Skenario 1

31
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan rongga mulut dengan kesehatan organ- organ lain didalam tubuh manusia sangatlah berkaikatan. Contohnya apabila terdapat penyakit periodontal dalam rongga mulut seperti periodontitis, gingivitis, dan sebagainya dapat bermanifestasi menjadi penyakit sistemik. Begitupula sebaliknya, kebanyakan orang yang menderitapenyakit sistemik akan sangat beresiko untuk menederita penyakit periodontal. Beberapa penyakit sistemik tersebut diantaranya adalah Diabetes dan ESRD (End-Stage Renal Disease). Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan metabolisme tubuh dimana hormon insulin tidak bekerja sebagai mana mestinya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk mengontrol kadar gula dalam darah dengan mengubah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Diabetes Mellitus dapat dibagi dalam dua tipe, yaitu: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) disebut Diabetes Mellitus tipe 1, Serta Non insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Mellitus tipe 2. Pada penderita Diabetes tipe 1, kelenjar pankreas tidak mampu memproduksi insulin sehingga jumlah insulin beredar dalam tubuh tidak mencukupi kebutuhan, oleh karena autoimun maupun 1

description

PENYAKIT PERIODONTAL YANG DIPICU OLEH KELAINAN SISTEMIK

Transcript of Skenario 1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan rongga mulut dengan kesehatan organ-organ lain didalam tubuh manusia sangatlah berkaikatan. Contohnya apabila terdapat penyakit periodontal dalam rongga mulut seperti periodontitis, gingivitis, dan sebagainya dapat bermanifestasi menjadi penyakit sistemik. Begitupula sebaliknya, kebanyakan orang yang menderitapenyakit sistemik akan sangat beresiko untuk menederita penyakit periodontal. Beberapa penyakit sistemik tersebut diantaranya adalah Diabetes dan ESRD (End-Stage Renal Disease).Diabetes Mellitus adalah penyakit gangguan metabolisme tubuh dimana hormon insulin tidak bekerja sebagai mana mestinya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk mengontrol kadar gula dalam darah dengan mengubah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. Diabetes Mellitus dapat dibagi dalam dua tipe, yaitu: Insulin Dependent Diabetes Mellitus (IDDM) disebut Diabetes Mellitus tipe 1, Serta Non insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM) atau Diabetes Mellitus tipe 2. Pada penderita Diabetes tipe 1, kelenjar pankreas tidak mampu memproduksi insulin sehingga jumlah insulin beredar dalam tubuh tidak mencukupi kebutuhan, oleh karena autoimun maupun idiopatik. Sedangkan pada Diabetes tipe 2, hormon Insulin tetap diproduksi namun tidak dapat berfungsi dengan baik secara absolut maupun relative.

ESRD (End-Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah) (Smeltzer, 2002:1448). Ginjal tidak dapat berfungsi dengan baik kecuali dengan dialysis atau transplantasi ginjal.1.2 Skenario

SKENARIO 1. PENYAKIT PERIODONTAL YANG DIPICU OLEH KELAINAN SISTEMIK

Seorang perempuan usia 37 tahun, sering merasa pusing dan giginya banyak yang goyang. Perempuan tersebut datang ke praktek dokter gigi dengan keluhan sering pusing dan lemas. Sudah beberapa bulan gejala semakin berat sampai pernah hampir pingsan. Beliau sudah sering berobat ke puskesmas tetapi kondisinya tidak berubah. Beberapa minggu ini beliau merasa mulutnya terasa terbakar (burning sensation), gigi-giginya goyang dan gusi mudah berdarah sehingga memutuskan untuk kontrol ke dokter gigi.

Dari anamnesis didapatkan bahwa perempuan tersebut suka mengkonsumsi makanan padat energi. Pada pemeriksaan fisik didapatkan penderita menderita oedema di tungkai bawah serta indeks masa tubuh (BMI) 30 BMI. Pada pemeriksaan rongga mulut terdapat kelainan periodontal, dimana ditandai dengan banyaknya plak dan gigi posterior rahang atas dan rahang bawah goyang serta gusi mudah berdarah apabila tersentuh. Dari hasil laboratorium didapatkan bahwa konsentrasi protein, potassium, magnesium, dan phosphorus saliva penderita pada batas-batas tidak normal. Karena curiga ada faktor sistemik, maka dokter memutuskan untuk melakukan uji laboratorium untuk mengetahui apakah penderita menderita diabetes tipe 2 atau bahkan ada gangguan End-stage renal disease (ESRD)1.3 Rumusan Masalah

Dari latar belakang dan skenario diatas, dapat dirumuskan beberapa masalah, antara lain sebagai berikut:

1. Bagaimanakah hubungan konsumsi makanan padat energi dengan diabetes melitus?2. Apa hubungan BMI pasien pada skenario dengan Diabetes melitus ?

