SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI
Transcript of SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI
SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI
GUNA MENGHEMAT AIR IRIGASI
ANAK AGUNG GEDE SUGIARTA
PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2018
ii
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur kehadapan Ida Sanghyang Widi Wasa/
Tuhan Yang Maha Esa Penelitian SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA
MENGHEMAT AIR IRIGASI ini dapat diselesaikan untuk membantu kelancaran
pengkayaan penelitian. Hasil tulisan penelitian ini masih jauh dari sempurna dan akan
terus ditambah dan disempurnakan lagi, oleh karenanya perlu berbagai masukkan.
Penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca dengan baik untuk
peningkatan manfaat dan keilmuan.
Penelitian ini pastilah masih banyak kekurangannya dan akan terus dibenahi
mengikuti perkembangan ilmu dan teknologi di bidang pertanian, penulis dengan rendah
hati mengundang saran dan perbaikan atas tulisan ini demi kepentingan bersama.
Denpasar, 20 Januari 2018
Penulis
iii
SISTEM SRI PADA BUDIDAYA PADI GUNA
MENGHEMAT AIR IRIGASI
ANAK AGUNG GEDE SUGIARTA
ABSTRACT
There were evidences that some reports on paddy rice cultivation studies were
able to increase both an efficient of irrigation water use, and opportunities to increase
the productivity of the rice plant nowdays. This practice called the system of rice
intensification (SRI) that has been well developed at Madagascar. Currently, this method
has been on going implemented in Asian, involving in Indonesia. Its principles were an
aerobic condition at the root zone by minimum water supply, planting younger seedling
in wide spacing 25 cm x 25 cm or more, and apply of compost, beside mineral fertilizer.
Indicated by the report study that paddy SRI was able to increase of 10-40 %
irrigation water use efficiency. Where as, the productivity of paddy SRI, also increase of
25-45 %.
ABSTRAK
Terdapat bukti-bukti hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pemakaian air
irigasi pada tanaman padi dapat dihemat, sekaligus berpeluang ditingkatkannya
produktivitas padi. Praktek budidaya padi demikian dinamakan system of rice
intensification-SRI, yang telah berkembang baik di Madagascar. Saat ini, Padi SRI
sedang giat-giatnya diuji coba di Asia termasuk di Indonesia. Prinsip-prinsip budidaya
padi SRI adalah membuat kondisi aerob di wilayah perakaran tanaman melalui
pemberian air macak-macak, tanam bibit umur muda, jarak tanam lebih lebar 25 cm x 25
cm atau lebih, serta penambahan bahan organik selain pupuk mineral.
Laporan-laporan hasil penelitian padi SRI secara lebih meyakinkan menunjukkan
bahwa penghematan terhadap pemakaian air irigasi dicapai antara 10-40 %. Sedangkan
terhadap hasil padi SRI terdapat variasi peningkatan antara 25-45 %.
iv
DAFTAR ISI
Hal
Halaman Judul ................................................................................................................ i
Abstract .............................................................................................................................. ii
Abstrak ............................................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................... iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. iv
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ................................................................................................ ................... 1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................................... ................... 4
1.3 Tujuan ............................................................................................................. ................... 4
BAB II KAJIAN PUSTAKA ..................................................................................... ................... 4
2.1 Konsep Dasar Pembangunan Berkelanjutan ................................................... ................... 4
2.2 Budidaya Padi Sistem Perakaran Anaerobik (cara konvensional) ................... ................... 6
2.3 Budidaya Padi Sistem Perakaran Aerobik (SRI) ............................................. ................... 7
2.4 Hubungan antara Status Air Tanah dengan Pertumbuhan
Tanaman ......................................................................................................... ...................
8
BAB III KERANGKA BERPIKIR, HIPOTESIS PENELITIAN DAN
METODE PENELITIAN …….………………………………………
51
BAB IV HASIL DAN PEMBAHSAN ........................................................................ 10
4.1 Dimensi Ekonomi ........................................................................................... 10
4.2 Dimensi Kehidupan Sosial .............................................................................. 13
4.3 Dimensi Lingkungan ....................................................................................... 13
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 13
5.1. Simpulan ......................................................................................................... 13
5.2. Saran ................................................................................................................ 14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 14
v
DAFTAR TABEL
Tabel1. Hasil rata-rata dan maksimum budidaya padi SRI
dibandingkan dengan padi konvensional di beberapa
negara Asia ...................................................................... 7
Tabel 2. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara
aerob dan anaerob pada daerah perakarannya ................ 11
Tabel 3. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara
aerob dan anaerob pada daerah perakarannya ................. 11
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Diagram Alir Pengaruh Sistem Perakaran Aerobik
terhadap Pertumbuhan Akar, Bagian Vegetatif dan
Reproduktif Tanaman ...................................................... 10
1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Budidaya tanaman padi melalui praktek budidaya tanaman yang sama dengan
tanaman pada umumnya adalah hal yang wajar. Pendapat demikian pertama
diungkap oleh Pendeta Hendri De Laulanie yang telah mempraktekkan budidaya padi
intensif (system of rice intensification-SRI) di Madagaskar selama 30-an tahun.
Prinsip budidaya padi SRI adalah melalui pengelolaan media tumbuh yang subur
untuk pertumbuhan perakaran, pemberian air yang cukup dan penanaman bibit
tunggal umur muda (Uphoff, 2007). Dalam pandangan tersebut, terdapat harapan
bahwa produktivitas tanaman dapat ditingkatkan sekaligus pemakaian air irigasi dapat
dihemat.
Dalam perspektif pembangunan pertanian berkelanjutan, terdapat tiga pilar
keberlanjutan sebagai tujuan pembangunannya yaitu: (i) pilar keberlanjutan usaha
ekonomi, (ii) keberlanjutan kehidupan sosial dan (iii) keberlanjutan ekologi alam
(Munangsihe, 1993 dalam Suryana, 2005). Oleh karena itu, apabila dihubungkan
antara praktek budidaya padi SRI dengan pembangunan pertanian berkelanjutan,
terlihat kesesuaian tujuannya, berturut-turut upaya menghemat pemakaian air irigasi
sebagai pilar keberlanjutan ekologi, peningkatan produktivitas sebagai pilar
keberlanjutan ekonomi, dan tumbuhnya kelompok tani yang mempraktekkan
budidaya padi SRI merupakan pilar keberlanjutan kehidupan sosial. Dengan prospek
keberlanjutan tersebut, belakangan, kajian-kajian dan praktek budidaya padi SRI
berkembang ke Asia sampai Amerika Selatan (Satyanarayana et al., 2006; Uphoff,
2007; Thakur, 2010).
Disadari bahwa belakangan ini kondisi sumberdaya air semakin terbatas,
beberapa alasan dikemukakan diantaranya adalah perubahan prilaku iklim, terjadinya
anomali iklim seperti peristiwa El Nino yaitu iklim kering yang lebih kering dari
normalnya (Boer, 2003), serta perubahan kondisi wilayah tangkapan air. Di pihak
lain, keberlanjutan program pembangunan, menuntut adanya dukungan persediaan
2
sumberdaya air yang semakin meningkat. Oleh karena itu, semua pihak yaitu sektor-
sektor pengguna air termasuk masyarakat petani dihadapkan pada permasalahan
ketersediaan sumberdaya air yang semakin terbatas. Atas dasar permasalahan
demikian, maka konsep pengembangan pertanian ke depan tidak cukup lagi hanya
menekankan pada peningkatan produksi, tetapi juga sekaligus menyangkut upaya
pengaturan dan pemakaian air yang hemat.
Budidaya padi konvensional yang cara pemberian air irigasinya masih
mengandalkan genangan air di petakan sawah, belakangan ini mendapat perhatian
dan telah dilakukan berbagai kajian dalam rangka meningkatkan produktivitas
sumberdaya air. Asumsi bahwa praktek budidadaya padi yang baik adalah dengan
membuat kondisi lahan yang jenuh air dan bahkan memberikan genangan air
beberapa cm di atasnya mulai dikaji ulang (De Datta, 1981 dalam Satyanarayana et
al., 2006). Sorotan bahwa padi merupakan tanaman air atau paling tidak berasosiasi
dengan lingkungan air mulai dipertanyakan.
