-syakhshiyah.

Jakarta, 9 Mei 2014

M'eqggsahkan

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Ketua Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA.,

NIP. 19s00306197603 1001

Hj. Rosdiana" MA..

NIP. 1 96906 1 02003 122001

Dr. H. JM. Muslimin, MA.,

NrP. 1 9680812199903 t0I4

Drs. H. A" Basiq Djalil, SH.. MA"

NIP. 19s00306197603 1001

H. Kamarusdiana, S.Ag, MH.,

NIP. 1 9720224199803 1 003

Sekretaris

Pembimbing

Penguji I

z;.."ttffi' /,7i;i\{lRr' ] 96808 12199903 101 4

{........................ .)Penguji iI

Page 4: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini ;

Nama

NPM

Jurusan

: Ainur Rahman

:1040100054

: Peradilan Agama

Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat adalah :

1. Murni gagasan, rumusan dan hasil penelitian penulis dengan arahan dosen

pembimbing.

2. Di dalamnya tidak terdapat karya-karya atav pendapat yang telah di tulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali secara tertulis dengan jelas dicantumkan

sebagai acuan dalam naskah dengan disebutkan nama pengarang atau

dicantumkan dalam daftar pustaka.

Demikian pernyataan ini di buat dengan sebenarnya, apablla dikemudian hari

terdapat kekeliruan saya bersedia dikenakan sanksi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku di Fakultas Hukum dan Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

.Iakarta

Yang \z!g$!.rla!

Page 5: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

v

ABSTRAK

Analisis Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia setelah Berlakunya

Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006” oleh

Ainur Rahman, mahasiswa jurusan Peradilan Agama Fakultas Hukum dan

Syariah Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penelitian ini dilatar belakangi oleh adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama dalam Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang mana pada dasarnya agama apapun tidak menghendaki adanya perkawinan beda agama. Dan didalam peraturan perundang-undangan tentang perkawinan menyebutkan bahwa perkawinan yang syah adalah menurut agama dan kepercayaan (Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan) dan selama bertahun-tahun ditafsirkan bahwa (UUP) sebagai aturan yang melarang perkawinan beda agama. Namun adanya aturan baru tentang perakwinan beda agama yang sama-sama memiliki kedudukan setingkat dalam perundang-undangan enjadi pertanyaan baru. Oleh karena itu penulis mengangkat permasalah ini dengan mengaangkat rumusan masalah terkait kedudukan dan keabshan perkawinan beda agama.

Dibuatnya penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi masalah yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Pasal 35. Dalam penelitian ini penulis menggunakan tipe penelitian yuridis normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undanga-undang dengan isu yang dihadapi.

Hasil dari penelitian skrispsi ini yaitu bahwa aturan yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Pasal 35 huruf (a) terkait beda agama merupakan aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum bukan menghapus ketentuan yang lama, sehingga Undang-Undang Perkawinan masih beralaku dalam sistem peraturan nasional di bidang perkawinan. dibuatnya aturan tentang perkawinan beda agama ini dianggap sebagai solusi bagi pelaku perkawinan beda agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan pengadilan atau mengisi kekosongan hukum namun ternyta pasal ini malah menimbulkan masalah yang lebih rumit. Aturan yang dimuat yang mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM) pada kenytaanya lebih dominan kepada adanya pertentanga dengan nilai-nilai agama sehingga jika dikaji secara horizontal maka aturan ini memiliki pertentangan dengan sistem hierarki tertinggi yaitu Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945).

Kata kunci : Perkawinan, Perkawinan Beda Agama, Undang-Undang Administrasi

Kependudukan

Page 6: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga

penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul: “ANALISIS YURIDIS

PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN NOMOR 23 TAHUN

2006” Penulisan ini merupakan salah satu syarat yang harus ditempuh dalam

menyelesaikan jenjang pendidikan strata satu (S-1) Fakultas Hukum dan Syariah di

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis menyadari bahwa

skripsi ini tidak akan berhasil tanpa bantuan dan bimbingan serta dorongan yang

diberikan oleh banyak pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis

menyampaikan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak. Dr. H. JM. Muslimin, MA., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta serta dosen pembimbing

utama, atas waktu, bimbingan, serta saran-sarannya dalam menyusun skripsi ini.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., dan Ibu Rosdiana, MA., selaku ketua

dan sekretaris Program Studi Ahwal Syakhsiyyah Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bapak Dr. Rumadi, MA., selaku dosen akademik, atas waktu, kesabaran, dan

bimbingan, dalam menyusun skripsi ini.

4. Bapak Dennie Arsan Fatrika SH., selaku Hakim Pengadilan Negeri Bogor yang

telah memberikan informasi dalam penyelesaian penulisan skripsi ini. Dengan

Page 7: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

vii

bijaksana membantu dan mengarahkan penulis dalam pengumpulan data selama

proses pelaksanaan observasi dalam penulisan skripsi ini.

5. Ayah dan Ibu, kakak serta adik-adikku di rumah yang memberi kasih sayang,

doa, dorongan dan dukungannya baik materiil maupun spiritual serta

memberikan motivasi kepada penulis dengan ketulusan.

6. Teman-teman kelas Peradilan Agama “B” yang selalu mendukung dan mengisi

hari-hari penulis dengan keceriaan.

7. Dosen-dosen, staf dan karyawan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam

Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas

dukungannya.

8. Pihak-pihak lain yang terlibat dan turut membantu dalam penulisan skripsi ini

yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh

karena itu saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Akhir

kata penulis memohon maaf sebesar-besarnya jika dalam pembuatan skripsi ini

penulis melakukan kesalahan baik yang disengaja maupun yang tidak sengaja.

Semoga ini bermanfaat bagi para pembaca.

Jakarta, April 2014

Penulis

Page 8: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

viii

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ............................................................................................... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ................................................................. iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................... iv

ABSTRAK ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi

DAFTAR ISI .......................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ............................................... 8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 10

D. Studi Review .................................................................................... 11

E. Metode Penelitian ............................................................................ 12

F. Sistematika Penulisan ...................................................................... 15

BAB II PERKAWINAN................................................................................... 17

A. Kajian Umum Tentang Perkawinan ................................................. 17

B. Tujuan Perkawinan ........................................................................... 26

Page 9: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

ix

C. Syarat-Syarat Syahnya Perkawinan .................................................. 30

D. Pencatatan Perkawinan ..................................................................... 37

BAB III PERKAWINAN BEDA AGAMA ...................................................... 41

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dari Sudut

Pandang Berbagai Agama di Indonesia .......................................... 41

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama Dalam

Hukum Positif di Indonesia ............................................................. 56

C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama Dalam Praktek ....................... 66

D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama ................................... 69

BAB IV ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN DAN

PERKAWINAN BEDA AGAMA ...................................................... 73

A. Perkawinan Antar Agama dalam Perspektif Undang-Undang No

23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan ..................... 74

B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Administrasi Kependudukan ..................................... 82

BAB V PENUTUP ........................................................................................... 109

A. Kesimpulan .................................................................................... 109

B. Saran ............................................................................................... 113

Page 10: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

x

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 115

LAMPIRAN-LAMPIRAN ................................................................................... 200

1. Surat Permohonan Data/Wawancara.............................................. 200

2. Surat Bukti Wawancara.................................................................. 201

3. Hasil Wawancara ........................................................................... 202

4. Penetapan Nomor 111/Pdt.P/2007/PN.Bgr .................................... 206

5. Penetapan Nomor 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj ................................... 212

Page 11: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna dibandingkan

dengan makhluk lainnya, dengan kelebihan yang ada pada manusia maka sudah

sewajarnya bahwa manusia seharusnya menggunakan kelebihan tersebut dengan

baik.Manusia sebagai makhluk hidup dan sosial memiliki kebutuhan-kebutuhan

untuk melangsungkan eksitensinya sebagai makhluk.Manusia sebagai makhluk

sosial selalu hidup bersama dengan manusia lainnya dalam suatu pergaulan hidup.

Hidup bersama antar manusia, antara lain untuk memenuhi kebutuhan hidupnya,

baik yang bersifat jasmani maupun yang bersifat rohani. Kebutuhan manusia

sangatlah banyak maka dari itu Maslow mengklasifikasikannya kedalam empat

bentuk yaitu dilihat dari hierarki atau dasar hakikat manusia antar lain : The

Physiological Needs (kebuthan fisik), The Safety Needs (rasa aman), Love Needs,

The Esteem Needs, The Needs For Self –Actualization.1 Kebutuhan fisiologis itu

sendiri adalah kebutuhan seksual, pemenuhan kebutuhan seksual dapat diterima

dengan baik jika adanya hubungan seksual dengan lawan jenis yaitu antara wanita

dengan seorang pria. Namun dengan demikian hubungan seksual itu dapat

dilakukan melalui dua hal yaitu dengan cara ikatan perkawinan maupun tanpa

ikatan perkawinan atau hubungan seksual yang tak sah. Hubungan seksual tanpa

1 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta,

2004), h. 16.

Page 12: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

2

ikatan perkawinan yang sah dipandang sebagai aib dan perbuatan tersebut

dilarang norma masyarakat Indonesia. Maka dapat dikatakan bahwa hubungan

seksual yang dapat diterima oleh norma msyarakat Indonesia hanya melalui

perkawinan dan yang melatarbelakangi perkawinan adalah untuk memenuhi

kebutuhan fisiologis yang sesuai dengan norma masyarakat Indonesia.2

Perkawinan sendiri sudah menjadi tradisi dan budaya yang sudah tak dapat

lagi dipisahkan, Ia dipengaruhi oleh pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, dan

keagamaan yang dianut masyarakat yang bersangkutan. Di Indonesia perbedaan

suku bangsa, budaya dan kewarganegaraan antara laki-laki dan perempuan yang

akan melangsungkan perkawinan bukanlah masalah. Hukum negara Indonesia

tidak melarang perkawinan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang

berbeda suku bangsa, budaya, dan kewarganegaraan. Hal ini sesuai dengan

kondisi masyarakat Indonesia yang heterogen yang terdiri dari bermacam-macam

suku dan adat istiadatnya, karena banyaknya perbedaan dan keragaman sering kali

menimbulkan masalah yang sangat komplek, misalnya perkawinan antar negara

ataupun yang labih rumit perkawinan antar agama.

Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang

mengatur segala sesuatu berkaitan dengan pelaksanaan perkawinan dalam Pasal 1

Undang-Undang Perkawinan memberikan pengertian tentang perkawinan yaitu :

“Ikatan lahir batin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan

2 Bimo Walgito, Bimbingan dan Konseling Perkawinan, (Yogyakarta: Andi Yogyakarta,

2004,) h. 21.

Page 13: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

3

tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa dan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1

Tahun 1974 mengatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.3 Walaupun tentang

perkawinan ini telah ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, tidak berarti bahwa undang-undang ini telah mengatur semua aspek yang

berkaitan dengan perkawinan. Contoh persoalan yang tidak diatur oleh Undang-

Undang Perkawinan adalah perkawinan beda agama, yaitu antara seorang laki-

laki dan seorang perempuan yang berbeda agama.4

Fenomena perkawinan antar agama, bukanlah hal baru di Indonesia.

Sebelumnya sudah berderet wanita Indonesia yang menikah dengan laki-laki non-

muslim. Kasus yang cukup terkenal adalah perkawinan artis Deddy Corbuzier dan

Kalima pada awal tahun 2005 lalu, di mana Deddy yang Katolik dinikahkan

secara Islam oleh penghulu pribadi yang dikenal sebagai tokoh dari Yayasan

Paramadina. Pengadilan Negeri Bogor sendiri telah mengeluarkan suatu

penetapan dan memberikan izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama

serta memerintahkan pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil

(KCS) Kota Bogor untuk mendaftarkan suatu perkawinan beda agama (No.

111/Pdt.P/2007 / Pn.Bgr,)

3 M. Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun

1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta: Ind Hill Co, 1990), h.3.

4 Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama di Indonesia Oleh : Anggreini Carolina Palandi,

Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013. h.197.

Page 14: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

4

Sementara seluruh agama yang diakui di Indonesia tidak membolehkan

adanya perkawinan yang dilakukan jika kedua calon beda agama. Dalam Islam

sendiri sudah jelas tertulis dalam Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut

KHI) yang diantara materi-materinya adalah masalah kawin beda agama yaitu

Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44.5 Hanya saja materi yang termuat dalam pasal

tersebut adalah berupa pelarangan tegas terhadap persoalan kawin beda agama.

Dalamajaran Islam sendiri wanita tidak boleh menikah dengan laki-laki non

muslim (QS al-Baqarah [2] : 221) selain itu dalam ajaran Kristen perkawinan

beda agama dilarang (I Korintus 6 : 14-18 )6. Agama Kristen Katholik secara

tegas menyatakan perkawinan antara seorang Katolikdengan penganut agama lain

adalah tidak sah (Kanon;1086), namun gereja memberikan dispensasi dengan

persyaratan yang ditentukan hukum gereja (Kanon;1125).7 Dispensasi dalam

realisasinya diberikan oleh Uskup setelah memenuhi persyaratan tertentu dan

kedua belah pihak membuat perjanjian tertulis Pertama yang beragama Katolik

berjanji akan tetap setia pada iman Katolik, berusaha memandikan dan mendidik

anak-anak mereka secara Katolik, Kedua, mereka yang tidak beragama Katolik

berjanji menerima perkawinan secara Katolik, tidak akan menceraikan pihak yang

5 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 berbunyi : Dilarang melangsungkan perkawinan

antara seorang pria denagn seorang wanita karena keadaan tertentu yaitu pada huruf (c) seorang wanita

yang tidak beragama Islam. Dan Pasal 44 berbunyi : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan

perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus

Media, 2010), h. 16.

6 Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan dan Perceraian, (Ciputat: Kataelha,

2010,) h. 31.

7 Kanon Alkitab adalah kumpulan kitab yang diyakini memiliki otoritas sebagai Firman Allah

dan layak menjadi tolak ukur bagi iman umat yahudi maupun kristiani.

Page 15: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

5

beragama Katolik, tidak menghalangi pihak yang beragama Katolik

melaksanakan imannya, dan bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik.

Menurut hukum Hindu suatu perkawinan hanya sah jika dilaksanakan upacara

suci oleh Pedende, dan Pedende hanya mau melaksanakan upacara pernikahan

kalau kedua calon pengantin beragama Hindu maka perkawinan orang Hindu

yang tidak memenuhi syarat dapat dibatalkan.

Sehubungan dengan soal keabsahan dari perkawinan beda agamayang

masih menjadi dualisme yang dipertanyakan dan selama ini pelaksanaanya masih

belum mendapat kejelasan kini telah mendapat suatu dasar hukum yaitu

berdasarkan penetapan pengadilan sesuai dengan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 yang mana dalam salah satu pasalnya

Pasal 35 berbunyi: “Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal

34 berlaku pula bagi :

a. Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan dan

b. Perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan

Warga Negara Asing yang bersangkutan.

Bunyi penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf

(a) yang dimaksud dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan" adalah

perkawinan yang dilakukan antar-umat yang berbeda agama8. Sehingga dapat

ditarik kesimpulan bahwa Kantor Catatan Sipil kini memiliki kewenangan

8 Lihat Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006, (Jakarta: Sinar

Grafika, 2007), h. 17.

Page 16: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

6

baru,yang sebelumnya hanya berwenang mencatatkan perkawinan selain

pasangan non-muslim sesuai dengan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1983

tentang Penataan, Pembinaan, Penyelenggaraan Catatan Sipil yang pada Pasal 1

ayat 2 huruf (a) menyatakan kewenangan dan tanggung jawab di bidang catatan

sipil adalah: menyelenggarakan pencatatan dan penerbitan kutipan akta kelahiran,

akta kematian, akta perkawinan dan akta perceraian bagi mereka yang bukan

beragama Islam.9 Kemudian diperkuat dengan keputusan Gubernur Kepala

Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 15 Tahun 1999 tentang Prosedur

Pelayanan Masyarakat pada Kantor Catatan Sipil Propinsi DKI Jakarta Pasal 5

ayat (1) yang menyatakan setiap perkawinan WNI atau WNA yang telah sah

dilaksanakan oleh pemuka agama selain agama Islam dicatatkan pada Kantor

Catatan Sipil selambat-lambatnya 30 hari sejak peristiwa perkawinan.Dengan

adanya peraturan-peraturan tersebut maka Kantor Catatan Sipil tidak lagi

berwenang mengawinkan pasangan beda agama walaupun ada perintah dari

pengadilan untuk melaksanakannya.

Namun dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Adminitrasi Kependudukan, Kantor Catatan Sipil memiliki tugas baru yaitu selain

mencatat perkawinan non-Islam kini juga mencatat pasangan beda agama. Jika

dilihat dari poin Pasal 35 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan muncul sebagai jalur legal dari berbagai jalur ilegal

yang sering dilakukan masyarakat untuk melangsungkan perkawinan, ketentuan

9 Lihat Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 12 Tahun 1983 Tentang

Penataan dan Peningkatan Pembinaan Penyelenggaraan Catatan Sipil Presiden Republik Indonesia

Page 17: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

7

pasal ini jelas bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Perkawinan Nomor

1 Tahun 1974 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan atas

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 terhadap Pasal 2 ayat 1 ini,

berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu, sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud

dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk

ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan

kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam

undang-undang ini. Pasal 8 huruf (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya

atau peraturan lain yang berlaku dilarang kawin. Walaupun bunyi Pasal 8 huruf(f)

Undang-Undang Perkawinan , tidak tegas menyebutkan larangan perkawinan

beda agama, tetapi sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa setiap agama di

Indonesia melarang perkawinan antara umat yang berbeda agama. Hal tersebut

diperkuat dengan bunyi penjelasan atas Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang

Perkawinan bahwa tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agamanya

dan kepercayaannya itu. Hal ini memperlihatkan bahwa suatu penjelasan atas

suatu pasal dari suatu undang-undang, menghapuskan atau membatalkan suatu

ketentuan undang-undang yang lain.10

Dengan demikian timbulah pertanyaan apakah hukum negara telah

mengakui adanya perkawinan beda agama dan segala akibat perkawinan beda

agama tersebut dan apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang­Undang

10

Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara Undang-Undang

Perkawinan dan Undang-Undang Adminduk, Privat Law Edisi 01 Maret-Juni 2013. h. 52

Page 18: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

8

Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan merupakan

pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 dan berarti perkawinan beda agama telah mendapat

pengaturan tersendiri. Berdasarkan hal yang diuraikan di atas penulis tertarik

untuk mengangkat topik yang berjudul: “Analisa Yuridis Perkawinan Beda

Agama di Indonesia Setelah diberlakukannya Undang-Undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006”

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah

Dalam hal ini penulis hanya membatasi permasalahnya terkait dalam

keabsahan Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006

itu sendiri, yang mana disebutkan dalam salah satu pasalnya yaitu tentang

penjelasan Pasal 35 huruf (a) : Yang dimaksud dengan ”perkawinan yang

ditetapkan oleh pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang

berbeda agama, yang esensinya bertolak belakang dengan Pasal 2 ayat (1)

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 sehingga hal ini membuka

celah baru bagi pasangan untuk menikah beda agama atau hal ini memiliki

peraturan yang terpisah ataukah pengecualian.

Secara deskriptif dapat ditarik permasalahanya bahwa Undang-Undang

Perkawinan dalam Pasal 2 menyatakan perkawinan adalah sah, apabila dilakukan

menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya dan Pasal 2 Undang-

Undang Perkawinan (UUP) adalah dasar hukum dilarangnya perkawinan beda

agama karena tidak ada agama di Indoesia dengan bebas memperbolehkan

Page 19: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

9

umatnya menikah dengan penganut agama lain. KHI (Kompilasi Hukum Islam)

pun tegas melarang perkawinan beda agama akan tetapi kenyataanya perkawinan

beda agama saat ini bukan lagi rahasia umum, hal ini di buktikan dengan adanya

putusan Pengadilan Negeri Bogor Nomor(No. 111/Pdt.P/2007/Pn.BGR) dan

Pengadilan Negeri Lumajang Nomor (No. 198/Pdt,P/2013/Pn.Lmj) yang berisi

tentang pemberian izin untuk melangsungkan perkawinan beda agama karena

sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan terutama Pasal 35 yang menjadi dasarnya. Akibat lahirnya

Undang-Undang Administrasi Kependudukan tersebut tanpa sadar telah

melegalkan perkawinan beda agama untuk disahkan dengan dicatatkan di Kantor

Catatan Sipil.

Dari rumusan masalah tersebut penulis kembangkan pada bentuk

pertanyaan sebagai berikut :

1. Apakah hukum negara telah mengakui adanya perkawinan beda agama dan

segala akibat perkawinan beda agama tersebut?

2. Bagaimana keabsahan perkawinan beda agama setelah berlakunya Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Pasal

35 huruf (a)

3. Apakah keberadaan Pasal 35 huruf (a) Undang­Undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 merupakan pengecualian dari

berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 atau perkawinan beda agama telah mendapat pengaturan tersendiri?

Page 20: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

10

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Tujuan umum dalam penulisan skripsi ini adalah dimaksudkan untuk

mengetahui sejauh mana Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23

Tahun 2006 terutama dalam Pasal 35 huruf (a) berlaku dan apakah keberadaan

Pasal 35 huruf (a) Undang­Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun

2006 merupakan pengecualian dari berlakunya Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun1974 dan berarti perkawinan beda agama telah

mendapat pengaturan tersendiri. Dan tujuan penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran dan pemahaman tentang bagaimana perkawinan itu sendiri

berkembang dan apa saja yang menjadi polemik yang termuat dalam aturan yang

sudah ada dan dilakukan sebagai pemahaman tentang asas perkawinan yang

berkembang di Indonesia, dengan mencoba mengidentifikasi isu-isu yang bisa

dipecahkan.

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik bagi

kepentingan ilmu hukum maupun kepentingan praktis sebagai berikut:

1. Penelitian ini secara khusus bermanfaat bagi penulis yaitu dalam rangka

menganalisadan menjawab keingintahuan penulis terhadap perumusan

masalah dalam penelitian.

2. Selain itu, penelitian ini juga bermanfaat dalam memberikan kontribusi

pemikiran dalam menunjang perkembangan ilmu hukum khususnya hukum

perdata dibidang perkawinan. Selain itu juga dapat memberikan kontribusi

serta manfaat bagi individu, para penegak hukum dan masyarakat maupun

Page 21: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

11

pihak-pihak yang berkepentingan sebagai bagian informasi bagi masyarakat

mengenai ketentuan hukum dan masalah-masalah yang terkait dengan

perkawinan beda agama yang dilangsungkan didalam dan di luar negeri.

3. Untuk menjadi bahan referensi oleh pembaca baik mahasiswa, dosen, maupun

masyarakat umum.

D. Studi Review

Sebelum penulis membuat skrispi ini penulis melakukan telaah terlebih

dahulu mencari teks-teks atau naskah-naskah yang memiliki kesamaan dengan

tema atau malah sama percis dengan tema yang penulis angkat, hal ini dilakukan

untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan atau terjadi plagiat (pencotekan

hak cipta). Dalam penulisan skripsi ini ada beberapa naskah skripsi terdahulu

yang memiliki kaitan dan kesamaan.

Skripsi yang berjudul Analisis Kritis Terhadap Konsep Pemikiran Feminis

tentang Perkawinan Beda Agama karya Anih Robbani Tahun 2011 lebih

menekannkan tentang perubahan Kompilasi Hukum Islam yang diusung kaum

feminisme sudah tidak relevan dan tentang konsep perkawinan beda agama yang

di gagas kaum feminisme. Sedangkan skripsi yang berjudul Hak Anak dalam

Memilih Agama dari Pasangan Beda Agama karya Azazi Tahun 2008, lebih

menegaskan tentang hak-hak anak, kebebasan anak dalam menetukan pilihanya

dari pasangan beda agama dari persepktif Hak Asasi Manusia (HAM).

Page 22: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

12

Jika penulis simpulkan dari skripsi-skripsi terdahulu jelas sekali perbedaan

yang dapat dilihat yang mana dalam pembahasan yang penulis angkat ini adalah

tentang aturan adanya celah baru tentang pelegalan perkawinan antar agama,

sedangkan skripsi terdahulu belum ada tentang aturan yang terkait atau sebelum

adanya aturan yang penulis angkat.

E. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, yang diteliti adalah sampai sejauh mana hukum

positif tertulis itu singkron atau bertentangan. Ada beberapa jalur dapat dilakukan

antara lain:11

1. Vertical yaitu dengan cara melihat suatu peraturan perundang-undanganyang

berlaku bagi suatu bidang kehidupan tertentu tidak saling bertentangan antar

satu dengan yang lainapabila dilihat dari sudut vertical atau hierarki peraturan

perundang-undangan yang ada.

2. Horizontal yaitu melihat dan meninjau peraturan perundang-undangan yang

kedudukannya sederajat dan mengatur bidang yang sama.

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode antara lain:

1. Pendekatan Masalah

Sehubung dengan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis

normatif, maka pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-

11

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum,(Jakarta: Raja Grafindo, 2005 ), h. 94.

Page 23: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

13

undangan. Hal ini berfungsi untuk mempelajari adakah konsistensi dan

kesesuaian antara suatu undang-undang dengan undang-undang yang lain

yaitu antara Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun

2006 dengan Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dan antara

Undang-Undang Dasar 1945, sehingga dapat disimpulkan mengenai ada

tidaknya benturan baik filosofi ataupun sosial antara undang-undang dengan

isu yang dihadapi.12

2. Sumber dan Jenis Data

Untuk mengumpulkan data dalam penulisan skripsi ini penulis

menggunakan sumber dan jenis data library research yaitu penelitian yang

dilakukan di Kepustakaan.

Berkenaan dengan metode yuridis normatif yang dipergunakan maka

penulis melakukan penelitian kepustakaan (library research) yaitu :

a. Bahan hukum primer, yaitu bahan yang sifatnya mengikat masalah-

masalah yang akan diteliti seperti Undang-Undang Dasar 1945, Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan,

Peraturan tentang perkawinan Gemengde Huwelijken Regeling (GHR)

Staatsblad 158-1898, norma dasar Pancasila, dan Yurisprudensi.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan

12

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2008), h. 94.

