Sistem Imun Full

382
SISTEM IMUN Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Bakteri Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang mengandung mikroba patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena itu respons imun tubuh manusia terhadap berbagai macam mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau bakteri intraselular mempunyai karakteristik tertentu pula Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit, radiasi matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat. Biasanya kita dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan mengakibatkan berbagai penyakit fatal. Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit saja. Infeksi bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi

description

sistem imun

Transcript of Sistem Imun Full

Page 1: Sistem Imun Full

SISTEM IMUN

Mekanisme Pertahanan Tubuh Terhadap Bakteri

Widodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Tubuh manusia tidak mungkin terhindar dari lingkungan yang

mengandung mikroba patogen di sekelilingnya. Mikroba tersebut

dapat menimbulkan penyakit infeksi pada manusia. Mikroba

patogen yang ada bersifat poligenik dan kompleks. Oleh karena

itu respons imun tubuh manusia terhadap berbagai macam

mikroba patogen juga berbeda. Umumnya gambaran biologik

spesifik mikroba menentukan mekanisme imun mana yang

berperan untuk proteksi. Begitu juga respon imun terhadap

bakteri khususnya bakteri ekstraselular atau bakteri intraselular

mempunyai karakteristik tertentu pula

Tubuh manusia akan selalu terancam oleh paparan bakteri, virus, parasit,

radiasi matahari, dan polusi. Stres emosional atau fisiologis dari kejadian

ini adalah tantangan lain untuk mempertahankan tubuh yang sehat.

Biasanya kita dilindungi oleh sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan

tubuh, terutama makrofag, dan cukup lengkap kebutuhan gizi untuk

menjaga kesehatan. Kelebihan tantangan negatif, bagaimanapun, dapat

menekan sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, dan

mengakibatkan berbagai penyakit fatal.

Penerapan kedokteran klinis saat ini adalah untuk mengobati penyakit

saja. Infeksi bakteri dilawan dengan antibiotik, infeksi virus dengan

antivirus dan infeksi parasit dengan antiparasit terbatas obat-obatan yang

tersedia. Sistem pertahanan tubuh, sistem kekebalan tubuh, depresi

disebabkan oleh stres emosional diobati dengan antidepresan atau obat

penenang. Kekebalan depresi disebabkan oleh kekurangan gizi jarang

diobati sama sekali, bahkan jika diakui, dan kemudian oleh saran untuk

mengkonsumsi makanan yang lebih sehat.

Imunitas atau kekebalan adalah sistem mekanisme pada organisme

yang melindungi tubuh terhadap pengaruh biologis luar dengan

Page 2: Sistem Imun Full

mengidentifikasi dan membunuh patogen serta sel tumor. Sistem ini

mendeteksi berbagai macam pengaruh biologis luar yang luas, organisme

akan melindungi tubuh dari infeksi, bakteri, virus sampai cacing parasit,

serta menghancurkan zat-zat asing lain dan memusnahkan mereka dari

sel organisme yang sehat dan jaringan agar tetap dapat berfungsi seperti

biasa. Deteksi sistem ini sulit karena adaptasi patogen dan memiliki cara

baru agar dapat menginfeksi organisme.

Untuk selamat dari tantangan ini, beberapa mekanisme telah berevolusi

yang menetralisir patogen. Bahkan organisme uniselular seperti bakteri

dimusnahkan oleh sistem enzim yang melindungi terhadap infeksi virus.

Mekanisme imun lainnya yang berevolusi pada eukariota kuno dan tetap

pada keturunan modern, seperti tanaman, ikan, reptil dan serangga.

Mekanisme tersebut termasuk peptida antimikrobial yang disebut

defensin, fagositosis, dan sistem komplemen. Mekanisme yang lebih

berpengalaman berkembang secara relatif baru-baru ini, dengan adanya

evolusi vertebrata. Imunitas vertebrata seperti manusia berisi banyak

jenis protein, sel, organ tubuh dan jaringan yang berinteraksi pada

jaringan yang rumit dan dinamin. Sebagai bagian dari respon imun yang

lebih kompleks ini, sistem vertebrata mengadaptasi untuk mengakui

patogen khusus secara lebih efektif. Proses adaptasi membuat memori

imunologis dan membuat perlindungan yang lebih efektif selama

pertemuan di masa depan dengan patogen tersebut. Proses imunitas

yang diterima adalah basis dari vaksinasi.

Respons pejamu yang terjadi juga tergantung dari jumlah

mikroba yang masuk. Mekanisme pertahanan tubuh dalam

mengatasi agen yang berbahaya meliputi

1. Pertahanan fisik dan kimiawi, seperti kulit, sekresi asam lemak

dan asam laktat melalui kelenjar keringat, sekresi lendir, pergerakan

silia, sekresi air mata, air liur, urin, asam lambung serta lisosom

dalam air mata

2. Simbiosis dengan bakteri flora normal yang memproduksi zat

yang dapat mencegah invasi mikroorganisme

3. Innate immunity (mekanisme non-spesifik), seperti sel

polimorfonuklear (PMN) dan makrofag, aktivasi komplemen, sel mast,

Page 3: Sistem Imun Full

protein fase akut, interferon, sel NK(natural killer) dan mediator

eosinofil

4. Imunitas spesifik, yang terdiri dari imunitas humoral dan seluler.

Secara umum pengontrolan infeksi intraselular seperti infeksi virus,

protozoa, jamur dan beberapa bakteri intraselular fakultatif terutama

membutuhkan imunitas yang diperani oleh sel yang dinamakan

imunitas selular, sedangkan bakteri ekstraselular dan toksin

membutuhkan imunitas yang diperani oleh antibodi yang dinamakan

imunitas humoral. Secara keseluruhan pertahanan imunologik dan

nonimunologik (nonspesifik) bertanggung jawab bersama dalam

pengontrolan terjadinya penyakit infeksi.

Invasi Patogen

Keberhasilan patogen bergantung pada kemampuannya untuk

menghindar dari respon imun. Patogen telah mengembangkan beberapa

metode yang menyebabkan mereka dapat menginfeksi sementara

patogen menghindari kehancuran akibat sistem imun.Bakteri sering

menembus perisai fisik dengan mengeluarkan enzim yang mendalami isi

perisai, contohnya dengan menggunakan sistem tipe II sekresi. Sebagai

kemungkinan, patogen dapat menggunakan sistem tipe III sekresi. Mereka

dapat memasukan tuba palsu pada sel, yang menyediakan saluran

langsung untuk protein agar dapat bergerak dari patogen ke pemilik

tubuh; protein yang dikirim melalui tuba sering digunakan untuk

mematikan pertahanan.

Strategi menghindari digunakan oleh beberapa patogen untuk

mengelakan sistem imun bawaan adalah replikasi intraselular (juga

disebut patogenesis intraselular). Disini, patogen mengeluarkan mayoritas

lingkaran hidupnya kedalam sel yang dilindungi dari kontak langsung

dengan sel imun, antibodi dan komplemen. Beberapa contoh patogen

intraselular termasuk virus, racun makanan, bakteri Salmonella dan

parasit eukariot yang menyebabkan malaria (Plasmodium falciparum) dan

leismaniasis (Leishmania spp.). Bakteri lain, seperti Mycobacterium

tuberculosis, hidup didalam kapsul protektif yang mencegah lisis oleh

komplemen. Banyak patogen mengeluarkan senyawa yang mengurangi

respon imun atau mengarahkan respon imun ke arah yang salah.

Beberapa bakteri membentuk biofilm untuk melindungi diri mereka dari

sel dan protein sistem imun. Biofilm ada pada banyak infeksi yang

Page 4: Sistem Imun Full

berhasil, seperti Pseudomonas aeruginosakronik dan Burkholderia

cenocepacia karakteristik infeksi sistik fibrosis. Bakteri lain menghasilkan

protein permukaan yang melilit pada antibodi, mengubah mereka menjadi

tidak efektif; contoh termasuk Streptococcus (protein G), Staphylococcus

aureus(protein A), dan Peptostreptococcus magnus (protein L).

Bakteri, dari kata Latin bacterium (jamak,bacteria), adalah kelompok

terbanyak dari organisme hidup. Mereka sangatlah kecil (mikroskopik)

dan kebanyakan uniselular (bersel tunggal), dengan struktur sel yang

relatif sederhana tanpa nukleus/inti sel, cytoskeleton, dan organel lain

seperti mitokondria dan kloroplas. Struktur sel mereka dijelaskan lebih

lanjut dalam artikel mengenai prokariota, karena bakteri merupakan

prokariota, untuk membedakan mereka dengan organisme yang memiliki

sel lebih kompleks, disebut eukariota. Istilah “bakteri” telah diterapkan

untuk semua prokariota atau untuk kelompok besar mereka, tergantung

pada gagasan mengenai hubungan mereka.

Bakteri adalah yang paling berkelimpahan dari semua organisme. Mereka

tersebar (berada di mana-mana) di tanah, air, dan sebagai simbiosis dari

organisme lain. Banyak patogen merupakan bakteri. Kebanyakan dari

mereka kecil, biasanya hanya berukuran 0,5-5 μm, meski ada jenis dapat

menjangkau 0,3 mm dalam diameter (Thiomargarita). Mereka umumnya

memiliki dinding sel, seperti sel tumbuhan dan jamur, tetapi dengan

komposisi sangat berbeda (peptidoglikan). Banyak yang bergerak

menggunakan flagela, yang berbeda dalam strukturnya dari flagela

kelompok lain.

Page 5: Sistem Imun Full

\SPECIFIC ATTACHMENTS OF BACTERIA TO HOST CELL OR TISSUE

SURFACES

Adhesin ReceptorAttachment site Disease

Streptococcus pyogenes Protein F

Amino terminus of fibronectin

Pharyngeal epithelium

Sore throat

Streptococcus mutans

Glycosyl transferase

Salivary glycoprotein

Pellicle of tooth

Dental caries

Streptococcus salivarius

Lipoteichoic acid Unknown

Buccal epithelium of tongue None

Streptococcus pneumoniae

Cell-bound protein

N-acetylhexosamine-galactose disaccharide

Mucosal epithelium

pneumonia

Page 6: Sistem Imun Full

Staphylococcus aureus

Cell-bound protein

Amino terminus of fibronectin

Mucosal epithelium Various

Neisseria gonorrhoeae

Type IV pili (N-methylphenyl- alanine pili)

Glucosamine-galactose carbohydrate

Urethral/cervical epithelium Gonorrhea

Enterotoxigenic E. coli Type-I fimbriae

Species-specific carbohydrate(s)

Intestinal epithelium Diarrhea

UropathogenicE. coli Type I fimbriae

Complex carbohydrate

Urethral epithelium Urethritis

UropathogenicE. coli P-pili (pap)

Globobiose linked to ceramide lipid

Upper urinary tract

Pyelonephritis

Bordetella pertussis

Fimbriae (“filamentous hemagglutinin”)

Galactose on sulfated glycolipids

Respiratory epithelium

Whooping cough

Vibrio cholerae

N-methylphenylalanine pili

Fucose and mannose carbohydrate

Intestinal epithelium Cholera

Treponema pallidum

Peptide in outer membrane

Surface protein (fibronectin)

Mucosal epithelium Syphilis

MycoplasmaMembrane protein Sialic acid

Respiratory epithelium

Pneumonia

Chlamydia Unknown Sialic acid

Conjunctival or urethral epithelium

INFEKSI BAKTERI EKSTRASELULER

Strategi pertahanan bakteri

Page 7: Sistem Imun Full

Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di

dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan.

Berbagai jenis bakteri yang termasuk golongan bakteri ekstraseluler telah

disebutkan pada bab sebelumnya. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah

dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler

tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul

antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi

yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi

bakteri berkapsulStreptococcus pneumoniae atau Haemophylus

influenzae. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat

pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor

fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada

dinding sel bakteri dapat dihambat. Beberapa organisme lain

mengeluarkan eksotoksin yang meracuni leukosit. Strategi lainnya adalah

dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit sehingga

memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .

Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi

dari kerusakan oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang

menyebabkan pemecahan C3 konvertase. Beberapa bakteri tidak

mempunyai regulator tersebut, sehingga akan mengaktifkan jalur

alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b konvertase pada

permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri akan menyebabkan

aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.

Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen

melalui aksi produk mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja

regulator aktivasi komplemen. Bahkan beberapa spesies dapat

menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi komplemen

melalui sekresi protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan

bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa organisme Gram positif

mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat insersi

komplek serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri .

Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag

termasuk menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah

fusi fagosom-lisosom dan mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi

Page 8: Sistem Imun Full

berupa variasi antigenik juga dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti

variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang terlibat dalam sintesis

struktur permukaan dan variasi antigenik pili.Keadaan sistem imun yang

dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan adalah

gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik

(neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit

granulomatosa kronik).

Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.

InvasinBacteria Involved Activity

Hyaluronida

se

Streptococci,

staphylococci and

clostridia

Degrades hyaluronic of

connective tissue

Collagenase Clostridiumspecies

Dissolves collagen framework of

muscles

Neuraminid

ase

Vibrio

choleraeand Shigella

dysenteriae

Degrades neuraminic acid of

intestinal mucosa

Coagulase

Staphylococcus

aureus

Converts fibrinogen to fibrin

which causes clotting

Page 9: Sistem Imun Full

Kinases

Staphylococci and

streptococci

Converts plasminogen to plasmin

which digests fibrin

Leukocidin

Staphylococcus

aureus

Disrupts neutrophil membranes

and causes discharge of

lysosomal granules

Streptolysin

Streptococcus

pyogenes

Repels phagocytes and disrupts

phagocyte membrane and

causes discharge of lysosomal

granules

Hemolysins

Streptococci,

staphylococci and

clostridia

Phospholipases or lecithinases

that destroy red blood cells (and

other cells) by lysis

Lecithinase

s

Clostridium

perfringens

Destroy lecithin in cell

membranes

Phospholipa

ses

Clostridium

perfringens

Destroy phospholipids in cell

membrane

Anthrax EF Bacillus anthracis

One component (EF) is an

adenylate cyclase which causes

increased levels of intracellular

cyclic AMP

Pertussis

AC Bordetella pertussis

One toxin component is an

adenylate cyclase that acts

locally producing an increase in

intracellular cyclic AMP

EXTRACELLULAR BACTERIAL PROTEINS THAT ARE CONSIDERED

INVASINS

Mekanisme pertahanan tubuh

Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk

menetralkan efek toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun

alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta

makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif

dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi.

Page 10: Sistem Imun Full

Hasil aktivasi ini adalah C3b yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri

melalui serangan kompleks membran dan respons inflamasi akibat

pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang

makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin

seperti TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil

dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan

migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan

yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk

eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein

fase akut.

Netralisasi toksin

Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin

yang akan menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap

makrofag akan menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF.

Proses ini akan memacu terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan

kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ multipel

dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor

sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah

sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.

Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul

antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme

netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama,

melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara

langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui

kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu

dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi

dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak

dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran

kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri

akan semakin bertambah.

Opsonisasi

Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen,

fibronektin, yang berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi

Page 11: Sistem Imun Full

ada dua yaitu opsonisasi yang tidak tergantung antibodi dan yang

ditingkatkan oleh antibodi.

Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose

dapat terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan

mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut

akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan

sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS)

merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini

dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi

yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap

proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah

diopsonisasi oleh antibodi.

Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen

yang diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG

dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di

fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG yang

dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah

hubungan ke makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak

terikat secara spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui

pengikatan komplemen.

Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim

serum dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan

menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan

dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a

yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk

antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap  neutrofil

untuk membantu fagositosis.

Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu

tiba di lokasi infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh

sinyal kemotaktik yang dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen

atau makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN

sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.

Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan

adesi pada dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi.

Page 12: Sistem Imun Full

Kemampuan adesi PMN pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat

karena sinyal yang terbentuk pada proses adesi ini akan merangsang

ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan

melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang telah

menginfeksi.

Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan

tonjolan pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk

mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan terperangkap di dalamnya,

selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan mengeluarkan

berbagai enzim dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri

tersebut.

Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses

oksidasi maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status

metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa

mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi

melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase.

Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi

tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).

Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan

superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses

nonoksidasi berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam

fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G

dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH dalam sel fagosit

dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan

positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak

lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat

terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas

lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat

berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).

Sistem imun sekretori

Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik

antigen dan nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida

antimikrobial yang diproduksi oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa.

Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui disrupsi pada

permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori

Page 13: Sistem Imun Full

dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada

usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara

melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di

membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi

terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen

infeksi berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya

adalah IgE. Adanya kontak antigen dengan IgE akan menyebabkan

pelepasan mediator yang menarik agen respons imun dan menghasilkan

reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang

disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG dan

komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil

akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme

penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan

kompleks antibodi-komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor

yang memperkuat permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .

Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka

fagosit dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme

ekstraseluler, yaitu Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).

INFEKSI BAKTERI INTRASELULER

Strategi pertahanan bakteri

Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler

fakultatif dan obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang

mudah difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan oleh sistem

fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat

hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi

karena bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi,

sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri intraseluler juga

berbeda dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis

bakteri seperti basil tuberkel dan leprosi, dan

Page 14: Sistem Imun Full

organismeListeria dan Brucella menghindari perlawanan sistem imun

dengan cara hidup intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit

mononuklear, karena sel tersebut mempunyai mobilitas tinggi dalam

tubuh. Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan fagosit setelah bakteri

mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri

tersebut melakukan perubahan mekanisme pertahanan.

Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui

tiga mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi

bakteri, 2) lipid mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi

pembentukan ROI (reactive oxygen intermediate) seperti anion

superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan

terjadinya respiratory burst, 3) menghindari perangkap fagosom dengan

menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam sitoplasma

makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya

Mekanisme pertahanan tubuh

Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity,

CMI) sangat penting dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4

akan berikatan dengan partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC

II pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T

helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang akan mengaktivasi

makrofag dan membunuh organisme intraseluler, terutama melalui

pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO).

Selanjutnya makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak

substansi yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga

terjadi  lisis sel yang diperantarai oleh sel T CD8.

Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi

antigen yang kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal

makrofag yang terkativasi yang membentuk granuloma sekeliling

mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut

Page 15: Sistem Imun Full

pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang menyebabkan

gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan terutama

disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler.

Daftar Pustaka

Hardegree MC, Tu AT (eds): Handbook of Natural Toxins. Vol.4:

Bacterial Toxins. Marcel Dekker, New York, 1988

Iglewski BH, Clark VL (eds): Molecular Basis of Bacterial

Pathogenesis. Vol. XI of The Bacteria: A Treatise on Structure and

Function. Academic Press, Orlando, FL, 1990

Buku Ajar Alergi Imunologi. Ikatan Dokter Anak Indonesia edisi 2.

Luderitz O, Galanos C: Endotoxins of gram-negative bacteria. p.307.

In Dorner F, Drews J (eds): Pharmacology of Bacterial Toxins.

International Encyclopedia of Pharmacology and Therapeutics, Section

119. Pergamon, Elmsford, NY, 1986

Mims CA: The Pathogenesis of Infectious Disease. Academic Press,

London, 1976

Payne SM: Iron and virulence in the family Enterobacteriaceae. Crit

Rev Microbiol 16:81, 1988

Sack RB: Human diarrheal disease caused by

enterotoxigenic Escherichia coli. Annu Rev Microbiol 29:333, 1975

Salyers, AA, Whitt DD: Bacterial Pathogenesis – A Molecular

Approach ASM Press, 1994

Smith H: Microbial surfaces in relation to pathogenicity. Bacteriol

Rev 41:475, 1977

Smith H, Turner JJ (eds): The Molecular Basis of Pathogenicity.

Verlag Chemie, Deerfield Beach, FL, 1980

Weinberg ED: Iron withholding: a defense against infection and

neoplasia. Physiol Rev 64:65, 1984

Eisenstein TK, Actor P, Friedman H: Host Defenses to Intracellular

Pathogens. Plenum Publishing Co, New York, 1983

Finlay BB, Falkow S: Common themes in microbial pathogenicity.

Microbiol Rev 53:210, 1989

Foster TJ: Plasmid-determined resistance to antimicrobial drugs and

toxic metal ions in bacteria. Microbiol Rev 47:361, 1983

Page 16: Sistem Imun Full

MEKANISME RESPON TUBUH TERHADAP SERANGAN MIKROBADiposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Respons tubuh terhadap serangan mikroba dapat terjadi dalam

beberapa jenjang tahapan. Tahapan awal bersifat nonspesifik

atau innate, yaitu berupa respons inflamasi. Tahapan kedua

bersifat spesifik dan didapat, yang diinduksi oleh komponen

antigenik mikroba.  Tahapan terakhir adalah respons peningkatan

dan koordinasi sinergistik antara sel spesifik dan nonspesifik

yang diatur oleh berbagai produk komponen respons inflamasi,

seperti mediator kimia.

Sistem kekebalan atau sistem imun adalah sistem pertahanan manusia

sebagai perlindungan terhadap infeksi dari makromolekul asing atau

serangan organisme, termasuk virus, bakteri, protozoa dan parasit.

Sistem kekebalan juga berperan dalam perlawanan terhadap protein

tubuh dan molekul lain seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan

melawan sel yang teraberasi menjadi tumor.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh

dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya

guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel

tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang

biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi

penyakit.

Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang

menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak

nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik

senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan

berlangsung

Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan

terluar dari tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk

makrofag dan neutrofil yang siap melumat organisme lain pada saat

terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh

antibodi.Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Page 17: Sistem Imun Full

Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang

sama, terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :

sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem

kekebalan turunan

sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu,

sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.

sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk

“mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat

saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan

turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.

Respon inflamasi dan fagositosis dari tuan rumah untuk menyerang

bakteri yang segera dan nonspesifik.  Sebuah respon, imun spesifik akan

segera ditemui oleh bakteri invasif. Kekuatan imun adaptif dari antibodi-

mediated imunitas (AMI) dan imunitas diperantarai sel (CMI) yang dibawa

ke dalam presentasi antigen bakteri ke sistem imunologi.

Meskipun AMI adalah respon imunologi utama efektif terhadap bakteri

ekstraseluler, respon defensif dan protektif terhadap bakteri intraselular

utama adalah CMI. Pada permukaan epitel, pertahanan kekebalan utama

tertentu dari tuan rumah adalah perlindungan yang diberikan oleh

antibodi IgA sekretori.  Setelah permukaan epitel telah ditembus, namun

pertahanan kekebalan dari AMI dan CMI yang ditemukan. Jika ada cara

bagi organisme untuk berhasil melewati atau mengatasi pertahanan

imunologi, maka beberapa bakteri patogen mungkin telah “ditemukan”

itu. Bakteri berkembang sangat cepat dalam kaitannya dengan tuan

rumah mereka, sehingga sebagian besar anti-tuan strategi layak

kemungkinan telah dicoba dan dimanfaatkan.  Akibatnya, bakteri patogen

telah mengembangkan berbagai cara untuk memotong atau mengatasi

pertahanan imunologi dari host, yang berkontribusi pada virulensi dari

mikroba dan patologi penyakit.

STRATEGI PERTAHANAN PATHOGEN MELAWAN PERTAHANAN

INMUNITAS SPESIFIK

Imunologi Toleransi Terhadap Antigen bakteri

Toleransi adalah properti dari host dimana ada pengurangan imunologis

spesifik dalam respon imun terhadap antigen tertentu (Ag). Toleransi ke

Page 18: Sistem Imun Full

Ag bakteri tidak melibatkan kegagalan umum dalam respon imun tetapi

kekurangan tertentu dalam kaitannya dengan antigen tertentu (s) dari

bakteri tertentu.  Jika ada respon kekebalan yang tertekan terhadap

antigen yang relevan dari parasit, proses infeksi difasilitasi. Toleransi

dapat melibatkan baik AMI atau CMI atau kedua lengan dari respon

imunologi.

Toleransi terhadap suatu Ag dapat timbul dalam berbagai cara, tetapi tiga

yang mungkin relevan dengan infeksi bakteri.

1. Paparan Antigen  Janin terpapar Ag.Jika janin terinfeksi pada tahap

tertentu dari perkembangan imunologi, mikroba Ag dapat dilihat sebagai

“diri”, dengan demikian menyebabkan toleransi (kegagalan untuk

menjalani respon imunologi) ke Ag yang dapat bertahan bahkan setelah

kelahiran.

1. High persistent doses of circulating Ag . Toleransi terhadap bakteri

atau salah satu produknya mungkin timbul ketika sejumlah besar

antigen bakteri yang beredar dalam darah. The immunological system

becomes overwhelmed. Sistem kekebalan menjadi kewalahan.

2. Molecular mimicry .  Jika Ag bakteri sangat mirip dengan “antigen”

host normal, respon kebal terhadap Ag ini mungkin lemah

memberikan tingkat toleransi.  Kemiripan antara Ag bakteri dan host

Ag disebut sebagai mimikri molekuler.  Dalam hal ini determinan

antigenik dari bakteri sangat erat terkait kimiawi untuk host

komponen jaringan yang sel-sel imunologi tidak dapat membedakan

antara dua dan respon imunologi tidak dapat ditingkatkan.  Beberapa

kapsul bakteri tersusun dari polisakarida (hyaluronic acid, asam sialic)

sehingga mirip dengan host polisakarida jaringan yang mereka tidak

imunogenik.

Antigenic Disguises

Beberapa patogen dapat menyembunyikan antigen unik dari antibodi

opsonizing atau pelengkap.  Bakteri mungkin dapat untuk melapisi diri

dengan protein host seperti fibrin, fibronektin, atau bahkan molekul

immunolobulin.  Dengan cara ini mereka dapat menyembunyikan

komponen antigen permukaan mereka sendiri dari sistem imunologi.

Page 19: Sistem Imun Full

S. aureus menghasilkan sel-terikat koagulase dan faktor penggumpalan

yang menyebabkan fibrin untuk membeku dan untuk deposit pada

permukaan sel.  Ada kemungkinan bahwa ini menyamarkan bakteri

imunologi sehingga mereka tidak mudah diidentifikasi sebagai antigen

dan target untuk respon imunologi.

Protein A diproduksi oleh S. aureus , dan Protein G analog yang dihasilkan

oleh Streptococcus pyogenes, mengikat bagian Fc dari imunoglobulin,

sehingga lapisan bakteri dengan antibodi dan membatalkan kapasitas

opsonizing mereka dengan disorientasi. Lapisan fibronektin Treponema

pallidum memberikan menyamar imunologi untuk spirochete tersebut.  E.

coli K1, yang menyebabkan meningitis pada bayi baru lahir, memiliki

kapsul terdiri terutama asam sialic memberikan menyamar antigen,

seperti halnya kapsul asam hialuronat Streptococcus pyogenes.

Imunosupresi

Beberapa patogen (terutama virus dan protozoa, jarang bakteri)

penyebab imunosupresi dalam inang terinfeksi mereka. Ini berarti bahwa

tuan rumah menunjukkan respon imun terhadap antigen depresi pada

umumnya, termasuk mereka dari patogen menginfeksi.

Tanggapan kekebalan ditekan kadang-kadang diamati selama infeksi

bakteri kronis seperti kusta dan TBC. Hal ini penting mengingat sepertiga

dari populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis.

Dalam bentuk ekstrim dari kusta, yang disebabkan oleh Mycobacterium

leprae, ada respon yang buruk terhadap antigen lepra, serta antigen yang

tidak terkait.  Setelah pasien telah berhasil diobati, muncul kembali

reaktivitas imunologi, menunjukkan bahwa imunosupresi umum

sebenarnya karena penyakit.

Dalam kasus-kasus ringan penyakit kusta sering merupakan penekanan

kekebalan terkait yang spesifik untuk M. leprae antigens. leprae antigen.

Hal ini terpisah dari toleransi, karena antigen unik (protein)  Hal ini dapat

dijelaskan oleh (1) kurangnya sinyal costimulatory (gangguan sekresi

sitokin), (2) aktivasi sel T penekan, (3) gangguan di T H1 / T H2 kegiatan

sel.

Page 20: Sistem Imun Full

Saat ini, sedikit yang diketahui tentang mekanisme yang patogen bakteri

menghambat respon imun umum.  Tampaknya kemungkinan bahwa itu

adalah karena gangguan pada fungsi sel B, sel T atau makrofag. Sejak

bakteri intraseluler banyak menginfeksi makrofag, mungkin diharapkan

bahwa mereka berkompromi peran sel-sel dalam respon imunologi.

Imunosupresi Umum diinduksi dalam host mungkin nilai langsung ke

patogen, tetapi tidak ada arti khusus (untuk penyerbu) jika hanya

mempromosikan infeksi oleh mikroorganisme yang tidak terkait. Mungkin

ini adalah mengapa hal itu tidak tampaknya menjadi strategi yang umum

digunakan bakteri.

Kegigihan Patogen di Situs Tubuh tidak dapat diakses untuk Respon

Kekebalan Tubuh Spesifik Beberapa patogen dapat menghindari

membuka diri untuk kekuatan kekebalan tubuh. Patogen intraseluler

dapat menghindari respon host imunologi selama mereka tinggal di dalam

sel yang terinfeksi dan mereka tidak mengizinkan Ag mikroba terbentuk

pada permukaan sel.  Ini terlihat dalam makrofag terinfeksi Brucella,

Listeria atau M. leprae .  Makrofag mendukung pertumbuhan bakteri dan

pada saat yang sama memberikan mereka perlindungan dari respon

imun.. Beberapa patogen intraseluler (Yersinia, Shigella, Listeria, E. coli)

dapat mengambil residensi di dalam sel-sel yang tidak fagosit atau APC

dan antigen mereka tidak ditampilkan di permukaan sel yang terinfeksi.

Mereka hampir tak terlihat oleh sel-sel sistem kekebalan tubuh.

Beberapa patogen bertahan pada permukaan luminal saluran pencernaan,

rongga mulut dan saluran kemih, atau lumen kelenjar ludah, kelenjar susu

atau tubulus ginjal. Jika tidak ada penghancuran sel inang, patogen dapat

menghindari menginduksi respon inflamasi, dan tidak ada cara di mana

limfosit peka atau antibodi yang beredar dapat mencapai lokasi untuk

menghilangkan infeksi. Sekretori IgA dapat bereaksi dengan antigen

permukaan sel bakteri, tetapi urutan pelengkap akan tidak diaktifkan dan

sel-sel tidak akan dihancurkan. Dapat dibayangkan, antibodi IgA dapat

melumpuhkan bakteri dengan aglutinasi sel atau blok kepatuhan bakteri

pada permukaan jaringan atau sel, tetapi tidak mungkin bahwa IgA akan

membunuh bakteri secara langsung atau menghambat pertumbuhan

mereka.

Page 21: Sistem Imun Full

Beberapa contoh bakteri patogen yang tumbuh di situs jaringan umumnya

tidak dapat diakses pada kekuatan AMI dan CMI diberikan di bawah ini.

Streptococcus mutans dapat memulai karies gigi pada setiap saat setelah

letusan gigi, terlepas dari status kekebalan dari tuan rumah. Entah host

tidak mengalami respon imun IgA sekretori efektif atau berperan kecil

dalam mencegah kolonisasi dan pengembangan plak berikutnya.

Vibrio cholerae berkembang biak di saluran pencernaan dimana bakteri

menguraikan racun yang menyebabkan hilangnya cairan dan diare di host

yang merupakan karakteristik dari penyakit kolera.   Antibodi IgA

terhadap antigen seluler dari Vibrio kolera tidak sepenuhnya efektif dalam

mencegah infeksi oleh bakteri ini seperti yang ditunjukkan oleh

ketidakefektifan relatif dari vaksin kolera dibuat dari vibrio fenol-tewas.

Keadaan pembawa hasil demam tifoid dari infeksi persisten oleh basil

tifus, Salmonella typhi. Organisme ini tidak dihilangkan selama infeksi

awal dan tetap dalam host untuk bulan, tahun atau waktu hidup. Dalam

carrier, S typhi mampu menjajah saluran empedu (kantung empedu) dari

dari kekuatan kekebalan tubuh, dan ditumpahkan ke dalam urin dan

feses.

Beberapa bakteri menyebabkan infeksi persisten pada lumen kelenjar

Brucella abortus terus menerus menginfeksi kelenjar susu sapi dan

ditumpahkan di dalam susu.. Leptospira mengalikan terus-menerus di

dalam lumen tubulus ginjal tikus dan ditumpahkan dalam urin dan tetap

menular.

Bakteri penyebab infeksi pada folikel rambut, seperti jerawat, jarang

menemukan jaringan imunologi.

Induksi Antibodi yang tidak efektif

Banyak jenis antibodi (Ab) terbentuk terhadap Ag tertentu, dan beberapa

komponen bakteri dapat menampilkan determinan antigenik yang

berbeda.  Antibodi cenderung berkisar dalam kapasitas mereka untuk

bereaksi dengan Ag (kemampuan Ab spesifik untuk mengikat suatu Ag

disebut aviditas).Jika Abs terbentuk terhadap Ag bakteri dari aviditas yang

rendah, atau jika mereka diarahkan terhadap determinan antigenik yang

tidak penting, mereka mungkin hanya aksi antibakteri lemah.  Seperti

Page 22: Sistem Imun Full

“tidak efektif” (non-penetral) Abs bahkan mungkin membantu patogen

dengan menggabungkan dengan permukaan Ag dan menghalangi

lampiran dari setiap Abs fungsional yang mungkin hadir.

Dalam kasus Neisseria gonorrhoeae adanya antibodi terhadap protein

membran luar disebut rmp mengganggu reaksi bakterisidal serum dan

dalam beberapa cara kompromi pertahanan permukaan dari saluran

urogenital wanita. Meningkatkan kerentanan terhadap infeksi ulang

sangat berhubungan dengan keberadaan sirkulasi antibodi rmp.

Antibodi yang diserap oleh Antigen bakteri Larut

Beberapa bakteri dapat membebaskan komponen antigen permukaan

dalam bentuk yang larut ke dalam cairan jaringan.  Antigen ini larut dapat

menggabungkan dengan dan “menetralisir” antibodi sebelum mereka

mencapai sel-sel bakteri.  Misalnya, sejumlah kecil endotoksin (LPS) dapat

dilepaskan ke cairan sekitarnya oleh bakteri Gram-negatif.

Otolisis bakteri Gram-negatif atau Gram-positif dapat melepaskan

komponen antigen permukaan dalam bentuk yang larut Streptococcus

pneumoniae dan Neisseria meningitidis diketahui melepaskan polisakarida

kapsuler selama pertumbuhan dalam jaringan.. Mereka ditemukan dalam

serum pasien dengan pneumonia pneumokokus dan dalam cairan

serebrospinal pasien dengan meningitis. Secara teoritis, antigen

permukaan dirilis bisa “mengepel” antibodi sebelum mencapai

permukaan bakteri yang seharusnya lebih diutamakan untuk patogen.

Komponen-komponen sel bakteri larut dinding adalah antigen yang kuat

dan melengkapi aktivator sehingga mereka berkontribusi dengan cara

utama untuk patologi diamati pada meningitis dan pneumonia.

Protein A, diproduksi oleh S. aureus mungkin tetap terikat pada

permukaan sel stafilokokus atau dapat dirilis dalam bentuk larut.  Protein

A akan mengikat ke wilayah Fc dari IgG. Di permukaan sel, protein A

mengikat IgG dalam orientasi yang salah untuk mengerahkan aktivitas

antibakteri, dan protein terlarut A agglutinates dan sebagian inactivates

IgG.

Interferensi Local  dengan Aktifitas Antibody

Page 23: Sistem Imun Full

Mungkin ada beberapa cara yang patogen mengganggu aksi antibakteri

molekul antibodi. Beberapa patogen menghasilkan enzim yang merusak

antibodi.

N. Neisseria gonorrhoeae, N. meningitidis, Haemophilus influenzae,

Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus mutans, yang dapat

tumbuh pada permukaan tubuh, memproduksi protease IgA sekretori IgA

yang tidak aktif dengan membelah molekul di daerah engsel, memisahkan

wilayah Fc imunoglobulin tersebut.

Larutan bentuk Protein A S. diproduksi aureus agglutinate immunoglobulin

molecules and partially inactivate IgG. Staphylococcus molekul

imunoglobulin mengaglutinasi dan sebagian menonaktifkan IgG.

Variasi antigenik

Salah satu cara bakteri dapat mengelabui kekuatan dari respon imunologi

adalah secara berkala mengubah antigen, yaitu untuk menjalani variasi

antigenik.  Antigen dapat bervariasi atau berubah dalam host selama

infeksi, atau organisme dapat ada di alam sebagai jenis antigen beberapa

(serotipe atau serovarian). Variasi antigenik adalah mekanisme penting

yang digunakan oleh mikroorganisme patogen untuk keluar dari aktivitas

penetralan antibodi.

Beberapa jenis variasi antigenik selama hasil infeksi dari spesifik lokasi

inversi atau konversi gen atau penyusunan ulang gen dalam DNA dari

mikroorganisme. Demikianlah halnya dengan beberapa patogen yang

mengubah antigen selama infeksi dengan beralih dari satu jenis fimbrial

yang lain, atau dengan beralih kiat fimbrial. Hal ini membuat respon AMI

asli usang dengan menggunakan fimbriae baru yang tidak mengikat

antibodi sebelumnya.

Neisseria gonorrhoeae dapat mengubah antigen fimbrial selama infeksi. 

Selama tahap awal infeksi, kepatuhan terhadap sel-sel epitel leher rahim

atau uretra dimediasi oleh pili (fimbriae). Lampiran Sama efisien untuk

fagosit akan tidak diinginkan. Pergantian cepat  dan mematikan gen

mengendalikan pili karena itu diperlukan pada berbagai tahap infeksi, dan

N. gonorrhoeae mampu menjalani jenis “switching pili” atau variasi fasa.

Perubahan genetik dikendalikan dalam protein membran luar juga terjadi

Page 24: Sistem Imun Full

dalam proses infeksi. Ungkapan halus dikendalikan dari gen untuk pili dan

protein permukaan mengubah pola kepatuhan terhadap sel inang yang

berbeda, dan meningkatkan ketahanan terhadap fagositosis dan lisis

kekebalan tubuh.

Kekambuhan demam disebabkan oleh spirochete, Borrelia recurrentis,

adalah hasil dari variasi antigenik oleh organisme. Penyakit ini ditandai

oleh episode demam yang kambuh (datang dan pergi) untuk jangka waktu

beberapa minggu atau bulan. Setelah infeksi, bakteri di jaringan dan

menyebabkan penyakit demam sampai timbulnya respon imunologi

seminggu atau lebih kemudian. kemudian menghilang dari darah karena

fagositosis antibodi dimediasi, lisis, aglutinasi, dll, dan demam jatuh.

Kemudian seorang mutan antigenik yang berbeda muncul pada individu

yang terinfeksi, mengalikan, dan dalam 4-10 hari muncul kembali dalam

darah dan ada serangan demam. Sistem imunologi dirangsang dan

merespon dengan menaklukkan antigenik varian baru, tapi siklus terus

seperti bahwa mungkin ada sampai 10 episode demam sebelum

pemulihan akhir. Dengan setiap serangan antigenik varian baru dari

spirochete muncul dan satu set baru antibodi terbentuk dalam host.

Dengan demikian, perubahan dalam antigen selama infeksi memberikan

kontribusi signifikan terhadap perjalanan penyakit.

Banyak bakteri patogen ada di alam sebagai jenis antigen atau beberapa

serotipe, yang berarti bahwa mereka adalah varian strain dari spesies

patogen yang sama. Misalnya, ada beberapa serotipe Salmonella enterica

berdasarkan perbedaan sel (O) antigen dinding dan / atau (H) flagellar

antigen. Ada 80 jenis antigen yang berbeda Streptococcus pyogenes

berdasarkan pada protein M-permukaan sel. . Ada lebih dari seratus strain

Streptococcus pneumoniae tergantung pada antigen kapsuler mereka

polisakarida.  Berdasarkan perbedaan kecil dalam kimia permukaan

struktur ada beberapa serotipe bakteri Vibrio cholerae, Staphylococcus

aureus, Escherichia coli, Neisseria gonorrhoeae dan berbagai bakteri

patogen lainnya. Variasi antigenik adalah umum di antara patogen virus

juga.

Jika respon imunologi adalah pertahanan penting melawan patogen,

kemudian mampu melepaskan antigen lama dan yang baru hadir untuk

sistem kekebalan tubuh mungkin mengizinkan infeksi atau melanjutkan

Page 25: Sistem Imun Full

invasi oleh patogen terjadi. Selanjutnya, inang terinfeksi tampaknya akan

menjadi lingkungan yang ideal untuk selektif munculnya varian antigenik

baru bakteri, memberikan faktor penentu lainnya organisme virulensi

tetap utuh. Mungkin ini menjelaskan mengapa banyak bakteri patogen

yang sukses ada di berbagai macam jenis antigen.

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum

tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping

darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor

limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.

1. Tahapan Awal Respons inflamasi tubuh merupakan salah satu sel tubuh yang

timbul sebagai akibat invasi mikroba pada jaringan. Respons ini terdiri

dari aktivitas sel-sel inflamasi, antara lain sel leukosit

(polimorfonuklear, limfosit, monosit), sel makrofag, sel mast,

sel natural killer, serta suatu sistem mediator kimia yang kompleks

baik yang dihasilkan oleh sel (sitokin) maupun yang terdapat dalam

plasma. Sel fagosit, mononuklear maupun polimorfonuklear (lihat bab

tentang fagosit) berfungsi pada proses awal untuk membunuh

mikroba, dan mediator kimia dapat meningkatkan fungsi ini. Mediator

kimia ini akan berinteraksi satu dengan lainnya, juga dengan sel

radang seperti komponen sistem imun serta fagosit, baik

mononuklear maupun polimorfonuklear untuk memfagosit dan melisis

mikroba. Mediator tersebut antara lain adalah histamin,

Page 26: Sistem Imun Full

kinin/bradikinin, komplemen, prostaglandin, leukotrien dan limfokin.

Respons inflamasi ini bertujuan untuk mengeliminasi dan

menghambat penyebaran mikroba.

Histamin yang dilepaskan sel mast akibat stimulasi anafilatoksin 

akan menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas

vaskular untuk memfasilitasi peningkatan aliran darah dan keluarnya

sel radang intravaskular ke jaringan tempat mikroba berada.

Kinin/bradikinin adalah peptida yang diproduksi sebagai hasil kerja

enzim protease kalikrein pada kininogen. Mediator ini juga

menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas pembuluh

darah. Faktor Hageman yang diaktifkan oleh karena adanya

kerusakan pembuluh darah serta endotoksin bakteri gram negatif,

juga sel dalam menginduksi mediator kimia lainnya.

Produk aktivasi komplemen yang pada mulanya melalui jalur

alternatif dapat meningkatkan aliran darah, permeabilitas pembuluh

darah, keinotaksis dan fagositosis, serta hasil akhir aktivasi

komplemen adalah lisis mikroba. Prostaglandin, leukotrien dan

fosfolipid lainnya yaitu mediator yang merupakan hasil metabolit

asam arakidonat dapat menstimulasi motilitas leukosit yang

dibutuhkan untuk memfagosit mikroba dan merangsang agregasi

trombosit untuk memperbaiki kerusakan pembuluh darah yang ada.

Prostaglandin juga dapat bekerja sebagai pirogen melalui pusat

termoregulator di hipotalamus. Dikatakan bahwa panas juga

merupakan mekanisme sel tubuh, tetapi sukar dibuktikan. Mikroba

tertentu memang tidak dapat hidup pada suhu panas tetapi suhu

tubuh yang tinggi akan memberikan dampak yang buruk pada

pejamu.

Protein fase akut seperti C-reactive protein (CRP), protein yang

mengikat lipopolisakarida, protein amiloid A, transferin dan α1-

antitripsin akan dilepaskan oleh hati sebagai respons terhadap

inflamasi. Peranannya dapat sebagai stimulator atau inhibisi. Protein

α1-antitripsin misalnya akan menghambat protease yang merangsang

produksi kinin. Transferin yang mempunyai daya ikat terhadap besi,

akan menghambat proliferasi dan pertumbuhan mikroba. Protein yang

mengikat lipopolisakarida akan menginaktifkan endotoksin bakteri

Gram negatif.

Page 27: Sistem Imun Full

Limfokin, yaitu sitokin yang dihasilkan limfosit, merupakan mediator

yang kuat dalam respons inflamasi. Limfokin ini dan sebagian

diantaranya juga disekresi oleh makrofag akan meningkatkan

permeabilitas vaskular dan koagulasi, merangsang produksi

prostaglandin dan faktor kemotaksis, merangsang diferensiasi sel

induk hematopoietik dan meningkatkan pertumbuhan serta

diferensiasi sel hematopoietik, serta mengaktivasi neutrofil dan sel

endotel. Sel radang yang ada akan memfagosit mikroba, sedangkan

monosit dan makrofag juga akan memfagosit debris pejamu dan

patogen yang tinggal sebagai hasil penyerangan enzim neutrofil dan

enzim lainnya. Fungsi makrofag akan ditingkatkan oleh faktor aktivasi

makrofag seperti komponen C3b, interferon γ dan faktor aktivasi

makrofag yang disekresi limfosit.

Page 28: Sistem Imun Full

2.  Tahapan kedua Jika mikroba berhasil melampaui mekanisme sel nonspesifik, terjadi

tahapan kedua berupa pertahanan spesifik yang dirangsang oleh

antigen mikroba itu sendiri, atau oleh antigen yang dipresentasikan

makrofag. Tahapan ini terdiri atas imunitas humoral dan imunitas

selular.

Imunitas humoral yang diperankan oleh antibodi yang dihasilkan

oleh sel plasma sebagai hasil aktivasi antigen mikroba terhadap

limfosit B, akan menetralkan toksin yang dilepaskan mikroba sehingga

tidak menjadi toksis lagi. Antibodi juga akan menetralkan mikroba

sehingga tidak infeksius lagi. Antibodi juga bersifat sebagai opsonin,

Page 29: Sistem Imun Full

sehingga memudahkan proses fagositosis mikroba (lihat bab tentang

imunitas humoral). Antibodi juga berperan dalam proses

ADCC (Antibody Dependent Cell Cytotoxicity) baik oleh sel Tc maupun

sel NK sehingga terjadi lisis sel yang telah dihuni mikroba. Antibodi

juga dapat mengaktifkan komplemen untuk melisis mikroba. Imunitas

selular yang diperankan oleh limfosit T melalui limfokin yang dilepas

sel T akan meningkatkan produksi antibodi oleh sel plasma, fungsi sel

fagosit untuk memfagosit mikroba; dan sel NK untuk melisis sel yang

dihuni virus (lihat Bab 3). Limfokin juga meningkatkan proliferasi dan

diferensiasi sel prekursor Tc serta fungsi sel Tc untuk melisis sel yang

dihuni mikroba. Inteleukin (IL)- 2, IL-12 dan IFN-γ meningkatkan 

imunitas selular. Imunitas selular adalah mekanisme utama tubuh

untuk terminasi infeksi mikroba intraselular seperti infeksi virus,

parasit dan bakteri intraselular.

3. Tahapan Akhir

Page 30: Sistem Imun Full

Tahapan terakhir  ini terdiri atas peningkatan respons imun baik

melalui aktivasi komplemen jalur klasik maupun peningkatan

kemotaksis, opsonisasi dan fagositosis. Sel makrofag dan limfosit T

terus memproduksi faktor yang selanjutnya akan meningkatkan lagi

respons inflamasi melalui ekspresi molekul adesi pada endotel serta

merangsang kemotaksis, pemrosesan antigen, pemusnahan

intraselular, fagositosis dan lisis, sehingga infeksi dapat teratasi.

Respons imun yang terkoordinasi yang melibatkan sel T, antibodi,

sel makrofag, sel PMN, komplemen dan pertahanan nonspesifik

lainnya akan terjadi pada kebanyakan penyakit infeksi.

IMUNOLOGI DASAR : RADANG DAN RESPON INFLAMASIDiposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Respon inflamasi distimulasi oleh trauma atau infeksi, pusat pada

inflamasi adalah menghambat inflamasi dan meningkatkan

penyembuhan. Inflamasi dapatmenghasilkan nyeri setempat, bengkak,

panas, merah, dan perubahan fungsi.

Inflamasi adalah respon dari suatu organisme terhadap patogen dan

alterasi mekanis dalam jaringan, berupa rangkaian reaksi yang terjadi

pada tempat jaringan yang mengalami cedera, seperti karena terbakar,

atau terinfeksi.

Radang atau inflamasi adalah satu dari respon utama sistem kekebalan

terhadap infeksi dan iritasi. Inflamasi distimulasi oleh faktor kimia

(histamin, bradikinin, serotonin, leukotrien, dan prostaglandin) yang

dilepaskan oleh sel yang berperan sebagai mediator radang di dalam

sistem kekebalan untuk melindungi jaringan sekitar dari penyebaran

infeksi.

Peradangan adalah sinyal-dimediasi menanggapi penghinaan seluler oleh

agen infeksi, racun, dan tekanan fisik. Sementara peradangan akut adalah

penting bagi respon kekebalan tubuh, peradangan kronis yang tidak tepat

dapat menyebabkan kerusakan jaringan ( autoimunitas ,

neurodegenerative, penyakit kardiovaskular).

Page 31: Sistem Imun Full

Gejala dan Tanda peradangan bervariasi disertai demam (pyrogenesis),

kemerahan (rubor), nyeri bengkak (turgor), (dolor), dan jaringan / organ

disfungsi (functio laesa).

Urutan kejadian inflamasi adalah:

■Stimulasi oleh trauma atau patogen → reaksi fase akut

■trombosit adhesi, vasokonstriksi pembuluh eferen

■ sitokin dilatasi vaskular diinduksi aferen (vasodilatasi menyebabkan

peningkatan aliran darah (kemerahan, panas lokal) untuk terinfeksi /

rusak daerah

■aktivasi sistem komplemen , sistem pembekuan darah , sistem

fibrinolitik , dan sistem kinin

■ leukocyte adhesion cascade celah endotel meningkatkan permeabilitas

pembuluh darah dan memungkinkan ekstravasasi protein serum (eksudat)

dan leukosit (→ neutrofil → makrofag → limfosit ) dengan jaringan yang

dihasilkan pembengkakan

■fagositosis dari bahan asing dengan pembentukan nanah

Respon inflamasi adalah bagian dari respon imun bawaan , dan

mempekerjakan agen seluler dan plasma yang diturunkan ( jalur ):

● complement system ● pelengkap sistem ● interferons (IFN) ●

interferon (IFN) ● cytokines , lymphokines , monokines ● sitokin , limfokin

, monokines

● prostaglandins and leukotrienes – arachidonic acid derivatives ●

prostaglandin dan leukotrien – asam arakidonat derivatif

● platelet activating factor (PAF) ● faktor pengaktif trombosit (PAF)

● histamine ● histamin ● kinins ( bradykinin → pain ) ● kinins ( bradikinin

→ nyeri )

Nyeri membangkitkan mediator proinflamasi termasuk sitokin , kemokin ,

proton, faktor pertumbuhan saraf , dan prostaglandin , yang diproduksi

dengan menyerang leukosit atau sel lokal.

Protein

fase akut berfluktuasi sebagai respons terhadap cedera jaringan dan

infeksi. Mereka disintesis (oleh hepatosit) menanggapi pro-

inflamasi sitokin dan mencakup: ● C-reactive protein ( CRP ), 

mannose-binding protein , complement factors , ● alpha-1 acid

Page 32: Sistem Imun Full

glycoprotein , ● alpha 1-antitrypsin ,  alpha 1-antichymotrypsin , ●

alpha 2-macroglobulin , ● alfa 2-macroglobulin , ● serum amyloid P

component ( SAP , amyloid ), haptoglobins (alpha-2-globulins), 

ceruloplasmin ,  complement components C3 , C4 , 

faktor koagulasi (fibrinogen, protrombin, faktor VIII, faktor von

Willebrand, plasminogen) ● feritin

Pro-inflamasi sitokin termasuk IL-1 , IL-6 , IL-8 , TNF-α (alfa

nekrosis faktor tumor), dan TNF-β (α lymphotoxin, LT). Sebagai respon

terhadap infeksi, makrofag mensekresi IL-1 dan TNFs , yang

spektrum luas sitokin yang merangsang respon

inflamasi dari neutrofil , fibroblas, dan sel endotel.  Fibroblast dan sel

endotel menanggapi IL-1 dan TNF dengan merekrut lebih banyak sel

kekebalan untuk situs peradangan.

Nyeri: Ketika jaringan hancur atau diserang oleh leukosit dalam peradang

an, banyak mediator yang disampaikan oleh sirkulasi dan /

atau dibebaskan dari penduduk dan berimigrasi sel pada situs. Mediator

Proalgesic termasuk sitokin pro inflamasi, kemokin, proton,

faktor pertumbuhan saraf, dan prostaglandin, yang

diproduksi dengan menyerang leukosit atau sel penduduk.  Mediator

analgesik, yang melawan rasa sakit, juga diproduksi di

jaringan meradang.  Ini termasuk anti-inflamasi sitokin dan

peptida opioid.  Interaksi antara leukosit yang

diturunkan dari peptida opioid dan reseptor opioid

dapat menyebabkan ampuh, penghambatan klinis yang relevan dari nyeri

(analgesik).  Reseptor opioid yang hadir pada ujung perifer dari neuron

sensorik. Peptida opioid disintesis dalam sirkulasi leukosit, yang

bermigrasi ke jaringan meradang disutradarai oleh kemokin dan

molekul adhesi.

Dalam kondisi stres atau dalam menanggapi melepaskan agen

(misalnya kortikotropin-releasing factor, sitokin, noradrenalin),

leukosit dapat mengeluarkan opioid. 

Mereka mengaktifkan reseptor opioid perifer dan menghasilkan analgesia

dengan menghambat rangsangan saraf sensorik dan /

atau pelepasan neuropeptida rangsang.  Konsep generasi nyeri

Page 33: Sistem Imun Full

dengan mediator dikeluarkan dari leukosit dan analgesia

oleh kekebalan tubuh yang diturunkan opioid.

Radang mempunyai tiga peran penting dalam perlawanan terhada

p infeksi:

memungkinkan penambahan molekul dan sel efektor ke

lokasi infeksi untuk meningkatkan performa makrofaga

menyediakan rintangan untuk mencegah penyebaran infeksi

mencetuskan proses perbaikan untuk jaringan yang rusak.

Respon peradangan dapat dikenali dari rasa sakit, kulit lebam, demam dll,

yang disebabkan karena terjadi perubahan pada pembuluh darah di area

infeksi:

pembesaran diameter pembuluh darah,

disertai peningkatan aliran darah di daerah infeksi. Hal

ini dapat menyebabkan kulit tampak lebam kemerahan dan

penurunan tekanan darah terutama pada pembuluh kecil.

aktivasi molekul adhesi untuk merekatkan endotelia dengan pembul

uh darah.

kombinasi dari turunnya tekanan darah dan aktivasi molekul adhesi,

akan memungkinkan sel darah putih bermigrasi ke endotelium dan

masuk ke dalam jaringan. Proses ini dikenal sebagai ekstravasasi.

Bagian tubuh yang mengalami peradangan memiliki tanda-

tanda sebagai berikut

Rubor    (kemerahan) terjadi karena banyak darah mengalir ke

dalam mikrosomal lokal pada tempat peradangan.

Kalor  (panas)  dikarenakan  lebih  banyak  darah  yang  disalurkan 

pada tempat peradangan dari pada yang disalurkan ke daerah

normal.

Dolor  (Nyeri)  dikarenakan  pembengkakan  jaringan 

mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan juga karena ada

pengeluaran zat histamin dan zat kimia bioaktif lainnya.

Tumor (pembengkakan) pengeluaran ciran-cairan ke jaringan

interstisial.

Functio laesa (perubahan fungsi) adalah terganggunya fungsi organ

tubuh

Page 34: Sistem Imun Full

Mekanisme terjadinya Inflamasi dapat dibagi menjadi 2 fase

yaitu:

Perubahan vaskular

Respon vaskular pada tempat terjadinya cedera merupakan suatu

yang mendasar untuk reaksi inflamasi akut. Perubahan ini meliputi

perubahan aliran darah dan permeabilitas pembuluh darah.

Perubahan aliran darah karena terjadi dilatasi arteri lokal sehingga

terjadi pertambahan aliran darah (hypermia) yang disusul dengan

perlambatan aliran darah. Akibatnya bagian tersebut menjadi merah

dan panas. Sel darah putih akan berkumpul di sepanjang dinding

pembuluh darah dengan cara menempel. Dinding pembuluh menjadi

longgar susunannya sehingga memungkinkan sel darah putih keluar

melalui dinding pembuluh. Sel darah putih bertindak sebagai sistem

pertahanan untuk menghadapi serangan benda-benda asing.

Pembentukan cairan inflamasi

Peningkatan permeabilitas pembuluh darah disertai dengan keluarnya

sel darah putih dan protein plasma ke dalam jaringan disebut

eksudasi. Cairan inilah yang menjadi dasar terjadinya pembengkakan.

Pembengkakan menyebabkan terjadinya tegangan dan tekanan pada

sel syaraf sehingga menimbulkan rasa sakit (Mansjoer, 1999).

Penyebab inflamasi dapat disebabkan oleh mekanik (tusukan),

Kimiawi (histamin menyebabkan alerti, asam lambung berlebih bisa

menyebabkan iritasi), Termal (suhu), dan Mikroba (infeksi Penyakit.

Tahapan 3 fase inflamasi

1. Perubahan dalam sel-sel dan sistem sirkulasi,

ada cedera pada bagian tubuh terjadi penyempitan pembuluh darah u

ntuk mengendalikan perdarahan, sehingga terlepaslah histamin yang

gunanya untuk meningkatkan aliran darah ke daerah yang cedera.

Pada saat yang sama dikelurkan

kinin untuk meningkatkan permeabilitas kapiler yang

akan memudahkan masuknya protein, cairan, dan

leukosit untuk suplai daerah yang cedera.

Setelah cukup aliran darah setempat menurun untuk menjaga leukosit 

agar tetap di daerah yang cedera.

2. pelepasan eksudat, terjadi setelah leukosit memakan bakteri2 ya

ng ada di daerah cedera, kemudian eksudat dikeluarkan.

Page 35: Sistem Imun Full

3. regenerasi,

yaitu fase pemulihan perbaikan jaringan atau pembentukan jaringan b

aru.

Respon Inflamasi

Selama tahap awal dari infeksi virus,

sitokin diproduksi ketika pertahanan kekebalan bawaandiaktifkan.

Pelepasan sitokin yang cepat di tempat infeksi memulai tanggapan baru

dengan konsekuensi yang luas yang meliputi peradangan.

Salah satu yang paling awal sitokin yang dihasilkan tumor necrosis factor

alpha (TNF-α), yang disintesis oleh monosit dan makrofag teraktivasi. 

Sitokin ini mengubah kapiler di dekatnya sehingga sirkulasi sel

darah putih dapat dengan mudah dibawa ke tempat infeksi. TNF-

α juga dapat mengikat reseptor pada sel yang terinfeksi dan

merangsang respon antivirus. Dalam hitungan detik,

serangkaian sinyal mulai ada yang menyebabkan kematian sel,

sebuah usaha untuk mencegah penyebaran infeksi.

Ada empat tanda-tanda khas peradangan: eritema (kemerahan), panas,

bengkak, dan nyeri.

Ini adalah konsekuensi dari meningkatnya aliran darah dan

permeabilitas kapiler, masuknya sel-sel fagositik, dan kerusakan jaringan.

Peningkatan aliran darah ini disebabkan oleh penyempitan kapiler yang

membawa darah dari daerah yang terinfeksi, dan menyebabkan

pembengkakan dari jaringan kapiler. Eritema dan

peningkatan suhu jaringan menemani penyempitan kapiler.  Selain itu,

permeabilitas kapiler meningkat, sel-sel dan cairan yang

memungkinkan untuk pergi dan memasuki jaringan di sekitarnya. 

