Skrip Si
-
Upload
sandri-prisilya-paa -
Category
Documents
-
view
283 -
download
5
description
Transcript of Skrip Si
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah sama yaitu sebagai
makluk pribadi dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial,
manusia membutuhkan sesama untuk hidup bersama dan saling berinteraksi
satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pandangan pancasila tentang
kodrat manusia,khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia
lainnya.
Interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain akan
membentuk suatu kelompok dan orang yang berada dalam kelompok tersebut
akan merasa sebagai bagian dari kelompok itu. Kemudian membentuk suatu
kaidah untuk ditaati atau dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Proses interaksi sosial menyebabkan manusia saling berkenalan satu sama
lain. Perkenalan antara seorang pria dan wanita akan membuat seseorang
merasa tertarik dengan yang lainnya. Perasaan tertarik antara satu dengan
yang lainnya akan mengantar kedua insan manusia ke jenjang
perkenalan,pertunangan dan akhirnya perkawinan. (Wada,1998:1)
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan
dan laki-laki tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara bahkan
keluarga masing-masing.
1
Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan
dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi
berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan
aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Salah satunya adalah masalah stratifikasi sosial atau pelapisan sosial dalam
masyarakat. Strata atau lapisan sosial dalam masyarakat sangat berpengaruh
dalam menjalin hubungan antara orang perorangan, orang dengan kelompok
dan kelompok dengan kelompok. Hubungan inilah yang akan membedakan
kelas-kelas atau lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.
Struktur masyarakat NTT umumnya berdasarkan sistem genealogis. Maka
stratifikasi sosial dalam masyarakat itu juga berdasarkan sistem kemurnian
daerah dari kelompok keturunan pembuka daerah yang pertama atau pendiri
kerajaan di daerah itu. Tingkatan sosial didasarkan dari dekat jauhnya
hubungan darah dengan cikal bakal yang membuka tanah disitu. Pihak yang
terdekat hubungannya dengan cikal bakal merupakan lapisan tertinggi.
Sedangkan hubungan yang semakin jauh dengan cikal bakal, merupakan
lapisan yang lebih rendah tingkat sosialnya. Masyarakat NTT pada umumnya
dibagi menjadi 3 lapisan besar, dengan beberapa variasi sebutan dan istilah
yang disesuaikan dengan serta bahasa daerah masing-masing. (Lobo-
Riwu,bahan ajar Sejarah Budaya NTT 2013:117)
Bentuk pelapisan sosial seperti yang diuraikan diatas merupakan warisan
yang tetap dan sangat berpengaruh dalam suatu pergaulan hidup termasuk
dalam hal memilih jodoh.
2
Masyarakat Kelurahan Jawameze di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada
masih memegang teguh norma-norma yang mengatur tentang perkawinan
berdasakan lapisan sosial (rang/kasta), di Bajawa tentang perkawinan tidak
sekasta atau rang ini dinamakan La’a Sala. Untuk yang berbeda kasta atau Rang
ini biasanya pria dari Rang Atas boleh menikahi wanita dari Rang Bawah akan
tetapi wanita dari Rang Atas tidak boleh menikahi pria dari Rang Bawah.
Pelanggaran perkawinan (La’a Sala) ini juga memberikan dampak negatif
bagi masyarakat, antara lain hal ini biasanya menjadi hambatan bagi wanita dari
Rang Atas untuk mendapatkan suami karena wanita dari Rang Atas tidak boleh
memilih pasangannya seturut kehendaknya melainkan harus menikahi dengan pria
sesama Rang Atas ( Maga,Djowa,Maria H. Klau. 1999).
Sanksi adat yang biasanya diberikan kepada mereka yang melakukan
pelanggaran hukum adat ( La’a Sala ) biasanya antara lain kedua individu wanita
dan pria diusir dari kampung dalam jangka waktu tertentu. Pasangan ini dapat di
terima kembali di kampung apabila sudah melakukan proses upacara La’a Sala(ua
pu’u thia nua, lole nua dan toa kaba).
Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian
dengan judul “Kajian Tentang Stratifikasi Sosial Dan Perkawinan Pada
Masyarakat Kelurahan Jawameze Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada”.
3
B. Rumusan Masalah
1. Mengapa ada stratifikasi sosial (kasta) pada masyarakat Kelurahan
Jawameze?
2. Bagaimanakah bentuk perkawinan yang ideal dalam masyarakat
Kelurahan Jawameze?
3. Bagaimana dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan di masyarakat
Kelurahan Jawameze?
C. Tujuan
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Mendeskripsikan tentang stratifikasi sosial pada masyarakat Kelurahan
Jawameze.
2. Mendeskripsikan perkawinan yang ideal dalam masyarakat Kelurahan
Jawameze.
3. Mendeskripsikan dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan di
masyarakat Kelurahan Jawameze.
4
D. Manfaat Penelitian
1. Sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya.
2. Sebagai sumbangan dalam rangka memperkaya sumber budaya
Kabupaten Ngada.
3. Sebagai pengetahuan lokal yang perlu diketahui dan dipelajari oleh
generasi muda, seperti pengetahuan mengenai stratifikasi sosial yang
ada pada masyarakat Kabupaten Ngada.
4. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada
Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan
Pancasila Dan Kewarganegaraan Universitas Nusa Cendana.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA,KONSEP DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Banyak penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan stratifikasi sosial,
diantaranya :
Wada (1998) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa
Cendana Kupang, melakukan penelitian dengan judul Hubungan Stratifikasi
Sosial dengan Perkawinan di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama
Kabupaten Dati II Sumba Barat. Dalam penelitian tersebut mengulas tentang ada
hubungan yang signifikan antara stratifikasi sosial dengan perkawinan di desa
Bondo Boghila. Stratifikasi sosial masyarakat Bondo Boghila sebagai warisan dari
sistem feodalisme masih tetap diperlakukan walaupun tidak sepenuhnya. Dalam
pemilihan jodoh, status sosial merupakan salah satu faktor yang turut
dipertimbangkan.
Huki (2003) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Univesitas Nusa Cendana
Kupang, melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Stratifikasi Sosial
dengan Tingkat Pendidikan Anak (Studi Sosiologis di Desa Matei Kecamatan
Sabu Timur Kabupaten Kupang).
Berdasarkan hasil penelitiaan tersebut menunjukan bahwa stratifikasi sosial di
desa Matei mempunyai hubungan erat dengan tingkat pendidikan anak.
6
Haryo (2000) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nusa
Cendana,melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Perubahan Status Sosial Dalam Sistem Stratifikasi (Studi Sosiologis Tentang
Perubahan Status Sosial Masyarakat Manggarai di Desa Golo Lera Kecamatan
Poco Ranaka Manggarai Flores). Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan proses
pembedaan masyarakat secara bertingkat pada zaman feodal, status sosial
seseorang ditentukan berdasarkan ascribed status yakni status yang diperoleh
individu karena faktor keturunan. Selain itu faktor pendidikan
mempunyaipengaruh besar terhadap perubahan cara pandang masyarakat tentang
penentuan status sosial.
Kae (2015) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa
Cendana, melakukan penelitian dengan judul Studi Tentang Upacara Adat La’a
Sala ( Pelanggaran Perkawinan ) Pada Masyarakat Desa Naru Kecamatan Bajawa
Kabupaten Ngada. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pelanggaran
perkawinan (La’a Sala) adalah perkawinan antara kedua belah pihak yang
berbeda kasta atau Rang atau juga perkawinan yang masih memiliki hubungan
sedarah. Untuk yang berbeda kasta atau Rang ini biasanya pria dari Rang Atas
boleh menikahi wanita dari Rang Bawah akan tetapi wanita dari Rang Atas tidak
boleh menikahi pria dari Rang Bawah. Selain itu perkawinan yang masih
memiliki hubungan darah juga dapat dikatakan La’a Sala juga.
Yang membedakan penelitian peneliti terdahulu dan peneliti sekarang dapat
dilihat pada tabel 2.1
7
Tabel 2.1 Sumber data penelitian
No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Ket.
1. Wada Hubungan Stratifikasi Sosial Dengan Perkawinan di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama Kabupaten Dati II Sumba Barat
1. untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang keadaan stratifikasi sosial di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama Kabupaten Dati II Sumba Barat
2. untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang perkawinan di Desa Bondo Boghila
3. untuk memperoeh gambaran yang jelas tentang hubungan antara stratifikasi sosial dengan perkawinan di Desa Bondo Boghila
Skripsi
2 Huki Hubungan Antara Stratifikasi Sosial Dengan Tingkat Pendidikan Anak (Studi Sosiologis di Desa Matei Kecamatan Sabu Timur Kabupaten Kupang)
1. Untuk menggambarka keadaan stratifikasi sosial orang Sabu di Desa Matei
2. Untuk mengetahui hubungan antara stratifikasi sosial di Desa Matei dengan tingkat pendidikan anak
skripsi
3. Haryo Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
1. Menggambarkan stratifikasi sosial
skripsi
8
Perubahan Status Sosial Dalam Sistem Stratifikasi
masyrakat Manggarai
2. Menggambarkan perubahan status sosial masyarakat Manggarai di Desa Golo Lero
4. Kae Studi Tentang Upacara Adat La’a Sala ( Pelanggaran Perkawinan ) Pada Masyarakat Desa Naru Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada.
Mengapa terjadinya pelanggaran perkawinan dan upacara La’a sala pada masyarakat desa Naru, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada?
Skripsi
5. Ngadha Kajian Tentang Stratifikasi Sosial dan perkawinan Pada Masyarakat Kelurahan Jawameze Kabupaten Ngada
1. Mendeskripsikan tentang stratifikasi sosial pada masyarakat Kelurahan Jawameze Kabupaten Ngada.
2. Mendeskripsikan perkawinan ideal menurut masyarakat Kelurahan Jawameze Kabupaten Ngada.
3. Mendeskripsikan dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan di masyarakat kelurahan Jawameze
Skripsi
Sumber :Perpustakaan Universitas Nusa Cendana
9
Mencermati hasil penelitian terdahulu yang diuraikan diatas,maka dapat
dikemukakan bahwa perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian saya.
Penelitian yang saya lakukan meneliti tentang stratifikasi sosial dan perkawinan
sedangkan persamaannya yaitu sama-sama melakukan penelitian tentang
startifikasi sosial.
B. Konsep
1. Stratifikasi Sosial
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial secara umum dapat diartikan sebagai pembedaan atau pengelompokan anggota masyarakat secara vertikal. Stratifikasi sosial merupakan gejala sosial yang sifatnya umum pada setiap masyarakat. Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti lapisan. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat dalam Anwar (2013:215).
Sorokin (1959) dalam Anwar (2013:215) mendefinisikan “stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Menurut Sorokin, dasar dan inti dari lapasan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban,dan tanggung-jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat”.
