Skrip Si

106
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah sama yaitu sebagai makluk pribadi dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial, manusia membutuhkan sesama untuk hidup bersama dan saling berinteraksi satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pandangan pancasila tentang kodrat manusia,khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia lainnya. Interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain akan membentuk suatu kelompok dan orang yang berada dalam kelompok tersebut akan merasa sebagai bagian dari kelompok itu. Kemudian membentuk suatu kaidah untuk ditaati atau dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. 1

description

ta

Transcript of Skrip Si

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah sama yaitu sebagai

makluk pribadi dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial,

manusia membutuhkan sesama untuk hidup bersama dan saling berinteraksi

satu dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pandangan pancasila tentang

kodrat manusia,khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia

lainnya.

Interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain akan

membentuk suatu kelompok dan orang yang berada dalam kelompok tersebut

akan merasa sebagai bagian dari kelompok itu. Kemudian membentuk suatu

kaidah untuk ditaati atau dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Proses interaksi sosial menyebabkan manusia saling berkenalan satu sama

lain. Perkenalan antara seorang pria dan wanita akan membuat seseorang

merasa tertarik dengan yang lainnya. Perasaan tertarik antara satu dengan

yang lainnya akan mengantar kedua insan manusia ke jenjang

perkenalan,pertunangan dan akhirnya perkawinan. (Wada,1998:1)

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan

dan laki-laki tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara bahkan

keluarga masing-masing.

1

Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan

dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi

berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan

aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Salah satunya adalah masalah stratifikasi sosial atau pelapisan sosial dalam

masyarakat. Strata atau lapisan sosial dalam masyarakat sangat berpengaruh

dalam menjalin hubungan antara orang perorangan, orang dengan kelompok

dan kelompok dengan kelompok. Hubungan inilah yang akan membedakan

kelas-kelas atau lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.

Struktur masyarakat NTT umumnya berdasarkan sistem genealogis. Maka

stratifikasi sosial dalam masyarakat itu juga berdasarkan sistem kemurnian

daerah dari kelompok keturunan pembuka daerah yang pertama atau pendiri

kerajaan di daerah itu. Tingkatan sosial didasarkan dari dekat jauhnya

hubungan darah dengan cikal bakal yang membuka tanah disitu. Pihak yang

terdekat hubungannya dengan cikal bakal merupakan lapisan tertinggi.

Sedangkan hubungan yang semakin jauh dengan cikal bakal, merupakan

lapisan yang lebih rendah tingkat sosialnya. Masyarakat NTT pada umumnya

dibagi menjadi 3 lapisan besar, dengan beberapa variasi sebutan dan istilah

yang disesuaikan dengan serta bahasa daerah masing-masing. (Lobo-

Riwu,bahan ajar Sejarah Budaya NTT 2013:117)

Bentuk pelapisan sosial seperti yang diuraikan diatas merupakan warisan

yang tetap dan sangat berpengaruh dalam suatu pergaulan hidup termasuk

dalam hal memilih jodoh.

2

Masyarakat Kelurahan Jawameze di Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada

masih memegang teguh norma-norma yang mengatur tentang perkawinan

berdasakan lapisan sosial (rang/kasta), di Bajawa tentang perkawinan tidak

sekasta atau rang ini dinamakan La’a Sala. Untuk yang berbeda kasta atau Rang

ini biasanya pria dari Rang Atas boleh menikahi wanita dari Rang Bawah akan

tetapi wanita dari Rang Atas tidak boleh menikahi pria dari Rang Bawah.

Pelanggaran perkawinan (La’a Sala) ini juga memberikan dampak negatif

bagi masyarakat, antara lain hal ini biasanya menjadi hambatan bagi wanita dari

Rang Atas untuk mendapatkan suami karena wanita dari Rang Atas tidak boleh

memilih pasangannya seturut kehendaknya melainkan harus menikahi dengan pria

sesama Rang Atas ( Maga,Djowa,Maria H. Klau. 1999).

Sanksi adat yang biasanya diberikan kepada mereka yang melakukan

pelanggaran hukum adat ( La’a Sala ) biasanya antara lain kedua individu wanita

dan pria diusir dari kampung dalam jangka waktu tertentu. Pasangan ini dapat di

terima kembali di kampung apabila sudah melakukan proses upacara La’a Sala(ua

pu’u thia nua, lole nua dan toa kaba).

Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian

dengan judul “Kajian Tentang Stratifikasi Sosial Dan Perkawinan Pada

Masyarakat Kelurahan Jawameze Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada”.

3

B. Rumusan Masalah

1. Mengapa ada stratifikasi sosial (kasta) pada masyarakat Kelurahan

Jawameze?

2. Bagaimanakah bentuk perkawinan yang ideal dalam masyarakat

Kelurahan Jawameze?

3. Bagaimana dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan di masyarakat

Kelurahan Jawameze?

C. Tujuan

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut diatas maka tujuan penelitian ini

adalah sebagai berikut :

1. Mendeskripsikan tentang stratifikasi sosial pada masyarakat Kelurahan

Jawameze.

2. Mendeskripsikan perkawinan yang ideal dalam masyarakat Kelurahan

Jawameze.

3. Mendeskripsikan dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan di

masyarakat Kelurahan Jawameze.

4

D. Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan acuan atau referensi bagi penelitian selanjutnya.

2. Sebagai sumbangan dalam rangka memperkaya sumber budaya

Kabupaten Ngada.

3. Sebagai pengetahuan lokal yang perlu diketahui dan dipelajari oleh

generasi muda, seperti pengetahuan mengenai stratifikasi sosial yang

ada pada masyarakat Kabupaten Ngada.

4. sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada

Fakultas Keguruan Dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan

Pancasila Dan Kewarganegaraan Universitas Nusa Cendana.

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA,KONSEP DAN KERANGKA BERPIKIR

A. Tinjauan Pustaka

Banyak penelitian yang telah dilakukan berkaitan dengan stratifikasi sosial,

diantaranya :

Wada (1998) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa

Cendana Kupang, melakukan penelitian dengan judul Hubungan Stratifikasi

Sosial dengan Perkawinan di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama

Kabupaten Dati II Sumba Barat. Dalam penelitian tersebut mengulas tentang ada

hubungan yang signifikan antara stratifikasi sosial dengan perkawinan di desa

Bondo Boghila. Stratifikasi sosial masyarakat Bondo Boghila sebagai warisan dari

sistem feodalisme masih tetap diperlakukan walaupun tidak sepenuhnya. Dalam

pemilihan jodoh, status sosial merupakan salah satu faktor yang turut

dipertimbangkan.

Huki (2003) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Univesitas Nusa Cendana

Kupang, melakukan penelitian dengan judul Hubungan Antara Stratifikasi Sosial

dengan Tingkat Pendidikan Anak (Studi Sosiologis di Desa Matei Kecamatan

Sabu Timur Kabupaten Kupang).

Berdasarkan hasil penelitiaan tersebut menunjukan bahwa stratifikasi sosial di

desa Matei mempunyai hubungan erat dengan tingkat pendidikan anak.

6

Haryo (2000) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Nusa

Cendana,melakukan penelitian dengan judul Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

Perubahan Status Sosial Dalam Sistem Stratifikasi (Studi Sosiologis Tentang

Perubahan Status Sosial Masyarakat Manggarai di Desa Golo Lera Kecamatan

Poco Ranaka Manggarai Flores). Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan proses

pembedaan masyarakat secara bertingkat pada zaman feodal, status sosial

seseorang ditentukan berdasarkan ascribed status yakni status yang diperoleh

individu karena faktor keturunan. Selain itu faktor pendidikan

mempunyaipengaruh besar terhadap perubahan cara pandang masyarakat tentang

penentuan status sosial.

Kae (2015) dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Nusa

Cendana, melakukan penelitian dengan judul Studi Tentang Upacara Adat La’a

Sala ( Pelanggaran Perkawinan ) Pada Masyarakat Desa Naru Kecamatan Bajawa

Kabupaten Ngada. Berdasarkan hasil penelitian disimpulkan bahwa pelanggaran

perkawinan (La’a Sala) adalah perkawinan antara kedua belah pihak yang

berbeda kasta atau Rang atau juga perkawinan yang masih memiliki hubungan

sedarah. Untuk yang berbeda kasta atau Rang ini biasanya pria dari Rang Atas

boleh menikahi wanita dari Rang Bawah akan tetapi wanita dari Rang Atas tidak

boleh menikahi pria dari Rang Bawah. Selain itu perkawinan yang masih

memiliki hubungan darah juga dapat dikatakan La’a Sala juga.

Yang membedakan penelitian peneliti terdahulu dan peneliti sekarang dapat

dilihat pada tabel 2.1

7

Tabel 2.1 Sumber data penelitian

No Peneliti Judul Penelitian Tujuan Penelitian Ket.

1. Wada Hubungan Stratifikasi Sosial Dengan Perkawinan di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama Kabupaten Dati II Sumba Barat

1. untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang keadaan stratifikasi sosial di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama Kabupaten Dati II Sumba Barat

2. untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang perkawinan di Desa Bondo Boghila

3. untuk memperoeh gambaran yang jelas tentang hubungan antara stratifikasi sosial dengan perkawinan di Desa Bondo Boghila

Skripsi

2 Huki Hubungan Antara Stratifikasi Sosial Dengan Tingkat Pendidikan Anak (Studi Sosiologis di Desa Matei Kecamatan Sabu Timur Kabupaten Kupang)

1. Untuk menggambarka keadaan stratifikasi sosial orang Sabu di Desa Matei

2. Untuk mengetahui hubungan antara stratifikasi sosial di Desa Matei dengan tingkat pendidikan anak

skripsi

3. Haryo Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi

1. Menggambarkan stratifikasi sosial

skripsi

8

Perubahan Status Sosial Dalam Sistem Stratifikasi

masyrakat Manggarai

2. Menggambarkan perubahan status sosial masyarakat Manggarai di Desa Golo Lero

4. Kae Studi Tentang Upacara Adat La’a Sala ( Pelanggaran Perkawinan ) Pada Masyarakat Desa Naru Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada.

Mengapa terjadinya pelanggaran perkawinan dan upacara La’a sala pada masyarakat desa Naru, Kecamatan Bajawa, Kabupaten Ngada?

Skripsi

5. Ngadha Kajian Tentang Stratifikasi Sosial dan perkawinan Pada Masyarakat Kelurahan Jawameze Kabupaten Ngada

1. Mendeskripsikan tentang stratifikasi sosial pada masyarakat Kelurahan Jawameze Kabupaten Ngada.

2. Mendeskripsikan perkawinan ideal menurut masyarakat Kelurahan Jawameze Kabupaten Ngada.

3. Mendeskripsikan dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan di masyarakat kelurahan Jawameze

Skripsi

Sumber :Perpustakaan Universitas Nusa Cendana

9

Mencermati hasil penelitian terdahulu yang diuraikan diatas,maka dapat

dikemukakan bahwa perbedaan penelitian terdahulu dengan penelitian saya.

Penelitian yang saya lakukan meneliti tentang stratifikasi sosial dan perkawinan

sedangkan persamaannya yaitu sama-sama melakukan penelitian tentang

startifikasi sosial.

B. Konsep

1. Stratifikasi Sosial

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial secara umum dapat diartikan sebagai pembedaan atau pengelompokan anggota masyarakat secara vertikal. Stratifikasi sosial merupakan gejala sosial yang sifatnya umum pada setiap masyarakat. Stratifikasi sosial (Social Stratification) berasal dari kata bahasa latin “stratum” (tunggal) atau “strata” (jamak) yang berarti lapisan. Dalam Sosiologi, stratifikasi sosial dapat diartikan sebagai pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat dalam Anwar (2013:215).

