SISTEM USAHA PERTANIAN KAKAO -...

31
43 Empat SISTEM USAHA PERTANIAN KAKAO 1 Pada bagian ini peneliti menyertakan hasil penelitian awal mengenai “Produksi, Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012), hal ini bertujuan untuk mengantar pembaca mengetahui bagaimana sistem pengolahan perkebunan kakao. Produksi Dalam mewujudkan visi Kabupaten Morowali sebagai kabupaten Si’e 2012 (lumbung pangan) maka diperlukan keberhasilan dari program-program pembangunan yang diadakan oleh pemerintah pada sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki beberapa sub sektor diantaranya sub sektor perkebunan. Di dalam sub sektor perkebunan itu sendiri, masih terbagi lagi dalam berbagai komoditi, diantaranya kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, cengkeh dan lain-lain. Salah satu komoditi perkebunan unggulan Kabupaten Morowali adalah kakao. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1. dimana keempatbelas kecamatan yang berada di Kabupaten Morowali semuanya memiliki perkebunan kakao yang dikelola oleh masyarakat atau perkebunan rakyat. Rata-rata kecamatan di Kabupaten Morowali pada tahun 2010 memiliki perkebunan kakao seluas 1.169 ha dengan produksi 457,59 ton. Setiap kecamatan memiliki luas perkebunan kakao yang berbeda- beda, demikian juga dengan hasil produksi dan produktivitasnya. 1 Merupakan hasil panelitian dan tulisan Skripsi saya dengan judul “Produksi, Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012).

Transcript of SISTEM USAHA PERTANIAN KAKAO -...

43

Empat

SISTEM USAHA PERTANIAN KAKAO1

Pada bagian ini peneliti menyertakan hasil penelitian awal mengenai “Produksi, Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012), hal ini bertujuan untuk mengantar pembaca mengetahui bagaimana sistem pengolahan perkebunan kakao.

Produksi

Dalam mewujudkan visi Kabupaten Morowali sebagai kabupaten Si’e 2012 (lumbung pangan) maka diperlukan keberhasilan dari program-program pembangunan yang diadakan oleh pemerintah pada sektor pertanian. Sektor pertanian memiliki beberapa sub sektor diantaranya sub sektor perkebunan. Di dalam sub sektor perkebunan itu sendiri, masih terbagi lagi dalam berbagai komoditi, diantaranya kelapa, kelapa sawit, karet, kakao, kopi, cengkeh dan lain-lain.

Salah satu komoditi perkebunan unggulan Kabupaten Morowali adalah kakao. Hal ini dapat dilihat dari Tabel 1. dimana keempatbelas kecamatan yang berada di Kabupaten Morowali semuanya memiliki perkebunan kakao yang dikelola oleh masyarakat atau perkebunan rakyat. Rata-rata kecamatan di Kabupaten Morowali pada tahun 2010 memiliki perkebunan kakao seluas 1.169 ha dengan produksi 457,59 ton. Setiap kecamatan memiliki luas perkebunan kakao yang berbeda-beda, demikian juga dengan hasil produksi dan produktivitasnya.

1 Merupakan hasil panelitian dan tulisan Skripsi saya dengan judul “Produksi, Pemasaran dan Pendapatan Petani Kakao: Studi di Desa Peleru Kecamatan Mori Utara Kabupaten Morowali Propinsi Sulawesi Tengah” (tahun 2011-2012).

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

44

Banyak hal yang dapat mempengaruhi produksi dan produktivitas dari perkebunan kakao tersebut diantaranya perbedaan tingkat kesuburan tanah, perbedaan umur tanaman kakao (belum menghasilkan, menghasilkan dan tidak menghasilkan atau rusak), serangan hama dan iklim. Perkebunan kakao terluas bereda di Kecamatan Bungku Tengah yaitu 2.008 ha atau 13,22% dari total luas perkebunan kakao Morowali tahun 2010. Kecamatan yang memiliki luas perkebunan kakao paling sedikit adalah Kecamatan Menui Kepulauan yaitu 159 ha atau hanya 1,05% dari luas perkebunan kakao Kabupaten Morowali. Produksi terbesar pada tahun 2010 berasal dari Kecamatan Petasia sebesar 821,80 Ton atau menyumbang 13,81% total produksi kakao Kabupaten Morowali, berikut Kecamatan Bungku Selatan dengan produksi 672,80 ton (11,31%). Kecamatan yang kontribusinya paling sedikit adalah Kecamatan Mamosalato (0,34%) dan Menui Kepulauan (0,32%).

Tabel 1. Luas Areal, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao

Kabupaten Morowali Menurut Kecamatan Tahun 2010

No. Kecamatan Luas (ha) Produksi kakao kering

(Ton)

Produktivitas (Kg/ha)

1 Menui Kepulauan 159 19 119,5 2 Bungku Selatan 1.043 672,8 645,06 3 Bahodopi 1.191 340 285,47 4 Bungku Tengah 2.008 639 318,23 5 Bungku Barat 1.011 360 356,08 6 Bumi Raya 1.265 559,8 442,53 7 Witaponda 867 366,6 422,84 8 Lembo 1.788 617,4 345,3 9 Mori Atas 1.925 596 309,61 10 Mori Utara(*) …… ……. …….. 11 Petasia 1.901 821,8 432,3 12 Soyo Jaya 1.269 501,2 394,96 13 Bungku Utara 408 435 1066,18 14 Mamosalato 357 20,1 56,02 Total 15192 5948,7 5194,36 rata-rata kecamatan 1169 457,59 391,57

Sumber : Morowali dalam Angka Tahun 2011 Catatan*) : Data masih gabung dengan kecamatan induknya (Mori Atas)

SIstem Usaha Pertanian Kakao

45

Produktivitas perkebunan kakao di tingkat kecamatan pada tahun 2010 cukup bervariasi dengan rata-rata 391,57 kg per ha. Walaupun satu Kecamatan memiliki perkebunan kakao yang lebih luas, tetapi jika dibandingkan dengan Kecamatan lain produktivitas kecamatan tersebut justru lebih rendah seperti Kecamatan Bungku Utara yang luas perkebunannya mencapai 2.008 ha, tingkat produktivitasnya hanya 318,23 kg per ha. Demikian juga dengan Kecamatan Mori Atas yang produktivitasnya hanya 309,61 kg per ha dengan luas areal perkebunan 1.925 ha. Lain halnya dengan Kecamatan Bungku Selatan yang memiliki luas perkebunan 1.043 ha atau hampir seribu hektar lebih sedikit dari Kecamatan Bungku Utara dan Mori Atas justru produktivitasnya dua kali lebih besar dari kedua kecamatan tersebut yakni 645,06 kg per ha. Dari semua kecamatan yang ada di Kabupaten Morowali, kecamatan yang memiliki produktivitas perkebunan kakao paling tinggi adalah Kecamatan Bungku Utara yaitu 1.066,18 kg per ha dengan lahan perkebunan hanya 408 ha. Sedangkan kecamatan dengan produktivitas perkebunan kakao terendah adalah kecamatan Mamosalato dengan luas perkebunan 357 ha dan produktivitasnya hanya 56,02 kg per ha. Secara keseluruhan pada tahun 2010, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten Morowali yang rata-rata 391,57 kg per ha masih lebih rendah jika dibandingkan dengan produktivitas perkebunan kakao Sulawesi Tengah yaitu 832,51 kg per ha.

Produksi atau hasil dari suatu usaha pertanian dalam hal ini produksi komoditi kakao, akan dijadikan sebagai suatu patokan apakah komoditi kakao memiliki potensi untuk diusahakan dan dikembangkan sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Morowali. Secara keseluruhan luas dan produksi perkebunan kakao Kabupaten Morowali dari tahun 2007- 2010 dapat dilihat pada Tabel 2.

