Skripsi Legal Standing, E1A111069.pdf

131
LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG (Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ) SKRIPSI Oleh : RIZKY PRIAMBODO E1A111069 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2015

Transcript of Skripsi Legal Standing, E1A111069.pdf

LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN

KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN

UTANG-PIUTANG

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen

Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ)

SKRIPSI

Oleh :

RIZKY PRIAMBODO

E1A111069

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

i

LEGAL STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN

KONSUMEN NASIONAL INDONESIA PADA GUGATAN

UTANG-PIUTANG

(Tinjauan Yuridis Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen

Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ)

Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Memperoleh Derajat Sarjana

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :

RIZKY PRIAMBODO

E1A111069

KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2015

iv

ABSTRAK

Legal standing merupakan hak gugat yang diberikan oleh undang-undang

kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang tertentu yang tidak

secara langsung menjadi korban untuk mengajukan tuntutan hak. Legal standing

perlindungan konsumen secara materiil diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hakim dalam

mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat pada gugatan

utang-piutang sudah tepat ataukah masih ada kekurangan dalam menjatuhkan

putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. Karena Legal standing dapat dimiliki apabila

memenuhi syarat yang tercantum pada Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang

No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan.

Hakim menggunakan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia

Nomor 1 Tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok yang secara

substansi mengambil acara pemeriksaan pendahuluan untuk memeriksa kapasitas

hukum dari diri Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. Pada

pemeriksaan pendahuluan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia

menyerahkan alat bukti surat untuk memenuhi persyaratan sebagai lembaga yang

memiliki legal standing, terbukti bahwa tidak adanya bukti surat yang

menerangkan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai

Badan Hukum. Hal tersebut menjadi dasar majelis hakim untuk menyatakan

gugatan tidak dapat diterima.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa untuk memiliki legal standing

lembaga perlindungan konsumen harus memenuhi persyaratan sebagai berikut :

1. Berbentuk badan hukum atau yayasan ;

2. Anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya

organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen ;

3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya.

Selain ketiga syarat tersebut, legal standing yang memiliki kapasitas hukum

dalam mengajukan gugatan ditujukan demi kepentingan masyarakat atau demi

harkat martabat orang banyak dengan petitum yang dimintakan adalah

penghentian kegiatan, permintaan maaf, uang paksa (dwangsom), bukan ganti

kerugian.

v

ABSTRACT

Legal standing is the right to sue that granted by law to the non-

governmental organizations engaged in particular that do not directly become a

victim to file a claim rights. Legal standing consumer protection materially

regulated in Article 46 paragraph (1) letter c of Law No. 8 of 1999 about

Consumer Protection.

The purpose of this study is to determine how the judge constitute the

legal standing Indonesian National Consumer Protection Agency has no legal

capacity as a plaintiff in the lawsuit of debts, is it appropriate or whether there are

still shortages in verdict No. 62 / Pdt.G / 2013 / PN.KPJ. Because Legal standing

may be held if it meets the requirements that listed in Article 46 paragraph (1)

letter c of Law No. 8 of 1999 about Protection.

Judge use the Indonesian Supreme Court Regulation No. 1 of 2002 about

Class Action Event in substance took a preliminary investigation to examine the

legal capacity of Indonesian National Consumer Protection Agency. In the

preliminary examination of the Indonesian National Consumer Protection Agency

submitted documentary evidence to meet the requirements as an institution which

has a legal standing, it is evident that the absence of documentary evidence which

explains the Indonesian National Consumer Protection Agency as a legal entity. It

became the basis of the judges to declare the lawsuit can not be accepted.

These study results indicate that to have legal standing consumer

protection agency must meet the following requirements:

1. Form of legal entity or foundation ;

2. In the articles of association stated clearly that the purpose of its

establishment is in the interests of consumer protection ;

3. It has been carrying out those activities in accordance with its articles of

association.

In addition to these three conditions, the legal standing that have legal capacity to

file a lawsuit aimed at the public interest or for the sake of the dignity of people

with a petition that requested is cessation of activity, apology, money forced

(dwangsom), not compensation.

vi

MOTTO

Jadikan ibadah dan sabar sebagai pondasi dalam menjalani kehidupan, hanya

dirimu yang bisa mengalahkan dirimu, orang lain hanya turut serta, dan adillah

terhadap dirimu, agar orang lain dapat merasakan keberadaanmu

vii

KATA PENGANTAR

Segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga skripsi dengan judul LEGAL

STANDING LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL

INDONESIA PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG (Tinjauan Yuridis

Terhadap Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/

PN.KPJ) dapat diselesaikan dengan baik.

Pelaksanaan dan penyusunan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik

tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada

kesempatan ini penulis ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih

yang sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Angkasa, S.H., M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum.

2. Bapak Sanyoto, S.H., M.Hum. selaku dosen Pembimbing I yang telah

memberikan nasehat, saran, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

3. Bapak Drs. Antonuis Sidik M. S.H., MS. selaku dosen Pembimbing II yang

telah memberikan nasehat, saran, dan bantuan dalam penulisan skripsi ini.

4. Bapak Pramono Suko Legowo, S.H., M.Hum. selaku dosen Penguji.

5. Bapak Muhammad Taufiq selaku dosen Pembimbing Akademik.

6. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman yang tulus

memberikan ilmu kepada penulis sehingga dapat mencapai gelar kesarjanaan.

7. Seluruh staff dan karyawan Bappendik Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman yang telah membantu dalam administrasi.

viii

8. Teman-teman angkatan 2011 dan semua pihak yang turut membantu penulis

dalam penyusunan skripsi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan jauh dari

sempurna, meskipun demikian penulis berharap agar skripsi ini dapat bermanfaat

bagi yang membutuhkan.

Purwokerto, 18 Februari 2015

Penulis,

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................... i

HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... ii

HALAMAN PERNYATAAN ..................................................................... iii

ABSTRAK ................................................................................................... iv

ABSTRACT ................................................................................................ v

HALAMAN MOTTO ................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ................................................................................. vii

DAFTAR ISI ............................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1

A. Latar Belakang Masalah .................................................. 1

B. Perumusan Masalah ......................................................... 9

C. Kerangka Teori ............................................................... 9

D. Tujuan Penelitian ............................................................ 15

E. Kegunaan Penelitian ........................................................ 16

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................... 17

A. Hukum Acara Perdata...................................................... 17

1. Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia .................. 17

2. Pengertian Hukum Acara Perdata ................................ 18

3. Sumber Hukum Acara Perdata .................................... 19

x

B. Gugatan ........................................................................... 24

1. Pengertian Gugatan ..................................................... 24

2. Para Pihak Dalam Gugatan ......................................... 26

3. Pengertian Kuasa Pada Umumnya............................... 28

4. Diskualifikasi in Person .............................................. 30

C. Legal Standing ................................................................ 31

1. Pengertian Legal Standing .......................................... 31

2. Prosedur Pengajuan Legal Standing ............................ 33

3. Pengertian Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) ................ 35

D. Hakim dalam Menjatuhkan Putusan ................................ 41

1. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan ...... 41

2. Sifat Putusan ............................................................... 44

3. Jenis-jenis Putusan ...................................................... 45

4. Asas Putusan............................................................... 47

BAB III METODE PENELITIAN..................................................... 59

A. Tipe Penelitian ................................................................ 59

B. Metode Pendekatan ......................................................... 59

C. Spesifikasi Pendekatan .................................................... 60

D. Jenis dan Sumber Data .................................................... 61

E. Metode Pengumpulan Data .............................................. 62

F. Metode Penyajian Data .................................................... 62

G. Metode Analisis Data ...................................................... 62

xi

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................... 64

A. Hasil Penelitian ............................................................... 64

B. Pembahasan .................................................................... 96

BAB V PENUTUP ............................................................................ 117

A. Simpulan ......................................................................... 117

B. Saran ............................................................................... 117

DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pergaulan hidup antar manusia tidak lepas dari adanya permasalahan

hubungan antara manusia satu dengan manusia yang lainya. Terlebih apabila

masalah tersebut menyangkut tentang hak-hak keperdataan Orang/Badan

Hukum yang pada dasarnya ingin hidup secara tenang dan damai tanpa

adanya suatu masalah yang menimpanya. Interaksi sosial sesama manusia

adakalanya menyebabkan konflik di antara mereka sehingga 1 (satu) pihak

harus mempertahankan haknya dari pihak lainnya atau memaksa pihak lain

melaksanakan kewajibannya.1

Upaya untuk mempertahankan hak haruslah dilakukan menurut

ketentuan hukum agar ketentraman di dalam masyarakat tidak terganggu,

karenanya perbuatan main hakim sendiri (eigenrichting) harus dihindarkan.

Tindakan mempertahankan hak menurut hukum itu disebut gugatan, yakni

suatu upaya/tindakan untuk menuntut hak atau memaksa pihak lain untuk

melaksanakan tugas/kewajibannya, guna memulihkan kerugian yang diderita

oleh Penggugat melalui putusan Pengadilan.2 Proses melalui Pengadilan

1 Darwan Prinst, Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata (Bandung : Penerbit PT.

Citra Aditya Bakti, 2002) halaman 1.

2 Ibid., halaman 1.

2

adalah salah satu cara untuk menyelesaikan sengketa, penyelesaian sengketa

di luar Pengadilan pun tidak sedikit yang menggunakannya.

Gugatan adalah suatu permohonan yang disampaikan kepada Ketua

Pengadilan Negeri yang berwenang mengenai suatu tuntutan terhadap pihak

lainnya dan harus diperiksa menurut tata cara tertentu oleh Pengadilan, serta

kemudian diambil putusan terhadap gugatan tersebut.3

Lembaga Swadaya Masyarakat/Organisasi Masyarakat di dalam

praktiknya timbul hak gugat yang bergerak di bidang tertentu untuk

mengajukan gugatan, misalnya yang bergerak dibidang lingkungan hidup,

kehutanan atau konsumen.4 Mereka tidak secara langsung menjadi korban

dari suatu keadaan, apakah perusakan hutan, pencemaran lingkungan atau

sebagai konsumen. Akan tetapi, diberi hak oleh undang-undang (hukum)

untuk mengajukan gugatan. Hak itu disebut dengan Legal Standing.5

Legal standing secara materiil diatur dalam beberapa undang-undang,

yaitu pasal 92 Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 71 ayat (1) Undang-undang No. 41

Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Pasal 46 Undang-undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen.

3 Ibid., halaman 2.

4 Ibid., halaman 28.

5 Ibid., halaman 28.

3

Pengertian standing adalah hak kelompok masyarakat atau lembaga

yang bertindak untuk dan mewakili kepentingan publik, hak yang demikian

dikenal dengan hak gugat Lembaga Swadaya Masyarakat (NGO’s standing).6

Dasar pikiran pengembangan hak gugat (Standing) menurut Mas.

Achmad Santosa dan kawan-kawan adalah untuk kepentingan masyarakat

luas dan penguasaan sumber daya alam atau sektor-sektor yang memiliki

dimensi publik yang luas oleh Negara.7

Pasal 45 ayat (2) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen menyebutkan ”Penyelesaian sengketa konsumen

dapat ditempuh melalui Pengadilan atau di luar Pengadilan”, berdasarkan

pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dijelaskan dalam pasal 45 Ayat

(1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

bahwa penyelesaian sengketa melalui pengadilan dikatakan menjadi

wewenang dari peradilan umum, sedangkan penyelesaian sengketa di luar

Pengadilan menjadi wewenang lembaga yang bertugas menyelesaikan

sengketa konsumen. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan hanya dapat

ditempuh oleh penggugat individu, karena gugatan secara berkelompok, atau

gugatan perwakilan atau gugatan yang dilakukan oleh pemerintah hanya

dapat diajukan kepada peradilan umum.8 Peneliti disini akan meneliti

6 Susanti Adi Nugroho, Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen Ditinjau dari Hukum Acara

Serta Kendala Implementasinya (Jakarta : Penerbit Kencana Prenada Media Group, 2011)

halaman 203.

7 Ibid., halaman 28.

8 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 239.

4

sengketa konsumen yang diselesaikan melalui peradilan umum yang diajukan

oleh Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Penyelesaian dengan mengadu kepada Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM), bukanlah penyelesaian sengketa

konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat akan

mengadvokasikan konsumen untuk menyelesaikan permasalahan ke Badan

Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) atau ke Pengadilan.9

Rumusan legal standing dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999

tentang Perlindungan Konsumen ditemukan pada Pasal 46 ayat (1) huruf c

menyebutkan “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh

lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam anggaran

dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi

tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah

melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”.10

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM)

apabila akan melakukan gugatan, sebelumnya harus memenuhi dahulu

persyaratan-persyaratan tertentu yang menyatakan Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) berwenang menggugat

sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang

9 Ibid., halaman 238.

10 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

5

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)

mengatur: ”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah

lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang

mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”.11

Adapun

pendaftaran dilakukan berdasarkan Keputusan Menteri Perindustrian dan

Perdagangan Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan

Pasal 3 menerangkan tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat disebutkan:12

Pasal 2

(1) Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat

untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen

sebagaimana tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya;

(2) Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga

Perlindungan Konsumen;

Pasal 3

(1) Kewenangan Penerbitan TDLPK berada pada Menteri;

(2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar

Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota;

(3) Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas;

Berdasarkan pasal tersebut dapat diterangkan bahwa Pemerintah

mengakui Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang

memenuhi syarat dimana pengakuan terjadi setelah melakukan pendaftaran

11Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat.

12Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

6

dan adanya penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen

(TDLPK) yang diterbitkan oleh lembaga yang berwenang.

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a angka

1 disebutkan pada pokoknya bahwa: “Permohonan Tanda Daftar Lembaga

Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang

berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-dokumen di

antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan

yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan

Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga

Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan dari

Instansi yang berwenang”.13

Legal standing telah diakui dalam beberapa undang-undang di

Indonesia namun mengenai prosedur atau hukum acaranya legal standing

belum diatur baik dalam Undang-undang, Peraturan Pemerintah bahkan

Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) sekalipun.14

Beberapa aturan

menyebutkan prosedur legal standing mengacu pada hukum acara perdata

yang berlaku, namun seperti halnya class action maka legal standing ini

13Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

14 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 25

7

memiliki karakteristik atau kekhasan tersendiri, yang itu belum terakomodir

dalam hukum acara yang berlaku.15

Para penggugat dalam perkara ini yaitu LEMBAGA

PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA disingkat LPK

Nasional Indonesia Badan Hukum Publik berkedudukan di Kantor Pusat

Malang di Jalan Raya Wapoga No. 2 Perum Ngujil Permai II Telp.0341-

492174/7723567 Fax 03 123 berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c UUPK

yang selanjutnya disebut Penggugat I dalam hal ini diwakili oleh

Pengurusnya Lukman Hadi Wijaya, Dholin Efendi, Nanang Nelson, SH ; dan

MARDI yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa

Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang Jawa Timur berdasarkan

pasal 46 ayat (1) huruf a UUPK untuk dan atas nama diri sendiri sebagai

konsumen. Selanjutnya disebut sebagai Penggugat II ; melawan Koperasi

Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jl jenderal A. Yani No.

2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang Propinsi Jawa Timur Selanjutnya

disebut Tergugat. Dimana para Penggugat mengajukan gugatan kepada

Pengadilan Negeri Kepanjen terhadap Tergugat dengan register nomor :

62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. tertanggal 28 Mei 2013.

15 Ibid., halaman 25.

8

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai Penggugat

I menerima pengaduan masyarakat pada tanggal delapan mei dua ribu tiga

belas (08-05-2-13) yang bernama Mardi sebagai Penggugat II mengenai

hutang piutang antara Mardi dengan Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan

Pinjam sebesar Rp. 40.000.000,-(empat puluh juta rupiah). Mardi rutin

membayar angsuran sejak tahun 2004 hingga 2008 sebesar Rp. 1.600.000,-

(satu juta enam ratus ribu rupiah) setiap bulannya sehingga mencapai Rp.

76.800.000,- (tujuh puluh enam juta delapan ratus ribu rupiah). Kwitansi

diminta kembali oleh Tergugat sehingga diduga Tergugat menghilangkan

bukti pembayaran angsuran. Mardi awalnya bukan anggota Koperasi tersebut

tetapi setelah adanya UU RI No. 17 Tahun 2012 tentang perkoperasian maka

Mardi harus dimasukan sebagai anggota paling lambat 3 bulan dari non-

anggota menjadi anggota dan Mardi meminta hak-hak nya sebagai anggota

Koperasi. Dalam perjanjian Tergugat diduga melanggar klausula baku. Oleh

sebab itu perbuatan Tergugat merupakan perbuatan melawan hukum dan

merugikan para Penggugat. Para Penggugat meminta ganti kerugain atas

tindakan yang dilakukan oleh Tergugat. Terjadi permasalahan apakah

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia memiliki hak untuk

mengajukan gugatan berdasarkan hak gugat organisasi.

Berawal dari latar belakang masalah tersebut diatas penulis tertarik

untuk mengetahui bagaimana hakim dalam mengkonstitusi gugatan Legal

Standing Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak

mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat sudah tepat ataukah masih

9

ada kekurangan yang mengakibatkan gugatan tidak dapat diterima dan

bermaksud melakukan penelitian dengan judul LEGAL STANDING

LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL INDONESIA

PADA GUGATAN UTANG-PIUTANG(Tinjauan Yuridis Terhadap

Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan hal-hal yang diuraikan dalam latar belakang tersebut,

maka dapat ditarik suatu perumusan masalah yaitu:

Apakah hakim dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai

penggugat sudah tepat pada gugatan utang-piutang dalam Putusan No.

62/Pdt.G/2013/PN.KPJ.?

C. Kerangka Teori

Perkumpulan diatur dalam BAB ke Sembilan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata pasal 1653 yang menyebutkan:16

”Selainnya perseroan yang sejati oleh undang-undang diakui

pula perhimpunan-perhimpunan, baik perkumpulan-

perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu diadakan atau

diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun

16 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

10

perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan,

atau telah didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak

bertentangan dengan undang-undang atau kesusilaan baik.”

Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

(LPKSM) berdasarkan Pasal 44 ayat (3) Undang-undang No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen menyebutkan :17

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak

dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang

dan/atau jasa;

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen;

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk

menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap

pelaksanaan perlindungan konsumen.

Gugatan dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-

undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan:18

(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang

bersangkutan;

b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang

sama;

17 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

18 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

11

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum

atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya

menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya

organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan

kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan

mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau

korban yang tidak sedikit.

(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau

pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)

mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah

lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang

mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”19

Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai pencatatan bukan

perizinan. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang

membuka kantor perwakilan atau cabang cukup melaporkan kantor

perwakilan tersebut kepada pemerintah kabupaten/kota setempat tanpa harus

melakukan pendaftaran.20

19Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat.

20 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305.

12

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan

tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat disebutkan:21

Pasal 2

(1) Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di

bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam

anggaran dasar pendiriannya;

(2) Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga

Perlindungan Konsumen;

Pasal 3

(1) Kewenangan Penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan

Konsumen berada pada Menteri;

(2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar

Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota;

(3) Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas;

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a

angka 1 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia disebutkan pada pokoknya bahwa:22

“Permohonan Tanda Daftar

Lembaga Perlindungan Konsumen bagi Lembaga Swadaya Masyarakat

21Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

22Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

13

yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-dokumen di

antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau Yayasan

yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman

dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga

Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat Pengesahan

dari Instansi yang berwenang”.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan.23

Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan dalam anggaran dasar

yayasan sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama dan tempat kedudukan;

2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud

dan tujuan tersebut;

3. Jangka waktu pendirian;

4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi

pendiri dalam bentuk uang atau benda;

5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan;

6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian

anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;

7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan

Pengawas;

8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan;

9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;

10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan

11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran

kekayaan yayasan setelah pembubaran.

