SKRIPSI - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44622/1/ANITA...
Transcript of SKRIPSI - repository.uinjkt.ac.idrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44622/1/ANITA...
SKRIPSI
PERKAWINAN PASANGAN YANG MEMILIKI BUKU NIKAH
PALSU (STUDI DI DESA CISALAK KOTA DEPOK)
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh :
Anita Listi Rojabiah
NIM: 11140440000119
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2018 M / 1439 H
ii
iii
iv
ABSTRAK
Anita Listi Rojabiah. NIM 11140440000119.“PERKAWINAN PASANGAN
YANG MEMILIKI BUKU NIKAH PALSU (STUDI DI DESA CISALAK
KOTA DEPOK)”. Program Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, 1439 H/2018 M.
Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 disebut bahwa perkawinan yang
sah adalah perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-
masing dan dilakukan pencatatan sesuai Peraturan Perundang-Undangan yang
berlaku yang disebut dengan Surat Akta. Bagi yang beragama Islam pencatatannya
oleh pegawai pencatat, bagi mereka yang bukan Islam, pencatatan dilakukan oleh
pegawai pencatat perkawinan pada Kantor Catatan Sipil”. Namun dalam
kenyataannya masih ada pasangan yang terjebak dalam pembuatan buku nikah
palsu,sehingga hal ini berdampak pada status hukum perkawinan pasangan tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proses masyarakat
memperoleh buku nikah palsu di Desa Cisalak Kota Depok, faktor-faktor yang
menyebabkan masyarakat terjebak dalam memperoleh buku nikah palsu, apa saja
hak-hak suami istri yang diketahui memperoleh buku nikah palsu. Metode penelitian
yang digunakan adalah metode studi kasus. Pengumpulan data dalam penelitian ini
dilakukan dengan menggunakan teknik wawancara dan studi kepustakaan.
Sedangakan teknik analisi yang digunakan adalah analisis deskriptif kualitatif.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa proses masyarakat terjebak dalam
pembuatan buku nikah dimana para pasangan menikah sah secara agama akan tetapi
pada pembuatan buku nikah para pasangan baru mengetahui bahwa buku nikah
tersebut tidak terdaftar di KUA. Para pasangan mengetahui buku nikah palsu tersebut
dari salah satu responden bermula dari adanya pengangkatan PNS yang sudah
menikah salah satu persyaratannya harus ada fotocopy buku nikah yang sudah di
legalisir di KUA bersangkutan tempat di keluarkannya buku nikah tersebut dari
sanalah salah satu responden mengetahui bahwasannya buku nikah yang dimilikinya
tidak terdaftar di KUA, dan dari responden yang akan membuat akta lahir anak
dimana salah satu persyaratannya harus ada foto copy buku nikah yang sudah di
legalisir di KUA kediaman responden tersebut menikah, karena sebelum di legalisir
di cek terlebih dahulu nomor akta nikah dimana akta nika tersebut tidak terdaftar di
KUA.
Kata Kunci : Buku Nikah Palsu, Pencatatan Nikah, Isbat Nikah.
Pembimbing : Arip Purkon, S.HI., M.A
Daftar Pustaka: Tahun 1976 – Tahun 2017.
v
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah swt, sang maha pencipta dan penguasa alam semesta yang
telah melimpahkan taufiq dan hidayahnya, serta kenikmatan bagi hambanya nikmat
sehat sehingga penyusun bisa menyelesaikan karya ilmiyah berupa skripsi ini.
Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan kepada sang revolusioner
Muhammad Rasulullah SAW, kepada keluarganya dan beserta para sahabat, Tabi’in
dan tabiatnya yang dengan keberanian dan kesabarannya membawa risalah Islamiyah
yang samapi sekarang bisa kita rasakan buahnya.
Syukur Alhamdulillah Penyusun ucapkan karena telah berhasil merampungkan
penulisan skripsi ini, di sadari sepenuhnya bahwa tulisan ini masih sangan sederhana
untuk dikatakan sebuah skripsi, karena masih memiliki banyak kekurangan. Tidaklah
sedikit bantuan dari berbagai pihak yang penyusun terima, penyusun menyadari
bahwa skripsi ini tidak ada selesai tanpa kontribusi, motivasi, uluran bantuan,
dorongan, arahan, dan bimbingan dari berbagai pihak, sehingga terlengkapilah syarat-
syarat guna memperoleh gelar strata satu (S1) dalam program studi Hukum Keluarga,
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul:
“PERKAWINAN PASANGAN YANG MEMILIKI BUKU NIKAH PALSU DI
DESA CISALAK KOTA DEPOK”. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan
hati, penyusun ingin mengucakan terimakasih yang sedalam-dalamnya kepada:
1. Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag., dan Indra Rahmatullah S.H.I., M.H., selaku
Ketua dan Sekertaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
3. Arip Purkon, S.HI., M.A. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah
banyak membantu, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama
membembing penulis.
4. Dr. Mesraini, M.Ag. selaku Dosen Penasehat Akademik yang telah banyak
membantu, meluangkan waktu, tenaga dan pikiran selama membembing
penulis
5. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staf pengajar pada lingkungan Program
Studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan
ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk dibangku perkuliahan.
6. Segenap Jajaran Staf dan Karyawan Akademik Perpustakan Fakultas Syariah
dan Hukum dan Perpustakan Utama yang telah membantu penulis dalam
pengadaan referensi-referensi sebagai bahan rujukan skripsi.
7. Ayahanda Pepen S.Ag dan Ibunda Lilis Holisoh yang penulis cintai, beserta
keluarga yang selalu memberikan motivasi, Bimbingan, serta doa dalam
setiap sujudnya untuk kebahagiaan dan kesuksesan penulis.
8. Kakakku tercinta, Aminah Nurhikmah dan Abdul Gofur Ramdani yang telah
memberikan doa dan motivasi serta dukungan moril ataupun materil demi
menyelesaikan studi ini. Serta nasehat yang senantiasa memberikan semangat
hingga penulis dapat menyelesaikan studi, dan adik-adik ku tercinta Anisa
Nurul Aeni, Akbar Fajri, Fauzan Efendi dan keponakan ku Putri Aulia yang
memberikan semangat, doa, dan keceriaan kepada penulis.
9. Teruntuk Irwansyah Mahasiswa fakultas Dakwah dan Ilmu Komunkasi yang
selalu mensupport dan mendoakan agar terselesaikannya penulisan skripsi ini.
10. Teman-teman seperjuangan Hukum Keluarga angkatan 2014 khususnya
kepada Amalia, Elis Aliayah Zamil, Mar’atussolehah, Sary widiastuti,
Istiqomah, Nida Sriwidiastuti, Suci, Lutfah Rokhmanah, dan semuanya yang
tidak bisa penyusun sebutkan satu persatu yang telah bersama-sama berjuang
vii
dalam menuntut ilmu baik dalam suasana suka maupun duka di Fakultas
Syariah dan Hukum tercinta, semoga ukhuwah islamiyah diantara kita tetap
terjaga selamanya.
11. Seluruh teman-teman mahasiswi/i Hukum Keluarga angkatan 2014, yang
telah menemani penulis dalam menempuh pendidikan di Program Studi
Hukum Keluarga UIN Syarif Hidayatullah jakarta.
12. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan
skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu.
Penyusun menyadari bahwa tidak ada karya manusia yang sempurna di dunia
ini. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati penyusun menerima kritik dan
saran yang membangun sehingga dapat memperbaiki semua kekurangan yang ada
dalam penulisan ini. Semoga penulisan ini dapat permanfaat bagi siapapun yang
membacanya. Amin Yaa Rabbal Alamin.
Jakarta, 20 Agustus 2018
Anita Listi Rojabiah
viii
DAFTAR ISI
PERSETUJUAN PEMBIMBINGAN..............................................................
LEMBAR PENGESAHAN...............................................................................
LEMBAR PERNYATAAN...............................................................................
ABSTRAK..........................................................................................................
KATA PENGANTAR.......................................................................................
DAFTAR ISI......................................................................................................
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah............................................................
B. Identifikasi, Pembahasan dan Rumusan Masalah......................
C. Tujuandan Manfaat Penelitian..................................................
D. Metode Penelitian......................................................................
E. Review Kepustakaan…......…………………………………....
F. Sistematika Penulisan………………………………………....
BAB II : PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian Pencatatan Perkawinan.............................................
B. Prosedur Pencatatan Perkawinan................................................
C. Ketentuan Hukum Yang Mewajibkan Pencatatan Perkawinan..
D. Tujuan dan Manfaat serta Pentingnya Pencatatan Perkawinan..
E. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan............................
BAB III : PERKAWINAN DENGAN BUKU NIKAH PALSU DI DESA
CISALAK KOTA DEPOK
A. Para Pasangan Yang Terjebak Dalam Pembuatan Buku Nikah
Palsu di Desa Cisalak Kota Depok............................................
i
ii
iii
iv
v
viii
1
7
8
9
11
13
15
17
26
29
34
38
ix
B. Proses Masyarakat Memperoleh Buku Nikah Palsu di Desa
Cisalak Kota Depok..................................................................
C. Faktor Penyebab Masyarakat Terjebak dalam Pemberoleh
Buku Nikah Palsu di Desa Cisalak Kota Depok.......................
BAB IV : KEWAJIBAN DAN HAK SUAMI ISTRI YANG MEMILIKI
BUKU NIKAH PALSU DI DESA CISALAK KOTA DEPOK
A. Kewajiban Suami Istri yang Memiliki Buku nIkah Palsu di
Desa Cisalak Kota Depok..........................................................
B. Hak Suami Istri yang Memperoleh Buku Nikah Palsu di Desa
Cisalak Kota Depok.......................................................................
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................
B. Saran..........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................
LAMPIRAN-LAMPIRAN
40
48
51
54
58
59
60
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pencatatan perkawinan adalah pendataan administrasi perkawinan
yang ditangani oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) dengan tujuan untuk
menciptakan ketertiban hukum.
Di Indonesia, aturan tentang pencatatan pernikahan dapat dilihat di
UU No. 22 Tahun 1964. UU ini mengatur hanya administrasi pekawinan
dan menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah.
Aturan pencatat penikahan diperkuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
dalam pasal 5 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam (KHI) terdapat informasi
implisit bahwa pencatatan perkawinan adalah sebagai alat untuk
menciptakan ketertiban perkawinan. Tidak dipenuhinya pendaftaran
perkawinan berakibat pada ketidak absahannya perkawinan, dan upaya
hukum di pengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak terdaftar. Ini
berarti, Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidak memberi ruang bagi
perkawinan yang tidak terdaftar. Namun KHI membedakan antara
keabsahan secara agama dan legalitas perkawinan menurut negara, dan
dengan demikian tidak menganggap perkawinan batal secara agama jika
pihak-pihak yang terkait hanya tidak mendaftarkan perkawinan mereka.
Tampak jelas KHI tidak ingin secara jauh melenceng dari doktrin hukum
klasik perkawinan.1
Ada beberapa analisis yang dapat dikemukakan mengapa
pencatatan perkawinan tidak diberi perhatian yang serius oleh fikih
walaupun ada ayat al-Qur‟an yang menganjurkan untuk mencatat segala
bentuk transaksi muamalah. Pertama, larangan untuk menulis sesuatu
selain al-Qur‟an. Akibatnya kultur tulis tidak begitu berkembang
1 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga,
Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum
Internasional, ( Jakarta: Penerbit Kencana, 2013 Cet. Pertama ) h., 26.
2
dibanding dengan kultur hafalan (oral).2 Kedua, kelanjutan dari yang
pertama, maka mereka sangat mengandalkan hafalan (ingatan). Agaknya
mengingat suatu peristiwa perkawinan bukanlah sebuah hal yang sulit
untuk dilakukan. Ketiga, tradisi walimat al-„urusy walaupun dengan
seekor kambing merupakan saksi disamping saksi syar‟i tentang sebuah
perkawinan. Keempat, ada kesan perkawinan yang berlangsung pada
masa-masa awal islam belum terjadi antar wilayah negara yang berbeda.
Biasanya perkawinan pada masa itu berlangsung di mana calon suami dan
calon istri berada dalam suatu wilayah yang sama. Sehingga alat bukti
kawin selain saksi belum dibutuhkan.
Dengan alasan-alasan yang telah disebutkan diatas, dapatlah
dikatakan bahwa pencatatan perkawinan belum dipandang sesuatu yang
sangat penting sekaligus belum dijadikan sebagai sebuah alat bukti
autentik terhadap sebuah perkawinan
Sejalan dengan perkembangan zaman dengan dinamika yang terus
berubah maka banyak sekali perubahan-perubahan yang terjadi.
Pergeseran kultur lisan (oral) kepada kultur tulis sebagai ciri masyarakat
modern, menuntut dijadikannya akta, surat sebagai bukti autentik. Saksi
hidup tidak lagi bisa diandalkan tidak saja karena bisa hilang dengan sebab
kematian, manuasia dapat juga mengalami kelupaan. Atas dasar ini
diperlukan sebuah bukti yang abadi itulah yang disebut dengan akta.
Uandang-undang pertama pencatatan perkawinan, perceraian yang
sekaligus dikelompokkan sebagai usaha pembaharuan pertama adalah
dengan diperkenalkan Undang-undang No. 22 Tahun 1946. Pertama
Undang-undang ini hanya berlaku untuk pulau Jawa, yang kemudian
Undang-undang pertama tentang perkawinan yang lahir setelah Indonesia
dengan Undang-undang No. 32 Tahun 1945, yakni Undang-undang
tentang pencatatan nikah, thalak, dan rujuk. Aulawi mencatat, seyogyanya
2 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2004 Cet. Pertama ), h., 119.
3
Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini berlaku untuk seluruh Indonesia
tetapi karena keadaan belum memungkinkan, maka diberlakukan untuk
daerah Jawa dan Madura. Kemudian diberlakukan di seluruh Indonesia
pada Tahun 1945, dengan diundangkan Undang-undang No. 32 Tahun
1945, yang isinya memperlakukan Undang-undang No. 22 Tahun 1946 di
seluruh Indonesia. Undang-undang No. 22 Tahun 1946 ini di ikuti dengan
lahirnya Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan. Undang-
undang No. 1 Tahun 1975 yang berlaku secara efektif sejak tanggal 1
Oktober 1975 ini adalah Undang-undang pertama yang mencakup seluruh
unsur-unsur dalam perkawinan dan perceraian.3 Dengan demikian salah
satu bentuk pembaruan hukum kekeluargaan islam adalah dimuatnya
pencatatan perkawinan sebagai salah satu ketentuan perkawinan yang
harus dipenuhi.
Dari penjelasan diatas, jelaslah bahwa fikih tidak membicarakan
pencatatan perkawinan. Hal ini tentu berbeda dengan ketentuan UUP
perkawinan yang sebagaimana terlihat nanti, tidak saja menempatkan
pencatatan perkawinan sebagai sesuatu yang penting, tetapi juga
menjelaskan mekanisme bagaimana pencatatan perkawinan itu
dilaksanakan.
Didalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 2 ayat 2 dinyatakan bahwa:
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan Perundang-undangan
yang berlaku”.
Didalam penjelasasnnya tidak ada uraian yang lebih rinci kecuali
yang dimuat didalam PP No. 9 Tahun 1975. Ini berbeda dengan ayat 1
yang didalam penjelasannya dikatakan tidak ada perkawinan diluar hukum
agama dan maksud hukum agama termasuk ketentuan perundang-
undangan yang berlaku.
Didalam PP No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan undang-
undang perkawinan pasal 3 ada dinyatakan:
3 www.Rumahbangsa.net Sejarah Pencatatan Perkawinan di kutip pada tanggal 25 Agustus 2018,
Jam 23:58 WIB.
4
1. Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya kepada pegawai pencatat di tempat perkawinan akan
dilangsungkan.
2. Pemberitahun tersebut dalam ayat (1) dilakukan sekurang-kurangnya
10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan.
3. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan
sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh camat (atas nama) Bupati
Kepala Daerah.
Dengan demikian, pencatatan perkawinan ini walaupun didalam UUP
hanya diatur oleh satu ayat, namun sebenarnya masalah pencatatan ini
sangat dominan. Ini akan tampak dengan jelas menyangkut tata cara
perkawinan itu sendiri yang kesemuanya berhubungan dengan pencatatan.
Tidaklah berlebihan jika ada sementara pakar hukum yang
menempatkannya sebagai syarat administratif yang juga menentukan sah
atau tidaknya sebuah perkawinanan.
KHI memuat masalah pencatatan perkawinan ini pada pasal 5 sebagai
berikut:
1. Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam, setiap
perkawinan harus dicatat.
2. Pencatatan perkawinan tersebut pada ayat (1) dilakukan oleh
Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana yang diatur dalam undang-
undang Nomor 32 Tahun 1954.
Selanjutnya pada pasal 6 dijelaskan:
1. Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus
dilangsungkan di hadapan dan dibawah pengawasan pegawai
pencatat nikah.
2. Perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan pegawai Pencatat
Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.
Aturan-aturan didalam KHI ini sudah melangkah lebih jauh dan tidak
hanya bicara masalah administratif. Pertama, didalam pasal 5 ada klausul
yang menyatakan agar terjaminnya ketertiban perkawinan bagi masyarakat
Islam. Ketertiban disini menyangkut ghayat al-tasyri’ (tujuan hukum
islam) yaitu menciptakan kemaslahatan bagi masyarakat. Kedua, pada
pasal 6 ayat 2 ada klausul tidak mempunyai kekutan hukum. Apa makna
tidak mempunyai kekuatan hukum ini? Sayang KHI tidak memiliki
5
penjelasan. Penulis lebih setuju jika tidak memiliki kekuatan hukum
diterjemahkan dengan tidak sah (la yasihhu). Jadi perkawinan yang tidak
dicatatkan dipandang tidak sah.4
Perkawinan di Indonesia, ada perkawinan yang tercatat dan yang
tidak tercatat. Pencatatan perkawinan di indonesia senantiasa menjadi
topik menarik karena ragam pendapat senantiasa muncul, baik sebelum
terbentuk UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan maupun setelahnya.
