SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka...

15
LAPORAN AKHIR TA 2015 SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL BARU PADI TOLERAN RENDAMAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN Tim Peneliti: Herlina Tarigan Tri Pranadji Rita Nur Suhaeti Rudy Sunarja Rivai Amar Kadar Zakaria PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN KEMENTERIAN PERTANIAN 2015

Transcript of SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka...

Page 1: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

LAPORAN AKHIR TA 2015

SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN

VARIETAS UNGGUL BARU PADI TOLERAN RENDAMAN DALAM MENDUKUNG SWASEMBADA PANGAN BERKELANJUTAN

Tim Peneliti:

Herlina Tarigan

Tri Pranadji Rita Nur Suhaeti

Rudy Sunarja Rivai

Amar Kadar Zakaria

PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN

BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN

KEMENTERIAN PERTANIAN

2015

Page 2: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

vi

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN

1. Upaya meningkatkan produksi beras dalam rangka swasembada pangan berkelanjutan menghadapi tantangan menyempitnya lahan pertanian

produktif, perubahan iklim dengan perubahan pola hujan yang menyebabkan banjir atau kekeringan yang beresiko terhadap kegagalan panen. Indonesia memiliki area rawan banjir seluas 13,3 juta ha) dan rawa yang menyebar

dengan luas mencapai 33,4 juta ha. Dalam rangka pemanfaatan lahan di atas, sejak tahun 2008, Badan Litbang Pertanian melepas beberapa varietas

unggul baru padi toleran rendaman (VUB-PTR). Namun pemanfaatannya masih sangat rendah. Diduga sistem komunikasi yang dibangun dalam rangka sosialisasi dan penyebaran teknologi tersebut belum berjalan dengan

efektif.

2. Penelitian ini bertujuan: (1) Mengidentifikasi sistem komunikasi pada proses adopsi pemanfaatan varietas unggul baru padi toleran rendaman;

(2) Menganalisis tingkat adopsi teknologi varietas unggul baru padi toleran rendaman di lahan rawan banjir dan lahan rawa; (3) Merumuskan strategi sistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi

varietas unggul baru padi toleran rendaman.

3. Lokasi penelitian adalah Provinsi Jawa Barat dan Kalimantan Selatan, daerah sentra pangan dengan lahan rawan banjir dan rawa yang luas. Penelitian kualitatif ini menggunakan kombinasi teori komunikasi dengan analisis

kelembagaan. Data meliputi data sekunder yang diperoleh dari berbagai instansi dan data primer yang dikumpulkan melalui teknik wawancara

individu maupun kelompok. Responden meliputi petani, kelompok tani dan lembaga-lembaga terkait. Data karakteristik petani dan persepsi untuk

melihat tingkat adopsi diolah secara sederhana menggunakan proporsi dan tabulasi. Data primer dari instansi dipilah dan diorganisasikan berdasarkan elemen-elemen untuk menjawab tujuan penelitian dan hasil penelitian akan

dituliskan secara deskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sistem Komunikasi Pada Proses Adopsi Pemanfaatan Varietas Unggul Baru Padi Toleran Rendaman

4. Inpara 3, Inpara 4 dan Inpara 5 merupakan VUB-PTR di lahan rawa, Inpari

29 dan Inpari 30 merupakan VUB-PTR di lahan rawan banjir yang memiliki

keunggulan dari segi ketahanan rendaman, penyakit, dan umur yang genjah. Khusus Inpari 30 bersifat ampibi sehingga potensial ditanam pada semua

musim. Dalam konteks komunikasi, teknologi unggul ini merupakan pesan (Message=M) penting yang perlu dikomunikasikan agar bisa diadopsi oleh petani.

Page 3: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

vii

5. Berdasarkan kinerja mekanisme perbenihan, kelembagaan dalam sub sistem

produksi dan distribusi benih merupakan sistem komunikasi dalam perannya sebagai delivery system, menghantar teknologi dari lembaga penelitian

untuk diproduksi dan dihantar sampai ke pengguna yaitu para petani. Sistem komunikasi ini melibatkan banyak sekali kelembagan yang dikelompokkan

menjadi 4 yaitu: (1) lembaga produksi benih penjenis dan benih dasar; (2) kelompok produsen dan penangkar benih skala besar termasuk swasta dan UPBS BPTP/Balittra yang memproduksi benih dasar dan pokok; (3) kelompok

penangkar kecil, penangkar mitra binaan, dan pedagang kios, serta (4) petani dan kelompok tani yang menjadi sasaran komunikasi (penerima).

6. Sistem komunikasi dalam produksi dan distribusi benih padi dengan pelaku yang ditetapkan secara sentralistik dimana peran pemerintah yang sangat dominan. Posisi perbenihan dalam peningkatan produksi padi dan

kepentingan pertanian sebagai basis utama kehidupan masyarakat sangat penting dan strategis. Namun di tataran empiris, strategi komunikasi

pemerintah mengalami beragam alur yang melenceng dari rancangan pemerintah sebagai sumber, dan tujuan komunikasi dalam adopsi inovasi

teknologi VUB-PTR berjalan lambat dan beragam. Hal ini diindikasikan penanaman benih oleh petani cenderung di atas label biru dan masih banyak terkonsentrasi ke VUB konvensional, seperti Ciherang, Mekongga dan IR64.

7. Komunikasi di tingkat supra struktur/atas desa terjadi berjenjang, antar kelompok lembaga yang satu dengan lainnya tidak terbentuk dialog,

hubungan sepenuhnya bersifat transaksional, kecuali antara penangkar besar dengan penangkar kecil atau mitra/kelompok penangkar binaan.

Jenjang ini menunjukkan adanya budaya dan kepentingan antar komunikan yang berbeda dan berfungsi membuat komunikasi kurang efektif, baik antar sub sistem maupun dalam keseluruhan sistem. Secara keseluruhan model

komunikasi sistem berbentuk linier, pesan yang disampaikan secara sentralistik dari pemerintah tentang teknologi baru yang dinilai unggul

(dalam hal ini disampaikan melalui lembaga-lembaga pemerintah di berbagai tingkatan), secara cepat bisa meningkatkan pengetahuan penerima pada

masing-masing jenjang, namun tidak efektif merubah keputusan untuk mengadopsinya.