23 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 307.

14

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok menyebutkan :24

BAB II

TATA CARA DAN PERSYARATAN GUGATAN

PERWAKILAN KELOMPOK

Pasal 2

Gugatan dapat diajukan dengan mempergunakan tata cara

Gugatan Perwakilan Kelompok apabila :

a. Jumlah anggota kelompok sedemikian banyak sehingga

tidaklah efektif dan efisien apabila gugatan dilakukan secara

sendiri-sendiri atau secara bersama-sama dalam satu gugatan;

b. Terdapat kesamaan fakta atau peristiwa dan kesamaan dasar

hukum yang digunakan yang bersifat substansial, serta terdapat

kesamaan jenis tuntutan di antara wakil kelompok dengan

anggota kelompoknya;

c. Wakil kelompok memiliki kejujuran dan kesungguhan untuk

melindungi kepentingan anggota kelompok yang diwakilinya;

d. Hakim dapat menganjurkan kepada wakil kelompok untuk

melakukan penggantian pengacara, jika pengacara melakukan

tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban

membela dan melindungi kepentingan anggota kelompoknya.

Pasal 3

(1) Selain harus memenuhi persyaratan-persyaratan formal surat

gugatan sebagaimana diatur dalam Hukum Acara Perdata yang

berlaku, surat gugatan perwakilan kelompok harus memuat :

a. Identitas lengkap dan jelas wakil kelompok;

b. Definisi kelompok secara rinci dan spesifik, walaupun tanpa

menyebutkan nama anggota kelompok satu persatu;

c. Keterangan tentang anggota kelompok yang diperlukan dalam

kaitan dengan kewajiban melakukan pemberitahuan;

d. Posita dari seluruh kelompok baik wakil kelompok maupun

anggota kelompok, yang teridentifikasi maupun tidak

teridentifikasi yang dikemukakan secara jelas dan terinci;

e. Dalam suatu gugatan perwakilan, dapat dikelompokkan

beberapa bagian kelompok atau sub kelompok, jika tuntutan

tidak sama karena sifat dan kerugian yang berbeda;

f. Tuntutan atau petitum tentang ganti rugi harus dikemukakan

secara jelas dan rinci memuat usulan tentang mekanisme atau

tata cara pendistribusian ganti kerugian kepada keseluruhan

anggota kelompok termasuk usulan tentang pembentukan tim

24Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok.

15

atau panel yang membantu memperlancar pendistribusian ganti

kerugian.

Pasal 4

Untuk mewakili kepentingan Hukum anggota kelompok, wakil

kelompok tidak dipersyaratkan memperoleh surat kuasa khusus

dari anggota kelompok;

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok Pasal 5 ayat (1)

menyebutkan : “Pada awal proses pemeriksaan persidangan, hakim wajib

memeriksa dan mempertimbangkan kriteria gugatan perwakilan kelompok

sebagaimana dimaksud dalam pasal 2”.25

Berdasarkan ketentuan tersebut

dapat ditarik suatu pemahaman bahwa sebelum hakim melakukan

pemeriksaan terhadap pokok perkara terlebih dahulu hakim akan melakukan

proses pemeriksaan awal persidangan terhadap kriteria gugatan perwakilan

kelompok.

D. Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak

dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana hakim

dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia tidak mempunyai kapasitas hukum sebagai penggugat

pada gugatan utang-piutang sudah tepat ataukah masih ada kekurangan dalam

menjatuhkan putusan.

25Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok.

16

E. Kegunaan Penelitian

Berdasarkan uraian tujuan-tujuan tersebut di atas, maka diharapkan

penulisan dari penelitian hukum ini dapat memberikan kegunaan atau manfaat

baik secara teoritis maupun praktis sebagai bagian yang tak terpisahkan,

yaitu :

1. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi

pengembangan ilmu hukum, serta untuk memperluas pengetahuan dan

menambah referensi khususnya mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

proses pemeriksaan perkara legal standing Lembaga Perlindungan

Konsumen Swdaya Masyarakat.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan bagi

para mahasiswa ilmu hukum, serta sumbangan pemikiran bagi Hakim

khususnya dan bagi para aparat penegak hukum, yang mudah-mudahan

dapat melakukan peningkatan pengetahuan dalam melaksanakan tugas dan

fungsinya yaitu menerapkan hukum acara sesuai dengan hukum acara

yang berlaku, agar memenuhi keadilan masyarakat, sehingga dapat

melaksanakan tugas dan fungsinya secara profesional, manusiawi, dan

berkeadilan, terlebih khusus kepada Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat agar lebih teliti dan memperhatikan kapasitas

hukumnya dalam mengajukan tuntutan hak terkait gugatan legal standing.

17

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Acara Perdata

1. Sistem Hukum Acara Perdata di Indonesia

Sistem hukum Indonesia menganut sistem hukum eropa kontinental,

namun dewasa ini sistem hukum Indonesia terpengaruh oleh sistem hukum

sipil.

Sistem Indonesia ini mirip dengan sistem hukum sipil, karena

sistem hukum Indonesia secara historis sangat dipengaruhi oleh

sistem hukum yang diperkenalkan oleh pemerintah kolonial

Belanda, yang memerintah wilayah ini selama 3 ½ abad. Hal ini

dapat dilihat pada Bab II Peraturan Peralihan UUD 1945.

Namun, subsistem hukum yang mendukung mengandung

pengaruh hukum adat, hukum Islam dan hukum barat lainnya,

sehingga hasilnya adalah kompleks. Kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh Mahkamah Agung dan lembaga peradilan di

bawahnya, yaitu pengadilan umum, pengadilan agama,

pengadilan militer, pengadilan administrasi dan court.

konstitusional Hukum Acara Perdata, HIR (Herziene

Indonesisch Reglement),

diwarisi dari administrasi Hindia

Belanda, dan atau diperoleh dari OR (Inlandsch Reglement)

yang terkandung dalam Staatsblad no. 16 dalam hubungannya

dengan 57/1848, masih tersisa di force. HIR tidak membahas

tindakan kelas atau perwakilan kelas.26

Azas ini diberi nama azas konkordansi (concordantie-beginsel) yakni

hukum yang berlaku bagi golongan hukum eropa di Indonesia harus

disamakan (dikonkordansi), dengan hukum yang berlaku di Belanda.

26 Mas Achmad Santosa, CLASS ACTIONS IN INDONESIA (Blackie, 2008) halaman 1.

18

Tetapi bilamana keadaan khusus di Indonesia memerlukan perkecualian,

maka pembuat ordonasi dapat menetapkan suatu hukum lain.27

2. Pengertian Hukum Acara Perdata

Hukum Acara Perdata Materiil berisikan norma-norma materiil

tentang hak-hak keperdataan orang/badan hukum, untuk menegakan

hukum perdata materiil inilah dibutuhkan norma yang mengatur dapat

berjalan/terlaksananya norma materiil tersebut, norma ini disebut Hukum

Acara Perdata.

Hukum acara perdata hanya diperuntukan menjamin ditaatinya hukum

materiil perdata. Ketentuan hukum acara perdata pada umumnya tidak

membebani hak dan kewajiban seperti yang kita jumpai dalam hukum

materiil perdata, tetapi melaksanakan dan mempertahankan atau

menegakkan kaidah hukum materiil, atau melindungi hak perseorangan.28

Menurut Sudikno Mertokusumo, Hukum acara perdata adalah

peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin

ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim.

Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan

hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin

pelaksanaan hukum perdata materiil. Lebih konkrit lagi dapatlah

dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang

bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta

memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusannya.29

27Djindang, E. Utrech/ Moh. Saleh, Pengantar Dalam Hukum Indonesia (Jakarta : Penerbit Sinar

Harapan, 1983) halaman 168.

28Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberti Yogyakarta.,

2009) halaman 2.

29 Ibid., halaman 2.

19

3. Sumber Hukum Acara Perdata

Sumber hukum dibedakan dalam arti formal dan dalam arti materiil.

Salmond mendefinisikan sumber hukum dalam arti formal sebagai sumber

yang bersifat operasional yang berhubungan langsung dengan penerapan

hukum.30

Sedangkan hukum dalam arti materiil adalah sumber berasalnya

substansi hukum.31

Sumber hukum merupakan tempat kita menemukan dan menggali

kaidah-kaidah atau norma-norma yang kita butuhkan. Hukum acara

perdata yang dinyatakan resmi berlaku adalah HIR untuk Jawa dan

Madura dan Rbg. untuk luar Jawa dan Madura.32

Van Appeldorn membedakan empat macam sumber hukum yaitu :33

a. Sumber hukum dalam arti historis, yaitu tempat kita dapat

menemukan hukumnya dalam sejarah atau dari segi historis.

Sumber hukum ini dibagi lebih lanjut menjadi dua yaitu :

1) Sumber hukum merupakan tempat dapat ditemukannya atau

dikenal dengan hukum acara historis, misalnya dokumen-dokumen

kuno, lontar dan lain-lain.

30Marzuki, P. M.. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Penerbit Kencana Prenada Media Group,

2008) halaman 257.

31 Ibid., halaman 258.

32 S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg.

33Apeldoorn, V. Pengantar Ilmu Hukum. (Jakarta: Penerbit PT. Pradnya Paramita, 1996) halaman

75-78

20

2) Sumber hukum yang merupakan tempat pembentuk undang-

undang mengambilnya.

b. Sumber hukum dalam arti sosiologis (teleologis) merupakan faktor-

faktor yang menentukan isi hukum positif seperti: keadaan agama,

pandangan agama dan sebagainya.

c. Sumber hukum dalam arti filosofis, dibagi dua:

1) Sumber hukum disini, ditanyakan isi hukum itu asalnya dari mana.

Ada tiga pandangan yang mencoba menjawab pertanyaan ini yaitu:

a) Pandangan teokratis, menurut pandangan ini isi hukum berasal

dari Tuhan;

b) Pandangan hukum kodrat, menurut pandangan ini isi hukum

berasal dari manusia;

c) Pandangan mazab historis, bahwa isi hukum berasal dari

kesadaran hukum.

2) Sumber kekuatan mengikat dari hukum, mengapa hukum

mempunyai kekuatan mengikat, mengapa kita tunduk pada hukum.

Kekuatan mengikat dari kaidah hukum bukan semata-mata

didasarkan pada kekuatan yang bersifat memaksa, tetapi karena

kebanyakan orang didorong oleh alasan kesusilaan dan

kepercayaan.

21

d. Sumber hukum dalam arti formil, adalah sumber hukum dilihat dari

cara terjadinya hukum positif, merupakan fakta yang menimbulkan

hukum yang berlaku mengikat hakim dan penduduk. Isinya timbul

dari kesadaran masyarakat.

Hingga kini hukum acara yang dianut untuk daerah Jawa

dan Madura adalah Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR)

dan bagi daerah-daerah di luar Jawa dan Madura diatur dalam

kitab hukum Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg),

yang keduanya merupakan peninggalan zaman kolonial, yang

tidak lagi dapat sepenuhnya menampung perkembangan

tuntutan keadilan dari masyarakat pencari keadilan.

Penyelesaian sengketa melalui instrument hukum acara tersebut

dalam praktiknya tidak dapat membantu konsumen dalam

mencari keadilan.34

Berdasarkan ketentuan pasal 5 ayat (1) UU No. 1 Drt. Tahun

1951 tentang tindakan-tindakan sementara untuk menyelenggarakan

kesatuan susunan, kekuasaan dan acara pengadilan sipil maka

disebutkan bahwa sumber hukum acara pardata adalah sebagai

berikut:35

a. Het Herziene Indonesich Reglement (HIR atau Reglement yang

diperbaharui: S. 1848 No. 16, S. 1941 No. 44) untuk daerah

Jawa dan Madura;

34 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 43.

35Khusnanto, N. Surat Kuasa yang tidak sah dalam perkara yang dimohonkan banding, (Skripsi

2009) halaman 14-17.

22

b. Rechtsreglement Buitengewesten (Rbg atau Reglement daerah

sebrang: S. 1927 No. 227) untuk luar Jawa dan Madura;

c. Reglement op de Burgerlijk Rechtsvordering (RV atau

Reglement, S. 1847 No. 52, 1849 No. 63) hukum acara perdata

untuk golongan Eropa;

d. Reglement op de Rechterlijke Organisatie in het beleid der

justitie in Indonesie (RO atau Reglement tentang Organisasi

Kehakiman: 1847 No. 23);

e. Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata, yaitu khususnya dalam buku IV (Pasal 1865 s.d 1993);

f. Undang-undang No. 14 Tahun 1970 (LN 1974) tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang telah

diubah dengan Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 tentang

Kekuasaan Kehakiman lalu diperbaharui lagi dengan Undang-

undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman

lalu diubah lagi dengan Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman;

g. Wetboek Van Koophandel en Faillissements-Verordening atau

Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan Kepailitan;

h. Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan

Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Acara

23

Pemberian Izin Perkawinan, Pencegahan Perkawinan,

Perceraian, Pembatalan Perkawinan dan sebagainya;

i. Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang

Peradilan Agama yang memberlakukan HIR (Het Herziene

Indonesich Reglement);

j. Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua

Atas Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung;

k. Adat Kebiasaan, menjadi sumber hukum acara perdata

digunakan oleh hakim dalam penemuan hukum;

l. Doktrin atau pendapat para sarjana merupakan sumber hukum

acara perdata, sumber dimana hakim dapat menggali hukum

acara perdata. Tetapai doktrin bukanlah hukum, melainkan

sumber hukum;

m. Perjanjian Internasional, dapat menjadi sumber hukum acara

perdata sesuai dengan kebutuhan asalkan tidak bertentangan

dengan hukum yang ada di Indonesia.

n. Yurisprudensi, keputusan hakim sebelumnya menjadi acuan

untuk hakim berikutnya memutuskan perkara terhadap perkara

24

yang hampir sama tetapi tidak memutuskan dengan

pertimbangan dan keputusan yang sama;

o. Instruksi dan Surat Edaran Mahkamah Agung;

B. Gugatan

1. Pengertian Gugatan

Setiap orang yang ingin menuntut haknya melalui jalur Pengadilan,

pasti harus melakukan pengajuan gugatan, baik secara lesan ataupun

tertulis. Gugatan yang sering kita jumpai adalah gugatan yang dilayangkan

secara tertulis.

Gugatan atau tuntutan hak adalah tindakan yang bertujuan

memperoleh perlindungan hak yang diberikan oleh pengadilan untuk

mencegah”eigenrichting”.36

Bahwa suatu tuntutan hak harus mempunyai kepentingan

hukum yang cukup, merupakan syarat utama untuk dapat

diterimanya tuntutan hak itu oleh pengadilan guna

diperiksa:point d’interet, point d’action. Ini tidak berarti bahwa

tuntutan hak yang berkepentingan hukumnya pasti dikabulkan

oleh pengadilan. Hal itu masih tergantung pada pembuktian.

Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas suatu

pembuktian. Baru kalau tuntutan hak itu terbukti didasarkan atas

suatu hak, pasti akan dikabulkan. Mahkamah Agung dalam

putusanya tanggal 7 Juli 1971 no. 294 K/Sip/1971 mensyaratkan

bahwa gugatan harus diajukan oleh orang yang mempunyai

hubungan hukum.37

36 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 52.

37 Ibid., hal. 53, lihat Yurisprudensi Jawa Barat 1969-1972 1, halaman 99.

25

Hak gugat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

dilakukan apabila terjadi sengketa konsumen. Undang-Undang

Perlindungan Konsumen sendiri tidak menjelaskan mengenai pengertian

sengketa konsumen. Menurut ketentuan pasal 1 angka 11 jo. Pasal 1 angka

8 SK Menperindag No. 350/MPP/Kep/12/2001, yang dimaksud dengan

sengketa antara pelaku usaha dengan konsumen yang menuntut ganti rugi

atas kerusakan, pencemaran dan/atau yang menderita kerugian akibat

mengonsumsi barang dan/atau memanfaatkan jasa.38

Surat gugatan hendaknya memenuhi Syarat Formal dan Syarat

Substansial.

Syarat Formal dari suatu gugatan dapat berisikan:39

1) Tempat dan tanggal pembuatan surat gugatan

2) Materai

3) Tanda tangan Penggugat

Syarat Substansial Menurut Pasal 8 RV, suatu gugatan terdiri atas :40

1) Identitas para pihak

2) Dasar atau dalil gugatan/ posita/ fundamentum petendi berisi tentang

peristiwa dan hubungan hukum

38 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 148.

39 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 33.

40 Ibid., halaman 34.

26

3) Tuntutan/ petitum terdiri dari tuntutan primer dan tuntutan subsider/

tambahan

2. Para Pihak Dalam Gugatan

Pengajuan Tuntutan hak di Pengadilan pada dasarnya adalah orang

perorangan atau badan hukum yang memiliki kepentingan. Mengenai

kepentingan disini bisa kepentingan langsung maupun kepentingan tidak

langsung.41

Orang yang merasa mempunyai hak dan ingin menuntutnya atau ingin

mempertahankan atau membelanya pada dasarnya berwenang untuk

bertindak selaku pihak, baik selaku penggugat maupun selaku tergugat

(legitima persona standi in judicio).42

Para pihak yang terlibat dalam suatu permasalahan baik dia yang

secara langsung memiliki kepentingan, baik tidak secara langsung

memiliki kepentingan, atau dia yang mewakili kepentingan orang lain pada

dasarnya hanya ada 2 (dua) pihak di dalam Pengadilan yaitu pihak

Penggugat dan pihak Tergugat.

Dalam perkara Perdata Senantiasa ada 2 (dua) belah pihak yaitu:43

1) Penggugat/Para Penggugat

Pihak yang mengajukan gugatan atau tuntutan hak disebut

Penggugat/Para Penggugat, yakni orang atau badan hukum yang

41Susanti Adi Nugroho, Class Action & perbandingannya dengan Negara Lain (Jakarta: Prenada

Media Group, 2010) halaman 371.

42 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 69.

43 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 2-4.

27

memerlukan/berkepentingan akan perlindungan hukum dan oleh

karenanya ia mengajukan gugatan. Syarat mutlak untuk mengajukan

adalah adanya kepentingan langsung/melekat dari si Penggugat.

Artinya tidak setiap orang yang mempunyai kepentingan dapat

mengajukan gugatan apabila kepentingan itu tidak langsung dan

melekat pada dirinya. Hanya kepentingan yang cukup dan layak serta

mempunyai dasar hukum saja yang dapat diterima sebagai dasar

gugatan. Sebelum mengajukan gugatan telah dipikirkan dan

dipertimbangkan, apakah Penggugat betul orang yang berhak

mengajukan gugatan, kalau tidak berhak, maka gugatan akan

dinyatakan tidak dapat diterima (Niet onvankelijk Verklaard).

2) Tergugat/Para Tergugat

Tergugat adalah orang atau badan hukum yang terhadapnya

diajukan gugatan atau tuntutan hak. Tergugat dapat terdiri dari seorang

atau beberapa orang atau 1 (satu) badan hukum atau beberapa badan

hukum atau gabungan orang perorangan dengan badan hukum. Oleh

karenanya harus hati-hati dalam menyusun gugatan terhadap Tergugat

karena bisa jadi Tergugatnya tidak tepat.

