Sk2 Emergency Mandiri

download Sk2 Emergency Mandiri

of 40

description

trauma kapitis

Transcript of Sk2 Emergency Mandiri

LI 1 trauma kepalaDefinisi

Trauma kepala atau trauma kapitis adalah suatu ruda paksa (trauma) yang menimpa struktur kepala sehingga dapat menimbulkan kelainan struktural dan atau gangguan fungsional jaringan otak (Sastrodiningrat, 2009). Menurut Brain Injury Association of America, cedera kepala adalah suatu kerusakan pada kepala, bukan bersifat kongenital ataupun degeneratif, tetapi disebabkan oleh serangan atau benturan fisik dari luar, yang dapat mengurangi atau mengubah kesadaran yang mana menimbulkan kerusakan kemampuan kognitif dan fungsi fisik (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).

Epidemiologi

Cedera kepala merupakan salah satu penyebab kematian utama dikalangan usia produktif khususnya di negara berkembang. Hal ini diakibatkan karena mobilitas yang tinggi di kalangan usia produktif sedangkan kesadaran untuk menjaga keselamatan di jalan masih rendah disamping penanganan pertama yang belum benar benar rujukan yang terlambat .

Pada populasi secara keseluruhan, laki-laki dua kali ganda lebih banyak mengalami trauma kepala dari perempuan. Namun, pada usia lebih tua perbandingan hampir sama. Hal ini dapat terjadi pada usia yang lebih tua disebabkan karena terjatuh. Mortalitas laki-laki dan perempuan terhadap trauma kepala adalah 3,4:1 (Jagger, Levine, Jane et al., 1984).

Resiko trauma kepala adalah dari umur 15-30 tahun, hal ini disebabkan karena pada kelompok umur ini banyak terpengaruh dengan alkohol, narkoba dan kehidupan sosial yang tidak bertanggungjawab

Etiologi

Menurut Brain Injury Association of America, penyebab utama trauma kepala adalah karena terjatuh sebanyak 28%, kecelakaan lalu lintas sebanyak 20%, karena disebabkan kecelakaan secara umum sebanyak 19% dan kekerasan sebanyak 11% dan akibat ledakan di medan perang merupakan penyebab utama trauma kepala (Langlois, Rut land-Brown, Thomas, 2006).

Kecelakaan lalu lintas dan terjatuh merupakan penyebab rawat inap pasien trauma kepala yaitu sebanyak 32,1 dan 29,8 per100.000 populasi. Kekerasan adalah penyebab ketiga rawat inap pasien trauma kepala mencatat sebanyak 7,1 per100.000 populasi di Amerika Serikat ( Coronado, Thomas, 2007). Penyebab utama terjadinya trauma kepala adalah seperti berikut

a) Kecelakaan Lalu Lintas

Kecelakaan lalu lintas adalah dimana sebuah kenderan bermotor bertabrakan dengan kenderaan yang lain atau benda lain sehingga menyebabkan kerusakan atau kecederaan kepada pengguna jalan raya (IRTAD, 1995).

b) Jatuh

Menurut KBBI, jatuh didefinisikan sebagai (terlepas) turun atau meluncur ke bawah dengan cepat karena gravitasi bumi, baik ketika masih di gerakan turun maupun sesudah sampai ke tanah.

c) Kekerasan

Menurut KBBI, kekerasan didefinisikan sebagai suatu perihal atau perbuatan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cedera atau matinya orang lain, atau menyebabkan kerusakan fisik pada barang atau orang lain (secara paksaan)Klasifikasi

Cedera kepala dapat dilasifikasikan sebagai berikut :1. Berdasarkan Mekanismea. Trauma TumpulTrauma tumpul adalah trauma yang terjadi akibat kecelakaan kendaraan bermotor, kecelakaan saat olahraga, kecelakaan saat bekerja, jatuh, maupun cedera akibat kekerasaan (pukulan).b. Trauma TembusTrauma yang terjadi karena tembakan maupun tusukan benda-benda tajam/runcing.2. Berdasarkan Beratnya Cidera

Adapun pembagian cedera kepala lainnya dengan cara skala koma Glasgow. Skala koma Glasgow adalah nilai (skor) yang diberikan pada pasien trauma kapitis, gangguan kesadaran dinilai secara kwantitatif pada setiap tingkat kesadaran. Bagian-bagian yang dinilai adalah;1. Proses membuka mata (Eye Opening)

2. Reaksi gerak motorik ekstrimitas (Best Motor Response)

3. Reaksi bicara (Best Verbal Response)

Pemeriksaan Tingkat Keparahan Trauma kepala disimpulkan dalam suatu tabel Skala Koma Glasgow (Glasgow Coma Scale).Table Skala Koma GlasgowEye Opening

Mata terbuka dengan spontan4

Mata membuka setelah diperintah3

Mata membuka setelah diberi rangsang nyeri2

Tidak membuka mata1

Best Motor Response

Menurut perintah6

Dapat melokalisir nyeri5

Menghindari nyeri4

Fleksi (dekortikasi)3

Ekstensi (decerebrasi)2

Tidak ada gerakan1

Best Verbal Response

Menjawab pertanyaan dengan benar5

Salah menjawab pertanyaan4

Mengeluarkan kata-kata yang tidak sesuai3

Mengeluarkan suara yang tidak ada artinya2

Tidak ada jawaban1

Berdasarkan Skala Koma Glasgow, berat ringan trauma kapitis dibagi atas;1.Trauma kapitis Ringan, Skor Skala Koma Glasgow14 15

2.Trauma kapitis Sedang, Skor Skala Koma Glasgow9 13

3.Trauma kapitis Berat, Skor Skala Koma Glasgow3 8

Cedera kepala berdasarkan beratnya cedera didasarkan pada penilaian Glasgow Scala Coma (GCS) dibagi menjadi 3, yaitu :a. Cedera kepala ringan GCS 13 - 15 Dapat terjadi kehilangan kesadaran atau amnesia tetapi kurang dari 30 menit. Tidak ada fraktur tengkorak, kontusio serebral dan hematomab. Cedera kepala sedang GCS 9 - 12 Saturasi oksigen > 90 % Tekanan darah systole > 100 mmHg Lama kejadian < 8 jam Kehilangan kesedaran dan atau amnesia > 30 menit tetapi < 24 jam Dapat mengalami fraktur tengkorakc. Cedera kepala berat GCS 3 8 Kehilangan kesadaran dan atau amnesia >24 jam Meliputi hematoma serebral, kontusio serebralPada penderita yang tidak dapat dilakukan pemeriksaan misal oleh karena aphasia, maka reaksi verbal diberi tanda X, atau oleh karena kedua mata edema berat sehingga tidak dapat di nilai reaksi membuka matanya maka reaksi membuka mata diberi nilai X, sedangkan jika penderita dilakukan traheostomy ataupun dilakukan intubasi maka reaksi verbal diberi nilai T.3. Berdasarkan Morfologia. Cedera kulit kepalaCedera yang hanya mengenai kulit kepala. Cedera kulit kepala dapat menjadi pintu masuk infeksi intrakranial.b. Fraktur TengkorakFraktur yang terjadi pada tulang tengkorak. Fraktur basis cranii secara anatomis ada perbedaan struktur didaerah basis cranii dan kalvaria yang meliputi pada basis caranii tulangnya lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih tipis dibandingkan daerah kalvaria, durameter daerah basis lebih melekat erat pada tulang dibandingkan daerah kalvaria. Sehingga bila terjadi fraktur daerah basis mengakibatkan robekan durameter klinis ditandai dengan bloody otorrhea, bloody rhinorrhea, liquorrhea, brill hematom, batles sign, lesi nervus cranialis yang paling sering n i, nvii dan nviii (Kasan, 2000).Sedangkan penanganan dari fraktur basis cranii meliputi :1. Cegah peningkatan tekanan intrakranial yang mendadak, misal cegah batuk, mengejan, makanan yang tidak menyebabkan sembelit.2. Jaga kebersihan sekitar lubang hidung dan lubang telinga, jika perlu dilakukan tampon steril (consul ahli tht) pada bloody otorrhea/otoliquorrhea.3. Pada penderita dengan tanda-tanda bloody otorrhea/otoliquorrhea penderita tidur dengan posisi terlentang dan kepala miring keposisi yang sehat (Kasan : 2000).c. Cedera Otak 1) Commotio Cerebri (Gegar Otak) Commotio Cerebri (Gegar Otak) adalah cidera otak ringan karena terkenanya benda tumpul berat ke kepala dimana terjadi pingsan < 10 menit. Dapat terjadi gangguan yang timbul dengan tiba-tiba dan cepat berupa sakit kepala, mual, muntah, dan pusing. Pada waktu sadar kembali, pada umumnya kejadian cidera tidak diingat (amnezia antegrad), tetapi biasanya korban/pasien tidak diingatnya pula sebelum dan sesudah cidera (amnezia retrograd dan antegrad).Menurut dokter ahli spesialis penyakit syaraf dan dokter ahli bedah syaraf, gegar otak terjadi jika coma berlangsung tidak lebih dari 1 jam. Kalau lebih dari 1 jam, dapat diperkirakan lebih berat dan mungkin terjadi komplikasi kerusakan jaringan otak yang berkepanjangan. 2) Contusio Cerebri (Memar Otak)Merupakan perdarahan kecil jaringan akibat pecahnya pembuluh darah kapiler. Hal ini terjadi bersama-sama dengan rusaknya jaringan saraf/otak di daerah sekitarnya. Di antara yang paling sering terjadi adalah kelumpuhan N. Facialis atau N. Hypoglossus, gangguan bicara, yang tergantung pada lokalisasi kejadian cidera kepala.Contusio pada kepala adalah bentuk paling berat, disertai dengan gegar otak encephalon dengan timbulnya tanda-tanda koma, sindrom gegar otak pusat encephalon dengan tanda-tanda gangguan pernapasan, gangguan sirkulasi paru - jantung yang mulai dengan bradikardia, kemudian takikardia, meningginya suhu badan, muka merah, keringat profus, serta kekejangan tengkuk yang tidak dapat dikendalikan (decebracio rigiditas).3) Perdarahan Intrakraniala) Epiduralis haematomaadalah terjadinya perdarahan antara tengkorak dan durameter akibat robeknya arteri meningen media atau cabang-cabangnya. Epiduralis haematoma dapat juga terjadi di tempat lain, seperti pada frontal, parietal, occipital dan fossa posterior.b) Subduralis haematomaSubduralis haematoma adalah kejadian haematoma di antara durameter dan corteks, dimana pembuluh darah kecil vena pecah atau terjadi perdarahan. Kejadiannya keras dan cepat, karena tekanan jaringan otak ke arteri meninggia sehingga darah cepat tertuangkan dan memenuhi rongga antara durameter dan corteks. Kejadian dengan cepat memberi tanda-tanda meningginya tekanan dalam jaringan otak (TIK = Tekanan Intra Kranial). c) Subrachnoidalis Haematoma Kejadiannya karena perdarahan pada pembuluh darah otak, yaitu perdarahan pada permukaan dalam duramater. Bentuk paling sering dan berarti pada praktik sehari-hari adalah perdarahan pada permukaan dasar jaringan otak, karena bawaan lahir aneurysna (pelebaran pembuluh darah). Ini sering menyebabkan pecahnya pembuluh darah otak.d) Intracerebralis HaematomaTerjadi karena pukulan benda tumpul di daerah korteks dan subkorteks yang mengakibatkan pecahnya vena yang besar atau arteri pada jaringan otak. Paling sering terjadi dalam subkorteks. Selaput otak menjadi pecah juga karena tekanan pada durameter bagian bawah melebar sehingga terjadilah subduralis haematoma.4. Berdasarkan Patofisiologia. Cedera kepala primerAkibat langsung pada mekanisme dinamik (acelerasi-decelerasi rotasi) yang menyebabkan gangguan pada jaringan. Pada cedera primer dapat terjadi gegar kepala ringan, memar otak dan laserasi.b. Cedera kepala sekunderPada cedera kepala sekunder akan timbul gejala, seperti hipotensi sistemik, hipoksia, hiperkapnea, edema otak, komplikasi pernapasan, dan infeksi / komplikasi pada organ tubuh yang lain.Manifestasi Klinis