Cairan ini memiliki kandungan protein

lebih tinggi dari cairan biasanya ditemukan dalam jaringan, menyebabkan

pembengkakan.

Fitur lain dari peradangan adalah adanya sel-sel kekebalan tubuh,

fagosit mononuklear sebagian besar, yang tertarik pada daerah yang

terinfeksi oleh sitokin. Neutrofil adalah salah satu jenis yang paling

awal dari sel-sel fagositik yang masuk ke situs infeksi, dan

tanda klasik dari respon inflamasi (ilustrasi). Sel-sel

Page 36: Sistem Imun Full

ini berlimpah dalam darah, dan biasanya absen dari jaringan. 

Bersama dengan sel yang terinfeksi, sel dendritik, dan makrofag,

mereka menghasilkan sitokin yang dapat lebih membentuk respon

terhadap infeksi, dan juga memodulasi respon adaptif yang

dapat mengikuti.

Sifat yang tepat dari respon inflamasi tergantung pada virus dan

jaringan yang terinfeksi. Virus yang tidak membunuh sel – virus

noncytopathic – tidak menyebabkan respon inflamasi yang kuat. 

Karena sel-sel dan protein dari respon inflamasi berasal dari aliran darah,

jaringan dengan akses pada darah tidak mengalami kehancuran yang

terkait dengan peradangan.  Namun, hasil dari

infeksi sedemikian ‘istimewa’ situs – otak, misalnya –

mungkin sangat berbeda dibandingkan dengan jaringan lain.

Salah satu komponen penting adalah ‘inflammasome’ –

struktur sitoplasma yang sangat besar dengan sifat reseptor pola dan

pemrakarsa sinyal (misalnya MDA-5 dan RIG-I ).

Temuan eksperimental terakhir menunjukkan bahwa inflammasome sang

at penting dalam respon imun bawaan terhadap infeksi virus influenza,

dan moderator paru patologi pada pneumonia influenza.

IMUNOLOGI DASAR : RESPON IMUN DAN SISTEM KEKEBALAN MAHLUK HIDUPDiposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Sistem kekebalan atau immune system adalah sistem pertahanan

manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari

makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus,

bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan

dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain

seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang

teraberasi menjadi tumor.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh

dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya

guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel

Page 37: Sistem Imun Full

tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang

biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi

penyakit.

Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang

menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak

nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik

senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan

berlangsung.

Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan

terluar dari tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk

makrofaga dan neutrofil yang siap melumat organisme lain pada saat

terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh

antibodi. Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama,

terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :

sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem

kekebalan turunan

sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu,

sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.

sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk

“mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat

saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan

turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.[2]

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum

tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping

darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor

limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.

Sistem kekebalan dipengaruhi oleh modulasi beberapa hormon

neuroendokrin.

Modulasi respon kekebalan oleh hormon neuroendokrin

Hormon Pencerap Efek modulasi

ACTH Sel B dan Sel T, pada tikus

sintesis antibodiproduksi IFN-gamma

Page 38: Sistem Imun Full

perkembangan limfosit-B

Endorfin limpa

sintesis antibodimitogenesisaktivitas sel NK

TSH Neutrofil, Monosit, sel B

meningkatkan laju sintesis antibodibersifat komitogenis dengan ConA

GH PBL, timus, limpasel T CD8mitogenesis

LH dan FSHproliferasiproduksi sitokina

PRL sel B dan sel T

bersifat komitogenis dengan ConAmenginduksi pencerap IL-2

CRF PBL

Produksi IL-1meningkatkan aktivitas sel NKbersifat imunosupresif

TRH Lintasan sel T meningkatkan sintesis antibodi

GHRH PBL dan limpa menstimulasi proliferasi

SOM PBL

menghambat aktivitas sel NKmenghambat respon kemotaktismenghambat proliferasimenurunkan produksi IFN-gamma

Sistem kekebalan pada makhluk hidup Perlindungan di prokariota Bakteri memiliki mekanisme

pertahanan yang unik, yang disebut sistem modifikasi restriksi untuk

melindungi mereka dari patogen seperti bateriofag. Pada sistem ini,

bakteri memproduksi enzim yang disebut endonuklease restriksi, yang

menyerang dan menghancurkan wilayah spesifik dari DNA viral

bakteriofag. Endonuklease restriksi dan sistem modifikasi restriksi

hanya ada di prokariota.

Perlindungan di invertebrata Invertebrata tidak memiliki limfosit

atau antibodi berbasis sistem imun humoral. Namun invertebrata

memiliki mekanisme yang menjadi pendahulu dari sistem imun

vertebrata. Reseptor pengenal pola (pattern recognition receptor)

Page 39: Sistem Imun Full

adalah protein yang digunakan di hampir semua organisme untuk

mengidentifikasi molekul yang berasosiasi dengan patogen mikrobial.

Sistem komplemen adalah lembah arus biokimia dari sistem imun

yang membantu membersihkan patogen dari organisme, dan terdapat

di hampir seluruh bentuk kehidupan. Beberapa invertebrata, termasuk

berbagai jenis serangga, kepiting, dan cacing memiliki bentuk respon

komplemen yang telah dimodifikasi yang dikenal dengan nama sistem

prophenoloksidase. Peptida antimikrobial adalah komponen yang

telah berkembang dan masih bertahan pada respon imun turunan

yang ditemukan di seluruh bentuk kehidupan dan mewakili bentuk

utama dari sistem imunitas invertebrata. Beberapa spesies serangga

memproduksi peptida antimikrobial yang dikenal dengan nama

defensin dan cecropin.

Perlindungan di tanaman Anggota dari seluruh kelas patogen

yang menginfeksi manusia juga menginfeksi tanaman. Meski spesies

patogenik bervariasi pada spesies terinfeksi, bakteri, jamur, virus,

nematoda, dan serangga bisa menyebabkan penyakit tanaman.

Seperti binatang, tanaman diserang serangga dan patogen lain yang

memiliki respon metabolik kompleks yang memicu bentuk

perlindungan melawan komponen kimia yang melawan infeksi atau

membuat tanaman kurang menarik bagi serangga dan herbivora

lainnya. Seperti invertebrata, tanaman tidak menghasilkan antibodi,

respon sel T, ataupun membuat sel yang bergerak yang mendeteksi

keberadaan patogen. Pada saat terinfeksi, bagian-bagian tanaman

dibentuk agar dapat dibuang dan digantikan, ini adalah cara yang

hanya sedikit hewan mampu melakukannya. Membentuk dinding atau

memisahkan bagian tanaman membantu menghentikan penyebaran

infeksi. Kebanyakan respon imun tanaman melibatkan sinyal kimia

sistemik yang dikirim melalui tanaman. Tanaman menggunakan

reseptor pengenal pola untuk mengidentifikasi patogen dan memulai

respon basal yang memproduksi sinyal kimia yang membantu

menjaga dari infeksi. Ketika bagian tanaman mulai terinfeksi oleh

patogen mikrobial atau patogen viral, tanaman memproduksi respon

hipersensitif terlokalisasi, yang lalu membuat sel di sekitar area

terinfeksi membunuh dirinya sendiri untuk mencegah penyebaran

Page 40: Sistem Imun Full

penyakit ke bagian tanaman lainnya. Respon hipersensitif memiliki

kesamaan dengan pirotopsis pada hewan.

IMUNOLOGI DASAR : SEL DARAH PUTIH, NETROFIL, EOSINOFIL, BASOFILDiposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Sel darah putih, leukosit (white blood cell, WBC, leukocyte)

adalah sel yang membentuk komponen darah. Sel darah putih ini

berfungsi untuk membantu tubuh melawan berbagai penyakit

infeksi sebagai bagian dari sistem kekebalan tubuh. Sel darah

putih tidak berwarna, memiliki inti, dapat bergerak secara

amoebeid, dan dapat menembus dinding kapiler / diapedesis.

Dalam keadaan normalnya terkandung 4×109 hingga 11×109 sel

darah putih di dalam seliter darah manusia dewasa yang sehat –

sekitar 7000-25000 sel per tetes.Dalam setiap milimeter kubil

darah terdapat 6000 sampai 10000(rata-rata 8000) sel darah

putih .Dalam kasus leukemia, jumlahnya dapat meningkat hingga

50000 sel per tetes.

Di dalam tubuh, leukosit tidak berasosiasi secara ketat dengan organ atau

jaringan tertentu, mereka bekerja secara independen seperti organisme

sel tunggal. Leukosit mampu bergerak secara bebas dan berinteraksi dan

menangkap serpihan seluler, partikel asing, atau mikroorganisme

penyusup. Selain itu, leukosit tidak bisa membelah diri atau bereproduksi

dengan cara mereka sendiri, melainkan mereka adalah produk dari sel

punca hematopoietic pluripotent yang ada pada sumsum tulang.

Leukosit turunan meliputi: sel NK, sel biang, eosinofil, basofil, dan fagosit

termasuk makrofaga, neutrofil, dan sel dendritik.

Jenis

Ada beberapa jenis sel darah putih yang disebut granulosit atau sel

polimorfonuklearyaitu:

Basofil.

Eosinofil.

Neutrofil.

Halo .

dan dua jenis yang lain tanpa granula dalam sitoplasma:

Page 41: Sistem Imun Full

Limfosit.

Monosit.

Tipe GambarDiagra

m

% dalam tubuh manus

ia Keterangan

Neutrofil 65%

Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri serta proses peradangan kecil lainnya, serta biasanya juga yang memberikan tanggapan pertama terhadap infeksi bakteri; aktivitas dan matinya neutrofil dalam jumlah yang banyak menyebabkan adanya nanah.

Eosinofil 4%

Eosinofil terutama berhubungan dengan infeksi parasit, dengan demikian meningkatnya eosinofil menandakan banyaknya parasit.

Basofil <1%

Basofil terutama bertanggung jawab untuk memberi reaksi alergi dan antigen dengan jalan mengeluarkan histamin kimia yang menyebabkan peradangan.

Limfosit

25% Limfositlebih umum dalam sistem limfa. Darah mempunyai tiga jenis limfosit: Sel B: Sel B

membuat antibodi yang mengikat patogen lalu menghancurkannya. (Sel B tidak hanya

Page 42: Sistem Imun Full

membuat antibodi yang dapat mengikat patogen, tapi setelah adanya serangan, beberapa sel B akan mempertahankan kemampuannya dalam menghasilkan antibodi sebagai layanan sistem ‘memori’.)

Sel T: CD4+ (pembantu) Sel T mengkoordinir tanggapan ketahanan (yang bertahan dalam infeksi HIV) sarta penting untuk menahan bakteri intraseluler. CD8+ (sitotoksik) dapat membunuh sel yang terinfeksi virus.

Sel natural killer: Sel pembunuh alami (natural killer, NK) dapat membunuh sel tubuh yang tidak menunjukkan sinyal bahwa dia tidak boleh dibunuh karena telah terinfeksi virus atau telah menjadi kanker.

Monosit 6% Monosit membagi fungsi “pembersih vakum” (fagositosis) dari neutrofil, tetapi lebih jauh dia hidup dengan tugas tambahan: memberikan potongan patogen kepada sel T sehingga patogen tersebut dapat dihafal dan dibunuh, atau dapat

Page 43: Sistem Imun Full

membuat tanggapan antibodi untuk menjaga.

Makrofag

(lihat di atas)

Monosit dikenal juga sebagai makrofag setelah dia meninggalkan aliran darah serta masuk ke dalam jaringan.

Fungsi sel Darah putihGranulosit dan Monosit mempunyai peranan penting dalam perlindungan

badan terhadap mikroorganisme. dengan kemampuannya sebagai fagosit

(fago- memakan), mereka memakan bakteria hidup yang masuk ke sistem

peredaran darah. melalui mikroskop adakalanya dapat dijumpai sebanyak

10-20 mikroorganisme tertelan oleh sebutir granulosit. pada waktu

menjalankan fungsi ini mereka disebut fagosit. dengan kekuatan gerakan

amuboidnya ia dapat bergerak bebas didalam dan dapat keluar pembuluh

darah dan berjalan mengitari seluruh bagian tubuh. dengan cara ini ia

dapat:

Mengepung daerah yang terkena infeksi atau cidera, menangkap

organisme hidup dan menghancurkannya,menyingkirkan bahan lain

seperti kotoran-kotoran, serpihan-serpihan dan lainnya, dengan cara yang

sama, dan sebagai granulosit memiliki enzim yang dapat memecah

protein, yang memungkinkan merusak jaringan hidup, menghancurkan

dan membuangnya. dengan cara ini jaringan yang sakit atau terluka

dapat dibuang dan penyembuhannya dimungkinkan

Sebagai hasil kerja fagositik dari sel darah putih, peradangan dapat

dihentikan sama sekali. Bila kegiatannya tidak berhasil dengan sempurna,

maka dapat terbentuk nanah. Nanah beisi “jenazah” dari kawan dan

lawan – fagosit yang terbunuh dalam kinerjanya disebut sel nanah.

demikian juga terdapat banyak kuman yang mati dalam nanah itu dan

ditambah lagi dengan sejumlah besar jaringan yang sudah mencair. dan

sel nanah tersebut akan disingkirkan oleh granulosit yang sehat yang

bekerja sebagai fagosit.

Sel jaringan lainnya Histiosit, ada dalam sistem limfa bersama jarigan lainnya, tetapi

tidak umum di dalam darah:

Page 44: Sistem Imun Full

Makrofaga

Sel dendritik

Mastosit

Merupakan

Alergi dapat menyebabkan perubahan jumlah sel darah putih.

Granulosit ( granulocytes, polymorphonuclear, PMN) adalah sebuah sub-

kelompok sel darah putih yang mempunyai granula dalam sitoplasmanya.

Tiga jenis granulosit dengan inti sel yang berlainan dikeluarkan oleh

sumsum tulang sebagai protein komplemen wewenang (regulatory

complement system).

Eosinofil

Eosinofil (eosinophil, acidophil) adalah sel darah putih dari kategori

granulosit yang berperan dalam sistem kekebalan dengan melawan

parasit multiselular dan beberap infeksi pada makhluk vertebrata.

Bersama-sama dengan sel biang, eosinofil juga ikut mengendalikan

mekanisme alergi.

Eosinofil terbentuk pada proses haematopoiesis yang terjadi pada

sumsum tulang sebelum bermigrasi ke dalam sirkulasi darah.

Eosinofil mengandung sejumlah zat kimiawi antara lain histamin, eosinofil

peroksidase, ribonuklease, deoksiribonuklease, lipase, [[plasminogen] dan

beberapa asam amino yang dirilis melalui proses degranulasi setelah

eosinofil teraktivasi. Zat-zat ini bersifat toksin terhadap parasit dan

jaringan tubuh. Eosinofil merupakan sel substrat peradangan dalam reaksi

alergi. Aktivasi dan pelepasan racun oleh eosinofil diatur dengan ketat

untuk mencegah penghancuran jaringan yang tidak diperlukan.

Individu normal mempunyai rasio eosinofil sekitar 1 hingga 6% terhadap

sel darah putih dengan ukuran sekitar 12 – 17 mikrometer.

Eosinofil dapat ditemukan pada medulla oblongata dan sambungan antara

korteks otak besar dan timus, dan di dalam saluran pencernaan, ovarium,

uterus, limpa dan lymph nodes. Tetapi tidak dijumpai di paru, kulit,

esofagus dan organ dalam lainnya, pada kondisi normal, keberadaan

eosinofil pada area ini sering merupakan pertanda adanya suatu penyakit.

Eosinofil dapat bertahan dalam sirkulasi darah selama 8-12 jam, dan

Page 45: Sistem Imun Full

bertahan lebih lama sekitar 8-12 hari di dalam jaringan apabila tidak

terdapat stimulasi

Neutrofil

Neutrofil (neutrophil, polymorphonuclear neutrophilic leukocyte, PMN)

adalah bagian sel darah putih dari kelompok granulosit. Bersama dengan

dua sel granulosit lain: eosinofil dan basofil yang mempunyai granula

pada sitoplasma, disebut jugapolymorphonuclear karena bentuk inti sel

mereka yang aneh. Granula neutrofil berwarna merah kebiruan dengan 3

inti sel.

Neutrofil berhubungan dengan pertahanan tubuh terhadap infeksi bakteri

dan proses peradangan kecil lainnya, serta menjadi sel yang pertama

hadir ketika terjadi infeksi di suatu tempat. Dengan sifat fagositik yang

mirip dengan makrofaga, neutrofil menyerang patogen dengan serangan

respiratori menggunakan berbagai macam substansi beracun yang

mengandung bahan pengoksidasi kuat, termasuk hidrogen peroksida,

oksigen radikal bebas, dan hipoklorit.

Rasio sel darah putih dari neutrofil umumnya mencapai 50-60%. Sumsum

tulang normal orang dewasa memproduksi setidaknya 100 miliar neutrofil

sehari, dan meningkat menjadi sepuluh kali lipatnya juga terjadi inflamasi

akut.

Setelah lepas dari sumsum tulang, neutrofil akan mengalami 6 tahap

morfologis: mielocit, metamielocit, neutrofil non segmen (band), neutrofil

segmen.Neutrofil segmen merupakan sel aktif dengan kapasitas penuh,

yang mengandung granula sitoplasmik (primer atau azurofil, sekunder,

atau spesifik) dan inti sel berongga yang kaya kromatin. Sel neutrofil yang

rusak terlihat sebagai nanah.

Basofil

Basofil adalah granulosit dengan populasi paling minim, yaitu sekitar 0,01

– 0,3% dari sirkulasi sel darah putih. Basofil mengandung banyak granula

sitoplasmik dengan dua lobus. Seperti granulosit lain, basofil dapat

tertarik keluar menuju jaringan tubuh dalam kondisi tertentu. Saat

teraktivasi, basofil mengeluarkan antara lain histamin, heparin, kondroitin,

elastase dan lisofosfolipase, leukotriena dan beberapa macam sitokina.

Basofil memainkan peran dalam reaksi alergi (seperti asma).

Page 46: Sistem Imun Full

Referensi1. Viera ’Stvrtinová, Ján Jakubovský, Ivan Hulín”Neutrophils, central

cells in acute inflammation”. Faculty of Medicine, Comenius

University,

IMUNOLOGI DASAR : SEL MASTOSITDiposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Mastosit, sel biang, sel mast (mast cell, mastocyte) adalah sel

yang mengandung granula yang kaya akan histamin dan heparin.

Mastosit sering berdiam di antara jaringan dan membran mukosa,

tempat sel ini berperan dalam sistem kekebalan turunan dengan

bertahan melawan patogen, menyembuhkan luka, dan juga

berkaitan dengan alergi dan anafilaksis.

Page 47: Sistem Imun Full

Mastosit terdapat pada hampir seluruh jaringan yang menyelimuti

pembuluh darah, syaraf, kulit, mukosa dari paru dan saluran pencernaan,

juga pada mulut,conjunctiva dan hidung.

Ketika teraktivasi, mastosit secara cepat melepaskan granula

terkarakterisasi, kaya histamin dan heparin, bersama dengan berbagai

mediator hormonal, dan kemokina, atau kemotaktik sitokina ke

lingkungan. Histamin memperbesar pembuluh darah, menyebabkan

munculnya gejala peradangan, dan mengambil neutrofil dan makrofaga.

Mastosit pertama kali ditemukan dan dijabarkan oleh Paul Ehrlich dalam

tesis doktoral pada tahun 1878 dengan sudut pemikiran dari bentuk yang

berupa granula dan sifat noda yang dapat ditimbulkan sel ini. Pemikiran

ini yang menyebabkan Paul Ehrlich dengan keliru mempercayai bahwa

mastosit berfungsi untuk memberikan nutrisi kepada jaringan yang ada di

sekitarnya, sehingga mastosit diberikan nama Mastzelledalam bahasa

Jerman yang diambil dari bahasa Yunani masto yang berarti, aku memberi

makan.[2] Saat ini mastosit dianggap sebagai bagian dari sistem

kekebalan.

Mastosit sangat mirip dengan granulosit basofil, salah satu golongan sel

darah putih dan membuat banyak spekulasi bahwa mastosit dan basofil

berasal dari jaringan yang sama, hingga bukti terkini menunjukkan bahwa

kedua sel ini berasal dari sel prekursor yang berbeda di dalam sumsum

tulang, tetapi masih mengandung molekul CD34 yang sama. Basofil

meninggalkan sumsum tulang setelah dewasa sedangkan mastosit

teredar dalam bentuk yang belum matang. Jaringan tempat mastosit

menetap dan menjadi dewasa mungkin sekali akan menentukan perilaku

sel tersebut.

Hingga saat ini hanya dikenali dua jenis mastosit, yang berada pada

jaringan penghantar, dan mastosit mukosa yang bereaksi terhadap sel T

IMUNOLOGI DASAR : SUPERANTIGENDiposting pada Februari 3, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Superantigens (sags) adalah kelas antigen yang menyebabkan

aktivasi on-spesifik  T-sel, berakibat aktivasi sel T oligoclonal dan

pengeluaran masif sitokin rilis Sags dapat diproduksi oleh

Page 48: Sistem Imun Full

patogen mikroba (termasuk virus , Mycoplasma , dan bakteri )

sebagai mekanisme pertahanan terhadap sistem kekebalan

tubuh. Dibandingkan dengan antigen normal yang diinduksi 

respon sel T 0,001-0,0001% dari tubuh sel T diaktifkan, sags

mampu mengaktifkan hingga 20% dari tubuh T-sel. Selain itu,

Anti- CD3 dan Anti- CD28 Antibodi ( CD28-SuperMAB) juga telah

terbukti superantigens sangat ampuh (dan dapat mengaktifkan

hingga 100% sel T.

Banyaknya ativated T-cells generates menghasilkan respon imun yang

besar yang tidak spesifik untuk setiap tertentu epitop pada SAG sehingga

melemahkan salah satu kekuatan fundamental dari sistem imun adaptif ,

yaitu kemampuannya untuk menargetkan antigen dengan kekhususan

tinggi.  Lebih penting lagi, sejumlah besar sel T teraktivasi mensekresi

sejumlah besar sitokin (yang paling penting adalah TNF-alpha ).  TNF-

alpha ini sangat penting sebagai bagian dari respon inflamasi tubuh, dan

dalam keadaan normal (di mana dilepaskan secara lokal di tingkat

rendah) membantu patogen sistem kekebalan kekalahan. Namun ketika

dirilis secara sistemik dalam darah dan kadar tinggi (karena massa sel T

aktivasi yang dihasilkan dari SAG mengikat), dapat menyebabkan gejala

parah dan mengancam jiwa, termasuk syok dan kegagalan organ multiple

.

Struktur Sags diproduksi secara intraseluler oleh bakteri dan dilepaskan

terhadap infeksi sebagai racun matang ekstraseluler.  Urutan toksin ini

relatif dilestarikan antara subkelompok yang berbeda.  Lebih penting dari

homologi urutan, struktur 3D sangat mirip antara sags berbeda

mengakibatkan efek fungsional serupa di antara kelompok yang berbeda.

Struktur kristal dari enterotoksin mengungkapkan bahwa mereka yang

kompak, ellipsoid protein berbagi pola dua domain karakteristik lipat

terdiri dari NH2-terminal β barel globular domain dikenal sebagai

oligosakarida / oligonukleotida kali lipat, panjang α-heliks yang

membentang diagonal tengah molekul, dan terminal domain COOH bulat. 

Domain memiliki daerah mengikat untuk histokompatibilitas Kompleks

Mayor Kelas II ( MHC Kelas II ) dan reseptor sel T (TCR), masing-masing.

Page 49: Sistem Imun Full

Superantigens mengikat pertama yang MHC kelas II dan kemudian

berkoordinasi untuk alpha variabel atau rantai beta dari T-sel Reseptor

(TCR)

Sags menunjukkan preferensi untuk HLA-DQ bentuk molekul. Binding

rantai α-SAG menempatkan pada posisi yang tepat untuk

mengkoordinasikan dengan TCR.

Tidak seperti umumnya, sags menempel pada polimorfik MHC kelas II β-

rantai dalam sebuah interaksi dimediasi oleh seng kompleks koordinasi

ion antara tiga residu SAG dan wilayah yang sangat lestari dari HLA-DR

rantai β. Penggunaan ion seng dalam memimpin mengikat interaksi

afinitas yang lebih tinggi. Beberapa sags staphylococcal mampu silang

molekul MHC dengan mengikat kedua rantai α dan β.  Mekanisme ini

merangsang sitokin ekspresi dan rilis pada antigen presenting sel serta

merangsang produksi molekul costimulatory yang memungkinkan sel

untuk mengikat dan mengaktifkan sel T lebih efektif.

Sebuah SAG diberikan dapat mengaktifkan sebagian besar penduduk T-sel

karena repertoar T-sel manusia terdiri hanya sekitar 50 jenis unsur Vβ dan

beberapa sags mampu mengikat beberapa jenis daerah VB. Interaksi ini

sedikit bervariasi di antara berbagai kelompok sags. Variabilitas di antara

orang yang berbeda dalam jenis sel T daerah yang lazim menjelaskan

mengapa beberapa orang merespon lebih kuat terhadap sags tertentu.

Kelompok I sags menghubungi Vβ pada CDR2 daerah dan kerangka

molekul. Sags dari Kelompok II berinteraksi dengan wilayah Vβ

menggunakan mekanisme yang konformasi -dependen.  Interaksi ini

adalah untuk bagian yang paling independen dari asam amino tertentu Vβ

samping rantai.  Hal itu menggantikan peptida antigenik jauh dari TCR

dan circumvents mekanisme normal untuk T-sel aktivasi.

Page 50: Sistem Imun Full

SEC3 (yellow) complexed with an MHC class II molecule (green & cyan).

Kekuatan biologis dari SAG (kemampuannya untuk merangsang)

ditentukan oleh nya afinitas untuk TCR. Sags dengan afinitas tertinggi

untuk TCR mendapat respon yang kuat.  SPMEZ-2 adalah SAG paling

ampuh ditemukan sampai saat ini.

T-sel signaling The SAg menghubungkan MHC dan TCR menginduksi jalur

sinyal yang mengakibatkan proliferasi sel dan produksi sitokin. 

Rendahnya tingkat Zap-70 telah ditemukan di T-sel diaktifkan oleh sags,

menunjukkan bahwa jalur sinyal normal sel T aktivasi terganggu.   Hal ini

diduga bahwa Fyn bukan LCK diaktifkan oleh tirosin kinase , yang

menyebabkan induksi adaptif anergi.  Kedua protein kinase C dan jalur

jalur protein tirosin kinase diaktifkan, sehingga upregulating produksi

sitokin proinflamasi.

Jalur sinyal alternatif ini merusak kalsium / kalsineurin dan Ras /

MAPkinase jalur sedikit, tetapi memungkinkan untuk respon inflamasi

terfokus.

Page 51: Sistem Imun Full

Skema MHC class II.

Efek langsung

Stimulasi Sag antigen sel peyaji dan T-sel menghasilkan tanggapan yang

terutama inflamasi, difokuskan pada aksi Th1 T-helper sel. Beberapa

produk utama IL-1 , IL-2 , IL-6 , TNF-α , interferon gamma (IFN-γ),

makrofag inflamasi protein 1α (MIP-1α), MIP-1β, dan monosit

chemoattractant protein 1 ( MCP-1 ). Mekanisme ini tidak terkoordinasi

berlebihan sitokin, (terutama TNF-α), overloads tubuh dan menghasilkan

ruam, demam , dan dapat menyebabkan multi-organ, koma kegagalan

dan kematian.

Penghapusan atau anergi dari diaktifkan T-sel berikut infeksi. Hal itu

adalah hasil dari produksi IL-10 dari kontak yang terlalu lama racun. IL-10

downregulates produksi, IL-2 MHC kelas II, dan molekul costimulatory di

permukaan APC. Efek ini menghasilkan sel memori yang tidak responsif

terhadap stimulasi antigen.

Salah satu mekanisme dimana hal ini mungkin melibatkan sitokin

penekanan sel-T. Silang MHC juga mengaktifkan jalur sinyal yang

menekan hematopoiesis dan meregulasi Fas-mediated apoptosis .

Page 52: Sistem Imun Full

IFN-α adalah produk lain dari paparan SAG berkepanjangan.  Sitokin ini

terkait erat dengan induksi autoimunitas,  dan penyakit autoimun

Penyakit Kawasaki diketahui disebabkan oleh infeksi Sag.

Sag aktivasi T-sel menyebabkan produksi CD40 ligan yang mengaktifkan

beralih isotipe dalam sel B untuk IgG dan IgM dan IgE .

Untuk meringkas, T-sel dirangsang dan menghasilkan jumlah kelebihan

sitokin menghasilkan sitokin penekanan T-sel dan penghapusan sel

diaktifkan kembali sebagai tubuh untuk homeostasis. Efek toksin dari

mikroba dan SAG juga kerusakan jaringan dan sistem organ, kondisi yang

dikenal sebagai Toxic Shock Syndrome .

Jika peradangan awal selamat, sel inang menjadi anergic atau akan

dihapus, sehingga sistem kekebalan tubuh yang terancam.

Superantigenicity independen

Selain aktivitas mitogenik mereka, sags dapat menyebabkan gejala yang

merupakan ciri khas dari infeksi.  Salah satu efek tersebut adalah

emesis .Efek ini terasa di kasus keracunan makanan , ketika SAG bakteri

penghasil melepaskan toksin, yang sangat tahan terhadap panas.  Ada

Wilayah ini terdiri dari molekul yang aktif dalam mendorong

gastrointestinal toksisitas. Kegiatan ini juga sangat ampuh , dan jumlah

sekecil 20-35ug dari SAG dapat menginduksi muntah.

Sags mampu merangsang rekrutmen neutrofil ke tempat infeksi dalam

cara yang independen dari sel T stimulasi.  Efek ini disebabkan

kemampuan sags untuk mengaktifkan monocytic sel, menstimulasi

pelepasan sitokin TNF-α, yang menyebabkan peningkatan ekspresi

molekul adhesi yang merekrut leukosit ke daerah yang terinfeksi. Hal ini

menyebabkan peradangan di paru-paru, jaringan usus, dan setiap tempat

bahwa bakteri telah dijajah .  Sementara sejumlah kecil peradangan alami

dan membantu, berlebihan peradangan dapat menyebabkan kerusakan

jaringan.

Salah satu efek tidak langsung lebih berbahaya dari infeksi Sag

menyangkut kemampuan sags untuk menambah efek endotoksin dalam

tubuh.  Hal ini dicapai dengan mengurangi ambang batas untuk

endotoxicity. Schlievert menunjukkan bahwa, bila diberikan conjunctively,

Page 53: Sistem Imun Full

efek dari SAG dan endotoksin yang diperbesar sebanyak 50 000 kali.  Hal

ini bisa disebabkan oleh efisiensi sistem berkurang kekebalan yang

disebabkan oleh infeksi Sag. Selain dari sinergis hubungan antara

endotoksin dan SAG, yang “hit ganda” efek dari aktivitas endotoksin dan

hasil SAG dalam efek yang lebih buruk yang yang terlihat pada infeksi

bakteri yang khas. Hal ini juga berimplikasi sags dalam perkembangan

sepsis pada pasien dengan infeksi bakteri.

The T-cell receptor complex dengan  TCR-α and TCR-β chains, CD3 dan ζ-

chain accessory molecules.

Penyakit yang berhubungan dengan produksi superantigen

Toxic Shock Syndrome

Penyakit Kawasaki

Eksim

Guttate psoriasis

Rheumatoid arthritis

Diabetes mellitus

Scarlet demam

Nasal polip

Pengobatan

Tujuan utama dari pengobatan adalah menghilangkan mikroba yang

memproduksi sags. Hal ini dicapai melalui penggunaan vasopressors ,

resusitasi cairan dan antibiotik .

Tubuh secara alami menghasilkan antibodi untuk beberapa sags, dan efek

ini dapat ditambah dengan merangsang sel-B produksi antibodi.

Imunoglobulin kolam dapat menetralisir antibodi spesifik dan mencegah

sel T aktivasi.  Antibodi sintetis dan peptida telah diciptakan untuk meniru

SAG-mengikat daerah pada MHC kelas II, menghalangi interaksi dan

mencegah aktivasi sel T.

Page 54: Sistem Imun Full

Imunosupresan juga digunakan untuk mencegah aktivasi sel T dan

pelepasan sitokin. Kortikosteroid digunakan untuk mengurangi efek

inflamasi.

Evolusi produksi superantigen SAg

Produksi Sag secara efektif merusak respon kekebalan, yang

memungkinkan mensekresi mikroba SAG yang akan dilakukan dan dikirim

dicentang.  Salah satu mekanisme dimana hal ini dilakukan adalah melalui

menginduksi anergi dari T-sel terhadap antigen dan sags.  Lussow dan

MacDonald menunjukkan hal ini dengan sistematis mengekspos hewan

terhadap antigen streptokokus. Mereka menemukan bahwa paparan

antigen lain setelah infeksi SAG gagal mendapatkan respon imun. Dalam

eksperimen lain, Watson dan Lee menemukan bahwa memori T-sel

diciptakan oleh stimulasi antigen yang normal adalah anergic merosot

stimulasi dan bahwa memori T-sel dibuat setelah infeksi SAG adalah

anergic untuk semua stimulasi antigen. Mekanisme yang terjadi ini adalah

belum ditentukan. Gen-gen yang mengatur ekspresi SAG juga mengatur

mekanisme penghindaran kekebalan tubuh seperti protein M dan kapsul

bakteri ekspresi, mendukung hipotesis bahwa produksi SAG berkembang

terutama sebagai mekanisme penghindaran kekebalan tubuh.

Bila struktur domain SAG individu telah dibandingkan dengan

imunoglobulin protein pengikat streptokokus (seperti yang racun yang

diproduksi oleh E. coli ) ditemukan bahwa domain secara terpisah

menyerupai anggota keluarga-keluarga. Homologi ini menunjukkan bahwa

sags berevolusi melalui rekombinasi dua lebih kecil B-untai motif.

Endogenous SAgs 

Limfosit merangsang kecil (MLS) exotoxins awalnya ditemukan di thymus

sel stroma mencit. Toksin ini dikodekan oleh gen SAG yang dimasukkan

ke dalam genom mouse dari virus tikus tumor mammae ( MMTV ).

Kehadiran gen dalam genom tikus memungkinkan tikus untuk

mengekspresikan antigen dalam timus sebagai sarana negatif memilih

untuk limfosit dengan daerah Beta variabel yang rentan terhadap

rangsangan oleh SAG virus.  Hasilnya adalah bahwa tikus adalah

kekebalan tubuh terhadap infeksi oleh virus kemudian hari.

Page 55: Sistem Imun Full

Similar endogenous SAg-dependent selection  belum diidentifikasi dalam

genom manusia, tetapi sags endogen telah ditemukan dan diduga

memainkan peran integral dalam infeksi virus. Infeksi oleh virus Epstein-

Barr , diketahui menyebabkan produksi SAG dalam sel yang terinfeksi,

belum ada gen untuk racun ditemukan pada genom virus. Virus ini

memanipulasi sel yang terinfeksi untuk mengekspresikan gen sendiri SAG,

dan ini membantu untuk menghindari sistem kekebalan tubuh inang. Hasil

serupa ditemukan dengan rabies , sitomegalovirus , dan HIV .

Referensi

Papageorgiou AC, Tranter HS, Acharya KR (March 1998). “Crystal

structure of microbial superantigen staphylococcal enterotoxin B at

1.5 A resolution: implications for superantigen recognition by MHC

class II molecules and T-cell receptors”. J. Mol. Biol. 277 (1): 61–79.

Alouf JE, Müller-Alouf H (February 2003). “Staphylococcal and

streptococcal superantigens: molecular, biological and clinical

aspects”. Int. J. Med. Microbiol. 292 (7–8): 429–40.

Brouillard JN, Günther S, Varma AK, et al. (April 2007). “Crystal

structure of the streptococcal superantigen SpeI and functional role of

a novel loop domain in T cell activation by group V superantigens”. J.

Mol. Biol. 367 (4): 925–34.

Buonpane RA, Moza B, Sundberg EJ, Kranz DM (October 2005).

“Characterization of T cell receptors engineered for high affinity

against toxic shock syndrome toxin-1″. J. Mol. Biol. 353 (2): 308–21.

Li H, Llera A, Tsuchiya D, et al. (December 1998). “Three-

dimensional structure of the complex between a T cell receptor beta

chain and the superantigen staphylococcal enterotoxin B”. Immunity 9

(6): 807–16. .

Arcus VL, Proft T, Sigrell JA, Baker HM, Fraser JD, Baker EN (May

2000). “Conservation and variation in superantigen structure and

activity highlighted by the three-dimensional structures of two new

superantigens from Streptococcus pyogenes”. J. Mol. Biol. 299 (1):

157–68

Watson AR, Lee WT (August 2006). “Defective T cell Receptor-

mediated Signal Transduction in Memory CD4 T Lymphocytes Exposed

Page 56: Sistem Imun Full

to Superantigen or anti-T cell Receptor Antibodies”. Cell.

Immunol. 242 (2): 80–90.

Choi S, Schwartz RH (June 2007). “MOLECULAR MECHANISMS FOR

ADAPTIVE TOLERANCE AND OTHER T CELL ANERGY MODELS”. Semin.

Immunol. 19 (3): 140–52.

Stiles BG, Krakauer (2005). “Staphylococcal Enterotoxins: a Purging

Experience in Review, Part I”. Clinical Microbiology Newsletter 27: 23.

Lussow AR, MacDonald HR (February 1994). “Differential effects of

superantigen-induced “anergy” on priming and effector stages of a T

cell-dependent antibody response”. Eur. J. Immunol. 24 (2): 445–9.

Miller C, Ragheb JA, Schwartz RH (July 1999). “Anergy and Cytokine-

Mediated Suppression as Distinct Superantigen-Induced Tolerance

Mechanisms in Vivo”. J. Exp. Med. 190 (1): 53–64.

Yamaguchi M, Nadler S, Lee JW, Deeg HJ (September 1999).

“Induction of negative regulators of haematopoiesis in human bone

marrow cells by HLA-DR cross-linking”.Transpl. Immunol. 7 (3): 159–

68.

Stauffer Y, Marguerat S, Meylan F, et al. (October 2001). “Interferon-

alpha-induced endogenous superantigen. a model linking environment

and autoimmunity”.Immunity 15 (4): 591–601.

Jabara HH, Geha RS (October 1996). “The superantigen toxic shock

syndrome toxin-1 induces CD40 ligand expression and modulates IgE

isotype switching”. Int. Immunol. 8 (10): 1503–10.

Diener K, Tessier P, Fraser J, Köntgen F, McColl SR (June 1998).

“Induction of acute inflammation in vivo by staphylococcal

superantigens I: Leukocyte recruitment occurs independently of T

lymphocytes and major histocompatibility complex Class II

molecules”. Lab. Invest. 78 (6): 647–56.

Van Cauwenberge P, Gevaert P, Van Hoecke H, Van Zele T, Bachert

C. (2005). “New insights into the pathology of nasal polyposis: the role

of superantigens and IgE”.Verh K Acad Geneeskd Belg. 67 (5-28).

Erlandsson E, Andersson K, Cavallin A, Nilsson A, et al. (2003).

“Identification of the Antigenic Epitopes in Staphylococcal

Enterotoxins A and E and Design of a Superantigen for Human Cancer

Therapy”. J. Mol. Biol. 333 (5): 893–905.

Page 57: Sistem Imun Full

Cleary PP, McLandsborough L, Ikeda L, Cue D, Krawczak J, Lam H

(April 1998). “High-frequency intracellular infection and erythrogenic

toxin A expression undergo phase variation in M1 group A

streptococci”. Mol. Microbiol. 28 (1): 157–67.

Bachert C, Gevaert P, van Cauwenberge P (June 2002).

“Staphylococcus aureusenterotoxins: a key in airway

disease?”. Allergy 57 (6): 480

Llewelyn M, Cohen J (March 2002). “Superantigens: microbial agents

that corrupt immunity”. Lancet Infect Dis 2 (3): 156–62.

Schlievert PM (April 1982). “Enhancement of host susceptibility to

lethal endotoxin shock by staphylococcal pyrogenic exotoxin type

C”. Infect. Immun. 36 (1): 123–8. .

Sriskandan S, Faulkner L, Hopkins P (2007). “Streptococcus

pyogenes: Insight into the function of the streptococcal

superantigens”. Int. J. Biochem. Cell Biol. 39 (1): 12–

9.  http://linkinghub.elsevier.com/retrieve/pii/S1357-2725(06)00236-6.

Petersson K, Forsberg G, Walse B (April 2004). “Interplay between

superantigens and immunoreceptors”. Scand. J. Immunol. 59 (4): 345–

55.

Mehindate K, Thibodeau J, Dohlsten M, Kalland T, Sékaly RP, Mourad

W (November 1995). “Cross-linking of major histocompatibility

complex class II molecules by staphylococcal enterotoxin A

superantigen is a requirement for inflammatory cytokine gene

expression”. J. Exp. Med. 182 (5): 1573–7.

IMUNOLOGI DASAR : KOMPLEKS HISTOKOMPATIBILITAS MAYORDiposting pada Februari 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Kompleks histokompatibilitas utama (major histocompatibility

complex atau MHC) adalah sekumpulan gen yang ditemukan pada

semua jenis vertebrata. Gen tersebut terdiri dari ± 4 juta bp yang

terdapat di kromosom nomor 6 manusia dan lebih dikenal sebagai

kompleks antigen leukosit manusia (HLA).Protein MHC yang

disandikan berperan dalam mengikat dan mempresentasikan

antigen peptida ke sel T. Molekul permukaan sel yang

bertanggung jawab terhadap rejeksi transplan dinamakan

Page 58: Sistem Imun Full

molekul histokompatibilitas, dan gen yang mengkodenya disebut

gen histokompatibilitas. Nama ini kemudian disebut dengan

histokompatibilitas mayor karena ternyata MHC bukan satu-

satunya penentu rejeksi. Terdapat pula molekul lain yang

walaupun lebih lemah juga ikut menentukan rejeksi, yang disebut

molekul histokompatibilitas minor. Pada saat ini telah diketahui

bahwa molekul MHC merupakan titik sentral inisiasi respons

imun.

MOLEKUL MHC

Gen MHC berhubungan dengan gen imunoglobulin dan gen reseptor sel T

(TCR = T-cell receptors) yang tergabung dalam keluarga supergen

imunoglobulin, tetapi pada perkembangannya tidak mengalami penataan

kembali gen seperti halnya gen imunoglobulin dan TCR. Daerah MHC

sangat luas, sekitar 3500 kb di lengan pendek kromosom 6, meliputi regio

yang mengkode MHC kelas I, II, III, dan protein lain, serta gen lain yang

belum dikenal, yang mempunyai peran penting pada fungsi sistem imun

Ekspresi gen MHC bersifat kodominan, artinya gen orang tua akan tampak

ekspresinya pada anak mereka. Selain itu jelas terlihat beberapa gen

yang terkait erat dengan gen MHC dan mengkode berbagai molekul MHC

yang berbeda, karena itu gen MHC disebut sebagai gen multigenik. Pada

populasi terlihat bahwa setiap gen tersebut mempunyai banyak

macam alel sehingga MHC bersifat sangat polimorfik. Untuk memudahkan

Page 59: Sistem Imun Full

maka semua alel pada gen MHC yang berada pada satu kromosom

disebut sebagai haplotip MHC. Setiap individu mempunyai dua haplotip,

masing-masing satu dari ayah dan ibu yang akan terlihat ekspresinya

pada individu tersebut.

Page 60: Sistem Imun Full

Struktur protein MHC

Page 61: Sistem Imun Full

Protein MHC terdiri dari dua kelas struktur, yaitu protein MHC kelas I dan

kelas II.

Protein MHC kelas IProtein MHC kelas I ditemukan pada semua permukaan sel berinti. Protein

ini bertugas mempresentasikan antigen peptida ke sel T sitotoksik (Tc)

yang secara langsung akan menghancurkan sel yang mengandung

antigen asing tersebut. Protein MHC kelas I terdiri dari dua polipeptida,

yaitu rantai membrane integrated alfa (α) yang disandikan oleh gen MHC

pada kromosom nomor 6, dan non-covalently associated beta-2

mikroglobulin(β2m). Rantai α akan melipat dan membentuk alur besar

antara domain α1 dan α2 yang menjadi tempat penempelan molekul MHC

dengan antigen protein. Alur tersebut tertutup pada pada kedua ujungnya

dan peptida yang terikat sekitar 8-10 asam amino. MHC kelas satu juga

memiliki dua α heliks yang menyebar di rantai beta sehingga dapat

berikatan dan berinteraksi dengan reseptor sel T.

Protein MHC kelas IIProtein MHC kelas I terdapat pada permukaan sel B, makrofag, sel

dendritik, dan beberapa sel penampil antigen (antigen presenting

cell atau APC) khusus. Melalui protein MHC kelas II inilah, APC dapat

mempresentasikan antigen ke sel-T penolong (Th) yang akan

menstimulasi reaksi inflamatori atau respon antibodi.MHC kelas II ini

terdiri dari dua ikatan non kovalen polipeptida integrated-membrane yang

disebut α dan β. Biasanya, protein ini akan berpasangan untuk

memperkuat kemampuannnya untuk berikatan dengan reseptor sel T.

Domain α1 dan β1 akan membentuk tempat untuk pengikatan MHC dan

antigen.

Gen MHC dan polimorfismePada manusia, gen yang mengkodekan MHC terletak pada kromosom

nomor 6 dan terbagi menjadi dua kelas gen, yaitu kelas I untuk MHC I dan

kelas II untuk MHC II[4]. Kelompok gen yang termasuk kelas I terdiri dari

tiga lokus mayor yang disebut B, C, dan A, serta beberapa lokus minor

yang belum diketahui. Setiap lokus mayor menyandikan satu polipeptida

tertentu. Pada gen pengkode rantai alfa, terdapat banyak alel atau

dengan kata lain bersifat polimorfik. Rantai beta-2-mikroglobulin

Page 62: Sistem Imun Full

dikodekan oleh gen yang terletak di luar kompleks gen MHC, namun

apabila terjadi kecacatan pada gen tersebut maka antigen kelas I tidak

bisa dihasilkan dan dapat terjadi defisiensi sel T sitotoksik. Kompleks gen

kelas II terdiri dari tiga lokus yaitu DP, DQ, dan DR yang masing-masing

mengkodekan satu rantai alfa atau beta.Rantai polipetida yang dihasilkan

akan saling berikatan dan membentuk antigen kelas II. Seperti halnya

antigen kelas II, antigen kelas II juga bersifat polimorfik (unik) karena

lokus DR dapat terdiri atas lebih dari satu macam gen penyandi rantai

beta

Molekul HLA

Pada manusia terdapat 3 macam molekul MHC kelas I polimorfik, yaitu

HLA-A, HLA-B, dan HLA-C. Molekul HLA kelas I terdiri dari rantai berat a

polimorfik yang berpasangan nonkovalen dengan rantai nonpolimorfik b2-

mikroglobulin yang bukan dikode oleh gen MHC. Rantai a yang

mengandung 338 asam amino terdiri dari 3 bagian, yaitu regio hidrofilik

ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik

intraselular. Regio ekstraselular membentuk tiga domain al, a2, dan a3

(lihat Gambar 8-2). Domain a3 dan b2-mikroglobulin membentuk struktur

yang mirip dengan imunoglobulin tetapi kemampuannya untuk mengikat

antigen sangat terbatas.

Molekul HLA kelas I terdapat pada hampir semua permukaan sel berinti

mamalia, yang berfungsi untuk presentasi antigen pada sel T CD8 (pada

umumnya Tc). Oleh karena itu perlu terdapat ekspresi MHC kelas I di

timus untuk maturasi CD8.

Pada manusia terdapat 3 macam molekulα MHC kelas II polimorfik, yaitu

HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP. Molekul HLA kelas II terdiri dari 2 rantai

polimorfik a dan b yang terikat secara nonkovalen, dan masing- masing

terdiri dari 229 dan 237 asam amino yang membentuk 2 domain. Seperti

halnya rantai a HLA kelas I, maka rantai a dan b kelas II terdiri dari regio

hidrofilik ekstraselular, regio hidrofobik transmembran, dan regio hidrofilik

intraselular. Selain itu terdapat pula rantai nonpolimorfik yang disebut

rantai invarian, berfungsi untuk pembentukan dan transport molekul MHC

kelas II dengan antigen.

Page 63: Sistem Imun Full

Molekul MHC kelas II terdapat pada sel makrofag dan monosit, sel B, sel T

aktif, sel dendrit, sel Langerhans kulit, dan sel epitel, yang umumnya

timbul setelah rangsangan sitokin. Fungsi molekul MHC kelas II adalah

untuk presentasi antigen pada sel CD4 (umumnya Th) yang merupakan

sentral respons imun, karena itu sel yang mempunyai molekul MHC kelas

II umumnya disebut sel APC (antigen presenting cells). Molekul MHC kelas

II perlu terdapat dalam timus untuk maturasi sel T CD4

Terdapat beberapa molekul lain yang dikode pula dan daerah MHC tetapi

mempunyai fungsi yang berbeda dengan molekul MHC kelas I dan II.

Suatu daerah dalam MHC yang dikenal sebagai regio MHC kelas III

mengkode sejumlah protein komplemen (C2, B, C4A, C4) dan enzim

sitokrom p450 2l-hidroksilase. Selain itu terdapat pula gen sitokin TNF a

dan b, atau gen lain yang mengkode molekul yang berfungsi untuk

pembentukan dan transport molekul MHC dalam sel. βα

Gen respons imun (Ir) semula diterangkan pada hewan percobaan sebagai

gen yang menentukan respons imun individu terhadap antigen asing

tertentu. Dengan pemetaan genetika klasik terlihat bahwa gen Ir mirip

dengan gen MHC kelas II, sehingga diangap bahwa molekul MHC keIas II

adalah produk gen Ir. Studi tentang struktur molekul kelas I dan II, serta

tempat ikatan antigen pada molekul kelas II, memperkuat anggapan

bahwa molekul kelas II merupakan mediator gen Ir.

Keragaman tempat ikatan antigen dalam berbagai molekul kelas II, serta

perbedaan kemampuan molekul kelas II tertentu untuk mengikat antigen

spesifik, menimbulkan dugaan bahwa hanya molekul keIas II tertentu saja

yang dapat mempresentasikan suatu antigen tertentu pula. Hal ini terlihat

pada pemetaan bahwa hanya individu yang mempunyai gen kelas II

tertentu saja yang dapat bereaksi terhadap suatu antigen khusus.

Contoh tentang efek gen Ir pada manusia adalah respons antibodi IgE

terhadap antigenragweed Ra5 yang sangat berhubungan dengan HLA-

DR2, serta respons IgE terhadap antigen ragweed Ra6 yang sangat

berhubungan dengan HLA-DR5. Walaupun belum jelas terbukti,

antigen ragweed dipercaya terikat pada molekul MHC kelas II.

Hubungan dengan penyakit tertentu

Page 64: Sistem Imun Full

Selain peran dalam rejeksi transplan, beberapa alel spesifik mempunyai

hubungan dengan penyakit tertentu yang umumnya mempunyai kelainan

dasar imunologik. Mayoritas penyakit tersebut berhubungan dengan HLA

kelas II, dan ini menunjukkan peran penting molekul kelas II untuk

presentasi antigen pada sel T CD4. Hubungan itu dinyatakan dengan nilai

risiko relatif. Semakin besar nilai tersebut untuk alel HLA tertentu maka

semakin meningkat pula risiko seseorang untuk mendapat penyakit

tersebut.

Terdapat beberapa hipotesis untuk menerangkan asosiasi penyakit

dengan HLA ini, yaitu 1) molekul HLA sebagai reseptor etiologi, 2) HLA

bersifat selektif untuk antigen, 3) TCR sebagai penentu predisposisi

penyakit, 4) agen penyebab menyerupai molekul HLA, dan 5)

penyimpangan ekspresi molekul kelas II.

Molekul HLA dapat berlaku sebagai reseptor untuk etiologi penyakit

seperti virus atau toksin. Dugaan ini berdasarkan bukti bahwa molekul

lain pada permukaan sel dapat berlaku sebagai reseptor etiologi, misalnya

molekul CD4 selaku reseptor HIV.

Hanya tempat ikatan antigen pada lekukan molekul HLA tertentu saja

yang dapat mengikat suatu antigen penyebab penyakit. Jadi hanya

individu yang mempunyai molekul HLA seperti itu saja yang dapat

menderita penyakit tersebut.

TCR sebagai penentu predisposisi penyakit

TCR bertanggung jawab terhadap predisposisi untuk suatu penyakit,

tetapi karena pengenalan antigen oleh sel T ditentukan oleh molekul HLA

maka sebetulnya asosiasi dengan penyakit tersebut adalah dengan HLA.

Agen penyebab menyerupai molekul HLA

Hipotesis ini memiliki dua alternatif. Pertama, karena kemiripan agen

penyebab dengan molekul HLA maka akan dianggap sebagai antigen diri

sehingga dapat menimbulkan kerusakan tubuh tanpa perlawanan sistem

imun. Kedua, agen penyebab dikenal sebagai antigen asing sehingga

mendapat perlawanan respons imun, dan karena mirip dengan molekul

Page 65: Sistem Imun Full

HLA maka sistem imun tubuh akan menyerang molekul HLA pula sehingga

terjadi kerusakan jaringan seperti pada penyakit autoimun.

Penyimpangan ekspresi molekul MHC kelas II

Diduga bahwa induksi ekspresi kelas II pada permukaan sel yang tidak

biasa mengekspresikan molekul tersebut dapat menimbulkan penyakit.

Dalam keadaan normal, molekul spesifik pada permukaan sel selalu

mengalami pergantian dan degradasi. Bila sel tersebut tidak mempunyai

ekspresi molekul kelas II maka degradasi molekul spesifik itu tidak

membawa akibat bila terpajan antigen. Tetapi bila pada sel tersebut

timbul ekspresi molekul kelas II, maka degradasi molekul spesifik tersebut

akan memulai pemrosesan antigen. Fragmen peptida molekul spesifik

yang mengalami degradasi tadi akan terikat pada tempat ikatan antigen

molekul kelas II, sehingga terbentuk kompleks imun yang merangsang

respons imun terhadap molekul spesifik tersebut. Bila hanya molekul

kelas II tertentu saja (misalnya HLA-DR3) yang dapat mengikat fragmen

molekul spesifik, barulah terlihat asosiasi antara HLA dengan penyakit

tertentu.

PENYAKIT AUTOIMUN

Sebagian besar penyakit yang berhubungan dengan HLA adalah kelompok

penyakit autoimun, dan prototip asosiasi ini adalah hubungan antara HLA-

B27 dan spondilitis angkilosis. Dengan risiko relatif 91, maka individu ras

Kaukasia HLA-B27 (+) mempunyai risiko 91 kali lebih besar untuk

mendapat spondilitis angkilosis dibandingkan dengan individu HLA-B27

(-). Ekspresi molekul MHC pada berbagai ras dapat berbeda bermakna

sehingga harus selalu dibandingkan dengan kontrol. Contohnya, HLA-B27

terdapat pada 48% ras hitam penderita spondilitis angkilosis di USA

dibandingkan dengan 2% pada kelompok kontrol ras yang sama sehingga

risiko relatif ras hitam di USA adalah 31.

Karena daerah MHC sangat luas maka dapat saja terjadi rekombinasi

genetik pada berbagai lokus individu. Rekombinasi ini tidak seluruhnya

terjadi secara acak karena terbukti bahwa beberapa alel memperlihatkan

kecenderungan tinggi untuk merangkai dengan alel lain, yang disebut

sebagai rangkaian yang tidak seimbang (linkage disequilibrium).

Jadi dapat saja suatu penyakit yang selama ini kita kenal sebagai

Page 66: Sistem Imun Full

berhubungan dengan alel MHC tertentu, sebetulnya dipengaruhi alel lain

yang terangkai dengan alel terdahulu. Contohnya adalah sindrom Sjogren

yang dikenal berhungan dengan HLA-B8, sebetulnya dipengaruhi oleh

HLA-DR3 yang terangkai dengan HLA-B8. Yang sangat menarik adalah

bahwa ternyata hubungan antara penyakit autoimun dengan HLA-DR3

cukup sering terlihat.

Defek respons imun

Keadaan lain yang dihubungkan dengan MHC adalah defek respons imun.

Kemampuan individu untuk membuat respons imun adekuat berhubungan

dengan regio MHC kelas II, yang menentukan kemampuan presentasi

antigen kepada sel T yang harus berkaitan dengan molekul HLA. Selain itu

antigen tertentu lebih suka bergabung dengan molekul HLA tertentu pula.

Jadi suatu molekul HLA kelas II dapat lebih baik mengikat antigen

dibanding molekul HLA kelas II lainnya, sehingga presentasi antigen pun

akan lebih efektif. Karena itu jenis HLA seseorang akan menentukan baik-

buruknya respons imun yang berhubungan dengan produk MHC miliknya.

Suatu antigen hanya akan dikenal oleh sel T (melalui TCR) bila berasosiasi

dengan molekul HLA tertentu, dan hal ini dikenal sebagai terbatas HLA

(HLA restricted). Gabungan antigen dengan molekul HLA membentuk

ligan untuk TCR tertentu, dan ikatan ini dapat mengaktivasi sel T. Asosiasi

antara suatu antigen dengan molekul HLA sangat bervariasi, tetapi akan

terbatas oleh molekul HLA yang tersedia pada sel T. Bila molekul HLA

hanya sedikit maka asosiasi yang terbentuk mungkin terlalu lemah untuk

mengaktivasi sel T .

IMUNOLOGI DASAR : PENYAKIT

AUTO IMUNITASDiposting pada Februari 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Autoimunitas adalah kegagalan dari suatu organisme untuk

mengenali bagian-bagian penyusunnya sendiri sebagai diri, yang

memungkinkan respon imun terhadap sel sendiri dan jaringan

tubuh. Setiap penyakit dari hasil respon imun yang menyimpang

diistilahkan sebagai suatu penyakit autoimun .  Autoimunitas

sering disebabkan oleh kurangnya perkembangan kuman dari

tubuh target dan dengan demikian tindakan respon kekebalan

Page 67: Sistem Imun Full

tubuh terhadap sel sendiri dan jaringan. Contoh penyakit auto

imun yang paling seringa dalah menonjol termasuk penyakit

seliak, diabetes melitus tipe 1 (IDDM), lupus eritematosus

sistemik (SLE), sindrom Sjögren , Churg-Strauss Syndrome ,

tiroiditis Hashimoto , penyakit Graves , idiopatik

thrombocytopenic purpura , rheumatoid arthritis (RA) dan alergi.

Kesalahpahaman bahwa sistem kekebalan tubuh seseorang sama sekali

tidak mampu mengenali antigen diri bukanlah hal baru. Paul Ehrlich ,

pada awal abad kedua puluh, mengajukan konsep autotoxicus horor,

dimana ‘normal’ tubuh tidak mount respon kekebalan terhadap yang

sendiri jaringan.  Dengan demikian, setiap respon autoimun dianggap

menjadi abnormal dan dipostulasikan untuk dihubungkan dengan

penyakit manusia. Sekarang, sudah diakui bahwa respon autoimun

merupakan bagian integral dari sistem kekebalan tubuh vertebrata

(kadang disebut ‘autoimunitas alami’), biasanya dicegah dari penyebab

penyakit oleh fenomena toleransi imunologi diri antigen. Autoimunitas

tidak harus bingung dengan alloimmunity .

Sistem imun tubuh telah berkembang sedemikian rupa sehingga mampu

mengenal setiap antigen asing dan membedakannya dengan struktur

antigen diri (self antigen), tetapi dapat saja timbul gangguan terhadap

kemampuan pengenalan tersebut sehingga terjadi respons imun terhadap

antigen diri yang dianggap asing. Respons imun yang disebut

autoimunitas tersebut dapat berupa respons imun humoral dengan

pembentukan autoantibodi, atau respons imun selular.

Page 68: Sistem Imun Full

Autoimunitas sebetulnya bersifat protektif, yaitu sebagai sarana

pembuangan berbagai produk akibat kerusakan sel atau jaringan.