Konsep badan hukum atau yayasan

(rechtspersoon;legal entities;corporation) sebagai subjek

penggugat atau tergugat dalam suatu perkara, bukanlah hal

yang baru, tetapi jika badan hukum atau yayasan tersebut

tanpa mempunyai kepentingan langsung dengan objek

gugatan, diperkenankan bertindak sebagai penggugat,

merupakan perluasan dari konsep persona standi in judicio

karena adanya kebutuhan hukum.44

44 Susanti Adi Nugroho II, Op.cit., halaman 377.

28

3. Pengertian Kuasa Pada Umumnya

Kuasa berarti wewenang, maka pengertian pemberian kuasa berarti

pemberian/ pelimpahan wewenang dari pemberi kuasa kepada penerima

kuasa untuk mewakili kepentingannya.45

Pemberian kuasa berdasarkan pasal 1792 KUH Perdata menerangkan

bahwa:”Suatu persetujuan dengan mana seseorang memberikan kuasanya

(wewenang) kepada orang lain yang menerimanya untuk atas namanya

menyelenggarakan suatu urusan”.

Bertitik tolak berdasarkan pasal tersebut dalam perjanjian kuasa

terdapat dua pihak yaitu terdiri dari:

1) Pemberi kuasa lastgever (instruction, mandate);

2) Penerima kuasa atau disingkat kuasa, yang diberi perintah atau

mandate melakukan sesuatu untuk dan atas nama pemberi kuasa.

Pemberian kuasa, dengan kata lain merupakan suatu perbuatan hukum

yang bersumber pada persetujuan/ perjanjian yang sering kita lakukan

dalam kegiatan sehari-hari.46

Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan

Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi 2007, Mahkamah Agung RI,

2009, hal 53 disebutkan bahwa yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil

dari penggugat/tergugat/ Pemohon di Pengadilan adalah :

45 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 6.

46Meliala, D. S. Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata. (Bandung: Tarsito, 1982)

halaman 1.

29

a. Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang

Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan

Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai

berlaku dinyatakan sebagai Advokat);

b. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/pemerintah

sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia;

c. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI;

d. Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum;

e. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua

Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum

TNI/Polri untuk perkara yang menyangkut anggota/keluarga

TNI/Polri;

f. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda

dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan

surat keterangan kepala Desa/Lurah.

Surat kuasa dapat diberikan dalam suatu akta otentik (dihadapan Notaris/

Pejabat-pejabat lainnya), dalam suatu tulisan dibawah tangan (akta dibawah

tangan), sepucuk surat atau secara lisan.47

47 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 7.

30

4. Diskualifikasi in Person

Diskualifikasi in Person adalah : 48

Diskualifikasi in Person terjadi, apabila yang bertindak

sebagai penggugat orang yang tidak memenuhi syarat

(diskualifikasi), disebabkan penggugat dalam kondisi tidak

mempunyai hak untuk menggugat perkara yang disengketakan

dan tidak cakap melakukan tindakan hukum. Gugatan yang

diajukan oleh orang yang tidak berhak atau tidak memiliki hak

untuk itu, merupakan gugatan yang mengandung cacat formil

error in persona dalam bentuk diskualifikasi in persona yaitu

pihak yang bertindak sebagai penggugat adalah orang yang tidak

punya syarat untuk itu.

Pemeriksaan formalitas dilakukan sebelum diperiksanya pokok

perkara. Dalam Yurisprudensi Mahkamah Agung menyebutkan syarat

dalam menyusun gugatan:

1) Pihak-pihak yang berperkara harus dicantumkan secara lengkap (MA

tgl 13-5-1975 Nomor 151 Sip/1975)

2) Orang bebas menyusun dan merumuskan gugatan asalkan cukup

memberikan gambaran tentang kejadian materiil yang menjadi dasar

tuntutan (MA tgl 15-3-1970 Nomor 547 K/Sip/1972)

3) Apa yang dituntut harus disebutkan dengan jelas (MA tgl 21-11-1970

Nomor 492 K/Sip/1970)

Syarat yang tidak terpenuhi tersebut berakibat gugatan menjadi tidak

sempurna maka gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk

verklaard).49

48 M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata (Jakarta: Sinar Grafika, 2005) halaman 111.

49Ramon, T. (2010, Juni 4). Hukum Acara Perdata. Retrieved Desmber 4, 2014, from Wordpress:

http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-acara-perdata/

31

C. Legal Standing

1. Pengertian Legal standing

Legal standing merupakan lembaga yang berasal dari sistem hukum

common law. Legal standing di adopsi dan diakui eksistensinya di dalam

peraturan Perundang-undangan di Indonesia. Hal ini dilakukan semata-mata

demi kepentingan hukum dan kebutuhan hukum.

Legal standing merupakan hak gugat yang diberikan oleh undang-

undang kepada lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dibidang

tertentu yang tidak secara langsung menjadi korban untuk mengajukan

tuntutan hak.50

Hak Standing tidak secara otomatis menjamin keberhasilan litigasi

kasus-kasus publik, karena pada dasarnya standing hanyalah merupakan

”tiket masuk” ke dalam arena advokasi hukum(legal battle).51

Pada prinsipnya istilah standing dapat diartikan secara

luas yaitu akses orang perorangan atau kelompok/organisasi di

pengadilan sebagai pihak penggugat.52

Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada

prinsip “tiada gugatan tanpa kepentingan hukum” (point

d’interest point d’action). Kepentingan hukum (legal interest)

yang dimaksud di sini adalah merupakan kepentingan yang

berkaitan dengan kepemilikan (propietary interest) atau

50 Darwan Prinst, loc.cit.

51 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 209.

52Erna Herlinda, 2004. Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal standing Di Peradilan

Tata Usaha Negara. e-USU Repository © 2004. Universitas Sumatera utara. hal 3-4.

Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 7, Civil Liability for

Environmental Damage Indonesia, yang disampaikan dalam pelatihan hukum lingkungan di

Indonesia bekerjasama dengan Australia, Desember 1999 – September 2000, ICEL.

32

kepentingan material berupa kerugian yang dialami secara

langsung (injury in fact).53

Perkembangan hukum konsep hak gugat konvensional

berkembang secara pesat seiring pula dengan perkembangan

hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak (public

interest law) di mana seorang atau sekelompok orang atau

organisasi dapat bertindak sebagai penggugat walaupun tidak

memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan

didasari oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan

kepentingan, masyarakat luas atas pelanggaran hak-hak publik

seperti lingkungan hidup, perlindungan konsumen, hak-hak

Civil dan Politik.54

Legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) yang menjadi wakil konsumen harus tidak berstatus

sebagai korban dalam perkara yang diajukan. Inilah perbedaan pokok antara

gugatan berdasarkan class action dengan legal standing.55

Syarat kelayakan perwakilan dalam legal standing tidak diserahkan

sepenuhnya kepada penilaian hakim, melainkan ada kondisi objektif , yaitu

harus memenuhi ketentuan Pasal 46 Ayat (1) huruf (c) Undang-Undang

Perlindungan Konsumen.56

53Ibid., halaman 3-4, sebagaimana disadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 9,

ICEL., 1997, Loc.Cit.

54Ibid., halaman 3-4, Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad Santosa, dkk., Makalah Topic 9,

ICEL., 1997.

55 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 205.

56 Ibid., halaman 205.

33

2. Prosedur Pengajuan Legal Standing

Legal standing LSM/Hak Gugat LSM telah diakui dalam berbagai

undang-undang di Indonesia, namun mengenai prosedur atau hukum

acaranya belum diatur baik dalam undang-undang, peraturan pemerintah

bahkan PERMA.57

Dalam beberapa aturan menyebutkan prosedur legal

standing mengacu pada hukum acara perdata yang berlaku, namun seperti

hal nya class action, legal standing memiliki karakteristik atau kekhasan

tersendiri yang hal itu belum terakomodir dalam hukum acara yang

berlaku.58

Mekanisme gugatan legal standing (LSM) sebagai penggugat bukan

sebagai pihak yang mengalami kerugian nyata. Namun karena

kepentinganya, LSM ini kemudian mengajukan gugatan. Berdasarkan hal

tersebut diatas, dapat diuraikan karakterisrik mekanisme gugatan legal

standing : 59

1. Pihak Penggugat

Pihak yang dapat mengajukan mekanisme legal standing hanyalah

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Hanya LSM yang anggaran

dasarnya meliputi perbuatan yang dilanggar oleh tergugat saja yang dapat

57Susanti Adi Nugroho II, Op.cit. halaman 370, Sebagaimana menyadur dari Mas Achmad

Santosa dan Sulaiman N. Sembiring, “Hak Gugat Organisasi Lingkungan”, Penerbit Mahkamah

Agung RI, tahun 1998, halaman 364.

58 Ibid., halaman 364.

59Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10

Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.

34

mengajukan legal standing dan pelanggaran oleh tergugat tersebut

merupakan bagian kegiatan LSM yang diatur dalam anggaran dasar LSM

tersebut.

2. Pihak Tergugat

Pihak yang dapat digugat melalui mekanisme legal standing pada

dasarnya meliputi seluruh subyek hukum, baik orang perorangan dan

badan hukum(badan hukum publik maupun privat). Ketiga, dalil tuntutan

hak. Tuntutan hak yang dapat diajukan dalam mekanisme gugatan legal

standing adalah terkait dengan perbuatan melawan hukum yang

dilakukan oleh subyek hukum.

3. Petitum

Legal standing tidak mengenal tuntutan ganti kerugian uang. Ganti

rugi dapat dimungkinkan sepanjang atau terbatas pada ongkos atau biaya

yang telah dikeluarkan oleh organisasi tersebut. Subyek hukum yang

digugat hanya diminta untuk melakukan atau tidak melakukan suatu

perbuatan tertentu.

Prosedur yang paling utama dimulai dari Terminologi legal standing

terkait dengan konsep locus standi atau prinsip persona standi in judicio,

yaitu seseorang yang mengajukan gugatan harus mempunyai hak dan

kualitas sebagai penggugat.60

Dalam doktrin hukum perdata dikenal dengan

azas tidak ada gugatan tanpa kepentingan (point d’interet, point d’action).

60Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 308, sebagaimana disadur dari Yusuf Shofie. “Listrik

dan Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Artikel Koran Tempo 4 september 2004.,

halaman 93.

35

Seorang dikatakan memiliki kepentingan yang memadai atau locus standi,

jika berkaitan dengan pokok masalah perkara yang diajukan.61

Konsep badan hukum /yayasan (rechtspersoon; legal

entities; corporation) sebagai subjek penggugat atau tergugat

dalam suatu perkara, bukanlah hal yang baru, tetapi jika badan

hukum/yayasan tersebut tanpa mempunyai kepentingan

langsung dengan objek gugatan, diperkenankan bertindak

sebagai penggugat, merupakan perluasan dari konsep persona

standi in judicio karena adanya kebutuhan hukum. Pengadilan

telah menunjukan fleksibilitas (flexibility) yang begitu besar

terhadap konsep tersebut.62

Kebutuhan hukum disini yang menyangkut harkat orang banyak dan

kepentingan perlindungan lingkungan hidup. Sehingga dengan adanya

fleksibilitas tersebut diharapkan tujuan hukum dapat tercapai yaitu rasa

keadilan.

3. Pengertian Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

(LPKSM)

Berdasarkan Pasal 1 angka 9 UU No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) adalah lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan

diakui oleh pemerintah yang mempunyai kegiatan menangani perlindungan

konsumen.63

Pemerintah mengakui lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat, yang dimaksud memenuhi

61 Ibid., halaman 93.

62 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 308.

63 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

36

syarat antara lain terdaftar dan diakui serta bergerak di bidang perlindungan

konsumen.64

Tugas Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

(LPKSM) berdasarkan Pasal 44 ayat (3) UU No. 8 Tahun 1999 Tentang

Perlindungan Konsumen menyebutkan :65

a. menyebarkan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak

dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi

barang dan/atau jasa;

b. memberikan nasihat kepada konsumen yang memerlukannya;

c. bekerja sama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan

perlindungan konsumen;

d. membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk

menerima keluhan atau pengaduan konsumen;

e. melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap

pelaksanaan perlindungan konsumen.

Gugatan dapat dilakukan sebagaimana diatur dalam Pasal 46 Undang-

undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan:66

(1) Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh:

a. seorang konsumen yang dirugikan atau ahli waris yang

bersangkutan;

64 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305.

65 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

66 Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

37

b. kelompok konsumen yang mempunyai kepentingan yang

sama;

c. lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum

atau yayasan, yang dalam anggaran dasarnya

menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya

organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan

kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya;

d. pemerintah dan/atau instansi terkait apabila barang

dan/atau jasa yang dikonsumsi atau dimanfaatkan

mengakibatkan kerugian materi yang besar dan/atau

korban yang tidak sedikit.

(2) Gugatan yang diajukan oleh sekelompok konsumen, lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat atau

pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,

huruf c,atau huruf d diajukan kepada peradilan umum.

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kerugian materi yang besar

dan/atau korban yang tidak sedikit sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf d diatur dengan Peraturan Pemerintah

Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)

mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah

lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang

mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”67

Pendaftaran tersebut hanya dimaksudkan sebagai

pencatatan bukan perizinan. Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat yang membuka kantor perwakilan atau

cabang cukup melaporkan kantor perwakilan tersebut kepada

pemerintah kabupaten/kota setempat tanpa harus melakukan

pendaftaran. Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat tersebut dapat melakukan kegiatan perlindungan

konsumen di seluruh wilayah Indonesia.68

67Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat.

68 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 305.

38

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan

tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat disebutkan:69

Pasal 2

(1) Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat untuk bergerak di

bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana tercantum dalam

anggaran dasar pendiriannya;

(2) Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan

melalui pendaftaran dan penerbitan Tanda Daftar Lembaga

Perlindungan Konsumen;

Pasal 3

(1) Kewenangan Penerbitan TDLPk berada pada Menteri;

(2) Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan Tanda Daftar

Lembaga Perlindungan Konsumen sebagaimana dimaksud

dalam ayat (1) kepada Bupati/Walikota;

(3) Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas;

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a

angka 1 disebutkan pada pokoknya bahwa:70

“Permohonan Tanda Daftar

Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya

Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan dilampiri dokumen-

dokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum

69Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

70Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

39

atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan Hukum dari Menteri

Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan

Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat

Pengesahan dari Instansi yang berwenang”.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan.71

Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan dalam anggaran dasar

yayasan sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama dan tempat kedudukan;

2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai maksud

dan tujuan tersebut;

3. Jangka waktu pendirian;

4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan pribadi

pendiri dalam bentuk uang atau benda;

5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan;

6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan penggantian

anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas;

7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan

Pengawas;

8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan;

9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;

10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan

11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran

kekayaan yayasan setelah pembubaran.

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia

mengakui dirinya sebagai sebuah badan hukum yang bergerak untuk

71 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 307.

40

melindungi kepentingan konsumen yang mengalami kerugian.

Dibuktikan dengan dasar sebagai berikut:

PT.Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia

atau disingkat “Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia (LPKNI)" adalah Perseroan Nomor : AHU-

04158.40.20.2014 tentang Persetujuan Perubahan badan Hukum

Perseroan Terbatas PT Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia yaitu Menyetujui Perubahan Badan Hukum

PT. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia

dengan NPWP 02.239.913.3-652.000 yang Berkedudukan di

Kota Malang karena telah sesuai dengan Data Format Isian

Perubahan yang disimpan di dalam Database Sistem

Administrasi Badan Hukum sebagaimana salinan Akta Notaris

No.153 Tanggal 24 April 2014 yang dibuat oleh Notaris Sigit

Nur Rachmat, SH.,M.KN. Dengan demikian telah Memenuhi

ketentuan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.72

Doktrin mengenai legal standing sifatnya sangat terbatas, yaitu

tuntutan ganti kerugian moneter tidak diperkenankan untuk diajukan,

kecuali ganti kerugian sepanjang atau sebatas biaya atau pengeluaran riil,

yaitu biaya yang nyata-nyata dapat dibuktikan dikeluarkan oleh penggugat,

bukan ganti kerugian yang mengatasnamakan orang banyak, sehingga dalam

perkara gugatan legal standing, petitum gugatan hanya dapat dimintakan :73

a. Penghentian kegiatan;

b. Permintaan maaf;

c. Pembayaran uang paksa(dwangsom).

72Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. (2014, April 24). Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia. Retrieved Oktober 15, 2014, from Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia: http://www.perlindungankonsumen.id/index.php/tentangkami.

73 Susanti Adi Nugroho I, Op.cit., halaman 372.

41

D. Hakim dalam Menjatuhkan Putusan

1. Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan

Pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan putusan tidak terlepas dari

apa yang disebut dengan Tugas Hakim. Tugas Hakim adalah mengambil

atau menjatuhkan keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi pihak

lain. Ia tidak dapat menolak menjatuhkan putusan apabila perkaranya sudah

mulai diperiksa. Bahkan perkara yang telah diajukan kepadanya tetapi

belum mulai diperiksa tidak wenang ia menolaknya.74

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., Putusan hakim adalah : “suatu

pernyataan yang oleh hakim, sebagai pejabat yang diberi wewenang itu,

diucapkan dipersidangan dan bertujuan mengakhiri atau menyelesaikan

suatu perkara atau sengketa antara para pihak”75

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman Pasal 1 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (2) menyebutkan: 76

Pasal 1

(1) Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang

merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna

menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.

Pasal 2

(2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan

keadilan berdasarkan Pancasila.

74 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 207.

75 Ibid., halaman 212.

76 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.

42

Pasal 25

(2) Peradilan umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

berwenang memeriksa, mengadili, dan memutus perkara

pidana dan perdata sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Mendasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun

2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman dapat dijelaskan secara konkret tugas

hakim dalam mengadili suatu perkara melalui 3 tindakan secara bertahap :77

(1) Mengkonstatir (mengkonstatasi) berarti menyatakan benar terjadinya

suatu peristiwa konkrit. Untuk dapat mengkonstantir peristiwa konkrit,

peristiwa konkrit itu harus dibuktikan terlebih dahulu. Pada tahap ini

hakim mengkonstatir benar atau tidaknya peristiwa yang diajukan

meliputi: ”menemukan fakta, menemukan sebab-sebab perkara dan,

menemukan karakteristik”.

(2) Mengkwalifisir (mengkwalifikasi) yaitu setelah peristiwa konkrit

dibuktikan dan dikonstantir, maka harus dicarikan hukumnya disinilah

dimulai dengan penemuan hukum (rechtsvinding). Penemuan hukum

tidak merupakan suatu kegiatan yang berdiri sendiri, tetapi merupakan

kegiatan yang runtut dan berkesinambungan dengan kegiatan

pembuktian. Pada tahap ini hakim kemudian mengkualifikasikan

adanya hubungan hukum, dalam adanya perbuatan melawan hukum

/wanprestasi atau tidak, meliputi: ”menemukan dan memilih sistem

77 Ibid., halaman 203-204.

43

hukum, menemukan hukum, menemukan metode penyelesaian yang

tepat dan, mendesain hukum agar cocok dengan karakteristik perkara”.

(3) Mengkonstitusir (mengkonstitusi) yaitu setelah hukumnya diketemukan

dan kemudian hukumnya (undang-undangnya) diterapkan pada

peristiwa hukumnya, maka hakim harus menjatuhkan putusan. Pada

tahap ini hakim menetapkan hukumnya terhadap yang bersangkutan

(para pihak) meliputi: ”menerapkan hukum dan, menyelesaikan

sengketa atau perkara”.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang

Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung Pasal 79 menyebutkan:78

”Mahkamah Agung dapat

mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran

penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup diatur

dalam Undang-undang ini.” Berdasarkan pasal tersebut dapat dijelaskan

bahwa Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang

diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-

hal yang belum cukup diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah

Agung sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan

hukum yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.

78Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung.

