SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI...

91
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user i SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh : TRISNA DELNIASARI NIM E 0008250 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2012

Transcript of SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI...

Page 1: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user i

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL

UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI

KEKUASAAN KEHAKIMAN

Oleh :

Penulisan Hukum

(Skripsi)

Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi Sebagai Persyaratan Guna

Memperoleh Derajat Sarjana S1 dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Oleh :

TRISNA DELNIASARI

NIM E 0008250

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2012

Page 2: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

Page 3: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iii

Page 4: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv

PERNYATAAN

Nama : Trisna Delniasari

NIM : E 0008250

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi) berjudul :

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK

MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN

adalah betul-betul karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan

hukum (skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditunjukkan dalam daftar pustaka. Apabila

dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, maka saya bersedia menerima

sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi) dan gelar yang saya

peroleh dari penulisan hukum (skipsi) ini.

Surakarta, Mei 2012

Yang membuat pernyataan

Trisna Delniasari

NIM.E0008250

Page 5: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

v

MOTTO

Jadikanlah sabar dan sholat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-

orang yang sabar (QS. Al-Baqarah:153).

Manusia tidak dituntut kesempurnaan dalam hidupnya, tetapi dituntut agar

kehidupannya hari ini lebih baik daripada kehidupannya kemarin

(Firmansyah Adilah).

Perhatikan masa lalu dan masa depanmu. Hidup adalah ujian yang datang silih

berganti, seseorang hendaknya mampu keluar dari ujian itu sebagai pemenang

(DR. Aidh al-Qarni).

Kesuksesan bukan dilihat dari hasil melainkan dari proses menuju kesuksesan itu

(Penulis).

Page 6: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vi

PERSEMBAHAN

Dengan mengucapkan syukur, Penulis mempersembahkan karya ini kepada :

Allah SWT yang memberikan hidup dan jalan penerang bagi setiap umat yang

beriman dan bertakwa.

Bapak Roesbandi dan Ibu Titiek Purwiati, tak pernah lelah memberikan cinta dan

kasih sayang yang selalu tercurah kepada Penulis.

Keluarga besarku, Mbak Desi Erisandy, Mas Ade Kurniawan, Mas Agus Wijanarko,

Mbak Septina Dewi, dan adik-adik kecilku Agnes, Agni, Omar dan Asqhar. Semoga

keluarga kita selalu diberkahi Allah SWT. Amin.

Almamater Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret tercinta.

Page 7: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

vii

ABSTRAK

Trisna Delniasari. E 0008250. SISTEM PENGAWASAN HAKIM

KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP

INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN. Fakultas Hukum Universitas

Sebelas Maret Surakarta.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlunya pengawasan terhadap

hakim konstitusi dikaitkan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman serta

untuk mengetahui sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan

prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

Jenis penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum ini

bersifat preskriptif. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-

undangan, pendekatan konseptual dan pendekatan perbandingan. Sumber bahan

hukum menggunakan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang

berkaitan dengan isu hukum yang dikaji. Bahan hukum primer berupa peraturan

perundang-undangan dan putusan-putusan hakim sedangkan bahan hukum sekunder

berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan dokumen resmi. Teknik

pengumpulan data menggunakan studi pustaka baik dari media cetak maupun media

elektronik (internet) serta teknik analisis yang digunakan adalah logika deduktif,

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dihasilkan kesimpulan bahwa

diperlukan pengawasan terhadap hakim konstitusi karena kewenangan yang diberikan

UUD 1945 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia menyangkut masalah

konstitusional bangsa dan negara Indonesia. Untuk menghindari pengaruh-pengaruh

atan ancaman-ancaman yang dapat mengganggu kemandirian atau independensi

kekuasaan kehakiman Mahkamah Konstitusi maka sistem pengawasan hakim

konstitusi menjadi perhatian dan agenda utama untuk menyelenggarakan proses

peradilan yang berwibawa dan bermartabat. Selain itu, diperlukan sistem pengawasan

hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan prinsip independensi kekuasaan

kehakiman. Sistem pengawasan hakim konstitusi selain menggunakan mekanisme

secara internal yakni Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi juga dengan

pengawasan secara eksternal yang dilakukan oleh lembaga pengawas eksternal yakni

Komisi Yudisial. Keduanya berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Hal ini dimaknai bahwa penguatan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dapat

dilakukan jika pengawasan terhadap hakim konstitusi lebih baik, komprehensif dan

terpadu.

Kata Kunci: Pengawasan, Hakim Konstitusi, Independensi Kekuasaan Kehakiman.

Page 8: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

viii

ABSTRACT

Trisna Delniasari, E 0008250, THE IDEAL CONTROL SYSTEM OF

CONSTITUTIONAL JUDGES TO REALIZE THE PRINCIPLE OF JUDICIAL

INDEPENDENCE. Faculty Of Law Of Sebelas Maret University Surakarta.

This legal research aims to find out the need for oversight of constitutional

judges that is associated with the principle of judicial independence and to find out

the ideal control system of constitutional judges for realizing the principle of

independence.

This type of legal research is a normative, prescriptive nature of research.

The approach used is a statute, conceptual and comparative approach. The sources

of legal materials using primary law secondary legal materials that is relating to the

legal issues that were examined. The legal research source from primary law

material consisted of legislation and judge’s verdicts as well as secondary law

material constituting all publications about the law not belonging to official

document. The collection techniques using literature study and the used of analytical

techniques is deductive logic.

Based on the results of research and discussion that the constitution

required the control of constitutional judges because of the authority given to the

UUD 1945 to the Constitutional Court of the Republic of Indonesia concerning the

constitutional problems of public interest in Indonesia. To avoid the effects or threats

that may interfere with the judicial independence especially for the Constitutional

Court, so constitutional judges control system becoming urgent to organize the

process of judicial authority and dignity. In addition, it is needed for the ideal control

system of constitutional judges for realizing the principle of judicial independence.

The system of constitutional judges control using the internal mechanism of the

Honorary Council of the Constitutional Court and should external oversight by an

external regulatory agency that is the Judicial Commission. Both of them are based

on the Code of Ethics and Code of Conduct. It is understood that the strengthening of

the principle of judicial independence can be implemented if the control of the

constitutional judges is better, comprehensive and integrated.

Keywords: the Control System, Constututional Judges, Judicial Independence.

Page 9: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ix

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah melimpahkan

rahmat dan karuniaNya, serta sholawat dan salam senantiasa penulis haturkan kepada

junjungan kita Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan sahabat-sahabatnya

karena bimbingan dan suri tauladan dari Beliau kita mendapatkan pencerahan dalam

kehidupan ini, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul :

SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL UNTUK

MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN.

Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar

kesarjanaan dalam ilmu hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan,

bimbingan, dorongan, saran dan nasehat dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada

kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan

setinggi-tingginya kepada :

1. Ibu Prof. Dr Hartiwiningsih, S.H.,M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Ibu Madalina, S.H.,M.Hum selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara,

Pembimbing I skripsi ini sekaligus Pembimbing Akademik, yang telah membantu

Penulis untuk menyelesaikan masa studi di FH UNS.

3. Bapak Isharyanto S.H,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II yang telah membantu

Penulis untuk menyempurnakan skripsi ini.

4. Bapak Muhammad Rustamaji S.H.,M.H selaku pembimbing KSP “Principium”

yang telah memberikan bantuan untuk membimbing mengenai penulisan dan

penelitian hukum selama menjadi keluarga di KSP “Principium”.

Page 10: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

x

5. Bapak Ibu yang telah memberikan semangat yang luar biasa, doa, nasihat kepada

penulis sehingga penulis dapat tegar dalam menjalani hidup serta kakak-kakak

penulis, Mbak Desy Erisandi, Mas Ade Kurniawan, Mas Agus Wijanarko, Mbak

Septina dan sahabat-sahabat kecilku Agnes, Agni, Omar dan Asqhar yang

memberikan kebahagiaan dan canda tawanya kepada Penulis.

6. Teman-teman satu perjuangan Nur Salmi, Wulan (Sapong), Helena Irma, kalian

memberikan arti persahabatan yang sesungguhnya bagi Penulis.

7. Keluarga besar KSP “Principium” FH UNS, Mas Yovi, Mbak Aya, Mbak Citra

Debi, Mas Beni, Mas Tejo, Mas Rian, Mbak Aryani, Mas Aji, teman-teman

seangkatan Dyah NA, Maya, Ardani, Ifah, Atika, serta adik-adikku Miqdad, Citra

Widi, Mia, Dina, Indra dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu

per satu, kalian memberikan pengalaman dan pembelajaran yang berharga bagi

penulis.

8. Teman-teman magang satu tim di Mahkamah Konstitusi, Dwi Murni, Kharisma

Ratu, Raditya, Asri Triaji, Rio Satriawan, Yusuf, Mas Gegana, lanjutkan

perjuangan kawan.

9. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan

bantuannya bagi penulis dalam penyelesaian penulisan hukum ini.

Penulis menyadari bahwa dalam skripsi ini masih jauh dari sempurna, untuk

itu penulis berharap kritik dan saran dari pembaca. Akhirnya penulis berharap skripsi

ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi penulis dan para pembaca

pada umumnya. Akhir kata, penulis mengucapkan terima kasih dan semoga apa yang

penulis susun dalam skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Surakarta, Mei 2012

Penulis,

Trisna Delniasari

Page 11: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ......................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. ii

HALAMAH PENGESAHAN PENGUJI ......................................................... iii

HALAMAN PERNYATAAN ............................................................................ iv

HALAMAN MOTTO ........................................................................................ v

HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................................ vi

ABSTRAK ......................................................................................................... vii

KATA PENGANTAR ....................................................................................... ix

DAFTAR ISI ...................................................................................................... xi

BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 1

A. Latar belakang Masalah .......................................................................... 1

B. Perumusan Masalah ................................................................................ 5

C. Tujuan Penelitian ..................................................................................... 5

D. Manfaat Penelitian .................................................................................. 6

E. Metode Penelitian ..................................................................................... 6

F. Sistematika Penulisan Hukum ................................................................. 10

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ....................................................................... 13

A. Kerangka Teori ......................................................................................... 13

1. Tinjauan tentang Negara Hukum ......................................................... 13

2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balance ...... 20

3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman ....................... 25

4. Tinjauan tentang Pengawasan .............................................................. 30

B. Kerangka Pemikiran .................................................................................. 35

Page 12: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

xii

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 37

A. Perlunya Pengawasan Hakim Konstitusi dikaitkan dengan Prinsip

Independensi Kekuasaan Kehakiman ...................................................... 37

B. Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi yang Ideal untuk Mewujudkan

Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman .......................................... 59

BAB IV PENUTUP .......................................................................................... 76

A. Kesimpulan ............................................................................................. 76

B. Saran ........................................................................................................ 79

DAFTAR PUSTAKA

Page 13: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 (UUD 1945) telah merubah sistem ketatanegaraan Indonesia. Munculnya

lembaga-lembaga negara hasil perubahan tersebut menegaskan bahwa Negara

Indonesia ingin memperbaiki struktur dan fungsi kelembagaan secara

keseluruhan. Lembaga-lembaga negara tersebut mencerminkan kekuasaan yang

dibagi menjadi tiga, yakni kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif.

Salah satu cabang kekuasaan yang sangat signifikan terkait penegakan

hukum di Indonesia ialah kekuasaan yudikatif. Menurut Montesquieu, organ-

organ negara secara struktural harus dibedakan dan dipisahkan agar tidak saling

mencampuri urusan masing-masing sehingga untuk kekuasaan yudikatif hanya

dilakukan oleh lembaga yudikatif (Jimmly Asshiddiqie, 2006:15). Berdasarkan

Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan

oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada dibawahnya

dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan

peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah

Mahkamah Konstitusi.

Hal utama yang menjadi pioneer dalam tegaknya konstitusi adalah

Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah lembaga pelaksana

kekuasaan kehakiman disamping Mahkamah Agung, yang khusus menangani

peradilan ketatanegaraan atau peradilan politik sebagaimana kewenangannya

diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yakni menguji undang-undang

terhadap Undang-Undang Dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara

yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar, memutus

pembubaran partai politik, dan memutus perselisihan tentang hasil pemilihan

umum. Kemudian dalam ayat (2) tersebut bahwa Mahkamah Konstitusi wajib

memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan Rakyat mengenai dugaan

Page 14: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden menurut Undang-Undang

Dasar.

UUD 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum, salah

satu prinsip pentingnya adalah jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman

yang merdeka, bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Kuntoro Basuki, 2008:47).

Disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan

negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik

Indonesia.

Kekuasaan kehakiman tentunya dilaksanakan oleh hakim-hakim yang

memiliki kapabilitas serta moral yang tinggi dan kebebasannya dijamin oleh

konstitusi. Namun, Sudikno Mertokusumo menyatakan bahwa kebebasan hakim

dalam menjalankan wewenang yudisialnya tidaklah bersifat mutlak karena tugas

hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, sehingga

putusannya mencerminkan keadilan dalam masyarakat sehingga kebebasan hakim

dibatasi oleh kepentingan para pihak dan ketertiban umum (Kunthoro Basuki,

2008:48). Hal demikian harus diimplementasikan agar penyelenggaraan proses

peradilan dapat mewujudkan nilai-nilai fundamental yakni proses peradilan yang

terselenggara secara wajar, efisiensi, aksesibilitas, kepercayaan masyarakat

terhadap pengadilan serta independensi kekuasaan kehakiman (Susi Dwi

Harijanti, 2008:32).

Berkaitan dengan Mahkamah Konstitusi sebagai pelaksana kekuasaaan

kehakiman, maka Mahkamah Konstitusi harus pula mewujudkan proses peradilan

yang bebas dan merdeka. Mengingat identitas kelembagaan Mahkamah Konstitusi

sebagai pengadilan tunggal, tidak ada pertingkatan di dalamnya yang dapat

digunakan sebagai mekanisme banding (Muchammad Ali Safaat, 2010:32). Oleh

karena itu, proses penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Mahkamah

Page 15: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

Konstitusi memerlukan pengawasan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang

atau kekuasaan.

Untuk mendukung Mahkamah Konstitusi yang bebas dan merdeka guna

menegakkan hukum dan keadilan, haruslah memiliki figur hakim konstitusi yang

bersih, independen dan imparsial. Sehingga mekanisme pengawasan terhadap

hakim konstitusi diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang

Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah

Konstitusi, dan diatur pula dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Mekanisme pengawasan tersebut dilakukan secara

internal oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik

dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Hal tersebut disebabkan hakim

konstitusi dituntut harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela,

adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak

merangkap sebagai pejabat negara sebagaimana diatur dalam Pasal 24C ayat (5)

UUD 1945.

Terdapat dua putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan

pengawasan hakim konstitusi yang membatalkan pasal dalam Undang-Undang

Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dan membatalkan beberapa pasal

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang dimohonkan

judicial review. Pertama, putusan perkara Nomor 005/PUU-IV/2006 menyatakan

bahwa kewenangan Komisi Yudisial (KY) dalam pengawasan hanyalah sebatas

perilaku hakim tidak pada teknik yustisial ataupun administratif peradilan maupun

dengan mengawasi putusan dan hakim konstitusi bukanlah obyek pengawasan

Komisi Yudisial. Putusan ini didaasarkan pada tiga pendapat utama, yakni :

penafsiran sistematis dan original intent bahwa perumusan dalam UUD 1945

tidak memasukkan hakim konstitusi sebagai salah satu obyek pengawasan Komisi

Yudisial dan ketentuan tentang KY diletakkan sesudah ketentuan tentang MA dan

sebelum MK; hakim konstitusi bukan merupakan hakim biasa melainkan dipilih

oleh DPR, Presiden dan Mahkamah Agung dan tidak melibatkan KY; dan apabila

Page 16: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

hakim konstitusi merupakan obyek pengawasan KY maka ketika ada sengketa

kewenangan lembaga negara yang melibatkan KY, MK tidak mungkin memutus.

Kedua, putusan perkara Nomor 49/PUU-IX/2011 menyatakan bahwa salah

satunya membatalkan pasal yang terkait dengan pengisian anggota Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi yang merupakan unsur dari DPR, Pemerintah,

Komisi Yudisial, hakim agung dan hakim konstitusi. Pertimbangan hukum dalam

putusan ini adalah agar Mahkamah Konstitusi tetap menjaga sifat

independensinya. Akibat adanya kedua putusan tersebut maka sistem pengawasan

hakim konstitusi tetap pada sistem pengawasan secara internal tanpa melibatkan

unsur lembaga pengawas eksternal, yakni Komisi Yudisial.

Namun kembali lagi, hakim konstitusi juga harus tetap mengedepankan

independensi meskipun pengisian jabatannya dipilih oleh Presiden, Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR) dan Mahkamah Agung (MA). Untuk dapat

mewujudkannya, pengawasan terhadap hakim konstitusi perlu dilakukan agar

tetap menjamin hak konstitusional warga negara yang dilanggar. Menurut A.

Irmanputra Sidin (2008:78) bahwa pengawasan hakim menjadi keniscayaan untuk

dilakukan dan hal ini diakui secara universal oleh UN Basic Principles On

Independence of the Judiciary 1985 dan The Bangalore Principles of Judicial

Conduct 2002.

Mengingat bahwa salah satu proses peradilan Mahkamah Konstitusi

objectum litis-nya adalah masalah konstitusionalitas undang-undang yang lebih

menyangkut kepentingan publik yang dijamin oleh konstitusi sebagai hukum

tertinggi (supreme law), bukan semata-mata kepentingan individual sehingga

dibutuhkan pertanggungjawaban yang begitu besar. Begitu pula, terhadap

kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum kepala daerah yang

rentan terhadap praktik judicial corruption. Sebagaimana peristiwa yang pernah

menggemparkan Mahkamah Konstitusi tahun 2011 yang lalu yakni terjadinya

praktik suap terhadap hakim konstitusi sehingga menimbulkan pertanyaan apakah

Mahkamah Konstitusi masih bersih? Perlu diketahui pula bahwa di komunitas

pegiat hukum sudah muncul kecemasan bahwa Mahkamah Konstitusi seakan-

Page 17: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

akan menjadikan dirinya sebagai lembaga super bahkan tirani pemikiran baru

dalam bidang konstitusi karena posisi konstitusional putusan-putusannya yang

final dan banding. Oleh karena itu, pengawasan dilakukan juga terhadap perilaku

hakim konstitusi agar martabat kehormatan dan kenegarawanannya senantiasa

terjaga.

Berdasarkan pemaparan di atas, maka penulis bermaksud untuk mengkaji

lebih mendalam mengenai pengawasan hakim konstitusi dikaitkan dengan

independensi kekuasaan kehakiman di Indonesia melalui penulisan hukum yang

berjudul “SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL

UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN

KEHAKIMAN”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, penulis

merumuskan permasalahan untuk dikaji lebih mendalam. Adapun beberapa

permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah :

1. Mengapa diperlukan pengawasan terhadap hakim konstitusi dikaitkan dengan

prinsip independensi kekuasaan kehakiman ?

2. Bagaimana sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk mewujudkan

prinsip independensi kekuasaan kehakiman ?

C. Tujuan Penelitian

Dalam suatu penelitian pada dasarnya memiliki suatu tujuan tertentu

yang hendak dicapai. Tujuan penelitian juga harus jelas sehingga dapat

memberikan arah dalam pelaksanaan penelitian tersebut. Adapun tujuan dari

penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Tujuan Obyektif

a. Untuk menjelaskan perlunya pengawasan terhadap hakim konstitusi

dikaitkan dengan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

Page 18: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

b. Untuk mengetahui sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal untuk

mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman.

2. Tujuan Subyektif

a. Untuk memperluas wawasan, pengetahuan dan kemampuan penulis dalam

mengkaji masalah di bidang hukum tata negara khususnya terkait

pengawasan hakim konstitusi di Mahkamah Konstitusi.

b. Untuk memenuhi persyaratan akademis guna memperoleh gelar S1 dalam

bidang Ilmu Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret.