Analisis Tingkat Adopsi Teknologi Varietas Unggul Baru Padi Toleran

Rendaman di Lahan Rawan Banjir dan Lahan Rawa

8. Tingkat adopsi inovasi dipengaruhi berbagai faktor internal karakteristik petani dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan dan kompetensi serta peran penyuluh dalam sosialisasi dan diseminasi inovasi.

Tingkat adopsi VUB-PTR belum optimal, diindikasikan dengan rendahnya pengetahuan tentang nama, sifat dan karakteristik VUB-PTR. Responden di

Kalimantan Selatan lebih mampu menjelaskan keuntungan, kesesuaian teknologi dengan kondisi lahan, mudah pemeliharaannya dan disukai

konsumen, sedang responden di Jawa Barat lebih kepada kecepatan panen. Kedua provinsi mengaku kesulitan mendapatkan benih VUB-PTR saat dibutuhkan. Secara keseluruhan, sebaran benih VUB-PTR di kedua lokasi

belum meluas sekalipun sudah dirilis beberapa tahun. Benih yang ditanam

Page 4: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

viii

responden pada tahap awal adalah program diseminasi yang dilakukan dan diakses oleh peneliti atau penyuluh.

9. Produktivitas yang tinggi, tahan rendaman, dan ketahanan terhadap serangan

hama penyakit merupakan faktor yang membuat responden berkeinginan untuk menanam kembali VUB-PTR pada musim tanam selanjutnya. Hal ini

berpengaruh terhadap petani non program (petani non VUB-PTR). Meski demikian terjadi pergeseran orientasi kerja pemuda yang cukup tinggi di Kalimantan Selatan dibandingkan dengan di Jawa Barat.

10. Adopsi inovasi benih VUB-PTR dengan tingkat produktifitas yang lebih tinggi

dibanding benih yang ditanam sebelumnya berdampak pada ketersediaan pangan keluarga, bahkan stok untuk kebutuhan tiga bulan ke depan. Implikasi dari peningkatan produktivitas dan kecepatan panen (Pertambahan IP) adalah

wilayah dan berkontribusi terhadap ketersediaan pangan nasional. Secara ekonomi ini berperan strategis untuk meningkatkan pendapatan keluarga

petani (termasuk mengurangi risiko kegagalan tanam dan panen karena banjir) dan menjaga keterjaminan kecukupan pangan keluarga petani.

Rumusan Strategi Sistem Komunikasi yang Efektif Dalam Rangka Mempercepat Proses Adopsi VUB-PTR

11. Komunikasi yang efektif terjadi apabila sumber (S) dan penerima (R) memiliki

persepsi yang sama terhadap pesan yang disampaikan, dan ini diindikasikan dengan terjadinya perubahan pengetahuan, sikap dan keputusan petani untuk mengadopsi teknologi tersebut. Upaya mengefektifkan komunikasi dilakukan

dengan adanya kepentingan yang sama (“overlaping of interest”) antara sumber (pemerintah) dengan petani mengenai pentingnya VUB-PTR, dan pesan

tentang teknologi ini disampaikan sebagai pemecahan masalah atas resiko genangan terhadap peluang kegagalan panen. Pemerintah melalui lembaga

yang terlibat maupun petani sebagai penerima harus yakin dengan keunggulan VUB-PTR dalam mengatasi persoalan ekonomi dan pangan keluarga sekaligus ketersediaan stok pangan nasional.

12. Sistem komunikasi VUB-PTR sangat perlu menyediakan ruang dialog tidak saja

dalam rangka mengurangi value expresif dan mengembangkan sikap utilitarian, tetapi berfungsi mengakomodasi umpan balik baik tentang pesan yang diterima petani (teknologi VUB-PTR) maupun penjelasan tentang

efektifitas saluran yang digunakan. Ruang ini diperlukan pada semua fase oleh semua komunikan.

13. Penyempurnaan sistem komunikasi VUB-PTR memberi penekanan yang besar pada atribut sumber dan saluran. Sumber dalam sistem (dalam hal ini

pemerintah) maupun dalam sub sistem (lembaga perbenihan swasta, BUMN, maupun pemerintah) dan pedagang perlu melakukan promosi langsung

maupun bermedia, termasuk saluran program yang pada tahap awal perlu

Page 5: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

ix

didukung penuh oleh pemerintah. Dukungan secara bertahap dikurangi sejalan dengan tersosialisasinya benih dan meluasnya pemanfaatan VUB-PTR.

14. Sebagai penemu teknologi, diperlukan pengkhususan peran peneliti dan

penyuluh sebagai komunikator dan motivator secara optimal di ruang dialog, baik melakukan diseminasi dan pendampingan maupun mengakomodasi umpan balik dari masing-masing penerima, khususnya terkait teknologi dan

pengusahaannya di tingkat lapangan.

15. Dalam rangka percepatan pengembangan dan pemanfaatan benih VUB-PTR dibutuhkan prasyarat operasionalisasi strategi sistem komunikasi efektif. Komitmen politik pemerintah dan kesediaan bekerjasama membangun net working dengan lembaga-lembaga lain yang terlibat sebagai komunikan dalam sistem yang ada. Penangkar besar merupakan kunci potensial dalam proses

sosialisasi dan pemanfaatan VUB-PTR karena memiliki jejaring yang solid dengan penangkar kecil maupun pedagang yang paling menguasai pasar benih.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

16. Secara kelembagaan, peningkatan produksi padi VUB-PTR untuk mempertahankan swasembada berkelanjutan memerlukan terobosan baru, baik

aspek teknis, maupun memperbaiki mekanisme diseminasi melalui sistem komunikasi. Komitmen peningkatan ketersediaan pangan dan pendapatan petani harus menjadi komitmen serius pemerintah, bekerjasama dengan semua

lembaga produsen yang berperan dalam sosialisasi, diseminasi, dan pemanfaatan VUB-PTR.

