Skenario c Blok 7 Kelompok 11 Fix

68
LAPORAN TUTORIAL BLOK 7 Pembimbing : dr. Ella Amalia GROUP 11 M. Alvin Astian 4101401016 Tasya Beby Tiara 4101401017 Arzi Larga Guhpta 4101401030 Yorin Mulya Junitia Mukiat 4101401065 Robby Akbar 4101401070 Ari Miska 4101401071 Rivia Krishartanty 4101401072 Yustin Putri Pratiwi 4101401074 Ernes Putra Gunawan 4101401085 Rizki Amelia 4101401109 Wenty Septa Aldona 4101401129 Dhatchaayiny Chelvam 4101401135 1

description

scb

Transcript of Skenario c Blok 7 Kelompok 11 Fix

LAPORAN TUTORIAL

LAPORAN TUTORIAL

BLOK 7Pembimbing : dr. Ella AmaliaGROUP 11M. Alvin Astian

4101401016Tasya Beby Tiara

4101401017

Arzi Larga Guhpta

4101401030Yorin Mulya Junitia Mukiat

4101401065Robby Akbar

4101401070Ari Miska

4101401071Rivia Krishartanty

4101401072Yustin Putri Pratiwi

4101401074Ernes Putra Gunawan

4101401085Rizki Amelia

4101401109Wenty Septa Aldona

4101401129Dhatchaayiny Chelvam

4101401135KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT karena atas rahmat dan ridho-Nya laporan tutorial skenario ini dapat diselesaikan dengan baik.

Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari system pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Kami menyadari bahwa laporan ini masih sangat banyak kekurangan dan kelemahannya untuk itu sumbangan pemikiran dan masukan dari semua pihak sangat kami harapkan agar di masa yang akan datang laporan tutorial ini menjadi lebih baik.

Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang membantu tersusunnya laporan tutorial ini. Semoga laporan tutorial ini bermanfaat bagi civitas akademika.

Palembang, 17 Juni 2011

Tim Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Blok Immunology dan Infection adalah blok 7 pada semester 2 dari Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) Pendidikan Dokter Umum Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Pada kesempatan ini dilaksanakan tutorial studi kasus sebagai bahan pembelajaran untuk menghadapi tutorial yang sebenarnya pada waktu yang akan datangMaksud dan Tujuan

Adapun maksud dan tujuan dari materi praktikum tutorial ini, yaitu :

Sebagai laporan tugas kelompok tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Palembang.

Dapat menyelesaikan kasus yang diberikan pada skenario dengan metode analisis dan pembelajaran diskusi kelompok.

Tercapainya tujuan dari metode pembelajaran tutorial dan memahami konsep dari skenario ini.

BAB II

PEMBUKA

Data Tutorial

Tutorial Skenario CTutor

: Dr. Ella AmaliaModerator

: M. Alvin AstianSekretaris Papan

: Robby AkbarSekretarisMeja

: Tasya Beby TiaraWaktu

: Senin, 13 Juni 2011

Rabu, 15 Juni 2011

Peraturan tutorial: 1. Alat komunikasi dinonaktifkan.

2. Semua anggota tutorial harus mengeluarkan pendapat dengan cara mengacungkan tangan terlebih dahulu dan apabila telah dipersilahkan oleh moderator.

3. Tidak diperkenankan meninggalkan ruangan selama proses tutorial berlangsung.

4. Tidak diperbolehkan makan dan minum.

BAB III

PEMBAHASAN

SKENARIO CAni 9 tahun dibawa ibunya ke Poliklinik dengan keluhan bengkak sendi siku disertai nyeri lutut sejak 5 hari yang lalu. Menurut ibunya lebih kurang 4 minggu yang lalu anak sakit menelan dan demam. Pada pemeriksaan fisik pada lutut tampak ruam dan ada nodul subcutan. Pada pemeriksaan labor didapatkan Streptococcus Group A (+).I. Klarifikasi Istilah

a. Bengkak sendi siku : inflamasi yang terjadi pada artikulasi antekubiti akibat terpapar antigenb. Nyeri lutut : perasaan menderita karena rangsangan ujung-ujung saraf di lututc. Poliklinik : RS, sekolah, tempat segala macam penyakit dan cidera di pelajari dan diobatid. Sakit menelan : perasaan tidak nyaman saat memasukkan makanan pada kerongkongane. Demam : peningkatan suhu tubuh diatas normal (>37,20C)f. Lutut tampak ruam : daerah kulit di bagian lutut yang mengalami radangg. Nodul subcutan : benjolan/massa kecil yang berbentuk padat, tidak lunak, dan tidak melekat pada kulit.h. Streptococcus Group A (+) : golongan Streptococcus yang mencakup kuman pathogen -hemolitik pada manusia dan hewan

II. Identifikasi Masalah

1. Ani 9 tahun, dibawa ke Poliklinik dengan keluhan bengkak sendi siku disertai nyeri lutut sejak 5 hari yang lalu.2. Menurut ibunya, Ani telah menderita sakit menelan dan demam kurang lebih 4 minggu yang lalu.3. Pada pemeriksaan fisik, lutut tampak ruam dan ada nodul subcutan.4. Pada pemeriksaan labor didapatkan Streptococcus Group A (+).

III. Analisis Masalah1. a) Apa penyebab bengkak sendi siku pada kasus ini?Penyebab bengkak sendi siku pada kasus ini adalah karena adanya reaksi antigen antibody yang menyebabkan destruksi jaringan, hyperplasia, prolifferasi sel synovial, dan infiltrate sel peradangan perivaskuler padat yang sering membentuk folikel limfoid dalam sinovium yang tersusun atas CD4+, sel plasma dan makrofag. Serta adanya reaksi autoimun dalam jaringan sinovial yang melakukan proses fagositosis yang menghasilkan enzim enzim dalam sendi untuk memecah kolagen sehingga terjadi edema proliferasi membran sinovial. Ada juga peningkatan vaskularitas dan neutrophil dan agregat fibrin yang mengalami organisasi pada permukaan synovial dan dalam ruang sendi. b) Apa penyebab nyeri lutut pada kasus ini?Penyebab nyeri lutut Ani karena adanya respon reaksi antigen-antibodi ( reaksi autoimun) dalam jaringan sinovial yang melakukan proses fagositosis yang menghasilkan enzim-enzim dalam sendi memecah kolagen sehingga terjadi edema proliferasi membran sinovial dan akhirnya membentuk pannus (jaringan granulasi atau vaskuler yang terbentuk dari sinovium yang meradang dan kemudian meluas ke sendi). Pannus tersebut akan mengganggu gerak sendi dan menyebabkan timbulnya respon inflamasi.c) Bagaimana patogenesis bengkak sendi siku yang diderita Ani?Jaringan rusak akibat infeksi S. Pyogenes Aktivasi sejumlah protein yang mengkatalisis baradikinin dan kloninogen molekul tinggi Enzim COX2 jaringan di induksi ke tempat infeksi untuk mengkatalisis konversi arakidonat menjadi molekul persinyalan lokal eikosanoid Sel mast dan makrofag yang ada pada jaringan yg terinfeksi akan melepas Histamin dan Sitokin dan mediator inflamasi lain Histamin yang dilepas sel mast atas pengaruh komplemen C3 dan C5 Komplemen C3 dan C5 menghasilkan fragmen kecil C3a dan C5a yang merupakan anafilatoksin yg melepasa histamin dan komponen vasokaktif dari basofil dan sel mast yg meningkatkan permeabilitas vaskular Meningkatkan permeabilitas vaskular dan kontraksi otot polos memberikan jalan untuk migrasi leukosit dab keluarnya plasma yg mengandung banyak antibodi, opsonin dan komplemen ke jaringan Mediator ini mengakibatkan dinding kapiler menjadi permeabel terhadap protein plasma dan pelepasan streptolisin 0,S(lisis SDM,SDP,dan trombosit) Pembengkakan atau edema.

d) Bagaimana patogenesis nyeri lutut yang diderita Ani?Nyeri lutut yang diderita Ani berawal dari kompleks imun yang masuk ke sendi synovial (mungkin adanya beda muatan listrik antara kompleks imun dengan sendi synovial yang menyebabkan kompleks imun menetap di sendi sinovial). Kompleks imun ini bersifat kemotaksis sehingga sel PMN dan sel mononuclear bermigrasi ke sendi synovial. Sel fagosit kemudian memfagositosis kompleks imun tersebut dan menyekresikan mediator inflamasi yang berupa protease, IL-1, IL-6, dan TNF-. Semua mediator inflamasi ini sifatnya merusak jaringan sekitarnya sehingga timbul inflamasi yang direspon tubuh dengan rasa nyeri pada lutut. 2. a) Apa patogenesis sakit menelan dalam kasus ini?Bakteri Streptococcus (S. Pyogene) masuk ke tubuh menempel di kerongkongan melalui pili-pili di kerongkongan GAS mengeluarkan pyrogenik exotoxin infeksi dan peradangan pada tenggorokan tenggorokan berwarna lebih merah, menebal/bengkak, dan ada bintik-bintik putih sakit bila menelan.b) Apa patogenesis demam dalam kasus ini?Demam ditimbulkan oleh peningkatan thermostat di otak yang bermula dari tubuh terpajan pirogen eksogen (antigen) sehingga direspon oleh sel fagosit (PMN & MN) dengan memfagositosisnya, yang kemudian dihasilkan IL-1, IL-6, dan TNF- yang merupakan mediator inflamasi. IL-1 kemudian dibawa menuju sel endotel hipotalamus yang berperan untuk mengaktivasi asam arakhidonat. Asam arakhidonat kemudian diubah menjadi prostaglandin E2 dengan bantuan enzim siklooksigenase (COX). PGE2 kemudian mengatur thermostat di otak supaya meningkat. Keadaan ini direspon tubuh dalam bentuk demam.