Berdasarkan kitab-kitab yang dijadikan pedoman oleh depertemen agama
dalam menyelesaikan perkara dalam lingkungan peradilan agama, tidak
terdapat ulama yang menetapkan bahwa salah satu syarat perkawinan
adalah pencatatan, baik sebagai syarat sah maupun sebagai syarat
pelengkap. Akan tetapi, dalam Undang-undang Perkawinan yang
diberlakukan, pasal yang mengatur pencatatan perkawinan selalu ada,
sebagai bagian dari pengawasan perkawianan yang diamanatkan oleh
Undang-undang.
Perkawianan tidak tercatat ialah perkawinan yang secara material
telah memenuhi ketentuan syariat sesuai dengan maksud pasal 2 ayat 1 uu
no 1 tahun 1974 tentang perkawinan tetapi tidak memenuhi ketentuan ayat
2 pasal tersebut Jo. Pasal 10 ayat 3 PP No. 9 tahun 1975.5
Menurut Jaih Mubarok, pada umumnya yang dimaksud
perkawinan yang tidak tercatat adalah perkawinan yang tidak dicatat oleh
PPN. Perkawinan yang tidak berada di bawah pengawasan PPN, dianggap
sah secara agama tetapi tidak mempunyai kekuatan hukum tetap karena
tidak memiliki bukti-bukti perkawinan yang sah menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku.6
4 Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam d
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2004 Cet. Pertama ), h., 124 5 Mukhlisin Muzarie, Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, ( Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Dinamika, 2002 ), h., 110. 6Jaih Mubarok, Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, ( Jakarta:
Penerbit Bumi Aksara, 2002 ), h., 87.
6
Undang-undang Nomor 2 tahun 1946 tanggal 21 November yang
berlaku sejak 2 November 1954 melalui Undang-undang No. 32 tahun
1954 tanggal 26 Oktober 1954 (LN. 1954 No. 98) yakni Undang-undang
pencatatan nikah talak dan rujuk mengatur tentang pencatatan nikah talak
dan rujuk di Indonesia bagi orang Islam. Dalam pasal 1 UU No. 22 tahun
1946 ditentukan bahwa:
“Nikah yang dilakukan menurut Agama Islam diawasi oleh pegawai
pencatat nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau Pegawai yang
ditunjuk olehnya”.
Perkawinan tidak tercatat termasuk salah satu perbuatan hukum
yang kurang dikehendaki oleh Undang-undang karena terdapat
kecendrungan kuat dari segi sejarah hukum perkawinan, bahwa
perkawinan tidak tercatat termasuk perkawinan ilegal. Meskipun
demikian, dalam pasal 5 ayat 1 KHI terdapat informasi implisit bahwa
pencatatan perkawinan adalah sebagai alat untuk menciptakan ketertiban
perkawinan. Oleh karna itu, dalam pasal 7 ayat 3 KHI diatur mengenai
isbat nikah bagi perkawinan tidak tercatat dengan kata lain, perkawinan
tidak tercatat adalah sah tetapi kurang sempurna. Ketidak sempurnaan itu
dapat dilihat dari ketentuan pasal 7 ayat 3 KHI.
Akad pada perkawinan tidak tercatat biasanya dilakukan
dikalangan terbatas, dimuka pak kyai atau ulama tanpa kehadiran petugas
KUA, dan tentu saja tidak memiliki surat nikah yang resmi. Dalam pasal 2
ayat 2 UU Perkawinan no 1 Tanun 1974 ditegaskan bahwa tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Perkawinan tidak tercatat secara agama adalah sah manakala memenuhi
syarat dan rukun meskipun demikian, karena pernikahan tersebut tidak
tercatat maka dalam hukum positif dianggap tidak sah karena tidak diakui
negara (dasarnya pasal 1 ayat 2 UU No 1 Tahun 1974).7
7 Moh Idris Ramulyo, Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1
Tahun 1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara, 2002 )
h., 224.
7
Keabsahan perkawinan itu ditandai dengan adanya suatu peristiwa
perkawinan yang syarat rukunnya telah terpenuhi berdasarka hukum
islam. Namun dengan seiring perkembangan jaman dengan adanya
undang-undang yang mengatur tentang perkawinan maka bukannya hanya
sah secara syarat dan ketentuan hukum islam saja tetapi juga sah secara
hukum positif yaitu mengikuti ketentuan secara administratif yang telah
diatur undang-undang mengenai perkawinan tersebut.
Dapat dilihat dengan adanya ketentuan tersebut yang diberikan
oleh negara kepada masyarakatnya bahwa perkawinan ini dianggap sangat
penting dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya jaminan tersebut
diharapkan kehidupan yang taratur dan tentram serta meminimalisir
tindak pelanggaran terkait suatu perikatan yang disebut perkawinan.
Merujuk pada pengertian tersebut, maka dalam hal penerbitan
administrasi negara, pencatatan perkawinan menjadi suatu yang sangat
penting untuk menuju modernisasi dari hukum perkawinan.
Kepastian Hukum dari pernikahan muncul karena pencatatan nikah
dilakukan oleh pejabat umum dalam proses pernikahan umat Islam, yaitu
PPN yang melakukan pengawasan langsung terhadap pelaksanaan
pernikahan, kemudian memberikan akta otentik berupa akta nikah atau
buku nikah sebagai bukti penting bagi pernikhan tersebut, sehingga
pernikahan tersebut benar-benar dapat dibuktikan telah terjadi dihadapan
hukum. Suami istri akan sangat sulit mengingkari pernikahan tesebut
dikemudian hari karena akta nikah/buku nikah sebagai akta otentik dari
sudut pandang hukum pembuktian merupakan alat bukti sempurna. Lain
halnya dengan kasus yang ada di desa cisalak kota depok dalam
pelaksanaan pernikahan masyarakat cisalak resmi secara agama akan
tetapi dalam pembuatan akta nikah atau buku nikah mereka tidak
mengetahui bahwasannya buku nikah tersebut dibuat secara palsu dan
tidak terdaftar di KUA, maraknya peredaran buku nikah palsu membuat
masayarakat resah Secara fisik Buku nikah palsu hampir seratus persen
menyerupai buku nikah yang dilakukan kementrian agama pusat di jakarta,
8
mulai dari kode propinsi, hingga gambar pancasila juga muncul saat
diberikan sinar ultra violet. Namun setelah di cek dalam register data
pencatatan dalam buku nikah palsu ini tidak ada.
Terhadap permasalahan tersebutlah yang melatar belakangi
penulis akan kemas dalam bentuk penulisan skripsi dengan judul
“PERKAWINAN PASANGAN YANG MEMILIKI BUKU NIKAH
PALSU (STUDI KASUS DI DESA CISALAK DEPOK)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Masalah-masalah yang menjadi identifikasi penulis adalah:
a) Bagaimana proses masyarakat memperoleh buku Nikah palsu di
Kelurahan Cisalak Kota Depok?
b) Faktor apa yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam
memperoleh buku nikah palsu di Kelurahan Cisalak Kota Depok?
c) Apa saja hak-hak suami istri yang diketahui memperoleh buku
nikah palsu di Kelurahan Cisalak Kota Depok?
d) Bagaimana hak-hak anak dan istri jika terjadi perceraian yang
diketahui memperoleh buku nikah palsu?
e) Bagaimana masyarakat dalam menyikapi terjadinya pembuatan
buku nikah palsu?
f) Dapatkah orang yang buku nikah palsu menikah lagi dengan orang
lain?
g) Bagaimana solusi bagi para pihak yang ingin bercerai tetapi buku
nikah tersebut palsu?
2. Pembatasan Masalah
Begitu banyak permasalahan Pasangan suami istri yang memiliki buku
nikah palsu. Untuk itu penulis membatasi permasalahan penelitian
mengenai bagaimana proses masyarakat memperoleh buku nikah palsu
dan Faktor apa yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam
9
memperoleh buku nikah palsu serta apa saja hak-hak suami istri yang
diketahui memperoleh buku nikah palsu.
3. Perumusan Masalah
Dari batasan masalah di atas, maka penulis fokus pada beberapa
rumusan masalah yaitu:
a) Bagaimana proses masyarakat memperoleh buku Nikah palsu di
Kelurahan Cisalak Kota Depok?
b) Faktor apa yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam
memperoleh buku nikah palsu di Kelurahan Cisalak Kota Depok?
c) Apa saja hak-hak suami istri yang diketahui memperoleh buku
nikah palsu di Kelurahan Cisalak Kota Depok?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian skripsi ini adalah sebagai berikut:
a) Untuk mengetahui Bagaimana proses masyarakat memperoleh
buku Nikah palsu di Kelurahan Cisalak Kota Depok
b) Untuk mengetahui Faktor apa yang menyebabkan masyarakat
terjebak dalam memperoleh buku nikah palsu di Kelurahan Cisalak
Kota Depok
c) Untuk menegtahui Apa saja hak-hak suami istri yang diketahui
memperoleh buku nikah palsu di Kelurahan Cisalak Kota Depok
2. Manfaat Penelitian
Adapun manfaat dalam penelitian skripsi ini adalah:
a) Manfaat terutama dalam penelitian ini adalah untuk memperoleh
gelar sarjana Hukum (SH) Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta.
b) Dapat dijadikan bahan referensi bagi mahasiswa Hukum Keluarga
di masa yang akan datang
c) Diharapkan penelitian ini dapat berguna bagi masyarakat dan diri
saya sendiri
10
D. Metode Penelitian
Metode penelitian adalah metode ilmiah yang digunakan untuk memahami
suatu fenomena/masalah dengan menggunakan fakta-fakta (data sampel
atau data populasi) dan analisa secara ilmiah, baik analisa kualitatif
maupun kuantitatif untuk suatu tujuan tertentu. Berikut ini akan diuraikan
suatu pengalaman penelitian, yang didalamnya terdapat jenis penelitian,
sumber data penelitian, lokasi penelitian, teknik pengumpulan data, dan
analisis data.
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan sebagai berikut:
a) Pendekatan empiris adalah usaha mendekati masalah yang diteliti
dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan kenyataan yang
hidup dalam masyarakat.
b) Pendekatan Sosiologis
Yaitu pendekatan yang tujuannya pada permasalahan-permasalah
yang ada dalam masyarakat, digunakan untuk mengetahui realitas
yang ada dalam masyarakat. Karena suatu tindakan seseorang pada
prinsipnya merupakan hasil proses sosial ketika orang tersebut
berintraksi dengan orang lain.
Kedua pendekatan tersebut dipilih untuk melengkapi ketetapan dan
kebenaran kajian yang diteliti oleh penulis.
2. Jenis Penelitian
Penelitian kualitataif dimaksudkan sebagai jenis peneliatian yang
temuan-temuannya tidak di proleh melalui prosedur statistik atau
bentuk hitungan lainnya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menekankan pada qualitysuatu hal terpenting suatu barang atau jasa,
yang berupa kejadian fenomena dan gejala sosial metode ini
digunakan karena mempunyai fungsi yang akan diperoleh, yaitu untuk
meneliti latar belakang ketahanan keluarga yang terjadi secara
mendalam.
3. Sumber Data
11
a) Data primer adalah data yang diambil secara langsung dari objek
yang diteliti. Penulis dengan ini melakukan wawancara terhadap
lima pasangan suami istri yang memiliki buku nikah palsu.
b) Data skunder adalah data yang diperoleh dari dokumen, buku-
buku, majalah dan lainnya
4. Teknis Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis mengumpulkan data dengan cara:
a) Wawancara
Yaitu sesuatu kegiatan dilakukan untuk mendapatkan informasi
secara langsung dengan mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan
kepada responden.
Penulis hanya mewawancarai para respoden setempat untuk
menambah data untuk menanyakan informasi mereka terkait
pernikahan pasangan yang memiliki buku nikah palsu
5. Subjek Penelitian
Subjek penelitian merupakan seseorang atau sesuatu yang
mengenainya ingin diperoleh keterangan, sedangkan responden
memberi batasan subjek penelitian sebagai benda, hal atau orang
tempat data untuk variable penelitian melekat, dan yang
dipermasalahkan. Subjek yang penulis sasarkan yaitu pasangan suami
istri yang memiliki buku nikah palsu untuk memperkuat sumber data
yang ada.
Penelitian ini berada di daerah penulis tinggal karena agar lebih mudah
mengumpukan data-data yang penulis butuhkan.
6. Metode Analisis data
a) Metode Indukatif adalah cara pengambilan kesimpulan secara
umum berdasarkan data individual hasil penelitian sampel.dari
kasus ini adalah terjadinya pemalsuan buku nikah yang berada di
kelurahan Cisalak
b) Metode deduktif yaitu dengan cara penarikan kesimpulan yang
bersifat individual dari pernyataan yang bersifat umum. Dalam hal
12
ini mengenai proses terjadinya pemalsuan buku nikah, kemudian
membahas penyebab terjadinya masalah sesuai dengan data yang
mendukung serta
7. Teknik Penulisan
Penulisan skripsi ini mengacu kepada buku pedoman yaitu pedoman
penulisan skripsi Fakultas Syariah dan Hukum 2017.
E. Review Kepustakaan
penulis menumukan beberapa judul skrips yang pernah ditulis oleh
mahasiswa-mahasiswa sebelumnya yang berkaitan erat dengan judul yang
akan diteliti oleh enulis.
No Nama penulis/Judul/Tahun Subtansi
1 Komarudin Beta, Praktek
Perkawinan yang tidak tecatat di
Desa Kartanegara, Indramayu
(Studi Anlisis Hukum Islam dan
Hukum Positif), 2010 Fakultas
Syariah dan Hukum.
Disini membahas perkawinan
yang tidak dicatatkan dalam
tradisinya mereka menghindari
sistem dan cara pengaturan
pelaksanaan perkawinan menurut
Undang-undang perkawinan yang
dinilai terlalu birokrasi dan
berbelit-belit serta membutuhkan
biaya yang tidak sedikit.
2 A.Syaadzali, Mahalnya Biaya
Pernikahan sebagai faktor
pemicu Nikah di Bawah Tangan
(Studi Kasus di KUA Kec.
Benda Tangerang), 2006
Fakultas Syariah dan Hukum.
Mengulai mahalnya biaya
pernikahan sebagai faktor
seseorang melakukan nikah di
bawah tangan.
3 Mas Maulana Ulun, Analisis
Hukum Pidana Islam terhadap
kronologis pemalsuan akta
nikah menurut pasal 226 kitab
Dalam skripsi ini membahas
pemalsuan Buku Nikah terhadap
Hukum Pidana oktnum yang
memalsukan buku nikah tersebut
13
Undang-undang Hukum Pidana
(Studi Kasus Desa Betek Kec.
Mojoagung Kab. Jombang),
2016
dimana judul yang penulis akan
bahas ini berbeda dengan
penulisan skripsi tersebut, yang
penulis akan bahas tertuju pada
masyarakatnya yang terkena buku
nikah palsu.
4 Duray Achmad, Pencatatan
Perkawinan di Kantor Urusan
Agama (Studi di Bantergebang,
Kota Bekasi), 2016 Fakultas
Syariah dan Hukum.
Untuk mengetahui prihal
fenomena perkawinan yang
tidak dicatatkan dan penyebab
terjadinya praktek tersebut.
5 Abdul Basit Misbachul Fitri,
Problematika Kutipan Akta
Nikah Palsu di Kecamatan
Ploso Kabupaten Jombang,
Artikel
Didalam artikel tersebut
membahas perkawinan yang
memalsukan buku nikah sebab
poligami liar atau tidak sehat.
Dari beberapa judul skripsi, sudah jelas berbeda pembahasannya
dengan skripsi yang akan dibahas oleh penulis. Maka dari itu penulis
tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul “PERKAWINAN
PASANGAN YANG MEMILIKI BUKU NIKAH PALSU (STUDI DI
DESA CISALAK DEPOK).
Maka dari itu peneliti mengambil judul tersebut karena sangat
menarik untuk dibahas dan sekaligus sebagai study literatur di
perpustakan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang sistematis dan baik,
maka pembahasan dalam penelitian ini terdiri dari lima bab, yang tiap
babnya terdiri dari sub-sub untuk mempermudah memahaminya.
Pembahasan yang berkaitan itu adalah sebagai berikut:
14
Bab I berisikan pendahuluan yang berhubungan erat dengan
permasalahan yang akan dibahas, menjelaskan latar belakang masalah,
Identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat
penelitian, metode penelitian, review kepustakaan, dan sistematika
penulisan.
Selanjutna Bab II Membahas tentang tinjuan umum tentang
pencatatan perkawinan di Indonesia yang meliputi: Pengertian pencatatan
perkawinan, Prosedur pencatatan perkawiana, Ketentuan hukum yang
mewajibkan pencatatan perkawinan, Tujuan dan manfaat serta pentingnya
pencatatan perkawinan, Akibat hukum tidak dicatatnya perkawinan.
Adapun Bab III berisikan tentang perkawinan buku nikah palsu di
desa cisalak yang terdiri dari data para responden yang terjebak dalam
pembuatan buku nikah palsu di desa cisalak, proses masyarakat
memperoleh buku nikah palsu di desa cisalak dan faktor penyebab
masyarakat terjebak dalam memperoleh buku nikah palsu di desa cisalak.
Kemudian Bab IV berisikan tentang kewajiban dan hak suami isteri yang
memperoleh buku nikah palsu di desa cisalak kota depok.