3. Apakah oedema yang diderita pasien berhubungan dengan diabetes melitus?

4. Mengapa pasien tersebut mengalami kelainan pada rongga mulutnya dan apa kaitannya dengan diabetes melitus?5. Apakah ketidaknormalan konsentrasi protein, potassium, magnesium, dan phosphorus saliva berhubungan dengan kelainan yang diderita pasien?6. Bagaimana cara mengetahui apakah pasien tersebut menderita diabetes tipe 2 atau ESRD ?1.4 Tujuan Pembelajaran

Dari beberapa hal diatas, tujuan pembelajaran yang ingin kami capai, antara lain sebagai berikut:

1. Memahami hubungan life style konsumsi makanan padat energi dengan insulin resisten dan diabetes melitus.2. Memahami hubungan penyakit periodontal dengan diabetes tipe 2 dan penyakit ginjal.3. Mengetahui penatalaksanaan manifestasi penyakit diabetes mellitus di rongga mulut.BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Diabetes Melitus2.1.1. Pengertian Diabetes Melitus

Diabetes Melitus (diabetes) adalah suatu kondisi terganggunya metabolisme didalam tubuh karena ketidakmampuan tubuh membuat atau menyuplai hormon insulin sehingga menyebabkan terjadinya peningkatan kadar gula darah melebihi normal (Desriani, 2003).3.1.2. Klasifikasi Diabetes MelitusBerdasarkan Perkeni (2006) diabetes, diklasifikasikan menjadi:

1. Diabetes Melitus Tipe-1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut, yangdisebabkan oleh: autoimun dan idiopatik

2. Diabetes Melitus Tipe-2

Penderita diabetes melitus tipe-2 memiliki satu atau lebih keabnormalan di bawah ini, antara lain:

a. Defisiensi insulin relatif: insulinyang disekresi oleh sel- pankreas untuk memetabolisme tidak mencukupi (Kumar et al, 2005).

b. Resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif (Perkeni, 2006).

3. Diabetes Melitus Tipe Lain

Diabetes tipe ini dapat disebabkan karena beberapa hal, antara lain : defek genetic fungsi sel beta, defek genetic kerja insulin penyakit eksokrin pankreas, endokrinopati, karena obat atau zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang dan sindrom genetik lain yang berkaitan dengan diabetes

a) Diabetes Melitus Kehamilan

Diabetes melitus kehamilan atau sering disebut dengan istilah Diabetes Melitus Gestasional (DMG) adalah suatu gangguan toleransi karbohidrat yang terjadi atau diketahui pertama kali pada saat kehamilan sedang berlangsung.

Faktor risiko diabetes tipe ini antara lain obesitas, adanya riwayat DMG, gukosuria, adanya riwayat keluarga dengan diabetes, abortus berulang, adanya riwayat melahirkan bayi dengan berat > 4 kg, dan adanya riwayat preeklamsia. Penilaian adanya risiko diabetes melitus gestasional perlu dilakukan sejak kunjungan pertama untuk pemeriksaan kehamilannya.3.2. Pengertian Diabetes Melitus Tipe 2Dalam DM Tipe 2, pankreas dapat menghasilkan cukup jumlah insulin untuk metabolisme glukosa (gula), tetapi tubuh tidak mampu untuk memanfaatkan secara efisien. Seiring waktu, penurunan produksi insulin dan kadar glukosa darah meningkat (Adhi, 2011). Diabetes mellitus sebelumnya dikatakan diabetes tidak tergantung insulin atau diabetes pada orang dewasa. Ini adalah istilah yang digunakan untuk individu yang relatif terkena diabetes (bukan yang absoult) defisiensi insulin. Orang dengan jenis diabetes ini biasanya resisten terhadap insulin. Ini adalah diabetes sering tidak terdiagnosis dalam jangka waktu yang lama karena hiperglikemia ini sering tidak berat cukup untuk memprovokasi gejala nyata dari diabetes. Namun demikian, pasien tersebut adalah risiko peningkatan pengembangan komplikasi macrovascular dan mikrovaskuler (WHO,1999). Faktor yang diduga menyebabkan terjadinya resistensi insulin dan hiperinsulinemia ini adalah adanya kombinasi antara kelainan genetik, obesitas, inaktifitas, faktor lingkungan dan faktor makanan (Tjekyan, 2007).3.2.2. Patofisiologi Diabetes Mellitus Tipe 2