Max Weber dalam Soyomukti (2010: 373) mendefinisikan stratifikasi sosial
sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial
tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege
dan prestise.
Cuber dalam Soyomukti (2010:373) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai
suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.
10
Soerjono Soekanto (1982) stratifikasi sosial adalah pembedaan posisi
seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.
Bruce J. Cohen dalam Anwar (2013) stratifikasi sosial adalah sistem yang
menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan menempatkan
mereka pada kelas sosial yang sesuai.
Paul B. Horton dan Chester L. Hunt dalam Anwar (2013) stratifikasi sosial
adalah sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat.
2. Bentuk – Bentuk Stratifikasi Sosial
Dalam masyarakat terdapat berbagai bentuk stratifikasi sosial. Bentuk itu akan
dipengaruhi oleh kriteria atau faktor apa yang dijadikan dasar.
a. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Ekonomi
Stratifikasi sosial dalam bidang ekonomi seperti penghasilan,harta
kekayaan,bentuk rumah bahkan perabot rumah dan mobil yang digunakan akan
membedakan penduduk atau warga masyarakat menurut penguasaan dan
pemilikan materi akan menempatkan orang tersebut ke strata yang paling atas.
Dalam hal ini ada golongan orang-orang yang didasarkan pada pemilikan tanah,
serta ada yang didasarkan pada kegiatannya di bidang ekonomi dengan
menggunakan kecakapan. Dengan kata lain, pendapatan, kekayaan, dan pekerjaan
akan membagi anggota masyarakat ke dalam berbagai lapisan atau kelas-kelas
sosial dalam masyarakat.
11
Dalam stratifikasi ini dikenal dengan sebutan kelas sosial ekonomi yang
didasarkan pada jumlah kekayaan atau penghasilan. Secara umum klasifikasi
kelas sosial terdiri atas tiga kelompok yaitu:
a. Kelas sosial atas,yaitu kelompok orang yang memiliki banyak kekayaan yang
dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya bahkan secara berlebihan.
Golongan kelas ini dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan, bentuk rumah,
gaya hidup, penghasilan dan lain-lain.
b. Kelas sosial menengah, yaitu kelompok orang yang berkecukupan yang sudah
dapat memenuhi kebutuhan pokok misalnya sandang,pangan dan papan.
c. Kelas sosial bawah yaitu kelompok orang miskin yang masih belum dapat
memenuhi kebutuhan primer. Golongan kelas bawah biasanya terdiri dari
pengangguran dan para buruh.
Menurut Max Webber, stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi
membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada pemilikan tanah
dan benda-benda. Kelas-kelas diukur berdasarkan kepemilikan tanah dibagi
menjadi tiga kelas sebagai berikut kelas atas (upper class) yaitu pemilik tanah,
kelas menengah (middle class) yaitu penyewa tanah,dan kelas bawah (lower class)
yaitu penggarap atau buruh tani.
Satu hal yang perlu diingat bahwa stratifikasi sosial berdasarkan kriteria
ekonomi ini bersifat terbuka. Artinya memungkinkan seseorang yang berada pada
kelas bawah untuk naik ke kelas atas, dan sebaliknya memungkinkan seseorang
12
yang berada pada kelas atas untuk turun ke kelas bawah atau kelas yang lebih
rendah. Hal ini tergantung pada kecakapan dan keuletan orang yang bersangkutan.
b. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Sosial
Pada umumnya, stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ini bersifat tertutup.
Stratifikasi sosial demikian umumnya terdapat dalam masyarakat feodal,
masyarakat kasta, dan masyarakat rasial
1. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Feodal
Masyarakat feodal merupakan masyarakat pada situasi praindustri, yang
menurut sejarahnya merupakan perubahan dari ikatan budak atau hamba
dengan tuan tanah. Hubungan antara kedua golongan itu menjadi hubungan
antara yang memerintah dengan yang diperintah,dan interaksinya sangat
terbatas.
Kemudian semangat feodalisme ini oleh kaum penjajah diterapkan di
Indonesia dan terjadilah perpecahan antargolongan, sehingga pada masyarakat
feodal terjadi stratifikasi sosial sebagai berikut:
a. Golongan atas, terdiri dari keturunan raja dan ningrat.
b. Golongan menengah, terdiri dari golongan prajurit dan pegawai.
c. Golongan bawah, terdiri dari golongan rakyat biasa.
13
2. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Kasta
Masyarakat kasta menuntut pembedaan antar golongan yang lebih tegas
lagi.
Hubungan antar golongan adalah tabu, tertutup, bahkan dapat dihukum
masyarakatnya. Hal demikian terjadi pada masyarakat kasta di India. Istilah
untuk kasta di India adalah yati, dan sistemnya disebut dengan varna.
Menurut kitab Reg Weda dalam (Wrahatnala,2012)dalam masyarakat
India Kuno dijumpai empat varna yang tersusun secara hierarkis dari atas ke
bawah, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Kasta brahmana adalah
kasta yang terdiri atas para pendeta dan dipandang sebagai kasta tertinggi.
Ksatria merupakan kasta yang terdiri atas para bangsawan dan tentara,
serta dipandang sebagai kelas kedua. Vaisya merupakan kasta yang terdiri atas
para pedagang, dan dipandang sebagai lapisan ketiga.Sedangkan sudra
merupakan kasta yang terdiri atas orang-orang biasa (rakyat jelata). Di
samping itu terdapat orang-orang yang tidak berkasta atau tidak termasuk ke
dalam varna. Mereka itu adalah golongan paria.
Berdasarkan uraian di atas Davis (1951) dalam Alimandan (1989:51)
dapat diidentifikasikan bahwa ciri-ciri kasta adalah sebagai berikut.
1. Keanggotaan berdasarkan kewarisan atau kelahiran. Dalam kasta, kualitas seseorang tidak menjadi sebuah perhitungan.
2. Keanggotaan berlangsung seumur hidup, kecuali jika dikeluarkan dari kastanya.
3. Perkawinan bersifat endogen dan harus dipilih orang yang sekasta. Seorang laki-laki dapat menikah dengan perempuan yang kastanya lebih rendah, tetapi tidak dapat menikah dengan perempuan yang memiliki kasta lebih tinggi.
14
4. Hubungan antarkasta dengan kelompok sosial lainnya sangat terbatas.
5. Kesadaran keanggotaan suatu kasta tampak nyata antara lain pada nama kasta, identifikasi anggota pada kastanya, dan penyesuaian yang ketat terhadap norma kasta.
6. Terikat oleh kedudukan-kedudukan yang secara tradisional ditetapkan. Artinya kasta yang lebih rendah kurang mendapatkan akses dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan, apalagi menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.
7. Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan.8. Kasta yang lebih rendah merupakan bagian dari kasta yang lebih
tinggi, sehingga dalam kesehariannya dapat dikendalikan secara terus-menerus.
Di Indonesia, stratifikasi sosial berdasarkan kasta dapat kita jumpai pada
masyarakat Bali. Namun demikian, pengkastaannya tidak terlalu kaku dan tertutup
seperti halnya di India. Pengkastaan di Bali disebut dengan wangsa. Adapun
stratifikasi sosialnya adalah sebagai berikut :
1. BrahmanaMerupakan tingkatan kasta tertinggi di Bali.Biasanya kasta ini diduduki oleh para pemuka agama.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk perempuan.
2. KsatriaMerupakan tingkatan kedua setelah brahmana.Biasanya yang menduduki kasta ini adalah para bangsawan.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Cokorda, Dewa, atau Ngahan.
3. WaisyaMerupakan tingkatan ketiga setelah ksatria.Biasanya yang menduduki kasta ini adalah para pedagang.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Bagus atau Gusti.
4. SudraMerupakan tingkatan paling rendah dalam sistem kasta di Bali.Biasanya kasta ini diduduki oleh para pekerja atau buruh.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Pande, Kbon, atau Pasek.
15
3. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Rasial
Masyarakat rasial adalah masyarakat yang mengenal perbedaan warna
kulit. Sistem stratifikasi ini pernah terjadi di Afrika Selatan, di mana ras kulit
putih lebih unggul jika dibandingkan dengan ras kulit hitam. Perbedaan warna
kulit di Afrika Selatan pada waktu itu memengaruhi berbagai bidang
kehidupan yang kemudian disebut dengan politik apartheid.
Dalam politik apartheid, seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatan,
pendidikan, perumahan, bahkan pekerjaan ditentukan apakah orang itu
termasuk kulit putih ataukah kulit hitam. Walaupun ras kulit putih termasuk
golongan minoritas, namun mereka menduduki posisi yang terhormat
dibandingkan dengan ras kulit hitam yang mayoritas.
Untuk mempertahankan dominasi kekuasaan ekonomi dan politik, ras kulit
putih mengembangkan teori rasisme disertai dengan tindakan di luar
perikemanusiaan.
3. Perkawinan
Menurut adat Bajawa, perkawinan merupakan persatuan kedua insan yang
berbeda jenis kelamin untuk membangun kehidupan bersama-sama dalam
keselamatan dan tangguh dalam menumbuhkan keturunan mereka.
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat kita, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut perempuan dan
laki-laki bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,
saudara-saudaranya bahkan keluarga masing-masing.Wulansari (2012 : 48)
16
Perkawinan menurut hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin
antara laki-laki dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu
antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat
yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan
dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.
Selain itu perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dua orang yang kawin,
tetapi juga merupakan urusan keluarga, suku, masyarakat dan kasta.
Perkawinan berarti pemisahan dari orang tuanya dan untuk seterusnya
melanjutkan garis hidup orang tuanya. Bagi suku, perkawinan merupakan
suatu usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya suku itu dengan tertib.
Bagi masyarakat (persekutuan), perkawinan juga merupakan suatu
peristiwa penting yang mengakibatkan masuknya warga baru yang ikut
mempunyai tanggung jawab penuh terhadap persekutuanya. Bagi kasta,
perkawinan juga penting, karena kasta dalam masyarakat untuk
mempertahankan kedudukannya. (http://wordpress.com/hukum perkawinan
adat,23/8/2015)
Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan
dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi
berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan
aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan
menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria
17
dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga
(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan YME.
Menurut Barend (1991) dalam Setiady, (2008:225) perkawinan adalah
suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus berlangsungnya
golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan
terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan tersebut.
Perkawinan menurut Hadikusuma (1983) dalam Setiady (2008:225) adalah
suatu ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk
maksud mendapatkan keturunan dan membangun kehidupan keluarga.
Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan
keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat dibawah
naungan cinta kasih Allah Sastroatmodjo (1978) dalam Setiady (2008;225).