Page 24: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

14

mengenai bahan hukum primer. Penulis akan meneliti buku-buku ilmiah

hasil karya dikalangan hukum yang ada relevansinya dengan masalah

yang diteliti, memahami bahan hukum primer adalah rancangan peraturan

perundang-undangan,hasil-hasil penelitian, hasil-hasil karya ilmiah para

sarjana.

c. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi

tentang bahan hukum primer dan sekunder. Misalnya kamus bahasa

hukum, ensiklopedi, majalah, media massa dan internet.13

Tempat penelitian kepustakaan ini adalah:

a. Perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

b. Perpustakaan Fakultas Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

c. Buku hukum dari koleksi pribadi.

d. Situs-situs hukum dari internet

3. Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data ini penulis berusaha mencari dan

mengidentifikasi setiap masalah, baik bahan hukum primer maupun sekunder

dikumpulkan berdasarkan topik permsalahannya lalu dirumuskan sesuai isu

yang diteliti dan diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya untuk dikaji

secara komprehensif. Adapun bahan hukum yang diperoleh dari studi

kepustakaan, aturan perundang-undangan maupun artikel akan penulis uraikan

13

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2011), h. 29.

Page 25: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

15

dan hubungkan sehingga disajikan dalam penulisan yang sitematis guna

menjawab permasalahan. Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari hasil

penelitian yang sudah terkumpul akan dipergunakan metode analisis normatif

kualitatif dengan menggunakan penafsiran gramatikal, sistematis dan outentik

karena penelitian ini bertitik tolak dari peraturan-peraturan yang ada sebagai

norma hukum positif sedangkan kualitatif dimaksudkan analisis data yang

bertitik tolak pada usaha-usaha penemuan asas-asas dan informasi yang

bersifat ungkapan monografis dari responden.

F. Sitematika Penulisan

Dalam skripsi ini di susun dengan sistematika yang terbagi dalam lima bab,

masing-masing bab terdiri atas subbab guna memperjelas ruang lingkup dan

cangkupan permasalahan yang dibahas. Adapun urutan tata letak masing-masing

bab serta pokok permasalahan sebagai berikut.

Bab I pendahuluan, berisi uraian latar belakang, selanjutnya diikuti oleh

rumusan masalah yang nanti akan menjadi acuan untuk menentukan arah

penelitian, lalu tujuan penelitian, manfaat penelitian, studi review serta metode

penelitian dalam hal ini kan diuraikan tipe penelitian bagaimana sebuah

pendekatan masalah dilakukan sekaligus sumber bahan hukum baik prosedur

pengumpulan sumber dan analisis yang dipakai dan yang mendukung terakhir

berisi sitematika penulisan.

Page 26: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

16

Bab II menguraikan tentang kajian teoritis tentang perkawinan. Yaitu berisi

tentang pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat dan rukun perkawinan,

sahnya perkawinan. Lalu menguraikan perkawinan campuran dan terakhir

pandangan agama di Indonesia tentang perkawinan itu sendiri sekaligus analisa

pemikirannya terhadap perkawinana beda agama sesuai dengan tema yang akan

penulis bahas dan konsep-konsep hukum keluarga tentang perkawinan.

Bab III, berisi kajian tentang aturan hukum atau yuridiksi, tinjauan yuridis

tentang perkawinan beda agama sebelum dan sesudah lahirnya Undang-Undang

Perkawinan, dan juga menguraikan posedur pencatatan atau pengesahan suatu

perkawinan terutama beda agama di Kantor Catatan Sipil yang menjadi

kewenangannya.

Bab IV membahas tentang eksitensi dan yuridiksi perkawinan beda agama.

Pada intinya pembahasan ini dilakukan untuk mengkaji implikasi dan urgensi

Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 terhadap

upaya pemberlakuan pengesahan atau pelegalan perkawinan beda agama yang

esensinya bertentangan dengan mayoritas salah satu norma agama, dan

menjawab pertanyaan apakah Undang-Undang Administrasi Kependudukan

Nomor 23 Tahun 2006 cukup responsif atau malah bertentangan dengan aturan

yang sudah ada sehingga dapat ditarik kesimpulan atas kedudukan Undang-

Undang tersebut.

Bab V merupakan bab penutup, berisi simpulan dan rekomendasi antar lain

tentang perbaikan celah-celah yang merupakan kekurangan dari Undang-Undang

Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006.

Page 27: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

17

BAB II

PERKAWINAN

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan

1. Definisi Perkawinan Menurut Fiqih.

An-nikaah secara etimologi/bahasa berarti mengumpulkan atau

menggabungkan. Makna hakiki kata an-nikaah adalah bersetubuh. Namun

secara majaz sering diungkapkan dengan arti akad perkawinan, penyebutan ini

termasuk al-musabbab (hubungan intim) namun yang dimaksud adalah as-

sabab (akad pernikahan).1 Selain itu ada juga yang mengartikannya dengan

percampuran. Al-Fara’ mengatakan: “An-Nukh” adalah sebutan untuk

kemaluan. Disebut sebagai akad karena ia merupakan penyebab terjadinya

kesepakatan itu sendiri. Sedangkan menurut Al-Azhari akar kata nikah dalam

ungkapan bahasa arab artinya hubungan badan, dikatakan pula bahwa

berpasangan itu juga merupakan salah satu dari makna nikah. Al-Farisi

mengatakan: “jika mereka mengatakan bahwa si fulan atau anaknya fulan

menikah maka yang dimaksud adalah mengadakan akad, namun jika

dikatakan bahwa ia menikahi istrinya berarti yang dimaksud adalah

berhubungan badan.2

1 Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram (Syarah

Bulugh Maram), (Jakarta : Pustaka Azzam, Jilid. 5, 2006) h. 252.

2 Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Al-Jami’fil Fiqh An-Nisa ( Fiqih Wanita), (Beirut

Libanon : Da’arul Kutub Al-Ilmiyah, Cet. Pertama, 1996), h. 375.

Page 28: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

18

Sedangkan secara syariat berarti sebuah akad yang mengandung

pembolehan bersenang-senang dengan perempuan, berhubungan intim,

mencium dan sebagainya, jika perempuan tersebut bukan termasuk mahram

dari segi nasab atau keluarga dan sepersusuan. Atau bisa juga diartikan bahwa

nikah adalah sebuah akad yang telah ditetapkan oleh syariat yang befungsi

untuk memberikan hak kepemilikan bagi lelaki.3

Para ulama Hanifiah mendefinisikan nikah adalah sebuah akad yang

memberikan hak kepemilikan seutuhnya artinya kehalalan seorang laki-laki

bersenang-senang dengan seorang perempuan yang tidak dilarang untuk

dinikahi secara syariat. Dengan adanya kata “ perempuan” maka tidak

termasuk di dalamnya laki-laki atupun banci musyikil4, seperti firman Allah

yang berbunyi:

Artiya :

“Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan

menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan

memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman

kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?" (an-Nahl : 72).

3 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta:Gema Insani dan Darul Fikir, 2011,

Jilid Ke-9), h. 39.

4 Banci musykil adalah banci yang memiliki dua kelamin dengan kualitas fungsi yang sama.

Page 29: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

19

Dan dalam al-Qu’ran dinyatakan bahwa hidup berpasang-pasangan,

hidup berjodoh-jodoh adalah naluri segala makhluk Allah sebagaimana dalam

firman Allah dalam surat az-Zarariyat ayat 49 yang berbunyi :

Artinya ;

“Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu

mengingat kebesaran Allah SWT” (az-Zarariyat: 49)

Dalam surat Yasin ayat 36 pun dijelaskan tentang perkwanina yaitu

dinyatakan dalam firman Allah yang berbunyi:

Artinya :“Maha suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan

semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka

maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.” (Yasin : 36)5

Dari makhluk yang diciptakan oleh Allah SWT berpasang-pasangan

selanjutnya Allah menciptakan manusia menjadi berkembang biak dan

berlangsung dari generasi ke generasi berikutnya, sebagaimana dalam firman

Allah yang berbunyi:

5 Abdhur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008,

Cet. Ketiga), h. 12.

Page 30: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

20

Artinya :” Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya[263]6 Allah

menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang

biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah

yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama

lain[264], dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah

selalu menjaga dan Mengawasi kamu”. (an-Nisaa :1)

Sedangkan menurut Imam Syafi’i menyebut arti perkawinan sebagai

akad yang menjadikan kebolehan melakukan persetubuhan. Sementara Imam

Hambali mendefinisikan perkawinan sebagai akad yang didalamnya terdapat

lafadz perkawinan secara jelas diperbolehkannya bercampur. Akad yang

dimaksud adalah serah terima antara orang tua atau wali calon mempelai.

Dengan adanya akad tersebut maka sudah halalnya sepasang insan untuk

melakukan hubungan intim dan terhindarlah dari perbuatan yang tidak di

inginkan.7Allah berfirman:

Artinya :

“janganlah kamu mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah keji

dan seburuk-buruknya jalan.” (al-Isra : 32).

6 (263) maksud dari padanya menurut Jumhur Mufassirin ialah dari bagian tubuh (tulang

rusuk) Adam a.s. berdasarkan hadis riwayat Bukhari dan muslim. di samping itu ada pula yang

menafsirkan dari padanya ialah dari unsur yang serupa yakni tanah yang dari padanya Adam a.s.

diciptakan.

7 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, Jakarta, Khairul Bayan,

2003, h. 20.

Page 31: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

21

Menurut ahli ilmu ushul fiqih dan bahasa, kata nikah digunakan secara

haqiqah (arti sebenarnya) untuk arti hubungan intim, dan secara majaz

(kiasan) artinya akad. Sekiranya kata nikah dalam Al-qur’an dan sunah tanpa

adanya indikasi lain maka yang dimaksud adalah hubungan intim. Kata

“nikah” di dalam bahasa arab menurut ahli fiqih dari senior empat mazhab

mereupakan kata yang di gunakan secara haqiqah dalam mengungkapkan

makna akad, sedangan digunakan secara majaz ketika mengungkapkan kata

hubungan intim.8

Dari penjelasan yang diuraikan diatas tampaknya para ulama

mendefinisikan perkawinan semata-mata dalam konteks hubungan biologis

saja, hal ini adalah wajar karna makna asal itu sendiri sudah berkonotasi

hubungan seksual.9 Disamping itu harus jujur diakui yang menyebabkan laki-

laki dan perempuan tertarik untuk menjalin hubungan adalah salah satunya

dorongan-dorongan yang bersifat biologis baik disebabkan karna faktor ingin

memperoleh keturunan ataupun memenuhi kebutuhan seksualitasnya.

2. Definis Perkawinan Menurut Hukum Positif di Indonesia

Sebelum Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dinyatakan

berlaku, aneka ragam aturan tentang perkawinan sudah lebih dulu ada. Seperti

8 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insani dan Darul Fikir,

2011, Jilid Ke-9), h. 40.

9 Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana,

2006), h. 49.

Page 32: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

22

Huwelijiks Ordinantie Christen Indonesia - Indonesia Java, Ninahassa en

Amboina (HOCI) S.1933 Nomor 74 (Undang-Undang Perkawinan Indonesia

Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon) aturan ini beralaku bagi golongan

Indonesia asli beragama Kristen di wilayah Jawa, Minahasa dan Ambon. Dan

bagi penduduk asli Indonesia yang beragama Islam beralaku hukum adat,

sedangkan bagi orang timur asing Cina dan warganegara keturunan Cina

berlaku ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KHUPer) atau

Burgerlijk Wetboek (BW) sama halnya dengan warga golongan Eropa.

Dan munculah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 yang

mulai berlaku tangal 2 Januari 1974 menurut Prof. R. Sardjono, “ kita telah

lama bersatu dalam keinginan memiliki undang-undang perkawinan nasional

yang mampu menampung aspirasi bersama”. Beliau juga mengatakan

terbentuknya undang-undang ini merupakan suatu sluitstuk yang berhasil

daripada suatu rentetan usaha-usaha kearah penyusun perundang-undangan

tentang perkawinanyang telah dilakukan bertahun-tahun.10

Dan sejalan

dengan itupun muncullah aturan bagi mayoritas muslim walaupun dalam

bentuk Intruksi Persiden Nomor 1 Tahun 1991 tetapi dapat digunakan sebagai

pelengkap dan mengisi kekosongan hukum.

Dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, memberikan pengertian tentang perkawinan sebagai ikatan lahir

bathin antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan

10

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No

1/1974, (Jakarta: PT Dian Rakyat, 1986), h. 7.

Page 33: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

23

membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan

Ketuhanan Yang Maha Esa. Dari bunyi Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 tersimpul bahwa suatu rumusan dan tujuan dari

perkawinan. “arti” perkawinan yang dimaksud diatas adalah ikatan lahir batin

antara pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dan tujuanya tersirat

dalam membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhahan

Yang Maha Esa. Pengertian perkawinan sepeti yang tercantum dalam

Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 bila dipeirincikan sebagai

berikut :

a. Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara pria dengan seorang wanita

sebagai suami istri.

b. Ikatan lahir batin itu ditunjukan untuk membentuk keluarga (rumah

tangga) yang bahagia, kekal dan sejahtera.

c. Ikatan lahir dan tujuan bahagia yang kekal itu berdasarkan ketuhanan

yang maha esa.11

Menurut Kitab Undang-Udang Hukum Perdata (KHUPer) atau

Burgerlijk Wetboek (BW) secara tegas tidak mengatur tetang definisi

perkawinan namun dalam Pasal 26 BW memandang soal perkawinan hanya

dalam hubungan perdata saja.12

Dalam konsep hukum perdata barat,

perkawinan itu dipandang dalam hubungan keperdataan saja maksudnya

11

Djoko Prakoso dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta:

Bina Aksara, , 1987 Cet. Pertama), h. 3. 12

Libertus Jehani, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, (Jakarta: Forum Sahabat, 2008), h. 5.

Page 34: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

24

undang-undang tidak ikut campur dalam keterkaitan dengan adat istiadat atau

agama, undang-undang hanya mengenal perkawinan yang dilangsungkan

dihadapan pegawai catatan sipil. Perbedaan mengenai pengertian perkawinan

pada Pasal 1 Undang-Undang Perkawinan dengan pengertian perkawinan

yang terdapat didalam Pasal 26 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yaitu

bahwa di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, perkawinan

merupakan ikatan yang bersifat lahiriah namun tidak memperhatikan urusan

batiniah, sedangkan Undang-Undang Perkawinan, mengartian perkawinan

sebagai ikatan lahir bathin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai

suami isteri. Maksud dari ikatan lahir bathin ialah bahwa ikatan tersebut tidak

cukup diwujudkan dengan ikatan lahir saja, tetapi harus terwujud pula ikatan

bathin yang mana keduanya harus terpadu erat menjadi satu kesatuan.

Pada umumnya perkawinan menurut hukum agama perkawinan adalah

perbuatan yang suci (sakramen), perkawinan yang di lakukan di Pengadilan

ataupun di Kantor Catatan Sipil tanpa dilakukan terlebih dahulu menurut

hukum agama tertentu berarti tidak sah. Perkawinan yang dilakukan oleh

hukum adat atau aliran kepercayaan yang bukan agama, dan tidak dilakukan

menurut tata cara agama yang di akui pemerintah berarti tidak sah.13

Menurut

hukum adat sendiri perkawinan bukan saja perikatan adat14

melainkan

13

Wahjadi Darmabrata dan Adhi Wibowo Nurhidayat, Psikiatri Forensic, (Jakarta:

Kedokteran EGC, 2003), h. 96.

14

Perikatan adat adalah perkawinan yang mempunyai akibat hukum adat yang berlakudalam

masyarakat yang bersangkutan.

Page 35: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

25

perikatan kekeluargaan.

Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) perkawinan adalah

pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk

mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.15

Perkawinan adalah suatu pernikahan yang merupakan akad yang sangat baik

untuk mentaati perintah Allah dan pelaksanaanya adalah merupakan ibadah.

kata mitssaqan ghalidzan ini ditarik dari firman Allah yang terdapat pada

surat an-Nisa ayat 21 yang berbunyi :

Artinya : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian

kamu Telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. dan

mereka (isteri-isterimu) Telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.”

(an-Nisa : 21)16

Di dalam Undang-Undang Perkawinan (UUP) dan Kompilasi Hukum

Islam (KHI), perkawinan itu diartikan sebagai akad dan kontrak, sering

disebut perkawinan adalah “marriagein Islam is purely civil contract”

(perkawinan merupakan perjanjian semata-mata).

15

Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Bandung: Focus Media, 2010), h. 7.

16

Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana,

2006), h. 43.

Page 36: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

26

B. Tujuan Perkawinan

Perkawinan adalah sebuah peristiwa yang sakral, sebuah momentum yang

ditunggu-tunggu setiap pasangan. Perkawinan merupakan suatu ikatan lahir

bathin yang sah untuk membentuk rumah tangga sejahtera dan bahagia dimana

keduanya memikul amanah dan tanggung jawab. Di dalamp setiap agama

manapun peristiwa-peristiwa sakral seperti perkawinan mengandung berbagai

maksud dan arti tersndiri,maksud-maksud itulah yang mendasari seseorang dalam

berumah tangga dan menjadi dasar bagi para pasangan untuk membentuk sebuah

keluarga berdasarkan keimanan. Karena itulah, tujuan perkawinan harus dicari

dalam konteks spiritual.

Tujuan dari perkawinan diatur dalam Pasal 1 Undang-Undang

Perkawinan, disebutkan bahwa tujuan dari perkawinan adalah membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa. Dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa maka perkawinan

mempunyai hubungan yang sangat erat dengan agama atau kerohanian, dalam hal

perkawinan disetiap agama pasti mempunyai suatu tujuan yang jelas, tujuan

perkawinan tersebut diharapkan dapat membuat suatu ketenangan (sakinah)

dalam hubungan rumah tangga dengan dasar agama.

1. Tujuan Perkawinan Menurut Agama Islam

Bagi seorang muslim tujuan perkawinan adalah beribadah kepada Allah.

Perkawinan adalah sebuah perbuatan yang diperintahkan Allah. Imam Abu

Page 37: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

27

Hanifah, Ahmad bin Hambal dan Malik bin Anas menyatakan untuk pribadi-

pribadi perkawinan bahkan bisa menjadi wajib, melakukannya agar dapat

menghindarkan diri dari perbuatan maksiat akan mendapatkan pahala dari-

nya.17

Seperti firman Allah yang berbunyi:

Artinya ;

“ Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan

untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan

merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan

sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-

tanda bagi kaum yang berfikir.”( ar-Rum:21).

Selain beribadah kepada Allah dalam arti sempit maupun luas tujuan

seorang muslim menjalin bahtera rumah tangga adalah untuk melestarikan

keturunan, tidak seperti orang-orang yang fanatik dengan kesukuan maupun

trah-nya, tujuan melestarikan keturunan bukan hanya membuat silsilah tapi

lebih menekankan pada terbentuknya generasi-generasi yang berpegang teguh

pada keimanan. Selain itu juga tujuan perkawinan dalam Islam untuk sarana

pemenuhan kebutuhan seksual atau dorongan syahwat yang merupakan

insting dasar semua makhluk hidup. Karena manusia bebeda dengan

binantang, maka mesti ada system dan syariat yang benar. Al-Qur’an

mengatakan “zuyyinah li al-nnasihubbu-al-syahwati min al-annisa” (QS. Al-

17

Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan,

2003), h. 21.

Page 38: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

28

Imran, 3:41) “manusia (laki-laki) dihisi kencintaan kepada perempuan. Laki-

laki menyukai dan mencintai lawan jenisnya.” Untuk penyaluran yang benar

Islam dari rasa suka dan cinta itu Islam membuat syariat,yakni

pernikahan.Rosulullah bersabda “Annikahusunnati” pernikahan merupakan

sunnahku, dalam sabda lainnya “Tidak ada suatu bentuk yang lebih baik

didalam Islam daripada perkawinan.”18

Imam al-Ghazali dalam faedah melangsungkan perkawinan, merincikan

tujuan perkawian sebagai berikut :

a. Mendapatkan dan melangsungkan perkawinan

b. Memenuhi hajat manusia untuk menyalurkan syahwat dan menumpahkan

kasih sayang.

c. Memenuhi panggilan agama, untuk memelihara diri sendiri dari kejahatan

dan kerusakan

d. Menumbuhkan kesungguhan untuk bertanggung jawab menerima hak dan

kewajiban, juga bersungguh-sungguh untuk memperoleh harta kekayaan

yang halal.

e. Membangun rumah tangga untuk membentuk masyarakat yang tenteram

atas dasar cinta dan kasih sayang.19

18

Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Nikah Beda Agama,

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 38. 19

Abdhur Rahman Ghozali, Fiqih Munakahat, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,

2008, Cet. Ke-3), h. 24.

Page 39: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

29

Sehingga dapat disimpulkan empat faktor penting dalam perkawinan itu

sendiri antara lain, menentramkan jiwa, melestarikan keturunan, memenuhi

kebutuhn biologis, dan latihan bertanggung jawab.20

2. Tujuan Perkawinan Menurut Agama-Agama di Indonesia

Dalam tradisi gereja masa lampau, tujuan primer perkawinan adalah

meneruskan keturun dan tujuan-tujuan lain dianggap tujuan tambahan. Hal ini

terbukti dari salah satu ayat dalam kitab suci injil yang berbunyi : “Allah

memberikan mereka, lalu Allah berfirman kepada mereka : beranak cuculah

dan bertambah banyak ; penuhilah bumi ini dan ditaklukanlah itu.” Dalam

perjanjian baru dijelaskan pula masalah perkawinan, dimana dikatakan bahwa

perkawinan merupakan hubungan lahir bathin yang sah antara seorang pria

dengan seorang wanita seperti yang dijelaskan dalam Kitab Suci Injil yang

berbunyi ; “Allah merencanakan kawin untuk mengadakan hubungan

sehingga pria dan wanita menjadi satu daging.”21

Dalam agama Konguchu tujuan perkawinan ialah memungkinkan

manusia melangsungkan sejarahnya dan mengembangkan benih-benih Thian

(Tuhan Yang Maha Esa) yang berwujud kebajikan yang bersemayam di dalam

20

Ali Hasan, Pedoman Hidup “ Berumah Tangga dalam Islam”, (Jakarta: Prenada Media,

2003), h. 21

21

Al Purwa Hadiwardoyo, Surat Untuk Suami Istri Katolik, (Yogyakarta: Kanisius, 2002), h.

22. Lihat juga Al kitab, Robert Davidson : (Alkitab Berbicara), (Jakarta: Gunung Mulia, 2001), h. 13.

Page 40: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

30

dirinya, dan memungkinkan manusia membimbing putri-putrinya.22

Dari uraian di atas ternyata pada dasarnya disetiap agama memilki

tujuan yang sama dalam perkawinan, dan di dalam Undang-Undang

Perkawinan yang berpegang pada Pasal 1 yang berbunyi “dengan tujuan

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang

maha esa”. Rumusan tersebut sudah mencangkup makna tujuan perkawinan

dari berbagai kalangan beragama, yang mengandung harapan bahwa dengan

melangsungkannya perkawinan akan diperoleh suatu kebahagiaan baik materil

maupun spiritual.

C. Syarat-Syarat Syah Perkawinan

1. Pengertian Rukun, Syarat dan Sah

Rukun yaitu sesuatu yang mesti ada yang menentukan sah dan tidaknya

suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan

itu.23

Syarat itu adalah hal yang menjadi penentu keberadaan sesuatu, dan ia

berada di luar hakikat sesuatu tersebut. Syarat-syarat setiap akad, termasuk

akad nikah ada empat macam: syarat in’iqaad (pelaksanaan), syarat ini harus

dipenuhi di dalam rukun-rukun akad, syarat shihhah (sah) syarat ini

mempunyai konsekuensi syar’i terhadap akad, syarat nafaadz (terlaksana)

22

Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman, dalam

Masyarakat Dan Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Kanisius (Angota IKAPI), 2006), h. 63.

23

Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 59.

Page 41: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

31

yaitu syarat yang menentukan konsekuensi akad jika dilaksanakan, syarat

luzum (kelanggengan) yaitu syarat yang menentukan kesinambungan dan

kelanggengan akad.24

Rukun perkawinan sendiri ialah kerelaan hati kedua belah pihak (laki-

laki dan perempuan), karena kerelaan adalah hal yang tersembunyi di dalam

hati. Caranya harus diungkapkan melalui ijab dan qabul, ijab dan qabul adalah

pernyataan yang menyatukan keinginan kedua belah pihak untuk mengikatkan

diri dalam suatu perkawinan.25

Jumhur ulama sepakat bahwa rukun perkawinan itu terdiri atas :

a. Adanya calon suami istri

b. Adanya wali dari pihak wanita

c. Adanya dua orang saksi

d. Sighat akad nikah

Kendatipun dalam hal-hal tertentu, seperti posisi wali dalam saksi lalu

tentang mahar masih dalam iktilaf dikalangan ulama. Namun mayoritas

sepakat dengan rukun yang lima ini. Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI)

dijelaskan juga tentang rukun dan syarat perkawinan yag tertuang di dalam

bab IV, yaitu Pasal 14 tentang bagian rukun dan Pasal 16-17 tentang aturan

calon memepelai, Pasal (19-23) tentang wali nikah, (Pasal 24-26) tentang

24

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insane dan Darul Fikir,

2011, Jilid Ke-9), h. 54.

25

Bachrul Ilmy, Pendidikan Agama Islam, (Bandung: Grafindo Media Pratama, 2007), h. 53.

Page 42: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

32

aturan saksi nikah dan Pasal (25-29) tentang akad nikah. Sedang bab V berisi

tentang ketentuan mahar.26

2. Syarat dan Sah Perkawinan Menurut Hukum di Indonesia

Perkawinan itu adalah suatu perbuatan hukum, sebagai perbuatan

hukum ia mempunyai akibat-akibat hukum. Sah atau tidaknya suatu perbuatan

hukum ditentukan oleh hukum positif. Hukum positif di bidang perkawinan di

Indonesia sejak 2 Januari 1974 adalah Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974, dengan demikian sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan oleh

ketentuan undang-undang tersebut.

Menurut Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu”.

Penjelasan Pasal 2 ayat (1) itu menjelaskan bahwa: ”Dengan perumusan

pada Pasal 2 ayat (1) ini, tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar

1945. Yang dimaksud bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu

sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang

ini”.27

26

Kompilasi Hukum Islam, selanjutnya disingkat KHI merupakan Instruksi Presiden RI

Nomer 1 Tahun 1991, yang memuat tiga buku. Buku I berisi tentang Hukum Perkawinan, Buku ke II

tentang Hukum Kewarisan dan Buku ke III tentang Hukum Perwakafan , Bandung, Focus Media,

2010). 27

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan, (Jakarta:

Akademika Presindo, 1986).