44

2. Sifat Putusan

Putusan menurut sifatnya dapat dibagi atas :79

1) Pengaturan (Constitutif)

Putusan bersifat constitutif adalah putusan yang menetapkan mengenai

sesuatu, seolah-olah membuat kaidah /ketentuan baru.

2) Pernyataan (Declaratoir)

Putusan bersifat declaratoir adalah putusan yang memberi pernyataan

mengenai sesuatu.

3) Menghukum (Condemnatoir )

Putusan bersifat condemnatoir adalah putusan yang isinya menghukum.

Amar atau diktum putusan merupakan pernyataan (deklarasi) yang

berkenaan dengan status dan hubungan hukum antara para pihak dengan

barang objek yang disengketakan. Dan juga berisi perintah atau

penghukuman atau condemnatoir yang ditimpakan kepada pihak yang

berperkara.80

79 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 201.

80 M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 811.

45

3. Jenis-Jenis Putusan

Putusan menurut jenisnya dibagi atas: 81

1) Interlocutoir Vonis

Interlocutoir Vonis (putusan sela) adalah putusan yang belum

merupakan putusan akhir. Putusan sela (Interlocutoir Vonis) itu dapat

berupa:

a. Putusan Provisional (Tak Dim)

Putusan Provisional (Tak Dim) adalah putusan yang diambil segera

mendahului putusan akhir tentang pokok perkara, karena adanya

alasan-alasan yang mendesak untuk itu.

b. Putusan Preparatoir

Putusan Preparatoir adalah putusan sela guna mempersiapkan

putusan akhir.

c. Putusan Insidental

Putusan Insidental adalah putusan sela yang diambil secara

insidental.

2) Putusan Akhir

Putusan akhir dari suatu perkara dapat berupa :

a. Niet Onvankelijk Verklaart

Niet Onvankelijk Verklaart berarti tidak dapat diterima, yakni

putusan pengadilan yang menyatakan, bahwa gugatan Penggugat

tidak dapat diterima. Adapun alasan-alasan Pengadilan mengambil

81 Darwan Prinst, Op.cit., halaman 202.

46

keputusan menyatakan suatu gugatan tidak dapat diterima adalah

sebagai berikut :

(1) Gugatan tidak berdasarkan hukum;

(2) Gugatan tidak patut;

(3) Gugatan bertentangan dengan kesusilaan/ketertiban umum;

(4) Gugatan salah;

(5) Gugatan kabur;

(6) Gugatanya tidak memenuhi persyaratan;

(7) Objek gugatan tidak jelas;

(8) Subyek gugatan tidak lengkap;

(9) Dan lain-lain.

b. Tidak berwenang mengadili

Suatu gugatan yang diajukan kepada pengadilan yang tidak

berwenang, baik menyangkut kompetensi absolut maupun

kompetensi relative, akan diputus oleh pengadilan tersebut dengan

menyatakan dirinya tidak mengadili gugatan itu. Oleh karena itu,

gugatan dinyatakan tidak dapat diterima.

c. Gugatan dikabulkan

Suatu gugatan yang terbukti kebenaranya di Pengadilan akan

dikabulkan seluruhnya atau sebagian. Apabila gugatan terbukti

seluruhnya, maka gugatan akan dikabulkan untuk seluruhnya. Akan

tetapi, apabila gugatan hanya terbukti sebagian, maka akan

dikabulkan sebagian pula sepanjang yang dapat dibuktikan itu.

47

d. Gugatan ditolak

Suatu gugatan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya di depan

Pengadilan, maka gugatan tersebut akan ditolak. Penolakan itu dapat

terjadi untuk seluruhnya atau sebagian.

Gugatan tidak bersandarkan hukum, yaitu apabila peristiwa-peristiwa

sebagai dasar tuntutan tidak membenarkan tuntutan, maka gugatan akan

dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard).82

Putusan

tidak dapat diterima (n.o) itu dimaksudkan menolak gugatan diluar pokok

perkara, yang berarti bahwa hakim belum memeriksa pokok perkara.83

Putusan tidak dapat diterima, di kemudian hari penggugat masih dapat

mengajukan tuntutannya, tetapi didalam praktek tidak jarang putusan tidak

dapat diterima dimintakan banding/upaya hukum.84

4. Asas Putusan

Salah satu unsur negara hukum adalah berfungsinya kekuasaan

kehakiman yang merdeka yang dilakukan oleh badan peradilan. Pemberian

kewenangan yang merdeka tersebut merupakan “katup penekan”(pressure

valve), atas setiap pelanggaran hukum tanpa kecuali. Pemberian

kewenangan ini dengan sendirinya menempatkan kedudukan badan

peradilan sebagai benteng terakhir (the last resort) dalam upaya

penegakan”kebenaran” dan “keadilan”. Dalam hal ini tidak ada badan lain

82 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 110.

83 Ibid., halaman 111.

84 Ibid., halaman 110.

48

yang berkedudukan sebagai tempat mencari penegakan kebenaran dan

keadilan (to enforce the truth and justice) apabila timbul sengketa atau

pelanggaran hukum.85

Tugas Pengadilan, dalam hal ini adalah hakim, yaitu untuk

memeriksa, memutus, dan mengadili perkara perdata. Peradilan perdata

dilakukan dengan mendasarkan pada peraturan perundang-undangan seperti

HIR (Het Herzeine Indonesish Reglement), Rbg (Rechtsreglemeent

Buitengewesten), Rv (Reglement op de burgerlijke recht Vordering),

Undang-undang No. 20 Tahun 1947, Undang-undang No. 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman.86

Perlu dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan putusan pada uraian ini

adalah putusan peradilan tingkat pertama. Tujuan akhir proses pemeriksaan

di Pengadilan Negeri yaitu diambilnya putusan oleh hakim yang berisi

penyelesaian perkara yang disengketakan.87

Pembahasan mengenai asas

putusan dimulai dengan uraian mengenai asas yang mesti ditegakkan, agar

putusan yang dijatuhkan tidak mengandung cacat. Asas tersebut dijelaskan

dalam pasal 178 HIR, pasal 189 Rbg, dan Bab II Asas Penyelenggaraan

85Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10

Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.sebagaimana menyadur dari M. Yahya Harahap,

Beberapa Tinjauan Sistem Peradilan Dan Penyelesaian Sengketa, Bandung: PT. Citra Aditya

Bakti, halaman 34.

86Rahadi Wasi Bintoro. 2010 Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Volume 10

Nomor 2. 2 Mei Tahun 2010. Jurnal Dinamika Hukum. Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah.

87M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 797 sebagaimana menyadur dari Subekti, Hukum Acara

Perdata, Bina Cipta, Bandung, 1977, halaman 122.

49

Kekuasaan Kehakiman dalam Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Mendasarkan ketentuan tersebut maka dapat

diuraikan Asas-asas Hakim dalam menjatuhkan putusan adalah sebagai

berikut:

1) Demi Keadilan Berdasarkan Ke Tuhanan Yang Maha Esa

Peradilan dilakukan "DEMI KEADILAN BERDASARKAN

KETUHANAN YANG MAHA ESA" (pasal 2 ayat (1) Undang-

undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Rumusan

ini berlaku untuk semua pengadilan dalam semua lingkungan

peradilan. Dengan adanya Undang-undang No. 1 Tahun 1950 (pasal 1

ayat 2) dan UUDar. No. 1 Tahun 1951 (pasal 5) kata-kata “Atas nama

Raja” diganti menjadi”Atas nama keadilan”, dan akhirnya dengan

adanya Undang-undang No. 14 Tahun 1970 menjadi “Demi Keadilan

berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, sebagaimana penyesuaian

dengan pasal 29 UUD 1945.88

2) Asas Objektifitas

Asas Objektifitas tidak memihaknya pengadilan terdapat dalam

pasal 3 ayat (1) Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyebutkan: “Dalam menjalankan tugas dan

fungsinya, hakim dan hakim konstitusi wajib menjaga kemandirian

peradilan”. Dalam menjatuhkan putusan hakim tidak boleh membeda-

bedakan orang hal ini termuat dalam pasal 4 ayat (1) Undang-undang

88 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 34.

50

No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:

“Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-

bedakan orang”. Dalam memeriksa perkara hakim harus objektif dan

tidak boleh memihak, untuk menjamin asas ini bagi pihak yang diadili

dapat mengajukan keberatan yang disertai alasan-alasan terhadap

hakim yang akan mengadili perkaranya, yang disebut hak ingkar

(recusatie, wraking).89

Hak ingkar sebagaimana disebutkan dalam

pasal 17 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman:

Pasal 17

(1) Pihak yang diadili mempunyai hak ingkar terhadap

hakim yang mengadili perkaranya.

(2) Hak ingkar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah

hak seseorang yang diadili untuk mengajukan keberatan

yang disertai dengan alasan terhadap seorang hakim

yang mengadili perkaranya.

(3) Seorang hakim wajib mengundurkan diri dari

persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah

atau semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan

suami atau istri meskipun telah bercerai, dengan ketua,

salah seorang hakim anggota, jaksa, advokat, atau

panitera.

(4) Ketua majelis, hakim anggota, jaksa, atau panitera

wajib mengundurkan diri dari persidangan apabila

terikat hubungan keluarga sedarah atau semenda

sampai derajat ketiga, atau hubungan suami atau istri

meskipun telah bercerai dengan pihak yang diadili atau

advokat.

(5) Seorang hakim atau panitera wajib mengundurkan diri

dari persidangan apabila ia mempunyai kepentingan

langsung atau tidak langsung dengan perkara yang

sedang diperiksa, baik atas kehendaknya sendiri

maupun atas permintaan pihak yang berperkara.

89 Ibid., halaman 20.

51

(6) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (5), putusan

dinyatakan tidak sah dan terhadap hakim atau panitera

yang bersangkutan dikenakan sanksi administratif atau

dipidana sesuai dengan ketentuan peraturan

perundangundangan.

(7) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat

(6) diperiksa kembali dengan susunan majelis hakim

yang berbeda.

Dalam pasal 347 ayat (1) HIR disebutkan alasan-alasan yang

lebih luas, yaitu apabila perkara yang diperiksa hakim itu menyangkut

kepentingan hakim itu sendiri, baik langsung maupun tidak, atau

dimana tersangkut isteri hakim itu sendiri atau salah seorang

keluarganya sedarah atau semenda, dalam keturunan yang lurus tanpa

pengecualian dan dalam keturunan kesamping sampai derajat ke

empat. Asas ini didasarkan atas suatu pertimbangan, bahwa tidak

seorangpun dapat menjadi hakim yang baik dalam perkaranya sendiri

(nemo judex idoneus in propria causa).90

3) Memuat Dasar Alasan yang Jelas dan Rinci

Menurut asas ini putusan yang dijatuhkan harus berdasarkan

pertimbangan yang jelas dan cukup. Putusan yang tidak memenuhi

ketentuan itu dikategorikan putusan yang tidak cukup pertimbangan

atau onvoldoende gemotiveerd (insufficient judgement). Alasan-alasan

hukum yang menjadi dasar pertimbangan bertitik tolak dari

ketentuan:91

90 Ibid., halaman 21.

91 M. Yahya Harahap, Op.cit., halaman 798.

52

a) Pasal-pasal tertentu peraturan perundang-undangan

b) Hukum kebiasaan

c) Yurisprudensi

d) Doktrin hukum

Sebagaimana diatur dalam pasal 50 ayat (1) Undang-undang No.

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:

“Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan,

juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar

untuk mengadili”. Pengadilan harus memuat alasan-alasan dan dasar-

dasar putusan dan mencantumkan pasal-pasal peraturan perundang-

undangan tertentu yang bersangkutan dengan perkara yang diputus

atau berdasarkan hukum tak tertulis maupun yurisprudensi atau

doktrin hukum.92

Bertitik tolak dari ketentuan tersebut putusan yang

tidak cukup pertimbangan adalah masalah yuridis, akibatnya putusan

yang demikian dapat dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi.

4) Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan

Asas Wajib Mengadili Seluruh Bagian Gugatan digariskan

dalam Pasal 178 ayat (2) HIR, Pasal 189 ayat (2) Rbg, dan Pasal 50

Rv. Putusan secara total dan menyeluruh memeriksa dan mengadili

92 Ibid., halaman 798.

53

setiap segi gugatan yang diajukan, tidak boleh memeriksa dan

memutus sebagian saja, dan mengabaikan gugatan selebihnya.93

5) Tidak Boleh Mengabulkan Melebihi Tuntutan

Pasal 178, Pasal 189 Rbg dan Pasal 50 Rv menyebutkan secara

pokok asas-asas hakim dalam menjatuhkan putusan terhadap perkara

perdata yang menyebutkan:

Pasal 178 HIR

(1) Hakim karena jabatannya waktu bermusyawarat wajib

mencukupkan segala alasan hukum; yang tidak dikemukakan

oleh kedua belah pihak.

(2) Hakim wajib mengadili atas segala bahagian gugatan.

(3) Ia tidak diizinkan menjatuhkan keputusan atas perkara yang

tidak digugat, atau memberikan lebih dari pada yang digugat.

Pasal 189 Rbg

(1) Dalam rapat permusyawaratan, karena jabatannya hakim harus

menambah dasar-dasar hukum yang tidak dikemukakan oleh

para pihak. (RO. 39,41.)

(2) Ia wajib memberi keputusan tentang semua bagian gugatannya.

(3) Ia dilarang memberi keputusan tentang hal-hal yang tidak

dimohon atau memberikan lebih dari

yang dimohon. (Rv. 50; IR. 178.)

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas Pasal 178 ayat (3), Pasal

189 ayat (3) Rbg dan Pasal 50 Rv maka putusan tidak

bolehmengabulkan melebihi tuntutan dikemukakan dalam gugatan.

Larangan ini disebut ultra petitum partium. Apabila putusan

mengandung ultra petitum harus dinyatakan cacat (invalid) meskipun

93 Ibid., halaman 800.

54

hal itu dilakukan hakim dengan itikad baik (good faith) maupun sesuai

dengan kepentingan umum (public interest).94

Pelanggaran terhadap prinsip ultra petitum, sama dengan

pelanggaran terhadap prinsip rule of law:95

(1) Karena tindakan itu tidak sesuai dengan hukum, padahal sesuai

dengan prinsip rule of law semua tindakan hakim mesti sesuai

dengan hukum (accordance with the law).

(2) Tindakan hakim mengabulkan melebihi yang dituntut, nyata-nyata

melampaui batas wewenang yang diberikan Pasal 178 ayat (3) HIR

kepadanya, padahal sesuai dengan prinsip rule of law, siapapun

tidak boleh melakukan tindakan yang melampaui batas

wewenangnya (beyond the powers of his authority).

6) Diucapkan di Muka Umum

Sebagaimana diatur dalam pasal 13 Undang-undang No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:

Pasal 13

(1) Semua sidang pemeriksaan pengadilan adalah

terbuka untuk umum, kecuali undang-undang

menentukan lain.

(2) Putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai

kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang

terbuka untuk umum.

94Ibid., halaman 801, sebagaiman menyadur dari Frances Russell dan Christine Loche, English

Law and Language, Cassel, London, 1992, halaman 30.

95 Ibid., halaman 802.

55

(3) Tidak dipenuhinya ketentuan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan putusan

batal demi hukum.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas dapat dijelaskan

bahwa persidangan dan putusan diucapkan dalam sidang pengadilan

yang terbuka untuk umum atau di muka umum, merupakan salah satu

bagian yang tidak terpisahkan dari asas fair trial. Menurut asas fair

trial, pemeriksaan persidangan harus jujur sejak awal sampai akhir.

The open justice principle tujuan utamanya untuk menjamin proses

peradilan terhindar dari perbuatan tercela (misbehavior) dari pejabat

peradilan.96

7) Putusan Diambil Berdasarkan Sidang Permusyawaratan

Asas hakim majelis dimaksudkan untuk menjamin pemeriksaan

yang seobjektif-objektifnya, guna member perlindungan hak-hak asasi

manusia dalam bidang peradilan.97

Meskipun asasnya adalah hakim

majelis, baik declaratoir maupun contradictoir diperiksa dengan hakim

tunggal, disamping ada sidang-sidang dengan majelis juga,

pemeriksaan dengan hakim tunggal tetap sah.98

96Ibid., halaman 803, sebagaimana manyadur dari Geoffrey Robertson QC, Freedom, the

Individual and the Law, Penguin Book, New York, 1993, halaman 341.

97 Sudikno Mertokusumo, Op.cit., halaman 34

98 Ibid., halaman 35.

56

Sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (1) Undang-undang No.

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyebutkan:”

Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang

bersifat rahasia”. Hakim dalam menjatuhkan putusan diambil

berdasarkan sidang permusyawaratan dan di dalam sidang

permusyawaratan hakim wajib memberikan pertimbangan hukum

sebagaimana diatur dalam pasal 14 ayat (2) Undang-undang No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Dalam sidang

permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan

atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan

menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan”.

8) Putusan dapat diajukan Banding, Kasasi dan, Peninjauan Kembali

Pihak dalam perkara perdata pasti ada yang menerima putusan

ada yang tidak menerima putusan yang dijatuhkan oleh hakim.

Apabila salah satu pihak dalam perkara perdata tidak menerima suatu

putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-hak nya terserang oleh

adanya putusan atau menganggap putusan itu kurang benar atau

kurang adil, maka dapat mengajukan permohonan banding.99

Undang-

undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 26

ayat (1) menyebutkan “Putusan pengadilan tingkat pertama dapat

dimintakan banding kepada pengadilan tinggi oleh pihak-pihak yang

bersangkutan, kecuali undang-undang menentukan lain”.

99 Ibid., halaman 234.

57

Kasasi adalah pembatalan putusan atas penetapan pengadilan –

pengadilan dari semua lingkungan peradilan dalam tingkat peradilan

terakhir.100

Asasnya putusan dapat dimintakan kasasi setelah melalui

proses banding. Pasal 23 Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyebutkan “Putusan pengadilan dalam

tingkat banding dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung

oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali undang-undang

menentukan lain”.

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman menyebutkan:

Pasal 24

(1) Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh

kekuatan hukum tetap, pihak-pihak yang bersangkutan dapat

mengajukan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung,

apabila terdapat hal atau keadaan tertentu yang ditentukan

dalam undang-undang.

(2) Terhadap putusan peninjauan kembali tidak dapat dilakukan

peninjauan kembali.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 1985

Tentang Mahkamah Agung sebagaimana diubah dengan Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Perubahan

Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang

Mahkamah Agung, Pasal 34 menyebutkan :”Mahkamah Agung

memeriksa dan memutus permohonan peninjauan kembali pada

tingkat pertama dan terakhir atas putusan Pengadilan yang telah

100 Ibid., halaman 241.

58

memperoleh kekuatan hukum tetap berdasarkan alasan-alasan yang

diatur dalam Bab IV Bagian Keempat Undang-undang ini”.

Permohonan peninjauan kembali tidak menangguhkan atau

menghentikan pelaksanaan putusan pengadilan dan dapat dicabut

selama belum diputus serta hanya dapat diajukan hanya satu kali

saja.101

9) Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi

Undang-undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Pasal 20 ayat (1) menyebutkan: Mahkamah Agung

merupakan pengadilan negara tertinggi dari badan peradilan yang

berada di dalam keempat lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 18. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut dapat ditarik

suatu pemahaman bahawa putusan yang dikeluarkan oleh Pengadilan

yang berada dibawah Mahkamah Agung dapat dilakukan upaya

hukum dan dapat terjadi perubahan terhadap putusan yang dilakukan

oleh peradilan dibawah Mahkamah Agung. Mahkamah Agung sebagai

puncak dan sebagai pengambil keputusan terakhir.

