SKRIPSI Oleh: ALFIAN NUR GHOZALI E1A109063fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...

115
ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK (Studi Putusan Nomor : 145/Pid.B/2011/PN.Pbg.) SKRIPSI Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh: ALFIAN NUR GHOZALI E1A109063 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014

Transcript of SKRIPSI Oleh: ALFIAN NUR GHOZALI E1A109063fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/bibliofile/SKRIPSI...

1

ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK

(Studi Putusan Nomor : 145/Pid.B/2011/PN.Pbg.)

SKRIPSI

Disusun Guna Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh:

ALFIAN NUR GHOZALI

E1A109063

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2014

2

LEMBAR PENGESAHAN ISI DAN FORMAT

SKRIPSI

ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK

(Studi Putusan Nomor : 145/Pid.B/2011/PN.Pbg.)

Oleh :

ALFIAN NUR GHOZALI

E1A109063

Diterima dan Disahkan

Pada Tanggal, Februari 2014

Para Penguji/Pembimbing

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jendral Soedirman

Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

Mengetahui,

Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jendral Soedirman

Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum.

NIP. 19640923 198901 1 001

Pembimbing I Pembimbing II Penguji

Hand Handri Wirastuti Sawitri. S.H., M.H. Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H. Pranoto, S.H.,M.H.

NIP. 19581019 198702 2 001 NIP. 19640724 199002 1 001 NIP.19540305 198601 1 001

3

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Yang bertandatangan di bawah ini :

Nama : Alfian Nur Ghozali

NIM : E1A109063

SKS : 150

Program Studi : Ilmu Hukum

Bagian : Hukum Acara Pidana

Menyatakan dengan sebenarnya bahwa skripsi ini benar-benar merupakan

hasil karya saya, bukan merupakan pengambilalihan tulisan atau pikiran orang

lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya.

Apabila dikemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa skripsi ini

hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai dengan ketentuan yang

berlaku.

Purwokerto, 24 Februari 2014

Yang Membuat Pernyataan,

AlfianNurGhozali

NIM. E1A109063

iii

4

ABSTRAK

ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK

(Studi Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Pbg.)

Oleh :

Alfian Nur Ghozali

E1A109063

Penelitian ini mengambil judul “analisis keterangan saksi yang tidak

disumpah dalam perkara tindak pidana pembunuhan anak” (studi putusan nomor

:145/pid.b/2011/pn.pbg.)

Permasalahan pada penelitian ini adalah Apakah keterangan saksi yang

tidak disumpah dalam perkara tindak pidana pembunuhan anak dapat

diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah serta bagaimana kekuatan pembuktian

keterangan saksi yang tidak disumpah dalam perkara tindak pidana pembunuhan

anak. Untuk membahas permasalahan tersebut, maka metode yang digunakan

adalah yuridis normatif, dengan sumber data berupa data sekunder. Data disajikan

dalam bentuk uraian yang di susun secara sistematis dengan analisis kualitatif.

Hasil Penelitian ini adalah keterangan saksi yang tidak disumpah dalam

Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Pbg) tidak dapat diklasifikasikan sebagai alat

bukti yang sah Keterangan tersebut sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi

dapat bernilai dan bias dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah lainnya

sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat

bukti yang sah dan alat bukti yang ada telah memenuhi batas minimum

pembuktian.

Kekuatan Pembuktian Keterangan saksi yang tidak disumpah dalam

Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Pbg) nilai kekuatan pembuktian yang melekat

pada keterangan saksi yang dibacakan di siding pengadilan, sifatnya tetap bukan

merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan pembuktian yang melekat padanya

dapat dipergunakan menguatkan keyakinan hakim saja.

.

Kata kunci: Keterangan Saksi, tidak disumpah , pembunuhan anak

iv

5

ABSTRACT

SWORN TESTIMONY OF WITNESSES WHO ARE NOT IN

THE CRIMINAL ACTS INFANTICIDE

By:

AlfianNurGhozali

E1A109063

This study analyzes take title sworn testimony of witnesses who are not in

the criminal acts infanticide ( the study verdict ID : 145/pid.b/2011/pn.pbg . )

The problem in this study are Is not sworn testimony in the murder of his

criminal acts can be classified as a valid proof , and how the strength of evidence

is not evidence of a sworn witness in the murder of his criminal acts .To discuss

the problem, then the method used is normative juridical , with data in the form of

secondary data sources . Data presented in the form of descriptions arranged

systematically with qualitative analysis .

The results of this study are not sworn testimony in Decision Number:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg )can not be classified as a valid proof of evidence that

nature is not a proof tool , but can be valuable and can be used as an additional

other legal means of evidence during the testimony of witnesses who have read

compatibility with valid proof tools and gadgets available evidence has met the

minimum threshold of proof.

Proof of Evidence Strength witness who is sworn in Decision Number:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg ) the strength of proof attached to the testimony that was

read in court , its still not a proof tool , but the strength of proof attached it can be

used to strengthen confidence in the judge alone\

Keywords: Witness Testimony, not sworn, the murder of children

v

6

MOTO PENULIS

BERUSAHALAH SELAGI MASIH ADA

KESEMPATAN

MELANGKAHLAH KEDEPAN SESEKALI

MENOLEH KEBELAKANG

TAK ADA YANG TAK MUNGKIN DIDUNIA INI

JIKA MAU BERUSAHA

RAIHLAH MIMPI KESUKSESAN HAKIKI

vi

7

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan anugerah-Nya

serta kepada Nabi Besar kita Muhammad SAW sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi yang berjudul :“Analisis Keterangan Saksi Yang Tidak

Disumpah Dalam Perkara Tindak Pidana Pembunuhan Anak”(Studi Putusan

Nomor :145/Pid.B/2011/Pn.Pbg.) Skripsi ini merupakan salah satu persyaratan

dalam memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas

Jenderal Soedirman. Berbagai kesulitan dan hambatan penulis hadapi dalam

penyusunan skripsi ini. Namun berkat bimbingan, bantuan dan moril serta

pengarahan dari berbagai pihak, maka skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.

Oleh karena itu, penulis ingin menyampaikan terimakasih yang tulus kepada:

1. Dr. Angkasa, SH,M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

2. Handri Wirastuti Sawitri,.S.H.,M.H. selaku Dosen Pembimbing I atas segala

arahan dan masukan untuk skripsi ini.

3. Dr. Hibnu Nugroho. S.H., M.H selaku Dosen Pembimbing II atas segala

arahan dan masukan untuk skripsi ini.

4. Pranoto,.S.H,.M.H selaku pembimbing, motivator, dan sebagai keluarga,

selama saya belajar di Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

5. Kedua orang tuasaya yang telah memberi motivasi saya untuk lulus dan

Keluarga Besar saya yang selalu memberikan dukungannya..

vii

8

Akhirnya, ibarat pepatah mengatakan tiada karya cipta yang sempurna

kecuali ciptaan-Nya, begitu juga dengan penyusunan Penelitian ini tentunya masih

jauh dari kesempurnaan. Meskipun demikian penulis berharap semoga hasil karya

penulis ini bias bermanfaat bagi pembaca sekalian.

Purwokerto,24 Februari 2014

Penulis

AlfianNurGhozali

viii

9

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan pada:

1. Kedua Orang Tuaku Bapak Darko dan Ibu Tercinta

Sofariyah, terima kasih untuk kasih sayang,

nasehat, dukungan dan doanya.

2. Keluarga Besarku, Siti Purwati,Weni Agus

Herawati, Heru Sunarko, Tondi Barnadi,.S.E.,

Sasmita, Ananda Kiki Pradina Jiwog, Fahri Caprut,

Steven Ndut, dan semua keluarga yang tidak

mungkin saya sebutkan satu-persatu, terimakasih

banyak atas doa, bantuan dan dukunganya selama

ini.

3. Yuniarti Fat’ah My lopely yang special dan setia

menemaniku selama ini, terimakasih untuk

dukungan, kasih sayang, doa dan kesabarannya.

ix

10

4. SEmua teman-teman Paralel fakultas Hukum

Unsoed Terimakasih untuk dukungan dan doanya.

5. Semua teman saudara Libra, terima kasih untuk

dukungan dan doanya.

x

11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

SURAT PERNYATAAN........................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................. iv

ABSTRACT ................................................................................................ v

MOTTO ..................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR .............................................................................. vii

HALAMAN PERSEMBAHAN .............................................................. viii

DAFTAR ISI ............................................................................................... x

BAB I PENDAHULUAN .......................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................ 1

B. Perumusan Masalah ........................................................................ 4

C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 5

D. Kegunaan Penelitian........................................................................ 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Hukum Acara Pidana .................................................... 6

1.Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana .................................... 8

xi

12

2. Asas-asas Hukum Acara Pidana ................................................ 10

B. Pembuktian .................................................................................... 19

1. Pengertian Pembuktian ............................................................. 19

2. Teori dan Sistem Pembuktian ................................................... 21

C. Alat Bukti Menurut KUHAP ........................................................ 27

D. Tindak Pidana Pembunuhan anak ................................................. 36

E. Pengertian Anak ............................................................................ 46

F. Tinjauan Umum Alat Bukti Keterangan Saksi

Yang Tidak Disumpah .................................................................. 46

BAB III METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan................................................................... 50

2. . Spesifikasi Penelitian................................................................ 50

3. Sumber Data ............................................................................. 50

4. Metode Pengumpulan Data ...................................................... 51

5. Metode Penyajian Data ............................................................. 51

6. Metode Analisis Data ............................................................... 52

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian............................................................................... 53

B. Pembahasan ..................................................................................... 77

BAB V PENUTUP

A. Simpulan ....................................................................................... 99

B. Saran ............................................................................................ 100

DAFTAR PUSTAKA

xii

13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum acara pidana disebut juga hukum pidana formil, sedangkan

hukum pidana disebut hukum pidana materiil. Hukum pidana atau hukum

pidana materiil berisi petunjuk dan uraian tentang delik, peraturan tentang

syarat-syarat dapat dipidananya suatu perbuatan, dan aturan tentang

pemidanaan, Mengatur kepada siapa dan bagaimana pidana itu dapat

dijatuhkan. Hukum Acara Pidana atau hukum pidana formil mengatur

bagaimana Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk

memidana dan menjatuhkan pidana.

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan

mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, yaitu

kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan

menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan

tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan

suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan

putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu

14

tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa tersebut

dapat dipersalahkan”.1

Usaha yang dilakukan oleh penegak hukum untuk menemukan

kebenaran materiil adalah untuk menghindari kekeliruan dalam penjatuhan

pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam

Undang – Undang Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan :

“Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena

alat pembuktian yang sah menurut Undang-undang mendapat keyakinan

bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggungjawab, telah bersalah

atas perbuatan yang dituduhkan atas dirinya” 2

Hal ini dapat dilihat dari adanya berbagai usaha yang dilakukan oleh

aparat penegak hukum dalam memperoleh bukti-bukti yang dibutuhkan

untuk mengungkap suatu perkara baik pada tahap pemeriksaan pendahuluan

seperti penyidikan dan penuntutan maupun pada tahap persidangan perkara

tersebut3.

Dalam kenyataan sehari-hari, warga negara yang lalai atau sengaja

tidak melaksanakan kewajibannnya yang dapat menimbulkan kerugian bagi

orang lain atau masyarakat, dapat dikatakan bahwa warga negara tersebut

telah “melanggar hukum” karena untuk menjamin tegaknya kebenaran,

1 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia , Jakarta:Sinar Grafika, 2001,

hal.8

2M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP edisi

kedua., Jakarta, 2008, hal.72 3 http://gudangmakalah.blogspot.com/2009/08/skripsi.. diakses pada tanggal 25 Mei

2013 pada pukul 22.15 WIB.

15

keadilan dan kepastian hukum, bagi setiap warga negara wajib “menjunjung

hukum”, dan kewajiban tersebut telah ditentukan berdasarkan hukum4.

Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan penting

dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Melalui pembuktian

ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian dengan alat-alat bukti

yang ditentukan undang-undang “tidak cukup” membuktikan kesalahan

yang didakwakan kepada terdakwa, maka terdakwa “dibebaskan” dari

hukuman.Sebaliknya, apabila kesalahan terdakwa dapat dibuktikan dengan

alat-alat bukti yang disebut dalam Pasal 184 KUHAP, terdakwa dinyatakan

“bersalah”. Kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh karena itu, hukum

harus hati-hati, cermat, menilai dan mempertimbangkan nilai pembuktian.5

Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana sebagai produk bangsa

Indonesia telah menetapkan beberapa alat bukti yang sah dan dapat

dipergunakan untuk membuktikan salah tidaknya terdakwa. Adapun alat

bukti yang sah menurut undang-undang sesuai dengan apa yang disebut

dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah :

1. Keterangan saksi

2. Keterangan ahli

3. Surat

4. Petunjuk

5. Keterangan terdakwa

4 Leden Marpaung, Proses penanganan perkara pidana (penyelidikan dan

penyidikan), Bagian pertama, Edisi kedua, Cetakan kedua, Sinar Grafika, 2009, Jakarta, hal.

22 5 M. Taufik Makaro dan Suharsil, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek,

Jakarta: Ghalia Indonesia, 2004, hal, 102-103

16

Pasal 184 ayat (1) KUHAP tercantum alat-alat bukti yang sah antara

lain keterangan saksi. Pada umumnya keterangan saksi merupakan alat bukti

yang paling utama dalam perkara pidana, karena hampir semua pembuktian

perkara pidana selalu bersandar pada pemeriksaan keterangan

saksi6.sehingga keterlibatan seorang saksi mutlak diperlukan dalam

keseluruhan tingkatan pemeriksaan perkara pidana termasuk pemeriksaan di

pengadilan.alat bukti keterangan saksi kadang kala masih sering

menimbulkan permasalahan, baik mengenai eksistensinya sebagai alat bukti

yang sah.

Didalam putusan Nomor 145/Pid.B/2011/PN.Pbg, dimana terdakwa

KC Als ATN Binti NRM telah melakukan tindak pidana pembunuhan anak

di Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten

Purbalingga, salah satu saksi yang bernama GN als NN bin WM

memberikan keterangan tanpa mengangkat sumpah, padahal saksi ini

memegang peran yang penting karena pertama kali menemukan korban

pembunuhan tersebut di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan

Bojongsari Kabupaten Purbalingga.

Berdasarkan uraian tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan

penulisan hukum dengan judul :

ANALISIS KETERANGAN SAKSI YANG TIDAK DISUMPAH

DALAM PERKARA TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN ANAK

(Studi Putusan Nomor:145/Pid.B/2011/PN.Purbalingga)

6 M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, Dan Peninjauan Kembali), Jakarta:

Sinar Grafika, 2008, hal., 286

17

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah terseburt di atas, maka dapat

dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimana keterangan saksi yang tidak disumpah dapat diklasifikasikan

sebagai alat bukti yang sah dalam perkara No.145/Pid.B/2011/PN.

Purbalingga?

2. Bagaimana kekuatan pembuktian terhadap keterangan saksi yang tidak

disumpah dalam perkara No.145/Pid.B/2011/PN.Purbalingga?

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui keterangan saksi yang tidak disumpah dapat

diklasifikasikan sebagai alat bukti yang sah dalam perkara No. 145/Pid.B/

2011/ PN. Purbalingga.

2. Untuk mengetahui kekuatan pembuktian terhadap keterangan saksi yang

tidak disumpah dalam perkara No. 145/Pid.B/ 2011/ PN. Purbalingga.

D. Kegunaan Penelitian

Adapun manfaat yang dapat diambil penulis dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Manfaat Teoritis

a). Memberikan sumbangan pemikiran dalam perkembangan ilmu hukum,

khususnya yang berkaitan dengan masalah hukum pembuktian pidana

serta dapat menambah bahan-bahan kepustakaan.

b). Untuk mendalami teori-teori yang telah diperoleh penulis selama kuliah

di Fakultas Hukum Universitas Jendral Soedirman Purwokerto.

18

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai nilai kemanfaatan di

dalam penegakan hukum acara khususnya hukum acara pidana tentang

penegakan hukum tindak pidana Pembunuhan anak.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian dan Asas Hukum Acara Pidana

Istilah hukum acara pidana jarang sekali diperkenalkan secara umum.

Hukum acara pidana sering dianggap sebagai ilmu hukum yang sempit dan

menjadi bagian dari ilmu pengetahuan hukum positif. Bahkan ada suatu

pendapat bahwa hukum acara pidana tidak dapat dipelajari sebagaimana

lazimnya sebagai ilmu karena berkedudukan sebagai hukum pelengkap

terhadap hukum pidana materiil. Hukum acara pidana memiliki ruang

lingkup yang sempit yaitu hanya mulai dari mencari kebenaran,

penyelidikan penyidikan, penuntutan, dan berakhir pada pelaksanaan pidana

(eksekusi). Pembinaan narapidana tidak termasuk hukum acara

pidana.Apalagi yang menyangkut perencanaan undang-undang pidana.7

KUHAP tidak menjelaskan pengertian hukum acara pidana,

melainkan hanya memberikan beberapa definisi yang merupakan dari

bagian hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, mengadili,

praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penangkapan,

7Andi Hamzah. 2010. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. hal.1.

19

penahanan, dan lain-lain yang semuanya merupakan satu kesatuan dalam

proses berlakunya hukum acara pidana.8

Menurut D. Simons9 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah sebagai berikut:

“Hukum pidana formal (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana

Negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidanakan dan

menjatuhkan pidana.”

Pengertian hukum acara pidana dari para sarjana yang hampir lengkap

dan tepat adalah pengertian yang diberikan oleh Van Bemmelen, karena

merinci pula substansi hukum acara pidana itu, bukan permulaan dan

akhirnya saja. Pengertian hukum acara pidana menurut Van Bemmelen 10

sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, adalah sebagai berikut:

“Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-perauran yang diciptakan

oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana, yaitu

sebagai berikut:

a. Negara melalui alatnya yang menyidik kebenaran.

b. Sedapat mungkin menyidik pelaku yang melakukan perbuatan itu.

c. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat

dan kalau perlu menahannya.

d. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah

diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim

dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.

e. Hakim member keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang

dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau

tindakan tata tertib.

f. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.

g. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata

tertib.”

Jika diperhatikan rumusan pengertian dari Van Bemmelen tersebut

dapat ditunjukan bahwa yang terdapat pada poin 1 sampai dengan poin 4

8Andi Hamzah. 2009. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

hal..4. 9Ibid., hal. 4.

10Ibid., hal. 6.

20

adalah tahap penyelidikan, dan penuntutan.Oleh karena itu, batas

penyidikan dan penuntutan menjadi kabur, karena memang Van Bammelen

dapat digolongkan pada golongan pakar yang memandang penyidikan

sebagai bagian penuntutan dalam arti luas.Terlihat yang jelas terpisah adalah

pemeriksaan dan putusan hakim yang disebutkan pada poin 5. Begitu pula

upaya hukum yang disebutkan pada poin 6 dan eksekusi pada poin 7.

Adapun peninjauan kembali (herzeining) adalah hal khusus yang merupakan

upaya hukum luar biasa, yang mestinya jarang terjadi dalam peradilan

pidana yang normal.

Perlu dilihat lagi juga pengertian tentang hukum acara pidana yang

diberikan oleh pakar Indonesia, diambil dari sarjana senior yaitu Wirjono

Prodjodikoro, yang pernah menjadi Ketua Mahkamah Agung. Sebagaimana

dikutip dalam bukunya Andi Hamzah, pengertian hukum acara pidana

menurut

Wirjono Prodjodikoro11

adalah sebagai berikut:

“Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana,

maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara

bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian,

kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak gena mencapai tujuan Negara

dengan mengadakan hukum pidana.”

