skripsi pengadaan rumah negara kajian Hukum Pidana Islam
Transcript of skripsi pengadaan rumah negara kajian Hukum Pidana Islam
1
PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN PERUMAHAN NEGARA
KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Syariah (S.Sy)
Oleh:
WISMOYO HARIRI
NIM: 106045101517
KONSENTRASI PIDANA ISLAM
PROGRAM STUDI JINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1431 H / 2011
2
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayullah
Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah
saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil
karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang
lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 15 September 2011
Wismoyo Hariri
3
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ......................................................................................................... i
DAFTAR ISI........................................................................................................................
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1
B. Perumusan Masalah .............................................................................. 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................. 7
D. Metode Penelitian ................................................................................. 8
E. Review Studi Terdahulu ....................................................................... 11
F. Sistematika Penulisan ........................................................................... 12
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADAAN BARANG MILIK
NEGARA MENURUT HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Perbendaharaan Negara ............................... 16
B. Pengadaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara .................... 30
BAB III PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN BARANG MILIK
NEGARA BERUPA RUMAH NEGARA
A. Sistem Pengadaan Rumah Negara ........................................................ 43
B. Pengertian Penyimpangan Dalam Pengadaan Rumah Negara ............. 49
4
BAB IV ANALISIS TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM
PENGADAAN RUMAH MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM
DAN HUKUM PIDANA POSITIF
A. Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan ...................................... 64
B. Modus Operandi .................................................................................. 69
C. Analisis Penyimpangan Terhadap Pengadaan Rumah Negara
Menurut Hukum Pidana
Islam……………………………………………..78
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ........................................................................................... 90
B. Saran-Saran .......................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 92
LAMPIRAN ........................................................................................................................ 94
5
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Setiap Negara memiliki kekayaan tersendiri yang perolehannya didapatkan
dari dana APBN atau APBD yang disebut dengan Barang Milik Negara1 atau di
dalam Islam bisa disebut dengan asset publik,yang dalam hal pemanfaatannya ini
dapat dinikmati oleh mereka semua tanpa monopoli atau dieksploitasi secara
sepihak untuk kepentingan pribadi. BMN adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehannya secara sah2.
Pengadaan nya diperuntukkan dalam rangka memenuhi sarana dan prasarana
penyelenggaraan tugas pokok dan fungsi Kementerian dan Lembaga Pemerintah.
Dalam hal pengadaan dan pengelolaan BMN tersebut Negara Republik
Indonesia telah menetapkan berbagai peraturan perihal tata cara pengadaan dan
pengelolaan BMN yang terbagi-bagi atas : tatacara pengadaan, pemanfaatan dan
penghapusannya.
Dalam implementasi pengadaan, pengelolaan, penggunaan dan pemanfaatan
BMN masih sering didapati penyimpangan-penyimpangan yang dilakukan baik
oleh oknum panitian pengadaan, pengguna barang ataupun oleh kuasa pengguna
barang sehingga pada akhirnya menimbulkan permasalahan dalam pengelolaan
1 Selanjutnya disebut dengan BMN
2 UU nomor 26 tahun pasal 1 ayat 1 tahun 2006
6
pengadministrasian, kepemilikan dan penggunaannya sehingga menimbulkan
kerugian bagi Negara.
Penyimpangan adalah perilaku yang menyimpang dari kewajiban-kewajiban
normal suatu jabatan pemerintahan, karena kepentingan pribadi (keluarga
golongan, kawan akrab), demi mengejar status dan gengsi, atau melanggar
peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi kepentingan
pribadi atau kelompoknya3. Penyimpangan dimaksudkan pula sebagai perbuatan
dan atau perilaku dari orang, dan kelompok untuk melakukan penyelewengan
yang hal itu dimintakan legalisasi atau diusulkan diadakannya perubahan atas
ketentuan yang berlaku, sehingga untuk dikemudian hari yang demikian itu tidak
lagi merupakan suatu penyimpangan yang tidak sah4
Penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan dan pengelolaan barang
inventaris milik Negara menurut pengamatan penulis telah terjadi sejak mulai dari
saat perencanaan pengadaannya, penggunaannya, peruntukannya,
pemeliharaannya sampai dengan pelaksanaan penghapusan/pelelangannya.
Penyimpangan tersebut telah terjadi dala kurun waktu yang lama dari generasi ke
generasi dengan modus operandi yang beraneka ragam mulai dari mark up harga,
mengurangi kualitas, pemeliharaan dengan cara fiktif serta melaksanakan
3 J.S.Nye, Coruption and Politial Development a Cost Benefit Analysis, Harvard
University,1967
4Direktorat Perbendaharaan Departemen Keuangan Bimbingan Teknis Penyelesaian
Kerugian Negara, 2008
7
penghapusan/pelelangan dengan harga murah.Berkenaan dengan hal ini,BPKP
menyatakan bahwa dari belanja barang dan jasa terjadi kebocoran rata-rata 30 %,
maka dari keuangan pemerintah pusat saja potensi kebocoran bisa mencapai
minimal 25 triliun Rupiah5,sedangkan menurut data lain yang berasal dari KPK
Lebih dari 40% kasus-kasus yang ditangani oleh KPK merupakan kasus
pengadaan barang dan jasa. “Tahun 2005-2009, KPK menangani 44 perkara
dengan kerugian negara sebesar Rp 689,195M atau rata-rata sekitar 35% dari total
nilai proyek.6 Sedangkan pada tahun 2010 ini menurut data yang di ungkapkan
Ketua Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Agus
Raharjo awal Oktober mengatakan, 70 persen kasus yang ada di Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait dengan pengadaan7.
Kasus penyimpangan yang berkaitan dengan perumahan menurut Indeks
Pembayaran Suap TI adalah berjumlah 11 % dari keseluruhan korupsi dalam
pengadaan barang dan jasa8
5 kebocoran dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah, dalam http : //iprocwatch.org/
6 Johan Budi SP. “KPK dan LKPP Tandatangani Nota Kesepahaman Pemberantasan
Korupsi” . Artikel di akses pada 28 Maret 2011 dari http://www.kpk.go.id
7 Agus Martowardoyo. “Menkeu Akui Maraknya Korupsi dalam Pengadaan Barang dan
Jasa”, Artikel di akses pada 13 mei 2011 dari
http://hukumonline.com/berita/baca/lt4cf7563e8e446/menkeu-akui-maraknya-korupsi-di-
pengadaan-barang-dan-jasa-
8 Bribe Payers index, TI, 2002, lihat http://www.transparency.org/policy-
research/surveys_indices/bpi/complete_report_bpi_2002#size
8
Penyimpangan tersebut bisa di kategorikan sebagai tindak pidana korupsi
karena merupakan jenis kegiatan melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan negara atau perekonomian negara9
Terjadinya Penyimpangan tersebut sudah cukup lama terjadi. Hal ini berawal
dari kurang tegasnya lembaga-lembaga pemerintah dalam menegakkan peraturan
tentang tata cara pengadaan dan pengelolaan BMN. Belum diberlakukannya
sanksi hukum yang tegas bagi pelaku pelanggaran serta kurangnya pengetahuan
dari pejabat dan atau pegawai dalam memahami peraturan tentang tata cara
pengadaan dan pengelolaan BMN.
Selain itu penyimpangan BMN atau aset publik ini adalah lemahnya nilai-
nilai keimanan, merebaknya kebobrokan lintas dimensi moral,sosial,ekonomi dan
politik, serta tidak adanya penerapan hukum dan prinsip syariat Islam10
Di dalam hukum pidana positif, perilaku oknum pelaku penyimpangan
terhadap pengadaan dan pengelolaan BMN merupakan bentuk penyimpangan
yang masuk kedalam kategori kejahatan, karena pada dasarnya telah bertentangan
dengan kewajaran, moral dan prinsip umum masyarakan beradab. Kejahatan ini
dapat disebut dengan istilah white collar crime atau kejahatan kerah putih karena
menyinggung pula kejahatan
9 Undang-Undang No 31 pasal 2 ayat 1 tahun 1999
10 Husain Husaini Syahatah, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Islam, Jakarta,
Amzah,2005,h.18.
9
Korporasi sebagai permufakatan jahat yang dilakukan oleh orang-orang jahat
untuk mencari keuntungan bagi korporasi mereka dengan melakukan tindakan-
tindakan seperti mempermainkan harga, memasang iklan yang memberikan
informasi dengan tidak benar dan sebagainya11
.
Di dalam Islam perlindungan BMN atau aset publik ini penguasa juga diserahi
tanggung jawab untuk melindungi dan mengelolanya melaluli penegakan sistem
dan prosedur-prosedur, dan pembangunan perangkat yang dibutuhkan.
Selain itu penyimpangan aset publik ini juga haram hukummnya karena
mengambil manfaat sendiri dengan cara yang tidak benar ataupun mencabut
kepemilikannya dari tangan publik dengan cara tidak benar, salah menggunakan
atau merusak kepemilikan.
Selanjutnya dalam penulisan skripsi ini penulis membatasi pada masalah
penyimpangan dalam pengadaan barang berupa sarana dan prasara kantor Rumah
Negara/rumah dinas. Rumah Negara adalah bangunan yang dimiliki Negara dan
berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta
menunjang pelaksanaan tugas pejabat dan atau pegawai negeri12
.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis akan mengangkat
permasalahan penyimpangan dalam pengadaan Rumah Negara. dalam skripsi
dengan judul PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN PERUMAHAN
MILIK NEGARA KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM.
11
Mohammad Kemal Dermawan, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, UI, tanpa tahun.
12 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 138
10
B. PERUMUSAN MASALAH
Dari latar belakang masalah tersebut di atas penulis ingin mencoba
mencermati persoalan-persoalan di atas dengan merumuskan beberapa pertanyaan
sebagai berikut. Rumusan masalah ini akan penulis rinci menjadi beberapa
pertanyaan:
1. Apa saja bentuk penyimpangan terhadap pengadaan Rumah Negara ?
2. Faktor-faktor apa yang menyebabkan terjadinya peluang
penyimpangan terhadap pengelolaan Rumah Negara ?
3. Bagaimana pandangan Hukum Pidana Islam tentang pelaku
penyimpangan terhadap Rumah Negara ?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui bentuk-bentuk penyimpangan terhadap rumah Negara
seperti berupa penyalahgunaan jabatan atau wewenang dimana pejabat atau
pegawai negeri menggunakan jabatan atau kewenangannya dengan maksud
menguntungkan diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi dimana
perbuatannya tersebut merugikan keuangan Negara. Selain itu bentuk
penyimpangan ini juga berupa penggelembungan harga. Penyuapan,
pengadaan fiktif, nepotisme dan pemberian komisi terhadap panitia pengadaan
barang dan jasa
11
b. Untuk mengetahui faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam
pengadaan rumah Negara ini disebabkan oleh kelalaian dan inkompetensi
pelaksanaan peserta pengadaan, selain itu tak jarang juga penyimpangan ini
juga merupakan tindakan yang disengaja pelaksana dan/atau peserta
pengadaan dalam rangka korupsi untuk menguntungkan diri sendiri, orang
lain atau korporasi. Dan juga untuk mengetahui pola penunjukkan langsung
dari pemerintah terhadap salah satu rekanan kerja dalam hal pengadaan
proyek, sehingga berdampak pada kebocoran karena sudah dilakukan mark up
terlebih dahulu saat menunjuk pemenang tersebut dengan tujuan wajib
memberikan kompensasi kepada lembaga yang menggolkan salah satu
rekanan itu
c. Untuk mengetahui bagaimana pandangan hukum Pidana Islam terhadap
penyimpangan dalam pengadaan Rumah Negara ini serta bagaimana cara
menanggulangi penyimpangan ini terutama terhadap pelakunya sehingga bisa
menimbulkan efek jera bagi pelaku dan memberi pelajaran bagi semua orang.
2. Manfaat Penelitian
1. Mampu memahami lebih dalam tentang pandangan Hukum Pidana
Islam dan Hukum Pidana postif terhadap penyimpangan dalam
pengadaan rumah Negara
12
2. Memberikan masukan selengkap-lengkapnya bagi institusi yang
dirugikan
3. Meningkatkan kualitas penulis dalam membuat karya tulis
D. METODE PENELITIAN
1. Metode Penelian :
Pendekatan penelitian ini diaplikasikan model penelitian empiris
sosiologis yaitu penelitian terhadap pengalaman yang terjadi dalam
masyarakat.
dimana yang menjadi sumber adalah kitab-kitab fiqh dan Undang-
Undang. Dilihat dari sudut pandang sifat yang dihimpunnya, penelitian ini
merupakan penelitian kualitatif. Metode ini digunakan dalam rangka
memperoleh informasi dari narasumber yang berkualitas melalui wawancara
terarah untuk mendapatkan informasi akurat. Sementara metode penulisan
yang digunakan adalah deskriptif dimana penelitian ini menjelaskan secara
sistematis dan faktual mengenai gejala-gejala dan fakta-fakta penyimpangan
dalam pengadaan Rumah negara, dan penelitian ini bertujan untuk
memberikan gambaran suatu gejala suatu masyarakat tertentu.13
Dengan
cara penulisan yang mengambarkan permasalahan yang didasari pada data-
data yang ada. Lazimnya sebuah karya tulis ilmiah dibahas secara
metodologis sesuai dengan konteks kajian dan data pendukungnya agar
13
Sukandarrumidi, Metodologi Penelitian, Jakarta, Gadjah Mada University Press, 2004,
h. 104.
13
supaya memuaskan siapapun yang membacanya. Penulis memilih penelitian
lapangan sebagai metode dalam penelitian ini lalu dianalisia lebih lanjut.
2. Teknik Pengumpulan Data
a.Wawancara (interview), yaitu situasi peran antar pribadi bertatap
muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan
pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban
yang relevan dengan masalah penelitian kepada seseorang responden.14
Wawancara dilakukan terhadap narasumber yang dipilih untuk memperoleh
beberapa hal mengenai tema yang diambil dalam skripsi ini.
b.Studi Kepustakaan, yaitu meliputi dari referensi kepustakaan,
baik berupa buku, majalah, surat kabar atau mengakses internet. Data-data
yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan jawaban
yang diterima, kejelasannya, konsistensi jawaban atau informasi yang biasa
disebut editing
3. Sumber Data
a. Data primer, yaitu sumber data utama yang dapat dijadikan
jawaban terhadap masalah penelitian.15
Buku-buku yang berkaitan dengan
14
Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2004, Cet. Ke-1, h. 82.
15 Beni Ahmad Saebani, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h.
158.
14
bahan penulisan antara lain UU Nomor 6 Tahun 2006, UU Nomor 31
tahun 1999, Permenkeu Nomor 138 tahun 2010 dan buku-buku lain yang
berkaitan dengan pembahasan penulisan.
b. Data Sekunder yang penulis gunakan dalam penulisan skripsi ini
yaitu kitab-kitab syarah hadis, artikel-artikel dan makalah-makalah yang
berkaitan dengan permasalahan yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Teknik analisis
Data dan informasi hasil penilitian dianalisis dan diolah dengan cara
deskriptif analisis dimana data yang penulis dapatkan kemudian penulis
analisis sehingga mendapatkan gambaran dan penjelasan atas data yang
penulis peroleh kemudian diambil kesimpulan
E. Review Studi Terdahulu
Penulis melakukan review terdahulu sebelum menentukan judul proposal.
Dalam review skripsi terdahulu, penulis meringkas skripsi yang ada kaitannya
dengan penyimpangan terhadap pengadaan barang dan jasa.
Di antaranya adalah :
TINJAUAN YURIDIS PENERAPAN HUKUM DALAM PENGADAAN TANAH
BERDASARKAN Keppres No.55 Tahun 1993
(Studi Kasus Putusan Pengadilan Nomor : 52/PDT.G/2004/PN-LP)
Oleh : Juanda Panjaitan (020200037).
15
Di dalam skripsi ini menerangkan pengadaan tanah untuk pembangunan
kepentingan umum,selain itu skripsi ini juga berisi tentang ganti rugi tanah, baik
untuk kepentingan umum maupun kepentingan swasta, serta sengketa antara
rakyat dengan Pemerintah atau rakyat dengan swasta dimana dalam pengadaan
tanah ini banyak menimbulkan ketidakadilan bagi rakyat karena ganti rugi yang
tidak sesuai dengan harga jual tanah.