Sorokin (1959) dalam Anwar (2013:215) mendefinisikan “stratifikasi sosial sebagai perbedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas yang tersusun secara bertingkat (hierarki). Perwujudannya adalah adanya kelas-kelas tinggi dan kelas-kelas yang lebih rendah. Menurut Sorokin, dasar dan inti dari lapasan-lapisan dalam masyarakat adalah tidak adanya keseimbangan dalam pembagian hak-hak dan kewajiban-kewajiban,dan tanggung-jawab nilai-nilai sosial dan pengaruhnya diantara anggota masyarakat”.

Max Weber dalam Soyomukti (2010: 373) mendefinisikan stratifikasi sosial

sebagai penggolongan orang-orang yang termasuk dalam suatu sistem sosial

tertentu ke dalam lapisan-lapisan hierarki menurut dimensi kekuasaan, previllege

dan prestise.

Cuber dalam Soyomukti (2010:373) mendefinisikan stratifikasi sosial sebagai

suatu pola yang ditempatkan di atas kategori dari hak-hak yang berbeda.

10

Soerjono Soekanto (1982) stratifikasi sosial adalah pembedaan posisi

seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.

Bruce J. Cohen dalam Anwar (2013) stratifikasi sosial adalah sistem yang

menempatkan seseorang sesuai dengan kualitas yang dimiliki dan menempatkan

mereka pada kelas sosial yang sesuai.

Paul B. Horton dan Chester L. Hunt dalam Anwar (2013) stratifikasi sosial

adalah sistem perbedaan status yang berlaku dalam suatu masyarakat.

2. Bentuk – Bentuk Stratifikasi Sosial

Dalam masyarakat terdapat berbagai bentuk stratifikasi sosial. Bentuk itu akan

dipengaruhi oleh kriteria atau faktor apa yang dijadikan dasar.

a. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Ekonomi

Stratifikasi sosial dalam bidang ekonomi seperti penghasilan,harta

kekayaan,bentuk rumah bahkan perabot rumah dan mobil yang digunakan akan

membedakan penduduk atau warga masyarakat menurut penguasaan dan

pemilikan materi akan menempatkan orang tersebut ke strata yang paling atas.

Dalam hal ini ada golongan orang-orang yang didasarkan pada pemilikan tanah,

serta ada yang didasarkan pada kegiatannya di bidang ekonomi dengan

menggunakan kecakapan. Dengan kata lain, pendapatan, kekayaan, dan pekerjaan

akan membagi anggota masyarakat ke dalam berbagai lapisan atau kelas-kelas

sosial dalam masyarakat.

11

Dalam stratifikasi ini dikenal dengan sebutan kelas sosial ekonomi yang

didasarkan pada jumlah kekayaan atau penghasilan. Secara umum klasifikasi

kelas sosial terdiri atas tiga kelompok yaitu:

a. Kelas sosial atas,yaitu kelompok orang yang memiliki banyak kekayaan yang

dapat memenuhi segala kebutuhan hidupnya bahkan secara berlebihan.

Golongan kelas ini dapat dilihat dari pakaian yang dikenakan, bentuk rumah,

gaya hidup, penghasilan dan lain-lain.

b. Kelas sosial menengah, yaitu kelompok orang yang berkecukupan yang sudah

dapat memenuhi kebutuhan pokok misalnya sandang,pangan dan papan.

c. Kelas sosial bawah yaitu kelompok orang miskin yang masih belum dapat

memenuhi kebutuhan primer. Golongan kelas bawah biasanya terdiri dari

pengangguran dan para buruh.

Menurut Max Webber, stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ekonomi

membagi masyarakat ke dalam kelas-kelas yang didasarkan pada pemilikan tanah

dan benda-benda. Kelas-kelas diukur berdasarkan kepemilikan tanah dibagi

menjadi tiga kelas sebagai berikut kelas atas (upper class) yaitu pemilik tanah,

kelas menengah (middle class) yaitu penyewa tanah,dan kelas bawah (lower class)

yaitu penggarap atau buruh tani.

Satu hal yang perlu diingat bahwa stratifikasi sosial berdasarkan kriteria

ekonomi ini bersifat terbuka. Artinya memungkinkan seseorang yang berada pada

kelas bawah untuk naik ke kelas atas, dan sebaliknya memungkinkan seseorang

12

yang berada pada kelas atas untuk turun ke kelas bawah atau kelas yang lebih

rendah. Hal ini tergantung pada kecakapan dan keuletan orang yang bersangkutan.

b. Stratifikasi Sosial Berdasarkan Kriteria Sosial

Pada umumnya, stratifikasi sosial berdasarkan kriteria ini bersifat tertutup.

Stratifikasi sosial demikian umumnya terdapat dalam masyarakat feodal,

masyarakat kasta, dan masyarakat rasial

1. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Feodal

Masyarakat feodal merupakan masyarakat pada situasi praindustri, yang

menurut sejarahnya merupakan perubahan dari ikatan budak atau hamba

dengan tuan tanah. Hubungan antara kedua golongan itu menjadi hubungan

antara yang memerintah dengan yang diperintah,dan interaksinya sangat

terbatas.

Kemudian semangat feodalisme ini oleh kaum penjajah diterapkan di

Indonesia dan terjadilah perpecahan antargolongan, sehingga pada masyarakat

feodal terjadi stratifikasi sosial sebagai berikut:

a. Golongan atas, terdiri dari keturunan raja dan ningrat.

b. Golongan menengah, terdiri dari golongan prajurit dan pegawai.

c. Golongan bawah, terdiri dari golongan rakyat biasa.

13

2. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Kasta

Masyarakat kasta menuntut pembedaan antar golongan yang lebih tegas

lagi.

Hubungan antar golongan adalah tabu, tertutup, bahkan dapat dihukum

masyarakatnya. Hal demikian terjadi pada masyarakat kasta di India. Istilah

untuk kasta di India adalah yati, dan sistemnya disebut dengan varna.

Menurut kitab Reg Weda dalam (Wrahatnala,2012)dalam masyarakat

India Kuno dijumpai empat varna yang tersusun secara hierarkis dari atas ke

bawah, yaitu brahmana, ksatria, waisya, dan sudra. Kasta brahmana adalah

kasta yang terdiri atas para pendeta dan dipandang sebagai kasta tertinggi.

Ksatria merupakan kasta yang terdiri atas para bangsawan dan tentara,

serta dipandang sebagai kelas kedua. Vaisya merupakan kasta yang terdiri atas

para pedagang, dan dipandang sebagai lapisan ketiga.Sedangkan sudra

merupakan kasta yang terdiri atas orang-orang biasa (rakyat jelata). Di

samping itu terdapat orang-orang yang tidak berkasta atau tidak termasuk ke

dalam varna. Mereka itu adalah golongan paria.

Berdasarkan uraian di atas Davis (1951) dalam Alimandan (1989:51)

dapat diidentifikasikan bahwa ciri-ciri kasta adalah sebagai berikut.

1. Keanggotaan berdasarkan kewarisan atau kelahiran. Dalam kasta, kualitas seseorang tidak menjadi sebuah perhitungan.

2. Keanggotaan berlangsung seumur hidup, kecuali jika dikeluarkan dari kastanya.

3. Perkawinan bersifat endogen dan harus dipilih orang yang sekasta. Seorang laki-laki dapat menikah dengan perempuan yang kastanya lebih rendah, tetapi tidak dapat menikah dengan perempuan yang memiliki kasta lebih tinggi.

14

4. Hubungan antarkasta dengan kelompok sosial lainnya sangat terbatas.

5. Kesadaran keanggotaan suatu kasta tampak nyata antara lain pada nama kasta, identifikasi anggota pada kastanya, dan penyesuaian yang ketat terhadap norma kasta.

6. Terikat oleh kedudukan-kedudukan yang secara tradisional ditetapkan. Artinya kasta yang lebih rendah kurang mendapatkan akses dalam bidang pendidikan dan kesejahteraan, apalagi menduduki jabatan penting dalam pemerintahan.

7. Prestise suatu kasta benar-benar diperhatikan.8. Kasta yang lebih rendah merupakan bagian dari kasta yang lebih

tinggi, sehingga dalam kesehariannya dapat dikendalikan secara terus-menerus.

Di Indonesia, stratifikasi sosial berdasarkan kasta dapat kita jumpai pada

masyarakat Bali. Namun demikian, pengkastaannya tidak terlalu kaku dan tertutup

seperti halnya di India. Pengkastaan di Bali disebut dengan wangsa. Adapun

stratifikasi sosialnya adalah sebagai berikut :

1. BrahmanaMerupakan tingkatan kasta tertinggi di Bali.Biasanya kasta ini diduduki oleh para pemuka agama.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Ida Bagus untuk laki-laki dan Ida Ayu untuk perempuan.

2. KsatriaMerupakan tingkatan kedua setelah brahmana.Biasanya yang menduduki kasta ini adalah para bangsawan.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Cokorda, Dewa, atau Ngahan.

3. WaisyaMerupakan tingkatan ketiga setelah ksatria.Biasanya yang menduduki kasta ini adalah para pedagang.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Bagus atau Gusti.

4. SudraMerupakan tingkatan paling rendah dalam sistem kasta di Bali.Biasanya kasta ini diduduki oleh para pekerja atau buruh.Gelar bagi orang-orang yang termasuk dalam kasta ini adalah Pande, Kbon, atau Pasek.

15

3. Stratifikasi Sosial pada Masyarakat Rasial

Masyarakat rasial adalah masyarakat yang mengenal perbedaan warna

kulit. Sistem stratifikasi ini pernah terjadi di Afrika Selatan, di mana ras kulit

putih lebih unggul jika dibandingkan dengan ras kulit hitam. Perbedaan warna

kulit di Afrika Selatan pada waktu itu memengaruhi berbagai bidang

kehidupan yang kemudian disebut dengan politik apartheid.

Dalam politik apartheid, seluruh aspek kehidupan, termasuk kesehatan,

pendidikan, perumahan, bahkan pekerjaan ditentukan apakah orang itu

termasuk kulit putih ataukah kulit hitam. Walaupun ras kulit putih termasuk

golongan minoritas, namun mereka menduduki posisi yang terhormat

dibandingkan dengan ras kulit hitam yang mayoritas.

Untuk mempertahankan dominasi kekuasaan ekonomi dan politik, ras kulit

putih mengembangkan teori rasisme disertai dengan tindakan di luar

perikemanusiaan.

3. Perkawinan

Menurut adat Bajawa, perkawinan merupakan persatuan kedua insan yang

berbeda jenis kelamin untuk membangun kehidupan bersama-sama dalam

keselamatan dan tangguh dalam menumbuhkan keturunan mereka.

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat kita, sebab perkawinan tidak hanya menyangkut perempuan dan

laki-laki bakal mempelai saja, tetapi juga orang tua kedua belah pihak,

saudara-saudaranya bahkan keluarga masing-masing.Wulansari (2012 : 48)

16

Perkawinan menurut hukum Adat merupakan suatu hubungan kelamin

antara laki-laki dengan perempuan, yang membawa hubungan lebih luas, yaitu

antara kelompok kerabat laki-laki dan perempuan, bahkan antara masyarakat

yang satu dengan masyarakat yang lain. Hubungan yang terjadi ini ditentukan

dan diawasi oleh sistem norma-norma yang berlaku di dalam masyarakat itu.

