SKRIPSI DHIKI MARDIANA JANUARI - repository.ipb.ac.id · ketersediaan energi yang cukup dan mudah...
Transcript of SKRIPSI DHIKI MARDIANA JANUARI - repository.ipb.ac.id · ketersediaan energi yang cukup dan mudah...
i
KARAKTERISTIK FERMENTASI IN VITRO RANSUM
MENGANDUNG 50% PROTEIN ASAL UREA YANG
DISUPLEMENTASI KROMIUM ATAU KOBALT
SKRIPSI
DHIKI MARDIANA JANUARI
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
ii
RINGKASAN
Dhiki Mardiana Januari. D24080227. 2012. Karakteristik Fermentasi In Vitro
Ransum Mengandung 50% Protein Asal Urea yang Disuplementasi Kromium
atau Kobalt. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas
Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc
Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc
Urea merupakan salah satu contoh nitrogen bukan protein (NBP) yang
biasanya ditambahkan pada pakan ruminansia sebagai sumber nitrogen untuk
pembentukan protein mikroba, namun untuk mencapai utilisasi yang optimum dari
urea diperlukan unsur mikro seperti kromium (Cr) dan kobalt (Co). Unsur Cr
essensial bagi mikroba rumen karena merupakan komponen GTF (glucose tolerance
factor) yang dapat meningkatkan pengambilan glukosa dari lingkungannya dan dapat
menurunkan efek negatif antibakteri. Bakteri rumen menggunakan Co dalam sintesis
vitamin B12. Dalam struktur molekul vitamin B12 yang kompleks, Co berada pada
pusat dari cincin tetra-ring porphryn. Pada sel mamalia, vitamin B12 berfungsi
sebagia kofaktor enzim methylmalonyl-CoA mutase dalam mengkonversi
methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA yang merupakan intermediat dalam
produksi asam propionat. Mineral mikro memiliki kisaran kadar dalam ransum antara
keracunan dan kekurangan yang sangat sempit sehingga interaksinya dengan
minneral lain sangat menentukan kecukupan mineral tersebut. Suplementasi mineral
mikro dalam bentuk organik dapat mengurangi pengaruh negatif adanya interaksi
dengan mineral lain.
Terkait dengan hal tersebut maka penelitian ini dilakukan untuk
membandingkan pengaruh perlakuan penambahan unsur Cr atau Co dalam bentuk
organik maupun inorganik pada utilisasi nitrogen secara in vitro. Penelitian ini
menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 ransum perlakuan dan 6 waktu
pengamatan. Perlakuan yang diuji yaitu: P1 = ransum basal + Cr organik 3 ppm, P2
= ransum basal + Cr anorganik 3 ppm, P3 = ransum basal + Co organik 3 ppm, P4 =
ransum basal + Co anorganik 3 ppm. Peubah yang diukur adalah kecernaan bahan
kering (KCBK) dan bahan organik (KCBO), kadar volatile fatty acids (VFA) dan N-
NH3 filtrat media fermentasi. Data yang diperoleh diuji dengan analisa deskriptif.
Perlakuan penambahan Cr organik pada ransum memberikan hasil yang
paling baik terhadap konsentrasi VFA , koefisien cerna bahan kering dan bahan
organik. Dibandingkan perlakuan lainnya. Namun penambahan mineral Cr organik,
Cr anorganik, Co organik, dan Co anorganik tidak memepengaruhi laju penggunaan
NH3 untuk sintesa protein mikroba.
Kata kunci: kromium, kobalt, NH3, VFA, kecernaan.
iii
ABSTRACT
In Vitro Fermentation Characteristics of Ration Containing 50% Protein Based
Urea and Supplemented with Chromium or Cobalt.
Januari, D. M., T. Toharmat and H. A. Sukria
Urea is one of non protein nitrogen (NPN) source usually added in ruminant
diet as nitrogen source for the formation of microbial protein. Chromium (Cr) and
Cobalt (Co) are essential mineral for rumen microbe, therefore to achieve optimum
utilization of urea is needed micro elements. Dietary micro minerals indicates a
narrow range between toxicity and deficiency level. Therefore there are many
factors dictating the status of the micro mineral. Micro-mineral supplementation in
organic forms reduces the interaction effects among minerals. The purpose of
research was to evaluate the effect of Cr and Co supplementation on fermentation
charactyeristics of a diet containing 50% protein based urea. The data obtained by
descriptive explanation. The result showed that the concentration of N-NH3 was not
different among treatments. Dietary supplementation of Cr organic improved
ruminal fermentability and dietary urea utilization of the ration resulted in the
increase in dry and organic matter digestibility. The conclusion was Cr organic
supplementation improved ruminal fermentability and dietary urea utilization of the
ration resulted in the increase in dry and organic matter digestibility.
Keywords: chromium, cobalt, N-NH3, VFA, digestibilty
iv
KARAKTERISTIK FERMENTASI IN VITRO RANSUM
MENGANDUNG 50% PROTEIN ASAL UREA YANG
DISUPLEMENTASI KROMIUM ATAU KOBALT
DHIKI MARDIANA JANUARI
D24080227
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN
FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2012
v
Judul : Karakteristik Fermentasi In Vitro Ransum Mengandung 50% Protein Asal
Urea Yang Disuplementasi Kromium atau Kobalt
Nama : Dhiki Mardiana Januari
NIM : D240802227
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc.)
NIP. 19590902 198303 1 003
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, M.Sc.)
NIP. 19660705 199103 1 003
Mengetahui,
Ketua Departemen,
Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr)
NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Januari 1991 di
Teluk Betung, Bandar Lampung. Penulis merupakan anak
terakhir dari dua bersaudara pasangan Widodo Soepardi,
B.Sc dan Septrida Maria, BBA.
Penulis memperoleh pendidikan yang dimulai pada
tahun 1996 di SDN 2 Rawalaut, Bandar Lampung dan
lulus pada tahun 2002, kemudian penulis melanjutkan
pendidikan di SMP Negeri 4 Bandar Lampung dan lulus
pada tahun 2005 dan melanjutkan pendidikan Sekolah
Menengah Atas di SMA Negeri 53 Jakarta dan lulus pada tahun 2008. Pada tahun
2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan
Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis memilih Departemen Nutrisi dan Teknologi
Pakan sebagai major dan minor pada bidang keahlian Budidaya dan Pengolahan
Hasil Ternak Pedaging.
Selama menjadi mahasiwa, penulis aktif di kepengurusan organisasi dan
kepanitian berbagai acara kampus diantaranya anggota pada , Himpunan Mahasiswa
Nutrisi Ternak (HIMASITER) sebagai anggota staf PWI pada tahun 2011-2012,
kepanitian MPF sebagai anggota Tim Medis pada tahun 2010, kepanitiaan Nutrisi In
Action sebagai anggota Divisi 3D pada tahun 2010, dan kepanitian dalam acara
Kakak Asuh sebagai anggota Divisi Dokumentasi pada tahun 2010. Sebagai salah
satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan di Fakultas Peternakan,
Institut Pertanian Bogor, penulis melaksanakan penilitian mengenai peran mineral
pada hasil aktivitas fermentasi rumen dengan judul “Karakteristik Fermentasi In
Vitro Ransum Mengandung 50% Protein Asal Urea yang Disuplementasi Kromium
atau Kobalt ” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc dan Dr. Ir.
Heri Ahmad Sukria, M.Sc pada tahun 2012.
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur yang senantiasa dipanjatkan kepada Allah SWT atas limpahan
rahmat dan karuniaNya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi sebagai tugas akhir pada Fakultas Peternakan IPB. Skripsi
tersebut berjudul “Karakteristik Fermentasi In Vitro Ransum Mengandung 50%
Protein Asal Urea yang Disuplementasi Kromium atau Kobalt ” yang bertujuan
untuk mengkaji pengaruh suplementasi kromium atau kobalt baik dalam bentuk
organik maupun inorganik pada fermentasi senyawa nitorgen in vitro. Protein
merupakan salah satu komponen pakan yang penting dalam mendukung
metabolisme tubuh ternak. Pakan yang dijadikan sumber protein umumnya memiliki
harga yang mahal dan akan megalami degradasi pada rumen ternak ruminansia.
Namun ternak ruminansia memiliki kemampuan untuk mengkonversi nitrogen
menjadi protein mikroba yang nantinya akan dijadikan sumber protein. Sintesis
protein oleh mikroba dalam rumen ternak ruminansia dapat berjalan dengan
sempurna jika nutrien lain cukup tersedia termasuk mineral mikro. Penelitian ini
merupakan lanjutan dari kegiatan penelitian tim dari Program Kreativitas Mahasiswa
(PKM) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemenbud, 2012.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu
dalam proses penyusunan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa dalam penulisan dan
penyusunan skripsi ini jauh dari kesempurnaan. Semoga penulisan dapat
memberikan manfaat bagi para pembacanya.
