SkripSi
description
Transcript of SkripSi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah klasifikasi luas dari
gangguan, yang mencakup bronkitis kronis, bronkiektasis, emfisema, dan
asma.Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan
keluar udara paru–paru. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan
penyebab kematian kelima terbesar di Amerika Serikat.Penyakit ini menyerang
lebih dari 25% populasi dewasa. (Smeltzer & Bare, 2001) Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit paru yang dapat dicegah dan
diobati, yang ditandai dengan adanya hambatan aliran udara pada saluran
pernapasan yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif
ini terjadi karena adanya respon inflamasi paru akibat pajanan partikel atau gas
beracun yang disertai efek ekstraparu yang berkontribusi terhadap derajat
penyakit.
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan penyebab utama juga
peningkatan morbiditas dan mortalitas di dunia. Peningkatan ini berbanding lurus
dengan semakin tingginya prevalensi merokok di berbagai negara, polusi udara
dan bahan bakar biomasa lainnya yang menjadi faktor risiko utama PPOK.
1
1
Akhir-akhir ini chronic obstructive pulmonary disease (COPD) atau
penyakit paru obstruksi kronik (PPOK) semakin menarik untuk dibicarakan oleh
karena prevalensi dan mortalitas yang terus meningkat. Sebagai penyebab
kematian, PPOK menduduki peringkat ke empat setelah penyakit jantung, kanker
dan penyakit serebro vaskular. Biaya yang dikeluarkan untuk penyakit ini
mencapai 24 Miliyar per tahunnya. World health organization (WHO)
memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK akan meningkat.
Berdasarkan survey kesehatan rumah tangga Dep. Kes.RI tahun 1992, PPOK
bersama asma bronkial menduduki peringkat keenam. Merokok merupakan faktor
resiko terpenting penyebab PPOK disamping faktor risiko lainnya seperti polusi
udara, faktor genetik dan lain-lainnya. (Sudoyo, 2006)
Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu masalah besar di
bidang kesehatan dengan prevalensi 4-6% pada penduduk dewasa di Eropa
dengan prevalensi didominasi jenis kelamin laki-laki dan meningkat seiring
dengan bertambahnya usia (Gulsvik, 1999). Penyakit Paru Obstruksi Kronik
adalah penyebab utama kematian bagi individu berusia diatas 65 tahun dan
merupakan penyebab kematian ke empat penduduk di Amerika Utara (Hackett,
2010).
Menurut Suradi (2007) mengatakan bahwa angka kesakitan penderita
PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan
pada wanita adalah 2% dengan angka kematian 4% pada umur di atas 45 tahun.
Prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 8,5-22,2% dan pada perempuan sebesar
5,1-16,7%, sedangkan pada orang dewasa pada usia lebih dari 40 tahun mencapai
2
9-10% (Buist, et.al., 2007). Pada laki-laki usia 55-74 tahun PPOK merupakan
penyebab kematian ke tiga dan pada perempuan merupakan penyebab kematian
ke empat. Antara tahun 1980 dan tahun 2000, didapat angka kematian akibat
PPOK meningkat 28,2% pada perempuan dan 13% pada laki-laki (Mahler, et al.,
2007).
Sedangkan menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia, hasil
survei Direktorat Jenderal Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan
Lingkungan (PPM&PL) di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia yaitu Jawa Barat,
Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan Sumatera Selatan pada tahun 2004
menunjukkan bahwa PPOK menempati urutan pertama penyumbang angka
kesakitan (35%), diikuti asma bronkial bronkial (33%), kanker paru (30%) dan
lainnya (2%) .
Latar belakang yang dipaparkan di atas memberikan motivasi kepada
peneliti untuk meneliti tentang prevalensi PPOK berdasarkan usia, jenis kelamin,
dan status sosial penderita di Rumah Sakit Wates Husada Gresik pada bulan
Januari 2013-Desember 2013.
1.2 Rumusan masalah
Berapa prevalensi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) berdasarkan
Jenis Kelamin, Usia, Pekerjaan dan Kebiasaan Merokok di Rumah Sakit Wates
Husada Gresik Pada Januari 2013 – Desember 2013?
3
1.3 Tujuan penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan, dan
kebiasaan merokok di Rumah Sakit Wates Husada Gresik.
1.3.2 Tujuan Khusus
a) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) di
Rumah Sakit Wates Husada Gresik
b) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
berdasarkan jenis kelamin di Rumah Sakit Wates Husada Gresik
c) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
berdasarkan usia di Rumah Sakit Wates Husada Gresik
d) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
berdasarkan status ekonomi (pekerjaan) di Rumah Sakit Wates Husada
Gresik
e) Mengetahui jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
yang merokok di Rumah Sakit Wates Husada Gresik
1.4 Manfaat penelitian
a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui
hubungan jenis kelamin, usia, pekerjaan dan kebiasaan merokok dengan
kejadian Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
b) Sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Gresik dalam
4
perancanaan tindakan lanjut bagi upaya menurunkan angka Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK).
c) Sebagai bahan informasi untuk pengembangan penelitian yang serupa dan
berkelanjutan tentang pelaksanaan surveilans epidemiologi.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
2.1.1 Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ) merupakan suatu kondisi
irreversibel yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran
masuk dan keluar udara paru-paru. ( Smeltzer & Bare, 2001 ). PPOK adalah
sekelompok penyakit paru dengan etiologi yang tidak jelas yang ditandai dengan
perlambatan aliran udara yang bersifat menetap pada waktu ekspirasi. ( Doengues,
2000 ). PPOK merupakan sejumlah gangguan yang mempengaruhi pergerakan
udara dari dan keluar paru. Gangguan yang penting adalah bronkhitis obstruktif,
emfisema, dan asma bronkhial. ( Arif Muttaqin, 2008 ).