Pada DM tipe 2, sekresi insulin di fase 1 atau early peak yang terjadi dalam 3-10 menit pertama setelah makan yaitu insulin yang disekresi pada fase ini adalah insulin yang disimpan dalam sel beta (siap pakai) tidak dapat menurunkan glukosa darah sehingga merangsang fase 2 adalah sekresi insulin dimulai 20 menit setelah stimulasi glukosa untuk menghasilkan insulin lebih banyak, tetapi sudah tidak mampu meningkatkan sekresi insulin sebagaimana pada orang normal. Gangguan sekresi sel beta menyebabkan sekresi insulin pada fase 1 tertekan, kadar insulin dalam darah turun menyebabkan produksi glukosa oleh hati meningkat, sehingga kadar glukosa darah puasa meningkat. Secara berangsur-angsur kemampuan fase 2 untuk menghasilkan insulin akan menurun. Dengan demikian perjalanan DM tipe 2, dimulai dengan gangguan fase 1 yang menyebabkan hiperglikemi dan selanjutnya gangguan fase 2 di mana tidak terjadi hiperinsulinemi akan tetapi gangguan sel beta. Penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa dengan kadar insulin puasa. Pada kadar glukosa darah puasa 80-140 mg/dl kadar insulin puasa meningkat tajam, akan tetapi jika kadar glukosa darah puasa melebihi 140 mg/dl maka kadar insulin tidak mampu meningkat lebih tinggi lagi; pada tahap ini mulai terjadi kelelahan sel beta menyebabkan fungsinya menurun. Pada saat kadar insulin puasa dalam darah mulai menurun maka efek penekanan insulin terhadap produksi glukosa hati khususnya glukoneogenesis mulai berkurang sehingga produksi glukosa hati makin meningkat dan mengakibatkan hiperglikemi pada puasa. Faktor-faktor yang dapat menurunkan fungsi sel beta diduga merupakan faktor yang didapat (acquired) antara lain menurunnya massa sel beta, malnutrisi masa kandungan dan bayi, adanya deposit amilyn dalam sel beta dan efek toksik glukosa (glucose toXicity) (Schteingart, 2005 dikutip oleh Indraswari, 2010).

Pada sebagian orang kepekaan jaringan terhadap kerja insulin tetap dapat dipertahankan sedangkan pada sebagian orang lain sudah terjadi resistensi insulin dalam beberapa tingkatan. Pada seorang penderita dapat terjadi respons metabolik terhadap kerja insulin tertentu tetap normal, sementara terhadap satu atau lebih kerja insulin yang lain sudah terjadi gangguan. Resistensi insulin merupakan sindrom yang heterogen, dengan faktor genetik dan lingkungan berperan penting pada perkembangannya. Selain resistensi insulin berkaitan dengan kegemukan, terutama gemuk di perut, sindrom ini juga ternyata dapat terjadi pada orang yang tidak gemuk. Faktor lain seperti kurangnya aktifitas fisik, makanan mengandung lemak, juga dinyatakan berkaitan dengan perkembangan terjadinya kegemukan dan resistensi insulin (Indraswari, 2010).BAB III

PEMBAHASAN

3.1Mapping

3.2. Hubungan Life Style Konsumsi Makanan Padat Energi dengan Insulin Resisten dan Diabetes Mellitus3.2.1. Hubungan Antara Konsumsi Karbohidrat dengan Kadar Glukosa Darah

Konsumsi karbohidrat berhubungan dengan kadar glukosa darah puasa. Hubungan ini bersifat positif sehingga semakin tinggi konsumsi karbohidrat maka semakin tinggi kadar glukosa darah. Jumlah karbohidrat yang dikonsumsi dari makananutama dan selingan lebih penting daripada sumber atau tipe karbohidrat tersebut. Hal ini disebabkan jumlah karbohidrat yang dikonsumsi dari makananan utama dan selingan mempengaruhi kadar glukosa darah dan sekresi insulin.

Mekanisme hubungan konsumsi karbohidrat dengan kadar glukosa darah sebagai berikut: karbohidrat akan dipecah dan diserap dalam bentuk monosakarida, terutama glukosa. Penyerapan glukosa menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah dan meningkatkan sekresi insulin. Sekresi insulin yang tidak mencukupi dan resistensi insulin yangterjadipada Diabetes Mellitus Tipe 2 menyebabkan terhambatnya proses penggunaan glukosa oleh jaringan sehingga terjadi peningkatan glukosa di dalam aliran darah. Konsumsi tinggi karbohidrat menyebabkan peningkatan kadar trigliserit setelah makan di dalam darah. 3.2.2. Hubungan Antara Konsumsi Total Energi dengan Kadar Glukosa Darah

Terdapatnya hubungan antara konsumsi total energi 2 jam postprandial dengan kadar glukosa darah 2 jam. Hubungan ini bersifat positif, sehingga semakin tinggi konsumsi total energi maka semakin tinggi kadar glukosa darah.