Prinsip umum kebutuhan air tanaman padi adalah untuk memenuhi proses
evapotranspirasi (Et). Kemudian, di lapangan agar kondisi tanah tetap jenuh
ditambahkan kebutuhan untuk proses perkolasi (P). Proses evapotranspirasi
ditentukan oleh kondisi iklim dan fase pertumbuhan dan perkolasi ditentukan oleh
tekstur tanah (Hansen et al., 1986). Oleh karena itu, untuk menjaga kebutuhan air
tanaman padi di petakan sawah, maka dalam prakteknya, petakan diberi genangan air
antara 5-10 cm mengikuti perkembangan tinggi tanaman. Artinya, selama masa
pertumbuhan tanaman, kondisi tanah sekitar perakaran (rhizosfer) dalam keadaan
anaeraobik, karena pori-pori tanah mikro maupun makro jenuh dengan air. Dalam
kondisi demikian, tanaman pada umumnya tidak mampu beradaptasi untuk tumbuh
dan berkembang secara baik. Akan tetapi, tanaman padi masih mampu tumbuh dan
berproduksi cukup baik oleh karena struktur morfologi batang dan akarnya memiliki
jaringan aerenchim yang berfungsi mengalirkan oksigen udara ke dalam jaringan
akar.
3
Sebaliknya, prinsip padi SRI justru mengkritisi kondisi daerah perakaran yang
bersifat anaerobik ini, yang justru ditengarai sebagai kondisi lingkungan tumbuh yang
kurang optimal sehingga pertumbuhan dan proses produksi tanaman padi belum
maksimal. Kondisi perakaran padi SRI dibuat dalam keadaan aerobik dengan cara
memberikan air secukupnya dalam kondisi macak-macak dan dikeringkan seterusnya,
sampai terjadi keretakan tanah, dimana kondisi demikian pertukaran gas oksigen di
daerah perakaran (rhizosfer) menjadi intensif. Pertumbuhan akar tanaman menjadi
lebih baik untuk dapat mendukung pertumbuhan bagian atasnya. Kondisi demikian
diyakini mampu memberikan pertumbuhan dan produksi padi lebih maksimal.
Dalam teori fisiologi tumbuhan, terdapat hubungan antara air-tanah-tanaman
dan udara sebagai satu kesatuan yang berkesinambungan (soil-water-plant-
atmosphere as a continuum) (Hanks dan Ashcroft, 1980). Artinya, terjadi aliran air
dari daerah perakaran sampai ke permukaan daun dan dilepaskan dalam bentuk uap
ke udara. Pengendali atau tenaga yang menggerakkan aliran air tersebut adalah
temperatur udara. Akan tetapi, kondisi demikian terjadi dengan asumsi cukup
tersedia kandungan air tanah. Kandungan air tanah yang tersedia bagi tanaman
adalah pada kondisi kapasitas lapang, yaitu batas antara tanah jenuh air sampai titik
layu (pF 2,4)-(pF 4,2) (Syarief, 1989). Kandungan air tanah di bawah titik layu, akar
tanaman tidak mampu menyerap karena molekul air terikat oleh matrik tanah.
Akibatnya, terjadi gangguan proses fisiologis tanaman yang ditandai oleh
menutupnya vacuola daun, kelayuan, gangguan fotosintesis serta gangguan
pertumbuhan dan kematian tanaman (Taylor et al., 1983).
Sebaliknya pada tanah jenuh air, terjadi perkolasi atau kehilangan air akibat
tenaga gravitasi. Air yang hilang ini juga tidak dapat dimanfaatkan oleh akar
tanaman karena keberadaannya di luar jangkauan persebaran akar. Oleh karena itu,
pemberian air irigasi secukupnya merupakan prinsip pada praktek budidaya padi SRI.
4
1.2 Rumusan Masalah
Tinjauan terhadap hubungan antara budidaya padi SRI dengan pembangunan
pertanian berkelanjutan yang memiliki tiga pilar keberlanjutan, maka dapat
dirumuskan masalahnya melalui tinjauan setiap pilarnya, yaitu: 1) dapatkah budidaya
padi SRI memakai air irigasi lebih hemat dibandingkan dengan budidaya padi
konvensional dalam kerangka keberlanjutan ekologis; 2) dapatkah budidaya padi SRI
produktivitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan budidaya padi konvensional
dalam kerangka keberlanjutan ekonomi; dan 3) dapatkah budidaya padi SRI diterima
masyarakat dalam kerangka keberlanjutan kehidupan sosial.
1.3 Tujuan
1. Memberi informasi mengenai jumlah air irigasi yang dapat dihemat pada
budidaya padi SRI;
2. Memberi informasi mengenai peningkatan produksi pada budidaya padi SRI;
dan
3. Memberi informasi tentang tumbuhnya kelompok-kelompok tani yang
mempraktekkan budidaya padi SRI.
5
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Konsep Dasar Pembangunan Pertanian Berkelanjutan
Dijelaskan bahwa konsep dasar pembangunan pertanian berkelanjutan diadopsi
dari konsep pembangunan berkelanjutan pada sektor pertanian (Suryana, 2005).
Pada paper yang disusunnya, lebih lanjut juga diinformasikan tentang pilar-pilar
keberlanjutan yang menjadi tujuan dalam pembangunan berkelanjutan. Terdapat tiga
pilar keberlanjutan yang menjadi dasar tujuan pembangunan pertanian berkelanjutan,
yaitu (i) pilar keberlanjutan usaha ekonomi, (ii) keberlanjutan kehidupan sosial dan
(iii) keberlanjutan ekologi alam (Munangsihe, 1993 dalam Suryana, 2005).
2.1.1 Keberlanjutan usaha ekonomi
Keberlanjutan dimensi ekonomi mencakup aliran pendapatan maksimum yang
diperoleh dari upaya pengelolaan aset produktif yang menjadi basis dalam perolehan
pendapatan tersebut. Indikator dimensi ekonomi ini adalah tingkat efisiensi dan daya
saing, besaran pertumbuhan nilai tambah, dan stabilitas ekonomi. Dimensi ekonomi
menekankan aspek pemenuhan kebutuhan material manusia sekarang dan generasi
mendatang.
2.1.2 Keberlanjutan kehidupan sosial
Keberlanjutan dimensi kehidupan sosial adalah orientasi kerakyatan, berkaitan
dengan kebutuhan kesejahteraan sosial yang dicerminkan oleh kehidupan yang
harmonis (termasuk tercegahnya konflik sosial), preservasi keragaman budaya dan
modal sosio-budaya, termasuk perlindungan terhadap suku minoritas. Oleh karena
itu, pengentasan kemiskinan, pemerataan kesempatan berusaha dan pendapatan,
partisipasi sosial politik dan stabilitas sosial budaya menjadi indikator penting yang
perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pembangunan.
6
2.1.3 Keberlanjutan ekologi alam
Keberlanjutan ekologi alam menekankan kebutuhan akan stabilitas ekosistem
alam yang mencakup sistem kehidupan biologis dan materi alam. Dalam hal ini
termasuk terpeliharanya keragaman hayati dan daya lentur biologis (sumberdaya
genetik), sumberdaya air, tanah, dan agroklimat, serta kesehatan dan kenyamanan
lingkungan. Ketiga dimensi tersebut saling mempengaruhi sehingga ketiganya harus
diperhatikan secara seimbang. Sistem sosial yang stabil dan sehat serta sumberdaya
alam dan lingkungan merupakan basis untuk kegiatan ekonomi.
2.2 Budidaya Padi Sistem Perakaran Anaerobik (cara konvensional)
Secara prinsip, tahapan penanaman budidaya padi cara konvensional dan SRI
adalah sama. Demikian pula varietas yang digunakan pada umumnya sesuai dengan
anjuran seperti yang dilepas oleh Departemen Pertanian, seperti Ciherang atau IR 64
atau yang lainnya (Badan Litbang Pertanian, 2007). Apabila kedua cara tanam
tersebut dibandingkan, terdapat modifikasi dari cara tanam padi SRI dibandingkan
dengan cara konvensional. Modifikasi dilakukan berturut-turut terhadap umur pindah
bibit, jumlah bibit yang ditanam, jenis pupuk, dan cara pemberian air irigasi.
Tahapan penanaman padi secara garis besar dimulai dengan pengolahan
tanah, persemaian, pemupukan dan penanaman, pengairan, penyiangan gulma,
pengendalian hama dan penyakit dan terakhir adalah pemanenan. Prinsip-prinsip
budidayanya berturut-turut adalah sebagai berikut:
1) Tanah diolah sampai mencapai pelumpuran sempurna (Andi dkk., 2008 ).
2) Benih disemai sampai berumur 21-25 hari, sebelum dipindah ke lapangan (Andi
dkk., 2008)
3) Jumlah bibit antara 3-5 batang per lubang (Andi dkk., 2008).
