SkripSi
-
Upload
mila-cassiopeia-yunjaeshipper -
Category
Documents
-
view
76 -
download
2
description
Transcript of SkripSi
Makalah Hasil Penelitian
PENGARUH TINGKAT PENAMBAHAN LEMAK DAN ISOLAT PROTEIN KEDELAI (IPK) TERHADAP KUALITAS BURGER DARI
DAGING SAPI BALI
Oleh :
GRACE PABITAI 41107010
FAKULTAS PETERNAKANUNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR2011
0
PENDAHULUAN
Awal kemunculan burger berasal dari warga kota Hamburg, dekat New
York mencatat dua bersaudara asal Ohio, Frank dan Charles Menches mulai
menjual hamburger di acara Erie Country Fair tahun 1885 sebab mereka
kehabisan stok sosis untuk roti dan menggantinya dengan daging sapi panggang.
The Seymour Community Historical Society of Seymour, Wisconsin, mencatat
Charlie Nagreen alias “Hamburger Charlie”, mulai menjual roti isi daging cincang
pada tahun 1885 di Outagamie Country Fair, sehingga pembeli dapat makan
sambil berjalan-jalan. Nagreen menamakan rotinya hamburger sesuai nama
Hamburg Steak yang sudah dikenal sebelumnya.
Daging burger merupakan sejenis daging yang bentuknya agak gepeng
yang tebalnya sekitar 1-2 cm dengan lebar yang hampir sama dengan rotinya.
Burger merupakan produk olahan dari daging. Produk ini telah dikenal khas dan
disukai masyarakat, karena (1) rasanya yang nikmat dan gurih; (2) dapat
meningkatkan dan memperbaiki daya cerna protein dan lemak dan (3)
mengandung protein.
Lemak merupakan salah satu zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh
kita disamping zat gizi lain seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.
Lemak merupakan salah satu sumber energi yang memberikan kalori paling
tinggi. Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan
karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram. Penambahan lemak
berfungsi untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan
pangan.
1
Isolat protein kedelai adalah produk dari tepung kedelai bebas lemak atau
berkadar lemak rendah dengan kandungan protein sekitar 95% dari bahan kering.
Selanjutnya dikatakan bahwa isolat protein kedelai memiliki beberapa fungsi
dalam olahan daging seperti penyerapan dan pengikat lemak, pengikatan flavor,
pembentuk dan menstabilkan emulsi lemak dan membuat ikatan disulfida. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kualitas daging burger ditambahkan bahan
tambahan yang tidak mengganggu kesehatan, salah satunya adalah isolat tepung
protein kedelai
Daging burger dengan penambahan lemak dan isolat protein kedelai
merupakan salah satu produk makanan yang sehat. Penambahan lemak berfungsi
untuk menambah kalori serta memperbaiki tekstur dan cita rasa bahan pangan dan
manfaat isolat protein kedelai dalam olahan daging yaitu sebagai penyerap dan
pengikat lemak, pengikatan flavor, pembentuk dan menstabilkan emulsi lemak
dan membuat ikatan disulfida yang dapat memperbaiki kualitas daging burger.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana pengaruh penambahan
lemak dan isolat protein kedelai sebagai bahan pengisi dan pengikat, terhadap
kualitas daging burger yang dihasilkan (cita rasa, warna, tekstur, kesukaan,
kekenyalan dan sifat lainnya). Kegunaan dari penelitian ini, diharapkan dapat
memberi pengetahuan serta informasi kepada masyarakat, mengenai lemak dan
isolat protein kedelai yang dapat digunakan sebagai bahan pengganti daging
karena memiliki kandungan protein yang tinggi serta dapat memberikan rasa gurih
terhadap produk olahan.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Tinjauan Umum Daging
Daging merupakan bahan pangan yang penting dalam memenuhi
kebutuhan gizi. Selain mutu proteinnya tinggi, pada daging terdapat pula
kandungan asam amino esensial yang lengkap dan seimbang. Dari tingkat
kealotan daging merupakan sekumpulan otot yang melekat pada kerangka. Istilah
daging dibedakan dengan karkas. Daging adalah bagian yang sudah tidak
mengandung tulang, sedangkan karkas berupa daging yang belum dipisahkan dari
tulang atau kerangkanya. Keunggulan lain, protein daging lebih mudah dicerna
dibanding protein yang berasal dari nabati. Bahan pangan ini juga mengandung
beberapa jenis mineral dan vitamin. Selain kaya protein, daging juga mengandung
energi sebesar 250 kkal/100 g (Astawan, 2008).
Daging didefenisikan sebagai semua jaringan hewan dan semua produk
hasil pengolahan jaringan-jaringan tersebut yang sesuai untuk dimakan serta tidak
menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya (Soeparno, 2005).
Menurut Lawrie (2003) yang dimaksud dengan daging adalah daging hewan yang
digunakan sebagai makanan.
Daging segar yang bermutu baik sangatlah diperlukan untuk menghasilkan
suatu produk daging olahan yang bermutu baik pula, sehingga disamping
peralatan dan penanganan yang memadai. Kualitas daging segar ditentukan oleh
faktor-faktor sebelum dan sesudah pemotongan. Faktor sebelum pemotongan
yang berpengaruh terhadap kualitas daging meliputi : genetik, spesies, tipe, jenis
kelamin, umur, pakan termasuk bahan aditif (hormon, antibiotik dan mineral) dan
3
stress. Faktor setelah pemotongan antara lain : metode pelayuan, metode
pemasakan, pH karkas, daging, bahan tambahan termasuk enzim pengempuk
daging, metode penyimpanan serta jenis dan lokasi otot (Soeparno, 2005).
Tinjauan Umum Daging Burger
Hamburger pertama kali muncul di Hamburg, Jerman pada abad
pertengahan. Banyak orang keliru dan mengira bahwa nama hamburger berasal
dari kata hamm (babi), namun sebenarnya berasal dari kota hamburg. Burger atau
hamburger merupakan sejenis sandwich. Terdiri dari roti bulat agak pipih dan
dibelah dua. Ditengahnya disisipkan lempengan daging cincang yang berbumbu
yang disebut dengan daging burger.
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia (2005) hamburger adalah daging
cacah (biasanya daging sapi, tetapi kadang juga daging lain) yang dibentuk bulat,
kemudian dipipihkan, digoreng dengan mentega atau dipanggang di atas bara,
biasanya dimakan sebagai isi roti bulat, diberi daun selada, saus tomat, dan bumbu
lainnya (Cory, 2009).
Burger atau burger sandwich merupakan sejenis sandwich, terdiri dari roti
bulat agak gepeng yang disisipkan lempengan daging cincang berbumbu setebal
1-2 cm dengan lebar yang hampir sama dengan rotinya, disertai dengan selada,
irisan tomat, keju lembaran, dan saus yang nikmat (Anonim, 2011a).
Daging burger merupakan produk daging giling segar. Komposisi utama
burger adalah daging, umumnya mencapai 80 persen. Syarat mutu hamburger
yang baik adalah lemak sapi yang ditambahkan tidak boleh lebih dari 30% serta
air, bahan pengikat, dan bahan pengisi (Astawan, 2008). Ditambahkan pula oleh
4
Cory (2009) bahwa burger adalah produk olahan daging yang digiling dan
dihaluskan sebanyak 80% dicampur bumbu dan lemak yang tidak lebih dari 30%
serta bahan pengisi dan bahan pengikat yang mengalami proses kuring. Namun
dalam pengolahan daging terutama daging burger, akan mengalami penurunan
kualitas maupun kuantitas daging itu sendiri.
Pemasakan burger dapat dilakukan dengan cara pemanggangan,
penggorengan, atau pemasakan dengan microwave. Tujuan pemasakan adalah
menyatukan bahan, memantapkan warna, meningkatkan juice, menginaktifkan
mikroba, dan memperbaiki penerimaan konsumen. Lama pemasakan tergantung
pada ukuran burger dan suhu pemasakan. Penggorengan menyebabkan kehilangan
air sekitar 5% dan kehilangan lemak yang cukup besar, tergantung metode
pemasakan (Abustam dan Ali, 2004).
Pembuatan Daging Burger
Pembuatan daging burger bukan merupakan hal yang sulit. Daging burger
bahkan dapat dibuat sendiri dalam skala rumah tangga. Bahan baku yang
diperlukan dalam pembuatan burger adalah daging giling atau daging cacah yang
dibumbui, lemak, bahan pengikat, bahan pengisi, dan aneka bumbu. Daging yang
digunakan pada pembuatan burger biasanya berasal dari potongan-potongan atau
tetelan daging hasil proses trimming. Hal itu yang menyebabkan daging burger
mempunyai nilai ekonomi yang sangat tinggi.
Burger juga dapat dibuat dari bahan-bahan bukan daging, seperti kedelai
atau tempe. Dari kedelai dapat dibuat daging tiruan yang selanjutnya digunakan
sebagai bahan baku pembuatan burger.
