skripsi mie jagung.pdf

download skripsi mie jagung.pdf

of 110

Transcript of skripsi mie jagung.pdf

  • SKRIPSI

    PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING

    DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG

    Oleh :

    ANGELIA MERDIYANTI

    F24103133

    2008

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • Angelia Merdiyanti. F24103133. Paket Teknologi Pembuatan Mi Kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung. Di bawah bimbingan: Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc dan Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr.

    RINGKASAN

    Mi kering berbahan baku pati dan tepung jagung merupakan produk baru

    yang dikembangkan dalam rangka diversifikasi pangan. Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan beberapa formulasi dan desain proses produksi mi jagung yang optimum, baik mi basah maupun mi instan. Namun demikian, hasil penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Teknologi yang telah dihasilkan selanjutnya perlu di-scale up (penggandaan skala proses) untuk dapat diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil. Oleh karena itu, tahapan penggandaan skala proses produksi dari skala laboratorium ke skala pilot plant perlu dilakukan dengan penyesuaian formulasi dan proses produksi pada skala yang lebih besar.

    Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan, yaitu tahap penepungan jagung, karakterisasi tepung dan pati jagung, verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering pada skala laboratorium, serta penggandaan skala produksi mi jagung kering. Proses penepungan jagung dilakukan dengan dua teknik penggilingan, yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Proses penggilingan kering terdiri dari tahap penggilingan jagung menggunakan multi mill, perendaman dan pencucian selama + 2 jam, pengeringan dengan oven hingga kadar air 17%, penggilingan grits jagung dengan disc mill, dan pengayakan dengan saringan berukuran 100 mesh. Sedangkan proses penggilingan basah terdiri dari tahap pencucian, perendaman (6, 9, dan 12 jam), penggilingan jagung dengan penggiling batu, penyaringan dengan vibrating screen, pengendapan sampai terbentuk lapisan endapan pati jagung dan lapisan air yang jernih, pemisahan endapan pati dari lapisan air, pengeringan dengan oven hingga kadar air 10%, dan penepungan dengan disc mill.

    Hasil penggilingan kering memberikan rendemen tepung sebesar 24,80% dari bobot awal 25 kg. Sedangkan penepungan basah dengan waktu perendaman selama 6, 9, dan 12 jam menghasilkan rendemen tepung jagung berturut-turut 22,21%; 24,38%; dan 32,47%. Karakteristik tepung jagung hasil penggilingan kering terhadap kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan amilosa berturut-turut 7,94%; 0,68%; 8,73%; 2,99%; 79,66%; dan 20,22% dan mempunyai nilai wana L, a dan b berturut-turut 63,01; +3,10; dan +12,53. Karakteristik tepung jagung terbaik hasil penggilingan basah dengan waktu perendaman 12 jam terhadap kadar air, abu, protein, lemak, karbohidrat, dan amilosa berturut-turut 5,48%; 0,79%; 8,78%, 6,33%; 78,62%; 20,26%. Pengukuran warna terhadap nilai L, a, dan b dari waktu perendaman 12 jam berturut-turut 63,89; +3,69; +7,08.

    Langkah selanjutnya adalah verifikasi formulasi dan proses produksi mi jagung kering pada skala laboratorium dengan melakukan modifikasi terhadap formulasi menggunakan 30% pati jagung (dari berat tepung). Substitusi ini menghasilkan lembaran mi yang tidak mudah sobek, tidak cepat menjadi keras/kaku, dan halus permukaannya. Selain itu, untaian mi yang tercetak pun berukuran panjang atau kontinyu dan tidak mudah patah. Tahap verifikasi ini juga

  • dilakukan untuk menentukan parameter-paramater pada tiap bagian proses yang dianggap kritis untuk memperbaiki proses pada skala besar. Parameter proses tersebut diantaranya jenis pengaduk pada mixer dan lama pengadukan saat pencampuran adonan, suhu dan lama waktu pengukusan, suhu dan lama waktu pembentukan lembaran mi, serta suhu dan waktu pengeringan optimum pada oven.

    Tahap penggandaan skala produksi mi jagung kering dilakukan dengan mencoba proses produksi menggunakan jumlah bahan baku yang lebih besar serta automatisasi proses untuk menggantikan tahapan proses yang masih dilakukan secara manual. Proses produksi mi jagung kering terdiri dari tahap pencampuran bahan menggunakan varimixer dengan pengaduk jenis jari-jari (whisk) dan waktu pengadukan adonan selama 15-25 menit dengan suhu adonan sekitar 25-40oC. Proses pengukusan adonan dan pengulian dilakukan menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC dengan waktu pengukusan selama 15 menit. Proses pembentukan lembaran mi (sheeting) dilakukan dengan melewatkan adonan di antara dua roller sheeting (5-10 kali) sampai ketebalan 1,5-2,0 mm, pencetakan untaian mi (slitting) menggunakan slitter, dan pemotongan (cutting) menggunakan lempengan pemotong. Pengukusan mi mentah dilakukan selama 10 menit dengan menggunakan uap panas bersuhu 90-100oC dan dilanjutkan dengan pengeringan menggunakan oven bersuhu 55-600C selama 1-1,5 jam.

    Bahan baku yang digunakan untuk membuat mi jagung kering antara lain tepung jagung dari hasil penggilingan kering dan basah (perendaman 12 jam), pati jagung, air, garam, baking powder, dan guar gum/CMC. Penambahan CMC terbukti lebih baik dalam mengurangi cooking loss mi, meningkatkan daya serap air saat proses rehidrasi mi, serta menurunkan kekerasan dan kelengketan mi dibandingkan dengan mi jagung yang ditambahkan guar gum. Namun, penambahan CMC masih kurang mampu meningkatkan elastisitas mi. Nilai cooking loss, daya serap air, kekerasan, dan kelengketan mi jagung yang ditambahkan CMC berturut-turut 17,82%; 285,71%; 1153,65 gf; dan -295,95 gf. Sedangkan Nilai cooking loss, daya serap air, kekerasan, dan kelengketan mi jagung yang ditambahkan guar gum berturut-turut 20,72%; 202,42%; 1469,20 gf; dan -469,75 gf. Berdasarkan hasil tersebut, penggunaan CMC lebih direkomendasikan untuk produksi mi jagung kering.

    Penggunaan tepung jagung hasil pengilingan kering juga lebih direkomendasikan karena menghasilkan produk akhir mi jagung kering yang secara kualitas lebih baik daripada tepung jagung hasil penggilingan basah. Mi kering dari tepung jagung penggilingan kering memiliki warna kekuningan. Lain halnya dengan mi kering dari tepung jagung penggilingan basah yang memiliki warna kecoklatan. Di samping itu, mi dari tepung jagung penggilingan basah mempunyai aroma dan rasa yang kurang sedap atau sedikit tengik setelah pemasakan serta memiliki tekstur yang lebih rapuh sehingga mudah sekali patah/hancur ketika dimasak. Hasil uji proksimat juga menunjukkan kadar lemak mi dari tepung jagung penggilingan basah lebih tinggi daripada mi dari tepung jagung penggilingan kering. Kadar air, abu, protein, lemak, dan karbohidrat dari mi jagung dengan tepung hasil penggilingan basah berturut-turut 4,66%; 1,27%; 6,13%; 1,83%; 86,11% dan berturut-turut 7,80%; 1,50%; 6,34%; 0,19%; 84,17% untuk mi jagung dari tepung hasil penggilingan kering.

  • PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING

    DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh :

    ANGELIA MERDIYANTI

    F24103133

    2008

    DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    BOGOR

  • INSTITUT PERTANIAN BOGOR

    FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

    PAKET TEKNOLOGI PEMBUATAN MI KERING

    DENGAN MEMANFAATKAN BAHAN BAKU TEPUNG JAGUNG

    SKRIPSI

    Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

    Pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

    Fakultas Teknologi Pertanian

    Institut Pertanian Bogor

    Oleh :

    ANGELIA MERDIYANTI

    F24103133

    Dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1984

    Di Jakarta

    Tanggal lulus: ...............................

    Menyetujui,

    Bogor, Februari 2008

    Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

    Mengetahui,

    Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Ketua Departemen

  • RIWAYAT HIDUP

    Penulis bernama lengkap Angelia Merdiyanti

    yang dilahirkan pada tanggal 6 Agustus 1984 di Jakarta

    dan merupakan putri pertama dari pasangan Sriyanto dan

    Primertiningsih. Penulis menempuh pendidikan dasar di

    SDN 06 Srengseng Sawah Jakarta Selatan (1990-1996),

    pendidikan menengah pertama di SLTPN 211 Jakarta

    Selatan (1996-1999), dan pendidikan lanjutan di SMUN

    28 Jakarta Selatan (1999-2002).

    Penulis diterima di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Institut

    Pertanian Bogor pada tahun 2003 melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan

    Mahasiswa Baru). Selama menempuh pendidikan di IPB, penulis pernah aktif

    dalam beberapa kegiatan non akademik diantaranya Suksesi HIMITEPA 2004,

    Open House IPB 2004, Masa Perkenalan Kampus dan Masa Perkenalan Fakultas

    2004, Lepas Landas Sarjana 2005, BAUR 2005, dan Dies Natalis Ke-42 IPB.

    Penulis melakukan penelitian yang berjudul Paket Teknologi Pembuatan Mi

    kering Dengan Memanfaatkan Bahan Baku Tepung Jagung sebagai tugas akhir.

  • KATA PENGANTAR

    Penulis menghaturkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena berkat

    rahmat, karunia, serta hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penelitian yang

    berjudul Paket Teknologi Pembuatan Mi kering Dengan Memanfaatkan Bahan

    Baku Tepung Jagung. Salawat dan Salam semoga selalu tercurahkan kepada

    Nabi Besar Muhammad SAW.

    Pada kesempatan ini, penulis hendak mengucapkan terima kasih kepada

    pihak-pihak yang telah membantu, mendukung, serta membimbing penulis baik

    secara langsung maupun tidak langsung hingga skripsi ini selesai ditulis, terutama

    kepada:

    1. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. selaku Dosen Pembimbing I yang selalu sabar

    dan bijaksana dalam membimbing dan mendukung penulis.

    2. Dr. Ir. Slamet Budijanto, MAgr. selaku Dosen Pembimbing II atas segala

    masukan dan bimbingannya kepada penulis.

    3. Dr. Ir. Feri Kusnandar MSc atas bimbingan, dukungan, dan segala

    masukan yang diberikan kepada penulis.

    4. Seluruh dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah

    memberikan ilmu dan mendukung kemajuan penulis.

    5. Bapak, Ibu, Wenny, Sandy, dan anggota keluarga lainnya atas doa, kasih

    sayang, nasehat, dorongan, dan motivasi yang diberikan kepada penulis.

    6. Gilang selaku Partner penelitian atas bantuan ilmu, tenaga, dan waktu.

    7. Rekan-rekan sebimbingan: Anggita, Fauzan, dan Sigit atas dukungan,

    bantuan, dan perhatiannya kepada penulis.

    8. Kak Bobby dan kak Rohana ITP 39 yang telah membantu penulis di awal-

    awal penelitian.

    9. Anak-anak Windy: Eka, Prima, Mardi, Lita, Anis, Eneng, dan yang

    lainnya atas persahabatan, dukungan, dan kemurahan hati kalian selama

    ini.