TINJAUAN HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PERTANGGUNGJAWABAN
PIDANA KORPORASI DALAM UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
Oleh : Abd Mannan (04370048)
Di dalam skripsi ini menerangkan tentang pandangan Hukum Pidana Islam
terhadap kejahatan korporasi serta bagaimana rumusan pertanggungjawaban
pidana menurut UU No 31 Tahun 1999.
Dari review yang saya berikan, jelas sekali perbedaannya dengan skripsi yang
saya teliti yaitu mengenai “PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN
PERUMAHAN MILIK NEGARA KAJIAN HUKUM PIDANA ISLAM”. Yang
menarik dari skripsi yang saya teliti adalah bagaimana pandangan Hukum Pidana
Islam terhadap pelaku perilaku menyimpang dalam hal pengadaan Rumah Negara
yang banyak menimbulkan kerugian besar bagi Negara, selain itu dalam skripsi
yang saya teliti ini nantinya akan dijelaskan sanksi apakah yang efektif untuk
membuat jera para pelaku dengan menggunakan Hukum Pidana Islam.
16
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan penelitian ini, dimulai dari kata pengantar, daftar isi, dan dibagi
menjadi bab dan sub bab serta diakhiri dengan kesimpulan dan saran. untuk lebih
jelasnya pembagian bab-bab sebagai berikut :
BAB 1
Dalam bab ini dikemukakan tentang latar belakang masalah mengapa dipilih judul
seperti tersebut di atas. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
penyimpangan dalam pengelolaan barang milik negara milik negara terjadi dan
bagaimana bentuk serta faktor-faktor yang mendukung terjadinya tindakan
penyimpangan. Selanjutnya dirumuskan beberapa masalah penelitian dan konsep-
konsep yang digunakan. Ini dimaksudkan untuk mempermudah dalam
melakukan penelitian agar pembahasan terhadap hasil penelitian tidak
menimbulkan penafsiran yang berbeda. Disamping itu juga dikemukakan tentang
tujuan penelitian yaitu selain untuk kegunaan yang bersifat praktis juga sebagai
ilmu pengetahuan. Oleh karena itu dalam bab ini juga dikemukakan kerangka
teori sebagai rujukan dalam pembahasan secara analisis.Kerangka teori ini berupa
uraian teoritis dan pandangan para ahli khususnya tentang perilaku menyimpang
dan kejahatan serta usaha-usaha penanggulangannya. Selanjutnya konsep-konsep
ini dapat dipakai sebagai dasar dalam membahas penyimpangan yang terjadi
dalam pengelolaan barang milik negara milik negara. Dalam bab ini juga
17
dikemukakan tentang metodologi yang dipakai dan digunakan dalam usaha
memperoleh data dilapangan. Dalam bab ini disajikan pula sistimatika penulisan
hasil penelitian yang terbagi dalam 5(lima) bab, yang masing-masing bab
disajikan uraian nya secara ringkas.
BAB II
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan demi terwujudnya tujuan
negara, maka diperlukan suatu Sistem Pengelolaan Hak dan Kewajiban Negara
yang bersifat terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan. Salah satu aspek yang
menunjang pelaksanaan perbendaharaan negara seperti yang telah disebutkan
diatas adalah pengelolaan barang milik negara, dimana memang telah menjadi
salah satu aspek pengaturan dalam Undang Undang Republik Indonesia tentang
Perbendaharaan Negara.
BAB III
Aturan dalam pengelolaan barang milik negara telah dirumuskan dan
diberlakukan oleh pemerintah Republik Indonesia, dimulai dari definisi,
tatakelola hingga penyimpangan-penyimpangan yang dapat dilakukan dan terjadi
dalam pengelolaan barang milik negara khususnya rumah negara. Penyimpangan
dalam pengadaan aset Negara bisa dikategorikan sebagai korupsi karena
merupakan jenis kegiatan yang melawan hukum melakukan perbuatan
memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat
merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara
18
BAB IV
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tidak mampu mengakomodasi
pemberian sanksi terhadap pelanggar, karena kekuatan hukumnya jauh di bawah
undang-undang, apalagi Peraturan Presiden dapat setiap saat diperbaharui.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan pengeluaran belanja tertinggi
yang mencapai 60% (enam puluh persen) dari total anggaran belanja pemerintah.
Di samping menjadi pengeluaran tertinggi dalam belanja Negara, pengadaan
barang dan jasa ini juga menjadi yang tertinggi dalam hal kebocoran dana akibat
longgarnya ruang mark up. Modus utama angka kebocoran diakibatkan pola
penunjukkan langsung dari pemerintah terhadap salah satu rekanan kerja dalam
hal pengadaan proyek, sehingga berdampak pada kebocoran karena sudah
dilakukan mark up terlebih dahulu saat menunjuk pemenang tersebut dengan
tujuan wajib memberikan kompensasi kepada lembaga yang menggolkan salah
satu rekanan itu. Selain hal tersebut sebab terjadinya penyimpangan juga karena
kontroversi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010, hal ini karena timbul
pertanyaan apakah BUMN terikat dengan Peraturan Presiden ini atau tidak,
karena BUMN sudah punya aturan tersendiri yang mengacu kepada Undang-
Undang No.19 Tahun 2003,yang kedudukannya lebih tinggi dari Peraturan
Presiden
BAB V
Penutup dan kesimpulan
19
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADAAN BARANG MILIK
NEGARA MENURUT HUKUM POSITIF
A. Tinjauan Umum Tentang Perbendaharaan Negara
Dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan dan demi
terwujudnya tujuan negara, maka diperlukan suatu Sistem Pengelolaan Hak
dan Kewajiban Negara yang bersifat terbuka dan dapat
dipertanggungjawabkan, selain itu juga untuk menjaga konsistensi efektifitas
tujuan pemeriksaan keuangan Negara dan efisiensi pengawasan pembangunan
secara keseluruhan guna mencegah kebocoran penggunaan uang Negara16
.
Dalam pelaksanaan program pengelolaan Hak dan Kewajiban Negara tersebut
dibutuhkan Hukum Administrasi Keuangan Negara yang mengatur tentang
Perbendaharaan Negara.
Pengertian Perbendaharaan Negara sendiri dapat ditemukan dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara17
pada Pasal 1 Ayat 1 yang berbunyi “
Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban
16
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara,(Jakarta:Sinar Grafika,2010), hal 1
17 Selanjutnya disebut dengan Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara
20
keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang
ditetapkan dalam APBN dan APBD”.
Pengaturan atas perbendaharaan negara sendiri dimaksudkan agar
tercapainya tujuan negara melalui sistem pengelolaan keuangan negara yang
profesional, terbuka dan bertanggung jawab18
; dimana demi mencapai sistem
pengelolaan keuangan negara yang profesional, terbuka dan bertanggung
jawab, juga diperlukan penyempurnaan secara menyeluruh dalam sistem
perbendaharaan negara dan anggaran negara melalui proses perbaikan
penganggaran, modernisasi sistem pembayaran, optimalisasi pengelolaan kas,
peningkatan akuntabilitas penggunaan anggaran dan kekayaan negara, serta
peningkatan layanan publik, peningkatan kinerja, transparansi, dan
akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Dalam hal ini Presiden selaku
Kepala Pemerintahan mengatur dan menyelenggarakan sistem pengendalian
intern di lingkungan pemerintahan secara menyeluruh. Setiap kerugian
negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian
seseorang harus segera diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku dan sesuai dengan wilayah hukum yang bersangkutan,
18
Adrian Sutedi, Hukum Keuangan Negara (Jakarta: Sinar Grafika,2010), h.4.
21
dimana jika melanggar Hukum Administrasi Negara dan Hukum Pidana
masuk ke ranah Hukum Publik19
.
Perbendaharaan negara yang diatur dalam Undang-Undang tentang
Perbendaharaan Negara meliputi pelaksanaan pendapatan dan belanja negara,
pelaksanaan pendapatan dan belanja daerah, pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran negara, pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran daerah,
pengelolaan kas, pengelolaan piutang dan utang negara/daerah, pengelolaan
investasi dan barang milik negara/daerah, penyelenggaraan akuntansi dan
sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah, penyusunan laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, penyelesaian kerugian
negara/daerah, pengelolaan Badan Layanan Umum, dan perumusan standar,
kebijakan, serta sistem serta prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan
keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD20.
Dalam perbendaharaan negara Menteri/pimpinan lembaga adalah
Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya, sedangkan Kepala satuan kerja perangkat daerah adalah
Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang
19
Theodorus M. Tuanakotta, Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak
Pidana Korupsi (Jakarta: Salemba Empat,2009), h.77.
20 C.S.T. Kansil dan Christine S.T Kansil, Hukum Keuangan dan Perbendaharaan
Negara (Jakarta: PT. Pradnya Paramita,2008), h.139.
22
dipimpinnya21
. Tahun anggaran untuk perbendaharaan negara sendiri meliputi
masa satu tahun mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember
pada tiap tahunnya, dan Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
berwenang mengatur dan menyelenggarakan rekening pemerintah. Pemerintah
Pusat juga dapat memberikan pinjaman atau hibah kepada Pemerintah
Daerah/Badan Usaha Milik Negara/Badan Usaha Milik Daerah sesuai dengan
yang tercantum/ditetapkan dalam Undang-Undang tentang APBN; selain itu
Pemerintah juga dapat melakukan invetasi jangka panjang untuk memperoleh
manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya.
1. Tinjauan Umum Tentang Barang Milik Negara dan Reformasi di
Bidang Keuangan
Salah satu aspek yang menunjang pelaksanaan perbendaharaan negara
seperti yang telah disebutkan diatas adalah pengelolaan barang milik negara,
dimana memang telah menjadi salah satu aspek pengaturan dalam Undang
Undang Republik Indonesia tentang Perbendaharaan Negara.
Sebelum adanya reformasi di bidang keuangan, pengelolaan barang
milik negara digambarkan sebagai berikut, yaitu belum lengkapnya data
mengenai jumlah, nilai, kondisi dan status kepemilikannya. Dalam Pengadaan
barang/jasa sendiri terdapat banyak celah untuk melakukan praktek monopoli,
21
Ibid.,141
23
dimulai dari tahap persiapan hingga pelaksanaan tender. Kerap kali
perencanaan kebutuhan akan pengadaan barang/jasa tidak sesuai dengan
kebutuhan, bahkan terdapat penetapan kebutuhan yang ternyata adalah fiktif,
serta pembagian paket pengadaan yang tidak sesuai dengan peraturan yang
berlaku. Menurut Larto Untoro (Kepala Bagian Pengadaan ULP KPK)
terdapat 4 poin besar problem pengadaan, yaitu pasar pengadaan yang tidak
terbuka, kurangnya kapasitas manajemen, bad governance dan banyaknya
celah korupsi22
.
a. Pengaturan Mengenai Pengelolaan Barang Milik Negara di Indonesia
Pengelolaan Barang Milik Negara sendiri diatur pada, dimana
Maksud dari reformasi di bidang keuangan dituangkan dalam aturan-aturan
tersebut diatas dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003
tentang Keuangan Negara, Keputusan Presiden Nomor 17 Tahun 2007 tentang
Tim Penertiban Barang Milik Negara/Daerah, dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 29/06/2010. Reformasi di bidang keuangan diatur tidak
hanya secara administratif, namun juga secara pola pemikiran yang lebih maju
dalam berpikir mengenai peningkatkan efisiensi, efektifitas dan nilai tambah
lainnya dalam pengelolaan barang milik negara.
22
Majalah Pengawasan Solusi, Nomor 2 volume 1, Pengawasan Terhadap Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah (Kementrian Perindustrian: Jakarta, 2011)
24
Untuk Pengelolaan BMN berupa Rumah Negara sendiri diatur dalam
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang
Pemukiman dan Perumahan, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
40 tahun 1994 tentang Rumah Negara, Undang-Undang tentang
Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah23
tentang Pengelolaan Barang
Milik Negara/Daerah, Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 11
Tahun 2008 tentang Pengadaan Rumah Negara, dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 138 Tahun 2010 tentang Pengelolaan Rumah Negara.
Aturan-aturan lain yang masih memiliki keterkaitan dengan Pengelolaan
Rumah Negara ini adalah Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 yang
merupakan perubahan dari Keputusan Presiden Nomor 80 Tahun 2003 tentang
Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Arah penertiban BMN menurut sendiri adalah bagaimana
pengelolaan aset negara di setiap pengguna barang menjadi lebih akuntabel
dan transparan, sehingga penggunaan dan pemanfaatan aset-aset negara
mampu dioptimalkan untuk menunjang fungsi pelayanan kepada masyarakat
atau stakeholder.
b. Pengertian Barang Milik Negara
23
Selanjutnya disebut dengan Peraturan Pemerintah tentang Pengelolaan Barang Milik
Negara
25
Pengertian utama dari Barang Milik Negara dapat ditemukan dalam
Ayat 10 Pasal 1 Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara yang
berbunyi sebagai berikut ”Barang Milik Negara adalah semua barang yang
dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lain yang
sah” dan untuk Pengertian dari Barang Milik Daerah juga terdapat dalam
Undang-undang tentang Perbendaharaan Negara pada Pasal 1 Ayat 11, yang
berbunyi ”Barang Milik Negara adalah semua barang yang dibeli atau
diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lain yang sah”. sama
halnya untuk pengertian Barang Milik Negara pada Peraturan Pemerintah
tentang Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah yang merupakan peraturan
pelaksana dari Undang-Undang sendiri mengambil pengertian Barang Milik
Negara secara keseluruhan mengacu dari Induk Peraturannya. Dalam
penjelasan Peraturan Pemerintah juga disinggung bahwa ruang lingkup dari
barang milik negara/daerah disamping berasal dari pembelian atau perolehan
atas beban anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah juga berasal
dari perolehan lainnya yang sah. Barang milik negara/daerah yang berasal dari
perolehan lainnya yang sah mencakup barang yang diperoleh dari hibah atau
sumbangan atau sejenisnya, diperoleh sebagai pelaksanaan perjanjian atau
kontrak, diperoleh berdasarkan ketentuan undang-undang dan putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap; namun pengertian
26
Barang Milik Negara dalam hal ini terbatas hanya pada barang milik negara
yang bersifat berwujud (tangible).24
Barang milik negara atau yang biasa disebut dengan aset negara/aset
publik juga memiliki pengertian kekayaan yang menjadi hak milik semua
orang atau segolongan manusia, dan hak pemanfaatannya dapat dinikmati oleh
mereka semua tanpa monopoli atau dieksploitasi secara sepihak untuk
kepentingan pribadi25
. Dengan kata lain,aset publik dapat dinikmati oleh
seluruh komponen masyarakat atau seluruh anggota kelompok tertentu ( yang
memilikinya ), tanpa ada penyempitan hak prerogatif pada satu individu.
Pengadaan aset Negara ini diperuntukkan untuk memenuhi sarana
dan prasarana yang menunjang tugas dan fungsi pokok Kementerian dan
Lembaga Pemerintahan agar dalam menjalankan tugas nya dapat berjalan
dengan efektif dan proporsional.
c. Pengelolaan Barang Milik Negara
Pengaturan pengelolaan barang milik negara sesuai pada pasal 42
Undang-Undang tentang Perbendaharaan Negara adalah Menteri Keuangan
dengan Pengguna Barang Milik Negara tersebut adalah Menteri/Pimpinan
24
Penjelasan atas Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara
25 Husain Husain Syahatah, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Hukum Islam,
(Jakarta: Amzah, 2005), Cet pertama, h.6
27
lembaga dan Kepala Kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga
adalah sebagai Kuasa Pengguna barang dalam lingkungan kantor yang
besangkutan. Pengelolaan barang milik negara sendiri dilakukan menurut asas
fungsional, kepastian hukum, transparansi dan keterbukaan, efisiensi,
akuntabilitas, dan kepastian nilai.
Pengelolaan barang milik negara menurut Pasal 3 Ayat 2 Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Barang mIlik Negara meliputi perencanaan
kebutuhan dan penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan,
pengamanan dan pemeliharaan, penilaian, penghapusan pemindahtanganan,
penatausahaan, pembinaan, pengawasan dan pengendalian.