Bogor, September 2012
Penulis
viii
DAFTAR ISI
RINGKASAN ................................................................................................. i
ABSTRACT .................................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................ iii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................ v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... vii
DAFTAR TABEL ........................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... x
PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
Latar Belakang ..................................................................................... 1
Tujuan .................................................................................................. 3
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................. 4
Protein Mikroba pada Ruminansia ....................................................... 4
Manfaat Urea dalam Sintesis Protein Mikroba .................................... 5
Peran Mineral Organik dalam Sintesis Protein Mikroba ..................... 6
Keterlibatan Kromium dalam Sintesis Protein Mikroba . .................... 7
GTF (Glucose Tolerance Factor) ............................................ 7
Kromium (Cr) Organik ........................................................................ 8
Kobalt (Co) .......................................................................................... 9
Sianokalamin/B12 ..................................................................... 10
Kapang Rhizopus sp ............................................................................. 10
Amonia (NH3) ...................................................................................... 11
Volatille Fatty Acid (VFA) .................................................................. 12
Kecernaan Bahan Kering dan Organik ................................................ 13
In Vitro ................................................................................................ 14
MATERI DAN METODE ............................................................................... 15
Lokasi dan Waktu ................................................................................ 15
Materi .................................................................................................. 15
Prosedur .............................................................................................. 15
Persiapan Pembuatan Kromium Organik ................................ 15
Persiapan Pembuatan Kobalt Organik ..................................... 16
Pembuatan Ransum Basal ........................................................ 16
Pengambilan Cairan Rumen.................................................... 16
Teknik In Vitro ......................................................................... 16
Halaman
ix
Rancangan Percobaan .......................................................................... 17
Perlakuan ............................................................................................. 17
Parameter yang Diamati ....................................................................... 18
HASIL DAN PEMBAHASAN ...................................................................... 20
Pola Perubahan Konsentrasi N-NH3 .................................................... 20
Pola Perubahan Konsentrasi VFA (Vollatile Fatty Acid) .................... 22
Kecernaan Bahan Kering dan Organik ................................................ 25
KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... 27
Kesimpulan ......................................................................................... 27
Saran ................................................................................................... 27
UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................... 28
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 29
x
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Kandungan Nutrien Ransum Basal yang Digunakan sebagai
Media Fermentasi In Vitro ........................................................................ 18
2. Rataan Konsentrasi VFA dan NH3 pada Media Fermentasi
Pakan dengan Perlakuan Berbeda (In Vitro)............................................. 20
3. Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan
Organik (KCBO) Ransum yang Disuplementasi Cr dan Co ................... 25
xi
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Struktur Ikatan Kromium dengan asam nikotinat dan asam amino
glutation .................................................................................................... 8
2. Struktur Kimia Cr-Pikolinat .................................................................... 9
3. Proses Sintesis Protein Mikroba .............................................................. 12
4. Proses Pembentukan VFA ....................................................................... 13
5. Konsentrasi N-NH3 pada Media Fermentasi Pakan dengan
Perlakuan Berbeda dengan Lama Fermentasi 1-48 Jam .......................... 21
6. Konsentrasi VFA pada Media Fermentasi Pakan dengan
Perlakuan Berbeda dengan Lama Fermentasi 1-48 Jam .......................... 23
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Protein merupakan unsur pakan yang penting dalam metabolisme tubuh
ternak. Pada umumnya protein pakan di dalam rumen akan terdegradasi sehingga
diperlukan suplai sumber protein yang bervariasi baik yang mudah terdegradasi
maupun yang tahan degradasi. Keseimbangan jenis protein tersebut menentukan
efisiensi penggunaan protein oleh ternak ruminansia. Penyediaan protein dengan
pendekatan peningkatan jumlah suplai sumber protein akan meningkatkan biaya
pakan. Hal tersebut terkait dengan keadaan bahwa pakan sumber protein merupakan
salah satu sumber pakan yang memiliki harga yang tinggi dibandingkan dengan
sumber nutrien lainnya.
Protein pakan di dalam rumen akan diubah menjadi amonia terlebih dahulu
sebelum digunakan oleh mikroba untuk sintesis protein tubuhnya (Sutardi, 1977).
Suryadi (1993) menyatakan bahwa ruminansia dapat hidup dengan ransum
berkualitas rendah dan mampu memanfaatkan senyawa NBP (nitrogen bukan
protein) untuk pembentukan protein mikroba sebagai protein pakan. Salah satu
sumber NBP yang sering digunakan sebagai pakan adalah urea.
Urea lebih sering digunakan dalam pakan ruminansia karena ketersediaannya
yang cukup. Tingkat penggunaan urea yang disarankan adalah tidak melebihi 3%
dari campuran konsentrat (McDonald, 1972). Urea tidak dapat menggantikan protein.
Namun urea dapat mensuplai nitrogen sebagai komponen dari protein mikroba,
namun molekul lainnya diperoleh dari sumber lain seperti kerangka karbon (Sutardi,
1977) dan hidrogen berasal dari karbohidarat yang mudah terfermentasi. Beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi agar diperoleh utilisasi optimum adalah
ketersediaan energi yang cukup dan mudah tersedia serta perlunya unsur mikro yang
cukup (Neumann dan Snapp, 1969). Beberapa contoh unsur mikro yaitu Cr, Mn, Cu,
Zn, Co, F.
Kromium (Cr) merupakan unsur mikro yang penting dalam metabolisme
mikroba rumen dan tubuh ternak. Unsur Cr merupakan mineral essensial bagi
mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006). Vincent dan Davis (1997) melaporkan
bahwa Cr merupakan komponen GTF (glucose tolerance factor). Bestari (2007)
menyatakan bahwa substansi GTF mampu meningkatkan pengambilan glukosa.
2
Suplementasi Cr dalam bentuk organik maupun inorganik dapat menurunkan efek
negatif antibakteri dengan berperan sebagai GTF walaupun tanpa ada insulin (Linder,
1992). Unsur Cr diperkirakan juga diperlukan mikroba untuk menunjang
pertumbuhan yang normal. Batas maksimum toleransi konsentrasi Cr dalam ransum
adalah 3000 mg/kg dalam bentuk oksida dan 1000 mg/kg dalam bentuk klorida
(NRC, 2001).
Kobalt (Co) merupakan salah satu unsur esensial untuk pertumbuhan hewan
dan merupakan bagian dari molekul vitamin B12 (Arifin, 2008) yang dapat disentesis
oleh bakteri di dalam rumen. Dalam struktur molekul vitamin B12 yang kompleks,
atom Co berada pada pusat cincin tetra-ring porphryn sehingga disebut
cyanocobalamin (Parakkasi, 1999). Pada sel mamalia, vitamin B12 mempunyai dua
fungsi yang berbeda, yaitu methylcobalamin digunakan oleh enzim methionine
synthase untuk mengubah homosistein menjadi metionin sedangkan 5’-
deoxyadenosylcobalamin digunakan oleh enzim methylmalonyl-CoA mutase dalam
konversi methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Norris, 2002). Succinyl-CoA
adalah suatu senyawa intermediat dalam produksi asam propionat (Hobson dan
Stewart, 1997). Defisiensi Co dapat menurunkan jumlah mikroorganisme rumen.
Kadar Co yang dianjurkan oleh NRC (2001) yaitu sebesar 0,1-10 ppm untuk anak
sapi.
Mineral mikro memiliki kisaran kadar dalam ransum antara keracunan dan
kekurangan yang sangat sempit. Absorpsi mineral mikro yang berlebihan pada
pakan dengan kadar mineral tinggi menyebabkan keracunan dan menurunkan
performan produksi ternak. Pembatasan kadar mineral mikro dalam ransum dapat
menyebabkan defisiensi akibat adanya antagonisme antar mineral. Pemanfaatan
mineral dalam bentuk senyawa organik memiliki beberapa keuntungan yang salah
satu diantaranya adalah mengurangi interaksi antar mineral Suplementasi mineral
organik dapat mengatasi disortasi status mineral pada ternak (Adawiah et al., 2006 ).
Sintesis mineral organik dapat dilakukan melalui proses biofermentasi dengan
bantuan mikroorganisme (Muktiani dan Tampubolon, 2001).
Peran unsur Cr dan Co dalam rumen khususnya dalam pemanfaatan nitrogen
bukan protein belum banyak diketahui. Hal ini sangat diperlukan karena penggunaan
urea memacu produksi protein mikroba yang merupakan salah satu faktor pembatas
3
tingkat produksi ternak ruminansia khusunya di Indonesia. Penambahan Cr organik
pada taraf 1 ppm dan Cr anorganik pada taraf pemberian 4 ppm meningkatkan
konsentrasi VFA dan menurunkan konsentrasi NH3 (Jayanegara et al., 2006).
Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh suplementasi kromium atau
kobalt baik dalam bentuk organik maupun inorganik pada fermentasi senyawa
nitorgen in vitro.
4
TINJAUAN PUSTAKA
Protein Mikroba Pada Ruminasia
Sutardi (1977) menyatakan bahwa secara umum sebagian protein yang
terkandung didalam pakan ternak ruminansia akan diubah menjadi protein mikroba
terlebih dahulu sebelum digunakan oleh ruminansia. Ada dua cara yang dilakukan
agar jumlah protein pakan lebih banyak tersedia bagi ternak yaitu dengan
pembentukan protein by pass dan dengan cara memberikan senyawa nitrogen bukan
protein (NBP) kepada ternak, sehingga dengan begitu maka ruminansia dapat hidup
dengan ransum berkualitas protein rendah dan dapat menggunakan senyawa NBP
untuk pembentukan protein mikroba di dalam rumen.
Salah satu sifat mikroba rumen adalah mampu menggunakan amonia untuk
membentuk protein tubuhnya (Suryadi, 1993). Menurut Sutardi (1977) hal tersebut
terjadi karena mikroba rumen tidak mempunyai sistem enzim yang dapat
mengangkut asam amino ke dalam tubuhnya sehingga semua asam amino harus
diubah menjadi amonia terlebih dahulu dan kemudian baru dapat dimanfaatkan oleh
mikroba rumen. Sumber energi yang digunakan oleh mikroba berasal dari gula
(monosakarida) yang terlarut dalam cairan rumen dengan begitu maka ketersediaan
monosakarida terlalut mempengaruhi aktifitas bakteri untuk menghabiskan amonia
(Arora, 1995), artinya bahwa untuk menginkorporasikan amonia ke dalam tubuh
mikroba guna disintesis menjadi protein tubuhnya memerlukan energi, sehingga
apabila mikroba kekurangan energi maka daya menyerap amonianya jadi terbatas
dan berakibat terakumulasinya NH3 pada cairan rumen (Jayanegara et al., 2006).
Laconi (1998) menyatakan bahwa laju pencernaan karbohidrat menjadi faktor
penentu proses sintesis protein mikroba didalam rumen. Arora (1989) menyatakan
bahwa sintesis protein mikroba tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen
pakan, kecepatan absorbsi amonia dan asam amino, kebutuhan mikroba akan asam
amino, dan jenis fermentasi rumen yang dipengaruhi jenis pakan.
Diperkirakan kontribusi protein mikroba ini mencapai 40%-80% dari total
asam amino atau protein yang diserap ternak masuk ke dalam usus halus adalah
protein mikroba yang terbentuk di dalam rumen (Sniffen dan Robinson, 1987).
Goedeken et al. (1990) menyatakan bahwa populasi mikroba rumen mampu
membentuk semua asam amino yang dibutuhkan oleh ternak ruminansia. Hal ini
5
berarti bahwa keberhasilan memacu laju pembentukan protein mikroba akan sangat
berpengaruh dalam pemenuhan kebutuhan asam amino ternaknya.
Manfaat Urea dalam Sintesis Protein Mikroba
Beberapa sumber nitrogen bukan protein (NBP) misalnya urea, biuret, garam-
amonia dan beberapa amida dapat digunakan sebagai sumber N untuk ruminan.
Sumber NBP yang paling banyak digunakan dalam praktek pemberian pakan ternak
ruminasia adalah urea. Penggunaan NBP dalam ransum tidak dapat menghasilkan
penampilan ternak yang sama persis dengan penggunaan true protein, hasilnya selalu
lebih rendah (Parakkasi, 1999). Keuntungan penggunaan urea sebagai bahan baku
pembentukan protein mikroba pada pakan ruminansia dalam praktek terutama
karena harganya yang relatif murah, kandungan protein kasarnya tinggi dan
berbentuk senyawa sederhana sehingga dapat digunakan sebagai sumber protein
oleh mikroba rumen (Enseminger dan Olentine, 1978). Selain menguntungkan,
penggunaan urea dalam ransum juga memiliki kerugian karena menyebabkan
keracunan bila penggunaannya tidak sesuai dengan semestinya (Parakkasi, 1999).
