Skripsi Handityo.B E1A008147 FH Unsoed.pdf

99
TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASING DI SUATU NEGARA (Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012) SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedi rman Oleh : Handityo Basworo E1A008147 DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2012

Transcript of Skripsi Handityo.B E1A008147 FH Unsoed.pdf

TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASING

DI SUATU NEGARA

(Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang

Tahun 1960-2012)

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman

Oleh :

Handityo Basworo

E1A008147

DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS HUKUM

PURWOKERTO

2012

LEMBAR PENGESAHAN

SKRIPSI

TINJAUAN YURIDIS KEBERADAAN PANGKALAN MILITER ASINGDI SUATU NEGARA

(Studi Terhadap kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di OkinawaJepang Tahun 1960-2012)

disusun oleh :

HANDITYO BASWORO

E1A008147

Diterima dan Disahkan

Pada Tanggal : 14 Februari 2013

Pembimbing IPenguji I

Prof.Dr. Ade Maman Suherman, S.H.,M.Sc.

NIP. 19670711 199512 1001

Pembimbing IIPenguji II

Aryuni Yuliatiningsih, S.H., M.H.

NIP. 19710702 199802 2001

Penguji III

H.Isplancius Ismail, S.H., M.Hum.NIP. 19550404 199203 1001

Mengetahui, Dekan FakultasHukum Universitas Jenderal

Soedirman

Dr.Angkasa, S.H., M.Hum.NIP. 19640923 198901 1001

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Handityo Basworo

NIM : E1A008147

Judul Skripsi : Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer

Asing di Suatu Negara (Studi Terhadap Kasus

Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa

Jepang Tahun 1960-2012)

Menyatakan bahwa Skripsi yang saya buat ini adalah betul-betul hasil karya

saya sendiri dan tidak menjiplak dari hasil karya orang lain ataupun dibuatkan oleh

orang lain.

Apabila di kemudian hari terbukti saya melakukan pelanggaran sebagaimana

tersebut di atas, maka saya bersedia dikenai sanksi sesuai dengan aturan yang ada

dari pihak Fakultas.

Purwokerto, 14 Februari2013

Handityo Basworo

NIM. E1A008147

PRAKATA

Assalamu`alaikum Wr. Wb.

Segala puji hanyalah bagi Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan

karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul Tinjauan

Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing di Suatu Negara (Studi Terhadap

Kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang Tahun 1960-2012).

Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh

gelar kesarjanaan pada fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman.

Dalam proses penyelesaian skripsi ini tidak terlepas dari dukungan berbagai

pihak yang telah memberikan bantuan dan bimbingan sehingga penulis dapat

meyelesaikan penyusunan skripsi ini. Sebagai bentuk rasa syukur dengan segala

kerendahan hati, penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Dr. Angkasa, S.H., M.hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman.

2. P r o f . Dr. Ade Maman Suherman, S.H., M.Sc. selaku Ketua Bagian

Hukum Internasional, selaku Dosen Pembimbing I yang telah bersedia

meluangkan waktunya untuk membantu dan membimbing penulis hingga

selesainya skripsi ini.

3. Aryuni Yuliantiningsih, S.H., M.H., selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan arahan dalam akademis dan telah bersedia meluangkan

waktunya untuk membantu dan membimbing penulis hingga terselesainya

skripsi ini.

4. Bapak H.Isplancius Ismail, S.H., M.Hum. selaku Dosen Penguji dalam

seminar dan pendadaran yang telah memberikan masukan yang berharga.

5. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas dukungan moril dan materiil.

6. Nensi Wicita tercinta dan Adik tersayang Laras Bestari.

7. Saudara-saudaraku di ALSA Indonesia, ALSA LC Unsoed dan SAPMA

SATRIA , serta seluruh kakak dan senior yang selalu membimbing dan

memberikan ilmu yang tiada henti.

8. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Jenderal

Soedirman.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh

karena itu, Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari berbagai pihak

demi penyempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita

semua. Wassalamu`alaikum Wr. Wb.

Purwokerto, 14 Februari 2013

Handityo Basworo

E1A008147

Abstrak

Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapatmengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulauini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base ofOkinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asingyang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawamemiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 35.000 lebih pasukanAmerika Serikat yang ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu YomitanAirbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase.

Tujuan dari penelitian ini Untuk mengetahui pengaturan hukuminternasional yang mengatur keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat dinegara lain khususnya di prefektur Okinawa Jepang dan untuk mengetahuibagaimana sengketa yang timbul karena keberadaan pangkalan militer AmerikaSerikat di Okinawa. Tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatifdengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Metode penyajiandata mengggunakan uraian secara sistematis dan analisa kualitatif.

Keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara didasarkan padaperjajnjian bilateral yang disebut Perjanjian Pasukan Keamanan Security Of ForceAgreement SOFA, dan umumnya menetapkan kerangka kerja mengenaikeberadaan personil militer AS yang beroperasi di luar negeri. SOFA mengaturmengenai bagaimana permasalahan yurisdiksi hukum nasional asing harusditerapkan terhadap personel AS ketika berada di negara itu. Pada bulan April2012 perundingan antara Amerika Serikat dan Jepang menghasilkan kesepakatanuntuk melakukan relokasi terhadap seluruh marinir Amerika Serikat secarabertahap di Okinawa dan pemindahan pangkalan Futenma beserta seluruhpersonilnya.

Abstract

With the defeat of Japan in World War II should be able to terminate theexistance of the military authorities on the island of Okinawa, but now the islandis still under the control of the military authorities. United States Military Base ofOkinawa who currently resides in the area, is a foreign military authority whichcontrols almost 20% of the Okinawa Prefecture. Okinawa Prefecture has apopulation of 1.3 million inhabitants and there are 35,000 more U.S. troopsstationed in the three main military base Yomitan Airbase, Chatan and KadenaAirbase.

The purpose of this study is to determine the base regulation ofinternational law governing the presence of U.S. military bases in other statesespecially in Japan's Okinawa prefecture and to know how the dispute arisingfrom the presence of U.S. military bases in Okinawa. The type of study is anormative juridical with the statute approach and case approach. The methodsused is a systematic description with the qualitative analysis.

The existance of foreign military bases in the receiving states is based onbilateral agreement called Status Of Force Agreement (SOFA), and it generallysets the framework about the existance of U.S. military personnel operatingabroad. SOFA governing how foreign national legal jurisdiction issues should beapplied against U.S. personnel while in the receiving states. In April 2012 talksbetween the United States and Japan produce an agreement to relocate the entireU.S. Marines in Okinawa and the gradual transfer of the Futenma base with allpersonnel.

DAFTAR ISI

JUDUL ................................................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN ................................................................. ii

SURAT PERNYATAAN .................................................................... iii

PRAKATA ............................................................................................ iv

ABSTRAKSI ........................................................................................ vii

ABSTRACT ......................................................................................... viii

DAFTAR ISI ......................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................1

B. Perumusan Masalah...........................................................................8

C. Tujuan Penelitian...............................................................................8

D. Kegunaan Penelitian..........................................................................9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional

1.Syarat-syarat Negara...............................................................11

2.Hak dan Kewajiban Negara....................................................17

B. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Internasional

1. Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional......................20

2. Macam-macam Perjanjian Internasional................................29

3.Akibat hukum Perjanjian Internasional...................................32

. C.Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Damai

1.Aturan dan Prinsip Dasar Penyelesaiaan Sengketa secara Damai..34

2.Penyelesaiaan Sengketa Internasional secara Diplomatik..............40

BAB III METODE PENELITIAN

A. Metode Pendekatan............................................................................52

B. Spesifikasi Penelitian...........................................................................52

C. Lokasi Penelitian.................................................................................53

D. Jenis dan Sumber Bahan Hukum........................................................53

1. Bahan Hukum Primer...............................................................53

2. Bahan Hukum Sekunder..........................................................53

3. Bahan Hukum Tersier...............................................................54

E. Metode Pengumpulan Bahan Hukum..................................................54

F. Metode Penyajian Bahan Hukum........................................................54

G.Metode Analisis Bahan Hukum...........................................................54

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Pengaturan Mengenai Keberadaan Pangkalan

Militer Asing di Suatu Negara...............................................................55

B. Penyelesaiaan Terhadap Kasus Keberadaan Pangkalan

Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang........................................72

BAB V PENUTUP

A. Simpulan.................................................................................................86

B. Saran.......................................................................................................87

DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum merupakan instrumen utama masyarakat baik nasional maupun

internasional untuk melestarikan kebebasan maupun ketertiban dan gangguan,

baik oleh perorangan, golongan ketertiban, atau pemerintah.1 Unsur utama yang

dibutuhkan manusia dari hukum adalah ketertiban. Dengan terwujudnya

ketertiban, berbagai keperluan sosial manusia dalam bermasyarakat akan

terpenuhi. Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional

ini dibutuhkan hukum, guna menjamin unsur kepastian yang diperlukan dalam

setiap hubungan yang teratur.2

Negara sebagai subjek hukum internasional, tentunya mempunyai

karakteristik tersendiri. Karakteristik negara sebagai subjek hukum internasional

tersebut pertama kali muncul dalam Konvensi Montevideo Tahun 1933. Ditinjau

dari segi hukum internasional, karakteristik negara sebagai subjek hukum

internasional yang paling penting adalah kemampuan mengadakan hubungan

dengan negara lain. Hal ini karena kajian utama hukum internasional adalah

mempelajari hubungan-hubungan antara negara yang satu dengan negara yang

lain. Selain itu karakteristik ini juga merupakan karakteristik yang membedakan

negara (dalam arti yang sesungguhnya) dengan entitas-entitas lain yang lebih kecil

1Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,Malang,2008, hal. 2.

2 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes Pengantar HukumInternasional,Alumni,Bandung,2003, hal. 13.

yang tidak mengurus hubungan-hubungan luar negerinya sendiri. 3 Hubungan

antara negara yang satu dengan yang lainnya ini tentunya terkait erat dengan hak

dan kewajiban negara-negara serta tanggung jawabnya sebagai salah satu pelaku

utama dalam kehidupan internasional.

Apabila mengingat hakekat negara sebagai subjek hukum internasional,

negara merupakan subjek utama dari hukum internasional baik ditinjau secara

historis maupun faktual. Secara historis yang pertama – tama merupakan subjek

hukum internasional adalah negara. Kelebihan negara sebagai subjek hukum

internasional dibandingkan dengan subjek hukum internasional lainnya adalah,

negara memiliki apa yang disebut sebagai kedaulatan atau sovereignty.

Kedaulatan yang artinya kekuasaan tertinggi, pada awalnya diartikan sebagai

kedaulatan dan keutuhan yang tidak dapat dipecah–pecah dan dibagi–bagi serta

tidak dapat ditempatkan di bawah kekuasaan lain.4

Dengan berakhirnya perang dingin telah memberikan penurunan secara

perlahan atas jumlah pangkalan militer asing di berbagai negara di seluruh dunia.

Akan tetapi bersamaan dengan hal tersebut bermunculan pula negara-negara tuan

rumah baru yang menerima keberadaan militer asing dalam wilayah berdaulat

mereka. Penggunaan strategi baru ini adalah dengan menggunakan konsep

pengerahan pasukan dalam jumlah kecil dengan jumlah penyebaran yang merata

di seluruh wilayah-wilayah strategis. Dengan penggunaan strategi tersebut terjadi

perubahan pola penyebaran pasukan dengan menggunakan kelompok yang lebih

3 J.G. Starke, Pengantar Hukum Internasional, Edisi Kesepuluh (1), Sinar Grafika, Jakarta,2006, hal.128.

4 T.May Rudy, Hukum Internasional 1, Bandung : Refika Aditama,2006, hal.21.

kecil dan lebih menyebar, dimana fasilitas untuk pengumpulan data intelejen dan

pelatihan pasukan serta bantuan militer dapat dilakukan secara cepat dan terpadu.5

Seluruh fasilitas militer terpadu ini bertujuan untuk memberikan bantuan

dalam persiapan sebelum perang, ketika perang berlangsung dan setelah perang

selesai. Pangkalan militer ini yang kemudian dikatakan sebagai sebagai fasilitas

penjaga stabilitas perdamaiaan internasional, namun pada kenyataannya fasilitas

ini digunakan sebagai media untuk meningkatkan kekerasan dengan senjata atas

nama perdamaian6

Gambaran peran dan fungsi yang dimiliki oleh sebuah pangkalan militer

milik Amerika Serikat adalah sebagai berikut7:

- Sebagai rumah bagi 160.000 warga Amerika Serikat, termasuk prajurit, warga

sipil, personil militer dan staff diplomatik. Jumlah ini adalah jumlah standar

personil sebuah pangkalan militer baik pada saat perang ataupun okupasi sebuah

negara. Contohnya pangkalan militer Amerika Serikat di Hawai, Guam, Puerto

rico dan kwalajein Atoll; Pangkalan militer sebagai landasan pemberangkatan

bagi seluruh manuver operasi militer, Contohnya pemboman udara yang

dilakukan di Pakistan pesawat pembom diberangkatkan dari pangkalan militer

Diego Garcia. Pangkalan militer Manta Di Ekuador digunakan sebagai pusat

koordinasi operasi rahasia di kolombia dan pangkalan militer baik di Irak dan

Turki digunakan sebagai pusat kordinasi data intelejen militer strategis anti

intelejen atas Iran dan Syria; Sebagai tempat penyimpanan persenjataan dan

5 Van der Zejiden,Foreign Military Bases and The Global Campaign to Close Them aBeginners Guide, hal.1.

6 Ibid, hal.2.7 Ibid, hal.2.

sering digunakan sebagai fasilitas penyimpanan hulu ledak nuklir, sebagai fasilitas

uji coba senjata, termasuk uji coba senjata nuklir dan sebagai pusat pelatihan

militer terpadu bagi para prajurit, sebagai pusat operasi Intelejen World Wide

Network Echelon yang menyadap pembicaraan telepon, email dan segala bentuk

komunikasi yang digunakan masyarakat sipil; Sebagai fasilitas penjara,

penahanan musuh dan digunakan sebagai tempat penyiksaan tawanan untuk

mendapatkan informasi dan data intelejen.

Pangkalan militer adalah tulang punggung dari setiap operasi militer bagi

seluruh pasukan angkatan bersenjata, baik Amerika Serikat, NATO, dan Uni

Eropa. Pangkalan militer menyediakan fungsi sebagai sebuah alat utuk

menumbangkan suatu pemerintahan secara langsung dalam sebuah medan

pertempuran ataupun sebagai alat pemaksa dalam sebuah perundingan. Lebih dari

300 intervensi dan invasi luar negeri dilakukan oleh Amerika Serikat selama

seratus tahun terakhir dan hal tersebut dapat dimungkinkan hanya dengan

keberadaan pangkalan militer strategis milik Amerika Serikat untuk dapat

melancarkan serangan dan dukungan militer secara cepat.8

Sebagai contoh lain adalah bentuk penyerahan diri Belanda sebagai sekutu

Amerika Serikat dengan menyerahkan diri dan militernya untuk berada di bawah

komando U.S Military Command. Belanda kini menyediakan tujuh fasilitas

militer untuk dijadikan pangkalan militer bagi militer Amerika Serikat, termasuk

pangkalan Volkel yang memiliki fasilitas hulu ledak nuklir, dua lokasi untuk

angkatan udara Amerika Serikat, dua pangkalan angkatan darat Amerika di

8 Ibid, hal.3.

Schinggen dan Brunssum, dan dua pangkalan di Antillean yang hendak digunakan

untuk mengawasi peredaran narkotik di karibia. Dua bandara besar dan pelabuhan

europort yaitu Schiphol dan Rotterdam juga dijadikan fasilitas administratif

militer Amerika, hal ini tentunya memberikan kebebasan bagi militer Amerika

Serikat untuk melakukan pengiriman dan bongkar muatan barang tanpa harus

memberikan laporan dan persetujuan pada pemerintah Belanda.9

Perdamaian masih dapat dirasakan hingga di awal pecahnya perang dunia

ke II di prefektur Okinawa, walaupun pasukan militer Jepang tidak menduduki

ataupun di tempatkan di wilayah tersebut, penduduk wilayah Okinawa masih

dapat hidup secara damai dan berdampingan dengan pulau-pulau di wilayah Asia

lainnya. Hingga pada tahun 1944 ketika Jepang hampir di gerbang kekalahan

dalam perang dunia ke II, otoritas militer Jepang memutuskan untuk membawa

perang kedalam pulau ini dengan memindahkan armada perang Jepang dalam

skala besar dan menempatkan pasukan di wilayah pulau tersebut.

Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat

mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau

ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of

Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing

yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa

memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 27.000 lebih pasukan

9 Ibid, hal.4-5.

Amerika Serikat yang ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu Yomitan

Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase.10

Pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di tengah areal

pemukiman warga yang di dalamnya terdapat perumahan, sekolah–sekolah dan

rumah sakit telah menimbulkan banyak gangguan dan kerusakan di prefektur

Okinawa. Salah satu dari sekian kecelakaan yang terjadi adalah pada bulan April

1999, sebuah helikopter milik militer Amerika Serikat yang terbang dari Futenma

Base jatuh di daerah pantai dimana terdapat pembangkit listrik yang berlokasi di

dekat tempat terjatuhnya helikopter tersebut. Pada bulan Juni 1999 pesawat

tempur Harrier yang hendak lepas landas mengalami kegagalan mesin dan jatuh

terbakar di daerah sekitar perumahan penduduk.11

Tidak hanya ancaman yang berasal dari aktifitas dari pangkalan militer

Amerika Serikat saja yang menganggu, akan tetapi ancaman dari personil militer

Amerika Serikat yang juga turut membuat keberadaan pangkalan militer Amerika

Serikat di prefektur Okinawa semakin dikecam adalah perbuatan kriminal yang

dilakukan oleh anggota militer pangkalan militer Amerika Serikat. Pada bulan

September 1995 seorang siswi diculik dan diperkosa oleh tiga orang pasukan

militer Amerika Serikat. Kepolisian Okinawa meminta pada otoritas militer AS

untuk menyerahkan tiga orang tersangka tersebut kepada pihak kepolisian

Okinawa akan tetapi ditolak.12

10 Japanese Communist party Journal, US.Military Base Okinawa Problems, February2000, hal.1.

11 Ibid, hal.5.12 Ibid, hal.6.

Di daerah prefektur Okinawa kecelakaan–kecelakaan yang disebabkan

oleh alat-alat milter dan kendaraan militer milik pangkalan milter Amerika Serikat

sudah sering terjadi secara rutin, yang menjadi sebuah perhatian adalah letak dan

Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat berada dekat dan diantara wilayah

padat penduduk, salah satu kecelakaan yang menyebabkan banyak korban adalah

jatuhnya pesawat jet yang berangkat dari pangkalan udara Kadena yang terbakar

dan jatuh di sebuah sekolah dasar yang kemudian membakar 17 rumah dan sebuah

pusat kegiatan warga. 11 Warga meninggal dunia dan 6 orang siswa Sekolah

dasar meninggal dunia dan 210 orang mengalami luka–luka.13

Warga prefektur Okinawa menginginkan kembalinya Okinawa menjadi

wilayah yang damai dan bebas dari segala aktifitas militer. Warga Okinawa telah

melalui banyak penderitaan pasca perang dunia ke II dan sampai saat ini masih

mengalami gangguan yang disebabkan aktifitas yang berasal dari pangkalan

militer Amerika Serikat. Walaupun mediasi dan perundingan mengenai status

serta kondisi lingkungan yang diharapkan oleh warga Okinawa sudah sering

dilakukan akan tetapi dalam prakteknya kondisi ideal yang diharapkan warga

Okinawa belum dapat tercipta dan dilaksanakan oleh otoritas militer Amerika

Serikat di Okinawa.