1. Hilangnya kesadaran kurang dari 30 menit atau lebih

2. Kebingungan

3. Iritabel

4. Pucat

5. Mual dan muntah

6. Pusing

7. Nyeri kepala hebat

8. Terdapat hematoma

9. Kecemasan

10. Sukar untuk dibangunkan

11. Bila fraktur, mungkin adanya ciran serebrospinal yang keluar dari hidung (rhinorrohea) dan telinga (otorrhea) bila fraktur tulang temporal.Patofisiologi

Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan O2 dan glukosa dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan dalam sel-sel saraf hampir seluruhnya melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan O2, Jadi kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan glukosa. Sebagai bahan bakar metabolisme otak, tidak boleh kurang dari 20 mg% karena akan menimbulkan koma. Kebutuhan glukosa 25% dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 75% akan terjadi gejala-gejala permulaan disfungsi cerebral. Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan melalui proses metabolic anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi pembuluh darah pada komosio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi penimbunan asam. Lalu hal ini akan menyebaban asidosis metabolic.

Berat ringannya daerah otak yang mengalami cedera akibat trauma kapitis tergantung pada besar dan kekuatan benturan, arah dan tempat benturan, serta sifat dan keadaan kepala sewaktu menerima benturan. Sehubungan dengan berbagai aspek benturan tersebut maka dapat mengakibatkan lesi otak berupa : lesi bentur (Coup), lesi antara (akibat pergeseran tulang, dasar tengkorak yang menonjol/falx dengan otak peregangan dan robeknya pembuluh darah dan lain-lain=lesi media), dan lesi kontra (counter coup).21 Berdasarkan hal tersebut cedera otak dapat dibedakan atas kerusakan primer dan sekunder

a. Kerusakan PrimerKerusakan primer adalah kerusakan otak yang timbul pada saat cedera, sebagai akibat dari kekuatan mekanik yang menyebabkan deformasi jaringan. Kerusakan ini dapat bersifat fokal ataupun difus. Kerusakan fokal merupakan kerusakan yang melibatkan bagian-bagian tertentu dari otak, bergantung kepada mekanisme trauma yang terjadi sedangkan kerusakan difus adalah suatu keadaan patologis penderita koma (penderita yang tidak sadar sejak benturan kepala dan tidak mengalami suatu interval lucid) tanpa gambaran Space Occupying Lesion (SOL) pada CT-Scan atau MRI. b. Kerusakan Sekunder

Kerusakan sekunder adalah kerusakan otak yang timbul sebagai komplikasi dari kerusakan primer termasuk kerusakan oleh hipoksia, iskemia, pembengkakan otak, Tekanan Tinggi

7 Diagnosis dan diagnosis banding

a) Pemeriksaan

1. Neurologis

(1) Tingkat Kesadaran

Tingkat kesadaran dinilai dengan Glasgow Coma Scale (GCS). Penilaian ini harus dilakukan secara periodik untuk menilai perbaikan atau perburukan keadaan pasien. Tingkat kesadaran tidak akan terganggu jika cedera hanya terbatas pada satu hemisfer otak, tetapi menjadi progresif memburuk jika kedua hemisfer mulai terlibat, atau jika ada proses patologis akibat penekanan atau cedera pada batang otak.

Respon Mata1 tahun0-1 tahun

4Membuka Mata Spontan

3Membuka Mata dengan perintah

2Membuka Mata karena Nyeri

1Tidak membuka mata

Respon Motorik1 tahun0-1 tahun

6Mengikuti PerintahBelum dapat Dinilai

5Melokalisasi Nyeri

4Menghindari Nyeri

3Fleksi Abnormal (Dekortikasi)

2Ekstensi Abnormal (Deserebrasi)

1Tidak Ada Respon

Respon Verbal5 tahun2-5 tahun0-2 tahun

5Orientasi baik dan mampu berkomunikasiMeyebutkan kata-kata yang sesuaiMenangis kuat

4Disorientasi tapi mampu berkomunikasiMenyebutkan kata-kata yang tidak sesuaiMenangis lemah

3Menyebutkan kata-kata yang tidak sesuai (kasar, jorok)Menangis dan menjeritKadang-kadang menangis atau menjerit

2Mengeluarkan suaraMengeluarkan suara lemahMengeluarkan suara lemah

1Tidak ada responTidak ada responTidak ada respon

(2) Pupil dan Pergerakan Bola Mata, Termasuk Saraf Kranial

Penilaian pupil menunjukkan fungsi mesensefalon dan sangat penting pada cedera kepala, karena :

Bagian kepala yang mengendaikan kesadaran seara antomis terletak berdekatan dengan pusat yang mengatur reaksi pupil.

Saraf yang mengendalikan reaksi pupil relatif resisten terhadap gangguan metabolik, sehingga bisa membedakan koma-metabolik atau koma struktural.

Reaksi okulosefalik (Dolls head eye phenomenon) dan reaksi terhadap tes kalori (okulovestibuler) menunjukkan fungsi medla oblongata dan pons. Jangan melakukan pemeriksaan okulosefalik jika cedera servikal beum dapat disingkirkan. Reaksi okulovestibuler lebih superior daripada reaksi okulosefalik.

(3) Reaksi Motorik Berbagai Rangsang Dari Luar

Kekuatan rangsangan yang dibutuhkan untuk memicu reaksi dari penderita (spontan, rangsangan suara, nyeri, atau tanpa respon) berbanding lurus dengan dalamnya penurunan kesadaran.

(4) Reaksi Motorik Terbaik

Terbagi atas :

Gerakan bertujuan jelas

Kekuatan gerakan harus dinilai menjadi :

+5 : kekuatan gerakan normal

+4 : kekuatan gerakan mendekati normal

+3 : mampu melawan gravitasi

+2 : dapat bergeser, tidak dapat melawan gravitasi

+1 : tampak gerakan otot, tapi belum bergeser

Gerakan bertujuan tidak adekuat

Postur fleksor

Postur ekstensor

Diffise muscle flacciditty

(5) Pola Pernapasan

Pernapasan merupakan suatu kegiatan sensorimotor terintegrasi dari keterlibatan berbagai saraf yang terletak pada hampir semua tingkat otak dan bagian atas spinal cord. Kerusakan pada berbagai tingkat pada SSP akan memberikan gambaran pola pernapasan yang berbeda.1. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras)

Mengidentifikasi luasnya lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan otak. Catatan : Untuk mengetahui adanya infark/iskemia jangan dilekukan pada 24 - 72 jam setelah injuri.

2. MRI

Digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa kontras radioaktif.

3. Cerebral Angiography

Menunjukan anomali sirkulasi cerebral, seperti : perubahan jaringan otak sekunder menjadi edema, perdarahan dan trauma.

4. EEG (Elektroencepalograf)

Dapat melihat perkembangan gelombang yang patologis

5. X-Ray

Mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur), perubahan struktur garis(perdarahan/edema), fragmen tulang.

6. BAER

Mengoreksi batas fungsi corteks dan otak kecil

7. PET

Mendeteksi perubahan aktivitas metabolisme otak

8. CSF, Lumbal Pungsi

Dapat dilakukan jika diduga terjadi perdarahan subarachnoid dan untuk mengevaluasi/mencatat peningkatan tekanan cairan serebrospinal.

9. ABGs

Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah pernapasan (oksigenisasi) jika terjadi peningkatan tekanan intrakranial

10. Kadar Elektrolit

Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit sebagai akibat peningkatan tekanan intrkranial

11. Screen Toxicologi

Untuk mendeteksi pengaruh obat sehingga menyebabkan penurunan kesadaranTatalaksanaa) Primary Survey

(1) Airway

Membersihkan jalan nafas dengan memperhatikan kontrol servikal. Pasang servikal collar untuk immobilisasi servikal sampai terbukti tidak ada cedera servikal. Intubasi endotrakeal dini harus segera dilakukan pada penderita koma.

(2) Breathing

Penderita diberikan ventilasi dengan oksigen 100 % sampai diperoleh hasil pemeriksaan analisis gas darah dan dapat dilakukan penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Penggunaan pulse oksimeter sangat bermanfaat untuk memonitor saturasi O2 (target > 98%).

