Skenario 2 Blok Traumatologi

57
BAB I PENDAHULUAN Kecelakaan Sepeda Motor Wanita 25 tahun, kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit, saat o s mengendarai sepeda motor, o s bertabrakan dengan sepeda motor lain dari arah berlawanan, o s terjatuh dengan dada terbentur stang sepeda motor. Tidak ada riwayat pingsan, muntah (-). O s mengeluh sesak nafas yang memberat disertai nyeri dada kanan dan perut sebelah kanan. O s dibawa ke puskesmas kemudian dirujuk ke Rumah Sakit. Vital sign, RR: 44 x/menit, nadi: 116 x/menit, regular, lemah, akral dingin. TD 90/50 mmHg. Dokter jaga yang bertugas di IGD, segera melakukan Primary survey , dan didapatkan: AIRWAY (A) Airway bebas. Dokter memasang collar brace dan memberikan oksigen 10-12 lt/menit dengan masker (Nonbreathing mask). BREATHING (B) JVP meningkat, trachea bergeser ke kiri, RR: 44 x/menit, tampak sianotik. Pada inspeksi, terdapat jejas di hemithorax kanan depan (dada). Pengembangan dinding

Transcript of Skenario 2 Blok Traumatologi

Page 1: Skenario 2 Blok Traumatologi

BAB I

PENDAHULUAN

Kecelakaan Sepeda Motor

Wanita 25 tahun, kurang lebih 4 jam sebelum masuk rumah sakit, saat o s

mengendarai sepeda motor, o s bertabrakan dengan sepeda motor lain dari arah

berlawanan, o s terjatuh dengan dada terbentur stang sepeda motor. Tidak ada riwayat

pingsan, muntah (-). O s mengeluh sesak nafas yang memberat disertai nyeri dada

kanan dan perut sebelah kanan. O s dibawa ke puskesmas kemudian dirujuk ke

Rumah Sakit. Vital sign, RR: 44 x/menit, nadi: 116 x/menit, regular, lemah, akral

dingin. TD 90/50 mmHg. Dokter jaga yang bertugas di IGD, segera melakukan

Primary survey, dan didapatkan:

AIRWAY (A)

Airway bebas. Dokter memasang collar brace dan memberikan oksigen 10-12

lt/menit dengan masker (Nonbreathing mask).

BREATHING (B)

JVP meningkat, trachea bergeser ke kiri, RR: 44 x/menit, tampak sianotik.

Pada inspeksi, terdapat jejas di hemithorax kanan depan (dada). Pengembangan

dinding dada kanan tertinggal. Retraksi suprasternal. Pada palpasi terdapat

pengembangan dada kanan tertinggal. Pada perkusi terdapat hipersonor dada kanan.

Auskultasi terdengar suara dasar vesikuler dada kanan hilang. Suara jantung normal,

letak bergeser semakin ke kiri. Setelah itu dokter segera melakukan needle

thoracocentesis, dilanjutkan pemasangan chest tube/water seal drainage (WSD).

Page 2: Skenario 2 Blok Traumatologi

CIRCULATION (C)

Setelah tindakan “breathing”, dilakukan pengukuran VS ulang dan didapatkan

tekanan darah 110/70 mmHg, nadi 90 x/menit regular, akral hangat. Dilakukan

pemasangan infuse, diberikan cairan Ringer Laktat dengan jumlah tetesan

maintenance. Dilakukan pemasangan kateter untuk monitoring, produksi urin initial

150 cc kemerahan.

DISABILITY (D):

GCS 15, pupil bulat, isokor, reflek cahaya +/+

ENVIROMENT / EXPOSSURE (E)

Semua pakaian pasien dibuka untuk menilai apakah ada kelainan lain yang

sifatnya life threatening. Setelah itu pasien diselimuti untuk mencegah hypothermia.

ADJUNCT PRIMARY SURVAY:

Dilakukan pemeriksaan foto rontgen cervical lateral, thoraks AP dan pelvis

AP. Pada foto rontgen thoraks AP, didapatkan hematothoraks kanan. Foto rontgen

pelvis dan cervical dalam batas normal.

Secondary Survey

Dilakukan head to toe examination. Pada pemeriksaan abdomen didapatkan

jejas di abdomen kanan atas, disertai nyeri tekan tanpa tanda rangsang peritoneal

(defans muskuler), bising usus dalam batas normal. Pelvis tidak ada kelainan.

Dilakukan log roll, tidak didapatkan jejas di flank kanan maupun kiri. Ekstremitas

dalam batas normal. Hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan hasil: Hb 10,9 ;

trombosit 159.000 ; urinanalisis didapatkan eritrosit dalam urin 30-40/mm3.

Page 3: Skenario 2 Blok Traumatologi

Dokter merujuk pasien ke Rumah Sakit Rujukan daerah (Bedah Thoraks, Bedah

Digestif, Bedah Urologi).

Page 4: Skenario 2 Blok Traumatologi

BAB II

DISKUSI DAN TINJAUAN PUSTAKA

A. DISKUSI

1. Klarifikasi Istilah

a) Needle thoracocentesis : Pungsi bedah dinding dada untuk aspirasi cairan

b) Non rebreathing mask : masker yang ada katup sehingga udara inspirasi

maupun ekspirasi tidak tercampur sehingga kadar O2 meningkat

c) Lock roll : usaha yang dilakukan oleh 2-3 orang untuk

mereposisi/mengetahui ada tidaknya luka di punggung

d) Tetesan maintenance : jumlah tetetasan yang dipertahankan agar kondisi

tubuh terjaga

e) Produksi urin initial : urin yang pertama kali keluar setelah di pasang kateter

f) Defans muskular : kekakuan pada muskulus-muskulus di abdomen yang

merupakan suatu tanda peritonitis

g) Jejes di flank kanan maupun kiri : ada suatu luka di bagian punggung

2. Rumusan Masalah

a) Bagaimana interpretasi primary survey, adjunct primary survey, dan

secondary survey ?

b) Mengapa pada pasien tekanan darah dan nadi membaik, beserta perubahan

akral hangat dingin menjadi akral hangat?

c) Apakah indikasi dan kontraindikasi needle thoracocentesis?

d) Apakah indikasi pemasangan/pemberian O2 dengan masker?

e) Apakah indikasi pemasangan kateteter?

f) Bagaimana interpretasi pemerikasaan Laboratorium (Hb, Trombosit, dan

Urinalisis) ?

Page 5: Skenario 2 Blok Traumatologi

g) Bagaimanan diagnosis, DD, beserta prognosis pasien?

h) Mengapa pasien ini dirujuk ke bagian bedah thorax, bedah digestif, dan

bedah urologi?

3. Brainstorming

a) Pada skenario 2 ini ditemukan pasien trauma bagian thorax dengan riwayat

kecelakan sepeda motor. Menurut skenario bahwa pasien ini bertabrakan

dengan motor lain dari arah berlawanan dan terjatuh dengan dada terbentur

stang motor. Dengan riwayat terbentur di bagian thorax, kita harus waspada

terhadap keruskan organ-organ di regio thorax beserta komplikasi-

komplikasi yang bisa timbul. Walaupun dengan riwayat trauma regio thorax,

kita juga harus waspada terhadap kemungkinan terjadinya trauma pada regio

abdomen pasien ini. Pada saat dibawa ke puskesmas, kondisi pasien dengan

takikardi, nadi reguler, lemah, dan akral dingin yang menandakan bahwa

pasien ini mengalami gangguan sirkulasi darah ke perifer sehingga tubuh

mengkompensasi dengan adanya takikardi. Pasien juga mengeluh sesak

napas yang memberat yang juga menandakan suatu progress progesif yang

memerlukan tindakan segera.