5
Lemak atau minyak ditambahkan pada pembuatan burger untuk
memberikan rasa lezat, serta memengaruhi keempukan dan tekstur juicy produk.
Jumlah lemak maksimum yang diizinkan menurut standar FAO adalah 30 persen.
Penggunaan lemak berlebih harus dihindari untuk menghasilkan burger yang lebih
sehat.
Bahan pengisi dan bahan pengikat adalah bahan-bahan bukan daging yang
ditambahkan dalam produk dengan tujuan untuk meningkatkan stabilitas,
menurunkan penyusutan sewaktu pemasakan, memperbaiki sifat irisan, mengikat
air, membentuk tekstur, dan memberikan warna yang khas.
Bahan yang digunakan dalam pembuatan daging burger adalah daging
(sapi, ayam atau daging lainnya), tepung, garam, bawang putih, merica, dan es
batu.
Tabel 1. Komposisi Bahan yang digunakan pada Pembuatan Burger.
No Jenis bahanIsolat Protein Kedelai (%)
5 10 151 Daging yang dilayukan** 300 300 3002 Lemak sapi* 0;5;10;15 0;5;10;15 0;5;10;153 Isolat Protein Kedelai (IPK) 5 10 154. Es Batu* 20 20 205 Garam* 3 3 36 Bawang putih* 1 1 17 Merica* 1 1 1
* Persentase (%) diperoleh dari jumlah daging yang digunakan** Berat daging (gram)
Daging yang digunakan adalah daging yang dilayukan karena daging yang
dilayukan mampu menguraikan tenunan ikat daging, daging menjadi lebih dapat
mengikat air, bersifat lebih empuk, dan memiliki flavor yang lebih kuat (Astawan,
2009)
6
Tepung dapat memperbaiki pengembagan adonan dan memperbaiki retensi
kesegaran dalam produk yang dipanggang (Desrosier, 1988). Garam, garam
berfungsi sebagai pembentuk cita rasa. Es batu berfungsi untuk menambah air
kedalam adonan sehingga pembentukan adonan menjadi lebih mudah dan
mempertahankan adonan selama berlangsungnya proses perebusan (wibowo,
1995).
Daging Burger
Pembuatan burger bukan merupakan hal yang sulit. Burger bahkan dapat
dibuat sendiri dalam skala rumah tangga. Bahan baku yang diperlukan dalam
pembuatan burger adalah daging giling atau daging cacah yang dibumbui, lemak,
bahan pengikat, bahan pengisi, dan aneka bumbu. Daging yang digunakan pada
pembuatan burger biasanya berasal dari potongan-potongan atau tetelan daging
hasil proses trimming. Hal itu yang menyebabkan daging burger mempunyai nilai
ekonomi yang sangat tinggi.
Gambar 1. Burger
Cara pembuatan daging burger adalah sebagai berikut :
1. Daging dibersihkan dengan mengeluarkan lemak dan jaringan ikatnya
kemudian dicuci bersih selanjutnya di potong kecil-kecil
2. Daging digiling menggunakan Food Prosessor.
7
3. ditambahkan garam, gula,bawang putih, merica dan es batu kemudian
digiling
4. Menambahkan tepung isolat protein kedelai,
5. Menambahkan lemak pada adonan yang telah dibagi dalam empat bagian
dimana masing-masing adonan ditambahkan lemak.
6. Adonan dibentuk menjadi bulatan yang setebal 2 cm.
7. Setelah itu masukkan ke dalam lemari pendingin. Selama kurang lebih 3
jam.
8. Kemudian dipanggang pada suhu 130oC selama 25 menit.
9. Daging burger siap disajikan/digunakan.
Pembuatan daging burger dapat dibagi menjadi empat tahap, yaitu
penggilingan (penghancuran daging), penambahan bumbu, pencetakan,
penyimpanan dingin dan pemasakan (dipanggang, digoreng atau dikukus).
Penghancuran daging dapat dilakukan dengan cara mencacah (mincing),
menggiling (grinding) atau mencincang sampai lumat halus (chopping) (Wilson,
Dyett, Hughes, Jones. 1981).
Pada proses penggilingan daging perlu diperhatikan kenaikan suhu akibat
panas yang dihasilkan, karena suhu yang diperlukan untuk mempertahankan
stabilitas emulsi dibawah 200C menyebabkan denaturasi protein dan sebagian
emulsi akan pecah (Pearson dan Tauber, 1984). Valade (2001) mengemukakan
bahwa bahan ekstender protein termasuk perlakuan preblending dapat
meningkatkan konsistensi emulsi. Konsistensi emulsi tersebut akan berdampak
pada kompaknya disperse lemak oleh air dalam molekul emulsi, sehingga lemak
hanya sedikit yang mengalami hidrolisis.
8
Bahan pengikat dan bahan pengisi merupakan fraksi bukan daging yang
ditambahkan pada burger. Bahan-bahan ini ditambahkan dengan tujuan untuk
memperbaiki stabilitas emulsi, memperbaiki kapasitas pengikat air, merangsang
pembentukan cita rasa, mengurangi penyusutan selama pemasakan dan
mengurangi biaya produksi (Forrest. 1975).
Pencetakan burger bisa dilakukan dengan dua cara, yakni dengan alat
cetak atau dengan selongsong plastik. Alat cetak yang biasa digunakan berbrntuk
lingkaran bulat tanpa lubang ditengah yang terbuat dari aluminium atau plastik
(Yuyun, 2007).
Setelah menjadi daging burger didiamkan selama 3 jam dilemari pendingin
dengan posisi tidak ditumpuk agar tidak menempel satu sama lain. Setelah 3 jam
burger dikeluarkan dari lemari pendingin. Hal ini bertujuan untuk membuat
adonana lebih kompak (Abustam, 2009).
Tujuan proses pemanggangan tergantung pada perlakuan lanjutan terhadap
bahan pangan. Pemanggangan akan menyebabkan perubahan warna, cita rasa,
atau nilai gizi yang tidak dikehendaki selama penyimpanan (Harris dan Karmas,
1989). Cardello (1997) mengemukakan bahwa produk-produk emulsif akan
mengalami lebih banyak kehilangan air selama penyimpanan dan pemanasan
dengan meningkatnya kandungan lemak dalam produk. Lama Pemanasan juga
ikut mempengaruhi kehilangan air (Winarno, 1992); selama pemasakan sejumlah
protein akan mengalami denaturasi sehingga mengakibatkan kerusakan matriks
protein dan air yang terbentuk dalam emulsi, sebagian air yang terikat bersama
lemak akan mengalami migrasi keluar molekul emulsi (Valade, 2001).
9
Tinjauan Umum Isolat Protein Kedelai
Protein merupakan salah satu unsur gizi penting dalam bahan pangan.
Kandungan protein dalam bahan pangan beragam. Untuk memperoleh protein
dalam konsentrasi tinggi, dibuat protein dalam bentuk konsentrat atau isolat.
Protein konsentrat mengandung protein minimal 70%, sementara isolat protein
mencapai 95%. Keduanya memiliki kandungan yang lebih besar dibanding tepung
protein biasa yang kandungannya hanya sekitar 50%. Isolat protein kedelai
merupakan bentuk paling murni dari protein karena kadarnya yang sangat tinggi
yaitu minimal 95% dalam berat kering. Produk ini hampir bebas dari komponen
lain seperti karbohidrat dan lemak. Isolat protein dibuat hampir sama dengan
konsentrat protein, hanya saja ekstraksinya berbeda. Caranya dengan
mencampurkan isolat dengan air dengan perbandingan 1:8 kemudian diatur pH
sampai 8,5-8,7 dengan penambahan NaOH 2N dan diaduk selama 30 menit pada
50-55°C hingga protein terekstrak (Capuholic, 2009).
Isolat protein kedelai atau disebut dengan nama umum sebagai pekatan
protein kedelai adalah produk dari protein kedelai bebas lemak atau berlemak
rendah (untuk isolat dapat juga dari kedelai utuh) yang diolah sedemikian rupa
sehingga kandungan proteinnya tinggi. Menurut definisinya, kandungan protein
pada konsentrat atau disebut juga pekatan protein adalah minimim 70%,
sedangkan isolat minimum 95%. Kedua produk ini sangat dibutuhkan oleh
industri pangan, karena banyak sekali digunakan untuk formulasi berbagai jenis
makanan. Yang diinginkan dari konsentrat dan isolat protein kedelai adalah sifat
fungsional proteinnya. Sifat ini menentukan pemakaian atau fungsi produk
tersebut dalam berbagai produk makanan (Anonim, 2011d)
10
Isolat protein kedelai cukup kaya sehingga banyak digunakan untuk
meningkatkan nilai nutrisi berbagai jenis pangan. Berdasar konsentrasi protein
yang terdapat dalam pekatan kedelai, terdapat tiga tingkatan kedelai yaitu tepung,
konsentrat dan isolat kedelai. Kandungan tepung pada bungkil kedelai
mengandung 40-50% protein. Kadar protein meningkat dari tepung ke konsentrat
ke isolate, masing-masing 56%, 72% dan 96%. Kadar karbohidrat sebaliknya
turun dari 33,5% menjadi 7,5% dan 0,3%. Adanya pemanasan akan
menginaktivasi antitripsin dan enzim lipoksigenase sehingga tepung yang
dihasilkan bergizi tinggi dan bau langunya hilang (Capuholic, 2009).