(3) Circulation

Hipotensi merupakan petunjuk adanya kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak jelas. Pada penderita yang hipotensi, harus segera distabiisasi untuk mencapai euvolemia, segera lakukan pemberian cairan untuk mengganti volume yang hilang dengan perbandigan 3:1 (300 ml RL/100 mL darah yang hilang).

(4) Disability (Penilaian neurologis cepat)

Tingkat kesadaran cara AVPU / GCS :

A = alert.

V = respon terhadap rangsangan verbal.

P = respon terhadap rangsangan nyeri.

U = tidak ada respon.

Pupil :

1. Ukuran.

2. Reaksi cahaya.

(5) Exposure

Untuk mencari tanda-tanda trauma di tempat lain.

b) Secondary Survey

1. Cedera Kepala Ringan

(1) Riwayat :

Nama, umur, jenis kelamin, ras, pekerjaan

Mekanisme cedera, waktu cedera, kesadaran setelah cedera, tingkat kewaspadaan

Amnesia (Retrograde/antegrade), Sakit kepala (Ringan, sedang atau berat)

(2) Pemeriksaan Umum untuk menyingkirkan cedera sistemik

(3) Pemeriksaan neurologis

(4) Radiografi tengkorak, servikal, dll sesuai indikasi

(5) Pemeriksaan kadar alkohol darah dan zat toksik dalam urin

(6) CT-Scan

(7) Kriteria Rawat :

Amnesia post traumatika jelas (> 1jam )

Riwayat kehilangan kesadaran

Penurunan tingkat kesadaran

Nyeri kepala sedang hingga berat

Intoksikasi alkohol atau obat

Fraktur tengkorak

Kebocoran CSS, Otorrhea, atau rinorrhea

Cedera penyerta yang jelas

Tidak punya orang serumah yang dapat bertanggung jawab

CT-Scan Abnormal atau tidak ada

Semua cedera tembus

(8) Kriteria pemulangan

Tidak memenuhi kriteria rawat

Diskusikan kemungkinan kembali kerumah sakit bila keadaan memburuk dan berikan lembaran observasi

Jadwalkan untuk kontrol ulang (1 minggu)

2. Cedera Kepala Sedang

(1) Pemeriksan Awal :

(2) Sama dengan cedera kepala ringan tapi ditambah pemeriksaan darah sederhana dan EKG

(3) Pemerksaan CT-Scan untuk semua kasus dirawat untuk observasi

(4) Setelah dirawat :

Pemeriksan neurologis periodik (tiap setengah jam)

CT-Scan ulang pada hari ke-3 atau lebih awal bila ada perburukan atau akan dipulangkan

Bila kondisi membaik (90%), dipulangkan dan kontrol dipoliklinik biasanya 2 minggu, 3 bulan, 6 bulan, dan bila perlu 1 tahun setelah cedera

Bila keadaan memburuk segera lakukan CT-Scan ulang dan penatalaksanaan sesuai protokol cedera kepala berat

3. Cedera Kepala Berat

(1) Riwayat :

Usia, jenis, dan saat kecelakaan.

Penggunaan alkohol dan obat-obatan.

Perjalanan neurologis.

Perjalanan tanda-tanda vital.

Muntah, aspirasi, anoksia, kejang.

Riwayat peyakit sebelumnya, termasuk obat yang dipakai dan alergi.

(2) Stabilisasi kardiopulmoner

Jalan napas, intubasi dini

Tekanan darah, normalkan segera dengan salin normal atau darah.

Kateter Folley, NGT.

Film diagnostik : Servikal, Abdomen, Perlvis, Tengkorak, dan Ekstremitas.

(3) Pemeriksaan Umum

(4) Tindakan emergensi untuk cedera yang menyertai

Trakeostomi

Tube dada

Stabilisasi leher : kolar kaku, tong Gardner-Wells, dan traksi

Parasentesis abdominal

(5) Pemeriksaan neurologis

Kemampuan membuka mata

Respon motor

Respon verbal

Reflek pupil

Okulosefalik (dolls)

Okulovestibuler (kalorik)

(6) Obat-obat terapeutik

Na Bikarbonat

Manitol

(7) Tes Diagnostik

CT-Scan

Ventrikulogram udara

Angiogram

c) Terapi Medikamentosa Cedera Otak

Tujuan utamanya adalah mencegah terjadinya kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera.

i) Cairan Intravena

Diberikan secukupnya untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia. Jangan memberikan cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat menyebabkan hiperglikemia yang berakibat buruk pada otak yang cedera. Karena itu, cairan yang dianjurkan adalah larutan garam fisiologis atau Ringers Lactate.

ii) Hiperventilasi

Dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah otak. Sebaiknya dilakukan secara selektif dan hanya pada waktu tertentu. Umumnya, PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebih, karena PCO2 < 30 mmHg akan menyebabkan vasokonstriksi serebri berat dan akhirnya iskemia otak. Hiperventilasi dalam waktu singkat (25-30 mmHg) dapat diterima pada keadaan deteriorasi neurologis akut.

iii) Manitol

Merupakan diuretik osmotik yang poten, digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Sediaan yang tersedia adalah cairan dengan konsentrasi 20%. Dosis yang diberikan adalah 1 g/kg BB intravena. Jangan diberikan pada pasien yang hipotensi. Indikasinya adalah deteriorasi neurologis yang akut seperti terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran saat pasien observasi. Pada keadaan ini, berikan bolus manitol dengan cepat (dalam 5 menit) dan penderita langsung dibawa ke CT-Scan atau kamar operasi (bila sebab telah diketahui dengan CT-Scan).

iv) Furosemid

Diberikan bersama manitol, dosis yang biasa diberikan adalah 0,3-0,5 mg/kgBB diberikan secara intravena, tapi jangan diberikan pada pasien hipovolemik.

v) Steroid

Pemberiannya tidak dianjurkan karena menurut beberapa penelitian tidak menunjukkan manfaat.

vi) Barbiturat

Bermanfaat menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-obatan lain. Tapi jangan diberikan pada keadaan hipotensi dan hipovolemi

vii) Antikonvulsan

Epilepsi pascatrauma kadang terjadi, diduga berkaitan dengan kejang awal yang terjadi pada minggu pertama, perdarahan intrakranial, atau fraktur depresi. Fenitoin adalah obat yang biasa diberikan pada fase akut. Dosis dewasa awalnya adalah 1 g intravena dengan kecepatan pemberian < 50 mg/menit dan dosis pemeliharaannya adalah 100 mg/8 jam, dengan titrasi untuk mencapai kadar terapeutik serum. Pada pasien dengan kejang lama, diazepam atau lorazepam digunakan digunakan sebagai tambahan sampai kejang berhenti.

d) Tatalaksana Bedah (Tidak berlaku bila mati batang otak)

Dilakukan bila ada :

Interval lucid (bila CT tak tersedia segera)

Herniasi unkal (pupil/motor tidak ekual)

Fraktura depress terbuka

Fraktura depress tertutup > 1 tabula/1 cm

Massa intrakranial dengan pergeseran garis tengah 5 mm

Massa ekstra aksial 5 mm, uni / bilateral

#5 & #6 ( 250 cc/jam, anak > 3 cc/kgBB/jam), osmolaritas urin yang rendah (50-150 Osm/L), berat jenis urin rendah (1.001-1,005), kadar natrium serum normal atau meningkat, osmolaritas plasma meningkat, dengan fungsi adrenal yang normal

4. Gangguan Gastrointestinal

Penderita cedera kepala akan mengalami peningkatan rangsang simpatik yang mengakibatkan gangguan fungsi pertahanan mukosa sehingga mudah terjadi erosi. Anisipasinya adalah dengan pemberian obat antagonis H-2 reseptor dan inhibitor pompa proton, seperti simetidin, ranitidin, dan omeprazole.

5. Neurogenic Pulmonary Edema (NPE)

Jarang terjadi, umumnya menyertai cedera kepala yang berat. Mekanismenya :

Peningkatan TIK yang cepat atau cedera langsung pada hipotalamus menyebabkan pelepasan rangsangan simpatik sehingga terjadi aliran darah yang meningkat ke paru-paru dengan peningkatan PCWP (Pulmonary Capillary Wedge Pressure) dan peningkatan permeabilitas kapiler di paru.

Pelepasan katekolamin yang akan mempengaruhi endotel kapiler (peningkatan permeabiitas alveolar)

Pencegahan

Upaya pencegahan cedera kepala pada dasarnya adalah suatu tindakan pencegahan terhadap peningkatan kasus kecelakaan yang berakibat trauma.

Upaya yang dilakukan yaitu :

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer yaitu upaya pencegahan sebelum peristiwa terjadinya kecelakaan lalu lintas seperti untuk mencegah faktor-faktor yang menunjang terjadinya cedera seperti pengatur lalu lintas, memakai sabuk pengaman, dan memakai helm.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan sekunder yaitu upaya pencegahan saat peristiwa terjadi yangdirancang untuk mengurangi atau meminimalkan beratnya cedera yang terjadi. Dilakukan dengan pemberian pertolongan pertama, yaitu :

1. Memberikan jalan nafas yang lapang (Airway).

Gangguan oksigenasi otak dan jaringan vital lain merupakan pembunuh tercepat pada kasus cedera. Guna menghindari gangguan tersebut penanganan masalahairwaymenjadi prioritas utama dari masalah yang lainnya. Beberapa kematian karena masalahairwaydisebabkan oleh

karena kegagalan mengenali masalahairwayyang tersumbat baik oleh karena aspirasi isi gaster maupun kesalahan mengatur posisi sehingga jalan nafas tertutup lidah penderita sendiri. Pada pasien dengan penurunan kesadaran mempunyai risiko tinggi untuk terjadinya gangguan jalan nafas, selain memeriksa adanya benda asing, sumbatan jalan nafas dapat terjadi oleh karena pangkal lidahnya terjatuh ke belakang sehingga menutupi aliran udara ke dalam paru. Selain itu aspirasi isi lambung juga menjadi bahaya yang mengancamairway.2. Memberi nafas/ nafas buatan (Breathing)

Tindakan kedua setelah meyakini bahwa jalan nafas tidak ada hambatan adalah membantu pernafasan. Keterlambatan dalam mengenali gangguan pernafasan dan membantu pernafasan akan dapat menimbulkan kematian.

