SKRIPSI -...
Transcript of SKRIPSI -...
i
DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK
(TELAAH SURAT AL-A’RĀF AYAT 199-202)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh
Fifi Nor Kamalia
111-12-152
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SALATIGA
2016
ii
iii
iv
v
vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
“Dengan keimanan dan ketakwaan kepada Yang Maha Kuasa kita akan
diberi kemudahan untuk sukses.”
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik
bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari
kiamat dan Dia banyak menyebut Allah.
PERSEMBAHAN
Untuk orang tuaku, adik-adikku,
Keluarga ku, dosen-dosen serta guru-guruku
Teman-teman seperjuanganku, sahabat-sahabatku,
vii
KATA PENGANTAR
Assalammu‟alaikum wr.wb.
Segala puji bagi Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik,
hidayah, dan inayah-Nya kepada kita semua. Sehingga penulis bisa menjalani
kehidupan ini sesuai dengan ridho-Nya. Sholawat dan salam semoga tercurahkan
kepada Nabi besar kita Nabi Muhammad SAW. Atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi hasil analisis ini yang berjudul
“Dasar-dasar Pendidikan Akhlak (Telaah Surat Al-A‟rāf ayat 199-202)” sesuai
dengan rencana.
Selanjutnya penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada berbagai
pihak yang telah membantu pembuatan skripsi ini, kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. Rahmat Hariyadi, M.Pd. selaku Rektor Intitut Agama Islam Negeri
Salatiga yang telah memberikan kesempatan untuk menuntut ilmu di IAIN
Salatiga.
2. Bapak Suwardi, M.Pd. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Salatiga.
3. Ibu Siti Rukhayati, M.Ag. selaku Ketua Jurusan Pendidikan Agama Islam
IAIN Salatiga yang telah memberikan ijin untuk melaksanakan penelitian dan
kemudahan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
4. Bapak Dra. Ulfah Susilowati, M.Si. selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang
telah dengan sabarnya memberikan bimbingan dan arahan kepada penulis
dalam penyususnan skripsi ini.
5. Bapak Dr. Winarno, S.Si., M.Pd. selaku Dosen Pembimbing Akademik.
viii
ix
ABSTRAK
Kamalia, Fifi Nor. 2016. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak (Telaah Surat Al-A‟rāf
ayat 199-202). Skripsi. Tarbiyah dan Ilmu Keguruan. Pendidikan Agama
Islam. Institut Agama Islam Negeri Salatiga. Dra. Ulfah Susilowati, M.si.
Kata Kunci : Dasar-dasar Pendidikan Akhlak
Penelitian ini merupakan upaya untuk menggali dasar-dasar pendidikan
akhlak telaah surat al-A‘rāf ayat 199-202. Pertanyaan yang ingin dijawab dalam
penelitian ini adalah (1) Apa yang terkandung dalam surat al-A‘rāf?, dan (2)
Bagaimana dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202?
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (Library Research),
pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif.
Sedangkan dalam pengumpulan data didasarkan atas dua sumber, yaitu sumber
pimer dan sumber skunder yang diusahakan sendiri oleh peneliti. Adapun metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode maudhu‘i (tematik) yaitu
menafsirkan ayat-ayat Alqur‘an berdasarkan tema atau topik permasalahan.
Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya dasar-dasar pendidikan akhlak
surat al-A‘rāf yaitu (1) Memaafkan(akhlak mahmudah). (2) Mengerjakan yang
ma‘ruf. Ma‘ruf adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat ketaatan, mendekatkan
diri kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada manusia (bersifat kemanusiaan).
Ma‘ruf merupakan akhlak mahmudah. (3) Menjahui orang-orang yang
jahil/menjahui kemungkaran. (4) Menahan amarah (akhlak mahmudah). (5)
Takwa kepada Allah (akhlak mahmudah). (6) pendurhaka itu dalam kesesatan
(akhlak madhmumah). Maka dari itu kita harus menghindari perbuatan tersebut
dengan cara bertakwa kepada Allah. Karena dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202 ini
yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah melakukan yang ma‘ruf dan
menjahui kemungkaran.
x
DAFTAR ISI
SAMPUL ......................................................................................................... i
JUDUL ............................................................................................................ ii
LEMBAR BERLOGO ................................................................................... iii
PERSETUJUAN PEMBIMBINNG .............................................................. iv
PENGESAHAN KELULUSAN .................................................................... v
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN ..................................................... vi
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ................................................................. vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
ABSTRAK ...................................................................................................... x
DAFTAR ISI .................................................................................................. xi
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................ 1
A. Latar Belakang ............................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .......................................................................... 5
C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 5
D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 5
E. Metode Penelitian........................................................................... 6
F. Penegasan Istilah ............................................................................ 9
G. Sistematika Penulisan..................................................................... 12
BAB II LANDASAN TEORI ....................................................................... 14
A. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak ..................................................... 14
1. Pengertian Dasar-dasar Pendidikan..................................... 14
2. Pengertian Akhlak ............................................................... 23
xi
B. Tujuan Pendidikan ......................................................................... 24
C. Ruang Lingkup Pendidikan ............................................................ 27
1. Akhlak Terhadap Allah ...................................................... 27
2. Akhlak Terhadap Rasulullah .............................................. 28
3. Akhlak Manusia Kepada Diri Sendidri ............................. 29
4. Akhlak Dalam Keluarga .................................................... 36
5. Akhlak Terhadap Masyarakat .......................................... 37
6. Akhlak Bernegara.............................................................. 37
BAB III KANDUNGAN SURAT AL-A’RĀF.............................................. 38
A. Kewajiban Mengikuti Wahyu dan Akibat Menentangnya ............. 38
B. Penghargaan Allah SWT Kepada Nabi Adam dan Keturunannya. 39
C. Peringatan Allah Terhadap Godaan Setan ..................................... 40
D. Adap Berpakaian, Makan, dan Minum Serta Pengutusan Para
Rasul, Akibat Penerimaan dan Penolakan Kerasulan .................... 42
E. Tuhan Semesta Alam dan Bukti Kekuasaan Allah
Membangkitkan Manusia sesudah Mati......................................... 44
F. Kisah Beberapa Rasul, Kisah Nabi Nuh as dan Kisah
Nabi Hud as .................................................................................... 46
G. Kisah Nabi Shalleh dan Nabi Luth................................................. 47
H. Kisah Nabi Syu‘aib ........................................................................ 49
I. Kisah Nabi Musa ............................................................................ 52
J. Ketauhidan Sesuai Dengan Fitroh Manusia, Perumpamaan
Orang-orang Yang Mendustakan Ayat-ayat Allah dan
Sifat-sitat Penghuni Neraka............................................................ 63
xii
K. Orang-orang Yang Mendustakan Ayat-ayat Nya dengan Istidraj
dan Allah-lah Yang Mengetahui Waktu Datangnya Hari Kiamat . 64
L. Pengingatan Manusia Kepada Asal-usul Kejadian dan Berhala
Tidak Patut Disembah .................................................................... 66
M. Dasar-dasa Akhlakul Karimah, Adab Mendengar Pembacaan
Alqur‘an dan Berziki ...................................................................... 67
BAB IV DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK SURAT
AL-A’RĀF AYAT 199-202 .......................................................... 69
A. Asbabun Nuzul ............................................................................... 69
B. Isi Pokok Kandungan Ayat 199-202 .............................................. 82
C. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak Dalam Surat al-A‘rāf
Ayat 199-202 .......................................................................... 85
BAB IV PENUTU.......................................................................................... 110
A. Kesimpulan .................................................................................... 110
B. Saran ............................................................................................... 112
C. Penutup ........................................................................................... 113
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP PENULIS
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan faktor utama untuk pembentukan pribadi
manusia. Pendidikan sangat berperan dalam membentuk baik buruknya
pribadi manusia menurut ukuran normatif. Di sisi lain proses perkembangan
dan pendidikan manusia tidak hanya terjadi dan dipengaruhi oleh proses
pendidikan yang ada dalam sistem pendidikan formal saja. Karena manusia
berada dalam lingkungan yang luas. Manusia sebelum di lingkungan
pendidikan formal (sekolah), mereka sudah berada di lingkungan keluarga.
Manusia selama hidupnya selalu akan mendapat pengaruh dari keluarga,
sekolah, dan masyarakat luas.
Pendidikan adalah tanggung jawab bersama antara keluarga,
masyarakat, dan pemerintah. Sekolah hanyalah pembantu kelanjutan
pendidikan dalam keluarga sebab pendidikan yang pertama dan utama
diperoleh anak adalah dalam keluarga. Peralihan bentuk pendidikan formal
memerlukan ―kerja sama‖ antara orang tua dan sekolah (Hasbullah,
2009:90).
Menurut UU No. 20 th 2003. Tentang Sistem Pendidikan Nasional
pada Bab 1 Pasal 1 Ayat 1. Pendidikaan adalah usaha sadar dan terencana
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
2
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan
Negara.
Salah satu dari tujuan pendidikan yang tercantum dalam UU No. 20 th
2003. Bab 1 Pasal 1 Ayat 1 adalah pendidikan akhlak. Pendidikan akhlak
sangat berperan penting untuk kemajuan bangsa yang membentuk generasi
muda yang cerdas dan berakhlak mulia.
Akhlak adalah perbuatan yang dilakukan dengan mendalam dan tanpa
pemikiran, namun perbuatan itu telah mendarah dading dan melekat dalam
jiwa, sehingga saat melakukan perbuatan tidak lagi memerlukan
pertimbangan dan pemikiran (Abuddin Nata,1997: 05).
Yang menjadi tolak ukur akhlak seseorang tersebut baik atau buruk
adalah Alqur‘an dan As-sunnah. Apa yang baik menurut Alqur‘an dan As-
sunnah, itulah yang baik untuk dijadikan pegangan dalam kehidupan sehari-
hari. Sebaliknya apa yang buruk menurut Alqur‘an dan As-sunnah, berarti
itu tidak baik dan harus dijahui.Sebagaimana yang telah dijabarkan dalam
Q.S. Al-Ahzab ayat 21
―Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang
baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan
(kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.‖ (Departemen
Agama, 2011:421)
3
Alqur‘an merupakan kalam Allah yang telah diwahyukan kepada Nabi
Muhammad bagi seluruh umat Manusia. Alqur‘an merupakan petunjuk yang
lengkap, pedoman bagi manusia yang meliputi seluruh aspek kehidupan
manusia dan bersifat universal. Alqur‘an merupakan kitab Allah SWT. Yang
memiliki perbendaraan luas dan besar bagi pengembangan kebudayaan umat
manusia. Alqur‘an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik itu
pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), maupun spiritual
(kerohanian), serta material (kejasmanian), dan alam semesta (Nur Ahid,
2010;21).
Dasar pendidikan adalah pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap
masyarakat untuk dapat melakukan perubahan sikap dan tata laku dengan
cara berlatih dan belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah,
sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-apa yang
tidak ditemui di sekolah.
Akhlak merupakan suatu sarana dalam menanamkan nilai takwa
kepada manusia lainnya. Sendangkan pendidikan Islam itu sendiri
merupakan suatu aktifitas/usaha pendidik terhap anak didik menuju ke arah
terbentuknya kepribadian muslim yang muttakin (Sholeh, 1998: 53). Dalam
keseluruhan ajaran Islam akhlak menempati kedudukan yang istimewa dan
sangat penting. Rasulullah saw menempatkan penyempurnaan akhlak yang
mulia. Beliau bersabda:
4
―Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan akhlak
yang baik‖.
Menurut Fauzi An Najar yang dikutip oleh Omar Muhammad Al
Toumy Al Syaibany, pendidikan tidak akan tumbuh, berkembang dan
selaras dalam bidang kemajuan selagi hal itu tidak bersandar kepada
pemikiran yang selalu disertai dengan pemahaman dan daya cipta dalam
dunia yang selalu bertarung dengan ilmu dan teknologi (Omar, tt:33).
Pendidikan Islam adalah suatu sistem kependidikan yang mencakup
seluruh aspek kehidupan yang dibutuhkan oleh hamba-hamba Allah SWT
(Uhbiyati, 1997:12). Untuk itu diperlukan suatu landasan yang baik agar di
dalam pelaksanaan pendidikan berhasil. Langkah awal dari suatu
keberhasilan pendidikan adalah penanaman akhlak terhadap diri pribadi
anak didik. Untuk itu bagi keluarga, masyarakat atau pendidik harus
memberikan contoh yang baik kepada anak dengan berpedoman pada
Alqur‘an dan As-sunnah. Karena Alqur‘an dan As-sunnah memberikan
pedoman bagi umat manusia untuk membentuk akhlak mulia, untuk
berperilaku yang baik tersebut memerlukan dasar-dasar pendidikan akhlak
agar tidak bertentangan dengan Alqur‘an dan As-sunnah.
Dengan penjelasan tersebut menjadi alasan penulis untuk mengkaji
skripsi dengan judul DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK
TELAAH SURAT AL-A’RĀF AYAT 199-202.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang Terkandung Dalam Surat Al- A‘rāf ?
5
2. Bagaimana Dasar-dasar Pendidikan Akhlak dalam Surat Al-A‘rāf ayat
199-202 ?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui yang Terkandung Dalam Surat Al- A‘rāf.
2. Mengetahui bagaimana Dasar-dasar Pendidikan Akhlak dalam Surat
Al-A‘rāf ayat 199-202.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan sumbangan pemikiran ilmu pada umumnya dan
pendidikan akhlak pada khususnya, terutama mengenai dasar-
dasar pendidikan akhlak dalam Surat al-A‘rāf ayat 199-202.
b. Penelitian ini semoga dapat memberikan kontribusi positif bagi
orang tua, pendidik, dan masyarakat khususnya penulis untuk
mengetahui dan mendalami serta mengamalkan dasar-dasar
pendidikan akhlak dalam Surat al-A‘rāf ayat 199-202.
2. Manfaat praktis
Memberikan kontribusi positif untuk dijadikan pertimbangan
berfikir dan bertindak. Secara khusus penelitian ini dapat dipergunakan
sebagai beerikut:
a. Dengan adanya penelitian ini diharabkan dapat memberikan
sumbangsih pemikiran terhadap masyarakat dalam memahami
dasar-dasar pendidikan akhlak yang sebenarnya.
6
b. Diharapkan penelitian ini dapat dijadikan bahan acuan khususnya
bagi orang tua, pendidik, dan masyarakat agar dapat
mengaplikasikan pendidikan akhlak dalam kehidupan sehari-hari.
c. Dengan skripsi ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi
pembaca umumnya dan khususnya penulis sendiri. Amiin.
E. Metode Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, digunakan beberapa teknik untuk sampai
tujuan penelitian. Teknik tersebut meliputi:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini tergolong penelitian pustaka (library
research), karena semua yang digali adalah bersumber dari pustaka
(Hadi, 1983: 3). Penelitian pustaka yaitu penelitian yang difokuskan
pada penelusuran dan telaah literatur serta bahan pustaka lainnya.
Literatur juga merupakan cara untuk menyelesaikan persoalan dengan
menelusuri sumber-sumber tulisan yang pernah dibuat sebelumnya.
Penelitian kepustakaan adalah penelitian dengan mencari dan
mengumpulkan kepustakaan atau bahan-bahan bacaan untuk mencari
dan membandingkan naskah atau pendapat para ahli tafsir dan ahli
pendidikan tentang metode pendidikan Islam, kemudian dianalisis
untuk mencapai tujuan penelitian. Penelitian kepustakaan
menghasilkan suatu kesimpulan tentang gaya bahasa buku,
kecenderungan isi buku, tata tulis, lay-out, ilustrasi dan sebagainya
(Arikunto, 1998: 11).
7
2. Sumber Data
Sumber primer adalah sumber yang diperoleh langsung dari
sumbernya, surat al-A‘rāf dan kitab-kitab tafsir antaralain: kitab tafsir
al-Misbah karya M. Quraish Shihab, tafsir al-Lubab karya M. Quraish
Shihab, tafsir al-Maraghiy karya Ahmad Mushthafa Al-Maraghiy,
tafsir Muyassar karya Dr. ‗Aidh al-Qarni. Sumber sekunder adalah
berupa buku-buku bacaan literatur yang ada hubungannya dengan
penelitian ini, di luar sumber primer.
3. Pendekatan Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan
rancangan fenomenologis (Moelong, 1998: 9). Pendekatan ini
digunakan untuk menggunakan tada sebanyak-banyaknya tentang
akhlak.
4. Teknik Pengumpulan Data
Untuk memperoleh data dalam melakukan penelitian ini, penulis
menggunakan metode dokumentasi. Metode dokumentasi yaitu
mencari data-data mengenai hal-hal atau variabel yang berupa catan-
catan, transkip, buku, surat kabar, majalah, prasasti, notulen rapat,
ledger, agenda, dan sebagainya (Suharsimi, 1993: 234).
Metode ini penulis gunakan untuk mencari data dengan cara
membaca, menelaah dan mengkaji buku-buku tafsir Alqur‘an dan
Hadist serta buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan.
Kemudian hasil dari data itu dianalisis untuk mendapatkan kandungan
makna Alqur‘an surat al-A‘rāf tentang dasar-dasar pendidikan akhlak.
8
5. Teknik Analisis Data
Metode yang digunakan oleh penulis antara lain:
a. Maudhu‘i
Metode maudhu‘i menurut istilah adalah menafsirkan ayat-
ayat Alqur‘an dengan menghimpun ayat-ayat Alqur‘an yang
mempunyai maksud yang sama dalam arti sama-sama
membicarakan suatu topik dan menyusunnya berdasarkan
kronologi, dan sebab turunnya ayat tersebut (Budihardjo, 2012:
150). Dengan menggunakan berbagai referensi penulis berusaha
menjelaskan isi pokok surat al-A‘rāf sehingga dapat
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Deduktif
Metode deduktif adalah ―Berangkat dari pengetahuan yang
sifatnya umum, dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum
itu kita hendak menilai suatu kejadian khusus‖ (Hadi, 1981: 36).
Penerapan metode ini misalnya penulis gunakan untuk
mencari fakta-fakta yang bersifat umum, kemudian akan ditarik
kesimpulan agar bisa lebih memahami permasaalahan yang ada.
Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan kesimpulan dari
suatu yang umum menjadi khusus, berdasarkan data yang telah
diperoleh, penulis menganalisis dasar-dasar pendidikan akhlak
secara umum, kemudian menggolongkannya secara khusus
sesuai Surat al-A‘rāf.
9
c. Induktif
Cara berfikir dengan berlandaskan pada fakta yang khusus
dan kemudian ditarik menjadi pemecahan yang bersifat umum
(Hadi, 1981: 42). Teknik ini digambarkan sebagai pengambilan
kesimpulan dari khusus menjadi umum. Dari hasil analisis surat al-
A‘rāf, kemudian ditarik kesimpulan dari surat tersebut dan
keterkaitannya dengan dasar-dasar pendidikan akhlak secara
umum.
F. Penegasan Istilah
Untuk menghindri kesalahan dan kekeliruan terhadap judul penelitian
ini, maka penulis perlu untuk menjelaskan istilah-istilah yang terdapat dalam
judul ini antara lain:
1. Dasar-dasar Pendidikan
Dasar adalah landasan atau pondasi, pangkal tolak suatu
aktivitas. Dasar adalah tempat untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar
ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus
sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Setiapa Negara mempunyai
dasar pendidikan sendiri. Ia merupakan pencerminan falsafah hidup
suatu bangsa. Berdasarkan kepada dasar itulah pendidikan suatu
bangsa disusun. Dan oleh karena itu maka sistem pendidikan setiap
bangsa ini berbeda karena mereka mempunyai falsafah yang berbeda
(Ramayulis, 2002: 187).
Pendidikan secara terminologi merupakan terjemahan dari istilah
Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuna Paidos dan
10
agoo. Paidos artinya ‗budak‘ dan agooartinya ‗membimbing‘.
Akhirnya pedagogi diartikan sebagai ‗budak yang mengantarkan anak
majikan untuk belajar‘. Dalam perkembangannya, pedagogie
dimaksudkan sebagai ‗ilmu mendidik‘. Dalam khazanah teorisasi
pendidikan, ada yang membedakan secara tegas antara pendidikan dan
pengajaran. Pembedaan tersebut umummnya didasarkan karena hasil
akhir yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan
tersebut (Jumali, 2004:17).
Pendidikan secara epistimologi dapat dimaknai sebagai ilmu
yaitu ilmu mengajar yang sangat dekat dengan didakdik dan metodik.
Didakdik dan metodik adalah ilmu tentang bagaimana caramengajar.
Pemaknaan pendidikan yang dimiliki berarti memaknakan pendidikan
dalam pengertian pendidikan sebagai kata sifat. Sedangkan pemaknaan
pendidikan sebagai kata kerja maka pendidikan adalah upaya
mendewasakan anak didik. Atas dasar pemaknaan yang memposisikan
kata pendidikan sebagai kata kerja tersebut maka munculah pendidikan
sebagai ilmu normatif (Jumali, 2004:19).
Dasar-dasar pendidikan adalah nilai sosial kemasyarakatan yang
tidak bertentangan dengan ajaran Alqur‘an dan As-sunnah atas prinsip
mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudaratan bagi
manusia (Azyumardi Azra, 2012: 9)
Dasar pendidikan Islam tentu saja didasarkan kepada falsafah
hidup umat Islam dan tidak didasarkan kepada falsafah hidup, suatu
11
Negara, sebab sistem pendidikan Islam tersebut dapat dilaksanakan
dimana saja dan kapan saja tanpa dibatasi ruang dan waktu.
2. Akhlak
Secara etimologi, akhlaq (Bahasa Arab) adalah bentuk jamak dari
Khuluq ( ) yang berarti budi pekerti, perangai, tingkah laku atau
tabiat. Berakar dari kata khalaqa ( ) yang berarti menciptakan.
Seakar dengan kata khaliq (pencipta), makhluq (yang diciptakan) dan
khalq (penciptaan) (Yunahar Ilyas, 2007: 1). Sedangkan pengertian
akhlak secara terminologi menurut beberapa tokoh diantaranya:
a. Imam al-Ghazali:
―Akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah,
tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan‖ (al-Ghazali,
1994: 46).
b. Prof. Dr. Ahmad Amin:
―Akhlak adalah kehendak yang dibiasakan‖ (Zahruddin, 2004:
4).
c. Abdul Karim Zaidan:
―(Akhlak) adalah nilai-nilai dan sifat-sifat yang tertanam dalam
jiwa, yang dengan sorotan dan timbangannya seseorang dapat
menilai perbuatannya baik atau buruk, untuk kemudian memilih
melakukan atau meninggalkannya‖ (Yunahar Ilyas, 2007: 2).