Dan yang terkhir Bab V Merupakan bab akhir dalam penelitian ini,
terdiri dari penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran yang bersifat
membangun bagi penyempurnaan penelitian ini.
15
BAB II
PENCATATAN PERKAWINAN DI INDONESIA
A. Pengertian Pencatatan Perkawinan
Suatu pencatatan yang dilakukan oleh pejabat negara terhadap
peristiwa perkawinan. Dalam hal ini pegawai pencatat nikah yang
melakukan pencatatan, ketika akan melangsungkan suatu akad
perkawinan antara calon suami dan calon istri.1
Pencatatan adalah suatu tindakan untuk mencatat suatu peristiwa
oleh salah satu lembaga atau perorangan yang berguna untuk menciptakan
ketertiban2. Pencatatan perkawinan berarti merupakan suatu usaha untuk
mencatatkan peristiwa perkawinan kepada lembaga administrasi negara
dalam hal ini Kantor Urusan Agama. Dalam peristiwa tersebut, pegawai
pencatat nikah melakukan pencatatan saat dan setelah berlangsungnya
akad perkawinan antara calon suami dan calon istri.3
Pencatatan perkawinan adalah kegiatan pengadministrasian dari
sebuah perkawinan yang dilakukan oleh pegawai pencatatat nikah (PPN)
yang berkedudukan di Kantor Urusan Agama (KUA) diwilayah kedua
calon mempelai melangsungkan perkawinanan yang beragama Islam
dengan tujuan untuk menciptakan ketertibah hukum dan dikantor catatan
sipil (KCS) bagi yang bergama selain Islam.4
Di Indonesia, aturan pencatatan perkawinanan dapat dilihat di UU
No. 22 Tahun 1964. UU ini hanya mengatur administrasi pekawinan dan
menegaskan bahwa pernikahan diawasi oleh pegawai pencatat nikah.
1 Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (
Jakarta: Penerbit Grahacipta, 2005 Cet. Pertama ) h., 37 2 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pencatatan ( Catatan ) yaitu Catat,
Mencatat 1. Menuliskan sesuatu untuk peringatan (di buku catatan) 2. Menuliskan apa
yang sudah ditulis atau diucapkan orang lain; menyalin 3 Muhammad Zein dan Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis,
(Jakarta: Graha Cipta, 2005), Cet.ke 1, h.36. 4 Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Kencana,
2012 Cet. Kedua ) h., 53.
16
Aturan pencatat penikahan diperkuat dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan
KHI. KHI menyatakan bahwa perkawinan dinyatakan sah dengan hadirnya
pencatat perkawinan yang resmi atau jika didaftarkan. Tidak dipenuhinya
pendaftaran perkawinan berakibat pada ketidak absahannya perkawinan,
dan upaya hukum dipengadilan akan ditolak jika perkawinan tidak
terdaftar. Ini berarti, KHI tidak memberi ruang bagi perkawinan yang tidak
terdaftar. Namun KHI membedakan antara keabsahan secara agama dan
legalitas perkawinan menurut negara, dan dengan demikian tidak
menganggap perkawinan batal secara agama jika pihak-pihak yang terkait
hanya tidak mendaftarkan perkawinan mereka. Tampak jelas KHI tidak
ingin secara jauh melenceng dari doktrin hukum klasik perkawinan.5
Pancatatan pernikahan merupakan hal yang sangat penting bagi
pasangan suami istri. Dengan mencatatan pernikahannya mereka akan
mendapatkan bukti resmi dari negara atas pernikahan mereka. Surat nikah
ini akan berguna saat mereka hendak membuat dokumen-dokumen penting
lainnya yang berkaitan dengan pernikahan itu, misalkan akte kelahiran
anak.
Pencatatan perkawinan dapat dijadikan sebagai alat bukti yang
autentik agar seseorang mendapat kepastian Hukum, karena apabila dilihat
dari segi manfaatnya maka hal ini sejalan dengan prinsip pencatatan yang
terkandung dalam surat al-Baqarah ayat 282, sebagaimana firman Allah
SWT:
ى فاكتبىه ونيكتب بينكم كا ب بانعدل ت يا أيها انرين آمنىا إذا تداينتم بدين إنى أجم مسم
“ Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah
tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu
menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu
menuliskannya dengan benar.” (QS. Al-Baqarah / 02:282)
Pada firman Allah SWT. Yang disebutkan diatas memerintahkan
untuk mencatatankan secara tertulis pada setiap bentuk urusan mu’amalah,
seperti jual beli, hutang piutang dan sebagainya. Dalam ayat tersebut
5 Asep Saepudin Jahar, Euis Nurlaelawati dan Jaenal Aripin, Hukum Keluarga,
Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum
Internasional, ( Jakarta: Penerbit Kencana, 2013 Cet. Pertama ) h., 26.
17
menjelaskan bahwa alat bukti tertulis statusnya lebih adil dan menguatkan
persaksian serta menghindarkan dari keraguan.6
Perkawinan merupakan peristiwa hukum yang penting,
sebagaimana peristiwa kelahiran, kematian dan lain-lain. Untuk
membuktikan adanya perkawinan yang sah tidak cukup hanya dibuktikan
dengan adanya peristiwa itu sendiri tanpa adanya bukti tertulis
berdasarkan pencatatan dilembaga yang ditunjuk dengan demikian
pencatatan yang kemudian ditindak lanjuti dengan dikeluarkannya akta
berupa Surat Nikah oleh pejabat yang berwenang maka fungsi akta
merupakan alat bukti yang semurna (authentic).
Akta Nikah adalah alat bukti otentik sahnya suatu perkawinan
seseorang, adalah sangat bermanfaat dan maslahat bagi diri dan
keluarganya (istri dan anak-anaknya) untuk menolak kemungkinan
dikemudian hari adanya pengingkaran atas perkawinan dan akibat hukum
dari perkawinannya itu ( harta bersama dalam perkawinan dan hak-hak
perkawinan).
Ahmad Rofiq berpendapat, bahwa pencatatan perkawinan bagi
sebagian masyarakat masih perlu di sosialisasikan, hal ini kemungkinan
disebabkan akibat pemahaman yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh klasik
hampir tidak pernah dibicarakan. Namun apabila kita merujuk pada Al
Qur’an surat Al Baqarah ayat 282, maka dengan tegas memerintahkan
untuk mencatatkan apabila perkawinan dianalogikan kepada mu’amalah.7
B. Prosedur Pencatatan Perkawinan
Untuk melaksanakan pencatatan, pasal 2 peraturan pelaksanaan
menyatakan bahwa bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagai dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang
6 Skripsi: Duray Achmad, Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama, 32.
7 Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,
2003), h.118.
18
tidak beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada
Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-
undangan mengenai pencatatan.
Selanjutnya ditentukan dalam ayat 3 pasal 2 di atas, bahwa tatacara
pencatatan perkawinan dilakukan sebagaimana ditentukan dalam pasal 3
sampai dengan pasal 9 Peraturan Pelaksanaan, dengan tidak mengurangi
ketentuan-ketentuan yang khusus berlaku bagi tatacara pencatatan
perkawinan berdasarkan berbagai ketentuan yang berlaku.
Tentang bagaimana kedudukan berbagai ketentuan dalam beberapa
peraturan yang telah ada itu terhadap ketentuan-ketentuan pasal 3 sampai
dengan pasa 9 peraturan pelaksaan, dalam penjelasan ayat 3 pasal 2
dikatakan bahwa ketentuan-ketentuan khusus yang menyangkut tatacara
pencatatan yang diatur berbagai peraturan merupakan “pelengkap” bagi
pasal 3 sampai dengan pasal 10 Peraturan Pelaksanaan.
Dan dalam penjelasan ayat 1 dan 2 pasal 2 dinyatakan pula bahwa
pencatatan dilakukan hanya oleh dua instansi:
1. Pegawai Pencatatn Nikah, Talak dan Rujuk;
2. Kantor Catatan Sipil atau instansi/pejabat yang membentunya;
Dari ketentuan pasal 2 Peraturan Pelaksanaan di atas, tentang
pencatatan perkawinan dalam hubungannya dengan peraturan “pelengkap”
dan instansi yang melakukan pencatatan, dibedakan dua golongan
berdasarkan agama yaitu yang beragama islam dan yang tidak beragama
Islam.
Adapun yang dimaksud dengan pelengkap itu adalah ketentuan-
ketentuan yang terdapat dalam:
1. Undang-undang no. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah,
Talak, dan Rujuk (L.N. 1954 no. 98) dan beberapa peraturan
Menteri Agama yang berhubungan dengan hal tersebut;
19
2. Reglemen Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama
Kristen di Jawa, Madura, Minahasa dan sebagainaya (Stbld 1933
no. 75 jo. 1936 no. 607 dengan segala perubahannya);
3. Reglement Catatan Sipil untuk golongan Cina (Stbld. 1917 no.
130 jo. 1919 no. 81 dengan segala perubahannya;
4. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropah dan yang
disamakan (Stbld. 1849 no. 25);
5. Daftar Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran (Stbld.1904 no.
279)
Tentang cara melakukan pencatatan diatur dalam pasal 3 sampai
dengan pasal 9 dan juga pasal 11 peraturan pelaksanaan yang meliputi
tahap-tahap: pemberitahuan, penelitian, pengumuman dan saat
pencatatan.8
a. Pemberitahuan
Yang dimaksud pemberitahuan adalah pemberitahuan seseorang
yang akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai Pencatat
Perkawinan seperti diatur dalam pasal 3 sampai dengan pasal 5.
Dalam pasal 3 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 Tentang
Pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 2007 tentang Pencatatan
Perkawinan ditetapkan, bahwa setiap orang yang akan melangsungkan
perkawinan memberitahukan kehendaknya kepada pegawai pencatat
ditempat perkawinan akn dilangsungkan.
Pemberitahun tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Peraturan Pemerintah
No. 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun
1974 tentang Perkawinan dan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun
2007 bahwa ditentukan paling lambat 10 hari kerja sebelum
perkawinan dilangsungkan. Namun, ada pengecualiannya terhadap
8 K.Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1976 Cet. Keempat ) h.,18
20
jangka waktu tersebut karena suatu alasan yang penting diberikan oleh
camat (atas nama) Bupati Kepala Daerah.9
Dalam memberitahukan tentang maksud untuk melangsungkan
perkawinan itu, harus dinyatakan pula tentang nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman kedua calon
mempelai pernah kawin, harus disebutkan juga nama suami atau isteri
terdahulu. Khusus bagi yang beragama islam harus diberitahukan
tentang wali nikah.
Bagi orang yang beragama Islam, pemberitahuan disampaikan
kepada Kantor Urusan Agama, karena berlaku Undang-undang No. 32
Tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Sedangkan
bagi orang yang bukan beragama Islam, pemberitahuannya dilakukan
kepada Kantor Catatan Sipil setempat.10
Pemberitahuan kehendak nikah dapat dilakukan oleh calon
mempelai atau orang tua atau wakilnya dengan membawa surat-surat
seperti yang diperlukan, antara lain:
1. Surat persetujuan kedua calon mempelai.
2. Akta kelahiran atau surat kenal lahir atau surat keterangan asal-
usul.
3. Surat keterangan mengenai orang tua.
4. Surat keterangan untuk kawin dari Kepala Desa yang mewilayahi
tempat tinggal yang bersangkutan. (Model Na).
5. Surat izin kawin dari pejabat yang ditunjuk oleh
MENHAKAM/PANGAB bagi calon mempelai anggota ABRI.
6. Surat izin beristri lebih dari satu untuk Pegawai Negri Sipil
(PNS)11
9 M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga dalam Islam, ( Jakarta:
Siraja, 2003), h. 126-127. 10
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 125. 11
Untuk Pegawai Negri Sipil, izin tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah
No. 10 tahun 1983 jo. Peraturan Pemerintah No. 45 tahun 1990 tentang izin perkawinan
dan perceraian bagi Pegawai Negri Sipil.
21
7. Surat kutipan buku pendaftaran talak/cerai atau surat talak/cerai
jika calon mempelai seorang janda atau duda.
8. Surat keterangan kematian suami/istri dari Kepala Desa yang
mewilayahi tempat tinggal atau tempat matinya suami/istri.
9. Surat izin dan atau dispensasi bagi calon mempelai yang belum
mencapai umur menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan Pasal 6 ayat 2 s/d 6 dan Pasal 7
ayat 1 s/d 3.
10. Surat dispensasi Camat bagi perkawinan yang akan dilangsungkan
kurang dari 10 hari kerja setelah pengumuman.
11. Surat izin poligami dari Pengadilan Agama bagi calon suami yang
hendak beristri lebih dari seorang.
12. Surat keterangan tidak mampu dari Kepala Desa mereka yang tidak
mampu.
13. Surat kuasa yang disahkan oleh Pegawai Pencatat Nikah apabila
salah seorang mempelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri
karena sesuatu alasan yang penting sehingga mewakilkan kepada
orang lain.12
b. Penelitian
Setelah adanya pemberitahuan akan adanya perkawinan, prosedur
selanjutnya diadakan penelitian yang dilakukan pegawai pencatat
perkawinan. Sesuai pasal 6 ayat (1) PP No. 9 tahun 1975 pegawai
pencatat meneliti apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi dan
apakah tidak terdapat halangan baik menurut hukum
munakahatataupun menurut perundang-undanganyang berlaku. Syarat-
syarat perkawinan seperti yang telah diuraikan diatas mengenai
persetujuan calon mempelai, umur, izin orang tua dan seterusnya,
inilah pertama-tama diteliti pejabat tersebut
12
Diktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, 2001, h.,23-24.
22
Selain itu berdasarkan ayat (2) nya, pegawai pencatat perkawinan
juga diwajibkan melakukan penelitian terhadap:
1. Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai,
dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal
usul calon mempelai yang diberikan oleh kepala desa atau yang
setingkat dengan itu.
Penelitian terhadap surat yang menyangkut kelahiran
merupakan bagian yang penting, untuk mengetahui umur calon
mempelai dalam hubungan dengan batas minimum umur yang
ditetapkan dalam undang-undang perkawinan, sehingga kalau ada
calon mempelai yang umurnya tidak memenuhi batas minimum
dapat dilakukan pencegahan.
2. Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan
tempat tinggal orang tua calon mempelai.
3. Izin tertulis pengadilan sebagai dimaksud dalam pasal 6 ayat (2),
(3), (4) dan (5) Undang-undang, apabila salah seorang calon
mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 (dua puluh
satu) tahun.
4. Izin pengadilan sebagaimana dimaksud pasal 4 Undang-undang
dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih
mempunyai istri.
5. Dispensasi pengadilan/pejabat sebagaimana dimaksud pasal 7 ayat
(2) Undang-undang, yaitu dispensasi dalam hal calon mempelai
tidak memenuhi syarat batas minimum umur perkawinan
6. Surat kematian istri atau suami yang terdahulu atau dalam hal
perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
7. Izin tertulis dari pejabat yang ditunjuk oleh Menteri
HAMKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya tidak dapat hadir sendiri karena sesuatu alasan yang
penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
23
Hasil penelitian terhadap semua persyaratan perkawinan tersebut
diatas oleh pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang
diperuntukan untuk itu (pasal 7).
Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang perkawinan dan atau
belum dipenuhinya persyaratan dalam pasal 6 ayat (2) PP No. 9 tahun
1975, keadaan itu harus segera diberitahukan kepada calon mempelai
atau kepada orang tua atau kepada wakilnya.13
c. Pengumuman
Apabila semua ketentuan tentang pemberitahuan dan telah
dilakukan penelitian, ternyata tidak ada suatu halangan serta syarat-
syarat untuk melangsungkan perkawinan cukup meyakinkan, maka
Pegawai Pencatat mengadakan pengumuman tentang pemberitahuan
untuk melangsungkan perkawinan.
Pegawai Pencatat menempelkan surat pengumuman dalam bentuk
yang telah ditetapkan pada kantor-kantor Pencatatan Perkawianan
yang daerah hukumnya meliputi wilayah tempat perkawinan akan
dilangsungkan dan tempat kediaman masing-masing calon mempelai
disuatu tempat yang sudah ditentukan sehingga mudah untuk dibaca
oleh umum.
Pengumuman yang ditandatangani oleh Pegawai Pencatat selain
memut hal ihwal orang yang akan melangsungkan perkawinan juga
memuat kapan dan dimana perkawinan itu akan dilangsungkan.
Adapun maksud pengumuman itu seperti dijelaskan dalam
penjelasan pasal 8, adalah untuk memberi kesempatan kepada umum
untuk mengetahui dan mengajukan keberatan-keberatan bagi
dilangsungkannya suatu perkawinan apabila yang demikian itu
diketahuinya bertentangan dengan hukum agamanya dan
13
Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kencana, Cet. Ketiga, 2006) h., 126.
24
kepercayaannya itu yang bersangkutan atau bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan lainnya.
d. Saat pencatatan
Berdasarkan Peraturan Menteri Agama No. 11 tahun 2007 tentang
Pencatatan Perkawinan Bahwa perkawinan dianggap sah tercatat
secara resmi apabila akta perkawinan telah ditandatangani oleh kedua
mempelai, dua orang saksi, pegawai pencatat dan bagi yang beragama
Islam juga wali atau yang mewakilinya. Dan pada pasal 11 ayat (3)
Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 dijelaskan bahwa dengan
pencatatan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara
resmi.14
Penandatanganan itu dilakukan sesat sesudah dilangsungkan
upacara perkawinan, yakni sesudah pengucapan aqad nikah bagi yang
beragama Islam.