4) Pupuk dasar diberikan 100 kg/ha masing-masing untuk urea, SP 36 dan KCl.
Pupuk susulan pertama diberikan urea 100 kg/ha pada umur 2 minggu setelah tanam,
7
dan pupuk susulan kedua diberikan urea dan KCl masing-masing 100 kg/ha pada
umur 5 minggu setelah tanam (Andi dkk., 2008).
5) Pemberian air dilakukan dengan penggenangan, berturut-turut 3-5 cm sampai
tanaman berumur 30 hari, tinggi genangan ditingkatkan menjadi 5-10 cm mengikuti
tinggi tanaman di lapangan. Pengeringan dilakukan menjelang penyiangan dan
pemupukan susulan, serta memasuki fase pemasakan (Tomar dan O’Toole, 1979
dalam Pasandaran, 1985).
6) Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida mengikuti kondisi lapangan.
7) panen dilakukan setelah daun-daun tanaman menguning, gabah telah mengeras
pada kadar air sekitar 25 %.
Hasil-hasil penelitian budidaya padi di Bali, belakangan ini menunjukkan
hasil panen gabah berkisar antara 6-7 ton/ha gabah kering giling (GKG) (Badan
Litbang Pertanian., 2007).
2.3 Budidaya Padi Sistem Perakaran Aerobik (SRI)
Prinsip-prinsip budidaya padi SRI yang telah dirumuskan oleh para peneliti
berturut-turut adalah: tanam bibit umur muda 12-15 hari setelah sebar, satu bibit per
lubang pada jarak 25 cm x 25 cm atau lebih. Pengairan dikelola secara macak-macak
yang diselingi dengan pengeringan untuk menciptakan suasana aerob pada daerah
perakaran. Pengendalian gulma dianjurkan menggunakan alat weeder yang sekaligus
dapat menggemburkan tanah. Dianjurkan menambahkan pupuk kompos, selain pupuk
mineral dengan maksud untuk menambah kandungan hara tanah, meningkatkan
aktivitas mikroba tanah, dan mempertahankan kelembaban tanah (Satyanarayana et
al., 2006; Uphoff, 2007; Thakur, 2010 ).
Beberapa hasil uji coba budidaya padi SRI di beberapa negara Asia, ditampilkan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil rata-rata dan maksimum budidaya padi SRI dibandingkan dengan
padi konvensional di beberapa negara Asia (Uphoff, 2007)
8
Negara Rata-rata hasil padi SRI Rata-rata hasil padi
konvensional
( ton/ha) (ton/ha)
Bangladesh 7,08 (8,69) 5,61 (6,71)
Cambodia 4,10 (12,0) 2,70 (6,0)
China 12,40 (15,8) 10,90 (11,8)
India 9,67 (15,0) 7,13 (10,3)
Indonesia 7,40 (8,4) 5,00 (6,7)
Keterangan: Angka dalam kurung menunjukkan hasil panen maksimum
yang pernah dicapai.
Hasil penelitian padi SRI yang dilaporkan oleh Tim Peneliti UGM (2005)
disimpulkan bahwa produktivitas padi dapat ditingkatkan lebih dari 25 %, dari rata-
rata hasil padi 6,20 ton/ha menjadi 7,90 ton ha. Sebaliknya, pemakaian air irigasi
dapat dihemat antara 30-40 % dari kebutuhan biasanya. Keunggulan lainnya dari
budidaya padi SRI ini adalah dapat mengurangi kebutuhan benih. Namun demikian,
diakui implementasi ke petani masih membutuhkan waktu karena terdapat perbedaan
cara tanam dari biasanya.
Hasil penelitian yang sama juga dilaporkan oleh Tim Peneliti IPB (Anas,
2008), ditunjukkan bahwa hasil padi dapat ditingkatkan dari rata-rata 6,20 menjadi
7,50 ton/gabah GKG. Selanjutnya, hasil perhitungan nilai efisiensi manfaat air
(EMA) meningkat dari 0,90 menjadi 1,27 kg GKG per meter kubik air. Manfaat dari
hasil penelitian ini adalah dapat ditingkatkannya luas tanam padi khususnya pada
musim kemarau, dimana suplai air dalam kondisi terbatas.
2.4 Hubungan antara status air tanah dengan pertumbuhan
tanaman
Ketersediaan air tanah untuk pertumbuhan tanaman secara umum berada pada
tingkat kapasitas lapang sampai tingkat titik layu. Lebih rendah dari tingkat titik layu
ini pertumbuhan terganggu (Hanks dan Ashcroft, 1980; Sarief, 1989). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa status kandungan air tanah tergantung dari tekstur tanah yang
9
berhubungan dengan persebaran pori-pori mikro tanah yang berfungsi memegang
molekul air.
Tekstur tanah yang berbeda mengandung jumlah air yang berbeda pada kondisi
kapasitas lapang, dimana semakin ringan tekstur tanah (tekstur berpasir) kandungan
air tersedia bagi tanaman semakin rendah, oleh karena proporsi pori-pori makro tanah
meningkat. Molekul air tidak mampu dipegang oleh pori-pori makro tanah, biasanya
ditempati oleh molekul gas seperti O2, CO2 dan gas lainnya. Batas paling tinggi
status energi kandungan air tanah pada kondisi kapasitas lapang adalah pF 2,4 (Hanks
dan Ashcroft, 1980; Sarief, 1989).
Penjelasan tentang pengaruh-pengaruh kekurangan air terhadap fisiologis dan
morfologis tanaman telah banyak dilaporkan. Tanaman yang mengalami kekurangan
air, secara fisiologis mengalami gangguan pada terhambatnya pertukaran gas CO2
akibatnya aktivitas fotosintesis menurun. Perkembangan selanjutnya, terjadi relokasi
senyawa protein daun untuk pembentukan senyawa asam absisat yang berakibat pada
pengguguran daun. Tampilan morfologis tanaman ditandai dengan ukuran tanaman
mengecil, pertumbuhan terhambat dan hasil merosot (Taylor et al., 1983).
2.6.5 Penyerapan air dan hara oleh sistem perakaran
Kekurangan air sering merupakan faktor pembatas pertumbuhan tanaman di
sawah dataran tinggi dan sawah tadah hujan (rainfed). Jika air dipasok secara merata
ke semua profil tanah, lapisan yang dangkal merupakan lapis yang pertama
mengalami kekurangan. Kemudian serapan air meningkat dengan kedalaman yang
lebih besar. Laju serapan air dari volume tanah tertentu sebanding terhadap panjang
akar total efektif jika kondisi lainnya dipertahankan konstan. Laju serapan air yang
tinggi mengakibatkan penurunan potensial air tanah dalam lapis dangkal yang cepat.
Bila laju serapan juga berbanding dengan potensial air tanah jika yang lainnya sama,
serapan air dari lapis dangkal akan menurun. Pada waktu ini, lebih banyak air tersedia
ke akar dalam profil tanah lebih dalam, dan kemudian , lebih banyak air akan diserap
10
dari lapis ini. Model matematis yang diajukan oleh Gardner (1960), akar dianggap
sebagai silinder panjang tak terbatas dengan diameter seragam dan sifat-sifat
menyerap air. Untuk akurasi, panjang akar dikoreksi dengan rambut-rambut akar dan
derajad suberisasi. Panjang akar total berkaitan dengan kapasitas tanaman menyerap
hara. Pada jagung yang ditanam di larutan kultur, laju serapan P sebanding dengan
panjang akar total. Maka kapasitas tanaman menyerap air dan hara berkait erat
dengan panjang total sistem perakaran.
2.6.6 Pengukuran panjang akar dan kerapatan akar
Pengukuran panjang akar total, bahkan dalam cuplikan kecil, sukar dan
membosankan sebab akar dapat mencapai panjang lebih besar bahkan dalam volume
tanah kecil. Pada tahun 1966, Newman menemukan teknik mengukur panjang akar
total. Metode Newman menggunakan kisi-kisi (grid) dimana akar disebarkan secara
acak. Dianggap kisi dengan luas total 14 x 14 cm2 dan dengan jarak teratur 14/11 cm
antar garis. Diharapkan bahwa lebih panjang akar yang tersebar pada kisi, lebih
banyak titik-titik potong yang akan membentuk dengan garis-garis lurus. Maka,
jumlah titik potong (intersep) dapat digunakan menduga panjang akar.