Isolat protein kedelai (IPK) adalah produk dari tepung kedelai bebas lemak
atau berkadar lemak rendah dengan kandungan protein sekitar 95% dari bahan
kering (Koswara, 1995). Selanjutnya dikatakan bahwa isolat protein kedelai
memiliki beberapa fungsi dalam olahan daging seperti penyerapan dan pengikat
lemak, pengikatan flavor, pembentuk dan menstabilkan emulsi lemak dan
membuat ikatan disulfida. Hal ini berkaitan dengan kuantitas air yang terikat
bersama dengan protein dalam emulsi produk. Jumlah protein yang ditambahkan
akan berdampak pada jumlah air yang terikat dalam matriks protein-air atau
matriks emulsi. Hal ini terindikasi dengan peningkatan nilai WHC (water holding
capacity) yang mengalami peningkatan sejalan dengan penambahan level protein
yang diberikan Bahlol and El-Aleem (2004); Kassem and Emara (2010).
Cara pembuatan isolate protein kedelai adalah dengan menyingkirkan
komponen-komponen lain dalam bahan pangan seperti karbohidrat dan lemak.
Pembuatan isolat protein dilakukan dengan menggunakan sifat-sifat fungsional
protein. Salah satu yang paling berpengaruh adalah sifat kelarutan protein. Isolat
11
protein dibuat dengan cara mengendapkan protein pada titik isoelektriknya.
Dengan cara ini, protein dapat diisolasi dan dipisahkan dari bagian bahan lainnya
yang tidak diinginkan (Anonim, 2011d).
Konsentrat protein dibuat dari tepung protein yang dihilangkan setengah
dari karbohidrat dan mineralnya. Komponen non protein pada pembuatan tepung
isolat protein dapat dipisahkan dengan tiga cara:
1. Cara pertama : a). Tepung kedelai ditambahkan alkohol dan diaduk untuk
memisahkan gula (sukrosa, rafinosa, stakiosa), mineral, pigmen dan komponen
kecil lainnya; b). Komponen yang tertinggal dikeringkan dengan pengering beku
atau oven 50-55°C sampai kadar air di bawah 10%; c). Konsentrat digunakan
dalam pembuatan roti, daging tiruan, susu imitasi dan lainnya karena daya serap
air dan lemaknya bagus.
2. Cara dua : a). Tepung kedelai direndam dan diaduk selama 1-2 jam dalam HCl
pH 4,5; b). Campuran disentrifugasi sehingga terbentuk endapan dan cairan.
Endapan sebagian besar adalah protein dan komponen non protein terlarut dalam
bagian cairan; c). Endapan diambil dan dilarutkan kembali dengan netralisasi
NaOH encer sampai pH 6-8; d). Keringkan dengan pengering semprot;
e).Konsentrat yang diperoleh biasa digunakan untuk fortifikasi minuman karena
kelarutannya yang baik.
3. Cara ketiga: a). Tepung kedelai dipanaskan dengan uap sampai proteinnya
hampir terdenaturasi sempurna; b). Komponen-komponen lain diekstrak dengan
air; c). Bagian berprotein dikeringkan (Anonim, 2011d).
Tepung kedelai umumnya mengandung protein 40-60% dan penggunaannya
memiliki faktor pembatas yakni berupa rasa, sedangkan rasa dalam bentuk
12
konsentrasi mengandung protein sekitar 70% dan memiliki rasa lembut dan
protein kedelai dalam bentuk isolat memiliki kandungan protein sebesar 90%
dengan rasa sangat lembut, terdispersi dalam air dan mampu mengikat air dan
lemak dengan baik. (Forrest et al., 1975). Ahn, et al., (1999) dan Brown (2001)
mengemukakan bahwa protein kedelai dapat memainkan peran fungsional protein
dalam produk emulsif, dan memperbaiki tekstur produk yang dihasilkan.
Sifat hidropobik dari kedelai dapat digunakan untuk mengikat lemak
sedangkan sifat hidrofilik dapat digunakan dalam mengikat air pada produk
makanan akhir. Kedua sifat hidropobik dan hidrofilik protein kedelai dapat
menurunkan kehilangan lemak dan air selama pengolahan pemanasan sehingga
dapat mempertahankan juiciness masakan daging (Koswara, 1995).
Dalam pembuatan tepung kedelai, proses pemanasan (perebusan,
pengukusan atau penyangraian) merupakan tahap yang penting. Pemanasan ini
berakibat antitripsin dan enzim lipoksigenase menjadi aktif, hingga tepungnya
bergizi tinggi dan tidak berbau langu (Anonim, 2011d). King, et al (2001)
mengemukakan bahwa kelanguan yang dihasilkan oleh reaksi antara oksigen dan
asam lemak yang dikatalisis oleh enzim lipoksigenase akan menurun derajatnya
apabila determinasi ikatan antar lemak dan air menjadi lebih kuat. Lebih lanjut
Fukushima (1991) mengemukakan bahwa lipoksigenase adalah enzim katalis
oksidasi yang bertanggungjawab pada dekstruksi asam lemak esensial (terutama
asam lemak tidak jenuh dengan ikatan ester bebas), regenerasi readikal bebas
terutama hidroperoksida yang dapat merusak senyawa lain seperti vitamin dan
mineral.
13
Tinjauan Umum Lemak Daging Sapi
Lemak memiliki arti penting dalam produk olahan daging karena
berpengaruh terhadap keempukan dan juiciness. Kandungan lemak tinggi
berasosiasi dengan tingkat kebasahan dan flavor (Vural, 2003).
Lemak (terkadang disebut juga sebagai lipid), adalah sebutan yang
dikhususkan bagi minyak hewani, terlepas dari wujudnya yang padat maupun cair
pada suhu ruang, yang terdapat pada jaringan tubuh. Lemak sangat penting bagi
manusia, karena berfungsi sebagai sumber energi, pelindung organ tubuh,
pembentukan sel, sumber asam lemak esensial, alat angkut vitamin larut lemak,
menghemat protein, memberi rasa kenyang dan kelezatan, sebagai pelumas dan
memelihara suhu tubuh (Winaga, 2010).
Salah satu sumber minyak hewani yang paling banyak digunakan oleh
manusia adalah dari ternak sapi. Berdasarkan komposisinya, lemak pada daging
sapi dapat dibedakan menjadi :
1. Lemak jenuh (saturated fat) : Lemak jenuh mengandung ikatan tunggal pada
rantai hidrokarbonnya. Asam lemak jenuh mempunyai rantai zig-zig yang dapat
cocok satu sama lain, sehingga gaya tarik vanderwalls tinggi. Oleh sebab itu
Lemak jenuh biasanya berwujud padat saat dalam suhu sedang dan stabil pada
suhu tinggi. Jika jumlah lemak jenuh dalam tubuh berlebih, dapat mengakibatkan
kegemukan.
2. Lemak tak jenuh (unsaturated fat) : Asam lemak tak jenuh merupakan asam
lemak yang mengandung satu ikatan rangkap pada rantai hidrokarbonnya . Oleh
sebab itu lemak tak jenuh cair (berbentuk minyak) pada suhu kamar . Lemak tak
jenuh berada di dalam intra maskuler (dalam sel) daging yang disebut sebagai
14
“marbling”, yang menjadikan daging menjadi juicy, flavor dan mengandung
omega 3,6,9, yang menyehatkan jantung. Omega 3, 6, dan 9 mempunyai
kemampuan menurunkan LDL dan meningkatkan HDL (kolesterol baik)
(Winaga, 2010).
Secara genetika jenis-jenis sapi ini memang dapat menghasilkan lemak
tak jenuh secara maksimal dan dapat membentuk marbling. Terutama jika
diberikan pakan dari biji-bijian antara lain : jagung, kedelai , sorgum dan gandum.
Pada saat feeding (penggemukan), Wagyu dan Angus adalah jenis sapi yang dapat
membentuk marbling paling sempurna, karena pada kedua jenis sapi ini marbling
dapat dibentuk dengan jangka waktu yang lebih lama. Oleh sebab itu daging yang
dihasilkan oleh sapi jenis wagyu dan Angus, banyak digunakan untuk hidangan
steak (Winaga, 2010).
Lemak merupakan salah satu zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh
kita disamping zat gizi lain seperti karbohidrat, protein, vitamin dan mineral.
Lemak merupakan salah satu sumber energi yang memberikan kalori paling
tinggi.Satu gram minyak atau lemak dapat menghasilkan 9 kkal, sedangkan
karbohidrat dan protein hanya menghasilkan 4 kkal/gram (Anonim, 2011e).
