SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN...

128
SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN CIREBON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh : ABDUL WAHID NIM. 1113044000052 PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH J A K A R T A 2019 M / 1440 H

Transcript of SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN...

Page 1: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN CIREBON

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum

untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh :

ABDUL WAHID

NIM. 1113044000052

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

2019 M / 1440 H

Page 2: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 3: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 4: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 5: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

ASBTRAK

Abdul Wahid. NIM 1113044000052. SISTEM PEMBAGIAN WARIS

DI KERATON KASEPUHAN CIREBON DITINJAU DARI HUKUM

ISLAM. Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah

dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2019M/1440H.

x+91 halaman.

Hukum Kewarisan Islam, secara umum berlaku untuk seluruh umat Islam

di mana saja. Walaupun demikian, adat atau budaya suatu daerah mempengaruhi

hukum termasuk hukum kewarisan di daerah tersebut. Begitu pula di Keraton

Kasepuhan Cirebon, yang pernah menjadi pusat syiar Islam dan juga sebagai

simbol budaya, hal itu sedikit banyak mempengaruhi sistem kewarisan di sini.

Tujuan dari penelitian ini adalah a) Untuk mengetahui sistem pembagian waris di

Keraton Kasepuhan Cirebon. b) Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dalam

sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Jenis penelitian yang digunakan yaitu field research (penelitian lapangan).

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan normatif. Data primer dicari dari

lokasi penelitian, Keraton Kasepuhan Cirebon. Penelitian ini bersifat deskriptif

analitik dengan mengumpulkan data yang valid melalui sumber-sumber

terpercaya. Teknik pengumpulan data berupa interview (wawancara) dan

dokumentasi. Analisis data menggunakan analisis kualitatif, menganalisis data-

data yang telah diperoleh dari berbagai sumber.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu pembagian waris di Keraton

Kasepuhan terdiri dari, pertama, harta warisan, dibagi dalam dua, yaitu 1) harta

yang bisa dibagikan, 2) harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris.

Kedua, membagikan warisan setelah si pewaris meninggal dunia, dan pewaris

membagikan warisannya ketika masih hidup. Ketiga, hukum tertulis sebagai

penguat pembagian waris. keempat, ahli waris dan bagiannya. Tinjauan dari

hukum Islam, pertama, harta warisan yang bisa dibagikan merupakan harta

kekayaan pribadi yang bersih dan bebas dari hak yang menyangkut di dalamnya.

Sedangkan poin 2, harta tersebut berlaku hak turun temurun, yang merupakan adat

atau ‘urf setempat. Kedua, membagikan warisan setelah pewaris meninggal sudah

sesuai dengan hukum Islam, namun membagikan warisan saat pewaris masih

hidup belum sesuai, karena rukun pewaris adalah telah jelas matinya. Namun

selain kewarisan, proses peralihan harta ada juga berupa wasiat dan hibah. Ketiga,

hukum tertulis bertujuan sebagai penguat hasil pembagian waris, serta untuk

menghindari perselihan, hal ini sejalan dengan tujuan hukum Islam yaitu meraih

kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Keempat, ahli waris dan bagiannya

sesuai dengan hukum kewarisan Islam yang berlaku secara umum.

Kata Kunci : Pembagian waris, keraton, kasepuhan Cirebon,

hukum Islam

Pembimbing : Hj. Hotnidah Nasution, MA

Daftar Pustaka : Tahun 1959 s.d. Tahun 2015

Page 6: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

vi

KATA PENGANTAR

بسم هللا الحمن الحيم

Puja dan puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang Maha

Pengasih lagi Maha Penyayang, yang telah memberikan rahmat, taufiq, dan

anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul

SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN CIREBON

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM. Sholawat serta salam tak lupa kita curahkan

kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta para keluarga dan

sahabatnya, yang telah mendidik kita sebagai umatnya untuk menuju jalan

kebenaran.

Penulis sadar bahwa dalam menyelesaikan skripsi ini tidak luput dari

dukungan, arahan dan bantuan banyak pihak, dengan segala kerendahan hati dan

rasa syukur penulis ingin menyampaikan terimakasih kepada:

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, MA, Ph.D., Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. H. Abdul Halim, M.Ag. dan Indra Rahmatullah S.H.I., M.H., Ketua

dan Sekretaris Program Studi Hukum Keluarga, Fakultas Syariah dan

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Hj. Hotnidah Nasution, MA., Pembimbing skripsi yang dengan tulus

ikhlas meluangkan waktu untuk membimbing, memberikan arahan serta

saran-saran kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

4. Dr. Hj. Mesraini, S.H, MA., Dosen Penasihat Akademik yang telah

memberikan bimbingan dan motivasi kepada penulis.

5. Kepada Dr. K.H.A Juani Syukri., L.c. MA dan Sri Hidayati, MA. Sebagai

dosen penguji yang telah membimbing penulis dengan sepenuh hati

sehingga tercipta karya ilmiah ini.

6. Kepada P.R.A Arief Natadiningrat, S.E., Sultan Sepuh XIV Keraton

Kasepuhan Cirebon yang telah mengizinkan kepada penulis atas

Page 7: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

vii

diadakannya penelitian ini, serta kepada Bapak Elang Haryanto dan Bapak

Ahmad Jazuli yang telah berkenan menjadi narasumber dalam skripsi ini.

7. Segenap Bapak dan Ibu dosen serta staff pengajar pada lingkungan

program studi Hukum Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum yang telah

memberikan ilmu pengetahuannya kepada penulis selama duduk di bangku

perkuliahan.

8. Staff Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Staff

Perpustakaan Fakultas Syarifah dan Hukum, yang telah memberikan

fasilitas kepada penulis untuk mengadakan studi kepustakaan guna

menyelesaikan skripsi ini.

9. Orang tua Penulis ayahanda tercinta Sukanda dan Ibunda Salimah, serta

adik penulis, Bagus Musthafa yang telah memberikan kasih sayang,

dukungan dan doanya untuk kesuksesan penulis,

10. Para sahabat dan kawan seperjuangan Hukum Keluarga 2013, baik dalam

lingkup Formasas, AKI, dan kawan-kawan SAS B.

11. Keluarga Besar Permada Jabodetabek yang telah mengizinkan penulis

untuk hidup dan berkembang di dalam lingkungan organisasi, khususnya

para penghuni Sekretariat Permada.

12. Kawan-kawan KKN Swing 2016 di Desa Rumpin Bogor yang telah

memberikan banyak pelajaran dan pengalaman kepada penulis selama di

KKN.

13. Para sahabat penghuni kos 59 H, serta kawan-kawan penghuni Kos

Asmara yang telah menerima dan meluangkan waktu nya untuk sekedar

bercerita, diskusi, dan bermain bersama. Semoga kita semua menjadi

orang-orang sukses.

14. Semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi

ini semoga Allah membalasnya. Aamiin.

Page 8: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

viii

Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya khususnya

untuk mahasiswa/i Fakultas Syariah dan Hukum.

Jakarta, 21 Januari 2019

Penulis

Abdul Wahid

Page 9: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

ix

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i

PERSETUJUAN PEMBIMBING ....................................................................... ii

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... iii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................. iv

ABSTRAK .............................................................................................................. v

KATA PENGANTAR ......................................................................................... vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... ix

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................ 7

C. Pembatasan dan Rumusan Masalah...................................................... 7

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................... 8

E. Metode Penelitian ................................................................................. 8

F. Tinjauan (Reiew) Studi Terdahulu ....................................................... 9

G. Sistematika Penulisan ......................................................................... 11

BAB II TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam ................................. 12

1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam ............................................ 12

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam .................................................... 14

B. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam .................................................. 17

1. Asas Ijbari ..................................................................................... 17

2. Asas Bilateral ................................................................................ 20

3. Asas Individual ............................................................................. 21

4. Asas Keadilan Berimbang ............................................................ 22

5. Asas Semata Akibat Kematian ..................................................... 23

C. Pewaris, Harta Warisan, dan Ahli Waris ............................................ 25

1. Pewaris .......................................................................................... 25

2. Harta Warisan ............................................................................... 27

3. Ahli Waris ..................................................................................... 28

Page 10: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

x

D. Penghalang Warisan ........................................................................... 37

1. Penghalang-penghalang Yang Disepakati .................................... 38

2. Penghalang-penghalang Yang Diperselisihkan ............................ 40

BAB III SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN

CIREBON

A. Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon ................................................. 43

B. Silsilah Keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon ................................. 53

C. Islam dan Kebudayaan Cirebon di Keraton Kasepuhan Cirebon ...... 57

D. Pembagian Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon ............................ 63

1. Harta Warisan ................................................................................ 63

2. Waktu Pelaksanaan Pembagian Waris .......................................... 64

3. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris ..................... 64

4. Ahli Waris dan Bagiannya ............................................................ 65

BAB IV SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN

CIREBON DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

A. Harta Warisan ..................................................................................... 70

B. Waktu Pelaksanaan Pembagian Waris ............................................... 75

C. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris .......................... 80

D. Ahli Waris dan Bagiannya ................................................................. 83

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 86

B. Saran ................................................................................................... 88

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 89

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 11: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang Masalah

Islam adalah agama rahmat yang di bawa oleh Nabi Muhammad untuk

menyelamatkan manusia menggapai jalan yang lurus. Norma-norma abadi

yang dimiliki Islam tersembul keluar sebagai rangkaian peraturan yang

disebut hukum. Hukum tersebut bersifat baku dan diakui oleh “undang-

undang Tuhan (qanun ilahi): permanen dan tidak dapat diubah.

Qanun Ilahi ini, diundangkan oleh negara atau tidak, ia harus

ditegakkan (mulzimun binafsi) sebagai suatu yang berwatak “buatan Tuhan

(wadh’un Ilahiyun]. Namun, ada kalanya peraturan-peraturan itu

diinterpretasi dan diformulasikan oleh manusia menjadi hukum manusia

(qanun wadhi) melalui proses legislasi (tasyri’).

Tasyri’ inilah yang merupakan produk pemikiran manusia yang di

dalamnya memiliki empat kategori, pertama; fikih yaitu penalaran dan

interpretasi manusia terhadap informasi transenden. kedua; fatwa yaitu

produk pemikiran hukum yang dikeluarkan oleh perorangan maupun kolektif

atas pernyataan hukum dari anggota masyarakat terhadap persoalan-persoalan

tertentu. ketiga; putusan pengadilan yaitu berupa produk pemikiran hukum

yang dikeluarkan oleh lembaga peradilan yang keputusannya mengikat bagi

pihak-pihak yang berperkara maupun dijadikan yurisprudensi bagi hakim-

hakim yang lain dalam kasus yang serupa. Keempat; ketentuan atau peraturan

yang dibuat oleh pemerintah dan legislatif untuk mengatur suatu masyarakat

dalam suatu negara yang kemudian disebut dengan istilah perundang-

undangan (taqnin).

Dari keempat kategori inilah, fikih yang paling mendominasi dan

memengaruhi pemikiran umat manusia, khususnya bagi umat Islam. Akan

Page 12: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

2

tetapi sebagaimana layaknya hasil sebuah pemikiran, fikih seharusnya

ditempatkan pada ruang yang “nisbi” atau “relatif”.1

Maka dari itu, fikih juga memegang peranan penting dalam mengatur

masyarakat Indonesia berbasiskan Hukum Islam. Lebih khususnya soal

sistem pembagian kewarisan. Tetapi yang terjadi di Indonesia, pembagian

kewarisan ini bersifat pluralistik, atau yang lebih dikenal dengan pluralisme

hukum, artinya bukan hanya fikih semata yang dapat memengaruhi hukum di

masyarakat, tetapi ada juga hukum lain yang kemudian mengakibatkan

perbedaan pembagian kewarisan yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia.

Secara umum, definisi hukum kewarisan sendiri adalah hukum yang

mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (tirkah)

pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa

bagian masing-masing.2

Dalam aturan kewarisan di Arab sendiri terdapat pergeseran aturan

kewarisan, yaitu dalam masyarakat Arab Jahiliyah dan masyarakat Arab

Islam, yaitu setelah datangnya wahyu Ilahi. Perbedaan ini terletak pada

pembagian ahli waris, dan pembagiannya. Jika pada masyarakat Arab Pra

Islam atau Jahiliyah, perempuan sama sekali tidak mendapatkan waris, maka

setelah datangnya Islam, perempuan mendapatkan hak warisnya.3 Bahkan

dalam masyarakat Arab Pra Islam, perempuan sendirilah yang merupakan

sesuatu yang bisa diwariskan. Hal inilah yang kemudian dirombak oleh Islam

dengan turunnya ayat-ayat tentang waris dan yang berhubungan dengannya,

seperti an-Nisa ayat 7 yang menghapuskan sistem tunggal kewarisan yang

hanya diberikan kepada laki-laki, sehingga perempuan dan anak-anak juga

mendapatkan hak waris.4

1 Yayan Sopyan, Islam Negara : Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam Hukum

Nasional (Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka, 2012), hal. 1-2. 2 Departemen Agama RI, Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam (Dirjen Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), hal. 133 3 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 3, hal.

6. 4 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), Cet. 40, hal. 348.

Page 13: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

3

Dalam Islam, ada beberapa sumber hukum yang menyangkut tentang

waris, yaitu al-Qur’an, as-Sunnah, Ijma’, dan Ijtihad. Sedangkan sebab-sebab

mempusakai dalam Islam ada empat (4): (1) Kekeluargaan, yang tertera pada

surat An-Nisa ayat 7. (2) Perkawinan. (3) Dengan jalan memerdekakan dari

perbudakan. Dan (4) Hubungan Islam, di mana ketika ada orang yang

meninggal dunia apabila tidak ada ahli warisnya, maka peninggalannya

diserahkan ke baitul-mal untuk umat Islam. 5

Rukun-rukun waris sendiri terdiri dari tiga macam: (1) Muwarits,

yaitu orang yang mewariskan dan meninggal dunia. Baik meninggal dunia

secara hakiki, atau karena keputusan hakim dinyatakan mati berdasarkan

beberapa sebab. (2) Mauruts, yaitu harta peninggalan si mayit yang akan

dipusakai setelah dikurangi biaya perawatan, hutang, zakat, dan setelah

digunakan untuk melaksanakan wasiat. Harta pusaka disebut juga mirats, irts,

turots dan tirkah. (3) Warits, yaitu orang yang akan mewaris, yang akan

mempunyai hubungan dengan si muwarits, baik itu karena hubungan

kekeluargaan ataupun karena perkawinan.6

Akan tetapi lebih dari itu, ada tiga corak hukum kewarisan yang

dipakai oleh masyarakat Indonesia. Pertama, hukum waris Eropa yang

tertuang dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek),

yang berlaku bagi orang-orang Eropa dan mereka yang disamakan dengan

orang Eropa, Orang Timur Asing Tionghoa, dan orang Timur Asing lainnya,

yaitu orang-orang Indonesia yang menundukkan diri pada hukum Eropa.

Kedua, hukum waris Islam yang diberlakukan kepada masyarakat Indonesia

yang beragama Islam, dan Ketiga, hukum waris adat yang diberlakukan bagi

masyarakat yang masih memegang tradisi adat istiadatnya.7

5 Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007), Cet. 40, hal. 348-

349. 6 Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, (Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995), Jilid 3, hal.

17. 7 H.M Idris Ramulyo, Perbandingan Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar

Grafika, 2004), cet. 8. hal. 1.

Page 14: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

4

Adapun tentang sistem hukum kewarisan sendiri, yang merupakan

salah satu bagian dari hukum perorangan, maka tidak terlepas dari sistem

kekeluargaan atau kekerabatan. Dalam sistem kekerabatan inilah terbagi

menjadi 3 macam, yaitu sistem kekerabatan patrilineal, matrilineal, dan

bilateral.8

Dalam sistem kekerabatan patrilineal, hanya menarik garis keturunan

dengan pihak ayah atau laki-laki, sampai seterusnya ke atas. Sistem

kekerabatan ini mayoritas dianut oleh Suku Batak, Mandailing, Nias, Karo

dan lain sebagainya. Sedangkan sistem kekerabatan matrilineal berlaku

sebaliknya, yaitu hanya menarik garis keturunan dari pihak ibu atau

perempuan, seterusnya sampai ke atas. Sistem kekerabatan ini dianut oleh

Suku Minangkabau. Terakhir, sistem kekerabatan bilateral atau parental, yaitu

menarik garis keturunan baik dari pihak ibu maupun bapak, seperti Suku

Jawa, Sunda, Bugis, dan lain sebagainya.9

Dengan tiga corak sistem kekerabatan ini, maka memengaruhi sistem

kewarisan yang digunakan. Misalnya, dalam sistem kekerabatan patrilineal,

hanya garis keturunan laki-laki saja yang menjadi ahli waris dan berhak

mendapatkan harta warisan. Sedangkan sistem kekerabatan matrilineal

berlaku sebaliknya, yaitu hanya garis keturunan perempuan saja yang menjadi

ahli waris dan berhak mendapatkan harta warisan. Tetapi pada masyarakat

yang menganut sistem kekerabatan bilateral, baik laki-laki maupun

perempuan berhak menjadi ahli waris dan mendapat warisan.

Dengan adanya nilai-nilai dan kepercayaan yang telah ada, maka

konsekuensi atas hal inilah yang kemudian hukum Islam harus berasimilasi

dan beradaptasi dengan budaya lokal dan adat istiadat setempat, sehingga

hukum Islam dapat diterima dan hidup dalam masyarakat.

8 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an dan Hadits (Jakarta:

Tintamas, 1982), hal. 9. 9 H. M. Idris Ramulyo, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 1994), hal. 4.

Page 15: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

5

Sebagai salah satu pusat kebudayaan dan adat istiadat, Keraton

Kasepuhan juga merupakan tempat di mana hukum Islam juga berasimilasi

dengan budaya setempat. Hal ini ditandai dengan corak bangunan keraton

yang dipengaruhi oleh tiga etnis, Eropa, Jawa, dan Tionghoa. Keraton

Kasepuhan sendiri merupakan satu bagian dari 3 keraton yang ada di Cirebon

selain Keraton Kanoman dan Keraton Kacirebonan. Ketiga keraton tersebut

secara konsisten mempertahankan adat istiadat dan budaya dari zaman

dahulu. Masing-masing keraton tersebut memiliki sejarah yang saling terkait

dan mewakili persamaan dan perbedaan fisik antara satu dengan yang

lainnya.

Dari ketiga keraton di atas, penulis memilih Keraton Kasepuhan

sebagai studi kasus, dengan pertimbangan Keraton Kasepuhan merupakan

keraton pertama yang berdiri di Cirebon. Keraton ini juga ada kaitannya

langsung dengan sejarah awal mula terbentuknya Kota Cirebon, dan secara

non fisik Keraton Kasepuhan juga memiliki sejarah masuknya berbagai suku,

agama, dan budaya di Cirebon. Yang mana ini bisa dilihat dari perkembangan

Keraton Kasepuhan yang berawal dari Padepokan Pakungwati sampai

menjadi Keraton Kasepuhan. Selain itu, Keraton Kasepuhan juga merupakan

keraton termegah dan terluas dari ketiga keraton yang ada. Luas keraton ini

sekitar 25 Ha.10 Atas dasar itulah penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam

soal adat istiadat dan budaya dan secara khusus penulis memfokuskan pada

hukum kewarisan yang berlaku di keraton ini.

Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1430 oleh Pangeran

Cakrabuana. Yang pada awalnya merupakan Tajug dan Rumah Besar yang

diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton

Pakungwati, yang kemudian berubah lagi menjadi Kesultanan Cirebon

setelah Sunung Gunung Jati dinobatkan sebagai Sultan, lalu dalam

perkembangannya menjadi Keraton Kasepuhan. Pangeran Cakrabuana sendiri

10 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017.

Page 16: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

6

merupakan anak sulung Prabu Siliwangi dan Permaisuri Nyai Subang Larang

yang beragama Islam. Dari pernikahan ini, lahir 3 anak yaitu Raden

Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana), Nyai Lara Santang, dan Kian

Santang. Kemudian dari Nyai Lara Santang inilah lahir Syarif Hidayatullah

yang kemudian dikenal dengan Sunan Gunung Jati.11

Sebagaimana bentuk kesultanan atau kerajaan, Keraton Kasepuhan

juga menganut sistem kekerabatan Patrilineal. Artinya, dari tahta kewarisan,

posisi Sultan hanya boleh dijabat oleh kalangan laki-laki dalam keluarga

keraton. Namun ada tatacara atau aturan pengangkatan Sultan jika Sultan

yang sedang menjabat meninggal atau mundur dari posisinya. Yaitu takhta

kewarisan selanjutnya diserahkan kepada anak laki-laki pertama Sultan, atau

jika tidak anak laki-laki Sultan paling tertua, walaupun anak pertamanya

perempuan. Jika Sultan tidak memiliki anak laki-laki, maka akan diserahkan

ke adik laki-laki Sultan, atau jika tidak ada lagi, akan diserahkan ke paman

Sultan.12

Berkaitan dengan sistem kewarisan sendiri, selain pelimpahan takhta

kewarisan, secara umum pembagian warisan di Keraton Kasepuhan ini sama

saja dengan Hukum Islam. Namun ada beberapa hal yang membedakan dari

pembagian waris secara umum. Perbedaan ini terletak pada: Pertama, harta

yang diwariskan. Kedua, waktu pembagian warisan. Ketiga, hukum tertulis

yang dikeluarkan oleh lembaga kesultanan. Konsep proses pembagian waris

di keraton ini dalam harta waris pribadi, secara umum sama dengan

masyarakat umum atau muslim lainnya yaitu berdasarkan syariat Islam yang

berlaku pada umumnya.13

Dari ketiga perbedaan ini, bisa dijelaskan sebagai berikut: Pertama,

harta yang diwariskan ini terbagi menjadi dua (2) macam, yaitu (1) harta yang

11 P. S Sulendraningrat, Sejarah Cirebon (Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah

Tingkat III Cirebon, 1978), hal. 26. 12 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 13 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.

Page 17: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

7

bisa diwariskan kepada ahli waris, seperti harta pribadi dan lain sebagainya,

(2) harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris. Kedua, waktu

pembagian warisan dilakukan setelah si pewaris meninggal dunia seperti

hukum kewarisan biasa, tetapi ada juga sebelum si pewaris meninggal. Dan

Ketiga, hukum tertulis yaitu berupa surat resmi atas pengangkatan sebagai

Sultan sebagai pewaris sah takhta kesultanan. Surat resmi tersebut juga

merupakan bukti penguat atas dinobatkannya sultan berikutnya.14

Berdasarkan latar belakang masalah yang ada, maka penyusun tertarik

untuk membahas lebih lanjut terkait dengan sistem kewarisan di Keraton

Kasepuhan Cirebon. Kajian yang dilakukan untuk penyusunan skripsi dan

diberi judul Sistem Pembagian Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon

Ditinjau Dari Hukum Islam.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis mengidentifikasi beberapa

masalah yang perlu dibahas lebih lanjut yaitu :

1. Bagaimana sejarah awal terbentuknya Keraton Kasepuhan Cirebon ?

2. Bagaimana sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon ?

3. Bagaimana tinjauan Hukum Islam di Keraton Kasepuhan Cirebon ?

4. Apa persamaan dan perbedaan sistem kewarisan di Keraton Kasepuhan

dengan Sistem kewarisan secara umum ??

C. Pembatasan Masalah Dan Rumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis membatasi penulisan pada

tata cara pembagian kewarisan di Keraton Kasepuhan Cirebon, dan juga

membatasi kewarisan hanya untuk sultan dan keturunannya.

2. Rumusan Masalah

a. Bagaimana sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.

14 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.

Page 18: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

8

b. Bagaimana tinjauan Hukum Islam dalam sistem pembagian waris di

Keraton Kasepuhan Cirebon.

D. Tujuan Penelitian Dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan penulisan skripsi ini adalah:

a. Untuk mengetahui sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan

Cirebon

b. Untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam dalam sistem pembagian

waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.

2. Manfaat Penulisan

Dengan adanya penulisan skripsi ini diharapkan dapat membawa

manfaat dan kegunaan sebagai berikut:

a. Bagi Ilmu Pengetahuan

Memberikan sumbangsih dalam perkembangan ilmu pengetahuan

serta pemikiran yang dapat menjadi wujud kontribusi positif serta

dedikasi penulis terhadap ilmu pengetahuan.

b. Bagi Masyarakat

Memberikan informasi lebih lanjut mengenai Sistem Pembagian

Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon dan tinjauannya berdasarkan

Hukum Islam.

E. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode field reasearch (penelitian

lapangan).15, yaitu pencarian dan pengambilan data dilakukan langsung di

lapangan atau di lokasi penelitian. Dalam penelitian ini data primer dicari

dari lokasi penelitian, Keraton Kasepuhan Cirebon.

2. Sifat Penelitian

15 John W. Creswell, Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan Mixed.

(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013), hal. 264.

Page 19: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

9

Penelitian ini bersifat deskriptif analitik.16 Di dalam deskriptif

analitik ini penyusun mengumpulkan data yang valid melalui sumber-

sumber yang terpercaya. penelitian ini diharapkan akan menyajikan suatu

deskripsi mengenai fakta yang terjadi hari ini yang didasari oleh kejadian

di masa lampau. Hasil penelitian ini dianalisis sedemikian rupa sehingga

didapat permasalahan yang dikaitkan dengan hukum keluarga Islam,

khususnya mengenai waris di Keraton Kasepuhan Cirebon.

3. Teknik Pengumpulan Data

a. Interview (Wawancara)

Teknik pengumpulan data ini berupa wawancara atau kuisioner lisan, di

mana dilakukan oleh pewawancara berupa dialog dengan terwawancara

untuk memperoleh informasi yang akurat dan valid. Adapun pihak-

pihak yang diwawancara adalah Elang Haryanto selaku salah satu

pangeran di Keraton Kasepuhan Cirebon yang paham tentang tata cara

kewarisan di Keraton.

b. Dokumentasi

Dalam melaksanakan metode dokumentasi ini, peneliti akan menelusuri

buku-buku, jurnal, dokumen, peraturan, majalah dsb yang berkaitan

dengan tema pembahasan yang dikaji.

4. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang digunakan adalah pendekata normative.

Pendekatan ini berdasarkan kepada norma agama untuk melihay sesuatu

hal itu baik atau buruk.

5. Analisis Data

Penyusun menggunakan analisis kualitatif dalam menganalisis data-

data yang telah diperoleh dari berbagai sumber.

F. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu

Beberapa penelitian yang penulis temukan yang membahas tentang kajian

terkait dengan penelitian ini adalah sebagai berikut :

16 Moh. Nazir, Metode Penelitian (Jakarta: Ghalila Indonesia, 1998), cet. 3. hal. 63.

Page 20: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

10

1. Adlul Alghofiqi (Kewarisan Masyarakat Suku Domo ditinjau dari

Kewarisan Islam/2016). Dalam skripsi ini, penulis membahas tetang

pembagian waris di Suku Domo, Kecamatan Siak Huluk, Kabupaten

kampar-Riau. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman

masyarakat suku Domo secara umum terhadap kewarisan Islam sangat

terbatas. Penerapan kewarisan Islam dalam kewarisan suku Domo terdapat

dalam musyawarah para ahli waris yang diberitahukan oleh tokoh agama

bagian yang mereka dapat dalam kewarisan Islam. Selain itu kewarisan

Islam digunakan secara utuh ketika ahli waris memilih untuk

menggunakan kewarisan Islam dan ketika tidak tercapai kata mufakat

dalam musyawarah para ahli waris.

2. Khoirun Nisa (Sistem pembagian Warisan pada Masyarakat

Multikultural/2015). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang

kewarisan di Desa Teluk Panji II Kec. Kampung Rakyat Kabupaten

Labuhan Batu Selatan Sumut. Hasil penelitian tersebut, bahwasanya ada

dua cara pembagian waris, yaitu (1) ketika setelah meninggal dunia

dengan ahli waris anak laki-laki dan anak perempuan yang mendapatkan

bagian 1:1, (2) ketika sebelum dan sesudah pewaris meninggal dunia, yaitu

dengan cara sebagian dibagikan anak laki-laki dan anak perempuan secara

merata ketika telah dewasa dan sebagian lagi diberikan ketika orang tua

meninggal dunia dengan ahli waris anak laki-laki atau anak perepuan saja

yang mendapat sisa hartanya.

3. Moh. Ikhwan Mufti (Kesetaraan pembagian Waris dalam Adat Bawean

Gresik Jawa Timur/2011). Dalam skripsi ini penulis membahas tentang

kesetaraan pembagian waris yang diterapkan oleh masyarakat adat

Bawean, yaitu berupa 1:1 pembagiannya antara laki-laki dengan

perempuan, jika tidak ada sengketa. Namun ketika terjadi sengketa,

maka pembagiannya tidak diselesaikan dengan menggunakan

pembagian waris adat Bawean, melainkan di selesaikan di Pengadilan

Agama.

Page 21: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

11

G. Sistematika Penulisan

Agar pembahasan skripsi ini mengarah dan mudah dipahami, penulis perlu

mengetengahkan dan menuangkan sistematika penulisannya sebagai berikut :

Bab I : Meliputi Latar Belakang Masalah, Identifikasi Masalah,

Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah, Tujuan dan

Manfaat Penelitian, Metode Penelitian, Review Studi Terdahulu,

dan Sistematika Penulisan.

Bab II : Membahas tentang Kewarisan secara umum dalam Islam.

Meliputi Pengertian waris, dan dasar hukum waris, asas-asas

kewarisan Islam, pewaris, harta warisan dan ahli waris, dan

penghalang kewarisan.

Bab III : membahas mengenai sistem pembagian waris di Keraton

Kasepuhan Cirebon. Meliputi sejarah Keraton Kasepuhan

Cirebon, silsilah keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon,

penjelasan umum mengenai Islam dan kebudayaan Cirebon di

Keraton Kasepuhan Cirebon, dan sistem pembagian waris di

Keraton Kasepuhan Cirebon.

Bab IV : adalah analisis mengenai aturan pembagian warisan di Keraton

Kasepuhan Cirebon. Meliputi harta yang diwariskan. waktu

pembagian warisan, dan hukum tertulis yang dikeluarkan oleh

lembaga kesultanan.

Bab V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.

Page 22: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

12

BAB II

TINJAUAN UMUM HUKUM KEWARISAN ISLAM

A. Pengertian dan Dasar Hukum Kewarisan Islam

1. Pengertian Hukum Kewarisan Islam

Hukum Kewarisan Islam, seperti fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum

kewarisan, ditemui dalam beberapa literatur hukum Islam. Perbedaan dalam

penamaan (fiqh mawaris, ilmu faraidh, dan hukum kewarisan) ini terjadi

karena perbedaan arah yang dijadikan titik utama dalam pembahasan. Untuk

mengetahui maksud dan pembahasannya lebih lanjut, sebaiknya terlebih

dahulu kita mengetahui tentang pengertian fiqh mawaris itu sendiri.1

Fiqh menurut bahasa berarti mengetahui, memahami, yakni mengetahui

sesuatu atau memahami sesuatu sebagai hasil usaha mempergunakan pikiran

yang sungguh-sungguh. Fiqh bisa juga berarti memahami dan mengetahui

wahyu (al-Qur’an dan al-Hadits) dengan menggunakan penalaran akal dan

metode tertentu, sehingga diketahui ketentuan hukumnya dengan dalil secara

rinci.2

Menurut istilah ulama, fiqh ialah suatu ilmu yang menerangkan segala

hukum syara’ yang berhubungan dengan amaliah, dipetik dari dalil-dalilnya

yang jelas (tafshili). Maka dia melengkapi hukum-hukum yang dipahami para

mujtahid dengan jalan ijtihad dan hukum yang tidak diperlukan ijtihad,

seperti hukum yang dinashkan dalam al-Qur’an, as-Sunnah, dan masalah

ijma’.3

1 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 5. 2 Daud Ali, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesia ( Jakarta:

Raja Grafindo, 1998), h. 43. 3 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 6.

Page 23: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

13

Secara singkat pengertian fiqh adalah sebagai ilmu untuk mengetahui dan

memahami hukum-hukum syara’ dengan jalan ijtihad yang digali dengan

menggunakan dalil yang terperinci.4

Kata Mawarits diambil dari bahasa Arab. Penggunaan kata Mawarits ini

melihat kepada yang menjadi objek dari hukum waris itu sendiri, yaitu harta

yang beralih kepada ahli waris yang masih hidup. Sebab, kata mawarits,

merupakan bentuk jamak (bentuk plural) dari miiraats yang berarti mauruts;

harta yang diwarisi. Dengan demikian maka arti kata warits yang digunakan

dalam beberapa kitab merujuk kepada orang yang menerima harta warisan

itu.5

Adapun kesimpulannya, fiqh mawaris adalah suatu disiplin ilmu yang

membahas tentang harta peninggalan, tentang bagaimana proses pemindahan,

siapa saja yang berhak menerima harta peninggalan itu serta berapa bagian

masing-masing.6

Fiqh mawaris disebut juga dengan istilah Al-Faraidh bentuk jamak

(bentuk plural) dari kata faridhah, yang mengandung arti mafrudhah, yang

mana kata mafrudhah juga sama artinya dengan muqaddarah, atau sesuatu

yang diwajibkan. Artinya pembagian yang telah ditentukan kadarnya.7 Di

dalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an, lebih

banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan bagian yang tidak

ditentukan. Oleh karena itu, hukum ini dinamai dengan Faraidh. Dengan

demikian penyebutan Faraidh didasarkan pada bagian yang diterima oleh ahli

waris.8

Secara singkat definisi tentang ilmu Faraidh adalah sebagai berikut :

4 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 7. 5 Amir Syarifudin. Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h., 6 6 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan Hukum

Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 7. 7 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 11. 8 Amir Syarifudin. Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h. 5.

Page 24: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

14

“Ilmu yang berkaitan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang

cara perhitungan yang dapat menyampaikan kepada pembagian harta

pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta

peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka”9

2. Dasar Hukum Kewarisan Islam

a. Ayat-ayat al-Qur’an

QS. An-Nisaa’ (4) ayat 7

“bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bahagian yang telah ditetapkan.”

QS. An-Nisaa’ (4) ayat 11

“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-

anakmu. Yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua

orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari

9 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 8.

Page 25: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

15

dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak

perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk

dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang

ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang

meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja),

Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai

beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-

pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan)

sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu

tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak)

manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

QS. An-Nisaa’ (4) ayat 12

“dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh

isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. jika isteri-isterimu itu

mempunyai anak, Maka kamu mendapat seperempat dari harta yang

ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan)

seduah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang

kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. jika kamu mempunyai

anak, Maka Para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu

tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah

dibayar hutang-hutangmu. jika seseorang mati, baik laki-laki maupun

perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak,

tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang

saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis

Page 26: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

16

saudara itu seperenam harta. tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari

seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi

wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak

memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu

sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui

lagi Maha Penyantun.”

QS. An-Nisaa’ (4) ayat 33

“bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak

dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya dan (jika ada) orang-

orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah

kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala

sesuatu.”

b. Al-Hadis

ثن زكريا بن عدي أخبرنا عبيد للا عن عبدللا بن حمددب بن عيي ب عن اا حد

بيع إلى رسول للا صلى للا عليه وسلم با برب قال : ااءت احرت سعد بن الر

أبوهدا حعك سعد بن البيع قت بنتيها حن سعدب فيالت : يا رسول للا هاتان ابنتا

هدا أخذ حالهدا فلم يدع مان إل ولهدا لهدا حال ول ينك في أحدب شهيدا وإن عد

هلل صلى أرس رسول ف زلت أية الديراث فن قال يال ييضى للا في ذلك ف حال

هدا فيال للا هدا الثدن : أ عليه وسلم إلى عد وحا عط إبنتي سعد الثلثين و أح

10(و لك )رواه ابن حااةيي فه ب

Dari Jabir ibnu Abdullah berkata : “Telah datang istri Sa’ad bin Rabi

kepada Rasulullah SAW. Dengan membawa kedua anak perempuannya dari

Sa’ad bin Rabi lalu berkata : “Yaa Rasulullah, ini dua anak perempuan

Sa’ad. Yang bapak dari kedua anak ini, telah terbunuh bersama engkau

dalam perang Uhud dalam keadaan syahid. Sesungguhnya paman dari kedua

anak ini, telah mengambil harta dari keduanya, serta tidak meninggalkan

harta untuk mereka, tidak menikahkan keduanya kecuali jika ada harta, lalu

10 Abî Abdîllah Muhammad bin Yazîd al-qazwâînî, Sunan Ibnu Mâjah, (Riyâd:

Maktabah almâ’arif linatsri wa attâuzî’i), h. 462.

Page 27: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

17

Rasulullah SAW bersabda : Allah akan memberikan atas hukum ini, lalu

turunlah ayat tentang waris. Kemudian Rasulullah SAW, membawa mereka

pada pamannya. Lalu Nabi bersabda : “berikanlah kedua anak Sa’ad 2/3

harta, ibunya 1/8 harta dan sisanya untukmu”. (HR. Ibnu Mâjah)

عن إبن عباس رضي للا عنه عن النبي صلى للا عليه وسلم قال : الميوا

11(لى را ب ذكرب )رواه الدسلمئض باهلها فدا بيي فهو لو الفرا

“Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi SAW beliau bersabda : “berikanlah harta

pusaka kepada yang berhak, dan seberapa yang tinggal itu untuk laki-laki

yang paling dekat (kepada yang meninggal)”. (HR. Muslim)

c. Ijtihad Para Ulama

Meskipun al-Qur’an dan al-Hadis sudah memberikan ketentuan terperinci

mengenai pembagian harta warisan, dalam beberapa hal masih diperlukan

adanya ijtihad, yaitu terhadap hal-hal yang tidak ditentukan dalam al-Qur’an

maupun al-Hadis. Misalnya mengenai bagian warisan banci (waria),

diberikan kepada siapa harta warisan yang tidak habis terbagi, bagian ibu

apabila hanya bersama-sama dengan ayah dan suami atau istri dan

sebagainya.12

B. Asas-asas Hukum Kewarisan Islam

Hukum Kewarisan Islam mengandung berbagai asas yang dalam

beberapa hal berlaku pula dalam hukum kewarisan yang bersumber dari akal

manusia. Di samping itu Hukum Kewarisan Islam dalam hal tertentu

mempunyai corak tersendiri, berbeda dengan hukum kewarisan yang lain.

Berbagai asas hukum ini memperlihatkan bentuk karakteristik dari Hukum

Kewarisan Islam itu. Asas-asas tersebut adalah: asas ijbari, asas bilateral,

asas individual, asas keadilan berimbang dan asas semata akibat kematian.13

1. Asas Ijbari

11 Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim (Riyadh: Darus Salam,

1998), hlm 705. 12 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 21. 13 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group 2008), h.

17.

Page 28: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

18

Dalam hukum Islam peralihan harta dari orang yang telah meninggal

kepada orang yang masih hidup berlaku dengan sendirinya tanpa usaha dari

yang akan meninggal atau kehendak yang akan menerima. Cara peralihan

seperti ini disebut secara Ijbari.14

Kata Ijbari sendiri secara leksikal mengandung arti paksaan

(compulsory), yaitu melakukan sesuatu di luar kehendak sendiri. Pengertian

“wali mujbir” dalam terminologi fikih munakahat mengandung arti si wali

dapat mengawinkan anak gadisnya di luar kehendak anak gadisnya dan tanpa

memerlukan persetujuan dari anak yang akan dikawinkannya. Begitu pula

kata Ijbari dalam terminologi Ilmu Kalam mengandung arti paksaan, dengan

arti semua perbuatan yang dilakukan oleh seseorang hamba, bukanlah atas

kehendak dari hamba tersebut tetapi adalah sebab kehendak dan kekuasaan

Allah, sebagaimana yang berlaku menurut aliran kalam Jabariyah.15

Adanya unsur Ijbari dalam sistem kewarisan Islam tidak akan

memberatkan orang yang akan menerima waris, karena menurut ketentuan

hukum Islam ahli waris hanya berhak menerima harta yang ditinggalkan dan

tidak berkewajiban memikul utang yang ditinggalkan pewaris.16. Andai kata

pewaris mempunyai utang yang lebih besar daripada warisan yang

ditinggalkannya, ahli waris tidak dibebani membayar semua utang pewaris

itu. Berapa pun besarnya utang pewaris, utang itu hanya akan dibayar sebesar

warisan yang ditinggalkan oleh pewaris tersebut. Kalau seluruh harta sebesar

warisan sudah dibayarkan utang, kemudian masih ada sisa utang, maka ahli

waris tidak diwajibkan membayar sisa utang tersebut. Kalaupun ahli waris

hendak membayar sisa utang, pembayaran itu bukan merupakan sesuatu

14 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

17. 15 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.,

17 16 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.,

18

Page 29: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

19

kewajiban yang diletakkan oleh hukum, melainkan karena dorongan

moralitas/akhlak ahli waris yang baik.17

Adanya asas ijbari dalam Hukum Kewarisan Islam dapat dilihat dari

beberapa segi, yaitu dari segi peralihan harta, dari segi jumlah harta yang

beralih, dan dari segi kepada siapa harta itu beralih.18

Unsur ijbari dari segi peralihan mengandung arti bahwa harta orang yang

mati itu beralih dengan sendirinya, bukan dialihkan siapa-siapa kecuali Allah

SWT. Oleh karena itulah kewarisan dalam Islam diartikan dengan “peralihan

harta”, bukan “pengalihan harta”, karena pada peralihan berarti beralih

dengan sendirinya sedangkan pada ‘pengalihan’ tampak usaha seseorang.

Asas ijbari dalam peralihan ini dapat dilihat dari firman Allah dalam surah

an-Nisaa’ (4) ayat 7.

Kemudian yang kedua, bentuk ijbari dari segi jumlah berarti bahwa

bagian atau hak ahli waris dalam harta warisan sudah jelas ditentukan oleh

Allah, sehingga pewaris maupun ahli waris tidak mempunyai hak untuk

menambah atau mengurangi apa yang telah ditentukan itu. Setiap pihak

terikat kepada apa yang telah ditentukan itu. Adanya unsur ijbari dari segi

jumlah itu dapat dilihat dari kata “mafrudan” yang secara etimologis berarti

‘telah ditentukan atau telah diperhitungkan’. Kata-kata tersebut dalam

terminologi Ilmu Fikih berarti sesuatu yang telah diwajibkan Allah kepada

hambanya. Dengan menggabungkan kedua kemungkinan pengertian itu,

maka maksudnya ialah: “sudah ditentukan jumlahnya dan harus dilakukan

sedemikian rupa secara mengikat dan memaksa”. Sedangkan bentuk yang

ketiga yaitu penerima peralihan harta berarti bahwa mereka yang berhak atas

harta peninggalan itu sudah ditentukan secara pasti, sehingga tidak ada suatu

kekuasaan manusia pun dapat mengubahnya dengan cara memasukkan orang

lain atau mengeluarkan orang yang berhak. Adanya unsur ijbari dapat

17 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 23. 18 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam. (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

19.

Page 30: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

20

dipahami dari kelompok ahli waris sebagaimana disebutkan Allah dalam ayat

11, 12, dan 176 dari surah an-Nisaa’.19

2. Asas Bilateral

Asas Bilateral dalam Hukum Kewarisan Islam mengandung arti bahwa

harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah

pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari

kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki

dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.20 Pada prinsipnya asas ini

menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk

mewarisi atau diwarisi.21

Asas Bilateral ini dapat secara nyata dilihat dari firman Allah dalam

Surah An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176. Dalam ayat 7 dijelaskan bahwa

seseorang laki-laki berhak mendapat warisan dari pihak ayahnya dan juga

dari pihak ibunya. Begitu juga seorang perempuan, perempuan berhak

menerima harta warisan dari pihak ayahnya dan juga dari pihak ibunya. Ayat

ini merupakan dasar bagi kewarisan bilateral itu. Secara terinci asas bilateral

itu dapat dipahami dalam ayat-ayat selanjutnya.22

Dalam QS. an-Nisaa’ ayat 11 menegaskan dua hal:

a. Anak perempuan berhak menerima warisan dari kedua orang tuanya

sebagaimana yang didapat oleh anak laki-laki dengan perbandingan

seorang anak laki-laki menerima sebanyak yang didapat dua orang

perempuan.

b. Ibu berhak menerima warisan dari anaknya baik laki-laki ataupun

perempuan, begitu juga ayah sebagai ahli waris laki-laki berhak menerima

19 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

19. 20 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

20. 21 Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Citra

Aditya Bakti. 1999), h. 5. 22 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

20.

Page 31: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

21

warisan dari anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan sebesar

seperenam bila pewaris meninggalkan anak.23

Dalam QS. An-Nisaa ayat 12 juga menegaskan dua hal:

a. Apabila pewaris adalah seorang anak laki-laki yang tidak memiliki

pewaris langsung (anak atau ayah), maka saudara laki-laki dan atau

perempuannya berhak menerima bagian dari harta tersebut.

b. Apabila pewaris adalah seorang perempuan yang tidak memiliki ahli waris

langsung (anak atau ayah), maka saudara yang laki-laki dan atau

perempuannya berhak menerima harta tersebut.24

Dan QS. An-Nisaa ayat 176 juga menyatakan dua hal:

a. Seorang laki-laki yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke bawah)

sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki dan perempuan, maka

saudaranya itu berhak menerima warisannya.

b. Seorang perempuan yang tidak mempunyai keturunan (ke atas dan ke

bawah) sedangkan ia mempunyai saudara laki-laki maupun perempuan,

maka saudaranya itu berhak menerima warisannya.

3. Asas Individual

Hukum Islam mengajarkan asas kewarisan secara individual, dalam arti

harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki

secara perorangan. Dalam pelaksanaannya masing-masing ahli waris

menerima bagiannya tanpa terikat dengan ahli waris yang lain. Keseluruhan

harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu yang kemudian jumlah tersebut

dibagikan kepada setiap ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar

bagian masing-masing.25 Sifat individual dalam kewarisan itu dapat dilihat

23 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 25. 24 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 27. 25 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

21.

Page 32: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

22

dari aturan-aturan Alquran yang berkaitan dengan pembagian harta warisan

itu sendiri. Firman Allah dalam Surah An-Nisaa’ ayat 7:

“Bagi orang laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa dan

kerabatnya, dan bagi orang wanita ada hak bagian (pula) dari harta

peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut

bahagian yang telah ditetapkan.”

Secara garis besar ayat di atas menjelaskan bahwa laki-laki maupun

perempuan berhak mendapatkan warisan dari orang tua dan kerabat dekatnya,

terlepas dari jumlah harta tersebut, dengan bagian yang telah ditentukan.26

Pengertian berhak atas warisan bukan berarti warisan itu harus

dibagi-bagikan. Bisa saja warisan itu dibagi-bagikan asal dikehendaki oleh

ahli waris yang bersangkutan, atau keadaan menghendakinya. Misalnya

seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan seorang istri dan anak-

anak yang masih kecil. Apapun alasannya, dalam keadaan seperti ini, keadaan

menghendaki warisan tidak dibagi-bagikan. Tidak dibagikannya warisan ini

demi kemaslahatan para ahli waris itu sendiri. Yang lebih penting tidak

dibagi-bagikannya warisan itu tidak menghapuskan hak mewaris para ahli

waris yang bersangkutan.27

4. Asas Keadilan Berimbang

Kata adil merupakan kata bahasa Indonesia yang berasal dari kata al-

‘adlu. Di dalam al-Qur’an kata al-‘adlu atau turunannya disebutkan lebih dari

28 kali. Sebagian di antaranya diturunkan Allah dalam bentuk kalimat

perintah dan sebagian dalam bentuk kalimat berita. Kata al-‘adlu itu

26 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 28. 27 Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Citra

Aditya Bakti. 1999), h. 5.

Page 33: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

23

dikemukakan dalam konteks yang berbeda dan arah yang berbeda, sehingga

akan memberikan definisi yang berbeda sesuai dengan konteks dan tujuan

penggunaannya. Hubungannya dengan masalah kewarisan, kata tersebut

dapat diartikan keseimbangan antara hak dan kewajiban serta keseimbangan

antara yang diperoleh dengan keperluan dan kegunaannya.28

Sebagaimana laki-laki, perempuan juga mendapatkan hak yang sama

kuat untuk mendapatkan warisan. Hal ini secara jelas disebutkan dalam

Alquran Surah An-Nisaa’ ayat 7 yang menyamakan kedudukan laki-laki dan

perempuan dalam hal mendapatkan warisan. Pada ayat 11, 12, 176 Surah An

Nisaa’ secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima antara laki-

laki dan anak perempuan, ayah dan ibu (ayat 11), suami dan istri (ayat 12),

saudara laki dan saudara perempuan (ayat 12 dan 176).29

Asas ini mengandung arti harus senantiasa terdapat keseimbangan antara

hak dan kewajiban, antara yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang

harus ditunaikannya. Laki-laki dan perempuan misalnya, mendapat hak yang

sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing (kelak) dalam

kehidupan keluarga dan masyarakat. Dalam sistem kewarisan Islam, harta

peninggalan yang diterima oleh ahli waris dari pewaris pada hakikatnya

adalah kelanjutan tanggung jawab pewaris terhadap keluarganya. Oleh karena

itu, perbedaan bagian yang diterima oleh masing-masing ahli waris

berimbang dengan perbedaan tanggung jawab masing-masing terhadap

keluarga. Seorang laki-laki menjadi penanggung jawab kehidupan keluarga,

mencukupi keperluan hidup dan istrinya. Tanggung jawab itu merupakan

kewajiban agama yang harus dilaksanakannya, terlepas dari persoalan apakah

istrinya mampu atau tidak, anaknya memerlukan bantuan atau tidak.30

5. Asas Semata Akibat Kematian

28 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

24. 29 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

24. 30 Daud Ali, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesi (Jakarta:

Raja Grafindo, 1998), h. 129-130.

Page 34: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

24

Hukum Islam menetapkan bahwa peralihan harta seseorang kepada

orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya berlaku setelah yang

mempunyai harta meninggal dunia. Asas ini berarti bahwa seseorang tidak

dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai

harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta

seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah

ia mati, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum Islam.

Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu bentuk

kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam Hukum

Perdata atau BW disebut dengan kewarisan ab intestato dan tidak mengenal

kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada waktu masih hidup yang

disebut kewarisan bij testament.31

Asas kewarisan akibat kematian ini mempunyai kaitan erat dengan asas

ijbari yang disebutkan sebelumnya. Pada hakikatnya, seseorang yang telah

memenuhi syarat sebagai subjek hukum dapat menggunakan hartanya secara

penuh untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan sepanjang hayatnya.

Namun, setelah meninggal dunia, ia tidak lagi memiliki kebebasan tersebut.

Kalaupun ada, maka pengaturan untuk tujuan penggunaan setelah kematian

terbatas dalam koridor maksimal sepertiga dari hartanya, dilakukan setelah

kematiannya, dan tidak disebut dengan istilah kewarisan.

\Asas kewarisan akibat kematian ini dapat digali dari penggunaan kata-

kata “waratsa”, yang banyak terdapat dalam al-Qur’an. Kata waratsa

ditemukan beberapa kali digunakan dalam ayat-ayat kewarisan. Dari

keseluruhan pemakaian kata itu terlihat bahwa peralihan harta berlaku setelah

yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Makna terakhir ini akan lebih

jelas bila semua kata-kata waratsa yang terdapat dalam ayat-ayat kewarisan

dianalisa dan dihubungkan dengan kata waratsa yang terdapat di luar ayat-

31 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

28.

Page 35: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

25

ayat kewarisan. Kata ini cukup banyak dipergunakan dalam al-Qur’an baik

dalam pengertian sebenarnya atau tidak.32

C. Pewaris, Harta Warisan, dan Ahli Waris

Pewaris, harta warisan, dan ahli waris merupakan bagian dari rukun-

rukun waris. Definisi rukun sendiri menurut bahasa yaitu sesuatu dianggap

rukun apabila posisinya kuat dan dijadikan sandaran, sedangkan menurut

istiah, rukun adalah keberadaan sesuatu yang menjadi bagian atas keberadaan

sesuatu yang lain. Dengan kata lain, rukun adalah sesuatu yang

keberadaannya mampu menggambarkan sesuatu yang lain, baik sesuatu itu

hanya bagian dari sesuatu yang lain maupun yang mengkhususkan sesuatu

itu. Dengan demikian rukun waris adalah sesuatu yang harus ada untuk

mewujudkan bagian harta waris di mana bagian harta waris tidak akan

ditemukan bila tidak ada rukun-rukunnya. Dari pembahasan yang ada, maka

rukun-rukun waris ada tiga, yaitu pewaris (muwarits), ahli waris (waarits),

dan harta peninggalan (mauruts).33

1. Pewaris / Muwarits (Orang yang Meninggalkan Harta Waris)

Muwarits adalah orang yang meninggal dunia dan meninggalkan harta

waris. Kamus Bahasa Indonesia menyebut orang yang meninggalkan harta

waris disebut dengan istilah “pewaris”, sedangkan dalam kitab fiqh disebut

muwarits.34 Bagi muwarits berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan

miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik

menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarits menurut

para ulama fiqh dibedakan menjadi 3 macam, yaitu, mati haqiqy (sejati), mati

32 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

28. 33 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 27. 34 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 60.