Barang milik negara menurut Pasal 45 Undang-Undang tentang
Perbendaharaan Negara yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas
pemerintahana negara/daerah tidak dapat di pindah tangankan; sedangkan
untuk pemindah tanganan barang milik negara yang dapat dipindahtangankan
dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan
sebagai modal pemerintah setelah mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Penghapusan barang milik negara/daerah meliputi penghapusan dari daftar
pengguna barang dan atau kuasa pengguna dalam hal barang tersebut sudah
tidak berada dalam penguasaan pengguna barang/kuasa pengguna barang;
serta dari daftar barang milik negara/daerah dalam hal barang tersebut sudah
28
beralih kepemilikannya baik karena terjadi pemusnahan atau sebab lainnya.
Untuk pemindahtanganan sebagai tindak lanjut atas penghapusan barang milik
negara/daerah adalah meliputi penjualan, tukar-menukar, hibah, dan
penyertaan modal pemerintah pusat/daerah.
d. Penggolongan Barang Milik Negara
Barang milik negara atau aset publik ini dibagi menjadi dua
jenis,yaitu26
:
1) Aset Publik yang dimiliki Negara dalam posisinya sebagai legal personality.
Pemerintah boleh mendayagunakan untuk kepentingan umum, dengan syarat
pendayagunaan harta tersebut sesuai dengan hukum-hukum syara’
Contoh aset publik jenis ini adalah zakat, harta rampasan perang,
jizyah (pajak nonmuslim), dan pajak. Aset-aset Negara harus memiliki
lembaga-lembaga pengelola yang resmi
2) Aset publik yang dimiliki secara khusus oleh segolongan anggota
masyarakat atau organisasi. Pemanfaatan aset ini dilakukan sesuai
kebutuhan. Pengelolaan aset jenis ini ditangani oleh pemerintah atau
sejumlah orang yang ditunjuk di bawah pengawasan Negara sesuai dengan
perundang-undangan yang berlaku.
26
Husain Husain Syahatah, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Hukum Islam,
Jakarta, Amzah, 2005, Cet pertama, h.7
29
Contoh aset publik jenis ini adalah fasilitas umum, sumber daya alam, harta
wakaf, aset organisasi, aset sindikat profesi, aset klub, dan aset-aset sejenis
lainnya.
Aset Negara atau Barang Milik Negara memiliki variasi jenis yang
beragam, baik dalam bentuk, tujuan perolehannya, maupun masa manfaat
yang diharapkan. Dalam perlakuan akuntansi, Peraturan Pemerintah
Normor 24 tahun 2005 membagi BMN menjadi aset lancar,aset tak
berwujud, aset lainnya, dan aset bersejarah.
a) Aset lancar yaitu apabila BMN tersebut diadakan dengan tujuan segera
dipakai atau dimiliki untuk dijual dalam waktu 12 (dua belas) bulan sejak
tanggal perolehan. BMN yang memenuhi kriteria ini diperlakukan sebagai
Persediaan. BMN ini dapat berupa barang atau perlengkapan yang
dimaksudkan untuk mendukung kegiatan operasional pemerintah, dan
barang-barang yang diadakan yang dimaksudkan untuk dijual dan/atau
diserahkan dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Persediaan ini
mencakup barang atau perlengkapan yang dibeli dan disimpan untuk
digunakan, barang habis pakai seperti komponen peralatan dan pipa, dan
barang bekas pakai seperti komponen bekas. Persediaan dapat meliputi
barang konsumsi, amunisi, bahan untuk pemeliharaan, suku cadang,
persediaan untuk tujuan strategis / berjaga-jaga, pita cukai dan leges, bahan
baku, barang dalam proses/setengah jadi, tanah/bangunan untuk dijual atau
30
diserahkan kepada masyarakat, dan hewan dan tanaman untuk dijual atau
diserahkan kepada masyarakat. Persediaan untuk tujuan strategis/ berjaga-
jaga antara lain berupa cadangan energy (misalnya minyak) atau cadangan
pangan (misalnya beras).
b) Aset tetap yaitu BMN mempunyai masa manfaat lebih dari 12 (duabelas)
bulan, tidak dimaksudkan untuk dijual dalam operasi normal Kuasa
Pengguna Barang, dan diperoleh atau dibangun dengan maksud untuk
digunakan. Termasuk dalam kategori aset tetap adalah:
1) Tanah
Tanah yang dikelompokkan sebagai asset tetap ialah tanah yang
diperoleh dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan operasional
pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Tanah yang dimiliki atau
dikuasai oleh instansi pemerintah di luar negeri, misalnya tanah yang
digunakan perwakilan Republik Indonesia di luar negeri, hanya diakui bila
kepemilikan tersebut berdasarkan isi perjanjian penguasaan dan hukum
serta perundang-undangan yang berlaku di negara tempat Perwakilan
Republik Indonesia berada bersifat permanen.
2) Peralatan dan Mesin
Peralatan dan mesin mencakup mesin-mesin dan kendaraan
bermotor, alat elektronik, dan seluruh inventaris kantor yang nilainya
signifikan dan masa manfaatnya lebih dari 12 (dua belas) bulan dan dalam
31
kondisi siap pakai. Wujud fisik Peralatan dan Mesin bisa meliputi: Alat
besar, Alat Angkutan, Alat Bengkel dan Alat Ukur, Alat Pertanian, Alat
Kantor dan Rumah Tangga, Alat Studio, Komunikasi dan Pemancar, Alat
Kedokteran dan Kesehatan, Alat Laboratorium, Alat Persenjataan,
Komputer, Alat Eksplorasi, Alat Pemboran, Alat Produksi, Pengolahan,
dan Pemurnian, Alat Bantu Eksplorasi, Alat Keselamatan Kerja, Alat
Peraga, serta Unit Proses/produksi.
3) Gedung dan Bangunan
Gedung dan bangunan mencakup seluruh gedung dan bangunan
yang dibeli atau dibangun dengan maksud untuk dipakai dalam kegiatan
operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai. Termasuk dalam
kategori Gedung dan Bangunan adalah BMN yang berupa Bangunan
Gedung, Monumen, Bangunan Menara, Rambu-rambu, serta Tugu Titik
Kontrol.
4) Jalan, Irigasi, dan Jaringan
Jalan, irigasi, dan jaringan mencakup Jalan, irigasi, dan jaringan
yang dibangun oleh pemerintah serta dikuasai oleh pemerintah dan dalam
kondisi siap dipakai. BMN yang termasuk dalam kategori asset ini adalah
Jalan dan Jembatan, Bangunan Air, Instalasi, dan jaringan.
c) Aset Tetap Lainnya
32
Aset tetap lainnya mencakup aset tetap yang tidak dapat
dikelompokkan ke dalam Tanah, Peralatan dan Mesin, Gedung dan
Bangunan, Jalan, Irigasi dan Jaringan, yang diperoleh dan dimanfaatkan
untuk kegiatan operasional pemerintah dan dalam kondisi siap dipakai.
BMN yang termasuk dalam kategori aset ini adalah Koleksi
Perpustakaan/Buku,Barang Bercorak Kesenian/Kebudaayaan/Olahraga,
Hewan, Ikan dan Tanaman.
e) Dikategorikan sebagai aset tak berwujud adalah aset non keuangan yang
dapat diidentifikasikan dan tidak mempunyai wujud fisik serta dimiliki
untuk digunakan dalam menghasilkan barang atau jasa atau digunakan
untuk tujuan lainnya termasuk hak atas kekayaan intelektual. Aset tak
berwujud meliputi software komputer, lisensi dan franchise, hak cipta
(copyright), paten, dan hak lainnya, dan hasil kajian/ penelitian yang
memberikan manfaat jangka panjang.
.
f) Dikategorikan Aset Bersejarah adalah bangunan bersejarah, monument,
tempat – tempat purbakala seperti candi, dan karya seni. Beberapa aset
tetap dijelaskan sebagai aset bersejarah dikarenakan kepentingan budaya,
lingkungan dan sejarah. Aset bersejarah tidak disajikan dalam neraca
namun aset tersebut harus diungkapkan dalam Catatan atas Laporan
Keuangan.
33
B. PENGADAAN BARANG MILIK NEGARA BERUPA RUMAH NEGARA
Pengadaan perumahan Negara yang termasuk dalam barang milik negara
ini pada dasarnya melibatkan dua pihak yaitu pihak pengguna Barang/Jasa dan
pihak penyedia Barang/Jasa, tentunya dengan keinginan/kepentingan yang
berbeda, bahkan bisa dikatakan bertentangan. Oleh karena itu agar mencapai
kesepakatan perlu adanya etika, norma dan prinsip yang harus disepakati dan
dipatuhi bersama.
Peraturan mengenai pengadaan barang/jasa diatur dalam Keppres no 80
tahun 2003 yang kemudian diperbahurui dengan Perpres no 54 tahun 2010,letak
perbedaan diantara Kepres no 80 tahun 2003 dibanding dengan Perpres no 54
tahun 2010 yang sangat mencolok adalah pada pembentukan Unit Layanan
Pengadaan, di mana pada Kepres no 80 tahun 2003 belum ditentukan
sedangkan pada Perpres no 54 tahun 2010 Unit Pelayanan Pengadaan adalah
Menteri/Pimpinan Lembaga/Kepala Daerah/Pimpinan Instansi.
Pengadaan Rumah Negara untuk memenuhi kebutuhan rumah Pegawai
Negeri selain dilaksanakan dengan cara pembangunan, pembelian, tukar
menukar dan tukar bangun dimungkinkan adanya hibah rumah dari badan
hukum, masyarakat dan perorangan. Rumah yang telah dihibahkan kepada
negara tersebut adalah menjadi kekayaan milik Negara27
.
27
Penjelasan Atas Peraturan Pemerintah No 40 Tahun 1994 Tentang Rumah Negara
34
Dalam pengadaan barang dan jasa yang berupa rumah Negara ini diatur
prinsip-prinsip yaitu efisien, efektif, transparan, terbuka, bersaing, adil/tidak
diskriminatif, dan akuntabe dengan penjelasan sebagai berikut28
:
a) Efisien : yang dimaksud dengan prinsip efisien berarti pengadaan
barang dan jasa harus diusahkan dengan menggunakan dana dan daya terbatas
untuk mencapai sasaran yang ditetapkan dalam waktu sesingkat-singkatnya dan
dapat dipertanggung jawabkan.
b) Efektif : Yang dimaksud dengan prinsip efektif bahwa dalam
pengadaan barang dan jasa harus didasarkan pada kebutuhan yang telah
ditetapkan (sasaran yang ingin dicapai) dan dapat memberikan manfaat yang
tinggi dan sebenar-benarnya dengan sasaran yang dimaksud.
c) Persaingan Sehat : Maksudnya adalah diberinya kesempatan kepada
semua penyedia barang dan jasa yang setara dan memenuhi persyaratan sesuai
dengan ketentuan untuk menawarkan barang dan jasanya, berdasarkan etika dan
norma pengadaan yang berlaku, dan tidak terjadi kecurangan dan praktik KKN
d) Terbuka : Memberikan semua informasi dan ketentuan mengenai
pengadaan barang dan jasa, termasuk syarat teknis administrasi pengadaan, tata
cara evaluasi, hasil evaluasi, penetapan calon penyedia barang dan jasa, yang
28
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya (Jakarta: Sinar Grafika,2008),h.12.
35
sifatnya terbuka kepada peserta penyedia barang dan jasa yang berminat, serta
bagi masyarakat luas pada umumnya.
e) Tidak Diskriminatif : Pemberian perlakuan yang sama kepada semua
calon penyedia barang dan jasa yang berminat mengikuti pengadaan barang dan
jasa. Dan tidak mengarah untuk memberi keuntungan kepadak pihak tertentu
dengan cara dan/atau alasan apapun
f) Akuntabilitas : Pertanggung jawaban pelaksanaan pengadaan barang
dan jasa kepada para pihak yang terkait dan masyarakat berdasarkan etika,
norma dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dalam arti
bahwa pengadaan barang dan jasa harus mencapai sasaran baik secara fisik,
maupun keuangannya serta manfaat atas pengadaan tersebut terhadap tugas
umum pemerintahan dan/atau pelayanan masyarakat sesuai dengan prinsip-
prinsip serta ketentuan yang berlaku dalam pengadaan barang dan jasa.
Etika dalam hal pengadaan tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah pada pasal 6 butir a
sampai dengan h, yaitu sebagai berikut :
a) Melaksanakan tugas secara tertib,disertai tanggung jawab untuk mencapai
sasaran kelancaran dan ketepatan tercapainya tujuan pengadaan barang dan
jasa.
b) Bekerja secara professional dan mandiri atas dasar kejujuran, serta menjaga
kerahasiaan dokumen pengadaan barang dan jasa yang seharusnya
36
dirahasiakan untuk mencegah terjadinya penyimpangan dalam pengadaan
barang dan jasa.
c) Tidak saling mempengaruhi baik langsung maupun tidak langsung untuk
mencegah dan menghindari terjadinya persaingan yang tidak sehat.
d) Menerima dan bertanggung jawab atas segala keputusan yang ditetapkan
sesuai dengan kesepakatan para pihak.
e) Menghindari dan mencegah terjadinya pertentangan kepentingan para pihak
terkait, langsung maupun tidak langsung dalam proses pengadaan barang
dan jasa ( conflict of interest ).
f) Menghindari dan mencegah terjadinya pemborosan dan kebocoran keuangan
Negara dalam pengadaan barang dan jasa.
g) Menghindari dan mencegah penyalahgunaan wewenang (seperti kolusi)
dengan tujuan untuk kepentingan pribadi, golongan atau pihak lain.
h) Tidak menerima, tidak menawarkan atau tidak menjanjikan untuk member
atau menerima hadiah, imbalan berupa apa saja kepada siapa pun yang
dikeatahui atau patut diduga berkaitan dengan pengadaan barang dan jasa.
Selain etika dalam pengadaan barang dan jasa juga diatur norma dalam hal
pengadaan barang dan jasa yang bertujuan agar pengadaan barang dan jasa
dapat tercapai dengan baik. Suatu norma baru ada apabila terdapat lebih dari
37
satu orang, karena norma pada dasarnya mengatur tata cara bertingkah laku
seseorang terhadap orang lain atau terhadap lingkungannya29
.
Sebagaimana norma lain yang berlaku, norma pengadaan barang dan jasa
terdiri dari norma tertulis dan tidak tertulis. Norma tidak tertulis pada umumnya
adalah norma yang bersifat ideal, sedangkan norma tertulis pada umumnya
adalah norma yang bersifat operasional. Norma ideal pengadaan barang dan
jasa antara lain tersirat dalam pengertian tentang hakikat, filosofi, etika,
profesionalisme dalam bidang pengadaan barang dan jasa. Adapun norma
pengadaan barang dan jasa bersifat operasional pada umumnya telah
dirumuskan dan dtuangkan dalam peraturan perundang-undangan yaitu berupa
undang-undang, peraturan, pedoman, petunjuk dan bentuk-bentuk statuter
lainnya30
.
1 Pengertian Rumah Negara
Pengertian Barang Milik Negara yang berupa rumah negara dapat ditemui
dalam Pasal 1 ayat 1 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40
Tahun 1994 tentang Rumah Negara yaitu sebagai berikut “rumah negara
adalah bangunan yang dimiiki negara dan berfungsi sebagai tempat itnggal
atau hunian dan sarana pembinaan keluarga serta menunjang pelaksanaan
tugas pejabat dan/atau pegawai negeri”. Begitu juga dengan pengertian rumah
29
Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan Pembentukannya,
(Jakarta Kanisius,1998).
30 Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagi
Permasalahannya, (Jakarta : Sinar Grafika,2008), hal 11.
38
negara yang terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia
Nomor 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa
Rumah Negara yang merupakan salah satu peraturan pelaksana dari Undang-
undang tentang Perbendaharaan Negara, Peraturan Pemerintah tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah, Peraturan Pemerintah Nomor 40
Tahun 1994 tentang Rumah Negara; dimana dalam hal ini memiliki pengertian
yang sama dari induk peraturannya.
2 Penggolongan Rumah Negara
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah
Negara dan Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah
Negara, Rumah Negara terbagi menjadi 3 golongan sebagai berikut :
a) Rumah Negara golongan I adalah Rumah Negara yang
dipergunakan bagi pemegang jabatan tertentu dan karena sifat jabatannya
harus bertempat tinggal di rumah tersebut, serta hak penghuniannya
terbatas selama pejabat yang bersangkutan masih memegang jabatan
tertentu tersebut.
b) Rumah Negara golongan II adalah Rumah Negara yang
mempunyai hubungan dengan yang tidak dapat dipisahkan dari suatu
instansi dan hanya disediakan untuk didiami oleh Pegawai Negari dan
apabila telah berhenti atau pensiun rumah dikembalikan kepada Negara.