17. Pemerintah perlu memberi rangsangan bagi pelaku bisnis di berbagai tingkatan

sehingga tidak ada kehawatiran dalam memproduksi, mempromosi, dan menyebarkan VUB-PTR secara meluas. Dukungan ini dilakukan berupa: (1) Mengefektifkan sistem komunikasi dengan mengoptimalkan kapasitas sumber,

meningkatkan keragaman saluran (langsung, media dan program), memberi kemudahan bagi penerima (program bersubsidi) dan mencitakan ruang dialog

untuk mengakomodasi feedback dan kesetaraan dalam komunikasi, serta menciptakan iklim yang kondusif pasar benih maupun produksi padi; 2) Menyediakan fasilitas dan anggaran yang memadai untuk proses sosialisasi dan

diseminasi VUB-PTR; (3) Membangun kerjasama dan jejaring (net working) dengan lembaga perbenihan (pengusaha, penangkar,dan pedagang) baik

pemerintah, swasta maupun BUMN. Produsen dan penangkar besar adalah pihak yang paling strategis karena sudah memiliki jaringan kerjasama yang

sinergis dengan penangkar mitra atau binaan.

18. Percepatan pengembangan dan penyebaran VUB-PTR yang spesifik

memerlukan intervensi khusus dan berbeda dengan VUB konvensional yang sudah selayaknya dilepas mengikuti mekanisme pasar. Kecepatan diseminasi

dan ketersediaan benih di pasar perlu dilakukan secara seimbang. Oleh karena

Page 6: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

x

itu perlu pembagian tugas yang jelas antara produksi dan distribusi dengan sosialisasi dan diseminasi. Tugas kedua diserahkan kepada peneliti

(BPTP/Balittra) dan penyuluh dalam kerjasama yang harmonis sekaligus melepaskan beban sebagai UPBS. Diseminasi di tingkat petani memperbanyak

display dan studi banding dengan pendampingan sebagai media lihat-percaya-terapkan dan dialog-konsultasi.

RINGKASAN EKSEKUTIF

PENDAHULUAN

Latar Belakang

(1) Seiring dengan pertumbuhan penduduk, pengembangan wilayah, dan

pembangunan, kebutuhan akan pemenuhan energi listrik dan bahan bakar secara nasional semakin besar. Selama ini kebutuhan energi dunia dipenuhi

oleh sumber daya tak terbaharukan seperti minyak bumi dan batu bara. Namun tidak selamanya energi tersebut bisa mencukupi seluruh kebutuhan manusia dalam jangka panjang mengingat cadangan energi yang semakin

lama semakin menipis dan juga proses pembentukannya yang membutuhkan waktu jutaan tahun. Kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah adalah

mengembangkan penggunaan energi alternatif.

(2) Pada sektor pertanian, upaya peningkatan pengembangan bioenergi menjadi salah satu arah dalam menumbuhkembangkan bioindustri di suatu kawasan

berdasarkan konsep biorefinery terpadu dengan sistem pertanian agroekologi pemasok bahan bakunya, sehingga terbentuk sistem pertanian-

bioindustri berkelanjutan. Sesuai dokumen Strategi Induk Pembangunan Pertanian (SIPP) 2013-2045, disebutkan bahwa bahan fosil diperkirakan

akan semakin langka, mahal dan akan habis di awal abad 22, sehingga perekonomian negara harus ditransformasikan dari yang selama ini berbasis sumber energi berbahan baku fosil menjadi berbasis bahan hayati.

(3) Sesuai Inpres No. 1 tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan BBN sebagai Bahan Bakar lain, Kementerian Pertanian memiliki tugas yaitu: (a)

penyediaan tanaman bahan baku Bahan Bakar Nabati (BBN); (b) penyuluhan pengembangan tanaman untuk BBN; (c) penyediaan benih dan bibit

tanaman BBN; dan (d) mengintegrasikan kegiatan pengembangan dan kegiatan pasca panen tanaman BBN. Terkait dengan Kebijakan penyediaan Bahan Baku Bioenergi, Kementerian Pertanian telah melakukan:

Pengembangan/ intensifikasi komoditas bahan baku bionenergi yang sudah ditanam secara luas yaitu: kelapa sawit, kelapa, tebu, ubi kayu, dan sagu;

melakukan pengkajian dan pengembangan komoditas potensial penghasil bioenergi: jarak pagar, kemiri sunan, nyamplung, dan aren; pemanfaatan

biomassa limbah pertanian; dan pengembagan biogas dari kotoran ternak. Berbagai teknologi biofuel berbasis kelapa sawit telah siap untuk dikembangkan pada skala industri, sedangkan untuk Bioetanol masih

memerlukan penyempurnaan untuk bisa dikembangkan pada skala industri.

Page 7: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xi

Pengembangan bioenergi perdesaan Biogas telah dilaksanakan dengan pemanfaatan biomass limbah ternak.

(4) Pengembangan sumber energi alternatif telah berkembang di negara-negara Eropah yang bersumber dari tanaman tebu (molase), jagung dan ubikayu,

biogas dan sebagainya. Di Indonesia, pengembangan bionergi masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat menganalisis

kebijakan pengembangan yang ada saat ini; menganalisis permasalahan, kendala dan peluang pengembangan bioenergi; menganalisis berbagai faktor teknis, sosial ekonomi yang mendukung pengembangan bioenergi; dan

menganalisis kelembagaan pengembangan bionergi di sektor pertanian. Tujuan Penelitian

(5) Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi kebijakan pengembangan bionergi disektor pertanian yang telah dilakukan pemerintah. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk: (a) Melakukan tinjauan

kebijakan pengembangan bionergi di sektor pertanian; (b) Menganalisis permasalahan, kendala dan peluang pengembangan bionergi di sektor

pertanian; (c) Menganalisis berbagai faktor teknis, sosial dan ekonomi yang mendukung pengembangan bioenergi di sektor pertanian; (d) Menganalisis

kelembagaan pengembangan bioenergi di sektor pertanian; dan (e) Merumuskan alternatif saran kebijakan pengembangan bioenergi di sektor pertanian.