Page 36: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

26

hukmy (berdasarkan keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan).35

Sebab syarat yang harus terpenuhi berkenaan dengan pewaris ini adalah

“telah jelas matinya”. Hal ini memenuhi prinsip kewarisan akibat kematian,

yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli waris setelah

kematiannya.36

Bila seseorang tidak jelas kematiannya dan tidak ada pula berita tentang

hidup atau matinya, maka hartanya tetap menjadi miliknya yang utuh

sebagaimana dalam keadaan yang jelas hidupnya. Menganggap seseorang itu

masih hidup selama belum ada kepastian tentang kematiannya, di kalangan

ahli Ushul Fiqh disebut “mengamalkan prinsip “istishab al-sifah”.37

Adapun definisi dari mati haqiqy (sejati), mati hukmy (berdasarkan

keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan) adalah sebagai berikut:

a. Mati Haqiqy, ialah hilangnya nyawa seseorang yang semula nyawa itu

sudah berwujud padanya. Kematian ini dapat disaksikan oleh panca indra

dan dapat dibuktikan dengan alat pembuktian. Sebagai akibat dari

kematian seluruh harta yang ditinggalkannya dikurangi untuk memenuhi

hak-hak yang bersangkutan dengan harta peninggalannya, beralih dengan

sendirinya kepada ahli waris yang masih hidup di saat kematian

muwarits, dengan syarat tidak terdapat salah satu halanga mempusakai.

b. Mati Hukmy, ialah suatu kematian disebabkan oleh adanya vonis hakim,

baik pada hakikatnya, seseorang benar-benar masih hidup, maupun

dalam dua kemungkinan antara hidup dan mati. Sebagai contoh orang

yang telah divonis mati, padahal ia benar-benar masih hidup. Vonis ini

dijatuhkan terhadap orang murtad yang melarikan diri dan bergabung

dengan musuh, vonis mengharuskan demikian karena menurut syariat

selama tiga hari dia tiada bertaubat, harus dibunuh.

35 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan Hukum

Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 60. 36 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group. 2008), h.

206. 37 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

206.

Page 37: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

27

Demikian juga vonis kematian terhadap mafqud, yaitu orang yang tidak

diketahui kabar beritanya, tidak dikenal domisilinya dan tidak diketahui

hidup dan matinya. Jika hakim telah menjatuhkan vonis mati terhadap

dua jenis orang tersebut maka berlakunya kematian sejak tanggal yang

termuat dalam vonis hakim, walaupun larinya si murtad atau

kepergiannya si mafqud sudah 15 tahun sebelum vonis, dan harta

peninggalannya baru dapat diwarisi oleh ahli warisnya sejak tanggal yang

termuat dalam vonis itu. Oleh karena itu, para ahli waris yang masih

hidup sejak vonis kematiannya berhak mempusakai, karena orang yang

mewariskan seolah-olah telah mati sejati di saat vonis dijatuhkan dan ahli

waris yang mati mendahului vonis sudah tidak berhak terhadap harta

peninggalannya.

c. Mati Taqdiry, ialah suatu kematian yang bukan haqiqy dan bukan

hukmy, tetapi semata-mata hanya berdasarkan dugaan keras. Misalnya

kematian seorang bayi yang baru dilahirkan akibat terjadi pemukulan

terhadap perut ibunya atau pemaksaan agar ibunya minum racun.

kematian tersebut hanya semata-mata berdasarkan dugaan keras, dapat

juga disebabkan oleh yang lain, namun kuatnya perkiraan atas akibat

perbuatan semacam itu.38

2. Harta Warisan (Mauruts)

Harta warisan menurut Hukum Islam ialah segala sesuatu yang

ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli

warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dengan

harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si

mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya,

38 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 61.

Page 38: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

28

sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’

berhak diterima oleh ahli warisnya.39

Harta peninggalan dalam kitab fiqh biasa disebut tirkah, yaitu apa-apa

yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal dunia berupa harta secara

mutlak. Jumhur Fuqaha’ berpendapat bahwa tirkah ialah segala apa yang

menjadi milik seseorang, baik harta benda maupun hak-hak kebendaan yang

diwarisi oleh ahli warisnya setelah ia meninggal dunia. Jadi, di samping harta

benda, juga hak-hak, termasuk hak kebendaan maupun bukan kebendaan

yang dapat berpindah kepada ahli warisnya. Seperti hak menarik hasil dari

sumber air, piutang, benda-benda yang digadaikan oleh si mayit dan lain-

lain.40

Harta peninggalan sendiri jika ditarik dari lafalnya, maka ia berasal dari

kata at-tarikah atau at-tirkah (tirkah), yang merupakan masdar yang

bermakna maf’ul (objek) yang berarti matrukah (sesuatu yang ditinggalkan).

Tirkah menurut bahasa, yaitu sesuatu yang ditinggalkan dan disisakan oleh

seseorang. Sedangkan menurut istilah, tirkah adalah seluruh yang

ditinggalkan mayit berupa harta dan hak-hak yang tetap secara mutlak. Hak-

hak tersebut antara lain, biaya-biaya perawatan mayit, hak-hak yang terkait

dengan harta waris, hutang-hutang, wasiat, dan harta waris.41

3. Ahli Waris (Warits)

Ahli waris atau disebut juga warits dalam istilah fikih ialah orang yang

berhak atas harta warisan yang ditinggalkan oleh orang yang meninggal.

Mereka baru berhak menerima warisan secara hukum dengan terpenuhinya

persyaratan sebagai berikut:

a. Ahli waris itu telah atau masih hidup pada waktu meninggalnya pewaris

39 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

206. 40 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 57. 41 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 67-68.

Page 39: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

29

b. Tidak ada hal-hal yang menghalanginya secara hukum untuk menerima

warisan

c. Tidak terhijab atau tertutup secara penuh oleh ahli waris yang lebih

dekat.42

Lebih jelasnya, ahli waris dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga) bagian,

yakni (1) Ashabul furudh, (2) Ashabah, dan (3) Dzawil Arham.43

1) Ashabul Furudh

Ashabul Furudh adalah orang yang mempunyai bagian harta

peninggalan yang sudah ditentukan oleh al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijma’.

Adapun bagian yang sudah ditentukan adalah 1/2, 1/4, 1/6, 1/8, 1/3, dan

2/3. Ahli waris Ashabul Furudh itu adalah :

a) Anak perempuan. Bagian anak perempuan adalah sebagai berikut :

(1) 1/2 kalau ia sendiri saja (dan tidak bersama anak laki-laki)

(2) 2/3 kalau anak perempuan ada dua atau lebih dan tidak bersama

laki-laki

b) Cucu Perempuan dari anak laki-laki. Bagian cucu perempuan adalah :

(1) 1/2 kalau ia sendiri saja atau;

(2) 2/3 kalau ia ada dua orang atau lebih dan tidak bersama dengan

cucu laki-laki, kemudian di antara mereka berbagi sama banyak.

(3) 1/6 jika seorang atau lebih jika bersama-sama dengan seorang

anak perempuan (yakni untuk menyempurnakan 2/3)

(4) Ashabah jika bersama dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki

yang sama tingkatannya atau di bawahnya.

(5) Mahjub (terhalang) oleh : anak laki-laki, dan dua anak perempuan

atau lebih jika tidak ada yang menarik ashabah.

c) Ibu. Bagian ibu adalah:

42 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

211. 43 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 63.

Page 40: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

30

(1) 1/6 apabila ia bersama dengan anak atau cucu dari anak laki-laki

atau dua orang saudara baik seibu, seayah, ataupun seibu saja atau

lebih.

(2) 1/3 apabila tidak ada anak, cucu, tetapi hanya bersama ayah

(3) 1/3 dari sisa bila ibu tidak bersama anak atau cucu, tetapi bersama

dengan suami atau istri.

d) Ayah.

(1) 1/6 jika bersama dengan anak atau cucu laki-laki

(2) 1/6 + sisa jika bersama dengan anak perempuan atau cucu

perempuan dari anak laki-laki.

(3) sisa (ashabah), jika tidak ada anak atau cucu dari anak laki-laki.

e) Kakek.

(1) Kedudukan kakek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada

bapak

(2) 1/6 bagian jika pewaris mempunyai anak

(3) 1/6 bagian + sisa jika pewaris mempunyai satu anak perempuan

(4) sisa, jika pewaris tidak mempunyai anak

f) Nenek.

(1) kedudukan nenek sebagai ahli waris baru terbuka jika tidak ada

ibu

(2) Bagian nenek adalah 1/6 bagian, baik sendirian maupun bersama.

g) Suami

(1) 1/4 apabila bersama-sama dengan anak atau cucu

(2) 1/2 apabila tidak ada anak atau cucu

h) Istri

(1) 1/8 apabila bersama dengan anak atau cucu

(2) 1/4 apabila tidak bersama dengan anak atau cucu

i) Saudara perempuan kandung.

(1) 1/2 apabila hanya sendiri dan tidak ada saudara laki-laki

(2) 2/3 apabila dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki.

j) Saudara perempuan seayah

Page 41: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

31

(1) 1/2 apabila hanya sendiri dan tidak ada saudara seayah laki-laki

(2) 2/3 apabila dua orang atau lebih dan tidak ada saudara laki-laki

seayah

(3) 1/6 apabila bersama seorang saudara kandung perempuan

k) Saudara perempuan seibu

(1) 1/6 kalau ia hanya seorang diri

(2) 1/3 untuk dua orang atau lebih dan kemudian berbagi sama

banyak

l) Saudara laki-laki seibu.

(1) 1/6 kalau ia hanya seorang

(2) 1/3 kalau lebih dari seorang.44

2) Ahli waris Ashabah

Dalam Hukum Kewarisan Islam, di samping terdapat ahli waris

dengan bagian yang ditentukan atau ashabul furudh / dzawil furudh yang

merupakan kelompok terbanyak, terdapat pula ahli waris yang bagiannya

tidak ditentukan secara Furudh, baik dalam al-Qur’an maupun dalam

hadits Nabi. Mereka bisa mendapatkan seluruh harta dalam kondisi tidak

adanya ahli waris ashabul furudh atau sisa harta setelah dibagikan terlebih

dahulu kepada ashabul furudh yang ada. Mereka mendapat bagian yang

tidak ditentukan; terbuka, dalam arti dapat banyak atau sedikit, atau tidak

ada sama sekali.45

Ahli waris ashabah akan mendapatkan bagian harta peninggalan,

tetapi tidak ada ketentuan bagian yang pasti. Baginya berlaku :

a) jika tidak ada kelompok ahli waris yang lain, maka semua harta

waris untuk ahli waris ashabah

b) jika ada ahli waris ashabul furudh maka ahli waris ashabah

menerima sisa dari ashabul furudh tersebut

44 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

225-229. 45 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

230.

Page 42: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

32

c) jika harta waris telah dibagi habis oleh ahli waris ashabul furudh

maka ahli waris ashabah tidak mendapat apa-apa.46

Ahli waris ashabah ini terdiri dari orang-orang yang mempunyai

hubungan darah dari garis keturunan laki-laki, seperti anak laki-laki, ayah,

saudara laki-laki, kakek. Dalam keadaan tertentu anak perempuan juga

mendapat ashabah apabila ia didampingi atau bersama saudaranya laki-

laki. Kelompok ashabah menerima pembagian harta waris setelah

selesainya pembagian untuk ashabul furudh.47

Yang termasuk ahli waris ashabah, yakni sebagai berikut :

a) Anak laki-laki

b) Cucu laki-laki walaupun sampai ke bawah

c) Bapak

d) Kakek

e) Saudara laki-laki kandung

f) Saudara laki-laki seayah

g) Anak laki-laki saudara laki-laki kandung (keponakan)

h) Anak laki-laki saudara laki-laki sebapak (keponakan)

i) Paman Kandung

j) Paman sebapak

k) Anak laki-laki paman sekandung

l) Anak laki-laki paman sebapak

Ashabah terbagi menjadi dua bagian, yaitu ‘Ashabah Sababiyyah

dan Ashabah Nasabiyyah. ‘Ashabah Sababiyyah adalah ‘ashabah dari

orang yang memerdekakan budak, baik laki-laki maupun perempuan.48

46 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 65 47 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 65. 48 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 253.

Page 43: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

33

Sedangkan Ashabah Nasabiyyah atau ‘ashabah senasab adalah

mereka yang menjadi kerabat si mayit dari laki-laki yang tidak diselingi,

antaranya dan antara si mayit, oleh seorang perempuan, sepeti anak, bapak,

saudara kandung atau saudara sebapak dan paman kandung atau paman

sebapak. Termasuk di dalamnya anak perempuan apabila ia menjadi

‘ashabah dengan saudaranya (anak laki-laki) atau saudara perempuan

kandung atau sebapak yang menjadi ashabah karena ada bersama anak

perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-laki atau karena ada

bersama keduanya.49

Namun jika diselingi oleh seorang perempuan yang satu keturunan

dengan si mayit, orang itu menjadi dzawil arham, seperti bapaknya ibu dan

cucu laki-laki dari anak perempuan atau bisa juga termasuk ashabul furudh

seperti saudara seibu.50

Adapun pembagian ashabah nasabiyyah adalah sebagai berikut :

a) Ashabah Binnafsihi (dengan sendirinya)

Ashabah Binnafsihi adalah kerabat laki-laki yang dipertalikan

dengan si mayit, tanpa diselingi oleh ahli waris perempuan. Atau ahli

waris yang langsung menjadi ashabah dengan sendirinya tanpa

disebabkan oleh orang lain. Misalnya anak laki-laki, cucu laki-laki,

cucu laki-laki dari anak laki-laki, ayah, saudara laki-laki sekandung.

Mereka itu dengan sendirinya boleh menghabiskan harta, setelah harta

peninggalan tersebut dibagikan kepada ashabul furudh.51

b) Ashabah Bilghairi (bersama orang lain)

Ialah orang perempuan yang menjadi ashabah beserta orang

laki-laki yang sederajat dengannya (setiap perempuan yang

49 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 253. 50 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 254 51 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 66.

Page 44: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

34

memerlukan orang lain dalam hal ini laki-laki untuk menjadikan

ashabah, dan secara bersama-sama menerima ashabah). Kalau orang

lain itu tidak ada, ia tidak menjadi ashabah, melainkan menjadi

ashabul furudh biasa. Seperti :

(1) Anak perempuan beserta anak laki-laki

(2) Cucu perempuan beserta cucu laki-laki

(3) Saudara perempuan sekandung beserta saudara lelaki sekandung

(4) Saudara perempuan sebapak beserta saudara laki-laki sebapak52

c) Ashabah Ma’al ghairi (karena orang lain)

Ashabah Ma’al ghairi ialah orang yang menjadi ashabah

disebabkan ada orang lain yang bukan ashabah. (Setiap perempuan

yang memerlukan orang lain untuk menjadikan ashabah, tetapi orang

lain tersebut tidak berserikat menerima ashabah). Orang lain tersebut

tidak ikut menjadi ashabah. Akan tetapi, kalau orang lain tersebut

tidak ada maka ia menjadi ashabul furudh biasa. Seperti :

(1) Saudara perempuan sekandung (seorang atau lebih), bersamaan

dengan anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersamaan

dengan cucu perempuan (seorang atau lebih)

(2) Saudara perempuan sebapak (seorang atau lebih) bersama dengan

anak perempuan (seorang atau lebih) atau bersama dengan cucu

perempuannya (seorang atau lebih)

Saudara perempuan sekandung atau sebapak dapat menjadi

ashabah ma’al ghairi apabila mereka tidak bersama saudara laki-laki.

Apabila mereka bersama saudara laki-laki maka kedudukannya

menjadi ashabah bil ghairi.53

3) Dzawil Arham

52 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 66. 53 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 66.

Page 45: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

35

Dalam istilah ulama fikih, dzawil arham berarti seluruh kerabat

yang bukan ashabul furudh dan bukan ashabah. Karena itu, semua kerabat

yang tidak berhak mendapatkan warisan bagian tetap (ashabul furudh)

ataupun ashabah, disebut dzawil arham.54 Mereka juga dianggap kerabat

yang jauh pertalian nasabnya.55

Adapun dzawil arham adalah sebagai berikut :

a) Cucu (laki-laki atau perempuan) dari anak perempuan

b) Anak laki-laki dan anak perempuan dari cucu perempuan

c) Kakek pihak ibu (bapak dari ibu)

d) nenek dari pihak ibu (ibu kakek)

e) Anak perempuan dari saudara laki-laki (yang sekandung sebapak

maupun seibu)

f) Anak laki-laki dan saudara laki-laki seibu

g) Anak (laki-laki maupun perempuan) saudara perempuan (sekandung

sebapak atau seibu)

h) Bibi (saudara perempuan dari bapak) dan saudara perempuan dari

kakek.

i) Paman yang seibu dengan bapak dan saudara laki-laki yang seibu

dengan kakek

j) Saudara laki-laki dan saudara perempuan dari ibu

k) Anak perempuan dari paman

l) Bibi pihak ibu (saudara perempuan dari ibu)56

Dzawil arham dalam pengertian yang disebutkan di atas itu berhak

menjadi ahli waris dan bagaimana caranya ia dapat menjadi ahli waris

merupakan topik perbincangan di kalangan ulama. Segolongan ulama

54 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 338 55 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 67. 56 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 67.

Page 46: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

36

terdiri dari Umar, Ali, Abdullah, Ubaidah bin al-Jarah, Mu’adz ibn Jabal

dan Abu Darda’ dari kalangan sahabat dan ulama sesudahnya seperti

Syureih, Umar bin Abdul Aziz, ‘Atha’, Thaus, Alqamah, Masruq, Ahmad,

dan ahli Kuffah berpendapat bahwa dzawil arham berhak menjadi ahli

waris bila tidak terdapat ahli waris ashabul furudh dan ashabah atau dalam

arti ahli warisnya hanya terdiri dari suami atau istri.57

Golongan ini mendasarkan pendapatnya dari ayat al-Qur’an surah

al-Anfal ayat 75:

...... ............

“Orang-orang yang mempunyai hubungan Kerabat itu sebagiannya lebih

berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat) di dalam kitab

Allah.”

Mafhum (pemahaman) dari surah tersebut ialah kerabat dzawil

arham itu lebih layak menerima warisan daripada kaum Muslimin pada

umumnya. Kalau dzawil arham mempunyai dua hubungan pertalian, yaitu

pertalian nasab dan pertalian keislaman, sedang kaum muslimin hanya

mempunyai satu hubungan, yaitu pertalian keislaman. Jadi, harta warisan

itu lebih layak diserahkan kepada dzawil arham daripada diserahkan

kepada baitul Maal untuk kepentingan muslimin.58

Zaid bin Tsabit dari sahabat yang kemudian diamalkan oleh Malik,

al-Awza’i, al-Syafi’i, Abu Tsaur, Daud dan Ibnu Jarir yang berpendapat

bahwa dzawil arham tidak berhak menerima warisan. Harta yang ada baik

semua atau sisa harta diserahkan ke baitul maal. Sebagaimana dijelaskan

sebelum ini bahwa sebagian pengikut Imam al-Syafi’i seperti al-Muzanni

dan Ibnu Sureij dan begitu pula ulama mutakhir dari Syafi’iyah

berpendapat kelebihan harta diberikan kepada dzawil arham setelah

57 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

150. 58 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 68.

Page 47: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

37

diberikan kepada kerabat dalam bentuk raad seandainya baitul maal tidak

kredibel.59

Dalil yang dikemukakan oleh golongan ini adalah hadits Nabi yang

diriwayatkan Said dalam sunannya yang mengatakan bahwa Nabi suatu

ketika datang ke Quba untuk melakukan istikharah tentang saudara

perempuan ayah (‘amah) dan saudara perempuan ibu (khalah), kemudian

diturunkan wahyu kepadanya yang menyatakan keduanya tidak berhak

menerima waris. Saudara perempuan ayah dan anak perempuan dari

saudara tidak mewarisi meskipun bersama dengan saudara laki-lakinya,

berbeda halnya dengan saudara perempuan dan anak perempuan. Jika

dalam keadaan bersama ia tidak dapat mewaris, apalagi dalam kasus ia

seorang diri.60

D. Penghalang Warisan

Halangan mewarisi adalah tindakan atau hal-hal yang dapat

menggugurkan hak seseorang untuk mewarisi karena adanya sebab atau

syarat mewarisi. Namun, karena sesuatu maka mereka tidak dapat menerima

hak waris.61

Beberapa penghalang mewarisi terbagi menjadi dua bagian : pertama,

bagian yang telah disepakati; kedua, bagian yang diperselisihkan. Bagian

pertama (yang disepakati) ada tiga macam, yakni berlainan agama,

perbudakan, dan pembunuhan. Ketiga macam ini telah disepakati oleh para

ulama sebagai penghalang-penghalang mewarisi, sehingga dinamakan dengan

mawani’ (beberapa penghalang).62

59 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

150. 60 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

151. 61 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 75. 62 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 46.

Page 48: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

38

Sedangkan yang kedua (yang diperselisihkan), ada tiga macam:

pertama, murtad (keluar dari agama). Kedua, ketidakjelasan waktu kematian,

dan ketiga berlainan negara.63

Penjelasan lebih lanjut mengenai hal-hal di atas dapat dilihat dalam

paparan berikut ini:

1. Penghalang-penghalang yang Disepakati

a. Berlainan Agama

Para ahli fiqih telah bersepakat bahwasanya berlainan agama antara

orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah

satu penghalang dari beberapa penghalang mewarisi. Berlainan agama

terjadi antara Islam dengan yang selainnya. Agama ahli waris yang

berlainan merupakan penghalang untuk mewarisi dalam hukum waris.

Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan

seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir.64

Apabila seorang ahli waris yang berbeda agama beberapa saat sesudah

meninggalnya pewaris lalu masuk Islam, sedangkan peninggalan belum

dibagi-bagikan maka seorang ahli waris yang baru masuk Islam itu tetap

terhalang untuk mewarisi, sebab timbulnya hak mewarisi tersebut adalah

sejak adanya kematian orang yang mewariskan, bukan saat kapan

dimulainya pembagian harta peninggalan. Padahal pada saat kematian si

pewaris, ia masih dalam keadaan non Muslim (kafir), jadi mereka dalam

keadaan berlainan agama.65

Dasar hukumnya adalah :

63 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 47. 64 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 47. 65 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 78.

Page 49: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

39

الدسلم ليرث بي صلى للا عليه وسلم قال :عن أ ساحة بن زيدب رضي للا عنهدا أن الن

الكافر ول الكفر الدسلم )رواه الترحذي(66

“Dari Usamah bin Zaid bahwa Nabi Saw, bersabda : Seorang Muslim

tidak dapat mewarisi harta orang kafir dan orang kafir pun tidak dapat

mewarisi harta orang muslim” (H.R Tirmidzi)

b. Perbudakan

Di dalam Alquran telah digambarkan bahwa seorang budak tidak

cakap mengurus hak milik kebendaan dengan jalan apa saja. Hal ini sesuai

dengan firman Allah SWT Surah An-Nahl ayat 75. :

....

“Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang

dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun “

Perbudakan dianggap sebagai penghalang waris-mewarisi ditinjau dari

dua sisi. Oleh karena itu budak tidak dapat mewarisi harta peninggalan

dari ahli warisnya dan tidak dapat mewariskan harta untuk ahli warisnya.

Sebab, ketika ia mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya, niscaya

yang memiliki warisan tersebut adalah tuannya. Budak juga tidak dapat

mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya karena dianggap tidak

mempunyai sesuatu. Namun, seandainya dia mempunyai sesuatu, maka

kepemilikannya diaggap tidak sempurna (tidak stabil). Kemudian

kepemilikan tersebut beralih kepada tuannya.67

Status seorang budak tidak dapat menjadi ahli waris juga karena

dipandang tidak cakap mengurusi harta dan telah putus hubungan

kekeluargaan dengan kerabatnya. Dia tidak dapat mewariskan harta

66 Abu Musa Al-Tirmidziy, Al-Jami’u Ash-Shahih, Juz IV, (Kairo: Mustafa al-Babiy,

1983), hlm. 432 67 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 52.

Page 50: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

40

peninggalannya, sebab ia sendiri dan segala harta yang ada pada dirinya

adalah milik tuannya. Dia tidak memiliki harta.68

c. Pembunuhan

Pembunuhan ialah kesengajaan seseorang mengambil nyawa orang

lain secara langsung atau tidak langsung.69 Para ahli hukum Islam sepakat

bahwa tindakan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap

pewarisnya, menjadi penghalang baginya untuk mewarisi harta warisan

pewaris yang dibunuhnya.70 Berdasarkan hadits Nabi :

ليرث اليا ت عن أبي هريرة عن النبي صلى للا عليه و سلم قال

)رواه ابن حااة(71

“Dari Abu Hurairah dari Nabi Muhammad Saw, bersabda : “orang yang

membunuh tidak bisa menjadi ahli waris”

Alasan yang mendasari seorang pembunuh tidak dapat mewarisi harta

peninggalan orang yang dibunuh karena, terkadang, pembunuh memiliki

tendensi mempercepat kematian orang yang akan mewariskan, sehingga

dia dapat mewarisi harta peninggalannya. Diharamkannya mewarisi dari

hasil pembunuhan atas dasar sadd adz-dzara’i dan kaidah fikih yang

mengatakan, “Siapa yang mempercepat sesuatu sebelum masanya tiba,

maka untuk mendapatkan sesuatu tersebut menjadi haram”72

2. Penghalang-penghalang yang Diperselisihkan

a. Riddah

Riddah ialah keluar dari agama Islam. orangnya disebut murtad, baik

dalam keadaan dapat membedakan secara sadar, maupun dalam keadaan

bercanda. Para ulama fikih bersepakat bahwasanya riddah dapat

68 A. Hasan. Al-Faraid (Jakarta: Pustaka Progresif, 1996), h. 44. 69 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 56. 70 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 76. 71 Ibnu Majah, Sunanu Ibnu Majah, Juz II, (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t) hlm. 10 72 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 57.

Page 51: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

41

menghalangi hak mewarisi. Seseorang yang murtad tidak dapat mewarisi

harta peninggalan kerabatnya yang sama-sama murtad, orang kafir, dan

seorang muslim. Dengan demikian, tidak ada jalan untuk saling mewarisi

dari kerabatnya yang sama-sama murtad karena harta peninggalannya

merupakan fa’i.73

b. Berlainan negara

Berlainan negara ada tiga kategori, yaitu berlainan menurut

hukumnya, berlainan menurut hakikatnya, dan berlainan menurut hakikat

sekaligus hukumnya. Berlainan negara antara sesama muslim, telah

disepakati fuqaha bahwa hal in tidak menjadi penghalang untuk saling

mewarisi, sebab semua negara Islam mempunyai kesatuan hukum,

meskipun berlainan politik dan sistem pemerintahannya.74

Yang diperselisihkan adalah berlainan negara antara orang-orang yang

nonmuslim. Dalam hal ini menurut jumhur ulama tidak menjadi

penghalang mewarisi dengan alasan hadis yang melarang warisan antara

dua orang yang berlainan agama. Mafhum mukhalafahnya bahwa ahli

waris dan pewaris yang sama agamanya dapat saling mewarisi meskipun

berbeda negaranya.