3. Menghentikan perdarahan (Circulations).

Perdarahan dapat dihentikan dengan memberi tekanan pada tempat yang berdarah sehingga pembuluh darah tertutup. Kepala dapat dibalut dengan ikatan yang kuat. Bila ada syok, dapat diatasi dengan pemberian cairan infuse dan bila perlu dilanjutkan dengan pemberian transfusi

darah. Syok biasanya disebabkan karena penderita kehilangan banyak darah.c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tertier bertujuan untuk mengurangi terjadinya komplikasi yang lebih berat, penanganan yang tepat bagi penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas untuk mengurangi kecacatan dan memperpanjang harapan hidup. Pencegahan tertier ini penting untuk meningkatkan kualitas hidup penderita, meneruskan pengobatan serta memberikan dukungan psikologis bagi penderita.

Upaya rehabilitasi terhadap penderita cedera kepala akibat kecelakaan lalu lintas perlu ditangani melalui rehabilitasi secara fisik, rehabilitasi psikologis dan sosial.

1. Rehabilitasi Fisik

a. Fisioterapi dan latihan peregangan untuk otot yang masih aktif pada lengan atas dan bawah tubuh.

b. Perlengkapansplintdan kaliper

c. Transplantasi tendon

2. Rehabilitasi Psikologis

Pertama-tamadimulai agar pasien segera menerima ketidakmampuannya dan memotivasi kembali keinginan dan rencana masa depannya. Ancaman kerusakan atas kepercayaan diri dan harga diri datang dari ketidakpastian financial, sosial serta seksual yang semuanya

memerlukan semangat hidup.

3. Rehabilitasi Sosial

a. Merancang rumah untuk memudahkan pasien dengan kursi roda, perubahan paling sederhana adalah pada kamar mandi dan dapur sehingga penderita tidak ketergantungan terhadap bantuan orang lain.

b. Membawa penderita ke tempat keramaian (bersosialisasi dengan masyarakat).

Prognosis

Prognosis TK tergantung berat dan letak TK. Prognosis TK buruk jika pada pemeriksaan ditemukan pupil midriasis dan tidak ada respon E, V, M dengan rangsangan apapun. Jika kesadarannya baik, maka prognosisnya dubia, tergantung jenis TK, yaitu: pasien dapat pulih kembali atau traumanya bertambah berat.

Faktor yang memperjelek prognosis adalah terlambatnya penanganan awal/resusitasi, transportasi yang lambat, dikirim ke RS yang tidak memadai, terlambat dilakukan tindakan pembedahan dan disertai trauma multipel yang lain

LI 2 Fraktur Basis Cranii

Definisi

Fraktur basis Cranii/Basilar Skull Fracture (BSF) merupakan fraktur akibat benturan langsung di sekitar dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita), transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek remote dari benturan pada kepala (tekanan gelombang yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Suatu fraktur basis cranii adalah suatu fraktur linear yang terjadi pada dasar tulang tengkorak yang tebal. Fraktur ini seringkali disertai dengan robekan pada duramater. Fraktur basis cranii paling sering terjadi pada dua lokasi anatomi tertentu yaitu regio temporal dan regio occipital condylar. 1, 2Fraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

Epidemiologi

Cedera pada susunan saraf pusat masih merupakan penyebab utama tingginya angka morbiditas dan mortalitas pada usia muda di seluruh dunia. Pada tahun 1998 sebanyak 148.000 orang di Amerika meninggal akibat berbagai jenis cedera. Trauma kapitis menyebabkan 50.000 kematian. Insiden rata-rata (gabungan jumlah masuk rumah sakit dan tingkat mortalitas) adalah 95 kasus per 100.000 penduduk. Sebanyak 22% pasien trauma kapitis meninggal akibat cederanya. Sekitar 10.000-20.000 kejadian cedera medulla spinalis setiap tahunnya. 5

Lebih dari 60% dari kasus fraktur tulang tengkorak merupakan kasus fraktur linear sederhana, yang merupakan jenis yang paling umum, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun. Fraktur tulang temporal sebanyak 15-48% dari seluruh kejadian fraktur tulang tengkorak, dan fraktur basis cranii sebesar 19-21%. Fraktur depresi antara lain frontoparietal (75%), temporal (10%), occipital (5%), dan pada daerah-daerah lain (10%). Sebagian besar fraktur depresi merupakan fraktur terbuka (75-90%). Insiden fraktur tulang tengkorak rata-rata 1 dari 6.413 penduduk (0.02%), atau 42.409 orang setiap tahunnya. Sejauh ini fraktur linear adalah jenis yang banyak, terutama pada anak usia dibawah 5 tahun di Amerika Serikat.

Etiologi

Suatu fraktur tulang tengkorak berarti patahnya tulang tengkorak dan biasanya terjadi akibat benturan langsung. Tulang tengkorak mengalami deformitas akibat benturan terlokalisir yang dapat merusak isi bagian dalam meski tanpa fraktur tulang tengkorak. Suatu fraktur menunjukkan adanya sejumlah besar gaya yang terjadi pada kepala dan kemungkinan besar menyebabkan kerusakan pada bagian dalam dari isi cranium. Fraktur tulang tengkorak dapat terjadi tanpa disertai kerusakan neurologis, dan sebaliknya

KlasifikasiFraktur basis cranii dapat dibagi berdasarkan letak anatomis fossa-nya menjadi fraktur fossa anterior, fraktur fossa media, dan fraktur fossa posterior.

Jenis fraktur lain pada tulang tengkorak yang mungkin terjadi yaitu :

Fraktur linear yang paling sering terjadi merupakan fraktur tanpa pergeseran, dan umumnya tidak diperlukan intervensi.

Fraktur depresi terjadi bila fragmen tulang terdorong kedalam dengan atau tanpa kerusakan pada scalp. Fraktur depresi mungkin memerlukan tindakan operasi untuk mengoreksi deformitas yang terjadi.

Fraktur diastatik terjadi di sepanjang sutura dan biasanya terjadi pada neonatus dan bayi yang suturanya belum menyatu. Pada fraktur jenis ini, garis sutura normal jadi melebar.

Fraktur basis merupakan yang paling serius dan melibatkan tulang-tulang dasar tengkorak dengan komplikasi rhinorrhea dan otorrhea cairan serebrospinal (Cerebrospinal Fluid).

1. Fossa crania anterior

Menampung lobus frontal cerebri, dibatasi di anterior oleh permukaan dalam os frontale, batas superior adalah ala minor ossis spenoidalis. Dasar fossa dibentuk oleh pars orbitalis ossis frontale di lateral dan oleh lamina cribiformis os etmoidalis di medial. Permukaan atas lamina cribiformis menyokong bulbus olfaktorius, dan lubung lubang halus pada lamini cribrosa dilalui oleh nervus olfaktorius.

Pada fraktur fossa cranii anterior, lamina cribrosa os etmoidalis dapat cedera. Keadaan ini dapat menyebabkan robeknya meningeal yang menutupi mukoperiostium. Pasien dapat mengalami epistaksis dan terjadi rhinnore atau kebocoran CSF yang merembes ke dalam hidung. Fraktur yang mengenai pars orbita os frontal mengakibatkan perdarahan subkonjungtiva (raccoon eyes atau periorbital ekimosis) yang merupakan salah satu tanda klinis dari fraktur basis cranii fossa anterior. 2. Fossa cranii media

Terdiri dari bagian medial yang dibentuk oleh corpus os sphenoidalis dan bagian lateral yang luas membentuk cekungan kanan dan kiri yang menampung lobus temporalis cerebri. Di anterior dibatasi oleh ala minor os sphenoidalis dan terdapat canalis opticus yang dilalui oleh n.opticus dan a.oftalmica, sementara bagian posterior dibatasi oleh batas atas pars petrosa os temporal. Dilateral terdapat pars squamous pars os temporal.

Fissura orbitalis superior, yang merupakan celah antara ala mayor dan minor os sphenoidalis dilalui oleh n. lacrimalis, n.frontale, n.trochlearis, n, occulomotorius dan n. abducens.

Fraktur pada basis cranii fossa media sering terjadi, karena daerah ini merupakan tempat yang paling lemah dari basis cranii. Secara anatomi kelemahan ini disebabkan oleh banyak nya foramen dan canalis di daerah ini. Cavum timpani dan sinus sphenoidalis merupakan daerah yang paling sering terkena cedera. Bocornya CSF dan keluarnya darah dari canalis acusticus externus sering terjadi (otorrhea). N. craniais VII dan VIII dapat cedera pada saat terjadi cedera pada pars perrosus os temporal. N. cranialis III, IV dan VI dapat cedera bila dinding lateral sinus cavernosus robek.

3. Fossa cranii posterior

Menampung otak otak belakang, yaitu cerebellum, pons dan medulla oblongata. Di anterior fossa di batasi oleh pinggi superior pars petrosa os temporal dab di posterior dibatasi oleh permukaan dalam pars squamosa os occipital. Dasar fossa cranii posterior dibentuk oleh pars basilaris, condylaris, dan squamosa os occipital dan pars mastoiddeus os temporal.

Foramen magnum menempati daerah pusat dari dasar fossa dan dilalui oleh medulla oblongata dengan meningens yang meliputinya, pars spinalis assendens n. accessories dan kedua a.vertebralis.

Pada fraktur fossa cranii posterior darah dapat merembes ke tengkuk di bawah otot otot postvertebralis. Beberapa hari kemudian, darah ditemukan dan muncul di otot otot trigonu posterior, dekat prosesus mastoideus. Membrane mukosa atap nasofaring dapat robek, dan darah mengalir keluar. Pada fraktur yang mengenai foramen jugularis n.IX, X dan XI dapat cedera

Manifestasi Klinis

Pasien dengan fraktur pertrous os temporal dijumpai dengan otorrhea dan memar pada mastoids (battle sign). Presentasi dengan fraktur basis Cranii fossa anterior adalah dengan rhinorrhea dan memar di sekitar palpebra (raccoon eyes). Kehilangan kesadaran dan Glasgow Coma Scale dapat bervariasi, tergantung pada kondisi patologis intrakranial.

Fraktur longitudinal os temporal berakibat pada terganggunya tulang pendengaran dan ketulian konduktif yang lebih besar dari 30 dB yang berlangsung lebih dari 6-7 minggu. tuli sementara yang akan baik kembali dalam waktu kurang dari 3 minggu disebabkan karena hemotympanum dan edema mukosa di fossa tympany. Facial palsy, nystagmus, dan facial numbness adalah akibat sekunder dari keterlibatan nervus cranialis V, VI, VII.

