SKRIPSI - digilib.uns.ac.id/Persepsi... · Pendidikan tentang pancasila dalam kurikulum sekarang...

90
1 SKRIPSI PERSEPSI DAN ASPIRASI TERHADAP PENDIDIKAN PANCASILA DI PERGURUAN TINGGI (Studi pada Dosen dan Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta) Disusun oleh : ERNA SEPTOMOWATI K 6405018 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

Transcript of SKRIPSI - digilib.uns.ac.id/Persepsi... · Pendidikan tentang pancasila dalam kurikulum sekarang...

1

SKRIPSI

PERSEPSI DAN ASPIRASI TERHADAP PENDIDIKAN PANCASILA

DI PERGURUAN TINGGI

(Studi pada Dosen dan Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta)

Disusun oleh :

ERNA SEPTOMOWATI

K 6405018

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia sebagai salah satu bangsa dari masyarakat dunia

memiliki sejarah serta prinsip atau ideologi dalam kehidupannya yang berbeda

dengan bangsa-bangsa lainnya. Pancasila dipilih sebagai ideologi bangsa

Indonesia yang nilai-nilainya digali atau berasal dari kepribadian asli bangsa

Indonesia sendiri. Proses terjadinya pancasila melalui suatu proses kausalitas

(kausa materialis pancasila) yaitu sebelum disahkan sebagai pandangan hidup

negara, nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari telah dijadikan sebagai

pandangan hidup bangsa dan sekaligus sebagai filsafat hidup bangsa Indonesia.

Pancasila memiliki fungsi dan kedudukan yang penting dalam negara Indonesia

yakni sebagai jati diri bangsa Indonesia, sebagai ideologi bangsa dan negara

Indonesia, sebagai dasar filsafat negara, serta sebagai asas persatuan bangsa

Indonesia.

Fungsi dan kedudukan pancasila tersebut mulai terancam di era reformasi

yang ditandai dengan runtuhnya rezim Orde Baru dan adanya krisis ekonomi yang

mengakibatkan keterpurukan hampir di semua bidang kehidupan. Kepercayaan

terhadap pancasila mulai pudar dengan anggapan bahwa pancasila merupakan

produk Orde Baru yang disakralkan pada jamannya. Sehingga banyak kalangan

yang menuntut adanya perubahan dengan menganggap pancasila tidak lagi

sebagai ideologi yang cocok bagi Indonesia. Era reformasi telah banyak

melahirkan perubahan-perubahan signifikan yang terjadi dalam kehidupan sosial,

ekonomi, politik bahkan termasuk dalam dunia pendidikan. Ketika reformasi

bergerak, paradigma menjustifikasi nilai-nilai baru berkembang ditengah

masyarakat sebagai pengganti nilai-nilai lama. Implikasinya adalah banyak

produk ilmiah dan produk intelektual zaman orde baru yang sejatinya masih tetap

relevan dan obyektif dianggap keliru dan dihapuskan. Pancasila mulai tergeser

saat terjadi krisis yang mengakibatkan keterpurukan di hampir semua bidang

kehidupan.

3

Mengingat bahwa begitu strategisnya kedudukan pancasila sebagai dasar

pemersatu bangsa Indonesia, maka pancasila harus tetap dipertahankan dan

dilestarikan dengan melalui revitalisasi dan aktualisasi dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Agar pancasila tetap vital dan aktual

sebagai pemersatu bangsa maka nilai-nilai pancasila perlu diestafetkan dari

generasi ke generasi melalui proses pendidikan. Pendidikan memegang peranan

penting dalam perkembangan sebuah negara. Sehingga hal tersebut dapat

dipahami bahwa pemerintahan yang mandiri memerlukan suatu warga negara

yang terdidik dan terpelajar dan akses terhadap pendidikan merupakan dukungan

yang penting. Hal tersebut seperti yang dikemukakan dalam jurnal internasional

yakni “is commonly understood that democratic self-governance requires an

informed and educated citizenry and that access to education is an important

support for the development of such citizens”. (Kahne, Joseph & Middaugh,

Ellen, 2008: 34)

Nilai-nilai pancasila yang perlu diestafetkan dari generasi ke generasi

tersebut dapat melalui pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi.

Pendidikan tentang pancasila dalam kurikulum sekarang merupakan bagian dalam

matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di perguruan tinggi. Namun

demikian, pendidikan tentang pancasila dapat pula disisipkan dalam matakuliah-

matakuliah lain seperti dalam matakuliah kewirausahaan. Dalam upaya

menanamkan pengetahuan tentang pancasila, tidak hanya dilakukan melalui

proses pendidikan saja, namun dapat dilakukan dengan kegiatan-kegiatan seperti

seminar, bedah buku seputar pancasila, sosialisasi kembali tentang nilai-nilai

pancasila melalui media dan sarana tatap muka, dan lain sebagainya.

Urgensi pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi sejalan dengan

asas pendidikan nasional yang tercantum dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor

20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang

menyatakan bahwa “asas pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar 1945”. Dalam Pasal 2 UU Sisdiknas tersebut yang

menyatakan bahwa asas pendidikan Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD

1945, maka menjadi hal yang wajar apabila dalam kurikulum pendidikan nasional

4

terdapat pendidikan tentang pancasila. Namun demikian, pendidikan tentang

Undang-Undang Dasar 1945 juga perlu di pertimbangkan untuk masuk dalam

kurikulum pendidikan nasional agar peserta didik dapat lebih memahami tentang

konstitusi negara. Dunia pendidikan tinggi memiliki peranan besar mengingat

mahasiswa yang kelak akan memegang suksesi kepemimpinan sehingga sikap

mental kepemimpinan akademik yang berkarakter perlu dibekali sejak dini.

Perguruan tinggi harus memberikan perhatian disamping pada pengembangan

kecerdasan intelektual dengan memperkaya ilmu pengetahuan (hard skill), juga

pada pengembangan sikap mental positif (soft skill). Oleh karenanya pancasila

dapat dijadikan sebagai dasar dan pedoman pengembangan ilmu pengetahuan dan

teknologi serta wahana pengembangan soft skill mahasiswa.

Pancasila merupakan dasar pendidikan, azas rohani dan tidak berubah.

Pancasila dipakai sebagai dasar pendidikan nasional karena pancasila merupakan

dasar filsafat negara Indonesia, sehingga mempunyai konsekuensi untuk

menerapkan dalam segala bidang kehidupan yang relevan dengan tujuan

pendidikan nasional yakni meningkatkan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha

Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat

kepribadian dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat menumbuhkan

manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri serta

bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa. Menurut Sunaryo

(2009: http://www.pikiran-rakyat.com/)

Esensi pendidikan tentang pancasila adalah proses memfasilitasi dan

membawa bangsa (melalui proses individual maupun kelompok) untuk

mengetahui, memahami, menginternalisasi, dan mewujudkan nilai

pancasila dalam kehidupan nyata bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara. Semua tahapan yang disebutkan menghendaki proses interaksi,

melalui proses pendidikan yang berlangsung dalam berbagai setting dan

tataran.

Pendidikan tentang pancasila merupakan salah satu cara untuk

menanamkan pribadi yang bermoral dan berwawasan luas dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Oleh karena itu, pendidikan tentang pancasila perlu

diberikan disetiap jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar, menengah hingga

perguruan tinggi. Maman Rachman (1999: 324) menyatakan bahwa :

5

Pendidikan tentang pancasila memegang peranan penting dalam

membentuk kepribadian mahasiswa di perguruan tinggi. Setelah lulus dari

perguruan tinggi, diharapkan mereka tidak sekedar berkembang daya

intelektualnya saja namun juga sikap dan perilakunya. Sikap dan

perilakunya itu diharapkan menjadi dasar keilmuan yang dimilikinya agar

bermanfaat pada diri, keluarga, dan masyarakat.

Untuk merealisasikan tujuan tersebut, maka pendidik dalam hal ini dosen

tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan saja, tetapi juga memberikan

pemahaman akan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila sehingga

diharapkan mahasiswa memiliki kepercayaan terhadap nilai-nilai yang terkandung

dalam pancasila sehingga dapat digunakannya dalam prektek kehidupannya

sehari-hari. Hal tersebut seperti yang dikemukakan the journal of education:

“a teacher not only shows and cultivates Pancasila as a cognitive concept

and knowledge as well as a normative norm, but also builds and shows the

moral message and value as well as soul and spirit of Pancasila. As a

result, Pancasila can be personalized as the student’s value and belief

system and speed the motivation to bring the system into the student’s

behavior in life”. (Sunarti Rudi, 1999: 376)

Pendidikan tentang pancasila sebagai pendidikan kebangsaan berangkat

dari keyakinan bahwa pancasila sebagai dasar negara, falsafah negara Indonesia

tetap mengandung nilai dasar yang relevan dengan proses kehidupan dan

perkembangan dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila memiliki landasan

eksistensial yang kokoh, baik secara filosofis, yuridis, maupun sosiologis.

Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada

pasal 3 berbunyi: “…berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,

sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang

demokratis dan bertanggungjawab” dijadikan dasar dalam menetapkan kurikulum

pendidikan di perguruan tinggi. Berdasar pada Undang-undang tersebut maka

kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan

Kewarganegaraan dan Bahasa yang kemudian diejawantahkan dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan yang

menetapkan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Tinggi yang wajib memuat

6

mata kuliah Pendidikan Agama, Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa

Indonesia serta Bahasa Inggris.

Berdasarkan pertimbangan diatas maka Direktorat Jenderal Pendidikan

Tinggi memutuskan dengan SK No. 43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-Rambu

Pelaksanaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di

Perguruan Tinggi (SK Ditjen Dikti No.43/2006). Adanya SK Ditjen Dikti No.

43/2006 telah mengakibatkan tidak berlakunya lagi SK No. 38/DIKTI/Kep/2002

tentang Rambu-Rambu Pelaksananaan Kelompok Mata Kuliah Pengembangan

Kepribadian (MPK) di Perguruan Tinggi yang meliputi Pendidikan Pancasila,

Pendidikan Kewarganegaraan, dan Pendidikan Agama serta menimbulkan

konsekuensi bahwa mata kuliah Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi sudah

ditiadakan menurut SK tersebut. Namun demikian, pendidikan tentang pancasila

masih diberikan dalam sub pokok bahasan pada mata kuliah PKn yang saat ini

menjadi salah satu mata kuliah wajib sebagai bagian dari mata kuliah

pengembangan kepribadian di perguruan tinggi.

Beberapa perguruan tinggi di Indonesia banyak yang sudah tidak

mewajibkan Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah. Universitas Gajah Mada

(UGM) masih mewajibkan Pendidikan Pancasila. Sedangkan dibeberapa

perguruan tinggi seperti di Universitas Sebelas Maret Surakarta (UNS Surakarta)

beberapa fakultasnya sudah tidak lagi memberikan mata kuliah Pendidikan

Pancasila. (Wawancara tanggal 24 Mei 2010 kepada Ketua MKU UNS)

Melemahnya kekuatan pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup

bangsa juga terjadi kepada kelompok mahasiswa. Beberapa tahun terakhir

menunjukkan makin minimnya minat mahasiswa terhadap pancasila. Kaum muda

yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan

pancasila.

Survei yang dilakukan Aktivis Gerakan Nasionalis pada 2006 sebanyak 80

persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa

dan bernegara. Sebanyak 15,5 persen responden memilih aliran sosialisme

dengan berbagai varian sebagai acuan hidup. Dan hanya 4,5 persen

responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai

pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Penelitian itu dilakukan di UI,

ITB, UGM, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya yang

7

selama ini dikenal sebagai basis gerakan politik di Indonesia. Hal tersebut

menunjukkan kondisi riil di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia.

Kondisi tersebut menunjukkan semakin rendahnya semangat nasionalisme

di kalangan generasi penerus bangsa. (Ermaya, 2009,

http://www.dutamasyarakat.com/artikel)

Menurut As’ad Said Ali (2009: 12) “pengetahuan masyarakat mengenai

pancasila seolah sedang memasuki masa surut”. Hal tersebut sebagai penanda

bahwa sudah mulai terjadi kemerosotan pengetahuan mengenai pancasila

meskipun tingkat penerimaan masyarakat masih cukup tinggi. Hal demikian

segera mengingatkan bahwa diterimanya pancasila sebagai ideologi bangsa

sebenarnya bukan sesuatu yang taken for granted. Dalam suatu masa tertentu, ada

saat pancasila melekat kuat di benak masyarakat, namun pada saat yang lain

pemahaman mengenai pancasila mulai menurun. Bila gejala itu dibiarkan, apalagi

ditambah gejolak sosial politik yang tidak tertuntaskan, maka penerimaan dan

kepercayaan masyarakat terhadap pancasila akan semakin merosot.

Fenomena menurunnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pancasila

di kalangan mahasiswa tersebut tidak hanya menjadi sebuah wacana yang biasa,

namun perlu untuk ditelusuri dan ditindaklanjuti penyebabnya. Beragam persepsi

di kalangan para pendidik (dosen) dan peserta didik (mahasiswa) perlu digali

untuk mengetahui bagaimana kalangan tersebut mempersepsikan pendidikan

tentang pancasila di perguruan tinggi selama ini. Persepsi sangat diperlukan untuk

mengetahui permasalahan terutama dalam pembelajaran pendidikan pancasila di

perguruan tinggi yang selama ini dianggap negatif oleh sebagian besar mahasiswa

FKIP UNS. Aspirasi pun harus digali untuk menemukan point-point yang dapat

digunakan untuk merubah persepsi negatif tersebut. Untuk itu, peneliti mengambil

judul yakni “persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan pancasila di perguruan

tinggi” (studi pada dosen dan mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka dapat

dirumuskan beberapa permasalahan sebagai berikut:

8

1. Bagaimana persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang

pancasila di FKIP UNS?

2. Bagaimana aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang

pancasila di FKIP UNS?

C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki suatu tujuan yang ingin dicapai, antara lain:

1. Untuk mengetahui persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang

pancasila di FKIP UNS.

2. Untuk mengetahui aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang

pancasila di FKIP UNS.

D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan

pembaca pada umumnya baik secara teoritis maupun secara praktis, antara lain:

1. Manfaat Teoretis

Penelitian ini merupakan bentuk hak warga negara (dosen dan mahasiswa)

dalam memberikan persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan tentang pancasila di

perguruan tinggi. Dengan adanya persepsi dan aspirasi ini, dapat digunakan

sebagai refleksi dalam usaha meningkatkan pembelajaran pancasila di perguruan

tinggi sehingga apa yang harus diketahui oleh warga negara (civic knowledge)

dapat dicapai dengan optimal sehingga dengan pembelajaran dan pengembangan

civic knowledge ini diharapkan akan terbentuk civic virtue dan civic participation

yang merupakan tujuan akhir dari pendidikan kewarganegaraan.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat memberikan masukan kepada pemerintah selaku aktor

perumus kebijakan untuk melakukan uji materi (judicial review) terhadap

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada

Pasal 37 ayat 1 dan 2 yang menghapuskan mata pelajaran/matakuliah Pancasila.

9

b. Bagi Program Studi

Agar PPKn sebagai Program Studi yang masih mempertahankan eksistensi

pendidikan pancasila dapat lebih meningkatkan kualitas pendidikannya dengan

mengacu pada berbagai pandangan dan aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap

pendidikan tentang pancasila sehingga diharapkan tujuan pendidikan pancasila

dapat optimal meskipun sekarang hanya menjadi sub bab dalam matakuliah PKn.

c. Bagi Dosen

Agar dosen mengetahui dan memahami apa yang diinginkan dari peserta didiknya

yakni mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila khususnya dalam

pembelajarannya, sehingga mampu mengubah persepsi negatif mahasiswa

terhadap pembelajaran pancasila selama ini.

d. Bagi Mahasiswa

Membuka cakrawala terhadap pentingnya pendidikan tentang pancasila dalam

kehidupan mahasiswa baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara.

Dan tidak lagi memandang pendidikan tentang pancasila sebagai wahana

indoktrinasi.

10

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan Tentang Persepsi

a. Pengertian Persepsi

Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan terlepas dengan sebuah

persepsi. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan persepsi sebagai tanggapan

(penerimaan langsung dari sesuatu atau serapan) dan merupakan proses seorang

mengetahui beberapa hal melalui panca inderanya. Menurut Jalaluddin Rakhmat

(1994: 51) persepsi adalah “pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-

hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan

pesan.”

Menurut Huffman yang dikutip oleh Vincent Nugroho (2008: 51)

“Persepsi adalah proses memilih, menyusun, dan memaknai informasi yang

diterima oleh panca indera, sehingga di dalam benaknya manusia memiliki

pemahaman akan dunia sekitarnya.”

Persepsi seseorang dengan orang lain bisa berbeda-beda. Hal tersebut

menurut Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan Kartajaya,

(1996: ii) “merupakan hal yang wajar karena apa yang diketahui seseorang

mencerminkan apa yang dipelajarinya dimasa lalu, keadaan pikirannya saat ini,

serta apa yang sebenarnya ada pada kenyataan di luar dirinya”.

Sementara itu, menurut ahli lain "Persepsi pada hakekatnya adalah proses

kognitif”. (Miftah Thoha, 1994: 138)

Proses kognitif dialami oleh setiap orang dalam memahami informasi tentang

lingkungannya baik lewat penglihatan, pendengaran, penghayatan, perasaan dan

penciuman. Kunci untuk memahami persepsi adalah terletak pada pengenalan

bahwa persepsi itu merupakan suatu penafsiran yang unik terhadap situasi, dan

bukan suatu pencatatan yang benar terhadap situasi. Seperti yang dikatakan oleh

David Krech yang dikuti oleh Miftah Thoha (1994: 138) sebagai berikut.

11

“The cognitive map of the individual is not, then a photographic

representation of the physical world; it is, rather, a partial, personal

construction in which certain objects, selected out by the individual for

a major role, are perceived in an individual manner. Every perceiver

is, as it were, to some degres a non representational artist, painting a

picture of the world that expresses his individual view of reality”.

Secara ringkas, pendapat Krech tersebut dapat disimpulkan bahwa

persepsi adalah suatu proses kognitif yang kompleks dan yang menghasilkan

suatu gambar unik tentang kenyataan yang barangkali sangat berbeda dari

kenyataannya.

Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132) berpendapat

bahwa “persepsi adalah awal dari segala macam kegiatan belajar yang bisa terjadi

pada setiap kesempatan, disengaja atau tidak”. Menurut Kemp dan Dayton yang

dikutip oleh Dewi Salma Prawiwadilaga dan Eveline Siregar (2004 132)

menganggap persepsi “sebagai suatu proses dimana seseorang menyadari

keberadaan lingkungannya serta dunia yang mengelilinginya”.

Secara khusus, menurut Rieber yang dikutip oleh Dewi Salma

Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132-133) menyatakan “pentingnya

persepsi visual”. Sebab persepsi visual sangat berperan karena menunjukkan

kemampuan seseorang untuk mengikuti, menyadari, menyerap arti atau makna

dari tampilan visual di sekitarnya secara selektif.

Berdasarkan pengertian para ahli di atas, maka yang dimaksud dengan

persepsi adalah proses kognitif seseorang dalam memandang atau mengartikan

sesuatu melalui pengamatan secara global dalam panca inderanya dengan cara

menyeleksi, mengorganisasi dan menginterpretasikannya sehingga dapat

menyimpulkan informasi yang diterima dan menafsirkan pesan serta

mempengaruhi sikap dan perilakunya. Dalam penelitian ini persepsi yang

dimaksud dibatasi pada hal-hal yang menyangkut pendidikan pancasila dan

pembelajaran pancasila di perguruan tinggi.

12

b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Jalaluddin Rakhmat (1994: 51) “Persepsi seperti juga sensasi,

ditentukan oleh faktor personal dan faktor situasional”. Menurut David Krech dan

Richard S. Crutchfield yang dikutip oleh Jalaluddin Rakhmat (1994: 51-52)

menyebutnya dengan “faktor fungsional dan faktor struktural, selain itu ada

beberapa faktor yang sangat mempengaruhi persepsi, yaitu: faktor perhatian,

faktor fungsional, dan faktor struktural”. Penjelasan faktor-faktor tersebut adalah

sebagai berikut:

1) Faktor Perhatian

Perhatian adalah proses mental ketika stimuli atau rangkaian stimuli

menjadi perhatian menonjol dalam kesadaran pada saat stimuli lain

melemah. Perhatian terjadi bila ada konsentrasi pada salah satu alat indera

dan mengesampingkan masukan-masukan melalui alat indera yang lain.

Faktor perhatian dibagi menjadi:

a) Faktor Eksternal Penarik Perhatian

Faktor eksternal penarik perhatian diartikan bahwa apa yang

diperhatikan seseorang ditentukan oleh faktor-faktor situasional dan

personal. Faktor situasional disebut sebagai determinan perhatian yang

bersifat eksternal atau penarik perhatian. Stimuli diperhatikan karena

mempunyai sifat-sifat yang menonjol, antara lain gerakan intensitas

stimuli, kebaruan dan perulangan.

(1) Gerakan, seperti organisme yang lain, manusia secara visual tertarik pada

objek-objek yang bergerak. Contoh: manusia senang melihat huruf-huruf

display yang bergerak menampilkan nama barang yang diiklankan.

(2) Intensitas stimuli, yakni memperhatikan stimuli yang lebih menonjol dari

stimuli yang lain. Contoh: suara keras di malam hari yang sepi.

(3) Kebaruan (novelty), yakni hal-hal yang baru, yang luar biasa, yang

berbeda akan menarik perhatian. Beberapa eksperimen juga

membuktikan stimuli yang luar biasa lebih mudah dipelajari atau diingat.

Tanpa hal-hal yang baru, stimuli menjadi monoton, membosankan dan

lepas dari perhatian.