39
c) Rumah Negara golongan III adalah Rumah Negara yang tidak
termasuk Golongan I dan Golongan II yang dapat dijual kepada
penghuninya.
3 Pengelolaan Rumah Negara
Pengelolaan rumah negara yang diatur dalam aturan-aturan tentang
rumah negara meliputi penetapan status, pendaftaran dan penghapusan; hal ini
diatur dalam Bab V Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun
1994 tentang Rumah Negara; namun dalam penulisan hukum ini, penulis tidak
membatasi pembahasan masalah terbatas pada pengelolaan rumah negara saja
namun juga mencakup pengadaan rumah negara dalam hal penyimpangan yang
terjadi dalam pengadaan, pengelolaan dan pemanfaatan rumah negara.
Dalam pengelolaannya, Rumah negara hanya dapat dihuni oleh pejabat dan
atau pegawai negeri dimana untuk dapat menghuninya harus memiliki Surat
Izin Penghunian. Rumah negara wajib didaftarkan oleh pimpinan instansi yang
bersangkutan kepada Menteri Pekerjaan Umum. Pendaftaran Rumah Negara
dilakukan untuk :
1) Mengetahui secara tepat dan rinci jumlah aset Negara yang berupa rumah.
2) Menyusun program kebutuhan pembangunan Rumah Negara.
3) Mengetahui besarnya pemasukan keuangan kepada Negara dari hasil
sewa, penjualan, penghapusan dan pajak bumi dan bangunan.
40
4) Menyusun standar biaya pemeliharaan dan perawatan.
a. Pengalihan Status dan Hak Atas Rumah Negara
Rumah negara yang dapat dialihkan statusnya adalah rumah negara golongan
II menjadi rumah negara golongan I, dalam hal ini pengalihan status terjadi
antara pengguna barang; untuk alih status dari rumah negara golongan III
menjadi rumah negara golongan II atau sebaliknya terjadi antara pengguna
barang dan Pengguna barang berupa rumah negara; sedangkan untuk
pengalihan rumah negara golongan II menjadi golongan I hanya dapat
dilakukan untuk memenuhi kebutuhan rumah jabatan; namun terdapat pula
rumah negara golongan II yang tiak dapat dialihkan menjadi rumah golongan
III, yaitu sebagai berikut :
a) Rumah negara golongan II yang berfungsi sebagai mess.asrama
sipil dan ABRI;
b) Rumah negara golongan II yang berfungsi secara langsung
melayani atau terletak dalam suatu lingkungan kantor instansi, rumah
sakit, sekolah, perguruan tinggi, pelabuhan udara, pelabuhan laut dan
laboratorium/balai penelitian.31
Rumah negara yang dapat dialihkan haknya adalah rumah negara
golongan III, kecuali rumah negara golongan III yang berada dalam
31
Ayat 3 Pasal 15 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah
Negara
41
sengketa. Penghuni Rumah Negara yang dapat mengajukan
permohonan pengalihan hak harus memenuhi syarat-syarat sebagai
berikut :
1) Pegawai Negeri :
a. Mempunyai masa kerja sekurang-kurangnya 10
(sepuluh) tahun;
b. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
c. Belum pernah dengan jalan/cara apapun memperoleh/membeli
rumah dari Negara berdasakan peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
2) Pensiunan Pegawai Negeri :
a. Menerima pensiunan dari Negara;
b. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
c. Belum pernah dengan jalan/cara apapun memperoleh/membeli
rumah dari Negara berdasar peraturan perundang-undangan
yang berlaku.
3) Janda/Duda Pegawai Negari :
a. Masih berhak menerima tunjangan pensiunan dari Negara,
yang :
42
a) Almarhum suami/istrinya sekurang-kurangnya mempunyai
masa kerja 10 (sepuluh) tahun pada Negara, atau
b) Masa kerja almarhum suaminya/istrinya ditambah
dengan jangka waktu sejak yang bersangkutan menjadi
janda/duda berjumlah sekurang-kurangnya 10 (sepuluh)
tahun;
a. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
b. Almarhum suaminya/istrinya belum pernah dengan
jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
4) Janda/Duda Pahlawan, yang suaminya/istrinya dinyatakan
sebagai Pahlawan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang berlaku :
a. Masih berhak menerima tunjangan pensiun dari Negara;
b. Memiliki Surat Izin Penghunian yang sah;
c. Almarhum suaminya/istrinya belum pernah dengan
jalan/cara apapun memperoleh/membeli rumah dari Negara
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pengalihan hak atas rumah negara seperti disebut diatas menurut Pasal
18 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994
tentang Rumah Negara dilakukan secara sewa beli dan untuk dapat
43
menghuni rumah negara harus memiliki Surat Izin Penghunian yang
dikeluarkan oleh instansi yang bersangkutan. Penghuni rumah negara
wajib untuk membayar sewa rumah dan memelihara rumah serta
memanfaatkan rumah sesuai dengan fungsinya, serta dilarang untuk
menyerahkan sebagaian atau seluruh rumah kepada pihak lain, mengubah
sebagian atau seluruh bentuk rumah, menggunakan rumah tidak sesuai
dengan fungsinya.32
b. Pemindahtanganan Rumah Negara
Pemindahtanganan BMN berupa Rumah Negara dilakukan dengan
mekanisme:
1)Penjualan;
2)Tukar menukar;
3)Hibah; atau
4)Penyertaan Modal Pemerintah Pusat.
Untuk pemindahtanganan rumah negara dengan mekanisme penjualan
hanya berlaku untuk rumah negara golongan III, sedangkan untuk
mekanisme tukar-menukar dan hibah hanya dapat dilakukan terhadap
rumah negara golongan I dan II. Mekanisme tukar menukar, hibah dan
penyertaan modal dapat diterapkan pada rumah negara golongan III
setelah status dari rumah negara tersebut dialihkan menjadi golongan II.
32
Pasal 10 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 1994 tentang Rumah Negara
44
c. Penghapusan Rumah Negara
Penghapusan Rumah Negara dapat dilakukan antara lain karena :
1)Tidak layak huni;
2)Terkena rencana tata ruang;
3)Terkena bencana;
4)Dialihkan haknya kepada penghuni.
Penghapusan BMN berupa Rumah Negara dilakukan berdasarkan keputusan
Penghapusan BMN yang diterbitkan oleh Pengguna Barang,
PenggunaBarang Rumah Negara Golongan III atau Pengelola Barang.
Penghapusan rumah negara dilakukan berdasarkan keputusan Penghapusan
BMN yang diterbitkan oleh Pengguna Barang, Pengguna Barang Rumah
Negara Golongan III atau Pengelola Barang; hal ini meliputi :
1) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan I dan Rumah
Negara Golongan II dari Daftar Barang Pengguna/Kuasa Penguna pada
Pengguna Barang/Kuasa Pengguna Barang;
2) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara Golongan III dari Daftar
Barang Pengguna/Kuasa Penguna pada Pengguna Barang/Kuasa
Pengguna Barang Rumah Negara Golongan III; atau
3) Penghapusan BMN berupa Rumah Negara dari Daftar BMN pada
Pengelola Barang.
45
Hal-hal tersebut diatas mengenai penghapusan rumah negara
merupakan tindak lanjut dari penyerahan kepada Pengelola Barang,
penetapan status Rumah Negara Golongan III, alih status penggunaan
kepada Pengguna Barang lain, alih fungsi menjadi bangunan kantor,
pemindahtanganan, atau sebab-sebab lain yang secara normal dapat
diperkirakan wajar menjadi penyebab Penghapusan, antara lain terkena
bencana alam atau terkena dampak dari terjadinya force majeure.33
33 Pasal 21 Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 138/PMK.06/2010 tentang Pengelolaan Baraang Milik
Negara Berupa Rumah Negara
46
BAB III
PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN BARANG MILIK
NEGARA BERUPA RUMAH NEGARA
A. Sistem Pengadaan Rumah Negara
Pengaturan terhadap Pengadaan Barang dan Jasa termasuk didalamnya
tentang pengadaan rumah negara telah diatur dalam Keputusan Presiden No 80
Tahun 2003 dan terakhir dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 54 tahun
2010. Dalam Keputusan Presiden No. 80 tahun 2003 peluang terjadinya
penyimpangan dalam pengadaan barang milik negara cukup terbuka. Hal ini
disebabkan antara lain:
1. Dalam hal perencanaan pengadaan barang/jasa, tanggung jawab antara
KPA (Kuasa Pengguna Anggaran)/ Pimpinan unit Kerja dan PPK (Pejabat
Pembuat Komitmen) penaggung jawab penggadaan barang belum diatur
dengan jelas.
2. Pejabat yang bertanggung jawab terhadap pengadaan dualisme antara
Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) dengan Pejabat Pengadaan.
3. Pelelangan lebih banyak ditentukan oleh Pengguna barang ( bukan oleh
tim)
4. Dokumen lelang besifat manual.
47
5. Kurang obyektif dalam penetapan ranking penilian pemenang
6. Masih terjadinya persiangan yang tidak sehat antara sesama penyedia
barang dan jasa
7. Tingkat kompromi antara kontraktor dengan pejabat pengadaan yang
toleran sehingga mengakibatkan timbulnya KKN.34
Sedangkan dengan diterbitkannya Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010
sebagai pengganti Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003, peluang
penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa menjadi sulit bahkan cenderaung
kecil kemungkinannya. Secara prinsip disajikan matrik perbedaan antara
Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 2003 dengan Peraturan Presiden Nomor 54
Tahun 2010 sebagai berikut:
MATRIKS PERBEDAAN KEPRES 80 TAHUN 2003 DENGAN PEPRES
54 TAHUN 2010
KEPRES 80 TAHUN 2003 PERPRES 54 TAHUN 2010
1 Pembagian Tanggung Jawab PA/KPA,
PPK, Pejabat/ Panitia belum diatur
dengan jelas.
1 PA / KPA, Pejabat Pembuat Komitmen
dan ULP / Pejabat Pengadaan teruarai
jelas tugas dan tanggung jawabnya
2 Jenis Pengadaan Terdiri Atas :
a. Barang
b. Jasa Pemborongan
c. Jasa Konsultan
d. Jasa Lainnya
2 Jenis Pengadaan Terdiri Atas :
a. Barang
b. Jasa Konstruksi
c. Jasa Konsultan
d. Jasa Lainnya
3 Media Pengumuman :
a. Surat Kabar Lokal
b. Surat Kabar Nasional
3 Media Pengumuman :
a. Website
b. Papan Pengumuman
34
Sosialisasi Pengadaan Barang/Jasa Oleh LKPP Kepada Para Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) dan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) Seluruh Kementerian/Lembaga Tingkat
Pusat, Jakarta 5-6 April 2011
48
c. Surat Kabar (jika diperlukan)
4 Perangkat Pengadaan :
a. PA / KPA
b. PPK
c. Panitia / Pejabat Pengadaan
4 Perangkat Pengadaan :
a. PA/KPA
b. PPK
c. ULP / Pejabat Pengadaan
d. Tim Penerima Barang
e. Anwizjer (jika diperlukan)
5 Paket Pelelangan ;
a. Sampai dengan Rp 50 jt
dilakukan Penunjukan Langsung
b. Rp 50 jt – Rp100 Jt dilakukan
Pemilihan Langsung
c. Di atas Rp100 jt dilakukan Lelang
Umum
5 Paket Lelang
A. Jasa Pemborongan :
1. Sampai dengan Rp 100 jt dilakukan
penunjukan langsung /
Pengadaan Langsung
2. Rp 100 jt – 200 Jt dilakukan
Pemilihan Langsung
3. Di atas Rp 200 Jt dilakukan Lelang
Umum
B. Jasa Konsultansi
1. Sampai dengan Rp 50 jt dilakukan
Seleksi langsung
2. Rp 50 jt – 100 Jt dilakukan Seleksi
Terbatas
3. Di atas Rp 200 Jt dilakukan Seleksi
Umum
6 Paket Pelelangan ;
a. Sampai dengan Rp 50 jt dilakukan
Penunjukan Langsung
b. Rp 50 jt – Rp100 Jt dilakukan
Pemilihan Langsung
c. Di atas Rp100 jt dilakukan Lelang
Umum
6 Paket Lelang
A. Jasa Pemborongan :
1. Sampai dengan Rp 100 jt dilakukan
penunjukan langsung /
Pengadaan Langsung
2. Rp 100 jt – 200 Jt dilakukan
Pemilihan Langsung
3. Di atas Rp 200 Jt dilakukan Lelang
Umum
B. Jasa Konsultansi
1. Sampai dengan Rp 50 jt dilakukan
Seleksi langsung
2. Rp 50 jt – 100 Jt dilakukan Seleksi
Terbatas
3. Di atas Rp 200 Jt dilakukan Seleksi
49
Umum
7 Sanggahan belum diatur 7 Jika terjadi sanggahan banding, maka
penyedia jasa harus memberikan jaminan
sebesar 2 perseribu dari nilai HPS
8 Pengadaan dilaksanakan secara manual 8 Pengadaan secara elektronik :
a. e-procurement
b. LPSE
c. e-tendering
d. e-purchasing
9 Paket Nilai Pekerjaan :
a. 0 s/d 1 milyar rupiah ………….
Nilai Paket Kecil
b. Diatas 1 Milyar Rupiah ………
Nilaia Paket Non Kecil
9 Paket Nilai Pekerjaan :
a. 0 s/d 2,5 milyar rupiah ………….
Nilai Paket Kecil
b. Diatas 2,5 Milyar Rupiah ………
Nilaia Paket Non Kecil
Sumber : Diolah dari buku petunjuk Pangadaan Barang/jasa sesuai Peraturan
Presiden Nomor 54 tahun 2010
Dengan mengacu kepada hal-hal tersebut di atas, maka terhadap kasus-kasus
penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan rumah negara dapat diktegorikan
ke dalam jenis penyimpangan secara perdata dan pidana dengan pendekatan
perspektif hukum pidana islam.
Sedangkan peyimpangan dalam pengadaan rumah negara bila ditinjau dari
aspek hukum pidana pelakunya adalah oknum pejabat pengelola rumah negara/
Panitia Pengadaan barang dan jasa pada berbagai unit lembaga pemerintahan baik
pusat, maupun daerah dan oknum penghuni rumah negara serta rekanan/penyedia
barang dan jasa/kontraktor. Data yang penulis peroleh secara under cover atas
tindak lanjut hasil temuan Tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2010
dan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan ( BPKP) triwulan 1
tahun 2011 serta Tim dari Kelembagaan Q untuk Penilaian Inisiatif Anti Korupsi
50
(PIAC) pada 61 unit lembaga birokrasi pemerintahan X, Y, Z dan seterusnya
(pusat/daerah), terbukti bahwa urutan kerugian negara sebagai akibat
penyimpangan dalam pengadaan rumah negara yang telah dan sedang diproses di
pengadilan diperoleh data sebagai berikut :
No. Lembaga Jumlah
Pelanggaran
Jenis
Pelanggaran Nilai Kerugian
(Rupiah) Keterangan
1 Kementerian 12 Mark Up
harga dan
korupsi
876.418.716,- Telah Diputus
Pengadilan dengan
oknum yang terlibat:
Panitia Pengadaan,
Pejabat Pengadaan,
dan Rekanan
Pengadaan Barang/
Jasa
2 Lembaga Non
Kementerian
7 Korupsi dan
fiktif
718.750.000,- Telah Diputus
Pengadilan dengan
oknum yang terlibat:
Panitia Pengadaan,
Pejabat Pengadaan,
dan Rekanan
Pengadaan Barang/
Jasa
3 Pemda
Tingkat I
9 Mark Up
harga
904.237.415,- Telah Diputus
Pengadilan dengan
oknum yang terlibat:
Pejabat dan Rekanan
4 Pemda
Tingkat II
19 Korupsi dan
Suap
646.784.332,- Telah Diputus
Pengadilan dengan
oknum yang terlibat:
Anggota Legislatif,
Oknum Penegak
Hukum, dan Oknum
Pemda
5 Gabungan
Lembaga
14 Mark Up,
Gratifikasi,
964.241.670,- Telah diputus
pengadilan dengan
51
lintas sektor suap dan
korupsi
oknum yang terlibat
:Lembaga riset,
penegak hukum,
pejabat antar instansi
dan rekanan.
