SKRIPSI Oleh - core.ac.uk · AKUMULASI LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) PADA KARANG FAVIIDAE...

76
AKUMULASI LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) PADA KARANG FAVIIDAE (Platygyra sp dan Goniastrea sp) DI PULAU SAMALONA,BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG, KOTA MAKASSAR SKRIPSI Oleh: EKO ATMOJO PRATIKTO JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014

Transcript of SKRIPSI Oleh - core.ac.uk · AKUMULASI LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) PADA KARANG FAVIIDAE...

AKUMULASI LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) PADA KARANG FAVIIDAE (Platygyra sp dan Goniastrea sp) DI

PULAU SAMALONA,BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG, KOTA MAKASSAR

SKRIPSI

Oleh:

EKO ATMOJO PRATIKTO

JURUSAN ILMU KELAUTAN

FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HASANUDDIN

MAKASSAR

2014

ABSTRAK

EKO ATMOJO PRATIKTO. Akumulasi Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada Karang Faviidae (Platygyra sp dan Goniastrea sp) di Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang, Kota Makassar (dibimbing oleh SHINTA WERORILANGI dan MUHAMMAD FARID SAMAWI) Terumbu karang sebagai suatu ekosistem mempunyai peran ekologis yang sangat penting bagi perairan laut secara keseluruhan. Salah satu jenis pencemar yang berbahaya adalah logam Pb dan Cu. Karang Faviidae sebagai organisme bentik dapat dijadikan sebagai indikator monitoring lingkungan karena kerangka kapurnya dapat mengasimilasi logam-logam dari perairan laut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akumulasi logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada karang Faviidae (Platygyra sp dan Goniastrea sp) di perairan Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang. Pengukuran kandungan logam Pb dan Cu pada sampel air dan karang menggunakan metode destruksi kering. Parameter Oseanografi yang diukur yakni suhu, salinitas, kecerahan, pH, oksigen terlarut, dan bahan organik terlarut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Konsentrasi logam Pb dan Cu pada kedua jenis karang tertinggi di Pulau Samalona dan terendah di Pulau Bonebatang. Konsentrasi logam Pb lebih tinggi pada jenis Platygyra sp di Pulau Samalona dan Bonebatang; sedangkan konsentrasi logam Cu lebih tinggi pada jenis Goniastrea sp di Pulau Barranglompo dan Bonebatang. BCF logam Pb lebih tinggi pada jenis Platygyra sp; sedangkan BCF logam Cu lebih tinggi pada jenis Goniastrea sp. Kata Kunci :

Akumulasi, Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu), Karang Faviidae (Platygyra sp dan Goniastrea sp).

AKUMULASI LOGAM TIMBAL (Pb) DAN TEMBAGA (Cu) PADA KARANG FAVIIDAE (Platygyra sp dan Goniastrea sp) DI

PULAU SAMALONA,BARRANGLOMPO DAN BONEBATANG, KOTA MAKASSAR

Oleh :

EKO ATMOJO PRATIKTO

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin

JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN

UNIVERSITAS HADANUDDIN MAKASSAR

2014

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Makassar pada tanggal 11 Maret

1989. Anak bungsu dari lima bersaudara. Buah Hati

dari pasangan Eddy K dan Nasria. Penulis mengawali

pendidikan formal di Sekolah Dasar Negeri (SDN) 123

Banti Kecamatan Baraka Kab. Enrekang pada tahun

1996-2001, kemudian melanjutkan pendidikan ke

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 04 Baraka

tahun 2001-2004 dan melanjutkan pendidikan ke

Sekolah Menengah Atas (SMA) Disamakan Angkasi

Lanud Hsanuddin tahun 2004-2007.

Pada tahun 2007, penulis diterima di

Universitas Hasanuddin melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru

(SPMB) pada Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan

dan mengambil konsentrasi Eksplorasi Sumber Daya Hayati Laut. Pada

Tahun 2007 penulis dikukuhkan menjadi anggota Senat Mahasiswa Fakultas

Ilmu dan Teknologi Kelautan (FITK). Selama masa studi di Kelautan penulis

banyak mengikuti kegiatan dan pelatihan diantaranya, Pelatihan

Kepemimpinan Manajemen Mahasiswa (LKMM) yang diadakan oleh SEMA

FIK UH pada tahun 2007 dan Basic Study Skill (BSS) yang diadakan FIKP.

Penulis juga aktif di berbagai organisasi kelembagaan SEMA FIK UH,

diantaranya menjadi pengurus SEMA divisi Pengkaderan tahun 2008, divisi

Humas tahun 2009 dan Ketua Panitia Orientasi Mahasiswa Baru Kelautan

(OMBAK) tahun 2010.

Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir, masing-masing Praktek

Kerja Lapang (PKL) di BMKG 2011 dengan judul Analisis Lokasi Upwelling di

Perairan Spermonde dengan Menggunakan Software Windwave-05 dan

Arcvie 3.3 dan Kuliah Kerja Nyata (KKN) pada tahun 2011 di Desa Tompo

Kecamatan Barru, Kabupaten Barru, serta melakukan penelitian untuk

penyelesaian tugas akhir di jurusan ilmu kelautan dengan judul “Akumulasi

Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada Karang Faviidae (Platygyra sp

dan Goniastrea sp) di Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang, Kota

Makassar.

Alhamdulillahirabbilalamin

karena hanya dengan Ridho dan Rahmat Allah SWT

menyelesaikan tahap demi tahap penyusunan skripsi

”Akumulasi Logam Timbal (Pb) dan Tembaga

(Platygyra sp dan Goniastrea

yang dilaksanakan penulis sejak bulan

Tak lupa pula penulis menghaturkan shalawat dan salam atas Nabi

Muhammad SAW, Rasu

Islam di seluruh penjuru dunia.

Kupersembahkan karya terbaikku kepada keluargaku tercinta,

Ayahanda Eddy K dan Ibunda

Adi Wijaya, Agung Laksono dan Eka Wati.

cinta dan motifasi yang diberikan kepada

Setiap kata demi kata dalam karya ini merupakan hasil kerja keras penulis

serta bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis patut menghaturkan terima kas

yang sebesar-besarnya kepada

1. Ibu Prof. Dr. Ir Andi Niartiningsih, MP

banyak mendidik dan memberikan nasehat kepada penulis.

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirabbilalamin, penulis panjatkan atas kehadirat

ngan Ridho dan Rahmat Allah SWT sehingga penulis dapat

menyelesaikan tahap demi tahap penyusunan skripsi dengan

Akumulasi Logam Timbal (Pb) dan Tembaga (Cu) pada Karang Faviidae

Goniastrea sp)” yang merupakan laporan hasil penelitian

yang dilaksanakan penulis sejak bulan Juli sampai dengan Agustus 2013.

Tak lupa pula penulis menghaturkan shalawat dan salam atas Nabi

Muhammad SAW, Rasulullah yang telah menyampaikan nikmat Iman dan

Islam di seluruh penjuru dunia.

Kupersembahkan karya terbaikku kepada keluargaku tercinta,

dan Ibunda Nasria, serta kakak-kakaku, Erna wati, Adam

Adi Wijaya, Agung Laksono dan Eka Wati. Terima kasih atas segala doa,

cinta dan motifasi yang diberikan kepada penulis selama ini.

Setiap kata demi kata dalam karya ini merupakan hasil kerja keras penulis

serta bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis patut menghaturkan terima kas

besarnya kepada:

Prof. Dr. Ir Andi Niartiningsih, MP sebagai penasehat akademik yang telah

banyak mendidik dan memberikan nasehat kepada penulis.

enulis panjatkan atas kehadirat–Nya,

sehingga penulis dapat

dengan judul

(Cu) pada Karang Faviidae

” yang merupakan laporan hasil penelitian

Agustus 2013.

Tak lupa pula penulis menghaturkan shalawat dan salam atas Nabi

lullah yang telah menyampaikan nikmat Iman dan

Kupersembahkan karya terbaikku kepada keluargaku tercinta,

, Erna wati, Adam

kasih atas segala doa,

Setiap kata demi kata dalam karya ini merupakan hasil kerja keras penulis

serta bantuan dari berbagai pihak, untuk itu penulis patut menghaturkan terima kasih

sebagai penasehat akademik yang telah

2. Ibu Dr. Ir. Shinta Werorilangi, M.Sc sebagai pembimbing utama yang telah

berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan serta

memberikan saran kepada penulis.

3. Bapak Dr. Ir. Muh. Farid Samawi, M.Si sebagai pembimbing anggota, yang

telah berkenan meluangkan waktunya untuk membimbing dan mengarahkan

serta memberikan saran dan perhatiannya kepada penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

4. Bapak Prof Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc, Dr. Muhammad Lukman,

ST, M.Sc dan Ibu Dr. Ir. Aidah Ambo Ala Husain, M.Sc sebagai tim

penguji, yang telah memberikan kritik dan saran selama penelitian.

5. Kepada Dekan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Ketua Jurusan Ilmu

Kelautan, beserta seluruh staf dosen dan pegawai yang telah banyak

memberikan bantuan, langsung maupun tak langsung, selama penulis mengikuti

pendidikan

6. Rekan-rekan seperjuangan Team Peneliti; Musryadi, Nurfadillah dan

Nurwahida yang senantiasa menyemangati dan memberikan bantuan.

7. Teman-teman yang ikut membantu dalam pengambilan data di Lapangan;

Hariyanto kadir, Ulil Amri, Hardianty.

8. OMBAK 07, Mucmin, Syafriyogi, Ishak, Zul Fahmi, Ficar, Syarful, Satria

Oktavianus, Abdy Wunanto, Abd. Saddam Mujib, Akhmad Khaerul Islam,

Syamsul Laremba, Ilham Antariksa dan semuanya yang tak bisa penulis

sebutkan satu persatu. Terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya serta

canda tawanya selama menjalani kehidupan kampus yang penuh harapan,

kebersamaan suka duka dan cita-cita.

9. Kantin Ibu Hj. Dg. Te’ne/Dg. Bunga dan Ibu Mone yang telah menyediakan

tempat konsumsi yang sederhana tapi banyak memberikan inspirasi dan

kebersamaan serta canda tawa

10. Teman KKN Gelombang 80 posko Tompo, terima kasih atas

kebersamaan selama di lokasi KKN.

11. Teman spesialku Hardianty, S.Kel yang selalu setia dan selalu ada memberikan

motivasi.

Akhir kata, penulis berharap semoga Allah SWT, memberikan balasan

yang setimpal atas segala kebaikan yang diberikan dalam proses

penyelesaian skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan, itu karena keterbatasan penulis namun penulis berharap

semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Makassar, Juni 2014

Eko Atmojo Pratikto

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ........................................................................................... x

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xii

I. PENDAHULUAN ................................ Error! Bookmark not defined.

A. Latar Belakang ................................... Error! Bookmark not defined. B. Tujuan dan Kegunaan ....................................................................... 2 C. Ruang Lingkup .................................................................................. 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 4

A. Logam ............................................................................................... 4 1. Logam Timbal (Pb) ......................................................................... 5 2. Logam Tembaga (Cu)..................................................................... 6

B. Karang Faviidae ................................................................................ 7 1. Klasifikasi ....................................................................................... 7 2. Platygyra sp .................................................................................... 8 3. Goniastrea sp ................................................................................. 9 4. Bioekologi Karang Faviidae .......................................................... 10

C. Parameter Lingkungan Laut............................................................. 12 1. Suhu ............................................................................................. 12 2. Derajat Keasaman (pH) ................................................................ 13 3. Kecerahan dan kedalaman ........................................................... 13 4. Salinitas ........................................................................................ 14 5. Oksigen Terlarut (DO) .................................................................. 14 6. Dissolved Organic Matter (DOM) .................................................. 15

III. METODE PENELITIAN ................................................................... 16

A. Waktu dan Tempat .......................................................................... 16 B. Alat dan Bahan ................................................................................ 16 C. Prosedur Penelitian ......................................................................... 17

1. Tahap Persiapan .......................................................................... 17 2. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel ...................................... 17 3. Tahap Pengambilan Sampel Karang dan Air Laut ........................ 18 4. Pengukuran Parameter Lingkungan ............................................. 18 5. Tahap Preparasi Sampel Karang .................................................. 21 6. Tahap Preparasi Sampel Air Laut ................................................. 22 7. Tahap Pengukuran Konsentrasi Logam Pb dan Cu ...................... 23 8. Perhitungan Faktor Biokonsentrasi (BCF) ..................................... 24

D. Analisis Data ................................................................................... 24

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................ 25

A. Konsentrasi Logam Pb dan Cu Pada Kolom Air Laut ....................... 25 B. Konsentrasi Logam Pb Pada Karang dan Hasil BCF ....................... 28

1. Konsentrasi Logam Pb Pada Karang ............................................ 28 2. Bioconcentration Factor (BCF) Logam Pb pada Karang ............... 29

C. Konsentrasi logam Cu Pada Karang dan Hasil BCF ....................... 31 1. Konsentrasi Logam Cu Pada Karang ............................................ 31 2. Bioconcentration Factor (BCF) Logam Cu pada Karang ............... 32

D. Parameter Lingkungan Laut............................................................. 34 1. Suhu ............................................................................................. 34 2. Salinitas ........................................................................................ 35 3. Kecerahan .................................................................................... 35 4. Derajat Keasaman (pH) ................................................................ 36 5. Oksigen Terlarut (DO) .................................................................. 36 6. Dissolved Organic Matter (DOM) .................................................. 37

V. KESIMPULAN DAN SARAN ........................................................... 38

A. Kesimpulan ..................................................................................... 38 B. Saran .............................................................................................. 38

Daftar pustaka ............................................................................................ 39

LAMPIRAN ................................................................................................. 42

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman 1. Kadar normal dan maksimum logam yang masuk ke lingkungan laut .............. 6 2. Kisaran dan status kandungan logam Pb pada air ........................................... 6 3. Hasil pengukuran parameter lingkungan berdasarkan standar baku mutu air laut

untuk biota laut .............................................................................................. 34 4. Kisaran dan status kandungan DO di perairan ............................................... 36

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman 1. Platygyra sp .............................................................................................. 8

2. Goniastrea sp ........................................................................................... 9

3. Struktur polyp dan kerangka kapur karang . Error! Bookmark not defined.

4. Peta lokasi penelitian .............................................................................. 16

5. Nilai rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu pada kolom air ................... 25

6. Nilai rata-rata konsentrasi logam Pb pada karang ................................... 28

7. Nilai rata-rata hasil perhitungan BCF logam Pb pada karang ................ 30

8. Nilai rata-rata konsentrasi logam Cu pada Karang. ................................. 31

9. Nilai rata-rata hasil perhitungan BCF logam Cu pada karang .................. 33

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Konsentrasi logam Pb dan Cu pada air laut ............................................ 42

2. Hasil analisis One Way Anova logam Pb dan Cu pada kolom air ............ 42

3. Hasil analisis Nasted Anova logam Pb pada karang ............................... 44

4. Konsentrasi logam Pb dan Cu pada karang dan hasil BCF ..................... 45

5. Hasil analisis Nasted Anova logam Cu pada karang ............................... 46

6. Hasil pengukuran parameter lingkungan laut .......................................... 47

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pencemaran logam merupakan suatu proses yang erat hubungannya

dengan aktivitas manusia yang menggunakan logam tersebut, misalnya

pertambangan batu bara, pemurnian minyak, pembangkit tenaga listrik dengan

energi minyak, pengecoran logam serta pelayaran, banyak mengeluarkan limbah

pencemaran terutama pada logam-logam yang relatif mudah menguap dan larut

dalam air (Darmono, 1995).