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

46

Tabel 2. Luas, Produksi dan Produktivitas Tanaman Perkebunan Kakao

Kabupaten Morowali Tahun 2007-2010

Tahun Luas (ha) Produksi Biji Kakao Kering (ton)

Produktivitas (Kg/ha)

2007 11.742 5489.09 467.47 2008 11.810 5535.16 468.68 2009 13.840 6383.79 461.26 2010 15.192 5948.70 391.56

Rata-rata 13.146 5,839.16 447.25 Sumber: Morowali dalam Angka Tahun 2011

Dari tahun ke tahun luas perkebunan kakao di Kabupaten Morowali terus mengalami peningkatan dengan rata-rata produksi 5.839,16 ton per tahun. Dengan bertambahnya luas perkebunan kakao tersebut, maka diharapkan produksi dan produktivitasnya akan ikut meningkat. Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa pada tahun 2010 produksi dan produktivitas kakao mengalami sedikit penurunan. Namun tahun sebelumnya yaitu tahun 2007-2009 produksi kakao terus meningkat. Pada tahun 2009 produksi kakao mengalami peningkatan sebesar 848,67 ton atau meningkat 13,29% dari tahun 2008. Jika dilihat dari produktivitas, tahun 2007-2010 produktivitas perkebunan kakao cenderung stabil dengan rata-rata 447.25 kg per ha. Apabila dibandingkan dengan produktivitas kakao Sulawesi Tengah dengan rata-rata 696,62 kg per ha, produktivitas perkebunan kakao Kabupaten Morowali masih rendah. Namun demikian Tabel 2. dapat memberikan gambaran bahwa luas dan produksi kakao di Kabupaten Morowali trennya terus meningkat dan memiliki potensi untuk terus dikembangkan sebagai salah satu komoditi unggulan, dan diharapkan menjadi sumber pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat.

Usaha Perkebunan Kakao di Desa Peleru

Kecamatan penghasil kakao di Kabupaten Morowali diantaranya adalah Kecamatan Mori Utara. Luas perkebunan kakao di Kecamatan

SIstem Usaha Pertanian Kakao

47

Mori Utara yang tersebar di delapan desa pada tahun 2011 mencapai 589,75 ha dengan produktivitas lebih tinggi dari rata-rata kabupaten dan Provinsi yaitu 800 kg per ha atau sama dengan 471,8 ton per tahun (BPK Kecamatan Mori Utara). Selanjutnya, dari data BPK Kecamatan Mori Utara, luas perkebunan kakao terbesar berada di Desa Peleru yaitu 570,4 ha atau 96,7% dari luas perkebunan kakao di Kecamatan Mori Utara.

Tanaman kakao memiliki habitat di lingkungan hutan tropis, tanah yang lembab dengan naungan yang cukup. Kakao akan berproduksi secara maksimal apabila di lingkungan atau iklim yang tepat seperti cukupnya ketersediaan air dan hujan yang relatif merata disepanjang tahun. Desa Peleru memiliki potensi dan iklim yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kakao. Sebagian besar pekebunan kakao petani berada di lembah sepanjang sungai Kuse. Kondisi tanah yang lembab dan ketersediaan air yang cukup membuat lokasi ini sangat cocok untuk perkebunan kakao.

Sebagian besar penduduk Desa Peleru memiliki lahan dan mata pencaharian sebagai petani kakao. Inilah yang membuat Desa Paleru menjadi salah satu kantong penghasil komoditi kakao di Kecamatan Mori Utara. Keseharian petani dijalani dengan mengolah dan memelihara perkebunan kakao yang merupakan lapangan pekerjaan dan sumber pendapatan terbesar petani. Dari 30 responden, rata–rata petani di Desa Peleru memiliki luas perkebunan kakao ≤ 2 ha (86.67%) dengan lama bertani rata-rata 10-20 tahun (70%). Budidaya, pemeliharaan dan produksi tanaman kakao yang dilakukan oleh petani berskala perkebunan rakyat di Desa Peleru dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Penanaman

Sebelum dilakukan penanaman tentunya yang terpenting adalah ketersediaan bibit dan lahan dengan luas tertentu yang sudah siap untuk ditanami. Biji kakao yang dijadikan sebagai bibit adalah biji kakao yang berasal dari buah terpilih dari pohon kakao yang telah ada sebelumnya. Sebelum ditanam, terlebih dahulu dilakukan pembibitan, baik menggunakan polibek

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

48

berukuran kecil maupun di lahan yang sudah disiapkan khusus untuk pembibitan. Setelah bibit kakao berumur kurang lebih tiga sampai enam bulan, bibit tersebut dipindahkan ke lahan perkebunan dengan jarak tanam 3x3 meter. Petani melakukan penanaman kakao secara berkala sesuai dengan ketersediaan bibit dan luas lahan yang siap ditanami. Dari hasil wawancara lapangan, hanya 23.33% petani responden yang mengetahui jenis kakao yang mereka tanam yaitu jenis trinitario/hibrida sedangkan 76.67% responden lainya menjawab tidak mengetahui jenis kakao yang mereka tanam. Kakao yang ditanam petani jenisnya sudah bercampur, hal ini terjadi karena bibit yang digunakan adalah bibit lokal yang berasal dari pohon kakao yang ditanam sebelumnya, baik dari kerabat sesama petani atau milik petani itu sendiri.

2. Pemupukan

Pemupukan dilakukan untuk menyuburkan dan mengembalikan unsur hara pada tanah sehingga meningkatkan dan merangsang pertumbuhan tanaman kakao baik batang, daun dan buah. Umur tanaman kakao petani responden Desa Peleru yang berumur ≤ 10 tahun sebesar 16.67% dan 76.67% berumur 10-20 tahun sedangkan umur diatas duapuluh tahun hanya 6,67%. Umur tanaman kakao ini merupakan umur produktif sehingga penggunaan pupuk sangat diperlukan untuk meningkatkan produktivitasnya. Jenis pupuk yang digunakan petani adalah pupuk urea dan beberapa pupuk lainya seperti TSP, KCL dan NPK. Skala penggunaan pupuk urea lebih besar daripada pupuk lainya dan terkadang pula petani mencampur jenis tersebut dengan pupuk urea. Pemupukan dilakukan satu kali dalam setahun dengan rata-rata penggunaan pupuk urea sebanyak 208 kg per ha.

3. Penyemprotan

Penyemprotan dilakukan untuk mengatasi dan membasmi hama serta penyakit yang menyerang tanaman kakao. Dari tahun ke tahun hama dan busuk buah ditambah dengan iklim yang

SIstem Usaha Pertanian Kakao

49

tidak menentu semakin membuat resah para petani. Berbagai jenis hama pengganggu pada pertumbuhan dan pada produksi kakao adalah hama PBK (penggerek buah kakao), penggerek daun, dan batang. Masalah lain adalah timbulnya penyakit seperti hitam buah yang diakibatkan curah hujan yang terlalu tinggi, mati pucuk dan serangan jamur batang yang dapat menyebabkan matinya pohon kakao. Berbagai upaya dilakukan oleh para petani untuk mengatasi hal tersebut khususnya pada serangan hama. Pemberantasan hama dilakukan dengan melakukan penyemprotan pestisida. Rata-rata petani atau 96.67% petani responden melakukan penyemprotan dua kali dalam sebulan. Janis pestisida yang digunakan petani cukup bervariasi seperti Vigor, Unisait, Nordoks, Akodag, Sidametrin, Capture, Kloromit, Topplus dan lain-lain. Dalam satu kali penyemprotan petani mencampurkan 2-3 jenis pestisida dengan skala 1/2-1 liter setiap jenis pestisida, sehingga total penggunaan pestisida dalam satu kali penyemprotan berkisar 1-2 liter. Karena kebutuhan tanaman akan pupuk cukup tinggi dan juga tujuan untuk meningkatkan produksi maka terkadang dalam penyemprotan hama, petani juga mencampurkan pestisida dengan pupuk cair perangsang pertumbuhan daun dan buah seperti Ronsaid dan Agrodite.

4. Penyiangan

Penyiangan diperlukan untuk menjaga lahan perkebunan tetap bersih dan bebas dari gulma atau rumput yang akan mengganggu pertumbuhan kakao seperti akan terbaginya makanan dengan rumput liar. Pada saat kakao menghasilkan buah, penyiangan dilakukan untuk menghindari hama tikus dan pemakan buah lainnya. Seiring dengan kemajuan teknologi, jika dahulu penyiangan dilakukan dengan arit, tenaga kerja dan waktu yang panjang, maka sekarang dengan alat-alat pertanian modern seperti mesin pemangkas dan herbisida yang digunakan dengan tangki penyemprot, sangat membantu petani untuk mengusahakan lahan pertanian secara efisien.

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

50

5. Pemangkasan

Walaupun pada awal penanaman tanaman kakao harus memiliki naungan (pelindung), tetapi setelah pohon itu bertumbuh besar dan lebat maka tanaman pelindung tersebut tahap demi tahap harus dikurangi. Seiring dengan hal itu, kerimbunan dari daun atau cabang kakao harus diatur dengan pemangkasan cabang yang terlalu rimbun dan tunas air yang dianggap mengganggu pertumbuhan kakao. Pemangkasan dilakukan agar tanaman mendapatkan intensitas cahaya yang cukup secara keseluruhan sehingga dapat menghasilkan buah atau berproduksi secara maksimal.