Berdasarkan uraian diatas, melalui serangkaian pencarian data dan

penelitian, keberadaan pangkalan militer amerika serikat di negara lain, ditinjau

dari hukum internasional yang relevan. Maka penulis mengambil penulisan

hukum dengan judul “ Tinjauan Yuridis Keberadaan Pangkalan Militer Asing Di

13 Ibid, hal.6.

Suatu Negara (Studi kasus Pangkalan Militer Amerika Serikat di Okinawa Jepang

Tahun 1960-2012) “.

B. Perumusan Masalah

Pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut :

1.Bagaimanakah pengaturan mengenai keberadaan pangkalan militer Asing di

suatu negara ?

2. Bagaimanakah penyelesaiaan kasus keberadaan pangkalan militer Amerika

Serikat di Okinawa Jepang ?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum internasional yang mengatur

keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di negara lain khusunya di

prefektur Okinawa Jepang

2. Untuk mengetahui bagaimana penyelesaian sengketa yang timbul karena

keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa

D. Kegunaan Penelitian

1. Kegunaan Teoritis

Untuk dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan hukum

internasional pada umumnya berkaitan dengan teori kedaulatan dan prinsip

intervensi terhadap negara, serta kajian terhadap permasalahan riil yang terjadi di

dalam praktek pelaksanaan hubungan internasional antar negara dalam masalah di

bidang keamanan. Selain itu juga dapat menambah kepustakaan dan bahan

informasi ilmiah mengingat semakin pesatnya perkembangan keamanan dunia

secara global saat ini.

2. Kegunaan Yuridis

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai acuan atau sebagai legal

basic dalam menyelesaikan kasus-kasus hukum internasional yang berkaitan

mengenai kedaulatan negara dan intervensi yang terjadi pada suatu negara

dengan hadirnya suatu subjek internasional dalam wilayah kedulatannya.

3. Kegunaan Praktis

1. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pemahaman dalam bidang

Hukum Internasional khususnya mengenai keberadaan pangkalan militer

asing di suatu negara.

2. Hasil penelitian ini dapat menjadi pedoman dan acuan dalam penelitian

dan penyelesaiaan sengketa-sengketa internasional dalam bidang yang

sama.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Negara Sebagai Subjek Hukum Internasional

Saat ini perkembangan negara-negara dunia sudah melawati batas-batas

wilayah teritorial negara, sehingga perlu aturan yang jelas dan tegas dalam

bidang internasional. Hal tersebut bertujuan agar tercipta situasi yang kondusif

serta adanya kepastian hukum dalam bidang internasional.

Negara merupakan subjek utama hukum internasional. Beberapa sarjana

telah mengemukakan pendapatnya. mengenai definisi negara. Henry C. Black

mendefinisikan negara sebagai sekumpulan orang yang secara permanen

menempati suatu wilayah yang tetap, diikat oleh ketentuan-ketentuan hukum

yang melalui pemerintahnya, mampu menjalankan kedaulatannya yang merdeka

dan mengawasi masyarakat dan harta bendanya dalam wilayah perbatasannya,

mampu menyatakan perang dan damai serta mampu mengadakan hubungan

internasional dengan masyarakat internasional lainnya.14

Subjek hukum internasional dapat diartikan sebagai pemegang hak dan

kewajiban menurut hukum internasional. Adapun subjek hukum internasional

tersebut antara lain :15

a. Negara;

b. Tahta Suci;

14 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, RefikaAditama, Bandung, 2006, hal.2.

15 I Wayan Parthiana, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.58-59.

c. Palang Merah Internasional;

d. Organisasi Internasional;

e. Orang Perorangan ( individu );

f. Pemberontak dan Pihak Dalam Sengketa (Belligerent);

g.Organisasi Pembebasan atau Bangsa-Bangsa yang sedang

memperjuangkan haknya;

h. Wilayah-Wilayah Perwalian.

a. Syarat-syarat negara

Berdasarkan Pasal 1 Konvensi Montevidio 1933 mengenai Hak-hak dan

Kewajiban-Kewajiban Negara (Montevidio (Pan American) Convention on

Rights and Duties of States of 1933) menjelaskan karakteristik negara yang

merupakan subjek hukum internasional adalah sebagai berikut :16

Negara sebagai pribadi hukum internasional harus memiliki syarat-

syarat berikut :

1. Penduduk yang permanen.

Penduduk merupakan kumpulan individu-individu yang terdiri

dari dua kelamin tanpa memandang suku, bahasa, agama, dan

kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat dan yang terikat dalam

suatu negara melalui hubungan yuridik dan politik yang diwujudkan

dalam bentuk kewarganegaraan. Penduduk merupakan unsur pokok bagi

pembentukan suatu negara. Suatu pulau atau suatu wilayah tanpa

16 J.G. Starke, Op.Cit, hal.127.

penduduk tidak mungkin menjadi suatu negara.17 Syarat penting untuk

unsur ini yaitu bahwa rakyat atau masyarakat ini harus terorganisir

dengan baik (organised population). Sebab sulit dibayangkan, suatu

negara dengan pemerintahan yang terorganisir dengan baik hidup

berdampingan dengan masyarakat disorganised.18

2. Wilayah yang Tetap.

Wilayah yang tetap adalah suatu wilayah yang dimukimi oleh

penduduk atau rakyat dari negara itu. Agar wilayah itu dapat dikatakan

tetap atau pasti sudah tentu harus jelas batas-batasnya.19 Wilayah suatu

negara terdiri dari daratan, lautan, dan udara diatasnya.20

3. Pemerintah.

Sebagai suatu person yang yuridik, negara memerlukan

sejumlah organ untuk mewakili dan menyalurkan kehendaknya.

Lauterpacht menyatakan bahwa adanya unsur pemerintah merupakan

syarat terpenting untuk adanya suatu negara. Jika pemerintah tersebut

ternyata secara hukum atau secara faktanya menjadi negara boneka atau

negara satelit dari suatu negara lainnya, maka negara tersebut tidak dapat

digolongkan menjadi negara.21

4. Kemampuan untuk melakukan hubungan dengan negara-negara lain.

17 Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian, Peranan, Dan Fungsi Dalam eraDinamika Global, Alumni, Bandung, 2005, hal.17.

18 Huala Adolf, Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT Raja GrafindoPersada, Jakarta, 1996, hal. 3.

19 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal.64.20 Boer Mauna, Op.Cit., hal.21.21 Huala Adolf, Op.Cit., hal.5.

Untuk unsur keempat Oppeenheim-Lauterpacht menggunakan

kalimat pemerintah yang berdaulat (sovereign). Adapaun yang dimaksud

dengan pemerintah yang berdaulat yaitu kekuasaan yang tertinggi yang

merdeka dari pengaruh suatu kekuasaan lain di muka bumi. Kedaulatan

dalam arti sempit berarti kemerdekaan yang sepenuhnya, baik kedalam

maupun keluar batas-batas negeri.22

Dari keempat unsur diatas, unsur keempat yang paling penting

berdasarkan hukum internasional. Unsur ini pula yang membedakan negara

dengan unit-unit yang lebih kecil seperti anggota-anggota federasi atau

protektorat-protektorat yang tidak menangani sendiri urusan luar negerinya

dan tidak diakui oleh negara-negara lain sebagai anggota masyarakat

internasional yang mandiri.23

Sebagai subjek hukum yang paling penting, negara memiliki kelebihan

dibandingkan dengan subjek hukum internasional yang lain. Kelebihan

negara sebagai subjek hukum internasional dibandingkan dengan subjek

hukum internasional yang lainnya adalah negara memiliki kedaulatan atau

sovereignty. Suatu negara yang berdaulat tetap tunduk pada hukum

internasional maupun tidak boleh melanggar atau merugikan kedaulatan

negara lainnya. Manisfestasi dari kedaulatan sebagai kekuasaan tertinggi

mengandung dua sisi yaitu sisi intern dan sisi ekstern. Sisi intern berupa

kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk mengatur masalah

intern atau masalah dalam negerinya. Sedangkan sisi ekstern, berupa

22 Ibid, hal.7.23 J.G. Starke, Op.Cit, hal.92.

kekuasaan tertinggi untuk mengadakan hubungan-hubungan dengan negara

lain atau dengan subjek-subjek hukum internasional lainnya.24

Pengertian negara tidak lepas dari permasalahan kedaulatan yang

dimiliki oleh suatu negara. Kedaulatan merupakan salah satu prinsip dasar

bagi terciptanya hubungan internasional yang damai. Yang dimaksud dengan

kedaulatan atas wilayah adalah kewenangan yang dimiliki suatu negara untuk

melaksanakan kewenangannya sebatas dalam wilayah-wilayah yang telah

menjadi bagian dari kekuasaannya.25 Sedangkan kedaulatan teritorial dapat

diartikan sebagai kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam

melaksanakan yurisdiksi eksekutif di wilayahnya.26

Sesuai dengan konsepsi internasional, kedaulatan memiliki tiga aspek

utama, yaitu :27

1. Aspek ekstern kedaulatan.

Aspek ekstern kedaulatan adalah hak bagi setiap negara untuk

secara bebas menentukan hubungannya dengan berbagai negara atau

kelompok-kelompok lain tanpa kekangan, tekanan, atau pengawasan

dari negara lain.

2. Aspek intern kedaulatan.

Aspek intern kedaulatan adalah hak atau wewenang eksklusif

suatu negara untuk menentukan bentuk lembaga-lembaganya, cara kerja

24 I Wayan Parthiana, Op.Cit., hal.60.25 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op.Cit, hal.169.26 Huala Adolf, Op.Cit, hal.99.27 Jawahir Thontowi dan Pranoto Iskandar, Op Cit, hal.110-111.

lembaga-lembaga tersebut dan hak untuk membuat undang-undang

yang diinginkannya serta tindakan-tindakan untuk mematuhi.

3. Aspek teritorial kedaulatan.

Aspek teritorial kedaulatan adalah kekuasaan penuh dan eksklusif yang

dimiliki negara atas individu-individu dan benda-benda yang terdapat di wilayah

tersebut. Berdasarkan kedaulatannya itu, maka dapat diturunkan hak, kekuasaan

ataupun kewenangan negara untuk mengatur masalah intern maupun eksternnya.

Dengan kata lain, dari kedaulatannya itulah diturunkan atau lahir jurisdiksi

negara.28 Jurisdiksi adalah kekuasaan atau kewenangan hukum negara terhadap

orang, benda, atau peristiwa (hukum).29 Jika jurisdiksi dikaitkan dengan negara

maka jurisdiksi negara berarti kekuasaan atau kewenangan dari suatu negara

untuk menetapkan dan memaksakan (to declare and to enforce) hukum yang

dibuat oleh negara atau bangsa itu sendiri.30

Menurut Anthony Csabafi, F.A.Mann dalam bukunya Studies International

Law menyatakan sebagai berikut :31When public international lawyers pose the

problem of jurisdiction, they have in mind the state’s right under international

law to regulate conduct in matters not exclusively of domestic concern.32

Berdasarkan definisi tersebut, unsur-unsur dari negara sebagai berikut :33

a. Hak, kekuasaan atau kewenangan.

28 I Wayan Parthiana, Op.Cit., Pengantar..., hal.295.29 Huala Adolf, Op.Cit., hal.183.30 I Wayan Partiana, Op.Cit, hal.293.31 Ibid, hal.296.32 Jika diterjemahkan dalam terjemahan bebas menjadi sebagai berikut : Apabila para ahli

hukum internasional berhadapan dengan masalah yurisdiksi, dalam pikiran mereka terbayang atashak suatu negara berdasarkan hukum internasional untuk mengatur perilaku yang berkenan denganmasalah-masalah yang tidak secara eksklusif merupakan maslah dalam negeri.

33 Ibid., hal.297.

Dengan hak, kekuasaan, dan kewenangan suatu negara dapat berbuat

atau melakukan sesuatu, yang sudah tentu pula harus berdasarkan atas

hukum yaitu hukum internasional.

b. Mengatur (legislatif, eksekutif, dan yudikatif).

Hak, kekuasaan dan kewenangan untuk melakukan sesuatu dalam

hal ini adalah untuk mengatur atau mempengaruhi, didalamnya mencakup

membuat atau menetapkan peraturan (legislatif), melaksanakan atau

menerapkan peraturan yang telah dibuat (eksekutif), memaksakan,

mengenakan sanksi atau mengadili dan menghukum pihak yang melanggar

peraturan tersebut (yudikatif).

c. Objek (hal, peristiwa, perilaku, masalah, orang, benda).

Hak negara untuk mengatur ditentukan terhadap suatu objek yang

memang dapat ditundukan pada peraturan yang dibuat, dilaksanakan, dan

dipaksakan oleh negara tersebut. Objek tersebut dapat berbentuk peristiwa,

perilaku, masalah, orang, benda, ataupun perpaduan antara satu dengan

lainnya.

d. Tidak semata-mata masalah dalam negeri (not exclusively of domestic

concern).

Objek yang tunduk pada peraturan tersebut mengandung aspek

internasional. Aspek internasional inilah yang menjadi ciri yang

menunjukan bahwa hak, kekuasaan, dan kewenangan untuk mengatur

objek itu tidak berdasarkan pada hukum nasional melainkan pada hukum

internasional.

e. Hukum internasional (sebagai dasar landasannya).

Hak, kekuasaan dan kewenangan negara untuk mengatur objek yang

tidak semata-mata merupakan masalah dalam negeri atau domestik itu,

adalah berdasarkan pada hukum internasional. Hukum internasionallah

yang memberikan hak, kekuasaan dan kewenangan pada negara tersebut

untuk mengatur objek yang semata-mata bukan merupakan masalah

domestik itu. Demikian pula, hukum internasional yang membatasinya.

Berbicara masalah negara, tidak dapat lepas dari pembahasan mengenai

hak dan kewajiban negara itu sendiri. Rumusan tentang hak dan kewajiban

negara hanya terdapat pada rancangan Deklarasi tentang Hak dan Kewajiban

Negara-Negara (Declaration of The Rights and Duties of Nations) yang disusun

oleh Komisi Hukum Internasional PBB pada tahun 1949. Prinsip-prinsip

mengenai hak dan kewajiban negara dalam rancangan tersebut adalah :34

a) Hak-Hak Negara1. Hak atas kemerdekaan (Pasal 1)2. Hak untuk melaksanakan jurisdiksi terhadap, orang, benda dan

peristiwa hukum yang berada di dalam wilayahnya (Pasal 2)3. Hak untuk mendapatkan kedudukan hukum yang sama dengan

Negara-negara lain (Pasal 5), dan4. Hak untuk menjalankan pertahanan diri sendiri atau kolektif (Pasal

12).

b) Kewajiban Negara1. Kewajiban untuk tidak melakukan intervensi terhadap masalah-

masalah yang terjadi di Negara lain (Pasal 3)2. Kewajiban untuk tidak menggerakkan pergolakan sipil di Negara

lain (Pasal 4)3. Kewajiban untuk memperlakukan semua orang yang berada di

wilayahnya dengan memperhatikan hak-hak asasi manusia (Pasal6)

34 Ibid, hal.113.

4. Kewajiban untuk menjaga wilayahnya agar tidak membahayakanperdamaian dan keamanan internasional ( Pasal 7)

5. Kewajiban untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Pasal 8)6. Kewajiban untuk tidak menggunakan kekuatan atau ancaman

senjata (Pasal 9)7. Kewajiban untuk tidak membantu terlaksananya Pasal 98. Kewajiban untuk tidak mengakui wilayah-wilayah yang diperoleh

melalui cara-cara kekerasan (Pasal 12)9. Kewajiban untuk melaksanakan kewajiban internasional dengan

itikad baik (Pasal 13)10. Kewajiban untuk mengadakan hubungan dengan Negara-negara

lain sesuai dengan hukum internasional (Pasal 14).

Menurut Sugeng Istanto dalam bukunya menyebutkan, Sebagai subjek

hukum internasional, negara memiliki hak dan kewajiban yang diatur oleh

hukum internasional. Hak dan Kewajiban negara dapat dibedakan menjadi :35

1) Hak dan Kewajiban Negara yang Berhubungan Dengan Kedudukannya

Terhadap Negara Lain.

Hak-hak negara yang berhubungan dengan kedudukan negara

tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan adalah hak

kemerdekaan, hak kesederajatan, dan hak untuk mempertahankan diri.

Adapun kewajiban negara yang berhubungan dengan kedudukan negara

tersebut terhadap negara lain yang sering diutarakan adalah tidak

melakukan perang, melaksanakan perjanjian internasional dengan iktikad

baik dan tidak mencampuri urusan negara lain.

2) Hak dan Kewajiban Negara Atas Wilayah.

Salah satu kualifikasi yang harus dipenuhi negara sebagai subjek

hukum internasional adalah wilayah tertentu. Negara sebagai organisasi

35 Sugeng Istanto, Hukum Internasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta,Yogyakarta, 2010, hal.43-63.

kekuasaan menguasai wilayah tersebut. Di wilayah negara tersebut

memegang kekuasaan kenegaraan yang tertinggi, yakni hak melakukan

kedaulatan wilayah. Dalam wilayah itu negara melaksanakan fungsi

kenegaraan dengan mengecualikan negara lain. Wilayah negara dapat

dibedakan antara daratan, lautan, dan udara.

3) Hak dan Kewajiban Negara Atas Orang.

Hak dan kewajiban negara atas orang pada hakikatnya ditentukan

oleh wilayah negara tersebut dan kewarganegaraan yang bersangkutan.

Semua orang yang ada dalam wilayah suatu negara, baik warga negaranya

sendiri maupun warga negara asing, harus tunduk pada negara itu. Mereka

harus tunduk pada kekuasaan negara tersebut. Mereka harus mentaati

hukum negara itu. Pada prinsipnya, bagi semua warga negara berlaku

semua hukum positif yang berlaku di negara tersebut dengan beberapa

pengecualian misalnya mereka tidak mempunyai hak suara dalam

pemilihan umum, mereka tidak berhak menduduki jabatan tertentu, mereka

yang kekebalan diplomatik bebas dari pungutan pajak dan bea.

4) Hak dan Kewajiban Negara Atas Benda.