Karang adalah hewan tak bertulang belakang yang termasuk dalam Filum

Coelenterata (hewan berongga) atau Cnidaria (Nybakken, 1992). Filum Coelenterata

dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu hydroid, ubur-ubur dan Anthozoa yang meliputi

karang lunak, anemon laut dan karang batu (Romimohtarto dan Juwana, 2001).

Karang batu menjadi salah satu bagian penting dari ekosistem ini. Telah dibuktikan dari

beberapa penelitian menunjukkan kemampuan dalam mengakumulasi logam berat

(Samawi dkk., 2010).

Banyaknya polutan termasuk logam yang masuk ke perairan laut dapat

menyebabkan degradasi lingkungan serta terumbu karang. Berdasarkan sifat

bioakumulasi logam, maka hewan karang dapat dijadikan sebagai bioindikator dalam

melihat tingkat pencemaran lingkungan. Menurut Scott (1990) dan Esslemont

(1999) dalam Eryati (2008), mengatakan bahwa hewan karang sebagai organisme

indikator sangat berguna untuk monitoring lingkungan, karena kerangka kapurnya

mengasimilasi logam-logam lebih dari ratusan tahun.

Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang diduga merupakan daerah

yang dipenuhi berbagai aktivitas berupa pelayaran dan berbagai aktivitas lainnya.

Akibatnya menimbulkan berbagai permasalahan di perairan. Salah satunya adalah

pencemaran logam yang berasal dari aktivitas tersebut yang secara tidak langsung

membuang limbah cairnya ke perairan laut. Pembuangan limbah dapat mencemari

lingkungan perairan dan organisme yang hidup di dalamnya (Hutagalung, 1991),

maupun yang berasosiasi dengannya (Ambariyanto, 2011).

Pulau Samalona, Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang dijadikan

sebagai lokasi penelitian karena ketiga pulau tersebut memiliki jarak yang berbeda

dan semakin menjauh dari daratan utama Kota Makassar serta diduga sudah

banyak mendapat pengaruh dari aktifitas manusia berupa buangan limbah

pencemar.

Dengan melihat beberapa fenomena di atas maka perlu dilakukan penelitian

terhadap konsentrasi logam, terutama timbal (Pb) dan tembaga (Cu) pada karang

yang bersifat sesil seperti pada karang massif contoh (Platygyra sp dan Goniastrea

sp). Peran ini berkaitan dengan fungsi ekologis pada ekosistem terumbu karang

dalam mendistribusikan logam serta perbedaan kedua jenis karang tersebut dalam

mengakumulasi logam yang ada di perairan. Informasi secara parsial mengenai

akumulasi logam oleh biota bentik telah diteliti, namun belum menggambarkan

secara holistik distribusi logam pada ekosistem terumbu karang.

B. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui akumulasi logam timbal (Pb)

dan tembaga (Cu) pada karang Faviidae (Platygyra sp dan Goniastrea sp) di

perairan Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang. Sedangkan kegunaan

penelitian ini adalah sebagai bahan informasi peran karang Platygyra sp dan

Goniastrea sp dalam mengakumulasi logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu) di sekitar

perairan Spermonde.

C. Ruang Lingkup

Ruang lingkup penelitian ini meliputi pengukuran kandungan logam timbal (Pb) dan

tembaga (Cu) pada karang Platygyra sp, Goniastrea sp dan air laut di perairan Pulau

Samalona, Barranglompo dan Bonebatang. Sedangkan parameter lingkungan yang

diukur yaitu suhu, salinitas, kecerahan, derajat keasaman (pH), Dissolved Oxygen

(DO) dan Dissolved Organic Matter.

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Logam

Logam adalah unsur alam yang dapat diperoleh dari laut, erosi batuan

tambang, vulkanis dan sebagainya. Untuk kepentingan biologi, Clark (1986)

membagi logam ke dalam 3 kelompok yaitu:

1. Logam ringan (seperti natrium, kalium, kalsium, dan lain-lain), biasanya

diangkut sebagai kation aktif di dalam larutan encer.

2. Logam transisi (seperti besi, tembaga, kobalt dan mangan), diperlukan dalam

konsentrasi yang rendah, tetapi dapat menjadi racun dalam konsentrasi yang

tinggi.

3. Logam berat dan metaloid (seperti raksa, hitam, timah, selenium,dan arsen),

umumnya tidak dipergunakan dalam metabolisme dan sebagai racun bagi

racun dalam konsentrasi rendah.

Menurut Darmono (1995), faktor yang menyebabkan logam termasuk ke

dalam zat pencemar adalah karena adanya sifat-sifat logam yang tidak dapat terurai

(non degradable) dan mudah diabsorbsi. Babich dan Stotzky (1978) mengemukakan

bahwa berbagai faktor lingkungan berpengaruh terhadap logam berat yaitu

keasaman tanah, bahan organik, suhu, tekstur, mineral liat, dan lain-lain.

Sifat racun logam berbeda-beda tergantung dari anion-kation yang terdapat

bersamanya, proses ini dikenal sebagai faktor sinergistik. Dalam perairan, logam

dapat ditemukan dalam bentuk terlarut dan tidak terlarut. Logam terlarut adalah

logam yang membentuk kompleks dengan senyawa organik dan anorganik,

sedangkan logam yang tidak terlarut merupakan partikel-partikel yang membentuk

koloid dan senyawa kelompok metal yang terabsorbsi pada partikel-partikel yang

tersuspensi (Razak, 1980).

Terkontaminasinya logam pada kerangka karang (CaCO3), melalui beberapa

mekanisme, antara lain substitusi unsur kalsium oleh logam-logam tertentu, serpihan

bahan-bahan organik yang mengandung logam masuk ke ruang pori-pori kerangka

karang (Dodge et al., 1984).

Pengaruh toksitas logam dalam tubuh hewan karang akan menyebabkan

kerusakan jaringan atau susunan sel, baik pada polip maupun zooxanthella dengan

ditemukannya akumulasi logam dalam jaringan hewan karang (Eryati, 2008).

Logam yang terakumulasi pada kerangka kapur karang menyebabkan

rangka kapur menjadi rapuh dan lebih sensitif terhadap tekanan fisik (Howard &

Brown 1984 dalam Alutoin et al., 2001). Akan tetapi, alga simbiotik dalam endoderm

karang memiliki toleransi yang lebih tinggi terhadap logam dan diduga menjadi

tempat penimbunan logam pada karang.

1. Logam Timbal (Pb)

Timbal adalah jenis logam yang lunak dan berwarna cokelat kehitaman, serta

mudah dimurnikan, dalam bahasa ilmiahnya dinamakan plumbum, dan logam ini

disimbolkan dengan Pb. Logam ini termasuk ke dalam logam golongan IVA pada

tabel periodik unsur kimia (Darmono, 1995), selanjutnya mempunyai nomor atom

(NA) 82 dengan bobot atau berat atom (BA) 207,2 gr/mol (Palar, 2008). Penggunaan

timbal dalam jumlah yang paling besar adalah bahan produksi baterai pada

kendaraan bermotor (Darmono, 1995), sedangkan menurut Palar (2008), timbal

digunakan dalam industri kimia yang berbentuk tetraethyl Pb, yang biasanya

dicampur dengan bahan bakar minyak untuk melindungi mesin supaya awet.

Kadar normal dan maksimum logam yang masuk ke lingkungan laut dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Kadar normal dan maksimum logam yang masuk ke lingkungan laut

Unsur Kadar (ppm)

Normal A Maksimum B

Timbal (Pb) 0,00003 0,01 Tembaga (Cu) 0,002 0,05

Sumber: Hutagalung (1991)

Kelarutan timbal di air cukup rendah mengakibatkan kadarnya relatif sedikit.

Kadar dan toksisitas timbal dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas dan kadar

oksigen.

Kisaran dan status kandungan logam Pb dalam air laut menurut Keputusan

Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH), No. 51 tahun 2004 dapat dilihat pada

Tabel 2.

Tabel 2. Kisaran dan status kandungan logam Pb pada air

ELEMEN KISARAN STATUS KETERANGAN

Pb 0-0,008 ppm Tidak tercemar KMNLH No.51

Tahun 2004 >33 ppm Tercemar

Sumber: KMNLH (2004)

2. Logam Tembaga (Cu)

Menurut Palar (2008), tembaga dengan nama kimia cuprum dilambangkan

dengan Cu. Unsur logam ini berbentuk kristal dengan warna kemerahan. Dalam

table periodik, tembaga menempati posisi dengan nomor atom (NA) 29 dan

mempunyai bobot atau berat atom (BA) 63,546.

Tembaga (Cu) merupakan unsur penting dalam industri peralatan listrik

karena mempunyai fungsi sebagai konduktor yang baik. Senyawa tembaga banyak

digunakan pada berbagai industri antara lain cat antifouling, insektisida dan

fungisida (Petrucci, 1993).

Dalam bidang industri, logam tembaga (Cu) banyak digunakan, sebagai

contoh, industri cat sebagai antifouling, industri insektisida, fungisida dan lain-lain.

Disamping itu dalam proses produksinya, dipakai dalam industri galangan kapal

karena digunakan sebagai campuran bahan pengawet, industri pengolahan kayu,

buangan rumah tangga dan lain sebagainya (Palar, 2008).

Secara biologis Cu tersedia dalam bentuk Cu+ dan Cu2+ dalam gram

inorganik dan kompleks inargonik. Perpindahan Cu dengan konsentrasi relatif tinggi

dari lapisan tanah bumi ditentukan oleh cuaca, proses pembentukan tanah,

pengairan, potensial oksidasi reduksi, jumlah bahan organik di tanah dan derajat

keasaman (pH).

Tembaga (Cu) merupakan logam essensial dan menjadi elemen yang

penting bagi makhluk hidup termasuk hewan karang sehingga akibat buruk akan

timbul bila kekurangan (deficiency) atau kelebihan elemen ini (Fergusson, 1982).

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 menyebutkan

bahwa baku mutu logam Cu untuk air laut yakni 0,008 mg/L.

B. Karang Faviidae

1. Klasifikasi

Karang Faviidae adalah salah satu jenis karang yang masuk dalam kelompok

karng keras (hard coral) dimana hampir dari seluruh anggota dari famili ini

berzooxanthella dan hidup berkoloni dimana koloninya berbentuk massif. Septa, pali,

kolumella, dinding koralit jika ada akan membentuk struktur yang seragam untuk

masing-masing genus. Septa sederhana dengan dinding yang seragam, dinding

hampir semuanya terbentuk dari perubahan septa yang saling berhubungan (Veron,

2000; Suharsono, 2008).

Identifikasi jenis karang keras Faviidae dengan buku identifikasi Corals of

The World (Veron, 2000) dan jenis-jenis Karang di Indonesia (Suharsono, 2008),

didapatkan dua jenis karang massif Faviidae yang diambil di lokasi penelitian dan

dijadikan sampel penelitian. Jenis tersebut adalah Platygyra sp dan Goniastrea sp

(Veron, 2000 dalam Suharsono, 2008).

2. Platygyra sp

Klasifikasi karang Faviidae (Platygyra sp) menurut Veron (2000):

Kingdom : Animalia Phylum : Coelenterata

Class : Anthozoa Order : Scleractinia

Family : Faviidae Genus : Platygyra

Species : Platygyra sp

Gambar 1. Karang Faviidae (Platygyra sp)

Tumbuh seperti bongkahan batu padat yang kokoh. Permukaan karang ini

halus dan padat, koloni massif dengan ukuran besar. Koralit hampir semuanya

meandroid dengan alur yang memanjang dan ukuran sedang. Pali tidak

berkembang, kolumela berada di tengah saling berhubungan antar satu dengan

yang lainnya. Biasanya ditemukan di sepanjang tepi terumbu karang dan bagian

atas lereng terumbu (Ehrenberg, 1834 dalam Suharsono, 2008).

