skrining fitokimia

20
SIMPLISIA & SKRINING FITOKIMIA A. Simplisia Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang belum mengalami pengolahan apa pun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan yang dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Simplisia sebagai produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar ( wild crop) tentu saja kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg (konstan) karena disadari adanya variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umum dan cara) panen, serta proses pascapanen dan preparasi akhir. Walaupun ada juga yang berpendapat bahwa variabel tersebut tidak berakibat besar pada mutu ekstrak nantinya. Variabel tersebut juga dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan setelah sedikit prosedur analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi lanjutan sehingga tidak berdampak banyak pada khasiat produksi. Usaha untuk menjaga variabel tersebut dianggap sebagai usaha untuk menjaga mutu simplisia. Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter standar mutu yaitu sebagai berikut : 1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis (identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis), serta aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).

Transcript of skrining fitokimia

Page 1: skrining fitokimia

SIMPLISIA & SKRINING FITOKIMIA

A. Simplisia

Simplisia adalah bahan alamiah yang dipergunakan sebagai obat yang

belum mengalami pengolahan apa pun juga dan kecuali dinyatakan lain, berupa bahan

yang dikeringkan. Simplisia dibedakan menjadi simplisia nabati, simplisia hewani

dan simplisia pelikan (mineral). Simplisia nabati adalah simplisia yang berupa

tumbuhan utuh, bagian tumbuhan atau eksudat tumbuhan. Simplisia sebagai

produk hasil pertanian atau pengumpulan tumbuhan liar (wild crop) tentu saja

kandungan kimianya tidak dapat dijamin selalu ajeg (konstan) karena disadari adanya

variabel bibit, tempat tumbuh, iklim, kondisi (umum dan cara) panen, serta proses

pascapanen dan preparasi akhir. Walaupun ada juga yang berpendapat bahwa variabel

tersebut tidak berakibat besar pada mutu ekstrak nantinya. Variabel tersebut juga

dapat dikompensasi dengan penambahan/pengurangan bahan setelah sedikit prosedur

analisis kimia dan sentuhan inovasi teknologi farmasi lanjutan sehingga tidak

berdampak banyak pada khasiat produksi. Usaha untuk menjaga variabel tersebut

dianggap sebagai usaha untuk menjaga mutu simplisia.

Dalam hal simplisia sebagai bahan baku (awal) dan produk siap

dikonsumsi langsung, dapat dipertimbangkan tiga konsep untuk menyusun parameter

standar mutu yaitu sebagai berikut :

1. Bahwa simplisia sebagai bahan kefarmasian seharusnya mempunyai tiga

parameter mutu umum suatu bahan (material), yaitu kebenaran jenis

(identifikasi), kemurnian (bebas dari kontaminasi kimia dan biologis), serta

aturan penstabilan (wadah, penyimpanan dan transportasi).

Page 2: skrining fitokimia

2. Bahwa simplisia sebagai bahan dan produk konsumsi manusia sebagai obat

tetap diupayakan memiliki tiga paradigma seperti produk kefarmasian lainnya,

yaitu Quality-Safety-Efficacy (mutu-aman-manfaat).

3. Bahwa simplisia sebagai bahan dengan kandungan kimia yang bertanggung

jawab terhadap respons biologis untuk mempunyai spesifikasi kimia, yaitu

informasi komposisi (jenis dan kadar) senyawa kandungan.(Anonim,2000)

B. Uji Tumbuhan Obat

Untuk mengetahui kebenaran dan mutu obat tradisional termasuk

simplisia, maka dilakukan analisis yang meliputi analisis kuantitatif dan kualitatif.

Analisis kuantitatif terdiri atas pengujian organoleptik, pengujian makroskopik,

pengujian mikroskopik, dan pengujian histokimia.

1. Uji Organoleptik

Uji organoleptik dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

khususnya bau dan rasa simplisia yang diuji.