Penyakit-penyakit paru yang secara klinis dapat menimbulkan PPOK ialah
asma bronkial, bronkhitis kronis, dan emfisema. ( Alsagaff & Mukty,2006 ).
Ketiga penyakit tersebut masing- masing dapat berlanjut ke PPOK yang berat.
Penderita bronkhitis kronis dan emfisema biasanya seorang perokok berat, dan
tidak merasakan gejala apapun sampai di usia lanjut. Pada saat itu barulah
dirasakan bahwa kemapuan untuk bekerja mulai menurun dan batuk-batuk mulai
terjadi. Gejala yang ditimbulkan pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama
dengan gejala primer dari penyakit ini. Bila penyebabnya Bronkhitis Kronis maka
gejala yang utama adalah produksi sputum yang berlebihan. Tetapi bila
penyebabnya adalah Emfisema maka gejala utamanya adalah kerusakan pada
6
6
alveoli dengan keluhan klinis berupa dypsnea yang terjadi sehubungan dengan
adanya gerak badan.
2.1.2 Patogenesis Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Menurut para ahli ada 2 faktor yang mempengaruhi terjadinya PPOK yaitu
faktor eksogen dan endogen. Faktor endogen (genetik) tersebut dapat
bermanifestasi menjadi PPOK tanpa adanya pengaruh faktor luar: Lebih atau
sama dengan 70%. Kurang atau sama dengan 30% (eksogen), akan tetapi yang
banyak dijumpai adalah kecenderungan untuk PPOK meningkat akibat adanya
interaksi antara faktor endogen dan eksogen. Pendapat yang menyatakan bahwa
genetik merupakan faktor risiko PPOK (Dutch Hypothesis) ditentang oleh pakar
dari Inggris (British Hypothesis) yang menyatakan bahwa hanya faktor eksogen
yang berperan.
Ada 2 mekanisme patogenesis PPOK yang penting yaitu faktor endogen
(herediter) dan eksogen (iritasi karena asap rokok, bahan-bahan polutan dan
infeksi paru). Faktor endogen dapat menimbulkan obstruksi bronkus tanpa atau
dengan pengaruh faktor eksogen. Obstruksi bronkus disebabkan adanya spasme
otot bronkus, hipersekresi kelenjar mukus, edema dinding bronkus dan kelenturan
paru yang menurun. Apabila iritasi oleh faktor iritan eksogen masih berlangsung
terus maka obstruksi bronkus akan menunjukkan tanda-tanda klinis yang nyata
yaitu sesak nafas, batuk kronis, produksi dahak yang berlebihan dan gangguan
fungsi paru. Tergantung pada beratnya penyakit, pada stadium akhir (Phenotype
patient) dapat terjadi gangguan pertukaran gas sehingga terjadi hipoksemia
7
jaringan. Fungsi-fungsi paru: ventilasi, distribusi gas, difusi gas, maupun perfusi
darah akan mengalami gangguan ( Brannon, et al, 1993 ).
Obstruksi jalan nafas yang menyebabkan reduksi aliran udara beragam
tergantung pada penyakit. Pada bronkitis kronis dan bronkiolitis penumpukan
lendir dan sekresi yang sangat banyak menyumbat jalan nafas. Pada emfisema,
obstruksi pada pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi akibat kerusakan
dinding alveoli yang disebabkan oleh overekstensi ruang udara yang mengalir ke
dalam paru-paru (Smeltzer, 2002)
2.1.3 Gejala Umum
PPOK ditandai oleh adanya obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh
bronkhitis kronik maupun emfisema. (GOLD, 2009). Bronkhitis kronis ditandai
oleh adanya sekresi mukus bronkus yang berlebihan dan tampak dengan adanya
batuk produktif selama 3 bulan atau lebih, dan setidaknya berlangsung selama 3
tahun bertururt-turut, serta tidak disebabkan oleh penyakit lain yang mungkin
menyebabkan gejala tersebut. Emfisema menunjukkan adanya abnormalitas,
pembesaran permanen pada saluran udara bagian bawah sampai bronkhiolus
terminal dengan kerusakan pada dinding dan tanpa fibrosis yang nyata.
2.1.4 Gejala Klinis
Menurut Brunner & Suddarth (2005) adalah sebagai berikut :
1. Batuk produktif, kronis pada bulan-bulan musim dingin.
2. Batuk kronik dan pembentukan sputum purulen dalam jumlah yang sangat
banyak.
8
3. Dispnea.
4. Nafas pendek dan cepat (Takipnea).
5. Anoreksia.
6. Penurunan berat badan dan kelemahan.
7. Takikardia, berkeringat.
8. Hipoksia, sesak dalam dada.
Pada penderita PPOK selalu akan mengeluh batuk-batuk berdahak yang
sudah bertahun-tahun lamanya. Bila tidak disertai infeksi sekunder, dahak akan
berwarna keputih-putihan yang mungkin sampai kelabu (karena partikel-partikel
debu bila ada polusi udara). Tetapi bila ada infeksi sekunder, dahak akan lebih
kental, dan berwarna kuning sampai hijau dan seperti pus.
Pada stadium dini, keluhan sesak nafas hanya dirasakan kalau sedang
melakukan pekerjaan fisik ekstra (dyspnoe d’effort) yang masih dapat ditoleransi
penderita dengan mudah, namun lama kelamaan sesak ini semakin progresif. Pada
stadium berikutnya penderita secara fisik tak mampu melakukan ativitas apapun
tanpa bantuan oksigen, karena sambil duduk pun tetap akan terasa sesak nafas.
Stadium ini dikenal dengan julukan ”social death”, karena penderita sudah harus
menghentikan kegiatan sosialnya.