Dalam pelaksanaanya yang sudah-sudah, bagi yang beragama
islam dilakukan dirumah mempelai pria atau wanita dihadiri oleh
semua sanak famili dan undangan, yang diiringi dengan acara
sedekahan (jamuan).
e. Tentang akta
Akta perkawinan yang merupakan suatu akta otentik, diharuskan
minimal memuat hal-hal seperti yang disebutkan oleh pasal 12, dan
dalam penjelasan pasal tersebut ditambahkan pula hal-hal lain yang
juga perlu dimuatkan.
Akta tersebut dibuat dalam rangakap dua, helai pertama disimpan
oleh Pegawai Pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan
dalam wilayah Kantor Pencatatn Perkawinan itu berada, sedangkan
suami dan isteri masing-masing hanya diberikan kutipannya.
f. Pelanggaran
14
Amiur Nurudin dan Azhari Akmal Taringan, Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta : Kencana Prenada Media, 2004), h. 126-129.
25
Pasal 45 Peraturan Pelaksanaan memuat ancaman pidana bagi
mempelai dan pegawai pencatat yang melakukan pelanggaran
ketentuan-ketentuan tentang pencatatan.
Mempelai diancam dengan pidana denda setinggi-tingginya Rp.
7.500.- apabila ia : tidak melakukan pembiritahuan untuk kawin, atau
perkawinan, tidak dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat.
Pegawai Pencatat diancam dengan pidana kurungan selama-
lamanya 3 bulan atau denda setinggi-tingginya Rp. 7.500,- apabila ia :
1. Tidak melakukan penelitian, atau
2. Tidak memberitahukan adanya halangan perkawinan, atau
3. Tidak menyelenggarakan pengumuman, atau
4. Tidak menandatangani pengumunan, atau
5. Melaksanakan perkawinan sebelum hari kesepuluh dari
pengumuman, atau
6. Tidak menyiapkan dan mendatangani akta perkawinan, atau
7. Tidak menyimpan helai pertama, tidak memberikan helai
keduakepada Panitera Pengadilan dan kutipan akta perkawinan
kepada suami dan isteri.
8. Tentunya yang melakukan peradilan perkara pelanggaran tersebut
dan menjatuhkan pidananya adalah pengadilan dalam lingkungan
Peradilan Umum bukan Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama walaupun yang melakukan pelanggaran itu beragama
islam.15
15
K. Wantjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1976 Cet. Keempat ) h., 21
26
C. Ketentuan Hukum Yang Mewajibkan Pencatatan Perkawinan
Ketentuan hukum yang mewajibkan adanya pencatatan perkawinan
terdapat pada16
:
1. UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yaitu terdapat pada pasal 2
ayat (2): “Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku.”
2. Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975 tentang perturan
pelaksanaan Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
mengatur tentang tata cara dan tata laksana melaksanakan perkawinan
dan pencatatan perkawinan. Beberapa pasal yang dianggap penting
untuk dikemukakan, yaitu pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1975 ayat (1) yang menentukan Pencatatan Perkawinan bagi
orang Islam dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 1954
3. Undang-Undang No. 22 Tahun 1946 Tentang Pencatatan Nikah,
Nikah, Talak dan Rujuk Pasal 1 Ayat 1 yaitu “Nikah yang dilakukan
menurut agama Islam, selanjutnya disebut nikah diawasi oleh pegawai
Pencatatn Nikah yang diangkat oleh Menteri Agama atau pegawai
yang ditunjuk olehnya. Talak dan rujuk yang dilakukan menurut
agama Islam selanjutnya disebut talak dan rujuk, diberitahukan kepada
Pegawai Pencatat Nikah.”
Pasal ini memberitahukan legalisasi bahwa supaya nikah, talak dan
rujuk menurut agama Islam supaya dicatat agar mendapat kepastian
hukum. Dalam Negara yang teratur segala hak-hak yang bersangkut
pada dengan kependudukan harus dicatat, sebagai kelahiran,
pernikahan, kematian, dan sebagainya lagi pada perkawinan perlu di
catat ini untuk menjaga jangan samapi ada kekacauan.17
16
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Kencana,
2012 Cet. Kedua ) h., 54 17
https://estyindra. Weebly.com, dikutip pada tanggal 26 Mei 2018 jam 13:05
27
Meskipun perkawinan yang tidak dicatat adalah sah, baik menurut
pandangan agama maupun adat istiadat, namun dimata hukum tidak
memiliki kekuatan hukum, karena:
1. Data Departemen agama mengungkapkan bahwa ternyata sekitar 48%
pernikahan yang tidak tercatat. Hal ini sangat besar dampaknya bagi
istri dan anaknya. Posisi mereka sangat lemah didepan hukum. Bagi
istri, tidak dianggap sebagai istri, karena tidak memiliki akta nikah, ia
juga tidak berhak atas nafkah dan waris jika terjadi perceraian atau
suaminya meninggal. Tragisnya, anak yang dilahirkannya juga
dianggap anak tidak sah.
2. QS. al-Baqarah (2):282 memerintahkan kita untuk mencatatkan
utang-piutang. Bagaimana dengan perkawinan yang jauh lebih
penting dari utang-piutang.
3. Pada masa Nabi, masyarakatnya masih banyak yang ummy (tidak
melek huruf), sehingga kesaksian dan sumpah masih diterima sebagai
alat bukti hukumdi pengadilan. Sekarang posisinya berbeda, alat bukti
tertulis lebih kuat dari sekadar kesaksian dan sumpah. Oleh karena
itu, pencatatan nikah menjadi sangat penting.18
Dalam perkawinan, pencatatan mutlak diperlukan. Adapun fungsi
dan kegunaan pencatatan adalah untuk memberikan jaminan hukum
terhadap perkawinan yang dilakukan, bahwa perkawinan itu dilaksanakan
dengan sungguh-sungguh, berdasarkan i’tikad baik, serta suami sebagai
pihak yang melakukan transaksi benar-benar akan menjalankan segala
konsekuensi atau akibat hukum dari perkawinan yang dilaksanakannya
itu.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan dengan akta
nikah, yang masing-masing suami istri mendapatkan salinanya, apabila
terjadi perselisihan atau percekcokan diantara mereka, atau salah satu
18
Muhammad Zain dan Mukhtar Alshodiq, Membangun Keluarga Humanis, (
Jakarta: Penerbit Grahacipta, 2005 Cet. Pertama ) h., 38
28
pihak tidak bertanggung jawab, maka yang lainnya dapat melakukan
upaya hukum guna mempertahankan atau memperoleh hak masing-
masing. Karena dengan akta tersebut, baik suami maupun isteri memiliki
bukti otentik atas perubahan hukum yang telah mereka lakukan.19
Peraturan yang mengatur pencatatan ini, walupun belum sempurna
namun sudah dianggap memadai [Ahmad rofiq:1995]. Disamping UU
perkawinan ada lagi beberapa peraturan per-UU-an yang mengatur tata
laksana pencatatan perkawinan, diantaranya UU No, 22 Tahun 1946
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, UU No. 22 Tahun 1952
tentang peraturan untuk menghadapi kemungkinan hilangnya surat
keputusan dan surat-surat pemeriksaan pengadilan, UU No. 32 Tahun
1954 tentang penetapan berlakunya UU No. 22 Tahun 1946 tentang
Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk diseluruh daerah di luar Jawa dan
Madura. Serta Kompilasi Hukum Islam, khususnya buku I yang berisi
perkawinan.
pelaksanaan pencatatan nikah adalah pelaksana pencatat nikah
seperti yang diatur dalam per-UU-an itu adalah tugas pencatat nikah.
Untuk yang beragama islam dilaksanakan di KUA sedngkan untuk yang
beraga bukan Islam dilaksakan oleh KCS. Hal tersebut diatur dalam PP
No. 9 Tahun 1975 pasal 2 ayat 1 dan 2:
1. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama Islam, dilakukan oleh pegawai
pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun 1954
tentang pencatatan nikah dan rujuk
2. Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan
perkawinannya menurut agama dan kepercayaannya itu selain agama
islam, dilakukan oleh PPN pada KCS sebagaimana dimaksud dalam
berbagai per-UU-an mengenaipencatatan perkawinan.
19
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, ( Tangrang Selatan: Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Cet. Pertama ) h., 131
29
Suatu perkawinan harus memenuhi syarat yang dimuat dalam pasal 2 ayat
(1) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah
apabila menurut aturan agama yang dipeluk dan ayat (2) yang meyertakan
bahwa perkawinan harus dicatat oleh PPN.20
D. Tujuan dan Manfaat serta Pentingnya Pencatatan Perkawinan
Tujuan Pencatatan Perkawinan untuk memberikan kepastian
hukum dan perlindungan bagi para pihak yang melangsungkan
perkawinan, sehingga negara sebagai organisasi yang menaungi seluruh
warganya akan memeberikan kekuatan bukti autentik tentang telah
terjadinya perkawinan, sihingga para pihak dapat memepertahankan
perkawinan tersebut kepada siapapun di hadapan hukum.21
Ada beberapa manfaat yang diperoleh dari pencatatan perkawinan yaitu:
1. Sebagai alat bukti hukum yang sah terhadap peristiwa perkawinan
yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak.
2. Adanya kepastian hukum tersebut pada gilirannya akan membantu
proses terciptanya kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah
dan rahmah. Dengan demikian, maka pencatatan perkawinan akan
menimbulkan kemaslahatan bagi kedua belah pihak bagi suami
maupun istri.
Melalui pencatatan perkawinan yang dibuktikan oleh akta nikah
apabila terjadi perselisihan diantara suami isteri maka salah satu
diantaranya dapat melakukan upaya hukum guna mempertahankan atau
memperoleh hak masing-masing. Karena dengan akta tersebut, suami
isteri memiliki bukti autentik atas perbuatan hukum yang telah mereka
lakukan.22
Pada dasarnya fungsi Pencatatan Pernikahan pada lembaga
20
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, ( Tangrang Selatan: Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011
Cet. Pertama ) h., 135 21
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Kencana,
2012 Cet. Kedua ) h., 57 22
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003) h., 107.
30
pencatatan sipil adalah agar sesorang memiliki alat bukti untuk
membuktikan bahwa dirinya benar-benar telah melakukan pernikahan
dengan orang lain. Sebab, salah satu bukti yang dianggap sah sebagai
bukti syar’i adalah dokumen resmi yang dikeluarkan oleh negara. Ketika
pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil, tentunya seseorang
telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia jadikan sebagai alat
bukti di hadapan majlis Peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan
dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan,
seperti waris, hak asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya.
Selain itu disebutkan dalam UU No. 2 tahun 1946 bahwa tujuan
dicatatatkanya perkawinan adalah agar mendapat kepasian hukum dan
ketertiban. Dalam penjelasan pasal 1 ayat (1) UU tersebut dijelaskan
bahwa: “maksud pasal ini ialah agar nikah. Talak dan rujuk menurut
agama islam dicatat agar mendapat kepastian hukum. Dalam negara yang
teratur segala hal-hal yang bersangkut paut dengan penduduk harus
dicatat, sebagai kelahiran, pernikahan, kematian dan sebagainya. Lagi
pula perkawinan bergandengan rapat dalam hal waris sehingga
perkawinan perlu dicatat menjaga jangan sampai ada kekacauan.23
Selanjutnya tersebut pula dalam Kompiladi Hukum Islam disebutkan
bahwa tujuan pencatatan yang dilakukan dihadapan dan dibawah
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah adalah untuk terjaminnya ketertiban
perkawinan. Dan ditegaskan perkawinan yang dilakukan diluar Pegawai
Pencatat Nikah tidak mempunyai kekuatan hukum, dan perkawinan hanya
dapat dibuktikan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.24
Pencatatan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
perkawinan dalam masyarakat, baik perkawinan yang dilaksanakan
berdasarkan hukum islam maupun perkawinan yang dilaksanakan oleh
23
Nasution dan Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Penerbit Academia
Tazzafa, 2009), h.,336. 24
Nasution dan Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Penerbit Academia
Tazzafa, 2009), h.,338.
31
masyarakat yang tidak berdasarkan hukum Islam. Pencatatan perkawinan
merupakan upaya untuk menjaga kesucian (mitsaqan galidzan) aspek
hukum yang timbul dari ikatan perkawinan. Realisasi pencatatan itu,
melahirkan Akta Nikah yang masing-masing dimiliki oleh istri dan suami
salinannya. Akta tersebut, dapat digunakan oleh masing-masing pihak bila
ada yang merasa dirugikan dari adanya ikatan perkawinan itu untuk
mendapatkan haknya.
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 merupakan era baru bagi
kepentingan umat islam khususnya dan masyarakat indonesia pada
umumnya. Undang-undang dimaksud merupakan kodifikasi dan unifikasi
hukum perkawinan yang bersifat nasional yang menematkan hukum islam
mepunyai eksistensi tersendiri, tanpa diresep hukum adat. Amat wajar bila
ada pendapat yang mengungkapkan bahwa undang-undang perkawinan
merupakan ajal teori receptie (istilah Hazairin) yang dipelopori oleh
Cristian Snounk Hourgronje. Pencatatan perkawinan seperti diatur dalam
pasal 2 ayat (2) meskipun telah disosialisasikan selam 26 tahun lebih,
sampai saat ini masih dirasakan adanya kendala-kendala. Upaya ini perlu
dilakukan oleh umat Islam secara berkesinambungan di Negara Republik
Indonesia.25
Lembaga pencatatan perkawinan bukan saja merupakan syarat
administrasi yang subtansinya bertujuan untuk mewujudkan ketertiban
umum, namun ia juga mempunyai cakupan manfaat yang besar bagi
kepentingan dan kelangsungan suatu perkawinan. Menurut Ahmad Rofiq
(1995), setidaknya ada dua manfaat pencatatan perkawinan yaitu manfaat
preventif dan represif.
Pencatatan memiliki manfaat represif yaitu untuk menanggulangi
agar tidak terjadi kekurangan atau penyimpangan rukun dan syarat
perkawinan, baik menurut hukum dan kepercayaannya itu, maupun
menurut UU. Dalam betuk kongkritnya, penyimpagan tadi dapat dideteksi
25
Zainudin Ali, Hukum Perdata Islam d Indonesia ( Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 2006 Cet. Pertama) h., 26
32
melalui prosedur yang diatur dalam pasal 3 PP No. 9 Tahun 1975 ayat 1
setiap orang yang melangsungkan perkawinan memberitahukan
kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat ditempat perkawinan itu
dilangsungkan ayat 2 pemberitahuan tersebut dalam ayat 1 dilakukan
sekurang-kuranya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan ayat 3
pengecualian terhadap waktu tersebut dalam ayat 2 disebabkan sesuatu
alasan yang penting diberikan oleh camat atas nama bupati kepala daerah.
Adapun pencatatan nikah yang bersifat represif adalah sebagai bukti
hukum, dimana suatu perkawinan dianggap ada dan diakui sebagai suatu
perkawinan ketika ada tanda bukti perkawinan atau akta nikah. Dan akta
nikah merupakan akta otentik. Mafhum mukhalafahnya adalah jika
perkawinan itu tidak dicatat dan tidak memiliki akta nikah, maka di depan
hukum, perkawinan tersebut dianggap tidak ada [ Kharuddin
Nasution:2002 ]. Ini karena mengandung usaha menyembunyikan status
perkawinan.26
Dengan demikian pencatatan perkawinan mengandung manfaat
atau kemaslahatan, dan juga kebaikan yang besar dalam kehidupan
masyarakat. Sebaliknya apabila perkawinan tidak diatur secara jelas
melalui peraturan perundangan dan tidak dicatatatkan akan digunakan oleh
pihak-pihak yang melakukan perkawinan hanya untuk kepentingan pribadi
dan merugikan pihak lain terutama istri dan anak-anak
Pencatatan akad nikah secara resmi memiliki beberapa manfaat
yang banyak sekali diantaranya:
1. Mendapat perlindungan hukum
Seandainya terjadi kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), jika sang
istri mengadu kepada pihak yang berwajib, pengaduannya sebagai istri
yang mendapat tindakan kekerasan tidak akan dibenarkan. Alasannya,
karena sang isteri tidak mampu menunjukan bukti-bukti otentik akan
pernikahan yang resmi. Karena dalam hukum perundangan di
26
Yayan Sopyan, Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, ( Jakarta: Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2011 Cet. Pertama
) h., 134
33
indonesia bukti suatu perkawinan yaitu akta nikah sebagai bukti
legalitas sebuah perkawinan. Selain itu untuk menjaga hak dari kesia-
siaan, baik hak suami istri atau hak anak burupa nasab, nafkah,
warisan, dan sebagainya. Catatan resmi ini merupakan bukti otentik
yang tidak bisa digangu gugat untuk mendapatkan hak tersebut.
2. Memudahkan urusan perbuatan hukum lain yang terkait dengan
pernikahan
Akta nikah akan membantu suami istri untuk melalkukan kebutuhan
lain yang berkaitan dengan hukum. Misalnya hendak menunaikan
ibadah haji, menikahkan anak perempuannya yang sulung, pengurusan
asuransi kesehatan, dan lain sebagainya. Yang dalam peroses tersebut
membutuhkan bukti otentik dari adanya sebuah keluarga yaitu dengan
bukti akta nikah.
3. Legalitas formal pernikhan di hadapan hukum
Pernikhan yang dianggap legal secara hukum adalah pernikahan yang
dicatat oleh Petugas Pencatat Nikah (PPN) atau yang ditunjuk olehnya.
Karenanya, walupun secara agama sebuah pernikahan yang tanpa
dicatatkan oleh PPN adalah sah, akan tetapi pada dasarnya illegal
menurut hukum. Karena ketika ditengan kehidupan berumah tangga
terjadi sebuah tindakan hukum dan harus berurusan dengan
pengadilan, maka harus ada bukti legalitas sebuah pernikahan yaitu
akta nikah.