Autoantibodi mengikat produk itu diikuti dengan proses eliminasi.

Autoantibodi dan respons imun selular terhadap antigen diri tidak

selalu menimbulkan penyakit.

Penyakit autoimun merupakan kerusakan jaringan atau gangguan

fungsi fisologik akibat respons autoimun. Perbedaan ini menjadi

penting karena respons autoimun dapat terjadi tanpa penyakit atau

pada penyakit yang disebabkan oleh mekanisme lain (seperti infeksi).

Istilah penyakit autoimun yang berkonotasi patologik ditujukan

untuk keadaan yang berhubungan erat dengan pembentukan

autoantibodi atau respons imun selular yang terbentuk setelah

timbulnya penyakit.

Page 69: Sistem Imun Full

Faktor Genetik

Orang-orang tertentu secara genetik rentan untuk mengembangkan

penyakit autoimun. Kerentanan ini dikaitkan dengan beberapa gen

ditambah faktor risiko lainnya.  Genetik individu tertentu cenderung tidak

selalu mengembangkan penyakit autoimun.

Tiga gen utama yang diduga dalam penyakit autoimun.

Imunoglobulin

T-sel reseptor

Kompleks histokompatibilitas utama (MHC).

Dua yang pertama, yang terlibat dalam pengakuan antigen, secara

inheren rentan terhadap variabel dan rekombinasi. Variasi ini

memungkinkan sistem kekebalan tubuh untuk menanggapi berbagai

sangat luas penjajah, tetapi juga dapat menimbulkan limfosit dalam swa-

reaktivitas.

Para ilmuwan seperti H. McDevitt, G. Nepom, J. Bell dan J. Todd juga telah

menyediakan bukti kuat yang menunjukkan bahwa MHC kelas II tertentu

allotypes berkorelasi sangat

HLA DR2 sangat berkorelasi positif dengan Systemic Lupus

Erythematosus , narkolepsi [6] dan multiple sclerosis , dan berkorelasi

negatif dengan tipe DM 1.

HLA DR3 berkorelasi kuat dengan sindrom Sjögren , myasthenia

gravis , SLE , dan Jenis DM 1.

HLA DR4 berkorelasi dengan asal-usul rheumatoid arthritis , tipe 1

diabetes mellitus , dan pemfigus vulgaris .

Page 70: Sistem Imun Full

Yang paling menonjol dan konsisten adalah hubungan antara HLA B27 dan

ankylosing spondylitis . Korelasi ini mungkin ada di antara polimorfisme

dalam MHC kelas II promotor dan penyakit autoimun.

Kontribusi dari gen luar kompleks MHC tetap menjadi subjek penelitian,

pada hewan model penyakit (studi ekstensif Linda Wicker genetik

diabetes pada tikus NOD), dan pada pasien (analisis keterkaitan Brian

Kotzin dari kerentanan terhadap SLE ).

Baru-baru ini PTPN22 telah dikaitkan dengan penyakit autoimun multiple

termasuk Tipe I diabetes, rheumatoid arthritis, systemic lupus

erythematosis, tiroiditis Hashimoto, penyakit Graves, penyakit Addison,

Miastenia Gravis, vitiligo, sklerosis sistemik juvenil idiopatik arthritis, dan

arthritis psoriatis.

Jenis Kelamin

 Rasio perempuan / laki-laki  insiden penyakit autoimun

Hashimoto thyroiditis 10/1

Graves’ disease 7/1

Multiple sclerosis (MS) 2/1

Miastenia gravis 2/1

Systemic lupus erythematosus (SLE) 9/1

Rheumatoid arthritis 5/2

Jenis kelamin tampaknya memiliki beberapa peran pentingdalam

pengembangan autoimunitas, mengklasifikasikan penyakit yang paling

autoimun sebagai seks penyakit terkait . Hampir 75%   lebih dari 23,5 juta

orang Amerika yang menderita penyakit autoimun adalah perempuan,

meskipun  jutaan pria juga menderita penyakit ini. Menurut the American

Autoimmune Related Diseases Association (AARDA), penyakit autoimun

yang berkembang pada pria cenderung lebih parah. Penyakit autoimun

beberapa bahwa laki-laki sama atau lebih mungkin berkembang

pada perempuan, meliputi: ankylosing spondylitis , tipe 1 diabetes

mellitus , Wegener granulomatosis , penyakit Crohn dan psoriasis .

Perempuan tampaknya umumnya me-mount respon inflamasi yang lebih

besar daripada pria ketika sistem kekebalan tubuh mereka dipicu,

meningkatkan risiko autoimunitas. [7] Keterlibatan steroid seks ini

ditunjukkan dengan bahwa penyakit autoimun cenderung berfluktuasi

Page 71: Sistem Imun Full

sesuai dengan perubahan hormon, misalnya, selama kehamilan, dalam

siklus menstruasi, atau saat menggunakan kontrasepsi oral. Riwayat

kehamilan juga tampaknya meninggalkan peningkatan risiko gigih untuk

penyakit autoimun. Pertukaran sedikit sel antara ibu dan anak-anak

mereka selama kehamilan dapat menyebabkan otoimun. Hal ini akan

ujung keseimbangan gender dalam arah betina.

Teori lain menunjukkan kecenderungan tinggi perempuan untuk

mendapatkan autoimunitas ini disebabkan oleh ketidakseimbangan

kromosom X dinonaktifkan . Teori X-inaktivasi miring, diusulkan oleh

Princeton University Jeff Stewart, baru-baru ini telah dikonfirmasi

eksperimental pada tiroiditis skleroderma dan autoimun. kompleks

lainnya terkait-X mekanisme kerentanan genetik diusulkan dan sedang

diselidiki.

Klasifikasi

autoimun dapat dibagi menjadi gangguan autoimun sistemik dan organ-

spesifik atau lokal, tergantung pada Clinico-patologis fitur utama dari

masing-masing penyakit.

Penyakit autoimun sistemik termasuk SLE , sindrom Sjögren ,

skleroderma , rheumatoid arthritis , dan dermatomiositis . Kondisi ini

cenderung berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen yang

tidak jaringan tertentu. Jadi meskipun polymyositis kurang lebih

jaringan tertentu dalam presentasi, mungkin termasuk dalam

kelompok ini karena autoantigens sering mana-mana t-RNA sintetase.

Page 72: Sistem Imun Full

Nama Penyakit

Accepted/

suspected Tipe Autoantibodi

Acute disseminated encephalomyelitis (ADEM)

Accepted

Addison’s Disease

interferon omega; transglutaminase; aromatic acid carboxylase; GAD; HAI; 17 hydroxylase; 21 hydroxylase

Agammaglobulinemia

Alopecia areataAccepted T-cells

Amyotrophic Lateral Sclerosis

Page 73: Sistem Imun Full

Ankylosing SpondylitisAccepted ANCA?

Antiphospholipid syndromeAccepted

anti-cardiolipin;anti pyruvate dehydrogenase; β2 glycoprotein I; phosphatidylserine; anti apoH; Annexin A5

Antisynthetase syndrome

Atopic allergy I

Atopic dermatitis I

Autoimmune aplastic anemia

Autoimmune cardiomyopathyAccepted

Autoimmune enteropathy

Autoimmune hemolytic anemiaAccepted II

Autoimmune hepatitisAccepted

cell-mediated

anti-mitochondrial antibodies; ANA; anti-smooth muscle antibodies, LKM-1; soluble liver antigen

Autoimmune inner ear diseaseAccepted

Autoimmune lymphoproliferative syndrome

Accepted

Autoimmune peripheral neuropathy

Accepted

Page 74: Sistem Imun Full

Autoimmune pancreatitisAccepted

ANA; anti-lactoferrin antibodiesanti-carbonic anhydrase antibodies; rheumatoid factor

Autoimmune polyendocrine syndrome

Accepted

Unknown

or

multiple

Autoimmune progesterone dermatitis

Accepted

Autoimmune thrombocytopenic purpura

Accepted anti gpIIb-IIIa or 1b-IX

Autoimmune urticariaAccepted [11]

Autoimmune uveitisAccepted HLAB-27?

Balo disease/Balo concentric sclerosis

Behçet’s disease

Berger’s disease

IgA (elevated in 50% of patients), IgA (in mesangial deposits on kidney biopsy)

Bickerstaff’s encephalitis Anti-GQ1b 2/3 patients

Page 75: Sistem Imun Full

Blau syndrome

Bullous pemphigoid

IgG autoantibodies targeting the type XVII collagen component of hemidesmosomes

Cancer

Castleman’s disease

Celiac diseaseAccepted IV

Anti-tissue transglutaminase antibodies

Chagas diseaseSuspected

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy

Anti-ganglioside antibodies:anti-GM1, anti-GD1a, anti-GQ1b

Chronic recurrent multifocal osteomyelitis

Chronic obstructive pulmonary disease

Suspected

Churg-Strauss syndrome p-ANCA

Cicatricial pemphigoid anti-BP-1, anti BP-2

Cogan syndrome

Cold agglutinin diseaseAccepted II IgM

Complement component 2

Page 76: Sistem Imun Full

deficiency

Contact dermatitis III

Cranial arteritis

CREST syndrome

Anti-centromere antibodies Anti-nuclear antibodies

Crohns Disease (one of two types of idiopathic inflammatory bowel disease “IBD”)

Accepted IV

Cushing’s Syndrome cortisol binding globulin?

Cutaneous leukocytoclastic angiitis

Dego’s disease

Dercum’s diseaseSuspected

Dermatitis herpetiformis

IgA; anti-epidermal transglutaminase antibodies

DermatomyositisAccepted

histidine-tRNA anti-signal_recognition_peptide Anti-Mi-2 Anti-Jo1.

Diabetes mellitus type 1Accepted IV

Glutamic acid decarboxylase antibodies (GADA), islet cell antibodies (ICA), and insulinoma-associated autoantibodies (IA-2), anti-insulin antibodies

Page 77: Sistem Imun Full

Diffuse cutaneous systemic sclerosis

anti-nuclear antibodies, anti-centromere and anti-scl70/anti-topoisomerase antibodies

Dressler’s syndrome

myocardial neo-antigens formed as a result of the MI

Drug-induced lupus anti-histone

Discoid lupus erythematosus III

Eczema

EndometriosisSuspected

Enthesitis-related arthritis .

Eosinophilic fasciitisAccepted

Eosinophilic gastroenteritis IgE

Epidermolysis bullosa acquisita

Erythema nodosum

Erthroblastosis fetalis II ABO, Rh, Kell antibodies

Essential mixed cryoglobulinemia

Evan’s syndrome

Fibrodysplasia ossificans progressiva

Page 78: Sistem Imun Full

Fibrosing aveolitis aka Idiopathic_pulmonary_fibrosis

Gastritisserum antiparietal and anti-IF antibodies

Gastrointestinal pemphigoidAccepted

Giant cell arteritis

GlomerulonephritisSometimes IgA

Goodpasture’s syndromeAccepted II

Anti-Basement Membrane Collagen Type IV Protein

Graves’ diseaseAccepted II

thyroid autoantibodies (TSHR-Ab) that activate the TSH-receptor (TSHR)

Guillain-Barré syndrome (GBS)Accepted IV Anti-ganglioside

Hashimoto’s encephalopathyAccepted IV alpha-enolase[33]

Hashimoto’s thyroiditisAccepted IV

antibodies against thyroid peroxidase and/or thyroglobulin

Henoch-Schonlein purpura

immunoglobulin A (IgA) and complement component 3 (C3)

Page 79: Sistem Imun Full

Herpes gestationis aka Gestational Pemphigoid

IgG and C3 misdirected antibodies intended to protect the placenta

Hidradenitis suppurativaSuspected

Hypogammaglobulinemia

Idiopathic Inflammatory Demyelinating Diseases

Idiopathic pulmonary fibrosis

Idiopathic thrombocytopenic purpura (See Autoimmune thrombocytopenic purpura)

Accepted II

IgA nephropathy III?IgA produced from marrow rather than MALT

Inclusion body myositis

Chronic inflammatory demyelinating polyneuropathy

anti-ganglioside antibodies

Interstitial cystitisSuspected

Juvenile idiopathic arthritis aka Juvenile rheumatoid arthritis

inconsistent ANA Rheumatoid_factor

Kawasaki’s DiseaseSuspected

Lambert-Eaton myasthenic syndrome

voltage-gated calcium channels; Q-

Page 80: Sistem Imun Full

type_calcium_channel, synaptogagmin, muscarinic acetylcholine receptor M1

Leukocytoclastic vasculitis

Lichen planus

Lichen sclerosus

Linear IgA disease (LAD)

Lou Gehrig’s disease (Also Amyotrophic lateral sclerosis)

Lupoid hepatitis aka Autoimmune_hepatitis

ANA and SMA, LKM-1 , LKM-2 or LKM-3; antibodies against soluble liver antigen[37][38]

anti-LP) no autoantibodies detected (~20%)

Lupus erythematosusAccepted III

Anti-nuclear antibodies[39] anti-Ro.o, they are often present in Sjögren’s syndrome.[42]

Majeed syndrome

Ménière’s disease IIImajor peripheral myelin protein P0

Microscopic polyangiitis p-ANCA myeloperoxidase

Miller-Fisher syndrome see Guillain-Barre_Syndrome

Accepted anti-GQ1b

Page 81: Sistem Imun Full

Mixed Connective Tissue DiseaseAccepted

anti-nuclear antibody anti-U1-RNP

MorpheaSuspected

Mucha-Habermann disease aka Pityriasis_lichenoides_et_varioliformis_acuta

Multiple sclerosisSuspected IV

Myasthenia gravisAccepted II

nicotinic_acetylcholine_receptor MuSK_protein

Myositis

Narcolepsy[46][47]

Suspected II hypocretin or orexin

Neuromyelitis optica (Also Devic’s Disease) II NMO-IgG aquaporin 4.

NeuromyotoniaSuspected II

voltage-gated potassium channels.

Occular cicatricial pemphigoid II? BP-1, BP-2

Opsoclonus myoclonus syndromeSuspected IV?

Ord’s thyroiditis

Palindromic rheumatism

anti-cyclic citrullinated peptide antibodies (anti-CCP) and antikeratin antibodies (AKA)

Page 82: Sistem Imun Full

PANDAS (pediatric autoimmune neuropsychiatric disorders associated with streptococcus)

Suspected II?

Paraneoplastic cerebellar degeneration IV? II?

anti-Yo[57] (anti-cdr-2purkinje fibers) anti-Hu, anti-Tr, antiglutamate receptor

Paroxysmal nocturnal hemoglobinuria (PNH)

Sometimes

Parry Romberg syndrome ANA

Parsonnage-Turner syndrome

Pars planitis

Pemphigus vulgarisAccepted II Anti-Desmoglein 3

Pernicious anaemiaAccepted II anti-parietal cell antibody

Perivenous encephalomyelitis

POEMS syndrome

Polyarteritis nodosa

Polymyalgia rheumatica

PolymyositisAccepted

IFN-gamma, IL-1, TNF-alpha

Primary biliary cirrhosisAccepted[62]

Anti-p62, Anti-sp100, Anti-Mitochondrial(M2)Anti-Ro aka SSA.[63] Also, they are often present in Sjögren’s

Page 83: Sistem Imun Full

syndrome

Primary sclerosing cholangitis

Progressive inflammatory neuropathy

Suspected

PsoriasisAccepted IV?

Psoriatic arthritisAccepted IV?

Pyoderma gangrenosum

Pure red cell aplasia

Rasmussen’s encephalitis anti-NR2A antibodies

Raynaud phenomenonSuspected

Relapsing polychondritisAccepted

Reiter’s syndrome

Restless leg syndromeSuspected

Retroperitoneal fibrosis

Rheumatoid arthritisAccepted III

Rheumatoid factor (anti-IgGFc), Anti-MCV , ACPAs(Vimentin

Page 84: Sistem Imun Full

Rheumatic_fever II

streptococcal M protein cross reacts with human myosin,[69]anti-DNase B, ASO

SarcoidosisSuspected IV

SchizophreniaSuspected

Schmidt syndrome another form of APS

anti-21 hydroxylase, anti-17 hydroxylase

Schnitzler syndrome

Scleritis

SclerodermaSuspected IV? Scl-70 Anti-topoisomerase

Serum Sickness III

Sjögren’s syndromeAccepted

Anti-ro. Also, they are often present in Sjögren’s syndrome.

Spondyloarthropathy

Still’s disease see Juvenile Rheumatoid Arthritis ANA

Stiff person syndromeSuspected

glutamic acid decarboxylase (GAD),

Subacute bacterial endocarditis (SBE) III

essential mixed cryoglobulinemia

Susac’s syndrome

Page 85: Sistem Imun Full

Sweet’s syndrome

Sydenham chorea see PANDAS

Sympathetic ophthalmiaocular antigens following trauma

Systemic lupus erythematosis see Lupus erythematosis III

Takayasu’s arteritis

Temporal arteritis (also known as “giant cell arteritis”)

Accepted IV

Thrombocytopenia II

glycoproteins IIb-IIIa or Ib-IX in ITP anti-ADAMTS13 in TTP. and HUS anti-cardiolipin (anti-cardiolipin antibodies) and β2glycoprotein I in Antiphospholipid syndrome anti-HPA-1a, anti-HPA-5b, and others in NAIT

Tolosa-Hunt syndrome

Transverse myelitisAccepted

Ulcerative colitis (one of two types of idiopathic inflammatory bowel disease “IBD”)

Accepted IV

Undifferentiated connective tissue disease different from Mixed connective tissue disease

Accepted anti-nuclear antibody

Page 86: Sistem Imun Full

Undifferentiated spondyloarthropathy

Urticarial vasculitis II? anti C1q antibodies

VasculitisAccepted III sometimes ANCA

VitiligoSuspected

Wegener’s granulomatosisAccepted

Anti-neutrophil cytoplasmic(cANCA)

Sindrom Lokalyang mempengaruhi organ tertentu atau jaringan:

Endokrinologik: Diabetes mellitus tipe 1 , tiroiditis Hashimoto ,

penyakit Addison

Gastrointestinal: penyakit seliaka , Penyakit Crohn , pernicious

anemia

Dermatologi: Pemphigus vulgaris , Vitiligo

Hematologi: anemia hemolitik autoimun , idiopatik purpura

thrombocytopenic

Neurologis: Miastenia gravis

Secara tradisonal skema klasifikasi menggunakan “organ tertentu” dan

“non-organ tertentu”, banyak penyakit telah disatukan di bawah payung

penyakit autoimun. Namun, banyak gangguan manusia inflamasi kronis

tidak memiliki asosiasi-tanda sel B dan T didorong immunopathology.

Dalam dekade terakhir telah mapan bahwa jaringan “peradangan

terhadap diri” tidak selalu bergantung pada T abnormal dan respon sel B.

Hal ini telah menyebabkan usulan terakhir bahwa spektrum autoimunitas

harus dilihat sepanjang “kontinum penyakit imunologi,” dengan penyakit

autoimun klasik pada satu ekstrim dan penyakit didorong oleh sistem

kekebalan tubuh bawaan pada ekstrem lainnya. Dalam skema ini,

spektrum penuh autoimunitas dapat disertakan. Banyak umum penyakit

autoimun manusia dapat dilihat untuk memiliki immunopathology

Page 87: Sistem Imun Full

dimediasi imun bawaan yang cukup besar menggunakan skema baru.

Skema klasifikasi baru ini memiliki implikasi untuk memahami mekanisme

penyakit dan untuk pengembangan terapi

Klasifikasi Penyakit Auto Imunitas

Patogenesis autoimunitas

Beberapa mekanisme dianggap operatif dalam patogenesis penyakit

autoimun, dengan latar belakang kecenderungan genetik dan modulasi

lingkungan. Hal ini di luar cakupan artikel ini membahas masing-masing

dari mekanisme ini secara mendalam, tapi ringkasan dari beberapa

mekanisme penting telah dijelaskan:

T-Cell Bypass – Sistem kekebalan tubuh yang normal memerlukan

aktivasi sel-B dengan T-sel sebelum mantan dapat menghasilkan

antibodi dalam jumlah besar. Kebutuhan sel-T ini  bisa di bypass

dengan kasus yang jarang terjadi, seperti infeksi oleh organisme

memproduksi super antigen , yang mampu memulai aktivasi

poliklonal sel-B, atau bahkan T-sel, dengan langsung mengikat β-

subunit T-sel reseptor dalam mode non-spesifik.

T-Cell-B-Cell discordance – Sebuah respon imun normal

diasumsikan melibatkan B dan respon sel T terhadap antigen yang

sama, bahkan jika kita tahu bahwa sel B dan sel T mengenali hal yang

sangat berbeda: konformasi pada permukaan molekul untuk sel B dan

pra-olahan fragmen peptida protein untuk sel T.  Namun, tidak ada

sejauh kita tahu bahwa membutuhkan ini. Semua yang diperlukan

adalah bahwa sel B mengenali antigen X endocytoses dan proses

protein Y (biasanya = X) dan menyajikan itu ke sel T. Roosnek dan

Lanzavecchia menunjukkan bahwa sel B mengenali IgGFc bisa

mendapatkan bantuan dari setiap sel T menanggapi antigen co-

endocytosed dengan IgG oleh sel B sebagai bagian dari kompleks

imun.  Pada penyakit celiac nampaknya sel B mengenali

transglutamine jaringan dibantu oleh sel T mengenali gliadin.

Aberrant B cell receptor-mediated feedback – Sebuah fitur

penyakit autoimun manusia adalah bahwa hal itu sebagian besar

terbatas pada sekelompok kecil antigen, beberapa di antaranya telah

dikenal peran sinyal dalam respon imun (DNA, C1q, IgGFc, Ro, Con A.

Page 88: Sistem Imun Full

reseptor, Kacang Tanah agglutinin reseptor (PNAR)). Fakta ini

memunculkan gagasan bahwa autoimun spontan dapat terjadi bila

pengikatan antibodi terhadap antigen tertentu dapat sinyal

menyimpang yang makan kembali ke induk sel B melalui ligan terikat

membran.   Ligan termasuk reseptor sel B (untuk antigen), Fc IgG

reseptor, CD21, yang mengikat komplemen C3d, Pulsa seperti

reseptor 9 dan 7 (yang dapat mengikat DNA dan nucleoproteins) dan

PNAR. Aktivasi menyimpang tidak langsung sel B juga bisa

dipertimbangkan dengan autoantibodies untuk reseptor asetil kolin

(pada sel myoid thymus) dan hormon dan protein hormon mengikat.

Bersama dengan konsep T-sel-sel B kejanggalan ide ini membentuk

dasar hipotesis mengabadikan diri sel B autoreaktif. Autoreaktif B sel-

sel di autoimunitas spontan dilihat sebagai surviving karena subversi

kedua sel T membantu dan jalur dari sinyal umpan balik melalui

reseptor sel B, dengan demikian mengatasi sinyal negatif yang

bertanggung jawab untuk sel B toleransi diri tanpa harus memerlukan

hilangnya sel T diri-toleransi.

Molecular Mimicry – Sebuah eksogen antigen dapat berbagi

kesamaan struktural dengan antigen host tertentu, dengan demikian,

antibodi apapun dihasilkan terhadap antigen ini (yang meniru antigen

diri) juga bisa, secara teori, mengikat antigen host, dan memperkuat

respon imun. Ide mimikri molekuler muncul dalam konteks Demam

rematik , yang mengikuti infeksi dengan Grup A beta-hemolitik

streptokokus . Meskipun demam rematik telah dikaitkan dengan

mimikri molekuler selama setengah abad antigen belum ada secara

resmi diidentifikasi (jika ada terlalu banyak telah diusulkan). Selain

itu, jaringan distribusi yang kompleks penyakit (jantung, sendi, kulit,

basal ganglia) berpendapat melawan antigen tertentu jantung. Masih

mungkin bahwa penyakit ini disebabkan misalnya interaksi yang tidak

biasa antara kompleks imun, komponen komplemen dan endotelium.

Idiotype Cross-Reaction – Idiotypes adalah antigenik epitop

ditemukan di bagian antigen-mengikat (Fab) dari molekul

imunoglobulin. Plotz dan Oldstone disajikan bukti bahwa autoimunitas

dapat timbul sebagai akibat dari reaksi silang antara idiotype pada

antivirus antibodi dan sel reseptor inang untuk virus tersebut. Dalam

hal ini, reseptor sel inang dibayangkan sebagai sebuah gambar

Page 89: Sistem Imun Full

internal dari virus, dan anti-idiotype antibodi dapat bereaksi dengan

sel inang.

Cytokine Dysregulation – sitokin telah baru-baru dibagi menjadi

dua kelompok sesuai dengan populasi sel yang fungsi mereka

mempromosikan: Helper T-sel tipe 1 atau tipe 2.  Kategori kedua

sitokin, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk beberapa nama),

tampaknya memiliki peran dalam pencegahan berlebihan pro-

inflamasi respon imun.

Dendritic cell apoptosis – sel sistem kekebalan yang disebut sel

dendritik menyajikan antigen untuk aktif limfosit . Sel dendritik yang

cacat dalam apoptosis dapat menyebabkan tidak tepat sistemik

limfosit aktivasi dan penurunan konsekuen dalam diri toleransi.

Epitope spreading or epitope drift –  ketika reaksi kekebalan

perubahan dari menargetkan utama epitop untuk juga menargetkan

epitop lainnya. Berbeda dengan mimikri molekuler, epitop lainnya

tidak perlu secara struktural mirip dengan yang utama.

Epitope modification or Cryptic epitope exposure – mekanisme

penyakit autoimun adalah unik karena bukan hasil dari cacat dalam

sistem hematopoietik. Sebaliknya, penyakit hasil dari pemaparan

samar N-glycan (polisakarida) hubungan umum untuk eukariota dan

prokariota lebih rendah pada glikoprotein dari mamalia non-sel dan

organ hematopoietik. Paparan glycans phylogenically primitif

mengaktifkan satu atau lebih sel kekebalan tubuh mamalia bawaan

reseptor untuk menginduksi kondisi inflamasi kronis steril. Dengan

adanya kerusakan sel dan inflamasi kronis, sistem kekebalan tubuh

adaptif yang direkrut dan self-toleransi hilang dengan produksi

autoantibody meningkat. Dalam bentuk penyakit, tidak adanya

limfosit dapat mempercepat kerusakan organ, dan intravena IgG

administrasi dapat terapi. Meskipun rute ini untuk penyakit autoimun

mungkin mendasari berbagai negara penyakit degeneratif, tidak ada

diagnostik untuk mekanisme penyakit ada saat ini, sehingga perannya

dalam autoimunitas manusia saat ini tidak diketahui. Peran khusus

immunoregulatory jenis sel, seperti sel T peraturan , sel NKT , γδ T-sel

dalam patogenesis penyakit autoimun yang sedang diselidiki.

SPEKTRUM PENYAKIT AUTOIMUN

Page 90: Sistem Imun Full

Penyakit autoimun mempunyai spektrum yang sangat luas, dari yang

bersifat organ spesifik sampai bentuk sistemik atau non-organ spesifik.

Pada penyakit autoimun organ spesifik, umumnya mempengaruhi organ

tunggal dan respons autoimun ditujukan langsung pada antigen di dalam

organ tersebut. Sebagian besar kelainan spesifik organ melibatkan satu

atau beberapa kelenjar endokrin. Target antigen dapat berupa molekul

yang diekspresikan pada permukaan sel hidup (terutama reseptor

hormon) atau molekul intraseluler (terutama enzim intraseluler).

Sedangkan penyakit autoimun non-organ spesifik mempengaruhi organ

multipel dan biasanya berkaitan dengan respons autoimun terhadap

molekul yang tersebar di seluruh tubuh, terutama molekul intraseluler

yang berperan dalam transkripsi dan translasi kode genetik (DNA dan

unsur inti sel lainnya) .

Spektrum penyakit autoimun

Beberapa contoh antigen diri dan penyakit terkait

Antigen diri Penyakit

Reseptor hormonReseptor TSHReseptor insulin

Hiper atau hipotiroidismeHiper atau hipoglikemia

Reseptor neurotransmiterReseptor asetilkolin Miastenia gravis

Molekul sel adesiMolekul sel adesi epidermal Penyakit kulit yang melepuh

Protein plasmaFaktor VIIIβ2 glikoprotein I dan protein antikoagulan lain

Hemofili didapatSindrom antifosfolipid

Antigen permukaan selSel darah merah (antigen multipel)Platelet

Anemia hemolitikPurpura trombositopenia

Enzim intraselulerPeroksidase tiroidSteroid 21-hidroksilase (korteks adrenal)

Tiroiditis, kemungkinan hipotiroidismeKegagalan adrenokortikal (penyakit Addison)

Glutamat dekarboksilase (sel β di pulau pankreas)Enzim lisosom (sel fagositik)Enzim mitokondria (terutama piruvat dehidrogenase)

Diabetes autoimun Vaskulitis sistemikSirosis biliar primer

Molekul intraseluler yang melibatkan transkripsi dan

  SLESLESkleroderma difusPolimiositisSkleroderma lokal

Page 91: Sistem Imun Full

translasiRantai dua DNAHistonTopoisomerase IAmino-acyl t-RNA sintaseProtein sentromer

TOLERANSI DIRI

Autoimunitas dan toleransi diri

Untuk menghindari penyakit autoimun, pembentukan molekul sel T dan B

yang bersifat autoreaktif harus dicegah melalui eliminasi atau down-

regulation. Sel T (terutama CD4+) mempunyai peran sentral dalam

mengatur hampir semua respons imun, sehingga proses toleransi sel T

lebih penting dalam penghindaran autoimunitas dibandingkan toleransi

sel B. Selain itu, sebagian sel B yang autoreaktif juga tidak dapat

memproduksi autoantibodi apabila tidak menerima rangsangan yang

tepat dari sel Th.

Toleransi timus

Perkembangan sel T di timus mempunyai peranan penting dalam

eliminasi sel T yang dapat mengenali peptida pada protein diri. Dengan

proses positive selection, sel akan bertahan melalui ikatan dengan

molekul MHC. Ikatan ini akan menginduksi sinyal yang mencegah sel mati.

Reseptor sel T yang gagal berikatan dengan molekul MHC di timus akan

mati melalui apoptosis. Sel T yang bertahan dari proses ini akan berikatan

dengan molekul MHC dan kompleks peptida diri yang ada di timus dengan

afinitas yang berbeda-beda. Sel T yang mempunyai afinitas yang rendah

akan bertahan dan berpotensial untuk mengikat MHC dan peptida asing

dengan afinitas tinggi serta dapat menginisiasi respons imun protektif

nantinya. Namun sel T yang berikatan dengan MHC dan peptida diri di

timus dengan afinitas tinggi mempunyai potensial untuk pengenalan

Page 92: Sistem Imun Full

dengan antigen diri di tubuh, dengan konsekuensi induksi autoimunitas.

Sel-sel dengan afinitas tinggi tersebut dieliminasi melalui proses negative

selection

Proses-proses diatas disebut edukasi timus. Alasan gagalnya toleransi

timus adalah banyaknya peptida diri yang tidak diekspresikan dengan

kadar yang cukup di timus untuk menginduksi negative selection.

Sebagian besar peptida yang berikatan dengan MHC di timus berasal baik

dari protein intraseluler atau terikat membran yang ada dimana-mana,

ataupun protein yang ada di cairan ekstraseluler, sehingga toleransi timus

tidak diinduksi terhadap protein spesifik jaringan.

Toleransi perifer

Terdapat beberapa mekanisme terjadinya toleransi perifer yang

merupakan kontrol lini kedua dalam mengatur sel autoreaktif

Ignorance

Proses immunological ignorance terjadi karena keberadaan antigen

terasing di organ avaskular, seperti humor viterus pada mata. Antigen

tersebut secara efektif tidak “terlihat” oleh sistem imun. Apabila antigen

tersebut lolos dari organ tersebut, maka toleransi perifer aktif akan

berkembang. Proses ini terjadi karena sel T CD4+ hanya mengenali

angtigen yang dipresentasikan melalui molekul MHC II. Dengan distribusi

yang terbatas dari molekul tersebut, maka sebagian besar molekul

spesifik organ tidak akan dipresentasikan dengan kadar yang cukup untuk

menginduksi aktivasi sel T

Pemisahan sel T autoreaktif dengan autoantigen

Antigen diri dan limfosit juga terpisah oleh sirkulasi limfosit yang terbatas.

Sirkulasi ini membatasi limfosit naive ke jaringan limfoid sekunder dan

darah. Untuk mencegah antigen diri mempunyai akses ke antigen-

presenting cells, debris dari jaringan diri yang rusak perlu dibersihkan

secara cepat dan dihancurkan, melalui apoptosis dan mekanisme

pembersihan debris lainnya, termasuk sistem komplemen dan fagositosis.

Defek komplemen dan fagosit berkaitan dengan perkembangan

autoimunitas terhadap molekul intraseluler.

Anergi dan kostimulasi

Mekanisme toleransi perifer yang aktif meliputi delesi sel autoreakitf

melalui apoptosis atau induksi keadaan anergi (tidak respons). Sel T CD4+

Page 93: Sistem Imun Full

naive memerlukan dua sinyal untuk menjadi aktif dan memulai respons

imun. Sinyal pertama berupa sinyal spesifik antigen melalui reseptor

antigen di sel T. Sinyal kedua berupa sinyal non-spesifik ko-stimulasi,

biasanya sinyal oleh CD28 (pada sel T) yang terikat ke salah satu lingkup

B7 (CD80 atau CD86) pada stimulator. Oleh karena itu, meskipun terdapat

pengenalan sel T terhadap molekul peptida spesifik jaringan atau

kompleks MHC, namun bila tidak terdapat ikatan dengan molekul ko-

stimulator, maka stimulasi melalui reseptor sel T akan berujung pada

anergi atau kematian sel T melalui apoptosis (Gambar 15-2). Ekspresi

molekul ko-stimulator ini sangat terbatas. Sinyal stimulator juga terbatas

padaantigen-presenting cells seperti sel dendritik. Dengan adanya

distribusi yang terbatas dan pola resirkulasi, interaksi sel CD4+ dengan

sel dendritik hanya terjadi di jaringan limfoid sekunder seperti nodus

limfe. Ekspresi molekul ko-stimulator dapat diinduksi melalui beberapa

cara, biasanya melalui inflamasi atau kerusakan sel. Namun, dengan

adanya restriksi pola resirkulasi limfosit, maka hanya sel yang telah

teraktivasi sebelumnya yang mempunyai akses ke lokasi perifer.

Sel T teraktivasi juga dapat mengekspresikan molekul permukaan yang

mempunyai struktur serupa dengan molekul ko-stimulator, namun

mempunyai efek negatif terhadap aktivasi sel T, yaitu CTLA-4 yang

mempunyai struktur serupa dengan CD28 dan mengikat ligand yang

sama. Ikatan antara CD80 atau CD86 dengan CTLA4 menginduksi anergi

atau kematian melalui apoptosis (Gambar 15-2). Adanya defek genetik

pada mekanisme apoptosis dapat berakibat pada berkembangnya

autoimunitas.

Supresi

Mekanisme toleransi perifer termasuk supresi aktif dari sel T autoreaktif

melalui penghambatan populasi sel T yang dapat mengenali antigen yang

sama (sel T supresor)

Toleransi sel B

Toleransi sel B bekerja pada sistem perifer. Produksi antibodi autoreaktif

dibatasi terutama oleh kurangnya sel T yang membantu dalam antigen

diri. Sel B baru akan terus dibentuk secara kontinu dari prekursor sumsum

tulang dan banyak diantaranya bersifat autoreaktif. Adanya proses

Page 94: Sistem Imun Full

hipermutasi somatik gen imunoglobulin pada sel B matur di pusat

germinal nodus limfe juga dapat menghasilkan autoantibodi. Apabila sel B

baru atau hipermutasi sel B berikatan dengan antigen yang sesuai, namun

tidak terdapat bantuan sel T, maka sel B akan mengalami apoptosis atau

anergi.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Etiologi

Interaksi antara genetik dan faktor lingkungan penting dalam penyebab

penyakit autoimun.

Faktor genetik

Penyakit autoimun multipel dapat berada dalam satu keluarga dan

autoimun yang bersifat subklinis lebih umum terdapat dalam anggota

keluarga dibandingkan penyakit yang nyata. Peran genetik dalam

penyakit autoimun hampir selalu melibatkan gen multipel, meskipun

dapat pula hanya melibatkan gen tunggal. Beberapa defek gen tunggal ini

melibatkan defek pada apoptosis atau kerusakan anergi dan sesuai

dengan mekanisme toleransi perifer dan kerusakannya. Hubungan antara

gen dengan autoimunitas juga melibatkan varian atau alel dari MHC.

Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab

antara lain hormon, infeksi, obat dan agen lain seperti radiasi ultraviolet.

Hormon

Observasi epidemilogi menunjukkan penyakit autoimun lebih sering

terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki. Sebagian besar penyakit

autoimun mempunyai puncak usia onset dalam masa reproduktif, dengan

beberapa bukti klinis dan eksperimental menyebutkan estrogen sebagai

faktor pencetus. Mekanisme yang mendasarinya belum jelas, namun bukti

menunjukkan estrogen dapat menstimulasi beberapa respons imun.

Contohnya insidens penyakit LES pada wanita pasca pubertas 9 kali lebih

tinggi daripada pria. Belum ada penjelasan tentang hal ini tetapi studi

klinis dan eksperimental pada manusia dan hewan percobaan

memperlihatkan bahwa kecenderungan tersebut lebih ditentukan oleh

Page 95: Sistem Imun Full

hormon sel wanita daripada gen kromosom X. Hewan betina, atau jantan

yang dikastrasi, memperlihatkan kadar imunoglobulin dan respons imun

spesifik yang lebih tinggi daripada jantan normal. Stimulasi estrogen

kronik mempunyai peran penting terhadap prevalensi LES pada wanita.

Walaupun jumlah estrogen pada penderita tersebut normal, aktivitas

estradiol dapat meningkat akibat kelainan pola metabolisme hormon

wanita. Pada wanita penderita LES terdapat peninggian komponen 16α-

hidroksil dari 16α-hidroksiestron dan estriol serum dibandingkan dengan

orang normal. Hormon hipofisis prolaktin juga mempunyai aksi

imunostimulan terutama terhadap sel T.

Infeksi

Hubungan infeksi dengan autoimun tidak hanya berdasar pada

mekanisme molecular mimicry, namun juga terdapat kemungkinan lain.

Infeksi pada target organ mempunyai peran penting dalam up-

regulation molekul ko-stimulan yang bersifat lokal dan juga induksi

perubahan pola pemecahan antigen dan presentasi, sehingga terjadi

autoimunitas tanpa adanya molecular mimicry. Namun, sebaliknya,

autoimun lebih jarang terjadi pada area dengan angka kejadian infeksi

yang tinggi. Mekanisme proteksi autoimun oleh infeksi ini masih belum

jelas.

Virus sering dihubungkan dengan penyakit autoimun. Infeksi yang terjadi

secara horizontal atau vertikal akan meningkatkan reaksi autoimun

dengan berbagai jalan, antara lain karena aktivasi poliklonal limfosit,

pelepasan organel subselular setelah destruksi sel, fenomena asosiasi

pengenalan akibat insersi antigen virus pada membran sel yang

meningkatkan reaksi terhadap komponen antigen diri, serta gangguan

fungsi sel Ts akibat infeksi virus. Virus yang paling sering dikaitkan

sebagai pencetus autoimunitas adalah EBV, selain miksovirus, virus

hepatitis, CMV , virus coxsackie, retrovirus, dan lain-lain.

Obat

Banyak obat dikaitkan dengan timbulnya efek samping idiosinkrasi yang

dapat mempunyai komponen autoimun di dalam patogenesisnya. Sangat

penting untuk membedakan respons imunologi dari obat (hipersensitivitas

obat), baik berasal dari bentuk asli maupun kompleks dengan molekul

Page 96: Sistem Imun Full

pejamu, dengan proses autoimun asli yang diinduksi oleh obat. Reaksi

hipersensitivitas biasanya reversibel setelah penghentian obat sedangkan

proses autoimun dapat berkembang progresif dan memerlukan

pengobatan imunosupresif.

Mekanisme autoimun yang diinduksi obat kemungkinan mengikuti

mekanismemolecular mimicry, yaitu molekul obat mempunyai struktur

yang serupa dengan molekul diri, sehingga dapat melewati toleransi

perifer. Beberapa obat (seperti penisiliamin) dapat terikat langsung

dengan peptida yang mengandung molekul MHC dan mempunyai

kapasitas langsung untuk menginduksi respons abnormal sel T.

Kerentanan yang berbeda tersebut terutama ditentukan oleh genetik.

Variasi genetik pada metabolisme obat juga berperan, adanya defek pada

metabolisme mengakibatkan formasi konjugat imunologi antara obat

dengan molekul diri. (Pada SLE yang diinduksi obat, asetilator kerja

lambat lebih rawan menyebabkan SLE). Obat juga mempunyai ajuvan

intrinsik atau efek imunomodulator yang mengganggu mekanisme

toleransi normal.

Agen fisik lain

Pajanan terhadap radiasi ultraviolet (biasanya dalam bentuk sinar

matahari) merupakan pemicu yang jelas terhadap inflamasi kulit dan

kadang keterlibatan sistemik pada SLE, namun radiasi ini lebih bersifat

menyebabkan flare dalam respons autoimun yang sudah ada

dibandingkan sebagai penyebab. Radiasi ultraviolet memperberat SLE

melalui beberapa mekanisme. Radiasi dapat menyebabkan modifikasi

struktur pada antigen diri sehingga mengubah imunogenitasnya. Radiasi

tersebut juga dapat menyebabkan apoptosis sel dalam kulit melalui

ekspresi autoantigen lupus pada permukaan sel, yang berkaitan dengan

fotosensitivitas (dikenal dengan Ro dan La).  Permukaan Ro dan La

kemudian dapat berikatan dengan autoantibodi dan memicu kerusakan

jaringan. Variasi genetik yang mengkode gen glutation-S-transferase juga

dikaitkan dengan peningkatan antibodi anti-Ro pada SLE. Pemicu lain

yang diduga berkaitan dengan penyakit autoimun antara lain stres

psikologis dan faktor diet.

Patogenesis

Page 97: Sistem Imun Full

Berbagai teori telah diajukan oleh para peneliti tentang patogenesis

autoimunitas tetapi tampaknya masing-masing mempunyai kebenaran

dan kelemahan sendiri.

Berbagai teori patogenesis autoimunitas

Pelepasan antigen sekuesterPenurunan fungsi sel T supresorPeningkatan aktivitas sel Th, pintas sel TDefek timusKlon abnormal, defek induksi toleransiSel B refrakter terhadap sinyal supresorDefek makrofagDefek sel stemDefek jaringan idotip-antiidiotipGen abnormal: gen respons imun, gen imunoglobulinFaktor virusFaktor hormon

Berdasarkan karakteristik penyakit autoimun organ spesifik maka timbul

dugaan adanya antigen sekuester dalam suatu organ, yang karena tidak

pernah berkontak dengan sistem limforetikular maka apabila suatu saat

terbebas akan dianggap asing dan menimbulkan pembentukan

autoantibodi. Contohnya adalah autoantibodi terhadap sperma setelah

vasektomi, lensa mata setelah trauma mata, otot jantung setelah infark

miokard, atau jaringan lain yang bila terbebas akan menimbulkan

pembentukan autoantibodi.

Seperti telah kita ketahui maka aktivasi sistem imun akan diikuti oleh

mekanisme pengatur yang meningkatkan atau menekan dan

menghentikan respons imun. Gangguan pada mekanisme supresi, baik

jumlah maupun fungsi sel Ts, akan meningkatkan pembentukan

autoantibodi bila respons imun tersebut sel ditujukan terhadap

autoantigen.

Respons imun hampir selalu membutuhkan kerjasama sel T dan sel B, dan

telah diketahui bahwa mekanisme toleransi ditentukan oleh sel T. Bila sel

T toleran tersebut teraktivasi oleh faktor nonspesifik atau antigen silang

yang mirip dengan antigen diri, maka sel B yang bersifat tidak toleran

akan membentuk autoantibodi. Timus dan sel mikronya sangat penting

untuk diferensiasi sel T. Bila terjadi gangguan maka akan terjadi defek

sistem imun yang akan mempercepat proses autoimun. Produksi

autoantibodi dilakukan oleh sel B, dan gangguan imunitas selular, baik

peningkatan sel Th atau penekanan sel Ts, akan meningkatkan aktivitas

sel B.

Page 98: Sistem Imun Full

Selain itu dapat juga terjadi kelainan pada sel B yang bersifat intrinsik,

misalnya terdapat klon sel B autoreaktif yang hiperresponsif terhadap

berbagai stimuli, atau kelainan ekstrinsik berupa aktivasi sel B oleh

mitogen endogen atau eksogen yang disebut aktivator poliklonal. Sel B

dapat bereaksi dengan autoantigen melalui berbagai reseptornya yang

mempunyai aviditas rendah sampai tinggi, sementara sel T tetap toleran. 

Aktivator  poliklonal  yang  terdiri  dari  produk  bakteri,  virus,  atau

komponen virus, parasit, atau  substansi lainnya dapat langsung

merangsang sel B tersebut untuk memproduksi autoantibodi (lihat

Gambar 15-3). Hal ini dapat terlihat dengan terdeteksinya faktor

rheumatoid dan antinuklear, antilimfosit, antieritrosit, serta anti-otot polos

setelah infeksi parasit, bakteri, atau virus. Selain itu terbukti pula bahwa

lipopolisakarida bakteri dapat menginduksi limfosit tikus untuk

memproduksi berbagai autoantibodi seperti anti DNA, antiglobulin

γ ,antitimosit, dan antieritrosit.

Makrofag mempunyai fungsi penting untuk memproses dan

mempresentasikan antigen pada limfosit, serta memproduksi berbagai

sitokin untuk aktivasi limfosit. Fungsi penting lainnya adalah sebagai

fagosit untuk mengeliminasi berbagai substansi imunologik yang tidak

diinginkan, misalnya kompleks imun. Pada penderita penyakit autoimun

diduga bahwa eliminasi kompleks imun tidak berfungsi dengan baik

karena jumlah reseptor Fc dan CR1 (C3b, imun adherens) pada makrofag

berkurang, tetapi hasil penelitian tentang fungsi makrofag pada penyakit

autoimun masih belum konsisten.

Autoimunitas dapat juga terjadi karena defek pembentukan toleransi yang

telah dibuktikan pada hewan percobaan, akibat gangguan sel T atau sel B,

atau keduanya. Gangguan toleransi ini hanya terjadi untuk antigen

tertentu saja. Sampai sejauh ini masih belum dapat diambil kesimpulan

komprehensif dari penelitian tentang peran defek toleransi tersebut.

Cara terbaik untuk membuktikan peran humoral, selular, lingkungan

mikro atau virus terhadap autoimunitas adalah uji transfer autoimunitas

dengan jaringan atau ekstrak jaringan hewan percobaan yang mempunyai

predisposisi genetik autoimun ke resipien tanpa defek tersebut. Dengan

Page 99: Sistem Imun Full

cara ini maka terlihat bahwa defek sel stem, terutama prekursor sel B,

lebih berperan untuk timbulnya autoimunitas daripada sel B matang.

Aktivasi sel B ditentukan oleh sejumlah sinyal dan faktor yang datang dari

sel T. Pada penyakit autoimun sistemik terdapat peningkatan jumlah sel B

aktif dan yang memproduksi antibodi poliklonal. Hiperreaktivitas sel B ini

disebabkan oleh defek sel B terhadap kebutuhan sinyal, produksi faktor

proliferasi, diferensiasi, dan maturasi oleh sel T yang berlebih, atau

respons sel B yang tidak normal terhadap faktor-faktor tersebut.

Akibatnya akan terjadi hipergamaglobulinemia, produksi autoantibodi, alih

imunoglobulin menjadi autoantibodi subkelas patologik, dan akhirnya

penyakit autoimun sistemik.

Para penulis sepakat bahwa peran faktor genetik terhadap angka

kejadian, awitan, dan perjalanan penyakit autoimun sangat besar. Gen

yang bertanggung jawab terhadap predisposisi autoimun ini bukanlah

lokus tunggal, dan dihubungkan dengan gen yang menentukan respons

imun terhadap antigen, yaitu gen MHC dan gen imunoglobulin. Hal ini

terlihat dari adanya hubungan antara suatu antigen HLA dengan penyakit

tertentu yang dinyatakan dengan risiko relatif.

Sel B dan sel T serta produknya dapat mengekspresikan determinan

idiotip atau anti-idiotip yang ikut berfungsi sebagai regulator sistem imun.

Antibodi anti-idiotipik dapat menekan atau merangsang respons imun.

Pada umumnya autoantibodi anti-idiotipik akan menekan respons imun

terhadap idiotip. Seperti halnya antibodi biasa,  autoantibodi merupakan

produk respons imun terhadap antigen/autoantigen, atau terhadap Ab2

(anti-idiotip) yang menyerupai antigen. Oleh karena itu dapat diduga

bahwa autoimunitas dapat terjadi akibat defek regulasi sistem imun yang

menyebabkan penekanan atau rangsangan produksi antibodi anti-

idiopatik (lihat Gambar 15-4). Defek tersebut dapat menyebabkan

produksi autoantibodi atau stimulasi Ab1 (idiotip) yang tidak terkontrol

walaupun tidak ada antigen lagi. Diduga bahwa defek ini berhubungan

erat dengan sirkuit sel B-Th-Ts dan idiotip serta anti-idiotipnya.

Tidak satu pun dari teori tersebut dapat memberikan penjelasan tunggal

yang memuaskan, sehingga disimpulkan bahwa semua faktor tersebut

berperan pada patogenesis autoimunitas.

Page 100: Sistem Imun Full

Mekanisme rusaknya toleransi

Mengatasi toleransi perifer

Keadaan yang mengakibatkan rusaknya toleransi biasanya berkaitan

dengan infeksi dan kerusakan jaringan yang non-spesifik. Pembalikan

anergi dapat terjadi oleh paparan sitokin tertentu, terutama IL-2. Penyakit

autoimun yang bertambah berat terlihat pada terapi dengan IL-2 pada

keganasan. Pembalikan supresi oleh sel T baru dapat dilihat pada hewan

yang kehilangan sitokin imunosupresif.

Toleransi perifer yang rusak dapat terjadi akibat akses antigen diri yang

tidak tepat padaantigen-presenting cells, ekspresi lokal molekul ko-

stimulator yang tidak tepat atau perubahan cara molekul diri

dipresentasikan ke sistem imun. Hal-hal tersebut terjadi saat inflamasi

atau kerusakan jaringan, diinduksi oleh infeksi lokal atau faktor fisik.

Inflamasi lokal akan meningkatkan aliran antigen diri ke nodus limfe (dan

juga keantigen-presenting cells) dan juga menginduksi ekspresi molekul

MHC dan molekul ko-stimulator. Adanya peningkatan enzim proteolitik

pada lokasi inflamasi juga dapat menyebabkan kerusakan protein

intraseluler dan ekstraseluler, menyebabkan sejumlah peptida dengan

konsentrasi tinggi dipresentasikan ke sel T yang responsif, peptida

tersebut dinamakan cryptic epitopes. Peptida diri juga dapat diubah oleh

virus, radikal bebas dan radiasi ion, dan akhirnya melewati toleransi yang

telah ada sebelumnya.

Kemiripan molekul

Kesamaan struktur antara protein diri dengan protein dari

mikroorganisme juga dapat memicu respons autoimun. Peptida diri

dengan konsentrasi rendah dan tanpa akses keantigen-presenting

cells dapat bereaksi silang dengan peptida mikrobial yang memiliki

struktur serupa. Hal ini mengakibatkan ekspansi populasi sel T yang

responsif yang dapat mengenali peptida diri, apabila kondisi lokal (seperti

kerusakan jaringan) menyebabkan presentasi peptida tersebut dan akses

sel T ke jaringan tersebut .

Molecular mimicry, antigen mikrobial dan antigen diri yang

terlibat

Antigen mikrobial Antigen diri Penyakit yang diduga

Page 101: Sistem Imun Full

akibat molecular mimicry

Protein grup A streptokokus M

Antigen di otot jantung Demam reumatik

Bacterial heat shock proteins

Self heat shock proteins

Terkait dengan penyakit autoimun berat namun belum terbukti

Protein inti Coxsackie B4

Glutamat dekarboksilase sel pulau pankreas

Diabetes melitus dependen insulin

GlikoproteinCampylobacter jejuni

Gangliosida dan glikolipid terkait mielin

Sindrom Guillain-Barre

Heat shock protein dariEschericia coli

Subtipe rantai HLA-DR β mengandung “epitop bersama” artritis reumatoid Artritis reumatoid

Sekali toleransi rusak terhadap peptida tertentu, maka inflamasi berlanjut

pada presentasi peptida lainnya dan respons imun akan meluas dan

menghasilkan percepatan kerusakan jaringan lokal. Proses domino ini

disebut epitope spreading.

Sel T yang belum pernah terpajan dengan antigen (sel T naive)

memerlukan ko-stimulasi melalui CD28 unutk dapat berperan dalam

respons imun. Namun, sel T yang sebelumnya sudah teraktivasi dapat

diinduksi untuk proliferasi dan produksi sitokin melalui variasi sinyal ko-

stimulasi yang lebih luas, dicetuskan oleh molekul adesi yang

diekspresikan di sel tersebut. Oleh karena itu, sel autoreaktif yang telah

teraktivasi sebelumnya tidak hanya resirkulasi secara bebas di jaringan

yang terinflamasi (karena adanya peningkatan ekspresi molekul adesi)

namun juga lebih mudah mengaktivasi setelah sampai di jaringan yang

mengandung peptida diri/kompleks MHC yang sesuai. Hal ini menandakan

sekali barier toleransi rusak, respons autoimun akan lebih mudah

bertahan dan menyebabkan proses patogenik autoreaktif yang lama pula.

Mekanisme kerusakan jaringan

Kerusakan jaringan pada penyakit autoimun diperantarai oleh antibodi

(hipersensitivitas tipe II dan III) atau aktivasi makrofag oleh sel T CD4+

Page 102: Sistem Imun Full

atau sel T sitotoksik (hipersensitivitas tipe IV). Mekanisme kerusakan

dapat tumpang tindih antara kerusakan yang diperantarai antibodi

dengan sel T.

Selain kerusakan jaringan yang diperantarai oleh mekanisme

hipersensitivitas, autoantibodi juga dapat menyebabkan kerusakan

dengan terikat pada lokasi fungsional dari antigen diri, seperti pada

reseptor hormon, reseptor neurotransmiter dan protein plasma.

Autoantibodi tersebut dapat menyerupai atau menghambat aksi ligand

endogen dari antigen diri, sehingga menyebabkan abnormalitas fungsi

tanpa adanya inflamasi atau kerusakan jaringan. Kerusakan yang

diperantarai antibodi pada autoimunitas terjadi bila autoantibodi

mengenali antigen yang bebas di cairan ekstraseluler atau diekspresikan

pada permukaan sel.

DIAGNOSIS

Beberapa pemeriksaan autoantibodi seringkali dapat membantu diagnosis

penyakit autoimun Pemeriksaan tersebut juga bermanfaat sebagai

pemeriksaan penyaring pada kelompok risiko seperti misalnya keluarga

penderita penyakit autoimun, atau mencari penyakit autoimun lain yang

sering menyertai suatu penyakit autoimun tertentu seperti kemungkinan

tiroiditis pada gastritis autoimun atau sebaliknya.

Diagnosis gangguan autoimun sebagian besar bertumpu pada sejarah

yang akurat dan pemeriksaan fisik pasien, dan indeks kecurigaan yang

tinggi dengan latar belakang kelainan tertentu pada tes laboratorium rutin

(misalnya, tinggi protein C-reaktif ). Pada gangguan sistemik beberapa tes

serologi yang dapat mendeteksi spesifik autoantibodi dapat digunakan.

Gangguan Local paling mudah didiagnosa oleh biopsi spesimen

Page 103: Sistem Imun Full

imunofluoresensi . Autoantibodi digunakan untuk mendiagnosa beberapa

penyakit autoimun .  Tingkat autoantibodi diukur untuk menentukan

kemajuan penyakit.

Pemeriksaan autoantibodi untuk diagnosis penyakit autoimun

Penyakit Antibodi

Tiroditis Hashimoto Tiroid

Miksedema primer Tiroid

Tirotoksikosis Tiroid

Anemia pernisiosa Lambung

Atrofi adrenal idiopatik Adrenal

Miastenia gravis Otot, reseptor asetilkolin

Pemvigus vulgaris dan pemfigoid Kulit

Anemia hemolitik autoimun Eritrosit (uji Coombs)

Sindrom Sjogren Sel duktus salivarius

Sirosis biliar orimer Mitokondria

Hepatitis kronik aktif Anti Sm, mitokondria

Artritis reumatoid Antiglobulin

LES Antinuklear, DNA, sel LE

Skleroderma Nukleolus

Penyakit jaringan ikat lain Nukleolus

PENGOBATAN

Page 104: Sistem Imun Full

Pengobatan untuk penyakit autoimun secara tradisional seperti

imunosupresif , anti-inflamasi (steroid), atau paliatif . Non-imunologi

terapi, seperti penggantian hormon pada tiroiditis Hashimoto atau tipe 1

diabetes mellitus mengobati hasil dari respon autoaggressive, sehingga

ini adalah paliatif perawatan. Intervensi diet dan manipulasi diet

membatasi keparahan penyakit celiac, srtritis dan penyakit

lainnya.Pengobatan steroid atau NSAID membatasi gejala inflamasi dari

banyak penyakit. Terapi spesifik imunomodulator , seperti antagonis TNFa

(misalnya etanercept ), sel B depleting agen rituximab , reseptor anti-IL-6

tocilizumab dan pemblokir costimulation abatacept telah terbukti berguna

dalam mengobati RA. Beberapa immunotherapies mungkin berhubungan

dengan peningkatan risiko efek samping, seperti kerentanan terhadap

infeksi.

Terapi obat cacing adalah pendekatan eksperimental yang melibatkan

inokulasi pasien dengan spesifik usus parasit nematoda (cacing).  Saat ini

ada dua perlakuan yang terkait erat tersedia, inokulasi dengan baik

Necator americanus, umumnya dikenal sebagai cacing tambang ,

Trichuris atau Ova Suis, umumnya dikenal sebagai Telur cacing cambuk

babi. T vaksinasi sel juga sedang dieksplorasi sebagai terapi masa depan

untuk auto-imun gangguan.

Dua prinsip strategi pengobatan autoimun antara lain supresi respons

imun atau mengganti fungsi organ yang rusak. Penggantian fungsi

merupakan metode pengobatan yang sering digunakan pada autoimun

endokrinologi pada gagal organ yang ireversibel, contohnya pada

hipotirodisme. Namun apabila kebutuhan hormon yang defisit tidak dapat

diatasi melalui terapi pengganti, maka dapat timbul masalah metabolik.

Supresi autoimun sebelum kerusakan organ ireversibel menjadi pilihan

yang lebih menarik, namun sangat sulit dalam deteksi dini. Pada kasus

autoimun seperti SLE, artritis reumatoid dan penyakit ginjal autoimun,

terapi imunosupresi menjadi sarana yang dapat mencegah disabilitas

berat dan kematian. Pengobatan penyakit autoimun meliputi kontrol

metabolik, obat anti-inflamasi, imunosupresan, dan kontrol imunologis.

Kontrol metabolik

Page 105: Sistem Imun Full

Sebagian besar pendekatan pengobatan penyakit autoimun adalah

dengan manipulasi respons imun. Tetapi pada penyakit organ spesifik

kontrol metabolik biasanya sudah memadai, misalnya pemberian tiroksin

untuk miksedema primer, insulin untuk diabetes juvenil, vitamin B12

untuk anemia pernisiosa, obat antitiroid untuk penyakit Grave, dan lain-

lain.

Obat antikolinesterase untuk miastenia gravis biasanya diberikan dalam

jangka panjang. Timektomi seringkali bermanfaat sehingga disimpulkan

bahwa kelenjar tersebut mengandung reseptor asetilkolin dalam bentuk

antigen.