Penambahan lemak berfungsi untuk menambah kalori serta memperbaiki
tekstur dan cita rasa bahan pangan. Lemak hewani mengandung banyak sterol
yang disebut kolesterol. Lemak hewani ada yang berbentuk padat (lemak) yang
biasanya berasal dari lemak hewan darat seperti lemak susu, lemak babi, lemak
sapi. Disamping sebagai salah satu sumber energi, sebenarnya lemak atau
khususnya kolesterol memang merupakan zat yang sangat dibutuhkan oleh tubuh
kita terutama untuk membentuk dinding sel-sel dalam tubuh. Kolesterol juga
15
merupakan bahan dasar pembentukan hormon-hormon steroid. Tetapi bila
kolesterol dalam tubuh berlebih akan tertimbun didalam dinding pembuluh darah
dan menimbulkan suatu kondisi yang disebut aterosklerosis yaitu penyempitan
atau pengerasan pembuluh darah. Kondisi ini merupakan cikal bakal terjadinya
penyakit jantung dan stroke. Kolesterol sebenarnya merupakan salah satu
komponen lemak. Kolesterol yang kita butuhkan tersebut, secara normal
diproduksi sendiri oleh tubuh dalam jumlah yang tepat. Tetapi ia bisa meningkat
jumlahnya karena makanan ekstern yang berasal dari lemak hewani (Anonim,
2011e).
Lemak yang terdapat dalam makanan akan diuraikan menjadi kolesterol,
trigliserida, fosfolipid dan asam lemak bebas pada saat dicerna dalam usus.
Keempat unsur lemak ini akan diserap dari usus dan masuk kedalam darah.
Kolesterol dan unsur lemak lain tidak larut dalam darah. Agar dapat diangkut
dalam aliran darah, kolesterol bersama dengan lemak-lemak lain (trigliserida dan
fosfolipid) harus berikatan dengan protein untuk membentuk senyawa yang larut
dan disebut dengan lipoprotein (Anonim, 2011e).
Lemak adalah sekelompok ikatan organik yang terdiri atas unsur-unsur
karbon (C), Hidrogen (H), dan Oksigen (O) yang mempunyai sifat dapat larut
dalam zat-zat pelarut tertentu(pelarut lemak). Fungsi lemak pada pengolahan
antara lain sebagai media penghantar panas, menambah kalori dan cita rasa
produk, memperbaiki tekstur produk (Anonim, 2011f).
Lemak daging banyak mengandung asam lemak tidak jenuh seperti oleat
dan linoleat. Asam lemak ini dapat mengalami oksidasi, sehingga timbul bau
tengik pada daging (Anonim, 2011f).
16
Proses pemanasan dapat menurunkan kadar lemak bahan pangan.
Demikian juga dengan asam lemaknya, baik esensial maupun non esensial.
Kandungan lemak daging sapi yang tidak dipanaskan (dimasak) rata-rata
mencapai 17,2 %, sedangkan jika dimasak dengan suhu 60 oC, kadar lemaknya
akan menurun menjadi 11,2-13,2% (Anonim, 2011f).
Pada umumnya setelah proses pengolahan pangan, akan terjadi kerusakan
lemak yang terkandung didalamnya. Tingkat kerusakannya sangat bervariasi
tergantung suhu yang digunakan serta lamanya waktu proses pengolahan. Makin
tinggi suhu yang digunakan, maka kerusakan lemak akan semakin intesn. Asam
lemak esensial terisomerasi ketika dipanaskan dalam larutan alkali dan sensitif
terhadap sinar, suhu, dan oksigen. Proses oksidasi lemak dapat menyebabkan
inaktifvasi fungsi biologisnya dan bahkan dapat bersifat toksik (Prangdimurti dkk,
2007).
Pada proses pemanggangan yang ekstrim, asam linoleat dan kemungkinan
‘juga asam lemak yang lain akan dikonversi menjadi hidroperioksida yang tidak
stabil oleh adanya aktivitas enzim lipoksigenase. Perubahan tersebut akan
berpengaruh pada nilai gizi lemak dan vitamin (oksidasi vitamin larut dalam
lemak) (Prangdimurti dkk, 2007). Varnam and Sutherland (1995) mengemukakan
bahwa Penurunan konsentrasi H2O2 oleh penurunan hidrolisa lemak, lemak yang
terdispersi oleh air dan level protein yang tinggi akan memiliki jumlah permukaan
reaktif yang lebih rendah sehingga mengurangi kesempatan terjadinya hidrolisa
pada lemak
17
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juni sampai Juli 2011, bertempat di
Laboratorium Teknologi Pengolahan Daging Fakultas Peternakan Universitas
Hasanuddin, Makassar.
Materi Penelitian
Materi penelitian yang digunakan adalah daging yang dilayukan bagian
sirloin sapi Bali jantan dengan umur 2 tahun dan bobot badan serta kegemukan
yang sama, isolat tepung protein kedelai, lemak daging sapi bagian ginjal, es batu,
bawang putih, bawang bombay, lada hitam, garam dan arang. Alat yang
digunakan dalam penelitian ini adalah food processor, sendok, piring, pisau,
lemari pendingin dan alat pemanggang burger. Komposisi bahan yang digunakan
pada setiap level isolat tepung kedelei disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi Bahan yang digunakan pada Pembuatan Burger.
No Jenis bahanIsolat Protein Kedelai (%)
5 10 151 Daging yang dilayukan** 300 300 3002 Lemak sapi* 0;5;10;15 0;5;10;15 0;5;10;153 Isolat Protein Kedelai (IPK) 5 10 154. Es Batu* 20 20 205 Garam* 3 3 36 Bawang putih* 1 1 17 Merica* 1 1 1
* Persentase (%) diperoleh dari jumlah daging yang digunakan** Berat daging (gram)
18
Rancangan Penelitian
Penelitian dilaksanakan secara eksperimental dengan menggunakan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan pola faktorial 3 x 4 dengan tiga kali
ulangan. Masing-masing perlakuan adalah sebagai berikut :
Faktor I : Tepung Isolat Protein Kedelai (A)
A1 : Isolat tepung kedelai 5%
A2 : Isolat tepung kedelai 10%
A3 : Isolat tepung kedelai 15%
Faktor II : Lemak Sapi (P)
P1 : Kontrol (tanpa lemak sapi)
P2 : Penambahn lemak sapi 5%
P3 : Penambahn lemak sapi 10%
P4 : Penambahn lemak sapi 15%
Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian meliputi beberapa tahapan sebagai berikut :
a. Penggilingan Daging
Daging sapi segar dipisahkan dari jaringan ikat dan lemak. Setelah itu daging
bagian Sirloin dibagi menjadi 4 bagian sesuai perlakuan yang ada dengan
tingkat penambahan lemak sapi yang masing-masing 0%, 5%, 10% dan 15%.
Penambahan lemak pada adonan berfungsi sebagai bahan pengikat dan
memberikan rasa gurih pada hasil produk. Daging dipotong-potong kecil-kecil
pada setiap adonan untuk memudahkan dalam proses penggilingan. Proses
penggilingan dilakukan dalam dua tahap yaitu :
19
1) Penggilingan pertama : daging sapi bagian Sirloin dimasukkan ke dalam
food processor bersama-sama dengan garam dan setengah dari jumlah es
batu yang digiling selama ± 10 menit.
2) Penggilingan kedua : ditambahkan isolat tepung kedelei, lemak sapi,
bumbu-bumbu berupa bawang putih, bawang bombay dan merica serta
sisa es batu yang belum diberikan ke dalam daging yang telah digiling.
Pada proses penggilingan kedua ditambahkan lemak sapi sesuai dengan
konsentrasinya, selanjutnya dengan bahan tambahan lain digiling secara
bersama-sama selama ± 5 menit hingga adonan menjadi rata.
b. Pencetakan adonan
Adonan yang telah siap, dibentuk dengan menggunakan alat yang dibuat dari
pipa plastik atau aluminium menjadi seperti burger dengan ketebalan 2 cm
lalu dipres bagian atasnya. Setelah menjadi burger didiamkan selama 3 jam
dilemari pendingin dengan posisi tidak ditumpuk agar tidak menempel satu
sama lain. Setelah 3 jam burger dikeluarkan dari lemari pendingin dan siap
dipanggang menggunakan pemanggang. Setelah dipanggang dilakukan uji
organoleptik yang meliputi rasa, tekstur, bau dan hedonik/kesukaan. Uji
organoleptik ini menggunakan panelis 10 orang. Alur pembuatan burger pada
setiap adonan dapat dilihat pada Gambar 2.
20
(
Bahan
Gambar 2. Diangram Alir Pembuatan Burger dan Alur Penelitian Penambahan Lemak dan Isolat Protein Kedelai.