Sumber : BPK,BPKP, KPK diolah Tim Reformasi Birokrasi
Kementerian X
Sedangkan yang masih dalam proses persidangan terdapat 87 kasus dengan
indikasi tersangka pelanggaran tindak pidana korupsi, gratifikasi dan tuntutan
ganti rugi (TGR) untuk disetorkan/dikembalikan ke negara. Temuan pemeriksaan
manajemen aset oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang berkaitan dengan
permasalahan administrasi atau pencatatan, dan bukti yang sah atas aset yang
dikuasai, dari pemeriksaan di 19 departemen/lembaga negara dengan nilai aset
sebesar Rp 109,33 triliun, ditemukan penyimpangan pengelolaan manajemen aset
mencapai Rp 19,27 triliun dari cakupan pemeriksaan Rp 55,09 triliun. Sedangkan
berdasarkan pemeriksaan di 52 Pemerintah Daerah Tingkat 1 dengan nilai aset Rp
54,07 triliun, ditemukan penyimpangan pengelolaan aset sebesar Rp 18,48 triliun
dari cakupan pemeriksaan Rp 46,68 triliun. Menurut anggota Keuangan Negara I
BPK, Bapak Imran, kurang tertibnya pencatatan dan penguasaan hak atas tanah,
dapat berdampak pada ketidakwajaran penyajian nilai aset dalam laporan
keuangan, rawan terhadap penyalahgunaan, hingga pengakuan hak oleh pihak
52
lain. "Sengketa itu bahkan dapat merugikan negara atau daerah di kemudian
hari”.35
B. Pengertian Penyimpangan Dalam Pengadaan Rumah Negara
1.Pengertian Penyimpangan
Secara primer penyimpangan adalah perilaku yang menyimpang dari
kewajiban-kewajiban normal suatu jabatan pemerintahan, karena kepentingan
pribadi (keluarga, golongan, kawan akrab), demi mengejar status dan gengsi,
melanggar peraturan dengan jalan melakukan atau mencari pengaruh bagi
kepentingan pribadi atau kelompoknya36
.
Penyimpangan dimaksudkan pula sebagai perbuatan dan atau perilaku dari
orang dan kelompok untuk melakukan penyelewengan yang hal itu dimintakan
legalisasi atau diusulkan diadakannya perubahan atas ketentuan yang berlaku,
sehingga untuk dikemudian hari yang demikian itu tidak lagi merupakan suatu
penyimpangan yang tidak sah37
.
35
Paparan Audit Ketua Badan Perwakilan Keuangan Atas Audit BPK Tahun 2010 di
Depan Anggota DPR RI, Maret 2011
36 J.S.Nye, Corruption and Political Development a Cost Benefit Analysis, Harvard
University,1967
37 Bimbingan Teknis Penyelesaian Keuangan Negara, Badan Akuntansi Keuangan Negara
(BAKUN), 1996
53
Penyimpangan sekunder adalah suatu perilaku yang dapat menunjukkan
kepada pelanggaran-pelanggaran yang serius, berulang-ulang, diorganisir dan
diintregrasikan sebagai bagian dari citra pribadi si pelaku. Hal yang mendasar
yang turut mengembangkan keadaan itu adalah penilaian negatif masyarakat
terhadap si pelaku. Ketika keadaan itu dirasakan sebagai suatu ancaman terhadap
kesejahteraannya maka masyarakat akan memberikan dorongan kepada
pelanggar hukum dalam bentuk kepercayaan-kepercayaan yang berkaitan dengan
sebab-sebab tingkah lakunya.
Pemberian dorongan kepada pelanggar hukum ini, kemudian dihayati melalui
serangkaian interaksi yang mengarah pada penyimpangan sekunder. Selanjutnya
suatu yang terjadi dalam masyarakat yang disebabkan oleh adanya penilaian
mengenai tindakan tersebut dan melembagakan ukuran-ukuran penekanannya
terhadap si pelanggar hukum seringkali muncul dalam suatu siklus umpan balik
yang semakin menimbulkan penyimpangan dan pemberian cap (labeling).
2. Bentuk Penyimpangan Secara Pidana Dalam Pengadaan Rumah
Negara
Untuk penyimpangan secara pidana dalam pengadaan rumah negara dapat
berupa penggelapan, penipuan, tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan
jabatan atau wewenang serta pemalsuan.
Penyimpangan dalam pengadaan aset Negara bisa dikategorikan sebagai
korupsi karena merupakan jenis kegiatan yang melawan hukum melakukan
54
perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang
dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara38
.
a. Jenis-Jenis Tindak Pidana Dalam Pengadaan Rumah Negara
Seperti telah disebutkan sebelumnya bahwa untuk penyimpangan secara
pidana dalam pengelolaan rumah negara dapat berupa penggelapan, pencurian,
penipuan, tindak pidana korupsi dan penyalahgunaan jabatan atau wewenang
serta pemalsuan. Untuk dapat mengetahui akar dari setiap jenis tindak pidana
yang kerap terjadi dalam pengelolaan rumah negara, maka jenis tindak pidana
dalam pengelolaan rumah negara haruslah dibahas satu demi persatu sebagai
berikut.
1. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penggelapan
Tindak pidana penggelapan diatur dalam BAB XXIV pasal 372 sampai
dengan pasal 377 KUHP. Dalam aturan ini yang dimaksud dengan penggelapan
adalah sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang,
yang sama sekali atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya
bukan karena kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara
selama-lamanya empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus
rupiah.”
38
Undang-Undang nomor 31 tahun 1999 pasal 2 ayat ( 1 )
55
Dalam aturan ini hampir sama dengan pencurian, hanya saja dalam
penggelapan barang yang diambil sudah berada dalam penguasaan si pelaku
dengan cara yang sah.
2. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penipuan
Penipuan diatur dalam BAB XXV KUHP yaitu dalam pasal 378 hingga 395.
Dalam pasal-pasal yang mengatur mengenai penipuan ini dibedakan menjadi
penipuan biasa, penipuan dengan pemberatan dan penipuan ringan. Untuk induk
dari pasal yang mengatur mengenai penipuan sendiri terdapat dalam pasal 378
KUHP yang berbunyi sebagai berikut :
“Barangsiapa dengan maksud hendak menguntungkan dirinya atau orang lain
dengan melawan hukum, baik dengan memakai nama palsu atau peri keadaan
yang palsu, baik dengan tipu muslihat, maupun dengan rangkaian kebohongan,
membujuk orang supaya memberikan sesuatu barang atau supaya membuat
utang atau menghapuskan piutang, dipidana karena penipuan dengan pidana
penjara selama-lamanya empat tahun.”
Unsur yang terdapat dalam pasal ini adalah orang yang membujuk orang lain
untuk memberikan suatu barang, membuatutang, meniadakan suatu piutang
dengan melawan hukum dengan :
a. Tipu-muslihat;
b. Rangkaian kebohongan;
56
c. Nama palsu;
d. Peri keadaan palsu;
Membujuk disini adalah menanamkan pengaruh demikian rupa terhadap
orang, sehingga orang yang dipengaruhinya mau berbuat sesuatusesuai dengan
kehendaknya, padahal apabila orang itu mengetahui duduk soal yang sebenarnya,
orang tersebut tidak akan mau melakukan perbuatan tersebut. Mengenai cara
memberikan barang tidak harus diserahkan kepada terdakwa sendiri dan tidak
harus diserahkan oleh korban sendiri, namun bisa melalui orang lain.
Menguntungkan diri sendiri dengan melawan hukum berarti menguntungkan diri
sendiri dengan tiada hak. Tipu muslihat berarti suatu hal yang tidak sesuai dengan
kenyataan yang dirancang sedemikian hingga membuat orang lain percaya,,
dimana hal ini setali dengan rangkaian kebohongan yang merupakan susunan
cerita bohong yang saling menutupi satu sama lain. Peri keadaan palsu sendiri
adalah suatu kebohongan mengenai suatu keadaan, dengan contoh suatu
pengakuan jabatan yang sebenarnya tidak melekat pada si pelaku.
3. Tinjauan Umum tentang Pemberian suap dan gratifikasi
Tindak Pidana penyuapan diatur dalam KUHP pasal 209,210,418,419 dan
420.
Adapun ketentuan pasal 209 adalah sebagai berikut
57
Diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau
pidana denda paling banyak empar ratus lima puluh ribu rupiah
1) Barang siapa memberi atau menjanjikan sesuatu kepada seorang pejabat
dengan maksud menggerakkannya untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya
2) Barang siapa memberi sesuatu kepada seorang pejabat karena atau
berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan
atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
Ciri delik suap adalah39
:
1. Peran aktif antara penyuap dengan pejabat
2. Terdapat deal/kesepakatan dua pihak mengenai besaran nilai suap yang akan
ditransaksikan dan cara penyerahannya.
Sedangkan untuk gratifikasi diatur dalam pasal 11 UU No 20 tahun 2011
“Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1(satu) tahun dan paling lama
5(lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta
rupiah), pegawai negeri atau penyelenggara Negara yang menerima hadiah atau
janji pdahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
39
R. Dyatmiko Soemodihardjo, Mencegah dan Memberantas Korupsi, Mencermati
Dinamikanya Di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher,2008),hal 67.
58
jabatannya, atau yang menurut pikiran orang yang memberikan hadiah atau janji
tersebut ada hubungan dengan jabatannya”
Ciri delik gratifikasi adalah40
:
1. Tidak ada peran aktif dari pegawai negeri atau penyelenggara Negara
2. Tidak ada tekanan pada pemberian suap
3. Tidak ada deal/termasuk transaksi dan penyerahannya, serta
4. Pemberian kepada pegawai negeri atau pejabat Negara tanpa adanya
perencanaan/tidak terduga
4. Tinjauan Umum Tentang Tindak Pidana Penyalahgunaan Jabatan dan
Korupsi
Tindak pidana ini diatur dalam BAB XXVIII tentang Kejahatan Yang
Dilakukan dalam Jabatan. Dalam Bab ini banyak terdapat pasal-pasal yang dapat
dikategorikan sebagai tindak pidana dalam pengelolaan rumah negara, antara lain
pada pasal 418, dan 419. Untuk tindak pidana ini erat kaitannya dengan tindak
pidana korupsi karena hal-hal yang telah diatur dalam pasal 418 dan 419 BAB
XXVIII KUHP juga diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.41
40
Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, (Jakarta:
Penaku,2011),hal.50 41
Selanjutnya disebut dengan Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
59
Korupsi sendiri diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penjelasan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun
2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara
Yang bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan Nepotisme, Penjelasan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1999 tentang
Penyelenggaraan Negara Yang bersih Dan Bebas Dari Korupsi, Kolusi Dan
Nepotisme, United Nations Convention Against Corruption, 2003, dan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United
Nations Convention Against Corruption, 2003.
Tindak pidana korupsi yang diatur dalam Undang-Undang tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat dalam Pasal 2 Ayat 1 yang
berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara, dipidana penjara paling singkat 4 (empat)
tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
60
200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,-
(satu milyar rupiah).”
Penyimpangan dalam pengadaan rumah negara sangat rentan dengan praktik
kejahatan dalam jabatan dan tindak pidana korupsi, seperti yang diatur dalam
Pasal 3 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang
berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendriri atau orang lain
atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana
yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara
seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama
20 (dua puluh) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”
Serta pasal 13 Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi yang berbunyi sebagai berikut :
“Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan
mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau
kedudukannya atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada
jabatan atau kedudukan tersebut, dipidan dengan pidana penjara paling lama 3
(tiga) tahun dan atau denda paling banyak Rp. 150.000.000,- (seratus lima puluh
juta rupiah).”
61
b. Korupsi Dalam Tinjauan Hukum Pidana Islam
“Fikih “Jinayat”” terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan “Jinayat”. Pengertian
“fikih” secara bahasa berasal dari lafal “faqiha, yafqahu fiqhan”, yang berarti
mengerti, paham. Pengertian “fikih” secara istilah yang dikemukakan Abdul
Wahab Khallaf adalah :
����� �� ��� � ������� � ���� ���� � � � � �� �� ���� � ! "#$� ������%$���� . � ����� � � ' � �$��� � ������� � ���� ����� � � � (� �� �) ! *������%$��
Artinya : “Fikih adalah ilmu tentang hukum-hukum syara’ praktis
yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci, Atau fikih adalah himpunan
hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis yang diambil dari dalil-dalil
yang terperinci.”42
Adapun ““Jinayat”” menurut bahasa adalah :
+,�- � ".��/ � � * 01�2 3 �� � "�45 ��
Artinya : “Nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk
dan apa yang diusahakan.”
Pengertian “Jinayat” secara istilah fuqaha sebagaimana yang
dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah adalah :
���� � ��، �� ا ء و �� ا ���� �� ���� � ا ��� م ! �+* (�) أو !� ل أو %$� ذا�"
Artinya : “Jinayat” adalah suatu istilah untuk perbuatan yang
dilarang oleh syara’, baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau
42
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Al Fiqh, (Ad Dar Al Kuwaitiyah, 1986), cet VIII, hal.11.
62
lainnya43
. Jika digabungkan maka pengertian “Fikih Jinayat” adalah
ilmu tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan
yang dilarang dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil yang
terperinci.
Bentuk-bentuk korupsi sebagaimana definisi diatas dapat dijumpai
ungkapannya dalam berbagai kasus yang terangkum dalam beberapa konsep-
konsep normatif dan fiqih, beberapa istilah-istilah tersebut adalah :
a) Ghulul
Secara leksikal ghulul dimaknai dengan “akhdzu al-syai wa dassahu fi
mata’ih” ( mengambil sesuatu dan menyembunyikan dalam hartanya )44
. Pada
mulanya ghulul merupakan istilah bagi penggelapan harta rampasan perang
sebelum dbagikan. Oleh karena itu, Ibn Hajar al-Asqalani mendefinisikannya
dengan “al-khiyanah fi al-maghnam” ( pengkhianatan pada harta rampasan
perang )45
. Tindak kejahatan ini disebut dalam QS Ali ‘Imran [3] : 161
= وه آ;.: !� (�) آ� 8��9 7 ا�$6�! ��م %� �45 3�ت 0�+� و!1 �0� أن ��.* آ�ن و!� �<+�4ن
١٦١: ٣/�4�ان ال ) )
43
Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz 1, (Beirut : Dar Al Kitab Al ‘Araby,
tanpa tahun). Hal.67. 44
Muhammad Rawwas Qal’aji dan Hamid Shadiq Qunaibi, Mu’jam Lughat al-fuqaha’, (
Beirut Dar al-Nafis,1985 ), h.334. 45
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, ( Kairo: Dar Diwan al-
Turats, tt ), h.177
63
Artinya : “Dan tidaklah mungkin seorang Nabi berkhianat dalam
urusan harta rampasan perang. Barang siapa yang berkhianat, maka ia akan
datang pada hari kiamat membawa apa yang dikhianatinya. Kemudian setiap
jiwa akan diberi pembalasan sesuai dengan apa yang ia kerjakan, dan tak
seorang pnn akan” diperlakukan secara lalim. ( QS Ali ‘Imran/3: 161 )
b) Risywah
Kata risywah secara leksikal mengacu pada kata rasya-yarysu-risywatan
yang bermakna al-ju’l yang berarti upah, hadiah, pemberian atau komisi.
Sedangkan riywah secara terminologis adalah tindakan memberikan harta dan
yang sejenis untuk membatalkan hak milik pihak lain atau mendapatkan atas
hak milik pihak lain46
. Pengertian tersebut sesuai dengan pengertian para
ulama, di antaranya al-Shan’ani dalam Subul al-Salam yang memahami korupsi
sebagai “upaya memperoleh sesuatu dengan mempersembahkan sesuatu”47
.
Kejahatan ini disebut dalam hadits Nabi :
EFا����* : و�1 �5�7ن رK* اJ�� H ��ل ��1 ر��ل اH ا��ا�* وا�4�G9* وا��4L�$5 *G4� يNا�
Artinya : Tsauban berkata : Rasullullah melaknat penyuap, penerima
suap dan perantara ( yaitu orang yang menghubungkan keduanya48
.
c)Khiyanah
46
Rawwas Qal’aji, h.233.