1. Tujuan dan Fungsi Hukum Acara Pidana

Menurut Soeparmono12

tujuan hukum acara pidana adalah :

Untuk mencari dan mendapatkan sejauh mungkin suatu kebenaran materiil

(materiele waarheid), ialah suatu kebenaran yang selengkap-lengkapnya

dari perkara pidana dengan menerapkan ketentuan-ketentuan hukum acara

11

Ibid., hal7. 12

R. Soeparmono, 2011. Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek

Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju. hal. 13.

21

pidana itu dengan tepat, serta bertujuan mencari pelaku sebagai terdakwa

yang telah dinyatakan melanggar hukum, dan selanjutnya dengan suatu

pemeriksaan dan putusan pengadilan .

Tujuan hukum acara pidana dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP

yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman adalah sebagai berikut:

Tujuan dari hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan

atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang

selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan suatu

ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk

mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu

pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari

pengadilan guna menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana

telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat

dipersalahkan.13

Pengertian tersebut diatas merupakan kalimat yang terlalu panjang,

yang mestinya dapat disingkat. Kebenaran itu harus didapatkan dalam

menjalankan hukum acara pidana. Umumnya disebut “mencari kebenaran

materiil”, merupakan tujuan hukum acara pidana. Akan tetapi usaha hakim

untuk menemukan kebenaran materiil itu dibatasi oleh surat dakwaan jaksa.

Hakim tidak dapat menuntut agar jaksa mendakwa terdakwa dengan

dakwaan yang lain atau menambah perbuatan yang didakwakan.

Berkaitan dengan batas surat dakwaan, hakim harus benar-benar tidak

boleh puas dengan kebenaran formal. Agar dapat memperkuat

keyakinannya, hakim dapat meminta bukti-bukti dari kedua pihak yaitu

terdakwa dan penuntut umum, begitu pula dengan saksi-saksi yang diajukan

oleh kedua belah pihak.

13

Ibid., hal.. 7.

22

Menurut Van Bammelen14 sebagaimana dikutip dalam bukunya Andi

Hamzah, mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidanasebagai berikut:

1. Mencari dan menemukan kebenaran.

2. Pemberian keputusan oleh hakim.

3. Pelaksanaan keputusan.

Dari ketiga fungsi di atas, yang paling penting karena menjadi

tumpuan kedua fungsi berikutnya, ialah “mencari kebenaran”. Setelah

menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti

itulah, hakim akan sampai pada putusan (yang seharusnya adil dan tepat

untuk terdakwa), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Tujuan akhir

hukum acara pidana yang sebenarnya adalah mencapai suatu ketertiban,

ketentraman, kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan dalam masyarakat.

2. Asas-asas Hukum Acara Pidana

a. Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

Sebenarnya hal ini bukan merupakan hal baru dengan lahirnya

KUHAP, dari dulu sejak adanya HIR, sudah tersirat asas ini dengan kata-

kata yang lebih konkret dari pada yang dipakai di dalam KUHAP. Untuk

menunjukkan sistem peradilan cepat, banyak ketentuan di dalam KUHAP

yang memakai istilah “segera”. Dalam HIR, miasalnya pasal 71 dikatakan,

bahwa jika hulp magistraat melakukan penahanan, maka dalam waktu satu

kali dua puluh empat jam memberitahu jaksa.

14

Ibid., hal.. 8.

23

Istilah “satu kali dua puluh empat jam “ lebih pasti dari pada istilah

“segara”. Sehingga ketentuan yang sangat bagus ini perlu diwujudkan dalam

praktik oleh penegak hukum. Pencantuman peradilan cepat (contante justitie

; speedy trial) di dalam KUHAP cukup banyak yang diwujudkan dengan

istilah “segera” itu. Asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan yang

dianut di dalam KUHAP sebenarnya merupakan penjabaran Undang-undang

Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Peradilan cepat (terutama untuk menghindari penahanan yang lama

sebelum ada keputusan hakim) nerupakan bagian dari hak asasi manusia.

Begitu pula peradilan bebas, jujur , dan tidak memihak yang ditonjolkan

dalam undang-undang tersebut.15

b. Asas Praduga Tidak Bersalah

Menurut M Yahya Harahap, asas Praduga tak Bersalah ditinjau dari segi

teknis yuridis ataupun dari segi teknis penyidikan dinamakan “pninsip

akusatur”. Prinsip Akusatur menempatkan kedudukan tersangka atau

terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek, bukan

sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus

didudukkan atau diperlakukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai

harkat, martabat harga diri. Sedangkan yang menjadi objek pemeriksaan

dalam prinsip akusatur adalah kesalahan (tindakan pidana), yang dilakukan

oleh tersangka atau terdakwa. Kearah itulah pemerikasaan ditujukan.16

.

Asas ini disebut dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan juga dalam Penjelasan Umum butir 3c

KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut, dan/dihadapkan

dimuka sidang pengadilan wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya

15

Ibid., hal.. 12. 16

. Yahya Harahap, Op, Cit, Hlm, 38-39

24

putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh

kekuatan hukum tetap”.17

c. Asas Oportunitas

Dalam hukum acara pidana mengenal suatu badan yang khusus diberi

wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke pengadilan yang disebut

penuntut umum. Di Indonesia penuntut umum itu disebut juga jaksa (Pasal 1

butir a dan b serta Pasal 137 dan seterusnya KUHAP).

Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai

monopili, artinya tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan.

Hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau jaksa. Dominus

berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak dapat meminta

supaya delik diajukan kepadanya. Jadi, hakim hanya menunggu saja

penuntutan dari penuntut umum.

Menurut A.Z. Abidin Farid18

sebagaimana dikutip dalam bukunya

Andi Hamzah adalah sebagai berikut:

“Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk

menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau

korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum.”

Pasal 35c Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan

Republik Indonesia dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di

Indonesia. Pasal tersebut merumuskan sebagai berikut:

“Jaksa Agung dapat menyampingkan perkara berdasarkan kepentingan

umum”.

17

Ibid., hal.. 14. 18

Op. Cit. hal.. 17.

25

Perlu dijelaskan apa yang dimaksud dengan “demi kepentingan

umum” dalam sebuah perkara. Pedoman Pelaksanaan KUHAP memberikan

penjelasan sebagai berikut:

“…Dengan demikian, kriteria demi kepentingan umum dalam

penerapan asas oportunitas di Negara kita adalah didasarkan untuk

kepentingan Negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan

masyarakat”.

Hal tersebut mirip dengan pendapat Supomo19

yang dikutip dalam

bukunya Andi Hamzah sebagai berikut:

“Baik di negeri Belanda maupun di “Hindia Belanda” berlaku yang disebut

asas “oportunitas” dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum

wewenang tidak melakukan suatu penuntutan, jikalau adanya tuntutan itu

dianggap tidak “opportuun”, tidak guna kepentingan masyarakat”.

d. Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka untuk Umum

Asas Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum ialah asas yang

memerintahkan bahwa dalam tahap pemeriksaan, pengadilan terbuka untuk

umum maksudnya yaitu boleh disaksikan dan diikuti oleh siapapun, kecuali

dalam perkara yang menyangkut kesusilaan dan perkara yang terdakwanya

anak-anak.

Asas ini terdapat dalam Pasal 153 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merumuskan

sebagai berikut :

“Untuk keperluan pemeriksaan, Hakim Ketua Sidang membuka

sidang dan menyataka terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai

kesusilaan atau terdakwanya anak-anak”.

19

Ibid., hal.. 20.

26

Uraian di atas mengemukakan bahwa saat membuka sidang hakim

ketua harus menyatakan “sidang terbuka untuk umum”. Pelanggaran atas

ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan

pengadilan “batal demi hukum” (Pasal 153 ayat (4) KUHAP) ada

pengecualian dalam ketentuan ini yaitu sepanjang mengenai perkara yang

menyangkut kesusilaan atau terdakwanya adalah anak-anak, yang dalam hal

ini persidangan dapat dilakukan dengan pintu tertutup.

Andi Hamzah20

berpendapat mengenai hal ini bahwa :

“Seharusnya kepada hakim diberikan kebebasan untuk menentukan sesuai

situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum.

Sebenarnya hakim dapat menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan

seluruhnya atau sebagiannya tertutup untuk umum yang artinya persidangan

dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan tersebut sepenuhnya

diserahkan kepada hakim. Hakim melakukan itu berdasarkan jabatannya

atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi pun dapat

mengajukan permohonan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan

demi nama baik keluarganya. Misalnya dalam kasus perkosaan, saksi

korban memohon agar sidang tertutup untuk umum agar ia bebas

memberikan kesaksiannya”.

e. Semua Orang Diperlakukan Sama di Depan Hukum

Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini

tegas tercantum dalam Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 4 ayat

(1) dan penjelasan umum butir 3 huruf a KUHAP. Asas ini lazim disebut

sebagai asas isonomia atau equality before the law. Penjelasan umum butir

3 huruf a merumuskan :

“Perlakuan yang sama atas diri setiap orang dimuka hukum tidak

mengadakan perbedaan perlakuan”.

Sedangkan Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman merumuskan :

20

Andi Hamzah.Op cit.Hal. 18.

27

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan

orang.”

Melihat kedua pasal di atas, dapat dilihat bahwa dalam pelaksanaan

pemeriksaan dalam pengadilan itu sangat tidak dianjurkan adanya pembeda-

bedaan antara terdakwa, saksi, jaksa, polisi, pejabat sekelas bupati,

gubernur, bahkan sekalipun itu presiden. Semuanya dianggap sama di depan

hakim, semuanya melalui proses yang sama dalam pemeriksaan dan mereka

sama-sama memiliki kewajiban dan hak yang sama pula pada pemeriksaan

pengadilan.

Romli Atmasasmita21

dalam bukunya mengatakan bahwa :

“Asas persamaan di muka hakim tidak secara eksplisit tertuang dalam

KUHAP, akan tetapi asas ini merupakan bagian yang tak terpisahkan dari

KUHAP. Ditempatkannya asas ini sebagai satu kesatuan menunjukan bahwa

betapa pentingnya asas ini dalam tata kehidupan Hukum Acara Pidana di

Indonesia.”

f. Peradilan Dilakukan oleh Hakim Karena Jabatannya dan Tetap

Pada asas ini pengambilan putusan salah tidaknya terdakwa dilakukan

oleh hakim karena jabatannya dan bersifat tetap. Untuk jabatan ini diangkat

hakim-hakim yang tetap oleh kepala Negara. Hal tersebut sesuai dengan

ketentuan Pasal 31 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Berkaitan dengan sistem lain, yaitu sistem juri yang

menentukan salah tidaknya terdakwa ialah suatu dewan yang mewakili

golongan-golongan dalam masyarakat. Pada umumnya mereka adalah awam

tentang ilmu hukum.

21

Romli Atmasasmita. 1983. Bunga Rampai Hukum Acara Pidana : Bina Cipta,

hal.30.

28

Sistem hakim yang tetap di Indonesia mengikuti sistem di Negara

Belanda yang dahulu juga menganut sistem juri pula, tetapi sejak tahun

1813 dihapuskan.Sebaliknya Perancis sejak revolusi meniru sistem itu dari

Inggris.Karena banyaknya kelemahan-kelemahan sistem tersebut maka

Jerman juga tidak menganutnya.22

g. Tersangka/Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum

Dalam Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP yang mengatur

tentang bantuan hukum, dimana tersangka/terdakwa mendapat kebebasan

yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut:

1. Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau

ditahan.

2. Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan.

3. Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua

tingkat pemeriksaan pada setiap waktu.

4. Pembicaraan penasihat hukum dan tersangka tidak didengar oleh

penyidik atau penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut

keamanan Negara.

5. Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum

guna kepentingan pembelaan.

Penasihat hukum berhak mengirim atau menerima surat dari

tersangka/terdakwa.

22

Ibid., hal.. 22.

29

Pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan

hak-haknya tersebut. Kebebasan-kebebasan dan kelonggaran-kelonggaran

ini hanya dari segi yuridis semata-mata, bukan dari segi politis, sosial, dan

ekonomis. Segi-segi yang disebut terakhir ini juga menjadi penghambat

pelaksanaan bantuan hukum secara merata.

Menurut Adnan Buyung Nasution23

, sebagaimana dikutip dalam

buku Andi Hamzah berpendapat sebagai berikut:

“…Setiap periode sejarah dengan sistem politiknya tersendiri, telah banyak

memberikan pengaruh atas masalah ini, persoalannya bertambah rumit

apabila kita melihat dari sudut ekonomi, disebabkan oleh kemiskinan yang

merembes luas, tingkat tuna huruf yang tinggi dan keadaan kesehatan yang

buruk”.

h. Asas Akusator dan Inkisitor

Pada sistem inquisitoir, seseorang yang sedang diperiksa akan

diperlakukan sebagai „objek‟ yang sekehendak hati si pemeriksa dapat

dianggapnya sudah berada dalam posisi bersalah, dia tak perlu diberi belas

kasihan, simpati, dan perlakuan baik. Tak dikenal disini hak dan martabat

manusia si terperiksa, sebagai orang yang belum tentu salah. Dia harus

dikalahkan untuk dipersalahkan oleh si pemeriksa, baik secara mental

psikologis, fisik, dan dari segala argumentasi. Si pemeriksa seakan sudah

memiliki segala data, keterangan, dan fakta apa pun yang diperbuat oleh si

terperiksa. Dia hanya perlu mengakui dan membenarkan segala tuduhan,

dan selanjutnya menguraikan lebih rinci bagaimana tuduhan itu benar

dilaksanakan oleh si terperiksa. Pengakuan si terperiksa akan menjadi bukti

23

Ibid., hal.. 24.

30

hukum untuk memeprsalahkannya, tetapi tidak akan bisa membebaskan dia

dari tuduhan (persecution)24

.

KUHAP menganut sistem pemeriksaan aquisitoir, yang berarti sisitem

dan cara pemeriksaanya lebih manusiawi dengan menghargai, menghormati,

dan melaksanakan hak-hak asasi manusia. Dalam pemeriksaan dengan cara

ini, si terperiksa bukan lagi objek, tetapi subjek yang memiliki hak-hak

selaku tersangka ataupun terdakwa. Justru, sistem aquisitoir ini dapat

dikatakan menjadi salah satu tolok ukur nilai baik KUHAP dibandingkan

acara pidana sebelumnya. Sistem pemeriksaan ini mengandalkan teknik dan

taktik scientific crime investigation25

i. Pemeriksaan Hakim yang Lisan dan Langsung.

Asas pemeriksaan hakim yang langsung dan lisan artinya yaitu, dalam

acara pemeriksaan pengadilan, pemeriksaan dilakukan oleh hakim secara

langsung kepada terdakwa dan saksi.Ini berbeda dengan acara perdata di

mana tergugat dapat mewakili oleh kuasanya. Sedangkan arti dari lisan

sendiri yaitu pemeriksaan hakim bukan dilakukan secara tertulis tetapi

secara lisan antara hakim dan terdakwa.

Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dalamUndang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan

bahwa :

24

Nikolas Simanjuntak ,Op. Cit hal. 116. 25

Ibid, hal..115.

31

a. Hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang

dilakukan secara lisan dalam bahasa Indonesia yang dimengerti oleh

terdakwa dan saksi.

b. Ia wajib menjaga supaya tidak dilakukan hal atau diajukan pertanyaan

yang mengakibatkan terdakwa atau saksi memberikan jawaban secara

tidak bebas.

Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara

langsung, artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi.Sedangkan

pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan, artinya bukan tertulis antara

hakim dan terdakwa.

Pengecualian dari asas langsung adalah kemungkinan putusan

dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan verstek atau in absentia.

Bambang Poernomo26

berpendapat bahwa :

“Pemeriksaan perkara pidana antara para pihak yang terlibat dalam

persidangan harus dilakukan tidak secara tertulis tetapi harus dengan lisan

atau satu sama lain agar dapat diperoleh keterangan yang benar dari yang

bersangkutan tanpa tekanan dari pihak manapun. Tata cara pemeriksaan

perkara pidana dengan mendengarkan keterangan langsung adalah

memberikan kesempatan terutama kepada terdakwa untuk mengeluarkan

pendapatnya atau jika perlu memberikan keterangan ingkar karena pada

waktu pemeriksaan permulaan tidak bebas keterangannya yang diperiksa

secara tertutup.”

B. Pembuktian

1. Pengertian Pembuktian.

26

Bambang Poernomo,Pola Teori dan Asas Umum Hukum Acara Pidana,

Yogyakarta: Liberty, 1985.Hal. 79.

32

Pembuktian menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah proses,

perbuatan, cara membuktian, suatu usaha menentukan benar atau salahnya si

terdakwa dalam sidang pengadilan.

Membuktikan menurut Martiman Prodjohamidjojo27

yaitu:

“Mengandung maksud dan usaha untuk menyatakan kebenaran adalah suatu

peristiwa, sehingga dapat diterima oleh akal terhadap kebenaran peristiwa

tersebut. Dalam hukum acara pidana, acara pembuktian adalah dalam

rangka mencari kebenaran materiil dan KUHAP menetapkan tahapan dalam

mencari kebenaran sejati yaitu melalui:

1. Penyidikan;

2. Penuntutan;

3. Pemeriksaan di persidangan;

4. Pelaksanaan, pengamatan, dan pengawasan.

Sehingga acara pembuktian hanyalah merupakan salah satu fase dalam

hukum acara pidana secara keseluruhan.”

1. Penyidikan

Pasal 102 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan :

“Penyelidik yang mengetahui, menerima laporan atau pengaduan tentang

terjadinya suatu peristiwa yang 'patut diduga merupakan tindak pidana

wajib segera melakukan tindakan penyelidikan yang diperlukan.”

2. Penuntutan

Pasal 137 Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan :

“Penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapapun

yangdidakwa melakukan suatu tindak pidana dalam daerah hukumnya

denganmelimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.”

3. Pemeriksaan di Persidangan

Pasal 145 ayat (1) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

menyebutkan :

27

Martiman Prodjohamidjojo.Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti.Jakarta:Ghalia

Indonesia.1983. Hal. 12.

33

“Pemberitahuan untuk datang ke sidang pengadilan dilakukan secara sah,

apabila disampaikan dengan surat panggilan kepada terdakwa di alamat

tempat tinggalnya atau apabila tempat tinggalnya tidak diketahui,

disampaikan di tempat kediaman terakhir.”

4. Pelaksanaan, Pengawasan, dan Pengamatan Putusan Pengadilan

Pelaksanaan putusan pengadailan diatur dalam Pasal 270 Undang-

Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan bahwa

:“Pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dilakukan oleh jaksa, yang untuk itu panitera mengirimkan

salinan surat putusan kepadanya.”

Pengawasan, dan pengamatan putusan pengadilan diatur dalam pasal

277 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)

yang menyebutkan bahwa :

(1) Pada setiap pengadilan harus ada hakim yang diberi tugas

khususuntuk membantu ketua dalam melakukan pengawasan

danpengamatan terhadap putusan pengadilan yang menjatuhkan

pidanaperampasan kemerdekaan.

(2) Hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang disebut

hakimpengawas dan pengamat, ditunjuk oleh ketua pengadilan

untuk palinglama dua tahun.