Obat anti-inflamasi

Obat yang bekerja sebagai anti-inflamasi, misalnya kortikosteroid,

menunjukkan manfaat terhadap berbagai penyakit autoimun serius

seperti miastenia gravis, LES, dan nefritis kompleks imun. Obat AINS

seperti salisilat, indometasin, fenoprofen atau ibuprofen dipakai pula

untuk artritis rheumatoid.

Imunosupresan

Siklosporin A yang menghambat sekresi IL-2 bekerja sebagai anti-

inflamasi dan antimitotik, serta telah dicoba pemakaiannya untuk

diabetes juvenil, LES, dan artritis reumatoid walaupun masih belum dapat

diambil kesimpulan akhir tentang manfaatnya.

Imunosupresan yang dipakai saat ini umumnya obat konvensional yang

bersifat nonspesifik, misalnya azatioprin, siklofosfamid, dan metotreksat

yang biasanya diberikan bersama kortikosteroid. Pengobatan tersebut

telah sering dilakukan dengan hasil cukup baik, misalnya untuk LES,

hepatitis kronik aktif, dan anemia hemolitik autoimun.

Kontrol imunologis

Pada saat ini kontrol imunologis terhadap penyakit autoimun masih

sangat terbatas pemakaiannya untuk riset terutama pada hewan

percobaan. Tindakan yang cukup sering dilakukan adalah transfusi tukar

plasma untuk mengurangi kompleks imun, yang dilaporkan bermanfaat

sementara untuk LES tetapi cukup baik untuk sindrom Goodpasture.

Page 106: Sistem Imun Full

Iradiasi kelenjar limfe total masih terus dieksplorasi dan diamati hasilnya.

Pada saatnya kelak diharapkan akan dapat dilakukan koreksi terhadap

defek sel stem atau timus dengan transplantasi sumsum tulang, sel stem

atau timus, atau dengan hormon timus. Selain itu pemberian faktor timus

diharapkan akan dapat menjaga kontrol sel Ts terhadap autoimunitas.

Percobaan pada hewan telah berhasil untuk melakukan switching-off sel B

yang terlihat dengan menurunnya anti-DNA. Demikian pula pemberian

beberapa antibodi monoklonal seperti anti-kelas II dan antiT4

memperlihatkan perbaikan klinis LES dan artritis reumatoid pada hewan

percobaan.

Aksi imunosupresif kuat oleh antibodi anti-idiotipik telah dicoba untuk

dimanfaatkan. Bayi yang lahir dari ibu penderita miastenia gravis dapat

bertahan terhadap efek patogen anti-reseptor asetilkolin maternal dengan

membentuk anti-idiotipik terhadap antibodi maternal tersebut.

Diharapkan aplikasi pemahaman terhadap jaringan anti-idiotip akan dapat

mengatasi berbagai kesulitan pada pengobatan penyakit autoimun.

Beberapa subjek penelitian lain misalnya terhadap aktivitas

kontrasupresor atau ekspresi HLA yang tidak adekuat, antagonis limfokin,

atau mengolah berbagai matra sitotoksik baik dengan pemanfaatan toksin

bakteri ataupun bahan radioaktif.

REFERENCES RECOMMENDED

Stefanova I., Dorfman J. R. and Germain R. N. (2002). “Self-

recognition promotes the foreign antigen sensitivity of naive T

lymphocytes”. Nature 420 (6914): 429–434. doi:10.1038/nature01146.

PMID 12459785.

Ainsworth, Claire (Nov. 15, 2003). The Stranger Within. New

Scientist

Theory: High autoimmunity in females due to imbalanced X

chromosome inactivation:

Uz E, Loubiere LS, Gadi VK, et al. (June 2008). “Skewed X-

chromosome Inactivation in Scleroderma”. Clin Rev Allergy Immunol

34 (3): 352–5. doi:10.1007/s12016-007-8044-z. PMC 2716291. PMID

18157513.

Page 107: Sistem Imun Full

Saunders K, Raine T, Cooke A, Lawrence C (2007). “Inhibition of

Autoimmune Type 1 Diabetes by Gastrointestinal Helminth Infection”.

Infect Immun 75 (1): 397–407.

Parasite Infection May Benefit Multiple Sclerosis Patients

Wållberg M, Harris R (2005). “Co-infection with Trypanosoma brucei

brucei prevents experimental autoimmune encephalomyelitis in DBA/1

mice through induction of suppressor APCs”. Int Immunol 17 (6): 721–

8.

Edwards JC, Cambridge G (2006). “B-cell targeting in rheumatoid

arthritis and other autoimmune diseases”. Nature Reviews

Immunology 6 (5): 394–403.

Kubach J, Becker C, Schmitt E, Steinbrink K, Huter E, Tuettenberg A,

Jonuleit H (2005). “Dendritic cells: sentinels of immunity and

tolerance”. Int J Hematol 81 (3): 197–203.

Induction of autoantibodies against tyrosinase-related proteins

following DNA vaccination: Unexpected reactivity to a protein

paralogue Roopa Srinivasan, Alan N. Houghton, and Jedd D. Wolchok

Green, R.S., Stone, E.L., Tenno, M., Lehtonen, E., Farquhar, M.G.,

and Marth, J.D. (2007) “Mammalian N-glycan branching protects

against innate immune self-recognition and inflammation in

autoimmune disease pathogenesis” Immunity 27: 308-320.

Zaccone P, Fehervari Z, Phillips JM, Dunne DW, Cooke A (2006).

“Parasitic worms and inflammatory diseases”. Parasite Immunol. 28

(10): 515–23. doi:10.1111/j.1365-3024.2006.00879.x. PMC 1618732.

PMID 16965287.

Dunne DW, Cooke A (2005). “A worm’s eye view of the immune

system: consequences for evolution of human autoimmune disease”.

Nat. Rev. Immunol. 5 (5): 420–6.

Dittrich AM, Erbacher A, Specht S, et al. (2008). “Helminth Infection

with Litomosoides sigmodontis Induces Regulatory T Cells and Inhibits

Allergic Sensitization, Airway Inflammation, and Hyperreactivity in a

Murine Asthma Model”. J. Immunol. 180 (3): 1792–9.

Wohlleben G, Trujillo C, Müller J, et al. (2004). “Helminth infection

modulates the development of allergen-induced airway inflammation”.

Int. Immunol. 16 (4): 585–96. doi:10.1093/intimm/dxh062. PMID

15039389.

Page 108: Sistem Imun Full

Quinnell RJ, Bethony J, Pritchard DI (2004). “The

immunoepidemiology of human hookworm infection”. Parasite

Immunol. 26 (11–12): 443–54. doi:10.1111/j.0141-9838.2004.00727.x.

PMID 15771680.

Pike B, Boyd A, Nossal G (1982). “Clonal anergy: the universally

anergic B lymphocyte”. Proc Natl Acad Sci USA 79 (6): 2013–7.

doi:10.1073/pnas.79.6.2013. PMC 346112. PMID 6804951.

Jerne N (1974). “Towards a network theory of the immune system”.

Ann Immunol (Paris) 125C (1–2): 373–89. PMID 4142565.

Edwards JC, Cambridge G, Abrahams VM (1999). “Do self

perpetuating B lymphocytes drive human autoimmune disease?”.

Immology 97: 1868–1876.

Klein J, Sato A (September 2000). “The HLA system. Second of two

parts”. N. Engl. J. Med. 343 (11): 782–6.

doi:10.1056/NEJM200009143431106. PMID 10984567.

Women and Autoimmune Disorders By Krisha McCoy. Medically

reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH. Last Updated: 12/02/2009

Referensi

Page 109: Sistem Imun Full

Abdul Ghaffar, Prakash Nagarkatti (2009). “MHC: GENETICS AND

ROLE IN TRANSPLANTATION”. Microbiology and Immunology

Online.http://pathmicro.med.sc.edu/ghaffar/mhc2000.htm.

Nobuaki Ishii, Mitsuro Chiba, Masahiro Iizuka, Hiroyuki Watanabe,

Tomonori Ishioka, Osamu Masamune (1992). “Expression of MHC class

II antigens (HLA-DR, -DP, and -DQ) on human gastric

epithelium”. Journal of Gastroenterology 27 (1): 23-

28. http://www.springerlink.com/content/116u7825q2615448/fulltext.p

df?page=1.

David S. Wilkes, William J. Burlingham (2004). Immunobiology of

organ transplantation. Springer.

Pandjassarame Kangueane (2009). Bioinformation Discovery: Data

to Knowledge in Biology. Springer.

Anthony L. DeFranco, Richard M. Locksley, Miranda Robertson

(2007). Immunity: the immune response in infectious and

inflammatory disease. Oxford University Press.

 

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI VAKSIN

Page 110: Sistem Imun Full

Diposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Vaksin yang ideal adalah relatif mudah untuk menentukan target

sasaran, tetapi beberapa vaksin mempunyai pendekatan yang

ideal dan tidak ada vaksin yang mempunyai target banyak

organisme. Vaksin adalah strategi satunya pelindung realistis di

masa mendatang. Banyak kesulitan dan kegagalan untuk

memproduksi vaksin. Semua mikro-organisme menyebarkan

mekanisme penghindaran yang mengganggu respon imun yang

efektif dan banyak organisme tidak jelas respon imun

yang memberikan perlindungan yang efektif. Namun, kemajuan

terbaru dalam teknologi imunologi untuk mempelajari respon

kekebalan terhadap patogen telah memberikan pemahaman yang

lebih baik mekanisme kekebalan tubuh, termasuk memori

imunologi, dan menyebabkan realisasi bahwa inisiasi respon imun

adalah suatu peristiwa kunci yang memerlukan memicu melalui

sinyal ‘bahaya’. Berdasarkan temuan ini, pengembangan adjuvant

baru, formulasi vaksin vektor dan memungkinkan stimulasi

kekebalan protektif optimal dan berkepanjangan harus mengarah

pada pengenalan vaksin untuk organisme yang sebelumnya

resisten.

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan

seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia

terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit.

Terdapat dua macam kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan

kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari

luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah

kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang

diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif

tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.

Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh

imunoglobulin lainnya lebih  pendek.

Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri

akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan

secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama

karena adanya memori imunologik.

Page 111: Sistem Imun Full

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit

tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada

sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan

penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang

terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis-jenis penyakit yang

transmisinya bergantung kepada manusia, seperti misalnya penyakit

difteria. Agar dapat lebih mudah memahami mengenai proses

imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu

diketahui tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh

(lihat juga bab tentang respons imun).

RESPONS IMUN

Dilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam

respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.

Respons imun primer Respons imun primer adalah respons imun

yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi

yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM

dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun

sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen

masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila

dibanding dengan respons imun sekunder

Respons imun sekunder Pada respons imun sekunder, antibodi

yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang

lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun

primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons

imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan

diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.

Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit T akan lebih cepat

mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel T aktif

sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori.  Pada

imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan

memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa

kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan

mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan

dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.

Page 112: Sistem Imun Full
Page 113: Sistem Imun Full
Page 114: Sistem Imun Full

KEBERHASILAN IMUNISASI

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu

status imun host, faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas

vaksin.

Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan

akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang

semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus

campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi

spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang

memuaskan.  Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA

sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi

keberhasilan vaksinasi polio yang dlberikan secara oral. Tetapi

umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah

pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di

subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata

sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5

bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila

Page 115: Sistem Imun Full

vaksinasi polio secara oral diberikan pada masa kadar sIgA polio ASI

masih tinggi, hendaknya ASI jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum

dan sesudah vaksinasi.\

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi

neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi

mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada

permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons

kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas

opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik

serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol dibanding pada

bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin

lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi

baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu

masih kurang. Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang

kurang dibanding pada anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda

sampai bayi berumur 2 bulan atau lebih.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang

mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun

kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi

imun sekunder seperti pada penyakit keganasan, juga akan

mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, bahkan adanya defisiensi imun

merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat

menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi pada individu

yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau

tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun

seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas

humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-γ normal

atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat

mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam

amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen

juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons

terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Faktor genetik host

Page 116: Sistem Imun Full

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas

genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas

responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.

Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,

tetapi terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan

keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam

respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada

kompleks MHC dengan non MHC.

Gen kompleks MHC

Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan

mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan

sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan

molekul MHC kelas II.

Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti

bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara klinis

terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih sering pada HLA

tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan

HLA-B27.

Gen non MHC

Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan

dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang

terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-

laki.

Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan

perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan

penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran

genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya

belum diketahui.

Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa

sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap

mengandung antigenesitasnya. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas

vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara

pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan

jenis vaksin.

Page 117: Sistem Imun Full

Cara pemberian vaksin

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang

timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di

samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan

memberikan imunitas sistemik saja.

Dosis vaksin

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi

respons imun yang terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan

menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu

rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat

diketahui dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus sesuai

dengan dosis yang direkomendasikan.

Frekuensi pemberian

Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang

terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder

menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya,

dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian

pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin

berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,

maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik

tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten,

bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu

bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan

kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.

Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa

yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji coba.

Ajuvan

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan

respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons

imun dengan cara mempertahankan antigen pada tempat suntikan,

dan mengaktivasi sel APC untuk memproses antigen secara efektif

dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel

imunokompeten lainnya.

Jenis vaksin

Vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik

dibandingkan vaksin lainnya seperti vaksin mati atau yang diinaktivasi

Page 118: Sistem Imun Full

(killed atau inactivated), atau komponen dari mikroorganisme.

Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi

sehingga dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi

virus yang pengeluarannya melalui budding.

Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah

untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit

yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan cara memodifikasi kondisi

tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah,

kondisi anaerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada

pembuatan vaksin TBC yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula

dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk

manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

PERSYARATAN VAKSIN

1. mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan

memproduksi interleukin,

2. mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel 

memori,

3. mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop,

untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam

populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan

4. memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel

folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut

sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu untuk

menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus

sehingga kadarnya tetap tinggi.  

REFERENCES RECOMMENDED

Doherty PC, Topham DJ, Tripp R. Establishment and persistence of

virus-specific CD4+ and CD8+ T cell memory. Immunol Rev 1996;

150: 23–44

Altman JD, Moss PAH, Goulder PJR et al. Phenotypic analysis of

antigen-specific T lymphocytes. Science 1996; 274: 94–6

Callan MFC, Tan L, Annels N et al. Direct visualization of antigen-

specific CD8+ T cells during the primary immune response to Epstein-

Barr virus in vivo. J Exp Med 1998; 187: 1395–402

Page 119: Sistem Imun Full

Champagne P, Ogg GS, King AS et al. Skewed maturation of memory

HIV-specific CD8 T lymphocytes. Nature 2001; 410: 106–11

Mosmann TR, Coffman RL. Th1 and Th2 cells: different patterns of

lymphokine secretion lead to different functional properties. Annu Rev

Immunol 1989; 7: 145–73

Mosmann TR, Sad S. The expanding universe of T-cell subsets: Th1,

Th2 and more. Immunol Today 1996; 17: 138–46

Romagnani S. The Th1/Th2 paradigm. Immunol Today 1997; 18:

263–6

Romagnani S. Lymphokine production by human T cells in disease

states. Annu Rev Immunol 1994; 12: 227–58

Launios P, Conceicao-Silva F, Himmerlich H, Parra-Lopez C, Tacchini-

Cottier F, Louis JA. Setting in motion the immune mechanisms

underlying genetically determined resistance and susceptibility to

infection with Leishmania major. Parasite Immunol 1998; 20: 223–30

Alcami A, Koszinowski U. Viral mechanisms of immune evasion.

Immunol Today 2000; 21: 420–5

Gewurz BE, Gaudet R, Tortorella D, Wang EW, Ploegh H. Virus

subversion of immunity: a structural perspective. Curr Opin Immunol

2001; 13: 442–50

Webby RJ, Webster RG. Emergence of influenza A viruses. Philos

Trans R Soc Lond B Biol Sci 2001; 29: 1817–28

Phillips RE, Rowland-Jones SL, Nixon DF et al. Human

immunodeficiency virus genetic variation that can escape cytotoxic T

cell recognition. Nature 1991; 354: 453–9

Borrow P, Lewicki H, Wei X et al. Antiviral pressure exerted by HIV-1-

specific cytotoxic T lymphocytes (CTLs) during primary infection

demonstrated by rapid selection of CTL escape virus. Nat Med 1997;

3: 212–7

Rook GA, Ristori G, Salvetti M, Giovannoni G, Thompson EJ, Stanford

JL. Bacterial vaccines for the treatment of multiple sclerosis and other

autoimmune disorders. Immunol Today 2000; 21: 503–8

Rook G. Clean living increases more than just atopic disease.

Immunol Today 2000; 21: 249–50

Page 120: Sistem Imun Full

Kaul R, Rowland-Jones SL, Kimani J, et al. New insights into HIV-1

specific cytotoxic T-lymphocyte responses in exposed, persistently

seronegative Kenyan sex workers. Immunol Lett 2001; 79: 3–13

McMichael AJ, Rowland-Jones SL. Cellular immune responses to HIV.

Nature 2001; 410: 980–7

Sparwasser T, Koch E-S, Vabulas RM et al. Bacterial DNA and

immunostimulatory CpG oligonucleotides trigger maturation and

activation of murine dendritic cells. Eur J Immunol 1998; 28: 2045–54

Wolff JA, Malone RW, Williams P et al. Direct gene transfer into

mouse muscle in vivo. Science 1990; 247: 1465–8

Boyle JS, Barr IG, Lew AM. Strategies for improving responses to

DNA vaccines. Mol Med 1999; 5: 1–8

Sallusto F, Lenig D, Forster R, Lipp M, Lanzavecchia A. Two subsets

of memory T lymphocytes with distinct homing potentials and effector

functions. Nature 1999; 401: 708–12

Hislop AD, Gudgeon NH, Callan MF et al. EBV-specific CD8+ T cell

memory: relationships between epitope specificity, cell phenotype and

immediate effector function. J Immunol 2001; 167: 2019–29

Zinkernagel RM. Immunology taught by viruses. Science 1996; 271:

173–8

Medzhitov R, Janeway CA. Innate immunity: impact on the adaptive

immune response. Curr Opin Immunol 1997; 9: 4–10

Matzinger P. An innate sense of danger. Semin Immunol 1998; 10:

399–415

Greenberg S, Grinstein S. Phagocytosis and innate immunity. Curr

Opin Immunol

Peiser L, Mukhopadhyay S, Gordon S. Scavenger receptors in innate

immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 123–6

Li Z, Menoret A, Srivastava P. Roles of heat shock proteins in

antigen presentation and cross presentation. Curr Opin Immunol

2002; 14: 45–51

Sims JE. IL-1 and IL-18 receptors, and their extended family. Curr

Opin Immunol 2002; 14: 117–22

Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of

microbe detection. Curr

Page 121: Sistem Imun Full

Inaba K, Young JW, Steinman RM. Direct activation of CD8+

cytotoxic T lymphocytesSallusto F, Cella M, Danieli C, Lanzavecchia A.

Dendritic cells use macropinocytosis and the mannose receptor to

concentrate macromolecules in the major histocompatiblity complex

class II compartment: downregulation by cytokines and bacterial

products. J Exp Med 1995; 182: 389–400

Lennon-Dumenil A-M, Bakker AH, Wolf-Bryant P, Ploegh H,

Lagaudriere-Gesbert C. A closer look at proteolysis and MHC-class-II-

restricted antigen presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 15–21

Koopmann J-K, Hammerling GJ, Momburg F. Generation, intracellular

transport and loading of peptides associated with MHC class I

molecules. Curr Opin Immunol 1997; 9: 80–8

Cella M, Sallusto F, Lanzavecchia A. Origin, maturation and antigen

presenting function of dendritic cells. Curr Opin Immunol 1997; 9: 10–

6

Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of

immunity. Nature 1998; 392: 245–52

Luster AD. The role of chemokines in linking innate and adaptive

immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 129–35

Lu P, Wang YL, Linsley PS. Regulation of self-tolerance by

CD80/CD86 interactions. Curr Opin Immunol 1997; 9: 858–62

Malmstrom V, Shipton D, Singh B et al. CD134L expression on

dendritic cells in the mesenteric lymph nodes drives colitis in T cell-

restored SCID mice. J Immunol 2001; 166: 6972–81

Tan JT, Whitmire JK, Ahmed R, Pearson TC, Larsen CP. 4-1BB ligand,

a member of the TNF family, is important for the generation of

antiviral CD8 T cell responses. J Immunol 1999; 163: 4859–68

Kelleher M, Beverley PCL. LPS modulation of DCs is insufficient to

mature DC to generate CTLs from naive polyclonal CD8+ T cells in

vitro, whereas CD40 ligation is essential. J Immunol 2001; 167: 6247–

55

Brewer JM, Conacher M, Satoskar A, Bluethmann H, Alexander J. In

interleukin-4 deficient mice, alum not only generates T helper-1

responses equivalent to Freund’s complete adjuvant, but continues to

induce T helper-2 cytokine production. Eur J Immunol 1996; 26: 2062–

6

Page 122: Sistem Imun Full

Whelan M, Harnett MM, Houston KM, Patel V, Harnett W, Rigley KP. A

filarial nematode-secreted product signals dendritic cells to acquire a

phenotype that drives development of Th2 cells. J Immunol 2000; 164:

6453–60

Gupta RK. Aluminum compounds as vaccine adjuvants. Adv Drug

Deliv Rev 1998; 32: 155–72

Gupta RK, Singh M, O’Hagan DT. Poly(lactide-co-glycolide)

microparticles for the development of single-dose controlled-release

vaccines. Adv Drug Deliv Rev 1998; 32: 225–46

Le Bon A, Schiavoni G, D’Agostino G, Gresser I, Belardelli F, Tough

DF. Type I interferons potently enhance humoral immunity and can

promote isotype switching by stimulating dendritic cells in vivo.

Immunity 2001; 14: 461–70

Beverley PCL, Maini MK. Differences in the regulation of CD4 and

CD8 T-cell clones during immune responses. Philos Trans R Soc Lond B

Biol Sci 2000; 355: 401–6

Sanders ME, Makgoba MW, Sharrow SO et al. Human memory T

lymphocytes express increased levels of three cell adhesion molecules

(LFA-3, CD2, and LFA-1) and three other molecules (UCHL1, CDw29,

and Pgp-1) and have enhanced IFN-gamma production. J Immunol

1988; 140: 1401–7

Picker LJ, Terstappen LW, Rott LS, Streeter PR, Stein H, Butcher EC.

Differential expression of homing-associated adhesion molecules by T

cell subsets in man. J Immunol 1990; 145: 3247–55

Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Bergstresser PR,

Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. II.

Differential regulation of the cutaneous lymphocyte-associated

antigen, a tissue-selective homing receptor for skin-homing T cells. J

Immunol 1993; 150: 1122–36

Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Buck D,

Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. I.

Differential regulation of the peripheral lymph node homing receptor

L-selectin on T cells during the virgin to memory cell transition. J

Immunol 1993; 150: 1105–21

Page 123: Sistem Imun Full

MacLennan I, Garcia de Vinuesa C, Casamayor-Palleja M. B-cell

memory and the persistence of antibody responses. Philos Trans R

Soc Lond B Biol Sci 2000; 355: 345–60

Michie CA, McLean A, Alcock C, Beverley PCL. Lifespan of human

lymphocyte subsets defined by CD45 isoforms. Nature 1992; 360:

264–5

Neese RA, Siler SQ, Cesar D et al. Advances in the stable isotope-

mass spectrometric measurement of DNA synthesis and cell

proliferation. Anal Biochem 2001; 298: 189–95

Murali-Krishna K, Lau LL, Sambhara S, Lemmier F, Altmann J, Ahmed

R. Persistence of memory CD8 T cells in MHC class I-deficient mice.

Science 1999; 286: 1267–8

Swain SL. CD4 T-cell memory can persist in the absence of class II.

Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 2000; 29: 407–11

Pawelec G, Rehbein A, Haehnel K, Merl A, Adibzadeh M. Human T

cell clones in long term culture as a model of immunosenescence.

Immunol Rev 1997; 160: 31–42

Maini MK, Gudgeon N, Wedderburn LR, Rickinson AB, Beverley PCL.

Clonal expansions in acute EBV infection are detectable in the CD8

and not the CD4 subset and persist with a variable CD45 phenotype. J

Immunol 2000; 165: 5729–37

Uzonna JE, Bretscher PA. Anti-IL-4 antibody therapy causes

regression of chronic lesions caused by medium-dose Leishmania

major infection in BALB/c mice. Eur J Immunol 2001; 31: 3175–84

Hondowicz B, Scott P. Influence of parasite load on the ability of

type 1 T cells to control Leishmania major infection. Infect Immun

2002; 70: 498–503

Uzonna JE, Wei G, Yurkowski D, Bretscher P. Immune elimination of

Leishmania major in mice: implications for immune memory,

vaccination, and reactivation disease. J Immunol 2001; 167: 6967–74

Kalinski P, Hilkens CMU, Wierenga EA, Kapsenberg ML. T-cell priming

by type-1 and type-2 polarized dendritic cells: the concept of a third

signal. Immunol Today 1999; 20: 561–7

Manetti R, Gerosa F, Giudizi MG et al. Interleukin-12 induces stable

priming for interferon γ (IFN-γ) production during differentiation of

Page 124: Sistem Imun Full

human T helper (Th) cells and transient IFN-γ production in

established Th2 clones. J Exp Med 1994; 179: 1273–85

Bradley LM, Yoshimoto K, Swain SL. The cytokines IL-4, IFN-γ, and IL-

12 regulate the development of subsets of memory effector helper T

cells in vitro. J Immunol 1995; 155: 1713–24

Yoshimoto T, Bendelac A, Watson C, Hu-Li J, Paul WP. Role of

NK1.1+ T cells in a Th2 response and in immunoglobulin E production.

Science 1995; 270: 1845–7

Shirakawa T, Enomoto T, Shimazu S, Hopkins JM. The inverse

association between tuberculin responses and atopic disorder. Science

1997; 275: 77–9

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI VAKSINDiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Vaksin yang ideal adalah relatif mudah untuk menentukan target

sasaran, tetapi beberapa vaksin mempunyai pendekatan yang

ideal dan tidak ada vaksin yang mempunyai target banyak

organisme. Vaksin adalah strategi satunya pelindung realistis di

masa mendatang. Banyak kesulitan dan kegagalan untuk

memproduksi vaksin. Semua mikro-organisme menyebarkan

mekanisme penghindaran yang mengganggu respon imun yang

efektif dan banyak organisme tidak jelas respon imun

yang memberikan perlindungan yang efektif. Namun, kemajuan

terbaru dalam teknologi imunologi untuk mempelajari respon

kekebalan terhadap patogen telah memberikan pemahaman yang

lebih baik mekanisme kekebalan tubuh, termasuk memori

imunologi, dan menyebabkan realisasi bahwa inisiasi respon imun

adalah suatu peristiwa kunci yang memerlukan memicu melalui

sinyal ‘bahaya’. Berdasarkan temuan ini, pengembangan adjuvant

baru, formulasi vaksin vektor dan memungkinkan stimulasi

kekebalan protektif optimal dan berkepanjangan harus mengarah

pada pengenalan vaksin untuk organisme yang sebelumnya

resisten.

Imunisasi adalah suatu cara untuk meningkatkan kekebalan

seseorang secara aktif terhadap suatu antigen, sehingga bila kelak ia

terpajan pada antigen yang serupa tidak akan terjadi penyakit.

Page 125: Sistem Imun Full

Terdapat dua macam kekebalan, yaitu kekebalan pasif dan

kekebalan aktif. Kekebalan pasif adalah kekebalan yang diperoleh dari

luar tubuh, bukan dibuat oleh individu itu sendiri. Contohnya adalah

kekebalan pada janin yang diperoleh dari ibu, atau kekebalan yang

diperoleh setelah pemberian suntikan imunoglobulin. Kekebalan pasif

tidak berlangsung lama karena akan dimetabolisme oleh tubuh.

Waktu paruh IgG adalah 28 hari, sedangkan waktu paruh

imunoglobulin lainnya lebih  pendek.

Kekebalan aktif adalah kekebalan yang dibuat oleh tubuh sendiri

akibat terpajan pada antigen seperti pada imunisasi, atau terpajan

secara alamiah. Kekebalan aktif biasanya berlangsung lebih lama

karena adanya memori imunologik.

Tujuan imunisasi adalah untuk mencegah terjadinya penyakit

tertentu pada seseorang, dan menghilangkan penyakit tertentu pada

sekelompok masyarakat (populasi) atau bahkan menghilangkan

penyakit tertentu di dunia seperti pada imunisasi cacar. Keadaan yang

terakhir ini lebih mungkin terjadi pada jenis-jenis penyakit yang

transmisinya bergantung kepada manusia, seperti misalnya penyakit

difteria. Agar dapat lebih mudah memahami mengenai proses

imunologik yang terjadi pada vaksinasi maka terlebih dahulu perlu

diketahui tentang respons imun dan mekanisme pertahanan tubuh

(lihat juga bab tentang respons imun).

RESPONS IMUN

Dilihat dari berapa kali pajanan antigen maka dapat dikenal dua macam

respons imun, yaitu respons imun primer dan respons imun sekunder.

Respons imun primer Respons imun primer adalah respons imun

yang terjadi pada pajanan pertama kalinya dengan antigen. Antibodi

yang terbentuk pada respons imun primer kebanyakan adalah IgM

dengan titer yang lebih rendah dibanding dengan respons imun

sekunder, demikian pula daya afinitasnya. Waktu antara antigen

masuk sampai dengan timbul antibodi (lag phase) lebih lama bila

dibanding dengan respons imun sekunder

Respons imun sekunder Pada respons imun sekunder, antibodi

yang dibentuk kebanyakan adalah IgG, dengan titer dan afinitas yang

lebih tinggi, serta fase lag lebih pendek dibanding respons imun

Page 126: Sistem Imun Full

primer. Hal ini disebabkan sel memori yang terbentuk pada respons

imun primer akan cepat mengalami transformasi blast, proliferasi, dan

diferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.

Demikian pula dengan imunitas selular, sel limfosit T akan lebih cepat

mengalami transformasi blast dan berdiferensiasi menjadi sel T aktif

sehingga lebih banyak terbentuk sel efektor dan sel memori.  Pada

imunisasi, respons imun sekunder inilah yang diharapkan akan

memberi respons adekuat bila terpajan pada antigen yang serupa

kelak. Untuk mendapatkan titer antibodi yang cukup tinggi dan

mencapai nilai protektif, sifat respons imun sekunder ini diterapkan

dengan memberikan vaksinasi berulang beberapa kali.

Page 127: Sistem Imun Full
Page 128: Sistem Imun Full

KEBERHASILAN IMUNISASI

Keberhasilan imunisasi tergantung pada beberapa faktor, yaitu

status imun host, faktor genetik host, serta kualitas dan kuantitas

vaksin.

Adanya antibodi spesifik pada host terhadap vaksin yang diberikan

akan mempengaruhi keberhasilan vaksinasi. Misalnya pada bayi yang

semasa fetus mendapat antibodi maternal spesifik terhadap virus

campak, bila vaksinasi campak diberikan pada saat kadar antibodi

spesifik campak masih tinggi akan memberikan hasil yang kurang

memuaskan.  Demikian pula air susu ibu (ASI) yang mengandung IgA

sekretori (sIgA) terhadap virus polio dapat mempengaruhi

keberhasilan vaksinasi polio yang dlberikan secara oral. Tetapi

umumnya kadar sIgA terhadap virus polio pada ASI sudah rendah

pada waktu bayi berumur beberapa bulan. Pada penelitian di

subbagian Alergi-Imunologi, Bagian IKA FKUI/RSCM, Jakarta ternyata

sIgA polio sudah tidak ditemukan lagi pada ASI setelah bayi berumur 5

bulan. Kadar sIgA tinggi terdapat pada kolostrum. Karena itu bila

Page 129: Sistem Imun Full

vaksinasi polio secara oral diberikan pada masa kadar sIgA polio ASI

masih tinggi, hendaknya ASI jangan diberikan dahulu 2 jam sebelum

dan sesudah vaksinasi.\

Keberhasilan vaksinasi memerlukan maturitas imunologik. Pada bayi

neonatus fungsi makrofag masih kurang, terutama fungsi

mempresentasikan antigen karena ekspresi HLA masih kurang pada

permukaannya, selain deformabilitas membran serta respons

kemotaktik yang masih kurang. Kadar komplemen dan aktivitas

opsonin komplemen masih rendah, demikian pula aktivitas kemotaktik

serta daya lisisnya. Fungsi sel Ts relatif lebih menonjol dibanding pada

bayi atau anak karena memang fungsi imun pada masa intrauterin

lebih ditekankan pada toleransi, dan hal ini masih terlihat pada bayi

baru lahir. Pembentukan antibodi spesifik terhadap antigen tertentu

masih kurang. Vaksinasi pada neonatus akan memberikan hasil yang

kurang dibanding pada anak, karena itu vaksinasi sebaiknya ditunda

sampai bayi berumur 2 bulan atau lebih.

Status imun mempengaruhi pula hasil imunisasi. Individu yang

mendapat obat imunosupresan, atau menderita defisiensi imun

kongenital, atau menderita penyakit yang menimbulkan defisiensi

imun sekunder seperti pada penyakit keganasan, juga akan

mempengaruhi keberhasilan vaksinasi, bahkan adanya defisiensi imun

merupakan indikasi kontra pemberian vaksin hidup karena dapat

menimbulkan penyakit pada individu tersebut. Vaksinasi pada individu

yang menderita penyakit infeksi sistemik seperti campak atau

tuberkulosis milier akan mempengaruhi pula keberhasilan vaksinasi.

Keadaan gizi yang buruk akan menurunkan fungsi sel sistem imun

seperti makrofag dan limfosit. Imunitas selular menurun dan imunitas

humoral spesifisitasnya rendah. Meskipun kadar globulin-γ normal

atau bahkan meninggi, imunoglobulin yang terbentuk tidak dapat

mengikat antigen dengan baik karena terdapat kekurangan asam

amino yang dibutuhkan untuk sintesis antibodi. Kadar komplemen

juga berkurang dan mobilisasi makrofag berkurang, akibatnya respons

terhadap vaksin atau toksoid berkurang.

Faktor genetik host

Page 130: Sistem Imun Full

Interaksi antara sel-sel sistem imun dipengaruhi oleh variabilitas

genetik. Secara genetik respons imun manusia dapat dibagi atas

responder baik, cukup, dan rendah terhadap antigen tertentu.

Ia dapat memberikan respons rendah terhadap antigen tertentu,

tetapi terhadap antigen lain tinggi sehingga mungkin ditemukan

keberhasilan vaksinasi yang tidak 100%. Faktor genetik dalam

respons imun dapat berperan melalui gen yang berada pada

kompleks MHC dengan non MHC.

Gen kompleks MHC

Gen kompleks MHC berperan dalam presentasi antigen. Sel Tc akan

mengenal antigen yang berasosiasi dengan molekul MHC kelas I, dan

sel Td serta sel Th akan mengenal antigen yang berasosiasi dengan

molekul MHC kelas II.

Jadi respons sel T diawasi secara genetik sehingga dapat dimengerti

bahwa akan terdapat potensi variasi respons imun. Secara klinis

terlihat juga bahwa penyakit tertentu terdapat lebih sering pada HLA

tertentu, seperti spondilitis ankilosing terdapat pada individu dengan

HLA-B27.

Gen non MHC

Secara klinis kita melihat adanya defisiensi imun yang berkaitan

dengan gen tertentu, misalnya agamaglobulinemia tipe Bruton yang

terangkai dengan kromosom X yang hanya terdapat pada anak laki-

laki.

Demikian pula penyakit alergi yaitu penyakit yang menunjukkan

perbedaan respons imun terhadap antigen tertentu merupakan

penyakit yang diturunkan. Faktor-faktor ini menyokong adanya peran

genetik dalam respons imun, namun mekanisme yang sebenarnya

belum diketahui.

Kualitas dan kuantitas vaksin

Vaksin adalah mikroorganisme atau toksoid yang diubah sedemikian rupa

sehingga patogenisitas atau toksisitasnya hilang tetapi masih tetap

mengandung antigenesitasnya. Beberapa faktor kualitas dan kuantitas

vaksin dapat menentukan keberhasilan vaksinasinya seperti cara

pemberian, dosis, frekuensi pemberian, ajuvan yang dipergunakan, dan

jenis vaksin.

Page 131: Sistem Imun Full

Cara pemberian vaksin

Cara pemberian vaksin akan mempengaruhi respons imun yang

timbul. Misalnya vaksin polio oral akan menimbulkan imunitas lokal di

samping sistemik, sedangkan vaksin polio parenteral akan

memberikan imunitas sistemik saja.

Dosis vaksin

Dosis vaksin terlalu tinggi atau terlalu rendah juga mempengaruhi

respons imun yang terjadi. Dosis yang terlalu tinggi akan

menghambat respons imun yang diharapkan, sedangkan dosis terlalu

rendah tidak merangsang sel imunokompeten. Dosis yang tepat dapat

diketahui dari hasil uji coba, karena itu dosis vaksin harus sesuai

dengan dosis yang direkomendasikan.

Frekuensi pemberian

Frekuensi pemberian juga mempengaruhi respons imun yang

terjadi. Sebagaimana telah kita ketahui, respons imun sekunder

menyebabkan sel efektor aktif lebih cepat, lebih tinggi produksinya,

dan afinitasnya lebih tinggi. Di samping frekuensi, jarak pemberian

pun akan mempengaruhi respons imun yang terjadi. Bila vaksin

berikutnya diberikan pada saat kadar antibodi spesifik masih tinggi,

maka antigen yang masuk segera dinetralkan oleh antibodi spesifik

tersebut sehingga tidak sempat merangsang sel imunokompeten,

bahkan dapat terjadi apa yang dinamakan reaksi Arthus yaitu

bengkak kemerahan di daerah suntikan antigen akibat pembentukan

kompleks antigen-antibodi lokal sehingga terjadi peradangan lokal.

Oleh sebab itu, pemberian ulang (booster) sebaiknya mengikuti apa

yang dianjurkan sesuai dengan hasil uji coba.

Ajuvan

Ajuvan adalah zat yang secara nonspesifik dapat meningkatkan

respons imun terhadap antigen. Ajuvan akan meningkatkan respons

imun dengan cara mempertahankan antigen pada tempat suntikan,

dan mengaktivasi sel APC untuk memproses antigen secara efektif

dan memproduksi interleukin yang akan mengaktifkan sel

imunokompeten lainnya.

Jenis vaksin

Vaksin hidup akan menimbulkan respons imun lebih baik

dibandingkan vaksin lainnya seperti vaksin mati atau yang diinaktivasi

Page 132: Sistem Imun Full

(killed atau inactivated), atau komponen dari mikroorganisme.

Rangsangan sel Tc memori membutuhkan suatu sel yang terinfeksi

sehingga dibutuhkan vaksin hidup. Sel Tc dibutuhkan pada infeksi

virus yang pengeluarannya melalui budding.

Vaksin hidup diperoleh dengan cara atenuasi. Tujuan atenuasi adalah

untuk menghasilkan organisme yang hanya dapat menimbulkan penyakit

yang sangat ringan. Atenuasi diperoleh dengan cara memodifikasi kondisi

tempat tumbuh mikroorganisme, misalnya suhu yang tinggi atau rendah,

kondisi anaerob, atau menambah empedu pada media kultur seperti pada

pembuatan vaksin TBC yang sudah ditanam selama 13 tahun. Dapat pula

dipakai mikroorganisme yang virulen untuk spesies lain tetapi untuk

manusia avirulen, misalnya virus cacar sapi.

PERSYARATAN VAKSIN

1. mengaktivasi APC untuk mempresentasikan antigen dan

memproduksi interleukin,

2. mengaktivasi sel T dan sel B untuk membentuk banyak sel 

memori,

3. mengaktivasi sel T dan sel Tc terhadap beberapa epitop,

untuk mengatasi variasi respons imun yang ada dalam

populasi karena adanya polimorfisme MHC, dan

4. memberi antigen yang persisten, mungkin dalam sel

folikular dendrit jaringan limfoid tempat sel B memori direkrut

sehingga dapat merangsang sel B sewaktu-waktu untuk

menjadi sel plasma yang membentuk antibodi terus-menerus

sehingga kadarnya tetap tinggi.  

REFERENCES RECOMMENDED

Doherty PC, Topham DJ, Tripp R. Establishment and persistence of

virus-specific CD4+ and CD8+ T cell memory. Immunol Rev 1996;

150: 23–44

Altman JD, Moss PAH, Goulder PJR et al. Phenotypic analysis of

antigen-specific T lymphocytes. Science 1996; 274: 94–6

Callan MFC, Tan L, Annels N et al. Direct visualization of antigen-

specific CD8+ T cells during the primary immune response to Epstein-

Barr virus in vivo. J Exp Med 1998; 187: 1395–402

Page 133: Sistem Imun Full

Champagne P, Ogg GS, King AS et al. Skewed maturation of memory

HIV-specific CD8 T lymphocytes. Nature 2001; 410: 106–11

Mosmann TR, Coffman RL. Th1 and Th2 cells: different patterns of

lymphokine secretion lead to different functional properties. Annu Rev

Immunol 1989; 7: 145–73

Mosmann TR, Sad S. The expanding universe of T-cell subsets: Th1,

Th2 and more. Immunol Today 1996; 17: 138–46

Romagnani S. The Th1/Th2 paradigm. Immunol Today 1997; 18:

263–6

Romagnani S. Lymphokine production by human T cells in disease

states. Annu Rev Immunol 1994; 12: 227–58

Launios P, Conceicao-Silva F, Himmerlich H, Parra-Lopez C, Tacchini-

Cottier F, Louis JA. Setting in motion the immune mechanisms

underlying genetically determined resistance and susceptibility to

infection with Leishmania major. Parasite Immunol 1998; 20: 223–30

Alcami A, Koszinowski U. Viral mechanisms of immune evasion.

Immunol Today 2000; 21: 420–5

Gewurz BE, Gaudet R, Tortorella D, Wang EW, Ploegh H. Virus

subversion of immunity: a structural perspective. Curr Opin Immunol

2001; 13: 442–50

Webby RJ, Webster RG. Emergence of influenza A viruses. Philos

Trans R Soc Lond B Biol Sci 2001; 29: 1817–28

Phillips RE, Rowland-Jones SL, Nixon DF et al. Human

immunodeficiency virus genetic variation that can escape cytotoxic T

cell recognition. Nature 1991; 354: 453–9

Borrow P, Lewicki H, Wei X et al. Antiviral pressure exerted by HIV-1-

specific cytotoxic T lymphocytes (CTLs) during primary infection

demonstrated by rapid selection of CTL escape virus. Nat Med 1997;

3: 212–7

Rook GA, Ristori G, Salvetti M, Giovannoni G, Thompson EJ, Stanford

JL. Bacterial vaccines for the treatment of multiple sclerosis and other

autoimmune disorders. Immunol Today 2000; 21: 503–8

Rook G. Clean living increases more than just atopic disease.

Immunol Today 2000; 21: 249–50

Page 134: Sistem Imun Full

Kaul R, Rowland-Jones SL, Kimani J, et al. New insights into HIV-1

specific cytotoxic T-lymphocyte responses in exposed, persistently

seronegative Kenyan sex workers. Immunol Lett 2001; 79: 3–13

McMichael AJ, Rowland-Jones SL. Cellular immune responses to HIV.

Nature 2001; 410: 980–7

Sparwasser T, Koch E-S, Vabulas RM et al. Bacterial DNA and

immunostimulatory CpG oligonucleotides trigger maturation and

activation of murine dendritic cells. Eur J Immunol 1998; 28: 2045–54

Wolff JA, Malone RW, Williams P et al. Direct gene transfer into

mouse muscle in vivo. Science 1990; 247: 1465–8

Boyle JS, Barr IG, Lew AM. Strategies for improving responses to

DNA vaccines. Mol Med 1999; 5: 1–8

Sallusto F, Lenig D, Forster R, Lipp M, Lanzavecchia A. Two subsets

of memory T lymphocytes with distinct homing potentials and effector

functions. Nature 1999; 401: 708–12

Hislop AD, Gudgeon NH, Callan MF et al. EBV-specific CD8+ T cell

memory: relationships between epitope specificity, cell phenotype and

immediate effector function. J Immunol 2001; 167: 2019–29

Zinkernagel RM. Immunology taught by viruses. Science 1996; 271:

173–8

Medzhitov R, Janeway CA. Innate immunity: impact on the adaptive

immune response. Curr Opin Immunol 1997; 9: 4–10

Matzinger P. An innate sense of danger. Semin Immunol 1998; 10:

399–415

Greenberg S, Grinstein S. Phagocytosis and innate immunity. Curr

Opin Immunol

Peiser L, Mukhopadhyay S, Gordon S. Scavenger receptors in innate

immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 123–6

Li Z, Menoret A, Srivastava P. Roles of heat shock proteins in

antigen presentation and cross presentation. Curr Opin Immunol

2002; 14: 45–51

Sims JE. IL-1 and IL-18 receptors, and their extended family. Curr

Opin Immunol 2002; 14: 117–22

Underhill DM, Ozinsky A. Toll-like receptors: key mediators of

microbe detection. Curr

Page 135: Sistem Imun Full

Inaba K, Young JW, Steinman RM. Direct activation of CD8+

cytotoxic T lymphocytesSallusto F, Cella M, Danieli C, Lanzavecchia A.

Dendritic cells use macropinocytosis and the mannose receptor to

concentrate macromolecules in the major histocompatiblity complex

class II compartment: downregulation by cytokines and bacterial

products. J Exp Med 1995; 182: 389–400

Lennon-Dumenil A-M, Bakker AH, Wolf-Bryant P, Ploegh H,

Lagaudriere-Gesbert C. A closer look at proteolysis and MHC-class-II-

restricted antigen presentation. Curr Opin Immunol 2002; 14: 15–21

Koopmann J-K, Hammerling GJ, Momburg F. Generation, intracellular

transport and loading of peptides associated with MHC class I

molecules. Curr Opin Immunol 1997; 9: 80–8

Cella M, Sallusto F, Lanzavecchia A. Origin, maturation and antigen

presenting function of dendritic cells. Curr Opin Immunol 1997; 9: 10–

6

Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of

immunity. Nature 1998; 392: 245–52

Luster AD. The role of chemokines in linking innate and adaptive

immunity. Curr Opin Immunol 2002; 14: 129–35

Lu P, Wang YL, Linsley PS. Regulation of self-tolerance by

CD80/CD86 interactions. Curr Opin Immunol 1997; 9: 858–62

Malmstrom V, Shipton D, Singh B et al. CD134L expression on

dendritic cells in the mesenteric lymph nodes drives colitis in T cell-

restored SCID mice. J Immunol 2001; 166: 6972–81

Tan JT, Whitmire JK, Ahmed R, Pearson TC, Larsen CP. 4-1BB ligand,

a member of the TNF family, is important for the generation of

antiviral CD8 T cell responses. J Immunol 1999; 163: 4859–68

Kelleher M, Beverley PCL. LPS modulation of DCs is insufficient to

mature DC to generate CTLs from naive polyclonal CD8+ T cells in

vitro, whereas CD40 ligation is essential. J Immunol 2001; 167: 6247–

55

Brewer JM, Conacher M, Satoskar A, Bluethmann H, Alexander J. In

interleukin-4 deficient mice, alum not only generates T helper-1

responses equivalent to Freund’s complete adjuvant, but continues to

induce T helper-2 cytokine production. Eur J Immunol 1996; 26: 2062–

6

Page 136: Sistem Imun Full

Whelan M, Harnett MM, Houston KM, Patel V, Harnett W, Rigley KP. A

filarial nematode-secreted product signals dendritic cells to acquire a

phenotype that drives development of Th2 cells. J Immunol 2000; 164:

6453–60

Gupta RK. Aluminum compounds as vaccine adjuvants. Adv Drug

Deliv Rev 1998; 32: 155–72

Gupta RK, Singh M, O’Hagan DT. Poly(lactide-co-glycolide)

microparticles for the development of single-dose controlled-release

vaccines. Adv Drug Deliv Rev 1998; 32: 225–46

Le Bon A, Schiavoni G, D’Agostino G, Gresser I, Belardelli F, Tough

DF. Type I interferons potently enhance humoral immunity and can

promote isotype switching by stimulating dendritic cells in vivo.

Immunity 2001; 14: 461–70

Beverley PCL, Maini MK. Differences in the regulation of CD4 and

CD8 T-cell clones during immune responses. Philos Trans R Soc Lond B

Biol Sci 2000; 355: 401–6

Sanders ME, Makgoba MW, Sharrow SO et al. Human memory T

lymphocytes express increased levels of three cell adhesion molecules

(LFA-3, CD2, and LFA-1) and three other molecules (UCHL1, CDw29,

and Pgp-1) and have enhanced IFN-gamma production. J Immunol

1988; 140: 1401–7

Picker LJ, Terstappen LW, Rott LS, Streeter PR, Stein H, Butcher EC.

Differential expression of homing-associated adhesion molecules by T

cell subsets in man. J Immunol 1990; 145: 3247–55

Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Bergstresser PR,

Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. II.

Differential regulation of the cutaneous lymphocyte-associated

antigen, a tissue-selective homing receptor for skin-homing T cells. J

Immunol 1993; 150: 1122–36

Picker LJ, Treer JR, Ferguson-Darnell B, Collins PA, Buck D,

Terstappen LWMM. Control of lymphocyte recirculation in man. I.

Differential regulation of the peripheral lymph node homing receptor

L-selectin on T cells during the virgin to memory cell transition. J

Immunol 1993; 150: 1105–21

Page 137: Sistem Imun Full

MacLennan I, Garcia de Vinuesa C, Casamayor-Palleja M. B-cell

memory and the persistence of antibody responses. Philos Trans R

Soc Lond B Biol Sci 2000; 355: 345–60

Michie CA, McLean A, Alcock C, Beverley PCL. Lifespan of human

lymphocyte subsets defined by CD45 isoforms. Nature 1992; 360:

264–5

Neese RA, Siler SQ, Cesar D et al. Advances in the stable isotope-

mass spectrometric measurement of DNA synthesis and cell

proliferation. Anal Biochem 2001; 298: 189–95

Murali-Krishna K, Lau LL, Sambhara S, Lemmier F, Altmann J, Ahmed

R. Persistence of memory CD8 T cells in MHC class I-deficient mice.

Science 1999; 286: 1267–8

Swain SL. CD4 T-cell memory can persist in the absence of class II.

Philos Trans R Soc Lond B Biol Sci 2000; 29: 407–11

Pawelec G, Rehbein A, Haehnel K, Merl A, Adibzadeh M. Human T

cell clones in long term culture as a model of immunosenescence.

Immunol Rev 1997; 160: 31–42

Maini MK, Gudgeon N, Wedderburn LR, Rickinson AB, Beverley PCL.

Clonal expansions in acute EBV infection are detectable in the CD8

and not the CD4 subset and persist with a variable CD45 phenotype. J

Immunol 2000; 165: 5729–37

Uzonna JE, Bretscher PA. Anti-IL-4 antibody therapy causes

regression of chronic lesions caused by medium-dose Leishmania

major infection in BALB/c mice. Eur J Immunol 2001; 31: 3175–84

Hondowicz B, Scott P. Influence of parasite load on the ability of

type 1 T cells to control Leishmania major infection. Infect Immun

2002; 70: 498–503

Uzonna JE, Wei G, Yurkowski D, Bretscher P. Immune elimination of

Leishmania major in mice: implications for immune memory,

vaccination, and reactivation disease. J Immunol 2001; 167: 6967–74

Kalinski P, Hilkens CMU, Wierenga EA, Kapsenberg ML. T-cell priming

by type-1 and type-2 polarized dendritic cells: the concept of a third

signal. Immunol Today 1999; 20: 561–7

Manetti R, Gerosa F, Giudizi MG et al. Interleukin-12 induces stable

priming for interferon γ (IFN-γ) production during differentiation of

Page 138: Sistem Imun Full

human T helper (Th) cells and transient IFN-γ production in

established Th2 clones. J Exp Med 1994; 179: 1273–85

Bradley LM, Yoshimoto K, Swain SL. The cytokines IL-4, IFN-γ, and IL-

12 regulate the development of subsets of memory effector helper T

cells in vitro. J Immunol 1995; 155: 1713–24

Yoshimoto T, Bendelac A, Watson C, Hu-Li J, Paul WP. Role of

NK1.1+ T cells in a Th2 response and in immunoglobulin E production.

Science 1995; 270: 1845–7

Shirakawa T, Enomoto T, Shimazu S, Hopkins JM. The inverse

association between tuberculin responses and atopic disorder. Science

1997; 275: 77–9

Reaksi HipersensitivitasWidodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral

maupun selular tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi

berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan

menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi

hipersensitivitas.

Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi

menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif

sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani

kompleks imun, dan tipe IV hipersensitifcell-mediated (hipersensitif

Page 139: Sistem Imun Full

tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut

sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity.

Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah

usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit.

Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling

mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan

mekanisme yang lainnya.

REAKSI HIPERSENTIVITAS TIPE I

Sel mast dan basofil pertama kali dikemukakan oleh Paul Ehrlich

lebih dari 100 tahun yang lalu. Sel ini mempunyai gambaran granula

sitoplasma yang mencolok. Pada saat itu sel mast dan basofil belum

diketahui fungsinya. Beberapa waktu kemudian baru diketahui bahwa

sel-sel ini mempunyai peran penting pada reaksi hipersensitivitas tipe

cepat (reaksi tipe I) melalui mediator yang dikandungnya, yaitu

histamin dan zat peradangan lainnya.

Reaksi hipersensitivitas tipe I, atau tipe cepat ini ada yang membagi

menjadi reaksi anafilaktik (tipe Ia) dan reaksi anafilaktoid (tipe Ib).

Untuk terjadinya suatu reaksi selular yang berangkai pada reaksi tipe

Ia diperlukan interaksi antara IgE spesifik yang berikatan dengan

Page 140: Sistem Imun Full

reseptor IgE pada sel mast atau basofil dengan alergen yang

bersangkutan.

Proses aktivasi sel mast terjadi bila IgE atau reseptor spesifik yang

lain pada permukaan sel mengikat anafilatoksin, antigen lengkap atau

kompleks kovalen hapten-protein. Proses aktivasi ini akan

membebaskan berbagai mediator peradangan yang menimbulkan

gejala alergi pada penderita, misalnya reaksi anafilaktik terhadap

penisilin atau gejala rinitis alergik akibat reaksi serbuk bunga.

Reaksi anafilaktoid terjadi melalui degranulasi sel mast atau basofil

tanpa peran IgE. Sebagai contoh misalnya reaksi anafilaktoid akibat

pemberian zat kontras atau akibat anafilatoksin yang dihasilkan pada

proses aktivasi komplemen (lihat bab mengenai komplemen).

Eosinofil berperan secara tidak langsung pada reaksi

hipersensitivitas tipe I melalui faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis

(ECF-A = eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis). Zat ini

merupakan salah satu dari preformed mediators yaitu mediator yang

sudah ada dalam granula sel mast selain histamin dan faktor

kemotaktik neutrofil (NCF = neutrophil chemotactic factor). Mediator

yang terbentuk kemudian merupakan metabolit asam arakidonat

akibat degranulasi sel mast yang berperan pada reaksi tipe I.

Menurut jarak waktu timbulnya, reaksi tipe I dibagi menjadi 2, yaitu

fase cepat dan fase lambat.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase cepat Reaksi hipersensitivitas tipe

I fase cepat biasanya terjadi beberapa menit setelah pajanan antigen

yang sesuai. Reaksi ini dapat bertahan dalam beberapa jam walaupun

tanpa kontak dengan alergen lagi. Setelah masa refrakter sel mast dan

basofil yang berlangsung selama beberapa jam, dapat terjadi resintesis

mediator farmakologik reaksi hipersensitivitas, yang kemudian dapat

responsif lagi terhadap alergen.

Reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat Mekanisme

terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I fase lambat ini belum jelas

benar diketahui. Ternyata sel mast masih merupakan sel yang

menentukan terjadinya reaksi ini seperti terbukti bahwa reaksi alergi

tipe lambat jarang terjadi tanpa didahului reaksi alergi fase cepat. Sel

mast dapat membebaskan mediator kemotaktik dan sitokin yang

menarik sel radang ke tempat terjadinya reaksi alergi. Mediator fase

Page 141: Sistem Imun Full

aktif dari sel mast tersebut akan meningkatkan permeabilitas kapiler

yang meningkatkan sel radang.

Limfosit mungkin memegang peranan dalam timbulnya reaksi alergi

fase lambat dibandingkan dengan sel mast. Limfosit dapat

melepaskan histamin releasing factordan sitokin lainnya yang akan

meningkatkan pelepasan mediator-mediator dari sel mast dan sel lain.

Eosinofil dapat memproduksi protein sitotoksik seperti major basic

protein (MBP) afau eosinophil cationic protein (ECP). Makrofag dan

neutrofil melepas faktor kemotaktik, sitokin, oksigen radikal bebas,

serta enzim yang berperan di dalam peradangan. Neutrofil adalah sel

yang pertama berada pada infiltrat peradangan setelah reaksi alergi

fase cepat dalam keadaan teraktivasi yang selanjutnya akan

menyebabkan kerusakan jaringan dan menarik sel lain, terutama

eosinofil.

Mediators:

Histamin

Slow-reacting substance of anaphylaxis (SRS-A)

Bradykinin.

Serotonin (5-hydroxytryptamine)

Eosinophil chemotactic factor of anaphylaxis (ECF-A).

Platelet activating factor (PAF).

Prostaglandins hasil produksi metabolisme cyclooxygenase dari

arachidonic acid. Prostaglandin E1 (PGE1) dan PGE2 adalah

bronchodilators dan vasodilators kuat. PGI2 atau prostacyclin adalah

suatu disaggregates platelets.

Genetic factors: Hay fever, asthma, and food allergies, show familial

tendency.

Manifestasi Klinis

Anaphylaxis

Atopy  immediate hypersensitivity response

Terapi : Avoidance, Hyposensitization, pemberian modified allergens

atau “allergoids”.

Obat Diphenhydramine, Corticosteroids, Epinephrine. Sodium

cromolyn, Theophylline

Page 142: Sistem Imun Full

Mediator penyakit alergi (hipersensitivitas tipe I) Seperti

telah diuraikan di atas bahwa mediator dibebaskan bila terjadi

interaksi antara antigen dengan IgE spesifik yang terikat pada

membran sel mast. Mediator ini dapat dibagi dalam dua kelompok,

yaitu mediator yang sudah ada dalam granula sel mast (preformed

mediator) dan mediator yang terbentuk kemudian (newly formed

mediator).Menurut asalnya mediator ini juga dapat dibagi dalam dua

kelompok, yaitu mediator dari sel mast atau basofil (mediator primer),

dan mediator dari sel lain akibat stimulasi oleh mediator primer

(mediator sekunder).

Mediator yang sudah ada dalam granula sel mast

Terdapat 3 jenis mediator yang penting yaitu histamin, eosinophil

chemotactic factor of anaphylactic (ECF-A), dan neutrophil chemoctatic

factor (NCF).

1. Histamin

Histamin dibentuk dari asam amino histidin dengan perantaraan enzim

histidin dekarboksilase. Setelah dibebaskan, histamin dengan cepat

dipecah secara enzimatik serta berada dalam jumlah kecil dalam cairan

jaringan dan plasma. Kadar normal dalam plasma adalah kurang dari 1

ng/μL akan tetapi dapat meningkat sampai 1-2 ng/μL setelah uji provokasi

dengan alergen. Gejala yang timbul akibat histamin dapat terjadi dalam

beberapa menit berupa rangsangan terhadap reseptor saraf iritan,

kontraksi otot polos, serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Manifestasi klinis pada berbagai organ tubuh bervariasi. Pada hidung

timbul rasa gatal, hipersekresi dan tersumbat. Histamin yang diberikan

secara inhalasi dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus yang

menyebabkan bronkokonstriksi. Gejala kulit adalah reaksi gatal

berupa wheal and flare, dan pada saluran cerna adalah hipersekresi asam

lambung, kejang usus, dan diare. Histamin mempunyai peran kecil pada

asma, karena itu antihistamin hanya dapat mencegah sebagian gejala

alergi pada mata, hidung dan kulit, tetapi tidak pada bronkus.