13

(4) Perulangan, maksudnya adalah jika hal-hal yang disajikan berkali-kali

disertai dengan sedikit variasi akan menarik perhatian.

b) Faktor Internal Penaruh Perhatian

Alat indera pada umumnya lemah tetapi juga menunjukkan

perhatian yang selektif (selective attention). Apa yang menjadi

perhatian seseorang belum tentu menyamai perhatian dari orang lain

atau sebaliknya. Ada kecenderungan seseorang melihat apa yang ingin

dilihat, mendengar apa yang ingin didengar. Perbedaan perhatian ini

timbul dari faktor-faktor internal dalam diri seseorang, yaitu faktor

biologis sebagai contoh (bagi orang yang lapar, yang paling menjadi

perhatiannya adalah makanan) dan faktor sosiopsikologis (motif

sosiogenis, sikap, kebiasaan dan kemauan mempengaruhi apa yang

akan diperhatikan oleh seseorang).

2) Faktor Fungsional

Faktor fungsional berasal dari kebutuhan, pengalaman masa lalu dan

hal-hal lain yang termasuk faktor personal. Yang menentukan persepsi

bukanlah jenis atau stimuli, tetapi karakteristik orang yang memberikan

respon pada stimuli itu. Menurut Krech dan Crutchfield yang dikutip oleh

Jalaluddin Rakhmat (1994: 56) merumuskan “dalil persepsi yang pertama

yakni Persepsi bersifat selektif secara fungsional”. Dalil ini berarti bahwa

objek-objek yang mendapat tekanan dalam persepsi biasanya objek-objek

yang memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi. Kebutuhan

biologis menyebabkan persepsi yang berbeda.

3) Faktor Struktural

Faktor ini berasal dari semata-mata dari sifat stimuli fisik dan efek-

efek saraf yang ditimbulkan pada sistem saraf individu.

Selain dipengaruhi oleh ketiga faktor tersebut diatas, persepsi juga

dipengaruhi oleh faktor pengetahuan dan pemahaman yang tinggi,

cara mempersepsikan suatu hal juga akan berbeda dengan orang yang

mempunyai pengetahuan dan pemahaman yang rendah. Kemudian

Sondang P. Siagian, (1989: 100) berpendapat:

14

“Persepsi seseorang tidak timbul begitu saja. Tentu ada faktor-

faktor yang mempengaruhinya. Faktor-faktor inilah yang

menyebabkan mengapa dua orang yang melihat sesuatu mungkin

memberi interpretasi yang berbeda tentang yang dilihatnya itu.

Secara umum dapat dikatakan bahwa terdapat tiga faktor yang

mempengaruhi persepsi seseorang, yaitu: diri orang yang

bersangkutan, sasaran persepsi, dan faktor situasi”.

Selain itu, Miftah Thoha (1994: 143) mengemukakan “beberapa

faktor yang mempengaruhi pengembangan persepsi seseorang antara lain:

psikologi, family, dan kebudayaan”. Berikut adalah penjelasan faktor-

faktor tersebut.

1) Psikologi

Persepsi seseorang mengenai segala sesuatu di dalam dunia ini sangat

dipengaruhi oleh keadaan psikologi. Sebagai contoh, terbenamnya matahari

di waktu senja yang indah temaram, akan dirasakan sebagai bayang-bayang

yang kelabu bagi seseorang yang buta warna.

2) Family

Orang tua yang telah mengembangkan suatu cara yang khusus di dalam

memahami dan melihat kenyataan di dunia ini, banyak sikap dan persepsi-

persepsi mereka yang diturunkan kepada anak-anaknya. Sebagai contoh,

tidak jarang jika orang tuanya Muhammadiyah akan mempunyai anak-

anaknya yang Muhammadiyah pula.

3) Kebudayaan

Kebudayaan dan lingkungan masyarakat tertentu juga merupakan

salah satu faktor yang kuat di dalam mempengaruhi sikap, nilai, dan

cara seseorang memandang dan memahami keadaan di dunia ini.

c. Prinsip Dasar Persepsi

Menurut Fleming dan Levie yang dikutip oleh Dewi Salma

Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 134) mengemukakan beberapa

prinsip dasar yang penting untuk diketahui tentang persepsi yaitu “persepsi

bersifat relatif, persepsi bersifat sangat seletif, persepsi dapat diatur, persepsi

bersifat subjektif, persepsi seseorang atau kelompok bervariasi”. Adapun

penjelasan lebih lanjut adalah sebagai berikut:

15

1) Persepsi bersifat relatif

Prinsip relatif menyatakan bahwa setiap orang akan memberikan persepsi

yang berbeda, sehingga pandangan terhadap sesuatu hal sangat tergantung

dari siapa yang melakukan persepsi.

2) Persepsi bersifat sangat selektif

Persepsi tergantung pada pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi

seseorang.

3) Persepsi dapat diatur

Persepsi perlu diatur atau ditata agar orang lebih mudah mencerna

lingkungan atau stimulus.

4) Persepsi bersifat subjektif

Persepsi seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan sehingga

dalam pengertian ini menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat

subjektif.

5) Persepsi seseorang atau kelompok bervariasi

Prinsip ini berkaitan erat dengan perbedaan karakteristik individu,

sehingga setiap individu bisa mencerna stimuli dari lingkungan tidak sama

dengan individu lain.

d. Peranan Persepsi

Persepsi menjadi landasan berpikir bagi seseorang (kaitannya dalam

belajar). Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 134)

mengemukakan bahwa “persepsi dalam belajar berpengaruh terhadap daya ingat,

pembentukan konsep dan pembinaan sikap”. Jika dikaitkan dengan penelitian ini

yakni persepsi terhadap pendidikan tentang pancasila, maka persepsi memiliki

peranan penting. Sebab sebagai contoh dalam proses belajar tanpa memperhatikan

siapa yang belajar, materi, lokasi, jenjang pendidikan atau usia pembelajar selalu

dipengaruhi oleh persepsi peserta didik. Masih menurut Dewi Salma

Prawiladilaga dan Eveline Siregar (2004: 132) “Persepsi memang jarang

disinggung dalam tulisan terkait dalam proses belajar. Padahal, cara berfikir,

minat, atau potensi dapat berkembang dengan baik jika seseorang memiliki

persepsi yang memadai”. Diharapkan melalui penggalian persepsi dalam

16

penelitian ini dapat mengubah persepsi menjadi positif terutama dalam persepsi

dalam belajar pancasila sehingga berpengaruh terhadap daya ingat, pembentukan

konsep dan pembinaan sikap mahasiswa. Jadi persepsi terhadap pendidikan

tentang pancasila dalam penelitian ini merupakan penggalian persepsi untuk

mengetahui cara berfikir, minat, dan harapan baik dari dosen maupun mahasiswa

terutama dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi baik dalam metode

pembelajaran, materi, maupun evaluasi.

2. Tinjauan Tentang Aspirasi

a. Pengertian Aspirasi

Menurut Ellizabeth B. Hurlock (1993: 23) “Aspirasi berarti keinginan akan

sesuatu yang lebih tinggi, dengan kemajuan sebagai tujuannya”. Aspirasi yang

dimaksud tersebut menekankan pada keinginan untuk lebih maju atau melebihi status

pada saat sekarang. Pendapat ahli lain, mengatakan bahwa aspirasi adalah “tujuan

yang ditetapkan dalam suatu kegiatan yang mengandung makna bagi seseorang”.

(Winkel WS, 1991: 20)

Depdiknas (2003: 53) “Aspirasi adalah harapan dan tujuan untuk

keberhasilan pada masa yang akan datang”. Dari beberapa pendapat tersebut diatas

dapat diambil kesimpulan bahwa aspirasi adalah keinginan atau harapan akan sesuatu

yang lebih baik pada masa yang akan datang dengan merujuk pada keberhasilan dan

kemajuan sebagai tujuannya.

b. Variasi Aspirasi

Berdasarkan pengertian aspirasi diatas dapat dilihat bahwa orang yang

beraspirasi pasti memiliki motivasi yang kuat untuk mencapai tujuan. Aspirasi bukan

hanya berbeda-beda kekuatannya tetapi juga berbeda-beda jenisnya. Aspirasi dapat

bersifat positif dan negatif. Aspirasi positif menekankan pada keberhasilan atau

berprestasi lebih baik dari sebelumnya. Sedangkan aspirasi negatif menekankan pada

upaya menghindari kegagalan. Menurut waktunya aspirasi dibedakan atas aspirasi

langsung dan aspirasi jauh. Aspirasi langsung merupakan tujuan yang ingin dicapai

seseorang pada waktu dekat atau tidak terlalu lama, misal; sekarang, besok, minggu

depan atau bulan depan. Sedangkan aspirasi jauh merupakan tujuan yang ingin

dicapai untuk masa mendatang.

3. Tinjauan Tentang Pendidik

a. Pengertian Pendidik

17

Dalam dunia pendidikan terdapat unsur-unsur pendidikan salah satu

diantaranya adalah pendidik dan peerta didik. Menurut Wiji Suwarno (2006: 37)

“Pendidik adalah orang yang dengan sengaja memengaruhi orang lain untuk

mencapai tingkat kemanusiaan yang lebih tinggi”. Dengan kata lain, pengertian

tersebut merujuk pada pengertian pendidik sebagai orang yang lebih dewasa yang

mampu membawa peserta didik kearah kedewasaan.

Sedangkan secara akademik, pendidik adalah tenaga kependidikan,

yakni anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk

menunjang penyelenggaraan pendidikan yang berkualifikasi sebagai

pendidik, dosen, konselor, pamong belajar, widyaswara, tutor,

instrutur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan

kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan

pendidikan. (Wiji Suwarno, 2006: 38)

Dari pengertian tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pendidik

merupakan tenaga kependidikan yang merencanakan dan melaksanakan proses

pembelajaran, menilai hasil belajar melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta

melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat terutama bagi pendidik

pada pendidikan tinggi. Pendidik yang dimaksud dalam penelitian ini merujuk

pada dosen yang berada pada jenjang pendidikan tinggi atau perguruan tinggi.

b. Dosen

“Dosen adalah pengajar di perguruan tinggi” (Depdiknas, 2003: 242).

Sementara itu ada yang berpendapat bahwa dosen adalah “pendidik profesional

dan ilmuwan dengan tugas utama mentransformasikan, mengembangkan dan

menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni melalui pendidikan,

penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat”. (Depdiknas, 2005: 3)

M. Enoch Markum (2007: 140) berpendapat bahwa dosen adalah

“seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh

penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama mengajar pada perguruan

tinggi yang bersangkutan”. Sedangkan menurut Daulat Purnama Tampubolon

(2001: 173) “Dosen adalah guru pada lembaga pendidikan tinggi”.

Dari pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa dosen

adalah seseorang yang berdasarkan pendidikan dan keahliannya diangkat oleh

18

penyelenggara perguruan tinggi dengan tugas utama sebagai pendidik dan

ilmuwan, dan menjalankan pengabdian kepada masyarakat.

1) Kompetensi Dosen

Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2004 tentang Undang-undang

Guru dan Dosen menyatakan bahwa dosen wajib memiliki kualifikasi:

a) Akademik

Kualifikasi akademik dosen “diperoleh melalui pendidikan tinggi

program pascasarjana yang terakreditasi sesuai dengan bidang

keahlian” (Depdiknas, 2005: 34).

Selain itu, dosen memiliki kualifikasi akademik minimum:

(1) lulusan program magister untuk program diploma atau program

sarjana

(2) dan lulusan program doktor untuk program pascasarjana.

b) Sertifikasi pendidik

c) Sehat jasmani dan rohani, dan

d) Memenuhi kualifikasi lain yang dipersyaratkan satuan pendidikan tinggi

tempat bertugas, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan

pendidikan nasional.

2) Hak dan Kewajiban Dosen

a) Hak-Hak Dosen

“Setiap orang yang memiliki keahlian dengan prestasi luar biasa

dapat diangkat menjadi dosen”. (Depdiknas, 2005: 34)

Menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Guru dan Dosen, dalam

melaksanakan tugas keprofesionalan, dosen berhak:

(1) memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan

jaminan kesejahteraan sosial;

(2) mendapatkan promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan

prestasi kerja;

(3) memperoleh perlindungan dalam melaksanakan tugas dan hak atas

kekayaan intelektual;

19

(4) memperoleh kesempatan untuk meningkatkan kompetensi, akses

sumber belajar, informasi, sarana dan prasarana pembelajaran,

serta penelitian dan pengabdian kepada masyarakat;

(5) memiliki kebebasan akademik, mimbar akademik, dan otonomi

keilmuan;

(6) memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan menentukan

kelulusan peserta didik; dan

(7) memiliki kebebasan untuk berserikat dalam organisasi profesi/

organisasi keilmuan. (Depdiknas, 2005: 34)

b) Kewajiban-Kewajiban Dosen

Menurut Undang-Undang Guru dan Dosen Pasal 60, dalam

melaksanakan tugas keprofesionalan dosen berkewajiban:

(1) melaksanakan pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada

masyarakat;

(2) merencanakan, melaksanakan proses pembelajaran, serta menilai

dan mengevaluasi hasil pembelajaran;

(3) meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan

kompetensi secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan

ilmu pengetahuan, teknologi dan seni;

(4) bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar perkembangan

jenis kelamin, agama, suku, ras, kondisi fisik tertentu, atau latar

belakang sosio ekonomi peserta didik dalam pembelajaran;

(5) menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan

kode etik, serta nilai-nilai agama dan etika; dan

(6) memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.

(Depdiknas, 2005: 38)

4. Tinjauan Tentang Peserta Didik

a. Pengertian Peserta Didik

20

Unsur lain dalam pendidikan selain pendidik (orang yang mendidik)

adalah peserta didik. Menurut Wiji Suwarno (2006: 36) peserta didik adalah

“anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidik tertentu”.

Pendapat lain yakni menurut Umar Tirtarahardja (2005: 52) mengatakan

bahwa “ peserta didik berstatus sebagai subjek didik”. Pandangan modern

cenderung menyebut demikian oleh karena peserta didik (tanpa pandang usia)

adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya. Selaku

pribadi yang memiliki ciri khas dan otonomi, ia ingin mengembangkan diri

(mendidik diri) secara terus-menerus guna memecahkan masalah-masalah hidup

yang dijumpai sepanjang hidupnya.

Pengertian-pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa peserta didik

adalah individu yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses

pembelajaran baik yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu

baik untuk memecahkan masalah kehidupan yang dijumpainya maupun sebagai

bekal dalam kehidupannya kelak. Peserta didik yang dimaksud dalam penelitian

ini merujuk kepada mahasiswa dalam tataran perguruan tinggi.

b. Mahasiswa

Mahasiswa diartikan sebagai “orang yang belajar di perguruan tinggi”

(Depdiknas, 2003: 613).

Sedangkan M. Enoch Markum (2007: 144) mendefinisikan mahasiswa sebagai

“pelajar yang mengikuti pendidikan di perguruan tinggi dengan syarat memiliki

ijazah SMA atau yang sederajat, memenuhi syarat yang disyaratkan oleh

perguruan tinggi yang bersangkutan”.

Dari pendapat tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa mahasiswa

adalah seseorang yang menuntut ilmu di perguruan tinggi yang telah memenuhi

kualifikasi yang dipersyaratkan oleh perguruan tinggi yang bersangkutan.

1) Hak dan Kewajiban Mahasiswa

a) Mahasiswa mempunyai hak:

21

(1) Menggunakan kebebasan akademik secara bertanggungjawab untuk

mengkaji ilmu dan seni sesuai dengan norma dan susila yang berlaku

dalam lingkungan masyarakat akademik;

(2) Memperoleh pengajaran sebaik-baiknya dan layanan bidang akademik

sesuai dengan minat/bakat, kegemaran dan kemampuan;

(3) Memanfaatkan fasilitas Universitas dalam rangka kelancaran proses

belajar;

(4) Mendapat bimbingan dari dosen yang bertanggungjawab atas program

studi yang diikuti dalam penyelesaian studinya;

(5) Memperoleh layanan informasi yang berkaitan dengan program studi

yang diikuti serta hasil belajarnya;

(6) Memanfaatkan sumberdaya Universitas melalui perwakilan/organisasi

kemahasiswaan untuk mengurus dan mengatur kesejahteraan, minat,

bakat, penalaran, dan tata kehidupan bermsayarakat;

(7) Ikut serta dalam kegiatan organisasi mahasiswa universitas, dan lain

sebagainya. (UNS, 2009: 31)

b) Setiap Mahasiswa berkewajiban untuk:

Mahasiswa selain memiliki hak, juga memiliki kewajiban-

kewajiban yang harus dijalankan, diantaranya mahasiswa harus

“bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, menanggung biaya

penyelenggaraan pendidikan kecuali bagi mahasiswa yang dibebaskan

dari kewajiban tersebut, mempergunakan masa studi dengan optimal,

mematuhi semua peraturan universitas, menjaga nama baik universitas,

menghormati dan menghargai semua civitas akademika, disiplin, jujur,

berpakaian sopan dan tertib, menghargai dan menjunjung tinggi

kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, teknologi, dan atau seni”.

(UNS, 2009: 32)

5. Tinjauan Tentang Pendidikan

a. Konsep dan Pengertian Pendidikan

22

Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogy yang

mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang

pelayan. Sedangkan pelayan yang mengantar dan menjemput dinamakan

paedagogos. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate

yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada didalam. Sedangkan dalam bahasa

inggris, pendidikan diistilahkan ”to educate yang berarti memperbaiki moral dan

melatih intelektual”. (Noeng Muhadjir dalam Wiji Suwarno, 2006: 19)

Banyak pendapat yang berlainan tentang pengertian pendidikan. Walaupun

demikian, pendidikan berjalan terus tanpa menunggu keseragaman arti. Salah satu

di antaranya yakni George F. Kneller yang dikutip oleh Wiji Suwarno (2006: 19)

yang membagi pengertian pendidikan menjadi dua pengertian yaitu pendidikan

dalam arti luas dan sempit.

Dalam arti luas, pendidikan diartikan sebagai tindakan atau

pengalaman yang memengaruhi perkembangan jiwa, watak, ataupun

kemauan fisik individu. Dalam arti sempit, pendidikan adalah suatu

proses mentransformasikan pengetahuan, nilai-nilai, dan keterampilan

dari generasi ke generasi, yang dilakukan oleh masyarakat melalui

lembaga-lembaga pendidikan seperti sekolah, pendidikan tinggi, atau

lembaga-lembaga lain.

Sedangkan menurut John S. Brubacher yang dikutip oleh Wiji Suwarno

(2006: 20) berpendapat:

Pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan

kapasitas manusia yang mudah dipengaruhi oleh kebiasaan, kemudian

disempurnakan dengan kebiasaan-kebiasaan yang baik, didukung

dengan alat (media) yang disusun sedemikian rupa, sehingga

pendidikan dapat digunakan untuk menolong orang lain atau dirinya

sendiri dalam mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan.

Ki Hajar Dewantara dalam Wiji Suwarno (2006: 21) menyatakan bahwa

”pendidikan merupakan tuntutan bagi pertumbuhan anak-anak”. Artinya,

pendidikan menuntut segala kekuatan kodrat yang ada pada diri anak-anak, agar

mereka sebagai manusia sekaligus sebagai anggota masyarakat dapat mencapai

keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya. Dalam perspektif luas,

23

pendidikan merupakan ”upaya memanusiakan manusia agar menjadi manusia

yang sebenar-benarnya manusia”. (Wiji Suwarno, 2006: 25)

Di dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,

tercantum pengertian pendidikan sebagai berikut:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan pontensi dirinya sehingga memiliki kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan oleh dirinya,

masyarakat, bangsa dan negara. (Depdiknas, 2003: 20).

Dari beberapa pendapat tersebut di atas, yang dimaksud dengan

pendidikan adalah proses pengembangan potensi, kemampuan, dan kepribadian

peserta didik yang dilakukan dengan usaha sadar dan terencana dengan tujuan

agar dapat bermanfaat bagi dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.

Dari definisi di atas dapat dikemukakan adanya beberapa elemen yang

penting yang mencirikan pengertian tentang pendidikan, yaitu:

1) Pendidikan mengandung pembinaan kepribadian, pengembangan

kemampuan, atau potensi yang perlu dikembangkan; peningkatan

pengetahuan dari tidak tahu menjadi tahu, serta tujuan kearah mana

peserta didik dapat mengaktualisasikan dirinya seoptimal mungkin.

2) Dalam pendidikan, terdapat hubungan antara pendidik dan peserta didik.

Didalam hubungan itu, mereka memiliki kedudukan dan peranan berbeda.

Tetapi, keduanya memiliki daya yang sama, yaitu saling mempengaruhi

guna terlaksananya proses pendidikan (transformasi pengetahuan, nilai-

nilai, dan keterampilan-keterampilan yang tertuju kepada tujuan yang

diinginkan).

3) Pendidikan adalah proses sepanjang hayat sebagai perwujudan

pembentukan diri secara utuh.

4) Akivitas pendidikan berlangsung didalam keluarga, sekolah dan didalam

masyarakat.

24

5) Pendidikan merupakan suatu proses pengalaman yang sedang dialami

yang memberikan pengertian, pandangan (insight), dan penyesuaian bagi

seseorang yang menyebabkannya berkembang.

b. Tujuan Pendidikan

Dalam UU Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional tercantum bahwa Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila

dan Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Sedangkan

pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk

watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa.

Tujuan pendidikan merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh kegiatan

pendidikan. Menurut Wiji Suwarno (2006: 33) ”tujuan pendidikan terbagi dalam

beberapa jenis, yaitu tujuan nasional, institusional, kurikuler, dan instruksional”.