2. Uji Makroskopik

Uji makroskopik dilakukan dengan menggunakan kaca pembesar

atau tanpa menggunakan alat. Cara ini dilakukan untuk mencari khususnya

morfologi, ukuran, dan warna simplisia yang diuji.

Page 3: skrining fitokimia

3. Uji mikroskopik

Uji mikroskopik dilakukan dengan menggunakan mikroskop yang

derajat pembesarannya disesuaikan dengan keperluan. Simplisia yang diuji

dapat berupa sayatan melintang, radial, paradermal maupun membujur atau

berupa serbuk. Pada uji mikroskopik dicari unsur – unsur anatomi jaringan

yang khas. Dari pengujian ini akan diketahui jenis simplisia berdasarkan

fragmen pengenal yang spesifik bagi masing – masing simplisia.

4. Uji Histokimia

Uji histokimia bertujuan untuk mengetahui berbagai macam zat

kandungan yang terdapat dalam jaringan tanaman. Dengan pereaksi spesifik,

zat – zat kandungan tersebut akan memberikan warna yang spesifik pula

sehingga mudah dideteksi. (Anonim,1987)

C. Pembuatan Simplisia

1. Bahan baku

Sebagai sumber simplisia, tanaman obat dapat berupa tumbuhan

liar atau berupa tumbuhan budidaya. Tumbuhan liar adalah tumbuhan yang

tumbuh dengan sendirinya di hutan atau di tempat lain, atau tanaman yang

sengaja ditanam dengan tujuan lain, misalnya sebagai tanaman hias, tanaman

pagar, tetapi bukan dengan tujuan untuk memproduksi simplisia. Tanaman

Page 4: skrining fitokimia

budidaya adalah tanaman tanaman yang sengaja ditanam untuk tujuan

produksi simplisia.

2. Dasar Pembuatan

a. Simplisia dibuat dengan cara pengeringan

Pembuatan simplisia dengan cara ini pengeringannya

dilakukan dengan cepat, tetapi pada suhu yang tidak terlalu tinggi.

Pengeringan dengan waktu lama akan mengakibatkan simplisia yang

diperoleh ditumbuhi kapang. Pengeringan yang dilakukan pada suhu

terlalu tinggi akan mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan

senyawa aktifnya. Untuk mencegah hal tersebut, bahan simplisia yang

memerlukan perajangan perlu diatur perajangannya sehingga diperoleh

tebal irisan yang pada pengeringannya tidak mengalami kerusakan.

b. Simplisia dibuat dengan proses fermentasi

Proses fermentasi dilakukan dengan saksama agar proses

tersebut tidak berkelanjutan kearah yang tidak diinginkan.

c. Simplisia dibuat dengan proses khusus

Pembuatan simplisia dengan cara penyulingan, pengentalan

eksudat nabati, pengeringan sari air dan proses khusus lainnya

dilakukan dengan berpegang pada prinsip bahwa simplisia yang

dihasilkan harus memiliki mutu sesuai dengan persyaratan.

Page 5: skrining fitokimia

d. Simplisia pada proses pembuatan memerlukan air

Pati, talk, dan sebagainya pada proses pembuatannya

memerlukan air. Air yang digunakan harus bebas dari pencemaran

racun serangga, kuman patogen, logam berat, dan lain–

lain.(Anonim,1985)

3. Tahap Pembuatan

a. Pengumpulan bahan baku

Kadar senyawa aktif dalam suatu simplisia berbeda–beda

antara lain tergantung pada :

1) bagian tanaman yang digunakan

2) Umur tanaman atau bagian tanaman pada saat panen

3) Waktu panen

4) Lingkungan tempat tumbuh

Waktu panen sangat erat hubunganya dengan pembentukan

senyawa aktif di dalam bagian tanaman yang akan dipanen. Waktu

panen yang tepat pada saat bagian tanaman tersebut mengandung

senyawa aktif dalam jumlah yang terbesar. Senyawa aktif tersebut

secara maksimal di dalam bagian tanaman atau tanaman pada umur

tertentu. Di samping waktu panen yang dikaitkan dengan umur, perlu

diperhatikan pula saat panen dalam sehari. Dengan demikian untuk

menentukan waktu panen dalam sehari perlu dipertimbangkan

stabilitas kimia dan fisik senyawa aktif dalam simplisia terhadap panas

sinar matahari.