Metodologi (6) Lokasi penelitian yang dipilih merupakan lokasi yang merupakan sentra

produksi komoditas kelapa sawit, tebu dan biogas serta sudah terdapat pengembangan pengolahan menjadi bioenergi. Untuk mengkaji

pengembangan bionergi yang berbahan baku dari kelapa sawit (biodiesel dari sawit dan biogas dari limbah industri CPO atau POME) dilakukan di Provinsi Riau, dan untuk bionergi yang berbahan baku dari tebu dilakukan di

Provinsi Jawa Timur. Adapun untuk mengkaji biogas dari kotoran ternak dan limbah industri pertanian dilakukan di Jawa Barat dan Jawa Timur.

(7) Responden yang dijadikan sampel penelitian adalah: (1) petani dan perusahaan yang mengusahakan kelapa sawit, tebu dan peternak sapi, (2)

kelompok tani kelapa sawit dan tebu, (3) industri pengolahan biodiesel kelapa sawit, (4) industri pengolahan bioetanol berbasis tanaman tebu, dan (5) pengolahan biogas dari kotoran ternak, limbah industri pengolahan CPO

dan limbah industri hasil pertanian (limbah tahu). Responden lainnya adalah: (1) Pengguna biodiesel dan bioetanol; (2) Instansi yang terkait

dengan pengembangan kelapa sawit, tebu dan ternak, serta instansi terkait pengembangan bioenergi berbahan baku dari sektor pertanian di tingkat Provinsi dan Kabupaten lokasi penelitian.

(8) Untuk menjawab tujuan tinjauan kebijakan pengembangan bioenergi di sektor pertanian dilakukan dengan menganalisis kebijakan pengembangan

bioenergi yang berbahan baku kelapa sawit, tetes tebu dan biogas (berbahan baku kotoran ternak/limbah industri pertanian dan limbah industri

CPO atau POME). Analisis untuk kebijakan pengembangan ini dilakukan secara deskriptif kualitatif. Untuk analisis permasalahan, kendala dan peluang pengembangan bionergi di sektor pertanian dilakukan secara

Page 8: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xii

kuantitatif dan kualitatif. Hal yang sama untuk analisis faktor- faktor teknis, sosial dan ekonomi yang mendukung pengembangan bioenergi di sektor

pertanian dianalisis secara kuantitatif dan kualitatif. Selanjutnya untuk analisis sistem kelembagaan pengembangan bioenergi dilakukan secara

kualitatif. Hasil analisis yang diperoleh selanjutnya diformulasikan dalam bentuk rumusan alternatif saran kebijakan pengembangan bionergi di sektor

pertanian. HASIL PENELITIAN

Kebijakan dan Implementasi Pengembangan Bioenergi di Sektor

Pertanian

(9) Energi mengalami masalah besar yang sampai saat ini belum teratasi, yang

berdampak terhadap lajunya pembangunan ekonomi nasional dan kemakmuran bangsa. Saat ini pengguna energi nasional hampir separuhnya menggunakan Bahan Bakar Minyak (BBM). Target pada tahun 2025 peran

Energi Baru dan Energi Terbarukan paling sedikit 23% dan pada tahun 2050 paling sedikit 31% sepanjang keekonomiannya terpenuhi. Khusus untuk

biodiesel, pemerintah terus meningkatkan mandatori biodiesel dari 10% menjadi 15% dan 20% untuk menghemat devisa impor solar dan mengerek

harga minyak sawit mentah (CPO). Untuk mendukung tercapainya target pemanfaatan BBN, pemerintah telah membentuk Tim Pelaksana Pengawasan Mandatori Pemanfaatan Biodiesel yang beranggotakan stakeholder dari

berbagai instansi.

(10) Secara umum bahwa implementasi kebijakan pengembangan bioenergi

masih perlu terus ditingkatkan. Secara khusus untuk mengimplementasikan pengembangan biodiesel, salah satu bahan baku nabati yang saat ini sudah

siap dan potensial dikembangkan adalah Kelapa Sawit. Kelapa Sawit diproses menjadi CPO, yang selanjutnya dari CPO tersebut di proses menjadi biodiesel. Adapun proses pengolahan CPO menghasilkan limbah yang disebut

dengan POME, dan POME dapat diproses menjadi biogas yang selanjutnya dapat menggerakan generator untuk pembangkit listrik. Implementasi

pengembangannya telah dilakukan kerjasama antara Kementerian ESDM, Kementerian Pertanian, Industri Pengolahan CPO, Pemerintah daerah,

instansi terkait dan pihak swasta dalam rangka diversifikasi sumber energi baru terbarukan.

(11) Industri biodiesel merupakan industri hilir minyak sawit yang masih

tergolong baru di Indonesia. Saat ini, kapasitas industri biodiesel Indonesia masih dibawah target mandatory sesuai Road Map Kebijakan Pengembangan

Biodiesel. Industri biodiesel terbesar di Sumatera Utara, Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Timur dan Kalimantan Timur. Indonesia sebagai produksi CPO terbesar di dunia, sehingga akan mampu menjadi produsen

biofuel terbesar dunia.

(12) Limbah dari Pabrik Pengolahan kelapa Sawit (PKS) adalah limbah cair atau

disebut Palm Oil Mill Effluent (POME). Setiap ton TBS yang diolah akan terbentuk sekitar 0,6 hingga 1 m3 POME. POME adalah limbah cair yang

berminyak dan tidak beracun, hasil pengolahan minyak sawit. Meski tak beracun, limbah cair tersebut dapat menyebabkan bencana lingkungan

Page 9: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xiii

karena dibuang di kolam terbuka dan melepaskan sejumlah besar gas metana dan gas berbahaya lainnya yang menyebabkan emisi gas rumah

kaca.

(13) Indonesia memiliki lebih dari 600 pabrik kelapa sawit yang berpotensi

menghasilkan sampai dengan 1.000 MW listrik jika semua pabrik tersebut memanfaatkan gas metana yang dikeluarkan dan mengolahnya menjadi

listrik. Saat ini masih sedikit pabrik minyak sawit yang berinvestasi untuk listrik dari POME karena kurang memahami proses penjualan listrik yang dapat dihasilkan, dibandingkan dengan keuntungan yang cepat diperoleh

dari perkebunan dan pengolahan sawit.