3. Goniastrea sp

Klasifikasi karang Faviidae (Goniastrea sp) menurut Veron (2000):

Kingdom : Animalia Phylum : Coelenterata

Class : Anthozoa Order : Scleractinia

Family : Faviidae

Genus : Goniastrea

Species : Goniastrea sp

Gambar 2. Karang Faviidae (Goniastrea sp)

Koloni massif dan beberapa berupa lembaran atau encrusting. Koralit cerioid

dengan bentuk polygonal dengan sudut yang tajam, membulat atau memanjang

cenderung meandroid. Septa selalu dengan pali yang nyata dan membentuk

mahkota mengelilingi kolumela. Hidup menempel di dasar perairan. Ukuran koralit

1,5 – 10mm dan ada jarak antar koralit. Polip dan tentakel tidak terlihat. Berwarna

krem atau cokelat muda dan kadang-kadang coklat tua, merah muda atau hijau

(Edwards and Haime, 1848 dalam Suharsono, 2008).

Karang Faviidae (Platygyra sp dan Goniastrea sp) mempunyai bentuk koloni

yang massif. Perbedaan yang jelas antara kedua jenis karang ini terletak pada bentuk

koralitnya dimana pada jenis Platygyra sp koralitnya meandroid sedangkan pada

Goniastrea sp koralitnya cerioid (Suharsono, 2008).

Daerah penyebaran karang Platygyra sp dan Goniastrea sp ditemukan di

seluruh perairan Indonesia dan biasanya ditemukan di rataan terumbu atau di dekat

tubir pada daerah yang dangkal dan berarus deras (Suharsono, 2008).

4. Bioekologi Karang Faviidae

Suharsono (1996), menyatakan karang termasuk ke dalam binatang yang

mempunyai sengat atau lebih dikenal sebagai Cnidaria (cnida yang berati jelatang)

yang dapat menghasilkan kerangka kapur dalam jaringan tubuhnya. Pembentukan

terumbu karang melalui proses yang cukup lama dan kompleks. Proses tersebut

diawali dengan terbentuknya endapan-endapan masif kalsium yang terutama yang

dihasilkan oleh hewan karang dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan

organisme-organisme lain yang juga menghasilkan kalsium karbonat yang dikenal

dengan terumbu (Nybakken, 1992).

Thamrin (2006) menyatakan pada umumnya karang mempunyai tentakel

yang berkontraksi atau dapat menarik dan menjulur yang berfungi untuk menangkap

mangsa dari perairan dan sebagai alat pertahanan diri. Namun kebutuhan energi

dan makanan karang sebagian besar tergantung pada simbionnya yaitu

zooxanthellae yang hidup di dalam jaringan endodermis karang. Kebutuhan karang

terbesar disuplai oleh simbionnya yaitu zooxanthellae. Veron (1993) dalam Thamrin

(2006) menyatakan kebutuhan karang yang berasal dari simbionnya mencapai

sekitar 98%, bahkan ada yang memperkirakan hampir 100% dengan kisaran antara

75-99% (Tackett 2002 dalam Thamrin 2006).

Karang batu (massif) pertumbuhannya lebih lambat dibandingkan karang

yang bercabang. Untuk mencegah terjadinya penguasaan tempat dan memelihara

keanekaragaman pada terumbu karang, karang massif dapat mencegah

pertumbuhan yang cepat dari karang yang bercabang dengan memakan jaringan

hidup koloni karang yang menutupi mereka (Nybakken, 1992).

Terkontaminasinya logam pada kerangka karang (CaCO3) ada beberapa

mekanisme, antara lain subtitusi unsur kalsium oleh logam-logam tertentu, serpihan

bahan-bahan organik yang mengandung logam masuk ke ruang pori-pori kerangka

karang (Dodge et al., 1984).

Gambar 3. Struktur polyp dan kerangka kapur karang

(http/www.solcomehouse.com/coris.nooa. gov/about/what_are/coralreefs.html)

Pengaruh toksitas logam dalam tubuh hewan karang akan menyebabkan

kerusakan jaringan atau susunan sel, baik pada polip maupun zooxanthella dengan

ditemukannya akumulasi logam dalam jaringan hewan karang (Eryati, 2008).

C. Parameter Lingkungan Laut

Parameter lingkungan laut yang mempengaruhi kehidupan karang dan

akumulasi logam dalam karang massif (Faviidae) sebagai berikut:

1. Suhu

Suhu air di permukaan laut dipengaruhi oleh kondisi meteorologi, seperti

curah hujan, kelembaban udara, suhu udara, penguapan, kecepatan angin dan

intensitas cahaya matahari. Karena itu suhu di permukaan biasanya mengikuti pola

musim (Nontji, 2002).

Kelompok Octocorallia yang mengandung zooxanthella sangat sensitif

terhadap perubahan temperatur air laut yang cukup tinggi. Terlalu tinggi atau

rendahnya suhu suatu perairan dapat menyebabkan terjadinya kehilangan

zooxanthella yang merupakan sumber nutrisi dan warna karang. Kehilangan

zooxanthellae dalam jangka waktu yang cukup lama dapat menyebabkan bleaching

dan akhirnya mematikan hewan karang tersebut (Glynn, 1993).

Bila kenaikan temperatur terlalu tinggi, jaringan karang akan mengerut, dan

zooxanthella akan keluar ke air laut. Dengan demikian, pada jenis yang

mengandung zooxanthella tidak ada proses fotosintesis dan dalam waktu lama

karang akan mati. Akibat keluarnya zooxanthella, pigmen pada karang akan hilang

dan koloni karang menjadi berwarna putih. Proses ini dikenal dengan “bleaching”.

Populasi karang lunak menjadi berkurang pada waktu terjadi proses tersebut secara

besar-besaran pada tahun 1998, dan kesempatan untuk bertahan hidup pada waktu

itu bervariasi pada masing-masing jenis (Manuputty, 2008).

2. Derajat Keasaman (pH)

Nilai pH perairan merupakan tingkat keasaman atau kebasahan perairan

akibat keberadaan ion H+. pH mempengaruhi toksisitas logam, pada pH rendah

ditemukan logam dalam bentuk terionisasi (Effendi, 2003). Menurut Sanusi dkk

(2005), pH air laut bersifat basa antara 7,50 – 8,30 yang dikarenakan mengandung

ion-ion monovalen seperti (Na+) maupun bivalen seperti (Ca++, Mg++).

3. Kecerahan dan Kedalaman

Kecerahan yang tinggi merupakan syarat untuk berlangsungnya fotosintesis

oleh simbiotik zooxantellae di jaringan karang. Tanpa cahaya laju kemampuan

fotosintesis menurun, dengan demikian akan mengurangi kemampuan karang untuk

mensekret kalsium karbonat dan menghasilkan rangka (Eryati, 2008).

Cahaya diperlukan dalam proses fotosintesis alga simbiotik zooxantellae

untuk memenuhi kebutuhan oksigen biota terumbu karang (Nybakken, 1992), tanpa

cahaya yang cukup, maka laju fotosintesis akan berkurang dan kemampuan karang

untuk menghasilkan kalsium karbonat akan berkurang (Harahap, 2004).

Berkaitan dengan pengaruh cahaya terhadap karang, maka faktor

kedalaman juga membatasi keberlangsungan hidup binatang karang. Perairan yang

jernih akan menyebabkan penetrasi cahaya akan sampai pada lapisan yang dalam,

sehingga binatang karang juga dapat hidup pada perairan yang dalam pula.

Distribusi vertikal terumbu karang hanya mencapai kedalaman efektif sekitar 10

meter dari permukaan laut. Hal ini dikarenakan kebutuhan sinar matahari masih

dapat terpenuhi pada kedalaman tersebut (Dahuri et al., 1996).

4. Salinitas

Salinitas merupakan faktor pembatas kehidupan karang. Daya setiap jenis

karang berbeda-beda tergantung pada kondisi laut setempat. Karang hermapitik

adalah organisme laut sejati yang sangat sensitif terhadap perubahan salinitas air

laut 32‰ – 35‰. Hewan karang hidup subur pada salinitas air laut 34‰ - 36‰.

Toleransi karang batu pada salinitas cukup tinggi yang dapat berkisar antara 27‰ -

40‰ (Nybakken, 1992). Karang yang hidup di laut dalam, jarang atau hampir tidak

pernah mengalami perubahan salinitas yang cukup besar sedang yang hidup di

tempat-tempat dangkal seringkali dipengaruhi oleh masukan air tawar dari pantai

maupun hujan sehingga terjadi penurunan salinitas perairan.

5. Oksigen Terlarut (DO)

Kelarutan logam sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut. Pada

daerah dengan kandungan oksigen yang rendah, daya larutnya lebih rendah

sehingga mudah mengendap. Logam seperti Zn, Cu, Cd, Pb, Hg, dan Ag akan sulit

terlarut dalam kondisi perairan yang anoksik. Selain faktor yang mempengaruhi daya

larut logam tersebut, kandungan logam pada suatu perairan juga bisa dipengaruhi oleh

faktor lainnya (biological up take). Biological up take dalam hal ini berhubungan

dengan jumlah absorpsi logam dan kandungan logam air (Darmono, 1995).

Air dikategorikan terpolusi jika konsentrasi oksigen terlarut menurun dibawah

batas yang dibutuhkan untuk kehidupan biota. Penyebab utama berkurangnya kadar

oksigen terlarut dalam suatu perairan adalah adanya bakteri aerob dari bahan-bahan

buangan yang mengkonsumsi oksigen (Fardiaz, 1992).

6. Dissolved Organic Metter (DOM)

DOM merupakan salah satu bentuk bahan organik yang akhir dari proses

mineralisasi menghasilkan unsur hara dan karbon yang dibutuhkan oleh organisme

produser di perairan. Pada umumnya kandungan DOM yang tinggi ditemukan pada

perairan dengan tipe tanah gambut seperti pada perairan rawa banjiran. DOM

terlepas dari tanah gambut yang telah terbuka atau tercuci dari dekomposisi daun-

daunan tumbuhan pada rawa banjiran ataupun pinggiran sungai (Fatah dkk., 2010).

Menurut Duursma dan Carrol (1996), DOM perairan berasal dari berbagai

sumber, seperti metabolisme sel terluar alga terutama fitoplankton, zat buangan

zooplankton dan organisme besar lainnya, zat buangan tumbuhan dan penguraian

organisme tumbuhan dari daratan.

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013

berlokasi di perairan Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang (Gambar 4).

Sedangkan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan

Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan

Laboratorium Balai Kesehatan Kota Makassar.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

MAKASSAR

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu motor,

digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global Positioning System) untuk

penentuan posisi pengambilan sampel; kamera underwater untuk dokumentasi di

lapangan; alat selam dasar atau SCUBA digunakan untuk pengambilan sampel

karang dan air laut; botol polietylen digunakan untuk mengambil sampel pada kolom

air; Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) AA-7000 untuk mendeteksi

kandungan logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu); pH meter digunakan untuk

mengukur pH dan suhu perairan; stopwatch dan kompas digunakan untuk

menentukan arah dan kecepatan arus; handrefractometer untuk mengukur salinitas;

secchi disc untuk mengukur kecerahan dan kedalaman perairan; alat pemotong

(pahat) untuk memotong sampel karang; dan coolbox sebagai tempat penyimpanan

sampel.

Bahan yang digunakan adalah kertas label, kertas saring, kantong sampel

plastik, HNO3 0,5 ml, H2SO4, MnSO4 dan akuades.

C. Prosedur Penelitian

1. Tahap Persiapan

Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi literatur dan

konsultasi, dimana kegiatan ini dimaksudkan sebagai penajaman fokus dari

penelitian yang dilaksanakan dan untuk penguatan kerangka teoritis, perumusan

masalah, serta penyusunan metodologi penelitian.

2. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel

Penentuan lokasi pengambilan sampel di tiga pulau berbeda (Samalona di

bagian utara, Barranglompo di bagian tenggara dan Bonebatang di sisi barat laut)

dilakukan dengan cara melihat langsung kondisi terumbu karang untuk jenis

Platygyra sp dan Goniastrea sp.

3. Tahap Pengambilan Sampel Karang dan Air Laut

a. Sampel karang

Pengambilan sampel karang dilakukan dengan menggunakan alat selam

pada kedalaman ± 3 meter. Pada setiap lokasi dilakukan pengambilan 2 jenis

sampel karang yaitu jenis Platygyra sp dan Goniastrea sp masing-masing koloni.

Karang dipotong dengan ukuran 7-8 cm sebanyak satu potong setiap jenis pada

masing-masing koloni menggunakan alat pemotong (pahat). Karang yang sudah

dipotong, dimasukkan ke dalam kantong sampel kemudian diberi label dan

dimasukkan ke dalam coolbox.

b. Sampel air laut

Sampel air laut tiap-tiap stasiun diambil di kolom air dengan menggunakan

botol plastik sebanyak 500 ml dan diberi label, selanjutnya dimasukkan ke dalam

cool box.

4. Pengukuran Parameter Lingkungan

1. Suhu

Pengukuran suhu perairan dilakukan di setiap lokasi penelitian menggunakan

termometer, dengan cara termometer dicelupkan di permukaan perairan selanjutnya

membaca nilai skala yang tertera pada termometer.

2. Derajat keasaman (pH)

Pengukuran derajat keasaman (pH) air dilakukan di setiap lokasi penelitian

dengan menggunakan pH meter dengan cara alat yang telah dikalibrasi, dicelup

pada sampel air laut kemudian dicatat nilai yang ditampilkan.

3. Salinitas

Pengukuran salinitas perairan dilakukan di setiap lokasi penelitian dengan

menggunakan alat handrefractometer. Sebelum digunakan handrefractometer

dikalibrasi menggunakan akuades (air suling). Kemudian sampel air laut diambil lalu

diteteskan pada handrefractometer, setelah itu, melihat nilai salinitas yang terukur

pada handrefractometer.