6. Panen

Buah kakao memiliki warna yang cukup beragam. Warna kakao yang pada waktu muda berwarna hijau, setelah masak akan berwarna kuning. Sedangkan jenis lain, yang awalnya berwarna merah setelah masak akan berwarna oranye. Apabila buah tersebut sudah masak maka petani melakukan pemetikan buah (panen). Buah kakao yang telah dipetik tersebut akan dikumpulkan di salah satu tempat (biasanya ditumpuk dipinggir kebun) kemudian dilakukan pemeraman buah maksimal satu minggu agar kematangan buah kakao merata. Namun petani responden tidak melakukan proses pemeraman buah tersebut, akan tetapi langsung melakukan pemecahan buah. Pemecahan buah dapat dilakukan menggunakan beberapa alat diantaranya pisau, golok dan sepotong kayu yang bertujuan untuk memisahkan biji dari kulit kakao, kemudian dimasukan kedalam karung dan langsung diangkut ke rumah petani. Panen buah kakao di Desa Peleru dilakukan dalam dua musim, petani menyebutnya dengan musim panen raya dan panen antara (panen semester). Musim panen raya dilakukan antara bulan April sampai Juni sedangkan panen semester dilakukan antara bulan Agustus sampai November. Intensitas panen raya pada petani responden Desa Peleru ≥ 5 kali (60%) dan 3-4 kali (40%), sedangkan untuk panen antara ≥ 5 kali (70%) dan 3-4 kali

SIstem Usaha Pertanian Kakao

51

(23,3%) dalam setahun. Rata–rata dalam bulan-bulan panen, baik panen raya maupun panen semester adalah dua kali pemanenan dalam sebulan (panen setiap dua minggu sekali). Dengan intensitas dua kali panen dalam sebulan, maka panen raya petani sebanyak 4-6 kali dan panen antara sebanyak 4-8 kali dalam satu tahun. Perbedaan intensitas panen baik panen raya dan panen semester antara responden tergantung dari produktivitas perkebunan kakao masing-masing responden dan juga karena dipengaruhi oleh cara pemeliharaan seperti pemberian pupuk, pemangkasan, kebersihan lahan dan penyemprotan hama. Total hasil produksi kakao kering rata-rata untuk panen raya dan panen semester petani responden adalah 1,6 ton per tahun.

7. Penjemuran

Setelah biji kakao yang sudah dipanen diangkut ke rumah petani, kakao tersebut dibiarkan berada di dalam karung selama 2-3 hari dengan tujuan mengurangi kandungan air dari biji yang basah, kemudian biji kakao dikeluarkan dari karung dan siap dijemur. Tempat penjemuran yaitu di balai-balai yang terbuat dari bambu, namun penjemuran ditempat ini sudah jarang dilakukan petani karena petani lebih memilih menjemur di daerah lapang halaman rumah dengan menggunakan karoro (tikar atau jaring penjemuran). Lama penjemuran biji kakao sampai kering yaitu 3-4 hari bahkan bisa lebih, tergantung pada cuaca atau sinar matahari. Penjemuran juga dapat dilakukan dengan menggunakan mesin khusus pengering biji kakao. Namun sampai sekarang belum ada petani responden yang memiliki dan menggunakan mesin pengering tersebut. Setelah biji kakao kering, petani melakukan pengemasan di dalam karung goni dan biji kakao siap untuk dijual.

Pengolahan komoditi kakao di Desa Peleru masih terbilang sederhana serta kurang memperhatikan standar dan mutu yang baik. Sistem pengolahan kakao petani masih sebatas panen, jemur sampai dianggap kering lalu dijual. Sedangkan untuk menghasilkan komoditi kakao yang berkualitas, diperlukan pengolahan yang lebih teliti.

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

52

Beberapa proses pengolahan masih dilewatkan oleh para petani seperti proses fermentasi atau pemeraman dengan tujuan melepas lendir-lendir yang melekat pada biji dan menambah aroma khas biji kakao, belum melakukan pencucian yang bertujuan untuk menghilangkan kotoran dan lendir yang masih melekat pada biji, serta sortasi (membersikan kotoran dan memisahkan biji yang baik dan yang kurang baik).

Usaha pertanian kakao tentunya berkaitan erat dengan sarana produksi sebagai pendukung berjalannya usaha perkebunan tersebut. Sarana produksi yang digunakan diantaranya pupuk, pestisida, dan alat-alat pertanian. Pupuk dan pestisida diperoleh petani dari kelompok tani, kios-kios lokal dan pasar kecamatan. Pupuk yang digunakan oleh petani adalah pupuk urea dengan harga Rp. 100.000 per 50 kg (tahun 2011) dan beberapa pupuk lainnya seperti TSP, KCL dan NPK. Sedangkan pestisida yang digunakan oleh petani cukup beragam dan harganyapun bervariasi (Tabel 3.).

Tabel 3. Jenis, Fungsi dan Harga Pestisida

No. Pestisida Fungsi Harga /botol (Rp)

1 Vigor Untuk membasmi hama penggerek buah, batang dan daun pada tanaman kakao. 75.000

2 Unisait Untuk membasmi hama penggerek buah, batang dan daun pada tanaman kakao.

75.000

3 Nordoks Mencegah jamur dan hitam buah kakao. 125.000

5 Akodan Untuk membasmi hama penggerek buah, batang dan daun pada tanaman kakao.

85.000

6 Capture Mencegah serangan hama pengerek dan mencegah busuk buah.

75.000

7 Kloromit Untuk membasmi hama semut. 130.000

8 Seprint Untuk mencegah serangan Hama penggerek batang, daun dan buah kakao.

50.000

9 Sidametrin Untuk memberantas ulat atau hama penggerek tanaman kakao.

30.000

Sumber: Data Primer, 2012

Selain pupuk dan pestisida, sarana produksi yang juga digunakan dalam pengolahan perkebunan kakao adalah alat-alat pertanian. Sebagian besar petani kakao sudah menggunakan alat pertanian yang

SIstem Usaha Pertanian Kakao

53

moderen seperti mesin pemangkas, gunting buah dan lain-lain. Beberapa alat pertanian yang digunakan oleh petani kakao di Desa Peleru dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Alat-Alat Pertanian Yang Digunakan Petani Serta Fungsinya di Lahan

Perkebunan Kakao

No. Alat Pertanian Fungsi/ Kegunaan 1 Arit Untuk penyiangan

2 Cangkul Untuk penggali lubang dalam penanaman kakao serta penggalian saluran air di lahan perkebunan.

3 Gerobak Dorong Sebagai alat pengangkut buah kakao saat panen.

4 Golok (Parang) Untuk penyiangan dan digunakan pula untuk memisahkan biji kakao dari kulitnya (Pemecahan buah).

7 Gerobak menggunakan tenaga sapi (roda)

Sebagai alat transportasi petani ke lahan perkebunan dan sebagai alat pengangkut biji kakao dari perkebunan ke rumah petani.

8 Gunting Buah/Daun/Ranting Untuk memetik buah dan pemangkasan ranting kakao

9 Pemetik Buah (Poncada)

Alat pertanian kakao mirip angka 7 yang disambungkan pada sebatang bambu dengan panjang tertentu. Berfungsi untuk pemetik buah dan alat pemangkas dahan kakao.

10 Jaring Penjemuran ( Karoro)

Untuk menjemur biji kakao yang masih basah.

11 Terpal Untuk menjemur biji kakao yang sudah setengah kering.

12 Karung goni Untuk menyimpan biji kakao setelah dipanen serta biji kakao yang sudah kering dan siap dijual.

11 Mesin Pemangkas Rumput

Untuk alat pemangkas rumput di lahan perkebunan kakao.

13 Tangki Penyemprot Untuk penyemprotan rumput dan juga hama pada perkebunan kakao.

Sumber: Data Primer, 2012

Dalam proses produksi perkebunan Kakao, petani pemilik perkebunan terkadang mengerjakan sendiri proses pengolahan karena dipengaruhi beberapa faktor seperti keterbatasan biaya, lahan pertanian yang tidak terlalu luas sehingga dapat dikerjakan sendiri oleh

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

54

petani tersebut. Namun beberapa proses produksi, dibutuhkan tenaga kerja seperti kegiatan penyemprotan, pemangkasan, pemupukan, panen dan pengangkutan. Tenaga kerja tersebut berasal dari dalam keluarga (anggota keluarga petani itu sendiri), tenaga kerja dari luar keluarga (jasa tenaga kerja), dan tenaga kerja dari dalam dan luar keluarga.