Penggunaan urea akan menunjukkan hasil yang bermanfaat bila ditambahkan
pada ransum yang mengandung protein rendah. Keefisienan pemakaian urea dalam
ransum terjadi jika amonia yang terbentuk masih seimbang terhadap kemampuan
mikroba rumen dalam menggunakan amonia (Suryadi,1993). Level penggunaan urea
yang dianjurkan adalah 1 % dari bahan kering ransum dan tidak lebih melebihi 3%
dari campuran konsentrat atau tidak lebih dari sepertiga dari kebutuhan protein
(Chalupa, 1968).
Urea tidak dapat menggantikan protein, hanya mampu mensuplai nitrogen
amino tetapi bagian lain dari molekul protein harus diperoleh dari sumber lain.
Pembentukan protein mikroba memerlukan unsur-unsur lain seperti kerangka karbon
dan hidrogen yang berasal dari karbohidrat mudah terfermentasi (Sutardi, 1977).
Urea akan mengalami proses dekomposisi menjadi CO2 dan NH3 karena adanya
aktifitas mikroba rumen (Laconi, 1998). Sehubungan dengan hal tersebut Suryadi
(1993) menyatakan bahwa ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi dalam
penggunaan urea dengan ukuran tinggi untuk memperoleh utilisasi yang optimum
yaitu ketersediaan energi yang cukup dan mudah tersedia serta perlunya unsur mikro
yang cukup.
6
Peran Mineral Organik dalam Sintesis Protein Mikroba
Mineral mikro yaitu mineral yang dibutuhkan dalam jumlah sedikit dan
umumnya terdapat pada jaringan dengan konsentrasi yang kecil (Arifin, 2008).
Beberapa mineral mikro yaitu Fe, Mo, Cu, Zn, Co, I, dan Se serta mineral Cr (
McDonald et al., 1998; Spears, 1999; Sutardi, 2002). Mineral mikro memiliki
kisaran kadar dalam ransum antara keracunan dan kekurangan yang sangat sempit.
Absorpsi mineral yang berlebihan pada pakan dengan kadar mineral tinggi
menyebabkan keracunan dan menurunkan performan produksi ternak. Pembatasan
kadar mineral mikro dalam ransum dapat menyebabkan defisiensi akibat adanya
antagonisme antar mineral.
Telah diketahui bahwa mineral yang terdapat dalam pakan alami berada pada
suatu bentuk kompleks dengan senyawa organik (Simanjuntak, 2004). Penggunaan
kompleks mineral organik sebagai sumber unsur mineral bagi ternak semakin
meningkat karena lebih tinggi potensi ketersediaan biologisnya dibandingkan sumber
mineral anorganik (Schell dan Kornegay, 1996).
Mineral organik adalah mineral yang berasal dari proses “chelate“ garam
metal yang terlarut dengan asam-asam amino atau protein yang terhidrolisis (Lyons,
1993). Salah bentuk mineral organik adalah mineral proteinat (Simanjuntak, 2004).
Mineral proteinat adalah mineral yang berasal dari kelompok transisi yang telah
berikatan dengan asam-asam amino dengan membentuk struktur cincin terbuka,
mempunyai pH stabil, dan bermuatan netral (Simanjuntak, 2004). Unsur mineral
yang berada dalam bentuk ikatan mineral-protein diketahui dapat mengurangi
interaksi antar mineral dan senyawa organik lain yang beakibat akan menurunkan
kemampuan penyerapan pada saluran pencernaan. Mineral anorganik yang
digunakan sebagai sumber mineral ransum tidak dapat diserap tubuh ternak karena
berubah menjadi senyawa kompleks akibat terjadi interaksi antar mineral atau
senyawa lain pada pakan (Lyons, 1993).
Penggunaan mineral organik merupakan salah satu alternatif untuk
meningkatkan efisiensi dalam penggunaan mineral (Astuti et al., 2006). Penggunaan
mineral organik lebih bermanfaat karena mudah larut dan diserap (Adawiah et al.,
2006) serta bebas dari gangguan antagonisnya (Chase et al., 2000; Bailey et al.,
2001).
7
Keterlibatan Kromium dalam Sintesis Protein Mikroba
Kromium (Cr) merupakan mineral yang esensial bagi manusia maupun
hewan, terutama dalam metabolisme karbohidrat dan lemak (Mertz, 1993). Unsur Cr
dikelompokkan dalam mineral mikro (trace mineral) yang esensial dan secara
fisiologis peran utama Cr berkaitan dengan metabolisme glukosa dengan
meningkatkan aktivitas insulin. Unsur Cr tergolong dalam unsur transisi yang
mempunyai bilangan oksidasi 0, 2+, 3
+, 4
+, 6
+ tetapi pada umumnya Cr bervalensi 3
merupakan bentuk Cr yang stabil. Unsur Cr2+
jarang ditemukan dalam sistem bilogis
karena apabila terjadi kontak dengan udara akan ditransformasikan menjadi Cr3+
sedangkan Cr4+
dan Cr6+
bersifat toksik. Unsur Cr6+
bersifat karsinogenik karena Cr6+
dapat berikatan dengan protein dan asam nukleat serta berikatan dengan materi
genetik. Kemampuan ternak untuk memaksimumkan fungsi karbohidrat sebagai
sumber energi diperkirakan dapat dilakukan dengan pendekatan intraseluler, yaitu
dengan meningkatkan entri glukosa ke dalam sel melalui penggunaan kromium.
Unsur Cr disamping penting dalam metabolisme tubuh ternak, Cr juga merupakan
mineral essensial bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006). Batas maksimum
toleransi konsentrasi Cr dalam ransum adalah 3000 mg/kg dalam bentuk oksida dan
1000 mg/kg dalam bentuk klorida (NRC, 2001).
Glucose Tolerance Factor (GTF)
GTF (glucose tolerance factor) merupakan kompleks antara Cr3+
dengan 2
molekul asam nikotinat dan 3 molekul asam amino yang terkandung dalam glutation
yaitu glutamat, glisin dan sistein. Unsur Cr merupakan komponene aktif di dalam
struktur GTF, sehingga bila tidak ada Cr pada pusat atau inti GTF maka GTF tidak
dapat bekerja (Burton, 1995). GTF merupakan substansi yang dimiliki oleh yeast,
dimana GTF mampu meningkatkan pengambilan glukosa (Londok, 1998). Cr
trivalen dalam bentuk komplek organik berperan aktif dalam metabolisme
karbohidrat melalui GTF (Bestari, 2007).
8
Gambar 1. Struktur ikatan kromium dengan asam nikotinat dan asam amino
glutation Sumber: Linder (1992)
Kromium (Cr) Organik
Suplementasi mineral anorganik, termasuk Cr anorganik, yang selama ini
umum digunakan ternyata mempunyai sifat yang merugikan. Pemberian Cr dalam
bentuk organik akan memberikan efek positif karena lebih mudah diabsorpsi (Astuti
et al., 2006).
Mineral Cr dalam bentuk heksavalen (Cr6+
) dapat menimbulkan toksisitas
walaupun tingkat absorpsinya di usus tinggi, sedangkan bentuk trivalen (Cr3+
) yang
tidak beracun sangat sulit diserap (Cefalu dan Hu, 2004; McDowell, 1992).
Kompleks kromium organik terdapat dalam bentuk Cr chelate, Cr proteinat, dan Cr
pikolinat. Senyawa Cr chelate berasal dari proses chelate garam mineral yang terlarut
dengan asam amino atau protein yang terhidrolisis (Lindemann, 1996).
Pembentukan Cr organik dapat dilakukan dengan inkorporasi Cr ke dalam
fungi. Hal tersebut dilakukan melalui proses biofermentasi yang menggunakan fungi
sebagai produsen dengan substrat yang diperkaya dengan mineral Cr anorganik.
Proses biofermentasi tersebut sangat ditentukan oleh spesies fungi yang paling tepat
untuk menghasilkan Cr organik. Selama ini sangat sedikit penelitian yang
mempelajari spesies fungi yang dapat digunakan secara optimal sebagai carrier
dalam produksi Cr organik (Olin et al., 1994).
Astuti (2006) menyatakan bahwa fungi yang memberikan nilai inkorporasi Cr
dan efisiensi terbaik adalah Rhizopus oryzae. Kapang Rhizopus sp. dapat mendukung
inkorporasi Cr yang semakin tinggi dengan bertambahnya level Cr, hal ini berarti
Rhizopus sp. masih dapat menyesuaikan hidupnya meskipun pada level Cr tinggi
9
(4000 ppm). Tingginya inkorporasi Cr dengan semakin tingginya level Cr
disebabkan oleh semakin banyaknya Cr yang digunakan oleh sel kapang yang
selanjutnya akan berikatan dengan protein kapang, sehingga dapat menghasilkan
nilai inkorporasi yang tinggi. Penggunaan kapang Rhizopus sp. pada substrat sumber
karbohidrat mengakibatkan uptake Cr yang tinggi, karena Cr berhubungan dengan
metabolisme karbohidrat (Astuti, 2005).
. Suplementasi Cr dalam bentuk organik maupun inorganik dapat
menurunkan efek negatif antibakteri dengan berperan sebagai GTF walaupun tanpa
ada insulin (Linder, 1992). Kadar optimum penggunaan Cr organik yaitu 1000 mg/kg
(Astuti et al., 2006 ; Jayanegara et al., 2006).
Gambar 2. Struktur Kimia Cr-Pikolinat Sumber: Mooney dan Cromwell (1995)
Kobalt (Co)
Kobalt (Co) merupakan unsur mineral esensial untuk pertumbuhan hewan,
dan merupakan bagian dari molekul vitamin B12. Konversi Co dari dalam tanah
menjadi vitamin B12 pada makanan hingga dicerna hewan nonruminansia kadang-
kadang disebut sebagai siklus kobalt (Arifin, 2008).
Kobalt menduduki posisi yang unik untuk ruminan dalam pembentukan
molekul sianokobalamin/cyanocobalamin (B12). Penyatuan kobalt dengan unsur lain
menjadi B12 dilaksanakan oleh mikroba. Mikroba rumen mungkin menggunakan B12
dari makanan atau yang terbentuk dalam rumen, untuk pembetukan pseudo-B12,
karena data yang ada memperlihatkan hanya sedikit B12 yang digunakan oleh ternak
(induk semang ). Hal ini dapat menerangkan mengapa pada ruminan membutuhkan
10
Co yang lebih banyak dibandingkan dengan monogastrik (Parakkasi, 1999). Kadar
Co yang dianjurkan oleh NRC (2001) yaitu sebesar 0,1-10 ppm untuk anak sapi dan
sebesar 0,07 mg/kg(Winter et al., 1977).