Semua benda yang ada di wilayah suatu negara tunduk pada

kekuasaan hukum negara tersebut. Hak dan kewajiban negara atas benda

itu terutama berlaku bagi benda-benda yang ada di wilayahnya. Kekuasaan

dan hukum negara itu juga berlaku bagi benda-benda yang masih ada

hubungannya dengan negara itu namun berada di negara lain. Ketentuan

ini, mutatis mutandis juga berlaku bagi benda-benda yang ada di negara

tersebut. Dengan demikian hukum internasional membatasi kekuasaan dan

hukum negara itu terhadap benda yang ada hubungannya dengan negara

lain. Sampai batas-batas tertentu bagi benda-benda yang ada hubungannya

dengan negara lain tunduk pada kekuasaan dan hukum negara lain itu.

5) Hak dan Kewajiban Negara Atas Kepentingan Ekonomi.

Kepentingan ekonomi ialah kepentingan yang diperlukan untuk

memenuhi kebutuhan jasmani kehidupan manusia. Kepentingan itu

mencakup usaha, sarana, dan benda yang diperlukan untuk memenuhi

kebutuhan itu. Negara modern mengatur dan melindungi kepentingan

ekonomi suatu negaranya. Namun karena kehidupan ekonomi suatu negara

tidak dapat lepas dari kehidupan negara lain timbulah, bermacam-macam

perjanjian internasional yang mengatur ekonomi internasional.

2. Tinjauan Umum Terhadap Perjanjian Internasional

A. Pengertian dan Istilah Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional yang dalam bahasa Indonesia disebut juga

dengan persetujuan, ataupun konvensi, memiliki pengertian:36 Kata sepakat

antara dua atau lebih subjek hukum internasional mengenai suatu objek

atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum

atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.

Berdasarkan pengertian tersebut di dapat unsur-unsur perjanjian

internasional, yaitu kata sepakat, subjek hukum internasional, dan objek

perjanjian. Mengenai subjek hukum internasional dalam pengertian tersebut

36 I Wayan Parthiana, Hukum Perjanjian Internasional, Mandar Maju, Bandung, 2002,hal.12.

tidak dikatakan secara tegas siapa saja yang dapat menjadi pihak dalam

perjanjian. Oleh karena itu, saat ini tidak semua subjek hukum internasional

dapat menjadi pihak perjanjian internasional. Hanya negara, tahta suci, dan

organisasi internasional (tidak seluruhnya), kaum belligerensi, bangsa yang

sedang memperjuangkan hak-haknya yang dapat berkedudukan sebagai

pihak dalam perjanjian internasional.37 Selain itu, pengertian tersebut tidak

secara tegas menyebutkan bentuk perjanjian internasional yang tidak

tertulis maupun perjanjian internasional tertulis. Berdasarkan alasan

tersebut, maka dapat dirumuskan perjanjian internasional dalam ruang

lingkup yang lebih sempit,38 yaitu: Kata sepakat antara dua atau lebih

subjek hukum internasional (negara, tahta suci, kelompok pembebasan,

organisasi internasional) mengenai suatu objek tertentu yang dirumuskan

secara tertulis dan tunduk pada atau yang diatur oleh hukum internasional.

Pengertian perjanjian internasional tersebut menjadi lebih sempit

dengan memberikan batasan mengenai subjek hukum internasional dan

bentuk perjanjian. Pengertian tersebut menyatakan secara tegas subjek

hukum internasional yang dapat menjadi pihak dalam perjanjian. Subjek

hukum internasional tersebut adalah negara, tahta suci, kelompok

pembebasan, organisasi internasional. Demikian pula bentuk perjanjian

yang disebutkan dalam pengertian ini adalah bentuk tertulis.

Organisasi internasional dapat juga sebagai pihak dalam suatu

perjanjian internasional sehingga akan lebih mudah dipahami jika

37 Ibid, hal.18.38 Ibid, hal.13.

pengertian perjanjian internasional dibagai dalam dua macam yaitu

pengertian perjanjian internasional antarnegara yang berbeda serta

pengertian perjanjian internasional antara negara dan organisasi

internasional atau antarorganisasi internasional.

Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 tentang Hukum

Perjanjian Internasional memberikan pengertian perjanjian internasional

antarnegara, yaitu:39 Perjanjian artinya. Suatu persetujuan internasional

yang diadakan antara negara-negara dalam bentuk yang tertulis dan diatur

oleh hukum internasional baik yang berupa satu instrument tunggal atau

berupa dua atau lebih instrument yang saling berkaitan tanpa memandang

apapun juga namanya.

Sedangkan Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986 tentang

Perjanjian Antara Negara dan Organisasi Internasional dan Perjanjian

antara Organisasi Internasional dan Organisai Internasional40 memberikan

pengertian perjanjian internasional antara negara dan organisasi

internasional dan antarorganiasi internasional.

Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasionalyang diatur oleh hukum internasional dan dirumuskan dalambentuk tertulis:

39 Isi Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian Internasional:Treaty means an international agreement concluded between States in written from and governedby international law, whether embodied in a single instrument or in two or more relatedinstrument and whatever it’s particular designation.

40 Isi Pasal 2 ayat (1) butir a Konvensi Wina 1986 tentang Perjanjian antara Negara danOrganisasi Internasional dan Perjanjian antara Organisasi Internasional dan OrganisasiInternasional: Treaty means an international agreement governed by international law andconcluded in written from:

(i) Between one or more States and one or more international organization; or(ii) Between international organizations, whether that agreement is embodied in a single

instrument or in two or more related instrument and whatever particular designation.

(i) Antara satu atau lebih negara dan satu atau lebih organisasiinternasional; atau

(ii) Sesama organisasi internasional, baik persetujuan itu berupasatu instrument atau lebih dari satu instrument yang salingberkaitan dan tanpa memandang apapun juga namanya.

Kedua pengertian tersebut memiliki unsur yang sama dengan

pengertian perjanjian internasional sebelumnya. Namun demikian, pada

kedua pengertian terakhir, ruang lingkup perjanjiannya menjadi lebih

sempit, dengan memisahkan subjek hukum yang dapat menjadi peserta

dalam perjanjian internasional.

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat dijabarkan beberapa

unsur yang harus dipenuhi oleh suatu perjanjian agar dapat disebut sebagai

perjanjian internasional, yaitu:

1. Kata sepakat

Kata sepakat merupakan unsur yang esensial dari perjanjian

internasional. Tanpa kata sepakat antara para pihak, maka tidak akan

ada perjanjian. Kata sepakat inilah yang kemudian dituangkan ke

dalam pasal-pasal perjanjian.41

2. Subjek-subjek hukum

Subjek hukum yang dimaksud adalah subjek hukum

internasional yang terikat pada perjanjian, antara lain negara

(termasuk negara bagian, sepanjang konstitusi negara federal yang

bersangkutan memungkinkan hal tersebut), tahta suci, organisasi

internasional, kaum belligerensi, dan bangsa yang sedang

41 I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal. 16.

memperjuangkan haknya. Pada perjanjian internasional yang bersifat

terbuka dapat dimungkinkan bahwa pihak yang melakukan

perundingan belum tentu menjadi peserta dalam perjanjian tersebut,

sedangkan pihak yang tidak terlibat dalam proses perundingan

kemudian menjadi peserta perjanjian. Situasi ini seringkali terjadi

tatkala pihak yang melakukan perundingan kemudian menyatakan

sikap untuk tidak terikat pada persetujuan tersebut.42

3. Berbentuk Tertulis

Bentuk tertulis merupakan perwujudan dari kata sepakat yang

otentik dan mengikat para pihak, dengan dirumuskan dalam bahasa

dan tulisan yang dipahami dan disepakati para pihak yang

bersangkutan. Melalui bentuk tertulis, akan menjamin adanya

ketegasan, kejelasan, dan kepastian hukum bagi para pihak dan pihak

ketiga yang mungkin pada suatu hari akan terikat pada perjanjian

tersebut.43

4. Objek tertentu

Objek dari suatu perjanjian internasional adalah objek atau hal

tertentu yang diatur di dalamnya. Setiap objek itu secara langsung

menjadi nama dari perjanjian tersebut.

5. Tunduk pada atau diatur oleh hukum internasional

Yang dimaksud adalah baik hukum internasional pada

umumnya maupun hukum internasional pada khususnya (hukum

42 Ibid,43 Ibid, hal.17.

Diplomatik, Hukum Laut Internasional, dan sebagainya). Secara

umum, suatu perjanjian melahirkan hubungan hukum berupa hak-hak

dan kewajiban-kewajiban bagi para pihak yang terikat pada perjanjian

tersebut. Demikian pula sejak diadakannya perundingan hingga

dinyatakannya persetujuan terhadap perjanjian tersebut, seluruhnya

tunduk pada hukum perjanjian internasional.44

Perjanjian internasional memiliki beberapa istilah dalam bahasa

Inggris, seperti treaty, convention, agreement, declaration, charter,

covenant, statute, protocol, pact, modus Vivendi, Concordat. Istilah

perjanjian internasional dalam bahasa Indonesia juga tidak jauh berbeda

dengan istilah dalam bahasa Inggris. Banyaknya istilah perjanjian

internasional tersebut sebenarnya tidak memberikan perbedaan yang

mencolok antara perjanjian internasional yang satu dengan yang lain.

Pengertian istilah-istilah tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Traktat (treaty)

Traktat atau treaty merupakan istilah yang sudah umum

dipergunakan untuk perjanjian-perjanjian internasional antara negara-

negara yang substansinya tergolong penting bagi para pihak.

Kebiasaan masa lampau cenderung menggunakan istilah treaty untuk

perjanjian bilateral.45

2. Konvensi (Convention)

44 Ibid, hal.15.45 Eddy Pratomo, Hukum Perjanjian internasional, Pengertian, Status Hukum dan

Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011, hal.58.

Konvensi adalah bentuk perjanjian internasional yang mengatur

hal-hal penting yang bersifat multilateral, baik yang diprakarsai oleh

negara-negara maupun organisasi internasional. Istilah ini biasanya

digunakan untuk perjanjian multilateral yang mengatur mengenai

masalah yang besar dan penting di mana kaidah hukumnya berlaku

secara luas, baik dalam ruang lingkup regional maupun umum.46

3. Deklarasi (Declaration)

Deklarasi diartikan sebagai pernyataan atau pengumuman.

Deklarasi digunakan untuk menunjuk pada kesepakatan antara para

pihak yang bersifat umum dan berisi mengenai hal-hal yang pokok

saja. J.G. Starke membedakan deklarasi ke dalam empat macam, yaitu

deklarasi sebagai perjanjian dalam arti sebenarnya, instrumen tidak

formal yang dilampirkan pada suatu perjanjian sebagai penjelasan,

persetujuan informal yang berhubungan dengan masalah-masalah

yang tidak begitu penting, deklarasi sebagai resolusi yang dikeluarkan

dalam suatu konferensi diplomatik yang berisi beberapa pernyataan

tentang beberapa prinsip yang harus dihormati. 47

4. Statuta (Statute)

Statuta merupakan perjanjian internasional yang dijadikan

sebagai konstitusi suatu organisasi internasional. Sebagai contoh

46 Ibid.47 I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal.29-30.

adalah Mahkamah Internasional Permanen yang menyebut piagamnya

dengan Statue of Permanent Court of International Justice. 48

5. Piagam (Charter)

Istilah piagam digunakan sebagai instrumen perjanjian

internasional yang dijadikan sebagai dasar dari suatu organisasi

internasional. Organisasi internasional yang menggunakan istilah

piagam untuk konstitusinya adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB) dalam Charter of The United Nations. 49

6. Kovenan (Covenant)

Kovenan diartikan sama dengan statuta dan piagam yang

digunakan untuk menunjuk pada perjanjian internasional yang

merupakan konstitusi dari suatu organisasi internasional. Istilah ini

juga digunakan dalam perjanjian internasional pada umumnya, seperti

Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik tanggal 16

Desember 1966 (International Covenant on Civil and Political Rights

of December 16, 1966). 50

7. Persetujuan (Agreement)

Persetujuan merupakan perjanjian intenrasional yang ditinjau

dari segi isinya yang bersifat teknis dan administratif, serta memiliki

ruang lingkup yang kecil bila dibandingkan dengan traktat ataupun

konvensi. 51

48 Ibid, hal.30-31.49 Eddy Pratomo, Op.Cit, hal.58.50 Ibid.51 I Wayan Parthiana, Op.Cit, hal.32.

8. Pakta (Pact)

Pakta digunakan dalam perjanjian internasional di bidang

militer, pertahanan, dan keamanan. Seperti pada organisasi kerjasama

pertahanan dan keamanan Atlantik Utara. 52

9. Protokol (Protocol)

Menurut J.G Starke menyatakan protokol sebagai istilah dalam

perjanjian internasional yang kurang formal jika dibandingkan dengan

istilah traktat maupun konvensi.53 Selanjutnya J.G Starke juga

mengklasifikasikan penggunaan istilah protokol ke dalam empat

golongan, yaitu:

a) Protokol sebagai instrumen tambahan dari suatu konvensi yang

dibuat oleh negara-negara yang melakukan perundingan.

b) Protokol sebagai instrumen pembantu dalam konvensi dan

berkedudukan sendiri.

c) Protokol sebagai perjanjian yang memiliki sifat dan derajat sama

seperti konvensi.

d) Protokol sebagai rekaman dari saling pengertian antara para

pihak mengenai masalah tertentu.

10. Modus vivendi

Istilah ini biasa digunakan sebagai instrumen kesepakatan yang

bersifat sementara dan informal. Pada umumnya para pihak akan

52 Ibid, hal.33.53 Ibid, hal.34-35.

menindaklanjuti dengan bentuk perjanjian yang lebih formal dan

bersifat permanen.54

11. Concordat

Concordat adalah perjanjian yang dibuat antara tahta suci

dengan negara lain di bidang keagamaan.55

B. Macam-Macam Perjanjian Internasional

Bentuk perjanjian internasional secara tertulis telah dikemukakan di

atas, dapat ditinjau dari berbagai sudut pendekatan, antara lain:

1. Perjanjian internasional ditinjau dari segi jumlah negara yang menjadi

peserta:

a. Perjanjian bilateral, di mana yang menjadi peserta perjanjian hanya

dua pihak atau dua negara saja;

b. Perjanjian multilateral, di mana yang menjadi peserta perjanjian

lebih dari dua pihak atau dua negara.

2. Perjanjian internasional ditinjau dari kesempatan yang diberikan

kepada negara-negara untuk menjadi peserta dalam perjanjian

internasional:

a. Perjanjian internasional khusus atau perjanjian internasional

tertutup,di mana kaidah hukum dalam perjanjian internasional

tersebut khusus berlaku bagi para pihak yang menjadi peserta. Hal

ini dikarenakan perjanjian internasional tersebut hanya mengatur

kepentingan dari para pihak saja. Contoh perjanjian internasional

54 Eddy Pratomo, Op.Cit, hal.60.55 Ibid, hal.61.

tertutup ini yaitu perjanjian mengenai garis batas wilayah dan garis

batas landas kontinen.

b. Perjanjian internasional terbuka, di mana perjanjian tersebut terbuka

bagai negara-negara yang pada awalnya tidak terlibat dalam proses

perundingan perjanjian. Jika terdapat negara-negara yang setelah

diberlakukannya perjanjian ini ingin bergabung, maka dapat

dilakukan melalui pernyataan persetujuan untuk terikat (consent to

be bound). Keterbukaan dari perjanjian ini tergantung pada maksud

dan tujuan, ruang lingkup kawasan berlakunya, dan sifat dari kaidah

hukum yang terkandung di dalamnya.

3. Perjanjian internasional ditinjau dari kaidah hukumnya:

a. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang

khusus berlaku bagi para pihak yang terikat. Perjanjian seperti ini

berlaku hanya sebatas pada para pihak yang melakukan perundingan

dan menyatakan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian

tersebut. Sehingga, kaidah hukum yang muncul hanya mengikat

terhadap para pihak dalam perjanjian saja. Bentuk perjanjian ini

antara lain perjanjian bilateral dan perjanjian multilateral terbatas.

Kaidah hukum yang terdapat dalam perjanjian tersebut kemudian

dapat berkembang menjadi kaidah hukum yang berlaku umum jika

substansi dari perjanjian khusus ini diikuti oleh negara lain.

b. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang

berlaku dalam suatu kawasan tertentu. Perjanjian seperti ini dapat

dikatakan sebagai perjanjian internasional terbuka. Hanya saja sifat

terbuka dari perjanjian ini berlaku bagi negara-negara yang berada

dalam suatu kawasan tertentu. Sementara untuk negara-negara di

luar kawasan tersebut tidak dimungkinkan untuk menjadi pihak

dalam perjanjian. Perjanjian seperti ini lazim disebut sebagai

perjanjian internasional regional. Sebagai contoh adalah American

Convention on Human Rights (Pact of San Jose) of November 22,

1969.

c. Perjanjian internasional yang melahirkan kaidah hukum yang

berlaku umum. Perjanjian seperti ini, pada umumnya berkenaan

dengan masalah kepentingan seluruh negara di dunia, di mana setiap

negara tidak memandang letak geografis masing-masing negara

sebagai pihak dalam perjanjian. Dengan banyaknya jumlah negara

yang menjadi pihak dalam perjanjian tersebut, maka besar

kemungkinan jika perjanjian tersebut kemudian menjadi kaidah

hukum yang berlaku umum. Perjanjian dapat pula dikatakan sebagai

perjanjian yang bersifat terbuka karena baik dari jumlah maupun

letak geografis negara yang akan menjadi peserta perjanjian tidak

dibatasi. Sebagai contoh adalah Konvensi Hukum Laut PBB tahun

1982.

C. Akibat Hukum Perjanjian Internasional

Perjanjian internasional sebagai sumber utama hukum internasional

mengeikat para pihak.56 Perjanjian internasional menganut prinsip Pacta

Sunt Servanda yang menyebutkan bahwa perjanjian internasional

mengikat para pihak. Negara peserta selanjutnya menerapkan ketentuan-

ketentuan dalam perjanjian internasional ke dalam peraturan perundang-

undangan. Perjanjian tersebut kemudian tidak hanya akan menimbulkan

akibat kepada negara peserta perjanjian, tetapi juga kepada negara lain.

Dengan terikatnya negara peserta terhadap perjanjian internasional,

maka negara peserta memilliki kewajiban untuk mentaati dan

menghormati pelaksanaan perjanjian tersebut. Dari segi intern, setelah

sebuah perjanjian disetujui, maka perjanjian tersebut dibentuk ke dalam

instrumen hukum nasional melalui undang-undang. Pada tahap ini, organ

eksekutif negara peserta yang melaksanakannya dengan didasarkan pada

prosedur negaranya.