    10. Anak-anak Ex-DR: Lasty, Maya, Gading, Mae, dan Isti. Kalian membuat

    harihariku penuh dengan keceriaan dan canda tawa.

  • 11. Teh Euis, Noor, Intan, Mona, Asih atas kebersamaan, dukungan, dan

    nasehat-nasehatnya yang sangat berharga bagi penulis.

    12. Adis, Rucit, Susan, Sarwo, dan sahabat-sahabatku di golongan D atas

    kebersamaan dan keceriaan yang telah kita lalui bersama-sama.

    13. Fitri, Lina, Dhani, Hay-Hay, Her-Her, Mita, dan sahabat-sahabat TPG 40

    lainnya atas dukungan, kebersamaan, dan persahabatan yang penuh warna.

    14. Pak Junaedi, Pak Deni, Pak Wahid, Pak Rozak, Teh Ida, Bu Antin, Bu

    Rubiyah, Pak Sobirin, Pak Yahya, Mas Edi, Pak Gatot, Pak Iyas, Pak Nur,

    Mbak Ari, dan semua laboran di laboratorium ITP lainnya atas bantuan

    dan kerjasamanya.

    15. Seluruh pustakawan dan pustakawati di PAU, PITP, dan LSI yang telah

    membantu penulis dalam mencari literatur.

    16. Katja dan Lizzy atas bantuan, diskusi-diskusi, dan kebersamaan kita yang

    singkat tapi terasa menyenangkan.

    Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penyusunan skripsi

    ini. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang

    membangun untuk perbaikan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi

    pihak-pihak yang membutuhkan.

    Bogor, Februari 2008

    Penulis

  • DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR....................................................................................... i

    DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

    DAFTAR TABEL ............................................................................................. vi

    DAFTAR GAMBAR......................................................................................... viii

    DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................... ix

    I. PENDAHULUAN...................................................................................... 1

    A. Latar Belakang .................................................................................... 1

    B. Tujuan dan Luaran Penelitian.............................................................. 3

    C. Manfaat ............................................................................................... 3

    II. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 4

    A. Jagung ................................................................................................. 4

    Jenis Jagung ........................................................................................ 4

    Morfologi dan Anatomi Biji Jagung ................................................... 5

    Komposisi Kimia Biji Jagung ............................................................. 7

    Quality Protein Maize (QPM)............................................................. 9

    B. Proses Penepungan Jagung ................................................................ 10

    C. Pati Jagung .......................................................................................... 12

    D. Gelatinisasi.......................................................................................... 14

    Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi .................................................. 14

    Suhu Gelatinisasi................................................................................. 16

    E. Mi ........................................................................................................ 17

    Mi Kering............................................................................................ 17

    Mi Jagung............................................................................................ 18

    F. Proses Penggandaan Skala .................................................................. 20

    III. METODOLOGI PENELITIAN .............................................................. 22

    A. Bahan dan Alat.................................................................................... 22

    B. Metode Penelitian ............................................................................... 22

    1. Kajian Pembuatan Tepung Jagung................................................ 22

    2. Karakterisasi Tepung Jagung ........................................................ 24

    3. Verifikasi Formulasi dan Proses Produksi Mi Jagung Kering...... 24

  • 4. Penggandaan Skala Produksi Mi Jagung Kering .......................... 26

    C. Metode Analisis Produk...................................................................... 27

    Analisis Sifat Fisik .............................................................................. 27

    1. Analisis Warna ............................................................................. 27

    2. Analisis Tekstur ............................................................................ 27

    3. Pengukuran Kehilangan Padatan Akibat Pemasakan.................... 28

    4. Pengukuran Daya Serap Air.......................................................... 28

    5. Rendemen...................................................................................... 29

    Analisis Sifat Kimia ............................................................................ 29

    1. Analisis Kadar Amilosa ................................................................ 29

    2. Analisis Kadar Air ........................................................................ 30

    3. Analisis Kadar Abu....................................................................... 30

    4. Analisis Kadar Lemak................................................................... 31

    5. Analisis Kadar Protein .................................................................. 31

    6. Analisis Kadar Karbohidrat .......................................................... 32

    IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 33

    A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung...................................................... 33

    B. Karakterisasi Tepung Jagung .............................................................. 38

    1. Komposisi Kimia Tepung Jagung................................................. 38

    2. Warna Tepung Jagung .................................................................. 40

    C. Verifikasi Formulasi dan Proses Produksi Mi Jagung Kering............ 42

    1. Modifikasi Pembuatan Mi Jagung Kering .................................... 43

    2. Identifikasi Tahapan Kritis Dalam Pembuatan Mi Jagung

    Kering............................................................................................ 47

    D. Penggandaan Skala Produksi Mi Jagung Kering ................................ 48

    1. Pencampuran ................................................................................. 49

    2. Pengukusan Pertama ..................................................................... 51

    3. Pembentukan Lembaran, Pencetakan, dan Pemotongan............... 54

    4. Pengukusan Kedua........................................................................ 58

    5. Pengeringan................................................................................... 59

    E. Analisis Sifat Kimia dan Fisik Mi Jagung Kering .............................. 61

    1. Cooking Loss (KPAP) dan Daya Serap Air .................................. 65

  • 2. Kekerasan dan Kelengketan.......................................................... 66

    V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 71

    A. Kesimpulan ......................................................................................... 71

    B. Saran.................................................................................................... 72

    DAFTAR PUSTAKA........................................................................................ 74

    LAMPIRAN....................................................................................................... 78

  • DAFTAR TABEL

    Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung ..................................................... 7

    Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung............................................................... 7

    Tabel 3. Distribusi protein di dalam endosperma jagung ................................. 8

    Tabel 4. Jumlah mineral pada biji jagung ......................................................... 9

    Tabel 5. Karakteristik granula pati.................................................................... 14

    Tabel 6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati .................................................. 16

    Tabel 7. Syarat mutu mie kering menurut SNI 01-2974-1996......................... 17

    Tabel 8. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile

    Analysis).............................................................................................. 27

    Tabel 9. Rendemen tepung jagung hasil penggilingan teknik kering dan

    basah.................................................................................................... 35

    Tabel 10. Rekapitulasi tahapan proses penepungan dengan teknik

    penggilingan kering dan basah............................................................ 36

    Tabel 11. Komposisi kimia pati jagung dibandingkan dengan tepung jagung

    varietas Srikandi.................................................................................. 39

    Tabel 12. Hasil pengukuran warna pada pati dan tepung jagung ....................... 40

    Tabel 13. Kriteria pengukuran proses pembuatan mi secara visual.................... 45

    Tabel 14. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan pati jagung..... 45

    Tabel 15. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan tepung

    terigu ................................................................................................... 46

    Tabel 16. Sifat adonan hasil pengukusan I dengan penambahan isolat protein

    kedelai ................................................................................................. 46

    Tabel 17. Formulasi mi jagung kering terpilih.................................................... 48

    Tabel 18. Perlakuan terhadap jenis pengaduk..................................................... 51

    Tabel 19. Penentuan waktu optimum pada pengukusan pertama ....................... 53

    Tabel 20. Penentuan waktu rehidrasi yang optimum.......................................... 59

    Tabel 21. Karakteristik kimia mi kering dari tepung jagung hasil penggilingan

    kering dan basah.................................................................................. 62

    Tabel 22. Hasil pengukuran warna pada mi jagung kering setelah direhidrasi .. 63

  • Tabel 23. Perbedaan mi kering dari tepung jagung penggilingan kering dan

    penggilingan basah.............................................................................. 64

    Tabel 24. Rekapitulasi tahapan proses pembuatan mi jagung kering ................. 70

  • DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya...................... 4

    Gambar 2. Struktur biji jagung ......................................................................... 6

    Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati ............................................................ 15

    Gambar 4. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan kering ................. 22

    Gambar 5. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan basah................... 23

    Gambar 6. Diagram alir pembuatan mi jagung kering...................................... 25

    Gambar 7. Aliran proses kegiatan penggandaan skala produksi mi jagung ..... 26

    Gambar 8. Kurva Profil Tekstur Mi.................................................................. 28

    Gambar 9. Beberapa macam tepung jagung ..................................................... 41

    Gambar 10. Jenis pengaduk pada varimixer ....................................................... 50

    Gambar 11. Proses pembentukan lembaran mi................................................... 55

    Gambar 12. Slitter untuk mencetak untaian mi................................................... 56

    Gambar 13. Proses pencetakan untaian mi ......................................................... 56

    Gambar 14. Mi jagung kering ............................................................................. 62

    Gambar 15. Mi jagung kering setelah rehidrasi .................................................. 63

    Gambar 16. Pengaruh penambahan CMC dan guar gum terhadap KPAP dan

    DSA mi jagung kering .................................................................... 66

    Gambar 17. Pengaruh penambahan CMC dan guar gum terhadap kekerasan

    dan kelengketan mi jagung kering .................................................. 67

    Gambar 18. Diagram alir pembuatan mi jagung kering pada skala produksi

    1 kg.................................................................................................. 69

  • DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1. Hasil-hasil penelitian mi jagung................................................ 78

    Lampiran 2. Peralatan produksi mi jagung kering ........................................ 83

    Lampiran 3. Diagram alir kesetimbangan massa proses penepungan

    teknik kering ............................................................................. 88

    Lampiran 4. Diagram alir kesetimbangan massa proses penepungan

    teknik basah............................................................................... 89

    Lampiran 5. Data analisis proksimat tepung jagung hasil penggilingan

    kering ........................................................................................ 90

    Lampiran 6. Data analisis proksimat tepung jagung hasil penggilingan

    basah.......................................................................................... 91

    Lampiran 7. Data analisis proksimat mi jagung kering................................. 93

    Lampiran 8. Hasil pengukuran karakteristik fisik mi jagung kering ............. 94

    Lampiran 9. Diagram alir kesetimbangan massa pembuatan mi jagung

    kering ........................................................................................ 95

  • I. PENDAHULUAN

    A. Latar Belakang

    Produk mi baik berupa mi basah, mi kering, maupun mi instan kini

    sudah menjadi bahan makanan utama kedua setelah beras bagi masyarakat

    Indonesia. Berdasarkan hasil kajian preferensi konsumen, mi merupakan

    produk pangan yang paling sering dikonsumsi oleh sebagian besar masyarakat

    baik sebagai makanan sarapan maupun sebagai selingan (Juniawati, 2003). Mi

    biasanya terbuat dari tepung terigu yang bahan bakunya, yaitu gandum masih

    harus diimpor dari luar negeri. Oleh karena itu, pencarian berbagai bahan

    pangan lain sebagai pengganti tepung terigu terus dilakukan. Salah satu

    alternatif substitusi tepung terigu terutama dalam pembuatan mi adalah dengan

    pemanfaatan jagung. Jagung merupakan salah satu komoditas yang memiliki

    kandungan nilai gizi yang cukup memadai dan di beberapa daerah di Indonesia

    sudah digunakan sebagai makanan pokok.

    Pemilihan jagung sebagai bahan baku alternatif dalam pembuatan mi

    sejalan dengan program pemerintah dalam upaya diversifikasi pangan.