Page 43: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

33

Dari ketentuan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1

Tahun 1974 kita melihat bahwa Undang-Undang Perkawinan ini

menggantungkan sahnya suatu perkawinan kepada hukum agama dan

kepercayaan masing-masing pemeluknya, berarti sudah tidak ada lagi

perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaannya.28

Hal ini sesuai dengan Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:

a. Negara berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

b. Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan beribadah menurut agama dan

kepercayaan.29

Syarat-syarat perkawinan di Negara Republik Indonesia diatur dalam

Pasal 6, Pasal 7 dan Pasal 11 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun

1975. Syarat-syarat tersebut dikelompokan menjadi : 30

1) Syarat-syarat materil yang berlaku umum.

Syarat-syarat yang termasuk kedalam kelompok ini diatur di dalam pasal

dan mengenai hal sebagai berikut :

a) Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calonsuami-isteri

(Pasal 6 ayat 1Undang-Undang Perkawinan).

28

Hazairin, Tinjauan UU Perkawinan Nomer 1/1974, (Jakarta: Tintamas, 1976), h. 7.

29

Lihat UUD 1945, Jakarta, Sekretariat Jendral dan Kepanitraan,, 2011, h. 33.

30

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No

1/1974, (Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 22.

Page 44: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

34

b) Seorang yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapatkan ijin

dari kedua orang tuanya (Pasal 6 ayat 2 Undang-Undang Perkawinan).

c) Perkawinan diijinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan

pihak wanita sudah mencapai umur 16 ( Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang

Perkawinan).

d) Bagi wanita yang putus perkawinannya berlaku waktu tunggu (Pasal 11

Undang-Undang Perkawinan), yaitu :

a) Apabila perkawinan putus karena kematian waktu tunggu ditetapkan

130 hari.

b) Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang

masih berdatang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-

kurangnya 90 hari, bagi yang tidak berdatang bulan ditetapkan 90

hari.

c) Apabila perkawinan putus, sedangkan janda dalam keadaan hamil,

maka waktu tunggu ditetapkan sampai ia melahirkan.

d) Apabila perkawinan putus karena perceraian, sedangkan antara janda

dan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin, maka

tidak ada waktu tunggu.

2) Syarat materil bersifat khusus

Syarat ini hanya berlaku untuk perkawinan tertentu saja dan meliputi hal-

hal sebagai berikut ;

a) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana yang diatur dalam

Page 45: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

35

Pasal 8,9 dan 10 Undang-Undaang Perkawinan Nomor 1/1974 yaitu

mengenai laranga perkawinan,

b) Berhubungan darah dalam garis ketururnan lurus ke bawah ataupun ke

atas ataupun kesamping.

c) Berhubungan sebenda, susuan.

d) Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi, kemenakan dari

istri, dalam hal suami beristri lebih dari seorang

e) Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang

berlaku, dilarang kawin.

f) Seseorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak

dapat kawin lagi dalam hal yang tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) dan

Pasal 4 Undang-Undang Perkawinan (Pasal 9 Undang-Undang

Perkawinan).

g) Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang

lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka

tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang bahwa masing-

masing agamanya dan kepercayaannya dari yang bersangkutan tidak

menentukan lain (Pasal 10 Undang-Undang Perkawinan)

3) Syarat formal

Syarat-syarat formil tersebut terdiri dari 3 (tiga) tahap,yaitu :

a) Pemberitahuan kepada Pegawai Pencatat Perkawinan.

b) Penelitian syarat-syarat perkawinan

Page 46: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

36

Penelitian syarat-syarat perkawinan dilakukan setelah ada

pemberitahuan akan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.

Penelitian syarat-syarat perkawinan memeriksa apakah syarat-syarat

perkawinan sudah terpenuhi atau belum dan apakah ada halangan

perkawinan menurut undang-undang. Selain itu Pegawai Pencatat

Perkawinan juga meneliti mengenai: Pengumuman tentang

pemberitahuan untuk melangsungkan perkawinan.

Tujuan diadakan pengumuman ini, yaitu untuk memberi

kesempatan kepada umum untuk mengetahui dan mengajukan

keberatan-keberatan terhadap dilangsungkannya perkawinan.

Pengumuman tersebut ditandatangani oleh Pegawai Pencatat

Perkawinan dan memuat hal ihwal orang yang akan melangsungkan

perkawinan, yang memuat kapan dan dimana perkawinan itu akan

dilangsungkan.31

Dari ketentuan-ketentuan diatas jelaslah betapa besarnya peranan

hukum agama dalam menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Kita

melihat juga adanya hubungan saling melengkaapi antara Undang-Undang

Perkawinan nasional dengan hukum perkawinan menurut agama dan

kepercayaan.

31

Amiur Nurudin dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia ( Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI ), (Jakarta: Kencana,

2006), h. 221.

Page 47: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

37

D. Pencatatan Perkawinan

Pencatatan perkawinan adalah seseorang yang karena perubahan status

sipilnya dari yang sebelumnya lajang menjadi berstatus kawin, yang membawa

akibat hukum.32

Secara umum pencatatan di Indonesia menurut Undang-Undang

Perkawinan dibagi dalam dua kelompok yaitu :

1. Pelaksanana perkawinan untuk orang non- muslim

2. Pelaksanaan perkawinan untuk orang Islam33

Masalah pencatatan perkawinan di Indonesia diatur dalam beberapa Pasal

peraturan perundang-undangan. Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 mengatur “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan

perundang-undangan yang berlaku” pencatatan dilakukan oleh Pegawai

Pencatatan Nikah (PPN) sebagaimana yang dimaksud oleh Undang-Undang

Nomer 32 Tahun 1945 tentang Pencatatan Nikah, Talak, Rujuk. Sedangkan tata

caranya berpedoman pada Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975. Selanjutnya

dalam Pasal 10 ayat (3) PP No 9/1975 menetukan bahwa perkawinan

dilaksanakan dihadapan pegawai pencatat, yang dihadiri dua orang saksi. Fungsi

pencatatan disebutkan pada angka 4b, penjelasan umum Undang-Undang Nomer

1 Tahun 1974: pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan

pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam ke hidupan seseorang, misalnya

32

Panduan Bantuan Hukum di Indonesia, Pedoman Anda Memahami dan Menyelesaikan

Masalah Hukum, (Jakarta: YLBHI, 2007), h. 112.

33

M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010), h. 19.

Page 48: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

38

kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-surat daftar pencatatan.34

Mengenai sahnya perkawinan dan pencatatan perkawinan terdapat pada Pasal 2

Undang-Undang Perkawinan, berbunyi :

1. “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu;

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku.

Dari Pasal 2 ayat (1) tersebut, dapat diketahui bahwa sebuah perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu. Ini berarti bahwa jika suatu perkawinan telah memenuhi

syarat dan rukun nikah atau ijab kabul telah dilaksanakan (bagi umat Islam) atau

pendeta/pastur telah melaksanakan pemberkatan atau ritual lainnya, maka

perkawinan tersebut adalah sah terutama di mata agama dan kepercayaan

masyarakat. Akan tetapi sahnya perkawinan ini dimata agama dan kepercayaan

masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini ketentuannya

terdapat pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan, tentang pencatatan

perkawinan.

Mengenai pencatatan perkawinan, dijelaskan pada Bab II Pasal 2

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang pencatatan perkawinan. Bagi

mereka yang melakukan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan

34

M. Anshary, Hukum Perkawinan di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010), h. 19.

Page 49: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

39

di Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan untuk mencatatkan perkawinan dari

mereka yang beragama dan kepercayaan selain Islam, menggunakan dasar hukum

Pasal 2 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 dilakukan di Kantor

Catatan Sipil.35

Perintah Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun

1974 untuk melakukan pencatatan terhadap suatu perkawinan ditunjukan untuk

seluruh Warga Negara Indonesia (WNI). Bagi Warga Negara Indonesia yang

melangsungkan perkawinan di luar Indonesia diatur dalam Pasal 56 Undang-

Undang Perkawinan No. 1/179436

:

1. Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua Warga Negara

Indonesia atau Warga Negara Asing (WNA) adala sah bila dilakukan menurut

hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi

warga Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang.

2. Dalam waktu 1(satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah

Indonesia surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkn di kantor

pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

Tata cara pencatatan perkawinan dilaksanakan sebagaimana ditentukan

dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975

ini, antara lain pada ayat (1) : setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan

35

Lihat Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Pustaka Widiyamata,, 2006), h. 47. 36

Henry Siswosoediro, Buku Pintar Pengurusan Perizinan dan Dokumen (Panduan Untuk

Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), (Jakarta: Visimedia, 2008), h. 197.

Page 50: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

40

memberitahukan secara lisan atau tertulis rencana perkawinannya Kepada

Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan, pemberitahuan

dalam ayat (1) dilakukan selambat-lambatnya 10 hari kerja sebelum perkawinan

dilangsungkan.37

Ketentuan tentang perintah pencatatan terhadap suatu perbuatan hukum

yang didalam hal ini adalah perkawinan, sebenarnya tidak diambil dari hukum

barat atau Burgerlijk Wetboek (BW) tetapi diambil dari ketentuan Allah SWT

yang dicantumkan dalam al-Qur’an surat ( al-Baqarah: 282 ) “ hai orang-orang

yang beriman, apabila kamu melakukan suatu transaksi dalam waktu yang tidak

ditentukan (tidak tunai) hendaklah kamu mencatatanya…”38

Pasal 34 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Administrasi kependudukan:

“ Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan Peraturan Perundang-undangan

wajib dilaporkan oleh Penduduk kepada Instansi Pelaksana di tempat terjadinya

perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.”39

Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tidak

ditemukan suatu halangan untuk perkawinan, pegawai pencatat mengumumkan

dan menandatangani pengumuman tentang pemberitahuan kehendak

melangsungkan perkawinan dengan cara menempel surat pengumuman pada

suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum.

37

Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia “Studi

Kritis Perkembangan Huum Islam Dari Fiqih”, UU No 1/1974 Sampai KHI, (Jakarta: Kencana, 2006),

h. 122.

38

Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia “Masalah-Masalah Krusia”l, (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010), h. 21.

39

Lihat Udang-Undang Administrasi Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), h. 17.

Page 51: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

41

BAB III

PERKAWINAN BEDA AGAMA

A. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama Ditinjau dari Sudut

Pandang Berbagai Agama di Indonesia.

Perkawinan/pernikahan merupakan salah satu dimensi kehidupan yang

sangat penting dalam kehidupan manusia di dunia manapun. Begitu pentingnya

perkawinan tidak mengherankan jika agama-agama di dunia mengatur masalah

perkawinan bahkan tradisi atau adat masyarakat dan juga institusi negara tidak

ketinggalan mengatur perkawinan yang berlaku di kalangan masyarakatnya.

Banyak perbedaan dalam pembuatan peraturannya ini disebabkan karna cara

berfikir dan adat istiadat yang berpengaruh, keberbedaan itu tidak hanya satu

agama dengan agama yang lain, satu adat masyarakat dengan adat masyarakat

yang lain, satu negara dengan negara yang lain, bahkan dalam satu agamapun

dapat terjadi perbedaan pengaturan perkawinan.

Yang menjadi masalahnya saat ini yaitu, terkadang sebuah peraturan yang

dibuat tidak menjawab masalah yang ada, atau belum adanya pengaturan yang

jelas sehingga banyak polemik dan kontroversi yang muncul. Misalnya tentang

perkawinan antar agama, memang bangsa Indonesia adalahnegara maupun bangsa

yang plural dan heterogen. Indonesia adalah bangsa yang multikultural dan

multiagama. Pluralitas di bidang agama terwujud dalam banyaknya agama yang

diakui sah di Indonesia, selain Islam ada agama Hindu, Budha, Kristen, Katolik,

Page 52: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

41

Konguchu dan lain-lain dan tidak dipungkiri munculnya perkawinan antar agama

timbul dari salah satu sebab tersebut. Namun bukan jadi alasan sebuah peraturan

dibuat karna hanya berfikir tentang aspek globalisasi tapi pada kenyatanya yang

ada malah menyebabkan masalah baru di bidang sosial maupun hukum.

Perkawinan antar agama itu sendiri atau lintas agama sering disebut juga

perkawinan campuran dalam arti sempit yaitu perkawinan antara dua orang (pria

dan wanita) yang tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan agama.1

Perkawinan antara dua orang yang berbeda agama atau dalam media masa sering

disebut perkawinan antar agama.

Di dalam Undang-Undang Perkawinan sendiri tidak diatur tentang

perkawinan beda agama. Ketentuan secara tegas dilarang atau tidak dilarangnya

perkawinan beda agama, tidak dapat ditemukan dalam Undang-Undang

Perkawinan dan Peraturan Pemerintah sebagai peraturan pelaksananya. Dengan

tidak adanya ketegasan perkawinan beda agama dalam aturan-aturan perkawinan

di Indonesia, dimana aturan-aturan perkawinan masih menyerahkan sepenuhnya

persoalan perkawinan kepada agama. Jadi tidak ada aturan diluar hukum agama

dan kepercayaanya jika tiap agama sudah ada ketentuannya dan tidak ada

kemungkinan untuk melanggar ketentuan agamanya sendiri,

1. Menurut Agama Islam

Perkawinan beda agama dalam pandangan hukum Islam dibagi kedalam

dua golongan, pertama perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim

1 Mohammad Daud Ali, Hukum Islamdan Peradilan Agama “Kumpulan Tulisan”,

(Jakarta:Raja Grafindo Persada, 200), h. 55.

Page 53: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

42

dan kedua yaitu perkawinan pria non muslim dengan wanita muslim. Dalam

al-qur’an sudah telah mebedakan antara ahli kitab dengan orang musyrik,

menurut Imam Al-Jaziry orang kafir terdiri dari tiga golongan2 :

a. Golongan yang tidak mempunyai kitab dari langit (Samawi)

b. Golongan yang mempunyai kitab dari langit semacam kitab Samawi,

mereka adalah orang-orang Majusi yang menyembah api.

c. Golongan yang beriman kepada kitab suci, yaitu seperti Nasrani atau

Yahudi.

Seorang muslim tidak boleh menikahi seorang perempuan musyrik yaitu

perempuan atheis atau materialis.3 Wanita-wanita yang tidak mengakui

keberadaan Allah seperti atheis, eksistensial, al-Baha‟iyyah dan al-

Qadiyaniyyah sesuai firman Allah SWT :

Artinya: “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari

wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. dan janganlahkamu

menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum

mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang

2 Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Yogyakarta: Khairul

Bayan, 2003), h. 41.

3 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta:Gema Insane dan Darul Fikir,

2011, Jilid Ke-9), h. 147.

Page 54: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

43

musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang

Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. dan Allah

menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya

mereka mengambil pelajaran.” (Al Baqarah(2) : 221)

Mazhab Hanafi dan Syafi’i serta mazhab yang lainnya memasukan

perempuan murtad kedalam golongan perempuan musyrik dan tidak ada

seorang muslim yang boleh mengawininya karena dia telah meninggalkan

agama Islam, kesimpulannya tidak boleh menikahi perempuan yang tidak

termasuk ahli kitab, seperti watsaniyyah dan majusiyyah.

Sedangkan perkawinan seorang wanita muslimah dan laki-laki kafir

hukumnya haram karena dalam perkawinannya dikhawatirkan perempuan

yang beriman jatuh kedalam kekafiran. As-Sayyid Sabiq menyebutkan

beberapa argumen tentang diharamkannya wanita muslim menikah dengan

laki-laki nonmuslim sebagai berikut :

a. Orang kafir tidak boleh menguasai orang Islam berdasarkan QS.an-Nisa

[4]: 141:….dan Allah takan memberikan jalan orang kafir itu

mengalahkan orang mukmin.

b. Laki-laki kafir dan Ahli kitab tidak akan mau mengerti agama istrinya

yang muslimah, malah sebaliknya ia akan mendustakan kitab dan

mengingkari ajarannya.

c. Dalam rumah tangga campuran, pasangan suami istri tidak mungkin

tinggal dan hidup (bersama) karena perbedaan yang jauh.4

4 As-Sayyid Sabiq, Fiqih As-Sunnah, Juz 2, ( Beirut: Da’r al-Kitab al-A’rabi, 1985), h. 99.

Page 55: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

44

Imam Al-Qurthubi berkata “janganlah menikahkan wanita muslimah

dengan orang musyrik”, dan umat ini telah berijma bahwa laki-laki musyrik

itu tidak boleh menggauli wanita muslimah bagaimanapun bentuknya karena

perbuatan itu sama saja penghinaan terhadap umat Islam. Dan para ulama

mengemukakan larangannya dengan mengucapkan kata musyrik atau kafir,

karena itu sudah cukup jelas kata kafir mencangkup ahli kitab. Disamping itu

tidak ada ayat atau hadist yang membolehkannya setelah turunnya ayat 10

surat al-Mumtahanah.5

Secara umum, pada dasarnya kitab fiqih seperti kitab Al-Fiqh „ala al-

Madzahib al-Arba‟ah karya Abdurrahman al-Jaziri, kitab Bidayatul Mujtahid

karya Ibnu Rusyd6 dan kitab Fiqih as-Sunnah karya Sayid Sabiq,

mengharamkan perkawinan muslim dengan non muslim. Hanya saja ada

beberapa pengecualian, terutama akibat ketentuan khusus dari QS.al-Maidah

ayat 5, menjadi pergeseran dari tingkat hukum haram menjadi makruh,

mubah atau lainnya pada kasus laki-laki muslim mengawini perempuan ahli

kitab.7 Ada beberapa golongan yang berpendapat tentang status perkawinan

ini antara lain :

5 Hartono Ahmad Jaiz, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, (Jakarta:,

Pustaka Al-Kautsar, 2007), h. 100-101.

6 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Beirut: Da’r al-Fikr, t.t) dalam konteks atau kasus

ini ia tidak banyak berbeda dengan fuqaha yang lain.

7 Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Nalar Islam, (Yogyakarta: LKIS Yoyakarta, 2006),

h. 36-37.

Page 56: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

45

a. Golongan pertama

Golongan ini termasuk jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan

laki-laki muslim dengan perempuan Ahl al-kitab8 diperbolehkan mereka

beralasan dengan ayat al-qur’an al-Maa’idah ayat 5 ;

Artinya :Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, (al-Maa’idah : 5)

Bahwa alasan dari pendapat dari golongan pertama mengemukakan

al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 beserta Asbabun Nuzulnya diterima

secara bulat tetapi itu pengecualian yang datur oleh Allah dalam surat al-

Maidah ayat 5 yaitu mepertahankan laki-laki muslim dengan wanita

Yahudi/Nasrani tetapi jika wanitanya muslim menikah dengan laki-laki

Yahudi/Nasrani tetap di tolak, sesuai dengan pendapat Prof. Mahmud

Junus.9 Selain itu sejarah telah menunjukan bahwa beberapa sahabat

8 Perempuan ahli kitab adalah perempuan yang percaya terhadap agama samawi (agama yang

memiliki kitab yang diturunkan, serta memiliki nabi dan rosul )

9 Moh.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan

Agama Memurut Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2006), h 63.

Page 57: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

46

Rosullulah seperti Thalhah Ibn Ubaidiyah, pernah mengawini perempuan

kitabiyah.10

Menurut golongan mayoritas (jumhur) ini, walapun aqidah

ketuhanan ahli-kitab tidak sepenuhnya sama dengan akidah Islam, al-

Qur’an tidak menyebutkan mereka yang menganut Yahudi dan Nasrani

sebagai orang musyrik (QS al-Bayyinah [98] : 1 dan 6 ; al-Hajj [22]: 17).

Dengan demikian ahli-kitab tidak termasuk orang musyrik dan oleh karena

itu larangan menikahi waita musyrik sebagai mana di tegaskan QS al-

Baqarah tidak berlaku atas perempuan kitabiyah.11

b. Golongan kedua

Golongan ini berpendapat bahwa menikahi wanita non muslim itu

haram hukumnnya. Salah satu sahabat Rosulullah yang mengharamkan

mengawini wanita non muslim adalah Abdullah bin Umar. Ketika beliau

ditanya tentang perkawinan dengan wanita Yahudi dan Nasrani ia

menjawab “sesungguhnya Allah telah megharamkan wanita-wanita

musyrik bagi kaum muslimin, aku tidak tahu syirik manakah yang lebih

besar daripada seorang perempuan yang berkata bahwa tuhannya adalah

Isa, sedangkan Isa adalah hamba Allah”.12

Dan golongan ini pun

berpegang pada surat al-Baqarah ayat 221 dan surat al-Mutahannah : 10

10

Bsiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi Hukum

Islam, (Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 129. 11

Maria Ulfah Anshor. dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan

Pluralisme, (Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 44.

12

Budi Handrianto, Perkawinan Beda Agama dalam Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan,

2003), h.54.

Page 58: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

47

“dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan

wanita-wanita kafir” dan golongan ini juga berpendapat bahwa al-Baqarah

ayat 221 yang melarang menikahi wanita musyrik hingga ia beriman turun

lebih akhir dari surat al-Maidah ayat 5 (yang membolehkan mengawini

wanita-wanita al-Kitab yang baik) dengan demikian surat al-Baqarah ayat

221 menasakh ayat 5 surat al-Maidah.13

c. Golongan ketiga

Golongan ini berpendapat bahwa mengawini wanita non muslim itu

hukumnya makhruh, menurut mazhab Hanafi dan Syafi’i serta menurut

Maliki dalam salah satu pendapatnya, seorang muslim makruh menikah

dengan perempuan ahli-kitab dan ahli dzhimah. Sedang mazhab Hambali

berpendapat perkawinan dengan perempuan ahli-kitab adalah makhruh.14

Sayyid Sabiq mengatakan sekalipun kawin dengan wanita ahli kitab

dibolehkan tapi dianggap makhruh, hal ini dikarenakan tidak adanya rasa

aman dan ketentraman iman. Muhammad meriwayatkan atsar ini dalam

kitabnya al-aatsaar yang berisi tentang umar yang mengirim surat kepada

hudzaifah agar menceraikan istrinya yang beragama Yahudi, dengan alasan

bahwa kekhawatiran orang-orang muslim mengikuti perbuatannya.

Kemudian mereka memilih perempuan ahli dzimah karena kecantikannya,

13

Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi Hukum

Islam, (Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 134.

14

Wahbah Az-Zuhaili, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, (Jakarta: Gema Insane dan Darul Fikir,

2011, Jilid Ke-9), h. 149-150.

Page 59: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

48

dengan demikian mereka akan jadi fitnah bagi para istri kaum muslimin.

Dari atsar tersebut jelas ada larangan mengawini wanita ahli-kitab

dikarenakan keburukan yang ada di dalamnya yaitu bisa jadi terjatuh

kedalam perkawinan dengan pelacur dari mereka atau bisa jadi mereka

akan mengikuti jejaknya untuk menikah dengan wanita ahli-kitab dan

membiarkan perempuan muslimah menjadi perawan tua.

Di dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) aturan tentang perkawinan

lintas agama atau antar agama sudah sangat jelas dan rinci, KHI

menempatkan perkawinan antar agama pada larangan perkawinan yang

tertuang pada Pasal 40 (c) dan Pasal 44 dan berikut bunyi pasalnya:15

Pasal 40 (c); Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang

pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu; (c) seorang wanita

yang tidak beragama Islam.

Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya

perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl

al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab)

Pasal 44 : Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan

dengan seorang pria yang tidak beragama Islam.

Kedua pasal tersebut sejalan yakni melarang orang Islam melangsungkan

perkawinan dengan non-muslim tanpa mengklasifikasikan antara musyrik

dan kitabiyah.

15

Lihat Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta: Focus Media, 2010), h. 16.

Page 60: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

49

Skema Perkawinan Antar Agama Menurut Fiqih dan KHI16

2. Menurut Agama Kristiani

Dalam agama Kristen ada dua aliran pertama keristen Katolik dan kedua

Kristen Protestan. Agama Katolik sendiri menganggap nikah sebagai satu

sakramen. Gereja Roma Katolik mendasarkan ajaranya itu pada Efasus 5:25-

33, hukum gereja Katolik merumuskan perkawinan sebagai perjanjian dengan

nama pria dan wanita membentuk antara mereka kebersamaan seluruh hidup

dari sifat kodratnya terarah pada kesejahteraan serta pada kelahiran anak dan

pendidikanya oleh Kristus tuhan antara orang yang di baptis diangkat ke

16

Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi

HukumIslam,(Jakarta: Dalbun Salam, 2005), h. 188.

Page 61: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

50

martabat sakramen. (Kan 1055:1).17

Pada tanggal 31 Maret 1970 Paus Paulus mengeluarkan surat Apostolic

Matrimonia Mixta,18

terkait pertanyaan tentang perkawinan campuran. Di

dalam surat tersebut di sebutkan bahwa perkawinan campuran adalah

perkawinan antara pria dan wanita dimana salah satu pihaknya adalah bukan

non Katolik. Dalam definisi tersebut ada perbedaan yang mana non Katolik

(Kristen Protestan) sedang non baptis (beragama lain), Paus Paulus

menyatakan bahwa perkawinan tersebut menimbulkan banyak permaslahan

karena perbedaan iman dan agama. Oleh karena itu sebisa mungkin umat

Katolik menghindari perkawinan campuran.19

Menurut hukum kanon gereja ada sejumlah halangan yang membuat

tujuan perkawinan tidak dapat diwujudkan, misalnya adanya ikatan nikah

(Kanon 1085), adanya tekanan baik secara fisik ataupun psikis (Kanon 1089

dan 1103), juga karena perbedaan gereja (Kanon 1124) maupun agama (Kanon

1086)20

.

17

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No 1/1974,(Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 35.

18

Matrimonia mixta berisi penjelasan tentang perkawinan campur. “Perkawinan campur yakni perkawinan antara pihak katolik dan pihak bukan katolik baik yang dibaptis maupun tidak dibaptis…”. Pengertian perkawinan campur secara rinci: perkawinan antara pihak katolik dan pihak bukan katolik dibaptis. Yang disebut dengan perkawinan campur beda gereja (mixta religio) dan perkawinan antara orang katolik dengan orang non katolik tidak dibaptis (disparitas cultus). Pada intinya perkawinan campur adalah perkawinan antara orang katolik dan orang bukan katolik.

19

Agung Prihartana, Pendidikan Iman Anak dalam Kawin Campur Beda Agama, (Yogyakarta: Kanisius), h. 37.

20

Maria Ulfah Anshor, dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan

Pluralism,(Jakarta: KapalPerempuan, 2004), h. 53.