Disamping perjanjian internasional berakibat pada negara peserta,

juga dapat berakibat pada negara lain. Prinsip Pacta Tertiis Nex Nocent

Nec Prosunt menyebutkan bahwa perjanjian tidak dapat menimbulkan

kewajiban-kewajiban dan memberikan hak kepada negara ketiga. Dengan

kata lain suatu negara tidak dapat menuntut hak dari suatu ketentuan

perjanjian internasional, jika negara tersebut bukan peserta dari perjanjian

internasional tersebut. Terhadap prinsip ini terdapat tiga pengecualian,

56 Boer Mauna, Op.Cit, hal.82.

yaitu perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga atas

persetujuan meraka, perjanjian yang memberikan hak-hak kepada negara

ketiga, dan perjanjian yang dapat mempunyai akibat kepada negara ketiga

tanpa persetujuan mereka.57 Perjanjian yang dapat menimbulkan hak dan

kewajiban terhadap negara ketiga atas persetujuan mereka sangat jarang

terjadi. Pada Pasal 35 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian

menyebutkan bahwa suatu kewajiban dapat timbul bagi negara ketiga yang

berasal dari ketentuan suatu perjanjian yang dibuat dengan sengaja oleh

negara-negara pihak dan negara ketiga tadi menerima kewajiban tersebut

dalam berbentuk tertulis.58

Sementara perjanjian yang memberikan hak kepada negara ketiga

dapat segera yang menikmati keuntungan dari negara lain, maka akan

dinikmati pula oleh negara ketiga. Pada perjanjian yang menimbulkan

akibat kepada negara ketiga tanpa persetujuan negara ketiga dapat dilihat

dalam Pasal 2 angka 6 Piagam PBB yang secara garis besar menyebutkan

bahwa PBB harus memastikan bahwa negara-negara yang bukan anggota

PBB dapat bertindak sesuai dengan asas PBB sepanjang diperlukan demi

perdamaian dan keamanan internasional. Melalui pasal ini, PBB

memberikan kewajiban kepada negara di luar negara anggota PBB

supaya turut serta menjaga perdamaian dan keamanan internasional.

57 Ibid, hal.144.58 Ibid, hal.145.

3. Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Damai

A. Aturan dan Prinsip Dasar Penyelesaiaan Sengketa Secara Damai

Salah satu tujuan didirikannya PBB adalah untuk memelihara

perdamaian dan keamanan interasional. Hal ini tampak pada Pasal 1 ayat

(1) piagam PBB, Tersirat dalam ketentuan pasal tersebut fungsi dari badan

dunia ini dan negara-negara anggotanya, yaitu untuk bersama-sama

menciptakan dan mendorong penyelesaian sengketa internasional.

Khususnya terhadap negara-negara anggotanya, Pasal 2 ayat (3) piagam

memberikan pengaturan lebih lanjut guna melaksanakan dan mencapai

tujuan di atas. Pasal ini mewajibkan semua negara anggotanya untuk

menempuh cara-cara penyelesaian sengketa secara damai.59 Pasal 2 ayat

(3) yang sangat penting ini menyatakan: All members shall settle their

international disputes by peaceful means in such a manner that international

peace and security are not endangered.

Kata shall (harus) dalam kalimat di atas merupakan salah satu kata

kunci yang mewajibkan negara-negara untuk menempuh cara damai dalam

menyelesaikan sengketanya. Kewajiban lainnya yang terdapat dalam

piagam tercantum dalam Pasal 2 ayat (4). Pasal ini menyatakan bahwa

dalam hubungan internasional, semua negara harus menahan diri dari

penggunaan cara-cara kekerasan, yaitu ancaman dan penggunaan senjata

terhadap negara lain atau cara-cara yang tidak sesuai dengan tujuan-tujuan

PBB.

59 Huala Adolf, Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika, Jakarta, 2006,hal.12.

Perlu ditekankan dari dua kewajiban yang tertuang dalam kedua ayat

di atas, yaitu kewajiban menahan diri menggunakan cara kekerasan atau

ancaman kekerasan. Kedua kewajiban tersebut harus dipandang berdiri

sendiri. Piagam PBB tidak menyatakan kewajiban negara-negara

berdasarkan Pasal 2 ayat (3) untuk menahan diri dari penggunaan

kekerasan atau ancaman kekerasan sebagaimana diwajibkan dalam Pasal 2

ayat (4). Dengan kata lain, kewajiban yang terdapat dalam ayat (3)

bukanlah merupakan akibat atau konsekuensi logis dari kewajiban yang

terdapat dalam ayat (4).60

Sebaliknya, piagam menetapkan kewajiban terhadap anggota-

anggotanya untuk menyelesaikan sengketa dengan cara damai sebagai

suatu aturan yang berdiri sendiri, dan sebagai aturan dasar fundamental

PBB. Karena itu pula kewajiban Pasal 2 ayat (3) tidak dipandang sebagai

suatu kewajiban yang pasif. pewajiban tersebut terpenuhi manakala negara

yang bersangkutan menahan dirinya untuk tidak menggunakan kekerasan

atau ancaman kekerasan. Pasal 2 ayat (3), sebagaimana tersurat dalam

bunyi ketentuannya, mensyaratkan negara-negara untuk secara aktif dan

dengan iktikad baik menyelesaikan sengketanya secara damai sedemikian

rupa sehingga perdamaian dan keamanan internasional serta keadilan tidak

terancam.

Khusus mengenai prinsip larangan penggunaan cara kekerasan atau

yang tidak damai, meskipun tersurat dalam Piagam PBB, namun dalam

60 Ibid, hal.13.

perkembangannya kemudian tidak lagi semata-mata mengikat negara-

negara anggota PBB. Dalam pembahasan rancangan pasal-pasal mengenai

hukum perjanjian (Draft of Articles on the Law of Treaties), khususnya

pembahasan Pasal 33 paragraf 5, Komisi Hukum Internasional

memberikan komentarnya mengenai prinsip ini.61

Kewajiban menyelesaikan sengketa secara damai ini dijelaskan lebih

lanjut oleh Pasal 33 Piagam PBB. Lengkapnya, pasal ini menyatakan: Para

pihak dalam suatu persengketaan yang tampaknya sengketa tersebut akan

membahayakan perdamaian dan keamanan internasional, harus pertama-

tama mencari penyelesaian dengan cara negosiasi, penyelidikan, mediasi,

konsiliasi, arbitrase, pengadilan, menyerahkannya kepada organisasi-

organisasi atau badan-badan regional, atau cara-cara penyelesaian damai

lainnya yang mereka pilih.

Dari berbagai aturan hukum internasional di atas, termasuk dan

terutama Deklarasi Manila, dapat dikemukakan di sini prinsip-prinsip

mengenai penyelesaian sengketa internasional.62

1. Prinsip Iktikad Baik (Good Faith)

Prinsip iktikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip

fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa

antarnegara. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan adanya

iktikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya.

Tidak heran apabila prinsip ini dicantumkan sebagai prinsip

61 Ibid.62 Ibid, hal.15.

pertama yang termuat dalam Manila Declaration (Section 1 paragraph

l). Dalam Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia (Bali

Concord 1976), persyaratan iktikad baik juga ditempatkan sebagai

syarat utama. Pasal 13 Bali Concord menyatakan: The high

contracting parties shall have the determination and good faith to

prevent disputes from arising. Dalam penyelesaian sengketa,

prinsip ini tercemin dalam dua tahap. Pertama, prinsip itikad baik

disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat

memengaruhi hubungan baik antar negara.

Kedua, prinsip ini disyaratkan harus ada ketika para pihak

menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian

sengketa yang dikenal dalam hukum internasional, yaitu negosiasi,

mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara-cara lain yang

dipilih para pihak.

2. Prinsip Larangan Penggunaan Kekerasan dalam PenyelesaianSengketa

Prinsip ini juga sangat sentral dan penting. Prinsip inilah

yang melarang para pihak untuk menyelesaikan sengketanya dengan

menggunakan senjata (kekerasan). Prinsip ini termuat antara lain

dalam Pasal 13 Bali Concord dan preambule ke-4 Deklarasi Manila.

Dalam berbagai perjanjian internasional lainnya, prinsip ini

tampak dalam Pasal 5 Pakta Liga Negara-Negara Arab 1945 Pact of

the League of Arab States, Pasal 1 dan 2 the Inter-American Treaty of

Reciprocal Assistance (1947.

3. Prinsip Kebebasan Memilih Cara-Cara Penyelesaian Sengketa

Prinsip penting lainnya adalah prinsip di mana para pihak

memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau

mekanisme bagaimana sengketanya diselesaikan (Principle of free

choice of means).

Prinsip ini termuat dalam Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB dan

Section 1 paragraph 3 dan 10 Deklarasi Manila dan paragraf ke-5

dari Friendly Relations Declaration. Instrumen hukum tersebut

menegaskan bahwa penyerahan sengketa dan prosedur penyelesaian

sengketa atau cara-cara penyelesaian sengketa harus didasarkan

keinginan bebas para pihak. Kebebasan ini berlaku baik untuk

sengketa yang telah terjadi atau sengketa yang akan datang.

4. Prinsip Kebebasan Memilih Hukum yang akan Diterapkan terhadap

Pokok Sengketa

Prinsip fundamental selanjutnya yang sangat penting adalah

prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa

yang akan diterapkan bila sengketanya diselesaikan oleh badan

peradilan. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini

termasuk kebebasan untuk memilih kepatutan dan kelayakan ex

aequo et bono Yang terakhir ini adalah sumber bagi pengadilan

untuk memutus sengketa berdasarkan prinsip keadilan, kepatutan,

atau kelayakan. Dalam sengketa antarnegara, merupakan hal yang

lazim bagi pengadilan internasional, misalnya Mahkamah

Internasional, untuk menerapkan hukum internasional, meskipun

penerapan hukum internasional ini tidak dinyatakan secara tegas

oleh para pihak.

5. Prinsip Kesepakatan Para Pihak yang Bersengketa (Konsensus)

Prinsip kesepakatan para pihak merupakan prinsip

fundamental dalam penyelesaian sengketa internasional. Prinsip

inilah yang menjadi dasar bagi pelaksanaan prinsip ke-3 dan 4 di

atas. Prinsip-prinsip kebebasan 3 dan 4 hanya akan bisa dilakukan

atau direalisasikan manakala ada kesepakatan dari para pihak.

Sebaliknya, prinsip kebebasan 3 dan 4 tidak akan mungkin

berjalan apabila kesepakatan hanya ada dari salah satu pihak atau

bahkan tidak ada kesepakatan sama sekali dari kedua belah pihak.

6. Prinsip Exhaustion of Local Remedies

Prinsip ini termuat dalam Section 1 paragraph 10 Deklarasi

Manila. Menurut prinsip ini, sebelum para pihak mengajukan

sengketanya ke pengadilan internasional maka langkah-langkah

penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum

nasional negara harus terlebih dahulu ditempuh.

7. Prinsip-Prinsip Hukum Internasional tentang Kedaulatan,

Kemerdekaan, dan Integritas Wilayah Negara-Negara

Deklarasi Manila mencantumkan prinsip ini dalam Section 1

paragraph 1Prinsip ini mensyaratkan negara-negara yang

bersengketa untuk terus menaati dan melaksanakan kewajiban

internasionalnya dalam berhubungan satu sama lainnya berdasarkan

prinsip-prinsip fundamental integritas wilayah negara-negara.

B. Penyelesaiaan Sengketa Internasional Secara Diplomatik

Penyelesaian sengketa internasional pada umumnya dapat

digolongkan dalam dua bagian, yaitu penyelesaian secara hukum dan

diplomatik. Penyelesaian secara hukum meliputi arbitrase dan pengadilan.

Sedangkan penyelesaian secara diplomatik meliputi negosiasi, pencarian

fakta, jasa baik, mediasi, dan konsiliasi.63

1. Negosiasi

Negosiasi atau perundingan adalah cara penyelesaian sengketa yang

paling penting dan banyak ditempuh, serta efektif dalam menyelesaikan

sengketa internasional. Praktik negara-negara menunjukkan bahwa mereka

lebih cenderung untuk menggunakan sarana negosiasi sebagai langkah

awal untuk menyelesaikan sengketanya. Negosiasi adalah perundingan

yang diadakan secara langsung antara para pihak dengan tujuan untuk

mencari penyelesaian melalui dialog tanpa melibatkan pihak ketiga.

Menurut Fleischhauer, dengan tidak adanya ikut serta pihak ketiga dalam

penyelesaian sengketa, masyarakat internasional telah menjadikan

negosiasi ini sebagai langkah pertama dalam penyelesaian sengketa.64

Manakala proses ini berhasil, hasilnya biasanya dituangkan dalam

suatu dokumen yang memberinya kekuatan hukum. Misalnya hasil

63 Ibid, hal.26.64 Ibid, hal.27.

kesepakatan negosiasi yang dituangkan dalam bentuk suatu dokumen

perjanjian perdamaian.

Selanjutnya, para pihak biasanya mensyaratkan, bahwa manakala

cara ini gagal dalam jangka waktu tertentu, mereka sepakat untuk

menyerahkan penyelesaian sengketa kepada cara lainnya, seperti arbitrase,

mediasi, konsiliasi, pengadilan, dan lain-lain.

Segi positif dari negosiasi ini adalah sebagai berikut:65

1. Para pihak sendiri yang melakukan perundingan (negosiasi) secara

langsung dengan pihak lainnya.

2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana

penyelesaian secara negosiasi ini dilakukan menurut kesepakatan

mereka.

3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur

penyelesaiannya.

4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik di

dalam negeri.

5. Dalam negosiasi, para pihak berupaya mencari penyelesaian yang

dapat diterima dan memuaskan para pihak, sehingga tidak ada

pihak yang menang dan kalah tetapi diupayakan kedua belah pihak

menang.

6. Negosiasi dimungkinkan dapat digunakan untuk setiap tahap

penyelesaian sengketa dalam setiap bentuknya, apakah negosiasi

65 Ibid.

secara tertulis, lisan, bilateral, multilateral, dan lain-lain.

2. Pencarian Fakta

Para pihak yang bersengketa dapat pula menunjuk suatu badan

independen untuk menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa.

Tujuan utamanya adalah untuk memberikan laporan kepada para pihak

mengenai fakta yang ditelitinya. Dengan adanya pencarian fakta-fakta

demikian, diharapkan proses penyelesaian sengketa di antara para pihak

dapat segera diselesaikan. Dalam bahasa Inggris, dipergunakan dua istilah

untuk pencarian fakta yang sama artinya dan acap kali digunakan secara

bertukar, yaitu inquiry dan fact-finding.66

Tujuan dari pencarian fakta untuk mencari fakta yang sebenarnya ini

adalah untuk:

1. membentuk suatu dasar bagi penyelesaian sengketa di antara dua

negara;

2. mengawasi pelaksanaan suatu perjanjian internasional;

3. memberikan informasi guna membuat putusan di tingkat

internasional (Pasal 34 Piagam PBB). Misalnya pembentukan

UNSCOM (United Nations Special Commission) yang dikirim ke

wilayah Irak untuk memeriksa ada tidaknya senjata pemusnah

massal.

Tujuan pertama untuk menyelesaikan suatu sengketa internasional.

Tujuan kedua untuk memastikan suatu kewajiban internasional terlaksana

dengan baik. Sedangkan tujuan ketiga merupakan unsur yang penting

66 Ibid, hal.29.

dalam proses pembuatan keputusan dalam organisasi internasional.

Cara atau metode ini, biasanya digunakan setelah penyelesaian

sengketa secara diplomatik dilaksanakan, namun hasilnya gagal. Hasil

pencarian fakta ini dilaporkan kepada para pihak dalam suatu bentuk

laporan. Namun demikian, laporan tersebut tidak memuat argumen atau

usulan penyelesaian sengketa.67

3. Jasa Baik

Secara singkat, jasa-jasa baik adalah cara penyelesaian sengketa

melalui keikutsertaan jasa pihak ke-3. Tujuan jasa baik ini adalah agar

kontak langsung di antara para pihak tetap terjamin. Tugas yang

diembannya, yaitu mempertemukan para pihak yang bersengketa agar

mereka mau berunding. Cara ini biasanya bermanfaat manakala para pihak

tidak mempunyai hubungan diplomatik atau hubungan diplomatik mereka

telah berakhir. Pihak ketiga ini bisa negara, orang perorangan (seperti

mantan kepala negara) atau suatu organisasi, lembaga atau badan

internasional, misalnya Dewan Keamanan PBB.68

Keikutsertaan pihak ke-3 memberikan jasa-jasa baik memudahkan

pihak yang bersengketa untuk bersama-sama mempercepat perundingan di

antara mereka.21 Setiap pihak yang bersengketa dapat meminta kehadiran

jasa-jasa baik. Namun, pihak lainnya tidak berkewajiban untuk menerima

permintaan tersebut. Dengan kata lain, permintaan tersebut sifatnya tidak

mengikat dan tidak boleh dipandang sebagai tindakan yang tidak

67 Ibid, hal.30.68 Ibid, hal.31.

bersahabat atau unfriendly act.

Jasa baik dapat dibedakan dalam dua bentuk, yaitu technical good

offices (jasa baik teknis), dan political good offices (jasa baik politis).

Pembedaan ini sifatnya tidak tegas. Kedua bentuk ini dapat dilaksanakan

secara bersamaan.

Jasa baik teknis adalah jasa baik oleh negara atau organisasi

internasional dengan cara mengundang para pihak yang bersengketa ikut

serta terlibat dalam konferensi atau menyelenggarakan konferensi.

Peranannya dalam hal ini adalah sebagai tuan rumah yang memberikan

fasilitas-fasilitas yang diperlukan, menyediakan transportasi dan

komunikasi, memberikan jaminan dan apabila memungkinkan,

memberikan jaminan keuangan. Yang termasuk dalam kategori ini adalah

menerima tanggung jawab untuk melindungi suatu pihak tertentu.

Tujuan dari jasa baik teknis ini adalah mengembalikan atau

memelihara hubungan atau kontak langsung di antara para pihak yang

bersengketa setelah hubungan diplomatik mereka terputus. Jasa baik teknis

juga mewakili kepentingan salah satu pihak di negara pihak lainnya. Jasa

baik seperti ini biasanya berlangsung pada saat terjadinya perdamaian

ataupun saat peperangan.

Jasa baik politis adalah jasa baik yang dilakukan oleh negara atau

organisasi internasional yang berupaya menciptakan suatu perdamaian

atau menghentikan suatu peperangan yang diikuti dengan diadakannya

negosiasi atau suatu kompensasi. Yang termasuk dalam kategori ini adalah

menerima mandat dari negara lain untuk menyelesaikan suatu masalah

spesifik tertentu.69

4. Mediasi

Sama halnya dengan jasa-jasa baik, mediasi melibatkan pula

keikutsertaan pihak ketiga mediator yang netral dan independen dalam

suatu sengketa.Tujuannya adalah untuk menciptakan adanya suatu kontak

atau hubungan langsung di antara para pihak. Mediator bisa negara,

individu, organisasi internasional, dan lain-lain.70

Para mediator ini dapat bertindak baik atas inisiatifnya sendiri,

menawarkan jasanya sebagai mediator, atau menerima tawaran untuk

menjalankan fungsi- nya atas permintaan dari salah satu atau kedua belah

pihak yang bersengketa. Dalam hal ini, agar mediator dapat berfungsi,

diperlukan kesepakatan atau konsensus dari para pihak sebagai prasyarat

utama.