Page 6: skrining fitokimia

Cara pengambilan bagian tanaman untuk pembuatan simplisia

dapat dilihat pada tabel 1 .

Tabel 1. Bagian tanaman dan cara pengumpulan

No Bagian tanaman Cara pengambilan

1.

2.

3.

4.

5.

6.

7.

8.

Kulit batang

Batang

Kayu

Daun

Bunga

Pucuk

Akar

Rimpang

Dari batang utama dan cabang, dikelupas dengan ukuran

panjang dan lebar tertentu; untuk kulit batang mengandung

minyak atsiri atau golongan senyawa fenol digunakan alat

pengelupas bukan logam.

Dari cabang, dipotong – potong dengan panjang tertentu dan

dengan diameter cabang tertentu.

Dari batang atau cabang, dipotong kecil atau diserut

(disugu) setelah dikelupas kulitnya.

Tua atau muda (daerah pucuk), dipetik dengan tangan satu

persatu

Kuncup atau bunga mekar atau mahkota bunga, atau daun

bunga, dipetik dengan tangan.

Pucuk berbunga; dipetik dengan tangan (mengandung daun

muda dan bunga)

Dari bawah permukaan tanah, dipotong – potong dengan

ukuran tertentu.

Dicabut, dibersihkan dari akar; dipotong melintang dengan

ketebalan tertentu.

Page 7: skrining fitokimia

9.

10.

11.

12.

Buah

Biji

Kulit buah

Bulbus

Masak, hampir masak; dipetik dengan tangan.

Buah dipetik; dikupas kulit buahnya dengan mengupas

menggunakan tangan, pisau, atau menggilas, biji dikupas

dan dicuci.

Seperti biji, kulit buah dikumpulkan dan dicuci.

Tanaman dicabut, bulbus dipisah dari daun dan akar dengan

memotongnya, dicuci.

b. Sortasi Basah

Sortasi basah dilakukan untuk memisahkan kotoran –

kotoran atau bahan – bahan asing lainya dari bahan simplisia.

Misalnya pada simplisia yang dibuat dari akar suatu tanaman obat,

bahan – bahan seperti tanah, kerikil, rumput, batang, daun, akar yang

telah rusak, serta pengotor lainya harus dibuang.

c. Pencucian

Pencucian dilakukan untuk menghilangkan tanah dan

pengotoran lainya yang melekat pada bahan simplisia. Pencucian

dilakukan dengan air bersih, misalnya air dari mata air, air dari sumur

atau air PAM.

d. Perajangan

Page 8: skrining fitokimia

Beberapa jenis bahan simplisia perlu mengalami proses

perajangan. Perajangan bahan simplisia dilakukan untuk

mempermudah proses pengeringan, pengepakan dan penggilingan.

Tanaman yang baru diambil jangan langsung dirajang tetapi dijemur

dengan keadaan utuh selama 1 hari. Perajangan dapat dilakukan

dengan pisau, dengan alat mesin perajang khusus sehingga diperoleh

irisan tipis atau potongan dengan ukuran yang dikehendaki.

e. Pengeringan

Tujuan pengeringan ialah untuk mendapatkan simplisia

yang tidak mudah rusak, sehingga dapat disimpan dalam waktu yang

lebih lama. Dengan mengurang kadar air dan menghentikan reaksi

enzimatik akan dicegah penurunan mutu atau perusakan simplisia.

f. Sortasi kering

Sortasi setelah engeringan sebenarnya merupakan tahap

akhir pembuatan simplisia. Tujuan sortasi untuk memisahkan benda –

benda asing seperti bagian – bagian tanaman yang tidak diinginkan

dan pengotr – pengotor lain yang masih ada dan tertinggal pada

simplisia kering.

g. Pengepakan dan penyimpanan

Pada penyimpaan simplisia perlu diperhatikan beberapa hal

yang dapat mengakibatkan kerusakan simplisia, yaitu cara

Page 9: skrining fitokimia

pengepakan, pembungkusan dan pewadahan, persyaratan gudang

simplisia, cara sortasi dan pemeriksaan mutu, serta cara pengawetanya.