4. Terjamin keamanannya
Sebuah pernikahan yang dicatatkan secara resmi akan terjamin
keamanannya dari kemungkinan terjadinya pemalsuan dan kecurangan
lainnya. Misalnya, seorang suami atau istri hendak memalsukan nama
mereka yang terdapat dalam akta nikah untuk keperluan yang
menyimpang. Maka, keaslian Akta Nikah itu dapat dibandingkan
dengan salinan Akta Nikah tersebut yang terdapat di KUA tempat yang
bersangkutan menikah dahulu.
34
Pentingnya pencatatan perkawinan, ada beberapa hal mengenai
pentingnya suatu akad nikah dicatatkan yaitu:
1. Sebagaimana tersebut dalam tujuan pencatatan nikah, dengan adanya
akta nikah maka seseorang memiliki bukti yang sah menurut negara
sehingga jika terjadi suatu masalah, Negara dengan kekuasaanya dapat
mengadili.
2. Dalam syariat Islam ketetapan seorang anak sah hanya bisa dapat
dilakukan dengan ikrar atau pembuktian dengan adanya dua orang
saksi. Namun ketika hal itu tidak dapat menjanjikan lagi maka
pencatatan nikah menjadi hal yang representatif untuk mencapai tujuan
maslahah.27
3. Begitu pentingnya alat bukti dalam suatu perkawinan sehingga
Rasulullah pernah menyatakan bahwa nikah tanpa saksi identik dengan
perbuatan zina. Bahkan Nabi SAW mensunahkan untuk mengadakan
walimah.
4. Catatan dan tulisan akan bertahan lama jangka waktunya, sehingga
sekalipun yang bertanda tangan telah meninggal dunia namun catatan
masih bisa digunakan setiap waktu. Oleh karena itu, para ulama
menjadikan tulisan merupakan salah satu cara penentuan hukum.
5. Menutup pintu pengakuan-pengakuan dusta dalam pengadilan, di mana
bisa saja sebagian orang yang hatinya rusak mengaku telah menikahi
seorang wanita secara dusta untuk menjatuhkan lawannya dan
mencemarkan kehormatannya hanya karna mudahnya suatu
perkawinan dengan saksi palsu.
E. Akibat Hukum Tidak Dicatatnya Perkawinan
Akibat hukum yang timbul dari perkawinan yang tidak dicatatkan
tidak hanya merugikan pihak isteri namun juga anak-anak yang lahir dari
perkawinan tersebut, dampak negatif yang disebabkan perkawinan yang
27
Skripsi: Abdul Basyir, tinjauan Hukum Islam Terhadap Status Nikah Sirri di
Indonesia, h.,77
35
tidak dicatatkan terhadap hak-hak keperdataan isteri dari perkawinan yang
tidak dicatatkan dapat dipahami dari peristiwa-peristiwa hukum sebagai
berikut28
:
1. Tidak diakuinya hak-hak keperdataan isteri.
2. Tidak berhak atas warisan jika suami meninggal dunia.
3. Perkawinan dianggap tidak sah
Meski perkawianan dilakukan secara agama dan kepercayaan, namun
dimata negara perkawinan dianggap tidak sah jika belum dicatat oleh
Kantor Urusan Agama atau Kantor Catatan Sipil.
4. Anak hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibu dan keluarga
ibu
Anak-anak yang dilahirkan diluar perkawinan atau perkawinan yang
tidak tercatat, selain dianggap anak yang tidak sah, juga hanya
mempunyai hubungan perdata dengan ibu atau keluarga ibu (pasal 42
dan 43 Undang-Undang Perkawinan). Sedang hubungan perdata
dengan ayahnya tidak ada.
5. Anak dan ibunya tidak berhak atas nafkah dan warisan
Akibat lebih jauh dari perkawinan yang tidak tercatat adalah, baik
isteri maupun anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut
tidak berhak menurut nafkah ataupun warisan dari ayahnya.
6. Terhadap suami
Hampir tidak ada dampak mengkhawatirkan atau merugikan bagi diri
laki-laki atau suami yang menikah bawah tangan dengan seorang
perempuan. Yang terjadi justru menguntungkannya karena suami
bebas untuk menikah lagi, karena perkawinan sebelumnya yang di
bawah tangan dianggap tidak sah dimata hukum.
7. Terhadap kedudukan harta kekayaan
Menurut humuk islam akan diperhitugkan sesuai ketentuan syariat
Islam. Akan tetapi bila salah satu pihak dengan itikad tidak baik bisa
28
Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan & Perkawinanan Yang Tidak
Dicatatakan Menurut Hukum Tertulis Di Indonesia Dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar
Grafika, 2010), h.,258
36
melakukan pengingkaran sendiri harta bersama tersebut. Pihak yang
menjadi korban tidak mempunyai kekutan hukum untuk memperoleh
hanya bila dihadapan hukum negara. Satu-satunya jalan yang ditempuh
hanyalah melalui mediasi, musyawarah mufakat diluar pengadilan.29
8. Tidak diakui oleh negara
9. Tidak mempunya kekuatan hukum dalam hal status pernikahan
10. Tidak dapat membuat akta kelahiran
Masrum M. Noor mencatat bahwa implikasi hukum dan dampak sosial
dari pernikahan tidak dicatatkan pada instansi pemerintah yang berwenang
(PPN), antara lain:30
1. Dipandang oleh masyarakat sekitarnya sebagai kumpul kebo atau isteri
simpanan;
2. Secara hukum perkawinan tersebut dianggap tidak sah, sehingga anak-
anaknya dianggap anak tidak sah;
3. Isteri tidak berhak mendapatkan nafkah;
4. Isteri dan anak-anak yang dilahirkan tidak mendapat waris dari
suaminya dan begitu pula sebaliknya;
5. Antara suami isteri tidak berhak atas harta gono-gini;
6. Anak-anak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibu dan
keluarga ibunya;
7. Secara psikologis hubungan anak-anak dengan bapaknya lemah dan
tidak kuat;
8. Status anak-anak dapat disangkal sebagai anak bapaknya dan begitu
pula sebaliknya;
9. Anak-anak tidak berhak mendapat biaya hidup dan biaya pendidikan
dari ayahnya;
29
Abdullah Wasian, Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan) terhadap
kedudukan isteri, anak dan harta kekayaan di tinjau hukum Islam dan undang-undang
perkawinan, Thesis (Semarang: Universitas diponogoro, 2010) h., 200. 30
Masrum M Noor, Pencatatan Nikah Sebagai Kewajiban Syar’iyah, dalam
http://www.badilag.net,
37
10. Anak-anak yang perempuan tidak memiliki wali nasab dalam
pernikahannya, wali yang nikah yang berhak dalam wali hakim (kepala
KUA setempat);
11. Ayah tidak mempunyai hubungan hukum dengan anak-anak
perempuannya, sehingga bukan muhrim dan dapat dimungkinkan
menikah dengan anak biologisnya sendiri apabila isterinya telah
meninggal atau berpisah;
12. Suami terbebas dari tanggung jawab sebagai suami;
13. Isteri tidak mendapatkan perlindungan hukum dalam persoalan rumah
tangganya;
14. Isteri dan anak-anaknya menemui kesulitan untuk memperoleh
dokumen keimigrasian;
Memang terasa kaku akibat hukum dari tidak dicatatkannya suatu
perkawinan, dengan mengutip asas hukum umum: lex dura sed tamen
scripta yang berarti bahwa Undang-Undang itu kejam, tetapi memang
demikianlah bunyinya. Sudikno Mertokusumo, menyatakan bahwa apapun
yang terjadi, peraturan harus ditaati dan diterapkan.31
Artinya, pencatatan
perkawinan itu merupakan keniscayaan yang tidak memberi peluang
sedikit pun terhadap kawin dibawah tangan.
Menurut Hakim Agung Habiburrahman, bahwa nikah dibawah
tangantanpa akta nikah bagaikan pemilik kendaraan yang tidak memiliki
BPKB atau STNK yang bebas menggunakan kendaraannya sepanjang
tidak melanggar rambu lalulintas atau tertimpa kecelakaan. Ketika
melanggar rambu lalulintas atau mengalami kecelakaan, muncullah
masalah yang merepotkan pemiliknya.32
31
Sudikno Mertokusumo, Bab-bab tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta:
Citra Aditya Bakti, 1993), h.,3. 32
Habiburrahman, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi,
dalam Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI, h.,29.
38
BAB III
PERKAWINAN DENGAN BUKU NIKAH PALSU DI DESA CISALAK
KOTA DEPOK
A. Para Pasangan Yang Terjebak Dalam Pembuatan Buku Nikah Palsu
di Desa Cisalak Kota Depok
Terdapat lima pasangan yang terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu
di Desa Cisalak Kota Depok diantaranya yaitu:1
1. Dina Marlina dengan Agus Sudarsono
Dina Marlina, umur 39 tahun, Warganegara Indonesia, agama Islam,
pendidikan SLTA, pekerjaan ibu rumah tangga, usia pernikahan
dengan agus sudarsono 18 tahun bertempat tinggal di Jalan Gang
Masjid Al-Islah Rt. 001 Rw. 006 No. 39 Kelurahan Cisalak Depok dan
Agus Sudarsono sebagai suami Dina Marlina, Umur 45 tahun
Warganegara Indonesia, agama Islam, pendidikan SLTA, pekerjaan
buruh harian bertempat tinggal di Jalan Gang Masjid Al-Islah Rt. 001
Rw. 006 No. 39 Kelurahan Cisalak Kota Depok
2. Ayi Abusalam dengan Cholilah
Ayi Abusalam, umur 46 tahun Warganegara Indonesia agama Islam,
pendidikan SLTP, pekerjaan pedagang, usia pernikahan dengan
Cholisoh 24 tahun bertempat tinggal di gang masjid al-islah cisalak Rt.
002 Rw. 004 Kecamatan Sukmajaya kabupaten Kota Depok Jawa barat
dan Cholisoh, umur 43 tahun warganegara Indonesia agama Islam,
pendidikan SLTP, pekerjaan ibu rumah tangga bertempat tinggal di
gang masjid al-islah cisalak Rt. 002 Rw. 004 Kecamatan Sukmajaya
kabupaten Kota Depok Jawa barat.
3. Andriansyah Kelana Putra dengan Sujiana
Andriyana Kelana Putra, umur 42 tahun Warganegara Indonesia
agama Islam, pendidikan Diploma IV/Strata 1, pekerjaan Karyawan
1 Data para responden yang terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu,
dirumah kediaman para responden, hari Sabtu, 24 Maret 2018, jam 8:10-16:30 WIB.
39
Swasta, usia pernikahan dengan Sujiana 17 tahun, bertempat tinggal di
Jalan Kp. Cisalak Rt.005 Rw.003 Kecamatan Sukmajaya Kabupaten
Kota Depok Jawa Barat dan Sujiana sebagai Istri dari Andriansyah
Kelana Putra umur 24 tahun Warganegara Indonesia, agama Islam,
pendidikan SLTA, pekerjaan ibu rumah tangga bertempat tinggal di
Jalan Kp. Cisalak Rt.005 Rw.003 Kecamatan Sukmajaya Kabupaten
Kota Depok Jawa Barat.
4. Riski Andang Hambali dengan Marini
Riski Andang Hambali, umur 30 tahun, Warganegara Indonesia,
agama Islam pendidikan SLTA, pekerjaan Karyawan Swasta, usia
pernikahan dengan Marini 22 tahun bertepat tinggal di Jalan Atena
Raya Rt.003 Rw.001 Kelurahan Cisalak Kecamatan Sukmajaya Kota
Depok Jawa Barat dan Marini umur 38 tahun warganegara Indonesia
agama Islam pendidikan SLTA, pekerjaan Karyawan Swasta
bertempat tinggal di Jalan Atena Raya Rt.003 Rw.001 Kelurahan
Cisalak Kecamatan Sukmajaya Kota Depok Jawa Barat.
5. Muchlis dengan Puji Lestari
Muchlis, umur 52 Tahun Warganegara Indonesia, agama Islam
pendidkan SLTP, pekerjaan wiraswasta, usia pernikahan dengan Puji
Lestari 27 tahun bertempat tinggal di Kp. Cisalak Rt. 004 Rw. 009
Kecamatan Cimanggis Kota Depok Jawa Barat dan Puji Lestari umur
48 tahun, Warganegara Indonesia, agama Islam, pendidikan SLTP,
pekerjaan ibu rumah tangga bertempat tinggal di di Kp. Cisalak Rt.
004 Rw. 009 Kecamatan Cimanggis Kota Depok Jawa Barat.
40
B. Proses Masyarakat Memperoleh Buku Nikah Palsu di Desa Cisalak
Kota Depok
Dengan hasil penelitian, adanya pembuatan buku nikah palsu di
desa cisalak yang diketahui bahwa masyarakat yang memiliki buku nikah
palsu tersebut tidak mengetahui bahwa buku nikah tersebut dinyatakan
tidak terdaftar di KUA. Di mana pencatatan perkawinan adalah suatu
tindakan oleh pejabat negara terhadap setiap peristiwa perkawinan. Dalam
hal ini pegawai pencatat nikah yang melangsungkan pencatatan, ketika
akan melangsungkan suatu akad perkawinan antara calon mempelai suami
dan istri.2 Perkawinan yang secara normatif harus dicatatkan itu adalah
sudah merupakan “kesepakatan nasional” yang bertujuan untuk tujuan
hukum untuk masyarakat guna terwujudnya ketertiban, kepastian dan
perlindungan hukum.
Perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan peraturan perundang-
undangan wajib dilaporkan oleh penduduk kepada Instansi pelaksana
ditempat terjadinya peristiwa perkawinan paling lambat 60 hari sejak
tanggal perkawinan. Pencatatan perkawinan pada prinsipnya merupakan
hak dasar dalam keluarga. Selain itu merupakan upaya perlindungan
terhadap isteri maupun anak dalam memperoleh hak-hak keluarga seperti
hak waris dan lain-lain.3 Seperti yang dijelaskan dalam teori bab dua
dimana pencatatan dalam UU Nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan
yaitu terdapat pada pasal 2 ayar 2 yang berbunyi “tiap-tiap perkawinan
dicatat menurut perundang-undangan yang berlaku” perkawinan yaitu
untuk melaksanakan pencatatan, pasal 2 peraturan pelaksanaan
menyatakan bahwa bagi yang beragama Islam dilakukan oleh Pegawai
Pencatat sebagai dimaksud dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 1954
tentang Pencatatan Nikah, Talak, dan Rujuk, sedangkan bagi mereka yang
tidak beragama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan pada
2 Muhammad Zaein dan Mukhtar Alshadiq, Membangun Keluarga Harmonis,
(Jakarta: Graha Cipta, 2005), Cet. Ke-1, h. 36. 3 https://googleweblight. com Category: Hukum Keluarga, dikutip pada tanggal
25 Juni 2018 jam 14:43
41
Kantor Catatan Sipil sebagaimana dimaksud dalam berbagai perundang-
undangan mengenai pencatatan.4
Akan tetapi dalam proses mempunyai buku nikah palsu di
masyarakat kelurahan cisalak peneliti belum bisa bertemu dengan pelaku
pencatatan akta nikah palsu dikarenakan pelaku tidak diketahui
keberadaannya dan saat ini menjadi buronan dan peneliti hanya bisa
bertemu dengan para pihak yang terjebak pencatatan akta nikah palsu
tersebut secara langsung, bertatap muka dan seolah-olah melakukan
transaksi dengan para pihak yang terjebak dalam pencatatan akta nikah
palsu. Setelah terjadi transaksi berdasarkan beberapa keterangan para
pihak yang terjebak pencatat akta nikah palsu, peneliti dapat mengetahui
tentang beberapa hal yang berhubungan dengan proses mendapatkan
kutipan akta nikah palsu.5
Praktek pencatatan kutipan akta nikah palsu dilakukan oleh satu
orang sebagai sindikat pelaku, pelaku tersebut adalah oknum yang
mengatasnamakan KUA. Proses pencatatan akta nikah palsu mengunakan
akad nikah. Pemesan kutipan akta nikah palsu dengan menggunakan akad
nikah dipersilahkan mengajak saksi keluarga yang bersangkutan untuk
menyaksikan prosesi akad nikah.
Kehidupan modern yang sangat kompleks seperti saat ini menurut
untuk adanya ketertiban dalam berbagai hal, antara lain dalam masalah
pencatatan perkawinan. Apabila hal ini tidak mendapat perhatian,
kemungkinan besar akan timbul kekacaun dalam kehidupan masyarakat
mengingat jumlah manusia sudah sangat banyak dan permasahan hidup
pun semakin kompleks. Mengetahui hubungan perkawinan seseorang
dengan pasangannya mungkin akan sulit bila perkawinan itu tidak tercatat.
Terutama bila terjadi sengketa mengenai sah tidaknya anak yang
dilahirkan, hak dan kewajiban keduanya sebagai suami istri. Bahkan
4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
5 Wawancara dengan Dina Marlina, salah satu responden yang terjebak dalam
kutipan akta nikah palsu, dirumah kediamannya, Rt 001/006, hari Sabtu, 24 Maret 2018,
jam 11:15 WIB.
42
dengan tidak tercatatnya hubungan suami istri itu, sangat mungkin salah
satu pihak berpaling dari tanggung jawabnya dan menyangkal
hubungannya sebagai suami istri.6
Proses memperoleh akta nikah palsu selesai dalam jangka waktu
tiga hari. Pemesan dapat dilakukan melalui telpon atau datang kerumah
seorang calo atau langsung datang kerumah oknum pencatat kutipan akta
nikah palsu untuk mengadakan transaksi pemesan kutipan akta nikah
sesuai dengan nominal harga yang ditawarkan oleh pelaku pencatat
kutipan akta nikah palsu kepada pemesan dengan melalui beberapa
persyaratan yang telah ditentukan. Jika telah mencapai kesepakatan antara
pelaku pencatat akta nikah palsu, lalu keduanya menentukan waktu dan
tempat serah terima kutipan akta nikah dilaksanakan.