Selain itu perkawinan bukan merupakan urusan pribadi dua orang yang kawin,

tetapi juga merupakan urusan keluarga, suku, masyarakat dan kasta.

Perkawinan berarti pemisahan dari orang tuanya dan untuk seterusnya

melanjutkan garis hidup orang tuanya. Bagi suku, perkawinan merupakan

suatu usaha yang menyebabkan terus berlangsungnya suku itu dengan tertib.

Bagi masyarakat (persekutuan), perkawinan juga merupakan suatu

peristiwa penting yang mengakibatkan masuknya warga baru yang ikut

mempunyai tanggung jawab penuh terhadap persekutuanya. Bagi kasta,

perkawinan juga penting, karena kasta dalam masyarakat untuk

mempertahankan kedudukannya. (http://wordpress.com/hukum perkawinan

adat,23/8/2015)

Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan

dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi

berdasarkan suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan

aturan-aturan atau norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

menyatakan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria

17

dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga

(rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Tuhan YME.

Menurut Barend (1991) dalam Setiady, (2008:225) perkawinan adalah

suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus berlangsungnya

golongan dengan tertibnya dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan

terlahirnya angkatan baru yang meneruskan golongan tersebut.

Perkawinan menurut Hadikusuma (1983) dalam Setiady (2008:225) adalah

suatu ikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri untuk

maksud mendapatkan keturunan dan membangun kehidupan keluarga.

Perkawinan diisyaratkan supaya manusia mempunyai keturunan dan

keluarga yang sah menuju kehidupan bahagia di dunia dan akhirat dibawah

naungan cinta kasih Allah Sastroatmodjo (1978) dalam Setiady (2008;225).

Hazairin dalam bukunya “Rejang” Bully (2012:52 )mengemukakan

bahwa peristiwa perkawinan itu sebagai tiga buah rentetan perbuatan-

perbuatan magis yang bertujuan menjamin ketenangan,kebahagiaan dan

kesuburan.

4. Sistem Perkawinan

Dalam satu suku terdapat tiga lapisan besar / kasta dengan beberapa

sebutan atau istilah yang disesuaikan dengan tradisi serta bahasa daerah

masing-masing. Dalam hukum adat Seojono (1992:131), umumnya terdapat

tiga macam sistem perkawinan.

18

1. Endogami Sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari sukunya sendiri.

2. Exogami Sistem perkawinan dimana seseorang hanya diperbolehkan kawin dengan orang dari luar sukunya.

3. EleutherogamiSistem perkawinan dimana seseorang diperbolehkan kawin dengan orang dari dalam dan luar sukunya.

C. Kerangka Berpikir

Strata atau lapisan sosial dalam masyarakat sangat berpengaruh dalam

menjalin hubungan antara orang perorangan, orang dengan kelompok dan

kelompok dengan kelompok. Hubungan inilah yang akan membedakan kelas-

kelas atau lapisan-lapisan sosial dalam masyarakat.

Proses interaksi sosial menyebabkan manusia saling berkenalan satu sama

lain. Perkenalan antara seorang pria dan wanita akan membuat seseorang merasa

tertarik dengan yang lainnya.

Perasaan tertarik antara satu dengan yang lainnya akan mengantar kedua insan

manusia ke jenjang perkenalan, pertunangan dan akhirnya perkawinan.

Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan dikehendaki

oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan suatu

pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat

19

20

StratifikasiSosial Perkawinan

Bentuk perkawinan

ideal

Dampak stratifikasi sosial terhadap

perkawinan

Bentuk Stratifikasi Sosial

- Ga’e Meze- Ga’e Kisa- Ho’o

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penelitian deskriptif

kualitatif yaitu menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber

yakni pengamatan peneliti, wawancara dan kepustakaan. Dari hasil penelitian

atau data yang telah terkumpul akan diedit dan disajikan dalam bentuk teks.

B. Lokasi Penelitian

Yang menjadi lokasi penelitian ini adalah Kecamatan Bajawa. Kecamatan

Bajawa memiliki 10 kelurahan dan 7 desa. Penelitian ini dilakukan di salah

satu kelurahan yaitu Kelurahan Jawameze.Adapun alasan peneliti memilih

lokasi penelitian tersebut adalah sebagai berikut :

1. Di Kelurahan Jawameze terdapat lima dari tujuh perkampungan yang

merupakan “ nua lima zua” (tujuh kampung) dan tujuh kampung

tersebut merupakan suatu persekutuan yang dikenal dengan sebutan “

ulu ata gae”

2. Di Kelurahan jawameze sampai saat ini masih terdapat lapisan-lapisan

atau stratifikasi sosial (kasta/rang).

3. Peneliti mengenal situasi sosial maupun budaya yang ada dilokasi ini

sehingga memudahkan peneliti berinteraksi dengan tua-tua adat

(Mosalaki) maupun masyarakat setempat.

21

4. Peneliti memahami kondisi daerah penelitian,sehingga memudahkan

peneliti dalam memperoleh informasi.

C. Subyek Penelitian

Subyek dalam penelitian ini adalah masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada

di Kelurahan Jawameze. Sedangkan narasumbernya terdiri dari tokoh adat yaitu

Bapak Dominikus Nanga dari strata ga’e, tokoh masyarakat Bapak Yosep Donga

dari strata ga’e kisa dan Bapak Dominikus Lina dari strata ga’e serta masyarakat

lainnya yaitu Ibu Katarina Nau dari strata ga’e kisa dan Ibu Maria Raba dari strata

ga’e.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan teknik penelitian snowball

sampling, dengan menentukan informan kunci adalah Bapak Dominikus Nanga.

Jika data yang diberikan masih belum lengkap maka melalui informan kunci

peneliti mencari orang lain lagi yaitu Bapak Yosep Donga, Bapak Dominikus

Lina, Ibu Katarina Nau dan Ibu Maria Raba yang dipandang mengetahui dan

memberikan data lengkap untuk melengkapi data yang diberikan sebelumnya.

D. Sumber Data

1. Data Primer

Data yang diperoleh langsung dari informan dalam hal ini adalah

masyarakat Kelurahan Jawameze, tokoh masyarakat, tokoh adat

(Mosalaki) dan lurah tentang :

a. Stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Kelurahan Jawameze

b. Bentuk perkawinan yang ideal menurut masyarakat Kelurahan Jawameze

22

c. Dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan yang terjadi pada

masyarakat Kelurahan Jawameze

2. Data sekunder

Dalam penelitian ini data sekunder adalah data yang diperoleh dari

sumber tertulis tentang gambaran umum Kecamatan Bajawa mengenai

keadaan geografis, keadaan sosial budaya, sistem teknologi, sistem

kesenian dan keadaan kependudukan dan perekonomian masyarakat.

E. Teknik Pengumpulan Data

1. Observasi

Peneliti melakukan pengamatan secara langsung di lokasi penelitian tentang

kondisi sosial masyarakat Kecamatan Bajawa, Kelurahan Jawameze ,

Kabupaten Ngada.

2. Wawancara

Dalam teknik ini, penulis mewawancarai informan dengan cara

mengajukan berbagai pertanyaan kepada informan dengan tujuan untuk

mendapatkan informasi yang akurat. Teknik wawancara ini penulis

gunakan dengan melihat kemampuan informan yang mengetahui

stratifikasi sosial dan perkawinan .

Dalam melakukan wawancara dengan informan, penulis menggunakan

dua teknik wawancara yaitu wawancara terstruktur dan tak terstruktur.

Wawancara dilakukan dengan tokoh adat, tokoh masyarakat dan

masyarakat Kelurahan Jawameze.

23

Dalam penelitian ini penulis mewawancarai beberapa informan yaitu

Bapak Dominikus Nanga, Bapak Yosep Donga, Bapak Dominikus Lina,Ibu

Katarina Nau dan Ibu Maria Raba.

3. Studi Kepustakaan

Pengumpulan data melalui literatur dan bahan tertulis lainnya yang

berhubungan dengan penelitian ini.

4. Dokumentasi

Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa

berbentuk tulisan, gambar atau karya-karya monumental dari seseorang

sehingga akan diperoleh data yang sah dan lengkap. Penulis mempelajari

literatur-literatur atau referensi yang berkaitan dengan permasalahan yang

hendak ditulis oleh penulis.

F. Teknik Analisis Data

Analisis data dalam penelitian kualitatif adalah data yang berbentuk kata-

kata dan berwujud pertanyaan-pertanyaan verbal yang diperoleh dari berbagai

sumber dengan menggunakan teknik pengumpulan data yang dilakukan pada saat

pengumpulan data berlangsung, dan setelah selesai pengumpulan data dalam

periode tertentu. Pada saat wawancara, peneliti sudah melakukan analisis terhadap

jawaban yang diwawancarai. Bila jawaban yang diwawancarai setelah dianalisis

terasa belum memuaskan, maka peneliti akan melakukan pertanyaan lagi, sampai

tahap tertentu diperoleh data yang dianggap kredibel.

24

Analisis data kualitatif menurut Milles dan Huberman

(Sugiono,2012;338) terdiri dari tiga tahap yaitu : Reduksi Data, Penyajian Data,

Penarikan Kesimpulan.

a. Reduksi Data.

Reduksi data dilakukan dengan cara pemilihan dan penyederhaan data.

Hal ini perlu dilakukan karena banyaknya data dari masing-masing informan

yang dianggap tidak relevan dengan fokus penelitian sehingga perlu dibuang

atau dikurangi. Reduksi data dilakukan dengan memilih hal-hal pokok yang

sesuai dengan fokus penelitian. Dengan demikian akan memberikan gambaran

yang lebih tajam tentang apa yang sedang diteliti.

b. Penyajian Data / Display Data.

Penyajian data dapat memenuhi apa yang sedang dan apa yang harus dilakukan

lebih jauh lagi menganilisis atau mengambil tindakan berdasarkan pemahaman

yang diperoleh dari penyajian-penyajian tersebut untuk dapat memudahkan

penulis dalam melihat apa yang sedang terjadi sehingga dapat disajikan dalam

bentuk bagan dan tema.

c. Penarikan Kesimpulan / Verifikasi.

Penarikan kesimpulan atau kegiatan verifikasi sudah boleh dilakukan sejak

awal penelitian atau permulaan pengumpulan data, di mana data diamati

dengan mencari makna dari data-data yang ada, membuat keteraturan,

mencatat pola-pola, penjelasan dan konfigurasi yang memungkinkan.

Walaupun masih kasar maknanya tetapi akan semakin jelas dengan semakin

banyak data yang diperoleh untuk mendukung verifikasi

25

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Keadaan Geografis

a) Letak, luas dan batas wilayah

Letak dan luas suatu wilayah sangatlah penting untuk diketahui. Letak

akan memberikan informasi mengenai posisi suatu tempat berdasarkan criteria

tertentu dan hubungannya dengan budaya lain. Luas suatu wilayah berkaitan

dengan ketersediaan ruang hidup, khususnya ruang gerak penduduk.

Secara geografis, Kecamatan Bajawa, berada di Kabupaten Ngada.

Kecamatan Bajawa berada dipusat ibu kota Kabupaten Ngada dengan keadaan

geografis didominasi perbukitan dan beriklim tropis. Secara astronomis

Kecamatan Bajawa terletak diantara 8°48’39,55”LS dan 120°58’57,94”BT.

(Sumber : Kantor Camat Bajawa 2016)

Kecamatan Bajawa berada dalam administrasi Kabupaten Ngada dengan

luas wilayah 133,30 km2. Kecamatan Bajawa terdiri dari 10 kelurahan dan 7

desa yakni, Kelurahan Kisanata, Kelurahan Tanalodu, Kelurahan Bajawa,

Kelurahan Wawowae, Kelurahan Trikora, Kelurahan Ngedukelu,Kelurahan

Jawameze, Kelurahan Susu, Kelurahan Lebijaga dan Kelurahan Faobata.