Konsumsi makanan tinggi energi yang berlebihan memacu resistensi insulin melalui peningkatan kadar glukosa darah dan asam asam lemak bebas di dalam darah. Konsumsi makanan tinggi energi juga menyebabkan peningkatan lemak tubuh sehingga timbul obesitas. Obesitas sentral berhubungan erat dengan resistensi insulin.

3.2.3. Hubungan Antara Konsumsi Serat dengan Kadar Glukosa Darah

Konsumsi serat puasaberhubungan dengan kadar glukosa darah. Terdapatnya hubungan antara konsumsi serat 2 jam postprandial dengan kadar glukosa darah 2 jam postprandial. Hubungan tersebut bersifat negatif dimana semakin tinggi konsumsi serat maka semakin rendah kadar glukosa darah. Pada penelitian ini tidak membedakan jenis serat (serat larut air dan tidak larut air) yang terkandung di dalam makanan sehingga tidak dapat diketahui respon kadar glukosa darah terhadap jenis serat yang dikonsumsi.3.2.4 Resisten Insulin

Resistensi insulin didefinisikan sebagai munculnya respons biologis / gejala klinis akibat meningkatnya kadar insulin (bisa normal). Hal ini sering dikaitkan dengan terganggunya sensitivitas jaringan terhadap insulin yang diperantarai glukosa (Wilcox, 2005).Mekanisme Seluler pada Kondisi Resistensi Insulin

Diperkirakan bahwa pada tahun 2020 akan ada sekitar 250 juta orang yang terkena diabetes mellitus tipe 2 di seluruh dunia. Meskipun faktor utama yang menyebabkan penyakit ini tidak diketahui, jelas bahwa resistensi insulin memainkan peran utama dalam perkembangannya. Bukti untuk ini berasal dari (a) adanya resistensi insulin 10-20 tahun sebelum timbulnya penyakit, (b) penelitian lintas seksi yang menunjukkan bahwa resistensi insulin adalah penemuan yang konsisten pada pasien dengan diabetes tipe 2, dan (c) studi prospektif menunjukkan bahwa resistensi insulin adalah prediktor terbaik dari apakah seorang individu nantinya akan menjadi diabetes (Shulman, 2000).

Secara fisiologis di seluruh tubuh, kerja insulin dipengaruhi oleh peran hormone lain. Insulin bersama growth-hormone (GH) dan IGF-1 mendorong proses metabolic pada saat makan. GH disekresi sebagai respons terhadap peningkatan insulin, sehingga tidak terjadi hipoglikemia akibat insulin. Hormone kontraregulator insulin seperti glucagon, glukokortikoid, dan katekolamin mendorong proses metabolic pada saat puasa. Glukagon menyebabkan proses glikogenolisis, glukoneogenesis, dan ketogenesis. Rasio insulin-glukagon memperlihatkan derajat fosforilasi atau defosforilasi dari enzim-enzim yang berperan dalam sekresi/aktivasi insulin. Katekolamin menyebabkan lipolisis dan glikogenolisis. Sementara glukokortikoid menyebabkan katabolisme otot, glukoneogenesis, dan lipolisis. Sekresi yag berlebihan dari hormone-hormon kontra-insulin akan berakibat resistensi insulin pada beberapa tempat. Resistensi insulin pada kebanyakan tempat dipercaya sebagai manifestasi tingkat seluler dari defek sinyal insulin post-reseptor. Mekanisme yang mungkin sebagai penyebab resistensi insulin antara lain mekanisme down-regulasi, defisiensi atau polimorfisme genetic dari fosforilasi tyrosine reseptor insulin, protein IRS atau PIP-3 kinase, atau abnormalitas fungsi GLUT 4 yang disebabkan berbagai hal (Wilcox, 2005).

Peningkatan konsentrasi plasma bebas asam lemak biasanya terkait dengan banyak insulin resisten negara bagian, termasuk obesitas dan diabetes melitus tipe 2 (Kahn et al, 2000; Shulman, 2000). Dalam sebuah penelitian cross-sectional dari muda keturunan, berat badan normal dari pasien diabetes tipe 2, kami menemukan hubungan terbalik antara konsentrasi plasma puasa asam lemak dan sensitivitas insulin, konsisten dengan hipotesis bahwa metabolisme asam lemak diubah kontribusi untuk resistensi insulin pada pasien dengan diabetes tipe 2 (Shulman, 2000; Garvey et al, 1998). Selanjutnya, studi terbaru ukuran konten trigliserida intramuskular oleh otot biopsi atau konten trigliserida intramyocellular dengan 1H NMR (Shulman, 2000) telah menunjukkan hubungan yang lebih kuat antara akumulasi trigliserida intramyocellular dan resistensi insulin. Dalam serangkaian studi klasik, Randle dkk. menunjukkan bahwa asam lemak bersaing dengan glukosa untuk oksidasi substrat dalam hati tikus terisolasi otot dan otot diafragma tikus. Mereka berspekulasi bahwa oksidasi lemak menyebabkan peningkatan resistensi insulin berhubungan dengan obesitas (Kahn et al, 2000; Shulman, 2000).

