Skenario 1

42
Skenario 1 : Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak dan Diare Abstrak: Kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar, menyerap anggaran biaya yang besar dalam upaya penanggulangannya, berdampak pada sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas kabupaten/kota, propinsi bahkan internasional yang membutuhkan koordinasi dalam penanggulangannya. Campak dan diare adalah dua penyakit yang pada umumnya memiliki prognosis baik, namun jika tidak ditangani dengan baik dan dideteksi secara dini, kemungkinan terjadinya KLB semakin besar. Dengan melakukan penyelidikan epidemiologi, kita dapat mengumpulkan data, mengolah, menganalisis, melaporkan hasil data cakupan program pelayanan kesehatan. Kata kunci: KLB, campak, diare, penyelidikan epidemiologi Pendahuluan Pada skenario 1 diketahui bahwa di Kecamatan Bojong Gede, Cianjur, Jawa Barat sering terjadi KLB campak dan diare. Dari hasil evaluasi program didapatkan, cakupan imunisasi rendah yaitu sebesar 60% dari target sebesar 90%, khususnya imunisasi campak baru mencapai 45%. Penduduk di wilayah Bojong Gede 1

Transcript of Skenario 1

Skenario 1 :

Kejadian Luar Biasa (KLB) Campak dan Diare

Abstrak: Kejadian luar biasa (KLB) penyakit menular menjadi masalah kesehatan

masyarakat karena dapat menyebabkan jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar,

menyerap anggaran biaya yang besar dalam upaya penanggulangannya, berdampak pada

sektor ekonomi, pariwisata serta berpotensi menyebar luas lintas kabupaten/kota, propinsi

bahkan internasional yang membutuhkan koordinasi dalam penanggulangannya. Campak dan

diare adalah dua penyakit yang pada umumnya memiliki prognosis baik, namun jika tidak

ditangani dengan baik dan dideteksi secara dini, kemungkinan terjadinya KLB semakin besar.

Dengan melakukan penyelidikan epidemiologi, kita dapat mengumpulkan data, mengolah,

menganalisis, melaporkan hasil data cakupan program pelayanan kesehatan.

Kata kunci: KLB, campak, diare, penyelidikan epidemiologi

Pendahuluan

Pada skenario 1 diketahui bahwa di Kecamatan Bojong Gede, Cianjur, Jawa Barat sering

terjadi KLB campak dan diare. Dari hasil evaluasi program didapatkan, cakupan imunisasi

rendah yaitu sebesar 60% dari target sebesar 90%, khususnya imunisasi campak baru

mencapai 45%. Penduduk di wilayah Bojong Gede menggunakan sungai sebagai sumber air,

yang juga digunakan untuk mencuci, mandi, dan buang air besar. Dinas Kesehatan telah

membangun MCK (mandi, cuci, kakus) tapi masyarakat kurang bisa memanfaatkannya.

Untuk itu diperlukan suatu penyelidikan epidemiologi untuk mencari penyebab masalah

kesehatan ini.

Kriteria Kejadian Luar Biasa (KLB)

Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya atau meningkatnya kejadian kesakitan dan

atau kematian yang bermakna secara epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu

tertentu.1 Wabah adalah berjangkitnya suatu penyakit menular dalam masyarakat yang jumlah

1

penderitanya meningkat secara nyata melebihi dari pada keadaan yang lazim pada waktu dan

daerah tertentu serta dapat menimbulkan malapetaka.1

Kriteria tentang Kejadian Luar Biasa (KLB) mengacu pada Keputusan Dirjen PPM&PLP

No. 451-I/PD.03.04/1999 tentang Pedoman Penyelidikan Epidemiologi dan Penanggulangan

KLB. Menurut aturan itu, suatu kejadian dinyatakan luar biasa bila terdapat unsur:2

Timbulnya suatu penyakit menular yang sebelumnya tidak ada atau tidak dikenal.

Peningkatan kejadian penyakit/kematian terus-menerus selama 3 kurun waktu berturut-

turut menurut jenis penyakitnya (jam, hari, minggu).

Peningkatan kejadian penyakit/kematian 2 kali lipat atau lebih dibandingkan dengan

angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.

Jumlah penderita baru dalam satu bulan menunjukkan kenaikan 2 kali lipat atau lebih

bila dibandingkan dengan angka rata-rata perbulan dalam tahun sebelumnya.

Angka rata-rata perbulan selama satu tahun menunjukkan kenaikan > 2 kali

dibandingkan angka rata-rata per bulan tahun sebelumnya.

CFR suatu penyakit dalam satu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50 % atau

lebih dibanding CFR periode sebelumnya.

Proporsional Rate penderita baru dari suatu periode tertentu menunjukkan kenaikan > 2

kali dibandingkan periode yang sama dan kurun waktu/tahun sebelumnya.

Beberapa penyakit khusus, seperti kolera dan DHF/DSS: 1) Setiap peningkatan kasus

dari periode sebelumnya (pada daerah endemis); 2) Terdapat satu atau lebih penderita

baru dimana pada periode 4 minggu sebelumnya daerah tersebut dinyatakan bebas dari

penyakit yang bersangkutan.

Beberapa penyakit yang dialami 1 atau lebih penderita, seperti keracunan makanan dan

keracunan pestisida.

KLB penyakit masih menjadi masalah kesehatan masyarakat karena dapat menyebabkan

jatuhnya korban kesakitan dan kematian yang besar sehingga perlu diantisipasi dan dicegah

penyebarannya dengan tepat dan cepat. Kejadian-kejadian KLB perlu dideteksi secara dini

dan diikuti tindakan yang cepat dan tepat, perlu diidentifikasi adanya ancaman KLB beserta

kondisi rentan yang memperbesar risiko terjadinya KLB agar dapat dilakukan peningkatan

kewaspadaan dan kesiapsiagaan menghadapi kemungkinan KLB, dan oleh karena itu perlu

diatur dalam pedoman Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB).

Pen yelidikan Epidemiologi

2

Epidemiologi adalah cabang ilmu yang mempelajari distribusi kejadian kesakitan dan

kematian, serta faktor-faktor yang mempengaruhi frekuensi kejadiannya pada kelompok dan

masyarakat.3 Penyelidikan epidemiologi (PE) adalah rangkaian kegiatan untuk mengetahui

suatu kejadian baik sedang berlangsung maupun yang telah terjadi, sifatnya penelitian,

melalui pengumpulan data primer dan sekunder, pengolahan dan analisa data, membuat

kesimpulan dan rekomendasi dalam bentuk laporan. Pengertian istilah-istilah dalam

penyelidikan epidemiologi KLB/wabah, antara lain:

1. Infektifitas adalah kemampuan unsur penyebab masuk dan berkembang biak, dapat

dianggap dengan menghitung jumlah minimal dari unsur penyebab untuk menimbulkan

infeksi terhadap 50% pejamu spesies sama. Dipengaruhi oleh sifat penyebab, cara

penularan, sumber penularan, serta faktor pejamu seperti umur, sex dll.

2. Patogenesitas adalah kemampuan yang dimiliki oleh bibit penyakit untuk membuat

orang menjadi sakit, atau untuk membuat sekelompok penduduk yang terinfeksi menjadi

sakit.4 Patogenesitas sangat dipengaruhi oleh infektivitas, sehingga penghitungannya

mengunakan formulasi yang sama dengan infektifitas (patogenesitas = infektifitas).

Dengan tingkatan penyakit berdasarkan gejala dibagi menjadi:  A = tanpa gejala, B =

penyakit ringan, C = penyakit sedang, D = Penyakit Berat, dan E =  Mati. Maka,

infektifitas = patogenesitas dapat dihitung yaitu (B+C+D+E / A+B+C+D+E) artinya

kasus infeksi dibagi dengan jumlah yang terkena infeksi. Pengertian patogenestias =

infektifitas adalah 50% pejamu spesies yang sama. Misalnya, dalam suatu kelompok

penyelidikan (individu-individu dalam suatu kelompok) telah memiliki gejala yang sama

diatas 50 % dari jumlah individu dalam suatu kelompok) maka dapat dipastikan bahwa

kelompok masyarakat dalam suatu penyelidikan epidemiologi sudah dapat diketahui

unsur penyebabnya alias sudah dapat ditetap diagnosa epidemiologi komunitasnya.