Sianokobalamin/B12
Dalam struktur molekul dari vitamin B12 yang kompleks , terlihat bahwa
atom Co berada pada pusat dari suatu cincin tetra-ring porphryn. Grup sianida
melekat pada atom Co karena adanya grup tersebut maka disebut dengan
cyanocobalamin (Parakkasi, 1999). Vitamin B12 berperan sebagai kofaktor dua
enzim yaitu methylmalonyl koenzim A mutase yang mempengaruhi tahap awal
selama konversi asam propionat menjadi glukosa melalui asam suksinat sebagai
sumber energi dan ester grup-grup methyl dari homosistein menjadi metionin yang
dikatalis oleh metionin sintetase (Kennedy et al., 1992). Selanjutnya Norris (2002)
menyatakan bahwa pada sel mamalia vitamin B12 mempunyai dua fungsi yang
berbeda, yaitu methylcobalamin digunakan oleh enzim methionin syntase untuk
mengubah homosistein menjadi metionin sedangkan 5-deoxyadenosylcobalamin
digunakan oleh enzim methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA. Succynil-CoA
adalah suatu senyawa intermediet produksi asam propionat (Hobson dan Stewart,
1997). Defisiensi mineral Co mengakibatkan menurunnya jumlah mikroba rumen
dan mengakibatkan berkurangnya aktifitas enzim malonil-CoA mutase dan metionin
sintetase. Dalam membicarakan vitamin B12 hendaknya suplai Co dalam pakan tidak
dilupakan karena merupakan bahan dalam pembentukan vitamin tersebut (Parakkasi,
1999).
Kapang Rhizopus sp.
Kapang merupakan organisme eukariotik heterotrof yang dapat menghasilkan
spora. Kapang banyak terdapat dalam bentuk simbion dengan organisme lain baik
secara mutualisme ataupun parasitisme (Setiyarto, 2011). Salah satu contoh kapang
yang mudah ditemukan adalah Rhizopus sp. Kapang Rhizopus sp. tergolong dalam
kelas Zygomycetes dan merupakan salah satu jenis kapang yang tumbuh pada roti,
buah, dan makanan lainnya (Pelczar et al., 1986). Umumnya kapang ini banyak
dijumpai pada proses fermentasi pembuatan tempe (Shurtleff dan Ayogi, 1979).
Kapang jenis ini tergolong dalam genus Rhizopus, famili mucoraceae, ordo
mucorales, subdivisi zygomicotina, dan divisi eumycota (Fardiaz, 1989). Ciri-ciri
11
spesifik Rhizopus menurut Setiyarto (2011) adalah sebagai berikut ; (1) hifa
nonseptat (tidak bersekat), (2) mempunyai stolon dan rhizoid yang warnanya gelap
jika sudah tua, (3) sporangiofora tumbuh pada noda dimana terbentuk juga rhizoid,
(4) sporangia biasanya besar dan berwarna hitam, (5) kolumela agak bulat dan
apofisis berbentuk seperti cangkir, (6) tidak mempunyai sporangiola, (7) membentuk
hifa vegetatif yang melakukan penetrasi pada substrat dan hifa fertil yang
memproduksi sporangia pada ujung sporangiofora, (8) pertumbuhannya cepat,
membentuk miselium seperti kapas.
Menurut Puls dan Poutanen (1989) kecernaan pakan yang mengandung serat
akan meningkat jika mengalami fermentasi dengan kapang. Darana (1995)
menyatakan bahwa Rhizopus sp. dapat menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat
menghambat beberapa jenis bakteri rumen, selanjutnya Jayanegara et al. (2006)
menyatakan bahwa Rhizopus sp. memiliki zat antagonistik terhadap bakteri yang
menyebabkan adanya hambatan dalam penyerapan monosakarida oleh bakteri rumen.
Amonia (NH3)
Amonia merupakan sumber nitrogen utama dan penting untuk sintesis protein
mikroba (Sakinah, 2005). Sumbangan NH3 pada ruminansia sangat penting karena
prekursor protein mikroba adalah amonia dan senyawa sumber karbon (Astuti et al.,
1993). Menurut Sutardi (1997) protein bahan makanan yang masuk ke dalam rumen
mula-mula akan mengalami proteolisis oleh enzim protease menjadi oligopeptida,
sebagian dari oligopeptida akan dimanfaatkan oleh mikroba rumen untuk menyusun
protein selnya, sedangkan sebagian lagi akan dihidrolisa lebih lanjut menjadi asam
amino yang kemudian dideaminasi menjadi asam keta alfa dan amonia. Produksi
maksimal NH3 pada rumen terjadi pada jam ke 2 dan 4 setelah pemberian pakan
berlangsung (Wohlt et al., 1976). Konsentrasi optimum NH3 dalam rumen berkisar
6-21 mM (McDonald et al., 2002). Laconi (1998) menyatakan bahwa karbohidrat
dalam ransum menjadi faktor yang mempengaruhi konsentrasi N-NH3 rumen.
Semakin tinggi penggunaan karbohidrat mudah terfermentasi (RAC) akan
mengurangi produksi amonia karena untuk pertumbuhannya mikroba menggunakan
amonia.
12
Gambar.4 Proses Sintesis Protein Mikroba Sumber:Hobson dan Stewart (1997)
Volatile Fatty Acid (VFA)
VFA merupakan energi berupa asam-asam lemak atsiri yang berasal dari
proses pencernaan karbohidrat dalam rumen ternak ruminansia. VFA terdiri dari
asetat, propionat, butirat, valerat, dan format (Schlegel, 1994) selanjutnya hasil
pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang terdiri dari asam asetat, asam
propionat, asam butirat, asam valerat, asam isobutirat, asam 2-metil butirat, dan asam
iso-valerat (Forbes dan Frances,1993). VFA berfungsi sebagai sumber energi bagi
mikroba rumen dan merupakan sumber kerangka karbon bagi pembentukan protein
mikroba (Sutardi, 1977).
Produksi VFA didalam cairan rumen dapat digunakan sebagai tolak ukur
fermentabilitas pakan (Hartati, 1998) dan aktivitas mikroba dan mencirikan
banyaknya produksi VFA yang dihasilkan (Church, 1971). VFA diperoleh dari dari
proses hidrolisis lemak oleh bakteri lipolitik menjadi asam lemak dan gliserol,
kemudian gliserol difermentasi lebih lanjut untuk menjadi VFA. VFA juga
merupakan produk akhir fermentasi karbohidrat (Sakinah, 2005). VFA juga berasal
dari hidrolisa karbohidrat menjadi monosakrida dan disakarida yang kemudian
difermentasi lebih lanjut (McDonald et al.,1998) Kisaran konsentrasi produksi total
VFA pada cairan rumen yang mendukung pertumbuhan mikroba yaitu 80-160 mM
(Sutardi, 1977).
Protein
Pakan
Peptida
Asam Amino NH3 Urea
Protein Bakteri
Protein Protozoa
Rantai VFA,
Asam
Aromatik
Sumber karbon
lainnya
CO2
13
Gambar 5. Proses Pembentukan VFA Sumber: Damron, 2006
Kecernaan Bahan Kering dan Organik
Kecernaan pakan dapat didefinisikan sebagai zat makanan yang tidak
dikeluarkan melalui feses dengan asumsi zat makanan tersebut dapat diserap oleh
saluran pencernaan. Kecernaan biasanya dinyatakan dalam persentase (McDonald et
al., 2002). Kecernaan dapat diukur melalui dua metode yaitu secra metode in vitro
dan in vivo . Kecernaan melalui metode in vitro dipengaruhi oleh beberapa faktor
yaitu pencampuran pakan, cairan rumen dan inokulan, pH kondisi fermentasi,
pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu inkubasi, ukuran partikel sampel dan
buffer (Selly, 1994). Dalam pemanfaatan bahan organik, pH rumen menjadi faktor
penting pada sistem pencernaan ruminansia sedangkan degradasi ransum dipengaruhi
oleh struktur makanan, ruminasi, produk saliva, dan pH optimum. Kecernaan pakan
juga sangat bergantung pada mikroba rumen (Laconi, 1998).
Ukuran kecernaan biasanya diukur dalam dua bentuk yaitu kecernaan bahan
kering (kcbk) dan kecernaan bahan organik (kcbo). Kualitas pakan dapat ditentukan
dari kecernaan bahan organiknya. Perbedaan kecernaan pada setiap jenis ternak
ruminansia disebabkan karena kemampuan mikroba rumen yang berbeda-beda dalam
mendegradasi pakan (Sutardi, 1979). Faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan
bahan kering dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan
organik karena sebagian besar komponen penyusun bahan kering terdiri atas bahan
14
organik. Nilai koefisien kecernaan diatas 60% merupakan nilai kecernaan pakan
yang tinggi (Sutardi,1980).
In vitro
In vitro adalah proses metabolisme yang terjadi diluar tubuh ternak
dimanaprinsipnya menyerupai kondisi rumen (Johnson,1966). Menurut Tisserand
(1989) metode in vitro sering digunakan untuk mengetahui kecernaan hewan, pakan,
dan hasil proses pencernaan dalam saluran pencernaan ternak. Beberapa keuntungan
yang diperoleh dari analisa in vitro yaitu dapat dilakukan dalam waktu singkat dan
biaya yang relatif murah, lebih mudah untuk mengontrol kondisinya dan memerlukan
jumlah sampel yang lebih sedikit (Church,1979).
Pada metode in vitro digunakan rumen buatan sebagai media buatan (kultur),
cairan rumen sebagai inokolum, buffer untuk mempertahankan pH rumen dengan
kondisi aerob, sehingga menyerupai kondisi rumen semestinya. Hasil yang diperoleh
dengan teknik in vitro sering bervariasi karena tidak adanya proses penyerapan
produk akhir fermentasi dan gerakan pengosongan rumen (Laconi, 1998). Tilley and
Terry (1963) mengembangkan suatu prosedur pengukuran kecernaan in vitro yang
banyak digunakan hingga sekarang. Pengukuran nilai kecernaan bahan makanan
secara in vitro menggunakan cairan rumen, saliva buatan, dan bahan pakan yang
dicampur ke dalam tabung pencerna. Keasaman dipertahankan pada pH 6,7 – 6.9.