21
Penimbangan bahan baku dan bumbu-bumbu
Penggilingan I(± 10 Menit)
Es Batu, Garam
Penggilingan II(± 5 Menit)
Tepung tapioka, es batu dan bumbu-
bumbu
Lemak sapi(0%, 5%, 10%, 15%)
Pencetakan Adonan
Burger Susut Masak
Uji Kualitas
Daya LentingOrganoleptik
1. Cita Rasa2. Tekstur3. Warna 4. Tingkat kesukaan
Isolat tepung kedelai( 5%, 10%, 15%)
Pemisahan daging dari lemak
Parameter yang Diukur
Parameter yang diamati atau diukur dalam penelitian ini adalah :
1. Susut masak Selama Pemanggangan
Adonan daging burger yang sudah jadi ditimbang dengan timbangan analitik
yang telah dialasi plastik, setelah itu adonan tersebut dibuat dicetak dengan
ketebalan 2 cm kemudian dimasukkan ke lemari pendingin sampai mengeras
kemudian dimasak pada suhu 700C selama 25 menit dan ditimbang lagi untuk
dilihat beratnya setelah dimasak. Berat yang hilang (penyusutan berat) selama
pemasakan, atau yang lazim disebut cooking loss (susut masak) dapat diketahui
dengan perhitungan sebagai berikut : (Soeparno, 2005).
Susut masak (%) = berat sebelumdipanggang−berat setelahdipanggang
berat sebelum dipanggang x
100%
2. Daya Lenting Burger
Daya lenting merupakan salah satu teknik untuk melihat daya pantul
burger ketika dijatuhkan pada suatu permukaan rata dari suatu ketinggian. Untuk
menguji kelentingan burger terlebih dahulu dibuat dalam bentuk bulatan-bulatan
seperti bakso. Makin tinggi daya pantul maka kualitas burger (kekenyalan) makin
membaik. Pengukuran daya lenting dilakukan dengan cara menjatuhkan burger
pada ketinggian 50 cm sebanyak 5 buah kedalam gelas ukur kaca. Penilaian daya
lenting berdasarkan tinggi pantulan dari masing – masing burger kemudian di
konversi kedalam 4 skor (1 s/d 4) dengan terlebih dahulu mencari selisih antara
pantulan nilai tertinggi dan nilai terendah yang kemudian di bagi 4 untuk
22
mendapatkan interval antara masing-masing skor. Skor 1 merupakan daya lenting
yang kurang dan skor 4 merupakan daya lenting terbaik ( Abustam, 2009).
3. Uji Organoleptik
Pengamatan secara organoleptik dilakukan oleh minimal 10 panelis dari
mahasiswa Fakultas Peternakan, Universitas Hasanuddin dengan cara sampel diuji
secara acak dengan memberikan kode pada sampel yang akan diuji terhadap
ketiga tingkat penambahan lemakyang telah mengalami perlakuan meliputi cita
rasa, tekstur, keempukan daging dan tingkat kesukaan. Metode yang digunakan
yaitu uji skala (1 - 6), dimana semakin tinggi skornya maka semakin positif
terhadap penilaian yang dimaksud. Adapun deskpripsi penilaian produk yang di
amati dapat dilihat sebagai berikut :
a) Cita rasa
1 6Rasa daging Rasa dagingSangat rendah sangat kuat
b) Tekstur
1 6Sangat kasar Sangat halus
c) Tingkat kesukaan
1 7 Sangat tidak Sangat suka Suka
d) Warna
1 6
23
Putih pucat Kecoklatan
Deskripsi penilaian pengujian produk daging burger secara lengkap dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut.
Tabel 2. Deskripsi Penilaian Pengujian Produk Daging Burger
No Cita Rasa Warna Tekstur Kesukaan
1 Sangat terasa daging
Putih Pucat Sangat Kasar Sangat tidak suka
2 Terasa daging Putih Kasar Tidak suka
3 Agak terasa daging
Agak putih Agak kasar Agak tidak suka
4 Agak terasa Isolat Protein Kedelai
Agak coklat Agak halus Netral
5 Terasa Isolat protein kedelai
Coklat Halus Agak suka
6 Sangat terasa Isolat protein kedelai
Kecoklatan Sangat Halus Suka
7 Sangat suka
Analisis Data
Data yang diperoleh pada penelitian ini dianalisis ragam berdasarkan
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial 3 x 4 dengan 3 kali ulangan.
Analisis ragam tersebut didasarkan pada model matematika rancangan yang
digunakan, sebagai berikut :
Yijk = + i + j + ()ij + ijk i = 1,2,3
j = 1,2,3,4
k = 1,2,3
24
Keterangan :
Yijk = Nilai pengamatan pada tingkat penambahan tepung isolat kedelai
ke-i yang diberi level lemak ke-j pada burger dengan
pengulangan ke- k.
= Rataan umum (nilai tengah)
i = Pengaruh perlakuan tingkat penambahan isolat protein kedelai ke-
i terhadap kualitas daging burger
j = Pengaruh level lemak sapi ke-j terhadap kualitas daging burger
()ij = Pengaruh interaksi tingkat penambahan isolat protein kedelai ke-i
dan level lemak sapi ke-j.
ijk = Pengaruh galat yang menerima perlakuan tingkat penambahan
lemak ke-i dan level lemak sapi ke-j dengan pengulangan ke- k.
Selanjutnya apabila perlakuan menunjukkan pengaruh yang nyata maka
dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil / BNT (Gasperz, 1991).
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Susut Masak Selama Pemanggangan
Susut masak adalah berat hilang atau penyusutan sampel daging selama
pemasakan yang sering juga disebut cooking loss. Rata-rata hasil pengukuran
susut masak daging burger sapi yang dipanggang pada suhu 70oC selama 25 menit
dengan penambahan lemak dan isolat protein kedelai dapat dilihat pada Tabel 3
berikut.
Tabel 3. Nilai Rata-rata Susut Masak Daging Burger (%) dengan Penambahan Lemak dan Isolat Protein Kedelai.
Lemak (%)Penambahan Isolat Protein Kedelai (%)
Rata-rata5 10 15
0 9,52±1,18 7,48±2,35 6,12±2,04 7,71±2,22a
5 12,93±1,18 9,52±2,35 7,48±2,35 9,98±2,96b
10 17,69±2,35 14,29±2,04 10,20±2,04 14,06±3,74c
15 19,73±2,35 17,01±3,11 14,29±3,531
7,01±3,53d
Rata-rata 14,97±4,46a 12,07±4,47b 9,52±3,92c 12,18±4,74
Keterangan : Huruf yang berbeda pada baris dan kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,05)
Tabel 3 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata susut masak daging
burger berkisar antara 7,44 – 16,92% atau 12.18±4.74; hasil yang diperoleh ini
masih lebih rendah dibandingkan dengan susut masak yang dilaporkan oleh
Anderson and Barry (2000) dengan nilai susut masak yang berkisar antara 30 –
32,6% pada daging beef burger; namun lebih tinggi dibandingkan dengan hasil
yang dilaporkan oleh Bahlol and El-Aleem (2004) dengan nilai susut masak
antara 2,06 – 8,51.
Hasil analisis ragam (Lampiran 1) menunjukkan adanya pengaruh yang
nyata (P<0,01) dari perlakuan penambahan IPK dan penambahan lemak, namun
26
interaksi antara kedua perlakuan tidak menunjukkan pengaruh yang nyata
(P>0,05). Kenaikan level IPK secara nyata (P<0,05) dapat menekan angka susut
masak pada daging burger, sementara kenaikan level lemak sapi yang
ditambahkan berdampak pada peningkatan (P<0,05) angka susut masak yang
diperoleh.
Penurunan angka susut masak yang sejalan dengan peningkatan level IPK
daging burger yang diperoleh sejalan dengan hasil yang dilaporkan oleh Bahlol
and El-Aleem (2004) yang menunjukkan angka susut masak sebesar 8,51% pada
burger tanpa penambahan IPK dan menurun hingga 2,06 pada penambahan IPK
35%. Hal ini berkaitan dengan kuantitas air yang terikat bersama dengan protein
dalam emulsi produk. Jumlah protein yang ditambahkan akan berdampak pada
jumlah air yang terikat dalam matriks protein-air atau matriks emulsi. Hal ini
terindikasi dengan peningkatan nilai WHC (water holding capacity) yang
mengalami peningkatan sejalan dengan penambahan level protein yang diberikan
Bahlol and El-Aleem (2004); Kassem and Emara (2010).
Angka susut masak yang mengalami peningkatan (P<0,05) sejalan dengan
level penambahan lemak yang diberikan, hal ini dapat disebabkan oleh beberapa
faktor yang antara lain akibat retensi molekul emulsi yang menjadi lebih longgar.