D. Manfaat Penelitian

Penulis berharap bahwa kegiatan penelitian dalam penulisan hukum ini

akan bermanfaat bagi penulis maupun orang lain. Adapun manfaat yang dapat

diperoleh dari penulisan hukum ini adalah :

1. Manfaat Teoritis

a. Memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum pada

umumnya dan hukum tata negara pada khususnya dalam kaitannya dengan

pengawasan hakim konstitusi.

b. Memperkaya referensi dan literatur kepustakaan tentang hukum tata negara.

2. Manfaat Praktis

a. Mengembangkan penalaran, membentuk pola pikir dinamis, sekaligus untuk

mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu dan memberi masukan serta

tambahan pengetahuan bagi para pihak yang terkait dengan masalah yang

diteliti, dan berguna bagi para pihak yang pada kesempatan lain mempunyai

minat untuk mengkaji permasalahan yang sejenis.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam penulisan hukum ini adalah penelitian hukum

doktrinal. Hutchinson memberikan definisi penelitian hukum doktrinal

Page 19: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

(doctrinal research) adalah research which provides a systematic exposition of

the rules governing a particular legal category, analyses the relationship

between rules, explain areas of difficulty and perhaps, predicts future

development. Penelitian hukum dilakukan untuk menghasilkan argumentasi,

teori atau konsep baru sebagai preskripsi dalam menyelesaikan masalah yang

dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:32).

Dalam hal ini peneliti akan melakukan penelitian hukum atas

permasalahan mengenai perlunya sistem pengawasan terhadap hakim

konstitusi berdasarkan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman, Undang-

Undang Mahkamah Konstitusi serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

005/PUU-IV/2006 dan Nomor 049/PUU-IX/2011 serta keterkaitan sistem

pengawasan hakim konstitusi untuk menjaga prinsip independensi kekuasaan

kehakiman.

2. Sifat Penelitian

Ilmu hukum mempunyai karakteristik sebagai ilmu yang bersifat

preskriptif dan terapan (Peter Mahmud Marzuki, 2006:22). Dari hasil telaah

dapat dibuat opini atau pendapat hukum. Opini atau pendapat hukum yang

dikemukakan oleh ahli hukum merupakan suatu preskripsi. Begitu juga

tuntutan jaksa, petitum atau eksepsi atau dalam pokok perkara di litigasi berisi

preskripsi. Untuk dapat memberikan preskripsi itulah guna praktik penelitian

hukum (Peter Mahmud Marzuki, 2006:37). Berdasarkan definisi tersebut

karakter preskriptif akan dikaji adalah pada sistem pengawasan hakim

konstitusi yang ideal di Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.

3. Pendekatan Penelitian

Menurut pandangan Peter Mahmud Marzuki (2006:93) bahwa di

dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan. Dengan pendekatan

tersebut maka akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek untuk

menjawab mengenai isu hukum. Pendekatan - pendekatan dimaksud meliputi :

pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case

Page 20: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

approach), pendekatan historis (historical approach), pendekatan

perbandingan (comparative approach), dan pendekatan konseptual (conceptual

approach).

Berkenaan dengan pandangan Peter Mahmud Marzuki tersebut,

penulis menggunakan beberapa pendekatan yang relevan dengan permasalahan

penelitian yang dihadapi, diantaranya adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach) dan

pendekatan perbandingan (comparative approach).

Pendekatan perundang-undangan ini dilakukan dengan menelaah

semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum

yang sedang ditangani (Peter Mahmud Marzuki, 2006:93). Penelitian ini

menggunakan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Pendekatan konseptual beranjak dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu hukum. Dengan mempelajari

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin dalam ilmu hukum, peneliti akan

menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-

konsep hukum dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu hukum yang

dihadapi (Peter Mahmud Marzuki, 2006:95). Penelitian ini akan menguraikan

permasalahan mengenai teori independensi kekuasaan kehakiman terkait

dengan pengawasan hakim konstitusi ditinjau dari pandangan-pandangan dan

doktrin-doktrin hukum terkait.

Selain itu, penelitian ini menggunakan pula pendekatan perbandingan.

Pendekatan ini dilakukan dengan cara membandingkan undang-undang suatu

negara dengan undang-undang dari satu atau lebih negara lain mengenai hal

yang sama. Selain itu, dapat diperbandingkan juga putusan pengadilan di

beberapa negara untuk kasus yang sama (Peter Mahmud Marzuki. 2006:95).

Penelitian ini mengkaji pula undang-undang ataupun putusan-putusan tentang

Mahkamah Konstitusi di Negara Jerman yang berkaitan dengan pengawasan

hakim konstitusi.

Page 21: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

4. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Penulisan hukum ini menggunakan bahan hukum primer dan bahan

hukum sekunder. Menurut Peter Mahmud Marzuki (2006:141), bahan hukum

primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai

otoritas sedangkan bahan hukum sekunder adalah semua publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan hukum yang

digunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi;

4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 pada tanggal

23 Agustus 2006;

5) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 049/PUU-IX/2011 pada tanggal

18 Oktober 2011;

6) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 07/PMK/2005 tentang

Pemberlakuan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi; dan

7) Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

b. Bahan hukum sekunder yang digunakan buku-buku teks, jurnal-jurnal

hukum, kamus-kamus hukum, komentar-komentar atas putusan pengadilan,

artikel internet dan artikel media massa yang berkaitan dengan topik yang

dibahas.

5. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Teknik pengumpulan bahan hukum dalam penulisan hukum ini adalah

menggunakan teknik studi pustaka. Pengumpulan bahan hukum primer, bahan

hukum sekunder diiventarisasi dan diklasifikasikan dengan menyesuaikan

masalah yang dibahas. Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang

Page 22: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk

mengintepretasikan hukum yang berlaku (Johnny Ibrahim, 2008:296).

6. Teknik Analisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan adalah logika

deduktif. Menurut Robert E. Rodes, logika deduktif digunakan untuk menarik

kesimpulan dari hal yang bersifat umum menjadi kasus yang bersifat individual

(Johnny Ibrahim, 2008:249). Hal senada dipaparkan pula oleh Peter Mahmud

Marzuki (2006:47) bahwa penggunaan logika dalam penelitian hukum dapat

digunakan metode deduksi. Metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan

premis mayor, kemudian diajukan premis minor dan dari kedua premis tersebut

ditarik suatu kesimpulan atau conclusion.

Dalam penelitian hukum ini peneliti menyajikan teori-teori ilmu

hukum yang bersifat umum yakni terkait independensi kekuasaan kehakiman

kemudian menarik kesimpulan dari kasus faktual yang diteliti dan dianalisa

yakni sistem pengawasan hakim konstitusi.

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematika penulisan hukum ini digunakan untuk mendapatkan

gambaran yang menyeluruh mengenai bahasan mengenai penulisan hukum yang

sesuai dengan aturan atau kaidah baku penulisan suatu karya ilmiah. Adapun

sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab yaitu :

BAB I PENDAHULUAN

Dalam penulisan ini penulis akan menguraikan mengenai :

A. Latar Belakang Masalah

Putusan yang dijatuhkan oleh hakim-hakim konstitusi berpengaruh

besar terhadap bangsa Indonesia karena salah satu kewenangan

Mahkamah Konstitusi mengenai pengujian undang-undang berlaku

untuk seluruh rakyat Indonesia. Begitu pula, terhadap kewenangan

untuk menyelesaikan sengketa pemilihan umum kepala daerah

Page 23: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

yang rentan terhadap praktik judicial corruption. Oleh karena itu,

perlu dikaji lebih mendalam mengenai pengawasan terhadap hakim

konstitusi agar martabat kehormatan dan kenegarawanannya

senantiasa terjaga sebagaimana diterapkannya prinsip independensi

kekuasaan kehakiman.

B. Rumusan Masalah

Menguraikan tentang sistem pengawasan hakim konstitusi dan

sistem pengawasan tersebut apakah sesuai dengan prinsip

independensi kekuasaan kehakiman.

C. Tujuan Penelitian

D. Manfaat Penelitian

E. Metode Penelitian

F. Jadwal Penelitian

G. Sistematika Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Negara Hukum

2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Chekcs and

Balances

3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman

4. Tinjauan tentang Pengawasan

B. Kerangka Pemikiran

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Dalam pembahasan, diuraikan mengenai mengapa diperlukan sistem

pengawasan terhadap hakim konstitusi yang kemudian menelaah

peraturan perundang-undangan terkait yakni Undang-Undang Nomor

48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang

Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta Putusan

Mahkamah Konstitusi yang khusus terkait mengenai pengawasan

Page 24: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

hakim konstitusi yakni Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Nomor

049/PUU-IX/2011. Selain itu juga, dianalisis mengenai sistem

pengawasan hakim konstitusi yang ideal dalam mewujudkan prinsip

independensi kekuasaan kehakiman dengan mengunakan teori-teori

dan doktrin-doktrin ilmu hukum.

BAB IV PENUTUP

Dalam bab ini, penulis menguraikan kesimpulan yang diperoleh dari

hasil pembahasan dan proses meneliti, serta saran-saran yang penulis

kemukakan kepada para pihak yang terkait dengan bahasan penulisan

hukum ini.

DAFTAR PUSTAKA

Page 25: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kerangka Teori

1. Tinjauan tentang Negara Hukum

Menurut Soepomo bahwa konsepsi negara hukum merupakan gagasan

yang muncul untuk menentang konsep absolutisme yang telah melahirkan

negara kekuasaan. Pada pokoknya kekuasaan penguasa (raja) harus dibatasi

agar jangan memperlakukan rakyat dengan sewenang- wenang. Pembatasan itu

dilakukan dengan jalan adanya supremasi hukum, yaitu bahwa segala tindakan

penguasa tidak boleh sekehendak hatinya, tetapi harus berdasar dan berakar

pada hukum dan undang-undang yang berlaku dan untuk itu juga harus ada

pembagian kekuasaan negara, khususnya kekuasaan yudikatif harus dipisahkan

dari penguasa (Mukhtie Fadjar, 2004:7).

Secara umum, dalam teori negara hukum, terdiri dari konsep negara

hukum dalam arti rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the

rule of law. Konsep rechtsstaat dikembangkan di negara Eropa Kontinental

sedangkan konsep rule of law dikembangkan di negara Anglo Saxon.

Konsep rechtstaat bersumber dari rasio manusia, liberalistik

individualistik, humanisme yang antroprosentrik, serta pemisahan negara dan

agama secara mutlak-ateisme dimungkinkan. Adapun unsur-unsur utama

menurut F.J. Stahl terdapat empat unsur dari negara hukum, yakni (Sirajudin

dan Zulkarnain, 2006:15) :

a. Adanya jaminan terhadap hak asasi manusia;

b. Adanya pembagian kekuasaan;

c. Pemerintah haruslah berdasarkan peraturan-peraturan hukum; dan

d. Adanya peradilan administrasi.

Dari keempat unsur utama negara hukum tersebut dapat ditarik

kesimpulan bahwa menurut Stahl negara hukum bertujuan untuk melindungi

Page 26: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

hak-hak asasi warga negaranya dengan cara membatasi dan mengawasi gerak

langkah dan kekuasaan negara dengan undang-undang. Jadi hanya

mengedepankan aspek formalnya saja, sehingga hak asasi dan kebebasan

individu terlindungi secara formal. Hasilnya hanya membawa persamaan

dalam aspek hukum dan politik saja. Konsep Stahl ini merupakan

penyempurnaan terhadap konsep negara hukum liberal (Ni‟matul Huda,

2011:7).

Konsep rechsstaat lahir dari perjuangan menentang absolutisme

sehingga sifatnya revolusioner, sebaliknya konsep the rule of law berkembang

secara evolusioner. Hal ini nampak dari isi atau kriteria rechsstaat dan kriteria

the rule of law.

Konsep rechtsstaat bertumpu atas sistem hukum konstinental yang

disebut civil law, sedangkan konsep the rule of law bertumpu atas sistem

hukum yang disebut common law. Karakteristik civil law adalah administratif,

sedangkan karakteristik common law adalah judicial. Adapun ciri-ciri

rechsstaat adalah:

a. Adanya undang-undang dasar atau konstitusi yang memuat ketentuan

tertulis tentang hubungan antara penguasa dan rakyat;

b. Adanya pembagian kekuasaan negara; dan

c. Diakui dan dilindunginya hak-hak kebebasan rakyat (Ni‟matul Huda,

2011:10).

Ciri di atas dengan jelas menunjukkan bahwa ide sentral daripada

rechsstaat adalah pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia

yang bertumpu atas prinsip kebebasan dan persamaan. Adanya undang-undang

dasar akan memberikan jaminan konstitusional terhadap asas kebebasan dan

persamaan. Adanya pembagian kekuasaan untuk menghindarkan penumpukan

kekuasaan dalam satu tangan yang sangat cenderung kepada penyalahgunaan

kekuasaan, berarti pemerkosaan terhadap kebebasan dan persamaan (Ni‟matul

Huda,2011:11).

Page 27: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

A.V. Dicey menjelaskan bahwa konsep rule of law sumbernya sama

dengan konsep rechstaat. Adapun unsur-unsur utamanya mencakup:

a. Supremasi aturan-aturan hukum. Tidak adanya kekuasaan sewenang-

wenang dalam arti bahwa seseorang boleh dihukum jika melanggar hukum;

b. Kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalil ini berlaku, baik bagi

mereka rakyat kebanyakan maupun pejabat; dan

c. Terjaminnya hak asasi manusia oleh undang-undang serta keputusan-

keputusan pengadilan (Sirajudin dan Zulkarnain, 2006:16).

Dicey mengemukakan bahwa supremasi hukum berarti warga negara

diatur oleh hukum, dan dengan hukum itu sendiri seseorang dapat dihukum

karena melanggar hukum, bukan dihukum karena sesuatu alasan yang lain.

Tentang persamaan di depan hukum, semua kelompok masyarakat memiliki

ketertundukan yang sama di mata hukum umum negara, yang dijalankan oleh

peradilan umum. The rule of law tidak mengenal adanya pengecualian bagi

pejabat pemerintah atau orang-orang tertentu terhadap hukum yang mengatur

warga negara secara keseluruhan, seperti halnya pada pengadilan administratif

(droit administratif). Kaitannya dengan due process of law, jaminan atas hak-

hak pribadi adalah hasil dari keputusan pengadilan, dan parlemen sebagai

simbolisasi raja dan demos-warga, khusus mengenai mekanisme pelaksanaan

kekuasaan. Jadi konstitusi yang berisikan jaminan hak-hak pribadi warga

negara merupakan hasil dari hukum umum negara (Wahyudi Djafar,

2010:153).

Menurut Wirjono Projodikoro, negara hukum berarti suatu negara

yang didalam wilayahnya:

a. semua alat-alat perlengkapan dari negara, khususnya alat-alat perlengkapan

dari Pemerintah dalam tindakannya baik terhadap para warga negara

maupun dalam saling berhubungan masing-masing tidak boleh sewenang-

wenang, melainkan harus memperhatikan peraturan-peraturan hukum yang

berlaku;

Page 28: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

b. semua orang (penduduk) dalam hubungan kemasyarakatan harus tunduk

pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku (Ni‟matul Huda,2011:11).

International Commission of Jurists, dalam konferensinya di

Bangkok, pada tahun 1965, mencirikan konsepsi negara hukum adalah yang

memenuhi unsur-unsur sebagai berikut.

a. Perlindungan konstitusional, artinya selain menjamin hak-hak individu,

konstitusi juga mengatur prosedur untuk mengakses perlindungan atas hak-

hak tersebut;

b. Peradilan yang bebas dan tidak memihak;

c. Kebebasan untuk mengeluarkan pendapat;

d. Kebebasan untuk berserikat dan beroposisi; dan

e. Pendidikan kewarganegaraan (Wahyudi Djafar, 2010:153-154).

Sementara Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau

negara hukum klasik dan negara hukum materiel atau negara hukum modern.

Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil dan

sempit, yaitu dalam arti peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan

yang kedua, yaitu negara hukum materiel yang lebih mutakhir mencakup pula

pengertian keadilan di dalamnya (Jimmly Asshiddiqie, 2006:153).

Sedangkan Wolfgang Friedman, dalam Law is a Changing Society,

membagi negara hukum dalam pengertian the rule of law menjadi negara

hukum formal dan negara hukum material. Secara formal the rule of law berarti

organized public power, atau kekuasaan umum yang terorganisasi. Sedangkan

dalam arti material, the rule of law didefinisikan sebagai rule of just law,

artinya dalam konsep the rule of law, di dalamnya tercakup pula keadilan yang

sifatnya lebih substantif dan esensial, tidak sekedar memfungsikan bunyi dari

undang-undang tertulis (Wahyudi Djafar. 2010:154).

Menurut Jimmly Asshiddiqie (2006:154-161) yang mendasarkan pada

beragam pemikiran tentang negara hukum, menyebutkan terdapat dua belas

prinsip pokok yang merupakan pilar-pilar utama yang menyangga berdiri

tegaknya satu negara modern sehingga dapat disebut sebagai negara hukum

Page 29: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

(the rule of law ataupun rechtsstaat). Adapun prinsip-prinsip pokok negara

hukum sebagai berikut.

a. Supremasi hukum (supremacy of law)

Adanya pengakuan nomatif dan empirik akan prinsip supremasi

hukum, yaitu bahwa semua masalah diselesaikan dengan hukum sebagai

pedoman tertinggi.

b. Persamaan dalam hukum (equality before the law)

Adanya persamaan kedudukan setiap orang dalam hukum dan

pemerintahan, yang diakui secara normatif dan dilaksanakan secara empirik.

c. Asas legalitas (due process of law)

Setiap negara hukum, dipersyaratkan berlakunya asas legalitas

dalam segala bentuknya (due process of law), yaitu bahwa segala tindakan

pemerintahan harus didasarkan atas peraturan perundang-undangan yang

sah dan tertulis.

d. Pembatasan kekuasaan

Adanya pembatasan kekuasaan negara dan organ-organ negara

dengan cara menerapkan prinsip pembagian kekuasaan secara vertikal atau

pemisahan kekuasaan secara horizontal bertujuan agar kekuasaan tidak

tersentralisasi dan terkonsentrasi dalam satu organ atau satu tangan yang

memungkinkan terjadinya kesewenang-wenangan.

e. Organ-organ eksekutif independen

Independensi lembaga dianggap sangat penting untuk menjamin

prinsip negara hukum dan demokrasi.

f. Peradilan yang bebas dan tidak memihak

Peradilan bebas dan tidak memihak ini mutlak harus ada dalam

setiap negara hukum. Dalam menjalankan tugas judisialnya, hakim tidak

boleh dipengaruhi oleh siapapun juga, baik karena kepentingan jabatan

(politik) maupun kepentingan uang (ekonomi).

g. Peradilan Tata Usaha Negara

Page 30: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

Setiap negara hukum harus terbuka kesempatan bagi tiap-tiap

warga negara untuk menggugat keputusan pejabat administrasi negara dan

dijalankannya putusan hakim tata usaha negara oleh pejabat administrasi

negara.

h. Peradilan Tata Negara (constitutional court)

Pentingnya mahkamah konstitusi (constitutional court) ini adalah

upaya memperkuat sistem checks and balances antara cabang-cabang

kekuasaan yang sengaja dipisah-pisahkan untuk menjamin demokrasi.

i. Perlindungan hak asasi manusia

Adanya perlindungan konstitusional terhadap hak asasi manusia

dengan jaminan hukum bagi tuntutan penegakannya melalui proses yang

adil. Perlindungan terhadap hak asasi manusia tersebut dimasyarakatkan

secara luas dalam rangka mempromosikan penghormatan dan perlindungan

terhadap hak-hak asasi manusia sebagai ciri yang penting dari suatu negara

hukum yang demokratis.

j. Bersifat demokratis (democratische rechtsstaat)

Dianut dan dipraktekannya prinsip demokrasi atau kedaulatan

rakyat yang menjamin peran serta masyarakat dalam proses pengambilan

keputusan kenegaraan, sehingga setiap peraturan perundang-undangan yang

ditetapkan dan ditegakkan mencerminkan perasaan keadilan yang hidup di

tengah masyarakat.

k. Berfungsi sebagai sarana mewujudkan tujuan bernegara (welfare

rechtsstaat)

Cita-cita hukum, baik yang dilembagakan melalui gagasan negara

demokrasi (democracy) maupun yang diwujudkan melalui gagasan negara

hukum (nomocracy) dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan

umum.

l. Transparansi dan kontrol sosial

Adanya transparansi dan kontrol sosial yang terbuka terhadap

setiap proses pembuatan dan penegakan hukum, sehingga kelemahan dan

kekurangan yang terdapat dalam mekanisme kelembagaan resmi dapat

Page 31: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

dilengkapi secara komplementer oleh peran serta masyarakat secara

langsung (partisipasi langsung) dalam rangka menjamin keadilan dan

kebenaran.