Page 62: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

51

Namun dengan demikian tidak di pungkiri bagi mereka yang tetap

mempertahankan cintanya, pejabat gereja yang berwenang yaitu Uskup dapat

memberikan dispensasi (pengecualian dari aturan umum untuk suatu keadaan

yang khusus) untuk tetap melakukan perkawinan asalkan memenuhi syarat

yakni yang beragama Katolik berjanji (kanon:1125)21

:

a. Akan tetap setia pada iman Katolik

b. Berusaha mempermandikan dan mendidik semua anak-anak mereka secara

Katolik,

c. Yang tidak beragama Katolik berjanji menerima perkawinan secara

Katolik,

d. Tidak akan menceraikan yang beragama Katolik,

e. Tidak akan menghalangi pihak yang beragama Katolik untuk beribadah,

dan

f. Bersedia mendidik anak-anaknya secara Katolik,

Kendatipun diberi dispensasi sebenarnya Katolik memandang

perkawinan berbeda agama akan menimbulkan konflik dan pertentangan

sehingga merusak esensi dan tujuan dari perkawinan itu sendri, dan sebaiknya

dihindari.

Sedangkan menurut agama Protestan, Gustrude Nystrom mengatakan

yang menjadi dasar utama dari perkawinan dalam alkitab adalah “kasih” yang

tulus dari dua orang sehingga mereka menentukan untuk hidup bersatu suka

21

Mohammad Daud Al, Hukum Islam dan Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo

Persada, 2002), h. 60.

Page 63: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

52

atau duka hingga kematian yang memisahkannya. Dengan kata lain dapatlah

dirumuskan perkawinan pandangan Protestan adalah suatu persekutuan hidup

dan percaya yang total, ekslusif, dan kontinyu antara seorang wanita dan pria

yang dikuduskan dan diberkati oleh kristus Yesus.

Dalam Kristen Protestan memandang pernikahan pada dua aspek yaitu

sipil dan agama, pernikahan adalah soal agama maka sudah semestinya

dilakukan menurut hukum agama hukum tuhan Yesus agar sesuai dengan

kehendak tuhan namun pernikahan juga erat kaitannya dengan hubungan antar

sesama maka Negara pun berhak mengaturnya. Berdasarkan pada pandangan

itu Kristen Protestan memandang bahwa perkawinan sah jika dilakukan

menurut hukum agama dan negara.22

Meski pada prinsipnya Kristen Protestan menghendaki perkawinan itu

dilakukan dengan orang yang seagama, pada level tertentu agama Protestan

pun tidak menghalangi kalau terjadi perkawinan beda agama. Namun agama

Kristen lebih memilih pernikahan antar pemeluk agama Kristen Katolik

dengan Protestan dibandingkan menikah dengan agama lain dikarenakan

sesungguhnya hal itu bukanlah perkawinan antar agama melainkan hanya

perbedaan gereja.

3. Menurut Agama Hindu

Agama Hindu memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci,

perkawinan adalah samskara (sakramen) dan termasuk salah satu dari sekian

22

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No

1/1974, (Jakarta:Dian Rakyat, 1986), h. 40.

Page 64: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

53

banyak sakramen sejak lahirnya (Gharbadana) sampai proses upacara

kematian (Antyasty). Perkawinan diartikan sebagai “Yajna” orang yang tidak

kawin adalah orang yang tanpa Yajna (Manudharmasastra II:67). Pengertian

perkawinan menurut agama Hindu adalah ikatan suci antara pria dengan

seorang wanita dengan tujuan untuk membentuk keluarga yang utama, yaitu

keturunan “purusa”.23

Agama Hindu memandang perkawinan sebagai salah satu dari

banyaknya samskara, sebagai sesuatu yang suci yang diatur oleh dharma

danharus tunduk kepada dharma. Karena itu perkawinan baru sah bila

dilakukan menurut hukum agama dengan melalui upacara sakramen yaitu

“Wiwaha Homa”, bila perkawinan tidak dilakuakan menurut hukum agama

maka segala akibat yang timbul dari perkawinan tersebut dianggap tidak sah.

Oleh karenanya, dalam agama Hindu suatu pernikahan akan dianggap

batal jika tidak memenuhi syarat-syarat tertentu. Misalnya bila pernikahan itu

dilakukan menurut hukum Hindu tetapi pengesahanya tidak memenuhi syarat

pengesahannya, contohnya jika salah satunya bukan penganut Hindu atau

pernikahan antar penganut Hindu dengan penganut nonhindu maka pernikahan

itu dianggap tidak sah menurut hukum agama Hindu.

Pengesahan suatu pernikahan menurut agama Hindu harus dilakukan

dihadapan Padende yang memenuhi syarat untuk itu. Kalau ada perkawinan

beda agama Padende tidak akan mengesahkan perkawinan tersebut. Dalam

23

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan No

1/1974,(Jakarta: Dian Rakyat, 1986), h. 45.

Page 65: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

54

agama Hindu tidak dikenal adanya perkawinan beda agama ini karena

sebelumnya perkawinan harus dilakukan terlebih dahulu upacara keagamaan,

apabila salah seorang calon mempelai bukan Hindu ia wajib disucikan terlebih

dahulu sebagai penganut agama Hindu jika tidak maka ia melanggar ketentuan

dalam kitab Seloka V-89 kitab Manawadharmasastra yang berbunyi :

“air pensucian tidak bisa diberikan kepada mereka yang tidak menghiraukan upacara-upacara yang telah ditentukan, sehingga dapat dianggap kelahiran mereka itu sia-sia belaka, tidak pula dapat diberikan kepada mereka yang lahir dari perkawinan campuran kasta secara tidak resmi, kepada mereka yang menjadi petapa dari golongan murtad dan pada mereka yang meninggal bunuh diri.”

24

4. Menurut Agama Budha

Perkawinan menurut agama Budha adalah sebagai suatu ikatan suci yang

harus dijalani dengan cinta kasih seperti yang diajarkan oleh Budha. Atau

dapat dikatakan perkawinan adalah ikatan lahir batin dari dua orang yang

berbeda kelamin yang hidup bersama untuk selamanya dan bersama-sama

melaksanakan Dharma Vinaya supaya mendapatkan kebahagian dalam hidup.

Dan menurut Sang Agung Indonesia perkawinan beda agama yang melibatkan

agama Budha dan non Budha diperbolehkan asalkan tata caranya dilakukan

menurut aturan agama Budha dan tidak diharuskan pasangan yang nonbudha

masuk agamanya, namun dalam upacara ritual dalam perkawinan ia harus

mengucapankan “atas nama Budha, Dharma dan Sangka.”25

24

Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 118.

25

Nur Afida, “Dasar dan Pertimbangan Hakim dalam Mengabulkan Permohonan Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi dalam Perspektif Perkara No.04/Pdt.P/2010/Pn.Mlg.),Universitas Brawijaya Malang Tahun 2013, h. 30.

Page 66: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

55

Menurut Surya Widya ada 14 langkah yang harus dilakukan dalam

prosesi perkawinan, namun yang menjadi inti dalam pelaksanaanya ada tujuh

langkah, berikut tiga langkah yang termasuk inti dalam tujuh langkah

pelaksanaan perkawinanan;

a. Pandita mempersembahkan tiga batang dupa pada pemimpin

“Namaksara”.26

b. Pernyataan ikrar perkawinan oleh kedua mempelai yang di pimpin pendeta,

lalu ke dua mempelai mebaca Vandana.

c. Lalu pengucapan Namaksara dan di akhiri penutupan dari pendeta.27

5. Menurut Agama Konguchu

Menurut pandangan Konghuchu pernikahan adalah salah satu dari tiga

momen amat penting dalam kehidupan seorang manusia, selain kelahiran dan

kematian. Itulah sebabnya dalam kitab Li Ji XLIV:1 dikatakan “camkanlah

benar-benar pernikahan itu karena dialah pohon dari segala kesusilaan dan

mencangkup penghidupan manusia”. Agama Konguchu/ Ru Jio sendiri

termasuk agama yang paling tua, kurang lebih sekitar 2500 sebelum Nabi

Kongzi lahir, sehingga mereka tak mengenal agama lain selain Tiong’oha

maka dengan begitu tidak pula mengenal pernikahan beda agama. Walaupun

begitu mereka tak melarang pernikahan beda agama namun bukan berati bebas

26

Namaksara adalah khutbah nikah bagi agama budha yang berisi puji-pujian kepada sang pencipta, sedangkan vandana adalah janji atau ikrar

27

Basiq Djalil, Pernikahan Lintas Agama dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi

HukumIslam, (Jakarta:Dalbun Salam, 2005), h. 128.

Page 67: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

56

dan tanpa aturan tetap ada persyaratan. Dalam kitab Li Ji XXVII:3,1 dikatakan

bila bebas tanpa keselarasan antara langit dan bumi takan tumbuh segenap

kehidupan. Pernikahan adalah pangkal kehidupan dan pangkal peradaban

sepanjang zaman.28

Menurut penganut kepercayaan jika dilhat dari arti

penganut /aliran kepercayaan sudah barang tentu pernikahan agama bukanlah

hal yang mereka permasalahkan, menurut pangeran Djatikusuma dari

komunitas adat memandang perbedaan agama itu hanya terletak dari adat/ tata

cara upacara pernikahan atau terkait ritualpada intinya mereka tetap percaya

pada Tuhan hanya saja sebutannya berbeda.

B. Tinjauan Umum Tentang Perkawinan Beda Agama dalam Hukum Positif di

Indonesia

Dalam sejarah di Indonesia perkawinan antar agama lebih sering disebut

perkawinan campuran, perkawinan campuran sendiri di definisikan dalam arti

luas dan sempit. Perkawinan campuran dalam arti luas yaitu perkawinan antara

seorang laki-laki dan seorang perempuan yang tunduk pada hukum yang berbeda

berdasarkan hukum agama, adat maupun kewarganegaraan dan telah diatur dalam

jaman kolonial hingga paska kemerdekaan. Sedangkam perkawinan dalam arti

sempit dikenal dengan perkawinan bedaagama yaitu perkawinan campuran beda

agama terjadi apabila pria dan seorang wanita yang berbeda keyakinan atau

28

Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama,….Op.

Cit, h. 121.

Page 68: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

57

berbeda agama yang dianutnya melakukan perkawinan dengan tetap

mempertahankan agama masing-masing.

Kalau kita berbicara tentang aturan/hukum perkawinan terutama tentang

perkawinan atau pernikahan antar agama yang saat ini berlaku di Indonesia,

berarti kita bukan hanya berbicara tentang satu macam aturan melainkan

banyaknya peraturan yang pernah berlaku. Di Indonesia sendiri banyak berlaku

berbagai peraturan tentang hukum perkawinan untuk berbagai golongan warga

negara dan berbagai daerah, berikut aturan hukum yang ada :

1. Sebelum Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974

Perlu kita ketahui di Indonesia sendiri sudah pernah ada peraturan dalam

hukum antar golongan yang mengatur masalah-masalah perkawinan, dari

mulainya bangsa kolonial sampai paska kemerdekaan banyak peraturan yang

diberlakukan. Unifikasi dan kodifikasi hokum adalah upaya bangsa kolonial

untuk menjadikan hukum di Negara jajahannya sebagai satu kesatuan yang

akan diberlakukan secara universal. Berdasarkan pertimbangan tersebut maka

pada masa kolonial di bagi beberapa golongan dan hukum yang akan di

berlakukan seperti golongan Eropha berlaku pada aturan hukum

Eropha/Belanda, golongan Bumi putra tunduk pada hukum adat, golongan

timur asing tuduk pada hukum Eropha pada hal tertentu sampai akhirnya

penggolongan tersebut menjadi dasar dibuatnya peraturan lain yaitu BW

(Burgerlijk Wetboek)

Page 69: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

58

BW (Burgerlijk Wetboek) sendiri hanya mengatur tentang masalah

hukum perorangan, hukum keluarga dan kebendaan. Terkait masalah

perkawinan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) hanya merupakan hubungan

yang bersipat perdata saja dan tidak ada turut campur atau keterkaitan dengan

adat maupun agama. Hal ini terlihat dalam Pasal 81 yang menyebutkan bahwa

tidak ada upacara keagamaan yang boleh diselenggarakan. Karenanya secara

implisit pengaturan tentang perkawinan antar agama tidak di bahas dalam BW

(Burgerlijk Wetboek), tidak ada pasal-pasal yang membahas secara detail

tentang pengaturan perkawinan antar agama.29

Sebelum lahirnya Undang-Undang Perkawinan di Indonesia sendiri

sudah ada aturan yang mengatur masalah antar golongan termasuk antar agama

yaitu peraturan tentang perkawinan campuran. Pengaturan yang di maksud

adalah peraturan yang dahulu dikeluarkan pemerintah Hindia Belanda yang

bernama Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR) sebagaimana di muat

dalam staatsblad 1898 No.158. Beberapa ketentuan yang termuat dalam

regeling op de gemengde huwelijken tentang perkawinan beda agama adalah

sebagai berikut:

Pasal1 : Pelangsungan perkawinan antara orang-orang, yang di Hindia Belanda

tunduk pada hukum yang berbeda, disebut perkawinan campuran.

Pasal 6 ayat (1) : Perkawinan campuran dilangsungkan menurut hukum yang

29

Maria Ulfah Anshor dan Martin Lukito Sinaga, Tafsir Ulang Perkawinan Lintas Agama

“Perspektif Perempuan dan Pluralisme”, ( Jakarta: Kapal Perempuan, 2004), h. 96.

Page 70: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

59

berlaku atas suaminya, kecuali izin para calon mitra kawin yang selalu

disyaratkan.

Pasal7 ayat (2) : Perbedaan agama, golongan penduduk atau asal-usul tidak

dapat merupakan halangan pelangsungan perkawinan.30

Pada masa Hindia Belanda keagamaan dipergunakan sebagai pedoman

dalam hal perkawinan campuran, seorang Keristen tidak bisa menikah dengan

seorang bukan Keristen karena tidak sesuai dengan waktu itu. Sehingga dalam

Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR)Pasal7 dan 2 bahwa perbedaan

agama tidak dapat dipergunakan sebagai larangan terhadap perkawinan

campuran. Jika hanya salah satu pihak beralih agamanya sebelum perkawinan

dilangsungkan, perkawinan semula yang bersifat intern berubah menjadi

perkawinan campuran namun menurut Lemaire GHR tidak patut dianggap

berlaku untuk kejadian ini karena kejadian tersebut masuk kedalam lingkungan

“inheemsche rechter” dan jika diberlakukan maka ini bertentangan dengan

Pasal 139 IS, karena pada kenyataannya perkawinan terkait dengan perbedaan

suku dan agama biasanya dilakukan di luar Regeling Op De Gemengde

Huwelijiken (GHR).31

Ada 3 pendapat mengenai apakah Regeling Op De Gemengde

Huwelijiken (GHR) berlaku pula untuk perkawinan antar agama dan antar

30

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau dari Undang-Undang Perkawinan No

1/1974, Op.Cit., h. 66.

31

Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum “Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung:, Citra

Aditya Bhakti, 1996), h. 8.

Page 71: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

60

tempat yakni: pertama, kelompok yang berpendirian “luas” yang menganggap

bahwa perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di dalam

Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR); kedua, kelompok yang

berpendirian “sempit” yang menganggap bahwa perkawinan campuran antar

agama dan antar tempat tidak termasuk di dalam Regeling Op De Gemengde

Huwelijiken (GHR) ; dan ketiga, kelompok yang berpendirian “setengah luas

setengah sempit” yang menganggap bahwa hanya perkawinan antar agama saja

yang termasuk, sedangkan perkawinan antar tempat tidak termasuk di dalam

Regeling Op De Gemengde Huwelijiken (GHR). Sudargo Gautama

berpendapat bahwa istilah perkawinan campuran pada Pasal 1 berarti

perbedaan perlakuan hukum atau hukum yang berlainan dan dapat disebabkan

karena perbedaan kewarganegaraan, kependudukan dalam berbagai regio,

golongan rakyat, tempat kediaman, dan agama sehingga dari situ pendirian

yang luaslahyang banyak di dukung oleh para sarjana hukum menurut O.S.

Eoh, semenjak dikeluarkannya Instruksi Presidium Kabinet No.

31/U/IN/12/1966, tidak ada lagi penggolongan penduduk kecuali dibedakan

antara Warga Negara Indonesia (WNI) dan Warga Negara Asing (WNA)

sehingga di Indonesia tidak mungkin lagi ada perkawinan campuran antar

tempat dan antar golongan.32

32

Anggreini Carolina Palandi, Jurnal “ Analisis Yuridis Perkawinan Antar Agama”, Lex

Privatum/ Vol.I/N0.2/Apr-Jun/2013. Lihat juga buku karngan Sudargo Gautama, Segi-Segi Hukum

“Peraturan Perkawinan Campuran, (Bandung : Citra Aditya Bhakti, 1996), h. 185.

Page 72: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

61

Penghapusan larangan kawin antar agama diikuti pula dengan usaha-

usaha untuk mengundang prinsip perkawinan perdata di Hindia Belanda.

Upaya ini berhasil, dengan diberlakukannya pada Tahun 1983 Ordonasi

Perkawinan Untuk Orang Keristen di Jawa, Madura, Minahasa dan Ambon

atau disebut dengan HOCI (Huwelijks Ordonnatie Cristen Indonesia 1933 No

74). Pasal 1 memuat ketentuan yang sama dengan Burgerlijk Wetboek (BW)

Pasal 26 dan pada Pasal 2 memuat ketentuan bahwa perkawinan menurut

HOCI adalah monogamy, sedangkan turan tentang perkawinan lintas agama

termuat pada Pasal 75 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan seorang laki-

laki bukan Kristen dengan seorang wanita Kristen atas permohonan kedua

suami-isteri dapat dilaksanakan dengan memperlakukan ketentuan-ketentuan

ordonansi ini dan ketentuan-ketentuan peraturan penyelenggaraan Reglemen

Catatan Sipil untuk orang-orang Indonesia-Kristen dan dalam Pasal 75 (a)

menyatakan bahwa ayat (1), 73 dan 74 berlaku bagi perkawinan campuran

(Stbld, 1998 No 158).33

2. Sesudah Lahirnya Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.

Berbeda dengan hukum perkawinan sebelumnya yang menganut

konsepsi hukum perkawinan perdata, Undang-Undang Perkawinan justru

memberikan peranan yang sangat menentukan sah atau tidaknya suatu

perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon

mempelai, terbukti jelas pada Pasal 2 ayat (1) disebutkan: “Perkawinan adalah

33

Weineta Sairin dan Joseph Marcus, Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan dalam

Perspektif Kristen: Himpunan Telaah Tentang Perkawinan di Lingkungan Persekutuan Gereja-Gereja

Indonesia, (Jakarta: Gunung Mulia, 1996), h. 133.

Page 73: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

62

sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu”. Dalam rumusan ini diketahui bahwa tidak ada

perkawinan di luar hukum masing-masing agama dan kepercayaan. Hal ini

sesuai dengan apa yang diterangkan beberapa pasal dalam Instruksi Presiden

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam,

sebagai berikut:

Pasal 4: “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam”,

sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang

Perkawinan, dalam Undang-Undang Perkawinan tidak ada yang menjelaskan

tentang aturan beda agama, pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan

beda agama adalah Pasal 2 ayat (1), Pasal 8 huruf (f) dan Pasal 57.

Pasal 8 huruf (f) berbunyi: Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku,

dilarang kawin.

Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 berbunyi :

Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang-undang ini ialah

perkawinan antara dua orang yang berada di Indonesia tunduk pada hukum

yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak

berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan

Indonesia.34

34

M.Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 “ dari

Segi-Segi Hukum Perkawinan Islam”, (Jakarta: IHC, 1990), h. 138.

Page 74: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

63

Prof. Dr Hazairin SH, secara tegas menjelaskan bahwa dalam Pasal 2

ayat 1 bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar “hukum agamanya sendiri”

jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin dengan melanggar

hukum agamanya, demikian bagi umat Kristiani, Hindu maupun Budha.35

Hukum agama dan kepercayaan yang dimaksud bukanlah hanya hukum yang

di jumpai dalam kitab-kitab suci atau dalam keyakinan-keyakinan yang

terbentuk dalam gereja-gereja Kristen atau dalam ketentuan masyarakat seperti

bali tetapi semua ketentuan-ketentuan perundang-undangan (sekedar yang

masih berlaku ataupun tidak) baik yang sudah di tetapkan maupun yang akan

di tetapkan (lihat Pasal 66). Sehingga Pasal 66 Undang-Undang Perkawinan

menghapuskan segala ketentuan-ketentuan mengenai atau keterhubungan

dengan perkawinan yang di jumpai pertama, BW, O.P.I.K (S.1933 : 74), P.P.C

( S.1898 : 158) dan kedua dalam peraturan-peraturan lain sejalan materinya

telah diatur dalam Undang-Undang Perkawinan. 36

Perkawinan beda agama, tidak diatur secara tegas dalam Undang-

Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, dengan tidak diaturnya masalah

perkawinan beda agama dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maka

tidak jelas pula diperbolehkan atau tidaknya pelaksanaan perkawinan beda

agama. Namun timbul permasalahan ketika Pasal 66 Undang-Undang

Perkawinan dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-Undang Perkawinan, yang

35

Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, (Jakarta: Ghalian Indonesia, 1978), h. 16.

36

Sudarsono, Hukum Keluargaan Nasional, (Jakarta: Rineka Cipta, 1991), h. 261.

Page 75: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

64

mana dalam penjelasan Pasal 66 menyebutkan bahwa peraturan-peraturan lama

dapat di berlakukan selama Undang-undang Perkawinan belum mengaturnya.

Dengan demikian maka masalah perkawinan beda agama harus berpedoman

kepada peraturan perkawinan campuran, sedangkan dalam Pasal 57 Undang-

Undang Perkawinan menjelaskan perkawinan campuran itu hanya terkait

perkawinan antar negara sedangkan menurut peraturan lama perkawinan

campuran mencangkup perkawinan antar agama, jadi ketentuan-ketentuan

itulah yang membuka kemungkinan seluas-luasnya untuk mangadakan

perkawinan beda agama atau mengalihkan aturan yang ada sehingga munculah

penyelundupan hukum.

Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 huruf (c) dan Pasal 44 secara eksplisit

mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita

non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf

(c) Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut:

Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang

wanita karena keadaan tertentu;

a. karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan

pria lain;

b. seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;

c. seorang wanita yang tidak beragama Islam.37

37

Lihat Kompilasi Hukum Islam (KHI) h. 16.

Page 76: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

65

Di samping itu ada keputusan Musyawarah Nasional ke II Majelis Ulama

Indonesia (MUI) No. 05/Kep/Munas II/MUI/1980 tanggal 1 juni 1980 tentang

Fatwa, yang menetapkan pada angka 2 perkawinan antar umat beragama,

bahwa:

a. Perkawinan wanita muslimah dengan laki-laki non-muslim adalah haram

hukumya.

b. Seorang laki-laki muslim diharamkan mengawini wanita bukan muslimah.

Tentang perkawinan atara laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab

terdapat perbedaan pendapat.38

Selanjutnya Prof. Dr. Quraiysh Shihab, MA., dengan lantang mengatakan,

perkawinan ini tidak sah, baik menurut agama maupun menurut Negara.

Adapun putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986, putusan

tersebut merupakan pemecahan hukum untuk mengisi kekosongan hukum

karena tidak secara tegas dinyatakan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974. Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 dapat dijadikan

sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan perkara perkawinan

beda agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai salah satu dari

sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia.39

Dalam mengisi

kekosongan hukum karena dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak

38

Asrorun Ni’am Sholeh, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, (Jakarta:Elsas,

2008), h. 123.

39

Mohammad Monib dan Ahmad Nurcholis, Kado Cinta Bagi Pasangan Beda Agama.

(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 146.

Page 77: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

66

secara tegas mengatur tentang perkawinan beda agama, Mahkamah Agung

dalam yurisprudensinya tanggal 20 Januari 1989 Nomor: 1400 K/Pdt/1986,

memberikan solusi hukum bagi perkawinan antar agama adalah bahwa

perkawinan beda agama dapat diterima permohonannya di Kantor Catatan

Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang untuk melangsungkan

permohonan yang kedua calon suami isteri tidak beragama Islam untuk wajib

menerima permohonan perkawinan, namun kenyataanya Kantor Catatan Sipil

(KCS) tetap menolak dengan alasan belum ada aturan yang baku. Namun kini

ada aturan baru dalam persoalan perkawinan dalam hal pencacatan terkait

prosedur pengesahan perkawinan yaitu lahirnya Undang-Undang Adminduk

Nomor 23 Tahun 2006 dalam Pasal 34 dan 35 tentang penetapan melalui

pengadilan yang mana dalam penjelasanya dikhususkan untuk perkawinan

beda agama, sehingga kantor catatan sipil tidak boleh lagi menolak

mencatatkan perkawinan yang beda agama karena sudah ada ketentuannya.

C. Tata Cara Perkawinan Beda Agama dalam Praktek

Kenyataannya di Indonesia masyarakatnya sangat heterogen, yang terdiri

dari bermacam-macam suku, juga adanya agama yang beraneka ragam. Hal ini

sangat berpengaruh pada pergaulan sehari-hari dalam kehidupan bermasyarakat.

Tidak bisa di pungkiri juga kemajuan tekhnologi sebagai alat interaksi baru dalam

pergaulan, yang tak hanya bisa ditempuh dalam satu wilayah melainkan banyak

dan menyebar keseluruh dunia akibat dari globalisasi. Hal tersebut sedikt ataupun

Page 78: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

67

banyak tetap saja ikut ambil alih dalam mendorong atau melatar belakangi

terjadinya perkawinan beda agama. Di tambah dengan tidak diaturnya perkawinan

beda agama secara eksplisit dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

menyebabkan perbedaan interpretasi terhadap Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang

Perkawinan. Hal tersebut menyebabkan ketidakpastian hukum bagi pasangan

yang melakukan perkawinan beda agama sedangkan perkawinan beda agama di

Indonesia tidak dapat dihindarkan.