Sedangkan desa terdiri dari Desa Beiwali, Desa Beja, Desa Bomari, Desa

Borani, Desa Naru, Desa Ubedolumolo dan Desa Langagedha.

26

Adapun batas-batas wilayah administratif dan geografis Kecamatan

Bajawa adalah sebagai berikut sebelah Utara berbatasan langsung dengan

Kecamatan Bajawa Utara, sebelah Selatan berbatasan langsung dengan

Kecamatan Golewa dan Kecamatan Jerebu’u, sebelah Timur berbatasan

dengan Kecamatan Soa dan Kecamatan Golewa Barat dan sebelah Barat

berbatasan langsung dengan Kecamatan Aimere. Seluruh wilayah Kecamatan

Bajawa berada rata-rata 1000 meter di atas permukaan laut.

b) Topografi dan Iklim

Topografi di Kecamatan Bajawa yakni terdiri dari perbukitan yang

mengelilingi daerah tersebut. Kecamatan Bajawa beriklim tropis dengan dua

musim yakni musim hujan dari bulan Oktober sampai bulan April dan musim

panas dari bulan Mei sampai bulan September.

c) Keadaan Tanah

Tanah yang ditempati manusia terwujud melalui berbagai proses dan

tahapan yang panjang dan berjuta-juta tahun lamanya. Tanah merupakan

bagian dari permukaan bumi yang berasal dari batuan yang mengalami

pelapukan dan penghancuran. Sutedjo (2002:78), mengartikan tanah sebagai

suatu tubuh alam yang bermantra tiga dan merupakan paduan antara gaya

pengrusakan dan pembangunan yang dalam hal ini pelapukan dan

pembusukan bahan-bahan organic dan mineral tertentu.

Tanah dan air bagi masyarakat Bajawa, Kabupaten Ngada adalah suatu

hal yang sangat penting, karena keduanya berhubungan langsung dengan

kehidupan penduduk sehari-hari.

27

Keadaan tanah di Kecamatan Bajawa terdiri dari tanah litasol dan tanah

mediteran. Tanah yang digunakan untuk pertanian adalah tanah yang

dianggap subur yaitu pada lereng-lereng bukit dan apabila tanaman yang

mereka tanam tidak lagi tumbuh subur, maka tanah tersebut dapat

diistirahatkan (ngora). Lamanya masa istirahat lahan (tana ngora) relatif

singkat yaitu satu tahun atau lebih dan setelah itu dapat dibuka kembali.

Tanah juga diartikan sebagai media utama dimana manusia bisa

mendapatkan bahan pangan, tambang dan tempat dilaksanakannya berbagai

aktivitas (Suripin dalam Soerjani, 1987:208). Ditekankan pula bahwa tanah

terbentuk oleh hasil kerja interaksi antara iklim dan jasad hidup suatu bahan

induk yang dipengaruhi oleh topografi/relief tempatnya terbentuk dan waktu.

d) Keadaan Flora dan Fauna

Flora dan fauna di suatu wilayah sangat terkai dengan kondisi lingkungan

atau merupakan fungsi dari lingkungan disekitarnya. Faktor-faktor yang

mempengaruhi keberadaan flora dan fauna pada suatu wilayah diantaranya

faktor klimatik, edafik dan perlakuan manusia. Keberadaan flora dan fauna

sangat mendukung keberlangsungan hidup manusia, antara lain sebagai

sumber makanan, membantu manusia dalam aktifitas keseharian dan

merupakan komponen penting dalam ekosistem yaitu sistem rumah tangga

makluk hidup yaitu didalamnya terdapat interaksi antara makluk hidup dengan

lingkungannya.

28

Jenis flora yang ada di Kecamatan Bajawa meliputi jati, kayu manis,

bambu, kayu putih dan kopi. Jenis fauna yang ada di Kecamatan Bajawa yang

teridentifikasi antara lain merupakan hasil peternakan penduduk seperti sapi,

kambing, babi, kuda dan ayam

2. Kondisi Sosial dan Budaya

a. Percaya pada wujud tertinggi

Dalam lingkup sosial budaya masyarakat Kecamatan Bajawa, khususnya

di Kelurahan Jawameze menganut agama katolik, dengan wujud tertinggi

disebut dengan nama ema dewa. Ema adalah Bapa yang selalu memberikan

sesuatu, yang penuh kasih saying dan yang selalu menjadi sandaran manusia

di dalam kehidupannya. Dewa adalah wujud tertinggi sebagai penguasa

manusia dan alam semesta. Allah disebut dengan berbagai nama yaitu Dewa

Zeta, Tua Dewa, Mori Dewa dan Ema Mori Bhu. Dewa Zeta dipahami sebagai

Tuhan yang menjadi penguasa langit dan keberadaannya adalah sebuah misteri

yang tidak kelihatan dan diyakini akan mendatangkan kebaikan kalau manusia

berbuat baik dan akan mendatangkan mala petaka kalau manusia tidak setia

kepada-Nya. Karena itu masyarakat selalu percaya bahwa segala sesuatu yang

diberikan akan kembali kepada-Nya.

b. Percaya pada leluhur (Ebu Nusi)

Pemujaan terhadap leluhur (Ebu Nusi) menjadi salah satu bagian penting

dari kegiatan suku-suku atau menjadi identitas suku-suku.

29

Masyarakat Kecamatan Bajawa yang berada di Kelurahan Jawameze yakin

pada para leluhur (Ebu Nusi) tetap hidup dalam wujud roh (Mae wa tana).

Semua yang telah meninggaldi jemput oleh para leluhurnya ke tempat yang

sama.

Pemujaan leluhur di buat dengan memberikan sesajian pada saat-saat

tertentu dengan member makan nenek moyang (ti’i ka Ebu Nusi). Pemberian

makan kepada leluhur dengan maksud untuk menghadirkan mereka dalam

setiap kegiatan dan senantiasa menjaga agar jangan sampai terjadi hal-hal

yang tidak diinginkan bersama atau dalam bahasa adat yakni “go ulu ma’e mu,

go kasa ma’e bana”.

Pemberian makanan pada para leluhur dapat dilakukan ditempat-tempat

seperti di dalam rumah adat (sao), di tugu batu (ture) dan pada tempat-tempat

yang dianggap terdapat roh para leluhur. Makanan dan minuman yang

diberikan atau disajikan berupa nasi, hati hewan kurban seperti hati ayam atau

babi dan minuman berupa moke (arak). Hal ini dilakukan sebagai wujud

penghormatan bagi arwah para leluhur (Ebu Nusi) yang diyakini berada

bersama-sama dengan mereka dalam hidup dan karya sehari-hari. Dalam

proses ini didahului dengan kalimat sapaan atau ungkapan-ungkapan adat

sebelum dilakukan proses pemberian makan leluhur (ti’i ka Ebu Nusi).

Adapun jumlah penduduk berdasarkan agama yang dianut di Kecamatan

Bajawa, Kelurahan Jawameze seperti ditampilkan pada tabel 4.1

30

Tabel 4.1 Jumlah penduduk berdasarkan agama

No. Agama Laki-laki Perempuan Jumlah Presentase%

1. Islam 5 7 12 0,95%

2. Katolik 508 724 1.232 97,23%

3. Kristen Protestan

13 10 23 1,82%

4. Hindu - - - -

5. Budha - - - -

6 Kong hu cu - - - -

Jumlah 526 41 1.267 100%

Sumber : Kantor lurah Jawameze

Berdasarkan tabel 4.1 di atas diketahui bahwa penduduk Kecamatan

Bajawa yang berada di Kelurahan Jawameze sebagian besar menganut agama

Katolik sebanyak 1.232 jiwa (97,23%), Kristen Protestan sebanyak 23 jiwa

(1,82%) dan Islam sebanyak 12 jiwa (0,95%).

3. Sistem Kesenian

Masyarakat Kecamatan Bajawa dalam relasinya dengan alam masih

sangat berpegang teguh dengan sistem kepercayaan terhadap para leluhur. Hal

ini dibuktikan dalam pembangunan rumah adat, para pembuatnya bukan

sembarang orang atau tukang biasa tapi orang seniman dan harus orang yang

benar-benar tahu dan memahani tata cara pembuatan rumah adat tersebut,

orang seperti ini dikenal dengan sebutan “ lima pathe”.

Dalam pembuatan rumah adat masyarakat Kecamatan Bajawa biasanya

mementaskan seni musik , seni tari, seni sastra dan juga seni ukir. Seni tari

31

yang dipentaskan adalah tarian ja’i yang diiringi musik dari gong dan gendang.

Sedangkan seni sastra terungkap dari syair-syair yang dikenal dengan sebutan

“seu ,pata thela dan dero uwi”. Seni ukir yakni ukiran-ukiran dalam rumah

adat (sao adha) dan ngadhu yang disebut weti / rika.

4. Sistem Teknologi

Produk hasil karya masyarakat Kecamatan Bajawa yang berada di

Kelurahan Jawameze adalah hasil karya warisan para leluhur. Semua hasil

produk yang dimiliki masyarakat Kecamatan Bajawa berciri khas tradisional.

Hal ini nampak dalam warisan pembuatan rumah adat dan pembuatan

berbagai alat rumah tangga seperti piring (wati), senduk (wego/sedho), nyiru

(sege) dan bakul (bere/sole). Bahan dasar pembuatan alat-alat tersebut tersedia

dan diambil dari alam sekitar. Meskipun demikian dengan zaman yang sudah

canggih dan modern barang-barang tersebut mulai diganti dengan alat yang di

buat dari pabrik yang berbahan baku plastik atau alumunium.

Alat rumah tangga seperti piring (wati) dan bakul (bere/sole) hanya dapat

kita temukan pada saat acara adat.

Untuk pembuatan rumah taradisonal / rumah adat (sao) bahan yang

digunakan seluruhnya diambil dari alam seperti tiang, kuda-kuda, dinding dan

atap. Adapun rumah-rumah taradisional yang menggunakan bahan pabrik.

Misalnya atap yang menggunakan seng dan lantai dari semen atau keramik.

Dalam pengerjaan rumah masyarakat Kecamatan Bajawa selalu bergotong

royong dengan mufakat terlebih dahulu yang dipimpin oleh tua adat atau

orang yang lebih tua dari dalam rumah tersebut.

32

Dalam bidang pertanian, masyarakat masih bekerja sesuai siklus musim.

Dalam pekerjaannya masih menggunakan alat yang sederhana seperti cangkul

karena keadaan geografisnya tidak memungkinkan menggunakan alat modern

seperti traktor karena tanah pertaniannya yang berbukit. Ada sebagian

masyarakat yang bekerja secara kelompok “zo” dengan menentukan waktu

kerja yang disepakati bersama dalam kelompok tersebut.

5. Kondisi Kependudukan dan Perekonomian Masyarakat

1. Kependudukan

Jumlah penduduk di Kecamatan Bajawa yang berada di Kelurahan

Jawameze menurut data terakhir pada tahun 2015 berjumlah 1.298 dengan

rincian laki-laki 641 jiwa dan perempuan 657 jiwa. Jumlah penduduk

mengalami peningkatan terutama pada laki-laki yang pada tahun 2014 hanya

berjumlah 610 jiwa. Jumlah penduduk dapat dilihat pada tabel 4.2

Tabel 4.2 Jumlah penduduk berdasarkan jenis kelamin di Kelurahan Jawameze

No.