Pada dasarnya penderita PPOK tidak akan mengeluh tentang panas badan,
tetapi karena sering mendapatkan infeksi sekunder sub akut, maka dalam periode-
periode itu penderita akan mengeluh tentang panas badan rendah (subfebril)
sampai tinggi. Pada stadium lanjut sesak nafas yang berkepanjangan akan terjadi
dan akan menimbulkan hipertropi otot-otot nafas bantuan, yang akan nyata sekali
pada m.sterno-cleido-mastoideus yang akan selalu aktif bekerja menaiki rongga
9
thoraks keatas pada setiap inspirasi.
Ada penderita yang tampak kebiru-biruan (blue bloater) karena sianosis
yang dialaminya disertai dengan tanda-tanda gagal jantung kanan (edema perifer),
biasanya penderita ini agak gemuk dan sesak nafasnya tidak terlalu berat,
walaupun hiposekmianya agak berat. Ada pula yang tampak kemerahjambuan
(pink puffer), biasanya penderita cenderung kurus tanpa gangguan jantung kanan
dan hipoksemia yang dideritanya agak ringan, tetapi mengeluh sesak nafas berat
dan kadang diikuti dengan rasa mual. Namun perlu dicatat bahwa tidak semua
penderita akan mengikuti kedua pola ini secara mutlak, kebanyakan akan berada
dikeduanya.
Thoraks pun mengalami perubahan, diameter sagitalnya menjadi sama
dengan diameter transversal, sehingga berbentuk seperti drum (barrel chest).
(PDPI, 2003). Disamping itu kedua bahu akan tertarik keatas dan kadang-kadang
kifosis tulang belakang bagian torakal akan lebih nyata. Karena tekanan udara
intrapulmonal cenderung tinggi, letak diafragma rendah.
Fermitus suara terdengar melemah, sebaliknya perkusi akan menghasilkan
suara hipersonor. Pemeriksaan auskultasi dapat ditemukan fremitus melemah,
suara napas vesikuler melemah atau normal, ekspirasi memanjang, ronki, dan
mengi (PDPI, 2003). Wheezing terdengar sepanjang hari dan di seluruh paru, baik
saat inspirasi maupun ekspirasi. Ronki basah juga akan semakin terdengar dari
yang halus sampai sedang.
10
2.1.5 Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
Komplikasi dari PPOK menurut Smeltzer (2002) :
1. Gagal atau insufisiensi pernapasan
2. Atelektasis
3. Pneumonia
4. Pneumothoraks
5. Hipertensi paru
Sedangkan menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) :
1. Gagal napas
- Gagal napas kronik
Gagal napas kronik dengan hasil analisis gas darah Po2 < 60
mmHg dan Pco2 > 60 mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan :
- Jaga keseimbangan Po2 dan PCo2
- Bronkodilator adekruat
- Terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu
tidur
- Antioksidan
- Latihan pernapasan dengan pursed lips breathing
- Gagal napas akut pada gagal napas kronik
Gagal napas akut pada gagal napas kronik, ditandai oleh :
11
- Sesak napas dengan atau tanpa sianosis
- Sputum bertambah dan purulen
- Demam
- Kesadaran menurun
2. Infeksi berulang
Infeksi berulang Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan
terjadi infeksi berulang. Pada kondisi kronik ini imuniti menjadi lebih
rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limposit darah.
3. Kor pulmonal
Kor pulmonal : Ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit >
50 %, dapat disertai gagal jantung kanan.
2.1.6 Faktor Penyebab Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Peran masing-masing faktor resiko penyebab PPOK telah banyak
dipelajari di luar negeri, tetapi seberapa jauh kontribusi masing-masing faktor
tersebut terhadap patogenesis PPOK tidak banyak dilaporkan. Adapun beberapa
faktor determinan yang menyebabkan PPOK adalah: (Mansjoer, 1999)
a) Kebiasaan merokok
Rokok adalah silinder dari kertas berukuran panjang antara 70 hingga
120 mm (bervariasi tergantung negara) dengan diameter sekitar 10 mm yang
12
berisi daun-daun tembakau yang telah dicacah. Rokok dibakar pada salah satu
ujungnya dan dibiarkan membara agar asapnya dapat dihirup lewat mulut pada
ujung lainnya.Rokok adalah gulungan tembakau yang disalut dengan daun
nipah (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2002). Selain itu rokok juga di
bungkus dengan kotak kecil agar muat dengan saku.
Merokok merupakan masalah kesehatan global, WHO memperkirakan
jumlah perokok didunia sebanyak 2,5 milyar orang dengan dua per tiganya
berada di negara berkembang. Di negara berkembang paling sedikit satu dari
empat orang dewasa adalah perokok.
Menurut buku Report of The WHO Expert Commite on Smoking
Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK. Asap rokok dapat
mengganggu aktifitas bulu getar saluran pernafasan, fungsi makrofag dan
mengakibatkan hipertropi kelenjar mukosa. Pengidap PPOK yang merokok
mempunyai resiko kematian yang lebih tinggi (6,9-25 kali) dibandingkan
dengan bukan perokok. Resiko PPOK yang diakibatkan oleh rokok empat kali
lebih besar daripada bukan perokok.
Mekanisme kerusakan paru akibat rokok terjadi melalui 2 tahap yaitu
jalur utama melalui peradangan yang disertai kerusakan matriks ekstrasel dan
jalur kedua ialah menghambat reparasi matriks ekstrasel. Mekanisme
kerusakan paru akibat rokok melalui radikal bebas yang dikeluarkan oleh asap
rokok. Bahan utama perusak sel akibat proses diatas adalah protease,
mielperoksidase, oksidan dan radikal bebas.