101 Ibid., halaman 246.

59

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tipe Penelitian

Tipe penelitian yang di gunakan dalam penelitian ini adalah

pendekatan yuridis normatif yaitu metode pendekatan yang menggunakan

konsepsi legis positivis. Konsep legis positivisi memandang hukum identik

dengan norma-norma tertulis yang dibuat dan diundangkan oleh lembaga atau

pejabat yang berwenang dan meninjau hukum sebagai suatu sistem normatif

yang mandiri, bersifat tertutup dan terlepas dari kehidupan masyarakat yang

nyata serta maelanggar norma-norma lain bukan sebagai hukum.102

Penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk

mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.103

B. Metode Pendekatan

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Pendekatan perundang-undangan (statute approach)

Suatu penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-

undangan,karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang

menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.104

102 Ronny Hantijo Soemitro, “Metode Penelitian dan Jurimetri,” (Jakarta: Penerbit Ghalia

Indonesia, 1990) halaman 13.

103 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. (Malang: Penerbit

Banyumedia, 2006) halaman 295.

60

b. Pendektan analistis (analyticak approach)

Pendekatan ini untuk mengetahui makna yang dikandung oleh istilah-istilah

yang digunakan dalam aturan perundang-undangan secara konsepsional,

sekaligus mengetahui penerapannya dalam praktik dan putusan-putusan

hukum. 105

Penerapan aturan perundang-undangan dalam praktik pada

penelitian ini yaitu terhadap putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor :

62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ).

C. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi yang di gunakan dalam penelitian ini adalah spesifikasi

penelitian Preskriptif.

Spesifikasi penelitian Preskriptif yaitu suatu penelitian

yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas

aturan hukum, konsep-konsep hukum, dan norma-norma hukum,

menggambarkan keadaan dari objek yang diteliti dengan

keyakinan-keyakinan tertentu yang didasarkan atas peraturan

Perundang-undangan yang ada dan kemudian mengambil

kesimpulan dari bahan-bahan tentang objek masalah yang akan

diteliti dengan keyakinan-keyakinan tertentu dan menetapkan

standar prosedur, ketentuan-ketentuan, rambu-rambu dalam

melaksanakan aturan hukum.106

104 Ibid., halaman 302.

105 Ibid., halaman 310.

106 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum Normatif ( Jakarta: Penerbit Kencana, 2005)

halaman 22-23.

61

D. Jenis dan Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang

berupa inventarisasi berkas Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor :

62/Pdt.G/2013/PN. KPJ, peraturan perundang-undangan, buku-buku literature,

karya ilmiah sarjana, dan dokumen yang berkaitan dengan pokok masalah.

a. Data Sekunder

Adalah data yang bersifat kepustakaan yang terbagi atas beberapa jenis

,yaitu : 107

1. Bahan/Sumber primer, yakni bahan pustaka yang berisikan

pengetahuan ilmiah yang baru atau mutakhir, ataupun pengertian

baru tentang fakta yang diketahui maupun mengenai suatu gagasan

(ide). Bahan/sumber ini mencakup : Buku, Kertas kerja konperensi,

lokakarya, seminar, symposium, Laporan penelitian, Laporan teknis,

Majalah, Disertasi atau tesis, dan Paten.

2. Bahan/sumber sekunder, yaitu bahan pustaka yang berisikan

informasi tentang bahan primer. Bahan sekunder ini antara lain,

mencakup: Abstrak, Indeks, Bibliografi, Penerbitan Pemerintah,

Bahan acuan lainnya.

3. Bahan Hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder.

107 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat(

Jakarta: Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada, 2011) halaman 29.

62

E. Metode Pengumpulan Data

Studi Kepustakaan dimana data sekunder yang diperoleh dari studi

pustaka yaitu pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan

bahan hukum tertier, serta bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan

diklasifikasi dengan menyesuaikan masalah yang dibahas.108

F. Metode Penyajian Data

Data-data yang telah terkumpul disajikan dalam bentuk uraian.109

Bahan

hukum yang diperoleh dalam penelitian ini akan dipaparkan dalam bentuk

uraian yang disusun secara sistematis mengikuti alur sistematika pembahasan.

Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh kemudian dihubungkan satu

dengan yang lainnya dengan pokok permasalahan, sehingga menjadi satu

kesatuan yang utuh.110

G. Metode Analisis Data

Bahan hukum yang diperoleh dalam penelitian studi kepustakaan,

aturan perundang-undangan, dan artikel dimaksud penulis uraikan dan

hubungkan sedemikian rupa, sehingga disajikan dalam penulisan yang lebih

108 Johnny Ibrahim, Op.Cit., halaman 296.

109 Ronny Hantijo Soemitro, Op.Cit., halaman 107.

110 FH UNSOED (2014, Desember 8). Retrieved from:

http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%20III%20METODE%20PENELITIAN.doc

63

sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan. Bahwa cara

pengolahan bahan hukum dilakukan secara deduktif yakni menarik kesimpulan

dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret

yang dihadapi.111

111 Johnny Ibrahim, Op.Cit., halaman 393.

64

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

Setelah mengadakan penelitian terhadap putusan Nomor :

62/Pdt.G/2013/PN. KPJ maka dapat dikemukakan data sekunder sebagai

berikut :

1. Para Pihak yang Berperkara

1.1. LEMBAGA PERLINDUNGAN KONSUMEN NASIONAL

INDONESIA disingkat LPK Nasional Indonesia Badan Hukum

Publik berkedudukan di Kantor Pusat Malang di Jalan Raya Wapoga

No. 2 Perum Ngujil Permai II Telp.0341-492174/7723567 Fax 03 123

berdasarkan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-Undang Perlindungan

Konsumen yang selanjutnya disebut Penggugat I dalam hal ini

diwakili oleh Pengurusnya Lukman Hadi Wijaya, Dholin Efendi,

Nanang Nelson, SH ;

1.2. MARDI yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa

Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang Jawa Timur

berdasarkan pasal 46 ayat (1) huruf a Undang-Undang Perlindungan

Konsumen untuk dan atas nama diri sendiri sebagai konsumen.

Selanjutnya disebut sebagai Penggugat II ;

M E L A W A N :

65

1.3. Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jl

jenderal A. Yani No. 2 Clumprit Pagelaran Kabupaten Malang

Propinsi Jawa Timur. Selanjutnya disebut Tergugat ;

2. Duduk Perkara

2.1. Bahwa lembaga Penggugat menerima pengaduan masyarakat pada

tanggal delapan mei dua ribu tiga belas (08-05-2013) yang bernama

Mardi dengan alamat JI. Dusun Gumukmojo RT/RW : 051/010,

Desa Wonokerto Kecamatan Bantur – Kabupaten Malang Jawa

Timur yang selanjutnya disebut Konsumen yang hak- haknya di

langgar oleh Tergugat. berdasarkan Undang- undang No. 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e Bahwa

konsumen memiliki hak Untuk mendapatkan Advokasi,

perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan

konsumen secara patut.

2.2. Bahwa pada 2005 konsumen Mardi sekarang Penggugat II utang

pada Tergugat sebesar Rp. 40.000.000,- ( empat puluh juta rupiah )

untuk membiayai usahanya dengan jaminan sebidang tanah dan

bangunan SHM atas nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW :

002/001 Desa Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang

Jawa Timur.

2.3. Bahwa konsumen Mardi sekarang Penggugat II telah aktif

membayar angsuran sejak tahun 2004 sampai dengan tahun 2008

sebesar Rp. 1.600.000,- ( satu juta enam ratus ribu rupiah ) setiap

66

bulanya atau sejumlah Rp. 76.800.000,- ( tujuh puluh enam juta

delapan ratus ribu rupiah ) namun semua bukti pembayaran kwitansi

diminta kembali oleh petugas Tergugat sehingga patut diduga pihak

Tergugat menghilangkan bukti pembayaran untuk mendapatkan

keuntungan pribadi dan merugikan pihak Penggugat II.

2.4. Bahwa sebelum sidang dimulai seharusnya Tergugat mengembalikan

semua bukti pembayaran kepada konsumen sekarang Penggugat II

untuk menunjukan Tergugat adalah pelaku usaha yang beretikad

baik.

2.5. Bahwa Penggugat I meminta kepada Tergugat untuk terlebih dahulu

menunjukan kelengkapan ijin usaha karena Tergugat mengaku

lembaga koperasi yang berbadan hukum yang tentunya dapat

menunjukan ijinnya dari pihak berwenang dan terdaftar dari

Pemerintah setempat sebagaimana diatur dalam Undang- undang No.

3 Tahun 1982 Tentang wajib daftar perusahaan sebelum pokok

perkara di sidangkan di depan Majelis hakim Pengadilan Negeri

Kepanjen Kabupaten Malang.

2.6. Bahwa yang dimaksud pelaku usaha menurut Undang- undang No. 8

Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen pasal 1 angka 3

Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha,

balk yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum

yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam

wilayah hukum negara Republik Indonesia, balk sendiri maupun

67

bersamasama dalam penjelasan yang dimaksud Pelaku usaha yang

termasuk dalam pengertian ini adalah perusahaan, korporasi,

BUMN, koperasi, importir, pedagang, distributor dan lain-lain.

2.7. Bahwa atas utang konsumen sekarang Penggugat II kepada lembaga

Tergugat tidak ada perjanjian karena pada kenyataanya konsumen

tidak memilki copy perjanjian dengan demikian hak dan kewajiban

konsumen / anggota tidak dapat diketahui dengan demikian lembaga

Tergugat tidak memenuhi syarat sebagai lembaga yang memilki

pelayanan kepada konsumen dan atau tidak berhak menjalankan

usaha memberi pinjaman kepada konsumen kecuali konsumen yang

dimaksud adalah anggota dari lembaga Tergugat.

2.8. Bahwa Ternyata konsumen semestinya adalah anggota dari lembaga

Tergugat namun hakhak anggota tidak diberikan oleh Tergugat

sehingga dengan berlakunya Undang- undang Koperasi yang baru

yaitu UU- RI No. 17 tahun 2012 tentang perkoperasian pasal 123

ayat ( 1 ) berbunyi Koperasi Simpan Pinjam dan Unit Simpan pinjam

yang telah memberikan pinjaman kepada Non- anggota wajib

mendaftarkan Non- anggota tersebut menjadi anggota koperasi

paling lambat 3 ( tiga ) bulan sejak berlakunya Undang- undang

perkoperasian.

2.9. Bahwa agar konsumen dan masyarakat terlindungi dari praktek

Koperasi yang tidak sehat dapatnya Iembaga Tergugat segera

menyesuaikan dengan Undang-undang Koperasi yang baru yaitu UU

68

RI No. 17 Tahun 2012 Tentang Perkoperasian dan atau kalau

Tergugat tidak punya niatan untuk memperbaiki sesuai Undang-

undang dapat segera membubarkan lembaga tersebut atau menunggu

pembubaran secara paksa berdasarkan ketentuan yang berlaku.

2.10. Bahwa konsumen sekarang Penggugat II menuntut hak sebagai

anggota Koperasi seperti hak rapat anggota tahunan ( RAT ) dan hak

atas sisa hasil usaha ( SHU ) atau dapat disebut kerugian secara

material karena tidak terpenuhinya hak tersebut kalau dihitung

dengan uang sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah ) yang

harus dibayar oleh Tergugat secara tunal dan seketika.

2.11. Bahwa konsumen sekarang Penggugat II juga dirugikan secara

imaterial karena di pusingkan oleh tagihan pihak lembaga Tergugat

padahal penggugat II telah aktif membayar hingga mencapai Rp.

76.000.000,- ( tujuh puluh enam juta rupiah ) pembayaran mana

kwitansi aslinya diminta oleh petugas Tergugat yang dating kerumah

Penggugat II yang katanya untuk kepentingan administrasi dengan

demikian menjadi pantaslah apabila Penggugat II menuntut kerugian

immaterial sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta rupiah ) yang

harus dibayar tunai dan seketika oleh Tergugat.

2.12. Bahwa Penggugat II masih memiliki etikad baik untuk membayar

pelunasan sebesar Rp. 20.000.000,- ( dua puluh juta rupiah ) dengan

catatan semua hak- hak sebagai anggota koperasi di penuhi oleh

pihak Tergugat.

69

2.13. Bahwa apabila Tergugat tidak menerima Penawaran pembayaran

konsumen maka mohon dengan hormat kepada Ketua Pengadilan

Negeri Kepanjen Malang Cq. Majelis Hakim yang memeriksa serta

mengadili perkara ini berkenan mengabulkan titipan pembayaran

pelunasan konsumen kepada Tergugat secara kontinatie.

2.14. Bahwa untuk menjamin kekuatiran pihak Penggugat II atas objek

jaminan milik Penggugat II dipindahkan atau digadaikan ke pihak

lain maka perlu Pengadilan Negeri Kepanjen melalui Majelis hakim

yang mengadili perkara aquo untuk melakukan sita jaminan (

conservatoir beslag ) atas sebidang tanah dan bangunan SHM atas

nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW ; 002/001 Desa

Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang Jawa Timur

2.15. Bahwa tidak itu saja Tergugat melanggar Hak Konsumen Pasal 4

huruf ( C ), UUPK yaitu hak atas informasi yang benar, jelas, dan

jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa; dengan

demikian Tergugat telah memenuhi kualifikasi perbuatan melawan

hukum.

2.16. Bahwa Perjanjian antara Tergugat dan Penggugat II sebagai

konsumen tidak jelas ada atau tidak karena konsumen tidak memiliki

copynya patut diduga adalah perjanjian baku yang pengungkapannya

sulit dimengerti, hurufnya kecil- kecil sehingga tidak mudah terlihat

sehingga diduga Tergugat melanggar klausula baku. adapun

pengertian klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan

70

syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan di tetapkan terlebih dahulu

secara sepihak oleh pelaku usaha yang di tuangkan dalam suatu

dokumen dan / atau perjanjian yang mengikat dan wajib di penuhi

oleh konsumen ( Pasal 1 angka 10 UUPK )

2.17. Bahwa sehubungan poin 15 patut diduga Tergugat melanggar

klausula baku yang dilarang pada pasal 18 ayat 2 dan 3 UUPK yang

pada ayat 2 UUPK berbunyi Pelaku Usaha dilarang mencantumkan

klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak

dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapanya sulit

dimengerti.

2.18. Bahwa pada pasal 18 ayat 3 UUPK berbunyi " setiap klausula baku

yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau

perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) dan ayat (2 ) dinyatakan batal demi hukum. oleh karena

semua unsur terpenuhi maka sudah sepantasnya Pengadilan Negeri

Kepanjen Kabupaten Malang menyatakan Tergugat telah melakukan

perbuatan melawan hukum dan oleh karenanya perjanjian yang

pernah dibuat antara Tergugat dan konsumen batal demi hukum dan

tidak memiliki kekuatan yang mengikat.

2.19. Bahwa karena Para Penggugat menduga banyak pelanggaran yang

dilakukan Tergugat maka gugatan ini mengunakan prinsip praduga

untuk selalu bertanggung jawab ( presumption of liability principle )

atau yang biasa kita kenal azas pembuktian terbalik yaitu Tergugat

71

membuktikan bahwa Tergugat tidak bersalah jadi beban pembuktian

ada pada si Tergugat hal mana diatur pada BAB VI Tanggung jawab

Pelaku usaha dalam pasal 23 pelaku usaha yang menolak dan / atau

tidak memberi tanggapan dan atau tidak memenuhi ganti rugi atas

tuntutan konsumen sebagimana dimaksud dalam pasal 19 Ayat (1),

Ayat (2), Ayat 3 dan Ayat (4) dapat digugat melalui BPSK atau

mengajukan ke Badan Peradilan di tempat kedudukan Konsumen

dan ditegaskan pada pasal 28 UUPK pembuktian terhadap ada

tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti rugi sebagaimana di

maksud pasal 19, pasal 22, dan pasal 23 merupakan beban dan

tanggung jawab pelaku usaha.

3. Petitum Penggugat

3.1. Mengabulkan Gugatan Para Penggugat seluruhnya.

3.2. Menyatakan dengan hukum bahwa gugatan ini mengunakan azas

pembuktian terbalik Menyatakan sebagai hukum Bahwa konsumen

Mardi adalah sebagai Konsumen/ debitur yang baik benar dan

terbukti beretikad baik akan membayar utangnya

3.3. Menyatakan dengan hukum bahwa terlebih dahulu Tergugat

menunjukan Kelengkapan perijinan usaha didepan persidangan.

3.4. Menyatakan secara hukum bahwa Penggugat II adalah anggota

koperasi yang dikelola Tergugat yang memiliki hak yang sama

dengan anggota yang lain.

72

3.5. Menyatakan sah dan berharga penawaran konsumen Penggugat II

Rp. 20.000.000,- ( dua puluh juta rupiah ) secara kontinatie melalui

Pengadilan Negeri Kepanjen Kabupaten Malang dengan catatan

telah diakui sebagai anggota koperasi sekaligus dengan hakhaknya.

3.6. Menyatakan bahwa pembuktian terhadap ada tidaknya unsur

kesalahan merupakan beban dan tanggung jawab Tergugat

3.7. Menyatakan dengan hukum sah dan berharga sita jaminan (

conservatoir beslag ) atas objek sengketa sebidang tanah dan

bangunan SHM atas nama Sariman Prayit yang terletak di RT/RW :

002/001 Desa Rejosari krajan Kecamatan Bantur Kabupaten Malang

Jawa Timur

3.8. Menyatakan dengan hukum bahwa Perjanjian kredit antara

konsumen Mardi dan Tergugat melanggar klausula baku yang

dilarang UUPK maka perjanjian tersebut tidak sah dan batal demi

hukum.

3.9. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian secara material

sebesar Rp. 50.000.000,- ( lima puluh juta rupiah )

3.10. Menghukum Tergugat untuk membayar kerugian imaterial kepada

konsumen Penggugat II sebesar Rp. 100.000.000,- ( seratus juta

rupiah )

3.11. Menghukum Tergugat untuk Membayar Rp. 2.000.000.000,-( dua

milyar Rupiah ) karena pelanggaran pencantuman klausula baku

Yang dilarang berdasar pasal 18 UUPK melalui Kementrian

73

Perdagangan Cq. Direktorat Standardisasi dan Perlindungan

Konsumen untuk pendidikan konsumen cerdas di Indonesia.

3.12. Menghukum Tergugat membayar uang paksa ( Dwangsoom ) kepada

Para Penggugat sebesar Rp. 1.500.000,-( satu juta lima ratus ribu

rupiah) setiap hari atas kelalaian memenuhi isi putusan hingga

dilaksanakannya putusan dimaksud.

3.13. Menyatakan putusan dapat dijalankan terlebih dahulu serta merta (

uit voer boar Bij voorraad ) walaupun Tergugat melakukan upaya

Banding, Kasasi atau peninjauan kembali.

3.14. Menghukum Tergugat membayar semua biaya perkara.

4. Pemeriksaan Pendahuluan

4.1. Menimbang, bahwa pada hari persidangan yang telah ditetapkan,

pihak Penggugat I datang menghadap LUKMAN HADI WIJAYA

Sekretaris LPK Nasional Indonesia berdasarkan surat tugas no.