Adapun menurut Imam Abu Hanifah dan sebagian Hanabilah bahwa

hal itu menjadi penghalang hak mewarisi, karena berlainan negara antara

orang-orang nonmuslim berarti terputusnya ishmah (kekuasaan) dan tidak

adanya hubungan perwalian sebagai dasar pewarisan. Adapun negara

dalam hakikatnya saja (muslim sama muslim) tidak berpengaruh dalam

segi hukum.75

c. Ketidakjelasan Waktu Kematian

73 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 60. 74 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 79. 75 Moh. Muhibbin dan Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan

Hukum Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), h. 80.

Page 52: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

42

Penghalang yang ketiga ini merupakan ketidakjelasan waktu

kematian. Bila orang yang dapat saling mewarisi meninggal dunia

bersama-sama, misalnya akibat tenggelam, kebakaran, kemudian tidak

diketahui siapa di antara mereka berdua yang lebih dahulu meninggal

dunia, maka kedua-duanya tidak dapat saling mewarisi. Hal tersebut

dikarenakan salah satu syarat waris-mewarisi ialah hidupnya orang yang

mewarisi di saat kematian orang yang mewariskan, sedangkan pada kasus

di atas syarat tersebut tidak terwujud. Dengan demikian, harta waris setiap

mayit yang meninggal akibat tenggelam atau lainnya dibagikan untuk ahli

waris mereka yang lain, karena Allah swt memberikan warisan kepada ahli

waris yang masih hidup di mana harta tersebut diambil dari kerabat yang

sudah meninggal dunia. Sedangkan pada kesempatan ini, kita tidak dapat

mengetahui hidupnya ahli waris, sehingga ahli waris itu tidak dapat

mewarisi.76

76 Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-Islami,

Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan Addys Aldizar dan

Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 63.

Page 53: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

43

BAB III

SISTEM PEMBAGIAN WARIS

DI KERATON KASEPUHAN CIREBON

A. Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan salah satu keraton tertua yang

masih berdiri di Indonesia. Keraton Kasepuhan Cirebon yang sebelumnya

merupakan Kesultanan Cirebon, awalnya didirikan atas dasar syiar Islam.

Tokoh pendirinya adalah Pangeran Cakrabuana yang bergelar Haji Abdullah

Iman, dan Syekh Syarif Hidayatullah atau yang lebih dikenal dengan Sunan

Gunung Jati. Kedua tokoh inilah yang mendirikan Kesultanan Cirebon1, di

mana Kesultanan Cirebon menjadi cikal bakal dari Keraton Kasepuhan yang

masih lestari sampai sekarang.

Sejarah Keraton Kasepuhan Cirebon tak terlepas dari sejarah awal

perkembangan penyebaran agama Islam dan Cirebon sebagai sebuah dukuh

kecil yang masih sepi dari penduduk. Menurut P.S Sulendraningrat yang

mendasarkan pada naskah Babad Tanah Sunda dan Atja pada naskah Carita

Purwaka Caruban Nagari, Cirebon pada awalnya adalah sebuah dukuh kecil

yang dibangun oleh Ki Gedeng Tapa (Ki Ageng Tapa / Ki Gedeng Jumajan

Jati). Ki Gedeng Tapa adalah seorang mangkubumi dari kerajaan Singapura

yang ditugasi untuk mengatur pelabuhan Muarajati yang berada di pesisir

Cirebon. Dari dukuh kecil yang dibangun inilah lama kelamaan berkembang

menjadi sebuah wilayah yang ramai dan diberi nama Caruban (Bahasa Sunda :

campuran), karena di sana bercampur para pendatang dari berbagai macam

suku bangsa, agama, bahasa, dan adat istiadat, serta mata pencaharian yang

berbeda-beda.2

1 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 2 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h. 98.

Page 54: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

44

P.S Sulendraningrat, dalam Babad tanah Sunda/babad Cirebon

menceritakan, Pangeran Walangsungsang / Pangeran Cakrabuana dan isterinya

beserta adiknya Ratu Rarasantang diperintahkan oleh gurunya yaitu Syekh

Nurjati atau Syekh Datuk Kahfi, untuk membuka sebuah lahan atau

pemukiman baru. Dalam perjalanannya ia menuju ke daerah yang bernama

Tegal Alang-alang (sekarang Lemahwungkuk), di mana ia bertemu dengan Ki

Danusela / Ki Gedheng Alang-alang.3 Ki Gedheng alang-alang, dalam

historiografi lokal digambarkan sebagai orang yang sangat terbuka terhadap

pemikiran dan ide-ide baru serta bersikap ramah terhadap siapa saja. Sikap

tersebut yang merupakan salah satu faktor yang mendorong para pendatang

yang berasal dari suku, agama, budaya, dan bahasa berbeda berkunjung bahkan

menetap di pedukuhan kecil ini.4

Pangeran Walangsungsang, beserta isteri dan adiknya Rara Santang

pada akhirnya menetap di dukuh kecil ini bersama Ki gedeng Alang-alang, dan

diakui sebagai anak serta ikut membangun pedukuhan kecil ini dengan

membuka hutan dan membuka perkebunan baru. Di samping itu,

Walangsungsang juga menangkap ikan dan rebon (udang kecil), dan kemudian

dari rebon itu diolah menjadi terasi dan dijual kepada masyarakat. Dukuh kecil

ini lama-kelamaan ramai oleh orang yang hendak membeli terasi, sekaligus

ikut berkebun dan menetap.5 Disamping itu sebagian besar warga yang tinggal

di dukuh ini juga bekerja sebagai pembuat petis dan juga ikut menangkap ikan.

Petis yang dibuat warga bahannya dari air udang atau dalam bahasa Sunda-nya

cai-rebon, lama-kelamaan masyarakat menyebutnya Cirebon.6

Ramainya pedukuhan kecil ini kemudian diketahui oleh Prabu Raja

Galuh, dan menyuruh bawahannya untuk memeriksa daerah tersebut.

Sesampainya di tempat yang dituju, para bawahan dari Galuh ini bertemu

3 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 12. 4 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 32. 5 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 12. 6 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon

(Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hal. 21.

Page 55: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

45

dengan Pangeran Walangsungsang. Setelah memeriksa, diketahui dukuh ini

berjumlah 364 jiwa. Para bawahan itu juga memberikan pesan dari Raja Galuh,

bahwa dukuh kecil ini harus membayar pajak karena diakui sebagai bagian dari

kekuasaan Galuh.7 Maka diangkatlah Ki Gedeng Alang-alang menjadi Kuwu

(kepala desa) pertama dalam struktur pemerintahan yang telah diatur oleh

Kerajaan Pajajaran, beserta wakilnya pangeran Walangsungsang yang diberi

gelar Pangeran Cakrabuana, dan wilayah ini menjadi bagian dari kekuasaan

kabupaten Galuh. Nama Tegal Alang-alang juga berganti menjadi Caruban

Larang.8

Pada 1447, Ki Gedheng Alang-alang sebagai Kuwu Caruban Larang

meninggal dunia. Setelah melalui proses musyawarah, Pangeran Cakrabuana

secara aklamasi dipilih oleh rakyat Caruban Larang sebagai kuwu

menggantikan Ki Gedheng Alang-alang.9 Pada 1449, Ki Gedeng Tapa yang

merupakan kakek dari Pangeran Cakrabuana dan Rarasantang dan menjabat

sebagai penguasa Singapura juga meninggal dunia. Namun dengan wafat

kakeknya tersebut, Pangeran Cakrabuana tidak ingin meneruskan kerajaan

tersebut dan malah menjadikan daerah tersebut menjadi salah satu wilayah

protektorat Caruban Larang.10

Adapun identitas dari Pangeran Cakrabuana dan Ratu Rarasantang

adalah anak dari Prabu Siliwangi yaitu raja kerajaan Pajajaran yang bergelar

Sri Baduga Maharaja, melalui isteri dari Subanglarang yang merupakan anak

dari Ki Gedeng Tapa. Sebagai anak sulung dan laki-laki, ia tidak mendapatkan

haknya sebagai putera mahkota Pakuan Pajajaran. Hal ini disebabkan oleh

karena ia memeluk agama Islam (diturunkan oleh Subanglarang – ibunya),

sementara saat itu, ajaran agama mayoritas di Pajajaran adalah Sunda Wiwitan,

7 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 13. 8 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 33. 9 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 35. 10 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 37.

Page 56: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

46

dan Hindu Budha. Posisi putera mahkota tersebut digantikan oleh adiknya

Prabu Surawisesa, anak laki-laki Prabu Siliwangi dari isterinya yang ketiga

Nyai Cantring Manikmayang.11

Setelah dukuh Cirebon ramai oleh penduduk, dan sudah banyak

masyarakat yang memeluk agama Islam, Pangeran Cakrabuana kembali

menghadap gurunya, yaitu Syekh Datuk Kahfi/ Syekh Nurjati. Dari gurunya

ini, Pangeran Cakrabuana dan adiknya Ratu Rarasantang diperintahkan untuk

menunaikan ibadah haji dan berguru kepada Syekh Maulana Ibrahim di negeri

Campa. Di negeri Campa ini, keduanya diberikan ilmu Tarekat Syatariyah dan

berikut semua ilmu tarekat. Lalu setelah selesai berguru, Syekh Maulana

Ibrahim menyuruh Pangeran Cakrabuana dan Ratu Rarasantang untuk

menunaikan Ibadah Haji ke Mekkah, dan di Mekkah keduanya juga berguru

kepada Syekh Bayan dan Syekh Abdullah. Di Mekkah inilah Ratu Rarasantang

kemudian dipinang oleh Raja Mesir yaitu Syarif Abdullah melalui patihnya

untuk membawa Rarasantang beserta Pangeran Walangsungsang ke negeri

Mesir.12 Setelah menikah dengan Raja Mesir dan menjadi permaisuri kerajaan,

Rarasantang berganti nama menjadi Syarifah Mudaim. Singkat cerita, ketika

Syarifah Mudaim sedang mengandung anak 3 bulan, Pangeran Cakrabuana

pamit untuk kembali ke Caruban Larang. Sedangkan adiknya Syarifah Mudaim

tetap tinggal di negeri Mesir sampai akhirnya pada tahun 1448 M, lahirlah

seorang bayi laki-laki yang diberi nama Syarif Hidayatullah yang lahir di

Mekkah, dan dua tahun kemudian 1450 M, lahir anak kedua yang diberi nama

Syarif Nurullah.13

Pangeran Cakrabuana setelah pulang kembali ke Caruban Larang,

membangun pondasi-pondasi sistem pemerintahan yang lebih kompleks. Ia,

misalnya membangun Kraton Pakungwati pada tahun 1452 M yang merupakan

istana pertama yang dibangun di wilayah Caruban Larang. Nama Pakungwati

11 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon

(Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hal. 101. 12 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal.16. 13 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 20.

Page 57: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

47

diambil dari nama anaknya dari isteri Nyai Endang Geulis. Lalu dibangun juga

sebuah Tajug yang diberi nama Jalagrahan. Di tahun 1454 M, Pangeran

Cakrabuana juga mempunyai anak yang kedua dari isterinya Ratna Raras,

puteri Ki Gedeng Alang-alang dan diberi nama Pangeran Carbon.14 Guna

memperkuat basis militer kekuasannya, ia juga membentuk bala tentara. Lebih

jauh lagi ia juga memperlengkapinya dengan berbagai sarana pendukung

lainnya guna mempersiapkan pendirian sebuah nagari.15

Perkembangan ini juga mendapat perhatian dari pemerintahan pusat

Kerajaan Pajajaran. Prabu Siliwangi ayah Pangeran Cakrabuana, menyambut

baik berita perkembangan yang cukup pesat di wilayah pesisir utara tersebut.

Sebagai bentuk apresiasi terhadap prestasinya ini, Prabu Siliwangi mengirim

utusan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Jagabaya dengan didampingi

empat puluh orang pengawalnya. Tujuan ini adalah untuk membawa Tandha

Keprabon kepada Pangeran Carkabuana. Tandha Keprabon tersebut berisi

keputusan Raja Pajajaran yang merubah status Caruban Larang dari sebuah

Pakuwan menjadi Ketumenggungan. Pangeran Cakrabuana lalu dinaikkan

statusnya dari seorang kuwu menjadi tumenggung dengan gelar Tumenggung

Sri Mangana, hal ini sebagaimana dinyatakan dalam naskah Carita Purwaka

Caruban Nagari.16

Di sisi lain di negeri Mesir, Syarif Hidayatullah tumbuh dan beranjak

dewasa. Namun setelah ayahandanya wafat, Syarif Hidayatullah enggan untuk

meneruskan tahta ayahnya dan lebih memilih untuk menyebarkan agama Islam

di Pulau Jawa. Posisi Raja Mesir diwakilkan kepada patih Ungkajutra,

kemudian diserahkan kepada adiknya, Syarif Nurullah.17

14 Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon (Cirebon: 1984), hal. 20. 15 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 37 16 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 37-38 17 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 77

Page 58: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

48

Syarif Hidayatullah setelah kembali ke Cirebon, ditawari oleh

pamannya Pangeran Cakrabuana untuk meneruskan Keraton Pakungwati,

tetapi permintaan tersebut ditolak. Setelah sekitar sembilan tahun Syarif

Hidayatullah menetap di Cirebon, atau tepatnya pada 1479 Masehi, Pangeran

Cakrabuana selaku penguasa Cirebon menyerahkan tampuk kekuasaannya

kepada Syarif Hidayatullah.18 Penobatan sebagai Raja Islam tersebut

disaksikan oleh ibunya sebagai legitimasi genealogis dan disaat yang

bersamaan juga didukung langsung oleh Dewan Walisongo yang dipimpin oleh

Sunan Ampel Denta. Penobatan tersebut ditandai dengan gelar yang diberikan

kepada Syekh Syarif Hidayatullah sebagai “Ingkang Sinuhun Kanjeng

Susuhunan jati Purbawisesa panetep Penatagama Aulia Allahu Ta’ala Kutubij

Jaman, Kholifatu Rosulillahi Shollallhu Alaihi Wasallam.” Gelar tersebut juga

menandai bahwa Syekh Syarif Hidayatullah menggantikan peran Syekh Datuk

kahfi yang meninggal dunia sebagai penyebar dan pemimpin agama Islam di

wilayah tatar sundha.19

Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati mengambil langkah

awal sebagai Raja Cirebon dengan menghentikan hubungannya dengan

kerajaan induk, Pakuan Pajajaran yang masih dipimpin oleh kakeknya, Sri

baduga Maharaja Prabu Siliwangi. Atas dukungan dari dewan Walisongo

untuk mendukung Cirebon sebagai pusat kekuatan agama Islam maka Sunan

Gunung Jati memutuskan untuk tidak lagi memberikan upeti tiap tahun kepada

Pajajaran. Dengan cara tersebut di atas, Cirebon akhirnya menjadi Kerajaan

Merdeka dan berdaulat.20 Sunan Gunung Jati juga mengambil langkah lain di

awal kepemimpinannya dengan menggalang kekuatan Kerajaan Demak yang

18 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 27. 19 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 88. 20 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 98.

Page 59: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

49

dipimpin oleh Raden Patah yang juga sama-sama di dukung oleh dewan

Walisongo.21

Masa Sunan Gunung Jati inilah disebut sebagai masa keemasan

Kesultanan Islam Cirebon. Masa keemasan tersebut ditandai dengan Cirebon

pernah mengalami masa bahagia dan dapat mengembangkan dirinya dalam

suasana damai dan bisa tumbuh dari suatu tempat menetap untuk pertama kali

menjadi negara yang adil dan makmur.22 Hal ini juga diperkuat pula bahwa di

bawah kekuasaan Sunan Gunung Jati, Cirebon telah berhasil menaklukkan dan

melebarkan kekuasaannya dan sekaligus dapat mengislamkan sebagian besar

daerah-daerah yang berada di Jawa Barat sampai Banten. Daerah-daerah

tersebut antara lain; Luragung, Kuningan, Banten, Sunda Kelapa, Galuh,

Sumedang, Japura Talaga, Losari, dan pasir Luhur dll.23 Luasnya wilayah

kekuasaan dan Islamisasi yang masif menjadi bukti kesuksesan Cirebon dalam

penyebaran agama Islam.

Sunan Gunung Jati secara resmi memimpin Cirebon dari 1479-1568 M.

Pasca Sunan Gunung Jati wafat, terjadi kekosongan jabatan pimpinan tertinggi

Kerajaan Islam Cirebon. Pada mulanya calon kuat pengganti Sunan Gunung

Jati ialah Pangeran Dipati Carbon, putera Pangeran Pasarean, cucu Sunan

Gunung Jati. Namun Pangeran Dipati Carbon meninggal lebih dahulu pada

tahun 1565.24 Kekosongan kekuasaan itu kemudian diisi oleh Fatahillah /

Fadhillah khan, beliau adalah menantu Sunan Gunung Jati. Tetapi Fatahillah

hanya memimpin selama dua tahun karena pada tahun 1570 beliau wafat.

Sepeninggal Fatahillah, oleh karena tidak ada calon lain yang layak menjadi

raja, takhta kerajaan jatuh kepada Pangeran Emas yang merupakan anak tertua

dari Pangeran Dipati Carbon atau cicit Sunan Gunung Jati. Pangeran Emas

21 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 28. 22 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 31. 23 M. Sanggupri Bochari dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon

(Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001), hal. 6. 24 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.

102.

Page 60: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

50

kemudian bergelar Panembahan Ratu I dan memimpin Cirebon selama 79

tahun dari 1570-1649 M.25

Pada masa Panembahan Ratu I, Cirebon tidak lagi melebarkan

sayapnya ke daerah-daerah lain, karena pada waktu itu posisi Cirebon terjepit

di antara dua kerajaan besar, yaitu Banten dan Mataram. Namun pada masa

Panembahan Ratu I ini juga Cirebon lebih dekat ke Mataram. Misalnya Putri

Ratu Ayu Saklh, kakak perempuan Panembahan Ratu I menikah dengan Sultan

Agung Mataram. Dari pernikahan itu Sultan Agung berputera Susuhunan

Amangkurat I. Kelak salah seorang putri Susuhunan Amangkurat I

bersuamikan Panembahan Girilaya dari Cirebon.26

Hubungan dengan Mataram pada mulanya merupakan kekeluargaan

dalam suasana persahabatan, akan tetapi setelah Mataram makin berkuasa

persahabatan itu makin pincang. Sejak tahun 1615 Mataram mulai

mencengkeramkan pengaruhnya di Cirebon. Kemudian pada 1650 secara

keseluruhan Cirebon dikuasai oleh Mataram.27

Setelah Panembahan Ratu I meninggal dunia pada tahun 1649, Cirebon

dipimpin oleh Pangeran Rasmi atau Pangeran Karim, cucu dari Panembahan

ratu I. Karena ayah Pangeran Rasmi, yaitu Pangeran Sedang Gayam atau

Panembahan Adiningkusumah meninggal lebih dulu. Pangeran Rasmi

kemudian dikenal dengan nama Panembahan ratu II atau Panembahan

Girilaya.28

Setelah diangkat menjadi penguasa Cirebon, Panembahan Ratu II

beserta kedua puteranya, yaitu Pangeran Martawidjaya dan Pangeran

Kartawidjaya dipanggil oleh Susuhunan Amangkurat I untuk berkunjung ke

25 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.

102. 26 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 35. 27 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 36. 28 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.

103.

Page 61: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

51

Mataram dalam rangka menghormati pengangkatannya sebagai penguasa

Cirebon. Akan tetapi, selepas upacara tersebut Panembahan Ratu II dan kedua

puteranya tidak diperkenankan kembali ke Cirebon oleh Susuhunan

Amangkurat I. Hal itu berlangsung selama 12 tahun, sampai Panembahan Ratu

II meninggal dunia dan dimakamkan di bukit Girilaya, oleh karena itu

Panembahan Ratu II juga dikenal dengan Panembahan Girilaya.29

Tindakan itu merupakan kebijakan politik pemerintahan Susuhunan

Amangkurat I terhadap penguasa-penguasa pesisir. Mataram juga berusaha

mencurahkan seluruh tenaga untuk dapat mengendalikan penguasa-penguasa

tersebut guna kepentingannya. Panembahan ratu II dan kedua puteranya selama

berada di Mataram, pemerintahan di Cirebon sehari-hari dipegang oleh putera

yang ketiga, yaitu Pangeran Wangsakerta. Dalam menjalankan roda

pemerintahannya, Pangeran Wangsakerta juga selalu diawasi oleh Susuhunan

Amangkurat I. Hal itu menjadikan gerak langkah pemerintahan Cirebon tidak

leluasa.30

Panembahan Ratu II kemudian wafat pada 1662 di Mataram dan

dimakamkan di bukit Girilaya. Padahal Panembahan Ratu II merupakan

menantu Susuhunan Amangkarut I dengan memperisteri salah satu puterinya,

seperti yang telah disebutkan di atas. Begitu pula Pangeran Martawidjaya dan

Pangeran Kartawidjaya adalah cucu Amangkurat I. Namun, tindakan

Amangkurat I tidak mencerminkan sikap yang baik sebagai seorang ayah atau

kakek kepada puteri dan cucu-cucunya.31

Sekitar tahun 1677, Raden Trunojoyo mengadakan serangan besar-

besaran terhadap keraton Mataram dengan dibantu pasukan dari Banten yang

saat itu yang menjadi sultan adalah Sultan Ageng Tirtayasa. Serangan itu bukan

29 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 36. 30 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 36-37. 31 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 37

Page 62: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

52

saja berhasil menduduki ibukota Mataram, melainkan juga dapat

membebaskan kedua Pangeran Cirebon dari cengkeraman Amangkurat I.

Kemudian kedua Pangeran tersebut dibawa oleh pasukan Trunojoyo ke kediri

lalu kemudian dijemput oleh utusan dari Sultan Ageng Tirtayasa untuk dibawa

ke Banten.32

Selepas dari Banten inilah, Sultan Ageng Tirtaya membagi Kesultanan

Cirebon menjadi tiga dan masing-masing berkuasa dan menurunkan para sultan

berikutnya, pembagian tersebut antara lain :

1. Sultan Kasepuhan, Pangeran Martawidjaya, dengan gelar Sultan Sepuh

Abil Makarimi Muhammad Syamsudin (1677-1703).33

2. Sultan Kanoman, Pangeran Kartawidjaya, dengan gelar Sultan Anom Abil

Makarimi Muhammad Badrudin (1677-1723).

3. Pangeran Wangsakerta, sebagai Panembahan Cirebon dengan gelar

Pangeran Abdul kamil Muhammad Nasarudin atau Panembahan Tohpati

(1677-1713).

Sedangkan Pangeran Wangsakerta tidak diangkat menjadi sultan,

melainkan hanya Panembahan, ia tidak memiliki wilayah kekuasaan / keraton

sendiri, tetapi berdiri sebagai keprabonan / paguron, yaitu tempat belajar para

intelektual keraton.34

Menurut keterangan P.S Sulendraningrat dalam bukunya “Sejarah

Cirebon”, Sultan Sepuh pertama kali memiliki tempat Keraton Pakungwati

sebagai keratonnya (sekarang sebelah timur Keraton Kasepuhan). Sedangkan

Sultan Anom pertama kali keratonnya di bekas rumah pertama Pangeran

Cakrabuana. Tempat itu sekarang termasuk kelurahan Lemah Wungkuk

Kotamadya Cirebon. Sedangkan Panembahan Cirebon sementara waktu

32 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 38 33 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.

104. 34 Yanti, Keraton-keraton di Indonesia (Jakarta: CV. China Walafafa, 2011), cet. 2, h.

105.

Page 63: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

53

bertempat tinggal bersama-sama dengan Sultan Sepuh di kompleks Keraton

Pakungwati.35

B. Silsilah Keluarga Keraton Kasepuhan Cirebon

Keraton Kasepuhan Cirebon merupakan bagian yang tak terpisahkan

dari Kesultanan Cirebon. Sunan Gunung Jati sebagai raja/sultan Cirebon saat

itu, mempunyai beberapa istri yang kemudian melahirkan keturunan. Wanita-

wanita terpilih yang menjadi isteri beliau memiliki nasab yang terhormat dan

merupakan bagian inti keluarga yang mendukung sepak terjang suaminya yang

merupakan seorang pendakwah, sekaligus pemimpin umat Islam.

Satu hal yang mendasari pernikahan Sunan Gunung Jati dengan isteri-

isterinya adalah merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Islamisasi melalui

pernikahan. Pernikahan-pernikahan beliau dengan berbagai macam wanita

yang berbeda latar belakang, etnis, sosial dan budaya melahirkan pengalaman-

pengalaman spiritual yang berbeda pula, sehingga kemudian menjadi semacam

pengetahuan/ideologi yang maknanya tersurat dan tersirat dalam petata-petiti

Sunan Gunung Jati.

Dari sekian isteri-isteri Sunan Gunung Jati tersebut, ada satu isteri

yang kelak anak keturunannya akan melahirkan raja-raja Cirebon, yaitu

bernama Nyi Mas Tepasari. Nyi Mas Tepasari merupakan anak dari Ki Gedeng

Tepasan dari Mahapahit. Pernikahan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Mas

Tepasari terjadi pada tahun 1490 M dan dilangsungkan di Demak. Dari

pernikahan tersebut, Sunan Gunung Jati dianugerahi dua orang anak. Pada

tahun 1493 M, Nyi Mas Tepasari melahirkan Ratu Ayu yang kelak menikah

dengan Fatahillah pada tahun 1511 M dan memilliki seorang Putri yang

bernama Nyi Mas Wanawati Raras pada tahun 1525 M. Kemudian, pada tahun

1495 M Nyi Mas Tepasari melahirkan Pangeran Pasarean atau Muhammad

35 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 39.