Kadar histamin yang meninggi dalam plasma dapat menimbulkan gejala

sistemik berat (anafilaksis). Histamin mempunyai peranan penting pada

reaksi fase awal setelah kontak dengan alergen (terutama pada mata,

Page 143: Sistem Imun Full

hidung dan kulit). Pada reaksi fase lambat, histamin membantu timbulnya

reaksi inflamasi dengan cara memudahkan migrasi imunoglobulin dan sel

peradangan ke jaringan. Fungsi ini mungkin bermanfaat pada keadaan

infeksi. Fungsi histamin dalam keadaan normal saat ini belum banyak

diketahui kecuali fungsi pada sekresi lambung. Diduga histamin

mempunyai peran dalam regulasi tonus mikrovaskular. Melalui reseptor

H2 diperkirakan histamin juga mempunyai efek modulasi respons

beberapa sel termasuk limfosit.

2. Faktor kemotaktik eosinofil-anafilaksis (ECF-A)

Mediator ini mempunyai efek mengumpulkan dan menahan eosinofil di

tempat reaksi radang yang diperan oleh IgE (alergi). ECF-A merupakan

tetrapeptida yang sudah terbentuk dan tersedia dalam granulasi sel mast

dan akan segera dibebaskan pada waktu degranulasi (pada basofil segera

dibentuk setelah kontak dengan alergen).

Mediator lain yang juga bersifat kemotaktik untuk eosinofil ialah

leukotrien LTB4 yang terdapat dalam beberapa hari. Walaupun eosinofilia

merupakan hal yang khas pada penyakit alergi, tetapi tidak selalu

patognomonik untuk keterlibatan sel mast atau basofil karena ECF-A

dapat juga dibebaskan dari sel yang tidak mengikat IgE.

3. Faktor kemotaktik neutrofil (NCF)

NCF (neutrophyl chemotactic factor) dapat ditemukan pada supernatan

fragmen paru manusia setelah provokasi dengan alergen tertentu.

Keadaan ini terjadi dalam beberapa menit dalam sirkulasi penderita asma

setelah provokasi inhalasi dengan alergen atau setelah timbulnya

urtikaria fisik (dingin, panas atau sinar matahari). Oleh karena mediator

ini terbentuk dengan cepat maka diduga ia merupakan mediator primer.

Mediator tersebut mungkin pula berperan pada reaksi hipersensitivitas

tipe I fase lambat yang akan menyebabkan banyaknya neutrofil di tempat

reaksi. Leukotrien LTB4 juga bersifat kemotaktik terhadap neutrofil.

Mediator yang terbentuk kemudian

Mediator yang terbentuk kemudian terdiri dari hasil metabolisme asam

arakidonat, faktor aktivasi trombosit, serotonin, dan lain-lain. Metabolisme

asam arakidonat terdiri dari jalur siklooksigenase dan jalur lipoksigenase

Page 144: Sistem Imun Full

yang masing-masing akan mengeluarkan produk yang berperan sebagai

mediator bagi berbagai proses inflamasi (lihat Gambar 12-3).

1. Produk siklooksigenase

Pertubasi membran sel pada hampir semua sel berinti akan menginduksi

pembentukan satu atau lebih produk siklooksigenase yaitu prostaglandin

(PGD2, PGE2, PGF2) serta tromboksan A2 (TxA2).

Tiap sel mempunyai produk spesifik yang berbeda. Sel mast manusia

misalnya membentuk PGD2 dan TxA2 yang menyebabkan kontraksi otot

polos, dan TxA2 juga dapat mengaktivasi trombosit. Prostaglandin juga

dibentuk oleh sel yang berkumpul di mukosa bronkus selama reaksi alergi

fase lambat (neutrofil, makrofag, dan limfosit).

Prostaglandin E mempunyai efek dilatasi bronkus, tetapi tidak dipakai

sebagai obat bronkodilator karena mempunyai efek iritasi lokal.

Prostaglandin F (PGF2) dapat menimbulkan kontraksi otot polos bronkus

dan usus serta meningkatkan permeabilitas vaskular. Kecuali PGD2,

prostaglandin serta TxA2 berperan terutama sebagai mediator sekunder

yang mungkin menunjang terjadinya reaksi peradangan, akan tetapi

peranan yang pasti dalam reaksi peradangan pada alergi belum diketahui.

2. Produk lipoksigenase

Leukotrien merupakan produk jalur lipoksigenase. Leukotrien LTE4 adalah

zat yang membentuk slow reacting substance of anaphylaxis (SRS-A).

Leukotrien LTB4 merupakan kemotaktik untuk eosinofil dan neutrofil,

sedangkan LTC4, LTD4 dan LTE4 adalah zat yang dinamakan SRS-A. Sel

mast manusia banyak menghasilkan produk lipoksigenase serta

merupakan sumber hampir semua SRS-A yang dibebaskan dari jaringan

paru yang tersensitisasi.

‘Slow reacting substance of anaphylaxis’

Secara in vitro mediator ini mempunyai onset lebih lambat dengan masa

kerja lebih lama dibandingkan dengan histamin, dan tampaknya hanya

didapatkan sedikit perbedaan antara kedua jenis mediator tersebut.

Mediator SRS-A dianggap mempunyai peran yang lebih penting dari

histamin dalam terjadinya asma. Mediator ini mempunyai efek

bronkokonstriksi 1000 kali dari histamin. Selain itu SRS-A juga

Page 145: Sistem Imun Full

meningkatkan permeabilitas kapiler serta merangsang sekresi mukus.

Secara kimiawi, SRS-A ini terdiri dari 3 leukotrien hasil metabolisme asam

arakidonat, yaitu LTC4, LTD4, serta LTE4.

Faktor aktivasi trombosit (PAF = ‘Platelet activating factor’)

Mediator ini pertama kali ditemukan pada kelinci dan selanjutnya pada

manusia. PAF dapat menggumpalkan trombosit serta mengaktivasi

pelepasan serotonin dari trombosit. Selain itu PAF juga menimbulkan

kontraksi otot polos bronkus serta peningkatan permeabilitas vaskular.

Aktivasi trombosit pada manusia terjadi pada reaksi yang diperan oleh

IgE.

Serotonin

Sekitar 90% serotonin tubuh (5-hidroksi triptamin) terdapat di mukosa

saluran cerna. Serotonin ditemukan pada sel mast binatang tetapi tidak

pada sel mast manusia. Dalam reaksi alergi pada manusia, serotonin

merupakan mediator sekunder yang dilepaskan oleh trombosit melalui

aktivasi produk sel mast yaitu PAF dan TxA2. Serotonin dapat

meningkatkan permeabilitas pembuluh darah.

SITOKIN DALAM REGULASI REAKSI ALERGI

Selain mediator yang telah disebutkan tadi, sel mast juga merupakan

sumber beberapa sitokin yang mempengaruhi sel yang berperan pada

reaksi alergi.

Pada individu yang cenderung untuk alergi, paparan terhadap beberapa

antigen menyebabkan aktivasi sel Th2 dan produksi IgE (lihat Gambar 12-

4). Individu normal tidak mempunyai respons Th2 yang kuat terhadap

sebagian besar antigen asing. Ketika beberapa individu terpapar antigen

seperti protein pada serbuk sari (pollen), makanan tertentu, racun pada

serangga, kutu binatang, atau obat tertentu misalnya penisilin, respons

sel T yang dominan adalah pembentukan sel Th2. Individu yang atopik

dapat alergi terhadap satu atau lebih antigen di atas. Hipersensitivitas

tipe cepat terjadi sebagai akibat dari aktivasi sel Th2 yang berespons

terhadap antigen protein atau zat kimia yang terikat pada protein.

Antigen yang menimbulkan reaksi hipersensitivitas tipe cepat (reaksi

alergik) sering disebut sebagai alergen.

Page 146: Sistem Imun Full

Interleukin (IL)-4 dan IL-13, yaitu sebagian dari sitokin yang disekresi oleh

sel Th2, akan menstimulasi limfosit B yang spesifik terhadap antigen asing

untuk berdiferensiasi menjadi sel plasma yang kemudian memproduksi

IgE. Oleh sebab itu, individu yang atopik akan memproduksi IgE dalam

jumlah besar sebagai respons terhadap antigen yang tidak akan

menimbulkan respons IgE pada sebagian besar orang. Kecenderungan ini

mempunyai dasar genetika yang kuat dengan banyak gen yang berperan.

Reaksi peradangan alergi telah diketahui dikoordinasi oleh subset limfosit

T4 yaitu Th2. Limfosit ini memproduksi IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, TNFα, serta

GM-CSF tetapi tidak memproduksi IL-2 atau INF (diproduksi oleh sel Th1).

Alergen diproses oleh makrofag (APC) yang mensintesis IL-1. Zat ini

merangsang dan mengaktivasi sel limfosit T yang kemudian memproduksi

IL-2 yang merangsang sel T4 untuk memproduksi interleukin lainnya.

Ternyata sitokin yang sama juga diproduksi oleh sel mast sehingga dapat

diduga bahwa sel mast juga mempunyai peran sentral yang sama dalam

reaksi alergi. Produksi interleukin diperkirakan  dapat  langsung  dari  sel 

mast  atau  dari  sel  lain akibat stimulasi oleh mediator sel mast.

Interleukin-4 tampaknya merupakan stimulus utama dalam aktivasi

sintesis IgE oleh sel limfosit B. Pada saat yang sama IL-4 meningkatkan

ekspresi reseptor Fcε (FcRII) pada sel limfosit B. Interleukin-4 ini pertama

kali disebut faktor stimulasi sel B (BSF = B cell stimulating factor).Aktivasi

oleh IL4 ini diperkuat oleh IL-5, IL-6, dan TNFα, tetapi dihambat oleh IFNα,

IFNγ, TGFβ, PGE2, dan IL-I0

Dalam reaksi alergi fase cepat, IL-3, IL-5, GM-CSF, TNF dan INF terbukti

dapat menginduksi atau meningkatkan pelepasan histamin melalui

interaksi IgE- alergen pada sel basofil manusia (lihat Gambar 12-6). 

Sitokin  lain  yang  mempunyai aktivitas sama pada sel mast ialah MCAF

(monocyte chemotactic and activating factor) dan RANTES (regulated

upon activation normal T expressed and presumably secreted). Demikian

juga SCF (stem cell factor) yaitu suatu sitokin yang melekat pada reseptor

di sel mast yang disebut C-kit, dapat menginduksi pembebebasan

histamin dari sel mast baik dengan atau tanpa melalui stimulasi antigen

(lihat Gambar 12-7).

Page 147: Sistem Imun Full

Pada reaksi alergi fase lambat, IL-3 dan GM-CSF tidak hanya menarik dan

mengaktivasi eosinofil tetapi juga basofil dan efek kemotaktik sitokin ini

lebih nyata dibandingkan dengan komplemen C5a, LTB4 dan PAF.

Mekanisme lain sitokin berperan pula dalam menunjang terjadinya reaksi

peradangan pada alergi. GM-CSF, IL-l, IL-2, IL-3, IL-4, IL-5, IFN, TNF, NGF

(nerve growth factor) serta SCF berperan dalam pertumbuhan, proliferasi,

pertahanan hidup dan diferensiasi limfosit, eosinofil, basofil, sel mast,

makrofag atau monosit. Pada saat aktivasi, sel-sel ini ditarik ke arah

jaringan yang mengalami peradangan dalam reaksi antigen-antibodi yang

ditingkatkan oleh IL-2, IL-5, GM-CSF, dan EAF (eosinophil activating

factor). Keadaan ini lebih terlihat pada biakan eosinofil manusia dengan

GM-CSF bersama fibroblast. Pada percobaan ini eosinofil menjadi

hipodens dan dapat membebaskan lebih banyak LTC4 bila diaktivasi oleh

stimulus seperti fMLP (formil metionil leukosil fenilalanin).

PENYAKIT OLEH ANTIBODI DAN KOMPLEKS ANTIGEN-ANTIBODI

(REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE II DAN III)

Antibodi, selain IgE, mungkin menyebabkan penyakit dengan

berikatan pada target antigennya yang ada pada permukaan sel atau

jaringan (reaksi hipersensitivitas tipe II) atau dengan membentuk

kompleks imun yang mengendap di pembuluh darah (reaksi

hipersensitivitas tipe III)

Penyakit hipersensitivitas yang diperantarai oleh antibodi (antibody-

mediated)merupakan bentuk yang umum dari penyakit imun yang

kronis pada manusia. Antibodi terhadap sel atau permukaan luar sel

dapat mengendap pada berbagai jaringan yang sesuai dengan target

antigen. Penyakit yang disebabkan reaksi antibodi ini biasanya

spesifik untuk jaringan tertentu. Kompleks imun biasanya mengendap

di pembuluh darah pada tempat turbulansi (cabang dari pembuluh

darah) atau tekanan tinggi (glomerulus ginjal dan sinovium). Oleh

karena itu, penyakit kompleks imun cenderung merupakan suatu

penyakit sistemis yang bermanifestasi sebagai vaskulitis, artritis dan

nefritis.

Sindrom klinik dan pengobatan

Beberapa kelainan hipersensivitas kronik pada manusia disebabkan atau

berhubungan dengan autoantibodi terhadap antigen jaringan kompleks

Page 148: Sistem Imun Full

imun. Tatalaksana dan pengobatan ditujukan terutama untuk mengurangi

atau menghambat proses inflamasi dan kerusakan jaringan yang

diakibatkannya dengan menggunakan kortikosteroid. Pada kasus yang

berat, digunakan plasmapheresis untuk mengurangi  kadar autoantibodi

atau kompleks imun yang beredar dalam darah.

Penyakit oleh autoantibodi terhadap antigen jaringan

Penyakit Antigen target Mekanisme

Manifestasi

klinopatolo

gi

Anemia

hemolitik

autoimun

Protein membran

eritrosit (antigen

golongan darah

Rh)

Opsonisasi dan

fagositosis

eritrosit

Hemolisis,

anemia

Purpura

trombositope

nia autoimun

(idiopatik)

Protein membran

platelet

(gpIIb:integrin IIIa)

Opsonisasi dan

fagositosis

platelet Perdarahan

Pemfigus

vulgaris

Protein pada

hubungan

interseluler pada

sel

epidermal(epidem

al cadherin)

Aktivasi protease

diperantarai

antibodi,

gangguan adhesi

interseluler

Vesikel kulit

(bula)

Sindrom

Goodpasture

Protein non-

kolagen pada

membran dasar

glomerulus ginjal

dan alveolus paru

Inflamasi yang

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc

Nefritis,

perdarahan

paru

Demam

reumatik

akut

Antigen dinding sel

streptokokus,

antibodi bereaksi

silang dengan

antigen

Inflamasi,

aktivasi

makrofag

Artritis,

miokarditis

Page 149: Sistem Imun Full

miokardium

Miastenia

gravis

Reseptor

asetilkolin

Antibodi

menghambat

ikatan

asetilkolin,

modulasi

reseptor

Kelemahan

otot,

paralisis

Penyakit

Graves

Reseptor hormon

TSH

Stimulasi

reseptor TSH

diperantarai

antibodi

Hipertiroidis

me

Anemia

pernisiosa

Faktor intrinsik dari

sel parietal gaster

Netralisasi faktor

intrinsik,

penurunan

absorpsi vitamin

B12

Eritropoesis

abnormal,

anemia

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Penyakit oleh kompleks imun

Penyakit

Spesifitas

antibodi Mekanisme

Manifestasi

klinopatolo

gi

Lupus

eritematosus

sistemik

DNA,

nukleoprotein

Inflamasi

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc

Nefritis,

vaskulitis,

artritis

Poliarteritis

nodosa

Antigen

permukaan

virus hepatitis

B

Inflamasi

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc Vaskulitis

Glomreulonefi

rtis post-

streptokokus

Antigen dinding

sel

streptokokus

Inflamasi

diperantarai

komplemen dan

reseptor Fc Nefritis

Page 150: Sistem Imun Full

(Dikutip dengan modifikasi dari dari Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

Point of interest

Antibodi terhadap antigen sel dan jaringan dapat menyebabkan

kerusakan jaringan dan penyakit (reaksi hipersensitivitas tipe II).

Antibodi IgG dan IgM yang berikatan pada antigen sel atau jarinagn

menstimulasi fagositosis sel-sel tersebut, menyebabkan reaksi

inflamasi,  aktivasi komplemen menyebabkan sel lisis dan fragmen

komplemen dapat menarik sel inflamasi ke tempat terjadinya reaksi,

juga dapat mempengaruhi fungsi organ dengan berikatan pada

reseptor sel organ tersebut.

Antibodi dapat berikatan dengan antigen yang bersirkulasi dan

membentuk kompleks  imun, yang kemudian mengendap pada

pembuluh darah dan menyebabkan kerusakan jaringan (reaksi

hipersensitivitas tipe III). Kerusakan jaringan terutama disebabkan

oleh pengumpulan lekosit dan reaksi inflamasi.

PENYAKIT OLEH LIMFOSIT T (REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE IV)

Peranan dari limfosit T pada penyakit imunologis pada manusia telah

semakin dikenal dan diketahui. Patogenesis dan tatalaksana penyakit

autoimun pada manusia pada saat ini lebih ditujukan pada kerusakan

jaringan yang disebabkan terutama oleh sel limfosit T.

Hampir semua penyakit yang diperantarai T cell disebabkan oleh

mekanisme autoimun. Reaksi autoimun biasanya ditujukan langsung

terhadap antigen pada sel yang distribusinya terbatas pada jaringan

organ tertentu. Oleh karena itu penyakit T cell mediated cenderung

terbatas mengenai organ-organ tertentu dan biasanya tidak bersifat 

sistemis. Kerusakan organ juga dapat terjadi menyertai reaksi sel T

terhadap reaksi mikroba, misalnya pada tuberculosis, terdapat

reaksi T cell-mediated terhadap M. tuberculosis, dan reaksi tersebut

menjadi kronik oleh karena infeksinya sulit dieradikasi. Inflamasi

granulomatous yang terjadi mengakibatkan kerusakan jaringan pada

tempat infeksi. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak

terlalu merusak jaringan, tetapi sel limfosit T sitolitik (CTL) yang

bereaksi terhadap hepatosit yang terinfeksi menyebabkan kerusakan

jaringan hepar.

Page 151: Sistem Imun Full

Pada penyakit yang diperantarai oleh sel T (T cell-mediated),

kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe

lambat yang diperantarai oleh sel T CD4+ atau sel lisis oleh CD8+

CTLs

Mekanisme dari kerusakan jaringan sama dengan mekanisme yang

digunakan oleh sel T untuk mengeliminasi sel yang berkaitan dengan

mikroba. Sel T CD4+ bereaksi terhadap antigen pada sel atau

jaringan, terjadi sekresi sitokin yang menginduksi inflamasi dan

mengaktivasi makrofag. Kerusakan jaringan disebabkan oleh sekresi

sitokin dari makrofag dan sel-sel inflamasi yang lain. Sel T CD8+ 

dapat menghancurkan sel yang berikatan dengan antigen asing. Pada

banyak penyakit autoimun yang diperantarai oleh sel T,  terdapat sel

T CD4+ dan sel T CD8+ yang spesifik untuk antigen diri, dan

keduanya berperan pada kerusakan jaringan.

Sindrom klinik dan pengobatan

Banyak penyakit autoimun yang organ spesifik pada manusia didasari

oleh reaksi yang diperantarai oleh sel T .

Penyakit yang diperantarai sel T

Penyakit

Spesifitas sel

T patogenik

Penyakit pada

manusia

Contoh

pada hewan

Diabetes

melitus

tergantung

insulin (tipe

I)

Antigen sel islet

(insulin,

dekarboksilase

asam glutamat)

Spesifisitas sel T

belum ditegakkan

Tikus NOD,

tikus BB,

tikus

transgenik

Artritis

reumatoid

Antigen yang

tidak diketahui

di sinovium

sendi

Spesifisitas sel T

dan peran antibodi

belum ditegakkan

Artritis

diinduksi

kolagen

Ensefalomieli

tis alergi

eksperimenta

l

Protein mielin

dasar, protein

proteolipid

Postulat : sklerosis

multipel

Induksi oleh

imunisasi

dengan

antigen

Page 152: Sistem Imun Full

mielin SSP;

tikus

transgenik

Penyakit

inflamasi

usus

Tidak diketahui,

peran mikroba

intestinal

Spesifisitas sel T

belum ditegakkan

Induksi oleh

rusaknya gen

IL-2 atau IL-

10 atau

kurangnya

regulator sel

T

(Abbas AK, Lichtman AH, 2004)

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH. Basic immunology. Edisi ke-2.

Philadelphia: Saunders, 2004.

Stiehm ER. Immunologic disorders in infants and children. Edisi ke-

3. Philadelphia: WB Saunders, 1989.

Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Disease caused by humoral

and cell-mediated immune reactions. Dalam: Cellular and molecular

immunology. Philadelphia: WB Saunders, 1991; 353-76.

Bellanti JA. Mechanism of tissue injury produced by immunologic

reactions. Dalam: Bellanti JA, penyunting. Immunology III.

Philadelphia: WB Saunders, 1985; 218-60.

Roitt IM. Essential immunology; edisi ke-6. Oxford: Blackwell

Scioentific, 1988; 233-67.

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI MUKOSADiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Sistem imunitas mukosa  merupakan bagian sistem imunitas yang

penting dan berlawanan sifatnya dari sistem imunitas yang lain.

Sistem imunitas mukosa lebih bersifat menekan imunitas, karena

hal-hal berikut; mukosa berhubungan langsung dengan

lingkungan luar dan berhadapan dengan banyak antigen yang

terdiri dari bakteri komensal, antigen makanan dan virus dalam

jumlah yang lebih besar dibandingkan sistem imunitas sistemik.

Page 153: Sistem Imun Full

Antigen-antigen tersebut  sedapat mungkin dicegah agar tidak

menempel mukosa dengan pengikatan oleh IgA, barier fisik dan

kimiawi dengan enzim-enzim mukosa.

Antigen yang telah menembus mukosa juga dieliminasi dan reaksi

imun yang terjadi diatur oleh sel-sel regulator. Hal ini untuk 

mencegah terjadinya respons imun yang berlebihan yang akhirnya

merugikan oleh karena adanya paparan antigen yang sangat banyak.

Sedangkan sistem imunitas sistemik bersifat memicu respons imun

oleh karena adanya paparan antigen.

Sistem imunitas mukosa menggunakan beberapa mekanisme untuk

melindungi pejamu dari respons imunitas yang berlebihan terhadap isi

lumen usus. Mekanisme yang dipakai adalah barier fisik yang kuat,

adanya enzim luminal yang mempengaruhi antigen diri yang alami,

adanya sel T regulator spesifik yang diatur fungsinya oleh jaringan

limfoid usus, dan adanya produksi antibodi IgA sekretori yang paling

cocok dengan lingkungan usus.

Semua mekanisme ini ditujukan untuk menekan respons imunitas.

Kelainan beberapa komponen ini dapat menyebabkan peradangan 

atau alergi.

Page 154: Sistem Imun Full

Recommended nomenclature for secretory immune-function

molecules 

Preferred abbreviations Explanations

SIgA (or S-IgA) Secretory IgA

SIgM (or S-IgM) Secretory IgM

pIgA Polymeric IgA

Refers mainly to dimers but also includes larger polymers of J-chain-containing IgA

J chain Joining chain

SC Secretory component

Exists in three forms: membrane SC; bound SC; and free SC

pIgR Polymeric Ig receptor

The same as membrane SC

pIgA, IgA dimers/polymers; pIgR, polymeric Ig receptor; SC, secretory

component; SIgA, secretory immunoglobulin A; SIgM, secretory

immunoglobulin M.

a Approved by IUIS/WHO Subcommittee on IgA nomenclature.8

Page 155: Sistem Imun Full

STRUKTUR SISTEM IMUNOLOGI MUKOSA

Jaringan mukosa ditemukan di saluran napas bagian atas, saluran

cerna, saluran genital dan kelenjar mammae. Mekanisme proteksi

terhadap antigen pada mukosa, terdiri dari: membran mukosa yang

menutupi mukosa dan enzim adalah perlindungan mekanik dan

kimiawi yang sangat kuat, sistem imun mukosa innateberupa

eliminasi antigen dengan cara fagositosis dan lisis, sistem imun

mukosa adaptif  dimana selain melindungi permukaan mukosa juga

melindungi bagian dalam badan dari masuknya antigen lingkungan.

Sistem imun lokal ini merupakan 80% dari semua imunosit tubuh

pada orang sehat. Sel-sel ini terakumulasi di dalam atau transit antara

berbagai Mucosa-Assosiated Lymphoid Ttisssue (MALT), bersama-

sama membentuk sistem organ limfoid terbesar pada mamalia.

Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i)

melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba

berbahaya yang mungkin menembus masuk, (ii) melindungi

pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-

protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang

terhirup dan bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya

respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen

tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh. Sehingga disini

MALT menyeleksi mekanisme efektor yang sesuai dan mengatur

intensitasnya untuk menghindari kerusakan jaringan dan proses imun

berlebih. Sistem MALT terlihat sebagai suatu sistem imun

kompartemenisasi yang bagus dan fungsi esensialnya berdiri sendiri

dari aparatus sistem imun. Secara fungsional, MALT terdiri dari dua

komponen yaitu jaringan limfoid mukosa terorganisir dan sistem

imunologi mukosa tersebar.

Page 156: Sistem Imun Full

Depiction of the human mucosal immune system. Inductive sites for

mucosal immunity are constituted by regional MALT with their B-cell

follicles and M-cell (M)-containing follicle-associated epithelium through

which exogenous antigens are transported actively to reach APCs,

including DCs, macrophages, B cells, and FDCs. In addition, quiescent

intra- or subepithelial DCs may capture antigens at the effector site

(exemplified by nasal mucosa in the middle) and migrate via draining

lymphatics to local/regional lymph nodes where they become active APCs,

which stimulate T cells for productive or downregulatory (suppressive)

immune responses. Naive B and T cells enter MALT (and lymph nodes) via

HEVs. After being primed to become memory/effector B and T cells, they

migrate from MALT and lymph nodes to peripheral blood for subsequent

extravasation at mucosal effector sites (exemplified by gut mucosa on the

right). This process is directed by the local profile of vascular adhesion

molecules and chemokines, the endothelial cells thus exerting a local

gatekeeper function for mucosal immunity. The gut lamina propria

contains few B lymphocytes but many J-chain-expressing IgA

(dimers/polymers) and IgM (pentamers) plasmablasts and plasma cells.

Also, there are normally some rare IgG plasma cells with a variable J-chain

level (J), and many T cells (mainly CD4+). Additional features are the

generation of SIgA and SIgM via pIgR (mSC)-mediated epithelial transport,

as well as paracellular leakage of smaller amounts (broken arrow) of both

locally produced and plasma-derived IgG antibodies into the lumen. There

Page 157: Sistem Imun Full

may also be some active transport of IgG mediated by the neonatal Fc

receptor (not indicated). Note that IgG cannot interact with J chain to form

a binding site for pIgR. The distribution of intraepithelial lymphocytes

(mainly T-cell receptor  / +CD8+ and some  / + T cells) is also depicted.

The inset (lower left corner) shows details of an M cell and its “pocket”

containing various cell types. The cartoon is modified from Brandtzaeg

and Pabst1 with permission from Elsevier. APCs, antigen-presenting cells;

DCs, dendritic cells; FDCs, follicular dendritic cells; HEVs, high endothelial

venules; MALT, mucosa-associated lymphoid tissue; mSC, membrane

secretory component; pIgR, polymeric Ig receptor; SIgA, secretory IgA;

SIgM, secretory IgM

RESPONS UMUM IMUNOLOGI MUKOSA

Antigen yang berada di lumen  diambil oleh sel epitelial abortif dan

sel epitelial spesifik (sel membran atau sel mikrofold atau sel M) di

mukosa induktif, dibawa atau langsung ditangkap oleh antigen-

presenting cel (APC) profesional (APC terdiri dari; sel dendritik (DC),

sel limfosit B dan makrofag) dan dipresentasikan kepada sel-sel T

konvensional αβ CD4+ dan CD8+, semuanya berada pada tempat

induktif. Beberapa antigen juga bisa langsung diproses dan

dipresentasikan oleh sel epitelial kepada sel T intraepitelial tetangga

(neighboring intraepithelial T cells) meliputi sel T dengan limited

resevoire diversity (sel T γδ dan sel NKT). Respons imun mukosa

dipengaruhi oleh alamiah antigen, tipe APC yang terlibat dan

lingkungan mikro lokal. Dengan kebanyakan tipe adalah antigen non

patogen (protein makanan), jalur normal untuk sel dendritik mukosa

dan APC lain terlihat melibatkan sel T helper 2 dan respons berbagai

sel T regulator, biasanya hasilnya adalah supresi aktif imunitas

sistemik, toleransi oral. Antigen dan adjuvant, meliputi kebanyakan

patogen, mempunyai motif disensitisasi oleh APC mukosa sebagai

pertanda bahaya (contoh; ligan toll-like reseptor (TLR)) disatu sisi dan

kondisi proinflamasi pada umumnya, menghasilkan respons imun

yang lebih kuat dan luas, baik sekresi hormonal maupun sisi efektor

imunitaas seluler dan tidak menghasilkan toleransi oral. Ini

diasumsikan bahwa pengenalan patogen oleh TLR APC mukosa

membedakan dari respons pada flora komensal. Tetapi terakhir

ditemukan bahwa pada kondisi normal, bakteri komensal dapat

Page 158: Sistem Imun Full

dikenali oleh TLR, interaksi ini tampaknya suatu yang penting untuk

menjaga homeostasis epitel di usus.

Sel B maupun sel T yang tersensitisasi, meninggalkan tempat asal

dimana berhubungan dengan antigen (contohnya plak payeri), transit

melewati kelenjar limfe, masuk ke sirkulasi, dan kemudian

menempatkan diri pada mukosa terseleksi, umumnya pada mukosa

asal dimana mereka kemudian berdeferensiasi menjadi sel plasma

dan sel memori, membentuk IgA sekretori (Gambar 11-1). Afinitas sel-

sel ini kelihatannya dipengaruhi secara kuat oleh integrin pada

tempat spesifik (homing reseptors) pada permukaannya dan reseptor

jaringan spesifik komplementari (adressin) pada sel endotel kapiler.

Pada penelitian terbaru mengindikasikan bahwa sel dendritik mukosa

dapat mempengaruhi properti homing . Sel dendritik dari plak payeri

dan limfonodi mesentrik, tetapi tidak sel dendritik dari limfa dan

perifer, meningkatkan ekspresi reseptor homing mukosa α4β7 dan

reseptor CCR9, suatu reseptor untuk gut-assosiated chemokine sel T

memori dan sel T CD8+ memori, untuk lebih suka homing di epitel

intestinal. Juga, sel dendritik imprinting of gut homing specifity,

terlihat terdiri dari retinoid acid yang diproduksi oleh sel dendritik

intestinal tetapi tidak oleh sel dendritik limfoid lain. Ini mungkin bisa

menjelaskan dugaan sistem imun mukosa umum dimana imunosit

teraktivasi pada suatu tempat menyebarkan imunitas ke jaringan

mukosa jauh dari pada oleh karena imunitas sistemik. Pada saat yang

sama, oleh karena kemokin, integrin dan sitokin terekspresi berbeda

diantara jaringan mukosa, fakta tersebut juga bisa menerangkan

sebagian, mengapa didalam sistem imun mukosa, ada hubungan

kompartemenisasi khas dengan tempat mukosa terinduksi (contohnya

usus dengan glandula mamae dan hidung dengan saluran pernafasan

dan genital).

Adanya hubungan kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan

tempat diberikannya imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan.

Imunisasi oral akan menginduksi antibodi di usus halus (paling kuat di

proksimal), kolon asenden, glandula mamae dan glandula saliva tetapi

tidak efektif menginduksi antibodi di segmen bawah usus besar, tonsil

dan genital wanita. Sebaliknya imunisasi perektal, akan menghasilkan

respons antibodi yang kuat di rektum tetapi tidak di usus halus dan

Page 159: Sistem Imun Full

colon proksimal. Imunisasi per nasal dan tonsil akan memberikan

respons antibodi di mukosa pernafasan atas dan regio sekresi (saliva

dan nasal) tanpa respons imun di usus, tetapi juga terjadi respons

imun di mukosa vagina seperti yang terlihat pada usaha imunisasi

HIV. Penelitian pada tikus ditemukan bahwa suntikan transkutan bisa

menimbulkan efek imunitas di mukosa vagina.

Mekanisme efektor pada imunologi mukosa

Selain mekanisme pembersihan antigen mekanis dan kimiawi,

imuitas mukosa terdiri dari sel lain berupa sistem imune innate yang

meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel NK (natural

killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi patogen dan

inisisasi respons imun adaptif.

Mekanisme pertahanan sistem imun adaptif di permukaan mukosa

adalah suatu sistem yang diperantarai antibodi IgA sekretori, kelas

imunoglobulin predominan dalam sekresi eksternal manusia.

Imunoglobulin ini tahan terhadap protease sehingga cocok berfungsi

pada sekresi mukosa. Induksi IgA melawan patogen mukosa dan

antigen protein terlarut bergantung pada sel T helper. Perubahan sel

B menjadi sel B penghasil IgA dipengaruhi oleh TGF-β dan iterleukin

(IL)10 bersama-sama dengan IL-4.Diketahui bahwa sel T mukosa

menghasilkan dalam jumlah yang banyak TGF-β, IL-10 dan IL-4, sel

epitelial mukosa menghasilkan TGF-β dan IL-10, menjadi petunjuk

bahwa maturasi sel B penghasil IgA melibatkan lingkungan mikro

mukosa yaitu sel epitel dan limfosit T tetangga

Walaupun IgA predominan sebagai mekanisme pertahanan humoral,

IgM dan IgG  juga diproduksi secara lokal dan berperan dalam

mekanisme pertahanan secara signifikan. Sel T limfosit sitolitik

mukosa (CTL) mempunyai peran penting dalam imunitas pembersihan

patogen virus dan parasit intraseluler. Sel CTL ini juga akan terlihat

setelah pemberian imunisasi oral, nasal, rektal ataupun vaginal dan

yang terbaru perkutaneus.

Mekanisme regulator pada imunologi mukosa

Sistem imun mukosa telah mengembangkan berbagai cara untuk

menjaga toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada

mikroflora, antigen makanan dan material udara terhirup. Tolerasi

tersebut melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian

Page 160: Sistem Imun Full

(induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T

regulatori. Anergi terhadap sel T antigen spesifik terjadi bila inhalasi

atau menelan sejumlah besar protein terlarut, dan penghilangan

(deleting) sel T spesifik terjadi setelah pemberian antigen dosis

nonfisiologis, secara masif. Pada percobaan tikus sudah diketahui ada

4 sel T regulator, yaitu; (i) antigen-induced CD4+ T helper 2 like

cells yang memproduksi IL-4 dan IL-10, dan antagonis sel efektor T

helper 1, (ii) sel CD4+CD45RBlow yang memproduksi IL-10, (iii) sel

CD4+ dan CD8+ yang memproduksi TGF-β (T helper 3), (iv) Sel Treg 

(CD4+CD25+) yang mensupresi proliferasi melalui suatu sel contact-

dependent mechanism.

Meskipun in vitro, sel yang terakhir dapat dikembangkan menjadi

suatu bentuk sel antigen spesifik in vivo setelah imunisasi. Sel ini bisa

juga mengubah aktifitas supresor pada sel CD4+ lain dengan cara

menginduksi ekspresi dari transkripsi faktor Foxp3 dan atau ikatan

MHC klas II dengan molekul LAG-3 pada sel sepertiinfectious

tolerance. Mereka juga mempunyai hubungan langsung antara sel T

inhibitor oleh Sel Treg , T helper 3, sel Tr 1. Selanjutnya natural

human CD4+CD25+ Treg mengekspresikan integrin α4β7 mukosa,

ketika bersama sel T CD4+ konvensional menginduksi sel T sekresi Tr

1 like IL 10 dengan aktifitas supresor kuat terhadap sel T efektor,

dimana α4β1 Treg –positif lain memperlihatkan cara yang sama dengan

cara menginduksi Thelper 3-like TGF-β-secreting supressor T cells.

Data dari studi terakhir mengindikasikan bahwa kesemua sel

regulator yang berbeda tipenya dan mekanismenya dapat diinduksi

atau ditambah (expand) oleh adanya antigen mukosa mengawali

terjadinya toleransi perifer. (Sun et al). Sel T CD8+ γδ intraepitelial 

mukosa respirasi dan usus juga dicurigai berperan dalam toleransi

mukosa. Jadi, mekanisme pertahanan mukosa dari autoagressive dan

penyakit alergi melibatkan berbagai tahap regulasi. Sedangkan

aktivasi, survival dan ekspansi sel regulator ini tampaknya dikontrol

oleh jenis terspesialisasi APC, khususnya sel dendritik jaringan spesifik

meliputi sel dendritik di hati, plak payeri, mukosa intestinal dan paru.

Page 161: Sistem Imun Full

(a) Bacteroides fragilis releases zwitterionic carbohydrates that enhance

CD4+ T cell development in the mammalian host. If the integrity of the

intestinal mucosa is compromised and B. fragilis invades submucosal

tissues, abscess formation is induced by zwitterionic carbohydrates.

(b) Clostridium difficile, on the other hand, causes disease only when the

endogenous commensal flora is compromised, resulting in toxin-mediated

damage (orange) to epithelial cells. (c) Helicobacter pylori adheres to the

surface of gastric epithelial cells, inducing an inflammatory response that

results in gastritis, peptic ulcers and, in some circumstances, gastric

cancer.

IMNITAS MUKOSA PADA MASING-MASING ORGAN

Folikel limfoid yang terisolir ditemukan tersebar di seluruh mukosa saluran

napas, cerna, dan urogenital.

Sistem imunitas mukosa saluran napas Sistem imunitas

mukosa saluran napas terdiri dari nose-associated lymphoid tissue

(NALT), larynx-associated lymphoid tissue (LALT), and the bronchus-

associated lymphoid tissue (BALT).1 BALT terdiri dari folikel limfoid

dengan atau tanpa germinal center terletak pada dinding bronkus.

Sistem limfoid ini terdapat pada 100% kasus fetus dengan infeksi

amnion dan jarang terdapat walaupun dalam jumlah sedikit pada

Page 162: Sistem Imun Full

fetus yang tidak terinfeksi. Pembentukan jaringan limfoid intrauterin

ini merupakan fenomena reaktif dan tidak mempengaruhi prognosis.

Respons imun diawali oleh sel M (microfold cells) yang berlokasi di

epitel yang melapisi folikel MALT. Folikel ini berisi sel B, sel T dan APC

yang dibutuhkan dalam pembentukan respons imun. Sel M bertugas

untuk uptake dan transport antigen lumen dan kemudian dapat

mengaktifkan sel T. Sel APC dalam paru terdiri dari sel dendritik

submukosa dan interstitial dan makrofag alveolus. Makrofag alveolus

merupakan 85% sel dalam alveoli, dimana sel dendritik hanya 1%.

Makrofag alveolus ini merupakan APC yang lebih jelek dibandingkan

sel dendritik. Karena makrofag alveolus paling banyak terdapat pada

alveolus, sel ini berperan melindungi saluran napas dari proses

inflamasi pada keadaan normal. Saat antigen masuk, makrofag

alveolus akan mempengaruhi derajat aktivitas atau maturasi sel

dendritik dengan melepaskan sitokin. Sel dendritik akan menangkap

antigen, memindahkannya ke organ limfoid lokal dan setelah melalui

proses maturasi, akan memilih limfosit spesifik antigen yang dapat

memulai proses imun selanjutnya

Setelah menjadi sel memori, sel B dan T akan bermigrasi dari MALT

dan kelenjar limfoid regional menuju darah perifer untuk dapat

melakukan ekstravasasi ke efektor mukosa. Proses ini diperantarai

oleh molekul adesi vaskular dan kemokin lokal, khususnya mucosal

addressin cell adhesion molecule-1 (MAdCAM-1). Sel T spesifik antigen

adalah efektor penting dari fungsi imun melalui sel terinfeksi yang lisis

atau sekresi sitokin oleh Th1 atau Th2. Perbedaan rasio atau polarisasi

sitokin ini akan meningkatkan respons imun dan akan membantu sel

B untuk berkembang menjadi sel plasma IgA.

Sistem imunitas mukosa saluran cernaLuas permukaan saluran

cerna mencapai hampir 400m2 dan selalu terpajan dengan berbagai

antigen mikroba dan makanan sehingga dapat menerangkan

mengapa sistem limfoid saluran cerna (gut associated lymphoid tissue

/GALT) memegang peranan pada hampir 2/3 seluruh sistem imun.

Pertahanan mukosa adalah struktur komplek yang terdiri dari

komponen selular dan non selular. Pertahanan yang paling kuat

masuknya antigen ke jaringan limfoid mukosa adalah adanya enzim

yang terdapat mulai dari mulut sampai ke kolon. Enzim proteolitik di

Page 163: Sistem Imun Full

dalam lambung (pepsin, papain) dan usus halus (tripsin, kimotripsin,

protease pankreatik) berfungsi untuk digesti. Pemecahan polipeptida

menjadi dipeptida dan tripeptida bertujuan agar dapat terjadi proses

digesti dan absorpsi bahan makanan, dan membentuk protein

imunogenik yang bersifat nonimun (peptida dengan panjang asam

amino <8-10 bersifat imunogenik yang buruk). Efek protease berlipat

ganda dengan adanya garam empedu yang memecah karbohidrat

dan akan didapatkan suatu sistem yang poten untuk meningkatkan

paparan antigen(Ag). Kadar pH yang sangat rendah di dalam lambung

dan usus halus dan produk bakteri di dalam kolon berfungsi sebagai

respons imun terhadap antigen oral. Sebagian besar respons imun ini

berfungsi melindungi manusia dari bahann patogen. Perubahan untuk

merespons atau menekan respons imun berhubungan dengan cara

antigen masuk ke dalam tubuh. Patogen invasif (yang merusak

pertahanan) memicu respons agresif, sedangkan untuk kolonisasi

luminal dibutuhkan yang lebih bersifat respons toleran.

Komponen utama pertahanan tubuh adalah produk gen musin.

Glikoprotein musin melapisi permukaan epitel dari rongga

hidung/orofaring sampai ke rektum. Sel goblet yang menghasilkan

mukus secara kontinu memberikan pertahanan yang kuat pada

persambungan epitel. Partikel, bakteri dan virus menjadi

terperangkap dalam lapisan mukus dan akan dikeluarkan dengan

proses persitaltik. Pertahanan ini mencegah patogen dan antigen

masuk ke bagian bawah epitel, disebut proses eksklusi nonimun.

Musin juga berfungsi sebagai cadangan IgA. Antibodi ini berasal dari

epitel dan dikeluarkan ke dalam lumen. 

Antibodi sIgA terdapat dalam lapisan mukus berikatan dengan

bakteri/virus dan mencegah menempel pada epitel. Hubungan faktor-

faktor, disebut sebagai faktor trefoil, membantu memperkuat

pertahanan dan memicu pemulihannya bila terdapat defek. Tidak

adanya produk gen musin atau faktor trefoil, manusia menjadi lebih

rentan terhadap inflamasi dan kurang mampu memperbaiki

kerusakan barier. Apakah defek tersebut berperan pada pasien

dengan alergi makanan masih dalam penelitian.

Lapisan barier berikutnya adalah sel epitel. Bersama-sama dengan

persambungan bagian apeks dan basal yang kuat, membran  dan

Page 164: Sistem Imun Full

ruang antara sel membatasi masuknya makromolekul yang besar.

Namun demikian, persambungan yang kuat ini masih mungkin dilalui

oleh di- dan tripeptida serta oleh ion-ion tertentu. Pada keadaan

inflamasi, persambungan ini menjadi kurang kuat sehingga

makromolekul dapat masuk ke dalam lamina propria, contohnya

respons terhadap antigen makanan atau masuknya mikroorganisme

lumen. Pada keadaan ini, antigen makanan akan menjadi antigen

asing, dimana pada individu yang memiliki bakat alergi akan

menginduksi proses alergi menjadi berlanjut.

Sel epitel usus dapat memproses sebagian antigen lumen dan

mempresentasikannya ke sel T dalam lamina propria. Dalam keadaan

normal, interaksi ini menyebabkan aktivasi selektif sel T

CD8+ regulator. Pada penyakit tertentu (contohnya inflammatory

bowel disease), aktivasi beberapa sel rusak sehingga menyebabkan

inflamasi menetap. Pada alergi makanan, alergen yang menembus

epitel akan menempel pada sel mast mukosa .

Sel T yang teraktivasi dalam Peyer’s patch setelah paparan dengan

antigen disebut sebagai Th3. Sel ini berfungsi

mengeluarkan transforming growth factor-β,memicu sel B untuk

menghasilkan IgA dan berperan pada terjadinya toleransi oral

(aktivasi antigen spesifik non respons terhadap antigen yang masuk

per oral).

Sel T regulator yang paling baru dikenal adalah dengan fenotip

CD4+ CD25+ CD45RA+. Sel ini awalnya dikenal pada gastritis

autoimun dan berfungsi menghambat kontak antar sel dan dapat

menyebabkan kelainan autoimun pada neonatus yang mengalami

timektomi.

Imunoglobulin A sekretori pada saluran cerna

Antibodi IgA adalah antibodi yang tidak dapat berikatan dengan

komplemen (yang dapat memicu respons inflamasi) dan berfungsi utama

sebagai inhibitor penempelan bakteri/virus ke epitel. Antibodi IgA dapat

menggumpalkan antigen, menjebaknya dalam lapisan mukus dan

membantu mengeluarkannya dari tubuh (Gambar 11-4). Antibodi IgA

sekretorik dilindungi oleh sel epitel dari protease lumen dengan

diproduksinya komponen sekretori yaitu glikoprotein. Molekul ini

Page 165: Sistem Imun Full

menutupi bagian Fc dari antibodi dimer dan melindunginya dari proses

proteolitik.  Sistem IgA tidak akan matur sebelum usia 4 tahun sehingga

pada umur tersebut dapat terjadi peningkatan respons imun terhadap

antigen makanan. IgA sekretorik dari ASI dapat memberikan imunisasi

pasif dalam menghadapi patogen dan berperan menjadi barier bagi

neonatus. IgE tidak ditemukan dalam saluran cerna karena mudah

dipecah oleh protease lambung dan usus halus. Pada alergi makanan

harus terdapat IgE dalam saluran cerna. Hal ini dapat terjadi karena

adanya antigen yang melewati barier mukosa dan mempresentasikannya

ke sel mast.

Flora komensal pada saluran cerna

Komponen terakhir dari MALT adalah flora komensal yang berperan

membentuk kumpulan imunologi dari sistem imun mukosa usus. Flora

komensal diperkirakan ada 1012-1014 bakteri per gram jaringan kolon.

Flora ini menguntungkan manusia karena membantu digesti, memicu

pertumbuhan dan diferensiasi sel epitel, memproduksi vitamin, dll. Bila

ada penyakit, flora dapat terpengaruh dan terjadi pertumbuhan

berlebihan dari strain yang kurang dapat ditoleransi, contohnya pada

kolitis pseudomembran akibat Clostridium difficile. Flora komensal

normalnya dapat menjaga keseimbangan spesies bakteri ini. Pada

beberapa kasus, flora normal dapat dikembalikan dengan pemberian

probiotik.

Sistem imunitas mukosa saluran genital Secara umum, sistem

imun mukosa di saluran genital sama dengan yang terjadi di saluran

pernafasan ataupun gastro intestinal. Pada mukosa genital wanita,

terjadi keseimbangan yang baik antara imunotoleransi terhadap

antigen asing di dalam sperma/fetus dan kebutuhan imunitas lokal

melawan patogen. Ada perbedaan epitel vagina berupa epitel

terstratifikasi yang lebih berespons terhadap kemokin dan sitokin dan

epitel endoserviks yang kolumnar yang berespons terhadap sitokin

serupa dengan pada saluran nafas dan pencernakan. Ini kemungkinan

adanya keperluan endoserviks harus relatif steril terhadap patogen.

Berbagai macam patogen bisa melewati mukosa genital yang

menyebabkan sakit. Disini peran imunitas mukosa sangat penting.

Seperti yang terlihat pada infeksiHuman papilomavirus (HPV) di

Page 166: Sistem Imun Full

genital. Dari penelitian terbukti bahwa eradikasi virus HPV tersebut

lebih oleh karena proses seluler dari pada proses humoral.Protein

awal HPV yang berfungsi untuk replikasi dan proliferasi dikenali oleh

sel T antigen-spesifik. Respons ini tergandung dari tingkat lesi dan

kemungkinan onkogenik oleh infeksi HPV. Infeksi alam HPV sangat

lambat dan tidak imunogenik karena sedikit sekali dipresentasikan ke

sel dendritik profesional dan tidak menimbulkan reaksi inflamasi serta

mempunyai jalur yang berbeda pada respons imun terhadap virus.

Sedangkan sekresi IgA di mukosa vagina terlihat lemah, sehingga

seakan-akan terjadi defisiensi imun relatif terhadap HPV. Padahal HPV

ini punya potensi untuk menjadikan kanker serviks. Untuk itu khusus

HPV perlu diklarifikasi mekanismenya sehingga bisa dibuat suatu

vaksin untuk HPV.

Terhadap virus herpes simplek (HSV), mukosa vagina memberikan

efek protektif respons imun innate berupa; (i) sekresi protein,

komplemen dan defensin, (ii) respons awal terhadap virus oleh sel

epitel dan sel dendritik khas ditandai dengan produksi interferon,

yang selanjutnya mengawali respons imun adaptif, (iii) rekruitmen sel

efektor seperti neutrofil, makrofag dan sel NK. Sekali partikel virus

HSV2 mencoba menginfeksi mukosa vagina, dihadapkan pada 

mekanisme pertahanan berupa; mukus, flora normal bakteri, pH asam

dan berbagai sekresi protein. Mukosa genital kaya akan substansi

seperti defensin, secretory leucocyte protease inhibitor (SLPI),

laktoferin, surfaktan, lisosim dan lainnya meskipun komplemen adalah

yang paling sebagai innate protein.

ASPEK KLINIS IMUNOLOGI MUKOSA

Imunisasi

Alasan utama menggunakan vaksinasi melalui mukosa adalah bahwa

fakta kebanyakan infeksi masuk melalui permukaan mukosa dan pada

infeksi ini, jarang diberikan vaksin topikal untuk menginduksi respons

imun protektif. Vaksinasi mukosa diharapkan akan memberikan

perlindungan dengan cara mencegah penempelan dan kolonisasi patogen

pada epitel mukosa dan mencegah penetrasi dan replikasi di mukosa

serta menangkal ikatan toksin mikrobial pada epitel mukosa dan sel lain

yang terkena. Beberapa organisme (V. cholerae) memberikan imunitas

dengan cara memproduksi IgA sekretori  dan dihubungkan dengan

Page 167: Sistem Imun Full

memori imunologi. Organisme lain (H. pylori, klamidia, herpes)

memberikan imunitas protektif dengan diperantarai oleh sel T helper CD4

dan mungkin juga sel sitolitik CD8 dan sel NK. Pada mukosa pernafasan

dan genital yang lebih permeabel dan mudah dipenetrasi oleh antibodi

daripada mukosa intestinal, juga bisa mendapatkan imunitas protektif

dengan pemberian imunisasi parenteral. Cara yang sama juga bisa terjadi

pada infeksi enterik (Shigella spp dan Salmonella typhi). Infeksi kedua

organisme ini bisa menyebabkan penyakit setelah multiplikasi dan induksi

inflamasi di kelenjar limfoid mukosa. Walaupun demikian masih ada

kesulitan dalam mengembangkan vaksin mukosa untuk mendapatkan

kadar antibodi IgAs yang memadai. Baru beberapa vaksin mukosa yang

ditemukan. Idealnya vaksin mukosa: (i) terlindungi dari eliminasi fisik dan

enzim pencernakan, (ii) tempat target masuk mukosa meliputi membran

atau sel M, (iii) paling tidak, vaksin untuk melawan infeksi, menstimulasi

secara tepat sistim imun innate yang akan mengaktifkan sistem imun

adaptif. Untuk itu perlu dicari sistem pengantaran antigen dan adjuvant

yang baik. Dalam penelitian, adjuvant yang paling baik adalah toksin

kolera. Molekul DNA bakteri atau oligodeoxynucleotide juga merupakan

adjuvant yang menjanjikan.

Pada vaksin oral polio, akan bisa menghasilkan antibodi di darah yang

menimbulkan efek proteksi mencegah terjadinya mielitis akibat sebaran

virus polio yang menempel di sistem saraf. Kelebihan OPV dibanding

dengan IPV, OPV bisa juga mempoduksi IgAs yang memberikan respons

imun lokal di mukosa intestinal, tempat primer virus polio untuk replikasi

dan multiplikasi. Hal ini bisa mencegah penularan orang ke orang, dan

menimbulkan herd immunity. Walau ada kelemahan akan adanya

virulensi yang pulih pada virus vaksin sehingga bisa menyebabkan sakit.

Vaksin-vaksin untuk melawan infeksi enterik antara

lain V.cholerae, S.typhi dan rotavirus. Tetapi masih belum ditemukan

vaksin untuk ETEC dan shigella.  Kolera merupakan organisme terbanyak

penyebab diare bakterial. Sebelumnya diberikan imunisasi parenteral

tetapi tidak menimbulkan respons imun mukosa usus sehingga sekarang

sudah ditarik. Saat ini ada 2 vaksin kolera oral yang terdiri dari pertama,

vaksin rekombinan dan vaksin inaktifasi yang terbukti aman dan stabil,

efektif, dan bisa menghasilkan herd immunity. Efek poteksi didapat dari

produksi antibodi SigA anti-toksin dan anti-bakterial di usus. Kedua, vaksin

Page 168: Sistem Imun Full

kolera hidup yang dilemahkan terbukti aman dan bisa memberikan

proteksi 60-100% di negara tidak endemis, tetapi tidak bisa membeikan

proteksi yang bermakna di negara endemis sepeti Indonesia.

Vaksin terhadap tifus pertama kali berupa vaksin sel utuh, memberikan

proteksi yang baik tetapi terdapat reaksi lokal yan berat dan sering

demam. Saat ini ada 2 jenis yang direkomendasikan yaitu vaksin yang

terdiri dari antigen Vi kapsul polisakarida murni, diberikan secara

parenteral dosis tunggal yang memberikan proteksi 70% dan aman

ditoleransi dengan baik. Jenis yang lain adalah vaksin hidup yang

dilemahkan yang diberikan secara oral memberikan perlindungan 67%

selama 3 tahun, akan tetapi proteksi imunitas mukosa lokal belum

diketahui.

Vaksin rotavirus yang terdahulu adalah suatu vaksin quadrivalen dari

rotavirus resus monyet, tetapi cepat ditarik karena dicurigai

menyebabkan intususepsi. Saat ini telah dikembangkan vaksin oral

rotavirus hidup yang dilemahkan, memberikan proteksi 62-90%.

Vaksin untuk infeksi saluran nafas antara lain vaksin influensa dan

pneumokok yang disuntikkan. Diharapkan akan terbentuk IgG yang

melindungi penyebaran sistemik organisme tersebut. Dimana mungkin

juga secara transudasi memberikan proteksi lokal mukosa saluran

pernafasan bawah. Saat ini telah ada vaksin influensa yang diberikan

topikal lewat nasal. Dengan cara ini tejadi respons imun seperti

alamiahnya, bisa terjadi imunitas lokal dengan membentuk sIgA yang

menempel di permukaan virus hemaglutinin dan neuroamidase dan

sistemik dengan cara membentuk IgG yang mencegah penyebaran virus

sistemik, viremia. Kedua macam vaksin tersebut memberikan proteksi

sebesar 60-90%.

Vaksin mukosa untuk imunoterapi saat ini mulai dipikirkan. Adanya

toleransi imunologi di mukosa menjadikan pilihan strategi untuk

mengembangkannya, untuk mengobati kesakitan yang diakibatkan reaksi

imun terhadap alergen maupun antigen-self atauautoimmune disease.

Masih perlu diteliti lagi seberapa besar dan seberapa sering alergen yang

diberikan untuk bisa menimbulkan efek protektif dengan aman. Teknik-

teknik baru dengan menggunakan modifikasi alergen, vaksinasi gen

Page 169: Sistem Imun Full

alergen atau analog peptida digabung dengan adjuvant yang sesuai

meningkatkan keamanan dan efikasi imunoterapi mukosa pada alergi dan

asma.

Penyakit inflamasi usus

Ada dua penyakit yang penting pada penyakit inflamasi

usus (inflammatory bowel disease) yaitu kolitis ulserativa (UC)

dan Crohn’s disease (CD). Kedua penyakit itu bisa mengenai baik

anak-anak maupun dewasa. Penyakit UC adalah suatu keadaan yang

ditandai dengan adanya respons inflamasi dan perubahan morfologi

pada kolon. Inflamasi terbatas di sepanjang kolon dan dapat diikuti

dengan ulkus, edema dan perdarahan. Sedangkan CD adalah

inflamasi menyerupai UC tetapi bisa terjadi di seluruh bagian dari

usus. Bisanya segmen yang sakit diselingi bagian segmen usus yang

sehat disebut sebagai skip area.

Respons inflamasi yang merusak disebabkan langsung oleh karena

pengenalan terhadap self-antigen seperti musin, sel goblet, kolonosit,

dan sel-sel lain. Sejumlah penelitian mencurigai CD pada manusia

adalah suatu penyakit yang diperantarai sel T helper 1 dan

berlebihan. Sedangkan untuk UC masih sedikit diketahui apa yang

memerantarainya. Beberapa studi menyebutkan bahwa profil sitokin

UC lain dengan CD. Kemungkinan yang lebih berperan dalan UD

adalah T helper 2 dibanding T helper 1, juga dicurigai adanya respons

imun humoral yang abnormal terjadi pada UC.

Imunitas mukosa saluran pernafasan pada asma dan Penyakit

Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

Imunoglobulin A berperan pada homeostasis mukosa dan

pertahanan host serta merupakan mekanisme pertahanan pertama

terhadap kelainan jalan nafas kronis. Ini  sudah diketahui, tetapi

perannya terhadap PPOK dan asma baru sedikit diketahui. Pada PPOK

diperkirakan bahwa respons IgA mukosa terganggu dan terjadi

kekurangan transport IgA melewati epitel bronkus, yang mungkin

memunculkan proteinase neutrofil, dimana akan mendegradasi

reseptor imunoglobulin yang dimediasi rute transepitelial ini.

Sebaliknya, respons IgA terhadap alergen pada asma memainkan

peran suatu proses patogenik dengan cara aktifasi eosinofil. Jadi, IgA

menginduksi degranulasi eosinofil, dimana kita ketahui bahwa produk

Page 170: Sistem Imun Full

degranulasi eosinofil terdiri dari mediator-mediator inflamasi yang

menyebabkan klinis asma terjadi. Defisiensi IgA selektif berhubungan

dengan peningkatan prevalensi atopi, dimana pada percobaan pada

tikus dengan asma menunjukan adanya efek protektif oleh IgA.

Sehingga masih diperlukan penelitian lagi untuk mencari peran

imunitas mukosa dan kemungkinan imunoterapi yang efektif terhadap

asma dan PPOK.