3. Virulensi adalah nilai proporsi penderita dengan gejala klinis yang berat (D+E)

terhadap seluruh penderita dengan gejala klinis yang jelas (B+C+D+E). Virulensi

dipengaruhi oleh dosis, cara masuk/penularan, faktor pejamu.

4. Reservoir adalah organisme hidup atau mati (misalnya tanah) dimana penyebab

infeksi biasanya hidup dan berkembang biak. Reservoir dapat berupa manusia, binatang,

tumbuhan serta lingkungan lainnya. Reservoir merupakan pusat penyakit menular,

karena merupakan komponen utama dari lingkaran penularan dan sekaligus sebagai

sumber penularan.

5. Bentuk KLB/Wabah didasarkan pada cara penularan dalam kelompok masyarakat.

3

Gambar 1. Betuk KLB/Wabah yang didasarkan pada cara penularan dalam kelompok masyarakat

Sumber: http://arali2008.wordpress.com/2012/05/13/pentingnya-penyelidikan-epidemiologi-klbwabah/

6. Kasus adalah mereka dimana suatu agen infektif telah masuk dan tinggal dalam tubuh

mereka dan telah ada gejala infeksi.

7. Karier adalah mereka yang menyimpan agen infektif di dalam tubuhnya. Menurut

jenis dibagi menjadi: tanpa gejala (misalnya polio, hepatitis), karier dalam penyembuhan

(contoh: diphteriae), dan karier kronik (contoh: tifus).

Terdapat macam-macam penyelidikan epidemiologi, yaitu epidemiologi observasional

(dimana peneliti hanya mengamati dan tidak melakukan intervensi) dan epidemiologi

eksperimental (pembuktian bahwa suatu faktor sebagai penyebab terjadinya suatu keluaran

penyakit dengan diuji kebenarannya di laboratorium).4 Epidemiologi observasional dibagi

menjadi dua, yaitu untuk menjelaskan masalah kesehatan digunakan pendekatan

epidemiologi deskriptif, sedangkan untuk mencari faktor penyebab digunakan pendekatan

epidemiologi analitik.3 Epidemiologi deskriptif adalah bagian dari ilmu epidemiologi yang

mempelajari distribusi penyakit atau masalah di dalam masyarakat berdasarkan orang

(person), tempat kejadian (place), dan waktu kejadiannya (time).3 Di dalam epidemiologi

deskriptif dijelaskan suatu kejadian berdasarkan karakteristik masyarakat yang terkena (who),

daerah-daerah tempat kejadian (where), kapan, berapa lama, atau bagaimana kecenderungan

suatu kejadian ditinjau dari aspek waktu timbulnya kejadian (when). Epidemiologi analitik

berkaitan dengan upaya epidemiologi untuk menganalisis faktor risiko dan faktor penyebab

(determinan) masalah kesehatan.

Kegiatan penyelidikan epidemiologi dilakukan dengan beberapa tahap, yaitu:

a. Tahap Survei pendahuluan:

Menegakan diagnosa.

Memastikan adanya KLB.

4

Membuat hipotesa mengenai penyebab, cara penyebaran, dan faktor yang

mempengaruhinya.

b. Tahap pengumpulan data:

Identifikasi kasus ke dalam variabel epidemiologi (orang, tempat, waktu).

Tentukan agen penyebab, cara penyebaran, dan faktor yang mempengaruhinya.

Menentukan kelompok yang rentan atau beresiko.

c. Tahap pengolahan data:

Lakukan pengolahan data menurut variabel epidemiologi, ukuran epidemiologi:

ukuran frekuensi (proporsi, rate, ratio, mean, median, dan modus), ukuran morbiditas

(incidence rate, point prevalence rate, periode prevalence rate), dan ukuran

mortalitas (crude death rate, infant mortality rate, perinatal mortality rate, neonatal

mortality rate, post neonatal mortality rate, angka kematian bayi, cause spesific

mortality rate, maternal mortality rate, case fatality rate, proportional mortality rate),

dan nilai statistik    (mean, median mode, dan deviasi).

Lakukan analisa data kemudian bandingkan nilai-nilai tersebut dengan kejadian atau

nilai-nilai yang sudah ada.

Buat intepretasi hasil analisa.

Buat laporan hasil penyelidikan epidemiologi.

d. Tentukan tindakan penanggulangan dan pencegahannya:

Tindakan penanggulangan, terdiri dari pengobatan penderita dan isolasi kasus.

Tindakan pencegahan, terdiri dari surveilans yang ketat, perbaikan mutu lingkungan,

proteksi diri, dan perbaikan status kesehatan masyarakat.

Penyelidikan epidemiologi berkaitan dengan input, proses, output, dan efek. Input

berkaitan dengan jenis dan sumber data. Data yang dibutuhkan dapat dikelompokkan

menjadi:

Data umum, meliputi jumlah penduduk, jumlah kelahiran, kesakitan, kematian, luas

wilayah, mata pencaharian, dan sebagainya. Pada kasus 1, data umum diperoleh dari

monografi Kecamatan Bojong Gede.

Data penduduk sasaran yang disesuaikan dengan program yang dibina. Pada kasus

campak, sasaran program imunisasi campak adalah balita. Pada kasus diare, sasaran

program kesehatan lingkungan adalah wilayah Kecamatan Bojong Gede.

Data sumber daya berupa sarana, dana, dan tenaga.

5

Data cakupan program adalah jumlah penduduk yang mendapat pelayanan di wilayah

kerja Puskesmas.

Setelah data dikumpulkan, data tersebut diolah dan dianalisa. Hal ini disebut proses. Di

tingkat pelaksana program (misalnya di Puskesmas), pengolahan data hanya dilakukan

sampai dengan analisis data sesuai dengan kegiatan program pelayanan kesehatan yang

dilaksanakan di tempat tersebut. Untuk program pelayanan kesehatan terpadu, cakupan yang

dihitung, antara lain:

Cakupan KIA dianalisis melalui perhitungan jumlah kunjungan baru ibu hamil, ibu

menyusui, bayi, dan anak balita dibagi dengan jumlah ibu hamil, ibu menyusui, bayi,

atau anak balita sebagai penduduk sasaran.

Cakupan gizi berupa hasil bagi antara jumlah balita yang datang dan ditimbang (D)

dengan jumlah semua balita yang ada di wilayah kerja posyandu (S). Selain perhitungan

D/S tersebut, masih ada perhitungan lain yang dapat dipakai untuk menghitung cakupan

gizi. Hasil D/S ini dipakai untuk menilai tingkat partisipasi masyarakat. Rumus

perhitungan: Cakupan Gizi = (Jumlah D : Jumlah S) x 100%

Cakupan imunisasi adalah hasil pencapaian kegiatan imunisasi (bagian program P2M),

dengan membandingkan jumlah penduduk yang telah diberikan imunisasi DPT1, polio 3,

campak, BCG, dan TT2 dengan jumlah masing-masing penduduk sasaran imunisasi.

Penduduk sasaran untuk imunisasi TT adalah ibu hamil atau wanita usia subur (WUS),

dan penduduk sasaran untuk imunisasi dasar adalah bayi yang berumur 3 – 12 bulan.