Cardello (1997) mengemukakan bahwa produk-produk emulsif akan mengalami
lebih banyak kehilangan air selama penyimpanan dan pemanasan dengan
meningkatnya kandungan lemak dalam produk. Lama Pemanasan juga ikut
mempengaruhi kehilangan air (Winarno, 1992); selama pemasakan sejumlah
protein akan mengalami denaturasi sehingga mengakibatkan kerusakan matriks
protein dan air yang terbentuk dalam emulsi, sebagian air yang terikat bersama
27
lemak akan mengalami migrasi keluar molekul emulsi (Valade, 2001). Walaupun
tidak terdapat interaksi yang nyata (P>0,05) antara pengaruh level penambahan
lemak dan penambahan IPK, namun trend angka susut masak pada kenaikan level
lemak relative mengalami penurunan dengan peningkatan level protein, atau
terindikasi bahwa pengaruh susut masak yang terjadi oleh pengaruh kenaikan
level lemak terimbangi dengan kenaikan level protein. Hal ini karena konsistensi
ikatan lemak dalam molekul emulsi banyak bergantung pada matriks protein dan
air yang terbentuk (Saffle, 1968).
Daya Lenting Burger
Daya lenting merupakan salah satu teknik untuk melihat daya pantul
burger ketika dijatuhkan pada suatu permukaan rata dari suatu ketinggian.
Semakin tinggi daya pantul yang dihasilkan, maka kekenyalan daging burger juga
semakin baik. Hasil pengukuran kelentingan burger yang diperoleh ditunjukkan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Nilai Rata-rata Daya Lenting Burger dengan Penambahan Lemak dan Isolat Protein Kedelai.
Lemak (%)Isolat Protein Kedelai (%)
Rata-rata5 10 15
0 3,00±0,20 3,47±0,70 3,87±0,61 3,44±0,615 2,13±0,12 3,27±1,10 3,20±1,20 2,87±0,98
10 2,20±0,20 2,40±0,69 3,33±1,14 2,64±0,85
15 2,33±0,12 2,67±0,64 3,27±1,17 2,76±0,79
Rata-rata 2,42±0,39a 2,95±0,82ab 3,42±0,94b 2,93±0,84
Keterangan :Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,01).
Tabel 4 menunjukkan bahwa secara umum rata-rata daya lenting berkisar
antara 2,09 hingga 3,77 atau dengan kriteria berkisar antara cukup baik hingga
sangat baik. Nilai kelentingan tertinggi sebesar 3,87±0,61 ditemukan pada sampel
28
yang diberi perlakuan 0% lemak dan 15% IPK, sedangkan angka terendah sebesar
2,13±0,12 ditemukan pada sampel dengan 5% lemak dan 5% IPK. Hasil analisis
ragam (Lampiran 2) menunjukkan bahwa penambahan IPK berpengaruh nyata
(P<0,01) terhadap nilai kelentingan daging burger, sedangkan persentase lemak
dan interaksinya dengan persentase IPK tidak berpengaruh (P>0,05) terhadap nilai
kelentingan daging burger. Hal ini terindikasi dari terjadinya peningkatan nilai
daya lenting daging burger secara signifikan (P<0,01) sejalan dengan kenaikan
persentase IPK yang diberikan, sementara rata-rata daya lenting yang ditunjukkan
dengan kenaikan persentase lemak yang diberikan menujukkan penurunan yang
tidak signifikan (P>0,05) terhadap daya lenting burger.
Daya lenting dengan nilai yang baik merupakan indikasi konsistensi
kekenyalan produk daging burger yang baik, konsistensi yang diperoleh
merupakan hasil solubilitas antar komponen dalam produk yang baik. Hal ini
akan diperoleh jika antara jaringan protein daging, lemak, dan air megalami
proses emulsifikasi yang baik. Ahn, et al., (1999) dan Brown (2001)
mengemukakan bahwa protein kedelai dapat memainkan peran fungsional protein
dalam produk emulsif, dan memperbaiki tekstur produk yang dihasilkan.
Kekenyalan produk dengan Bahlol and El-Aleem (2004) melaporkan hal yang
sama pada produk Sosis dan Burger dengan implementasi Isolat Protein Kedelai
dari level 0 hingga 35% dengan kenaikan taraf 5%, menunjukkan adanya
perubahan positif (P<0,01) pada angka kekenyalan pada level 10% hingga 35%.
Rata-rata daya lenting daging burger di dasarkan pada level penambahan
lemak menunjukkan penurunan yang tidak signifikan (P>0,05), demikian pula
dengan interaksi antara perlakuan level IPK. Dengan kata lain, walaupun terlihat
29
penurunan daya lenting produk, bukan berarti bahwa kenaikan konsentrasi lemak
hingga 15% yang diberikan berdampak terhadap penurunan daya lenting. Vural
(2003) mengemukakan bahwa lemak memiliki arti penting dalam produk olahan
daging karena berpengaruh terhadap keempukan dan juiciness.
Terkait dengan emulsifikasi produk yang terjadi, Saffle (1968) dan Valade
(2001) menjelaskan bahwa air dan protein terlarut dari daging mengemulsi
globula-globula lemak lewat pembentukan matriks protein pada daerah
permukaan. Peningkatan level penambahan lemak akan meningkatkan
kelonggaran ikatan matriks dan menurunkan kerapatan ikatan molekul-molekul
emulsi. Sehingga keempukan produk olahan akan mengalami peningkatan,
demikian pula dengan kebasahannya. Sementara itu daya lenting yang baik lebih
mengarah pada soliditas ikatan matriks protein air dan kecilnya ukuran molekul
emusi yang terbentuk sehingga membentuk struktur yang lebih padat dan kompak.
Rosli et al (2005) melaporkan peningkatan (P<0,01) nilai keempukan (sensoris)
pada burger sapi muda sejalan dengan level penambahan lemak nabati yang
diberikan. Dengan demikian maka dapat dinyatakan bahwa keempukan daging
produk yang terbentuk berbanding terbalik dengan kekenyalan atau daya lenting
daging burger yang diperoleh.
Uji Organoleptik
Warna
Warna merupakan salah satu parameter organoleptik produk hasil olahan
daging, warna yang diperoleh dapat merupakan pengaruh bahan yang digunakan
serta proses dalam pengolahannya. Pada penelitian ini, penilaian warna di skor
30
berdasarkan penampilan warna putih pucat hingga kecoklatan. Skor rata-rata
penilaian warna daging burger yang diperoleh disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5. Nilai Rata-rata Skor Warna Daging Burger dengan Penambahan Lemak dan Isolat Protein Kedelai.
Lemak (%)Isolat Protein Kedelai (%)
Rata-rata5 10 15
0 4,70±0,10 4,90±0,26 5,03±0,15 4,88±0,22a
5 3,63±0,29 3,77±0,21 3,80±0,26 3,73±0,23b
10 3,47±0,06 3,50±0,20 3,30±0,10 3,42±0,15c
15 2,63±0,55 2,87±0,50 2,87±0,41 2,79±0,44d
Rata-rata 3,61±0,81 3,76±0,82 3,75±0,87 3,71±0,81
Keterangan :Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0,01).
Tabel 5 menunjukkan rataan skor warna yang menunjukkan indikasi warna
dari agak putih hingga agak kecoklatan. Hasil analisis ragam (Lampiran 3)
menunjukkan perlakuan pemberian level lemak berpengaruh terhadap penurunan
kualitas warna (P<0,01), sedangkan perlakuan level penambahan IPK tidak
menunjukkan pengaruh yang nyata (P>0,05). Berbeda dengan hasil yang
dilaporkan oleh Bahlol and El-Aleem (2004), dimana kenaikan level IPK
berpengaruh secara nyata (P<0,05) terhadap penurunan skor warna yang diberikan
oleh panelis. Skor warna yang mengalami penurunan sejalan dengan level
penambahan lemak yang diberikan, Rosli et al (2005) melaporkan skor warna
daging burger yang lebih baik (P<0,05) pada sampel yang diberi lemak nabati
(minyak kelapa sawit) dibandingkan dengan lemak sapi, namun pada konsentrasi
yang tinggi tidak ditemukan adanya perbedaan skor warna (P>0,05) diantara
sampel kedua perlakuan tersebut.
Varnam and Sutherland (1995) mengemukakan bahwa warna kecoklatan
produk merupakan hasil oksidasi oksihemoglobin oleh H2O2 yang dihasilkan
31
selama proses pemanasan. Penurunan konsentrasi H2O2 oleh penurunan hidrolisa
lemak, lemak yang terdispersi oleh air dan level protein yang tinggi akan memiliki
jumlah permukaan reaktif yang lebih rendah sehingga mengurangi kesempatan
terjadinya hidrolisa pada lemak tersebut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa
angka penilaia warna yang tinggi (semakin kecoklatan) ditemukan pada level
konsentrasi lemak yang rendah. Berdasarkan teori yang dikemukakan
sebelumnya berkaitan dengan reaksi pencoklatan yang terjadi pada produk,
ditemukan kondisi yang kontradiktif. Hal ini mungkin dipengaruhi oleh
kehadiran protein dalam bentuk IPK dalam produk. Valade (2001)
mengemukakan bahwa bahan ekstender protein termasuk perlakuan preblending
dapat meningkatkan konsistensi emulsi. Konsistensi emulsi tersebut akan
berdampak pada kompaknya disperse lemak oleh air dalam molekul emulsi,
sehingga lemak hanya sedikit yang mengalami hidrolisis.