Pada kenyataanya perkawina berbeda agama sudah berkembang dan

menjadi polemik sejak dulu, setelah kasus yang pertama kali muncul yaitu kasus

yang dilakukan oleh Andi Vonny G, dengan adanya Putusan Mahkamah Agung

Reg. No. 1400 K/Pdt/1986 perkawinan mereka telah sah, dan putusan tersebut

dijadikan acuan untuk mengesahkan perkawinan selanjutnya. Untuk dapat

mencatatkan perkawinan beda agama, menurut guru besar hukum perdata

Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata dalam seminarnya di Depok

menjelaskan ada empat cara yang biasa di tempuh oleh para pihak yang ingin

melangsungkan perkawinan beda agama, yaitu antara lain :

1. Meminta penetapan pengadilan. Pasal 21 ayat (1) – (4) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa jika pegawai pencatan perkawinan

berpendapat bahwa perkawinan tersebut ada larangan menurut undang-undang

ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Didalam hal

penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan

perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu

Page 79: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

68

keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai alasan–alasan

penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak berhak mengajukan

permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah dimana pegawai pencatat

perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan

keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan di atas.

Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan

memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut atau

memerintahkan agar perkawinan dilangsungkan.

2. Perkawinan dilangsungkan dua kali menurut masing-masing agamanya.

Dengan melangsungkan perkawinan dua kali menurut agama calon suami dan

istri diharapkan pegawai pencatat perkawinan menganggap bahwa ketentuan

Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dipenuhi. Prof.

Wahyono berpendapat bahwa perkawinan yang berlaku bagi mereka adalah

perkawinan yang dilangsungkan belakangan. Hal ini dikarenakan perkawinan

yang dilakukan belakangan otomatis membatalkan perkawinan yang

dilangsungkan sebelumnya.

3. Penundukan sementara terhadap salah satu agama. Penundukan sementara ini

biasanya diperkuat dengan mengganti status agama yang dianut di Kartu Tanda

Penduduk (KTP). Namun, setelah perkawinan berlangsung pihak yang

melakukan penundukan agama kembali ke agama semula. Hal ini merupakan

penyelundupan hukum karena dilakukan untuk menghindari ketentuan hukum

nasional mengenai perkawinan yang seharusnya berlaku bagi dirinya.

Page 80: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

69

4. Melangsungkan perkawinan di luar negeri. Pasal 56 Undang-Undang

Perkawinan menyatakan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar Indonesia

atau seorang Warga Negara Indonesia dengan Warga Negara Asing adalah sah

bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana

perkawinan itu dilangsungkan dan bagi Warga Negara Indonesia tidak

melanggar ketentuan-ketentuan undang-undang ini. Selanjutnya disebutkan

bahwa dalam waktu 1 tahun setelah suami istri tersebut kembali ke Indonesia,

surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan

Perkawinan tempat tinggal mereka. Namun sebenarnya cara ini tidak dapat

menjadi pembenaran dilangsungkan perkawinan beda agama. Karena sesuai

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 perkawinan tersebut baru sah

apabila Warga Negara Indonesia (WNI) tidak melanggar ketentuan Undang-

Undang Nomor 1 Tahun 1974.40

D. Pencatatan dalam Perkawinan Beda Agama

Aturan yang belum jelas dan ketidak pastian hukum pada pasangan yang

berbeda agama menimbulkan pertanyaan baru dan masalah tentang keabsahan

perkawinan, yang mana dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pada Pasal

2 dijelaskan bahwa :

40

Lihat situs http://www.hukumonline.com/berita/baca/hol15655/empat-cara-penyelu

ndupan-hukum-bagi-pasangan-beda-agamadanhttp://darahapsarinastiti.blogspot.com/2011/12

/perkawinan-beda-agama.html, di unduh tgl 21/10/2013 jam 14.20 WIB.

Page 81: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

70

1. Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing

agamanya dan kepercayaannya itu,

2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang

berlaku

Hal ini menunjukan bahwa ayat satu dan dua saling berkaitan dan tidak bisa

di pisahkan, perkawinan dianggap sah jika dilakukan menurut agama dan

dicatatkan di instasi yang sudah di tentukan. Sehingga bagi pasangan beda agama

pun berlaku hal yang sama, jika agama masing-masing tidak mengijinkan maka

perkawinannya pun dianggap tidak sah ditambah dalam pengesahnya harus

adanya bukti dalam bentuk akte nikah yang mana untuk mendapatkanya harus

melalui proses pencacatan, lalu instasi mana yang berwenang mencatatkan?

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tepatnya dalam bab II

Pasal 2 ayat 1 dijelaskan bahwa, perkawinan yang dilangsungkan menurut agama

Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan yang sebagaiman di jelaskan dalam

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang pencatatan nikah, talak dan

rujuk, yaitu Kantor Urusan Agama (KUA). Sedangkan yang bukan beragama

Islam dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada Kantor Catatan Sipil

(KCS). Maka sudah jelas sekali bagi pasangan beda agama tak memiliki tempat

dimanapun. Namun kenyataanya Kewenangan Kantor Catatan Sipil dalam bidang

perkawinan sebelum dan setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974 seperti kita tahu mengalami perubahan. Dalam hal perkawinan beda agama

Page 82: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

71

perubahan kewenangan ini membawa dampak yang signifikan sehingga lembaga

ini satu-satunya yang memiliki kemungkinan untuk mencatatkan perkawinannya.

Menurut Purwoto S. Gandasubrata bahwa perkawinan campuran atau

perkawinan beda agama belum diatur dalam undang-undang secara tuntas dan

tegas. Oleh karenanya, ada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang tidak

mau mencatatkan perkawinan beda agama dengan alasan perkawinan tersebut

bertentangan dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Dan ada

pula Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil yang mau mencatatkan berdasarkan

Gemengde Huwelijken Regeling, bahwa perkawinan dilakukan menurut hukum

suami, sehingga isteri mengikuti status hukum suami.

Namun dengan adanya Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 1400

K/Pdt/1986 dapat dijadikan sebagai yurisprudensi, sehingga dalam menyelesaikan

perkara perkawinan antar agama dapat menggunakan putusan tersebut sebagai

salah satu dari sumber-sumber hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam proses

perkawinan antar agama maka permohonan untuk melangsungkan perkawinan

antar agama dapat diajukan kepada Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil. Dan

bagi orang Islam ditafsirkan atas dirinya sebagai salah satu pasangan tersebut

berkehendak untuk melangsungkan perkawinan tidak secara Islam. Dan dengan

demikian pula ditafsirkan bahwa dengan mengajukan permohonan tersebut

pemohon sudah tidak lagi menghiraukan status agamanya. Sehingga Pasal 8

point f Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak lagi merupakan halangan

Page 83: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

72

untuk dilangsungkan perkawinan, dengan anggapan bahwa kedua calon suami

isteri tidak lagi beragama Islam. Dengan demikian Dinas Kependudukan dan

Catatan Sipil berkewajiban untuk menerima permohonan tersebut bukan karena

kedua calon pasangan dalam kapasitas sebagai mereka yang berbeda agama,

tetapi dalam status hukum agama atau kepercayaan salah satu calon

pasangannya.41

41

Maris Yolanda Soemarno, Tesis (Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama

Yang Dilangsungkan Di luar Negeri),Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara Medan: 2009, h. 53.

Page 84: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

73

BAB IV

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2006

TENTANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

DAN PERKAWINAN BEDA AGAMA

Perkawinan sebagai institusi sosial sungguh sama kompleks dengan

kontroversi dengan institusi mapan lainya yang sangat berpengaruh (negara). Kedua

institusi ini sama-sama di soroti sebagai arena pertarungan yang alih-alih berbasis

keadilan dan merealisasikan dalam kehidupan sosial untuk menegakan kedaulatan

individu sebenarnya untuk para pihak yang berkepentingan. Tak dapat di pungkiri,

nasib dari dua institusi mapan ini (Negara-Perkawinan) saling kait-mengait, banyak

peraturan yang berkembang dan tampak tak berpungsi atau malah menjadi hal yang

menuai pro dan kontra. Dengan alih-alih globalisasi atau pengaruh sekularis dan

berkata negara ini plural menjadi alasan dari tiap-tiap suatu peraturan di buat, dan

lebih dominan pada siapa yang berkuasa. Misal aturan tentang perkawinan lintas

agama atau antar agama yang masih menjadi polemik dan masih dalam perselisihan

hingga saat ini, di muatnya aturan yang belum pasti dan tidak jelas sehingga banyak

penyelundupan hukum. Namun ada lagi yang menjadi kontroversi yaitu munculnya

aturan baru yang masih di perbincangkan apakah aturan ini menjadi penegas bahwa

perkawinan antar agama sudah legal, bagaimana kedudukan aturan yang lama.

Berikut beberapa cara penyelesaian problem perkawinan antar agama dan keabsahan

perkawinan beda agama menurut aturan yang berlaku.

Page 85: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

74

A. Perkawinan Antar Agama dalam Perspektif Undang-Undang Nomor23

Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Administrasi adalah usaha dan kegiatan yang berkenaan dengan

penyelenggaraan kebijaksanaan untuk mencapai tujuan. Administrasi dalam arti

sempit adalah kegiatan yang meliputi: catat-mencatat, surat-menyurat,

pembukuan ringan, ketik-mengetik, agenda, dan sebagainya yang bersifat teknis

ketatausahaan. Menurut Arthur Grager Administrasi adalah fungsi tata

penyelenggaraan terhadap komunikasi dan pelayanan warkat suatu organisasi.

Administrasi menjadi hal yang sangat penting jika dihubungkan dengan segala

aktivitas berkehidupan, berhubung Negara Indonesia memiliki penduduk yang

sangat padat maka dibutuhkanlah sebuah aturan dalam berkependudukan

sehingga administrasi kependudukan menjadi sebuah kebutuhan untuk

menertibkan masalah-masalah yang ditimbulkan akibat proses pencatatan atau

pengolahan yang berhubungan dengan ketertiban bersama1.

Administrasi kependudukan sendiri adalah rangkaian kegiatan penataan

dan penertiban dalam penerbitan dokumen dan data kependudukan melalui

pendaftaran penduduk, pencatatan sipil dan pengelolaan informasi administrasi

kependudukan serta pendayagunaan hasilnya untuk pelayanan publik dan

pembangunan sektor lain2. Administrasi kependudukan itu sendiri menyangkut

1 Http://Id.M.Wikipedia.Org/Wiki/Adminitrasi. Tgl 5 Januari 2014 Jam 10.0 WIB

2 Afdol,Seminar Nasional (Hak Masyarakat Adat Atas Pencatatan Sipil), (Depok: Lemabaga

Kajian Hukum Perdata Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Good Governance In Population

Administration “GGTZ GG PAS”, 2007),h. 3.

Page 86: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

75

seluruh masalah kependudukan, yang meliputi pendaftaran penduduk, pencatatan

sipil, dan pengelolaan data informasi kependudukan. Terkait dengan hal tersebut,

pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kependudukan melalui Undang-

UndangRepublik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan. Materi yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi

Kependudukan (Adminduk) terdiri dalam 14 bab, berikut pembagianya :

1. Bab I berisi tentang ketentuan umum, terdiri dari 1 Pasal.

2. Bab II berisi tentang Hak dan Kewajiban penduduk, terdiri dari 3 Pasal.

3. Bab III berisi tentang pengaturan Kewenangan Penyelenggaraan dan Instansi

Pelaksana, terdiri dari 8 Pasal.

4. Bab IV berisi tentang Pendaftaran Penduduk, terdiri dari 14 Pasal.

5. Bab V berisi tentang Pencatatan Sipil, terdiri dari 31 Pasal.

6. Bab VI berisi tentang pengaturan Data dan Dokumen Kependudukan, terdiri

dari 22 Pasal.

7. Bab VII berisi tentang pengaturan Pendaftaran Penduduk dan Pencatatan Sipil

Saat Negara atau Sebagian Negara dalam Keadaan Darurat dan Luar Biasa,

terdiri dari 2 Pasal.

8. Bab VIII berisi tentang pengaturan Sistem Informasi Administrasi

Kependudukan, terdiri dari 2 Pasal.

9. Bab IX berisi tentang pengaturan Perlindungan Data Pribadi Penduduk, terdiri

dari 4 Pasal

10. Bab X Penyidikan, terdiri dari 1 Pasal.

Page 87: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

76

11. Bab XI berisi tentang pengaturan Sanksi Administratif, terdiri dari 4 Pasal.

12. Bab XII berisi tentang Ketentuan Pidana terdiri dari 7 Pasal.

13. Bab XIII berisi tentang Ketentuan Peralihan terdiri dari 2 Pasal

14. Bab XIV berisi tentang Ketentuan Penutup terdiri dari 6 Pasal

Ketentuan tentang pentingnya suatu pencatatan baik kependudukan ataupun sipil

bisa kita lihat pada konsideren menimbang dalam Undang-Undang Administrasi

Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006 Yaitu ;

Huruf (a) : Bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undan Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada

hakikatnya berkewajiban memberikan perlindungan dan pengakuan terhadap

penentuan status pribadi dan status hukum atas setiap Peristiwa Kependudukan

dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk Indonesia yang berada di

dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia;3

Adanya kata penentuan status pribadi dan status hukum dalam konsideren

menimbang bermakna bahwa keharusan dibuatkan pencatatan dalam bentuk

sebuah dokumen adalah sebagai upaya perlindungan hukum. Pada hakikatnya

Negara Kesatuan Republik Indonesia berkewajiban memberikan perlindungan

dan pengakuan terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap

Peristiwa Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami Penduduk. Tujuan

Di bentuknya Undang-Undang Administrasi Kependudukan adalah agar dapat

memberikan pemenuhan hak administrativ seperti pelayanan publik serta

3 Lihat Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan,

(Jakarta: Sinar Grafika, 2007, Cet. Pertama), h. 1.

Page 88: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

77

perlindungan yang berkaitan dengan dokumen kependudukan tanpa adanya

perlakuan diskriminatif.

Pasal 26 ayat (3) Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan hal-hal

mengenai penduduk diatur dengan undang-undang. Sebagai penjabaran hal

tersebut maka diterbitkanlah Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang

Administrasi Kependudukan, sebagai landasan hukum pengaturan di bidang

kependudukan dan pencatatan sipil.

Melihat materi yang diatur adalah mengenai status hukum atas peristiwa

kependudukan dan peristiwa penting maka seharusnya cara-cara memperoleh

status hukum tersebut tidak menimbulkan persoalan-persoalan baru, misalnya

dalam persoalan perkawinan yang termuat dalam Bab V tentang pencatatan sipil.

Pencatatan sipil itu sendiri berisi ketentuan tentang pencatatan yang penting

seperti kelahiran, kematian, pengangkatan anak, perceraian serta perkawinan.4

Catatan sipil sendiri bertujuan untuk mewujudkan kepastian hukum, untuk

membentuk ketertiban hukum, guna pembuktian dan untuk memperlancar

aktivitas pemerintah dibidang kependudukan. Ternyata di dalam Undang-Undang

Administrasi Kependudukan ada salah satu pasal yang esensinya bertentangan

dengan nilai-nilai agama dan dengan aturan sebelumnya yang masih berlaku

sampai saat ini, yaitu pada bab V bagian ketiga tentang pencatatan perkawinan

4 Mohammad Farid, (Memahami Pencatatan Sipi) Tulisan Dalam 30 Kasus Catatan Sipil di

Indonesia, Analisis Kasus Dan Rekomendasi, (Jakarta: GTZ GG PAS, 2006, Edisi Pertama), h. 13.

Page 89: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

78

tepatnya pada Pasal 35 yang berbunyi:5 Pencatatan perkawinan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh

Pengadilan.

Penjelasan pada Pasal 35 sendiri berisi tentang : huruf (a) ; Yang dimaksud

dengan ”Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang

dilakukan antar-umat yang berbeda agama

Aturan yang termuat dalam pasal tersebut sangatlah kotroversi dan terlihat

tidak jelas, karna esensi perkawinan yang menekankan pada perkawinan yang

seiman berubah menjadi kebolehan menikah dengan berbeda agama dan hal ini

bertentangan dengan aturan pada Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1)

tentang perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaang masing-masing.

Perkawinan beda agama yang termuat dalam Undang-Undang Administrasi

Kependudukan hanya berkisar tentang pencatatan perkawinan terkait

pengesahannya. Sehingga dapat diuraikan bahwa jika perkawinan bagi pasangan

yang berbeda agama maka ia harus mendapat penetapan dari pengadilan, jadi

keabsahan suatu perkawina bagi pasangan beda agama di tentukan oleh Hakim dan

selanjutnya barulah ia boleh di catatatkan pada instasi setempat. Namun instasi

mana yang memiliki kewenangan untuk mencatatkan perkawinan bagi pasangan

berbeda agama. Di dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendri

Pasal 34 ayat (4) yang berbunyi

5 Lihat Undang-Undang Adminduk Nomer 23 Tahun 2006, jakarta, Sinar Grafika, 2007. h.

17.

Page 90: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

79

“Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang beragama

Islam dilakukan oleh KUAKec,”

lalu didalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Bab II Pasal 2 ayat (1) berbunyi :

"Pencatatan Perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya

menurut Agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat sebagaimana dimaksud

dalam Undang-Undang Nomor32 tahun 1954 tentang Pencatat Nikah, Talak, dan

Rujuk.

Sehingga dengan kata lain Kantor Urusan Agama (KUA) hanya

mencatatkan perkawinan yang beragama Islam saja, diluar ketentuan itu berarti

mejadi kewenangan Kantor Catatan Sipil termasuk perkawinan beda agama yang

sekarang menjadi kewenangan Kantor Catatan Sipil.6

Didalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan terkait perkawinan

beda agama sendiri lebih ditekankan pada instasi mana yang berhak mencatatkan,

dan seperti apa prosedurnya, maka lahirnya Undang-Undangini memberi

kewenangan baru bagi Kantor Catatan Sipil disingkat (KCS) untuk mencatatkan,

yang mana sebelumnya belum ada aturan yang kuat dan masih berdasarkan pada

yurispudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu putusan Nomor 1400/K/Pdt/1986,

sehingga Kantor Catatan Sipil bisa menolak untuk mencatatkan perkawinan beda

6 Lihat Pasal 2 ayat 2 pada PP No. 9 Tahun 1975 yang berbunyi pencatatan perkawinan dari

mereka yang melangsunga perkawinanya menurut agama dan kepercayaanya itu selain agama islam

dilakukan oleh pegawai pencatatan perkawinan pada kantor catatan sipil sebagaimana dimaksud

didalam berbagi perundang-undangan mengenai pencatatn perkawinan.

Page 91: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

80

agama karena belum adanya legalitas. Di dalam penjelasan umum Undang-

Undang Perkawinan angka 4 huruf (b) menyatakan; pencatatan tiap-tiap

perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting

dalam kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan

dalam surat-surat keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar

pencatatan.7 Walaupun pencatatan perkawinan ini bukan menjadi satu-satunya

syarat utama untuk menetukan keabsahan suatu perkawinan, akan tetapi dengan

tertib administrasi kependudukan serta menjamin kepastian hukum terutama

dalam kepentingn pembuktian, maka pencatatan perkawinan adalah suatu

keharusan untuk diselenggarakan. Lembaga catatan sipil merepakan suatu

lembaga pencatatan peristiwa kependudukan yang berada ditingkat daerah, tugas

daripada catatan sipil secara nasional yang telah diuraikan sebelumnya, yakni

melakukan pencatatan peristiwa penting kehidupan seseorang pribadi, dengan

selengkap-lengkapnya dan sebesar-besarnya, untuk kepentingan pelayanan dan

administrasi kependudukan. Tugas pokok kegiatan pelayanan administrasi

daripada catatan sipil ini juga memberikan pelayanan pencatatan sipil untuk

pecatatan perkawinan seperti pada Pasal 32 ayat (2d) dan penerbitan aktanya di

Pasal 33 (c) Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007.8

7 Lihat Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan,( Jakarta: Sinar Grafika,

2006, Cet. Ke-6), h.24

. 8 Lihat Pasal 32 dan 33 PP Nomor 37 Tahun 2007tentang Pelaksanaan Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, dan lihat Nomor 102 Tahun 2012

Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan

Page 92: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

81

Maka terkait persoalan perkawinan beda agama dalam Undang-Undang

Administrasi Kependudukan sendiri dibuat untuk mencegah adanya usaha

penyelendupan hukum dengan cara-cara yang sudah di paparkan pada bab

sebelumnya, sehingga diakomodir dalam suatu bentuk perundang-undangan yaitu

Undang-Undang Administrasi Kependudukan Nomor 23 Tahun 2006. Dan

prosedur pencatatan perkawinan dalam Undang-Undang Administrasi

Kependudukan diatur pada Pasal 34, 35 dan 36 Undang-Undang Administrasi

Kependudukan.9 Pokok dari pasal tersebut antara lain :

1. Pasal 34

a. Perkawinan yang sah menurut peraturan perundang-undangan wajib

dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya

perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

b. Berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat 1, pejabat

pencatatan sipil mencatat pada Register Akta Perkawinan dan menerbitkan

Kutipan Akta Perkawinan.

c. Kutipan Akta Perkawinan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) masing-

masing diberikan kepada suami dan istri.

d. Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bagi Penduduk yang

beragama Islam dilakukan oleh KUA Kec.

e. Data hasil pencatatan atas peristiwa sebagaimana dimaksud pada ayat (4)

dan dalam Pasal 8 ayat (2) wajib disampaikan oleh KUA Kec. kepada

9 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat (Menurut Hukum

Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2010, Cet. Pertama), h. 225-226.

Page 93: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

82

instansi pelaksana dalam waktu paling lambat 10 (sepuluh) hari setelah

pencatatan perkawinan dilaksanakan.

f. Hasil pencatatan data sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak

memerlukan penerbitan kutipan akta pencatatan sipil.

g. Pada tingkat kecamatan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan pada UPTD Instansi Pelaksana

2. Pencatatan yang dimaksud dalam Pasal 34 Undang-Undang Administrasi

Kependudukan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan

(Pasal 35 hurup a), dalam hal ini yang dimaksud pada pasal tersebut adalah

perkawinan antar umat beragama (penjelasan Pasal 35 huruf a). Sedangkan

perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan

Warga Negara Asing yang bersangkutan (Pasal 35 huruf b), yang syaratnya

harus mengikuti ketentuan perkawinan di Indonesia (penjelasan Pasal 35

huruf b).

3. Sedangkan dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan akte

perkawinan, maka pencatatan dilakukan setelah adanya penetapan pengadilan

(Pasal 36 Undang-Undang Administrasi Kependukdukan)

B. Analisis Pasal 35 Huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang

Administrasi Kependudukan

Pembentukan suatu peraturan yang baik haruslah merujuk pada unsur-

unsur yang hidup dalam masyarakat itu sendiri, hal ini bertujuan agar saat

peraturan tersebut diterapkan bisa menyelesaikan atau meminimalisir masalah

Page 94: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

83

yang terjadi bukan menimbulkan masalah baru sehingga aturan yang di buat

tersebut tepat sasaran. Namun dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006

tentang Administrasi kependudukan terutama dalam Pasal 35 berisi sebuah

ketentuan baru yang menimbulkan perdebatan yang sampai saat ini menjadi pro

dan kontra, karena dianggap bertentangan dengan nila-nila agama, namun

sebagian kalangan masyarakat menganggap lahirnya pasal ini sebagai jawaban

penghapusan diskriminatif.

Menurut Soerjano Soekanto dan Purbacaraka untuk membentuk suatu

peraturan yang baik harus memenuhi beberapa asas sebagai berikut:10

1. Undang-Undang tidak boleh berlaku surut

2. Undang-Undang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai

kedudukan yang lebih tinggi

3. Undang-Undang yang bershifat khusus mengesampingkan Undang-Undang

yang bersifat umum.

4. Undang-Undang yang berlaku belakangan membatalkan Undang-Undang

yang berlaku terdahulu

5. Undang-Undang tidak dapat di ganggu gugat

6. Undang-Undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai

kesejahteraan spiritual dan materil bagi masyarakat maupun individu, melalui

pembaruan maupun pelestarian

10 Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik (Gagasan

Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009, h 117.

Page 95: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

84

Hal yang menjadi perdebatan banyak pihak adalah apakah perkawinan

yang dicatatkan dengan penetapan pengadilan sesuai dengan Pasal 35 huruf (a)

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 sah menurut Undang-Undang

Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974. Dalam permasalahan ini untuk melihat aturan

mana yang mesti diberlakukan dan adakah pertentangan kita harus mengaitkanya

dengan asas-asas pembentukan peraturan agar terlihat titik persoalan secara

sistematis.

Menurut Van Der Vlies suatu peraturan yang akan dibuat harus memiliki

tujuan yang jelas, dengan tujuan yang jelas maka akan dapat dicapai sebuah

aturan yang menjawab permasalahan.11

Dalam teknis pembentukan peraturan

perundang-undangan, penggambaran tujuan yang jelas di cantumkan pada bagian

konsidern (menimbang) termasuk pula bagian penjelasan. Dalam konsideren yang

termuat dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan pada

penyelenggaraan pecatatan sipil maupun pencatatan kependudukan yang erat

kaitanya dengan upaya perlindugan status hukum setiap peristiwa kependudukan

dan peristiwa penting. Penduduk berhak mendapatkan dokumen kependudukan

sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 dimana hak-hak tersebut berkaitan dengan peristiwa kependudukan dan

peristiwa penting yang dialami oleh seseorang tanpa adanya diskriminatif. Dalam

pemenuhan hak penduduk, terutama di bidang pencatatan sipil, masih ditemukan

penggolongan penduduk yang didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang

11

Ibid, h.145.

Page 96: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

85

membeda-bedakan suku, keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam

berbagai peraturan produk kolonial Belanda.12

Maka adanya Pasal 35 terkait

perkawinan beda agama adalah upaya untuk menghilangkan deskriminatif dan

upaya penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Maka munculnya Pasal 35 menurut

dianggap sebagai suatu kemajuan HAM khususnya hak warga negara untuk

dicatat. Dengan maksud bahwa agama bukan lagi masalah krusial agar suatu

perkawinan bisa dicatatkan.

Suatu peraturan perundang-undangan yang baik haruslah didasarkan pada

asas pembentukan peraturan yang baik, yaitu kejelasan tujuan, kelembagaan atau

organ pembentukan yang tepat, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, dapat

dilaksanakan, kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan dan

keterbukaan tidak bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi kedudukanya.

Hal ini sesuai dengan penjelasan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang

Pembentukn Peraturan Perundang-Undangan Pasal 5.13

Sehingga dalam

menganalisa suatu peraturan perundang undangan, ada beberapa langkah yang

mesti diperhatikan antara lain14

;

12

Lihat Penjelasan Undang-Undang Nomer 23 Tahun 2006 Tetang Administrasi

Kependudukan, (Jakarta: Sinar Grafika, Cet. Pertama), h. 44. 13

Lihat Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, (Bandung: Nuansa Indah 2011, Cet. Pertama), h.5. 14

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik (Gagasan

Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2009), h.171.