Tabel 5. Distribusi Responden Berdasarkan Penggunaan Tenaga Kerja Dalam Produksi

Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru

No. Proses Produksi

Jumlah dan Presentase Responden Hanya dari dalam kel

Hanya dari luar kel

Dari dalam dan luar kel

Total

jmlh % jmlh % jmlh % jmlh % 1 Penanaman 30 100 - - - - 30 100 2 Pemupukan 13 43 9 30 8 27 30 100 3 Penyemprotan 13 43 8 27 9 30 30 100 4 Penyiangan 18 60 8 27 4 13 30 100 5 Pemangkasan 16 53 8 27 6 20 30 100 6 Panen 6 20 14 47 10 33 30 100 7 Pengangkutan 18 60 12 40 - - 30 100 8 Penjemuran 30 100 - - - - 30 100

Sumber: Data Primer, 2012

Sebagian besar masyarakat Desa Peleru adalah petani kakao, sehinga selain kepala keluarga (bapak), ibu rumah tangga atau tenaga kerja wanita juga ikut membantu dalam beberapa proses produksi walaupun presentasenya sangat kecil. Proses yang menggunakan tenaga kerja wanita adalah proses pemupukan yaitu 13% (masuk dalam data tenaga kerja dari dalam keluarga Tabel 5.) dan dalam proses panen sebanyak 23% responden menggunakan tenaga kerja wanita dari dalam keluarga (ibu rumah tangga) dan 43% lainnya menggunakan tenaga kerja dari luar keluarga.

Dari data primer yang diperoleh, rata-rata penggunaan tenaga kerja dan jumlah hari kerja menurut jenis kelamin untuk proses produksi kakao di Desa Peleru diuraikan sebagai berikut: 1) Penanaman: Petani melakukan penanaman di lahan perkebunannya dengan hari dan waktu kerja yang fleksibel atau berkala, hal ini

SIstem Usaha Pertanian Kakao

55

dilakukan sesuai ketersediaan lahan dan bibit yang siap ditanam. 2) Pemupukan: Selain menggunakan dua orang tenaga kerja (ayah,ibu) dari dalam keluarga dengan tiga hari kerja, jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan dari luar keluarga dalam satu kali pemupukan rata-rata dua orang tenaga kerja dengan tiga hari kerja. 3) Penyemprotan: Rata-rata penggunaan tenaga kerja pada proses penyemprotan yang berasal dari luar keluarga adalah dua orang dengan dua hari kerja. Pada proses penyemprotan ini, pemilik kebun ikut bekerja namun waktu kerjanya lebih lama yaitu rata-rata tiga hari kerja. 4) Penyiangan: Untuk penyiangan dengan luas lahan ≤ 2 hari kerja, petani menyewa rata-rata dua orang tenaga kerja dari luar keluarga dengan empat hari kerja, sedangkan petani responden lainya yang tidak menyewa tenaga kerja menghabiskan waktu kerja selama satu minggu untuk proses penyiangan. 5) Pemangkasan: Dalam pemangkasan, petani responden menggunakan rata-rata dua orang tenaga kerja dari luar keluarga dengan rata-rata enam hari kerja. Apabila petani hanya melakukan pemangkasan dengan tenaga sendiri, maka jumlah hari kerja yang dibutuhkan lebih panjang yakni sembilan hari kerja. 6) Panen: Proses panen ini membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dibandingkan dengan proses-proses sebelumnya. Untuk satu kali panen, petani menyewa rata-rata tiga orang tenaga kerja pria dari luar keluarga dan tiga orang tenaga kerja wanita, ditambah dengan anggota dalam keluarga petani itu sendiri dengan rata-rata tiga hari kerja per satu kali panen. Dalam proses pemanenan buah kakao, tenaga kerja pria bertugas untuk memetik buah sedangkan wanita sebagai tenaga pemecah buah kakao. Namun tidak jarang tenaga kerja pria juga ikut melakukan proses pemecahan buah. 7) Pengangkutan: Pada hari panen pertama, kedua dan ketiga, biji kakao langsung diangkut sendiri oleh petani pemilik perkebunan pada hari itu juga dengan menggunakan gerobak atau sepeda motor atau oleh tenaga kerja pria dengan cara dipikul (ndalembara). Selain itu, ada beberapa petani yang menggunakan jasa pengangkutan gerobak dengan biaya Rp. 20.000 – Rp. 25.000 per karung. Rata–rata petani responden maupun tenaga kerja lainya mulai bekerja di perkebunan kakao dari pukul 08.00 -16.00 WITA (8 jam per hari kerja). Upah rata-rata tenaga kerja baik upah

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

56

penyemprotan, pemupukan, penyiangan dan panen adalah Rp. 40.000 per hari kerja.

Berbagai persoalan atau masalah yang sering dihadapi oleh para petani dalam hal pengolahan dan produksi perkebunan kakao seperti keterbatasan modal, sumber daya manusia (SDM) dan serangan hama. Usaha pertanian perkebunan kakao membutuhkan modal sebagai biaya operasional produksi. Dengan modal yang cukup, petani dapat membiayai keperluan usaha seperti pengadaan sarana produksi (alat-alat pertanian, pupuk, pestisida, dan upah tenaga kerja). Modal yang digunakan petani responden untuk membiayai operasional produksi diperoleh dari hasil penjualan biji kakao. Terbatasnya akses modal oleh petani baik dari lembaga keuangan bank dan lembaga pinjaman lainya membuat petani harus membagi pendapatan dari hasil penjualan biji kakao untuk kebutuhan pokok sehari-hari dengan biaya operasional produksi. Keterbatasan akses modal ini, disebabkan oleh kurangnya pengetahuan dan pemahaman petani mengenai akses peminjaman modal di bank, sehingga petani enggan untuk meminjam modal. Saat terjadi penurunan produksi bahkan saat gagal panen pada tanaman kakao, petani membiayai operasional pertanian seadanya saja (mengurangi pupuk dan jumlah pestisida), petani kadang menempuh cara lain seperti mengutang sarana produksi pada pembeli (pengumpul biji kakao) yang akan dilunasi setelah memperoleh hasil panen kakao.

Sumber daya manusia merupakan salah satu komponen penting dalam pengolahan perkebunan yang baik. Pengetahuan dan informasi yang diperoleh petani Desa Peleru mengenai pengolahan perkebunan kakao masih sangat sedikit sehingga cara budidaya tanaman kakao yang dipraktekan petani hanya berdasarkan pengalaman dan informasi dari sesama petani dan dari pembeli kakao. Keterbatasan ini juga dikarenakan masih kurangnya pelatihan, seminar-seminar dan sosialisai pertanian yang diberikan oleh pemerintah atau instansi terkait lainya. Belum maksimalnya kinerja Petugas Penyuluh Lapangan (PPL) yang ditempatkan disetiap desa dalam memberikan pendampingan bagi petani, khususnya petani kakao. Akibatnya petani tidak dapat berbuat banyak selain mengandalkan pengetahuan dan

SIstem Usaha Pertanian Kakao

57

informasi terbatas yang mereka miliki dalam mengolah perkebunan kakao tersebut.

Dalam pertanian kakao, masalah terbesar petani adalah serangan hama. Serangan hama sangat merugikan petani karena akan menyebabkan menurunnya hasil produksi. Hama yang menyerang perkebunan petani diantaranya hama penggerek batang dan daun yang menyebabkan daun dan batang kakao menjadi rusak dan bahkan mati. Hama penggerek buah juga menjadi musuh terbesar petani, karena akan menyebabkan busuk dan kangker buah sehingga produksi dapat menurun drastis. Selain itu, jamur batang dan mati pucuk juga dapat membuat pohon kakao akan perlahan-lahan mati. Cuaca yang tidak menentu, seperti curah hujan yang terlalu tinggi membuat buah kakao yang masih muda menjadi hitam dan akhirnya petani akan mengalami gagal panen. Berbagai upaya dilakukan petani untuk mengatasi masalah ini seperti melakukan pemangkasan pucuk yang telah mati, peremajaan kembali, dan penyemprotan pestisida yang tetap dilakukan walaupun dengan harga pestisida yang cukup mahal bagi petani.