c) Bagaimana hubungan bengkak sendi lutut dan nyeri lutut dengan demam yang di derita Ani 4 minggu yang lalu?Pada kasus ini Ani mengalami dua infeksi, infeksi primer dan infeksi sekunder. Infeksi primer terjadi setelah bakteri melewati fase inkubasi yang kemudian menunjukkan faringitis (sakit menelan) dan demam apabila tidak diobati atau bakteri streptokokus masih ada dalam tubuh maka bakteri akan memasuki fase laten (3-4 minggu sebelum infeksi sekunder). Setelah lewat 3-4 minggu, bakteri mulai menginfeksi untuk kedua kalinya (infeksi sekunder). Manifestasi klinis yang timbul berupa demam rematik (bengkak sendi dan nyeri lutut) yang terjadi akibat respon autoimun tubuh. Dan pada beberapa penderita demam rematik, dapat terjadi manifestasi lanjutan berupa penyakit jantung rematik. Jadi, hubungan bengkak sendi dan nyeri lutut dengan demam dan sakit menelan yaitu bengkak sendi dan nyeri lutut merupakan manifestasi lanjutan dari faringitis dan demam yang terjadi apabila penderita tidak diobati atau bakteri masih ada dalam tubuh penderita.

d) Bagaimana peran imunitas tubuh Ani terhadap keluhan-keluhan yang dialami Ani?Komponen streptokokus memiliki reaktivitas bersama dengan jaringan lain. Ini meliputi reaksi silang imunologik di antara karbohidrat streptokokus dan glikoprotein katup, di antara membran protoplasma streptokokus dan jaringan saraf subtalamus serta nuklei kaudatus dan antara hialuronat kapsul dan kartilago artikular. Reaktivitas silang imunologik multiple tersebut dapat menjelaskan keterlibatan organ multiple pada demam reumatik.3. a) Apa etiologi dari lutut tampak ruam?Penyebab ruam lutut Ani karena produksi eksotoksin pirogenik streptokokus A,B,dan C dari Streptococcus piogenes menyebabkan destruksi subcutan sehingga kulit tampak ruam. Lutut tampak ruam (eritema marginatum) merupakan manifestasi mayor dari demam reumatik pada kulit, berupa bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepina berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tanpa indurasi dan tidak gatal. Bila ditekan lesi akan menjadi pucat. Kelainan ini dapat terjadi pada fase akut, tetapi juga dapat timbul pada fase inaktif. Tidak terpengaruh oleh obat anti-inflamasi. Eritema marginatum sering menyertai kelainan lainnya terutama karditis. b) Apa etiologi dari timbulnya nodul subcutan?Penyebab timbulnya nodul subcutan karena terjadinya penumpukan kompleks imun pada jaringan sebagai reaksi dari toksin yang dihasilkan S. pyogenes, yang menimbulkan respon kematian jaringan (nekrosis) dan fibrosis dan akan membuat suatu lesi dengan massa yang keras dan masih dapat mengalami pergerakan yang berbentuk benjolan dibawah kulit.c) Bagaimana patogenesis lutut tampak ruam?Streptococcus group A Menghasilkan sejumlah besar produk ekstraseluler, yang berpengaruh menjadi toksisitas setempat dan sistemik, juga mempermudah penyebaran infeksi melalui jaringan.Produk :

Streptolisin A dan OToksin : merusak selaput sel, dan menimbulkan hemolisis.

Streptokinase

DNAse

Protease

Eksotoksin pirogenik A, B, dan CEKSOSTOKSIN PIROGENIK Mengakibatkan kulit tampak ruam, menunjukkan adanya vaskulitis, atau peradangan pada pembuluh darah. Pembuluh darah ini menunjukkan adanya proliferasi endotel. Ram terbentuk dari papula kecil dan menimbulkan rasa seperti ampelas pada kulit.d) Bagaimana patogenesis timbulnya nodul subcutan?Adanya penumpukan kompleks imun pada jaringan mengakibatkan terjadinya respon perlawanan tubuh berupa vasokonstriksi, mengakibatkan asupan nutrisi ke jaringan berkurang sehingga terjadinya nekrosis jaringan. Jaringan yang mati ini akan digantikan oleh jaringan fibrin yang baru (fibrosis) sehingga menimbulkan terbentuknya tonjolan pada kulit yang disebut nodul subcutan.

e) Apa peran imunitas terhadap gejala lutut tampak ruam dan timbulnya nodul subcutan?Peran imunitas terhadap gejala lutut tampak ruam dan timbulnya nodul subcutan ini dapat terlihat dari adanya respon dan reaksi inflamasi, yang berupa adanya calor, rubor, dolor, tumor sebagai manifestasi yang terlihat. Ini adalah reaksi autoimun kompleks terhadap infeksi bakteri Streptococcus group A.4. a) Bagaimana klasifikasi Streptococcus Group A (+)? (sintesis)b) Bakteri Streptococcus jenis apa yang menyebabkan penyakit Ani?Bakteri yang menginfeksi Ani diduga adalah Streptococcus pyogenes. S. pyogenes ialah bakteri Gram-positif bentuk bundar yang tumbuh dalam rantai panjang dan merupakan penyebab infeksi Streptococcus Grup A. Streptococcus pyogenes menampakkan antigen grup A di dinding selnya dan beta-hemolisis saat dikultur di plat agar darah. Streptococcus pyogenes khas memproduksi zona beta-hemolisis yang besar, gangguan eritrosit sempurna dan pelepasan hemoglobin, sehingga kemudian disebut Streptococcus Grup A (beta-hemolisis). Streptococcus bersifat katalase-negatif.c) Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan labor yang bertanda (+)?Pemeriksaan ASTO dengan prinsip kerja aglutinasi latex , mereaksikan partikel ini dengan serum penderita. Adanya anti streptolysin dalam serum penderita dinyatakan dengan terjadinya aglutinasi dan partikel tersebut. Dari hasil pemerikasaan lab menunjukan positif yang artinya terdapat aglutinasi , dan kesimpulannya pada sampel serum pasien, terdapat antibody terhadap Streptococcus Beta Haemolitikus (Streptolysin O).d) Penyakit apa yang mungkin dialami Ani berdasarkan gejala-gejala yang dialami dan hasil pemeriksaan yang didapat?

Berdasarkan gejala yang dialami Ani, yang merupakan lebih dari satu gejala mayor serta hasil pemeriksaan yang menunjukkan bahwa ditemukannya bakteri Streptococcus Group A (+), kelompok kami menyimpulkan bahwa Ani menderita Demam Reumatik.IV. Hipotesis

Ani 9 tahun, mengalami Demam Rheumatik yang disebabkan Streptococcus Group A (+).

V. Keterbatasan Ilmu dan Learning Issues

Learning IssueWhat I knowWhat I dont knowWhat I have to proveSource

1. Streptococcus Tipe yang menginfeksi Struktur antigen

Morfologi dan identifikasi

Toksin dan enzim

Klasifikasi Bakteri yang menginfeksi Ani dalam kasus ini adalah bakteri Streptococcus beta-hemolitikusText-book & journal

2. Penyakit autoimun Definisi Peran autoimun

Jenis penyakit autoimun

Faktor lingkungan yang berperan dalam autoimunitas

Factor imun yang berperan dalam autoimunitas Kriteria autoimun

Mekanisme kerusakan jaringan

Diagnosis

Prinsip pengobatan Penyakit yang dialami Ani adalah salah satu jenis dari penyakit autoimun

3. Reaksi antigen-antibodi Definisi antigen dan antibodi Fungsi dari reaksi antigen-antibodi

Mekanisme terjadinya reaksi antigen-antibodi Gejala-gejala yang dialami Ani merupakan hasil dari reaksi antigen-antibodi

4. Pemeriksaan Laboratorium (ASTO)

Definisi Tujuan Prosedur Nilai rujukan

5. Demam Rheumatik Definisi Etiologi

Factor predisposisi

Patogenesis

Patofisiologi

Penatalaksanaan Berdasarkan manifestasi klinis yang terlihat, Ani menderita demam rheumatik

VI. Kerangka Konsep

VII. Sintesis1. Streptococcus

Streptokokus adalah mikroorganisme bulat, tersusun secara khas dalam rantai dan tersebar luas dalam alam. Beberapa diantaranya adalah anggota flora normal manusia; lainnya dihubungkan dengan penyakit-penyakit penting pada manusia yang bertalian sebagian dengan infeksi dengan streptokokus, sebagian karena sensitisasi terhadapnya. Kuman ini menghasilkan berbagai zat ekstraseluler dan enzim-enzim. Kemampuannya untuk menghemolisis sel-sel darah merah sampai berbagai tingkat adalah salah satu dasar penting untuk klasifikasi.

Morfologi dan Identifikasi

Ciri Khas Organisme

Kokus yang sendirian berbentuk bulat atau bulat telur dan tersusun dalam rantai. Kokus membagi dalam bidang tegak lurus sumbu panjang rantai. Anggota-anggota rantai sering memberikan gambaran diplokokus dan bentuk menyerupai batang kadang-kadang terlihat. Panjang rantai sangat bervariasi dan sebagian besar ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan.