    Menurut data Badan Pusat Statistik, produksi jagung secara nasional

    mengalami peningkatan setiap tahunnya. Pada tahun 2006, produksi jagung

    nasional mencapai 11,6 juta ton. Sementara itu, produksi jagung secara

    nasional untuk tahun 2007 diperkirakan mencapai 13,3 juta ton (Badan Pusat

    Statistik, 2007). Upaya peningkatan kapasitas produksi jagung dan

    peningkatan nilai tambah jagung yang tidak hanya terbatas pada

    penggunaannya sebagai makanan pokok saja juga perlu dilakukan. Salah satu

    rencananya adalah pengembangan industri berbasis jagung dengan

    meningkatkan nilai tambah jagung sebagai bahan baku pembuatan mi.

    Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dari tepung atau pati jagung

    dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Beberapa penelitian mengenai

    pembuatan mi dari bahan dasar jagung, baik berupa mi basah atau mi instan

    pun telah dilakukan. Menurut Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung

    instan terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan pertama, pengulian,

    pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan untaian mi (slitting),

  • pengukusan kedua, dan pengeringan. Sedangkan proses pembuatan mi jagung

    basah terdiri dari tahap pencampuran bahan, pengukusan, sheeting, slitting,

    perebusan, perendaman dalam air dingin, dan pelumuran dengan minyak

    (Rianto, 2006). Proses pembuatan mi jagung berbeda dengan pembuatan mi

    terigu karena setelah pencampuran bahan perlu dilakukan pengukusan untuk

    membentuk massa adonan yang kohesif dan cukup elastis sehingga dapat

    dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini dikarenakan jagung tidak memiliki

    protein gluten yang dapat bereaksi dengan air untuk membentuk massa adonan

    yang elastis dan kohesif seperti halnya gandum.

    Menurut Juniawati (2003), mi jagung memiliki beberapa keunggulan

    dibandingkan produk pangan lainnya. Mi jagung instan mengandung nilai gizi

    yang baik yaitu sekitar 360 kalori atau lebih tinggi dibandingkan dengan nilai

    gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori), dan ubi jalar (123 kalori).

    Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila dibandingkan dengan mi terigu

    instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang terdapat pada mi jagung instan

    menunjukkan bahwa produk tersebut dapat dijadikan sebagai bahan pangan

    alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan lemak mi jagung instan juga jauh

    lebih rendah dibandingkan dengan kandungan lemak pada mi terigu instan.

    Hal ini dikarenakan tidak adanya proses penggorengan pada mi jagung instan,

    melainkan hanya proses pengeringan menggunakan oven saja. Selain itu, mi

    jagung instan juga tidak menggunakan pewarna tambahan seperti halnya mi

    terigu instan. Warna kuning pada mi jagung merupakan warna alami yang

    disebabkan oleh pigmen kuning pada jagung, yaitu lutein, zeaxanthin, dan -

    karoten.

    Beberapa penelitian sebelumnya telah menghasilkan formulasi dan

    desain proses produksi mi jagung yang optimum. Juniawati (2003) telah

    membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah (2004)

    telah melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati

    jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan

    verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode

    Budiyah dengan menambahkan protein gluten dan guar gum untuk

    memperbaiki elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) telah merancang

  • proses dan formulasi mi jagung basah berbahan dasar tepung jagung varietas

    srikandi kuning yang diperoleh dengan teknik penggilingan basah. Rianto

    (2006) telah mengoptimasi proses pembuatan mi jagung basah dari bahan

    dasar tepung jagung hasil penelitian Juniawati. Serta Kurniawati (2006) yang

    juga telah mengoptimasi desain proses dan formulasi pembuatan mi jagung

    basah berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM) hasil

    penelitian Budiyah. Namun demikian, hasil-hasil penelitian tersebut masih

    terbatas pada skala laboratorium dan teknologi yang dihasilkan perlu di-scale

    up (penggandaan skala proses) untuk dapat diaplikasikan ke skala komersial,

    yaitu skala industri kecil. Oleh karena itu, tahapan penggandaan skala proses

    produksi dari skala laboratorium ke skala pilot plant perlu dilakukan dengan

    penyesuaian formulasi dan proses produksi pada skala yang lebih besar.

    B. Tujuan Dan Luaran Penelitian

    Penelitian ini bertujuan merumuskan paket teknologi pembuatan mi

    kering dengan memanfaatkan bahan baku tepung jagung pada skala produksi 1

    kilogram. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka luaran yang dihasilkan

    mencakup:

    Spesifikasi pati dan tepung jagung sebagai bahan baku utama pembuatan

    mi jagung kering.

    Spesifikasi proses (aliran dan kondisi) untuk pembuatan mi jagung kering.

    Spesifikasi alat yang dibutuhkan untuk pembuatan mi jagung kering.

    C. Manfaat

    Manfaat dari penelitian ini yaitu menghasilkan desain proses produksi

    dan formulasi mi jagung kering yang sesuai untuk diaplikasikan ke skala

    komersial, yaitu skala industri kecil.

  • II. TINJAUAN PUSTAKA

    A. Jagung

    Jenis Jagung

    Tanaman jagung (Zea mays L.) merupakan salah satu tanaman biji

    bijian dari keluarga rumputrumputan (Graminae). Jagung diklasifikasikan ke

    dalam divisi Angiospermae, kelas Monocotyledoneae, Ordo Poales, Famili

    Poaceae, dan Genus Zea. Menurut sejarahnya, tanaman jagung berasal dari

    Amerika dan merupakan tanaman sereal yang paling penting di benua tersebut

    (Anonima, 2007). Berdasarkan bentuk bijinya (kernel), ada 6 tipe utama

    jagung, yaitu dent, flint, flour, sweet, pop, dan pod corns (Darrah et al., 2003).

    Gambar 1. Beberapa tipe jagung berdasarkan bentuk kernelnya (kiri ke kanan: flint, dent, dan yellow flour (Anonimb, 2005).

    Jagung jenis dent dicirikan dengan adanya corneous, horny endosperm

    pada bagian sisi dan belakang kernel, serta pada bagian tengah inti jagung

    menjulur hingga mahkota endospermanya lunak dan bertepung. Jagung jenis

    flint memiliki bentuk yang tebal, keras, dengan lapisan horny endosperm

    disekeliling granula tengah, kecil, dan halus. Jagung jenis flour merupakan

    salah satu jagung yang sangat tua dimana hampir seluruh endospermanya

    berisi pati yang lunak dan mudah dibuat tepung (Darrah et al., 2003). Jagung

    jenis sweet diyakini sebagai jenis jagung mutasi yang mengandung sedikit pati

  • dengan endosperma berwarna bening. Jagung ini biasanya dikonsumsi sebagai

    campuran sayuran. Jagung jenis pop memiliki kernel kecil dan keras seperti

    jenis flint dengan kandungan pati yang lebih sedikit. Sedangkan jagung jenis

    pod merupakan jagung hias dengan kernel tertutup dan pada umumnya jagung

    jenis ini tidak ditanam secara komersial (Johnson, 1991).

    Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), jagung yang banyak ditanam

    di Indonesia adalah tipe mutiara (flint) dan setengah mutiara (semiflint),

    seperti jagung Arjuna (mutiara), jagung Harapan (setengah mutiara), Pioneer-

    2 (setengah mutiara), Hibrida C-1 (setengah mutiara), dan lain-lain. Selain

    jagung tipe mutiara dan setengah mutiara, jagung tipe berondong (pop corn),

    jagung gigi kuda (dent corn), dan jagung manis (sweet corn) juga terdapat di

    Indonesia.

    Morfologi dan Anatomi Biji Jagung

    Biji jagung merupakan biji serealia yang paling besar dengan berat

    masingmasing 250300 mg. Biji jagung berbentuk bulat dan melekat pada

    tongkol jagung. Susunan biji jagung pada tongkolnya berbentuk spiral. Biji

    jagung selalu terdapat berpasangan, sehingga jumlah baris atau deret biji

    selalu genap. Warna biji jagung bervariasi dari putih, kuning, merah, ungu,

    sampai hitam (Effendi dan Sulistiati, 1991).

    Biji jagung dapat dibagi menjadi empat bagian, yaitu kulit (pericarp),

    endosperma, lembaga (germ), dan tudung pangkal (tip cap). Menurut Watson

    (2003), pericarp merupakan lapisan pembungkus biji jagung yang tersusun

    dari jaringan yang tebal. Ketebalan pericarp bervariasi dari 62-160 m

    tergantung genotipnya. Pericarp terdiri dari beberapa bagian, yaitu epidermis

    (lapisan paling luar), mesokarp (lapisan paling tebal), cross cells, tube cells,

    dan tegmen (seed coat).

    Endosperma merupakan bagian terbesar dari biji jagung, yaitu 82-84%

    dari berat biji. Endosperma juga mengandung sekitar 86-89% pati sebagai

    cadangan energi. Lapisan terluar dari endosperma adalah aleuron yang

    menyelubungi bagian starchy endosperm dan lembaga. Pada biji jagung jenis

    dent dan flint terdapat 1-3 lapis sel di bawah aleuron yang disebut subaleuron

  • atau peripheral endosperm. Lapisan ini mengandung sangat sedikit granula

    pati yang dikelilingi oleh matriks protein yang sangat tebal. Bagian starchy

    endosperm terdiri dari endosperma keras (horny endosperm) dan endosperma

    lunak (floury endosperm). Bagian endosperma keras mengandung matriks

    protein yang lebih tebal dan lebih kuat dibandingkan endosperma lunak.

    Sedangkan endosperma lunak mengandung pati lebih banyak dan susunan pati

    tersebut tidak serapat seperti pada bagian yang keras (Watson, 2003).

    Gambar 2. Struktur biji jagung (Johnson, 1991).

    Jagung normal mengandung 10-12% lembaga dari berat biji. Lembaga

    tersusun dari dua bagian, yaitu embrio dan skutelum. Embrio mencakup 1,1%

    dari berat biji jagung (sekitar 10% bagian lembaga) dan mengandung 30,8%

    protein. Sedangkan skutelum merupakan tempat penyimpanan cadangan

    makanan selama perkecambahan biji. Skutelum terdiri dari beberapa jaringan,

    yaitu epithelium, parenkim, epidermis, dan provaskular. Jaringan parenkim

    terdiri dari sel yang mengandung nukleus, sitoplasma, beberapa granula pati,

    dan oil bodies yang mencakup 83% dari total lemak dalam biji jagung

  • (Watson, 2003). Adapun bagian terkecil pada biji jagung adalah tip cap atau

    tudung pangkal yang merupakan bekas tempat melekatnya biji jagung pada

    tongkol jagung.

    Tabel 1. Bagian-bagian anatomi biji jagung

    Bagian anatomi Jumlah (%) Pericarp (bran) 5,3

    Endosperma 82,9 Lembaga (germ) 11,1

    Tip cap 0,8 Sumber: Watson (2003)

    Komposisi Kimia Biji Jagung

    Menurut Boyer dan Shannon (2003), komponen kimia terbesar dalam

    biji jagung adalah karbohidrat (72% dari berat biji) yang sebagian besar berisi

    pati dan mayoritas terdapat pada bagian endosperma. Endosperma matang

    terdiri dari 86% pati dan sekitar 1% gula. Pati terdiri dari dua polimer glucan,

    yaitu amilosa dan amilopektin. Secara umum, pati jagung mengandung

    amilosa sekitar 25-30% dan amilopektin sekitar 70-75%.