Selain itu, untuk menciptakan kondisi anaerob ditambahkan gas CO2 dan
difermentasikan selama 24 jam pada suhu 390C.
15
MATERI DAN METODE
Lokasi dan Waktu
Penelitian ini berlangsung selama 2 bulan sejak Desember 2011-Februari
2012. Analisa proksimat pakan dilakukan di Laboratorium PAU (Pusat Antar
Universitas) IPB. Pembuatan Cr organik dan Co organik serta analisa konsentrasi
NH3, VFA, dan kecernaan pakan dilakukan di Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak
Perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor.
Materi
Metode in vitro menggunakan larutan Mc. Dougall, gas CO2, dan cairan
rumen segar. Cairan rumen yang digunakan berasal dari rumah pemotongan hewan
Bubulak, Bogor. Ransum basal yang digunakan terdiri dari rumput gajah, jagung,
onggok, dedak halus, dan urea. Kedelai tanpa kulit yang direbus, CrCl3 , CoCl2,
dan kapang Rhizopus sp. digunakan dalam pembuatan Cr organik dan Co organik.
Peralatan yang digunakan berupa pisau, tampah, plastik, lilin, korek api, rak
bambu, oven 600C, hammer mill, timbangan 5 kg, separangkat alat analisa in vitro
yang terdiri dari tabung fermentor, tutup karet, shaker water bath, pipet mohr, bulp,
labu erlenmeyer, sentrifuse, vortex mixer, pipet tetes, tabung reaksi, botol film,
freezzer, cawan Conway, mikro pipet, buret, statip, stirrer, serangkaian alat VFA,
cawan porselen, kertas saring Whattman, alat penyaring, oven 1050C, tanur,
eksikator, neraca, dan gegep.
Prosedur
Persiapan pembuatan kromium organik
Sebanyak 2 kg kacang kedelai direbus hingga lunak, dikupas dan kemudian
dicampurkan dengan 4 g ragi tempe (Rhizopus sp.). Bahan tersebut kemudian
ditambah 50 ml larutan CrCl2 hingga bahan kering campuran mengandung 3000 ppm
Cr. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam kantong plastik yang telah
dilubangi permukaannya dan lalu difermentasi selama 9 hari. Hasil fermentasi
tersebut dipotong-potong kecil dan dikeringkan dalam oven 600C, kemudian digiling
menggunakan hummer mill dan disimpan dalam kemasan plastik serta diletakkan
pada ruangan yang tidak lembab.
16
Persiapan pembuatan kobalt organik
Sebanyak 2 kg kacang kedelai yang telahdirebus hingga lunak, dikupas dan
dicampurkan dengan 4 g ragi tempe (Rhizopus sp.). Bahan tersebut kemudian
ditambah 50 larutan CoCl3 hingga kadar Cr dalam bahan kering bahan mencapai
3000 ppm. Kemudian campuran tersebut dimasukkan ke dalam plastik yang telah
dilubangi permukaannya dan difermentasi selama 9 hari. Hasil fermentasi tersebut
dipotong-potong kecil, dikeringkan dalam oven 600C, kemudian digiling
menggunakan hummer mill dan disimpan dalam kemasan plastik serta diletakkan
pada ruangan yang tidak lembab.
Pembuatan ransum basal
Bahan pakan ransum basal yang digunakan terdiri dari rumput gajah, jagung,
onggok, dedak halus, dan urea. Rumput gajah yang digunakan dikeringkan terlebih
dahulu dan digiling. Masing-masing bahan yang dicampurkan dalam keadaan
kering dan telah digiling halus. Bahan yang dicampurkan pertama kali adalah urea
dengan dedak halus, kemudian dilanjutkan dengan onggok dan jagung, dan yang
terakhir dicampurkan dengan rumput gajah hingga semua tercampur merata.
Pengambilan cairan rumen
Cairan rumen diambil dari rumah pemotongan hewan Bubulak, Bogor. Cairan
rumen dibawa menggunakan termos yang sebelumnya diisi dengan air panas hingga
mencapai suhu 39°C. Air di dalam termos tidak boleh dibuang hingga cairan rumen
didapatkan sehingga suhu cairan rumen dapat dipertahankan pada 39oC. Dinding
rumen dari sapi yang telah dipotong dirobek dengan pisau kemudian isi rumen
diambil dan dimasukkan ke dalam termos yang baru saja dikeluarkan air panasnya.
Isi rumen diperas dengan menggunakan kain kasa dan dimasukkan ke dalam tabung
fermentor yang telah dikondisikan suhunya sekitar 39oC kemudian dialiri CO2.
Teknik In Vitro
Metode ini diawali dengan pencernaan fermentatif. Sampel ransum sebanyak
0,5 g dimasukkan ke dalam tabung fermentor kemudian ditambahkan 40 ml larutan
McDougall dan dimasukkan dalam shaker bath dengan suhu 39oC. Setelah itu cairan
rumen dimasukkan sebanyak 10 ml, tabung dikocok dengan dialiri gas CO2 selama
30 detik dan tabung fermentor ditutup. Pengambilan sampel supernatan hasil
17
pencernaan fermentatif dilakukan pada jam ke-1, ke-3, ke-5, ke-7, ke-24, dan ke-48.
Pada saat akhir fermentasi tersebut, tutup karet tabung fermentor dibuka, diteteskan
2-3 tetes HgCl2 untuk membunuh mikroba. Tabung fermentor dimasukkan ke dalam
sentrifuge untuk sentrifuge selama 10 menit. Substrat terpisah menjadi endapan di
bagian bawah dan supernatan yang bening berada di bagian atas. Supernatan diambil
untuk analisa kadar NH3 dan VFA. Supernatan dimasukkan ke botol film, apabila
tidak dilakukan analisis segera, sampel disimpan di freezer.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini menggunakan 4 perlakuan dan 6 waktu fermentasi. Perlakuan
ransum tersebut adalah P1 (ransum basal+Cr organik 3 ppm), P2 (ransum basal+Cr
inorganik 3 ppm), P3 (ransum basal+Co organik 3 ppm), dan P4 (ransum basal+Co
inorganik 3 ppm). Waktu fermentasi adalah 1, 3, 5, 7, 24 dan 48 untuk analisa
konsentrasi NH3 dan VFA, sedangkan analisa kecernaan bahan kering (KCBK) dan
kecernaan bahan organik (KCBO) dilakukan fermentasi hingga 48 jam. Data yang
diperoleh dianalisis dengan uji deskriptif.
Perlakuan
Ransum basal yang digunakan pada penelitian ini disusun atas 30% hijauan
dalam bentuk kering dan 70% bahan penyusun konsentrat. Proporsi komponen
ransum dan kandungan nutrien ransum dapat dilihat pada Tabel 1. Perlakuan dalam
kajian ini adalah penambahan Cr organik, Cr inorganik, Co organik dan Co
inorganik. Ransum perlakuan tersebut adalah:
P1 = ransum basal + Kromium organik 3 ppm
P2 = ransum basal + Kromium inorganik (CrCl3) 3 ppm
P3 = ransum basal + Kobalt organik 3 ppm
P4 = ransum basal + Kobalt inorganik (CoCl2) 3 ppm
18
Tabel 1. Kandungan Nutrien Ransum Basal yang Digunakan Sebagai Media
Fermentasi In vitro
Bahan Ransum Penggunaan
(% BK)
Nutrien Komposisi
(%BK)
Rumput gajah 30 Bahan kering 87,57
Jagung 29 Abu 8,53
Onggok 26 Protein kasar 14,81
Dedak halus 12 Lemak kasar 2,40
Urea 3 Serat kasar 17,64
Beta- N 56,62
TDN 70,02
Keterangan : ransum tanpa menggunakan urea mengandung 7,79 % protein kasar.
Peubah yang Diamati
Konsentrasi NH3 (Conway Micro Difussion Methode)
Pengukuran NH3 menggunakan cawan Conway. Bibir cawan Conway dan
tutup diolesi dengan vaselin, supernatan yang berasal dari proses fermentasi di ambil
1,0 ml kemudian ditempatkan pada salah satu ujung alur cawan Conway. Larutan
Na2CO3 jenuh sebanyak 1,0 ml di tempatkan pada salah satu ujung cawan Conway
bersebelahan dengan supernatan (tidak boleh campur). Larutan asam borat
berindikator sebanyak 1,0 ml di tempatkan dalam cawan kecil yang terletak di tengah
cawan Conway. Cawan Conway yang sudah di olesi vaselin di tutup rapat hingga
kedap udara, larutan Na2CO3 dicampur dengan supernatan hingga merata dengan
cara menggoyang-goyangkan dan memiringkan cawan tersebut. Setelah itu dibiarkan
selama 24 jam dalam suhu kamar. Setelah 24 jam tutup cawan dibuka, asam borat
berindikator dititrasi dengan H2SO4 0,005 N sampai terjadi perubahan warna dari
biru menjadi merah. Hasil titrasi dihitung dengan menggunakan rumus.
mM NH3 = ml H2SO4 x N H2SO4 x 1000
g sampel x Bksampel
Konsentrasi VFA (Steam Destilation Methode)
Pengukuran VFA dilakukan menggunakan presscooker. Presscooker diisi
dengan aquadest. Kemudian pastikan air dari kran mengalir yang berfungsi sebagai
pendingin. Kompor gas dinyalakan, sehingga aquadest yang ada dalam presscooker
19
mendidih dan menghasilkan uap yang akan masuk ke tabung destilasi. Saat
terbentuk uap air maka analisis VFA bisa dimulai. Supernatan yang sama dengan
analisa NH3 diambil sebanyak 5 ml, kemudian dimasukan ke dalam tabung destilasi,
Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0.5 N ditempatkan di bawah selang
penampungan. Sebanyak 1 ml H2SO4 15% dimasukkan ke dalam tabung destilasi
yang sebelumnya diisi larutan sampel, kemudian segera penutup kacanya ditutup.
Uap air panas akan mendesak VFA dan akan terkondensasi dalam pendingin. Air
yang terbentuk ditampung dengan labu Erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5N
sampai mencapai 300 ml. Phenolphtalein ditambahkan sebanyak 2-3 tetes dan
destilat dititrasi dengan HCl 0,5N sampai warna titrat berubah dari merah menjadi
berubah menjadi merah muda. Produksi VFA total dihitung menggunakan rumus.
mM VFA = (a-b)ml x N HCl x 1000/5ml
g sampel x BK sampel
Keterangan: a = volume titran blangko; b = volume titran contoh.
Kecernaan Bahan Kering dan Organik
Pada akhir fermentasi selama 48 jam dalam kondisi anaerob, tabung
disentrifuse pada kecepatan 4000 rpm selama 15 menit dan supernatan dibuang.