13
Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) perlu
diperhatikan pencatatan riwayat merokok, yaitu: Perokok aktif atau Perokok
pasif atau Bekas perokok. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman
(IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan
lama merokok dalam tahun. Dikatakan ringan bila 0-200, sedang : 200-600,
berat : >600.
b) Pekerjaan
Faktor pekerjaan berhubungan erat dengan unsur alergi dan
hiperreaktivitas bronkus. Dan umumnya pekerja tambang yang bekerja di
lingkungan yang berdebu akan lebih mudah terkena PPOK.
c) Tempat Tinggal
Orang yang tinggal di kota kemungkinan untuk terkena PPOK lebih
tinggi daripada orang yang tinggal di desa. Hal ini berkaitan dengan kondisi
tempat yang berbeda antara kota dan desa. Dimana dikota tingkat polusi udara
lebih tinggi dibandingkan di desa.
d) Jenis Kelamin
Pada pasien laki-laki lebih banyak dibandingkan wanita. Hal ini
disebabkan lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada
wanita.
e) Faktor Genetik
Belum diketahui jelas apakah fator genetik berperan atau tidak.
14
f) Polusi Lingkungan
Polusi tidak begitu besar pengaruhnya sebagai faktor penyebab
penyakit diatas, tetapi bila ditambah merokok, resiko akan lebih tinggi. Zat-zat
kimia yang dapat menyebabkan PPOK adalah zat-zat pereduksi dan zat-zat
pengoksidasi seperti N2O, hidrokarbon, aldehid, ozon.
g) Status Sosial Ekonomi
Pada status ekonomi rendah kemungkinan untuk mendapatkan PPOK
lebih tinggi. Hal ini disebabkan faktor lingkungan dan ekonomi yang lebih
rendah.
h) Usia
Gejala PPOK jarang muncul pada usia muda, umumnya setelah usia 50
tahun keatas. Hal ini dikarenakan keluhan muncul karena adanya terpaan asap
beracun yang terus menerus dalam waktu yang lama. Pada orang yang masih terus
merokok setelah usia 45 tahun fungsi parunya akan menurun dengan cepat
dibandingkan yang tidak merokok dan pada usia di atas 60 tahun gejala-gejala
PPOK akan mulai muncul.
2.1.7 Pencegahan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Pencegahan PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2003) :
1. Mencegah terjadinya PPOK
- Hindari asap rokok
- Hindari polusi udara
- Hindari infeksi saluran napas berulang
15
2. Mencegah perburukan PPOK
- Berhenti merokok
- Gunakan obat-obatan adekuat
- Mencegah eksaserbasi berulang
2.1.8 Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
Tujuan terapi PPOK yang stabil adalah memperbaiki keadaan obstruksi
kronik, mengatasi dan mencegah eksaserbasi akut, menurunkan kecepatan
peningkatan penyakit, meningkatkan keadaan fisik dan psikologik pasien
sehingga pasien dapat melaksanakan kegiatan sehari-hari, menurunkan jumlah
hari tinggal di rumah sakit dan menurunkan jumlah kematian. Terapi eksaserbasi
akut adalah untuk memelihara fungsi pernafasan dan memperpanjang survival
pasien (Ikawati, 2007). Penatalaksanaan meliputi edukasi, obat-obatan, terapi
oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi dan rehabilitasi.
a. Edukasi
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma.
Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti
dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah
kecepatan perburukan fungsi paru. Tujuan edukasi adalah supaya pasien
PPOK mengenal perjalanan penyakit, melaksanakan pengobatan yang
maksimal, mencapai aktivitas optimal dan meningkatkan kualitas hidup.
16
( GOLD, 2009 ).
b. Obat-obatan
1. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi sesuai dengan
klasifikasi derajad beratnya penyakit. Diutamakan bentuk obat inhalasi,
nebulisasi tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat
berefek panjang (longacting)
2. Ekspektoran dan mukolitik. Air minum adalah ekspektoran yang baik,
pemberian cairan yang cukup akan mengencerkan sekret. Obat
ekspektoran dan mukolitik dapat diberikan terutama pada saat eksaserbasi.
Antihistamin secara umum tidak diberikan karena dapat menimbulkan
kekeringan saluran napas sehingga sekret sukar dkeluarkan
3. Antibiotik diberikan bila ada infeksi sehingga dapat mengurangi
keadaan eksaserbasi akut.
4. Antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kialiti
hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan
eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai terapi rutin.
5. Kortikosteroid pemberiannya masih kontroversial, hanya bermanfaat
pada serangan akut.
6. Antitusif diberikan dengan hati-hati.
17
c. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen
merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi
seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ
lainnya. Terapi oksigen bermanfaat untuk mengurangi sesak napas,
hipertensi pulmoner, vasokonstriksi pembuliuh darah paru, hematokrit dan
memperbaiki kualiti dan fungsi neuropsikologik.
d. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien
PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat
digunakan di rumah sakit di ruang ICU atau di rumah Ventilasi mekanik
dapat dilakukan dengan intubasi maupun tanpa intubasi.
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal
napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi
mekanik tanpa intubasi adalah NIPPV (noninvasive intermitten positive
pressure) atau NPV (negative pressure ventilation). NIPPV bila digunakan
dengan terapi oksigen terus menerus (LTOT/long term oxygen therapy)
akan memberikan perbaikan bermakna pada AGD, kualitas dan kuantitas
tidur serta kualiti hidup. NIPPV dapat diberikan dengan tipe ventilasi
volume control, pressure control dan BiPAP (bilevel positive airway
18
pressure) dan CPAP (continuous positive airway pressure).
Ventilasi mekanik dengan intubasi. Pasien PPOK dipertimbangkan untuk
menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan
sebagai berikut:
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan
dapat diperbaiki (misalnya pneumonia)
- Aktivitas sebelumnya tidak terbatas.
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak dilakukan pada pasien PPOK dengan
kondisi sebagai berikut:
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
- Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
- Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
e. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi
dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresif tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat.
19
Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah
karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat
meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi
terhadap hipoksia dan hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas
kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan. Diperlukan
keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan.
Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi
kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering, bila perlu nutrisi dapat
diberikan secara terus menerus (nocturnal feedings) dengan pipa
nasogaster.
f. Rehabilitasi
1. Fisioterapi
Fisioterapi bertujuan memobilisasi sputum dan membuat pernapasan lebih
efektif serta mengembalikan kemampuan fisik penderita ke tingkat
optimal.
2. Rehabilitasi psikis.
Penderita PPOK sering merasa tertekan dan cemas sehingga perlu
pendekatan psikis untuk mengurangi perasaan tersebut.
3. Rehabilitasi pekerjaan.
Menganjurkan pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.
20
BAB III
KERANGKA KONSEP
3.1 Kerangka Konsep
Keterangan :
22
UsiaUsia
Jenis KelaminJenis Kelamin
Status Sosial
Ekonomi
Status Sosial
Ekonomi
Faktor GenetikFaktor
Genetik
Kebiasaan Merokok
Kebiasaan Merokok
PerempuanPerempuan
Laki - LakiLaki - Laki
Riwayat Pendidikan
Riwayat Pendidikan
PekerjaanPekerjaan
Tempat TinggalTempat Tinggal Polusi LingkunganPolusi Lingkungan
Pengetahuan tentang PPOKPengetahuan tentang PPOK
PPOKPPOK
Tidak ditelitiTidak diteliti DitelitiDiteliti
21
BAB IV
METODE PENELITIAN
IV.1 Rancangan Penelitian
A. Rancangan Penelitian
1. Jenis penelitian yang digunakan adalah deskriptif karena tujuannya
adalah mengetahui ”prevalensi PPOK berdasarkan jenis kelamin,
usia, pekerjaan dan kebiasaan merokok di Rumah Sakit Wates
Husada Gresik pada tahun 2013”
2. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan Cross Sectional ,
karena variabel pada objek penelitian diukur atau dikumpulkan
secara simultan dalam waktu bersamaan dan tidak dilakukan
follow up.
B. Populasi dan Sampel Penelitian
1. Populasi
Populasi dalam penelitian ini yaitu pasien yang terdiagnosis
PPOK di Rumah Sakit Wates Husada Gresik pada bulan
Januari 2013 – Desember 2013.
2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari jumlah dan karakteristik yang
dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel adalah seluruh pasien
dengan penyakit PPOK di Rumah Sakit Wates Husada Gresik
23
22
dengan mengumpulkan data rekam medis pada bulan januari
2013 – Desember 2013.
Besar Sampel
Sampel adalah bagian dari sebuah populasi yang dianggap
dapat mewakili dari populasi tersebut. Untuk menentukan
besarnya sampel menurut Arikunto (2002: 112) apabila subjek
kurang dari 100, lebih baik diambil semua sehingga
penelitiannya penelitian populasi. Dan sampel yang digunakan
adalah total sampling. Total sampling penelitian ini sebanyak
54 responden.
C. Variabel Penelitian
Variabel
Variabel dalam penelitian ini adalah :
1. Penderita PPOK
2. Umur/Usia
3. Jenis Kelamin
4. Status ekonomi (Pekerjaan)
5. Kebiasaan merokok
24
D. Lokasi dan Waktu Penelitian
a) Lokasi : Penelitian dilaksanakan di poliklinik Penyakit Dalam dan
bagian Rawat Inap yang tercantum di Rekam Medis Rumah Sakit
Wates Husada Gresik..
b) Penelitian data yang diambil dari data di poliklinik Penyakit Dalam
dan bagian Rawat Inap yang tercantum di Rekam Medis Rumah
Sakit Wates Husada Gresik pada bulan Januari – Desember 2013
c) Penelitian dilapangan dilaksanakan melihat dari rekam medis (data
sekunder)
d) Bahan/Alat/Instrumen Penelitian
- Rekam medis Rumah Sakit Wates Husada Gresik pada bulan
Januari 2013 – Desember 2013.
e) Prosedur Penelitian/Pengumpulan Data
1. Persiapan penelitian
Persiapan penelitian meliputi: mempersiapkan rekam medis
yang akan diteliti, menetapkan metode pengumpulan data
berdasarkan variabel yang diteliti.
2. Rencana Kerja
a. Menentukan rekam medis
b. Memberi penjelasan kepada petugas rumah sakit tentang
tujuan yang akan diteliti.
25
E. Definisi Operasional
1. Rekam medis adalah keterangan baik yang tertulis maupun
terekam tentang identitas, anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium, diagnosis, segala pelayanan dan tindakan medik
yang diberikan kepada pasien dan pengobatan baik yang dirawat
inap, rawat jalan maupun yang mendapatkan pelayanan gawat
darurat (Gondodiputro, 2007).
2. Pasien PPOK adalah pasien yang dinyatakan menderita PPOK
eksaserbasi akut berdasarkan hasil diagnosis dokter dan tercatat
dalam rekam medis.
3. Status Sosial adalah salah satu komponen variabel nondemografi,
seperti pendidikan, pekerjaan, dan lain-lain, sedangkan demografi
adalah suatu ilmu yang mempelajari penduduk di suatu wilayah
terutama mengenai jumlah, struktur (usia, jenis kelamin, agama,
dan lain-lain), dan proses perubahannya (kelahiran, kematian,
perkawinan, dan lain-lain). Dalam penelitian ini, status sosial
terdiri dari:
a. Usia adalah lamanya hidup pasien PPOK yang dihitung
berdasarkan tahun sejak pasien lahir, sesuai yang tercatat pada
rekam medis.
b. Jenis kelamin adalah jenis kelamin pasien PPOK sesuai yang
tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:
26
1. Laki-laki
2. perempuan
c. Pekerjaan adalah aktivitas utama pasien PPOK sesuai yang
tercatat pada rekam medis, yang dikategorikan atas:
1. Petani
2. Nelayan
3. Buruh
4. Sopir
5. Swasta
F. Metode Analisis Data
1. Pengkajian Data (editing)
Peneliti mengkaji dan meneliti kembali kelengkapan rekam medis
yang telah terkumpul untuk proses berikutnya.