47 Al-Shan’ani, Subul al-Salam, ( Beirut : Dar al-Shadr,tt.), XIV,h.322
48 HR. Ahmad dalam bab Musnad Anshar radhiyallahu ‘anhum
64
Khiyanat (khianat) secara umum berarti tidak menepati janji. Dalam QS al-
Anfal [8]: 27 dikemukakan tentang larangan mengkhianati Allah dan Rasul-
Nya :
�� �L�1 أ�N��ا ا�!O = ا�)�P9 J+ل ا���� و�P9(�ا وا�Q9�)�!أ R)9�+�4ن وأ
( ��)S٢٧: ٨/ل ا )
Artinya : Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya dan jangan pula kamu berkhianat
terhadap amanat yang diberikan kepadamu sedangkan kamu mengetahuinya.(
QS al-Anfal/8:27)
Khianat juga merupakan sesuatu yang melekat pada ghulul sebab orang yang
melakukan ghulul berarti berkhianat. Sebagaimana penjelasan berikut ini :
Mengkorupsi sesuatu berarti menyembunyikan sesuatu itu ke dalam hartanya
dan menyembunyikannya, kemudian dia mengkhianati sahabatnya dalam
(harta) itu49
d) Mukabarah dan ghasab
Ghasab adalah mengambil sesuatu dari tangan seseorang dengan jalan
kekerasan (paksa)50
.
Sedangkan pengertian Mukabarah sangat umum, meliputi eksploitasi secara
tidak sah atas benda dan manusia. Dengan pengertian ini maka ghasab termasuk
di dalamnya karena merupakan tindakan menguasai atau mengeksploitasi milik
49
M.Shadiq Khan, Nail al-Maram min Tafsir Ayat al-Ahkam, 1929,h.99
50 Pencarian lewat internet www.google.com kata pencarian : Pengertian Ghasab Artikel di
akses pada 14 April 2011
65
pihak lain berdasarkan kekuatan dan kekuasaan. Kejahatan ini disinggung
dalam QS al-Kahfi [18]: 79 :
67�6/8* �8�8.���6� 976� :;�8<6=6> ?�@A8.9�� B�> 67 C�8�@�8D 8E�/�8�8��� @F8G�6 6> C�84��$H��� �H6� I�.@%6J K�84��$8- LMC/ CN,O9=8D PQ��H �,!3�8<8*
( R� ��/TU :WX )
Artinya : Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin
yang bekerja di laut dan aku bertujuan merusak bahtera itu, karena di
hadapan mereka ada raja yang merampas tiap-tiap bahtera.
( QS al-Kahfi/18:79 )
e) Sariqah
Sariqah adalah tindakan mengambil harta pihak lain secara sembunyi-
sembunyi tanpa ada pemberian amanat atasnya. Kejahatan ini disinggung dalam
QS al-Maidah [5] : 38 :
1W! =�Q) �.;اء �45 آXY �4L�Z���ا أ[��� وا�;\�رق وا�;\�ر� $Q X�X� J+وا� J+ا�
( ٣٨: ٥/ZFة ا��4 )
Artinya : Laki-laki dan perempuan yang mencuri potonglah tangan
keduanya sebagai balasan bagi keduanya dan siksaan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa dan Maha Bijaksana.( QS al-Maidah/5:38)
f) Inthikhab
66
Inthikab atau merampas dan menjambret juga termasuk salah satu jenis
penyimpangan terhadap pengadaan aset Negara karena jika dilihat dari
hakikatnya sebagai pemindahan hak yang bertentangan dengan hukum.
67
BAB IV
ANALISA TERHADAP PENYIMPANGAN DALAM PENGADAAN
RUMAH MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN HUKUM PIDANA
POSITIF NEGARA
A. Faktor Penyebab Terjadinya Penyimpangan Pengadaan Rumah Milik
Negara
Terhadap kasus-kasus penyimpangan yang terjadi dalam pengadaan rumah
negara dapat dikategorikan ke dalam jenis penyimpangan secara perdata dan
pidana. Penyimpangan secara perdata yang kerap terjadi, pada umumnya berupa
perselisihan mengenai hak penguasaan, penggunaan dan kepemilikan dari rumah
negara oleh pejabat yang sudah tidak berhak menempati rumah negara karena
pensiun, meninggal ataupun hal lainnya seperti ahli waris masih menempati,
keluarga dari pejabat atau pegawai negeri yang sebelumnya menempati rumah
negara atau merasa berhak untuk memiliki rumah negara sebagai penghargaan dari
negara atas jasa-jasa yang telah dilakukan pada saat dinas. Penyimpangan secara
perdata dalam pengadaan rumah negara ini mengakibatkan kerugian bagi negara,
dikarenakan para penghuni rumah negara tersebut nyata-nyata tidak membayar
sewa atas penempatan rumah dimaksud melalui kas negara. Sedangkan
peyimpangan dalam pengadaan rumah negara bila ditinjau dari aspek hukum
pidana pelakunya adalah oknum pejabat pengelola rumah negara/ Panitia
Pengadaan barang dan jasa pada berbagai unit lembaga pemerintahan baik pusat,
68
maupun daerah dan oknum penghuni rumah negara serta rekanan/penyedia barang
dan jasa/kontraktor. Hal ini disebabkan oleh kelalaian dan inkompetensi
pelaksanaan serta peserta pengadaan. Namun tak jarang penyimpangan ini juga
merupakan tindakan yang disengaja pelaksana dan/atau peserta pengadaan dalam
rangka kolusi dan korupsi51
.
Modus korupsi dalam pengadaan sebagaimana dimaksud meliputi
penggelembungan harga (mark-up), perbuatan curang, penyuapan, penggelapan,
pengadaan fiktif, pemberian komisi, penyalahgunaan wewenang, nepotisme, dan
pemalsuan52
.Menurut indeks pembayaran suap TI, Kasus penyimpangan yang
berkaitan dengan perumahan adalah berjumlah 11 % dari keseluruhan korupsi
dalam pengadaan barang dan jasa53
. Data BPK (Badan Pemeriksa Keuangan)
tahun 2010 juga mengungkapkan indikasi terjadinya korupsi paling banyak
mencuat pada proyek pengadaan. Hal itu terutama disebabkan proses pengadaan
barang/jasa tidak dilakukan melalui mekanisme lelang terbuka (tender),
melainkan dengan penunjukan langsung. Padahal melalui penunjukan langsung,
pelaksanaan proyek dapat menimbulkan konsekuensi pelanggaran hukum.
Dari sisi persaingan usaha sebagaimana telah diatur UU No. 5 tahun 1999,
penunjukan langsung menutup peluang terjadinya kompetisi berkualitas. Oleh
51
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 125
52 Ibid, 125
53 Transparency International Indonesia, Buku Panduan Mencegah Korupsi dalam
Pengadaan Barang dan Jasa, hal. 109.
69
karena itu, para pelakunya dapat dikategorikan melanggar persaingan usaha yang
sehat. Pentingnya lelang terbuka karena diasumsikan adanya kontestansi akan
mendorong tercapainya efektivitas dan efisiensi anggaran belanja. Negara
diuntungkan karena memperoleh barang/jasa yang bagus dengan nilai proyek
yang kompetitif. Penunjukan langsung juga dapat dianggap melanggar Peraturan
Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang/Jasa Pemerintah tentang Pedoman Pengadaan Barang/Jasa di Instansi
Pemerintah, selain itu penunjukan langsung rawan penyimpangan karena
mayoritas dilakukan bukan atas dasar profesionalisme dan integritas, tetapi
berdasarkan adanya faktor kedekatan, seperti hubungan kekeluargaan antara
pemimpin lembaga dan pegawai yang bersangkutan, atau pemilihan itu karena
pegawai menyanggupi untuk memenuhi beban yang diberikan kepadanya sebagai
pimpro atau penitia pengadaan barang/jasa54
. Terutama jika syarat-syarat
penunjukan langsungnya tidak terpenuhi. Disamping itu, pelanggaran terhadap
Peraturan Presiden tersebut akan semakin nyata jika dalam praktik penunjukan
langsung, negara dirugikan karena penggelembungan harga. Apalagi jika
ditemukan unsur penyuapan dan bid rigging, yakni pemberian uang pelicin oleh
peserta lelang kepada panitia lelang. Meskipun demikian, penunjukan langsung
tetap bisa dilakukan asal semua syarat wajib yang tertera dalam Peraturan
Presiden tersebut dipenuhi, termasuk pemenuhan prinsip-prinsip efektif dan
54
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai Permasalahannya,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 120
70
efisien. Oleh karenanya, mengacu kepada Peraturan Presiden No. 80 Tahun 2003,
dapat diberikan catatan khusus bahwa penunjukan langsung tidak berarti selalu
dianggap salah atau melanggar hukum. Hal ini penting diperhatikan mengingat
persepsi publik yang terbangun, jika ada proyek penunjukan langsung, berarti
telah terjadi korupsi. Penunjukan langsung dapat menjadi persoalan dalam ranah
pidana khusus (korupsi) seandainya pejabat publik yang melakukannya memiliki
motif korupsi. Indikasinya dapat dilihat pada penetapan nilai proyek yang tidak
wajar, rekayasa alasan penunjukan langsung, rencana lelang yang sudah
diarahkan, penentuan jadwal lelang yang tidak realistik dan lain sebagainya. Nilai
proyek yang berlipat ganda besarnya dibandingkan harga normal menunjukan
bukti kuat bahwa telah terjadinya korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa
selisih harga proyek dengan harga pasar merupakan ongkos korupsi yang harus
dibayar. Tanpa penggelembungan harga, rekanan sulit memperbesar keuntungan
karena sudah menjadi hal jamak jika 30 hingga 40 persen nilai kontrak harus
dibagi-bagikan untuk panitia proyek dan pejabat yang bertanggungjawab.
Sehingga untuk meminimalisir kejadian ini perlu digalakkan sistem e-
procurement dan e-announcement55
Terdapat beberapa hal yang bisa menjelaskan kerapnya penyimpangan terjadi
dalam proses pengadaan barang/jasa di instansi pemerintah. Saat ini, secara
berjenjang, Pengadaan pengadaan dikendalikan oleh Pimpinan Proyek, badan
55
Vincentia Hanni, Ruwet, Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah, dalam
http://www.kpk.go.id diakses tanggal 20 Agustus 2011
71
pelaksana yang sifatnya “ad-hoc” dan memiliki posisi tawar rendah. Kondisi ini
akan sangat menyulitkan adanya panitia lelang yang kredibel, mandiri dan
objektif dalam menilai proses pelelangan karena mereka sendiri adalah kelompok
yang rentan atas tekanan internal dan eksternal.
Buruknya performance panitia pengadaan juga diakibatkan oleh tiadanya
mekanisme insentif bagi yang memiliki prestasi, khususnya para panitia lelang
yang secara sungguh-sungguh telah mempraktikkan proses pelelangan yang
efektif dan efisien; atau sudah tertanamnya pemikiran di kalangan panitia
pengadaan bahwa melakukan korupsi jauh lebih menguntungkan bagi panitia
lelang dan pejabat yang bertanggungjawab daripada insentif56
.
Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tidak mampu mengakomodasi
pemberian sanksi terhadap pelanggar, karena kekuatan hukumnya jauh di bawah
undang-undang, apalagi Peraturan Presiden dapat setiap saat diperbaharui.
Pengadaan barang dan jasa pemerintah merupakan pengeluaran belanja tertinggi
yang mencapai 60% (enam puluh persen) dari total anggaran belanja pemerintah.
Di samping menjadi pengeluaran tertinggi dalam belanja Negara, pengadaan
barang dan jasa ini juga menjadi yang tertinggi dalam hal kebocoran dana akibat
longgarnya ruang mark up sehingga menimbulkan kerugian kuangan
56
Pencarian lewat internet www.google.com kata pencaharian : Sisi Lemah Pengadaan
Barang dan Jasa, artikel di akses pada 18 April 2011
72
Negara/perekonomian Negara dan masyarakat57
. Modus utama angka kebocoran
diakibatkan pola penunjukkan langsung dari pemerintah terhadap salah satu
rekanan kerja dalam hal pengadaan proyek, sehingga berdampak pada kebocoran
karena sudah dilakukan mark up terlebih dahulu saat menunjuk pemenang
tersebut dengan tujuan wajib memberikan kompensasi kepada lembaga yang
menggolkan salah satu rekanan itu. Selain hal tersebut sebab terjadinya
penyimpangan juga karena kontroversi Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010, hal ini karena timbul pertanyaan apakah BUMN terikat dengan Peraturan
Presiden ini atau tidak, karena BUMN sudah punya aturan tersendiri yang
mengacu kepada Undang-Undang No.19 Tahun 2003,yang kedudukannya lebih
tinggi dari Peraturan Presiden.
B. Modus Operandi
1. Perilaku penyimpangan yang dilakukan oleh para pengelola pengadaan barang
inventaris milik negara, dilakukan sudah membudaya, karena sudah menjadi
kebiasaan bahwa pada setiap organisasi pemerintah pasti terdapat penyimpangan
dalam pemanfaatan barang inventaris milik negara. Misalnya dalam bentuk
merubah fungsi penggunaan dari untuk kepentingan kantor menjadi untuk
kepentingan pribadi dengan pelakunya adalah aparat/pejabat yang bertanggung
jawab terhadap pengelolaan barang inventaris milik negara. Kejadian ini sudah
berlangsung lama yaitu dari generasi ke generasi, pejabat lama ke pejabat baru.
57
Adrian Sutedi, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagai
Permasalahannya, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal 7
73
2. Perilaku penyimpangan sudah merupakan peristiwa yang terjadi sudah lama
sehingga sudah ada transmisi kebudayaan dalam melakukan penyimpangan. Jadi
siapapun yang ditugaskan sebagai pengelola barang inventaris pasti dia akan
melakukan hal yang sama.
3. Penyimpangan dilakukan dengan cara yang sistimatis dan dalam melakukan
tindakan penyimpangan modus yang dilakukan mulai pada tahap perencanaan,
pejabat pengadaan barang bekerjasama dengan perusahaan jasa konsultan
perencana sudah melakukan perhitungan-perhitungan menggelembungkan/mark
up mulai dari volume pekerjaan, jenis-jenis barang yang akan dikerjakan dan
harga-harga yang melebihi taksiran harga pasar serta mengurangi kualitas dari
material yang akan digunakan, sehingga nilai pekerjaan pengadaan rumah negara
menjadi mahal.
4. Dalam hal pelaksanaan pelelangan, penyimpangan dilakukan dengan cara,
Panitia pengadaan bekerjasama dengan pejabat pengadaan, perusahaan konsultan
dan perusahaan kontraktor melakukan pelelangan melalui cara tidak transparan,
misalnya perusahaan kontraktor yang ikut lelang sudah dikondisikan sebelumnya
dengan cara memilih kontraktor yang bisa diajak kolusi dan dapat menyetorkan
sejumlah uang dengan dalih untuk biaya operasional kantor non kedinasan.
5. Dalam penetapan kontraktor yang akan dipilih sebagai pemenang, kontraktor
melakukan negosiasi dengan pejabat lelang agar beberapa jenis barang dikurangi
pekerjaannya atau ditambah dengan mengubah gambar perencana bangunan
74
sehingga harga bisa turun namun nilai kontrak tetap, dan atau harga dinaikkan
melalui adendum sebagai pekerjaan tambah kurang. Terhadap nilai harga yang
disesuaikan tersebut, uang disetorkan kepada pejabat pengadaan, pejabat lelang
dan beberapa pejabat lainnya yang terkait dengan pekerjaan tersebut58
.
C. Sanksi Dalam Penyimpangan Terhadap Pengadaan Rumah Negara menurut
Hukum Pidana Positif
1. Sanksi Penyimpangan Pengadaan Rumah Negara Menurut Hukum Pidana
positif
Penyimpangan dalam kategori tindak pidana yang dilakukan dalam
Pengadaan rumah negara adalah penggelapan, pencurian, penipuan, tindak pidana
korupsi dan penyalahgunaan jabatan atau wewenang serta pemalsuan. Modus
operandi penggelapan dalam Pengadaan rumah negara dibarengi dengan tindak
pidana pemalsuan yang praktiknya dengan cara menjual rumah milik negara yang
ditempati oleh pejabat atau pegawai negeri kepada pihak lain tanpa adanya
persetujuan dari pengelola barang serta memalsukan surat-surat kepemilikan
rumah tersebut. Tindak pidana seperti kasus ini, dapat dijatuhi sanksi pidana
berupa hukuman penjara selama-lamanya 4 (empat) tahun atau denda sebanyak-
banyaknya Rp.900,- (sembilan ratus rupiah); namun dalam pasal 374 KUHP
disebutkan bahwa penggelapan yang dilakukan oleh orang yang memegang barang
58
Muhdori, Penyimpangan Dalam Pengelolaan Barang Inventaris Milik Negara Dalam
Suatu Unit Kerja Birokrasi Pemerintahan, Sebagai Bentuk White Collar Crime (Studi Kasus
Departemen “X”), (Depok: UI.2003), hal.73.