Berdasarkan kasus 1, hasil cakupan imunisasi Kecamatan Bojong Gede sebesar 45%

masih rendah apabila dibandingkan dengan target yang telah ditetapkan dalam buku

stratifikasi Puskesmas 1987, yaitu 80%. Contoh analisis cakupan kegiatan imunisasi

campak yang didasarkan pada buku catatan imunisasi didistribusikan berdasarkan tempat

(bagaimana penyebaran cakupan imunisasi campak di tiap-tiap desa di wilayah kerja

Puskesmas?), waktu (bagaimana penilaian hasil cakupan setiap bulan, triwulan, atau

enam bulan? kapan terjadi penurunan hasil cakupan atau kapan cakupan yang terendah?),

dan orang: (kelompok penduduk yang mana cakupan imunisasinya terendah). Hal ini

dapat dilihat dari latar belakang pekerjaan, pendidikan penduduk (sosial ekonominya) di

suatu wilayah atau yang lainnya. Rumus perhitungan:

o Cakupan Imunisasi TT = (Jumlah bumil yang mendapat TT : Jumlah semua bumil) x 100%

o Cakupan Imunisasi Dasar = (Jumlah bayi yang diimunisasi : Jumlah semua bayi) x 100%

o Cakupan Imunisasi Campak = (Jumlah bayi yang diimunisasi campak : Jumlah semua bayi) x 100%

6

Cakupan program penanggulangan diare dianalisis dengan menghitung jumlah balita

yang menderita diare atau mencret dan mendapat pengobatan garam oralit dibagi dengan

semua balita yang menderita diare. Jumlah balita yang menderita didapatkan dari laporan

kader, kunjungan balita di posyandu, atau puskesmas. Laporan kejadian diare memang

leboh sukar didapatkan karena tidak semua penderita berobat kepada petugas Puskesmas

(provider), sehingga sering dipakai angka perkiraan berdasarkan besarnya angka insiden

diare di suatu wilayah. Sedangkan kasus yang berobat atau yang memperoleh oralit

dicatat dalam laporan mingguan puskesmas atau laporan posyandu. Rumus perhitungan:

Cakupan Diare = (Jumlah balita diare yang diobati : Jumlah semua balita yang diare) x 100%

Epidemiologi Penyakit Menular (Campak dan Diare)

Dalam bidang epidemiologi, terdapat tiga model yang dikenal, yaitu segitiga

epidemiologi, jaring-jaring sebab akibat, dan roda. Segitiga epidemiologi merupakan teori

dasar yang terkenal sejak disiplin ilmu epidemiologi mulai digunakan di dunia. Segitiga

epidemiologi yang saling terkait satu sama lain, yaitu:

1. Agent-Host-Environment (AHE)

Segitiga epidemiologi ini sangat umum digunakan oleh para ahli dalam menjelaskan

konsep berbagai permasalahan kesehatan, termasuk terjadinya penyakit.

Gambar 2. Model Segitiga Epidemiologi

Sumber: Prasetyawati AE. Ilmu kesehatan masyarakat untuk kebidanan holistik (integrasi commnity

oriented ke family oriented). Yogyakarta : Nuha Medika; 2011. h. 253 – 61.

Agens (agent) adalah faktor yang menjadi penyebab suatu penyakit. Penyebab penyakit

dapat mencakup agent biologis, kimia, atau fisik.

Tabel 1. Agens Penyebab Penyakit dan Cedera

Agens Biologi Agens Kimia Agens FisikVirus Pestisida Panas

Rickettsia Zat aditif makanan CahayaBakteri Zat farmakologis Radiasi

7

Jamur Zat kimia industri SuaraProtozoa Polutan udara GetaranMetazoa Asap rokok Objek berkecepatan

Sumber: McKenzie JF, Pinger RR. Kesehatan masyarakat : suatu pengantar. Edisi ke-4. Jakarta : EGC; 2006. h. 97.

Dalam kesehatan masyarakat, penyakit biasanya diklasifikasikan sebagai penyakit akut

atau kronis, atau sebagai penyakit menular (infeksius) atau tidak menular (non-infeksius).

Penyakit menular (infeksius) merupakan penyakit yang agent biologis atau produknya

menjadi penyebab dan yang dapat ditularkan dari satu individu ke individu lain. Proses

penyakit dimulai saat agens siap menetap dan tumbuh atau bereproduksi dengan tubuh

pejamu. Proses penetapan dan pertumbuhan mikroorganisme atau virus di dalam tubuh

pejamu adalah infeksi. Penyakit tidak menular (non-infeksius) atau kesakitan merupakan

penyakit yang tidak dapat ditularkan dari orang yang terkena pada orang sehat yang rentan.

Penetapan penyebab penyakit tidak menular ini seringkali lebih sulit karena adanya beberapa

atau bahkan banyak faktor yang berkontribusi dalam perkembangan kondisi kesehatan tidak

menular.

Tabel 2. Klasifikasi Penyakit

Penyakit Akut Penyakit KronisMenular Tidak Menular Menular Tidak Menular

Salesma Pneumonia Gondong Campak Pertusis Demam tifoid Kolera

Usus buntu Keracunan Cedera (akibat

tabrakan kendaraan bermotor, api, tembakan, dsb)

AIDS Lyme disease TBC Sifilis Demam rematik akibat

infeksi streptokokus Hepatitis B

Diabetes Penyakit jantung koroner Osteoartritis Sirosis hati akibat

konsumsi alkohol

Sumber: McKenzie JF, Pinger RR. Kesehatan masyarakat : suatu pengantar. Edisi ke-4. Jakarta : EGC; 2006. h. 97.

Campak

Penyakit campak disebabkan oleh karena virus campak. Virus campak termasuk di dalam

famili Paramyxovirus.5 Virus campak sangat sensitif terhadap panas, sangat mudah rusak

pada suhu 37oC. Toleransi terhadap perubahan pH baik sekali. Bersifat sensitif terhadap eter,

cahaya, dan trysine. Virus mempunyai jangka waktu hidup yang pendek (short survival time)

yaitu kurang dari 2 jam. Apabila disimpan pada laboratorium, suhu penyimpan yang baik

adalah pada suhu -70oC.

Diare

Diare akut adalah buang air besar dengan frekuensi yang meningkat dari biasanya atau

lebih dari tiga kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair dan bersifat

mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari dua minggu.6 Bila diare

8

berlangsung 2 – 4 minggu disebut diare persisten, namun jika berlangsung lebih dari 4

minggu disebut sebagai diare kronik.

Lebih dari 90% diare akut disebabkan karena infeksi, sedangkan sebab-sebab lain antara

lan obat-obatan, bahan-bahan toksik, iskemik, dan sebagainya. Diare akut karena infeksi

dapat ditimbulkan oleh:

Bakteri, seperti: Escherichia coli, Salmonella typhi, Salmonella paratyphi A/B/C,

Salmonella spp, Sigella dysentriae, Shigella flexneri, Vibrio cholerae 01 dan 0139,

Vibrio cholerae non 01, Vibrio parachemolyticus, Clostridium perfringens,

Campylobacter (Helicobacter) jejuni, Staphylococcus spp, Streptococcus spp, Yersinia

intestinalis, Coccidosis.

Parasit, seperti: protozoa (Entamoeba hystolitica, Giardia lamblia, Trichomonas

hominis, Isospora sp), cacing (A. lumbricoides, A. duodenale, N. americanus, T.

trichura, O. vermicularis, T. saginata, S. stercoralis, T. sollium).

Virus, seperti Rotavirus, Adenovirus, dan Norwalkvirus.

Pejamu (host) adalah manusia yang mudah terkena atau rentan (susceptible) terinfeksi

suatu bibit penyakit yang menyebabkan sakit. Faktor utama pada host yang mempengaruhi

mudah tidaknya ia terkena penyakit adalah sistem kekebalan atau imunitas dan perilakunya

sendiri.2 Sistem kekebalan sendiri sangat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, status

ekonomi, dan ras. Perilaku atau gaya hidup host (seseorang) juga akan mempengaruhi

timbulnya penyakit.

Untuk mengetahui apa yang diderita pasien, seorang dokter perlu melakukan anamnesis.

Anamnesis merupakan kumpulan informasi subjektif yang diperoleh dari apa yang

dipaparkan oleh pasien terkait dengan keluhan utama yang menyebabkan pasien mengadakan

kunjungan ke dokter.7 Anamnesis bisa langsung dilakukan kepada pasien (disebut

autoanamnesis) atau kepada pihak pengantar pasien (alloanamnesis).