Tujuan nasional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu bangsa;

tujuan institusional adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu

lembaga pendidikan; tujuan kurikuler adalah tujuan pendidikan yang ingin dicapai

oleh suatu mata pelajaran tertentu; dan tujuan instruksional adalah tujuan

pendidikan yang ingin dicapai oleh suatu pokok bahasan tertentu.

Menurut Bloom dalam Wiji Suwarno (2006: 35) tujuan pendidikan

dibedakan menjadi tiga yaitu:

1) Cognitive domain

Meliputi kemampuan-kemampuan yang diharapkan dapat tercapai

setelah dilakukannya proses belajar-mengajar. Kemampuan tersebut

meliputi pengetahuan, pengertian, penerapan, analisis, sintesis, dan

evaluasi. Artinya, untuk mencapai semuanya harus sudah memiliki

kemampuan sebelumnya.

2) Affective domain

Berupa kemampuan untuk menerima, menjawab, menilai,

membentuk, dan mengarakterisasi.

3) Psychomotor domain

Terdiri dari kemampuan persepsi, kesiapan, dan respon terpimpin.

25

6. Tinjauan Tentang Pancasila

a. Istilah dan Pengertian Pancasila

B. Sukarno (2005: 1) menyatakan sebagai berikut:

Pancasila adalah suatu istilah yang pada mulanya dikemukakan pada

pertengahan abad XIV S.M dalam buku Negara Kertagama yang

ditulis oleh Empu Prapanca. Istilah tersebut dipakai oleh Empu

Tantular dalam bukunya Sutasoma (1365) dan istilah Pancasila itu

mempunyai dua arti.

Pancasila dengan sila yang berhuruf i biasa artinya berbatu sendi yang

lima pancasila dengan huruf Dewanagari dengan huruf i yang panjang berarti lima

peraturan tingkah laku yang penting, yaitu:

1) tidak boleh melakukan kekerasan

2) tidak boleh mencuri

3) tidak boleh berjiwa dengki

4) tidak boleh berbohong

5) tidak boleh mabuk minuman keras

(B. Sukarno, 2005: 1)

Kemudian istilah pancasila muncul kembali pada tanggal 1 Juni 1945

sebagai sebutan atau nama calon dasar falsafah negara Indonesia sebagai gagasan

Ir. Soekarno. Tetapi jauh sebelum pancasila muncul sebagai sebutan calon usulan

dasar negara melalui pendekatan historis sesungguhnya pancasila dengan unsur-

unsurnya diamalkan sebagai asas-asas di dalam adat-istiadat, kebudayaan dan

kepercayaan atau agama bangsa Indonesia.

Sesudah pancasila sebagai isi dari calon dasar negara diterima secara

aklamasi oleh Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) dan selanjutnya dengan melalui proses sejarah yang panjang akhirnya

pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945, dihasilkan beberapa keputusan salah

satu diantaranya yaitu meletakkan pancasila sebagai dasar negara Republik

Indonesia.

26

b. Tinjauan Historis terhadap Pancasila

Tinjauan historis terhadap pancasila sebagai isi dasar negara Indonesia

bermula dari usaha bangsa Indonesia memperoleh kemerdekaan dengan

membentuk Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia

(BPUPKI) oleh pemerintah Militer Jepang di Indonesia. B. Sukarno (2005: 36)

menyatakan bahwa ”sidang BPUPKI yang diselenggarakan dalam mewujudkan

perjuangan terbentuknya dasar negara dalam negara Indonesia merdeka

berlangsung dalam dua sidang yaitu sidang pertama dan sidang kedua”. Dalam

sidang pertama tersebut muncul tiga pembicara yaitu M. Yamin, Soepomo dan Ir.

Soekarno yang mengusulkan dasar negara Indonesia. Pidato usulan dasar negara

tersebut adalah sebagai berikut :

1) Muhammad Yamin

Pada sidang BPUPKI tanggal 29 Mei 1945, M. Yamin berpidato

mengusulkan lima asas dasar negara sebagai berikut :

a) Ketuhanan Yang Maha Esa

b) Kebangsaan persatuan Indonesia

c) Rasa kemanusiaan yang adil dan beradab

d) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan perwakilan

e) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

2) Soepomo

Pada sidang BPUPKI tanggal 31 Mei 1945 Soepomo mengusulkan

lima dasar negara sebagai berikut :

a) Persatuan

b) Kekeluargaan

c) Keseimbangan lahir dan bathin

d) Musyawarah

e) Keadilan rakyat

3) Ir. Soekarno

Pada sidang BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, Ir. Soekarno

mengusulkan dasar negara sebagai berikut :

a) Nasionalisme atau Kebangsaan Indonesia

27

b) Internasionalisme atau Perikemanusiaan

c) Mufakat atau Demokrasi

d) Kesejahteraan Sosial

e) Ketuhanan yang berkebudayaan

Kaelan (2004: 40) menyatakan bahwa ”Lima prinsip sebagai dasar negara

tersebut kemudian oleh Soekarno diusulkan agar diberi nama ”Pancasila” atas

saran salah satu seorang teman beliau ahli bahasa”. Kemudian menurut Soekarno

kelima sila dapat diperas menjadi Tri Sila yaitu Sosio nasionalisme (Nasionalisme

dan Internasionalisme), Sosio Demokrasi (Demokrasi dengan Kesejahteraan

Rakyat), dan Ketuhanan yang Maha Esa. Adapun Tri Sila masih diperas lagi

menjadi Eka Sila yang intinya adalah gotong royong. Pada tanggal 22 Juni 1945

diadakan sidang oleh BPUPKI (Panitia Sembilan) yang menghasilkan “Piagam

Jakarta” dan didalamnya termuat pancasila dengan rumusan sebagai berikut :

1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan sya’riat Islam bagi pemeluk-

pemeluknya

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

3) Persatuan Indonesia

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan

perwakilan

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dalam Pembukaan UUD 1945 yang ditetapkan tanggal 18 Agustus 1945

oleh PPKI tercantum rumusan dasar negara sebagai berikut :

1) Ketuhanan Yang Maha Esa

2) Kemanusiaan yang adil dan beradab

3) Persatuan Indonesia

4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam

permusyawaratan/perwakilan

5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan dasar negara sebagaimana tercantum dalam Pembukaan UUD

1945 diatas yang secara konstitusional sah dan benar sebagai dasar negara

Republik Indonesia. Namun dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dalam upaya

28

bangsa Indonesia mempertahankan proklamasi dan eksistensinya, terdapat pula

rumusan-rumusan dasar negara sebagai berikut :

1) Dalam Konstitusi Republik Indonesia Serikat (29 Desember – 17 Agustus 1950)

a) Ketuhanan Yang Maha Esa

b) Peri Kemanusiaan

c) Kebangsaan

d) Kerakyatan

e) Keadilan Sosial

2) Dalam UUD Sementara 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959)

a) Ketuhanan Yang Maha Esa

b) Peri Kemanusiaan

c) Kebangsaan

d) Kerakyatan

e) Keadilan Sosial

Dari berbagai macam rumusan pancasila, yang sah dan benar adalah

rumusan pancasila yang terdapat dalam Pembukaan UUD 1945.

c. Tinjauan Ideologis terhadap Pancasila

Pancasila adalah suatu rumusan ideologi bangsa dan negara Indonesia.

Menurut B. Sukarno (2005: 162) ”pancasila sebagai ideologi seperti halnya

ideologi suatu bangsa dan negara adalah wawasan, pandangan hidup

(weltanschauung) atau falsafah kebangsaan dan kenegaraannya”. Rumusan

ideologi pancasila berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar

yang bersifat mendalam dan menyeluruh yang dimiliki dan dipegang oleh bangsa,

negara dan masyarakat Indonesia. Ideologi pancasila seperti halnya kekuatan

suatu ideologi tergantung pada kualitas tiga dimensi yang terkandung didalam

dirinya. Tiga dimensi tersebut menurut B. Sukarno (2005: 163) meliputi: ”dimensi

realitas, dimensi idealisme, dan dimensi fleksibilitas atau dimensi

pengembangan”. Ketiga dimensi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1) Dimensi realitas yaitu bahwa nilai-nilai dasar yang terkandung dalam ideologi itu

secara riil berakar dan hidup dalam masyarakat atau bangsanya terutama karena

nilai-nilai dasar tersebut bersumber dari budaya dan pengalaman sejarahnya.

29

2) Dimensi idealisme yaitu bahwa nilai-nilai dasar ideologi tersebut mengandung

cita-cita yang memberi harapan tentang masa depan yang lebih baik melalui

perwujudan atau pengalamannya dalam praktek kehidupan bersama mereka

sehari-hari dengan berbagai dimensinya.

3) Dimensi fleksibilitas atau dimensi pengembangan yaitu bahwa ideologi tersebut

memiliki keluwesan yang memungkinkan dan bahkan merangsang

pengembangan pemikiran-pemikiran baru yang relevan tentang dirinya tanpa

menghilangkan atau mengingkari hakekat atau jati diri yang terkandung dalam

nilai-nilai dasarnya.

Dari ketiga dimensi kekuatan dalam ideologi pancasila menunjukkan

bahwa pancasila adalah ideologi yang membawa sebab bangsa Indonesia

menyakininya sebagai ideologi yang terbaik bagi dirinya dan menjadi prospek

kelanjutan kehidupan bangsa Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa, dan

bernegara.

Pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara yang bersumber pada

pandangan filsafat hidup bangsa Indonesia akan termanifestasi keseluruh

perlengkapan negara, keseluruhan kehidupan sosial (masyarakat) serta

keseluruhan rakyat dan warga-warganya. Pancasila merupakan idelogi yang

bersifat terbuka. Hal tersebut menurut B. Sukarno (2005: 166) mengandung

maksud ”bahwa ideologi pancaila adalah bersifat aktual, dinamis, antisipatif dan

senantiasa mampu menyesuaikan dengan perkembangan zaman”. Keterbukaan

ideologi pancasila bukan berarti mengubah nilai-nilai dasar pancasila namun

mengekplisitkan kemampuan yang lebih tajam untuk memecahkan masalah-

masalah baru dan aktual.

d. Tinjauan Filosofis terhadap Pancasila

Menurut Kaelan (2004: 67) "Sila-sila pancasila yang merupakan sistem

filsafat pada hakikatnya merupakan suatu kesatuan organik". Antara sila-sila

pancasila itu saling berkaitan, saling berhubungan bahkan saling

mengkualifikasikan. Sila yang satu senantiasa dikualifikasikan oleh sila-sila

lainnya. Dengan demikian pancasila pada hakikatnya merupakan sistem yang

bagian-bagiannya atau sila-silanya saling berhubungan secara erat sehingga

membentuk suatu struktur yang menyeluruh.

30

Menurut Notonagoro dalam Kaelan (2004: 71) "Kesatuan nilai-nilai

pancasila pada hakikatnya bukanlah hanya merupakan kesatuan yang bersifat

formal logis saja namun juga meliputi kesatuan dasar ontologis, epistimologis,

dan aksiologis dari sila pancasila". Penjelasan mengenai kesatuan dasar tersebut

adalah sebagai berikut:

1) Dasar Ontologis

Dasar ontologis pancasila pada hakikatnya adalah manusia yang

memiliki hakikat mutlak monopluralis, oleh karena itu hakikat ini juga

disebut sebagai dasar antropologis. Dalam filsafat pancasila hakikat dasar

antropologis sila-sila pancasila adalah manusia.

2) Dasar Epistimologis

Pranaka dalam Kaelan (2004: 97) menyatakan bahwa jika manusia

“merupakan basis ontologis dari pancasila, maka dengan demikian

mempunyai implikasi terhadap bangunan epistimologis, yaitu bangunan

epistimologis yang ditempatkan dalam bangunan filsafat manusia”.

Terdapat tiga persoalan yang mendasar dalam epistimologi yaitu sumber

pengetahuan manusia, teori tentang kebenaran manusia, watak

pengetahuan manusia. Sebagai suatu paham epistimologis maka pancasila

mendasarkan pada pandangannya bahwa ilmu pengetahuan pada

hakikatnya tidak bebas nilai karena harus diletakkan pada kerangka

moralitas kodrat marusia serta moralitas religius dalam upaya untuk

mendapatkan suatu tingkatan pengetahuan yang mutlak dalam hidup

manusia.

3) Dasar Aksiologis

Dalam kaitannya dengan pelaksanaan dan penyelenggaraan negara

isi dan arti pancasila dipergunakan sebagai pedoman praktis. Soeprapto

(1998: 88) menyatakan bahwa "Permasalahan landasan aksiologis

pancasila adalah permasalahan tentang pancasila sebagai sumber nilai bagi

keluhuran hidup manusia warga bangsa Indonesia". Bangsa Indonesia

dalam kerangka kebudayaan nasional yang berdasar pancasila merupakan

31

proses yang timbal balik antara yang ideal dan yang aktual atau antara

nilai-nilai dengan perilaku warga individual.

C. Kerangka Berpikir

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

Nasional adalah dasar yuridis dalam menetapkan kurikulum pendidikan di

perguruan tinggi. Berdasar pada Undang-Undang tersebut maka kurikulum

pendidikan tinggi wajib memuat Pendidikan Agama, Pendidikan

Kewarganegaraan dan Bahasa yang kemudian diejawantahkan dalam SK

No.43/DIKTI/Kep/2006 tentang Rambu-rambu pelaksanaan Kelompok Mata

Kuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) di perguruan tinggi. Adanya SK

tersebut telah mengakibatkan tidak berlakunya lagi SK yang sebelumnya yakni

SK No.38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-Rambu Pelaksanaan Kelompok Mata

Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi yang meliputi

Pendidikan Pancasila, Pendidikan Kewarganegaraan dan Pendidikan Agama.

Dalam matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) terdapat

pendidikan tentang pancasila (filsafat pancasila) di Bab I. Pendidikan tentang

pancasila sebagai substansi nilai yang kini menjadi bagian dalam matakuliah PKn

memiliki perhatian penting disamping memperluas pengetahuan mengenai

pancasila juga terhadap pembentukan atau perubahan sikap dan perilaku positif

mahasiswa. Namun demikian, berdasar data-data hasil survey terhadap pancasila

yang dilakukan oleh berbagai pihak menunjukkan bahwa saat ini terdapat gejala

menurunnya pengetahuan dan pemahaman pancasila dikalangan masyarakat dan

mahasiswa pada khususnya. Mahasiswa cenderung memiliki persepsi negatif

terhadap pancasila dan pembelajaran pancasila yang dianggap membosankan

karena merupakan pengulangan materi dari jenjang pendidikan sebelumnya.

Mengingat kondisi tersebut, persepsi dan aspirasi dibutuhkan baik dari dosen dan

terutama dari mahasiswa guna menjaring berbagai informasi, pandangan,

pemikiran, masukan terhadap pendidikan tentang pancasila baik dari sisi

pendidikannya secara umum maupun dalam pembelajarannya. Persepsi dan

32

aspirasi tersebut dapat digunakan sebagai bahan renungan yang bermanfaat dalam

mengoptimalkan pembelajaran pancasila di perguruan tinggi meskipun sekarang

hanya menjadi sub pokok bahasan dalam PKn dan dapat mengubah persepsi

negatif mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi

selama ini. Diharapkan melalui penggalian persepsi dalam penelitian ini dapat

mengubah persepsi menjadi positif terutama dalam persepsi dalam belajar

pancasila sehingga berpengaruh terhadap daya ingat, pembentukan konsep dan

pembinaan sikap mahasiswa.

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar dibawah ini:

Gambar 1. Skema Kerangka Berpikir

Kurikulum Pendidikan di Perguruan Tinggi

Kelompok MKK

Kelompok MKB

Kelompok MPB

Kelompok MBB

Kelompok MPK

SK Ditjen Dikti No. 43 Tahun 2006

Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS

Aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS

Pendidikan Agama Pendidikan Kewarganegaraan Bahasa Indonesia

terdapat pendidikan tentang pancasila

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional

33

Keterangan :

- MKK : Mata Kuliah Keahlian dan Keterampilan

- MKB : Mata Kuliah Keahlian Berkarya

- MPK : Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian

- MPB : Mata Kuliah Perilaku Berkarya

- MBB : Mata Kuliah Berkehidupan Bermasyarakat

34

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti mengambil lokasi di Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret (FKIP UNS) Surakarta, dengan

pertimbangan sebagai berikut:

a. Belum adanya penelitian sebelumnya khususnya mengenai permasalahan yang

sedang diteliti oleh peneliti.

b. Permasalahan persepsi dan aspirasi terhadap pendidikan pancasila pasca SK

Ditjen Dikti No.43/2006 merupakan hal yang menarik untuk diteliti mengingat

semakin merosotnya pengetahuan dan pemahaman terhadap pancasila

dikalangan mahasiswa dan mengingat kehadiran pendidikan pancasila

khususnya di perguruan tinggi perlu disikapi secara akademis sebagai suatu

kebutuhan dunia keilmuan dan dalam hidup bermasyarakat, dan bernegara.

Dengan pertimbangan diatas, peneliti berharap mendapatkan suatu laporan

yang valid dan bermanfaat bagi Program Studi Pendidikan Pancasila dan

Kewarganegaraan (PPKn) dan FKIP UNS serta bagi kalangan civitas akademika

secara umum.

2. Waktu Penelitian

Waktu penelitian telah dilaksanakan selama sebelas bulan yang dimulai

pada bulan Juni 2009 sampai dengan bulan April 2010. Kegiatan tersebut dapat

digambarkan dalam tabel sebagai berikut :

35

Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian

No Kegiatan 2009 2010

Jun Ju

l

Ag

t

Se

p

Ok

t Nov

De

s Jan

Fe

b Mar

Ap

r

1. Pengajuan Judul

2.

Penyusunan

Proposal

3. Ijin Penelitian

4.

Pengumpulan

Data

5. Analisis Data

6.

Penyusunan

Laporan

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

Sebelum membicarakan tentang bentuk dan strategi penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini, akan dibahas mengenai metode penelitian secara

umum.

1. Pengertian Metodologi Penelitian

Metodologi penelitian merupakan elemen penting untuk menjaga

reliabilitas (dependabilitas) dan validitas (kredibilitas) hasil penelitian.

Dalam arti luas, menurut Robert, Bogdan dan Steven J. Taylor (1993: 25)

metodologi berarti “proses, prinsip-prinsip dan prosedur yang kita pakai dalam

mendekati persoalan-persoalan dan usaha mencari jawabannya”.

Sedangkan menurut Abdurrahmat Fathoni (2006: 98) Metodologi

penelitian adalah “ilmu tentang metode-metode yang akan digunakan dalam

melakukan suatu penelitian. Metode penelitian adalah cara kerja yang digunakan

dalam melakukan suatu penelitian”.

Dari pendapat tersebut dapat dikatakan bahwa metodologi penelitian

kualitatif menunjuk kepada prosedur-prosedur penelitian yang menghasilkan data

36

kualitatif yaitu ungkapan atau catatan orang itu sendiri atau tingkah laku mereka

yang terobservasi.

2. Jenis - Jenis Metode Penelitian

Menurut Consuelo (1993: 40) mengatakan bahwa terdapat lima metode

penelitian, yaitu:

1) metode penelitian sejarah (historis),

2) metode penelitian deskriptif,

3) metode penelitian eksperimen,

4) metode penelitian ex post facto (juga biasa disebut kausal komparatif),

5) metode penelitian partisipatori.

Sedangkan menurut Iqbal Hasan (2002: 22) jenis-jenis metode penelitian

terkait dengan jenis penelitiannya dihagi menjadi 5 (lima) yaitu: “metode historis,

metode deskriptif, metode korelasional, metode eksperimental, metode kuasi

eksperimental”. Jenis-jenis metode tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Metode Historis

Historis artinya berhubungan dengan sejarah. Penelitian dengan metode

historis merupakan penelitian yang kritis terhadap keadaan-keadaan,

perkembangan serta pengalaman di masa lampau dan menimbang secara teliti

dan hati-hati terhadap validitas dari sumber-sumber sejarah serta interpretasi

dari sumber-sumber keterangan tersebut.

b. Metode Deskriptif

Deskriptif artinya melukiskan variabel demi variabel, satu demi satu.

Metode deskriptif bertujuan untuk:

1) mengumpulkan informasi aktual secara rinci yang melukiskan gejala yang ada,

2) rnengidentifikasi masalah atau memeriksa kondisi dan praktek-praktek yang

berlaku,

3) membuat perbandingan atau evaluasi,

4) menentukan apa yang dilakukan orang lain dalam menghadapi masalah yang sama

dan belajar dari pengalaman mereka untuk menetapkan rencana dan keputusan

pada waktu yang akan datang.

37

Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada

masa sekarang. Pada umumnya metode deskriptif ialah menuturkan dan

menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu

hubungan, kegiatan, pandangan, sikap yang menampak atau tentang suatu

proses yang sedang berlangsung dan sebagainya. Pelaksanaan metode

deskriptif tidak hanya sampai pada pengumpulan dan penyusunan data, tetapi

meliputi analisa dan arti data itu. Alat untuk mengukur suatu dimensi tersebut

adalah dengan menggunakan angket, tes dan interview.

c. Metode Korelasional

Metode korelasional sebenarnya adalah kelanjutan metode deskriptif.

Pada metode korelasional, hubungan antara variabel diteliti dan dijelaskan. Jadi

metode korelasional mencari hubungan di antara variabel-variabel yang diteliti.

Metode korelasi ini bertujuan untuk meneliti sejauh mana variabel pada satu

faktor berkaitan dengan variasi pada faktor lainnya.

d. Metode Eksperimental

Metode eksperimental merupakan metode penelitian yang

memungkinkan peneliti memanipulasi variabel dan meneliti akibat-akibatnya.