Page 97: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

86

1. Sitematika penulisan sesuai dengan aturan pembentukan perundang-undangan

yang baru,

2. Dasar hukum yang dijadikan acuan harus sesuai dengan aturan pembentukan

perundang-undangan yang baru,

3. Masalah sosial yang ingin diatasi,

4. Dan norma-norma pokok yang terdapat dalam peraturan yang akan dibuat

Hal ini bertujuan untuk melihat efesiensi dan efektivitas peraturan tersebut,

apakah menimbulkan masalah baru atau adanya sebuah kepentingan dalam

pembentukan peraturan tersebut.

Jika kita analisis Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut

Undang-Undang Nomer 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan, secara aspek teknis pembentukan peraturan perundang-

undangan, Undang-Undang Administrasi Kependudukan sendiri telah sesuai

dengan aturan yang berlaku baik, secara sitematika penulisan ataupun secara

teknis pembentukan. Bisa kita lihat dari segi sitematika penulisanya, yaitu

adanya judul yang jelas, pembukaan, batang tubuh, penutup, penjelasan dan

lampiran. Di dalam pembukaan itu sendri berisi konsideren/ pertimbangan yang

memuat uraian singkat mengenai pokok pikiran dari Undang-Undang

Administrasi Kependudukan yaitu adanya upaya perlindungan dan pengakuan

terhadap penentuan status pribadi dan status hukum sehingga jika ditafsirkan

dibuatnya undang-undang ini bertujuan untuk mengatasi permasalahan dan

mengisi kekosongan hukum agar terciptanya keadilan. Maka jelas bahwa

Page 98: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

87

dimuatnya Pasal 35 terkait perkawinan beda agama adalah salah satu upaya

untuk menghilangkan perbedaan dan upaya mengisi kekosongan hukum yang

mana sebelumnya belum ada aturan jelas yang mengatur perkawinan antar

agama.

Dasar hukum yang dijadikan acuan dalam pembentukan Undang-Undang

Administrasi Kependudukan sendiri sudah sesuai dengan Undang-Undang Nomor

12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Pasal 7

terkait jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan yaitu susunan tertinggi

harus berdasarkan Undng-Undang Dasar 1945, sedangkan masalah sosial yang

ingin diatasi sendri dari Undang-Undang Administrasi Kependudukan bisa dilihat

dalam bab penjelasan yaitu terkait pemenuhan hak Penduduk, terutama di bidang

Pencatatan Sipil, yang masih ditemukan penggolongan Penduduk yang

didasarkan pada perlakuan diskriminatif yang membeda-bedakan suku,

keturunan, dan agama sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan yang berlaku.

Dan itulah yang menjadi latar belakang lahirnya Pasal 35 Undang-Undang

Administrasi Kependudukan tentang penetapan pengadilan bagi pasangan beda

agama15

. Namun kenyataannya dalam pasal tersebut jika ditafsirkan sangat

bertolak belakang dengan nilai-nilai agama yang menekankan sebuah perkawinan

pada ikatan yang syakral.

Hukum agama sendiri merupakan salah satu hukum yang hidup dan

menjiwai seluruh umat manusia, dan diyakini kebenarnya sehingga memberi efek

15

Lihat UU Nomer 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan, h. 17.

Page 99: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

88

sosiologis pada seluruh aspek kehidupan, termasuk juga hukum khusus yaitu

hukum perkawinan, maka dari itu suatu perkawinan seharusnya sesuai dengan

aturan agama dan bangsa. Indonesia sendiri merupakan bangsa yang monotheis

dan bukan atheis,16

oleh karena itu agama dijadikan landasan filsafah bangsa

Indonesia dan bisa kita lihat pada sila pertama dalam Pancasila yakni “Ketuhanan

Yang Maha Esa”. Paham inilah yang menjadi dasar dilahirkannya Undang-

Undang Perkawinan yang mana agama diajdikan hal utama yakni hukum agama

sebagai pengesah suatu perkawinan, misalnya seorang muslim maka ia

berdasarkan hukum agamanya sebaliknya agama lain.

Menurut Daud Ali dalam Negara yang berdasarkan Pancasila tidak boleh

berlaku aturan hukum yang bertentangan dengan hukum agama, agama-agama

yang ada di Indonesia melarang perkawinan beda agama. Maka dalam Negara

Pancasila tidak boleh terjadi perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda.

Bustanul Arifin berpendapat bahwa dalam sistem perkawinan kita sekarang tidak

ada lagi tempat untuk perkawinan yang bersifat sekuler seperti perkawinan

perdata masa dulu, karena Pancasila tidak menampung hal-hal yang bersipat

sekuler.17

Keabsahan suatu perkawinan merupakan suatu yang bersipat prinsipil,

karena berkaitan langsung dengan akibat–akibat perkawinan. Hal ini lah yang

melatarbelakangi lahirnya Pasal 2 ayat (1) yakni “ perkawinan adalah syah

16

Monotheis adalah sebuah paham yang menyakini adanya suatu Tuhan sebagai pencipta

kehidupan manusia, sedangkan atheisme adalah paham yang tidak menyakini adanya tuhan.

17

Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, (Jakarta: Badan

Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2003, Cet. Pertama), h. 81-82.

Page 100: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

89

menurut agama dan kepercayaan masing-masing”, hukum masing-masing agama

itu termasuk pula ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi

golongan agamanya dan kepercayaanya sepanjang tidak bertentangan atau

ditentukan lain dalam Undang-Undang Perkawinan.18

Dari ketentuan tersebut, jelas terlihat bahwa perkawinan mempunyai

kaitan erat dengan agama yang dianut oleh calon mempelai, sehingga perkawinan

dapat dikatakan syah secara yuridis apabila perkawinan tersebut dilakukan

menurut agama orang yang melangsungkan perkawinan tersebut. Maka bagi

orang Islam perkawinan mereka dikatakan syah jika mengikuti aturan tata cara

hukum Islam, dan bagi pasangan yang berbeda agama maka perkawinannya dapat

dikatakan tidak sah.

Menurut penulis adanya pelarang perkawinan beda agama atau

perkawinan beda agama tidak syah bukanlah sebuah pelanggar Hak Asasi

Manusia, jika dikaitkan dengan Pasal 28 J Undang-Undang Dasar 1945 yang

berbunyi; “ Dalam menjalankan hak dan kebebasanya, setiap orang wajib tunduk

kepada pembatasan yang ditetapkan dengan Undang-Undangdengan maksud

semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan

kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan

pertimbangan moral dan nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum

dalam suatu masyarakat demokratis” maka jika ditapsirkan bahwa hak asasi

18

H.M. Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia (Masalah-Masalah Krusial), (Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2010, Cet. Pertama), h. 12.

Page 101: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

90

manusia dibatasi selama tidak melanggar nilai-nilai agama dan sebagainya.19

Dari ketentuan pasal di atas dapat dilihat bahwa perkawinan beda agama

bukan lagi Hak Asasi Manusia, karena sudah melanggar nilai-nilai agama

walaupun pada kenyataanya perkawinan tersebut bisa diberlangsungkan dengan

adanya dipensasi. Pada dasarnya dikeluarkanya dispensasi dari masing-masing

agama bukanlah degan cuma-cuma tapi ada persyaratan yang mesti dilakukan

terlebih dahulu, hal ini menandakan bahwa perkawinan beda agama sangatlah

tidak disukai di setiapa ajaran agama manapun. Dampak yang ditimbulkan dari

perkawinan beda agamapun sangatlah lebih banyak, terkait masalah anak

terutama dalam pertumbuhan kejiwaanya. Kewajiban orang tua mendidik

anaknya dengan nilai-nilai agama merupakan hak setiap anak, bagaimana

pasangan beda agama dalam meberikan pendidikan untuk tumbuh kembang anak,

menjadi masalah yang mesti diperhatikan.

Walaupun benar bahwa perkawinan adalah hak setiap orang, dan adanya

Pasal 35 tentang perkawinan beda agama adalah untuk menghilangkan adanya

diskriminasi, di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak

Asasi Manusia diskriminasi dimaksudkan kepada adanya pembatasan, pelecehan,

pengucilan yang langsung maupun tidak langsung didasarkan pembedaan

manusia atas dasar etnis, agama, ras, etnik, kelompok, golongan status sosial,

19

Jimmy Asshiddiqie, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia

Tahun 1945, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama), h.127.

Page 102: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

91

status ekonomi dan sebagainya.20

Dan dalam Pasal 10 ayat 1 menyatakan bahwa

“setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunannya

dengan melalu perkawinan yang sah, dan dalam ayat 2 menyatakan perkawinan

yang sah hanya berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan istri yang

bersangkutan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.21

Maka sebagian

aliansi seperti Paramadinan dan Indonesian Conference in Region and Peace

(ICRP) mengatakan bahwa perkawinan beda agama adalah hak asasi manusia,

namun jika dilihat dari makna diskriminasi yang dimaksud dalam undang-undang

tersebut adalah dalam perlakuan atau tindakan diskriminatif adalah tindakan yang

bertujuan memberikan perlakuan yang berbeda terhadap sesama warga negara

hingga hilangnya kesempatan dan kesetaraan dalam menjalankan kehidupannya.

Sedangkan dalam dalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 memberikan

jaminan, perlindungan dan kesempatan untuk berkehidupan namun dibuatnya

batasan pada dasarnya untuk menciptakan kehidupan yang seimbang, saling

menghargai dan menghormati satu sama lain. Oleh karena itu adanya aturan baru

yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Adminstrasi

Kependudukan Pasal 35 huruf (a) terkait perkawinan beda agama bukanlah

sebuah kemajuan HAM melainkan membuka permasalahan baru dan berimplikasi

20

Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi, Amandemen UU 1945 dan

Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasioanal, (Jakarta: Sekertariat Jendral DPR-RI,

2001), h. 154-155. 21

Ahmad Baso Dan Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama (Kesaksian, Argument

Keagamaan Dan Analisa Kebijakan), (Jakarta: Komnas HAM-ICRP, 2005, Cet. Pertama), h.258.

Page 103: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

92

pada pelanggaran nilai-nilai agama yang nantinya dikaitkan pada hal penistaan

agama seperti kasus Asmiranda, dan banyak dampak negatif yang di timbulkan.

Ternyata aturan tersebut tidak hanya bertentangan dengan Undang-Undang

Perkawinan namun bertentangan dengan esensi yang terkandung pada Undang-

Undang Dasar 1945.

Selanjutnya jika dikaitkan pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang

Perkawinan, Pasal 35 Undang-Undang Administrasi Kependudukan tentang

penetapan pengadilan bagi pasangan beda agama sama-sama pasal yang

menyangkut masalah kerohanian yang mana dalam Undang-Undang Perkawinan

mengutamakan agama sebagai sumber utama dalam pengesahan perkawinan

sedangkan dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan lebih

menekankan pada hak asasi manusia atau lebih tepatnya agama bukan masalah

krusial. Pendefinisian agama sendiri dalam Undang-Undang Dasar 1945 tepatnya

Pasal 29 ayat 2 memuat ketentuan yang bermakna untuk memeluk agama dan

kepercayaan serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan

yang diyakini.22

Menurut Prof. Mohammad Daud Ali terkait pemaknaan pada Pasal 29

ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 tentang kata-kata agama dan kepercayaan

dapat kita telaah dari pendapat mereka yang merumuskan Undang-Undang Dasar

1945. Adapun pendapat mereka antara lain:

22

Lihat Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah

Dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta ,Sekretaris Jendral Dan Kepanitraan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, 2011, h. 33.

Page 104: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

93

1. Menurut H.Agus Salim menyatakan makna Ketuhanan Yang Maha Esa

dalam Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan atau

akidah agama, “tidak ada seorangpun diantara kami (para perancang atau

penyusun Undang-Undang Dasar 1945) yang ragu-ragu bahwa yang dimaksud

adalah, akidah atau kepercayaan agama.

2. Menurut Mohammad Hatta menyatakan arti perkataan kepercayaan dalam

Pasal 29 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 adalah kepercayaan agama,

ditambah lagi oleh Mohammad Hatta kuncinya adalah kata “itu” dalam ujung

bunyi Pasal 29 Ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945. Kata “itu” menurut beliau

adalah menunjuk pada kata agama yang terletak di depan kata kepercayaan

tersebut. Dilihat dari sudut pandang penafsiran sistematis, Mohammad Hatta

menjelaskan hal tersebut adalah logis, karena kata-kata agama dan

kepercayaan itu digandengkan atau disandingkan dalam satu kalimat dan

diletakan di bawah bab agama dan benar sesuai dengan penjelasan H. Agus

Salim.

3. Selanjutnya menurut Kasman Singodimedjo, yang ikut serta menjadi anggota

PPK yang mengesahkan Undang-Undang Dasar 1945. Mengatakan bahwa

makna kepercayaan dalam Undang-Undang Perkawinan tidak lain adalah

kepercayaan yang termasuk dalam lingkup “agama” yang dipeluk bangsa

Indonesia.23

23

David Hartadi Tenggara, “ Dampak Lahirnya Undang-Undang Administrasi

Kependukdukan Terhadap Keabsahan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ”, Skripsi, Depok ,

Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2007, h.152-153.

Page 105: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

94

Dengan kata lain bahwa agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dari

penjelasan diatas menurut Prof. Muhammad Daud Ali bahwa dalam Undang-

Undang Perkawinan Pasal 2 ayat (1) telah sesuai dengan Undang-Undang Dasar

1945 yang mana kata agama dan kepercayaan adalah satu kesatuan dan

penjelasan dari pasal tersebut yaitu “ dengan perumusan pada Pasal 2 ayat 1

Undang-Undang Perkawinan berarti tidak ada perkawinan diluar hukum masing-

masing agama dan kepercayaan itu‟‟ sehingga jika tarik kesimpulan dari

penjelasan pasal tersebut bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar „hukum

agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin

dengan melanggar hukum agamanya hal ini sejalan dengan pendapat Prof. Dr

Hazairin SH.

Didalam Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 28 (b) berbunyi “setiap orang

berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang

syah” ditafsirkan bahwa perkawinan yang syah merupakan persyaratan untuk

timbulnya hak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan maka negara

tidak menjamin hak seseorang jika dalam membentuk keturunan tanpa adanya

proses perkawinan yang sah, perkawinan yang sah sendiri dalam Undang-Undang

Perkawinan adalah menurut agama dan kepercayaan.24

Menurut Hadikusuma di

dalam bukunya yang berjudul Hukum Perkawinan Nasional mengatakan bahwa

perkawinan yang sah menurut hukum perkawinan nasional adalah perkawinan

yang dilaksanakan menurut tata tertib aturan hukum yang berlaku dalam agama

24

Jimly Asshiddiqie, Kometar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009, Cet. Pertama, h. 115.

Page 106: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

95

yang diakui di Indonesia. Kata “hukum masing-masing agamanya”, berati hukum

dari salah satu agama itu, bukan masing-masing agama calon mempelai. Dan ia

mendefiniskan perkawina beda agama sebagai perkawinan yang dilaksanakan

menurut tata tertib salah satu agama, bukan oleh setiap agama, sehingga ia

menekankan pada penundukan salah satu agama.25

Munculnya sebuah ketentuan

baru dalam Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan

mengenai penetapan pengadilan terkait pasangan beda agama yang membolehkan

perkawinan beda agama untuk dicatatkan sehingga memberikan definisi baru

bahwa perkawinan beda agama sudah mendapat tempat di konstitusi dengan kata

lain Negara mengakui dan menfasilitasi perkawinan tersebut.

Dilahirkanya Undang-Undang Perkawinan adalah untuk meminimalisir

adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda agama

tidak diakomidir dalam Undang-Undang tersebut. Timbulnya permasalahan

dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan, penulis rasa lebih

menekankan pada masalah apa yang ingin diatasi Undang-Undang Administrasi

Kependudukan itu sendiri. Ternyata banyak muatan materi yang bertolak

belakang dengan ketentuan yang masih berlaku hingga saat ini dan norma-norma

yang hidup di masyarakat, apalagi dalam pasal-pasal yang menyoroti masalah

keyakinan atau kerohanian. Hal ini dalam pembentukan Undang-Undang disebut

dengan disharmoni hukum. Disharmoni hukum biasanya timbul karena adanya

25

Ichtijanto, Laporan Akhir Analisis Dan Evaluasi Hukum 20 Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta: Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, 1996), h. 37.

Page 107: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

96

perbedaan antara berbagai Undang-Undang atau peraturan perundang-undangan

bisa juga dikarenakan adanya pertentangan dengan peraturan pelaksanaan dan

sebagainya. Misalnya pertentangan antara Undang-Undang yang kedudukanya

sederajat ataupun adanya perbedaan dengan peraturan pelaksana sehingga tujuan

dibuatnya Undang-Undang tersebut tidak sesuai.

Undang-Undang Perkawinan yang sudah mendasari hukum perkawinan

hingga saat ini, secara yuridis merupakan ketentuan yang tertinggi dalam

mengatur perkawinan di Indonesia termasuk dalam memeberi keabsahan terhadap

suatu perkawinan bagi masyarakat di Indonesia. Namun dengan dilahirkanya

Undang-Undang Administrasi Kependudukan di tahun 2006 lalu dari segi yuridis

menjadi sebuah ketentuan perundang-undangan yang tertinggi dalam

penyelesaian administrasi kependudukan, sehingga ketentuan sebelumnya yang

hanya berupa Keppres posisinya naik menjadi undang-undang. Hal tersebut

menyebabkan ketentuan lain yang ada dibawahnya, yakni ketentuan yang bersipat

pluralistis harus mengacu pada aturan ini. Sedangkan Undang-Undang

Perkawinan dianggap memiliki ketentuan yang pluralistis hukum dan adanya

diskriminatif terutama dalam hal pencatatan perkawinan, terlihat dari banyaknya

pro kontra dalam masyarakat mengenai keabsahan dan pencatatan bagi mereka

yang memilki perbedaan agama sehingga adanya Undang-Undang Administrasi

Kependudukan dianggap sebagi solusi atau mengakomodir bagi mereka yang

ingin dicatatkan dan mendapat pengakuan. Tetapi banyak yang menganggap

perkawinan yang berbeda agama adalah hal yang sangat sensitip karena ini

Page 108: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

97

menyangkut konteks agama bukan lagi terkait Hak Asasi Manusia melainkan

sebuah keyakinan yang menyangkut orang banyak bukan lagi masing-masing

pihak walaupun dalam Pasal 29 ayat 2 mengatakan “Negara menjamin

kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan

untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaanya itu” dengan kata lain

bukan berati kita bisa melanggar ketentuan agama yang bisa menimbulkan

konflik lebih banyak. Sehingga kedudukan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan sendiri terhadap Undang-Undang Perkawinan harus di lihat dari

segi asas-asas yang termuat dalam undang-undang, hal ini berfungi untuk melihat

kedudukan masing-masing.

Untuk menyelesaikan pertentangan yuridis terkait dalam Pasal 35 huruf

(a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan dengan Undang-Undang

Perkawinan Pasal 2 ayat 1 maka didalam sistem perundangan pada umumnya

mengunakan tiga asas hukum yaitu :

1. Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis, maksud dari asas ini adalah

bahwa terhadap peristiwa khusus wajib diperlakukan undang-undang yang

menyebut peristiwa itu, walaupun untuk peristiwa khusus tersebut dapat pula

diperlakukan umum atau lebih luas yang juga dapat mencangkup peristiwa

khusus. Asas ini lebih sering diartikan sebagai suatu aturan yang bersipat

khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum.

2. Asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori, yang dimaksud dengan asas ini

adalah, bahwa undang-undang lain (yang lebih dahulu berlaku) yang

Page 109: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

98

mengatur suatu hal tertentu, tidak berlaku lagi jika ada undang-undang baru

(yang berlakunya belakangan) yang mengatur pula hal tertentu tersebut, akan

tetapi makna atau tujuanya berlainan atau berlawanan dengan undang-undang

yang lama tersebut (pencabutan undang-undang secara diam-diam). Asas ini

sering diartikan bahwa ketentuan yang dibuat dan berlaku belakangan

membatalkan undang-undang yang berlaku terdahulu.

3. Asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori. Yang dimaksud dengan asas ini

adalah sebuah aturan yang dibuat dan kedudukannya lebih tinggi posisinya

mengalahkan ketentuan yang lebih rendah.26

Ketiga asas tersebut dapat digunakan jika terjadi ketidakharmonisan dalam

suatu peraturan perundang-undangan, dan menetukan aturan mana yang lebih

diutamakan dan diberlakukan.

Mengingat bahwa Undang-Undang Administrasi Kependudukan dan

Undang-Undang Perkawinan memiliki kedudukan yang sama dan sederajat dalam

hirarki peraturan perundang-undangan dan jika penulis kaji mengunakan asas

diatas sudah sangat jelas asas Lex Superiori Derograt Legi Inferiori tidak bisa

digunakan. Berhubung masalah yang dikaji ini terkait perkawinan beda agama

yang mana dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan menekankan

pada pencatatan perkawinan maka asas Lex Posteriore Derograt Lex Priori tidak

bisa digunakan juga dalam persoalan ini karena isi kandungan dalam Undang-

26

C.S.T. Kansil Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2011), h. 391-393.

Page 110: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

99

Undang Administrasi Kependudukan jelas berbeda dengan Undang-Undang

Perkawinan sendri, Administrasi Kependudukan lebih menekankan persoalan

kependudukan dan administrasi sedangkan Undang-Undang Perkawinan

membahas tentang esensi perkawinan secara menyeluruh maka kedua aturan ini

tentulah sangat berbeda karena tidak seluruh subtansi undang-undang yang satu

merupakan bagian dari undang-undang yang lainnya. Namun adanya salah satu

pasal dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan yang menyangkut

perkawinan apalagi tentang perkawinan beda agama yang sebelumnya tidak ada

aturan yang mengatur hal tersebut manjadi persoalan.

Maka terkait Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Administrasi

Kependudukan yang termuat pada bab V tentang pencatatan sipil terkait

perkawinan beda agama dan Undang-Undang Perkawinan Pasal 2 ayat 1 tentang

syahnya perkawinan bisa kita kaji mengunakan asas Lex Specialis Derograt Lex

Generalis, yaitu melihat dari segi hubungan umum khusus antara Pencatatan dan

Syahnya Perkawinan. Asas ini menjelaskan bahwa aturan hukum yang khusus

dapat mengesampingkan aturan yang bersipat umum. Asas lex Specialis Derograt

Lex Generalis hanya berlaku terhadap dua peraturan yang secara hierarki

sederajat.27

Undang-Undang Perkawinan mengatur tentang perkawinan dan subtansi

tentang dasar perkawinan, larangan, syarat-syarat, pencegahan, batalnya

27

Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perusahaan,( Jakarta: Transmedia Pustaka, 2009,

Cet. Peratama), h. 10.

Page 111: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

100

perkawinan dan lain-lain. Sedangkan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan subtansinya mengatur tentang administrasi kependudukan atau

pencatatan peristiwa penting yaitu kematian, kelahiran, perkawinan, perceraian,

pengakuan anak, pengesahan anak, perubahan status kewarganegaraan,

pencatatan penduduk dan lain-lain. Pencatatan perkawinan sendiri merupakan

salah satu pasal dalam Undang-Undang Perkawinan yaitu Pasal 2 ayat (2) yang

berbunyi “tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan

yang berlaku”, demikian juga dalam Undang-Undang Administrasi

Kependudukan pencatatan perkawinan masuk kedalam peristiwa penting yang

mesti dicatatkan. Oleh karena itu dalam menetukan kedudukan umum khusus

harus dengan melihat dari segi substansi atau materinya tidak bisa dilihat hanya

dari judulnya saja.28

Jika dari segi pencatatan dalam Undang-Undang Administrasi

Kependudukan sendiri diatur secara umum sedangkan dalam Undang-Undang

Perkawinan diatur secara khusus karena dalam Undang-Undang Administrasi

Kependudukan pencatatan peristiwan penting mencangkup banyak hal dan

perkawinan adalah salah satunya. Oleh karena itu perkawinan masuk kedalam

peristiwa penting yang harus dicatatkan, maka kemunculan Undang-Undang

Perkawinan menjadi aturan yang menetapkan perkawinan yang bagaimana dapat

dicatatkan.

28

Mifta Adi Nugraha, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara

Undang-Undang Perkawinan dan Undang-undang administrasi kependukdukan, Privat Law Edisi 01

Maret-Juni 2013. h. 58.

Page 112: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

101

Jika dilihat dari substansi perkawinannya, maka hal ini terkait syahnya

suatu perkawinan. Di dalam Undang-Undang Perkawinan syahnya suatu

perkawinan ditentukan menurut agama dan kapercayaanya Pasal 2 ayat

(1),walaupun tidak secara tegas mengatur tentang rukun perkawinan tetapi

undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan syahnya suatu perkawinan

secara sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur oleh agama dengan kata lain

agama adalah penentu syahnya suatu perkawinan, sehingga aturan tentang

syahnya perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan berlaku umum dan

Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku khusus.29

Kemunculan

Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberikan

pengecualian untuk pelaksanan perkawinan beda agama yaitu dengan cara

pentapan pengadilan. Oleh karena itu perkawinan diangap syah untuk pasangan

berbeda agama hanya ada dalam Undang-Undang Administrasi Kependudukan

maka Undang-Undang Administrasi Kependudukan bersipat lebih khusus. Sesuai

dengan asas yang telah dijelaskan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Undang-

Undang Perkawinan bersipat umum dan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan bersipat khusus, sehingga Undang-Undang Administrasi

Kependudukan sebagai peraturan yang bersipat khusus dapat mengesampingkan

aturan yang bersipat umum.

Namun pada Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi

Kependudukan pada dasarnya tidak dijelaskan tentang syahnya perkawinan beda

29

Anshary, Hukum Perkawinan Indonesia, h. 14.