Komponen anamnesis komprehensif akan menyusun informasi yang diperoleh dari

pasien menjadi lebih sistematis. Akan tetapi ulasan dibawah ini sebaiknya tidak mendikte

rangkaian anamnesis yang akan anda lakukan diklinik, karena biasanya wawancara akan

lebih bervariasi dan anamnesis harus lebih dinamis mengikuti kebutuhan pasien. Komponen

anamnesis komprehensif mencakup :

1. Mencantumkan tanggal pengambilan anamnesis

9

Mencantumkan waktu pengambilan sangat penting dan pertama kali dilakukan pada saat

mencatat hasil anamnesis yang dilakukan pada pasien, terutama dalam keadaan darurat

atau pada rumah sakit. 

2. Mengidentifikasi data pribadi pasien

Komponen ini mencakup nama, usia, dan jenis kelamin. Sumber informasi dapat diperoleh

dari pasien sendiri, anggota keluarga atau teman, atasan, konsultan, atau data rekam medis

sebelumnya. 

3. Tingkat Reliabilitas (dapat dipercaya atau tidak)

Sebaiknya dicatat jika dapat diketahui. Komponen ini penting untuk menentukan kualitas

dari informasi yang diberikan oleh pasien dan biasanya ditentukan pada akhir anamnesis.

4. Keluhan Utama

Keluhan utama merupakan salah satu dari beberapa keluhan lainnya yang paling dominan

sehingga mengakibatkan pasien melakukan kujungan klinik. Usahakan untuk

mendokumentasikan kata-kata asli yang dipaparkan oleh pasien.

5. Anamnesis terpimpin

Anamnesis terpimpin merupakan infomasi yang lengkap, jelas, detail, dan bersifat

kronologik terkait dengan keluhan utama yang dialami pasien. Komponen ini harus

mencakupi onset keluhan, keadaan yang memicu terjadinya keluhan, manifestasinya, dan

pengobatan yang telah dilakukan. Gejala yang didapatkan harus memiliki karakteristik

yang menjelaskan (1) lokasi; (2) kualitas; (3) kuantitas atau keparahan; (4) waktu yang

mencakup onset, durasi, dan frekuensi; (5) keadaan yang memicu terjadinya keluhan; (6)

faktor lain yang memperberat atau memperingan gejala; (7) gejala lain yang terkait dengan

keluhan utama. Pengobatan yang telah dikonsumsi sebaiknya didokumentasi, termasuk

nama obat, dosis, cara pemberian, dan frekuensi. Jika ia telah atau pernah berhenti,

tanyakan sejak kapan ia berhenti dan seberapa lama. 

6. Riwayat Penyakit Dahulu

Penyakit pada masa kecil seperti cacar, rubella, mumps, polio, dll perlu ditanyakan dalam

anamnesis. Termasuk penyakit kronis yang dialami sejak masa kecil. Selain itu, informasi

mengenai riwayat penyakit pada masa dewasa perlu didapatkan dan mencakup empat hal

yaitu sebagai berikut:

a. Riwayat medis, tanyakan mengenai adanya diabetes, hipertensi, asma, hepatitis, HIV,

dan informasi riwayat opname. 

b. Riwayat operasi, tanyakan mengenai waktu, indikasi, dan jenis operasi yang dilakukan.

10

c. Riwayat ginekologis, tanyakan mengenai riwayat obstetrik, riwayat menstruasi,

keluarga berencana, dan fungsi seksual.

d. Riwayat Psikiatrik, tanyakan mengenai waktu, diagnosis, riwayat opname, dan

pengobatan yang dijalani.

7. Riwayat Penyakit Pada Keluarga

Dalam memperoleh informasi ini, tanyakan mengenai usia, penyebab kematian, atau

penyakit yang dialami oleh keluarga terdekat pasien seperti orang tua, kakek-nenek,

saudara, anak, atau cucu. Tanyakan mengenai keberadaan penyakit atau keadaan yang

dicantumkan berikut: hipertensi, penyakit jantung koroner, dislipidemia, stroke, diabetes,

gangguan tiroid atau ginjal, kanker, arthritis, tuberkulosis, asma atau penyakit paru

lainnya, sakit kepala, kejang, gangguan mental, kecanduan obat-obatan, dan alergi, serta

keluhan utama yang dilaporkan oleh pasien.

Campak

Penyakit campak mempunyai kecenderungan untuk menyerang anak-anak, khususnya di

bawah lima tahun.5 Kekebalan terhadap campak dibawa sejak lahir, dan mulai menurun pada

usia 9 bulan, sehingga bayi sebelum berumur 9 bulan dianjurkan agar diberikan imunisasi

untuk lebih meningkatkan kekebalannya terhadap virus campak.

Diare

Faktor pejamu yang dapat menimbulkan diare akut terdiri atas faktor-faktor daya tangkis

dan lingkungan intern traktus intestinalis, seperti keasaman lambung, motilitas usus,

imunitas, dan juga mencakup lingkungan mikroflora usus, sekresi mukosa, dan enzim

percernaan.6 Kejadian diare akut pada anak laki-laki hampir sama dengan anak perempuan.

Penderita gizi buruk akan mengalami penurunan produksi antibodi serta terjadinya atropi pada

dinding usus yang menyebabkan berkurangnya sekresi berbagai enzim sehingga memudahkan

masuknya bibit penyakit ke dalam tubuh terutama penyakit diare. Pemberian makanan berupa

ASI sampai bayi mencapai usia 4-6 bulan, akan memberikan kekebalan kepada bayi terhadap

berbagai macam penyakit karena ASI adalah cairan yang mengandung zat kekebalan tubuh yang

dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi bakteri, virus, jamur dan parasit. Oleh

karena itu, dengan adanya zat anti infeksi dari ASI, maka bayi ASI eksklusif akan terlindungi dari

berbagai macam infeksi baik yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur dan parasit.

11

Lingkungan (environment) adalah situasi atau kondisi di luar agens dan pejamu yang

memudahkan terjadinya sakit pada pejamu. Lingkungan dapat dibedakan menjadi lingkungan

biologis, fisik, kimia, dan sosial.3 Seperti pada kasus 1, lingkungan terjadinya KLB campak

dan diare adalah di Kecamatan Bojong Gede, Cianjur, Jawa Barat. Penduduknya

menggunakan sungai sebagai sumber air, yang juga digunakan untuk mencuci, mandi, dan

buang air besar. Dalam kasus ini, sungai dikatakan sebagai lingkungan biologis yang

memudahkan terjadinya sakit pada pejamu. Faktor lingkungan yang berkaitan dengan

penyebab terjadinya diare, meliputi sarana air bersih (SAB), sanitasi jamban, saluran

pembuangan air limbah (SPAL), kualitas bakteriologis air, dan kondisi rumah. Sanitasi yang

buruk dituding sebagai penyebab banyaknya kontaminasi bakteri E.coli dalam air bersih yang

dikonsumsi masyarakat.

2. Person-Place-Time (PPT)

Person (individu) adalah karakteristik dari individu yang mempengaruhi keterpaparan

yang mereka dapatkan, berupa faktor genetik, umur, jenis kelamin, pekerjaan, kebiasaan, dan

status sosial ekonomi. Place (tempat) berkaitan dengan karakteristik geografis. Time (waktu)

dapat dinyatakan dalam jam, hari, bulan, atau tahun. Informasi waktu dapat menjadi pedoman

tentang kapan kejadian timbul dalam masyarakat.

3. Frekuensi –Distribusi-Determinan (FDD)

Frekuensi menunjuk pada besarnya masalah kesehatan yang terdapat pada sekelompok

masyarakat. Distribusi menunjuk pada pengelompokan masalah kesehatan berdasarkan suatu

keadaan tertentu. Determinan menunjuk pada faktor penyebab dari suatu penyakit atau

masalah kesehatan, baik yang menjelaskan frekuensi, penyebaran, ataupun yang

menerangkan penyebab munculnya masalah itu sendiri.

Model jaring-jaring sebab akibat ingin menunjukkan apabila terjadi perubahan dari salah

satu faktor akan mengubah keseimbangan antara mereka, yang berakibat bertambah atau

berkurangnya penyakit yang bersangkutan. Menurut model ini, suatu penyakit tidak

bergantung pada satu sebab yang berdiri sendiri tetapi sebagai akibat dari serangkaian proses

‘sebab akibat’. Dengan demikian, timbulnya penyakit dapat dicegah atau dihentikan dengan

memotong rantai pada berbagai titik.