Persayaratan memperoleh akta nikah palsu hampir sama dengan
prosedur memperoleh akta nikah asli. Pemesan harus menyetorkan foto
copy kartu tanda penduduk calon suami istri, menyerahkan foto ukuran
3x4 berwarna atau hitam putih masing-masing sebanyak dua lembar,
membayar uang transaksi sebanyak Rp.500.000 untuk tanpa akad nikah
atau Rp.600.000 jika disertai akad nikah. Proses pembayaran ini tidak
dapat ditunda. Pengambilan kutipan akta nikah palsu harus tepat waktu
sesuai dengan waktu dan tempat yang telah disepakati.
Kutipan akta nikah palsu memiliki ciri-ciri tersendiri jika
dibandingkan dengan akta nikah asli. Nomor registrasi kutipan akta nikah
palsu tidak sesuai pada KUA. Nomor registrasi kutipan akta nikah palsu
terlalu banyak dari ukuran normalnya tidak sesuai dengan yang terdaftar di
KUA, nama yang bersangkutan suami istri tidak terdaftar pada KUA.
Nama kepala KUA dan PPN yang tertulis pada kutipan akta nikah palsu
tidak sesuai dengan nama kepala yang bertugas pada saat itu.
Ciri lain adalah Nomor porporasi dan kode kutipan akta nikah tidak
sesuai dengan yang dikeluarkan oleh KUA. Warna buku nikah palsu
6 Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Ed.1 Cet. 1, Jakarta:PT.
RajaGrafindo Persada, 1995), h.30
43
tersebut pudar tidak sama dengan warna yang di buat oleh Kementrian
Agama.7
Secara kasat mata, palsu atau tidaknya buku nikah tidak bisa
terdeteksi dengan alat apapun. Keduanya tampak persis, namun jika diteliti
dengan baik pada nomor register kependudukan, akan nampak jelas buku
nikah asli atau palsu. Diketahui atau tidaknya, dapat dilihat pada nomor
register kependudukan. Jika sesuai dengan data KUA, maka asli akan
tetapi jika tidak sesuai itu palsu.8
Serta maraknya peredaran buku nikah palsu membuat masayarakat
resah Secara fisik Buku nikah palsu hampir seratus persen menyerupai
buku nikah yang dilakukan kementrian agama pusat di jakarta, mulai dari
kode propinsi, hingga gambar pancasila juga muncul saat diberikan sinar
ultra violet. Namun setelah di cek dalam register data pencatatan dalam
buku nikah palsu ini tidak ada. Seperti halnya pada pasangan AS dengan
DM Nomor : 1367/154/IV/2000 yang pernikahannya dilaksanakan pada
hari jum’at tanggal 24 Maret tahun 2000 M (18 Dzulhijjah 1421 H) pada
pernikahan tersebut disaksikan oleh keluarga perempuan dan laki-lakinya
dan diwalikan oleh bp perempuan dan ada seorang laki-laki yang mengaku
bahwa laki-laki tersebut adalah seorang amil yang mengatakan bahwa jika
ingin menikah dan cerai menghadap amil tersebut serta pembuatan buku
nikah dibuat oleh amil tersebut yang bernama H. Daman, yang tidak lain
adalah kenalan dari calon mempelai laki-laki setelah dibuatkan buku nikah
amil tersebut meminta uang transaksi senilai tiga ratus ribu untuk
pembuatan buku nikah, karena ketidak adaan masyarkat dalam sosialisasi
terhadap Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974, masyakat tidak
tahu bahwasannya buku nikah tersebut palsu dan mereka mengetahui
ketika ada keperluan untuk mendaftarkan anaknya sekolah kemudian
pasangan tersebut menghadap ke KUA tempat tinggal mereka menikah,
7 Wawancara dengan Lina, Staf KUA Matraman, hari Senin, 27 Agustus 2018
di KUA Matraman 10.04 WIB. 8 Wawancara dengan Rasno, Staf KUA Sukmajaya, hari Selasa, 28 Agustus
2018 di KUA Sukmajaya 13.10 WIB.
44
setelah di cek bahwa buku nikah pasangan tersebut tidak terdaftar di KUA
, berdasarkan pada pemeriksaan buku register (Akta Nikah) maka
pernikahan atas nama tersebut tidak tercatat pada buku register (Akta
Nikah) KUA Kecamatan Matraman Kota Administrasi Jakarta Timur9
Perkawinan yang demikian, walaupun dilihat dari segi ibadah dan
keagamaan adalah sah akan tetapi jika dilihat dari segi pembukrian maka
nikah yang demikian tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat dan sempurna, karena ditertibkan akta nikahnya oleh Pegawai
Pencatat Nikah yang resmi. Hal ini tentu akan menimbulkan kesulitan
dikemudian hari apabila timbul suatu masalah dalam hubungan
perkawinan mereka, seperti dalam hal menentukan harta bersama, bagi
janda atau duda yang tinggal mati istrinya atau suaminya. Pencatatan
nikah mempunyai relevansinyadengan kesadaran hukum masyarakat.
Dengan adanya kesadaran hukum dari masyarakat, maka ketentuan
pencatatan nikah dapat diterapkan di tengah-tengah masyarakat, namun
demikian juga sebaliknya, tanpa adanya kesadaran hukum dari masyarakat
mustahil ketentuan mengenai pencatatan nikah dapat diterapkan di
masyarakat.10
Dan Pasangan yang kedua yaitu AA dengan CH Nomor:
473/64/VII/1994 yang pernikahannya dilaksanakan pada hari senin tanggal
4 juli 1994 M ( 25 Syura 1415 H ) sudah menikah secara agama dan
dikemudian hari mereka ingin mendapatkan buku nikah tetapi tidak tau
bagaimana prosesnya maka pasangan tersebut meminta tolong kepada
orang lain untuk dibuatkan buku nikah karena ketidak tahuan pasangan
tersebut mengenai proses pembuatan buku nikah yang akhirnya menerima
tawaran orang lain yang akan membuatkan buku nikah tersebut begitu saja
tanpa proses Pengadilan terlebih dahulu. Dan orang yang membuatkan
9 Wawancara dengan Agus Sudarsono dan Dina Marlina, pasangan yang terjebak
dalam pembuatan buku nikah palsu, dirumah kediamannya, Rt.001/006, 24 Maret 2018,
jam 11.15 WIB. 10
Happy Susanto, Nikah Sirri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007) h.,
100.
45
buku nikah tersebut meminta uang untuk pembuatan buku nikah senilai
lima ratus ribu, dan pada kemudian hari pasangan tersebut mendengan
gosip dari tetangga bahwa telah terjadi pemalsuan buku nikah kemudian
pasangan tersebut mencurigai akan buku nikah mereka dimana mereka
langsung mendatangi KUA yang tercantum di buku nikah tersebut. Maka
berdasarkan pemerikasaan pada buku register (Akta Nikah) pernikahan
atas nama tersebut diatas tidak tercatat pada buku register (Akta Nikah)
KUA.11
Peraturan pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
mengatur tentang tata cara dan tata laksana melaksanakan perkawinan dan
pencatatan perkawinan. Beberapa pasal yang dianggap penting untuk
dikemukakan, yaitu pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
ayat (1) yang menentukan pencatatan perkawinan bagi orang Isalam
dilakukan oleh Pegawai Pencatat Nikah sebagaimana dimaksud dalam
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1946 jo. Undang-Undang Nomor 32
Tahun 1954.12
Pasangan yang ketiga antara AP dengan SA Nomor:
469/74/XII/2001 yang pernikahannya dilaksanakan pada hari senin tanggal
11 Desember 2001 M pada pernikahan tersebut disaksikan keluarga
perempuan dan laki-lakinya dan diwalikan oleh bp perempuan dan amil,
calon mempelai pria mendapat kenalan yang sangat percis sekali dengan
orag KUA, maka pasangan tersebut menyuruh untuk mengurus pembuatan
buku nikah tersebut, dan orang yang membuatkan buku nikah tersebut
meminta uang untuk pembuatan buku nikah seharga enam ratus ribu
setelah menjelang beberapa tahun pasangan AP dengan SA baru
menegetahui bahwa buku nikah pasangan tersebut tidak terdaftar di KUA
mereka nikah alias palsu Maka berdasarkan pemerikasaan pada buku
11
Wawancara dengan Ayi Abusalam dan Cholilah, pasangan yang terjebak
dalam pembuatan buku nikah palsu, dirumah kediamannya, Rt 002/004, hari minggu 25
Maret 2018 jam 10:10 WIB. 12
PP No. 9 Tahun 1975 Tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974.
46
register (Akta Nikah) pernikahan atas nama tersebut diatas tidak tercatat
pada buku register (Akta Nikah) KUA Matraman dan masih banyak
masyarakat cisalak kota depok yang terkena buku nikah palsu.13
Akibat
negatif yang ditimbulkan terkait kepastian hukum terhadap perkawinan
tidak dicatat, seharusnya masyarakat menyadari tentang pentingnya
pencatatan perkawinan. Untuk mencegah adanya korban terkait
perkawinan tidak dicatat, maka seharusnya perkawina itu harus dicatat di
hadapan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) untuk mendapatkan jaminan
status hukum atas akibat hukum yang ditimbulkan seperti hak waris,
nafkah istri dan anak serta pengasuhan anak dan lain sebagainya.14
Pasangan keempat antara HI dengan MI Nomor: 897/55/X/1996
pada pernikahan tersebut mereka tidak langsung menghadap ke KUA
kediaman mereka menikah, dimana mereka meminta untuk dibuatkan
buku nikah kepada orang lain atau oknum yang mengatasnakan dari KUA
dan oknum tersebut meminta uang pendaftaran senilai lima ratus ribu
rupiah.15
Mengenai sahnya perkawinan ditentukan dalam Pasal 4 KHI,
bahwa “perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam
sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang perkawinan adalah perkawinan yang dilakukan menurut hukum
agama. Perkawinan yang dilakukan menurut hukum agama adalah
suatu”peristiwa hukum”. Yang tidak dapat dianulir oleh pasal 2 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan yang
menentukan tentang “Pencatatan Perkawinan”. Dengan demikian, dapat
ditemukan bahwa rumusan pasal 4 KHI mempertegas bahwa perkawinan
13
Wawancara dengan Andriansyah Kelana Putra dan Sujiana, pasangan yang
terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu, dirumah kediamannya, Rt 005/003, hari
Minggu, 25 Maret 2018, jam 13:30 WIB. 14
K.H. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI menggunakan kata istilah
kawina bawah tangan untuk istilah kawin siri, suatu perkawinan antara pasangan muslim
yang tidak tercatat pada Pegawai Pencatatan Nikah di KUA tetapi tatap sah sepanjang
memenuhi syarat dan rukun perkawinan berdasarkan rukun Islam. Lihat penjelasan pada
www.Hukumonline.com/berita/baca/ho115651/pencatatan-nikah-akan-memperjelas-
status-hukum, diakses pada 28 Mei 2018. 15
Wawancara dengan Riski Andang Hambali dan Marini, pasangan yang
terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu, dirumah kediamannya, Rt 003/001, hari
Minggu, 25 Maret 2018, jam 16.00 WIB.
47
yang sah adalah perkawinan menurut hukum Islam, sesuai dengan Pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.16
Pasangan yang kelima antara MS dengan PL Nomor: 578/64/VI/2016
pada pernikahan poligami tersebut MS orang yang sibuk sehingga
menyuruh meminta didaftarkan buku nikah kepada seseorang yang mereka
kenal dimana orang yang mendaftarkan buku nikah tersebut meminta uang
untuk biaya proses pembuatan buku nikah.17
Akibat hukum perkawinan tidak dicatat walau secara hukum telah
memenuhi syarat syar’i maksudnya syarat dimana keabsahan suatu ibadah
atau akad tergantung kepadanya, misalnya adanya kedua mempelai yang
telah memenuhi syarat nikah ada wali ada dua orang saksi dan adanya ijab
dan qabul, akan tetapi perkawinan yang dilakukan dilakukan diluar
pengetahuan dan pengawasan Pegawai Pencatat Nikah tidak memiliki
kekuatan hukum yang tetap sehingga dimata hukum negara dianggap tidak
sah hal ini sangat berdampak pada isteri dan perempuan pada umumnya
baik secara hukum maupun sosial bahkan akibat hukum dari anak yang
dilahirkan dari perkawinan yang tidak dicatat termasuk juga tidak diakui
dalam pembagian hartagono gini dan waris ketika salah satu pihak
meninggal dunia. Hal ini karena dimata hukum perkawinan dianggap tidak
pernah terjadi, dan status sosial yang melekat pada isteri yang dinikahi
tanpa dicatat sering disimbolkan sebagai isteri simpanan.
16
Neng Djubaedah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2012),
h., 219. 17
Wawancara dengan Muchlis dan Puji Lestari, pasangan yang terjebak dalam
pembuatan buku nikah palsu, dirumah kediamannya, Rt 004/009, 8 April 2018 hari
Minggu, jam 08:30 WIB.
48
C. Faktor Penyebab Masyarakat Terjebak Dalam Memperoleh Buku
Nikah Palsu di Kelurahan Cisalak Kota Depok
Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan oleh peneliti dengan
responden, yaitu pihak pemesan kutipan akta nikah palsu di kelurahan
cisalak Kota Depok, dengan bukti lembaran kutipan.
Kutipan akta nikah ini dianggap asli tetapi palsu karena terbukti
pada nomor registrasi yang tidak terdaftar di KUA kediaman pihak yang
bersangkutan menikah. Kedua calon pengantin tersebut yang mengaku
telah menikah dengan menggunakan akta nikah asli tetapi palsu. bermula
dari adanya pengangkatan PNS yang sudah menikah salah satu
persyaratannya harus ada fotocopy buku nikah yang sudah di legalisir di
KUA bersangkutan tempat di keluarkannya buku nikah tersebut dari
sanalah salah satu responden mengetahui bahwasannya buku nikah yang
dimilikinya tidak dicatat di KUA, karena sebelum di legalisir di cek
terlebih dahulu nomor akta nikahnya dimana akta nika tersebut tidak
terdaftar di KUA dan dari responden yang akan membuatkan akta lahir
anak dimana harus ada foto copy buku nikah yang sudah di lagalisir oleh
KUA kediaman responden tersebut penikah. Kemudian dari seorang anak
yang diangkat sebagai TNI dimana persyaratan tersebut harus memiliki
foto copy buku nikah yang sudah di lagalisir di KUA tempat kediaman
orang tua anak tersebut menikah, Berdasarkan fakta ini, dapat disimpulkan
bahwa kutipan akta nikah yang dimiliki suami istri tersebut tidak tercatat
di KUA kediaman para responden tersebut menikah.18
Jadi sahnya perkawinan ini dimata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang dalam hal ini
ketentuannyaterdapat pada Pasal 2 ayat 2 Undang-Unadang Perkawinan
tentang Pencatatan Perkawinan. Dalam Pasal 2 ayat 2 disebutkan bahwa
“Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku”. Seluruh peristiwa yang terjadi di dalam keluarga yang
18
Hasil obserpasi hari Sabtu, di tempat kediaman para responden, tanggal 31
Maret 2018, jam 08:00 WIB.
49
memiliki aspek hukum perlu dicatatkan dan dibuktikan, sehingga baik
yang bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai
bukti autentik tentang peristiwa tersebut, dengan demikian maka
kedudukan hukum seseorang menjadi tegas dan jelas.19
Terdapat banyak faktor dominan yang melatarbelakangi adanya
kutipan akta nikah palsu di kecamatan cisalak depok. Pertama adalah
masih rendahnya pendidikan warga Kecamatan Cisalak kondisi ini sangat
dimungkinkan adanya praktek pemalsuan kutipan akta nikah atas nama
KUA Kecamatan Matraman hal ini dapat dibuktikan melalui grafik jumlah
penduduk yang berpendidikan 70% samapai jenjang SD, 50%sampai
jenjang SMP, 50% sampai jenjang SMA dan 50% Strata Satu (S-1)
Faktor kedua adalah kurang adanya kesadaran hukum dan
sosialisasi tentang pencatatan nikah yang resmi dan legal menurut UU
Perkawinan melalui prosedur yang diterapkan Departemen Agama kepada
lapisan masyarakat. Terutama proses pencatatan pernikahan di KUA. Para
pelaku juga sengaja mencari keamanan di masyarakat, sehingga ketika
diperiksa, pemesan kutipan akta nikah palsu dapat menunjukan kutipan
akta nikah yang diperoleh sesuai dengan yang asli.
Faktor ketiga adalah para pihak tidak mendaftar langsung di KUA
yang bersangkutan atau di daerah dimana mereka menikah karena para
pihak terlalu mempercayai orang lain atau oknum yang mengatasnamakan
dari KUA.20
Undang-Undang Perkawina tidak hanya mengatur bahwa suatu
perkawinan harus dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan
masing-masing, tetapi juga mengharuskan suatu perkawinan untuk
dicatatkan melalui Pegawai Pencatat Nikah. Sehingga terhadap
perkawinan yang tidak dilakukan pencatatan (Perkawinan Siri) tidak dapat
19
M. Yahya Harahap, Pembahasan Hukum Perkawinan, ( Jakarta: CH. Zahir
Tading Co, 1975) hal., 25. 20
Wawancara para pihak yang terjebak dalam pembuatan Buku Nikah Palsu,
dirumah kediaman para pihak, tanggal 31 Mei 2018, hari Kamis, jam 07:30 WIB.