Dalam menjalankan fungsinya, mediator tidak tunduk pada suatu

aturan hukum acara tertentu. Ia bebas menentukan bagaimana proses

penyelesaian sengketanya berlangsung. Peranannya di sini tidak semata-

mata mempertemukan para pihak agar bersedia berunding, tetapi ia juga

terlibat dalam perundingan dengan para pihak dan bisa pula memberikan

saran-saran atau usulan penyelesaian sengketa. Bahkan mediator dapat

pula berupaya mendamaikan para pihak.

Mediator dalam menerapkan hukum tidak dibatasi pada hukum yang

69 Ibid.70 Ibid, hal.33.

ada. Ia dapat menggunakan asas ex aequo et bono (kepatutan dan

kelayakan). Karena sifatnya ini, cara penyelesaian sengketa melalui

mediasi lebih cocok digunakan untuk sengketa-sengketa yang sensitif.

Sengketa tersebut termasuk di dalamnya adalah sengketa yang memiliki

unsur politis, di samping sudah barang tentu sengketa hukum.

Menurut Bindschedler ada beberapa segi positif dari mediasi :71

1. Mediator sebagai penengah dapat memberikan usulan-usulan

kompromi di antara para pihak.

2. Mediator dapat memberikan usaha-usaha atau jasa-jasa lainnya,

seperti memberi bantuan dalam melaksanakan kesepakatan,

bantuan keuangan, mengawasi pelaksanaan kesepakatan, dan

lain-lain.

3. Apabila mediatornya adalah negara, biasanya negara tersebut

dapat menggunakan pengaruh dan kekuasaannya terhadap para

pihak yang bersengketa untuk mencapai penyelesaian

sengketanya.

4. Negara sebagai mediator biasanya memiliki fasilitas teknis yang

lebih memadai daripada orang perorangan. Sedang segi negatif

dari mediasi adalah mediator dapat saja dalam melaksanakan

fungsinya lebih memperhatikan pihak lainnya.

Proses penyelesaian melalui mediasi ini hampir mirip dengan

konsiliasi. Perbedaannya, pada mediasi umumnya mediator memberikan

71 Ibid, hal.34.

usulan penyelesaian secara informal dan usulan tersebut didasarkan pada

laporan yang diberikan oleh para pihak, tidak dari hasil penyelidikannya

sendiri. Namun demikian, perbedaan kedua proses penyelesaian ini dalam

praktiknya menjadi tidak jelas (rancu). Sulit untuk membuat batas-batas

yang tegas di antara kedua proses ini.Perlu ditekankan di sini, bahwa saran

atau usulan penyelesaian yang diberikan tidaklah mengikat sifatnya.

Sifatnya rekomendatif atau usulan saja.72

5 .Konsiliasi

Penyelesaian sengketa melalui cara konsiliasi juga melibatkan pihak

ketiga yaitu konsiliator yang tidak berpihak atau netral dan

keterlibatannya karena diminta oleh para pihak. Menurut Bindschedler,

unsur ketidakberpihakan dan kenetralan merupakan kata kunci untuk

keberhasilan fungsi konsiliasi. Hanya dengan terpenuhinya dua unsur ini,

objektivitas dari konsiliasi dapat terjamin. Badan konsiliasi bisa yang

sudah terlembaga atau ad hoc sementara. Proses seperti ini berupaya

mendamaikan pandangan-pandangan para pihak yang bersengketa

meskipun usulan-usulan penyelesaian yang dibuat oleh konsiliator sifatnya

tidak mempunyai kekuatan hukum. The Hague Convention for the Pacific

Settlement of International Dispute of 1899 dan 1907 memuat mekanisme dan

aturan pembentukan komisi konsiliasi. Badan seperti ini hanya bisa

dibentuk dengan persetujuan bersama para pihak. Pada umumnya, badan

ini diberi mandat untuk mencari dan melaporkan fakta-fakta yang ada di

72 Ibid, hal.35.

sekitar pokok sengketa.73

Dari isi perjanjian itu, tampak ada beberapa fungsi dari badan

konsiliasi yaitu :74

1. menganalisis sengketa, mengumpulkan keterangan mengenai

pokok perkara, dan berupaya mendamaikan para pihak;

2. membuat laporan mengenai hasil upayanya dalam

mendamaikan para pihak

3. menetapkan atau membatasi jangka waktu dalam

menjalankan tugasnya. Di samping fungsi, terdapat kriteria lain yang

membedakan badan ini dengan mediasi.

Konsiliasi memiliki hukum acara yang lebih formal dibandingkan

mediasi. Hukum acara tersebut bisa ditetapkan terlebih dahulu dalam

perjanjian atau diterapkan oleh badan konsiliasi.

6. Arbritase

Peradilan arbritase memiliki bentuk yang berbeda dengan peradilan

intern suatu negara karena bentuknya yang non–institusional, dalam

pengertian yang luas istilah ini merujuk pada cara penyelesaiaan sengketa

internasional secara damai yang dirumuskan dalam suatu keputusan oleh

arbritrators yang dipilih oleh pihak–pihak yang bersengketa. Pihak-pihak

tersebut sebelumnya menerima sifat mengikat keputusan yang akan

diambil.75

Di samping itu, keputusan arbritasi dalam arti luas ini dapat

73 Ibid, hal.36.74 Ibid, hal.37.75 Boer Mauna, Op.Cit, hal. 228.

didasarkan baik atas konsederasi hukum maupun konsiderasi politik dan

lain-lainnya. Karena itu arbritase baru betul-betul merupakan suatu sistem

penyelesaiaan hukum bila dijelaskan sifat mengikat dari keputusan yang

didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum. Definisi dari arbritase dalam

arti sempit adalah definisi yang diberikan oleh pasal 37 konvensi Den

Haag, 18 oktober 1907 mengenai penyelesaian sengketa-sengketa

internasional secara damai: Arbritase internasional bertujuan untuk

menyelesaikan suatu sengketa antar negara oleh hakim-hakim pilihan

mereka dan atas dasar ketentuan hukum. Penyelesaiaan melalui arbritase

ini berarti bahwa negara-negara harus melaksanakan keputusan dengan

itikad baik.76

Dari definisi tersebut didapatkan ciri pokok arbritasi yang bersifat

sukarela, sifat hukum yang mengikat dan non institusional. Yang

dimaksudkan dengan sukarela adalah ialah negara-negara tidak diharuskan

memilih cara penyelesaiaan yang demikian dan negara-negara juga bebas

memilih hakim-hakimnya. Sifat hukum yang mengikat terletak pada

keharusan negara-negara melaksanakan keputusan dengan itikad baik,

sedangkan sifat non-institusionalnya berarti bahwa hakim-hakim yang

dipilih tersebut bukan merupakan organ permanen yang dibentuk sebelum

lahirnya suatu sengketa. Jadi organ arbritasi yang didirikan setelah

lahirnya suatu sengketa akan bertujuan untuk memeriksa sengketa itu saja.

Bila sengketa itu sudah selesai diperiksa maka organ abritasi itupun akan

76 Ibid, hal.229.

bubar pula.77

7.Mahkamah Internasional

Seperti juga halnya dengan arbritasi internasional, Mahkamah

internasional merupakan suatu cara penyelesaiaan sengketa internasional

yang didasarkan atas ketentuan-ketentuan hukum dan karena itu kedua

prosedur penyelesaiaan ini menghasilkan keputusan-keputusan hukum

yang akan mengikat negara-negara yang bersengketa. Tetapi bentuk

yurisdiksi mahkamah internasional jauh lebih maju dibandingkan arbritase

internasional. Mahkamah internasional merupakan bagian integral dari

PBB, sedangkan mahkamah internasional yang lama terpisah dari Liga

Bangsa-bangsa. Semua anggota PBB secara otomatis menjadi anggota

statuta Mahkamah internasional. 78

Tidak seperti badan-badan organisasi internasional lainnya,

mahkamah internasional tidak terdiri dari wakil-wakil pemerintah. Sekali

terpilih maka seorang anggota dan hakim bukan lagi delegasi pemerintah

negaranya atau negara lainnya. Ia adalah hakim independen yang ketika

diangkat, bersumpah di hadapan mahkamah bahwa ia akan melaksanakan

kekuasaan dan tugas-tugasnya secara adil dan sungguh-sungguh. Untuk

menjamin kemerdekaannya, seorang hakim tidak dapat dibebastugaskan

kecuali atas pendapat secara bulat dari anggota-anggota lainnya ketika ia

tidak dapat lagi melaksanakan kondisi-kondisi yang disayaratkan sebagai

77 Ibid.78 Ibid, hal.249.

seorang hakim. Dalam praktik hali ini belum pernah terjadi.79

ICJ merupakan salah satu dari 6 organ utama PBB. Namun, badan ini

memiliki kedudukan khusus dibandingkan 5 organ utama lainnya. ICJ

atau Mahkamah tidak memiliki hubungan hierarkis dengan badan-badan

utama PBB lainnya. Ia benar-benar lembaga hukum dalam sebagai suatu

pengadilan. Ia bukan pula pengadilan konstitusi atau Constitusional Court

yang memiliki kewenangan untuk melakukan Judicial Review putusan-

putusan politis yang dibuat oleh Dewan Keamanan. Ia menggunakan Nama

resmi ICJ dan tidak menggunakan simbol atau nama PBB dalam

putusannya. Menurut hemat penulis kedudukan ICJ ini memang unik.

Kedudukannya benar-benar menampilkan suatu kemandiriannya sebagai

suatu organ, atau badan pengadilan. Kemandirian ini memang diperlukan

bagi ICJ sendiri untuk menunjukan kredibilitas dan kepercayaan dari

negara-negara.80

79 Huala Adolf, Op.Cit, hal.63-64.80 Ibid.

BAB III

METODE PENELITIAN

1. Metode Pendekatan

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu yuridis

normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus.

Pendekatan perundang-undangan digunakan dalam penelitian ini karena

yang akan digunakan adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus

sekaligus tema sentral penelitian ini.81 Sedangkan pendekatan kasus

bertujuan untuk mempelajari norma-norma atau kaidah hukum yang

dilakukan dalam praktik hukum. Kasus tersebut dipelajari untuk

memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu

aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya

untuk bahan masukan (input) dalam elsplanasi hukum.82

2. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian ini adalah deskriptif, yaitu penelitian yang

hanya menggambarkan objek dan atau masalahnya tanpa bermaksud

mengambil kesimpulan yang berlaku umum. Penelitian ini berusaha

menggambarkan peristiwa in concreto yang dikonsultasikan pada

seperangkat peraturan hukum positif yang berlaku dan ada kaitannnya

dengan masalah yang menjadi objek penelitian83

81 Johnny Ibrahim, Op.Cit, hal.302.82 Ibid, hal.321.83 Ronny Hanitijo Soemitro, Metode Penelitian Hukum, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1982,

hal.11.

3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Pusat Informasi Ilmiah Fakultas Hukum

Universitas Jenderal Soedirman, Perpustakaan Pusat Universitas Jenderal

Soedirman, Dan media Internet

4. Jenis dan Sumber Data

Dalam penelitian ini peneliti hanya menggunakan data sekunder saja

untuk membangun penelitian ini dan untuk mendapatkan hasil yang

objektif dari penelitian. Dari data sekunder tersebut akan dibagi kedalam

tiga bagian yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, Yaitu bahan–bahan hukum yang

bersifat mengikat berupa peraturan perundang–undangan dalam

hukum internasional yang berkaitan dengan keberadaan pangkalan

militer asing di suatu negara : San Francisco Treaty 1951 Treaty of

Peace Between Japan And Allied; Vienna Convention 1969 of Law Of

Treaties; Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of

America and Japan 1960; Amendement of Treaty Of Mutual

Cooperation between the United States of America and Japan 1990

b. Bahan hukum Sekunder, Yaitu bahan–bahan hukum yang

memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, antara lain di

bidang ilmu hukum, Hasil penelitian di bidang hukum, artikel–

artikel ilmiah, baik dari koran maupun internet.

c. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberikan

petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder,antara lain kamus hukum.

5. Metode Pengumpulan Data

Data sekunder yang diperoleh dengan menginventarisir peraturan

perundang–undangan, dokumen–dokumen resmi, hasil penelitian,

makalah, dan buku–buku yang berkaitan dengan materi penelitian

kemudian dicatat sesuai dengan relevansinya dengan materi yang menjadi

objek penelitian untuk selanjutnya dipelajari dan dikaji sebagai satu

kesatuan yang utuh.

6. Metode Penyajian Data

Data yang berupa bahan–bahan hukum yang telah diperoleh kemudian

disajikan dalam bentuk teks naratif, uraian–uraian yang disusun secara

sistematis, logis, dan rasional. Keseluruhan data yang diperoleh akan

dihubungkan satu dengan yang lainnya disesuaikan dengan pokok

permasalahan yang diteliti sehingga merupakan satu kestuan yang utuh.

7. Metode Analisis Data

Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif normatif, yaitu dengan

menjabarkan data–data yang telah diperoleh berdasarkan norma hukum

atau kaidah yang relevan dengan pokok permasalahan.

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pengaturan Mengenai Keberadaan Pangkalan Militer Asing Di Suatu

Negara

Negara sebagai subjek hukum internasional dan pelaku dalam hubungan

internasional, bersamaan dengan berkembangnya jaman semakin menghadapi

banyak tantangan baik di dalam bidang ekonomi ataupun keamanan internasional.

Di era globalisasi hubungan kerjasama internasional semakin ramai dengan

keberadaan dan diakuinya organisasi internasional sebagai salah satu pelaku

dalam hubungan internasional. Hubungan kerjasama internasional yang dilakukan

antar subjek hukum internasional utamanya antar negara pun semakin meningkat.

Adanya perbedaan sistem kenegaraan, bentuk negara, perbedaan pandangan

hidup, kebudayaan, agama atau kepercayaan bukan merupakan penghalang untuk

menjalin kerjasama, bahkan dapat meningkatkan intensifnya hubungan antar

negara. Demikian juga persoalan yang menjadi sasaran pengaturan dalam

perjanjian internasional tidak hanya masalah-masalah yang ada di permukaan

bumi saja, namun sesudah meluas pada masalah-masalah yang ada di dalam perut

bumi dan juga yang ada di luar planet bumi (di ruang udara dan ruang angkasa).84

Isu mengenai keamanan internasional dan upaya menjaga ketertiban dunia

menjadi sorotan utama sebagai faktor penunjang hubungan internasional.

Hubungan internasional membutuhkan keamanan dalam menjalin hubungan serta

84 Harry Purwanto, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam PerjanjianInternasional, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011, hal.102.

penjaminan. Pasca Perang Dingin berakhir ketika Uni Soviet akhirnya bubar

menempatkan Amerika Serikat sebagai satu-satunya negara adidaya yang

memiliki kemampuan dan kewajiban untuk menjaga dan mengawasi ketertiban

dunia. Dengan banyaknya sumber daya baik aset militer serta sumber daya

intelejen yang memadai semakin mengkukuhkan posisi Amerika Serikat sebagai

negara super power, adapun pengertian umum mengenai negara super power

adalah sebuah negara yang memiliki sumber daya natural yang melimpah, sumber

daya manusia yang memadai dan sumber daya militer yang kuat dan massive.

Dengan kekuatan adidaya inilah Amerika Serikat memiliki keinginan untuk

mengawasi berjalannya dunia dengan membuat pangkalan-pangkalan militer

sebagai sebuah bentuk sub kewenangan yang berada di wilayah negara lain.

Keberadaan pangkalan militer ini memiliki fungsi sebagai pos pengamanan dalam

wilayah tertentu yang memungkinkan Amerika Serikat dapat memberikan respon

cepat ketika hendak akan menurunkan pasukan di wilayah regional pangkalan

militer tersebut. Pada masa perang dingin pangkalan militer berfungsi sebagai

instrumen penjaga ideologi demokrasi pada negara-negara yang dimungkinkan

masuk dalam pengaruh ideologi komunis Uni Soviet.

Sampai pecahnya Perang Dunia Kedua, Okinawa adalah sebuah pulau yang

damai, bahkan tanpa pasukan militer Jepang ditempatkan di sana, hanya ada

kantor wajib militer dengan komandan dan beberapa anggota staf. Tanpa

pangkalan militer, rakyat Okinawa hidup dalam damai dan memiliki hubungan

persahabatan dengan pulau pulau tetangga di Asia. Pada tahun 1944 ketika Jepang

diambang kekalahan dalam perang dunia, pemerintah Jepang memutuskan untuk

membuat Okinawa menjadi tempat untuk menentukan akhir pertempuran,

pasukan militer ditempatkan di sana pada skala penuh. Selama perang dunia II

berlangsung di Okinawa banyak non combatant yang terlibat dan menjadi korban

selama perang 80 hari. Para penduduk yang berhasil selamat kemudian dimasukan

kedalam kamp konsentrasi dan kemudian dilepaskan pada tahun 1945. Pasca

perang hampir seluruh wilayah okinawa hancur dan tidak dapat diamanfaatkan

kembali wilayahnya. Kemudian Ototritas militer Amerika Serikat memulai

pembuatan Chatan Airbase, hampir 18.000 hektare wilayah Okinawa dikuasai

oleh militer Amerika Serikat dan 40.000 pemilik tanah dihapuskan hak

kepemilikan tanahnya guna kepentingan militer.85

Setelah berakhirnya perang dunia ke II penduduk Okinawa kembali

berusaha mengerjakan tanah mereka yang selamat dari penghapusan hak tanah

yang dilakukan oleh otoritas militer Amerika. Ketika itu penduduk Okinawa

memiliki harapan bahwa setelah ditanda tanganinya perjanjian perdamaian tanah

mereka dapat kembali, akan tetapi dalam San Fransisco Treaty 1951 yang

ditandatangani oleh Jepang dan sekutu mengijinkan dan memperpanjang periode

okupasi Amerika Serikat di Okinawa. Dengan kekalahan Jepang, penempatan

pasukan militer di Okinawa seharusnya berakhir. Namun, Okinawa saat ini begitu

penuh sesak dengan keberadaan pangkalan militer AS dan fasilitasnya. 86

Pangkalan militer di Okinawa adalah salah pangkalan militer terbesar di

dunia. Sebelas persen dari luas daratan Prefektur Okinawa ditempati oleh militer

AS. Angka ini naik 20 persen di daratan Okinawa. Di prefektur pulau ini dari 1,3

85 Japanese Communist party Journal, Op.Cit, hal.2.86 Ibid, hal.1.

juta orang, 27.000 tentara AS ditempatkan di tiga pangkalan militer utama yaitu

Yomitan Airbase, Chatan Airbase dan Kadena Airbase. Pangkalan militer AS di

Okinawa terletak tepat di tengah-tengah daerah yang sangat padat penduduk.