12

Seperti halnya model jaring-jaring sebab akibat, model roda memerlukan identifikasi dari

berbagai faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan

pentingnya agens. Di sini dipentingkan hubungan antara manusia dengan lingkungan

hidupnya.

Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (KLB)

Penanggulangan KLB adalah kegiatan yang dilaksanakan untuk menangani penderita,

mencegah perluasan kejadian dan timbulnya penderita atau kematian baru pada suatu

kejadian luar biasa yang sedang terjadi.1 Penanggulangan KLB dikenal dengan nama Sistem

Kewaspadaan Dini (SKD-KLB), yang dapat diartikan sebagai suatu upaya pencegahan dan

penanggulangan KLB secara dini dengan melakukan kegiatan untuk mengantisipasi KLB.

Kegiatan yang dilakukan berupa pengamatan yang sistematis dan terus-menerus yang

mendukung sikap tanggap atau waspada yang cepat dan tepat terhadap adanya suatu

perubahan status kesehatan masyarakat. Kegiatan yang dilakukan adalah pengumpulan data

kasus baru dari penyakit-penyakit yang berpotensi terjadi KLB secara mingguan sebagai

upaya SKD-KLB. Data-data yang telah terkumpul dilakukan pengolahan dan analisis data

untuk penyusunan rumusan kegiatan perbaikan oleh tim epidemiologi.

Gambar 3. Program Penangggulangan KLB

Sumber: Peraturan Menteri Republik Indonesia No. 949/Menkes/SK/VIII/2004. Pedoman penyelengaraan

sistem kewaspadaan dini kejadian luar biasa. Agustus 2004.

Tahapan penanggulangan KLB, yaitu:

1. Isolasi Kasus

Untuk mengisolasi kasus, kita harus mengetahui penyakit apa yang mengalami

peningkatan angka kesakitan atau kematian dalam suatu wilayah. Untuk mengetahui

jenis penyakit, kita harus dapat mengenal cepat gejala dari tiap penyakit, yaitu:

Campak

13

Demam merupakan gejala khas dari campak. Demam timbul secara bertahap dan

meningkat sampai hari kelima atau keenam pada puncak timbulnya ruam. Kadang-kadang

kurva suhu menunjukkan gambaran bifasik, ruam awal pada 24 – 48 jam pertama diikuti

dengan turunya suhu tubuh sampai normal selama periode satu hari dan kemudian diikuti

dengan kenaikan suhu tubuh yang cepat mencapai 40oC pada waktu ruam sudah timbul di

seluruh tubuh. Gejala awal lainnya yang sering ditemukan adalah batuk, pilek, mata merah

selanjutnya dicari gejala Koplik’s spot.5 Dua hari sebelum ruam timbul, gejala Koplik’s spot

yang merupakan tanda patognomonis dari penyakit campak, dapat dideteksi.4 Lesi ini telah

didiskripsi oleh Koplik pada tahun 1896 sebagai suatu bintik berbentuk tidak teratur dan kecil

berwarna merah terang, pada pertengahannya didapatkan noda berwarna putih keabuan.

Timbulnya Koplik’s spot hanya berlangsung sebentar, kurang lebih 12 jam, sehingga sukar

terdeteksi dan biasanya luput pada waktu dilakukan pemeriksaan klinis.

Ruam timbul pertama kali pada hari ketiga sampai keempat dari timbulnya demam.

Ruam dimulai sebagai erupsi makulopapula eritematosa, dan mulai timbul pada bagian

samping atas leher, daerah belakang telinga, perbatasan rambut di kepala dan meluas ke dahi.

Kemudian menyebar ke bawah ke seluruh muka dan leher dalam waktu 24 jam. Seterusnya

menyebar ke ekstremitas atas, dada, daerah perut, dan punggung mencapai kaki pada hari

ketiga. Setelah tiga atau empat hari, lesi yang tersebut berubah menjadi berwarna kecoklatan.

Dengan menghilangnya ruam, timbul perubahan warna dari ruam, yaitu menjadi berwarna

kehitaman atau lebih gelap. Dan kemudian disusul dengan timbulnya deskuamasi berupa sisik

berwarna keputihan.

Diare

Diare akut karena infeksi bakteri yang mengandung atau memproduksi toksin akan

menyebabkan diare sekretorik dengan atau tanpa demam yang umumnya ringan, disertai atau

tanpa nyeri (kejang perut), dengan feses lembek/cair.6 Umumnya gejala diare sekretorik

timbul dalam beberapa jam setelah makan/minum yang terkontaminasi. Diare sekretorik yang

berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis yang adekuat dapat menyebabkan

kematian karena kekurangan cairan yang mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena

gangguan biokimiawi berupa asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan

seseorang akan merasa haus, berat badan berkurang, mata menjadi cekung, serta suara

menjadi serak. Sedangkan kehilangan karbonas dan asam karbonas berkurang yang

mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat pernapasan

sehingga frekuensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (pernafasan Kussmaul). Gangguan

14

kardiovaskular pada tahap hipovolemik yang berat dapat berupa renjatan dengan tanda-tanda

denyut nadi yang cepat (>120/menit), tekanan darah menurun sampai tak terukur. Bakteri

yang invasif akan menyebabkan diare yang disebut diare inflamasi dengan gejala mual,

muntah, dan demam yang tinggi, disertai nyeri perut, tenesmus, diare yang disertai lendir dan

darah.

2. Mengobati Kasus

Pada kasus Campak, pengobatan yang diberikan bersifat simtomatik, yaitu antipiretik

bila suhu tinggi, sedatif, obat antitusif, dan memperbaiki keadaan umum dengan

memperhatikan asupan cairan dan kalori serta pengobatan terhadap komplikasi.

Pada kasus Diare, ada tiga tahapan penatalaksanaan, yaitu:

Rehidrasi oral

Penggunaan terapi rehidrasi oral (TRO) telah semakin luas diterima di seluruh dunia

karena merupakan terapi yang cepat, aman, efektif, dan murah untuk diare. Larutan

rehidrasi yang optimal harus dapat mengganti air, natrium, kalium, dan bikarbonat, dan

larutan tersebut juga harus isotonik atau hipotonik.8 Penambahan glukosa ke dalam

larutan meningkatkan penyerapan natrium dengan memanfaatkan kotransportasi natrium

yang digabungkan dengan glukosa, yang maksimal apabila konsentrasi glukosa tidak

lebih daripada 110 sampai 140 mmol/L.8 Kontraindikasi pemakaian TRO adalah syok,

volume tinja lebih dari 10 mL/kg/jam, ileus, atau intoleransi monosakarida.

Pemulihan diet

Setelah rehidrasi yang adekuat tercapai, masalah berikutnya yang perlu diatasi adalah

pemulihan makanan yang normal sesuai usia. Pilihan makanan awal mungkin mencakup

makanan yang mudah diserap, misalnya nasi dan mi gandum serta makanan

komplementer, seperti pisang (yang banyak mengandung kalium).8

Obat antidiare

Terdapat tiga kategori obat diare, yaitu obat intralumen, antimotilitas, dan antisekretorik.

Obat intralumen yang paling luas digunakan adalah suspensi tanah liat atau silikat yang

berfungsi sebagai adsorben (penyerap). Opiat, termasuk paregorik serta obat sintetik,

seperti kodein, difenoksilat, dan loperamid sering digunakan sebagai obat antimotilitas

untuk pengobatan diare ringan pada orang dewasa sehingga karena efek sampingnya

jangan digunakan pada anak-anak. Okteotrid sangat efektif dalam menghambat diare

sekretorik yang berkaitan dengan tumor penghasil hormon dan dalam mengurangi

volume diare akibat AIDS.8

15

3. Pencegahan Kasus

Ada tingkat pelaksanaan tindakan pencegahan dalam pengendalian penyakit, yaitu:

Pencegahan primer, tujuannya untuk mencegah awitan suatu penyakit selama masa

prapatogenesis. Pencegahan primer meliputi health promotion dan spesific protection.