75
itu karena jabatannya sendiri atau karena pekerjaannya atau karena mendapat upah
uang, dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun.
Untuk tindak pidana pemalsuan yang diatur pada pasal 263 pasal 1 dan 2 yang
berbunyi sebagai berikut ;
“(1) Barangsiapa membikin surat palsu atau memalsukan surat yang dapat
menerbitkan suatu hak, sesuatu perutangan atau yang dapat membebaskan dari
utangatau yang dapat menjadi bukti dari sesuatu hal dengan maksud untuk
memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, jikalau pemakaian surat itu dapat mendatangkan
kerugian, maka karena memalsukan surat dipidana dengan pidana penjara
selama-lamanya 6 (enam ) tahun.
(2) Dipidana dengan pidana penjara semacam itu juga, barangsiapa dengan
sengaja memakai surat palsu atau surat yang dipalsukan, seolah-olah surat itu
asli dan tidak dipalsukan, kalau pemakaian surat itu mendatangkan kerugian.”
Dalam pasal 264 KUHP juga dijelaskan bahwa pidana penjara selama-
lamanya 8 (delapan) tahun dapat diberikan apabila pemalsuan dilakukan terhadap
surat pembukti resmi (akte otentik), surat utang atau surat tanda utang dari suatu
negara, sero, talon dan surat kredit yang diedarkan. Penyimpangan ini juga dapat
dimasukkan kedalam kategori tindak pidana penipuan, karena mengandung unsur
adanya tipu muslihat, rangkaian kebohongan, dan peri keadaan palsu yang dapat
mempengaruhi orang lain untuk membuat utang dengan melawan hukum karena
76
telah diatur dalam huruf a ayat 2 pasal 10 Peraturan Pemerintah tentang Rumah
Negara bahwa penghuni rumah negara dilarang menyerahkan sebagian atau
seluruh rumah kepada pihak lain.
a. Sanksi Untuk Tindak Pidana Menghancurkan atau Merusakkan Barang
Tindak pidana ini biasa dilakukan oleh pejabat atau pegawai negeri, ahli waris
dan pensiunan pejabat atau pegawai negeri dalam bentuk merubah bentuk dari
rumah negara agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingannya, seperti
menambahkan kamar, membuat ruangan untuk berdagang, dimana hal ini dapat
dimanfaatkan untuk kepentingan dirinya sendiri. Hal ini juga tidak sesuai dengan
hurf b ayat 1 pasal 10 Peraturan Pemerintah tentang Rumah Negara yang mengatur
bahwa penghuni rumah negara wajib memelihara dan memanfaatkan rumah sesuai
dengan fungsinya. Serta diatur pula pada huruf b dan c ayat 2 pasal 10 Peraturan
Pemerintah tentang Rumah Negara yang mengatur bahwa penghuni rumah negara
dilarang mengubah sebagian atau seluruh bentuk rumah dan menggunakan rumah
tidak sesuai dengan fungsinya.
Selain sanksi administrasi berupa pencabutan izin menghuni, dapat juga
dikenakan sanksi pidana yang berupa penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun
untuk tindak pidana menghancurkan atau merusakkan gedung pada pasal 410
KUHP.
77
b. Sanksi Untuk Tindak Pidana Penyalahgunaan Jabatan dan Korupsi
Dalam Pengadaan rumah negara, kejahatan dalam penggunaan jabatan yang
biasa dilakukan adalah terdapat dalam Pasal 416, 417, 418, 419, 420, 423, 424
dan 425 KUHP. Dalam tindak pidana ini berkaitan pula dengan tindak pidana
korupsi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahunn 2009 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Penyimpangan dalam Pengadaan rumah
negara dapat dimasukkan ke dalam tindak pidana korupsi karena memenuhi unsur
dari rumusan tindak pidana korupsi yaitu secara hukum telah memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan
negara atau perekonomian negara. Begitu pula dengan korupsi yang dilakukan
dengan penyalahgunaan wewenang yang unsur-unsurnya dapat dimasukkan ke
dalam penyimpangan dalam Pengadaan rumah negara yaitu bertujuan
menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan
menyalahgunakan wewenang, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena
suatu jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian
negara59
. Korupsi dalam Pengadaan rumah negara ini dapat dilakukan sejak dari
pengadaan hingga penghapusan rumah negara tersebut, dan dilakukan secara
bersama-sama oleh para pegawai negeri dengan vendor dan pihak lain.
Dalam Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, diatur
bahwa sanksi yang diberikan adalah pidana penjara seumur hidup atau sekurang-
59
Firman Wijaya, Delik Penyalahgunaan Jabatan dan Suap Dalam Praktek, (Jakarta:
Penaku,2011), hal.19.
78
kurangnya 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahundan denda paling
sedikti Rp. 200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.
1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), dimana bila tindak pidana korupsi ini
dilakukan dalam keadaan bencana dapat dijatuhkan pidana mati. Sedangkan untuk
tindak pidana korupsi yang berkaitan dengan penyalahgunaan wewenang dalam
Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dikenakan
pidana penjara sejurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan selama-lamanya 20 (dua
puluh) tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 50.000.0000,- (lima puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah), sedangkan
korupsi dengan penyalahgunaan wewenang dalam penggunaan tanah negara dalam
KUHP diatur dalam pasal 424 dengan ancaman hukuman penjara selama-lamanya
6 (enam) tahun.
Dalam KUHP pasal 416 diatur sanksi untuk pegawai negeri yang dengan
sengaja memalsukan buku atau daftar yang semata-mata digunakan untuk
pemeriksaan tata usaha, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun, dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.
30.000.000,- (tiga puluh juta rupiah), dimana hal ini diatur pula pada pasal 9
undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diberikan
sanksi penjara sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan selama-lamanya 5 (lima)
tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
79
Dalam KUHP pasal 417 juga diatur tentang tindak pidana korupsi yang
berupa perusakkan dan atau penghancuran tanda bukti bagi kuasa yang berhak,
seperti akte-akte, surat-surat atau daftar-daftar secara langsung maupun tidak
langsung yang disimpan karena jabatannya, hal ini dikenakan sanksi pidana
penjara seumur hidup atau selama-lamanya 20 (dua puluh) tahun, dan/atau denda
sebanyak-banyaknya Rp.1.000.000,- (satu juta rupiah), dimana hal ini diatur pula
dalam pasal 10 undang-undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang
dapat diberikan sanksi penjara sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-
lamanya 7 (tujuh) tahun dan denda sekurang-kurangnya Rp. 100.000.000,- (seratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 350.000.000,- (tiga ratus lima puluh juta
rupiah).
Dalam KUHP pasal 418 juga diatur tentang tindak pidana korupsi yang
berupa menerima hadiah karena jabatannya, pemberian suap atau janji yang
dimaksud dalam rumusan pasal 418 harus dilandasi:
1. Pengetahuan ataupun kepatuhan dapat menduga dari pegawai negeri
yang bersangkutan bahwa pemberian atau janji ada hubungannya dengan sesuatu
yang kek uasaan atau suatu kewenangan yang ia miliki karena jabatannya
80
2. Oleh anggapan orang yang memberikan pemberian atau janji ada
hubungannya dengan kekuasaan atau kewenangan yang dimiliki oleh penerima
pemberian atau janji karena jabatannya60
.
Ketentuan Pasal 418 KUHP ini, jika dilihat dari perumusannya,
merupakan delik formal di mana perbuatan dianggap selesai saat pelaku, yakni
pejabat tersebut, telah menerima pemberian atau janji61
hal ini dikenakan sanksi pidana penjara seumur hidup atau selama-lamanya
20 (dua puluh) tahun, dan/atau denda sebanyak-banyaknya Rp.30.000.000.000,-
(tiga puluh juta rupiah), dimana hal ini diatur pula dalam pasal 11 undang-undang
tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diberikan sanksi penjara
sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun dan denda
sekurang-kurangnya Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp. 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah).
Untuk pasal 419, 420, 423 dan 425 dikenakan sanksi dalam pasal 12 undang-
undang tentang pemberantasan tindak pidana korupsi yang dapat diberikan sanksi
pidana penjara seumur hidup atau sekurang-kurangnya 4 (empat) tahun dan paling
lama 20 (dua puluh) tahundan denda paling sedikti Rp. 200.000.000,- (dua ratus
juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
60
Lamintang dan Samosir, Hukum Pidana Indonesia, (Bandung: Sinar Baru,1990),
hal.182
61 Firman Wijaya, ibid, hal 39
81
Selain sanksi pidana yang telah ditetapkan diatas, dapat juga dikenakan sanksi
pidana tambahan berupa :
A) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau
barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana
korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang
tersebut;
B) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama
dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
C) penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu)
tahun;
Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan
seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh
Pemerintah kepada terpidana.
Salah satu kasus korupsi dalam pengadaan Rumah Negara ini terjadi di
daerah Cirebon dengan putusan No. 1682 K/Pid/2005 dimana Kepala PT.Djakarta
Loyd cabang Cirebon ini merugikan perekonomian Negara karena memperkaya
diri sendiri atau orang lain atau korporasi sebesar Rp.25.440.000 (dua puluh lima
juta empat ratus empat puluh ribu rupiah), dimana ia mengajukan permohonan
rehap rumah dinas sebesar Rp.30.000.000 (tiga puluh juta rupiah) namun pada
pelaksanaan biaya yang dihabiskan dalam rehap rumah dinas ini hanya sebesar
82
Rp.11.000.000 (sebelas juta rupiah) sehingga Negara dirugikan sebesar
Rp.19.000.000 (Sembilan belas juta rupiah). Kemudian terdakwa membeli mebeler
menggunakan dana PT.Djakarta Loyd sebesar Rp.4.000.000 (empat juta rupiah)
untuk pembelian kursi tamu dan meja makan,namun yang ada di rumah dinas
hanya kursi tamu saja sedangkan meja makan dsimpan di rumah pribadi
terdakwa,sehingga Negara dirugikan sebesar Rp.1.900.000 (satu juta sembilan
ratus ribu rupiah),selain itu terdakwa juga melakukan mark up dana untuk
melakukan perbaikan pagar rumah dinas berupa teralis besi dengan nota
pembayaran sebesar Rp.3.800.000 (tiga juta delapan ratus ribu rupiah), namun
pada kenyataannya dana yang dihabiskan hanya Rp.1.060.000 (satu juta enam
puluh ribu rupiah) sehingga Negara dirugikan sebesar Rp.2.740.000 (dua juta tujuh
ratus empat puluh ribu rupiah), dan terakhir terdakwa juga mengajukan untuk
membeli gordin seharga Rp.1800.000 (satu juta delapan ratus ribu rupiah) namun
kenyataannya gordin tersebut tidak dipasang di rumah dinas sehingga Negara
dirugikan sebesar Rp.1.800.000 (satu juta delapan ratus ribu rupiah). Perbuatan
terdakwa tersebut di atas diatur dan diancam pidana dalam pasal 2 ayat (1)
Undang-Undang No.31 Tahun 1999 jo Undang-Undang No.20 Tahun 2001
Tentang Perubahan atas Undang-Undang RI No.31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo pasal 64 KUHPidana.
83
D. Analisis Penyimpangan Terhadap Pengadaan Rumah Negara menurut
Hukum Pidana Islam
Penyimpangan dalam pengadaan rumah Negara menurut Hukum Pidana
Islam dikategorikan sebagai jarimah ta’zir karena benturan terhadap kepentingan
pengadaan tidak mungkin dikriminalisasi dengan hudud dan juga qisas/diyat.
Ta’zir itu sendiri adalah hukuman yang bersifat pendidikan atas perbuatan dosa
yang hukumannya belum ditetapkan oleh syara’, sedangkan untuk uqubah
(hukuman) ditetapkan oleh pemerintah yang berdasarkan kepada nash dan tujuan
hukumannya tersebut demi terealisasinya kemaslahatan umat.
Dilihat dari dampak akibat perbuatan korupsi,ternyata sangat berbahaya
bagi kelangsungan hidup suatu bangsa, selain menyebabkan kemiskinan karena
adanya ketidakadilan dan kezaliman, korupsi merupakan wujud kerusakan moral
atau akhlak yang sudah mencapai puncak kebobrokannya. Oleh karena itu, untuk
menghambat dan memberantasnya diperlukan tindakan sangat tegas, menghukum
para pelaku dengan sanksi yang seberat-beratnya.
Untuk penerapan sanksi bagi pelaku tindak pidana korupsi Penerapannya
sepenuhnya diserahkan kepada Hakim (Penguasa), dengan kewenangan yang
dimilikinya, ia dapat menetapkan hukuman yang sesuai dengan kadar kejahatan
dan keadaan pelakunya, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan umum Islam
dalam menjatuhkan hukuman, yaitu :
84
1. Tujuan penjatuhan hukuman, yaitu menjaga dan memelihara kepentingan
umum
2. Efektifitas hukuman dalam menghadapi korupsi tanpa harus merendahkan
kemanusiaan kepadanya
3. Sepadan dengan kejahatan, sehingga terasa adil
4. Tanpa pilih kasih, semua sama kedudukannya di depan hukum
Di dalam UU No 39 Tahun 1999 jo UU No 20 Tahun 2001 pasal 2
(1) Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
(2) Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
Kemudian pasal 3 UU No 39 Tahun 1999
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau
suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada
padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun
85
dan atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Jika kita melihat rumusan diatas tersebut maka unsur jarimah ta’zir tercantum
dalam rumusan tersebut yaitu Khiyanat (khianat) yang secara umum berarti tidak
menepati janji. Dalam QS al-Anfal [8]: 27 dikemukakan tentang larangan
mengkhianati Allah dan Rasul-Nya :
�� �L�1 أ�N��ا ا�!O = ا�)�P9 J+ل ا���� و�P9(�ا وا�Q9�)�!أ R)9�+�4ن وأ
( ��)S٢٧: ٨/ل ا )
Khianat juga merupakan sesuatu yang melekat pada ghulul sebab orang yang
melakukan ghulul berarti berkhianat. Sebagaimana penjelasan berikut ini :
Mengkorupsi sesuatu berarti menyembunyikan sesuatu itu ke dalam hartanya dan
menyembunyikannya, kemudian dia mengkhianati sahabatnya dalam (harta) itu
Sedangkan untuk uqubahnya terdapat dalam hadits berikut :
Siapa saja yang mengambil barang orang lain (mencuri), maka dia harus mengganti
dua kali lipat nilai barang yang telah dia ambil dan dia harus diberi hukuman (HR
al-Nasa’i. Kitab sariq. No 4872) dan juga hukuman penjara diambil berdasarkan
hadits ‘Amr b. Syarid dari bapaknya dari Rasullullah, beliau bersabda : Dari Nabi:
orang kaya yang mengulur waktu membayar hutang tanpa ada uzur adalah zalim,
maka halal harga dirinya dan hukumannya adalah penjara.
dimana pelaku tindak pidana korupsi di hukum dengan pidana penjara dan
denda bahkan bisa sampai hukuman mati jika sampai keadaan tertentu yang
86
maksudnya adalah jika membahayakan kemaslahatan umat dan nilai kejahatannya
sudah sangat berat.
Untuk pidana denda ulama masih berbeda pendapat, ada yang memposisikan
nya sebagai hukuman pokok dan hukuman tambahan. Penerapan sanksi tersebut
tampaknya dikenakan dalam jarimah yang berkaitan dengan ketamakan seseorang.
Di samping itu, ulama juga membolehkan penerapan sanksi ta’zir berupa penyitaan
uang dengan jalan rampasan bagi pelaku tindak pidana korupsi yang bertujuan
memperkaya diri sendiri, mengakibatkan kerugian Negara, dan memperburuk
perekonomian masyarakat.
Seorang Hakim dapat mempertimbangkan dan menganalisa berat dan
ringanya perbuatan yang dilakukan oleh pelaku korupsi. Kejahatan yang telah
ditetapkan sanksi hukumnya oleh nash, seorang Hakim tidak punya pilihan lain
kecuali menerapkannya. Meskipun sanksi hukum bagi pelaku korupsi tidak dijelaskan
dalam nash secara tegas, namun perampasan dan pengkhiatan dapat diqiyaskan
sebagai penggelapan dan korupsi.