Fraktur tranversal os temporal melibatkan saraf cranialis VIII dan labirin, sehingga menyebabkan nystagmus, ataksia, dan kehilangan pendengaran permanen (permanent neural hearing loss).

Fraktur condylar os oksipital adalah cedera yang sangat langka dan serius12. Sebagian besar pasien dengan fraktur condylar os oksipital, terutama dengan tipe III, berada dalam keadaan koma dan terkait cedera tulang belakang servikalis. Pasien ini juga memperlihatkan cedera lower cranial nerve dan hemiplegia atau guadriplegia.

Sindrom Vernet atau sindrom foramen jugularis adalah keterlibatan nervus cranialis IX, X, dan XI akibat fraktur. Pasien tampak dengan kesulitan fungsi fonasi dan aspirasi dan paralysis ipsilateral dari pita suara, palatum mole (curtain sign), superior pharyngeal constrictor, sternocleidomastoid, dan trapezius. Collet-Sicard sindrom adalah fraktur condylar os oksipital dengan keterlibatan nervus cranial IX, X, XI, dan XII.Patofisiologi

Fraktur basis cranii merupakan fraktur akibat benturan langsung pada daerah-daerah dasar tulang tengkorak (oksiput, mastoid, supraorbita); transmisi energy yang berasal dari benturan pada wajah atau mandibula, atau efek remote dari benturan pada kepala (gelombang tekanan yang dipropagasi dari titik benturan atau perubahan bentuk tengkorak).

Tipe dari fraktur basis cranii yang parah adalah jenis ring fracture, karena area ini mengelilingi foramen magnum, apertura di dasar tengkorak di mana spinal cord lewat. Ring fracture komplit biasanya segera berakibat fatal akibat cedera batang otak. Ring fracture in komplit lebih sering dijumpai (Hooper et al. 1994). Kematian biasanya terjadi seketika karena cedera batang otak disertai dengan avulsi dan laserasi dari pembuluh darah besar pada dasar tengkorak.

Fraktur basis Cranii telah dikaitkan dengan berbagai mekanisme termasuk benturan dari arah mandibula atau wajah dan kubah tengkorak, atau akibat beban inersia pada kepala (sering disebut cedera tipe whiplash). Terjadinya beban inersia, misalnya, ketika dada pengendara sepeda motor berhenti secara mendadak akibat mengalami benturan dengan sebuah objek misalnya pagar. Kepala kemudian secara tiba tiba mengalami percepatan gerakan namun pada area medulla oblongata mengalami tahanan oleh foramen magnum, beban inersia tersebut kemudian meyebabkan ring fracture. Ring fracture juga dapat terjadi akibat ruda paksa pada benturan tipe vertikal, arah benturan dari inferior diteruskan ke superior (daya kompresi) atau ruda paksa dari arah superior kemudian diteruskan ke arah occiput atau mandibula.

Huelke et al. (1988) menyelidiki sebuah pandangan umum bahwa fraktur basis Cranii akibat hasil dari benturan area kubah kranial. Kasus benturan pada area kubah non-kranial, yang terjadi dalam berbagai jenis kecelakaan kendaraan bermotor, telah didokumentasikan. Para peneliti menemukan fraktur basis Cranii juga bisa disebabkan oleh benturan pada area wajah saja. Pada studi eksperimen berdasarkan pengujian mayat, Gott et al.(1983) meneliti secara rinci tengkorak dari 146 subjek yang telah mengalami benturan/ruda paksa pada area kepala. 45 kasus fraktur tengkorak diamati secara rinci. Terdapat 22 BSF pada grup ini. Penyebab dari kasus tersebut disebabkan oleh ruda paksa pada area frontal (5 kasus), daerah Temporo-parietal tengkorak (1 kasus), seluruh wajah (2 kasus) dan berbagai jenis ruda paksa kepala lainnya (14 kasus).

Saat memeriksa respon leher akibat beban daya regang aksia, Sances et al. (1981) mengamati BSF tanpa kerusakan ligamen melalui analisa quo-statistic didapatkan 1780N sementara dan 3780N tampak utuh pada area leher, kepala dan tulang belakang. Beberapa peneliti mengamati complex kepala-leher terhadap ruda paksa dari arah superior-inferior. Secara umum, menunjukkan bahwa lokasi fraktur tengkorak hasil dari ruda paksa langsung. Ketika area kepala terlindungi, leher menjadi wilayah yang paling rentan terhadap cedera pada tingkat kekuatan di atas 4 kN (Alem et al 1984). Para peneliti menguji 19 cadaver dalam posisi supine dan hanya mampu menghasilkan BSF tunggal. Fraktur basis Cranii membutuhkan durasi yang rendah (3 ms), energi tinggi (33 J) ruda paksa dengan kekuatan benturan dari 17 kN pada kecepatan ruda paksa 9 m /s.

Hopper et al. (1994) melakukan dua studi eksperimental pada mayat bertujuan untuk memahami mekanisme biomekanik yang mengakibatkan fraktur basis Cranii ketika kepala mandibula yang dikarenakan ruda paksa

Pada studi awal, cedera yang dapat ditoleransi oleh mandibula ketika mengalami ruda paksa adalah pada area pertengahan simfisis atau area mentalis (dagu). Enam dampak yang dinamis dengan jalur vertikal pada satu tes dilakukan dengan menggunakan uji quasi-static. Suatu ruda paksa yang bervariasi diberikan untuk menilai pengaruh yang terjadi. Ditemukan bahwa toleransi energi ruda paksa untuk fraktur mandibula pada ke enam tes tersebut adalah 5270 + 930N. Pada setiap tes, dijumpai fraktur mandibula secara klinis namun tidak menghasilkan fraktur basis Cranii.

Studi kedua menilai toleransi fraktur basis Cranii ketika beban langsung diberikan kearah Temporo-mandibula joint yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan secara lokal sekitar foramen magnum. Kekuatan puncak dan energi untuk setiap kegagalan ditentukan dalam setiap pengujian. Beban rata rata pada setiap fraktur ditemukan dengan kekuatan energi 4300 +350 N. Peneliti dapat menghitung energi untuk fraktur pada tiga dari tes dengan rata-rata 13,0 + 1.7 J. Cedera dihasilkan dengan cara ini konsisten dengan pengamatan klinis fraktur basis cranii.

Peneliti menyimpulkan bahwa hasil penelitian ini mendukung hipotesis bahwa ruda paksa pada mandibula saja biasanya hanya menyebabkan fraktur mandibula. Selanjutnya, complete dan partial ring type BSF membutuhkan ruda paksa temporo-mandibular yang secara tidak langsung menghasilkan pembebanan pada daerah sekitar foramen magnum.

Diagnosis dan diagnosis bandingDiagnosa cedera kepala dibuat melalui suatu pemeriksaan fisis dan pemeriksaan diagnostik. Selama pemeriksaan, bisa didapatkan riwayat medis yang lengkap dan mekanisme trauma. Trauma pada kepala dapat menyebabkan gangguan neurologis dan mungkin memerlukan tindak lanjut medis yang lebih jauh. Alasan kecurigaan adanya suatu fraktur cranium atau cedera penetrasi antara lain : Keluar cairan jernih (CSF) dari hidung Keluar darah atau cairan jernih dari telinga Adanya luka memar di sekeliling mata tanpa adanya trauma pada mata (panda eyes) Adanya luka memar di belakang telinga (Battles sign) Adanya ketulian unilateral yang baru terjadi Luka yang signifikan pada kulit kepala atau tulang tengkorak. Pemeriksaan penunjang

Adapun pemeriksaan penunjang untuk fraktur basis Craniii antara lain:

1. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan darah rutin, fungsi

2. Pemeriksaan radiologi

a. Foto rontgen

b. CT-scan dengan teknik bone window untuk memperjelas garis frakturnya.

c. MRI (Magnetic Resonance Angiography)d. Pemeriksaan arteriografi

DIAGNOSA BANDINGEchimosis periorbita (racoon eyes) dapat disebabkan oleh trauma langsung seperti kontusio fasial atau blow-out fracture dimana terjadi fraktur pada tulang-tulang yang membentuk dasar orbita (arcus os zygomaticus, fraktur Le Fort tipe II atau III, dan fraktur dinding medial atau sekeliling orbital). Rhinorrhea dan otorrhea selain akibat fraktur basis cranii juga bisa diakibatkan oleh : Kongenital Ablasi tumor atau hidrosefalus Penyakit-penyakit kronis atau infeksi Tindakan bedah

Tatalaksana

Tatalaksana Primer

A Airway : Pembersihan jalan nafas, pengawasan vertebra servikal hingga diyakini tidak ada cedera. Bisa menggunakan Orogastric tube (NGT kurang aman) agar aspirasi lambung tidak mengahalangi

B Breathing : Penilaian ventilasi dan gerakan dada, gas darah arteri

C Circulation : Penilaian kemungkinan kehilangan darah, pengawasan secara rutin tekanan darah pulsasi nadi, pemasangan IV line

D Dysfunction of CNS : Penilaian GCS (Glasgow Coma Scale) secara rutin

E Exposure : Identifikasi seluruh cedera, dari ujung kepala hingga ujung kaki, dari depan dan belakang. Untuk terapi CSF : elevasi kepala terhadap tempat tidur selama beberapa hari walaupun kadang memerlukan drain lumbal atau tindakan bedah repair langsung

Paralisis nervus fasialis : Steroid dapat membantu

Tindakan bedah tertunda dilakukan pada kasus frakur dengan inkongruensitas tulang-tulang pendengaran akibat fraktur basis cranii longitudinal tulang temporal. Mungkin diperlukan ossiculoplasty jika terjadi hilang pendengaran lebih dari 3 bulan apabila membran timpani tidak dapat sembuh sendiri. Indikasi lain adalah kebocoran CSF persisten setelah mengalami fraktur basis cranii.