Hazairin dalam bukunya “Rejang” Bully (2012:52 )mengemukakan
bahwa peristiwa perkawinan itu sebagai tiga buah rentetan perbuatan-
perbuatan magis yang bertujuan menjamin ketenangan,kebahagiaan dan
kesuburan.
4. Sistem Perkawinan
Dalam satu suku terdapat tiga lapisan besar / kasta dengan beberapa
sebutan atau istilah yang disesuaikan dengan tradisi serta bahasa daerah
masing-masing. Dalam hukum adat Seojono (1992:131), umumnya terdapat
tiga macam sistem perkawinan.
18
1. Endogami Sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari sukunya sendiri.
2. Exogami Sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari luar sukunya.
3. EleutherogamiSistem perkawinan dimana seseorang diperbolehkan kawin dengan orang dari dalam dan luar sukunya.
C. Kerangka Berpikir
Strata atau lapisan sosial dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam
menjalin hubungan antara orang perorangan, orang dengan kelompok dan
kelompok dengan kelompok. Hubungan inilah yang akan membedakan kelas-
kelas atau lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.
Proses interaksi sosial menyebabkan manusia saling berkenalan satu sama
lain. Perkenalan antara seorang pria dan wanita akan membuat seseorang merasa
tertarik dengan yang lainnya.
Perasaan tertarik antara satu dengan yang lainnya akan mengantar kedua insan
manusia ke jenjang perkenalan, pertunangan dan akhirnya perkawinan.
Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan dikehendaki
oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan suatu
pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat
19
20
StratifikasiSosial Perkawinan
Bentuk perkawinan
ideal
Dampak stratifikasi sosial terhadap
perkawinan
Bentuk Stratifikasi Sosial
- Ga’e Meze- Ga’e Kisa- Ho’o
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif
kualitatif yaitu menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber
yakni pengamatan peneliti, wawancara dan kepustakaan. Dari hasil penelitian
atau data yang telah terkumpul akan diedit dan disajikan dalam bentuk teks.
B. Lokasi Penelitian
Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Bajawa. Kecamatan
Bajawa memiliki 10 kelurahan dan 7 desa. Penelitian ini dilakukan di salah
satu kelurahan yaitu Kelurahan Jawameze.Adapun alasan peneliti memilih
lokasi penelitian tersebut adalah sebagai berikut :
1. Di Kelurahan Jawameze terdapat lima dari tujuh perkampungan yang
merupakan “ nua lima zua” (tujuh kampung) dan tujuh kampung
tersebut merupakan suatu persekutuan yang dikenal dengan sebutan “
ulu ata gae”
2. Di Kelurahan jawameze sampai saat ini masih terdapat lapisan-lapisan
atau stratifikasi sosial (kasta/rang).
3. Peneliti mengenal situasi sosial maupun budaya yang ada dilokasi ini
sehingga memudahkan peneliti berinteraksi dengan tua-tua adat
(Mosalaki) maupun masyarakat setempat.
21
4. Peneliti memahami kondisi daerah penelitian,sehingga memudahkan
peneliti dalam memperoleh informasi.
C. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada
di Kelurahan Jawameze. Sedangkan narasumbernya terdiri dari tokoh adat yaitu
Bapak Dominikus Nanga dari strata ga’e, tokoh masyarakat Bapak Yosep Donga
dari strata ga’e kisa dan Bapak Dominikus Lina dari strata ga’e serta masyarakat
lainnya yaitu Ibu Katarina Nau dari strata ga’e kisa dan Ibu Maria Raba dari strata
ga’e.
Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik penelitian snowball
sampling, dengan menentukan informan kunci adalah Bapak Dominikus Nanga.
Jika data yang diberikan masih belum lengkap maka melalui informan kunci
peneliti mencari orang lain lagi yaitu Bapak Yosep Donga, Bapak Dominikus
Lina, Ibu Katarina Nau dan Ibu Maria Raba yang dipandang mengetahui dan
memberikan data lengkap untuk melengkapi data yang diberikan sebelumnya.
D. Sumber Data
1. Data Primer
Data yang diperoleh langsung dari informan dalam hal ini adalah
masyarakat Kelurahan Jawameze, tokoh masyarakat, tokoh adat
(Mosalaki) dan lurah tentang :
a. Stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Kelurahan Jawameze
b. Bentuk perkawinan yang ideal menurut masyarakat Kelurahan Jawameze
22
c. Dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan yang terjadi pada
masyarakat Kelurahan Jawameze
2. Data sekunder
Dalam penelitian ini data sekunder adalah data yang diperoleh dari
sumber tertulis tentang gambaran umum Kecamatan Bajawa mengenai
keadaan geografis, keadaan sosial budaya, sistem teknologi, sistem
kesenian dan keadaan kependudukan dan perekonomian masyarakat.
E. Teknik Pengumpulan Data
1. Observasi
Peneliti melakukan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian tentang
kondisi sosial masyarakat Kecamatan Bajawa, Kelurahan Jawameze ,
Kabupaten Ngada.
2. Wawancara
Dalam teknik ini, penulis mewawancarai informan dengan cara
mengajukan berbagai pertanyaan kepada informan dengan tujuan untuk
mendapatkan informasi yang akurat. Teknik wawancara ini penulis
gunakan dengan melihat kemampuan informan yang mengetahui
stratifikasi sosial dan perkawinan .
Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan
dua teknik wawancara yaitu wawancara terstruktur dan tak terstruktur.
Wawancara dilakukan dengan tokoh adat, tokoh masyarakat dan
masyarakat Kelurahan Jawameze.
23
Dalam penelitian ini penulis mewawancarai beberapa informan yaitu
Bapak Dominikus Nanga, Bapak Yosep Donga, Bapak Dominikus Lina,Ibu
Katarina Nau dan Ibu Maria Raba.
3. Studi Kepustakaan
Pengumpulan data melalui literatur dan bahan tertulis lainnya yang
berhubungan dengan penelitian ini.
4. Dokumentasi
Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa
berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang
sehingga akan diperoleh data yang sah dan lengkap. Penulis mempelajari
literatur-literatur atau referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang
hendak ditulis oleh penulis.
F. Teknik Analisis Data
Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah data yang berbentuk kata-
kata dan berwujud pertanyaan-pertanyaan verbal yang diperoleh dari berbagai
sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang dilakukan pada saat
pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam
periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap
jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis
terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melakukan pertanyaan lagi, sampai
tahap tertentu diperoleh data yang dianggap kredibel.
24
Analisis data kualitatif menurut Milles dan Huberman
(Sugiono,2012;338) terdiri dari tiga tahap yaitu : Reduksi Data, Penyajian Data,
Penarikan Kesimpulan.
a. Reduksi Data.
Reduksi data dilakukan dengan cara pemilihan dan penyederhaan data.
Hal ini perlu dilakukan karena banyaknya data dari masing-masing informan
yang dianggap tidak relevan dengan fokus penelitian sehingga perlu dibuang
atau dikurangi. Reduksi data dilakukan dengan memilih hal-hal pokok yang
sesuai dengan fokus penelitian. Dengan demikian akan memberikan gambaran
yang lebih tajam tentang apa yang sedang diteliti.
b. Penyajian Data / Display Data.
Penyajian data dapat memenuhi apa yang sedang dan apa yang harus dilakukan
lebih jauh lagi menganilisis atau mengambil tindakan berdasarkan pemahaman
yang diperoleh dari penyajian-penyajian tersebut untuk dapat memudahkan
penulis dalam melihat apa yang sedang terjadi sehingga dapat disajikan dalam
bentuk bagan dan tema.
c. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi.
Penarikan kesimpulan atau kegiatan verifikasi sudah boleh dilakukan sejak
awal penelitian atau permulaan pengumpulan data, di mana data diamati
dengan mencari makna dari data-data yang ada, membuat keteraturan,
mencatat pola-pola, penjelasan dan konfigurasi yang memungkinkan.
Walaupun masih kasar maknanya tetapi akan semakin jelas dengan semakin
banyak data yang diperoleh untuk mendukung verifikasi
25
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian
1. Keadaan Geografis
a) Letak, luas dan batas wilayah
Letak dan luas suatu wilayah sangatlah penting untuk diketahui. Letak
akan memberikan informasi mengenai posisi suatu tempat berdasarkan criteria
tertentu dan hubungannya dengan budaya lain. Luas suatu wilayah berkaitan
dengan ketersediaan ruang hidup, khususnya ruang gerak penduduk.
Secara geografis, Kecamatan Bajawa, berada di Kabupaten Ngada.
Kecamatan Bajawa berada dipusat ibu kota Kabupaten Ngada dengan keadaan
geografis didominasi perbukitan dan beriklim tropis. Secara astronomis
Kecamatan Bajawa terletak diantara 8°48’39,55”LS dan 120°58’57,94”BT.
(Sumber : Kantor Camat Bajawa 2016)
Kecamatan Bajawa berada dalam administrasi Kabupaten Ngada dengan
luas wilayah 133,30 km2. Kecamatan Bajawa terdiri dari 10 kelurahan dan 7
desa yakni, Kelurahan Kisanata, Kelurahan Tanalodu, Kelurahan Bajawa,
Kelurahan Wawowae, Kelurahan Trikora, Kelurahan Ngedukelu,Kelurahan
Jawameze, Kelurahan Susu, Kelurahan Lebijaga dan Kelurahan Faobata.
Sedangkan desa terdiri dari Desa Beiwali, Desa Beja, Desa Bomari, Desa
Borani, Desa Naru, Desa Ubedolumolo dan Desa Langagedha.
26
Adapun batas-batas wilayah administratif dan geografis Kecamatan
Bajawa adalah sebagai berikut sebelah Utara berbatasan langsung dengan
Kecamatan Bajawa Utara, sebelah Selatan berbatasan langsung dengan
Kecamatan Golewa dan Kecamatan Jerebu’u, sebelah Timur berbatasan
dengan Kecamatan Soa dan Kecamatan Golewa Barat dan sebelah Barat
berbatasan langsung dengan Kecamatan Aimere. Seluruh wilayah Kecamatan
Bajawa berada rata-rata 1000 meter di atas permukaan laut.
b) Topografi dan Iklim
Topografi di Kecamatan Bajawa yakni terdiri dari perbukitan yang
mengelilingi daerah tersebut. Kecamatan Bajawa beriklim tropis dengan dua
musim yakni musim hujan dari bulan Oktober sampai bulan April dan musim
panas dari bulan Mei sampai bulan September.
c) Keadaan Tanah
Tanah yang ditempati manusia terwujud melalui berbagai proses dan
tahapan yang panjang dan berjuta-juta tahun lamanya. Tanah merupakan
bagian dari permukaan bumi yang berasal dari batuan yang mengalami
pelapukan dan penghancuran. Sutedjo (2002:78), mengartikan tanah sebagai
suatu tubuh alam yang bermantra tiga dan merupakan paduan antara gaya
pengrusakan dan pembangunan yang dalam hal ini pelapukan dan
pembusukan bahan-bahan organic dan mineral tertentu.