Pada metode ini, variabel-variabel dikontrol sedemikian rupa, sehingga

variabel luar yang mungkin mempengaruhi dapat dihilangkan. Metode

eksperimental ditujukan untuk mencari hubungan sebab akibat dengan

memanipulasikan satu alau lebih variabel pada satu (atau lebih) kelompok

eksperimental, dan membandingkan hasilnya dengan kelompok kontrol yang

tidak mengalami manipulasi.

e. Metode Kuasi Eksperimental

Metode kuasi eksperimental hampir menyerupai metode eksperimental,

hanya pada metode ini, peneliti tidak dapat mengatur sekehendak hati variabel

bebasnya.

3. Metode Penelitian yang Digunakan

Adapun metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah

metode deskriptif kualitatif. Alasan penulis menggunakan metode ini adalah

38

karena berdasarkan masalah dalam penelitian yang menekankan pada proses dan

makna (perspektif dan partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik

adalah penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada

sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka.

4. Bentuk Penelitian

Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dan jenis data yang diperlukan

maka penelitian ini menggunakan bentuk penelitian kualitatif yang bersifat

deskriptif, karena memaparkan objek yang diteliti (orang, lembaga atau lainnya)

berdasarkan fakta aktual pada masa sekarang.

Penelitian yang menekankan pada segi proses dan makna (perspektif dan

partisipasi) maka bentuk penelitian dengan strategi terbaik adalah

penelitian kualitatif deskriptif yang penuh nuansa lebih berharga daripada

sekedar pernyataan jumlah ataupun frekuensi dalam bentuk angka (H.B.

Sutopo, 2002: 3).

Berdasarkan pendapat diatas maka dalam penelitian ini memusatkan

perhatian atau mendeskripsikan permasalahan tentang persepsi dan aspirasi dosen

dan mahasiswa terhadap pendidikan pancasila di Perguruan Tinggi Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

5. Strategi Penelitian

Dalam setiap penelitian diperlukan sebuah strategi agar tujuan yang telah

direncanakan dapat tercapai. Strategi yang digunakan dalam penelitian ini adalah

model tunggal terpancang. H.B. Sutopo (2002: 42) menjelaskan sebagai berikut:

“Bentuk penelitian terpancang (embedded research) yaitu penelitian kualitatif

yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel utamanya yang akan

dikaji berdasarkan pada tujuan dan minat penelitinya sebelum peneliti ke lapangan

studinya”.

Dalam penelitian ini peneliti sudah menentukan terlebih dahulu fokus pada

variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap tidak melepaskan

variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik sehingga bagian-bagian

39

yang diteliti tetap diusahakan pada posisi saling berkaitan dengan bagian-bagian

dari konteks secara keseluruhan guna menemukan makna yang lengkap.

Jadi penelitian ini menggunakan strategi tunggal terpancang karena objek

penelitian adalah tunggal yaitu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)

UNS. Sedangkan terpancang artinya untuk mengetahui persepsi dan aspirasi

dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila.

C. Sumber Data

Penelitian ini menggunakan sumber data yang berupa informan, tempat

dan peristiwa serta dokumen dan arsip.

1. Informan

Informan adalah orang yang dianggap mengetahui permasalahan yang

akan dikaji serta mengetahui secara mendalam tentang data-data yang diperlukan

atau informasi tentang permasalahan yang akan dikaji. Adapun informan sebagai

data primer yang berasal dari subyek dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Dosen-dosen pengampu mata kuliah PKn di Fakultas Keguruan dan Ilmu

Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, yaitu:

Tabel 2. Daftar Informan Dosen

No Kode Nama Program Studi/ Bidang Studi

1. ID 1 Drs. H. Utomo, MPd Dosen program studi PPKn, Ketua

MKU UNS

2. ID 2 Drs. Suyatno, M.Pd Dosen program studi PPKn

3. ID 3 Drs.Hasan Machfud,

M.Pd

Dosen program studi PGSD,

Sekretaris program studi PGSD,

Ketua TIM Kelompok Matakuliah

IPS PGS

4. ID 4 Drs. A. Dakir, M.Pd Dosen program studi PGSD

5. ID 5 Dewi Gunawati, SH.,

M.Hum

Dosen program studi PPKn

40

6. ID 6 Drs. Suparno, M.Si Dosen program studi Pendidikan

Sosiologi Antropologi

7. ID 7 Drs. Leo Agung Sutimin,

M.Pd

Dosen program studi Pendidikan

Sejarah

(Sumber: Data Primer Informan Hasil Wawancara kepada Dosen Pengampu

Matakuliah PKn di FKIP UNS)

Keterangan, ID = Informan Dosen

b. Mahasiswa yang telah maupun yang sedang menempuh mata kuliah

pendidikan pancasila dan atau pendidikan kewarganegaraan di FKIP UNS.

Adapun daftar informan mahasiswa dapat dilihat pada lampian 02.

Tabel 3. Daftar Informan Mahasiswa yang Diwawancarai

No Kode Nama Program Studi

1. IM 1 Amanatul Mutoharoh Pendidikan Biologi

2. IM 2 Sri Sutami Pendidikan Bimbingan dan Konseling

3. IM 3 Ika Sari Pendidikan Sejarah

4. IM 4 Prapti Nur Siwi PPKn

5. IM 5 Valentino Yudho P Penjaskesrek

6. IM 6 Endah Suhadati PPKn

7. IM 7 Arief Joko W PTM

8. IM 8 Siswoko PPKn

9. IM 9 Sanna Mei Hasanti Pendidikan Sosiologi Antropologi

10. IM 10 Endah Retno P Pendidikan Kimia

11. IM 11 Arum Dwi L PPKn

12. IM 12 Niken Budiningtyas PPKn

13. IM 13 Ulis Dwi Wardani Pendidikan Sejarah

14. IM 14 Meivita Pendidikan Geografi

15. IM 15 Milati Mahmudah Pendidikan Bahasa Inggris

16. IM 16 Ela Pendidikan Kimia

17. IM 17 Anisah Rahmawati PGSD

41

18. IM 18 Priskila DM PGSD

19. IM 19 Mujahid Wahyu Pendidikan Teknik Mesin

20. IM 20 Candra PGSD

21. IM 21 Dirahasiakan Pendidikan Kimia

(Sumber: Data Primer Informan Hasil Wawancara pada Mahasiswa FKIP UNS)

Keterangan, IM = Informan Mahasiswa

2. Tempat dan Peristiwa

Sumber dan tempat peristiwa dimaksudkan untuk lebih memperkuat

keterangan. Adapun tempat yang diamati oleh peneliti yakni di Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta, sedangkan peristiwa

yang diamati adalah proses belajar mengajar pada mata kuliah Filsafat Pancasila

di Program Studi PPKn dan pada matakuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan)

di Program Studi Pendidikan Kimia dan di Program Studi Pendidikan Guru

Sekolah Dasar (PGSD) yakni pada materi awal atau Bab I tentang Filsafat

Pancasila. Dalam pengamatan terhadap proses belajar mengajar tersebut, peneliti

mengamati cara mengajar dosen pengampu matakuliah dan juga mengamati

tingkah laku mahasiswa saat proses belajar mengajar berlangsung.

3. Dokumen dan Arsip

Sumber data yang kedua atau data sekunder (data yang berasal dari selain

subjek) dalam penelitian ini adalah dokumen. Dokumen yang digunakan adalah

sebagai berikut:

Tabel 4. Sumber Dokumen

No Jenis Dokumen Sumber Dokumen

1. Peraturan perundang-

undangan

- UU No.20/2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional.

- PP No.19/2005 tentang Standar Nasional

Pendidikan.

- SK Ditjen Dikti No.43/2006 tentang

Rambu-Rambu MPK di Perguruan

42

Tinggi.

2. Silabus PKn Edisi 2006 - UPT MKU Universitas Sebelas Maret

3. Daftar Data Dosen

Matakuliah Pendidikan

Kewarganegaraan

- UPT MKU Universitas Sebelas Maret

4. Daftar Statistik mahasiswa

yang terdaftar di FKIP UNS

- Kantor Kasubag Pendidikan FKIP UNS

D. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan

teknik sampel bertujuan atau purposive sampling karena teknik ini mendapatkan

sampel dengan memilih individu-individu yang dianggap mengetahui informasi

dan masalahnya secara mendalam dan dapat dipercaya untuk menjadi sumber

data.

Penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu sampel

dengan memilih beberapa dosen pengampu matakuliah Pendidikan

Kewarganegaraan dan dosen pengampu matakuliah Filsafat Pancasila. Populasi

dalam penelitian ini adalah dosen pengampu mata kuliah Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) dan mahasiswa FKIP UNS. Sampel yang dipilih berasal

dari kalangan dosen pengampu matakuliah PKn dan mahasiswa baik yang sudah

maupun yang sedang menempuh matakuliah PKn dan/atau Filsafat Pancasila yang

dianggap mengetahui informasi dan masalah yang berkaitan dengan penelitian.

Adapun sampel yang berasal dari kalangan dosen adalah sebagai berikut:

Tabel 5. Sampel dari Kalangan Dosen

No Nama Program Studi/ Bidang Studi

1. Drs. H. Utomo, MPd Dosen Program Studi PPKn

2. Drs. Suyatno, M.Pd Dosen Program Studi PPKn

3. Dewi Gunawati, SH., M.Hum Dosen Program Studi PPKn

4. Drs.Hasan Machfud, M.Pd Dosen Program Studi PGSD

5. Drs. A. Dakir, M.Pd Dosen Program Studi PGSD

43

6. Drs. Suparno, M.Si Dosen Program Studi Pendidikan

Sosiologi Antropologi

7. Drs. Leo Agung Sutimin, M.Pd Dosen Program Studi Pendidikan

Sejarah

Sedangkan sampel yang berasal dari kalangan mahasiswa adalah sebagai

berikut:

Tabel 6. Sampel dari Kalangan Mahasiswa

No Nama Program Studi

1. Meivita Pendidikan Geografi

2. Sanna Mei Hasanti Pendidikan Sosiologi Antropologi

3. Ulis Dwi Wardani Pendidikan Sejarah

4. Ika Sari Pendidikan Sejarah

5. Prapti Nur Siwi PPKn

6. Siswoko PPKn

7. Arum Dwi L PPKn

8. Niken Budiningtyas PPKn

9. Endah Suhadati PPKn

10. Amanatul Mutoharoh Pendidikan Biologi

11. Ela Pendidikan Kimia

12. Endah Retno P Pendidikan Kimia

13. Anis Pendidikan Kimia

14. Sri Sutami Pendidikan Bimbingan dan Konseling

15. Valentino Yudho P Penjaskesrek

16. Milati Mahmudah Pendidikan Bahasa Inggris

17. Arief Joko W Pendidikan Teknik Mesin

18. Wahyu Mujahid Pendidikan Teknik Mesin

19. Lisa PGSD

20. Annisah PGSD

21. Dirahasiakan -

44

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

dengan cara sebagai berikut:

1. Kuesioner / Angket

Menurut Cholid Narbuko dan Abu Achmadi (2005: 76) menyatakan

bahwa “kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan

mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti”. Masih menurut Cholid

Narbuko dan Abu Achmadi (2005: 77) tujuan dilakukan angket atau kuesioner

ialah “untuk memperoleh informasi yang relevan dengan tujuan penelitian dan

untuk memperoleh informasi mengenai suatu masalah”. Penelitian ini

menggunakan kuesioner dengan tujuan untuk memperoleh informasi atau data

awal tentang persepsi atau tanggapan mahasiswa terhadap Pendidikan Pancasila

dan pembelajarannya selama ini di perguruan tinggi. Kuesioner atau angket yang

digunakan dalam penelitian ini tergolong dalam angket tertutup karena pilihan

jawaban sudah disediakan oleh peneliti dan responden (dalam hal ini mahasiswa)

tinggal memilih pilihan jawaban yang telah disediakan. Kuesioner yang berhasil

dihimpun dalam penelitian ini adalah sebanyak 225 responden (mahasiswa).

Untuk memperoleh kedalaman informasi yang berkaitan dengan penelitian ini,

maka dari 225 responden tersebut diambil 21 sampel mahasiswa untuk

ditindaklanjuti dengan wawancara secara mendalam yang dirasa dapat mewakili

informasi yang diperlukan.

2. Wawancara

Penelitian ini menggunakan teknik wawancara mendalam (indepth

interviewing) baik secara terstruktur (structured interview) dengan menggunakan

pedoman wawancara maupun tidak terstruktur (unstructured interview) tanpa

pedoman wawancara (informal). Wawancara secara mendalam dilakukan peneliti

untuk memperoleh data dari para informan, terutama informan kunci (key

informan) sehingga akan terungkap permasalahan yang diteliti melalui pertanyaan

atau sikap, baik itu melalui nada bicara, mimik maupun sorot matanya.

Wawancara mendalam juga dilakukan peneliti kepada informan (mahasiswa) yang

45

sebelumnya telah mengisi kuesioner atau angket. Wawancara tersebut dilakukan

untuk memperoleh informasi yang sebenarnya dari jawaban dalam kuesioner dan

jawaban saat wawancara. Sedangkan wawancara secara informal yaitu dilakukan

secara tidak resmi dilakukan dimanapun oleh siapapun dan dalam keadaan

bagaimanapun. Wawancara dalam penelitian ini juga dilakukan secara terbuka,

artinya informan mengetahui maksud dan tujuan diwawancarai. (Adapun

pedoman wawancara dapat dilihat pada lampiran 03).

Dalam melakukan wawancara terstruktur, peneliti terlebih dahulu menulis

daftar pertanyaan (pedoman wawancara) yang akan ditanyakan kepada informan.

Pedoman wawancara yang ditujukan kepada dosen agak sedikit berbeda dengan

yang ditujukan kepada mahasiswa. Namun demikian ada beberapa pertanyaan

yang sama baik yang ditujukan kepada dosen maupun mahasiswa seperti tentang

pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini. Perbedaan

tersebut disebabkan antara dosen dan mahasiswa memiliki kapasitas yang berbeda

seperti dalam intelektual, kewenangan, dan lain sebagainya. Pedoman wawanvara

ini disusun agar informasi yang diperoleh akurat dan untuk menghindari

kesalahan-kesalahan dimana informasi yang diperoleh kurang setelah menemui

informan. Wawancara dilakukan langsung oleh peneliti dengan mendatangi

informan yang terkait dengan masalah yang sedang diteliti oleh penulis.

Wawancara ini dilakukan dengan tatap muka secara langsung dan secara lisan,

dimana peneliti memberikan pertanyaan secara lisan dan informan memberikan

jawaban secara lisan. Wawancara menggunakan cara tersebut karena dengan

memberikan pertanyaan secara lisan, informan mudah menangkap dan memahami

maksud dari peneliti, wawancara ini dilakukan di lokasi yang berbeda-beda

dengan pertimbangan menyesuaikan dengan jadwal dari informan. Selanjutnya

peneliti menulis dan mengumpulkan informasi yang telah didapatkan. Data yang

sudah terkumpul kemudian dianalisis dan selanjutnya disajikan dalam bentuk

karya ilmiah.

3. Observasi

Observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa

peristiwa, tempat dan lokasi, dan benda serta rekaman gambar. Penelitian ini

46

menggunakan teknik observasi langsung yaitu cara pengumpulan data yang

dilakukan melalui pengamatan dan pencatatan gejala-gejala yang tampak pada

objek penelitian yang dilakukan secara langsung pada tempat terjadinya peristiwa.

Observasi yang dilakukan peneliti adalah dengan melihat secara langsung proses

belajar mengajar pada matakuliah Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) di

beberapa program studi di FKIP UNS dan matakuliah Filsafat Pancasila di

program studi PPKn. Untuk selengkapnya, hasil observasi kelas dapat dilihat pada

lampiran 04 dan foto-foto observasi kelas pada lampiran 05.

4. Analisis Dokumentasi

Selanjutnya untuk memperoleh data secara lengkap dan utuh selain dengan

jalan observasi dan wawancara, peneliti juga menggunakan metode analisis

dokumentasi. Motode ini diawali dengan cara mengumpulkan arsip-arsip dan

dokumen-dokumen yang relevan dengan permasalahan peneliti. Dokumen yang

telah terkumpul tersebut, kemudian dipilah-pilah menjadi beberapa bagian.

Pemilahan ini dilakukan untuk menentukan data mana yang dapat dipakai dan

data mana yang tidak. Jadi, metode dokumentasi merupakan metode yang

digunakan untuk memperoleh data yang berupa bahan tulis. Peneliti memilah

dokumen dalam beberapa bagian yang meliputi:

a. Untuk data yang berupa arsip yang hanya diambil yang berkaitan dengan

peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh pemerintah.

1) UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

2) PP No.19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

3) SK Ditjen Dikti No.43/2006 tentang Rambu-Rambu MPK di Perguruan Tinggi.

(Dapat dilihat pada lampiran 06)

b. Untuk data yang berasal dari responden (mahasiswa) diambil dengan

menggunakan kuesioner atau angket. Data dari angket tersebut digunakan

untuk mengetahui informasi yang berhubungan dengan permasalahan

penelitian yang kemudian diperdalam dengan wawancara secara mendalam.

c. Untuk data yang berupa dokumen yang berisi keterangan dari informan.

Adapun data tersebut adalah hasil wawancara yang dapat dilihat pada

lampiran 07 dan 08.

47

F. Validitas Data

Dalam penelitian kualitatif terdapat beberapa cara yang bisa dipilih untuk

pengambilan validitas (kesahihan) data penelitian. Cara-cara tersebut antara lain

berupa teknik trianggulasi dan informan review.

1. Trianggulasi

Menurut Lexy J. Moleong (1993 : 330) bahwa “Trianggulasi data adalah

teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang diluar data

itu untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data itu”.

Menurut Patton yang dikutip oleh H.B. Sutopo (2002 : 78) trianggulasi

data ada empat macam :

a. Trianggulasi Data, artinya data yang sama atau sejenis akan lebih mantap

kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang berbeda.

b. Triangulasi Metode, jenis triangulasi ini bisa dilakukan oleh seorang peneliti dengan

mengumpulkan data sejenis tetapi dengan menggunakan teknik dan metode yang

berbeda.

c. Trianggulasi Peneliti, yaitu hasil penelitian baik data atau simpulan mengenai bagian

tertentu atau keseluruhannya bisa diuji validitasnya dari beberapa peneliti.

d. Trianggulasi Teori, triangulasi ini dilakukan peneliti dengan menggunakan perspektif

lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang dikaji.

Penelitian ini menggunakan Trianggulasi Data dan Trianggulasi Metode.

Dengan trianggulasi data mengarahkan peneliti agar dalam pengumpulan data

harus menggunakan beragam sumber data yang tersedia. Artinya data yang sama

atau sejenis lebih mantap kebenarannya bila digali dari beberapa sumber yang

berbeda. Jika peneliti memperoleh data dari salah satu informan misalnya dari

mahasiswa mengenai proses belajar mengajar dalam perkuliahan pendidikan

pancasila maka peneliti mencocokkannya dengan data yang diperoleh dari

informan yang lain seperti pada dosen pengampu mata kuliah tersebut dan dengan

melalui catatan-catatan dalam observasi. Sedangkan trianggulasi metode dalam

penelitian ini dilakukan dengan mengumpulkan data sejenis dengan menggunakan

metode wawancara dan penyebaran kuesioner.

48

2. Informan Review

Untuk mengukur keberhasilan data dalam penelitian ini, juga diperlukan

cara informan review, yaitu melaporkan hasil penelitian kepada informan utama

yang menjadi kunci dalam memperoleh informasi. Laporan penelitian selanjutnya

ditinjau dan diteliti untuk mengetahui apakah hasil penelitian tersebut merupakan

suatu yang dapat disetujui atau tidak.

G. Analisis Data

Untuk mendapat data yang objektif dalam pengumpulan data, maka

seorang peneliti harus melakukan proses analisis data. Menurut Lexy J. Moleong

(1993: 103) “Analisis data adalah proses mengorganisasikan data kedalam pola,

kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan dapat

dirumuskan hipotesis kerja seperti disarankan oleh data”.

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif.

Menurut Miles dan Huberman (1992: 19) menyatakan bahwa:

Reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi sebagai sesuatu

yang jalin menjalin pada saat sebelumnya, selama, dan sesudah pengumpulan

data dalam bentuk yang sejajar, untuk membangun wawasan umum yang disebut

analisis.

Menurut pendapat Miles dan Huberman tersebut analisis data terdiri dari tiga alur

kegiatan yang terjadi secara bersamaan yaitu: reduksi data, penyajian data, penarikan

kesimpulan atau verifikasi.

Untuk lebih jelas mengenai analisis data akan peneliti uraikan sebagai berikut:

1. Pengumpulan Data

Dalam proses ini peneliti melakukan kegiatan pengumpulan informasi yang

berupa kalimat-kalimat atau tulisan-tulisan yang dikumpulkan:

a. Dari dosen

Pengumpulan informasi berupa kalimat-kalimat atau tulisan-tulisan yang dikumpulkan

melalui kegiatan wawancara dan analisis dokumen.

b. Dari mahasiswa

49

Pengumpulan informasi didapatkan melalui kuesioner yang kemudian ditelusuri

secara lebih mendalam melalui kegiatan wawancara secara mendalam (indepth-

interview).

2. Reduksi Data

Reduksi data menurut Miles dan Huberman, (1992: 16) diartikan “sebagai

proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstrakan, dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan.”

Jadi reduksi data merupakan suatu bentuk analisis yang menajamkan,

menggolongkan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu dan mengorganisasi

data dengan cara sedemikian rupa hingga kesimpulan-kesimpulan finalnya dapat

ditarik dan diverifikasi.

3. Penyajian Data

Alur penting yang kedua dari kegiatan analisis adalah penyajian data.

Menurut Miles dan Huberman (1992: 17) menganggap penyajian data sebagai

“sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan

kesimpulan dan pengambilan tindakan”. Penyajian-penyajian yang lebih baik

merupakan suatu cara yang utama bagi analisis kualitatif yang valid. Penyajian-

penyajian tersebut meliputi berbagai jenis matriks, grafik, jaringan dan bagan.