Page 64: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

54

Arifin, dari Pangeran Pasarean inilah yang kelak akan meneruskan raja-raja

Cirebon.36

Pangeran Pasarean menikah dengan Ratu Ayu Wulan atau Ratu Nyawa,

seorang puteri Raden Patah Demak, kemudian menurunkan 6 keturunan, salah

satunya yang bernama Pangeran Pangeran Sawarga atau Dipati Carbon I, dan

Pangeran Dipati Carbon I menikah dengan Nyi Mas Wanawati Raras, putri dari

Ratu Ayu dan Fatahillah. Dari pernikahan ini melahirkan Panembahan Ratu I

(Pangeran Emas Zainul Arifin). Panembahan Ratu I kemudian menikah dengan

Ratu Lampok Angroros, putri dari Sultan Hadiwijaya / Jaka Tingkir. Lalu

menurunkan Pangeran Sedang Gayam atau Dipati Carbon II. Pangeran Dipati

Carbon II menikah dengan putri Mataram, lalu menurunkan Panembahan

Girilaya. Panembahan Girilaya menikah dengan putri Amangkurat I (Raja

Mataram), dari Panembahan Girilaya inilah yang kemudian melahirkan Sultan

Kasepuhan yaitu Pangeran Martawidjaya, selain Pangeran Martawidjaya ada

pula Pangeran Kartawidjaya yang memerintah Keraton Kanoman, dan

Pangeran Wangsakerta.37

Sebelum menjelaskan tentang silsilah raja Keraton Kasepuhan Cirebon,

terlebih dahulu yaitu silsilah Kesultanan Cirebon :

1. Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati/Susuhunan Jati

Purbawisesa/Syekh Maulana Jati)

(bertakhta dari 1479 M – 1568 M)

2. Pangeran Pasarean (Pangeran Muhammad Arifin) (hidup dari 1495 M -

1552 M)

(care taker / wakil / mewakili Sunan Gunung Jati memerintah dari 1528 M

– 1552 M)

3. Fatahillah / Fadilah Khan / Ratu Bagus Pase

36 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 158. 37 Dadan Wildan, Sunan Gunung Jati : Petuah, Pengaruh dan Jejak-jejak Sang Wali di

Tanah Jawa (Tangerang Selatan: Salima, 2012), hal. 44-48

Page 65: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

55

(care taker / wakil / mewakili Sunan Gunung Jati memerintah dari 1552 M

– 1568 M)

4. Pangeran Dipati Carbon I (Pangeran Swarga / Sedang Kamuning)

(hidup 1521 M – 1565 M)

5. Panembahan Ratu I (Pangeran Emas Zainul Arifin)

(bertakhta dari 1568 M – 1649 M)

6. Pangeran Dipati Carbon II ( Pangeran Sedang Gayam)

(-)

7. Panembahan Ratu II (Panembahan Girilaya/Pangeran Karim)

(bertakhta dari 1649 M – 1666 M)38

Pangeran Pasarean dan Fatahillah yang masing-masing mewakili Sunan

Gunung Jati, karena saat itu Sunan Gunung Jati sedang memfokuskan dakwah

dan menyebarkan agama Islam di pedalaman Jawa Barat. Oleh karena itu, pusat

Kerajaan yaitu Keraton Pakungwati, tugas pemerintahan tersebut diwakili oleh

Pangeran Pasarean dan Fatahillah, selagi Sunan Gunung Jati melaksanakan

tugas dakwahnya.

Adapun setelah pembagian Kesultanan Cirebon, Keraton Kasepuhan

dipimpin oleh anak pertama Panembahan Girilaya yang bernama Pangeran

Syamsudin Martawidjaya yang kemudian dinobatkan sebagai Sultan Sepuh I.

1. Sultan Sepuh I Sultan Raja Syamsudin Martawidjaya

(bertakhta dari 1679 M – 16797 M)

2. Sultan II Sultan Raja Tajularipin Djamaludin

(bertakhta dari 1697 M – 1723 M)

3. Sultan Sepuh III Sultan Raja Djaenudin

(bertakhta 1723 M – 1753 M)

4. Sultan Sepuh IV Sultan Raja Amir Sena Muhammad Jaenuddin

(bertakhta dari 1753 M – 1773 M)

5. Sultan Sepuh V Sultan Sepuh Sjafiudin Matangaji

38 Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon

Page 66: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

56

(bertakhta dari 1773 M – 1786 M)

6. Sultan Sepuh VI Sultan Sepuh Hasanuddin

(bertakhta dari 1786 M – 1791 M) bertakhta menggantikan saudaranya

Sultan Sepuh V Sultan Sjafiudin Matangaji

7. Sultan Sepuh VII Sultan Sepuh Djoharudin

(bertakhta dari 1791 M – 1815 M)

8. Sultan Sepuh VIII Sultan Sepuh Radja Udaka (Sultan Sepuh Raja

Syamsudin I)

(bertakhta dari 1815 M – 1845 M) menggantikan saudaranya Sultan Sepuh

VII Sultan Djoharudin

9. Sultan Sepuh IX Sultan Radja Sulaeman (Sultan Sepuh Raja Syamsudin II)

(bertakhta dari 1845 M – 1853 M)

10. Perwalian oleh Pangeran Adiwijaya bergelar (Pangeran Syamsudin IV)

(menjadi wali bagi Pangeran Raja Satria dari 1853 M – 1871 M)

11. Pangeran Raja Satria (memerintah dari 1872 M – 1875 M) mewarisi takhta

ayahnya Sultan Sepuh IX Sultan radja Sulaeman sebagai putera tertua

Sultan Sepuh IX yang sah, setelah meninggalnya walinya yaitu Pangeran

Adiwijaya sesuai dengan penegasan Residen Belanda untuk Cirebon tahun

1867 M

12. Pangera Raja Jayawikarta (memerintah dari 1875 M – 1880 M)

menggantikan saudaranya Pangeran Raja Satria

13. Sultan Sepuh X Sultan Radja Atmadja Rajaningrat

(bertakhta dari 1880 M – 1885 M) diangkat sebagai Sultan untuk

menggantikan saudaranya itu Pangeran Raja Jayawikarta

14. Perwalian oleh Raden Ayu (Permaisuri Raja) menjadi wali bagi Pangeran

Raja Adi[pati Jamaludin Aluda Tajularifin dari 1885 M – 1899 M

15. Sultan Sepuh XI Sultan Sepuh Radja Jamaludin Aluda Tajularifin

(bertakhta dari 1899 M – 1942 M)

16. Sultan Sepuh XII Sultan Sepuh Radja Radjaningrat

(bertakhta dari 1942 M – 1969 M)

17. Sultan Sepuh XIII pangeran Raja Adipati DR. H. Maulana Pakuningrat, S.H

Page 67: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

57

(bertakhta dari 1969 M – 2010 M)

18. Sultan Sepuh XIV Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, SE

(bertakhta dari 2010 – sekarang).39

C. Islam dan Kebudayaan Cirebon di Keraton Kasepuhan Cirebon

Cirebon adalah salah satu kota pelabuhan yang terdapat di daerah Jawa

Barat, secara geografis Kota Cirebon sangat strategis. Kota Pelabuhan ini

terletak di lokasi yang berbentuk teluk sehingga terlindung dari gangguan alam

berupa gelombang air laut. Lokasi pelabuhan ini terletak di bagian tengah dan

letaknya cukup jauh dari pelabuhan besar lainnya yang ada di pesisir utara Jawa

seperti Pelabuhan Jepara, Tuban, dan Surabaya, serta Pelabuhan Kelapa

(Jayakarta) dan Banten. Sehingga tidak aneh apabila Kota Pelabuhan Cirebon

merupakan mata rantai dalam jalur perdagangan di Kepulauan Nusantara dan

Perairan Asia.40

Melalui jalan perniagaan ini, di samping mengalir secara

berkesinambungan kegiatan ekonomi berupa tukar menukar barang dagangan,

mengalir pula arus kebudayaan termasuk arus keagamaan. Oleh sebab itu

Cirebon sebagai pelabuhan yang terletak di tepi jalan perdagangan itu

memegang peranan penting dalam proses penyebaran agama Islam di

Nusantara, khususnya Jawa Barat.41

Masuknya agama dan Kebudayaan Islam yang di bawa para pedagang,

membawa pengaruh terhadap satu susunan pusat kota pelabuhan yang bercorak

Islam. Susunan pusat kota kerajaan Cirebon yang bercorak Islam, terdiri atas

alun-alun yang terletak di tengah kota. Alun-alun ini dikelilingi oleh bangunan-

bangunan yaitu bangunan keraton dan tempat tinggal para pejabat atau para

39 https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Kasepuhan diakses pada tanggal 10 Mei 2018

40 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 71. 41 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 71.

Page 68: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

58

bangsawan terletak di sebelah selatan alun-alun dan menghadap ke utara. Di

sebelah barat alun-alun terdapat bangunan masjid dan pasar yang terletak di

sebelah timur alun-alun.42

Ciri utama dari kota Kerajaan bercorak Islam yang terletak di sebelah

barat alun-alun, selain berfungsi sebagai tempat beribadah ritual keagamaan

bagi umat Islam juga sebagai tempat penyiaran atau dakwah agama Islam.

Pembuatan masjid sebagai ciri kota bercorak Islam, sudah dimulai sejak awal

berdirinya Kota Cirebon, yaitu dengan dibangunnya Tajug Jalagrahan oleh

Pangeran Cakrabuana. Setelahnya Sunan Gunung Jati juga membangun Masjid

Agung Sang Cipta Rasa sebagai pusat kegiatan ajaran agama Islam.

Islam dalam konteks sejarah pembentukan Cirebon memiliki peran

yang sangat penting. Ketika penduduk Cirebon memutuskan diri untuk

menganut Islam, maka sejak saat itu mulai menampilkan diri dengan identitas

baru sebagai Muslim. Proses Islamisasi ini dalam pandangan Azra yang

mengutip dari A.D Nock adalah suatu konversi, yaitu perpindahan seseorang

atau komunitas dari suatu keyakinan lama ke keyakinan baru dengan komitmen

untuk menjalankan semua ajaran-ajaran agama baru tersebut dengan sungguh-

sungguh. Secara personal, konversi terjadi ketika seseorang atau komunitas

mengubah keyakinannya baik secara sukarela maupun terpaksa. Dengan

perubahan itu, ia seperti menyatakan diri untuk sepenuhnya menjalankan

kehidupan yang baru dan berbeda dengan kehidupan sebelumnya.43

Namun melihat definisi tersebut dalam pandangan Azra tidak cukup

untuk menjelaskan fenomena masuknya Islam yang ada di Indonesia

khususnya di Cirebon. Kenyataan bahwa masih banyaknya unsur sebelum

Islam yang bercampur dengan keyakinan Islam pribumi menunjukkan bahwa

mereka belum konversi sepenuhnya dalam menjalankan ajaran Islam. Untuk

42 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 72. 43 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 170.

Page 69: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

59

itu, Azra merujuk pada konsep lain yang juga diajukan oleh Nock yaitu yang

disebut dengan adhesion. Konsep ini menjelaskan tentang mereka yang

memeluk agama baru tanpa melepaskan ajaran dan praktek agama yang dianut

sebelumnya. Artinya, konsep adhesi ini mengindikasikan bahwa agama baru

tidak berperan dalam pembentukan karakter atau identitas baru tetapi hanya

menambah dimensi lain yang selama ini sudah diyakini dan diamalkan.44

Senada dengan Azra tetapi dengan tetap menggunakan istilah konversi,

Norris mengatakan bahwa “konversi melibatkan tidak saja proses adopsi

sekumpulan ide tetapi juga perpindahan ke dan dari pandangan dunia dan

identitas yang sudah melekat sebelumnya”. Pandangan ini didasarkan pada satu

argumentasi bahwa segala macam, bentuk dan simbol agama dan juga tata cara

pelaksanaan ajarannya itu berkembang sesuai dalam pusaran konteks sejarah

tertentu. Dengan kata lain, pemaknaan atas ajaran, bahasa, dan praktek agama

yang baru itu akan banyak disesuaikan dengan pengalaman yang telah ada.45

Dalam konteks Cirebon sendiri, sebagaimana yang digambarkan

Azyumardi Azra, teori konversi ala Nock sulit menjelaskan tentang pola

Islamisasi di Cirebon. Masih banyaknya nilai dan tradisi pra-Islam yang

berkembang di masyarakat Cirebon, bahkan hingga kini, menunjukkan bahwa

apa yang terjadi di Cirebon bukanlah konversi tetapi adhesi. Hal itu misalnya

terlihat pada tradisi Panjang Jimat yang dilaksanakan dalam rangka

menyambut lahirnya Nabi Muhammad SAW. Dari sisi nama, Panjang yang

berarti piring dan Jimat adalah suatu yang disakralkan. Ritual ini mengambil

bentuk prosesi iringan berbagai benda pusaka (khususnya piring) yang ada di

keraton Kasepuhan. Proses ini merupakan puncak dari berbagai rangkaian

ritual sebelumnya seperti Upacara Pelal Alit, Mios Lamaran dan Pelal Ageng.

Bahkan sebelum pelaksanaan upacara tersebut, para anggota keluarga keraton

sejak beberapa bulan sebelumnya juga telah melakukan beberapa ritual mulai

44 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 171-172. 45 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 172.

Page 70: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

60

Ngalus, Ngerik, Damel Lilin hingga Deres Sekaten. Melihat tradisi ritual

tersebut terlihat bagaimana percampuran antara tradisi Islam yaitu Maulud

Nabi dengan berbagai ritual lokal.46

Meskipun dari sisi nilai dan tradisi Islam di Cirebon lebih nampak

sebagai adhesi daripada konversi, Islam tetap telah menjadi landasan bagi

pembentukan identitas Cirebon. Kasus-kasus di beberapa wilayah di Nusantara

seperti Jawa, Islamisasi tidak banyak berperan dalam pembentukan suatu

peradaban baru di wilayah baru tersebut tetapi lebih menambah dimensi lain

saja.47 Hal ini tak terlepas dari proses Islamisasi yang dilakukan Sunan Gunung

Jati atau anggota walisongo yang lain yang mana mengadopsi kesenian sebagai

media dakwahnya.

Dalam proses Islamisasi di Jawa pada umumnya dan Cirebon pada

khususnya, para wali memanfaatkan seni sebagai sarana dakwahnya. Seni

merupakan sarana berkreasi dan hiburan dari zaman ke zaman. Di Pulau Jawa

telah berkembang berbagai kesenian dalam masyarakatnya, seni rupa, seni

sastra, maupun seni tembang. Namun Wali Songo hanya mengembangkan seni

sastra dan seni tembang. Di tangan Wali Songo yang salah satunya Sunan

Gunung Jati di Cirebon, seni sastra dan tembang maju pesat dan berubah

menjadi media informasi dan sosialisasi Islam. Wali Songo menjadikan seni

menjadi bermartabat dan terhormat, tidak lagi menjadi konsumsi orang-orang

bejat dan para pemabuk. Beberapa kesenian yang dijadikan media Islamisasi

di Cirebon diantaranya : Brai (Gembyung), Gamelan Sekaten, Wayang, dan

Topeng.48

Percampuran budaya juga terjadi pada kompleks keraton. Pada

umumnya peninggalan seni bangunan Kesultanan Cirebon, meniru seni

46 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 181. 47 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 189. 48 Didin Nurul Rosidin dkk, Kerajaan Cirebon (Jakarta: Puslitbang Lektur dan Khazanah

Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2013), cet.1, hal. 113.

Page 71: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

61

bangunan yang berkembang pada masa Majapahit (Jawa Timur). Namun

demikian persamaan seni bangunan Cirebon dengan Majapahit bukan peniruan

semata, melainkan dipengaruhi atau dilatarbelakangi alam pikiran lama yang

hidup dan berkembang pada masa pra-Islam yang mendapat dukungan

Kesultanan Cirebon.49

Adanya kepercayaan alam pikiran pada masa pra-Islam yaitu tentang

kesejajaran antara alam semesta dan alam manusia. Kosmo magis yang

bersumber pada ajaran kosmologis Hindu dan Budha. Sebagai gambaran atau

cerminan alam semesta menurut kepercayaan itu, bahwa Keraton beserta

seluruh isinya dianggap sebagai replika atau tiruan alam semesta, contohnya

raja yang bersemayam di istana disamakan dengan dewa yang bersemayam di

puncak Mahameru. Salah satu pengejawantahan kepercayaan peniruan kosmos

Mahameru melalui seni bangunan yang paling menonjol adalah bangunan

candi, dengan demikian penggambaran gunung merupakan satu motif yang

mewisesa dalam seni bangunan Jawa Hindu.50

Meskipun ajaran Islam tidak mengenal paham kosmo magis,

Kesultanan Cirebon tetap mempertahankan dan melanjutkan paham tersebut

melalui motif gunung dalam seni bangunan Keraton. Sebagai contoh adalah

bangunan gapura bentar yang ada di kompleks Keraton Kasepuhan dan

kompleks bangunan Sunyaragi, yang disamakan dengan gapura “Wringin

Lawang Mojokerto” (Majapahit). Sebagaimana diketahui bahwa gapura bentar

merupakan satu ragam gerbang yang memiliki pola dasar bentuk candi, oleh

sebab itu sering disebut pula sebagai gerbang gunung.51

Satu ciri penting lainnya yang juga dianggap sebagai kesinambungan

alam pikiran Jawa Hindu yang berpengaruh atau mengilhami perkembangan

49 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 76. 50 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 76. 51 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 77.

Page 72: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

62

seni bangunan Keraton Kasepuhan Cirebon (dulu Kesultanan Cirebon) adalah

pembuatan bukit dan kolam buatan dengan suatu gugusan bangunan yang

terletak di tangannya. Di Keraton Kasepuhan Cirebon, terdapat empat buah

bukit buatan yang disebut gunung yaitu, Gunung Indrakila, Gunung Semar,

Gunung Srindil, dan Gunung Jati. Aspek lainnya adalah tata letak bangunan

Kompleks Keraton ke dalam tiga bagian. Kontur permukaan dan pelataran

kompleks dibuat semakin meninggi ke belakang, yaitu menunjukkan derajat

kesucian dan merupakan bagian paling suci, karena bagian ini merupakan

tempat bersemayam raja beserta seluruh keluarganya.52

Adapula kompleks bangunan Siti Inggil yang berada di Keraton

Kasepuhan. Secara harfiah Siti Inggil mempunyai arti Siti = tanah, Inggil =

tinggi, jadi artinya tanah yang tinggi. Sebelum memasuki Siti Inggil setiap

orang harus memasuki sebuah gapura yang terdapat sebuah gambar banteng,

sebagai candra sengkala yang menunjukkan tahun pembuatan. Pada kompleks

Siti Inggil terdapat beberapa buah bangunan yang umumnya tidak berdinding

antara lain : Bangunan Pendawa Lima yang bertiang lima, Semar Kenandu,

Malang Semirang, Mande Karesmen, dan Mande Pengiring. Selain bangunan

tersebut di atas, adapula terdapat lingga dan yoni yang melambangkan laki-laki

dan perempuan dan lambang berdirinya sebuah kerajaan.53

Selain itu Keraton Kasepuhan juga memiliki Kereta Singa Barong.

Kereta ini merupakan kereta pusaka yang dibuat pada tahun 1549 Masehi atas

prakarsa dari Panembahan Pakungwati. Arsitek yang menggambar kereta ini

adalah Pangeran Losari dengan mengambil pola lukisan makhluk, sedangkan

yang membuatnya dipercayakan kepada Ki Nataguna dari Desa Kaliwulu.

Kereta Singa Barong melambangkan persahabatan tiga bangsa atau

kepercayaan, yaitu tandung liong mengisyaratkan persembahan kepercayaan

Budha China, belalai melambangkan Hindu India, sedangkan sayap dan Burok

52 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 77. 53 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 89.

Page 73: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

63

melambangkan kepercayaan agama Islam. Bersatunya ketiga kepercayaan

tersebut mewujudkan dengan trisula yang terdapat di atas belalai, tri-tiga, sula-

tajam, artinya tiga data pikiran manusia cipta, rasa, karsa.54

D. Pembagian Waris di Keraton Kasepuhan Cirebon

Pada dasarnya, kewarisan yang ada di keraton Kasepuhan Cirebon sama

dengan kewarisan yang ada dalam syariat Islam, karena keraton ini dulu

merupakan pusat syiar Islam, jadi nilai-nilai yang ada juga berdasarkan syariat

Islam.55 Namun, ada beberapa perbedaan dan ada yang kemudian menjadi ciri

khas dari pembagian waris di keraton ini, yaitu sebagai berikut :

1. Harta Warisan

Dalam pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, terdapat

beberapa perbedaan yang menyangkut soal harta warisan. Harta warisan ini

dibagi dalam dua macam, yaitu (1) harta yang bisa diwariskan kepada ahli

waris, (2) harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris. Pembagian

harta waris tersebut mengacu pada dua pembagian kewarisan yang ada di

Keraton Kasepuhan Cirebon. Yaitu (1) Warisan secara pribadi dan (2)

Warisan Kesultanan.56 Warisan pribadi yaitu berupa harta atau kekayaan

pribadi Sultan yang bisa diwariskan kepada anak-anak nya atau isterinya

sebagai ahli waris. Harta warisan yang dapat dibagikan tersebut bisa berupa

kekayaan pribadi, mobil, tanah, dll. Adapun tentang warisan kesultanan,

yaitu berupa takhta, wilayah kesultanan, bangunan kesultanan, pusaka,

asset-asset kesultanan dll, hanya diserahkan kepada sultan berikutnya dan

menjadi hak turun temurun Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon.57

Karena sifatnya sebagai hak turun temurun tersebut, maka wilayah

kesultanan, bangunan kesultanan, pusaka, asset-asset kesultanan dll, tidak

54 Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera (Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998), hal. 86 55 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 56 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 57 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.

Page 74: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

64

bisa dibagi waris kepada ahli waris sultan, kecuali ahli waris tersebut telah

dinobatkan menjadi sultan berikutnya dan tetap menjadi hak turun temurun

sultan. Inilah yang menjadi ciri khas pembagian waris di Keraton

Kasepuhan Cirebon.

2. Waktu Pelaksanaan Pembagian Waris

Dalam hal waktu pelaksanaan pembagian warisan dalam ruang lingkup

Keraton Kasepuhan Cirebon, pada dasarnya sesuai dengan syariat Islam,

yaitu dibagikan setelah si pewaris meninggal dunia.58 Namun ada juga

keluarga dalam lingkungan Magersari yang membagikan warisannya

sebelum pewaris meninggal dunia.59

3. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris

Hukum tertulis di sini yaitu berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh

keraton dalam hal pengangkatan sebagai putera mahkota sekaligus ahli

waris yang sah untuk menggantikan sultan sebelumnya.60 Surat resmi

tersebut merupakan sebagai bukti penguat bahwa sultan yang diangkat

tersebut mewarisi keraton dan seluruh kekayaan keraton sebagai hak turun

temurun dari sultan sebelumnya. Sedangkan dalam pembagian warisan

secara pribadi, dalam lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon, khususnya

dalam lingkup magersari, jika sudah ada keputusan dari keluarga yang

bermusyawarah terkait pembagian waris, kemudian hasilnya akan

dilaporkan ke Sultan dan setelah itu dibuatkan suatu hukum tertulis oleh

Sultan atau lembaga kesultanan sebagai bukti penguat. Bukti penguat ini

atau hukum tertulis inilah yang kemudian akan menjadi pedoman yang

harus ditaati oleh semua pihak dalam satu keluarga tersebut.61

58 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 59 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 60 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 61 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017.

Page 75: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

65

4. Ahli Waris dan bagiannya

Keraton Kasepuhan Cirebon dalam kaitannya dengan ahli waris,

terdapat dua macam kewarisan. Yaitu ahli waris yang menduduki takhta,

dan ahli waris yang berkaitan dengan faraidh. Ahli waris takhta, yaitu orang

yang secara tradisi/adat berhak menjadi sultan setelah sultan yang sedang

menjabat meninggal dunia. Kewarisan takhta ini, secara tradisi atau turun

temurun, diwariskan kepada anak laki-laki tertua sultan, jika tidak ada maka

akan diserahkan ke adik sultan yang laki-laki, dan jika tidak ada lagi, maka

takhta kesultanan diserahkan ke paman sultan.62 Masa jabatan sultan berlaku

seumur hidup.63

Kemudian ahli waris yang berkaitan dengan faraidh, dalam sistem

pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, secara garis besar sama

saja dengan hukum Islam atau syariat Islam.64 Di mana kekayaan pribadi

sultan atau orang yang tinggal di lingkungan keraton tersebut, dapat

diwariskan kepada putra-putri mereka sesuai dengan waris Islam.65

62 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 63 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 64 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 65 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018.

Page 76: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

66

BAB IV

SISTEM PEMBAGIAN WARIS di KERATON KASEPUHAN CIREBON

DITINJAU DARI HUKUM ISLAM

Secara umum, Kesultanan Cirebon yang kemudian diteruskan saat ini

oleh Keraton Kasepuhan Cirebon, yang sejak dahulu didirikan untuk pusat

syiar Islam, maka dari itu penerapan-penerapan hukum tertutama dalam hal

hukum privat, juga berdasarkan syariat Islam. Hal ini mulai dari masa Sunan

Gunung Jati, seperti ketika beliau menghukum puteranya Pangeran

Jayakelana, ada semacam diat yang dibayarkan, dan itu mengacu kepada

Syariat Islam, termasuk dalam jual beli menggunakan dinar dirham pada saat

itu. Karena pusat syiar Islam itulah maka titik pangkalnya juga berdasarkan

syariat Islam. Jadi pada dasarnya prinsip-prinsip itu tidak jauh berbeda,

termasuk dalam hal ini menyangkut tentang kewarisan / Faraidh, yang mana

masuk dalam tataran hukum keluarga, maka tidak boleh menyimpang, karena

nilai dasarnya adalah berdasarkan syariat Islam.1

Karena pada dasarnya Sunan Gunung Jati tidak mengajarkan apa yang

bertentangan dengan syariat Islam, apa yang berlaku di syariat Islam dalam

hal waris, juga berlaku di keraton. Seperti pembagian faraidh/waris pada

umumnya. Namun yang membedakan adalah ada suatu kekhasan tersendiri

yang memang sudah melekat di dalam keraton Kasepuhan sejak dahulu. Dan

menjadi aturan adat yang terus diwariskan dari generasi pertama Sultan

Sepuh I sampai Sultan Sepuh XIV yang sekarang.2

Pembahasan menyangkut tentang kekhasan tersebut ialah yaitu

tentang hak turun temurun sultan. Hak turun temurun tersebut berupa takhta,

bangunan kesultanan, tanah kesultanan, wilayah kesultanan, pusaka. asset-

asset kesultanan dan lain lain, hanya diwariskan kepada sultan berikutnya.3

1 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 2 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 3 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.

Page 77: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

67

Karena sifatnya sebagai hak turun temurun, maka keraton tidak bisa dimiliki

secara pribadi oleh siapapun dan tidak bisa dibagi-bagikan4, karena sebagai

hak turun temurun, bukan sebagai hak milik pribadi. Maka atas dasar itulah,

kewarisan di Keraton Kasepuhan Cirebon juga dipengaruhi oleh aturan adat

atau papakem yang berlaku secara turun temurun. Untuk menganalisis hal

tersebut penyusun merasa perlu melengkapi penelitian ini dengan kaidah-

kaidah Fiqh ataupun dari Ushul Fiqh sebagai pembentukan hukum kewarisan

Islam terkait dengan sistem kewarisan di Keraton Kasepuhan Cirebon.

Seperti dalam salah satu kaidah Fiqh berbunyi :

العادت محكمة

“Adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan) hukum”5

Kaidah di atas, menjelaskan tentang peran adat pada suatu masyarakat

dapat menentukan sebuah hukum, di samping pengaruh tempat dan zaman

masyarakat tersebut.