Dari penjelasan tersebut dapat diketahui pendidikan akhlak
adalah pendidikan mengenai dasar-dasar akhlak yang berkaitan
12
dengan perilaku yang harus ditanamkan pada diri anak sejak mulai
dini. Penanaman ini dapat dilakukan melalui pendidikan formal
maupun non formal. Dengan pendidikan akhlak menjadikan
kehidupan manusia itu lebih harmonis.
3. Alqur‘an surat al-A‘rāf ayat 199-202
Surat al-A‘rāf adalah surah yang turun sebelum Nabi Muhammad
saw berhijrah ke Mekah. Surat ini merupakan surat ke tujuh setelah
surat al-An‘am dalam susunan Alqur‘an, yang terdiri 206 ayat,
termasuk golongan surat Makiyyah (Quraish Shihab, 2002 : 4). Al-
A‗rāf merupakan tempat yang tinggi adapun ayat 199-202 menjelaskan
tentang dasar-dasar akhlakul karimah. Jadi maksud dari beberapa
pengertian di atas adalah bawasannya penulis ingin mengungkap
dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202.
G. Sistematika Penulisan Skripsi
Untuk memudahkan pembahasan dan penelaahan yang jelas dalam
membaca skripsi ini, maka disusunlah sistematika penulisan skripsi ini
secara garis besar sebagai berikut:
BAB I: PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dikemukakan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, penegasan istilah, tujuan penelitian, manfaat
penelitian, metode penelitian, dan sistematika penulisan skripsi.
BAB II: LANDASAN TEORI
Pada bab ini dikemukakan tentang dasar-dasar pendidikan akhlak
yang meliputi: pengertian dasar-dasar pendidikan, pengertian
13
akhlak, tujuan pendidikan akhlak dan ruang lingkup pendidikan
akhlak.
BAB III: KANDUNGAN SURAT AL-A‘RĀF
Pada bab ini dikemukakan mengenai kandungan surat al-A‘rāf.
BAB IV: DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK DALAM SURAT
AL-A‘RĀF AYAT 199-202
Pada bab ini akan dikaji mengenai asbabun nuzul, isi pokok
kandungan ayat 199-202, dan dasar-dasar pendidikan akhlak surat
al-A‘rāf ayat 199-202 yang berisi dasar-dasar pendidikan akhlak
surat al-A‘rāf ayat 199-202 menurut para mufassir.
BAB V : PENUTUP, SIMPULAN DAN SARAN.
Bab penutup yang memuat kesimpulan penulisan dari pembahasan
skripsi dan saran-saran.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak
Islam merupakan agama yang sempurna, sehingga setiap ajaran yang
ada dalam Islam memiliki dasar pemikiran, begitu pula dengan pendidikan
akhlak. Tidak diragukan lagi bahwa pendidikan akhlak dalam agama Islam
bersumber pada Alqur‘an dan As-sunnah. Alqur‘an sendiri sebagai dasar
utama dalam agama Islam telah memberi petunjuk pada jalan kebenaran,
mengarahkan kepada pencapaian kebahagiaan dunia dan akhirat.
1. Pengertian Dasar-dasar Pendidikan
Dasar adalah landasan atau pondasi, pangkal tolak suatu
aktivitas. Dasar adalah tempat untuk berdirinya sesuatu. Fungsi dasar
ialah memberikan arah kepada tujuan yang akan dicapai dan sekaligus
sebagai landasan untuk berdirinya sesuatu. Setiap Negara mempunyai
dasar pendidikan sendiri. Ia merupakan pencerminan falsafah hidup
suatu bangsa. Berdasarkan kepada dasar itulah pendidikan suatu
bangsa disusun. Dan oleh karena itu maka sistem pendidikan setiap
bangsa ini berbeda karena mereka mempunyai falsafah yang berbeda
(Ramayulis, 2002: 187).
Dasar-dasar pendidikan adalah nilai sosial kemasyarakatan yang
tidak bertentangan dengan ajaran Alqur‘an dan As-sunnah atas prinsip
mendatangkan kemanfaatan dan menjauhkan kemudaratan bagi
manusia (Azyumardi Azra, 2012 : 9).
15
Didalam buku ilmu pendidikan islam (Ramayulis, 2002: 188),
dasar pendidikan Islam dapat dibagi kepada tiga kategori yaitu (1)
dasar pokok, (2) dasar tambahan (3) dasar operasional.
a. Dasar Pokok
1) Alqur‘an
Abdul Wahab Khallaf didalam buku ilmu pendidikan
islam (Ramayulis, 2002: 188) , kalam Allah yang diturunkan
melalui Malaikat Jibril kepada hati Muhammad Rasulullah
anak Abdullah dengan lafaz Bahasa Arab dan makna hakiki
untuk menjadi hujjah bagi Rasulullah atas kerasulannya dan
menjadi pedoman bagi manusia.
Kedudukan Alqur‘an sebagai sumber pokok pendidikan
Islam dapat dipahami dari ayat Alqur‘an itu sendiri. Dalam
firman Allah
―Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Al-Kitab (Al
Quran) ini, melainkan agar kamu dapat menjelaskan kepada
mereka apa yang mereka perselisihkan itu dan menjadi
petunjuk dan rahmat bagi kaum yang beriman.‖
Selanjutnya firman Allah:
16
―Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu
penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-
ayatNya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang
mempunyai fikiran.‖
Pada hakekatnya Alqur‘an itu merupakan
perbendaharaan yang besar untuk kebudayaan manusia,
terutama bidang kerohanian. Alqur‘an pada umumnya
merupakan kitab pendidikan kemasyarakatan, akhlak, dan
spiritual. Alqur‘an berfungsi sebagai dasar pendidikan yang
utama, karena dapat dilihat dari berbagai aspek di antaranya:
1. Dari segi namanya, Alqur‘an sebagai kitab pendidikan
2. Dari segi fungsinya, Alqur‘an sebagai al-huda, al-
furqan, al-hakim, al-hayyinah dan rahmatan lil‟alamin
ialah berkaitan dengan fungsi pendidikan dalam arti
yang seluas-luasnya
3. Dari segi kandungannya, Alqur‘an berisi ayat-ayat yang
mengandung isyarat tentang berbagai aspek pendidikan.
4. Dari segi kandungannya, Allah mengenalkan dirinya
sebagai al-rabb atau al-murabbi, yakni sebagai pendidik
dan orang pertama kali dididik atau diberi pengajaran
oleh Allah adalah Nabi Adam
17
Alqur‘an secara normatif juga mengungkapkan lima
aspek pendidikan dalam dimensi-dimensi kehidupan
manusia:
1. Pendidikan menjaga agama
2. Pendidikan menjaga jiwa
3. Pendidikan menjaga akal pikiran
4. Pendidikan menjaga keturunan
5. Pendidikan menjaga harta benda dan kehormatan
Alqur‘anul Karim bukanlah hasil renungan manusia,
melainkan firman Allah Yang Maha Pandai dan Maha
Bijaksana. Oleh sebab itu setiap Muslim berkeyakinan bahwa
ajaran kebenaran terkandung di dalam Alqur‘an yang tidak
dapat ditandingi oleh pemikiran manusia, sebagaimana Allah
telah berfirman dalam surat Al-Maidah : 15-16 sebagai
berikiut :
18
―Hai ahli Kitab, Sesungguhnya telah datang kepadamu
Rasul Kami, menjelaskan kepadamu banyak dari isi Al kitab
yang kamu sembunyi kan, dan banyak (pula yang)
dibiarkannya. Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya
dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab Itulah
Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keredhaan-Nya
ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah
mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada
cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya, dan
menunjuki mereka ke jalan yang lurus.‖
2) As-sunnah
Sebagai pedoman kedua sesudah Alqur‘an adalah As-
sunnah yang meliputi perkataan dan tingkah laku beliau.
Hadis Nabi Saw. Juga dipandang sebagai lampiran penjelasan
dari Alqur‘an terutama dalam masalah-masalah yang dalam
Alqur‘an tersurat pokok-pokoknya saja (Zahruddin, 2004:
50).
Al-hadis sebagai pedoman hidup Muslim dijelaskan
dalam Al-quran suratAl-hasyr ayat 7:
19
―Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
terimalah dia. Da apa yang dilarangnya bagimu maka
tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
Allah sangat keras hukuman-Nya.‖ (Departemen Agama,
2011:110).
―Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah.‖ (Departemen Agama, 2011:421)
As-sunnah menurut pengertian bahasa berarti tradisi
yang biasa dilakukan, atau jalan yang dilalui (al-thariqah al-
maslukah) baik yang terpuji maupun tercela (Muhammad al-
Sibai, 1958: 1)
Adapun pengertian As-sunnah menurut para ahli, hadis
adalah segala sesuatu yang diidentikkan kepada Nabi
Muhammad saw. Berupa perkataan, perbuatan, taqrir-nya,
ataupun selain dari itu. Termasuk sifat-sifat, keadaan, dan
cita-cita (himmah) Nabi SAW. Yang belum kesampaian
(Masjfuk Zuhdi, 1978: 14).
b. Dasar Tambahan
1. Perkataan, perbuatan, dan sikap para sahabat
2. Ijtihad
3. Mashlahah Mursalah
4. Urf (nilai-nilai dan adat istiadat masyarakat)
20
c. Dasar Oprasional
1. Dasar Historis
2. Dasar Sosial
3. Dasar Ekonomi
4. Dasar Politik
5. Dasar Psikologis
6. Dasar Fisiologis
Menurut Zakiah Daradjat (2011: 19), landasan pendidikan
islam itu terdiri dari Alqur‘an dan As-sunnah Nabi Muhammad
yang dapat dikembangkan dengan ijtihad, al maslahah al mursalah,
istihsan, qiyas, dan sebagainya.
Menurut UU No. 20 th 2003. Tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Pendidikaan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan
dirinya, masyarakat, bangsa, dan Negara.
Pendidikan adalah pengubahan sikap dan perilaku seseorang
atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran dan pelatihan (Kamus Besar Indonesia,
2007:263).
21
Pendidikan secara terminologi merupakan terjemahan dari
istilah Pedagogi. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani Kuna
Paidos dan agoo. Paidos artinya ‗budak‘ dan agoo artinya
‗membimbing‘. Akhirnya pedagogi diartikan sebagai ‗budak yang
mengantarkan anak majikan untuk belajar‘. Dalam
perkembangannya, pedagogie dimaksudkan sebagai ‗ilmu
mendidik‘. Dalam khazanah teorisasi pendidikan, ada yang
membedakan secara tegas antara pendidikan dan pengajaran.
Pembedaan tersebut umummnya didasarkan karena hasil akhir
yang dicapai serta cakupan rambahan yang dibidik oleh kegiatan
tersebut (Jumali, 2004:17).
Pendidikan secara epistimologi dapat dimaknai sebagai ilmu
yaitu ilmu mengajar yang sangat dekat dengan didakdik dan
metodik. Didakdik dan metodik adalah ilmu tentang bagaimana
cara mengajar. Pemaknaan pendidikan yang dimiliki berarti
memaknakan pendidikan dalam pengertian pendidikan sebagai kata
sifat. Sedangkan pemaknaan pendidikan sebagai kata kerja maka
pendidikan adalah upaya mendewasakan anak didik. Atas dasar
pemaknaan yang memposisikan kata pendidikan sebagai kata kerja
tersebut maka munculah pendidikan sebagai ilmu normatif (Jumali,
2004:19).
Menurut Ki Hajar Dewantara yang dikutip dari buku Azra
(2012: 5) ―pendidikan pada umumnya berarti daya upaya untuk
memajukan budi pekerti (kekuatan batin), pikiran (intelek), dan
22
jasmani anak-anak, selaras dengan alam dan masyarakatnya.
Sedangkan menurut Zuhairini (1995: 149), pendidikan adalah suatu
aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian
manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain pendidikan
tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula
diluar kelas. Pendidikan bukan bersifat formal saja, tetapi
mencakup pula yang non formal. Secara umum pendidikan dapat
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya
sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Dengan demikian, bagaimanapun sederhananya peradaban suatu
masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses
pendidikan. Oleh karena itu sering dinyatakan pendidikan telah ada
sejak dahulu. Pendidikan pada hakikatnya merupakan usaha
manusia melestarikan hidupnya.
Menurut Langeveld yang dikutip dari buku Hasbullah (2009:
4) pendidikan ialah setiap, usaha pengaruh, perlindungan dan
bantuan yang diberikan kepada anak tertuju kepada pendewasaan
anak itu, atau lebih tepat membantu anak agar cukup cakap
melakasanakan tugas hidupnya sendiri. Pengaruh itu datangnya
dari orang dewasa (atau yang diciptakan oleh orang dewasa seperti
sekolah, buku, putaran hidup sehari-hari, dan sebagainya)dan
ditujukan kepada orang yang belum dewasa.
Untuk itu dapat disimpulkan bahwa dasar pendidikan adalah
pondasi atau landasan yang kokoh bagi setiap masyarakat untuk
23
dapat melakukan perubahan sikap dan tingkah laku dengan cara
berlatih, belajar dan tidak terbatas pada lingkungan sekolah,
sehingga meskipun sudah selesai sekolah akan tetap belajar apa-
apa yang tidak ditemui di sekolah. Hal ini lebih penting
dikedepankan supaya tidak menjadi masyarakat berpendidikan
yang tidak punya dasar pendidikan sehingga tidak mencapai
kesempurnaan hidup. Apabila kesempurnaan hidup tidak tercapai
berarti pendidikan belum membuahkan hasil yang
menggembirakan.
2. Pengertian Akhlak
Secara etimologis, kata akhlak berasal dari kata --
yang artiny menjadikan, membuat, menciptakan (munawwir). Secara
terminologis, budi pekerti merupakan perilaku manusia yang didasari
oleh kesadaran berbuat baik yang didorong keinginan hati dan selaras
dengan pertimbangan akal (Sidik Tono, 1998: 87). Masih didalam
buku yang sama yaitu Ibadah dan Akhlak dalam Islam oleh Sidik
Tono, pengertian akhlak secara terminologis menurut beberapa tokoh
diantaranya:
a. Al-Ghazali dalam Ihya‟ulumuddin, khuluk yakni sifat yang
tertanam dalam jiwa yang mendorong lahirnya perbuatan dengan
mudah dan ringan, tanpa pertimbangan dan pemikiran mendalam.
b. Ibnu Miskawaih dalam Kitab Tahdzibul Akhlak mengungkapkan
bahwa, khuluk ialah keadaan gerak jiwa yang mendorong ke arah
melakukan perbuatan dengan tidak menghajatkan pemikiran.
24
c. Ahmad Amin dalam bukunya akhlak menyatakan bahwa khuluk
ialah membiasakan kehendak (Sidik Tono, 1998: 87).
Dari ketiga definisi yang dikutip diatas penulis menyimpulkan
bahwa akhlak adalah sifat yang tertanam dalam jiwa manusia yang
terlahir dengan perbuatan-perbuatan tanpa pemikiran dan
pertimbangan, sehingga ia akan muncul secara spontan tanpa ada
dorongan dari luar.
B. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan utama pendidikan akhlak adalah agar manusia berada
dalam kebenaran dan senantiasa berada di jalan yang lurus, jalan yang
telah digariskan oleh Allah SWT. Inilah yang akan mengantarkan
manusia kepada kebahagiaan dunia dan akhirat. Akhlak mulia
merupakan tujuan pokok dalam pendidikan akhlak. Akhlak seseorang
akan dianggap mulia jika perbuatannya mencerminkan nilai-nilai yang
terkandung dalam Alqur‘an (Mahmud, 2004: 159).
Alqur‘an dan As-sunnah merupakan sumber dasar yang
menjelaskan akhlak Islam dengan tepat dan detail. Telah dijelaskan
dalam Aqur‘an surat al-Ahzab: 21
―Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan
yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah
dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.‖
(Departemen Agama, 2011:421 )
25
Tujuan dari diutusnya Nabi Muhammad saw segai penutup para
nabi tidak lain adalah untuk menyempurnakan akhlak mulia.
Sebagaimana sabda beliau :
―Sesungguhnya aku diutus hanyalah untuk menyempurnakan
akhlak yang baik‖.
Tujuan pendididan menurut Ibnu Sina yang dikutip dalam buku
Nasharuddin (2015: 296) tujuan pendidikan islam harus diarahkan pada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah
perkembangan yang sempurna yaitu perkembangan fisik, intelektual dan
budi pekerti. Semua potensi yang dimaksud Ibnu Sina adalah potensi
fithrah, bertuhan kepada Allah, potensi jasad, akal, budi pekerti dan hati
nurani. Gagasan Ibnu Sina tentang pendidikan Islam secara umum ini
memperlihatkan, bahwa semua potensi yang dimiliki peserta didik mesti
diarahkan pada perkembangan jasmani. Hal ini, terlihat dilatarbelakangi
oleh pemikirannya tentang pendidikan kesehatan dan kedokteran. Sebab,
pada jasad yang sehat terdapat pikiran yang sehat yang dapat diarahkan
pada pembentukan intelektual dan budi pekerti atau akhlak mulia.
Tujuan pendidikan menurut Athiyah al-Abrasyi dalam buku
(Nasharuddin, 2015: 297) sebagai berikut :
a. Untuk membentuk akhlak mulia, karena kaum muslimin dari
dahulu sampai sekarang setuju dengan pendidikan akhlak mulia
adalah inti pendidikan islam, dan mencapai akhlak yang
sempurna adalah tujuan pendidikan yang sebenarnya.
26
b. Mempersiapkan untuk kehidupan dunia dan kehidupan di akhirat.
c. Mempesriapkan untuk mencari rezeki dan pemeliharaan dari segi
pemanfaatan.
d. Memunbuhkembangkan semangat keilmiahan peserta didik dan
memuaskan rasa ingin tahu.
e. Menyiapkan peserta didik secara profesional dan pertukangan.
Tujuan dari pendidikan akhlak dalam islam adalah untuk
membentuk manusia yang bermoral baik, keras kemauan, sopan dalam
berbicara dan perbuatan, mulia dalam tingkah laku, bersifat bijaksana,
sempurna, sopan, dan beradab, ikhlas, jujur dan suci. Dengan kata lain
pendidikan akhlak bertujuan untuk melahirkan manusia yang memiliki
keutamaan (al-fadhilah). Berdasarkan tujuan ini, maka setiap saat,
keadaan, pelajaran, aktivitas, merupakan sarana pendidikan akhlak
(Ramayulis, 2002 :149).
Dari uraian diatas sudah jelas bahwa tujuan pendidikan akhlak
adalah terciptanya pribadi yang mulia dan ukuran yang pasti untuk
menentukan baik dan buruk didasarkan pada Alqur‘an dan As-sunnah.
Dalam kehidupan sehari-hari untuk tercapainya tujuan pendidikan
adalah bergaul dengan sesama manusia dengan baik dan benar serta
mengamalkan amar ma‟ruf nahi munkar kepada sesama.
C. Ruang Lingkup Pendidikan Akhlak
Menurut Yunahar Ilyas di dalam bukunya Kuliah Akhlak membagi
akhlak menjadi lima, yaitu: Akhlak terhadap Allah, Akhlak terhadap
Rasulullah, Akhlak Pribadi, Akhlak dalam keluarga, akhlak dalam
27
masyarakat dan akhlak bernegara (Yunahar Ilyas, 2007: 17). Adapun
uraiannya adalah sebagai berikut:
1. Akhlak Terhadap Allah
Akhlak kepada Allah dapat diartikan sebagai sikap atau
perbuatan yang harus dilakukan oleh manusia sebagai makhluk
kepada Allah sebagai Khalik (Abuddin Nata, 2002: 147). Sikap atau
perbuatan tersebut harus mencerminkan akhlak mulia yang
menggunakan tolok ukur ketentuan Allah.
Sekurang-kurangnya ada empat alasan mengapa manusia perlu
berakhlak kepada Allah, diantaranya:
a. Allah yang menciptakan manusia.
b. Allah yang telah memberikan perlengkapan pancaindra berupa
pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari di
samping anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada
manusia.
c. Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang
diperlukan bagi kelangsungan hidup manusia.
d. Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya
kemampuan menguasai daratan dan lautan.
Dalam berakhlak kepada Allah manusia mempunya banyak
cara diantaranya yaitu dengan taat dan tawadduk kepada Allah,
karena Allah yang telah menciptakan manusia untuk berakhlak
kepadanya dengan cara menyembah kepada-Nya. Sebagaimana
firman Allah:
28
―Dan aku (Allah) tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka menyembah kepada-Ku‖ (QS. adh-Dhariyat: 56).
2. Akhlak Terhadap Rasulullah SAW
Semua umat Islam tahu bahwa Rasulullah saw adalah Nabi
dan Rasul terakhir, dan kewajiban bagi setiap manusia untuk
beriman kepada-Nya. Iman tidak cukup dengan hanya sekedar
meyakini, akan tetapi perlu dibuktikan dengan perbuatan atau amal
yang sudah dijelaskan di dalam Alqur‘an dan As-sunnah tentang
bagaimana bersikap terhadap Rasulullah saw. Itulah yang
dinamakan akhlak terhadap Rasulullah. Rasulullah adalah manusia
istimewa yang memiliki suri teladan bagi umat Islam dan pada-
Nya juga terdapat akhlak-akhlak mulia yang pantas untuk kita
teladani. Adapun diantara perilaku atau akhlak yang harus
dilakukan oleh setiap umat Islam terhadap Rasulullah adalah
sebagai berikut:
a. Mencintai dan memuliakan Rasul
b. Mengikuti dan Mentaati Rasul
c. Mengucapkan Shalawat dan Salam
3. Akhlak Manusia Kepada Diri Sendiri
Cakupan akhlak terhadap diri sendiri adalah semua yang
menyangkut persoalan yang melekat pada diri sendiri, semua
aktifitas, baik secara rohaniah maupun secara jasadiyah
29
(Nasharuddin, 2015: 257). Adapun akhlak terhadap diri sendiri
menurut Yunahar Ilyas (2007: 81) di dalam buku ―Kuliah Akhlak‖
itu meliputi:
a. Shidiq
Shidiq (ash-sidqu) artinya benar atau jujur, lawan dari
dusta atau bohong (al-khadzib). Seorang muslim dituntut
untuk selalu berada dalam keadaan benar lahir batin, benar
hati (shidq al-qalb), benar perkataan (shidq al-hadits) dan
benar perbuatan (shidiq al-„amal). Antara hati dan perkataan
harus sama, tidak boleh berbeda, apalagi antara perkataan dan
perbuatan. Rasulullah saw memerintahkan setiap muslim
untuk selalu shidiq, karena sikap shidiq membawa kepada
kebaikan, dan kebaikan akan mengantarkannya ke syurga.