Peran imunitas mukosa urogenital terhadap infeksi saluran kemih

Selain pertahanan fisik, kimiawi dan sistem imune innate , IgA

mempunyai peran yang sangat penting dalam pertahana terhadap

antigen dan patogen di saluran urogenital. Ada satu penelitian yang

mengukur kadar IgA urine pada anak-anak perempuan dengan ISK

asimtomatik dan anak-anak ISK simtomatik dibandingkan dengan

anak sehat tanpa ISK. Mereka menemukan bukti bahwa pada anak

sehat, ekskresi IgA rendah pada bayi kurang dari 6 bulan dan pada

umur 6-15 tahun terlihat sekresi IgA meningkat dengan

bertambahnya umur. Pada anak-anak dengan ISK berulang

asimtomatik tanpa kelainan saluran kemih, ternyata mempunyai

kadar IgA yang lebih rendah dibanding kontrol. Sedangkan pada anak

dengan ISK simtomatik tanpa kelainan saluran kemih mempunyai

kadar ekskresi IgA yang lebih tinggi dari kontrol. Anak dengan ISK

simtomatik dengan kelainan saluran kemih mempunyai kadar ekskresi

IgA paling tinggi. Disimpulkan bahwa kadar IgA rendah bisa dijadikan

pertanda terjadinya ISK berulang pada anak-anak perempuan tanpa

kelainan saluran kemih.

Imunoterapi kelihatannya mempunyai prospek yang baik untuk

tatalaksana ISK dimasa mendatang. Paling tidak ada 2 penelitian yang

mendukung hal tersebut. Penelitian dengan menggunakan vaksinasi

pervaginal terdapat perbadaan bermakna angka reinfekasi dibanding

plasebo. Pada kelompok vaksin memperlihatkan 50% pasien tidak

terjadi reinfeksi ISKdibanding hanya 17% pada plasebo. Sedangkan

penelitian yang menggunakan vaksin oral, suatu metaanalisis

menyatakan bahwa pasien ISK yang mendapatkan vaksin (18

uropatogenik E. coli) terjadi penurunan yang nyata pada angka

rekurensi dibanding dengan plasebo. Tidak didapatkan perbedaan

efek samping yang bermakna dibanding kontrol. Sehingga, dengan

Page 171: Sistem Imun Full

adanya resistensi yang semakin meningkat, imunoterapi terhadap ISK

akan menjadi alternatif yang efeksif dan aman.

Sistem imun mukosa mempunyai tiga fungsi utama yaitu; (i)

melindungi membran mukosa dari invasi dan kolonisasi mikroba

berbahaya yang mungkin menembus masuk, (ii) melindungi

pengambilan (uptake) antigen-antigen terdegradasi meliputi protein-

protein asing dari makanan yang tercerna, material di udara yang

terhirup dan bakteri komensal, (iii) melindungi berkembangnya

respons imun yang berpotensi merugikan terhadap antigen-antigen

tersebut bila antigen tersebut mencapai dalam tubuh.

Mekanisme pembersihan antigen melalui beberapa cara yaitu;

mekanis dengan barries fisik, kimiawi dengan enzim-enzim, sistem

imune innate meliputi netrofil fagositik dan makrofag, denritik sel, sel

NK (natural killer), dan sel mast. Sel-sel ini berperan dalam eliminasi

patogen dan inisisasi respons imun adaptif. Mekanisme pertahanan

sistem imun adaptif di permukaan mukosa adalah suatu sistem yang

diperantarai antibodi IgA sekretori. S

istem imunitas mukosa mempunyai berbagai cara untuk menjaga

toleransi terhadap antigen-self, antigen lingkungan pada mikroflora,

antigen makanan dan material udara terhirup. Tolerasi tersebut

antara lain melalui mekanisme; aktifasi sel penginduksi kematian

(induce-cell death), anergi dan yang paling penting induksi sel T

regulator. Adanya toleransi imun ini melindungi tubuh dari terjadinya

reaksi imun yang berlebihan yang merugikan.

Kelainan klinis yang berhubungan dengan imunitas mukosa

diantaranya adalah defisiensi IgA selektif, inflammatory bowel

disease, asma dan PPOK . Defisiensi IgA selektif adalah defisiensi

berat atau total tidak ada imunoglobulin A dalam serum atau sekresi,

tanpa ada defisiensi klas imunoglobulin lain dimana fungsi sel T

limfosit, fagosit dan komplemen masih normal. kemungkinan

penyebab defisiensi ini adalah gangguan sintesis akibat sel B tidak

bisa mencapai matur atau gangguan sekresi. Penyakit inflamasi usus

(inflammatory bowel disease) yaitu kolitis ulcerativa (UC) dan Crohn’s

disease (CD), penyebabnya belum diketahui. Sejumlah penelitian

mencurigai CD pada manusia adalah suatu penyakit yang diperantarai

sel T helper 1 dan berlebihan. Sedangkan untuk UC masih sedikit

Page 172: Sistem Imun Full

diketahui apa yang memerantarainya. Pada asma, respons IgA

terhadap alergen memainkan peran suatu proses patogenik dengan

cara aktifasi eosinofil, sedangkan PPOK diperkirakan bahwa respons

IgA mukosa terganggu dan terjadi kekurangan transport IgA melewati

epitel bronkus, yang mungkin memunculkan proteinase neutrofil,

dimana akan mendegradasi reseptor imunoglobulin yang dimediasi

rute transepitelial ini.

Sistem imunitas mukosa ternyata mempunyai sifat

kompartemenisasi dimana ada hubungan imunitas antara satu

kompartemen dengan kompartemen lain. Adanya hubungan

kompartemenisasi ini menjadi pertimbangan tempat diberikannya

imunisasi mukosa akan efek yang diharapkan. Vaksinasi mukosa dan

imunoterapi kelihatannya mempunyai prospek yang baik untuk

tatalaksana infeksi dimasa mendatang, menggantikan peran antibiotik

yang semakin bertambah resistensinya dan antivirus. Untuk itu,

pemahaman imunologi mukosa yang komplek dan belum sepenuhnya

dimengerti menjadi sangat penting.

REFERENCES RECOMMENDED

Lefrancois, L. & Puddington, L. Intestinal and pulmonary mucosal T

cells: local heroes fight to maintain the status quo. Annu. Rev.

Immunol. 24, 681–704 (2006).

Neutra, M.R., Mantis, N.J. & Kraehenbuhl, J.P. Collaboration of

epithelial cells with organized mucosal lymphoid tissues. Nat.

Immunol. 2, 1004–1009 (2001).

Moghaddami, M., Cummins, A. & Mayrhofer, G. Lymphocyte-filled

villi: comparison with other lymphoid aggregations in the mucosa of

the human small intestine. Gastroenterology 115, 1414–1425 (1998).

Onai, N. et al. Pivotal role of CCL25 (TECK)-CCR9 in the formation of

gut cryptopatches and consequent appearance of intraepithelial T

lymphocytes. Int. Immunol. 14, 687–694 (2002).

Guy-Grand, D., Azogui, O., Celli, S., Darche, S., Nussenzweig, M.C.,

Kourilsky, P. et al. Extrathymic T cell lymphopoiesis: ontogeny and

contribution to gut intraepithelial lymphocytes in athymic and

enthymic mice. J. Exp. Med. 197, 333–341 (2003). |

Pabst, O., Herbrand, H., Friedrichsen, M., Velaga, S., Dorsch, M.

Berhardt, G. et al.Adaptation of solitary intestinal lymphoid tissue in

Page 173: Sistem Imun Full

response to microbial and chemokine receptor CCR7 signaling. J

Immunol 177, 6824–6832 (2006).

Craig, S.W. & Cebra, J.J. Peyer’s patches: an enriched source of

precursors for IgA-producing immunocytes in the rabbit. J. Exp. Med.

134, 188–200 (1971).

McWilliams, M., Phillips-Quagliata, J.M. & Lamm, M.E. Mesenteric

lymph node B lymphoblasts which home to the small intestine are

precommitted to IgA synthesis. J. Exp. Med. 145, 866–875 (1977).

Guy-Grand, D., Griscelli, C. & Vassalli, P. The gut-associated

lymphoid system: nature and properties of the large dividing cells.

Eur. J. Immunol. 4, 435–443 (1974). |

Roux, M.E., McWilliams, M., Phillips-Quagliata, J.M. & Lamm, M.E.

Differentiation pathway of Peyer’s patch precursors of IgA plasma cells

in the secretory immune system. Cell Immunol. 61, 141–153 (1981).

Parrott, D.M. The gut as a lymphoid organ. Clin. Gastroenterol. 5,

211–228 (1976). |

Lamm, M.E. Cellular aspects of immunoglobulin A. Adv. Immunol.

22, 223–290 (1976).

Dunn-Walters, D.K., Isaacson, P.G. & Spencer, J. Sequence analysis

of human IgVH genes indicates that ileal lamina propria plasma cells

are derived from Peyer’s patches. Eur. J. Immunol. 27, 463–467

(1997).

Cornes, J.S. Number, size and distribution of Peyer’s patches in the

human small intestine. Gut 6, 225–233 (1965).

Spencer, J. & MacDonald, T.T. Ontogeny of human mucosal

immunity. In Ontogeny of the Immune System of the Gut (MacDonald,

T.T., ed) 23–50 (CRC Press, Boca Raton, FL, 1990).

Trepel, F. Number and distribution of lymphocytes in man. A critical

analysis. Klin. Wochenschr. 52, 511–515 (1974).

O’Leary, A.D. & Sweeney, E.C. Lymphoglandular complexes of the

colon: structure and distribution. Histopathology 10, 267–283 (1986).

Muòoz AR. Mucosal Immunity In The Respiratory Tract: The Role Of

Iga In Protection Against Intracellular Pathogens. Doctoral Thesis from

the Department of Immunology, The Wenner-Gren Institute,

Stockholm University. Stockholm 2005

Mayer L. Mucosal Immunity. Pediatrics. 2003;111:1595-1600.

Page 174: Sistem Imun Full

Brandtzaeg, P. & Pabst, R. Let’s go mucosal: communication on

slippery ground. Trends Immunol. 25, 570–577 (2004).

Tomasi, T.B., Tan, E.M., Solomon, A. & Prendergast, R.A.

Characteristics of an immune system common to certain external

secretions. J. Exp. Med. 121, 101–124 (1965).

Brandtzaeg, P. Presence of J chain in human immunocytes

containing various immunoglobulin classes. Nature 252, 418–420

(1974).

Brandtzaeg, P. Mucosal and glandular distribution of

immunoglobulin components: differential localization of free and

bound SC in secretory epithelial cells. J. Immunol. 112, 1553–1559

(1974).

Brandtzaeg, P. & Prydz, H. Direct evidence for an integrated function

of J chain and secretory component in epithelial transport of

immunoglobulins. Nature 311, 71–73 (1984).

Brandtzaeg, P. Human secretory immunoglobulins. III.

Immunochemical and physicochemical studies of secretory IgA and

free secretory piece. Acta Pathol. Microbiol. Immunol. Scand. 79, 165–

188 (1971).

Harmsen, A., Kusser, K., Harson, L., Tighe, M., Sunshine, M.J.,

Sedgwick, J.D. et al. Cutting edge: organogenesis of nasal-associated

lymphoid tissue (NALT) occurs independently of lymphotoxin- (LT) and

retinoic acid receptor-related orphan receptor-, but the organization of

NALT is LT dependent. J. Immunol. 168, 986–990 (2002). |

Kiyono, H. & Fukuyama, S. NALT- versus Peyer’s-patch-mediated

mucosal immunity. Nat. Rev. Immunol. 4, 699–710 (2004).

Fukuyama, S., Nagatake, T., Kim, D.Y., Takamura, K., Park, E.J.,

Kaisho, T. et al. Cutting edge: uniqueness of lymphoid chemokine

requirement for the initiation and maturation of nasopharynx-

associated lymphoid tissue organogenesis. J. Immunol. 177, 4276–

4280 (2006).

Kuper, C.F., Koornstra, P.J., Hameleers, D.M., Biewenga, J., Spit, B.J.,

Duijvestijn, A.M. et al. The role of nasopharyngeal lymphoid tissue.

Immunol. Today 13, 219–224 (1992). |

Perry, M. & Whyte, A. Immunology of the tonsils. Immunol. Today

19, 414–421 (1998).

Page 175: Sistem Imun Full

Brandtzaeg, P. Immunology of tonsils and adenoids: everything the

ENT surgeon needs to know. Int. Congr. Ser. (ICS) 1254, 89–99 (2003)

(Elsevier)/Int. J. Pediatr. Otorhinolaryngol, 2003, 67 (Suppl 1): S69–

S76.

Kunkel, E.J. & Butcher, E.C. Chemokines and the tissue-specific

migration of lymphocytes. Immunity 16, 1–4 (2002).

Johansen, F.-E., Baekkevold, E.S., Carlsen, H.S., Farstad, I.N., Soler,

D. & Brandtzaeg, P. Regional induction of adhesion molecules and

chemokine receptors explains disparate homing of human B cells to

systemic and mucosal effector sites: dispersion from tonsils. Blood

106, 593–600 (2005).

Federative Committee on Anatomical Terminology (FCAT).

Terminologia Anatomica; International Anatomical Terminology 52,

100–101 Thieme Stuttgart, New York, 1998).

Williams, P.L. (ed) Gray’s Anatomy 38th edn, 144–145 (Churchill

Livingstone, Edinburgh, 1995).

Csencsits, K.L., Jutila, M.A. & Pascual, D.W. Mucosal addressin

expression and binding-interactions with naive lymphocytes vary

among the cranial, oral, and nasal-associated lymphoid tissues. Eur. J.

Immunol. 32, 3029–3039 (2002)

Csencsits, K.L. & Pascual, D.W. Absence of L-selectin delays mucosal

B cell responses in nonintestinal effector tissues. J. Immunol. 169,

5649–5659 (2002).

Brandtzaeg, P. Induction of secretory immunity and memory at

mucosal surfaces. Vaccine 25, 5467–5484 (2007).

Turner, M.W., Russell, M.W., Gleeson, M., Brandtzaeg, P., Ferguson,

A., Hanson, L.Å. et al. Terminology: nomenclature of immunoglobulin

A and other proteins of the mucosal immune system. Bull. World

Health Organ. 76, 427–428 (1998).

Brandtzaeg, P. & Johansen, F.-E. Mucosal B cells: phenotypic

characteristics, transcriptional regulation, and homing properties.

Immunol. Rev. 206, 32–63 (2005).

Fagarasan, S. & Honjo, T. Intestinal IgA synthesis: regulation of

front-line body defences. Nat. Rev. Immunol. 3, 63–72 (2003).

Page 176: Sistem Imun Full

McDermott, M.R. & Bienenstock, J. Evidence for a common mucosal

immunologic system. I. Migration of B immunoblasts into intestinal,

respiratory, and genital tissues. J. Immunol. 122, 1892–1898 (1979

Tschernig, T. & Pabst, R. Bronchus-associated lymphoid tissue

(BALT) is not present in the normal adult lung but in different

diseases. Pathobiology 68, 1–8 (2000). |

Macpherson, A.J., McCoy, K., Johansen, F.-E. & Brandtzaeg, P. The

immune geography of IgA induction and function. Mucosal Immunol.,

in press (2008).

Boursier, L., Gordon, J.N., Thiagamoorthy, S., Edgeworth, J.D. &

Spencer, J. Human intestinal IgA response is generated in the

organized gut-associated lymphoid tissue but not in the lamina

propria. Gastroenterology 128, 1879–1889 (2005).

He, B., Xu, W., Santini, P.A., Polydorides, A.D., Chiu, A., Estrella, J. et

al. Intestinal bacteria trigger T cell-independent immunoglobulin A(2)

class switching by inducing epithelial-cell secretion of the cytokine

APRIL. Immunity 26, 812–826 (2007).

Kett, K., Baklien, K., Bakken, A., Kral, J.G., Fausa, O. & Brandtzaeg, P.

Intestinal B-cell isotype response in relation to local bacterial load:

evidence for immunoglobulin A subclass adaptation. Gastroenterology

109, 819–825 (1995).

Hamada, H., Hiroi, T, Nishiyama, Y, Takahashi, H, Masunaga, Y,

Hachimura, S et al.Identification of multiple isolated lymphoid follicles

on the antimesenteric wall of the mouse small intestine. J. Immunol.

168, 57–64 (2002).

Dohi, T., Rennert, P.D., Fujihashi, K., Kiyono, H., Shirai, Y.,

Kawamura, Y.I. et al. Elimination of colonic patches with lymphotoxin

receptor-Ig prevents Th2 cell-type colitis. J. Immunol. 167, 2781–2790

(2001).

Carlsen, H.S., Baekkevold, E.S., Johansen, F.E., Haraldsen, G. &

Brandtzaeg, P. B cell attracting chemokine 1 (CXCL13) and its

receptor CXCR5 are expressed in normal and aberrant gut associated

lymphoid tissue. Gut 51, 364–371 (2002).

Mestecky J et al. Mucosal immunology 3rd edn. Academic press, San

Diego, 2005.

Page 177: Sistem Imun Full

Bilsborough J, Viney JL. Gastrointestinal dendritic sel plays a role in

immunity, tolerance and disease. Gastroenterology.2004;127:300-

3009.

Imunitas selulerWidodo Judarwanto. Children Allergy Online Clinic, Jakarta Indonesia

Kekebalan selular adalah respon imun yang tidak

mengikutsertakan antibodi, tetapi mengikutsertakan aktivasi

makrofaga, sel NK, sel T sitotoksik yang mengikat antigen

tertentu, dan dikeluarkannya berbagai sitokina sebagai respon

terhadap antigen. Sistem imun terbagi menjadi dua cabang:

imunitas humoral, yang merupakan fungsi protektif imunisasi

dapat ditemukan pada humor dan imunitas selular, yang fungsi

protektifnya berkaitan dengan sel. Imunitas selular didefinisikan

sebagai suatu respons imun terhadap antigen yang diperankan

oleh limfosit T dengan atau tanpa bantuan komponen sistem

imun lainnya.

Imunitas seluler merupakan bagian dari respons imun didapat yang

berfungsi untuk mengatasi infeksi mikroba intraseluler. Imunitas seluler

Page 178: Sistem Imun Full

diperantarai oleh limfosit T. Terdapat 2 jenis mekanisme infeksi yang

menyebabkan mikroba dapat masuk dan berlindung di dalam sel.

Pertama, mikroba diingesti oleh fagosit pada awal respons imun alamiah,

namun sebagian dari mikroba tersebut dapat menghindari aktivitas

fagosit. Bakteri dan protozoa intraseluler yang patogen dapat bereplikasi

di dalam vesikel fagosit. Sebagian mikroba tersebut dapat memasuki

sitoplasma sel dan bermultiplikasi menggunakan nutrien dari sel tersebut.

Mikroba tersebut terhindar dari mekanisme mikrobisidal. Kedua, virus

dapat berikatan dengan reseptor pada berbagai macam sel, kemudian

bereplikasi di dalam sitoplasma sel. Sel tersebut tidak mempunyai

mekanisme intrinsik untuk menghancurkan virus. Beberapa virus

menyebabkan infeksi laten, DNA virus diintegrasikan ke dalam genom

pejamu, kemudian protein virus diproduksi di sel tersebut.

Masuknya antigen ke dalam tubuh akan mengakibatkan suatu seri

kejadian yang sangat kompleks yang dinamakan respons imun.

Secara garis besar, respons imun terdiri atas respons imun selular dan

humoral.

Page 179: Sistem Imun Full

Sebenarnya kedua macam respons imun ini tidak dapat dipisahkan

satu dengan yang lain, oleh karena respons yang terjadi pada

umumnya merupakan gabungan dari kedua macam respons tersebut.

Hanya saja pada keadaan tertentu imunitas selular lebih berperan

daripada respons humoral, sedang pada keadaan lainnya imunitas

humoral yang lebih berperan.

Eliminasi mikroba yang berada di vesikel fagosit atau sitoplasma sel

merupakan fungsi utama limfosit T pada imunitas didapat. Sel

T helper CD4+ juga membantu sel B memproduksi antibodi. Dalam

menjalankan fungsinya, sel T harus berinteraksi dengan sel lain

seperti fagosit, sel pejamu yang terinfeksi, atau sel B. Sel T

mempunyai spesifisitas terhadap peptida tertentu yang ditunjukkan

dengan major histocompatibility complex (MHC). Hal ini membuat sel

T hanya dapat merespons antigen yang terikat dengan sel lain.

Page 180: Sistem Imun Full

SEL LIMFOSIT T

Pada mulanya kita hanya mengenal satu macam limfosit. Tetapi

dengan perkembangan di bidang teknologi kedokteran, terutama

sejak ditemukannya antibodi monoklonal, maka kita mengetahui

bahwa ada 2 macam limfosit, yaitu limfosit T dan limfosit B. Keduanya

berasal dari sel asal (stem cell) yang bersifat multipotensial, artinya

dapat berkembang menjadi berbagai macam sel induk seperti sel

induk eritrosit, sel induk granulosit, sel induk limfoid, dan lain-lain. Sel

induk limfoid kemudian berkembang menjadi sel pro-limfosit T dan sel

pro-limfosit B. Sel pro-limfosit T dalam perkembangannya dipengaruhi

timus yang disebut juga organ limfoid primer, oleh karena itu

dinamakan limfosit T. Sedangkan sel pro-limfosit B dalam

perkembangannya dipengaruhi oleh organ yang pada burung

dinamakan bursa fabricius atau gut-associated lymphoid

tissue, karena itu dinamakan limfosit B.

Page 181: Sistem Imun Full

Perkembangan sel limfosit T intratimik membutuhkan asupan sel

asal limfoid terus-menerus yang pada fetus berasal dari yolk sac, hati,

serta sumsum tulang; dan sesudah lahir dari sumsum tulang. Sel yang

berasal dari hati fetus dan sumsum tulang yang bersifat

multipotensial itu dalam lingkungan mikro timus akan berkembang

menjadi sel limfosit T yang matur, toleran diri (self tolerant) dan

terbatas MHC diri (major histocompatibllity complex restricted). Di

dalam timus, dalam proses menjadi limfosit matur terlihat adanya

penataan kembali gen yang produk molekulnya merupakan reseptor

antigen pada permukaan limfosit T (TCR) dan juga ekspresi molekul-

molekul pada permukaan limfosit T yang dinamakan petanda

permukaan (surface marker) limfosit T. Dinamakan petanda

permukaan limfosit T karena molekul tersebut dapat membedakan

limfosit T dengan limfosit lainnya. Di dalam timus, sebagian besar sel

limfosit T imatur akan mati dengan proses yang dinamakan apoptosis.

Apoptosis adalah kematian sel yang diprogram (fisiologis) demi

kebaikan populasi sel lainnya. Sedangkan nekrosis atau disebut juga

kematian sel accidental adalah kematian sel karena kerusakan berat

(patologis), misalnya akibat infeksi mikroorganisme, trauma fisis, zat

kimia, hipertermia, iskemia, dan lain-lain.

TCR merupakan kompleks glikoprotein yang terdiri atas rantai α, β

atau γ, δ. Sebagian besar TCR matur merupakan dimer α, β

sedangkan dimer γ, δ merupakan TCR limfosit T awal (early).  Hanya

0,5-10% sel T matur perifer mempunyai TCR, yaitu limfosit T yang

tidak memperlihatkan petanda permukaan CD4 dan CD8 yang

dinamakan sel limfosit T negatif ganda (double negative = DN). Sel

DN matur ini dapat mengenal aloantigen kelas I, mungkin juga

aloantigen kelas II, dengan mekanisme yang belum jelas. Masih belum

jelas pula apakah sel DN matur juga dapat mengenal antigen asing.

Gen yang mengkode TCR terletak pada kromosom 14 (α,γ) dan

kromosom 7 (β,δ). Gen ini merupakan anggota dari superfamili gen

imunoglobulin, karena itu molekul TCR mempunyai struktur dasar

yang sama dengan struktur dasar imunoglobulin. Segmen gen ini ada

yang akan membentuk daerah variabel M dari TCR, daerah diversitas

(D), daerah joining (J), dan daerah konstan (C). Karena segmen gen ini

terletak terpisah, maka perlu diadakan penataan kembali gen VDJC

Page 182: Sistem Imun Full

atau VJC agar dapat ditranskripsi dan menghasilkan produk berupa

TCR. Penataan kembali segmen DNA ini akan memungkinkan

keragaman (diversity) spesifisitas TCR yang luas. Setiap limfosit T

hanya mengekspresikan satu produk kombinasi VDJC atau VJC, yang

membedakan klon yang satu dari klon lainnya.

Limfosit T yang mempunyai TCR antigen diri (self antigen) akan

mengalami apoptosis karena ia telah terpajan secara dini pada

antigen diri dan mati insitu dengan mekanisme yang belum jelas.

Karena itu, limfosit matur yang keluar dari timus adalah limfosit yang

hanya bereaksi dengan antigen non self dan dinamakan toleran diri.

Di dalam timus, limfosit T juga mengalami pengenalan antigen diri

hanya bila berasosiasi dengan molekul MHC diri, melalui proses yang

juga belum diketahui dengan jelas yang dinamakan terbatas MHC diri.

Molekul TCR III diekspresikan pada membran sel T bersama molekul

CD3, yaitu salah satu molekul petanda permukaan sel T.

Reseptor antigen sel limfosit T (TCR)

Molekul TCR terdapat pada membran sel T berasosiasi dengan

molekul CD3, merupakan kompleks glikoprotein transmembran.

Sebagian besar dari molekul ini berada ekstraselular dan merupakan

bagian pengenal antigen. Sedangkan bagian transmembran

merupakan tempat berlabuhnya TCR pada membran sel yang

berinteraksi dengan bagian transmembran molekul CD3.

Molekul CD3 mempunyai segmen intrasitoplasmik yang agak

panjang sesuai dengan perannya untuk sinyal intraselular. Demikian

pula molekul TCR mempunyai segmen intrasitoplasmik yang akan

mentransduksi sinyal ke dalam sel. Bagian distal ekstraselular TCR

merupakan bagian variabel yang dapat mengenal antigen, yang

membedakan satu klon sel T dari klon lainnya.

AKTIVASI SEL T

Sel limfosit T biasanya tidak bereaksi dengan antigen utuh. Sel T

baru bereaksi terhadap antigen yang sudah diproses menjadi peptida

kecil yang kemudian berikatan dengan molekul MHC di dalam

fagosom sitoplasma dan kemudian diekspresikan ke permukaan sel.

Sel limfosit T hanya dapat mengenal antigen dalam konteks molekul

MHC diri. Molekul CD4 dan CD8 merupakan molekul yang menentukan

terjadinya interaksi antara CD3/TCR dengan kompleks MHC/antigen.

Page 183: Sistem Imun Full

Sel T CD4 akan mengenal antigen dalam konteks molekul MHC kelas

II, sedang sel T CD8 akan mengenal antigen dalam konteks molekul

MHC kelas I.

Untuk dapat mengaktifkan sel T dengan efektif, perlu adanya adhesi

antara sel T dengan sel APC atau sel sasaran (target). Adhesi ini,

selain melalui kompleks CD4/CD8-TCR-CD3 dengan MHC kelas II/kelas

I-ag, dapat juga ditingkatkan melalui ikatan reseptor-ligan lainnya.

Reseptor-ligan tersebut antara lain, CD28-B7, LFA-I-ICAM1/2 (molekul

asosiasi fungsi limfosit 1 = lymphocyte function associated 1, molekul

adhesi interselular l = inter cellular adhesion molecule 1), CD2-LFA3,

CD5-CD72

Terjadinya ikatan antara antigen dan TCR dinamakan tahapan

primer. Aktivasi sel T juga memerlukan adanya stimulasi sitokin,

seperti interleukin 1 (IL-1) yang dikeluarkan oleh sel APC yang

dinamakan ko-stimulator. Sinyal adanya ikatan TCR dengan antigen

akan ditransduksi melalui bagian TCR dan CD3 yang ada di dalam

sitoplasma (lihat Gambar 10-3). Sinyal ini akan mengaktifkan enzim

dan mengakibatkan naiknya Ca++ bebas intraselular, naiknya

konsentrasi c-GMP dan terbentuknya protein yang dibutuhkan untuk

transformasi menjadi blast. Terjadilah perubahan morfologis dan

biokimia. Tahapan ini dinamakan tahapan sekunder. Kemudian

terjadilah diferensiasi menjadi sel efektor/sel regulator dan sel

memori. Sebagai akibat transduksi sinyal, juga terjadi ekspresi gen

limfokin dan terbentuklah berbagai macam limfokin. Melalui

pembentukan limfokin, sel regulator akan meregulasi dan

mengaktifkan sel yang berperan dalam eliminasi antigen, sedangkan

sel efektor akan melisis antigen/sel sasaran atau menimbulkan

peradangan pada tempat antigen berada, agar antigen tereliminasi.

Tahapan ini dinamakan tahapan tersier. Tahapan ini dapat dipakai

untuk menilai fungsi sel T.

Fase-fase respons sel T

Respons limfosit T terhadap antigen mikroba terdiri dari beberapa fase

yang menyebabkan peningkatan jumlah sel T spesifik dan perubahan sel T

naif menjadi sel efektor. Limfosit T naif terus bersirkulasi melalui organ

limfoid perifer untuk mencari protein antigen asing. Sel T naif mempunyai

reseptor antigen dan molekul lain yang dibutuhkan dalam pengenalan

Page 184: Sistem Imun Full

antigen. Di dalam organ limfoid, antigen diproses dan ditunjukkan dengan

molekul MHC pada antigen-presenting cell (APC), kemudian sel T bertemu

dengan antigen tersebut untuk pertama kalinya. Pada saat itu, sel T juga

menerima sinyal tambahan dari mikroba itu sendiri atau dari respons

imun alamiah terhadap mikroba.

Sebagai respons terhadap stimulus tersebut, sel T akan mensekresi

sitokin. Beberapa sitokin bekerja sama dengan antigen dan sinyal kedua

dari mikroba untuk menstimulasi proliferasi sel T yang spesifik untuk

antigen. Hasil dari proliferasi ini adalah penambahan jumlah limfosit

spesifik antigen dengan cepat yang disebut clonal expansion. Fraksi dari

limfosit ini menjalani proses diferensiasi dimana sel T naif (berfungsi

untuk mengenal antigen mikroba) berubah menjadi sel T efektor

(berfungsi untuk memusnahkan mikroba). Sebagian sel T efektor tetap di

dalam kelenjar getah bening dan berfungsi untuk memusnahkan sel

terinfeksi atau memberikan sinyal kepada sel B untuk menghasilkan

antibodi. Sebagian sel T berkembang menjadi sel T memori yang dapat

bertahan lama. Sel ini tidak aktif dan bersirkulasi selama beberapa bulan

atau tahun, serta dapat merespons dengan cepat apabila terjadi paparan

berulang dengan mikroba. Setelah sel T efektor berhasil mengatasi

infeksi, stimulus yang memicu ekspansi dan diferensiasi sel T juga

berhenti. Klon sel T yang sudah terbentuk akan mati dan kembali ke

keadaan basal. Hal ini terjadi pada sel T CD4+ dan CD8+, namun terdapat

perbedaan pada fungsi efektornya.

Peran ko-stimulasi dalam aktivasi sel T

Aktivasi penuh sel T tergantung dari pengenalan ko-stimulator di APC. Ko-

stimulator merupakan “sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Istilah “ko-

stimulator” menunjukkan bahwa molekul tersebut memberikan stimuli

kepada sel T bersama-sama dengan stimulasi oleh antigen. Contoh ko-

stimulator adalah B7-1 (CD80) dan B7-2 (CD86). Keduanya terdapat pada

APC dan jumlahnya meningkat bila APC bertemu dengan mikroba. Jadi,

mikroba akan menstimulasi ekspresi B7 pada APC. Protein B7 dikenali

oleh reseptor bernama CD28 yang terdapat pada sel T. Sinyal dari CD28

bekerja bersama dengan sinyal yang berasal dari pengikatan TCR dan ko-

reseptor kompleks peptida-MHC pada APC yang sama. Mekanisme ini

penting untuk memulai respons pada sel T naif. Apabila tidak terjadi

interaksi CD28-B7, pengikatan TCR saja tidak mampu untuk mengaktivasi

Page 185: Sistem Imun Full

sel T sehingga sel T menjadi tidak responsif. Antigen presenting cell(APC)

juga mempunyai molekul lain yang struktur dan fungsinya serupa dengan

B7-1 dan B7-2. Molekul B7-like ini penting pada aktivasi sel T efektor.

Molekul lain yang turut berperan sebagai ko-stimulator adalah CD40 pada

APC dan ligan CD40 (CD154) pada sel T. Kedua molekul ini tidak berperan

langsung dalam aktivasi sel T. Interaksi CD40 dengan ligannya

menyebabkan APC membentuk lebih banyak ko-stimulator B7 dan sitokin

seperti IL-12. Interaksi ini secara tidak langsung akan meningkatkan

aktivasi sel T.

Pentingnya peran ko-stimulator dalam aktivasi sel T dapat menjelaskan

mengapa antigen protein yang digunakan dalam vaksin tidak dapat

menimbulkan respons imun sel T, kecuali jika antigen tersebut diberikan

bersama dengan bahan lain untuk mengaktivasi makrofag dan APC.

Bahan ini disebut adjuvant dan berfungsi untuk merangsang

pembentukan ko-stimulator pada APC, serta untuk menstimulasi produksi

sitokin dari APC. Sebagian besar adjuvant merupakan produk mikroba

atau bahan yang menyerupai mikroba. Adjuvant akan mengubah protein

antigen inert agar menyerupai mikroba patogen.

Aktivasi sel T CD8+ distimulasi oleh pengenalan peptida yang

berhubungan dengan MHC kelas I, serta membutuhkan kostimulasi

dan/atau sel T helper. Perkembangan sel T sitotoksik CD8+ pada infeksi

virus membutuhkan sel T helper CD4+. Pada infeksi virus, sel yang

terinfeksi dicerna oleh APC khususnya sel dendrit, kemudian antigen virus

akan dipresentasikan silang (cross-presented) oleh APC. Antigen

presenting cell (APC) akan mempresentasikan antigen dari sitosol sebagai

kompleks dengan MHC kelas I, dan antigen dari vesikel sebagai kompleks

dengan MHC kelas II. Oleh sebab itu, sel CD4+ dan sel CD8+ yang spesifik

untuk antigen virus tersebut akan bekerja secara berdekatan. Sel

TCD4+ memproduksi sitokin atau molekul membran untuk mengaktivasi

sel TCD8+, sehingga ekspansi klonal dan diferensiasi sel TCD8+ menjadi sel

T sitotoksik (TC) efektor dan memori tergantung dari bantuan sel TCD4+.

Hal ini dapat menjelaskan terjadinya defek respons sel TC terhadap virus

pada pasien human immunodeficiency virus (HIV). Selain respons yang

telah dijelaskan di atas, terdapat pula respons sel TC terhadap beberapa

virus yang tidak bergantung kepada bantuan sel T CD4+.

Page 186: Sistem Imun Full

FUNGSI IMUNITAS SELULAR

Imunitas selular berfungsi untuk mengorganisasi respons inflamasi

nonspesifik dengan mengaktivasi fungsi makrofag sebagai fagosit dan

bakterisid, serta sel fagosit lainnya; selain itu juga mengadakan

proses sitolitik atau sitotoksik spesifik terhadap sasaran yang

mengandung antigen.

Imunitas selular berfungsi pula untuk meningkatkan fungsi sel B

untuk memproduksi antibodi, juga meningkatkan fungsi subpopulasi

limfosit T baik sel Th/penginduksi maupun sel Tc/sel supresor. Fungsi

lainnya adalah untuk meregulasi respons imun dengan mengadakan

regulasi negatif dan regulasi positif terhadap respons imun.

RESPONS IMUN SELULAR DALAM KLINIK

Dalam klinik respons imun selular ini dapat kita lihat berupa

hipersensitivitas kulit tipe lambat, imunitas selular pada penyakit infeksi

mikroorganisme intraselular (bakteri, virus, jamur) serta penyakit parasit

dan protozoa, imunitas selular pada penyakit autoimun, reaksi graft

versus host, penolakan jaringan transplantasi, dan penolakan sel tumor.

Hipersensitivitas kulit tipe lambat (reaksi tipe IV) Dalam klinik

reaksi tipe IV dapat kita lihat berupa reaksi pada kulit bila seseorang

yang pernah kontak dengan antigen tertentu (seperti bakteri

mikobakterium, virus, fungus, obat atau antigen lainnya) kemudian

dipaparkan kembali dengan antigen tersebut pada kulitnya. Terlihat

reaksi berupa eritema, indurasi pada kulit atau peradangan pada

tempat antigen berada setelah satu sampai beberapa hari kemudian. 

Secara histologis kelainan kulit ini terdiri atas infiltrasi sel

mononuklear yaitu makrofag, monosit dan limfosit di sekitar

pembuluh darah dan saraf. Reaksi tipe IV ini umumnya dapat terlihat

pada respons imun infeksi mikroorganisme intraselular, juga pada

reaksi penolakan jaringan yang memperlihatkan peradangan pada

tempat transplantasi, dan pada reaksi penolakan tumor.

Imunitas selular pada infeksi bakteri Imunitas selular pada

infeksi bakteri misalnya terlihat berupa pembentukan kavitas dan

granuloma pada infeksi denganMycobacterium tuberculosis, demikian

pula lesi granulomatosa pada kulit penderita lepra. Limfokin yang

dilepaskan sel Td mengakibatkan terjadinya granuloma dan sel yang

Page 187: Sistem Imun Full

mengandung antigen akan mengalami lisis oleh sel Tc dan

sel killer lainnya.

Reseptor antigen sel limfosit T (TCR) Molekul TCR terdapat

pada membran sel T berasosiasi dengan molekul CD3, merupakan

kompleks glikoprotein transmembran. Sebagian besar dari molekul ini

berada ekstraselular dan merupakan bagian pengenal antigen.

Sedangkan bagian transmembran merupakan tempat berlabuhnya

TCR pada membran sel yang berinteraksi dengan bagian

transmembran molekul CD3.

Imunitas selular pada infeksi virus Imunitas selular pada infeksi

virus sangat berperan pada penyembuhan yaitu untuk melisis sel

yang sudah terinfeksi. Ruam kulit pada penyakit campak, lesi kulit

pada penyakit cacar dan herpes simpleks juga merupakan reaksi tipe

IV dan lisis oleh sel Tc.

Imunitas selular pada infeksi jamur Peradangan pada infeksi

jamur seperti kandidiasis, dermatomikosis, koksidiomikosis dan

histoplasmosis merupakan reaksi imunitas selular. Sel TC berusaha

untuk melisis sel yang telah terinfeksi jamur dan limfokin merekrut

sel-sel radang ke tempat jamur berada.

Imunitas selular pada penyakit parasit dan

protozoa Peradangan yang terlihat pada penyakit parasit dan

protozoa juga merupakan imunitas selular. Demikian pula

pembentukan granuloma dengan dinding yang menghambat parasit

dari sel host sehingga penyebaran tidak terjadi.

Imunitas selular pada penyakit autoimun Meskipun dalam

ontogeni sel T autoreaktif dihancurkan dalam timus, dalam keadaan

normal diperkirakan bahwa sel T autoreaktif ini masih tetap ada,

tetapi dalam jumlah kecil dan dapat dikendalikan oleh mekanisme

homeostatik. Jika mekanisme homeostatik ini terganggu dapat terjadi

penyakit autoimun. Kunci sistem pengendalian homeostatik ini adalah

pengontrolan sel T penginduksi/Th. Sel T penginduksi/Th dapat

menjadi tidak responsif terhadap sel T supresor, sehingga

merangsang sel T autoreaktif yang masih bertahan hidup atau sel Tc

kurang sempurna bekerja dalam penghapusan klon antara lain karena

gagalnya autoantigen dipresentasikan ke sel T. Jika ada gangguan sel

T supresor atau gagal menghilangkan sel T autoreaktif atau gagal

Page 188: Sistem Imun Full

mempresentasikan autoantigen pada masa perkembangan, maka

dapat terjadi penyakit autoimun.

Imunitas selular pada reaksi graft versus host Pada

reaksi graft versus host, kerusakan yang terlihat disebabkan oleh sel

imunokompeten donor terhadap jaringan resipien. Reaksi tersebut

berupa kelainan pada kulit seperti makulopapular, eritroderma, bula

dan deskuamasi, serta kelainan pada hati dan traktus gastrointestinal.

Kelainan yang timbul juga disebabkan oleh imunitas selular.

Imunitas selular pada penolakan jaringan Pada transplantasi

jaringan dapat terlihat bahwa jaringan yang tadinya mulai tumbuh,

setelah beberapa hari berhenti tumbuh. Ini disebabkan oleh reaksi

imunitas selular yang timbul karena adanya antigen asing jaringan

transplantasi. Organ transplantasi menjadi hilang fungsinya. Secara

histologis terlihat adanya infiltrasi intensif sel limfoid, sel

polimorfonuklear dan edema interstisial. Dapat dilihat terjadinya

iskemia dan nekrosis. Peradangan ini disebabkan karena sel T resipien

mengenal antigen kelas I dan II donor yang berbeda dengan antigen

diri. Pengenalan ini sama seperti pengenalan antigen asing di antara

celah domain molekul MHC. Terjadi lisis alograft oleh sel TC resipien.

Demikian pula limfokin yang dilepaskan sel T akan merusak alograft

dengan merekrut sel radang.

Imunitas selular pada penolakan tumor Imunitas selular pada

penolakan tumor sama dengan imunitas selular pada penolakan

jaringan transplantasi. Tentu saja imunitas selular ini bukanlah satu-

satunya cara untuk menghambat pertumbuhan sel tumor, imunitas

humoral juga dapat berperan. Adanya ekspresi antigen tumor akan

mengaktifkan sel Tc host demikian pula interferon yang dilepaskan sel

T juga akan mengaktifkan sel NK (natural killer) untuk melisis sel

tumor. Limfokin akan merekrut sel radang ke tempat tumor berada

dan menghambat proliferasi tumor serta melisis sel-sel tumor.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS. Cellular and molecular

immunology. Philadelphia: WE Saunders Company, 1991.

Scandinavian Journal of Immunology. Monthly journal published

by Blackwell Science Ltd., Osney Mead Oxford  OX2 OEL, UK.

Page 189: Sistem Imun Full

Scientific American. Monthly journal published by Scientific

American Inc., 415 Madison  Avenue, N.Y., USA.

Mims C, Playfair J, Wakelin D, and R Williams. Medical

Microbiology. 4th Ed. Mosby, London, 2007.

IMUNOLOGI DASAR : IMUNITAS HUMORALDiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

SEL LlMFOSIT B

Page 190: Sistem Imun Full

Progenitor sel limfosit B adalah sel stem hematopoietik pluripoten.

Dinamakan pluripoten karena sel ini juga merupakan progenitor sel

hematopoietik lainnya, seperti sel polimorfonuklear, sel monosit dan

sel makrofag.

Pada masa embrio sel ini ditemukan padayolk sac, yang kemudian

bermigrasi ke hati, limpa dan sumsum tulang. Setelah bayi lahir, sel

asal (stem cell) hanya ditemukan pada sumsum tulang. Dinamakan

limfosit B karena tempat perkembangan utamanya pada burung

adalah bursa fabricius,sedangkan pada manusia tempat

perkembangan utamanya adalah sumsum tulang.

Sel pertama yang dapat dikenal sebagai prekursor (pendahulu) sel

limfosit B adalah sel yang sitoplasmanya mengandung rantai berat µ,

terdiri atas bagian variabel V dan bagian konstan C tanpa rantai

ringan L, dan tanpa imunoglobulin pada permukaannya. Sel ini

dinamakan sel pro-limfosit B. Selain rantai µ, sel pro-limfosit B juga

memperlihatkan molekul lain pada permukaannya, antara lain antigen

HLA-DR, reseptor komplemen C3b dan reseptor virus Epstein-Barr

(EBV). Pada manusia sel pro-limfosit B sudah dapat ditemukan di hati

fetus pada masa gestasi minggu ke-7 dan ke-8.

Page 191: Sistem Imun Full

Sel pro-limfosit B ini berkembang menjadi sel limfosit B imatur. Pada

tahap ini sel limfosit B imatur telah dapat membentuk rantai ringan L

imunoglobulin sehingga mempunyai petanda imunoglobulin pada

permukaan membran sel yang berfungsi sebagai reseptor antigen.

Bila sel limfosit B sudah memperlihatkan petanda rantai berat H dan

rantai ringan L yang lengkap, maka sel ini tidak akan dapat

memproduksi rantai berat H dan rantai ringan L lain yang

mengandung bagian variabel (bagian yang berikatan dengan antigen)

yang berbeda. Jadi setiap sel limfosit B hanya memproduksi satu

macam bagian variabel dari imunoglobulin. lni berarti imunoglobulin

yang dibentuk hanya ditujukan terhadap satu determinan antigenik

saja. Sel B imatur mempunyai sifat yang unik. Jika sel ini terpajan

dengan ligannya (pasangan kontra imunoglobulin yang ada pada

permukaan membran sel), sel ini tidak akan terstimulasi, bahkan

mengalami proses yang dinamakan apoptosis sehingga sel menjadi

mati (programmed cell death). Jika ligannya itu adalah antigen diri

(self antigen), maka sel yang bereaksi terhadap antigen diri akan

mengalami apoptosis sehingga tubuh menjadi toleran terhadap

antigen diri. Hal ini terjadi pada masa perkembangan di sumsum

tulang. Oleh karena itu, sel limfosit B yang keluar dari sumsum tulang

Page 192: Sistem Imun Full

merupakan sel limfosit B yang hanya bereaksi terhadap antigen asing.

Kemudian sel limfosit B imatur yang telah memperlihatkan

imunoglobulin lengkap pada permukaannya akan keluar dari sumsum

tulang dan masuk ke dalam sirkulasi perifer serta bermigrasi ke

jaringan limfoid untuk terus berkembang menjadi sel matur (lihat

Gambar 9-1). Sel B ini memperlihatkan petanda imunoglobulin IgM

dan IgD dengan bagian variabel yang sama pada permukaan

membran sel dan dinamakan sel B matur.

Perkembangan dari sel asal (stem cell) sampai menjadi sel B matur

tidak memerlukan stimulasi antigen, tetapi terjadi di bawah pengaruh

lingkungan mikro dan genetik. Tahap perkembangan ini dinamakan

tahapan generasi keragaman klon(clone diversity), yaitu klon yang

mempunyai imunoglobulin permukaan dengan daya ikat terhadap

determinan antigen tertentu.

Tahap selanjutnya memerlukan stimulasi antigen, yang dinamakan

tahapan respons imun. Setelah distimulasi oleh antigen, maka sel B

matur akan menjadi aktif dan dinamakan sel B aktif. Sel B aktif

kemudian akan berubah menjadi sel blast dan berproliferasi serta

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi

imunoglobulin.

Beberapa progeni sel B aktif tersebut akan mulai mensekresi

imunoglobulin kelas lain seperti IgG, IgA, dan IgE dengan bagian

variabel yang sama yang dinamakan alih isotip atau alih kelas rantai

berat (isotype switching).

Beberapa progeni sel B aktif lainnya ada yang tidak mensekresi

imunoglobulin melainkan tetap sebagai sel B yang memperlihatkan

petanda imunoglobulin pada permukaannya dan dinamakan sel B

memori. Μ

Sel B memori ini mengandung imunoglobulin yang afinitasnya lebih

tinggi. Maturasi afinitas ini diperoleh melalui mutasi somatik. Sel B

matur yang tidak distimulasi, jadi yang tidak menemukan ligannya,

akan mati dengan waktu paruh 3-4 hari. Sedangkan sel B memori

akan bertahan hidup lebih lama berminggu-minggu sampai berbulan-

bulan tanpa stimulasi antigen. Sel B memori ini akan beresirkulasi

secara aktif melalui pembuluh darah, pembuluh limfe, dan kelenjar

limfe. Bila antigen dapat lama disimpan oleh sel dendrit di kelenjar

Page 193: Sistem Imun Full

limfe, maka sel dendrit ini pada suatu waktu akan mengekspresikan

antigen tersebut pada permukaannya. Antigen yang diekspresikan

oleh sel dendrit ini akan merangsang sel B memori menjadi aktif

kembali, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang

memproduksi antibodi. Dalam hal ini, kadar antibodi terhadap suatu

antigen tertentu dapat bertahan lama pada kadar protektif, sehingga

kekebalan yang timbul dapat bertahan lama.

Aktivasi dan fungsi sel B

Bila sel limfosit B matur distimulasi antigen ligannya, maka sel B

akan berdiferensiasi menjadi aktif dan berproliferasi. Ikatan antara

antigen dan imunoglobulin pada permukaan sel B, akan

mengakibatkan terjadinya ikatan silang antara imunoglobulin

permukaan sel B. Ikatan silang ini mengakibatkan aktivasi enzim

kinase dan peningkatan ion Ca++ dalam sitoplasma. Terjadilah

fosforilase protein yang meregulasi transkripsi gen antara lain

protoonkogen (proto oncogene)yang produknya meregulasi

pertumbuhan dan diferensiasi sel. Aktivasi mitosis ini dapat terjadi

dengan atau tanpa bantuan sel T, tergantung pada sifat antigen yang

Page 194: Sistem Imun Full

merangsangnya. Proliferasi akan mengakibatkan ekspansi klon

diferensiasi dan selanjutnya sekresi antibodi. Fungsi fisiologis antibodi

adalah untuk menetralkan dan mengeliminasi antigen yang

menginduksi pembentukannya.

Dikenal 2 macam antigen yang dapat menstimulasi sel B, yaitu

antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T cell

independent) dan antigen yang tergantung pada sel T (TD = T cell

dependent). Antigen TI dapat merangsang sel B untuk berproliferasi

dan mensekresi imunoglobulin tanpa bantuan sel T penolong (Th = T

helper). Contohnya adalah antigen dengan susunan molekul

karbohidrat, atau antigen yang mengekspresikan determinan antigen

(epitop) identik yang multipel, sehingga dapat mengadakan ikatan

silang antara imunoglobulin yang ada pada permukaan sel B. Ikatan

silang ini mengakibatkan terjadinya aktivasi sel B, proliferasi, dan

diferensiasi. Polisakarida pneumokok, polimer D-asam amino dan

polivinil pirolidin mempunyai epitop identik yang multipel, sehingga

dapat mengaktifkan sel B tanpa bantuan sel T. Demikian pula

lipopolisakarida (LPS), yaitu komponen dinding sel beberapa bakteri

Gram negatif dapat pula mengaktifkan sel B. Tetapi LPS pada

konsentrasi tinggi dapat merupakan aktivator sel B yang bersifat

poliklonal. Hal ini diperkirakan karena LPS tidak mengaktifkan sel B

melalui reseptor antigen, tetapi melalui reseptor mitogen.

Antigen TD merupakan antigen protein yang membutuhkan bantuan

sel Th melalui limfokin yang dihasilkannya, agar dapat merangsang

sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi.

Terdapat  dua macam respons antibodi, yaitu respons antibodi

primer dan sekunder. Respons antibodi primer adalah respons sel B

terhadap pajanan antigen ligannya yang pertama kali, sedangkan

respons antibodi sekunder adalah respons sel B pada pajanan

berikutnya, jadi merupakan respons sel B memori. Kedua macam

respons antibodi ini berbeda baik secara kualitatif maupun secara

kuantitatif. Perbedaan tersebut adalah pada respons antibodi

sekunder terbentuknya antibodi lebih cepat dan jumlahnya pun lebih

banyak.

Pada respons antibodi primer, kelas imunoglobulin yang disekresi

terutama adalah IgM, karena sel B istirahat hanya memperlihatkan

Page 195: Sistem Imun Full

IgM dan IgD pada permukaannya (IgD jarang disekresi). Sedangkan

pada respons antibodi sekunder, antibodi yang disekresi terutama

adalah isotip lainnya seperti IgG, IgA, dan IgE sebagai hasil alih isotip.

Afinitas antibodi yang dibentuk pada respons antibodi sekunder lebih

tinggi dibanding dengan respons antibodi primer, dan dinamakan

maturasi afinitas.

Respons sel B memori adalah khusus oleh stimulasi antigen TD,

sedangkan stimulasi oleh antigen TI pada umumnya tidak

memperlihatkan respons sel B memori dan imunoglobulin yang

dibentuk umumnya adalah IgM. Hal ini menandakan bahwa respons

antibodi sekunder memerlukan pengaruh sel Th atau limfokin yang

disekresikannya.

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN

Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang

terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua

mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang

mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan

4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik

molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi

yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi

komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.

Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai

perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan

antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar

imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun

dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai

berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan)

Page 196: Sistem Imun Full

dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu

unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh

suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur

yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah

penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal

sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang

terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan

disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh

ikatan disulfid interchain.Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan

lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ),

rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai

mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2

domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan

rantai M dan E masing-masing 5 domain.

Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa

fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu

2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini

mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan

variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan

antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas

imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung

bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap.

Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat

antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang

bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen,

terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel

mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan

kemampuan menembus plasenta.

Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada

gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida

(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam

amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian

masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa

menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang

mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.

Page 197: Sistem Imun Full

KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN

Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas

mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang

berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai

berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada

perbedaan antar kelas.

Imunoglobulin G

IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2

rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai

koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada

orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.

Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai

perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya

sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-

6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang

hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat

komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl

> IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen

dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi

ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.

Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada

fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan

memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus

antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3

pada lokasi domain CH3.

Page 198: Sistem Imun Full

Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai

dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen

asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan

reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody

dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada

antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel

limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi

dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada

transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.

Imunoglobulin M

Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah

imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul

850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah

karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul

pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada

golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul

IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.

IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH.

Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan

disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer

dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya

oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.

Imunoglobulin A

IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA

dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang

80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan

Page 199: Sistem Imun Full

sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima

monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan

disulfida dan rantai tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut

mempunyai koefisien sedimentasi 10,13,15 S.

Sekretori IgA

Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling

banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial,

kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal

seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe

IgA serum.

Page 200: Sistem Imun Full

SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul

monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.

Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada

bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan

melewati sel epitel mukosa (lihat Gambar 4-6). SIgA merupakan

pertahanan pertama pada daerah mukosa dengan cara menghambat

perkembangan antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat

virus menembus mukosa.

Imunoglobulin D

Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat

labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat

molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul

60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD

belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel

limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Abbas AK. Maturation of B lymphocytes and expression of

immunoglobulin genes. Dalam: Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS,

penyunting. Cellular and molecular immunology. Philadelphia:

Saunders, 1991; 70-96.

Roitt IM. The basic of immunology. Specific acquired immunity.

Dalam: Roitt IM, penyunting. Essential immunology; edisi ke-6.

London: Blackwell. 1988; 15-30.

IMUNOLOGI DASAR : SISTEM FAGOSIT DAN PENYAKITDiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Proses fagositosis adalah sebagian dari respons imun non spesifik

dan yang pertama kali mempertemukan tuan rumah dengan

benda asing. Istilah endositosis lebih umum dan mempunyai dua

arti yaitu fagositosis (pencernaan partikel)

dan pinositosis(pencernaan nonpartikel, misalnya cairan). Sel

yang berfungsi menelan dan mencerna partikel atau substansi

cairan disebut sel fagositik, terdiri dari sel fagosit mononuklear

dan fagosit polimorfonuklear. Sel ini pada janin berasal dari sel

hematopoietik pluripotensial yolk sac, hati, dan sumsum tulang.

Page 201: Sistem Imun Full

Fagosit

Fagosit (phagocyte) adalah pengolongan dari sel darah putih yang

berperan dalam sistem kekebalan dengan cara fagositosis/menelan

patogen. Fagosit berarti “sel” yang dapat memakan atau menelan

material padat. Untuk menelan partikel atau patogen, fagosit memperluas

bagian membran plasma kemudian membungkus membran di sekeliling

partikel hingga terbungkus. Sekali berada di dalam sel, patogen yang

menginvasi disimpan di dalam endosom yang lalu bersatu dengan

lisosom. Lisosom mengandung enzim dan asam yang membunuh dan

mencerna partikel atau organisme. Fagosit umumnya berkeliling dalam

tubuh untuk mencari patogen, namun mereka juga bereaksi terhadap

sinyal molekular terspesialisasi yang diproduksi oleh sel lain, disebut

sitokina.

Peran fagosit sangat vital untuk melawan infeksi, partikel asing yang

mungkin masuk ke dalam tubuh, bakteri dan sel yang mati atau

apoptosis. Ketika sel dari organisme tersebut mati, melalui proses

apoptosis ataupun oleh kerusakan akibat infeksi virus atau bakteri, sel

fagosit berperan dengan memindahkan mereka dari lokasi kejadian.

Dengan membantu memindahkan sel mati dan mendorong terbentuknya

sel baru yang sehat, fagositosis adalah bagian penting dari proses

penyembuhan jaringan yang terluka. Fagositosis sel dari organisme inang

umumnya merupakan bagian dari pembentukan dan perawatan jaringan

biasa.

Fagosit pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Ilya Ilyich

Mechnikov ketika ia mempelajari larva bintang laut.Ia memperoleh

penghargaan Nobel di bidang Fisiologi dan Medis pada tahun 1908 oleh

karena temuannya.

Manifestasi fagosit terdapat pada berbagai macam spesies. Beberapa

jenis amuba bertingkah laku layaknya fagosit makrofaga, sehingga

tercetus pemikiran bahwa fagosit telah ada sejak awal evolusi kehidupan.

Satu liter plasma darah mengandung sekitar enam milyar fagosit.

Page 202: Sistem Imun Full

FAGOSIT MONONUKLEAR

Makrofag dan monosit

Proses menelan dan mencerna mikroorganisme dalam tubuh manusia

diperankan oleh dua golongan sel yang disebut oleh Metchnikoff sebagai

mikro- (sel polimorfonuklear) dan makrofag. Istilah retikuloendotelial

untuk monosit dan makrofag telah diganti dengan sistem fagosit

mononuklear karena fungsi fundamental kedua sel ini adalah fagositosis.

Dalam perkembangannya sel fagosit mononuklear dan sel granulosit

dipengauhi oleh hormon.

Kedua sel ini berasal dari unit sel progenitor yang membentuk granulosit

dan monosit (colony forming unit-granulocyte macrophage = CFU-

GM). Hormon tersebut adalah glikoprotein yang dinamakan faktor

stimulasi koloni (colony stimulating factor = CSF),seperti faktor stimulasi

koloni granulosit-makrofag (granulocyt macrophage colony stimulating

factor = GM-CSF), faktor stimulasi koloni makrofag (macrophage colony

stimulating factor = M-CSF) dan interleukin-3 (IL3) yang merangsang

diferensiasi sel CFU-GM menjadi sel monoblast yang kemudian menjadi

sel promonosit dan sel mieloblast menjadi sel progranulosit. Sel

promonosit dapat mengadakan endositosis tetapi daya fagositnya kurang

dibandingkan dengan monosit. Sel monosit lebih kecil dari prekusornya

Page 203: Sistem Imun Full

tetapi mempunyai daya fagositosis dan mikrobisidal yang kuat.

Perkembangan seri mononuklear sampai berada di darah perifer

memakan waktu 6 hari dan mempunyai masa paruh di sirkulasi selama 3

hari.

Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit,

yaitu sel darah yang datang ke tempat infeksi kemudian mengenali

mikroba intraselular dan memakannya (ingestion). Neutrofil (disebut juga

leukosit polimorfonuklear / PMN) adalah leukosit terbanyak di dalam darah

yaitu berjumlah 4.000-10.000 per mm3. Apabila terjadi infeksi, produksi

neutrofil di sumsum tulang meningkat dengan cepat hingga mencapai

20.000 per mm3 darah. Produksi neutrofil distimulasi oleh sitokin yang

disebut colony-stimulating factor. Sitokin ini diproduksi oleh berbagai sel

sebagai respons terhadap infeksi dan bekerja pada sel stem sumsum

tulang untuk menstimulasi proliferasi dan maturasi prekursor neutrofil.

Neutrofil merupakan sel yang pertama berespons terhadap infeksi,

terutama infeksi bakteri dan jamur. Neutrofil memakan mikroba di dalam

sirkulasi, serta dapat memasuki jaringan ekstraselular di tempat infeksi

dengan cepat kemudian memakan mikroba dan mati setelah beberapa

jam.