Menurut Nikolas Simanjuntak28

,

Sistem pembuktian yang dianut ketentuan Pasal 183 itu bermakna bahwa

keyakinan hakim ditujukan terhadap ditemukannya minimal dua alat bukti

yang sah (menurut KUHAP ada lima alat bukti). Keyakinan hakim

ditujukan terhadap benar terjadinya tindak pidana dan benar bahwa

terdakwa yang melakukannya.Dengan demikian, titik tolak keyakinan

hakim diperoleh dari dua alat bukti terjadinya tindak pidana dan dua alat

bukti itu juga membenarkan pelakunya adalah terdakwa.

Menurut M. Yahya Harahap29

pembuktian adalah :

“Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-

cara yang dibenarkan undang-undang dalam membuktikan kesalahan yang

28

Nikolas Simanjuntak , Op. Cit. hal.. 244. 29

Yahya Harahap, 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Jakarta: Sinar Grafika. hal.. 273.

34

didakwakan kepada terdakwa.Pembuktian juga merupakan ketentuan yang

mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh

dipergunakan hakim dalam membuktikan kesalahan yang didakwakan”.

2. Teori dan Sistem Pembuktian

Menurut Andi Hamzah30

, Ilmu Hukum Acara Pidana dikenal ada

beberapa teori sistem pebuktian, yaitu :

a) Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang- undang secara

positif (Positive Wettelijk Bewijstheorie)

Dalam menilai kekuatan pembuktian alat-alat bukti yang ada, dikenal

beberapa sistem atau teori pembuktian.Pembuktian yang didasarkan kepada

alat- alat bukti mululu kepada alat- alat pembuktian berdasarkan Undang-

undang secara positive (positief wettelijk bewijstheori).Dikatakan secara

positif, karena hanya didasarkan pada Undang- undang melulu. Artinya, jika

telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat- alat bukti yang disebut

oleh Undang- undang, maka keyakinan hakim tidak diperlukan sama sekali.

Sistem ini disebut juga sistem pembuktian formal (formal bewijstheori)31

.

Sistem ini berusaha menyingkirkan semua pertimbangan subjektif

hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut peraturan pembuktian yang

keras. Menurut D. Simons yang dikutip dalam buku Andi Hamzah32

:

“Sistem atau teori pembuktian berdasarkan Undang- undang secara positive

(positief wettelijk bewijstheori) ini berusaha untuk menyingkirkan semua

pertimbangan subjektif hakim dan mengikat hakim secara ketat menurut

peraturan- peraturan pembuktian yang keras.Dianut di Eropa pada waktu

berlakunya asas inkisitur (inquisitoir) dalam acara pidana”.

30

M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal 277-278 31

Andi Hamzah, Op. Cit. hal.. 251 32

Loc Cit.

35

Hal tersebut ternyata tidak sejalan dengan pemikiran yang

dikemukakan oleh Wirjono Prodjodikoro33

yaitu:

“Bagaimana hakim dapat menetapkan kebenaran selain dengan cara

menyatakan kepada keyakinannya tentang hal kebenaran itu, lagi pula

keyakinan seorang hakim yang jujur dan berpengalaman mungkin sekali

adalah sesuai dengan keyakinan masyarakat.

Berdasarkan pendapatnya mengemukakan pembuktian berdasarkan

undang-undang secara positive (positief wettelijk bewijstheori) ini tidak

dianut di indonesia.

b) Sistem atau Teori pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu.

Berhadap- hadapan secara berlawanan dengan teori pembuktian

menurut Undang- undang positif, ialah teori pembuktian menurut keyakinan

hakim melulu, teori ini disebut juga conviction intime.

Disadari bahwa alat bukti berupa pengakuan terdakwa sendiri pun

tidak selalu membuktikan kebenaran. Pengakuanpun terkadang tidak

menjamin terdakwa benar- benar telah melakukan perbuatan yang

didakwakan. Oleh karena itu, diperlukan bagaimanapun juga keyakinan

hakim sendiri.

Bertolak pangkal pada pemikiran itulah, maka teori berdasarkan

keyakinan hakim melulu yang didasarkan kepada keyakinan hati nuraninya

sendiri ditetapkan bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang

didakwakan. Mengenai dari mana hakim mendapat keyakinannya, bukanlah

suatu permasalahan dalam sistem ini hakim dapat memperoleh

keyakinannya dari mana saja.

33

Loc Cit.

36

Menurut Wirjono Prodjodikoroyang dikutip dalam buku Andi

Hamzah34

,

Sistem pembuktian demikian pernah dianut di Indonesia, yaitu pada

peradilan distrik dan pengadilan kabupaten. Sistem ini katanya

memungkinkan hakim menyebut apa saja yang menjadi dasar keyakinan,

misalnya keterangan medium atau dukun. Sistem ini memberi kebebasan

kepada hakim terlalu besar, sehingga sulit diawasi. Di samping itu, terdakwa

atau penasihat hukumnya sulit untuk melakukan pembelaan. Dalam hal ini

hakim dapat memidana terdakwa berdasarkan keyakinannya bahwa ia telah

melakukan apa yang didakwakan. Praktik juri diPrancis membuat

pertimbangan berdasarkan metode ini dan mengakibatkan banyaknya

putusan- putusan bebas yang sangat aneh35

.

c) Sistem atau Teori pembuktian berdasarkan Keyakinan Hakim atas

alasan yang logis (Laconviction Raisonnee)

Sebagai jalan tengah, muncul sistem atau teori yang disebut

pembuktian yang berdasar keyakinan hakim sampai batas waktu tertentu.

Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan

keyakinanya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar- dasar pembuktian

disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan pada

peraturan- peraturan pembuktian tertentu. Jadi putusan hakim dijatuhkan

dengan suatu motivasi. Sistem yang disebut sebagai sistem pembuktian

jalan tengah ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim diberi

kebebasan untuk menyebut alasan keyakinannya (vrije bewijstheorie)

Sistem pembuktian ini juga disebut sistem pembuktian bebas karena

hakim bebas untuk menyebut alasan- alasan keyakinannya (Vrije

Bewijstheori).

34

Loc Cit. 35

Loc Cit.

37

Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasar

keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang

pertama yaitu pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis

(conviction raisonne)dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasarkan

Undang- undang secara negatif (negatief wettelijk bewijstheori).

Persamaan antara keduanya ialah sama-sama berdasarkan keyakinan

hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan

hakim bahwa ia bersalah. Sedangkan perbedaanya ada dua, yang pertama

pangkal tolaknya pada keyakinan hakim, sedangkan yang kedua pada

ketentuan undang- undang.Kemudian, pada yang pertama dasarnya ialah

suatu konklusi yang tidak didasarkan Undang- undang, sedangkan pada

yang kedua didasarkan kepada ketentuan undang- undang yang disebut

limitatif36

.

d) Teori pembuktian berdasarkan Undang- undang secara negatif

(Negatief Wettelijk)

Dalam sistem atau teori pembuktian yang berdasar undang- undang

secara negatif (negatief wettelijk) ini, pemidanaan didasarkan kepada

pembuktian yang berganda (dubbel en grondslag, kata D. Simons), yaitu

pada peraturan undang-undang dan pada prinsip keyakinan hakim, dan

menurut undang-undang, dasar keyakinan hakim itu bersumberkan pada

36

Andi Hamzah,Op. Cit. hal.. 253-254

38

peraturan undang- undang. Menurut P.A.F. Lamintang dan Theo

Lamintang37

berpendapat :

“Orang dapat mengetahui bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu

adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi

seseorang, tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu

memperoleh keyakinan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan

tindak pidana tersebut. Sebaliknya, adanya keyakinan hakim saja tidak

cukup apabila keyakinan tersebut tidak ditimbulkan oleh sekurang-

kurangnya alat bukti yang sah.”

Prinsip keyakinan hakim dalam teori pembuktian yang berdasar

undang-undang secara negatif, yakni masalah asas minimum pembuktian.

Minimum pembuktian yang dianggap cukup memadai untuk membuktikan

kesalahan terdakwa, sekurang-kurangnya atau paling sedikit dibuktikan

dengan dua alat bukti yang sah. Jelasnya, untuk membuktikan kesalahan

terdakwa harus merupakan:

1. Penjumlahan dari sekurang-kurangnya seorang saksi ditambah dengan

seorang ahli atau surat maupun petunjuk, dengan ketentuan penjumlahan

kedua alat bukti tersebut harus saling bersesuaian, saling menguatkan,

dan tidak saling bertentangan antara satu dengan yang lain;

2. Atau bisa juga, penjumlahan dua alat bukti itu merupakan keterangan dua

orang saksi yang saling berkesesuaian dan saling menguatkan, maupun

penggabungan antara keterangan seorang saksi dengan keterangan

terdakwa, asal keterangan keduanya saling berkesesuaian38

.

3. Oleh karena itu, para hakim harus hati-hati, cermat, dan matang menilai

dan mempertimbangkan masalah pembuktian.

Untuk Indonesia, yang sekarang ternyata telah dipertahankan oleh

KUHAP, Wirjono Prodjodikoro berpendapat bahwa:

“Sistem pembuktian berdasar Undang- undang secara negatif (negatief

wettelijk) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama

37

P.A.F. Lamintang dan Theo Lamintang, 2010, Pembahasan KUHAP ( Menurut

Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi), Jakarta : Sinar Grafika, hal.. 408. 38

M. Yahya Harahap, Op. Cit. hal.. 262-263.

39

memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang

kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana,

janganlah hakim terpaksa memidana orang sedangkan hakim tidak

yakin atas kesalahan terdakwa.Kedua ialah berfaedah, jika ada aturan

yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada

patokan- patokan tertentu yang harus diturut oleh hakim dalam

melakukan peradilan39

.

KUHAP,HIR, dan Nederlandsche strafvordering(hukum acara pidana

Belanda) menganut teori sistem pembuktian berdasar undang-undang

negatif (negatief wetteljikebewis theorie). Keyakinan hakim tetap ada, tetapi

bukan atas keyakinan itu saja yang menjadi pembuktian final.Keyakinan itu

menjadi dasar pertimbangan untuk menilai apakah alat-alat bukti yang

ditentukan dalam undang-undang (limitatif) sudah terpenuhi. Dengan kata

lain, dapat dikatakan bahwa bukan keyakinan hati nurani yang menjadi alat

bukti, tetapi alat-alat bukti yang diyakini dengan sah. Negatif yang

dimaksudkan ialah tidak ada alat bukti diluar undang-undang dan tidak ada

keyakinan terhadap pengetahuan selain dari pada keyakinan terhadap alat-

alat bukti yang disebut undang-undang itu saja.

Dalam Pasal 183 KUHAP jo.294 HIR ditentukan bahwa hakim tidak

boleh menjahtuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan

sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan

bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang

bersalah melakukannya.Penjelasan dalam pasal itu menyetakan bahwa

39

Andi Hamzah, Op.Cit hal..257

40

ketentuan itu adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan

kepastian hukum bagi seseorang.40

C. Alat Bukti Menurut KUHAP

Dalam KUHAP alat bukti yang sah secara limitatif diatur dalam Pasal

184 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yaitu sebagai

berikut:

a. Keterangan Saksi

Pada umumnya, alat bukti keterangan saksi merupakan alat bukti yang

paling utama dalam perkara pidana. Boleh dikatakan tidak ada perkara

pidana yang luput dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir

semua pembuktian perkara pidana selalu bersandar kepada pemeriksaan

keterangan saksi41

.

Menurut Pasa1 butir 27 KUHAP memberi pengertian tentang

keterangan saksi yaitu:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dan saksi mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengar sendiri, ialihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dan pengetahuannya.”

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau „ the degree of

evidence‟keterangan saksi, agar keterangan saksi mempunyai nilai serta

kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang

harus dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya agar seorang saksi dapat sah

40

Nikolas Simanjuntak ,Op.Chit. hal. 243. 41

Yahya Harahap, 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Jakarta: Sinar Grafika. hal.. 286.

41

sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus

memenuhi ketentuan sebagi berikut :

1. Harus mengucapkan sumpah atau janji

Hal ini diatur dalam pasal 160 ayat (3), sebelum saksi memberikan

keterangan : “wajib mengucapkan” sumpah atau janji. Adapun sumpah

atau janji :

1. Dilakukan menurut cara agamanya masing-masing,

2. Lafal sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan

keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari pada yang

sebenarnya. Mengenai saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau

janji, sudah diterangkan, yakni terhadap saksi yang menolak untuk

mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah :

1. Dapat dikenakan sandera,

2. Penyanderaan dilakukan berdasar “penetapan” hakim ketua sidang,

3. Penyanderaan dalam hal ini paling lama empat belas hari (pasal 161

KUHAP).

4. Keterangan saksi yang bernilai sebagai bukti

Tidak semua keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai

dengan apa yang dijelaskan pasal 1 angka 27 KUHAP :

1.Yang saksi lihat sendiri

2.Saksi dengar sendiri,

3.Dan saksi alami sendiri,

Serta menyebut alasan dari pengetahuannya itu.

Dari penegasan pasal 1 angka 27 dihubungkan dengan penjelasan pasal

185 ayat (1), dapat ditarik kesimpulan :

42

1.Setiap keterangan saksi diluar apa yang didengarnya sendiri dalam

peristiwa pidana yang terjadi atau diluar yang dilihatnya atau dialami

dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang diberikan diluar

pendengaran, penglihatan, atau pengalaman sendiri mengenai suatu

peristiwa pidana yang terjadi,” tidak dapat dijadikan dan dinilai

sebagai alat bukti”. Keterangan semacam itu tidak mempunyai

kekuatan pembuktian,

2.“ Testimonium de auditu” atau keterangan saksi yang ia peroleh

sebagai hasil pendengaranya dari orang lain, “ tidak mempunyai nilai

sebagai alat bukti”.

3.“Pendapat atau “rekaan” yang saksi peroleh dari hasil pemikiran,

bukan merupakan keterangan saksi. Penegasan ini sesuai dengan

ketentuan pasal 185 ayat (5). Oleh karena itu, setiap keterangan saksi

yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran saksi, harus

dikesampingkan dari pembuktian dalam membuktikan kesalahan

terdakwa42

.

4.Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan.

Agar supaya keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti,

keterangan itu harus yang “dinyatakan” di sidang pengadilan. Hal ini

sesuai dengan penegasan pasal 185 ayat (1) KUHAP. Sehingga,

keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang didengarnya

sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu

42

Ibid. hal..287

43

peristiwa pidana, baru dapat dinilai sebagai alat bukti apabila

keterangan itu saksi nyatakan di sidang pengadilan. Keterangan yang

dinyatakan diluar pengadilan bukan alat bukti, tidak dapat

dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa.

5.Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup

Supaya keterangan saksi dianggap cukup membuktikan kesalahan

seorang terdakwa harus dipenuhi paling sedikit atau sekurang-

kurangnya dengan dua alat bukti. kalau begitu, keterangan seorang

saksi saja, baru bernilai sebagai satu alat bukti yang harus ditmbah dan

dicukupi dengan alat bukti lain. Jadi, bertitik tolak dari ketentuan

Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan saksi saja belum dapat

dianggap sebagai alat bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan

terdakwa, atau unus testis nullus testis. Ini berarti jika alat bukti yang

dikemukakan penuntut umum hanya terdiri seorang saksi saja tanpa

ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti lain,

“ kesaksian tunggal” yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat

bukti yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan

dengan tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Jadi apabila

kesaksian tunggal itu tidak dicukupi dengan alat bukti lain, kesaksian

ini harus dinyatakan tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian atau

“unus testis nullus testis”. Lain halnya apabila kesaksian tunggal lalu

terdakwa memberikan keterangan yang mengakuai kesalahan yang

44

didakwakan kepadanya, karena kesaksian tunggal telah dicukupi

dengan alat bukti keterangan/pengakuan terdakwa43

.

6.Keterangan saksi yang berdiri sendiri

Sering terdapat kekeliruan pendapat sementara orang yang

beranggapan, dengan adanya beberapa saksi dianggap ketrangan saksi

yang banyak itu telah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.

Pendapat yang demikian keliru, karena sekalipun saksi yang

dihadirkan dan didengar keterangannya di sidang pengadilan secara

“ kuantitatif” telah melampaui batas minimum pembuktian, belum

tentu keterangan mereka secara “ kualitatif” telah memadai sebagai

alat bukti yang sah membuktikan kesalahan terdakwa. Tidak ada

gunanya menghadirkan saksi yang banyak, jika secara “kualitatif”

keterangan mereka “ berdiri sendiri” tanpa adanya hubungan satu

dengan yang lainnya, yang dapat mewujudkan suatu kebenaran akan

adanya kejadian atau keadaan tertentu. Berapapun banyaknya saksi

yang diperiksa dan didengar keterangannya disidang pengadilan,

hanya pemborosan waktu jika masing-masing keterangan mereka itu

berdiri sendiri tanpa hubungan yang satu dengan yang lain44

. Jadi ,

bukan hanya mengumpulkan saksi yang banyak, tapi hanya

menyajikan keterangan yang saling berdiri sendiri. Hal yang seperti

inilah yang diperingatkan oleh Pasal 185 ayat (4), yang menegaskan :

43

Ibid. hal.. 288 44

Ibid hal.. 289-290

45

1. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu

kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah,

dengan syarat,

2. apabila keterangan saksi itu “ada hubungannya” satu dengan yang

lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu

kejadian atau keadaan tertentu.

Dengan ketentuan pasal tersebut, jelaslah bahwa keterangan beberapa

orang saksi baru dapat dinilai sebagai alat bukti serta mempunyai kekuatan

pembuktian, apabila keterangan saksi tersebut mempunyai saling hubungan

serta saling menguatkan tentang kebenaran suatu keadaan atau kejadian

tertentu.

b. Keterangan Ahli

Keterangan seorang ahli disebut sebagai alat bukti pada urutan kedua

oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Dalam ketentuan Pasal 186 KUHAP,

merumuskan sebagai berikut:

“Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di depan persidangan

pengadilan”.

Pasal tersebut tidak menjawab apa itu yang disebut ahli dan

keterangan ahli. Pada penjelasan pasal tersebut juga tidak menjelaskan hal

ini.Pasal 343 Ned. Sv. Memberikan definisi tentang apa yang dimaksud

dengan keterangan ahli sebagai berikut:

“Pendapat seorang ahli yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan yang

telah dipelajarinya, tentang sesuatu apa yang dimintai pertimbangannya”.

46

Menurut Wirjono Prodjodikoro45

sebagaimana dikutip oleh Andi

Hamzah dalam bukunya, yang menyatakan sebagai berikut:

“Isi keterangan seorang saksi dan seorang ahli berbeda.Keterangan seorang

saksi mengenai apa yang dialami saksi itu sendiri sedangkan keterangan

seorang ahli adalah mengenai suatu penilaian mengenai hal-hal yang sudah

nyata ada dan mengambil kesimpulan dari hal-hal itu.”

KUHAP membedakan keterangan seorang ahli dipersidangan sebagai

alat bukti “keterangan ahli”, yaitu yang dinyatakan dalam Pasal 186

KUHAP dengan keterangan seorang ahliyang diberikan secara tertulis di

luar sidangpengadilan sebagai alat bukti “surat”, yaitu yang dinyatakan

dalam Pasal 187 butir c KUHAP46

.

c. Alat Bukti Surat

Selain Pasal 184 KUHAP yang menyebutkan alat-alat bukti, maka

dalam KUHAP yang mengatur mengenai alat bukti surat hanya satu pasal

yaitu Pasal 187 KUHAP yang terdiri dari 4 ayat sebagai berikut:

1. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat

umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat

keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau

dialami sendiri, dosertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang

keterangan itu;

2. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau

surat yang dibuat pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana

yang menjadi tanggungjawabnya dan yang diperuntukan bagi

pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

3. Surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan

keahliannya mengenai sesuatu hal atau keadaan yang diminta secara

resmi daripadanya;

4. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari

alat pembuktian yang lain.

d. Alat Bukti Petunjuk

45

Andi Hamzah. Op. Cit. hal.. 274. 46

Ibid. hal.. 274.