Sesuatu yang telah menjadi adat manusia dan telah mereka jalani,

maka hal itu menjadi bagian dari kebutuhan mereka dan sesuai dengan

kemaslahatan mereka, oleh karena itu sepanjang ia tidak bertentangan dengan

syara’, maka wajib diperhatikan.6

Maka dari itu, ulama juga membagi adat kebiasaan ini dalam dua

bentuk yaitu, al-‘adah al-shahihah (adat yang shahih, baik, benar), dan al-

‘adah al-fasidah (adat yang mafsadat, salah, rusak).7 Maka dasar penetapan

hukum berdasarkan adat ini hanya mengacu kepada al-‘adah al-shahihah,

4 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 5 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal. 78 6 Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa oleh: H. Moh. Zuhri dan Ahmad

Qarib, (Semarang: Toha Putra Group, 1994), hlm. 124 7 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal. 79

Page 78: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

68

bukan al-‘adah fasidah. Oleh karena itu, kaidah tersebut tidak bisa digunakan

apabila:

1. al-‘adah yang bertentangan dengan nash baik al-Qur’an maupun Hadis,

seperti : kebiasaan judi, menyabung ayam, memperjual belikan daging

babi dsb.

2. al-‘adah tersebut tidak menyebabkan kemafsadatan atau menghilangkan

kemaslahan termasuk di dalamnya tidak mengakibatkan kesulitan atau

kesukaran, seperti : memboroskan harta, hura-hura dalam acara perayaan,

memaksakan dalam menjual dsb

3. al-‘adah berlaku pada umumnya di kaum muslimin, dalam arti bukan

hanya yang biasa dilakukan oleh beberapa orang saja. Bila dilakukan

oleh beberapa orang saja maka tidak dianggap adat.8

Dasar hukum kaidah ini ada dalam Al-Qur’an :

9

“jadilah Engkau Pema'af dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf,

serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh.”

.... .... 10

“dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya

menurut cara yang ma'ruf.”

Sedangkan ‘Urf (العرف), secara etimologi berarti “yang baik”. Para

ulama ushul fiqh membedakan antara adat dengan ‘urf dalam membahas

kedudukannya sebagai salah satu dalil untuk menetapkan hukum syara’. Adat

didefinisikan dengan : “sesuatu yang dikerjakan secara berulang-ulang

tanpa adanya hubungan rasional”. Sedangkan ‘Urf didefnisikan sebagai :

“kebiasaan mayoritas kaum, baik dalam perkataan maupun perbuatan”.

Berdasarkan definisi ini, Musthafa Ahmad al-Zarqa’, mengatakan bahwa ‘urf

8 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal. 83-84 9 Q.S Al-A’raaf ayat 199. 10 Q.S Al-Baqarah ayat 228.

Page 79: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

69

merupakan bagian dari adat, karena adat lebih umum dari ‘urf. Suatu ‘urf,

menurutnya harus berlaku pada kebanyakan orang di daerah tertentu, bukan

pada pribadi atau kelompok tertentu dan ‘urf bukanlah kebiasaan alami

sebagaimana yang berlaku dalam kebanyakan adat, tetapi muncul dari suatu

pemikiran dan pengalaman.11

Secara istilah ‘Urf didefinisikan dengan :

ا ة من أهل قطر اسل مي بشرط ان ال يخالف ن سلي و الطبا ع الذ ما يعتاد النا س ص

شرعيا .

“Sesuatu yang telah menjadi kebiasaan dan diterima oleh tabiat yang baik

serta telah dilakukan oleh penduduk sekitar Islam dengan ketentuan tidak

bertentangan dengan nash dan syara”12

Seperti adat, ‘Urf jika ditinjau dari segi keabsahan atau diterimanya

dari pandangan syara’, terbagi atas :

1. Al-‘Urf Al-shahih adalah kebiasaan yang berlaku di tengah-tengah

masyarakat yang tidak bertentangan dengan nash (ayat al-Qur’an atau

hadis). Misalnya, dalam masa pertunangan pihak laki-laki memberikan

hadiah kepada pihak wanita dan hadiah ini tidak dianggap sebagai mas

kawin.

2. Al-‘Urf Al-fasid adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil

syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Misalnya,

kebiasaan yang berlaku di kalangan pedagang dalam menghalalkan riba,

seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. dan lain sebagainya.13

Para ulama menyatakan bahwa suatu ‘urf atau adat, baru dapat

dijadikan sebagai salah satu dalil dalam menetapkan hukum syara’, apabila

memenuhi syarat sebagai berikut :

11 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Pamulang Timur: Logos Publishing House, 1996), hal.

137-139 12 A. Syafi’i Karim, Fiqih Ushul Fiqih : Untuk UIN, STAIN, PTAIS, (Bandung: Pustaka

Setia, 2006), Cet. 4, hal. 85. 13 Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I (Pamulang Timur: Logos Publishing House, 1996), hal.

141

Page 80: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

70

1. Adat / kebiasaan itu bernilai maslahat dan dapat diterima oleh akal sehat.

2. Adat / kebiasaan itu berlaku umum dan merata di kalangan orang-orang

yang berada dalam lingkungan adat itu, atau sebagian besar warganya.

3. Adat yang dijadikan sandaran dalam penetapan itu telah ada (berlaku)

pada saat itu, bukan adat yang muncul kemudian.

4. Adat / kebiasaan yang tidak bertentangan dan melalaikan dalil syara’ yang

ada atau bertentangan dengan prinsip yang pasti.14

Maka berangkat dari permasalahan waris di atas yaitu yang

menyangkut tentang hak turun temurun sultan, kedudukan adat/’urf dalam

bangunan hukum Islam menjadi salah satu bahan untuk menetapkan hukum

Islam disamping Al-Qur’an dan hadis sebagai rujukan pokoknya.

A. Harta Warisan

Harta warisan dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang

ditinggalkan oleh pewaris yang secara hukum dapat beralih kepada ahli

warisnya. Dalam pengertian ini dapat dibedakan antara harta warisan dan

harta peninggalan. Harta peninggalan adalah semua yang ditinggalkan oleh si

mayit atau dalam arti apa-apa yang ada pada seseorang saat kematiannya,

sedangkan harta warisan ialah harta peninggalan yang secara hukum syara’

berhak diterima oleh ahli warisnya.15

Dalam Hukum Kewarisan, harta peninggalan baru bisa diwariskan

apabila memenuhi syarat sebagai berikut :

1. Harta tersebut adalah milik dari pewaris secara sempurna. Dalam artian dia

memiliki sepenuhnya baik materi bendanya dan juga manfaatnya. Jika dia

tidak memiliki materi bendanya dan tidak pula manfaatnya, seperti hal nya

barang titipan, atau yang berupa manfaatnya saja seperti barang pinjaman,

atau sewaan, maka tidak dapat menjadi harta warisan. Begitu pula dengan

harta serikat atau harta bersama yang sama-sama dimiliki oleh dia sendiri

14 Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 400-402. 15 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam, (Jakarta: Kencana, 2011), hal. 215.

Page 81: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

71

dan juga orang lain, maka harus dibagi terlebih dahulu baru kemudian bisa

menjadi harta warisan.

2. Harta tersebut telah murni dan terlepas dari tersangkutnya hak orang lain

di dalamnya. Untuk maksud memurnikan dan melepaskan ketersangkutan

hak lain di dalamnya, seperti biaya penyelenggaraan jenazah dari pewaris,

dari meninggalnya si pewaris sampai pemakamannya atau setelah

pemakamannya. Dan utang-utang yang belum dilunasi pewaris sewaktu

hidupnya, seperti utang kepada Allah, berupa zakat dll. Atau utang kepada

manusia.

3. Wasiat-wasiat yang telah dilakukan oleh pewaris semasa hidupnya dalam

batas yang tidak melebihi sepertiga dari harta yang tinggal setelah biaya

jenazah dan utang-utang.16

Dalam sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan sendiri, harta

warisan terbagi dalam dua macam. 1) Harta waris yang bisa diwariskan

kepada ahli warisnya, 2) Harta waris yang tidak bisa diwariskan kepada ahli

warisnya. Pembagian harta waris tersebut mengacu pada dua pembagian

kewarisan yang ada di Keraton Kasepuhan Cirebon. Yaitu (1) Warisan secara

pribadi dan (2) Warisan Kesultanan.17

1. Harta waris yang bisa diwariskan kepada ahli waris dalam lingkup Keraton

Kasepuhan Cirebon.

Harta waris yang bisa diwariskan kepada ahli waris yaitu mengacu

pada warisan pribadi, yaitu berupa harta atau kekayaan pribadi Sultan baik

berupa harta bergerak maupun harta yang tidak bergerak dan harta tersebut

murni milik pribadi, harta inilah yang bisa diwariskan kepada anak-

anaknya atau isterinya sebagai ahli waris. Harta warisan yang dapat

dibagikan tersebut bisa berupa, mobil, tanah, perhiasan dan lain-lain.

2. Harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris

16 Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 154. 17 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.

Page 82: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

72

Harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris yaitu mengacu

pada warisan kesultanan. Warisan kesultanan yaitu berupa takhta, wilayah

kesultanan, bangunan kesultanan, pusaka, asset-asset kesultanan dan lain-

lain, hanya diserahkan kepada sultan berikutnya18 dan menjadi hak turun

temurun Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon. Karena sifatnya

sebagai hak turun temurun tersebut, maka wilayah kesultanan, bangunan

kesultanan, pusaka, asset-asset kesultanan dan lain-lain, tidak bisa

diwariskan kepada ahli waris sultan, kecuali ahli waris tersebut telah

dinobatkan menjadi sultan berikutnya dan tetap menjadi hak turun

temurun sultan.

Hak turun temurun ini merupakan hak lembaga keraton yang

dimiliki oleh Sultan Sepuh yang sedang menjabat, siapa pun Sultan

Sepuhnya. Apa yang dinyatakan milik keraton, juga milik Sultan Sepuh,

karena Sultan Sepuh merupakan pimpinan tertinggi lembaga tersebut.

Namun walaupun begitu, Sultan sebagai pimpinan tertinggi, juga tidak

bisa begitu saja mewariskan keraton dan kekayaan keraton yang ada di

dalamnya kepada anak-anak Sultan. Karena berlaku hak turun temurun,

yang sejak dahulu sudah dilaksanakan sejak dahulu. Karena jika bisa

diwariskan, maka keraton beserta kekayaan keraton akan habis sejak

dulu.19 Oleh karena itulah, hak turun temurun ini selalu dijaga dari

generasi ke generasi sehingga lestari sampai dengan sekarang. Inilah yang

disebut sebagai harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli waris.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa harta warisan dapat

dibagi jika harta tersebut dimiliki secara sempurna, baik dari segi materi

maupun manfaatnya, dan juga terlepas dari hak-hak yang menyangkut di

dalamnya, seperti utang-utang, biaya pengurusan jenazah, dan juga wasiat

dari pewaris.20 Jika syarat-syarat tersebut sudah terpenuhi, maka harta

warisan sudah bisa dibagikan kepada ahli waris. Maka dalam konteks

18 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 19 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 20 Amir Syarifudin, Garis-garis Besar Fiqh (Jakarta: Kencana, 2003), hal. 154.

Page 83: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

73

keraton, seperti pada poin kesatu sistem pembagian harta warisan di Keraton

Kasepuhan Cirebon, harta pribadi yang dapat diwariskan oleh Sultan kepada

ahli warisnya, secara Kewarisan Islam bisa dibagikan setelah terpenuhinya

syarat-syarat yang tersebut di atas. Artinya secara Hukum Islam sudah sesuai

jika syarat-syarat yang telah tersebut di atas telah terpenuhi.

Hal ini seperti yang telah dinyatakan dalam Q.S an-Nisaa ayat 33 :

“bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak

dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. dan (jika ada) orang-

orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, Maka berilah

kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala

sesuatu.”

Tetapi mengenai harta peninggalan ini, atau apa-apa yang

ditinggalkan oleh si pewaris harus diartikan sedemikian luas agar dapat

mencakup kepada :

a. Kebendaan dan sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan

Misalnya : benda bergerak, benda tidak bergerak, piutang-piutang si

pewaris, surat-surat berharga, diyat, dan lain-lain yang dipandang sebagai

miliknya.

b. Hak-hak kebendaan

Termasuk kelompok ini hak monopoli untuk memungut hasil dari jalan

raya, sumber air minum, dan lain-lain

c. Benda-benda yang berada di tangan orang lain.

Misalnya, barang gadaian, dan barang-barang yang sudah dibeli dari

orang lain, tetapi belum diserahterimakan kepada orang yang sudah

meninggal.

Page 84: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

74

d. Hak-hak yang bukan kebendaan. Misalnya, hak syuf’ah, yaitu hak beli

yang diutamakan bagi tetangga/serikat, dan memanfaatkan barang yang

diwariskan atau diwakafkan.21

Dari penjelasan di atas dan juga dari definisi sebelumnya, maka dapat

ditarik kesimpulan bahwa, harta warisan merupakan harta netto (harta bersih),

setelah dipotong biaya-biaya keperluan pewaris selama sakit sampai

meninggalnya, biaya pengurusan jenazah, biaya pembayaran utang, dan

pembayaran wasiat si pewaris. Dan harta warisan itu dapat berbentuk harta

benda milik pewaris dan hak-haknya.22

Hal ini seperti yang tertera dalam Kompilasi Hukum Islam, pada pasal

171 huruf e menyebutkan bahwa : “Harta warisan adalah harta bawaan

ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan

pewaris selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah

(tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat”.23

Mengenai poin kedua pada harta warisan yang ada dalam lingkup

Keraton Kasepuhan Cirebon, yaitu mengenai hak turun temurun sultan,

hukum kewarisan Islam sendiri tidak mengenal apa itu hak turun temurun

dalam hal harta warisan, di mana harta tersebut tidak bisa diwariskan secara

penuh oleh siapa pun termasuk Sultan Sepuh yang sedang menjabat. Karena

harta tersebut merupakan bagian dari hak turun temurun keraton, dan hukum

adat yang menyangkut di dalamnya. Dan secara hukum kewarisan Islam,

harta tersebut bukan merupakan tirkah atau harta yang ditinggalkan pewaris.

Akan tetapi, hak turun temurun tersebut dapat disinonimkan dengan

hak yang bersangkutan dengan orang lain, dan bukan sebagai hak milik

pribadi Sultan, tetapi hak bersama, untuk dapat digunakan bersama-sama.

21 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT RajaGrafindo Persada,

2015), hal. 25-26. 22 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,

2015), hal. 25-26. 23 Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam. (Departemen Agama RI Direktorat Jenderal

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998), hal. 133

Page 85: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

75

Hak turun temurun ini hanya dimiliki oleh lembaga keraton/kesultanan.24

Sultan hanya diserahkan mandat. Maka dari itu, hak turun temurun yang

dalam hal ini adalah keraton, wilayah kesultanan, bangunan kesultanan, tanah

kesultanan, dan asset-asset kesultanan tidak dapat diwariskan berdasarkan

ketentuan hukum Islam. Karena hal ini menyangkut dengan adat atau

kebiasaan setempat yang sudah berlaku sejak dahulu dan dilaksanakan secara

turun temurun.

Hak turun temurun ini juga untuk menjaga agar Keraton Kasepuhan

Cirebon tetap lestari sampai dengan sekarang. Karena jika keraton dapat

dibagi-bagi, maka nanti nya akan habis, dan sudah tidak ada lagi keraton

tersebut.25

Maka dalam hal ini seperti kaidah fiqh yang tertera dalam pembahasan

sebelumnya yang menyatakan bahwa “adat kebiasaan dapat dijadikan

(pertimbangan) hukum”26 Di mana peran adat pada suatu masyarakat dapat

menentukan sebuah hukum, di samping pengaruh tempat dan zaman

masyarakat tersebut. Adat kebiasaan atau ‘Urf dalam hal kewarisan di keraton

Kasepuhan Cirebon ini, selama hal tersebut bernilai maslahat, dan juga tidak

bertentangan dengan nash Al-Qur’an ataupun hadits, dan juga hukum syara’,

maka adat atau ‘urf tersebut dapat dijadikan sebagai salah satu dasar

penetapan hukum.27

B. Waktu Pelaksanaan pembagian Waris

Dalam hal waktu pelaksanaan pembagian warisan dalam ruang

lingkup Keraton Kasepuhan Cirebon, pada dasarnya sesuai dengan syariat

Islam, yaitu dibagikan setelah si pewaris meninggal dunia.28 Namun ada juga

24 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 25 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 26 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang Praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), Cet. 2, hal.78. 27 Amir Syariduddin, Ushul Fiqh 2, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 400-402. 28 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.

Page 86: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

76

keluarga dalam lingkungan Magersari yang membagikan warisannya

sebelum pewaris meninggal dunia.29

Ilmu Faraidh atau ilmu waris secara definisi ialah ilmu yang mengatur

peralihan harta yang telah meninggal dunia kepada orang yang masih hidup

berdasarkan ketentuan syariat Islam.30 Dari definisi tersebut, maka pembagian

waris baru berlaku setelah si pewaris meninggal dunia. Tetapi secara empiris,

tidak semua pihak/orang membagikan warisan setelah si pewaris meninggal,

akan tetapi warisan tersebut dibagi sebelum si pewaris meninggal dunia,

seperti yang terjadi dalam lingkungan magersari di Keraton Kasepuhan

Cirebon. Menurut pak Elang Haryanto, hal ini untuk menghindari

perselisihan antar anggota keluarga dalam hal pembagian waris.31

Dalam hukum Islam sendiri, menetapkan bahwa peralihan harta

seseorang kepada orang lain dengan menggunakan istilah kewarisan hanya

berlaku setelah yang mempunyai harta meninggal dunia. Hal ini sesuai

dengan asas semata akibat kematian. Asas ini berarti bahwa seseorang tidak

dapat beralih kepada orang lain dengan nama waris selama yang mempunyai

harta masih hidup. Juga berarti bahwa segala bentuk peralihan harta

seseorang yang masih hidup baik secara langsung maupun terlaksana setelah

ia meninggal, tidak termasuk ke dalam istilah kewarisan menurut hukum

Islam.32

Dengan demikian Hukum Kewarisan Islam hanya mengenal satu

bentuk kewarisan yaitu kewarisan akibat kematian semata atau yang dalam

Hukum Perdata BW (Burgelijk Wetboek) disebut dengan kewarisan ab

29 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 30 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,

2015), hal. 3. 31 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 32 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

28.

Page 87: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

77

intestato dan tidak mengenal kewarisan atas dasar wasiat yang dibuat pada

waktu masih hidup yang disebut kewarisan bij testament.33

Dalam rukun kewarisan sendiri, yang membahas tentang ketentuan si

Pewaris atau muwarits, berlaku ketentuan bahwa harta yang ditinggalkan

miliknya dengan sempurna, dan ia benar-benar telah meninggal dunia, baik

menurut kenyataan maupun menurut hukum. Kematian muwarits ini menurut

ulama fiqh dibedakan menjadi tiga macam, yaitu mati haqiqy (sejati), mati

hukmy (berdasarkan keputusan hakim), dan mati taqdiry (menurut dugaan).34

Sebab syarat yang harus terpenuhi berkenaan dengan pewaris ini adalah

“telah jelas matinya”. Dengan demikian telah memenuhi prinsip kewarisan

akibat kematian yang berarti bahwa harta pewaris beralih kepada ahli waris

setelah kematiannya.35

Berdasarkan ketentuan di atas, diketahui bahwa peralihan harta dari

pewaris ke ahli warisnya baru berlaku setelah si pewaris meninggal dunia.

Tetapi dalam Hukum Islam juga terdapat beberapa macam proses peralihan

harta selain kewarisan. Yaitu tentang wasiat dan juga hibah. Pembahasan

mengenai wasiat dan hibah dapat dijelaskan sebagai berikut:

Wasiat, ulama fiqh mendefinisikan wasiat dengan “Penyerahan harta

secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku setelah orang

tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat”.36

Dalam Kompilasi Hukum Islam sendiri, wasiat ialah pemberian suatu benda

dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah

pewaris meninggal dunia.37

33 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

28. 34 Moh. Muhibbin, Abdul Wahid. Hukum Kewarisan Islam : Sebagai Pembaruan Hukum

Positif di Indonesia. (Jakarta: Sinar Grafika, 2011), hal. 60. 35 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group. 2008), h.

206. 36 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,

2015), hal. 107. 37 Pasal 171 huruf f Kompilasi Hukum Islam

Page 88: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

78

Adapun rukun (unsur) wasiat yaitu, pewasiat (al-mushi), penerima

wasiat, harta yang diwasiatkan, dan redaksi (sighat) wasiat. Mengenai

penerima wasiat, terdapat beberapa syarat yaitu, 1) dia bukan ahli waris yang

memberikan wasiat, 2) orang yang diberi wasiat ada pada saat pemberi wasiat

wafat, dan 3) penerima wasiat tidak membunuh orang yang memberi wasiat.38

Menurut Kompilasi Hukum Islam, wasiat kepada ahli waris hanya berlaku

bila disetujui oleh semua ahli waris, yang dibuat secara lisan di hadapan dua

orang saksi atau tertulis di hadapan dua orang saksi atau di hadapan notaris.39

Hal ini berdasarkan hadis Nabi Muhammad Saw :

ان هللا قد اعطى كل ذى حق حقه وال وصية لوارث )رواه النساءى(40

”Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang

yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris”(HR. Al-

Nasa’iy).

Kemudian dalam wasiat, mengai harta yang diwasiatkan tidak boleh

melebihi sepertiga dari harta peninggalan/warisan, kecuali apabila semua ahli

waris menyetujuinya.41

Hibah, secara istilah hibah ialah suatu pemberian yang bersifat

sukarela, tanpa mengharapkan adanya kontraprestasi dari pihak penerima

hibah, dan pemberian itu dilangsungkan pada saat si pemberi masih hidup.

Hibah ini merupakan akad tabarru’, yaitu akad yang dibuat tidak ditujukan

untuk mencari keuntungan (non profit), melainkan ditujukan kepada orang

lain secara cuma-cuma.42 Dalam Kompilasi Hukum Islam, hibah ialah

38 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,

2015), hal. 113. 39 Pasal 195 ayat (3 dan 4) Kompilasi Hukum Islam 40 Jalaludin Al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasa’i, (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), hlm. 262 41 Pasal 195 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam 42 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,

2015), hal. 125.

Page 89: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

79

pemberian suatu benda secara sukarela dan tanpa imbalan dari seseorang

kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.43

Ketentuan mengenai penerima hibah, tidak disyaratkan harus sudah

dewasa dan berakal sehat, syarat utamanya adalah penerima hibah atau orang

yang bertindak sebagai penerima hibah harus benar-benar sudah ada,

sehingga bayi di dalam kandungan tidak diperkenankan menerima hibah.44

Dalam Kompilasi Hukum Islam, hibah dari orang tua kepada anaknya

dapat diperhitungkan sebagai warisan.45

Dari penjelasan mengenai ketentuan peralihan harta dalam Hukum

Islam, maka dapat dibedakan sebagai berikut :46

WARIS HIBAH WASIAT

Waktu Setelah wafat Sebelum wafat Setelah wafat

Penerima Ahli Waris Ahli Waris & non Ahli Waris Bukan ahli waris

Nilai Sesuai faraidh Bebas Maksimal 1/3

Hukum Wajib Sunnah Sunnah

Dari pembahasan di atas, maka bisa disimpulkan pembagian harta

yang dilakukan semasa pewaris masih hidup, jika harta tersebut dibagikan

kepada ahli waris, maka bisa disebut sebagai hibah, bukan warisan. Tetapi

jika pewaris hanya sekedar membagi bagian-bagian harta kepada ahli

warisnya semasa masih hidup, lalu harta tersebut baru dibagi ketika si

pewaris meninggal dunia, maka bisa disebut sebagai wasiat, namun harus

dengan syarat pembagian tersebut telah disetujui oleh semua ahli waris. Maka

dari itu, pembagian warisan yang berlangsung ketika si pewaris masih hidup

di lingkungan magersari di keraton Kasepuhan Cirebon, maka hal tersebut

43 Pasal 171 huruf g Kompilasi Hukum Islam. 44 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,

2015), hal. 130. 45 Pasal 211 Kompilasi Hukum Islam 46 M. Sanusi, Panduan Lengkap dan Mudah Membagi Harta Waris, (Yogyakarta: Diva

Press, 2012), Cet. 1, hal. 75.

Page 90: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

80

bukan merupakan suatu bentuk kewarisan secara Islam, tetapi bisa dikatakan

sebagai hibah, bisa juga dikatakan sebagai wasiat, jika si pewaris berwasiat

kepada ahli warisnya mengenai pembagian harta ketika dia masih hidup, lalu

ketika si pewaris meninggal dunia, harta tersebut baru dibagikan.

C. Hukum Tertulis Sebagai Penguat Pembagian Waris

Seperti yang telah dijelaskan di atas, bahwa kewarisan di Keraton

Kasepuhan Cirebon tidak jauh berbeda dengan kewarisan Islam secara umum.

Baik dari segi pembagian harta waris, maupun menyangkut soal bagian-

bagian ahli warisnya. Namun, ada beberapa ciri khas yang menjadikan sistem

pembagian waris di Keraton Kasepuhan berbeda dengan yang lain. Seperti

menyangkut hak turun temurun keraton seperti pada pembahasan sebelumnya

di atas.

Hukum tertulis di sini yaitu berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh

keraton dalam hal pengangkatan sebagai putera mahkota sekaligus ahli waris

yang sah untuk menggantikan sultan sebelumnya.47 Surat resmi tersebut

merupakan sebagai bukti penguat bahwa sultan yang diangkat tersebut

mewarisi keraton dan seluruh kekayaan keraton sebagai hak turun temurun

dari sultan sebelumnya. Hal tersebut merupakan bagian dari warisan

kesultanan.

Adapun warisan secara pribadi, sejatinya keraton tidak turut campur

dalam pembagian warisan pribadi. Karena hal tersebut bukan ranahnya

keraton.48 Adapun secara umum pembagian waris secara pribadi di

lingkungan Keraton Kasepuhan Cirebon khususnya dalam lingkup magersari

dilakukan secara kekeluargaan, dilakukan secara musyawarah keluarga. Jika

ada pewaris yang meninggal dalam satu keluarga, maka seluruh ahli waris di

kumpulkan dan dilakukan musyawarah untuk menentukan pembagian

warisan. Setelah sepakat dengan hasil musyawarah tersebut, maka hasil itu

47 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 48 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018.