Sebaliknya beliau melarang umatnya berbohong, karena
kebohongan akan membawa kepada kejahatan dan kejahatan
akan berakhir di neraka. Selain itu Allah swt menyukai
orang-orang yang menepati janji. Dalam al-Qur‘an
disebutkan pujian Allah kepada Nabi Isma‘il yang menepati
janjinya:
―Dan ceritakanlah (hai Muhammad kepada mereka)
kisah Isma‘il (yang tersebut) di dalam Alqur‘an.
30
Sesungguhnya ia adalah seorang yang benar janjinya, dan dia
adalah seorang Rasul dan Nabi‖.(QS. Maryam 19: 54).
b. Amanah
Amanah artinya dipercaya. Dalam pengertian yang luas
amanah mencakup banyak hal: menyimpan rahasia orang,
menjaga kehormatan orang lain, menjaga dirinya sendiri,
menunaikan tugas-tugas yang diberikan kepadanya dan lain-
lain sebagainya. Tugas-tugas yang dipikulkan Allah kepada
umat manusia, oleh Alqur‘an disebut sebagai amanah
(amanah taklif). Allah berfirman:
―Sesungguhnya Kami mengemukakan amanah kepada
langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan
untuk memikul amanah itu dan mereka khawatir akan
mengkhianatinya, dan dipikullah amanah itu oleh manusia.
Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh‖.
(QS. Al-Ahzab 33: 72)
c. Istiqamah
Secara etimologis, istiqamah berasal dari kata
istaqama-yastaqimu yang berarti tegak lurus. Dalam
terminologi akhlak, istiqamah adalah sikap teguh dalam
mempertahankan keimanan dan keislaman sekalipun
31
menghadapi berbagai macam tantangan dan godaan. Perintah
supaya beristiqamah ini dinyatakan dalam Alqur‘an dan AS-
sunnah. Allah berfirman:
―Maka beristiqamahlah kamu pada jalan yang benar,
sebagaimana diperintahkan kepadamu dan juga orang yang
telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui
batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan‖. (QS. Hud 11: 112)
d. Iffah
Secara etimologis, iffah adalah bentuk masdar dari affa-
ya‟iffu-„iffah yang berarti menjauhkan diri dari hal-hal yang
tidak baik. Dan berarti kesucian tubuh. Sedangkan secara
terminologi, iffah adalah memelihara kehormatan diri dari
segala hal yang akan merendahkan, merusak dan
menjatuhkannya. Dalam hal ini Allah swt berfirman:
...
―Apabila mereka lewat di tempat-tempat hiburan yang
tidak berfaedah, mereka melewatinya dengan menjaga
kehormatan diri‖ (QS. al-Furqan: 72).
32
―Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang
buruk‖ (QS. al-Isra‘: 32).
Dari dua ayat tersebut adalah contoh bentuk dari iffah.
Seorang muslim maupun muslimah diperintahkan untuk
menjaga penglihatan dan pergaulannya. Tidak mengunjungi
tempat-tempat hiburan yang ada kemaksiatannya dan tidak
pula melakukan perbuatan-perbuatan yang bisa
mengantarkannya kepada perzinaan.
e. Mujāhadah
Mujāhadah berasal dari kata yang
berarti mencurahkan segala kemampuan. Dalam konteks
akhlak mujāhadah adalah mencurahkan segala kemampuan
untuk melepaskan diri dari segala hal yang menghambat
pendekatan diri terhadap Allah SWT. Untuk mengatasi dan
melawan semua hambatan tersebut diperlukan kemauan keras
dan perjuangan yang sungguh-sungguh. Perjuangan sungguh-
sungguh itulah yang dinamakan mujāhadah. Dalam hal ini
Allah SWT berfirman:
―Dan orang-orang yang bermujahadah untuk (mencari
keridhaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada
mereka jalan-jalan Kami. Dan sesungguhnya Allah benar-
33
benar beserta orang-orang yang berbuat baik‖. (QS. Al-
‗Ankabut 29: 69)
f. Syajā‘ah
Syajā‟ah artinya berani, yaitu berani yang berlandaskan
kebenaran dan dilakukan dengan penuh pertimbangan.
Keberanian di sini ditentukan oleh kekuatan hati dan
kebersihan jiwa. Tawādhu‘ artinya merendahkan hati, tidak
memandang dirinya lebih dari orang lain. Orang yang
tawādhu‘ menyadari bahwa apa saja yang dia miliki, baik
bentuk rupa yang cantik atau tampan, ilmu pengetahuan,
harta kekayaan, maupun pangkat dan kedudukan dan lain
sebagainya, semua itu adalah karunia dari Allah SWT. Allah
berfirman:
―Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari
Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh
kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta
pertolongan‖ (QS. an-Nahl 16: 53).
g. Malu
Malu (al-haya‟) adalah sifat atau perasaan yang
menimbulkan keengganan melakukan sesuatu yang rendah
atau tidak baik. Sifat malu tersebut adalah malu ketika
34
melanggar peraturan Allah yaitu kepada Allah, diri sendiri
dan malu kepada orang lain. Perasaan ini dapat menjadi
bimbingan kepada jalan keselamatan dan mencegah dari
perbuatan nista. Allah berfirman:
―Mereka bersembunyi dari manusia, tetapi mereka tidak
bersembunyi dari Allah, padahal Allah beserta mereka, ketika
pada suatu malam mereka menetapkan keputusan rahasia
yang Allah tidak ridhai. Dan Allah Maha meliputi (ilmu-Nya)
terhadap apa yang mereka kerjakan‖ (QS. an-Nisā‘: 108).
h. Sabar
Secara etimologis, sabar (ash-shabr) berarti menahan
dan mengekang (al-habs wa al-kuf). Secara terminologi
berarti menahan diri dari segala sesuatu yang tidak disukai
karena mengharap ridha Allah. Orang-orang yang memiliki
sifat sabar akan mendapatkan balasan syurga karena
kesabaran mereka. Allah berfirman:
―Mereka itulah orang yang dibalas dengan martabat
yang tinggi (dalam syurga) karena kesabaran mereka dan
mereka disambut dengan pengormatan dan ucapan selamat di
dalamnya‖ (QS. al-Furqān: 75).
35
i. Pemaaf
Dalam bahasa arab, sifat pemaaf di sebut dengan al-
‗afwu yang secara terminologis berarti kelebihan atau
berlebih. Sedangkan arti pemaaf itu sendiri adalah sikap suka
memberi maaf terhadap kesalahan orang lain tanpa ada
sedikitpun rasa benci dan keinginan untuk membalas.
Islam mengajarkan kepada kita untuk dapat memaafkan
kesalahan orang lain tanpa harus menunggu permohonan
maaf dari yang bersalah, karena sesungguhnya Allah Maha
pemaaf. Allah berfirman:
―Jika kamu melahirkan sesuatu kebaikan atau
menyembunyikan atau memaafkan sesuatu kesalahan (orang
lain), maka sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Kuasa‖ (QS. an-Nisā‘: 149).
4. Akhlak Dalam Keluarga
Seperti yang terdapat di dalam buku Pendidikan Agama
Islam yang dikutip oleh Mohammad Daud Ali (2008: 358), akhlak
dalam keluarga, karib kerabat diantaranya adalah saling membina
rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan keluarga, saling
menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak, berbakti kepada
36
ibu bapak, mendidik anak-anak dengan kasih sayang, dan
memelihara hubungan silaturrahim yang dibina orang tua.
5. Akhlak Terhadap Masyarakat
Akhlak terhadap masyarakat menurut Mohammad Daud Ali
(2008: 358) dalam bukunya Pendidikan Agama Islam antara lain:
1) memuliakan tamu. 2) menghormati nilai dan norma yang
berlaku dalam masyarakat bersangkutan. 3) saling menolong dalam
melakukan hal kebajikan dan taqwa. 4) menganjurkan anggota
masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik dan mencegah diri
serta orang lain melakukan perbuatan jahat (munkar).
6. Akhlak Bernegara
Akhlak bernegara di sini meliputi: bermusyawarah,
menegakkan keadilan, amar ma‘ruf nahi munkar dan juga
membentuk hubungan yang baik antara pemimpin dengan yang
dipimpin.
37
BAB III
KANDUNGAN SURAT AL-A’RĀF
Surat al-A‘rāf adalah surah yang turun sebelum Nabi Muhammad saw
berhijrah ke Mekah. Surat al-A‘rāf surat ke tujuh setelah surat al-An‘am
dalam susunan Alqur‘an, yang terdiri 206 ayat, termasuk golongan surat
Makiyyah, kandungan surat ini merupakan rincian dari sekian banyak
persoalan yang diuraikan oleh surat al-An‘am, khususnya menyangkut kisah
beberapa Nabi (Quraish Shihab, 2002: 4). yang di dalamnya terdapat
berbagai macam pembahasan seperti:
1. Kewajiban Mengikuti Wahyu dan Akibat Menentangnya
Terdapat Pada Ayat 1-10.
Pada ayat ini dijelaskan bahwa Alqur‘an adalah penyejuk hati,
cahaya yang menerangi jalan siapa yang bingung, selain itu Alqur‘an
juga memberi pelajaran yang baru bagi orang-orang mukmin.
Keimanan yang bersemi di hati mereka, membuka mata, pikiran, dan
hati mereka sehingga dapat menangkap lebih banyak lagi pesan dan
pengajaran-pengajaran Illahi yang belum dijangkau oleh para
pendahulu.
Pada ayat 1-10 ini juga dijelaskan akan ada siksa bagi mereka
yang menentangnya oleh karena itu, bersiaplah selalu menghindarinya
dengan mengikuti tuntunan agama. Karena dikemudian hari nanti ada
timbangan amal-amal manusia. Amal kebaikan dan kejahatan setiap
orang diletakkan pada kedua sisi timbangan. Sisi yang berat itulah
yang menentukan kesudahannya; bahagia atau sengsara. Pada saat itu
38
juga manusia mengakui kesalahannya, sekaligus mengakui keesaan-
Nya, saat mereka melihat siksa. Ketika itu, ia mengakuinya secara
terpaksa sehingga penyesalan pun tak berguna lagi. Karena itu akuilah
kesalahan dan akui pula keesaan-Nya secara sukarela dan setiap saat.
2. Penghargaan Allah SWT Kepada Nabi Adam dan Keturunannya
Terdapat dalam Ayat 11-25.
Pada ayat 11 Allah memerintahkan kepada para malaikat supaya
sujud kepada Nabi Adam, maka merekapun sujud kecuali Iblis. Iblis
selain enggan sujud adalah enggan mengakui kesalahannya dan
memohon ampun. Iblis durhaka dan membangkang, bahkan bertekad
untuk terus menggoda manusia. Iblis tidak seperti Nabi Adam as. yang
mengaku bersalah dan memohon ampun. Selain itu pada ayat 11-25 ini
juga dijelaskan bahwa, keunggulan dan kemuliaan di sisi Allah swt.
Bukan ditentukan oleh unsur kejadian sesuatu, tetapi oleh kedekatan
dan pengabdiannya kepada Allah swt. Karena itu, seandainya pun
unsur api dinilai lebih mulia dari pada unsur tanah, keunggulan dan
kemuliaan Iblis tidak serta-maerta terbukti.
Selain itu isi kandungan ayat ini pada tafsir al-Lubab (Quraish
Shihab, 2012: 415) Ketika berada di surga, Nabi Adam dan Hawa telah
ditutup auratnya. Mereka berdua tidak dalam keadan telanjang. Ini
mengisyaratkan bahwa keterbukaan aurat mengakibatkan kejahuan
manusia dari surga. Pada Ayat 20 mengisyaratkan bahwa salah satu
pangkal dosa utama dan terbesar, di samping keangkuhan yang
diperankan oleh Iblis, juga prasangka buruk terhadap Allah yang
39
ditanamkan Iblis ke dalam hati Nabi Adam dan Hawa. Selanjutnya isi
kandungan pada ayat 11-25 ini juga dijelaskan bahwa, Nabi Adam dan
pasangannya tidak sekedar menutupi aurat mereka dengan selembar
daun, tetapi daun diatas daun agar auratnya benar-benar tertutup dan
pakaian yang dikenakan tidak menjadi pakaian mini atau transparan.
Ini menunjukkan bahwa menutup aurat merupakan fitrah manusia yang
diaktualkan oleh Nabi Adam dan pasangannya. Dan selanjutnya isi
kandungan pada ayat ini juga dijelaskan bahwa, langkah awal manusia
menciptakan peradaban bermula dari usaha menutupi kekurangan-
kekurangannnya, menghindar dari apa yang tidak disenanginya, serta
berupaya memperbaiki penampilan dan keadaannya, sesuai dengan
imajinasi dan khayalnya. Allah menciptakan hal tersebut dalam bentuk
manusia pertama untuk kemudian diwariskan kepada anak cucunya.
Allah juga menerima taubat Nabi Adam dan pasangannya lalu mereka
diperintah turun ke bumi. Ini berarti keduanya tidak membawa dosa
dengan demikian tidak ada juga dosa yang diwarisi oleh anak cucu
manusia pertama itu.
3. Peringatan Allah Terhadap Godaan Setan Terdapat Pada Ayat
26-30.
Pada ayat 26-30 telah disediakan bagi anak cucu Adam yaitu
pakaian untuk menutup aurat. Pakaian, antara lain berfungsi sebagai
penutup bagian-bagian tubuh yang dinilai oleh agama dan dinilai oleh
seseorang atau masyarakat, sebagian buruk bila dilihat, serta sebagai
hiasan yang menambah keindahan pemakainya. Ini memberi isyarat
40
bahwa agama memberi peluang yang cukup luas untuk memperindah
diri dan mengekspresikan keindahan. Di samping pakaian jasmani, ada
juga pakaian ruhani yang dinamai pakaian takwa dan ini lebih penting
daripada pakaian jasmani. Pada ayat 26-30 ini juga telah dijelaskan
menyenangi keindahan dalam berpakaian, adalah fithrah yang
dianugrahkan Allah kepada manusia, oleh karena itu keindahan tidak
terlarang. Yang terlarang bila itu dilakukan dengan keangkuhan serta
pengabaian hak-hak manusia.
Isi pokok kandungan ayat 26-30 selain diatas, di dalam tafsir
al-Lubab (Quraish Shihab, 2012: 420), juga menjelaskan bahw,
Alqur‘an mengajarkan moderasi dalam segala hal serta melarang
berlebihan dan berkekurangan dalam segala persoalan. Tauhid adalah
pertengahan dari sikap monisme dan ateisme, keberanian adalah
pertengahan antara takut dan ceroboh, kedermawanan adalah
pertengahan antara boros dan kikir, berpakaian dengan menutup aurat
adalah pertengahan antara telanjang dan menutup rapat seluruh tubuh.
Demikian seterusnya. Seluruh persada bumi adalah masjid dalam arti
tempat memahami perintah Allah. Pada ayat ini juga dijelaskan bahwa,
Masjid bukan hanya tempat untuk meletakkan dahi, yakni sujud dalam
shalat, tetapi masjid adalah tempat melakukan aktivitas yang
mengandung makna kepatuhan kepada Allah atau paling tidak tempat
mendorong lahirnya aktivitas yang menghasilkan kepatuhan kepada
Allah. Dan yang terakhir pada ayat ini juga mengandung makna,
bahwa manusia akan menghadap Allah secara sendiri-sendiri untuk
41
mempertanggung jawabkan amalnya. Mereka dibandingkan dalam
keadaan telanjang, tanpa membawa sesuatu.
4. Adab Berpakaian, Makan, dan Minum Serta Pengutusan Para
Rasul, Akibat Penerimaan dan Penolakan Kerasulan Terdapat
Pada Ayat 31-53.
Islam mendorong penampilan keindahan dan hiasan, termasuk
dalam berpakaian yang dilarangnya adalah keangkuhan dan atau yang
mengundang rangsangan birahi. Maka dari itu berlebih-lebihan dalam
segala hal tidak direstui agama. Dalam kandungan ayat 31-53 selain
menerangkan adab tentang berpakaian, ada juga adab tentang makan.
Makan bukan saja yang halal, tetapi hendaknya yang bergizi serta
proporsional, tidak berlebihan.Makanan yang dikonsumsi yakni yang
sesuai dengan kebutuhan dan kondisi orang perorang. Kalau pun akan
dipenuhkan, maka sepertiga untuk makan, sepertiga untuk minuman,
dan sepertiga untuk pernafasan.
Isi pokok kandungan ayat 31-53 menurut Quraish Shihab
(2012: 423), ada lima pokok yang dilarang agama dan yang mutlak
diindahkan guna memelihara kehidupan bermasyarakat adalah
menghindari: al-Fawahisy/kekejian (zina), dosa, khususnya minuman
keras dan perjudian (QS. al-Baqarah: 219), Al-Baghy (penganiayaan),
Menyekutukan Allah, Mengada-akan sesuatu atas nama Allah. Selain
itu ada waktu bagi kematian orang per orang, maka ada juga waktu
bagi kematian/masa keruntuhan dan kehancuran umat atau masyarakat
manusia.
42
Pada isi kandungan ayat 31-53 juga dijelaskan akan ada
penyesalan terbesar yang dialami oleh kaum musyrik adalah saat
malaikat mencabut ruh mereka dan ketika itu juga mereka mengaku
bersalah, tapi pengakuannya itu tidak bermanfaat lagi. Selain itu juga
dijelaskan bahwa, Malaikat pencabut ruh jumlahnya banyak,
sebagaimana dipahami dari bentuk jamak kata Rusul. Pemimpin dari
malaikat-malaikat itu adalah malaikat Izrail. Kemudian kandungan
ayat ini selanjutnya mengenai Surga, kemuliaan, rahmat, dan
kebajikan dilukiskan sebagai berada di atas langit sehingga siapa yang
tertutup baginya pintu-pintu langit, maka ia tidak memperoleh surga,
tidak juga kemuliaan. Ini adalah perumpamaan dan karena itu jangan
pahami bahwa ruhnya tertolak dan gentayangan di bumi.
Allah tidak membebani seseorang melebihi kemampuannya.
Karena itu, kaidah hukum menyatakan: ―Bila suatu telah sempit atau
sulit, maka ia menjadi lapang dan mudah. Karena di surga tidak ada
dendam dan iri hati, semua telah memperoleh kedamaian dan semua
telah meraih apa yang memuaskannya sehingga tidak lagi
menginginkan selain apa yang telah diperolehnya. Dan yang terakhir
Surga semata-mata anugerah Allah bukan karena amal-amal kebaikan
manusia.
5. Tuhan Semesta Alam dan Bukti Kekuasaan Allah
Membangkitkan Manusia Sesudah Mati Terdapat Pada Ayat 54-
58.
43
Alam raya diciptakan dalam enam hari, yakni enam periode
atau masa; enam hari penciptaan itu termasuk hal gaib yang tidak
dilihat dan dialami oleh seorang manusia pun: ―Aku tidak
menghadirkan mereka untuk menyaksikan penciptaan langit dan bumi
dan tidak (pula) penciptaan dari mereka sendiri,‖ demikian QS.al-Kahf
[18]:51. Semua pendapat yang dikemukakan tentang hal tersebut tidak
mempunyai satu dasar yang meyakinkan. Namun, tidak ada salahnya
dibahas dan dicari oleh ilmuwan, tetapi hasil yang mereka capai tidak
boleh mengatasnamakan Alqur‘an. Informasi tentang penciptaan alam
dalam enam hari mengisyaratkan qudrat/kuasa dan ilmu, serta
kebijakan Allah swt. karena sesungguhnya,―apabila Dia menghendaki
sesuatu hanyalah berkata kepadanya: ‗Jadilah‘ maka terjadilah ia‖
tetapi hikmah dan ilmu-Nya menghendaki agar alam raya tercipta
―enam hari‖ untuk menunjukkan bahwa ketergesa-gesaaan bukanlah
sesuatu yang terpuji, tetapi yang terpuji adalah keindahan dan kebaikan
karya, serta persesuaiannya dengan hikmah dan kemaslahatan.
Pada kandungan ayat ini juga menjelaskan Allah Swt.
bersemayam di atas ‗Arsy mengandung makna, antara lain bahwa Dia
Maha Kuasa atas alam raya serta mengetahui rincian segala sesuatu
dan segala sesuatu tunduk kepada-Nya, suka atau terpaksa. Allah swt.
yang menundukkan alam raya untuk dimanfaatkan manusia bukan
manusia yang menundukkannya, dan dengan demikian,manusia tidak
boleh merasa angkuh terhadap alam, tetapi hendaknya bersahabat
dengannya sambil mensyukuri Allah swt. Dengan jalan mengikuti
44
semua tuntunan-Nya, baik yang berkaitan dengan alam raya maupun
diri manusia sendiri. Karena itu, Islam tidak mengenal istilah
penundukan alam, apalagi istilah tersebut memberi kesan permusuhan
dan penindasan.
Selanjutnya isi kandungan ayat ini mengenai doa. Doa
hendaknya dipanjatkan secara khusus, ikhlas, rendah hati,
menampakkan kebutuhan sehingga mendesak-Nya, tapi itu dilakukan
dengan suara yang tidak keras sehingga tidak pula dibuat-buat karena
dapat melampaui batas. Yang berdoa, di samping harus takut kepada
Allah, juga harus optimis dengan rahmat dan pengabulan doa oleh-
Nya. Atas kekuasaan Allah, sebelum hujan turun, angin beraneka
ragam atau banyak, namun sedikit demi sedikit Allah swt. mengarak
dengan perlahan partikel-partikel awan, kemudian digabungkan-Nya
partikel-partikel itu sehingga ia tindih menindih dan menyatu, lalu
turunlah hujan. Yang melakukan itu adalah Allah swt. Melalui hukum-
hukum alam yang ditetapkan-Nya. Demikian juga dia kuasa
menghidupkan siapa yang telah mati dan menuntut dari mereka
tanggung jawab masing-masing. Dan yang terakhir ada anugerah
khusus Allah swt. Yang dia limpahkan kepada makhluk-Nya. Ini
berarti ada manusia-manusia istimewa yang mendapat perlakuan
khusus, yaitu mereka yang hatinya bersih, berusaha mendekatkan diri
kepada Allah melalui kewajiban agama dan Sunnah-sunnahnya.