47

Petunjuk disebut oleh Pasal 184 KUHAP sebagai alat bukti yang

keempat.Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP merumuskan definisi petunjuk

sebagai berikut:

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian dan keadaan, yang karena

persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan

tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak

pidana dan siapa pelakunya”.

Menurut KUHAP yang dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk

adalah keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Hal tersebut

sesuaidengan ketentuan pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP. Jika dilihat Pasal

188 ayat (3) KUHAP yang merumuskan sebagai berikut:

“Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap

keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, setelah ia

mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan

berdasarkan hati nuraninya”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, tercermin bahwa pada akhirnya

persoalannya diserahkan kepada hakim. Dengan demikian menjadi sama

dengan pengamatan hakim sebagai alat bukti. Disebut pengamatan oleh

hakim (eigen warrneming van de rechter) yaitu harus dilakukan selama

sidang, apa yang telah dialami atau diketahui oleh hakim sebelumnya tidak

dapat dijadikan dasar pembuktian, kecuali kalau perbuatan atau peristiwa itu

telah diketahui oleh umum.47

e. Alat Bukti Keterangan Terdakwa

Alat bukti keterangan terdakwamerupakan urutan terakhir dalam Pasal

184 ayat (1)penempatannya pada ururtan terakhir inilah salah satu alasan

yang dipergunakan untuk menempatkan proses pemeriksaan keterangan

47

Ibid. hal.. 278.

48

terdakwa dilakukan belakangan sesudah pemeriksaan keterangan

saksi.Dapat dilihat dengan jelas bahwa “ keterangan terdakwa” sebagai alat

bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan, karena pengakuan sebagai

alat bukti mempunyaisyarat-syarat yaitu :

1. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan.

2. Mengaku ia bersalah48

.

Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berupa

penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagaian dari perbuatan

atau keadaan. Pengertian keterangan terdakwa terdapat pada ketentuan

Pasal 189 ayat (1) KUHAP, yang merumuskan sebagai berikut:

“Keterangan terdakwa ialah apa yang terdakwa menyatakan di sidang

tentang perbuatanyang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau

alami sendiri”.

Ditinjau dari segi pengertian bahasa, jelas terasa terdapat perbedaan

makna antara pengakuan dan keterangan. Pada pengakuan, terasa benar

mengandung pernyataan tentang apa yang dilakukan seseorang. Sedangkan

pada kata keterangan lebih bersifat suatu penjelasan akan apa yang telah

dilakukan seseorang49

.

D. Tindak Pidana

1. Pengertian Tindak Pidana

Perkataan Straafbeaarfeit dalam bahasa Belanda terdapat dua unsur

pembentuk kata, yaitu straafbaar dan feit. Perkataan feit dalam bahasa

Belanda diartikan sebagian dari kenyataan, sedang straafbaar berarti dapat

48

Loc Cit. 49

Yahya Harahap, Op Cit. hal. 318

49

dihukum, sehingga dapat dihukum.50

Menurut pendapat Wiryono

Prodjodikoro51

:

Tindak Pidana merupakan suatu perbuatan yang pelakunya dapat

dikenakan hukum pidana.

Pengertian tindak pidana menurut Kansil52

:

Strafbaar feit dalam istilah hukum pidana, diartikan sebagai delik/

peristiwa pidana/ perbuatan pidana.

Menurut Simons53

:

Tindak pidana adalah perbuatan manusia yang bertentangan dengan

hukum. Perbuatan mana dilakukan oleh seseorang yang

dipertanggungjawabkan, dapat diisyaratkan kepada si pembuatnya (si

pelaku).

2. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan

Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh, atau

perbuatan membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah

kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain. Tindak pidana pembunuhan

dianggap sebagai delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh

pelakunya dengan timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak

dikehendaki oleh undang-undang. Dalam KUHP, ketentuan-ketentuan

pidana tentang kejahatan yang ditujukan terhadap nyawa orang lain diatur

dalam buku II bab XIX, yang terdiri dari 13 Pasal, yakni Pasal 338 sampai

50

Evi Hartanti, 2007, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Sinar Grafika, Jakarta,

hal. 5 51

Mardani, 2005, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Pidana Nasional, Jakarta : PT Raja Grafindo, hal.. 59. 52

C.S. T. Kansil, 2007, S.Hdan Christine S.T. Kansil, S.H.,Latian Ujian Hukum

Pidana,Jakarta, , hal.. 106. 53

Loc Cit.

50

Pasal 350 KUHP . Bentuk kesalahan tindak pidana menghilangkan nyawa

orang lain ini dapat berupa sengaja (dolus) dan tidak sengaja (alpa).

Kesengajaan adalah suatu perbuatan yang dapat terjadi dengan direncanakan

terlebih dahulu atau tidak direncanakan. Tetapi yang penting dari suatu

peristiwa itu adalah adanya niat yang diwujudkan melalui perbuatan yang

dilakukan sampai selesai. Berdasarkan unsur kesalahan, tindak pidana

pembunuhan dapat dibedakan menjadi:

a. Pembunuhan Biasa (Pasal 338 KUHP)

Tindak pidana yang diatur dalam Pasal 338 KUHP merupakan tindak

pidana dalam bentuk yang pokok, yaitu delik yang telah dirumuskan secara

lengkap dengan semua unsur-unsurnya. Adapun rumusan dalam Pasal 338

KUHP adalah sebagai berikut : “Barangsiapa sengaja merampas nyawa

orang lain, diancam, karena pembunuhan, dengan pidana penjara paling

lama lima belas tahun”. Yang dapat digolongkan dengan pembunuhan ini

misalnya : seorang suami yang datang mendadak dirumahnya, mengetahui

istrinya sedang berzina dengan orang lain, kemudian membunuh istrinya

dan orang yang melakukan zina dengan istrinya tersebut.

Pasal 340 KUHP menyatakan sebagai berikut :

“Barang siapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas nyawa

orang lain diancam, karena pembunuhan dengan rencana (moord), dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,

paling lama dua puluh tahun”.

Dari ketentuan dalam Pasal tersebut, maka unsur-unsur dalam

pembunuhan biasa adalah sebagai berikut :

a. Unsur subyektif (perbuatan dengan sengaja)

51

b. Unsur obyektif (perbuatan menghilangkan, nyawa, dan orang lain)

“Dengan sengaja” artinya bahwa perbuatan itu harus disengaja dan

kesengajaan itu harus timbul seketika itu juga, karena sengaja (opzet/dolus)

yang dimaksud dalam Pasal 338 adalah perbuatan sengaja yang telah

terbentuk tanpa direncanakan terlebih dahulu, sedangkan yang dimaksud

sengaja dalam Pasal 340 adalah suatu perbuatan yang disengaja untuk

menghilangkan nyawa orang lain yang terbentuk dengan direncanakan

terlebih dahulu.

Unsur obyektif yang pertama dari tindak pembunuhan, yaitu :

“menghilangkan”, unsur ini juga diliputi oleh kesengajaan; artinya pelaku

harus menghendaki, dengan sengaja, dilakukannya tindakan menghilangkan

tersebut, dan ia pun harus mengetahui, bahwa tindakannya itu bertujuan

untuk menghilangkan nyawa orang lain. Berkenaan dengan “nyawa orang

lain” maksudnya adalah nyawa orang lain dari si pembunuhan. Terhadap

siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi masalah,

meskipun pembunuhan itu dilakukan terhadap bapak/ibu sendiri, termasuk

juga pembunuhan yang dimaksud dalam Pasal 338 KUHP.

Dari pernyataan ini, maka undang-undang pidana kita tidak mengenal

ketentuan yang menyatakan bahwa seorang pembunuh akan dikenai sanksi

yang lebih berat karena telah membunuh dengan sengaja orang yang

mempunyai kedudukan tertentu atau mempunyai hubungan khusus dengan

pelaku. Berkenaan dengan unsur nyawa orang lain juga, melenyapkan

nyawa sendiri tidak termasuk perbuatan yang dapat dihukum, karena orang

52

yang bunuh diri dianggap orang yang sakit ingatan dan ia tidak dapat

dipertanggung jawabkan.

b. Pembunuhan Dengan Pemberatan

Hal ini diatur Pasal 339 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

“Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului oleh kejahatan dan yang

dilakukan dengan maksud untuk memudahkan perbuatan itu, jika tertangkap

tangan, untuk melepaskan diri sendiri atau pesertanya daripada hukuman,

atau supaya barang yang didapatkannya dengan melawan hukum tetap ada

dalam tangannya, dihukum dengan hukuman penjara seumur hidup atau

penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun.” Perbedaan dengan

pembunuhan Pasal 338 KUHP ialah : “diikuti, disertai, atau didahului oleh

kejahatan”. Kata “diikuti” dimaksudkan diikuti kejahatan lain. Pembunuhan

itu dimaksudkan untuk mempersiapkan dilakukannya kejahatan lain.

Misalnya : A hendak membunuh B; tetapi karena B dikawal oleh P

maka A lebih dahulu menembak P, baru kemudian membunuh B.

Kata “disertai” dimaksudkan, disertai kejahatan lain; pembunuhan itu

dimaksudkan untuk mempermudah terlaksananya kejahatan lain itu.

Misalnya : C hendak membongkar sebuah bank. Karena bank tersebut

ada penjaganya, maka C lebih dahulu membunuh penjaganya. Kata

“didahului” dimaksudkan didahului kejahatan lainnya atau menjamin agar

pelaku kejahatan tetap dapat menguasai barang-barang yang diperoleh dari

kejahatan.

53

Misalnya : D melarikan barang yang dirampok. Untuk menyelamatkan

barang yang dirampok tersebut, maka D menembak polisi yang

mengejarnya.

Unsur-unsur dari tindak pidana dengan keadaan-keadaan yang

memberatkan dalam rumusan Pasal 339 KUHP itu adalah sebagai berikut:

a. Unsur subyektif :

1) Dengan sengaja

2) Dengan maksud

b. Unsur obyektif :

1) Menghilangkan nyawa orang lain

2) Diikuti, disertai, dan didahului dengan tindak pidana lain

3) Untuk menyiapkan/memudahkan pelaksanaan dari tindak pidana yang

akan, sedang atau telah dilakukan

4) Untuk menjamin tidak dapat dipidananya diri sendiri atau lainnya

(peserta) dalam tindak pidana yang bersangkutan

5) Untuk dapat menjamin tetap dapat dikuasainya benda yang telah

diperoleh secara melawan hukum, dalam ia/mereka kepergok pada waktu

melaksanakan tindak pidana.

Unsur subyektif yang kedua “dengan maksud” harus diartikan sebagai

maksud pribadi dari pelaku; yakni maksud untuk mencapai salah satu tujuan

itu (unsur obyektif), dan untuk dapat dipidanakannya pelaku, seperti

dirumuskan dalam Pasal 339 KUHP, maksud pribadi itu tidak perlu telah

terwujud/selesai, tetapi unsur ini harus didakwakan oleh Penuntut Umum

54

dan harus dibuktikan di depan sidang pengadilan. Sedang unsur obyektif

yang kedua, “tindak pidana” dalam rumusan Pasal 339 KUHP, maka

termasuk pula dalam pengertiannya yaitu semua jenis tindak pidana yang

(oleh UU) telah ditetapkan sebagai pelanggaran-pelanggaran dan bukan

semata-mata jenis-jenis tindak pidana yang diklasifikasikan dalam

kejahatan-kejahatan. Sedang yang dimaksud dengan “lain-lain peserta”

adalah mereka yang disebutkan dalam Pasal 55 dan 56 KUHP, yakni

mereka yang melakukan (pleger), yang menyuruh melakukan (doenpleger),

yang menggerakkan/membujuk mereka untuk melakukan tindak pidana

yang bersangkutan (uitlokker), dan mereka yang membantu/turut serta

melaksanakan tindak pidana tersebut (medepleger).

Jika unsur-unsur subyektif atau obyektif yang menyebabkan

pembunuhan itu terbukti di Pengadilan, maka hal itu memberatkan tindak

pidana itu, sehingga ancaman hukumannya pun lebih berat dari

pembunuhan biasa, yaitu dengan hukuman seumur hidup atau selama-

lamanya dua puluh tahun. Dan jika unsur-unsur tersebut tidak dapat

dibuktikan, maka dapat memperingan atau bahkan menghilangkan

hukuman.

c. Pembunuhan Berencana

Hal ini diatur oleh Pasal 340 KUHP yang bunyinya sebagai berikut:

“Barangsiapa dengan sengaja dan dengan direncanakan lebih dahulu

menghilangkan nyawa orang , karena bersalah melakukan pembunuhan

dengan rencana (moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur

55

hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.

Mengenai arti kesengajaan, tidak ada keterangan sama sekali dalam KUHP.

Lain halnya dengan KUHP swiss dimana dalam pasal 18 dengan tegas

ditentukan: Barangsiapa melakukan perbuatan dengan mengetahui dan

menghendakinya, maka dia melakukan perbuatan itu dengan sengaja. Dalam

Memorie van toelicting (MvT) mendefinisikan bahwa pidana pada

umumnya hendaklah dijatuhkan hanya pada barangsiapa melakukan

perbuatan yang dilarang, dengan dikehendaki dan diketahui. Menurut teori

kehendak kesengajaan adalah kehendak yang diarahkan pada terwujudnya

perbuatan seperti yang dirumuskan dalam wet. (de op verwerkelijking der

wettelijke omschrijving gerichte wil).

Sejalan dengan pengertian lain, kesengajaan adalah kehendak untuk

berbuat dengan mengetahui unsur – unsur yang diperlukan menurut

rumusan wet (de wil tot handelen bj voorstelling van de tot de wettelijke

omschrijving behoorende bestandelen). Dari rumusan tersebut, maka unsur-

unsur pembunuhan berencana adalah sebagai berikut :

a. Unsur subyektif, yaitu dilakukan dengan sengaja dan direncanakan

terlebih dahulu

b. Unsur obyektif, yaitu menghilangkan nyawa orang lain.

Jika unsur-unsur di atas telah terpenuhi, dan seorang pelaku sadar dan

sengaja akan timbulnya suatu akibat tetapi ia tidak membatalkan niatnya,

maka ia dapat dikenai Pasal 340 KUHP.

d. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya (Kinder-Doodslag)

56

Hal ini diatur oleh Pasal 341 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

“Seorang ibu yang karena takut akan diketahui ia sudah melahirkan anak,

pada ketika anak itu dilahirkan atau tiada beberapa lama sesudah

dilahirkan, dengan sengaja menghilangkan nyawa anak itu dipidana

karena bersalah melakukan pembunuhan anak, dengan pidana penjara

selama – lamanya tujuh tahun.

”Unsur pokok yang ada dalam Pasal 341 tersebut adalah bahwa

seorang ibu dengan sengaja membunuh anak kandungnya sendiri pada saat

anak itu dilahirkan atau beberapa saat setelah anak itu

dilahirkan. Sedangkan unsur yang terpenting dalam rumusan Pasal tersebut

adalah bahwa perbuatannya si ibu harus didasarkan atas suatu alasan

(motief), yaitu didorong oleh perasaan takut akan diketahui atas kelahiran

anaknya. Jadi Pasal ini hanya berlaku jika anak yang dibunuh oleh si ibu

adalah anak kandungnya sendiri bukan anak orang lain, dan juga

pembunuhan tersebut haruslah pada saat anak itu dilahirkan atau belum

lama setelah dilahirkan. Apabila anak yang dibunuh itu telah lama

dilahirkan, maka pembunuhan tersebut tidak termasuk

dalam kinderdoodslag melainkan pembunuhan biasa menurut Pasal 338

KUHP.

e. Pembunuhan Bayi Oleh Ibunya Secara Berencana (Kinder-Moord)

Hal ini diatur oleh Pasal 342 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

Seorang ibu yang untuk menjalankan keputusan yang diambinya karena

takut diketahui orang bahwa ia tidak lama lagi akan melahirkan anak, pada

saat dilahirkan atau tidak lama kemudian daripada itu menghilangkan jiwa

anaknya itu dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan anak

berencana dengan hukuman penjara selama-lamanya sembilan tahun. Pasal

57

342 KUHP dengan Pasal 341 KUHP bedanya adalah bahwa Pasal 342

KUHP, telah direncanakan lebih dahulu, artinya sebelum melahirkan bayi

tersebut, telah dipikirkan dan telah ditentukan cara-cara melakukan

pembunuhan itu dan mempersiapkan alat –alatnya. Tetapi pembunuhan bayi

yang baru dilahirkan, tidak memerlukan peralatan khusus sehingga sangat

rumit untuk membedakannya dengan Pasal 341 KUHP khususnya dalam

pembuktian karena keputusan yang ditentukan hanya si ibu tersebut yang

mengetahuinya dan baru dapat dibuktikan jika si ibu tersebut telah

mempersiapkan alat-alatnya.

f. Pembunuhan Atas Permintaan Sendiri

Hal ini diatur oleh Pasal 344 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

Barangsiapa menghilangkan jiwa orang lain atas permintaan orang lain itu

sendiri, yang disebutkan dengan nyata dan sungguh-sungguh, dihukum

penjara selama-lamanya dua belas tahun. Pasal 344 KUHP ini

membicarakan mengenai pembunuhan atas permintaan dari yang

bersangkutan. Unsur khususnya, yaitu permintaan yang tegas dan

sungguh/nyata, artinya jika orang yang minta dibunuh itu permintaanya

tidak secara tegas dan nyata, tapi hanya atas persetujuan saja, maka dalam

hal ini tidak ada pelanggaran atas Pasal 344 KUHP, karena belum

memenuhi perumusan dari Pasal 344 KUHP , akan tetapi memenuhi

perumusan Pasal 338 KUHP (pembunuhan biasa). Contoh dari pelaksanaan

Pasal 344 KUHP adalah jika dalam sebuah pendakian (ekspedisi), dimana

kalau salah seorang anggotanya menderita sakit parah sehingga ia tidak ada

58

harapan untuk meneruskan pendakian mencapai puncak gunung, sedangkan

ia tidak suka membebani kawan-kawannya dalam mencapai

tujuan maka dalam hal ini mungkin ia minta dibunuh saja.

g. Penganjuran Agar Bunuh Diri

Hal ini diatur oleh Pasal 345 KUHP yang bunyinya sebagai berikut :

Barangsiapa dengan sengaja membujuk orang supaya membunuh diri, atau

menolongnya dalam perbuatan itu, atau memberi ikhtiar kepadanya untuk

itu, dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya empat tahun, kalau

jadi orangnya bunuh diri yang dilarang dalam Pasal tersebut, adalah dengan

sengaja menganjurkan atau memberi daya upaya kepada orang lain, untuk

bunuh diri dan kalau bunuh diri itu benar terjadi. Jadi seseorang dapat

terlibat dalam persoalan itu dan kemudian dihukum karena kesalahannya,

apabila orang lain menggerakkan atau membantu atau memberi daya upaya

untuk bunuh diri dan baru dapat dipidana kalau nyatanya orang yang

digerakkan dan lain sebagainya itu membunuh diri dan mati

karenanya. Unsur “jika pembunuhan diri terjadi” merupakan “bijkomende

voor-waarde van strafbaarheid”, yaitu syarat tambahan yang harus

dipenuhi agar perbuatan yang terlarang/dilarang tadi dapat dipidana.