Indonesia adalah negara hukum, hal ini secara normatif dirumuskan

dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945). Konsekuensi dari ketentuan ini adalah bahwa setiap

sikap, pikiran, perilaku, dan kebijakan pemerintahan negara dan penduduknya

harus didasarkan atau sesuai dengan hukum. Dengan ketentuan demikian

dimaksudkan untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan dan arogansi

kekuasaan. Hukumlah yang memegang kekuasaan dan memimpin

penyelenggaraan negara, sebagaimana konsep nomocratie, yaitu kekuasaan

dijalankan oleh hukum (nomos).

Mahfud MD menyatakan bahwa sejak perubahan tahap ketiga UUD

1945, konstitusi kita sudah mengarahkan agar penegakan hukum di Indonesia

secara prinsip menganut secara seimbang segi-segi baik dari konsepsi

rechsstaat dan the rule of law sekaligus yakni menjamin kepastian hukum dan

menegakkan keadilan substansial (Ni‟matul Huda, 2011:18).

Penegasan bahwa Indonesia merupakan negara hukum, serta pernyataan

bahwa kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka,

mengandung spirit untuk tidak menjadikan hukum sebagai alat kekuasaan,

menegakkan prinsip persamaan di depan hukum dan melindungi campur

tangan baik yang bersifat internal maupun eksternal terhadap kekuasaan

kehakiman dalam rangka mencegah dan menghindari kegagalan pencapaian

keadilan (Ni‟matul Huda, 2011:18).

Secara mendasar, gerakan reformasi harus diinterpretasikan sebagai

suatu upaya yang terorganisir dan sistematis dari bangsa Indonesia untuk

mengaktualisasikan nilai-nilai dasar demokrasi, yang disepanjang kekuasaan

rezim Orde Baru terlanjur telah dimanipulasi dan diselewengkan. Berdasarkan

interpretasi reformasi tersebut, maka agenda nasional harus difokuskan pada

upaya pengembangan yang terus „indeks demokrasi‟ (indices of democracy).

Page 32: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

Indeks itu dapat dikelompokkan ke dalam empat aspek kehidupan berbangsa

dan bernegara. Pertama, keberadaan sistem pemiliha umum yang bebas dan

adil. Kedua, keberadaan pemerintahan yang terbuka, akuntabel dan responsif.

Ketiga, pemajuan dan perlindungan hak-hak sipil dan politik seluruh warga

tanpa kecuali. Keempat, keberadaan masyarakat yang memiliki rasa percaya

diri yang penuh (Ni‟matul Huda, 2011:18).

Dalam hubungannya dengan reformasi hukum dalam kerangka empat

aspek dasar demokrasi di atas, pemerintah harus secara sistematis menerapkan

reformasi yang didasarkan kepada elemen-elemen konsep sistem hukum yaitu;

(1) struktur hukum; (2) elemen substansi hukum; (3) elemen budaya hukum.

Lawrence M. Friedman menegaskan, bagaimanapun baiknya norma hukum,

suatu undang-undang tanpa didukung penegak hukum yang handal dan

dipercaya, hukum tidak akan efektif mencapai tujuannya. Hukum dengan

norma yang baik dan didukung dengan aparat penegak hukum yang handal dan

dipercaya juga akan kurang efektif tanpa didukung budaya hukum masyarakat

yang bersangkutan (Ni‟matul Huda, 2011:19).

2. Tinjauan tentang Pemisahan Kekuasaan dan Checks and Balances

a. Teori Pemisahan Kekuasaan

Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan dianggap berasal

dari Montesquieu dengan trias politica-nya. Trias Politica dari Montesquieu

ialah kekuasaan negara yang dibagi atau tegasnya dipisahkan menjadi tiga

dan masing-masing kekuasaan dilakukan oleh suatu badan yang berdiri

sendiri, yaitu:

1) Kekuasaan perundang-undangan (legislatif);

2) Kekuasaan melaksanakan pemerintahan (eksekutif); dan

3) Kekuasaan kehakiman (yudikatif) (Soehino, 2000:117).

Sebenarnya, konsep awal mengenai hal ini dapat ditelusuri kembali

dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Government” yang

Page 33: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh

dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. Oleh Montesquieu,

pemikiran John Locke itu diteruskannya dengan mengembangkan konsep

trias politica yang membagi kekuasan negara menjadi tiga cabang

kekuasaan tersebut. Pandangan Montesquieu inilah yang kemudian

dijadikan rujukan doktrin separation of power di zaman sesudahnya

(Jimmly Asshiddiqie, 2006:15).

Istilah pemisahan kekuasaan dalam bahasa Indonesia merupakan

terjemahan perkataan separation of power berdasarkan teori trias politica

atau tiga fungsi kekuasaan, yang dalam pandangan Montesquieu, harus

dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam organ-organ yang tidak

saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasaan legislatif hanya

dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh

lembaga eksekutif, dan demikian pula yudikatif hanya dilakukan oleh

cabang kekuasaan yudisial. Sehingga pada intinya, satu organ hanya dapat

memiliki satu fungsi, atau sebaliknya satu fungsi hanya dapat dijalankan

oleh satu organ (Jimmly Asshiddiqie, 2006:16).

Untuk membatasi pengertian separation of powers itu, G. Marshall

dalam bukunya “Constitutional Theory” yang dikutip oleh Jimmly

Asshiddiqie (2006:21-22), membedakan ciri-ciri doktrin pemisahan

kekuasaan ke dalam 5 (lima) aspek, yaitu :

1) Differentiation

Doktrin pemisahan kekuasaan itu bersifat membedakan fungsi-

fungsi kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudisial. Legislator membuat

aturan, eksekutor melaksanakannya, sedangkan pengadilan menilai

konflik atau perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan aturan itu dan

menerapkan norma aturan itu untuk menyelesaikan konflik atau

perselisihan.

2) Legal incompatibility of office holding

Page 34: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

Doktrin pemisahan kekuasaan menghendaki orang yang

menduduki jabatan di lembaga legislatif tidak boleh merangkap pada

jabatan di luar cabang legislatif.

3) Isolation, immunity, independence

Doktrin pemisahan kekuasaan menentukan bahwa masing-masing

organ tidak boleh turut campur atau melakukan intervensi terhadap

kegiatan organ yang lain. Dengan demikian, independensi masing-

masing cabang kekuasaan dapat terjamin dengan sebaik-baiknya.

4) Checks and balances

Doktrin pemisahan kekuasaan dianggap paling penting adalah

adanya prinsip checks and balances, di mana setiap cabang

mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan

yang lain. Adanya perimbangan yang saling mengendalikan tersebut,

diharapkan tidak terjadi penyalahgunaan kekuasaan di masing-masing

organ yang bersifat independen itu.

5) Co-ordinate status and lack of accountability

Prinsip koordinasi dan kesederajatan, yaitu semua organ atau

lembaga negara yang menjalankan fungsi legislatif, eksekutif dan

yudisial mempunyai kedudukan yang sederajat dan mempunyai

hubungan yang bersifat co-ordinatif, tidak bersifat sub-ordinatif satu

dengan yang lain.

Konsep pemisahan kekuasaan secara akademis dapat dibedakan

antara pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian luas, konsep

pemisahan kekuasaan (separation of power) mencakup pengertian

pembagian kekuasaan yang biasa disebut dengan istilah division power

(distribution of power). Pemisahan kekuasaan merupakan konsep hubungan

yang bersifat horizontal, sedangkan konsep pembagian kekuasaan bersifat

vertikal. Secara horizontal, kekuasaan negara dapat dibagi ke dalam

beberapa cabang kekuasaan yang dikaitkan dengan fungsi lembaga-lembaga

negara tertentu, yaitu legislatif, eksekutif, dan judikatif. Sedangkan dalam

konsep pembagian kekuasaan (distribution of power atau division of power)

Page 35: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

kekuasaan negara dibagikan secara vertikal dalam hubungan “atas-bawah”

(Jimmly Asshiddiqie, 2000:1).

Meskipun dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan negara

secara murni atas teori Montesquieu yang memisahkan secara tegas antar

tiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif. Namun, sejak

awal, khusus berkenaan dengan cabang kekuasaan yudikatif sudah dengan

tegas ditentukan harus bebas dan merdeka dari pengaruh cabang kekuasaan

lainnya, terutama pemerintah (http://www.scribd.com/doc/27668229/Ot

onomiDaerahDanParlemen-Di-Daerah diakses pada tanggal 20 November

20122 pukul 09:07 WIB).

b. Sistem Checks and Balances

Perubahan Ketiga UUD 1945 telah menciptakan pembagian

kekuasaan atau pemisahan kekuasaan yang memungkinkan adanya proses

saling mengawasi dan saling mengimbangi di antara cabang-cabang

kekuasaan negara yang ada, yang disebut dengan mekanisme checks and

balances (Maruarar Siahaan, 2008:49).

Checks and balances system adalah sistem dimana orang-orang

dalam pemerintahan dapat mencegah pekerjaan pihak yang lain dalam

pemerintahan jika mereka meyakini adanya pelanggaran terhadap

hak. Pengawasan (checks) sebagai bagian dari checks and balances adalah

suatu langkah maju yang sempurna. Mencapai keseimbangan lebih sulit

untuk diwujudkan. Gagasan utama dalam checks and balances adalah upaya

untuk membagi kekuasaan yang ada ke dalam cabang-cabang kekuasaan

dengan tujuan mencegah dominannya suatu kelompok. Apabila seluruh

ketiga cabang kekuasaan tersebut memiliki checks terhadap satu sama

lainnya, checks tersebut dipergunakan untuk menyeimbangkan kekuasaan

(Djatmiko Anom Husodo, 2010:24).

Page 36: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

Ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan yudikatif itu

sama-sama sederajat dan saling mengontrol satu sama lain sesuai dengan

prinsip checks and balances. Dengan adanya prinsip checks and balances

ini maka kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol dengan

sebaik-baiknya, sehingga penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat

penyelenggara negara ataupun pribadi-pribadi yang kebetulan sedang

menduduki jabatan dalam lembaga-lembaga negara yang bersangkutan

dapat dicegah dan ditanggulangi dengan sebaik-baiknya (Ni‟matul Huda,

2007:74-75).

Ketika reformasi membuka pintu bagi dilakukannya amandemen

atas UUD 1945, maka yang cukup menonjol disuarakan adalah

memasukkan sistem checks and balances antara lembaga legislatif, lembaga

eksekutif, dan lembaga yudikatif. Dalam hal hubungan antara Presiden dan

DPR, maka dominasi Presiden dalam proses legislasi digeser ke DPR. Jika

dalam waktu 30 hari sejak disahkan di DPR sebuah RUU belum

ditandatangani (disahkan) oleh Presiden, maka RUU tersebut sah sebagai

UU dan wajib diundangkan tanpa harus ditandantangani oleh Presiden

[Pasal 20 ayat (1) dan ayat (5) UUD 1945 hasil perubahan]. Dalam hal

hubungan antara yudikatif dan legislatif, maka gagasan checks and balances

mengumandangkan usul agar lembaga yudisial diberi wewenang untuk

menguji UU terhadap UUD. Ini pun kemudian diterima dan dituangkan di

dalam Pasal 24 yang mengatur bukan pengujian isi (uji materi) saja tetapi

juga pengujian prosedur (uji formal). MK menguji UU terhadap UUD,

sedangkan MA menguji peraturan perundang-undangan di bawah UU

terhadap peraturan perundang-undangan yang di atasnya (Mahfud MD,

2010:68).

3. Tinjauan tentang Independensi Kekuasaan Kehakiman

Doktrin terpenting guna tercapainya independensi kekuasaan

kehakiman adalah doktrin pemisahan kekuasaan (separation of powers) yang

Page 37: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

dalam perkembangan dunia modern tidak berarti pemisahan secara total organ-

organ negara, melainkan tercipta melalui sistem checks and balances (Susi

Dwi Harijanti, 2008:32).

Kekuasaan kehakiman dalam sebuah negara hukum yang demoktratis

haruslah mandiri dan terlepas dari campur tangan apa pun dan dari mana pun.

Montesquieu menekankan pentingnya kekuasaan yudikatif karena kekuasaan

kehakiman yang independen akan menjamin kebebasan individu dan hak asasi

manusia. Mengenai perlunya pemisahan kekuasaan kehakiman dari cabang-

cabang kekuasaan negara lainnya, Montesquieu mengemukakan bahwa,

kebebasan pun tidak ada jika kekuasaan kehakiman tidak

dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan kekuasaan eksekutif. Jika

kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan legislatif,

kekuasaan atas kehidupan dan kebebasan warga negara akan

dijalankan sewenang-wenang karena hakim akan menjadi pembuat

hukum. Jika kekuasaan kehakiman disatukan dengan kekuasaan

eksekutif, hakim bisa menjadi penindas (Sirajudin dan Zulkarnain,

2006:31).

Lebih lanjut oleh Montesquieu menjelaskan pula mengenai

independensi peradilan, adalah :

bahwa peradilan tidak lain merupakan mulut undang-undang,

sehingga putusan hakim merupakan suatu putusan hukum, bukan

dipandang sebagai putusan politik. Putusan pengadilan semata

merupakan konkretisasi apa yang dimuat dalam undang-undang,

bukan lahir dari tekanan atau lobi politik (Muhammad Nasrun yang

dikutip oleh Iriyanto A. Baso Ence, 2008:129).

Independensi peradilan bukanlah sesuatu yang otomatis terjadi karena

kekuasaan-kekuasaan di luar pengadilan memiliki potensi mencampuri

pelaksanaan fungsi peradilan. Hal ini terlihat pada pemerintahan di Perancis

sebelum revolusi Perancis 1789, yakni peradilan merupakan bagian dari

kekuasaan yang absolut. Oleh karena itu, peradilan yang tidak independen

sangat berbahaya, karena proses peradilan akan secara mudah dimanipulasi

untuk mencegah pengadilan mempertanyakan legalitas tindakan-tindakan

illegal atau semena-mena oleh para pelaksana kekuasaan negara (Iriyanto A.

Baso Ence, 2008:127).

Page 38: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

Sementara oleh The International Association of Judges menerangkan

mengenai independensi kekuasaan kehakiman yakni:

“judicial independence is independence from any external

influence on a judge’s decisions in judicial matters, ensuring [for]

the citizens impartial trial according to law. This means that the

judge must be protected against the possibility of pressure and

other influence by the executive and legislative powers of [the]

state as well as by the media, business enterprises, passing popular

opinion etc. But it also implies guarantees against influence from

within the judiciary itself” (Jaan Ginter,2010:109).

Berdasarkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang ada di

Negara Amerika Serikat, Charles G. Geyh (2003:159) menjelaskan sebagai

berikut:

“Independence” literally means the absence of dependence, which

is to say complete autonomy and insusceptibility to external

guidance, influence, or control. If we think of judicial independence

in literal terms, however, federal judges are not “independent,” at

least not as dictionaries define the word. They are not autonomous,

because Congress retains ultimate control over their budget,

jurisdiction, structure, size, administration, and rulemaking.

Moreover, they are susceptible to outside influence; if judges

engage in behavior (on or off the bench) that the political branches

characterize as criminal, they may be prosecuted and imprisoned;

if they make politically unacceptable decisions, the President and

Senate may decline to appoint them to higher judicial office; if they

commit “high crimes and misdemeanors,” they may be impeached

and removed from office; if they make decisions with which higher

courts disagree, their decisions may be reversed; and if they

engage in behavior that judicial councils regard as misconduct,

they may be disciplined.”

Menurut Jimmly Asshiddiqie ada tiga pengertian independensi, yaitu :

a. Struktural Independence yaitu independensi kelembagaan negara, disini

dapat dilihat dari bagan organisasi yang terpisah dari organisasi lain seperti

eksekutif dan yudikatif;

b. Functional Independence yaitu independensi yang dilihat dari segi jaminan

pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan kehakiman dari intervensi ekstra

yudisial; dan

c. Financial Independence yaitu dilihat dari kemandiriannya menentukan

sendiri anggaran yang dapat dijamin kemandiriannya dalam mejalankan

Page 39: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

fungsi(http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/KEKUASAAN%20KEHAK

IMAN%20YANG%20MERDEKA%20DAN%20MASA%20DEPAN%20P

ERADILAN%20AGAMA.pdf).

Kekuasaan kehakiman harus independen dalam arti dapat

melaksanakan fungsi kontrol dan menjadi penyeimbang bagi kekuasaan

eksekutif dan legislatif. Hal ini sesuai dengan pendapat Shimon Shetreet

sebagaimana dikutip oleh Djatmiko Anom Husodo (2011:5) :

the judicial branch will so far as possible avoid intervence with the

process of the legislative branch, and, in the absence of spesific

authority to do so, will not intervence with legislation. In addition,

the judicial branch will exercise self restraints in its intervence

with the activities of the executive branch. In return, the executive

branch is abliged to act according to the decisions of the judicial

branch. In parallel, it is required that the responsibility for court

administration will be held jointly by the judicial and executive

branch. It is also clear that legislative branch must avoid

interfering by way of legislation with the work of the judicial

branch and its authority.

Oleh Shimon Shetreet yang dikutip oleh Djatmiko Anom Husodo

(2011:6) bahwa secara teoritis, konsep independensi dapat dikategorikan

menjadi dua bagian yaitu :

a. The independence of the individual judges

1) Substantive independence, yaitu dalam membuat keputusan dan

menjalankan tugasnya, hakim hanya tunduk pada hukum. Hakim harus

bebas dari encroachment (gangguan) dari lembaga eksekutif dan

legislatif.

2) Personal independence, yaitu bahwa undang-undang, tradisi-tradisi

peradilan serta kebiasaan-kebiasaan untuk meningkatkan independensi

individu hakim dalam masa jabatan dan kedudukannya yang bersifat

tetap.

b. The collective independence of the judiciary as a body

Independensi badan yudisial, yaitu sejauhmana pengadilan secara

keseluruhan ditopang dengan administrasi pengadilan yang mampu

menegakkan independensinya.

Page 40: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

Independensi kehakiman sebagai suatu adjudication oleh neutral third

mempunyai dua arti penting, yakni pertama, penerapan prinsip keadilan tanpa

memandang status para pihak yang berperkara. Kedua, prinsip independensi ini

menjadi penting manakala pemerintah merupakan salah satu pihak yang

berperkara. Dengan berdasarkan pada kedua hal tersebut maka dua

karakteristik dapat ditemukan dalam independensi kehakiman, yakni

impartiality dan political insularity (Susi Dwi Harijanti, 2008 :33).

Berdasarkan dari dua karakteristik di atas, Christopher M. Larkins

bahwa independensi kehakiman adalah

(a)The degree to which judges ... decide [ cases ] consistent with ...

their interpretation of the law, (b) in opposition to what others who

are perceived to have political or judicial power, think about or

desire in like matters, and (c) particularly when a decision averse to

the beliefs or desires of those with political or judicial power may

bring some retribution on the judges personally or on the power of

the court (Becker yang dikutip oleh Susi Dwi Harijanti, 2008:33).

Oleh karena itu, Christopher M. Larkins mendefinisikan independensi

kehakiman sebagai

... the existence of judges who are not manipulated for political gain,

who are impartial towards parties of a dispute, and who form a

judicial branch which has the power as an institution to regulate yhe

legality of government behavior, enact neutral justice, and determine

significant constitutional and legal values (Susi Dwi Harijanti,

2008:34).

Kemudian oleh Alexis de Tocqueville memberi tiga ciri pelaksanaan

kekuasaan kehakiman yang independen.