Pemasaran

Setelah melalui proses produksi yang cukup panjang mulai dari penanaman, pemeliharaan, pemetikan dan penjemuran, petani memperoleh output atau hasil dari usaha pertanian tersebut berupa biji kakao kering. Biji kakao kering dikemas dengan baik di dalam karung goni kemudian siap untuk dijual. Sebanyak 93,33% petani responden menggunakan sistem penjualan langsung ke rumah pembeli, sedangkan hanya 6,66% saja yang didatangi oleh pembeli. Alat transportasi dan angkutan yang digunakan oleh petani dalam penjualan kakao adalah sepeda motor (66,7 %), gerobak yang ditarik oleh sapi (13,3 %), sedangkan sisanya menggunakan mobil dan tenaga manusia (dipikul).

Ada beberapa jenis pedagang kakao diantaranya pengumpul (tengkulak), kelompok tani, pedagang antar kecamatan, pedagang antar kabupaten, dan pedagang antar pulau (eksportir antar pulau). Pengumpul adalah pedagang yang langsung membeli kakao di rumah-

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

58

rumah petani dan kemudian kembali menjualnya kepada pengumpul tingkat kecamatan bahkan ke pedagang tingkat kabupaten. Harga beli yang ditetapkan oleh pengumpul tersebut cukup bervariasi. Kelompok tani, adalah kelompok yang dibentuk secara swadaya oleh masyarakat dan beranggotakan para petani kakao dengan jumlah anggota tertentu. Tujuan utama dibentuknya kelompok tani atau organisasi tani ini adalah untuk menjadi lembaga musyawarah dan diskusi bagi petani mengenai masalah-masalah dalam pertanian kakao. Selain itu, tujuan dibentuknya kelompok tani di Desa Peleru yaitu untuk membendung masuknya tengkulak atau pedagang baru dari luar desa yang dianggap merugikan pengumpul lokal yang telah lama bekerja sama dengan petani. Terbentuknya organisasi petani (kelompok tani) akan mempermudah penyaluran bantuan dari pemerintah dan mempermudah petani dalam penyediaan sarana produski pertanian.

Sebanyak 56,66% petani responden menjual kakaonya kepada kelompok Tani, 36,66% menjual ke pengumpul biasa, dan hanya 6,66% yang menjual ke pedagang besar antar kabupaten. Penjualan kakao ke kelompok tani sama dengan penjualan ke pengumpul biasa (tengkulak), hal ini terjadi karena yang menjadi pembeli sebenarnya adalah pengumpul lokal yang merupakan anggota dan bahkan ketua dari kelompok tani tersebut. Namun demikian, ada perbedaan pengumpul biasa (pengumpul dari luar kelompok tani) dengan pengumpul lokal yang berada di dalam keanggotaan kelompok tani. Perbedaan tersebut diantaranya adalah penetapan harga. Harga beli pengumpul biasa lebih rendah karena berdasarkan harga di tingkat kecamatan, sedangkan harga pengumpul yang berasal dari kelompok tani cenderung lebih tinggi karena pengumpul tersebut berpatokan dari harga kakao pengumpul besar di tingkat kabupaten. Selain itu, kerjasama dan relasi yang baik yang sudah berlangsung cukup lama antara petani dengan pengumpul lokal, membuat petani lebih memilih untuk menjual komoditi kakaonya pada pengumpul lokal yang juga merupakan anggota kelompok tani dari pada ke pengumpul biasa. Pengumpul tingkat kecamatan biasanya membeli langsung ke rumah-rumah petani dan juga dari para pengumpul biasa yang sudah menjalin relasi dengannya. Pengumpul tingkat kabupaten adalah pengumpul yang

SIstem Usaha Pertanian Kakao

59

membeli kakao dari pedagang antar kecamatan dan juga dari pengumpul-pengumpul lokal di tingkat desa. Pengumpul besar tingkat kabupaten menjual langsung ke pedagang antar pulau (ekportir antar pulau) dan bahkan langsung ke sektor industri pengolahan. Berikut digambarkan rantai pemasaran dan pelaku usaha dalam pertanian komoditi kakao di kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah (Gambar 5.). Model ini diadopsi dari model Kameo et al tahun 2011 mengenai rantai nilai dan pelaku usaha komoditas kopi.

Gambar 5. Rantai Pemasaran dan Pelaku Usaha Dalam Usaha Pertanian Kakao

di Kabupaten Morowali

Di wilayah Desa Peleru dan Kabupaten Morowali bahkan di Sulawesi Tengah, belum tersedia sarana industri pengolahan kakao yang dapat mengolah biji kakao menjadi coklat bubuk, coklat cair, permen dan jenis olahan lainnya. Untuk itu sebagian besar pengumpul tingkat kabupaten di Sulawesi Tengah menjual biji kakao ke eksportir antar pulau yang ada di kota Palu. Sebagian kecil lainnya menjual ke industri pengolahan di Makasar Sulawesi Selatan. Menurut penelitian Tuti Millias tahun 2009 mengenai Analisis Permintaan Ekspor Biji Kakao Sulawesi Tengah Oleh Malaysia, tahun 2002 sebesar 77,61% biji kakao Sulawesi Tengah di ekspor ke luar negeri antara lain ke Malaysia dan beberapa negara lainnya (Tuty Millias 2009: 92).

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

60

Untuk mendapatkan harga yang tinggi sebelum dijual kembali, para pembeli atau pengumpul lokal hanya melakukan penjemuran kembali agar tingkat kekeringan kakao merata dengan standar kekeringan kadar air 7%. Pada pengumpul tingkat kabupaten, pembeli kembali melakukan penjemuran dan mencampur biji kakao yang dibeli dari beberapa pengumpul tingkat desa dan kecamatan agar kualitas kakao merata. Sampai pada eksportir barulah dilakukan penyortiran biji kakao yaitu dengan membersihkan kotoran yang masih bercampur dengan biji kakao dan memisahkan biji kakao berdasarkan bentuk dan tingkat kualitasnya.

Keuntungan yang diperoleh pengumpul lokal berasal dari selisih harga kakao dengan harga pada pengumpul antar kabupaten yaitu Rp. 2.000 per kg pada tahun 2011 dan beberapa tahun sebelumnya. Apabila harga pada pengumpul tingkat kabupaten sebesar Rp. 15.000 per kg maka harga beli pengumpul lokal pada petani kurang lebih Rp. 13.000 per kg atau 15% dari harga beli. Keuntungan bersih pengumpul lokal Rp. 1.500 per kg karena Rp. 500 per kg untuk biaya angkutan dan pemeliharaan kendaraan.

Penetapan kualitas dan harga kakao sampai saat ini masih ditentukan oleh pembeli. Cara penetapan harga kakao adalah dengan mengukur dan melihat standar mutu pada kakao. Standar dan mutu tersebut berkaitan dengan kadar air (atau tingkat kekeringan), warna, dan kebersihan dengan menggunakan alat ukur tester (alat ukur kadar air). Walaupun di Desa Peleru 47% petani responden menjawab penentuan kualitas kakao menggunakan tester, namun langkah tersebut hanya sebagai formalitas yang terkadang dilakukan. Menurut pembeli dan 53% petani responden, cara pengukuran standar dan mutu kakao hanya dengan meraba dan melihat biji kakao tersebut. Hal ini dilakukan karena pembeli sudah berpengalaman dan sudah lama menggeluti jual beli kakao kering, sehingga hanya dengan meraba dan melihat maka pembeli sudah mengetahui tingkat kekeringan kakao tersebut. Penggunaan tester belum diterapkan secara serius karena menurut pembeli, petani belum mengerti tentang penetapan standar kakao yang mengunakan tester dan banyaknya potongan yang akan

SIstem Usaha Pertanian Kakao

61

dilakukan pembeli terhadap kakao yang dibeli sehingga menimbulkan keluhan dari petani.

Permasalahan yang sering dihadapai petani dalam pemasaran adalah tidak menentunya harga (fluktuasi harga), yang kemudian akan menyebabkan pendapatan petani tidak menentu. Selain itu, sistem pembayaran dan jual beli kakao petani menggunakan sistem bayar tunai dan bukan sistem ijon. Sistem ijon adalah sistem bukingan harga berdasarkan kesepakatan bersama, yang dilakukan antara petani dan pembeli dalam rentang waktu tertentu sebelum kakao sampai ke tangan pembeli. Sebagai contoh, harga untuk kakao petani sudah ditetapkan untuk empat hari kedepan, ketika harga kakao hari kesepakatan (hari pertama) Rp. 20.000 per kg maka harga pada saat penjualan kakao pada hari ke empat adalah Rp. 20.000 per kg walaupun harga pada hari ke empat sudah naik menjadi Rp. 23.000 per kg.