Beberapa streptokokus mengeluarkan polisakarida simpai yang sesuai dengan polisakarida pneumokokus. Sebagian besar strain golongan A, B, dan C menghasilkan simpai yang terdiri dari asam hialuronat. Simpai paling nyata pada biakan yang sangat muda. Simpai ini menghalangi fagositosis. Dinding sel streptokokus mengandung protein (antigen M,T, R), karbohidrat dan peptidoglikan. Dari dinding sel, pili seperti rambut menonjol melalui simpai. Pili tersebut sebagian terdiri dari protein M dan ditutupi oleh asam lipoteikhoat. Asam lipoteikhoat sangat penting dalam perlekatan streptokokus pada sel epitel.

Biakan

Kebanyakan streptokokus tumbuh dalam media padat sebagai koloni discoid, biasanya diameternya 1-2 mm. strain golongan A yang menghasilkan bahan simpai sering memberikan koloni mukoid. Koloni-koloni strain golongan A yang pudar dan yang mengkilat dibicarakn di bawah. Peptostreptokokus tumbuh dalam keadaan anaerobic.

Sifat-sifat Pertumbuhan

Energy pada dasarnya diperoleh dari penggunaan gula. Pertumbuhan streptokokus cenderung menjadi kurang subur pada perbenihan padat atau dalam kaldu kecuali diperkaya darah atau cairan jaringan. Kebutuhan gizi sangat bervariasi di antara spesies. Streptokokus tertentu dengan syarat pertumbuhan yang ketat hanya membentuk koloni sekitar organism kontaminan (strepsatelit). Kuman ini mungkin yang menghasilkan biakan darah negative pada endokarditik. Kuman yang pathogen bagi manusia paling banyak memerlukan faktor-faktor pertumbuhan. Pertumbuhan dan hemolisis dibantu oleh CO2 10%.

Kendati kebanyakan streptokokus hemolitik pathogen tumbuh paling baik pada 37 C, enterokokus golongan D tumbuh baik antara 15 dab 45 C. enterokokus tumbuh juga dalam konsentrasi natrium klorida tinggi (6,5%) dan pada metilen biru 0,1% dan dalam agar-agar empedu eskulin. Kebanyakan streptokokus bersifat fakultatif anaerob tetapi beberapa strain dari infeksi bedah bersifat obligat anaerob (peptostreptococcus). Sifat-sifat lainnya dibicarakan dibawah.

Variasi

Varian strain streptokokus yang sama dapat menunjukkan bentuk koloni yang berbeda. Ini terutama nyata di antara strain golongan A, sehingga menghasilkan koloni yang pudar dan yang mengkilat. Koloni yang pudar terdiri dari organism yang menghasilkan banyak protein M. organism demikian cenderung menjadi virulen dan relative kebal terhadap fagositosa oleh leukosit manusia. Koloni yang mengkilat cenderung untuk menghasilkan sedikit protein M dan sering tidak virulen.

Struktur Antigen

Streptokokus hemolitik dapat dibagi dalam golongan-golongan serologic (A-U) dan golongan-golongan tertentu dapat dibagi menjadi berbagai tipe. Beberapa zat antigen yang ditemukan :

(1) Karbohidrat C : zat ini terdapat dalam dinding sel dari banyak streptokokus dan merupakan dasar penggolongan serologic. Ekstak karbohidrat C untuk penggolongan streptokokus dapat dibuat melalui ekstraksi biakan yang dipusingkan dengan asam klorida panas, asam nitrat, atau formaldehida; dengan lisis enzimatik sel-sel streptokokus; atau dengan mengotoklafkan suspense sel pada tekanan 15 lb selama 15 menit. Kekhususan serologic karbohidrat C ditentukan oleh gula amino. Untuk streptokokus golongan A, gula amino tersebut adalah rhamnosa-N-asetil glukosamin; untuk golongan C, adalah rhamnosa-N-asetilgalaktosamin; untuk golongan F adalah glukopiranosil-N- asetilgalaktosamin.

(2) Protein M : zat ini erat nerhubungan dengan virulensi streptokokus golongan A dan terutama terdapat pada organism yang menghasilkan koloni yang tidak berkilau atau mukoid. Pembiakan berulang-ulang pada perbenihan buatan dapat mengakibatkan kehilangan pementukan protein M, yang dapat dipulihkan dengan pembiakan berulang-ulang pada binatang. Protein M mengahalangi pencernaan sreptokokus virulen oleh sel-sel fagositik. Streptokokus bentuk L yang sedang tumbuh menghasilkan juga protein M serta asam hialuronat.

protein M menentukan kekhususan tipe streptokokus golongan A, seperti yang terlihat denga reaksi aglutinasi atau presipitasi, dengan menggunakan serum tipe spesifik absorpsi. Terdapat lebih dari 60 tipe pada golongan A. tipe-tipe diberi tanda dengan angka arab. Pada manusia, antibody terhadap protein M melindungi terhadap infeksi dengan tipe spesifik Streptococcus golongan A.

(3) Zat T : antigen ini tidak mempunyai hubungan dengan virulensi streptokokus. Zat ini dirusak oleh ekstraksi asam dan oleh panas dan dengan demikian terpisah dari protein M. zat ini diperoleh dari streptokokus melalui pencernaan proteolitik dan memungkinkan diferensiasi tipe-tipe tertentu. Tipe lain mempunyai zat T yang sama juga. Antigen permukaan lainnya dinamakan protein R.

(4) Nucleoprotein : ekstraksi streptokokus dengan alkali lemah menghasilkan campuran protein dan zat-zat lain dengan spesifitas serologic yang rendah dan dinamakan zat P, yang mungkin merupakan sebagian besar badan sel streptokokus.

Toksin dan Enzim

Lebih dari 20 hasil ekstraseluler yang bersifat antigen dihasilkan oleh streptokokus golongan A diantaranya adalah :

(1) Streptokinase (fibrinolisin) dihasilkan oleh banyak strain streptokokus beta-hemolitik. Zat ini mengubah plasminogen serum manusia menjadi plasmin, suatu enzim proteolitik aktif yang menhancurkan fibrin dan protein-protein lain. Proses penghancuran ini dapat dihalangi oleh penghambat-penghambat serum tidak khas dan oleh suatu antibody spesifik, antistreptokinase. Suatu tes kulit dengan streptokinase-streptodornase biasanya positif pada remaja dan dewasa dengan kekebalan perantara sel yang normal. Karena itu biasa digunakan sebagai tes umum pada terakhir. Streptokinase diberikan melalui intravena untuk pengobatan emboli paru-paru dan trombosa vena.

(2) Streptodornase adalah suatu enzim yang melakukan depolimerisasi AND. Aktivitas enzimatik dapat diukur dengan penurunan viskositas larutan AND yang diketahui. Eksudat purulen memperoleh viskositasnya terutama karena deoksiribonukleoprotein. Campuran streptodornase dan streptokinase dipergunakan pada debrideman enzimatik. Zat-zat ini membantu dalam pengenceran eksudat dan mempermudah pembuangan nanah dan jaringan nekrotik; jadi obat-obat antijasad renik lebih mudah dapat masuk ke dalam, dan permukaan yang terinfeksi menyembuh lebih cepat, suatu antibody terhadap DNase timbul setelah infeksi streptokokus terutama setelah infeksi kulit dengan pioderma.

(3) Hialuronidase adalah suatu enzim yang memecahkan asam hialuronat, suatu komponen penting bahan dasar jaringan ikat. Jadi, hialuronidase membantu penyebaran jasad renik penginfeksi. Hialuronidase adalah antigen dan spesifik bagi tiap-tiap sumber kuman atau jaringan. Setelah infeksi dengan organism yang menghasilkan hialuronidase, antibody spesifik ditemukan pada pengobatan kedokteran untuk mempermudah penyebaran dan absorpsi cairan yang disuntikkan ke dalam jaringan.

(4) Toksin eritrogenik mudah larut dan mudah dirusak oleh pendidihan selama 1 jam. Toksin ini menyebabkan ruam yang terdapat pada scarlet fever. Hanya strain-strain yang mengeluarkan toksin ini yang dapat menyebabkan scarlet fever. Toksin ertrogenik hanya dikeluarkan oleh streptokokus lisogenik. Strain-strain yang sama sekali tidak mempunyai genom faga tidak aktif tidak menghasilkan toksin. Suatu Streptococcus tidak toksigenik setelah perubahan lisogenik akan menghasilkan toksin eritrogenik. Toksin eritrogenik adalah antigen mengakibatkan pembentukan antitoksin spesifik yang menetralkan toksin. Orang yang mempunyai antitoksin seperti ini kebal terhadap ruam walaupun peka terhadap infeksi streptokokus. Ada sedikit perbedaan kualitatif antara toksin eritrogenik yang dihasilkan oleh strain-strain yang berbeda.

kepekaan terhadap toksin eritrogenik dapat diperlihatkan oleh tes Dick : 0,1 mL toksin eritrogenik yang telah distandarisasi dan diencerkan disuntikkan intradermal. Bahan yang sama yang telah dibuat tidak aktif melalui pemanasan dipakai sebagai control. Bila tidak ada konsentrasi antitoksin dalam darah yang bermakna, tes Dick akan positif, yaitu tampak eritema dan udema dengan ukuran lebih dari 10 jam garis tengahnya, dalam 8-24 jam.