Penyebab kerusakan pada simplisia yang utama adalah air dan

kelembaban.

Cara pengemasan simplisia tergantung pada jenis simplisia

dan tujuan penggunaan pengemasaan. Bahan dan bentuk pengemasan

harus sesuai, dapat melindungi dari kemungkinan kerusakan simplisia,

dan dengan memperhatikan segi pemanfaatan ruang untuk keperluan

pengangkutan maupun penyimpananya.

h. Pemeriksaan mutu

Pemeriksaan mutu simplisia dilakukan pada waktu

penerimaan atau pembelian dari pengumpul atau pedagang simplisia.

Simplisia yang diterima harus berupa simplisia murni dan memenuhi

persyaratan umum untuk simplisia seperti yang disebutkan dalam

Buku Farmakope Indonesia, Ekstra Farmakope Indonesia ataupum

Materia Medika Indonesia Edisi terakhir.(Anonim,1985)

D. Ekstraksi Tumbuhan Obat

Ekstraksi merupakan proses pemisahan bahan dari campurannya dengan

menggunakan pelarut. Jadi, ekstrak adalah sediaan yang diperoleh dengan cara

ekstraksi tanaman obat dengan ukuran pertikel tertentu dan menggunakan medium

pengekstrasi (menstrum) yang tertentu pula.

Page 10: skrining fitokimia

Ekstraksi dapat dilakukan menurut berbagai cara. Ekstrak yang diperoleh

sesudah pemisahan cairan dari residu tanaman obat dinamakan “micela”. Micelle ini

dapatdiubah menjadi bentuk obat siap pakai, seperti ekstrak cair dan tinktura atau

sebagai produk/bahan antara yang selanjutnya dapat diproses menjadi ekstrak kering.

(Agoes.G,2007)

E. Cara Ekstraksi

1. Maserasi

Proses maserasi merupakan proses sederhana untuk mendapatkan ekstrak

dan diuraikan dalam kebanyakan farmakope. Cara ini sesuai, baik untuk skala

kecil maupun skala industri. Proses yang paling sederhana hanya menuanngkan

pelarut pada simplisia. Sesudah mengatur waktu sehingga sesuai untuk tiap – tiap

bahan tanaman (simplisia), ekstrak dikeluarkan, dan ampas hasil ekstraksi dicuci

dengan pelarut yang segar sampai didapat berat yang sesuai. Prosedur ini sama

dengan pembuatan tingtur atau ekstrak khusus, dan kadang – kadang merupakan

satu – satunya prosedur untuk tanaman yang mengandung zat berlendir

(musilago) tinggi. Sebetulnya cara ini tidak begitu berguna karena tidak pernah

dapat menarik zat berkhasiat dari tanaman secara sempurna. Ampas menahan

sejumlah besar solute, yang untuk perolehanya harus dilakukan proses pemerasan

(penekanan) atau cara sentrifugasi.(Agoes.G,2007)

2. Perkolasi

Page 11: skrining fitokimia

Pada perkolasi sederhana dan berkesinambungan, sasaran proses biasanya

adalah untuk menarik bahan berkhasiat dari tanaman secara total. Pada perkolasi

sederhana, bahan berkhasiat diekstraksi sampai habis menggunakan pelarut segar.