Mengetahui jumlah intersep, panjang akar total diberikan sebagai berikut.:
H
NAR
2
dimana R = panjang total akar,
N = jumlah titik potong antara akar dan garis lurus,
A = luas persegi atau bujur sangkar
H = panjang total garis lurus
Jika terdapat 11 garis horizontal dan 11 garis tegak lurus, maka persamaannya
menjadi:
))(11141114(2
)(141414.3 2
cm
cmNR
)()(44
96.43cmNcm
N
11
Dengan kata lain, jumlah intersep memberikan pendugaan panjang akar total dalam
cm. Metode ini juga digunakan untuk menduga panjang sembarang bentuk garis tak
teratur. Panjang akar per unit volume tanah disebut kerapatan akar (root
density)
)(cmdikoleksiakartempattanahVolume
(cm) total akar Panjangakar Kerapatan
3
Maka kerapatan akar mempunyai dimensi cm-2. Digunakan sebagai ukuran
pertumbuhan akar di lapangan dimana tanaman tumbuh. Kerapatan akar tanaman padi
berkisar dari kurang dari 1 cm-2 dalam horison tanah dalam sampai lebih dari 30 cm-2
sekitar pangkal tanaman.
2.6.7 Ciri akar dikaitkan dengan resistensi terhadap kekeringan
Sistem perakaran padi dapat dipelajari dengan menggunakan beberapa teknik :
1) kotak akar (root box), 2) core sampling di lapangan, dan 3) monolith. Kekeringan
terjadi bila terdapat ketidak seimbangan antara serapan air dengan transpirasi,
pertumbuhan akar lebih besar dapat membantu tanaman lebih baik dibawah kondisi
pasokan air terbatas. Nisbah akar-tajuk dari varietas padi dapat dipelajari dengan
teknik root box. Kisaran nisbah antara 0.05-0.3 saat heading, dan rerata sekitar 0.1.
Dibawah kondisi kekeringan, tanah mulai mengering dari permukaan tanah tetapi
horison lebih dalam mungkin tetap basah dan dapat memasok air ke akar tanaman.
Sebagai konsekuensinya, bagian akar yang dalam dapat lebih berguna dibandingkan
bagian akar yang dangkal bila resistensi kekeringan suatu varietas diuji. Berdasarkan
alasan ini, nisbah akar-tajuk yang besar dianggap sebagai ukuran lebih baik terhadap
resistensi kekeringan di lapangan. Nisbah akar-tajuk dalam didefinisikan sebagai
bobot dalam miligram dari akar yang lebih dalam lebih dari 30 cm/gram tajuk.
Kisarannya mulai dari kurang dari 10 sampai 80 mg/g. Bila varietas padi sawah
berakar dangkal dan varietas gogo berakar dalam ditanam di sawah, tidak banyak
perbedaan antara kerapatan akar sampai 30 cm dekat permukaan tanah. Perbedaan
12
yang lebih besar dalam horison dibawah 30 cm. Ini memberikan alasan penggunaan
nisbah akar-tajuk dalam teknik root box.
Tabel 3. Sebaran kerapatan akar vertikal 7 varietas padi yang ditanam pada sawah
upland, IRRI, 1977.a
Kedalaman (cm)
Varietas 0-10 10-
20
20-
30
30-
40
40-
50
50-
60
60-
70
70-
80
Lowland
IR20
IR2035-117-3
IR442-2-58
Upland
OS4
Moroberekan
Salumpikit
20A
14.4
22.7
16.8
12.6
11.8
16.2
19.8
2.8
5.8
7.1
1.4
2.3
5.5
2.6
0.9
0.8
1.2
0.8
0.9
1.9
0.9
0.4
0.1
0.3
0.9
0.8
1.4
0.8
0.1
0.1
0.1
0.8
0.6
0.8
0.9
0.5
0.8
0.6
0.9
0.5
0.4
0.3
0.6
0.2
0.2
0.1
0.4
aIRRI (1978).
Di sawah, akar padi tumbuh dan mengembang (extend) secara vertikal dan
lateral. IR20, berakar dangkal, anakan banyak, mempunyai kerapatan akar tinggi
sekitar pangkal tanaman tetapi pertumbuhan akar baik secara vertikal dan lateral
terbatas. Sebaliknya, OS4, berakar dalam, anakan sedikit, mempunyai sebaran akar
lateral beruang baik dan akar menembus lebih dalam dari IR20 (Tabel 3). Sejumlah
perbedaan mungkin bagian yang menjelaskan perbedaan resistensi kekeringan
diantara dua varietas.
2.7 Malai (Panicle)
2.7.1 Morfologi
Unsur utama malai adalah kaki malai (base), sumbu (axis), cabang primer dan
cabang sekunder, tangkai bulir (pedicel), rudimentary glumes, dan gabah. Sumbu
malai menjulur (extend) dari pangkal malai (kaki malai) sampai ujung (apex). Malai
mempunyai 8-10 buku pada interval 2 – 4 cm dari cabang primer yang berkembang.
Pada gilirannya, cabang sekunder berkembang dari cabang primer. Tangkai bulir
13
berkembang dari buku-buku cabang primer dan sekunder, pada ujungnya terdapat
gabah. Biasanya hanya satu cabang primer berasal dari kaki malai tetapi dibawah
kondisi yang menguntungkan seperti cuaca bersinar atau tanah yang subur, dua atau
tiga cabang primer dapat muncul pada kaki malai. Malai kembar dua atau kembar tiga
cabang primer pada kaki malai yang dinyatakan dengan malai betina (female
panicle). Malai betina merupakan contoh (an instance) internodia yang memendek
antara cabang primer pada sumbu malai. Pasokan N yang cukup (ample) pada
diferensiasi buku leher dapat menghasilkan persentase malai betina yang tinggi. Maka
pembentukan malai betina menunjukkan kondisi pertumbuhan yang baik pada
diferensiasi buku leher. Bila malai diuji pada penuaan, banyak organ sisa (vestigial)
ditemukan: gabah, cabang primer, cabang sekunder, bracts, dan titik tumbuh. Organ-
organ ini mengalami degenerasi antara diferensiasi gabah dan akhir pembelahan
reduksi sedang diferensiasi terjadi selama periode terdahulu (preceding), diferensiasi
buku leher ke diferensiasi malai. Kondisi lingkungan pada setiap periode mempunyai
pengaruh amat besar (profound) terhadap diferensiasi organ dan degenerasi. Jumlah
gabah yang diamati pada masa tua berbeda antara yang berdiferensiasi dan yang
degenerasi.
2.7.2 Bagan perkembangan malai sebelum heading
Inisiasi primordia malai mulai 30 hari sebelum heading ; berhubungan dengan
waktu saat daun ke-4 pada ujung mulai memanjang. Perkembangan malai dan
pertumbuhan dimulai dengan diferensiasi buku leher dan akhir saat tepungsari
(pollen) masak penuh. Total lamanya perkembangan malai beragam dengan varietas
dan cuaca dan berkisar dari 27-46 hari. Lamanya perkembangan malai lebih pendek
pada varietas umur genjah dibanding varietas umur dalam. Dibawah kondisi cuaca
normal dan untuk varietas dengan umur medium, biarpun total lama perkembangan
malai 33 hari.
14
Tabel 4. Lama tiap tahap perkembangan untuk malai atau gabah.a
Tahap perkembanganb Lama (hari)
1953c 1954d
Tahap diferensiasi buku leher
Peningkatan tahap bracts
Lama diferensiasi bracts
Tahap diferensiasi awal dari cabang rachis primer
Tahap diferensiasi menengah dari cabang rachis primer
Tahap diferensiasi akhir dari cabang rachis primer
Lama tahap diferensiasi awal dari cabang rachis primer
Tahap diferensiasi awal dari cabang rachis sekunder
Tahap diferensiasi akhir dari cabang rachis sekunder
Lama tahap diferensiasi awal dari cabang rachis
sekunder
Tahap permulaan (initial) diferensiasi gabah
Tahap awal diferensiasi gabah
Tahap medium diferensiasi gabah
Tahap akhir diferensiasi gabah
Lama tahap diferensiasi gabah
Tahap diferensiasi sel induk tepung sari
Reduksi tahap pembelahan
Tahap awal pembentukan extine
Tahap pembentukan extine
Tahap awal pematangan tepung sari
Tahap pematangan tepung sari
Total
2.0
1.0
3.0
1.5
2.0
2.2
5.7
1.2
2.0
3.2
1.0
3.0
1.0
4.0
9.0
2.5
2.0
1.2
3.3
2.0
5.5
37.4
2.0
1.0
3.0
1.0
2.0
1.0
4.0
1.0
1.5
2.5
1.0
3.0
1.2
3.2
8.4
1.8
1.8
1.6
2.5
2.0
5.0
32.6
aMatsushima (1970). bGabah yang paling ujung yang digunakan. cCuaca tak lazim. dCuaca normal.