Pertama, kekuasaan kehakiman di semua negara merupakan

pelaksana fungsi peradilan, dan pengadilan hanya bekerja bila ada

pelanggaran hukum atau hak warga negara tanpa ada satu kekuasaan

lainnya dapat melakukan intervensi.

Kedua, fungsi peradilan hanya berlangsung kalau ada kasus

pelanggaran hukum yang khusus. Hakim masih dalam koridor

pelaksanaan tugasnya, jika memutus suatu perkara menolak

menerapkan prinsip yang berlaku umum. Akan tetapi, jika hakim

menolak menaati prinsip-prinsip yang berlaku umum dan tidak

dalam kondisi memeriksa suatu perkara, hakim dapat dihukum atas

dasar pelanggaran tersebut.

Page 41: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

Ketiga, kekuasaan kehakiman berfungsi jika diperlukan dalam hal

adanya sengketa yang diatur dalam hukum. Jika suatu putusan

berujung pada terbuktinya suatu kejahatan yang keji, pelakunya

dapat dihukum (Iriyanto A. Baso Ence, 2008:127).

Kekuasaan kehakiman yang independen seharusnya tetap terjaga,

sehingga badan-badan peradilan diyakini dapat mandiri menegakkan hukum

dan keadilan di Indonesia. Berkenaan dengan independen badan peradilan ini,

R Subekti berpandangan :

bahwa kebebasan hakim yang menjadi sendi peradilan yang baik

tidak saja dalam hal larangan untuk mempengaruhi kekuasaan

kehakiman oleh pihak lain, tetapi Mahkamah Agung juga dilarang

campur tangan terhadap pengadilan di bawahnya yang sedang

memeriksa dan memutus suatu perkara (Iriyanto A. Baso Ence, 2008

: 128).

Namun dalam perkembangannya, Muhammad Nasrun

mendeskripsikan realitas bahwa tekanan kepada para hakim dapat berupa

intimidasi atau ancaman fisik maupun tekanan melalui media massa. Tekanan

ini datang dari kelompok politik maupun pihak-pihak yang diperiksa di

persidangan. Adanya tekanan kepada hakim tersebut membuka peluang bagi

ketidaknetralan hakim dalam memeriksa suatu perkara (Iriyanto. A. Baso.

Ence, 2008:130).

Oleh karena itu, menurut Shimon Shetreet yang dikutip oleh Susi Dwi

Harijanti (2008:32) bahwa proses peradilan yang baik akan sangat bergantung

pada beberapa nilai fundamental, yaitu proses penyelenggaraan pengadilan

yang wajar (procedural fairnes), efisiensi, aksesibilitas, kepercayaan

masyarakat terhadap pengadilan serta independensi kekuasaan kehakiman.

Prinsip tentang independensi kekuasaan kehakiman merupakan salah satu

sentral dalam proses peradilan.

Prinsip atas jaminan penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang

merdeka pada dasarnya adalah menempatkan kekuasaan kehakiman yang lepas

dan bebas dari pengaruh kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan. Mengacu pada teori trias politica yang

dikemukakan oleh Monstesquieu, bahwa agar tidak terjadi pemusatan

Page 42: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

kekuasaan di satu tangan, maka kekuasaan negara harus dipisah-pisahkan ke

dalam fungsi legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Oleh karena itu, masing-

masing lembaga negara yang menjalankan fungsi di atas tidak boleh saling

mempengaruhi dan mengintervensi. Masing-masing lembaga tersebut di atas

berinteraksi dalam hubungan yang dikembangkan secara seimbang melalui

mekanisme checks and balances. Melalui mekanisme checks and balances

tersebut, ketiga cabang kekuasaan legislatif, eksekutif dan judisial yang

tercermin dalam tiga lembaga tersebut dapat saling mengendalikan dan saling

mengimbangi, sehingga tidak terjadi kesewenang-wenangan di antara satu

sama lain (Djatmiko Anom Husodo, 2011:8).

4. Tinjauan tentang Pengawasan

Secara teoritik, istilah pengawasan dikenal dan dikembangkan dalam

ilmu manajemen karena pengawasan merupakan salah satu unsur dalam

kegiatan pengelolaan.

Dalam kaitannya dengan pengertian pengawasan terdapat berbagai

macam pengertian. Syafiie sebagaimana dikutip oleh W. Riawan Tjandra

(2006:131) mengidentifikasikan pengertian pengawasan menurut dari beberapa

ahli sebagai berikut:

a) Lyndal F. Urwick, pengawasan adalah upaya agar sesuatu dilaksanakan

sesuai dengan peraturan yang telah ditetapkan dan instruksi yang

dikeluarkan.

b) Sondang Siagian, pengawasan adalah proses pengamatan pelaksanaan

seluruh kegiatan organisasi untuk menjamin agar semua pekerjaan yang

dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah ditemukan sebelumnya.

c) George R Terry, pengawasan adalah proses penentuan apa yang harus

dicapai yaitu standar, apa yang sedang dilakukan, yaitu menilai

pelaksanaan dan bila perlu melakukan perbaikan-perbaikan sehingga

pelaksanaan sesuai dengan rencana yaitu selaras dengan standar.

Page 43: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

d) Stephen Robein, pengawasan adalah proses mengikuti perkembangan

kegiatan untuk menjamin (to ensure) jalannya pekerjaan dengan

demikian, dapat selesai secara sempurna (accomplished) sebagaimana yang

direncanakan sebelumnya dengan pengoreksian beberapa pemikiran yang

saling berhubungan.

e) David Granick, pengawasan pada dasarnya memiliki tiga fase yaitu; fase

legislatif, fase administratif, dan fase dukungan.

f) Abdurrahman, menguraikan ada beberapa faktor yang membantu

pengawasan dan mencegah berbagai kasus penyelewengan serta

penyalahgunaan wewenang, yaitu filsafat yang dianut suatu bangsa tertentu,

agama yang mendasari seorang tersebut, kebijakan yang dijalankan,

anggaran pembiayaan yang mendukung, penempatan pegawai dan prosedur

kerjanya, serta kemantapan koordinasi dalam organisasi.

Sementara oleh Henry Fayol menyatakan bahwa control consists in

veryvying wether everything occur in conformity with the plan adopted, the

instruction issued, and principle established. It has for object to point out

weaknesses in error in order to rectivy then and prevent recurrence (Sirajuddin

dan Zulkarnain, 2006:88).

Dari pengertian ini dapat dilihat bahwa pengawasan hakikatnya

merupakan suatu tindakan menilai apakah sesuatu telah berjalan sesuai dengan

yang telah ditentukan. Dengan pengawasan tersebut akan dapat ditemukan

kesalahan-kesalahan. Kesalahan-kesalahan tersebut akan dapat diperbaiki dan

yang terpenting jangan sampai kesalahan tersebut terulang kembali.

Pengawasan pada dasarnya diarahkan sepenuhnya untuk menghindari

adanya kemungkinan penyelewengan atau penyimpangan atas tujuan yang

akan dicapai. Melalui pengawasan diharapkan dapat membantu melaksanakan

kebijakan yang telah ditetapkan untuk mencapai tujuan yang telah

direncanakan secara efektif dan efisien. Bahkan, melalui pengawasan tercipta

suatu aktivitas yang berkaitan erat dengan penentuan atau evaluasi mengenai

sejauhmana pelaksanaan kerja sudah dilaksanakan. Pengawasan juga dapat

Page 44: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

mendeteksi sejauhmana kebijakan pimpinan dijalankan dan sampai sejauhmana

penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan kerja tersebut (Dian Puji N.

Simatupang, 2004:1).

Sementara itu, Newman berpendapat bahwa control is assurance that

the performance conform to plan. Ini berarti bahwa titik berat pengawasan

adalah suatu usaha untuk menjamin agar pelaksanaan suatu tugas dapat sesuai

dengan rencana. Dengan demikian, menurut Newman, pengawasan adalah

suatu tindakan yang dilakukan selama proses suatu kegiatan sedang berjalan,

bahkan setelah akhir proses tersebut (Sirajuddin dan Zulkarnain, 2006:89).

Menurut Stephen Robein dalam bukunya The Adminstration Process,

Dalam suatu negara terutama negara yang sedang berkembang atau

membangun, kontrol atau pengawasan sangat penting, yang dalam

pelaksanaannya pengawasan dilakukan secara vertikal, horizontal, eksternal,

internal, preventif maupun refresif agar maksud dan tujuan yang telah

ditetapkan tercapai dan tepat sasaran. Oleh karena itu, untuk mencapai tujuan

negara atau organisasi, maka dalam hal pengawasan dapat pula diklasifikasikan

macam-macam pengawasan berdasarkan berbagai hal, yakni :

a. Pengawasan Langsung dan Pengawasan Tidak Langsung

1) Pengawasan Langsung

Pengawasan langsung adalah pengawasan yang dilakukan secara pribadi

oleh pimpinan atau pengawas dengan mengamati, meneliti, memeriksa,

mengecek sendiri secara langsung di tempat pekerjaan dan menerima

laporan-laporan secara langsung pula dari pelaksanaan.

2) Pengawasan Tidak Langsung

Pengawasan tidak langsung yaitu diadakan dengan mempelajari laporan-

laporan yang diterima dari pelaksana baik lisan maupun tulisan,

mempelajari pendapat-pendapat masyarakat dan sebagainya. Tanpa

pengawasan di tempat pekerjaan

Page 45: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

b. Pengawasan Preventif dan Represif

1) Pengawasan Preventif

Pengawasan preventif dilakukan melalui preaudit sebelum pekerjaan

dimulai. Misalnya, dengan melakukan pengawasan terhadap persiapan-

persiapan, rencana kerja, rencana anggaran, rencana penggunaan tenaga

dan sumber-sumber lainnya.

2) Pengawasan Represif

Pengawasan represif dilakukan melalui post audit, dengan pemeriksaan

terhadap pelaksanaan di tempat (inspeksi), meminta laporan pelaksanaan

dan sebagainya.

c. Pengawasan Intern dan Ekstern

1) Pengawasan Intern

Pengawasan intern adalah pengawasan yang dilakukan oleh aparat dalam

organisasi itu sendiri. Pada dasarnya pengawasan harus dilakukan oleh

kepala pimpinan sendiri. Akan tetapi, didalam kenyataannya hal ini tidak

selalu dilakukan oleh pimpinan pusat. Oleh karena itu, setiap pimpinan

unit dalam organisasi pada dasarnya berkewajiban membantu kepala

pimpinan pusat mengadakan pengawasan secara fungsional sesuai

dengan bidang tugasnya masing-masing. Pengawasan sebagai fungsi

organik, built-in pada setiap jabatan pimpinan mereka harus mengawasi

unit khusus yang membantu dan atas nama kepala pimpinan melakukan

pengawasan terhadap keseluruhan aparat dalam organisasi tersebut.

2) Pengawasan Ekstern

Pengawasan ekstern adalah pengawasan oleh aparat dari luar organisasi

sendiri, seperti halnya pengawasan terhadap kinerja pemerintah oleh

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) (http://elib.unikom.ac.id/download

.php?id=6322 diakses pada tanggal 30 April 2012 pukul 20:48 WIB).

Page 46: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Pengawasan atau kontrol dalam organisasi atau birokrasi biasanya

dipilah dalam dua kategori, yaitu kontrol internal dan kontrol eksternal.

Menurut Deny B.C. Harindja menyatakan bahwa dalam mekanisme internal,

pengawasan dilakukan oleh perangkat-perangkat dalam organisasi yang

berfungsi pengawasan. Dalam hal ini, pengawasan dilakukan seorang atasan

kepada bawahan (pengawasan melekat) dikategorikan sebagai pengawasan

melalui mekanisme internal. Adapun dalam mekanisme eksternal, pengawasan

dilakukan oleh organ-organ dengan fungsi pengawasan yang kedudukannya

terlepas dari anggota atau organisasi yang diawasi (Anthon F. Susanto,

2004:52).

Pendapat lebih rinci dikemukakan Cristine, Meininger, dan Lebreton

bahwa tinjauan/laporan tentang cara administrasi (administration review of

proceedings), peran inspektorat pemerintah (the role of government

inspectorats), dengan kontrol keuangan (financial control) sebagai mekanisme

internal yang dapat disarankan adalah kontrol lembaga peradilan (judicial

control), kontrol parlementer (parlementery control), dan pengawasan oleh

anggota-anggota masyarakat terhadap administrasi (supervisory control of

administration by members of the public) (Anthon F. Susanto, 2004:52-53).

Page 47: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

B. Kerangka Pemikiran

Gambar 1.

Kerangka Pemikiran

Keterangan :

Melalui kerangka pemikiran di atas, maka penulis akan

memberikan jawaban atas permasalahan dalam penulisan hukum ini. Alur

berpikir dimulai dari amanat konstitusi Negara Indonesia, yakni Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Pasal

24 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman

merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan

guna menegakkan hukum dan keadilan. Berdasarkan pasal tersebut

PASAL 24 C

Peraturan Perundang-Undangan

MAHKAMAH

KONSTITUSI

Kode Etik dan

Pedoman Perilaku

Hakim Konstitusi

Undang-Undang Dasar

Negara Republik

Indonesia Tahun 1945

Independensi

Kekuasaan Kehakiman

PENGAWASAN HAKIM

KONSTITUSI

PASAL 24 AYAT (1)

Page 48: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia harus mencerminkan

sifat independen, imparsial dan akuntabel.

Salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai

amanat amandemen ketiga UUD 1945 ialah Mahkamah Konstitusi. Untuk

menjalankan tugas dan fungsinya, MK sebagai lembaga pengawal dan

penjaga konstitusi harus didukung oleh pondasi hakim konstitusi yang

kokoh sebagaimana termaktub dalam Pasal 24 C ayat (5) UUD 1945

bahwa hakim konstitusi harus memiliki integritas dan kepribadian yang

tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan

ketatanegaraan serta tidak merangkap merangkap sebagai pejabat negara.

Terkait dengan hakim konstitusi dalam menjalankan

kewenangannya, berbagai peraturan perundang-undangan seperti Undang-

Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan

khususnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

mengatur mengenai pengawasan terhadap hakim konstitusi. Pengawasan

secara internal pun dibentuk dengan adanya Kode Etik dan Pedoman

Perilaku Hakim Konstitusi dan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi.

Untuk membentuk badan peradilan yang independen, diperlukan

adanya suatu sistem pengawasan hakim konstitusi sehingga dalam

menjalankan kewenangannya sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan di

dalam masyarakat, mengingat Mahkamah Konstitusi adalah lembaga

peradilan satu-satunya yang menguji undang-undang terhadap Undang-

Undang Dasar yang putusannya bersifat final dan mengikat. Dari hal

tersebut, akan dikaji secara lebih mendalam sistem pengawasan hakim

konstitusi saat ini berdasarkan peraturan perundang-undangan yang

berlaku dan bagaimana yang ideal sehingga dalam proses penyelenggaraan

persidangan di Mahkamah Konstitusi dapat mewujudkan prinsip

independensi kekuasaan kehakiman.

Page 49: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

BAB III

PEMBAHASAN

A. Perlunya Pengawasan Hakim Konstitusi dikaitkan dengan Prinsip

Independensi Kekuasaan Kehakiman

Amanah Pasal 24 Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) menyatakan bahwa Kekuasaan

kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan

peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Hal demikian

berimplikasi pada kedudukan kekuasaan kehakiman yang kuat dan

berwibawa yang diharapkan mampu menyelesaikan semua perkara,

sengketa dan pelanggaran hukum antar sesama warga negara maupun antar

warga negara dengan penguasa secara obyektif, tidak memihak (impartial)

dan tidak di bawah pengaruh pemerintah serta pengaruh-pengaruh lainnya

yang bersifat ekstra judisil maupun intra judisil (Darius Mauritsius,

2009:59).

Jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman tersebut diatur pula

dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman, yakni:

(1) Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, hakim dan Hakim

Konstitusi wajib menjaga kemandirian peradilan.

(2) Segala campur tangan dalam urusan peradilan oleh pihak lain

di luar kekuasaan kehakiman dilarang, kecuali dalam hal-hal

sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang.

Termasuk pula dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi,

diatur mengenai jaminan kemandirian kekuasaan kehakiman yakni dalam

Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang

menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga

negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk

menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dalam

penjelasan umum dikatakan bahwa kedudukannya sebagai bagian kekuasaan

Page 50: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

kehakiman di samping MA, menyebabkan MK terikat pada prinsip-prinsip

umum penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari

pengaruh kekuasaan lembaga lainnya.

Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaksana kekuasaan

kehakiman di Indonesia yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi (the

guardian of the constitution) memiliki wewenang dan kewajiban yang

putusannya bersifat final dan mengikat sebagaimana termaktub dalam Pasal

24C ayat (1) UUD 1945. Konsekuensi dari putusan MK yang bersifat final

dan mengikat adalah tidak adanya upaya hukum lain baik mekanisme

banding maupun peninjauan kembali. Hal ini juga berkaitan dengan

kepercayaan publik terhadap perilaku dan martabat hakim konstitusi dalam

memberikan putusan-putusan yang dihasilkan. Sehingga dalam

menyelenggarakan proses peradilan, Mahkamah Konstitusi wajib

mengutamakan independensi dan imparsialitasnya.

Adapun menurut Mahfud MD bahwa kewibawaan hakim

merupakan sakral dan fundamental yang bukan hanya menentukan terhadap

sakralitas dan progresifitas jati diri dunia peradilan, tetapi juga dalam

mengonstruksi kredibilitas pencari keadilan terhadap implementasi

konstitusi (Abdul Wahid, 2011:68). Kewenangan yang diberikan kepada

hakim konstitusi oleh UUD 1945 merupakan kewenangan untuk menjaga

tetap tegaknya nilai-nilai konstitusi sebagai landasan kehidupan bangsa dan

negara Indonesia karena putusan yang dihasilkan oleh Mahkamah

Konstitusi amat besar mempengaruhi sendi-sendi ketatanegaraan terutama

dalam hal pengujian undang-undang terhadap UUD 1945.

Menurut Suparman Marzuki (2011:5), kekuasaan kehakiman

dengan kekuasaan final dan mengikat adalah kekuasaan konstitusional

absolut yang punya peluang salah, tidak adil, tidak fair, tidak objektif dan

tidak profesional. Hakim-hakim konstitusi mempunyai peluang melakukan

kesalahan sengaja atau kelalaian manusiawi.

Page 51: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

Tidak dipungkiri lagi bahwa kasus dugaan suap oleh salah satu

hakim konstitusi menjadi polemik bagi eksistensi Mahkamah Konstitusi

pada waktu satu tahun yang lalu. Tulisan salah seorang staff ahli Mahkamah

Konstitusi Tahun 2003-2007, Refly Harun, mengungkapkan bahwa adanya

tiga isu utama. Pertama, pengalamannya ketika berkunjung ke Papua. Para

kandidat tidak hanya habis biaya banyak dalam Pemilukada, melainkan juga

akan habis untuk bersengketa di Mahkamah Konstitusi. Ada yang habis 10

milliar rupiah sampai 12 milliar rupiah untuk Mahkamah Konstitusi. Kedua,

Refly mendengar negosiasi yang gagal untuk memenangi perkara.

Menurutnya, ada orang yang bercerita bahwa seorang hakim konstitusi

meminta uang satu milliar rupiah kepada Pemohon. Oleh karena ditunggu

hingga sore tidak cair, negosiasi itu gagal. Kemudian permohonan dicabut.

Ketiga, Refly mengaku pernah melihat dengan mata kepala sendiri uang

dollar Amerika senilai satu milliar rupiah, yang menurut pemiliknya akan

diserahkan ke salah satu hakim konstitusi (sumber: http://nasional.kompas

.com/read/2010/10/25/09201736/MK.Masih.Bersih diakses pada tanggal 16

April 2012 pukul 7:17 WIB). Hal demikian menjadi salah satu benih-benih

mafia peradilan apabila tidak dideteksi secara dini. Meskipun, setelah

dibentuk tim investigasi oleh Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD,

tidak ada indikasi suap atau tidak terbukti, hal ini tidak serta merta

mengesampingkan pengawasan terhadap hakim konstitusi. Ancaman-

ancaman terhadap independensi Mahkamah Konstitusi dapat terjadi kapan

saja. Apabila tidak menjadi perhatian utama, dapat menimbulkan judicial

corruption di lingkungan Mahkamah Konstitusi.