4. Kecerahan dan Kedalaman

Pengukuran kecerahan dan kedalaman dilakukan di setiap lokasi penelitian

dengan menggunakan secchi disc, dengan cara menurunkan secchi disc ke dalam

kolom air hingga tidak terlihat, kemudian panjang tali yang terukur dicatat.

Selanjutnya untuk menentukan kedalaman air digunakan bandul pemberat.

Kecerahan terukur dengan panjang tali secchi disc dibagi dengan kedalaman yang

terukur.

5. Oksigen terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan metode titrasi Winkler. Untuk

analisis laboratorium menggunakan metode titrimetri (Hutagalung, 1991), dan

dilakukan di lapangan, dengan cara:

1) Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian ditambahkan

2ml mangan sulfat (MnSO4) dengan menggunakan pipet, lalu sampel

tersebut diaduk dengan cara membolak-balik botolnya.

2) Ditambahkan 2ml NaOH kemudian ditutup dan botol sampel dibolak-balik

sampai terbentuk endapan coklat.

3) Lalu ditambahkan 2ml H2SO4 pekat kemudian ditutup dan membolak-balik

botol sampel hingga berwarna kuning tua.

4) Diambil 10ml air dari botol sampel, kemudian dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer.

5) Titrasi dengan Na-thiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua

ke kuning muda. Tambahkan 5-8 tetes indikator amylum hingga terbentuk

warna biru. Lanjutkan titrasi dengan Na-thiosulfat sampai bening.

Perhitungan DO :

��� � �2 =

�� ������ × 0.16 × 1000

�� ������

6. Pengukuran DOM dilakukan di laboratorium (SNI, 1990b), dengan cara

sebagai berikut:

1) Penimbangan cawan kosong dilakukan dengan cara:

a) Panaskan cawan kosong dalam oven pada suhu 103-105 °C selama 1

jam

b) Kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit

c) Cawan kosong ditimbang dengan menggunakan neraca analitik

d) Langkah (a) sampai (c) diulangi hingga diperoleh berat tetap (kehilangan

berat <4%) misalnya B mg.

2) Penyaringan contoh dilakukan dengan cara:

a) Disiapkan kertas Whatman ukuran 0,45µm pada alat penyaring, yang

kemudian disaring contoh sebanyak 250mL.

b) Diambil fitrat sebanyak 100mL yang kemudian dituang ke dalam cawan

yang telah diketahui beratnya. Banyaknya contoh yang diambil,

disesuaikan dengan kadar residu terlarut di dalam contoh uji, sehingga

berat residu terlarut yang diperoleh antara 2,5mg sampai 200mg.

c) Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103-105 °C selama 1 jam,

lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit

d) Cawan berisi residu terlarut ditimbang dengan neraca analitik.

e) Kemudian diulangi langkah (c) sampai (d) hingga diperoleh berat tetap

(kehilangan berat 4<%) misalnya A mg.

Rumus perhitungan DOM:

mg

Lresidu tersuspensi =

(� − �)x1000

�� �����ℎ

Keterangan:

A = Berat cawan berisi residu tersuspensi (mg)

B = Berat cawan kosong (mg) (SNI, 1990)

5. Tahap Preparasi Sampel Karang

a. Pemotongan Sampel Karang

Pemotongan sampel karang dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia

dengan menggunakan alat pemotong. Teknik pemotongan karang dilakukan dengan

cara dimana setiap jenis karang dipotong secara vertikal menjadi tiga bagian dengan

ukuran masing-masing kurang lebih 3cm. Selanjutnya bagian koralit pada ketiga

potongan karang disisihkan dari badan karang, dimaksudkan agar sedimen-sedimen

yang menempel pada koralit karang tersebut tidak ikut serta.

b. Preparasi sampel karang mengacu pada SNI 03-1089 (1990a), dengan

langkah kerja sebagai berikut:

1) Sampel karang dicuci menggunakan akuades, kemudian ditaruh di atas

cawan petri.

2) Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven untuk dikeringkan pada suhu 105

°C, lalu ditimbang sebesar 5gr.

3) Sampel karang yang telah ditimbang, dimasukkan ke dalam cawan

porselin dan ditambahkan HNO3 dan H2SO4 masing-masing sebanyak

5mL.

4) Kemudian dimasukkan ke dalam tanur/oven pada suhu 500 °C selama 2-

3 jam sampai sampel karang menjadi abu dan berwarna putih.

5) Selanjutnya sampel karang yang telah diabukan, didinginkan dan

ditambahkan akuades sebanyak 50 mL.

6) Kemudian disaring menggunakan kertas saring.

7) Selanjutnya sampel karang yang telah diekstraksi dimasukkan ke dalam

botol dan siap untuk dianalisis dengan AAS.

6. Tahap Preparasi Sampel Air Laut

Preparasi dalam sampel air dengan mengacu pada SNI 06-6989.8-2004

BSN (2004) dengan langkah kerja sebagai berikut:

a. Diambil sampel air laut sebanyak 100mL yang telah disaring kemudian

dimasukkan ke dalam gelas piala.

b. Kemudian ditambahkan 5mL asam nitrat (HNO3).

c. Dipanaskan pada hotplate selama 2-3 jam sampai terjadi penguapan.

d. Kemudian ditambahkan 5mL akuades, selanjutnya disaring dengan

menggunakan kertas saring.

e. Sampel dimasukkan ke dalam botol plastik dan siap untuk dianalisis dengan

AAS.

7. Tahap Pengukuran Konsentrasi Logam Pb dan Cu

Dari hasil preparasi sampel air laut dan karang Platygyra sp dan Goniastrea

sp, selanjutnya dilakukan tahap pengukuran konsentrasi logam Pb dan Cu dengan

menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (Flame, 7000 Shimadzu).

a. Pembuatan Larutan

Larutan standar dibuat dengan mengambil 5mL larutan standar yang

terkontaminasi Pb dan Cu 100mg/L. Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur yang

berisi air distilasi dengan volume air 10mL. Konsentrasi ini kemudian diencerkan

kembali menjadi konsentrasi 0,1mg/L; 0,2mg/L; 0,3mg/L; 0,4mg/L; 0,5mg/L dengan

memakai mikropipet volume 5mL.

b. Pengoperasian Alat AAS (Atomic Absoption Spectrophotometer)

Pengoperasian ASS dimulai dengan memasang terlebih dahulu lampu

katoda yang sesuai dengan logam yang akan dianalisis. Kemudian AAS

dihubungkan dengan sumber arus, dan lampu dipanaskan sampai 10 menit. Api

pembakar (flame) dinyalakan dengan bantuan asitelin. Intensitas api diatur hingga

memberikan warna biru. Setelah itu, panjang gelombang diatur untuk memperoleh

serapan maksimum setiap unsur. Posisi lampu juga diatur untuk memperoleh

serapan maksimum. Aspirasi larutan blangko ke dalam nyala udara asetilen,

penunjukan hasil bacaan pengukuran harus nol dengan menekan tombol nol.

Secara berturut-turut konsentrasi larutan baku diaspirasi ke dalam AAS, dan

dilanjutkan dengan larutan contoh. Hasil pengukuran serapan atom dicatat,

kemudian dihitung untuk mendapat konsentrasi logam pada larutan contoh.

8. Perhitungan Faktor Biokonsentrasi (BCF)

Untuk menghitung faktor biokonsentrasi pada hewan (Bioconcentration

Factor) dengan rumus (Van Esch, 1977 dalam Pratono, 1985) sebagai berikut:

��� =� �����

� ���

Keterangan:

BCF = Faktor biokonsentrasi

Chewan = Konsentrasi logam di hewan (ppm)

Cair = Konsentrasi logam di air (ppm)

D. Analisis Data

Untuk melihat nilai rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu pada kolom air

pada lokasi penelitian digunakan analisis ragam One Way Anova, dan untuk

mengetahui perbedaan rata-rata akumulasi logam Pb dan Cu pada karang Platygyra

sp dengan Goniastrea sp pada lokasi penelitian digunakan analisis ragam Nested

Anova. Sedangkan data parameter lingkungan laut yang didapatkan dianalisis

menggunakan analisis deskriptif.

III. METODE PENELITIAN

E. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus

2013 berlokasi di perairan Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang

(Gambar 4). Sedangkan analisis sampel dilakukan di Laboratorium

Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan, Universitas Hasanuddin dan Laboratorium Balai Kesehatan Kota

Makassar.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

F. Alat dan Bahan

MAKASSAR

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu

motor, digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global Positioning

System) untuk penentuan posisi pengambilan sampel; kamera underwater

untuk dokumentasi di lapangan; alat selam dasar atau SCUBA digunakan

untuk pengambilan sampel karang dan air laut; botol polietylen digunakan

untuk mengambil sampel pada kolom air; Atomic Absorption

Spectrophotometer (AAS) AA-7000 untuk mendeteksi kandungan logam

timbal (Pb) dan tembaga (Cu); pH meter digunakan untuk mengukur pH dan

suhu perairan; stopwatch dan kompas digunakan untuk menentukan arah

dan kecepatan arus; handrefractometer untuk mengukur salinitas; secchi disc

untuk mengukur kecerahan dan kedalaman perairan; alat pemotong (pahat)

untuk memotong sampel karang; dan coolbox sebagai tempat penyimpanan

sampel.

Bahan yang digunakan adalah kertas label, kertas saring, kantong

sampel plastik, HNO3 0,5 ml, H2SO4, MnSO4 dan akuades.

G. Prosedur Penelitian

7. Tahap Persiapan

Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi

literatur dan konsultasi, dimana kegiatan ini dimaksudkan sebagai

penajaman fokus dari penelitian yang dilaksanakan dan untuk penguatan

kerangka teoritis, perumusan masalah, serta penyusunan metodologi

penelitian.

8. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel

Penentuan lokasi pengambilan sampel di tiga pulau berbeda

(Samalona di bagian utara, Barranglompo di bagian tenggara dan

Bonebatang di sisi barat laut) dilakukan dengan cara melihat langsung

kondisi terumbu karang untuk jenis Platygyra sp dan Goniastrea sp.

9. Tahap Pengambilan Sampel Karang dan Air Laut

c. Sampel karang

Pengambilan sampel karang dilakukan dengan menggunakan alat selam

pada kedalaman ± 3 meter. Pada setiap lokasi dilakukan pengambilan 2 jenis

sampel karang yaitu jenis Platygyra sp dan Goniastrea sp masing-masing koloni.

Karang dipotong dengan ukuran 7-8 cm sebanyak satu potong setiap jenis pada

masing-masing koloni menggunakan alat pemotong (pahat). Karang yang sudah

dipotong, dimasukkan ke dalam kantong sampel kemudian diberi label dan

dimasukkan ke dalam coolbox.

d. Sampel air laut

Sampel air laut tiap-tiap stasiun diambil di kolom air dengan

menggunakan botol plastik sebanyak 500 ml dan diberi label, selanjutnya

dimasukkan ke dalam cool box.

10. Pengukuran Parameter Lingkungan

1. Suhu

Pengukuran suhu perairan dilakukan di setiap lokasi penelitian menggunakan

termometer, dengan cara termometer dicelupkan di permukaan perairan selanjutnya

membaca nilai skala yang tertera pada termometer.

2. Derajat keasaman (pH)

Pengukuran derajat keasaman (pH) air dilakukan di setiap lokasi

penelitian dengan menggunakan pH meter dengan cara alat yang telah

dikalibrasi, dicelup pada sampel air laut kemudian dicatat nilai yang

ditampilkan.

3. Salinitas

Pengukuran salinitas perairan dilakukan di setiap lokasi penelitian dengan

menggunakan alat handrefractometer. Sebelum digunakan handrefractometer

dikalibrasi menggunakan akuades (air suling). Kemudian sampel air laut diambil lalu

diteteskan pada handrefractometer, setelah itu, melihat nilai salinitas yang terukur

pada handrefractometer.

4. Kecerahan dan Kedalaman

Pengukuran kecerahan dan kedalaman dilakukan di setiap lokasi penelitian

dengan menggunakan secchi disc, dengan cara menurunkan secchi disc ke dalam

kolom air hingga tidak terlihat, kemudian panjang tali yang terukur dicatat.

Selanjutnya untuk menentukan kedalaman air digunakan bandul pemberat.

Kecerahan terukur dengan panjang tali secchi disc dibagi dengan kedalaman yang

terukur.

11. Oksigen terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan metode titrasi Winkler. Untuk

analisis laboratorium menggunakan metode titrimetri (Hutagalung, 1991), dan

dilakukan di lapangan, dengan cara:

6) Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian ditambahkan

2ml mangan sulfat (MnSO4) dengan menggunakan pipet, lalu sampel

tersebut diaduk dengan cara membolak-balik botolnya.

7) Ditambahkan 2ml NaOH kemudian ditutup dan botol sampel dibolak-balik

sampai terbentuk endapan coklat.

8) Lalu ditambahkan 2ml H2SO4 pekat kemudian ditutup dan membolak-balik

botol sampel hingga berwarna kuning tua.

9) Diambil 10ml air dari botol sampel, kemudian dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer.

10) Titrasi dengan Na-thiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua

ke kuning muda. Tambahkan 5-8 tetes indikator amylum hingga terbentuk

warna biru. Lanjutkan titrasi dengan Na-thiosulfat sampai bening.

Perhitungan DO : ��

� � �2 = �� ������ × 0.16 × 1000

�� ������

12. Pengukuran DOM dilakukan di laboratorium (SNI, 1990b), dengan cara

sebagai berikut:

3) Penimbangan cawan kosong dilakukan dengan cara:

e) Panaskan cawan kosong dalam oven pada suhu 103-105 °C selama 1

jam

f) Kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit

g) Cawan kosong ditimbang dengan menggunakan neraca analitik

h) Langkah (a) sampai (c) diulangi hingga diperoleh berat tetap (kehilangan

berat <4%) misalnya B mg.