Page 113: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

102

agama secara jelas, yang ada hanya penetapan pengadilan dan tidak ada

penjelasan terkait persoalan agama dengan kata lain agama dianggap hal yang

tidak penting dan perkawinan mereka ditentukan oleh hakim bukan lagi oleh

sebuah keyakinan, hal ini bisa diartikan bahwa implikasi Pasal 2 ayat (1) pada

Undang-Undang Perkawinan tentang pengesahan perkawinan menjadi tidak

berlaku, penetapan pengadilan diartikan sama dengan penetapan agama. Maka

Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan berimplikasi

pada sebuah kenyataan bahwa perkawinan hanya sebatas pencatatan bukan lagi

sebuah hal yang sakral, perkawinan hanya sebuah simbol dan hanya untuk

mendapat bukti hukum saja. Syarat utama perkawinan menurut Undang-Undang

Perkawinan adalah hukum agama dan kepercayaan yang dianut oleh kedua calon

mempelai, akan tetapi hal ini menjadi lengkap dan tak terpisahkan secara dejure30

bila tidak dilakukan pencatatanya. Akibatnya perkawinan yang tidak dicatat

dianggap tidak syah meski perkawinan dilakukan menurut agama sehingga

dampak yang terjadi di masyarakat adalah hukum negara yang utama dan agama

bukan lagi hal yang ditakutkan karena masuk kedalam ranah privasi seseorang.

Dalam pengesahan suatu perkawinan jika dilihat dari segi pencatatan

maka terdapat tiga perkawinan yang dicatatkan berdasarkan prosesi perkawinan,

antara lain pencatatan bagi orang muslim adalah setelah adanya ijab qabul

dihadapan penghulu dan dicatatkan di Kantor Urusan Agama, sedangkan yang

30

De jure (dalam bahasa latin klasik: de iure) adalah ungkapan yang berarti “berdasarkan

atau menurut hukum”

Page 114: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

103

beragama selain Islam dilaksanakan di tempat peribadatan atau dihadapan

pemuka agama yang akan mengeluarkan bukti perkawinan, bukti itulah yang

menjadi dasar Dinas Kependudukan Catatan Sipil (Dukcapil) mencatatkan

perkawinan mereka, dan bagi perkawinan yang ditetapkan pengadilan salah

satunya perkawinan antar agama dianggap ada jika mendapat penetapan dari

pengadilan, salinan penetapan tersebut menjadi dasar Dinas Dukcapil untuk

mencatatkan perkawinan mereka.

Pada Pasal 35 huruf (a) yang berbunyi Pencatatan yang dimaksud dalam

Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan berlaku pula bagi

perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan, dan ini hanya berlaku untuk

perkawinan antar agama. Didalam penjelasan pasal tersebut tidak dijelaskan

pengadilan mana yang berwenang untuk mengeluarkan penetapan bagi pasangan

beda agama, pengadilan agama ataukah pengadilan negeri. Menurut Undang-

Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama Pasal 1 ayat (1)

berbunyi : “Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama

Islam” dengan kata lain peradilan agama hanya berkuasa atas perkawinan bagi

mereka yang beragama Islam, sedangkan yang bukan Islam menjadi kewenangan

peradilan umum.31

Perkawinan antar agama bukan kompetensi absoulut Peradilan

Agama sebagaimana ditentukan dalam undang-undang yang di paparkan di atas,

oleh karena itu jika terjadi perkara perkawinan antara pemeluk beda agama

31

Lihat Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama.

Page 115: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

104

penyelesaianyya bukan pada Pengadilan Agama tetapi pada Pengadilan Negeri.32

Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 48 Tahun

2009 Pasal 25 ayat 2 dan ayat 3.33

Lahirnya Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Administrasi Kependudukan

hanya memberi jalan khusus untuk melaksanakan dan mencatatkan perkawinan

tersebut yaitu melalui penetapan pengadilan, yang diketahui bahwa pengadilan

merupakan salah satu tempat lahirnya hukum. Hakim pada Penetapan Perkawinan

Beda Agama di Pengadilan Negeri Lumajang Nomor 198/Pdt,P/2013/Pn.Lmj dan

Pengadilan Negeri Bogor Nomor 111/Pdt,P/2007/Pn.Bgr merujuk pada ketentuan

bahwa menurut Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

Tentang Kekuasaan Kehakiman mengatakan bahwa “Pengadilan dilarang

menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang diajukan

dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa dan mengadilinya” dan seorang hakim memiliki kewajiban untuk

menciptakan hukum guna memenuhi rasa keadilan masyarakat dengan kata lain

seorang hakim harus bisa melihat, membaca, memahami dan mempertimbangkan

nilai-nilai hukum yang berlaku di masyarakat.

Menurut Denny, selaku salah satu hakim di Pengadilan Negeri Bogor

32

Neng Djubaedah, Ibid, h. 227. 33

Didalam Pasal 25 ayat 3 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan

Kehakiman berbunyi : “Peradilan agama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai

dengan ketentuan peraturan perundang-undangan” dan Pasal 25 ayat 2 berbunyi ; Peradilan umum

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara pidana

dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”

Page 116: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

105

mengatakan bahwa perkawinan agama sebagai akibat dari perubahan zaman yang

tidak bisa di hindari, selayaknya hukum harus mengikuti perubahan zaman

tersebut, maka lahirnya Undang-Undang Administrasi Kependudukan memberi

jalan bagi pasangan beda agama untuk merealisasikan perkawinannya tersebut.

Menurut beliau agama adalah hak asasi manusia dan di dalam Pasal 29 Undang-

Undang Dasar 1945 tentang di jaminannya oleh Negara kemerdekaan bagi setiap

warganegara untuk memeluk Agamanya masing-masing. Pasal 29 ayat (2)

disebutkan, “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk

agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan

kepercayaannya itu, namun bukan berati Undang-Undang Perkawinan sudah tak

berlaku lagi, adanya Undang-Undang Administrasi Kependudukan menurut

beliau sebagai pengkhususan “Asas Lex Specialis Derograt Lex Generalis” yang

artinya aturan yang khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum.34

Seorang hakim dalam menilai keabsahan perkawinan antar umat yang

berbeda agama tetap harus memperhatikan keabsahan perkawinan menurut

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan aspek-aspek agama serta aturan yang

lebih tinggi. Kantor Catatan Sipil hanya lembaga yang berwenang mencatatkan

perkawinan sedangkan yang melangsungkan perkawinan tetap pemuka agama

menurut hukum agama masing-masing. Jadi keberadaan Pasal 35 huruf a

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tidak berarti perkawinan sipil dapat

34

Wawancara Dengan Bapak Dennie Arsan Fatrika S.H, Selaku Hakim Di Pengadilan Negeri

Bogor, Tgl 16 Desember 2013.

Page 117: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

106

dilangsungkan. Perkawinan harus tetap dilangsungkan menurut hukum agama

untuk kemudian dinilai oleh hakim mengenai keabsahannya, Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 bukan tidak melarang perkawinan antar umat yang berbeda

agama melainkan tidak mengaturnya. Artinya selama hukum agama

membolehkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 bukan merupakan suatu benturan. Hal

inilah yang harus diperhatikan oleh hakim karena hukum agama tertentu masih

membuka kemungkinan dilangsungkannya perkawinan antar umat yang berbeda

agama dengan dispensasi-dispensasi tertentu.

Pasal 35 huruf (a) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 memang

memberikan kewenangan kepada Kantor Catatan Sipil untuk mencatatkan

perkawinan yang telah mendapat penetapan pengadilan. Ketika pengadilan telah

mengeluarkan penetapan yang memerintahakan Kantor Catatan Sipil untuk

mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama tersebut maka tidak ada

alasan untuk menolaknya. Adanya persyaratan penetapan pengadilan untuk

mencatatkan perkawinan antar umat yang berbeda agama memberikan

kewenangan yang besar pada hakim untuk menentukan apakah suatu perkawinan

antar umat yang berbeda agama sah atau tidak. Dalam menentukan keabsahan

perkawinan antar umat yang berbeda agama, dengan kata lain syahnya

perkawinan beda agama kini ditentukan oleh pengadilan bukan lagi oleh agama.

Melalui hukum yang dilahirkan pengadilan maka pejabat pencatat

perkawinan kini memiliki dasar hukum untuk mencatat perkawinan beda agama

Page 118: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

107

tersebut. Pengaturan yang demikian menunjukan konsep pencatatan beda agama

yang administratif, perkawinan beda agama tidak didasarkan pada syahnya

perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan yaitu menurut agama tapi

perkawinan beda agama dapat dicatatkan karena adanya aturan hukum yaitu

penetapan pengadilan yang menyuruh untuk dicatatkan, namun hal ini menjadi

tidak kalah penting karena dengan adanya pencatatan memberikan bukti autentik

terhadap status hukum seorang warga negara, dengan diterbitkannya buku nikah

atau akta perkawinan menjadi bukti bahwa perkawinan benar-benar telah terjadi.

Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa perkawinan beda agama tetap

tidak syah karena pengadilan sendiri tidak menyebutkan dalam penetapnya bahwa

perkawinan yang mereka lakukan menjadi syah, pengadilan sendiri hanya

mengeluarkan penetapan untuk kebolehan dicatatkan agar mendapat bukti dan

mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan hal tersebut Kantor Catatan Sipil

mecatatkan perkawinan yang tidak syah, dan untuk dapat melangsungkan

perkawinan yang absah dan diakui negara maka perkawinan tersebut haruslah

memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan.

Dalam Undang-Undang Perkawinan syarat syahnya suatu perkawinan

dibagi dalam dua syarat yakni syarat materil yaitu syarat mengenai diri pribadi

para calon sedangkan syarat formil adalah formalitas-formalitas yang harus di

penuhi para pihak sebelum dan sesudah perkawinan. Sedangkan dalam Undang-

Undang Perkawinan syarat formal tidak dipaparkan secara langsung terkait

pencatatan perkawinan maka ketentuan dalam Undang-Undang Administrasi

Page 119: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

108

Kependudukanlah yang digunakan yaitu Pasal 34, 35 dan 36. Berdasarkan isi

Pasal 34 Undang-Undang Administrasi Kependudukan dicatatkanya perkawinan

yang tidak syah bukan tidak mungkin, karena pada ayat 1 dijelaskan bahwa

perkawinan yang syah wajib dilaporkan dan pada ayat 2 menyatakan berdasarkan

laporan tersebut pejabat pencatatan sipil mencatat perkawinannya. Oleh karena itu

dalam Pasal 34 ayat 1 tidak menyatakan bahwa hanya perkawinan yang syah saja

yang dapat dicatat, dan pada ayat 2 pun tidak mengatur bahwa hanya laporan atas

perkawinan yang syah saja yang hanya di catatkan. Dan dalam Pasal 36 sendiri

memberikan penjelasan bahwa perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan

akta perkawinan harus mendapat penetapan pengadilan hal ini berati bahwa

dengan adanya syarat dalam melangsungkan perkawinan beda agama harus

mendapat penetapan pengadilan, dengan begitu barulah Kantor Catatan Sipil

memiliki kewenangan untuk mengeluarkan akte perkawinan.

Menerima dan mencatatkan perkawinan hanya sebagi konsep dari Kantor

Catatan Sipil dan pada dasarnya dalam mencatatkan perkawinan beda agama,

Kantor Catatan Sipil hanya bersipat pasif dalam arti bahwa tidak memberikan

penolakan melainkan memberi saran atau solusi dengan adanya penetapan

pengadilan, sehingga pencatatan dan pengesahan perkawinan beda agama hanya

menyakut dua unsur yang pertama terkait maslah yuridis, khususnya masalah

pembuktian dan yang kedua menyangkut masalah administratif.

Page 120: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

109

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Analisis secara yuridis dan problematika yang terjadi, tentang Undang-

UndangAdministrasi Kependudukan(UU Adminduk) Nomor 23 Tahun 2006

Pasal 35 huruf (a)terkait perkawinan beda agama telah dilakukan pada bab-bab

sebelumnya. Sebagai jawaban atas permasalahan yang penulis ajukan dalam awal

penelitian, yaitu tentang kebijakan pemerintah atas diberlakukanya Undang-

Undang Administrasi Kependudukan terkait pelaksanaan perkawinan beda

agama yang menjadi sorotan publik dan dalam Undang-Undang Perkawinan

Nomor 1 Tahun 1974 tidak dijelaskan secara pasti tentang perkawinan beda

agama sehingga kemunculan Undang-Undang Administrasi Kependudukan

membuka peluang bahwa perkawinan tersebut kini mendapat tempat dan

diperbolehkanya, yang pada dasarnya belum ada aturan yang pasti, dengan kata

lain negara kini memfasilitasi perkawinan beda agama. Aturan tersebut menjadi

perdebatan dan masih menjadi masalah sampai saat ini karena dianggap

melanggar nilai-nilai agama, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut.

1. Lahirnya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi

Kependudukan adalah dalam rangka mewujudkan penyelanggaran

administrasi, baik itu pencatatan sipil maupun kependudukan yang efesien

dan efektif. Akan tetapi lahirnya Undang-Undang Administrasi

Page 121: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

110

Kependudukan ini banyak menimbulkan masalah baru dan tidak

menyelesaikan masalah, banyak pasal-pasal yang bertentangan dengan

ketentuan-ketentuan lain yang masih berlaku sampai saat ini.

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dilahirkan untuk meminimalisir

adanya pertentangan dalam persoalan agama sehingga perkawinan beda

agama tidak diakomidir dalam undang-undang tersebut. Undang-Undang

Perkawinan inipun mempelopori pembaharuan sitem perkawinan nasional

dan memperkenalkan sistem perkawinan menurut hukum agama masing-

masing, sejalan dengan cita hukum yang bersumber pada Pancasila dan

Pasal29 Undang-Undang Dasar1945. Walaupun agama menjadi dominan

dalam Undang-Undang Perkawinan tidak berarti menentukan keabsahan

suatu perkawinan, guna memenuhi unsur administrasi maka pencatatanpun

mesti dilakukan sebagai bukti dan perlindungan hukum, ini dilakukan agar

meminimalisir permasalahan yang bisa terjadi nanti dan memberi kepastian

hukum serta rasa keadilan pada semua pihak. Perkawinan antar agama

memang tidak diakomidir dalam Undang-Undang Perkawinan namun dalam

Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 8 sub f tentang larangan perkawinan, maka untuk

melangsungkan perkawinan antar orang yang berlainan agama akan sangat

tergantung pada ketentuan hukum agama yang dianut bagi calon suami istri

yang bersangkutan.

3. Namun adanya Pasal 35 huruf (a) pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun

2006 tentang Adminstrasi Kependudukan membuka peluang untuk

Page 122: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

111

melegalkan perkawinan beda agama sehingga esensi perkawinan yang dianut

Undang-Undang Perkawinan yaitu perkawinan yang seiman bukan lagi

menjadi dasar dan adanya Pasal2 ayat (1) jo Pasal8 sub f menekankan

perkawinan seiman sebagai konsekuensi berlakunya sistem perkawinan

menurut Undang-Undang Perkawinan, maka perkawinan harus tunduk pula

pada pasal tersebut sebagai norma dasar sistem hukum perkawinan, nampak

sudah tak dihiraukan lagi. Jika dilihat dari substansi perkawinannya, maka

hal ini terkait syahnya suatu perkawinan. Di dalam Undang-Undang

Perkawinan syahnya suatu perkawinan ditentukan menurut agama dan

kapercayaanya Pasal 2 ayat (1),walaupun tidak secara tegas mengatur tentang

rukun perkawinan tetapi undang-undang tersebut menyerahkan persyaratan

syahnya suatu perkawinan secara sepenuhnya kepada ketentuan yang diatur

oleh agama dengan kata lain agama adalah penentu syahnya suatu

perkawinan, sehingga aturan tentang syahnya perkawinan dalam Undang-

Undang Perkawinan berlaku umum dan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan berlaku khusus atau disebut Lex Specialis Derograt Lex

Generalis (aturan khusus mengesampingkan peraturan yang lebih umum ).

Dibuatnya pasal ini adalah dianggap sebagai solusi bagi perkawinan beda

agama yang ingin mengesahkan perkawinanya dengan melalui penetapan

pengadilan atau mengisi kekosongan hukum dan Undang-Undang

Perkawinan masih sumber utama dalam rujukan hakim terkait masalah

perkawinan. Namun yang perlu ditekankan disini adalah terkait keabsahan

Page 123: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

112

perkawinan tersebut, perkawinan beda agama hanya mendapat pengakuan

dari negara dan terkait masalah agama bukan menjadi hal yang krusial atau

menjadi penghalang dengan kata lain agama tidak menjadi dasar pada

perkawinan mereka.

Dan dalam Pasal 35 huruf (a) pun hanya menekankan kebolehan perkawinan

beda agama dicatat jika mendapat penetapan pengadilan sehingga yang menetukan

keabsahan perkawinan tersebut ditentukan oleh hakim, bukan lagi oleh agama

ataupun pemuka agama dan acara perkawinan atau prosesi dalam perkawinan

agama yang kini nampak seperti sebuah adat. Setelah mendapat penetapan maka

perkawinan mereka didaptarkan di Kantor Catatan Sipil untuk dicatatakan dan

mendapat bukti akta nikah, sedangkan keabsahanya perkawinan beda agama hanya

bersifat administartif atau hanya memenuhi unsur-unsur administarsi negara.

Jika perkawinan beda agama dianggap sebagai kemajuan dalam hal Hak

Asasi Manusia maka menurut penulis ini tidak bisa dibenarkan, memang benar

setiap orang berhak untuk memilih agama dan kepercayaan masing-masing dan

berhak untuk membentuk keluarga namun setiap hak yang manusia peroleh maka

harus diimbangi dengan kewajiban dan hak seseorang itu memiliki batasan, jika

tidak dibatasi maka akan terjadi ketidakseimbangan dalam kehidupan. Oleh karena

itu hak seseorang haruslah dibatasi. Perkawinan beda agama dianggap melanggar

nilai-nilai agama dan pada dasarnya setiap agama tidak menghendaki perkawinan

yang berbeda, adanya dispensasi yang mereka keluarkanpun menekankan

persyaratan tertentu untuk menghindari adanya penistaan agama atau pencemaran

Page 124: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

113

atas nama agama. Hal ini membuktikan bahwa agama adalah hal yang penting dan

menetukan. Maka jelas terlihat aturan ini memiliki banyak penafsiran hukum

sehingga jelas sekali di berlakukanya pasal tersebut sebagai adanya konflik

kepentingan anggota masyarakat, sebagai reaksi atas diberlakukanya sebuah

ketentuan yang dianggap menyudutkan mereka atau merugikan kepentingan

mereka.

B. Saran

Bila penulis cermati, munculnya pasal ini sangatlah tidak sesuai dengan

ketentuan yang berlaku dan sangat bertentangan dengan norma-norma di

masyarakat. Memang benar lahirnya pasal tersebut dalam bentuk undang-undang

menandakan negara mengatur perkawinan beda agama, namun apakah negara

menjamin akibat yang di timbulkan dari perkawinan beda agama itu sendiri,

dampak yang timbul dari perkawnan beda agama lebih banyak ketimbang

perkawinan yang seiman. Seharusnya negara bisa bersikap tegas dan

meminimalisir atau memperbahrui aturan lama bukan membuat aturan baru yang

menimbulkan masalah baru, lagi-lagi ketidak tegasan pemerintah dan kepentingan

para pihak lebih dikedepankan ketimbang melihat dampak dan efesiensi aturan

tersebut.

Maka saran penulis dalam hal ini adalah :

1. Apabila negara benar-benar ingin mengakomodir perkawinan beda agama di

Indonesia maka seharusnya negara merevisi ulang undang-undang terkait

Page 125: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

114

masalah perkawinan, bukan memuat aturan baru atau memasukan ketentuan

tersebut kedalam aturan lain. Didalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

tentang perkawinan beda agama memiliki banyak penafsiran hukum sehingga

sudah tidak layak lagi dalam perkembangan zaman dimasa sekarang, oleh

sebab itu seharusya negara bisa merevisi/memperbahurui undang-undang

tersebut.

2. Pada Pasal 35 huruf (a)Undang-Undang Administrasi Kependudukan tidak

serta merta membolehkan perkawinan beda agama, maka dibuatlah

persyaratan dengan dimintanya penetapan pengadilan, sehingga seorang

hakim tetap merujuk pada ketentuan perkawinan berdasarkan tata cara

perkawinan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Namun karena muatan

materi dalam pasal ini multitafsir dan berdasarkan ketentuan Undang-Undang

Dasar 1945 Pasal 29 ayat 1 yang berbunnyi Negara berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa, yang artinya bahwa negara tidak bisa mengabaikan masalah

agama maka ketentuan yang dianggap melanggar nilai-nilai agama harus

dicabut, dan Negara harus bersikap tegas.

Page 126: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

115

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perkawinan,

Jakarta, Akademika Presindo, 1986.

Abdullah bin Abdurrahman al Bassam, Taudhih Al Ahkam min Bulugh Al Maram

(Syarah Bulughul Maram), Jakarta: Pustaka Azzam, Jilid. 5, 2006

Ali, Mohammad Daud, Hukum Islam Dan Peradilan Agama “Kumpulan Tulisan”,

Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002

_________Al-Qur’an Dan Terjemahan, Jakarta, Toha Putra Semarang, 1989

Anshor, Maria Ulfah. dkk, Tafsir Ulang Lintas Agama Perspektif Perempuan dan

Pluralisme, Jakarta, Kapal Perempuan, 2004.

Asmin, Status Perkawinan Antar Agama Ditinjau Dari Undang-Undang Perkawinan

No 1/1974, Jakarta, PT Dian Rakyat, 1986.

Asshiddiqie, Jimmy, Komentar Atas Undang-Undang Dasar Negara Republic

Indonesia Tahun 1945, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.

Az-Zuhaili, Wahbah, Fiqih Islam Wa Adilatuhu, Jakarta, Gema Insani dan Darul

Fikir, 2011, Cet. Ke-9.

Baso, Ahmad Dan Ahmad Nurcholis, Pernikahan Beda Agama (Kesaksian,

Argument Keagamaan Dan Analisa Kebijakan), Jakarta, Komnas HAM-

ICRP, 2005, Cet. Ke-1.

Djalil, Basiq, Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Pikih dan Kompilasi

Hokum Islam, Jakarta, Dalbun Salam, 2005

Djubaidah, Neng, Pencatatan Perkawinan Dan Perkawinan Tidak Dicatat (Menurut

Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, Jakarta, Sinar Grafika,

2010, Cet. Ke-1.

Davidson, Robert: (Alkitab Berbicara), Jakarta, Gunung Mulia, 2001

Ghozali, Abdhur Rahman, Fiqih Munakahat, Jakarta, Kencana Prenada Media Group,

2008, Cet. Ke-3.

Gautama, Sudargo, Segi-Segi Hukum “Peraturan Perkawinan Campuran, Bandung,

Citra Aditya Bhakti, 1996

Page 127: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

116

Hadiwardoyo, Al Purwa, Surat Untuk Suami Istri Katolik, Yogyakarta, Kanisius,

2002.

Handrianto, Budi, Perkawinan Beda Agama Dalam Syariat Islam, Jakarta, Khairul

Bayan, 2003

Hasan, Ali, Pedoman Hidup “ Berumah Tangga Dalam Islam”, Jakarta, Prenada

Media, 2003

Hazairin, Tinjauan UU Perkawinan Nomer 1/1974, Jakarta, Tintamas, 1976.

Hukum Online, Tanya Jawab Hukum Perkawinan Dan Perceraian, Ciputat,

Kataelha, 2010.

Ichtiyanto, Perkawinan Campuran Dalam Negara Republik Indonesia, Jakarta,

Badan Litbang Agama Dan Diklat Keagamaan, 2003, Cet. Ke-1.

Ilmy, Bachrul, Pendidikan Agama Islam, Bandung, Grafindo Media Pratama, 2007.

Jaiz, Hartono Ahmad, Wanita Antara Jodoh, Poligami dan Perselingkuhan, Jakarta,

Pustaka Al-Kautsar, 2007.

Jehani, Libertus, Perkawinan Apa Resiko Hukumnya, Jakarta, Forum Sahabat, 2008.

Kansil, C.S.T. Dan Christine S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Indonesia, Jakarta,

Rineka Cipta, 2011

Komisi Ateketik Keuskupan Agung Semarang, Mewujudkan Hidup Beriman, Dalam

Masyarakat Dan Lingkungan Hidup, Yogyakarta, Kanisius (Angota

IKAPI), 2006.

Manan, Abdul dan M. Fauzan. Pokok-Pokok Hukum Perdata Wewenang Peradilan

Agama, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2002.

M. Anshary, Hukum Perkawinan Di Indonesia (Masalah-Masalah Krusial),

Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010

Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana Prenada Media

Group,2008.

Nurudin, Amiur dan Azhari Trigan, Hukum Perdata Islam Di Indonesia ( Studi Kritis

Perkembangan Hukum Islam Dari Fiqih, UU No 1 Tahun 1974 Sampai KHI

), Jakarta, Kencana, 2006.

Page 128: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

117

Prakoso, Djoko dan I Ketut Murtika, Asas-Asas Hukum Perkawinan Di Indonesia,

Jakarta, Bina Aksara, 1987 Cet. Ke-1

Ramulyo, Moh Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-Undang Perkawinan No 1

Tahun 1974 Dari Segi Hukum Perkawinan Islam, Jakarta, Ind Hill Co, 1990.

Rusyd, Ibnu, Bidayatul Mujtahid, Juz 2, (Beirut: Da’r al-Fikr, t.t)

Sabiq, As-Sayyid, Fiqih As-Sunnah, Juz 2, Beirut, Da’r al-Kitab al-A’rabi, 1985.

Saleh, Wantjik, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta, Ghalian Indonesia, 1978.

Sholeh, Asrorun Ni’am, Fatwa-Fatwa Masalah Pernikahan dan Keluarga, Jakarta,

Elsas, 2008.

Siswosoediro, Henry, Buku Pintar Pengurusan Perizinan Dan Dokumen (Panduan

Untuk Pelaku Usaha dan Masyarakat Umum), Jakarta, Visimedia, 2008.

Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan

Singkat, Jakarta, Raja Grafindo, 2011.

Suhadi, Kawin Lintas Agama Perspektif Nalar Islam, Yogyakarta, LKIS Yoyakarta,

2006

Sunggono, Bambang. Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Raja Grafindo Persada,

2005.

Syarifudin, Amir, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia, Jakarta, Kencana, 2006.

Tim Hukum Pusat Pengkajian Dan Pelayanan Informasi, Amandemen UU 1945 dan

Implikasinya Terhadap Pembangunan Sistem Hukum Nasioanal, Jakarta,

Sekertariat Jendral DPR-RI, 2001

Uwaidah. Syaikh Kamil Muhammad, Al-Jami’fil Fiqh An-Nisa ( Fiqih Wanita),

Beirut Libanon, Da’arul Kutub Al-Ilmiyah, 1996, Cet. Ke-1.