Page 91: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

81

akan dicatat sebagai bukti tertulis, dan kemudian bisa diserahkan kepada

Sultan untuk dibuatkan surat keterangan. Menurut pak Elang Haryanto, surat

keterangan ini kemudian berlaku untuk semua kerabat keraton yang telah

melakukan musyawarah pembagian waris tersebut, dan wajib ditaati oleh

semuanya. Begitu pun ketika si pewaris masih hidup dan secara sengaja

membagikan bagian waris masing-masing kepada ahli warisnya, maka hal

tersebut juga bisa dibuatkan surat keterangan kepada Sultan atau lembaga

kesultanan. Hukum Tertulis ini juga untuk menghindari perselisihan antar

keluarga dalam hal pembagian waris.49

Maka secara garis besar tujuan daripada dibuatkannya hokum tertulis

tersebut yaitu sebagai penguat, dan juga untuk untuk menolak kemudharatan

dan meraih kemaslahatan. Mudharat disini bisa berupa konflik atau

perselisihan antar keluarga dalam hal pembagian warisan. Maka hal ini sesuai

dengan tujuan Hukum Islam yaitu kebahagiaan hidup manusia di dunia dan di

akhirat kelak, dengan jalan mengambil (segala) yang bermanfaat dan

mencegah atau menolak yang mudharat, atau untuk kemaslahatan hidup

manusia, baik rohani maupun jasmani, individual, dan sosial.50

Seperti kaidah fiqh yang berbunyi :

جلب المصالح و درء المفا سد 51

“Meraih kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”

‘Izzudin bin Ab al-Salam di dalam kitabnya Qawa’id al-Ahkam fi

Mushalih al-Anam mengatakan bahwa seluruh syariah itu adalah maslahat,

baik dengan cara menolak mafsadat atau dengan meraih maslahat.52 Hal ini

49 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 50 Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer (Jakarta: Sinar Grafika, 2013),

Cet. 2, hal. 6. 51 Izz al-Din ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I (Lebanon,

Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1999), hlm. 241 52 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan

masalah-masalah yang praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2007), cet. 2, hal. 27.

Page 92: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

82

memang sejalan dengan misi Islam secara keseluruhan yaitu “rahmatan lil-

‘Alamiin”.

Dalam ilmu ushul fiqh, yang membahas tentang maslahat ini adalah

Maslahah Mursalah. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali (450-505 H),

Maslahah Mursalah adalah maslahat yang tidak ada dalil tertentu yang

membenarkan atau membatalkannya.53

Untuk mempertegas Maslahah Mursalah yang dimaksud di atas, Al-

Ghazali menyatakan :

“Setiap maslahat yag kembali untuk memelihara tujuan syara’ yang

diketahui dari al-Kitab (al-Qur’an), sunnah, dan ijma’, maslahat itu tidak

keluar dari dalil-dalil tersebut. Ia tidak dinamakan qiyas, tetapi dinamakan

maslahah mursalah. Sebab qiyas ada dalilnya tertentu. Adanya maslahat

tersebut dikehendaki oleh syara’ diketahui bukan saja dari satu dalil, namun

berdasarkan dalil yang cukup banyak yang tidak terhitung, baik dari al-

Qur’an, sunnah, kondisi dan situasi, serta tanda-tanda yang lain, yang

karenanya dinamakan maslahah mursalah”.54

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa maslahah mursalah

menurut al-Ghazali ialah maslahat yang sejalan dengan tindakan syara’, yang

dimaksudkan untuk memelihara tujuan syara’ (hukum Islam), tidak ada dalil

tertentu yang menunjukannya, dan kemaslahatan itu tidak berlawanan dengan

al-Qur’an, sunnah, atau ijma’.55

Maka secara garis besar, hukum tertulis yang dikeluarkan oleh keraton

sebagai penguat pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, bertujuan

untuk menolak kemudaratan, serta meraih kemaslahatan.

53 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah

& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 65 54 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah

& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 66. 55 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah

& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 66.

Page 93: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

83

Hal ini sejalan dengan prinsip dan dan dasar penetapan hukum Islam

yaitu kemaslahatan hamba di dunia dan akhirat. Karena hukum Islam itu

semuanya adil, membawa rahmat, mengandung maslahat, dan membawa

hikmah. Kemaslahatan yang ingin diwujudkan dan diraih oleh hukum Islam

juga bersifat universal, kemaslahatan sejati, bersifat duniawi dan ukhrawi,

lahir, batin, material spiritual, maslahat individu juga maslahat umum,

maslahat hari ini dan hari esok. Semua terlindungi dan terlayani dengan

baik.56

D. Ahli Waris dan Bagiannya

Ahli waris adalah seseorang atau beberapa orang yang berhak

mendapat bagian dari harta peninggalan.57 Atau orang yang secara jelas

mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, dan tidak ada

halangan untuk mewarisi.58

Keraton Kasepuhan Cirebon dalam kaitannya dengan ahli waris,

terdapat dua macam kewarisan. Yaitu ahli waris yang menduduki takhta, dan

ahli waris yang berkaitan dengan faraidh. Ahli waris takhta, yaitu orang yang

secara tradisi/adat berhak menjadi sultan berikutnya setelah sultan yang

sedang menjabat meninggal dunia. Kewarisan takhta ini, secara tradisi atau

turun temurun, diwariskan kepada anak laki-laki tertua sultan, jika tidak ada

maka akan diserahkan ke adik sultan yang laki-laki, dan jika tidak ada lagi,

maka takhta kesultanan diserahkan ke paman sultan.59 Masa jabatan sultan

berlaku seumur hidup.60

Kewarisan takhta yang hanya diwariskan kepada kaum laki-laki, jika

mengacu pada garis keturunan maka bersifat patrilineal. Yaitu sistem

56 Ahmad Munif Suratmaputra, Filsafat Hukum Islam AL-Ghazali : Maslahah Mursalah

& Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), hal. 59. 57 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 17. 58 Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Depok: PT Raja Grafindo Persada,

2015), hal. 35.

59 Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung, Interview Pribadi, Cirebon 27

Oktober 2017. 60 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018.

Page 94: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

84

kekeluargaan yang menarik garis keturunan dari pihak nenek moyang laki-

laki.61

Kemudian ahli waris yang berkaitan dengan faraidh, dalam sistem

pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon, secara garis besar sama saja

dengan hukum agama atau sesuai dengan syariat Islam.62 Di mana kekayaan

pribadi sultan atau orang yang tinggal di lingkungan keraton tersebut, dapat

diwariskan kepada putra-putri mereka sesuai dengan waris Islam.63

Maka dari itu, kewarisan harta kepada ahli waris yang ada di

lingkungan keraton berbeda dengan kewarisan takhta. Jika sistem kewarisan

takhta di keraton bersifat patrilineal, yang mana hanya bisa diwariskan

kepada laki-laki, maka sistem kewarisan harta di keraton Kasepuhan bersifat

individual bilateral. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Hazairin

dalam bukunya Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an yang

mengemukakan bahwa “sistem kewarisan Islam adalah sistem individual

bilateral.64

Dalam asas hukum kewarisan Islam, asas bilateral mengandung arti

bahwa harta warisan beralih kepada ahli warisnya melalui dua arah (dua belah

pihak). Hal ini berarti bahwa setiap orang menerima hak kewarisan dari

kedua belah pihak garis kerabat, yaitu pihak kerabat garis keturunan laki-laki

dan pihak kerabat garis keturunan perempuan.65 Maka pada prinsipnya asas

ini menegaskan bahwa jenis kelamin bukan merupakan penghalang untuk

mewarisi atau diwarisi.66 Hal ini dapat dilihat dari firman Allah dalam Surah

An-Nisa ayat 7, 11, 12, dan 176.67

61 Eman Suparman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan BW,

(Bandung: PT. Refika Aditama, 2007), hal. 41. 62 PRA Arief Natadiningrat, Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon, Interview

Pribadi, Cirebon 13 Desember 2018. 63 Ahmad Jazuli, Staff Sultan, Interview Pribadi, Cirebon 10 September 2018. 64 Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, (Jakarta: Tinta Mas, 1959),

hal. 14-15. 65 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

20. 66 Rahmat Budiono, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Citra

Aditya Bakti, 1999), hal. 5. 67 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam (Jakarta: Prenada Media Group, 2008), h.

20.

Page 95: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

85

Sedangkan asas individual dalam hukum kewarisan Islam

mengandung arti bahwa harta warisan dapat dibagi-bagi pada masing-masing

ahli waris untuk dimiliki secara perorangan. Dalam pelaksanaannya, masing-

masing ahli waris menerima bagiannya tanpa terikat dengan ahli waris yang

lain.68

Untuk bagian tiap-tiap ahli waris sendiri di Keraton Kasepuhan

Cirebon, karena mengacu pada hukum Kewarisan Islam, maka bagian-bagian

tersebut juga disesuaikan dengan Hukum Kewarisan Islam.

68 Amir Syarifudin, Hukum Kewarisan Islam ( Jakarta: Prenada Media Group, 2008), hal.

21

Page 96: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

86

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Setelah mengadakan pembahasan dan penelitian dari Bab I sampai Bab

IV, maka dalam mengakhiri skripsi ini penulis dapat mengambil beberapa

pokok yang dapat dijadikan kesimpulan dari keseluruhan pembahasan ini.

1. Sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon

a. Harta warisan dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam yaitu :

1) Harta waris yang bisa diwariskan kepada ahli warisnya : yaitu

berupa harta atau kekayaan pribadi sultan yang dapat diwariskan

kepada ahli warisnya.

2) Harta yang tidak bisa diwariskan kepada ahli warisnya : yaitu harta

yang menyangkut tentang kesultanan, seperti keraton, wilayah

kesultanan, kekayaan kesultanan, tanah kesultanan, pusaka, asset

kesultanan, dan lain lain, tidak bisa dibagi waris kepada ahli waris

seperti dalam kewarisan biasa, akan tetapi dapat diwariskan kepada

sultan berikutnya namun sebagai hak turun temurun saja.

b. Waktu pelaksanaan pembagian waris di lingkungan Keraton

Kasepuhan Cirebon, terbagi menjadi dua, yaitu :

1) Pembagian warisan setelah si pewaris meninggal dunia.

2) Si pewaris membagikan warisannya ketika masih hidup.

c. Hukum tertulis sebagai penguat pembagian waris, yaitu secara

kesultanan berupa surat resmi yang dikeluarkan oleh lembaga

kesultanan atas ahli waris yang diangkat menjadi sultan berikutnya.

Adapun dalam kewarisan pribadi, jika sudah sepakat dengan hasil

musyawarah keluarga dalam membagi bagian masing-masing, maka

hasil tersebut bisa dilaporkan ke sultan atau lembaga kesultanan untuk

dibuatkan surat keterangan. Surat keterangan tersebut merupakan

hukum tertulis. Hukum tertulis ini juga untuk menghindari perselisihan

antar keluarga dalam hal pembagian waris.

Page 97: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

87

d. Ahli waris dan bagiannya. Dalam lingkup Keraton Kasepuhan

Cirebon, ahli waris dibagi dalam dua (2) bagian :

1) Ahli waris yang akan menduduki takhta keraton. Yaitu ahli waris

yang secara tradisi / adat berhak menjadi sultan berikutnya.

2) Ahli waris dalam pembagian waris Islam / faraidh. Yaitu ahli waris

yang berada di lingkungan keraton yang berhak menerima warisan.

Bagian-bagian ahli waris disamakan berdasarkan kewarisan Islam.

2. Sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan Cirebon ditinjau dari

Hukum Islam

a. Harta Warisan

1) Dalam hukum kewarisan Islam, harta warisan dapat dibagi jika harta

tersebut dimiliki secara sempurna, dan juga terlepas dari hak-hak

yang menyangkut di dalamnya, seperti utang, biaya pengurusan

jenazah, dan wasiat dari pewaris. Artinya, harta warisan tersebut

adalah harta bersih dari segala hak yang menyangkut di dalamnya.

Jika syarat tersebut terpenuhi, maka harta warisan bisa dibagikan

kepada ahli waris.

2) Harta waris yang tidak bisa dibagikan kepada ahli waris, secara adat

harta tersebut merupakan hak turun temurun keraton. Pada dasarnya

keraton dan kekayaan keraton tidak bisa dibagi waris, hal ini

bertujuan untuk melestarikan eksistensi keraton. Maka dalam

literatur hukum Islam, hal ini berkaitan dengan kaidah fiqh yang

menyatakan bahwa “adat kebiasaan dapat dijadikan (pertimbangan)

hukum”. Hal ini juga merupakan bagian dari ‘urf setempat. Selama

adat dan ‘urf tersebut baik, shahih, benar, dan bernilai maslahat serta

tidak bertentangan dengan nash, maka hal tersebut diperbolehkan

dan adat tersebut dapat dijadikan pertimbangan hukum setempat.

b. Waktu pelaksanaan pembagian waris

1) Pembagian waris setelah si pewaris meninggal dunia, sudah

sesuai dengan Kewarisan Islam, yaitu asas semata akibat

kematian. Harta tidak dapat beralih dengan nama waris, jika

Page 98: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

88

yang mempunyai harta masih hidup. Muwarits dalam rukun

kewarisan Islam, harus benar-benar telah meninggal dunia.

2) Si pewaris yang membagikan warisannya ketika masih hidup,

bukan bagian dari hukum kewarisan Islam. Namun dalam

hukum Islam, ada proses peralihan harta lainnya, yaitu wasiat

dan hibah.

c. Hukum tertulis yang menyangkut tentang pembagian waris, bertujuan

untuk penguat sekaligus menghindari perselisihan, serta meraih

maslahat dan menolak kemudharatan yang ditimbulkan di kemudian

hari. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi : “Meraih

kemaslahatan dan menolak kemafsadatan”. Karena tujuan hukum

Islam sendiri yaitu untuk kebahagiaan hidup manusia, dengan jalan

mengambil segala yang bermanfaat, dan mencegah atau menolak

mudharat, atau untuk kemaslahatan hidup manusia.

d. Ahli waris dan bagiannya dalam sistem pembagian waris di Keraton

Kasepuhan Cirebon berlaku secara umum berdasarkan kewarisan Islam.

Maka dari itu, bagian-bagian ahli waris juga sama dengan bagian-

bagian yang diatur dalam hukum kewarisan Islam pada umumnya,

dimana laki-laki mendapat dua bagian daripada 1 bagian perempuan.

Hal ini sudah sejalan dengan hukum Islam.

B. Saran

Sebelum mengakhiri skripsi ini, penulis ingin memberi sedikit

rekomendasi, meskipun di masyarakat memakai hukum adat tetapi harus tetap

dilaksanakan berdasarkan pondasi hukum Islam. Sehingga hukum Islam

menjadi landasan hukum waris yang dipakai dengan senantiasa berjalan

seiringan dengan hukum waris adat yang berlaku pada masyarakat muslim

khususnya Keraton Kasepuhan Cirebon.

Page 99: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

89

DAFTAR PUSTAKA

Abî Abdîllah Muhammad bin Yazîd al-qazwâînî, Sunan Ibnu Mâjah, Riyâd:

Maktabah almâ’arif linatsri wa attâuzî’i.

Abu Musa Al-Tirmidziy, Al-Jami’u Ash-Shahih, Juz IV, Kairo: Mustafa al-Babiy,

1983.

Adeng dkk, Kota Dagang Cirebon sebagai Bandar Jalur Sutera, Jakarta: CV. Eka

Dharma, 1998.

Ali, Daud, Hukum Islam, Ilmu Hukum, dan Tata Hukum Islam di Indonesia,

Jakarta: Raja Grafindo, 1998.

Al-Imam Abul Husain Muslim bin Al-Hajjaj, Shahih Muslim, Riyâd: Darus

Salam, 1998.

Al-Quran al-kariem dan terjemahannya, Departemen Agama RI

Bochari, M. Sanggupri dan Wiwi Kuswiah, Sejarah Kerajaan Tradisional

Cirebon, Jakarta: CV. Suko Rejo Bersinar, 2001.

Budiono, Rahmat, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta:

Citra Aditya Bakti. 1999.

Creswell, John W. Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitif, dan Mixed.

Edisi Ketiga, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2013.

Daradjat, Zakiah. Ilmu Fiqih, Yogyakarta: PT Dana Bhakti Wakaf, 1995. Jilid 3.

Departemen Agama RI. Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Dirjen Pembinaan

Kelembagaan Agama Islam. 1997/1998.

Djazuli, A, Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam

Menyelesaikan Masalah-masalah Yang Praktis, Cet. II, Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2007.

Hamidy, Mu’ammal, Dkk, Terjemahan Nailul Authar Himpunan Hadits-hadits

Hukum, Cet. III, Surabaya : PT. Bina Ilmu, 2001.

Haroen, Nasrun, Ushul Fiqh I, Pamulang Timur: Logos Publishing House, 1996.

Hasan, A, Al-Faraid, Jakarta: Pustaka Progresif, 1996.

Hazairin. Hukum Kewarisan Bilateral menurut al-Qur’an dan Hadits, Jakarta:

Tintamas, 1982.

Page 100: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

90

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Qur’an, Jakarta: Tinta Mas,

1959.

Ibnu Majah, Sunanu Ibnu Majah, Juz II, Beirut: Dar Al-Fikr.

Izz al-Din ibn Abd al-Salam, Qawa’id al-Ahkam fi Mashalih al-Anam, Juz I,

Lebanon, Dar al-Kutub al-Ilmiah, 1999.

Jalaludin Al-Syuyuti, Syarh Sunan Nasa’i, Beirut: Dar Al-Fikr.

Karim, A. Syafi’i, Fiqih Ushul Fiqih : Untuk UIN, STAIN, PTAIS, Cet. IV,

Bandung: Pustaka Setia, 2006.

Khallaf, Abdul Wahab, Ilmu Ushul Fiqh, alih bahasa oleh: H. Moh. Zuhri dan

Ahmad Qarib, Semarang: Toha Putra Group, 1994.

Komite Fakultas Syariah Universitas Al-Azhar, Ahkamul-Mawarits fil-Fiqhil-

Islami, Maktabah ar-Risalah ad-Dauliyyah, Mesir, 2000., diterjemahkan

Addys Aldizar dan Fathurrahman, Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi

Publishing, 2004).

Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Depok: PT Raja Grafindo

Persada, 2015.

Muhibbin, Moh dan Abdul Wahid, Hukum Kewarisan Islam : Sebagai

Pembaruan Hukum Positif di Indonesia, Jakarta: Sinar Grafika, 2011.

Munif Suratmaputra, Ahmad, Filsafat Hukum Islam Al-Ghazali : Maslahah

Mursalah & Relevansinya dengan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta:

Pustaka Firdaus, 2002.

Museum Pusaka Keraton Kasepuhan Cirebon.

Mustofa dan Abdul Wahid, Hukum Islam Kontemporer, Cet. II, Jakarta: Sinar

Grafika, 2013.

Nazir, Moh. Metode Penelitian, cet. III, Jakarta: Ghalila Indonesia, 1998.

Ramulyo, H.M Idris, Perbandingan Kewarisan Islam di Indonesia, cet. VIII,

Jakarta: Sinar Grafika, 2004.

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam, Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2007. Cet. 40.

Rosidin, Didin Nurul, Dkk, Kerajaan Cirebon, cet.I, Jakarta: Puslitbang Lektur

dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian

Agama RI, 2013.

Page 101: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

91

Sanusi, M, Panduan Lengkap dan Mudah Membagi Harta Waris, Cet. I.

Yogyakarta: Diva Press, 2012.

Sopyan, Yayan. Islam Negara: Tranformasi Hukum Perkawinan Islam dalam

Hukum Nasional, Jakarta: PT Semesta Rakyat Merdeka. 2012.

Sulendraningrat, P.S, Babad Tanah Sunda / Babad Cirebon, Cirebon: 1984.

Sulendraningrat, P.S. Sejarah Cirebon. Cirebon: Lembaga Kebudayaan Wilayah

Tingkat III Cirebon, 1978.

Suparman, Eman, Hukum Waris Indonesia: Dalam Perspektif Islam, Adat, dan

BW, Bandung: PT. Refika Aditama, 2007.

Syarifudin, Amir, Garis-garis Besar Fiqh, Jakarta: Kencana, 2003.

Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2008.

Syarifudin, Amir, Hukum Kewarisan Islam, Jakarta: Kencana, 2011.

Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Kencana, 2008.

Tanya Jawab Kompilasi Hukum Islam, Departemen Agama RI Direktorat Jenderal

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 1997/1998.

Wildan, Dadan, Sunan Gunung Jati : Petuah, Pengaruh dan Jejak-jejak Sang

Wali di Tanah Jawa, Tangerang Selatan: Salima, 2012.

Yanti, Keraton-keraton di Indonesia, cet. II, Jakarta: CV. China Walafafa, 2011.

Artikel dan Wawancara

Https://id.wikipedia.org/wiki/Keraton_Kasepuhan diakses pada tanggal 10 Mei

2018.

Wawancara Pribadi dengan Elang Haryanto, Kabag Pengelola Langgar Agung,

Tanggal 27 Oktober 2017, pukul 10.00 WIB

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Jazuli, Staff Sultan Sepuh XIV, Tanggal 10

September 2018, pukul 11.00 WIB

Wawancara Pribadi dengan PRA Arief Natadiningrat SE, Sultan Sepuh XIV

Keraton Kasepuhan Cirebon, Tanggal 13 Desember 2018, pukul 16.00

WIB

Page 102: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 103: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 104: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 105: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 106: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Transkip Wawancara dengan Pak Elang Haryanto

Pertanyaan : Kalau dalam waris kan pak, unsur-unsur waris kan bisaanya

ada waris, harta, sama pembagiannya, kalau di keraton ini

ada tidak papakem atau aturan dari dulu sampai sekarang ?

Jawaban : Jadi gini, kalau aturan kesultanan jelas sebuah lembaga

kesultanan keraton, tidak bisa membagikan atau dibagi-bagi,

keraton kaya Istana Negara iya kan, tidak bisa dibagi-bagi,

sultan ini ke anak-anaknya, dibagi sekian-sekian-sekian,

habislah, jadi keraton itu turun temurun, sultan yang berhak

adalah anak laki-laki pertama atau siapa saja putera sultan,

kalau tidak ada anak laki-laki dari seorang sultan, berarti

sultan harus menyerahkan ke adiknya yang laki-laki. Kalau

tidak ada adik laki-laki, sultan bisa menyerahkan ke paman

sultan. Itu berkaitan dengan garis kesultanan ya. Dan keraton

dan tanah keraton tidak bisa dibagikan, karena bukan hak

seseorang tapi hak semuanya, jadi kita disini hanya hak guna

pakai, bukan hak milik. Tapi yang namanya keluarga kan

memang punya kekayaan masing-masing, itu diwariskan

memang kepada putera-putera nya atau puteri-puteri nya,

bisa sama dengan hukum Agama. Laki-laki itu separuh kalau

perempuan sepertiga nya atau berapa ..

Pertanyaan : laki-laki 2 perempuan 1 pak

Jawaban : Iya itu, sama dengan hukum agama. Itu kalau kekayaan

keluarga, tetapi kekayaan keraton tidak bisa dibagi-bagi.

Pertanyaan : Berarti dari zaman dahulu sampai sekarang sama yaa pak?

Jawaban : Iya sama

Page 107: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Pertanyaan : Kalau ini pelaksanaan nya bagaimana pak, pembagian

warisan itu apa setelah ada yang meninggal atau sebelumnya

gitu ?

Jawaban : Iya, bisa sebelumnya bisa setelah wafat, sebelumnya sudah

sepuh dia mengumpulkan putera-putera nya , ini bagian

kamu, itu bagian kamu, hanya ucapan memang kadang-

kadang tidak tertulis gitu, nah untuk hukum tertulisnya yang

mengeluarkan adalah lembaga kesultanan. Misalkan saya

dapat warisan dari orang tua saya, sekian dari batas ini

sampai batas ini, yaa sultan yang surat keterangannya,

supaya kuat.

Pertanyaan : Itu berlaku untuk semua kerabat keraton pak?

Jawaban : Semua, yang ada di lingkungan keraton berarti ya, kalau

diluar lingkungan keraton itu kan biasanya sudah lain gitu.

Yang jelas adalah yang berada di lingkungan keraton. Tetapi

kadang-kadang yang diluar keraton juga penguatnya sultan

juga

Pertanyaan : Berarti tidak pakai kaya skema pengadilan gitu ya pak,

hanya secara lisan atau musyawarah biasa antar keluarga?

Jawaban : Iya rata-rata seperti itu, setau saya, tanpa pengadilan

Pertanyaan : Kalau ini pak, selama ini ada tidak permasalahan internal

antar ahli waris?

Jawaban : Yang namanya manusia permasalahan pasti ada, makanya

untuk memperkuat itu ke sultan, soalnya kalau udah ada

bukti, nihhh … udah enggak bisa bergerak.

Pertanyaan : Walaupun protes gitu pak ?

Page 108: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Jawaban : Iya, ini kan persetujuan keluarga, ini bagian siapa, ini

bagian siapa, gitu.

Pertanyaan : Baru setelah itu langsung dilaporkan ke sultan yaa pak,

terus dibuatkan ?

Jawaban : Iya dibuatkan, ini bagiannya ini, si ini bagian ini, gitu,

namanya magersari

Pertanyaan : Apa itu pak ?

Jawaban : Ya itu pembagian wilayah atau tanah yang ada di

lingkungan keraton itu namanya magersari, tapi bukan hak

milik yaa, hanya hak guna pakai

Pertanyaan : Seperti rumah dinas gitu yaa pak..?

Jawaban : Iya, jadi sewaktu-waktu, sebetulnya sewaktu-waktu keraton

perlu, bisa diambil, tapi hal seperti itu tidak mungkin, karena

yang disitu kan keluarga juga, punya hak juga untuk

menempati gitu, tapi yang jelas tidak bisa diperjualbelikan

tanahnya, atau diserahkan ke orang lain, nihh tanah saya

sekian, boleh bisa beli, tapi tidak bisa disertifikat yang jelas,

itu yang namanya magersari yaa, di dalam benteng yaa.

Kalau diluar benteng sih boleh, tapi itupun harus ada surat

keterangan dari sultan dulu kalau mau disertifikat juga.

Kalau tanah keraton, seandainya mau dibuat legal oleh

pemerintah dengan sertfikat harus ada surat pelepasan hak,

surat pelepasan dari keraton kepada si pewaris itu, atau si dia,

yang menempati, baru bisa disertifikat. Kalau tidak ada yaa

tidak boleh, tidak bisa gitu.

Pertanyaan : Berarti sekitar ini semua pak yaa?

Jawaban : 25 Ha.

Page 109: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Pertanyaan : Total nya ada berapa pak kerabat yang tinggal di keraton

ini?

Jwban : Kalau kerabat sih ya sedikit, di dalam ini hanya sekiktar 6-

10 kepala keluarga, di sana ke depan, sekitar 5 kepala

keluarga, yang di sebelah barat ada sekitar 20-30 kk, yang

lainnya memang, walaupun bukan keluarga keraton, tetapi

turunan abdi dalem, yang dari dulu memang menempati

tempat itu.

Pertanyaan : Berarti ada keluarga yang di luar keraton juga pak

Jawaban : Banyak, ribuan.

Pertanyaan : Berarti kan, yang bisa diwariskan itu harta pribadi yaa pak

Jawaban : Iya harta pribadi

Pertanyaan : Kalau untuk tanah nya enggk bisa yaa pak?

Jawaban : Enggak bisa, yang di dalam keraton yaa yang seluas 25 ha.