018/SM/LPKNI/VII/2012, tertanggal 15 Juli 2013, Penggugat II

hadir sendiri dipersidangan, sedangkan Pihak Tergugat datang

menghadap kuasanya Bambang Suherwono, SH.Mhum berdasarkan

surat Kuasa tanggal 8 Juni 2013;

4.2. Menimbang, bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia) mendalilkan dirinya sebagai sebuah lembaga

yang bergerak dalam bidang Perlindungan Konsumen yang

mendasarkan gugatannya pada Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-

Undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang

74

mengatur mengeni hak gugat organisasi (Legal Standing/Ius Standi),

yaitu hak yang diberikan kepada lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengajukan

gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha. Dalam

perkara aquo Penggugat menerima pengaduan masyarakat atas nama

MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun Gumukmojo Rt/RW

051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur, Kabupaten Malang

yang selanjutnya disebut sebagai konsumen untuk menggugat

Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam berkedudukan di Jalan

Ahmad Yani No. 2 ClumpritPagelaran Kabupaten Malang.

Selanjutnya disebut sebagai Tergugat ;

4.3. Menimbang bahwa pasal 46 ayat (1) huruf c Undang Undang Nomor

8 Tahun 1999tentang Perlindungan Konsumen masyarakat agar

suatu lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

dapat mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh

pelaku usaha yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam

anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai

dengan anggaran dasarnya ;

4.4. Menimbang, bahwa meskipun dalam Peraturan Mahkamah Agung

(PERMA) Nomor 1 tahun 2002 tentang Acara Gugatan Perwakilan

Kelompok (class action) tidak menyinggung mengenai Hak Gugat

75

Organisasi (legal standing/ius Standi) namun majelis hakim menilai

bahwa secara substantife proses pemeriksaan awal sebagaimana

dalam gugatan perwakilan kelompok (class action) dapat diterapkan

dalam perkara hak gugat organisasi (Legal Standing /Ius Standi)

untuk mempertimbangkan hak dan kapasitas hukum (Legitima

persona standi in justicio) dari penggungat (Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional) untuk menggugat ;

4.5. Untuk memenuhi syarat-syarat sebagai lembaga perlindungan

konsumen swadaya masyarakat (LPKSM) untuk menggugat dalam

perkara aquo maka pihak penggugat di persidangan telah

menyerahkan surat-surat berupa :

1. Fotocopy tanda daftar lembaga perlindungan konsumen

(TDLPK) No. 519/1175/35.73/311/2009 tertanggal 30

Desember 2009 yang ditandatangani oleh Walikota Malang ;

2. Fotocopy Akta No.39 tertanggal 25 Februari 2009 tentang

Anggaran Dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia ;

3. Fotocopy Akta No.25 tertanggal 13 Juli 2012 tentang

Pengangkatan Pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia ;

4. Fotocopy Akta No. 12 tertanggal 11 Juli 2012 tentang

Pernyataan Keputusan Rapat Pendiri Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia ;

76

5. Jawaban Tergugat

5.1. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk

Penggugat I tidak memiliki kapasitas sebagai Penggugat (legal

standing) dimana Penggugat I sebagai Lembaga Perlindungan

Konsumen menyatakan telah menerima penaduan masyarakat yang

bernama Mardi (Penggugat II) yang hak-haknya telah dilanggar oleh

Tergugat berdasarkan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen Pasal 4 huruf e , bahwa konsumen memiliki untuk

mendapatkan avokasi Perlindungan, dan upaya penyeleseian

sengketa perlindungan konsumen secara patut, bahwa dalam perkara

Aquo kedudukan Penggugat I tidak jelas, sebagai Kuasa atau sebagai

Lembaga, karena ada Pengugat II yaitu Mardi sebagai Penggugat II .

Apabila Penggugat I mendudukkan dirinya sebagai kuasa dari Mardi

menurut hukum LPK Nasional Indonesia tidak dapat menjadi kuasa

hukum apalagi dalam persidangan, Karena yang dapat menjadi kuasa

hanya Advokat sebagaimana diatur dalam pasal 32 UU No 18 th

2003 tentang ADVOKAD , dan semakin tidak jelas dalam perkara

Aquo Mardi juga menjadi Penggugat II ,sehingga oleh karenanya

harus dinyatakan gugatan tidak dapat diterima

5.2. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk

Penggugat I tidak memiliki kapasitas sebagai Penggugat (legal

standing) dimana Penggugat I yang mendudukkan diri sebagai

Penggugat dengan alasan sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen

77

menyatakan telah menerima penaduan masyarakat yang bernama

Mardi (Penggugat II) yang hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat

berdasarkan UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Pasal 4 huruf e, bahwa konsumen memiliki untuk mendapatkan

advokasi Perlindungan, dan upaya penyeleseian sengketa

perlindungan konsumen secara patut, didalam perkara Aquo

Penggugat I tidak dirugikan dan tidak ada hubungan hukum dengan

Tergugat, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan gugatan tidak

dapat diterima.

5.3. Bahwa surat gugatan para Penggugat ttg 28 Mei 2013 untuk

Penggugat I yang mendudukkan diri sebagai Penggugat dengan

alasan sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen menyatakan telah

menerima penaduan masyarakat yang bernama Mardi (Penggugat II)

yang hak-haknya telah dilanggar oleh Tergugat berdasarkan UU No

8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen Pasal 4 huruf e,

bahwa konsumen memiliki untuk mendapatkan avokasi

Perlindungan, dan upaya penyeleseian sengketa periindungan

konsumen secara patut. Bahwa berdasarkan pasa 46 ayat 1 huruf c

UU No 8 tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen (UUPK),

memberi hak gugat kepada LSM yang bergerak dalam bidang

perlindungan konsumen mengajukan tuntutan dengan

mengatasnamakan kepentingan perlindungan konsumen. Bahwa agar

LSM mempunyai hak legal standing mengajukan gugatan atas nama

78

kepantingan kelompok tertentu , organisasi atau badan swasta yang

bersangkutan harus memenuhi syarat :

Berbentuk badan hokum atau yayasan

Dalam anggaran dasar organisasi tersebut , disebut dengan tegas

tujuan didirikannya untuk kepentingan tertentu,

Telah melakukan kegiatan sesuai dengan anggaran dasar.

5.4. Bahwa dalam persidangan Penggugat I tidak memenuhi klausula

tersebut sehingga dalam perkara A quo ia Penggugat I tidak memliki

legal standing, sehingga oleh karenanya harus dinyatakan gugatan

tidak dapat diterima. Berdasarkan pada apa-apa yang terurai diatas,

maka dengan ini Tergugat mohon dengan hormat kepada Pengadilan

Negari Kepanjen berkenan memberi putusan yang amarnya sebagai

berikut:

Menerima dan mengabulkan tanggapan Tergugat dalam perkara ini

untuk Seluruhnya

Menyatakan Penggugat I tidak memiliki legal standing dalam

perkara ini

Menyatakan gugatan para Penggugat tidak dapat diterima

Menghukum para Penggugat untuk membayar semua biaya perkara

menurut hukum

79

6. Pertimbangan Hukum Hakim

6.1. Menimbang, bahwa maksud dan tujuan gugatan penggugat adalah

sebagaimana tersebut diatas

6.2. Menimbang, bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia) mendalilkan dirinya sebagai sebuah lembaga

yang bergerak dalam bidang perlindungan konsumen yang

mendasarkan gugatannya pada pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-

Undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang

mengatur mengenai hak gugat organisasi (legal standing/ ius

standi), yaitu hak yang diberikan kepada lembaga perlindungan

konsumen masyarakat yang memenuhi syarat untuk mengajukan

gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam

perkara a quo penggugat menerima pengaduan masyarakat yang

bernama MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun

Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur,

Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut sebagai konsumen

untuk menggugat Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam

berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 2 Clumprit Pagelaran

Kabupaten Malang ;

6.3. Menimbang bahwa Tergugat dalam tanggapannya tertanggal 4

September 2013 menyatakan pada pokoknya bahwa Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia menerima pengaduan

masyarakat MARDI/ Penggugat II yang beralamat di Dusun

80

Gumukmojo Rt/RW 051/010 Desa Wonokerto Kecamatan Bantur,

Kabupaten Malang yang selanjutnya disebut sebagai konsumen

untuk menggugat Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam

berkedudukan di Jalan Ahmad Yani No. 2 Clumprit Pagelaran

Kabupaten Malang oleh karena hak-haknya telah dilanggar oleh

Tergugat kedudukan Penggugat 1 tidak jelas sebagai kuasa atau

sebagai lembaga, apabila menjadi kuasa maka berdasarkan UU No.

18 Tahun 2003 maka yang dapat menjadi kuasa hanyalah Advokat

sedangkan apabila Penggugat 1 sebagai lembaga maka ia harus

berbentuk badan hukum atau yayasan dan dalam anggaran dasar

organisasi disebutkan dengan jelas tujuan didirikannya untuk

kepentingan tertentu serta telah melakukan kegiatan sesuai dengan

anggaran dasar maka jelas Penggugat I tidak mempunyai hak gugat

(legitima persona standi in judicio/ legal standing) untuk

mengajukan gugatan terhadap Tergugat sesuai ketentuan hukum

pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 tahun 1999 tentang perlindungan

konsumen;

6.4. Menimbang,bahwa setelah majelis hakim mempelajari dan

mencermati gugatan Para Penggugat dan tanggapan Tergugat maka

yang menjadi permasalahan yang perlu untuk dicermati terlebih

dahulu sebelum memeriksa materi pokok perkara maka majelis

hakim akan mempertimbangkan kapasitas hukum/legal standing

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai

81

Penggugat I pihak berperkara dalam mengajukan gugatan perkara a

quo;

6.5. Menimbang,bahwa pada prinsipnya setiap orang yang merasa

haknya dirugikan atau mempunyai kepentingan dapat secara

pribadi/menunjuk kuasa kepada seseorang yang memenuhi syarat

sebagai kuasa untuk beracara di pengadilan. Dalam beberapa

peraturan Perundang-undangan dan dalam praktek peradilan dikenal

beberapa pihak yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari para

pihak (Penggugat, Tergugat, atau Pemohon) di pengadilan. Dalam

Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan

Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah

Agung RI, 2009, hal 53 disebutkan bahwa: Yang dapat bertindak

sebagai kuasa/wakil dari penggugat/tergugat/ Pemohon di

Pengadilan adalah :

g. Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang

Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan

Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat

mulai berlaku dinyatakan sebagai Advokat) ;

h. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil

Negara/pemerintah sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16

tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia ;

i. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI ;

j. Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum ;

82

k. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh

ketua Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro

hukum TNI/Polri untuk perkara yang menyangkut

anggota/keluarga TNI/Polri ;

l. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/

semenda dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang

dibuktikan dengan surat keterangan kepala Desa/Lurah ;

6.6. Menimbang, bahwa dalam perkembangan selanjutnya di Indonesia

dengan tolok ukur keadilan dan kebutuhan masyarakat maka praktek

peradilan dan perundang-undangan memang sudah mengenal dan

mengakomodir model Gugatan Perwakilan Kelompok (class action)

dan Hak Gugat Organisasi (legal standngi/ius standi) dalam beberapa

peraturan perundangan antara lain UU No.32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen diakui adanya Hak Gugat

Kelompok dan Hak Gugat Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM)/Hak Gugat Organisasi/NGO ( Non Govermental

Organization) untuk mengajukan gugatan dalam bentuk class action

atau legal standing;

6.7. Menimbang, bahwa legal standing seringkali disebut juga sebagai

hak gugatan organisasi (ius standi), secara luas dapat diartikan

sebagai akses orang perorangan, kelompok/organisasi di pengadilan

sebagai Pihak Penggugat. Legal standing,Standing to Sue, Ius

83

Standi, Locus Standi dapat diartikan sebagai hak seseorang,

sekelompok orang atau organisasi untuk tampil di pengadilan

sebagai Penggugat dalam proes gugatan perdata (Civil Processing).

Secara konvensional hak gugat hanya bersumber pada prinsip “tiada

gugatan tanpa kepentingan hukum”(point d’interest point d’action).

Kepentingan hukum (legal Interest) yang dimaksud di sini adalah

kepentingan yang berkaitan dengan kepemilikan (proprietary

interest) atau kepentingan material berupa kerugian yang dialami

secara langsung (Injury in fact). Perkembangan hukum konsep hak

gugat konvensional berkembang secara pesat seiring pula dengan

perkembangan hukum yang menyangkut hajad hidup orang banyak

(public interest law) dimana seseorang atau sekelompok orang atau

organisasi dapat bertindak sebagai Penggugat walaupun tidak

memiliki kepentingan hukum secara langsung, tetapi dengan didasari

oleh suatu kebutuhan untuk memperjuangkan kepentingan

masyarakat luas atau pelanggaran hak-hak publik seperti lingkungan

hidup, perlindugan konsumen, hak-hak sipil dan politik ;

6.8. Menimbang, bahwa sehubungan dengan perkara a quo, dalam pasal

46 ayat (1) huruf c Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen disebutkan : “Gugatan atas pelanggaran

pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen

swadaya masyarakat yang memenuhi syarat,yaitu berbentuk badan

hukum atau yayasan yang dalam anggaran dasarnya menyebutkan

84

dengan tegas bahwa tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah

untuk kepentingan perlindungan konsumen dan telah melaksanakan

kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya” ;

6.9. Dengan demikian suatu lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat yang memenuhi syarat Ketentuan Pasal 46 ayat (1) huruf

c UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat secara

langsung bertindak mewakili konsumen sebagai Penggugat Tanpa

memerlukan adanya surat kuasa ;

6.10. Menimbang, bahwa selanjutnya majelis Hakim akan

mempertimbangkan keberadaan dari Penggugat I (Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) ;

6.11. Menimbang,bahwa dalam pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999

tentang perlindungan Konsumen disebutkan : “Pemerintah mengakui

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang

memenuhi syarat” ;

6.12. Dalam Pasal 44 ayat (1) tersebut disebutkan bahwa : “Yang

dimaksud dengan memenuhi syarat antara lain, terdaftar dan diakui

serta bergerak dalam bidang perlindungan konsumen” ;

6.13. Selanjutnya dalam Pasal 2 Ayat (1) Peraturan pemerintah No. 59

Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat disebutkan : “Pemerintah mengakui LPKSM yang

memenuhi syarat sebagai berikut :

a. Terdaftar pada Pemerintah Kabupaten/Kota ;

85

b. Bergerak dibidang perlindungan Konsumen sebagaimana

tercantum dalam anggaran dasarnya” ;

6.14. Menimbang, bahwa dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :

302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyaraka,disebutkan :

Pasal 2

1. Pemerintah mengakui setiap LPKSM yang memenuhi syarat

untuk bergerak di bidang Perlindungan Konsumen sebagaimana

tercantum dalam anggaran dasar pendiriannya ;

2. Pengakuan LPKSM sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan TDLPK ;

Pasal 3

1. Kewenangan Penerbitan TDLPK berada pada Menteri ;

2. Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan

TDLPKsebagaimana dimaksud dalam ayat (1) kepada Bupati/

Walikota ;

3. Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali kewenangan

sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) kepada Kepala Dinas ;

6.15. Selanjutnya dalam Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1 Keputusan

Menteri perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

86

disebutkan pada pokonya bahwa : “Permohonan TDLPK bagi

Lembaga Swadaya Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau

Yayasan dilampiri dokumen-dokumen diantaranya berupa copy Akta

Notaris Pendirian badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat

Pengesahan Badan Hukum dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi

Manusia atau Instansi yang berwenang, sedangkan Lembaga

Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat

Pengesahan dari Instansi yang berwenang” ;

6.16. Menimbang, bahwa apakah Penggugat I termasuk dalam Lembaga

Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam bidang

perlindungan konsumen yang telah terdaftar pada Pemerintah

Kabupaten /Kota maka akan dipertimbangkan sebagai berikut ;

6.17. Menimbang,bahwa dalam surat berupa Akta Nomor 39 tertanggal 25

Pebruari 2009 tentang Anggaran Dasar Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia yang diajukan Penggugat I diketahui

bahwa Penggugat I adalah salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat

yang bergerak dalam bidang Perlindungan Konsumen. Berdasarkan

surat berupa Tanda daftar Lembaga Perlindungan

Konsumen(TDLPK) Nomor :519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda

tangani oleh Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009

diketahui bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia) telah terdaftar di Pemerintah Kota Malang,

sesuai dengan kedudukan/ domisili Penggugat. Dalam Tanda Daftar

87

Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) Nomor

:519/1175/35.73.311/2009 tersebut disebutkan pula bahwa jenis

kegiatan dari Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional ;

6.18. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan tersebut diatas,

Majelis Hakim berpendapat bahwa keberadaan Penggugat I

(Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah

mendapat pengakuan sebagai Lembaga perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat (LPKSM) dari Pemerintah dalam hal ini

Pemerintah Kota Malang dimana Penggugat

berkedudukan/berdomisili ;

6.19. Menimbang, bahwa selanjutnya akan dipertimbangkan apakah

Penggugat I memiliki Kapasitas hukum untuk menggugat (legitima

persona standi in judicio) ;

6.20. Menimbang, bahwa dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c UU No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen disebutkan : “Gugatan atas

pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan oleh lembaga

perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang memenuhi

syarat,yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan yang dalam

anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan

perlindungan konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai

dengan anggaran dasarnya” ;

88

6.21. Menimbang, bahwa berdasarkan ketentuan tersebut diatas, maka

dapat diketahui syarat-syarat Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat (LPKSM) yang dapat mengajukan gugatan atas

Pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu :

1. Berbentuk badan hukum atau yayasan ;

2. Dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa

tujuan didirikannya organisasi tersebut adalah untuk

kepentingan perlindungan konsumen ;

3. Telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya ;

6.22. Menimbang, bahwa selanjutnya Majelis Hakim akan

mempertimbangkan apakah Penggugat (Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia) memiliki kapasitas hukum untuk

menggugat (legitima persona standi in judicio) dalam kaitannya

dengan syarat-syarat sebagaimana tersebut dalam Pasal 46 ayat (1)

huruf c UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen,

yakni sebagai berikut ;

1. Berbentuk Badan Hukum atau Yayasan

Menimbang, bahwa ilmu hukum mengenal ada dua subjek

hukum yaitu, orang dan badan hukum. Sebagaimana halnya

subjek hukum orang, badan hukum dapat mempunyai hak-hak

dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan

hubungan-hubungan hukum, baik antara badan hukum dengan

89

orang. Dalam kamus hukum versi Bahasa Indonesia pengertian

badan Hukum (legal person/rechtpersonen) adalah organisasi,

perkumpulan atau paguyuban lainnya dimana pendiriannya

dengan akta otentik dan oleh hukum diperlakukan sebagai

persona atau sebagai orang. Badan Hukum mempunyai

kewenangan melakukan perbuatan hukum seperti halnya orang,

akan tetapi perbuatan hukum itu hanya terbatas pada bidang

hukum dan kekayaan. Mengingat wujudnya adalah badan atau

lembaga, maka dalam mekanisme pelaksanaanya badan hukum

bertindak dengan perantara-perantara pengurusnya;

2. Menimbang, bahwa dari segi bentuknya badan hukum

dibedakan menjadi dua macam, yakni:

a. Korporasi adalah gabungan/ kumpulan orang yang

bertindak bersama-sama sebagai satu subyek hukum

sendiri. Badan hukum ini memiliki anggota tetapi

memiliki hak dan kewajiban yang terpisah dari hak dan

kewajiban anggotannya ;

b. Yayasan adalah badan hukum yang tidak memiliki

anggota, tetapi ada pengurus,yang mengelola kekayaan

yang memiliki tujuan tertentu. Adapun tanggung jawab

pengurus sebatas pengelolaan kekayaan yang memiliki

tujuan tertentu tersebut ;

90

6.23. Menimbang, bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh

suatu badan/ perkumpulan/badan usaha agar dapat dikatakan sebagai

badan hukum (legal person/ rechtperson). Menurut doktrin ilmu

hukum syarat-syarat tersebut adalah sebagai berikut :

1. Adanya harta kekayaan yang terpisah ;

2. Mempunyai tujuan tertentu ;

3. Mempunyai kepentingan sendiri ;

4. Adanya kepengurusan/organisasi yang teratur ;

6.24. Menimbang, bahwa peraturan tentang badan hukum di Indonesia

diatur dalam Pasal 1653 KUH Perdata (BW) dan Staatsblad 1870

Nomor 64. Berdasarkan Aturan PeralihanPasal II UUD 1945,maka

ketentuan-ketentuan tentang badan hukum sampai sekarang masih

tetap berlaku. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan

hukum antara lain UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, UU No.