Harga pada komoditi kakao sering berubah-ubah bahkan dalam satu minggu dapat terjadi dua kali perubahan harga. Untuk itu, informasi harga untuk petani sangat diperlukan. Kenyataan di lapangan bahwa 50% petani responden tidak mengetahui informasi harga minimal harga pedagang tingkat kabupaten. Informasi dan selisih harga yang diperoleh petani lainya hanya berasal dari sesama petani dan dari pengumpul lokal.

Tabel 6. Harga Komoditi Kakao Bulan September 2011 di Kabupaten Morowali

No Komoditi

Satuan

Harga bulan September 2011 Minggu I Minggu II Minggu II Minggu IV

1. Kakao Kg 17.000 18.000 19.000 19.000 Sumber: Dinas Perkebunan Kabupaten Morowali, 2011

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa harga kakao di tingkat kabupaten pada bulan September mengalami tiga kali perubahan. Walaupun dari minggu pertama sampai minggu kelima ada peningkatan harga dari Rp. 17.000 menjadi Rp. 19.000, namun harga di tingkat petani pada waktu penelitian yaitu pertengahan bulan Desember sampai awal Januari mengalami penurunan sampai pada

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

62

level Rp. 11.000 – Rp. 14.000 per kg. Harga pada bulan ini menurut petani adalah harga terendah yang pernah mereka peroleh selama penjualan komoditi kakao.

Pendapatan

Hasil dari usaha pertanian perkebunan kakao adalah biji kakao kering, yang kemudian dijual untuk memperoleh uang atau pendapatan yang akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan pokok dan sebagai sumber dana operasional pengolahan perkebunan kakao selanjutnya. Sumber pendapatan terbesar petani responden adalah dari hasil perkebunan kakao. Selain perkebunan kakao, untuk memenuhi kebutuhan pangan, sebanyak 73,33% petani responden memiliki usaha pertanian lain seperti menanam palawija, padi ladang, padi sawah dan jagung.

Harga-harga sarana produksi yang telah dijelaskan sebelumnya tentunya akan mempengaruhi pengeluaran dan pendapatan petani. Dari hasil perhitungan diperoleh total pengeluaran rata-rata petani responden baik pembelian pupuk, pestisida dan pengeluaran upah tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rata-Rata Pengeluaran Usaha Perkebunan Kakao Petani Desa Peleru

Per Tahun

No. Pengeluaran Jumlah per tahun (Rp) 1 Pupuk 943.300 2 Pestisida 2.101.500 3 Upah Tenaga Kerja 6.040.000 4 Lain-Lain 518.000

Total 9.056.133 Sumber: Data Primer, 2012

Dengan harga pupuk urea Rp. 100.000 per 50 kg ditambah dengan pengeluaran pupuk jenis lainnya dengan penggunaan rata-rata 208 kg per ha pupuk urea per tahun, maka total pengeluaran pupuk adalah Rp. 943.300 per tahun. Sedangkan hasil perhitungan dengan

SIstem Usaha Pertanian Kakao

63

jenis dan harga pestisida yang bervariasi (Tabel 3.) maka rata-rata pengeluaran pestisida Rp. 2.101.500 per tahun. Pengeluaran terbesar petani dalam produksi perkebunan kakao adalah pengeluaran upah tenaga kerja. Rata-rata pengeluaran petani responden pada upah tenaga kerja mulai dari penyemprotan sampai pada pemetikan adalah Rp. 6.040.000 per tahun. Lain-lain pengeluaran berasal dari sewa angkutan kakao basah yang baru dipanen dari kebun menuju rumah petani dan hal ini hanya dilakukan oleh beberapa petani dengan upah Rp. 15.000 – Rp. 25.000 per karung (tergantung jarak kebun ke rumah petani) dengan skala angkutan 5-10 karung kakao basah, maka rata-rata pengeluaran petani Rp. 518.000 per tahun. Dengan demikian rata-rata pengeluaran sarana produksi dan upah tenaga kerja adalah Rp. 9.056.133 per tahun.

Dari total biaya produksi pada Tabel 7. maka diperoleh hasil rata-rata produksi komoditi kakao kering 1,6 ton per tahun. Selain karena faktor fluktuasi harga, perbedaan waktu penjualan, perbedaan kualitas biji kakao membuat pendapatan petani tidak menentu dan berbeda-beda antara petani satu dengan yang lainnya. Pada Tabel 8 dapat dilihat perhitungan pendapatan rata-rata, pendapatan perkapita petani responden dengan menggunakan kisaran harga saat penelitian di tingkat petani.

Tabel 8. Perhitungan Pendapatan Rata-rata Petani Kakao Desa Peleru dan Pendapatan Perkapita Berdasarkan Variasi Harga Kakao

No. Variasi harga Harga (Rp)

Pendapatan kotor/tahun

(Rp)

Pendapatan bersih/tahun

(Rp)

Pendapatan perkapita/tahun

(Rp)

1. Harga kakao saat penelitian

12.767 20.430.922 11.347.789 2.967.336

Sumber: Data Primer, 2012

Kisaran harga kakao saat penelitian di tingkat petani dengan rata-rata Rp. 12.767 per kg (Tabel 8.) dijadikan sebagai patokan untuk melihat atau memperkirakan pendapatan petani kakao per tahun. Dengan harga tersebut diperoleh rata-rata pendapatan bersih petani sebesar Rp. 11.347.789 per tahun. Sedangkan untuk pendapatan

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

64

perkapita petani yang diperoleh dari total pendapatan bersih dibagi dengan total anggota keluarga responden maka diperoleh pendapatan perkapita Rp. 2.967.336 per tahun.

Apabila dibandingkan dengan PDRB perkapita Kabupaten Morowali atas dasar harga berlaku tahun 2011 sebesar Rp. 21.846.250 (dengan migas) dan Rp. 17.343.642 (tanpa migas), maka pendapatan perkapita petani kakao Desa Peleru dengan rata-rata harga kakao Rp. 12.767 per kg, sangat rendah yaitu hanya Rp. 2.967.336 per tahun atau 13,58% dan 17,11% dari besar PDRB perkapita kabupaten. Demikian juga saat dilihat dari garis kemiskinan Kabupaten Morowali tahun 2010 yaitu Rp. 248.568 per bulan (Statistik Daerah Kabupaten Morowali, BPS Kabupaten Morowali 2011), pengeluaran perkapita per bulan petani Desa Peleru berada sedikit lebih rendah di bawah garis kemiskinan yaitu Rp. 247.278 (pendapatan perkapita petani dibahagi 12 bulan). Kondisi ini tentunya sangat memprihatinkan karena menunjukkan indikasi kemiskinan pada petani kakao. Dengan melihat hasil perhitungan dan perbandingan tersebut, maka diperlukan usaha yang lebih keras lagi dalam hal pengembangan, peningkatan produksi pertanian dari petani sebagai pelaku usaha perkebunan dan pemerintah sebagai pengambil kebijakan melalui berbagai program budidaya tanaman kakao serta penetapan harga yang wajar untuk dapat mendorong peningkatan produksi, pendapatan dan kesejahteraan petani kakao.

Pendapatan dari hasil penjualan biji kakao digunakan petani untuk modal produksi selajutnya, memenuhi kebutuhan sehari-hari dan sebagai sumber pembiayaan bagi sekolah anak. Walaupun kakao merupakan komoditi unggulan dan memiliki kedudukan sebagai produksi ketiga terbesar di tingkat nasional setelah kelapa sawit dan karet, jika dilihat secara keseluruhan dari hasil pengamatan dan perhitungan menunjukkan bahwa sumbangan atau pendapatan dari perkebunan kakao, belum dapat mengangkat dan meningkatkan kesejahteraan petani kakao.

SIstem Usaha Pertanian Kakao

65

Sistem Usaha Pertanian Non Kakao

Pertanian Kelapa Sawit2

Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jack) merupakan tanaman yang berasal dari afrika. Dalam bahasa inggris tanaman kelapa sawit dikenal dengan nama oil palm. Status tanaman kelapa sawit di Indonesia sendiri merupakan tanaman pendatang. Di Indonesia tanaman ini mulai dikenal sejak sebelum perang dunia II (Roosita et al, 2007:1). Menurut warta ekspor Kementerian Perdagangan Republik Indonesia edisi Juni 2011 yang ditulis oleh Suprayogo (2011:4), di Indonesia, kelapa sawit diperkenalkan pertama kali oleh Kebun Raya pada tahun 1884 dari Mauritus (Afrika). Rupanya hasil dari perkenalan ini berkembang dan merupakan induk dari perkebunan kelapa sawit di Asia Tenggara. Pohon induk mati pada 15 oktober 1989, namun generasinya bisa dilihat di kebun raya Bogor. Di Indonesia sendiri kelapa sawit baru diusahakan sebagai komoditi komersial pada tahun 1912 dan ekspor minyak sawit pertama dilakukan pada tahun 1991. Untuk perkebunannya, pertama kali dibangun di tanah hitam, Hulu Sumatera Utara oleh Schadt yang berkebangsaan Jerman pada tahun 1911.