Korupsi bisa dikategorikan dengan konsep ghulul (penggelapan) dan risywah
(penyuapan), sehingga cara untuk menindak pelaku tindak pidana korupsi adalah
menjalankan sanksi ta’zir dari yang terberat (hukuman mati) hingga yang teringan
(penjara) sesuai dengan berat dan ringannya tindakan dan dampak yang dilakukan.
87
Dalam jarimah korupsi ada tiga unsur yang dapat dijadikan pertimbangan
hakim dalam menentukan jenis hukumannya, yaitu:
1. Perampasan harta orang lain
2. Pengkhianatan atau penyalahgunaan wewenang
3. Kerja sama dalam kejahatan
Ketiga unsur tersebut jelas dilarang dalam syariat Islam. Selain pertimbangan
tersebut,diikutsertakan pertimbangan akal sehat, keyakinan dan rasa keadilan hakim
yang berdasar pada rasa keadilan masyarakat untuk menentukan jenis hukuman bagi
koruptor.
beberapa pertimbangan yang bisa dijadikan dasar untuk menentukan sanksi
hukuman,yaitu :
1. Besar kecilnya kerugian material yang diakibatkan sehingga sanksi
pelaku tindak kejahatan yang menyebabkan kerugian material kecil
mesti lebih ringan daripada yang menyebabkan kerugian material besar.
2. Besar kecilnya kerugian sosial yang diakibatkan sehingga sanksi pelaku
tindak kejahatan ini yang menyebabkan kerugian sosial kecil mesti lebih
ringan dibanding dengan yang menyebabkan kerugian sosial besar.
88
3. Frekuensi tindakan kejahatan sehingga sanksi pelaku tindak kejahatan
korupsi yang baru mesti lebih ringan daripada yang berulang-ulang
Sementara itu, ta’zir dalam tindak pidana korupsi dapat diklasifikasikan
sesuai dengan berat dan ringannya cara atau akibat yang ditimbulkan, di antaranya:
1. Memecat dari jabatannya. Hal ini bisa diberlakukan kepada pelaku yang
memangku jabatan public, baik yang diberi gaji atau jabatan yang
sifatnya sukarela
2. Hukuman berupa harta (denda) dan hukuman fisik
3. Penjara. Pemenjaraan ini bertujuan untuk memberi pelajaran bagi
pelaku,lama hukuman penjara dilihat dari akibat dan dampak yang
diakibatkan oleh perbuatan pelaku, jika melanggar kemaslahatan umat
maka bisa di penjara sampai dengan seumur hidup
4. Hukuman Mati. Kadang-kadang bentuk hukuman ta’zir bisa berbentuk
hukuman mati. Hukuman ini diberlakukan bila kemaslahatan benar-benar
menghendakinya karena para pelaku tidak jera mengulangi dan
melakukan tindak kriminal sehingga aparat sudah merasa putus asa
terhadap perbuatannya.
89
Hukuman untuk pelaku tindak pidana tersebut itu tertuang dalam QS al-ma’idah
[5]:33,yaitu :
976� �Y��8�6> ?Z@<(� B�> 67@ 8�@�8D8* ,"6� ,-8<8* 8"[6��� 67 ,�?<�8A,D 8D�N[6�� \3�8]8 �8�[8G?_ 8� �@ 6$@4,D @*6� K a�O @� @�,�C�, @<6�8* @�?�D�b@D6� 8c[6d6#,e @*6� � ,.[6�8%,D @*6� � C�[8�6#,D
���f8� Pg�6N8� �'8��Oh� B�> @�,�6�8* �8�@G[,b�� B�> Pi@]�O @�,�6� 8Q��6j ?Z@<(� ( ��� 'bk/l :mm )
Artinya : “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah
dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh
atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau
dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu
penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang
besar”.( QS al-Ma’idah/5:33 )
Selain itu para pelaku tindak pidana penyimpangan dalam pengadaan
perumahan milik Negara yang bisa dikategorikan dengan tindak pidana korupsi juga
dapat dikenai sanksi sebagai berikut62
:
1. Dikucilkan karena memakan harta korupsi yang sama saja dengan memakan
barang haram ( al-suht )
@*6� @�,�84@�8� @�C @��6> 8n*\3�8 97?o6> �F@A[,���� 67 C��[6/6� ?g�N6 9��� 67 ,��[8�8- @�,�@48� @Z?�@�6�8F@�6 8� 97?_8* �Ip@�82 8n*[,�,q8D @6�6> @�,�@48� @Z?�@�,e 97?_8*
8E�d��9#,�9�� [,��A,D 8"[6��� [67?_ �r@��#9��?� @�,�84@�8� @�C @��6>
Artinya : “Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita
bohong, banyak memakan yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang
62
ibid, hal 136.
90
kepadamu (untuk meminta putusan), maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu berpaling dari mereka
maka mereka tidak akan memberi mudarat kepadamu sedikit pun. Dan jika
kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”.(
QS al-Ma’idah [5]:42)
2. Tidak diterima kesaksiannya, seperti kesaksian dalam pembuktian hukum di
pengadilan, kesaksian dalam itsbat (penetapan) awal Ramadhan/Syawal, dan
lain-lain. Kesaksian seorang pengkhianat tidak diterima, sementara pelaku
korupsi adalah orang yang telah berkhianat. Hal ini ditegaskan dalam hadits
berikut :
6� ,s8e ,t �8�2 8� C' �8O 0?�k 8* 6� �8O ��84�k
Artinya : “Tidak diperbolehkan kesaksian laki-laki dan perempuan yang
berkhianat”. (HR Abu Da’ud, al-Tirmidzi, dan Ibn Majah)63
.
Dalam hadis lain Bukhari menyatakan bahwa seorang pejabat yang tidak jujur
tidak akan memperoleh bau surga. Dengan Hadis sebagai berikut64
:
u�v �w� ?x@ ,-8< @� ,",�@���8- �Iy@D�b8� 8QCz1b8A, uHG�� ?M�#@�8 @8� w� "��� ��-*u�v u?.H4�� C�@���8- w� "��� �8�6d@A8D @�6�6> I�H���8< \w� ,{�8� @�8�@-6� [email protected]� @� �8 Cx@ C#8D ��-*
@b?s8D @�6� L��� K�8A@��%84?� ��H48s9�� C�8A�k�8<)i<�} {�*<( “Dari Ma’qil RA, katanya: saya akan menceritakan kepada engkau
hadis yang saya dengar dari Rasulullah SAW, dan saya telah mendengar
beliau bersabda: “Seseorang yang telah ditugaskan Tuhan memerintahi
rakyat, kalau dia tidak memimpin rakyat itu dengan jujur, niscaya dia tiada
akan memperoleh bau surga.” (H.R. Bukhari).
63
Ibn Majah, Sunan Ibn Majah,( Dar Ihya al-Turas al-Arabi, 1975 ) juz II h.792
64 Zainuddin., Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum Islam di Indonesia, h. 144.
91
Itulah nas-nas syar'iyyah yang menjelaskan tentang hukuman tentang
tindak pidana korupsi,walaupun tidak secara jelas menjelaskan tentang hukuman
untuk pelaku tindak pidana korupsi namun dengan mengetahui unsur-unsur dari
penyimpangan tersebut bisa ditarik nas-nas syar’iyyah tersebut untuk menjatuhkan
hukuman kepada pelaku tindak pidana korupsi.
92
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari keseluruhan rangkaian yang penulis uraikan di bab-bab sebelumnya maka
dapat diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
1. Penyimpangan dalam pengadaan rumah negara berupa penyalahgunaan
jabatan atau wewenang dimana pejabat atau pegawai negeri menggunakan
jabatan atau kewenangannya dengan maksud menguntungkan diri
sendiri,orang lain atau suatu korporasi dimana perbuatannya tersebut
merugikan keuangan negara. Selain itu bentuk penyimpangan ini juga
berupa penggelembungan harga, penyuapan, pengadaan fiktif, nepotisme
dan pemberian komisi terhadap panitia pengadaan barang dan jasa.
2. Faktor yang menyebabkan terjadinya penyimpangan dalam pengadaan rumah
negara ini disebabkan oleh kelalaian dan inkompetensi pelaksanaan peserta
pengadaan, namun tak jarang juga penyimpangan ini juga merupakan
tindakan yang disengaja pelaksana dan/atau peserta pengadaan dalam rangka
korupsi, selain itu diakibatkan juga oleh pola penunjukkan langsung dari
pemerintah terhadap salah satu rekanan kerja dalam hal pengadaan proyek,
sehingga berdampak pada kebocoran karena sudah dilakukan mark up
terlebih dahulu saat menunjuk pemenang tersebut dengan tujuan wajib
93
memberikan kompensasi kepada lembaga yang menggolkan salah satu
rekanan itu
3. Tujuan utama syari‟at Islam (maqashid al-syari‟ah) ialah menjaga dan
melindungi kemanusiaan. Perlindungan ini dirumuskan oleh para ulama
dalam 5 tujuan (al-maqashid al-khamsah), yakni perlindungan terhadap
agama (hifzh al-din), perlindungan terhadap jiwa (hifzh al-nafs),
perlindungan terhadap akal (hifzh al-aql), perlindungan terhadap keturunan
(hifzh al-nasl), dan perlindungan terhadap harta (hifzh al-mal). Tindakan
korupsi jelas merupakan perlawanan terhadap tujuan kelima; hifzh al-mal,
dan juga melanggar kemaslahatan umum sehingga sudah sepatutnya apabila
pelaku tindak pidana ini mendapatkan sanksi hukuman yang berat. Di dalam
Hukum Pidana Islam pelaku tindak pidana ini dapat diancam dengan
hukuman ta’zir dimana hukumannya ditetapkan oleh pemerintah, jika
melihat dari dampak yang diakibatkan dari penyimpangan ini maka menurut
Hukum Pidana Islam sang pelaku tindak pidana dapat dikenai hukuman yang
berat sampai dengan hukuman mati karena melanggar kemaslahatan umum
dan merupakan ancaman bagi tujuan syariat.
B. Saran – Saran
Setelah adanya kesimpulan dari penelitian langsung ini, maka untuk bahan
evaluasi akan dipaparkan beberapa saran antara lain :
94
1. Pemerintahan yang baik sebagai platform dasar program anti-korupsi di bidang
pengadaan perumahan Negara,sehingga berorientasi pada prinsip Good
Procurement Governance yang berbasis pada asas keterbukaan, akuntabilitas
publik, partisipasi masyarakat dan supremasi hukum
2. Pengkajian ulang rencana anggaran pengadaan melalui program pengawasan
melekat dan pengawasan masyarakat yang diperkuat dengan peraturan undang-
undang.
3. Dilakukan pengkajian ulang dengan melakukan program keterbukaan yang
memungkinkan masyarakat member masukan terhadap rencana pengadaan itu
4. Keanggotaan panitian pengadaan seharusnya disusun secara berhati-hati dan
tidak asal tunjuk, perlu dipilih dari orang-orang yang “bersih” tanpa “cacat”,
berpengalaman di bidang pengadaan, menguasai pengetahuan tentang prosedur
dan teknis pengadaan
5. Audit dalam pengadaan perumahan Negara, hal ini bertujuan untuk mengurangi
resiko dalam penyimpangan terhadap pengadaan seperti mark up dana dalam
spesifikasi pengadaan rumah Negara yang dapat menimbulkan kerugian besar
bagi Negara.
6. Pengawasan yang ketat untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penyimpangan, pemborosan dan kegagalan, serta agar pengadaan dilaksanakan
secara efektif, efisien, hemat dan tertib
95
7. Sanksi yang berat bagi para pelaku penyimpangan sehingga menimbulkan efek
jera yang sangat luas bagi para pelaku penyimpangan, salah satunya bisa
diterapkan sanksi berdasarkan hukum pidana Islam untuk kasus penyimpangan
ini, seperti dengan di potong tangan, penyaliban ataupun di bunuh, dan
eksekusinya tersebut dilakukan di depan masyarakat luas sehingga bisa menjadi
contoh bagi yang lain jika melakukan yang serupa
96
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Ali, Zainuddin, 2007, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta
Al-Shan’ani, Subul al-Salam, Dar al-Shadr,Beirut
Amiruddin, 2010, Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan Jasa, Genta Publishing,
Yogyakarta
Audah, Abdul Qadir, At Tasyri’ Al Jina’iy Al Islamiy, Juz 1, Dar Al Kitab Al ‘
Araby, Beirut.
Badan Akuntansi Keuangan Negara, 1996, Bimbingan Teknis Penyelesaian Kerugian
Negara, Bakun
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 1990, Sixth Edition, West
Publishing CO.
Fuad, Mahsun, 2005, Hukum Islam Indonesia, Lkis Pelangi Aksara, Yogyakarta.
Hamzah, Andi, 2004, Asas-asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta
Hartanti, Evi. 2006, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta
Ibn Hajar al-‘Asqalani, Fath al-Bari bi Syarh Shahih al-Bukhari, Dar Diwan al-
Turats, Kairo
Indrati, Maria Farida, 1998, Ilmu Perundang-undangan, Dasar-Dasar dan
Pembentukannya, Kanisius, Jakarta.
97
Irdamisraini, Hukum Islam. Vol. VIII, 2008, Universitas Islam Negeri Suska, Riau
Kemal Dermawan, Mohammad, Jurnal Ilmu-ilmu Sosial, Universitas Indonesia,
Jakarta.
Khallaf, Abdul Wahab, 1986, Ilmu Ushul Al Fiqh, Ad Dar Al Kuwaitiyah.
Moeljatno, Azas-azas Hukum Pidana, 1987, Rineka Cipta, Jakarta
Muhammad Rawwas Qal’aji dan Hamid Shadiq Qunaibi, 1985 Mu’jam Lughat al-
fuqaha’, Dar al-Nafis, Beirut
M.Shadiq Khan, 1929, Nail al-Maram min Tafsir Ayat al-Ahkam
Muslich, Ahmad Wardi, 2005, Hukum Pidana Islam, Sinar Grafika, Jakarta
Muslich, Ahmad Wardi,2006, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, Sinar
Grafika, Jakarta
Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, 2010, Koruptor itu kafir: Telaah fiqih Korupsi
Muhammadiyan dan Nahdlatur Ulama,Mizan, Jakarta.
Nye, Joseph Samuel, 1967, Coruption and political Development a cost benefit
analysis, Harvard University.
Prof. Dr. Poernomo, Bambang, S.H, 1992, Asas-Asas Hukum Pidana, Ghalia
Indonesia, Yogyakarta.
Rosyada, Dede, 1992, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Lembaga Studi Islam dan
Kemasyarakatan, Jakarta
98
Soekanto, Soerjono, 1986, Pengantar Penelitian Hukum, Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta.
Sutedi, Adrian, 2008, Aspek Hukum Pengadaan Barang dan Jasa dan Berbagi
Permasalahannya, Sinar Grafika, Jakarta
Sutherland, Edwin H. and Cressey, Donald, , 1992, Principles of Criminology. 11th
ed. Lanham, Md.: AltaMira Press.
Syahatah, Husain, 2005, Perlindungan Aset Publik Dalam Perspektif Hukum Islam, J
akarta.
Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, 2005, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi
Ketiga, Balai Pustaka, Jakarta
Transparency International,2006, Mencegah Korupsi Dalam Pengadaan Barang dan
Jasa, Transparency International Indonesia, Jakarta
Peraturan Perundang-undangan
Amandemen Keempat Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945;
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan
Negara
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara
99
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1992 tentang Pemukiman dan
Perumahan
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha
milik Negara
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek
Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2006 tentang Pengelolaan
Barang Milik Negara/Daerah;
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 40 tahun 1994 tentang Rumah
Negara;
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan
Barang dan atau Jasa Pemerintah;
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun tentang Pengadaan Barang
dan atau Jasa Pemerintah;
Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 138/PMK.06/2010 tentang
Pengelolaan Barang Milik Negara Berupa Rumah Negara
100
Website
Pencarian lewat internet www.google.com kata pencarian : Pengertian Ghasab
Artikel di akses pada 14 April 2011
Pencarian lewat internet www.google.com kata pencaharian : Sisi Lemah Pengadaan
Barang dan Jasa, artikel di akses pada 18 April 2011