1) Airway : Dokter memasang collar brace, sebab ini sudah merupakan

suatu protokoler pada pasien dengan riwayat trauma. Proteksi terhadap

vertebra servikalis merupakan suatu hal yang penting. Selain itu dalam

penilaian airway yang pertama dinilai adalah kelancaran jalan napas

pasien itu sendiri. Pada skenario ini, dokter puskesmas memberikan

oksigen 10-12 lt/menit dan ini dinilai sudah tepat untuk kondisi seperti

pada skenario

2) Breathing : pada pemerikasaan brething, seyogyanya pakaian pasien

dibuka dan dilihat pergerakan pernapasan dan melakukan penilaian

terhadap vena-vena leher. Sianosis pada pasien merupakan suatu gejala

Page 6: Skenario 2 Blok Traumatologi

hipoksia yang lanjut pada pasien trauma. Jenis trauma toraks dan yang

mempengaruhi breathing adalah keadaan-keadaan dibawah ini

a. Hematothorax : terkumpulnya darah dengan cepat di dalam

rongga pleura. Hal ini dapat diakibatkan oleh suatu kedaan

seperti fraktur iga sehingga iga menusuk iga sehingga rongga

pleura terisi dengan darah. Tanda-tanda yang muncul pada kasus

hematothorax ialah seperti suara redup saat di perkusi dan suara

auskultasi yang menurun

b. Pneumothorax : yaitu suatu keadaan dimana rongga pleura terisis

oleh udara. Bisa disebabkan oleh kedaan trauma maupun non

trauma. Keadaan trauma seperti fraktur iga, sehingga tertusuk

dan rongga pleura terisi udara sehingga menyebabkan tekanan

udara sama di atmosfir sehingga terjadi dekompresi paru.

Keadaan non trauma dapat dibagi menjadi primer yang

merupakkan pneumothorax yang tidak disebabkan oleh penyakit

dan yang sekunder yang disbebakan oleh penyakit.

c. Tension pneumothorax

Tension pneumothorax berkembang ketika terjadi one oway

valve, kebocoran udara yang berasal dari paru-paru atau keluar

lagi (one way valve). Akibat udara yang masuk ke rongga pleura

yang tidak dapat keluar lagi, maka tekanan di intapreural akan

meninggi, paru-paru menjadi kolaps, mediastinum terdorong

kesisi berlawanan dan menghambat darah vena ke jantung, serta

akan menekan paru kontralateral. Terapi definitif untuk tension

pneumothorax dengan pemasangan chest tube pada sela iga ke 5

diantara garis anterior dan midaxillaris.

3) Diasbility : didapatkan GCS normal, pupil bulat, isokor, reflex cahaya

+/+ yang kesemua ini menandakan suatu keadaan normal

Page 7: Skenario 2 Blok Traumatologi

4) Environment/Expossure, prinsip pada tahapan ini adalah mencegah

pasien hipotermia

b) Pada adjunct Primary Survey, pasien dilakukan photo rontgen cervical

lateral, thorax AP, dan pelvis AP. Pada photo thorax AP,didapatkan

hematothorax kanan yang menandakan adanya darah di cavitas lapang paru

kanan. Pemakaian photo rontgen harus selektif dan jangan menganggu

proses resusitasi.

c) Pada secondary survey dilakukan pemeriksaan head to toe. Pemeriksaan

abdomen didapatkan jejas di abdomen kanan yang menandakan terdapatnya

trauma pada cavitas abdomen, namun tidak didapatkan defans muskular atau

suatu tanda dari peritonitis. Secara keseluruhan pemeriksaan head to toe ini

masih dalam batas yang normal, namun kita harus tetap melakukan evaluasi

dan bisa dilakukan pemeriksaan tambahan untuk lebih memastikan ada

tidaknya gangguan, pemeriksaan tersebut meliputi seperti USG yang

dilakukan apabila tekanan darah pasien normal atau juga bisa dilakukan CT

Scan,namun CT scan ini tidak bisa dilakukan apabila dalam pemeriksaan

tekanan darah ditemukan tidak normal.

4. Learning Objectives (LO)

a. Mengetahui interpretasi dari Primary Survey, Adjunct primary survey, serta

secondary survey pasien

b. Mengetahui indikasi pemasangan needle thoracocentesis, kateter, dan

pemasangan O2

c. Mengetahui intrepretasi dari pemeriksaan laboratorium pasien.

d. Mengetahui diagnosis, DD, serta prognosis

e. Mengetahui indikasi rujukan pasien.

Page 8: Skenario 2 Blok Traumatologi

5. Pencarian sumber secara individual

Mengumpulkan informasi baru (belajar mandiri) untuk menjawab

learning objective, yang selanjutnya akan dibahas pada pertemuan

selanjutnya.

6. Melaporkan, Membahas, dan Menata Kembali Informasi Baru yang

Diperoleh

A. Indikasi Pemasangan Kateter, O2, dan Needle Thoracocentesis

Tujuan kateter urin dalam proses resusitasi ialah :

1) Menghilangkan retensin urin

2) Dekompresi kandung kemih sebelum diagnosis peritoneal lavage

3) Pemantauan produksi urin sebagai indeks perfusi organ

Apabila dalam pemasangan kateter, kateter mudah dimasukkan tanpa

adan hambatan kemungkininan adanya hematuria yang merupakan suatu

tanda adanya trauma pada bagian genitalia

Dalam pemasangan kateter harus hati-hati pada keadaan

1) Pada keadaan ketidakmampuan mengosongkan kandung kemih

2) Patah panggul yang tidak stabil

3) Darah pada meatus

4) Hematoma pada scrotum

5) Diskolorasi pada perineum/prostat yang tinggi

6) Uretra yang cidera

Terapi Oksigen

Page 9: Skenario 2 Blok Traumatologi

Terapi oksigen adalah memasukkan oksigen tambahan dari luar ke paru

melalui saluran pernafasan dengan menggunakan alat sesuai kebutuhan.

(Dep.Kes. RI, 2005).

Terapi oksigen adalah pemberian oksigen dengan konsentrasi yang

lebih tinggi dari yang ditemukan dalam atmosfir lingkungan. Pada

ketinggian air laut konsentrasi oksigen dalam ruangan adalah 21 %,

(Brunner & Suddarth, 2001). Sejalan dengan hal tersebut diatas menurut

Titin, 2007, Terapi oksigen adalah suatu tindakan untuk meningkatkan

tekanan parsial oksigen pada inspirasi, yang dapat dilakukan dengan cara:

a. Meningkatkan kadar oksigen inspirasi / FiO2 ( Orthobarik )

b. Meningkatkan tekanan oksigen ( Hiperbarik)

Tujuan

a. Memenuhi kekurangan oksigen

b. Mempertahankan oksigen yang adekuat pada jaringan

c. Membantu kelancaran metabolism

d. Sebagai tindakan pengobatan

e. Mencegah hipoksia

f. Mengurangi beban kerja alat nafas (paru-paru) dan jantung

Syarat pemberian oksigen

a. Dapat mengontrol konsentrasi oksigen udara inspirasi

b. Tahanan jalan nafas yang rendah

c. Tidak terjadi penumpukan CO2

d. Efisien

e. Nyaman untuk pasien

Dalam pemberian terapi oksigen,  perlu diperhatikan

“Humidification”. Hal ini penting diperhatikan oleh karena udara yang

Page 10: Skenario 2 Blok Traumatologi

normal dihirup telah mengalami humidfikasi sedangkan oksigen yang

diperoleh dari sumber oksigen (tabung O2) merupakan udara kering yang

belum terhumidifikasi, humidifikasi yang adekuat dapat mencegah

komplikasi pada pernafasan.