(14) Saat ini Pemerintah telah menyediakan regulasi dan insentif yang cukup agar

energi terbarukan dapat berkembang secara cepat, antara lain termasuk feed in tariff (FIT). Bisnis Pembangkit Listrik tenaga Biogas (PLTB) POME dengan regulasi baru diharapkan menjadi lebih menguntungkan. Kelebihan

PLTB berbasis limbah cair sawit antara lain siap beroperasi secara stabil selama 24 jam tidak dipengaruhi faktor cuaca, ramah lingkungan serta listrik

yang dihasilkan relatif murah dibandingkan dengan pembangkit listrik berbasis BBM (genset diesel atau PLTD).

(15) Untuk pengembangan biogas, terdapat dukungan bahan baku yang potensial pengembangannya di Jawa Barat dan Jawa Timur, yaitu: (a) potensi limbah ternak ternak sapi dengan sumber dari populasi ternak sapi yang cukup

besar , (b) potensi limbah industri pertanian (industri tahu) khususnya di Sumedang Jawa Barat juga cukup tinggi. Sistim produksi biogas juga

mempunyai beberapa keuntungan seperti: (a) mengurangi pengaruh gas rumah kaca, (b) mengurangi polusi bau yang tidak sedap, (c) sebagai pupuk

organik, dan (d) produksi daya dan panas.

(16) Implementasi program pengembangan biogas di Jawa Barat selama kurun waktu 2006-2014 telah dilaksanakan di 14 kabupaten/kota dengan jumlah

mencapai 2.125 unit digseter. Program pengembangan terbesar terdapat di Kabupaten Bandung, kemudian disusul di Kabupaten Sumedang, Kabupaten

Bandung Barat dan kabupaten Tasikmalaya. Sementara pengembangan biogas di Jawa Timur mulai dari tahun 2010 sampai dengan tahun 2014

mencapai 6.947 unit digester, yang tersebar merata di seluruh Kabupaten di Provinsi Jawa Timur.

(17) Pengembangan bioetanol dengan bahan baku tetes tebu di Indonesia cukup

potensial, mengingat Indonesia sebagai salah satu penghasil tebu yang cukup besar. Namun, pengembangan bioetanol berbahan baku terbatas

dilakukan oleh perusahaan swasta baik seperti halnya di Jawa Timur. Produksi bioetanol saat ini juga masih dibawah target mandatory. Potensi bioetanol yang dapat dihasilkan dengan potensi produksi yang ada adalah

sekitar 75,75 ribu ton di Jawa Timur dan 157,93 ribu ton di Indonesia. Pengembangan bioetanol di Indonesia masih terkesan jalan di tempat karena

belum tepatnya penentuan harga antar instansi pemerintah. Hal ini membuat para pengusaha enggan mengembangkan etanol.

Page 10: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xiv

Permasalahan, Kendala dan Peluang Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian

(18) Berbagai faktor yang masih menjadi kendala dari aspek teknis dalam hal pemanfaatan sawit menjadi biodiesel, antara lain: (a) Terjadi trade-off pemanfaatan CPO sebagai bahan baku untuk bioenergi dan sebagai bahan baku untuk minyak goreng dan ekspor CPO; (b) Saat ini perluasan lahan

untuk kelapa sawit juga semakin terbatas jumlahnya; dan (c) Teknis produksi biodiesel masih dilakukan oleh perusahaan swasta besar, yang memiliki teknologi pengolahan memadai, dan dalam rangka penyalurannya

dengan pelibatan PT Pertamina saat ini kerjasama pengembangan masih belum berjalan dengan baik.

(19) Secara umum permasalahan yang dihadapi dari aspek sosial ekonomi adalah lebih karena political will dan konsistensi kebijakan energi nasional. Selain itu, dalam pengembangan bahan bakar nabati, masih juga masih terdapat

sejumlah permasalahan sosial ekonomi dan kebijakan yang dihadapi antara lain: (a) Harga CPO berfluktuasi sesuai pasaran internasional; (b) Kapasitas

produksi biofuel Indonesia pada tahun mendatang akan semakin tinggi, sementara kesiapan pasar dan jaminan bahan baku sesuai target belum

tercapai; (c) Belum utuhnya keberpihakan pemerintah terhadap pengembangan bioenergi khususnya biodiesel berbahan baku sawit dengan instrumen kebijakan yang tepat.

(20) Adapun peluang pengembangan pemanfaatan CPO sawit menjadi bioenergi secara teknis, antara lain didukung oleh: (a) Pada saat ini potensi produksi

sawit masih tinggi, sementara kapasitas terpasang pabrik biodiesel dengan kebutuhan CPOnya sekitar 11% dari produksi CPO nasional; dan (b)

Peluang potensi peningkatan produksi sawit cukup besar karena didukung dengan perbaikan teknis budidaya, dan pengolahan menjadi CPO didukung dengan semakin berkembangnya PKS.

(21) Sementara peluang pengembangan CPO menjadi bahan baku biodiesel, dari sisi aspek sosial ekonomi cukup baik dengan alasan: (a) Prospek

pengembangan sawit masih tinggi, seiring dengan permintaan CPO yang tinggi; (b) Permintaan biodiesel sebagai bahan campuran solar semakin

tinggi; (c) Pengembangan biodiesel berbahan baku CPO akan meningkatkan penyerapan lapangan kerja pada industri hulu maupun hilirnya; dan (d) Berpeluang untuk meningkatkan pendapatan petani pada kegiatan usahatani

sawit dan pengolahan CPO menjadi biodiesel.

(22) Permasalahan dan kendala pengembangan pemanfaatan limbah POME

sebagai sumber energi listrik dari aspek teknis adalah : (a) Memerlukan teknologi yang cukup tinggi; dan (b) Karena lokasi PKS biasanya menyebar dan berada di wilayah remote area, sehingga untuk mengalirkan listrik ke

pemukiman memerlukan instalasi jaringan yang rumit dan mahal.