Tanah dan air bagi masyarakat Bajawa, Kabupaten Ngada adalah suatu
hal yang sangat penting, karena keduanya berhubungan langsung dengan
kehidupan penduduk sehari-hari.
27
Keadaan tanah di Kecamatan Bajawa terdiri dari tanah litasol dan tanah
mediteran. Tanah yang digunakan untuk pertanian adalah tanah yang
dianggap subur yaitu pada lereng-lereng bukit dan apabila tanaman yang
mereka tanam tidak lagi tumbuh subur, maka tanah tersebut dapat
diistirahatkan (ngora). Lamanya masa istirahat lahan (tana ngora) relatif
singkat yaitu satu tahun atau lebih dan setelah itu dapat dibuka kembali.
Tanah juga diartikan sebagai media utama dimana manusia bisa
mendapatkan bahan pangan, tambang dan tempat dilaksanakannya berbagai
aktivitas (Suripin dalam Soerjani, 1987:208). Ditekankan pula bahwa tanah
terbentuk oleh hasil kerja interaksi antara iklim dan jasad hidup suatu bahan
induk yang dipengaruhi oleh topografi/relief tempatnya terbentuk dan waktu.
d) Keadaan Flora dan Fauna
Flora dan fauna di suatu wilayah sangat terkai dengan kondisi lingkungan
atau merupakan fungsi dari lingkungan disekitarnya. Faktor-faktor yang
mempengaruhi keberadaan flora dan fauna pada suatu wilayah diantaranya
faktor klimatik, edafik dan perlakuan manusia. Keberadaan flora dan fauna
sangat mendukung keberlangsungan hidup manusia, antara lain sebagai
sumber makanan, membantu manusia dalam aktifitas keseharian dan
merupakan komponen penting dalam ekosistem yaitu sistem rumah tangga
makluk hidup yaitu didalamnya terdapat interaksi antara makluk hidup dengan
lingkungannya.
28
Jenis flora yang ada di Kecamatan Bajawa meliputi jati, kayu manis,
bambu, kayu putih dan kopi. Jenis fauna yang ada di Kecamatan Bajawa yang
teridentifikasi antara lain merupakan hasil peternakan penduduk seperti sapi,
kambing, babi, kuda dan ayam
2. Kondisi Sosial dan Budaya
a. Percaya pada wujud tertinggi
Dalam lingkup sosial budaya masyarakat Kecamatan Bajawa, khususnya
di Kelurahan Jawameze menganut agama katolik, dengan wujud tertinggi
disebut dengan nama ema dewa. Ema adalah Bapa yang selalu memberikan
sesuatu, yang penuh kasih saying dan yang selalu menjadi sandaran manusia
di dalam kehidupannya. Dewa adalah wujud tertinggi sebagai penguasa
manusia dan alam semesta. Allah disebut dengan berbagai nama yaitu Dewa
Zeta, Tua Dewa, Mori Dewa dan Ema Mori Bhu. Dewa Zeta dipahami sebagai
Tuhan yang menjadi penguasa langit dan keberadaannya adalah sebuah misteri
yang tidak kelihatan dan diyakini akan mendatangkan kebaikan kalau manusia
berbuat baik dan akan mendatangkan mala petaka kalau manusia tidak setia
kepada-Nya. Karena itu masyarakat selalu percaya bahwa segala sesuatu yang
diberikan akan kembali kepada-Nya.
b. Percaya pada leluhur (Ebu Nusi)
Pemujaan terhadap leluhur (Ebu Nusi) menjadi salah satu bagian penting
dari kegiatan suku-suku atau menjadi identitas suku-suku.
29
Masyarakat Kecamatan Bajawa yang berada di Kelurahan Jawameze yakin
pada para leluhur (Ebu Nusi) tetap hidup dalam wujud roh (Mae wa tana).
Semua yang telah meninggaldi jemput oleh para leluhurnya ke tempat yang
sama.
Pemujaan leluhur di buat dengan memberikan sesajian pada saat-saat
tertentu dengan member makan nenek moyang (ti’i ka Ebu Nusi). Pemberian
makan kepada leluhur dengan maksud untuk menghadirkan mereka dalam
setiap kegiatan dan senantiasa menjaga agar jangan sampai terjadi hal-hal
yang tidak diinginkan bersama atau dalam bahasa adat yakni “go ulu ma’e mu,
go kasa ma’e bana”.
Pemberian makanan pada para leluhur dapat dilakukan ditempat-tempat
seperti di dalam rumah adat (sao), di tugu batu (ture) dan pada tempat-tempat
yang dianggap terdapat roh para leluhur. Makanan dan minuman yang
diberikan atau disajikan berupa nasi, hati hewan kurban seperti hati ayam atau
babi dan minuman berupa moke (arak). Hal ini dilakukan sebagai wujud
penghormatan bagi arwah para leluhur (Ebu Nusi) yang diyakini berada
bersama-sama dengan mereka dalam hidup dan karya sehari-hari. Dalam
proses ini didahului dengan kalimat sapaan atau ungkapan-ungkapan adat
sebelum dilakukan proses pemberian makan leluhur (ti’i ka Ebu Nusi).
Adapun jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut di Kecamatan
Bajawa, Kelurahan Jawameze seperti ditampilkan pada tabel 4.1
30
Tabel 4.1 Jumlah penduduk berdasarkan agama
No. Agama Laki-laki Perempuan Jumlah Presentase%
1. Islam 5 7 12 0,95%
2. Katolik 508 724 1.232 97,23%
3. Kristen Protestan
13 10 23 1,82%
4. Hindu - - - -
5. Budha - - - -
6 Kong hu cu - - - -
Jumlah 526 41 1.267 100%
Sumber : Kantor lurah Jawameze
Berdasarkan tabel 4.1 di atas diketahui bahwa penduduk Kecamatan
Bajawa yang berada di Kelurahan Jawameze sebagian besar menganut agama
Katolik sebanyak 1.232 jiwa (97,23%), Kristen Protestan sebanyak 23 jiwa
(1,82%) dan Islam sebanyak 12 jiwa (0,95%).
3. Sistem Kesenian
Masyarakat Kecamatan Bajawa dalam relasinya dengan alam masih
sangat berpegang teguh dengan sistem kepercayaan terhadap para leluhur. Hal
ini dibuktikan dalam pembangunan rumah adat, para pembuatnya bukan
sembarang orang atau tukang biasa tapi orang seniman dan harus orang yang
benar-benar tahu dan memahani tata cara pembuatan rumah adat tersebut,
orang seperti ini dikenal dengan sebutan “ lima pathe”.
Dalam pembuatan rumah adat masyarakat Kecamatan Bajawa biasanya
mementaskan seni musik , seni tari, seni sastra dan juga seni ukir. Seni tari
31
yang dipentaskan adalah tarian ja’i yang diiringi musik dari gong dan gendang.
Sedangkan seni sastra terungkap dari syair-syair yang dikenal dengan sebutan
“seu ,pata thela dan dero uwi”. Seni ukir yakni ukiran-ukiran dalam rumah
adat (sao adha) dan ngadhu yang disebut weti / rika.
4. Sistem Teknologi
Produk hasil karya masyarakat Kecamatan Bajawa yang berada di
Kelurahan Jawameze adalah hasil karya warisan para leluhur. Semua hasil
produk yang dimiliki masyarakat Kecamatan Bajawa berciri khas tradisional.
Hal ini nampak dalam warisan pembuatan rumah adat dan pembuatan
berbagai alat rumah tangga seperti piring (wati), senduk (wego/sedho), nyiru
(sege) dan bakul (bere/sole). Bahan dasar pembuatan alat-alat tersebut tersedia
dan diambil dari alam sekitar. Meskipun demikian dengan zaman yang sudah
canggih dan modern barang-barang tersebut mulai diganti dengan alat yang di
buat dari pabrik yang berbahan baku plastik atau alumunium.
Alat rumah tangga seperti piring (wati) dan bakul (bere/sole) hanya dapat
kita temukan pada saat acara adat.
Untuk pembuatan rumah taradisonal / rumah adat (sao) bahan yang
digunakan seluruhnya diambil dari alam seperti tiang, kuda-kuda, dinding dan
atap. Adapun rumah-rumah taradisional yang menggunakan bahan pabrik.
Misalnya atap yang menggunakan seng dan lantai dari semen atau keramik.
Dalam pengerjaan rumah masyarakat Kecamatan Bajawa selalu bergotong
royong dengan mufakat terlebih dahulu yang dipimpin oleh tua adat atau
orang yang lebih tua dari dalam rumah tersebut.
32
Dalam bidang pertanian, masyarakat masih bekerja sesuai siklus musim.
Dalam pekerjaannya masih menggunakan alat yang sederhana seperti cangkul
karena keadaan geografisnya tidak memungkinkan menggunakan alat modern
seperti traktor karena tanah pertaniannya yang berbukit. Ada sebagian
masyarakat yang bekerja secara kelompok “zo” dengan menentukan waktu
kerja yang disepakati bersama dalam kelompok tersebut.
5. Kondisi Kependudukan dan Perekonomian Masyarakat
1. Kependudukan
Jumlah penduduk di Kecamatan Bajawa yang berada di Kelurahan
Jawameze menurut data terakhir pada tahun 2015 berjumlah 1.298 dengan
rincian laki-laki 641 jiwa dan perempuan 657 jiwa. Jumlah penduduk
mengalami peningkatan terutama pada laki-laki yang pada tahun 2014 hanya
berjumlah 610 jiwa. Jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel 4.2
Tabel 4.2 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Jawameze
No.
Jumlah Jenis Kelamin
Laki-laki Perempuan
1. Jumlah penduduk tahun 2014 610 657
2. Jumlah penduduk tahun 2015 641 657
Sumber : kantor lurah Jawameze
2. Mata Pencaharian
Masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada di Kelurahan Jawameze pada
umumnya bekerja dibidang pertanian, peternakan dan pertukangan. Tanaman-
33
tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti jagung
sebagai makanan pokok.
Selain jagung terdapat juga tanaman lain seperti ubi dan buah-buahan
yang dipasarkan untuk mendapatkan uang akan pemenuhan kebutuhan sehari-
hari seperti mangga, nanas, pisang serta jenis sayuran baik untuk dikonsumsi
maupun dijual seperti tomat, kangkung, selada, daun singkong dan pucuk
labu. Ada juga tanaman kopi.
Selain bertani masyarakat Kelurahan Jawameze juga beternak. Ternak
tersebut terkadang di jual sebagai sumber ekonomi keluarga. Ternak tersebut
antara lain sapi, kerbau, kuda, anjing, kambing, ayam, dan babi.