Indikasi Utama:

a. Klien dengan kadar oksigen arteri rendah dari hasil analisa gas darah

b. Klien dengan peningkatan kerja nafas, dimana tubuh berespon

terhadap keadaan hipoksemia melalui peningkatan laju dan dalamnya

pernafasan serta adanya kerja otot-otot tambahan pernafasan

c. Klien dengan peningkatan kerja miokard, dimana jantung berusaha

untuk mengatasi gangguan oksigen melalui peningkatan laju pompa

jantung yang adekuat.

Lain-lain:

a. Dengan anoksia atau hipoksia, sianosis

b. Dengan kelumpuhan alat-alat pernafasan

c. Selama dan sesudah dilakukan narcose umum

d. Mendapat trauma paru, perdarahan

e. Anemia berat

f. Keracunan Karbondioksida

g. Tiba-tiba menunjukkan tanda-tanda , dispneu, cyanosis, apneu

h. Dalam keadaan koma

Metode Pemberian Oksigen

Dapat dibagi menjadi 2 teknik, yaitu :

a. Sistem Aliran Rendah

Sistem aliran rendah diberikan untuk menambah konsentrasi

udara ruangan, menghasilkan FiO2 yang bervariasi tergantung pada

tipe pernafasan dengan patokan volume tidal klien. Ditujukan untuk

Page 11: Skenario 2 Blok Traumatologi

klien yang memerlukan oksigen, namun masih mampu bernafas

dengan pola pernafasan normal, misalnya klien dengan Volume

Tidal 500 ml dengan kecepatan pernafasan 16 – 20 kali permenit.

Contoh sistem aliran rendah adalah:.

1). Kateter Nasal

Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan

oksigen secara kontinyu dengan aliran 1 – 6 liter/mnt dengan

konsentrasi 24% – 44%.

Keuntungan:

Pemberian oksigen stabil, klien bebas bergerak, makan dan

berbicara, murah dan nyaman serta dapat juga dipakai sebagai

kateter penghisap.

Kerugian:

Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen yang lebih dari

45%, tehnik memasukan kateter nasal lebih sulit dari pada

kanula nasal, dapat terjadi distensi lambung, dapat terjadi iritasi

selaput lendir nasofaring, aliran dengan lebih dari 6 liter/mnt

dapat menyebabkan nyeri sinus dan mengeringkan mukosa

hidung, serta kateter mudah tersumbat.

2). Kanul Nasal

Merupakan suatu alat sederhana yang dapat memberikan

oksigen kontinyu dengan aliran 1 – 6 liter/mnt dengan

konsentrasi oksigen sama dengan kateter nasal.

Keuntungan

Page 12: Skenario 2 Blok Traumatologi

Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan laju

pernafasan teratur, pemasangannya mudah dibandingkan

kateter nasal, klien bebas makan, bergerak, berbicara, lebih

mudah ditolerir klien dan terasa nyaman.

Kerugian

Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih dari

44%, suplai oksigen berkurang bila klien bernafas melalui

mulut, mudah lepas karena kedalaman kanul hanya 1 cm,

dapat mengiritasi selaput lendir.

3). Sungkup Muka Sederhana

Merupakan alat pemberian oksigen kontinu atau selang seling

5 – 8 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen 40 – 60%.

- Keuntungan

Konsentrasi oksigen yang diberikan lebih tinggi dari kateter

atau kanula nasal, sistem humidifikasi dapat ditingkatkan

melalui pemilihan sungkup berlobang besar, dapat

digunakan dalam pemberian terapi aerosol.

- Kerugian

Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen kurang dari

40%, dapat menyebabkan penumpukan CO2 jika aliran

rendah.

4). Sungkup Muka dengan Kantong Rebreathing :

Suatu teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi tinggi

yaitu 60 – 80% dengan aliran 8 – 12 liter/menit

- Keuntungan

Konsentrasi oksigen lebih tinggi dari sungkup muka

sederhana, tidak mengeringkan selaput lendir

- Kerugian

Page 13: Skenario 2 Blok Traumatologi

Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah, jika

aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2,

kantong oksigen bisa terlipat.

5). Sungkup Muka dengan Kantong Non Rebreathing

Teknik pemberian oksigen dengan konsentrasi

oksigen mencapai 99% dengan aliran 8 – 12 liter/mnt dimana

udara inspirasi tidak bercampur dengan udara ekspirasi

Keuntungan:

Konsentrasi oksigen yang diperoleh dapat mencapi 100%,

tidak mengeringkan selaput lendir.

Kerugian:

Kantong oksigen bisa terlipat.

b. Sistem Aliran Tinggi

Teknik pemberian oksigen dimana FiO2 lebih stabil dan

tidak dipengaruhi oleh tipe pernafasan, sehingga dengan tehnik

ini dapat menambahkan konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan

teratur.

Contoh tehnik sistem aliran tinggi adalah sungkup muka

dengan ventury.

Prinsip pemberian O2 dengan alat ini yaitu gas yang

dialirkan dari tabung akan menuju ke sungkup yang kemudian

akan dihimpit untuk mengatur suplai ooksigen sehingga tercipta

tekanan negatif, akibatnya udara luar dapat diisap dan aliran

Page 14: Skenario 2 Blok Traumatologi

udara yang dihasilkan lebih banyak. Aliran udara pada alat ini

sekitas 4 – 14 liter/mnt dengan konsentrasi 30 – 55%.

Keuntungan

Konsentrasi oksigen yang diberikan konstan sesuai dengan

petunjuk pada alat dan tidak dipengaruhi perubahan pola nafas

terhadap FiO2, suhu dan kelembaban gas dapat dikontrol serta

tidak terjadi penumpukan CO2

Kerugian

Tidak dapat memberikan oksigen konsentrasi rendah, jika

aliran lebih rendah dapat menyebabkan penumpukan CO2,

kantong oksigen bisa terlipat.

Bahaya Pemberian Oksigen

Pemberian oksigen bukan hanya memberikan efek terapi tetapi juga

dapat menimbulkan efek merugikan, antara lain :

a. Kebakaran

Oksigen bukan zat pembakar tetapi dapat memudahkan terjadinya

kebakaran, oleh karena itu klein dengan terapi pemberian

oksigen harus menghindari : Merokok, membuka alat listrik dalam

area sumber oksigen, menghindari penggunaan listrik tanpa “Ground”.

b. Depresi Ventilasi

Pemberian oksigen yang tidak dimonitor dengan konsentrasi dan

aliran yang tepat pada klien dengan retensi CO2 dapat menekan

ventilasi.

c. Keracunan Oksigen

Dapat terjadi bila terapi oksigen yang diberikan dengan

konsentrasi tinggi dalam waktu relatif lama. Keadaan ini dapat merusak

Page 15: Skenario 2 Blok Traumatologi

struktur jaringan paru seperti atelektasis dan kerusakan surfaktan.

Akibatnya proses difusi di paru akan terganggu.

Tamponade Jantung

Tamponade jantung sering disebabkan oleh luka tembus.

Walaupun demikian, trauma tumpul juga dapat menyebabkan

perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh darah besar

maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari

struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang

terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan

mengganggu pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan

perikard, sering hanya 15 ml sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis

akan segera memperbaiki hemodinamik.

Tamponade jantung terdapat pada 20% penderita dengan trauma

thoraks yang berat, trauma tajam yang mengenai jantung akan

menyebabkan tamponade jantung dengan gejala trias Beck yaitu distensi

vena leher, hipotensi dan menurunnya suara jantung. Kontusio

miokardium tanpa disertai ruptur dapat menjadi penyebab tamponade

jantung. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan bila ruang

gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak ditemukan

bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan oleh

hipovolemia.

Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi

penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila

penurunan tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain

terjadinya tamponade jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak

selalu ditemukan, lagi pula sulit mendeteksinya dalam ruang gawat

darurat.

Page 16: Skenario 2 Blok Traumatologi

Tambahan lagi, jika terdapat tension pneumothorax, terutama sisi

kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade jantung. Tanda

Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa) adalah

kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan

adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia

dan tension pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung.

Pemasangan CVP dapat membantu diagnosis, tetapi tekanan

yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai keadaan lain. Pemerikksaan

USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif yang dapat

membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang

melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada

penderita trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh

dilakukan pemeriksaan USG abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi

cairan di kantung perikard, dengan syarat tidak menghambat resusitasi.

Evakuasi cepat darah dari perikard merupakan indikasi bila

penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon pada

resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini

menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan

pemeriksaan diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk

mengeluarkan cairan dari perikard adaah dengan perikardiosintesis.

Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade jantung pada

penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha resusitasi,

merupakan indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui

metode subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi

jendela perikad atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli

bedah. Prosedur ini akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika

kondisi penderita memungkinkan.

Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade

jantung, pemberian cairan infus awal masih dapat meningkatkan tekanan

Page 17: Skenario 2 Blok Traumatologi

vena dan meningkatkan cardiac output untuk sementara, sambil

melakukan persiapan untuk tindakan perikardiosintesis melalui

subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan plastic-sheated needle atau

insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara paling baik, tetapi

dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi darah dari

kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan

tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika

jarum perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya

disritmia.

Kecurigaan trauma jantung :

Trauma tumpul di daerah anterior

Fraktur pada sternum

Trauma tembus/tajam pada area prekordial (parasternal kanan, sela

iga II kiri, grs mid-klavikula kiri, arkus kosta kiri)

Diagnostik

Trauma tumpul : EKG, pemeriksaan enzim jantung (CK-CKMB /

Troponin T)

Foto toraks : pembesaran mediastinum, gambaran double contour

pada mediastinum menunjukkan kecurigaan efusi perikardium

Echocardiography untuk memastikan adanya effusi atau tamponade

Penatalaksanaan

1. Adanya luka tembus pada area prekordial merupakan indikasi

dilakukannya torakotomi eksplorasi emergency

2. Adanya tamponade dengan riwayat trauma toraks merupakan

indikasi dilakukannya torakotomi eksplorasi.

3. Adanya kecurigaan trauma jantung mengharuskan perawatan dengan

observasi ketat untuk mengetahui adanya tamponade

Komplikasi

Page 18: Skenario 2 Blok Traumatologi

Salah satu komplikasi adanya kontusio jantung adalah terbentuknya

aneurisma ventrikel beberapa bulan/tahun pasca trauma.

B. Interpretasi Pemeriksaan Lab

Pada skenario didapatkan kadar Hb 10,9 merupakan kadar Hb yang

normal, nilai normal Hb pada pasien lansia lebih dari 10. Kadar trombosit

juga normal yaitu 159.000, nilai normal trombosit antara 150.000-450.000.

Adanya eritrosit dalam urin masih belum bisa dinilai karena urin yang dicek

baru urin initial, jadi belum bisa untuk memastikan pasien kenapa. Masih

diperlukan pemeriksaan lainnya untuk memastikan yaitu usg, cek fungsi ren

(ureum kreatinin), dan ivp.

C. Interpretasi Pemeriksaan Lab

Pada skenario didapatkan kadar Hb 10,9 merupakan kadar Hb yang

normal, nilai normal Hb pada pasien lansia lebih dari 10. Kadar trombosit

juga normal yaitu 159.000, nilai normal trombosit antara 150.000-450.000.

Adanya eritrosit dalam urin masih belum bisa dinilai karena urin yang dicek

baru urin initial, jadi belum bisa untuk memastikan pasien kenapa. Masih

diperlukan pemeriksaan lainnya untuk memastikan yaitu usg, cek fungsi ren

(ureum kreatinin), dan ivp.

D. Indikasi Rujukan Pasien

Pada skenario, pasien dirujuk ke bagian bedah thoraks. Trauma torak yang

memerlukan tindakan dan atau pembedahan gawat / segera adalah yang

menunjukkan :

1. Obstruksi jalan nafas

2. Hemotorak massif

3. Tamponade pericardium / jantung

4. Tension pneumotorak

Page 19: Skenario 2 Blok Traumatologi

5. Flail chest

6. Pneumotorak terbuka

7. Kebocoran bronkus dan trakeobronkial.

Pasien pada skenario menunjukkan adanya tanda-tanda dari obstruksi

jalan nafas, tension pneumothorak, dan tamponade pericardium / jantung.

Pasien juga dirujuk ke bedah digestif karena adanya jejas pada regio

epigastrium dexstra dimana terdapat hepar, ada kemungkinan rupture hepar.

Selain itu, pasien dirujuk ke bedah urologi karena kemungkinan terdapat

masalah dengan ren, ditandai adanya gross hematuria.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Trauma Abdomen

Trauma abdomen adalah cedera pada abdomen, dapat berupa trauma

tumpul dan tembus serta trauma yang disengaja atau tidak disengaja (Smeltzer,

2001). Trauma abdomen didefinisikan sebagai kerusakan terhadap struktur yang

terletak diantara diafragma dan pelvis yang diakibatkan oleh luka tumpul atau

yang menusuk (Ignativicus & Workman, 2006). Salah satu kegawat daruratan pada

sistem pencernaan adalah trauma abdomen yaitu trauma atau cedera yang

mengenai daerah abdomen yang menyebabkan timbulnya gangguan atau

kerusakan pada organ yang ada di dalamnya.

Klasifikasi trauma abdomen:

a. Menurut penyebabnya:

1. Trauma tembus

Trauma abdomen dengan penetrasi ke dalam rongga abdomen,

dapat disebabkan oleh luka tusuk atau luka tembak. Pada trauma luka

tusuk perlu diperhatikan daerah trauma, arah trauma, kekuatan

tusukan, panjang dan ukuran tusukan. Luka tusuk abdomen 50 - 70%

terjadi di anterior abdomen.

Page 20: Skenario 2 Blok Traumatologi

Luka tembak dapat menyebabkan kerusakan pada setiap

struktur didalam abdomen. Tembakan menyebabkan perforasi pada

perut atau usus yang menyebabkan peritonitis dan sepsis.

Trauma tembus akibat peluru dibedakan antara jenis Low-

velocity dengan high velocity. Pada Low velocity terjadi robekan

langsung dan “crushing” pada jaringan local. Sedangkan High velocity

terjadi “chrusing” pada jaringan lokal dan cavitasi (terowongan)   yang

dapat menimbulkan kerusakan yang lebih besar. Hampir selalu trauma

tembus akibat peluru mengakibatkan kerusakan pada organ-organ

dalam perut. Bahkan luka peluru yang tangensial tanpa memasuki

rongga perut dapat menimbulkan kerusakan organ-organ dalam perut

akibat efek ledakan.

2. Trauma tumpul

Trauma abdomen tanpa penetrasi ke dalam rongga abdomen, dapat

disebabkan oleh jatuh, kekerasan fisik atau pukulan, kecelakaan

kendaraan bermotor, cedera akibat berolahraga, ledakan, benturan,

pukulan deselerasi, kompresi atau sabuk pengaman (set belt

syndrome).