Jumlah Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

1. Jumlah penduduk tahun 2014 610 657

2. Jumlah penduduk tahun 2015 641 657

Sumber : kantor lurah Jawameze

2. Mata Pencaharian

Masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada di Kelurahan Jawameze pada

umumnya bekerja dibidang pertanian, peternakan dan pertukangan. Tanaman-

33

tanaman pangan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari seperti jagung

sebagai makanan pokok.

Selain jagung terdapat juga tanaman lain seperti ubi dan buah-buahan

yang dipasarkan untuk mendapatkan uang akan pemenuhan kebutuhan sehari-

hari seperti mangga, nanas, pisang serta jenis sayuran baik untuk dikonsumsi

maupun dijual seperti tomat, kangkung, selada, daun singkong dan pucuk

labu. Ada juga tanaman kopi.

Selain bertani masyarakat Kelurahan Jawameze juga beternak. Ternak

tersebut terkadang di jual sebagai sumber ekonomi keluarga. Ternak tersebut

antara lain sapi, kerbau, kuda, anjing, kambing, ayam, dan babi.

Adapun mekanisme pemasaran yang dilakukan masyarakat Kecamatan

Bajawa yakni dengan menjual langsung pada konsumen atau menjual ke

pasar. Hal ini didukung dengan kemajuan transportasi yang cukup memadai.

Berdasarkan hasil observasi diketahui ada 3 buah mikrolet dan kendaraan roda

dua yang digunakan sebagai transportasi warga. Adapun data penduduk

menurut mata pencaharian dapat dilihat pada tabel 4.3

34

Tabel 4.3 Jumlah Penduduk menurut Mata Pencaharian

No. Jenis pekerjaan Laki-laki Perempuan

1. Petani 452 646

2 PNS 72 52

3. Pengrajin 1 2

4. Pedagang

5. TNI - -

6. POLRI 12 -

7. Pensiunan 12 5

8. Pengusaha kecil dan menenga

3 -

9. PRT - 2

10. Montir 1 -

11. Dosen 2 -

Sumber : Kantor lurah Jawameze

Berdasarkan tabel 4.3 diatas , diketahui bahwa penduduk Kecamatan

Bajawa khususnya Kelurahan Jawameze berdasarkan mata

pencaharian ,sebagian besar penduduk bermata pencaharian sebagai petani.

6. Kondisi Pendidikan dan Kesehatan

1. Pendidikan

Masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada di Kelurahan Jawameze sudah

mengenal pendidikan. Hal ini dapat ditinjau dari tingginya kesadaran orang

tua untuk menyekolahkan anaknya. Mulai dari taman kanak-kanak hingga

35

perguruan tinggi. Anak diberi kebebasan untuk memilih sekolah mana yang

diinginkan. Pihak pemerintah pun telah menyediakan fasilitas sarana dan

prasarana guna meningkatkan mutu pendidikan.

Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada tabel

4.4 di bawah ini.

Tabel 4.4 Jumlah penduduk berdasarkan tingkat pendidikan

No.

Tingkat pendidikan Laki-laki perempuan Jumlah

1. Tidak sekolah 7 5 12

2. Belum sekolah 22 22 44

3. TK 12 10 22

4. SD 151 235 386

5. Tidak tamat SD 49 36 85

6. SMP 90 102 192

7. SMA 81 85 166

8. Diploma 28 25 53

9. Sarjana 23 25 48

10. Putus sekolah 133 92 225

Jumlah 596 637 1233

Sumber : Kantor lurah Jawameze

Dari data di atas jumlah penduduk yang masih duduk di bangku sekolah

dasar lebih banyak dibandingkan dengan yang lain yaitu sebanyak 386 jiwa.

2. Kesehatan

Kesehatan adalah keadaan sejatera dari badan, jiwa dan social yang

memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan ekonomis.

Pemeliharaan kesehatan ialah upaya penanggulangan dan pencegahan

36

gangguan kesehatan yang memerlukan pemeriksaan, pengobatan dan

perawatan. Di Kelurahan Jawameze terdapat 1 unit puskesmas kota dengan

fasilitas yang cukup memadai.

B. Hasil Penelitian

1. Latar belakang Stratifikasi Sosial atau Pelapisan Sosial

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial pada masyarakat Bajawa sudah ada

sejak zaman dahulu dan menjadi warisan budaya dan secara turun temurun

diwariskan pada generasi berikutnya walaupun pada zaman modern sekarang

tidak terlalu nampak seperti dahulu. Masyarakat Ngada dibagi dalam beberapa

suku yang masing-masing suku tersebut memiliki lapisan /kasta (rang) yang

berbeda dengan suku lain.

Masyarakat Ngada masih mengenal stratifikasi sosial atau kasta (rang) yang

sama dengan masyarakat India. Pembagian rang sebagai suatu ketegasan untuk

tidak melanggar suatu aturan dalam masyarakat adat. Masyarakat Ngada

mengenal lapisan sosial atau rang dibagi menjadi tiga bagian seperti pada gambar

dibawah ini.

.

37

Gae Meze

Gae Kisa

Ho’o

Orang Ngada mengenal pelapisan sosial dengan lapisan yang paling atas

adalah Gae meze yang memiliki hak-hak khusus dalam persekutuan adat,

mengambil bagian pokok dalam upacara termasuk pada wanitanya yang

mengepalai pengaturan kebijaksanaan pokok dalam urusan konsumsi.

Pada perayaan korban yang besar seperti membuat rumah,rumah adat (ka

sao), umum seorang ga’e meze harus duduk pada keba hui (tempat menyimpan

daging-daging korban). Sedangkan pada acara pembuatan ngadhu (ka ngadhu)

yang berhak duduk pada keba hui adalah yang saka lobo.

Golongan kedua adalah ga’e kisa yang ada bersama-sama dengan ga’emeze

membentuk golongan atas. Ga’e meze merupakan golongan atas yang paling

tinggi, sedangkan ga’e kisa membentuk golongan atas yang lebih rendah.

Bersama-sama ga’e meze mereka memerintah. Terhadap ga’e meze mereka

dibandingkan seperti kayu yang lebih rendah mutunya atau seperti kayu-kayu

biasa dan gae meze adalah pohon beringin yang menaunginya. Ga’e kisa juga

disebut sebagi bulan sedangkan ga’e meze adalah matahari. Ga’e kisa juga

menjadi penengah atau jembatan antara lapisan bawah dan lapisan atas. Bisa

dikatakan ga’e kisa juga dikarenakan adanya perkawinan campur antara pria ga’e

dan wanita bukan ga’e. Keturunan dari perkawinan tersebut masuk pada golongan

ga’e kisa dan mengikuti status dari ibunya. Keturunannya bebas untuk menikah

dengan golongan manapun.

Sedangkan golongan ketiga adalah ho’o. Ho’o adalah orang yang tinggal

dengan bangsawan karena keadaan ekonomi yang kurang baik. Ada pula yang

mengatakan orang tersebut di sebut ho’o karena perbuatannya seperti orang

38

tersebut mencuri di lumbung padi orang lain atau menggali ubi milik orang lain.

Hal ini dilakukan karena orang tersebut tidak mampu.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dominikus Nanga dari

golongan Ga’e pada tanggal 25 Februari 2016 tentang stratifikasi sosial atau

pelapisan sosial dikatakan bahwa:

Lapisan sosial sudah ada sejak dahulu kala dan hingga sekarang ini masih

tetap berlaku walaupun penerapannya tidak seperti dulu lagi. Adanya pembagian

lapisan sosial (rang) merupakan suatu ketegasan bagi masyarakat untuk tidak

melanggar aturan dalam masyarakat adat. Ada tiga lapisan sosial (rang) dalam

masyarakat Bajawa yaitu ga’e meze,ga’e kisa dan ho’o.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Yosep Donga dari golongan

Ga’e Kisa tentang stratifikasi sosial pada tanggal 26 Februari 2016 mengatakan

bahwa :

Masyarakat Ngada mengenal tiga bentuk lapisan sosial. Lapisan yang

pertama adalah golongan ga’e. Ga’e adalah kaum bangsawan yang memiliki harta

kekayaan, memiliki rumah mewah dan hidup serba berkecukupan. Lapisan kedua

adalah ga’e kisa. Adanya ga’e kisa terjadi karena perkawinan antara pria ga’e dan

wanita bukan ga’e. Keturunan dari hasil perkawinan tersebutlah yang masuk

dalam golongan ga’e kisa. Keturunan ini bebas untuk menikah dengan golongan

manapun.

2. Bentuk Perkawinan Ideal dalam Masyarakat

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan dan 39

laki-laki tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara bahkan keluarga

masing-masing.

Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan

dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan

suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Dominikus Lina dari golongan

Ga’e mengatakan bahwa :

Perkawinan yang ideal menurut masyarakat Ngada adalah perkawinan yang

sesuai dengan aturanyang sudah berlaku sejak dahulu yaitu perkawinan yang

terjadi harus sesuai dengan lapisan atau golongan yang ada.

Berdasarkan hasil wawancara dengan ibu Maria Raba dari golongan Ga’e

pada tanggal 29 Februari 2016 mengatakan bahwa :

Sejak dahulu perkawinan hanya dibolehkan bagi yang status sosialnya

(rang/kasta) sama. Akan tetapi pria dari golongan Ga’e diijinkan untuk menikah

dengan wanita pilihannya sekalipun wanita tersebut berbeda lapisan atau

golongannya (bukan ga’e). Sedangkan wanita tidak diijinkan menikah dengan pria

yang bukan ga’e dengan alasan kaum pria memiliki kebebasan dan jalan pria lebih

luas (ana haki laze bhea).

Wanita tidak diijinkan menikah dengan pria yang bukan ga’e karena wanita

harus mewarisi, melanjutkan dan mempertahankan status ga’e sehingga ada

40

sebutan untuk wanita ga’e “ana fai laza dhomi meze keri” (jalan wanita hanya

selebar alang-alang).

Jika ada perkawinan antara pria ga’e dengan wanita bukan ga’e tidak

dikatakan perkawinan terlarang (la’a sala). Sedangkan perkawinan antara wanita

ga’e dengan pria yang bukan ga’e dikatakan perkawinan terlarang (la’a sala).

Berdasarkan wawancara dengan ibu Katharina Nau dari golongan Ga’e Kisa

pada tanggal 26 Februari 2016 mengatakan bahwa:

Perkawinan pada masyarakat Ngada harus sesuai dengan aturan yang telah

ditetapkan dari nenek moyang yaitu orang Ga’e hanya boleh menikah dengan

orang ga’e, ga’e kisa dengan ga’e kisa dan ho’o dengan ho’o.

Perkawinan antara pria ga’e dengan wanita yang bukan ga’e tidak dilarang,

sedangkan wanita ga’e dilarang untuk menikah dengan pria yang bukan ga’e.

Adapun sanksi bagi pria ga’e yang menikah dengan wanita bukan ga’e

berlaku hanya jika perkawinan tersebut terjadi karena suatu kesalahan misalnya

wanita tersebut telah mengandung. Sanksi yang dikenakan hanya berupa kuku

laka berupa kuda 2 ekor dan beo sao berupa kuda 1 ekor.

Sedangkan sanksi bagi wanita ga’e yang melakukan perkawinan dengan pria

yang bukan ga’e, pada jaman dahulu kedua pasangan tersebut mendapat hukuman

yang berat yaitu wanita diusir dari kampung halaman dan prianya di gantung pada

ujung bambu. Akan tetapi hukum tersebut tidak lagi berlaku, hukum yang berlaku

sekarang lebih manusiawi yakni hanya mengadakan upacara nuka nua atau masuk

41

kampung dengan menyembelih satu ekor kerbau untuk berdamai dan wanita

tersebut diturunkan dari statusnya.