4) Penyaringan contoh dilakukan dengan cara:

f) Disiapkan kertas Whatman ukuran 0,45µm pada alat penyaring, yang

kemudian disaring contoh sebanyak 250mL.

g) Diambil fitrat sebanyak 100mL yang kemudian dituang ke dalam cawan

yang telah diketahui beratnya. Banyaknya contoh yang diambil,

disesuaikan dengan kadar residu terlarut di dalam contoh uji, sehingga

berat residu terlarut yang diperoleh antara 2,5mg sampai 200mg.

h) Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103-105 °C selama 1 jam,

lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit

i) Cawan berisi residu terlarut ditimbang dengan neraca analitik.

j) Kemudian diulangi langkah (c) sampai (d) hingga diperoleh berat tetap

(kehilangan berat 4<%) misalnya A mg.

Rumus perhitungan DOM:

mg

Lresidu tersuspensi =

(� − �)x1000

�� �����ℎ

Keterangan:

A = Berat cawan berisi residu tersuspensi (mg)

B = Berat cawan kosong (mg) (SNI, 1990)

9. Tahap Preparasi Sampel Karang

c. Pemotongan Sampel Karang

Pemotongan sampel karang dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia

dengan menggunakan alat pemotong. Teknik pemotongan karang dilakukan dengan

cara dimana setiap jenis karang dipotong secara vertikal menjadi tiga bagian dengan

ukuran masing-masing kurang lebih 3cm. Selanjutnya bagian koralit pada ketiga

potongan karang disisihkan dari badan karang, dimaksudkan agar sedimen-sedimen

yang menempel pada koralit karang tersebut tidak ikut serta.

d. Preparasi sampel karang mengacu pada SNI 03-1089 (1990a), dengan

langkah kerja sebagai berikut:

8) Sampel karang dicuci menggunakan akuades, kemudian ditaruh di atas

cawan petri.

9) Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven untuk dikeringkan pada suhu 105

°C, lalu ditimbang sebesar 5gr.

10) Sampel karang yang telah ditimbang, dimasukkan ke dalam cawan

porselin dan ditambahkan HNO3 dan H2SO4 masing-masing sebanyak

5mL.

11) Kemudian dimasukkan ke dalam tanur/oven pada suhu 500 °C selama 2-

3 jam sampai sampel karang menjadi abu dan berwarna putih.

12) Selanjutnya sampel karang yang telah diabukan, didinginkan dan

ditambahkan akuades sebanyak 50 mL.

13) Kemudian disaring menggunakan kertas saring.

14) Selanjutnya sampel karang yang telah diekstraksi dimasukkan ke dalam

botol dan siap untuk dianalisis dengan AAS.

10. Tahap Preparasi Sampel Air Laut

Preparasi dalam sampel air dengan mengacu pada SNI 06-6989.8-

2004 BSN (2004) dengan langkah kerja sebagai berikut:

f. Diambil sampel air laut sebanyak 100mL yang telah disaring kemudian

dimasukkan ke dalam gelas piala.

g. Kemudian ditambahkan 5mL asam nitrat (HNO3).

h. Dipanaskan pada hotplate selama 2-3 jam sampai terjadi penguapan.

i. Kemudian ditambahkan 5mL akuades, selanjutnya disaring dengan

menggunakan kertas saring.

j. Sampel dimasukkan ke dalam botol plastik dan siap untuk dianalisis dengan

AAS.

11. Tahap Pengukuran Konsentrasi Logam Pb dan Cu

Dari hasil preparasi sampel air laut dan karang Platygyra sp dan

Goniastrea sp, selanjutnya dilakukan tahap pengukuran konsentrasi logam

Pb dan Cu dengan menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer

(Flame, 7000 Shimadzu).

c. Pembuatan Larutan

Larutan standar dibuat dengan mengambil 5mL larutan standar yang

terkontaminasi Pb dan Cu 100mg/L. Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur yang

berisi air distilasi dengan volume air 10mL. Konsentrasi ini kemudian diencerkan

kembali menjadi konsentrasi 0,1mg/L; 0,2mg/L; 0,3mg/L; 0,4mg/L; 0,5mg/L dengan

memakai mikropipet volume 5mL.

d. Pengoperasian Alat AAS (Atomic Absoption Spectrophotometer)

Pengoperasian ASS dimulai dengan memasang terlebih dahulu lampu

katoda yang sesuai dengan logam yang akan dianalisis. Kemudian AAS

dihubungkan dengan sumber arus, dan lampu dipanaskan sampai 10 menit. Api

pembakar (flame) dinyalakan dengan bantuan asitelin. Intensitas api diatur hingga

memberikan warna biru. Setelah itu, panjang gelombang diatur untuk memperoleh

serapan maksimum setiap unsur. Posisi lampu juga diatur untuk memperoleh

serapan maksimum. Aspirasi larutan blangko ke dalam nyala udara asetilen,

penunjukan hasil bacaan pengukuran harus nol dengan menekan tombol nol.

Secara berturut-turut konsentrasi larutan baku diaspirasi ke dalam AAS, dan

dilanjutkan dengan larutan contoh. Hasil pengukuran serapan atom dicatat,

kemudian dihitung untuk mendapat konsentrasi logam pada larutan contoh.

12. Perhitungan Faktor Biokonsentrasi (BCF)

Untuk menghitung faktor biokonsentrasi pada hewan (Bioconcentration

Factor) dengan rumus (Van Esch, 1977 dalam Pratono, 1985) sebagai

berikut:

��� =� �����

� ���

Keterangan: BCF = Faktor biokonsentrasi Chewan = Konsentrasi logam di hewan (ppm) Cair = Konsentrasi logam di air (ppm)

H. Analisis Data

Untuk melihat nilai rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu pada kolom air

pada lokasi penelitian digunakan analisis ragam One Way Anova, dan untuk

mengetahui perbedaan rata-rata akumulasi logam Pb dan Cu pada karang Platygyra

sp dengan Goniastrea sp pada lokasi penelitian digunakan analisis ragam Nested

Anova. Sedangkan data parameter lingkungan laut yang didapatkan dianalisis

menggunakan analisis deskriptif.

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli sampai dengan Agustus 2013

berlokasi di perairan Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang (Gambar 4).

Sedangkan analisis sampel dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan

Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin dan

Laboratorium Balai Kesehatan Kota Makassar.

Gambar 4. Peta lokasi penelitian

B. Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan pada penelitian ini yaitu: perahu motor,

digunakan untuk transportasi di lapangan; GPS (Global Positioning System) untuk

MAKASSAR

penentuan posisi pengambilan sampel; kamera underwater untuk dokumentasi di

lapangan; alat selam dasar atau SCUBA digunakan untuk pengambilan sampel

karang dan air laut; botol polietylen digunakan untuk mengambil sampel pada kolom

air; Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) AA-7000 untuk mendeteksi

kandungan logam timbal (Pb) dan tembaga (Cu); pH meter digunakan untuk

mengukur pH dan suhu perairan; stopwatch dan kompas digunakan untuk

menentukan arah dan kecepatan arus; handrefractometer untuk mengukur salinitas;

secchi disc untuk mengukur kecerahan dan kedalaman perairan; alat pemotong

(pahat) untuk memotong sampel karang; dan coolbox sebagai tempat penyimpanan

sampel.

Bahan yang digunakan adalah kertas label, kertas saring, kantong sampel

plastik, HNO3 0,5 ml, H2SO4, MnSO4 dan akuades.

C. Prosedur Penelitian

13. Tahap Persiapan

Tahap pertama yang dilakukan dalam penelitian ini adalah studi literatur dan

konsultasi, dimana kegiatan ini dimaksudkan sebagai penajaman fokus dari

penelitian yang dilaksanakan dan untuk penguatan kerangka teoritis, perumusan

masalah, serta penyusunan metodologi penelitian.

14. Penentuan Lokasi Pengambilan Sampel

Penentuan lokasi pengambilan sampel di tiga pulau berbeda (Samalona di

bagian utara, Barranglompo di bagian tenggara dan Bonebatang di sisi barat laut)

dilakukan dengan cara melihat langsung kondisi terumbu karang untuk jenis

Platygyra sp dan Goniastrea sp.

15. Tahap Pengambilan Sampel Karang dan Air Laut

e. Sampel karang

Pengambilan sampel karang dilakukan dengan menggunakan alat selam

pada kedalaman ± 3 meter. Pada setiap lokasi dilakukan pengambilan 2 jenis

sampel karang yaitu jenis Platygyra sp dan Goniastrea sp masing-masing koloni.

Karang dipotong dengan ukuran 7-8 cm sebanyak satu potong setiap jenis pada

masing-masing koloni menggunakan alat pemotong (pahat). Karang yang sudah

dipotong, dimasukkan ke dalam kantong sampel kemudian diberi label dan

dimasukkan ke dalam coolbox.

f. Sampel air laut

Sampel air laut tiap-tiap stasiun diambil di kolom air dengan menggunakan

botol plastik sebanyak 500 ml dan diberi label, selanjutnya dimasukkan ke dalam

cool box.

16. Pengukuran Parameter Lingkungan

1. Suhu

Pengukuran suhu perairan dilakukan di setiap lokasi penelitian menggunakan

termometer, dengan cara termometer dicelupkan di permukaan perairan selanjutnya

membaca nilai skala yang tertera pada termometer.

2. Derajat keasaman (pH)

Pengukuran derajat keasaman (pH) air dilakukan di setiap lokasi

penelitian dengan menggunakan pH meter dengan cara alat yang telah

dikalibrasi, dicelup pada sampel air laut kemudian dicatat nilai yang

ditampilkan.

3. Salinitas

Pengukuran salinitas perairan dilakukan di setiap lokasi penelitian dengan

menggunakan alat handrefractometer. Sebelum digunakan handrefractometer

dikalibrasi menggunakan akuades (air suling). Kemudian sampel air laut diambil lalu

diteteskan pada handrefractometer, setelah itu, melihat nilai salinitas yang terukur

pada handrefractometer.

4. Kecerahan dan Kedalaman

Pengukuran kecerahan dan kedalaman dilakukan di setiap lokasi penelitian

dengan menggunakan secchi disc, dengan cara menurunkan secchi disc ke dalam

kolom air hingga tidak terlihat, kemudian panjang tali yang terukur dicatat.

Selanjutnya untuk menentukan kedalaman air digunakan bandul pemberat.

Kecerahan terukur dengan panjang tali secchi disc dibagi dengan kedalaman yang

terukur.

17. Oksigen terlarut (DO)

Pengukuran oksigen terlarut dilakukan dengan metode titrasi Winkler. Untuk

analisis laboratorium menggunakan metode titrimetri (Hutagalung, 1991), dan

dilakukan di lapangan, dengan cara:

11) Sampel air laut dimasukkan ke dalam botol sampel, kemudian ditambahkan

2ml mangan sulfat (MnSO4) dengan menggunakan pipet, lalu sampel

tersebut diaduk dengan cara membolak-balik botolnya.

12) Ditambahkan 2ml NaOH kemudian ditutup dan botol sampel dibolak-balik

sampai terbentuk endapan coklat.

13) Lalu ditambahkan 2ml H2SO4 pekat kemudian ditutup dan membolak-balik

botol sampel hingga berwarna kuning tua.

14) Diambil 10ml air dari botol sampel, kemudian dimasukkan ke dalam

Erlenmeyer.

15) Titrasi dengan Na-thiosulfat hingga terjadi perubahan warna dari kuning tua

ke kuning muda. Tambahkan 5-8 tetes indikator amylum hingga terbentuk

warna biru. Lanjutkan titrasi dengan Na-thiosulfat sampai bening.

Perhitungan DO : ��

� � �2 = �� ������ × 0.16 × 1000

�� ������

18. Pengukuran DOM dilakukan di laboratorium (SNI, 1990b), dengan cara

sebagai berikut:

5) Penimbangan cawan kosong dilakukan dengan cara:

i) Panaskan cawan kosong dalam oven pada suhu 103-105 °C selama 1

jam

j) Kemudian didinginkan dalam desikator selama 15 menit

k) Cawan kosong ditimbang dengan menggunakan neraca analitik

l) Langkah (a) sampai (c) diulangi hingga diperoleh berat tetap (kehilangan

berat <4%) misalnya B mg.

6) Penyaringan contoh dilakukan dengan cara:

k) Disiapkan kertas Whatman ukuran 0,45µm pada alat penyaring, yang

kemudian disaring contoh sebanyak 250mL.

l) Diambil fitrat sebanyak 100mL yang kemudian dituang ke dalam cawan

yang telah diketahui beratnya. Banyaknya contoh yang diambil,

disesuaikan dengan kadar residu terlarut di dalam contoh uji, sehingga

berat residu terlarut yang diperoleh antara 2,5mg sampai 200mg.

m) Kemudian dikeringkan dalam oven pada suhu 103-105 °C selama 1 jam,

lalu didinginkan dalam desikator selama 15 menit

n) Cawan berisi residu terlarut ditimbang dengan neraca analitik.

o) Kemudian diulangi langkah (c) sampai (d) hingga diperoleh berat tetap

(kehilangan berat 4<%) misalnya A mg.

Rumus perhitungan DOM:

mg

Lresidu tersuspensi =

(� − �)x1000

�� �����ℎ

Keterangan:

A = Berat cawan berisi residu tersuspensi (mg)

B = Berat cawan kosong (mg) (SNI, 1990)

13. Tahap Preparasi Sampel Karang

e. Pemotongan Sampel Karang

Pemotongan sampel karang dilakukan di Laboratorium Oseanografi Kimia

dengan menggunakan alat pemotong. Teknik pemotongan karang dilakukan dengan

cara dimana setiap jenis karang dipotong secara vertikal menjadi tiga bagian dengan

ukuran masing-masing kurang lebih 3cm. Selanjutnya bagian koralit pada ketiga

potongan karang disisihkan dari badan karang, dimaksudkan agar sedimen-sedimen

yang menempel pada koralit karang tersebut tidak ikut serta.

f. Preparasi sampel karang mengacu pada SNI 03-1089 (1990a), dengan

langkah kerja sebagai berikut:

15) Sampel karang dicuci menggunakan akuades, kemudian ditaruh di atas

cawan petri.