Proses ini merupakan proses yang memakanwaktu (lama) dan mahal karena

dibutuhkan sejumlah besar pelarut yang bergantung pada beberapa parameter

berikut :

a. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai kesetimbangan pelarut – solute.

b. Kuantitas pelarut yang dibutuhkan untuk menghasilkan ekstraksi pertama

dalam skala ekonomi yang memadai.

c. Kuantitas pelarut yang dibutuhkan untuk mengencerkan secara sempurna

kuantitas solut yang tertahan oleh ampas dari ekstraksi

pertama.(Agoes.G.2007)

3. Ekstraksi Sinambung

Ekstrasksi sinambung dilakukan dengan menggunakan alat Soxhlet.

Pelarut penyari yang ditempatkan di dalam labu akan menguap ketika dipanaskan,

melewati pipa samping alat Soxhlet dan mengalami pendinginan saat melewati

kondensor. Pelarut yang telah berkondensasi tersebut akan jatuh pada bagian

dalam alat Soxhlet yang bersimplisia dibungkus kertas saring dan menyisiknya

hingga mencapai bagian atas tabung sifon. Seharusnya seluruh bagian linarut

tersebut akan tertarik dan ditampung pada labu tempat pelarut awal. Proses ini

berlangsung terus menerus sampai diperloleh hasil ekstraksi yang dikehendaki.

Keuntungan ekstraksi sinambung adalah pelarut yang digunakan lebih

sedikit dan pelarut murni sehingga dapat menyaring senyawa dalam simplisia

Page 12: skrining fitokimia

lebih banyak dalam waktu lebih singkat dibandingkan dengan maserasi atau

perkolasi. Kerugian cara ini adalah tidak dapat digunakan untuk senyawa-

senyawa termolabil . (Harborne. J.B,1987)

F. Skrining Fitokimia

Salah satu pendekatan untuk penelitian tumbuhan obat adalah penapis

senyawa kimia yang terkandung dalam tanaman. Cara ini digunakan untuk

mendeteksi senyawa tumbuhan berdasarkan golongannya. Sebagai informasi awal

dalam mengetahui senyawa kimia apa yang mempunyai aktivitas biologi dari suatu

tanaman. Informasi yang diperoleh dari pendekatan ini juga dapt digunakan untuk

keperluan sumber bahan yang mempunyai nilai ekonomi lain seperti sumber tanni,

minyak untuk industri, sumber gum, dll. Metode yang telah dikembangkan dapat

mendeteksi adanya golongan senyawa alkaloid, flavonoid, senyawa fenolat, tannin,

saponin, kumarin, quinon, steroid/terpenoid. (Teyler.V.E,1988)

1. Alkaloid

a. Pengertian alkaloid

Alkaloid merupakan golongan zat tumbuhan sekunder yang

terbesar. Pada umumnya alkaloid menccakup senyawa bersifat basa yang

mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan, sebagai

bagian dari system siklik. Alkaloid seringkali beracun bagi manusia dan

banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol yang digunakan

secara luas dalam bidang pengobatan.alakoloid biasanya tanpa warna,

Page 13: skrining fitokimia

seringkali bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk Kristal tetapi hanya

sedikit yang berupa cairan ( misalnya nikotina pada suhu kamar ).

Prazat alkaloid yang paling umu adalah asam amino, meskipun

sebenarnya biosintesis kebanyakan alkaloid lebih rumit. Secara kimia,

alkaloid merupakan suatu golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa

sederhana seperti koniina, yaitu alkaloid utama Conium maculatum sampai

pentasiklik seperti estrikhnina yaitu racun kulit strychnos.