Endapan hasil sentrifuge selama 15 menit yang selanjutnya endapat ditambah 50 ml
larutan pepsin-HCl 0,2%. Campuran tersebut lalu diinkubasi kembali selama 48 jam
tanpa tutup karet. Pada akhir inkubasi seluruh isi tabung disaring dengan kertas
saring Whatman no 41 (yang sudah diketahui bobotnya) dengan bantuan pompa
vacum. Endapan yang tersaring kertas saring dimasukkan ke dalam cawan porselen,
setelah itu dimasukkan ke dalam oven 105⁰C selama 24 jam. Setelah 24 jam, cawan
porselen+kertas saring+residu dikeluarkan, dimasukkan ke dalam eksikator dan
ditimbang untuk mengetahui kadar bahan keringnya. Selanjutnya bahan dalam
cawan dipijarkan atau diabukan dalam tanur listrik selama 6 jam pada suhu 450 –
600oC, kemudian ditimbang untuk mengetahui kadar bahan organiknya. Sebagai
blanko, dipakai residu isi tabung asal fermentasi tanpa sampel.
%KCBK = BK sampel (g) – ((BK residu (g) – BK blanko (g))
x 100% BK sampel
%KCBO = BO sampel (g) - ((BO residu (g) – BO blanko (g))
x 100% BO sampel
20
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pola Perubahan Konsetrasi N-NH3
Fermentasi pakan di dalam rumen ternak ruminansia melibatkan aktifitas
mikroba rumen. Aktifitas fermentasi tersebut meliputi hidrolisis komponen bahan
organik dan menghasilkan VFA (vollatile fatty acid), N-NH3 (amonia), dan gas.
Nilai VFA dan N-NH3 filtrat hasil fermentasi yang mengambarkan karakteristik pola
fermentasi bahan ditunjukkan pada Tabel 2.
Tabel 2. Rataan konsentrasi VFA dan N-NH3 pada Media Fermentasi Pakan dengan
Perlakuan Berbeda (In vitro)
Perlakuan mM-VFA mM N-NH3
P1 135,36 ± 26,57 14,40 ± 6,02
P2 91,20 ± 27,02 16,39 ± 7,21
P3 80,40 ± 39,88 15,92 ± 5,58
P4 103,96 ± 28,65 18,06 ± 7,46
Keterangan: P1= ransum basal + cr organik 3ppm, P2 = ransum basal + cr inorganik 3 ppm, P3 =
ransum basal + co organik 3 ppm, P4 = ransum basal + co inorganik 3 ppm
Amonia (N-NH3) merupakan sumber nitrogen utama yang digunakan untuk
sintesis protein mikroba (Sakinah, 2005). Urea tidak dapat menggantikan protein
pakan, urea hanya mampu mensuplai nitrogen untuk sintesis asam amino komponen
molekul protein. Selama pembentukan protein, mikroba disamping memerlukan
sumber nitrogen juga memerlukan komponen lain seperti kerangka karbon dan
hidrogen yang berasal dari karbohidrat mudah terfermentasi (Sutardi 1977).
Sehubungan dengan hal tersebut Suryadi (1993) menyatakan bahwa ada beberapa
persyaratan yang harus dipenuhi dalam penggunaan urea dengan ukuran tinggi untuk
memperoleh utilisasi yang optimum yaitu ketersediaan energi yang cukup dan mudah
tersedia serta perlunya unsur mikro yang cukup. Pola perubahan konsentrasi N-NH3
dalam media fermentasi pakan dengan perlakuan berbeda dengan lama fermentasi 1
jam sampai dengan 48 jam ditunjukkan dalam Gambar 5.
21
0
5
10
15
20
25
30
35
1 3 5 7 24 48
Ko
nse
ntr
asi
N-N
H3
(mM
)
Waktu pengamatan (jam)
P1
P2
P3
P4
Gambar 5. Konsentrasi N-NH3 pada media fermentasi pakan dengan perlakuan
berbeda dengan lama fermentasi 1 sampai 48 jam.
Selama proses inkorporasi NH3 (amonia) ke dalam tubuh mikroba yang akan
digunakan sebagai komponen protein tubuhnya membutuhkan energi, sehingga
apabila mikroba rumen kekurangan energi maka daya menyerap amonia menjadi
terbatas dan berakibat kepada terakumulasinya N-NH3 pada cairan rumen
(Jayanegara et al., 2006). Menurut Arora (1995) sumber energi yang mudah
digunakan oleh mikroba rumen berasal dari gula terlarut (monosakarida) yang
terlarut dalam cairan rumen. Semakin tinggi penggunaan karbohidrat mudah
terfermentasi (readily available carbohydrate/RAC) akan mengurangi konsentrasi
amonia dalam media karena untuk pertumbuhannya mikroba menggunakan amonia
(Laconi, 1998).
Gambar 5 menunjukkan bahwa konsentrasi N-NH3 mengalami fluktuasi
selama periode pengamatan selama 48 jam. Puncak produksi maksimal N-NH3 pada
rumen terjadi pada jam ke-2 dan 4 setelah pemberian pakan berlangsung (Wohlt et
al., 1976). Produksi maksimal N-NH3 pada semua perlakuan terjadi pada jam
pengamatan ke-5. Hal ini menunjukkan bahwa mineral Cr dan Co baik dalam bentuk
organik maupun inorganik kurang berperan dalam meningkatkan laju degradasi N-
NH3 yang berasal dari pakan dan penggunaan N-NH3 dalam mensintesis protein
mikroba. Walaupun tidak diberi pakan sumber protein murni, fermentasi bahan
pakan mampu mempertahankan nilai konsentrasi N-NH3 pada cairan rumen, kecuali
pada perlakuan P2 dan P4 sehingga hal ini berarti bahwa penambahan mineral Cr
ataupun Co dalam bentuk inorganik tidak memiliki keefektifan yang baik dalam
22
menekan konsentrasi N-NH3. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa degradasi
protein lebih cepat daripada sintesis protein mikroba (McDonald et.al., 2002).
Namun hal ini berarti bahwa Cr organik dan Co organik mampu meningkatkan
penggunaan NH3 oleh mikroba rumen untuk disintesis menjadi asam amino dan
diinkorporasikan ke dalam protein mikroba.
Pada pengamatan konsentrasi N-NH3 (Tabel 2) diperoleh infomasi bahwa
tidak terjadi perbedaan konsentrasi N-NH3 pada perlakuan yang diberikan baik
penambahan mineral organik maupun inorganik. Berdasarkan Tabel 2 dapat
dinyatakan bahwa produksi N-NH3 yang dihasilkan masih dalam kisaran normal
dengan nilai 14-18 mM walaupun tidak diberi pakan sumber protein murni. Menurut
Wohlt et al. (1976) konsentrasi optimum N-NH3 dalam rumen memiliki nilai kisaran
antara 6-21 mM. Kadar N-NH3 dalam kajian ini menunjukkan bahwa urea diduga
sebagai penyumbang N-NH3 terbesar dalam media cairan rumen selain N-NH3 yang
berasal dari pakan yang digunakan. Berdasarkan Tabel 2, dapat diperoleh informasi
bahwa pada kondisi tersebut penambahan Cr ataupun Co dalam pakan masih efektif
untuk menstimulasi penggunaan N-NH3 guna proses sintesis protein mikroba hingga
kadar urea ransum hingga 3 %. Kondisi seperti ini menyatakan bahwa produksi dan
konsentrasi N-NH3 tidak dipengaruhi oleh keberadaan mineral Cr atau Co baik dalam
bentuk organik maupun inorganik. Menurut Laconi (1998) faktor yang
mempengaruhi konsentrasi N-NH3 adalah karbohidrat dalam pakan.
Pola Perubahan Konsentrsi VFA (Volatille Fatty Acid)
VFA (volatille fatty acid) merupakan sumber energi yang berasal dari proses
pencernaan fermentatif karbohidrat dalam rumen ternak ruminansia. Hasil
pencernaan karbohidrat dalam rumen adalah VFA yang terdiri dari asam asetat, asam
propionat, asam butirat, asam valerat, asam isobutirat, asam 2-metil butirat, dan asam
iso-valerat (Forbes dan Frances,1993). Produksi VFA di dalam cairan rumen dapat
digunakan sebagai tolak ukur fermentabilitas pakan (Hartati,1998) dan aktivitas
mikroba serta mencirikan banyaknya produksi VFA (Church, 1979). Hasil
pengukuran konsentrasi VFA pada periode pengamatan 1 hingga 48 jam setelah
fermentasi ditunjukkan pada Gambar 6.
23
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
1 3 5 7 24 48
Ko
nse
ntr
asi
VF
A (
mM
)
Waktu pengamatan (jam)
P1
P2
P3
P4
Gambar 6. Konsentrasi VFA pada media fermentasi pakan dengan perlakuan
berbeda dengan lama fermentasi 1 sampai 48 jam.
Berdasarkan Gambar 6 dan Tabel 1 diperoleh informasi bahwa pada
pengamatan rataan konsentrasi VFA dapat dinyatakan setiap perlakuan memberikan
pengaruh yang cukup berbeda. Berdasarkan Tabel 2, diperoleh informasi bahwa P1
memiliki konsentrasi VFA yang cenderung lebih baik dibandingkan perlakuan
lainnya yaitu sebesar 135,36 + 26,57 mM. Ransum P1 merupakan perlakuan pakan
yang ditambahkan dengan Cr organik sebesar 3 ppm. Tinginya nilai VFA pada
perlakuan tersebut diperkirakan disebabkan karena adanya suplementasi unsur Cr
yang merupakan mineral essensial bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006).
Menurut Burton (1995) unsur Cr akan membentuk senyawa GTF (glucose tolerance
factor) jika Cr berikatan dengan 2 asam nikotinat dan 3 asam amino yang terkandung
dalam glutation (glutamat, glisin, dan sistein). GTF berperan dalam peningkatan
asupan glukosa ke dalam sel mikroba yang akan mempengaruhi aktifitasnya,
sehingga diduga bahwa semakin tinggi asupan glukosa oleh bakteri maka akan
meningkatkan aktifitasnya juga begitupun sebaliknya semakin rendah asupan
glukosa maka semakin rendah pula aktifitas dari mikroba rumen.
Kondisi tersebut berkaitan dengan perlakuan P2 yang memberikan hasil lebih
rendah dari P1 yaitu sebesar 91,20 + 27,02 mM. Perlakuan P2 merupakan pakan
dengan suplementasi Cr anorganik ke dalam pakan. Komponen Cr anorganik yang
diberikan dalam bentuk senyawa CrCl3, menurut Cefalu dan Hu (2004) Cr dalam
bentuk trivalen (Cr3+
) merupakan kromium anorganik yang tidak beracun namun
sulit diserap, oleh karena itu aktifitas mikroba dalam cairan rumen akan menurun
24
karena sifat dari mineral anorganik yang sulit diserap dibandingkan dengan mineral
organik.