Sifat khas ruam scarlet fever dapat diperlihatkan dengan memakai reaksi Schultz-Charlton. Reaksi ini terdiri dari penyuntikan antitoksin spesifik pada daerah ruam scarlet fever. Bila ruam disebabkan oleh toksin eritrogenik streptokokus, kemerahan akan memucat dan menghilang dengan cepat pada daerah suntikan dimana antitoksin menetralkan toksin.

(5) Beberapa streptokokus mengeluarkan difosfopiridin nukleotidase ke sekelilingnya. Enzim ini dapat dihubungkan dengan kemampuan organism untuk mematikan lekosit. Proteinase dan amylase dihasilkan oleh beberapa strain.

(6) Hemolisin : banyak streptokokus mampu menghemolisiskan sel-sel darah merah in vitro dalam berbagai tingkatan. Perusakan total eritrosit dengan mengeluarkan hemoglobin dinamakan beta-hemolisis. Lisis tidak sempurna eritrosit dengan pembentukan pigmen hijau dinamakan alfa-hemolisis. Gama-hemolisis kadang-kadang dipergunakan untuk organism yang tidak hemolitik.

(7) Streptokokus beta-hemolitik golongan A mengeluarkan 2 hemolisin.

Streptolisin O adalah suatu protein yang secara aktif menghemolisis dalam keadaan tereduksi tetapi dengan cepat menjadi tidak aktif bila teroksidasi. Streptolisin O secara kuantitatif bergabung dengan antistreptolisin O, suatu antibodi yang timbul pada manusia setelah infeksi dengan setiap streptokokus yang menghasilkan streptolisin O. Antibodi ini menghambat hemolisis oleh streptolisin O. Fenomena ini merupakan dasar tes kuantitatif untuk antibody. Titer suatu antistreptolisin O serum yang melebihi 160-200 satuan dianggap abnormal tinggi dan menimbulkan kesan adanya infeksi streptokokus yang baru saja terjadi atau kadar antibody yang tetap tinggi setelah serangan infeksi pada orang yang hipersensitif.

Streptolisin S adalah penyebab zona hemolitik sekitar koloni streptokokus pada lempeng agar darah. Streptolisin S bukan antigen. Namun, serum manusia atau binatang sering mengandung penghambat tidak spesifik yang tidak tergantung pada pengalaman masa lalu dengan streptokokus.

Klasifikasi Streptokokus

Penyusunan streptokokus secara praktis dalam kategori-kategori utama dapat didasarkan pada (1) morfologi koloni dan hemolisa pada lempeng agar darah; (2) tes-tes biokimia dan resistensi terhadap faktor-faktor fisik dan kimia; (3) sifat-sifat imunologi; dan (4) gambaran ekologik. Kombinasi di atas memungkinkan penyusunan berikut ini lebih mudah.

I. Streptokokus Beta-Hemolitik : pada umumnya, streptokokus ini menghasilkan hemolisin yang larut dan dapat dikenal dengan mudah pada perbenihan meskipun strain individu dapat gagal dikenali. Streptokokus ini mengeluarkan karbohidrat C spesifik-golongan. Ekstrak asam yag mengandung karbohidrat C ini memberikan reaksi presipitasi dengan antiserum spesifik yang memungkinkan penyusunan streptokokus hemolitik ke dalam golongan-golongan A-H dan K-U. yang berikut ini terutama ada hubungan dengan kedokteran dan kadang-kadang ditunjukkan dengan nama yang khusus :

Golongan A-Streptococcus pyogenes- merupakan kelompok besar pathogen manusia yang berhubungan dengan invasi local atau sistemik dan kelainan pasca streptokok disebabkan reaksi-reaksi imunologi. Kuman ini biasanya sensitive-basitrasin.

Golongan B-Streptococcus agalactiae- merupakan anggota flora normal dari saluran kelamin wanita dan merupakan penyebab yang penting pada sepsis dan meningitis neonatal. Kuman-kuman ini menghidrolisa natrium hipurat, jaran peka terhadap basitrasin, dan memberikan respon yang positif terhadap apa yang dinamakan tes CAMP.

Golongan C dan G kadang-kadang terdapat pada farings; dapat menyebabkan sinusitis, bakteremia, atau endokarditis, dan dapat dikacaukan oleh organism golongan A.

Golongan D termasuk enterokokus dan non-enterokokus. Enterokokus khas tumbuh dalam NaCl 6,5% atau empedu 40%, dihambat oleh penisilin tetapi tidak dimatikan, terdapat pada flora normal usus dan ditemukan pada saluran air kemih atau infeksi kardiovaskuler atau pada meningitis. Non-enterokokus dihambat pula oleh NaCl 6,5% atau empedu 40% tetapi mudah dimatikan oleh penisilin. Kuman ini menyebabkan infeksi saluran kelamin dan air kemih atau endokarditis.

Golongan E, F, H, dan K-U jarang menimbulkan penyakit pada manusia.

II. Streptokokus Non Beta-Hemolitik : kuman ini biasa menunjukkan hemolisis alfa pada biakan darah atau tanpa hemolisa. Anggota-anggota yang utama adalah sebagai berikut :

Streptococcus pneumonia merupakan kuman yang larut dalam empedu dan pertumbuhannya dihambat oleh cakram optokhin. Peranannya dalam penyakit dibahas dalam bagian yang terpisah.

Streptokokus viridians, termasuk Streptococcus salivarius, Streptococcus mitis, Streptococcus mutans, Streptococcus sanguis, dll, tidak larut dalam empedu dan pertumbuhannya tidak dihambat oleh cakram optokhin. Streptokok viridians adalah anggota yang paling umum dari flora normal saluran napas manusia dan penting untuk keadaan kesehatan selaput lender. Akibat trauma, kuman ini dapat mencapai aliran darah dan merupakan penyebab utama endokarditis infektif spontan bila kuman-kuman ini bersarang pada katup-katup jantung yang abnormal. Beberapa streptokok viridians mensintesa polisakarida bermolekul besar, seperti dekstran atau levans dan penting dalam pembentukan karies gigi.

Streptokokus golongan D meliputi beberapa strain yang menghasilkan hemolisin alfa tetapi selebihnya berlaku sebagai enterokokus.

Streptokokus golongan N memiliki kemampuan hemolitik yang bervariasi. Kuman ini jarang ditemukan pada penyakit manusia tetapi menimbulkan koagulasi normal pada susu, kuman ini dinamakan pula streptokokus laktat.

III. Peptostreptokokus : kuman ini hanya tumbuh dalam keadaan anaerobic atau mikroaerofilik dan menimbulkan berbagai hemolisa. Kuman ini sering turut serta dalam infeksi campuran anaerobic dalam abdomen, pelvis, paru-paru, atau otak. Kuman ini merupakan anggota flora normal usus dan saluran kelamin wanita.

2. Penyakit AutoimunDalam keadaan normal, sistem imun dapat membedakan antigen tubuh sendiri dari antigen asing, karena tubuh mempunyai toleransi terhadap self antigen. tetapi pengalaman klinis menunjukkan bahwa adakalanya timbul reaksi autoimunitas.

Reaksi autoimiunitas adalah reaksi system imun terhadap antigen sel jaringan sendiri. Antigen tersebut disebut autoantigen, sedang antibody yang dibentuk disebut autoantibody. Sel autoreaktif adalah limfosit yang mempunyai reseptor untuk autoantigen. Bila sel tersebut memberikan respons autoimun, disebut sel limfosit reaktif (SLR). Pada orang normal , meskipun SLR berpasangan dengan autoantigen, tidak selalu terjadi respon autoimun, karena ada system yang mengontrol reaksi autoimun.

Kadang-kadang tidak jelas apakah autoantibody tersebut merupakan penyebab atau timbul sekunder akibat suatu penyakit. Oleh karena itu harus dibedakan antara fenomena autoimun dengan penyakit autoimun. Reaksi autoantibody dan autoantigen yang menimbulkan kerusakan jaringan dan gejala-gejala klinis disebut penyakit autoimun, sedangkan bila tidak disertai gejala klinis disebut fenomena autoimun.

Burnett mengajukan teori forbidden clones, yang menyatakan bahwa tubuh menjadi toleran terhadap jaringannya sendiri oleh karena sel-sel yang autoreaktif selama perkembangan embriologiknyaakan musnah.

A. Kriteria Penyakit Autoimun

Kriteria untuk menegakkan diagnosis penyakit autoimmun adalah sebagai berikut :

1.Penyakit timbul akibat adanya respons autoimun

2.Ditemukan autoantibody

3.Penyakit dpat ditimbulkan oleh bahan yang diduga merupakan antigen

4.Penyakit dapat dipindahkan dari satu binatang ke binatang yang lain melalui serum atau limfosit yang hidupB. Kriteria Autoimun

1. Autoantibodi atau sel T autoreaktif dengan spesifitas untuk organ yang terkena ditemukan pada penyakit

2. Autoantibodi dan atau sel T ditemukan dijaringa dengan cedera

3. Ambang autoantibodi atau respon sel T menggambarkan aktifitas penyakit

4. Penurunan respons autoimun memberikan perbaikan penyakit

5. Transfer antibodi atau sel T ke pejamu sekunder menimbulkan penyakit autoimun pada resipien

6. Imunisasi dengan autoantigen dan kemudian induksi respons autoimun menimbulkan penyakit.

C. Faktor Imun Yang Berperan Pada Autoimunitas

1. Sequestered antigen

Sequestered antigen adalah antigen sendiri yang karena letak antominya, tidak terpajan dengan sel B atau sel T dari sistem imun. Pada keadaan normal, sequestered antigen dilindungi dan tidak ditemukan untuk dikenal sistem imun.