Komplikasi

a) Fistula cairan serebrospinalMengakibatkan kebocoran cairan dari ruang subarachnoid ke ruang extraarachnoid, duramater, atau jaringan epitel.Yang terlihat sebagai rinore dan otore.Sebagian besar rinore dan otore baru terlihat satu minggu setelah terjadinya trauma.Kebocoran cairan ini membaik satu minggu setelah dilakukan terapi konservatif. Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diuretic dan steroid.b) Rinore

Terjadi pada sekitar 25 persen pasien dengan fraktura basis anterior. CSS mungkin bocor melalui sinus frontal (melalui pelat kribrosa atau pelat orbital dari tulang frontal), melalui sinus sfenoid, dan agak jarang mela- lui klivus. Kadang-kadang pada fraktura bagian petrosa tulang temporal, CSS mungkin memasuki tuba Eustachian dan bila membran timpani intak, mengalir dari hidung. Pengaliran dimulai dalam 48 jam sejak cedera pada hampir 80 persen kasus

Penatalaksanaan secara konservatif dapat dilakukan secara bed rest dengan posisi kepala lebih tinggi. Hindari batuk, bersin, meniup hidung dan melakukan aktivitas berat. Dapat diberikan obat-obatan seperti laxantia, diureticdan steroid. Dilakukan punksi lumbal secara serial dan pemasangan kateter sub-rachnoid secara berkelanjutan. Disamping itu diberikan antibiotik untuk mencegah infeksi.

Pendekatan pembedahan dapat secara intraCraniial, ekstraCraniial dan secara bedah sinus endoskopi. Pendekatan intraCraniial yaitu dengan melakukan Craniiotomi melalui daerah frontal (frontal anterior fossa craniotomi), daerah temporal (temporal media fossa craniotomi) atau daerah oksipital (ocsipital posterior fossa craniotomi) tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini dapat melihat langsung robekan dari dura dan jaringan sekitarnya. Bila dilakukan tampon pada kebocoran akan berhasil baik dan berguna bagi pasien yang tidak dapat diketahui lokasi kebocoran atau fistel yang abnormal. Kerugian teknik ini adalah angka kematian yang tinggi, terjadi retraksi dari otak seperti edema, hematoma dan perdarahan. Disamping itu dapat terjadi anosmia yang permanen. Sering terjadi kebutaan terutama pada pembedahan didaerah fossa Craniii anterior. Kerugian lain adalah waktu operasi dan perawatan yang lama.

Pendekatan EkstraCraniial dilakukan dengan cara eksternal sinus dan bedah sinus endoskopi. Pendekatan eksternal sinus yaitu melakukan flap osteoplasti anterior dengan sayatan pada koronal dan alis mata. Disamping itu dapat juga dengan pendekatan eksternal etmoidektomi, trans-etmoidal sfenoidotomi, trans-septal sfenoidotomi atau trans antral, tergantung dari lokasi kebocoran. Keuntungan teknik ini adalah memiliki lapangan pandang yang baik, angka kematian yang rendah, tidak terdapat anosmia dan angka keberhasilan 80%. Kerugian teknik ini adalah cacat pada wajah dan tidak dapat mengatasi fistel yang abnormal. Disamping itu sulit menangani fistel pada sinus frontal dan sfenoid.

Pendekatan bedah Sinus

endoskopi merupakan tehnik operasi yang lebih disukai dengan angka keberhasilan yang tinggi (83% - 94%) dan angka kematian yang rendah. Pada fistel yang kecil (3mm) digunakan graft dari tulang rawan dan tulang yang diletakkan dibawah fistel dan dilapisi dengan flap local atau free graft. Keuntungan teknik ini adalah lapangan pandang yang jelas sehingga memberikan lokasi kebocoran yang tepat. Mukosa dapat dibersihkan dari kerusakan tulang tanpa memperbesar ukuran dan kerusakan dari tulang. Disamping itu graft dapat ditempatkan lebih akurat pada kerusakannya.(1)c) Otore

Terjadi bila tulang petrosa mengalami fraktura, duramater dibawahnya serta arakhnoid robek, serta membran timpanik perforasi. Fraktura tulang petrosa diklasifi- kasikan menjadi longitudinal dan transversal, berdasar hubungannya terhadap aksis memanjang dari piramid petrosa; namun kebanyakan fraktura adalah campuran. Pasien dengan fraktura longitudinal tampil dengan kehilangan pendengaran konduktif, otore, dan perdarahan dari telinga luar. Pasien dengan fraktura transversal umumnya memiliki membran timpanik normal dan memperlihatkan kehilangan pendengaran sensorineural akibat kerusakan labirin, kokhlea, atau saraf kedelapan didalam kanal auditori. Paresis fasial tampil hingga pada 50 persen pasien. Fraktura longitudinal empat hingga enam kali lebih sering dibanding yang transversal, namun kurang umum menyebabkan cedera saraf fasial. Otore CSS berhenti spontan pada kebanyakan pasien dalam seminggu. Insidens meningitis pasien dengan otore mungkin sekitar 4 persen, dibanding 17 persen pada rinore CSS. Pada kejadian jarang, dimana ia tidak berhenti, diperlukan pengaliran lumbar dan bahkan operasi.(2)d) Infeksi

Meningitis merupakan infeksi tersering pada fraktur basis Cranii.Penyebab paling sering dari meningitis pada fraktur basis Cranii adalah S. Pneumoniae.Profilaksis meningitis harus segera diberikan, mengingat tingginya angka morbiditas dan mortalitas walaupun terapi antibiotic telah digunakan.Pemberian antibiotic tidak perlu menunggu tes diagnostic.Karena pemberian antinbiotik yang terlambat berkaitan erat dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi.Profilaksis antibiotic yang diberikan berupa kombinasi vancomycin dan ceftriaxone.Antiobiotik golongan ini digunakan mengingat tingginya angka resistensi antibiotic golongan penicillin, cloramfenikol, maupun meropenem.(3)e) Pnemocephalus:

Adanya udara pada cranial cavity setelah trauma yang melalui menings.Meningkatnya tekanan di nasofaring menyebabkan udara masuk melalui cranial cavity melalui defek pada duramater dan menjadi terperangkap.Tik yang meningkat dapat memperbesar defek yang ada dan menekan otak dan udara yang terperangkap. Terapi dapat berupa kombinasi dari: operasi untuk membebaskan udara intracranial,serta memperbaiki defek yang ada, dan tredelenburg position.

LI 3 perdarahan intracranial

Pada trauma kapitis dapat terjadi perdarahan intrakranial / hematom intrakranial yang dibagi menjadi :hematom yang terletak diluar duramater yaitu hematom epidural, dan yang terletak didalam duramater yaitu hematom subdural dan hematom intraserebral ; dimana masing-masing dapat terjadi sendiri ataupun besamaan.

1.EPIDURALHEMATOMA

DefinisiHematom epidural merupakan pengumpulan darah diantara tengkorak dengan duramater ( dikenal dengan istilah hematom ekstradural ). Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri meningens ( a. Meningea media ). Fraktur tengkorak yang menyertai dijumpai pada 8% - 95% kasus, sedangkan sisanya (9%) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur (terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara). Hematom epidural yang berasal dari perdarahan vena lebih jarangterjadi.

EtiologiKausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi : 1. Trauma kepala

2. Sobekan a/v meningea mediana

3. Ruptur sinus sagitalis / sinus tranversum

4. Ruptur v diplorica

Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arterial akibat adanya fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri meningea mediana.Fraktur tengkorak yang menyertainya dijumpai 85-95 % kasus, sedang sisanya ( 9 % ) disebabkan oleh regangan dan robekan arteri tanpa ada fraktur terutama pada kasus anak-anak dimana deformitas yang terjadi hanya sementara.Hematom jenis ini yang berasal dari perdarahan vena lebih jarang terjadi, umumnya disebabkan oleh laserasi sinus duramatris oleh fraktur oksipital, parietal atau tulang sfenoid.KlasifikasiBerdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan menjadi (1,3) 1.Akut

:ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma2.Subakut :ditentukan diagnosisnya antara 24 jam 7 hari3.Kronis : ditentukan diagnosisnya hari ke 7

PatofisiologiHematom epidural terjadi karena cedera kepala benda tumpul dan dalam waktu yang lambat, seperti jatuh atau tertimpa sesuatu, dan ini hampir selalu berhubungan dengan fraktur cranial linier. Pada kebanyakan pasien, perdarahan terjadi pada arteri meningeal tengah, vena atau keduanya. Pembuluh darah meningeal tengah cedera ketikaterjadi garis fraktur melewati lekukan minengeal pada squama temporal.

Gejala klinisGejala klinis hematom epidural terdiri dari tria gejala; 1. Interval lusid (interval bebas)Setelah periode pendek ketidaksadaran, ada interval lucid yang diikuti dengan perkembangan yang merugikan pada kesadaran dan hemisphere contralateral. Lebih dari 50% pasien tidak ditemukan adanya interval lucid, dan ketidaksadaran yang terjadi dari saat terjadinya cedera. Sakit kepala yang sangat sakit biasa terjadi, karena terbukanya jalan dura dari bagian dalam cranium, dan biasanya progresif bila terdapat interval lucid. Interval lucid dapat terjadi pada kerusakan parenkimal yang minimal. Interval ini menggambarkan waktu yang lalu antara ketidak sadaran yang pertama diderita karena trauma dan dimulainya kekacauan pada diencephalic karena herniasi transtentorial. Panjang dari interval lucid yang pendek memungkinkan adanya perdarahan yang dimungkinkan berasal dari arteri. 2. HemiparesisGangguan neurologis biasanya collateral hemipareis, tergantung dari efek pembesaran massa pada daerah corticispinal. Ipsilateral hemiparesis sampai penjendalan dapat juga menyebabkan tekanan pada cerebral kontralateral peduncle pada permukaan tentorial.3. Anisokor pupilYaitu pupil ipsilateral melebar. Pada perjalananya, pelebaran pupil akan mencapai maksimal dan reaksi cahaya yang pada permulaan masih positif akan menjadi negatif. Terjadi pula kenaikan tekanan darah dan bradikardi.pada tahap ahir, kesadaran menurun sampai koma yang dalam, pupil kontralateral juga mengalami pelebaran sampai akhirnya kedua pupil tidak menunjukkan reaksi cahaya lagi yang merupakan tanda kematian. Diagnosis