    Gula dalam biji jagung terdapat dalam bentuk monosakarida (D-

    glukosa dan D-fruktosa), disakarida dan trisakarida, serta gula alkohol.

    Sukrosa merupakan disakarida terbanyak dalam biji jagung (2-3 mg per

    endosperma). Sedangkan maltosa, trisakarida, dan oligosakarida terdapat

    dalam jumlah sedikit. Adapun phytate (hexaphosphoric ester dari myo-

    inositol) diketahui sebagai satu-satunya gula alkohol yang terdapat dalam biji

    jagung. Sekitar 90% phytate ditemukan di dalam skutelum dan 10%-nya

    terdapat di dalam aleuron (Boyer dan Shannon, 2003).

    Tabel 2. Komposisi kimia biji jagung

    Komponen Pati (%) Protein

    (%) Lipid (%)

    Gula (%)

    Abu (%)

    Serat (%)

    Biji utuh 73,4 9,1 4,4 1,9 1,4 9,5 Endosperma 87,6 8,0 0,8 0,62 0,3 1,5

    Lembaga 8,3 18,4 33,2 10,8 10,5 14 Perikarp 7,3 3,7 1,0 0,34 0,8 90,7 Tip cap 6,3 9,1 3,8 1,6 1,6 95

    Sumber: Watson (2003)

  • Menurut Lawton dan Wilson (2003), kadar protein pada biji jagung

    bervariasi dari 6-18%. Protein tersebut meliputi albumin, globulin, prolamin

    (zein), dan glutelin. Albumin dan globulin terkonsentrasi pada sel aleuron,

    pericarp, dan lembaga. Sedangkan prolamin dan globulin banyak ditemukan

    pada endosperma.

    Tabel 3. Distribusi protein di dalam endosperma jagung

    Kandungan pada jagung Protein Normal (%) Opaque-2 (%) Floury-2 (%) Albumin 4,7 20,2 5,6 Globulin 3,5 3,4 Prolamin 45,8 14,6 32,3 Glutelin 38,0 53,2 44,3 Residu 9,0 12,0 14,5

    Sumber: Lawton dan Wilson (2003)

    Protein terbanyak dalam jagung adalah zein (prolamin) dan glutelin.

    Zein merupakan protein yang larut dalam 70% etanol dan terdiri dari beberapa

    komponen, yaitu , , , dan -zein. -zein merupakan prolamin terbanyak

    dalam biji jagung (70% dari total zein). Bila dibandingkan dengan -zein, -

    zein mengandung sejumlah besar asam amino sistein dan metionin tetapi

    kekurangan asam amino glutamin, leusin, dan prolin. -zein merupakan

    prolamin terbanyak kedua dalam biji jagung (20% dari total zein). Seperti

    halnya -zein dan -zein, -zein juga kekurangan asam amino lisin dan

    triptofan tetapi kaya akan asam amino prolin dan sistein. Sedangkan -zein

    kaya akan asam amino metionin (Lawton dan Wilson, 2003). Adapun glutelin

    yang larut dalam asam atau basa memiliki jumlah asam amino lisin, arginin,

    histidin, dan triptofan yang lebih tinggi daripada zein, tetapi kandungan asam

    glutamatnya lebih rendah (Laztity, 1996).

    Menurut Lawton dan Wilson (2003), sekitar 76-83% lipid dalam biji

    jagung terdapat di bagian lembaga. Kandungan lipid tersebut terutama adalah

    triasilgliserols (TAGs), yaitu sekitar 95%. Selain itu, biji jagung juga

    mengandung fosfolipid, glikolipid, hidrokarbon, fitosterol (sterol dan stanol),

    asam lemak bebas, karotenoid (vitamin A), tocol (vitamin E), dan waxes yang

    jumlahnya lebih sedikit dibandingkan TAG. Asam lemak yang terkandung

  • pada minyak jagung antara lain asam linoleat (59,7%), asam oleat (25,2%),

    asam palmitat (11,6%), asam stearat (1,8%), dan asam linolenat (0,8%).

    Biji jagung juga mengandung beberapa vitamin seperti kolin (567

    mg/kg), niasin (28 mg/kg), asam pantotenat (6,6 mg/kg), piridoksin (5,3

    mg/kg), tiamin (3,8 mg/kg), riboflavin (1,4 mg/kg), asam folat (0,3 mg/kg),

    biotin (0,08 mg/kg), serta vitamin A (-karoten) dan vitamin E (-tokoferol)

    masing-masing sebesar 2,5 mg/kg dan 30 IU/kg (Watson, 2003). Sedangkan

    mineralmineral yang terdapat pada biji jagung dapat dilihat pada Tabel 4.

    Tabel 4. Jumlah mineral pada biji jagung

    Mineral Rata rata (%) Fosfor 0,29

    Potasium 0,37 Magnesium 0,14

    Sulfur 0,12 klorin 0,05

    Kalsium 0,03 Sodium 0,03

    Sumber: Watson (2003)

    Quality Protein Maize (QPM)

    Protein serealia, terutama jagung, memiliki kandungan nutrisi yang

    rendah karena kurangnya kadar asam amino esensial seperti lisin dan

    triptofan. Kandungan asam amino lisin dan triptofan pada jagung masing-

    masing hanya 0,28% dan 0,06% dari total protein biji. Angka ini kurang dari

    separuh konsentrasi yang disarankan oleh Badan Pangan dan Pertanian se-

    Dunia (FAO) (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2004).

    Beberapa upaya telah dilakukan untuk meningkatkan kualitas protein

    pada jagung. Salah satu caranya melalui rekayasa genetika dengan mutasi gen.

    Mutasi gen dilakukan untuk menghambat produksi zein karena fraksi protein

    ini mengandung lisin dan triptophan dalam jumlah sedikit. Penghambatan

    produksi zein dapat meningkatkan pembentukan fraksi protein lain yang kaya

    akan lisin dan triptophan sehingga presentasi kedua asam amino tersebut akan

    meningkat. Mutan yang pertama kali ditemukan adalah gen opaque-2 dan

    floury-2. Jagung yang telah diperkaya dengan gen opaque-2/floury-2 dikenal

  • dengan Quality Protein Maize (QPM) karena memiliki kandungan lisin dan

    triptophan yang lebih tinggi daripada jagung normal (Prasanna et al., 2001).

    Pada tahun 2004, Badan Litbang Pertanian telah melepaskan dua

    varietas jagung QPM yang dikenal dengan nama Srikandi Kuning-1 dan

    Srikandi Putih-1. Varietas Srikandi Kuning-1 berdaya hasil 7,9 ton/ha dan

    bijinya berwarna kuning sesuai dengan namanya. Sedangkan varietas Srikandi

    Putih-1 yang bijinya berwarna putih mampu berproduksi hingga 8,1 ton/ha.

    Adapun kadar protein biji Srikandi Kuning-1 dan Srikandi Putih-1 masing-

    masing 10,3% dan 7,8% dengan kandungan lisin dan triptofan sebesar 0,46%

    dan 0,09% untuk Srikandi Kuning-1, serta 0,36% dan 0,07% untuk Srikandi

    Putih-1 (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, 2004).

    B. Proses Penepungan Jagung

    Teknik penggilingan dalam usaha mereduksi ukuran jagung dapat

    dilakukan dengan dua cara, yaitu penggilingan kering (dry milling) dan

    penggilingan basah (wet milling). Berdasarkan penelitian Juniawati (2003),

    metode penggilingan kering jagung dilakukan sebanyak dua kali.

    Penggilingan pertama (penggilingan kasar) dilakukan dengan menggunakan

    hammer mill yang bertujuan untuk memisahkan bagian endosperma jagung

    dengan kulit, lembaga, dan tip cap. Hasil dari penggilingan kasar tersebut

    kemudian direndam dan dicuci dalam air untuk memisahkan grits jagung yang

    banyak mengandung pati dari kulit, lembaga, dan tip cap yang dapat menjadi

    sumber kontaminasi. Kulit harus dipisahkan dari endosperma karena memiliki

    kandungan serat yang tinggi sehingga dapat membuat tepung bertekstur kasar.

    Lembaga merupakan bagian biji jagung yang paling tinggi kandungan

    lemaknya sehingga harus dipisahkan karena berhubungan erat dengan

    ketahanan tepung terhadap ketengikan akibat oksidasi lemak. Tip cap juga

    harus dipisahkan karena dapat membuat tepung menjadi kasar dan

    menimbulkan butir-butir hitam pada tepung apabila pemisahannya tidak

    sempurna.

    Jagung tidak mengalami perendaman yang lama pada proses

    penggilingan kering. Pembasahan hanya dilakukan untuk mengkondisikan

  • agar endosperma jagung melunak sebelum jagung dipaparkan pada hammer

    mill (Hoseney, 1998). Penggilingan kedua merupakan penggilingan grits

    jagung yang telah dikeringkan menggunakan disc mill (penggiling halus)

    sehingga dihasilkan tepung jagung. Proses pengayakan dengan saringan

    berukuran 80 atau 100 mesh dapat dilakukan untuk memperoleh tepung

    jagung dengan ukuran partikel yang diinginkan sesuai kebutuhan.

    Adapun tahapan proses pada penggilingan basah berbeda dengan

    proses penggilingan kering biji jagung. Penggilingan basah menghasilkan

    empat komponen dasar, yaitu pati, lembaga, serat, dan protein. Menurut

    Johnson dan May (2003), pembuatan pati dengan metode penggilingan basah

    terdiri dari tahap pembersihan, perendaman, dan pemisahan komponen-

    komponen biji jagung yang meliputi tahap penggilingan kasar dan pemisahan

    lembaga, penggilingan halus dan pemisahan serat, pemisahan dan pemurnian

    pati, serta starch finishing.

    Proses penepungan jagung diawali dengan tahap pembersihan untuk

    membersihkan biji jagung dari kotoran dan kontaminan asing. Selanjutnya,

    biji jagung direndam dalam air yang telah ditambahkan SO2 dengan

    konsentrasi tertentu (0,12-0,2%) selama 22-50 jam (umumnya 30-36 jam)

    pada suhu 52oC. Selama perendaman, air akan berdifusi ke dalam biji jagung

    sehingga kadar air meningkat dari 15% menjadi 45%. Penggunaan SO2 sangat

    penting karena SO2 sebagai agen pereduksi mampu memecah ikatan disulfida

    pada matriks protein yang membungkus granula pati sehingga dapat

    membebaskan granula pati tersebut. Selain itu, SO2 juga mampu menciptakan

    kondisi yang menguntungkan bagi pertumbuhan bakteri Lactobacillus. Asam

    laktat yang dihasilkan bakteri tersebut dapat meningkatkan pelunakkan biji,

    melarutkan protein endosperma, dan melemahkan dinding sel endosperma.

    Asam laktat juga membantu pemisahan pati dan meningkatkan jumlah pati

    yang dihasilkan (Johnson dan May, 2003).