Trauma tumpul kadang tidak memberikan kelainan yang jelas pada

permukaan tubuh tetapi dapat mengakibatkan kontusi atau laserasi

jaringan atau organ di bawahnya. Benturan pada trauma tumpul

abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa

perforasi atau pada organ padat berupa perdarahan. Cedera deselerasi

sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan

badan masih melaju dan tertahan suatu benda keras sedangkan bagian

tubuh yang relatif tidak terpancang bergerak terus dan mengakibatkan

robekan pada organ tersebut. Pada intraperitoneal, trauma tumpul

abdomen paling sering menciderai organ limpa (40-55%), hati (35-

45%), dan usus halus (5-10%). Sedangkan pada retroperitoneal, organ

Page 21: Skenario 2 Blok Traumatologi

yang paling sering cedera adalah ginjal, dan organ yang paling jarang

cedera adalah pankreas dan ureter.

Mekanisme terjadinya trauma pada trauma tumpul disebabkan

adanya deselerasi cepat dan adanya organ-organ yang tidak

mempunyai kelenturan (noncomplient organ) seperti hati, limpa,

pankreas, dan ginjal. Kerusakan intra abdominal sekunder untuk

kekuatan tumpul pada abdomen secara umum dapat dijelaskan dengan

3 mekanisme, yaitu :

Pertama, saat pengurangan kecepatan menyebabkan perbedaan

gerak di antara struktur. Akibatnya, terjadi tenaga potong dan

menyebabkan robeknya organ berongga, organ padat, organ viseral

dan pembuluh darah, khususnya pada ujung organ yang terkena.

Contoh pada aorta distal yang mengenai tulang torakal dan

mengurangi yang lebih cepat dari pada pergerakan arkus aorta.

Akibatnya, gaya potong pada aorta dapat menyebabkan ruptur. Situasi

yang sama dapat terjadi pada pembuluh darah ginjal dan pada

cervicothoracic junction.

Kedua, isi intra-abdominal hancur di antara dinding abdomen

anterior dan columna vertebra atau tulang toraks posterior. Hal ini

dapat menyebabkan remuk, biasanya organ padat (spleen, hati, ginjal)

terancam.

Ketiga, adalah gaya kompresi eksternal yang menyebabkan

peningkatan tekanan intra-abdomen yang tiba-tiba dan mencapai

puncaknya pada rupture organ berongga.

Lebih dari 50% trauma tumpul disebabkan oleh kecelakaan lalu

lintas, biasanya disertai dengan trauma pada bagian tubuh lainnya.

Mekanisme trauma tumpul dengan deselerasi secara cepat pada

kecelakaan lalu lintas Organ viscera terperangkap antara dua

kekuatan yang datang didinding anterior abdomen atau  daerah 

Page 22: Skenario 2 Blok Traumatologi

thoraks dengan  kolumna vertebralis.Hal ini dapat merobek

mesentrium, porta hepatis dan hilus limpa.

b. Berdasaran jenis organ yang cedera dapat dibagi dua :

1. Pada organ padat seperti hepar dan limpa dengan gejala utama

perdarahan

2. Pada organ berongga seperti usus dan saluran empedu dengan gejala

utama adalah peritonitis

c. Berdasarkan daerah organ yang cedera dapat dibagi dua:

1. Organ Intraperitoneal

Intraperitoneal abdomen terdiri dari organ-organ seperti hati,

limpa, lambung, colon transversum, usus halus, dan colon sigmoid.

Ruptur Hati

Karena ukuran dan letaknya, hati merupakan organ yang paling

sering terkena kerusakan yang diakibatkan oleh luka tembus dan sering

kali kerusakan disebabkan oleh trauma tumpul. Hal utama yang

dilakukan apabila terjadi perlukaan dihati yaitu mengontrol perdarahan

dan mendrainase cairan empedu.

Hati dapat mengalami laserasi dikarenakan trauma tumpul ataupun

trauma tembus. Hati merupakan organ yang sering mengalami laserasi,

sedangkan empedu jarang terjadi dan sulit untuk didiagnosis. Pada

trauma tumpul abdomen dengan rupture hati sering ditemukan adanya

fraktur costa VII – IX. Pada pemeriksaan fisik sering ditemukan nyeri

pada abdomen kuadran kanan atas.

Nyeri tekan dan Defans muskuler tidak akan tampak sampai

perdarahan pada abdomen dapat menyebabkan iritasi peritoneum (± 2

jam post trauma). Kecurigaan laserasi hati pada trauma tumpul

abdomen apabila terdapat nyeri pada abdomen kuadran kanan atas.

Jika keadaan umum pasien baik, dapat dilakukan CT Scan pada

abdomen yang hasilnya menunjukkan adanya laserasi. Jika kondisi

Page 23: Skenario 2 Blok Traumatologi

pasien syok, atau pasien trauma dengan kegawatan dapat dilakukan

laparotomi untuk melihat perdarahan intraperitoneal. Ditemukannya

cairan empedu pada lavase peritoneal menandakan adanya trauma pada

saluran empedu.

Ruptur Limpa

Limpa merupakan organ yang paling sering cedera pada saat terjadi

trauma tumpul abdomen. Ruptur limpa merupakan kondisi yang

membahayakan jiwa karena adanya perdarahan yang hebat. Limpa

terletak tepat di bawah rangka thorak kiri, tempat yang rentan untuk

mengalami perlukaan. Limpa membantu tubuh kita untuk melawan

infeksi yang ada di dalam tubuh dan menyaring semua material yang

tidak dibutuhkan lagi dalam tubuh seperti sel tubuh yang sudah rusak.

Limpa juga memproduksi sel darah merah dan berbagai jenis dari sel

darah putih. Robeknya limpa menyebabkan banyaknya darah yang ada di

rongga abdomen. Ruptur pada limpa biasanya disebabkan hantaman pada

abdomen kiri atas atau abdomen kiri bawah. Kejadian yang paling sering

meyebabkan ruptur limpa adalah kecelakaan olahraga, perkelahian dan

kecelakaan mobil. Perlukaan pada limpa akan menjadi robeknya limpa

segera setelah terjadi trauma pada abdomen.

Pada pemeriksaan fisik, gejala yang khas adanya hipotensi karena

perdarahan. Kecurigaan terjadinya ruptur limpa dengan ditemukan adanya

fraktur costa IX dan X kiri, atau saat abdomen kuadran kiri atas terasa

sakit serta ditemui takikardi. Biasanya pasien juga mengeluhkan sakit

pada bahu kiri, yang tidak termanifestasi pada jam pertama atau jam

kedua setelah terjadi trauma. Tanda peritoneal seperti nyeri tekan dan

defans muskuler akan muncul setelah terjadi perdarahan yang mengiritasi

peritoneum. Semua pasien dengan gejala takikardi atau hipotensi dan

nyeri pada abdomen kuadran kiri atas harus dicurigai terdapat ruptur

limpa sampai dapat diperiksa lebih lanjut. Penegakan diagnosis dengan

Page 24: Skenario 2 Blok Traumatologi

menggunakan CT scan. ruptur pada limpa dapat diatasi dengan

splenectomy, yaitu pembedahan dengan pengangkatan limpa. Walaupun

manusia tetap bisa hidup tanpa limpa, tapi pengangkatan limpa dapat

berakibat mudahnya infeksi masuk dalam tubuh sehingga setelah

pengangkatan limpa dianjurkan melakukan vaksinasi terutama terhadap

pneumonia dan flu diberikan antibiotik sebagai usaha preventif terhadap

terjadinya infeksi.