28 tahun 2004 tentang Yayasan,UU No. 40 tahun 2007 tentang

Perseroan Terbatas (PT) ;

6.25. Menimbang, bahwa selain ke-4 syarat yang telah dikemukakan di

atas, maka suatu badan/perkumpulan/badan usaha memperoleh status

badan hukum (legal person/ rechtperson), apabila telah mendapat

pengesahan dari Menteri Kehakiman dan hak Asasi Manusia. Hal ini

sebagaimana diatur dalam Staatsblad 1870 Nomor 64 ;

91

6.26. Menimbang,bahwa jika membaca dan mecermati surat yang

diajukan Penggugat I, berupa Fotokopi Akta Nomor 39 tertanggal 25

Pebruari 2009 tentang Anggaran Dasar Penggugat, Fotokopi Akta

Nomor 12 tertanggal 11-07-2012 tentang Pernyataan Keputusan

Rapat Pendiri Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia, Fotocopy Akta nomor :25, tertanggal 13-07-2012 tentang

Pengangkatan Pengurus Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia disertai pemberian kuasa, diketahui bahwa syarat badan

hukum berupa mempunyai tujuan tertentu, mempunyai kepentingan

sendiri dan adanya kepengurusan/organisasi yang teratur telah

terpenuhi pada diri Penggugat I sedangkan syarat adanya harta

kekayaan yang terpisah, menurut Majelis Hakim belum terpenuhi

pada diri Penggugat I. Dalam Anggaran Dasar Penggugat, tidak

Nampak adanya pemisahan yang jelas antara harta kekayaan

Penggugat I dengan harta kekayaan para pengurusnya ;

6.27. Menimbang, bahwa selain tidak adanya pemisahan harta kekayaan,

setelah membaca dan mencermati surat-surat yang diajukan oleh

Para Penggugat, majelis Hakim tidak melihat adanya surat-surat

yang menunjukkan bahwa Penggugat I telah mendapatkan

pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau

Instansi yang berwenang sebagai syarat utama suatu

badan/perkumpulan/badan usaha untuk memperoleh status badan

hukum (legal person/reechtperson). Dalam surat berupa Akta Nomor

92

39 tertanggal 25-02-2009 tentang anggaran Dasar Penggugat, tidak

nampak adanya bukti pengesahan badan hukum dari Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau instansi yang berwenang

baik sebagai korporasi/perkumpulan maupun sebagai yayasan ;

6.28. Menimbang, bahwa dalam Ketentuan Pasal 7 & ayat (1) huruf a

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor : 302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat diatur pada

pokoknya bahwa Permohonan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan

Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya Masyarakat yang

berstatus badan hukum atau Yayasan harus dilampiri dokumen pada

angka 1 berupa copy Akta Notaris Pendirian Badan Hukum atau

yayasan yang telah mendapat pengesahan badan hukum dari Menteri

Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang berwenang.

Lain halnya dengan ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia tersebut

yang mengatur bahwa bagi Lembaga Konsumen Swadaya

Masyarakat yang tidak berstatus Badan Hukum maupun yayasan

harus dilampiri dokumen pada angka 1 berupa copy Akta Notaris

Pendirian Lembaga Swadaya Masyarakat atau Akta Notaris yang

telah mendapat pengesahan dari Instansi yang berwenang ;

6.29. Menimbang, bahwa berdasarkan surat yang diajukan oleh Penggugat

I berupa Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK)

93

Nomor : 519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda tangani oleh

Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009, khususnya pada

angka 3 mengenai status Lembaga diketahui bahwa Penggugat I

berstatus sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), bukan

sebagai Badan Hukum atau Yayasan ;

6.30. Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan

tersebut diatas, majelis Hakim berpendapat bahwa Penggugat I

(Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) bukan

Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM) melainkan

Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Dengan demikian syarat ini

tidak dapat dipenuhi oleh Penggugat I (Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia) ;

6.31. Menimbang, bahwa oleh karena syarat angka1 dari Pasal 46 ayat (1)

huruf c UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

yakni berbentuk Badan Hukum atauYayasan tidak dapat dipenuhi

oleh Penggugat I, maka syarat-syarat yang lain tidak perlu

dipertimbangkan lebih lanjut, dengan demikian Majelis Hakim

berpendapat bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum untuk

menggugat (legitima persona standi in judicio) dalam perkara a quo

karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen swadaya

Masyarakat (LPKSM) yang berbentuk badan hukum atau yayasan

tetapi berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) ;

94

6.32. Menimbang, bahwa berdasarkan keseluruhan uraian pertimbangan

tersebut diatas maka Majelis Hakim berpendapat bahwa keberadaan

Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia)

telah mendapat Pengakuan sebagai Lembaga Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) dari pemerintah Kota Malang, namun

Penggugat I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia)

tidak memiliki kapasitas hukum (legitima standi in judicio) untuk

menggugat dalam perkara a quo karena bukan Badan Hukum atau

Yayasan ;

6.33. Menimbang,bahwa oleh karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki kapasitas hukum(

legitima standi in judicio) untuk menggugat dalam perkara a quo

dengan menggunakan prosedur Hak Gugat Organisasi (legal

standing/ius standi), maka gugatan Para Penggugat harus dinyatakan

tidak dapat diterima ;

6.34. Menimbang, bahwa oleh karena gugatan Para Penggugat dinyatakan

tidak dapat diterima, maka pemeriksaan substansi materi gugatan

Para Penggugat tidak perlu dipertimbangkan lebih lanjut dan Para

Penggugat harus dihukum untuk membayar biaya perkara yang

jumlahnya akan disebutkan dalam amar putusan ini ;

6.35. Mengingat UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen,

Staatsblad 1870 Nomor 64, Pasal 1653 KUH Perdata (BW),

95

Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Keputusan Menteri

Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :

302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat, Peraturan Mahkamah Agung RI

Nomor 1 Tahun 2010 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

serta Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara

ini ;

7. Amar Putusan Pengadilan Negeri Kepanjen

M E N G A D I L I :

7.1. Menyatakan gugatan dari Para Penggugat tidak dapat diterima ;

7.2. Menghukum Penggugat untuk membayar biaya perkara yang

hingga saat ini sebesar Rp. 601.000,- (enam ratus satu ribu rupiah) ;

96

B. PEMBAHASAN

Pertimbangan hukum hakim dalam mengkonstitusi legal standing

penggugat Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia

pada gugatan utang-piutang dalam putusan Pengadilan Negeri

Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/ PN.KPJ.

Berdasarkan hasil penelitian yang kemudian dikaitkan dengan

permasalahan yang diteliti oleh penulis yaitu mengenai apakah hakim

dalam mengkonstitusi legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia sebagai penggugat sudah tepat pada gugatan utang-

piutang dalam Putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ., maka dapat di

Preskriptifkan sebagai berikut:

Hasil penelitian yaitu Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen dalam

mengkonstitusi perkara legal standing yang dilakukan oleh Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sudah tepat. Hakim dalam

mengkonstitusi mendasarkan argumentasi-argumentasi tertentu.

Argumentasi-argumentasi pada perkara a-quo diawali dengan Hakim

dalam mengkonstatasi perkara tersebut yaitu mendasarkan pada data

sekunder Perkara Perdata No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ. data 1, 2, 3, 4, 5

menerangkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia sebagai Penggugat I dan Mardi sebagai Penggugat II

mengajukan gugatan kepada Pengadilan Negeri Kepanjen tentang gugatan

utang-piutang yang mendasarkan pada hak gugat organisasi/legal standing

yang dalam hal ini dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Konsumen

97

Nasional Indonesia sebagai Penggugat I. Gugatan ditujukan kepada

Koperasi Rukun Santoso Unit Simpan Pinjam sebagai Tergugat.

Pertimbangan hakim pada data 6.2 menerangkan adanya suatu

karakteristik adanya suatu gugatan legal standing terhadap perkara

tersebut.

Penggugat I menggunakan hak gugat dengan tata cara legal

standing, maka hakim dalam hal ini harus mengkwalifikasi peraturan-

peraturan apa saja yang harus digunakan untuk menyelesaikan perkara

legal standing. Hakim dalam hal ini menggunakan Peraturan Mahkamah

Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 tentang Gugatan

Perwakilan Kelompok yang di dalamnya mengatur tentang proses

pemeriksaan pendahuluan. Hakim mempertimbangkan bahwa secara

substantif proses pemeriksaan awal sebagaimana dalam gugatan

perwakilan kelompok dapat diterapkan dalam perkara hak gugat

organisasi, sebagaimana terdapat pada data 4.4. Perkara legal standing

yang dibuktikan dalam pemeriksaan pendahuluan yaitu mengenai

kapasitas hukum Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

yang memenuhi persyaratan, dengan demikian untuk memenuhi

persyaratan tersebut Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia memberikan alat bukti berupa surat, kemudian Pengadilan

Negeri Kepanjen memeriksa berkas-berkas perkara dan syarat-syarat

sebagai Lembaga Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki

kapasitas hukum sesuai dengan Pasal 4 huruf e dan Pasal 46 ayat (1) huruf

98

c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen.

Dalam pemeriksaan pendahuluan Penggugat I telah membuktikan dengan

alat bukti surat untuk memenuhi syarat-syarat sebagai Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yaitu terdapat pada data

4.5. Pasal 4 huruf e menyebutkan “hak konsumen adalah hak untuk

mendapatkan advokasi, perlindungan, dan upaya penyelesaian sengketa

perlindungan konsumen secara patut”.

Tergugat mempermasalahkan Kedudukan Penggugat I dalam

jawaban gugatan, yaitu kedudukan Penggugat I tidak jelas apakah sebagai

kuasa atau sebagai lembaga, apabila menjadi kuasa, maka berdasarkan UU

No. 18 Tahun 2003 yang dapat menjadi kuasa hanyalah Advokat. Apabila

menjadi lembaga apakah Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia memiliki kapasitas hukum untuk mengajukan gugatan. Untuk

menyelesaikan perkara a-quo, Hakim kemudian mengkwalifikasi perkara

legal standing menggunakan peraturan-peraturan sebagai berikut: ”BAB

ke Sembilan Kitab Undang-undang Hukum Perdata pasal 1653, Undang-

undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen , Undang-

Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan, Peraturan

Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat, Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan

Republik Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 sebagai norma materiil

dan, menggunakan norma formil secara substantif Peraturan Mahkamah

99

Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok”. Majelis Hakim mempertimbangkan berkaitan

tanggapan dari tergugat sesuai dengan data 6.3, yaitu apakah Penggugat I

memiliki hak sebagai lembaga yang berhak menerima pengaduan

masyarakat dan dapat bertindak sebagai kuasa atau memiliki hak gugat

organisasi (legal standing), dengan dibuktikan pada data 5.1, 5.2, 5.3, 5.4

mengenai jawaban gugatan terkait kapasitas hukum dari diri Penggugat I.

Proses setelah hakim mengkonstatasi, dilanjutkan dengan

mengkwalifikasi dan, tahap selanjutnya adalah menerapkan hukum/

mengkonstitusi. Hakim mempertimbangkan permasalahan yang perlu

dicermati sebelum memeriksa pokok perkara atas tanggapan dari Tergugat

terkait kapasitas hukum Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia sebagai Penggugat I merupakan suatu permasalahan yang harus

diselesaikan dengan penerapan hukum tertentu, berdasarkan data 6.4.

Hakim dalam mengkonstitusi memberikan pertimbangan hukum terkait

kapasitas hukum/legal standing Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia sebagai Penggugat I, yaitu pihak yang berperkara

dalam mengajukan gugatan utang-piutang yang mendalilkan dirinya

sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang

memiliki hak gugat organisasi/legal standing untuk memberikan

perlindungan kepada konsumen Mardi sebagai Penggugat II.

100

Pada prinsipnya setiap orang yang merasa haknya dirugikan atau

mempunyai kepentingan dapat secara pribadi/menunjuk kuasa kepada

seseorang yang memenuhi syarat sebagai kuasa untuk beracara di

pengadilan sebagimana ditemukan pada data 6.5, dan berdasarkan data

tersebut telah diatur secara limitatif menurut Buku II Pedoman

Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan Dalam Empat

Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah Agung RI, 2009, hal

53 disebutkan bahwa: Yang dapat bertindak sebagai kuasa/wakil dari

penggugat/tergugat/ Pemohon di Pengadilan adalah :

a. Advokat (sesuai dengn Pasal 32 UU No.18 tahun 2003 tentang

Advokat, Penasihat Hukum, Pengacara Praktek, dan Konsultan

Hukum yang telah diangkat pada saat Undang-Undang Advokat mulai

berlaku dinyatakan sebagai Advokat) ;

b. Jaksa dengan kuasa khusus sebagai kuasa/wakil Negara/pemerintah

sesuai dengan Pasal 30 ayat (2) UU No. 16 tahun 2004 tentang

Kejaksaan Republik Indonesia ;

c. Biro Hukum Pemerintah/TNI/Kejaksaan RI ;

d. Direksi/ Karyawan yang ditunjuk dari suatu badan hukum ;

e. Mereka yang mendapat kuasa insidentil yang ditetapkan oleh ketua

Pengadilan/ Misalnya LBH, Hubungan Keluarga, Biro hukum

TNI/Polri untuk perkara yang menyangkut anggota/keluarga

TNI/Polri;

101

f. Kuasa Insidentil dengan alasan hubungan keluarga sedarah/ semenda

dapat diterima sampai dengan derajat ketiga yang dibuktikan dengan

surat keterangan kepala Desa/Lurah ;

Perkembangan hak gugat di Indonesia sudah mengenal adanya legal

standing pada data 6.6. Praktik peradilan dan perundang-undangan sudah

mengenal dan mengakomodir model Gugatan Perwakilan Kelompok (class

action) dan Hak Gugat Organisasi (legal standngi/ius standi) dalam

beberapa peraturan perundangan. Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat Ketentuan Pasal 46 ayat (1)

huruf c UU No.8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat secara

langsung bertindak mewakili konsumen sebagai Penggugat Tanpa

memerlukan adanya surat kuasa, sebagaimana terdapat pada data 6.9.

Legal standing dalam perkara a-quo terkait aduan yang dilakukan oleh

Mardi sebagai Penggugat II kepada Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia sebagai Penggugat I, sebagaimana terdapat pada data

2.1. dan data 1.1 secara format dalam penyusunan surat gugatan Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia mendudukan dirinya sebagai

Penggugat bukan sebagai kuasa dari konsumen Mardi sebagai Penggugat

II, sehingga kedudukan dari Penggugat I tidak jelas. Akan tetapi dapat

diselesaikan manakala yang melakukan gugatan menyangkut hak orang

banyak atau masalah yang menyangkut kepentingan khusus untuk

memperjuangkan harkat dan martabat masyarakat, hakim dapat

berpendapat bahwa perkara tersebut dapat diteruskan dan hakim wajib

102

memberikan nasihat terkait dengan perkara yang seharusnya dilakukan

sebagaimana secara substantif diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang Acara Gugatan

Perwakilan Kelompok, yang pada pokoknya hakim dapat memberikan

nasihat terhadap perkara yang sedang diajukan. Secara substantif dapat

diterapkan pada perkara legal standing yaitu hakim dapat memberikan

nasihat kepada penggugat terkait penyusunan surat gugatan yang

memenuhi persyaratan. Perkara legal standing yang diajukan oleh

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak menyangkut

harkat martabat orang banyak melainkan dalam mengajukan tuntutan

mengatasnamakan kepentingan individu terkait permasalahan utang-

piutang. Sebagaimana ditemukan pada data 3.9, 3.10 tentang petitum, para

pihak meminta ganti kerugian kepada pihak tergugat, padahal dalam hal

perkara legal standing tuntutan yang dilakukan oleh Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang mendasarkan

gugatannya tersebut dengan dasar legal standing, petitum yang seharusnya

diminta adalah Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran

uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian. Sehingga menjadi tidak

jelas kedudukan Penggugat I sebagai lembaga atau sebagai kuasa.

Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan

Dalam Empat Lingkungan Peradilan edisi tahun 2007, Mahkamah Agung

RI, 2009, hal 53 dikaitkan dengan perkara yang dihadapi dan diterapkan

terhadap tanggapan dari Tergugat terkait kewenangan Lembaga

103

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia sebagai kuasa maka

disimpulkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia

tidak memiliki hak untuk menjadi kuasa atas Mardi, meskipun dalam

peraturanya bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat dapat secara langsung bertindak mewakili konsumen sebagai

Penggugat Tanpa memerlukan adanya surat kuasa, itu artinya Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat bertindak atas kepentingan

dirinya sendiri sebagai Penggugat bukan bertindak sebagai kuasa,

kepentingan tersebut sesuai dengan Anggaran Dasar pendirian lembaga

tersebut sebagai perlindungan terhadap hak-hak konsumen. Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang memiliki kapasitas

hukum adalah Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

yang memenuhi persyaratan, dengan format surat gugatan sesuai dengan

ketentuan hukum acara yang berlaku.

Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat

dilakukan oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat

yang memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang

dalam anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan

didirikannya organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan

konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran

dasarnya”. Majelis Hakim mempertimbangkan keberadaan dari Penggugat

I (Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) sebagaimana

104

terdapat pada data 6.10. Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat apabila telah memenuhi persyaratan

tertentu dibuktikan dengan norma-norma yang terdapat pada data 6.11,

6.12, 6.13, 6.14, 6.15.

Pasal 44 ayat (1) UU No. 8 Tahun 1999 tentang perlindungan

Konsumen disebutkan : “Pemerintah mengakui Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi syarat”. Memenuhi

syarat yang bagaimana yang dapat mengajukan gugatan kemudian di

dalam Pasal 44 ayat (1) tersebut disebutkan bahwa : “Yang dimaksud

dengan memenuhi syarat antara lain, terdaftar dan diakui serta bergerak

dalam bidang perlindungan konsumen”.

Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (pasal 1 angka 3)

mengatur:”Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat adalah

lembaga non-pemerintah yang terdaftar dan diakui oleh pemerintah yang

mempunyai kegiatan menangani perlindungan konsumen”112

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 menerangkan

tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat disebutkan:113

112 Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat.

113 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

105

Pasal 2:

1. Pemerintah mengakui setiap Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat yang memenuhi

syarat untuk bergerak di bidang Perlindungan

Konsumen sebagaimana tercantum dalam anggaran

dasar pendiriannya;

2. Pengakuan Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) dilakukan melalui pendaftaran dan penerbitan

TDLPK;

Pasal 3:

1. Kewenangan Penerbitan TDLPk berada pada

Menteri;

2. Menteri melimpahkan kewenangan penerbitan

TDLPK sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

kepada Bupati/Walikota;

3. Bupati/Walikota dapat melimpahkan kembali

kewenangan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)

kepada Kepala Dinas;

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor : 302/Mpp/Kep/10/2001 Tentang Pendaftaran Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat Pasal 7 ayat (1) huruf a

angka 1 disebutkan pada pokoknya bahwa:114

“Permohonan Tanda Daftar

Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) bagi Lembaga Swadaya

Masyarakat yang berstatus Badan Hukum atau Yayasan yang dilampiri

dokumen-dokumen di antaranya berupa copy Akta Notaris Pendirian

Badan Hukum atau Yayasan yang telah mendapat Pengesahan Badan

Hukum dari Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia atau Instansi yang

114 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001.