3. Dampak Stratifikasi Sosial terhadap Perkawinan

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial merupakan salah satu bentuk

perbedaan sosial secara vertikal. Perkawinan pada masyarakat Ngada harus sesuai

dengan lapisan sosial seseorang.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Dominikus Nanga pada tanggal

26 Februari 2016 mengatakan bahwa :

Pada zaman dahulu pembagian kasta atau rang sangat terasa dan sangat

berpengaruh terutama pada perkawinan untuk pria dari lapisan yang lebih rendah

tidak bisa menikah dengan wanita dari lapisan atas. Peraturan ini merupakan

batasan yang sangat dirasakan. Wanita dari lapisan atas hanya diperuntukan bagi

pria lapisan atas juga.

Dengan adanya lapisan-lapisan atau kasta pada masyarakat mengakibatkan

jumlah ga’e menjadi lebih sedikit dibandingkan dengan ga’e kisa dan ho’o.

Berdasarkan hasil wawancara dengan bapak Yosep Donga pada tanggal 27

Februari 2016 mengatakan bahwa:

Adanya lapisan sosial atau kasta membatasi ruang gerak pemuda dan

pemudi. Untuk saat ini perkawinan tidak lagi melihat apa kasta dari pasangannya.

Perkawinan dapat terjadi asalkan ada cinta diantara keduanya (ra’a bere).

Perkawinan beda kasta dapat terjadi asalkan keduanya mematuhi aturan dan

42

hukum adat yang berlaku yaitu dengan menerima sanksi-sanki yang telah

ditetapkan.

Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Dominikus Lina pada tanggal

27 Februari 2016 mengatakan bahwa :

Dampak dari stratifikasi sosial terhadap perkawinan yang terjadi pada

masyarakat Ngada khususnya Kelurahan Jawameze memiliki dampak yang besar.

Salah satunya adalah hubungan dengan keluarga akan retak.

Berdasarkan hasil wawancara ddengan Ibu Maria Raba pada tanggal 29

Februari mengatakan bahwa :

Adanya aturan pada lapisan-lapisan sosial merupakan pembatasan yang

sangat terasa. Dan pelanggaran terhadap peraturan tersebut merupakan kejahatan

yang paling besar untuk masyarakat Ngada.

C. Pembahasan

1. Latar Belakang Staratifikasi Sosial (Kasta) pada Masyarakat Kelurahan

Jawameze

Manusia diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa adalah sama yaitu sebagai

makluk pribadi dan sekaligus sebagai makluk sosial. Sebagai makluk sosial,

manusia membutuhkan sesama untuk hidup bersama dan saling berinteraksi satu

dengan yang lainnya. Hal ini sesuai dengan pandangan pancasila tentang kodrat

manusia, khususnya dari arti dan kedudukan manusia dengan manusia lainnya.

Interaksi antara manusia yang satu dengan manusia yang lain akan

membentuk suatu kelompok dan orang yang berada dalam kelompok tersebut

43

akan merasa sebagai bagian dari kelompok itu. Kemudian membentuk suatu

kaidah untuk ditaati atau dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari.

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial pada masyarakat Bajawa sudah ada

sejak zaman dahulu dan menjadi warisan budaya dan secara turun temurun

diwariskan pada generasi berikutnya walaupun sekarang tidak terlalu nampak

seperti dahulu. Masyarakat Ngada dibagi dalam beberapa suku yang masing-

masing suku tersebut memiliki lapisan /kasta (rang) yang berbeda dengan suku

lain.

Masyarakat Ngada masih mengenal stratifikasi sosial atau kasta (rang) yang

sama dengan masyarakat India. Pembagian rang sebagai suatu ketegasan untuk

tidak melanggar suatu aturan dalam masyarakat adat. Pelapisan sosial ini sangat

berpengaruh dalam pergaulan hidup sehari-hari termasuk dalam hal memilih

jodoh.

Masyarakat Ngada khususnya di Kelurahan Jawameze mengenal lapisan

sosial atau rang dibagi menjadi tiga bagian yaitu ga’e meze ,ga’e kisa dan ho’o.

Terdapat berbagai variasi cerita terntang adanya pembagian kasta/ rang yang ada

pada masyarakat Ngada khususnya di Kelurahan Jawameze.

Dahulu, pembagian lapisan-lapisan ini sangat menyeluruh, sehingga setiap

klan mempunyai anggota-anggota dari ketiga lapisan ini, atau setiap klan terbagi

dalam tiga lapisan masyarakat. Keanggotaan dari ketiga lapisan masyarakat ini

diperoleh melalui kelahiran dan mengikuti posisi ibu. Demikian dapat terjadi

bahwa ayah adalah anggota lapisan paling atas, tetapi ibu termasuk lapisan paling

bawah dengan demikian , anak-anak semuanya masuk dalam golongan ibu.

44

Oleh karena suatu keadaan khusus, seorang dapat turun dari suatu lapisan

lebih tinggi ke dalam lapisan yang lebih rendah. Sebaliknya , tidak ada

kemungkinan untuk naik ke tingkat lapisan yang lebih tinggi.

Di Kelurahan Jawameze terdapat 5 (lima) dari 7 (tujuh) kampung “nua lima

zua”(tujuh kampung) yang merupakan suatu persekutuan yang dikenal dengan

sebutan”ulu ata ga’e”( kepala orang Ga’e atau tempatnya orang Ga’e ). Nua lima

zua (tujuh kampung) tersebut adalah Bhajawa, Bongiso, Wakomenge, Pigasina,

Boripo, Boseka dan Bokua. Sedangkan 5 ( lima ) kampung yang ada di Kelurahan

Jawameze adalah Bhajawa, Bongiso, Wakomenge, Boripo dan Pigasina.

Kampung Bhajawa merupakan kampung terbesar dan merupakan tempat tinggal

raja.

Pada masyarakat Ngada khususnya di Kelurahan Jawameze mengenal

pelapisan sosial dengan lapisan yang paling atas adalah Gae meze yang memiliki

hak-hak khusus dalam persekutuan adat, mengambil bagian pokok dalam upacara

termasuk pada wanitanya yang mengepalai pengaturan kebijaksanaan pokok

dalam urusan konsumsi. Ga’e meze adalah seorang bangsawan, orang yang

mempunyai harta kekayaan,memiliki rumah yang besar.

Pada perayaan korban yang besar seperti membuat rumah,rumah adat (ka

sao), umum seorang ga’e meze harus duduk pada keba hui (tempat menyimpan

daging-daging korban). Sedangkan pada acara pembuatan ngadhu (ka ngadhu)

yang berhak duduk pada keba hui adalah yang pria dari saka lobo.Ngadhu

merupakan simbol bagi leluhur laki-laki.

45

Ngadhu berbentuk tiang kayu dengan ukiran yang dipahat dan alang-alang yang

disusun membentuk payung yang menaungi simbol leluhur pada tiang ngadhu.

Pada bagian ujungnya dihiasi dengan ornamen tangan yang memegang pedang

dan tombak. Pada waktu digotong masuk kedalam kampung hanya boleh seorang

Ga’e yang berdiri di atasnya.

Pada saat upacara adat seperti di atas hanya orang Ga’e yang berhak duduk

pada tempatnya jika menempatkan orang yang salah pada acara tersebut (duduk

pada keba hui) maka akan adanya semacam musibah yang diyakini oleh orang

Bajawa yaitu walaupun daging hewan kurban tersebut banyak tapi akan

mengalami kekurangan. Ada juga yang melarang secara terbuka oleh rang yang

lebih tahu atau orang yang mengerti, dengan alasan karena orang tersebut tidak

pantas untuk duduk pada tempat tersebut. Dan bagi orang Bajawa sudah tahu dan

memahami hal tersebut dan tidak perlu diingatkan lagi.

Sedikitpun mereka tidak boleh mencuri. Apabila matahari panas atau hujan

seorang Ga’e tidak boleh berlindung dibawah lumbung padi atau rumah orang

dari lapisan bawah.

Golongan kedua adalah ga’e kisa yang ada bersama-sama dengan ga’e meze

membentuk golongan atas. Ga’e meze merupakan golongan atas yang paling

tinggi, sedangkan ga’e kisa membentuk golongan atas yang lebih rendah.

Bersama-sama ga’e meze mereka memerintah. Terhadap ga’e meze mereka

dibandingkan seperti kayu yang lebih rendah mutunya atau seperti kayu-kayu

biasa dan gae meze adalah pohon beringin yang menaunginya.

46

Ga’e kisa juga disebut sebagi bulan sedangkan ga’e meze adalah matahari. Ga’e

kisa juga menjadi penengah atau jembatan antara lapisan bawah dan lapisan atas.

Bisa dikatakan ga’e kisa juga dikarenakan adanya perkawinan campur antara pria

ga’e dan wanita bukan ga’e. Keturunan dari perkawinan tersebut masuk pada

golongan ga’e kisa dan mengikuti status dari ibunya. Keturunannya bebas untuk

menikah dengan golongan manapun.

Sedangkan golongan ketiga adalah ho’o. Ho’o adalah orang yang tinggal

dengan bangsawan karena keadaan ekonomi yang kurang baik. Ada pula yang

mengatakan orang tersebut di sebut ho’o karena perbuatannya seperti orang

tersebut mencuri di lumbung padi orang lain atau menggali ubi milik orang lain.

Hal ini dilakukan karena orang tersebut tidak mampu. Ho’o adalah orang kecil

atau rakyat kebanyakan yang mempunyai lebih banyak kewajiban daripada hak-

haknya.

Adapun data penduduk 5 (lima) dari 7 (tujuh ) kampung “nua lima zua” yang

dibagi berdasarkan stratifikasi sosial adalah sebagai berikut:

Tabel 4.5 Jumlah Penduduk Berdasarkan Strata sosial

No.

Nama Tempat Jenis strata social Jumlah

Ga’e Ga’e Kisa Ho’o

1. Bhajawa 70 27 28 125

2. Bongiso 68 - 26 94

3. Wakomenge 31 68 - 99

4. Boripo 38 36 24 98

5. Pigasina 33 - 37 70

Total 240 131 115 486

47

Data di atas merupakan data penduduk asli yang sudah sejak lama menetap

di Kelurahan Jawameze khususnya lima kampong tersebut. Ada juga penduduk

asli dari kelima kampong ini yang tidak lagi menetap disana. Banyaknya jumlah

penduduk seperti tertera pada tabel 4.2 dikarenakan ada penduduk di wilayah

Kelurahan Jawameze yang tidak diketahui strata sosialnya dan terdapat juga

penduduk pendatang.

Pembagian golongan atau kasta ini tidak berpengaruh dalam kehidupan

sehari-hari. Jika ada kegiatan seperti kerja bakti atau yang lainnya warga

masyarakat dari ketiga golongan tersebut saling membantu dan bekerja gotong

royong. Perbedaan hanya akan terlihat pada upacara-upacara adat dan perkawinan.

2. Bentuk Perkawinan Ideal menurut Masyarakat Kelurahan Jawameze

Perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan

masyarakat kita, sebab perkawinan itu tidak hanya menyangkut perempuan dan

laki-laki tetapi juga orang tua kedua belah pihak, saudara-saudara bahkan keluarga

masing-masing.