Adapun mekanisme pemasaran yang dilakukan masyarakat Kecamatan
Bajawa yakni dengan menjual langsung pada konsumen atau menjual ke
pasar. Hal ini didukung dengan kemajuan transportasi yang cukup memadai.
Berdasarkan hasil observasi diketahui ada 3 buah mikrolet dan kendaraan roda
dua yang digunakan sebagai transportasi warga. Adapun data penduduk
menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel 4.3
34
Tabel 4.3 Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian
No. Jenis pekerjaan Laki-laki Perempuan
1. Petani 452 646
2 PNS 72 52
3. Pengrajin 1 2
4. Pedagang
5. TNI - -
6. POLRI 12 -
7. Pensiunan 12 5
8. Pengusaha kecil dan menenga
3 -
9. PRT - 2
10. Montir 1 -
11. Dosen 2 -
Sumber : Kantor lurah Jawameze
Berdasarkan tabel 4.3 diatas , diketahui bahwa penduduk Kecamatan
Bajawa khususnya Kelurahan Jawameze berdasarkan mata
pencaharian ,sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani.
6. Kondisi Pendidikan dan Kesehatan
1. Pendidikan
Masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada di Kelurahan Jawameze sudah
mengenal pendidikan. Hal ini dapat ditinjau dari tingginya kesadaran orang
tua untuk menyekolahkan anaknya. Mulai dari taman kanak-kanak hingga
35
perguruan tinggi. Anak diberi kebebasan untuk memilih sekolah mana yang
diinginkan. Pihak pemerintah pun telah menyediakan fasilitas sarana dan
prasarana guna meningkatkan mutu pendidikan.
Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel
4.4 di bawah ini.
Tabel 4.4 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan
No.
Tingkat pendidikan Laki-laki perempuan Jumlah
1. Tidak sekolah 7 5 12
2. Belum sekolah 22 22 44
3. TK 12 10 22
4. SD 151 235 386
5. Tidak tamat SD 49 36 85
6. SMP 90 102 192
7. SMA 81 85 166
8. Diploma 28 25 53
9. Sarjana 23 25 48
10. Putus sekolah 133 92 225
Jumlah 596 637 1233
Sumber : Kantor lurah Jawameze
Dari data di atas jumlah penduduk yang masih duduk di bangku sekolah
dasar lebih banyak dibandingkan dengan yang lain yaitu sebanyak 386 jiwa.
2. Kesehatan
Kesehatan adalah keadaan sejatera dari badan, jiwa dan social yang
memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.
Pemeliharaan kesehatan ialah upaya penanggulangan dan pencegahan
36
gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan
perawatan. Di Kelurahan Jawameze terdapat 1 unit puskesmas kota dengan
fasilitas yang cukup memadai.
B. Hasil Penelitian
1. Latar belakang Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Sosial
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial pada masyarakat Bajawa sudah ada
sejak zaman dahulu dan menjadi warisan budaya dan secara turun temurun
diwariskan pada generasi berikutnya walaupun pada zaman modern sekarang
tidak terlalu nampak seperti dahulu. Masyarakat Ngada dibagi dalam beberapa
suku yang masing-masing suku tersebut memiliki lapisan /kasta (rang) yang
berbeda dengan suku lain.
Masyarakat Ngada masih mengenal stratifikasi sosial atau kasta (rang) yang
sama dengan masyarakat India. Pembagian rang sebagai suatu ketegasan untuk
tidak melanggar suatu aturan dalam masyarakat adat. Masyarakat Ngada
mengenal lapisan sosial atau rang dibagi menjadi tiga bagian seperti pada gambar
dibawah ini.
.
37
Gae Meze
Gae Kisa
Ho’o
Orang Ngada mengenal pelapisan sosial dengan lapisan yang paling atas
adalah Gae meze yang memiliki hak-hak khusus dalam persekutuan adat,
mengambil bagian pokok dalam upacara termasuk pada wanitanya yang
mengepalai pengaturan kebijaksanaan pokok dalam urusan konsumsi.
Pada perayaan korban yang besar seperti membuat rumah,rumah adat (ka
sao), umum seorang ga’e meze harus duduk pada keba hui (tempat menyimpan
daging-daging korban). Sedangkan pada acara pembuatan ngadhu (ka ngadhu)
yang berhak duduk pada keba hui adalah yang saka lobo.
Golongan kedua adalah ga’e kisa yang ada bersama-sama dengan ga’emeze
membentuk golongan atas. Ga’e meze merupakan golongan atas yang paling
tinggi, sedangkan ga’e kisa membentuk golongan atas yang lebih rendah.
Bersama-sama ga’e meze mereka memerintah. Terhadap ga’e meze mereka
dibandingkan seperti kayu yang lebih rendah mutunya atau seperti kayu-kayu
biasa dan gae meze adalah pohon beringin yang menaunginya. Ga’e kisa juga
disebut sebagi bulan sedangkan ga’e meze adalah matahari. Ga’e kisa juga
menjadi penengah atau jembatan antara lapisan bawah dan lapisan atas. Bisa
dikatakan ga’e kisa juga dikarenakan adanya perkawinan campur antara pria ga’e
dan wanita bukan ga’e. Keturunan dari perkawinan tersebut masuk pada golongan
ga’e kisa dan mengikuti status dari ibunya. Keturunannya bebas untuk menikah
dengan golongan manapun.
Sedangkan golongan ketiga adalah ho’o. Ho’o adalah orang yang tinggal
dengan bangsawan karena keadaan ekonomi yang kurang baik. Ada pula yang
mengatakan orang tersebut di sebut ho’o karena perbuatannya seperti orang
38
tersebut mencuri di lumbung padi orang lain atau menggali ubi milik orang lain.
Hal ini dilakukan karena orang tersebut tidak mampu.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dominikus Nanga dari
golongan Ga’e pada tanggal 25 Februari 2016 tentang stratifikasi sosial atau
pelapisan sosial dikatakan bahwa:
Lapisan sosial sudah ada sejak dahulu kala dan hingga sekarang ini masih
tetap berlaku walaupun penerapannya tidak seperti dulu lagi. Adanya pembagian
lapisan sosial (rang) merupakan suatu ketegasan bagi masyarakat untuk tidak
melanggar aturan dalam masyarakat adat. Ada tiga lapisan sosial (rang) dalam
masyarakat Bajawa yaitu ga’e meze,ga’e kisa dan ho’o.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Yosep Donga dari golongan
Ga’e Kisa tentang stratifikasi sosial pada tanggal 26 Februari 2016 mengatakan
bahwa :
Masyarakat Ngada mengenal tiga bentuk lapisan sosial. Lapisan yang
pertama adalah golongan ga’e. Ga’e adalah kaum bangsawan yang memiliki harta
kekayaan, memiliki rumah mewah dan hidup serba berkecukupan. Lapisan kedua
adalah ga’e kisa. Adanya ga’e kisa terjadi karena perkawinan antara pria ga’e dan
wanita bukan ga’e. Keturunan dari hasil perkawinan tersebutlah yang masuk
dalam golongan ga’e kisa. Keturunan ini bebas untuk menikah dengan golongan
manapun.
2. Bentuk Perkawinan Ideal dalam Masyarakat
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan dan 39
laki-laki tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara bahkan keluarga
masing-masing.
Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan
dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan
suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Dominikus Lina dari golongan
Ga’e mengatakan bahwa :
Perkawinan yang ideal menurut masyarakat Ngada adalah perkawinan yang
sesuai dengan aturanyang sudah berlaku sejak dahulu yaitu perkawinan yang
terjadi harus sesuai dengan lapisan atau golongan yang ada.
Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu Maria Raba dari golongan Ga’e
pada tanggal 29 Februari 2016 mengatakan bahwa :
Sejak dahulu perkawinan hanya dibolehkan bagi yang status sosialnya
(rang/kasta) sama. Akan tetapi pria dari golongan Ga’e diijinkan untuk menikah
dengan wanita pilihannya sekalipun wanita tersebut berbeda lapisan atau
golongannya (bukan ga’e). Sedangkan wanita tidak diijinkan menikah dengan pria
yang bukan ga’e dengan alasan kaum pria memiliki kebebasan dan jalan pria lebih
luas (ana haki laze bhea).
Wanita tidak diijinkan menikah dengan pria yang bukan ga’e karena wanita
harus mewarisi, melanjutkan dan mempertahankan status ga’e sehingga ada
40
sebutan untuk wanita ga’e “ana fai laza dhomi meze keri” (jalan wanita hanya
selebar alang-alang).
Jika ada perkawinan antara pria ga’e dengan wanita bukan ga’e tidak
dikatakan perkawinan terlarang (la’a sala). Sedangkan perkawinan antara wanita
ga’e dengan pria yang bukan ga’e dikatakan perkawinan terlarang (la’a sala).
Berdasarkan wawancara dengan ibu Katharina Nau dari golongan Ga’e Kisa
pada tanggal 26 Februari 2016 mengatakan bahwa:
Perkawinan pada masyarakat Ngada harus sesuai dengan aturan yang telah
ditetapkan dari nenek moyang yaitu orang Ga’e hanya boleh menikah dengan
orang ga’e, ga’e kisa dengan ga’e kisa dan ho’o dengan ho’o.
Perkawinan antara pria ga’e dengan wanita yang bukan ga’e tidak dilarang,
sedangkan wanita ga’e dilarang untuk menikah dengan pria yang bukan ga’e.
Adapun sanksi bagi pria ga’e yang menikah dengan wanita bukan ga’e
berlaku hanya jika perkawinan tersebut terjadi karena suatu kesalahan misalnya
wanita tersebut telah mengandung. Sanksi yang dikenakan hanya berupa kuku
laka berupa kuda 2 ekor dan beo sao berupa kuda 1 ekor.
Sedangkan sanksi bagi wanita ga’e yang melakukan perkawinan dengan pria
yang bukan ga’e, pada jaman dahulu kedua pasangan tersebut mendapat hukuman
yang berat yaitu wanita diusir dari kampung halaman dan prianya di gantung pada
ujung bambu. Akan tetapi hukum tersebut tidak lagi berlaku, hukum yang berlaku
sekarang lebih manusiawi yakni hanya mengadakan upacara nuka nua atau masuk
41
kampung dengan menyembelih satu ekor kerbau untuk berdamai dan wanita
tersebut diturunkan dari statusnya.
3. Dampak Stratifikasi Sosial terhadap Perkawinan
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial merupakan salah satu bentuk
perbedaan sosial secara vertikal. Perkawinan pada masyarakat Ngada harus sesuai
dengan lapisan sosial seseorang.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Dominikus Nanga pada tanggal
26 Februari 2016 mengatakan bahwa :
Pada zaman dahulu pembagian kasta atau rang sangat terasa dan sangat
berpengaruh terutama pada perkawinan untuk pria dari lapisan yang lebih rendah
tidak bisa menikah dengan wanita dari lapisan atas. Peraturan ini merupakan
batasan yang sangat dirasakan. Wanita dari lapisan atas hanya diperuntukan bagi
pria lapisan atas juga.