    Tahapan selanjutnya adalah penggilingan kasar biji jagung dan

    pemisahan lembaga dengan menggunakan attrition mill dan separator lembaga

    (hydroclone). Attrition mill terdiri dari dua jenis cakram (cakram statis dan

    cakram berputar) yang dilengkapi dengan kenop (devils teeth) pada

  • permukaannya untuk memecah biji jagung sehingga lembaga dapat lepas

    tanpa harus menghancurkannya. Hasil penggilingan kasar ini lalu dialirkan ke

    hydroclone sehingga lembaga dapat dipisahkan. Setelah pemisahan lembaga,

    slurry kemudian disaring dengan menggunakan pressure-fed screen untuk

    memisahkan serat dari pati dan gluten. Slurry pati dan gluten yang disebut mill

    starch selanjutnya dialirkan menuju separator pati. Pada tahapan ini, gluten

    dipisahkan dari pati berdasarkan perbedaan berat jenisnya menggunakan disk-

    nozzle-type centrifuges (Johnson dan May, 2003). Beberapa protein dan

    kontaminan lain yang masih terdapat di dalam pati akan diproses lebih lanjut

    pada tahap pemurnian pati.

    Menurut Johnson dan May (2003), pati hasil sentrifuse masih

    mengandung 3-5% protein dan sejumlah kecil kontaminan terlarut/tak larut.

    Pati kasar tersebut lalu dicuci dengan air menggunakan hydroclone. Pati hasil

    pencucian harus mengandung

  • menstabilkan, memekatkan atau mengentalkan makanan yang dicampur

    dengan air untuk membentuk kekentalan tertentu.

    Karakteristik fungsional pati untuk aplikasi bahan pangan sangat

    ditentukan oleh karakteristik kimianya. Pati merupakan homopolimer glukosa

    dengan ikatan -glikosidik yang tersusun dari amilosa dan amilopektin. Pada

    umumnya, pati mengandung 2530% amilosa dan 7075% amilopektin.

    Menurut Hoseney (1998), amilosa merupakan homoglikan D-glukosa dengan

    ikatan -(1,4) dari struktur cincin piranosa, yang membentuk rantai lurus

    terdiri dari 500-2000 unit glukosa. Umumnya amilosa dikatakan sebagai linier

    dari pati. Berat molekul amilosa beragam tergantung pada sumber dan metode

    ekstraksi yang digunakan, biasanya sekitar 250.000 (untuk 1500 unit

    anhidroglukosa). Amilopektin seperti halnya amilosa juga mempunyai ikatan

    -(1,4) pada rantai lurusnya, serta ikatan -(1,6) pada titik percabangannya.

    Ikatan percabangan tersebut berjumlah sekitar 45% dari seluruh ikatan yang

    ada pada amilopektin. Bobot molekul amilopektin berkisar antara 1075x108

    (Fennema, 1996).

    Mauro et al. (2003) mengatakan bahwa pati jagung terdiri dari 73%

    amilopektin dan 27% amilosa. Namun demikian, ada pula varietas jagung

    yang tersusun seluruhnya (100%) dari amilopektin yaitu jenis waxy/glutinous

    corn. Sebaliknya, varietas jagung yang dinamakan high-amylose corn

    mengandung amilosa dalam jumlah yang tinggi (50-75%).

    Secara alami, bentuk asli pati merupakan butiran-butiran kecil yang

    sering disebut granula. Secara mikroskopik, campuran molekul dalam granula

    pati berstruktur linier dan bercabang tersusun membentuk lapisan-lapisan tipis

    yang berbentuk cincin atau lamela, dimana lamela tersebut tersusun terpusat

    mengelilingi titik awal yang disebut hilus atau hilum. Letak hilum dalam

    granula pati ada yang di tengah dan ada yang di tepi. Granula pati dari

    golongan tanaman Graminae (beras, jagung, dan gandum) mempunyai hilum

    yang terletak di tengah. Sedangkan granula pati pada kentang dan sagu

    mempunyai letak hilum di tepi.

  • Tabel 5. Karakteristik granula pati Jenis pati Ukuran granula (m) Bentuk granula

    Padi 3-8 Poligonal Gandum 20-35 Lentikular atau bulat Jagung 15 Polihedral atau bulat Sorgum 25 Bulat

    Rye 28 Lentikular atau bulat Barley 20-25 Bulat atau elips

    Sumber: Hoseney (1998)

    Granula pati dalam keadaan murni berwarna putih, mengkilat, tidak

    berbau, dan tidak berasa. Granula pati bervariasi dalam bentuk tidak beraturan

    (Tabel 5). Pati jagung biasa dan pati jagung berlilin (waxy/glutinous corn)

    memiliki diameter berkisar antara 230 m. Jagung yang tinggi amilosa

    (high-amylose corn) memiliki diameter berkisar antara 2-24 m. Sedangkan

    pati pada kentang, tapioka, dan gandum masing-masing memiliki diameter

    berkisar antara 5-100 m, 4-35 m, dan 2-55 m (Fennema, 1996). Menurut

    Boyer dan Shannon (2003), granula pati memiliki struktur kristalin yang

    terdiri dari unit kristal dan unit amorf. Daerah kristalin pada kebanyakan pati

    tersusun atas fraksi amilopektin. Sedangkan fraksi amilosa banyak terdapat

    pada daerah amorf.

    D. Gelatinisasi

    Konsep dan Mekanisme Gelatinisasi

    Granula pati bersifat tidak larut dalam air dingin, tetapi akan

    mengembang dalam air panas atau hangat. Pengembangan granula pati

    tersebut bersifat bolak-balik (reversible) jika tidak melewati suhu gelatinisasi

    dan akan menjadi tidak bolak-balik (irreversible) jika telah mencapai suhu

    gelatinisasi (Fennema, 1996). Gelatinisasi merupakan istilah yang digunakan

    untuk menerangkan serangkaian kejadian tidak dapat balik (irreversible) yang

    terjadi pada pati saat dipanaskan dalam air.

    Perubahan-perubahan yang terjadi selama proses gelatinisasi yaitu

    granula pati akan kehilangan sifat birefringence, yaitu sifat yang dapat

    merefleksikan atau memantulkan cahaya terpolarisasi sehingga akan tampak

    seperti susunan kristal gelap terang (biru-kuning) di bawah mikroskop

  • (Hoseney, 1998). Selain itu, granula pati juga akan mengalami hidrasi dan

    mengembang, molekul amilosa larut, kekuatan ikatan di dalam granula pati

    akan berkurang yang diikuti dengan semakin kuatnya ikatan antar granula,

    kekentalan (viskositas) semakin meningkat, dan kejernihan pasta juga akan

    meningkat. Terjadinya peningkatan viskositas disebabkan air yang awalnya

    berada di luar granula dan bebas bergerak sebelum suspensi dipanaskan, kini

    sudah berada dalam butir-butir pati dan tidak dapat bergerak dengan bebas

    lagi (Winarno, 2004).

    Menurut Swinkels (1985), mekanisme gelatinisasi pada dasarnya

    terjadi dalam tiga tahap, yaitu: (1) penyerapan air oleh granula pati sampai

    batas yang akan mengembang secara lambat dimana air secara perlahan-lahan

    dan bolak-balik berimbibisi ke dalam granula, sehingga terjadi pemutusan

    ikatan hidrogen antara molekul-molekul granula, (2) pengembangan granula

    secara cepat karena menyerap air secara cepat sampai kehilangan sifat

    birefriengence-nya, dan (3) granula pecah jika cukup air dan suhu terus naik

    sehingga molekul amilosa keluar dari granula. Mekanisme gelatinisasi dapat

    diilustrasikan seperti pada Gambar 3.

    Gambar 3. Mekanisme gelatinisasi pati (Harper, 1981)

    Granula pati tersusun dari amilosa (berpilin) dan amilopektin (bercabang)

    Masuknya air merusak kristalinitas amilosa dan merusak helix. Granula membengkak

    Adanya panas dan air menyebabkan pembengkakan tinggi. Amilosa berdifusi keluar dari granula

    Granula mengandung amilopektin, rusak dan terperangkap dalam matriks amilosa membentuk gel

  • Suhu Gelatinisasi

    Menurut Fennema (1996), suhu gelatinisasi adalah suhu dimana sifat

    birefringence dan pola difraksi sinar-X granula pati mulai hilang. Suhu

    gelatinisasi diawali dengan pembengkakan yang irreversible granula pati

    dalam air panas dan diakhiri tepat ketika granula pati telah kehilangan sifat

    kristalnya. Winarno (2004) menyatakan bahwa suhu dimana sifat

    birefringence granula pati mulai menghilang dihitung sebagai suhu awal

    gelatinisasi. Pengukuran suhu gelatinisasi dapat dilakukan dengan

    menggunakan Brabender Visco-amylograph dan Differential Scanning

    Calorimetry.

    Suhu gelatinisasi tiap-tiap pati berbeda dan merupakan suatu kisaran.

    Hal ini disebabkan karena populasi granula yang bervariasi dalam ukuran,

    bentuk, dan energi yang diperlukan untuk mengembang. Suhu gelatinisasi

    beberapa jenis pati dapat dilihat pada Tabel 6.

    Tabel 6. Suhu gelatinisasi beberapa jenis pati Sumber pati Suhu gelatinisasi (oC)

    Beras 65-73 Ubi jalar 82-83 Tapioka 59-70 Jagung 61-72

    Gandum 53-64 Sumber: Fennema (1996)

    Suhu gelatinisasi dipengaruhi pula oleh ukuran amilosa dan

    amilopektin serta keadaan media pemanasan. Wirakartakusumah (1981)

    menyatakan keadaan media pemanasan yang mempengaruhi proses

    gelatinisasi adalah rasio air/pati, laju pemanasan, dan adanya komponen-

    komponen lain dalam media pemanasnya. Selain itu, suhu gelatinisasi juga

    dipengaruhi oleh associative force dalam granula pati. Semakin tinggi suhu

    gelatinisasi suatu jenis pati menunjukkan semakin tinggi gaya ikat dalam

    granula pati tersebut.

  • E. Mi

    Mi Kering

    Menurut SNI 01-2974-1996, mi kering didefinisikan sebagai produk

    makanan kering yang dibuat dari tepung terigu dengan penambahan bahan

    makanan lain dan bahan tambahan makanan yang diizinkan, berbentuk khas

    mi. Mi dalam bentuk kering harus mempunyai padatan minimal 87%, artinya

    kandungan airnya harus di bawah 13%. Karakteristik yang disukai dari mi

    kering adalah memiliki penampakan putih, hanya sedikit yang terpecah-pecah

    selama pemasakan, memiliki permukaan yang lembut, dan tidak ditumbuhi

    mikroba (Oh et al., 1985). Syarat mutu mi kering dapat dilihat pada Tabel 7.

    Tabel 7. Syarat mutu mi kering menurut SNI 01-2974-1996

    No Jenis Uji Satuan Persyaratan Mutu I Persyaratan

    Mutu II Keadaan: 1.1 Bau Normal Normal 1.2 Warna Normal Normal

    1.

    1.3 Rasa

    -

    Normal Normal 2. Air % b/b Maks. 8 Maks. 10 4. Protein (N x 6,25) % b/b Min. 11 Min. 8

    Bahan Tambahan Makanan: 5.1 Boraks 5. 5.2 Pewarna Tambahan

    Tidak boleh ada sesuai dengan

    SNI 01-0222-1995

    Cemaran Logam: 6.1 Timbal (Pb) mg/kg Maks. 1,0 Maks. 1,0 6.2 Tembaga (Cu) mg/kg Maks. 10,0 Maks. 10,0 6.3 Seng (Zn) mg/kg Maks. 40,0 Maks. 40,0

    6.