Walgito, Bimo.Bimbingan Dan Konseling Perkawinan, Yogyakarta :Andi

Yogyakarta, 2004,

Yuliandri, Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan Yang Baik

(Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan), Jakarta, PT Raja

Grafindo Persada, 2009.

Page 129: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

118

Peraturan Perundang-Undangan

_________Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Admininistrasi

Kependudukan, Jakarta, Sinar Grafika, 2007.

_________Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah

Konstitusi Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 Tentang Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Sekretaris Jendral Dan

Kepanitraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2011.

_________Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Jakarta,

Sinar Grafika, 2006. Cetakan ke-6

_________Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan

Peraturan Perundang-Undangan, Bandung, Nuansa Indah 2011, Cet. Ke-1.

_________Himpunan Peraturan Perundang-Undangan Kompilasi Hukum Islam,

Bandung, Focus Media, 2010.

_________Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukandan Nomor 102 Tahun 2012 Tentang Perubahan Atas

Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan.

Artikel/skripsi

Afida, Nur, 2013, Dasar Dan Pertimbangan Hakim Dalam Mengabulkan

Permohonan Pelaksanaan Perkawinan Beda Agama (Studi Dalam

Perspektif Perkara No.04/Pdt.P/2010/Pn.Mlg.),Skripsi, Universitas

Brawijaya Malang.

Farid , Mohammad,2006,(Memahami Pencatatan Sipi) Tulisan Dalam 30 Kasus

Catatan Sipil di Indonesia, Analisis Kasus Dan Rekomendasi, Jakarta, GTZ

GG PAS, Edisi Pertama

Nugraha, Mifta Adi, Dualisme Pandangan Hukum Perkawinan Beda Agama Antara

Undang-Undang Perkawinan Dan Undang-Undang Administrasi

Kependudukan, Privat Law Edisi 01 Maret-Juni 2013

Page 130: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

119

Palandi, Anggreini Carolina, Analisa Yuridis Perkangwinan Beda Agama Di

Indonesia, Lex Privatum, Vol.I/No.2/Apr-Jun/2013

Soemarno, Maris Yolanda, 2009, (Analisis Atas Keabsahan Perkawinan Beda Agama

Yang Dilangsungkan Di luar Negeri ), Tesis, Magister Kenotariatan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Tenggara, David Hartadi, 2007, “ Dampak Lahirnya UU ADMINDUK Terhadap

Keabsahan Perkawinan Bagi Penghayat Kepercayaan ”, Skripsi, Fakultas

Hukum Universitas Indonesia, Depok.

Darmayanti, Eka, 2009, “ Kewenangan Catatan Sipil Mencatatkan Perkawinan Beda

Agama Yang Mendapatkan Penetapan Pengadilan Negeri Menurut Pasal 35

Huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan ”, Skripsi, Fakultas Hukum, Depok.

Internet

Http://Www.Hukumonline.Com/Berita/Baca/Hol15655/Empat-Cara-Penyelundupan-

Hukum-Bagi-Pasangan-Beda-Agama.

Http://Darahapsarinastiti.Blogspot.Com/2011/12/Perkawinan-Beda-Agama.Html.

diunduh tgl 21/10/2013 jam 14.20 WIB

Http://id.m.wikipedia.org/wiki/adminitrasi. Tgl 05/01/2014 jam 10.00 WIB

Page 131: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

KEMENTERIAN AGAMAUNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

Jln. lr. H. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta 15412, lndonesiaTelp. (62-21) 747 11537,7401925 Fax. (62-21)7491821Website : www.uinjkt.ac.id E-mail : [email protected]

NomorLampiranHal

: Un.01 /F4l KM.00. 02/ 43tt/ 2013

: Permohonan Data / Wawancara

Kepada Yth,Pengadilan Negeri Bogordi

Tempat

Assalamu' alaikum Wr,W.

Dekan Fakultas Syariah dan HukumJakarta menerangkan bahwa:

Jakarta, 23 Oktob er 20'l.Z

UIN Syarif Hidayatullah

Ainur Rahman109046100054Bogor, 05 Mei 1991VIII (delapan)Peradiian Agama

Jl. Pahlawan No. 71 RT. 01 RW. 08 CiteureupBogor 16810089618770753

NamaNomor PokokTempat/Tanggai LahirSemester

Jurusan/KonsentrasiAlamat

Telp

Tembusan :

L. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta2. Ka / Sekprodi Ahwal Syakhsiyyah.

adalah benar mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum uIN SyarifHidayatullah Jakarta yar.g sedang menyusun skripsi dengan judul: J

" Analisa Yuridis Perkawinan Beda Agama Di Indonesia Setelah Berlakunyaundang-Undang Administrasi Kependudukan Nomer 23 Tahun 2006,'

untuk melengkapi bahan penulisan skripsi, dimohon kiranya Bapak/rbudapat menerima yanq bersangkutan untuk wawancara serta memperolehdata guna penulisan skripsi dimaksud.

Atas kerjasama dan bantuannya, kami ucapkan terima kasih.

WassaIam,

a.n. DEKAN,Wakil Dekan Bidang Akademik

i 3it g.;:r i

i\J , t

SLira: l-]

Fer.hr. r

T A \i i_::,.r

D, ,,'i r

:,. ,t: , ,'!:.. r.a -l

A 'r a

lbl -l\ ')-o\b:..^

i

I

IIt

I

.l'l\__ -_ -.j*a_

Page 132: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

PEI{GADILAN NEGEru BOGORJalan Pengadilan No.10 Bogor

Telp. & Fax. (0251) 8323190 -8323121

SURAT KETERANGANNo. o L /Ket/[Ik.PR/20 13/PN.B gr.

Yang bertanda tangan dibawah inr :

Nama : IWAN DARMAWAN, S.H.

NIP : 195805171985021001

Jabatan : Panitera/Sekretaris Pengadilan Negeri Bogor

Dengan ini menerangkan bahwa :

Nama

NPM

Semester

JurusarVKonsentrasi

Mahasiswa

AINUR RAHMAN

1 09046 1 00054

ViII (delapan)

Peradilan Agama

Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri SyarifHidayatullah Jakarta, beralamat di Jalan Ir. H. Juanda No.05,Ciputat, J akafia - I 5 412.

__-Mahasiswa tersebut di414s telalLtne_1a\Ukg4_way4lgglq deqg?4 P_qjgb4ryglg berwenang di

Pengadilan Negeri Bogor, untuk melengkapi data-data penyusunan skripsi dengan judul

..ANALISA YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA DI INDONESIA SETELAH

BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

NOMOR 23 TAHUN 2006"

Demikian Surat Keterangan ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

t3 Desember 2013

ADILAN NEGERT BOGORRA / SEKRETARISfI-

s80sr 7198s021001

Page 133: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Daftar Pertanyaan Wawancara dan Jawaban

Nama : Dennie Arsan Fatrika S.H

Jabatan : Hakim

ANALISIS YURIDIS PERKAWINAN BEDA AGAMA

DI INDONESIA SETELAH BERLAKUNYA

UNDANG-UNDANG ADMINISTRASI KEPENDUDUKAN

NOMOR 23 TAHUN 2006

Terkait adanya aturan tentang perkawinan antar agama yang mana termuat

dalam Undang-Undang Adminduk Nomor 23 Tahun 2006 tepatnya Pasal 35 huruf (a)

adalah perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan. Bunyi Penjelasan Pasal 35

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 : huruf a : Yang dimaksud dengan

"Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan

antar umat yang berbeda agama tersebut. Maka berikut beberapa pertanyaan

sehubung aturan tersebut.

1. Terkait denga aturan yang sudah di paparkan di atas, apakah dengan adanya

putusan dari pengadilan perkawinan mereka sudah diakui keabsahannya atau

legal?

Jawab : Pengadilan sendiri hanya mengeluarkan penetapan bukan menilai syah

atau tidaknya perkawinan, dan dalam memberikan penetapan hakim sendiri harus

memeriksa kelengkapan seperti surat ijin dari pemuka agama dan tetap saja

Page 134: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

merujuk pada aturan yang berlaku, menurut saya sahnya perkawinan tentu saja

berdasarkan agama, penetapan ini hanya berisi penguat kebolehan perkawinan

tersebut dicatat untuk mendapat bukti nikah, bersipat administratif.

2. Jika ditelaah ternyata dalam Pasal aturan tersebut memiliki perbedaan dengan

salah satu pasal dalam Undang-Undang Perkawinan No 1/1974 yang tertuang

dalam Pasal 2 ayat 1 yaitu perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut

hukum masing-masing agama dan kepercayaannya, sehingga terlihat

bertentangan, menurut Hazairin bahwa tidak ada lagi upaya untuk melanggar

‘hukum agamanya sendiri” jadi bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk

kawin dengan melanggar hukum agamanya, demikian bagi umat Kristiani, Hindu

maupun Budha.

Bagaimana bapak/ibu menanggapi hal tersebut, setujukah atau tidak?, Apakah

undang-undang tersebut menghapus ketentuan yang lama, atau undang-undang

tersebut berdiri sendiri atau malah aturan tersebut bebeda dengan aturan yang

lama sebelumnya?

Jawab : Saya rasa bukan menghapus, melainkan pengkhususan. Tetap saja dalam

membuat putusan penetapan Undang-Undang No 1/1974 masih dijadikan acuan

wajib, menanggapi aturan baru tersebut ini hanya sebuah pengkhususan yang

mana aturan yang lebih khusus mengesampingkan aturan yang lebih umum. Pasal

35 dalam Undang-Undang Adminduk ini kan terkait pencatatan perkawinan dan

Undang-Undang No 1/1974 terkait perkawinan secar umum dan pencatatan

Page 135: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

perkawinan masuk kedalam unsur perkawinan tersebut maka Undang-Undang

Perkawinan bersipat umum.

3. Faktor-faktor apa yang sering bapak atau ibu pakai sebagai acuan jika

memutuskan perkara dalam permohonan perkawinan antara agama!

Jawab: Ya, dalam memutuskan sudah barang tentu kami harus merujuk pada

aturan yang ada dan lebih baru, buka berarti aturan lama tidak dipakai, tetap kami

jadikan acuan, apa masih di bisa dipakai atau tidak. Pada dasarnya perkawinan

beda agama ini yang terpenting dispensasi dari pemuka agama (tanpa adanya

konsfirasi), kerelaan parapihak-pihak, maka dengan begitu kami bisa memutuskan

tanpa harus ambil pusing.

4. apakah dengan adanya aturan tersebut negara sudah menfasilitasi atau memberi

peluang dan mengakui perkawinan tersebut, bagaimana pandangan dari bapak/ibu

sendiri?

Jawab: Ya, jelas sekali adanya aturan tersebut negara memfasilitasi dan memberi

kedudukan untuk perkawinan beda agama dalam peraturan di Indonesia

Page 136: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

P E N E T A P A NNomor : 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj

Pengadilan Negeri Lumajang, yang memeriksa dan mengadili perkara perdata

permohonan dalam peradilan tingkat pertama telah menjatuhkan penetapan sebagai berikut

dalam perkara permohonan dari :

1. SRI MULYANI, Tempat /tanggal lahir Lumajang, umur 26 tahun Jenis Kelamin perempuan, Bertempat tinggal di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, Agama Kristen, pekerjaan tani;

Disebut sebagai PEMOHON I;

2. HADI SUSANTO,Tempat /tanggal lahir Malang, umur 24 tahun, Jenis Kelamin laki-laki, Bertempat tinggal di Dusunm Krajan RT.006/RW.002 Desa Tamansari, Kecamatan Ampelgading, Kabupaten Malang, untuk saat ini berdomisili di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, Agama Islam, pekerjaan swasta;

Disebut sebagai PEMOHON II;

Keduanya untuk selanjutnya disebut sebagai PARA

PEMOHON;

PENGADILAN NEGERI tersebut;

Telah membaca surat-surat dan berkas permohonan ;

Telah memperhatikan alat-alat bukti tertulis yang diajukan Para Pemohon ;

Telah mendengar keterangan saksi-saksi ;

TENTANG DUDUKNYA PERKARA

Menimbang, bahwa Para Pemohon dalam surat permohonannya tertanggal 18 Pebruari

2013 yang telah didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Negeri Lumajang tertanggal

18 Pebruari 2013 dengan register perkara Nomor : 198/Pdt.P/2013/PN.Lmj., mengemukakan

dalil-dalil permohonan sebagai berikut :

1. Bahwa……..

1. Bahwa Pemohon I adalah seorang perempuan berumur 26 tahun dengan

status masih perawan, Warga Negara Indonesia pemeluk agama Kristen;

1

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 1

Page 137: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

2. Bahwa Pemohon II adalah seorang pria berumur 24 tahun dengan status

perjaka juga Warga Negara Indonesia, pemeluk agama Islam;

3. Bahwa Pemohon I dan Pemohon II tidak ada hubungan keluarga baik

sedarah maupun semenda dan tidak terikat tali perkawinan dengan orang

lain;

4. Bahwa antara Pemohon I dan Pemohonj II telah menjalin hubungan

cinta kasih secara serius dan ingin melanjutkan hubungan cinta kasih

Para Pemohon sampai ke jenjang perkawinan dan kemudian mencatatkan

perkawinan tersebut di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil;

5. Bahwa oleh karena Pemohon I sebagai pemeluk agama Kristen

sedangkan Pemohon II Agama Islam, maka untuk dapat melangsungkan

perkawinan terlebih dahulu harus mendapatkan ijin dari Pengadilan

Negeri;

6. Bahwa agar tidak terdapat permasalahan hukum dikemudian hari, maka

Para Pemohon mengajukan permohonan ini dan mohon agar Pengadilan

Negeri Lumajang berkenan memberikan putusan berupa penetapan;

Berdasarkan dengan segala apa yang terurai di atas, Pemohon mohon berkenan kiranya Bapak

Ketua Pengadilan Negeri Lumajang segera memeriksa permohonan ini dan selanjutnya

memberikan penetapan sebagai berikut :

1.-- Mengabulkan permohonan para Pemohon;

2. Memberi ijin kepada Para Pemohon untuk menghadap Kepala Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang guna melakukan

perkawinan Beda Agama di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil

Kabupaten Lumajang;

3. Membebankan biaya permohonan ini kepada para Pemohon;

Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan untuk itu, para

Pemohon hadir menghadap dipersidangan dan selanjutnya permohonan dibacakan dan Para

Pemohon menyatakan tetap pada permohonan tersebut;

2

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 2

Page 138: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa untuk menguatkan dalil-dalil permohonannya, Para Pemohon telah

mengajukan bukti-bukti tertulis berupa foto copy yang telah dicocokkan dengan aslinya serta

telah dibubuhi Meterai yang cukup yang masing-masing terdiri dari :

1. Kartu…….

1. Kartu Tanda Penduduk Republik Indonesia An. HADI SUSANTO NIK :

3507062107890002 tertanggal 20 Juli 2011 (bukti P.1);

2. Surat Keterangan untuk Nikah an.HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,

Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14

Nopember 2012 ( bukti P-2);

3. Surat Keterangan Asal-Usul an. HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,

Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14

Nopember 2012 ( bukti P-3);

4. Surat Keterangan Tentang Orang tua dari Kepala Desa Tamanasri, Kec.Ampelgading,

Kab.Malang Nomor : 472.21/23/421.619.010/2012 tertanggal 14 Nopember 2012

(bukti P-4);

5. Surat Persetujuan Mempelai antara Calon Suami dan Calon istri tertanggal 14 Nopember

2012 (bukti P-5);

6. Kartu Leluarga Nama Kepala Keluarga USMAN ( ayah/orang tua HADI SUSANTO)

No.3507060309080004 tertanggal 14 Januari 2013 ( bukti P-6);

7. Ijazah Sekolah Menengah Pertama (SMP Negeri 1 Ampelgading Malang) No.DEN-05

DI 1147827 tertanggal 28 Juni 2004 (bukti P-7);

8. Surat Keterangan an. HADI SUSANTO dari Kepala Desa Tamanasri,

Kec.Ampelgading, Kab.Malang Nomor : 474/30/421.619.010/2013 tertanggal 21

Januari 2013 ( bukti P-8);

9. Kutipan Akta Kelahiran an. SRI MULYANI yang dikeluarkan Kepala Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang No.

AL.702.0099332.01.2004/AT.151 tertanggal 24 Juni 2009 ( bukti P-9);

10. Surat Keterangan tentang orang tua SRI MULAYANI dari Kepala Desa Tempurejo,

Kec.Tempursari, Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/427.901.03/2012 tertanggal 19

Nopember 2012 (bukti P-10);

11. Surat Persetujuan Mempelai antara Calon Suami dan Calon istri tertanggal 19 Nopember

2012 (bukti P-11);

12. Surat Keterangan Asal-Usul dari Kepala Desa Tempurejo, Kec.Tempursari,

Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/42/901.03/2012 tertanggal 19 Nopember 2012 (bukti

P-12);

3

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 3

Page 139: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id13. Surat Keterangan Untuk Nikah an.SRI MULYANI dari Kepala Desa Tempurejo,

Kec.Tempursari, Kab.Lumajang Nomor : 474.2/32/427.901.07/2012 tertanggal 19

Nopember 2012 (bukti P-13);

Menimbang, bahwa selain mengajukan bukti-bukti tertulis, Para Pemohon juga telah

mengajukan saksi-saksi dan telah memberikan keterangan dipersidangan dengan terlebih dahulu

disumpah, yang pada pokoknya masing-masing menerangkan sebagai berikut :

1. Saksi…….

1.--Saksi I. FANI ADI PERMANA;

• Bahwa saksi kenal dengan Hadi Susanto karena dulu tetangga dan juga kenal

dengan Sri Mulyani karena saksi sering kerumah Sri Mulyani;

• Bahwa saksi mendukung perkawinan Para Pemohon yang beda agama karena

mereka saling mencintai;

• Bahwa benar Hadi Susanto adalah beragama Islam sedang Sri Mulyani beragama

Kristen dan mereka belum menikah;

2. Saksi II PONIMAN ;

• Bahwa benar antara Sri Mulyani dan Hadi Susanto ada memadu cinta dan saling mencintai,

mereka belum menikah;

• Bahwa benar Hadi Susanto beragama Islam dan Sri Mulyani beragama Kristen dan benar

mereka akan menikah secara sah;

• Bahwa benar orang tua Sri Mulyani dan orang tua Hadi Susanto tidak keberatan perkawinan

beda agama;

Menimbang, bahwa atas keterangan saksi-saksi diatas, para Pemohon membenarkan

keterangan saksi-saksi tersebut;

Menimbang, bahwa orang tua Sri Mulyani juga hadir di persidangan dan menerangkan

setuju untuk menikahkan anaknya dengan Hadi Susanto yang beda agama dengan Sri Mulyani

dan keluarga Hadi Susanto juga setuju pernikahan tersebut dilaksanakan;

Menimbang, bahwa selanjutnya segala yang termuat dalam berita acara persidangan

dianggap sebagai telah turut termuat dalam penatapan ini;

4

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 4

Page 140: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

TENTANG PERTIMBANGAN HUKUMNYA

Menimbang, bahwa maksud dan tujuan permohonan Para Pemohon adalah

sebagaimana terurai diatas;

Menimbang, bahwa yang menjadi inti pokok permohonan para Pemohon adalah agar

para Pemohon diijinkan untuk dapat melangsungkan perkawinan di Dinas Kependudukan dan

Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;

Menimbang,…….

Menimbang, bahwa apakah permohonan para Pemohon beralasan menurut hukum yang

berlaku, maka akan terlebih dahulu diperhatikan bukti-bukti tertulis dan maupun keterangan

saksi-saksi yang diajukan para Pemohon di persidangan;

Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis dan juga keterangan saksi-saksi yang

diajukan para Pemohon di dalam persidangan maka diperoleh fakta-fakta hukum sebagai

berikut :

• Bahwa Pemohon I (SRI MULYANI), tinggal di Desa Tempurrejo RT.005, RW.001,

Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang,dan beragama Kristen, sedangkan HADI

SUSANTO, beralamat di Dusun Krajan RT.006/RW.002 Desa Tamansari, Kecamatan

Ampelgading, Kabupaten Malang, untuk saat ini berdomisili di Desa Tempurrejo RT.005,

RW.001, Kecamatan Tempursari, Kab.Lumajang, beragama Islam;

• Bahwa para Pemohon telah memadu cinta dan saling mencintai dengan status belum

diikat perkawinan;

• Bahwa Pemohon I ( Sri Mulyani) telah dalam keadaan hamil sebagai hasil buah cinta

Pemohon I ( Sri Mulyani) dengan Pemohon II ( Hadi Susanto);

• Bahwa para Pemohon ingin melakukan perkawinan yang sah menurut hukum yang

berlaku di Negera Republik Indonesia;

Menimbang, bahwa dari fakta-fakta tersebut diatas, para Pemohon menginginkan agar

hubungan percintaan diantara mereka dapat diikat dengan perkawinan yang sah;

Menimbang, bahwa dari bukti-bukti tertulis yang masing-masing diberi tanda P-1

sampai dengan P-13 adalah dibenarkan oleh para Pemohon maupun oleh saksi-saksi yang

diajukan para Pemohon, sehingga benar Pemohon I ( Sri Mulyani) adalah seorang perempuan

beragama Kristen sedang Pemohon II ( Hadi Susanto) adalah seorang laki-laki beragama Islam

5

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 5

Page 141: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

yang ingin melangsungkan perkawinan yang sah menurut hukum yang berlaklu di Negara

Republik Indonesia;

Menimbang, bahwa di dalam pasal 57 Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan menyebutkan, yang dimaksud dengan perkawinan campuran adalah perkawinan

antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan

agama, dalam hal inin Pemohon I adalah beragama Kristen sedang Pemohon II beragama

Islam;

Menimbang,…….

Menimbang, bahwa dalam Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang

perkawinan menegaskan” Perkawinan Campuran dicatat oleh Pegawai pencatat yang

berwenang” dan ketentuan ini dikaitkan dengan Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah No. 9

Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, maka

perkawinan tersebut harus dilasanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang

saksi;

Menimbang, bahwa oleh karena para Pemohon akan melangsungkan perkawinan sah

sedang para Pemohon berbeda agama sedang Undang-Undang mengharuskan dicatat oleh

Pegawai yang berwenang, maka berdasarkan Pasal 35 Undang-Undang No.24 Tahun 2006

tentang Administrasi Kependudukan maka pejabat yang berwenang mencatatkan perkawinan

para Pemohon adalah Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang;

Menimbang, bahwa berdasarkan bukti-bukti tertulis dan saksi-saksi yang diajukan para

Pemohon didepan persidangan bahwa permohonan para Pemohon adalah memenuhi syarat

hukum untuk melakukan perkawinan yang tunduk pada hukum di Indonesia dan hal ini tidak

dilarang oleh peraturan yang berlaku di Indonesia sebagaimana Yurisprudensi Mahkamah

Agung Republik Indonesia No.245.K/Sip/1953 tanggal 16 Pebruari 1955 “ Permintaan akan

keterangan yang diperlukan oleh seorang wanita yang hendak kawin dengan laki-laki yang

berlainan agama tidak boleh ditolak atas alasan yang semata-mata berdasarkan perbedaan

agama”;

Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan diatas, dan demi untuk adanya kepastian

hukum, maka Pengadilan Negeri memberi ijin kepada pra Pemohon untuk melakukan

perkawinan yang tunduk pada hukum di Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten

Lumajang;

6

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 6

Page 142: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Menimbang, bahwa oleh karena permohonan para Pemohon dapat dikabulkan, maka

biaya yang timbul dalam perkara permohonan ini dibebankan kepada para Pemohon;

Mengingat ketentuan Undang-UndangNo.1 Tahun 1974 tentang perkawinan serta

peraturan lain yang berkaitan dengan permohonan ini;

M E N E T A P K AN:

1. Mengabulkan permohonan Para Pemohon ;

2. Memberi…….

2. Memberi ijin kepada para Pemohon untuk menghadap Kepala Dinas

Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten Lumajang guna melakukan

pencatatan perkawinan Beda Agama di Dinas Kependudukan dan Pencatatan

Sipil Kabupaten Lumajang ;

3. Membebani para Pemohon untuk membayar biaya perkara yang ditetapkan

secara tanggung renteng sebesar Rp. 241.000,00 ( dua ratus empat puluh satu ribu

rupiah);

Demikianlah ditetapkan pada hari Kamis, tanggal 28 Pebruari 2013, oleh kami,

HALOMOAN SIANTURI, SH.MH. Hakim pada Pengadilan Negeri Lumajang yang ditunjuk

berdasarkan Surat Penetapan Ketua Pengadilan Negeri Lumajang tanggal 21 Pebruari 2013

Nomor 198/Pen.Pdt./II/2013/PN.Lmj, penetapan tersebut pada hari itu juga diucapkan dalam

persidangan yang terbuka untuk umum oleh Hakim tersebut, dibantu oleh NGATRIYANTO

Panitera Pengganti pada Pengadilan Negeri Lumajang dan dihadiri oleh para Pemohon.--------

Panitera Pengganti, Hakim,

ttd Meretai ttd

( NGATRIYANTO ) (HALOMOAN SIANTURI, SH.MH)

7

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 7

Page 143: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

Perincian biaya :

1. Pendaftaran.......................... Rp. 30.000,00 ;

2. Administrasi...........................Rp. 50.000,00 ;

3. Panggilan .............................Rp. 150.000,00 ;

4. Redaksi Penetapan ...............Rp. 5.000,00 ;

5. Meterai Penetapan...............Rp. 6.000,00 ;

Jumlah ……………...Rp 241.000,00 ;

(dua ratus empat puluh satu ribu Rupiah) ;

8

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 8

Page 144: Skripsi - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/24886/1/Ainur Rahman.FSH.pdf · PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI Skripsi yang berjudul "ANALISIS

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Mahka

mah

Agung R

epublik

Indones

ia

Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesiaputusan.mahkamahagung.go.id

9

DisclaimerKepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia berusaha untuk selalu mencantumkan informasi paling kini dan akurat sebagai bentuk komitmen Mahkamah Agung untuk pelayanan publik, transparansi dan akuntabilitas pelaksanaan fungsi peradilan. Namun dalam hal-hal tertentu masih dimungkinkan terjadi permasalahan teknis terkait dengan akurasi dan keterkinian informasi yang kami sajikan, hal mana akan terus kami perbaiki dari waktu kewaktu.Dalam hal Anda menemukan inakurasi informasi yang termuat pada situs ini atau informasi yang seharusnya ada, namun belum tersedia, maka harap segera hubungi Kepaniteraan Mahkamah Agung RI melalui :Email : [email protected] : 021-384 3348 (ext.318) Halaman 9