Neutrofil dan monosit bermigrasi ke jaringan ekstravaskuler di tempat

infeksi akibat berikatan dengan molekul adhesi endotel dan sebagai

respons terhadap kemoatraktan. Jika mikroba infeksius dapat melewati

epitelium dan masuk jaringan subepitel, makrofag akan mengenali

mikroba dan memproduksi sitokin. Dua dari sitokin ini, yaitu tumor

necrosis factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1), bekerja pada endotel

pembuluh darah kecil di tempat infeksi. TNF dan IL-1 menstimulasi

endotel untuk mengekspresikan 2 molekul adhesi yang disebut E-

selectin dan P-selectin.

Sel makrofag akan menjadi aktif atas pengaruh sitokin sehingga selnya

lebih besar, membran plasmanya berlipat-lipat, banyak pseudopodia serta

mempunyai kesanggupan membunuh mikroorganisme dan sel tumor.

Sel monosit dan makrofag berperan sebagai sel yang mempresentasikan

antigen (antigen presenting cell = APC). Mikroba bakteri dan antigen

protein terlarut dipecah dalam fagolisosom menjadi partikel berukuran

kecil. Partikel ini kemudian akan ditampilkan di permukaan sel berikatan

Page 204: Sistem Imun Full

dengan molekul peptida MHC kelas II dan akan dikenal oleh sel Th.

Peristiwa ini disebut antigen processing. Protein asing seperti virus dan

antigen tumor juga akan diproses, tetapi akan bergabung dengan molekul

MHC kelas I yang kemudian akan ditampilkan di permukaan sel APC dan

akan dikenal oleh sel limfosit Ts.

Faktor seperti faktor CSF, IL-2, IL-3, IL-4, dan interferon akan merangsang

dan memperbanyak jumlah glikoprotein MHC pada sel monosit sehingga

sel ini lebih efisien untuk mempresentasikan antigen. Jadi dapat

disimpulkan bahwa monosit dan makrofag penting dalam memulai dan

mengatur respons imun. Fungsi lain makrofag adalah untuk

menghancurkan mikroorganisme seperti Mycobacterium

tuberculosis, listeria, leismania, toksoplasma dan beberapa fungi. Peranan

makrofag dalam penolakan sel kanker belum jelas, mungkin sel tumor

dihancurkan oleh enzim metabolit  oksigen  seperti  hidrogen 

peroksidase,  proteinase  sitolitik,   atau   faktor nekrosis tumor (TNF)

yang dihasilkan oleh sel makrofag. Sebagai sel perlindungan, makrofag

dengan kesanggupan diapedesisnya dapat menembus endotel pembuluh

darah menuju tempat invasi mikroba. Faktor kemotaktik monosit antara

lain produk komplemen reaktan yang dihasilkan neutrofil, limfosit dan sel

kanker. Fungsi lain adalah eliminasi sel mati dan sisa sel. Makrofag di

dalam limpa akan memusnahkan eritrosit tua, sedangkan di dalam paru

akan mengeliminasi debu dan asap rokok yang masuk ke paru. Aktivitas

metabolik makrofag aktif akan meningkatkan sel aksi mikrobisidal dan

tumorisidal.

Page 205: Sistem Imun Full

FAGOSIT POLIMORFONUKLEAR

Sel granulosit pada manusia mempunyai tiga bentuk morfologis, yaitu

neutrofil, eosinofil, dan basofil. Di antara ketiganya yang mempunyai sifat

fagositik hanya neutrofil dan eosinofil. Tidak seperti makrofag, neutrofil

adalah sel terakhir dari diferensiasi mieloid, jadi tidak akan terbagi lagi.

Sel ini berasal dari sel asal (stem cell) di sumsum tulang dan telah

mengalami pematangan bertahap mulai dari mieloblast, promielosit,

metamielosit, sel batang, dan akhirnya neutrofil. Berlainan dengan

monosit, karena sel ini banyak tertimbun di sumsum tulang maka bila

diperlukan dapat segera masuk ke sirkulasi. Setelah 12 jam berada di

sirkulasi, sel ini akan memasuki jaringan dan menetap untuk beberapa

hari. Sel yang sudah berada di jaringan tidak akan kembali ke sirkulasi.

Dengan pematangan sel akan terdapat 2 jenis granula, yaitu granula

azurofilik dan granula spesifik. Granula azurofilik tampak lebih padat,

mempunyai diameter 0,4 μ dan mempunyai susunan lisosom sama

dengan jaringan lain yang terdiri dari mieloperoksidase, beberapa lisozim,

beberapa kation protein, protein arginin basa, sulfat mukopolisakarida,

asam fosfat dan bermacam asam hidrolase. Granula sekunder spesifik

bukanlah lisosom sejati, bentuknya lebih kecil dari 0,3 μ dan kurang

padat, kaya akan fosfatase alkali, lisozim, aminopeptida, dan laktoferin.

Pada tingkat pematangan menengah kedua bentuk granula tersebut

sudah terlihat, dan pada tingkat lebih matang akan tampak lebih banyak

granula sekunder. Kedua granula ini penting kegunaannya dalam proses

penghancuran dan pemusnahan mikroorganisme yang diingesti. Produksi

granulosit dan peredarannya diatur oleh faktor selular dan humoral.

Neutrofil

Sel neutrofil terdapat lebih dari seperdua jumlah sel darah putih di

sirkulasi dan mempunyai nukleus multilobus dengan granula sitoplasma.

Granulanya mengandung bermacam enzim, seperti protein dan

glikosaminoglikan yang berperan pada fungsi sel. Neutrofil sangat

diperlukan untuk pertahanan tubuh sebagai fagosit dan proses

pemusnahan patogen di jaringan.

Neutrofil dari sumsum tulang (berdiameter 7-7,5 μm dan dapat melewati

pori-pori kecil dinding endotel (diameter l-3 μm), diperkirakan pasti terjadi

Page 206: Sistem Imun Full

deformasi sel untuk dapat melewati pori-pori. Faktor stimulasi koloni

(colony stimulating factor = CSF) merangsangsel neutrofil keluar dari

sumsum tulang. Faktor lain yang juga dapat mengeluarkan neutrofil dari

sumsum tulang adalah tekanan hidrostatik sumsum tulang.

Jumlah neutrofil dipengaruhi oleh beberapa faktor patofisiologik seperti

infeksi, stres, hormon, CSF, faktor nekrosis tumor (tumor necrosis factor =

TNF), CSF, IL-1, IL-3. Endotoksin meningkatkan produksi neutrofil dari

sumsum tulang, walaupun efeknya diperankan oleh IL-1 dan TNF dari

monosit atau makrofag yang terstimulasi. Cara menghilangnya neutrofil

dari sirkulasi belum diketahui dengan jelas. Tetapi perpindahan sel ini ke

lokasi inflamasi akan menyebabkan neutrofil sirkulasi menghilang karena

sekali ia berada di jaringan inflamasi tidak akan kembali ke sirkulasi.

Pemusnahan neutrofil melalui kelenjar limfe tidak penting. Diperkirakan

organ sistem retikuloendotelial seperti hati dan limpa merupakan tempat

pemusnahan neutrofil tua dan neutrofil yang menjadi tua dari sirkulasi.

Neutrofil yang turut dalam proses inflamasi akan dilenyapkan oleh

makrofag. Pada sebagian besar proses inflamasi, makrofag akan

mengikuti influks sel neutrofil dan kemudian akan memakan sel neutrofil

tua, sedang pada tempat infeksi terjadi lisis neutrofil oleh aksi toksin yang

dihasilkan bakteri.

Eosinofil

Eosinofil melakukan fungsinya di jaringan dan tidak akan kembali ke

sirkulasi, serta akan dieliminasi melalui mukosa saluran nafas dan saluran

cerna. Dalam proses pematangannya terjadi perubahan granula azurofilik

ke bentuk granula sitoplasmik besar yang memnpunyai struktur kristaloid.

Granula eosinofil tidak berisi lisozim dan fagositin seperti pada neutrofil,

tetapi kaya akan asam fosfatase dan peroksidase. Terdapat eosinophilic

basic protein (EBP) pada inti kristalin, dengan ukuran 11.000 Dalton yang

sangat toksik untuk parasit (skistosoma) dan epitel trakea. Walaupun sel

ini dapat memfagosit bermacam partikel, mikroorganisme atau kompleks

antigen-antibodi terlarut, tetapi kurang efisien dibandingkan neutrofil.

Sampai sekarang peran spesifik sel ini belum diketahui, kecuali ada

hubungannya dengan alergi dan infeksi parasit. Selain untuk eliminasi

kompleks imun, ia juga berperan dalam menghambat proses inflamasi

dengan menghambat efek mediator, misahnya aril sulftase B yang

dihasilkan sel eosinofil akan menginaktifkan SRS-A yang dilepaskan sel

Page 207: Sistem Imun Full

mast. Eosinofil berperan juga pada reaksi antibody mediated

cytotoxity dalam memusnahkan parasit.

PENYAKIT BERKAITAN DENGAN FAGOSIT MONONUKLEAR

Dalam keadaan produk lisozim berlebihan di jaringan dan

tidak dapat dimetabolisme maka akan timbul penyakit yang

tergolong dalam kelompokinborn error of metabolism dan

hemosiderosis bila terjadi penimbunan besi seperti penyakit

Hurler dan penyakit Gaucher,

Penyakit yang dihubungkan dengan kekurangan fungsi

fagositosis mononuklear, adalah infeksi oleh Mycobacterium

tuberculosis terdapat hiperplasia sel ini secara wajar, terutama di

jaringan seperti kelenjar getah bening dan limpa.

Sel fagosit ini dapat pula mengalami proliferasi secara

berlebihan, seperti pada leukemia monositik, atau pada penyakit

histiositosis yang ganas.

Disfungsi makrofag karena kelainan genetik seperti misalnya

pada pasien dengan penyakit granulomatosis kronik, oleh karena

pasien tersebut kekurangan enzim yang diperlukannya dalam

proses fagositosis.

Extrinsic defects include opsonic abnormalitas  sekunder,  defisiensi

antibodi dan fakto komplemen.

Intrinsic disorders : chronic granulomatous disease, glycogen

storage disease type Ib, Chediak-Higashi syndrome, and specific

granule deficiency. Intrinsic disorders of chemotaxis include hyperIgE

syndrome, leukocyte adhesion defects, Shwachman-Diamond

syndrome,  syndromes  periodontitis. Defek aktivasi fagositik terjadi

pada  diabetes mellitus, metabolic storage disease, malnutrisi,

immaturity, luka bakar

Interaksi Anti mikroba dan Fagosit

Antimikroba memiliki sifat imunomodulator terutama terhadap neutrofil

dan monosit/makrofag. Sifat imunomodulator tersebut kadang-kadang

lebih dominan dari efek bakteriostatik dan bakterisidal dari antimikroba

tersebut. Fungsi dari sistem fagosit yang dapat dipengaruhi

adalah chemotaxis, dan kemampuan untuk membunuh kuman melalui

pembentukan superoksida. Antimikroba tertentu dapat meningkatkan

kemampuan fagosit baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Page 208: Sistem Imun Full

Keefektifan suatu antimikroba dalam pengobatan penyakit infeksi

tergantung dari interaksi antara bakteri, obat antimikroba dan sistem

fagosit dalam tubuh. Beberapa antimikroba dilaporkan dapat

menimbulkan modifikasi terhadap sistem imunitas tubuh baik secara in

vitro maupun secara in vivo. Obat antimikroba akan mempengaruhi

interaksi antara neutrofil dengan mikroba melalui berbagai cara, dan

begitu juga sebaliknya neutrofil dapat mengganggu aktivitas antimikroba

dalam tubuh. Kebanyakan antimikroba golongan -laktam

dan quinolone memiliki efek sinergis dengan sistem fagosit dalam

menghancurkan kuman di dalam sel neutrofil, oleh karenanya obat

tersebut disebut obat yang bersifat imunostimulator. Sebaliknya beberapa

antimikroba seperti cyclins, chloramphenicol, sulfonamid dan

trimethoprim dapat menekan fungsi  imunitas tubuh. Beberapa

antimikroba memiliki efek yang meragukan terhadap sistem imunitas

meningkatkan kemampuan fagosit dari neutrofil. Antimikroba akan

berpengaruh terhadap interaksi antara neutrofil dan monosit/makrofag

dengan mikroba/kuman. Berdasarkan latar belakang tersebut di atas,

nampaknya sebelum memutuskan untuk memberikan antimikroba untuk

menangani penyakit infeksi terutama pada pasien yang sudah mengalami

gangguan pada sistem imun, perlu diketahui golongan antimikroba mana

yang dapat meningkatkan dan yang dapat menurunkan kemampuan

fagosit dari neutrofil, sehingga efek terapi yang diharapkan menjadi

lebih baik.Dalam tulisan berikut akan diuraikan berbagai aspek dari

interaksi antara antimikroba dengan netrofil dan

monosit/makrofag.Mekanisme dari Neutrofil dan Monosit/Makrofag

Memfagosit serta Menghancurkan Kuman-Kuman/Benda Asing Neutrofil

disebut juga leukosit Polymorphonuclear (PMN) merupakan 50-60% dari

komponen leukosit yang berada

dalam darah tepi. Neutrofil merupakan salah satu komponen dari sistem

imun tubuh non spesifik yang terdepan dalam mencegah infeksi oleh

berbagai mikroba seperti: bakteri, jamur, protozoa, virus dan sel-sel yang

terinfeksi oleh virus. Sedangkan monosit/makrofag merupakan sistem

fagosit yang lain dalam tubuh. Monosit merupakan bentuk permulaan dari

makrofag yang beredar dalam sirkulasi yang jumlahnya kira-kira 10% dari

seluruh leukosit. Setelah sampai pada jaringan, monosit akan

berdiferensiasi menjadi makrofag yang dapat dibagi menjadi dua yaitu

Page 209: Sistem Imun Full

makrofag dan inflammatory macrophage. Makrofag berada dalam

berbagai jaringan tubuh dengan nama yang berbeda-beda

yaitu: histiocyte (pada jaringan), Kupffer’s cell (pada hati), Alveolar

macrophage (pada paru), Langerhans cell (pada kulit) dan makrofag

bebas pada limpa, peritoneum, pleura dan kelenjar limfe.

Meskipun antimikroba dapat membunuh atau menghambat pertumbuhan

bakteri dalam tubuh, namun antimikroba juga berpengaruh terhadap

sistem fagosit baik secara langsung maupun secara tidak langsung.

Pengaruh tersebut ada yang menguntungkan dan ada juga yang

merugikan terutama untuk penderita yang telah mengalami gangguan

fungsi imunitas. Kebanyakan antimikroba golongan quinolone dan b-

laktam ternyata dapat meningkatkan fungsi fagosit. Antimikroba golongan

cyclins, chloramphenicol,trimethoprim, sulfamethoxazole, gyrase inhibitor

dan rifampicin dapat menurunkan fungsi fagosit. Antimikroba

aminoglycoside, fusidic acid dan lincosamide efeknya terhadap sistem

fagosit masih meragukan atau kontroversial. Sedangkan macrolide

efeknya berbeda-beda tergantung jenis macrolide.

Referensi

Zena W. Phagocytic cells, chemotaxis and effector function of

machrophages and granulocytes. In: Stites DP, Stobo JP, Fudenberg

HH, Wells JV. Basic and clinical immunology; 5th. Singapore:

Lange/Maruzen, 1982; 104-18

van Furth, R. (1992) Production and migration of monocytes and

kinetics of macrophages van Furth, R. eds. Mononuclear

Phagocytes ,3-12 Kluwer Academic Publishers Dordrecht

Lekstrom-Himes, JA, Gallin JI. Immunodeficiency diseases caused by

defects in phagocytes. N Engl J Med 2000; 343:1703.

IMUNOLOGI DASAR : SISTEM KOMPLEMENDiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Sistem komplemen adalah protein dalam serum darah yang bereaksi

berjenjang sebagai enzim untuk membantu sistem kekebalan selulardan

sistem kekebalan humoraluntuk melindungi tubuh dari infeksi. Protein

komplemen tidak secara khusus bereaksi terhadap antigen tertentu, dan

segera teraktivasi pada proses infeksi awal dari patogen. Oleh karena itu

Page 210: Sistem Imun Full

sistem komplemen dianggap merupakan bagian dari sistem kekebalan

turunan. Walaupun demikian, beberapa antibodi dapat memicu beberapa

protein komplemen, sehingga aktivasi sistem komplemen juga merupakan

bagian dari sistem kekebalan humoral. Sistem komplemen adalah

suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang

satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada kedaan normal

komplemen beredar di sirkulasi. darah dalam keadaan tidak aktif,

yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak

tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur

alternatif. Aktivasi sistem komplemen menyebabkan interaksi

berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologik aktif

yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi

sistem komplemen tersebut selain bermanfaat bagi pertahanan

tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan

mengakibatkan kematian, hingga efeknya disebut seperti pisau

bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks

antigen-antibodi pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan

terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit.

Di akhir abad ke 19, serum darah telah diketahui mengandung suatu

faktor atau cara yang dapat digunakan untuk membunuh bakteri. Pada

tahun 1896, Jules Bordet, ilmuwan muda Belgia dari Pasteur Institute,

Paris, mendemonstrasikan bahwa prinsip ini bisa dianalisis menggunakan

dua komponen: komponen panas-tetap dan komponen panas-labil. Panas-

labil menunjukkan bahwa komponen akan kehilangan kemampuannya jika

serum dipanaskan. Komponen panas-tetap ada untuk memberikan

kekebalan melawan mikroorganisme spesifik, sedangkan komponen

panas-labil bertanggung jawab terhadap aktivitas mikrobial non-spesifik

yang dimiliki serum. Komponen panas-labil ini adalah yang disebut

“komplemen”.

Istilah “komplemen” diperkenalkan oleh Paul Ehrlich di akhir tahun

1980an, sebagai bagian dari teorinya mengenai sistem kekebalan.

Menurut teorinya, sistem kekebalan terdiri dari berbagai sel yang memiliki

reseptor spesifik pada permukaannya untuk mengenali antigen. Pasca

imunisasi dengan antigen, lebih banyak reseptor terbentuk, lalu reseptor

itu mengalir dari sel ke aliran sirkulasi darah. Reseptor ini, yang saat ini

Page 211: Sistem Imun Full

kita kenal dengan nama “antibodi”, disebut oleh Ehrlich sebagai

“amboceptor” untuk menekankan fungsi ganda reseptor dalam

melakukan pengikatan. Reseptor tesebut mampu mengenali dan

mengikat antigen spesifik, namun mereka juga mampu mengenali dan

mengikat komponen antimikrobial panas-labil dari serum. Ehrlich lalu

menamakan komponen panas-labil ini “komplemen” karena ini adalah

sesuatu dalam darah yang menjadi komplemen sel pada sistem

kekebalan.

Ehrlich percaya bahwa setiap amboceptor antigen spesifik memiliki

komplemen yang spesifik, di mana Bordet percaya bahwa sebenarnya

hanya ada satu tipe komplemen. Di awal abad ke 20, kontroversi ini

terselesaikan ketika ditemukan bahwa komplemen bisa beraksi

berpasangan dengan antibodi spesifik atau secara sendirian secara non-

spesifik.

Komplemen

Unsur pokok sistem komplemen diwujudkan oleh sekumpulan

komponen protein yang terdapat di dalam serum. Protein-protein ini

dapat dibagi menjadi protein fungsional yang menggambarkan

elemen dari berbagai jalur, dan protein pengatur yang menunjukkan

fungsi pengendalian.

Komplemen sebagian besar disintesis di dalam hepar oleh sel

hepatosit, dan juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam

sirkulasi darah. Komplemen C l juga dapat di sintesis oleh sel epitel

lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel fagosit

mononuklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya

aktivasi.

Sebagian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan

huruf C: Clq, Clr, CIs, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan

sesuai dengan urutan penemuan unit tersebut, bukan menurut cara

kerjanya

Komponen C3 mempunyai fungsi sangat penting pada aktivasi

komplemen, baik melalui jalur klasik maupun jalur alternatif.

Konsentrasi C3 jauh lebih besar dibandingkan dengan fraksi lainnya,

hal ini menempatkan C3 pada kedudukan yang penting dalam

pengukuran kadar komplemen di dalam serum. Penurunan kadar C3

Page 212: Sistem Imun Full

di dalam serum dapat dianggap menggambarkan keadaan

konsentrasi komplemen yang menurun. Juga penurunan kadar C3 saja

dapat dipakai sebagai gambaran adanya aktivasi pada sistem

komplemen.

Fungsi Komplemen1. Mencerna sel, bakteri, dan virus

2. Opsonisasi, yaitu memicu fagositosis antigen partikulat

3. Mengikat reseptor komplemen spesifik pada sel pada sistem

kekebalan, memicu fungsi sel spesifik, inflamasi, dan beberapa

molekul imunoregulator

4. Pembersihan imun, yaitu memindahkan sisa-sisa bahan imunitas

dari sistem kekebalan dan menimbunnya di limpa dan hati

Page 213: Sistem Imun Full

Protein dan glikoprotein yang merupakan penyusun dari sistem

komplemen disintesis di hepatosit hati. Namun, sejumlah besar sistem

penyusun sistem komplemen juga diproduksi di jaringan makrofaga,

monosit dalam darah, dan sel epitel dari saluran kelamin dan pencernaan.

Sistem komplemen memiliki kemungkinan untuk memberi kerusakan

parah kepada jaringan milik sendiri, yang berarti bahwa aktivasi sistem

komplemen harus dilakukan dengan tepat. Sistem komplemen diatur oleh

protein kontrol komplemen, yang terdapat di dalam plasma darah dalam

konsentrasi yang lebih besar dari pada protein komplemen itu sendiri.

Beberapa protein kontrol komplemen berada di membran sel untuk

mencegah penyerangan oleh sistem komplemen.

Dipercaya bahwa sistem komplemen memiliki peran dalam mengakibtkan

berbagai penyakit seperti sindrom Barraquer-Simmons, lupus

erythematosus, glomerulonephritis, berbagai arthritis, penyakit jantung

autoimun, multiple sklerosis, penyakit bowel inflamatori, dan luka

ischemia-reperfusion. Sistem komplemen juga dapat berimplikasi pada

penyakit sistem syaraf seperti Alzheimer dan kondisi degeneratif syaraf

lainnya.

Penelitian terbaru menunjukkan bahwa virus HIV dapat memanipulasi

sistem komplemen untuk mengakibatkan kerusakan lebih lanjut.

Protein komplemen di dalam serum darah merupakan prekursor enzim

yang disebut zimogen. Zimogen pertama kali ditemukan pada saluran

Page 214: Sistem Imun Full

pencernaan, sebuah protease yang disebut pepsinogen dan bersifat

proteolitik. Pepsinogen dapat teriris sendiri menjadi pepsin saat

terstimulasi derajat keasaman pada lambung.

Protein hasil irisan zimogen berguna bagi:

peningkatan respon antibodi dan memori imunologis

proses lisis

pembersihan kompleks imun dan sel apoptotik

proses kemotaksis

Mediator peradangan seperti mastosit untuk memicu proses

degranulasi antibodi IgE. melalui lintasan yang disebut:

Lintasan klasik : C1qrs, C2, C3, C4, C1-INH, C4-BP

Lintasan MBL : MBL, MASP, MASP2

Lintasan alternatif : C3, Faktor B, Faktor D, Properdin, Faktor I,

Faktor H, Faktor DA, CR1

Lintasan litik : C5, C6, C7, C8, C9, Protein

AKTIVASI KOMPLEMEN

Sistem komplemen dapat diaktifkan melalui dua jalur, yaitu jalur klasik

dan jalur alternatif. Aktivasi tersebut melalui suatu proses enzimatik yang

terjadi secara berantai, berarti produk yang timbul pada satu reaksi akan

merupakan enzim untuk reaksi berikutnya. Caranya ialah dengan

dilepaskannya sebagian atau mengubah bangunan kompleks protein

tersebut (pro enzim) yang tidak aktif menjadi bentuk aktif (enzim). Satu

molekul enzim yang aktif mampu mengakibatkan banyak molekul

komplemen berikutnya. Cara kerja semacam ini disebut the one hit

theory.

Secara garis besar aktivasi komplemen baik melalui jalur klasik maupun

jalur alternatif terdiri atas tiga mekanisme, a) pengenalan dan

pencetusan, b) penguatan (amplifikasi), dan c) pengakhiran kerja berantai

dan terjadinya lisis serta penghancuran membran sel (mekanisme terakhir

ini seringkali juga disebut kompleks serangan membran) .

Aktivasi jalur klasik dicetuskan dengan berikatannya C1 dan kompleks

antigen-antibodi, sedangkan aktivasi jalur alternatif dimulai dengan

adanya ikatan antara C3b dengan berbagai zat aktivator seperti dinding

Page 215: Sistem Imun Full

sel bakteri. Kedua jalur bertemu dan memacu terbentuknya jalur

serangan membran yang akan mengkibatkan lisisinya dinding sel antigen.

Aktivasi komplemen jalur klasik

Seperti telah dibutkan diatas, aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau

disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap.

1. Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui

2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3

konvertase.

2. Aktivitas C1 inhibitor. Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1

inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat

pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi

akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.

3. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase

dihambat oleh beberapa regulator.

Page 216: Sistem Imun Full

C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat

berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3

konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini bersama

dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan

potensi faktor I dalam merusak C4b.

Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga

mencegah terbentulmya C4b2b.

Aktivasi komplemen jalur alternatif

Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa

melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan

C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM.

Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus

dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun

dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma.

Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b

bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB

diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase). Pada

keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga

tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat

diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b, dan selanjutnya

dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan 

dalam plasma.

Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan

melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi

banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak

pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat

tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin,

zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan

aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur

klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen

melalui jalur alternatif.

Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel

sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran

tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan

Page 217: Sistem Imun Full

C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3

dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam

jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin

dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini

juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b

akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I.

Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran

aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada

permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b

yang berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen

C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya

seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).

FUNGSI BIOLOGIK PROTEIN KOMPLEMEN

Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua

golongan besar, 1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran,

dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang terbentuk selama aktivasi.

1.    Sitolisis Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran)

yang berfungsi adalah C5-C9. Mekanisme ini sangat penting bagi

pertahanan tubuh melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat

melalui jalur alternatif maupun jalur klasik.

2.    Sifat biologik aktif

Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis

Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin

merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan

jamur secara sistemik Fagositosis ini juga lebih meningkat bilamana

bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga berikatan dengan

antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada

reseptor spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya

menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memacu untuk terjadinya

fagositosis.

Anafilaksis dan kemotaksis

C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel

mast dan sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat

Page 218: Sistem Imun Full

meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor

C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos

dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil,

netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium.

Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos

menyebabkan kontraksi otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a

adalah yang paling poten dan C4a adalah yang paling lemah.

C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh

karena C5a juga mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-

sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke

tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang rusak; proses ini

disebut kemotaksis. Juga setelah melekat C5a dapat merangsang

metabolisme oksidatif dari sel fagosit tersebut sehingga dapat

meningkatkan daya untuk memusnahkan mikroorganisme atau benda

asing tersebut

Proses peradangan

Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan

terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya

proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing

tersebut; proses ini disebutperadangan.

Pelarutan dan eliminasi kompleks imun

Kompleks imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan

dapat meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen.

Kompleks imun ini bilamana berlebihan dapat membahayakan oleh

karena dapat mengendap pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi

komplemen dan menimbulkan kerusakan jaringan. Pembentukan

kompleks imun bilamana berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari

imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc. Oleh karena itu pengikatan

komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat

membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah.

Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini,

sistem komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini

terutama oleh reseptor yang terdapat pada permukaan eritrosit.

Kompleks imun yang beredar mengaktifkan komplemen dan

Page 219: Sistem Imun Full

mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada antigen. Kompleks

tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan eritrosit. Pada

waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel fagosit dalam

limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang

terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.

REGULASI

Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu 1)

komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk

yang tidak stabil sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen

berikutnya akan rusak, 2) adanya beberapa inhibitor yang spesifik

misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H, 3) pada permukaan

membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragmen komplemen

yang melekat.

Regulasi jalur klasik Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2

fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3

konvertase.

1. Aktivitas C1 inhibitor Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1

inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat

pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi

akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.

2. Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase

dihambat oleh beberapa regulator.

C4 binding protein (C4bp) dan reseptor komplemen tipe 1 (CR1) dapat

berikatan dengan C4b sehingga mencegah terbentuknya C4b2b (C3

konvertase). Disamping itu kedua reseptor ini bersama

dengan membrane cofaktor protein (MCP) juga dapat meningkatkan

potensi faktor I dalam merusak C4b.

Decay accelerating faktor (DAF) dapat berikatan dengan C4b sehingga

mencegah terbentulmya C4b2b.

Regulasi jalur alternatif

Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein

dalam sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan membran.

Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb untuk berikatan dengan

C3b. Juga CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b sehingga

Page 220: Sistem Imun Full

berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya hambatan ini maka

pembentukan C3 konvertase juga dapat dihambat. Faktor I, menghambat

pembentukan C3bBb; dalam fungsinya ini faktor I dibantu oleh kofaktor H,

CR1 dan MCP. Faktor I memecah C3b dan yang tertinggal melekat pada

permukaan sel adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3

konvertase, selanjutnya iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi

C3d.

Penyakit Dalam Sistem KomplemenPenyakit pada manusia yang berkaitan dengan sistem komplemen dapat

terjadi oleh karena dua keadaan. Pertama adalah adanya defisiensi dari

salah satu protein komplemen atau protein regulator. Kedua, suatu sistem

komplemen yang normal diaktifkan oleh stimulus yang tidak normal

seperti mikroorganisme yang persisten atau suatu reaksi autoimun.

Defisiensi protein regulator Pada beberapa keadaan dapat

terjadi defisiensi protein regulator, baik yang larut maupun yang

berikatan pada membran sel. Edema angioneurotik herediter (HANE)

adalah suatu keadaan yang disebabkan oleh defisiensi C l INH.

Manifestasi klinis kelainan ini adalah edema pada muka, ekstremitas,

mukosa laring, dan saluran cerna yang akan menghilang setelah 24

sampai 72 jam. Pada serangan berat disamping gangguan saluran

cerna juga dapat terjadi obstruksi saluran nafas. Mediator yang

berperan dalam kelainan ini adalah C3a, C4a, dan C5a yang bersifat

sebagai anafiltoksin. Di samping itu oleh karena fungsi C l INH juga

merupakan regulator kalikrein dan faktor XII, maka kemungkinan

aktivasi faktor ini juga memegang peran. Defisiensi regulator jalur

alternatif yang larut (faktor H dan I) sangat jarang terjadi. Akibat

defisiensi ini C3 akan diaktifkan terus menerus. Pasien dengan

antibodi ini sering menderita glomerulonefritis yang mungkin

disebabkan oleh kurang adekwatnya pembersihan kompleks imun dari

sirkulasi dan mengendap pada membran glomerulus ginjal.

Defisiensi genetik Defisiensi genetik fragmen jalur klasik dan

alternatif meliputi C1q, C1r, C1s, C4, C2, C3, properdin, dan faktor D.

Page 221: Sistem Imun Full

Defisiensi fragmen awal dari jalur klasik biasanya berhubungan

dengan penyakit autoimun seperti glomerulonefritis dan lupus

eritematosus sistemik (LES). Yang terbanyak dijumpai pada manusia

adalah defisiensi C2. Lebih dari seperdua dari pasien dengan

defisiensi C2 dan C4 menderita LES. Pasien dengan defisiensi C2 dan

C4 tidak menunjukkan kenaikan frekuensi terkena infeksi. Defisiensi

C3 biasanya berhubungan dengan sering terjadinya infeksi bakteri

piogen yang fatal. Hal ini mungkin menunjukkan pentingnya peran C3

pada opsonisasi, peningkatan fagositosis, dan penghancuran

mikroorganisme. Kenyataan ini menunjukkan bahwa kemungkinan

fungsi utama dari jalur klasik adalah untuk eliminasi kompleks imun

dan jalur altematif untuk eliminasi bakteri.

Defisiensi komplemen Defisiensi dalam sistem komplemen dapat

terjadi pada jalur klasik, altematif, kompleks serangan membran, atau

pada protein regulator. Defisiensi ini dapat terjadi sejak lahir, atau

didapat setelah lahir oleh karena terdapatnya mutasi gen.

Defisiensi fragmen kompleks serangan membran Defisiensi

fragmen kompleks serangan membran yang mencakup C5, C6, C7, C8

dan C9 menyebabkan tidak terdapatnya kemampuan untuk melisis

organisme asing. Tetapi kenyataan yang menarik pada pasien dengan

defisiensi kompleks serangan membran, hanya mendapat infeksi

sistemik yang berat dengan bakteri neiseria intraselular termasukN.

meningitidis dali N. gonorrhoeae. Tetapi oleh karena jumlah sampel

pasiennya hanya sedikit, belum dapat disimpulkan bahwa kompleks

serangan membran terutarna penting untuk pertahanan terhadap

organisme tersebut.

Daftar Pustaka

Frank MM. Complement and kinin. In Stites DP, Terr AI. Basic and

clinical immunology; 7th edition . NorwaIk: Appleton & Lange, 1991;

161-74.

Brown EJ, Joiner KA, Frank MM. Complement. In fundamental

immunology. 3rdedition. New York: Raven Press, l985; 645-68.

 IMUNOLOGI DASAR: ANTIGEN PRESENTING CELL (APC)Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Page 222: Sistem Imun Full

Antigen-presenting Cel  (APC) atau sel aksesori adalah sel asing

yang menampilkan antigen kompleks dengan major

histocompatibility complex (MHC) pada permukaannya. T-sel

dapat mengenali kompleks mereka menggunakan T-sel reseptor

(TCRs). Sel ini memproses antigen dan menyajikan untuk T-sel.

Fungsi utama sel sebagai sel penampil antigen (antigen-presenting cell)

terdapat pada sifat fagositik yang mengikat antigen yang terlepas dari

mekanisme pertahanan awal dan menampilkan fragmen protein dari

antigen tersebut pada kompleks MHC bagi sel T dan sel B.Antigen yang

diikat oleh sel dendritik akan ditelan ke dalam sitosol dan dipotong

menjadi peptida untuk kemudian diekspresikan menuju ke permukaan sel

sebagai antigen MHC.

Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh

APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons

imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui

kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan

pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC

yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut

sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak

efisien untuk menstimulasi sel T.

Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit

dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk

antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan

mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal

mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak

ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu

dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis

factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel

dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit

terlepas dari epitel.

Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di

kelenjar getah bening yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan

mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke pembuluh limfe dan menuju ke

kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit

Page 223: Sistem Imun Full

bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC

yang dapat menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul

MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan diekspresikan di permukaan

APC.

Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan

ikat/parenkim, mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur

dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen terlarut di saluran limfe

diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening, sedangkan

antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa.

Antigen protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan

dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat bertemu dengan

limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar

getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel

T naif di kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba

masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di

kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.

Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun

tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating

dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi

limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons

sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,

terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi

sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis

mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua

jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan

mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi

makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan

mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;

proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.

Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari

mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.

Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap

antigen mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat

menginfeksi sel pejamu dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan

cara penghancuran sel tersebut oleh sel T sitotoksik. Virus dapat

Page 224: Sistem Imun Full

menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan sel-sel ini

tidak dapat memproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel

T. Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel

yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen ke limfosit T CD8. Hal ini

disebut sebagai cross-presentation, artinya suatu jenis sel (yaitu APC)

mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang terinfeksi)

kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk

antigen tersebut. Sel APC yang memakan sel terinfeksi juga dapat

mempresentasikan antigen ke limfosit T CD4.

Jenis APCProfessional APCsTerdapat 3 tipe utama  professional antigen-presenting cell:

Dendritic cells (DCs),  Sel dendritik (dendritic cell, DC) adalah

monosit yang terdiferensiasi oleh stimulasi GM-CSF dan IL-4,dan

menjadi bagian sistem kekebalan mamalia. Bentuk sel dendritik

menyerupai bagian dendrita pada neuron, namun sel dendritik tidak

bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai perantara

sistem kekebalan turunan menuju sistem kekebalan tiruan.

Macrophages,

B-cells,

Certain activated epithelial cells

Non-professionalA non-professional APC

Fibroblasts (kulit)

Thymic epithelial cells

Thyroid epithelial cells

Glial cells (otak)

Pancreatic beta cells

Vascular endothelial cells

Jenis-jenis antigen presenting cell (APC)No Jenis APC Lokasi Mobilitas Resepto MHC Presenta

Page 225: Sistem Imun Full

r Fc/C3 kelas IIsi

kepada

1.2.3.

Interdigitating dendritic   cellsSel LangerhansVeiled cells

Parakorteks KGBKulitSaluran limfe AktifAktifAktif +++

++++++

Sel TSel TSel T

4.Follicular   dendritic cells Folikel KGB Statik + – Sel B

5. Makrofag

Medula KGBHati (sel Kupffer)Otak (astrosit)

AktifStatikStatik +++

++++++

Sel T dan B

6.

Sel B (khususnya bila teraktivasi)

Jaringan limfoid Aktif

Ig permukaan + Sel T

Keterangan: KGB = kelenjar getah bening, Ig = imunoglobulin.

(sumber Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N, 2001)

Sel APC mensintesis molekul MHC kelas II secara terus-menerus di

retikulum endoplasma. Selama berada di dalam retikulum endoplasma,

molekul MHC kelas II dicegah untuk berikatan dengan peptida di dalam

lumen oleh suatu protein yang dinamakan MHC class II-associated

invariant chain. Invariant chain ini mengandung suatu sekuens yaitu class

II invariant chain peptide (CLIP) yang berikatan erat denganpeptide-

binding cleft pada MHC kelas II. Invariant chain tersebut juga

mengantarkan MHC kelas II ke endosom untuk berikatan dengan peptida

antigen eksogen yang telah diproses. Endosom mengandung protein yang

dinamakan DM, fungsinya untuk melepaskan CLIP dari molekul MHC kelas

II, sehingga peptide-binding cleft akan terbuka untuk menerima peptida

antigen. Jika MHC kelas II dapat berikatan dengan peptida, akan terbentuk

kompleks yang stabil dan menuju ke permukaan sel. Namun jika molekul

MHC tidak dapat berikatan dengan peptida tersebut, molekul ini menjadi

tidak stabil dan dihancurkan oleh protease di dalam endosom. Suatu

antigen protein akan dipecah menjadi banyak peptida, tetapi hanya

sedikit (satu atau dua) peptida yang dapat berikatan dengan molekul MHC

individu tersebut. Oleh sebab itu, hanya peptida ini yang dapat

menimbulkan respons imun pada individu tersebut sehingga

disebutimmunodominant epitopes.

Page 226: Sistem Imun Full

Antigen endogen (termasuk antigen virus) akan diproses di retikulum

endoplasma dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel T

CD8+, sedangkan antigen eksogen diproses di lisosom (endosom) dan

dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+

Sel APC tidak hanya mempresentasikan peptida antigen kepada sel T,

tetapi juga berfungsi sebagai ”sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Antigen

merupakan sinyal pertama, sedangkan sinyal kedua adalah mikroba atau

APC yang berespons terhadap mikroba. Peran penting dari sinyal kedua

ini adalah untuk menjaga agar respons imun spesifik hanya timbul

terhadap mikroba dan tidak terhadap bahan-bahan non infeksius yang

tidak berbahaya. Berbagai produk dari mikroba dan respons imun non

spesifik dapat mengaktifkan APC untuk mengekspresikan sinyal kedua

bagi aktivasi limfosit. Sebagai contoh, berbagai bakteri menghasilkan

lipopolisakarida (LPS). Pada saat bakteri ditangkap oleh APC, LPS akan

menstimulasi APC tersebut. Sebagai respons, APC mengekspresikan

protein permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-stimulator ini akan

dikenali oleh reseptornya di sel T. Sel APC juga mensekresi sitokin yang

akan dikenali oleh reseptor sitokin di sel T. Ko-stimulator dan sitokin

bekerja bersama dengan pengenalan antigen oleh T cell receptor (TCR)

untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T. Dalam hal ini, antigen

adalah sinyal pertama, sedangkan kostimulator dan sitokin merupakan

sinyal kedua.

IMUNITAS NON SPESIFIKDiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Perbedaan antara imunitas non spesifik dan spesifik adalah

imunitas non spesifik berespons dengan cara yang sama pada

paparan berikutnya dengan mikroba, sedangkan imunitas spesifik

akan berespons lebih efisien karena adanya memori imunologik.

Komponen imunitas non spesifik

Sistem imun non spesifik terdiri dari epitel (sebagai barrier terhadap

infeksi), sel-sel dalam sirkulasi dan jaringan, serta beberapa protein

plasma.

Barrier epitel

Tempat masuknya mikroba yaitu kulit, saluran gastrointestinal, dan

saluran pernapasan dilindungi oleh epitel yang berfungsi

Page 227: Sistem Imun Full

sebagai barrier fisik dan kimiawi terhadap infeksi. Sel epitel memproduksi

antibodi peptida yang dapat membunuh bakteri. Selain itu, epitel juga

mengandung limfosit intraepitelial yang mirip dengan sel T namun hanya

mempunyai reseptor antigen yang terbatas jenisnya. Limfosit intraepitelial

dapat mengenali lipid atau struktur lain pada mikroba. Spesifisitas dan

fungsi limfosit ini masih belum jelas.

Sistem fagosit

Terdapat 2 jenis fagosit di dalam sirkulasi yaitu neutrofil dan monosit,

yaitu sel darah yang dapat datang ke tempat infeksi kemudian mengenali

mikroba intraselular dan memakannya (intracellular killing).

Sel Natural Killer (NK)

Sel natural killer (NK) adalah suatu limfosit yang berespons terhadap

mikroba intraselular dengan cara membunuh sel yang terinfeksi dan

memproduksi sitokin untuk mengaktivasi makrofag yaitu IFN-γ. Sel NK

berjumlah 10% dari total limfosit di darah dan organ limfoid perifer. Sel NK

mengandung banyak granula sitoplasma dan mempunyai penanda

permukaan (surface marker) yang khas. Sel ini tidak mengekspresikan

imunoglobulin atau reseptor sel T. Sel NK dapat mengenali sel pejamu

yang sudah berubah akibat terinfeksi mikroba. Mekanisme pengenalan ini

belum sepenuhnya diketahui. Sel NK mempunyai berbagai reseptor untuk

molekul sel pejamu (host cell), sebagian reseptor akan mengaktivasi sel

NK dan sebagian yang lain menghambatnya. Reseptor pengaktivasi

bertugas untuk mengenali molekul di permukaan sel pejamu yang

terinfeksi virus, serta mengenali fagosit yang mengandung virus dan

bakteri. Reseptor pengaktivasi sel NK yang lain bertugas untuk mengenali

molekul permukaan sel pejamu yang normal (tidak terinfeksi). Secara

teoritis keadaan ini menunjukkan bahwa sel NK membunuh sel normal,

akan tetapi hal ini jarang terjadi karena sel NK juga mempunyai reseptor

inhibisi yang akan mengenali sel normal kemudian menghambat aktivasi

sel NK. Reseptor inhibisi ini spesifik terhadap berbagai alel dari

molekul major histocompatibility complex (MHC) kelas I.

Terdapat 2 golongan reseptor inhibisi sel NK yaitu killer cell

immunoglobulin-like receptor (KIR), serta reseptor yang mengandung

protein CD94 dan subunit lectin yang disebut NKG2. Reseptor KIR

mempunyai struktur yang homolog dengan imunoglobulin. Kedua jenis

reseptor inhibisi ini mengandung domains structural motifs di

Page 228: Sistem Imun Full

sitoplasmanya yang dinamakan immunoreceptor tyrosine-based inhibitory

motif (ITIM) yang akan mengalami fosforilasi ke residu tirosin ketika

reseptor berikatan dengan MHC kelas I, kemudian ITIM tersebut

mengaktivasi protein dalam sitoplasma yaitu tyrosine phosphatase.

Fosfatase ini akan menghilangkan fosfat dari residu tirosin dalam molekul

sinyal (signaling molecules), akibatnya aktivasi sel NK terhambat. Oleh

sebab itu, ketika reseptor inhibisi sel NK bertemu dengan MHC, sel NK

menjadi tidak aktif.

Berbagai virus mempunyai mekanisme untuk menghambat ekspresi MHC

kelas I pada sel yang terinfeksi, sehingga virus tersebut terhindar dari

pemusnahan oleh sel T sitotoksik CD8+. Jika hal ini terjadi, reseptor inhibisi

sel NK tidak teraktivasi sehingga sel NK akan membunuh sel yang

terinfeksi virus. Kemampuan sel NK untuk mengatasi infeksi ditingkatkan

oleh sitokin yang diproduksi makrofag, diantaranya interleukin-12 (IL-12).

Sel NK juga mengekspresikan reseptor untuk fragmen Fc dari berbagai

antibodi IgG. Guna reseptor ini adalah untuk berikatan dengan sel yang

telah diselubungi antibodi (antibody-mediated humoral immunity).

Setelah sel NK teraktivasi, sel ini bekerja dengan 2 cara. Pertama, protein

dalam granula sitoplasma sel NK dilepaskan menuju sel yang terinfeksi,

yang mengakibatkan timbulnya lubang di membran plasma sel terinfeksi

dan menyebabkan apoptosis. Mekanisme sitolitik oleh sel NK serupa

dengan mekanisme yang digunakan oleh sel T sitotoksik. Hasil akhir dari

reaksi ini adalah sel NK membunuh sel pejamu yang terinfeksi. Cara kerja

yang kedua yaitu sel NK mensintesis dan mensekresi interferon-γ (IFN-γ)

yang akan mengaktivasi makrofag. Sel NK dan makrofag bekerja sama

dalam memusnahkan mikroba intraselular: makrofag memakan mikroba

dan mensekresi IL-12, kemudian IL-12 mengaktivasi sel NK untuk

mensekresi IFN-γ, dan IFN-γ akan mengaktivasi makrofag untuk

membunuh mikroba yang sudah dimakan tersebut.

Tubuh menggunakan sel T sitotoksik untuk mengenali antigen virus yang

ditunjukkan oleh MHC, virus menghambat ekspresi MHC, dan sel NK akan

berespons pada keadaan dimana tidak ada MHC. Pihak mana yang lebih

unggul akan menentukan hasil akhir dari infeksi.

Sistem komplemen

Page 229: Sistem Imun Full

Sistem komplemen merupakan sekumpulan protein dalam sirkulasi yang

penting dalam pertahanan terhadap mikroba. Banyak protein komplemen

merupakan enzim proteolitik. Aktivasi komplemen membutuhkan aktivasi

bertahap enzim-enzim ini yang dinamakan enzymatic cascade.

Aktivasi komplemen terdiri dari 3 jalur yaitu jalur alternatif, jalur klasik,

dan jalur lektin.Jalur alternatif dipicu ketika protein komplemen

diaktivasi di permukaan mikroba dan tidak dapat dikontrol karena

mikroba tidak mempunyai protein pengatur komplemen (protein ini

terdapat pada sel tuan rumah).

Jalur ini merupakan komponen imunitas non spesifik.

Jalur klasik dipicu setelah antibodi berikatan dengan mikroba atau

antigen lain. Jalur ini merupakan komponen humoral pada imunitas

spesifik.

Jalur lektin teraktivasi ketika suatu protein plasma yaitu lektin

pengikat manosa (mannose-binding lectin) berikatan dengan manosa

di permukaan mikroba. Lektin tersebut akan mengaktivasi protein

pada jalur klasik, tetapi karena aktivasinya tidak membutuhkan

antibodi maka jalur lektin dianggap sebagai bagian dari imunitas non

spesifik.

Protein komplemen yang teraktivasi berfungsi sebagai enzim proteolitik

untuk memecah protein komplemen lainnya. Bagian terpenting dari

komplemen adalah C3 yang akan dipecah oleh enzim proteolitik pada

awal reaksi complement cascade menjadi C3a dan C3b. Fragmen C3b

akan berikatan dengan mikroba dan mengaktivasi reaksi selanjutnya.

Ketiga jalur aktivasi komplemen di atas berbeda pada cara dimulainya,

tetapi tahap selanjutnya dan hasil akhirnya adalah sama.

Sistem komplemen mempunyai 3 fungsi sebagai mekanisme pertahanan.

Pertama, C3b menyelubungi mikroba sehingga mempermudah mikroba

berikatan dengan fagosit (melalui reseptor C3b pada fagosit). Kedua, hasil

pemecahan komplemen bersifat kemoatraktan untuk neutrofil dan

monosit, serta menyebabkan inflamasi di tempat aktivasi komplemen.

Ketiga, tahap akhir dari aktivasi komplemen berupa

pembentukanmembrane attack complex (MAC) yaitu kompleks protein

polimerik yang dapat menembus membran sel mikroba, lalu membentuk

Page 230: Sistem Imun Full

lubang-lubang sehingga air dan ion akan masuk dan mengakibatkan

kematian mikroba.

Sitokin pada imunitas non spesifik

Sebagai respons terhadap mikroba, makrofag dan sel lainnya mensekresi

sitokin untuk memperantarai reaksi selular pada imunitas non spesifik.

Sitokin merupakan protein yang mudah larut (soluble protein), yang

berfungsi untuk komunikasi antar leukosit dan antara leukosit dengan sel

lainnya. Sebagian besar dari sitokin itu disebut sebagai interleukin dengan

alasan molekul tersebut diproduksi oleh leukosit dan bekerja pada

leukosit (namun definisi ini terlalu sederhana karena sitokin juga

diproduksi dan bekerja pada sel lainnya). Pada imunitas non spesifik,

sumber utama sitokin adalah makrofag yang teraktivasi oleh mikroba.

Terikatnya LPS ke reseptornya di makrofag merupakan rangsangan kuat

untuk mensekresi sitokin. Sitokin juga diproduksi pada imunitas selular

dengan sumber utamanya adalah sel T helper (TH).

Sitokin diproduksi dalam jumlah kecil sebagai respons terhadap stimulus

eksternal (misalnya mikroba). Sitokin ini kemudian berikatan dengan

reseptor di sel target. Sebagian besar sitokin bekerja pada sel yang

memproduksinya (autokrin) atau pada sel di sekitarnya (parakrin). Pada

respons imun non spesifik, banyak makrofag akan teraktivasi dan

mensekresi sejumlah besar sitokin yang dapat bekerja jauh dari tempat

sekresinya (endokrin).

Sitokin pada imunitas non spesifik mempunyai bermacam-macam fungsi,

misalnya TNF, IL-1 dan kemokin berperan dalam penarikan neutrofil dan

monosit ke tempat infeksi. Pada konsentrasi tinggi, TNF menimbulkan

trombosis dan menurunkan tekanan darah sebagai akibat dari

kontraktilitas miokardium yang berkurang dan vasodilatasi. Infeksi bakteri

Gram negatif yang hebat dan luas dapat menyebabkan syok septik.

Manifestasi klinis dan patologis dari syok septik disebabkan oleh kadar

TNF yang sangat tinggi yang diproduksi oleh makrofag sebagai respons

terhadap LPS bakteri. Makrofag juga memproduksi IL-12 sebagai respons

terhadap LPS dan mikroba yang difagosit. Peran IL-12 adalah

mengaktivasi sel NK yang akan menghasilkan IFN-γ. Pada infeksi virus,

makrofag dan sel yang terinfeksi memproduksi interferon (IFN) tipe I.

Page 231: Sistem Imun Full

Interferon ini menghambat replikasi virus dan mencegah penyebaran

infeksi ke sel yang belum terkena.

Protein plasma lainnya pada imunitas non spesifik

Berbagai protein plasma diperlukan untuk membantu komplemen pada

pertahanan melawan infeksi. Mannose-binding lectin (MBL) di plasma

bekerja dengan cara mengenali karbohidrat pada glikoprotein permukaan

mikroba dan menyelubungi mikroba untuk mempermudah fagositosis,

atau mengaktivasi komplemen melalui jalurlectin. Protein MBL ini

termasuk dalam golongan protein collectin yang homolog dengan kolagen

serta mempunyai bagian pengikat karbohidrat (lectin). Surfaktan di paru-

paru juga tergolong dalam collectin dan berfungsi melindungi saluran

napas dari infeksi. C-reactive protein (CRP) terikat ke fosforilkolin di

mikroba dan menyelubungi mikroba tersebut untuk difagosit (melalui

reseptor CRP pada makrofag). Kadar berbagai protein plasma ini akan

meningkat cepat pada infeksi. Hal ini disebut sebagai respons fase akut

(acute phase response).

Cara kerja respons imun non spesifik dapat bervariasi tergantung dari

jenis mikroba. Bakteri ekstraselular dan jamur dimusnahkan oleh fagosit,

sistem komplemen, dan protein fase akut. Sedangkan pertahanan

terhadap bakteri intraselular dan virus diperantarai oleh fagosit dan sel

NK, serta sitokin sebagai sarana penghubung fagosit dan sel NK.

Penghindaran mikroba dari imunitas non spesifik

Mikroba patogen dapat mengubah diri menjadi resisten terhadap imunitas

non spesifik sehingga dapat memasuki sel pejamu. Beberapa bakteri

intraselular tidak dapat didestruksi di dalam fagosit. Lysteria

monocytogenes menghasilkan suatu protein yang membuatnya lepas dari

vesikel fagosit dan masuk ke sitoplasma sel fagosit. Dinding

selMycobacterium mengandung suatu lipid yang akan menghambat

penggabungan fagosom dengan lisosom. Berbagai mikroba lain

mempunyai dinding sel yang tahan terhadap komplemen. Mekanisme ini

digunakan juga oleh mikroba untuk melawan mekanisme efektor pada

imunitas selular dan humoral.

Peran imunitas non spesifik dalam menstimulasi respons imun

spesifik

Page 232: Sistem Imun Full

Selain mekanisme di atas, imunitas non spesifik berfungsi juga untuk

menstimulasi imunitas spesifik. Respons imun non spesifik menghasilkan

suatu molekul yang bersama-sama dengan antigen akan mengaktivasi

limfosit T dan B. Aktivasi limfosit yang spesifik terhadap suatu antigen

membutuhkan 2 sinyal; sinyal pertama adalah antigen itu sendiri,

sedangkan mikroba, respons imun non spesifik terhadap mikroba, dan sel

pejamu yang rusak akibat mikroba merupakan sinyal kedua. Adanya

“sinyal kedua” ini memastikan bahwa limfosit hanya berespons terhadap

agen infeksius, dan tidak berespons terhadap bahan-bahan non mikroba.

Pada vaksinasi, respons imun spesifik dapat dirangsang oleh antigen,

tanpa adanya mikroba. Dalam hal ini, pemberian antigen harus disertai

dengan bahan tertentu yang disebut adjuvant. Adjuvant akan merangsang

respons imun non spesifik seperti halnya mikroba. Sebagian besar

adjuvant yang poten merupakan produk dari mikroba.

Mikroba dan IFN-γ yang dihasilkan oleh sel NK akan merangsang sel

dendrit dan makrofag untuk memproduksi 2 jenis “sinyal kedua”

pengaktivasi limfosit T. Pertama, sel dendrit dan makrofag

mengekspresikan petanda permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-

stimulator ini berikatan dengan reseptor pada sel T naif, kemudian

bersama-sama dengan mekanisme pengenalan antigen akan

mengaktivasi sel T (lihat Gambar 4-2). Kedua, sel dendrit dan makrofag

mensekresi IL-12. Interleukin ini merangsang diferensiasi sel T naif

menjadi sel efektor pada imunitas selular .

Mikroba di dalam darah mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur

alternatif. Pada aktivasi komplemen, diproduksi C3d yang akan berikatan

dengan mikroba. Pada saat limfosit B mengenali antigen mikroba melalui

reseptornya, sel B juga mengenali C3d yang terikat pada mikroba melalui

reseptor terhadap C3d. Kombinasi pengenalan ini mengakibatkan

diferensiasi sel B menjadi sel plasma. Dalam hal ini, produk komplemen

berfungsi sebagai “sinyal kedua” pada respons imun humoral.

STRUKTUR IMUNOGLOBULINDiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

STRUKTUR IMUNOGLOBULIN

Page 233: Sistem Imun Full

Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang

terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua mamalia.

Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang mempunyai

struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan 4-18%

karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik molekul

antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi yaitu mengikat

antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi komplemen serta

pelepasan histamin dari sel mast. Pada manusia dikenal 5 kelas

imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai perbedaan sifat fisik, tetapi pada

semua kelas terdapat tempat ikatan antigen spesifik dan aktivitas biologik

berlainan. Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai

polipeptida yang tersusun dari rangkaian asam amino yang dikenal

sebagai rantai H (rantai berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L

(rantai ringan) dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar

imunoglobulin (satu unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua

rantai ini diikat oleh suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga

membentuk struktur yang simetris. Yang menarik dari susunan

imunoglobulin ini adalah penyusunan daerah simetris rangkaian asam

amino yang dikenal sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H

atau rantai L, yang terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh

ikatan disulfid interchain, sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan

oleh ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan

lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ), rantai A

(α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai mempunyai

Page 234: Sistem Imun Full

jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2 domain; sedang

rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan rantai M dan E masing-

masing 5 domain.

Struktur dasar imunoglobulin terdiri atas 2 rantai berat (H-chain) yang

identik dan 2 rantai rinngan (L-chain) yang juga identik. Setiap rantai

ringan terikat pada rantai berat melalui ikatan disulfida (S-S), demikian

pula rantai berat satu dengan yang lain diikat dengan ikatan S-S. Molekul

ini oleh enzim proteolitik papain dapat dipecah menjadi tiga fragmen,

yaitu 2 fragmen yang mempunyai susunan sama terdiri atas H-chain dan

L-chain, disebut fragmen Fab yang dibentuk oleh domain terminal-N, dan

1 fragmen yang hanya terdiri atas H-chain saja disebut fragmen Fc yang

dibentuk oleh domain terminal-C. Fragmen Fab dengan antigen binding

site, berfungsi mengikat antigen karena itu susunan asam amino di

bagian ini berbeda antara molekul imunoglobulin yang satu dengan yang

lain dan sangat variabel sesuai dengan variabilitas antigen yang

merangsang pembentukannya. Sebaliknya fragmen Fc merupakan

fragmen yang konstan. Fragmen ini tidak mempunyai kemampuan

mengikat antigen tetapi dapat bersifat sebagai antigen (determinan

antigen). Fragmen ini pulalah yang mempunyai fungsi efektor sekunder

dan menentukan sifat biologik imunoglobulin bersangkutan, misalnya

kemampuan imunoglobulin untuk melekat pada sel, fiksasi komplemen,

kemampuan imunoglobulin menembus plasenta, distribusi imunoglobulin

dalam tubuh dan lain-lain. Papain memecah imunoglobulin pada terminal

asam amino di tempat iakatan S-S yang mengikat kedua rantai H satu

dengan yang lain. Enzim proteolitik lain yaitu pepsin dapat memecah

molekul imunoglobulin dibelakang ikatan S-S. Pemecahan ini

mengakibatkan terbentuknya satu fragmen besar yang disebut F(ab’)2

yang mampu mengikat dan menggumpalkan antigen karena ia bersifat

bivalen dan dapat membentuklattice. Pepsin selanjutnya dapat memecah

fragmen Fc menjadi beberapa bagian kecil. Bagian molekul imunoglobulin

yang peka terhadap pemecahan oleh kedua enzim diatas disebut bagian

engsel (hinge region). Kedua bentuk imunoglobulin, yaitu sIg dan Ig yang

disekresikan hanya berbeda pada domain terminal-C: sIg memiliki bagian

transmembran dan bagian intrasitoplasmik yang pendek.