Mekanisme asam lemak yang berakibat resistensi insulin pada otot rangka seperti yang diusulkan oleh Randle dkk. Peningkatan lemak konsentrasi asam mengakibatkan ketinggian asetil KoA yang intramitochondrial/CoA dan NADH/NAD+ rasio, dengan inaktivasi berikutnya dari piruvat dehidrogenase. Hal ini pada gilirannya menyebabkan konsentrasi sitrat untuk meningkat, menyebabkan penghambatan fosfofruktokinase. Setelah kenaikan intraseluler glukosa-6-fosfat konsentrasi akan menghambat aktivitas heksokinase II, yang akan mengakibatkan peningkatan intraseluler konsentrasi glukosa dan penurunan otot pengambilan glukosa. Bawah: Usulan alternatif mekanisme untuk asam lemak yang diinduksi resistensi insulin pada otot rangka manusia. Peningkatan pengiriman dari asam lemak ke otot atau penurunan metabolisme intraseluler asam lemak menyebabkan peningkatan intraseluler metabolit asam lemak seperti diasilgliserol, lemak asil KoA, dan ceramides. Metabolit ini mengaktifkan serin/treonin kinase cascade (mungkin diprakarsai oleh protein kinase Cq) menyebabkan fosforilasi serin/treonin situs pada substrat reseptor insulin (IRS-1 dan IRS-2), yang pada gilirannya mengurangi kemampuan substrat insulin reseptor untuk mengaktifkan PI 3-kinase. Sebagai akibatnya, glukosa transportasi kegiatan dan lainnya peristiwa hilir reseptor insulin signaling berkurang (Garvey, 1998; Shulman, 2000; Pessin, 2000).

Gambar 1. Mekanisme asam lemak bebas dapat menyebabkan resistensi insulin

3.3. Mengetahui Hubungan Penyakit Periodontal dengan Diabetes Mellitus Tipe II dan Penyakit Ginjal

3.3.1. Hubungan Penyakit Periodontal dengan Diabetes Mellitus Tipe II

Di Indonesia, prevalensi penyakit periodontal pada semua kelompok umur mencapai 96,58%. Dewasa ini, masih banyak masyarakat yang belum mengetahui bahwa penyakit diabetes melitus erat kaitannya dengan penyakit periodontal, yaitu penyakit peradangan kronis pada jaringan penyangga gigi. Periodontitis telah diidentifikasi sebagai komplikasi keenam diabetes. Beberapa penelitian menyatakan bahwa diabetes menjadi faktor risiko prevalensi dan keparahan gingivitis (peradangan gingiva) dan periodontitis (peradangan jaringan periodonsium). Gingivitis dan periodontitis, yang etiologi utamanya adalah plak dan kalkulus, mempunyai ciri khas. Gingivitis ditandai dengan meningkatnya produksi cairan sulkus gingiva dan perdarahan saat probing pada sulkus gingiva (bleeding on probing). Selain itu, gingiva akan tampak merah atau merahkebiruan, terasa lunak, memiliki permukaan licin dan mengilat atau kesat dan membulat.

Pada gingivitis, tidak terjadi kehilangan perlekatan. 6 Periodontitis mempunyai ciriciri peradangan gingiva yang mirip gingivitis. Akan tetapi, pada banyak kasus periodontitis infl amasi gingiva sangat kecil dan sulit ideteksi. Periodontitis dapat dideteksi dengan adanya poket periodontal, peradangan gingiva, serta hilangnya perlekatan. Selain itu, gambaran radiografi juga menunjukkan adanya kehilangan tulang.6 Diabetes diasosiasikan dengan respons infl amasi berlebih gingiva terhadap plak. Secara umum, pasien dengan diabetes terkontrol dan pasien tanpa diabetes mempunyai tingkat gingivitis yang serupa apabila jumlah plak pada kedua kelompok tersebut serupa juga. Sementara itu, pasien diabetes tidak terkontrol mempunyai tingkat gingivitis lebih parah dibandingkan pasien tanpa diabetes atau pasien dengan diabetes terkontrol. Terdapat pula asosiasi erat antara diabetes dengan periodontitis. Sebuah penelitian longitudinal menunjukkan bahwa pasien DM tipe 2 dewasa mempunyai risiko kehilangan tulang alveolar progresif empat kali lipat lebih besar dibandingkan orang dewasa tanpa diabetes. Seperti gingivitis, pasien diabetes dengan kontrol glikemik buruk juga mempunyai risiko perkembangan periodontitis dan risiko kehilangan perlekatan lebih besar dibandingkan pasien diabetes yang kontrol glikemiknya baik.