Dengan adanya lapisan-lapisan atau kasta pada masyarakat mengakibatkan
jumlah ga’e menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan ga’e kisa dan ho’o.
Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Yosep Donga pada tanggal 27
Februari 2016 mengatakan bahwa:
Adanya lapisan sosial atau kasta membatasi ruang gerak pemuda dan
pemudi. Untuk saat ini perkawinan tidak lagi melihat apa kasta dari pasangannya.
Perkawinan dapat terjadi asalkan ada cinta diantara keduanya (ra’a bere).
Perkawinan beda kasta dapat terjadi asalkan keduanya mematuhi aturan dan
42
hukum adat yang berlaku yaitu dengan menerima sanksi-sanki yang telah
ditetapkan.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dominikus Lina pada tanggal
27 Februari 2016 mengatakan bahwa :
Dampak dari stratifikasi sosial terhadap perkawinan yang terjadi pada
masyarakat Ngada khususnya Kelurahan Jawameze memiliki dampak yang besar.
Salah satunya adalah hubungan dengan keluarga akan retak.
Berdasarkan hasil wawancara ddengan Ibu Maria Raba pada tanggal 29
Februari mengatakan bahwa :
Adanya aturan pada lapisan-lapisan sosial merupakan pembatasan yang
sangat terasa. Dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut merupakan kejahatan
yang paling besar untuk masyarakat Ngada.
C. Pembahasan
1. Latar Belakang Staratifikasi Sosial (Kasta) pada Masyarakat Kelurahan
Jawameze
Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah sama yaitu sebagai
makluk pribadi dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial,
manusia membutuhkan sesama untuk hidup bersama dan saling berinteraksi satu
dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pandangan pancasila tentang kodrat
manusia, khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia lainnya.
Interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain akan
membentuk suatu kelompok dan orang yang berada dalam kelompok tersebut
43
akan merasa sebagai bagian dari kelompok itu. Kemudian membentuk suatu
kaidah untuk ditaati atau dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial pada masyarakat Bajawa sudah ada
sejak zaman dahulu dan menjadi warisan budaya dan secara turun temurun
diwariskan pada generasi berikutnya walaupun sekarang tidak terlalu nampak
seperti dahulu. Masyarakat Ngada dibagi dalam beberapa suku yang masing-
masing suku tersebut memiliki lapisan /kasta (rang) yang berbeda dengan suku
lain.
Masyarakat Ngada masih mengenal stratifikasi sosial atau kasta (rang) yang
sama dengan masyarakat India. Pembagian rang sebagai suatu ketegasan untuk
tidak melanggar suatu aturan dalam masyarakat adat. Pelapisan sosial ini sangat
berpengaruh dalam pergaulan hidup sehari-hari termasuk dalam hal memilih
jodoh.
Masyarakat Ngada khususnya di Kelurahan Jawameze mengenal lapisan
sosial atau rang dibagi menjadi tiga bagian yaitu ga’e meze ,ga’e kisa dan ho’o.
Terdapat berbagai variasi cerita terntang adanya pembagian kasta/ rang yang ada
pada masyarakat Ngada khususnya di Kelurahan Jawameze.
Dahulu, pembagian lapisan-lapisan ini sangat menyeluruh, sehingga setiap
klan mempunyai anggota-anggota dari ketiga lapisan ini, atau setiap klan terbagi
dalam tiga lapisan masyarakat. Keanggotaan dari ketiga lapisan masyarakat ini
diperoleh melalui kelahiran dan mengikuti posisi ibu. Demikian dapat terjadi
bahwa ayah adalah anggota lapisan paling atas, tetapi ibu termasuk lapisan paling
bawah dengan demikian , anak-anak semuanya masuk dalam golongan ibu.
44
Oleh karena suatu keadaan khusus, seorang dapat turun dari suatu lapisan
lebih tinggi ke dalam lapisan yang lebih rendah. Sebaliknya , tidak ada
kemungkinan untuk naik ke tingkat lapisan yang lebih tinggi.
Di Kelurahan Jawameze terdapat 5 (lima) dari 7 (tujuh) kampung “nua lima
zua”(tujuh kampung) yang merupakan suatu persekutuan yang dikenal dengan
sebutan”ulu ata ga’e”( kepala orang Ga’e atau tempatnya orang Ga’e ). Nua lima
zua (tujuh kampung) tersebut adalah Bhajawa, Bongiso, Wakomenge, Pigasina,
Boripo, Boseka dan Bokua. Sedangkan 5 ( lima ) kampung yang ada di Kelurahan
Jawameze adalah Bhajawa, Bongiso, Wakomenge, Boripo dan Pigasina.
Kampung Bhajawa merupakan kampung terbesar dan merupakan tempat tinggal
raja.
Pada masyarakat Ngada khususnya di Kelurahan Jawameze mengenal
pelapisan sosial dengan lapisan yang paling atas adalah Gae meze yang memiliki
hak-hak khusus dalam persekutuan adat, mengambil bagian pokok dalam upacara
termasuk pada wanitanya yang mengepalai pengaturan kebijaksanaan pokok
dalam urusan konsumsi. Ga’e meze adalah seorang bangsawan, orang yang
mempunyai harta kekayaan,memiliki rumah yang besar.
Pada perayaan korban yang besar seperti membuat rumah,rumah adat (ka
sao), umum seorang ga’e meze harus duduk pada keba hui (tempat menyimpan
daging-daging korban). Sedangkan pada acara pembuatan ngadhu (ka ngadhu)
yang berhak duduk pada keba hui adalah yang pria dari saka lobo.Ngadhu
merupakan simbol bagi leluhur laki-laki.
45
Ngadhu berbentuk tiang kayu dengan ukiran yang dipahat dan alang-alang yang
disusun membentuk payung yang menaungi simbol leluhur pada tiang ngadhu.
Pada bagian ujungnya dihiasi dengan ornamen tangan yang memegang pedang
dan tombak. Pada waktu digotong masuk kedalam kampung hanya boleh seorang
Ga’e yang berdiri di atasnya.
Pada saat upacara adat seperti di atas hanya orang Ga’e yang berhak duduk
pada tempatnya jika menempatkan orang yang salah pada acara tersebut (duduk
pada keba hui) maka akan adanya semacam musibah yang diyakini oleh orang
Bajawa yaitu walaupun daging hewan kurban tersebut banyak tapi akan
mengalami kekurangan. Ada juga yang melarang secara terbuka oleh rang yang
lebih tahu atau orang yang mengerti, dengan alasan karena orang tersebut tidak
pantas untuk duduk pada tempat tersebut. Dan bagi orang Bajawa sudah tahu dan
memahami hal tersebut dan tidak perlu diingatkan lagi.
Sedikitpun mereka tidak boleh mencuri. Apabila matahari panas atau hujan
seorang Ga’e tidak boleh berlindung dibawah lumbung padi atau rumah orang
dari lapisan bawah.
Golongan kedua adalah ga’e kisa yang ada bersama-sama dengan ga’e meze
membentuk golongan atas. Ga’e meze merupakan golongan atas yang paling
tinggi, sedangkan ga’e kisa membentuk golongan atas yang lebih rendah.
Bersama-sama ga’e meze mereka memerintah. Terhadap ga’e meze mereka
dibandingkan seperti kayu yang lebih rendah mutunya atau seperti kayu-kayu
biasa dan gae meze adalah pohon beringin yang menaunginya.
46
Ga’e kisa juga disebut sebagi bulan sedangkan ga’e meze adalah matahari. Ga’e
kisa juga menjadi penengah atau jembatan antara lapisan bawah dan lapisan atas.
Bisa dikatakan ga’e kisa juga dikarenakan adanya perkawinan campur antara pria
ga’e dan wanita bukan ga’e. Keturunan dari perkawinan tersebut masuk pada
golongan ga’e kisa dan mengikuti status dari ibunya. Keturunannya bebas untuk
menikah dengan golongan manapun.
Sedangkan golongan ketiga adalah ho’o. Ho’o adalah orang yang tinggal
dengan bangsawan karena keadaan ekonomi yang kurang baik. Ada pula yang
mengatakan orang tersebut di sebut ho’o karena perbuatannya seperti orang
tersebut mencuri di lumbung padi orang lain atau menggali ubi milik orang lain.
Hal ini dilakukan karena orang tersebut tidak mampu. Ho’o adalah orang kecil
atau rakyat kebanyakan yang mempunyai lebih banyak kewajiban daripada hak-
haknya.
Adapun data penduduk 5 (lima) dari 7 (tujuh ) kampung “nua lima zua” yang
dibagi berdasarkan stratifikasi sosial adalah sebagai berikut:
Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Strata sosial
No.
Nama Tempat Jenis strata social Jumlah
Ga’e Ga’e Kisa Ho’o
1. Bhajawa 70 27 28 125
2. Bongiso 68 - 26 94
3. Wakomenge 31 68 - 99
4. Boripo 38 36 24 98
5. Pigasina 33 - 37 70
Total 240 131 115 486
47
Data di atas merupakan data penduduk asli yang sudah sejak lama menetap
di Kelurahan Jawameze khususnya lima kampong tersebut. Ada juga penduduk
asli dari kelima kampong ini yang tidak lagi menetap disana. Banyaknya jumlah
penduduk seperti tertera pada tabel 4.2 dikarenakan ada penduduk di wilayah
Kelurahan Jawameze yang tidak diketahui strata sosialnya dan terdapat juga
penduduk pendatang.
Pembagian golongan atau kasta ini tidak berpengaruh dalam kehidupan
sehari-hari. Jika ada kegiatan seperti kerja bakti atau yang lainnya warga
masyarakat dari ketiga golongan tersebut saling membantu dan bekerja gotong
royong. Perbedaan hanya akan terlihat pada upacara-upacara adat dan perkawinan.
2. Bentuk Perkawinan Ideal menurut Masyarakat Kelurahan Jawameze
Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan
masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan dan
laki-laki tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara bahkan keluarga
masing-masing.
Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan
dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan
suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau
norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.
Menurut hukum adat, hukum yang paling tinggi untuk hubungan dan
perilaku para anggota berbagai tingkat sosial, satu terhadap yang lain dahulu
hingga sekarang ialah, bahwa seorang pemuda atau pria dari lapisan yang lebih
48
rendah tidak boleh menikah dengan wanita dari lapisan yang paling atas atau lebih
tinggi darinya. Dan bahkan tidak boleh bergaul dengannya (dimata orang Ngada
bergaul dan menikah sama saja dalam hal ini).