Semuanya dirancang guna menggabungkan informasi yang tersusun dalam suatu

bentuk yang padu.

4. Penarikan Kesimpulan dan Verifikasi

Kegiatan analisis ketiga yang penting adalah menarik kesimpulan dan

verifikasi. Penarikan kesimpulan menurut Miles dan Huberman (1992: 19)

“hanyalah sebagian dari satu kegiatan dari konfigurasi yang utuh “. Menurutnya

kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama penelitian berlangsung. Makna-

makna yang muncul dari data harus diuji kebenarannya, kekokohannya, dan

kecocokannya, yakni yang merupakan validitasnya.

Untuk lebih jelasnya dapat digambarkan seperti dibawah ini:

50

Gambar 2. Model Interaktif Menurut Miles dan Huberman

Berdasarkan gambar tersebut tiga jenis kegiatan analisis dan kegiatan

pengumpulan data itu sendiri merupakan proses siklus dan interaktif. Peneliti bergerak di

antara empat sumbu kumparan itu selama pengumpulan data, selanjutnya bergerak bolak-

balik di antara kegiatan reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau

verifikasi selama sisa waktu penelitian.

Dalam pengertian ini, analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut,

berulang dan terus-menerus. Masalah reduksi data, penyajian data, dan penarikan

kesimpulan atau verifikasi menjadi gambaran keberhasilan secara berurutan sebagai

rangkaian kegiatan analisis yang saling susul menyusul. Namun dua hal lainnya itu

senantiasa merupakan bagian dari lapangan. Jadi, tampak jelas bahwa dalam penelitian

kualitatif ini menggunakan proses siklus yang merupakan suatu yang saling menjalin atau

interaktif pada saat, sebelum, selama, dan sesudah penelitian untuk membangun wawasan

yang umum yang disebut analisis.

H. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian merupakan langkah-langkah yang dijelaskan secara rinci

yang akan dilaksanakan dalam penelitian ini dari awal sampai akhir penelitian. Suatu

penelitian agar diperoleh secara efisien, akurat, dan sesuai prosedural maka peneliti

menyusun tahap-tahap penulisan sebagai berikut:

Pengumpulan Data

Reduksi Data

Penyajian Data

Kesimpulan-kesimpulan : Penarikan / Verifikasi

51

1. Tahap Pra Lapangan

Tahap ini dilakukan dengan melakukan kegiatan dari penentuan lokasi penelitian,

meninjau lokasi penelitian, membuat dan mengurus proposal serta mengurus perijinan

guna pelaksanaan penelitian di lapangan.

2. Tahap Pelaksanaan Lapangan

Tahap ini dimulai dengan kegiatan mengumpulkan data-data di lokasi penelitian

dengan wawancara mendalam kepada informan dosen, menyebar kuesioner atau angket

kepada mahasiswa yang kemudian diperdalam datanya dengan wawancara mendalam,

melakukan observasi serta mencatat dokumen-dokumen dan arsip-arsip yang berkaitan

dengan penelitian.

3. Tahap Analisis Data

Analisis data menurut Patton yang dikutip oleh Lexy J. Moleong (1993: 103)

adalah “Analisis data adalah proses mengatur data, mengorganisasikan kedalam suatu

pola kategori dan urutan dasar”. Dalam penelitian ini penulis melakukan kegiatan yang

berupa mengatur, mengelompokkan, memberi kode, dan mengorganisasikan data.

Kemudian data yang terkumpul cukup, maka data tersebut dianalisis untuk mengetahui

permasalahan yang diteliti sehingga dapat ditemukan tema dan dirumuskan dugaan

sementara ataupun adanya temuan studi.

4. Tahap Penulisan Laporan

Setelah tahap penganalisaan data, maka langkah selanjutnya yang akan

diambil yaitu menarik suatu kesimpulan dari permasalahan yang diteliti,

kemudian hasil dari penelitian ini akan ditulis laporan dalam bentuk skripsi.

52

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Gambaran Umum Universitas Sebelas Maret Surakarta

a. Sejarah dan Perkembangan Universitas Sebelas Maret Surakarta

Sejak tahun 1951 pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan,

Pengajaran, dan Kebudayaan telah memikirkan perlunya diselenggarakan lembaga

pendidikan yang menghasilkan guru untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) dan

Sekolah Menengah Pertama (SMP). Ini dibuktikan dengan didirikannya kursus-

kursus B.I di beberapa tempat wilayah tanah air.

Pada tahun 1951 di Surakarta juga didirikan kursus B.I, membina atau

jurusan dengan nama jurusan Tata Negara. Di samping itu pada tahun 1951 atas

prakarsa para guru pendidikan jasmani dan bekerjasama dengan inspkesi

Pendidikan Jasmani Surakarta dibentuklah kursus B.I Pendidikan Jasmani.

Dua lembaga tersebut semakin lama semakin berkembang dan dengan

melalui berbagai macam pengelolaan akhirnya berdirilah IKIP Negeri Surakarta

berdasarkan SK Menteri PTIP No. 5 tahun 1966 tertanggal 22 Januari 1966 dan

Sekolah Tinggi Olahraga Surakarta dengan berdasarkan SK Menteri Olahraga No.

40 tahun 1967 tanggal 1 April 1967.

Berdasarkan SK Presiden RI No. 10 tahun 1976 tanggal 8 Maret 1976

didirikan sebuah Universitas Negeri Surakarta dengan nama Universitas Negeri

Surakarta Sebelas Maret dan disingkat UNS. UNS merupakan penyatuan dari 5

(lima) perguruan tinggi yang ada di Surakarta pada waktu itu yaitu:

1) Istitut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Surakarta,

2) Sekolah Tinggi Olahgara (STO) Negeri Surakarta,

3) Akademi Admnistrasi Niaga (AAN) Negeri Surakarta,

4) Universitas Gabungan Sirakarta (UGS), dan

5) Fakultas Kedokteran Perguruan Tinggi Pembangunan Nasional Veteran (PTPN

Veteran) cabang Surakarta.

53

Pada awal kelahirannya Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret terdiri

atas 9 (Sembilan) Fakultas :

1) Fakultas Ilmu Pendidikan

2) Fakultas Keguruan

3) Fakultas Sastra Budaya

4) Fakultas Sosial Politik

5) Fakultas Hukum

6) Fakultas Ekonomi

7) Fakultas Kedokteran

8) Fakultas Pertanian

9) Fakultas Teknik

b. Lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta

Lambang Universitas Sebelas Maret Surakarta mempunyai arti sebagai

berikut: 1) Lambang berbentuk bunga dengan empat daun, melambangkan bangsa,

maksudnnya Universitas Sebelas Maret mendidik putra putri bangsa yang kelak

akan membawa keharuman tanah air.

2) Tiga daun bunga: atas, samping kanan dan samping kiri, merupakan

pengejewantahan Tri Dharma Perguruan Tinggi.

3) Satu daun bunga di bawah terdiri atas lima satuan melambangkan sila-sila

Pancasila.

4) Garis berbentuk empat daun bunga secara berantai sedemikian rupa

menggambarkan kesatuan seluruh Civitas Akademika dan warga kampus

Universitas Sebelas Maret.

5) Bentuk putik bunga digambarkan sebagai wiku.

6) Tulisan melingkar yang mirip aksara jawa adalah candrasangkala (hitungan tahun

jawa): “Mangethi Luhur Ambangun Negara” melambangkan angka tahun saka

1908 atau tahun Masehi 1976.

2. Gambaran Umum Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta

a. Sejarah dan Perkembangan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)

Universitas Sebelas Maret Surakarta

54

Dengan lahirnya Universitas Negeri Surakarta Maret tersebut IKIP Negeri

Surakarta dan STO Negeri Surakarta ditutup dan selanjutnya menjadi fakultas di

lingkungan Universitas Negeri Surakarta Sebelas Maret (UNS) yang tergabung dalam

Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) dan Fakultas Keguruan.

Berdasarkan SK Presiden No. 55 tahun 1982 Fakultas Ilmu Pendidikan dan

Fakultas Keguruan digabung menjadi satu fakultas dengan nama Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan (FKIP).

Dalam perjalanan Program Studi yang terdapat di FKIP UNS mengalami

beberapa perubahan. Pada tahun Akademik 1997/1998 Program Studi yang ada di

FKIP UNS mengacu pada SK Dirjen Dikti No. 222/Dikti/Kep/1966 tanggal 11 Juli

1996. Berdasarkan SK tersebut Program Studi di lingkungan FKIP UNS sebanyak 16

Program Studi. Pada bulan Desember 2000, berdasarkan SK DIKTI Depdiknas No.

442/DIKTI/KEP/2000 tanggal 20 Desember tentang pembentukan Program Studi S1

Pendidikan Sosiologi Antropologi di UNS, maka mulai Tahun Akademik 2001/2002

secara resmi program Studi Pendidikan Sosiologi-Antropolgi di buka dibawah

jurusan P.IPS FKIP UNS. Sesuai dengan Surat Keputusan Dirjen Dikti nomor

400a/Dikti/Kep/1992 dan nomor 400b/Dikti/Kep/1992 FKIP UNS merupakan salah

satu lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) di Indonesia yang mendapat

tugas menyelenggarakan Program D-2 PGSD baik guru kelas maupun guru

Pendidikan Jasmani. Berdasarkan surat Dirjen Dikti Nomor 4856/D/T/2004 FKIP

UNS diizinkan menyelenggarakan Program Pendidikan Taman Kanak-Kanak baik

jenjang D-2 maupun S-1. Dengan demikian di FKIP sekarang ada 20 program studi,

yaitu:

1) Pendidikan Luar Biasa

2) Pendidikan Bimbingan dan Konseling

3) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

4) Pendidikan Bahasa Inggris

5) Pendidikan Seni Rupa

6) Pendidikan Matematika

7) Pendidikan Fisika

8) Pendidikan Kimia

9) Pendidikan Biologi

10) Pendidikan Sejarah

11) Pendidikan Geografi

55

12) Pendidikan Kewarganegaraan

13) Pendidikan Ekonomi

14) Pendidikan Sosilogi Antropologi

15) Pendidikan Teknik Bangunan

16) Pendidikan Teknik Mesin

17) Pendidikan Jasmani, Kesehatan dan Rekreasi

18) Pendidikan Kepelatihan Olahraga

19) Pendidikan Guru Sekolah Dasar

20) Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak.

b. Visi dan Misi

1) Visi

Sebagai Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret mempunyai visi yang

searah dengan visi Universitas Sebelas Maret yaitu: menjadi LPTK penghasil dan

pengembang tenaga kependidikan berkarakter kuat dan cerdas.

2) Misi

Untuk merealisasikan visi tersebut di atas maka misi Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan adalah:

a) Menyelenggarakan pendidikan, pengajaran dan bimbingan secara efektif

untuk menghasilkan tenaga kependidikan yang unggul, berdaya saing tinggi,

mandiri, dan berkepribadian;

b) Melaksanakan penelitian yang mendukung pelaksanaan pendidikan dan

pengajaran serta mampu menjadi penghasil bagi berbagai kegiatan inovatif

dalam bidang kependidikan;

c) Menyelenggarakan kegiatan kengabdian kepada masyarakat dalam bidang

kependidikan yang bermanfaat bagi masyarakat;

d) Mengembangkan ilmu, teknologi, dan seni yang menunjang pengembangan

bidang kependidikan.

c. Susunan Organisasi FKIP UNS

1) Unsur Pimpinan Fakultas

Fakultas adalah unsur pelaksana akademik yang melaksanakan sebagian

tugas pokok dan fungsi UNS yang berada dibawah rektor. Fakultas mempunyai

tugas mengkoordinasikan dan atau melaksanakan pendidikan akademik dan atau

56

profesional dalam suatu atau seperangkat cabang ilmu pengetahuan, teknologi

dan atau kesenian tertentu.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan merupakan salah satu dari

Sembilan fakultas yang ada, mempunyai fungsi:

a) Melaksanakan dan mengembangkan pendidikan.

b) Melaksanakan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan, teknologi,

dan atau kesenian.

c) Melaksanakan pengabdian masyarakat.

d) Melaksanaan pembinaan civitas akademika.

e) Melaksanakan urusan dan tata usaha fakultas.

Fakultas dipimpin oleh dekan yang bertanggung jawab langsung kepada

rektor. Dekan mempunyai tugas memimpin penyelenggaraan pendidikan,

penelitian pengabdian kepada masyarakat, membina tenaga kependidikan,

mahasiswa, tenaga administrasi dan administrasi fakultas. Dalam melaksanakan

tugas sehari-hari, dekan dibantu oleh tiga orang pembantu dekan yang

bertanggung jawab langsung kepada dekan. Pembantu dekan sebagai pelaksana

tugas sehari-hari dekan, terdiri atas:

a) Pembantu Dekan Bidang Akademik yang selanjutnya disebut Pembantu

Dekan I, mempunyai tugas membantu dekan dalam memimpin pelaksanaan

pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.

b) Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum dan Keuangan yang

selanjutnya disebut Pembantu Dekan II. Pembantu Dekan II mempunyai

tugas membantu Dekan dalam memimpin pelaksanaan kegiatan di bidang

Administrasi Umum dan Keuangan.

c) Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang selanjutnya disebut Pembantu

Dekan III. Pembantu Dekan III mempunyai tugas membantu dekan dalam

memimpin pelaksanaan kegatan dibidang pembinaan serta layanan

kesejahteraan mahasiswa.

2) Senat Fakultas

Senat Fakultas adalah badan normatif dan perwakilan tertinggi di

lingkungan fakultas yang memiliki wewenang untuk menjabarkan kebijakan dan

peraturan universitas. Senat Fakultas IKIP terdiri atas guru besar, pemimpin

fakultas, para Ketua Jurusan dan wakil dosen. Senat fakultas diketuai oleh Dekan

57

didampingi oleh seorang Sekretaris Senat dipilih diantara para anggotanya.

Jabatan Sekretaris Senat setara dengan Pembantu Dekan.

3) Unsur Pelaksana Akademik

a) Jurusan

Jurusan adalah unsur pelaksana akademik pada fakultas di bidang studi

tertentu yang berada dibawah dekan. Jurusan dipmpin oleh seorang ketua

jurusan yang dipilih dari antara tenaga pengajar dan bertanggung jawab

langsung kepada dekan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari, ketua

jurusan dibantu sekretaris jurusan. Jurusan mempunyai tugas melaksanakan

pendidikan akademik, dan atau profesional sebagian atau cabang ilmu

pengetahuan, teknologi atau kesenian tertentu.

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta

memiliki enam jurusan, yaitu:

(1) Jurusan Ilmu Pendidikan (IP)

(2) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS)

(3) Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA)

(4) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS)

(5) Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan (PTK)

(6) Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK)

b) Program Studi

Program studi adalah unsur pelaksana akademik pada jurusan dibidang studi

tertentu yang berada dibawah ketua jurusan. Program studi dipimpin oleh

seorang ketua yang dipilih diantara tenaga dan bertanggung jawab langsung

kepada ketua jurusan. Dalam melaksanakan tugas sehari-hari ketua pogram

studi dibantu oleh seorang sekretaris program. Program studi yang ada pada

masing-masing jurusan di FKIP adalah sebagai berikut:

(1) Jurusan Ilmu Pendidikan (IP), dengan program studi sebagai berikut:

(a) Pendidikan Luar Biasa (PLB)

(b) Bimbingan dan Konseling

(c) Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD)

(d) Pendidikan Guru Taman Kanak-Kanak (PGTK)

(2) Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial (PIPS), dengan program

studi sebagai berikut:

(a) Pendidikan Ekonomi yang terdiri atas:

58

(1)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Tata Niaga

(2)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Akuntansi

(3)) Bidang Keahlian Khusus Pendidikan Administrasi Perkantoran.

(b) Pendidikan Kewarganegaraan

(c) Pendidikan Geografi

(d) Pendidikan Sejarah

(e) Pendidikan Sosiologi Antropologi

(3) Jurusan Pendidikan Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (PMIPA),

dengan program studi sebagai berikut:

(a) Pendidikan Matematika

(b) Pendidikan Fisika

(c) Pendidikan Kimia

(d) Pendidikan Biologi

(4) Jurusan Pendidikan Bahasa dan Seni (PBS), dengan program studi

sebagai berikut:

(a) Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah

(b) Pendidikan Bahasa Inggris

(c) Pendidikan Seni Rupa

(5) Jurusan Pendidikan Teknik dan Kejuruan (PTK), dengan program studi

sebagai berikut:

(a) Pendidikan Teknik Mesin

(b) Pendidikan Teknik Bangunan

(6) Jurusan Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (POK), dengan program

studi sebagai berikut:

(a) Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi

(b) Pendidikan Kepelatihan Olahraga

c) Laboratorium

Laboratorium atau studio merupakan perangka penunjang pelaksanaan

pendidikan pada jurusan pendidikan akademik dan atau profesional.

Laboratorium FKIP UNS tidak mengacu pada jurusan, tetapi pada program

studi. Oleh karena itu, pada setiap program studi mempunyai laboratorium

atau studio yang dipimpin oleh kepala yang bertanggung jawab kepada Ketua

Program Studi.

59

d) Dosen

Dosen adalah tenaga pengajar di lingkungan fakultas yang berada dibawah

dan bertanggung jawab langsung kepada dekan. Dekan terdiri atas dosen

biasa, dosen luar biasa dan dosen tamu. Jenis dan jenjang kepangkatan tenaga

pengajar diatur sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dosen mempunyai tugas utama mengajar, membimbing dan atau melatih

mahasiswa serta melakukan penelitian pengabdian kepada masyarakat.

4) Unsur Penunjang

a) Program Pengalaman Lapangan (PPL)

PPL merupakan salah satu kegiatan intrakulikuler yang dilaksanakan

oleh mahasiswa FKIP, yang mencakup kegiatan mengajar dan latihan

melaksanakan tugas-tugas kependidikan lainnya. PPL dilaksanakan secara

terbimbing dan terpadu untuk memenuhi persyaratan profesi kependidikan.

b) Perpustakaan

Perpustakaan mempunyai fungsi pelayanan bahan pustaka dan

kegiatan-kegiatan lain untuk keperluan pendidikan dan pengajaran, penelitian

serta pengabdian kepada masyarakat, kepada mahasiswa, dosen dan

karyawan di lingkungan FKIP pada khususnya dan UNS pada umumnya.

d. Daftar Nama Pimpinan dan Pejabat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011

Tabel 7. Daftar Nama Pimpinan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011

No Nama Jabatan

1. Dekan Prof. Dr. HM. Furqon Hidayatullah, M.Pd

2. Pembantu Dekan I Dr. rer. nat. Sajidan, M.Si

3. Pembantu Dekan II Drs. Sugiyanto, M.Si., M.Si

4. Pembantu Dekan III Drs. Amir Fuady, M.Hum

(Sumber : Data Sekunder dari Buku Pedoman Akademik Tahun 2008/2009)

60

Tabel 8. Daftar Nama Pejabat Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta Periode 2007-2011

No Nama Jabatan

1. Drs. Syaiful Bachri, M.Pd Ketua Jurusan Pendidikan IPS

Drs. Sunarto, M.M Sekretaris Jurusan Pendidikan IPS

2. Dr. Sri Haryati, M.Pd Ketua Program Studi Pend.

Kewarganegaraan

Drs. Machmud A.R., S.H, M.Si Sekretaris Program Studi Pend.

Kewarganegaraan

3. Drs. Djono, M.Pd Ketua Prog. Studi Pendidikan

Sejarah

Dra. Sri Wahyuni, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pendidikan

Sejarah

4. Drs. Partoso Hadi, M.Si Ketua Prog. Studi Pendidikan

Geografi

Setyo Nugraha, S.Si, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan

Geografi

5. Drs. M.H. Sukarno, M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Sosio-

Antropologi

Drs. N. Muhsin Iskandar, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pend. Sosio-

Antropologi

6. Drs. Sutaryadi, M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Ekonomi

Aniek Hindrayani, S.E, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pend.

Ekonomi

7. Dra. CDS Indrawati, M.Pd Kabid. Keahlian Khusus Pend.

Adm. Perkantoran

Dra. Tri Murwaningsih, M.Si Sekbid. Keahlian Khusus Pend.

Adm. Perkantoran

8. Sudarno, S.Pd, M.Pd Kabid. Keahlian Khusus Pend. Tata

Niaga

Dra. D. Kusumawardani, M.Si Sekbid. Keahlian Khusus Pend. Tata

Niaga

9. Drs. Wahyu Adi, M.Pd Kabid. Keahlian Khusus Pend.

Akuntansi

Drs. Ngadiman, M.Si Sekbid. Keahlian Khusus Pend.

Akuntansi

10. Drs. Suparno, M.Pd Ketua Jurusan Pend. Bahasa dan

Seni

Drs. Mulyanto, M.Pd Sekretaris Jurusan Pend. Bahasa dan

Seni

11. Drs. Martono, M.A Ketua Prog. Studi Pend. Bhs.

Inggris

Teguh Sarosa, S.S, M.Hum Sekretaris Prog. Studi Pend. Bhs.

Inggris

12. Drs. Slamet M., M.Pd Ketua Prog. Studi Pend. Bhs. dan

61

Sastra Indonesia dan Daerah

Dra. Ani Rahmawati, M.A Sekretaris Prog. Studi Pend. Bhs.

dan Sastra Indonesia dan Daerah

13. Drs. Tjahjo Prabowo, M.Sn Ketua Prog. Studi Pend. Seni Rupa

Drs. Margana, M.Sn Sekretaris Prog. Studi Pend. Seni

Rupa

14. Drs. H. Agus Margono, M.Kes Ketua Jurusan Pend. OR dan

Kesehatan

Drs. H. Mulyono, MM Sekretaris Jurusan Pend. OR dan

Kesehatan

15. Drs. Bambang Wijanarko,

M.Kes

Ketua Prog. Studi Pend.