Sebagai contoh, pangkalan udara Kadena memakan 83 persen dari

luas lahan kota Kadena, memaksa lebih dari sepuluh ribu warga untuk hidup

dalam 17 persen sisa tanah. Penduduk kota rumah, sekolah, rumah sakit dan

fasilitas lainnya didesak di daerah kecil dalam jarak hanya beberapa ratus meter

dari landasan pacu pangkalan. Keadaan seperti ini tidak hanya terdapat pada kota

Kadena saja, selain Kadena, ada 3 kota dan 50 desa yang tanahnya diambil oleh

pangkalan militer AS. Dan terdapat pula 5 kota di mana lebih dari 30 persen dari

tanah mereka diambil Desa Yomitan, Desa Higashi, Kota Okinawa, Desa Ie dan

Kota Ginowan.87

Amerika Serikat memiliki beberapa pangkalan militer antara lain di

Afghanistan, Jerman, Korea Selatan, Philipina, Irak dan di kepulauan Okinawa

Jepang. Keberadaan pangkalan militer asing di suatu negara didasarkan pada

perjajnjian bilateral yang disebut Status Perjanjian Pasukan Security Of Force

Agreement (SOFA), umumnya menetapkan kerangka kerja mengenai keberadaan

personil militer AS yang beroperasi di luar negeri, SOFA mengatur mengenai

bagaimana permasalahan yurisdiksi hukum nasional asing harus diterapkan

terhadap personel AS ketika berada di negara itu. Tidak ada persyaratan formal

mengenai bentuk, isi, panjang, atau judul SOFA.88

87 Ibid.88 Congressionnal Research Service, Status of Forces Agreement : What is it ?, And Howhas it been utilized ?, January 2011,Summary .hal.1.

SOFA dapat ditulis untuk tujuan tertentu atau kegiatan, atau mungkin

mengantisipasi hubungan jangka panjang dan menyediakan fleksibilitas

maksimum dalam penerapan. SOFA pada umumnya merupakan dokumen yang

berdiri sendiri, disimpulkan sebagai perjanjian eksekutif. SOFA dapat mencakup

banyak ketentuan, namun masalah yang paling umum yang dihadapi adalah

negara mana dapat melaksanakan yurisdiksi pidana atas personel AS. Ketentuan

lain yang dapat ditemukan dalam SOFA adalah aturan pada pemakaian seragam,

pajak dan biaya, perijinan dalam membawa senjata, penggunaan frekuensi radio,

lisensi mengemudi, dan peraturan adat istiadat khusus yang harus dipatuhi. SOFA

sering disertakan bersamaan dengan perjanjian militer jenis lain, sebagai bagian

dari keamanan komprehensif pengaturan dengan negara tertentu. SOFA sendiri

bukan pengaturan mengenai keamanan, melainkan menetapkan hak-hak dan

keistimewaan personel AS yang berada dalam suatu negara untuk ikut dalam

mendukung pengaturan keamanan. SOFA dapat dimasukkan dalam perjanjian

berdasarkan otoritas sebelumnya dan keputusan kongres atau sebagai perjanjian

eksekutif tunggal. Amerika Serikat saat ini memiliki lebih dari 100 perjanjian

SOFA dengan negara di seluruh dunia.89

SOFA adalah perjanjian yang menetapkan kerangka di mana angkatan

bersenjata beroperasi dalam perjanjian yang disepakati oleh negara asing, yang

isinya memberikan hak-hak umum dan hak-hak individu yang tercakup sementara

dalam yurisdiksi asing tersebut. SOFA juga mengatur mengenai masalah

bagaimana hukum nasional yurisdiksi asing harus diterapkan terhadap personil

89 Ibid.

militer AS di negara itu. Penting untuk dicatat bahwa SOFA adalah kontrak antara

pihak dan dapat dibatalkan pada kehendak salah satu pihak. SOFA adalah

dokumen pada masa damai dan karena itu tidak membahas aturan perang, hukum

perang, atau Hukum Laut.90

Dalam hal konflik bersenjata antara pihak yang melakukan SOFA, maka

persyaratan perjanjian tidak akan berlaku lagi. SOFA dapat mencakup banyak

ketentuan, tapi masalah yang paling umum dibahas adalah negara mana yang

dapat melaksanakan yurisdiksi pidana atas personel AS. Amerika Serikat telah

menyimpulkan perjanjian di mana ia mempertahankan yurisdiksi eksklusif atas

personil, akan tetapi lebih sering untuk menggunakan yurisdiksi bersama dengan

negara penerima. Secara umum, SOFA tidak mengotorisasi latihan khusus,

kegiatan, atau misi. Sebaliknya, SOFA bertujuan menyediakan kerangka kerja dan

perlindungan hukum serta hak-hak sementara personil AS yang hadir di suatu

negara untuk disepakati. SOFA bukanlah perjanjian pertahanan bersama atau

perjanjian keamanan. Keberadaan SOFA tidak mempengaruhi atau mengurangi

hak yang melekat pada para pihak terkait pembelaan diri di bawah hukum

perang.91

Dengan pengecualian dari SOFA multilateral antara Amerika Serikat dan

Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO, SOFA adalah bersifat spesifik

untuk masing-masing negara dan dalam bentuk executive agreement. Departemen

Luar Negeri dan Departemen Pertahanan bekerja sama mengidentifikasi

kebutuhan untuk SOFA tehadap negara tertentu dan menegosiasikan syarat-syarat

90 Ibid, hal,1.91 Ibid.

serta kesepakatan. The SOFA NATO adalah satu satunya SOFA yang

disimpulkan sebagai bagian dari perjanjian. Senat Amerika Serikat menyetujui

ratifikasi SOFA NATO pada 19 Maret 1970 sesuai dengan yang diharapkan,

Senat mensyaratkan kepada SOFA NATO mencakup empat kondisi: (1)

yurisdiksi pidana ketentuan yang tercantum dalam Pasal VII perjanjian tidak

merupakan preseden untuk masa depan dari perjanjian; (2) ketika anggota

angkatan bersenjata berada dalam posisi untuk diadili oleh pihak berwenang di

negara penerima, perwira komandan angkatan bersenjata AS di negara itu harus

meninjau hukum negara dengan mengacu pada perlindungan prosedural

Konstitusi Amerika Serikat, (3) jika perwira komando yakin ada bahaya bahwa

anggota angkatan bersenjata tidak akan dilindungi, karena ketiadaan atau adanya

pengingkaran hak-hak konstitusional, terdakwa akan menerima perlindungan di

Amerika Serikat, dan kemudian komandan harus meminta negara penerima

mengabaikan yurisdiksi dan, (4) Perwakilan dari Amerika Serikat ditunjuk untuk

menghadiri dan mendampingi sidang setiap anggota angkatan bersenjata tersebut

diadili oleh negara penerima dan ia bertugas untuk melindungi hak-hak

konstitusional anggota angkatan bersenjata tersebut.92

SOFA NATO adalah perjanjian multilateral yang memiliki penerapan pada

semua anggota NATO. Pada Juni 2007, 26 negara termasuk Amerika Serikat,

telah meratifikasi perjanjian atau mengaksesi dengan aksesi mereka ke NATO.

Selain itu, 24 negara lainnya tunduk pada SOFA NATO melalui partisipasi

mereka dalam Kemitraan NATO untuk perdamaian. Program ini terdiri dari

92 Ibid, hal,2.

kerjasama bilateral antar individu negara dan NATO dalam rangka untuk

meningkatkan stabilitas, mengurangi ancaman terhadap perdamaian dan

membangun keamanan yang lebih kuat. Masing-masing negara yang

berpartisipasi dalam kemitraan NATO untuk perdamaian setuju untuk mematuhi

ketentuan SOFA NATO. Melalui SOFA NATO dan kemitraan NATO untuk

perdamaian, Amerika Serikat memiliki perjanjian SOFA dengan sekitar 58

negara. 93

Menteri luar negeri Rice dan Sekretaris negara Gates menyatakan bahwa

Amerika Serikat telah memiliki perjanjian di lebih dari 115 negara di seluruh

dunia. SOFA NATO dan SOFA kemitraan NATO untuk perdamaian memiliki

andil dalam sekitar setengah dari SOFA yang ditandatangani oleh Amerika

Serikat dengan negara-negara di seluruh dunia. Departemen Pertahanan

menyediakan kebijakan dan informasi yang spesifik untuk SOFA. Departemen

Pertahanan AS memiliki kebijakan untuk melindungi semaksimal mungkin, hak-

hak Personil AS yang dikenakan pengadilan pidana oleh pengadilan asing dan

penjara di penjara asing. Kebijakan ini kurang berjalan baik dengan reservasi

Senat pada SOFA NATO dengan menyatakan meskipun reservasi perjanjian

menyertai ratifikasi hanya berlaku untuk negara-negara anggota NATO dimana

aplikasi dapat diterapkan, namun reservasi sebanding harus diterapkan untuk

perjanjian SOFA kedepan. Secara khusus kebijakan menyatakan bahwa prosedur

yang sama untuk melindungi kepentingan subjek personel AS untuk yurisdiksi

93 Ibid.

asing akan dapat diterapkan sepenuhnya ketika dipraktekkan di daerah-daerah di

luar negeri di mana pasukan AS ditempatkan.94

Mengenai ketentuan dari Status of Forces Agreement (SOFA) tidak ada

persyaratan formal yang mengatur isi, detail, dan panjang dari SOFA. Diatur

mengenai para pihak yang melakukan perjanjian, namun tidak terbatas pada

yurisdiksi pidana dan perdata, aturan dalam mengenakan seragam, pajak dan

biaya-biaya, ijin membawa senjata, penggunaan frekuensi radio, persyaratan

Surat ijin mengemudi, dan adat istiadat serta peraturan negara penerima. Amerika

Serikat telah melakukan perjanjian SOFA tersingkat sepanjang satu halaman dan

terdapat pula SOFA yang terdiri dari 200 halaman lebih. Misalnya, Amerika

Serikat dan Bangladesh melakukan exchanged notes dalam rangka melakukan

latihan bersama pada tahun 1998. Perjanjian ini khusus ditujukan untuk satu

aktivitas latihan Militer bersama , terdiri dari 5 pasal, dan terkandung dalam satu

halaman. Amerika Serikat dan Botswana melakukan exchanged notes untuk status

pasukan yang untuk sementara berada di Botswana dalam hubungannya dengan

latihan, pelatihan, bantuan kemanusiaan, atau kegiatan lainnya yang dapat

disepakati oleh kedua negara tersebut. Sebaliknya, dokumen berjumlah 200

halaman lebih, antara Amerika Serikat dan Jerman ditandatangani sebagai

perjanjian tambahan ke SOFA NATO, Isi perjanjian tersebut terkait perjanjian-

perjanjian tambahan dan terkait dengan isu-isu spesifik.

Yurisdiksi pidana adalah masalah yang paling sering dibahas dalam SOFA,

terkait perlindungan hukum yang diberikan dari penuntutan yang ditujukan

94 Ibid, hal,3.

kepada personel AS yang berada sementara di negara asing. Persetujuan tersebut

bertujuan untuk menegaskan yurisdiksi pidana atau perdata. Dengan kata lain,

perjanjian SOFA menetapkan bagaimana hukum perdata dan pidana dalam negeri

diterapkan untuk personel AS ketika berada di negara asing. Amerika Serikat

telah memasuki perjanjian di mana Amerika dapat mempertahankan yurisdiksi

eksklusif, namun hasil kesepakatan yang bersifat lebih umum dalam yurisdiksi

dibagi antara Amerika Serikat dan negara penerima. Yurisdiksi eksklusif adalah

kemampuan Amerika Serikat untuk tetap melaksanakan dan mempertahankan hak

untuk melaksanakan semua yurisdiksi pidana dan disiplin atas pelanggaran hukum

di wilayah negara penerima atas perbuatan pelanggaran yang dilakukan oleh

personil angkatan bersenjata Amerika Serikat.

Yurisdiksi Bersama terjadi ketika masing-masing pihak mempertahankan

yurisdiksi eksklusif atas suatu pelanggaran tertentu, tetapi juga memungkinkan

Amerika Serikat untuk meminta agar negara tuan rumah melepaskan

yurisdiksinya atas suatu perbuatan walaupun perbuatan tersebut melanggar pidana

dan disiplin. Hak untuk melaksanakan yurisdiksi atas personil angkatan bersenjata

Amerika Serikat tidak hanya terbatas pada saat seseorang berada di instalasi

militer. Hal Ini juga meliputi individu yang berada ketika di luar instalasi militer.

Hak untuk mengerahkan yurisdiksi dapat mengakibatkan kekebalan dari hukum

negara penerima walaupun individu tersebut berada di negara penerima.95

Sebagai contoh penerapan yurisdiksi eksklusif, Amerika Serikat

menandatangani kesepakatan mengenai pertukaran anggota militer dan kunjungan

95 Ibid, hal,4.

dengan pemerintah Mongolia, sebagai bagian dari perjanjian tersebut, Pasal X

dibuat dalam kesepakatan kedua belah pihak yang bertujuan untuk mengatur

yurisdiksi pidana personel militer AS yang berada di Mongolia. Dalam perjanjian

tersebut menyediakan pasal yang memberikan kewenangan bagi penguasa militer

Amerika Serikat untuk berhak dalam melakukan semua proses pidana dan

disipliner yang terjadi di Mongolia, yurisdiksi Amerika Serikat diberlakukan

kepada seluruh Personel militer Amerika. Setiap tindak pidana dan pelanggaran

terhadap hukum Mongolia yang dilakukan oleh anggota angkatan bersenjata dari

AS harus dirujuk kepada otoritas Amerika Serikat yang berwenang untuk

melakukan penyelidikan dan disposisi. Perjanjian tidak memungkinkan

pemerintah Mongolia untuk meminta Amerika Serikat untuk mengesampingkan

yurisdiksi dalam kasus dugaan perilaku kriminal yang tidak terkait dengan

personel militer yang bertugas. Tidak ada kondisi pensyaratan bagi Amerika

Serikat untuk mengesampingkan yurisdiksi, hanya untuk memberikan

pertimbangan yang bersifat simpatik dari setiap permintaan pelepasan yurisdiksi

yang diminta oleh negara penerima96.

Contoh dari yurisdiksi bersama adalah SOFA NATO, yang berlaku untuk

semua negara anggota NATO adalah sebuah contoh dari yurisdiksi bersama. Pasal

VII menyediakan kerangka yurisdiksi97. SOFA memungkinkan untuk negara yang

96 Ibid.

97 4 U.S.T. 1792; T.I.A.S. 2846; 199 U.N.T.S. 67. Article VII:1. Subject to the provisions of this Article,(a) the military authorities of the sending State shall have the right to exercise within the receivingState all criminal and disciplinary jurisdiction conferred on them by the law of the sending Stateover all persons subject to the military law of that State;(b) the authorities of the receiving State shall have jurisdiction over the members of a force orcivilian component and their dependents with respect to offenses committed within the territory of

tidak memiliki hak yurisdiksi untuk meminta negara dengan hak yurisdiksi untuk

mengesampingkan haknya atas yurisdiksi. Tidak ada persyaratan bagi negara

untuk mengesampingkan yurisdiksi, hanya berupa permintaan untuk memberikan

pertimbangan atas permintaan yang diminta. Di bawah kerangka kerja yurisdiksi

bersama, masing-masing negara memiliki yurisdiksi eksklusif yang dapat

dipergunakan dalam keadaan tertentu, umumnya ketika terjadi suatu pelanggaran

yang hanya dinyatakan sebagai pelanggaran hukum oleh satu undang-undang

negara saja. Dalam hal ini, negara yang hukumnya telah terlanggar memiliki

yurisdiksi eksklusif atas pelaku. Ketika tindakan melanggar hukum kedua negara,

yurisdiksi bersamaan hadir dan kualifikasi tambahan yang digunakan untuk

the receiving State and punishable by the law of that State.2.—(a) The military authorities of the sending State shall have the right to exercise exclusivejurisdiction over persons subject to the military law of that State with respect to offenses, includingoffenses relating to its security, punishable by the law of the sending State, but not by the law of thereceiving State.(b) The authorities of the receiving State shall have the right to exercise exclusive jurisdiction overmembers of a force or civilian components and their dependents with respect to offenses, includingoffenses relating to the security of that State, punishable by its law but not by the law of the sendingState. (c) For the purposes of this paragraph and of paragraph 3 of this Article a security offenseagainst aState shall include(i) treason against the State;(ii) sabotage, espionage or violation of any law relating to official secrets of that State, orsecrets relating to the national defense of that State.3. In cases where the right to exercise jurisdiction is concurrent, the following rules shall apply:(a) The military authorities of the sending State shall have the primary right to exercise jurisdictionover a member of a force or of a civilian component in relation to(i) offenses solely against the property or security of that State, or offenses solely against theperson or property of another member of the force or civilian component of that State or of adependent;(ii) offenses arising out of any act or omission in the performance of official duty.(b) In the case of any other offense the authorities of the receiving State shall have the primary rightto exercise jurisdiction.(c) If the State having the primary right decides not to exercise jurisdiction, it shall notify theauthorities of the other State as soon as practicable. The authorities of the State having the primaryright shall give sympathetic consideration to a request from the authorities of the other State for awaiver of its right in cases where that other State considers such waiver to be of particularimportance.4. The foregoing provisions of this Article shall not imply any right for the militaryauthorities of the sending State to exercise jurisdiction over persons who are nationals of orordinarily resident in the receiving State, unless they are members of the force of the sendingState.”

menentukan negara mana yang akan diizinkan untuk menegaskan yurisdiksinya

atas pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku.98

SOFA pada umumnya tidak mengizinkan operasi militer tertentu atau misi

yang dilaksanakan oleh pasukan AS. Walaupun SOFA umumnya tidak

memberikan kewenangan untuk melakukan tindakan perlawanan, hak yang

melekat pada personel militer Amerika Serikat tidak terpengaruh atau berkurang.

Personel AS selalu memiliki hak untuk membela diri, jika diancam atau berada

dalam keadaan diserang, dan SOFA tidak mengambil hak tersebut. Dalam SOFA

selalu terdapat klausa yang mendefinisikan ruang lingkup penerapan perjanjian.

Sebagai contoh, SOFA dengan Belize yang dengan tegas berlaku untuk personel

AS yang berada sementara di Belize sehubungan dengan latihan militer dan

pelatihan, kegiatan opersai kontra-narkoba, program keamanan bantuan Amerika

Serikat, atau tujuan lain yang disepakati.

Amerika Serikat sebelumnya telah menandatangani dua perjanjian yang

berbeda dengan Belize terkait dengan pelatihan militer dan penyediaan bantuan

pertahanan. SOFA sendiri tidak mengizinkan operasi khusus, latihan, atau

kegiatan, tetapi memberikan ketentuan tertentu dalam mengatasi permasalahan

yang mungkin terjadi mengenai status hukum dan perlindungan terhadap personil

AS yang berada sementara di Belize. Menurut ketentuan perjanjian, personel AS

disediakan perlindungan hukum seolah-olah mereka adalah staff administrasi dan

staff teknis dari Kedutaan Besar AS.