Hasil dari Tabel 4. diperoleh dari kajian padi Japonica. Karena (since) perbedaan
dasar antara japonica dan indica dan pola suhu selama perkembangan malai adalah
sama pada kedua daerah tropis dan iklim sedang. Saat malai muda telah tumbuh
sepanjang ± 1 mm, dapat dilihat dengan mata telanjang (naked eye) atau
menggunakan kaca pembesar. Seorang agronomis untuk menyatakan tahap ini
sebagai primordia malai (panicle initiation) untuk melakukan pemupukan nitrogen
(top dressing). Lama waktu dari primordia malai ke heading sekitar 23 – 25 hari baik
di kedua daerah iklim sedang maupun di tropika.
2.7.3 Cara menentukan tahap perkembangan malai sedang tumbuh
15
Untuk kajian yang teliti tahap perkembangan malai, sampel diambil dan diuji
dibawah mikroskop. Metode berikut memberikan cara sederhana dimana tahap
perkembangan dapat diidentifikasikan (Matsushima, 1970) :
a. Indeks jumlah daun (Leaf number index). Jika jumlah daun berkembang pada
buluh utama adalah konstan, jumlah daun dapat diambil sebagai pengukur umur
fisiologi tanaman. Ini implikasinya terhadap varietas tak peka fotoperiod dan
terhadap tanaman varietas padi yang sama yang ditanam dibawah kondisi
lingkungan sama.
100berkembang yang daun jumlah total
tertentu waktu pada berkembang yang daun jumlahdaun jumlah Indeks
Bilamana varietas berbeda dapat mempunyai jumlah total daun pada buluh utama
yang berbeda, jumlah daun per se tak dapat digunakan sebagai pengukur fisiologi
tanaman yang dapat diandalkan (reliable) untuk semua varietas. Indeks jumlah
daun mengkoreksi sejumlah varietas. Misalnya, bila varietas dengan 14 daun dan
18 daun telah berkembang 6 daun pada buluh utamanya, indeks jumlah daunnya
adalah berturut-turut 43 dan 33. Indeks jumlah daun terkait dengan tahap
perkembangan malai tumbuh. Hubungan ini dapat dipegang hanya untuk malai
terminal dan untuk varietas 16 daun. Diferensiasi buku leher terjadi jika indeks
jumlah daun sekitar 77, atau jika tanaman telah berkembang 12.3 daun. Tahap
diferensiasi malai datang (muncul) pada indeks jumlah daun sekitar 90, atau saat
tanaman mempunyai 14.4 daun.
Bila suatu varietas mempunyai lebih atau kurang dari 16 daun pada buluh
utamanya, indeks jumlah daunnya harus dikoreksi dari penyimpangan dari 16
sehingga Tabel 5. dapat digunakan untuk varietas sembarang daun. Faktor koreksi
dihitung sebagai :
10
daun jumlah total16daun) jumlah indeks(100(CF)koreksi Faktor
Perhitungan indeks jumlah daun terkoreksi maka menjadi:
Indeks jumlah daun terkoreksi = indeks jumlah daun + CF
16
Tabel 5. Tahap perkembangan dan ciri morfologi.a
Tahap perkembangan
Ciri morfologi
Indek
jumlah
daun
Keluar daun ke-
n dihitung dari
ujung
Panjang
malai
1. Tahap diferensiasi buku leher
2. Tahap diferensiasi branch
a. Tahap diferensiasi cabang primer
b. Tahap diferensiasi cabang sekunder
3. Tahap diferensiasi malai
a. Tahap awal
b. Tahap medium
c. Tahap akhir (lambat)
4. Tahap diferensiasi sel induk tepung
sari
5. Tahap pembelahan reduksi sel induk
tepung sari
6. Tahap pembentukan extine
7. Tahap pemasakan tepung sari
76-78
80-83
85-86
87
88-90
92
95
97
100
100
Daun ke-4
Daun ke-3
Daun ke-2
Daun bendera
0.5-0.9 mm
1.0-1.5 mm
1.5-3.5 mm
3.5-15.0
mm
1.5-5.0 mm
5.0-20.0
mm
Panjang
penuh
Panjang
penuh aDimodifikasi dari Matsushima (1970).
Teladan:
Total jumlah daun pada buluh utama: 14
Umur tanaman: 12.6 tahap daun
Indeks jumlah daun: 12.6/14 = 90
210
1416)90100()CF(
koreksi Faktor
Indeks jumlah daun terkoreksi = jumlah daun + CF
= 90 + 2 = 92
Indeks jumlah daun dapat diubah ke dalam jumlah daun yang dihitung dari daun
bendera seperti ditunjukkan pada Tabel 5.
17
b. Panjang malai muda. Malai muda dapat dilihat dengan mata telanjang untuk
pertama kalinya pada tahap awal diferensiasi cabang rachis sekunder. Panjang
malai pada waktu ini ± 0.5-0.9 mm. Tabel 5 menunjukkan hubungan antara
panjang malai dan tahap perkembangan. Malai yang telah tumbuh 1.0 mm telah
memasuki tahap diferensiasi malai. Malai muda biasanya diuji dengan cara
berikut. Dimulai pada ± 30 hari sebelum penentuan pendugaan heading, beberapa
anakan besar dari 2 atau 3 rumpun berukuran sama dipotong dari pangkal
tanaman setiap tiga hari. Bilamana seludang daun yang membungkus buluh
sangat kuat, dengan menggunakan jarum jahit untuk mengupas seludang satu
demi satu. Daun bendera ditemukan sebagai kerucut (cone) putih kecil, dapat
dikuliti (stripped) dengan ujung jarum. Di dalamnya terdapat malai muda. Pada
tahap malai 1 mm (inisiasi malai), malai muda mempunyai rambut dan dengan
mudah dibedakan dari daun. Kaca pembesar membuat pengujian lebih mudah.
Perbedaan antara inisiasi primordia malai dengan tahap inisiasi malai secara
agronomi adalah 7-10 hari.
c. Jarak antara telinga daun bendera dan daun penultimate. Jarak antara telinga
daun bendera dan telinga daun penultimate (daun ke-2) memberikan cara
bermanfaat untuk mengindentifikasi tahap pembelahan reduksi, salah satu tahap
paling rentan (vulnerable) terhadap cekaman lingkungan. Bila telinga daun
bendera telah muncul dari seludang daun dari daun penultimate (daun ke-2) dan
terletak diatas telinga daun penultimate, jarak diberi tanda plus (+). Jika telinga
daun bendera terletak sama tingginya dengan daun penultimate jaraknya diberi
tanda nol (0). Dan jika telinga daun bendera masih di dalam seludang daun
penultimate, jarak diberi tanda minus (-). Sebagian besar tahap pembelahan
reduksi aktif dimulai saat jarak antara telinga adalah –3 cm dan berakhir saat
jaraknya + 10 cm. Dengan kata lain, bila telinga daun bendera muncul dari
seludang daun penultimate, malai mengalami periode pembelahan reduksi paling
aktif.
18
2.8 Keluar Malai (Heading) dan Keluar Bunga (Antesis)
2.8.1 Morfologi gabah (spikelet)
Gabah dihasilkan pada pedicel, batang (stalk) pendek yang merupakan
perpanjangan (extension) sumbu malai dan cabang primer atau sekunder. Terdapat
dua glume rudimenter pendek pada bagian akhir atas pedicel. Pasangan lemma steril
dan rachilla terletak diantara glume rudimenter dan bulir gabah. Bunga tertutup
dibungkus dalam lemma dan palea, yang keduanya berbulu atau tak berbulu. Bunga
terdiri dari pistil, stamen, dan lodicules. Komponen pistil adalah stigma, styles, dan
ovary. Stigma merupakan plumose, pada dimana butir-butir tepung sari dilepaskan.
Ovary tebal, lembut dan menghasilkan dua styles. Terdapat 6 stamen yang
berkembang baik, tersusun anther dan filamen. Dua kecil, oval, tebal, dan tubuh
berdaging, yang disebut lodicules, terletak pada pangkal ovary. Lodicules menjadi
digelembungkan oleh air dan membantu memisahkan lemma dan palea pada
pembungaan.
2.8.2 Keluar malai (heading)
Setelah daun bendera muncul sekitar 18 hari sebelum heading, malai tumbuh
cepat dan bergerak keatas dalam seludang daun bendera seperti internodia yang
memanjang. sekitar 6 hari sebelum heading, seludang daun bendera menebal-suatu
pertanda bahwa malai terbungkus, 6 hari tersebut disebut tahap booting (bunting).