Health promotion merupakan suatu tindakan preventif yang dilakukan pada saat masih

sehat sehingga tidak menjadi sakit, seperti perilaku sehat (cuci tangan sebelum makan),

olahraga, kebersihan lingkungan, dll). Spesific protection merupakan tindakan preventif

yang dilakukan pada saat masih sehat sehingga tidak sakit dengan menggunakan suatu

alat pelindung khusus, seperti melakukan vaksinasi terhadap penyakit tertentu.

Program imunisasi bertujuan untuk menurunkan angka kesakitan dan kematian dari

penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi.10 Program imunisasi nasional dikenal

sebagai Pengembangan Program Imunisasi (PPI) atau expanded program on

immunisation (EPI) dilaksanakan di Indonesia sejak tahun 1977.11 Program PPI

merupakan program pemerintah dalam bidang imunisasi guna mencapai komitmen

internasional, yaitu universal child immunisation (UCI). Target UCI 80-80-80

merupakan tujuan antara (intermediate goal), yang berarti cakupan imunisasi unutk

BCG, DPT, poli, campak, dan hepatitis B harus mencapai 80%, baik di tingkat nasional,

propinsi, dan kabupaten bahkan di setiap desa.11 Pada kasus 1, cakupan imunisasi dasar

masih rendah yaitu sebesar 60 dari target 90 persen, terutama imunisasi campak baru

mencapai 45%. Maka tidak heran terjadi KLB campak di Kecamatan Bojong Gede.

Gambar 4. Jadwal imunisasi

Sumber: Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita CB, Ismoedijanto, Soedjamtmiko. Pedoman

imunisasi di Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta : Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008.

16

Pencegahan sekunder adalah diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit sebelum

penyakit itu berkembang dan disabilitas menjadi parah. Salah satu tindakan pencegahan

sekunder yang paling penting adalah skrinning kesehatan. Tujuan skrinning ini bukan

untuk mencegah terjadinya tetapi lebih untuk mendeteksi keberadaannya selama masa

patogenesis awal, sehingga intervensi (pengobatan) dini dan pembatasan disabilitas dapat

dilakukan.

Pencegahan tersier bertujuan untuk melatih kembali, mendidik kembali, dan

merehabilitasi pasien yang mengalami disabilitas permanen. Tindakan pencegahan

tersier mencakup tindakan yang diterapkan setelah berlangsungnya masa patogenesis.

4. Surveilans

Surveilans epidemiologi adalah kegiatan pengamatan secara sistematis dan terus menerus

terhadap penyakit atau masalah-masalah kesehatan serta kondisi yang mempengaruhi risiko

terjadinya penyakit atau masalah-masalah kesehatan tersebut agar dapat melakukan tindakan

penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan, pengolahan data dan

penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Tujuan

surveilans adalah engetahui perubahan epidemiologi kasus, mengidentifikasi populasi risiko

tinggi, memprediksi dan mencegah terjadinya KLB, dan penyelidikan epidemiologi setiap

KLB. Surveilans penyakit di tingkat desa dilaksanakan oleh kelompok kerja surveilans

tingkat desa, dengan melakukan kegiatan pengamatan dan pemantauan situasi

penyakit/kesehatan masyarakat desa dan kemungkinan ancaman terjadinya KLB secara terus

menerus. Pemantauan tidak hanya sebatas penyakit tetapi juga dilakukan terhadap faktor

risiko munculnya suatu penyakit.

Ada dua jenis surveilans, yaitu surveilens sindromik dan surveilens penyakit menular.

Surveilans sindromik merupakan awal dari sistem deteksi dini penyakit menular. Surveilens

sindromik itu penting karena dengan mencatat dan mendata secara rapi, kemunculan penyakit

menular dapat ditemukan sejak awal. Jika deteksi dini dapat dilakukan, koordinasi dengan

ahli pun dapat dilakukan dengan cepat, gangguan akibat meluasnya wabah antara lain berupa

penularan massal serta penularan sekunder dapat dikendalikan sebelum meluas. Surveilans

penyakit menular adalah pengamatan dan analisis tren kemunculan penyakit menular dengan

cara memahami kondisi munculnya penyakit berdasarkan diagnose, peraturan perundang-

undangan terkait pencegahan penyakit menular dan pengobatan terhadap pasien penyakit

menular. Jenis laporan surveilans penyakit menular dapat berupa: W1 (KLB/Wabah), W2 dan

EWARS (mingguan), STP (bulanan).

17

Strategi surveilans meliputi:

Surveilans Rutin

Surveilans rutin merupakan pengamatan epidemiologi kasus campak yang telah

dilakukan secara rutin selama ini berdasarkan sumber data rutin yang telah ada serta sumber

data lain yang mungkin dapat dijangkau pengumpulannnya.

SKD dan Respon KLB

Pelaksanaan SKD dan Respon KLB campak dilakukan setelah diketahui atau adanya

laporan 1 kasus pada suatu daerah serta pada daerah yang memiliki populasi rentan lebih 5%.

Penyelidikan dan penanggulangan setiap KLB

Setiap KLB harus diselidiki dan dilakukan penanggulangan secepatnya yang meliputi

pengobatan simtomatis pada kasus, pengobatan dengan antibiotika bila terjadi komplikasi,

pemberian vitamin A dosis tinggi, perbaikan gizi dan meningkatkan cakupan imunisasi

campak/ring vaksinasi (program cepat,sweeping) pada desa-desa risiko tinggi.

Pemeriksaan laboratorium pada kondisi tertentu

Contoh: pada tahap reduksi campak dengan pencegahan KLB, pemeriksaan laboratorium

dilakukan terhadap 10 – 15 kasus baru pada setiap KLB. Pada tahap eliminasi/eradikasi,

setiap kasus campak dilakukan pemeriksaan laboratorium.

Studi epidemiologi

Melakukan survei cepat, penelitian operasional atau operational research (OR) sebagai

tindak lanjut hasil analisis surveilans untuk melengkapi data/informasi surveilans yang

diperlukan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam perbaikan program (corrective

action).

Pelayanan Kesehatan Primer

Untuk dapat memberikan pelayanan kesehatan secara menyeluruh (comprehensive health

care services) kepada seluruh masyarakat di wilayah kerjanya, Puskesmas menjalankan

beberapa usaha pokok (basic health care services) yang meliputi 12 program sebagai berikut:

kesehatan ibu dan anak (KIA), keluarga berencana (KB), pemberantasan penyakit menular

(P2M), peningkatan gizi, kesehatan lingkungan (kesling), pengobatan, penyuluhan kesehatan

masyarakat, laboratorium, kesehatan sekolah, perawatan kesehatan masyarakat, kesehatan

jiwa, dan kesehatan gigi.3 Dari ke-12 program pokok Puskesmas, dipilihlah empat program

yang sesuai dengan kasus 1, yaitu:

1. Kesehatan Ibu dan Anak (KIA)

18

Tujuan umum dari KIA adalah menurunkan kematian (mortality) dan kejadian sakit

(morbidity) di kalangan ibu serta meningkatkan derajat kesehatan anak, melalui pemantauan

status gizi dan pencegahan sedini mungkin berbagai penyakit menular yang bisa dicegah

dengan imunisasi dasar sehingga anak dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Sasaran

primernya adalah ibu hamil, ibu menyusui, anak-anak (sampai dengan usia 5 tahun),

sedangkan sasaran sekunder adalah dukun beranak dan kader kesehatan. Jumlah sasaran ibu

hamil dan anak ditetapkan menggunakan dua cara, yaitu pendataan langsung dan perkiraan

(estimasi).

Kegiatan KIA terdiri dari kegiatan pokok dan kegiatan integratif. Kegiatan integratif

adalah kegiatan program lain (misalnya kegiatan imunisasi merupakan kegiatan pokok P2M)

yang dilaksanakan pada program KIA karena sasran penduduk program P2M juga menjadi

sasaran program KIA. Kegiatan KIA terdiri dari:

Memeriksa kesehatan ibu hamil (ANC).

Mengamati perkembangan dan pertumbuhan anak-anak balita (integrasi program gizi).