(23) Permasalahan dan kendala pengembangan pemanfaatan limbah POME dari

aspek sosial ekonomi yang dihadapi adalah: (a) memerlukan investasi yang cukup besar, untuk 1 MW memerlukan investasi sekitar Rp 30 milyar, (b)

pemanfaatannya memerlukan kerjasama yang baik dengan pihak PKS, dan

Page 11: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xv

(c) Terkait dengan regulasi atau legislasi masih harus bersinergi untuk pengembangan bioenergi dengan bahan baku POME.

(24) Adapun peluang pengembangan POME dari limbah industri CPO sebagai bahan baku biogas, dari sisi aspek teknis cukup baik dengan alasan: (a)

Potensi CPO masih cukup besar dan POME yang dihasilkan juga besar yang belum optimal pemanfaatannya; (b) Teknologi pengolahan CPO menjadi

biodiesel tersedia dengan baik di dalam negeri; dan (c) Teknologi pengolahan POME menjadi biogas cukup tersedia. Sementara peluang pengembangan pemanfaatan POME untuk biogas dari aspek sosial ekonomi

adalah: (a) Masih terbatasnya rasio elektrifikasi dan masih banyaknya kebutuhan atau permintaan energi bagi masyarakat, dan (d) Semangat era

otonomi daerah, sebagai peluang pemanfaatan POME pada provinsi yang memiliki potensi sawit dan pengolahannya yang dapat mendukung perolehan pendapatan daerah.

(25) Permasalahan dan kendala dalam pengembangan tebu dan tetes tebu sebagai bahan baku bioetanol di lokasi penelitian Provinsi Jawa Timur antara

lain: (a) Tingkat rendemen yang ditetapkan oleh Pabrik Gula (PG) rendah, yang kurang memotivasi petani untuk meningkatkan usahatani tebu; (b)

penyebaran bibit unggul seringkali belum merata; (c) Terdapat persaingan penggunaan lahan usahatani; (d) Sistem usahatani tebu belum optimal dan tingkat produktivitas tebu masih rendah; (e) Pengolahan tetes tebu/molases

menjadi bioetanol masih terbatas dan dilakukan oleh industri skala besar; dan (f) Kapasitas produksi riil bioetanol masih dibawah kapasitas terpasang.

(26) Adapun masalah dan kendala dari aspek sosial ekonomi dalam usahatani tebu dapat mencakup: (a) permodalan petani terbatas; (b) Biaya usahatani

tebu cenderung mahal; (c) ketersediaan tenaga kerja pada beberapa sentra produksi yang semakin terbatas, dan upah tenaga kerja semakin meningkat; (d) harga gula hasil lelang yang cenderung berfluktuasi; (e)

Kelembagaan/kemitraan terutama dalam pemasaran hasil dari petani tebu ke PG belum menguntungkan kedua belah pihak; dan (f) Sistem pemasaran

tebu cukup terbatas, yaitu ke PG terdekat. Adapun kendala sosial ekonomi pengolahan tebu menjadi bioetanol adalah: (a) Harga gula berfluktuasi,

namun harga tetes tebu masih kompetitif untuk produksi bioetanol; (b) PT Pertamina belum secara konsisten menyerap bioetanol yang dihasilkan industri; (c) Belum sinkronnya kebijakan pengembangan bioetanol dengan

kebijakan energi secara umum; (d) Biaya produksi bioetanol masih cukup tinggi; (e) Persaingan dalam penggunaan molases/tetes tebu dalam

memenuhi permintaan ekspor dan industri bioetanol dalam negeri.

(27) Peluang pengembangan bioetanol dari sisi aspek teknis cukup baik dengan alasan: (a) Masih tersedianya bahan baku tetes tebu yang dihasilkan oleh

beberapa PG, dan (b) Teknologi pengolahan tetes tebu menjadi bioetanol tersedia di dalam negeri. Adapun peluang pengembangan dari aspek sosial

ekonomi, adalah: (a) Karena potensi molases di Jawa Timur cukup besar, sehingga sangat memungkinkan untuk memenuhi permintaan bahan baku

molases untuk industri bioetanol; (b) Permintaan bioetanol masih cukup tinggi dipasar luas; dan (c) Kebijakan pemerintah dalam jangka panjang

Page 12: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xvi

untuk pengembangan bioetanol cukup mendukung dan disinkronkan dengan kebijakan energi secara umum.

(28) Untuk pengembangan biogas (bahan baku dari kotoran ternak sapi perah) di Jawa Barat dan Jawa Timur, terdapat beberapa kendala dari aspek teknis

yang dihadapi yaitu: (a) ketersediaan dan kontinyuitas bahan baku, terlebih pada saat harga daging sapi naik, banyak ternak sapi dijual peternak, (b)

harga jual susu sapi perah yang kurang kondusif juga akan mendorong peternak kurang memotivasi memelihara ternak sapi perah, (c) kemudahan penanganan kotoran ternak, dimana setting awal kandang tidak dirancang

dengan bangunan digester biogas, (d) keterbatasan lahan disekitar kandang untuk pembangunan digester, (e) belum adanya teknologi pengemasan

biogas sehingga lebih mudah untuk dibawa dan didistribusikan kepada pengguna biogas, dan (f) belum adanya upaya pemerintah untuk mengembangkan digester biogas secara komunal yang merupakan

himpunan peternak menampung kotoran ternak dan membangun digester biogas dalam skala besar.

(29) Adapun beberapa kendala sosial ekonomi dalam pengembangan biogas, yaitu: (a) Lambatnya perkembangan produksi biogas karena nilai investasi

digester yang dirasakan peternak cukup mahal; (b) Keberlangsungan produksi biogas tidak lama, yaitu tergantung dari populasi ternak yang dipelihara; (c) Kelembagaan pengelolaan biogas masih rendah; dan (d)

Modal peternak yang terbatas, menyebabkan pengembangan biogas sulit meningkat.