Kobalt merupakan salah satu mineral esensial bagi ruminansia, yaitu sebagai
kofaktor dalam sintesis vitamin B12 oleh mikroba rumen. Vitamin B12 memiliki dua
fungsi yang berbeda , yaitu methycobalamin digunakan oleh enzim methionin syntase
untuk mengubah homosistein menjadi metionin sedangkan 5-
deoxyadenosylcobalamin digunakan oleh enzim methymalonyl-CoA mutase dalam
konversi methylmalonyl-CoA menjadi succinyl-CoA (Norris,2002). Succinyl-CoA
adalah suatu intermediet produksi asam propionat (Hobson dan Stewart, 1997).
Perlakuan P3 memberikan hasil konsentrasi VFA paling rendah yaitu sebesar 80,40 +
39,88 mM. Perlakuan P3 merupakan perlakuan penambahan mineral Co organik ke
dalam pakan dan Co organik yang digunakan mengandung Rhizopus sp. Menurut
Darana (1995) Rhizopus sp. dapat menghasilkan senyawa antibakteri yang dapat
menghambat beberapa jenis bakteri rumen. Selanjutnya Jayanegara et al. (2006)
menyatakan bahwa Rhizopus sp. memiliki zat antagonistik terhadap bakteri yang
menyebabkan adanya hambatan dalam penyerapan monosakrida oleh bakteri rumen,
penghambatan tersebut kemungkinan terjadi pada bakteri pensintesis vitamin B12.
Pada perlakuan P4 yaitu penambahan mineral Co anorganik dalam bentuk senyawa
CoCl memberikan hasil yang lebih baik dari P3 yaitu sebesar 103,96 + 28,65 mM hal
ini disebabkan karena Co dalam bentuk anorganik tidak mengandung senyawa yang
dihasilkan oleh Rhizopus sp. yang dapat menghambat aktifitas mikroba rumen seperti
pada mineral Co organik.
Perlakuan P1 dan P3 memiliki kesamaan perlakuan yang diberikan yaitu
penambahan mineral mikro dalam bentuk organik, namun terdapat perbedaan
diantara keduanya hal tersebut karena penambahan Cr dapat membentuk GTF yang
diduga mampu membantu meningkatkan penyerapan energi oleh mikroba untuk
menjalankan aktivitasnya walaupun terdapat zat antagonistik yang dihasilkan oleh
Rhizopus sp. Sebaliknya penambahan Co organik tidak dapat menghasilkan
senyawa yang mampu menyeimbangkan zat antagonistik yang dihasilkan oleh
Rhizopus sp. sehingga terjadi penghambatan penyerapan monosakarida atau gula
terlarut pada cairan rumen yang nantinya akan digunakan oleh mikroba rumen untuk
aktivitasnya. Oleh karena itu perlakuan penambahan mineral Cr organik
25
menghasilkan konsentrasi VFA total lebih besar daripada Co organik, walaupun
keduanya merupakan senyawa organik.
Kecernaan Bahan Kering dan Organik
Kecernaan pakan menunjukkan bagian pakan yang terserap dan dinyatakan
dalam persentase (McDonald et al., 2002). Kecernaan melalui metode in vitro
dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu pencampuran pakan, cairan rumen dan
inokulan, pH kondisi fermentasi, pengaturan suhu fermentasi, lamanya waktu
inkubasi, ukuran partikel sampel dan buffer (Selly, 1994). Kecernaan biasanya
diukur dalam dua bentuk yaitu kecernaan bahan kering (KCBK) dan kecernaan
bahan organik (KCBO). Nilai koefisien cerna bahan kering (KCBK) dan bahan
organik (KCBO) ditunjukkan pada Tabel 3.
Tabel 3. Nilai Koefisien Cerna Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO)
Ransum yang Disuplementasi Cr dan Co
Perlakuan KCBK (%) KCBO (%)
P1 73,00 ± 2,10 75,29 ± 2,19
P2 65,29 ± 2,72 67,40 ± 3,65
P3 66,24 ± 1,85 69,98 ± 2,67
P4 68,40 ± 0,93 70,19 ± 1,04
Keterangan : P1= ransum basal + Cr organik 3 ppm, P2 = ransum basal + Cr inorganik 3ppm, P3 =
ransum basal + Co organik 3 ppm, P4 = ransum basal + Co inorganik 3 ppm.
Terdapat variasi koefisien cerna bahan kering dan bahan organik pada setiap
perlakuan yang diberikan. Berdasarkan data yang ditunjukkan pada Tabel 3 koefisien
cerna bahan kering dan bahan organik pada P1 menunjukkan nilai yang paling tinggi
dibandingkan pada perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena terdapatnya struktur
GTF yang dapat meningkatkan aktivitas mikroba dalam mendegradasi pakan.
Perlakuan P2, P3 , dan P4 mempunyai nilai KCBK dan KCBO yang tidak terlalu
jauh antara setiap perlakuan tersebut.
Pada Tabel 3 diperoleh informasi bahwa tinggi rendahnya nilai KCBK akan
mempengaruhi nilai KCBO, artinya jika terjadi kenaikan nilai pada KCBK pada
perlakuan tersebut makan akan diikuti kenaikan nilai KCBO pula. Menurut Tilley
dan Terry (1963) tinggi rendahnya nilai KCBK akan mempengaruhi tinggi
rendahnya KCBO pakan selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan
26
bahan kering dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mempengaruhi kecernaan bahan
organik karena sebagian besar komponen penyusun bahan kering terdiri atas bahan
organik.
Sutardi (1980) menyatakan bahwa kecernaan pakan diatas nilai 60%
merupakan nilai kecernaan pakan yang tinggi. Data pada Tabel 3 menunjukkan hasil
bahwa pakan yang digunakan pada perlakuan memiliki kecernaan yang tinggi
dimana hasilnya menunjukkan nilai diatas 60%. Hal ini diduga karena adanya
bantuan kemampuan peningkatan fermentasi pakan oleh kapang Rhizopus sp.
terutama pada perlakuan P1 dan P3. Tingginya nilai KCBK dan KCBO pada
perlakuan P1 konsisten dengan tingginya kadar konsentrasi VFA yang dihasilkan dan
rendahnya kadar konsentrasi N-NH3 cairan media fermentasi. Hal tersebut
membuktikan bahwa penambahan Cr organik yang dibuat melalui fermentasi kedelai
dengan Rhizopus sp. dalam pakan, bermanfaat dalam meningkatkan fermentasi pakan
dalam rumen.
27
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Suplementasi mineral Cr atau Co dalam bentuk organik ataupun inorganik
memberikan pengaruh berbeda terhadap pola fermentasi bahan pakan dalam rumen.
Penambahan Cr dalam bentuk organik pada pakan memberikan pengaruh paling baik
terhadap kecernaan bahan kering ransum karena Cr organik mendukung peningkatan
produksi VFA dan penggunaan N-NH3 dibandingkan dengan penambahan Cr
inorganik, Co organik, dan Co inorganik.
Saran
Perlunya dilakukan penelitian lebih lanjut tentang penggunaan Cr organik
atau inorganik secara in vivo pada ruminansia terkait pengaruhnya terhadap utilisasi
nitrogen termasuk taraf penggunaan mineral Cr dan Co.
28
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT sehingga penulis mampu
menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi berjudul “Karakteristik Fermentasi
In Vitro Ransum Mengandung 50% Protein Asal Urea Yang Disuplementasi
Kromium Atau Kobalt ”.
Penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat,
MAgrSc. selaku pembimbing utama skripsi dan Dr. Ir. Heri Ahmad Sukria, MSc.
selaku pembimbing anggota dan pembimbing akademik atas bimbingannya,
motivasi, dan ilmu-ilmu serta nasehat yang diberikan sejak perencanaan hingga
terselesaikannya skripsi ini. Terima kasih kepada Ir. Lilis Khotijah. MSi selaku
dosen penguji seminar, kepada Dr.Ir. Idat Galih Permana, M.Agr.Sc dan Dr. Rudi
Priyanto selaku doseen penguji sidang. Penulis mengucapkan terimakasih kepada
Ibu Dian Anggraini atas kerja samanya di laboratorium dan bantuannya selama
penelitian berlangsung.
Ucapan terimakasih dan rasa cinta yang sangat ingin disampaikan kepada
kedua orangtua penulis Bapak Widodo Supardi, B.Sc dan Ibu Septrida Maria, BBA
atas motivasi, pelajaran, doa dan rasa cinta yang tiada henti. Teruntuk sahabat-
sahabatku tersayang Altami Nurmila, Annita Aviantri, Ira Dewiyana, Liza Aziza dan
Putri Hidayah yang selalu menemani hari-hari dengan penuh keceriaan dan berbagi
pengalaman hidup. Terimakasih disampaikan kepada teman-teman seperjuanganku
GENETIC 45 yang telah memberikan warna dan arti, serta pengalaman-pengalaman
baru yang tidak akan terlupakan dalam menjalani kehidupan sebagai mahasiswa,
serta teman-teman kost Cempaka 20 juga kepada R. Danny Sussetyo Wijaya sebagai
teman terbaik yang banyak memberikan motivasi dan perhatian serta sebagai teman
berbagi pengalaman hidup serta pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu
persatu.
29
DAFTAR PUSTAKA
Adawiah, T. Sutardi, T. Toharmat, W. Manalu, Nahrowi, & U.H. Tanuwiria. 2006
.Suplementasi sabun mineral dan mineral organik serta kacang kedelai
sangrai pada domba. J. Media Peternakan 29 (1): 27-34.
Arifin, Z. 2008. Beberapa unsur mineral esensial mikro dalam sistem biologi dan
metode analisisnya. J. Litbang Pertanian 27 (3): 99-105.
Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan: R. Murwani.
Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.
Arora, S. P. 1995. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Edisi ke-2. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Astuti, D. A., B. Sastradipradja, Kiranadi, & E. Budiarti. 1993. Pengaruh perlakuan
jerami jagung dengan asam asetat terhadap metabolisme in vitro dan in vivo
pada kambing laktasi. Laporan Penelitian. Fakultas Kedokteran Hewan.
Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Astuti, W. D. 2005. Produksi kromium organik dari fungi serta peranannya bagi
aktivitas fermentasi rumen. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian
Bogor.
Astuti, W. D., T. Sutardi, D. Evvyernie, & T. Toharmat. 2006. Inkorporasi kromium
pada khamir dan kapang dengan substrat dasar singkong yang diberi
kromium anorganik. J. Media Peternakan 29 (2): 83-88.