Pemanjangan internodia kedua dari ujung atas (top) selesai dalam 1 atau 2 hari
sebelum heading. Maka internodia paling ujung memanjang cepat dan mendorong
keatas malai. Konsekuensinya, keluarnya malai dari seludang daun bendera.
Heading berarti keluarnya (exsertion) malai. Secara umum keluarnya malai cepat
dan sempurna pada padi japonica, tetapi lambat dan tak sempurna pada padi indica.
Suhu rendah memperburuk (aggravate) keluarnya malai jelek. Dalam suatu tanaman,
beberapa anakan biasanya heading lebih awal dari tajuk utamanya. Penentuan
heading yang berbeda tidak hanya dalam tanaman tetapi juga diantara tanaman dalam
19
sawah yang sama. Biasanya butuh 10-14 hari untuk semua tanaman di sawah
menyelesaikan heading. Untuk waktu yang baik (convenience), penentuan heading
didefinisikan sebagai waktu 50% malai telah keluar (exserted).
2.8.3 Pembungaan (flowering)
Anthesis menyatakan serangkaian kejadian antara membuka dan menutup
gabah, paling lambat 1-2.5 jam. Pada awal anthesis, bagian ujung lemma dan palea
mulai membuka, filaments memanjang, dan anther mulai menembus dari lemma dan
palea. Sehingga gabah membuka lebih lebar,ujung stigma dapat menjadi kelihatan.
Filamen memanjang lebih jauh membawa anther keluar lemma dan palea. Gabah
kemudian menutup meninggalkan anther diluar. Degenerasi anther biasanya terjadi
dekat sebelum atau saat lemma dan palea membuka, konsekuensinya banyak butiran
tepung sari jatuh ke stigma. Untuk alasan ini padi sebagai tanaman menyerbuk sendiri
(self-pollinated). Bila filament memanjang jauh, anther terletak dekat diatas atau
jatuh diatas bibir lemma dan palea, dan butiran tepung sari dilepaskan ke udara.
Butiran tepung sari dapat tertiup angin menuju stigma malai lain. Bilamana serbuk
sendiri lebih dahulu (precede) serbuk silang, persentase yang terakhir biasanya
kurang dari 1. Butiran tepung sari dapat hidup (viable) hanya selama 5 menit setelah
berkecambah dari anther dimana stigma dapat dibuahi (serbuki) selama 3-7 hari.
Butiran tepung sari lebih peka terhadap suhu tinggi dibandingkan stigma. Bila
diperlakukan dengan air panas pada 43°C selama 7 menit, akan kehilangan
viabilitasnya. Stigma tetap aktif dibawah kondisi yang sama. Perbedaan tanggap
terhadap suhu tinggi digunakan untuk kastrasi (emasculation) dalam hibridisasi. Bila
bagian dari malai telah menembus, anthesis akan terjadi, dimulai dengan gabah pada
ujung cabang malai atas. Kemudian penentuan anthesis akan sama dengan penentuan
heading. Penentuan anthesis gabah tunggal beragam dengan posisi gabah dalam malai
yang sama. Gabah pada cabang atas mempunyai anthesis lebih awal dari cabang
bawah; dalam suatu cabang gabah pada ujung berbunga pertama kali. Butuh 7-10 hari
untuk semua gabah dalam malai yang sama untuk menyelesaikan anthesis; sebagian
besar gabah menyelesaikan anthesis dalam 5 hari. Dalam sawah yang sama butuh 10-
20
14 hari untuk menyelesaikan heading sebab penembusan malai beragam dalam
anakan pada tanaman yang sama dan diantara tanaman dalam sawah yang sama. Oleh
karena itu, butuh 15-20 hari untuk semua malai tanaman menyelesaikan anthesis.
Waktu hari saat anthesis terjadi beragam dengan kondisi cuaca. Dibawah cuaca
normal di tropika sebagian besar varietas padi (O. sativa) mulai anthesis sekitar 08.00
dan berakhir jam 13.00. Bila suhu rendah, anthesis dimulai akhir pagi hari dan
berlanjut akhir siang hari. Pada musim hujan, penyerbukan dapat terjadi tanpa
membukanya lemma dan palea. Terdapat perbedaan jelas anthesis antara O. sativa
dengan O. glaberrimus. Misalnya, pada jam 09.00, ± 60% gabah O. glaberrimus
berbunga tetapi < 5% O. sativa yang telah anthesis (galur IR dan Speed 70). Tabung
tepung sari mulai memanjang setelah berkecambah. Pembuahan secara normal selesai
5-6 jam setelah anthesis; kemudian ovary yang dibuahi berkembang menjadi beras
coklat (brown rice).
2.8.4 Pemasakan (ripening) dan senesen
Periode pemasakan dicirikan oleh pertumbuhan bulir-meningkatnya bobot dan
ukuran, perubahan warna bulir, dan senesen daun. Pada tahap awal pemasakan, bulir
hijau; berubah (turn) kuning manakala menua. Tekstur bulir berubah dari susu,
tingkat setengah cair (semifluid) ke padat yang keras. Berdasar sejumlah perubahan
periode pemasakan dipilahkan menjadi tahap: masak susu (milk), masak adonan
(dough), masak kuning (yellow ripe), dan tahap tua (maturity). Sebelum heading,
sejumlah besar (considerable) pati dan gula mengumpul dalam buluh dan seludang
daun. Karbohidrat yang terakumulasi ini dianngkut ke bulir selama pemasakan.
Senesen daun dimulai dari daun sebelah bawah dan meluas ke atas sebagai menuanya
tanaman. Senesen daun lebih cepat pada padi indica daripada japonica dan di daerah
panas dibanding daerah dingin. Di daerah dingin daun tetap hijau bahka saat tua.
Hubungan antara laju senesen daun dan pengisian adalah rumit (kompleks). Dalam
beberapa kasus, senesen daun lebih cepat akibat dari translokasi karbohidariat dan
protein dari daun ke bulir yang lebih cepat, yang kemudian dikaitkan dengan
21
pengisian bulir lebih cepat. Dalam kasus lain, senesen daun lebih cepat menunjukkan
cuaca atau kondisi tanah yang tak menguntungkan.
2.9 Teknik Budidaya
2.9.1 Budidaya Padi dengan Cara Konvensional
Secara prinsip, tahapan penanaman budidaya padi cara konvensional dan SRI
adalah sama. Demikian pula varietas yang digunakan pada umumnya sesuai dengan
anjuran seperti yang dilepas oleh Departemen Pertanian, seperti Ciherang atau IR 64
atau yang lainnya (Badan Litbang Pertanian, 2007). Apabila kedua cara tanam
tersebut dibandingkan, terdapat modifikasi dari cara tanam padi SRI dibandingkan
dengan cara konvensional. Modifikasi dilakukan berturut-turut terhadap umur pindah
bibit, jumlah bibit yang ditanam, jenis pupuk, dan cara pemberian air irigasi.
Tahapan penanaman padi secara garis besar dimulai dengan pengolahan
tanah, persemaian, pemupukan dan penanaman, pengairan, penyiangan gulma,
pengendalian hama dan penyakit dan terakhir adalah pemanenan. Prinsip-prinsip
budidayanya berturut-turut adalah sebagai berikut:
1) Tanah diolah sampai mencapai pelumpuran sempurna (Andi dkk., 2008 ).
2) Benih disemai sampai berumur 21-25 hari, sebelum dipindah ke lapangan (Andi
dkk., 2008)
3) Jumlah bibit antara 3-5 batang per lubang (Andi dkk., 2008).
4) Pupuk dasar diberikan 100 kg/ha masing-masing untuk urea, SP 36 dan KCl.
Pupuk susulan pertama diberikan urea 100 kg/ha pada umur 2 minggu setelah tanam,
dan pupuk susulan kedua diberikan urea dan KCl masing-masing 100 kg/ha pada
umur 5 minggu setelah tanam (Andi dkk., 2008).
5) Pemberian air dilakukan dengan penggenangan, berturut-turut 3-5 cm sampai
tanaman berumur 30 hari, tinggi genangan ditingkatkan menjadi 5-10 cm mengikuti
tinggi tanaman di lapangan. Pengeringan dilakukan menjelang penyiangan dan
22
pemupukan susulan, serta memasuki fase pemasakan (Tomar dan O’Toole, 1979
dalam Pasandaran, 1985).
6) Pengendalian hama dan penyakit dengan pestisida mengikuti kondisi lapangan.