Dibawah tulang kranium terletak dura mater, yang terletak diatas struktur leptomeningeal, arachnoid, dan pia mater, yang pada gilirannya, terletak diatas otak. Dura mater terdiri atas 2 lapisan, dengan lapisan terluar bertindak sebagai lapisan periosteal bagi permukaan dalam kranium. (1)Seiring bertambahnya usia seseorang, dura menjadi penyokong pada kranium, mengurangi frekuensi pembentukan perdarahan epidural. Pada bayi baru lahir, kranium lebih lembut dan lebih kecil kemungkinan terjadinya fraktur. Perdarahan epidural dapat terjadi ketika dura terkupas dari kranium saat terjadi benturan. Dura paling menyokong sutura, yang menghubungkan berbagai tulang pada kranium. Sutura mayor merupakan sutura coronalis (tulang-tulang frontal dan parietal), sutura sagitalis (kedua tulang parietal), dan sutura lambdoidea (tulang-tulang parietal dan oksipital). Perdarahan epidural jarang meluas keluar sutura. (1)Regio yang paling sering terlibat dengan perdarahan epidural adalah regio temporal (70-80%). Pada regio temporal, tulangnya relatif tipis dan arteri meningea media dekat dengan skema bagian dalam kranium. Insiden perdarahan epidural pada regio temporal lebih rendah pada pasien pediatri karena arteri meningea media belum membentuk alur dalam skema bagian dalam kranium. Perdarahan epidural muncul pada frontal, oksipital, dan regio fossa posterior kira-kira pada frekuensi yang sama. Perdarahan epidural muncul kurang begitu sering pada vertex atau daerah para-sagital. Berdasarkan studi anatomi terbaru oleh Fishpool dkk, laserasi arteri ini mungkin menyebabkan campuran perdarahan arteri dan vena. Perdarahan epidural jika tidak ditangani dengan observasi atau pembedahan yang hati-hati, akan mengakibatkan herniasi serebral dan kompresi batang otak pada akhirnya, dengan infark serebral atau kematian sebagai konsekuensinya. Karenanya, mengenali perdarahan epidural sangat penting.

Pemerikaan LaboratoriumLevel hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan epidural, baik spontan maupun trauma. (1)Cedera kepala berat dapat menyebabkan pelepasan tromboplastin jaringan, yang mengakibatkan DIC. Pengetahuan utama akan koagulopati dibutuhkan jika pembedahan akan dilakukan. Jika dibutuhkan, faktor-faktor yang tepat diberikan pre-operatif dan intra-operatif. (1)Pada orang dewasa, perdarahan epidural jarang menyebabkan penurunan yang signifikan pada level hematokrit dalam rongga kranium kaku. Pada bayi, yang volume darahnya terbatas, perdarahan epidural dalam kranium meluas dengan sutura terbuka yang menyebabkan kehilangan darah yang berarti. Perdarahan yang demikian mengakibatkan ketidakstabilan hemodinamik; karenanya dibutuhkan pengawasan berhati-hati dan sering terhadap level hematokrit. (1)Pencitraan Radiografi (1)

Radiografi kranium selalu mengungkap fraktur menyilang bayangan vaskular cabang arteri meningea media. Fraktur oksipital, frontal atau vertex juga mungkin diamati.

Kemunculan sebuah fraktur tidak selalu menjamin adanya perdarahan epidural. Namun, > 90% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan fraktur kranium. Pada anak-anak, jumlah ini berkurang karena kecacatan kranium yang lebih besar.

CT-scan

CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas. Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks. Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan menghambat ventrikel keempat.

CSF tidak biasanya menyatu dengan perdarahan epidural; karena itu hematom kurang densitasnya dan homogen. Kuantitas hemoglobin dalam hematom menentukan jumlah radiasi yang diserap.

Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4 minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap) setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau level hemoglobin serum yang rendah.

Area lain yang kurang sering terlibat adalah vertex, sebuah area dimana konfirmasi diagnosis CT-scan mungkin sulit. Perdarahan epidural vertex dapat disalahtafsirkan sebagai artefak dalam potongan CT-scan aksial tradisional. Bahkan ketika terdeteksi dengan benar, volume dan efek massa dapat dengan mudah disalahartikan. Pada beberapa kasus, rekonstruksi coronal dan sagital dapat digunakan untuk mengevaluasi hematom pada lempengan coronal.

Kira-kira 10-15% kasus perdarahan epidural berhubungan dengan lesi intrakranial lainnya. Lesi-lesi ini termasuk perdarahan subdural, kontusio serebral, dan hematom intraserebral

MRI : perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas. (1)Terapi

Obat-obatan

Pengobatan perdarahan epidural bergantung pada berbagai faktor. Efek yang kurang baik pada jaringan otak terutama dari efek massa yang menyebabkan distorsi struktural, herniasi otak yang mengancam-jiwa, dan peningkatan tekanan intrakranial. Dua pilihan pengobatan pada pasien ini adalah (1) intervensi bedah segera dan (2) pengamatan klinis ketat, di awal dan secara konservatif dengan evakuasi tertunda yang memungkinkan. Catatan bahwa perdarahan epidural cenderung meluas dalam hal volume lebih cepat dibandingkan dengan perdarahan subdural, dan pasien membutuhkan pengamatan yang sangat ketat jika diambil rute konservatif. Tidak semua kasus perdarahan epidural akut membutuhkan evakuasi bedah segera. Jika lesinya kecil dan pasien berada pada kondisi neurologis yang baik, mengamati pasien dengan pemeriksaan neurologis berkala cukup masuk akal. Meskipun manajemen konservatif sering ditinggalkan dibandingkan dengan penilaian klinis, publikasi terbaru Guidelines for the Surgical Management of Traumatic Brain Injury merekomendasikan bahwa pasien yang memperlihatkan perdarahan epidural < 30 ml, < 15 mm tebalnya, dan < 5 mm midline shift, tanpa defisit neurologis fokal dan GCS > 8 dapat ditangani secara non-operatif. Scanning follow-up dini harus digunakan untukmenilai meningkatnya ukuran hematom nantinya sebelum terjadi perburukan. Terbentuknya perdarahan epidural terhambat telah dilaporkan. Jika meningkatnya ukuran dengan cepat tercatat dan/atau pasien memperlihatkan anisokoria atau defisit neurologis, maka pembedahan harus diindikasikan. Embolisasi arteri meningea media telah diuraikan pada stadium awal perdarahan epidural, khususnya ketika pewarnaan ekstravasasi angiografis telah diamati. Ketika mengobati pasien dengan perdarahan epidural spontan, proses penyakit primer yang mendasarinya harus dialamatkan sebagai tambahan prinsip fundamental yang telah didiskusikan diatas. Terapi BedahBerdasarkan pada Guidelines for the Management of Traumatic Brain Injury, perdarahan epidural dengan volume > 30 ml, harus dilakukan intervensi bedah, tanpa mempertimbangkan GCS. Kriteria ini menjadi sangat penting ketika perdarahan epidural memperlihatkan ketebalan 15 mm atau lebih, dan pergeseran dari garis tengah diatas 5 mm. Kebanyakan pasien dengan perdarahan epidural seperti itu mengalami perburukan status kesadaran dan/atau memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi. Lokasi juga merupakan faktor penting dalam menentukan pembedahan. Hematom temporal, jika cukup besar atau meluas, dapat mengarah pada herniasi uncal dan perburukan lebih cepat. Perdarahan epidural pada fossa posterior yang sering berhubungan dengan gangguan sinus venosus lateralis, sering membutuhkan evakuasi yang tepat karena ruang yang tersedia terbatas dibandingkan dengan ruang supratentorial. Sebelum adanya CT-scan, pengeboran eksplorasi burholes merupakan hal yang biasa, khususnya ketika pasien memperlihatkan tanda-tanda lateralisasi atau perburukan yang cepat. Saat ini, dengan teknik scan-cepat, eksplorasi jenis ini jarang dibutuhkan. Saat ini, pengeboran eksplorasi burholes disediakan bagi pasien berikut ini :

Pasien dengan tanda-tanda lokalisasi menetap dan bukti klinis hipertensi intrakranial yang tidak mampu mentolerir CT-scan karena instabilitas hemodinamik yang berat.

Pasien yang menuntut intervensi bedah segera untuk cedera sistemiknya.

Hematom epidural adalah tindakan pembedahan untuk evakuasi secepat mungkin, dekompresi jaringan otak di bawahnya dan mengatasi sumber perdarahan. Biasanya pasca operasi dipasang drainase selama 2 x 24 jam untuk menghindari terjadinya pengumpulan darah yamg baru. - Trepanasi kraniotomi, evakuasi hematom- Kraniotomi-evakuasi hematom

Komplikasi Hematom epidural dapat memberikan komplikasi :

1. Edema serebri, merupakan keadaan-gejala patologis, radiologis, maupun tampilan ntra-operatif dimana keadaan ini mempunyai peranan yang sangat bermakna pada kejadian pergeseran otak (brain shift) dan peningkatan tekanan intrakranial

2. Kompresi batang otak meninggal

Prognosis

1. Mortalitas 20% -30%

2. Sembuh dengan defisit neurologik 5% - 10%

3. Sembuh tanpa defisit neurologik

4. Hidup dalam kondisi status vegetatif

SUBDURAL HEMATOMA

DefinisiPerdarahan subdural ialah perdarahan yang terjadi diantara duramater dan araknoid. Perdarahan subdural dapat berasal dari:1. Ruptur vena jembatan ( "Bridging vein") yaitu vena yang berjalan dari ruangan subaraknoid atau korteks serebri melintasi ruangan subdural dan bermuara di dalam sinus venosus dura mater.2. Robekan pembuluh darah kortikal, subaraknoid, atau araknoid

Etiologi1. Trauma kepala.2. Malformasi arteriovenosa.1. Diskrasia darah.2. Terapi antikoagulan

Klasifikasi1. Perdarahan akut Gejala yang timbul segera hingga berjam - jam setelah trauma.Biasanya terjadi pada cedera kepala yang cukup berat yang dapat mengakibatkan perburukan lebihlanjut pada pasien yang biasanya sudah terganggu kesadaran dan tanda vitalnya. Perdarahan dapat kurang dari 5 mm tebalnya tetapi melebar luas. Pada gambaran skening tomografinya, didapatkan lesi hiperdens.