Kepelatihan OR

Drs. H. Agustiyanta, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pend.

Kepelatihan OR

16. Drs. H. Sunardi, M.Kes Ketua Prog. Studi Penjaskesrek

Drs. Agus Mukholid, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Penjaskesrek

17. Drs. Sapto Kunto P. M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGSD Penjas

Drs. Waluyo, M.Or Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD

Penjas

18. Drs. Suwachid, M.Pd, M.T Ketua Jurusan Pendidikan Teknik

dan Kejuruan

Ir. Chundakus Habsya, M.SA Sekretaris Jurusan Pendidikan

Teknik dan Kejuruan

19. Drs. C. Sudibyo, M.T Ketua Prog. Studi Pend. Teknik

Mesin

Drs. Ranto H.S., M.T Sekretaris Prog. Studi Pend. Teknik

Mesin

20. Drs. A.G. Tamrin, M.M, M.Si Ketua Prog. Studi Pend. Teknik

Bangunan

Drs. Agus Efendi, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pend. Teknik

Bangunan

21. Dra. Kus Sri Martini, M.Si Ketua Jurusan Pendidikan MIPA

Drs. Gatut Iswahyudi, M.Si Sekretaris Jurusan Pendidikan

MIPA

22. Dra. Sri Widoretno, M.Si Ketua Prog. Studi Pendidikan

Biologi

Dra. Muzzayinah, M. Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan

Biologi

23. Dra. Rini Budhiharti, M.Pd Ketua Prog. Studi Pendidikan Fisika

Drs. Supurwoko, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan

Fisika

24. Triyanto, S.Si, M.Si Ketua Prog. Studi Pendidikan

Matematika

Sutopo, S.Pd, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Pendidikan

Matematika

62

25. Dra. Hj. Tri Rejeki, M.S Ketua Prog. Studi Pendidikan Kimia

Dra. Bakti Mulyani, M.Si Sekretaris Prog. Studi Pendidikan

Kimia

26. Drs. R. Indianto, M.Pd Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan

Drs. Sukarno, M.Pd Sekretaris Jurusan Ilmu Pendidikan

27. Drs. Abdul Salim Choiri, M.Kes Ketua Prog. Studi Pendidikan

Khusus

Drs. Maryadi, M.Ag Sekretaris Prog. Studi Pendidikan

Khusus

28. Dra. H. Chasiyah Ketua Prog. Studi Bimbingan

Konseling

Dra. Hj. Chodijah HA, M.Pd Sekretaris Prog. Studi Bimbingan

Konseling

29. Drs. Kartono, M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGSD

Drs. Hasan Mahfud, M.Pd Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD

(Kmps. Ska)

Drs. Sarcowi Sekretaris D2 Prog. Studi PGSD

(Kmps.Kebumen)

30. Dra. Siti Wahyuningsih, M.Pd Ketua D2 Prog. Studi PGTK

Dra. Siti Mardiyati, M.Si Sekretaris D2 Prog. Studi PGTK

(Kmps. Ska)

Drs. Suhartono, M.Pd Sekretaris D2 Prog. Studi PGTK

(Kmps. Kebumen)

Drs. Wahyudi, M.Pd Sekretaris Prog. Studi S1 PGSD

(Kmps. Kebumen)

(Sumber : Data Sekunder dari Buku Pedoman Akademik Tahun 2008/2009)

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian

1. Persepsi Dosen dan Mahasiswa terhadap pendidikan pancasila

Pasca SK Ditjen Dikti No.43/2006

a. Persepsi Dosen

Persepsi merupakan proses kognitif seseorang dalam memandang atau

mengartikan sesuatu melalui pengamatan secara global dalam panca inderanya

dengan cara menyeleksi, mengorganisasi dan menginterpretasikannya sehingga dapat

menyimpulkan informasi yang diterima dan menafsirkan pesan serta mempengaruhi

sikap dan perilakunya. Persepsi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi

dosen yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila maupun dosen pengampu

matakuliah PKn terhadap pendidikan tentang pancasila di Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta yang dapat diuraikan sebagai

berikut:

1) Pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi

63

a) Eksistensi pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi saat ini

Pendidikan pancasila yang tidak lagi tercantum sebagai matakuliah wajib

dalam kurikulum UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas maupun dalam SK

Ditjen Dikti No 43 tahun 2006 berkaitan dengan eksistensi pendidikan

tentang pancasila di perguruan tinggi. Mengenai eksistensi tersebut, dosen

yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila maupun dosen pengampu

matakuliah PKn memberikan persepsinya.

Pendidikan tentang pancasila saat ini masih ada, namun tidak

seperti dahulu yang menjadi matakuliah wajib melainkan sekarang

menjadi bagian dalam matakuliah PKn. Hal tersebut dituturkan oleh ID

1 dalam wawancara tanggal 05 Agustus 2009 pada pukul 11.00 WIB di

kantor MKU UNS:

Masih tetap eksis namun saat ini pendidikan pancasila sudah

tidak menjadi matakuliah wajib seperti dulu dan hanya

merupakan bagian dari matakuliah PKn. Secara politis

kaitannya dengan pancasila mulai terpinggirkan, sehingga

pendidikannya juga menjadi kurang diperhatikan.

Wawancara kepada ID 5 tanggal 29 Juni 2010 pada pukul

10.15 WIB di kantor Prodi PPKn menyatakan bahwa “pasca orde baru,

pancasila masih eksis sebagai norma dasar, tetapi dalam

pelaksanaannya sudah mulai ditinggalkan. Apalagi dalam dunia

pendidikan, pendidikan pancasila sudah tidak diberikan secara

mendalam”. Wawancara kepada ID 2 tanggal 07 Oktober 2009 pada

pukul 09.30 WIB di kantor Prodi PPKn bahwa “eksistensi pendidikan

tentang pancasila masih ada, tetapi sekarang sudah tidak lagi menjadi

matakuliah”.

Pendidikan Pancasila sebagai matakuliah yang tidak lagi

tercantum dalam kurikulum UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas

berlaku untuk semua jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar

hingga perguruan tinggi. Hal tersebut menjadikan ID 4 memberikan

persepsinya dalam wawancaranya tanggal 17 September 2009 pukul

08.30 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS bahwa

64

“pendidikan nilai atau pendidikan tentang pancasila kurang begitu

eksis mulai dari tingkat SD sampai perguruan tinggi karena dalam

kurikulumnya sudah tidak ada”. Wawancara kepada ID 3 tanggal 15

September 2009 pada pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi

PGSD FKIP UNS “masih ada, namun hanya menjadi bagian dari

PKn”.

Hal senada juga disampaikan ID 6 dalam wawancara tanggal

21 Juli 2010 pada pukul 13.00 WIB di kantor Program Studi

Pendidikan Sejarah FKIP UNS “pendidikan pancasila masih tetap

eksis, namun hanya sebatas terdapat dalam bagian matakuliah PKn”.

Sedangkan dalam wawancara kepada ID 7 Tanggal 21 Juli 2010 pada

pukul 11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi

Antropologi FKIP UNS bahwa “eksistensi pendidikan pancasila tidak

jelas, mengambang, tidak dinyatakan secara formal dalam kurikulum

dan hanya terdapat dalam PKn”.

Dari persepsi tersebut diatas, maka dapat ditarik kesimpulan

bahwa eksistensi pendidikan tentang pancasila saat ini masih ada,

tetapi tidak seperti dahulu yang berdiri sebagai matakuliah wajib dan

sekarang hanya menjadi sub pokok bahasan dalam matakuliah PKn.

Hal tersebut karena pendidikan pancasila tidak tercantum secara

formal dalam kurikulum di perguruan tinggi.

b) Pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi

Mengingat persepsi terhadap eksistensi pendidikan tentang pancasila

tersebut maka menjadi pertanyaan adalah apakah pendidikan tentang

pancasila diperlukan atau tidak dalam tataran pendidikan tinggi. Berikut

uraian persepsi dosen terhadap hal tersebut.

Pancasila yang merupakan dasar negara Indonesia dan sumber dari

segala sumber hukum dijadikan pertimbangan tersendiri oleh ID 1 dalam

wawancara tanggal 05 Agustus 2009 pada pukul 11.00 WIB di kantor MKU

UNS dengan memberikan persepsi perlunya pendidikan pancasila di

perguruan tinggi.

65

Perlu sebab secara yuridis pancasila adalah sebagai dasar negara dan

merupakan sumber dari segala sumber hukum. Sehingga segala

bentuk peraturan harus sesuai dengan pancasila. Secara filosofis,

pancasila digunakan sebagai pedoman dalam kehidupan

bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Wawancara kepada ID 6 tanggal 21 Juli 2010 pada pukul 13.00

WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP UNS “Perlu, karena

pancasila adalah dasar, pedoman dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,

dan bernegara”.

Pendidikan tinggi sebagai salah satu pencetak generasi penerus

bangsa memiliki peran yang berpengaruh didalam pembentukan kepribadian

mahasiswa adalah merupakan persepsi ID 2 dalam wawancara tanggal 07

Oktober 2009 pada pukul 09.30 WIB di kantor Program Studi PPKn FKIP

UNS :

Ya perlu sebab pendidikan tinggi adalah salah satu pencetak

generasi penerus bangsa sehingga perlu diberikan pendidikan

pancasila agar dalam kehidupannya kelak memiliki kepribadian

yang baik, bertanggungjawab dan mampu memecahkan

permasalahan yang ada dengan bijaksana.

Persepsi senada juga disampaikan ID 3 dalam wawancara tanggal 15

September 2009 pada pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP

UNS yang menyatakan bahwa “pendidikan pancasila diperlukan dalam

pendidikan tinggi, karena biar bagaimanapun generasi muda harus memiliki

pengetahuan dan pemahaman terhadap dasar negaranya”. Selain itu,

wawancara lain yang ditujukan kepada ID 4 tanggal 17 September 2009 pada

pukul 08.30 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS “Ya karena itu

penting kaitannya dengan pembentukan kepribadian bagi mahasiswa”.

Wawancara kepada ID 5 tanggal 29 Juni 2010 pada pukul 10.15 WIB

di Prodi PPKn yang menyatakan bahwa “Perlu, ini berkaitan dengan masa

depan bangsa. Jika pendidikan pancasila sudah tidak diberikan maka apa

jadinya mungkin banyak mahasiswa yang lupa, tidak kenal dengan

pancasila”. Pentingnya mengetahui, memahami dan mengamalkan arti

penting pancasila atau nilai-nilai pancasila dalam kehidupan mahasiswa

66

merupakan point penting yang disampaikan oleh ID 7 tanggal 21 Juli 2010

pada pukul 11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi

Antropologi FKIP UNS :

Perlu sebab mahasiswa perlu mengetahui pancasila dari segi hakikat,

filosofis yang tidak hanya sekedar kognitif saja melainkan harus

diketahui dan disadari arti penting dari sila-sila pancasila tersebut

sehingga setelah dihayati, maka diharapkan dapat mengamalkan

dalam kehidupannya sehari-hari. Pendidikan tinggi harus mengenal

hakikat pancasila sehingga diharapkan mahasiswa dapat

merenungkan apakah pancasila itu baik atau tidak.

Dari berbagai persepsi tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa

pendidikan tentang pancasila diperlukan dalam pendidikan tinggi. Hal

tersebut mengingat bahwa pendidikan tinggi memegang peranan penting

dalam mencetak generasi penerus bangsa yang kelak akan memegang

kepemimpinan. Sehingga pendidikan pancasila diperlukan dalam upaya

mengenalkan kepada mahasiswa hakikat pancasila sebagai dasar negara yang

merupakan sumber dari segala sumber hukum yang diharapkan mampu

memecahkan persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat dan

bernegara.

2) Permasalahan dalam pembelajaran pancasila

Pasca SK Dikti No.43/2006 dalam pembelajaran pendidikan pancasila

mengalami perubahan. Dari segi proses dianggap oleh mahasiswa seperti mata

kuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan), padahal sebetulnya pancasila

berbeda substansinya dengan kewarganegaraan. Materi yang diberikan (tentang

pancasila) menjadi sedikit. Materi-materi tentang historis, yuridis dan filosofis

tidak disampaikan, meskipun disampaikan namun sifatnya hanya gambaran

umum (dasar-dasarnya) dan tidak terperinci.

Dalam segi hasil dapat dikatakan pemahaman tentang pancasila semakin sedikit

karena materinya hanya diberikan maksimal 2 kali pertemuan dalam perkuliahan

PKn sehingga sulit memberikan pemahaman yang optimal. Dalam proses

pembelajaran terdapat komponen dari pemahaman menimbulkan motivasi,

motivasi menimbulkan sikap, dan sikap menimbulkan perilaku. Jika pemahaman

sudah berkurang, motivasinya pun juga berkurang sehingga sikapnya juga jauh

dari pengamalan atau penerapan di dalam praktek keseharian.

67

Di dalam setiap pembelajaran tidak akan terlepas dari adanya permasalahan

dalam pembelajarannya dan tidak terkecuali dalam pembelajaran pancasila di

perguruan tinggi. Dalam mengungkap permasalahan yang ada dalam

pembelajaran pancasila informan memberikan persepsi yang beragam. Berikut

persepsi dosen terhadap permasalahan pembelajaran pancasila di perguruan

tinggi:

Penanaman nilai adalah point yang utama yang ada dalam

permasalahan pembelajaran pendidikan pancasila menurut ID 1 selaku

ketua MKU UNS dalam wawancara tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul

11.30 WIB bahwa:

Permasalahan yang utama dalam pembelajaran pancasila adalah

bagaimana cara agar dapat memberikan penanaman terhadap nilai-nilai

pancasila bagi mahasiswa. Sehingga dalam perkuliahan perlu adanya

pembahasan secara filosofis. Sehingga yang menjadi inti

permasalahannya adalah bagaimana mentransfer pengetahuan pancasila

pada mahasiswa agar tidak dianggap abstrak.

Masalah lain dalam pembelajaran juga dikaitkan dengan motivasi dan

antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan. Dalam beberapa kali peneliti

melakukan observasi kelas pada perkuliahan PKn di beberapa program studi di

FKIP UNS memperlihatkan bahwa antusiasme atau kesadaran diri mahasiswa

untuk aktif dalam kelas masih kurang. Hal tersebut diperlihatkan dengan masih

jarangnnya mahasiswa yang mengemukakan pendapat maupun bertanya. Jika pun

ada yang bertanya maupun mengemukakan pendapat tidak didasari dalam diri

mahasiswa tersebut tetapi dipengaruhi oleh faktor nilai. Pemberian nilai plus

kepada mahasiswa diberikan oleh dosen pengampu agar mahasiswa menjadi aktif

saat perkuliahan. Pemberian nilai plus tersebut disatu sisi memiliki kelebihan

yakni mahasiswa menjadi aktif dalam perkuliahan, namun disisi yang lain juga

menimbulkan kelemahan dimana tidak adanya kesadaran dalam diri yang

memang benar-benar termotivasi dalam diri. Hal tersebut seperti penuturan ID 5

dalam wawancara tanggal 29 Juni 2010 pada pukul 11.00 WIB bahwa:

Mahasiswa cenderung males mengikuti kuliah dan meremehkan kuliah

pancasila. Alasannya, menganggap meteri pancasila tidak mengasyikkan,

selain itu maindset dan persepsi terhadap pancasila di kalangan

mahasiswa sudah negatif dan kurang mendukung. Pancasila dinilai

kurang menyentuh aspek-aspek kehidupan mahasiswa (segi

kebermanfaatan kurang dirasakan mahasiswa).

68

Kesulitan dalam buku referensi atau sumber bacaan masih terbatas di

beberapa program studi seperti di program studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

(PGSD) di Kleco Surakarta. Selain itu, ada faktor sosial ekonomi dalam

pengadaan buku atau sumber referensi untuk mahasiswa. Hal tersebut seperti

yang disampaikan oleh ID 3 dalam wawancara tanggal 15 September 2009 pada

pukul 09.00 WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS “Buku referensi

terbatas karena buku dari MKU yang tidak dikonsumsikan untuk publik. Selain

itu jika mahasiswa diwajibkan untuk membeli buku ya... mahasiswa kasihan juga.

Sayangnya pancasila hanya menjadi sub bagian dalam PKn”.

Wawancara kepada ID 4 tanggal 17 September 2009 pada pukul 08.30

WIB di kantor Program Studi PGSD FKIP UNS:

Khususnya mahasiswa kami PGSD, yaitu terutama masalah buku.

Mahasiswa belum terlengkapi dengan buku-buku tentang pancasila,

terlebih lagi buku wajib sehingga dalam proses pembelajaran, mahasiswa

hanya mengkopi buku-buku dari dosen. Permasalahan sumber buku atau

sumber bacaan juga terkait dengan masalah sosial ekonomi mahasiswa.

Sehingga mahasiswa memperhatikan dan mencatat apa yang disampaikan

di kelas, selain itu jika mahasiswa hanya belajar dari materi power point,

maka menurut saya itu tidak efektif untuk memberikan pemahaman dan

menjadikan pengetahuan mahasiswa hanya sedikit.

Terbatasnya materi dan waktu dalam perkuliahan menimbulkan

permasalahan tersendiri bagi dosen pengampu sehingga konsekuensinya

mahasiswa memiliki pengetahuan dan pemahaman yang tidak optimal terhadap

pancasila. Hal tersebut seperti penuturan ID 6 dalam wawancara tanggal 21 Juli

2010 pada pukul 13.00 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP

UNS permasalahan dalam pembelajaran pancasila adalah “materi yang lebih

sedikit disebabkan waktu yang dialokasikan terbatas”.

Kemudian wawancara kepada ID 2 tanggal 07 Oktober 2009 pada pukul

09.30 WIB di kantor Program Studi PPKn FKIP UNS bahwa ”mahasiswa kurang

memahami materi secara keseluruhan (dari segi kurikulum) karena tidak ada

materi yang diajarkan secara terperinci seperti pancasila yang ditinjau dari aspek

historis dan yuridis”. Wawancara kepada ID 7 tanggal 21 Juli 2010 pada pukul

11.15 WIB di kantor Program Studi Pendidikan Sosiologi Antropologi FKIP

UNS “Permasalahannya menurut saya ya mestinya pancasila diajarkan secara

sendiri, tetapi kenyataannya tidak bisa diajarkan secara mendalam sebab hal

tersebut sudah diatur dalam kurikulum yang ada”.

69

Dari berbagai persepsi dosen yang telah diuraikan diatas, maka dapat

disimpulkan bahwa permasalahan pembelajaran pancasila di FKIP UNS adalah

sebagai berikut:

a) motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan masih rendah;

b) maindset dan persepsi mahasiswa terhadap pancasila negatif dan kurang

mendukung karena pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek

kehidupan mahasiswa, segi kebermanfaatan kurang dirasakan mahasiswa;

c) terbatasnya buku/sumber referensi;

d) materi yang diajarkan tidak diajarkan secara terperinci/mendalam seperti

pancasila yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis dikarenakan

terbatasnya alokasi waktu;

e) pancasila diajarkan secara sendiri, tetapi kenyataannya tidak bisa diajarkan

secara mendalam sebab hal tersebut sudah diatur dalam kurikulum yang ada.

b. Persepsi Mahasiswa

Untuk mengetahui persepsi mahasiswa terhadap pendidikan tentang

pancasila di FKIP UNS langkah awal yang dilakukan peneliti adalah

menggunakan kuesioner atau angket yang digunakan sebagai data awal mengenai

gambaran umum terhadap pendidikan pancasila dan pembelajaran pendidikan

pancasila di perguruan tinggi. Dari gambaran umum yang diperoleh kemudian

ditindaklanjuti dengan wawancara secara mendalam untuk mengetahui dan

mengkroscekkan kebenarannya dengan responden. Adapun kuesioner/angket

dapat dilihat pada lampiran 09.

Dalam penelitian ini, daftar pertanyaan baik yang ada dalam angket

maupun dalam pedoman wawancara yang ditujukan kepada mahasiswa sedikit

berbeda dengan pedoman wawancara yang ditujukan kepada dosen. Hal tersebut

mengingat antara dosen dan mahasiswa memiliki kapasitas yang berbeda dalam

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh peneliti tentang tema yang

diangkat dalam penelitian ini. Selain itu, antara dosen dan mahasiswa memiliki

perbedaan baik dalam segi intelektual, kewenangan, dan lain sebagainya.

Sehingga dalam hal ini, persepsi dosen dan mahasiswa tetap satu rumpun yakni

tentang pendidikan pancasila di perguruan tinggi namun pembahasannya sedikit

berbeda. Namun demikian, terdapat beberapa kesamaan hasil penelitian baik yang

70

bersumber dari mahasiswa maupun dari dosen seperti dalam hal pembelajaran

pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini yang memiliki beberapa

permasalahan.