Memberikan nasihat tentang makanan, mencegah timbulnya masalah gizi karena

kekurangan protein dan kalori.

Memperkenalkan jenis makanan tambahan (vitamin dan garam yodium) → Integrasi

program PKM dan gizi.

Memberikan pelayanan KB kepada pasangan usia subur → Integrasi program KB.

Merujuk para ibu atau anak-anak yang memerlukan pengobatan→ Integrasi program

pengobatan.

Memberikan pertolongan persalinan dan bimbingan selama nifas → Integrasi dengan

program perawatan kesehatan masyarakat.

Mengadakan latihan untuk dukun bersalin.

2. Pemberantasan Penyakit Menular (P2M)

Di berbagai wilayah di Indonesia terdapat perbedaan tingkat dan jenis endemisitas

penyakit menular. Tujuan dari program P2M adalah menemukan kasus penyakit menular

sedini mungkin dan mengurangi berbagai risiko kesehatan masyarakat yang memudahkan

terjadinya penyebaran suatu penyakit menular.3 Sasaran primernya adalah ibu hamil, balita,

dan anak-anak sekolah untuk kegiatan imunisasi, sedangkan sasaran sekunder adalah

lingkungan pemukiman masyarakat.

3. Peningkatan Gizi

19

Masalah gizi masih cukup rawan di beberapa wilayah di Indonesia, terutama di wilayah

pemukiman kumuh. Tujuan program peningkatan gizi adalah meningkatkan status gizi

masyarakat melalui upaya pemantauan status gizi kelompok-kelompok masyarakat yang

mempunyai risiko tinggi, pemberian makanan tambahan, baik yang bersifat penyuluhan

maupun pemulihan.3 Sasarannya adalah ibu hamil, ibu menyusui, anak-anak (sampai dengan

usia 5 tahun).

4. Kesehatan Lingkungan

a. Menyediakan Air Bersih

Air merupakan kebutuhan dasar yang dipergunakan sehari-hari untuk minum, mandi,

cuci, dan keperluan lainnya. Air merupakan suatu unsur yang sangat penting dalam aspek

kesehatan masyarakat, dimana air dapat menjadi sumber dan tempat perindukan dan media

kehidupan bibit penyakit. Banyak penyakit terkait dengan air, baik air kotor dan bahkan juga

air yang bersih secara fisik, seperti diare. kimiawi. Secara fisik, air harus memenuhi syarat

berikut: tidak berwarna (bening/jernih), tidak keruh (bebas dari lumpur, sampah, busa, dll),

tidak berasa (asin, pahit, asam), tidak berbau (amis, anyir, busuk, belerang, dll). Kegiatan

yang dapat dilakukan, antara lain:

Perlindungan terhadap sumber mata air yang digunakan penduduk, misalnya dengan

kaporitisasi sumur.

Penyuluhan melalui demonstrasi tentang pembuatan sumur.

Penyediaan sumur pompa tangan, baik dangkal maupun dalam, sarana air minum, dan

sebagainya.

Mengadakan penyuluhan kesehatan tentang air minum sehat.

b. Memperbaiki sistem pembuangan kotoran manusia

Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada

tujuh kriteria yang harus diperhatikan, yaitu:

Tidak mencemari air, artinya:

o Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak

mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar

lubang kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

o Jarang lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter

20

o Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang

kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.

o Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau,

sungai, dan laut

Tidak mencemari tanah permukaan, artinya:

o Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,

dekat mata air, atau pinggir jalan.

o Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau dikuras,

kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

Bebas dari serangga

o Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu.

Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah.

o Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang

nyamuk.

o Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi sarang

kecoa atau serangga lainnya.

o Lantai jamban harus selalu bersih dan kering.

o Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup

Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan, artinya:

o Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai

digunakan

o Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat

oleh air

o Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk

membuang bau dari dalam lubang kotoran

o Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus

dilakukan secara periodik.

Aman digunakan oleh pemakainya, artinya:

o Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran

dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai yang

terdapat di daerah setempat.

Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya, artinya:

o Lantai jamban rata dan miring ke arah saluran lubang kotoran.

21

o Jangan membuang plastik, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran karena

dapat menyumbat saluran.

o Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan

cepat penuh.

o Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter

minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100.

Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan, artinya:

o Jamban harus berdinding dan berpintu

o Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari

kehujanan dan kepanasan.

Gambar 5. Syarat Jamban Sehat

Sumber: http://promkes-banyuurip.blogspot.com/2011_03_01_archive.html

c. Pembuangan Sampah

Sampah adalah limbah yang bersifat padat, terdiri dari bahan yang bias membusuk

(organik) dan tidak membusuk (anorganik) yang dianggap sudah tidak berguna lagi dan harus

dikelola agar tidak membahayakan lingkungan dan masyarakat. Sampah harus dikelola

dengan baik dan benar, karena bila tidak akan dapat menjadi tempat perindukan vektor bibit

penyakit. Untuk pedesaan, pada umumnya sampah biasanya ditangani dengan beberapa cara,

yaitu dibakar, dibuang ke lubang galian, atau dibuat kompos. Kegiatan pembuangan sampah

dilaksanakan bekerjasama dengan kelompok-kelompok masyarakat. Masyarakat digerakkan

untuk melakukan pembuangan sampah yang baik sehingga sampah tidak lagi mencemari

lingkungan pemukiman mereka.3

Namun dengan berkembangnya dunia usaha dan juga ilmu pengetahuan, kini sampah

dapat dikelola dengan lebih menguntungkan, yaitu yang dikenal dengan istilah pendekatan

3R (reduce, reuse dan recycle). Reduce adalah upaya pengelolaan sampah dengan cara

22

mungurangi volume sampah itu sendiri. Cara ini sifatnya lebih mengarah ke pendekatan

pencegahan. Contoh: kalo beli sayuran pilihlah sayuran yang sesedikit mungkin dibuang,

kalo ambil makanan jangan berlebihan, sehingga akan mengurangi makanan yang menjadi

sampah. Reuse adalah suatu cara untuk menggunakan kembali sampah yang ada, untuk

keperluan yang sama atau fungsinya yang sama. Contoh: botol sirop digunakan kembali

untuk botol sirop, atau untuk botol kecap. Tentunya proses ini harus dilakukan dengan baik,

missal dengan dicuci yang benar. Recycle adalah pemanfaatan limbah melalui pengolahan

fisik atau kimia, untuk menghasilkan produk yang sama atau produk yang lain. Contoh:

sampah organik diolah menjadi kompos, besi bekas diolah kembali menjadi barang-barang

seni dari besi, dll.

d. Pengawasan terhadap tempat-tempat umum

Pengawasan biasanya dilakukan di perusahaan-perusahaan penghasil limbah cair, tempat

pengolahan dan penjualan makanan, tempat-temapt umum, dan sanitasi lingkungan. Kegiatan

ini dikoordinasikan secara lintas sektoral terutama dengan camat.3 Limbah cair rumah tangga

dapat berasal dari kamar mandi, peturasan, cucian barang/bahan dari dapur rumah tangga.

Dalam pengertian ini limbah cair ini tidak termasuk limbah cair yang berasal dari jamban

keluarga. Limbah cair dari kegiatan rumah tangga volumenya relatif sedikit dibanding dengan

luas lahan yang ada di desa tersebut. Namun demikian limbah cair tersebut tetap harus

dikelola, karena kalo dibuang sembarangan akan membuat lingkungan kotor, berbau, dan

mengurangi estetika dan kebersihan lingkungan. Limbah cair harus dikelola dengan baik dan

benar, karena bila tidak akan dapat menjadi tempat perindukan vektor bibit penyakit

penyakit.