Mereka mendapat perlakuan khusus sehingga menghasilkan hal-hal
khusus, istimewa, dan bermanfaat.
45
6. Kisah Beberapa Rasul, Kisah Nabi Nuh as dan Kisah Nabi Hud as
Terdapat Pada Ayat 59-72.
Pada pembahasan ayat ini tokoh dan pemimpin suatu
masyarakat seringkali berupaya mempertahankan kemapanan dan
enggan menerima perubahan. Karena mereka khawatir kehilangan
pengaruh dan kedudukannya. Kemudia dalam pembahasan ini semua
Rasul selalu mengajak kaumnya beriman dan menyembah Allah swt.,
Tuhan Yang Maha Esa. Mereka semua bertugas membimbing dan
menasehati masyarakatnya. Siapa yang sesuku atau sebangsa dengan
Anda, walau tidak seiman, maka dia adalah saudara anda.
Sebagaimana Allah swt. menamai Nabi Hud as. sebagai saudara kaum
‗Ad, padahal kaumnya tidak beriman. Ini merupakan salah satu dasar
yang membuktikan bahwa Alqur‘an memperkenalkan persaudaraan
sekaum atau sesuku dan sebangsa. Sesuatu yang diberi nama mestinya
mempunyai hakikat sesuai dengan nama yang diberikan kepadanya.
Jangan menamai seorang yang bejat dengan ―Budiman‖ karena nama
yang disandangnya tidak sesuai dengan sifatnya. Kaum musyrik
memberi nama “Tuhan” untuk berhala-berhala yang mereka sembah.
Tetapi sifat ketuhanan sungguh jauh dari berhala-berhala itu. Dengan
demikian, hal tersebut hanya penamaan tanpa sedikit substansi pun.
Pada ayat 59-72 juga berisikan tentang setiap kalimat atau
syariat atau adat istiadat atau ide yang tidak diturunkan Allah, maka ia
bernilai rendah, pengaruhnya kecil dan segera lenyap. Fithrah manusia
akan menghadapinya dengan peremehan. Adapun bila kalimat itu
46
bersumber dari Allah swt.,maka nilainya tinggi, lagi mantap
menembus ke lubuk jiwa yang terdalam disebabkan karena ada
sulthan, yakin kekuatan yang diletakan pada kalimat itu. Alangkah
banyak slogan-slogan menarik, isme dan aliran serta ide-ide palsu yang
didukung oleh upaya pemantapan dan kemasan yang indah, tetapi ia
segera luluh lenyap di hadapan kalimat Allah yang mengandung
suthan itu.
7. Kisah Nabi Shaleh as dan Kisah Nabi Luth as Terdapat Pada Ayat
73-84.
Pada ayat 73-84 ini beri mengenai kesabaran dan kegigihan
harus menyertai setiap Nabi dan penganjur kebajikan. Para Nabi
dianugerahi bukti kebenaran yang dihadapkan kepada yang menolak
kenabiannya. Bukti tersebut adalah hal luar biasa yang melebihi apa
yang menjadi unggulan masyarakatnya. Selanjutnya siapa yang
menyetujui suatu keburukan, meskipun dia tidak terlibat langsung di
dalamnya, maka ia dapat dinilai ikut melakukannya dan terancam
dampak buruknya. Ini terbukti bahwa yang memotong unta tersebut
hanya beberapa orang, tetapi oleh ayat 78 dinyatakan bahwa mereka
semua memotongnya. Dan mereka semua terkena sanksinya.
Pemimpin satu masyarakat akan bersedih melihat sanksi, walau itu di
jatuhkan kepada masyarakatnya yang durhaka. Pada ayat ini
menjelaskan mengenai Pemimpin, bahkan setiap orang, hendaknya
mengingatkan dan menarik pelajaran dari peristiwa dan pengalaman
yang dialami.
47
Ayat yang berbicara tentang Nabi Luth as. tidak menyebut siap
masyarakat yang beliau hadapi, tidak juga tempat mereka, berbeda
dengan ayat-ayat yang lalu. Ini merupakan pengajaran kepada umat
Islam agar dalam hal-hal tertentu hendaknya merahasiakan nama
pelaku kejahatan bila penyebutan nama tidak diperlukan, apalagi jika
kejahatan yang mereka lakukan adalah sesuatu yang sangat buruk atau
dapat merangsang orang lain melakukannya. Selain itu mengenai
tentang homoseksual. Homoseksual adalah pelanggaran terhadap
fithrah/bawaan manusia, serupa dari segi pelanggarannya dengan
menyekutukan Allah swt. perbuatan keji itu mengakibatkan dampak
yang sangat buruk , bukan saja terhadap pelaku, tetapi juga bagi
masyarakat. Dan yang terakhir, apabila melakukan pelanggaran
sekalipun itu keluarga Nabi – termasuk istrinya – bila durhaka akan
dikenai dampak buruk kedurhakaannya, lebih – lebih bila tidak
bertaubat.
8. Kisah Nabi Syu’aib as yang Terdapat Pada Ayat 85-102.
Pada ayat 85-102 ini dijelaskan bahwa, Seseorang mendapat
ganjaran bila mereka melakukan aktivitasnya atas keimanan dan ini
menjadikan hal tersebut baik baginya, berbeda dengan orang kafir
yang tidak memperoleh sedikit ganjaran pun di akhirat kelak. Dampak
penyempurnaan takaran atau timbangan adalah rasa aman,
ketentraman, dan kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kesemuanya
tercapai melalui keharmonisan hubungan antar anggota masyarakat,
yang antara lain karena masing-masing memberi apa yang berlebih
48
dari kebutuhannya dan menerima yang seimbang dengan haknya. Ini
tentu saja memerlukan rasa aman menyangkut alat ukur, baik takaran
maupun timbangan.
Setiap pertambahan anggota satu perhimpunan, bertambah
pula kekuatannya serta semakin kukuh pula mereka dalam pemikiran,
kehendak, dan usahanya, karena itu pertambahan tersebut harus
disyukuri. Pertambahan ini pada gilirannya menjadikan mereka
merasakan kebutuhan yang lebih banyak dan rinci, yang selanjutnya
mengantar mereka menciptakan aneka cara untuk mengatasi kendala
yang mereka hadapi. Karena itu, hubungan harmonis antara seluruh
anggota masyarakat harus selalu dipelihara, antara lain dalam
menimbang dan menakar. Orang –orang yang durhaka pada akhirnya
akan binasa, betapa pun besar kekuasaan mereka dan kendati mereka
meninggalkan nama, tetapi nama yang buruk sehingga mereka
dikenang dalam keburukan dan kebejatan. Selain itu perbedaan
kepercayaan dan keyakinan tidak mudah, kalau enggan berkata
mustahil, diselesaikan antara kelompok yang berbeda. Jalan keluar
yang paling tepat adalah tidak mempersoalkannya dan menyerahkan
putusan dan penyelesaiannya kepada Allah swt, baik hal itu dilakukan-
Nya di dunia maupun di akhirat.
Pada pembahasan ayat ini pengecualian yang diucapkan Nabi
Syu‘aib as. seperti terbaca di atas menunjukkan bahwa manusia,
bagaimana pun keadaannya, tidak dapat menjamin walaupun dirinya
sendiri, termasuk dalam hal iman. Ia dapat tergelincir dan terbawa arus
49
kebejatan tanpa sadar. Karena itu, salah satu doa yang diajarkan
adalah: ― Tuhan kami ! janganlah Engkau jadikan hati kami berpaling
sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami,dan anugerahilah kami
rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi
(anugerah)‖(QS.Ali-‗Imran[3]:8). Dan selanjutnya lima kisah nabi-
nabi – Nuh, Hud, Shaleh, Luth, dan Syu‘aib as. – berulang
dikemukakan oleh Alqur‘an dalam berbagai surah dengan susunan
seperti di atas. Ini berbeda dengan kisah Nabi Ibrahim as. Hal itu
karena kelima nabi yang disebut kisahnya di sini, semuanya melihat
dengan mata kepala mereka, kehancuran kaumnya yang
membangkang. Berbeda dengan Nabi Ibrahim as. yang terpaksa
meninggalkan kaumnya dan tidak melihat mereka disiksa. Yang
dialami Nabi Ibrahim as. merupakan satu penghormatan tersendiri,
serupa dengan penghormatan yang dianugerahkan kepada Nabi
Muhammad saw. yang secara tegas dinyatakan bahwa : ―Allah sekali-
kali tidak akan menyiksa mereka selama engkau berada di tengah
mereka‖ ( QS. Al-anfal[8]: 33).
Pada ayat 85-102 juga menceritakan kedurhakaan manusia
pada masa nabi-nabi yang lalu – dan boleh jadi hingga kini – adalah
gempa, gunung meletus, banjir besar, dan bencana alam lainnya.
Walaupun harus dicatat bahwa hal-hal tersebut tidak selalu merupakan
akibat kedurhakaan, tetapi itu dilakukan Allah swt. dalam rangka
menjaga keseimbangan alam raya. Selanjutnya pada ayat ini berisikan
tentang salah satu cara pengobatan penyakit-penyakit jiwa yang
50
ditempuh Tuhan Yang Maha Esa untuk menyadarkan manusia adalah
menimpakan kesulitan dan bencana agar mereka kembali – ke jalan
yang benar ( Baca juga Qs. ar – Rum [30]: 41). Mamun paara
pendurhaka sering kali mengabaikan sekian banyak sebab dan memilih
satu sebab saja, dan itu pun sebab yang sangat rapuh. Misalnya,
melupakan kesalahan yang dilakukan saat jatuhnya bencana dengan
menyatakan bahwa itu adalah takdir yang tidak dapat diletakan, atau
menafsirkan semua bencana semata-mata sebagai gejala alam dan
melupakan peranan Allah swt. yang Maha hidup dan yang terus –
menerus memelihara dan mendidik manusia, antara lain dengan
menjatuhkan sanksi dan bencana agar mereka memperbaiki diri.
Peringatan-peringatan Allah selain didalam Alqur‘an juga terdapat
dalam sunnah-sunnah Allah , dalam menghadapi kaum pembangkang;
Pertama, mereka diberi peringatan melalui aneka ujian dan bencana
dengan harapan mereka sadar dan memperbaiki diri. Jika ini tidak
mereka lakukan, maka mereka akan dibiarkan bergelimang dalam dosa
yang mengakibatkan hati mereka tertutup sehingga mereka semakin
tidak sadarkan diri. Selanjutnya, mereka akan mendapatkan lebih
banyak lagi aneka kesenangan lahiriah, yang pada hakikatnya hanyalah
merupakan salah satu bentuk mukar Allah swt. ketika itu, tidak ada
aktivitas.
9. Kisah Nabi Musa as Terdapat dalam Ayat 103-171.
Kandungan pada ayat 103- 171 mengenai kisah Nabi Musa
bahwa, para pemuka rezim Fir‘aun menyadari bahwa bukti-bukti yang
51
dipaparkan Nabi Musa as. adalah bukti-bukti yang sangat
menyakinkan sehingga beliau harus dihadapi dengan siasat dan kehati-
hatian. Saran mereka untuk menghimpun para penyihir dari seluruh
daerah kekuasaan Fir‘aun juga menunjukkan betapa kekhawatirannya
mereka terhadap Nabi Musa as. dan bukti-bukti yang beliau paparkan.
Ini dapat menjadi pelajaran agar bersabar dan berhati-hati dalam
menghadapi setiap situasi yang sulit. Ucapan para penyihir yang
meminta upah menunjukkan betapa mereka sangat butuh kepada
materi, walau mereka seringkali mengelabuhi banyak orang tentang
kemampuan penyihir melakukan sekian banyak hal, bahkan
mengesankan bahwa mereka dapat membantu orang lain mendapatkan
rezeki. Demikian itulah keadaan setiap penyihir sehingga sering kali
mereka mati dalam keadaan miskin dan dalam bentuk yang
mengerikan.
Selanjutnya isi kandungan ayat ini yang dapat dipetik adalah
memberikan kesempatan kepada orang lain. Sebagaimana yang
dijelaskan dalam tafsir al-Lubab (Quraish Shihab, 2012: 458), pada
ayat 103-171, juga dipaparkan untuk mempersilakan para penyihir
tampil terlebih dahulu bukan saja menunjukkan etika Nabi Musa as.,
yang memahami kehendak mereka untuk tampil terlebih dahulu, tapi
juga menunjukkan kepercayaan diri beliau yang amat tinggi, karena
biasanya yang tampil lebih dahulu lebih mampu. Sebelumnya
membahas tentang penyihir, maka kata sihir terambil dari kata Arab
sahar, yaitu akhir waktu malam dan awal terbitnya fajar. Saat itu
52
bercampur antara gelap dan terang, sehingga segala sesuatu menjadi
tidak jelas atau tidak sepenuhnya jelas. Demikian itulah sihir.
Terbayang oleh seseorang sesuatu, padahal sesungguhnya ia tidak
demikian. Matanya melihat sesuatu, tetapi kenyataannya tidak
demikian. Sihir ada wujudnya, tetapi ia ada dan dapat berpengaruh atas
izin Allah swt., demikian juga sebaliknya. ―Para penyihir tidak
memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali
dengan izin Allah‖. (Qs.al-Baqarah [2]: 102). Karena itu, untuk
menangkalnya diperlukan bantuan Allah swt. pula dan dalam konteks
ini, doa yang tulus merupakan salah satu senjata yang amat ampuh.
Salah satu yang diajarkan Allah swt. kepada Nabi Muhammad saw.
adalah Surah al-Falaq [113].
Kebatilan tidak jarang mengelabui mata manusia oleh
keindahan kemasannya atau menakutkan mereka oleh ancamannya,
tetapi itu hanya sementara, karena begitu ia dihadapkan dengan
kebenaran, maka kebaktilan tersebut sirna oleh kemantapan kebenaran
itu. Orang-orang beriman selalu meohon bantuan Allah swt.
menghadapi segala tantangan dan kesulitan, kekuatan iman mereka
mengalahkan penderitaan,bahkan ancaman kematian sekalipun. Disini
juga dijelaskan bahwa Fir‘aun mangaku dirinya sebagai Tuhan, juga
mempercayai adanya tuhan-tuhan yang lain. Kata tuhan yang
dimaksud oleh firaun dan pemuka-pemuka masyarakatnya, bahkan
oleh para penyembah berhala, bukan dalam arti Pencipta langit dan
bumi, tetapi siapa yang menangani, mengurus, dan mememuhi
53
kebutuhan masyarakatnya. Fir‘aun sendiri dianggap dan menganggap
dirinya sebagai tetesan dari Tuhan atau anak tuhan, tetapi itu tidak
menjadikan ia mengaku sebagai Pencipta langit dan bumi atau Tuhan
semesta alam. Sesungguhnya kekuasaan adalah milik Allah swt. Dia
yang menganugerahkan kepada siapa yang dia kehendaki,taat atau
durhaka. Dia juga yang mencabutnya dari siapa yang dia kehendaki.
Semua berdasar hikmah kebijaksanaan-Nya, namun pada akhirnya
yang diberinya adalah mereka yang dapat mengelola bumi sesuai
dengan tuntunan yang dikedendaki-Nya.
Selanjutnya pembahasan pada ayat ini mengenai ketakwaan,
bukan saja kelak di Hari Kemudian, tetapi juga di dunia ini, karena
setiap orang yang menelusuri jalan lurus akan merasakan ketenangan
hidup, bahkan akan mencapai kebahagiaan dan kepuasan batin yang
lahir dari keyakinan tentang kebenaran sikapnya. Itu sebabnya Anda
dapat menemukan orang-orang yang tersiksa lahirnya, namun keadaan
itu diterimakanya tanpa keluhan karena siksaan lahir yang dideritanya
menghasilkan kenikmatan ruhani yang tidak ada taranya. Wewenang
dan kekuasaan terhadap sesuatu, besar atau kecil, adalah salah satu
bentuk ujian Allah swt. kepada manusia. Maka dari itu, jangan
melempar kesalahan/keburukan kepada pihak lain, baik manusia
maupun situasi, dengan berkata hari atau orang sial. Tetapi, carilah
terlebih dahulu penyebabnya pada diri sendiri.
Dalam penjabaran ayat ini juga mengenai bencana alam
merupakan siksa Allah swt. atas kedurhakaan manusia, baik karena
54
pelanggaran hukum-hukum syariah maupun hukum-hukum alam yang
ditetapkan-Nya. Barang siapa yang mengingkari janji, baik terhadap
Allah swt., manusia atau diri sendiri, adalah sikap buruk yang tidak
dapat disandang oleh orang-orang beriman. Adapun janji baik Allah
swt. akan terlaksana, cepat atau lambat. Adapun ancaman-Nya, bisa
jadi dibatalkan oleh-Nya berkat kemurahan-Nya. Kehancuran yang
dialami oleh Firauan dan apa yang dibangunnya itu boleh jadi akibat
gempa yang melanda Mesir atau kekalahan akibat serangan musuh ,
bangunan – bangunan tinggi yang mereka tinggalkan akhirnya
tertimbun setelah berlalu waktu lama. kini, dari ke hari ditemukan
sekian banyak peninggalan lama yang tertimbun dalam tanah.
Banyak di antara orang-orang Yahudi yang tidak dapat
mencerna hal-hal yang bersifat spiritual sehingga terpaku pada hal-hal
material, antara lain meminta melihat Tuhan atau seperti ayat di atas
meminta dibuatkan tuhan. Permintaan kaum Nabi Musa as. untuk
dibuatkan berhala – sebagai Tuhan – menunjukkan bahwa mereka
belum sepenuhnya terbebaskan dari kepercayaan yang meluas di mesir
tentang politeisme, yaitu penyembahan berhala dan lain-lain. Ujian
bukan hanya terbatas dalam bentuk hal-hal yang merugikan atau yang
dinilai negatif oleh seseorang, tetapi dapat juga berupa nikmat. Kalau
yang pertama menuntut kesabaran, karena petaka sering kali
berpotensi mengantar seseorang mengingat Allah swt., sebaliknya
nikmat berpotensi mengantar manusia lupa diri dan lupa Tuhan.
Sebagai seorang muslim kita harus menyakini keberadaan Allah dan
55
menjalankan syari‘atnya pada siang dan malam. Penyebutan kata
malam, bukan hari atau siang, mengisyaratkan bahwa malam adalah
waktu yang paling baik untuk bermunajat menghadapkan diri kepada
Allah swt., karena keheningan dan kegelapan malam membantu
melahirkan ketenangan pikiran dan kehusyukan.
Selain permintaan kaum Nabi Musa untuk dibuatkan Tuhan,
maka ada juga larangan mengikuti para perusak berarti larangan
berpartisipasi atau bahkan mendukung kegiatan siapa yang
kebanyakan aktivitasnya merupakan perusakan,walaupun boleh jadi
sekali-kali ada aktivitasnya yang bermanfaat. Pesan ini mengandung
tiga tingkat larangan: a. larangan melakukan satu pekerjaan , b.
larangan melakukan amal perusak, walaupun bukan pekerjaan yang
biasa dilakukannya, dan c. larangan mendekati dan bergaul dengan
para perusak. Larangan b dan c merupakan salah satu bentuk kehati-
hatian, karena pergaulan atau melakukan aktivitas yang serupa dengan
kegiatan perusak dapat mengantar secara tidak sadar kepada kelakuan-
kelakuan buruknya.
Manusia, betapa pun agungnya, tidak dapat melihat Tuhan
dengan pandangan mata kepala, karena mata manusia tidak
dianugerahi potensi untuk maksud tersebut. Allah swt. bukanlah
jasmani, dia tidak disentuh oleh waktu dan tempat, tidak ada juga yang
serupa dengan-Nya, kendati dalam khayal ketuhanan adalah sesuatu
yang hanya dimiliki Allah swt.,tidak dapat tergambar dalam benak
bahwa ada sesuatu yang mengenal-Nya, kecuali diri-Nya sendiri. Allah
56
swt. ―berbicara‖ dalam arti menyampaikan informasi kepada manusia
hanya dengan tiga cara, yaitu (a) dari balik tabir. (b) wahyu, yang
antara lain dalam bentuk mimpi, (c) mengutus malaikat untuk
menyampaikan pesan-Nya. Cara-cara itu pun tidak terjangkau
hakikatnya oleh nalar manusia. Yang pasti, Allah swt. ―berbicara‖
bukan dengan menggunakan alat atau membutuhkan waktu dan
tempat.
Selain isi kandungan diatas pada pembahasan ini juga
mengenai untuk melaksanakan semua tuntunan kitab suci/agama –
tanpa kecuali – tidak dapat dilakukan oleh orang. Namun demikian,
paling sedikit yang harus dilakukan adalah melaksanakan yang wajib
dan menghindari yang haram. Bisa saja orang-orang yang tidak
beriman melihat nalar ayat-ayat Allah swt., namun mereka tetap tidak
dapat memfungsikan dan memanfaatkannya sebagai bukti keesaan dan
kekuasaan Allah swt. ini karena – boleh jadi – mereka memandangnya
sebagai sihir, atau semata-mata sebagai fenomena alam tanpa
mengaitkannya sedikit pun dengan swt. dan salah satu hambatan utama
perolehan ilmu terdapat pada diri manusia yang malu atau angkuh
untuk bertanya, atau enggan menerima pandangan orang lain dan
meremehkan karena merasa pendapatnya pasti dan selalu benar.
Karena itu jangan engan bertanya dan tampakkanlah selalu rasa rendah
hati kepada siapa pun. Kendati terhadap siapa ―yang di bawah‖ karena
bisa jadi ada yang diketahuinya melebihi pengetahuan Anda.