Bentuk tanaman kelapa sawit serupa dengan pohon kelapa, bunga dan buahnya berupa tandan serta bercabang banyak. Satu tandan terdiri dari buah-buah yang kecil dan apabila sudah masak akan berwarna merah kehitaman. Daging dari buah tersebut padat mengandung banyak minyak demikian juga dengan kulitnya. Tinggi pohon kelapa sawit dapat mencapai 24 meter. Perkembang biakan kelapa sawit adalah dengan biji dan dapat tumbuh subur di daerah tropis. Tanaman ini mulai berbuah sekitar umur 5 sampai 6 tahun, tetapi ada jenis kelapa sawit hasil persilangan yang dapat berbuah setelah berumur 36 bulan atau sekitar 3 tahun saja. Kelapa sawit bisa menghasilkan buah sampai pada umur 60 tahun dan hasil buah per pohon setiap panen bisa mencapai 50 – 60 kg (Roosita et al, 2007:2).

2Bagian dari tugas akhir mata kuliah Analisis Sumber daya Alam dan Lingkungan yang berjudul “Perkembangan Perkebunan Kelapa Sawit di Propinsi Sulawesi Tengah dan Dampak Terhadap Pembangunan”, oleh Guampe (Tahun 2013), tidak dipublikasikan .

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

66

Tanaman kelapa sawit dapat kita jumpai di hampir semua wilayah di Indonesia khususnya di pulau-pulau besar mulai dari Sumatra, Kalimantan Sulawesi, Jawa dan Papua. Wilayah Indonesia yang beriklim tropis memungkinkan untuk tanaman ini dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Parameter kesesuaian lingkungan untuk pertumbuhan kelapa sawit seperti yang dipaparkan oleh (Roosita et al, 2007:6) diantaranya: curah hujan 1.750-1.500 mm per tahun, bulan kering 1-3 bulan per tahun, pH tanah 4-6.5, ketinggian 0-400 meter dari permukaan laut, tingkat kemiringan tanah maksimal 30 %, dan tekstur tanahnya berupa lempung debu, lempung liat berpasir atau berdebu, atau lempung liat.

Untuk sebuah perkebuanan kelapa sawit ada beberapa tahap yang harus dilalui menurut Roosita et al (2007). Tahapan atau langkah tersebut adalah:

1. Persiapan; yaitu dengan melakukan studi kelayakan untuk menentukan lokasi yang akan dijadikan sebuah perkebunan sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan kelapa sawit selanjutnya perencanaan luas kebun dan tata ruang seperti kesesuaian lahan dengan kapasitas pabrik, areal pembibitan, jaringan jalan, jembatan, bangunan konservasi tata air atau drainase, komplek perkantoran dan perumahan, pabrik, dan lain-lain. Tata ruang ini dibagi dalam beberapa unit manajemen dan terdiri dari beberapa blok agar mempermudah pengawasan, perawatan dan mengaturan panen.

2. Pembukaan lahan; dilakukan dengan tata cara yang benar yaitu tanpa pembakaran lahan demi menghindari masalah polusi dan kebakaran hutan. Selain itu, dilakukan juga konservasi lahan dan air untuk menghindari longsor, erosi dan mencegah banjir serta tetap menjaga ketersediaan air.

3. Pembibitan; berkaitan dengan pemilihan lokasi untuk pembibitan yang biasanya sekitar 1-1,5% dari luas kebun yang telah ditentukan saat perencanaan dan karakteristik lokasinya dengan topografi rata, sumber airnya dekat, dekat areal penanaman, bebas banjir, akses jalan yang baik, bebas gangguan

SIstem Usaha Pertanian Kakao

67

manusia dan binatang. Salah satu alasan mengapa pembibitan harus dekat dengan sumber air karena pembibitan memerlukan banyak air agar bibit tanaman yang baru tumbuh tanahnya tetap lembab dan menjaga tanaman dari sinar matahari langsung dengan menyediakan naungan. Penyemprotan dan pemupukan dilakukan setelah tanaman sudah mulai tumbuh untuk mencegah perkembangan hama dan dilakukan sekali dalam seminggu.

4. Penanaman; pada tahap ini, yang dilakukan pertama adalah persiapan penanaman dengan membuat petak-petak barisan di tempat akan menanaman tanaman. Proses ini biasa disebut dengan kegiatan mengajir atau memancang. Sebelumnya dibuat blok-blok serta jalan rintisan dan setiap blok memiliki luas sekitar 400 m x 400 m atau lebih. Untuk kepadatan tanaman sekitar 130 tanaman per ha dengan jarak tanam 9,5 m x 9,5 m dengan sistem segitiga. Kedua, pembuatan lubang tanam yang dilakukan dua minggu sebelum penanaman. Lubang ini biasanya berukuran 40 cm x 40 cm x 40 cm. Tanaman harus bebas gulma atau tanaman pengganggu pada radius 1,5 m. Ketiga, penanaman sedapat mungkin dilakukan pada musim hujan agar tanaman memiliki ketersediaan air yang cukup. Penanaman bibit dilakukan oleh 3 orang yaitu untuk membuat lubang, membawa kecamba dan menutup lubang. Keempat, pemeliharaan yang terbagi dalam dua bagian yaitu pemeliharaan tanaman belum menghasilkan (TBM). Tanaman ini adalah tanaman yang baru ditanam dari bibit sampai berumur 30-36 bulan. Selama masa TBM, ada beberapa pekerjaan yang harus dilakukan yaitu konsolidasi tanaman dengan selalu menjaga tanaman agar tidak goyah dan tetap berdiri tegak, penyisipan tanaman yang mati atau kurang subur, pemeliharaan penutup tanah, pemupukan, pengendalian hama dan penyakit, persiapan sarana panen dan pemeliharaan jalan dan parit drainase. Saat pemeliharaan TBM, biasanya dilakukan juga seleksi tanaman untuk memilih tanaman yang berkualitas baik. Bagian selanjutnya adalah Pemeliharaan Tanaman Menghasilkan (TM). Tanaman kelapa sawit mulai berbunga pada umur 12-14 bulan. Secara ekonomis panen yang

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

68

menguntungkan baru pada saat tanaman berumur 2,5 tahun. Pemeliharaan yang baik akan membuat produksi kelapa sawit optimal. Pemeliharaan TM meliputi pengendalian tanaman liar yang mengganggu (gulma), pemangkasan pelepah, pengendalian hama dan penyakit, pemupukan, dan pemeliharaan jalan rintisan.

5. Panen; tanaman kelapa sawit sudah dapat berbuah produktif setelah umur 3 tahun. Puncak produksi terbaiknya adalah setelah umur 5 tahun. Saat itu, jumlah tandan yang dapat dipanen sudah mencapai lebih dari 60%, atau rata-rata berat tandan sudah lebih dari 3 kilogram. Pengangkutan tandan buah segar (TBS) menuju pabrik biasanya menggunakan truk. Untuk menghasilkan persentase perolehan minyak (rendemen) yang baik, buah segar yang baru dipetik harus segera dikirim ke pabrik. Oleh karena itu, kegiatan pengiriman buah segar dari kebun ke pabrik dilakukan siang dan malam. Pada umur 5 tahun, pohon kelapa sawit dapat berbuah sepanjang tahun.

Usaha Pertanian Karet3

Tanaman karet berasal dari Amerika selatan yang wilayahnya beriklim tropis seperti Bazil. Karena Indonesia juga merupakan negara yang beriklim tropis, maka tanaman karet dapat tumbuh dan dikembangbiakan di negara ini (Damanik et al, 2010:1). Tanaman karet mulai dikenal di Indonesia sejak jaman penjajahan kolonial Belanda dan bahkan terus berkembang di hampir seluruh daerah di Indonesia sampai sekarang (Janudianto et al, 2013:1). Tanaman karet (Hevea brasiliensis) sendiri merupakan keluarga dari Euphorbiacea, atau juga disebut dengan rambung, getah, gota, kejai ataupun hapea. Di Indonesia karet merupakan salah satu komoditi andalan di sektor perkebunan selain komoditi kelapa sawit dan karet (Damanik et al, 2010:1).