E. Anak

1. Pengertian Anak

Anak merupakan anugrah terindah yang di berikan oleh maha kuasa.

mengenai pengertian anak itu sendiri menurut wikipedia adalah seorang

laki-laki atau perempuan yang belum dewasa atau belum mengalami

59

pubertas54

. Berdasarkan ketentuan umum dalam Pasal 1 angka (1) Undang-

Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yang dimaksud

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

termasuk anak yang masih dalam kandungan. Pengertian anak juga tertuang

dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

yang mengatur bahwa: Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur

21 (dua puluh satu) tahun dan belum pernah kawin. Usia 21 (dua puluh satu)

tahun tersebut adalah usia di mana anak telah dianggap memiliki

kematangan sosial, kematangan pribadi, dan kematangan mental, sehingga

seseorang yang telah berusia melebihi 21 (dua puluh satu) tahun dianggap

telah dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya.

F. Tinjauan Umum Alat Bukti Keterangan Saksi Yang Tidak Disumpah

1. Pengertian Keterangan Saksi

Saksi adalah seseorang yang mempunyai informasi tangan pertama

mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indera mereka

(mis. penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong

memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau

kejadian. Seorang saksi yang melihat suatu kejadian secara langsung dikenal

juga sebagai saksi mata. Saksi sering dipanggil ke pengadilan untuk

memberikan kesaksiannya dalam suatu proses peradilan55

.

54

http://pelangi biru.net2011/02/anak. Pengertian- anak..html. Diakses pada tanggal

12maret 2012, pukul 23.10 WIB.

55

http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi, diakses pada tanggal 26 Juli 2013 pada pukul

15. 28 WIB

60

Menurut Hibnu Nugroho56

menerangkan bahwa:

“Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan,penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang

ia dengar sendiri,ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.”

2. Keterangan saksi yang tidak disumpah

Sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah

atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan

memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari pada yang

sebenarnya Pasal 160 ayat (3) KUHAP, Memang prinsip dan lazimnya,

sumpah atau janji diucapkan saksi sebelum memberikan keterangan. Prinsip

dan kelaziman inilah yang paling tepat. Apalagi jika ditinjau dari segi

kejiwaan, saksi yang lebih dulu disumpah sebelum memberikan keterangan

akan lebih menyadari diri dan hati sanubarinya untuk lebih bersikap jujur

dalam setiap keterangan yang diberikanya.

Jika pengadilan menganggap perlu, seorang saksi atau ahli wajib

bersumpah atau berjanji sesudah saksi atau ahli itu selesai memberikan

keterangan Pasal 160 ayat (4) KUHAP. Alasan sumpah memberikan

keterangan dihadapan majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut

adalah jika pengadilan menganggap perlu, tetapi didalam KUHAP tidak

dijelaskan apa yang dimaksud dengan pengadilan menganggap perlu.

Kesaksian ini sama sekali tidak merasa dibebani oleh sesuatu yang suci dan

gaib, sekalipun nanti memang dia tetap disumpah setelah selesai

memberikan keterangan, namun suasana kejiwaanya saat meberikan

56

Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang

:BadanPenerbit Undip, 2010, hal. 34.

61

keterangan, seolah-olah tidak terikat oleh suatu beban moral yang

bersumber pada sumpah atau janji. Atas dasar inilah lebih baik pengucapan

sumpah dilakukan sebelum memberikan keterangan. Namun demikian,

terlepas dari hal itu, yang penting harus diingat bahwa saksi atau ahli wajib

mengucap sumpah atau janji57

.

3. Kekuatan Pembuktian Keterangan saksi yang tidak disumpah

Kewajiban hukum bagi setiap orang untuk menjadi saksi dalam

perkara pidana yang dibarengi pula dengan kewajiban mengucapkan

sumpah menurut agama yang dianutnya bahwa ia akan memberikan

keterangan yang sebenarnya tentang apa yang diketahui, dilihat, didengar,

dan dialaminya sehubungan dengan perkara yang bersangkutan. Pengucapan

sumpah atau janji merupakan kewajiban, tidak ada jalan lain bagi seorang

saksi untuk menolak mengucapkannya, kecuali penolakan itu mempunyai

alasan yang sah. Pihak yang boleh diperiksa memberi keterangan tanpa

sumpah, hanya mereka yang disebut pada Pasal 171 KUHAP, yaitu anak

yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin serta

orang sakit ingatan atau sakit jiwa.

“Keterangan saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mngucapkan

janji, tidak dapat dianggap sebagai alat yang bukti yang sah, tetapi hanyalah

merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.”

Ini berarti tidak merupakan kesaksian menurut undang-undang,

bahkan juga tidak merupakan petunjuk, karena hanya dapat memperkuat

57

M. Taufik Makaro dan Suharsil, Op. Cit., hal. 109-110

62

keyakinan hakim. Sedangkan kesaksian atau alat bukti yang lain merupakan

dasar atau sumber keyakinan hakim. Ketentuan tersebut dapat dibandingkan

dengan ketentuan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi pasal 17 dan 18 mengatakan apabila terdakwa tidak dapat

membuktikan asal-usul harta bendanya, maka itu akan memperkuat

keterangna saksi lain bahwa ia telah korupsi.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif yaitu pendekatan yang menggunakan konsep legistis positivis,

maka pendekatan yang digunakan ialah pendekatan perundang-undangan

(statue approach). Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan

perundang-undangan yang berhubungan dengan tema sentral penelitian.

63

Selain itu juga digunakan pendekatan lain yang diperlukan guna

memperjelas analisis ilmiah yang diperlukan dalam penelitian normatif.58

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi dalam penelitian yang digunakan adalah perskriptif, yaitu

dimana ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai

keadilan,validitas aturan hukum, konsep-konsep hukum dan norma-norma

hukum59

. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran atau

merumuskan masalah sesuai dengan keadaan atau fakta hukum yang ada

dalam kehidupan bermasyarakat. Dalam hal ini ilmu hukum bukan hanya

menempatkan hukum sebagai suatu gejala sosial yang hanya dipandang dari

luar, melainkan masuk ke sisi instrinsik dari hukum.

3. Sumber Data

Berupa data yang meliputi :

1. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritif

artinya memiliki suatu otoritas, mutlak dan mengikat. Bahan hukum primer

yang digunakan dalam peneitian ini terdiri dari peraturan perundang-

undangan yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), serta peraturan perundang-undangan lainnya yang

mendukung dalam penelitian ini.

2. Bahan Hukum Sekunder

58

Jhonny Ibrahim,.Teori dan Metodologi dan Penelitian Hukum Normatif.

Banyumedia Publishing. Cetakaan Kedua 2006, hal 95. 59

Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Jakarta : Kencana ,2005, hal. 22.

64

Bahan hukum sekunder yaitu bahan hukum yang memberikan

penjelasan terhadap bahan hukum primer yang terdiri dari pustaka di bidang

ilmu hukum seperti buku-buku literatur yang berkaitan dengan hukum acara

pidana.

4. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder, diperoleh melalui studi pustaka dengan cara

mempelajari buku-buku, literatur-literatur maupun dokumen-dokumen yang

terkait dengan materi penelitian serta dalam Putusan nomor :145/

Pid.B/2011/PN.PBG.

5. Metode Penyajian Data

Data yang berupa bahan-bahan hukum yang telah diperoleh kemudian

disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian-uraian yang disusun secara

sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh

akan dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh.

6. Metode Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah secara

kualitatif, yaitu pembahasan yang disusun secara logis dan sistematis

berdasarkan data-data yang diperoleh di lapangan, kemudian dihubungkan

dengan teori-teori hukum yang ada.

65

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang didasarkan pada data sekunder

terhadap Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga Putusan Nomor Perkara :

145/Pid.B/2011/pn purbalingga diperoleh data sebagai berikut :

1) Duduk Perkara

Ia terdakwa KC Als ATN Binti NRM pada hari Sabtu tanggal 16 April

2011 sekira pukul 21.00 WIB atau setidak-tidaknya di suatu waktu dalam

bulan April 2011, bertempat di kamar mandi dalam rumah terdakwa di

66

Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten

Purbalingga setidaktidaknya disekitar tempat itu yang masih termasuk dalan

daerah Hukum Pengadilan Negeri Purbalingga, seorang ibu yang karena

takut akan ketahuan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak

lama kemudian, dengan sengaja merampas nyawa anaknya, dengan caracara

sebagai berikut ,

Sekitar bulan Juni 2010 terdakwa KC Als ATN Binti NRM yang

berstatus gadis telah melakukan hubungan suami isteri dengan SD Bin BRJ

Als BRG di hotel Putra Asih 2 Baturaden Kabupaten Banyumas sehingga

terdakwa hamil, bahwa dengan keadaan terdakwa yang hamil diluar

pernikahan tersebut menyebabkan terdakwa merahasiakan kehamilannya

dari orang tua dan masyarakat sekitarnya sampai usia kehamilannya dari

orang tua dan masyarakat sekitarnya sampai usia kehamilannya menginjak 9

(sembilan) bulan, bahwa pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar

pukul 21.00 WIB, pada saat terdakwa berada dirumahnya yang terletak di

Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten

Purbalingga, terdakwa dengan kondisi kehamilannya memasuki 9

(Sembilan) bulan dan sudah waktunya melahirkan merasakan sakit perut

sehingga terdakwa minta tolong ayahnya untuk membelikan obat sakit diare

merk dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat diare tersebut ternyata

terdakwa masih merasakan sakit perut dan karena sudah tidak tahan

merasakan sakit perut lalu terdakwa masuk kamar mandi lalu menurunkan

celana dalam kemudian jongkok dilantai kamar mandi dan merasakan perut

67

mules seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu

terdakwa berusaha mengejang/ngeden, tetapi yang keluar bukan tinja dari

dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan terdakwa

sehingga terdakwa semakin panic, dan terdakwa yang sudah mengetahui

kalau hendak melahirkan dengan sengaja tidak berusaha meminta tolong

kepada orang tuanya, keluarga atau orang lain untuk dibawa kedokter untuk

dilakukan pertolongan sampai akhirnya terdakwa melahirkan seorang bayi

perempuan dilantai kamar mandi dan oleh karena takut ketahuan telah

melahirkan lalu terdakwa mengangkat bayi perempuan tersebut lalu

digendong dan tanpa memberikan perawatan terhadap bayi yang baru

dilahirkan sebagaimana perawatan terhadap bayi sebagaimana mestinya

tetapi terdakwa justru membawa bayi tanpa dibungkus/dibalut dengan kain

tersebut kesungai/parit yang berada dibelakang rumah terdakwa, dan dalam

perjalanan dari rumah kesungai/parit bayi perempuan yang pada saat

dilahirkan dalam keadaan hidup tersebut tiba-tiba terdiam dan setelah

sampai di sungai/parit lalu terdakwa meletakan bayi perempuan yang telah

dilahirkannya tersebut diatas air sungai/parit dalam posisi terlentang,

selanjutnya terdakwa bergegas pulang kerumahnya dan beberapa hari

kemudian pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.00 WIB

bayi perempuan tersebut diketemukan oleh saksi Anggi Setiawan Als Anggi

Bin Sukarto disungai/parit tidak jauh dari rumah terdakwa dalam keadaan

sudah membusuk, sebagaimana Visum Et Repertum Nomor

68

:183/VER/RSUD/13/V/2011 tanggal 09 Mei 2011 yang ditandatangani oleh

dr. Setyo Dirahayu,

a) Dokter RSUD dr. R. Goeteng Taroenadibrata Purbalingga dengan hasil

pemeriksaan : Mayat bayi perempuan ;

b) Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam

(paru-paru dan hati) sudah rusak ;

Kesimpulan : sebab kematian diduga karena asfeksia.

2) Dakwaan Penuntut Umum

Terdakwa didakwa oleh Penuntut Umum dengan dakwaan yang

disusun secara Alternatif, yaitu :

KESATU :Pasal 341 KUHP atau

KEDUA :Pasal 359 KUHP atau

KETIGA : Pasal 181 KUHP

3) Pembuktian dengan memeriksa alat bukti berupa :

Hakim dalam perkara ini memeriksa beberapa alat bukti dan barang

bukti dalam persidangan, yaitu :

a) Keterangan Saksi-saksi

1. Saksi BRS als RW bin YA WA

Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada

pokoknya sebagai berikut :

Saksi kenal dengan Terdakwa dan tidak ada hubungan keluarga, pada

hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.40 WIB Saksi telah

mendapat laporan dari Ki bahwa saksi AS dan Gn telah menemukan mayat

69

seorang bayi perempuan, setelah mendengar laporan tersebut, Saksi

langsung datang ketempat ditemukan mayat bayi perempuan yaitu diselokan

Desa Bumisari Dukuh Kewok Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari

Kabupaten Purbalingga, setelah sampai dilokasi ternyata sudah banyak

orang dan benar memang ada mayat bayi perempuan yang sudah membusuk

dan pusarnya sudah bolong tidak ada ususnya, posisi mayat bayi perempuan

tersebut menyangkut disampah dan dalam keadaan tengkurap selanjutnya

Saksi memberitahukan kejadian tersebut ke Polisi, sepengetahuan Saksi,

Terdakwa belum pernah menikah.

2. Saksi GN als NN bin WM

Di persidangan memberikan keterangan tidak disumpah yang pada

pokoknya sebagai berikut :

Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga

pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.40 WIB Saksi

bersama dengan saksi Anggi Setiawan telah menemukan mayat perempuan

di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten

Purbalingga, saat itu Saksi bersama dengan saksi Anggi Setiawan sedang

mencari ikan di sungai kecil tersebut dengan berjalan menyusuri sungai dan

mencium bau busuk yang sangat menyengat dan setelah didekati terlihat

seperti katak yang mati, Saksi kemudian penasaran dan bersama dengan

saksi Anggi Setiawan kemudian dengan menggunakan bambu membalik

bangkai tersebut setelah dibalik ternyata merupakan bayi perempuan yang

mukanya sudah berlubang dan pada bagian perutnya berlubang kemudian

70

Saksi pulang dan dijalan bertemu dengan Topo dan memberitahukan

penemuan tersebut.

3. Saksi AS als AI bin SO

Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada

pokoknya sebagai berikut :

Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga

pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.40 WIB Saksi

bersama dengan saksi GN telah menemukan mayat perempuan di sungai

kecil di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, saat

itu Saksi bersama dengan saksi GN sedang mencari ikan di sungai kecil

tersebut dengan berjalan menyusuri sungai dan mencium bau busuk yang

sangat menyengat dan setelah didekati terlihat seperti katak yang mati, Saksi

kemudian penasaran dan bersama dengan saksi GN kemudian dengan

menggunakan bambu membalik bangkai tersebut setelah dibalik ternyata

merupakan bayi perempuan yang mukanya sudah berlubang dan pada

bagian perutnya berlubang, kemudian Saksi pulang dan dijalan bertemu

dengan TO dan memberitahukan penemuan tersebut,

4. Saksi DTI als YTI binti SKD

Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada

pokoknya sebagai berikut :

Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga,

Saksi pernah mendengar ributribut orang di Desa mengenai kehamilan

Terdakwa kemudian Saksi menanyakan hal tersebut kepada ibunya

71

Terdakwa yaitu SI tentang kebenaran kabar tersebut dan dijawab oleh ibu

Terdakwa bahwa anaknya tidak hamil karena sedang datang bulan pada hari

Kamis tanggal 14 April 2011 sekitar jam 19.00 WIB ketika Saksi berada

dirumah Terdakwa dan melihat Terdakwa dengan perut yang besar seperti

orang hamil, Saksi mengetahui tentang penemuan mayat bayi di sungai kecil

di Dukuh Gewok Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten

Purbalingga dan mendatangi tempat kejadian bersama dengan warga lainnya

serta sempat melihat mayat bayi perempuan yang sudah membusuk tetapi

bentuk mukanya mirip Terdakwa tetapi Saksi tidak berani menanyakan hal

tersebut kepada Terdakwa maupun keluarganya.

5. Saksi SM als Ny. SKO binti MWI

Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada

pokoknya sebagai berikut :

Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi tidak ada hubungan keluarga,

pada hari dan tanggal lupa tetapi bulan April tahun 2011 telah ditemukan

mayat bayi perempuan di sungai kecil di Dukuh Gewok Desa Bumisari

Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, Saksi tidak mengetahui

siapa orang tua mayat bayi tersebut tetapi ketika Terdakwa dibawa Polisi,

orang tua Terdakwa mengatakan ibu dari mayat bayi tersebut adalah

Terdakwa, Saksi pernah melihat Terdakwa dengan perut yang membesar

dan timbul kecurigaan bahwa Terdakwa sedang hamil ;

6. Saksi SRD bin BWI als BR

72

Di persidangan memberikan keterangan di bawah sumpah yang pada

pokoknya sebagai berikut :

Saksi kenal dengan Terdakwa yang tidak lain juga pacar Saksi, Saksi

mengenal dengan Terdakwa pada bulan Januari 2010, Saksi pernah tiga kali

bertemu dengan Terdakwa masingmasing di Balai Desa Bumisari, di

Bojongsari dan di alunalun Purbalingga, kemudian Saksi dengan Terdakwa

pergi ke Baturaden dan melakukan hubungan layaknya suami isteri, setiap

diadakan pertemuan selalu janjian dengan SMS Saksi tidak mengetahui

Terdakwa sedang hamil akibat dari perbuatan Saksi dari hubungan layaknya

suami isteri sekitar bulan April 2010, setelah berhubungan tersebut, Saksi

tidak pernah bertemu dengan Terdakwa lagi atau putus Komunikasi,

menurut Saksi, Terdakwa pernah berhubungan dengan orang lain.

b) Petunjuk

Pengertian petunjuk seperti yang dirumuskan dalam Pasal 188 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

adalah :

“Petunjuk adalah perbuatan, kejadian yang karena persesuaian, baik

antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu

sendiri menandakan telah terjadi sesuatu tindak pidana dan siapa

pelakunya.”

Berdasarkan fakta-fakta yang diperoleh dalam persidangan berupa

keterangan saksi-saksi, alat bukti surat visum et repertum dan keterangan

terdakwa, telah terdapat persesuaian antara yang satu dengan yang lain

bahwa telah terjadi tindak pidana pembunuhan anak pada hari Sabtu tanggal

16 April 2011 sekira pukul 21.00 WIB atau setidak-tidaknya di suatu waktu

73

dalam bulan April 2011, bertempat di kamar mandi dalam rumah terdakwa

di Dukuh Gewok Desa Bumisari, Kecamatan Bojongsari, Kabupaten

Purbalingga.

c) Alat Bukti Surat

Visum Et Repertum tertanggal 09 Mei 2011

No.183/VER/RSUD/13/V/2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.