2. Pemberian Kode (coding)
Peneliti mengklasifikasikan hasil yang didapat dari rekam medis untuk
kemudian dilakukan entry data dengan menggunakan komputer.
27
3. Analisis Deskriptif
Hasil penelitian ini disajikan dalam bentuk tabel dan diagram batang
dengan menggunakan program komputer MS Excel 2007.
4. Uji Statistik
Data penelitian ini diolah dan dianalisis secara kuantitatif dengan
menggunakan program komputer SPSS Versi 21 dengan
menggunakan uji Descriptive Frequency.
G. Kriteria Sampel
Dalam pemilihan sampel, peneliti membuat kriteria bagi sampel
yang di ambil. Sampel yang diambil berdasarkan pada kriteria inklusi,
yaitu karakteristik sampel yang dapat dimasukkan atau layak untuk diteliti.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah :
1). Pasien yang tidak terganggu jiwanya
2). Pasien yang menderita PPOK
28
BAB V
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS DATA
A. Gambaran Umum Daerah Penelitian
Penelitian yang berjudul “Prevalensi Penyakit Paru Obtruksi Kronis
berdasarkan jenis kelamin, usia, pekerjaan” ini dilakukan pada tanggal 8 – 11
April 2014 di RS Wates Husada Gresik. Penelitian ini dilakukan dengan cara
melihat dari hasil rekam medis pasien rawat inap. Penelitian ini menggunakan
metode pendekatan Cross Sectional , karena variabel pada objek penelitian diukur
atau dikumpulkan secara simultan dalam waktu bersamaan dan tidak dilakukan
follow up.
B. Karakteristik Responden
1. Jumlah penderita PPOK berdasarkan jenis kelamin
Tabel 1 : Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan Jenis Kelamin
No Jumlah Penderita PPOK Jenis Kelamin Prosentase
1 15 Perempuan 27,77%
2 39 Laki-laki 72,23%
Jumlah 54 100%
Penelitian yang dilakukan menghasilkan jumlah penderita PPOK sebanyak
54 penderita. Dimana 27,77 persen (15 penderita) berjenis kelamin perempuan
29
28
dan 72,23 persen (39 penderita) berjenis kelamin laki-laki. Penelitian ini
dilakukan dengan melihat rekam medis.
Agar dapat mempermudah, maka disajikan dalam bentuk diagram sebagai
berikut:
Gambar 1 : Grafik Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan Jenis Kelamin
Menurut grafik, jenis kelamin responden terbesar adalah laki-laki sebesar
72,23%, sedangkan jenis kelamin terendah adalah perempuan sebesar 27,77%.
Penderita PPOK paling tinggi adalah laki-laki.
30
2. Jumlah penderita PPOK berdasarkan usia
Tabel 2 : Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan Usia
UsiaJumlah Penderita
PPOKProsentase
40-49 2 3,70%
50-59 11 20,37%
60-69 21 38,89%
70-79 12 22,22%
>80 8 14,82%
Jumlah 54 100%
Penelitian berdasarkan usia ini didapatkan jumlah penderita PPOK di
rentang usia antara 40-49 tahun sebanyak 2 orang (3,70%), rentang usia 50-59
tahun sebanyak 11 orang (20,37%), rentang usia 60-69 tahun sebanyak 21 orang
(38,89%), rentang usia 70-79 tahun sebanyak 12 orang (22,22%), dan usia lebih
dr 80 tahun sebanyak 8 orang (14,82%).
Untuk mempermudah, maka disajikan dalam bentuk grafik sebagai
berikut:
31
Gambar 2 : Grafik Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan UsiaDari gambar dapat dilihat usia responden tertinggi adalah rentang usia
antara 60-69 tahun sebesar 38,89% sedangkan usia responden terendah adalah
rentang usia antara 40-49 tahun sebesar 3,7%.
3. Jumlah penderita PPOK berdasarkan pekerjaan
Tabel 3 : Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah Penderita
PPOK
Prosentase
Petani 20 37,04%
Swasta 7 12,96%
Sopir 2 3,70
Nelayan 15 27,78%
Buruh 10 18,52
54 100%
32
Penelitian berdasarkan pekerjaan dalam penelitian ini didapatkan sebanyak
20 orang (37,04%) sebagai petani, sebanyak 7 orang (12,96%) sebagai pegawai
swasta, sebanyak 2 orang (3,70%) sebagai sopir, sebanyak 15 orang (27,78%)
sebagai nelayan, dan sebanyak 10 orang (18,52%) seagai buruh.
Untuk lebih jelas dapat dilihat dalam gambar sebagai berikut:
Gambar 3 : Grafik Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan Pekerjaan
Menurut gambar dapat dilihat responden PPOK yang bekerja sebagai
petani memiliki prosentase terbesar yaitu 37,04% dan paling rendah adalah
responden yang bekerja sebagai sopir yaitu 3,7%.
33
4. Jumlah penderita PPOK berdasarkan kebiasaan merokok
Tabel. 4 : Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan Kebiasaan Merokok
No Jumlah Kebiasaan Merokok Prosentase
1 39 Merokok 72,22%
2 15 Tidak Merokok 27,78%
Jumlah 54 100%
Gambar 4 : Grafik Jumlah Penderita PPOK Berdasarkan Kebiasaan Merokok
Penelitian berdasarkan kebiasaan merokok ini didapatkan jumlah penderita
PPOK yang merokok sebanyak 39 orang (72,22%). Dan penderita PPOK yang
tidak merokok sebanyak 15 orang (27,78%).