Kalau diluar juga, kalau masih dalam kekuasaan keraton yaa

seperti itu sama. Tetapi kalau diluar sudah pelepasan dari

keraton kepada mereka, dan mereka sertifikat, hanya

hukumnya hukum Negara gitu. Tetapi kalau di dalam

lingkungan keraton yang di magersari ini, tidak bisa

disertifikatkan. Kalau bisa disertifikat, nanti BPN nya yang

dituntut, karena cagar budaya.

Pertanyaan : Berarti kewarisan keraton tadi, intinya seperti itu ya pak?

Jawaban : Iya, intinya seperti kalau keraton, keraton tidak bisa

diwariskan kepada seseorang karena keraton adalah sebuah,

seperti Istana Negara, yang namanya istana Negara, presiden

tidak bisa mewariskan kepada anak-anaknya yaa kan. Sama

sultan pun tidak bisa mewariskan keraton kepada anaknya,

Page 110: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

kecuali anaknya jadi sultan, tapi tetap sultan hanya sultan

gitu, pemimpin, tapi tidak bisa menguasai, tidak bisa begitu

saja menjual keraton. Harus berembuk dulu sama keluarga.

Pertanyaan : Kalau di keraton ini ada semacam ritual tertentu tidak pak

dalam hal pembagian warisan ini ?

Jawaban : Tidak ada, hanya musyawarah saja.

Pertanyaan : Berkenaan dengan hak guna pakai dari tanah yang

ditempati, apakah didirikan bangunan juga atas tanah waris

tersebut ?

Jawaban : Yaa kalo hak guna pakai boleh dipakai untuk apa saja tapi

tanahnya tidak bisa jadi hak milik

Page 111: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 112: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Transkip Wawancara dengan Pak Ahmad Jazuli

Pertanyaan :

1. Hukum kewarisan apa yang berlaku di keraton ?

2. Dalam hal ahli waris, siapa saja yang menjadi ahli waris ?

3. Bagaimana dengan anak angkat / anak tiri ? Apakah mendapat waris atau tidak?

4. Bagaimana kalau tidak punya anak, siapa yang mewarisi?

5. Bagaimana pembagian masing-masing ahli waris?

6. Bagaimana pelaksanaan pembagiannya ? Apakah bisa dibagikan ketika pewaris

masih hidup ?

7. Adakah kewajiban-kewajiban yang harus ditunaikan berkaitan dengan harta

warisan sebelum dibagikan?

8. Adakah sesuatu yang bisa menggugurkan hak ahli waris untuk mewarisi ?

9. Bagaimana dengan tata cara berlangsungnya pembagian harta waris di keraton?

10. Bagaimana pandangan anda tentang hukum waris adat ?

11. Apakah pernah terjadi perselisihan dalam hal pembagian waris ?

12. Sejak kapan adat ini berlaku ?

13. Apakah ada papakem / aturan tertulis ?

14. Seperti apa bentuknya ?

Jawaban : Ini sebetulnya tema yang sangat intern sekali, jadi tidak banyak orang

yang tahu juga. Pertama gini kalau saya menjelaskan dari seluruh

rangkuman dari pertanyaan yang diajukan, bahwa secara umum begini

kesultanan Cirebon, yang kemudian diteruskan saat ini oleh Kesultanan

Kasepuhan, ancernya kan disini, dulu kan didirikan atas dasar pusat

syiar Islam, kemudian oleh karena penerapan-penerapan hukum,

Page 113: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

terutama hukum privat, itu berdasarkan syariat Islam. Dari mulai era

Sunan Gunung Jati. Contoh beliau menghukum puteranya, Pangeran

Jayakelana, itu kan ada semacam diyat yang dibayarkan, itu kan

mengacu pada hukum Syariat, termasuk dalam hukum jual belinya

menggunakan dinar dirham, kan dulu seperti itu. Ada catatan seperti itu.

Terus kemudian, ya karena pusat syiar Islam, ya mestilah titik

pangkalnya semua sumbernya berdasarkan syariat islam, kalau dalam

minang kan ada hukum tersendiri berdasarkan adat, tetapi mengacu pada

syara’ dan kitabullah, jadi sebetulnya prinsip-prinsip itu tidak jauh

berbeda, termasuk dalam hal ini dalam hal waris, apa yang berlaku

dalam faraidh gitu ya, waris itu dalam tataran keluarga ya sama, bahkan

ya tidak boleh menyimpang, nilai dasarnya kan begitu. Jadi kalau hak

laki-laki itu mitslu hadzdzil untsayain, itu berlaku. Yang jelas Sunan

Gunung Jati itu ulama, tidak mungkin mengajarkan apa yang

bertentangan, jadi apa yang berlaku dalam syariat Islam tentang hak

waris, ya itu diberlakukan. Harta pribadi ya. Maka, karena tadi seperti

yang saya katakan, apakah ini harta kesultanan atau pribadi, kalau

pribadi ya berdasarkan syariat Islam. Ya seperti itu, faraidh itu

dijalankan. Karena ilmu-ilmu itu juga dalam beberapa catatan

dikembangkan oleh ulama-ulama dari keraton. Nah terus dalam

prakteknya, menyangkut tadi tanah keraton, itu merupakan tanah hak

turun temurun Kasepuhan. Namanya ada, hak turun temurun. Jadi tidak

diwariskan seperti bisaa, bukan hak privat tapi ini hak lembaganya

lembaga keraton, nah itu namanya hak turun temurun milik Sultan

Sepuh, siapa pun Sultan Sepuhnya. Nah itu mungkin kekhasan nya

Page 114: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

disitu. Apapun yang dinyatakan sebagai milik keraton, adalah milik

Sultan Sepuh sebagai pimpinan lembaga, siapa pun Sultan Sepuhnya itu

tidak bisa diwariskan seperti biasa, pada siapa, ya habis nanti, kan

logikanya seperti itu. Kalau umpamanya keraton dan tanah-tanahnya

bisa diwariskan akan habis kalau tidak ada istilah hak turun temurun.

Itulah ya tinggal apa nanti ya kan. Makanya ada istilah hak turun

temurun lembaga. Yang khas mungkin seperti itu. Yang diluar tentang

hukum privat waris pribadi, nah ini perlu dibedakan juga, karena ada

juga beberapa aset yang menjadi milik pribadi sultan, kalau tanah

namanya tanah yasan, kalau itu ya akan dibagikan sesuai hukum waris

yang sesuai syariat. Berapa anaknya, kan gitu. Secara umumnya seperti

itu.

Pertanyaan : Kalau magersari itu apa ya pak?

Jawaban : Nah magersari itu, orang yang menempati di sekeliling tanah-tanah

keraton, ya itu tanah-tanah sultan itu, tanah keraton lah itu, yang mana

mereka menempati atas izin sultan, jadi hak guna pakai, dan itu ya tidak

bisa diwariskan, Iya kalau ini ya memperbarahui, nanti siapa yang

menggantikan, kan namanya aja hak guna pakai, bukan hak milik, hak

guna pakai, itu tidak bisa diwariskan. Adapun seumpamanya setelah dia

meninggal, anak-anaknya menempati, ya anak-anaknya nanti membuat

permohonan kepada sultan untuk menempati.

Pertanyaan : Kaya warisan juga pak berarti modelnya ?

Page 115: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Jawaban : Kan prioritas, bukan waris, kalau warisan dia berhak atas itu, tapi kan

secara umum, kita memprioritakan anaknya yang menempati,

setidaknya bangunannya dia yang membangun. Kan gitu. Tentu kan

anaknya lebih proritas. Kecuali umpamanya tidak ada yang menempati,

secara normative, harusnya dikembalikan kepada keraton, kan gitu,

namanya juga hak guna pakai, sudah tidak dipakai lagi ya dikembalikan.

Itu, secara normative sih begitu seharusnya. Itu yang disebut magersari.

Makanya mereka yang di magersari itu, tidak ada yang punya sertifikat,

dan disertfikatkan atas nama pribadi. Gitu. Jadi kekhasannya, privatnya

tentang tanah-tanah pribadi berlaku hak pribadi, hak pribadi apapun,

tanah dsb karena harta kan bukan cuma tanah. Atau ini khusus tanah ?

Pertanyaan : Enggak pak, semuanya…

Jawaban : Umpamanya hak milik pribadi sultan, baju atau apa, atau uang, dsb,

kalau itu dinyatakan bukan inventarisir bukan milik lembaga

kesultanan, berlaku hukum faraidh tadi.

Pertanyaan : Jadi intinya seperti itu ya pak ?

Jawaban : Iya, karena ini pusat syiar Islam, ya secara normative harus mengacu

pada hukum-hukum Islam. Nah tadi yang menyangkut adat, ya paling

itu aja yang lembaga, Ini akan diwariskan secara turun temurun,

namanya aja hak turun temurun, kepada Sultan Sepuh, siapa pun Sultan

Sepuhnya, nah ini untuk menjaga keberlangusungan / continuitas, kalau

tidak seperti itu, kalau diwariskan habis itu, dari sejak zaman dulu, ya

tanah dan termasuk keratonnya kalau mau diwariskan begitu, kan gitu,

Page 116: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

makanya ada istilah hak turun temurun. Paling itu istilah tradisinya. Dan

termasuk tanah-tanahnya, kan banyak tanah-tanahnya. Kalau yang

lainnya kaya anak tiri dsb itu sesuai dengan hukum syariat yang berlaku.

Bagian-bagiannya berapa itu semua sesuai dengan hukum syariat yang

berlaku.

Pertanyaan : Berarti keluarga yang berada lingkungan Keraton Kasepuhan ini pak

secara pribadi, harta pribadi mereka diwariskan secara umum pak ya?

Jawaban : Iya, semuanya. Jadi yang berada di lingkungan keraton kan ada Sultan

dan keluarganya, terus masyarakat-masyarakat umum yang menemapti,

kan gitu, mereka ini dibedakan antara milik turun temurun keraton, dan

pribadi, kalau pribadi itu disesuaikan dengan hukum syariat tentang

waris, kalau milik keraton, itu diberlakukan hukum tradisi hak turun

temurun sultan sepuh, siapapun sultan sepuhnya, kan terus menerus

berganti, dari sultan sepuh I bahkan dari sejak Sunan Gunung Jati.

Pertanyaan : Kalau kewarisan takhta itu bagaimana pak ?

Jawaban : Di Crebon ini, takhta itu diwariskan kepada anak laki-lak tertua, kalau

anak laki tertua tidak adaatau tidak mampu ya ke adiknya, kalau tidak

ada baru ke adiknya sultan yang laki-laki. Seperti itu, itu takta ya

Pertanyaan : itu tidak ada batas waktunya ya pak masa jabatannya ?

Jawaban : Ya seumur hidup, kalau sultan seumur hidup. Dan sekarang Sultan

Sepuh XIV, itu beliau putera pertama dari Sultan Sepuh XIII, Sultan

Sepuh XIII putera laki-laki pertama dari Sultan Sepuh XII, ada juga

yang tidak memiliki putera seperti Sultan Sepuh Matangaji yang kelima,

Page 117: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

itu adiknya yang meneruskan, kan gitu, jadi sudah ada sepeti itu

presedennya. Tetapi tidak semua kerajaan sama, makanya ribut tuh di

Yogya, karena pewaris tidak punya anak laki-laki, tapi raja membuat

tradisi baru.

Pertanyaan : Kalau soal sejarah kan, keraton kasepuhan itu kan dari sultan sepuh I,

terus keatasnya Pangeran Girilaya, kalau ditarik sampai ke Sunan

Gunung Jati, itu siapa aja pak ?

Jawavban : Jadi Keraton Kasepuhan ini didirikan oleh Pangeran Cakrabuana dan

Sunan Gunung Jati, keraton pertamanya di Dalem Agung Pakungwati

yang disitu, nah itu, keraton pancer tuh di sini, di Kasepuhan, nah

kemudian Pangeran Cakrabuana menyerahkan takhta kepada Sunan

Gunung Jati, dan Sunan Gunung Jati memproklamirkan Kesultanan

Cirebon, merdeka dari Pajajaran, setelah itu era setelah Sunan Gunung

Jati ini, Sunan Gunung Jati kan usianya 120 th, anaknya tidak sempat

bertakhta, cucunya tidak sempat bertakhta, pada saat Sunan Gunung Jati

wafat baru cicitnya, yaitu Pangeran Mas Zainul, itu gelarnya

Panembahan Ratu I, kemudian Panembahan Girilaya itu keturunan dari

Panembahan Ratu I, bergelar Panembahan Ratu II, disebut Panembahan

Girilaya karena dimakamkan di Girilaya, setelah itu pasca peristiwa

Cirebon dan Mataram, kan gitu, meninggalnya disana kan, nanti diliat

silsilahnya, itu resmi kita ambil dari Purwaka Caruban Nagari, di

bangsal, nah itu terbagilah Kesultanan Cirebon jadi dua, Kasepuhan dan

Kanoman, ini kakak beradik, kakaknya Pangeran Martawijaya bergelar

Sultan Sepuh, adiknya dibuatkan keraton baru, Kanoman, kemudian

Page 118: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Kanoman ada pecahan lagi ada Kaprabonan dan Kacirebonan, itu

pecahan Kanoman itu tuh. Sultan Kanoman yang kelima yang tidak

bertakhta dibuatkan Keraton Kacirbebonan. Kalau Kaprabonan putera

mahkota Sultan Kanoman Pertama tidak mau bertakhta, lebih memilih

mengajarkan ilmu, makanya namanya Peguron, kalau disini Kasepuhan

tidak ada pecahan.

Page 119: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu
Page 120: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Transkip Wawancara Dengan Sultan Sepuh XIV Keraton Kasepuhan Cirebon

Pangeran Raja Adipati Arief Natadiningrat, S.E

Pertanyaan : Kesimpulan sementara, yang saya dapatkan dari dua

narasumber itu berkaitan dengan harta warisan di keraton itu

terbagi menjadi dua pak, pertama harta warisan pribadi yang

bisa diwariskan kepada ahli warisnya, kedua harta warisan

yang tidak bisa dibagikan kepada siapa-siapa atau hanya

sebagai hak guna pakai. Mungkin itu secara spesifik atau garis

besar dari harta warisan.

Jawaban : Nah sekarang yang ditanyakan apa ?

Pertanyaan : Yang ingin saya tanyakan, apakah itu berlaku dari zaman

dahulu, apakah aturan ini dari zaman yang pertama sampai

sekarang, dan apakah akan terus dipakai di masa selanjutnya ?

Jawaban : Nah terus apa lagi ?

Pertanyaan : Terus yang ingin saya tanyakan lagi, misalkan di lingkungan

Keraton Kasepuhan Cirebon ini ada yang membagikan

warisannya misalkan secara musyawarah, apakah ada surat

resmi atau surat dari keraton sebagai penguat, misalkan sudah

ada hasilnya kesepakatan antara keluarga itu, hasilnya sekian-

sekian, apakah dari keraton itu mengeluarkan semacam surat

untuk penguatnya sebagai dasar hukum atau hukum tertulis ?

Terus dari pak Elang Haryuanto itu kadang-kadang ada kepala

keluarga yang membagikan warisannya sebelum si pewarisnya

Page 121: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

meninggal, itu tergantung dari keluarga masing-masing, apakah

memang seperti itu ? Apakah ada proses atau ritual tertentu

dalam pembagian warisan di keraton ini ?

Jawaban : Jadi pertama, secara sejarah bahwa Keraton Kasepuhan ini

yang sebelumnya Kesultanan Cirebon yang sekarang menjadi

Keraton Kasepuhan, itu didirikan berdasarkan Syiar islam. Itu

hal yang penting dulu, siapa pendirinya, ada dua tokoh yaitu

Syekh Syarif Hidayatullah dan Pangeran Cakrabuana, yang

dikenal dg Haji Abdullah Iman. Kedua tokoh inilah yang

mendirikan Kasultanan Cirebon. Jadi Kasultanan Cirebon

berdiri bukan karena perebutan kekuasaan bukan karena

semacam mendirikan kekuasaan tapi memang tugas utama dan

dan visi misi nya adalah Syiar Islam. Nah Syiar Islam yang

dilaksanakan ini tentunya diperlukan pada waktu itu pada

jamannya diperlukan lembaga diperlukan suatu organisasi yang

secara politis bisa memudahkan Syiar Islam itu. Maka

didirikanlah Kesultanan Cirebon. Dimana dalam syiar nya

Sunan Gunung Jati melaksanakan dengan menghormati adat

istiadat budaya setempat yang pada waktu itu berlaku di wilayah

Kasultanan Cirbeon. Wilayah Kesultanan Cirebon pada era

Sunan Gunung Jati itu wilayahnya Cirebon Jakarta sampai

dengan Banten. Kemudian Banten dan Jakarta diserahkan pada

putranya yaitu Pangeran Sabakingking yang diangkat menjadi

sultan Banten pertama yang bergelar Sultan Hasanudin, nah dua

kesultanan inilah jadi ayahandanya di Cirebon, puteranya di

Page 122: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Banten, ini dalam rangka politik Syiar Islam pada waktu itu

supaya wilayah Jawa Barat Jakarta Banten menjadi Islam. Nah

itu latar belakangnya, sehingga itu di dalam pelaksanaan

kegiatan baik itu kesultanan kerajaan atau ketentuan-ketentuan

lainnya termasuk masalah warisan, itu berdasarkan Syariat

Islam, nah jadi pada waktu itu di era Sunan Gunung Jati beliau

mewariskan kesultanan ini kepada keturunannya, yaitu

puteranya tidak bertakhta karena meninggal duluan, cucunya

juga meninggal duluan, baru cicitnya yang bertakhta, tapi

cicitnya masih muda, kemudian diangkatlah pelaksana sultan

yaitu Fatahillah selama 3 tahun, setelah Fatahillah meninggal

baru cicitnya diangkat menjadi sultan yaitu Panembahan

Cirebon I. Karena Sunan Gunung Jati usianya 120 tahun, jadi

anak cucnya tidak sempat bertakhta. Nah itulah warisan-warisan

ini tentunya ada warisan-warisan pribadi dan warisan

kesultanan. Warisan kasultanan itu ada takhta, ada wilayah

kesultanan, ada bangunan kesultanan, dan lain-lain itu

diwariskan kepada sultan berikutnya, disebut hak turun temurun

sultan, sampai dengan hari ini. Jadi takhta bangunan tanah

wilayah pusaka asset-asset kesultanan itu diturunkan kepada

sultan berikutnya. Nah untuk yang pribadi sesuai dengan Syariat

Islam tentunya yang anak laki-laki perempuan silahkan sesuai

dengan Syariat Islam, nah kalau ditanyakan, sudah sejak dulu

awal era Sunan Gunung Jati dan sultan-sultan terdahulu itu

dilaksanakan. Nah kemudian ritual-ritual, tentunya ada ritual

Page 123: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

seperti penobatan-penobatan. Penobatan ini sebagai untuk ritual

menandakan dialah penerus atau yang mendapat waris

kesultanan. Nah kalau sekarang di era dan Sultan Sepuh XIII,

dulu ayahanda saya dinobatkan sebagai putera mahkota dengan

gelar Pangeran Raja Adipati Maulana Pakuningrat dinobatkan

oleh Sultan Sepuh XII pada waktu itu, begitu meninggal Sultan

Sepuh XII nya otomatis beliau menjadi Sultan Sepuh ke XIII.

Termasuk saya dinobatkan menjadi Putera Mahkota pada

tanggal 15 september tahun 2001 sebagai penerus pengganti atau

Putera Mahkota calon Sultan Sepuh ke XIV, dengan gelar

Pangeran Raja Adipati, nah itu ritual-ritual untuk meneruskan

waris kesultanan. Jadi ada ritualnya, nah ini terus menerus

dilaksanakan sehingga lestari sampai dengan sekarang, nah jadi

anak anaknya yang sudah dewasa yang sudah mampu keluar

keraton tidak tinggal di keraton, kecuali pengganti sultan, kalau

misalnya dari Sunan Gunung Jati sampai sekarang tidak keluar

keraton ya numpuk semuanya di sini, sudah enggak ada lagi

keraton ini , atau dibagi-bagi keraton ini sudah enggak ada lagi.

Nah itulah terus menerus begitu, jadi adek-adeknya harus sudah

tahu, adik-adik saya, adik-adiknya Sultan Sepuh XIII. Adiknya

atau kakak nya kalau misalkan perempuan, jadi diwariskan

kepada anak laki-laki terbesar yang mampu untuk meneruskan,

misalnya anak sultan nya perempuan, ya enggak bisa, berarti ke

adiknya kalo ada yang laki-laki. Termasuk Sultan Sepuh ke XII

itu perempuan kakaknya Ratu Raja Wulung tidak bertakhta, nah

Page 124: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

ke Raja Rajaningrat sebagai Sultan Sepuh ke XII. Nah ada

beberapa Sultan yang tidak punya anak, misal Sultan Sepuh ke

V Matangaji tidak punya putera, ke adiknya Sultan Sepuh ke IV

punya putera kakak adiknya, itulah yang meneruskan. Jadi itulah

terus menerus begitu. Jadi adik-adik nya ya keluar keraton. Nah

memang ada kebijakan-kebijakan dulu pada era Sultan Sepuh ke

XI Tajul Arifin Al Huda, ada beberapa famili-famili yang

ditempatkan di komplek-komplek keraton ini pada waktu itu,

makanya sekarang ada kampung Mandalangan, kampung

Banjarmati Lawangsanga dsb, dulu ada kebijakan tapi itu

sifatnya dipinjamkan, tidak bisa diwariskan. Nah kalau sudah

enggak ya harusnya keluar dari keraton, tapi ini malahan

sekarang beralih kepada masyarakat jadi kampung sekarang kan

gitu. Jadi dulu saya kecil malahan masih banyak Pohon Kelapa

di sini, sekarang malahan rumah melulu. Apalagi tadi

pertanyaannya?

Pertanyaan : Tadi surat resmi ?

Jawaban : Nah surat resmi yaitu tadi pengangkatan itu sebagai putera

mahkota nanti ada copy nya ada.

Pertanyaan : Kalau yang surat penguat tadi surat penguat hasil pembagian

warisan ?

Jawaban : Ya tidak ada. Kalau keraton tidak bisa dibagi waris, enggak ada.

Pertanyaan : Kalau secara pribadi ?

Page 125: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Jawaban : Pribadi itu sih masing-masing sifatnya silahkan keraton tidak

ikut campur lagi, karena itu bukan ranahnya keraton. Masing-

masing. Misalnya saya, punya mobil punya rumah itu

diwariskan biasa saja seperti masyarakat yang lainnya, Muslim

lainnya begitu, jadi nah kalau keraton tidak bisa diwariskan. Nah

ada juga surat di sini ada surat izin magersari untuk menempati,

surat izin pakai, nah memang kebijakan Sultan Sepuh terdahulu

karena adanya UUPA dan Land Reform gitu, no. 5 tahun 1960

yang sudah menempati lama di tanah-tanah keraton di di luar

lingkungan keraton itu bisa dilepaskan karena harus

disertifikatkan karena sesuai dengan bunyi undang-undangnya,

begitu, ada surat pelepasan haknya, nah itu hak nya sultan untuk

melepaskan atau tidak melepaskan itu. Terus apalagi?

Pertanyaan : Berarti yang di lingkungan keraton, tadi untuk magersari itu

berarti hanya sebagai surat izin ?

Jawaban : Jadi hanya surat izin makai saja menempati, memanfaatkan,

menggunakan tidak bisa dimiliki, dan tidak bisa diwariskan lagi

kepada anaknya sebetulnya kalau dia sudah meninggal ya

dikembalikan gitu. Kalau enggak nanti enggk lestari nantinya.

Karena kan dia tidak beli tidak nyewa tidak apa, maksudnya dia

tidak ada jerih payah untuk memiliki lahan itu kemudian

diwariskan, ya enggak bisa. Iya kan…

Peranyaan : Terus tadi waktu pelaksanakaan pembagian warisan itu yang

secara pribadi,

Page 126: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

Jawaban : Nah kalau prbadi itu ya tentunya sesuai dengan syariat ya kalau

udah meninggal itu namanya warisan, masih hidup sudah ribut

pembagian itu sih gimana. Karena kalau masih hidup itu

dinamikanya masih ada, ya asetnya bisa di tambah banyak

tambah berkurang dan lain lain. Enggak bisa misalnya, sekarang

misalnya saya punya tanah saya masih hidup, saya mau jual

pakai kan tergantung saya kan, anak-anaknya tidak punya hak

kan belum, tetapi kalau sudah meninggal nah baru itu sudah

waris, nah ini yang salah nanti bahaya jadi ribut nanti orang tua

sama anak iya kan, terus apalagi?

Pertanyaan : Kalau soal konflik pembagian waris belum ada ya pak ?

Jawaban : Kalau konflik tentunya saya melihat beberapa sejarah itu

konflik ya selalu ada. Tetapi Alhamdulillah bisa diselesaikan

dengan baik karena ada adat dan tradisi ya tentunya harus

menurut pakem itu. Yang kedua di era Sultan Sepuh XIII kalau

tidak salah, ada juga yang karena Sultan Sepuh XII ada isteri

selir itu ingin menguasai dan bahkan sampai dengan ke

Pengadilan Agama akhirnya dimenangkan bahwa ini adalah hak

turun temurun sultan tidak bisa diwariskan. Itu keputusan

Pengadilan Agama, jadi ini sudah inkrah dan sudah ada

Yurisprudensi di Pengadilan Agama bahwa ini hak turun

temurun Sultan Sepuh, nah termasuk juga di Pengadilan Umum,

di Mahkamah Agung juga sudah ada inkrah beberapa kasus-

kasus tetapi bukan masalah waris, tapi kasus-kasus dengan

Page 127: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

masyarakat dan pemerintah itu, nah itu sudah tetap bahwa hak

turun temurun Sultan Sepuh Keraton Kasepuhan Cirebon. Jadi

itu Yurisprudensi. Ada sih kasus tapi tidak banyak. Terus

apalagi?

Pertanyaan : sudah cukup secara garis besar.

Jawaban : Ya tolong nanti dibuat dengan baik dan bagus. Itu yaa, itulah

yang berkembang di Keraton Kasepuhan. Alhamdulillah

makanya Keraton Kasepuhan ini usianya sudah 600 tahun

merupakan Keraton tertua di Indonesia yang masih ada dan

mnasih eksis sampai dengan sekarang, karena memang ada

tradisinya demikian, kalau enggk ya habis gitu seperti keraton-

keraton yg lain, kan gitu nanti. Inilah yang harus kita pelihara

kita jaga, nah ini harusnya di dukung oleh Pemerintah baik itu

Kementerian Agama, PA, Kementerian Agraria dll.

Page 128: SISTEM PEMBAGIAN WARIS DI KERATON KASEPUHAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44823/1/ABDUL WAHID-FSH.pdf · sistem pembagian waris di Keraton Kasepuhan ... yaitu

DOKUMENTASI

Foto dengan Pak Elang Haryanto di Keraton Kasepuhan

Foto dengan Pak Ahmad Jazuli di Keraton Kasepuhan Cirebon