Promosi Kesehatan

Dalam konteks kesehatan, promosi berarti upaya memperbaiki kesehatan dengan cara

memajukan, mendukung, dan menempatkan kesehatan lebih tinggi dari agenda, baik secara

perorangan maupun secara kelompok. Definisi WHO, berdasarkan piagam Ottawa/Ottawa

Charter (1986) mengenai promosi kesehatan sebagai hasil Konferensi Internasional Promosi

Kesehatan di Ottawa Canada adalah sebagai berikut: Health promotion is the process of

enabling people to control over and improve their health. To reach a state of complete

physical, mental, and social well-being, an individual or group must be able to identify and

realize aspiration, to satisfy needs, and to change or cope with the environment.9

Berdasarkan definisi tersebut, WHO menekankan bahwa promosi kesehatan merupakan suatu

23

proses yang bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatan dan

meningkatkan kesehatannya berbasis filosofi yang jelas mengenai pemberdayaan diri sendiri.

Promosi kesehatan meliputi dan merangkum pengertian dari pendidikan kesehatan,

penyuluhan kesehatan, komunikasi, informasi, dan edukasi (KIE), dan istilah lainnya.

Sasaran promosi kesehatan terdiri dari sasaran primer, sekunder, dan tersier. Sasaran primer

adalah sasaran yang mempunyai masalah, yang diharapkan mau berperilaku sesuai harapan

dan memperoleh manfaat paling besar dari perilaku tersebut. Dalam kasus 1, sasaran primer

adalah penduduk yang terkena diare dan balita yang terkena campak. Sasaran sekunder

adalah individu atau kelompok yang memiliki pengaruh atau disegani oleh sasaran primer.

Sasaran sekunder, seperti ketua RT, RW, Lurah, dan Camat, diharapkan mampu mendukung

pesan-pesan yang disampaikan kepada sasaran primer. Sasaran tersier adalah para pengambil

kebijakan, penyandang dana, pihak-pihak yang berpengaruh di berbagai tingkatan

pemerintahan.

Kegiatan PKM dilaksanakan secara integratif dengan semua usaha pokok puskesmas

karena semua program memerlukan komponen kegiatan penyuluhan untuk kelompok-

kelompok sasaran program. Di tingkat kabupaten, disediakan tenaga koordinator PKM yang

akan membantu petugas PKM puskesmas mengembangkan usaha pokok kesehatan dalam

rangka peningkatan peran serta masyarakat. Bantuan tenaga PKM dari Dinkes tingkat II

biasanya diberikan apabila di wilayah kerja puskesmas timbul KLB penyakit menular.

Karena kegiatan PKM adalah bagian integral dari semua program pokok puskesmas, semua

staf puskesmas harus mampu melaksanakannya, baik sasarannya individu pasien maupun

kelompok-kelompok masyarakat sasaran program. Tetapi kenyataannya di puskesmas masih

sulit mengembangkan kegiatan PKM karena berbagai kendala, kecuali terjadi wabah (KLB).

PKM sebaiknya merupakan kegiatan rutin dilakukan oleh staf, jangan hanya dilaksanakan

pada saat timbulnya KLB penyakit menular.

Menurut Notoatmodjo (1993) dan WHO (1992), metode pendidikan kesehatan

diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu:3

1. Metode pendidikan individu

Bimbingan dan konseling (guidance and counseling) serta wawancara. Bimbingan

berisi penyampaian informasi yang berkenaan dengan masalah pendidikan,

pekerjaaan, pribadi, dan masalah sosial yang disajikan dalam bentuk pelajaran.

Konseling memungkinkan peserta didik mengenal dan menerima diri sendiri serta

realistis dalam proses penyelesaian dengan lingkungannya.

Wawancara yang sebenarnya bagian dari bimbingan dan konseling.

24

2. Metode pendidikan kelompok

Ceramah adalah pidato yang disampaikan oleh seorang pembicara dalam waktu yang

terbatas di depan sekelompok pendengar biasanya orang dewasa yang memahami

kata-kata yang digunakan pembicara. Namun cara ini sulit diterapkan pada anak-anak,

kurang menarik minat, dan menghalangi respon pendengar.

Seminar adalah presentasi dari satu atau beberapa ahli tentang suatu topik yang

dianggap penting dan dianggap hangat di masyarakat. Metode ini hanya cocok untuk

sasaran kelompok besar dengan pendidikan menengah ke atas.

Diskusi kelompok adalah percakapan terencana di antara tiga orang atau lebih dan

salah satunya sebagai pemimpin diskusi. Ini merupakan pendekatan demokratis dan

tiap anggota dapat mengemukakan pendapat.

Curah pendapat adalah semacam pemecahan masalah ketika tiap anggota

mengusulkan dengan cepat semua kemungkinan pemecahan yang dipikirkan. Metode

ini cocol digunakan untuk membangkitkan pikiran kreatif, merangsang partisipasi,

dan menciptakan suasana yang menyenangkan dalam kelompok.

Snowball dilakukan dengan membagi secara berpasangan, mendiskusikan masalah

dan mencari kesimpulan. Selanjutnya, setiap dua pasang yang sudah beranggotakan

empat orang ini bergabung lagi dengan pasangan lainnya, demikian seterusnya

akhirnya terjadi diskusi seluruh kelas.

Buzz group dilakukan dengan membagi kelompok sasaran yang lebih besar menjadi

kelompok kecil, kemudian membahas suatu masalah dan melaporkan hasilnya kepada

kelompok besar.

Role play adalah permainan sebuah situasi dalam hidup manusia mengenai kasus

tertentu. Hal ini sulit diterapkan karena banyak yang tidak senang memainkan peran

dan dibutuhkan pemimpin yang terlatih.

Simulasi adalah suatu cara peniruan karakteristik atau perilaku sehingga para peserta

dapat bereaksi seperti pada keadaan sebenarnya.

3. Metode pendidikan massa dilakukan dengan ceramah umum yaitu memberikan pidato di

hadapan massa dengan sasaran yang sangat besar.

Kesimpulan

Dalam penyelidikan epidemiologi (PE), setiap kasus penyakit yang dinyatakan sebagai

KLB/wabah dapat diketahui penyebab, tahu cara terjadinya, tahu sumber terjadinya dan tahu

faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya pada induvidu sebagai host dari kasus penyakit

25

yang terjadi. Dengan mengerti dan memahami ini semua maka upaya pencegahan dapat

dilakukan, kasus penyakit tidak akan muncul dengan penyebab yang sama.

Daftar Pustaka

1. Departemen Kesehatan RI. Peraturan Menteri Republik Indonesia No.

949/Menkes/SK/VIII/2004 tentang pedoman penyelengaraan sistem kewaspadaan dini

kejadian luar biasa.

2. Departemen Kesehatan RI. Keputusan Dirjen PPM&PLP No. 451-I/PD.03.04/1999

tentang pedoman penyelidikan epidemiologi dan penanggulangan KLB.

3. Muninjaya AAG. Manajemen kesehatan. Jakarta : EGC; 1999. h. 115 – 38.

4. Prasetyawati AE. Ilmu kesehatan masyarakat untuk kebidanan holistik (integrasi

commnity oriented ke family oriented). Yogyakarta : Nuha Medika; 2011. h. 253 – 61.

5. Soegijanto S. Campak. Dalam : Ranuh IGN, Suyitno H, Hadinegoro SRS, Kartasasmita

CB, Ismoedijanto, Soedjamtmiko. Pedoman imunisasi di Indonesia. Edisi ke-3. Jakarta :

Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2008. h. 171 – 7.

6. Budi Setiawan. Diare akut karena infeksi. Dalam : Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,

Simadibrata M, Setiati S. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-5. Jilid ke-3. Jakarta :

InternaPublishing; 2009. h. 2836 – 42.

7. Bickley LS. Bates : buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-8.

Jakarta : EGC; 2009. h. 392 – 406.

8. Maulana HDJ. Promosi kesehatan. Jakarta : EGC; 2009. h. 13 – 42.

9. Cohen MB. Evaluasi pada anak dengan diare akut. Dalam : Alper A, et al. Buku ajar

pediatri rudolph. Edisi ke-20. Jakarta : EGC; 2006. h. 1142 – 7.

10. Notoatmojo S. Kesehatan masyarakat : ilmu dan seni. Jakarta : Rineka Cipta; 2011. h. 44

– 53.

11. McKenzie JF, Pinger RR. Kesehatan masyarakat : suatu pengantar. Edisi ke-4. Jakarta :

EGC; 2006. h. 97 – 107.

26