98 Ibid, hal,5.

Mengenai ketentuan lainnya seperti seragam, pajak, dan bea cukai,

pemahaman mengenai pernyataan yurisdiksi hukum umumnya masih bersifat

universal. Suatu masalah administrasi dan operasional yang lebih rinci dapat

dimasukkan sebagai salah satu isi dalam SOFA. SOFA dapat mencakup

pengaturan mengenai, pemakaian seragam oleh angkatan bersenjata ketika dia

tidak berada di instalasi militer, pajak dan biaya, izin membawa senjata oleh

personil AS, penggunaan frekuensi radio, persyaratan surat izin mengemudi, dan

peraturan kepabeanan. SOFA memberikan perlindungan hukum untuk

pelaksanaan operasi harian personel AS ketika berada di negara asing. Pada

umumnya sofa merupakan perjanjian bilateral sehingga dapat disesuaikan dengan

kebutuhan spesifik dari personil yang beroperasi di negara itu .99

Dalam mendukung kebijakan luar negerinya, Amerika Serikat telah

mengadakan perjanjian dengan negara-negara asing yang terkait dengan

komitmen keamanan dan penjaminan atas keamanan internasional. Perjanjian ini

dapat disimpulkan dalam berbagai bentuk termasuk sebagai kesepakatan

pertahanan kolektif yang mewajibkan para pihak untuk sepakat memberikan

bantuan dalam membela pihak manapun dalam perjanjian yang mengalami

serangan. Kesepakatan mengandung persyaratan berupa hak untuk mengadakan

pertemuan untuk para pihak dalam perjanjian berkonsultasi, dalam pertemuan

tersebut para pihak dalam perjanjian berjanji untuk mengambil tindakan dalam

peristiwa keamanan negara lain apabila suatu negara dalam perjanjian terancam.

perjanjian memberikan hak untuk militer untuk melakukan intervensi, namun

99 Ibid, hal,5.

hanya memberikan hak saja dan tidak memberikan kewajiban bagi salah satu

pihak tersebut untuk melakukan intervensi dalam wilayah negara tersebut walau

negara tersebut dalam ancaman yang berasal dari dalam negara tersebut atau dari

luar negara tersebut.100

SOFA sering disertakan bersama dengan jenis perjanjian militer lainnya

sebagai bagian dari pengaturan keamanan yang komprehensif. SOFA dapat

didasarkan pada kewenangan yang ditemukan dalam perjanjian sebelumnya,

keputusan dari kongres Amerika Serikat atau berasal dari satu-satunya perjanjian

eksekutif yang terdiri dari pengaturan keamanan.

SOFA antara Jepang dan Amerika yang saat ini berlaku yang mengatur

mengenai aturan keamanan antara kedua negara, ditanda tangani pada tahun 1952

dan berisi mengenai perjanjian keamanan disertai pengaturan administrasi.

Perjanjian administrasi tersebut mencakup antara lain yurisdiksi pelanggaran

hukum oleh anggota pasukan AS yang dilakukan di wilayah kedaulatan Jepang.

Amerika Serikat bisa mengabaikan yurisdiksinya dan mendukung yurisdiksi yang

dimiliki oleh Jepang. Salah satu ketentuan menetapkan bahwa Amerika Serikat

memiliki yurisdiksi tetap atas pelanggaran yang dilakukan oleh personil angkatan

bersenjata Amerika Serikat yang timbul dari suatu tindakan atau kelalaian yang

dilakukan dalam pelaksanaan tugas resmi sehari hari, hal ini diatur dalam bab

XVII pasal 1-3 SOFA Treaty of Mutual Cooperation and Security between the

United States of America and Japan, Regarding Facilities and Areas and the

Status of U.S. Armed Forces in Japan .

100 Ibid, hal,7.

Pada tahun 1957, seorang anggota Angkatan Darat AS didakwa atas

kematian warga sipil Jepang, ketika sedang berpartisipasi dalam latihan satuan di

daerah sekitar perkemahan Weir di Japan. Pihak Amerika Serikat mengklaim

bahwa perbuatan itu dilakukan dalam pelaksanaan tugas resmi, namun Jepang

bersikeras bahwa tindakan tersebut terjadi di luar lingkup tugas resmi, karena

Jepang memiliki yurisdiksi utama untuk mengadili anggota angkatan bersenjata

tersebut. Setelah negosiasi, Amerika Serikat setuju dan sepakat untuk

menyerahkan anggota tersebut kepada Jepang sebagai pihak yang berwenang.

Dalam upaya untuk menghindari persidangan di pengadilan Jepang, anggota

milter Amerika Serikat tersebut mencoba mencari surat perintah habeas corpus di

pengadilan distrik Amerika Serikat untuk distrik dari Columbia. Habeas corpus

adalah surat perintah yang mengharuskan seseorang yang ditangkap untuk dibawa

kehadapan hakim atau ke pengadilan. Untuk memastikan bahwa seorang tahanan

dibebaskan dari penahanan yang melanggar hukum, penahanan yang memiliki

kurang cukup alasan atau bukti . Habeas corpus dapat diajukan oleh tahanan atau

oleh pihak lain yang datang untuk memberi bantuan hukum bagi tahanan. Hak ini

berasal dari sistem hukum Inggris, dan sekarang tersedia di banyak negara. Secara

historis habeas corpus menjadi instrumen hukum penting menjaga kebebasan

individu terhadap tindakan negara yang sewenang-wenang. Permohonan surat

perintah tersebut ditolak, namun anggota militer Amerika Serikat tersebut

diberikan surat perintah penolakan terhadap penyerahan atas kewenangan

mengadili pemerintah Jepang. Amerika Serikat mengajukan banding untuk

keputusan yang diberikan pada anggota militer tersebut pada Mahkamah Agung

Amerika Serikat.101

Dalam kasus Wilson vs Girard, Mahkamah Agung pertama-tama

membahas ketentuan yurisdiksi yang terkandung dalam perjanjian administrasi

yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Jepang. Pengadilan menetapkan dengan

merekomendasikan ratifikasi keamanan perjanjian SOFA NATO, dan selanjutnya

Senat telah menyetujui perjanjian administrasi dan protokol mewujudkan

ketentuan NATO yang mengatur kewenangan untuk mengadili kejahatan yang

dilakukan oleh pihak militer asing selama bertugas di wilayah negara penerima.

Pengadilan memutuskan bahwa bangsa yang berdaulat memiliki yurisdiksi

eksklusif untuk menghukum pelanggaran melawan hukum yang dilakukan di

dalam wilayah berdaulatnya, kecuali secara tersurat maupun tersirat terdapat

persetujuan untuk menyerahkan yurisdiksi, dan bahwa Jepang melakukan

penyerahan yurisdiksi untuk mengadili personel militer Amerika kepada Amerika

Serikat atas pelanggaran terhadap hukum kedua negara adalah dikondisikan oleh

ketentuan yang tercantum dalam protokol.102

Pertimbangan berdasarkan simpati atas permintaan dari negara lain untuk

melakukan pengabaian hak yurisdiksi dalam kasus di mana negara lain

menganggap bahwa pengabaian yurisdiksi menjadi penting. Pengadilan

menyimpulkan bahwa apakah konstitusi atau undang-undang melarang perjanjian

membawa keluar ketentuan dari yurisdiksi. Pengadilan menemukan tidak ada dan

101 Ibid, hal,11.102 Girard v. Wilson, 152 F. Supp. 21 (D.D.C. 1957). For a brief explanation of the writ of habeas

corpus, see CRSReport RS22432, Federal Habeas Corpus: An Abridged Sketch, by Charles Doyle

menyatakan bahwa tanpa adanya gangguan-gangguan tersebut, kebijaksanaan atas

pengaturan yang khusus digunakan untuk penentuan setiap keputusan terkait

bidang eksekutif dan legislatif.

Perjanjian Kerjasama dan Keamanan Bersama Antara Amerika Serikat dan

Japan ditandatangani pada tahun 1960 dan kemudian diubah pada tanggal 26

Desember 1990. Di bawah Pasal VI dari Traktat, Amerika Serikat diberikan izin

penggunaan udara, tanah dan kekuatan dari fasilitas angkatan laut di daerah

perairan Jepang dalam rangka memberikan kontribusi terhadap keamanan Jepang

dan pemeliharaan perdamaian international dan keamanan di wilayah Timur Jauh.

Pasal VI mengatur lebih lanjut bahwa penggunaan fasilitas dan status

angkatan bersenjata AS akan diatur berdasarkan perjanjian terpisah seperti

perjanjian keamanan yang sebelumnya ditandatangani pada tahun 1952. Sebuah

SOFA seperti yang disebut di Pasal VI Perjanjian, disimpulkan sebagai perjanjian

terpisah sesuai dengan dengan perjanjian pada tahun 1960. SOFA ini membahas

penggunaan fasilitas oleh angkatan bersenjata Amerika Serikat, serta status

pasukan AS di Jepang. Perjanjian tersebut telah dimodifikasi setidaknya empat

kali sejak perjanjian asli.

2. Penyelesaiaan Kasus Keberadaan Pangkalan Militer Amerika Serikat di

Okinawa Jepang

Kepulauan okinawa terletak di selatan kepulauan utama jepang dan terletak

di sebelah timur laut Taiwan, Okinawa masuk kedalam wilayah regional Kyushu

dengan luas wilayah sebesar 2,271.30 km2 dan total populasi penduduk berjumlah

1,379,338 jiwa. Pada tahun 1944 ketika Jepang hampir di gerbang kekalahan

dalam perang dunia ke II, otoritas militer Jepang memutuskan untuk membawa

perang kedalam pulau ini dengan memindahkan armada perang Jepang dalam

skala besar dan menempatkan pasukan di wilayah pulau ini.

Dengan kalahnya Jepang pada perang dunia ke II seharusnya dapat

mengakhiri keberadaan otoritas militer di pulau Okinawa, namun sekarang pulau

ini masih berada dalam penguasaan otoritas militer. United States Military Base of

Okinawa yang saat ini berada di wilayah tersebut, adalah otoritas militer asing

yang menguasai hampir 20% wilayah Prefektur Okinawa. Prefektur Okinawa

memiliki populasi sebesar 1.300.000 penduduk dan terdapat 27.000 lebih pasukan

amerika serikat yang ditempatkan di dua pangkalan militer utama yaitu Marine

Corps Air Station Futenma dan Kadena Airbase.103

Kadena Airbase adalah pangkalan bagi Angkatan Udara Amerika Serikat

yang terletak di antara dua kota yaitu Kadena dan Chatan. Kadena airbase adalah

rumah bagi Skuadron Udara Ke-18 bersama beberapa satuan tugas pendukungnya

: 320th Special Tactics Squadron, 1st Special Operations Squadron, 17th Special

Operations Squadron, 733rd Air Mobility Squadron, Det 1, 554th Red Horse

Squadron, American Forces Network Detachment 11, AFNEWS, Det 3, Pacaf Air

Postal Squadron, Det 3, United States Air Force School of Aerospace Medicine,

Support Center Pacific, OO-ALC/Maly, Det 3, Wr-Alc Air Force Petroleum

Office, Det 624, AF Office of Special investigations, Det 233, Air Force Audit

Agency, Field Training Detachment Det 15, 372nd Training Squadron. Kadena

Airbase terletak di koordinat 26°21′20″N 127°46′03″E. Pangkalan ini didirikan

103 Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.1.

pada tahun 1945 dan masih beroperasional hingga saat ini. Terdapat 18.000 lebih

anggota Angkatan Bersenjata Amerika Serikat yang ditempatkan di Kadena

Airbase dan hampir 4.000 penduduk sipil Jepang yang bekerja di pangkalan ini.

Marine Corps Air Station Futenma terletak di koordinat 26°16′15″N

127°44′53″E adalah pangkalan bagi 4.000 Marinir Amerika Serikat yang terletak

di kota Ginowan, Futenma Air Station adalah rumah bagi 1st Marine Aircraft

Wing. Pangkalan ini didirikan pada tahun 1945 dan masih beroperasional hingga

saat ini. Futenma Airbase ynag terletak di kota ginowan menempati hampir 480

hektar tanah dan hampir seperempat wilayah kota Ginowan yang berpopulasi

93.661 jiwa.

Penempatan Pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah dengan populasi

penduduk sipil yang padat dan ditengah pemukiman penduduk tentu saja

menimbulkan masalah dan gangguan pada kehidupan masyarakat prefektur

Okinawa Jepang, terlebih lagi sifat dan status pangkalan milter tersebut yang

merupakan ototritas asing yang berada di dalam suatu wilayah negara lain dan

kedaulatan sebuah negara. Dengan ditempatkannya militer Jepang di wilayah

Okinawa selama perang dunia ke II berlangsung, Okinawa menjadi satu-satunya

wilayah di negara Jepang yang dijadikan sebagai medan pertempuran. Akibat

yang muncul dengan didirikannya pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa

tentunya akan menghasilkan pergesekan kedaulatan antara pihak ototitas militer

Amerika Serikat yang memiliki kewenangan berdasarkan San Francisco Treaty

1951 dan Security Of Force Agreement dengan pemerintah berdaulat Jepang.

Selama perang dunia II berlangsung di Jepang banyak non combatant yang

terlibat dan menjadi korban selama perang 80 hari. Para penduduk yang berhasil

selamat kemudian dimasukan kedalam kamp konsentrasi dan kemudian

dilepaskan pada tahun 1945. Pasca perang hampir seluruh wilayah okinawa

hancur dan tidak dapat diamanfaatkan kembali wilayahnya. Kemudian Ototritas

militer Amerika Serikat memulai pembuatan Chatan Airbase, hampir 18.000

hektare wilayah Okinawa dikuasai oleh militer Amerika Serikat dan 40.000

pemilik tanah dihapuskan hak kepemilikan tanahnya guna kepentingan militer.104

Dalam Konvensi Den Hague menyebutkan pelarangan kepemilikan tanah

secara privat oleh penduduk sipil dalam masa berperang, Prinsip Military

Necessity digunakan untuk menghapuskan hak yang dimiliki oleh warga sipil.

Namun hal tersebut seharusnya tidak menghapuskan kewajiban pihak militer

Amerika untuk membayar kompensasi atas hilangnya hak yang sebelumnya

dimiliki oleh warga Okinawa pada umumnya. Tindakan penolakan yang

dilakukan oleh pihak Militer Amerika Serikat kala itu adalah sebuah pelanggaran

hukum internasional yang tidak memiliki alasan pemaaf ataupun justifikasi.

Setelah berakhirnya perang dunia ke II penduduk Okinawa kembali berusaha

mengerjakan tanah mereka yang selamat dari penghapusan hak tanah yang

dilakukan oleh otoritas militer Amerika. Ketika itu penduduk Okinawa memiliki

harapan bahwa setelah ditanda tanganinya perjanjian perdamaian tanah mereka

dapat kembali, akan tetapi dalam San Fransisco Treaty 1951 yang ditandatangani

oleh Jepang dan sekutu mengijinkan dan memperpanjang periode okupasi

104 Ibid, hal.2.

Amerika Serikat di Okinawa. Hal tersebut di ikuti dengan demonstrasi serta

penolakan yang dilakukan oleh masyarakat Okinawa atas keputusan tersebut yang

semakin memberikan kekuasaan dan wewenang bagi militer Amerika Serikat

untuk melakukan penghapusan hak atas tanah milik warga Okinawa dalam skala

besar dan semakin memperburuk kondisi dan beban pasca perang yang di derita

oleh masyarakat prefektur Okinawa. Pada tahun 1953 selama masa penghapusan

hak atas kepemilikan tanah yang dimiliki oleh warga Okinawa sering terjadi

kekerasan dan tindakan paksa yang dilakukan oleh militer Amerika Serikat, salah

satu cara yang digunakan oleh militer Amerika Serikat adalah memaksa dan

membujuk warga di sekitar pulau Iejima untuk melakukan imigrasi ke Amerika

Selatan, hampir sepanjang garis pantai pulau Iejima dibersihkan dan diratakan

garis pantainya guna kepentingan pembangunan lokasi berlabuh bagi armada

kapal militer Amerika Serikat.105

Pada tahun 1972, dua puluh tujuh tahun pasca berakhirnya perang dunia ke II,

hak pemerintahan admnistratif atas Okinawa telah dikembalikan kepada

pemerintah Jepang. Warga prefektur Okinawa tidak memiliki keraguan untuk

dapat masuk dan menguasai lagi tanah yang dahulu mereka miliki, akan tetapi

janji yang diberikan oleh otoritas militer amerika serikat tidak sepenuhnya

diberikan hanya sekitar 15% tanah yang dikembalikan pada pemiliknya oleh

otoritas militer Amerika Serikat.106

105 A Comprehensive Study on U.S. Military Government on Okinawa (An Interim Report)University of the Ryukyus March, 1987, hal.5-7.106 Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.4.

Hal tersebut menjadi bukti penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran

hukum internasional, bahwa walaupun pihak militer Amerika Serikat telah

memberikan kembali fungsi dan hak administratif pada pemerintah Jepang,

namun pada kenyataannya tidak terdapat perubahan situasi dan kondisi yang

terjadi secara nyata di Okinawa. Apabila kita mengatakan bahwa suatu negara

tertentu merdeka, maka dengan cara kongkret kita dapat memberikan sejumlah

atribut seperti hak, kekuasaan dan hak–hak istimewa menurut hukum

internasional kepada negara tersebut. Berkaitan dengan hak–hak dan lain–lainnya

itu, terdapat tugas- tugas dan kewajiban–kewajiban yang mengikat negara lain

yang berhubungan dengan negara tersebut. Hak–hak dan yang lainnya ini,serta

kewajiban–kewajiban yang berkaitan merupakan substansi pokok dari

kemerdekaan negara.107

Contoh–contoh hak dan lain–lain itu, yang berkaitan dengan kemerdekaan

negara–negara, adalah :

A. Kekuasaan eksklusif untuk melakukan kontrol terhadap urusan–

urusan dalam negerinya;

B. Kekuasaan untuk memberi izin masuk dan mengusir orang–orang

asing;

C. Hak–hak istimewa duta–duta diplomatiknya di negara–negara lain;

D. Yurisdiksi tunggal terhadap kejahatan–kejahatan yang dilakukan di

dalam wilayahnya;

107 Starke,Op.Cit, hal.133.

San Fransisco Treaty 1951 adalah salah satu perjanjian internasional yang

mendasari keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di wilayah kedaulatan

Jepang, San Francisco Treaty 1951 adalah suatu perjanjian yang bersifat khusus

yang substansinya dan kaidah hukumnya hanya berlaku bagi para pihaknya saja

yaitu Jepang dan sekutu. Pengaturan lebih lanjut yang mendasari keberadaan

pangkalan militer Amerika Serikat di prefektur Okinawa adalah Japan–U.S Status

Of Force Agreement yang ditandatangani pada 19 Januari 1960 dan diteruskan

oleh Treaty of Mutual Cooperation and Security between the United States and

Japan, yang terus diperbarui dan dikaji oleh kedua belah negara mengingat

adanya permasalahan yang timbul di prefektur Okinawa atas keberadaan

pangkalan militer Amerika Serikat. Pelanggaran terhadap nilai–nilai kemerdekaan

dan kedaulatan sebuah negara pun muncul bersamaan dengan konflik–konflik

yang terjadi antara Otoritas militer Amerika di Okinawa dengan warga Okinawa.