Alkoloid, sekitar 5500 telah di ketahui, merupaan golongan zat

tumbuhan sekunder yang terbesar. Tidak ada satu pun istilah alkoloid yang

memuaskan tetapi pada umumnya alkoloid mencakup senyawa bersifat basa

mengandung satu atau lebih atom nitrogen, biasanya dalam gabungan sebagai

bagian dari sistem siklik. Alkoloid sering kali beracun bagi manusia dan

banyak yang mempunyai kegiatan fisiologi yang menonjol jadi digunakan

secara luas dalam bidang pengobatan. Alkoloid biasanya tanwarna, sering kali

bersifat optis aktif, kebanyakan berbentuk kristal tetapi hanya sedikit yang

berupa cairan (misalnya nikotina) pada suhu kamar .uji sederhana tetapi yang

sama sekali tidak satu sempurna, untuk alkoloid dalam daun atau buah segar

adalah rasa pahitnya di lidah. Misalnya, alkoloid kinina adalah zat yang

dikenal paling pahit dan pada konsentrasimolar 1x 103 membeikan rasa pahit

yang berarti.prazat alkoloid yang paling umum adalah asam amino, meski pun

sebenarnya, biosintesis kebanyakan alkoloid lebih rumit. Secara kimia,

alkoloid merupakan suatu golongan heterogen. Ia berkisar dari senyawa

sederhana seperti koniina, yaitu alkoloid utama conium maculatum, sampai ke

Page 14: skrining fitokimia

struktur pentasiklik seperti strikhnina , yaitu racun kulit Strychnos. Amina

tumbuhan (misalnya meskalina) dan basa Purina dan pirimidina (misalnya

kafeina) kadang-kadang digolongkan sebagai alkoloid dalam arti umum.

Banyak alkoloid bersifat terpenoid dan beberapa (misalnya solanina alkoloid –

steroid kentang, Solanum tuberosum) sebaiknya ditinjaudari segi biosintesis

sebagai terpenoid termodifikasi. Yang lainnya terutama berupa senyawa

aromatic ( misalnya kolkhisina, alkoloid tropolon umbi crocus musim gugur )

yang mengandung gugus basa sebagai gugus rantai samping. Banyak sekali

alkoloid yang khas pada suatu suku tumbuhan atau beberapa tumbuhan

sekerabat. Jadi nama alkoloid sering kali diturunkan dari sumber tumbuhan

penhasilnya, misalnya alkoloid Atropa atau alkoloid tropana, dan

sebagainya.(Harbrone.J.B,1987)

Sebagian besar alkaloid alami yang bersifat sedikit asam

memberikan endapan dengan reaksi yang terjadi dengan reagent Mayer (

Larutan Kaliummercuri Iodida); reagent Wangner (larutan Iodida dalam

Kalium Iodida); dengan larutan asam tanat,reagent Hager (saturasi dengan

asam pikrat); atau dengan reagent Dragendroff (larutan Kalium Bismuth

Iodida). Endapan ini berbentuk amorf atau terdiri dari kristal dari berbagai

warna. Cream (Mayer),Kuning (Hager),coklat kemerah – merahan (Wagner

dan Dragendroff). Caffein dan beberapa alkaloid tidak menimbulkan reaksi

pengendapan. Ketelitian harus dimulai dari ekstraksi alkaloid yang diuji

karena bahan akan membentuk endapan dengan protein. sebagian dari protein

akan membuat tidak larut dari bahan yang telah diekstrak oleh proses

Page 15: skrining fitokimia

epaporasi atau mungkin disebabkan filtrate yang terbongkar. Jika ekstrak asli

telah dikonsentrasi ke konsentrasi rendah akan membentuk ekstrak alkaloid

yang bebrbentuk basa dengan pertolongan suatu pelarut organik kemudian

dimasukan dalam larutan asam encer (misalnya : Tartarat),larutan haus bebas

dari protein dan siap untuk dilakukan uji alkaloid.(Teyler.V.E,1988)

b. Pereaksi Alkaloid

Untuk pereaksi Dragendrof dibuat dua larutan persediaan : (1) 0,6

g bismutsubnitrat dalam 2 ml HCl pekat dan 10 ml air ; (2) 6 g Kalium iodide

dalam 10 ml air. Larutan persediaan ini dicampur dengan 7 ml HCl pekat dan

15 ml air. Untuk menyemprot kertas dengan pereaksi iodoplatinat, 10 ml

larutan platina klorida 5% dicampur dengan 240 ml Kalium iodide 2% dan

diencerkan dengan air sampai 500 ml. untuk menyemprot pelat, campurkan 10

ml platina klorida 5%, 5 ml HCl pekat, dan 240 ml Kalium iodide 2%.