50
dibuktikan adanya perkawinan jika berhadapan dengan persoalan
hukum.21
Suatu perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 adalah sah apabila dicatatkan menurut perundang-undang
yang berlaku menurut hukum dan agama masing-masing seseorang. Akan
tetapi didalam hukum, perkawinan harus sah dimata hukum Negara, jika
perkawinan tidak dicatatkan maka perkawinan tersebut tidak mempunyai
akibat hukum. Dan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang harta bersama maka perkawinan yang tidak dicatatkan berdampak
tidak adanya hak harta bersama yang ada hanya harta bawaan yang dibawa
oleh masing-masing pihak.22
21
Tutiek Retnowati, Jurnal Fakultas Hukum Volume XX 2011 universitas
Narotama, Surabaya, dikutip pada tanggal 27 Mei 2018. 22
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974.
51
BAB IV
KEWAJIBAN DAN HAK SUAMI ISTRI YANG MEMILIKI BUKU NIKAH
PALSU DI DESA CISALAK KOTA DEPOK
A. Kewajiban Suami Istri yang Memperoleh Buku Nikah Palsu di Desa
Cisalak Kota Depok
Kewajiban suami istri yang memperoleh buku nikah palsu yang
mereka harus lakukan setelah mengetahui bahwa buku nikah mereka
dinyatakan tidak terdaftar di KUA alias palsu maka meraka harus
membuat yang asli dengan cara isbat ke Pengadilan Agama, dengan kata
lain menetapkan nikah yang sudah dilaksanakan secara administrasi, kalau
sebelumnya belum disahkan secara administrasi, maka sekarag disahkan
secara administrasi dalam mengajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.1
Adapun frasa “itsbat nikah”, memiliki arti dari suatu penetapan
kembali pernikahan yang sebelumnya telah dilakukan namun tidak
memenuhi syarat administratif negara, yaitu pencatatan nika. Dalam
Kamus Besar Bahasa Indonesia, itsbat merupakan penetapan,
penyungguhan, dan penentuan. Adapun itsbat nikah adalah penetapan
tentang kebenaran (keabsahan) nikah.2
Pada dasarnya itsbat nikah adalah penetapan atas perkawinan
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri yang sudah
dilaksanakan sesuai dengan ketentuan agama islam yaitu memenuhi rukun
dan syarat nikah. Tetapi pernikahan tersebut terjadi pada masa lampau
tidak dicatatkan kepada pejabat yang berwenang, dalam hal ini pejabat
Kantor Urusan Agama yaitu Pegawai Pencatat Nikah (PPN).3
Itsbat Nikah atau yang biasa disebut Pengesahan Perkawinan
adalah permohonan pengesahan nikah yang diajukan ke pengadilan untuk
1 Wiyana, Kepala Lurah Cisalak Kota Depok, Wawancara, Depok 30 Mei 2018.
2 Tim Pustaka Phoenix, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pustaka
Phoenix, 2012), Cet, 6. H., 190. 3 Zainuddin dan Afwan Zainuddin, Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, ( Yogyakarta:
Deepublish,2017 ) Cet, Pertama, h., 65
52
dinyatakan sahnya pernikahan dan memiliki kekuatan hukum. Sesuai
dengan ketentuan di atas, Itsbat Nikah hanya dapat diajukan melalui
Pengadilan Agama, di wilayah tempat tinggal Pemohon dan Termohon,
bukan melalui Kantor Urusan Agama (KUA). Tujuan dari pengajuan itsbat
nikah ini adalah agar perkawinan yang telah dilakukan dinyatakan sah, dan
dicatat sesuai dengan keputusan pengadilan. Akta Nikah merupakan bukti
dari adanya perkawinan, dan merupakan jaminan bagi suami atau istri
serta hak-hak anak yang lahir dari hasil perkawinan, seperti pengurusan
akta kelahiran, waris, dan lain-lain.4
Tidak hanya itu, pengesahan perkawinan atau isbat nikah juga
biasanya diajukan dengan alasan-alasan seperti hilangnya akta nikah,
adanya keraguan tentang sah atau tidaknya salah satu syarat perkawinan,
perkawinan dibawah tangan, tidak mempunyai biaya untuk mencatatkan
pernikahan di KUA, atau bahkan karena tidak mengetahui bahwa sebuah
pernikahan harus dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA). Yang
berhak mengajukan permohonan itsbat nikah ialah suami atau istri, anak-
anak mereka, wali nikah dan pihak yang berkepentingan dengan
perkawinan itu.5
bahwa syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang untuk
melakukan Itsbat Nikah adalah sebagai berikut6:
1. Menyerahkan Surat Permohonan Itsbat Nikah kepada Pengadilan
Agama setempat;
2. Surat keterangan dari Kantor Urusan Agama (KUA) setempat yang
menyatakan bahwa pernikahan tersebut belum dicatatkan;
3. Surat keterangan dari Kepala Desa / Lurah yang menerangkan bahwa
Pemohon telah menikah;
4. Foto Copy KTP pemohon Itsbat Nikah;
4 Adpokatkita.com, Layanan Konsultasi dan Bantuan Hukum, dikutip tanggal 1
Juli 2018 jam 19:54 5 Kompilasi Hukum Islam pasal 7.
6 https://Kantorpengacara.com, Mengenal Lebih Jauh Seputar Aturan Itsbat
Nikah, dikutip pada tanggal 3 Juli 2018 jam 19:58
53
5. Membayar biaya perkara;
6. Lain-lain yang akan ditentukan Hakim dalam persidangan.
Ketika para responden belum mengetahui bahwa buku nikah
mereka itu adalah buku nikah palsu, para responden tersebut sudah
memakai buku nikah tersebut untuk salah satunya yaitu akta lahit anak,
daftar untuk sekolah anak, keredit kendaraan, kredit rumah setelah
beberapa lama para responden yang terjebak dalam buku nikah palsu
tersebut baru mengetahui bahwa buku nikah para responden palsu setelah
meraka mengetahui dari awal mula salah satu responden mengetahui buku
nikahnya tidak tercatat di KUA bermula dari adanya pengangkatan PNS
yang sudah menikah salah satu persyaratannya harus ada fotocopy buku
nikah yang sudah di legalisir di KUA bersangkutan tempat di
keluarkannya buku nikah tersebut dari sanalah salah satu responden
mengetahui bahwasannya buku nikah yang dimilikinya tidak dicatat di
KUA, karena sebelum di legalisir di cek terlebih dahulu nomor akta
nikahnya dimana akta nika tersebut tidak terdaftar di KUA dan dari gosip
para tetangga dimana telah maraknya buku nikah palsu.7
Adapun yang dimaksud perkawinan tidak dicatat adalah
perkawinan yang sah sesuai dengan dengan ketentuan hukum Islam yang
belum didaftarkan, sehingga belum dicatat di Kantor Urusan Agama
tempat dilangsungkannya perkawinan. Hal yang terakhir disebut
disebabkan beberapa faktor, diantaranya yaitu kurangnya pengetahuan,
anggota masyarakat setempat, atau karena pembiayaan pembiayaan
pendaftaran pencatatan dan lokasi yang tidak terjangkau oleh masyarakat,
atau karena alasan lain yang tidak bertentangan dengan huku Islam.8
7 Wawancara para pihak yang terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu di
desa cisalak kota depok, dirumah kediaman para pihak, hari Sabtu, pada tanggal 19 Mei
2018, jam 08:10 WIB. 8 Neng Djubaidah, Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Gtafika, 2012)
Cet. 2, h., 3.
54
B. Hak Suami Istri yang Memperoleh Buku Nikah Palsu di Kelurahan
Cisalak Kota Depok
Orang-orang yang berniat baik ingin membangun keluarga dengan
baik harus dilindungi haknya. Termasuk mendapatkan buku nikah yang
asli dari pemerintah. Instutusi sosial yang paling kecil dimulai dari akad
nikah itu sendiri. Supaya hak suami istri dan anak-anak terlindungi maka
surat nikah yang diberikan harus asli dan resmi.
Pasangan-pasangan ini sudah menikah sesuai syariah Islam
sehingga pernikahannya tetap sah. Namun sayangnya mereka tertipu
dengan catatan administrasi yang palsu. Karena itu para pasangan yang
sudah menikah ini bisa menuntut haknya untuk mendapat buku nikah asli.
Mereka perlu didampingi oleh tokoh-tokoh masyarakat disana supaya
mendapat haknya.
Pencatatan perkawinan memiliki peranan penting dalam sebuah
perkawinan. Eksistensi pencatatan dalam hukum perkawinan akan
berpengaruh pada diakui atau tidaknya perkawinan dihadapan hukum.
Dalam sistem hukum Indonesia, konsep pencatatan pernikahan ini bukan
merupakan syarat yang menentukan sahnya perkawinan, karena segala
perkawinan yang ada di Indonesia khususnya sudah dianggap sah apabiala
dilakukan menurut ketentuan agama (yaitu terpenuhinya syarat dan rukun
pernikahan), dan hal ini diyakini oleh umat Islam sebagai ketentuan syar’i
yang harus dilaksanakan. Akan tetapi, pencatatan itu sebagai syarat diakui
atau tidaknya suatu perkawinan oleh negara dan hal ini banyak membawa
konsekuensi bagi yang melaksanakan tersebut.9
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, perkawinan yang sah
adalah perkawinan yang dilakukan menurut Pasal 2 ayat 1 yaitu
Perkawinan yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-
9 Taufiqurrahman Syahuri, Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia;
Prokontra Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013), h.,19.
55
masing dan pasal 2 ayat 2 yaitu dilakukan pencatatan sesuai Peraturan
Perundang-Undangan yang berlaku yang disebut dengan Surat Akta.10
Surat Akta adalah suatu tulisan yang semata mata dibuat untuk
membuktikan sesuatu hal atau peristiwa, karenanya suatu akta harus selalu
ditandatangani. Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi supaya suatu
surat Akta dapat disebut sebagai Akta adalah:
1. Surat itu harus ditandatangani.
2. Surat itu harus memuat peristiwa yang menjadi dasar dari suatu hak
atau perikatan
3. Surat itu diperuntukan sebagai alat bukti
Surat Akta dapat dibagi, yaitu:
1. Akta resmi (Autentik) adalah suatu akta yang dibuat oleh atau
dihadapan seorang Pejabat umum menurut Undang-Undang ditegaskan
untuk membuat akta tersebut.
2. Akta dibawah tangan adalah tiap akta yang tidak dibuat oleh atau
dengan perantaraan seorang pejabat umum.
Suatu Akta resmi (Autentik) adalah suatu kekuatan pembuktian yang
sempurna, artinya apabila suatu pihak menerimanya yang menganggap apa
yang telah dituliskan dalam akta itu sungguh-sungguh telah terjadi,
sehingga Hakim itu tidak boleh memerintahkan penambahan pembuktian
lagi.
Sebagai alat bukti, maka Akta perkawinan mempunyai tiga sifat,
yaitu:11
1. Sebagai satu-satunya alat bukti yang mempunyai arti mutlak
2. Sebagai alat bukti penuh, artinya disamping akta perkawinan itu tidak
dapat dimintakan alat-alat bukti lain.
10
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan. 11
Sukri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Kaitannya Dengan Hukum Islam (Makasar: FSH,
2012), h.49.
56
3. Sebagai alat bukti yang bersifat memaksa, sehingga bukti
pelawanannya tidak dapat melemahkan akta perkawinan itu.
Akta nikah atau buku nikah sebagai akta otentik dapat memberikan
kepastian hukum karena sangat sulit untuk menyangkalnya. Hal ini
penting karena pernikahan menimbulkan akibat hukum yang sangat serius
yang harus diproteksi oleh hukum yaitu:12
1. Terciptanya hubungan suami istri diantara seorang laki-laki dan
seorang perempuan dengan berbagai hak dan kewajiban yang
melekat pada keduanya berkaitan dengan status tersebut, seperti
adanya kewajiban suami memberikan nafkah kepada istrinya yang
dibarengi hak istri untuk menerima dan menuntut nafkah
tersebutdan sebagainya.
2. Anak-anak yang lahir dalam pernikahan adalah anak-anak sah yang
dinasabkan pada mereka, terutama suami sebagai ayah yang sah.
Suami istri menjadi orang tua bagi anak-anak tersebut yang
menjalankan kekuasaan orang tua kepada anak-anak tersebut, yaitu
berkewajiban memelihara dan memberikan nafkah, pakaian,
perumahan, dan pendidikan terhadap anak-anak mereka yang
belum dewasa memiliki kekayaan maka mereka memiliki hak
menikmati hasil kekayaan tersebut.
3. Terciptanya hubungan waris mewarisi diantara suami istri,
begitupula dengan anak-anak mereka.
Buku nikah palsu dapat berakibat pada hilangnya hak mendapat
warisan jika suatu saat suami atau istri meninggal dunia. Hal ini
dikarenakan pasangan harus mempunyai buku nikah asli.
Untuk menjamin hak-hak suami istri dalam Pernikahan jika terjadi
perceraian termasuk hak memperoleh warisan dan pensiun. Untuk
12
Sukri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Kaitannya Dengan Hukum Islam (Makasar: fsh,
2012), h. 72.
57
melindungi hak-hak anak, misalnya dalam membuat akta kelahiran,
pengurusan passport, dan hak waris.
Oleh karena itu, hak suami istri yang terjebak dalam pembuatan
buku nikah palsu harus melakukan istbat nikah di Pengadilan Agama.
Dengan adanya kesadaran hukum dari masyarakat akan pentingnya
pencatatan perkawinan maka kepastian hukum bagi masyarakat menjadi
jelas sehingga apabila dikemudian hari mereka menghadapi masalah yang
berhubungan dengan perkawinan mereka, maka mereka dapat menjadikan
akta perkawinan mereka sebagai alat bukti yang autentik.13
Jadi sahnya perkawinan ini dimata agama dan kepercayaan
masyarakat perlu disahkan lagi oleh negara, yang hal ini ketentuannya
terdapat pada pasal 2 ayat 2 undang-undang perkawinan tentang
pencatatan perkawinan. Dalam pasal 2 ayat 2 dibuktikan bahwa “ Tiap-
tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang
berlaku”. Seluruh peristiwa yang terjadi didalam keluarga yang memiliki
aspek hukum perlu dicatatkan dan dibukukan, sehingga baik yang
bersangkutan maupun orang lain yang berkepentingan mempunyai bukti
autentik tentang peristiwa tersebut, dengan demikian maka kedudukan
hukum seseorang menjadi tegas dan jelas.14
13
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata di Indonesi, (Bandung: PT. Citra
Adtya Bakti, 2013), h. 29. 14
Raymond Ginting, 2014, Jurnal Hukum Bisnis Fakultas Hukum Universitas
Udayana (Akibat Hukum Perkawinan Yang Tidak Dicatatkan Pada Kantor Catatan Sipil
Terhadap Harta Bersama).
58
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Pasangan suami istri yang memperoleh buku Nikah palsu di Desa Cisalak
Kota Depok disebabkan karena mereka tidak langsung mendaftarkan ke
KUA, tetapi hanya mempercayai orang lain atau oknum yang
mengatasnamakan dari KUA.
2. Faktor yang menyebabkan masyarakat terjebak dalam memperoleh buku
nikah palsu di Desa Cisalak Kota Depok yaitu pertama adalah masih
rendahnya pendidikan warga Kecamatan Cisalak, faktor kedua adalah
kurang adanya kesadaran hukum dan sosialisasi tentang pencatatan nikah
yang resmi dan legal menurut UU Perkawinan, faktor ketiga adalah para
pihak tidak mendaftar langsung di KUA yang bersangkutan atau di daerah
dimana mereka menikah karena para pihak terlalu mempercayai orang lain
atau oknum yang mengatasnamakan dari KUA.
3. Kewajiban suami istri yang harus dilakukan setelah mengetahui bahwa
buku nikah mereka dinyatakan tidak terdaftar di KUA atau palsu maka
mereka harus membuat yang asli dengan cara isbat ke Pengadilan Agama
agar terlindungi hak-haknya. Adapun hak suami istri yang terjebak dalam
pembuatan buku nikah palsu yaitu mendapatkan buku nikah yang asli
dengan cara melakukan istbat nikah di Pengadilan Agama.
B. Saran
1. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan dapat dijadikan sebagai salah satu
bahan berikutnya untuk masalah yang sama, sehingga dihasilkan
pembahasan yang lebih mendalam untuk disumbangkan bagi
pengembangan pengetahuan ilmiah, khusunya dalam bidang hukum
perkawinan Islam.
2. Masyarakat agar lebih hati-hati ketika ingin membuat buku nikah lebih
baik langsung datang ke KUA dari pada lewat perantara orang lain, karena
59
apabila kita mempercayakan kepada orang lain yang belum tentu benar
akan berakibat fatal dan merugikan diri kita sendiri.
3. Diharapkan kepada pemerintah dan staf KUA untuk mensosialisasikan
tentang bagaimana proses pencatatan akta nikah di KUA (Kantor Urusan
Agama).
60
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Ali, Zainudin. Hukum Perdata Islam d Indonesia ( Jakarta: Penerbit Sinar
Grafika, 2006 Cet. Pertama)
Djubaedah, Neng. Pencatatan Perkawinan dan Perkawinan Tidak Dicatat
Menurut Hukum Tertulis di Indonesia dan Hukum Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika,
2012)
Diktorat Jendral Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji,
Pedoman Konselor Keluarga Sakinah, 2001, h.,23-24.