57
Pada ayat 148 menyatakan bahwa yang membuat patung
lembu itu adalah ―mereka‖ dalam arti banyak orang. Sedangkan dalam
QS. Thaha [20]: 87 – 88 menyebutkan bahwa yang membuatnya
adalah seorang di antara mereka yang bernama Samiry. Ini karena
yang berperan utama adalah samiry, sedang yang lain pada hakikatnya
terlibat dalam pembuatannya, paling tidak dalam bentuk restu dan
partisipasi memberi perhiasan yang mereka punyai. Ini berarti
partisipasi sekecil apa pun merupakan bagian dari pelaku. Dan ayat
150 jika ditinjau dari runtutan kisah, ―seharusnya-nya berada sebelum
ayat 149 di atas, karena penyesalan kaum Nabi Musa as. itu lahir
setelah beliau kembali marah dan menunjukkan kesesatan itu, sebagai
pengajaran kepada semua pihak agar bersegera bertaubat dan tidak
tergesa-gesa beralih dari satu hal ke hal lain, kecuali setelah jelas
dampak-dampaknya. Dalam ayat ini juga memaparkan penyebutan
kata ―anak ibuku‖ oleh Nabi harun as. adalah supaya beliau
mengingatkan Nabi Musa as. tentang hubungan rahim dan kasih
sayang yang mereka rasakan bersama dari ibu mereka, juga disebabkan
karena ayah Nabi Musa dan harun as. tidak disebut dalam Alqur‘an,
bahkan peranannya tidak disinggung, yang disebutkan justru peranan
ibu Nabi Musa as., apalagi persaudaraan antara sesama ibu
(sekandung) seringkali kali lebih kuat daripada persaudaraan sesama
ayah saja, walau tentunya persaudaraan seibu sebapak akan sangat kuat
bila disertai dengan persamaan ide, cita-cita, dan perjuangan yang
diikat oleh upaya meraih keridhaan Allah swt.
58
Pemaparan dalam ayat 103-171 bahwa, Allah swt. selalu
membuka pintu taubat kepada siapapun dan dalam kaitan dosa apa pun
serta sebesar apa pun selama yang bersangkutan bertaubat sebelum
ruhnya mencapai kerongkongannya. Selain itu ada tata cara berdoa.
Doa hendaknya dimulai dengan memuji Allah swt. atas nikmat yang
selama ini telah dilimpahkan-Nya dan disampaikan dengan kesadaran
tentang perlunya bertaubat dan dengan tekad mengikuti jalan-Nya. Itu
dipanjatkan dengan tulus dan mendesak serta tidak hanya bermohon
untuk kebahagiaan duniawi, tetapi juga ukhrawi. Dengan itu turunnya
rahmat disebabkan oleh ketuhanan Allah swt. Yang Mahakasih, karena
semua memperoleh kasih-Nya – walau dalam kadar yang berbeda-beda
– sedang siksa-Nya bukan disebabkan oleh ketuhanan-Nya, tetapi
semata-mata karena kesalahan yang disiksa. Itu sebabnya ayat 156
menggarisbawahi kehendak-Nya ketika berbicara tentang siksaan dan
tidak menyebut kehendak-Nya ketika menguraikan rahmat-Nya.
Rahmat Allah swt. yang khusus, antara lain dilimpahkan-Nya kepada
yang berzakat dan bersedekah , dalam arti kepada mereka yang
merahmati makhluk-Nya karena yang tidak merahmati, tidak akan
dirahmati.
Pada pemaparan ini juga menyinggung salah satu bukti
kebenaran Nabi Muhammad saw. adalah ketidakpandaian beliau
membaca dan menulis ( baca QS. Al-‗Ankabut [29]: 48). Kalau belum
pandai, pasti akan ada yang berkata bahwa ayat-ayat Alqur‘an yang
Beliau sampaikan, yang redaksi dan isinya sangat mengagumkan itu
59
serta mengungkap banyak hal yang tidak dikenal manusia pada
masanya, adalah hasil bacaan Beliau. Syariat Islam yang diajarkan
Nabi Muhammad saw. sedemikian meringankan manusia sehingga
keadaan darurat atau kebutuhan mendesak yang dialami seorang dapat
mengalihkan keharaman sesuatu menjadi halal, seperti memakan babi
bagi yang terancam hidupnya, atau tergantinya satu kewajiban dengan
kewajiban lain, seperti mengganti puasa dengan memberi makan fakir
miskin. Nabi Muhammad saw. telah menyampaikan kedudukan Beliau
sebagai rasul sejak berada di Mekkah, karena ayat ini turun di sana.
Dengan demikian,terbukti kekeliruan sebagian orientalis yang
menduga bahwa Nabi Muhammad saw. pada mulanya hanya ingin
menjadi rasul di kalangan masyarakat Mekkah, kemudian sedikit demi
sedikit , sejalan dengan keberhasilan yang dicapainya, memperluas
―ambisinya‖ sehingga mencakup seluruh manusia.
Pada ayat ini ada konsekuensi dari perintah beriman kepada
Nabi Muhammad saw. adalah mengikuti Beliau agar yang mengikuti
memperoleh petunjuk. Dengan demikian, tiada petunjuk yang dapat
diperoleh, kecuali dengan mengikuti Beliau. Islam bukan sekedar
akidah bersemi di dalam hati, bukan juga sekedar syiar-syiar agama
atau ibadah ritual. Tetapi ia adalah ikutan secara sempurna kepada
Rasulullah saw. menyebut apa yang Beliau sampaikan dan ajarkan.
Sertakanlah doa dengan upaya sesuai kemampuan Anda! Doa Nabi
Musa as. itu diperkenankan Allah swt.,tetapi bukan serta merta tanpa
perintah berusaha. Air yang dimohonkannya memancar setelah usaha,
60
walau hanya simbolis, yaitu memukulkan tongkat pada batu. Semua itu
Mukjizat yang diberikan Nabi Musa.
Dalam berbagai kisah diatas Allah memberi nasihat dan
peringatan bagi siapa yang menyimpang atau lalai adalah kewajiban
setiap yang mampu dan akan dituntut pertanggungjawabannya di Hari
Kemudian. Jika telah bangkit sekelompok orang yang melaksanakan
amar ma‘ruf dan nahi munkar, maka jatuhnya siksa yang menyeluruh
dapat dihindari, berbeda jika semua mengabaikan kewajiban. Pada
tahap awal kedurhakaan, pendurhaka masih merasakan teguran,
kecaman batin, tepati jika pelanggaran berulang tanpa taubat, maka
kedurhakaan akan semakin mantap dan bertambah lemah pula teguran
dan kecaman, sampai akhirnya peringatan tidak lagi berbekas dan lahir
pelecehan ajaran agama. Ketika itu manusia dinilai telah amat jauh
melampaui batas – batas Illahi sehingga tidak ada yang
dihadapkannya. Dengan kesungguhan berpegang teguh pada kitab suci
merupakan perbaikan di pentas bumi ini dan dalam lingkup
masyarakat manusia. Karena kita suci mengandung tuntunan tentang
tata cara memelihara fithrah sesuai dengan kesiapan dan potensi
masing-masing. Memberikan peringatan keras / ancaman demi
kebaikan merupakan salah satu cara Allah mendidik manusia, karena
memang ada orang yang tidak mempan baginya nasihat dan janji-janji
yang menyenangkan.
61
10. Ketauhidan Sesuai Dengan Fitroh Manusia, Perumpamaan
Orang-orang yang Mendustakan Ayat-ayat Allah dan Sifat-sifat
Penghuni Neraka Terdapat Pada Ayat 172-179.
Kandungan pada ayat 172-179 yang dapat dipetik bahwa,
Allah swt. mempersaksikan setiap manusia yang berakal tentang
keesaan-Nya serta mengutus para Nabi. Maka kesalahannya
ditoleransi, kecuali kalau ketidaktahuan itu disebabkan oleh
keengganan yang bersangkutan untuk tahu. Tradisi leluhur harus
diteliti kesesuaiannya dengan akal dan tuntunan agama sebelum
diamalkan.
Pengakuan tentang keesaan Allah swt. melekat pada diri
manusia. Ia adalah fitrah . karena itu pengingkaran yang terjadi dari
diri siapapun bersifat sementara, paling lama sampai sesaat sebelum
ruhnya berpisah dengan jasadnya, saat itu ia akan mengakui keesaan
dan kuasa Allah. Siapa yang telah mengetahui kebenaran , tapi enggan
menerima dan mengamalkan, maka ia mereduksi sifat-sifat
kemanusiaan, bahkan menanggalkannya.
Selanjutnya mengenai perumpamaan semisal anjing
menjulurkan lidahnya tidak hanya ketika ia letih atau kehausan, tetapi
sepanjang hidupnya. Itu serupa dengan yang memperoleh
pengetahuan, tetapi terjerumus mengikuti hawa nafsu. Seharusnya
pengetahuan tersebut membentengi dirinya dari perbuatan buruk, tetapi
ternyata baik ia butuh maupun tidak, baik ia telah memiliki hiasan
duniawi maupun belum, ia terus – menerus mengejar dan berusaha
62
mendapatkan dan menambahnya, seperti keadaan anjing yang selalu
menjulurkan lidahnya, baik membutuhkan air maupun tidak. Ilmu
pengetahuan bukanlah sesuatu yang mengawang-awang di angkasa
dan sekadar ucapan lidah. Ia bukan sekadar teori, tetapi harus
membuahkan hasil dalam bentuk sikap dan timdakan terpuji , sejalan
dengan pengetahuan itu. Allah swt, menganugerahi kemampuan
melaksanakan hidayah-Nya kepada siapa yang berkeinginan dan
berjuang untuk meraihnya melalui pemanfaatan potensi-potensi yang
dianugerahkan Allah swt.,adapun yang enggan, maka Allah swt.
membiarkannya sebagai mana keinginannya.
11. Orang-orang yang Mendustakan Ayat-ayat-Nya Dengan Cara
Istidraj dan Allah –lah yang Mengetahui Waktu Datangnya Hari
Kiamat Terkandung dalam Ayat 180-188.
Dalam kandungan ayat 180-188 salah satunya adalah orang
yang mendustakan ayat dengan cara istidraj. Yang dimaksud istidraj
yaitu orang yang berkelimang dalam kesesatan , hingga orang itu tidak
sadar bahwa dia didekatkan secara berangsur-angsur kepada
kebinasaan. Maka dari itu manfaat yang dapat kita petik dalam ayat
ini, yakni memahami sifat-sifat yang ada pada Allah. Allah swt.
memiliki sifat dan nama terbaik sehingga walaupun ada sifat makhluk
yang serupa dengan nama sifat-Nya, misal pengasih, pemaaf. dan lain-
lain, tetapi sifat Allah swt. adalah yang terbaik karena substansi
kapasitasnya sangat amat berbeda dari sifat – sifat yang di sandang
makhluk.
63
Selanjutnya yang dapat kita petik dalam ayat ini bagaimana
cara untuk berdoa. Berdoa hendaknya dengan menggunakan nama –
nama Allah swt. yang diajarkan oleh Alqur‘an atau as-Sunnah.
Seseorang hendaknya menyesuaikan kandungan permohonan dengan
sifat yang disandang Allah. Bila memohon rezeki, serulah Allah swt.
dengan sifat Razzak (Maha Pemberi Rezeki); jika diampuni,maka
tonjolkan sifat Ghafur ( Maha Pengampun), demikian seterusnya. Di
setiap saat sampai hari kemudian, pasti ada saja sekelompok orang,
sedikit atau banyak , yang menganjurkan kebenaran, melaksananakan
keadilan, dan memperjuangkannya. Mereka tidak tinggal diam
berpangku tangan menghadapi penganiayaan.Penempatan ayat yang
berbicara tentang adanya kelompok yang mengajak kepada kebaikan
dan menegakan keadilan, sesudah perintah menyeruh Allah swt.
dengan nama sifat-sifat-Nya yang indah, menginsyaratkan bahwa siapa
yang demikian itu keadaannya, dia pada hakikatnya menyandang sifat-
sifat terpuji serta berakhlak dengan sifat-sifat Allah swt. sesuai
kemampuan sebagai makhluk.
Dan yang terakhir dalam kandungan ayat ini kita harus
menyadari bahwa kesuasaan Allah tidak dapat dijangkau oleh manusia.
Maka jangan pernah menduga yang bergelimang dosa dan kenikmatan
dicintai Allah swt., kenikmatan yang diperolehnya adalah pangkal
bencana buat mereka. Sebagaimana ada ajal bagi orang per orang, ada
juga ajak masyarakat yang menjadikan sistemnya runtuh. Ini berarti di
samping hukum-hukum alam yang tidak berubah, ada juga hukum-
64
hukum kemasyarakatannya yang mengatur bangunan runtuhnya satu
masyarakat. Memperhatikan fenomena alam dan mempelajarinya
dengan saksama dapat mengantar kepada kesadaran tentang wujud dan
keesaan Allah serta swt. ilmu dan kuasa-Nya. Setiap orang hendaknya
selalu sadar dan waspada karena petaka dapat terjadi kapan dan di
mana saja. Apa yang di sampaikan Alqur‘an adalah informasi pasti
akurat, tidak ada yang melebihi ketepatan dan kebenarannya.
Kedatangan kiamat dan kematian dirahasiakan Allah swt., antara lain
agar setiap orang dan setiap saat selalu siap dengan dengan kebajikan
serta menjauhi dari kedurhakaan. Di sisi lain, siapa yang
menyampaikan informasi tentang waktu kedatangan kiamat, maka dia
berbohong atau gila. Nabi Muhammad saw. tidak mengetahui yang
gaib. Baik yang bersifat umum maupun khusus, menyangkut diri
pribadi Beliau maupun pihak lain, kecuali perkara gaib yang
disampaikan Allah swt. kepada beliau.
12. Pengingatan Manusia Kepada Asal Usul Kejadiannya dan Berhala
Tidak Patut Disembah Terdapat Pada Ayat 189-198.
Awal dari tujuan umum perkawinan adalah meraih ketenangan
hidup bagi suami istri. Karena itu, semakin banyak gejolak yang
dialami satu pasangan, semakin jauh pula perkawinan mereka dari
tujuannya. Semua ibu bapak mendambakan agar anaknya lahir
sempurna dan mereka dituntut untuk mensyukuri kelahirannya dengan
mengembangkan potensi – potensi yang dimiliki sang anak agar ia
65
dapat mengenal Allah swt., Tuhan Yang Maha Esa, dan berguna untuk
masyarakatnya.
Dan kandungan yang terakhir mengenai Berhala-berhala yang
disembah kaum musyrik adalah makhluk-makhluk yang sedikit pun
tidak berdaya. Bahkan tidak memiliki nilai estetika. Ini menunjukkan
betapa bodoh dan picik para penyembah berhala, apa pun alasan dan
dalih mereka. Rasul saw. sangat yakin dan percaya kepada
perlindungan Allah swt. dan tidak khawatir sedikit pun menghadapi
kaum musyrik. Ini terbukti dari tantangan yang Beliau sampaikan, atas
perintah Allah swt., kepada kaum musyrik bersama sembahan mereka
untuk melakukan makar atas Beliau. Tantangan itu Beliau sampaikan
ketika masih berada di Mekkah saat kaum Muslim tertindas.
13. Dasar-dasar Akhlakul Karimah Terdapat pada Ayat 199-202,
Adab Mendengar Pembacaan Alqur’an dan Berzikir Terdapat
Pada Ayat 203-206.
Dalam kandungan ayat 199-202 merupakan dasar akhlakul
karimah sebagai mana dijelaskan, jadilah pemaaf, terimalah dengan
tulus apa yang mudah mereka lakukan agar tidak memberatkan
mereka. Yang menganugerahi setan mempunyai kemampuan merayu
adalah Allah, karena itu ingatlah kepada Allah dan mohon
perlindungan kepada Allah supaya terhindar dari rayun setan. Setan
selalu berkeliling mengitari manusia bertakwa. Orang-orang yang
bertakwa apabila di kitari oleh setan segera ingat kepada Allah.
66
Dan yang terakhir isi kandungan surat al-A‘rāf ayat 203-206
ini mengenai adab dan tata cara berdzikir. Pada kandungan ayat ini
dapat dipetik dari ajaran-ajaran Nabi. Nabi Muhammad tidak
mempunyai sedikit keterlibatan pun dalam hal Alqur‘an, kecuali
menyampaikan dan menjelaskan maknanya dengan lisan dan
perbuatannya. Alqur‘an di samping bukti yang paling jelas tentang
kebenaran Nabi Muhammad sebagai nabi dan rasul, juga sebagai
petunjuk kebahagiaan umat manusia dunia dan akhirat. Berzikir
hendaknya tidak menimbulkan gangguan kepada pihak yang lain,
misalnya dengan mengeraskan suara.
67
BAB IV
DASAR-DASAR PENDIDIKAN AKHLAK
SURAT AL-A’RĀF AYAT 199-202
A. Asbabun Nuzul Surat al-A’rāf ayat 199-202
―Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. Dan jika kamu
ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah, Dia
Maha Mendengan dan Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka ingat kepada
Allah, Maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya. Dan
teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu syaitan-
syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya
(menyesatkan).‖(Qs. Al-a‘rāf, 07: 199-202).
a. Asbabun Nuzul QS. al-A‘rāf ayat 199.
―Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma‘ruf, serta berpalinglah daripada orang-orang yang bodoh‖.
Dalam suatu riwayat, uyainah mengatakan bahwa pada suatu
waktu, orang-orang musyrikin Mekah telah menyakiti hati Rasulullah
68
selama sepuluh tahun. Saat Rasulullah hijrah ke Madinah, beliau
hendak membalas dendam terhadap mereka dengan mengadakan acara
penyerbuan ke Makkah. Maka maka turunlah ayat itu. (HR. Ibnu Jarir
dan Ibnu Abi Hatim).
b. Asbabun Nuzul QS. al-A‘rāf ayat 200-202
―Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan setan, maka berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui, Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila
mereka ditimpa was-was dari setan, mereka ingat kepada Allah, maka
ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya, Dan teman-
teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu setan-setan
dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya (menyesatkan)‖.
Di dalam asbabun nuzul Mahadi (1989: 119), dalam surat
riwayat, Abdirrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan bahwa ketika
QS. 7:199 diturunkan, Rasulullah bertanya, ―Wahai Tuhanku,
bagaimana aku dapat menahan emosi?‖ Atas pertanyaan itu, Allah lalu
menurunkan ketiga ayat ini sebagai ketegasan tentang cara berlindung
dari setan dan usaha untuk menahan emosi. (HR. Ibn Abi Hatim).
69
Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (al-
A'rāf: 199) Yakni ambillah dari lebihan harta mereka sejumlah yang
layak untukmu, dan terimalah apa yang mereka berikan kepadamu dari
harta mereka. Hal ini terjadi sebelum ayat yang memfardukan zakat
diturunkan berikut rinciannya dan pembagian harta tersebut.
Demikianlah menurut pendapat As-Saddi.
Ad-Dahhak mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
makna Firman-Nya; Jadilah engkau pemaaf. (al-A'rāf. 199) Makna
yang dimaksud ialah 'infakkanlah lebihan dari hartamu'. Menurut Sa'id
ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, yang dimaksud dengan al-'afwa dalam
ayat ini ialah lebihan.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan sehubungan
dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (al-A'rāf: 199)
Allah memerintahkan Nabi Saw. agar bersifat pemaaf dan berlapang
dada dalam menghadapi orang-orang musyrik selama sepuluh tahun.
Kemudian Nabi Saw. diperintahkan untuk bersikap kasar terhadap
mereka. Pendapat inilah yang dipilih oleh Ibnu Jarir.
Sejumlah orang telah meriwayatkan dari Mujahid sehubungan dengan
makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf. (al-A'rāf: 199) Yakni
terhadap sikap dan perbuatan orang lain tanpa mengeluh.
Hisyam ibnu Urwah telah meriwayatkan dari ayahnya, bahwa
Allah Swt. telah memerintahkan Rasul-Nya agar bersifat memaaf
70
terhadap akhlak dan perlakuan manusia (terhadap dirinya). Menurut
riwayat yang lain, makna yang dimaksud ialah 'bersikap lapang
dadalah kamu dalam menghadapi akhlak mereka'.
Di dalam kitab Sahih Bukhari disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya,
dari Urwah, dari saudaranya (yaitu Abdullah ibnu Zubair) yang
mengatakan bahwa sesungguhnya ayat yang mengatakan, "Jadilah
engkau pemaaf," yakni terhadap akhlak manusia.
Menurut riwayat lain dari selain Bukhari, disebutkan dari
Hisyam, dari ayahnya, dari Ibnu Umar. Dan menurut riwayat yang
lainnya lagi disebutkan dari Hisyam, dari ayahnya, dari Siti Aisyah,
bahwa keduanya pernah menceritakan hal yang semisal.
Di dalam riwayat Sa'id ibnu Mansur disebutkan dari Abu
Mu'awiyah, dari Hisyam, dari Wahab Ibnu Kaisan, dari Abuz Zubair
sehubungan dengan firman-Nya: jadilah engkau pemaaf. (al- A‘rāf:
199) Maksudnya dalam menghadapi akhlak manusia. Selanjutnya
disebutkan, "Demi Allah, aku benar-benar akan bersikap lapang dada
selama aku bergaul dengan mereka."
Riwayat inilah yang paling masyhur dan diperkuat oleh apa yang
telah diriwayatkan oleh Ibnu' Jarir dan Ibnu Abu Hatim; keduanya
mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus, telah
menceritakan kepada kami Sufyan ibnu Uyaynah, dari Ubay yang
menceritakan bahwa ketika Allah Swt. menurunkan ayat berikut
kepada Nabi-Nya, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan
71
serulah orang-orang mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh. (al-A‘rāf: 199) Maka Rasulullah Saw.
bertanya, "Hai Jibril, apakah artinya ini?" Jibril a.s. menjawab,
"'Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepadamu agar
memaafkan terhadap perbuatan orang yang berbuat aniaya kepadamu,
dan kamu memberi orang yang mencegahnya darimu, serta
bersilaturahmi kepada orang yang memutuskannya darimu."
Ibnu Abu Hatim telah meriwayatkannya pula dari Abu Yazid Al-
Qaratisi secara tertulis, dari Usbu' ibnul Faraj, dari Sufyan, dari Ubay,
dari Asy-Sya'bi hal yang semisal.