2. Perdarahan sub akut Berkembang dalam beberapa hari biasanya sekitar 2 - 14 hari sesudah trauma. Pada subdural sub akut ini didapati campuran dari bekuan darah dan cairan darah . Perdarahan dapat lebih tebal tetapi belum ada pembentukan kapsula di sekitarnya. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi isodens atau hipodens.Lesi isodens didapatkan karena terjadinya lisis dari sel darah merah dan resorbsi dari hemoglobin.

3. Perdarahan kronik Biasanya terjadi setelah 14 hari setelah trauma bahkan bisa lebih.Perdarahan kronik subdural, gejalanya bisa muncul dalam waktu berminggu- minggu ataupun bulan setelah trauma yang ringan atau trauma yang tidak jelas, bahkan hanya terbentur ringan saja bisa mengakibatkan perdarahan subdural apabila pasien juga mengalami gangguan vaskular atau gangguan pembekuan darah. Pada perdarahan subdural kronik , kita harus berhati hati karena hematoma ini lama kelamaan bisamenjadi membesar secara perlahan- lahan sehingga mengakibatkan penekanan dan herniasi. Pada subdural kronik, didapati kapsula jaringan ikat terbentuk mengelilingi hematoma , pada yang lebih baru, kapsula masih belum terbentuk atau tipis di daerah permukaan arachnoidea. Kapsula melekat pada araknoidea bila terjadi robekan pada selaput otak ini. Kapsula ini mengandung pembuluh darah yang tipis dindingnya terutama pada sisi duramater. Karena dinding yang tipis ini protein dari plasma darah dapat menembusnya dan meningkatkan volume dari hematoma. Pembuluh darah ini dapat pecah dan menimbulkan perdarahan baru yang menyebabkan menggembungnya hematoma. Darah di dalam kapsula akan membentuk cairan kental yang dapat menghisap cairan dari ruangan subaraknoidea. Hematoma akan membesar dan menimbulkan gejala seprti pada tumor serebri. Sebagaian besar hematoma subdural kronik dijumpai pada pasien yang berusia di atas 50 tahun. Pada gambaran skening tomografinya didapatkan lesi hipodens

PatofisiologiVena cortical menuju dura atau sinus dural pecahdan mengalami memar atau laserasi, adalah lokasi umum terjadinya perdarahan. Hal ini sangat berhubungan dengan comtusio serebral dan oedem otak. CT Scan menunjukkan effect massa dan pergeseran garis tengah dalam exsess dari ketebalan hematom yamg berhubungan dengan trauma otak.

GejalaklinisGejala klinisnya sangat bervariasi dari tingkat yang ringan (sakit kepala) sampai penutunan kesadaran. Kebanyakan kesadaran hematom subdural tidak begitu hebat deperti kasus cedera neuronal primer, kecuali bila ada effek massa atau lesi lainnya.Gejala yang timbul tidak khas dan meruoakan manisfestasi dari peninggian tekanan intrakranial seperti : sakit kepala, mual, muntah, vertigo, papil edema, diplopia akibat kelumpuhan n. III, epilepsi, anisokor pupil, dan defisit neurologis lainnya.kadang kala yang riwayat traumanya tidak jelas, sering diduga tumor otak.

TerapiTindakan terapi pada kasus kasus ini adalah kraniotomi evakuasi hematom secepatnya dengan irigasi via burr-hole. Khusus pada penderita hematom subdural kronis usia tua dimana biasanya mempunyai kapsul hematom yang tebal dan jaringan otaknya sudah mengalami atrofi, biasanya lebih dianjurkan untuk melakukan operasi kraniotomi (diandingkan dengan burr-hole saja).

Komplikasi Subdural hematom dapat memberikan komplikasi berupa :1. Hemiparese/hemiplegia.2. Disfasia/afasia 3. Epilepsi.4. Hidrosepalus.5. Subdural empiema

Prognosis

1. Mortalitas pada subdural hematom akut sekitar 75%-85%2. Pada sub dural hematom kronis : - Sembuh tanpa gangguan neurologi sekitar 50%-80%.- Sembuh dengan gangguan neurologi sekitar 20%-50%.INTRASEREBRAL HEMATOM

DefinisiAdalah perdarahan yang terjadi didalam jaringan otak. Hematom intraserbral pasca traumatik merupkan koleksi darah fokal yang biasanya diakibatkan cedera regangan atau robekan rasional terhadap pembuluh-pembuluh darahintraparenkimal otak atau kadang-kadang cedera penetrans. Ukuran hematom ini bervariasi dari beberapa milimeter sampai beberapa centimeter dan dapat terjadi pada 2%-16% kasus cedera.Intracerebral hematom mengacu pada hemorragi / perdarahan lebih dari 5 mldalam substansi otak (hemoragi yang lebih kecil dinamakan punctate atau petechial /bercak).

EtiologiIntraserebral hematom dapat disebabkan oleh :1. Trauma kepala.2. Hipertensi.3. Malformasi arteriovenosa.4. Aneurisme5. Terapi antikoagulan6. Diskrasia darah

KlasifikasiKlasifikasi intraserebral hematom menurut letaknya ;1. Hematom supra tentoral.2. Hematom serbeller.3. Hematom pons-batang otak.

PatofisiologiHematom intraserebral biasanta 80%-90% berlokasi di frontotemporal atau di daerah ganglia basalis, dan kerap disertai dengan lesi neuronal primer lainnya serta fraktur kalvaria.

Gejala klinis.Klinis penderita tidak begitu khas dan sering (30%-50%) tetap sadar, mirip dengan hematom ekstra aksial lainnya. Manifestasi klinis pada puncaknya tampak setelah 2-4 hari pasca cedera, namun dengan adanya scan computer tomografi otak diagnosanya dapat ditegakkan lebih cepat. Kriteria diagnosis hematom supra tentorial

nyeri kepala mendadak

penurunan tingkat kesadaran dalam waktu 24-48 jam.

Tanda fokal yang mungkin terjadi ;

- Hemiparesis / hemiplegi.- Hemisensorik.- Hemi anopsia homonim- Parese nervus III.Kriteria diagnosis hematom serebeller ;

Nyeri kepala akut.

Penurunan kesadaran.

Ataksia

Tanda tanda peninggian tekanan intrakranial.

Kriteria diagnosis hematom pons batang otak:

Penurunan kesadaran koma.

Tetraparesa

Respirasi irreguler

Pupil pint point

Pireksia

Gerakan mata diskonjugat.

TerapiUntuk hemmoragi kecil treatmentnya adalah observatif dan supportif. Tekanan darah harus diawasi. Hipertensi dapat memacu timbulnya hemmoragi. Intra cerebral hematom yang luas dapat ditreatment dengan hiperventilasi, manitol dan steroid dengan monitorong tekanan intrakranial sebagai uasaha untuk menghindari pembedahan. Pembedahan dilakukan untuk hematom masif yang luas dan pasien dengan kekacauan neurologis atau adanya elevasi tekanan intrakranial karena terapi medisKonservatif

Bila perdarahan lebih dari 30 cc supratentorial

Bila perdarahan kurang dari 15 cc celebeller

Bila perdarahan pons batang otak.

Pembedahan Kraniotomi - Bila perdarahan supratentorial lebih dari 30 cc dengan effek massa- Bila perdarahan cerebeller lebih dari 15 cc dengan effek massa

Komplikasi Intraserebral hematom dapat memberikan komplikasi berupa;

1. Oedem serebri, pembengkakan otak

2. Kompresi batang otak, meninggal

Prognosis

1. Mortalitas 20%-30%

2. Sembuh tanpa defisit neurologis

1. Sembuh denga defisit neurologis

2. Hidup dalam kondisi status vegetatif.

3. Memahami dan mnejelaskan fraktur basis cranii

trias cushing

Definisi

Adanya hipertensi dan bradikardia yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intrakranial.

Patogenesis dan Patofisiologi

Otak adalah pusat kendali tubuh. Itu juga dilindungi oleh tulang yang membentuk kubah tengkorak. Perlindungan ini, bagaimanapun, adalah pedang bermata dua. Meskipun tengkorak membantu melindungi otak dari cedera, juga bisa melukai otak dengan membatasi ekspansi jaringan setelah cedera.

Semua jaringan menanggapi cedera dengan pembengkakan dan pendarahan. Sebagian besar perdarahan ini mikroskopis dan terjadi relatif lambat. Jaringan otak tidak berbeda. Setelah cedera, otak akan membengkak. Namun, tidak seperti jaringan tubuh lainnya, otak terbatas dalam jumlah pembengkakan mungkin karena pembatasan fisik kubah tengkorak. Saat otak mulai membengkak, bahkan hanya di wilayah sekitar saja, pada akhirnya akan mulai mengisi semua ruang yang tersedia dalam kubah tengkorak. Ketika ini terjadi, tekanan dalam tengkorak mulai meningkat (TIK normal berkisar 5-15 mmHg).

Edema otak biasanya terjadi akibat tekanan kapiler meningkat atau kerusakan yang sebenarnya untuk dinding kapiler yang memungkinkan mereka bocor. Bersamaan dengan membengkaknya otak, dua hal mulai terjadi.

1. Edema mulai menekan pembuluh darah yang mensuplai otak. Hasil kompresi ini dalam aliran darah berkurang ke otak dan iskemia otak. Iskemia kemudian akan menyebabkan arteri yang menuju ke otak membesar, menyebabkan peningkatan tambahan dalam tekanan kapiler dan peningkatan lebih lanjut dalam tekanan intrakranial. Tekanan kapiler meningkat memperburuk edema

2. Penurunan aliran darah otak ke otak kemudian akan menurunkan pengiriman oksigen ke jaringan otak. Hal ini akan mengurangi kemampuan kapiler di otak untuk berfungsi secara normal dan menyebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan kebocoran. Ketika sel-sel otak kehilangan pasokan energi mereka, pompa intraseluler (pompa natrium/kalium) mulai gagal. Hal ini memungkinkan natrium untuk memasuki sel-sel otak, menyebabkan edema seluler dan akhirnya kematian sel.

Aliran darah ke otak secara langsung berkaitan dengan tekanan perfusi serebral (CPP), yang dapat didefinisikan sebagai berikut:

Cerebral Perfusi Tekanan (CPP) = Tekanan Arteri Rata-rata (MAP) Tekanan intrak