16) Selanjutnya dimasukkan ke dalam oven untuk dikeringkan pada suhu 105

°C, lalu ditimbang sebesar 5gr.

17) Sampel karang yang telah ditimbang, dimasukkan ke dalam cawan

porselin dan ditambahkan HNO3 dan H2SO4 masing-masing sebanyak

5mL.

18) Kemudian dimasukkan ke dalam tanur/oven pada suhu 500 °C selama 2-

3 jam sampai sampel karang menjadi abu dan berwarna putih.

19) Selanjutnya sampel karang yang telah diabukan, didinginkan dan

ditambahkan akuades sebanyak 50 mL.

20) Kemudian disaring menggunakan kertas saring.

21) Selanjutnya sampel karang yang telah diekstraksi dimasukkan ke dalam

botol dan siap untuk dianalisis dengan AAS.

14. Tahap Preparasi Sampel Air Laut

Preparasi dalam sampel air dengan mengacu pada SNI 06-6989.8-

2004 BSN (2004) dengan langkah kerja sebagai berikut:

k. Diambil sampel air laut sebanyak 100mL yang telah disaring kemudian

dimasukkan ke dalam gelas piala.

l. Kemudian ditambahkan 5mL asam nitrat (HNO3).

m. Dipanaskan pada hotplate selama 2-3 jam sampai terjadi penguapan.

n. Kemudian ditambahkan 5mL akuades, selanjutnya disaring dengan

menggunakan kertas saring.

o. Sampel dimasukkan ke dalam botol plastik dan siap untuk dianalisis dengan

AAS.

15. Tahap Pengukuran Konsentrasi Logam Pb dan Cu

Dari hasil preparasi sampel air laut dan karang Platygyra sp dan Goniastrea

sp, selanjutnya dilakukan tahap pengukuran konsentrasi logam Pb dan Cu dengan

menggunakan Atomic Absorption Spectrophotometer (Flame, 7000 Shimadzu).

e. Pembuatan Larutan

Larutan standar dibuat dengan mengambil 5mL larutan standar yang

terkontaminasi Pb dan Cu 100mg/L. Kemudian dimasukkan ke dalam labu ukur yang

berisi air distilasi dengan volume air 10mL. Konsentrasi ini kemudian diencerkan

kembali menjadi konsentrasi 0,1mg/L; 0,2mg/L; 0,3mg/L; 0,4mg/L; 0,5mg/L dengan

memakai mikropipet volume 5mL.

f. Pengoperasian Alat AAS (Atomic Absoption Spectrophotometer)

Pengoperasian ASS dimulai dengan memasang terlebih dahulu lampu

katoda yang sesuai dengan logam yang akan dianalisis. Kemudian AAS

dihubungkan dengan sumber arus, dan lampu dipanaskan sampai 10 menit. Api

pembakar (flame) dinyalakan dengan bantuan asitelin. Intensitas api diatur hingga

memberikan warna biru. Setelah itu, panjang gelombang diatur untuk memperoleh

serapan maksimum setiap unsur. Posisi lampu juga diatur untuk memperoleh

serapan maksimum. Aspirasi larutan blangko ke dalam nyala udara asetilen,

penunjukan hasil bacaan pengukuran harus nol dengan menekan tombol nol.

Secara berturut-turut konsentrasi larutan baku diaspirasi ke dalam AAS, dan

dilanjutkan dengan larutan contoh. Hasil pengukuran serapan atom dicatat,

kemudian dihitung untuk mendapat konsentrasi logam pada larutan contoh.

16. Perhitungan Faktor Biokonsentrasi (BCF)

Untuk menghitung faktor biokonsentrasi pada hewan (Bioconcentration

Factor) dengan rumus (Van Esch, 1977 dalam Pratono, 1985) sebagai berikut:

��� =� �����

� ���

Keterangan:

BCF = Faktor biokonsentrasi

Chewan = Konsentrasi logam di hewan (ppm)

Cair = Konsentrasi logam di air (ppm)

D. Analisis Data

Untuk melihat nilai rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu pada kolom air

pada lokasi penelitian digunakan analisis ragam One Way Anova, dan untuk

mengetahui perbedaan rata-rata akumulasi logam Pb dan Cu pada karang Platygyra

sp dengan Goniastrea sp pada lokasi penelitian digunakan analisis ragam Nested

Anova. Sedangkan data parameter lingkungan laut yang didapatkan dianalisis

menggunakan analisis deskriptif.

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Konsentrasi Logam Pb dan Cu pada Kolom Air Laut

Dari hasil pengukuran logam Pb dan Cu di perairan didapatkan nilai

konsentrasi yang berbeda di ketiga pulau (Gambar 5, Lampiran 1).

Gambar 5. Rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu pada kolom air laut

Konsentrasi logam Pb di ketiga pulau berkisar antara 0,25-0,81 mg/L. Pulau

Samalona memiliki konsentrasi logam Pb yang paling tinggi di antara ketiga pulau

tersebut yaitu 0,81 mg/L, sedangkan Pulau Barranglompo memiliki konsentrasi Pb

sebesar 0,80 mg/L dan Pulau Bonebatang sebesar 0,25 mg/L. Untuk konsentrasi

logam Cu berkisar antara 0,02-0,08 mg/L, dimana Pulau Samalona dan Pulau

Barranglompo memiliki nilai konsentrasi logam yang sama yaitu sebesar 0,08

mg/L, sedangkan Pulau Bonebatang sebesar 0,02 mg/L.

Berdasarkan hasil analisis One Way Anova (Lampiran 2), didapatkan nilai

rata-rata konsentrasi logam Pb dan Cu pada lokasi penelitian menunjukkan hasil

yang tidak berbeda nyata antara Pulau Samalona dengan Pulau Barranglompo

(P>0,05). Berbeda dengan Pulau Bonebatang yang memiliki nilai konsentrasi

0.810.80

0.08

0.08 0.080.02

0.00

0.10

0.20

0.30

0.40

0.50

0.60

0.70

0.80

0.90

1.00

Samalona Barranglompo Bonebatang

Ko

nse

ntr

asi l

oga

m (

mg/

L)

Pb

Cu

logam Pb dan Cu yang lebih rendah dibandingkan Pulau Barranglompo dan

Samalona (P<0,05). Hal tersebut diduga karena dekatnya lokasi perairan Pulau

Samalona dengan daratan utama Kota Makassar yang banyak memberi kontribusi

limbah baik itu limbah industri, rumah tangga dan buangan minyak dari kapal yang

berlabuh, begitupun dengan kondisi Pulau Barranglompo yang memiliki jumlah

penduduk yang padat dan merupakan jalur kapal jasa angkut sehingga banyak

terjadi aktifitas yang dapat menghasilkan limbah rumah tangga dan buangan

minyak dari kapal. Rendahnya konsentrasi logam Pb dan Cu di Pulau Bonebatang,

dikarenakan pulau tersebut merupakan pulau yang tidak berpenghuni dan jarak

dari daratan utama Kota Makassar yang semakin jauh. Sesuai dengan hasil

penelitian Samawi dkk. (2010) bahwa konsentrasi logam Pb dan Cu dalam air yang

mengikuti pola sebaran berdasarkan jarak dari daratan utama Kota Makassar.

Semakin jauh dari daratan utama kota Makassar, maka konsentrasinya semakin

menurun.

Menurut Palar (1994), aktivitas manusia seperti buangan industri,

pertambangan, industri galangan kapal dan bermacam-macam aktivitas pelabuhan

lainnya merupakan salah satu jalur yang mempercepat terjadinya peningkatan

kelarutan logam di suatu perairan.

Menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH) No.51

Tahun 2004 standar baku mutu air laut kadar logam Pb dan Cu pada biota laut

sebesar 0,008 ppm (Tabel 2). Berdasarkan grafik pada Gambar 5, konsentrasi

logam Pb dan Cu pada lokasi penelitian sudah melebihi ambang batas baku mutu

air laut untuk biota laut (0,08-0,81 ppm), sehingga kondisi perairan dapat dikatakan

sudah tercemar.

Ion Pb2+ merupakan bentuk utama di lingkungan laut (Whitfield et al., 1981).

Dalam bentuk larutan ion Pb2+ pada kondisi yang tepat akan berubah menjadi

senyawa alkid lead di lingkungan dan bahan-bahan lead sulfide dapat juga terbentuk

di bawah kondisi anaerobik pada sedimen (Wood, 1980).

Keberadaan unsur tembaga di alam dapat ditemukan dalam bentuk logam

bebas, akan tetapi labih banyak ditemukan dalam bentuk persenyawaan atau

sebagai senyawa padat dalam bentuk mineral seperti kalkosit (Cu2S), kovelit (CuS),

kalkopirit (CuFeS2), bornit (Cu5FeS4) dan enargit (Cu3AsS4) (Widowati et al., 2008).

Di perairan alami tembaga (Cu) terdapat dalam bentuk partikulat, koloid dan terlarut.

Fase terlarut seperti Cu2+ bebas ikatan kompleks, baik dengan ligan dalam organik,

terutama (CuOH+, Cu2(OH)22+) maupun anorganik. Ikatan Cu kompleks dengan ligan

organik, terutama adalah oleh material humus.

B. Konsentrasi Logam Pb pada Karang dan Hasil BCF

1. Konsentrasi Logam Pb pada Karang

Hasil analisis konsentrasi logam Pb pada karang Platygyra sp dan

Goniastrea sp diperoleh nilai rata-rata yang berbeda pada ketiga pulau (Gambar 6),

dimana yang terbesar Pulau Samalona kemudian Barranglompo dan Bonebatang.

Gambar 6. Rata-rata konsentrasi logam Pb pada karang

Berdasarkan hasil analisis Nested Anova (Lampiran 3), menunjukkan adanya

perbedaan konsentrasi logam Pb pada karang di ketiga lokasi penelitian (P<0,05),

begitupun konsentrasi logam Pb pada kedua jenis karang di lokasi penelitian

(P<0,05).

Adanya perbedaan konsentrasi logam Pb pada karang di ketiga lokasi

penelitian diduga dipengaruhi oleh hasil yang didapatkan pada konsentrasi logam Pb

di kolom air pada (Gambar 5) dimana semakin besar konsentrasi logam yang ada di

perairan maka kemungkinan akan semakin besar pula karang untuk menyerap

logam tersebut. Hal tersebut sesuai yang dikemukakan oleh Howard dan Brown

(1984) dalam Alutoin et al. (2001) bahwa logam yang terlarut dalam air laut menjadi

28.66

23.6221.70 22.86

11.28

5.34

0

5

10

15

20

25

30

35

Platygyra sp Goniastrea sp Platygyra sp Goniastrea sp Platygyra sp Goniastrea sp

Samalona Barranglompo Bonebatang

Ko

nse

ntr

asi l

oga

m P

b (

mg/

kg)

rute pengambilan (uptake) logam secara langsung dan nyata pada hewan karang.

Jalur uptake lain meliputi aktivitas makan, terutama melalui penangkapan

zooplankton yang telah terpapar logam.

Adanya perbedaan konsentrasi logam Pb pada karang Platygyra sp dan

Goniastrea sp di lokasi penelitian diduga disebabkan oleh faktor anatomi/morfologi

karang seperti tipe koralit dan luas permukaan oral disc. Tipe koralit dan luas

permukaan oral disc pada karang berpengaruh terhadap proses pengambilan

(uptake) dan pembagian (partitioning) logam tersebut dalam tubuh karang

(Mitchelmore et al., 2007) Hal tersebutlah yang diduga terjadi pada kedua jenis

karang yang ada di ketiga lokasi penelitian, dimana pada jenis Platygyra sp tipe

koralitnya meandroid dan luas permukaan oral disc lebih besar sehingga

pengambilan (uptake) lebih besar dibandingkan dengan jenis Goniastrea sp yang

tipe koralitnya cerioid dan permukaan oral disc yang lebih kecil (Suharsono, 2008).

2. Bioconcentration Factor (BCF) Logam Pb pada Karang

Menurut Connell dan Miller (1995), bahwa faktor biokonsentrasi (BCF) atau

bioakumulasi dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan mahluk hidup dalam

menyerap dan menyimpan suatu bahan pencemar. Biokonsentrasi dapat dilihat

sebagai proses kesetimbangan yang ditentukan jumlah pengambilan (biosorpsi) dan

pelepasan (ekskresi) suatu senyawa oleh sel makhluk hidup di lingkungannya.

Berdasarkan hasil perhitungan BCF didapatkan nilai rata-rata logam Pb pada

karang di ketiga lokasi penelitian cenderung fluktuatif (Gambar 7).

Gambar 7. Rata-rata hasil perhitungan BCF logam Pb pada karang.

Hasil perhitungan BCF (Lampiran 4), didapatkan bioakumulasi logam Pb

karang Platygyra sp sebesar 27,36-47,09 kali lebih besar dari konsentrasi logam Pb

yang ada di kolom air, sedangkan karang Goniastrea sp didapatkan sebesar 21,71-

29,67 kali lebih besar dari konsentrasi logam Pb yang ada di perairan. Hasil tersebut

menunjukkan kemampuan karang jenis Platygyra sp dalam mengakumulasi logam

Pb yang ada di perairan masih lebih besar jika dibandingkan dengan karang jenis

Goniastrea sp.

Hasil ini juga menunjukkan bahwa kemampuan karang Platygyra sp dan

Goniastrea sp dalam mengakumulasi logam Pb pada perairan sangat besar, jika

dibandingkan penelitian karang lunak yang hanya memiliki nilai BCF logam Pb

sebesar 4,75 kali dari konsentrasi yang ada di perairan (Eryati, 2008).