Tekstur
Tekstur merupakan bagian penelitian secara organoleptik fungsi indera
peraba dalam menentukan tekstur permukaan suatu produk daging. Umumnya
produk yang berkualitas baik adalah yang memiliki tekstur yang halus. Rata-rata
hasil pengukuran tekstur daging burger, dengan penambahan lemak dan isolate
protein kedelai yang diuji secara organoleptik dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Nilai Rata-rata Skor Tekstur Daging Burger dengan Penambahan Lemak dan Isolat Protein Kedelai.
Lemak (%)Isolat Protein Kedelai (%)
Rata-rata5 10 15
32
0 3,43±0,46 3,80±0,61 4,47±0,55 3,90±0,65a
5 3,00±0,17 3,30±0,26 3,83±0,31 3,38±0,43b
10 3,50±0,10 3,30±0,26 3,40±0,36 3,40±0,24b
15 3,43±0,15 3,23±0,40 3,63±0,38 3,43±0,34b
Rata-rata 3,34±0,31a 3,41±0,42a 3,83±0,54b 3,53±0,48Keterangan :Huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan
berbeda nyata (P<0,01).
Rata-rata skor tekstur yang paling tinggi terlihat pada sampel yang diberi
perlakuan IPK pada level 15% dan lemak pada level 0%, sedangkan rata-rata skor
terendah ditemukan pada sampel kombinasi perlakuan level IPK dan lemak 5%.
Hal ini sesuai dengan pendapat Ahn, et al., (1999) dan Brown (2001) yang
mengemukakan bahwa protein kedelai dapat memainkan peran fungsional protein
dalam produk emulsif, dan memperbaiki tekstur produk yang dihasilkan. Hasil
analisis ragam (Lampiran 4) menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P<0,01)
dari perlakuan penambahan IPK dan level lemak yang diberikan, namun interaksi
antara kedua perlakuan tidak menunjukkan adanya pengaruh yang nyata (P>0,05)
terhadap skor rata-rata tekstur daging burger yang dihasilkan. Pengaruh
penambahan IPK pada level 15% menunjukkan rata-rata skor yang nyata lebih
tinggi (P<0,01) dibandingkan dengan sampel yang diberikanperlakuan level IPK 5
dan 10%. Namun demikian terlihat adanya peningkatan nilai tekstur yang sejalan
dengan kenaikan level IPK yang diberikan (Tabel 6). Hasil yang diperoleh
sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Bahlol and El-Aleem (2004)
dimana perbandingan dengan kontrol IPK (0%) menunjukkan nilai tekstur yang
lebih rendah (P<0,05) dibandingakan dengan daging burger yang diberi IPK 5 –
25% dan 30%; namun skor tekstur tersebut mengalami penurunan signifikan
(P<0,05) pada level IPK 35%.
33
Penggunaan IPK dalam produk menurut Abustam (2004) selain sebagai
bahan extender meat ke dalam adonan, IPK juga dapat menurunkan biaya
formulasi, menjaga karakteristik irisan dan meningkatkan rendemen masakan.
Percobaan yang dilakukan oleh Kaseem and Emara (2010) yang membandingkan
antara burger tanpa bahan ekstender (kontrol), ekstender protein kedelai dan
ekstender dari bahan sayuran; hasil yang diperoleh menunjukkan tidak adanya
perbedaan yang nyata antara skor tekstur kontrol dan bahan ekstender sayuran
(P>0,05) dan nyata lebih rendah (P<0,05) dibandingkan dengan daging burger
yang diberi ekstender protein kedelai.
Perlakuan level penambahan lemak sapi menunjukkan skor tekstur
tertinggi pada perlakuan control (0%) dan nyata lebih tinggi (P<0,01)
dibandingkan dengan sampel dengan level lemak 5 hingga 15%. Anderson and
Barry (2000) melaporkan tingginya tingkat kerusakan tekstur (P<0,05) pada
daging burger yang diberi lemak sapi sebanyak 14% dibandingkan dengan sampel
dengan lemak sapi 10%; nilai tekstur sampel level lemak 14% ini kemudian tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05) dengan sampel yang beri lemak
18% setelah dilakukan penggorengan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa terdapat
nilai tektur mengalami penurunan setelah penyimpanan satu minggu pada sampel
dengan 14 dan 18%.
Cita Rasa
Cita rasa atau flavor merupakan penilaian organoleptik yang dapat
ditentukan kualitas daging burger. Cita rasa adalah kombinasi antara bau/aroma
dan rasa yang menjadi karakteristik yang sangat penting dari suatu makanan bagi
konsumennya. Rata-rata hasil pengukuran cira rasa daging burger dengan
34
penambahan lemak dan isolat protein kedelai yang diuji secara organoleptik dapat
dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Nilai Rata-rata Skor Cita Rasa Daging Burger dengan Penambahan Lemak dan Isolat Protein Kedelai.
Lemak (%)Isolat Protein Kedelai (%)
Rata-rata5 10 15
0 4,10±0,35 4,20±0,36 4,33±0,38 4,21±0,33a
5 3,43±0,32 4,07±0,06 4,13±0,35 3,88±0,41b
10 2,63±0,12 2,63±0,25 2,63±0,64 2,63±0,35c
15 3,43±0,40 3,57±0,06 3,50±0,20 3,50±0,23b
Rata-rata 4,10±0,35 4,20±0,36 4,33±0,38 4,21±0,33Keterangan :Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda
nyata (P<0,01).
Skor cita rasa ditentukan oleh tingkat rasa daging daging burger dan
rendahnya rasa atau aroma langu yang ditimbulkan oleh IPK. Hasil yang
diperoleh menunjukkan skor cita rasa yang mengalami penurunan sejalan dengan
level penambahan lemak yang dilakukan (Tabel 7). Hasil analisis ragam
(Lampiran 5) menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) dari perubahan level
penambahan lemak tersebut, sementara peningkatan level IPK tidak menunjukkan
pengaruh yang nyata (P>0,05) terhadap nilai skor cita rasa. Hasil yang sejalan
dilaporkan oleh Bahlol and El-Aleem (2004) dimana tidak terdapat perbedaan
yang nyata (P>0,05) pada nilai flavor pada daging burger pada penambahan IPK 0
hingga 20%, pengaruh penurunan nilai flavor terlihat menurun (P<0,05) setelah
konsentrasi IPK ditingkatkan dari 30 - 35%.
Peningkatan skor cita rasa menunjukkan penurunan secara signifikan
(P<0,05) pada tiap kenaikan penambahan level lemak yang diberikan (Tabel 7).
King, et al (2001) mengemukakan bahwa kelanguan yang dihasilkan oleh reaksi
antara oksigen dan asam lemak yang dikatalisis oleh enzim lipoksigenase akan
35
menurun derajatnya apabila determinasi ikatan antar lemak dan air menjadi lebih
kuat. Lebih lanjut Fukushima (1991) mengemukakan bahwa lipoksigenase adalah
enzim katalis oksidasi yang bertanggungjawab pada dekstruksi asam lemak
esensial (terutama asam lemak tidak jenuh dengan ikatan ester bebas), regenerasi
radikal bebas terutama hidroperoksida yang dapat merusak senyawa lain seperti
vitamin dan mineral. Rasa atau aroma langu merupakan sensasi bau yang terbawa
oleh protein kedelai yang digunakan sebagai stabilitator emulsi, kualitas daging
burger yang baik apabila rasa daging lebih dominan dibandingkan dengan rasa
langu tersebut.
Timbulnya off-flavor dan odor (beany flavor) merupakan konversi lipida
ke dalam bentuk lipohidrokperoksida, volatif dan non-volatil hasil degenerasi
asam linoleat dan linolenat. Beberapa jalan untuk mengatasi keadaan ini menurut
Fukushima (1991); adalah dengan perendaman biji kedelai pada suhu 80oC selama
30 menit; atau King, et al (2001) dibiarkan dalam air 28oC selama 8 – 12 jam,
melalui jalan fermentasi asam laktat, perlakuan asam dan lain sebagainya.
Kesukaan
Tingkat kesukaan (hedonik) adalah sifat yang sulit untuk didefenisikan
secara objektif yang ditentukan oleh panelis. Nilai atau skor merupakan indikasi
daya tarik atau merupakan akumulasi dari beberapa parameter sensorik panelis
terhadap daging burger. Rata-rata skor kesukaan yang diperoleh ditunjukkan pada
Tabel 8.
36
Tabel 8. Nilai Rata-rata Skor Kesukaan Daging Burger dengan Penambahan Lemak dan Isolat Protein Kedelai.