Di Kelurahan Jawameze dalam hal memilih jodoh, orang tua memegang
peranan yang penting dalam hal menyelidiki asal-usul, kedudukan status calon
mempelai. Jika hasil pemantauan kedua belah pihak terdapat kecocokan barulah
dapat dilangsungkan perkawinan.
Perkawinan berdasarkan lapisan sosial ini dilakukan hanya antar lapisan yang
diperkenankan. Perkawinan antar lapisan masyarakat Ngada, sangat terlarang bagi
seorang gadis dari tingkat/golongan ga’e (golongan bangsawan) menikah dengan
pria dari golongan yang bukan ga’e.
Disini berlaku asas endogami pelapisan. Para pria dari golongan ga’e
dihalalkan untuk menikah dengan wanita yang bukan dari golongan ga’e. Hal ini
dikarenakan pria memiliki kebebasan dan jalan pria lebih luas (ana haki laza
bhea). Akan tetapi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak tergolong
dalam kehidupan atau status sosial ayahnya.
Perkawinan terbalik antara pria kasta bawah dengan wanita kasta atas
dianggap menyimpang (la’a sala) dari ketentuan adat sehingga harus dihukum
dan diusir keluar dari kampung. Ada pula hukuman lain yang sangat keji yaitu
pria yang menikah dengan wanita ga’e dihukum gantung. Seiring dengan
perkembangan zaman maka hukuman tersebut mulai diganti dengan hukuman
yang lebih manusiawi yaitu dengan upacara masuk kampung (nuka nua) dan
diturunkan dari status sosialnya dengan menyembelih seekor kerbau. Maksud dan
49
tujuan dari upacara ini yaitu untuk berdamai dengan warga kampung serta
menjauhkan saudara dan mereka sendiri dari musibah.
Adapun alasan lain wanita tidak dijinkan untuk menikah dengan pria yang
tidak segolongan dengannya dikarenakan wanita yang mewarisi dan
mempertahankan status sosialnya.
Dan wanita Ngada melangsungkan perkawinan masuk. Sehingga ada pepatah
yang mengatakan bahwa “ana fai laza meze keri”(anak perempuan jalannya hanya
selebar alang-alang) “mali sala se kedhi nenga bedhu” (jika melakukan hanya
satu kesalahan kecil mereka akan jatuh,kehilangan nama baik dan
kehormatan,menjadi orang-orang jahat). Dan sanksi ini hanya berlaku bagi kaum
wanita saja.
3. Dampak Stratifikasi Sosial terhadap Perkawinan
Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial merupakan salah satu bentuk
perbedaan sosial secara vertikal. Perkawinan pada masyarakat Ngada harus sesuai
dengan lapisan sosial seseorang.
Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ngada menjalankannya tanpa ada
perbedaan status sosial seseorang atau kelompok. Misalnya pada saat kerja bakti
semua warga dari tiap lapisan sosial berkumpul bersama,bekerja bersama dan
saling membantu. Perbedaan hanya akan dirasakan atau nampak jelas pada saat
diadakan upacara-upacara adat. Dimana hanya seorang ga’e yang memegang
kuasa pada acara tersebut.
50
Hal ini juga nampak pada perkawinan masyarakat Ngada, dimana
perkawinan dapat terjadi berdasarkan lapisan atau golongan seseorang. Dengan
adanya bentuk lapisan sosial ini, jumlah ga’e sangat sedikit dibandingkan lapisan
sosial lain seperti ga’e kisa dan ho’o. Perbedaan jumlah ini semakin menjadi lebih
besar. Hal ini terutama disebabkan oleh peraturan perkawinan yang berlaku.
Jika seorang pria ga’e mempunyai banyak istri dari lapisan bawah maka
semua anak masuk dalam lapisan ibunya. Perempuan atau gadis ga’e yang
melakukan pelanggaran, juga diturunkan kelapisan yang lebih rendah dan
demikian anak-anaknya pun berada dalam status yang sama dengan ibunya.
Pria ga’e dihalalkan untuk menikah dengan wanita yang bukan ga’e, akan
tetapi keturunannya tidak lagi mengikuti status sosial ayahnya melainkan status
sosial dari ibunya. Jika terjadi perkawinan antara wanita ga’e dengan pria yang
bukan ga’e maka wanita tersebut diusir dari kampung dan diturunkan dari status
sosial asalnya. Hukum ini telah berlaku sejak dahulu hingga sekarang. Dan hal
inilah yang menjadi penyebab berkurangnya anggota golongan ga’e. selain itu
hubungan antara keluarga akan retak, wanita dan pria yang melanggar aturan itu
akan terisolir jauh dari sanak saudari dan kampung halamannya.
Pada zaman dahulu pelanggaran larangn ini merupakan kejahatan besar
untuk masyarakat Ngada. Hukuman untuk pemuda yang melakukan pelanggaran
ini selalu kematian yang mengerikan. Untuk pria dari lapisan yang rendah dan
wanita dari lapisan atas peraturan ini merupakan pembatasan yang sangat terasa.
Wanita dari lapisan atas hanya diperuntukan bagi pria lapisan atas juga.
51
Dengan adanya perbedaan lapisan sosial atau perbedaan kasta ini wanita dari
golongan ga’e dilarang juga untuk bergaul dengan pria yang bukan ga’e. Bagi
masyarakat Bajawa bergaul dan menikah sama saja dalam hal ini.
Di Bajawa, jika seorang pria dari lapisan bawah biarpun hanya menyentuh
pipi atau bahu seorang wanita ga’e maka akan dikenakan denda adat, pada zaman
dahulu hukumannya adalah dia digantung, ditikam dan dibuang kedalam jurang.
Dan wanita tersebut juga diturunkan dari lapisan atas. Selain itu wanita dari
lapisan atas tidak boleh dimaki dengan kata-kata atau ungkapan yang tidak
senonoh oleh pria dari lapisan yang lebih rendah. Orang yang melanggar aturan
ini harus membunuh seekor kerbau atau babi.
Seorang pria dari tingkat yang lebih rendah tidak boleh berhubungan dengan
wanita dari lapisan atas, tidak boleh berada sendirian, bepergian sendiri, bercakap-
cakap sendiri dan tidak boleh saling menukar benda-benda perhiasan dan
sebagainya. Karena hal-hal semacam itu bisa menjadi tanda persahabatan yang
khusus dan dapat menurunkan wanita itu ke tingkat yang lebih rendah dan
dianggap telah melalukan penyimpangan (la’a sala).
52
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan judul “Kajian Tentang
Stratifikasi Sosial dan Perkawinan Pada Masyarakat Kelurahan Jawameze
Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada”, maka disimpulakan bahwa :
1. Staratifikasi sosial atau pelapisan sosial (kasta / rang) pada masyarakat
Ngada khususnya pada lokasi penelitian yaitu kelurahan jawameze
Kecamatan Bajawa, bentuk pelapisan sosial ini sudah ada sejak dahulu
kala. Masyarakat Ngada mengenal tiga lapisan sosial yaitu ga’e meze, ga’e
kisa dan ho’o. Ga’e meze adalah bangsawan, orang yang memiliki harta
kekayaan. Lapisan kedua adalah ga’e kisa. Adanya ga’e kisa terjadi karena
perkawinan antara pria ga’e dan wanita bukan ga’e. Keturunan dari hasil
perkawinan tersebutlah yang masuk dalam golongan ga’e kisa. Keturunan
ini bebas untuk menikah dengan golongan manapun. Sedangkan golongan
ketiga adalah ho’o. Ho’o adalah orang yang tinggal dengan bangsawan
karena keadaan ekonomi yang kurang baik. Ada pula yang mengatakan
orang tersebut di sebut ho’o karena perbuatannya seperti orang tersebut
mencuri di lumbung padi orang lain atau menggali ubi milik orang lain.
Hal ini dilakukan karena orang tersebut tidak mampu.
53
2. Menurut hukum adat, hukum yang paling tinggi untuk hubungan dan
perilaku para anggota berbagai tingkat sosial, satu terhadap yang lain
dahulu hingga sekarang ialah, bahwa seorang pemuda atau pria dari
lapisan yang lebih rendah tidak boleh menikah dengan wanita dari lapisan
yang paling atas atau lebih tinggi darinya. Dan bahkan tidak boleh bergaul
dengannya (dimata orang Ngada bergaul dan menikah sama saja dalam hal
ini). Perkawinan berdasarkan lapisan sosial ini dilakukan hanya antar
lapisan yang diperkenankan. Perkawinan antar lapisan masyarakat
Ngada,sangat terlarang bagi seorang gadis dari tingkat/golongan ga’e
(golongan bangsawan) menikah dengan pria dari golongan yang bukan
ga’e.
3. Dengan adanya bentuk lapisan sosial ini, jumlah ga’e sangat sedikit
dibandingkan lapisan sosial lain seperti ga’e kisa dan ho’o. Perbedaan
jumlah ini semakin menjadi lebih besar. Hal ini terutama disebabkan oleh
peraturan yang berlaku.
B. SARAN
Peneliti merasa perlu memberikan saran kepada seluruh masyarakat
Kelurahan Jawameze agar :
1. Diharapkan kepada Masyarakat Kelurahan Jawameze agar dalam hal
perkawinan khususnya dalam memilih pasangan atau jodoh tidak selalu
berpedoman atau terikat pada golongan atau kasta yang ada karena manusia
pada dasarnya adalah umat ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dimana
mempunyai derajat, harkat dan martabat yang sama.54
2. Sebaiknya kaum muda mengetahui silsilah dalam keluarga dan lebih banyak
mempelajarinya.