Mekanisme pengaruh penyakit periodontal terhadap diabetes baru diketahui belakangan ini Pada pasien dengan penyakit periodontal sering ditemukan peningkatan kadar proinflammatory cytokine. Pada pasien diabetes, respons imun berlebih akan lebih meningkatkan lagi produksi proinflamatory cytokines. Hal ini menyebabkan peningkatan resistensi terhadap insulin dan mempersulit kontrol glukosa darah. Beberapa studi juga menunjukkan bahwa pasien periodontitis, terutama yang jaringan periodontalnya dikolonisasi oleh bakteri gram negatif seperti P. gingivalis, Tannerella forsynthesis, dan Prevotella intermedia, mempunyai lebih banyak marker peradangan seperti C-reactive protein (CRP), IL-6, dan fibrinogen dibandingkan pasien tanpa periodontitis. Peningkatan resistensi insulin dan penurunan kontrol glikemik juga ditemukan pada pasien periodontitis tersebut. Terapi periodontal akan mereduksi peradangan lokal, yang diikuti dengan penurunan level C-reactive protein (CRP), IL-6,dan TNF- serta kontrol glikemik yang lebih baik. Hal ini membuktikan bahwa kondisi lokal pada jaringan periodontal sangat mempengaruhi kondisi sistemik.

3.3.2. Hubungan Diabetes Mellitus dengan Tipe II Penyakit Periodontal Pada awalnya, peneliti memfokuskan studi terhadap mikroba subgingiva pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Penelitian awalmenunjukkan peningkatan jumlah bakteri tertentu pada poket pasien diabetes. Akan tetapi, penelitian lanjutan menunjukkan hal sebaliknya: patogen penyebab periodontitis tidak banyak berbeda pada pasien dengan atau tanpa diabetes. Oleh sebab itu, peneliti mulai memfokuskan perhatian terhadap perbedaan respons infl amasi imun pada kedua kelompok tersebut.

Abnormalitas fungsi sel pada penderita diabetes, fungsi beberapa sel yang berperan dalam respons inflamasi seperti neutrofi l, monosit, dan makrofag mengalami perubahan. Terdapat defisiensi fungsi neutrofi l yang menyebabkan terhambatnya kemotaksis, fagositosis, serta perlekatan sel. Sel-sel tersebut merupakan lini awal pertahanan tubuh sehingga inhibisi fungsinya akan menghambat destruksi bakteri pada poket dan meningkatkan destruksi jaringan periodontal. Selain itu, makrofag dan monosit juga meningkatkan produksi pro-inflammatory cytokine serta mediatormediator lain seperti tumor necrosis factor (TNF-). Peningkatan produksi tersebut akan memperparah destruksi sel host.

Perubahan metabolisme pada pasien diabetes, fibroblas yang merupakan sel reparatif primer pada dengan baik. Selain sintesis kolagen yang berkurang, kolagen yang diproduksi fibroblas rentan terdegradasi oleh enzim matriks metalloproteinase yang jumlah produksinya meningkat pada pasien diabetes. Selain itu, pada kondisi hiperglikemik, terjadi pula inhibisi proliferasi osteoblas yang menurunkan pembentukan tulang serta properti mekanik dari tulang yang baru terdeposisi.Pembentukan Advanced Glycation End Products (AGEs) Salah satu komplikasi mayor diabetes adalah perubahan integritas mikrovaskular, yang sering menyebabkan kerusakan organ seperti retinopati dan nefropati. Pada kondisi hiperglikemik, protein serta molekul matriks mengalami non-enzymatic glycosylation yang menghasilkan advanced glycation end products (AGEs) pada jaringan, termasuk jaringan periodonsium. AGEs merupakan rantai utama yang menghubungkan banyak komplikasi diabetes karena AGEs menyebabkan abnormalitas fungsi sel endotel serta perubahan pertumbuhan dan proliferasi pembuluh darah kapiler. Akumulasi AGEs pada pasien diabetes meningkatkan intensitas respons infl amasi monosit dan makrofag, yang ditunjukkan dengan meningkatnya produksi proinfl ammatory cytokine seperti IL-1 dan TNF-. Selain itu, AGEs juga berinteraksi dengan kolagen dan membuat kolagen lebih sulit diperbaiki bila mengalami kerusakan. Akibatnya, kolagen pasien diabetes lebih mudah terdegradasi.

3.3.3. Mekanisme Destruksi Pada Tulang Alveolar Sebagai jaringan yang dinamis, tulang diadaptasikan untuk selalu mengalami perbaikan. Setelah resorpsi tulang terjadi, pertumbuhan dan remodeling tulang akan segera dirangsang. Namun hal ini tidak terjadi pada keadaan periodontitis yang mana perbaikan tulangnya tidak sempurna.