2. Gangguan presentasi

Gangguan dapat terjadi pada presentasi antigen, infeksi yang meningkatkan respons MHC, kadar sitokin yang rendah (misalnya TGF-) dan gangguan respons terhadap IL-2.

3. Ekspresi MHC-II yang tidak benar

Eksperesi MHC-II yang tidak pada tempatnya itu yang biasanya hanya diekspresikan pada APC dapat mensesitasi sel Th terhadap peptida yang berasal dari sel B atau Tc atau Th1 terhadap sel antigen.

4. Aktivasi sel B poliklonal

Autoimunitas dapat terjadi oleh karena aktivasi sel B poliklonal oleh virus EBV (Epstein Barr Virus), LPS (lipopolisakarida) dan parasit malaria yang dapt merangsang sel B secara langsung yang menimbulkan autoimunitas.

5. Peran CD4 dan reseptor MHC

CD4 merupakan efektor utama pada penyakit autoimun. Penyakit dapat juga dicegah oleh antibodi CD4.

6. Keseimbangan Th1 dan Th2

Th1 menunjukkan peran pada autoimunitas, sedang Th2 tidak hanya melindungi terhadap induksi penyakit, tetapi juga terhadap progres penyakit

7. Sitokin pada autoimunitas

Gangguan mekanismenya menimbulkan upregulasi atau produksi sitokin yang tidak benar sehingga menimbulkan efek patofisiologik.D. Faktor lingkungan yang berperan dalam autoimunitas

Faktor-faktor lingkungan dapat memicu autoimunitas seperti mikroba, hormone, radiasi UV, oksigen radikal bebas, obat dan agen bahan lain seperti logam.

E. Kemiripan Molekular dan Infeksi

Hubungan antara infeksi mikroba (virus, bakteri) dan autoimunitas yang terjelas ditimblukan oleh adanya kemiripan (mimicracy).

F. Bakteri dan Autoimunitas

Conton penyakit autoimun yang ditimbulkan bakteri adalah demam reuma pasca infeksi streptokok yang disebabkan oleh antibody terhadap streptokok yang diikat jantung dan menimbulkan miokarditis. Homologi juga ditemukan antara antigen protein jantung dan antigen Klamidia dan Tripanosoma cruzi.

Keduanya berhubungan dengan miokarditis. Demam reuma adalah gejala sisa nonsupuratis penyakit Streptokok A, biasanya berupa faringitis dan manifestasi 2-4 minggu pasca infeksi akut. Ada tiga gejala utama yaitu artritis (tersering), karditis dan korea (gerakan tidak terkontrol, tidak teratur dari otot muka, lengan dan tungkai) yang dapat disertai gejala kulit berupa ruam tidak sakit dan nodul subkutan. Gejala-gejala tersebut biasanya timbul pada penderita yang menunjukkan beberapa gambaran klinis utama dan jarang terjadi sendiri.

Pada pemeriksaan imunologik ditemukan antibody yang bereaksi dengan protein M dan mikroba penyebab. Antigen streptokok tersebut memiliki epitope yang mirip dengan jaringan miokard jantung manusia dan antibody terhadap streptokok akan menyerang jantung (jaringan, katup). Pada pemeriksaan biopsy katup jantung ditemukan infiltrasi sel plasma, endapan antibody dan protein komplemen di jaringan. Antibodi terhadap antigen streptokok bereaksi silang dengan antigen otot jantung dan menimbulkan kerusakan dan penyakit demam reuma. Penyakit menghilang bila bakteri dieliminasi dan tidak terjadi produksi antibody.

G. Mekanisme Kerusakan Jaringan

Kerusakan pada penyakit autoimun terjadi melalui antibody (tipe II dan III), tipe IV yang mengaktifkan sel CD4+ atau sel CD8+.

Kerusakan organ dapat juga terjadi melalui autoantibodi yang mengikat tempat fungsional self antigen seperti reseptor hormone, reseptor neurotransmitor dan protein plasma. Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat efek ligan endogen untuk self protein yang menimbulkan gangguan fungsi tanpa terjadinya inflamasi atau kerusakan jaringan. Fenomena ini jelas terlihat pada autoimunitas endokrin dengan autoantibodi yang menyerupai atau menghambat efek hormone seperti TSH, yang menimbulkan aktivitas berlebihan atau kurang dari tiroid.

Banyak akibat yang berat dan ireversibel penyakit autoimun disebabkan oleh endapat matriks protein ekstraselular di organ yang terkena. Proses fibrosis ini dapat menimbulkan gangguan fungsi misalnya di paru (fibrosis paru), hati (sirosis), kulit (sclerosis sistemik) dan ginjal (fibrosis interstisial dan glomerular). Untuk fibrosis tidak ada pengobatan yang efektif.

H. Diagnosis autoimun1. Antibodi dalam serum

Menemukan auto-antibodi dalam serum umumnya dilakukan dengan 4 cara yaitu, RIA, ELISA, imunofluoresensi, elektroforesis countercurrent.

2. Imunofluoresensi

Imunofluorescent Technique digunakan untuk menemukan banyak autoantibodi dalam serum. Spesimen biopsi dapat diperiksa dengan cara imunohistikimia. Endapan imunoglobulin yang terjadi karena reaksi dngan organ atau antigen spesifik untuk jaringan.

3. Pemeriksaan komplemen

Meskipun kadar komplemen normal, namun konsumsinya dapat diketahui dengan mengukur pecahan atau produk aktivasinya.

I. Prinsip pengobatan penyakit autoimun

Pengobatan penyakit autoimun memiliki dua strategi utama yaitu, menekan respon imun atau menggantikan fungsi organ yang terganggu/rusak. Pada banyak penyakit organ spesifik, mengontrol metabolismenya biasanya sudah cukup.3. Reaksi Antigen-Antibodi

Antigen adalah bahan yang dapat diikat secara spesifik oleh molekul antibody atau molekul reseptor pada sel T. Antibodi dapat mengenal hamper setiap molekul biologic sebagai antigen seperti hasil metabolic hidrat arang, lipid, hormone,makromolekul kompleks hidrat arang,fosofolipid, asam nukleat dan protein.

Pengenalan antigen oleh antibody melibatkan ikatan non kovalen dan reversible. Berbagai jenis interaksi nonlovalen dapat berperan pada ikatan antigen seperti factor elektrostatik, ikatan hydrogen, interaksi hidrofobik dan lainnya. Kekuatan ikatan antara satu antibody dan epitop disebut afinitas antibody. Antigen polivalen mempunyai lebih dari satu determinan. Kekuatan ikatan antibody dengan epitop antigen keseluruhan disebut afiditas.

Antigen monovalen atau epitop masing masing pada permukaan sel, akan berinteraksi dengan masing masing ikatan tunggal molekul antibody. Meskipun afinitas interaksi tersebut dapat tinggi, avidiitas keseluruhan adalah rendah. Bila ditemukan banyak determinan yang cukup dekat pada permukaan sel,satu molekul igG mengikat 2 epitop yang menghasilkan aviditas yang lebih tinggi.

Antibodi merupakan komponen imunitas didapat yang melindungi tubuh terhadap infeksi mikroorganisme dan produknya yang toksik. Oleh karena itu interaksi antigen dan antibody sangat penting dan banyak digunakanin vitro untuk tujuan diagnostic.

Interaksi antara antigen dan antibody dapat menimbulkan berbagai akibat antara lain presipitasi

Produk Streptokokus yang antigenik secara difusi keluar dari sel-sel tenggorok dan merangsang jaringan limfoid untuk membentuk zat anti. Beberapa antigen Streptokokus, khususnya Streptolisin O dapat mengadakan reaksi silang dengan antigen jaringan tubuh sehingga terjadi reaksi antigen-antibodi antara zat anti terhadap Streptokokus dan jaringan tubuh.

Peran imunitas terhadap gejala yang dialami Ani

1. Respon hiperimun baik yang bersifat autoimun atau alergik

Penjelasan dari sudut imunologi ini dianggap sebagai penjelasan yang paling dapat diterima. Reaksi autoimun terhadap infeksi streptokokus secara hipotesis akan menyebabkan kerusakan jaringan atau manifestasi demam rematik, sebagai berikut :

a. Streptokokus grup A akan menyebabkan infeksi faring.

b. Antigen streptokokus akan menyebabkan pembentukan antibodi pada individu yang hiperimun.

c. Antibodi akan bereaksi dengan antigen streptokokus, dan dengan jaringan tubuh yang secara antigenik sama seperti streptokokus ( dengan kata lain : antibodi tidak dapat membedakan antara antigen streptokokus dengan antigen jaringan jantung ataupun jaringan tubuh yang lain ).

d. Auto antibodi tersebut bereaksi dengan jaringan tubuh sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

2. Efek langsung streptokokus atau toksinnya

Streptokokus mengeluarkan banyak toksin dan enzym ( produk ekstrasel ), yang akan berdifusi dari tempat infeksi, dan beberapa toksin seperti streptolisin merupakan kardiotoksik pada binatang. Akan tetapi tidak satupun dari toksin toksin ini mempunyai kerja toksik langsung pada manusia. Oleh karena banyak bahan ekstrasel bersifat antigenik dan merangsang timbulnya respon antibodi, maka satu keberatan terhadap teori toksin adalah kemungkinan pengaruh merugikan yang ditimbulkan oleh bahan-bahan ini akan dinetralisir oleh antibodi yang beredar. Akan tetapi, terdapat hipotesa bahwa satu dari produk ekstrasel tersebut, yaitu streptolisin O, dapat membentuk kompleks antigen-antibodi yang selanjutnya terurai, sehingga memungkinkan streptolisin O mewujudkan pengaruh toksiknya.3. Pemeriksaan LaboratoriumA. Spesimen

Spesimen diambil sesuai asal infeksi streptokokus. Uspan Tenggorok, pus atau darah diambil untuk biakan. Serum diambil unutk biakan. Serum diambil untuk penentuan antibody.