Perkawinan ideal ialah suatu bentuk perkawinan yang terjadi dan

dikehendaki oleh masyarakat. Suatu bentuk perkawinan yang terjadi berdasarkan

suatu pertimbangan tertentu, tidak menyimpang dari ketentuan aturan-aturan atau

norma-norma yang berlaku dalam masyarakat setempat.

Menurut hukum adat, hukum yang paling tinggi untuk hubungan dan

perilaku para anggota berbagai tingkat sosial, satu terhadap yang lain dahulu

hingga sekarang ialah, bahwa seorang pemuda atau pria dari lapisan yang lebih

48

rendah tidak boleh menikah dengan wanita dari lapisan yang paling atas atau lebih

tinggi darinya. Dan bahkan tidak boleh bergaul dengannya (dimata orang Ngada

bergaul dan menikah sama saja dalam hal ini).

Di Kelurahan Jawameze dalam hal memilih jodoh, orang tua memegang

peranan yang penting dalam hal menyelidiki asal-usul, kedudukan status calon

mempelai. Jika hasil pemantauan kedua belah pihak terdapat kecocokan barulah

dapat dilangsungkan perkawinan.

Perkawinan berdasarkan lapisan sosial ini dilakukan hanya antar lapisan yang

diperkenankan. Perkawinan antar lapisan masyarakat Ngada, sangat terlarang bagi

seorang gadis dari tingkat/golongan ga’e (golongan bangsawan) menikah dengan

pria dari golongan yang bukan ga’e.

Disini berlaku asas endogami pelapisan. Para pria dari golongan ga’e

dihalalkan untuk menikah dengan wanita yang bukan dari golongan ga’e. Hal ini

dikarenakan pria memiliki kebebasan dan jalan pria lebih luas (ana haki laza

bhea). Akan tetapi anak-anak yang lahir dari perkawinan tersebut tidak tergolong

dalam kehidupan atau status sosial ayahnya.

Perkawinan terbalik antara pria kasta bawah dengan wanita kasta atas

dianggap menyimpang (la’a sala) dari ketentuan adat sehingga harus dihukum

dan diusir keluar dari kampung. Ada pula hukuman lain yang sangat keji yaitu

pria yang menikah dengan wanita ga’e dihukum gantung. Seiring dengan

perkembangan zaman maka hukuman tersebut mulai diganti dengan hukuman

yang lebih manusiawi yaitu dengan upacara masuk kampung (nuka nua) dan

diturunkan dari status sosialnya dengan menyembelih seekor kerbau. Maksud dan

49

tujuan dari upacara ini yaitu untuk berdamai dengan warga kampung serta

menjauhkan saudara dan mereka sendiri dari musibah.

Adapun alasan lain wanita tidak dijinkan untuk menikah dengan pria yang

tidak segolongan dengannya dikarenakan wanita yang mewarisi dan

mempertahankan status sosialnya.

Dan wanita Ngada melangsungkan perkawinan masuk. Sehingga ada pepatah

yang mengatakan bahwa “ana fai laza meze keri”(anak perempuan jalannya hanya

selebar alang-alang) “mali sala se kedhi nenga bedhu” (jika melakukan hanya

satu kesalahan kecil mereka akan jatuh,kehilangan nama baik dan

kehormatan,menjadi orang-orang jahat). Dan sanksi ini hanya berlaku bagi kaum

wanita saja.

3. Dampak Stratifikasi Sosial terhadap Perkawinan

Stratifikasi sosial atau pelapisan sosial merupakan salah satu bentuk

perbedaan sosial secara vertikal. Perkawinan pada masyarakat Ngada harus sesuai

dengan lapisan sosial seseorang.

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ngada menjalankannya tanpa ada

perbedaan status sosial seseorang atau kelompok. Misalnya pada saat kerja bakti

semua warga dari tiap lapisan sosial berkumpul bersama,bekerja bersama dan

saling membantu. Perbedaan hanya akan dirasakan atau nampak jelas pada saat

diadakan upacara-upacara adat. Dimana hanya seorang ga’e yang memegang

kuasa pada acara tersebut.

50

Hal ini juga nampak pada perkawinan masyarakat Ngada, dimana

perkawinan dapat terjadi berdasarkan lapisan atau golongan seseorang. Dengan

adanya bentuk lapisan sosial ini, jumlah ga’e sangat sedikit dibandingkan lapisan

sosial lain seperti ga’e kisa dan ho’o. Perbedaan jumlah ini semakin menjadi lebih

besar. Hal ini terutama disebabkan oleh peraturan perkawinan yang berlaku.

Jika seorang pria ga’e mempunyai banyak istri dari lapisan bawah maka

semua anak masuk dalam lapisan ibunya. Perempuan atau gadis ga’e yang

melakukan pelanggaran, juga diturunkan kelapisan yang lebih rendah dan

demikian anak-anaknya pun berada dalam status yang sama dengan ibunya.

Pria ga’e dihalalkan untuk menikah dengan wanita yang bukan ga’e, akan

tetapi keturunannya tidak lagi mengikuti status sosial ayahnya melainkan status

sosial dari ibunya. Jika terjadi perkawinan antara wanita ga’e dengan pria yang

bukan ga’e maka wanita tersebut diusir dari kampung dan diturunkan dari status

sosial asalnya. Hukum ini telah berlaku sejak dahulu hingga sekarang. Dan hal

inilah yang menjadi penyebab berkurangnya anggota golongan ga’e. selain itu

hubungan antara keluarga akan retak, wanita dan pria yang melanggar aturan itu

akan terisolir jauh dari sanak saudari dan kampung halamannya.

Pada zaman dahulu pelanggaran larangn ini merupakan kejahatan besar

untuk masyarakat Ngada. Hukuman untuk pemuda yang melakukan pelanggaran

ini selalu kematian yang mengerikan. Untuk pria dari lapisan yang rendah dan

wanita dari lapisan atas peraturan ini merupakan pembatasan yang sangat terasa.

Wanita dari lapisan atas hanya diperuntukan bagi pria lapisan atas juga.

51

Dengan adanya perbedaan lapisan sosial atau perbedaan kasta ini wanita dari

golongan ga’e dilarang juga untuk bergaul dengan pria yang bukan ga’e. Bagi

masyarakat Bajawa bergaul dan menikah sama saja dalam hal ini.

Di Bajawa, jika seorang pria dari lapisan bawah biarpun hanya menyentuh

pipi atau bahu seorang wanita ga’e maka akan dikenakan denda adat, pada zaman

dahulu hukumannya adalah dia digantung, ditikam dan dibuang kedalam jurang.

Dan wanita tersebut juga diturunkan dari lapisan atas. Selain itu wanita dari

lapisan atas tidak boleh dimaki dengan kata-kata atau ungkapan yang tidak

senonoh oleh pria dari lapisan yang lebih rendah. Orang yang melanggar aturan

ini harus membunuh seekor kerbau atau babi.

Seorang pria dari tingkat yang lebih rendah tidak boleh berhubungan dengan

wanita dari lapisan atas, tidak boleh berada sendirian, bepergian sendiri, bercakap-

cakap sendiri dan tidak boleh saling menukar benda-benda perhiasan dan

sebagainya. Karena hal-hal semacam itu bisa menjadi tanda persahabatan yang

khusus dan dapat menurunkan wanita itu ke tingkat yang lebih rendah dan

dianggap telah melalukan penyimpangan (la’a sala).

52

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dengan judul “Kajian Tentang

Stratifikasi Sosial dan Perkawinan Pada Masyarakat Kelurahan Jawameze

Kecamatan Bajawa Kabupaten Ngada”, maka disimpulakan bahwa :

1. Staratifikasi sosial atau pelapisan sosial (kasta / rang) pada masyarakat

Ngada khususnya pada lokasi penelitian yaitu kelurahan jawameze

Kecamatan Bajawa, bentuk pelapisan sosial ini sudah ada sejak dahulu

kala. Masyarakat Ngada mengenal tiga lapisan sosial yaitu ga’e meze, ga’e

kisa dan ho’o. Ga’e meze adalah bangsawan, orang yang memiliki harta

kekayaan. Lapisan kedua adalah ga’e kisa. Adanya ga’e kisa terjadi karena

perkawinan antara pria ga’e dan wanita bukan ga’e. Keturunan dari hasil

perkawinan tersebutlah yang masuk dalam golongan ga’e kisa. Keturunan

ini bebas untuk menikah dengan golongan manapun. Sedangkan golongan

ketiga adalah ho’o. Ho’o adalah orang yang tinggal dengan bangsawan

karena keadaan ekonomi yang kurang baik. Ada pula yang mengatakan

orang tersebut di sebut ho’o karena perbuatannya seperti orang tersebut

mencuri di lumbung padi orang lain atau menggali ubi milik orang lain.

Hal ini dilakukan karena orang tersebut tidak mampu.

53

2. Menurut hukum adat, hukum yang paling tinggi untuk hubungan dan

perilaku para anggota berbagai tingkat sosial, satu terhadap yang lain

dahulu hingga sekarang ialah, bahwa seorang pemuda atau pria dari

lapisan yang lebih rendah tidak boleh menikah dengan wanita dari lapisan

yang paling atas atau lebih tinggi darinya. Dan bahkan tidak boleh bergaul

dengannya (dimata orang Ngada bergaul dan menikah sama saja dalam hal

ini). Perkawinan berdasarkan lapisan sosial ini dilakukan hanya antar

lapisan yang diperkenankan. Perkawinan antar lapisan masyarakat

Ngada,sangat terlarang bagi seorang gadis dari tingkat/golongan ga’e

(golongan bangsawan) menikah dengan pria dari golongan yang bukan

ga’e.

3. Dengan adanya bentuk lapisan sosial ini, jumlah ga’e sangat sedikit

dibandingkan lapisan sosial lain seperti ga’e kisa dan ho’o. Perbedaan

jumlah ini semakin menjadi lebih besar. Hal ini terutama disebabkan oleh

peraturan yang berlaku.

B. SARAN

Peneliti merasa perlu memberikan saran kepada seluruh masyarakat

Kelurahan Jawameze agar :

1. Diharapkan kepada Masyarakat Kelurahan Jawameze agar dalam hal

perkawinan khususnya dalam memilih pasangan atau jodoh tidak selalu

berpedoman atau terikat pada golongan atau kasta yang ada karena manusia

pada dasarnya adalah umat ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dimana

mempunyai derajat, harkat dan martabat yang sama.54

2. Sebaiknya kaum muda mengetahui silsilah dalam keluarga dan lebih banyak

mempelajarinya.