Selanjutnya, berdasarkan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945

menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi mempunyai sembilan orang

anggota hakim konstitusi yang ditetapkan oleh Presiden, yang diajukan

masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang oleh Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR), dan tiga orang oleh Presiden. Pasal tersebut

berimplikasi pada pola pengisian jabatan hakim konstitusi yang justru

Page 52: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

cenderung membuat Mahkamah Konstitusi terpengaruh oleh turbulensi

politik lima tahunan.

Ketiga pengaruh turbulensi ini terhadap pola pengisian jabatan

hakim konstitusi oleh Darius Mauritsius (2009:65-66) diutarakan sebagai

berikut :

a. Pengaruh turbulensi adalah dari kalangan DPR karena merupakan

lembaga representasi politik yang menjadi salah satu constitutional actor,

yang menguat kedudukan dan peranannya dalam era pasca reformasi. Hal

ini berbeda dengan kondisi parlemen di Inggris dewasa ini. Lembaga tua

itu justru hanya menjadi semacam constitutional actor yang cenderung

simbolis karena implementasi kewenangannya hanya bersifat rutin.

b. Turbulensi kedua cenderung datang dari kalangan pemerintah. Sejak

terjadi proses reformasi politik, pemerintah bermetamorfosis menjadi

semacam kumpulan dewan menteri (kabinet) yang berkaki lebih dari

satu, mulai kabinet dua kaki semasa Presiden BJ Habibie; kabinet empat

kaki semasa Presiden Abdurrahman Wahid, hingga kabiner berkaki-kaki

pada periode kepresidenan berikutnya termasuk kabinet Presiden Susilo

Bambang Yudhoyono.

c. Turbulensi ketiga datang dari Mahkamah Agung. Pada awal masa

reformasi, Mahkamah Agung terlihat cukup didominasi figur-figur dari

kalangan partai politik, terutama yang masuk melalui jalur non-karier.

Hal ini secara langsung atau tidak langsung masih terasa hingga kini.

Dengan adanya proses pemilihan hakim agung yang harus melalui DPR

di pintu terakhir, mau tidak mau para calon hakim agung dari mana pun

asalnya, baik karier maupun non-karier harus mempunyai koneksi

politik.

Mencermati hal tersebut, dapat dilihat adanya kecenderungan

pengaruh politik pada ketiga lembaga yang berwenang mengusulkan hakim

konstitusi itu, sangat jelas besar kemungkinan para hakim konstitusi yang

dihasilkan berpotensi terkena pengaruh turbulensi politik. Pengaruh itu

Page 53: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

dapat datang dari lembaga yang mengusulkannya, juga dapat dari lembaga

maupun individu atau elite politik lain.

Atas dasar pernyataan tersebut, maka diperlukan adanya suatu

pengawasan terhadap hakim konstitusi. Hal ini bertujuan untuk menghindari

terjadinya penyalahgunaan kekuasaan dan agar kekuasaan penegakan

hukum selalu dijalankan dengan baik dan benar supaya terwujud kepastian

hukum dan keadilan yang secara yuridis, sosial dan moral mendapat

penilaian dan penerimaan yang dipercaya. Selain itu, pengawasan hakim

konstitusi sebagai bagian dari akuntabilitas yang harus dilakukan badan

pelaksana kekuasaan kehakiman, agar independensi dapat dibatasi sehingga

tidak menimbulkan tirani kekuasaan dan menghindari adagium yang

menyatakan the power tend to corrupt.

Perlu diketahui bahwa pengawasan atau kontrol sejatinya

mekanisme normal, positif dan konstitusional dalam negara hukum dan

negara demokratis agar kekuasaan politik atau kekuasaan hukum tidak

menyimpang atau disalahgunakan baik secara sengaja, tidak sengaja atau

karena kelalaian sehingga disediakanlah norma dan institusi pengujian,

kontrol atau verifikasi (Suparman Marzuki, 2011:1). Profesi hakim

konstitusi merupakan profesi yang sangat rentan dalam proses penegakan

hukum saat ini. Kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada hakim

konstitusi sangat memerlukan sikap integritas yang tinggi sehingga dalam

memeriksa dan mengadili suatu perkara dapat benar-benar mencerminkan

rasa keadilan masyarakat tanpa meninggalkan unsur penting yakni kepastian

hukum.

Menurut Adi Sulistiyono, dalam rangka penegakan hukum di

Indonesia, tugas hakim adalah menegakkan hukum dan keadilan

berdasarkan Pancasila melalui perkara-perkara yang dihadapkan kepadanya,

sehingga keputusan yang diambilnya mencerminkan rasa keadilan bangsa

dan masyarakat Indonesia. Dalam realitas empiris, patut disadari bahwa

hakim adalah manusia biasa ciptaan Tuhan yang mempunyai resistensi

Page 54: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

terbatas ketika menghadapi pengaruh-pengaruh dari luar. Dalam tinjauan

sosiologis, pelaksanaan peran hakim tersebut tidak berlangsung dalam

wilayah normatif yang steril, yang mudah dicapai, tetapi selalu dalam

konteks adanya perjuangan untuk melepaskan diri dari pengaruh sosial,

kooptasi kekuasaan permainan lobi politik, atau arus ekonomi yang kuat.

Pengaruh atau tekanan dari luar yang memengaruhi inilah yang sering

menjadi penyebab hakim kehilangan kejujuran mengorbankan kewibawaan

dan profesionalitasnya untuk penyelesaian sengketa sehingga seringkali

menghasilkan putusan yang tidak selaras dengan nilai keadilan masyarakat

(Kelik Pramudya,dkk, 2010:17-18).

Pengawasan merupakan unsur penting dan menentukan dalam

lembaga kekuasaan kehakiman dalam hal ini adalah Mahkamah Konstitusi,

untuk menjamin terlaksananya penyelenggaraan kelembagaan Mahkamah

Konstitusi sesuai dengan visi dan misinya. Pengawasan juga diperlukan

untuk menjaga integritas dan mempertahankan performa Mahkamah

Konstitusi yang lebih baik.

Sebagaimana yang tertera dalam Cetak Biru Membangun

Mahkamah Konstitusi Tahun 2005-2009 (2005:90-91) bahwa adanya sistem

pengawasan internal dan eksternal yang memadai, jalannya organisasi

Mahkamah Konstitusi akan terhindar dari munculnya penyimpangan-

penyimpangan yang bertentangan dengan peraturan dan merugikan

Mahkamah Konstitusi. Adanya sistem pengawasan internal dan eksternal

yang berjalan baik membuat setiap indikasi terjadinya penyimpangan akan

terdeteksi secara dini. Dengan demikian, maka akan dapat diambil langkah-

langkah antisipasi untuk menanggulanginya agar tidak bergulir menjadi

penyimpangan yang lebih besar dan luas. Terhadap indikasi penyimpangan

itu dapat segera diambil tindakan yang sesuai dengan peraturan yang

berlaku. Selain itu, sistem pengawasan internal dan eksternal bermanfaat

untuk mendeteksi kekurangan dan kelemahan yang ada dalam organisasi

Mahkamah Konstitusi sehingga langkah-langkah perbaikan dan peningkatan

Page 55: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

dapat dilakukan. Adanya sistem pengawasan ini pada akhirnya dapat

menciptakan organisasi Mahkamah Konstitusi yang sesuai dengan prinsip

clean government dan good governance.

Mencermati pentingnya pengawasan terhadap hakim konstitusi

yang memiliki peran penting dalam penegakan proses peradilan

ketatanegaraan di Indonesia, maka hal berikut mengkaji tentang peraturan

perundangan-undangan yang berlaku yang menjadi satu-kesatuan terpadu

terkait konsep pengawasan hakim konstitusi sebagai alasan yuridis perlunya

pengawasan hakim konstitusi di Indonesia.

Pertama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman. Secara keseluruhan materi yang terkandung dalam

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini lebih komprehensif, lebih

lengkap dan lebih terstruktur demi terwujudnya integrated justice system

atau sistem peradilan terpadu di Indonesia. Adanya konsep pengawasan

dalam undang-undang ini menjadi agenda utama dalam menyelenggarakan

kekuasaan kehakiman. Undang-Undang ini juga mengelaborasikan konsep

pengawasan yang terdiri dari dua, yakni pengawasan internal dan

pengawasan eksternal. Pengawasan internal diserahkan kepada lembaga itu

sendiri sedangkan pengawasan eksternal berada pada Komisi Yudisial yang

sebatas hanya mengawasi perilaku hakim.

Menelaah Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini terdapat dua

model pengawasan yaitu pengawasan yang membedakan antara hakim dan

hakim konstitusi. Hal tersebut termaktub pada Bab VI Pasal 39 sampai

dengan Pasal 44. Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk

mengawasi secara internal terhadap penyelenggaraan peradilan pada semua

badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung dalam

menyelenggarakan kekuasaan kehakiman oleh Mahkamah Agung, selain itu

juga terhadap pelaksanaan tugas administrasi dan keuangan. Pengawasan

eksternal dilakukan oleh Komisi Yudisial sebatas dalam rangka menjaga

Page 56: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

dan menegakkan martabat, serta perilaku hakim berdasarkan Kode Etik dan

Pedoman Perilaku Hakim.

Sedangkan untuk Mahkamah Konstitusi, menurut Pasal 44 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

menyatakan bahwa pengawasan hakim konstitusi dilakukan oleh Majelis

Kehormatan Hakim Konstitusi. Ketentuan ini menegaskan bahwa

mekanisme atau sistem yang dilaksanakan melalui pengawasan internal.

Mekanisme yang dijalankan untuk mengawasi hakim konstitusi dilakukan

dari dalam Mahkamah Konstitusi itu sendiri.

Untuk memahami lembaga negara yang ada di bidang kekuasaan

kehakiman dijelaskan bahwa lembaga pelaksana atau pelaku kekuasaan

kehakiman adalah Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, disamping

itu terdapat lembaga pengawas martabat, kehormatan, dan perilaku hakim

yakni Komisi Yudisial. Keberadaan Komisi Yudisial ini bersifat mandiri

sebagai auxiliary organ. Komisi Yudisial merupakan supporting element

dalam rangka mendukung kekuasaan kehakiman yang merdeka, bersih dan

berwibawa. Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi memiliki

pengawasan internal sendiri sedangkan Komisi Yudisial adalah lembaga

penegak etik kehakiman yang menggunakan mekanisme pengawasan

eksternal kekuasaan kehakiman. Komisi Yudisial diberikan kewenangan

untuk melakukan pengawasan terhadap perilaku-perilaku hakim dan bukan

untuk hakim pada Mahkamah Konstitusi.

Untuk memahami keberadaan Komisi Yudisial maka dijelaskan

oleh A. Ahsin Thohari (2004:10-11) bahwa terdapat beberapa asumsi dasar

yang dapat diajukan sebagai argumen utama bagi sebab wujudnya (raison

d’etre) Komisi Yudisial di dalam suatu negara hukum baik dalam tradisi

Rechtsstaat maupun Rule of Law, yaitu

a. Komisi Yudisial dibentuk agar dapat melakukan monitoring yang intensif

terhadap kekuasaan kehakiman dengan melibatkan unsur-unsur

Page 57: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

masyarakat dalam spektrum yang seluas-luasnya dan bukan hanya

monitoring secara internal saja;

b. Komisi Yudisial menjadi perantara (mediator) atau penghubung antara

kekuasaan pemerintah (executive power) dan kekuasaan kehakiman

(judicial power) yang tujuan utamanya adalah untuk menjamin

kemandirian kekuasaan kehakiman dari pengaruh kekuasaan apa pun

juga khususnya kekuasaan pemerintah;

c. Dengan adanya Komisi Yudisial, tingkat efisiensi dan efektivitas

kekuasaan kehakiman (judicial power) akan semakin tinggi dalam

banyak hal, baik yang menyangkut rekruitmen dan monitoring hakim

agung maupun pengelolaan keuangan kekuasaan kehakiman;

d. Terjaganya konsistensi putusan lembaga peradilan, karena setiap putusan

selalu memperoleh penilaian dan pengawasan yang ketat dari sebuah

lembaga khusus (Komisi Yudisial); dan

e. Dengan adanya Komisi Yudisial, kemandirian kekuasaan kehakiman

(judicial power) dapat terus terjaga, karena politisasi terhadap perekrutan

hakim agung dapat diminimalisasi dengan adanya Komisi Yudisial yang

bukan merupakan lembaga politik, sehingga diasumsikan tidak

mempunyai kepentingan politik.

Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ini salah satunya dibentuk

untuk memenuhi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006

terkait dengan pengawasan hakim konstitusi, yang pada intinya adalah

pengawasan terhadap hakim konstitusi dilakukan secara internal

berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi sebagai tolok ukur

atau parameter penilaian terhadap hakim konstitusi.

Sebagaimana Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang

Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa pengawasan hakim konstitusi

dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi, maka dengan

tegas bahwa pengawasan secara eksternal oleh lembaga pengawas

kehakiman yang mandiri yakni Komisi Yudisial tidak dilibatkan seperti

Page 58: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

halnya pengawasan terhadap hakim agung dan hakim-hakim dibawahnya.

Hanya saja ketentuan Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyebutkan

bahwa salah satu anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah

salah satu anggota dari Komisi Yudisial.

Kedua, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Dalam rangka mewujudkan Mahkamah Konstitusi yang independen dan

terpercaya, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi ini menegaskan

pengawasan hakim konstitusi dengan menerapkan Kode Etik Pedoman

Perilaku Hakim Konstitusi serta membentuk sebuah Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal 27A ayat (1) menyatakan bahwa Mahkamah

Konstitusi wajb menyusun Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim

Konstitusi yang berisi norma yang harus dipatuhi oleh setiap hakim

konstitusi dalam menjalankan tugasnya untuk menjaga integritas dan

kepribadian yang tidak tercela, adil, dan negarawan. Undang-undang

tersebut memerintahkan Mahkamah Konstitusi untuk menetapkan kode etik

dan perilaku hakim konstitusi sebagai rujukan untuk dipedomani dan

dijadikan tolok ukur guna menilai perilaku hakim konstitusi serta

membentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sebagai badan

pengawas internal.

Sebelum Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang baru ini

berlaku, Mahkamah Konstitusi telah menetapkan Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 07/PMK/2005 tentang Pemberlakuan Deklarasi Kode Etik dan

Perilaku Hakim Konstitusi. Penyusunan Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi ini merujuk pada The Bangalore Principles of Judicial Conduct

2002 yang telah diterima baik oleh negara-negara yang menganut sistem

Civil Law maupun Common Law serta disesuaikan dengan sistem hukum

dan peradilan Indonesia dan etika kehidupan berbangsa sebagaimana

Page 59: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

termuat dalam Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2001 tentang Etika

kehidupan Berbangsa yang masih tetap berlaku. Sehingga saat ini

Mahkamah Konstitusi memiliki pedoman untuk para hakim konstitusi

dalam menciptakan peradilan yang independen, imparsial dan akuntabel.

Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi ini disebut dengan Sapta

Karsa Hutama, yang terdiri dari tujuh prinsip yang wajib dipahami dan

diterapkan oleh hakim konstitusi. Ketujuh prinsip tersebut adalah sebagai

berikut :

a. Prinsip Independensi

Independensi hakim merupakan prasyarat yang pokok bagi terwujudnya

cita negara hukum, dan merupakan jaminan bagi tegaknya hukum dan

keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin dalam

proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara, dan

terkait erat dengan independensi pengadilan sebagai institusi peradilan

yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim dan

dan pengadilan terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim,

baik sendiri-sendiri maupun sebagai institusi dari pelbagai pengaruh yang

berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang bersifat memengaruhi

secara langsung atau tidak langsung berupa bujuk rayu, tekanan, paksaan,

ancaman, atau tindakan balasan karena kepentingan politik, atau ekonomi

tertentu dari pemerintah atau kekuatan politik yang berkuasa, kelompok

atau golongan tertentu, dengan imbalan atau janji imbalan berupa

keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk lainnya.

b. Prinsip Ketakberpihakan

Ketakberpihakan merupakan prinsip yang melekat dalam hakikat fungsi

hakim sebagai pihak yang diharapkan memberikan pemecahan terhadap

setiap perkara yang diajukan kepadanya. Ketakberpihakan mencakup

sikap netral, disertai penghayatan yang mendalam akan pentingnya

keseimbangan antar kepentingan yang terkait dengan perkara. Prinsip ini

melekat dan harus tercermin dalam tahapan proses pemeriksaan perkara

Page 60: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

sampai kepada tahap pengambilan keputusan, sehingga putusan

pengadilan dapat benar-benar diterima sebagai solusi hukum yang adil

bagi semua pihak yang berperkara dan oleh masyarakat luas pada

umumnya.

c. Prinsip Integritas

Integritas hakim merupakan sikap batin yang mencerminkan keutuhan

dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai

pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Keutuhan

kepribadian mencakup sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan

tugas profesionalnya, disertai ketangguhan batin untuk menepis dan

menolak segala bujuk rayu, godaaan jabatan, kekayaan, popularitas,

ataupun godaan-godaan lainnya. Sedangkan keseimbangan kepribadian

mencakup keseimbangan ruhaniyah, dan jasmaniyah, atau mental dan

fisik, serta keseimbangan antara kecerdasan spiritual, kecerdasan

emosional, dan kecerdasan intelektual dalam pelaksanaan tugasnya.

d. Prinsip Kepantasan dan Kesopanan

Kepantasan dan kesopanan merupakan norma kesusilaan pribadi dan

kesusilaan antar pribadi yang tercermin dalam perilaku setiap hakim,

baik sebagai pribadi maupun sebagai pejabat negara dalam menjalankan

tugas profesionalnya, yang menimbulkan rasa hormat, kewibawaan, dan

kepercayaan. Kepantasan tercermin dalam penampilan dan perilaku

pribadi yang berhubungan dengan kemampuan menempatkan diri dengan

tepat, baik mengenai tempat, waktu, penampilan, ucapan, atau gerak

tertentu; sedangkan kesopanan terwujud dalam perilaku hormat dan tidak

merendahkan orang lain dalam pergaulan antar pribadi, baik dalam tutur

kata lisan atau tulisan; dalam bertindak, bekerja, dan bertingkah laku;

dalam bergaul dengan sesama hakim, dengan karyawan, atau pegawai

pengadilan, dengan tamu, dengan pihak-pihak dalam persidangan, atau

pihak-pihak lain yang terkait dengan perkara.

e. Prinsip Kesetaraan

Page 61: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

Kesetaraan merupakan prinsip yang menjamin perlakuan yang sama

(equal treatment) terhadap semua orang berdasarkan kemanusiaan yang

adil dan beradab, tanpa membeda-bedakan satu dengan yang lain atas

dasar perbedaan agama, suku, ras, warna kulit, jenis kelamin, kondisi

fisik, status sosial ekonomi, umur, pandangan politi ataupun alasan-

alasan lain yang serupa (diskriminasi). Prinsip kesetaraan ini secara

hakiki melekat dalam sikap setiap hakim untuk senantiasa

memperlakukan semua pihak dalam persidangan secara sama sesuai

dengan kedudukannya masing-masing dalam proses peradilan.

f. Prinsip Kecakapan dan Keseksamaan

Kecakapan dan keseksamaan hakim merupakan prasyarat yang penting

dalam pelaksanaan peradilanyang baik dan terpercaya. Kecakapan

tercermin dalam kemampuan profesional hakim yang diperoleh dari

pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaa tugas;

sedangkan keseksamaan merupakan sikap pribadi hakim yang

menggambarkan kecermatan, kehati-hatian, ketelitian, ketekunan, dan

kesungguhan dalam pelaksanaan tugas profesional hakim tanpa

menunda-nunda pengambilan keputusan.

g. Prinsip Kearifan dan Kebijaksanaan

Kearifan dan kebijaksanaan menuntut hakim untuk bersikap dan

bertindak sesuai dengan norma-norma yang hidup dalam masyarakat

dengan memperhatikan situasi dan kondisi pada saat itu serta mampu

memperhitungkan akibat dari tindakannya, sabar tetapi tegas dan lugas.

Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi yang sudah dibentuk ini

menjadi tolok ukur bagi para hakim konstitusi untuk bersikap dan menjaga

kredibilitasnya sebagai penegak hukum yang mulia (officium nobile).

Sedangkan organ atau badan yang berhak mengawasi hakim konstitusi

adalah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi.

Sebagaimana dalam Pasal 1 Angka 4 Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

Page 62: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi adalah perangkat yang dibentuk oleh Mahkamah Konstitusi

untuk memantau, memeriksa dan merekomendasikan tindakan terhadap

hakim konstitusi, yang diduga melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi.

Sebelum adanya pengajuan judicial review terhadap undang-

undang ini, pengisian keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi terdiri dari : satu orang hakim konstitusi, satu orang anggota

Komisi Yudisial, satu orang dari unsur DPR, satu orang dari unsur

pemerintah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum,

dan satu orang hakim agung. Hal demikian termaktub dalam Pasal 27 A ayat

(2). Namun setelah diproses, Mahkamah Konstitusi akhirnya menjatuhkan

putusannya dalam Nomor 49/PUU-IX/2011 yang salah satunya mengenai

pengisian keanggotaan tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945

dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Atas putusan tersebut, Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa

mekanisme pemilihan hakim konstitusi diajukan oleh tiga lembaga negara

masing-masing tiga orang sebagaimana dalam Pasal 24C ayat (3) UUD

1945, yaitu masing-masing oleh Mahkamah Agung, DPR dan Presiden, dan

selanjutnya ditetapkan oleh Presiden. Setelah ditetapkan dan mengucapkan

sumpah sebagai hakim konstitusi maka selama yang bersangkutan menjadi

hakim konstitusi harus independen dan imparsial serta bebas dari segala

pengaruh lembaga negara termasuk lembaga negara yang mengajukannya.

Oleh karena itu, dengan masuknya unsur DPR, unsur pemerintah dan satu

orang hakim agung dalam Majelis Kehormatan Hakim Konstitusi yang

bersifat permanen justru mengancam dan mengganggu baik secara langsung

maupun tidak langsung kemandirian hakim konstitusi dalam menjalankan

tugas dan kewenangannya. Adanya unsur DPR, unsur pemerintah dan hakim

agung berpotensi menimbulkan konflik kepentingan karena DPR,

Page 63: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

Pemerintah, dan Mahkamah Agung serta Komisi Yudisial dapat menjadi

pihak yang berperkara di Mahkamah Konstitusi.

Dengan demikian, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

049/PUU-IX/2011 menegaskan dalam Pasal 27A ayat (2) Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa keanggotaan Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri dari satu orang hakim konstitusi

dan satu orang anggota Komisi Yudisial.

Setelah adanya putusan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi

menyesuaikan norma positif yang ada. Perubahan Peraturan Mahkamah

Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ini telah

memperhatikan Pasal 1 Angka 1, Pasal 1 Angka 4, Pasal 27A ayat (1), Pasal

27A ayat (2), Pasal 27A ayat (3), Pasal 27A ayat (4), Pasal 27A ayat (5) dan

Pasal 27B huruf b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Termuat dalam Daftar Inventaris Permasalahan Perubahan Peraturan

Mahkamah Konstitusi khususnya mengenai Perubahan Peraturan

Mahkamah Konstitusi Nomor 10/PMK/2006 tentang Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi pada Bab II tentang Susunan dan Kedudukan

menyatakan antara lain :

a. Keanggotaan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi terdiri atas satu

orang hakim konstitusi dan satu orang anggota Komisi Yudisial. Dalam

pembahasan sebelumnya, diusulkan bahwa anggota Majelis Kehormatan

dapat dari praktisi hukum dan perguruan tinggi. Keanggotan Majelis

Kehormatan lebih banyak dari eksternal Mahkamah Konstitusi.

b. Pengaturan bahwa Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi bersifat ad

hoc yang dibentuk jika terdapat pelanggaran terhadap Kode Etik dan

Perilaku Hakim Konstitusi. Alasannya apabila dibentuk secara permanen

akan menimbulkan permasalahan secara terus-menerus.

Page 64: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

c. Perlu diatur bahwa hakim yang sedang diperiksa harus di-nonaktifkan

sementara dari tugasnya sebagai hakim konstitusi.

Selanjutnya, mekanisme pembentukan Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi dalam rancangan perubahan Peraturan Mahkamah

Konstitusi dituangkan pula dalam Bab II, yakni sebagai berikut :

a. Jika Rapat Pleno Hakim memutuskan untuk membentuk Majelis

Kehormatan, maka Mahkamah Konstitusi mengirim surat kepada Komisi

Yudisial untuk menunjuk satu orang anggota Komisi Yudisial sebagai

anggota Majelis Kehormatan.

b. Mekanisme pemilihan anggota Majelis Kehormatan, melalui mekanisme

internal atau diserahkan kepada pihak luar (eksternal) dengan

menetapkan terlebih dahulu, persyaratannya, kemudian disetujui oleh

Ketua Mahkamah Konstitusi.

c. Pembentukan Panel Etik ditiadakan karena proses awal pembentukan

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi ditentukan dalam Rapat

Pleno Hakim.

Hal-hal lain yang akan diatur lebih lanjut terkait Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi antara lain:

a. Penyempurnaan wewenang dan tugas Majelis Kehormatan yang

dituangkan dalam Bab III Peraturan Mahkamah Konstitusi, yakni Majelis

Kehormatan berhak memanggil para pihak, baik internal maupun

eksternal, guna kelancaran proses pembuktian benar atau tidaknya

pelanggaran kode etik.

b. Perubahan Bab V yang mengatur pelaporan dan informasi pelanggaran

perlu disempurnakan, dengan tidak membatasi sumber-sumber

pelaporan, karena sumber informasi bisa diperoleh dari mana saja

asalkan dapat dipercaya kebenarannya. Sumber informasi ini dibahas

dalam Rapat Pleno Hakim.

c. Penyempurnaan metode pemeriksaan Majelis Kehormatan, sebagai

berikut :

Page 65: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

1) Pengaturan jika hakim terlapor tidak menghadiri pemeriksaan.

2) Jangka waktu pemeriksaan terhadap hakim terlapor. Pencantuman

masa kerja Majelis Kehormatan, misalnya enam puluh hari kerja.

Apabila dipandang tidak cukup maka masa kerja Majelis Kehormatan

dapat diperpanjang tiga puluh hari kerja.

3) Pembelaan diri bagi hakim terlapor, sehingga hakim terlapor diberi

kesempatan menanggapi pemeriksaan dan bukti-bukti yang diajukan.

d. Penyempurnaan keputusan Majelis Kehormatan, sebagai berikut :

1) Penjatuhan sanksi jika pelanggaan terbukti, atau pemulihan nama baik

jika pelanggaran tidak terbukti.

2) Teguran tertulis oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.

3) Pemberhentian tidak dengan hormat oleh Presiden. Pemberhentian

dengan hormat dihapuskan karena pemberhentian dilakukan atas

dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh hakim.

Mencermati dan memahami Pasal 44 Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 27A Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24

Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menunjukkan bahwa sistem

pengawasan yang diterapkan untuk hakim konstitusi adalah pengawasan secara

internal yang dibentuk sendiri oleh Mahkamah Konstitusi yang diatur lebih

lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut juga dipertegas

dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 05/PUU-IV/2006, yang pada

pokoknya menyatakan bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek

pengawasan Komisi Yudisial yang berarti Mahkamah Konstitusi tidak

memiliki pengawasan secara eksternal. Salah satu butir putusan Mahkamah

Konstitusi tersebut menyebutkan :

hakim konstitusi tak termasuk pengertian hakim yang harus diawasi

Komisi Yudisial karena masa jabatannya lima tahun dan setelah itu

kembali ke profesi semula. Hakim konstitusi juga tidak diawasi

Komisi Yudisial karena dalam keseluruhan mekanisme pemilihan

dan pengangkatan para hakim konstitusi yang diatur UUD 1945 tak

melibatkan Komisi Yudisial. Argumen lain, hakim konstitusi tidak

Page 66: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

diawasi Komisi Yudisial jika diawasi berpotensi menganggu

imparsialitas hakim konstitusi dalam sengketa kewenangan

antarlembaga negara.

Berdasarkan alasan yuridis dalam peraturan perundang-undangan

yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa mekanisme pengawasan hakim

konstitusi memanglah diperlukan. Meskipun pengawasan yang dilakukan

hanya sebatas mekanisme internal yang dirasa kurang namun pengawasan

terhadap hakim konstitusi tetaplah dibutuhkan demi menjaga tegaknya

kemandirian kekuasaan kehakiman.

Perlu diketahui juga bahwa seorang hakim konstitusi harus memiliki

integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai

konstitusi dan ketatanegaraan, serta tidak merangkap sebagai pejabat negara

sebagaimana termaktub dalam Pasal 24C ayat (5) UUD 1945. Isi pasal ini juga

disebutkan dalam Pasal 15 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi dan Pasal 33 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman. Hal demikian lah yang menjadi tolok ukur bagi

hakim konstitusi untuk menyelenggarakan proses peradilan demi menegakkan

hukum dan keadilan begitu juga terkait proses rekrutmen dan seleksinya.

Dengan diwajibkannya karakter dan sikap yang melekat pada hakim konstitusi

tersebut, maka sangat penting untuk dilakukannya penjagaan terhadap

kewibawaan hakim konstitusi.

Mencermati sisi lain dari pentingnya pengawasan hakim konstitusi

terkait independensi kekuasaan kehakiman di Mahkamah Konstitusi. Telah

dijelaskan sebelumnya, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum maka salah

satu prinsip paling penting dalam negara hukum adalah adanya jaminan

penyelenggaraan kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas dari pengaruh

kekuasaan lainnya untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan

hukum dan keadilan. Hal ini berarti kekuasaan kehakiman yang merdeka atau

Page 67: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

55

independensi kekuasaan kehakiman telah diatur secara konstitusional yang

tercantum dalam Pasal 24 UUD 1945.

Independensi kekuasaan kehakiman merupakan prasyarat yang pokok

bagi terwujudnya cita negara hukum dan merupakan jaminan bagi tegaknya

hukum dan keadilan. Prinsip ini melekat sangat dalam dan harus tercermin

dalam proses pemeriksaan dan pengambilan keputusan atas setiap perkara dan

terkait erat dengan independensi kekuasaan kehakiman sebagai institusi

peradilan yang berwibawa, bermartabat, dan terpercaya. Independensi hakim

dan pengadilan terwujud dalam kemerdekaan hakim, baik sendiri-sendiri

maupun sebagai institusi, dari pelbagai pengaruh yang berasal dari luar diri

hakim berupa intervensi yang bersifat mempengaruhi secara langsung berupa

bujuk rayu, tekanan, paksaan, ancaman, atau tindakan balasan karena

kepentingan politik atau ekonomi tertentu dari pemerintah atau kekuatan

politik yang berkuasa, kelompok atau golongan tertentu, dengan imbalan atau

janji imbalan berupa keuntungan jabatan, keuntungan ekonomi, atau bentuk

lainnya.

Independensi kekuasaan kehakiman atau badan-badan kehakiman atau

peradilan merupakan salah satu dasar untuk terselenggaranya pemerintah yang

demokratis dibawah Rule of Law sebagaimana pemikiran mengenai negara

hukum modern yang pernah dicetuskan dalam konferensi oleh International

Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965. Namun, hakekat

independensi tidak serta merta berarti sebebas-bebasnya tanpa ada batasnya

secara absolut. Hal ini dipahami bahwa kekuasaan kehakiman dikatakan

independensi atau mandiri itu dibatasi oleh rambu-rambu tertentu. Dalam

Konferensi Internasional Commission of Jurists dikatakan bahwa :

“Independence does not mean that the judge is entitled to act in an arbitrary

manner” (Independensi atau kemerdekaan tidak berarti bahwa hakim berhak

untuk bertindak secara sewenang-wenang) (Mariyadi, 2011:36-37).

Page 68: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56

Sebagaimana dalam Principles of Independence of the Judiciary 1995

yang ditandangani oleh tiga puluh lima Chief Justices of Asia and the Pacific,

bahwa independensi kekuasaan kehakiman menghendaki :

a) The judiciary shall decide matters before it in accordance with

its impartial assesment of the facts and its understanding of the

law without improper influences, direct or indirect, from any

source; and

b) The judiciary has jurisdiction, directly or by the way of review,

over all issues of a justiciable nature (J. Clifford Wallace,

2005:88-89).

(Pengadilan wajib memutus berbagai perkara berdasarkan fakta

yang tidak memihak dan pemahaman hukum tanpa pengaruh

buruk, baik langsung maupun tidak langsung, dari sumber

manapun dan pengadilan mempunyai yurisdiksi secara langsung

atau dengan cara menguji terhadap masalah yang berkaitan

dengan keadilan).

Batasan atau rambu-rambu yang harus diingat dan diperhatikan dalam

implementasi kebebasan itu adalah terutama aturan-aturan hukum itu sendiri.

Ketentuan-ketentuan hukum, baik segi prosedural maupun substansial atau

materiil, itu sendiri sudah merupakan batasan bagi kekuasaan kehakiman agar

dalam melakukan independensinya tidak melanggar hukum, dan bertindak

sewenang-wenang. Hakim adalah subordinated pada hukum dan tidak dapat

bertindak contra legem (Paulus E. Lotulung, 2003:6). Sedangkan menurut

Burhanuddin bahwa batasan kemandirian ini bukan dimaksudkan untuk

membatasi atau menghilangkan kebebasan hakim, tetapi mengawal kebebasan

hakim supaya tidak terjadi tirani peradilan (Mariyadi,2011:37).

Kemandirian hakim atau independensinya tak terlepas dari

pertanggungjawaban atau akuntabilitas. Sehingga hakim dapat benar-benar

menegakkan hukum dan keadilan serta mencari kebenaran. Independensi

kekuasaan kehakiman tidak diartikan secara mutlak namun tetap berada pada

kondisi yang diwujudkan dalam aspek akuntabilitas, integritas, transparansi

dan pengawasan atau kontrol. Senada dengan Paulus E. Lotulung (2003:9)

bahwa dalam hubungan dengan tugasnya sebagai hakim, maka independensi

hakim masih harus dilengkapi lagi dengan sikap imparsialitas dan

profesionalisme dalam bidangnya. Oleh karenanya kebebasan hakim sebagai

Page 69: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57

penegak hukum haruslah dikaitkan dengan akuntabiltas, integritas moral dan

etika, transparansi, pengawasan (kontrol), dan profesionalisme serta

impartialitas.

Begitu pula pada hakim konstitusi yang pada dasarnya adalah seorang

hakim yang tugas dan kewajibannya menegakkan hukum dan keadilan.

Kewenangan yang diberikan oleh hakim konstitusi adalah terkait masalah

konstitusionalitas yang menyangkut kepentingan umum bangsa Indonesia.

Demi menciptakan prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang

bertanggung jawab maka harus didukung dengan adanya sistem pengawasan

yang terpadu. Mahkamah Konstitusi muncul sebagai lembaga negara yang

mewujudkan checks and balances dalam sistem ketatanegaraan. Prinsip checks

and balances ini dapat saling mengawasi antar lembaga lainnya dan dapat

saling menyeimbangkan satu sama lain. Namun, penekanan yang paling utama

untuk sistem pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi terletak pada

individual seorang hakim konstitusi.

Hakim konstitusi pada hakikatnya adalah hakim. Seorang hakim tidak

saja harus mengurangi bicara, menjaga tingkah laku, tetapi yang terpenting

juga menjaga independensi dan imparsialitasnya. Artinya, Mahkamah

Konstitusi dalam menjalankan tugas dan wewenang tak terpengaruh siapa pun,

lembaga lain, dan dengan cara apapun.

Makna independensi hakim konstitusi adalah terbebas dari campur

tangan, tekanan atau paksaan, baik langsung maupun tidak langsung dari

kekuasaan lembaga lain, teman ataupun sejawat, atasan serta pihak-pihak lain

di luar peradilan. Sehingga hakim konstitusi dalam memutus perkara hanya

demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dalam pandangan Hakim

Agung Artidjo Alkostar, tidak ada bangsa yang beradab tanpa adanya

pengadilan yang merdeka dan bermartabat. Fungsi pengadilan merupakan salah

satu tiang tegaknya negara yang berdaulat. Salah satu elemen pengadilan

adalah menyangkut faktor adanya pengadilan yang merdeka (Joko Riyanto,

2011:107).

Page 70: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

Independensi kekuasaan kehakiman memang telah dijamin dalam

Pasal 24 UUD 1945. Namun, pelaksanaannya diperlukan adanya suatu sistem

pengawasan yang baik agar independensi hakim konstitusi tidak tergoyahkan

begitu pula dengan sikap hakim yang tidak memihak atau imparsial.

Kemerdekaan atau independensi harus dimaknai tetap dalam batas-batas yang

ditentukan oleh hukum dan dalam rangka menerapkan hukum secara adil (fair).

Kemerdekaan hakim juga berjalan seiring dengan akuntabilitas yang

diwujudkan dengan pengawasan. Tetapi tingkat sensivitas kemerdekaan hakim

tersebut sangat tinggi karena adanya dua pihak yang secara berlawanan

membela hak dan kepentingan pihak-pihak yang bersengketa. Sehingga

kemerdekaan hakim disamping merupakan hak yang melekat pada hakim

sekaligus juga merupakan prasyarat untuk terciptanya sikap tidak berpihak

(impartial) hakim dalam menjalankan tugas peradilan.

Menekankan kembali bahwa independensi kekuasaan kehakiman

tidaklah bersifat mutlak, melainkan bentuk akuntabilitas menjadi tuntutan

untuk mewujudkan pengawasan yang baik dan bersinergi. Sehingga dapat

dikatakan, independensi merupakan hak dan akuntabilitas merupakan

kewajiban untuk menyelenggarakan kekuasaan kehakiman yang ideal. Dengan

adanya penjagaan terhadap independensi Mahkamah Konstitusi dan

kewajibannya untuk melaksanakan akuntabilitas maka memanglah sangat

diperlukan pola pengawasan yang komprehensif dan terpadu demi terwujudnya

Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga negara modern dan terpercaya.

Untuk mendukung kemandirian dan independensi MK, harus

didukung oleh kewenangan untuk mengatur sendiri organisasi, personalia,

administrasi dan keuangan yang juga secara mandiri. Kemandirian bersifat

struktural dan terutama fungsional, adalah untuk menciptakan kondisi yang

memberi kemungkinan yang seluas-luasnya bagi hakim konstitusi melakukan

tugas secara imparsial atau netral, yaitu yang disebut prinsip

ketidakberpihakan. Prinsip ini merupakan sifat dan sikap yang harus melekat

dalam hakikat fungsi hakim pada umumnya dan hakim konstitusi pada

Page 71: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

khususnya, sebagai pihak ketiga yang netral yang dipercayakan untuk memutus

perselisihan atau sengketa ketatanegaraan (Maruarar Siahaan, 2008:29).

B. Sistem Pengawasan Hakim Konstitusi yang Ideal untuk Mewujudkan

Prinsip Independensi Kekuasaan Kehakiman

Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini menggunakan

mekanisme pengawasan internal tanpa adanya pengawasan eksternal secara

eksplisit oleh Komisi Yudisial. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009

tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi mengarahkan bahwa pengawasan untuk hakim

konstitusi hanya dilakukan secara internal atau dari Mahkamah Konstitusi

itu sendiri dengan dibentuknya Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi

dan berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi.

Sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang telah

dipaparkan sebelumnya yakni berdasarkan Undang-Undang Nomor 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun

2003 tentang Mahkamah Konstitusi serta adanya Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 dan Nomor 049/PUU-IX/2011

berimplikasi terhadap penyelenggaraan kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Seperti halnya pula yang telah dijelaskan bahwa prinsip utama dari

pelaksanaan kekuasaan kehakiman adalah prinsip independensi. Berkaitan

dengan hal tersebut, makna independensi pada hakim konstitusi sangat

melekat pada sistem pengawasannya.

Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini belum mampu secara

tegas mengakomodir prinsip independensi kekuasaan kehakiman yang ada

pada Mahkamah Konstitusi. Mekanisme pengawasan yang hanya dijalankan

secara internal oleh Mahkamah Konstitusi dalam bentuk Majelis

Page 72: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

Kehormatan Mahkamah Konstitusi belum mampu memecahkan persoalan

apabila terjadi penyimpangan atau pelanggaran Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi oleh hakim konstitusi itu sendiri. Ketidakberdayaan pola

pengawasan yang dikekang oleh positivistik secara tidak sadar menggeser

pemikiran independensi kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya.

Dituliskan dalam Cetak Biru Mahkamah Konstitusi Tahun 2005-

2009 bahwa Mahkamah Konstitusi memiliki peran strategis dalam sistem

ketatanegaraan, yang tercermin pada kewenangan-kewenangan yang

dimilikinya. Untuk mengimbangi dan menjaga agar Mahkamah Konstitusi

tetap menjalankan fungsinya secara bertanggung jawab, perlu ada

mekanisme pengawasan terpadu terhadap Mahkamah Konstitusi. Menjadi

penting bagi Mahkamah Konstitusi, untuk memberikan pengawasan

terhadap integritas dan perilaku hakim kepada pihak eksternal yang

memiliki kewenangan untuk itu. Komisi Yudisial, secara yuridis memiliki

kewenangan untuk mengawasi hakim, baik di lingkungan peradilan umum

maupun Mahkamah Konstitusi (Mahkamah Konstitusi, 2009:121).

Semangat tersebut menjadi bertentangan dengan adanya putusan

terkait pengawasan hakim konstitusi. Khususnya Putusan Nomor 005/PUU-

IV/2006 terkait pengujian Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang

Komisi Yudisial dan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang

Kekuasaan Kehakiman yang diajukan oleh 31 (tiga puluh satu) hakim

agung.

Pertimbangan oleh Mahkamah Konstitusi bahwa untuk

mewujudkan peradilan yang independen dan imparsial maka

diselenggarakan pengawasan secara internal di dalam tubuh Mahkamah

Konstitusi dengan dibentuk Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan

penyusunan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim Konstitusi. Namun,

pengawasan eksternal secara eksplisit yang dilakukan oleh Komisi Yudisial

sebagaimana mempunyai fungsi dan kewenangan yakni menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat serta perilaku hakim

Page 73: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dipertegas dalam

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-IV/2006 yang intinya

bahwa hakim konstitusi bukan merupakan obyek pengawasan dari Komisi

Yudisial.

Menurut Iwan Satriawan (2008:8), hal ini menyebabkan

Mahkamah Konstitusi mengalami kecenderungan menjadi super body yang

hegemonik dan karenanya dapat mengancam keseimbangan konsep

separation of powers dan prinsip checks and balances yang sebenarnya

menjadi ide dasar munculnya Mahkamah Konstitusi itu sendiri, yaitu

mencegah terjadinya dominasi kekuasaan di satu organ tertentu. Hal senada

dikemukakan pula oleh A. Irmanputra Sidin yang menyatakan bahwa benar

ketika melihat secara pragmatisasi perilaku politik kekuasaan, terkesan

memang putusan Mahkamah Konstitusi ini hendak berlari dari mekanisme

pengawasan hakim oleh Komisi Yudisial. Dalam konteks pengawasan

tehadap hakim, maka Komisi Yudisial merupakan lembaga pengawas yang

ekstern dan bersifat mandiri.

Berkaitan dengan hal tersebut, pertimbangan putusan Mahkamah

Konstitusi menyatakan dirinya bukanlah obyek pengawasan Komisi

Yudisial. Beberapa argumentasi yang dibangun oleh Mahkamah Konstitusi

diantaranya :

1. Alasan sistematis dan original intent perumusan ketentuan UUD 1945,

ketentuan Komisi Yudisial dalam Pasal 24B UUD 1945 tidak berkaitan

dengan ketentuan Mahkamah Konstitusi dalam Pasal 24C UUD 1945.

Dari sistematika penempatan Komisi Yudisial sesudah pasal tentang

Mahkamah Agung yaitu Pasal 24A dan sebelum pasal tentang

Mahkamah Konstitusi (Pasal 24C), sudah dapat dipahami bahwa

ketentuan mengenai Komisi Yudisial pada Pasal 24B UUD 1945 itu tidak

dimaksudkan untuk mencakup pula objek perilaku hakim konstitusi

sebagaimana diatur dalam Pasal 24C UUD 1945.

Page 74: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

2. Hakim Konstitusi berbeda halnya dengan hakim biasa, hakim konstitusi

pada dasarnya bukanlah hakim sebagai profesi tetap, melainkan hakim

karena jabatannya lima tahun.

3. Dengan menjadikan perilaku hakim konstitusi sebagai obyek pengawasan

Komisi Yudisial, maka kewenangan Mahkamah Konstitusi sebagai

lembaga pemutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara

menjadi terganggu dan terjebak ke dalam anggapan sebagai pihak yang

tidak dapat bersikap imparsial, khususnya apabila dalam praktik timbul

persengketaan kewenangan antara Komisi Yudisial dengan lembaga

negara lain, seperti halnya dalam kasus persengketaan antara Mahkamah

Agung dan Komisi Yudisial yang terkait dengan perkara a quo.

Kritik yang terlontar atas Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut

menjadi perhatian utama atas keprihatinan para ahli hukum tata negara salah

satunya adalah Muchammad Ali Safaat (2010:34-35). Terhadap putusan

tersebut, beliau memberikan argumentasinya sebagai berikut:

1. Penafsiran yang digunakan adalah penafsiran sistematis. Namun jika

yang digunakan adalah penafsiran yang lebih luas dalam kerangka untuk

menegakkan peradilan yang terpercaya tentu diperlukan adanya

pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi, terutama agar sifat

kenegarawanan hakim konstitusi tetap terjaga. Sedangkan penafsiran

menggunakan oroginal intent dalam persidangan tersebut juga didengar

keterangan dari saksi pemerintah dan DPR bahwa pengawasan Komisi

Yudisial juga dimaksudkan berlaku bagi hakim konstitusi.

2. Status hakim konstitusi sebagai hakim karena jabatan yang dipilih untuk

masa lima tahun tentu bukan menjadi alasan yang cukup kuat untuk

mengeluarkannya dari pengertian “hakim” yang akan diawasi oleh

Komisi Yudisial. Terhadap hakim agung non karier pun Komisi Yudisial

dapat melakukan pengawasan. Cara pengisian jabatan hakim tentu

kurang signifikan untuk dijadikan sebagai dasar pembedaan pengawasan.

3. Pada saat Komisi Yudisial memiliki wewenang pengawasan terhadap

perilaku hakim konstitusi, tidak menempatkan Komisi Yudisial berada di

Page 75: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

atas Mahkamah Konstitusi. Materi pengawasan juga di luar perkara dan

wewenang peradilan yang dijalankan oleh Mahkamah Konstitusi. Oleh

karena itu pada saat Komisi Yudisial menjalankan wewenang

pengawasan terhadap perilaku hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi

tidak perlu kemerdekaan dan imparsialitas mengadili dan memutus

perkara sengketa kewenangan yang melibatkan Mahkamah Konstitusi

sebagai salah satu pihak.

Dengan demikian, sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini

merupakan pengawasan internal yang dilakukan oleh Majelis Kehormatan

Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim

Konstitusi yang salah satu anggotanya berisikan unsur lembaga eksternal

yakni Komisi Yudisial. Hal demikian memunculkan konsep pengawasan

yang sebenarnya sebagai celah ketika pengawasan eksternal secara eksplisit

oleh lembaga negara Komisi Yudisial tidak diperbolehkan. Namun,

pemantauan dan pengawasan terhadap hakim konstitusi tidak dapat

dilakukan secara berkelanjutan karena pengawasan secara tegas oleh Komisi

Yudisial tidak dilibatkan. Selain itu, secara social responsibility, mekanisme

pengawasan hakim konstitusi oleh Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi komposisinya hendaknya juga melibatkan masyarakat yang

diwakili oleh perguruan tinggi sebagai pihak yang netral dalam

penyelenggaraan proses peradilan. Dalam hal ini diatur dalam Peraturan

Mahkamah Konstitusi yang masih dalam bentuk rancangan.

Menurut hemat penulis bahwa idealnya, pengawasan kekuasaan

kehakiman terbagi menjadi dua yakni pengawasan internal dan pengawasan

eksternal. Hal demikian untuk menjamin independensi kekuasaan

kehakiman yang berarti terhindar dari segala bentuk intervensi atau

pengaruh-pengaruh dari berbagai pihak luar (extra judicial). UUD 1945

menempatkan Komisi Yudisial sebagai lembaga independen yang berfungsi

mengawasi perilaku hakim sebagaimana Pasal 24B yakni berwenang

mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain

Page 76: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim. Komisi Yudisial adalah sebagai lembaga pelengkap

kekuasaan kehakiman (auxiliary state organ) mempunyai tugas untuk

mengawasi perilaku hakim yang mana bertujuan untuk menciptakan

keutuhan prinsip independensi tanpa meninggalkan akuntabilitas dari hakim

masing-masing. Hendaknya hal tersebut menjadi penunjang untuk

memperbaharui sistem pengawasan hakim konstitusi yang saat ini hanya

dilakukan secara internal.

Untuk melandasi cita-cita di atas, pendapat Jakob Tobing, mantan

Ketua PAH I BP MPR, yang ikut mempersiapkan materi amandemen UUD

1945 menyatakan bahwa :

“Semula Komisi Yudisial diusulkan untuk dibentuk di tiap

tingkat peradilan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi dan

pengadilan kasasi. Anggota Komisi Yudisial adalah pakar

hukum, tokoh praktisi hukum, dan tokoh masyarakat setempat

untuk masa jabatan tertentu dengan tugas dan kewenangan

untuk mengusulkan calon hakim sesuai tingkatannya dan

menjadi badan kehormatan eksternal untuk mengawasi perilaku

hakim, termasuk di tingkat nasional hakim agung dan hakim

konstitusi, tanpa ada pengecualian ... Komisi Yudisial akan

mencermati perilaku para hakim guna mencegah terjadinya

penyalahgunaan kemerdekaan hakim. Sementara itu Komisi

Yudisial tidak dapat masuk ke dalam proses peradilan hakim.

Sementara itu Komisi Yudisial tidak dapat masuk ke dalam

proses peradilan itu sendiri. Dalam pemikiran itu Komisi

Yudisial jelas diposisikan berdiri di luar kewenangan hakim

yang merdeka. Karena itu pula Komisi Yudisial tidak berada

dalam posisi checks and balances terhadap Mahkamah Agung.

PAH I MPR akhirnya menyepakati Komisi Yudisial hanya

dibentuk di tingkat nasional dengan tugas mengusulkan calon

hakim agung (anggota Mahkamah Agung) kepada DPR. Tetapi

semangat Komisi Yudisial tetap, yaitu untuk mengawasi para

hakim, semuanya, termasuk hakim konstitusi dalam rangka

menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat,

serta perilaku hakim sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman

yang merdeka ... “ (Ni‟matul Huda,2011:67).

Sejalan dengan itu, arah perbaikan yang diinginkan oleh DPR

sebagai lembaga negara yang mempunyai fungsi legislasi, ketika itu ingin

merubah konsep pengawasan terhadap hakim konstitusi yang diwujudkan

Page 77: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.

Berdasarkan Pasal 27A ayat (2) undang-undang tersebut, salah satu

pengisian anggota Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi adalah

anggota dari Komisi Yudisial.

Komisi Yudisial yang notebene lembaga pengawas eksternal

kekuasaan kehakiman yang mempunyai wewenang untuk menjaga dan

menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim

dimasukkan menjadi salah satu anggota Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi. Hal ini dipertegas pula dengan adanya Putusan Nomor

049/PUU-IX/2011 yang menguji Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011

tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi khususnya pada Pasal 27A ayat (2) bahwa Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi keanggotaannya terdiri dari satu orang

hakim konstitusi dan satu orang anggota Komisi Yudisial, yang sebelumnya

ditambah dari unsur DPR, Pemerintah dan hakim agung. Ketiganya dihapus

oleh Mahkamah Konstitusi karena akan mencederai dan mengancam

kemandirian atau independensi dari hakim konstitusi yang dapat

menimbulkan nuansa politisasi dalam penyelenggaraan proses peradilan di

Mahkamah Konstitusi.

Wacana untuk memasukkan Komisi Yudisial sebagai salah satu

unsur yang mengawasi Mahkamah Konstitusi adalah konsep pengawasan

yang diinginkan. Berbagai macam konsep yang dapat ditawarkan jika

Komisi Yudisial hendak dibangun dan disepakati menjadi institusi

pelaksana sistem kekuasaan kehakiman, terutama hakim konstitusi, antara

lain:

1. Memasukkan gagasan Komisi Yudisial sebagai pengawas dalam revisi

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi dan Undang-Undang Komisi

Yudisial;

Page 78: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

2. Memasukkan Komisi Yudisial sebagai salah satu unsur dalam forum

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi;

3. Mahkamah Konstitusi dan Komisi Yudisial membuat Memorandum of

Understanding (MoU) untuk menyepakati lingkup pengawasannya yang

dapat dilakukan Komisi Yudisial;

4. Mengkondisikan agar para hakim konstitusi memiliki sifat untuk terbuka

atau membuka diri untuk diawasi; dan

5. Melakukan Amandemen UUD 1945 yang menegaskan secara eksplisit

adanya kewenangan atau kekuasaan konstitusional Komisi Yudisial

untuk mengawasi hakim-hakim baik Mahkamah Agung dan Mahkamah

Kontitusi(sumber:http://master.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content

&task=view&id=4&Itemid=50 diakses pada tanggal 16 April 2012 pukul

12:43 WIB).

Konsep yang ditawarkan tersebut, salah satunya telah terpenuhi

dengan adanya Komisi Yudisial menjadi salah satu anggota dari Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi. Selain dalam Undang-Undang,

ketentuan ini diatur lebih lanjut oleh Peraturan Mahkamah Konstitusi yang

sampai saat ini masih dalam bentuk rancangan.

Oleh karena itu, sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi yang

ideal demi mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman

dilakukan dari dua sisi yakni pengawasan secara internal maupun

pengawasan secara eksternal. Ruang lingkup dari kedua mekanisme

pengawasan tersebut terletak pada etika dan perilaku hakim. Mekanisme

pengawasan hakim konstitusi secara internal dilakukan oleh Majelis

Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Peraturan Mahkamah

Konstitusi Nomor 07/PMK/2005. Sedangkan mekanisme pengawasan

secara eksternal dilakukan oleh lembaga fungsional-eksternal yakni Komisi

Yudisial yang salah satunya memiliki wewenang untuk mengawasi perilaku

hakim, yang mengandung pengertian bahwa “menjaga” kehormatan,

Page 79: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

keluhuran, martabat serta perilaku hakim sebagai tindakan preventif. Hal ini

dilakukan berlandaskan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi, tentunya

mengupayakan kesejahteraan serta kapasitas hakim konstitusi,

menindaklanjuti apabila hakim konstitusi melanggar Kode Etik dan Perilaku

Hakim Konstitusi, serta dapat memantau proses peradilan di Mahkamah

Konstitusi. Sedangkan “menegakkan” kehormatan, keluhuran, martabat

serta perilaku hakim sebagai tindakan represif yang tentunya berlandaskan

pula pada Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Hal ini dapat dilakukan

dengan upaya pemeriksaan hingga tahap pemberian sanksi apabila terbukti

melanggar Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi dan melakukan upaya

hukum untuk menjaga apabila ada pihak luar yang ingin mengganggu

kewibawaan hakim konstitusi.

Berdasarkan mekanisme tersebut, pengawasan internal yang

dilakukan oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi dan pengawasan

eksternal yang dilakukan oleh Komisi Yudisial dapat bersinergi serta

hubungan kedua lembaga tersebut bukan tidak mungkin akan menjadi

hubungan kemitraan (partnership) tanpa mengganggu kemandirian masing-

masing atau dapat dikatakan bersifat mandiri tetapi saling berkait

(independent but interrelated).

Begitu pula, diperlukan dukungan masyarakat sebagai social

control namun tanpa mempengaruhi kemandirian seorang hakim dalam

memutus suatu perkara. Hal demikian mengingat bahwa kewenangan yang

diberikan kepada Mahkamah Konstitusi oleh UUD 1945 bersifat sangat

strategis karena menyangkut masalah konstitusional bangsa dan negara

Indonesia.

Namun mencermati pula bahwa Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 005/PUU-IV/2006 yang menyatakan bahwa hakim konstitusi tidak

diawasi oleh Komisi Yudisial secara eksternal dan putusan tersebut bersifat

final dan mengikat yang dalam arti tidak dapat diganggu gugat, menurut

hemat penulis bahwa membangun sebuah idealitas mengenai sistem

Page 80: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

pengawasan hakim konstitusi merupakan suatu keniscayaan. Pentingnya

pengawasan terhadap hakim konstitusi baik dari sudut pandang ekstern

maupun intern dari Mahkamah Konstitusi sendiri merupakan suatu

kewajiban utama agar tetap tegaknya independensi Mahkamah Konstitusi.

Kewajiban tersebut mewujudkan kemanfaatan bagi jalannya proses

peradilan di Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan yang berwenang untuk

mengadili masalah ketatanegaraan di Indonesia.

Untuk memahami lebih mendalam mengenai eksistensi Mahkamah

Konstitusi di negara lain yang berkaitan dengan independensi kekuasaan

kehakiman dan sebagai bahan pembanding dengan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia, berikut akan diuraikan tentang Mahkamah Konstitusi

Republik Federal Negara Jerman.

Mahkamah Konstitusi Republik Federal Jerman diadopsi

bersamaan dengan ditetapkannya Basic Law pada tahun 1949. Dalam

Basic Law 1949 Mahkamah Konstitusi Federal Jerman diberi

kewenangan besar yang sebelumnya tidak pernah terbayangkan. Oleh

karenanya, tidak begitu mengherankan jika Mahkamah Jerman menjadi

pusat perhatian ahli-ahli hukum di seluruh penjuru dunia.

Sebagai starting point, penting untuk mengakui dan mengatakan

bahwa secara organisasional Mahkamah Konstitusi Federal Jerman

memang memiliki distingsi struktural dengan organisasi Mahkamah

Konstitusi yang terdapat di negara-negara lain. Oleh karena itu,

Mahkamah Federal pada hakikatnya mengalami pembelahan ke dalam

dua cabang (twin-court). Dengan perkataan lain, terdapat dua Senat yang

masing-masing bekerja secara independen. Oleh karenanya, Senat yang

terdapat dalam organisasi Mahkamah Konstitusi Jerman memiliki relasi

sederajat dan di antara mereka yurisdiksi disalurkan secara seimbang.

Komposisi Mahkamah Konstitusi Federal Jerman terdiri dari 16

(enam belas) hakim. Delapan hakim mengisi panel pertama, dan delapan

hakim lainnya menempati panel kedua. Secara umum, dapat dikatakan

Page 81: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69

Senat Pertama menangani persoalan yang terkait dengan hak-hak

mendasar (basic right). Sedangkan Senat Kedua menurut asumsi

beberapa pakar adalah Senat yang menangani masalah-masalah politik

(political senate). Artinya, Senat Kedua menyelesaikan sengketa

konstitusional (constitutional review) dan menguji undang-undang secara

abstrak. Putusan yang dibuat oleh kedua Senat itu secara institusional

adalah putusan final dan mengikat. Dalam prosedur acara yang berlaku,

untuk memutus suatu perkara harus dihadiri oleh seluruh hakim (Plenum)

yang terdiri dari 16 hakim. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga

konsistensi putusan-putusan seperti yang telah dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman.