Yang dapat dikaji dalam fakta di Okinawa adalah pemerintah Jepang sendiri

memberikan penjaminan terhadap Amerika Serikat bahwa pangkalan militer

Amerika Serikat di Okinawa tidak akan menurun fungsi dan aktifitasnya setelah

masa pembalikan dan pengembalian status, pemerintah Jepang memberikan

penjaminan tersebut dalam rangka pemenuhan janji terhadap Amerika Serikat

dan secara tersirat tindakan tersebut adalah sebagai upaya menjaga hubungan baik

dengan Amerika Serikat. Pemerintah Jepang memberlakukan sebuah regulasi

spesifik yang memberikan ijin dan kewenangan bagi Amerika Serikat untuk terus

dapat menggunakan prefektur Okinawa selama masa okupasi dalam bentuk

SOFA.

Dalam bab ke 2 San Fransisco Treaty 1951 mengenai perdamaiaan antara

Jepang dan Sekutu yang mengatur mengenai wilayah, disebutkan dalam pasal ke 3

bahwa Jepang akan menyerahkan segala kuasa dan dan hak pada Amerika Serikat

dibawah kepercayaan Persatuan Bangsa–bangsa untuk memerintah dan diberikan

ijin untuk mengatur wilayah Nansei Shoto termasuk pulau Ryukyu dan pulau

daito, Nanpo Shoto termasuk pulau Bonin, pulau Rosario dan kepulauan Gunung

Api dan kepulauan Parece Vela dan kepulauaan Marcus. Dalam pasal ini Amerika

Serikat diberikan hak dan izin untuk melaksanakan segala bentuk kewenangan

administrasi, legislasi dan yurisdiksi di seluruh wilayah tersebut termasuk wilayah

perairan sekitar.

Pangkalan militer Amerika Serikat yang berada di tengah areal pemukiman

warga yang di dalamnya terdapat perumahan, sekolah–sekolah dan rumah sakit

telah menimbulkan banyak gangguan dan kerusakan di prefektur Okinawa. Salah

satu dari sekian kecelakaan yang terjadi adalah pada bulan April 1999, sebuah

helikopter milik militer Amerika Serikat yang terbang dari Futenma Base jatuh di

daerah pantai dimana terdapat pembangkit listrik yang berlokasi di dekat tempat

terjatuhnya helikopter tersebut. Dan pada bulan Juni 1999 pesawat tempur Harrier

yang hendak lepas landas mengalami kegagalan mesin dan jatuh terbakar di

daerah sekitar perumahan penduduk.108

Di daerah prefektur Okinawa kecelakaan–kecelakaan yang disebabkan oleh

alat-alat milter dan kendaraan militer milik pangkalan milter Amerika Serikat

sudah sering terjadi secara rutin, yang menjadi sebuah perhatian adalah letak dan

108 Japanese Communist party Journal, Op.cit, hal.5.

keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat yang berada dekat dan diantara

wilayah padat penduduk, salah satu kecelakaan yang menyebabkan banyak

korban adalah jatuhnya pesawat jet yang berangkat dari pangkalan udara Kadena

yang terbakar dan jatuh di sebuah sekolah dasar yang kemudian membakar 17

rumah dan sebuah pusat kegiatan warga. 11 Warga meninggal dunia dan 6 orang

siswa Sekolah dasar meninggal dunia dan 210 orang mengalami luka–luka.109

Tidak hanya ancaman yang berasal dari aktifitas dari pangkalan militer

Amerika Serikat saja yang menganggu, akan tetapi ancaman dari personil militer

Amerika Serikat yang juga turut membuat keberadaan pangkalan militer Amerika

Serikat di prefektur Okinawa semakin dikecam adalah perbuatan kriminal yang

dilakukan oleh anggota militer pangkalan militer Amerika Serikat. Pada bulan

September 1995 seorang siswi diculik dan diperkosa oleh tiga orang pasukan

militer Amerika Serikat. Kepolisian okinawa meminta pada otoritas militer AS

untuk menyerahkan tiga orang tersangka tersebut kepada pihak kepolisian

Okinawa akan tetapi ditolak.110

Insiden tersebut kemudian memancing marching rally yang dilakukan oleh

warga okinawa, pada Oktober 1995 sekitar 92.000 orang berunjuk rasa menuntut

penegakan hukum bagi para prajurit Amerika Serikat yang melakukan kejahatan

dan menuntut diadakannnya perubahan atas Status Of Forces Agreement. Namun

kejahatan yang dilakukan oleh prajurit Amerika Serikat yang ditempatkan di

109 Ibid, hal.6.110 Ibid.

Okinawa masih terus saja berlanjut dan menimbulkan ancaman dan rasa takut

secara luas di masyarakat.111

Terdapat pembebasan dan pembatasan berlakunya yurisdiksi teritorial suatu

negara atas keberadaan sebuah angkatan bersenjata asing di suatu wilayah negara

lain, yang diatur oleh hukum internasional. Angkatan bersenjata yang diterima di

wilayah negara asing menikmati suatu imunitas terbatas, tetapi bukan imunitas

absolout, dari yurisdiksi teritorial negara tersebut. Besarnya imunitas tersebut

bergantung pada keadaan–keadaan dimana angkatan bersenjata itu diterima oleh

pemegang kedaulatan teritorial, dan khususnya pada ada atau tidaknya suatu

perjanjian tegas antara negara tuan rumah dan negara pengirim yang mengatur

syarat–syarat mengenai masuknya angkatan bersenjata tersebut di wilayah

itu.dalah hal tidak adanya perjanjian tegas demikian, maka fakta yang nyata dari

penerimaan (Admission) terhadap angkatan bersenjata itu memberikan beberapa

konsekuensi tetrtentu yang pada umumnya diakui hukum internasional. Prinsip

yang berlaku disini adalah apa yang dikatakan dalam kata kata klasik oleh Hakim

Marshall CJ dari Mahkamah Agung Amerika Serikat dalam perkara Schooner vs

M’Faddon dan diungkapkan oleh hakim terkenal dalam doktrin berikut ini : Suatu

negara yang menerima di wilayahnya suatu angkatan bersenjata negara yang

bersahabat secara implisit setuju untuk tidak melaksanakan yurisdiksi apapun

terhadap angkatan bersenjata itu secara kolektif atau terhadap anggota–

anggotanya secara individual yang kemungkinan tidak sesuai dengan

111 Ibid, hlm.10.

keberadaanya sebagai suatu kekuatan angkatan bersenjata yang efisien untuk

melaksanakan tugas negaranya.112

Akan tetapi apabila dibandingkan terhadap pelanggaran kejahatan yang

terjadi di Okinawa Military Base dapat ditarik kesimpulan bahwa seharusya tidak

ada penghapusan yurisdiksi secara sempurna oleh negara teritorial pada saat

memberikan izin atau penerimaan suatu angkatan bersenjata di wilayahnya.

Gangguan lain yang ditimbulkan dari keberadaan pangkalan militer Amerika

Serikat adalah gangguan yang berasal dari suara mesin jet pesawat yang terbang

diatas pemukiman warga prefektur Okinawa, gangguan lain yang timbul dari

keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat adalah kerusakan lingkungan di

sekitar pangkalan militer, pada wilayah yang sering digunakan untuk dilakukan

latihan pengeboman udara sering kali ditinggalkan begitu saja setelah digunakan

tanpa adanya upaya penanaman pohon kembali, yang tentunya hal tersebut

merusak lingkungan dan kondisi wilayah hijau di perfektur Okinawa.113

Lokasi strategis Okinawa telah menjadi kunci penting pertahanan keamanan

di pasifik selama beberapa dekade terakhir. Pasca Perang Dunia II wilayah

Okinawa dipandang sebagai benteng yang mencakup pengawasan terhadap

armada Uni Soviet di pasifik. Ancaman keamanan pasca Perang Dingin meliputi

potensi ancaman dari Semenanjung Korea dan Selat Taiwan. Perjanjian kerjasama

dan keamanan tidak hanya untuk membela Jepang tetapi untuk menjaga keamanan

di seluruh wilayah Asia-Pasifik. Kehadiran dari Angkatan Udara AS dan

112 Starke, Op.Cit, hal.299.113 Japanese Communist party Journal, Op.Cit, hal.9.

Angkatan Laut juga memungkinkan untuk respon terhadap bencana kemanusiaan

di wilayah tersebut.

Dalam strategi keamanan sebagian besar pihak setuju tentang pentingnya

lokasi Okinawa sebagai lokasi strategis kehadiran Amerika Serikatdi Asia Timur,

namun keberadaan 38.000 personil militer dan 5.000 orang pegawai departemen

pertahanan Amerika Serikat yang ada di Jepang dalam keberadaan jangka panjang

membuat ketidakseimbangan dan ketidakpastian dalam tata pertahanan Pasifik,

hal ini menjadi perhatian khusus bagi pemerintah Jepang. Atas hal tersebut

banyak pengamat yang berpendapat bahwa secara tidak langsung Pemerintahan

Tokyo tidak mampu menyampaikan aspirasi dan keinginan dari warga prefektur

Okinawa. Walaupun prefektur Okinawa telah menerima subsidi berjumlah jutaan

dolar hingga saat ini atas penggantian beban dari keberadaan pangkalan militer di

wilayahnya, akan tetapi hal tersebut bukanlah yang sesungguhnya diharapkan oleh

warga Okinawa.

Usaha-usaha perundingan secara damai sudah sering dilaksanakan oleh

Amerika dan Jepang terkait kasus-kasus kriminal yang dilakukan oleh personil

militer, ataupun kasus-kasus kecelakaan ataupun dampak keberadaan pangkalan

militer bagi ekosistem darat dan laut di Okinawa. Penyelesaiaan sengketa-

sengketa yang timbul diselesaikan dengan negoisasi oleh kedua belah pihak.

SOFA adalah perjanjian yang bersifat bilateral antara dua negara. Perundingan

dan negosiasi mengenai perubahan dan modifikasi atas SOFA hingga saat ini

telah dilakukan sampai tiga kali semenjak tahun 1960. Pada tahun 2006 sebagai

kesepakatan bersama Marine Corps Air Station Futenma direlokasikan ke

kepulauan Guam, yang terletak di selatan kepulauan Okinawa. Kesepakatan ini

dibuat berdasarkan rencana untuk mengurangi dampak atas keberadaan pangkalan

militer di Futenma, pengembalian hak atas tanah diberikan kembali kepada

masyarakat Futenma. Namun proses relokasi mengalami kendala karena kondisi

politik intern Jepang pada saat itu, Mantan Perdana Menteri Jepang Yukio

Hatoyama terus menerus menyuarakan dukungan terhadap pemindahan pangkalan

militer Futenma hingga pada akhir kepemimpinannya pada bulan mei tahun

2010.114

Dukungan pemerintah dan permohonan tersebut akhirnya mendapat

dukungan dari kongres Amerika Serikat senator Carl Levin, John McCain dan

James Webb melakukan dukungan dan pengawalan atas jumlah dana yang

dibutuhkan untuk re-lokasi tersebut. Sebagai balasan dukungan atas keputusan

Kongres Amerika Serikat, Jepang sepakat membayar 60% biaya re-lokasi seluruh

personil militer Amerika Serikat yang berjumlah $10.3 triliun.

Pada bulan juni tahun 2011 diadakan pertemuan antara Jepang dan Amerika

Serikat yang bertema U.S.-Japan Road to Allingnment yang membahas masalah

relokasi dan jumlah dana yang diperlukan serta rencana re-lokasi bertahap yang

akan dilaksanakan. Pada bulan April 2012 kesepakatan antara Amerika Serikat

dan Jepang menghasilkan pada kesepakatan untuk melakukan relokasi terhadap

seluruh marinir Amerika Serikat secara bertahap di Okinawa dan pemindahan

sementara pangkalan Futenma bersama seluruh personilnya, serta memindahkan

114 The U.S. Presence in Okinawa And The Futenma Base Controversy,CongressionalResearch Service, hal.1.

sementara pangkalan Futenma di pangkalan Henoko. Pemindahan secara bertahap

personil militer Amerika Serikat akan dilaksanakan mulai pada akhir tahun 2012

sejumlah 9.000 personil. Relokasi pasukan dibagi pada tiga pangkalan militer AS

di pasifik yaitu Guam, Hawaii dan Pangkalan bergerak di Australia. Relokasi akan

terus dilakukan secara bertahap sebagai bentuk pengurangan jumlah personil

militer di Okinawa sebagai kesepakatan pada bulan April Tahun 2012.115

115 Ibid. hal.7.

BAB V

PENUTUP

A. SIMPULAN

1. Keberadaan pangkalan militer asing di wilayah suatu negara lain seperti milik

Amerika Serikat di kepulauan Okinawa Jepang dan di negara-negara lain

berdasarkan perjanjian Bilateral yang diadakan oleh kedua negara, perjanjian

tersebut dikenal sebagai Security Of Force Agreement (SOFA) yang mengatur

mengenai keberadaan pangkalan militer suatu negara di wilayah negara lain

dan mengatur mengenai keberadaan personil angkatan bersenjata asing di

dalam wilayah suatu negara yang berdaulat pada masa damai.

Keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di Okinawa dimulai semenjak

penandatanganan San Francisco Treaty 1951 yang memberikan kewenangan

pada Amerika Serikat untuk menjaga keamanan dalam negeri Jepang,

kemudian Okinawa ditetapkan sebagai pangkalan bagi Marinir dan Angkatan

Udara Amerika Serikat. Perubahan serta penyesuaian terhadap Treaty of

Mutual Cooperation and Security between the United States of America and

Japan 1960 yang mengatur mengenai area dan fasilitas pangkalan militer dan

hak serta kewajiban personil militer. Pada tahun 1972 perubahan isi perjanjian

dilakukan terkait kebijaksanaan pengembalian hak atas lahan terhadap

penduduk di sekitar pangkalan. Pada tahun 1990 dilakukan lagi perubahan dan

penyesuaian terhadap kebijakan keberadaan pangkalan dan hak serta kewajiban

yang dimiliki oleh penduduk Okinawa yang bekerja di dalam pangkalan militer

dan izin bagi Amerika Serikat terhadap penggunaan udara, tanah dan kekuatan

dari fasilitas angkatan laut di daerah perairan Jepang dalam rangka

memberikan kontribusi terhadap keamanan Jepang dan pemeliharaan

perdamaian international. Hingga akhir tahun 2012 perundingan untuk

pengaturan dan penyesuaian atas keberadaan pangkalan terus dilakukan oleh

Jepang dan Amerika Serikat.

2. Berbagai kasus kriminal dan kejahatan yang sering terjadi di wilayah sekitar

pangkalan militer yang dilakukan oleh personil militer Amerika Serikat selalu

menemui kebuntuan dalam proses penegakan hukumnya. Terkait yurisdiksi

eksklusif yang dimiliki oleh pangkalan militer dan personil angkatan bersenjata

Amerika Serikat. Kewenangan mengadili atas yurisdiksi sering menjadi

perdebatan yang selalu dimenangkan oleh pihak militer Amerika Serikat.

Dengan semakin seringnya terjadi kecelakaan dan insiden membuat

masyarakat Jepang dan masyarakat internasional untuk ikut mendukung

relokasi atas keberadaan seluruh Angkatan Bersenjata Amerika Serikat yang

berada di kepulauan Okinawa Jepang. Akhirnya Pemerintah Jepang berhasil

mencapai kesepakatan pada bulan juni 2012 untuk melakukan relokasi atas

keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat secara bertahap, yang dimulai

dengan Marine Corps Air Station di Futenma.

B. SARAN

1. Bagi negara pengirim angkatan bersenjata asing, pembangunan

pangkalan militer milik negara asing di wilayah berdaulat suatu negara

seharusnya dipertimbangkan lebih baik, mengingat dampak buruk yang

begitu banyak timbul dari keberadaan pangkalan militer. Penempatan

lokasi pangkalan militer seharusnya juga diperhitungkan dengan lebih

bijaksana apabila akan ditempatkan di wilayah yang padat penduduk.

2. Negara penerima sebesar apapun kontribusi ataupun subsidi yang

diberikan atas gangguan dari keberadaan pangkalan militer tidak akan

dapat memberikan rasa damai bagi penduduk Okinawa. Saat ini jepang

telah bangkit dari keterpurukan ekonomi dan keamanan pasca Perang

Dunia II, maka keberadaan pangkalan militer Amerika Serikat di

wilayah berdaulat Jepang sudah tidak relevan lagi.

DAFTAR PUSTAKA

Bahan

Adolf, Huala , Aspek-Aspek Negara Dalam Hukum Internasional, PT

Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1996;

----------------,Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional, Sinar Grafika,

Jakarta, 2006;

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif,

Bayumedia Publishing, Malang, 2008;

Istanto , F. Sugeng, Hukum Internasional.Universitas Atma Jaya,

Jogjakarta, 2010;

Kusumatmadja , Mochtar, Pengantar Hukum Internasional, Alumni,

Bandung,2003;

Mauna, Boer, Hukum Internasional; Pengertian Peranan dan Fungsi

Dalam Era Dinamika Global Edisi Ke – 2, Bandung:Alumni,

2005;

Parthiana, I Wayan, Perjanjian Internasional Bagian 1,Bandung:Mandar

Maju,2002;

------------------------, Perjanjian Internasional Bagian 2,Bandung:Mandar

Maju,2002;

------------------------, Pengantar Hukum Internasional, Mandar Maju,

Bandung, 1990;

Pratomo , Eddy, Hukum Perjanjian internasional, Pengertian, Status

Hukum dan Ratifikasi, Alumni, Bandung, 2011

Purwanto, Harry, Keberadaan Asas Rebus Sic Stantibus dalam Perjanjian

Internasional, Mimbar Hukum Edisi Khusus, November 2011.

Rudy,T May, Hukum Internasional 1,Bandung:Refika Aditama,2006;

-----------------, Hukum Internasional 2,Bandung:Refika Aditama,2006;

Soemitro, Ronny Hanintijo, Metode Penelitian dan Jurimetri, Jakarta :

Ghalia Indonesia, 2009;

-----------------, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Ghalia Indonesia,

1982;

Starke, J.G , Pengantar Hukum Internasional 1, Jakarta : Sinar Grafika

,2007;

---------------, Pengantar Hukum Internasional 2, Jakarta : Sinar Grafika

,2007;

Thontowi , Jawahir, dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional

Kontemporer, Refika Aditama, Bandung, 2006;

Sumber Lain

San Francisco Treaty 1951 Treaty of Peace Between Japan And Allied;

Vienna Convention 1969 of Law Of Treaties;

SOFA Treaty Of Mutual Cooperation between the United States of

America and Japan 1960;

Amendement of Treaty Of Mutual Cooperation between the United States

of America and Japan 1990;

Japanese Communist party Journal, US.Military Base Okinawa

Problems,February 2000;

The U.S. Presence in Okinawa And The Futenma Base

Controversy,Congressional Research Service,August 2012;

Congressional Research Service , Status Of Force Agreement : What is it ?, And

how has it been utilized ?, January 2011;

University of the Ryukyus Journal, A Comprehensive Study on U.S.

Military Government on Okinawa (An Interim Report) March,

1987;

Van der Zejiden, Foreign Military Bases and The Global Campaign to

Close Them a Beginners Guide;