(30) Adapun peluang pengembangan biogas di Jawa Barat dan Jawa Timur juga cukup baik, dengan alasan teknis: (a) Terdapatnya usaha peternakan ternak

besar terutama sapi perah, yang potensial kotorannya untuk bahan baku biogas; (b) Peran biogas yang signifikan dalam mensubtitusi penggunaan LPG bagi peternak (3-4 tabung/bulan); dan (d) Slurry dari biogas dapat

digunakan sebagai pupuk yang siap pakai untuk tanaman hortikultura petani. Sementara peluang pengembangan secara sosial ekonomi juga cukup baik,

dengan alasan: (a) Mudahnya pembangunan digester/reaktor biogas terutama melalui fasilitasi bantuan uang muka pembuatan digester atau

bantuan lewat koperasi Koperasi Susu; dan (b) Slurry dari biogas dapat dijual yang bermanfaat dalam menambah pendapatan rumah tangga petani.

Faktor Teknis dan Sosial Ekonomi dalam Mendukung Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian

(31) Terdapat beberapa faktor pendukung dari aspek teknis dalam pengembangan CPO sebagai bahan baku biodiesel adalah: (a) Perkebunan rakyat merupakan penopang utama produksi CPO nasional, dan kinerjanya

meningkat dengan dukungan budidaya dan kebijakan pengembangan; (b) Dukungan dari aspek budidaya sawit antara lain dapat mencakup: dukungan

ketersediaan bibit sawit, permodalan, panen dan pemasaran; dan (c) Teknologi pengolahan sawit menjadi CPO dan selanjutnya sebagian ada

yang diproses menjadi biodiesel telah ada dan berkembang di Indonesia.

Page 13: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xvii

(32) Faktor utama pengembangan biofuel di Indonesia dari aspek sosial ekonomi adalah political will dan konsistensi kebijakan energi nasional. Seharusnya

subsidi BBM fosil secara perlahan dikurangi dan dialihkan untuk subsidi biofuel (untuk sementara). Selain itu, dukungan kebijakan harga dalam

pemasaran TBS dari petani sawit, dan fasilitasi kerjasama petani sawit dan industri CPO yang menguntungkan kedua belah pihak.

(33) Untuk pengembangan biogas dari POME, terdapat beberapa faktor teknis yang mendukung pengembangannya seperti: ketersediaan POME dan ketersedian teknologi proses. Adapun faktor sosial ekonomi yang

mendukung pengembangannya adalah: dukungan pemerintah daerah, kekompakan masyarakat desa dengan perangkat/pimpinan desa, dan

pendampingan pihak swasta.

(34) Adapun beberapa faktor baik sosial ekonomi maupun teknis yang mempengaruhi keberhasilan pengembangan tebu untuk bahan baku

bioetanol adalah: (a) Peningkatan peran penyuluhan, yaitu untuk mendukung tercapainya program pengembangan tebu; (b) Koordinasi

instansi terkait agar lebih mempercepat pengembangan tebu sebagai bahan baku energi alternatif; (c) kebijakan yang kondusif, yaitu terciptanya iklim

usaha yang mendukung berkembangnya agribisnis tebu dan harga bioetanol; (d) Pembinaan yang berkesinambungan; dan (e) Peningkatan SDM petani, melalui pemberdayaan dan peningkatan kapasitasnya baik

dalam kegiatan on farm maupun off farm.

(35) Pada Pengembangan Biogas Berbasis Kotoran Hewan, terdapat beberapa

faktor teknis yang mendukung keberhasilan pengembangan biogas, yaitu: (a) Siklus produksi sapi perah adalah lebih lama dibanding dengan sapi

penggemukan; (b) Intensitas pemeliharaan ternak; (c) tingkat konsentrasi pemeliharaan ternak yang ada; (d) kemudahan penanganan kotoran ternak, terkait perencanaan kandang yang dekat bangunan biogas; (e) kondisi lahan

disekitar kandang untuk pembangunan digister; dan (e) kemungkinan teknologi pengemasan biogas. Adapun pada pengembangan biogas dari

limbah cair industri tahu, faktor teknis pendukung pengembangan antara lain: (a) Ketersediaan limbah cair industri tahu yang melimpah dan belum

dimanfaatkan; (b) Secara teknis penanganan limbah cair untuk bahan baku biogas sangat mudah di kelola, sebelum layak buang ke saluran sungai; dan (c) Keberlanjutan pasokan bahan baku limbah cari industri tahu terjamin

sepanjang tahun.

(36) Pada pengembangan biogas (bahan baku dari kotoran ternak sapi perah) di

Jawa Barat dan Jawa Timur, terdapat beberapa faktor sosial ekonomi yang dapat mendukung pengembangan biogas, yaitu: (a) Harga jual susu sapi perah yang memotivasi peternak dalam memelihara ternak sapi perah; (b)

upaya pemerintah untuk mengembangkan digester biogas secara komunal; dan (c) organisasi kelembagaan pada kelompok peternak sapi perah lebih

berfungsi dan solid, dalam mengembangkan pengolahan biogas.

Sistem Kelembagaan Pengembangan Bioenergi di Sektor Pertanian

Page 14: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xviii

(37) Pelaku pengembangan Kelapa Sawit antara lain pihak pemerintah, swasta, dan Perorangan (petani/kelompok tani). Pihak swasta telah melakukan

pengembangan sawit secara intensif. Dalam konteks mendorong produksi bioenergi dari CPO Kelapa Sawit, hendaknya pemerintah juga dapat

melakukan beberapa alternatif strategi sebagai bagian dari kebijakan pengembangan, yaitu: (a) Mengalokasikan sumber dana yang memadai

untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalam skala nasional; (b) Penelitian/kajian/percobaan mulai dari pengadaan bibit yang berkualitas, pencarian dan perbaikan varietas dan plasma nuftah,

identifikasi potensi yang pasti tentang produktivitas; (c) Mengidentifikasi kebutuhan CPO baik untuk bahan baku bioenergi maupun untuk pangan

agar tidak terjadi trade off dalam pengembangannya; dan (d) Menerapkan kebijakan yang sudah ada, dimana pemerintah hendaknya melakukan insentif terhadap pengembangan bioenergi.