3. Bagi pemerintah agar lebih banyak menyediakan buku-buku yang berkaitan

dengan budaya Ngada

55

Daftar pustaka

Alimandan (1989) Deferensiasi Sosial,Jakarta:Bina Aksara

Alo,Liliweri (1989) Inang (Hidup dan Baktiku), Kupang: Tim Pengerak PKK Provinsi NTT

Arndt,Paul (2009) Masyarakat Ngadha(Keluarga, Tatanan Sosial,Pekerjaan dan Hukum Adat),Ende: Nusa Indah

Asra,Hefri (2000) Strukrur Sosial (https://infosos.wordpress.com) Di Akses Pada Tanggal 23/8/2015

Abdulsyani (2002) Sosiologi Skematika,Teori Dan Terapan,Jakarta:Bumi Aksara

Anwar,Yesmil dan Adang (2013) Sosiologi Untuk Uversitas, Bandung:Refika Aditama

Biro Humas Setda Prov. NTT (2005) Reba,Kupang:PNRI Cab. Kupang

Bully,S (2012) Bahan Ajar Hukum Adat,jurusan PPKn,Kupang:Universitas Nusa Cendana(Tidak Dipublikasikan)

Djowa,Moda dkk (1999) pengetahuan Lingkungan dan Sosial Budaya Daerah NTT, Kupang: Pabelan

Gunakaya,Widiada (1988) Sosiologi dan Antropologi,Bandung: Ganeca Exact

Haryo,Moses Audaktus (2000) Fakto-Faktor Yang Mempengaruhi Perubahan Status Sosial Dalam Sistem Stratifikasi (Studi Sosiologis Tentang Perubahan Status Sosial Masyarakat Manggarai Di Desa Golo Lero Kecamatan Poco Ranaka Mnggarai Flores),Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik,Jurusan Sosiologi,Universitas Nusa Cendana:Kupang (Skripsi Tidak Dipublikasikan)

Huki,Kenan K.Higa (2003) Hubungan Antara Stratifikasi Sosial Dengan Tingkat Pendidikan Anak (Studi Sosiologis Di Desa Matei Kecamatan Sabu Timur Kabupaten Kupang),Fakultas Ilmu Sosial Dan Politik,Sosiologi Universitas Nusa Cendana:Kupang (Skripsi Tidak Dipublikasikan)

Kae,Ana Susanti (2015) Studi Tentang Upacara Adat La’a Sala (Pelanggaran Perkawinan) Pada Masyarakat Desa Naru Kecamatan Bajawa Kabupaten NgadaLobo,Leonarnd dan Lorens Riwu (2013) Bahan Ajar Sejarah Budaya NTT,Kupang:Universitas Nusa Cendana (Tidak Dipublikasikan)

56

Liliweri,Alo (1989) Inang (Hidup dan Bhaktiku),Kupang: Tim Penggerak PKK

Sari,Minda (2012) Hukum Perkawinan Adat (http://wordpress.com) diakses pada Tanggal 23/8/2015

Silalahi,Uber (2010) Metode Penelitian Sosial, Bandung:Refika Aditama

Setiadi,Elly M dan Usman Kolip (2011) Pengantar Sosiologi (Pemahaman Fakta dan Gejala Permasalahan Sosial : Teori,Aplikasi dan Pemecahannya),Jakarta: Kencana

Setiady ,Tolib (2008) Intisari Hukum Adat Indonesia.Bandung: Alfabeta

Sugiyono (2012) Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif,Kulitatif R & D.Bandung: Alfabeta

Suyanto,Bagong dan Sutinah (2006) Metode Penelitian Sosial,Jakarta:Kencana

Soejono,Soekanto (2013) Sosiologi Suatu Pengantar,Jakarta:Rajawali Pers

..................... (1992) Intisari Hukum Keluarga,Bandung: Sitra Aditya

Bakti

Soyomukti,Nurani (2010) Pengantar Sosiologi : Dasar Analisis,Teori Dan Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial,Perubahan Sosial Dan Kajian-Kajian Strategis,Jogjakarta:Ar-Ruzz

Thamrin,Hasmirah (2015) Stratifikasi Sosial Masyarakat (http://indomaterikuiah.blogspot.com) diakses pada tanggal 14/8/2015

UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Wada,Dominggus Ngongo (1998) Hubungan Straifikasi Sosial Dengan Perkawin Di Desa Bondo Boghila Kecamatan Laratama Kabupaten Dati II Sumba Barat,FKIP PPKn,Universitas Nusa Cendana:Kupang (Skripsi Tidak Dipublikasikan)

Wulansari,Dewi (2012) Hukum Adat Indonesia Suatu Pengantar,Bandung:Refika Aditama

Wrahatnala,Bondet (2012) Stratifikasi Sosial (belajar.blogspot.com)di akses pada 14/8/2015

57

Lampiran I

Pedoman Wawancara

1. Fokus wawancara : Bentuk stratifikasi sosial dan perkawinan

2. Informen : Bapak Dominikus Nanga

3. Waktu wawancara : 25 Februari 2016

4. Jalannya wawancara : Aman dan baik

No. Aspek Pertanyaan1. Bentuk stratifikasi sosial 1. Bagaimana latarbelakang adanya

stratifikasi sosial pada masyarakat Kelurahan Jawameze?

2. Bagaimana bentuk stratifikasi sosial yang ada pada masyarakat Kelurahan Jawameze?

3. Mengapa stratifikasi sosial masih berlaku di masyarakat?

1. Focus wawancara : Perkawinan ideal menurut masyarakat

2. Informan : Bapak Yosep Donga

3. Waktu wawancara : 26 Februari 2016

4. Jalannya wawancara : Aman dan baik

No. Aspek Pertanyaan

1. Bentuk perkawinan 1. Bagaimana bentuk perkawinan yang ideal menurut masyarakat Kelurahan Jawameze?

58

1. Focus wawancara : Dampak

2. Informan : Bapak Dominikus Lina

3. Waktu wawancara : 27 Februari 2016

4. Jalannya wawancara : aman dan baik

No. Aspek Pertanyaan 1. Dampak 1. Bagaimana dampak dari stratifikasi sosial

terhadap kehidupan masyarakat Kelurahan Jawameze?

2. Bagaimana dampak stratifikasi sosial terhadap perkawinan pada masyarakat Kelurahan Jawameze?

59

Lampiran 2

Hasil Wawancara

1. Hasil wawancara dengan:

a. Bapak Dominikus Nanga pada tanggal 25 Februari 2016 dikatakan bahwa

adanya stratifikasi sosial merupakan warisan dari para leluhur dan tidak

bisa dihilangkan. Stratifikasi atau pelapisan sosial merupakan suatu

ketegasan bagi masyarakat untuk tidak melanggar aturan adat.

b. Bapak Yosep Donga pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa

stratifikasi sosial atau pelapisan sosial sudah terjadi sejak dahulu dan

masih dipertahankan hingga sekarang walaupun seperti dulu lagi.

2. Hasil wawancara dengan :

a. Bapak Dominikus Lina pada tanggal 27 Februari 2016 dikatakan bahwa

terdapat tiga bentuk stratifikasi sosial pada masyarakat Bajawayaitu Ga’e

meze,ga’e kisa dan ho’o.

b. Ibu Maria Raba pada tanggal 29 Februari 2016 dikatakan bahwa Ga’emeze

adalah orang yang mempunyai harta kekayaan, rumah besar dll, ga’ekisa

merupakan keturunan dari hasil perkawinan antara ga’e dan bukan ga’e

dan merupakan orang-orang yang telah turun rang atau turun dari status

sosialnya.

3. Hasil wawancara dengan :

Ibu Katarina Nau pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa adanya

lapisan ho’o dikarenakan oleh perbuatannya. Misalnya orang tersebut

mencuri,membongkar lumbung padi sehingga diteriaki oleh pemilik rumah

dan mereka dikatakan ho’o.

4. Hasil wawancara dengan :

a. Bapak Dominikus Nanga pada tanggal 25 Februari 2016 dikatakan bahwa

perkawinan masyarakat Bajawa harus sesuai dengan aturan adat yang

berlaku di masyarakat.

60

b. Bapak Dominikus Lina pada tanggal 27 Februari 2016 dikatakan bahwa

perkawinan yang seharusnya adalah perkawinan yang sesuai dengan

lapisan sosial orang tersebut.

5. Hasil wawancara dengan :

a. Bapak dominukus Nanga pada tanggal 25 Februari 2016 dikatakan bahwa

pria dari lapisan ga’e dihalalkan untuk menikah dengan wanita pilihannya

sekalipun wanita tersebut bukan dari lapisan ga’e. Sedangkan wanita ga’e

dilarang untuk menikah dengan yang bukan ga’e .

b. Bapak Yosep Donga pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa jika

ada wanita ga’e yang menikah dengan pria yang bukan ga’e maka harus

dilakukan upacara adat nuka nuadan menyembelih satu ekor kerbau.

6. Hasil wawancara dengan :

a. Ibu Katarina Nau pada tanggal 26 Februari 2016 dikatakan bahwa upacara

nuka nuadimaksudkan agar kehidupan saudara dan tidak ditimpah

musibah.

b. Ibu Maria Raba pada tanggal 29 Februari 2016 dikatakan bahwa upacara

nuka nua bagi yang melakukan pelanggaran perkawinan (la’a sala)

dimaksudkan untuk berdamai dengan warga kampung dan merangkul

mereka kembali berkumpul bersama keluarga sekaligus untuk menandakan

bahwa wanita ga’e tersebut telah turun dari status sosialnya.

61

Lampiran 3

Lembar Pedoman Observasi

1. Fokus observasi : Kondisi sosial masyarakat

2. Waktu observasi : 25 Februari 2016

3. Tempat observasi : Kelurahan Jawameze

No. Aspek kegiatan

Deskripsi Makna

1. Gotong Royong

Dalam mengerjakan rumah adat atau kerja bakti maupun hajatan lainnya semua masyarakat saling tolong menolong, bahu membahu untuk saling bekerja sama.

Kerja sama

2. Ekonomi Masyarakat

Kondisi ekonomi masyarakat Kecamatan Bajawa yang ada di Kelurahan Jawameze semakin membaik

Kesejahteraan

3. Pendidikan Banyak anak-anak yang bersekolah hingga perguruan tinggi

Cerdas

4. Sistem Religi Semua masyarakat beragama dan percaya pada leluhur,karena semua yang dan keberhasilan itu berkat dari Yang Maha Kuasa

Iman

5. kesehatan Kesehatan masyarakat di Kelurahan Jawameze lebih baik dikarenakan adanya puskesmas kota dan tenaga medis serta fasilitas yang cukup.

Kesehatan

62

Lampiran 4

Lokasi Penelitian

1. Peta Kabupaten Ngada

63

2. Kecamatan Bajawa

64

3. Kelurahan Jawameze

65

Lampiran 5

Foto-foto Penelitian

Gambar 1: Peneliti sedang mewawancarai Bapak Dominikus Nanga selaku tokoh adat tentang latar belakang adanya stratifikasi sosial dan perkawinan pada masyarakat Bajawa pada tanggal 25 Februari 2016.

Gambar 2: peneliti sedang mewawancarai Bapak Yosep Donga selaku tokoh masyarakat tentang stratifikasi sosial dan situasi sosial masyarakat berdasarkan lapisan- lapisan sosial yang ada di Kelurahan Jawameze pada tanggal 26 Februari 2016.

66

Gambar 3:Bapak Dominikus Lina selaku tokoh adat yang diwawancarai penulis tentang stratifikasi sosial dan perkawinan yang ideal menurut masyarakat Bajawa pada tanggal 27 Februari 2016

Gambar 4: Peneliti sedang mewawncarai Ibu Katharina Nau selaku warga Masyarakat tentang perkawinan berdasarkan stratifikasi sosial (kasta / rang) pada tanggal 26 Februari 2016

67

Gambar 5 : Peneliti sedang mewawancarai Ibu Maria Raba selaku warga masyarakat tentang hubungan sosial masyarakat dan dampak dari stratifikasi sosial terhadap perkawinan pada tanggal 29 Februari 2016

68

Riwayat Hidup

Nama Lengkap : Anastasia Natalia Ngadha

Nama Panggilan : Astin

TTL : Bajawa,25 Desember 1990

Agama : Katolik

Status Dalam Keluarga : Anak Kandung

Anak Ke- : 1 (Anak Tunggal)

Alamat : Bongiso, Bajawa

Nama Ibu : Fransiska Langa

Riwayat Pendidikan

SD : SDI Watutura Bajawa

SMP : SMP Negeri 1 Mauponggo

SMA : SMA Katolik Kejora Riung

PT : Jurusan PPKn, FKIP UNDANA

69