1) Persepsi terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan tinggi

Persepsi mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan

tinggi yang dimaksud dalam hal adalah persepsi tentang apakah pendidikan

tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi. Tanggapan dari mahasiswapun

beraneka ragam. Berikut persepsi mahasiswa baik yang telah maupun yang

sedang menempuh pendidikan pancasila dalam matakuliah PKn yang

menganggap pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi:

a) Wawancara kepada IM 1 tanggal 13 Oktober 2009 di Loby gedung D FKIP

UNS pada pukul 11.00 WIB menyatakan bahwa “pendidikan pancasila

diperlukan dengan alasan agar warga negara tahu tentang pancasila, sehingga

diharapkan dapat tumbuh sikap nasionalisme atau cinta tanah air”.

b) Wawancara kepada IM 2 tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 16.40 di

rumah “Ya, sebab selain adanya pendidikan tentang agama, pedidikan

tentang pancasila juga dibutuhkan untuk menanamkan nilai-nilai moral pada

mahasiswa”.

c) Wawancara kepada IM 3 tanggal 13 Oktober 2009 pukul 10.00 WIB di Loby

Gedung F FKIP UNS “menurut saya perlu untuk menanamkan moral kepada

mahasiswa”.

d) Wawancara kepada IM 4 tanggal 08 September 2009 pukul 16.00 WIB di kos

“Ya karena dalam pancasila terdapat nilai-nilai yang dapat menjadi

pandangan dan pedoman warga negara”.

e) Wawancara kepada IM 6 tanggal 09 September 2009 pukul 15.10 WIB di kos

“Perlu, jika pedoman diberikan dari awal akan baik untuk memberi arah

sehingga bisa menerapkan dan bahkan mengkroscekkan. Misalnya: budaya

dari barat apakah cocok dengan budaya Indonesia (budaya timur)”.

f) Wawancara kepada IM 7 tanggal 09 September 2009 pukul 13.10 WIB di

Sekretariat BEM FKIP UNS

Perlu, agar mahasiswa tumbuh nasionalismenya. Selain agama, pancasila dapat

digunakan untuk memberikan pengajaran yang baik pada mahasiswa.

Kemudian masyarakat tahu ideologi negaranya sehingga dapat

71

mempersatukan rakyat dan tidak menimbulkan perpecahan. Selain itu paling

tidak dapat menjadi pengingat pelajaran pancasila di SD sampai SMA.

g) Wawancara kepada IM 8 tanggal 18 September 2009 pukul 14.00 di ruang

kuliah PPKn “Perlu untuk mendewasakan manusia. Selain itu pancasila

sebagai pembimbing dan pendidik bangsa”.

h) Wawancara kepada IM 9 mahasiswa Pendidikan Sosiologi Antropologi

tanggal 08 September 2009 pukul 13.30 WIB di depan ruang kepala jurusan

P.IPS FKIP UNS “Perlu, karena masyarakat saat ini sudah lupa tentang

pancasila sehingga pancasila perlu dikenalkan kepada mahasiswa”.

i) Wawancara kepada IM 10 mahasiswi Pendidikan Kimia tanggal 15

September 2009 pukul 10.30 WIB di halaman masjid Nurul Huda UNS

“Perlu untuk mengenali ideologi negara, supaya dapat membedakan mana

yang baik dan mana yang buruk serta mana yang dilarang dan mana yang

diperbolehkan”.

j) Wawancara kepada IM 11 mahasiswi PPKn tanggal 10 September 2009

pukul 13.30 WIB di belakang program studi PPKn “Perlu agar masyarakat

mengetahui akan ideologi negaranya selain itu diharapkan dapat

mengamalkannya”.

k) Wawancara kepada IM 12 mahasiswi PPKn tanggal 10 September 2009

pukul 11.00 WIB di belakang pogram studi PPKn “Perlu karena itu

merupakan salah satu jalan untuk menanamkan pancasila. Selain itu, jalur

pendidikan memiliki nilai yang strategis untuk menanamkan nilai-nilai

pancasila.

l) Wawancara kepada IM 13 mahasiswi Pendidikan Sejarah tanggal 11

September 2009 pukul 10.30 WIB di gedung F FKIP UNS “Perlu, untuk

meningkatkan skill mahasiswa”.

m) Wawancara kepada IM 14 mahasiswi Pendidikan Geografi tanggal 14

Agustus 2009 pukul 11.00 WIB di ruang kuliah prodi geografi “Perlu, tetapi

yang harus dibenahi adalah bagaimana cara agar kuliah pancasila menarik

mahasiswa”.

n) Wawancara kepada IM 15 mahasiswi Pendidikan Bahasa Inggris tanggal 5

September 2009 pukul 16.10 WIB di kos “masih diperlukan, sebab warga

negara Indonesia harus mengenal ideologi negaranya”.

72

o) Wawancara kepada IM 16 mahasiswi Pendidikan Kimia tanggal 5 September

2009 pukul 16.10 WIB di kos “masih perlu, sebab rakyat Indonesia harus

tahu ideologi negaranya”.

p) Wawancara kepada IM 17 mahasiswi PGSD tanggal 10 September 2009

pukul 13.00 WIB di kampus PGSD “Perlu, biar rakyat tahu ideologi

negaranya”.

q) Wawancara kepada IM 18 mahasiswa PGSD tanggal 08 September 2009

pukul 13.30 WIB di kampus PGSD “Perlu, biar tahu dasar-dasar negara,

berbuat sesuai dengan pancasila”.

r) Wawancara kepada IM 21 mahasiswa Pendidikan Kimia tanggal 15 Oktober

2009 pukul 13.30 WIB di Loby gedung D FKIP UNS “Sebenarnya pancasila

diperlukan tetapi tidak harus diberikan secara formal tetapi diberikan disela-

sela mata kuliah lain, dan bisa belajar sendiri”.

Dari persepsi-persepsi tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

pendidikan tentang pancasila diperlukan di perguruan tinggi dengan alasan

sebagai berikut:

(a) karena masyarakat saat ini sudah lupa tentang pancasila sehingga

pancasila perlu dikenalkan kepada mahasiswa;

(b) agar warga negara tahu tentang pancasila, sehingga diharapkan dapat

tumbuh sikap nasionalisme atau cinta tanah air;

(c) untuk menanamkan nilai-nilai moral pada mahasiswa.

Persepsi mahasiswa bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan

di perguruan tinggi sesuai dengan hasil perolehan kuesioner/angket yang

sebelumnya telah disebarkan kepada mahasiswa di FKIP UNS dengan

prosentase sebanyak 92,9 % dari 225 responden mahasiswa. Adapun nama-

nama responden tersebut dapat dilihat pada lampiran 10. Selain itu, ada juga

mahasiswa yang tidak sepakat jika pendidikan pancasila diberikan di

perguruan tinggi. Berikut petikan hasil wawancara:

(a) Wawancara kepada IM 5 mahasiswa Pendidikan Olahraga tanggal 14

Oktober 2009 pukul 09.30 WIB di ruang OSIS SMPN 16 Surakarta

“kurang tahu mbak diperlukan atau tidak karena saya hanya manut dari

prodi, maksudnya saya manut dengan kuliah-kuliah yang saya harus

tempuh, dan tidak begitu tahu maksud dan tujuan adanya kuliah

pancasila”.

73

(b) Wawancara kepada IM 19 mahasiswa Pendidikan Teknik Mesin tanggal

10 September 2009 pukul 15,30 WIB di Loby gedung C FKIP UNS

“Tidak perlu, karena sama saja dengan membongkar kebobrokan

pancasila”.

(c) Wawancara kepada IM 20 mahasiswi PGSD tanggal 8 September 2009

pukul 14.00 WIB di kampus PGSD “Tidak, karena manfaatnya apa?”

Persepsi mahasiswa lain yang menyatakan bahwa pendidikan tentang

pancasila tidak diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi dikarenakan sikap

kontra mahasiswa terhadap pancasila dan kurangnya kebermanfaatan

mempelajari pancasila bagi mahasiswa.

2) Permasalahan-permasalahan dalam pembelajaran pancasila di FKIP UNS

Sebelum membahas tentang permasalahan dalam pembelajaran pancasila

di FKIP UNS telah dilakukan penyebaran angket kepada mahasiswa untuk

mengetahui gambaran umum tentang pembelajaran pendidikan pancasila di

FKIP. Adapun hasil perolehan angket tersebut adalah sebagai berikut:

Tabel 9. Persepsi terhadap Pembelajaran Pancasila

Prosentase Kualifikasi

4, 9 Sangat Kurang

16, 0 Kurang

37, 8 Cukup / Sedang

30, 7 Baik

9, 3 Sangat Baik

1,3 Alpha

(Sumber : Data Sekunder dari Kuesioner/Angket)

Berikut adalah penjelasan atau analisis dari data yang telah berhasil

diperoleh tersebut diatas:

a) Sebanyak 225 angket telah tersebar di seluruh program studi di FKIP UNS.

Hasil angket menunjukkan sebanyak 37,8 % sikap terhadap pembelajaran

pancasila dapat dikatakan cukup atau sedang. Dalam hal ini jumlah

prosentase masih kurang dari setengah jumlah prosentase. Hal ini

menunjukkan bahwa sikap atau tanggapan mahasiswa terhadap pembelajaran

pancasila masih terdapat titik kelemahan yang menurut mereka masih perlu

untuk diperbaiki.

74

b) Sedangkan sejumlah 30,7 % menyatakan bahwa pembelajaran pancasila

adalah baik. Hal ini merupakan pengalaman yang dialami oleh mahasiswa

sendiri setelah menempuh mata kuliah Pendidikan Pancasila (kurikulum

dulu) ataupun Pendidikan Kewarganegaraan (pada kurikulum sekarang).

c) Sebanyak 9,3 % mahasiswa menyatakan bahwa pembelajaran pancasila

masih kurang. Pengertian ini adalah bahwa pembelajaran pancasila dianggap

masih biasa dan kurangnya variasi-variasi metode pembelajaran. Kurangnya

penggunaan variasi metode dalam pembelajaran pancasila diperkuat setelah

dilakukan observasi di beberapa program studi. Dosen cenderung masih

menggunakan metode konvensional meskipun juga telah menggunakan

sarana dan prasarana yang ada seperti LCD. Ceramah masih mendominasi

dalam perkuliahan.

d) Sebanyak 4,9 % menyatakan pembelajaran pancasila adalah sangat kurang.

Menurut pengalaman mereka hal tersebut didasarkan oleh pengalaman

mereka yang kurang baik terhadap pendidikan pancasila.

e) Dan sebanyak 1,3 % responden mahasiswa tidak memberikan pernyataannya.

Setelah diperoleh prosentasi gambaran umum tentang pembelajaran

pancasila, kemudian ditelusuri melalui wawancara secara mendalam kepada

beberapa informan mahasiswa dan diperoleh hasil bahwa permasalahan dalam

pembelajaran pancasila menurut mahasiswa adalah sebagai berikut:

(a) materi tentang pancasila banyak, kurang menarik, tidak jelas, dan realitas di

lapangan tidak nyata, kurangnya pemberian contoh-contoh sikap ataupun

contoh riil yang berkaitan dengan materi;

(b) metode kurang bervariasi, ceramah masih mendominasi;

(c) buku referensi terbatas;

(d) kecakapan dosen dalam mengajar masih kurang;

(e) bentuk evaluasi terkadang dinilai tidak adil;

(f) pembelajaran pancasila cenderung membosankan karena hanya mengulang

materi pada jenjang pendidikan sebelumnya tanpa perubahan atau inovasi-

inovasi yang lebih menarik.

Sesuatu pelajaran yang diulang-ulang dan dari segi kemanfaatannya

dipertanyakan akan mengubah atau mempengaruhi maindset mahasiswa. Jadi

menurut mahasiswa, pelajaran akan mudah ditangkap atau bermakna apabila

“belajar untuk diamalkan”

75

2. Aspirasi Dosen dan Mahasiswa terhadap Pendidikan tentang Pancasila

a. Aspirasi Dosen

Aspirasi merupakan keinginan atau harapan akan sesuatu yang lebih baik pada

masa yang akan datang. Aspirasi terhadap pendidikan tentang pancasila merupakan

keinginan atau harapan terhadap eksistensi pendidikan pancasila maupun juga

terhadap pembelajarannya di perguruan tinggi agar kedepan lebih baik dari

sebelumnya. Aspirasi dosen yang pernah mengampu matakuliah ilmu pancasila

maupun dosen pengampu matakuliah PKn di FKIP UNS adalah sebagai berikut:

1) Pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan mata kuliah yang berdiri sendiri

Terkait dengan persepsi sebelumnya bahwa pendidikan tentang

pancasila diperlukan dalam tataran pendidikan tinggi, maka informan

memberikan aspirasi bahwa pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan

matakuliah yang berdiri sendiri. Pendidikan tentang pancasila perlu

dijadikan matakuliah yang berdiri sendiri dengan alasan sebagai berikut:

a) pancasila memiliki kajian yang luas baik secara filosofis, yuridis, maupun

sosiologis, sehingga perlu kajian mendalam;

b) perlu berdiri sendiri agar sejarah perjuangan bangsa terkait dengan dasar

negara tidak hilang dan karena pancasila merupakan dasar falsafah negara

yang perlu disosialisasikan;

c) lebih efektif untuk memberikan pengetahuan dan pemahaman terhadap nilai-

nilai pancasila kepada mahasiswa;

Adapun aspirasi tersebut dapat dilihat pada petikan hasil

wawancara pada lampiran 7.

2) Pembelajaran pancasila

Aspirasi dosen terkait dengan upaya mengatasi permasalahan-

permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi yakni lebih

menitikberatkan pada usaha menanamkan nilai-nilai pancasila kepada

mahasiswa. Adapun aspirasi terhadap pembelajaran pancasila di perguruan tinggi

adalah sebagai berikut:

a) Perlunya inovasi dalam metode pembelajaran untuk meningkatkan motivasi

dan antusiasme serta kesadaran mahasiswa terhadap nilai-nilai pancasila,

seperti memberikan tugas-tugas baik individu maupun kelompok. Selain

76

ceramah bervariasi juga diberikan diskusi interaktif yang problem solving

yang sesuai dengan kompetensi. Sosio drama, contoh-contoh konkrit juga

diperlukan untuk memberikan gambaran yang nyata terhadap materi atau

kompetensi yang disampaikan sehingga bukan hanya teks book tapi juga

mengerti akan contoh-contohnya sehingga tidak dianggap lagi sebagai kuliah

yang materinya abstrak atau sulit dipahami mahasiswa.

b) membangun pemahaman dan sinergi baik dari mahasiswa dan dosen untuk

membangun maindset terhadap pendidikan pancasila;

c) penambahan buku referensi dan pengoptimalan sarana dan prasarana yang

ada seperti LCD.

d) Upaya-upaya tersebut harus diiringi dengan adanya rekomendasi terhadap

sistem pendidikan nasional, khususnya dalam kurikulum agar dapat

menumbuhkan jiwa pancasila kepada peserta didik (mahasiswa) yakni

pendidikan pancasila kembali lagi menjadi mata kuliah yang berdiri sendiri.

b. Aspirasi Mahasiswa

Aspirasi mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan

tinggi sangat beragam. Berikut beberapa aspirasi yang berhasil dihimpun.

1) Pendidikan tentang pancasila perlu dijadikan sebagai matakuliah yang berdiri

sendiri, dengan alasan sebagai berikut:

a) pancasila merupakan dasar negara Indonesia, maka warganegara harus

mengetahui dasar negaranya, salah satu caranya yakni dengan melalui

pendidikan;

b) dilihat dari segi materi lebih mendalam, dan dari segi waktu juga lebih

banyak sehingga kesempatan untuk memahami akan lebih baik sehingga

diharapkan dapat diimplemetasikan;

c) perlu diperhatikan adalah bagaimana cara untuk membangkitkan minat

belajar mahasiswa, dan bagaimana membuat pancasila menarik untuk dilirik

mahasiswa.

2) Aspirasi dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pancasila di

perguruan tinggi, diantaranya:

a) adanya variasi metode

Variasi metode mendapat perhatian utama dari mahasiswa

dalam aspirasinya. Hal tersebut seperti penuturan mahasiswi Program

77

Studi Pendidikan Biologi dalam wawancara tanggal 13 Oktober 2009

pada pukul 11.40 WIB.

Metode yang digunakan hendaknya lebih bervariasi. Misalkan

melihat film atau cuplikan berita-berita di televisi atau mass

media yang lain agar mahasiswa lebih mudah menangkap

materi dan lebih dapat menghubungkan antara materi dan

kenyataan karena sekarang bukan jamannya lagi penjelasan

materi tetapi harus memiliki sikap kritis dan aktif sebagai

mahasiswa.

Kemudian penuturan lain berdasarkan wawancara kepada

mahasiswi program studi Bimbingan dan Konseling (BK) tanggal 13

Oktober 2009 pada pukul 17.30 WIB yakni: “Harus ada variasi

metode, seperti ada sosio drama, terjun ke lapangan seperti melihat

kehidupan sehari-hari dalam hal kebijakan dari pemerintah apakah

sudah mewujudkan sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat

Indonesia atau belum”.

Metode dengan variasinya yakni terjun ke lapangan atau

masyarakat juga diutarakan, seperti penuturan dalam wawancara

kepada mahasiswa program studi Pendidikan Teknik Mesin (PTM)

tanggal 09 September 2009 pukul 14.00 WIB di Sekretariat BEM

FKIP UNS bahwa:

Harusnya perkuliahan yang berbau IPS seperti juga dengan

kuliah pancasila harus berbeda dengan pembelajaran sewaktu

duduk dibangku sekolah dasar hingga sekolah menengah atas.

Setidaknya harus ada aplikasi yang jelas. Misalkan kita

diberikan contoh-contoh yang berhubungan dengan materi atau

bahkan kita disuruh untuk terjun langsung ke lapangan untuk

menganalisis masalah yang ada dan memecahkan masalah

tersebut. Misal; ada banyak pengemis di lingkungan UNS, kita

disuruh untuk mengamati mereka, mencari tahu sebab–sebab

mereka seperti itu dan bagaimana pemecahan masalah agar

tidak banyak pengemis di UNS. Sehingga dalam pembelajaran

pancasila teori tidak mendominasi. Menurut saya 30% untuk

teori, 60% untuk aplikasi, dan 10% untuk evaluasi.

Mengangkat isu-isu terkini dan sesekali diselingi dengan

lelucon atau guyonan patut untuk diperhatikan, seperti penuturan

78

dalam wawancara kepada mahasiswi program studi Pendidikan Kimia

tanggal 15 September 2009 pukul 11. 30 WIB bahwa: “Metodenya

harus lebih bervariasi, misalkan melalui diskusi dengan

mempresentasikannya di depan kelas dengan menggangkat isu-isu

terkini yang tentu saja dihubungkan dengan materi yang ada. Selain

itu, agar tidak bosan sesekali diselingi lelucon atau humor.

Pada dasarnya aspirasi yang menyangkut penggunaan variasi

metode yang diharapkan oleh mahasiswa FKIP UNS dapat diringkas

sebagai berikut:

a) variasi metode dibuat semenarik mungkin seperti: sosio drama, terjun

langsung ke lapangan, pemberian tugas makalah dengan mengangkat isu-

isu terkini, dan lain sebagainya;

b) metode ceramah tidak mendominasi.

b) Meningkatkan kemenarikan tentang materi

Materi pancasila yang dinilai abstrak menjadi tantangan dalam

pembelajaran pendidikan pancasila di perguruan tinggi selama ini.

Untuk itu, materi yang abstrak tersebut perlu diaktualisasikan dengan

membuat semenarik mungkin agar dapat diminati oleh mahasiswa.

Seperti pemberian handout sebelum perkuliahan berlangsung. Hal

tersebut seperti penuturan mahasiswi program studi PGSD dalam

wawancara tanggal 08 September 2009 pukul 14.00 WIB bahwa:

“Harus ada handout yang diberikan sebelum perkuliahan”.

Kemudian harus ada variasi dalam penyusunan handout seperti

yang diutarakan oleh mahasiswi program studi PPKn dalam

wawancara tanggal 08 September 2009 pukul 17.00 WIB yakni:

“Materi dibuat seperti handout yang diberi ruang khusus untuk

mencatat hal-hal yang belum ada di handout seperti mata kuliah

hukum acara pidana yang disampaikan oleh dosen tamu Ibu Sarmaida

Aritonang dari Brawijaya”.

Materi pancasila yang dipandang oleh mahasiswa hanya

hafalan perlu diperbaharui oleh dosen dalam hal penyampaiannya. Hal

79

tersebut seperti gagasan oleh mahasiswi program studi Pendidikan

Geografi dalam wawancara tanggal 14 Agustus 2009 di ruang kuliah

Prodi Pendidikan Geografi.

Hal yang harus direvisi atau diperbaharui tentang pendidikan

pancasila adalah pemahaman yang harus diutamakan dan bukan

hafalan, dalam artian apa sih esensi dari pancasila yang perlu

dikembangkan. Karena kita bukan butuh lagi hafalan dan lebih baik

ketika kita bisa mengerti, memahami maknanya sebab hafalan

merupakan tingkat kognitif yang paling rendah.

Selain itu, perlunya pengoptimalan sarana dan prasarana yang

ada, misalnya memanfaatkan LCD dengan media audio visual seperti

melihat film atau cuplikan berita-berita di televisi atau mass media

yang terkait dengan perkuliahan pancasila agar mahasiswa lebih

mudah menangkap materi dan tidak lagi merasa abstrak terhadap

materi yang disampaikan.

c) Peningkatan kecakapan dosen dan hubungan antara dosen dengan mahasiswa

Kecakapan dosen dalam mengajar merupakan hal yang penting

sebab mahasiswa cenderung memiliki semangat atau antusiasme saat

mengikuti kuliah jika dosen pengampu memiliki kecakapan menarik

dalam gaya mengajarnya. Hal tersebut sebagaimana yang disampaikan

oleh mahasiswi program studi Pendidikan Geografi dalam wawancara

tanggal 14 Agustus 2009 di ruang kuliah Prodi Pendidikan Geografi.

Kecakapan dosen dalam mengajar juga perlu ditingkatkan. Sebab

sesuatu yang tidak penting atau menarik menjadi menarik karena

yang menyampaikan sangat menyenangkan, sedangkan sesuatu yag

penting, menarik dan harus disampaikan tetapi hanya karena

ketidakcakapan si penyampai atau pengajar itu menjadi tidak

tersampaikan.

Sedangkan peningkatan hubungan diantara dosen dan

mahasiswa dirasakan akan membawa dampak yang positif terhadap

motivasi mahasiswa dalam perkuliahan. Hal tersebut seperti penuturan

oleh mahasiswi program studi Pendidikan Kimia tanggal 15 September

2009 pukul 11. 30 WIB: “Hendaknya dosen lebih mengenal terhadap

mahasiswanya (anak didiknya) karena pada dasarnya mahasiswa suka

dikenal namanya oleh dosen (ada faktor perhatian)”.