(38) Kelembagaan pengelolaan biogas dari POME merupakan kelembagaan pengelolaan unit pengolahan limbah POME menjadi sumber energi listrik.

Kelembagaan pngelolaan biogas yang menghasilkan listrik untuk bahan bakar kebutuhan industri, saat ini kelembagaan pengelolaannya dilakukan

oleh Pabrik Kelapa Sawit (PKS) itu sendiri yang merupakan bagian kegiatan dari proses pengolahan. Sementara kelembagaan pengelolaan biogas dari POME dimana energi listriknya digunakan oleh masyarakat seperti di lokasi

penelitian Provinsi Riau yakni: (a) Kelembagaan pengolahan dan pengelolaannya hingga menjadi energi energi listrik dilakukan oleh lembaga

yang telah terbentuk (misal BUMDes); dan (b) Masyarakat sebagai pengguna energi listrik adalah mitra yang memiliki mendapat energi listrik sesuai

perjanjian saat pemasangan instalasi dan menunaikan kewajibannya sebagai konsumen listrik.

(39) Kelembagaan yang diperlukan kedepan untuk mendukung berlanjutnya

proses produksi bioetanol dari molases adalah: (a) produsen bioetanol dari molases saat ini hanya dilakukan oleh perusahaan yang cukup kapital dan

teknologi, seperti PTPN, atau swasta; (b) Perlu adanya keterlibatan pemerintah untuk menjamin pasar bioetanol, dalam kerangka program

energi nasional; (c) Kebijakan pengembangan bioetanol juga harus terkait dengan kebijakan energi lainnya.

(40) Sistem kelembagaan pengembangan biogas berbasis kotoran hewan maupun

limbah cair industri tahu pada dasarnya adalah sama. Pentingnya dibentuk kelembagaan, utamanya adalah untuk membagi tugas dan fungsi dalam

pengelolaan biogas siapa mengerjakan apa, dan bagaimana aturan main penggunaan biogasnya dan apa hak dan kewajiban anggota kaitannya dalam penggunaan biogas. Hal yang paling krusial adalah: (a) Penanganan jika

terjadi kerusakan sarana biogas; dan (b) Pemeliharaan alat digester dan rutinitas pengisian kotoran.

IMPLIKASI KEBIJAKAN

(41) Dalam rangka mendorong produksi bioenergi dari CPO, hendaknya pemerintah melakukan beberapa alternatif strategi sebagai bagian dari kebijakan pengembangan, yaitu: (a) Mengalokasikan sumber dana yang

Page 15: SISTEM KOMUNIKASI PEMANFAATAN VARIETAS UNGGUL … filesistem komunikasi yang efektif dalam rangka mempercepat proses adopsi ... dan faktor eksternal seperti kebijakan pemerintah, kepercayaan

xix

memadai untuk melakukan riset atau kajian, percobaan dan penerapan dalam skala nasional; (b) Penelitian/kajian/percobaan mulai dari pengadaan

bibit yang berkualitas, pencarian dan perbaikan varietas dan plasma nuftah, identifikasi potensi yang pasti tentang produktivitas; (c) Mengidentifikasi

kebutuhan CPO baik untuk bahan baku bioenergi maupun untuk pangan agar tidak terjadi trade off dalam pengembangannya; dan (d) Menerapkan

kebijakan yang sudah ada, dimana pemerintah hendaknya melakukan insentif pengembangan bioenergi.

(42) Untuk pengembangan biogas, diperlukan kebijakan antara lain: (a)

pengembangan biogas pada skala rumah tangga secara terkoordinasi antar instansi, (b) pengembangan biogas pada skala kelompok atau masal, dan (c)

pengembangan biogas skala wilayah secara terintegratif dan berkesinambungan.

(43) Dalam rangka pengembangan biogas dengan bahan baku dari kotoran

ternak sapi yaitu diperlukan: (a) dukungan dan komitmen dari pemerintah untuk mengembangkan biogas secara luas; (b) perencanaan secara baik

pengembangan biogas; (c) koordinasi secara baik antar instansi dalam program bantuan digester biogas; (d) sinergi program pengembangan

biogas dengan program pengembangan ternak (khususnya ternak sapi) nasional; (e) dukungan sarana serta infrastruktur peralatan (digester dan peralatan pendukungnya); dan (f) sinergi antara pengembangan biogas

dengan program pengalihan BBM ke LPG di tingkat rumah tangga.

(44) Pada pengembangan tebu sebagai penghasil tetes tebu yang menjadi bahan

baku bioetanol perlu terus ditingkatkan dukungannya. Hal ini antara lain dapat ditempuh melalui: (a) Peningkatan peran penyuluhan, yaitu untuk

mendukung tercapainya program pengembangan tebu; (b) Koordinasi instansi terkait agar lebih mempercepat pengembangan tebu sebagai bahan baku energi alternatif; (c) kebijakan yang kondusif, yaitu terciptanya iklim

usaha yang mendukung berkembangnya agribisnis tebu dan harga bioetanol; (d) Pembinaan yang berkesinambungan; dan (e) Peningkatan

SDM petani.

(45) Pada pengembangan bioenergi diperlukan adanya komitmen yang kuat

pemerintah dan sinergi antar instansi dalam kebijakan atau program bioenergi. Komitmen pemerintah pusat perlu terus ditingkatkan dalam hal: pembenahan subsidi BBM, dan pembenahan sektor otomotif. Peningkatan

suatu program dalam bingkai kebijakan bioenergi harus sesuai dengan kebijakan energi secara nasional. Ketersediaan dana sawit diharapkan akan

lebih mendorong peningkatan produksi biodiesel dari CPO sawit, sehingga target mandatory biodiesel akan mudah tercapai. Selain itu, proses rehabilitasi tanaman sawit non produktif juga bisa berjalan baik. Alokasi

subsidi dari yang awalnya ke sektor BBM diharapkan juga dapat tersalurkan untuk pengembangan Bahan Bakar Nabati (BBN).