Lemak (%)Isolat Protein Kedelai (%)
Rata-rata5 10 15
0 4,57±0,40 4,43±0,32 4,70±0,62 4,57±0,42a
5 4,10±0,17 4,13±0,21 4,20±0,26 4,14±0,19b
10 4,20±0,10 3,53±0,21 3,70±0,80 3,81±0,51c
15 3,53±0,32 3,33±0,15 3,43±0,06 3,43±0,20d
Rata-rata 4,10±0,45 3,86±0,50 4,01±0,68 3,99±0,55Keterangan :Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan berbeda
nyata (P<0,01).
Tabel 8 menunjukkan rata-rata skor kesukaan yang tertinggi ditemukan
pada sampel dengan perlakuan level lemak 0% dan level IPK 15%, sementara
rataan skor kesukaan yang paling rendah pada sampel dengan level lemak 15%
dan IPK 10%. Hasil analisis ragam (Lampiran 6) menunjukkan penurunan skor
kesukaan yang signifikan (P<0,01) seiring dengan peningkatan level lemak yang
diberikan, sedangkan kenaikan level protein tidak menunjukkan pengaruh yang
nyata (P>0,05) terhadap skor kesukaan yang diberikan oleh panelis. Hasil yang
diperoleh tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilaporkan oleh Bahlol and
El-Aleem (2004), dimana tidak terdapat perbedaan yang nyata (P>0,05) pada
daging burger yang diberi IPK pada level 5 hingga 20%, namun menunjukkan
pengaruh negatif pada saat level IPK ditingkatkan pada tara 25, 30 dan 35%.
Terjadinya penurunan nilai kesukaan (P<0,01) yang dipengaruhi oleh
kenaikan level lemak dapat diakibatkan oleh beberapa faktor yang antara lain
adalah kerenyahan permukaan burger yang menurun pada saat level lemak
ditingkatkan (Backers and Noll, 2001); juga dapat diakibatkan oleh tekstur yang
kurang baik dan penampilan warna yang kurang menarik (Hughes, et al., 1997)
KESIMPULAN DAN SARAN
37
Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
1. Semakin tinggi tingkat penambahan isolat protein kedelai maka susut masak
menurun, daya lenting meningkat dan tekstur agakmenjadi lebih halus.
2. Semakin tinggi tingkat penambahan lemak maka susut masak meningkat,
daya lenting cukup baik,warna kurang cerah, tekstur agak kasar, cita rasa
berkurang dan tingkat kesukaan berkurang.
3. Tidak terdapat interaksi penambahan lemak dan isolat protein kedelai
terhadap parameter yang diamati
Saran.
Berdasarkan penilaian terhadap susut masak, daya lenting dan uji
organoleptik disarankan untuk menggunakan lemak sampai 10% dan isolat
protein kedelai dapat digunakan sampai 15%.
38
DAFTAR PUSTAKA
Abustam dan Ali. 2004. Bahan Ajar Ilmu dan Teknologi Daging. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin, Makassar.
Abustam, E. Ma’arif Abdi. 2009. Penggunaan Asap Cair Sebagai Bahan Pengikat pada Pembuatan Bakso Daging Sapi Bali. Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Adit. 2009. Sejarah Awalnya Hamburger. www.google.com. Diakses pda tanggal 02 Maret 2011.
Ahn H., F. Hsieh, A. D. Clarke and H. E. Huff. 1999. Extrusion for producing low-fat pork and its use in ssausage as affected by soy protein isolate. J. Food Sci. Vol 64: 267 – 271
Astawan, M. 2008. Nikmati burger secara bijak. http://www.kompos.com. Diakses pada tanggal 10 maret 2011.
Anonim. 2011a. Nikmati Burger Secara Bijak. www.google.com. Diakses pada tanggal 03 Maret 2011.
Anonim. 2011b. Selayang Pandang Burger atau Hamburger. www.google.com. Diakses pada tanggal 03 Maret 2011.
Anonim. 2011c. Pekatan Protein Kedelai. Insituti Pertanian Bogor Jurusan Teknologi pagan dan gizi.
Anonim. 2011d. Pekatan Protein Kedelai. Insituti Pertanian Bogor Jurusan Teknologi pagan dan gizi.
Anonim. 2011e. Lemak. www.google.com. Diakses pada tanggal 21 Mei 2011.
Anonim. 2011f. Lemak pada Daging. www.google.com. Diakses pada tanggal 21 Mei 2011.
Backers T, and B Noll. 2001. Safe plant based ingredients for meat processing: Dietary fibres and lupine protein. Food Mark. Technol., 15: 12-15.
Brown, L. 2011. Soy Protein and Soy Isoflavones. Functional Ingredients. Produced by information and communication tecnologies in the college of agricultural sciences, Pennsylvania State University. http://www.world-food.net/scientificjournal.php. (Diakses : 21 Mei 2011)
Bahnol and El-Aleem. 2004. Beef Sausage By Adding Treated Mung Been. Annals Of Agric Moshtohor, Zagazig. University (Benha Branch) vol: 42 (4): 1791 – 1807
39
Desrosier, N. W., 1988. Teknologi Pengawatan Pangan. Penerjemah M. Huljohardjo. UI-Press, Jakarta.
Capuholic. 2009. Isolat Protein. Magelang, Indonesia. www.google.com. Diakses pada tanggal 02 Maretg 2011.
Cory, M .2009. Analisis Kandungan Nitrit dan Pewarna Merah pada Daging Burger yang Dijual di Grosir. Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Sumatra Utara, Medan.
E.T. Anderson And B.W. Berry 2000 Sensory, shear, and cooking properties of lowe fat beef patties made with inner pea fiber. Food Chemistry and Toxicology. 65: 805-810.
Fitri, A. 2011. MOS Premium Wagyu Burger bagi Pencinta Beef. OKfood.com www.okefood.com /read/2010/04/21/303/325042/303/mos-premium-wagyu-burger-bagi-pencinta-beef
Forrest. 1975. Freeman and Company. San Franscisco.
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan untuk Ilmu-ilmu Pertanian, Ilmu-ilmu Teknik, dan Biologi. Armico, Bandung.
Hughes E, Cofrades S, Troy D J. 1997. Effects of fat level, oat fiber and carrageenan on frankfurters formulated with 5, 12 and 30% fat. Meat Sci., 45(3): 273-2810.
Yuyun. A., 2007. Panduan Wisata Membuat Aneka Burger. Agromedia Pustaka, Jakarta
King, J. M., S. M. Chin, L. K. Svendsen, C. A. Reitmeier, L. A. Johnson, and W. R. Fehr. 2001. Processing of lipoxygenase-free soybean and evaluation in foods. J. American Oil Chemists’ Society, 78: 353 – 360
Koswara. 1955. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Jakarta : Pustaka Seminar Harapan.
Laurie, R.A. Ilmu Daging. Ed., Ke 5. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), Jakarta. (Diterjemahkan oleh A. Parakasi).
M. A. Gehan Kassem and M.M.T. Emara. 2010. Quality and Acceptability of Value. Added Beef Burger. World Journal of Dainy and Food Sciences. Vol 5(1): 14-20.
Pearson, A.M. and F.W. Tauber. 1984. Precessing Meats. The Avi Publishing.Co. Inc. Weytsport. Connectiut.
Prangdimurti, Zakaria, Pulpi. 2007. Pengaruh Pengolahan Terhadap Nilai Gizi Lemak. Insituti Pertanian Bogor Jurusan Teknologi pagan dan gizi.
40
Saffle. 1968. Soy Protein Isolat, feating temperature on reduce-fat with batters in a models system. Food Chemistry and Toxicology. Vol 65 : 48-52.
Soeparno. 1992. Ilmu dan Teknologi Daging. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Soeparno. 2005. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Sopianan. 2003. Subsitusi Kasein dengan Isolat Protein Kedelai dan Pengaruhnya terhadap Sifat Fisik Kimia dan Organoleptik Nunget Daging Sapi dan Kerbau. Pasca Sarjana instutut Pertanian Bogor.
Valade, D. 2001. Review Technology for Making Emulsified Meat Products. The main ingredients of Malabar. A Bi-Monthly newsletter from Malabar Super Spice Co. Ltd. (Januari/Februari 2001).
Vural, H. 2003. Effect of replacing beef fat and tail fat with interesterified plant oil on quality characteristic of Turkish semi-dry fermented sausages. Eur. Food Res. Technol. Vol 217:100-103
Varnam, A.N. & J.P. Sutherland. 1995. Meat and Meat Product. Chapman and Hall. London.
Wibawa, S. 1995. Pembuatan Bakso dan Bakso Daging. Penebar Swadaya, Jakarta.
Wilson, N.R.P., E.J. Dyett, R.W. Hughes dan C.R.V. Jones. 1981. Meat and Meat Products. Aplied Science Publisher, London.
Winarno, F.G., Fardias, S. dan Fardias, D. 1996. Teknologi Pengolahan Rumput Laut. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
W. I. Wan Rosli, A. R. Nuhanan, M.A. Sliihah and S. S. J. Mohsin. 2010. Matdis Stigma Improver Physical Traits and Unchanged Sensory properties of beef and chicken patties.
41