35.99

27.36

47.09

29.6728.81 21.71

0

10

20

30

40

50

60

Samalona Barranglompo Bonebatang Samalona Barranglompo Bonebatang

Platygyra sp Goniastrea sp

C. Konsentrasi Logam Cu pada Karang dan Hasil BCF

1. Konsentrasi Logam Cu pada karang

Hasil analisis konsentrasi logam Cu pada karang diperoleh nilai rata-rata

yang berbeda pada ke tiga pulau (Gambar 8), didapatkan konsentrasi logam Cu di

Pulau Samalona sebesar 3,39 pada karang Platygyra sp dan 3,80 pada karang

Goniastrea sp, Pulau Barranglompo sebesar 2,49 pada karang Platygyra sp dan

3,78 pada karang Goniastrea sp sedangkan Pulau Bonebatang sebesar 0,28 pada

karang Platygyra sp dan 0,60 pada karang Goniastrea sp.

Gambar 8. Rata-rata konsentrasi logam Cu pada karang.

2. Bioconcentration Factor (BCF) Logam Cu pada Karang

Berdasarkan hasil perhitungan BCF didapatkan nilai rata-rata logam Cu pada

karang di ketiga lokasi penelitian (Gambar 9) dimana berbeda pada kedua jenis

karang. Pada karang jenis Platygyra sp cenderung menurun yaitu Pulau Samalona

sebesar 49,5, kemudian Barranglompo sebesar 31,82 dan terakhir Bonebatang

sebesar 13,95. Sedangkan karang jenis Goniastrea sp cenderung fluktuatif yaitu

3.933.80

2.49

3.78

0.28

0.60

0

0.5

1

1.5

2

2.5

3

3.5

4

4.5

Platygyra sp Goniastrea sp Platygyra sp Goniastrea sp Platygyra sp Goniastrea sp

Samalona Barranglompo Bonebatang

Ko

nse

ntr

asi l

oga

m C

u (

mg/

kg)

Pulau Barranglompo sebesar 48,31, kemudian Samalona sebesar 48,07 dan terakhir

Bonebatang sebesar 29,55

Gambar 9. Rata-rata hasil perhitungan BCF logam Cu pada karang.

Hasil perhitungan BCF (Lampiran 4), didapatkan hasil bioakumulasi logam

Cu pada karang Platygyra sp sebesar 13,95-49,5 kali lebih besar dari konsentrasi

logam Cu yang ada di kolom air laut, sedangkan pada karang Goniastrea sp sebesar

29,55-48,31 kali lebih besar dari konsentrasi logam Cu yang ada di kolom air laut.

Hasil yang didapatkan menunjukkan bahwa karang Platygyra sp dan

Goniastrea sp dalam mengakumulasi logam Cu sangat tinggi dari konsentrasi yang

ada di perairan. Janssen et al. (1997) menyatakan bahwa apabila nilai BCFs > 1 dari

konsentrasi yang ada di kolom air berarti organisme tersebut memiliki kemampuan

mengakumulasi logam dalam tubuhnya, sebaliknya BCFs ≤ 1, berarti organisme

kurang memiliki kemampuan mengakumulasi logam dalam tubuhnya.

49.5

31.82

13.95

48.07 48.31

29.55

0

10

20

30

40

50

60

Samalona Barranglompo Bonebatang Samalona Barranglompo Bonebatang

Plaatygyra sp Goniastrea sp

Nila

i BC

F

D. Parameter Lingkungan Laut

Berdasarkan hasil pengukuran parameter oseanografi sebagai faktor

pendukung akumulasi logam Pb dan Cu, yang didapatkan pada karang Platygyra sp

dan Goniastrea sp di perairan Pulau Samalona, Barranglompo dan Bonebatang,

Kota Makassar disajikan pada (Tabel 4).

Tabel 3. Hasil pengukuran parameter lingkungan berdasarkan standar baku mutu air

laut untuk biota laut (rata-rata±SDEV)

Parameter Oseanografi Satuan Samalona Barranglompo Bonebatang

Standar

Baku

Mutu

Suhu °C 29,5±0,45 29,2±0,55 28,6±0,30 28-30

Salinitas ‰ 29±0,00 28,7±1,15 33,7±0,58 33-34

Kecerahan % 90±0,70 89,1±1,04 86,7±0,97 -

Derajat keasaman (pH) 7,3±0,07 7,3±0,05 7,1±0,01 7-8,5

Oksigen terlarut (DO) mg/L 4,4±0,21 4,5±0,21 5±0,08 >5

Dissolved Organik Matter

(DOM) mg/L 38,7±2,32 38,9±2,52 34,3±2,65

-

Sumber: KMNLH (2004)

1. Suhu

Nilai rata-rata suhu perairan yang didapatkan di lokasi penelitian

menunjukkan nilai yang homogen, dimana perairan Pulau Samalona sebesar

29,5±0,45 oC, Pulau Barranglompo 29,2±0,55 oC dan Pulau Bonebatang 28,6±0,30

oC, nilai rata-rata untuk ketiga pulau penelitian masih sesuai standar mutu baku air

laut untuk biota laut sebesar 28-30 oC (Tabel 4). Menurut Nybakken (1992), suhu

perairan nusantara yang normal berkisar antara 28-31 0C.

Suhu bisa mempengaruhi proses kelarutan logam-logam berat yang masuk

ke perairan, peningkatan atau tingginya suhu dapat menyebabkan peningkatan

kelarutan dan toksisitas logam berat (Lukman, 2012). Pada suhu yang lebih tinggi,

akumulasi dan toksisitas logam cenderung meningkat. Kenaikan suhu menyebabkan

tingkat bioakumulasi semakin besar (Sorensen, 1991).

2. Salinitas

Nilai rata-rata salinitas perairan yang didapatkan di perairan Pulau Samalona

sebesar 29,2±0,00‰, Pulau Barranglompo 28,7±1,15‰ dan Pulau Bonebatang

sebesar 33,7±0,58‰ (Tabel 4). Salinitas di Pulau Samalona dan Barranglompo

menunjukkan nilai salinitas yang rendah dan sudah di bawah toleransi untuk

organisme karang yaitu 32-35‰ (Nybakken, 1992).

Nybakken (1992) menyatakan bahwa toleransi organisme karang terhadap

salinitas berkisar antara 32-35‰. Penurunan salinitas dalam perairan dapat

menyebabkan tingkat bioakumulasi dalam logam berat pada organisme menjadi

semakin besar (Mukhtasor, 2007).

3. Kecerahan

Nilai rata-rata kecerahan perairan yang didapatkan di Pulau Samalona

sebesar 90,0±0,70%, Pulau Barranglompo 89,1±1,04% dan Pulau Bonebatang

86,7±0,97% (Tabel 4).

Pulau Samalona, Pulau Barranglompo dan Pulau Bonebatang memiliki nilai

rata-rata kecerahan yang tinggi untuk proses fotosintesis. Cahaya diperlukan dalam

proses fotosintesis alga simbiotik zooxanthella untuk memenuhi kebutuhan oksigen

biota terumbu karang (Nybakken, 1992). Tanpa cahaya yang cukup, laju fotosintesis

akan berkurang dan kemampuan karang untuk menghasilkan kalsium karbonat akan

berkurang pula (Harahap, 2004).

Sementara menurut Eryati (2008), tanpa cahaya laju kemampuan fotosintesis

menurun, dengan demikian akan mengurangi kemampuan karang untuk mensekret

kalsium karbonat dan menghasilkan rangka.

4. Derajat Keasaman (pH)

Nilai rata-rata pengukuran pH yang didapatkan pada masing-masing lokasi

penelitian, Pulau Samalona 7,3±0,07, Pulau Barranglompo 7,3±0,05 dan Pulau

Bonebatang 7,1±0,01. Nilai tersebut masih sesuai dengan standar baku mutu air laut

untuk biota laut (Tabel 4) dan menunjukkan kondisi pH pada lokasi penelitian masuk

dalam kondisi normal. Menurut Efendi (2003), sebagian besar biota akuatik sensitif

terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH sekitar 7- 8,5.

5. Oksigen Terlarut (DO)

Nilai rata-rata oksigen terlarut (DO) yang didapatkan di perairan Pulau

Samalona sebesar 4,4±0,21 mg/L, Pulau Barranglompo 4,5±0,21 mg/L dan Pulau

Bonebatang 5±0,08 mg/L. Perairan di Pulau Samalona dan Barranglompo sudah

tidak sesuai dengan standar baku mutu air laut untuk biota laut (Tabel 4).

Pada tabel nilai rata-rata oksigen terlarut menunjukkan bahwa kondisi

perairan Pulau Samalona dan Barranglompo termasuk kategori tercemar sedang,

sedangkan Pulau Bonebatang tergolong dalam kategori tercemar ringan.

Tabel 4. Kisaran dan status kandungan DO di perairan

Parameter Kisaran (mg/L) Status

DO

>5 Tercemar ringan

2 – 5 Tercemar sedang

0,1 – 2 Tercemar berat

Sumber: Supardi (1994)

Kelarutan logam sangat dipengaruhi oleh kandungan oksigen terlarut. Pada

daerah dengan kandungan oksigen yang rendah, daya larutnya lebih rendah

sehingga mudah mengendap. Logam seperti Pb dan Cu akan sulit terlarut dalam

kondisi perairan yang anoksik. Selain faktor yang mempengaruhi daya larut logam

tersebut, kandungan logam pada suatu perairan juga bisa dipengaruhi oleh faktor

lainnya (biological up take) dalam hal ini hubungannya dengan jumlah absopsi dan

kandungan logam air (Darmono, 1995).

6. Dissolved Organic Matter (DOM)

Nilai rata-rata bahan organik terlarut (DOM) yang didapatkan di perairan

Pulau Samalona sebesar 38,7±2,32 mg/L, Pulau Barranglompo 38,9±2,52 mg/L dan

Pulau Bonebatang 34,3±2,65 mg/L (Tabel 4).

Hasil analisis DOM didapatkan bahwa Pulau Samalona dan Barranglompo

memiliki nilai DOM lebih tinggi dari Pulau Bonebatang. Hal ini diduga akibat

banyaknya kerusakan terumbu karang yang diakibatkan pengeboman dan

pembiusan sehingga mengakibatkan banyak zat buangan zooplankton dan

organisme karang yang telah mati. Selain itu kemungkinan disebabkan oleh

banyaknya aktifitas buangan dari daratan utama berupa buangan sampah,

tumbuhan dan penguraian organisme yang berasal dari perairan dan daratan.

Menurut Duursma (1996), DOM perairan berasal dari berbagai sumber, seperti

metabolisme sel alga terutama fitoplankton, zat buangan zooplankton dan

organisme besar lainnya, zat buangan tumbuhan, penguraian organisme tumbuhan

dari daratan. Hal tersebut dapat menyebabkan konsentrasi logam yang ada di kolom

air mengikat/mengendap pada partikel tersebut dalam jumlah tertentu sehingga

akumulasi logam pada karang lebih rendah.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa:

1. Konsentrasi logam Pb dan Cu pada kedua jenis karang tertinggi di Pulau

Samalona dan terendah di Pulau Bonebatang.

2. Konsentrasi logam Pb lebih tinggi pada jenis Platygyra sp di Pulau Samalona

dan Bonebatang; sedangkan konsentrasi logam Cu lebih tinggi pada jenis

Goniastrea sp di Pulau Barranglompo dan Bonebatang

3. BCF logam Pb lebih tinggi pada jenis Platygyra sp; sedangkan BCF logam Cu

lebih tinggi pada jenis Goniastrea sp.

B. Saran

Diperlukan penelitian lebih lanjut tentang akumulasi logam Pb dan Cu pada

karang jenis Platygyra sp dan Goniastrea sp di Kepulauan Spermonde yang lain dan

perbandingan akumulasi logam Pb dan Cu yang terkandung pada rangka dengan

yang terkandung pada jaringan pada karang Platygyra sp dan Goniastrea sp.

DAFTAR PUSTAKA

Alutoin, S., Boberg, J. Nyström, M. & Tedergren, M. 2001. Effects of the multiple stressors copper and reduced salinity on the metabolism of the hermatypic coral Porites lutea. Marine Environmental Research, 52: 289 – 299.

Ambariyanto. 2011. Pengaruh surfaktan dan hidrokarbon terhadap zooxanthellae. Ilmu Kelautan, 16 (1): 30-34.

Babich, H and G. Stotzky. 1978. Effect of cadmium on the biota: influence of enviromental factors. Appl. Microbiol. 23:55 – 117.

Clark, R. B. 1986. Marine Pollution. Clarenden Press. Oxford. Connel, D.W dan Miller, J.G. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran.

Universitas Indonesia Press. Jakarta. Dahuri, R., Rais, J. dan Sitepu, M. J. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah

Pesisir dan Lautan SecaraTerpadu. P.T Pradhya Paramitha. Jakarta. Darmono. 1995. Logam dalam Sistem Biologi Makhluk Hidup. UI-Press. Jakarta. Dodge, R.E, & Gilbert, T.R. 1984. Chronology of lead pollution contained in banded

coral skeletons. Mar. Biol. 82:9-13. Duursma, E, K, & Carrol J. 1996. Environmental Compartemen; Equilibria and

Assessment of Processes Between Air, Water, Sediment, and Biota. Berlin Heidenberg, Spinger – Verlag, Germany.

Effendi H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. PT. Kanisius. Bogor. 257 hal.

Eryati, R. 2008. Akumulasi Logam Berat dan Pengaruhnya terhadap Morfologi Jaringan Lunak Karang di Perairan Tanjung Jumlai, Panajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 136 hal.