- Ruptur Usus Halus

Sebagian besar, perlukaan yang merobek dinding usus halus karena

trauma tumpul menciderai usus dua belas jari. Dari pemeriksaan fisik

didapatkan gejala ‘burning epigastric pain’ yang diikuti dengan nyeri

tekan dan defans muskuler pada abdomen. Perdarahan pada usus besar

dan usus halus akan diikuti dengan gejala peritonitis secara umum pada

jam berikutnya. Sedangkan perdarahan pada usus dua belas jari biasanya

bergejala adanya nyeri pada bagian punggung. Diagnosis ruptur usus

ditegakkan dengan ditemukannya udara bebas dalam pemeriksaan

Rontgen abdomen. Sedangkan pada pasien dengan perlukaan pada usus

dua belas jari dan colon sigmoid didapatkan hasil pemeriksaan pada

Rontgen abdomen dengan ditemukannya udara dalam retroperitoneal.

2. Organ Retroperitoneal

Retroperitoneal abdomen terdiri dari ginjal, ureter, pancreas, aorta,

dan vena cava. Trauma pada struktur ini sulit ditegakkan diagnosis

berdasarkan pemeriksaan fisik. Evaluasi regio ini memerlukan CT scan,

angiografi, dan intravenous pyelogram. Retroperitoneal stuctures.

Ruptur Ginjal

Trauma pada ginjal biasanya terjadi karena jatuh dan kecelakaan

kendaraan bermotor. Dicurigai terjadi trauma pada ginjal dengan adanya

fraktur pada costa ke XI – XII atau adanya tendensi pada flank. Jika

terjadi hematuri, lokasi perlukaan harus segera ditentukan. Laserasi pada

Page 25: Skenario 2 Blok Traumatologi

ginjal dapat berdarah secara ekstensif ke dalam ruang retroperitonial.

Gejala klinis : Pada ruptur ginjal biasanya terjadi nyeri saat inspirasi di

abdomen dan flank, dan tendensi CVA. Hematuri yang hebat hampir

selalu timbul, tapi pada mikroscopic hematuri juga dapat menunjukkan

adanya ruptur pada ginjal. Diagnosis, membedakan antara laserasi ginjal

dengan memar pada ginjal dapat dilakukan dengan pemeriksaan IVP atau

CT scan. Jika suatu pengujian kontras seperti aortogram dibutuhkan

karena adanya alasan tertentu, ginjal dapat dinilai selama proses

pengujian tersebut. Laserasi pada ginjal akan memperlihatkan adanya

kebocoran pada zat warna, sedangkan pada ginjal yang memar akan

tampak gambaran normal atau adanya gambaran warna kemerahan pada

stroma ginjal. Tidak adanya visualisasi pada ginjal dapat menunjukkan

adanya ruptur yang berat atau putusnya tangkai ginjal. Terapi : pada

memar ginjal hanya dilakukan pengamatan. Beberapa laserasi ginjal dapat

diterapi dengan tindakan non operatif. Terapi pembedahan wajib

dilakukan pada ginjal yang memperlihatkan adanya ekstravasasi.

Ruptur Pankreas

Walaupun trauma pada pankreas dan duodenum jarang terjadi. Tetapi

trauma pada abdomen yang menyebabkan tingkat kematian yang tinggi

disebkan oleh perlukaan di pankreas dan duodenum, hal ini disebabkan

karena letaknya yang sulit terdeteksi apabila terjadi kerusakan.Trauma

pada pankreas sangat sulit untuk di diagnosis. Kebanyakan kasus

diketahui dengan eksplorasi pada pembedahan. Perlukaan harus dicurigai

setelah terjadinya trauma pada bagian tengah abdomen, contohnya pada

benturan stang sepeda motor atau benturan setir mobil. Perlukaan pada

pankreas memiliki tingkat kematian yang tinggi. Perlukaan pada

duodenum atau saluran kandung empedu juga memiliki tingkat kematian

yang tinggi. Gejala klinis, kecurigaan perlukaan pada setiap trauma yang

terjadi pada abdomen. Pasien dapat memperlihatkan gejala nyeri pada

Page 26: Skenario 2 Blok Traumatologi

bagian atas dan pertengahan abdomen yang menjalar sampai ke

punggung. Beberapa jam setelah perlukaan, trauma pada pankreas dapat

terlihat dengan adanya gejala iritasi peritonial.

Diagnosis, penentuan amilase serum biasanya tidak terlalu membantu

dalam proses akut. Pemeriksaan CT scan dapat menetapkan diagnosis.

Kasus yang meragukan dapat diperiksa dengan menggunakan ERCP

( Endoscopic Retrogade Canulation of the Pancreas) ketika perlukaan

yang lain telah dalam keadaan stabil.

Terapi, penanganan dapat berupa tindakan operatif atau konservatif,

tergantung dari tingkat keparahan trauma, dan adanya gambaran dari

trauma lain yang berhubungan. Konsultasi pembedahan merupakan

tindakan yang wajib dilakukan.

Ruptur Ureter

Trauma pada ureter jarang terjadi tetapi berpotensi menimbulkan luka

yang mematikan. Trauma sering kali tak dikenali pada saat pasien datang

atau pada pasien dengan multipel trauma. Kecurigaan adanya cedera

ureter bisa ditemukan dengan adanya hematuria paska trauma.

Mekanisme trauma tumpul pada ureter dapat terjadi karena keadaan

tiba-tiba dari deselerasi/ akselerasi yang berkaitan dengan hiperekstensi,

benturan langsung pada Lumbal 2 – 3, gerakan tiba-tiba dari ginjal

sehingga terjadi gerakan naik turun pada ureter yang menyebabkan

terjadinya tarikan pada ureteropelvic junction. Pada pasien dengan

kecurigaan trauma tumpul ureter biasanya didapatkan gambaran nyeri

yang hebat dan adanya multipel trauma. Gambaran syok timbul pada 53%

kasus, yang menandakan terjadinya perdarahan lebih dari 2000 cc.

Diagnosis dari trauma tumpul ureter seringkali terlambat diketahui karena

seringnya ditemukan trauma lain, sehingga tingkat kecurigaan tertinggi

ditetapkan pada trauma dengan gejala yang jelas.

Pilihan terapi yang tepat tergantung pada lokasi, jenis trauma, waktu

Page 27: Skenario 2 Blok Traumatologi

kejadian, kondisi pasien, dan prognosis penyelamatan. Hal terpenting

dalam pemilihan tindakan operasi adalah mengetahui dengan pasti fungsi

ginjal yang kontralateral dengan lokasi trauma

Gejala dan Tanda

Gejala tanda dari trauma abdomen sangat tergantung dari organ

mana yang terkena, bila yang terkena organ-organ solid (hati dan lien)

maka akan tampak gejala perdarahan secara umum seperti pucat, anemis

bahkan sampai dengan tanda-tanda syok hemoragic. Nyeri dapat terjadi

mulai dari nyeri sedang sampai yang berat. Nyeri dapat timbul di bagian

yang luka atau tersebar. Terdapat nyeri saat ditekan dan nyeri lepas. Mual

dan muntah. Penurunan kesadaran (malaise, letargi, gelisah).

Anamnesa yang selengkap mungkin sehingga membantu dalam

penegakkan diagnosis. Anamnesa terutama mengenai cara terjadinya

kecelakaan, arah tusukan atau tembakan, senjata yang digunakan dan

deskripsi nyeri. Sering ditemukan kesulitan dalam memperoleh anamnesa

akibat penderita dalam keadaan syok, kesadaran menurun ataupun akibat

gangguan emosi akibat trauma tersebut.

Pada pemerikasaan fisik:

8. Mungkin ditemukan syok dan penurunan kesadaran sehingga muncul

kesulitan pemeriksaan abdomen.