80

Kemudian dalam hal penguasaan kelas tidak lagi terpusat

kepada teacher centered learning tetapi student centered learning.

Kemudian agar dosen lebih menciptakan suasana kelas yang semangat,

seperti harapan mahasiswi program studi Pendidikan Biologi dalam

wawancara tanggal tanggal 13 Oktober 2009 pada pukul 11.40 WIB

bahwa: “Dosen harus lebih menciptakan suasana yang semangat

karena banyak orang yang sudah mengangap kuliah pancasila adalah

membosankan karena merupakan pengulangan dari sebelum-

sebelumnya”.

Pemberian maindset dalam awal perkuliahan juga dirasa

penting, seperti yang disampaikan oleh mahasiswi program studi PPKn

dalam wawancara tanggal 10 September 2009 pukul 12.00 WIB yakni:

“Dosen harus memberikan maindset motivasi kepada mahasiswa

kenapa mempelajari mata kuliah itu, manfaatnya apa, sehingga

orientasinya bukan nilai yang utama tetapi ilmu”.

d) Perlu adanya evaluasi baik dari keaktifan kelas, keaktifan dalam tugas, dan

keaktifan presensi;

Kita yang terkadang aktif dikelas, tetapi nilainya sama dengan orang

atau mahasiswa yang tidak aktif, sehingga perlu evaluasi baik dari

keaktifan belajar di kelas, keaktifan dalam tugas, keterlibatan dalam

presensi, dll sehingga ada penghargaan terhadap apa yang mahasiswa

lakukan sehingga ada hubungan timbal balik. (Wawancara kepada

IM 14 mahasiswa Pendidikan Geografi tanggal 14 Agustus 2009

11.50 WIB di ruang kuliah prodi geografi)

e) Untuk mengatasi pembelajaran yang membosankan selain dengan upaya-

upaya diatas juga yang utama adalah membangun kebermaknaan “belajar

untuk diamalkan”. Hal tersebut seperti penuturan kepada IM 14 mahasiswa

Pendidikan Geografi tanggal 14 Agustus 2009 12.00 WIB di ruang kuliah

Prodi Pendidikan Geografi:

Pelajaran akan lebih bisa masuk ketika belajar untuk diamalkan. Itu

sudah ditemukan dalam pelajaran bahasa Indonesia (apalagi saat

akan menyusun skripsi dan agama. Filosofis dari bahasa Indonesia

dan agama sudah bisa kita amalkan. Tetapi kalau PKn ataupun

pancasila terkadang terlalu di awan, terlalu melangit sehingga sulit

untuk diamalkan. Jadi dapat dikatakan bahwa pelajaran akan mudah

ditangkap atau bermakna apabila “belajar untuk diamalkan”. Saat ini

81

banyak mahasiswa yang tidak peduli lagi dengan pancasila dan

agama.

C. Temuan Studi

Dari hasil data penelitian yang dilakukan, dapat dikemukakan temuan studi yang

berhubungan dengan kajian teori untuk menjawab dua perumusan masalah dalam

penelitian, yaitu:

1. Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS

dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 10. Perbandingan Persepsi antara Dosen dan Mahasiswa

N

o

Tentang Persepsi Dosen Persepsi Mahasiswa

1. Pendidikan

pancasila di

perguruan

tinggi

Pendidikan pancasila diperlukan dalam

pendidikan tinggi dengan pertimbangan

sebagai berikut: pendidikan tinggi

memegang peranan penting dalam mencetak

generasi penerus bangsa yang kelak akan

memegang kepemimpinan. Sehingga

pendidikan pancasila diperlukan dalam

upaya mengenalkan kepada mahasiswa

hakikat pancasila sebagai dasar negara yang

merupakan sumber dari segala sumber

hukum yang diharapkan mampu

memecahkan persoalan-persoalan dalam

kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

Pendidika pancasila diperlukan di

perguruan tinggi dengan alasan

sebagai berikut:

a. mahasiswa saat ini sudah lupa

tentang pancasila, sehingga

pancasila perlu dikenalkan

kepada mahasiswa dan

diharapkan dapat tumbuh sikap

nasionalisme atau cinta tanah

air;

b. untuk menanamkan nilai-nilai

moral kepada mahasiswa.

2. Pembelajara

n

pendidikan

pancasila

Terdapat permasalahan dalam pembelajaran

pendidikan pancasila pasca SK Ditjen Dikti

yakni:

a. motivasi dan antusiasme mahasiswa

dalam perkuliahan masih rendah;

b. maindset dan persepsi mahasiswa

terhadap pancasila negatif dan kurang

mendukung karena pancasila dinilai

kurang menyentuh aspek-aspek

kehidupan mahasiswa (segi

kebermanfaatan kurang dirasakan

mahasiswa);

c. terbatasnya buku/sumber referensi;

Terdapat permasalahan dalam

pembelajaran pendidikan

pancasila pasca SK Ditjen Dikti

yakni:

a. materi banyak, kurang menarik,

sehingga antusiasme rendah;

b. metode kurang bervariasi;

c. buku referensi terbatas;

d. kecakapan dosen dalam

mengajar kurang;

e. bentuk evaluasi terkadang

dinilai tidak adil;

f. dan pembelajaran yang

82

materi yang diajarkan tidak diajarkan secara

terperinci seperti pancasila yang ditinjau

dari aspek historis dan yuridis dikarenakan

waktu yang dialokasikan terbatas.

membosankan.

Persepsi tersebut sesuai dengan pendapat dari Jalaluddin Rakhmat (1994:

51) bahwa “persepsi merupakan pengalaman tentang objek, peristiwa, atau

hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan

menafsirkan pesan”. Dosen dalam memberikan persepsi tidak terlepas dari

pengalaman-pengalaman yang dimiliki dimasa lampau baik tentang objek maupun

peristiwa.

Persepsi dosen yang satu dengan dosen yang lain berbeda-beda. Hal

tersebut menurut Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan

Kartajaya, (1996: ii) “merupakan hal yang wajar karena apa yang diketahui

seseorang mencerminkan apa yang dipelajarinya dimasa lalu, keadaan pikirannya

saat ini, serta apa yang sebenarnya ada pada kenyataan di luar dirinya”. Kedua

teori tersebut telah dipaparkan dalam Bab II tentang landasan teori pada halaman

9.

Persepsi seseorang tentang kemenarikan dan kemanfaatan matakuliah

pancasila berkaitan dengan pendapat dari Fleming dan Levie yang dikutip oleh

Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 134) bahwa “…Persepsi tergantung pada

pilihan, minat, kegunaan, kesesuaian bagi seseorang”. Teori tersebut telah

disebutkan dalam Landasan Teori di Bab II (tentang prinsip dasar persepsi) di

halaman 13.

2. Aspirasi Dosen dan Mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS

dapat digambarkan dalam tabel dibawah ini:

Tabel 11. Perbandingan Aspirasi antara Dosen dan Mahasiswa

No Tentang Aspirasi Dosen Aspirasi Mahasiswa

83

1. Pendidikan

pancasila di

perguruan

tinggi

Pendidikan pancasila perlu dijadikan

matakuliah yang berdiri sendiri dengan

pertimbangan sebagai berikut:

a. pancasila memiliki kajian yang luas

baik secara filosofis, yuridis, maupun

sosiologis, sehingga perlu kajian yang

mendalam;

b. pancasila merupakan dasar falsafah

negara.

c. lebih efektif untuk memberikan

pengetahuan dan pemahaman terhadap

nilai-nilai pancasila kepada

mahasiswa;

Pendidikan pancasila perlu dijadikan

sebagai matakuliah yang berdiri

sendiri, dengan alasan sebagai berikut:

a. pancasila merupakan dasar negara

Indonesia, maka warganegara harus

mengetahui dasar negaranya, salah

satu caranya yakni dengan melalui

pendidikan;

b. dilihat dari sudut materi akan lebih

mendalam dan luas, dan dilihat dari

segi waktu juga lebih banyak.

2. Pembelajaran

pendidikan

pancasila

Upaya dalam mengatasi permasalahan

dalam pembelajaran pendidikan

pancasila di perguruan tinggi,

diantaranya:

a. meningkatkan inovasi metode

pembelajaran untuk meningkatkan

motivasi belajar dan kesadaran

mahasiswa terhadap nilai-nilai

pancasila;

b. membangun pemahaman dan sinergi

baik dari mahasiswa dan dosen untuk

membangun maindset terhadap

pendidikan pancasila;

c. perlu adanya penambahan buku

referensi;

d. pendidikan pancasila perlu dijadikan

matakuliah tersendiri agar materi yang

diajarkan lebih mendalam.

Upaya dalam mengatasi permasalahan

dalam pembelajaran pendidikan

pancasila di perguruan tinggi,

diantaranya:

a. untuk meningkatkan motivasi dan

antusiasme mahasiswa, maka perlu

adanya variasi metode pembelajaran;

b. meningkatkan kemenarikan materi

dan keterbatasan referensi dengan

pemberian panduan belajar yang

lebih menarik yang efektif dan

efisien;

c. meningkatkan kecakapan dosen dan

hubungan antara dosen dengan

mahasiswa;

d. perlu adanya evaluasi baik dari

keaktifan kelas, keaktifan dalam

tugas, dan keaktifan presensi;

e. untuk mengatasi pembelajaran yang

membosankan selain dengan upaya-

upaya diatas juga yang utama adalah

membangun kebermaknaan “belajar

untuk diamalkan”.

Penjelasan mengenai aspirasi yang berkaitan dengan harapan yang

berbuhungan dengan persepsi tersebut seperti pendapat dari Fleming dan Levie

yang dikutip oleh Dewi Salma dan Eveline Siregar (2004: 134) bahwa “Persepsi

84

seseorang dipengaruhi oleh harapan atau keinginan sehingga dalam pengertian ini

menunjukkan bahwa persepsi sebenarnya bersifat subjektif”. Teori tersebut telah

disebutkan dalam Landasan Teori di Bab II halaman 13.

85

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dilaksanakan dengan melalui

berbagai tahap analisis data, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Persepsi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS

a. Persepsi Dosen

1) Eksistensi pendidikan tentang pancasila di FKIP UNS

Eksistensi pendidikan tentang pancasila sebagai substansi nilai masih

ada, sedangkan eksistensi Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah di

perguruan tinggi saat ini sudah hilang. Hal tersebut mengingat berdasar pada

SK Ditjen Dikti No 43 tahun 2006 dalam kurikulumnya sudah tidak lagi

mencantumkan Pendidikan Pancasila sebagai Matakuliah wajib. Di FKIP

UNS sendiri telah mengikuti aturan tersebut dengan tidak memberikan

Matakuliah Pendidikan Pancasila dalam bentuk Matakuliah wajib yang

berdiri sendiri, namun hanya memberikannya sebatas pada sub pokok

bahasan dalam matakuliah PKn (Pendidikan Kewarganegaraan). Selain itu,

dosen memberikan persepsi bahwa pendidikan tentang pancasila diperlukan

dalam perguruan tinggi.

2) Permasalahan dalam pembelajaran pancasila di perguruan tinggi, yakni;

a) motivasi dan antusiasme mahasiswa dalam perkuliahan masih rendah;

b) maindset dan persepsi mahasiswa terhadap pancasila negatif dan kurang

mendukung karena pancasila dinilai kurang menyentuh aspek-aspek

kehidupan mahasiswa (segi kebermanfaatan kurang dirasakan

mahasiswa);

c) terbatasnya buku/sumber referensi;

d) materi yang diajarkan tidak diajarkan secara terperinci seperti pancasila

yang ditinjau dari aspek historis dan yuridis dikarenakan waktu yang

dialokasikan terbatas.

b. Persepsi Mahasiswa

1) Mahasiswa memberikan persepsi bahwa pendidikan tentang pancasila

diperlukan dengan alasan sebagai berikut:

86

a) mahasiswa saat ini sudah lupa tentang pancasila, sehingga pancasila

perlu dikenalkan kepada mahasiswa dan diharapkan dapat tumbuh sikap

nasionalisme atau cinta tanah air;

b) untuk menanamkan nilai-nilai moral kepada mahasiswa.

2) Pembelajaran pancasila

Persepsi mahasiswa terhadap pembelajaran tentang pancasila dapat

dikatakan cukup atau sedang dengan prosentase sebanyak 37,8 %. Hal ini

menunjukkan bahwa sikap atau pandangan mahasiswa terhadap pembelajaran

pendidikan tentang pancasila masih dinilai memiliki kelemahan yang perlu

untuk diperbaiki. Terdapat permasalahan dalam pembelajaran pendidikan

pancasila pasca SK Ditjen Dikti yakni:

a) materi banyak, kurang menarik, sehingga antusiasme rendah;

b) metode kurang bervariasi;

c) buku referensi terbatas;

d) kecakapan dosen dalam mengajar kurang;

e) bentuk evaluasi terkadang dinilai tidak adil;

f) dan pembelajaran yang membosankan.

2. Aspirasi dosen dan mahasiswa terhadap pendidikan tentang pancasila di perguruan

tinggi

a. Aspirasi Dosen

1) Mengingat perlunya pendidikan tentang pancasila dalam tataran pendidikan

tinggi, maka dalam kurikulum di perguruan tinggi pendidikan pancasila

dijadikan sebagai matakuliah wajib yang berdiri sendiri seperti dalam

kurikulum lama namun dengan inovasi-inovasi yang relevan.

2) Upaya-upaya yang dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan dalam

pembelajaran pancasila di perguruan tinggi diantaranya:

a) meningkatkan inovasi metode pembelajaran untuk meningkatkan

motivasi belajar dan kesadaran mahasiswa terhadap nilai-nilai pancasila;

b) membangun pemahaman dan sinergi baik dari mahasiswa dan dosen

untuk membangun maindset terhadap pendidikan pancasila;

c) perlu adanya penambahan buku referensi;

d) pendidikan pancasila perlu dijadikan matakuliah tersendiri agar materi

yang diajarkan lebih mendalam.

87

b. Aspirasi Mahasiswa

1) Pendidikan tentang pancasila yang saat ini sebagai substansi nilai perlu

dijadikan sebagai matakuliah yang berdiri sendiri.

2) Upaya dalam mengatasi permasalahan dalam pembelajaran pancasila di

perguruan tinggi, diantaranya:

a) untuk meningkatkan motivasi dan antusiasme mahasiswa, maka perlu

adanya variasi metode pembelajaran;

b) meningkatkan kemenarikan materi dan keterbatasan referensi dengan

pemberian panduan belajar yang lebih menarik yang efektif dan efisien;

c) meningkatkan kecakapan dosen dan hubungan antara dosen dengan

mahasiswa;

d) perlu adanya evaluasi baik dari keaktifan kelas, keaktifan dalam tugas,

dan keaktifan presensi;

e) untuk mengatasi pembelajaran yang membosankan selain dengan upaya-

upaya diatas juga yang utama adalah membangun kebermaknaan “belajar

untuk diamalkan”.

B. IMPLIKASI

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka dalam penelitian mengenai “Persepsi

dan Aspirasi terhadap Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi” (Studi pada Dosen dan

Mahasiswa di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta) ini, maka implikasi dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Karena adanya kebijakan SK Ditjen Dikti No.43/2006 yang tidak lagi mewajibkan

pendidikan pancasila sebagai mata kuliah wajib yang berdiri sendiri, maka

menimbulkan persepsi yang beragam dari dosen sebagai pelaksana teknis dan juga

dari mahasiswa yang merupakan subjek dari kebijakan tersebut. Karena baik dosen

dan mahasiswa telah memberikan persepsi yang beragam terhadap pendidikan

pancasila, maka persepsi tersebut dapat digunakan sebagai sebuah refleksi sehingga

dapat memotivasi untuk melakukan perubahan agar pendidikan pancasila di

perguruan tinggi dikemudian hari menjadi lebih baik.

2. Karena terdapat beberapa aspirasi yang disampaikan baik oleh dosen dan juga

mahasiswa, maka aspirasi tersebut dapat dijadikan sebagai bahan masukan agar

pendidikan pancasila ke depan lebih baik dan maju terlebih dalam hal

pembelajarannya di perguruan tinggi.

88

C. SARAN

Berdasarkan kesimpulan serta implikasi yang telah dikemukakan dari hasil

penelitian ini dapat disampaikan beberapa saran sebagai berikut:

1. Untuk menanggapi berbagai persepsi baik dari dosen maupun dari mahasiswa,

hendaknya instansi yang dalam hal ini seperti MKU UNS menanggapi persepsi

tersebut dengan melakukan upaya melalui suatu forum diskusi bersama yang

melibatkan baik dosen dan mahasiswa agar dapat ditemukan sebuah konsep

pembelajaran pendidikan pancasila yang menyenangkan dan bermanfaat terutama

bagi mahasiswa.

2. Aspirasi merupakan sebuah harapan terhadap sesuatu yang dianggap kurang atau

memiliki kelemahan atau permasalahan. Untuk menyikapi aspirasi yang telah

dijelaskan sebelumnya, maka perlu ada tindaklanjut terutama dari dosen pendidikan

pancasila untuk lebih meningkatkan kecakapan dalam mengajar, serta meningkatkan

inovasi dalam metode mengajar.

89

DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahmat Fathoni. 2006. Metodologi Penelitian dan Teknik Penyusunan Skripsi. Jakarta: PT.

Rineka Cipta.

Ari Satriyo Wibowo, Ventura Elisawati, dan Hermawan Kartajaya. 1996. Bermain dengan

Persepsi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

As’Said Ali. 2009. Negara Pancasila: Jalan Kemaslahatan Berbangsa. Jakarta: Pustaka LP3ES

Indonesia.

B. Sukarno. 2005. Pancasila dalam Tinjauan Historis, Yuridis, dan Filosofis (Kumpulan

Rangkuman Berbagai Karya Tulis tentang Pendidikan Pancasila sebagai Bahan Ajar di

Perguruan Tinggi). Surakarta: Sebelas Maret University Press.

Bogdan, Robert & Taylor, J. Steven. 1993. Kualitatif (Dasar-Dasar Penelitian). Terjemahan A.

Khozin Afandi. Surabaya: Usana Offset Printing.

Cholid Narbuko dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara.

Consuelo, G Sevilla; Ochave; Jesus A; Punsalan, Twila G; Regala Bella P; Uriarte

Gabriel G. 1993. Pengantar Metode Penelitian. Terjemahan oleh Alimuddin Tuwu).

Jakarta: Universitas Indonesia.

Daulat Purnama Tampubolon. 2001. Perguruan Tinggi Bermutu Paradigma Baru Manajemen

Pendidikan Tinggi Menghadapi Tantangan Abad ke-21. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka

Utama.

Depdiknas. 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

_________. 2003. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Jakarta: Depdiknas.

_________. 2005. Undang-Undang No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Dewi Salma Prawiladilaga dan Eveline Siregar. 2004. Mozaik Teknologi Pendidikan. Jakarta:

Kencana Prenada Media Group.

Ellizabeth B, Hurlock. 1993. Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang

Kehidupan. Yogyakarta: Media Abadi.

Ermaya. 2009. Mahasiswa Dibekali Pemahaman tentang Pancasila.

http://www.dutamasyarakat.com/artikel-22633-mahasiswa-dibekali-pemahaman-

pancasila.html. Diakses tanggal 11 Nopember 2009, pukul 11.44 WIB.

H.B. Sutopo. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta: Universitas Sebelas Maret Press.

90

Iqbal Hasan. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia

Indonesia.

Jalaluddin Rakhmat. 1994. Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya Offset.

Kaelan. 2004. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kahne, Joseph & Middaugh, Ellen. 2008. “High Quality Civic Education: What Is It and Who

Gets It?”. Journal of Social Education. 72 (1), pg 34–39.

Lexy, J. Moleong. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

M. Enoch Markum. 2007. Pendidikan Tinggi dalam Perspektif Sejarah dan Perkembangannya di

Indonesia. Jakarta: UI Pres.

Maman Rachman. 1999. “Penilaian Mahasiswa terhadap Tipe Mengajar Dosen dan Pilihan

Tipe Mengajar yang Disukai”. Jurnal Ilmu Pendidikan. Jilid 7, Nomor 4. 3.

Matthew B. Miles dan Huberman A. Michael. 1992. Analisis Data Kualitatif: Buku Sumber

tentang Metode-Metode Baru. Jakarta: UI Press.

Miftah Thoha. 1994. Perilaku Organisasi; Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada.

Soegito. 2000. Pendidikan Pancasila. Semarang: IKIP Semarang.

Soeprapto. 1998. Jurnal Pancasila “Landasan Aksiologi Pancasila”. Yogyakarta: Pusat Studi

Pancasila Universitas Gadjah Mada.

Sondang P. Siagian. 1989. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Bina Aksara.

Sunarti Rudi. 1999. The Teaching Learning Process of Pancasila and Civics Education (PPKn)

at Elementary School in The Reformation Era. The Journal of Education. Volume 6.

Sunaryo. 2009. Kembali Didikkan Pancasila Kepada Masyarakat. http://www.pikiran-

rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=64369. Diakses tanggal 16 Desember 2009,

pukul 12.04 WIB.

Umar Tirtarahardja. 2005. Pengantar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.

UNS. 2009. “Pedoman Pendidikan dan Kurikulum Universitas Sebelas Maret Tahun Akademik

2009/2010”. Surakarta: UNS Press.

Vincent Nugroho. 2008. Humor Dasyat untuk Pembicara. Yogyakarta: CV. Andi Offset.

Wiji Suwarno. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jogyakarta: Ar-Ruzz Media.

Winkel, WS. 1991. Psikologi Pengajaran. Yogyakarta: Media Abadi.