Semua riwayat yang telah disebutkan di atas berpredikat mursal
dalam keadaan apa pun, tetapi telah diriwayatkan melalui jalur-jalur
lain yang memperkuatnya. Telah diriwayatkan pula secara marfu' dari
Jabir dan Qais ibnu Sa'd ibnu Ubadah, dari Nabi Saw. yang keduanya
di-isnad-kan oleh Ibnu Murdawaih.
72
Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Abul
Mugirah, telah menceritakan kepada kami Syu'bah. telah menceritakan
kepada kami Mu'az ibnu Rifa'ah. telah menceritakan kepadaku Ali
ibnu Yazid, dari Al-Qasim ibnu Abu Umamah Al-Bahili, dari Uqbah
ibnu Amir r.a. yang menceritakan bahwa ia bersua dengan Rasulullah
Saw., lalu ia mengulurkan tangannya, menyalami tangan Rasulullah
Saw., kemudian bertanya, "Wahai Rasulullah, ceritakanlah kepadaku
tentang amal-amal perbuatan yang paling utama." Rasulullah Saw,
bersabda: Hai Uqbah. bersilaturahmilah kamu kepada orang yang
memutuskannya darimu, berilah orang yang mencegahnya darimu, dan
berpalinglah dari orang yang aniaya kepadamu.
Imam Turmuzi telah meriwayatkan hal yang semisal melalui
jalur Ubaidillah ibnu Zuhar, dari Ali ibnu Yazid dengan lafaz yang
sama, dan Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini berpredikat
hasan.
Menurut kami. Ali ibnu Yazid dan gurunya Al-Qasim alias Abu Abdur
Rahman berpredikat daif.
Imam Bukhari telah mengatakan sehubungan dengan makna
firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan serulah orang-orang
mengerjakan yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari orang-orang yang
bodoh. (al-A'rāf: 199) Yang dimaksud dengan al-'urfu ialah hal yang
makruf (bajik).
Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Abul Yaman,
telah menceritakan kepada kami Syu'aib, dari Az-Zuhri; telah
menceritakan kepadaku Ubaidillah ibnu Abdullah ibnu Atabah, bahwa
Ibnu Abbas r.a. pernah mengatakan, "Uyaynah ibnu Husatn ibnu
73
Huzaifah tiba (di Madinah), lalu menginap dan tinggal di rumah
kemenakannya, yaitu Al-Hurr ibnu Qais. Sedangkan Al-Hurr termasuk
salah seorang di antara orang-orang yang terdekat dengan Khalifah
Umar. Tersebut pula bahwa teman-teman semajelis Umar dan dewan
permusyawaratannya terdiri atas orang-orang tua dan orang-orang
muda. Lalu Uyaynah berkata kepada kemenakannya, 'Hai
kemenakanku, engkau adalah orang yang dikenai oleh Amirul
Mu‘minin, maka mintakanlah izin masuk menemuinya bagiku." Al-
Hurr berkata, 'Saya akan memintakan izin buatmu untuk bersua
dengannya'." Ibnu Abbas melanjutkan kisahnya, "Lalu Al-Hurr
meminta izin buat Uyaynah kepada Umar, dan Khalifah Umar
memberinya izin untuk menemui dirinya. Ketika Uyaynah masuk
menemui Umar, Uyaynah berkata. 'Hai Umar. demi Allah, engkau
tidak memberi kami dengan pemberian yang berlimpah, dan engkau
tidak menjalankan hukum dengan baik di antara sesama kami.' Maka
Khalifah Umar murka, sehingga hampir saja ia menampar Uyaynah,
tetapi Al-Hurr berkata kepadanya,' Wahai Amirul Mu‘minin,
sesungguhnya Allah Swt. pernah berfirman kepada Nabi-Nya: Jadilah
engkau pemaaf dan serulah orang-orang mengerjakan yang ma‘ruf,
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh. (al-A'rāf: 199) Dan
sesungguhnya orang ini termasuk orang yang bodoh." Demi Allah,
ketika ayat itu dibacakan kepada Umar. Umar tidak berani
melanggarnya, dan Umar adalah orang yang selalu berpegang kepada
Kitabullah" Hadis diketengahkan oleh Imam Bukhari secara munfarid.
74
Ibnu Abu Hatim mengatakan bahwa telah menceritakan kepada
kami Yunus ibnu Abdul A'Ia secara qiraat, telah menceritakan kepada
kami Ibnu Wahb, telah menceritakan kepadaku Malik ibnu Anas, dari
Abdullah ibnu Nafi', bahwa Salim ibnu Abdullah ibnu Umar bersua
dengan iringan kafilah negeri Syam yang membawa sebuah lonceng.
Maka Salim ibnu Abdullah berkata, "Sesungguhnya barang ini
diharamkan." Mereka menjawab, "Kami lebih mengetahui daripada
kamu tentang hal ini. Sesungguhnya yang tidak disukai hanyalah
lonceng besar, sedangkan lonceng seperti ini tidak apa-apa." Salim
diam dan merenungkan firman-Nya: serta berpalinglah dari orang-
orang yang bodoh, (al-A'rāf: 199)
Menurut Imam Bukhari, yang dimaksud dengan istilah al-'urfu
dalam ayat ini ialah perkara yang makruf (bajik). Ia menukilnya dari
nas yang dikatakan oleh Urwah ibnuz Zubair, As-Saddt, Qatadah, Ibnu
Jarir, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Ibnu Jarir telah meriwayatkan bahwa bila dikatakan aulaituhu
ma'rufan, "arifa, „arifatan, semuanya bermakna makruf, yakni saya
mengulurkan kebajikan kepadanya. Ibnu Jarir mengatakan, Allah telah
memerintahkan kepada Nabi-Nya agar menganjurkan semua
hambanya untuk berbuat kebajikan, dan termasuk ke dalam kebajikan
ialah mengerjakan ketaatan dan berpaling dari orang-orang yang
bodoh.
75
Sekalipun hal ini merupakan perintah kepada Nabi-Nya,
sesungguhnya hal ini juga merupakan pelajaran bagi makhluk-Nya
untuk bersikap sabar dalam menghadapi gangguan orang-orang yang
berbuat aniaya kepada mereka dan memusuhi mereka. Tetapi
pengertiannya bukan berarti berpaling dari orang-orang yang tidak
mengerti perkara yang hak lagi wajib yang termasuk hak Allah, tidak
pula bersikap toleransi terhadap orang-orang yang ingkar kepada
Allah, tidak mengetahui keesaan-Nya, maka hal tersebut harus
diperangi oleh kaum muslim.
Sa'id ibnu Abu Arubah telah meriwayatkan dari Qatadah
sehubungan dengan makna firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan
serulah orang-orang mengerjakan yang ma‘ruf serta berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh. (al-A'rāf: 199) Hal ini merupakan akhlak
yang diperintahkan oleh Allah Swt untuk disandang oleh Nabi-Nya,
dan Allah Swt. memberinya petunjuk ke akhlak ini. Sebagian orang
yang bijak ada yang menuangkan pengertian ini ke dalam dua bait
syair berikut:
Jadilah kamu pemaaf dan serulah (orang-orang) berbuat
kebajikan, sebagaimana engkau diperintahkan. Dan berpalinglah dari
orang-orang yang bodoh Dan lemah-lembutlah dalam berbicara kepada
semua orang, maka hal yang baik bagi orang yang berkedudukan ialah
berkata dengan lemah-lembut.
76
Sebagian ulama mengatakan bahwa manusia itu ada dua macam:
Pertama, orang yang baik; terimalah kebajikan yang diberikannya
kepadamu, janganlah kamu membebaninya dengan sesuatu yang di
luar kemampuannya, jangan pula sesuatu yang menyempitkan dirinya.
Adapun terhadap orang yang kedua, yaitu orang yang buruk, maka
perintahkanlah dia untuk berbuat yang ma‘ruf. Jika ia tetap tenggelam
di dalam kesesatannya serta membangkang —tidak mau menuruti
nasihatmu— serta terus-menerus di dalam kebodohannya, maka ber-
palinglah kamu darinya. Mudah-mudahan berpalingmu darinya dapat
menolak tipu muslihatnya terhadap dirimu, seperti yang disebutkan
oleh firman Allah Swt.:
Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik, Kami
mengetahui apa yang mereka sifatkan. Dan katakanlah, "Ya Tuhanku,
aku berlindung kepada Engkau dari bisikan-bisikan setan. Dan aku
berlindung (pula) kepada Engkau, ya Tuhanku, dari kedatangan
mereka kepadaku.‖ (Al-Mu‘minun: 96-98)
Adapun firman Allah Swt.:
77
Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan
itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu
dan antara dia ada permusuhan seolah-olah teman yang setia Sifat-sifat
yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang
mempunyai keberuntungan yang besar. (Fushshilat: 34-35)
Yakni orang yang beroleh wasiat ini. Kemudian dalam ayat
selanjutnya Allah Swt berfirman:
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui (al-A'rāf: 200)
Sedangkan dalam surat ini (yakni al-A'rāf) disebutkan pula hal
yang sama, yaitu melalui firman-Nya:
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka berlindunglah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (al-A'rāf: 200)
ketiga ayat ini berada di dafam surat al-A'rāf, Al-Mu‘minun, dan
Ha-mim Sajdah, tidak ada lainnya lagi. Melaluinya Allah Swt.
78
memberikan petunjuk tentang tata cara menghadapi orang yang
berbuat maksiat, yaitu menghadapinya dengan cara yang baik, karena
dengan cara inilah dalam berbuat maksiat dapat dihentikan dengan
seizin Allah Swt. Karena itulah dalam surat Fushshilat disebutkan:
maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada
permusuhan seolah-olah teman yang setia. (Fushshilat: 34)
Kemudian Allah memberikan petunjuk untuk meminta
perlindungan pada-Nya dari godaan setan yang tidak kelihatan, karena
sesunguhnya setan tidak senang bila kita berbuat kebaikan. Dan
sesungguhnya setan itu hanya bertujuan untuk menghancurkan dan
membinasakan kita cara keseluruhan. Sesungguhnya setan itu adalah
musuh yang nyata bagi kita dan bagi kakek moyang kita jauh sebelum
kita (yakni Nabi Adam).
Ibnu Jarir mengatakan sehubungan dengan tafsir firman-Nya:
Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan. (al-A'rāf: 200) yaitu jika
setan menggodamu dengan perasaan marah yang karena itu kamu tidak
mampu berpaling dari orang yang bodoh, dan justru kamu terdorong
untuk memberinya pelajaran. maka berlindunglah kepada Allah. (al-
A'rāf: 200) maksudnya, mintalah perlindungan kepada Allah dari
godaannya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui. (al-A'rāf: 200) Allah Maha Mendengar terhadap
79
kebodohan orang yang berbuat kebodohan terhadap dirimu, dan Maha
Mendengar terhadap permintaan perlindunganmu dari godaan setan
serta lain-lainnya yang berupa obrolan orang lain. Tiada sesuatu pun
yang samar bagi-Nya, Dia Maha mengetahui semua urusan makhluk-
Nya, termasuk godaan setan yang telah merasuki hatimu.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam telah mengatakan bahwa ketika
ayat ini diturunkan, yaitu firman-Nya: Jadilah engkau pemaaf dan
serulah orang mengerjakan yang ma‘ruf serta berpalinglah dari orang-
orang yang bodoh (al-A'rāf: 199) Maka Nabi Saw. bertanya, "Wahai
Tuhanku, bagaimanakah dengan amarah?" Maka Allah menurunkan
firman-Nya: Dan jika kamu ditimpa suatu godaan setan, maka
berlindunglah kepada Ajlah Sesungguhnya Allah Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui. (al-A'rāf: 200)
Menurut kami, pada permulaan pembahasan mengenai isti'azah
(memohon perlindungan kepada Allah) telah disebutkan sebuah hadis
tentang dua orang lelaki yang saling mencaci di hadapan Nabi Saw.
Kemudian salah seorangnya marah, sehingga hidungnya mekar karena
emosinya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:
Sesungguhnya aku benar-benar mengetahui suatu kalimat,
seandainya dia mengucapkannya, niscaya akan lenyaplah dari dirinya
emosi yang membakarnya, yaitu: "Aku berlindung kepada Allah dari
godaan setan yang terkutuk".Ketika disampaikan kepada lelaki itu apa
yang telah disabdakan oleh Rasulullah Saw., maka si lelaki yang emosi
itu menjawab, "Saya tidak gila."
80
Asal makna dari lafaz an-nazgu ialah kerusakan, penyebabnya
adakalanya karena marah (emosi) atau lainnya. Sehubungan dengan
pengertian ini disebutkan di dalam firman-Nya:
Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, "Hendaklah mereka
mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sesungguhnya setan
itu menimbulkan perselisihan di antara mereka. (Al-Isra: 53)
Makna al-'iyaz ialah memohon perlindungan, naungan, dan pem-
bentengan dari ulah kejahatan. Sedangkan al-malaz. pengertiannya
tertuju kepada memohon kebaikan, juga pengertian memohon
perlindungan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Al-Hasan ibnu Hani'
dalam syairnya:
Wahai Tuhan yang aku berlindung kepada-Nya dalam memohon
apa yang aku cita-citakan, dan Yang aku berlindung kepada-Nya dari
semua yang aku hindari.
Tiada seorang manusia pun yang dapat menambal tulang yang
telah Engkau pecahkan, dan mereka tidak akan dapat mematahkan
suatu tulangpun yang telah Engkau tambal.
81
Mengenai hadis-hadis yang berkaitan dengan masalah isti'azah
(memohon perlindungan kepada Allah) kebanyakan telah kami
kemukakan, sehingga tidak perlu diulangi lagi.
(http://pemudapersis32.blogspot.co.id/2015/05/aj-araf-199-
202.html?m=1 , pada tanggal 5 juni 2016 pukul 13:42)
B. Isi Pokok Kandungan Ayat
Pada ayat 199 :
―Jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.‖
Wahai Nabi Muhammad saw jadilah pemaaf, terimalah yang mudah
dan jangan menuntut terlalu banyak, suruhlah mengerjakan yang ma‘ruf
serta berpalinglah dari orang-orang jahil. Dalam ayat ini Allah berfirman
untuk mengerjakan yang ma‘ruf dan meninggalkan kemungkaran.
Sebagaimana dalam ayat ini untuk mengerjakan yang ma‘ruf atau kebaikan
yaitu dengan cara memaafkan dan meninggalkan kemungkaran dengan cara
menjahui orang-orang jahil.
Ayat 200 :
―Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah
kepada Allah.‖
Ayat ini Allah menjelaskan tentang kemungkinan Nabi Muhammad
digoda setan. Oleh karena itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah,
82
supaya memohon perlindungan kepada Allah jika godaan setan datang,
dengan membaca “Ta‟awwuz”, yaitu:
―Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.‖
Sebab Allah Maha Mendengar segala permohonan yang diucapkan dan
Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam jiwa seseorang, yang dapat
mendorong dia berbuat kejahatan atau kesalahan. Jika doa itu dibaca orang
yang tergoda itu dengan hati yang ikhlas dan penghambaan diri yang tulus
kepada Allah, maka Allah akan mengusir setan dari dirinya, serta akan
melindunginya dari godaan setan itu (Depag, 2009: 556).
Ayat 201:
―Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-
was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga mereka
melihat kesalahan-kesalahannya.‖
Dalam ayat ini mengungkapkan semua orang yang bertakwa dan takut
kepada Allah, yaitu mereka yang beriman kepada hal yang gaib , mendirikan
sholat dan menafkahkan sebagian hartanya yang diterima dari Allah, apabila
dipengaruhi setan untuk berbuat maksiat, mereka segera insaf dan berusaha
menjauhkan diri dari gangguan setan (Ash Shiddieqy, 2000: 1537). Maka
ketika itu tampak jalan mana yang seharusnya mereka tempuh. Setiap
83
manusia memang merasakan adanya dorongan untuk berbuat kejahatan
(kemaksiatan). Pendorong kebajikan adalah anjuran malaikat, sedangkan
pendorong kemaksiatan adalah pengaruh setan.
Ayat 202 :
―Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik) membantu
syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-hentinya
(menyesatkan).‖
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa saudara-saudara setan itu adalah
orang-orang yang tidak bertakwa kepada Allah, terus-menerus diperdayai
oleh setan dan dibenamkan dalam kesesatan. Ash-Shiddieqy
mengungkapkan dalam tafsir An-nuur (200: 1538), dalam ayat ini Allah
menyuruh manusia untuk memelihara diri dari tipu daya setan yang terus-
menerus berusaha merusak jiwa manusia dan ayat ini pula menyuruh
manusia untuk berlindung kepada Allah dari tipu daya setan.
C. Dasar-dasar Pendidikan Akhlak dalam Surat al-A’rāf ayat 199-202
1. Memaafkan, Mengerjakan yang Ma’ruf, dan Menjahui Orang-
orang Jahil
a. Memaafkan
―Jadiah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan
yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang
bodoh.‖
84
Setelah ayat-ayat yang lalu mengecam dengan keras kaum
musyrikin dan sesembahan mereka, maka kini tiba tuntunan
kepada Rasulullah dan umatnya tentang bagaimana menghadapi
kaum musyrikin, agar kebejatan dan keburukan mereka dapat
dihindari. Ayat ini berpesan; Hai Nabi Muhammad saw. Ambillah
maaf dan suruhlah yang ma‘ruf, serta berpalinglah dari orang-
orang yang jahil (Qoraish Shihab, 2002: 339).
Dalam tafsir Al- Mishbāh (Quraish Shihab, 2002: 339) Kata
khudz/ambillah, hakikatnya adalah keberhasilan memperoleh
sesuatu untuk dimanfaatkan atau digunakan untuk memberi
mudharat, karena itu tawanan dinamai akhidz. Kata tersebut
digunakan oleh ayat ini untuk makna melakukan suatu aktivitas,
atau menghiasi diri dengan suatu sifat yang dipilih dari sekian
banyak pilihan. Dengan adanya beberapa pilihan itu, kemudian
memilih salah satunya, maka pilihan tersebut serupa dengan
mengambil. Dengan demikian ambillah maaf berarti pilihlah
pemaafan, lakukan hal tersebut sebagai aktivitasmu dan hiasilah
diri dengan memilih lawannya.
Thahir Ibn Asyur dalam tafsir al-Misbah mengemukakan
pendapatnya yaitu bahwa kata al-„afwu/maaf, terambil dari
akar kata yang terdiri dari huruf-huruf „ain, fa‟ dan waw.
Maknanya berkisar pada dua hal, yaitu meninggalkan sesuatu dan
memintanya. Dari sini, lahir kata „afwu yang berarti meninggalkan
sanksi terhadap yang bersalah (memaafkan). Perlindungan Allah
85
dari keburukan, dinamai „afiah. Perlindungan mengandung makna
ketertutupan. Dari sini kata „afwu juga diartikan menutupi,bahkan
dari rangkaian ketiga huruf itu lahir makna terhapus, atau habis
tiada terbekas, karena yang terhapus dan habis tidak berbekas pasti
ditinggalkan. Ia dapat juga bermakna kelebihan atau banyak,
karena yang berlebih dapat ditinggalkan atau ditiadakan dengan
memberikan kepada siapa yang meminta atau yang
membutuhkannya, dan yang banyak mudah atau tidak sulit
dikeluarkan. Karena itu kata tersebut mengandung juga makna
kemudahan (Quraish Shihab, 2002: 340) .
Al-Biqāi memahami perintah khudz al-‗afwa dalam
arti ambillah apa yang dianugerahkan Allah dan manusia, tanpa
bersusah payah atau menyulitkan diri. Dengan kata lain, ambil
yang mudah dan ringan dari perlakuan dan tingkah laku manusia.
Terima dengan tulus apa yang mudah mereka lakukan, jangan
menuntut terlalu banyak atau yang sempurna sehingga
memberatkan mereka, agar mereka tidak antipati dan menjahuimu
dan hendaklah engkau selalu bersikap lemah lembut sera
memaafkan kesalahan dan kekurangan mereka. Sesungguhnya
memberi maaf itu perbuatan yang mulia, sebagaimana firman
Allah dalam surat Asy-Syura ayat 43:
―Tetapi barang siapa bersabar dan memaafkan, sungguh yang
demikian itu termasuk perbuatan yang mulia (Qs. Asy-Syura: 43)‖.
86
Dalam tafsir Depag (2009: 555), dijelaskan bahwa Allah
menyuruh Rasul-Nya agar beliau memaafkan dan berlapang
terhadap perbuatan, tingkah laku dan akhlak manusia dan
janganlah beliau meminta lebih dari mereka sehingga mereka lari
dari agama. Sedangkan menurut tafsir Maraghiy (Maraghiy, 1987:
280), kata Al-„Afwu artinya mudah, tidak berliku-liku yang
menyulitkan. Jadi maksud ayat di antara perbuatan-perbuatan yang
dilakukan orang, akhlak mereka dan apa pun yang datang dari
mereka, ambillah yang menurutmu mudah, dan bersikap mudahlah,
jangan mempersulit dan jangan menuntut mereka melakukan
sesuatu yang memberatkan, sehingga mereka akan lari darimu.
Sabda Rasulullah saw:
―Mudahkanlah, jangan kamu persulit dan berilah
kegembiraan, jangan kamu susahkan‖. (Riwayat al-Bukhari dan
Muslim dari Abū Mūsa dan Mu‘āz)
Al-Bukhari berkata bahwa firman Allah Ta‘ala, ―Jadilah
kamu pemaaf…‖. Yang dimaksud „al-urf‟ ialah kemakrufan.