Melalui penelitian Sri Soemantri, pakar hukum tata negara ini

berpandangan bahwa pemecahan Mahkamah Konstitusi Federal menjadi

dua Senat dilatarbelakangi oleh dua alasan, yaitu : Pertama, sebagai hasil

kompromi antara pendapat yang menginginkan agar sidang-sidang

Majelis dibagi ke dalam kelompok dan para hakim bergantian dalam

sidang kelompok tersebut (flind system). Di pihak lain, ada keinginan

agar semua hakim merupakan satu Majelis seperti yang terdapat pada

Mahkamah Agung Amerika Serikat. Kedua, sebagai kompromi antara

mereka yang memandang Mahkamah Konstitusi dalam arti hukum

semata, dan yang melihat Mahkamah Konstitusi dalam pengertian

politik. Atas dasar itu, maka pada permulaan pembentukannya, tradisi

yang berkembang dalam tubuh Mahkamah adalah Senat Pertama akan

menangai kasus-kasus hukum dan Senat Kedua diserahi tugas yang

berkenaan dengan masalah politik, tepatnya menguji penggunaan

kekuasaan politik oleh organ kenegaraan.

Keputusan-keputusan yang mantap dan baik dari kedua Senat

yang terdapat dalam struktur Mahkamah Konstitusi Federal sangat

bergantung kepada keyakinan masing-masing hakim. Oleh karena itu,

kualitas putusan Mahkamah mungkin saja dipengaruhi oleh latar

Page 82: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70

belakang yang melingkupi masing-masing hakim. Pada tataran

konstitusional kelayakan untuk dipilih sebagai hakim Mahkamah diatur

dalam Pasal 94 ayat (1) dari Basic Law. Namun, pasal ini hanya

menentukan syarat-syarat umum. Mahkamah terdiri dari hakim-hakim

federal maupun kelompok masyarakat lainnya. Keberadaan hakim

federal dalam Mahkamah, menandakan bahwa organ penjamin konstitusi

itu memiliki anggota yang berpengetahuan hukum khusus (specialist).

Seiring dengan itu, keberadaan hakim yang lain menandaskan pula

eksistensi elemen-elemen politik dalam organ tersebut (Jimmly

Asshiddiqie,dkk, 2006:46).

Melalui Federal Constitutional Court Act, ditentukan bahwa

tiga dari delapan anggota masing-masing Senat harus berasal dari

pengadilan-pengadilan tertinggi federal. Disamping itu, Bundestag dan

Bundesrat masing-masing memiliki kewenangan untuk menentukan

delapan dari 16 hakim mahkamah. Durasi masa jabatan seorang hakim

adalah satu kali untuk dua belas tahun masa jabatan. Oleh karena itu,

hakim tidak dapat dipilih kembali. Dari sejumlah pemerhati hukum di

Jerman dikatakan, bahwa prosedur pemilihan hakim yang melibatkan

parlemen diprediksi dapat mempertebal legitimasi demokratik para

hakim. Secara pararel hal itu akan memperkuat eksistensi komponen-

komponen federal yang dipancarkan melalui komposisi mahkamah.

Karena dalam praktik, dapat saja terjadi bahwa putusan mahkamah yang

final dan mengikat (res judicata) itu kurang berkenan di hati pihak-pihak

lain, sehingga dapat dibayangkan apa yang terjadi jika mahkamah dalam

menjalankan kekuasaannya tidak memiliki legitimasi yang cukup

memadai guna menopang putusan final dan mengikat itu. Di Republik

Federal Jerman, misalnya, secara tegas dikatakan bahwa putusan

Mahkamah Konstitusi berlaku sebagai hukum positif.

Kewenangan Mahkamah Konstitusi Federal Jerman diatur

secara rinci dan jelas dalam Article 93 dari Basic Law tahun 1949.

Page 83: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71

Berdasarkan ketentuan tersebut organ yang bermarkas di Karlsruhe ini

memiliki aneka kompetensi, antara lain adalah sebagai berikut :

a. Istilah pengujian konstitusional (constitutional review) digunakan

untuk menyelesaikan perselisihan yang dihadapi oleh lembaga-

lembaga tinggi negara. Kategori ini termasuk kewenangan untuk

menyelesaikan sengketa kewenangan antara Pemerintah Federasi

dengan negara bagian (federal states) atau perselisihan yang

melibatkan organ-organ tinggi dalam pemerintah federal saja.

b. Adapun terminologi judicial review, masing-masing digunakan

ketika mahkamah melaksanakan pengujian norma hukum secara

konkret (concrete norm control), atau pada saat organ tersebut

melakukan pengujian undang-undang secara umum (abstract norm

control). Khusus terhadap pengujian norma hukum secara abstrak,

permohonan model ini biasanya sudah harus diajukan kepada

Mahkamah Konstitusi paling lambat 30 hari setelah rancangan

undang-undang diadopsi secara final oleh parlemen, namun belum

diundangkan.

c. Permohonan konstitusional (constitutional complaint) adalah hak

mengajukan petisi yang dimiliki secara perorangan ataupun

kelompok, ketika pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional

yang bersangkutan, seperti tercantum dalam Basic Law tahun 1949

telah dilanggar oleh aneka produk hukum atau putusan peradilan

umum (ordinary judges).

d. Menyelesaikan sengketa hasil pemilihan umum, seperti ditentukan

dalam Article 41 II Basic Law.

Berkaitan dengan konsep independensi kekuasaan kehakiman

(judicial independence) dinyatakan bahwa :

Judicial independence constitutes one of the fundamental

principles of the German Constitution. The status and

structure of the judiciary is elaborated in Chapter XI

(Articles 92-104) of the Constitution, the so-called Basic Law

Page 84: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

(“Grundgezetz”). Article 97 guarantees the independences of

judges. It reads :

(1) Judges shall be independent and subject only to the law.

(2) Judges appointed permanently to full-time positions may

be involuntarily dismissed, permanently or temporarily

suspended, transferred, or retired before the expiration of

their term of office only by virtue of judicial decision and

only for the reasons and in the manner specified by the laws

(Anja Seibert-Fohr, 2006:1).

Independensi kekuasaan kehakiman yang dianut oleh Negara

Jerman dibagi menjadi tiga elemen, yakni : substantive independence,

structural independence, dan personal independence. Ketiga elemen

tersebut dijelaskan sebagai berikut:

a) Substantive independence. It requires that the judge in her

or his decision-making process is only bound by the law, not

by any determination or other means of influence by other

parties.

b) Structural independence of the judiciary requires a

structural separation from the other branches of government

and is guaranteed by the second sentence of Article 20 (2)

Basic Law. Pursuant to 4 Federal Judges Act, judges are not

allowed to exercise legislative or executive functions

silmutaneously with judicial functions excluding tasks of

court administration.

c)Personal independence further supplements substantine

independence by protecting the judges as a person against

external interventions. This concerns to access to the

profession, as well as the working and living conditions of

judges (Anja Seibert-Fohr, 2006:1).

Berdasarkan prinsip independensi kekuasaan yang telah

diuraikan, maka diperlukan adanya sistem pengawasan yang memadai.

Sistem pengawasan kehakiman di Jerman memperlihatkan adanya

konsep-konsep sebagai berikut:

a. Kode Etik Hakim Mahkamah Konstitusi Jerman hanya diatur dalam

Undang-Undang Kehakiman Jerman dan tidak diatur secara khusus

dalam aturan mengenai kode etik hakim.

b. Secara kelembagaan, institusi pengawas kekuasaan kehakimaan

dilakukan oleh internal. Sementara di pengadilan di tingkat bawah

Page 85: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

(negara bagian) dibentuk lembaga khusus yang melakukan

pengawasan.

c. Secara kultural, hakim di Jerman sudah terbangun suatu budaya

hukum yang mengkondisikan mereka untuk memiliki etos kerja

sebagai hakim yang mandiri dan profesional sehingga kode etik hakim

sudah melekat secara interen di diri hakim (sumber:http://master

.law.uii.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4&Itemid=50

diakses pada tanggal 16 April 2012 pukul 12:43 WIB).

Untuk memahami keberadaan hakim Mahkamah Konstitusi

Federal Jerman, dijelaskan hal-hal yang berkaitan mengenai aturan

kedisiplinan bagi hakim tersebut.

a. Undang-Undang tentang Mahkamah Konstitusi Federal (UU MK –

BverGG) tanggal 11 Agustus 1993, khusus dalam Pasal 3 ayat (3) dan

4 mengatur mengenai jabatan yang tidak boleh dirangkap saat menjadi

hakim MK Federal. Hakim Mahkamah Konstitusi Federal Jerman,

tidak boleh menjadi bagian dari Parlemen Jerman, Majelis Jerman,

pemerintah federal maupun salah satu instansi terkait di suatu negara

bagian. Ini bagian pertama dari aturan tersebut, sebagai bentuk

khusus dari larangan profesional dan komersial/perdagangan dalam

arti luas. Pengecualiannya hakim MK Federal masih dapat

meneruskan pekerjaannya sebagai dosen atau pendidik di tingkat

perguruan tinggi.

b. Pasal 18 mengatur diskualifikasi seorang hakim dalam menjalankan

fungsinya sebagai hakim, jika ia terlibat dalam suatu kasus atau

menikah dengan pihak yang terlibat kasus itu atau pernah telah

bekerja dalam kasus yang sama secara profesional atau inisiatif

sendiri. Hal ini jelas bahwa menjadi seorang hakim Mahkamah

Konstitusi Federal Jerman berdasarkan pengalaman khusus yang

bukan hanya memiliki kualifikasi prefesional yang luar biasa, tetapi

juga kualifikasi ilmiah.

Page 86: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

c. Berdasarkan Pasal 105 mengatur mengenai pemberhentian hakim

Mahkamah Konstitusi Federal Jerman. Misalnya, apabila hakim telah

melakukan perbuatan memalukan atau dihukum dengan hukuman

tetap penjara lebih dari enam bulan atau apabila hakim telah

melakukan pelanggaran hukum berat sehingga yang bersangkutan

tidak diperkenankan tetap dalam tugasnya sebagai hakim MK Federal

Jerman. Untuk menjalankan proses ini berlandaskan pada keputusan

pleno (Pasal 105 Paragraf 2) (Siegberg Bross, 2011:8-9).

Mencermati lembaga pengadilan tersebut yakni Mahkamah

Konstitusi Republik Federal Negara Jerman bahwa pembentukan

Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia sebagian telah mengadopsi dari

negara-negara tersebut. Dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan

kepada Mahkamah Konstitusi yaitu untuk menjunjung tinggi konstitusi yang

putusannya bersifat final dan konsep independensi kekuasaan kehakiman

demi menegakkan hukum dan keadilan.

Konsep kekuasaan kehakiman yang merdeka negara tersebut

terhadap lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi begitu dijunjung tinggi.

Oleh karena, jalur hukum terakhir adalah di badan peradilan, sistem

peradilan perlu diberi kedudukan yang mandiri. Seiring dengan ini,

kebebasan hakim tak luput dari sisi gelap karena ada dugaan ajaran

independensi justru digunakan sebagai benteng pertahanan mutakhir untuk

menutupi potensi kejanggalan-kejanggalan yang menyertai putusan

peradilan. Oleh karena itu, adanya akuntabilitas, transparansi, integritas

moral dan etika serta sistem pengawasan atau kontrol diupayakan akan

menjamin independensi kekuasaan kehakiman yang sesungguhnya.

Sistem pengawasan hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi

Republik Federal Negara Jerman dilakukan secara internal, namun untuk

tingkat bawah atau negara bagian dilakukan oleh institusi atau lembaga

tersendiri. Meskipun, pengawasannya hanya secara internal, hal ini tidak

menjadi persoalan karena secara sosiologis, masyarakat menaruh

Page 87: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

kepercayaan yang tinggi terhadap para hakim tersebut. Budaya etos kerja

tinggi yang melekat pada diri hakim menjadi hal yang luar biasa dalam

membangun proses peradilan yang adil serta mampu menjunjung prinsip

independensi kekuasaan kehakiman.

Dari beberapa hal menarik di Mahkamah Konstitusi Jerman, salah

satunya dapat diambil pelajaran bahwa, perlunya sistem pengawasan yang

bertujuan untuk menjaga independensi dan imparsialitas hakim konstitusi,

harus didukung dengan adanya budaya hakim konstitusi dalam menciptakan

suasana atau etos kerja yang tinggi, tentunya mengutamakan tingkat

keprofesionalan hakim konstitusi dalam mengemban tugasnya. Di Negara

Indonesia yang selalu menuntut perubahan ke arah yang lebih baik,

memanglah sangat penting untuk menumbuhkan budaya tersebut.

Page 88: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

BAB IV

PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan sebelumnya, maka penulis

memberikan simpulan sebagai berikut :

1. Kewenangan yang diberikan kepada hakim konstitusi dalam menjalankan

proses peradilan di Mahkamah Konstitusi dinilai sangat rentan terhadap

ancaman atau pengaruh-pengaruh buruk dari luar peradilan (extra judicial).

Kewenangan untuk menyelesaikan masalah konstitusionalitas menjadi hal

pokok untuk menjaga konstitusi Negara Indonesia karena menyangkut

kepentingan seluruh bangsa Indonesia. Hal lain adalah pengaruh-pengaruh

politik akibat pola pengisian anggota hakim konstitusi juga merupakan salah

satu faktor terjadinya kecenderungan Mahkamah Konstitusi untuk jauh dari

sifat independen dan imparsial. Untuk menghindari hal yang tidak diinginkan,

maka sebagai lembaga negara modern dan terpercaya, Mahkamah Konstitusi

khususnya para hakim konstitusi sangat diperlukan sistem pengawasan yang

terpadu. Demi mewujudkan prinsip independensi kekuasaan kehakiman dan

demi tegaknya hukum dan keadilan, sistem pengawasan menjadi perhatian dan

agenda utama untuk menyelenggarakan proses peradilan ketatanegaraan yang

berwibawa dan bermartabat.

Selain itu, pengaturan terkait pengawasan hakim konstitusi sebagai

alasan yuridis untuk menelaah pentingnya sistem pengawasan tersebut.

Pertama, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman. Sistem pengawasan dalam Undang-Undang Kekuasaan

Kehakiman ini menghendaki lebih komprehensif dengan mewujudkan

integrated justice system atau sistem peradilan terpadu di Indonesia. Model

pengawasan dalam undang-undang ini terdiri dari dua yakni yang membedakan

antara hakim dan hakim konstitusi. Pengawasan terhadap hakim agung dan

Page 89: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

hakim-hakim dibawahnya menggunakan sistem pengawasan secara internal

dan eksternal. Internal yang dilakukan oleh Mahkamah Agung sendiri meliputi

bidang yustisial, administrasi dan keuangan serta eksternalnya dilakukan oleh

Komisi Yudisial yang kewenangannya hanya sebatas mengawasi perilaku

hakim. Sedangkan Mahkamah Konstitusi, dalam Pasal 44 Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman ini menegaskan bahwa pengawasan hakim konstitusi

dilakukan oleh sebuah Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi berdasarkan

Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Secara tidak tegas bahwa

pengawasan eksternal oleh Komisi Yudisial tidak dilibatkan. Kedua, Undang-

Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor

24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sistem pengawasan dalam

Undang-Undang Mahkamah Konstitusi jelas tidak bebenturan dengan Undang-

Undang Kekuasaan Kehakiman. Kedua undang-undang ini bersifat saling

melengkapi. Sistem pengawasan yang dijalankan dalam Undang-Undang

Kekuasaan Kehakiman adalah sama halnya dengan Undang-Undang

Mahkamah Konstitusi. Namun pengaturan dalam Undang-Undang Mahkamah

Konstitusi diatur lebih lengkap. Sistem pengawasan terhadap hakim konstitusi

bersifat internal dengan dibentuknya Majleis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Kode Etik

dan Perilaku Hakim Konstitusi tersebut sebagai tolok ukur atau parameter

untuk menilai dan mengawasi perilaku hakim konstitusi, yang terdiri dari

prinsip independensi, ketakberpihakan, integritas, kepantasan dan kesopanan,

kesetaraan, kecakapan dan keseksamaan, serta kearifan dan kebijaksanaan.

Begitu pula, dengan pengisian anggota Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi terdiri dari salah satu hakim konstitusi dan salah satu anggota dari

Komisi Yudisial. Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamh Konstitusi

bahwa keanggotaan dapat berasal dari unsur eksternal seperti perguruan tinggi

dan majelis ini bersifat ad hoc.

Untuk mewujudkan prinsip utama kekuasaan kehakiman, yakni

independensi atau kekuasaan kehakiman yang merdeka, sistem pengawasan

Page 90: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

78

khususnya untuk hakim konstitusi menjadi bagian penting dalam proses

peradilan ketatanegaraan demi menegakkan hukum dan keadilan.

2. Sistem pengawasan hakim konstitusi yang ideal demi mewujudkan prinsip

independensi kekuasaan kehakiman dilakukan dari dua sisi yakni pengawasan

internal maupun eksternal. Pengawasan internal tepat dilaksanakan oleh

Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi sedangkan pengawasan eksternal

oleh Komisi Yudisial sebagai lembaga pengawas eksternal. Ruang lingkup dari

kedua mekanisme tersebut terletak pada etika dan perilaku hakim konstitusi

tentunya berdasarkan Kode Etik dan Perilaku Hakim Konstitusi. Komisi

Yudisial tidak akan mengganggu proses peradilan di Mahkamah Konstitusi

apabila dimaknai bahwa Komisi Yudisial bukanlah lembaga yang berperan

penting dalam prinsip checks and balances karena fungsinya yang salah

satunya sebagai pengawas perilaku hakim dan sifatnya yang mandiri serta

tanpa mempengaruhi kemandirian hakim.

Sebagai pembanding, maka dilakukan studi terhadap Mahkamah

Konstitusi Republik Federal Negara Jerman. Ide pembentukan Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia memang sebagian mengadopsi dari negara

tersebut. Mahkamah Konstitusi Jerman mempunyai tujuan yakni sebagai

lembaga negara penafsir konstitusi atau penegak konstitusi. Kewenangan yang

diberikan hampir sama yakni untuk menguji undang-undang terhadap undang-

undang dasar atau konstitusi dari negara masing-masing. Kekuasaan

kehakiman di Jerman juga sama-sama memberikan konsep mengenai

kekuasaan kehakiman yang merdeka dimana lembaga peradilan tersebut tidak

boleh dipengaruhi oleh berbagai pihak bebas dari campur tangan siapa pun. Di

Jerman memperlihatkan konsep pengawasan kehakiman, yakni kode etik

hakim Mahkamah Konstitusi Jerman yang diatur dalam undang-undang, bukan

kode etik sendiri, secara kelembagaan, institusi pengawas kekuasaan

kehakiman dilakukan oleh internal, sementara pengadilan dibawahnya dibentuk

lembaga khusus yang melakukan pengawasan serta secara budaya, etos kerja

hakim Jerman memang sudah mandiri dan profesional. Meskipun pengawasan

Page 91: SISTEM PENGAWASAN HAKIM KONSTITUSI YANG IDEAL …/Sistem...UNTUK MEWUJUDKAN PRINSIP INDEPENDENSI KEKUASAAN KEHAKIMAN Oleh : Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan Diajukan untuk Melengkapi

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

hakim yang dilakukan secara internal, namun hal menarik yang patut diteladani

oleh Indonesia dari hakim-hakim konstitusi di Jerman adalah budaya etos kerja

yang tinggi sehingga masyarakat luas menaruh kepercayaan kepada lembaga

peradilan tersebut.

B. Saran

1. Demi mewujudkan independensi kekuasaan kehakiman atau disebut dengan

kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka perlunya pemaknaan yang lebih

mendalam terhadap prinsip tersebut sehingga penyelenggaraan proses

peradilan di Mahkamah Konstitusi mendapatkan trust dari masyarakat.

2. Sistem pengawasan hakim konstitusi saat ini hendaknya dibagi menjadi dua

model secara tegas yakni pengawasan secara internal dan eksternal. Oleh

karena itu, perlunya perubahan UUD 1945 untuk menempatkan Komisi

Yudisial sebagai salah satu lembaga yang dapat melakukan tindakan preventif

dan represif untuk mengawasi hakim konstitusi tanpa mempengaruhi

independensi dari hakim konstitusi tersebut.

3. Peraturan Mahkamah Konstitusi tentang Majelis Kehormatan Mahkamah

Konstitusi yang masih dalam bentuk rancangan hendaknya mampu secara

teknis mengakomodir mengenai sistem pengawasan hakim konstitusi yang

dapat melakukan tindakan preventif maupun represif sehingga dapat bekerja

secara lebih komprehensif dan memberikan sanksi yang pantas kepada hakim

konstitusi terlapor.