34
5. Jumlah penderita PPOK antara jenis kelamin dengan
kebiasaan merokok
Tabel 5 : Jumlah Penderita PPOK Antara Jenis Kelamin Dengan Kebiasaan Merokok
Kebiasaan MerokokTotal
- +
Jenis
Kelamin
Laki-laki 2 (13,33%) 37 (94,88%) 39
Perempuan 13 (86,67%) 2 (5,12%) 15
Total 15 (100%) 39 (100%) 54
Penelitian dengan jumlah penderita PPOK antara jenis kelamin dengan
kebiasaan merokok ini didapatkan jumlah penderita PPOK laki-laki dengan
kebiasaan merokok sebanyak 37 orang (94,88%) dan penderita PPOK laki-laki
yang tidak merokok sebanyak 2 orang (13,33%). Kemudian penderita PPOK
perempuan yang merokok sebanyak 2 orang (5,12%) dan penderita PPOK
perempuan yang tidak merokok sebanyak 13 orang (86,67%).
35
BAB VI
PEMBAHASAN
Pasien PPOK paling banyak berusia diatas 60 tahun, yaitu sebesar 60,2%
dengan proporsi laki-laki 50% dan perempuan 10,2%. Sex ratio adalah 70:18 ~
4:1, yang sesuai dengan angka prevalensi PPOK di Indonesia yaitu jumlah pasien
PPOK laki-laki lebih besar daripada perempuan. Hal ini dapat disebabkan lebih
banyak perokok pada laki-laki daripada perempuan. Hasil penelitian Rahmatika
(2009) di RSUD Aceh Tamiang dari bulan Januari sampai Mei 2009 mendapatkan
proporsi tertinggi usia pasien PPOK adalah pada kelompok usia 60 tahun (57,6%)
dengan proporsi laki-laki 43,2% dan perempuan 14,4%. Hasil penelitian Shinta
(2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada pasien PPOK eksaserbasi akut yang
menjalani rawat inap dari tanggal 1 Januari 2006 – 30 Juni 2006, diperoleh 46
pasien dengan 39 pasien laki-laki (84,8%) dan 7 pasien perempuan (15,2%).
Distribusi proporsi usia pasien yaitu usia 31-40 tahun (2,2%), 41-50 tahun (2,2%),
51-60 tahun (10,8%), dan proporsi terbesar berasal dari kelompok umur diatas 61
tahun (84,8%). Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta mendapatkan rerata usia pasien PPOK adalah 65,9 tahun
(SD 9,35). Usia paling muda adalah 40 tahun dan usia paling tua adalah 81 tahun.
Proporsi pasien yang masih perokok cukup banyak yaitu sebesar 42,0%.
Merokok merupakan faktor risiko terpenting terjadinya PPOK. Menurut hasil
penelitian Shinta (2007) di RSU Dr. Soetomo Surabaya pada tahun 2006, faktor
resiko yang diidentifikasi sebagai penyebab PPOK yaitu kebiasaan merokok yaitu
36
35
sebanyak 29 pasien (63,0%), dan faktor lain yang tidak diketahui sebanyak 17
pasien (37,0%). Namun, pasien PPOK yang tidak memiliki riwayat merokok juga
mempunyai risiko menderita PPOK akibat paparan asap rokok (perokok pasif)
dan polusi udara. Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di ruang rawat inap RS.
Persahabatan Jakarta mendapatkan hampir semua pasien adalah bekas perokok
yaitu sebanyak 109 pasien dengan proporsi sebesar 90,8%.
Risiko menderita PPOK akibat merokok dapat diketahui melalui penilaian
derajat berat merokok seseorang. Semakin banyak jumlah batang rokok yang
dihisap dan makin lama masa waktu menjadi perokok, semakin besar risiko dapat
mengalami PPOK (Suradi, 2009). Hasil penelitian Setiyanto dkk. (2008) di RS.
Persahabatan Jakarta mendapatkan rerata indeks Brinkman pasien sebesar 684,0
dengan indeks Brinkman paling besar 2640. Derajat indeks Brinkman pasien
terbanyak adalah derajat berat (40,0%) diikuti derajat sedang (38,3%) dan derajat
ringan (21,7%).
Proporsi perokok lebih banyak pada laki-laki (71,5%) dibandingkan pada
perempuan (5,7%). Hasil Susenas tahun 2001 menunjukkan bahwa sebanyak
62,2% penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,3% perempuan yang
merokok. Prevalensi merokok pada laki-laki dewasa meningkat dari 53,4% pada
tahun 1995 menjadi 62,2% pada tahun 2001. Prevalensi merokok pada perempuan
menurun dari 1,7% pada tahun 1995 menjadi 1,3% tahun 2001.
37
Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat diketahui bahwa
responden PPOK berdasarkan jenis kelamin adalah 27,77 persen (15 penderita)
berjenis kelamin perempuan dan 72,23 persen (39 penderita) berjenis kelamin
laki-laki, maka dapat diketahui bahwa laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
Sedangkan data responden berdasarkan usia adalah 40 tahun keatas, dengan
rentang usia terbanyak antara 60-69 tahun. Responden penderita PPOK
berdasarkan pekerjaan dapat diketahui bahwa pekerjaan responden dari terbanyak
sampai paling sedikit adalah responden dengan pekerjaan sebagai petani, nelayan,
buruh, swasta, dan paling sedikit bekerja sebagai sopir. Hasil penelitian responden
kebiasaan merokok didapatkan sebesar (72,22%). Dan hasil berdasarkan
penelitian antara jenis kelamin dengan kebiasaan merokok didapatkan laki-laki
dengan kebiasaan merokok sebesar 94,88%.