7) panen dilakukan setelah daun-daun tanaman menguning, gabah telah mengeras
pada kadar air sekitar 25 %.
Hasil-hasil penelitian budidaya padi di Bali, belakangan ini menunjukkan
hasil panen gabah berkisar antara 6-7 ton/ha gabah kering giling (GKG) (Badan
Litbang Pertanian., 2007).
2.9.2 Budidaya Padi dengan SRI
Upaya dalam meningkatkan pendapatan petani yang dilakukan adalah
teknologi penataan tanaman padi melalui Metode SRI (System of Rice
Intensification). Metode SRI merupakan teknologi pertanian berkelanjutan yang
menguntungkan petani karena memberikan hasil produksi yang lebih tinggi. Sistem
SRI terjadi penghematan penggunaan air sampai dengan 50% dan kebutuhan input
pupuk dan pestisida kimia juga lebih sedikit disbanding dengan cara konvensional.
Metode SRI juga memberikan keuntungan bagi lingkungan hidup melalui perbaikan
mutu tanah sebagai dampak pemakaian pupuk kimia (Ahmadi, 2006).
Metode SRI mempergunakan jarak tanam yang lebih lebar untuk penyerapan
unsure hara oleh akar tanaman, disamping itu sinar matahari yang masuk dan diserap
oleh tanaman juga lebih banyak sehingga pertumbuhan tanaman akan menjadi lebih
baik. Tidak hanya itu saja, dengan pengaturan jarak tanam yang lebih renggang,
serangan hama dan penyakit menjadi berkurang.
Untuk pemakaian bibit pada Metode SRI, jumlah bibit yang dipergunakan
akan dikurangi 5-10 kali lipat dibandingkan dengan cara tanam yang konvensional
dan umur bibit yang digunakan lebih muda sehingga hasil yang diperoleh baik jumlah
tangkai produktif, jumlah bulir padi per malai, dan berat butir meningkat tajam (lihat
Tabel 1). Petani Madagaskar telah membuktikan bahwa dengan Metode SRI mampu
meningkatkan hasil panen sebanyak 6 – 10 ton per hektar, sedangkan di beberapa
wilayah di Indonesia seperti Indramayu dan Ciamis (Jawa Barat) tercatat dengan
23
Metode SRI telah dapat meningkatkan hasil dari 5,6 ton/ha menjadi 9,5 ton/ha
(Ahmadi, 2006).
Prinsip-prinsip budidaya padi SRI yang telah dirumuskan oleh para peneliti
berturut-turut adalah: tanam bibit umur muda 12-15 hari setelah sebar, satu bibit per
lubang pada jarak 25 cm x 25 cm atau lebih. Pengairan dikelola secara macak-macak
yang diselingi dengan pengeringan untuk menciptakan suasana aerob pada daerah
perakaran. Pengendalian gulma dianjurkan menggunakan alat weeder yang sekaligus
dapat menggemburkan tanah. Dianjurkan menambahkan pupuk kompos, selain pupuk
mineral dengan maksud untuk menambah kandungan hara tanah, meningkatkan
aktivitas mikroba tanah, dan mempertahankan kelembaban tanah (Satyanarayana et
al., 2006; Uphoff, 2007; Thakur, 2010 ).
Hasil penelitian padi SRI yang dilaporkan oleh Tim Peneliti UGM (2005)
disimpulkan bahwa produktivitas padi dapat ditingkatkan lebih dari 25 %, dari rata-
rata hasil padi 6,20 ton/ha menjadi 7,90 ton ha. Sebaliknya, pemakaian air irigasi
dapat dihemat antara 30-40 % dari kebutuhan biasanya. Keunggulan lainnya dari
budidaya padi SRI ini adalah dapat mengurangi kebutuhan benih. Namun demikian,
diakui implementasi ke petani masih membutuhkan waktu karena terdapat perbedaan
cara tanam dari biasanya.
24
III Metodelogi Penelitian
Pemberian air irigasi macak-macak dan membiarkannya kering hingga tanah
pecah-pecah, berarti memberikan kesempatan pertukaran gas oksigen terjadi di dalam
tanah, khususnya daerah perakaran.. Tujuannya adalah untuk menyediakan kondisi
lingkungan akar tanaman menjadi lebih sehat, dengan indikator bobot akar lebih
tinggi serta persebarannya lebih luas. Jadi penekanannya adalah menyediakan
lingkungan perakaran yang subur. Dengan pertumbuhan perakaran yang lebih
intensif, diharapkan dapat mendukung pertumbuhan bagian atasnya. Indikatornya
adalah jumlah anakan dan malai per rumpun lebih tinggi.
Pertumbuhan akar tanaman yang lebih bagus, mendukung pertumbuhan
tanaman bagian atas juga menjadi lebih bagus misalnya pertumbuhan bagian vegetatif
dan reproduktif tanaman. Pada akhirnya, hasil panen tanaman menjadi lebih tinggi.
Indikatornya adalah bobot total bahan kering oven dan bobot gabah kering oven lebih
tinggi. Diagram alir budidaya padi sistem perakaran aerobik dapat dilihat pada
Gambar 1.
Gambar 1. Diagram Alir Pengaruh Sistem Perakaran Aerobik terhadap Pertumbuhan
Akar, Bagian Vegetatif dan Reproduktif Tanaman
Penelitian dilaksanakan melalui kajian pustaka, laporan-laporan penelitian
yang telah dipublikasikan, serta sumber-sumber informasi dari media elektronik.
Informasi atau data empiris hasil penelitian yang didapat ditinjau dan diulas melalui
kajian teoritis. Hasil dari penelitian ini adalah berupa penjelasan deskriptif serta
Irigasi macak-macak
Perakaran aerobik Pertumbuhan baik Irigasi tergenang
Perakaran anaerobik Pertumbuhan kurang
25
simpulan yang didapat merupakan dugaan sementara atau hipotesis yang
kebenarannya perlu diuji kembali di lapangan.
26
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
Pembahasan tentang tiga dimensi mengkaitkan upaya menghemat pemakaian
air irigasi pada budidaya padi dalam perspektif pembangunan pertanian berkelanjutan
menggunakan beberapa data yang dipublikasi. Dimensi yang dibahas berturut-turut
mencakup dimensi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
4.1 Dimensi Ekonomi
Data yang ditampilkan merupakan hasil penelitian yang dikerjakan Tim
Peneliti Fakultas Pertanian Universitas Udayana. Data pertumbuhan dan hasil padi
masing-masing perlakuan ditampilkan pada Tabel 2.
Penelitian yang dilaksanakan dengan tujuan untuk memperbaiki lingkungan
perakaran tanaman dengan cara memberikan air macak-macak yang diselingi dengan
pengeringan, secara umum belum menunjukkan perbedaan yang jelas dibandingkan
dengan anaerob. Hampir semua variabel pertumbuhan dan hasil padi berbeda tidak
nyata dengan budidaya anaerob, kecuali jumlah anakan maksimum (Tabel 2).
Tabel 2. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara aerob dan anaerob
pada daerah perakarannya (Santosa dkk., 2010).
Variabel tanaman unit Perlakuan aerob Perlakuan anaerob
Tinggi maksimum cm 88,95 a 98,50 a
Anakan maksimum batang 26,25 a 17,50 b
Gabah berisi % 88,03 a 86,87 a
Bobot 1000 butir gabah g 38,48 a 37,33 a
Indeks batang-akar 3,08 a 3,90 a
Indeks panen 0,42 a 0,41 a
Hasil panen kw/ha GKG 10,99 a 10,27 a
Keterangan: Hasil analisis statistika menunjukkan nilai berbeda tidak nyata,
kecuali terhadap jumlah anakan maksimum per rumpun dengan uji BNT pada α 0,05.
27
Data yang lebih meyakinkan diperoleh Tim Peneliti Fakultas Pertanian
Universitas Bengkulu (Tabel 3).
Tabel 3. Pertumbuhan dan hasil padi yang diperlakukan secara aerob dan anaerob
pada daerah perakarannya (Sumardi dkk., 2007).
Variabel tanaman unit Perlakuan aerob Perlakuan anaerob
Tinggi maksimum cm 95,16 a 91,76 b
Anakan maksimum batang 48,92 a 47,61 b
Anakan produktif % 86,29 a 79,64 b
Bobot akar kering oven g 19,29 a 15,27 b Bobot jerami kering oven g 89,04 a 72,70 b
Produktivitas air (lt per kg gabah) 589,11 b 825,38 a
EPA % 19,58 a 10,91 b
Keterangan: Hasil analisis statistika menunjukkan nilai berbeda nyata dengan
uji BNT pada α 0,05.