(Teyler.V.E,1988)

c. Klasifikasi alkaloid

Pada bagian yang memaparkan sejarah alkaloid, jelas kiranya

bahwa alkaloid sebagai kelompok senyawa, tidak diperoleh definisi tunggal

tentang alkaloid. Sistem klasifikasi yang diterima, menurut Hegnauer, alkaloid

dikelompokkan sebagai:

1) Alkaloid Sesungguhnya

Alkaloid sesungguhnya adalah racun, senyawa tersebut menunjukkan

aktivitas phisiologi yang luas, hampir tanpa terkecuali bersifat basa; lazim

mengandung Nitrogen dalam cincin heterosiklik ; diturunkan dari asam amino

Page 16: skrining fitokimia

; biasanya terdapat “aturan” tersebut adalah kolkhisin dan asam aristolokhat

yang bersifat bukan basa dan tidak memiliki cincin heterosiklik dan alkaloid

quartener, yang bersifat agak asam daripada bersifat basa.

2) Protoalkaloid

Protoalkaloid merupakan amin yang relatif sederhana dimana nitrogen

dan asam amino tidak terdapat dalam cincin heterosiklik. Protoalkaloid

diperoleh berdasarkan biosintesis dari asam amino yang bersifat basa.

Pengertian ”amin biologis” sering digunakan untuk kelompok ini. Contoh,

adalah meskalin, ephedin dan N,N-dimetiltriptamin.

3) Pseudoalkaloid

Pseudoalkaloid tidak diturunkan dari prekursor asam amino. Senyawa

biasanya bersifat basa. Ada dua seri alkaloid yang penting dalam khas ini,

yaitu alkaloid steroidal (contoh: konessin dan purin

(kaffein).(Teyler.V.E,1988)

2. Fenol

Senyawa asam fenolat ada hubungannya dengan lignin terikat sebagai

ester atau terdapat pada daun di dalam fraksi yang tidak larut dalam etanol; atau

miungkin terdapat dalam fraksi yang larut dalam etanol, yaitu sebagai glikosida

sederhana.

Deteksi asam fenolat dan lignindalam jaringan tumbuhan Lignin ialah

polimer fenol yang terdapat dalam dinding sel tumbuhan, yang bersama selulosa,

menyebabkan kekakuan dan kekokohan batang tumbuhan. Lignin terutama terdapat

pada tumbuhan berkayu karena sampai 30% bahan organic pepohonan terdiri atas zat

Page 17: skrining fitokimia

ini. Bila dioksidasi dengan nitrobenzene, lignin menghasilkan tiga aldehida fenol

sederhana yang ada kaitannya dengan asam fenolat tumbuhan

umum.(Harbrone.J.B,1987)

3. Tanin

Tanin terdapat luas dalam tumbuhan berpembuluh, dalam angiospermae

terdapat khusus dalam jaringan kayu. Menurut batasanya, tanin dapat bereaksi

dengan protein membentuk kepolumer mantap yang tidak larut dalam air. Dalam

industri, tanin adalah senyawa yang berasal dari tumbuhan, yang mampu

mengubah kulit hewan yang mentah menjadi kulit siap pakai karena

kemampuanya menyambung silang protein.

Di dalam tumbuhan letak tanin terpisah dari protein dan enzim sitoplasma,

tetapi bila jaringan rusak, misalnya bila hewan memakanya, maka reaksi

penyamakan dapat terjadi. Reaksi ini menyebabkan protein lebih sukar dicapai

oleh cairan pencernaan hewan. Pada kenyataanya, sebagian besar tubuhan yang

banyak bertanin dihindari oleh hewan pemakan tumbuhan karena rasanya yang

sepat. Kita menganggap salah satu fungsi utama tanin dalam tumbuhan ialah

sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan.