9. Inspeksi mulai dari keadaan umum klien, ekspresi wajah, tanda-tanda

vital, sikap berbaring, gejala dan tanda dehidrasi, perdarahan, syok,

serta riwayat mekanisme cedera (tanda cedera tumpul berupa memar

atau jejas, cedera tusuk, dan luka tembak serta tempat keluarnya

peluru.). Pasien yang kurus jika terjadi trauma abdomen akan tampak

perut membesar. Pada trauma abdomen bisa ditemukan kontusio,

abrasio, lacerasi dan echimosis. Echimosis merupakan indikasi adanya

perdarahan di intra abdomen.Terdapat Echimosis pada daerah

Page 28: Skenario 2 Blok Traumatologi

umbilikal disebut ‘Cullen’s Sign’ sedangkan echimosis yang

ditemukan pada salah satu panggul disebut sebagai ‘Turner’s Sign’.

Terkadang ditemukan adanya eviserasi yaitu menonjolnya organ

abdomen keluar seperti usus, kolon yang terjadi pada trauma tembus

atau tajam.

10. Auskultasi ada atau tidaknya bising usus pada ke empat kuadran

abdomen. Jika adanya ekstravasasi darah menyebabkan hilangnya

bunyi bising usus, juga perlu didengarkan adanya bunyi bruits dari

arteri renalis, bunyi bruits pada umbilical merupakan indikasi adanya

trauma pada arteri renalis.

11. Perkusi untuk melihat apakah ada nyeri ketok. Selain itu bisa

ditemukan adanya bunyi timpani bila dilatasi lambung akut di kuadran

atas atau bunyi redup bila ada hemoperitoneum. Pada waktu perkusi

bila ditemukan Balance sign dimana bunyi resonan yang lebih keras

pada panggul kanan ketika pasien berbaring ke samping kiri

menunjukkan tanda adanya rupture limpa. Sedangkan bunyi resonan

lebih keras pada hati menandakan adanya udara bebas yang masuk.

12. Pada saat palpasi pasien mengeluh nyeri dari mulai nyeri ringan

sampai dengan nyeri hebat pada seluruh regio abdomen, nyeri tekan

dan kadang nyeri lepas, defans muskular (kaku otot) menandakan

adanya perdarahan intra peritoneal. Adanya darah, cairan atau udara

bebas dalam rongga abdomen penting dicari, terutama pada trauma

tumpul. Bila yang terkena organ berlumen (gaster) gejala peritonitis

dapat berlangsung cepat tetapi gejala peritonitis akan timbul lambat

bila usus halus dan kolon yang terkena. Tanda rangsang peritoneum

sering sukar dicari bila ada trauma penyerta, terutama pada kepala;

dalam hal ini dianjurkan melakukan lavase peritoneal. Selain

memantau ketat progresi distensi abdomen perlu pula memeriksa

Page 29: Skenario 2 Blok Traumatologi

cedera pada bagian lain yang berkaitan seperti cedera thoraks yang

sering mengikuti cedera intra abdomen.

Pemeriksaan lain:

1. Rectal toucher. Jika adanya darah menunjukkan kelainan usus besar.

Colok dubur dilakukan pada obstrusi usus dengan disertai paralysis

akan ditemukan ampula melebar. Pada laki-laki terdapat prostate letak

tinggi menandakan patah panggul yang siginifikan dan disertai

perdarahan.

2. Kuldosentesis. Mencari adanya darah, cairan atau udara dalam rongga

perut..

3. Sonde lambung. Mencari adanya darah dalam lambung, sekaligus

mencegah aspirasi bila muntah.

4. Kateterisasi untuk mencari lesi saluran kemih. Pada trauma ginjal

biasanya ada hematuri, nyeri pada costa vertebra, dan pada inspeksi

biasanya jejas (+).

Pemeriksaan penunjang:

1. Pemeriksaan darah meliputi Hb, Ht dan Leukosit; pada perdarahan Hb

dan Ht akan terus menurun, sedangkan jumlah leukosit terus

meningkat; oleh karena itu pada kasus yang meragukan sebaiknya

dilakukan pemeriksaan berkala. Pemeriksaan Hb diperlukan untuk

base-line data bila terjadi perdarahan terus menerus. Demikian pula

dengan pemeriksaan hematokrit. Pemeriksaan leukosit yang melebihi

20.000/mm tanpa terdapatnya infeksi menunjukkan adanya perdarahan

cukup banyak kemungkinan ruptura lienalis. Serum amilase yang

meninggi menunjukkan kemungkinan adanya trauma pankreas atau

perforasi usus halus. Kenaikan transaminase menunjukkan

kemungkinan trauma pada hepar.

2. Pemeriksaan urin penting untuk mengetahui adanya lesi saluran

kemih. Pemeriksaan urin rutin menunjukkan adanya trauma pada

Page 30: Skenario 2 Blok Traumatologi

saluran kemih bila dijumpai hematuri. Urine yang jernih belum dapat

menyingkirkan adanya trauma pada saluran

3. Pemeriksaan radiologi tidak perlu dilakukan bila indikasi laparotomi

sudah jelas. Pemeriksaan IVP atau sistogram hanya dilakukan bila ada

kecurigaan terhadap trauma saluran kencing. Pemeriksaan plain

abdomen posisi tegak mempelihatkan udara bebas dalam rongga

peritoneum, udara bebas retroperineal dekat duodenum, corpus

alineum dan perubahan gambaran usus. Biasanya dilakukan

pemeriksaan foto polos abdomen dalam posisi tegak dan miring ke kiri

untuk melihat:

Keadaan tulang belakang dan panggul.

Adanya benda asing (pada luka tembak)

Bayangan otot psoas.

Udara bebas(intra---/ekstraperitoneal)

4. Parasentesis abdomen dilakukan pada trauma tumpul abdomen yang

diragukan menimbulkan kelainan dalam rongga abdomen. Merupakan

pemeriksaan tambahan yang sangat berguna untuk menentukan adanya

perdarahan dalam rongga peritoneum. Lebih dari 100.000 eritrosit/mm

dalam larutan NaCl yang keluar dari rongga peritoneum setelah

dimasukkan 100–200 ml larutan NaCl 0.9% selama 5 menit,

merupakan indikasi untuk laparotomi

Teknik:

Buli-buli terlebih dahulu dikosongkan

Parastesi dilakukan dengan jarum pungsi No. 18 atau 20,

ditusukkkan di kuadran bawah atau di garis tengah di bawah pusat.

Bila pada aspirasi ditemukan darah, empedu, cairan empedu,

cairan usus atau udara berarti ada lesi dalam rongga abdomen.

5. Pemeriksaan Laparoskopi Dilaksanakan bila ada akut abdomen untuk

mengetahui langsung sumber penyebabnya.

Page 31: Skenario 2 Blok Traumatologi

6. Bila dijumpai perdarahan dan anus perlu dilakukan rekto-

sigmoidoskopi.

7. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL) dapat membantu menemukan

adanya darah atau cairan usus dalam rongga perut. Hasilnya dapat

amat membantu. Tetapi DPL ini hanya alat diagnostik. Bila ada

keraguan, kerjakan laparatomi (gold standart).