Fardiaz, S., 1992. Polusi Air dan Udara. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Fatah, K. Phil, H.M, Said, A., 2010. Karbon Organik Terlarut sebagai Indikator

Keragaman Hayati dan Kualitas Hasl Tangkapan Ikan di Rawa Banjiran. Balai Riset Kelautan dan Perikanan – KKP. Jakarta.

Fergusson, J.E. 1982. Inorganic Chemistry and the Earth. Pergamon Press. Austria. Pp 384-355.

Glynn, P. W. 1993. Coral reef bleaching: Ecological perspective. Coral Reefs, 12: 1-17.

Harahap, A. K. 2004. Kondisi ekosistem terumbu karang di perairan sekitar Pulau Batam, Riau. Skripsi. FPIK – IPB, Bogor.

Hutagalung, HP. 1991. Pencemaran Laut oleh Logam Berat. Dalam Status Pencemaran Laut di Indonesia dan Teknik Pemantauannya. P30-LIPI. Jakarta.

Janssen, P.H. Schuhmann, A., Moerschel, E., & Rainey, F.A,. 1997. Novel anaerobic ultramicrobacteria belonging to the verrucomicrobiales lineage of bacterial descent isolated by dilution culture from anoxic rice paddy soil. Applied and Enviromental Microbiology, 63; 1382-1388.

Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (KMNLH) No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut. Menteri Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

Lalli, C.M. dan Parsons, T.R. 1993. Biological Oceanography an Introduction. First Puplished by Pergamon Press Ltd. Oxford.

Laws, EA. 1981. Aquatic Pollution. John Willey and Sons. New York.

Lukman, 2012. Distribusi logam berat timbal (Pb) dan kadmium pada sedimen dan organisme pemakan deposit (deposit feeder) di perairan pantai Kota Makassar. Skripsi. Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.

Manuputty, A. E. 2008. Beberapa aspek ekologi oktokoral. Oseana – Vol. 33 no. (2): 33-42.

Mitchelmore, C.L., E.A. Verde. & V.M. Weis. 2007. “Uptake and Partitioning of Copper and Cadmium in the Coral Pocillopora damicornis”. Aquatic Toxicology 85: 48-56.

Mukhtasor. 2007. Pencemaran Pesisir dan Laut. PT. Pradnya Paramita. Jakarta. Nontji. A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan Ketiga. Penerbit Djambatan. Jakarta. Nybakken. 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. PT. Gramedia. Jakarta. Palar, H. 2008. Pencemaran dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta. Petrucci, RH. 1993. Kimia Dasar: Prinsip dan Terapan Modern. Jilid ke-2. Ed. ke-4.

Achmadi SS, (Penerjemah; editor). Erlangga. Pratono, T. 1985. Kandungan Logam berat timbal (Pb), tembaga (Cu) dan seng (Zn)

dalam Tubuh kerang hijau (Mytilus viridis, L) yang dibudidayakan di perairan Ancol Teluk Jakarta. Skripsi IPB. Bogor.

Razak H. 1980. Pengaruh logam berat terhadap lingkungan. Pewarta Oseana: no.(2). Jakarta : LON-LIPI.

Romimohtarto, K. & Juwana, S. 2001. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biologi Laut. P3O-LIPI. Jakarta. 527 hlm.

Samawi, M.F, Werorilangi, S., dan Tambaru. R., 2010. Analisis Potensi Sponge Laut sebagai Bioakumulator Logam Berat Pb, Cd dan Cu dari Perairan Laut. Prosiding Seminar Nasional Perikanan dan Kelautan, UGM. Yogyakarta.

Sanusi H.S, Kaswadji R.F., Nurjaya I.W., Rafni R. 2005. Kajian kapasitas beban pencemaran organik dan anorganik di perairan Teluk Jobokuto Kabupaten Jepara Jawa Tengah. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 12 no.(1): 9-16.

SNI M-03-1089-F, 1990a, SNI Bidang Pekerjaan Umum Mengenai Kualitas air. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

SNI M-03-1990-F, 1990b. SNI Bidang Pekerjaan Umum Mengenai Kualitas air. Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta.

SNI 06-6992.3-2004 BSN, 2004, SNI Cara Uji Timbal Pb Secara Deskruksi Asam Dengan Apektrofotometer Serapan Atom SSA. Jakarta.

Supardi, I. 1994. Lingkungan Hidup dan Pelestariannya. Bandung: Alumni Sorensen, E.M., 1991. Metal Poisoning in Fish. Environmental and Life Science

Associates. Boston. p 373. Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang yang Umum Dijumpai di Perairan Indonesia.

P3O LIPI. Jakarta. Suharsono. 2008. Jenis-jenis Karang di Indonesia. P3O LIPI. Jakarta. Supriharyono, 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah

Pesisir Tropis. Penerbit Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Thamrin. 2006. Karang: Biologi Reproduksikologi. Bina Mandki Pres. Pekanbaru.

260 hal. Veron, J.E.N., 2000. Corals of the World. AIMS. Vol. I, II, III. Australia. Widowati, W., A. Sastiono, dan R. Jusuf. 2008. Efek Toksik Logam: Pencegahan

dan Penanggulangan Pencemaran. Andi Offset. Yogyakarta. 395 hlm.

Whitfield, M.D.A Turner. And A.G. Dickson, 1981. Speciation of Dissolved Contituents in Estuaries. P 132-151. In: L.A. ABBOT (eds). River Input to Ocean Systems, Proccedings Review Workshop, FAO, 26-30 March 1979. UNEP-UNESCO. Rome.

Wood, J.M. 1980. Lead in the Marine Environment: Some Biological Considerations. P 292-303. In: M. Branica and Z. Konrad (eds). Lead in the Marine Environment, Pergamon Press. Oxford.

Lampiran 1. Konsentrasi logam Pb dan Cu pada air laut

Samalona

Pb Air (mg/L) Cu Air (mg/L) Standar Baku Mutu

0,80 0,08

0,008 mg/L

0,71 0,08

0,91 0,08

Rata-rata 0,81 0,08

Stdev 0,10 0,00

Barranglompo

0,76 0,08

0,74 0,08

0,89 0,08

Rata-rata 0,80 0,08

Stdev 0,08 0,00

Bonebatang

0,20 0,03

0,29 0,02

0,24 0,02

Rata-rata 0,25 0,02

Stdev 0,04 0,00

Sumber: KMNLH (2004)

Lampiran 2. Hasil analisis One Way Anova konsentrasi logam Pb dan Cu

pada kolom air laut

Descriptives

N Mean Std. Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Minimum Maximum

Lower Bound Upper Bound

Pb samalona 3 .8067 .10017 .05783 .5578 1.0555 .71 .91

Barranglompo 3 .7967 .08145 .04702 .5943 .9990 .74 .89

Bonebatang 3 .2433 .04509 .02603 .1313 .3553 .20 .29

Total 9 .6156 .28745 .09582 .3946 .8365 .20 .91

Cu samalona 3 .0800 .00000 .00000 .0800 .0800 .08 .08

Barranglompo 3 .0800 .00000 .00000 .0800 .0800 .08 .08

Bonebatang 3 .0233 .00577 .00333 .0090 .0377 .02 .03

Total 9 .0611 .02848 .00949 .0392 .0830 .02 .08

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.

Pb .847 2 6 .474

Cu 16.000 2 6 .004

ANOVA

Sum of Squares df Mean Square F Sig.

Pb Between Groups .624 2 .312 50.023 .000

Within Groups .037 6 .006

Total .661 8

Cu Between Groups .006 2 .003 289.000 .000

Within Groups .000 6 .000

Total .006 8

Multiple Comparisons

Dependent Variable (I) Pulau (J) Pulau Mean Difference (I-J) Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound Upper Bound

Pb Tukey HSD samalona Barranglompo .01000 .06446 .987 -.1878 .2078

Bonebatang .56333* .06446 .000 .3655 .7611

Barranglompo Samalona -.01000 .06446 .987 -.2078 .1878

Bonebatang .55333* .06446 .000 .3555 .7511

Bonebatang Samalona -.56333* .06446 .000 -.7611 -.3655

Barranglompo -.55333* .06446 .000 -.7511 -.3555

LSD samalona Barranglompo .01000 .06446 .882 -.1477 .1677

Bonebatang .56333* .06446 .000 .4056 .7211

Barranglompo Samalona -.01000 .06446 .882 -.1677 .1477

Bonebatang .55333* .06446 .000 .3956 .7111

Bonebatang Samalona -.56333* .06446 .000 -.7211 -.4056

Barranglompo -.55333* .06446 .000 -.7111 -.3956

Cu Tukey HSD samalona Barranglompo .00000 .00272 1.000 -.0084 .0084

Bonebatang .05667* .00272 .000 .0483 .0650

Barranglompo Samalona .00000 .00272 1.000 -.0084 .0084

Bonebatang .05667* .00272 .000 .0483 .0650

Bonebatang Samalona -.05667* .00272 .000 -.0650 -.0483

Barranglompo -.05667* .00272 .000 -.0650 -.0483

LSD samalona Barranglompo .00000 .00272 1.000 -.0067 .0067

Bonebatang .05667* .00272 .000 .0500 .0633

Barranglompo Samalona .00000 .00272 1.000 -.0067 .0067

Bonebatang .05667* .00272 .000 .0500 .0633

Bonebatang Samalona -.05667* .00272 .000 -.0633 -.0500

Barranglompo -.05667* .00272 .000 -.0633 -.0500

*. The mean difference is significant at the 0.05 level.

Lampiran 3. Hasil analisis Nasted Anova logam Pb pada karang

Between-Subjects Factors

Value Label N

Pulau 1 Samalona 6

2 Barrang Lompo 6

3 Bonebatang 6

Jeniskarang 1 Platygyra sp 9

2 Goniastrea sp 9

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Pb

Source

Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Intercept Hypothesis 6436.767 1 6436.767 207.514 .001

Error 93.055 3 31.018a

Pulau Hypothesis 1055.630 2 527.815 17.016 .023

Error 93.055 3 31.018a

Pulau(Jeniskarang) Hypothesis 93.055 3 31.018 18.026 .000

Error 20.649 12 1.721b

a. MS(Pulau(Jeniskarang))

Between-Subjects Factors

Value Label N

Pulau 1 Samalona 6

2 Barrang Lompo 6

3 Bonebatang 6

Jeniskarang 1 Platygyra sp 9

b. MS(Error)

Lampiran 4. Konsentrasi logam Pb dan Cu pada karang dan hasil BCF

Pulau Jenis karang Pb (mg/kg) Cu (mg/kg) Hasil.

Perhitungan BCF logam Pb

Hasil perhitungan

BCF logam Cu

Samalona

Platygyra sp

28.08 4.27 35.28 50.85

29.15 3.57 41.23 47.05

28.75 3.96 31.47 50.61

Rata-rata 28.66 3.93 35.99 49.50

Stdev 0.54 0.35 4.92 2.13

Goniastrea sp

23.91 3.59 30.04 42.73

23.66 3.73 33.47 49.23

23.30 4.09 25.50 52.24

Rata-rata 23.62 3.80 29.67 48.07

Stdev 0.31 0.26 4.00 4.86

Barranglompo

Pulau

Barranglompo

Platygyra sp

21.40 2.44 28.12 29.43

21.92 2.89 29.46 37.91

21.78 2.14 24.48 28.12

Rata-rata 21.70 2.49 27.36 31.82

Stdev 0.27 0.38 2.58 5.32

Goniastrea sp

Jenis Karang

Goniastrea sp

22.74 3.82 29.89 46.15

Pb (mg/kg)

22.81

Cu (mg/kg)

3.62

Hasil Perhitungan

BCF logam Pb

30.66

Hasil perhitungan

BCF logam Cu

47.46

23.02 3.90 25.88 51.32

Rata-rata 22.86 3.78 28.81 48.31

Stdev 0.15 0.14 2.56 2.69

Lampiran 5. Hasil analisis Nasted Anova Logam Cu pada Karang

Between-Subjects Factors

Value Label N

Pulau 1 Samalona 6

2 Barrang Lompo 6

3 Bonebatang 6

Jeniskarang 1 Platygyra sp 9

2 Goniastrea sp 9

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable:Cu

Source Type III Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Intercept Hypothesis 110.686 1 110.686 123.572 .002

Error 2.687 3 .896a Pulau Hypothesis 39.092 2 19.546 21.822 .016

Error 2.687 3 .896a Pulau(Jeniskarang) Hypothesis 2.687 3 .896 12.922 .000

Error .832 12 .069b

a. MS(Pulau(Jeniskarang))

b. MS(Error)

Lampiran 6. Hasil pengukuran parameter lingkungan laut

Bonebatang

Platygyra sp

11.15 0.31 54.93 11.84

10.88 0.28 37.42 15.05

11.83 0.25 48.92 14.97

Rata-rata 11.28 0.28 47.09 13.95

Stdev 0.49 0.03 8.90 1.83

Goniastrea sp

5.77 0.71 28.43 27.42

8.20 0.77 28.22 41.79

2.05 0.32 8.48 19.44

Rata-rata 5.34 0.60 21.71 29.55

Stdev 3.10 0.25 11.46 11.33

Pulau Suhu (oC) Salinitas (‰) pH DO (mg/L) DOM (mg/L) Kecerahan (%)

Samalona 1 29,1 29 7,32 4,2 38,4 90,5

Samalona 2 29,5 29 7,43 4,6 41,2 89,5

Samalona 3 30 29 7,28 4,5 36,6 90

Barrang lompo 1 28,6 28 7,32 4,6 37,3 89

Barrang lompo 2 29,5 28 7,39 4,7 41,8 88

Barrang lompo 3 29,6 30 7,28 4,3 37,6 90

Bonebatang 1 28,6 34 7,15 5,1 38,6 87

Bonebatang 2 28,9 33 7,16 4,95 33,3 86

Bonebatang 3 28,3 34 7,14 5 35,8 85