Bailey, J. D., R. P. Ansotegui, J. A. Paterson, C. K. Swenson, & A. B. Johnson.
2001. Effects of supplementing combination of inorganic and complexes
copper on performance and liver mineral status of beef heifers consuming
antagonist. J. Anim. Sci. 79: 2926-2934.
Bestari, J. 2007. Suplementasi kromium pikolinat murni dalam ransum sapi perah
dara yang dipelihara di dataran rendah. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor.
Burton, J. L. 1995. Suplementasi chromium and its benefits to the bovine immune
system. J. Animal Feed Science Technology. 53: 117-133.
Cefalu, W. T. & F. B. Hu. 2004. Role of chromium human health and in diabetes. J.
Diabets Care (11): 2741-2751.
Chalupa, W. 1968. Problems in feeding urea to ruminants. J. Animal Science. 27:
207-219.
Chase, C. R., D. K. Beede, H. H. Van Horn, J. K. Shearer, C. J. Wilson & G. A.
Donovan. 2000. Responses of lactating dairy cows to copper source,
supplementing rate, and dietary antagonist (iron). J. Dairy Science (83):
1845-1852.
Church, D. C. 1974. Digestive Phisiology and Nutrition of Ruminants. Second
Edition. John Willey and Sons. Inc, New York.
Damron, W. S. 2006. Introduction to Animal Science. Prentice Hall, Ohio.
30
Darana, S. 1995. Penggunaan Sorghum bicolor L.Moench yang difermentasi dengan
kapang Rhizopus oligosporus dalam ransum ayam broiler. Disertasi. Program
Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Enseminger, M. E & C. G. Olentine. 1978. Feeds and Nutrient Complete. First
Edition. The Enseminger Publishing Company, California.
Fardiaz, S. 1989. Fisiologi Fermentasi. Pusat Antar Universitas. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Forbez, J.M. & J. France. 1993. Quantitive Aspect of Ruminant Digestion and
Metabolis. CAB International, London.
Goedeken, F.K., T.J. Klopfenstein, T.A. Stock, & R.A Britton. 1990. Hydrolized
feather meal as a protein sources for growing calves. J. Animal Science. 68:
2945.
Groff, J.L. & S.S. Grooper. 2000. Advanced Nutrition and Human Metabolism.
Third Edition. Wadsworth Thomson Learning, Belmont CA.
Hartati, E. 1998. Suplementasi minyak lemuru dan seng ke dalam ransum yang
mengandung silase pod kakao dan urea untuk memacu pertumbuhan sapi
Holstein jantan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Hobson, P.N & C.S. Stewart. 1997. The Rumen Microbial Ecosystem. Blackie
Academic & Professional, London.
Jayanegara, A., A. S Tjakradidjaja, & T. Sutardi. 2006 .Fermentabilitas dan
kecernaan in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi kromium
anorganik dan organik. J. Media Peternakan 29 (2): 54-62.
Johnson, R. R. 1966. Technique and procedures for in vitro and in vivo rumen
studies. J. Animal Science. 25: 855-875.
Kennedy, D. G., W. J. Balnchflower., J.M. Scott., D. G. Weir., Molloy., Kennedy S.,
& P. B. Young. 1992. Cobalt-vitamin B12 deficiency decreases methionine
synthase activity and phospofolipid methylation in sheep. J. Nutrition. 122:
1384-1390.
Laconi, E.B. 1998. Peningkatan mutu pod kakao melalui amoniasi dengan urea dan
biofermentasi dengan Phanerochaete chrysosporium serta penjabarannya ke
dalam formulasi ransum ruminansia. Disertasi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Lindemann, M. D. 1996. Organic Chromium-The Missing Link in Farm Animal
Nutrition. In Proceedings of the 12th
Annual-Symphosium on Biotechnology
in the Feed Industry, Nottingham University Press.
Linder M.C. 1992. Nutrisi dan Metabolisme Mikromineral dalam : Biokimia Nutrisi
dan Metabolisme dengan Pemakaian secara Klinis. Cetakan Pertama. Penerbit
Universitas Indonesia Press.
Londok, J.J.M.R. 1998. Suplementasi kromium organik dan alpha-Amilase serta
lipase ke dalam ransum ayam petelur yang mengandung kepala udang dan
minyak ikan lemuru. Tesis. Program Pacasarjana. Institut Pertanian Bogor.
31
Lyons. 1993. Protected Animals : An expensive luxury or a cost effective necessity.
Didalam : Biotechnology “ The Use of Scientifically Proven Natural Products
to Increase Practical Value”. Proceedings Asia Pacific Lecture of Altech.
August 16-26. P: 23-33.
Marston H.R & Smith R.M. 1950. Control of cobalt deficiency in sheep by injection
of vitamin B12. Nature 170:792-793.
McDonald, P., R. A. Edwards & J.F.D. Greenhalgh. 1998. Animal Nutrition. John
Willey and Sons Inc., New York.
McDonald, P., R. A. Edwards, J.F.D. Greenhalgh & C.A. Morgan. 2002. Animal
Nutrition. 6th
Ed. Prentice Hall, London.
McDowel, L. R. 1992. Minerals in Animal and Human Nutrition. Academic Press,
London.
Mooney, K. W & G. L. Cromwell. 1995. Effects of dietary chromium picolinate
supplementation on growth, carcass characteristic, and acretion rates of
carcass tissues in growing-finishing swine. J. Animal Science (73) : 3351-
3357.
Muktiani, A & B .I. M. Tampubolon. 2001. Produksi mineral organik berbasis
metabolik promotor sintesis susu sebagai upaya revitalisasiusaha peternakan
sapi perah. Laporan Akhir Penelitian. Fakultas Peternakan. Universitas
Diponegoro, Semarang.
[NRC] National Research Council. 2001. Nutrient Requirements of Dairy Cattle.7th
Ed.National Academic Press,Washington D.C.
Norris, J. 2002. Vit. B12: Are you getting it?.
http://www.purachlorella.com.brl/doc/.B122002.pdf. [1 Mei 2012].
Olin, K. L., D. M. Starnes, W. H. Armstrong, & C. L. Kearn. 1994. Comparative
Retention/Absorption of 51Cr from 51Cr Chloride, 51Cr Nicitinate, and 51 Cr
Picolinate in a rat model. J. Trace elements in medicine (11) : 182-191.
Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. UI-Press.
Universitas Indonesia, Jakarta.
Pelchzar, M. J., E. C. S. Chan & N. R. Krieg. 1986. Microbiology. Fifth Edition.
McGraw-Hill Book Co., Singapore.
Piliang, W.G. & D.A.H. Soewondo. 2006. Fisiologi Nutrisi Volume II. Edisi Revisi ;
Januari 2006. IPB Press, Bogor.
Puls, J & K. Poutanen. 1989. Mechanism of Enzymic Hidrolysis of Hemicelulloses
(Xylan) and Dures for Determination of The Enzyme Activities Involved.
BFH Institut of Chemistry Leuschnerstr, Hamburg.
Sakinah, D. 2005. Kajian suplementasi probiotik bermineral terhadap vfa, nh3, dan
kecernaan zat makanan pada domba. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut
Pertanian Bogor.
32
Schell, T. C & E. T. Kornegay. 1996. Zinc concentration in tissues and performance
of weanling pigs fed pharmalogical levels of Zinc from ZnO, Zn-
methionine, Zn-Lysine, or ZnW. J. Animal Science 74 (7) : 1584-1593.
Schlegel. H.G., 1994. Mikrobiologi Umum, Terjemahan : R. M. Tedjo Bangkoro.
Gadja Mada University Press, Yogyakarta.
Setiyarto, C. 2011. Peningkatan kadar protein kasar ampas kulit nanas melalui
fermentasi media padat. Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut
Pertanian Bogor, Bogor.
Selly. 1994. Peningkatan kualitas pakan serat bermutu rendah dan amoniasi dan
inokulan digesta rumen, Skripsi. Fakultas Peternakan. Institu Pertanian
Bogor, Bogor.
Shurtleff, W & Ayogi. 1979. The Book of Tempe: A Super Soy Food from
Indonesia. Harper and Row, New York.
Simanjuntak, M.C. 2004. Karakteristik Zn-Organik dan pengaruh suplementasinya
terhadap kecernaan pakan serat (In Vitro). Tesis. Sekolah Pascasarjana.
Institut Pertanian Bogor.
Sniffen, C.J, & P.H. Robinson. 1987. Microbial growth and flow as influenced by
dietary manipulation. J. Dairy Sci. 63:1248.
Spears, J.W. 1999. Reevaluation of the metabolic essentiality of minerals. J. Animal
Science 12 (6): 1002-1008.
Suryadi. 1993. Pemanfaatan silase onggok basah dengan suplementasi urea dalam
ransum pertumbuhan domba lokal. Tesis. Program Pascasarjana KPK Institut
Pertanian Bogor-Universitas Andalas, Padang.
Sutardi.T. 1977. Ikhtisar Ruminansia. Bahan Penataran Khusus Peternakan Sapi
Perah di Kayu Ambon-Lembang. Direktorat Jendral Peternakan. Deptan,
Bandung.
Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein bahan makanan terhadap degradasi mikroba
rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Prosiding
Seminar Hasil Penelitian dan Penunjang Peternakan LPP IPB, Bogor.
Sutardi. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi I. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Sutardi, T. 2002. Teknologi Pakan dan Aplikasinya. Pelatihan Manajemen
Pengelolaan Ternak Potong. Pemerintah Propinsi Kepulauan Bangka Belitung
Dinas Pertanian dan Kehutanan, 29 Oktober-2 November 2002.
Tilley, J. M. A & R. A. Terry. 1963. A two stage technique for the In vitro digestion
of forage crops. J. British Grassland Society (18) : 104-111.
Tisserand. J. L. 1989. Biological In Vitro and In Sacco methods In : Evaluation of
Straws in Ruminant Feeding. Elsevier Applied Science, London and New
York.
Vincent, J.B & C.M. Davis. 1997. Chromium in carbohydrate and lipid metabolism.
J. Biological Inorganic Chemistry (2) : 675-679.
33
Winter,W. M., B. D. Seibert & R. E. Kuchel. 1977. Cobalt deficiency of cattle
grazing improved pastures in northern Cape York Peninsula, Australian. J. of
Experimental Agricultural and Animal Husbandary (17) :10-15.
Wohlt, J. E., J. H. Clark, & F.S. 1976. Effect of sampling location, time, and method
of concentration of ammonia nitrogen in rumen fluid. J. Dairy Science (59) :
459-464.