    6.4 Raksa (Hg) mg/kg Maks. 0,05 Maks. 0,05 7. Arsen (As) mg/kg Maks. 0,5 Maks. 0,5

    Cemaran mikroba:

    8.1 Angka lempeng total

    koloni/g Maks. 1,0 x 106 Maks. 1,0 x 106

    8.2 E. coli APM/g Maks. 10 Maks. 10

    8.

    8.3 Kapang koloni/g Maks. 1,0 x 104 Maks. 1,0 x 104

  • Produk mi kering maupun mi basah pada dasarnya memiliki komposisi

    yang hampir sama. Keduanya dibedakan dalam tahapan proses pembuatan,

    kadar air, dan kadar protein. Mi kering diperoleh dengan cara mengeringkan

    mi mentah dengan metode penjemuran atau di angin-anginkan atau juga

    dikeringkan dalam oven pada suhu 50oC. Mi kering mempunyai daya

    simpan yang lebih lama tergantung dari kadar air dan cara penyimpanannya.

    Selama kemasannya masih tertutup rapat, mi kering dapat disimpan selama 6-

    12 bulan.

    Proses pengolahan mi kering sebenarnya hampir sama dengan mi

    instan. Pada mi kering terjadi proses pengeringan untuk mengurangi kadar air

    mi hingga 10-12 persen. Sedangkan proses pengolahan mi instan umumnya

    dengan digoreng dan dilengkapi oleh bahan tambahan seperti bumbu, cabe,

    kecap, minyak, dan sayuran kering sehingga mudah dihidangkan dengan

    segera (Intan, 1997). Menurut Departemen Kesehatan RI (1992), dalam 100

    gram mi kering terkandung 337 kkal energi, protein 7,9 g, lemak 11,8 g,

    karbohidrat 50,0 g, kalsium 49 mg, fosfor 47 mg, besi 2,8 mg, vitamin B1

    0,01 mg, dan air 28,9 g.

    Mi Jagung

    Mi jagung adalah jenis mi yang dibuat dengan bahan baku utama

    tepung atau pati jagung dengan penambahan bahan-bahan lainnya. Mi jagung

    dapat diproses menjadi mi instan (mi kering) ataupun mi basah. Menurut

    Juniawati (2003), proses pembuatan mi jagung instan dengan pembentukan

    lembaran terdiri dari beberapa tahapan, yaitu pencampuran bahan, pengukusan

    pertama, pengulian, pembentukan lembaran (sheeting/pressing), pencetakan

    untaian mi (slitting), pengukusan kedua, dan pengeringan. Sedangkan proses

    pembuatan mi jagung basah terdiri dari tahap pencampuran bahan,

    pengukusan, sheeting, slitting, perebusan, perendaman dalam air dingin, dan

    pelumuran dengan minyak (Rianto, 2006).

    Proses pengolahan mi jagung berbeda dengan mi terigu karena setelah

    pencampuran bahan baku dilakukan pengukusan. Proses pengukusan

    bertujuan untuk menggelatinisasi sebagian pati (sekitar 70%) sehingga dapat

    berperan sebagai pengikat adonan. Apabila tidak dilakukan pengukusan, maka

  • adonan tidak dapat dibentuk dan dicetak menjadi mi. Hal ini disebabkan

    protein endosperma jagung banyak mengandung zein (60%) yang tidak dapat

    membentuk massa adonan yang elastic-cohesive bila hanya ditambahkan air

    dan diuleni, seperti halnya gliadin dan glutelin pada gandum (Soraya, 2006).

    Lama dan waktu pengukusan dapat bervariasi tergantung jumlah adonan yang

    dimasak. Namun, tingkat gelatinisasi atau pemasakan yang diharapkan hampir

    sama (Juniawati, 2003).

    Mi jagung memiliki beberapa keunggulan dibandingkan produk

    pangan lainnya. Menurut Juniawati (2003), mi jagung instan mengandung

    nilai gizi yang baik yaitu sekitar 360 kalori/kemasan atau lebih tinggi

    dibandingkan dengan nilai gizi pada nasi (178 kalori), singkong (146 kalori),

    dan ubi jalar (123 kalori). Namun, nilai gizi ini masih lebih rendah bila

    dibandingkan dengan mi terigu instan (471 kalori). Tingginya nilai gizi yang

    terdapat pada mi jagung instan menunjukkan bahwa produk tersebut dapat

    dijadikan sebagai bahan pangan alternatif pilihan pengganti nasi. Kandungan

    lemak mi jagung instan juga jauh lebih rendah dibandingkan dengan

    kandungan lemak pada mi terigu instan. Hal ini dikarenakan tidak adanya

    proses penggorengan pada mi jagung instan, melainkan hanya proses

    pengeringan saja. Selain itu, mi jagung instan juga tidak menggunakan

    pewarna tambahan seperti halnya mi terigu instan. Warna kuning pada mi

    jagung merupakan warna alami yang disebabkan oleh pigmen kuning pada

    jagung, yaitu -karoten, lutein, dan zeaxanthin.

    Formulasi mi jagung telah dikembangkan dalam beberapa penelitian,

    diantaranya mi jagung dari tepung jagung dan pati jagung. Juniawati (2003)

    telah membuat mi jagung instan dengan bahan dasar tepung jagung. Budiyah

    (2004) melakukan pembuatan mi jagung instan dengan memanfaatkan pati

    jagung dan protein jagung (Corn Gluten Meal). Fadlillah (2005) melakukan

    verifikasi pada desain proses produksi dan formulasi mi jagung instan metode

    Budiyah dengan menambahkan protein gluten terigu untuk memperbaiki

    elastisitas dan cooking loss mi. Soraya (2006) merancang proses dan formulasi

    mi jagung basah berbahan dasar tepung jagung varietas srikandi kuning kering

    panen. Rianto (2006) telah mengoptimasi proses pembuatan mi jagung basah

  • dari bahan dasar tepung jagung. Serta Kurniawati (2006) yang juga telah

    mengoptimasi desain proses dan formulasi pembuatan mi jagung basah

    berbahan dasar pati jagung dan Corn Gluten Meal (CGM). Adapun rincian

    dari bahan baku yang digunakan, proses pengolahan, parameter mutu, dan

    jenis mi jagung yang dibuat dapat dilihat pada Lampiran 1.

    F. Proses Penggandaan Skala

    Menurut Hulbert (1998), penggandaan skala (scale up) merupakan

    tindakan menggunakan hasil penelitian yang diperoleh dari laboratorium

    untuk mendesain prototipe produk dan proses dalam sebuah pilot plant.

    Pengembangan produk (sumber dan formulasinya), pengujian unit operasi,

    pengembangan kinerja dari alat, dan penentuan titik kritis proses diperlukan

    untuk dapat melakukan penggandaan skala. Proses penggandaan skala

    membutuhkan kekuatan analisis dalam menentukan langkah-langkah yang

    akan dilakukan, diantaranya analisis terhadap kondisi operasi, desain, dan

    proses optimum.

    Pilot plant adalah tipe pabrik berskala lebih kecil dan merupakan

    pengembangan lebih lanjut dari skala laboratorium sebelum diterapkan pada

    skala yang lebih besar, yaitu skala pabrik (industri). Biasanya tahap pilot plant

    digunakan untuk menguji ide pengembangan produk baru, persediaan pangan

    baru, atau kondisi operasi yang berbeda. Tahap pilot plant juga digunakan

    untuk mengevaluasi perkembangan produk, mengurangi biaya, mengatasi

    permasalahan teknis, dan terhadap produk baru digunakan untuk mengevaluasi

    ingredien yang diusulkan, variabel proses, proses produksi, studi optimalisasi,

    dan profil flavor. Produk terpilih dapat digunakan untuk uji pasar, registrasi

    produk, dan panel sensori (Anonimc, 2007).

    Pada tahap pilot plant, proses akan dinilai untuk melihat

    kemampuannya dalam memenuhi spesifikasi target, karakteristik produk, dan

    perlu/tidaknya modifikasi proses sebelum ditransfer ke skala pabrik.

    Pembangunan pilot plant digunakan untuk mengurangi resiko yang

    berhubungan dengan konstruksi proses pada pabrik yang lebih besar. Hal ini

    dikarenakan pada skala pilot plant, perubahan desain dapat dibuat lebih murah

  • dan kekusutan dalam proses dapat diujicobakan sebelum membangun pabrik

    skala besar. Selain itu, tahap pilot plant juga dapat menyediakan data-data

    yang dibutuhkan untuk mendesain pabrik skala besar (Anonimc, 2007).

    Langkah pertama dalam pengembangan sebuah produk pangan baru

    adalah mendefinisikan proses yang dibutuhkan untuk membuat produk. Salah

    satu perangkatnya adalah pengembangan diagram aliran proses yang

    menunjukkan laju produksi yang diinginkan dan materi yang dibutuhkan pada

    setiap tahapan proses. Langkah kedua adalah memecahkan masalah yang

    masih terdapat dalam proses perbesaran skala. Dalam hal ini, uji coba yang

    bersifat kontinyu perlu dilakukan untuk menentukan parameter optimum dan

    desain peralatan yang akan dimodifikasi pada skala yang lebih besar. Selain

    itu, interaksi kimia dan fisik yang bersifat kompleks dalam produk pangan

    perlu diperhatikan agar kerusakan produk terutama pada formulasi yang

    digunakan dapat dihindari. Hal ini akan membantu dalam penentuan ukuran

    dan ciri-ciri peralatan yang dibutuhkan atau spesifikasi alat yang akan menjadi

    referensi untuk pembelian (Hulbert, 1998). Produk pangan yang ditingkatkan

    skalanya akan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan produk aslinya,

    terutama karena adanya perbedaan rasa, tekstur, aroma, dan penampakan

    secara visual. Menurut Scott (2007), proses skala besar tidak akan

    menghasilkan produk yang identik dengan produk aslinya, tetapi akan

    menghasilkan produk yang menyerupai produk aslinya.

    Berdasarkan proses dan tingkat produksi yang diinginkan,

    penggandaan skala merupakan proses yang cukup sulit untuk diaplikasikan.

    Penggandaan skala merupakan proses menantang yang membutuhkan suatu

    perencanaan matang, fleksibel, dan pendekatan yang konsisten untuk meraih

    keberhasilan. Hal ini menyebabkan pergerakan produk dari tahap ke tahap

    akan menjadi lebih kompleks jika dijalankan dalam skala besar ini. Oleh

    karena itu, langkah yang harus diperhatikan dalam produksi skala besar

    diantaranya menentukan produk dan acuan paket termasuk definisi produk,

    ukuran dan tipe paket yang diinginkan, serta laju produksi (Scott, 2007).

  • III. METODOLOGI PENELITIAN

    A. Bahan dan Alat

    Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah jagung pipil

    kering dengan varietas Srikandi (QPM), pati jagung, Isolat Protein Kedelai

    (ISP), tepung terigu, air, garam, guar gum, carboxymethyl cellulose (CMC),

    dan baking powder. Sedangkan bahan-bahan kimia untuk keperluan analisis

    antara lain aquades, K2SO4, H2SO4, NaOH, Na2S2O3, HBO3, HCl, hexan, dan

    bahan-bahan kimia lainnya.

    Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain timbangan,

    mixer, kompor, alat pengukus, mesin pembuat mi, oven, dan alat perebus.

    Sedangkan alat-alat untuk keperluan analisis adalah Texture Analyzer TAXT-

    2, Chromameter Minolta CR-310, spektrofotometer, oven, tanur, labu

    Kjeldahl, sokhlet, neraca analitik, dan alat-alat gelas, serta peralatan analisis

    lainnya.

    B. Metode Penelitian

    1. Kajian Pembuatan Tepung Jagung

    Jagung pipil QPM dengan varietas Srikandi yang diperoleh dari

    daerah Malingping, Provinsi Banten terlebih dahulu dijadikan tepung

    jagung. Metode yang digunakan dalam pembuatan tepung jagung ini

    adalah metode penggilingan kering (Gambar 4) dan metode penggilingan

    basah (Gambar 5).

    @

    Penggilingan I (multi mill)

    Grits Kulit ari, lembaga

    Tepung kasar

    Jagung pipil kering

  • Pengeringan

    Jagung pipilan

    Perendaman

    Penggilingan basah

    Penyaringan

    Pengendapan

    Dekantasi

    Perendaman dan pencucian dengan air

    Tepung jagung

    Pengayakan (80-100 mesh)

    Penggilingan II (disc mill)

    Pengeringan

    @

    Gambar 4. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan kering

    Tepung jagung yang digunakan dalam penelitian ini adalah tepung

    yang lolos ayakan 100 mesh. Partikel tepung jagung dengan ukuran kecil

    lebih bagus dibandingkan dengan ukuran yang lebih besar. Di samping itu,

    rendemen tepung yang dihasilkannya juga lebih banyak.

    @

  • Tepung jagung kering

    Sentrifugasi

    Tepung jagung basah

    Pengeringan (45-60oC, KA = 10%)

    @

    Gambar 5. Pembuatan tepung jagung metode penggilingan basah

    2. Karakterisasi Tepung Jagung

    Karakterisasi tepung jagung dilakukan melalui pengukuran sifat

    kimia dengan analisis proksimat yang meliputi kadar air, kadar abu, kadar

    protein kasar, kadar lemak kasar, penentuan kadar karbohidrat yang

    dilakukan secara by difference, dan kadar amilosa. Selain itu, dilakukan

    pula pengukuran terhadap sifat fisik tepung jagung yaitu rendemen dan

    warna.

    3. Verifikasi Formulasi dan Proses Produksi Mi Jagung Kering

    Tahap verifikasi ini dilakukan terhadap formulasi dan proses

    pengolahan mi jagung yang telah dikembangkan dari hasil-hasil penelitian

    sebelumnya (Lampiran 1). Formulasi mi jagung kering mengacu pada

    hasil penelitian Rianto (2006), yaitu dengan menggunakan bahan baku

    tepung jagung (100%), air (30% dari berat tepung), garam (1% dari berat

    tepung), dan baking powder (0,3% dari berat tepung). Adapun desain

    proses produksi mi jagung kering mengacu pada hasil penelitian Juniawati

    (2003) dan Fadlillah (2005) seperti terlihat pada Gambar 6.

    Setelah diperoleh formulasi dan desain proses optimum pada skala

    laboratorium, beberapa penyesuaian pada formulasi atau proses itu sendiri

    perlu dilakukan sehingga dapat diterapkan pada skala yang lebih besar.

  • Salah satu caranya dengan penambahan bahan-bahan tambahan untuk

    memperbaiki karakteristik mi jagung yang dihasilkan. Selain itu,

    penentuan parameter-paramater pada tiap bagian proses yang dianggap

    kritis juga harus dilakukan untuk memperbaiki proses pada skala besar.

    Parameter proses tersebut diantaranya jenis mixer dan lama pengadukan

    saat pencampuran adonan, suhu dan lamanya waktu pembentukan

    lembaran mi, suhu dan lama waktu pengukusan, serta suhu dan waktu

    pengeringan optimum pada oven.

    Gambar 6. Diagram alir pembuatan mi jagung kering

    Verifikasi formulasi dan proses ini akan menghasilkan keluaran

    berupa formulasi terpilih yang akan diterapkan pada tahap penggandaan

    skala, tahapan proses yang optimum mulai dari penyiapan tepung jagung

    Pengeringan dengan oven (Suhu 60oC selama 1-2 jam)

    Mi kering

    Tepung jagung 100%

    Garam 1%, baking Powder

    0,3% Air 30%

    Pencampuran (mixer)

    Pengukusan adonan (variasi waktu)

    Pembentukan lembaran, pencetakan, dan pemotongan (Sheeting, slitting, and cutting)

    Pengukusan mi mentah (variasi waktu)

  • hingga diperoleh produk akhir berupa mi, dan identifikasi tahap-tahap

    kritis dalam proses produksi mi jagung.

    4. Penggandaan Skala Produksi Mi Jagung Kering

    Kegiatan penelitian sebelumnya telah menghasilkan formulasi mi

    jagung dan proses produksinya yang optimum. Namun demikian, hasil

    penelitian tersebut masih terbatas pada skala laboratorium. Teknologi

    yang telah dihasilkan perlu di-scale up (penggandaan skala proses) untuk

    dapat diaplikasikan ke skala komersial, yaitu skala industri kecil. Oleh

    karena itu, tahapan penggandaan skala proses produksi dari skala

    laboratorium ke skala pilot plant perlu dilakukan dengan penyesuaian

    formulasi dan proses produksi pada skala yang lebih besar. Selain itu,

    proses produksi dengan jumlah bahan baku yang lebih besar serta

    automatisasi proses untuk menggantikan tahapan proses yang masih

    dilakukan secara manual juga akan diujicobakan.

    Gambar 7. Aliran proses kegiatan penggandaan skala produksi mi jagung

    Penggandaan skala produksi

    Identifikasi tahap-tahap kritis

    Verifikasi formulasi dan desain proses optimum

    Penentuan formulasi dan desain proses terpilih

    Penentuan formulasi dan desain proses optimum pada skala laboratorium (Lampiran 1)

    Identifikasi bahan dan peralatan proses produksi

  • Target yang dihasilkan dari tahap ini adalah formulasi dan proses

    yang telah disesuaikan dengan kondisi skala komersial, identifikasi tahap

    kritis dalam proses produksi mi jagung kering yang harus diantisipasi pada

    skala komersial, dan identifikasi peralatan proses produksi yang

    dibutuhkan untuk mendirikan model industri mi jagung pada skala industri

    kecil.

    C. Metode Analisis Produk

    Analisis Sifat Fisik

    1. Analisis warna menggunakan metode Hunter

    Analisis warna dilakukan dengan menggunakan alat Chromameter

    Minolta CR-310. Sampel ditempatkan pada wadah yang transparan.

    Pengukuran menghasilkan nilai L, a, dan b. L menyatakan parameter

    kecerahan (warna kromatis, 0: hitam sampai 100: putih). Warna kromatik

    campuran merah hijau ditunjukkan oleh nilai a(a+ = 0-100 untuk warna

    merah, a- = 0-(-80) untuk warna hijau). Warna kromatik campuran biru

    kuning ditunjukkan oleh nilai b (b+ = 0-70 untuk warna kuning, b- = 0-(-

    70) untuk warna biru).

    2. Texture Profile Analysis (TPA) menggunakan alat Texture Analyzer

    TAXT-2

    Probe yang digunakan berbentuk silinder dengan diameter 35 mm.

    Pengaturan TAXT2 yang digunakan tertera pada Tabel 8.

    Tabel 8. Pengaturan Texture Analyzer dalam mode TPA (Texture Profile Analysis)

    Parameter Setting Pre test speed 2,.0 mm/s Test speed 0,1 mm/s Post test speed 2,0 mm/s Rupture test distance 75% Distance 1% Force 100 g Time 5 sec Count 2

  • Seuntai sampel yang telah direhidrasi dengan panjang yang

    melebihi diameter probe diletakkan di atas landasan lalu ditekan oleh

    probe. Hasilnya berupa kurva yang menunjukkan hubungan antara gaya

    untuk mendeformasi dan waktu. Nilai kekerasan ditunjukkan dengan

    absolute (+) peak yaitu gaya maksimal, dan nilai kelengketan ditunjukkan

    dengan absolute (-) peak. Satuan kedua parameter ini adalah gram Force

    (gF).

    Gambar 8. Kurva profil tekstur mi

    3. Pengukuran kehilangan padatan akibat pemasakan (KPAP)

    Penentuan KPAP dilakukan dengan cara merebus 5 gram mi dalam

    150 ml air. Setelah mencapai waktu optimum perebusan, mi direndam air

    dingin dan kemudian ditiriskan. Mi kemudian ditimbang dan dikeringkan

    pada suhu 100C sampai beratnya konstan, lalu ditimbang kembali. KPAP

    dihitung dengan rumus berikut:

    %100)1(

    ker1

    = contohairkadarawalberatingkandisetelahsampelberatKPAP

    4. Pengukuran daya serap air (DSA)

    Perhitungan didasarkan pada hasil penetapan kadar air sebelumnya.

    Cawan aluminium dikeringkan dalam oven 105C selama 10 detik, lalu

    didinginkan di dalam desikator. Sampel sebanyak 3 gram direbus dalam

    air selama 7 menit pada suhu 90-100C. Kemudian sampel ditiriskan, lalu

  • ditimbang (A). Sampel yang telah ditiriskan dimasukkan ke dalam oven

    105C selama 6 jam sampai diperoleh berat konstan (B). Daya adsorbsi air

    dihitung berdasarkan perhitungan:

    %100)1(

    )()()(%

    =contohairkadarcontohawalberat

    contohawalberatcontohairkadarBAbkDSA

    dimana:

    A = berat sampel sebelum dikeringkan

    B = berat sampel setelah dikeringkan.

    5. Rendemen

    Perhitungan rendemen dilakukan berdasarkan perbandingan antara

    hasil dengan bahan awal dikalikan 100%.

    %100Re =awalberat

    akhirhasilberatndemen

    Analisis Sifat Kimia

    1. Analisis kadar amilosa tepung jagung, metode IRRI (AOAC, 1995)

    Penentuan kadar amilosa diawali dengan pembuatan kurva standar.

    Sebanyak 40 mg sampel amilosa murni dimasukkan ke dalam tabung

    reaksi dan ditambahkan 1 ml etanol 95% dan 9 ml NaOH 1 N. Lalu

    dipanaskan dalam air mendidih selama 10 menit sampai terbentuk gel dan

    didinginkan. Gel yang terbentuk lalu dipindahkan ke dalam labu takar 100

    ml dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan dipipet

    masing-masing sebanyak 1, 2, 3, 4, dan 5 ml ke dalam labu takar 100 ml.