3 revieu literature

SIstem Usaha Pertanian Kakao

69

Menurut Damanik et al (2010) dalam tulisan mereka mengenai “Budidaya dan Pasca Panen Karet”, ada beberapa persyaratan tumbuhan tanaman karet yaitu:

a. Iklim daerah yang cocok untuk tanaman karet adalah zona antara 150 LS dan 150 LU, serta suhu harian 25-300C.

b. Curah hujan Curah hujan yang diperlukan tanaman karet secara optimal antara 2.000-2.500 mm/tahun, dengan hujan harian berkisar antara 100 s/d 150 HH/tahun. Curah hujan merata sepanjang tahun akan baik bagi tanaman karet namun demikian tanaman ini juga membutuhkan cahaya matahari sepanjang hari dan minimumnya 5-7 jam per hari.

c. Ketinggian Pertumbuhan optimal tanaman karet yaitu pada ketinggian 200 m – 400 m dari permukaan laut. Apabila ditanam di ketinggian > 400 m dari permukaan laut dan suhu hariannya lebih dari 300C maka tanaman tersebut tidak akan berkembang dengan baik.

d. Angin Tanaman ini merupakan pohon yang tumbuh tinggi dengan batang yang membesar. Tinggi pohonnya bisa mencapai 15-25 m. Pada umumnya tanaman ini tidak baik pertumbuhannya jika kecepatan anginnya terlalu kencang.

e. Tanah Untuk keasaman tanah mendekati norman cocok untuk tanaman karet dan yang paling cocok adalah pH5-6 serta batas toleransi pH tanah adalah 4-8. Sifat-sifat tanah lain yang cocok dengan tanaman karet pada umumnya seperti; aerasi dan drainase cukup, tekstur tanah remah, struktur terdiri dari 35% tanah liat dan 30% tanah pasir, kemiringan lahan <16% serta permukaan air tanah < 100 cm.

Akhir-akhir ini perkembangan perkebunan karet semakin berkembang khususnya perkebunan karet rakyat. Menurut beberapa

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

70

sumber yang peneliti peroleh, ada beberapa langkah yang harus dilalui sampai tanaman karet dapat berproduksi. Salah satunya seperti yang ditulis oleh Janudianto et al (2013) mengenai “Panduan Bididaya Karet Untuk Petani Skala Kecil”.

1. Pembibitan

Menurut (Janudianto et al, 2013:1), masih banyak petani karet Indonesia yang menggunakan bibit karet cabutan, anakan liar atau semaian dari pohon karet yang dibudidayakan sebelumnya. Meskipun demikian, para petani sebenarnya telah mengetahui dan mengenal bibit karet yang unggul. Bibit karet yang unggul diperoleh dari hasil okulasi antara batang bawah dan batang atas yang tumbuh dari biji karet pilihan. Bibit karet ini adalah bibit yang berkualitas tinggi. Anjuran batang atas berasal dari karet klon PB260, IRR118, RRIC100 dan batang bawah dapat menggunakan bibit dari biji karet klon PB20, GT1, dan RRIC100 yang asalnya dari pohon berumur lebih dari 10 tahun.

2. Persiapan lahan dan penanaman

a) Persiapan lahan

Persiapan lahan ini adalah pembukaan lahan secara tradisional. Cara tersebut seperti menebang kayu lalu menebasnya kemudian dibakar; bisa juga dengan cara tebang-tebas-tanpa dibakar dan tebang-tebas-jalur. cara yang terakhir ini dilakukan pada lahan yang terdiri dari semak belukar dan bukan merupakan pohon-pohon besar.

b) Penanaman

Setelah lahan dibuka maka proses selanjutnya adalah pemasangan ajir (tiang pancang) untuk jarak tanaman. Sesuai yang dianjurkan jaraknya adalah 3x6 m (jarak tanam tunggal) atau 2,5 x 6 x 10 m (jarak tanam ganda). Jarak antar baris 6 m atau 10 m diletakkan mengikuti arah utara ke selatan, sedangkan jarak antar tanaman karet dalam satu barisan (2,5 atau 3 m) dibuat mengikuti arah barat ke timur. Setelah pengajiran

SIstem Usaha Pertanian Kakao

71

selanjutnya penggalian lubang dengan ukuran 40x40x40 cm. Setelah menetralkan lubang dan tanah tersebut dari binatang, jamur, dan sumber penyakit selama 2–3 bulan, maka selanjutnya adalah proses penanaman. Jumlah ideal pohon karet dalam satu ha untuk mencapai produktivitas maksimal adalah 550 pohon.

3. Pemeliharaan dan peremajaan tanaman

Sebelumnya perlu diketahui bahwa sistem budidaya karet ada dua macam yaitu cara monokultur (hanya menanam tanaman karet saja) dan secara agroforestri/wanatani (menanam campur tanaman karet bersama dengan tanaman lain). Pada umumnya pemeliharaan tanaman untuk kedua sistem ini hampir sama yaitu:

a) Penyiangan kebun, dilakukan paling kurang 3-4 kali dalam setahun dengan cara menebas atau mengoret tumbuhan pengganggu selebar 1 meter dari pohon.

b) Pemupukan, dilakukan hampir sama dengan penyiangan yaitu 3-4 kali dalam setahun. Cara pemupukan yaitu dengan menggali lubang disekitar pohon dan setelah menaruh pupuk kedalamnya kemudian di timbun kembali. jarak pemupukan 30-50 cm dari pangkal batang untuk karet di bawah 3 tahun, dan 100-500 cm untuk karet di atas 3 tahun. Takaran pupuk sesuai umur tanaman dan jenis pupuknya dapat menggunakan NPK yang sudah mengandung unsur seperti urea, SP36, dan KCL.

c) langkah yang berikut adalah pembuangan tunas palsu dan tunas cabang serta pembentukan cabang.

d) Puncak produktivitas tanaman karet yaitu pada usia 12-20 tahun. Setelah itu produktivitasnya akan menurun dan sudah perlu untuk diremajakan ketika berumur 25-30 tahun. Peremajaan dilakukan dengan pembukaan lahan dengan menebang pohon karet yang tua dan menggantinya dengan bibit yang baru.

4. Penanggulangan hama dan penyakit

Dinamika Usaha Pertanian Kakao

72

Hama yang sering menyerang tanaman karet adalah babi hutan, rusa, monyet, anai-anai atau rayap. Sedangkan penyakit yang umunya menyerang karet adalah jamur akar putih (JAP), jamur upas, nekrosis kulit, dan kering alur sadap (KAS). Tentunya hama dan penyakit tersebut akan merugikan petani dengan menurunnya produksi bahkan kematian pohon karet. Pencegahan JAP diantaranya dapat dilakukan sejak dini yaitu pembongkaran dan pemusnahan akar pada saat persiapan lahan karena dapat menjadi sumber jamur, menggunakan bibit yang sehat, menaburkan belerang di sekitar tanaman sebanyak 100-200 g per pohon dengan jarak 10 cm dari batang, pemeliharaan teratur, jika terserang JAP maka dapat dilakukan pemberian obat kimia yang mengandung bahan aktif triadimefon dengan dosis seperlunya dan berbagai cara lainnya. Jamur upas dapat dicegah dengan cara menanam karet unggul, menjaga kelembaban dengan jarak tanam tidak terlalu rapat, penyiangan yang teratur, mengobati pohon yang terserang dengan fungisida seperti Antico F-96 dan beberapa pencegahan lainya sesuai penyakit yang menyarang tanaman. Untuk hama seperti babi hutan dan lain-lain dapat dicegah dengan membuat pagar di sekeliling perkebunan atau membuat perangkap.

5. Penanganan panen dan pasca panen

Pada umumnya karet unggul pada perkebunan rakyat sudah memproduksi getah di umur 4-6 tahun sedangkan karet dari bibit lokal berproduksi pada umur 6-10 tahun, dan juga tergantung pada perawatan kebun. Tanaman karet baru dapat dilakukan penyadapan apabila batang karet telah memiliki lingkar batang minimal 45 cm pada ketinggian 100 cm dari atas permukaan tanah. Penyadapan yang baik dilakukan apabila 60% dari pohon-pohon karet yang ditanam sudah memiliki lingkar tersebut. Setelah penyadapan lateks atau getah karet dikumpulkan dan di proses menjadi lembaran karet yang disebut slab. Untuk memperoleh lateks dilakukan dengan mencampur getah cair karet dengan asam format atau semut. Ketebalan slab bermacam-macam tergantung petani itu sendiri namun

SIstem Usaha Pertanian Kakao

73

dianjurkan 10–15cm. Setelah itu, slab siap dijual ke pedagang pengumpul.