Setyo Dirahayu dokter pada RSUD dr.R.GOETENG TAROENADIBRATA

Purbalingga dengan hasil pemeriksaan adalah :

1. Mayat bayi perempuan ;

2. Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam (paru-

paru dan hati) sudah rusak ; Kesimpulan sebab kematian diduga karena

asfeksia ; dan Visum Et Repertum Nomor :

B6/152/VER/RSUHIP/IV/2011 tanggal 27 April 2011 terhadap

Terdakwa dengan hasil pemeriksaan :

a. Payudara kanan dan kiri agak keras dan keluar air susu ;

b.Uterus (rahim membesar, tinggi fundus uterus 2 jari diatas tulang

kemaluan (diatas symphisis ospubis) ;

3. Ada bekas robekan dijalan lahir (diperineum) ;

4. Dari Vagina keluar darah sedikit campur lender kekuningan (lokhea)

berbau busuk ;

Kesimpulan dari hasil pemeriksaan diatas disimpulkan bahwa orang

terebut dalam kondisi habis melahirkan (post partum).

d) Keterangan Terdakwa

74

Keterangan terdakwa dalam perkara ini yaitu menyatakan bahwa

terdakwa mengakui segala perbuatannya sebagaimana yang didakwakan

oleh Jaksa Penuntut Umum dan terdakwa juga membenarkan keterangan

saksi-saksi yang dihadirkan di persidangan.

4) Tuntutan Jaksa Penuntut Umum

Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan Tuntutan Pidana (Requisitor)

yang pada pokoknya mohon agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri

Purbalingga yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan :

1. Menyatakan terdakwa KAMILATUN CHASANAH Als ATUN Binti

NURROCHIM bersalah melakukan tindak pidana “MEMBUNUH

ANAK SENDIRI”, sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal

341 KUHP sebagaimana diuraikan dalam dakwaan Kesatu ;

2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa KAMILATUN CHASANAH

Als ATUN Binti NURROCHIM dengan pidana penjara selama 2 (dua)

Tahun dikurangi selama terdakwa ditahan dengan perintah agar terdakwa

tetap ditahan;

3. Menyatakan barang bukti berupa :

a. 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna merah muda ;

b. 1 (satu) potong celana panjang warna abuabu ;

Dikembalikan kepada terdakwa Kamilatun Chasanah Als Atun Binti

Nurrochim ;

c. 1 (satu) potong BH warna hitam ;

75

Dijadikan barang bukti dalam perkara atas nama terdakwa Sardi Bin

Buwarji al Bureng ;

4 Menetapkan agar terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara

sebesar Rp.1.000, (seribu rupiah) ;

5) Putusan Pengadilan Negeri

a) Pertimbangan Hukum Hakim

Sesuai dengan konstruksi dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang

disusun secara Alternatif, Terdakwa didakwa melakukan tindak pidana yaitu

: PERTAMA : melanggar Pasal 341 KUHP Atau KEDUA : melanggar Pasal

359 KUHP Atau KETIGA : melanggar Pasal 181 KUHP ;

Berdasarkan atas surat tuntutan dari Jaksa Penuntut Umum, Jaksa

Penuntut umum mempergunakan dakwaan Alternatif KESATU sebagai

dasar tuntutan terhadap Terdakwa yaitu melanggar Pasal 341 KUHP yang

unsur-unsurnya sebagai berikut :

Unsur Obyektif :

1 Unsur “seorang ibu” ;

2 Unsur “menghilangkan nyawa anaknya pada waktu atau segera setelah

kelahirannya” ;

Unsur Subyektif :

1 Unsur “takut diketahui telah melahirkan anak” ;

2 Unsur “dengan sengaja” ;

Ad.1.Tentang Unsur Obyektif ke1 “seorang ibu” ;

76

Yang dimaksud dengan unsur seorang ibu adalah wanita yang belum

menikah atau seorang wanita yang tidak menikah dalam hal wanita tersebut

melahirkan seorang anak ;

Menimbang, bahwa berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan :

1. Terdakwa kenal dengan saksi Sardi di Balai Desa Bumisari kemudian

pacaran ;

2. Kurang lebih 3 (tiga) bulan pacaran kemudian saksi diajak Ke Baturaden

dan di Hotel Baturaden itu kemudian Terdakwa bersama saksi Sardi

melakukan hubungan layaknya suami isteri sebanyak 2 (dua) kali dalam

satu hari itu ;

3. Hubungan intim layaknya suami isteri tersebut dilakukan pada bulan Juni

2010 dan akibat dari hubungan layaknya suami isteri tersebut Terdakwa

hamil diluar nikah ;

4. Pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB saat

Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa

Bumisari Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga,

Terdakwa dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembila) bulan dan

sudah waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga

Terdakwa meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit

diare merk dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa

masih merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi ;

5. Setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules

seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu

77

Terdakwa berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja

dari dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan

Terdakwa sehingga Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang

bayi perempuan dilantai kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas

tersengal-sengal ;

6. Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain

termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan

diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya ;

Berdasarkan fakta hukum diatas jelaslah Terdakwa adalah seorang ibu

yang telah melahirkan anaknya tanpa terikat sebuah perikatan perkawinan

sehingga apabila dihubungkan dengan pengertian unsur ini maka unsur

obyektif ke1 ini telah terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa ;

Ad.2.Tentang Unsur Obyektif ke2 “menghilangkan nyawa anaknya

pada waktu atau segera setelah kelahirannya” ;

Mengenai pengertian “menghilangkan” (nyawa anaknya) itu

disyaratkan adanya suatu “tindakan yang positif” ataukah tindakan tersebut

dapat dilakukan “tanpa orang tersebut melakukan sesuatu perbuatan. Delik-

delik omisi tidak murni itu hanya merupakan sebagian dari sejumlah besar

tindak pidanatindak pidana yang dapat dilakukan orang, baik dengan

melakukan sesuatu maupun tanpa melakukan sesuatu, delikdelik ini sendiri

merupakan perilaku menimbulkan suatu akibat, dimana perilaku seperti itu

pada umumnya adalah terlarang dan diancam pidana ;

78

Pengertian “pada waktu atau segera setelah kelahirannya adalah

selama jangka waktu ibu belum mengurus sendiri anaknya yang telah

dilahirkannya tersebut ;

Berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan sebagai berikut :

Bahwa benar pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB

saat Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa

Bumisari Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga,

Terdakwa dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembila) bulan dan

sudah waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga

Terdakwa meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit

diare merk dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa

masih merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi ; Bahwa benar

setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules seperti

akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu Terdakwa

berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja dari dubur

tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan Terdakwa sehingga

Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang bayi perempuan dilantai

kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas tersengalsengal ;

Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain

termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan

diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya

Setelah itu bayi tersebut tanpa dibungkus kain dibawa kesungai/parit

yang berada dibelakang rumah Terdakwa ;

79

Dari perjalanan kesungai/parit tersebut bayi perempuan tersebut tiba-

tiba terdiam dan setelah sampai disungai/parit lalu Terdakwa meletakkan

bayi perempuan yang telah dilahirkannya tersebut disungai/parit dengan

posisi terlentang selanjutnya Terdakwa bergegas pulang kerumahnya ;

Kemudian bayi perempuan tersebut ditemukan pada hari Jum‟at

tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.30 WIB sudah dalam keadaan

meninggal dunia ;

Visum Et Repertum tertanggal 09 Mei 2011

No.183/VER/RSUD/13/V/2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh dr.

Setyo Dirahayu dokter pada RSUD dr. R.GOETENG

TAROENADIBRATA Purbalingga dengan hasil pemeriksaan adalah :

1 Mayat bayi perempuan ;

2 Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam

(paruparu dan hati) sudah rusak ; Kesimpulan sebab kematian diduga

karena asfeksia ;

Visum Et Repertum Nomor : B6/152/VER/RSUHIP/ IV/2011 tanggal

27 April 2011 terhadap Terdakwa dengan hasil pemeriksaan :

1 Payudara kanan dan kiri agak keras dan keluar air susu ;

2 Uterus (rahim membesar, tinggi fundus uterus 2 jari diatas tulang

kemaluan (diatas symphisis os pubis) ;

3 Ada bekas robekan dijalan lahir (diperineum) ;

4 Dari Vagina keluar darah sedikit campur lender kekuningan (lokhea)

berbau busuk ;

80

5 Kesimpulan dari hasil pemeriksaan diatas disimpulkan bahwa orang

terebut dalam kondisi habis melahirkan (post partum).

Berdasarkan fakta hukum tersebut jelaslah bahwa Terdakwa telah

melahirkan seorang anak perempuan dan akibat dari tindakan yang

dilakukan Terdakwa bayi perempuan tersebut kemudian meninggal dunia

Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka perbuatan Terdakwa

telah memenuhi unsur obyektif ke2 ini, sehingga unsur inipun terpenuhi ;

Ad.3.Tentang Unsur Subyektif ke1 “takut diketahui telah melahirkan

anak”;

“Perasaan takut diketahui telah melahirkan seorang anak” adalah

merupakan motif atau alasan yang pokok dalam Pasal 341 KUHP ini,

karena ini akan menjadi alasan yang meringankan dalam hukuman.

Masalahmasalahnya harus sedemikian rupa, bahwa mengandung/ hamilnya

pelaku merupakan suatu rahasia bagi wanita itu, tidak peduli bahwa orang

lain tahu asal wanita itu mengandung/hamil, tetapi pelaku tetap dapat

merahasiakan sampai kelahirannya dengan perasaan takut diketahui ;

Berdasarkan fakta-fakta hukum dipersidangan sebagai berikut :

Pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB saat

Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa Bumisari

Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, Terdakwa

dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembilan) bulan dan sudah

waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga Terdakwa

meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit diare merk

81

dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa masih

merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi.

Setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules

seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu

Terdakwa berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja dari

dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan Terdakwa

sehingga Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang bayi

perempuan dilantai kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas tersengal-

sengal, Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain

Termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan

diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya

Setelah itu bayi tersebut tanpa dibungkus kain dibawa kesungai/parit

yang berada dibelakang rumah Terdakwa, dari perjalanan kesungai/parit

tersebut bayi perempuan tersebut tibatiba terdiam dan setelah sampai

disungai/parit lalu Terdakwa meletakkan bayi perempuan yang telah

dilahirkannya tersebut disungai/parit dengan posisi terlentang selanjutnya

Terdakwa bergegas pulang kerumahnya.

Kemudian bayi perempuan tersebut ditemukan pada hari Jum‟at

tanggal 22 April 2011 sekitar jam 13.30 WIB sudah dalam keadaan

meninggal dunia.

Berdasarkan fakta hukum tersebut maka dapatlah disimpulkan bahwa

perbuatan Terdakwa telah memenuhi rumusan unsur ke1 subyektif yaitu

”takut diketahui telah melahirkan anak”.

82

Ad.4.Tentang Unsur Subyektif ke2 “dengan sengaja” ;

Menurut Risalah Penjelasan UndangUndang (Mvt) sengaja atau opzet

berarti willens en wetens (menghendaki dan mengetahui) yang berarti si

pembuat harus menghendaki apayang dilakukannya dan harus mengetahui

apa yang dilakukannya sedangkan dalam doktrin hukum pidanapengertian

“dengan sengaja” dikenal dua teori yaitu :

a. Teori kehendak (Wilstheorie) dari Von Hippel guru besar di Gottingen

Jerman yang berpendapat bahwa kesengajaan (vortsatz) adalah kehendak

untuk melakukan suatu perbuatan dan kehendak untuk menimbulkan

akibat karena perbuatannya itu seperti dirumuskan di dalam undang-

undang hukum pidana Teori membayangkan/pengetahuan

(voorstellingstheorie) dari Frank guru besar di Tubingen Jerman, yang

didukung oleh Von Listiz. Menurut teori Frank, kesengajaan adalah

kehendak untuk berbuat dengan mengetahui unsurunsur yang diperlukan

menurut rumusan undang-undang (wet)60

.

Menurut Van Hattum yang disetujui pula oleh Prof. Moeljatno,

Utrecht dan sebagian besar sarjana hukum pidana, bahwa di dalam praktik

hasil yang dicapai oleh para penganut teori kehendak dan teori pengetahuan

(Prof.Moeljatno : teori membayangkan) adalah pada umumnya sama.

Perbedaannya hanyalah terletak di bidang psikologis dan bukan di bidang

hukum. Perbedaan lain telah dikemukakan oleh Moeljatno yaitu cara

60

Zainal, Abidin Farid, Hukum Pidana 1, Jakarta:Sinar Grafika, 2007, hal 282-284

83

membuktikan kesengajaan lebih mudah membuktikannya kalau digunakan

teori membayangkan atau teori pengetahuan61

.

Dengan memperhatikan pandanganpandangan tersebut di atas maka

untuk mengartikan unsur dengan sengaja tersebut, Majelis tetap mengacu

pada Risalah Penjelasan Undang-Undang (MvT) yang juga dianut oleh

doktrin dan Yurisprudensi, bahwa seseorang dapat dikatakan melakukan

perbuatan dengan sengaja apabila si pembuat menghendaki perbuatan yang

dilakukannya serta menginsafi akan akibat perbuatan itu.

Dengan pandangan-pandangan yang dikemukan di atas, maka Majelis

akan mempertimbangkan apakah unsur “dengan sengaja” tersebut terpenuhi

atau tidak sebagaimana fakta-fakta hukum yang terungkap di persidangan,

maka telah terbukti mengenai halhal sebagai berikut.

Terdakwa kenal dengan saksi Sardi di Balai Desa Bumisari kemudian

pacaran kurang lebih 3 (tiga) bulan pacaran kemudian saksi diajak ke

Baturaden dan di Hotel Baturaden itu kemudian Terdakwa bersama saksi

Sardi melakukan hubungan layaknya suami isteri sebanyak 2 (dua) kali

dalam satu hari itu ;• Bahwa benar hubungan intim layaknya suami isteri

tersebut dilakukan pada bulan Juni 2010 dan akibat dari hubungan layaknya

suami isteri tersebut Terdakwa hamil diluar nikah.

Pada hari Sabtu tanggal 16 April 2011 sekitar jam 21.00 WIB saat

Terdakwa berada dirumahnya yang terletak di Dukuh Gewok Desa Bumisari

Rt.12 Rw.06 Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, Terdakwa

61

Moeljatno, Asas-Asas Hukum PIdana, Jakarta: Rineka Cipta ,2002, hal. 172

84

dengan kondisi kehamilannya memasuki 9 (sembilan) bulan dan sudah

waktunya untuk melahirkan merasakan sakit perut sehingga Terdakwa

meminta tolong kepada ayahnya untuk membelikan obat sakit diare merk

dulcolax, setelah meminum 2 tablet obat sakit diare Terdakwa masih

merasakan sakit perut lalu Terdakwa kekamar mandi.

Setelah Terdakwa berada dikamar mandi dan merasakan perut mules

seperti akan buang air besar yang semakin lama semakin sakit lalu

Terdakwa berusaha mengejan/ngeden tetapi yang keluar bukannya tinja dari

dubur tetapi seperti daging yang akan keluar dari kemaluan Terdakwa

sehingga Terdakwa panik lalu Terdakwa melahirkan seorang bayi

perempuan dilantai kamar mandi dengan kondisi bayi bernafas tersengal-

sengal.

Terdakwa melahirkan anak tanpa memberitahukan kepada orang lain

termasuk orang tuanya karena Terdakwa takut kelahiran anaknya akan

diketahui oleh orang lain termasuk oleh orang tua kandungnya, setelah itu

bayi tersebut tanpa dibungkus kain dibawa kesungai/parit yang berada

dibelakang rumah Terdakwa.

Dari perjalanan kesungai/parit tersebut bayi perempuan tersebut

tibatiba terdiam dan setelah sampai disungai/parit lalu Terdakwa meletakkan

bayi perempuan yang telah dilahirkannya tersebut disungai/parit dengan

posisi terlentang selanjutnya Terdakwa bergegas pulang kerumahnya.

Kemudian bayi perempuan tersebut ditemukan pada hari Jum‟at

tanggal 22 April 20 Bahwa benar Visum Et Repertum tertanggal 09 Mei

85

2011 No.183/VER/RSUD/13/V/2011 yang dibuat dan ditandatangani oleh

dr. Setyo Dirahayu dokter pada RSUD dr. R.GOETENG

TAROENADIBRATA Purbalingga dengan hasil pemeriksaan adalah :

1 Mayat bayi perempuan ;

2 Mayat sudah mengalami proses pembusukan sebagian organ dalam

(paruparu dan hati) sudah rusak ; Kesimpulan sebab kematian diduga

karena asfeksia ;

Benar Visum Et Repertum Nomor : B6/152/VER/RSUHIP/ IV/2011

tanggal 27 April 2011 terhadap Terdakwa dengan hasil pemeriksaan :

1 Payudara kanan dan kiri agak keras dan keluar air susu ;

2 Uterus (rahim membesar, tinggi fundus uterus 2 jari diatas tulang

kemaluan (diatas symphisis os pubis) ;

3 Ada bekas robekan dijalan lahir (diperineum) ;

4 Dari Vagina keluar darah sedikit campur lender kekuningan (lokhea)

berbau busuk ;

5 Kesimpulan dari hasil pemeriksaan diatas disimpulkan bahwa orang

terebut dalam kondisi habis melahirkan (post partum).

Dari fakta-fakta hukum tersebut, maka telah nyata dan terbukti adanya

pengetahuan Terdakwa untuk melakukan perbuatan dan kehendak yang

menimbulkan akibat yakni ketika melakukan hubungan layaknya suami

isteri diluar ikatan perkawinan yang kemudian mengakibatkan hamil dan

kehamilan tersebut sampai waktu melahirkan dan kemudian melahirkan

86

tanpa diketahui orang tuanya dan selanjutnya bayi tersebut dibuang

disungai/parit dan menyebabkan meninggal dunia.

Dengan demikian unsur subyektif ke2 “dengan sengaja” telah

terpenuhi oleh perbuatan Terdakwa .

Berdasarkan seluruh uraian-uraian pertimbangan tersebut di atas,

semua unsur dari Pasal 341 KUHP sebagaimana didakwakan Jaksa Penuntut

Umum dalam dakwaan Alternatif PERTAMA telah terpenuhi, maka oleh

karena itu Majelis memperoleh keyakinan bahwa Terdakwa telah terbukti

melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN ANAK“ .

Oleh karena selama persidangan berlangsung, Terdakwa dapat

berkomunikasi dengan baik, menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya

dengan baik dan lancar, maka telah terbukti bahwa Terdakwa dalam

keadaan sehat baik badan maupun jiwanya sehingga Terdakwa dapat

dipertanggung jawabkan atas perbuatannya.

Oleh karena Terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas

perbuatannya, dan Majelis tidak menemukan adanya alasan pembenar

ataupun pemaaf yang dapat menghapus kesalahan dari perbuatan yang telah

dilakukannya, maka Terdakwa tersebut harus dinyatakan bersalah dan

dijatuhi pidana yang setimpal dengan kesalahannya.

Sebelum menjatuhkan pidana kepada Terdakwa, terlebih dahulu

Majelis akan mempertimbangkan halhal yang memberatkan dan yang

meringankan.

Hal-hal yang memberatkan :

87

• Perbuatan Terdakwa meresahkan masyarakat ;

Hal-hal yang meringankan :

• Terdakwa belum pernah dihukum dan masih muda sehingga masih

diharapkan untuk dapat memperbaiki perbuatannya dimasa yang akan

datang .

Berdasarkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan tersebut

dikaitkan dengan tujuan pemidanaan yang bukan merupakan pembalasan

atas perbuatan Terdakwa melainkan bertujuan untuk membina dan mendidik

agar Terdakwa menyadari dan menginsyafi kesalahannya sehingga dapat

menjadi anggota masyarakat yang baik dikemudian hari, serta sebagai upaya

preventif bagi anggota masyarakat lainnya maka Majelis memandang adil

dan patut apabila Terdakwa dijatuhi pidana sebagaimana yang akan

disebutkan dalam amar putusan ini.