Pada pasien diabetes terdapat kecenderungan terjadinya inflamasi. Diabetes menyebabkan produksi kadar sitokin pro-inflamatori menjadi lebih tinggi, seperti IL-1 dan TNF-, yang menyebabkan kehilangan tulang yang lebih besar. Berdasarkan penelitian terakhir pada pasien diabetes, disebutkan bahwa meskipun bakteri pada plak dibutuhkan pada proses periodontitis akut, tetapi tidak berperan terhadap kehilangan tulang. Bakteri plak berperan secara tidak langsung dalam menghasilkan mediator inflamasi, seperti prostaglandin, atau sitokin yaitu IL-1 dan TNF-, yang memicu kehilangan tulang secara akut. Diabetes melitus menyebabkan ketidakseimbangan produksi tulang baru setelah resorpsi tulang dengan mencegah keseimbangan normal resorpsi dan pembentukan tulang. Konsep ini menjelaskan bahwa pada jaringan ikat produk bakteri (seperti LPS) merangsang sel (seperti makrofag) untuk memproduksi IL-1 dan TNF-. IL-1 dan TNF- merangsang produksi enzim yang merusak jaringan gingiva dan juga menyebabkan kematian fibroblas yang memperbaiki jaringan yang rusak. Pada tulang, bakteri dan produknya menstimulasi makrofag membentuk IL-1 atau TNF untuk meningkatkan produksi osteoklas yang dapat meresorpsi tulang. TNF secara khusus menyebabkan kematian sel osteoblas yang dapat memperbaiki tulang.

3.3.4. Manifestasi penyakit periodontal dengan ESRD

Stadium akhir penyakit ginjal (ESRD) pasien memiliki sejumlah besar temuan oral. Gejala yang dapat ditemukan adalah xerostomia, taste disorder, peningkatan lapisan lidah, dan penurunan aliran saliva. Penyakit periodontal adalah yang melibatkan satu atau lebih struktur periodonsium, yang meliputi tulang alveolar, ligamen periodontal, sementum, dan gingiva. Penyebabnya oleh mikroflora patogen dalam biofilm atau plak gigi (gingivitis). Gingivitis meluas jauh ke dalam jaringan dan menyebabkan hilangnya mendukung jaringan ikat dan tulang alveolar dikenal sebagai periodontitis. Studi scientgraphic saliva pada pasien dengan ESRD telah menunjukkan aliran saliva menurun dibandingkan dengan orang normal. Xerostomia merupakan faktor predisposisi karies, mucositis, dan infeksi mulut. Selanjutnya, durasi dialisis dan gagal ginjal stadium akhir secara signifikan berkorelasi dengan gingivitis, kedalaman probing, kehilangan perlekatan, dan enamel hipoplasia. Pada penderita

Penurunan fungsi ginjal menyebabkan fungsi filtrasi glomerulus menurun. Hal ini menimbulkan perubaan dalam rongga mulut. Beberapa perubahan yang terjadi dalam rongga mulut yaitu: uremik stomatitis, peningkatan penyakit periodontal, peningkata deposit kalkulus, penurunan aliran saliva dan nafas berbau ammonia. Adapun manifestasi di rongga mulut karena gagal ginjal kronik, yaitu:

a. Dry mouth

b. Mucosal ulceration

c. Bacterial and fungal plaques

d. Pallor of the mucosa ( anaemia )

e. Oral purpura

f. White plaque ( uraemic stomatitis )

g. Giant cell lessions (osteolytic lession in jaws)

Giant cell lesions pada rahang dapat terjadi sama seperti yang disebabkan oleh hyperparathyroidism. Hyperparathyroidism secondary diakibatkan karena gagal ginjal kronik atau karena lamanya dialysis dan akan meningkatkan lesi oral yang mengakibatkan terjadinya osteolytic lession pada tulang. Pada pasien yang mengalami dialysis, akses ke sirkulasi pasien terutama melalui arteriovenous shunt, biasanya pada lengan bawah, dan mudah terinfeksi sehingga mengakibatkan bakteraemia dan pada akhirnya penderita memerlukan AB prophylaxis.