Kemudian diriwayatkan dari Ibnu Abbas r.a. dan dia menceritakan
sebuah cerita menyangkut Umar ketika salah seorang tamunya
marah. Maka al-Hur bin Qais berkata kepadanya, ― Hai Amirul
Mukminin, sesungguhnya Allah Ta‘ala berfirman kepada Nabi
saw., ‗Jadilah engkau pemaaf dan menyuruhlah dengan kema‘rufan
87
serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh‘, dan perbuatan
engkau bukan termasuk perbuatan orang-orang bodoh (Ar-
Rifa‘i,1999 : 473). Menurut tafsir Alqur‘anul Karim (Syaltut,
1990: 901), mengungkapkan Rasulullah diperintahkan supaya
berlemah lembut dan meninggalkan sikap keras dan kasar:
―Bersikaplah mudah dan lemah lembut terhadap orang-orang,
jangan engkau bebani mereka dengan apa yang tidak sanggup
mereka pikul, jangan pula engkau sulitkan mereka dengan apa
yang menyempitkan dada mereka.‖ Sebagaimana firman Allah
dalam surat Al-Imron ayat 159:
―Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku
lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras
lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka.‖ (Qs. Ali Imron:
159)
b. Mengerjakan yang Ma‘ruf
Kata al-„urf sama dengan kata ma‟ruf, yakni
sesuatu yang dikenal dan dibenarkan oleh masyarakat, dengan kata
lain adat istiadat yang didukung oleh nalar yang sehat serta tidak
bertentangan dengan ajaran agama. Ma‟ruf adalah kebajikan yang
jelas dan diketahui semua orang serta diterima dengan baik oleh
manusia-manusia normal. Ia adalah yang disepakati sehingga tidak
88
perlu didiskusikan apalagi diperdebatkan (Qoraish Shihab, 2002:
341).
Dengan konsep “ma‟ruf” Alqur‘an membuka pintu yang
cukup lebar guna menampung perubahan nilai akibat
perkembangan positif masyarakat. Hal ini agaknya ditempuh
karena ide/nilai yang dipaksakan atau yang tidak sejalan dengan
perkembangan budaya masyarakat, tidak akan diterapkan. Perlu
dicatat bahwa konsep “ma‟ruf” hanya membuka pintu bagi
perkembangan positif masyarakat, bukan perkembangan
negatifnya. Dari sini filter nilai-nilai universal dan mendasar harus
difungsikan. Demikian juga halnya dengan munkar yang pada
gilirannya dapat mempengaruhi pandangan tentang muru‘ah,
identitas dan integritas seseorang (Quraish Shihab, 2002: 341).
Menurut Syaltut (1990: 9010) dalam kitab tafsir Alqur‘anul
Karim ayat ini juga memberikan petunjuk kepada Rasul supaya
menyuruh dengan cara yang baik, sesuai dengan akal dan Syara‘.
Sebagaimana dalam surat an-Nahl: 125
―Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang
baik.‖
Dalam tafsir Ash-Shiddieqy (2000: 1535) ma‘ruf adalah
perbuatan-perbuatan yang bersifat ketaatan, mendekatkan diri
89
kepada Allah dan berbuat kebajikan kepada manusia (bersifat
kemanusiaan). Perbuatan ma‘ruf disebut dalam surat-surat
Madaniyyah yang berkaitan dengan hukum-hukum syara‘ yang
bersifat amaliah, seperti ketika Tuhan menyifati umat Islam dan
pemerintahannya. Adapun firman Allah dalam surat At-Taubah
ayat 71:
―Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma'ruf, mencegah
dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya.‖
c. Menjahui Orang-orang Jahil
Kata al-Jahilin adalah bentuk jamak dari kata
jahil. Ia digunakan Alqur‘an bukan sekedar dalam arti seorang
yang tidak tahu, tetapi juga dalam arti pelaku yang kehilangan
kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik
atas dorongan nafsu, kepentingan sementara atau kepicikan
pandangan. Istilah ini juga digunakan dalam arti mengabaikan
nilai-nilai ajaran Ilahi (Qoraish Shihab, 2002: 341). Dalam tafsir
Alqur‘anul Karim (Syaltut, 1990: 901) Rasulullah juga
diperintahkan untuk perpaling dari orang-orang yang bersikap
membabi-buta dan menampakkan kebodohan mereka serta
menyakiti. Sikap seperti ini telah dilakukan oleh kaum
Rabbaniyyin:
90
... dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang
mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka
lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya. (QS. Al-Furqan:
72)
―Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna,‖ (Qs. al-Mu‘minun: 3)
Berdasarkan tafsiran surat al-A‘rāf ayat 199 diatas penulis
menyimpulkan bahwa sebagai seorang muslim harus memiliki sifat
pemaaf, mengerjakan yang ma‘ruf, dan menjahui orang-orang
jahil. Ayat ini walau dengan redaksi yang sangat singkat, telah
mencakup semua sisi budi pekerti luhur yang berkaitan dengan
hubungan antara manusia. Ayat ini dipaparkan Alqur‘an setelah
menguraikan secara panjang lebar bukti-bukti keesaan Allah serta
setelah mengecam kemusyrikan dan menunjukkan kesesatannya.
Penempatan ayat ini sesudah uraian tersebut memberi kesan bahwa
Tauhid harus membuahkan akhlak mulia dan budi pekerti yang
luhur. Maka dari itu penulis mengambil ayat ini sebagai dasar-
dasar pendidikan akhlak karena yang menjadi pondasi, dasar, atau
pijakan dalam ayat ini adalah kebaikan (Ma‘ruf) dan menghindari
dari hal yang buruk (Kemungkaran), adapun hal untuk melakukan
kebaikan disini adalah untuk memaafkan. Memaafkan merupakan
akhlak mahmudah. Dan dalam ayat ini juga diperintahkan untuk
91
menghindari hal yang buruk yaitu untuk menjahui orang-orang
yang jahil. Maksud dari orang-orang yang jahil disini iyalah orang
yang kehilangan kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang
tidak wajar, baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara atau
kepicikan pandangan dan mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi.
2. Menahan Amarah
―Dan jika kamu ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka
berlindunglah kepada Allah.‖
Rasulullah sebagai manusia, tentu saja dapat marah jika kejahilan
orang-orang musyrik telah mencapai puncaknya. Apabila setan yang
merupakan musuh abadi manusia, selalu enggan melihat siapapun
berbudi pekerti luhur, karana itu Nabi saw dan umatnya diingatkan
dengan menggunakan redaksi yang mengandung penekanan-
penekanan bahwa dan jika engkau benar-benar dibisikkan, yakni
dirayu dengan halus dan tipu daya oleh setan dengan satu bisikan
untuk meninggalkan apa yang dianjurkan kepadamu tadi, misalnya
mendorongmu secara harus untuk marah maka mohonlah perlindungan
kepada Allah, dengan demikian Allah akan mengusir bisikan dan
godaan itu serta melindungimu karena sesungguhnya Dia Maha
Mendengar termasuk mendengar permohonanmu lagi Maha
92
Mengetahui apa yang engkau dambakan dan apa yang direncanakan
oleh setan (Quraish Shihab, 2002 : 342).
Kata yanzaghanaka terambil dari kata nazagha
yang berarti menusuk atau memasuknya sesuatu ke sesuatu yang lain
untuk merusaknya. Alat yang dimasukkan kecil bagaikan jarum. Kata
ini biasanya hanya digunakan dengan pelaku setan. Dari sini kata
Nazagha biasa diartikan bisikan halus setan, atau rayuan, dan
godaannya untuk memalingkan dari kebenaran. Nazagha yang
bersumber dari setan itu adalah bisikannya ke dalam hati manusia
sehingga menimbulkan dorongan negatif, dan menjadikan manusia
mengalami suatu kondisi psikologis yang mengantarnya melakukan
tindakan tidak terpuji. Ada beberapa istilah yang digunakan Alqur‘an
untuk menggambarkan upaya setan memalingkan manusia dari jalan
kebenaran, antara lain : nazagha hamz, mas, dan
waswasah (Quraish Shihab, 2002: 342).
Mutawalli asy-Sya‘rawi dalam tafsir al-Misbah (Quraish Shihab,
2002: 343) mengemukakan pendapatnya yaitu bahwa kata nazagha
mengandung makna gangguan, tetapi ada jarak antara subjek dan
objek, antara yang diganggu dan yang menggangu. Ia berbeda dengan
mas yang bermakna menyentuh dengan sangat halus lagi
sebentar, sehingga tidak menimbulkan kehangatan, bahkan boleh jadi
tidak terasa. Kata mas berbeda dengan lams yang bukan sekedar
sentuhan antara subjek dan objek tetapi pegangan yang mengambil
waktu, sehingga pasti terasa dan menimbulkan kehangatan. Kata lams
93
berbeda juga dengan laamas, yang dipahami oleh banyak ulama
dalam arti bersetubuh.
Sedangkan kata waswasah mengandung makna bisikan. Setan
membisikkan keraguan, kebimbangan dan keinginan untuk melakukan
kejahatan ke dalam hati manusia. Bisikan itu dilakukan dengan cara
yang sangat halus sehingga manusia tidak menyadarinya (Yunahar
Ilyas, 1993: 103).
Dari kata nazagha yang digunakan oleh ayat di atas terlihat
bahwa terhadap Nabi Muhammad saw. setan tidak dapat melakukan
hubungan dalam bentuk dan jarak yang dekat. Ada ajarak antara beliau
dengan setan. Setan takut mendekat karena kukuhnya pertahanan iman
(Quraish Shihab, 2002 : 343).
Dan dalam ayat ini dijelaskan ada orang-orang yang bertakwa
tapi ketakwaannya tidak mencapai tingkat yang memuaskan. Mereka
dapat digoda oleh setan dengan tingkat yang lebih dan berbahaya.
Mereka tidak sekedar mengalami nazagh, tetapi mas. Di sini setan
sudah menyentuh dan tidak ada lagi jarak antara keduanya. Kalau ini
juga berkelanjutan, maka mas menanjak menjadi lams,sehingga
mereka mengalami apa yang diistilah Alqur‘an istahwathu asy-
Syayaathiinufi ardhi hairaan (QS. al-An‘aam 6: 71) yakni dia telah
tergoda oleh setan dan cenderung kepadanya serta dalam keadaan
bimbang – walaupun pada saat itu ia belum sepenuhnya dikuasai setan
-. Ia masih dalam keadaan bingung dan bimbang, seperti lanjutan
penjelasan ayat al-An‘aam itu : ―dia mempunyai kawan-kawan yang
94
memanggilnya kepada jalan yang lurus (dengan mengatakan) :
‗Marilah ikuti kami‘. Katakanlah: ‗Sesungguhnya petunjuk Allah
itulah (yang sebenarnya) petunjuk; dan kita disuruh agar menyerahkan
diri kepada Tuhan semesta alam (QS. al-An‘aam 6: 71). Nah, kalau
lams atau katakanlah jabatan tangan itu sedemikian lama, yang
bersangkutan mengabaikan ajakan teman-temannya itu, sehingga
akhirnya ia dan setan akan bergandengan tangan dan ketika itu
( ) istahwadza „alaihim asy-Syaithaan/Setan telah
menguasai mereka lalu menjadikan mereka lupa mengingat Allah.
Mereka itulah golongan setan. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya
golongan setan itulah golongan yang merugi. (QS. al-Mujaadilah
58:19).
Kalau setan telah menguasai seseorang, maka ia telah masuk
dalam kelompok setan atau telah menjadi setan setan manusia. Jangan
duga bahwa mereka itu orang-orang musyrik. Tidak ! Mereka yang
dibicarakan oleh ayat di atas, adalah orang-orang yang mengaku
muslim, tetapi bukan muslim yang taat sehingga Allah menilai mereka
―bukan dari golongan kamu dan bukan juga dari golongan
mereka‖.(QS. al-Mujaadalah 58 : 14).
Ayat ini menunjukkan bahwa setan selalu berupaya menggoda
dan mencari peluang dari semua manusia, siapa tahu ia tergelincir
sehingga dapat mengurangi keberhasilan manusia termasuk para Nabi.
Keterpeliharaan para Nabi dari pelanggaran terhadap Allah, tidak
95
mengurungkan niat setan untuk merayu dan menggodanya, walaupun
selalu gagal, karena pertahanan mereka sangat ampuh.
Penutup ayat di atas ( ) samii‘un ‗aliim/Maha Mendengar
lagi Maha Mengetahui bertujuan menekankan kepada Nabi saw. dan
siapapun – apalagi mereka yang dijahili atau dianiaya – bahwa Allah
Maha Mendengar kejahilian dan gangguan, Allah juga mengetahui
betapa yang dijahili sakit hati mendengarnya dan betapa ia terdorong
untuk membalas. Tetapi penutup ayat ini seakan-akan berkata:
Kendalikan dirimu, dan serahkan kepada Allah, karena kalau itu sudah
ditangan-Nya, maka segala sesuatu pasti berakhir dengan baik
(Quraish Shihab, 2002: 344).
Firman Allah dalam surat Ali Imron ayat 134:
―(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di
waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan
amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-
orang yang berbuat kebajikan.‖ (Qs. Ali Imran: 134)
Dalam tafsir Ibnu Katsir (Ar-Rifa‘i, 1999: 473) ayat ini berisi
perintah Allah kepada Nabi supaya beliau meminta perlindungan
kepada Allah Ta‘ala dari setan jin, karena dia tidak hanya
menghalangimu untuk berbuat kebaikan, namun dia menghendaki
kebinasaanmu dan kehancuranmu secara total. Sedang menurut
96
pendapat Ibnu Jarir menafsirkan ayat ini, ‘‘Dan apabila kamu ditimpa
suatu godaan setan‘‘ dengan : Jika setan membuatmu marah sehingga
menghalang-halangimu untuk berpaling dari orang-orang bodoh dan
mendorongmu untuk menyerangnya, ‘‘maka berlindunglah kepada
Allah dari hasutannya.‘‘ Asal makna an-nazghu adalah kerusakan baik
karena marah maupun sebagainya. ‘‘Sesungguhnya Dia Maha
Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sedangkan dalam tafsir Al-
Maraghiy (Maraghy, 1987: 285) kata An-Naghu, searti dengan An-
Nakhsu, An-Naghzu dan Al-Wakzu. Artinya menusuk tubuh dengan
sesuatu yang runcing, seperti jarum, tombak atau besi pada tumit
sepatu penunggang kuda. Maksudnya ialah godaan setan dengan
membangkitkan nafsu yang mengajak untuk berbuat jahat dan merusak
diri sendiri, baik berupa amarah atau syahwat, yang membuat orang
terdorong untuk melampiaskannya, sebagaimana binatang supaya
larinya makin kencang.
Menurut tafsir Depag (2009: 556), dalam ayat ini Allah
menjelaskan tentang kemungkinan Nabi Muhammad digoda setan. Jika
setan menggoda kamu untuk melakukan kejahatan karena amarah dan
hawa nafsu, maka berlindunglah kamu kepada Allah dan
menghadaplah kepada-Nya dengan jiwamu, supaya Dia melindungimu
dari kejahatan godaan setan (Ash-Shiddieqy, 2000: 1537). Oleh karena
itu Allah memerintahkan kepada Rasulullah, supaya memohon
perlindungan kepada Allah jika godaan setan datang, dengan membaca
“Ta‟awwuz”, yaitu:
97
―Aku berlindung kepada Allah dari godaan setan yang terkutuk.‖
Sebab Allah Maha Mendengar segala permohonan yang
diucapkan dan Maha Mengetahui apa yang terlintas dalam jiwa
seseorang, yang dapat mendorong dia berbuat kejahatan atau
kesalahan. Jika doa itu dibaca orang yang tergoda itu dengan hati yang
ikhlas dan penghambaan diri yang tulus kepada Allah, maka Allah
akan mengusir setan dari dirinya, serta akan melindunginya dari
godaan setan itu. Sebagaimana firman Allah surat An-Nahl ayat 98-99:
―Apabila kamu membaca Alqur‘an hendaklah kamu meminta
perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk. Sesungguhnya
syaitan itu tidak ada kekuasaanNya atas orang-orang yang beriman dan
bertawakkal kepada Tuhannya‖. (an-Nahl: 98-99)
Dalam ayat ini penulis menyimpulkan ketika ditimpa musiba
atau digoda oleh setan maka memohon perlidungan kepada Allah dan
berdoa dengan membaca ta‘awwuz agar terbebaskan diri dari pengaruh
setan. Sebab manusia bisa marah ketika ada godaan-godaan yang
menimpanya. Maka kewajibannya ketika itu adalah berlindung kepada
Allah, mengembalikan segala perkara kepada-Nya, dan mengingat
keagungan serta kekuasaan-Nya, agar hatinya menjadi tenang dan
cahaya kebenaran terbit meneranginya. Dalam ayat ini yang menjadi
98
dasar pendidikan akhlak yaitu menahan amarah karena menahan
amarah merupakan perbuatan yang mahmudah (baik). Apabila
kemarahan bisa terkendali, maka suatu permasalahan, kebinasaan, dan
kehancuran tidak akan terjadi.
3. Takwa Kepada Allah
―Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa
was-was dari syaitan, mereka ingat kepada Allah, Maka ketika itu juga
mereka melihat kesalahan-kesalahannya.‖
Dapat dikatakan bahwa ayat ini merupakan alasan mengapa ayat
yang lalu berpesan agar memohon perlindungan Allah. Seakan-akan
kedua ayat ini menyatakan, perintah itu demikian, karena itulah cara
yang tepat menghadapi rayuan setan, dan itulah yang dilakukan oleh
hamba-hamba Allah yang bertakwa. Sesungguhnya orang-orang yang
bertakwa bila mereka ditimpa thaaif godaan yang menimbulkan was-
was dari setan, mereka mengingat Allah, mengingat permusuhan setan
terhadap manusia dan kelicikannya, mengingat dampak buruk yang
diakibatkannya, maka ketika itu juga dengan cepat bagaikan tiba-tiba
sebagaimana dipahami dari kata ( ) faidzaa ―maka ketika itu juga‖,
mereka melihat dan menyadari kesalahan-kesalahannya (Quraish
Shihab, 2002: 345).
99
Kata ( ) thaaif terambil dari kata ( ) thaafa yang berarti
berkeliling. Biasanya seseorang atau sesuatu berkeliling mengitari satu
tempat sebelum mendapat izin atau kesempatan untuk turun atau
masuk (Quraish Shihab, 2002: 345). Sedangkan dalam tafsir Al-
Maraghiy (1987: 285), Ath-Thaufu atau Ath-Thawafu bi „sy-Syai‟:
mengelilingi sesuatu, yakni sekitarnya. Sedang Thaifu ‗l-Khayal:
gambaran seseorang atau sesuatu yang dilihat dalam mimpi.
Banyak ulama tafsir memahami kata tersebut dalam arti
―amarah‖. Ayat ini menggambarkan bahwa yang bersangkutan baru
digoda oleh setan untuk marah, kemarahan yang tidak dibenarkan
agama. Kata ini juga memberi kesan bahwa setan selalu mengitari
manusia bertakwa sekalipun. Ia menunggu kesempatan, dan jika
berhasil lahirlah tindakan negatif sebesar keberhasilan setan menggoda
manusia.
Sayyid Quthub dalam tafsir al-Misbah mengemukakan
pendapatnya yaitu bahwa ( ) fa idzaa hum
mubshiruun/maka ketika itu juga mereka melihat telah menambah
makna-makna yang tidak tertuang pada redaksi awal ayat ini. Redaksi
tersebut menginformasikan bahwa rayuan setan membutakan dan
menutup serta mengunci mata hati, sebaliknya ketakwaan kepada
Allah, pengawasan serta rasa takut pada murka dan siksa-Nya,
demikian juga hal-hal yang menghubungkan hati manusia dengan
Allah dan menyadarkan dari kelalaian terhadap petunjuk-Nya,
semuanya mengingatkan orang-orang bertakwa, dan apabila mereka
100
mengingat, maka terbuka mata hati mereka, serta tersingkap apa yang
menutup mata mereka. Sesungguhnya rayuan setan adalah kebutaan,
dan mengingat Allah adalah penglihatan. Godaan setan adalah
kegelapan, dan mengarah kepada Allah adalah cahaya. Bisikan setan,
disingkirkan oleh takwa, karena setan tidak punya kuasa terhadap
orang-orang bertakwa (Quraish Shihab, 2002: 346).
Sedangkan dalam ayat ini As-Shiddieqy (2000: 1537),
mengungkapkan semua orang yang bertakwa dan takut kepada Allah,
yaitu mereka yang beriman kepada hal yang gaib , mendirikan sholat
dan menafkahkan sebagian hartanya yang diterima dari Allah, apabila
dipengaruhi setan untuk berbuat maksiat, mereka segera insaf dan
berusaha menjauhkan diri dari gangguan setan. Maka ketika itu tampak
jalan mana yang seharusnya mereka tempuh. Setiap manusia memang
merasakan adanya dorongan untuk berbuat kejahatan (kemaksiatan).
Pendorong kebajikan adalah anjuran malaikat, sedangkan pendorong
kemaksiatan adalah pengaruh setan. Sebagaimana sabda Rasulullah
yang artinya:
―Sesungguhnya setan mempunyai suatu tekanan, sebagaimana
malaikat mempunyai tekanan pula. Tekanan setan adalah mendorong
manusia menuju kejahatan (kemaksiatan) dan mendustakan kebenaran.
Adapun tekanan malaikat adalah mendorong manusia pada kebajikan
dan membenarkan sesuatu yang hak. Maka barangsiapa mendapat
yang demikian ini, hendaklah dia yakin, bahwa yang demi kian itu dari
Allah dan hendaklah dia memuji-Nya. Barang siapa yang mendapat hal
yang serupa, maka hendaklah dia berlindung diri kepada Allah dari
pada setan. Sesudah itu Nabi pun membawa firman Allah, ‗Setan itu
menakuti kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat
kejahatan. Dan Allah menjanjikan kepadamu ampunan dan
keutamaan.‖
101
Dalam tafsir Muyassar (Qarni, 2007: 53), mengungkapkan
apabila orang-orang bertakwa, yang takut kepada Allah dan siksa-Nya
serta mengamalkan segala perintah-Nya dan menjahui segala larangan-
Nya mendengar hasutan atau godaan setan maka mereka langsung
mengingat Allah dan mengingat balasan yang disediakan untuk
musuh-musuh-Nya. Serta-merta mereka takut kepada Allah dan
tersadar dari kelalaian serta segera bangkit dari ketergelinciran mereka.