Secara kimia terdapat dua jenis utama tanin yang tersebar tidak merata

dalam dunia tumbuhan. Tanin –terkondensasi hampir terdapat semesta di dalam

paku-pakuan dan gimnosperae, serta tersebar luas dalam angiospermae, terutama

pada jenis tumbuhan berkayu. Sebaliknya, tanin yang terhidrolisiskan

penyebaranya terbatas pada tumbuhan berkeping dua. (Harbrone.J.B,1987)

Page 18: skrining fitokimia

4. Flavonoid

Flavonoid terdapat dalam tumbuhan sebagai campuran, jarang sekali

dijumpai hanya flavonoid tunggal dalam jaringan tumbuhan. Disamping itu,

sering terdapat campuran yang terdiri atas flavonoid yang berbeda kelas.

Penggolongan jenis flavonoid dalam jaringan tumbuhan mula – mula didasarkan

pada telaah sifat kelarutan dan reaksi warna. Kemudian diikuti dengan

pemeriksaan ekstrak tumbuhan yang telah dihidrolisis secara

kromatografi.(Harbrone.J.B,1987)

5. Steroid dan Triterpenoid

Triterpenoid adalah senyawa yang kerangka karbonnya berasal dari enam

satuan isoprene dan secara biosintesis diturunkan dari hidrokarbon C30 asiklik,

yaitu skualena. Triterpenoid dapat dipilah menjadi sekurang – kurangnya empat

golongan senyawa : triterpena sebenarnya, steroid, saponin dan glikosida jantung.

Kedua golongan yang terakhir sebenarnya triterpena atau steroid yang terutama

terdapat sebagai glikosida.

Sterol adalah triterpena yang kerangka dasarnya system cincin

siklopentana perhidrofenantrena. Dahulu sterol terutama dianggap sebagai

senyawa satwa (sebagai hormone kelamin, asam empedu, dll), tetapi pada tahun –

Page 19: skrining fitokimia

tahun terakhir ini makin banyak senyawa tersebut yang ditemukan dalam jaringan

tumbuhan.(Harbrone.J.B,1987)

6. Kuinon

Kuinon adalah senyawa berwarna dan mempunyai kromofor dasar seperti

kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas dua gugus karbonil yang

berkonjugasi dengan dua ikatan rangkap karbon – karbon. Untuk tujuan

identifikasi, kuinon dapat dipilah menjadi empat kelompok : benzokuinon,

naftokuinon, antrakuinon, dan kuinon isoprenoid. Tiga kelompok pertama

biasanya terhidroklisasi dan bersifat senyawa fenol serta mungkin terdapat in vivo

dalam bentuk gabungan dengan gula sebagai glikosida atau dalam bentuk kuinol.

Untuk memastikan adanya adanya suatu pigmen termasuk kuinon atau

bukan, reaksi warna sederhan masih tetap berguna. Reaksi yang khas ialah

reduksi bolak balik yang mengubah kuinon menjadi senyawa tanwarna, kemudian

warna kembali lagi bila terjadi oksidasi oleh udara. (Harbone.J.B, 1987)

Page 20: skrining fitokimia

DAFTAR PUSTAKA

Agoes.G.2007.Teknologi Bahan Alam.21,38 – 39.Bandung : ITB Press Anonim.2000. Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. 3 – 5. Jakarta : Depkes RI Anonim.1985. Cara Pembuatan Simplisia. 2 – 22. Jakarta : Depkes RI Anonim.1987. Analisis Obat Tradisional. 2 – 3. Jakarta : Depkes RI Harborne. J.B.,1987. Metode Fitokimia , terjemahan K. Radmawinata dan I. Soediso, 69-94, 142-158, 234-238. Bandung : ITB Press Teyler.V.E.et.al.1988.Pharmacognosy.9th Edition. 187 – 188. Phiadelphia : Lea & Febiger