3.4 Penatalaksanaan Manifestasi Penyakit Diabetes Mellitus di Rongga Mulut

Berikut hal-hal yang perlu dilakukan oleh penderita Diabetes Mellitus agar dapat menjaga atau mengupayakan supaya kesehatan rongga mulut tetap terjaga dengan baik :1. Pertama dan yang terpenting adalah mengontrol kadar gula darah.2. Kemudian rawat gigi dan gusi, serta ke dokter gigi untuk pemeriksaan rutin setiap enam bulan.3. Untuk mengontrol sariawan dan infeksi jamur, serta hindari merokok.4. Kontrol gula darah yang baik juga dapat membantu mencegah atau meringankan mulut kering yang disebabkan oleh diabetes5. Menggunakan dental floss paling tidak sekali sehari untuk mencegah plak muncul di gigi. 6. Menggosok gigi, terutama setelah makan. Gunakan sikat gigi dengan bulu yang lembut.7. Perbaiki pola hidup, jauhkan dari penyebab stres.8. Bila ada gigi yang tanggal harus segera ''diganti''.9. Jangan lupa informasikan mengenai kondisi diabetes bila berkunjung ke dokter gigi, terutama bila hendak mencabut gigi. 10. Sebaiknya hindari perawatan gigi bila kadar gula darah sedang tinggi. Turunkan dahulu kadar gula darah, baru kunjungi dokter gigi kembali.11. Pemakaian alat-alat seperti gigi tiruan atau kawat orthodontik perlu mendapat perhatian khusus. Pemakai gigi tiruan harus melepas gigi tiruan sebelum tidur dan dibersihkan dengan seksama agar meminimalkan kemungkinan terjadinya infeksi jamur karena kebersihan yang tidak terjaga.Prinsip perawatan gigi dan mulut pada penderita diabetes mellitus (Cawson dan Odell, 2008):

Waktu perawatan perlu dipertimbangkan dengan matang untuk mencegah terjadinya gangguan pada pemberian insulin yang dilakukan secara rutin. Perawatan yang dilakukan juga tidak boleh mengganggu waktu makan rutin yang sudah ditentukan pada penderita diabetes mellitus. Perawatan yang baik dilakukan di pagi hari sebelum mengkonsumsi makanan.

Tindakan operasi yang memerlukan anestesi umum sebaiknya hanya dilakukan di rumah sakit di bawah pengawasan ahlinya.

Lakukan penanganan untuk setiap komplikasi diabetik.

Dalam hal penderita diabetes mellitus, seorang dokter gigi dapat berperan dengan cara:

Membantu mendeteksi penderita diabetes mellitus yang belum terdeteksi

Memberikan penyuluhan kepada pasien tentang manifestasi yang dapat terjadi dalam mulut dan tindakan preventif yang dapat dilakukan

Melakukan perawatan gigi dan mulut penderita diabetes mellitus

Menginformasikan kepada pasien untuk menjaga Oral hygine dan periksa ke dokter gigi.BAB IV

KESIMPULANDiabetes Mellitus adalah penyakit gangguan metabolisme tubuh dimana hormon insulin tidak bekerja sebagai mana mestinya. Insulin adalah hormon yang diproduksi oleh kelenjar pankreas dan berfungsi untuk mengontrol kadar gula dalam darah dengan mengubah karbohidrat, lemak dan protein menjadi energi. ESRD (End-Stage Renal Disease) merupakan gangguan fungsi renal yang progresif dan ireversibel dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit, menyebabkan uremia (retensi urea dan sampah nitrogen lain dalam darah). Terdapat hubungan life style konsumsi makanan padat energi dengan insulin resisten dan diabetes melitus. Penyakit periodontal dengan diabetes tipe dan penyakit ginjal sangat berhubungan. Penderita diabetes maupun ESRD beresiko tinggi mengalami penyakit periodontal, begitupula sebaliknya. Sebagai seorang dokter juga harus memahami bagaimana penatalaksanaan pasien yang menderita diabetes dan ESRD sehubungan dengan perawatan rongga mulut yang akan diberikan. DAFTAR PUSTAKASlamet Suyono. Patofisiologi diabetes mellitus. Dalam: Sidartawan Soegondo, Pradana Soewondo, Imam Subekti, editor. Penatalaksanaan diabetes mellitus terpadu.Jakarta: Pusat Diabetes Dan Lipid RSCM- FK UI; 2005. hal. 7 14.

Sidartawan Soegondo, Ahmad Rudianto, Asman Manaf, Imam Subekti, Agung Pranoto, Putu Moda Asrana, dkk. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes mellitus type 2. Jakarta: Pengurus Besar Perkumpulan Endokrinologi Indonesia; 2006.

Azizzah.HubunganIndeksmassa tubuh, tingkat konsumsi energi dan karbohidrat (skripsi). In Press 2004.

Guyton AC. Fisiologi manusia dan mekanisme penyakit. 3 th ed. Alih bahasa: Andrianto P. Jakarta: EGC; 1995. hal. 706.

LIFE STYLE

OBESITAS

INSULIN RESISTEN

DIABETES MELITUS

MANINFESTASI

ESRD

PENY. PERIODONTAL

11