Hasan, Ali. Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, ( Jakarta: Penerbit
Prenada Media, 2003 Cet. Pertama )
Habiburrahman, Anak Luar Nikah dalam Putusan Mahkamah Konstitusi, dalam
Varia Peradilan Nomor 317 April 2012, Jakarta: IKAHI
Harahap, M. Yahya. Pembahasan Hukum Perkawinan, ( Jakarta: CH. Zahir
Tading Co, 1975)
Jahar, Asep Saepudin. Nurlaelawati Euis dan Aripin Jaenal, Hukum Keluarga,
Pidana dan Bisnis Kajian Perundang-undangan Indonesia, Fikih dan Hukum
Internasional, ( Jakarta: Penerbit Kencana, 2013 Cet. Pertama).
Kharlie, Ahmad Tholabi. Hukum Keluarga Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Sinar
Gtafika, 2013 Cet. Pertama )
Kuzari, Achmad. Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta:PT. RajaGrafindo Persada,
1995 Cet. Satu)
Mardani, Hukum Keluarga Islam di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2012
Cet. Kedua).
Muzarie, Mukhlisin. Kontroversi Perkawinan Wanita Hamil, ( Yogyakarta:
Penerbit Pustaka Dinamika, 2002 )
Mubarok, Jaih. Modernisasi Hukum Perkawinan di Indonesia, ( Jakarta: Penerbit
Bumi Aksara, 2002 )
Mertokusumo, Sudikno. Bab-bab tentang Penemuan Hukum (Yogyakarta: Citra
Aditya Bakti, 1993)
61
Nuruddin, Amiur dan Taringan Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kencana, 2004 Cet. Pertama )
Nuruddin, Amiur dan Taringan Azhari Akmal. Hukum Perdata Islam di
Indonesia, (Jakarta: Penerbit Kencana, Cet. Ketiga, 2006)
Nasution dan Khoirudin, Hukum Perdata (keluarga) Islam Indonesia dan
Perbandingan Hukum Perkawinan di Dunia Muslim, (Yogyakarta: Penerbit
Academia Tazzafa, 2009)
Ramulyo, Moh Idris. Tinjauan Beberapa Pasal Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 dari Segi Hukum Perkawinan Islam, ( Jakarta: Penerbit PT Bumi Aksara,
2002 )
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2003)
Saleh, K.Wantjik. Hukum Perkawinan Indonesia, ( Jakarta: Penerbit Ghalia
Indonesia, 1976 Cet. Keempat )
Sukri, Tinjauan Yuridis Terhadap Perkawinan Tanpa Akta Nikah Menurut
Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Kaitannya Dengan Hukum Islam (Makasar:
FSH, 2012)
Susanto, Happy. Nikah Sirri Apa Untungnya?, (Jakarta: Visimedia, 2007)
Sopyan, Yayan. Islam-Negara Transformasi Hukum Perkawinan Islam Dalam
Hukum Nasional, ( Tangrang Selatan: Penerbit UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
2011 Cet. Pertama )
Syahuri, Taufiqurrahman. Legislasi Hukum Perkawinan Di Indonesia; Prokontra
Pembentukannya Hingga Putusan Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Kencana
Prenada Media Group, 2013)
Wasian, Abdullah. Akibat Hukum Perkawinan Siri (tidak dicatatkan) terhadap
kedudukan isteri, anak dan harta kekayaan di tinjau hukum Islam dan undang-
undang perkawinan, Thesis (Semarang: Universitas diponogoro, 2010)
Zain, Muhammad dan Alshodiq Mukhtar. Membangun Keluarga Humanis,(
Jakarta: Penerbit Grahacipta, 2005 Cet. Pertama )
Zainuddin, dan Zainuddin Afwan. Kepastian Hukum Perkawinan Siri dan
Permasalahannya Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, (
Yogyakarta: Deepublish,2017 )
62
Skripsi
Skripsi: Abdul Basyir, tinjauan Hukum Islam Terhadap Status Nikah Sirri di
Indonesia.
Skripsi: Duray Achmad, Pencatatan Perkawinan di Kantor Urusan Agama, h.,32
Skripsi: Abdul Basyir, tinjauan Hukum Islam Terhadap Status Nikah Sirri di
Indonesia, h.,77
Tutiek Retnowati, Jurnal Fakultas Hukum Volume XX 2011 universitas
Narotama, Surabaya, dikutip pada tanggal 27 Mei 2018
Webset
https://estyindra. Weebly.com, dikutip pada tanggal 26 Mei 2018 jam 13:05
Masrum M Noor, Pencatatan Nikah Sebagai Kewajiban Syar’iyah, dalam
http://www.badilag.net,
K.H. Ma’ruf Amin, Ketua Komisi Fatwa MUI menggunakan kata istilah kawina
bawah tangan untuk istilah kawin siri, suatu perkawinan antara pasangan muslim
yang tidak tercatat pada Pegawai Pencatatan Nikah di KUA tetapi tatap sah
sepanjang memenuhi syarat dan rukun perkawinan berdasarkan rukun Islam.
Lihat penjelasan pada www.Hukumonline.com/berita/baca/ho115651/pencatatan-
nikah-akan-memperjelas-status-hukum, diakses pada 28 Mei 2018
Advokatkita.com dikutip tanggal 1 Juli 2018 jam 19:54
Wawancara
untuk pasangan yang memiliki buku nikah palsu
1. Berapa lama usia pernikahan bapak dan ibu?
2. Bagaimana proses pernikahan bapak dan ibu?
3. Siapa yang mebuatkan buku nikah bapak dan ibu?
4. Apakah bapak dan ibu mengetahui peroses pernikahan yang harus
dicatatkan di KUA?
5. Dari mana bapak dan ibu mengetahui bahwa buku nikah terebut palsu?
6. Setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu apa yang dilakukan bapa
dan ibu?
7. Sebelum bapak dan ibu mengetahui buku nikah tersebut palsu apa saja
yang telah bapak ibu gunakan dengan memakai buku nikah palsu tersebut?
8. Berapa harga yang ditawarkan oleh pembuat buku nikah tersebut?
9. Apa faktor bapak dan ibu bisa terjebak dalam pembuatan buku nikah
palsu?
10. Apa ada keinginan untuk mendaftarkan pernikahannya di KUA?
Wawancara
untuk pasangan yang memiliki buku nikah palsu
1. Berapa lama usia pernikahan bapak dan ibu?
2. Bagaimana proses pernikahan bapak dan ibu?
3. Siapa yang mebuatkan buku nikah bapak dan ibu?
4. Apakah bapak dan ibu mengetahui peroses pernikahan yang harus
dicatatkan di KUA?
5. Dari mana bapak dan ibu mengetahui bahwa buku nikah terebut palsu?
6. Setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu apa yang dilakukan bapa
dan ibu?
7. Sebelum bapak dan ibu mengetahui buku nikah tersebut palsu apa saja
yang telah bapak ibu gunakan dengan memakai buku nikah palsu tersebut?
8. Berapa harga yang ditawarkan oleh pembuat buku nikah tersebut?
9. Apa faktor bapak dan ibu bisa terjebak dalam pembuatan buku nikah
palsu?
10. Apa ada keinginan untuk mendaftarkan pernikahannya di KUA?
Wawancara
untuk pasangan yang memiliki buku nikah palsu
1. Berapa lama usia pernikahan bapak dan ibu?
2. Bagaimana proses pernikahan bapak dan ibu?
3. Siapa yang mebuatkan buku nikah bapak dan ibu?
4. Apakah bapak dan ibu mengetahui peroses pernikahan yang harus
dicatatkan di KUA?
5. Dari mana bapak dan ibu mengetahui bahwa buku nikah terebut palsu?
6. Setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu apa yang dilakukan bapa
dan ibu?
7. Sebelum bapak dan ibu mengetahui buku nikah tersebut palsu apa saja
yang telah bapak ibu gunakan dengan memakai buku nikah palsu tersebut?
8. Berapa harga yang ditawarkan oleh pembuat buku nikah tersebut?
9. Apa faktor bapak dan ibu bisa terjebak dalam pembuatan buku nikah
palsu?
10. Apa ada keinginan untuk mendaftarkan pernikahannya di KUA?
Wawancara
untuk pasangan yang memiliki buku nikah palsu
1. Berapa lama usia pernikahan bapak dan ibu?
2. Bagaimana proses pernikahan bapak dan ibu?
3. Siapa yang mebuatkan buku nikah bapak dan ibu?
4. Apakah bapak dan ibu mengetahui peroses pernikahan yang harus
dicatatkan di KUA?
5. Dari mana bapak dan ibu mengetahui bahwa buku nikah terebut palsu?
6. Setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu apa yang dilakukan bapa
dan ibu?
7. Sebelum bapak dan ibu mengetahui buku nikah tersebut palsu apa saja
yang telah bapak ibu gunakan dengan memakai buku nikah palsu tersebut?
8. Berapa harga yang ditawarkan oleh pembuat buku nikah tersebut?
9. Apa faktor bapak dan ibu bisa terjebak dalam pembuatan buku nikah
palsu?
10. Apa ada keinginan untuk mendaftarkan pernikahannya di KUA?
Wawancara
untuk pasangan yang memiliki buku nikah palsu
1. Berapa lama usia pernikahan bapak dan ibu?
2. Bagaimana proses pernikahan bapak dan ibu?
3. Siapa yang mebuatkan buku nikah bapak dan ibu?
4. Apakah bapak dan ibu mengetahui peroses pernikahan yang harus
dicatatkan di KUA?
5. Dari mana bapak dan ibu mengetahui bahwa buku nikah terebut palsu?
6. Setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu apa yang dilakukan bapa
dan ibu?
7. Sebelum bapak dan ibu mengetahui buku nikah tersebut palsu apa saja
yang telah bapak ibu gunakan dengan memakai buku nikah palsu tersebut?
8. Berapa harga yang ditawarkan oleh pembuat buku nikah tersebut?
9. Apa faktor bapak dan ibu bisa terjebak dalam pembuatan buku nikah
palsu?
10. Apa ada keinginan bapak ibu untuk mendaftarkan pernikahannya di KUA?
Jawaban
1. 18 Tahun
2. Prosesnya yaitu pernikahan dilaksanakan di kediaman mempelai wanita
dan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai dan diwalikan oleh bapak
calon mempelai wanita
3. Yang membuatkan buku nikah tersebut seorang teman yang baru dikenal
oleh calon mempelai laki-laki
4. Tidak mengetaui bagaimana proses dicatatkannya buku nikah di KUA
5. Setelah ada gosip dari tetangga bahwa telah ada pembuatan buku nikah
palsu dan pasangan tersebut langsung bergegas ketempat dicatatkannya
buku nikah tersebut stelah di cek bahwa buku nikah tersebut tidak terdaftar
di KUA.
6. Setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu saya hanya bisa terdiam dan
menangis
7. Yang sudah digunakan dengan memakai buku nikah tersebut yaitu akta
kelahiran anak, pendaftaran sekolah anak, kredit.
8. Harga yang ditawarkan oleh pelaku pembuatan buku nikah palsu tersebut
sebersar 500 ribu rupiah
9. Faktor yang menyebabkan terjebaknya pembuatan buku nikah palsu yaitu
ketidaktahuan bapak dan ibu dalam proses dicatatkannya buku nikah di
KUA
10. Sangat ingin, akan tetapi masih mencari informasi bagaimana dicatatkanya
pernikahan di KUA.
Jawaban
1. 17 Tahun
2. Prosesnya yaitu pernikahan dilaksanakan di kediaman mempelai
wanita dan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai dan diwalikan
oleh bapak calon mempelai wanita kemudian diadakan resepsian
3. Yang mendaftarkan proses untuk mendapatkan buku nikah yaitu
kenalan calon mempelai laki-laki dimana saya mempercayai orang
tersebut karna orang tersebut adalah seorang ustad di kampung saya
4. Ya, saya mengetahui bagaimana proses pendaftaran buku nikah di
KUA
5. Berawal dari seorang istri yang kedua ingin Memberikan hibah harus
ada buku nikah akan tetapi ketika di cek ternyata buku nikah tersebut
palsu.
6. Setelah mengetahui bahwa buku nikah tersebut palsu saya langsung
datang ke Pengadilan Agama
7. Yang sudah saya gunakan dengan memakai buku nikah tersebut yaitu
akta kelahiran anak, daftar sekolah anak.
8. Harga yang ditawarkan oleh pelaku sebesar 2 juta
9. Faktor yang menyebabkan saya terjebak dalam buku nikah palsu
tersebut yaitu saya tidak mendaftar langsung ke KUA yang
bersangkutan atau di daerah dimana saya menikah karena saya terlalu
mempercayai orang lain atau oknum yang mengatasnamakan dari
KUA, dan saya diwaktu itu sangat sibuk dimana saya harus menyuruh
orang lain untuk mendaftarkan buku nikah saya.
10. Ya, sedang dalam proses persidngan
Jawaban
1. 27 Tahun
2. Prosesnya yaitu pernikahan dilaksanakan di kediaman mempelai
wanita dan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai dan diwalikan
oleh bapak calon mempelai wanita, setelah itu mengadakan resepsian
yang di hadiri oleh teman kerabat, tetangga dan lain-lain.
3. Yang membuatkan buku nikah tersebut seseorang dari teman calon
mempelai laki-laki dimana calon mempelai laki laki mempercayakan
kepada orang tersebut untuk pernikahannya didaftarkan di KUA.
4. Ya, saya mengetahui proses pernikahan dicatatkannya di KUA
5. bermula dari adanya pengangkatan PNS yang sudah menikah salah
satu persyaratannya harus ada fotocopy buku nikah yang sudah di
legalisir di KUA bersangkutan tempat di keluarkannya buku nikah
tersebut dari sanalah mengetahui bahwasannya buku nikah yang
dimiliki tidak dicatat di KUA, karena sebelum di legalisir di cek
terlebih dahulu nomor akta nikahnya dimana akta nika tersebut tidak
terdaftar di KUA
6. setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu saya sangat menyesal
karna sudah mempercayai orang yang baru saya kenal, dan dikemudian
hari saya bergegas ke Pengadilan Agama untuk Permohonan Isbat
Nikah
7. yang sudah digunakan dengan memakai buku nikah tersebut yaitu akta
lahir anak
8. harga yang ditawarkan pelaku pembuatan buku nikah tersebut sebesar
1 juta
9. faktor yang menyebabkan saya terjebak dalam pembuatan buku nikah
tersebut yaitu diwaktu itu saya sangat sibuk dengan pekerjaan saya
yang mana saya mempercayai kepada orang yang akan mendaftarkan
buku nikah di KUA
10. ya, dalam masa proses di Pengadilan Agama
Jawaban
1. 22 Tahun
2. Prosesnya yaitu pernikahan dilaksanakan di kediaman mempelai wanita
dan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai dan diwalikan oleh bapak
calon mempelai wanita
3. Yang membuatkan buku nikah tersebut teman dari calon mempelai wanita
4. Tidak mengetahui bagaimana proses dicatatkannya pernikahan di KUA
5. Bermula dari sebuah gosip yang tersebar maraknya pembuatan buku nikah
palsu
6. Setelah mengetahui buku nikah tersebut palsu pihak KUA hanya
memberikan keterangan bahwa buku nikah saya tidak terdaftar di KUA
dan saya langsung mencari informasi untuk mendapatkan hak saya supaya
buku nikah tersebut menjadi asli
7. Yang sudah saya gunakan dengan memakai buku nikah tersebut yaitu akta
kelahiran anak, daftar sekolah anak, kredit motor
8. Harga yang ditawarkan oleh pelaku pembuatan buku nikah palsu sebesar
600 ribu rupiah waktu itu
9. Faktor yang menyebabkan saya terjebak dalam buku nikah palsu tersebut
yaitu kurang adanya kesadaran hukum dan sosialisasi tentang pencatatan
nikah yang resmi dan legal menurut UU Perkawinan.
10. Belum, karna belum mengetahui bagaimana prosesnya dan belum
mempunyai uang yang cukup untuk didaftarkannya buku nikah yang
resmi.
Jawaban
1. 24 Tahun
2. Prosesnya yaitu pernikahan dilaksanakan di kediaman mempelai wanita
dan disaksikan oleh keluarga kedua mempelai dan diwalikan oleh bapak
calon mempelai wanita.
3. Yang membuatkan buku nikah tersebut teman saudara dari calon
mempelai wanita
4. Tidak, diwaktu itu saya tidak mengetahui bagaimana proses pencatatan
buku nikah
5. Berawal dari sebuah gosip para tetangga dimana saya sangat penasaran
pada buku nikah saya, kemudian saya membawa buku nikah tersebut ke
KUA yang tertulis di buku nikah tersebut setelah sampai di KUA, saya
langsung cek buku nikah tersebut dan setelah di cek ternyata buku nikah
saya tidak terdaftar di KUA.
6. Setelah mengetahui bahwa buku nikah tersebut palsu saya sangat
kebingungan dan hanya bisa menangis.
7. Yang sudah saya gunakan dengan memakai buku nikah tersebut yaitu akta
kelahiran anak, daftar sekolah anak.
8. Harga yang ditawarkan oleh pelaku sebesar 500 ribu.
9. kurang adanya kesadaran hukum dan sosialisasi tentang pencatatan nikah
yang resmi dan legal menurut UU Perkawinan. Dan terlalu mempercayai
orang lain.
10. Belum, karena saya belum mengetahui bagaimana prosesnya.
Pasangan yang terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu di Desa Cisalak Kota
Depok
Responden yang terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu di Desa Cisalak
Kota Depok
Staf KUA Kecamatan Matraman
Responden yang terjebak dalam pembuatan buku nikah palsu di Desa Cisalak
Kota Depok
Staf KUA Kecamatan Sukmajaya
Wakil Kepala Kelurahan Cisalak Kota Depok