    Ke dalam masing-masing labu takar ditambahkan asam asetat 1 N masing-

    masing 0.2, 0.4, 0.6, 0.8, dan 1 ml lalu ditambahkan masing-masing 2 ml

    larutan iod. Campuran ditepatkan hingga tanda tera dan didiamkan selama

    20 menit. Intensitas warna biru yang terbentuk diukur dengan

    spektrofotometer pada panjang gelombang 625 nm. Kurva standar dibuat

    dengan memplotkan kadar amilosa pada sumbu x dan absorbansi pada

    sumbu y. Kemudian dihitung persamaan linear yang menggambarkan

    hubungan antar keduanya. Persamaan linear yang diperoleh berupa:

    bxay +=

  • Penetapan sampel dilakukan dengan menimbang 100 mg sampel

    dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 1 ml etanol

    95% dan 9 ml NaOH 1 N. Campuran dipanaskan dalam air mendidih

    selama 10 menit sampai terbentuk gel, lalu gel dipindahkan ke dalam labu

    takar 100 ml dan ditepatkan sampai tanda tera dengan akuades. Larutan

    dipipet sebanyak 5 ml, dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml,

    ditambahkan 1 ml asam asetat 1 N dan 2 ml larutan iod, ditepatkan sampai

    tanda tera, lalu didiamkan selama 20 menit. Intensitas warna biru yang

    terbentuk diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 625

    nm. Kadar amilosa dihitung menggunakan persamaan linear yang

    diperoleh dari kurva standar.

    2. Analisis kadar air, metode oven (AOAC, 1995)

    Cawan aluminium dikeringkan dalam oven selama 15 menit

    dengan suhu 100oC. Kemudian didinginkan dalam desikator selama 10

    menit dan ditimbang. Sampel sebanyak 5 gram dimasukkan ke dalam

    cawan yang telah diketahui beratnya, lalu dikeringkan dalam oven pada

    suhu 100oC selama 3-4 jam sampai tercapai berat konstan. Selanjutnya

    cawan beserta isinya didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan

    ditimbang. Perhitungan kadar air dilakukan dengan rumus:

    %100)(

    )(% =c

    bacbbairKadar

    Keterangan: a = berat cawan dan sampel akhir (g)

    b = berat cawan (g)

    c = berat sampel awal (g)

    3. Analisis kadar abu, metode oven (AOAC, 1995)

    Cawan porselen dikeringkan dalam oven bersuhu 100oC, kemudian

    didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 35 g sampel

    ditimbang dan dimasukkan ke dalam cawan porselen. Selanjutnya sampel

    dipijarkan di atas bunsen sampai tidak berasap lagi dan dilakukan

    pengabuan di dalam tanur listrik pada suhu 4006000C selama 46 jam

  • atau sampai terbentuk abu berwarna putih. Sampel kemudian didinginkan

    dalam desikator dan ditimbang. Kadar abu dihitung dengan rumus:

    %100)(% =c

    babbabuKadar

    Keterangan: a = berat cawan dan sampel akhir (g)

    b = berat cawan (g)

    c = berat sampel awal (g)

    4. Analisis kadar lemak, metode ekstraksi soxhlet (AOAC, 1995)

    Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu

    1001100C, lalu didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel

    sebanyak 5 gram ditimbang, dibungkus dengan kertas saring, dan

    dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut

    (heksana atau dietil eter). Refluks dilakukan selama 5 jam (minimum) dan

    pelarut yang ada di dalam labu lemak didistilasi. Selanjutnya, labu lemak

    yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven yang bersuhu

    1000C sampai beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan

    ditimbang. Berat lemak dihitung dengan rumus:

    %100)(% =c

    babblemakKadar

    Keterangan: a = berat labu dan sampel akhir (g)

    b = berat labu kosong (g)

    c = berat sampel awal (g)

    5. Analisis kadar protein, metode mikro-kjeldahl (AOAC, 1995)

    Sejumlah kecil sampel (kirakira membutuhkan 310 ml HCL

    0,01N atau 0,02 N) yaitu sekitar 0,1 gram ditimbang dan dimasukkan ke

    dalam labu kjeldahl 30 ml. Kemudian ditambahkan 0,9 g K2SO4, 40 mg

    HgO, dan 2 ml H2SO4. Jika bobot sampel lebih dari 15 mg, ditambahkan

    0,1 ml H2SO4 untuk setiap 10 mg bahan organik di atas 15 mg. Sampel

    dididihkan selama 11,5 jam sampai cairan menjadi jernih.

    Larutan kemudian dimasukkan ke dalam alat destilasi, dibilas

    dengan akuades, dan ditambahkan 10 ml larutan NaOHNa2S2O3. Gas

  • sampelmgHClNblankoHClmlsampelHClmlNKadar 100007,14)((%) =

    NH3 yang dihasilkan dari reaksi dalam alat destilasi ditangkap oleh H3BO3

    dalam erlenmeyer yang telah ditambahkan 3 tetes indikator (campuran 2

    bagian merah metil 0,2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0,2%

    dalam alkohol). Kondensat tersebut kemudian dititrasi dengan HCl 0,02 N

    yang sudah distandardisasi hingga terjadi perubahan warna kondensat

    menjadi abuabu. Penetapan blanko dilakukan dengan metode yang sama

    seperti penetapan sampel. Kadar protein dihitung dengan rumus:

    6. Analisis kadar karbohidrat (by difference)

    Perhitungan kadar karbohidrat dapat ditentukan dengan rumus:

    )(%100)(% LAKAPbbtkarbohidraKadar +++= Dimana:

    P = kadar protein (%)

    KA = kadar air (%)

    A = kadar abu (%)

    L = kadar lemak (%).

    )(25,6%)(% konversifaktorNbbproteinKadar =

  • IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

    A. Kajian Pembuatan Tepung Jagung

    Proses penggilingan biji jagung menjadi tepung dapat dilakukan

    dengan dua cara, yaitu penggilingan kering dan penggilingan basah. Pada

    prinsipnya, penggilingan biji jagung menjadi tepung merupakan proses untuk

    memisahkan endosperma dari bagian biji yang lain seperti lembaga, kulit

    (pericarp), dan tip cap (Hoseney, 1998). Endosperma merupakan bagian

    terbesar dari biji jagung yang paling tinggi kandungan karbohidratnya (pati).

    Bagian inilah yang kemudian akan dibuat menjadi tepung jagung. Sedangkan

    kulit dan tip cap harus dipisahkan karena dapat membuat tepung jagung

    memiliki tekstur yang kasar. Begitu pula dengan lembaga yang harus

    dipisahkan karena kandungan lemaknya yang tinggi dapat membuat tepung

    jagung cepat tengik akibat oksidasi lemak.

    Pembuatan tepung jagung dengan metode penggilingan kering

    didasarkan pada penelitian Juniawati (2003). Pada metode ini, penggilingan

    jagung dilakukan sebanyak dua kali. Penggilingan pertama menggunakan

    multi mill yang dilanjutkan dengan perendaman dan pencucian selama kurang

    lebih 2 jam untuk memisahkan bagian endosperma (grits) jagung dengan kulit,

    lembaga, dan tip cap. Perendaman juga bertujuan untuk melunakkan

    endosperma jagung agar mudah dihancurkan saat proses penggilingan kedua.

    Grits jagung hasil pencucian terlebih dahulu dikeringkan sehingga diperoleh

    kadar air 17%. Jika kadar air terlalu tinggi, maka grits akan menempel pada

    disc mill saat ditepungkan sehingga dapat menimbulkan kemacetan di alat

    tersebut. Sedangkan jika kadar air terlalu rendah, endosperma akan kembali

    menjadi keras dan sulit untuk ditepungkan. Penggilingan kedua bertujuan

    untuk memperhalus ukuran grits jagung menjadi tepung dengan menggunakan

    disc mill. Untuk memperoleh tepung jagung dengan ukuran partikel yang

    seragam, pengayakan dapat dilakukan menggunakan saringan berukuran 80

    atau 100 mesh. Menurut Suprapto dan Marzuki (2005), penggilingan kering

    (dry process) umumnya banyak dilakukan dalam skala besar.

  • Penggandaan skala pada proses penggilingan kering dilakukan dengan

    meningkatkan jumlah jagung pipil yang akan ditepungkan dari 10 kg menjadi

    25 kg. Jagung pipil yang digunakan merupakan jenis jagung QPM (Quality

    Protein Maize) dengan varietas Srikandi. Rianto (2006) sebelumnya telah

    menepungkan 10 kg jagung pipil kering varietas Srikandi menjadi tepung

    jagung yang lolos ayakan 80 mesh dengan rendemen sebesar 40% (4 kg).

    Namun walaupun dapat digunakan sebagai bahan baku pembuatan mi jagung,

    tekstur mi yang dihasilkannya tidak sehalus mi yang dibuat dari tepung jagung

    berukuran 100 mesh. Oleh karena itu, pada proses penepungan jagung

    selanjutnya digunakan ayakan berukuran 100 mesh. Sebanyak 25 kg jagung

    pipil kering yang digiling menjadi tepung jagung yang lolos ayakan 100 mesh

    menghasilkan rendemen sebesar 24% (6 kg). Sementara sisanya terbuang

    selama proses penepungan dengan kehilangan terbesar terjadi saat proses

    perendaman dan pencucian (48%/12 kg) serta pengayakan (24%/6 kg).

    Diagram alir kesetimbangan massa proses penggilingan kering jagung dapat

    dilihat pada Lampiran 3.

    Penelitian ini juga mencoba metode penepungan jagung dengan teknik

    penggilingan basah untuk mendapatkan rendemen yang lebih banyak. Adapun

    proses penggilingan basah jagung secara garis besar terdiri dari tahap

    pencucian, perendaman, penggilingan, penyaringan, pengendapan, dekantasi,

    sentrifugasi, dan pengeringan. Proses pencucian biji jagung bertujuan untuk

    memisahkannya dari kotoran yang dapat menjadi sumber kontaminasi.

    Sedangkan perendaman bertujuan untuk melunakkan biji jagung sehingga

    memudahkan penggilingan. Lama waktu perendaman biji jagung yang

    dilakukan bervariasi antara 6, 9, dan 12 jam. Hal ini dimaksudkan untuk

    mengetahui waktu optimum dimana biji jagung dapat digiling dengan cukup

    halus dan menghasilkan rendemen yang cukup besar.

    Langkah selanjutnya, biji jagung digiling dengan menggunakan alat

    penggiling batu (burr mill) yang terdiri dari dua cakram batu yaitu cakram

    statis dan cakram dinamis yang digerakkan dengan motor penggerak cakram.

    Alat ini bertujuan menyobek biji jagung sehingga kulit dan lembaga dapat

    lepas. Selama proses penggilingan, air harus terus dialirkan secara kontinyu

  • untuk mendorong bahan sehingga tidak terjadi penumpukan di satu titik.

    Selain itu, air juga berfungsi sebagai media pelarut bagi pati yang dilepaskan

    selama penggilingan. Hasil penggilingan kasar ini selanjutnya disaring untuk

    memisahkan cairan pati dengan hancuran lembaga, kulit, dan endosperma.

    Hasil penyaringan kemudian diendapkan selama + 20 jam sampai terbentuk

    dua lapisan, yaitu lapisan endapan pati jagung dan lapisan air yang jernih.

    Selanjutnya, endapan pati dipisahkan dari lapisan air sehingga diperoleh

    tepung jagung basah. Tahap terakhir, tepung jagung basah dikeringkan

    menggunakan oven bersuhu 60-70oC selama kurang lebih 5 jam hingga

    diperoleh kada