Maka hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan
oleh Suradi pada tahun 2007 yang mengatakan bahwa angka kesakitan penderita
PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan
pada wanita adalah 2% dengan angka kematian 4% pada umur di atas 45 tahun.
Prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 8,5-22,2% dan pada perempuan sebesar
5,1-16,7%, sedangkan pada orang dewasa pada usia lebih dari 40 tahun mencapai
9-10%. Maka dapat dikatakan bahwa penderita PPOK berjenis kelamin laki-laki
lebih besar dibandingkan dengan perempuan.
Menurut buku Report of The WHO Expert Commite on Smoking Control,
rokok adalah penyebab utama timbulnya PPOK, hal ini sesuai dengan hasil
38
penelitian bahwa dari 54 responden penderita PPOK didapatkan sebanyak 72,22%
merokok. Maka dapat dikatakan bahwa merokok beresiko terjadinya PPOK.
39
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa kesakitan penderita
PPOK terjadi pada :
1. Dari 54 responden didapatkan usia lebih dari 40 tahun dengan rentang usia
puncak 60-69 tahun.
2. Laki-laki lebih banyak daripada perempuan.
3. Berdasarkan pekerjaan responden terbanyak adalah berprofesi sebagai
petani.
4. Dari 54 responden penderita PPOK didapatkan lebih banyak merokok
dibanding yang tidak merokok.
5. Laki-laki yang merokok lebih beresiko terkena PPOK dibanding yang tidak
merokok.
7.2. Saran
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk mengetahui jumlah
penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) berdasarkan jenis kelamin, usia
dan status sosial kemudia sebagai masukan kepada Dinas Kesehatan Kota Gresik
dalam perancanaan tindakan lanjut bagi upaya menurunkan angka Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) dan juga sebagai bahan informasi untuk pengembangan
penelitian yang serupa dan berkelanjutan tentang pelaksanaan surveilans
40
39
epidemiologi. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi pedoman terhadap
penelitian selanjutnya. Selain itu, diharapkan dapat memperluas variabel lainnya
seperti derajat sesak napas, komplikasi, jenis antibiotik, maupun hasil identifikasi
biakan sputum.
41
DAFTAR PUSTAKA
Alsagaff, H dan Mukty, A. (2006). Dasar-Dasar Ilmu Penyakit Paru. Surabaya: Airlangga University Press
Arif Muttaqin, 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan, Jakarta : Salemba Medika.
Arikunto, 2002. Metodologi Penelitian. Penerbit Pustaka Sinar Harapan Jakarta
Brunner & Suddarth. (2005). Keperawatan Medikal Bedah.(edisi 8). Jakarta : EGC
Depkes RI. 2007. Profil Kesehatan Indonesia 2005. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Profil Pengendalian Penyakit & Penyehatan Lingkungan. Jakarta:2008
Doengoes Marilyn, E, 2001. Penerapan Proses Keperawatan Dan Diagnosa Keperawatan, Edisi 2, Jakarta : EGC.
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from: http://www.goldcopd.org
Gondodiputro, S., 2007. Bahaya Tembakau dan Bentuk-bentuk Sediaan Tembakau. Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Available from: http://resources.unpad.ac.id/unpadcontent/uploads/publikasi_dosen/Rokok. Pdf. Diakses 31 Mei 2013
Gulsvik, A (1999) Mortality and Prevalence of Chronic Obstruktive Pulmonary Disease in Differet Part of Erope. Dept of Thoracic Medicine, University of Bergen. Monaldi-Arch-Chest-Dist. 54(2): 160-2.
Hackett, T.L., Knighht, Sin, D.D., (2010) Potential role of stem cell in management of COPD, Int J Chron Obstruct Pulmon Dis.,27: ;5:81-1
Ikawati, Z., 2007. Farmakoterapi Penyakit Sistem Pernafasan. 21, 22, 23, 27, 33-34, Pustaka Adipura, Yogyakarta
Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002). Departemen Pendidikan Nasional Edisi ke-3. Balai. Pustaka, Jakarta. Gramedia
42
Mahler, C., Ammenwerth, E., Wagner, A., Tautz, A., Happek, T., Hoppe, B., et al. (2007). Effects of a Computer Based Nursing Documentation System On The Quality Of Nursing Documentation. Journal Medical System.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2003. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK ) PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA. http://www.klikpdpi.com/konsensus/konsensus-ppok diakses tanggal 31 Mei 2013.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia 2006. Pantangan Merokok Pada Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik. http://klikpdpi.com di akses tanggal 30 Mei 2013
Shinta, dkk. 2007. Studi Penggunaan Antibiotik Pada Eksaserbasi Akut Penyakit Paru Obstruksi Kronik : Studi Pada Pasien IRNA Medik di Ruang Paru Laki dan Paru Wanita RSU Dr. Soetomo Surabaya. http://lib.unair.ac.id/ di akses tanggal 31 Mei 2013.
Smeltzer, S.C. and Bare, B.G. 2001.Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8 Vol.2.Jakarta : EGC
Smeltzer, S.C., Bare, B.G., 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner and Suddarth, (terjemahan), Alih Bahasa : Agung Waluyo, Editor Monica Ester, Ed. 8, Vol. 2, EGC, Jakarta
Sudoyo A, et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FKUI; 2006.
Suradi, 2007. PPOK, Penyakit yang Perlu Diwaspadai Perokok. http://www.gizi.net/cgibin/berita/fullnew.cgi?newsid1173429241,25820 diakses 31 Mei 2013
Suradi. 2009. Pengaruh Rokok Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Tinjauan Patogenesis, Klinis dan Sosial. Pidato Guru Besar, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta. Available from: http://www.uns.ac.id/2009/penelitian.php?act=det&idA=263
Suyanto,2010. Metodologi Dan Aplikasi Penelitian Keperawatan. Yogyakarta: Nuha Medika
43