Dalam perkara ini terhadap diri Terdakwa telah dikenakan penahanan

yang sah, maka masa penahanan tersebut harus dikurangkan seluruhnya dari

pidana yang dijatuhkan ;

Oleh karena tidak ada alasan untuk mengeluarkan Terdakwa dari

tahanan, atau menangguhkan penahanannya, maka Terdakwa harus tetap

berada dalam tahanan; 11 sekitar jam 13.30 WIB sudah dalam keadaan

meninggal dunia.

Barang bukti berupa : 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna

merah muda dan 1 (satu) potong celana panjang warna abuabu karena

terbukti dipersidangan sebagai milik Terdakwa maka sudah seharusnya

88

dikembalikan kepada terdakwa Kamilatun Chasanah Als Atun Binti

Nurrochim sedangkan 1 (satu) potong BH warna hitam karena masih akan

dipergunakn dalam perkaran lain atas nama terdakwa Sardi Bin Buwarji al

Bureng maka sudah seharusnya dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum

Oleh karena Terdakwa telah dinyatakan bersalah dan dijatuhi pidana, maka

biaya perkara ini dibebankan kepada Terdakwa.

Memperhatikan Pasal 341 KUHP, UndangUndang No. 8 tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana dan Undang-Undang Nomor : 49 Tahun 2009

Tentang Perubahan Kedua UndangUndang Nomor : 2 Tahun 1986 Tentang

Peradilan Umum ;

b) Amar Putusan

Berdasarkan fakta-fakta hukum dan pertimbangan-pertimbangan

diatas, Majelis Hakim memutuskan :

1 . Menyatakan terdakwa KAMILATUN CHASANAH Als ATUN Binti

NURROCHIM telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana “PEMBUNUHAN ANAK”;

2 . Menjatuhkan pidana kepada Terdakwa oleh karena itu dengan pidana

penjara selama 1 (satu) Tahun dan 6 (enam) bulan ;

3. Menetapkan masa penahanan yang telah dijalani Terdakwa dikurangkan

seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan ;

4. Menetapkan agar Terdakwa tetap berada dalam tahanan ;

5. Menetapkan agar barang bukti berupa :

1. 1 (satu) potong kaos lengan pendek warna merah muda ;

89

2. 1 (satu) potong celana panjang warna abuabu ; dikembalikan

kepada terdakwa Kamilatun Chasanah Als Atun Binti Nurrochim;

3. 1 (satu) potong BH warna hitam ;

Dikembalikan kepada Jaksa Penuntut Umum untuk dipergunakan

dalam perkara atas nama terdakwa Sardi Bin Buwarji al Bureng ;

6 .Membebankan biaya perkara kepada Terdakwa sebesar Rp.2.500, (dua

ribu lima ratus rupiah)

Demikian diputuskan dalam rapat permusyawaratan Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Purbalingga pada hari JUM‟AT tanggal 7 OKTOBER

2011 oleh A.F.JOKO SUTRISNO,SH.,MH. sebagai Hakim Ketua, DIAN

ANGGRAINI,SH.,MH. dan MOCH. NUR AZIZI,SH. Masing-masing

sebagai Hakim Anggota, putusan mana diucapkan oleh Hakim Ketua dalam

sidang yang terbuka untuk umum pada hari SENIN tanggal 10 OKTOBER

2011, dengan didampingi oleh Hakim-Hakim Anggota tersebut, dibantu

oleh WURHANDONO,SH. Panitera Pengganti, dan dihadiri oleh ABDUL

BASIK,SH. Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Purbalingga,

Terdakwa serta Penasihat Hukumnya ;

B. Pembahasan

1) Keterangan Saksi Yang Tidak Disumpah Dapat Diklasifikasikan

Sebagai Alat Bukti Yang Sah dalam perkara tindak pidana

pembunuhan anak

Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah dalam

persidangan perkara pidana, alat bukti mana menjadi penting dalam rangka

90

membuktikan ada atau tidak adanya suatu peristiwa hukum. Ketentuan

yang berkaitan dengan saksi dan kesaksiannya di muka sidang dapat

ditemukan di dalam Undang-undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab

Hukum Acara Pidana Pasal 159 sampai dengan Pasal 188 KUHAP. Pada

prinsipnya setiap saksi yang memberikan keterangan di muka sidang wajib

mengucapkan sumpah/janji akan memberikan keterangan dengan

sebenarnya tiada lain dari pada yang sebenarnya sesuai dengan cara

agamanya masing-masing kecuali bagi mereka yang dibolehkan untuk

memberikan keterangan tanpa sumpah sebagaimana telah diatur dalam

ketentuan perundang-undangan.

Sehubungan dengan kewajiban sumpah bagi saksi tersebut secara

khusus diatur konsekuensi hukum apabila dilanggar oleh saksi dalam

pengertian saksi tersebut tidak memberikan keterangan dengan sebenarnya

sebagaimana lafadz sumpah yang telah ia ucapkan maka saksi yang

demikian itu dapat disangka melakukan kejahatan sumpah palsu atau

keterangan palsu yang diancam dengan pidana dalam Pasal 242 KUHP.

Syarat Sahnya Keterangan Saksi Sebagai Alat Bukti Agar supaya

keterangan yang diberikan seorang saksi dapat bernilai serta memiliki

kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa ketentuan yang harus

dipenuhi oleh seorang saksi. Artinya, agar keterangan saksi dapat dianggap

sah sebagai alat bukti yang memiliki nilai kekuatan pembuktian, harus

dipenuhi beberapa ketentuan, yakni sebagai berikut :

1. Harus Mengucapkan Sumpah Atau Janji.

91

Redaksi Pasal 160 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa sebelum

saksi memberikan keterangan wajib mengucapkan sumpah atau janji yang

dilakukan menurut cara sesuai agamanya masing-masing dan lafaz sumpah

atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-

benarnya dan tidak lain dari pada yang sebenarnya. Dalam ketentuan Pasal

160 ayat (3) KUHAP, pada prinsipnya sumpah atau janji diucapkan oleh

saksi sebelum memberikan keterangan, akan tetapi dalam redaksi Pasal 160

ayat (4) KUHAP memberikan kemungkinan kepada saksi untuk

mengucapkan sumpah atau janji setelah saksi memberikan keterangan. Cara

penyumpahan sebelum memberikan keterangan di depan sidang pengadilan

disebut promissoris, artinya sanggup berkata benar. Alasan bahwa sumpah

yang diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan di sidang pengadilan

adalah :

a. Saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang diucapkan.

b. Saksi akan mengurangi niat untuk mengingkari janji

c. Bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai kekuatan

pembuktian.

Makna sumpah atau janji yang diucapkan oleh saksi sesudah

memberikan keterangan di depan sidang pengadilan ialah bahwa sumpah

tersebut bersifat menguatkan keterangannya, kelemahannya apabila saksi

memberi keterangan tidak jujur pada waktu memberi keterangan yang

diberikan di depan persidangan. Cara penyumpahan seperti ini disebut

assetoris. Mendasari rumusan Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4) KUHAP maka

92

seorang saksi pada prinsipnya wajib mengucapkan sumpah sebelum saksi

memberikan keterangan, namun apabila dalam hal dianggap perlu oleh

pengadilan, pengucapan sumpah atau janji yang diberikan oleh saksi dapat

dilakukan sesudah saksi memberi keterangan. Namun, apabila terdapat saksi

yang menolak untuk mengucapkan sumpah atau janji tanpa alasan yang sah

maka yang bersangkutan dapat dikenakan sandera berdasarkan penetapan

hakim ketua sidang dan penyanderaan kepada saksi dapat dikenakan paling

lama 14 (empat belas) hari (Pasal 161 KUHAP). Tujuan utama dilakukan

penyanderaan kepada saksi adalah merupakan peringatan bagi saksi akan

kewajibannya untuk mengucapkan sumpah. Sebenarnya peringatan untuk

mengucapkan sumpah dapat ditempuh ketua sidang dengan jalan memberi

penjelasan dan penyuluhan kepada saksi. Penyanderaan bukan satu-satunya

jalan yang dapat ditempuh hakim. Akan tetapi, setelah diberikan penyuluhan

dan peringatan, dan memberi kesempatan kepada saksi untuk

memikirkannya dalam suatu tenggang yang memadai (tiga hari atau

seminggu), namun tetap menolak mengucapkan sumpah, sehingga wajar

terhadapnya dikeluarkan perintah penyanderaan. Saksi yang dikenakan

sandera harus segera dibebaskan dari Rutan sekalipun masa penetapan

penyanderaan belum lampau, apabila saksi mengeluarkan pernyataan atau

membuat pernyataan tertulis, bahwa saksi akan bersedia mengucapkan

sumpah atau janji pada persidangan yang akan datang. Umpamanya seorang

saksi dikenakan sandera 10 (sepuluh) hari. Setelah 2 (dua) hari menjalani

sandera, saksi membuat pernyataan akan kesediaannya mengucapkan

93

sumpah pada hari sidang yang telah ditentukan. Dalam hal ini, ketua sidang

harus segera mengeluarkan surat penetapan pembebasan. Seandainya nanti

saksi yang dibebaskan itu ternyata menolak mengucapkan sumpah,

kepadanya masih tetap dapat dikeluarkan surat penetapan penyanderaan

sampai batas maksimum.

2. Keterangan Saksi Harus Diberikan Di Sidang Pengadilan.

Pada pokoknya, isi keterangan saksi adalah fakta yang

berhubungan/relevan dengan pembuktian tentang telah terjadinya tindak

pidana yang didakwakan, tentang terdakwa yang melakukannya dan tentang

kesalahan terdakwa melakukannya. Keterangan saksi yang berhubungan

dengan pembuktian telah terjadinya tindak pidana adalah semua keterangan

yang menyangkut unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan. Artinya,

keterangan yang memuat tentang fakta-fakta yang membuktikan tentang

adanya unsur-unsur tindak pidana yang didakwakan.” Keterangan saksi

yang berhubungan dengan pembentukan keyakinan hakim bahwa terdakwa

yang melakukannya adalah semua keterangan yang memuat fakta-fakta

mengenai locus dan tempus tindak pidana berikut fakta-fakta yang

menandakan atau menunjukan bahwa terdakwalah yang melakukannya atau

ikut terlibat melakukannya. Sedangkan isi keterangan saksi yang diperlukan

hakim untuk membentuk keyakinannya tentang kesalahan terdakwa, adalah

semua keterangan yang menyangkut hal keadaan batin terdakwa sebelum

berbuat, seperti kehendak dan pengetahuan mengenai segala hal baik

mengenai perbuatan yang hendak dilakukannya maupun obyek tindak

94

pidana serta segala sesuatu yang ada disekitar perbuatan dan obyek

perbuatan sebagaimana yang ada dalam rumusan tindak pidana. keterangan

saksi ditinjau dari segi sah atau tidaknya adalah keterangan saksi yang

diberikan dalam sidang persidangan, keterangan saksi dapat dikelompokan

menjadi 2 (dua) jenis :

1) Keterangan saksi yang diberikan tanpa sumpah. Mengenai keterangan

saksi yang diberikan tanpa sumpah, bisa terjadi :

Karena saksi menolak bersumpah. Kemungkinan saksi menolak untuk

memberikan keterangan di bawah sumpah bisa terjadi sesuai ketentuan yang

diatur dalam Pasal 161 KUHAP yang menerangkan bahwa : Dalam hal saksi

atau ahli tanpa alasan yang sah menolak untuk bersumpah atau berjanji

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 160 ayat (3) dan ayat (4), maka

pemeriksaan terhadapnya tetap dilakukan, sedang ia dengan surat penetapan

hakim ketua sidang dapat dikenakan sandera di tempat rumah tahanan

negara paling lama empat belas hari. Dalam hal tenggang waktu

penyanderaan tersebut telah lampau dan saksi atau ahli tetap tidak mau

disumpah atau mengucapkan janji, maka keterangan yang telah diberikan

merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim. Dalam

konteks ini, bahwa sekalipun penolakan untuk bersumpah atau berjanji

tanpa alasan yang sah dan walaupun saksi telah disandera, namun saksi tetap

menolak untuk mengucapkan sumpah/janji sehingga pemeriksaan terhadap

saksi dapat dilakukan. Dalam keadaan seperti ini, menurut ketentuan dalam

Pasal 161 ayat (2) KUHAP, nilai keterangan saksi yang demikian dapat

95

menguatkan keyakinan hakim, apabila pembuktian yang ada telah

memenuhi batas minimum pembuktian. Keterangan yang diberikan tanpa

sumpah. Hal ini bisa terjadi seperti yang diatur dalam Pasal 161 KUHAP,

yakni saksi yang telah memberikan keterangan dalam pemeriksaan

penyidikan dengan tidak disumpah, ternyata tidak dapat dihadirkan

dipersidangan. Keterangan saksi yang terdapat dalam berita acara

penyidikan dibacakan di sidang pengadilan. Bertitik tolak dari ketentuan

Pasal 161 ayat (2) dan Pasal 185 ayat (7) KUHAP maka nilai kekuatan

pembuktian yang melekat pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang

pengadilan, sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan

pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan untuk menguatkan

keyakinan hakim datau dapat bernilai dan dapat dipergunakan sebagai

tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang

dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti

yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian.

2) Karena hubungan kekeluargaan. Keterangan saksi tanpa disumpah

lazimnya karena terdapat hubungan keluarga, sebagaimana Pasal 168,

Pasal 169, Pasal 185 ayat (7) dan Pasal 171 KUHAP. Adapun redaksi

pasal-pasal tersebut di atas adalah : Pasal 168 KUHAP : Kecuali

ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar

keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi:

96

a) Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke

bawah sarnpai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama

sebagai terdakwa.

b) Saudara dan terdakwa atau yang bérsama-sama sebagai terdakwa,

saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai

hubungan karena perkawinan dari anak-anak saudara terdakwa sampal

derajat ketiga

c) Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang

bersama-sama sebagai terdakwa. Pasal 169 KUHAP :

1. Dalam hal mereka sebagaimana dimaksud dalam Pasal 168

menghendakinya dan penuntut umum serta tegas menyetujuinya

dapat memberi keterangan di bawah sumpah.

2. Tanpa persetujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), mereka

diperbolehkan memberikan keterangan tanpa sumpah. Pasal 185

ayat (7) KUHAP : Keterangan dari saksi yang tidak disumpah

meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti

namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi

yang disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah

yang lain. Pasal 171 KUHAP : Yang boleh diperiksa untuk

memberi keterangan tanpa sumpah ialah :

a) Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum

pernah kawin;

97

b) Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang

ingatannya baik kembali.

Berdasarkan redaksi pasal-pasal tersebut di atas, maka keterangannya

tidak dapat dinilai sebagai alat bukti, tetapi dapat dipergunakan untuk

menguatkan keyakinan hakim atau bernilai sebagai tambahan menguatkan

alat bukti yang sah sepanjang mempunyai persesuaian dan telah memenuhi

batas minmum pembuktian. Lebih lanjut, apakah hakim terikat untuk

mempergunakan keterangan saksi tanpa sumpah atau janji, jika antara

keterangan itu terdapat saling persesuaian ? Tidak, sama sekali hakim tidak

terikat untuk mempergunakannya, tergantung kepada penilaian hakim,

dalam arti hakim bersifat bebas untuk mempergunakannya tetapi sebaliknya

dapat mengesampingkannya. Hakim tidak terikat untuk menilainya dan

dapat dipergunakan sebagai tambahan pembuktian atau menguatkan

keyakinan maupun sebagai petunjuk.

Dari semua uraian yang telah dijelaskan diatas, maka dapat ditarik

suatu kesimpulan, bahwa keterangan saksi yang diberikan di persidangan

dengan tanpa mengangkat sumpah tidak dapat diklasifikasikan sebagai alat

bukti yang sah, sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi nilai kekuatan

pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan untuk menguatkan

keyakinan hakim atau dapat bernilai dan dapat dipergunakan sebagai

tambahan alat bukti yang sah lainnya sepanjang keterangan saksi yang

dibacakan mempunyai persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti

yang ada telah memenuhi batas minimum pembuktian, seperti yang termuat

98

dalam Pasal 185 ayat (7) KUHAP : Keterangan dari saksi yang tidak

disumpah meskipun sesuai satu dengan yang lain tidak merupakan alat bukti

namun apabila keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang

disumpah dapat dipergunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain62

.

2) Kekuatan Pembuktian keterangan saksi yang tidak disumpah dalam

perkara tindak pidana pembunuhan anak (Studi Putusan Nomor

:145/Pid.B/2011/Pn.Pbg.)

Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan

yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam

hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan, sehingga bagaimana akibatnya

jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang

didakwakan akan tetapi hal tersebut tidak benar. Untuk inilah hukum acara

pidana berusaha mencari kebenaran materiil.Pembuktian juga merupakan

titik sentral hukum acara pidana.

Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan

pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan

kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan

ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang

yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.

Persidangan pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena-mena

membuktikan kesalahan terdakwa63

.

62 62http://julimansipemshmh.blogspot.com diakses pada tanggal 13 november 2013 63 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

(Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali), Jakarta:

Sinar Grafika, 2008, hal. 273.

99

Putusan Nomor :145/pid.b/2011/pn.Pbg, hakim memeriksa alat bukti

yakni 6 orang saksi dan alat bukti surat berupa Visum et Repertum Nomor

183/VER/RSUD/13/V/2011 Alat bukti tersebut di atas memenuhi rumusan

minimum pembuktian dan memperoleh keyakinan bahwa terdakwa terbukti

bersalah melakukan tindak dengan sengaja melakukan tindak pidana

“pembunuhan anak”, Aturan mengenai pembuktian saksi terdapat dalam

Pasal 185 ayat 1 sampai 7 KUHAP. Keterangan saksi yang dimaksud dalam

Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana (KUHAP) ini adalah saksi sebagai alat bukti yang dihadirkan dalam

sidang pengadilan agar hakim dapat menilai keterangan-keterangan saksi

itu, yang ditinjau dari sudut dapat atau tidak dipercaya, berdasarkan tinjauan

terhadap pribadi, gerak geriknya dan yang lain-lain.

Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah

agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat

dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana.

Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981

tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) bahwa saksi wajib untuk disumpah

atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai

dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang

diucapkan berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-

benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi

memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan

perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau janji ini dapat diucapkan sesudah

100

saksi memberikan keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4)Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri

atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi

ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi

tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai

tambahan alat bukti sah yang lain.

Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan

tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim

akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena

menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah

dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung

jawabkan.

Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan

pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah

maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan

hakim ketua sidang, paling lama penyanderaan adalah empat belas hari

(Pasal 161 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara

Pidana).

Pengertian umum keterangan saksi ada dalam Pasal 1 butir 27

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana

(KUHAP), yang merumuskan sebagai berikut :

"Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

101

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu".

Pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang

merumuskan:

“Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana

yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana

yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri dengan

menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.

Menurut Hibnu Nugroho64

menerangkan bahwa:

“Saksi adalah orang yang memberikan keterangan guna kepentingan

penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana

yang ia dengan sendiri,ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”

Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian atau “the degree of

evidence” keterangan saksi, agar keterangan saksi atau kesaksian

mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa

syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu sebagai

berikut65

;

a) Harus mengucapkan sumpah atau janji;

b) Keterangan saksi yang bernilai sebagi alat bukti.

Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai

dengan apa yang dijelaskan Pasal 1 angka 27 KUHAP:

1. Yang saksi lihat sendiri;

2. Saksi dengan sendiri;

3. Saksi alami sendiri;

4. Serta menyebut alasan dari pengetahuan itu;

5. Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan

64

Hibnu Nugroho, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia, Semarang :

BadanPenerbit Undip, 2010, hal. 34 65 M.Yahya HarapanOp cit,, hal. 265

102

Dengan demikian kesaksian yang didengar dari orang lain atau biasa

disebut dengan "testimonium de auditu" bukan merupakan keterangan saksi.

Begitu pula pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil pemikiran

saja bukan merupakan keterangan saksi (Pasal 185 ayat (5)Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana).

Mengenai keterangan saksi de auditu ini, Mr. S.M. Amin66

dalam

bukunya "Hukum Acara Pengadilan Negeri" telah memberikan penjelasan

sebagai berikut :

"Kesaksian de auditu adalah keterangan tentang kenyataan-kenyataan, dan

hal-hal yang didengar, dilihat atau dialami bukan oleh saksi sendiri akan

tetapi keterangan-keterangan yang disampaikan oleh orang lain kepadanya

mengenai kenyataan-kenyataan dan hal-hal yang didengar, dilihat atau

dialami sendiri oleh orang lain tersebut".

Dari penegasan rumusan Pasal 1 butir 27 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), dihubungkan dengan

Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP), Pidana dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Setiap keterangan saksi di luar dari yang didengarnya sendiri dalam

peristiwa pidana yang terjadi atau di luar dari yang dilihat dan

dialaminya dalam peristiwa pidana yang terjadi, keterangan yang

diberikan di luar pendengaran, penglihatan atau pengalaman sadar

mengenai suatu peristiwa pidana terjadi, tidak dapat dijadikan dan

dinilai sebagai alat bukti. Keterangan semacam ini tidak memiliki

kekuatan nilai pembuktian.

2. Testimonium de auditu keterangan saksi yang diperoleh sebagai hasil

pendengarannya dari orang lain, tidak mempunyai nilai sebagai alat

bukti. Keterangan saksi di sidang pengadilan berupa keterangan ulang

dari yang didengarnva dari orang lain, keterangan saksi seperti ini

tidak dapat dianggap sebagai alat bukti.

3. Pendapat atau rekaan yang saksi peroleh dari pemikiran bukan

merupakan keterangan. Penegasan ini sesuai dengan ketentuan Pasal

66 Leden Marpaung.Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana

Ekonomi.Jakarta :Sinar Grafika. Jakarta. 1994. Hal. 33.

103

185 ayat (5) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Oleh karena

itu setiap keterangan saksi yang bersifat pendapat atau hasil pemikiran

saksi harus dikesampingkan dari pernbuktian dalam membuktikan

kesalahan terdakwa. Keterangan yang bersifat dan berwarna pendapat

dan pemikiran pribadi saksi tidak dapat dinilai sebagai alat bukti67

.

Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain

karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi

terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena

cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa.

Pasal 171 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum

Acara Pidana (KUHAP) ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu:

1. Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah

kawin;

2. Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.

Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum

berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan,

sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu

penyakit jiwa disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat

dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka

mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan

keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai

petunjuk saja.

Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih

dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang

saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa

terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan

kepadanya (unus testis nullus testis).

Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui

kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah

67

M. Yahya Harahap.Op.cit.Hal. 266.

104

cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping

keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum

pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah

dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan

bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) adalah :

1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus

didukung oleh dua orang saksi;

2. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka

kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu

alat bukti yang lain68

.

Darwan Prints69

, mengemukakan beberapa syarat bagi saksi agar

kesaksiannya tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :

1. Syarat formal

Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan

itudiberikan dibawah sumpah;

2. Syarat materiil

Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai

alatpambuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup

untuk alatpembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan dan

keterangan saksi tersebut adalah yang dia lihat, dia dengar serta

dialamainya sendiri.

Keterangan saksi dapat dinilai sebagai alat bukti, keterangan itu harus

dinyatakan disidang pengadilan, hal ini sesuai dengan penjelasan Pasal 185

ayat (1) KUHAP, keterangan saksi yang berisi penjelasan tentang apa yang

didengar sendiri, dilihatnya sendiri atau dialaminya sendiri mengenai suatu

peristiwa pidana, baru dapat bernilai sebagai alat bukti apabila keterangan

itu saksi nyatakan disidang pengadilan.

68

Ibid. Hal.288. 69 Darwan prints, Op cit, hal 108.

105

1. Keterangan seorang saksi saja dianggap tidak cukup.

Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, keterangan

seorang saksi saja belum dapat diambil sebagai alat bukti yang cukup untuk

membuktikan kesalahan terdakwa atau “unnus testis nullus testis. Ini berarti

jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang

saksi tanpa ditambah dengan keterangan saksi yang lain atau alat bukti yang

lain, kesaksian tunggal yang seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti

yang cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa sehubungan dengan

tindak pidana yang didakwakan kepadanya, memperhatikan uraian diatas

dapat ditarik kesimpulan, bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal

185 ayat (2) KUHAP yaitu:

1. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus

didukung oleh dua orang saksi;

2. Atau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian

tunggal harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti

yang lain.

3. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri

Dapat dilihat pada putusan Mahkamah Agung tanggal 17-4-1987, No

28 K/Kr./ 1977 yang menegaskan bahwa keterangan saksi satu saja, sedang

terdakwa memungkiri kejahatan yang dituduhkan kepadanya dan keterangan

saki-saksi lainya tidak memberi petunjuk terhadap kejahatan yang

dituduhkan, belum dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa,

disinilah dituntut kemampuan dari keterampilan penyidik untuk

106

mempersiapkan dan menyediakan saksi-saksi yang secara kualitatif dapat

memberikan keterangan yang saling berhubungan, hal seperti itu ditegaskan

dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP yaitu ;

1. Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri tentang suatu kejadian

atau keadaan dapat digunakan sebagai alat bukti yang sah, dengan

syarat;

2. Apabila keterangan saksi itu ada hubunganya satu dengan yang lain

sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian

atau keadaan tertentu.

Keterangan saksi BRS als RW bin YA WA dalam Putusan Nomor:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan Saksi kenal dengan Terdakwa dan

tidak ada hubungan keluarga, pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar

jam 13.40 WIB Saksi telah mendapat laporan dari Ki bahwa saksi AS dan

Gn telah menemukan mayat seorang bayi perempuan, setelah mendengar

laporan tersebut, Saksi langsung datang ketempat ditemukan mayat bayi

perempuan yaitu diselokan Desa Bumisari Dukuh Kewok Rt.12 Rw.06

Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga, setelah sampai dilokasi

ternyata sudah banyak orang dan benar memang ada mayat bayi perempuan

yang sudah membusuk dan pusarnya sudah bolong tidak ada ususnya, posisi

mayat bayi perempuan tersebut menyangkut disampah dan dalam keadaan

tengkurap selanjutnya Saksi memberitahukan kejadian tersebut ke Polisi,

sepengetahuan Saksi, Terdakwa belum pernah menikah.

107

Keterangan saksi GN als NN bin WM dalam Putusan Nomor:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan, Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi

tidak ada hubungan keluarga pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar

jam 13.40 WIB Saksi bersama dengan saksi AS als AI bin SO telah

menemukan mayat perempuan di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan

Bojongsari Kabupaten Purbalingga, saat itu Saksi bersama dengan saksi

Anggi Setiawan sedang mencari ikan di sungai kecil tersebut dengan

berjalan menyusuri sungai dan mencium bau busuk yang sangat menyengat

dan setelah didekati terlihat seperti katak yang mati, Saksi kemudian

penasaran dan bersama dengan saksi Anggi Setiawan kemudian dengan

menggunakan bambu membalik bangkai tersebut setelah dibalik ternyata

merupakan bayi perempuan yang mukanya sudah berlubang dan pada

bagian perutnya berlubang kemudian Saksi pulang dan dijalan bertemu

dengan Topo dan memberitahukan penemuan tersebut kedalaman sungai

kecil tersebut sekitar 70cm dengan lebar 1 meter dengan kondisi air keruh

dan ketinggian sekitar 30 cm.

Keterangan saksi AS als AI bin SO dalam Putusan Nomor:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan Saksi kenal dengan Terdakwa tetapi

tidak ada hubungan keluarga pada hari Jum‟at tanggal 22 April 2011 sekitar

jam 13.40 WIB Saksi bersama dengan saksi GN telah menemukan mayat

perempuan di sungai kecil di Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari

Kabupaten Purbalingga, saat itu Saksi bersama dengan saksi GN sedang

mencari ikan di sungai kecil tersebut dengan berjalan menyusuri sungai dan

108

mencium bau busuk yang sangat menyengat dan setelah didekati terlihat

seperti katak yang mati, Saksi kemudian penasaran dan bersama dengan

saksi GN kemudian dengan menggunakan bambu membalik bangkai

tersebut setelah dibalik ternyata merupakan bayi perempuan yang mukanya

sudah berlubang dan pada bagian perutnya berlubang, kemudian Saksi

pulang dan dijalan bertemu dengan TO dan memberitahukan penemuan

tersebut, kedalaman sungai kecil tersebut sekitar 70cm dengan lebar 1 meter

dengan kondisi air keruh dan ketinggian sekitar 30 cm.

Keterangan saksi DTI als YTI binti SKD dalam Putusan Nomor:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan saksi kenal dengan Terdakwa tetapi

tidak ada hubungan keluarga, Saksi pernah mendengar ributribut orang di

Desa mengenai kehamilan Terdakwa kemudian Saksi menanyakan hal

tersebut kepada ibunya Terdakwa yaitu SI tentang kebenaran kabar tersebut

dan dijawab oleh ibu Terdakwa bahwa anaknya tidak hamil karena sedang

datang bulan pada hari Kamis tanggal 14 April 2011 sekitar jam 19.00 WIB

ketika Saksi berada dirumah Terdakwa dan melihat Terdakwa dengan perut

yang besar seperti orang hamil, Saksi mengetahui tentang penemuan mayat

bayi di sungai kecil di Dukuh Gewok Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari

Kabupaten Purbalingga dan mendatangi tempat kejadian bersama dengan

warga lainnya serta sempat melihat mayat bayi perempuan yang sudah

membusuk tetapi bentuk mukanya mirip Terdakwa tetapi Saksi tidak berani

menanyakan hal tersebut kepada Terdakwa maupun keluarganya.

109

Keterangan saksi SM als Ny. SKO binti MWI dalam Putusan Nomor:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan saksi kenal dengan Terdakwa tetapi

tidak ada hubungan keluarga, pada hari dan tanggal lupa tetapi bulan April

tahun 2011 telah ditemukan mayat bayi perempuan di sungai kecil di Dukuh

Gewok Desa Bumisari Kecamatan Bojongsari Kabupaten Purbalingga,

Saksi tidak mengetahui siapa orang tua mayat bayi tersebut tetapi ketika

Terdakwa dibawa Polisi orang tua Terdakwa mengatakan ibu dari mayat

bayi tersebut adalah Terdakwa, Saksi pernah melihat Terdakwa dengan

perut yang membesar dan timbul kecurigaan bahwa Terdakwa sedang hamil.

Keterangan saksi SRD bin BWI als BR dalam Putusan Nomor:

145/Pid.B/2011/PN.Pbg. menerangkan Saksi kenal dengan Terdakwa yang

tidak lain juga pacar Saksi, Saksi mengenal dengan Terdakwa pada bulan

Januari 2010, Saksi pernah tiga kali bertemu dengan Terdakwa masing-

masing di Balai Desa Bumisari, di Bojongsari dan di alunalun Purbalingga,

kemudian Saksi dengan Terdakwa pergi ke Baturaden dan melakukan

hubungan layaknya suami isteri, setiap diadakan pertemuan selalu janjian

dengan SMS, Saksi tidak mengetahui Terdakwa sedang hamil akibat dari

perbuatan Saksi dari hubungan layaknya suami isteri sekitar bulan April

2010, setelah berhubungan tersebut, Saksi tidak pernah bertemu dengan

Terdakwa lagi atau putus Komunikasi, menurut Saksi, Terdakwa pernah

berhubungan dengan orang lain.

Keterangan para saksi, salah satu dari ke-enam saksi yang

memberikan keterangan dalam persidangan yaitu saksi Gunawan Als Nawan

110

Bin Watim tidak mempunyai kekuatan pembuktian karena saksi tersebut

memberikan keterangan tanpa mengangkat sumpah , padahal saksi tersebut

dalam keadaan dewasa dan dalam keadaan sehat seperti termuat dalam Pasal

171 KUHAP yakni yang boleh diperiksa untuk memberi keterangan tanpa

mengangkat sumpah dan apabila dihubungkan dengan teori dari Darwan

Prints70

, yang mengemukakan beberapa syarat bagi saksi agar kesaksiannya

tersebut dipakai sebagai alat bukti, diantaranya yaitu :

1. Syarat formal

Bahwa keterangan saksi dapat dianggap sah, apabila keterangan itu

diberikan dibawah sumpah;

2. Syarat materiil

Bahwa keterangan seorang saksi saja tidak dapat dianggap sah sebagai

alat pambuktian, akan tetapi keterangan seorang saksi adalah cukup

untuk alatpembuktian untuk suatu kejahatan yang dituduhkan dan

keterangan saksi tersebut adalah yang dia lihat, dia dengar serta

dialamainya sendiri. dengar serta dialamainya sendiri.

Oleh karena itu, dari teori / doktrin dan juga dari peraturan

perundangan sebagaimana telah diuraikan diatas, maka keterangan saksi

dalam Putusan Nomor: 145/Pid.B/2011/PN.Pbg. Kalau bertitik tolak dari

ketentuan pasal 161 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan Pasal 185 ayat

(7) KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat pada keterangan saksi

yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-kurangnya dapat

dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan dipersidangan tanpa

sumpah. Jadi sifatnya tetap bukan merupakan alat bukti, tetapi nikai

kekuatan pembuktian yang melekat padanya dapat dipergunakan

menguatkan keyakinan hakim saja.

70 Darwan prints, Op cit, hal 108.

111

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan terhadap Putusan

Pengadilan Negeri Purbalingga No.145/Pid.B/2011/PN. Pbg maka penulis

dapat mengambil suatu kesimpulan sebagai berikut :

1) Keterangan saksi GN als NN bin WM yang tidak disumpah pada kasus

tindak pidana pembunuhan anak di atas tidak dapat diklasifikasikan

sebagai alat bukti yang sah karena:

112

a. Menurut Pasal 185 ayat (7) KUHAP, bahwa keterangan saksi yang

diberikan di persidangan dengan tanpa mengangkat sumpah seperti

yang diberikan saksi GN als NN bin WM tidak dapat diklasifikasikan

sebagai alat bukti yang sah,

b. Keterangan tersebut sifatnya bukan merupakan alat bukti, tetapi dapat

bernilai dan bisa dipergunakan sebagai tambahan alat bukti yang sah

lainnya sepanjang keterangan saksi yang dibacakan mempunyai

persesuaian dengan alat bukti yang sah dan alat bukti yang ada telah

memenuhi batas minimum pembuktian.

2) Kekuatan Pembuktian Keterangan saksi GN als NN bin WM yang tidak

disumpah menurut Pasal 161 ayat (2) KUHAP dihubungkan dengan

Pasal 185 ayat (7) KUHAP, nilai kekuatan pembuktian yang melekat

pada keterangan saksi yang dibacakan di sidang pengadilan, sekurang-

kurangnya dapat dipersamakan dengan keterangan saksi yang diberikan

dipersidangan tanpa sumpah. Jadi sifatnya tetap bukan merupakan alat

bukti, tetapi nikai kekuatan pembuktian yang melekat padanya dapat

dipergunakan menguatkan keyakinan hakim saja.

B. Saran

Hakim haruslah lebih hati-hati, cermat dan teliti dalam menilai suatu

alat bukti saksi serta menyesuaikannya dengan alat bukti yang sah lainnya,

karena sedikit banyak alat bukti saksi tersebut tetap akan berpengaruh

terhadapnya, dengan catatan minimal 2 alat bukti yang sah untuk

mendukungnya.

113

DAFTAR PUSTAKA

A. Literatur :

Farid, Zainal Abidin. 2007, Hukum Pidana 1, Jakarta: Sinar Grafika

Hamzah, Andi. 2001 ,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.

____________. 2008,Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika.

Harahap, M.Yahya. 2002, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP

edisi kedua., Jakarta: Sinar Grafika.

_____________2008. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.

Jakarta: Sinar Grafika.

____________.2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,

Jakarta: Sinar Grafika..

114

Hartanti, Evi. 2007, Tindak Pidana Korupsi (Edisi Kedua), Jakarta: Sinar

Grafika..

Ibrahim, Jhonny. 2006, Teori dan Metodologi dan Penelitian Hukum Normatif.

Banyumedia Publishing. Cetakan Kedua.

Kansil C.S.T., dan Christine S.T. Kansil,. 2007,,Latian Ujian Hukum

Pidana,Jakarta: Sinar Grafika

Lamintang Theo, dan P.A.F. Lamintang. 2010, Pembahasan KUHAP (

Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi), Jakarta :

Sinar Grafika.

Mardani, 2005, Penyalahgunaan Narkoba dalam Perspektif Hukum Islam dan

Hukum Pidana Nasional. Jakarta: PT Raja Grafindo

Mahmud Marzuki, Peter. 2005, Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana

Marpaung, Leden. 2009, Proses penanganan perkara pidana (penyelidikan

dan penyidikan), Bagian pertama, Edisi kedua, Cetakan kedua, Jakarta:

Sinar Grafika.

M. Taufik Makaro dan Suharsil, 2004, Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan

Praktek. Jakarta: Ghalia Indonesia

Moeljatno, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta

Nugroho, Hibnu. 2010, Bunga Rampai Penegakan Hukum di Indonesia,

Semarang :Badan Penerbit Undip.

Prinst, Darwan. 1989, Hukum Acara Pidana dalam Praktik.Jakarta:

Djambatan.

Prodjohamidjojo, Martiman. 1993, Sistem Pembuktian dan Alat-Alat Bukti, ,

Jakarta: Ghalia Indonesia

Projodikoro, Wirjono. 1967, Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta:

Sumur Bandung

Purnomo, Bambang. 1985, Pokok-Pokok Tata Acara Peradilan Pidana

Indonesia Dalam UU No.8 Tahun 1981. Yogyakarta:

Liberty

Sasangka, Hary & Rosita Lyli.2003. Hukum Pembuktian Dalam Perkara

Pidana. Bandung : Mandar Maju.

115

Soeparmono, R. 2011, Keterangan Ahli dan Visum et Repertum dalam Aspek

Hukum Acara Pidana. Bandung: Mandar Maju.

B. Peraturan Perundang-Undangan :

Indonesia Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Tentang Hukum Pidana.

_______,Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.

_______,Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara

Pidana.

_______,Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

_______,Undang - Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Ketentuan Pokok

Kekuasaan Kehakiman.

C. Sumber Lain

Putusan Pengadilan Negeri Purbalingga No. 145/Pid.B/2011/PN.Pbg

http://gudangmakalah.blogspot.com/2009/08/skripsi.(diakses pada tanggal 25

Mei 2013 pada pukul 22.15 WIB.)

http://pelangi biru.net2011/02/anak. Pengertian- anak..html. Diakses pada

tanggal 25 Juli 2013 pada pukul 22.15 WIB.)

http://id.wikipedia.org/wiki/Saksi, diakses pada tanggal 26 Juli 2013 pada

pukul 15. 28 WIB

http://julimansipemshmh.blogspot.com