Berdasarkan perbandingan data pada Tabel 2 dan 3, dapat dijelaskan bahwa
upaya meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi belum dapat dicapai.
Namun demikian, respons peningkatan jumlah anakan per rumpun dan respons
pertumbuhan akar telah terjadi, meskipun terhadap hasil panen belum terjadi (Tabel,
2). Sebaliknya, data pada Tabel 3 menunjukkan respons pertumbuhan tanaman yang
cukup tegas. Namun demikian, informasi terhadap hasil panen tidak ditampilkan.
Terlepas dari perbedaan hasil penelitian yang didapat, pertanyaan terhadap
bagaimana cara penentuan pemberian air kembali atau apa yang dipakai sebagai
standar untuk memberikan air kembali pada pemberian air macak-macak belum
terjelaskan. Artinya, dibutuhkan suatu model penelitian awal yang mampu
memberikan jawaban tentang proses penurunan tingkat kelembaban tanah serta
statusnya dalam kaitan dengan pertumbuhan tanaman. Set penelitian tambahan lain
dibutuhkan untuk mempelajari bagaimana respons pertumbuhan anakan tanaman
dalam hubungannya dengan kelembaban tanah. Untuk kebutuhan pelaksanaan
28
penelitian demikian dibutuhkan seperangkat peralatan untuk membantu pengukuran
variabel yang akurat.
Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 3, dapat dilihat bahwa
pertumbuhan padi dapat diperbaiki melalui pemberian air macak-macak yang
diselingi pengeringan. Selain itu, kebutuhan air untuk menghasilkan satu kg gabah
dapat ditekan dari 825,38 liter menjadi 589,11 liter atau efisiensi pemakaian air dapat
ditingkatkan. Walaupun data yang ditampilkan kurang meyakinkan, tetapi terdapat
informasi yang memperlihatkan bahwa produktivitas budidaya padi SRI lebih tinggi
dibandingkan padi konvensional. Hasil panen padi SRI di Sumatera Barat tahun
2008, mencapai 9 ton/ha GKP, lebih tinggi 44,44 % dari padi konvensional 5 ton/ha
(Fawzia, 2008). Selanjutnya, dalam analisis usahatani padi SRI, diperoleh nilai R/C
sebesar 1,77 dengan pendapatan perhektar Rp. 9,25 juta. Berdasarkan perkembangan
variasi hasil uji coba lapangan budidaya padi SRI, terdapat indikasi adanya
tamabahan produktivitas dan meningkat secara ekonomi.
4.2 Dimensi kehidupan sosial
Diterimanya budidaya padi SRI di berbagai daerah dapat dilihat dari
munculnya kelompok-kelompok tani yang menerapkan budidaya padi hemat air. Di
Jawa Barat terdapat Kelompok Tani Lestari dan Sinar Mukti di Kabupaten Tasik
Malaya. Pengalaman di Bali, keberhasilan uji coba padi SRI sampai saat ini belum
mampu menarik minat para petani seperti di daerah lainnya. Terdapat beberapa
kendala yang masih perlu diperbaiki diantaranya tanam bibit umur muda yang kurang
ergonomis, membutuhkan alat tanam (seeder), pertumbuhan gulma yang intensif
terutama pada umur padi kurang dari sebulan, membutuhkan alat weeder. Selain itu,
peningkatan alokasi waktu dalam pemeliharaan padi menjadi kendala bagi sebagian
petani yang bekerja paruh waktu di luar sektor pertanian. Meskipun demikian, dalam
jangka panjang melalui perbaikan metode pemeliharaan tanaman dengan mekanisasi
diduga akan dapat diterima oleh petani.
29
4.3 Dimensi lingkungan
Dimensi lingkungan pada budidaya padi SRI, khususnya dalam menghemat
pemakaian air irigasi secara nyata mampu ditingkatkan dalam kisaran 10-40 %.
Selain itu, dengan diterapkannya konsep pemupukan berimbang, pemupukan organik,
dan pengendalian hama terpadu (PHT) adalah konsep yang berusaha memperbaiki
kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman padi.
30
BAB V SIMPULAN DAN SARAN
5.1 Simpulan
1. Sistem SRI pada budidaya tanaman padi melalui pemberian air macak-macak
yang diselingi pengeringan dapat meningkatkan efisiensi pemakaian air antara
10-40 %.
2. Terdapat kelompok-kelompok tani yang mau menerapkan budidaya padi SRI
seperti di Jawa Barat.
3. Produktivitas padi SRI dapat ditingkatkan sebesar 44,44 %, dari 5 menjadi 9
ton/ha, hal ini dapat dilihat dari nilai ekonomi, R/C ratio dicapai sebesar 1,77 %
dan pendapatan sebesar Rp. 9,25 juta.
5.2 Saran
1. Sistem SRI perlu diterapkan pada budidaya tanaman padi untuk mempelajari
hubungan antara kelembaban tanah dengan tanaman, dibutuhkan
serangkaian penelitian yang membutuhkan alat-alat ukur laboratorium yang
memadai seperti hygrometer.
2. Manfaat dari hasil penelitian Sistem SRI, dapat digunakan dalam
perencanaan pola tanam dan tata tanam bagi wilayah irigasi yang
mempunyai bangunan penampungan air atau waduk.
31
DAFTAR PUSTAKA
Anas, I. 2008. Status SRI in Indonesia. http://sri-india.110mb.com
/documents/3rd_symposium_ppts/INDONESIA.pdf.
Andi, Y.F., M.D. Mario, R.H. Anasiru, A. Zubair dan Y. Antu. 2008. Petunjuk
Teknis Budidaya Padi Hibrida. Departemen Pertanian.Balai Pengkajian
Teknologi Pertanian Gorontalo. www.gorontalo.litbang.deptan.go.id.
Badan Litbang Pertanian, 2007. Varietas unggul padi sawah.1943-2007. Informasi
Ringkas Teknologi padi. www.litbang.deptan.go.id.
Boer, R.2003. Fenomena Enso dan Hubungannya dengan Keragaman Hujan di
Indonesia. Materi Pelatihan Agroklimatologi. Tidak dipublikasi.
Hanks, R.J. and G.L. Ashcroft. 1980. Applied Soil Physics. Soil Water and
Temperature Applications. New York: Springer-Verlag.
Hansen, V.E, O.W. Israelsen and G.E. Stringham.1986. Dasar-dasar dan Praktek
Irigasi. Edisi IV. Jakarta: Erlangga.
Pasandaran, E.1985. Irigasi. Perencanaan dan Pengelolaan.PT. Gramedia Jakarta.
Pasandaran, E. 2006. Alternatif kebijakan pengendalian konversi lahan sawah
beririgasi di Indonesia.Jurnal Litbang Pertanian.25 (4):123-129.
Reijntjes, C., B. Haverkort and A.W. Bayer. 1999. Pertanian Masa Depan.
Pengantar untuk Pertanian Berkelanjutan dengan Input Luar
Rendah.Yogyakarta: Kanisius.
Santosa, IGN., G.M. Adnyana, IKK. Dinata dan IGA. Gunadi. 2010. Dampak Alih
Fungsi Lahan Sawah terhadap Pemanfaatan Sumberdaya Air untuk
Menunjang Ketahanan Pangan. Bumi Lestari. Jurnal Lingkungan Hidup.
10(2): 208-214.
Satyanarayana, A., T.M. Thiyagarajan and N. Uphoff. 2006.Opportunities for water
saving with higher yield from the system of rice intensification.
Irrig.Sci.(2007)25:99-119.
Sumardi, Kasli, M. Kasim, A. Syarif dan N. Akhir. 2007. Respon padi sawah pada
budidaya secara aerobik dan pemberian bahan organik. Jurnal Akta Agrosia.
10(1): 65-71.
32
Syarief, S.1989. Fisika-Kimia Tanah Pertanian. Bandung: Pustaka Buana.
Taylor, H.M., W.R. Jordan and T.R. Sinclair. 1983. Limitation to Efficient Water Use
in Crop Production. Wisconsin: ASA.
Thakur, A.K. 2010. Critiquing SRI criticsm: beyond sceptism with empiricsm.
Current Science. 98 (10):1294-1299.
UGM, 2005. UGM Kembangkan SRI sebagai Budidaya Padi Hemat Air, Benih dan
Pupuk yang Ramah Lingkungan.
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=1619
Uphoff, N.2007. Agroecological Alternatives: Capitalising on Existing Genetic
Potentials. Journal of Development Studies.43 (1): 218-236.