3. Bagi pemerintah agar lebih banyak menyediakan buku-buku yang berkaitan
dengan budaya Ngada
55
Daftar pustaka
Alimandan (1989) Deferensiasi Sosial,Jakarta:Bina Aksara
Alo,Liliweri (1989) Inang (Hidup dan Baktiku), Kupang: Tim Pengerak PKK Provinsi NTT
Arndt,Paul (2009) Masyarakat Ngadha(Keluarga, Tatanan Sosial,Pekerjaan dan Hukum Adat),Ende: Nusa Indah
Asra,Hefri (2000) Strukrur Sosial (https://infosos.wordpress.com) Di Akses Pada Tanggal 23/8/2015
Abdulsyani (2002) Sosiologi Skematika,Teori Dan Terapan,Jakarta:Bumi Aksara
Anwar,Yesmil dan Adang (2013) Sosiologi Untuk Uversitas, Bandung:Refika Aditama
Biro Humas Setda Prov. NTT (2005) Reba,Kupang:PNRI Cab. Kupang
Bully,S (2012) Bahan Ajar Hukum Adat,jurusan PPKn,Kupang:Universitas Nusa Cendana(Tidak Dipublikasikan)
Djowa,Moda dkk (1999) pengetahuan Lingkungan dan Sosial Budaya Daerah NTT, Kupang: Pabelan
Gunakaya,Widiada (1988) Sosiologi dan Antropologi,Bandung: Ganeca Exact
Haryo,Moses Audaktus (2000) Fakto-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Status Sosial Dalam Sistem Stratifikasi (Studi Sosiologis Tentang Perubahan Status Sosial Masyarakat Manggarai Di Desa Golo Lero Kecamatan Poco Ranaka Mnggarai Flores),Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,Jurusan Sosiologi,Universitas Nusa Cendana:Kupang (Skripsi Tidak Dipublikasikan)
Huki,Kenan K.Higa (2003) Hubungan Antara Stratifikasi Sosial Dengan Tingkat Pendidikan Anak (Studi Sosiologis Di Desa Matei Kecamatan Sabu Timur Kabupaten Kupang),Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik,Sosiologi Universitas Nusa Cendana:Kupang (Skripsi Tidak Dipublikasikan)
Kae,Ana Susanti (2015) Studi Tentang Upacara Adat La’a Sala (Pelanggaran Perkawinan) Pada Masyarakat Desa Naru Kecamatan Bajawa Kabupaten NgadaLobo,Leonarnd dan Lorens Riwu (2013) Bahan Ajar Sejarah Budaya NTT,Kupang:Universitas Nusa Cendana (Tidak Dipublikasikan)
56
Liliweri,Alo (1989) Inang (Hidup dan Bhaktiku),Kupang: Tim Penggerak PKK
Sari,Minda (2012) Hukum Perkawinan Adat (http://wordpress.com) diakses pada Tanggal 23/8/2015
Silalahi,Uber (2010) Metode Penelitian Sosial, Bandung:Refika Aditama
Setiadi,Elly M dan Usman Kolip (2011) Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori,Aplikasi dan Pemecahannya),Jakarta: Kencana
Setiady ,Tolib (2008) Intisari Hukum Adat Indonesia.Bandung: Alfabeta
Sugiyono (2012) Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,Kulitatif R & D.Bandung: Alfabeta
Suyanto,Bagong dan Sutinah (2006) Metode Penelitian Sosial,Jakarta:Kencana
Soejono,Soekanto (2013) Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta:Rajawali Pers
..................... (1992) Intisari Hukum Keluarga,Bandung: Sitra Aditya
Bakti
Soyomukti,Nurani (2010) Pengantar Sosiologi : Dasar Analisis,Teori Dan Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial,Perubahan Sosial Dan Kajian-Kajian Strategis,Jogjakarta:Ar-Ruzz
Thamrin,Hasmirah (2015) Stratifikasi Sosial Masyarakat (http://indomaterikuiah.blogspot.com) diakses pada tanggal 14/8/2015
UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Wada,Dominggus Ngongo (1998) Hubungan Straifikasi Sosial Dengan Perkawin Di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama Kabupaten Dati II Sumba Barat,FKIP PPKn,Universitas Nusa Cendana:Kupang (Skripsi Tidak Dipublikasikan)
Wulansari,Dewi (2012) Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,Bandung:Refika Aditama
Wrahatnala,Bondet (2012) Stratifikasi Sosial (belajar.blogspot.com)di akses pada 14/8/2015
57
Lampiran I
Pedoman Wawancara
1. Fokus wawancara : Bentuk stratifikasi sosial dan perkawinan
2. Informen : Bapak Dominikus Nanga
3. Waktu wawancara : 25 Februari 2016
4. Jalannya wawancara : Aman dan baik
No. Aspek Pertanyaan1. Bentuk stratifikasi sosial 1. Bagaimana latarbelakang adanya
stratifikasi sosial pada masyarakat Kelurahan Jawameze?
2. Bagaimana bentuk stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Kelurahan Jawameze?
3. Mengapa stratifikasi sosial masih berlaku di masyarakat?
1. Focus wawancara : Perkawinan ideal menurut masyarakat
2. Informan : Bapak Yosep Donga
3. Waktu wawancara : 26 Februari 2016
4. Jalannya wawancara : Aman dan baik
No. Aspek Pertanyaan
1. Bentuk perkawinan 1. Bagaimana bentuk perkawinan yang ideal menurut masyarakat Kelurahan Jawameze?
58
1. Focus wawancara : Dampak
2. Informan : Bapak Dominikus Lina
3. Waktu wawancara : 27 Februari 2016
4. Jalannya wawancara : aman dan baik
No. Aspek Pertanyaan 1. Dampak 1. Bagaimana dampak dari stratifikasi sosial
terhadap kehidupan masyarakat Kelurahan Jawameze?
2. Bagaimana dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan pada masyarakat Kelurahan Jawameze?
59
Lampiran 2
Hasil Wawancara
1. Hasil wawancara dengan:
a. Bapak Dominikus Nanga pada tanggal 25 Februari 2016 dikatakan bahwa
adanya stratifikasi sosial merupakan warisan dari para leluhur dan tidak
bisa dihilangkan. Stratifikasi atau pelapisan sosial merupakan suatu
ketegasan bagi masyarakat untuk tidak melanggar aturan adat.
b. Bapak Yosep Donga pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa
stratifikasi sosial atau pelapisan sosial sudah terjadi sejak dahulu dan
masih dipertahankan hingga sekarang walaupun seperti dulu lagi.
2. Hasil wawancara dengan :
a. Bapak Dominikus Lina pada tanggal 27 Februari 2016 dikatakan bahwa
terdapat tiga bentuk stratifikasi sosial pada masyarakat Bajawayaitu Ga’e
meze,ga’e kisa dan ho’o.
b. Ibu Maria Raba pada tanggal 29 Februari 2016 dikatakan bahwa Ga’emeze
adalah orang yang mempunyai harta kekayaan, rumah besar dll, ga’ekisa
merupakan keturunan dari hasil perkawinan antara ga’e dan bukan ga’e
dan merupakan orang-orang yang telah turun rang atau turun dari status
sosialnya.
3. Hasil wawancara dengan :
Ibu Katarina Nau pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa adanya
lapisan ho’o dikarenakan oleh perbuatannya. Misalnya orang tersebut
mencuri,membongkar lumbung padi sehingga diteriaki oleh pemilik rumah
dan mereka dikatakan ho’o.
4. Hasil wawancara dengan :
a. Bapak Dominikus Nanga pada tanggal 25 Februari 2016 dikatakan bahwa
perkawinan masyarakat Bajawa harus sesuai dengan aturan adat yang
berlaku di masyarakat.
60
b. Bapak Dominikus Lina pada tanggal 27 Februari 2016 dikatakan bahwa
perkawinan yang seharusnya adalah perkawinan yang sesuai dengan
lapisan sosial orang tersebut.
5. Hasil wawancara dengan :
a. Bapak dominukus Nanga pada tanggal 25 Februari 2016 dikatakan bahwa
pria dari lapisan ga’e dihalalkan untuk menikah dengan wanita pilihannya
sekalipun wanita tersebut bukan dari lapisan ga’e. Sedangkan wanita ga’e
dilarang untuk menikah dengan yang bukan ga’e .
b. Bapak Yosep Donga pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa jika
ada wanita ga’e yang menikah dengan pria yang bukan ga’e maka harus
dilakukan upacara adat nuka nuadan menyembelih satu ekor kerbau.
6. Hasil wawancara dengan :
a. Ibu Katarina Nau pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa upacara
nuka nuadimaksudkan agar kehidupan saudara dan tidak ditimpah
musibah.
b. Ibu Maria Raba pada tanggal 29 Februari 2016 dikatakan bahwa upacara
nuka nua bagi yang melakukan pelanggaran perkawinan (la’a sala)
dimaksudkan untuk berdamai dengan warga kampung dan merangkul
mereka kembali berkumpul bersama keluarga sekaligus untuk menandakan
bahwa wanita ga’e tersebut telah turun dari status sosialnya.
61
Lampiran 3
Lembar Pedoman Observasi
1. Fokus observasi : Kondisi sosial masyarakat
2. Waktu observasi : 25 Februari 2016
3. Tempat observasi : Kelurahan Jawameze
No. Aspek kegiatan
Deskripsi Makna
1. Gotong Royong
Dalam mengerjakan rumah adat atau kerja bakti maupun hajatan lainnya semua masyarakat saling tolong menolong, bahu membahu untuk saling bekerja sama.
Kerja sama
2. Ekonomi Masyarakat
Kondisi ekonomi masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada di Kelurahan Jawameze semakin membaik
Kesejahteraan
3. Pendidikan Banyak anak-anak yang bersekolah hingga perguruan tinggi
Cerdas
4. Sistem Religi Semua masyarakat beragama dan percaya pada leluhur,karena semua yang dan keberhasilan itu berkat dari Yang Maha Kuasa
Iman
5. kesehatan Kesehatan masyarakat di Kelurahan Jawameze lebih baik dikarenakan adanya puskesmas kota dan tenaga medis serta fasilitas yang cukup.
Kesehatan
62
Lampiran 5
Foto-foto Penelitian
Gambar 1: Peneliti sedang mewawancarai Bapak Dominikus Nanga selaku tokoh adat tentang latar belakang adanya stratifikasi sosial dan perkawinan pada masyarakat Bajawa pada tanggal 25 Februari 2016.
Gambar 2: peneliti sedang mewawancarai Bapak Yosep Donga selaku tokoh masyarakat tentang stratifikasi sosial dan situasi sosial masyarakat berdasarkan lapisan- lapisan sosial yang ada di Kelurahan Jawameze pada tanggal 26 Februari 2016.
66
Gambar 3:Bapak Dominikus Lina selaku tokoh adat yang diwawancarai penulis tentang stratifikasi sosial dan perkawinan yang ideal menurut masyarakat Bajawa pada tanggal 27 Februari 2016
Gambar 4: Peneliti sedang mewawncarai Ibu Katharina Nau selaku warga Masyarakat tentang perkawinan berdasarkan stratifikasi sosial (kasta / rang) pada tanggal 26 Februari 2016
67
Gambar 5 : Peneliti sedang mewawancarai Ibu Maria Raba selaku warga masyarakat tentang hubungan sosial masyarakat dan dampak dari stratifikasi sosial terhadap perkawinan pada tanggal 29 Februari 2016
68
Riwayat Hidup
Nama Lengkap : Anastasia Natalia Ngadha
Nama Panggilan : Astin
TTL : Bajawa,25 Desember 1990
Agama : Katolik
Status Dalam Keluarga : Anak Kandung
Anak Ke- : 1 (Anak Tunggal)
Alamat : Bongiso, Bajawa
Nama Ibu : Fransiska Langa
Riwayat Pendidikan
SD : SDI Watutura Bajawa
SMP : SMP Negeri 1 Mauponggo
SMA : SMA Katolik Kejora Riung
PT : Jurusan PPKn, FKIP UNDANA
69