106

berwenang, sedangkan Lembaga Swadaya masyarakat atau Akta Notaris

yang telah mendapat Pengesahan dari Instansi yang berwenang”.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang

Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

maka anggaran dasar Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat harus sesuai dengan Undang-undang Yayasan.115

Pasal 14 Ayat (2) Undang-undang Nomor 16 Tahun

2001 tentang Yayasan dalam anggaran dasar yayasan

sekurang-kurangnya memuat:

1. Nama dan tempat kedudukan;

2. Maksud dan tujuan serta kegiatan untuk mencapai

maksud dan tujuan tersebut;

3. Jangka waktu pendirian;

4. Jumlah kekayaan awal yang dipisahkan dari kekayaan

pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda;

5. Cara memperoleh dan mempergunakan kekayaan;

6. Tata cara pengangkatan, pemberhentian, dan

penggantian anggota Pembina, Pengurus, dan

Pengawas;

7. Hak dan kewajiban anggota Pembina, Pengurus, dan

Pengawas;

8. Tata cara penyelenggaraan rapat organ yayasan;

9. Ketentuan mengenai perubahan Anggaran Dasar;

10. Penggabungan dan pembubaran yayasan; dan

11. Penggunaan kekayaan sisa likuidasi atau penyaluran

kekayaan yayasan setelah pembubaran.

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia telah terdaftar

sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat pada data 6.17. Sebagaimana

terdapat pada data 6.18, diketahui bahwa Penggugat I (Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) telah terdaftar di Pemerintah

115 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan

107

Kota Malang sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak dalam

bidang Perlindungan Konsumen.

Hakim mempertimbangkan apakah Penggugat I memiliki Kapasitas

hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio) sebagaimana

terdapat pada data 6.19. Hakim mempertimbangkan sebelum masuk dalam

pokok perkara, terlebih dahulu Hakim melakukan pemeriksaan terhadap

kapasitas hukum penggugat terutama Penggugat I yaitu Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia terhadap perkara utang-

piutang atas dasar legal standing yang dimilikinya dalam bidang

perlindungan konsumen.

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia mendalilkan

dirinya sebagai penggugat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) berdasarkan pasal 46 Undang-Undang No. 8 Tahun

1999 tentang Perlindungan Konsumen mengenai hak gugat organisasi

(legal standing/ ius standi) yang bergerak untuk kepentingan perlindungan

konsumen dan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran

dasarnya dapat ditemukan pada data 6.20, yaitu hak yang diberikan kepada

lembaga perlindungan konsumen masyarakat yang memenuhi syarat untuk

mengajukan gugatan atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha

dalam perkara a-quo.

Syarat-syarat Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) yang dapat mengajukan gugatan atas Pelanggaran

yang dilakukan oleh pelaku usaha dapat ditemukan pada data 6.21 sesuai

108

dengan Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999

Tentang Perlindungan Konsumen.

Berdasarkan data 6.21 maka muncullah data 6.22 dan, data 6.23

yang menerangkan keadaan sebagai badan hukum. Keadaan sebagai badan

hukum sebagaimana tercantum pada 14 Ayat (2) Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan. Pada salah satu

keadaan di dalam pasal tersebut menyebutkan adanya harta kekayaan yang

terpisah dari kekayaan pribadi pendiri dalam bentuk uang atau benda.

Perkumpulan diatur dalam BAB ke Sembilan Kitab Undang-undang

Hukum Perdata pasal 1653 yang menyebutkan:116

”Selainnya perseroan

yang sejati oleh undang-undang diakui pula perhimpunan-perhimpunan,

baik perkumpulan-perkumpulan, baik perkumpulan-perkumpulan itu

diadakan atau diakui sebagai demikian oleh kekuasaan umum, maupun

perkumpulan-perkumpulan itu diterima sebagai diperbolehkan, atau telah

didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan

undang-undang atau kesusilaan baik”. Sebagaimana terdapat pada data

6.24 mengatur tentang ketentuan-ketentuan tentang Badan Hukum

Berdasarkan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945, maka ketentuan-

ketentuan tentang badan hukum sampai sekarang masih tetap berlaku.

Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum antara lain

116 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

109

UU No. 25 tahun 1992 tentang Koperasi, UU No. 28 tahun 2004 tentang

Yayasan,UU No. 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (PT).

Suatu badan/perkumpulan/badan usaha memperoleh status badan

hukum (legal person/ rechtperson), apabila telah mendapat pengesahan

dari Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia, sebagaimana terdapat pada

data 6.25. Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik

Indonesia Nomor 302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 2 dan Pasal 3 yang

didalamnya menyebutkan bahwa kewenangan penerbitan Tanda Daftar

Lembaga Perlindungan Konsumen (TDLPK) berada pada Menteri.

Majelis Hakim menerangkan bahwa belum terpenuhi pada diri

Penggugat I dalam Anggaran Dasar Penggugat yaitu tidak nampak adanya

pemisahan yang jelas antara harta kekayaan Penggugat I dengan harta

kekayaan para pengurusnya, sebagaimana terdapat pada data 6.26. Hakim

dalam hal ini menerapkan hukum (mengkonstitusi) sesuai dengan

peraturan tentang Badan Hukum dihubungkan dengan fakta-fakta yang ada

menerangkan bahwa tidak adanya bukti pemisahan harta kekayaan,

sehingga Hakim menetapkan bahwa Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia bukan berbentuk Badan Hukum.

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)

tidak memenuhi syarat sebagai Badan Hukum, karena hakim tidak melihat

adanya surat-surat yang menunjukan bahwa Penggugat I telah mendapat

pengesahan dari Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia atau Instansi

yang berwenang sebagai syarat utama sebagai Badan Hukum berdasarkan

110

data 6.27. Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)

sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bukan sebagai Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM). Dengan

demikian Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)

tidak memiliki kapasitas hukum karena tidak memenuhi syarat sebagai

Badan Hukum.

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang tidak

berstatus Badan Hukum pada data 6.28 mendasarkan pada Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001 Pasal 7 ayat (1) huruf b menerangkan tentang

Pendaftaran Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

disebutkan :

Pasal 7

(1) Permohonan TDLPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

dilampiri dokumen-dokumen sebagai berikut :

b. Lembaga Swadaya Masyarakat yang tidak berstatus Badan

Hukum maupun Yayasan :

1. Copy Akta Notaris Pendirian Lembaga Swadaya

Masyarakat atau Akta Notaris yang telah mendapat

pengesahan dari Instansi yang berwenang;

2. Copy Kartu Tanda Penduduk (KTP)

pimpinan/penanggung jawab Lembaga Swadaya

Masyarakat yang masih berlaku; dan

3. Copy Surat keterangan tempat kedudukan/domisili

Lembaga Swadaya Masyarakat dari Lurah/Kepala Desa

setempat.

Penerbitan Tanda Daftar Lembaga Perlindungan Konsumen

(TDLPK) yang disahkan oleh instansi yang berwenang dalam hal ini

Walikota Malang yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

111

Indonesia (LPKNI) bukan Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

karena tidak berbentuk Badan Hukum/Yayasan maka berdasarkan pasal 46

ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan

Konsumen yang dapat mengajukan gugatan hanya yang memenuhi

keadaan secara komulatif yang salah satu syaratnya berbentuk Badan

Hukum/Yayasan. Demi kepastian hukum maka Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI) tidak memenuhi syarat sebagai

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat (LPKSM).

Artinya Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia (LPKNI)

tidak memiliki hak untuk mengajukan gugatan.

Mengenai status Lembaga diketahui bahwa Penggugat I berstatus

sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagaimana terdapat pada

data 6.29, bukan sebagai Badan Hukum atau Yayasan karena surat yang

diajukan oleh Penggugat I berupa Tanda Daftar Lembaga Perlindungan

Konsumen (TDLPK) Nomor : 519/1175/35.73.311/2009 yang ditanda

tangani oleh Walikota Malang, tertanggal 30 Desember 2009 menerangkan

bahwa Penggugat I berstatus sebagai Lembaga Swadaya Masyarakat

(LSM), bukan sebagai Badan Hukum.

Hakim berpendapat bahwa Penggugat I (Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia) bukan Lembaga Konsumen Swadaya

Masyarakat (LPKSM) melainkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM),

sebagaimana terdapat pada data 6.30, data 6.31, dan data 6.32. Dengan

112

demikian syarat tersebut tidak dapat dipenuhi oleh Penggugat I (Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia). Dengan tidak terpenuhinya

diri Penggugat I sebagai Badan Hukum atau Yayasan maka Penggugat I

(Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia) tidak memiliki

kapasitas hukum untuk menggugat (legitima persona standi in judicio)

dalam perkara a quo karena Penggugat I (Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia) tidak berbentuk Badan Hukum atau

Yayasan tetapi berbentuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

Hakim dalam mengkonstitusi perkara legal standing dengan

melakukan pemeriksaan pendahuluan yaitu menggunakan keadaan objektif

dan subjektif dari Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia

(LPKNI), keadaan yang menerangkan diri seseorang sebagai orang yang

memiliki kapasitas hukum dengan memenuhi persyaratan tertentu sesuai

dengan apa yang sudah diatur dalam peraturan mengenai diakuinya

sebagai Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat yang

memiliki kapasitas hukum. Keadaan objektif dan subjektif yang dimaksud

harus memenuhi Pasal 46 ayat (1) huruf c Undang-undang No. 8 Tahun

1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pasal 1 angka 3 Peraturan

Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan Konsumen

Swadaya Masyarakat, Pasal 2, Pasal 3, Pasal 7 ayat (1) huruf a angka 1

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia

Nomor 302/MPP/Kep/10/2001, Pasal 14 Ayat (2) Undang-Undang

113

Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 Tentang Yayasan.

Hakim mengkonstitusi dalam putusannya menyatakan gugatan tidak

dapat diterima sudah tapat, dibuktikan pada data-data sekunder yang

tersedia yang menyatakan Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

Indonesia tidak memiliki kapasitas hukum, yang berdasarkan asas poin de

interes poin de action, meskipun Lembaga Perlindungan Konsumen

Nasional Indonesia tidak memiliki kepentingan secara langsung Lembaga

Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia dapat melakukukan gugatan

berdasarkan hak gugat organisasi tanpa harus adanya surat kuasa, dan

bertindak atas kepentinganya sendiri sebagai bentuk perlindungan terhadap

konsumen, dengan syarat harus memenuhi keadaan objektif dan subjektif

tetrsebut. Petitum gugatan legal standing mengenai hal pokok yang

diminta adalah Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran

uang paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian. Hakim lebih menegakkan

kepastian hukum yaitu bahwa gugatan yang diajukan oleh para pihak tidak

memenuhi persyaratan. Apabila menggunakan rasa keadilan dan

kemanfaatan yang beralasan, Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya

Masyarakat tidak terpenuhi sebagai Badan Hukum atau Yayasan tetapi

apabila gugatan tersebut dalam hal memperjuangkan kepentingan umum

harkat dan martabat orang banyak hakim dapat memberikan nasihat demi

terciptanya keadilan masyarakat. Penggugat I dalam hal ini berposisi tidak

sesuai atau tidak tepat yaitu Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional

114

Indonesia yang memposisikan dirinya sebagai Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat dalam Petitum Penggugat meminta ganti

kerugian, padahal Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat

dalam mengajukan tuntutan hak dalam pencantuman petitum seharusnya

berisikan Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang

paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian.

Mendasarkan pada ketentuan hukum tertentu, dan penggunaan

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002

Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok secara substansi dapat

diterapkan, mengingat permasalahan hak gugat organisasi belum ada

peraturan khusus yang mengaturnya. Legal standing atau hak gugat

organisasi juga termasuk kelompok, akan tetapi memiliki tujuan khusus

dan memiliki tujuan tertentu, hampir sama dengan apa yang dimaksud

dengan class action yaitu sama-sama berbentuk kelompok. Class action

berbentuk kelompok tersebut belum terlembaga sehingga dalam

melakukan gugatan dipersayaratkan adanya kesamaan hubungan hukum

dan mengalami kerugian secara langsung akibat dari kegiatan pelaku usaha

atau pemerintah. Lain hal dengan legal standing meskipun tidak secara

langsung mengalami kerugian secara langsung, organisasi/kelompok ini

dapat melakukan gugatan berdasarkan pemenuhan syarat-syarat yang telah

ditentukan. Sehingga secara substansi hukum acara perdata yang diatur

dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun

2002 Tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok dapat diterapkan pada

115

hak gugat organisasi. Mengingat UU No. 8 tahun 1999 tentang

Perlindungan Konsumen, Staatsblad 1870 Nomor 64, Pasal 1653 KUH

Perdata (BW), Peraturan Pemerintah Nomor 59 Tahun 2001 tentang

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat, Keputusan

Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor :

302/MPP/Kep/10/2001 tentang Pendaftaran Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat, Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor

1 Tahun 2010 tentang Acara Gugatan Perwakilan Kelompok serta

Peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perkara ini terdapat

pada data 3.35.

Mendasarkan pada Asas-asas Hakim dalam menjatuhkan putusan

maka putusan Pengadilan Negeri Kepanjen pada gugatan utang-piutang

dalam Putusan No. 62/Pdt.G/2013/PN.KPJ sudah sesuai dengan Asas-asas

Hakim dalam menjatuhkan putusan. Putusan Hakim Pengadilan Negeri

Kepanjen sudah memuat dasar alasan yang jelas dan rinci perihal gugatan

yang dinyatakan tidak dapat diterima bahwa Lembaga Perlindungan

Konsumen Nasional Indonesia yang mendalilkan dirinya sebagai Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat atas dasar gugatan legal

standing terhadap utang-piutang seorang konsumen yang bernama Mardi

tidak berbentuk badan hukum, padahal di dalam norma materiil legal

standing perlindungan konsumen diatur dalam Pasal 46 ayat (1) huruf c

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen

menyebutkan “Gugatan atas pelanggaran pelaku usaha dapat dilakukan

116

oleh lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat yang

memenuhi syarat, yaitu berbentuk badan hukum atau yayasan, yang dalam

anggaran dasarnya menyebutkan dengan tegas bahwa tujuan didirikannya

organisasi tersebut adalah untuk kepentingan perlindungan konsumen dan

telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan anggaran dasarnya”.

Berdasarkan ketentuan pasal tersebut di atas dapat dipahami bahwa adanya

suatu lembaga yang memiliki kapasitas hukum legal standing harus

memenuhi persyaratan tertentu diantaranya mensyaratkan adanaya suatu

keadaan lembaga tersebut berbentuk badan hukum, dan dalam hal ini

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memenuhi

persyaratan tersebut. Hakim Pengadilan Negeri Kepanjen menayatakan

gugatan tidak dapat diterima dikarenakan gugatan tidak memenuhi

persyaratan.

Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat apabila

akan menjadi penggugat dalam suatu perkara, hendaknya harus memenuhi

syarat formil dan syarat materiil sebagai lembaga dan objek gugatan sesuai

dengan anggaran dasar yang dimilikinya. Pencantuman petitum seharusnya

berisikan Penghentian kegiatan, Permintaan maaf, dan Pembayaran uang

paksa (dwangsom) bukan ganti kerugian, serta memperjuangkan

kepentingan umum harkat dan martabat orang banyak.

117

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan mengenai legal standing

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia dalam gugatan utang-

piutang pada putusan Pengadilan Negeri Kepanjen Nomor : 62/ Pdt.G/ 2013/

PN.KPJ yang dikaitkan dengan permasalahan yang penulis teliti seperti

tersebut diatas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :

Hakim dalam mengkonstitusi perkara legal standing menyatakan

gugatan tidak dapat diterima sudah tepat, dengan alasan Penggugat I yaitu

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia tidak memiliki

kapasitas hukum untuk mengajukan gugatan.

B. Saran

Hendaknya diperhatikan apabila bertindak sebagai Lembaga

Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat harus memenuhi persyaratan,

baik syarat formil maupun syarat materiil, agar memiliki kapasitas hukum

sebagai penggugat dan, dalam pencantuman petitum seharusnya berisikan

penghentian kegiatan, permintaan maaf, dan pembayaran uang paksa

(dwangsom) bukan ganti kerugian, serta memperjuangkan kepentingan umum

harkat dan martabat orang banyak

Daftar Pustaka

Apeldoorn, V. (1996). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: PT. Pradnya Paramita.

Darwan Prinst, S. (2002). Strategi Menyusun Dan Menangani Gugatan Perdata .

Bandung: Penerbit PT. Citra Aditya Bakti.

Djindang, E. U. (1983). Pengantar Dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Sinar

Harapan.

Harahap, M. Y. (2005). Hukum Acara Perdata. Jakarta: Sinar Grafika.

Herlinda, E. (2004). Tinjauan Tentang Gugatan Class Actions Dan Legal Standing

Di Peradilan Tata Usaha Negara. e-USU Repository © 2004 Universitas

Sumatera utara, 3-4.

Johnny Ibrahim, S. M. (2006). Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif.

Malang: Penerbit Banyumedia.

Mamudji, S. S. (2011). Penelitian Hukum Normatif suatu tinjauan singkat.

Jakarta: Rajawali Pers PT RajaGrafindo Persada.

Marzuki, P. M. (2005). Penelitian Hukum Normatif. Jakarta: Kencana.

Marzuki, P. M. (2008). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta: Kencana Prenada Media

Group.

Meliala, D. S. (1982). Pemberian Kuasa Menurut Kitab UU Hukum Perdata.

Bandung: Tarsito.

Mertokusumo, S. (2009). Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberti

Yogyakarta.

Nugroho, S. A. (2010). Class Action & perbandingannya dengan Negara Lain.

Jakarta: Prenada Media Group.

Soemitro, R. H. (1988). Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Susanti Adi Nugroho, S. M. (2011). Proses Penyelesaian Sengketa Konsumen

Ditinjau dari Hukum Acara Serta Kendala Implementasinya. Jakarta:

Penerbit Kencana Prenada Media Group.

Artikel

Bintoro, R. W. (2010). Tuntutan Hak Dalam Persidangan Perkara Perdata. Jurnal

Dinamika Hukum, 7-8.

Santosa, M. A. (2008). CLASS ACTIONS IN INDONESIA. Blackie.

Khusnanto, N. (2009). Surat Kuasa yang tidak sah dalam perkara yang

dimohonkan banding. Skripsi, 14-17.

Website

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. (2014, April 24).

Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia. Retrieved Oktober 15,

2014, from Lembaga Perlindungan Konsumen Nasional Indonesia:

http://www.perlindungankonsumen.id/index.php/tentangkami

Ramon, T. (2010, Juni 4). Hukum Acara Perdata. Retrieved Desmber 4, 2014,

from Wordpress: http://tiarramon.wordpress.com/category/bahan-kuliah/hukum-

acara-perdata/

FH UNSOED. (2014, Desember 8). Retrieved from

http://fh.unsoed.ac.id/sites/default/files/BAB%20III%20METODE%20PENELITI

AN.doc

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen

Peraturan Pemerintah No. 59 Tahun 2001 tentang Lembaga Perlindungan

Konsumen Swadaya Masyarakat

Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia Nomor

302/MPP/Kep/10/2001

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2002 Tentang

Acara Gugatan Perwakilan Kelompok

S.E.M.A. 19/1964 dan 3/1965 menegaskan berlakunya HIR dan Rbg