Mereka pun segera minta ampun atas kesalahan mereka. Sedangkan
dalam tafsir Depag (2009: 557), dalam ayat ini Allah menjelaskan
reaksi orang-orang yang bertakwa bila digoda setan. Ayat ini
memperkuat pula ayat sebelumnya tentang keharusan kita berlindung
kepada Allah dari godaan setan. Sesungguhnya orang yang bertakwa
ialah orang yang beriman kepada yang goib, mendirikan shalat,
menginfakkan sebagian dari rezekinya. Bila mereka merasa ada
dorongan dalam dirinya untuk berbuat kemungkaran, mereka segera
sadar mengingat Allah. Dan sesungguhnya Allah bersama orang-orang
yang bertakwa, sebagaimana firman-Nya dalam surat An-Nahl ayat
128:
―Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan
orang-orang yang berbuat kebaikan.‖
Dalam berbagai tafsiran diatas penulis menyimpulkan bahwa
orang-orang mu‘min (takwa), apabila ditimpa godaan setan yang akan
102
membawanya kepada kemaksiatan, maka mereka segera ingat, lalu
sadar dan waspada sehingga mereka bisa selamat. Dan apabila mereka
terjerumus ke dalam kesesatan, maka segera bertaubat dan kembali
kepada Allah. Selanjutnya dalam ayat ini yang menjadi dasar
pendidikan akhlak yaitu takwa kepada Allah. Sebagaimana telah
dijelakan takwa adalah beriman kepada hal yang gaib , mendirikan
sholat dan menafkahkan sebagian hartanya yang diterima dari Allah,
apabila dipengaruhi setan untuk berbuat maksiat, mereka segera insaf
dan berusaha menjauhkan diri dari gangguan setan. Takwa kepada
Allah merupakan akhlak mahmudah.
4. Pendurhaka itu Dalam Kesesatan
―Dan teman-teman mereka (orang-orang kafir dan fasik)
membantu syaitan-syaitan dalam menyesatkan dan mereka tidak henti-
hentinya (menyesatkan).‖
Dalam tafsir Al-Mishbah Al-Biqā‘i berpendapat, bahwa setelah
ayat yang lalu menguraikan tentang keadaan orang bertakwa,
perlindungan yang mereka peroleh dan setelah memperkenalkan
orang-orang bertakwa itu sebagai musuh-musuh setan, maka ayat ini
menguraikan lawan orang-orang bertakwa itu adalah pendurhaka serta
teman-teman mereka. Untuk itu ayat ini menyatakan bahwa dan
adapun teman-teman mereka para pendurhaka itu membantu mereka
dalam kesesatan. Kemudian, sikap mereka lebih buruk lagi karena
mereka tidak hanya membantu sekali atau dua kali tetapi mereka giat
103
melakukan bantuan tersebut secara terus menerus dan tidak henti-
hentinya menyasatkan (Quraish Shihab, 2002 : 347).
Kata ( ) wa ikhwaanuhum/teman-teman mereka, dipahami
dalam arti teman-teman kaum musyrik dan pendurhaka yakni setan-
setan. Ada juga yang membalik dan berpendapat bahwa yang
dimaksud adalah teman-teman setan yakni kaum musyrik/para
pendurhaka. Kedua makna ini dapat ditampung oleh redaksi ayat,
walaupun pendapat pertama sejalan dengan hubungan yang
dikemukakan oleh al-Biqā‘i. Dari sisi lain, memang seperti penegasan
Alqur‘an setan-setan (dari jenis) manusia dan (dari jenis) jin,
sebahagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan-
perkataan yang indah-indah untuk menipu (QS.al-An‘aam 6 :112).
Kata ( ) yamudduunahum terambil dari kata ( ) imdaad
yang berarti mendukung dan membantu,atau mengulur tali. Kata ini
biasanya digunakan untuk hal-hal positif. Dengan demikian
penggunaannya di sini serupa dengan penggunaan kata
basyyirhum/gembirakan yang digunakan untuk menyampaikan siksa.
Penggunaan kata yang digunakan untuk hal-hal positif terhadap rayuan
setan yang dampaknya negatif untuk mengisyaratkan bahwa setan
seringkali menampilkan diri sebagai seorang penasehat yang
bermaksud baik. Sedangkan dalam tafsir Maraghiy (1987: 285), Al-
Maddu dan Al-Imdadu: menambah sesuatu yang sejenis. Sedang dalam
Alqur‘an, kata-kata ini kadang dipakai untuk arti menciptakan dan
membentuk. Dalam firman Allah:
104
...
―Dan Dia-lah yang telah menciptakan bumi...‖ (Qs. Ar-Ra‘d: 3)
Dan Allah berfirman dalam surat Al-Furqan :
...
―Apakah kamu tidak memperhatikan (penciptaan) Tuhanmu,
bagaimana Dia memanjangkan (dan memendekkan) bayang-bayang ―
Sepertihalnya manusia yang memperpanjangkan umur dalam
melakukan hal-hal yang tercela dan membahayakan termasuk orang
yang tersesat. Firman Allah:
―Katakanlah: "Barang siapa yang berada di dalam kesesatan,
Maka Biarlah Tuhan yang Maha Pemurah memperpanjang umur
baginya...‖(Maryam, 17: 75)
al-Iqshar: sama artinya dengan At-Taqshir (memendekkan).
Maksudnya meninggalkan, seperti kata orang ―Aqshara ‗ala ‗l-Amri‖,
artinya: dia meninggalkan perkara itu dan mencegah diri dari padanya,
sekalipun dia mampu melakukannya.
Dalam tafsir Muyassar (Qarni, 2008: 53), bahwasanya orang-
orang kafir dan musyrik adalah teman setan. Mereka selalu menolong
setan dalam menyesatkan orang lain. Sebaliknya, setanpun membantu
orang-orang kafir untuk berbuat kemusyrikan dan kerusakan di muka
105
bumi. Mereka tidak berpangku tangan dalam membuat kerusakan.
Mereka gencar mendakwahkan kebatilan dan menenggelamkan orang
lain dalam kesesatan, tanpa pernah lalai melakukannya. Dalam
perbuatanya yang jahat dan buruk, mereka selalu melanggar larangan
Allah. Sedangkan menurut Ash-Shiddieqy dalam tafsir An-Nuur
(2000: 1538), bahwa saudara-saudara setan itu adalah orang-orang
yang tidak bertakwa kepada Allah, terus-menerus ditipu oleh setan dan
dibenamkan dalam kesesatan. Karena setan tidak akan lengah dalam
usahanyaa untuk menggoda dan terus-menerus memperdayakan
manusia.
Dari berbagai tafsiran diatas penulis menyimpulkan
sesungguhnya, saudara-saudara setan yaitu orang-orang bodoh yang
tidak bertakwa kepada Allah dan memberi kesempatan kepada setan
untuk menyesatkan mereka. Sehingga setan-setan itu membuat mereka
semakin bertambah sesat dan makin membuat kerusakan. Hal itu boleh
jadi karena mereka tidak beriman, bahwa setiap manusia itu diberi
setan sendiri-sendiri dari bangsa jin yang memberi was-was kepadanya
dan menjerumuskannya ke dalam kejahatan. Kemudian setan itu tidak
berhenti dan tidak bosan-bosannya menyesatkan mereka dan
mendorong mereka melakukan kerusakan. Oleh sebab itu, mereka pun
terus menerus melakukan kejahatan dan kerusakan, karena sudah tidak
ada lagi penasehat dalam hati. Jadi lawan dari takwa itu pendurhaka,
pendurhaka merupakan akhlak yang buruk (madhmumah), maka dari
itu kita harus menghindari perbuatan-perbuatan sedemikian rupa,
106
supaya kita terhindar dari tipu daya setan yang terus-menerus berusaha
merusak jiwa kita. Dengan semua itu kita harus berlindung kepada
Allah dari tipu daya setan.
107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pada pembahasan bab sebelumnya dapat disimpulkan hal-hal
sebagai berikut:
1. Kandungan Surat al-A‘rāf
a. Kewajiban mengikuti wahyu dan akibat menentangnya
b. Penghargaan Allah kepada Nabi Adam dan keturunannya
c. Peringatan Allah terhadap godaan setan
d. Adab berpakaian, makan, dan minum serta pengutusan para Rasul,
akibat penerimaan dan penolakan kerasulan
e. Tuhan semesta Alam dan bukti kekuasaan Allah membangkitkan
manusia sesudah mati
f. Kisah beberapa Rasul; kisah Nabi Nuh, Nabi Hud, Nabi Shaleh,
Nabi Luth, Nabi Syu‘aib, Nabi Musa
g. Ketauhidan sesuai dengan fitroh manusia, perumpamaan orang-
orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan sifat-sifat penghuni
neraka
h. Pengingatan manusia kepada asal usul kejadiannya dan berhala
tidak patut disembah
i. Dasar-dasar akhlakul karimah, adab mendengar pembacaan
Alqur‘an dan berzikir
108
2. Dasar-dasar pendidikan akhlak dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202.
Yang menjadi dasar, pondasi, landasan, atau pijakan dalam surat al-
A‘rāf ayat 199-202:
a. Memaafkan, mengerjakan yang ma‘ruf, menjahui orang-orang jahil
1. Memaafkan maksudnya untuk memudahkan dan tidak untuk
mempersulit di antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan
orang.
2. Mengerjakan yang ma‘ruf. Ma‘ruf adalah perbuatan-perbuatan
yang bersifat ketaatan, mendekatkan diri kepada Allah dan
berbuat kebajikan kepada manusia (bersifat kemanusiaan).
Ma‘ruf merupakan akhlak mahmudah.
3. Menjahui orang-orang jahil/ menjahui kemungkaran. Yang
dimaksud orang-orang jahil ialah orang yang kehilangan
kontrol dirinya, sehingga melakukan hal-hal yang tidak wajar,
baik atas dorongan nafsu, kepentingan sementara atau
kepicikan pandangan dan mengabaikan nilai-nilai ajaran Ilahi.
b. Menahan amarah.
Menahan amarah sebagai dasar pendidikan akhlak karena
menahan amarah merupakan perbuatan yang mahmudah. Apabila
kemarahan bisa terkendali, maka suatu permasalahan, kebinasaan,
dan kehancuran tidak akan terjadi. Untuk menahan suatu
godaan/amarah maka mohon perlindungan kepada Allah dan
berdoa dengan membaca ta‘awwuz agar terbebaskan diri dari
pengaruh setan.
109
c. Takwa kepada Allah.
Takwa kepada Allah yang menjadi dasar pendidikan
akhlak. Sebagaimana telah dijelakan takwa adalah beriman kepada
hal yang gaib , mendirikan sholat dan menafkahkan sebagian
hartanya yang diterima dari Allah, apabila dipengaruhi setan untuk
berbuat maksiat, mereka segera insaf dan berusaha menjauhkan
diri dari gangguan setan. Takwa kepada Allah merupakan akhlak
mahmudah.
d. Pendurhaka itu dalam kesesatan (akhlak madhmumah).
Maka dari itu kita harus menhindari perbuatan tersebut
dengan cara bertakwa kepada Allah. Karena dalam surat al-A‘rāf
ayat 199-202 ini yang menjadi dasar pendidikan akhlak adalah
melakukan yang ma‘ruf dan menjahui kemungkaran.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka penulis memberikan saran-saran
sebagai berikut:
1. Untuk dunia pendidikan Islam
Pengajaran dan penanaman akhlak yang bersumber dari
Alqu‘an dan As-sunnah harus terus dilakukan, dimana krisis moral
sedang melanda negeri ini. Oleh karena itu seorang pendidik sebagai
sosok yang diharapkan masyarakat dapat mengentaskan krisis moral,
hendaknya selalu memberikan hal yang terbaik.
2. Untuk pendidik
110
Pada dasarnya pendidikan akhlak mengenai perintah
berperilaku mulia dan larangan berperilaku tercela telah nyata
dijelaskan oleh Alqur‘an dan As-sunnah, diantaranya adalah yang
terkandung dalam surat al-A‘rāf ayat 199-202. Oleh karena itu,
penulis menyarankan agar penggalian ajaran tersebut terus
disosialisasikan sebagai salah satu langkah perbaikan akhlak manusia
dalam menjalani hidup di dunia, agar memperoleh kebahagiaan dunia
dan akhirat.
C. Penutup
Dengan mengucapkan syukur Alhamdulillah kehadirat Allah,
Tuhan semesta Alam. Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan hanya
Allah yang berhak di sembah.
Shalawat beriringan salam kepada Rasulullah Muhammad Saw
yang menjadi tauladan sekaligus mampu mengubah dan membentuk umat
menuju akhlak mulia.
Ucapan terima kasih tidak lupa penulis sampaikan kepada semua pihak
yang telah membimbing, mengarahkan dan membantu terselesainya
penulisan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini, mengingat kemampuan yang ada, tentulah
skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Kebenaran Mutlak adalah milik Allah
yang Esa, maka penulis menyadari bila skripsi ini masih perlu dilengkapi
dan diberikan saran yang membangun. Maka penulis mengharapkan
kepada para pembaca yang budiman untuk memberi kritik dan saran
sebagai kajian lebih lanjut. Sehingga skripsi ini mendekati kebenaran dan
111
kesempurnaan sebuah karya ilmiah. Akhirnya ridha Allah SWT semata,
yang senantiasa penulis harapkan sehingga skripsi ini akan menjadi salah
satu sumbangan khasanah keilmuan Islam, dan semoga skripsi ini
bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi pembaca pada umumnya di
dunia dan akhirat.
112
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim, M. Nipan. 2000. Menghias Diri Dengan Akhlak Terpuji.
Yogyakarta: Mitra Pustaka.
Ahid, Nur. 2010. Pendidikan Keluarga dalam Perspektif Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Al-Abrasyi, Mohd. Athiyah. 1993. Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta:
Bulan Bintang.
Al-Ghazali. 1994. Terjemah Ihya‟ Ulumiddin Jilid V. Semarang: CV Asy Syifa‘.
Al-Maraghiy, Ahmad Mushthafa. 1987. Tafsir Al-Maraghiy. Semarang:
Tohaputra Semarang.
Al Qorni, ‗Aidh (Ed.). 2008. Tafsir Muyassar. Jakarta: Qisthi Press.
Al-Sibai, Muhammad. 1985. As-sunah wa Makāna Tuha fi al-Tasyi‟. Mesir: Dar
al-Ma‘rifah
Al-Taomy, Oemar. Syaibany. 1992. Falsafah Pendidikan Islam. (Terj) Hasan
Langgulung. Jakarta: Bulan Bintang
An-Nahlawi, Abdurrahman. 1995. Pendidikan Islam di Rumah, Sekolah, dan
Masyarakat. Jakarta: Gema Insani Press.
Ar-Rifa‘I, Muhammad Nasib. 1999. Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta: Gema
Insani Press.
Arikunto, Suharsimi. 1993. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
113
Ash-Shiddieqi, Hasbi. 2000. Tafsir Al-Qur‟anul Majid An-nuur. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
__________________. Tt. Sejarah dan Pengantar Ilmu Al-qur‟an/Tafsir, Jakarta:
Bulan Bintang.
Azra, Azyumardi. 2012. Pendidikan Islam Tradisi dan Mordenisasi di Tengah
Tantangan Melinium III. Jakarta: Kencana Prenada Media Grup.
Daradjat, zakiah. 2011. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Departemen Agama RI. 2011. Alhidayah Al-Qur‟an Tafsir Perkata Tajwid Kode
Angka. Tangerang Selatan: Kalim.
Departemen Agama RI. 2009. Alqur‟an dan Tafsirnya. Jakarta: Departemen
Agama RI.
Hadi, Sutrisno. 1981. Metodologi Research. Jilid I. Yogyakarta: Yayasan Penerbit
Fakultas Psikologi UGM.
Hafidz, Muhammad & Kastolani. 2009. Pendidikan Islam. Salatiga: STAIN
Salatiga Press.
Hamid, Hamdani & Beni Ahmad Saebani. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif
Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Hasan Al-‗Aridl, Ali. 1992. Sejarah dan Metodologi Tafsir. Jakarta: RAJAMALI
PRES.
Hasbullaah. 2009. Dasar-dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: Rajawali Press.
Ilyas, H. Yunahar. 1999. Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Jumali. Dkk. 2004. Landasan Pendidikan. Surakarta: Muhammadiyah University
Press.
114
Mahali, A. Muddjab. 1989. Asbabun Nuzul. Jakarta: CV. Rajawali.
Majid, Abdul & Dian Andayani. 2013. Pendidikan Karakter Perspektif Islam.
Bandung : PT Remaja Rosdakarya.
Moloeng, Lexi. M.A. 1998. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Roesdakarya.
Munawwir, Ahmad Warson. 1984. Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia
Terlengkap. Surabaya: Pustaka Progressif.
Nasharuddin. 2015. Akhlak (Ciri Manusia Paripurna). Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Nata, Abuddin. 2000. Metodologi Studi Islam. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Ramayulis. 2015. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kalam Mulia.
Shihab, M. Quraish. 2012. Al-lubāb Makna, Tujuan, dan Pelajaran dari Surah-
surah Alqur‟an. Tangerang: Lentera Hati.
________________. 2002. Tafsir Al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.
Suhartono, Suparlan. 2006. Filsafat Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.
Syaltut, Mahmud. 1990. Tafsir Alqur‟anul Karim. Bandung: CV Diponegoro.
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 2007. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Tono, sidik dkk. 1998. Ibadah dan Akhlak dalam Islam. Yogyakarta: UII Press
Indonesia.
115
Zahruddin & Hasanuddin Sinaga. 2004. Pengantar Studi Akhlak. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Zuhdi, Masjfuk. 1978. Pengantar Ilmu Hadits. Surabaya: Pustaka Progresif.
http://pemudapersis32.blogspot.co.id/2015/05/aj-araf-199-202.html?m=1
116
LAMPIRAN-LAMPIRAN
117
118
DAFTAR NILAI SKK
Nama : Fifi Nor Kamalia
P.A : Dr. Winarno, S.Si.,M.Pd.
NIM : 11112152
Program Studi : PAI
No Nama Kegiatan Tema Tanggal Jabatan Nilai
1. Orientasi
Pengenalan
Akademik dan
Kemahasiswaa
n (OPAK)
Progesifitas
Kaum Muda,
Kunc iPerubahan
Indonesia
05-07
September
2012
Peserta 3
2. Orientasi
Pengenalan
Akademik dan
Kemahasiswaa
n (OPAK)
Mewujudkan
Gerakan
Mahasiswa
Tarbiyah Sebagai
Tonggak
Kebangkitan
Pendidikan Islam
08-09
September
2012
Peserta 3
3. Orientasi
Dasar
Keislaman
(ODK)
Membangun
Karakter
Keislaman
Bertaraf
Internasional Di
Era Globalisasi
Bahasa
10 September
2012
Peserta 2
4. Entrepreneursh
ip dan
Perkoperasian
Explore Your
Entrepreneurship
Talent
11 September
2012
Peserta 2
119
2012
5. Achicvment
Motivation
Training
Bangun Karakter
Raih Prestasi
12 September
2012
Peserta
2
6. Library User
Education
(PendidikanPe
makaiPerpusta
kaan)
13 September
2012
Peserta
2
7. Seminar
Nasional
Mahasiswa
Urgensi Media
Dalam Pergulatan
Politik
29 September
2012
Peserta 8
8. Tabligh Akbar Tafsir Tematik
dalam Upaya
Menjawab
Persoalan Israel
dan Palestina
Landasan Qs. Al-
Fath:26-27.
01
Desember201
2
Peserta 2
9. Bedah Buku ―24 Cara
Mendorong IPK‖
05 Desember
2012
Peserta 2
10. Enterpreneursh
ip Training
23 Maret
2013
Peserta 2
11. Seminar
Nasional
Ahlussunah
Waljamaah dalam
26 maret
2013
Peserta 8
120
Perspektif Islam
Indonesia
12. Seminar
Pendidikan
HMJ Tarbiyah
STAIN
Salatiga
Menimbang Mutu
dan Kualitas
Pendidikan di
Indonesia
02 Mei 2013 Peserta 2
13. Tafsir Tematik Sihir dalam
Perspektif Al-
Qur‘an dan
Hukum Negara
04 Mei 2013 Peserta 2
14. Seminar
Nasional
Sharia
Economics
Festifal
Indonesia Will
Grow and Shine
With Sharia
Economics
04 Juni 2013 Peserta 8
15. Pendidikan
dan Pelatihan (
DIKLAT )
PROFESIAN
Mencerahkan
Dunia Pendidikan
Melalui
Kreatifitas Guru
13-14 Mei
2014
Peserta 2
16. Festival
Dakwah Milad
XII Lembaga
Dakwah
Kampus (
LDK ) Darul
Amal STAIN
Salatiga
IPSI ( Islamic
Publik Speaking
Training )
09 Juni 2014 Peserta 2
121
17. Diklat
Microteaching
08 November
2014
Peserta 2
18. Seminar
Pendidikan
Himpunan
Mahasiswa
Islam Cabang
Salatiga
Komisariat
Walisongo
Mempertegas
Peran Pendidikan
dalam
Mencerahkan
Masa Depan
Anak Bangsa
19 November
2014
Peserta 2
19. Diskusi
Terbuka
―Soekarno, Apa
yang Kalian
Pikirkan?‖
09 Desember
2014
Peserta
2
20. WORKSHOP
NASIONAL
―Sukses
Akademik,
Sukses Bakat, dan
Hidup
Bermartabat
dengan Karya‖
16 Desember
2014
Peserta 8
21. Seminar
Sesorah
Bahasa Jawa
Dalam
rangkaian
kegiatan
Milad-XIII
LDK Fathir
ArRasyid
IAIN Salatiga
Aktualisasi
Dakwah dalam
Membentuk
Generasi yang
Bertaqwa,
Berilmu, dan
Berakhlak Mulia
07 Mei 2015 Peserta 2
122
22. Nasional
Seminar
Understanding the
World by
Underatanding
the Language and
the Culture
04 Juni 2015 Peserta 8
23. ―Bedah Buku‖ Muda 7 Warna 23 September
2015
Peserta 2
24. Seminar
Nasional
Kewirausahaan
bersama Dinas
Perindustrian,
Perdagangan
dan Koperasi
(Disperindako
p)Salatiga
―Jiwa Muda
Berani
Berwirausaha‖
30 Oktober
2015
Peserta 8
25. IAIN Salatiga
Bersholawat
dan Orasi
Kebangsaan
―MenyemaiNIlai-
nilai Islam
Indonesia Untuk
Memperkokoh
NKRI dalam
Mewujudkan
Baldatun
Toyyibatun
Warobbun
Ghofur‖
06 November
2015
Peserta 2
26. Seminar
Nasional
―Hak Gender
Kaum Difabel
dalam Pespektif
Sosiologi dan
Hukum Islam
Himpunan
Mahasiswa
Jurusan Ahwal al-
Syakhshiyyah‖
24 Desember
2015
Peserta 8
123
124
125
126
127