B. Sediaan Apus

Sediaan apus dari pus lebih sering memperlihatkan kokus tunggal atau berpasangan daripada rantai yang jelas. Kokus kadang bersifat gram negative karena organism tidak lagi aktif dan kehilangan kemampuannya untuk menahan pewarnaan biru sehingga tidak menjadi gram positif. Jika sediaan apus memperlihatkan streptokokus tetapi tidak tumbuh pada biakan, harus dicurigai organism anaerob. Sediaan usap tenggorok jarang membantu karena streptokokus selalu ada dan terlihat serupa dengan streptokkous grup A pada sediaan yang diwarnai.

C. Uji deteksi Antigen

Beberapa alat komersial tersedia untuk menguji antigen streptokokus A dari usapan tenggorokan secara cepat. Peralatan ini menggunakan metode enzimatik atau kimiawi untuk mengekstraksi antigen dari usapan , lalu menggunakan EIA atau tes aglutinasi untuk menunjukan adanya antigen. T

D. Pemeriksaan Serologi (ASTO)Titer ASTO positif bila besarnya 210 Todd pada orang dewasa dan 320 Todd pada anak anak,sedangkan titer untuk DNA se-B 120 Todd untuk orang dewasa dan 240 Todd untuk anak anak.

Telah diketahui bahwa ada hubungan antara penyakit demam rematik dengan infeksi Streptokokus beta hemolitikus grup A (1). Semula para ahli masih sangsi bahwa infeksi

Streptokokus dapat mengakibatkan timbulnya serangan demam rematik, karena banyak penderita demam rematik tanpa didahului tanda-tanda infeksi yang jelas. Streptokokus seperti kuman lain dapat merangsang timbulnya antibodi dalam serum penderita dan kadang-kadang menunjuk-kan gejala infeksi yang jelas.

Adanya data-data imunologik dalam serum penderita merupakan bukti telah terjadi infeksi oleh kuman tersebut. Stollerman melaporkan adanya titer antibodi Streptokokus yang tinggi pada penyakit demam rematik, yang timbul tiga sampai empat minggu setelah infeksi Streptokokus (10). Selain pada penyakit demam rematik pengukuran antibody Streptokokus ternyata juga mempunyai arti penting pada penyakit glomerulonegritis akuta, karena jenis tertentu dari penyakit tersebut sering disertai dengan titer antibodi Strepto- kokus yang tinggi Penetapan ASTO umumnya hanya memberi petunju bahwa telah terjadi infeksi oleh Streptokokus. Streptolisin bersifat sebagai hemolisin dan pemeriksaan ASTO umumnya berdasarkan sifat ini.

Ada beberapa cara penetapan ASTO, tetapi biasanya hanya merupakan modifikasi dari cara Todd yang asli; perbedaan hanya dalam pengenceran serum saja. Penetapan dengan pengenceran serum menurut Rantz dan Randall yang banyak dipakai menetapkan titer 100 IU sebagai keadaan tidak ada penyakit demam rematik atau glomerulonefritis akuta, sedangkan titer 250 IU atau lebih perlu waspada terhadap kemungkinan infeksi Streptokokus dan mungkin pencegahan terhadap timbulnya penyakit demam rematik dapat dilakukan lebih dini. Yang lebih penting di perhatikan adanya kenaikan titer. Meskipun semula tite rendah tetapi bila terjadi peningkatan dan tetap tinggi pada pemeriksaan berikutnya, adanya infeksi oleh Streptokokus perlu dipikirkan

Tujuan

Untuk mengidentifikasi klien yang rentan terhadap gangguan autoimun spesifik (mis. Penyakit kolagen).

Untuk membantu memastikan efek streptokokus beta hemolitik dalam menyekresi enzim O streptolisin.Prinsip

Terbentuknya aglutinasi sebagai hasil reaksi antara serum yang mengandung antibody ASTO dengan suspensi latex yang mengandung partikel yang dilapis dengan streptolysin O yang dimurnikan ddan distabilkan.

Masalah Klinis

Penurunan kadar : pengaruh obat misal, antibiotic

Peningkatan kadar : demam rematik akut, glomerulonefritis akut, infeksi streptokokus pada saluran pernapasan atas, arthritis rheumatoid (kadang agak naik), penyakit hati disertai dengan hiperglobulinemia, penyakit kolagen (kadarnya agak naik).

Prosedur

Kumpulkan 3 sampai 5 mL darah vena dalam tabung bertutup merah. Cegah hemolisis.

Tidak ada pembatasan asupan makanan ataupun minuman.

Pengulangan pemeriksaan ASO (seklai atau dua kali dalam seminggu) dapat dianjurkan untuk memastikan kadar peningkatan paling tinggi.Metode AglutinasiFaktor yang Memengaruhi Temuan Laboratorium

Terapi antibiotic dapat menurunkan respon antibiotic.

Peningkatan kadar dapat terjadi pada manusia yang sehat (carrier).

IMPLIKASI KEPERAWATAN DAN RASIONAL

Perhatikan, terapi antibiotic dapat mengurangi respons antibody.

Peningkatan Kadar

Periksa kadar ASO serum jika klien mengeluh nyeri pada persendian ekstremitas. Peningkatan kadar yang tinggi dapat menjadi penanda demam reumatik akut, dan peningkatan yang sedikit dapat menjadi penanda terjadinya RA.

Periksa haluaran urine jika ASO serum meningkat. Volume haluaran urine yang kurang dari 600 mL/24 jam dapat dikaitkan dengan glomerulonefritis akut.

Penyuluhan Klien

Anjurkan pada klien dan keluarganya untuk menjalani pemeriksaan streptokokus beta hemolitikus dengan cara pengambilan kultur tenggorok jika klien mengalami sakit tenggorok. Pengambilan kultur tenggorok mungkin perlu diulangi jika sakit tenggorok tidak mereda.Pemeriksaan Penunjang

a. Pemeriksaan darah : Peningkatan LED, meningkatnya C-reaktif protein, Lekositosis, nilai hemoglobin dapat rendah

b. Pemeriksaan bakteriologi : Biakan hapus tenggorokan untuk membuktikan adanya streptococcus.

c. Pemeriksaan serologi : Diukur titer ASTO (positif antistretolysin titer O), astistreptokinase, anti hyaluronidase (meningkatnya anti hyaluronidase), Positif stretozyme positif anti uji DNAase B.

d. Pemeriksaan radiologi: Elektrokardiogram yang menunjukkan aritmia E, ekokardiografi untuk menunjukkan pembesaran jantung dan lesi. Foto rontgen untuk menunjukkan kardiomegali

5. Demam RheumatikDefinisiSindrom klinis sebagai komplikasi infeksi beta Streptokokkus hemolyticus grup A, dengan satu atau lebih gejala mayor : poliartritis migrans akut, karditis, korea minor, nodul subkutan dan eritema marginatum.

Etiologi dan factor predisposisiDemam reumatik, seperti halnya dengan penyakit lain, merupakan akibat interaksi individu, penyebab penyakit, dan factor lingkungan. Penyakit ini sangat berhubungan erat dengan infeksii saluran nafas bagian atas oleh Streptokokkus beta hemolyticus grup A.

Faktor predisposisi yang berpengaruh pada timbulnya demam reumatik dapat dibagii menjadi factor pada pejamu dan factor lingkungan. Faktor pada pejamu mencakup: (1) Faktor genetic; banyak demam reumatik pada satu keluarga atau pada saudara kembar. (2) Jenis kelamin; dahulu disangka anak perempuan lebih sering terkena demam reumatik daripada anak lelaki, namun ternyata hal tersebut tidak benar. Jenis kelamin memang berpengaruh pada kelainan katup; stenosis mitral lebih sering pada pasien perempuan, sedangkan insufisiensi aorta lebih sering terjadi pada lelaki. (3) Golongan etnis dan ras. (4) Umur. Umur merupakan factor terpenting pada timbulnya demam reumatik. Penyakit ini paling sering mengenai anak umur antara 5-15 tahun, dengan puncak sekitar umur 8 tahun, tidak biasa ditemukan pada anak berumur 3-5 tahun, dan sangat jarang sebelum anak berumur 3 tahun atau setelah 20 tahun. (5) Status gizi. (6) Faktor lingkungan termasuk: Keadaan social ekonomi yang buruk, iklim dan geografi, serta cuaca.PatogenesisMekanisme terjadinya demam reumatik yang pasti belum diketahui. Pada umumnya para ahli sependapat bahwa demam reumatik termasuk dalam penyakit autoimun. Streptokokkus diketahui dapat menghasilkan tidak kurang 20 produk eksternal, yang terpenting diantaranya adalah streptolisin O,streptolisin S, hialuronidase, streptokinase, difosforididin nukleotidase, deoksiribonuklease, serta streptococcal erythrogenic toxin. Berbagai produk tersebut merangsang timbulnya antibodi. Demam reumatik diduga merupakan akibat kepekaan tubuh berlebihan terhadap beberapa produk ini. Kaplan mengemukakan hipotesis tentang adanya reaksi silang antibody terhadap streptokokkus dengan otot jantung yang mempunyai susunan antigen mirip antigen streptokokkus, hal inilah yang menyebabkan reaksi autoimun.