Indikasi untuk melakukan DPL sbb.:

Nyeri abdomen yang tidak bisa diterangkan sebabnya

Trauma pada bagian bawah dari dada

Hipotensi, hematokrit turun tanpa alasan yang jelas

Pasien cedera abdominal dengan gangguan kesadaran (obat,alkohol,

cedera otak)

Pasien cedera abdominal dan cedera medula spinalis (sumsum tulang

belakang)

Patah tulang pelvis

Diagnostic Peritoneal Lavage dilakukan melalui kanula yang dimasukkan

lewat insisi kecil di garis tengah di bawah pusat; bila pada aspirasi tidak

keluar apa-apa, dimasukkan kira-kira 10 ml/kg(maksimum 1000 ml) (lebih

baik hangat) kemudian larutan NaCl 0,9%. Biarkan selama 5 sampai 10 menit

jika pasiennya cukup stabil. Sensitivitas bertambah dengan menggulingkan

pasien ke samping kanan dan kiri selama beberapa menit jika kondisi pasien

memungkinkan. Hal ini akan memungkinkan cairan bercampur dengan darah

yang mungkin terkumpul setempat.

Hasil positif jika ditemukan hal berikut:

Cairan yang keluar kemerahan.

Terdapat empedu.

Ditemukan bakteri atau eritrosit > 100.000/mm3

Ditemukan leukosit > 500/mm3

Ditemukan amilase lebih dari 100 U/ 100 ml cairan.

Page 32: Skenario 2 Blok Traumatologi

Kontraindikasi relatif untuk Diagnostic Peritoneal Larvage adalah riwayat

operasi abdomen, koagulopati dan kehamilan.

Jika pasien kurang stabil dibawa ke radiologi, CT abdomen dan pelvis sangat

bermanfaat untuk mendeteksi darah intra abdomen.

KRITERIA DPL USG CT SCAN

Indikasi Menentukan

adanya perdarahan

bila TD menurun

Menentukan cairan bila

TD menurun

Menentukan organ

cedera bila TD normal

Keuntungan Diagnosis cepat

dan sensitif, akurasi

98%

Diagnosis cepat, tidak

Invasif&dapat diulang,

akurasi 86-97%

Paling spesifik untuk

cedera, akurasi 92-98%

Kerugian Invasif, gagal

mengetahui cedera

diafragma atau

cedera

retroperitoneum

Tergantung operator

distorsi gas usus dan

udara di bawah kulit.

Gagal mengetahui

cedera diafragma usus,

pankreas

Membutuhkan biaya

dan waktu yang lebih

lama, tidak mengetahui

cedera diafragma, usus

dan pankreas

BAB III

PENUTUP

Page 33: Skenario 2 Blok Traumatologi

A. KESIMPULAN

Wanita berusia 25 tahun pada skenario ini menunjukkan adanya trauma pada

dinding dada. Dari hasil primary survey didapatkan jejas pada hemithorax dextra,

retraksi suprasternal, palpasi: pengembangan dada kanan tertinggal, perkusi:

hipersonor dada kanan, auskultasi: suara dasar vesikuler dada kanan hilang, suara

jantung: normal (letak bergeser semakin ke kiri), GCS 15, pupil bulat, isokor, reflek

cahaya +/+. Pada hasil secondary survey didapatkan jejas di abdomen kanan atas,

disertai nyeri tekan tanpa tanda rangsang peritoneal (defans muskuler), bising usus

dalam batas normal. Dari kedua hasil pemeriksaan tersebut yang ditunjang dengan

pemeriksaan penunjang maka dapat disimpulkan bahwa wanita tersebut mengalami

tension pneumothorax, serta dalam tatalaksana awal dilakukan needle

thoracocentesis dilanjutkan dengan pemasangan chest tube/water seal drainage

(WSD) kemudian dirujuk ke Rumah Sakit Rujukan Daerah (Bedah Thoraks, Bedah

Digestif, Bedah Urologi) untuk mendapatkan penenganan lebih lanjut.

LO yang didapatkan pada diskusi tutorial skenario ini adalah sebagai berikut:

1. Mahasiswa mengetahui perubahan anatomi dan fisiologi tubuh akibat trauma

thorax.

2. Mahasiswa mengetahui komplikasi akibat trauma thorax.

3. Mahasiswa mengetahui patofisiologi terjadinya syok akibat trauma thorax serta

bagaimana penanganannya.

4. Mahasiswa mengetahui tujuan serta indikasi needle thoracosintesis, pemberian

O2 tanpa masker, dan pemasangan kateter.

5. Mahasiswa mengetahui interpretasi keadaan pasien pada Primary Survey,

Adjunct Primary Survey, Secondary Survey, dan interpretasi hasil pemeriksaan

laboratorium pada scenario.

6. Mengetahui dasar perujukan pasien trauma thorax ke bagian Bedah Thorax,

Digestif, dan Urologi.

Page 34: Skenario 2 Blok Traumatologi

B. SARAN

Dalam skenario ini wanita berusia 25 tahun tampak jelas mengalami

tension pneumothorax. Maka dari itu perlu penanganan yang cepat dan tepat

karena sangat mempengaruhi prognosis pasien tersebut. Penanganan yang

dilakukan dalam scenario sudah cukup tepat.

Kejadian trauma akibat kecelakaan lalu lintas cukup tinggi, sehingga

disarankan bagi pengendara untuk lebih berhati-hati lagi agar bisa menekan

angka kecelakaan dan trauma akibat kecelakaan lalu lintas.

Pelaksanaan tutorial juga sudah cukup baik. Namun disarankan peran

serta lebih aktif dari mahasiswa sehingga semua Learning Objective dapat

diselesaikan dengan baik.

Page 35: Skenario 2 Blok Traumatologi

DAFTAR PUSTAKA

American College of Surgeons. 1997.  Advanced Trauma Life Support . United States of America: First Impression.

Price, Sylvia, 1992. Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Mosby Philadelphia.

RSHS, Tim PPGD, 2009. Penanganan Penderita Gawat Darurat (PPGD Basic 2). RSHS Bandung.

Dorland, W. A. Newman. 2002. Kamus Kedokteran. EGC : Jakarta.

FKUI. 1995. Kumpulan Kuliah Ilmu bedah. Binarupa Aksara : Jakarta.

Nasrul Effendi, 1995, Pengantar Proses Keperawatan, EGC, Jakarta.

Smeltzer, Suzanne C. 2001. Keperawatan Medikal-Bedah Brunner and Suddarth Ed.8 Vol.3. EGC : Jakarta

Campbell, Brendan. 2007. Abdominal exploration. http://www.TauMed.com

Gordon, Julian. 2006. Trauma Urogenital. http://www.emedicine.com

Khan, Nawas Ali. 2207. Liver Trauma. Chairman of Medical Imaging, Professor of Radiology, NGHA, King Fahad Hospital, King Abdul Aziz Medical City Riyadh, Saudi Arabia. http://www.emedicine.com

Molmenti, Hebe, 2004. Peritonitis. Medical Encyclopedia. Medline Plushttp://medlineplus.gov/

Odle, Teresa. 2007. Blunt Abdominal Trauma. http://www.emedicine.com

Purnomo, Basuki. 2003. Dasar-dasar Urologi. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya. Malang.

Salomone, Joseph. 2007. Blunt Abdominal Trauma. Department of Emergency Medicine, Truman Medical Center, University of Missouri at Kansas City School of Medicine. http://www.emedicine.com.

Snell, Richard. 1997. Anatomi Klinik Bagian 1. EGC. Jakarta.

Page 36: Skenario 2 Blok Traumatologi

Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Simadibrata M., Setiadi S. (eds). Buku ajar ilmu penyakit dalam. Jilid II edisi V. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Syamsu H.R. dan Jong, Wim De (1995). Buku Ajar Bedah. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran, EGC.

Taylor, Calor et al. (1997). Fundamentals of Nursing ; The Art and Science of Nursing Care. Lipincott, Philadelphia.

Udeani, John. 2005. Abdominal Trauma Blunt. Department of Emergency Medicine, Charles Drew University / UCLA School of Medicine. http://www.emedicine.com

Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah. EGC. Jakarta.