Antibodi streptolisin O (ASTO) merupakan antibody yang paling sering digunakan untuk indicator terhadap infeksi streptokokkus. Lebih dari 80 % pasien menunjukkan kenaikan titer ASTO ini, bila dilakukan pemeriksaan terhadap 3 antibodi terhadap streptokokkus.

Manifestasi klinis

Perjalanan klinis penyakit demam reumatik dibagi dalam 4 stadium

Stadium 1Stadium ini berupa infeksi saluran nafas bagian atas oleh kuman beta Streptokokkus hemolyticua grup A. Seperti infeksi saluran nafas pada umumnya, gejala yang terjadi termasuk demam, batuk, disfagia, tidak jarang disertai muntah dan bahkan pada anak kecil dapat terjadi diare. Pada pemeriksaan fisik sering dadapatkan eksudat di tonsil yang menyertai tanda peradangan lainnya. Kelenjar getah bening submandibular sering kali memebesar. Infeksi ini berlangsung 2-4 hari, dan sembuh sendiri tanpa pengobatan.

Stadium 2Disebut juga periode laten, adalah masa antara infeksi streptokokkus dengan permulaan gejala demam reumatik. Biasanya periode ini berlangsunfg 1-3 minggu, kecuali korea yang dapat timbul 6 minggu atau bahkan berbulan-bulan kemudian.

Stadium 3Fase akut demam reumatik, saat timbulnya pelbagai manifestasi klinis demam reumatik. Manifestasi klinis tersebut dapat di golongkan dalam gejala peradangan umum dan manifestasi spesifik demam reumatik

Gejala peradangan umum

1. Demam yang tidak tinggi, tanpa pola demam tertentu

2. Anak menjadi lesu, anoreksia, dan berat badan menurun

3. Anak tampak pucat karena anemia akibat tertekannya eritropoiesis, bertambahnya volume plasma serta memendeknya umur eritrosit

4. Artralgia, sakit perut

5. Pemeriksaan laboratorium didapatkan tanda-tanda reaksi peradangan akut berupa C-reaktif protein dan leukositosis serta meningginya LED, titer ASTO meninggi pada kira-kira *)%, pemeriksaan EKG Dijumpai pemenjangan interval P-R.

Manifestasi spesifik (mayor) :

1. Artritis Sendi yang terkena menunjukkan gejala-gejala radang yang jelas seperti bengkak, merah, panas sekitar sendi, dan terjadi gangguan fungsi sendi. Yang paling mencolok adalah rasa nyerinya, yang kelihatan tidak proporsional dengan kelainan obyektif yang ada.Kelainan pada setiap sendi akan menghilang sendiri tanpa pengobatan dalam beberapa hari sampai 1 minggu, dan seluruh gejala sendi hilang dalam waktu 5 minggu.

2. KarditisProses peradangan aktif yang mengenai endokardium, miokardium, dan pericardium. Karditis dapat meninggalkan gejala sisa, terutama katup jantung. Yang paling sering ditemukan bising sistol apical yang menjalar ke aksila.

3. KoreaGerakan-gerakan cepat , bilateral, tanpa tujuan dan sukar dikendalikan, seringkali disertai kelemahan otot.4. Eritema marginatumBerupa bercak-bercak merah muda dengan bagian tengahnya pucat sedangkan tepinya berbatas tegas, berbentuk bulat atau bergelombang, tanpa indurasi dan tidak gatal. Tempatnya berpindah-pindah di kulit dada dan bagian dalam lengan atas dan paha, tetapi tidk pernah terdapat dikulit muka.

5. Nodul subkutanTerletak dibawah kulit, keras, tidak terasa sakit, berukuran antara 3-10 mm, biasanya terdapat dii bagian ekstensor persendian terutama sendi siku, lutut, pergelangan tangan dan kaki, daerah suboksipital dan diatas prosessus spinosus vertebralis torakalis dan lumbalis

Stadium 4Disebut juga stadium inaktif. Pada stadium ini penderita demam reumatik tanpa kelainan jantung atau penderita penyakit jantung rematik tanpa gejala sisa katup tidak menunjukkan gejala apa-apa.

Pada penderita penyakit jantung rematik dengan gejala sisa kelainan katup jantung, gejala yang timbul sesuai dengan jenis serta beratnya kelainan. Pada fase ini penderita demam rematik maupun penyakit jantung rematik sewaktu-waktu dapat mengalami reaktivasi.Kriteria Jones (revisi) untuk pedoman diagnosis demam reumatik :Adanya dua kriteria mayor, atau salah satu kriteria mayor dan dua kriteria minor, menunjukkan kemungkinan besar demam reumatik akut, jika didukung oleh bukti adanya infeksi Streptococcus Group A sebelumnya.

Manifestasi MayorManifestasi MinorDiagnosis tambahan

Karditis

Poliartritis

Korea

Eritema marginatum Nodulus subcutanKlinik :

- Riwayat demam reumatik akut atau penyakit jantung rematik- Atralgia

- Demam

Lab : Reaktan fase akut

Laju endap darah (LED)

Protein C reaktif (CRP)

Leukositosis

EKG : Pemanjangan interval P-RBukti adanya infeksi streptokokus : Kenaikan titer antibodi antistreptokokus :ASTO/ lainnya.

Biakan faring positif untuk streptokokus group A .

Demam skarlatina yang baru.

Penatalaksanaan

1. Eradikasi kuman Streptococcus beta hemolyticus grup APengobatan yang adekuat terhadap infeksi Streptococcus harus segera dilaksanakan setelah diagnosis ditegakkan. Cara pemusnahan streptococcus dari tonsil dan faring sama dengan cara untuk pengobatan faringitis streptococcus yakni pemberian penisilin benzatin intramuskular dengan dosis 1,2 juta unit untuk pasien dengan berat badan > 30 kg atau 600 000-900 000 unit untuk pasien dengan berat badan < 30 kg. Penisilin oral, 400 000 unit (250 mg) diberikan empat kali sehari selama 10 hari dapat digunakan sebagai alternatif. Eritromisin, 50 mg/kg BB sehari dibagi dalam 4 dosis yang sama dengan maximum 250 mg 4 kali sehari selama 10 hari dianjurkan untuk pasien yang alergi penisilin. Obat lain seperti sefalosporin yang diberikan dua kali sehari selama 10 hari juga efektif untuk pengobatan faringitis streptokokus. Penisilin benzatin yang berdaya lama lebih disukai dokter karena reliabilitasnya serta efektifitasnya untuk profilaksis infeksi streptokokus

2. Obat analgesik dan anti-inflamasiPengobatan anti-radang amat efektif dalam menekan manifestasi radang akut demam reumatik, sedemikian baiknya sehingga respons yang cepat dari artritis terhadap salisitas dapat membantu diagnosis1.

Pasien dengan artritis yang pasti harus diobati dengan aspirin dalam dosis total 100 mg/kgBB/ hari, maximum 6 g per hari dosis terbagi selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/ hari selama 2-6 minggu berikutnya. Kadang diperlukan dosis yang lebih besar. Harus diingatkan kemungkinan keracunan salisilat, yang ditandai dengan tinitus dan hiperpne

Pada pasien karditis, terutama jika ada kardiomegali atau gagal jantung aspirin seringkali tidak cukup untuk mengendalikan demam, rasa tidak enak serta takikardia, kecuali dengan dosis toksik atau mendekati toksik. Pasien ini harus ditangani dengan steroid; prednison adalah steroid terpilih, mulai dengan dosis 2 mg/kgBB/hari dengan dosis terbagi, maximum 80 mg per hari. Pada kasus yang sangat akut dan parah, terapi harus dimulai dengan metilprednisolon intravena (10-40 mg), diikuti dengan prednison oral. Sesudah 2-3 minggu prednison dapat dikurangi terhadap dengan pengurangan dosis harian sebanyak 5 mg setiap 2-3 hari. Bila penurunan ini dimulai, aspirin dengan dosis 75 mg/kgBB/hari harus ditambahkan dan dilanjutkan selama 6 minggu setelah prednison dihentikan. Terapi tumpang tindih ini dapat mengurangi insidens rebound klinis pascaterapi, yaitu munculnya kembali manifestasi klinis segera sesudah terapi dihentikan, atau sementara prednison diturunkan, tanpa infeksi streptokokus baru. Steroid dianjurkan untuk pasien dengan karditis karena kesan klinis bahwa pasien berespons lebih baik, demikian pula gagal jantung pun berespons lebih cepat daripada dengan salisilat1,2.

OBAT ANTIRADANG YANG DIANJURKAN PADAMANIFESTASI KLINISPENGOBATAN

Artralgia Hanya analgesik (misal asetaminofen).

ArtritisSalisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya

Artritis + karditis tanpa kardiomegaliSalisilat 100 mg/kgBB/hari selama 2 minggu, dan 75 mg/kgBB/hari selama 4 minggu berikutnya

Artritis + karditis + kardiomegaliPrednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu dan diturunkan sedikit demi sedikit (tapering off) 2 minggu; salisilat 75 mg/kgBB/hari mulai awal minggu ke 3 selama 6 minggu

3. DietBentuk dan jenis makanan disesuaikan dengan keadaan penderita. Pada sebagian besar kasus cukup diberikan makanan biasa, cukup kalori dan protein. Tambahan vitamin dapat dibenarkan. Bila terdapat gagal jantung, diet disesuaikan dengan diet untuk gagal jantung yaitu cairan dan garam sebaiknya dibatasi3,9.

4. Tirah Baring dan mobilisasiSemua pasien demam reumatik akut harus tirah baring, jika mungkin di rumah sakit. Pasien harus diperiksa tiap hari untuk menemukan valvulitis dan untuk mulai pengobatan dini bila terdapat gagal jantung. Karditis hampir selalu terjadi dalam 2-3 minggu sejak dari awal serangan, hingga pengamatan yang ketat harus dilakukan selama masa tersebut. Sesudah itu lama dan tingkat tirah baring bervariasi. Tabel 4 merupakan pedoman umum; tidak ada penelitian acak terkendali untuk mendukung rekomendasi ini. Hal penting adalah bahwa tata laksana harus disesuaikan dengan manifestasi penyakit, sedang pembatasan aktivitas fisis yang lama harus dihindari.

PEDOMAN ISTIRAHAT DAN MOBILISASI PENDERITA DEMAM REUMATIK/PENYAKIT JANTUNG REUMATIK AKUT (Markowitz dan Gordis, 1972)ArtritisKarditis minimalKarditis tanpa kardiomegaliKarditis + kardiomegali

Tirah baring2 minggu3 minggu6 minggu3-6 bulan

Mobilisasi bertahap di ruangan2 minggu3 minggu6 minggu3 bulan

Mobilisasi bertahap di luar ruangan3 minggu4 minggu3 bulan3 bulan atau lebih

Semua kegiatanSesudah 6-8 mingguSesudah 10 mingguSesudah 6 bulanbervariasi

5. Pengobatan lain5.1 Pengobatan KarditisPengobatan karditis reumatik ini tetap paling kontroversial, terutama dalam hal pemilihan pasien untuk diobati dengan aspirin atau harus dengan steroid. Meski banyak dokter secara rutin menggunakan steroid untuk semua pasien dengan kelainan jantung, penelitian tidak menunjukkan bahwa steroid lebih bermanfaat daripada salisilat pada pasien karditis ringan atau sedang. Rekomendasi untuk menggunakan steroid pada pasien pankarditis berasal dari kesan klinis bahwa terapi ini dapat menyelamatkan pasien.

Digitalis diberikan pada pasien dengan karditis yang berat dan dengan gagal jantung; digoksin lebih disukai dipakai pada anak. Dosis digitalisasi total adalah 0,04 sampai 0,06 mg/kg, dengan dosis maximum 1,5 mg. Dosis rumatnya adalah antara sepertiga samapai seperlima dosis digitalisasi total, diberikan dua kali sehari. Karena beberapa pasien miokarditis sensitif terhadap digitalis, maka dianjurkan pemberian diitalisasi lambat. Penggunaan obat jantung alternatif atau tambahan dipertimbangkan bila pasien tidak berespons terhadap digitalis.

5.2 Pengobatan Korea SydenhamPasien korea yang ringan pada umumnya hanya memerlukan tirah baring. Pada kasus yang lebih berat, obat antikonvulsan mungkin dapat mengendalikan korea. Obat ini sangat bervariasi. Fenobarbital diberikan dalam dosis 15-30 mg tiap 6 sampai 8 jam. Haloperidol dimulai dengan dosis rendah (0,5 mg), kemudian dinaikkan sampai 2 mg tiap 8 jam. Obat antiradang tidak diperlukan pada korea, kecuali pada kasus yang sangat berat, dapat diberi steroid3.

Pencegahan SekunderCara pencegahan sekunder yang diajukan The American Heart Association dan WHO tertera pada tabel 5. Pemberian suntikan penisilin berdaya lama setiap bulan adalah cara yang paling dapat dipercaya. Pada keadaan-keadaan khusus, atau pada pasien dengan resiko tinggi, suntikan diberikan setiap 3 minggu. Meskipun nyeri suntikan dapat berlangsung lama, pasien yang lebih tua lebih suka cara ini karena dapat dengan mudah teratur melakukanya satu kali setiap 3 atau 4 minggu, dibanding dengan tablet penisilin oral yang harus setiap hari. Preparat sulfa yang tidak efektif untuk pencegahan primer (terapi faringitis), terbukti lebih efektif daripada penisilin oral untuk pencegahan sekunder. Sulfadiazin juga jauh lebih murah daripada eritromisin. Lama pemberian pencegahan sekunder sangat bervariasi, bergantung pada pelbagai faktor, termasuk waktu serangan atau serangan ulang, umur pasien, dan keadaan lingkungan. Makin muda saat serangan makin besar kemungkinan kumat; setelah pubertas kemungkinan kumat cenderung menurun. Sebagian besar kumat terjadi dalam 5 tahun pertama sesudah serangan terakhir. Pasien dengan karditis lebih mungkin kumat daripada pasien tanpa karditis.

JADWAL YANG DIANJURKAN UNTUK PENGOBATAN DAN UNTUK PENCEGAHAN INFEKSI STREPTOKOKUSPENGOBATAN FARINGITIS (PENCEGAHAN PRIMER)PENCEGAHAN INFEKSI(PENCEGAHAN SEKUNDER)

1. Penisilin benzatin G IM

a. 600 000-900 000 unit untuk pasien < 30 kg

b. 1 200 00 unit pasien > 30 kg

2. Penisilin V oral:

250 mg, 3 atau 4 kali sehari selama 10 hari

3. Eritromisin:

40 mg/kg/hari dibagi dalam 2-4 kali dosis sehari (dosis maximum 1 g/hari) selama 10 hari

1. Penisilin benzatin G IM

a. 600 000-900 000 unit untuk pasien < 30 kg setiap 3-4 minggu

b. 1 200 00 unit pasien > 30 kg setiap 3-4 minggu

2. Penisilin V oral:

250 mg, dua kali sehari

3. Eritromisin:

250 mg, dua kali sehari

4. Sulfadiazin:

0,5 g untuk pasien < 30 kg sekali sehari

1 g untuk pasien > 30 kg sekali sehari

Dari hasil diskusi lebih lanjut, kami menyimpulkan bahwa hipotesis kami pada tutorial pertama salah. Maka kami memutuskan Ani 9 tahun, menderita demam reumatik, karena reaksi autoimun yang disebabkan oleh infeksi Streptococcus beta-hemolitik tipe A sebagai kesimpulan kelompok kami.

DAFTAR PUSTAKAhttp://www.sumeks.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=3614:sakit-saat-menelan-awas-radang-tenggorokan&catid=92:hidup-sehat&Itemid=123

http://www.dokterjaga.net/mengenali-ciri-ciri-penyakit-autoimun-148.htmlhttp://id.shvoong.com/medicine-and-health/imuunology/2140482-penyakit-autoimun/#ixzz1PAU44FSL

http://id.wikipedia.org/wiki/Imunitas#Gangguan_pada_imunitas

http://www.beritaindonesia.co.id/kesehatan/berawal-dari-sakit-tenggorokanhttp://analisqmateri.blogspot.com/2011/05/pemeriksaan-reumatik-asto.htmlhttp://labkesehatan.blogspot.com/2009/12/laju-endap-darah-led.htmlhttps://usebrains.wordpress.com/2008/10/04/demam-rematik-akut/#commentsAUTOIMUNITAS askep askeb | asuhan-keperawatan-kebidanan.co.cchttp://astrosit.blogspot.com/2010/05/teori-demam-reumatik.html

Prescott, Lansing M. Microbiologi, Fifth Edition. 2002. The McGraw-Hill Companies: America.

Kumar, Vinay, Cotran, Ramzi S. Buku Ajar Patologivolume 1, edisi 7. 2007. EGC: Jakarta.

Underwood, J.C.E. Patologi Umum dan Sistematik. 1996. EGC: Jakarta.

Price, Wilson. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit vol.2, edisi 6. EGC, Jakarta.

Staf Pengajar Ilmu Kesehatan anak Fakultas Kedokteran Indonesia (1985). Ilmu Kesehatan Anak 2. Jakarta: Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Baratawidjaja, Karnen Garna., Iris Rengganis (2009). Imunologi Dasar. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Wikipedia. Streptococcus Pyogenes. From http://id.wikipedia.org/wiki/Streptococcus_pyogenes , from 14 Juni 2011.

Makrofag dan PMN ()

Fibrositosis

Nekrosis

Permeabilitas vaskular berubah

Infeksi Bakteri Streptococcus Group A

Vasokontriksi

Akut

Kronik

Inflamatory response

Sel M

Molecular mimicry

Lutut tampak ruam

Reaksi autoimun

Asimptomatis

Bakteri laten

Respon imun terhadap antigen

Sakit tenggorokan

Demam

Menempel di nasofaring

Exotoksin pyrogenic A, B, C

Asam Lipoteichoic

Protein F

Karditis

Sinovial bengkak (bengkak sendi)

Arthritis

Nodul subcutan

Penumpukan kompleks imun

Demam Reumatik

47