Polimerisasi imunoglobulin terjadi pada IgM (pentamer atau heksamer)

dan IgA (umumnya dimer). Polimerisasi kelas imunoglobulin ini

Page 235: Sistem Imun Full

bergantung pada rantai J (joining) dan banyaknya rantai J menentukan

proporsi molekul IgM pentamer dibanding IgM heksamer. Rantai J

membantu polimerisasi IgM dan IgA dengan cara ikat-silang disulfida pada

sesidu cysteine yang terdapat pada domain C-terminal molekul IgM dan

IgA yang disekresi

Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa fragmen.

Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu 2 fragmen

yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini mempunyai susunan

asam amino yang bervariasi sesuai dengan variabilitas antigen. Fab

memiliki satu tempat tempat pengikatan antigen (antigen binding

site) yang menentukan spesifisitas imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc

yang hanya mengandung bagian rantai H saja dan mempunyai susunan

asam amino yang tetap. Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi

memiliki sifat antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang

bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen, terikat

pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel mast dan

basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan kemampuan

menembus plasenta.

Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada gugusan

karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida

(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam

amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian

masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa

menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang

mempunyai 2 tempat pengikatan antigen .

Page 236: Sistem Imun Full

KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN

Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas

mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang

berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai

berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada

perbedaan antar kelas.

Page 237: Sistem Imun Full

Imunoglobulin G

IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2 rantai

berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai koefisien

sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada orang

normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.

Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai

perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya sebagai

berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-6%. Masa

paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang hanya

mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat komplemen

setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl > IgG2 > IgG4.

Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen dari jalur klasik (ikatan

C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi ikatan C1q pada molekul IgG

adalah pada domain CH2.

Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada fragmen Fc.

Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan memungkinkan makrofag

memfagosit antigen yang telah dibungkus antibodi (opsonisasi). Ikatan ini

terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3 pada lokasi domain CH3.

Page 238: Sistem Imun Full

Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai dengan

kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen asing. Kompleks

imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan reseptor Fc pada

sel killer memulai respons sitolitik (antibody dependent cell-mediated

cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada antibodi yang diliputi sel.

Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel limfosit pada reseptor Fc

pada trombosit akan menyebabkan reaksi dan agregasi trombosit.

Reseptor Fc memegang peranan pada transport IgG melalui sel plasenta

dari ibu ke sirkulasi janin.

Imunoglobulin M

Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah imunoglobulin,

dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul 850.000-l.000.000.

Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah karbohidrat. Antibodi

IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul pada respon imun terhadap

antigen dan antibodi yang utama pada golongan darah secara alami.

Gabungan antigen dengan satu molekul IgM cukup untuk memulai reaksi

kaskade komplemen.

IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH. Molekul

monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan disulfida pada

domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer dihubungkan satu

Page 239: Sistem Imun Full

dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya oleh protein J yang

berfungsi sebagai kunci.

Imunoglobulin A

IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA dalam

serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang 80% terdiri

dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan sisanya 20%

berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima monomer yang

dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan disulfida dan rantai

tunggal J (lihat Gambar 9-6). Polimer tersebut mempunyai koefisien

sedimentasi 10,13,15 S.

Sekretori IgA

Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling banyak

terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial, kolostrum/ASI, dan

urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal seperti cairan sinovial,

amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe IgA serum.

SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul

monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.

Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada

bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan

melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama pada

daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan antigen lokal,

dan telah dibuktikan dapat menghambat virus menembus mukosa.

Imunoglobulin D

Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat labil

terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat molekulnya

adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul 60.000 – 70.000 dan

l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD belum diketahui tetapi

merupakan imunoglobulin permukaan sel limfosit B bersama IgM dan

diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.

Page 240: Sistem Imun Full

Struktur Protein Antibodi Bermuka Dua

Dengan mengkombinasikan kristalografi sinar X dan prinsip – prinsip

kinetik larutan, sebuah tim biokimia telah membuktikan bahwa sebuah

antibodi dapat mengambil dua bentuk yang cukup berbeda satu sama

lain, sehingga memungkinkan antibodi tersebut mengikat 2 antigen yang

sama sekali berbeda. Kedua bentuk ini dapat ditemukan dalam larutan

yang sama, fakta yang mungkin dapat menjelaskan pertanyaan yang

sudah sekian lama tak terjawab mengenai bagaimana antibodi dapat

mengenali begitu banyak macam antigen secara selektif.

Penelitian ini dilaksanakan oleh rekan sejawat posdoktoral Leo C. James

dari Centre for Protein Engineering of the Medical Research Council

Centre, Cambridge, England; ilmuwan senior Dan S.Tawfik yang sekarang

berada di Weizmann Institute of Science di Rehovot, Israel; dan rekan

sekerja dari Cambridge , Pietro Roversi. Antibodi yang mereka pelajari

adalah monoclonal immunoglobulin yang biasanya mengikat molekul kecil

2,4-dinitrophenol. Seperti yang ditampilkan di struktur berwarna merah

muda, antigen diikat dalam sebuah lubang yang kecil dan dalam di dalam

antibodi. Tapi antibodi yang sama dapat pula mengikat antigen yang

ukuran molekulnya lebih besar seperti protein(hijau muda), seperti

ditunjukkan pada struktur biru muda, di mana protein melekatkan diri

pada bagian yang cukup luas dari lekukan yang dangkal pada permukaan

antibodi.

Para peneliti telah mengetahui bahwa antibodi yang sedang mengikat

antigen kadang mengambil bentuk yang berbeda dari bentuk awalnya

dalam larutan. Satu penjelasan yang memungkinkan ialah bahwa proses

pengikatan itu sendirilah yang menyebabkan perubahan struktur.

Page 241: Sistem Imun Full

Kemungkinan lain ialah isomerasi struktur dari sebuah antibodi terjadi

dalam larutan dan masing-masing dapat mengikat antigen yang

berbeda.Dengan mengikat antigen, struktur baru antibodi itu sendiri

menjadi stabil. Tim riset menemukan bahwa kedua efek ini dapat

ditemukan dalam antibodi yang mereka teliti : antibodi tersebut

mengambil dua bentuk yang berbeda secara bergantian, dan mengalami

perubahan bentuk lebih lanjut segera setelah mengikat antigen.

IMUNOLOGI DASAR : RESPONS IMUNDiposting pada Februari 1, 2012 oleh Indonesia Medicine 3 komentar

Sistem kekebalan atau immune system adalah sistem pertahanan

manusia sebagai perlindungan terhadap infeksi dari

makromolekul asing atau serangan organisme, termasuk virus,

bakteri, protozoa dan parasit. Sistem kekebalan juga berperan

dalam perlawanan terhadap protein tubuh dan molekul lain

seperti yang terjadi pada autoimunitas, dan melawan sel yang

teraberasi menjadi tumor.

Respons imun adalah respons tubuh berupa suatu urutan kejadian yang

kompleks terhadap antigen, untuk mengeliminasi antigen tersebut.

Respons imun ini dapat melibatkan berbagai macam sel dan protein,

terutama sel makrofag, sel limfosit, komplemen, dan sitokin yang saling

berinteraksi secara kompleks. Mekanisme pertahanan tubuh terdiri atas

mekanisme pertahanan non spesifik dan mekanisme pertahanan spesifik.

Mekanisme pertahanan non spesifik disebut juga komponen nonadaptif

atau innate, atau imunitas alamiah, artinya mekanisme pertahanan yang

tidak ditujukan hanya untuk satu jenis antigen, tetapi untuk berbagai

macam antigen. Imunitas alamiah sudah ada sejak bayi lahir dan terdiri

atas berbagai macam elemen non spesifik. Jadi bukan merupakan

pertahanan khusus untuk antigen tertentu.

Kemampuan sistem kekebalan untuk membedakan komponen sel tubuh

dari komponen patogen asing akan menopang amanat yang diembannya

guna merespon infeksi patogen – baik yang berkembang biak di dalam sel

tubuh (intraselular) seperti misalnya virus, maupun yang berkembang

biak di luar sel tubuh (ekstraselular) – sebelum berkembang menjadi

penyakit.

Page 242: Sistem Imun Full

Meskipun demikian, sistem kekebalan mempunyai sisi yang kurang

menguntungkan. Pada proses peradangan, penderita dapat merasa tidak

nyaman oleh karena efek samping yang dapat ditimbulkan sifat toksik

senyawa organik yang dikeluarkan sepanjang proses perlawanan

berlangsung.

Barikade awal pertahanan terhadap organisme asing adalah jaringan

terluar dari tubuh yaitu kulit, yang memiliki banyak sel termasuk

makrofaga dan neutrofil yang siap melumat organisme lain pada saat

terjadi penetrasi pada permukaan kulit, dengan tidak dilengkapi oleh

antibodi. Barikade yang kedua adalah kekebalan tiruan.

Walaupun sistem pada kedua barikade mempunyai fungsi yang sama,

terdapat beberapa perbedaan yang mencolok, antara lain :

sistem kekebalan tiruan tidak dapat terpicu secepat sistem

kekebalan turunan

sistem kekebalan tiruan hanya merespon imunogen tertentu,

sedangkan sistem yang lain merespon nyaris seluruh antigen.

sistem kekebalan tiruan menunjukkan kemampuan untuk

“mengingat” imunogen penyebab infeksi dan reaksi yang lebih cepat

saat terpapar lagi dengan infeksi yang sama. Sistem kekebalan

turunan tidak menunjukkan bakat immunological memory.

Semua sel yang terlibat dalam sistem kekebalan berasal dari sumsum

tulang. Sel punca progenitor mieloid berkembang menjadi eritrosit, keping

darah, neutrofil, monosit. Sementara sel punca yang lain progenitor

limfoid merupakan prekursor dari sel T, sel NK, sel B.

Page 243: Sistem Imun Full

Mekanisme pertahanan tubuh spesifik atau disebut juga komponen

adaptif  atau imunitas didapat adalah mekanisme pertahanan yang

ditujukan khusus terhadap satu jenis antigen, karena itu tidak dapat

berperan terhadap antigen jenis lain. Bedanya dengan pertahanan tubuh

non spesifik adalah bahwa pertahanan tubuh spesifik harus kontak atau

ditimbulkan terlebih dahulu oleh antigen tertentu, baru ia akan terbentuk.

Sedangkan pertahanan tubuh non spesifik sudah ada sebelum ia kontak

dengan antigen.

Mekanisme Pertahanan Non Spesifik

Dilihat dari caranya diperoleh, mekanisme pertahanan non spesifik

disebut juga respons imun alamiah. Yang merupakan mekanisme

pertahanan non spesifik tubuh kita adalah kulit dengan kelenjarnya,

lapisan mukosa dengan enzimnya, serta kelenjar lain dengan enzimnya

seperti kelenjar air mata. Demikian pula sel fagosit (sel makrofag,

monosit, polimorfonuklear) dan komplemen merupakan komponen

mekanisme pertahanan non spesifik.

Permukaan tubuh, mukosa dan kulit

Permukaan tubuh merupakan pertahanan pertama terhadap penetrasi

mikroorganisme. Bila penetrasi mikroorganisme terjadi juga, maka

Page 244: Sistem Imun Full

mikroorganisme yang masuk akan berjumpa dengan pelbagai elemen lain

dari sistem imunitas alamiah.

Kelenjar dengan enzim dan silia yang ada pada mukosa dan kulit

Produk kelenjar menghambat penetrasi mikroorganisme, demikian pula

silia pada mukosa. Enzim seperti lisozim dapat pula merusak dinding sel

mikroorganisme.

Komplemen dan makrofag

Jalur alternatif komplemen dapat diaktivasi oleh berbagai macam bakteri

secara langsung sehingga eliminasi terjadi melalui proses lisis atau

fagositosis oleh makrofag atau leukosit yang distimulasi oleh opsonin dan

zat kemotaktik, karena sel-sel ini mempunyai reseptor untuk komponen

komplemen (C3b) dan reseptor kemotaktik. Zat kemotaktik akan

memanggil sel monosit dan polimorfonuklear ke tempat mikroorganisme

dan memfagositnya.

Protein fase akut

Protein fase akut adalah protein plasma yang dibentuk tubuh akibat

adanya kerusakan jaringan. Hati merupakan tempat utama sintesis

protein fase akut. C-reactive protein(CRP) merupakan salah satu protein

fase akut. Dinamakan CRP oleh karena pertama kali protein khas ini

dikenal karena sifatnya yang dapat mengikat protein C dari pneumokok.

Interaksi CRP ini juga akan mengaktivasi komplemen jalur alternatif yang

akan melisis antigen.

Sel ‘natural killer’ (NK) dan interferon

Sel NK adalah sel limfosit yang dapat membunuh sel yang dihuni virus

atau sel tumor. Interferon adalah zat yang diproduksi oleh sel leukosit dan

sel yang terinfeksi virus, yang bersifat dapat menghambat replikasi virus

di dalam sel dan meningkatkan aktivasi sel NK.

Mekanisme Pertahanan Spesifik

Bila pertahanan non spesifik belum dapat mengatasi invasi

mikroorganisme maka imunitas spesifik akan terangsang. Mekanisme

pertahanan spesifik adalah mekanisme pertahanan yang diperankan oleh

sel limfosit, dengan atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya

Page 245: Sistem Imun Full

seperti sel makrofag dan komplemen. Dilihat dari caranya diperoleh maka

mekanisme pertahanan spesifik disebut juga respons imun didapat.

Imunitas spesifik hanya ditujukan terhadap antigen tertentu yaitu antigen

yang merupakan ligannya. Di samping itu, respons imun spesifik juga

menimbulkan memori imunologis yang akan cepat bereaksi bila host

terpajan lagi dengan antigen yang sama di kemudian hari. Pada imunitas

didapat, akan terbentuk antibodi dan limfosit efektor yang spesifik

terhadap antigen yang merangsangnya, sehingga terjadi eliminasi

antigen.

Sel yang berperan dalam imunitas didapat ini adalah sel yang

mempresentasikan antigen (APC = antigen presenting cell = makrofag)

sel limfosit T dan sel limfosit B. Sel limfosit T dan limfosit B masing-masing

berperan pada imunitas selular dan imunitas humoral. Sel limfosit T akan

meregulasi respons imun dan melisis sel target yang dihuni antigen. Sel

limfosit B akan berdiferensiasi menjadi sel plasma dan memproduksi

antibodi yang akan menetralkan atau meningkatkan fagositosis antigen

dan lisis antigen oleh komplemen, serta meningkatkan sitotoksisitas sel

yang mengandung antigen yang dinamakan proses antibody dependent

cell mediated cytotoxicy (ADCC).

Imunitas selular

Imunitas selular adalah imunitas yang diperankan oleh limfosit T dengan

atau tanpa bantuan komponen sistem imun lainnya. Limfosit T adalah

limfosit yang berasal dari sel pluripotensial yang pada embrio terdapat

pada yolk sac; kemudian pada hati dan limpa, lalu pada sumsum tulang.

Dalam perkembangannya sel pluripotensial yang akan menjadi limfosit T

memerlukan lingkungan timus untuk menjadi limfosit T matur.

Di dalam timus, sel prekusor limfosit T akan mengekspresikan molekul

tertentu pada permukaan membrannya yang akan menjadi ciri limfosit T.

Molekul-molekul pada permukaan membran ini dinamakan juga petanda

permukaan atau surface marker, dan dapat dideteksi oleh antibodi

monoklonal yang oleh WHO diberi nama dengan huruf CD, artinya cluster

of differentiation. Secara garis besar, limfosit T yang meninggalkan timus

dan masuk ke darah perifer (limfosit T matur) terdiri atas limfosit T

dengan petanda permukaan molekul CD4 dan limfosit T dengan petanda

permukaan molekul CD8. Sel limfosit CD4 sering juga dinamakan sel T4

Page 246: Sistem Imun Full

dan sel limfosit CD8 dinamakan sel T8 (bila antibodi monoklonal yang

dipakai adalah keluaran Coulter Elektronics).

Di samping munculnya petanda permukaan, di dalam timus juga terjadi

penataan kembali gen (gene rearrangement) untuk nantinya dapat

memproduksi molekul yang merupakan reseptor antigen dari sel limfosit T

(TCR). Jadi pada waktu meninggalkan timus, setiap limfosit T sudah

memperlihatkan reseptor terhadap antigen diri (self antigen) biasanya

mengalami aborsi dalam timus sehingga umumnya limfosit yang keluar

dari timus tidak bereaksi terhadap antigen diri.

Secara fungsional, sel limfosit T dibagi atas limfosit T regulator dan

limfosit T efektor. Limfosit T regulator terdiri atas limfosit T penolong (Th

= CD4) yang akan menolong meningkatkan aktivasi sel imunokompeten

lainnya, dan limfosit T penekan (Ts = CD8) yang akan menekan aktivasi

sel imunokompeten lainnya bila antigen mulai tereliminasi. Sedangkan

limfosit T efektor terdiri atas limfosit T sitotoksik (Tc = CD8) yang melisis

sel target, dan limfosit T yang berperan pada hipersensitivitas lambat (Td

= CD4) yang merekrut sel radang ke tempat antigen berada.

Pajanan antigen pada sel T

Umumnya antigen bersifat tergantung pada sel T (TD = T dependent

antigen), artinya antigen akan mengaktifkan sel imunokompeten bila sel

ini mendapat bantuan dari sel Th melalui zat yang dilepaskan oleh sel Th

Page 247: Sistem Imun Full

aktif. TD adalah antigen yang kompleks seperti bakteri, virus dan antigen

yang bersifat hapten. Sedangkan antigen yang tidak tergantung pada sel

T (TI = T independent antigen) adalah antigen yang strukturnya

sederhana dan berulang-ulang, biasanya bermolekul besar.

Limfosit Th umumnya baru mengenal antigen bila dipresentasikan

bersama molekul produk MHC (major histocompatibility complex) kelas II

yaitu molekul yang antara lain terdapat pada membran sel makrofag.

Setelah diproses oleh makrofag, antigen akan dipresentasikan bersama

molekul kelas II MHC kepada sel Th sehingga terjadi ikatan antara TCR

dengan antigen. Ikatan tersebut terjadi sedemikian rupa dan

menimbulkan aktivasi enzim dalam sel limfosit T sehingga terjadi

transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Th aktif dan sel

Tc memori. Sel Th aktif ini dapat merangsang sel Tc untuk mengenal

antigen dan mengalami transformasi blast, proliferasi, dan diferensiasi

menjadi sel Tc memori dan sel Tc aktif yang melisis sel target yang telah

dihuni antigen. Sel Tc akan mengenal antigen pada sel target bila

berasosiasi dengan molekul MHC kelas I (lihat Gambar 3-2). Sel Th aktif

juga dapat merangsang sel Td untuk mengalami transformasi blast,

proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel Td memori dan sel Td aktif yang

melepaskan limfokin yang dapat merekrut makrofag ke tempat antigen.

Limfokin

Limfokin akan mengaktifkan makrofag dengan menginduksi pembentukan

reseptor Fc dan C3B pada permukaan makrofag sehingga mempermudah

melihat antigen yang telah berikatan dengan antibodi atau komplemen,

dan dengan sendirinya mempermudah fagositosis. Selain itu limfokin

merangsang produksi dan sekresi berbagai enzim serta metabolit oksigen

yang bersifat bakterisid atau sitotoksik terhadap antigen (bakteri, parasit,

dan lain-lain) sehingga meningkatkan daya penghancuran antigen oleh

makrofag.

Aktivitas lain untuk eliminasi antigen

Bila antigen belum dapat dilenyapkan maka makrofag dirangsang untuk

melepaskan faktor fibrogenik dan terjadi pembentukan jaringan

granuloma serta fibrosis, sehingga penyebaran dapat dibatasi.

Page 248: Sistem Imun Full

Sel Th aktif juga akan merangsang sel B untuk berproliferasi dan

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi (lihat bab

tentang imunitas humoral). Sebagai hasil akhir aktivasi ini adalah

eliminasi antigen. Selain eliminasi antigen, pemajanan ini juga

menimbulkan sel memori yang kelak bila terpajan lagi dengan antigen

serupa akan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi.

Imunitas humoral

Imunitas humoral adalah imunitas yang diperankan oleh sel limfosit B

dengan atau tanpa bantuan sel imunokompeten lainnya. Tugas sel B akan

dilaksanakan oleh imunoglobulin yang disekresi oleh sel plasma. Terdapat

lima kelas imunoglobulin yang kita kenal, yaitu IgM, IgG, IgA, IgD, dan IgE.

Limfosit B juga berasal dari sel pluripotensial yang perkembangannya

pada mamalia dipengaruhi oleh lingkungan bursa fabricius dan pada

manusia oleh lingkungan hati, sumsum tulang dan lingkungan yang

dinamakan gut-associated lymphoid tissue (GALT). Dalam perkembangan

ini terjadi penataan kembali gen yang produknya merupakan reseptor

antigen pada permukaan membran. Pada sel B ini reseptor antigen

merupakan imunoglobulin permukaan (surface immunoglobulin). Pada

mulanya imunoglobulin permukaan ini adalah kelas IgM, dan pada

perkembangan selanjutnya sel B juga memperlihatkan IgG, IgA dan IgD

pada membrannya dengan bagian F(ab) yang serupa. Perkembangan ini

tidak perlu rangsangan antigen hingga semua sel B matur mempunyai

reseptor antigen tertentu.

Pajanan antigen pada sel B

Antigen akan berikatan dengan imunoglobulin permukaan sel B dan

dengan bantuan sel Th (bagi antigen TD) akan terjadi aktivasi enzim

dalam sel B sedemikian rupa hingga terjadilah transformasi blast,

proliferasi, dan diferensiasi menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi

dan membentuk sel B memori. Selain itu, antigen TI dapat secara

langsung mengaktivasi sel B tanpa bantuan sel Th.

Antibodi yang disekresi dapat menetralkan antigen sehingga

infektivitasnya hilang, atau berikatan dengan antigen sehingga lebih

mudah difagosit oleh makrofag dalam proses yang dinamakan opsonisasi.

Kadang fagositosis dapat pula dibantu dengan melibatkan komplemen

Page 249: Sistem Imun Full

yang akan berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga adhesi kompleks

antigen-antibodi pada sel makrofag lebih erat, dan terjadi endositosis

serta penghancuran antigen oleh makrofag. Adhesi kompleks antigen-

antibodi komplemen dapat lebih erat karena makrofag selain mempunyai

reseptor Fc juga mempunyai reseptor C3B yang merupakan hasil aktivasi

komplemen.

Selain itu, ikatan antibodi dengan antigen juga mempermudah lisis oleh

sel Tc yang mempunyai reseptor Fc pada permukaannya. Peristiwa ini

disebut antibody-dependent cellular mediated cytotoxicity (ADCC). Lisis

antigen dapat pula terjadi karena aktivasi komplemen. Komplemen

berikatan dengan bagian Fc antibodi sehingga terjadi aktivasi komplemen

yang menyebabkan terjadinya lisis antigen.

Hasil akhir aktivasi sel B adalah eliminasi antigen dan pembentukan sel

memori yang kelak bila terpapar lagi dengan antigen serupa akan cepat

berproliferasi dan berdiferensiasi. Hal inilah yang diharapkan pada

imunisasi. Walaupun sel plasma yang terbentuk tidak berumur panjang,

kadar antibodi spesifik yang cukup tinggi mencapai kadar protektif dan

berlangsung dalam waktu cukup lama dapat diperoleh dengan vaksinasi

tertentu atau infeksi alamiah. Hal ini disebabkan karena adanya antigen

yang tersimpan dalam sel dendrit dalam kelenjar limfe yang akan

dipresentasikan pada sel memori sewaktu-waktu di kemudian hari.

REGULASI RESPONS IMUN

Setelah antigen dapat dieliminasi, maka agar tidak terjadi aktivasi sistem

imun yang tak terkendali, maka diperlukan adanya regulasi respons imun.

Ada 3 macam mekanisme tubuh untuk meregulasi respons imun yang

sudah terjadi.

Regulasi oleh antibodi yang terbentuk

Antibodi yang terbentuk akibat paparan antigen dapat mempengaruhi

produksi antibodi selanjutnya. Pada waktu kadar antibodi masih rendah,

yaitu pada waktu tahap respons permulaan, antibodi yang terbentuk akan

merangsang sel B yang mempunyai kapasitas memproduksi antibodi

dengan afinitas tinggi. Jadi antibodi yang baru terbentuk merupakan

faktor penting untuk mendorong proses maturasi afinitas. Hal ini terjadi

Page 250: Sistem Imun Full

karena antibodi yang terbentuk akan berkompetisi dengan reseptor

antigen pada sel B untuk mengikat antigen, sehingga yang terangsang

adalah sel B yang mempunyai daya ikat tinggi terhadap antigen atau

berafinitas tinggi, karena itu antibodi yang dihasilkan juga berafinitas

tinggi.

Adanya efek antibodi seperti tersebut dipengaruhi oleh tipe isotip

antibodi. Umumnya IgM mempunyai tendensi untuk meningkatkan

produksi antibodi, tetapi IgG lebih sering bersifat supresif. Di samping itu,

pada tahap respons permulaan, pada saat rasio antigen masih lebih besar

daripada antibodi, maka adanya antibodi akan mempermudah kompleks

Ag-Ab terfiksasi pada sel makrofag melalui reseptor Fc, hingga dapat

dipresentasikan pada sel Th yang kemudian merangsang sel B

membentuk antibodi. Jadi pada permulaan terjadi peningkatan jumlah

maupun afinitas antibodi. Tetapi bila antibodi sudah ada dalam

konsentrasi tinggi, yaitu setelah mencapai jumlah cukup untuk

menetralkan antigen yang ada, antibodi akan merupakan umpan balik

negatif agar tidak terbentuk antibodi yang sama lebih lanjut. Hal ini terjadi

karena dengan terikatnya bagian F(ab)2 antibodi pada epitop antigen

maka reseptor antigen pada sel B tidak akan terangsang lagi oleh epitop

antigen tersebut, sehingga tidak terjadi aktivasi dan priming sel B

terhambat (lihat Gambar 3-3).

Di samping itu, antibodi yang bertambah dapat pula merupakan umpan

balik negatif melalui bagian Fc-nya. Sel B selain mempunyai reseptor

antigen juga mempunyai reseptor Fc. Dengan terikatnya antibodi pada

reseptor Fc sel B, maka epitop antigen yang terikat pada reseptor antigen

pada sel B tidak dapat mengadakan bridging oleh karena adanya

gabungan silang antara reseptor antigen dan reseptor Fc, sehingga tidak

terjadi aktivasi sel B (lihat Gambar 3-4). Tidak adanya bridging antara

suatu reseptor antigen dengan reseptor antigen lainnya pada sel B

mengakibatkan tidak terjadinya aktivasi enzim, sehingga sel B tidak

terangsang untuk mengalami transformasi blast, berproliferasi dan

berdiferensiasi, dan akibatnya pembentukan antibodi makin lama makin

berkurang.

Regulasi idiotip spesifik

Page 251: Sistem Imun Full

Akibat stimulasi antigen terhadap sel B akan terbentuk antibodi yang

makin lama makin bertambah. Pada kadar tertentu, idiotip dari antibodi

tersebut akan bertindak sebagai stimulus imunogenik yang

mengakibatkan terbentuknya anti-idiotip. Dasar reaksi ini sebenarnya

belum jelas karena merupakan kontradiksi dari self tolerance. Tetapi fakta

memang membuktikan adanya limfosit yang dapat mengenal dan

bereaksi dengan idiotip antibodi, karena ada limfosit yang mempunyai

reseptor untuk idiotip ini. Anti-idiotip yang terbentuk juga mempunyai

idiotip hingga akan merangsang terbentuknya anti-idiotip, dan

seterusnya.

Pada binatang adanya anti-idiotip ini terlihat pada waktu fase respons

imun mulai menurun. Anti-idiotip yang terbentuk dengan sendirinya mirip

antigen asal, karena itu dinamakan internal image dari antigen asal.

Tetapi adanya antibodi anti-idiotip ini pada respons imun yang normal

tidak akan merangsang kembali terjadinya antibodi terhadap antigen asal.

Terbentuknya anti-idiotip berturut-turut mengakibatkan jumlah antibodi

makin lama makin berkurang. Dapat dipersamakan seperti batu yang

jatuh ke dalam  ir  dan  menimbulkan  gelembung  air  yang  makin lama

makin menghilang. Regulasi melalui pembentukan anti-idiotip adalah

regulasi untuk menurunkan respons imun (down regulation) yang dikenal

sebagai jaringan imunoregulator dari Jerne (1974).

Regulasi oleh sel T supresor (Ts)

Dalam tubuh kita terdapat limfosit yang dapat meregulasi limfosit lainnya

untuk meningkatkan fungsinya yang dinamakan sel T helper (Th = CD4).

Selain itu terdapat juga limfosit yang menekan respons imun yang terjadi

secara spesifik yang dinamakan sel T supresor (Ts = CD8). Sel Ts dapat

juga diaktifkan pada respons imun normal dengan tujuan mencegah

respons imun yang tak terkendali. Bagaimana cara sel Ts melakukan

tugasnya belumlah jelas, tetapi secara in vitro dapat diketahui bahwa

pada aktivasi sel Ts akan dilepaskan faktor spesifik yang akan menekan

respons imun yang sedang berlangsung.

Sel Ts dapat diaktifkan melalui tiga cara, yaitu 1) oleh antigen yang

merangsang respons imun itu sendiri. Antigen merangsang CD4 yang

2H4+ 4B4- untuk mengeluarkan faktor supresi antigen spesifik yang akan

merangsang sel Ts untuk menekan sel efektor, 2) oleh antigen yang

mengadakan bridging antara sel Ts dengan sel limfosit lainnya, seperti sel

Page 252: Sistem Imun Full

B dan sel Th, sehingga Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th, 3) oleh sel B

atau sel Th yang mempunyai reseptor idiotip dari idiotip sel Ts, sehingga

sel Ts menekan aktivasi sel B dan sel Th.

Sistem kekebalan dipengaruhi oleh modulasi beberapa hormon

neuroendokrin.

Modulasi respon kekebalan oleh hormon neuroendokrin

Hormon Pencerap Efek modulasi

ACTHSel B dan Sel T, pada tikus

sintesis antibodi produksi IFN-gamma perkembangan limfosit-B

Endorfin limpa sintesis antibodi mitogenesis aktivitas sel NK

TSH

Neutrofil, Monosit, sel B

meningkatkan laju sintesis antibodi bersifat komitogenis dengan ConA

GHPBL, timus, limpa sel T CD8 mitogenesis

LH dan FSH proliferasi produksi sitokina

PRLsel B dan sel T

bersifat komitogenis dengan ConA menginduksi pencerap IL-2

CRF PBLProduksi IL-1 meningkatkan aktivitas sel NK bersifat imunosupresif

TRHLintasan sel T meningkatkan sintesis antibodi

GHRHPBL dan limpa menstimulasi proliferasi

SOM PBL

menghambat aktivitas sel NK menghambat respon kemotaktis menghambat proliferasi menurunkan produksi IFN-gamma

Sistem kekebalan pada makhluk lainPerlindungan di prokariota

Bakteri memiliki mekanisme pertahanan yang unik, yang disebut sistem

modifikasi restriksi untuk melindungi mereka dari patogen seperti

bateriofag. Pada sistem ini, bakteri memproduksi enzim yang disebut

endonuklease restriksi, yang menyerang dan menghancurkan wilayah

Page 253: Sistem Imun Full

spesifik dari DNA viral bakteriofag. Endonuklease restriksi dan sistem

modifikasi restriksi hanya ada di prokariota.

Perlindungan di invertebrataInvertebrata tidak memiliki limfosit atau antibodi berbasis sistem imun

humoral. Namun invertebrata memiliki mekanisme yang menjadi

pendahulu dari sistem imun vertebrata. Reseptor pengenal pola (pattern

recognition receptor) adalah protein yang digunakan di hampir semua

organisme untuk mengidentifikasi molekul yang berasosiasi dengan

patogen mikrobial. Sistem komplemen adalah lembah arus biokimia dari

sistem imun yang membantu membersihkan patogen dari organisme, dan

terdapat di hampir seluruh bentuk kehidupan. Beberapa invertebrata,

termasuk berbagai jenis serangga, kepiting, dan cacing memiliki bentuk

respon komplemen yang telah dimodifikasi yang dikenal dengan nama

sistem prophenoloksidase.

Peptida antimikrobial adalah komponen yang telah berkembang dan

masih bertahan pada respon imun turunan yang ditemukan di seluruh

bentuk kehidupan dan mewakili bentuk utama dari sistem imunitas

invertebrata. Beberapa spesies serangga memproduksi peptida

antimikrobial yang dikenal dengan nama defensin dan cecropin.

Perlindungan di tanaman

Anggota dari seluruh kelas patogen yang menginfeksi manusia juga

menginfeksi tanaman. Meski spesies patogenik bervariasi pada spesies

terinfeksi, bakteri, jamur, virus, nematoda, dan serangga bisa

menyebabkan penyakit tanaman. Seperti binatang, tanaman diserang

serangga dan patogen lain yang memiliki respon metabolik kompleks

yang memicu bentuk perlindungan melawan komponen kimia yang

melawan infeksi atau membuat tanaman kurang menarik bagi serangga

dan herbivora lainnya.

Seperti invertebrata, tanaman tidak menghasilkan antibodi, respon sel T,

ataupun membuat sel yang bergerak yang mendeteksi keberadaan

patogen. Pada saat terinfeksi, bagian-bagian tanaman dibentuk agar

dapat dibuang dan digantikan, ini adalah cara yang hanya sedikit hewan

Page 254: Sistem Imun Full

mampu melakukannya. Membentuk dinding atau memisahkan bagian

tanaman membantu menghentikan penyebaran infeksi.

Kebanyakan respon imun tanaman melibatkan sinyal kimia sistemik yang

dikirim melalui tanaman. Tanaman menggunakan reseptor pengenal pola

untuk mengidentifikasi patogen dan memulai respon basal yang

memproduksi sinyal kimia yang membantu menjaga dari infeksi. Ketika

bagian tanaman mulai terinfeksi oleh patogen mikrobial atau patogen

viral, tanaman memproduksi respon hipersensitif terlokalisasi, yang lalu

membuat sel di sekitar area terinfeksi membunuh dirinya sendiri untuk

mencegah penyebaran penyakit ke bagian tanaman lainnya. Respon

hipersensitif memiliki kesamaan dengan pirotopsis pada hewan.

IMUNOLOGI DASAR : IMUNOLOGI HUMORALDiposting pada Mei 1, 2011 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Respon imun humoral (HIR) adalah aspek imunitas yang dimediasi oleh

disekresikan antibodi (sebagai lawan imunitas diperantarai sel , yang

melibatkan limfosit T ) yang diproduksi dalam sel-sel B limfosit garis

keturunan ( sel B ). B Cells (with co-stimulation) berubah menjadi sel

plasma yang mensekresi antibodi. The co-stimulation sel B dapat berasal

dari sel lain antigen menyajikan, seperti sel dendritik . Seluruh proses ini

dibantu oleh CD4 + T-helper 2 sel, yang menyediakan co-stimulasi.

Antibodi disekresikan mengikat antigen pada permukaan mikroba seperti

virus atau bakteri

Studi tentang komponen molekuler dan seluler yang terdiri dari sistem

kekebalan tubuh , termasuk fungsi dan interaksi . Sistem kekebalan tubuh

dibagi menjadi  primitive innate immune system, dan acquired atau

adaptive immune sistem vertebra, masing-masingmengandung komponen

humoral dan selualar.

Kekebalan humoral mengacu pada produksi antibodi dan proses aksesori

yang menyertainya, termasuk: Th2 aktivasi dan produksi sitokin, pusat

germinal pembentukan isotipe switching, pematangan afinitas dan

memori sel generasi.  Hal ini juga mengacu pada efektor fungsi antibodi,

yang mencakup netralisasi patogen dan racun, classical complement

activation, and opsonin phagocytosis dan eliminasi patogen

Page 255: Sistem Imun Full

SEL LlMFOSIT B

Progenitor sel limfosit B adalah sel stem hematopoietik pluripoten.

Dinamakan pluripoten karena sel ini juga merupakan progenitor sel

hematopoietik lainnya, seperti sel polimorfonuklear, sel monosit dan

sel makrofag.

Pada masa embrio sel ini ditemukan pada yolk sac, yang kemudian

bermigrasi ke hati, limpa dan sumsum tulang. Setelah bayi lahir, sel

asal (stem cell) hanya ditemukan pada sumsum tulang. Dinamakan

limfosit B karena tempat perkembangan utamanya pada burung

adalah bursa fabricius, sedangkan pada manusia tempat

perkembangan utamanya adalah sumsum tulang.

Sel pertama yang dapat dikenal sebagai prekursor (pendahulu) sel

limfosit B adalah sel yang sitoplasmanya mengandung rantai berat µ,

terdiri atas bagian variabel V dan bagian konstan C tanpa rantai

ringan L, dan tanpa imunoglobulin pada permukaannya. Sel ini

dinamakan sel pro-limfosit B. Selain rantai µ, sel pro-limfosit B juga

memperlihatkan molekul lain pada permukaannya, antara lain antigen

Page 256: Sistem Imun Full

HLA-DR, reseptor komplemen C3b dan reseptor virus Epstein-Barr

(EBV). Pada manusia sel pro-limfosit B sudah dapat ditemukan di hati

fetus pada masa gestasi minggu ke-7 dan ke-8.

Sel pro-limfosit B ini berkembang menjadi sel limfosit B imatur. Pada

tahap ini sel limfosit B imatur telah dapat membentuk rantai ringan L

imunoglobulin sehingga mempunyai petanda imunoglobulin pada

permukaan membran sel yang berfungsi sebagai reseptor antigen.

Bila sel limfosit B sudah memperlihatkan petanda rantai berat H dan

rantai ringan L yang lengkap, maka sel ini tidak akan dapat

memproduksi rantai berat H dan rantai ringan L lain yang

mengandung bagian variabel (bagian yang berikatan dengan antigen)

yang berbeda. Jadi setiap sel limfosit B hanya memproduksi satu

macam bagian variabel dari imunoglobulin. lni berarti imunoglobulin

yang dibentuk hanya ditujukan terhadap satu determinan antigenik

saja. Sel B imatur mempunyai sifat yang unik. Jika sel ini terpajan

dengan ligannya (pasangan kontra imunoglobulin yang ada pada

permukaan membran sel), sel ini tidak akan terstimulasi, bahkan

mengalami proses yang dinamakan apoptosis sehingga sel menjadi

mati (programmed cell death). Jika ligannya itu adalah antigen diri

Page 257: Sistem Imun Full

(self antigen), maka sel yang bereaksi terhadap antigen diri akan

mengalami apoptosis sehingga tubuh menjadi toleran terhadap

antigen diri. Hal ini terjadi pada masa perkembangan di sumsum

tulang. Oleh karena itu, sel limfosit B yang keluar dari sumsum tulang

merupakan sel limfosit B yang hanya bereaksi terhadap antigen asing.

Kemudian sel limfosit B imatur yang telah memperlihatkan

imunoglobulin lengkap pada permukaannya akan keluar dari sumsum

tulang dan masuk ke dalam sirkulasi perifer serta bermigrasi ke

jaringan limfoid untuk terus berkembang menjadi sel matur. Sel B ini

memperlihatkan petanda imunoglobulin IgM dan IgD dengan bagian

variabel yang sama pada permukaan membran sel dan dinamakan sel

B matur.

Perkembangan dari sel asal (stem cell) sampai menjadi sel B matur

tidak memerlukan stimulasi antigen, tetapi terjadi di bawah pengaruh

lingkungan mikro dan genetik. Tahap perkembangan ini dinamakan

tahapan generasi keragaman klon(clone diversity), yaitu klon yang

mempunyai imunoglobulin permukaan dengan daya ikat terhadap

determinan antigen tertentu.

Tahap selanjutnya memerlukan stimulasi antigen, yang dinamakan

tahapan respons imun. Setelah distimulasi oleh antigen, maka sel B

matur akan menjadi aktif dan dinamakan sel B aktif. Sel B aktif

kemudian akan berubah menjadi sel blast dan berproliferasi serta

berdiferensiasi menjadi sel plasma yang akan memproduksi

imunoglobulin.

Beberapa progeni sel B aktif tersebut akan mulai mensekresi

imunoglobulin kelas lain seperti IgG, IgA, dan IgE dengan bagian

variabel yang sama yang dinamakan alih isotip atau alih kelas rantai

berat (isotype switching).

Beberapa progeni sel B aktif lainnya ada yang tidak mensekresi

imunoglobulin melainkan tetap sebagai sel B yang memperlihatkan

petanda imunoglobulin pada permukaannya dan dinamakan sel B

memori. Μ

Sel B memori ini mengandung imunoglobulin yang afinitasnya lebih

tinggi. Maturasi afinitas ini diperoleh melalui mutasi somatik. Sel B

matur yang tidak distimulasi, jadi yang tidak menemukan ligannya,

akan mati dengan waktu paruh 3-4 hari. Sedangkan sel B memori

Page 258: Sistem Imun Full

akan bertahan hidup lebih lama berminggu-minggu sampai berbulan-

bulan tanpa stimulasi antigen. Sel B memori ini akan beresirkulasi

secara aktif melalui pembuluh darah, pembuluh limfe, dan kelenjar

limfe. Bila antigen dapat lama disimpan oleh sel dendrit di kelenjar

limfe, maka sel dendrit ini pada suatu waktu akan mengekspresikan

antigen tersebut pada permukaannya. Antigen yang diekspresikan

oleh sel dendrit ini akan merangsang sel B memori menjadi aktif

kembali, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang

memproduksi antibodi. Dalam hal ini, kadar antibodi terhadap suatu

antigen tertentu dapat bertahan lama pada kadar protektif, sehingga

kekebalan yang timbul dapat bertahan lama.

Aktivasi dan fungsi sel B

Bila sel limfosit B matur distimulasi antigen ligannya, maka sel B

akan berdiferensiasi menjadi aktif dan berproliferasi. Ikatan antara

antigen dan imunoglobulin pada permukaan sel B, akan

mengakibatkan terjadinya ikatan silang antara imunoglobulin

permukaan sel B. Ikatan silang ini mengakibatkan aktivasi enzim

kinase dan peningkatan ion Ca++ dalam sitoplasma. Terjadilah

Page 259: Sistem Imun Full

fosforilase protein yang meregulasi transkripsi gen antara lain

protoonkogen (proto oncogene) yang produknya meregulasi

pertumbuhan dan diferensiasi sel. Aktivasi mitosis ini dapat terjadi

dengan atau tanpa bantuan sel T, tergantung pada sifat antigen yang

merangsangnya. Proliferasi akan mengakibatkan ekspansi klon

diferensiasi dan selanjutnya sekresi antibodi. Fungsi fisiologis antibodi

adalah untuk menetralkan dan mengeliminasi antigen yang

menginduksi pembentukannya.

Dikenal 2 macam antigen yang dapat menstimulasi sel B, yaitu

antigen yang tidak tergantung pada sel T (TI = T cell independent)

dan antigen yang tergantung pada sel T (TD = T cell dependent).

Antigen TI dapat merangsang sel B untuk berproliferasi dan

mensekresi imunoglobulin tanpa bantuan sel T penolong (Th = T

helper). Contohnya adalah antigen dengan susunan molekul

karbohidrat, atau antigen yang mengekspresikan determinan antigen

(epitop) identik yang multipel, sehingga dapat mengadakan ikatan

silang antara imunoglobulin yang ada pada permukaan sel B. Ikatan

silang ini mengakibatkan terjadinya aktivasi sel B, proliferasi, dan

diferensiasi. Polisakarida pneumokok, polimer D-asam amino dan

polivinil pirolidin mempunyai epitop identik yang multipel, sehingga

dapat mengaktifkan sel B tanpa bantuan sel T. Demikian pula

lipopolisakarida (LPS), yaitu komponen dinding sel beberapa bakteri

Gram negatif dapat pula mengaktifkan sel B. Tetapi LPS pada

konsentrasi tinggi dapat merupakan aktivator sel B yang bersifat

poliklonal. Hal ini diperkirakan karena LPS tidak mengaktifkan sel B

melalui reseptor antigen, tetapi melalui reseptor mitogen.

Antigen TD merupakan antigen protein yang membutuhkan bantuan

sel Th melalui limfokin yang dihasilkannya, agar dapat merangsang

sel B untuk berproliferasi dan berdiferensiasi.

Terdapat  dua macam respons antibodi, yaitu respons antibodi

primer dan sekunder. Respons antibodi primer adalah respons sel B

terhadap pajanan antigen ligannya yang pertama kali, sedangkan

respons antibodi sekunder adalah respons sel B pada pajanan

berikutnya, jadi merupakan respons sel B memori. Kedua macam

respons antibodi ini berbeda baik secara kualitatif maupun secara

kuantitatif. Perbedaan tersebut adalah pada respons antibodi

Page 260: Sistem Imun Full

sekunder terbentuknya antibodi lebih cepat dan jumlahnya pun lebih

banyak.

Pada respons antibodi primer, kelas imunoglobulin yang disekresi

terutama adalah IgM, karena sel B istirahat hanya memperlihatkan

IgM dan IgD pada permukaannya (IgD jarang disekresi). Sedangkan

pada respons antibodi sekunder, antibodi yang disekresi terutama

adalah isotip lainnya seperti IgG, IgA, dan IgE sebagai hasil alih isotip.

Afinitas antibodi yang dibentuk pada respons antibodi sekunder lebih

tinggi dibanding dengan respons antibodi primer, dan dinamakan

maturasi afinitas.

Respons sel B memori adalah khusus oleh stimulasi antigen TD,

sedangkan stimulasi oleh antigen TI pada umumnya tidak

memperlihatkan respons sel B memori dan imunoglobulin yang

dibentuk umumnya adalah IgM. Hal ini menandakan bahwa respons

antibodi sekunder memerlukan pengaruh sel Th atau limfokin yang

disekresikannya.

 STRUKTUR IMUNOGLOBULIN

Imunoglobulin atau antibodi adalah sekelompok glikoprotein yang

terdapat dalam serum atau cairan tubuh pada hampir semua

mamalia. Imunoglobulin termasuk dalam famili glikoprotein yang

mempunyai struktur dasar sama, terdiri dari 82-96% polipeptida dan

4-18% karbohidrat. Komponen polipeptida membawa sifat biologik

molekul antibodi tersebut. Molekul antibodi mempunyai dua fungsi

yaitu mengikat antigen secara spesifik dan memulai reaksi fiksasi

komplemen serta pelepasan histamin dari sel mast.

Pada manusia dikenal 5 kelas imunoglobulin. Tiap kelas mempunyai

perbedaan sifat fisik, tetapi pada semua kelas terdapat tempat ikatan

Page 261: Sistem Imun Full

antigen spesifik dan aktivitas biologik berlainan. Struktur dasar

imunoglobulin terdiri atas 2 macam rantai polipeptida yang tersusun

dari rangkaian asam amino yang dikenal sebagai rantai H (rantai

berat) dengan berat molekul 55.000 dan rantai L (rantai ringan)

dengan berat molekul 22.000. Tiap rantai dasar imunoglobulin (satu

unit) terdiri dari 2 rantai H dan 2 rantai L. Kedua rantai ini diikat oleh

suatu ikatan disulfida sedemikian rupa sehingga membentuk struktur

yang simetris. Yang menarik dari susunan imunoglobulin ini adalah

penyusunan daerah simetris rangkaian asam amino yang dikenal

sebagai daerah domain, yaitu bagian dari rantai H atau rantai L, yang

terdiri dari hampir 110 asam amino yang diapit oleh ikatan

disulfid interchain,sedangkan ikatan antara 2 rantai dihubungkan oleh

ikatan disulfid interchain. Rantai L mempunyai 2 tipe yaitu kappa dan

lambda, sedangkan rantai H terdiri dari 5 kelas, yaitu rantai G (γ),

rantai A (α), rantai M (μ), rantai E (ε) dan rantai D (δ). Setiap rantai

mempunyai jumlah domain berbeda. Rantai pendek L mempunyai 2

domain; sedang rantai G, A dan D masing-masing 4 domain, dan

rantai M dan E masing-masing 5 domain.

Rantai dasar imunoglobulin dapat dipecah menjadi beberapa

fragmen. Enzim papain memecah rantai dasar menjadi 3 bagian, yaitu

2 fragmen yang terdiri dari bagian H dan rantai L. Fragmen ini

mempunyai susunan asam amino yang bervariasi sesuai dengan

variabilitas antigen. Fab memiliki satu tempat tempat pengikatan

antigen (antigen binding site) yang menentukan spesifisitas

imunoglobulin. Fragmen lain disebut Fc yang hanya mengandung

bagian rantai H saja dan mempunyai susunan asam amino yang tetap.

Fragmen Fc tidak dapat mengikat antigen tetapi memiliki sifat

antigenik dan menentukan aktivitas imunoglobulin yang

bersangkutan, misalnya kemampuan fiksasi dengan komplemen,

terikat pada permukaan sel makrofag, dan yang menempel pada sel

mast dan basofil mengakibatkan degranulasi sel mast dan basofil, dan

kemampuan menembus plasenta.

Enzim pepsin memecah unit dasar imunoglobulin tersebut pada

gugusan karboksil terminal sampai bagian sebelum ikatan disulfida

(interchain) dengan akibat kehilangan sebagian besar susunan asam

amino yang menentukan sifat antigenik determinan, namun demikian

Page 262: Sistem Imun Full

masih tetap mempunyai sifat antigenik. Fragmen Fab yang tersisa

menjadi satu rangkaian fragmen yang dikenal sebagai F(ab2) yang

mempunyai 2 tempat pengikatan antigen.

 

KLASIFIKASI IMUNOGLOBULIN

Klasifikasi imunoglobulin berdasarkan kelas rantai H. Tiap kelas

mempunyai berat molekul, masa paruh, dan aktivitas biologik yang

berbeda. Pada manusia dikenal 4 sub kelas IgG yang mempunyai rantai

berat γl, γ2, γ3, dan γ4. Perbedaan antar subkelas lebih sedikit dari pada

perbedaan antar kelas.

Imunoglobulin G

IgG mempunyai struktur dasar imunoglobulin yang terdiri dari 2

rantai berat H dan 2 rantai ringan L. IgG manusia mempunyai

koefisien sedimentasi 7 S dengan berat molekul sekitar 150.000. Pada

orang normal IgG merupakan 75% dari seluruh jumlah imunoglobulin.

Imunoglobulin G terdiri dari 4 subkelas, masing-masing mempunyai

perbedaan yang tidak banyak, dengan perbandingan jumlahnya

sebagai berikut: IgG1 40-70%, IgG2 4-20%, IgG3 4-8%, dan IgG4 2-

6%. Masa paruh IgG adalah 3 minggu, kecuali subkelas IgG3 yang

hanya mempunyai masa paruh l minggu. Kemampuan mengikat

komplemen setiap subkelas IgG juga tidak sama, seperti IgG3 > IgGl

> IgG2 > IgG4. Sedangkan IgG4 tidak dapat mengikat komplemen

dari jalur klasik (ikatan C1q) tetapi melalui jalur alternatif. Lokasi

ikatan C1q pada molekul IgG adalah pada domain CH2.

Sel makrofag mempunyai reseptor untuk IgG1 dan IgG3 pada

fragmen Fc. Ikatan antibodi dan makrofag secara pasif akan

Page 263: Sistem Imun Full

memungkinkan makrofag memfagosit antigen yang telah dibungkus

antibodi (opsonisasi). Ikatan ini terjadi pada subkelas IgG1 dan IgG3

pada lokasi domain CH3.

Bagian Fc dari IgG mempunyai bermacam proses biologik dimulai

dengan kompleks imun yang hasil akhirnya pemusnahan antigen

asing. Kompleks imun yang terdiri dari ikatan sel dan antibodi dengan

reseptor Fc pada sel killer memulai respons sitolitik (antibody

dependent cell-mediated cytotoxicity = ADCC) yang ditujukan pada

antibodi yang diliputi sel. Kompleks imun yang berinteraksi dengan sel

limfosit pada reseptor Fc pada trombosit akan menyebabkan reaksi

dan agregasi trombosit. Reseptor Fc memegang peranan pada

transport IgG melalui sel plasenta dari ibu ke sirkulasi janin.

Imunoglobulin M

Imunoglobulin M merupakan 10% dari seluruh jumlah

imunoglobulin, dengan koefisien sedimen 19 S dan berat molekul

850.000-l.000.000. Molekul ini mempunyai 12% dari beratnya adalah

karbohidrat. Antibodi IgM adalah antibodi yang pertama kali timbul

pada respon imun terhadap antigen dan antibodi yang utama pada

golongan darah secara alami. Gabungan antigen dengan satu molekul

IgM cukup untuk memulai reaksi kaskade komplemen.

IgM terdiri dari pentamer unit monomerik dengan rantai μ dan CH.

Molekul monomer dihubungkan satu dengan lainnya dengan ikatan

disulfida pada domain CH4 menyerupai gelang dan tiap monomer

dihubungkan satu dengan lain pada ujung permulaan dan akhirnya

oleh protein J yang berfungsi sebagai kunci.

Imunoglobulin A

Page 264: Sistem Imun Full

IgA terdiri dari 2 jenis, yakni IgA dalam serum dan IgA mukosa. IgA

dalam serum terdapat sebanyak 20% dari total imunoglobulin, yang

80% terdiri dari molekul monomer dengan berat molekul 160.000, dan

sisanya 20% berupa polimer dapat berupa dua, tiga, empat atau lima

monomer yang dihubungkan satu dengan lainnya oleh jembatan

disulfida dan rantai tunggal J . Polimer tersebut mempunyai koefisien

sedimentasi 10,13,15 S. 

Sekretori IgA

Sekretori imunoglobulin A (sIgA) adalah imunoglobulin yang paling

banyak terdapat pada sekret mukosa saliva, trakeobronkial,

kolostrum/ASI, dan urogenital. IgA yang berada dalam sekret internal

Page 265: Sistem Imun Full

seperti cairan sinovial, amnion, pleura, atau serebrospinal adalah tipe

IgA serum.

SIgA terdiri dari 4 komponen yaitu dimer yang terdiri dari 2 molekul

monomer, dan sebuah komponen sekretori serta sebuah rantai J.

Komponen sekretori diproduksi oleh sel epitel dan dihubungkan pada

bagian Fc imunoglobulin A oleh rantai J dimer yang memungkinkan

melewati sel epitel mukosa. SIgA merupakan pertahanan pertama

pada daerah mukosa dengan cara menghambat perkembangan

antigen lokal, dan telah dibuktikan dapat menghambat virus

menembus mukosa.

Imunoglobulin D

Konsentrasi IgD dalam serum sangat sedikit (0,03 mg/ml), sangat

labil terhadap pemanasan dan sensitif terhadap proteolisis. Berat

molekulnya adalah 180.000. Rantai δ mempunyai berat molekul

60.000 – 70.000 dan l2% terdiri dari karbohidrat. Fungsi utama IgD

belum diketahui tetapi merupakan imunoglobulin permukaan sel

limfosit B bersama IgM dan diduga berperan dalam diferensiasi sel ini.

DAFTAR PUSTAKA

Page 266: Sistem Imun Full

Abbas AK. Maturation of B lymphocytes and expression of

immunoglobulin genes. Dalam: Abbas AK, Lichtman AH, Pober JS,

penyunting. Cellular and molecular immunology. Philadelphia:

Saunders, 1991; 70-96.

Roitt IM. The basic of immunology. Specific acquired immunity.

Dalam: Roitt IM, penyunting. Essential immunology; edisi ke-6.

London: Blackwell. 1988; 15-30.

IMUNOLOGI DASAR: ADAPTIVE IMMUNE SYSTEM, SISTEM KEKEBALAN TIRUANDiposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Sistem kekebalan tiruan (adaptive immune system, acquired

immune system) adalah mekanisme pertahanan tubuh berupa

perlawanan terhadap antigen tertentuyang bersifat akut.Sistem

kekebalan tiruan ini tergantung pada interaksi antara limfosit B

dan limfosit T. Ada tiga jenis molekul yang penting dalam hal ini

yaitu protein MHC, imunoglobulin, dan reseptor sel T

Page 267: Sistem Imun Full

Mekanisme sistem kekebalan tiruan

Patogen dapat mengembangkan strategi untuk mengecoh atau menekan

mekanisme pertahanan turunan demi mempertahankan infeksi yang telah

dijangkitnya. Saat replikasi antigen penyebab infeksi untuk

mencanangkan fokus infeksi – misalnya dengan membentuk koloni, telah

melampaui ambang batas sistem kekebalan turunan sehingga terjadi

perubahan metabolisme yang ditandai dengan simtoma

hiperfibrinogenemia dan hipoalbuminemia, sistem kekebalan tiruan akan

tercetus[5] dengan aktivasi memori imunologis. Respon kekebalan tiruan

diberikan oleh sel efektor dan molekul terkait, sekitar hari keempat atau

kelima setelah infeksi awal. Setelah kadar antigen menurun ke bawah

ambang batas sistem kekebalan turunan, respon kekebalan tiruan akan

berhenti, namun antibodi, sisa sel efektor dan memori imunologis akan

Page 268: Sistem Imun Full

tetap bertahan dan memberikan perlindungan yang panjang untuk infeksi

ulang yang dapat terjadi.

Induksi yang pertama, terjadi saat sel dendritik yang berada pada

jaringan tempat terjadinya infeksi terikat antigen, teraktivasi menjadi sel

AP, kemudian bermigrasi ke dalam sistem limfatik dan berakhir di nodus

limfa atau limpa atau jaringan MALT. Sel T yang bermigrasi dari satu

nodus limfa menuju ke nodus yang lain, akan menempel pada sel AP dan

berusaha untuk mengenali antigen dengan memindai sel tersebut pada

bagian MHC kelas II. Antigen yang tidak dikenali akan segera ditinggalkan

oleh sel T untuk dipindai sel T yang lain hingga akhirnya dikenali. Pada

saat tersebut, sel T akan berhenti bermigrasi dan akan mengikat erat sel

AP. Kemudian teraktivasi untuk memicu sistem kekebalan tiruan.

Sel T0 atau sel T CD4 yang mengenali antigen melalui molekul MHC kelas

II pada sel dendritik AP akan mengaktivasi LFA-1 yang menyebabkan

ikatan kuat antara Sel T0dengan sel AP. Setelah itu akan terjadi proliferasi

dan diferensiasi sel T0, yang menghasilkan sejumlah sel T CD4 baru yang

mempunyai pencerap efektor (bahasa Inggris: armed-effector T cell).

Diferensiasi sel T sebagai berikut:

sel TH1 akan dihasilkan jika virus atau bakteri menginduksi sekresi

IL-12 dari sel AP. IL-12 kemudian menjadi stimulasi bagi sel NKT untuk

mengeluarkan IFN-γ. Aktivasi LFA-1 pada T0 terjadi dengan stimulasi

IL-12 dan IFN-γ. Sel TH1 akan mensekresi IL-2, TNF-ß, IFN-γ.

Antigen yang dapat dikenali lebih khusus disebut sebagai imunogen, dan reaksi tersebut terjadi di area antigen yang disebut epitop. ”

Sistem kekebalan tiruan juga terpicu oleh hal lain, pada saat antigen

menimbulkan reaksi terhadap molekul antibodi atau dikenali oleh

pencerap antigen yang terdapat pada sel NKT. Segera setelah terpicu,

perlawanan terhadap imunogen akan dikoordinasi antar sel agar didapat

respon yang terpadu. Koordinasi dilakukan dengan molekul sinyal seperti

limfokina, sitokina dan kemokina.Diferensiasi sel T yang terjadi:

sel TH2 akan dihasilkan dengan aktivasi LFA-1 yang terjadi dengan

stimulasi IL-4 yang disekresi oleh sel NKT karena stimulasi dari

patogen jenis lain. TH2 akan mensekresi IL-4, IL-5, IL-13.

Page 269: Sistem Imun Full

Sel TH1 akan bertindak sebagai stimulator MAC, sedangkan sel TH2 akan

berfungsi sebagai aktivator sel B.

Komponen selular

Diferensiasi sel T CD4 menjadi sel T pembantu.

Aktivasi penuh sel T CD4 membutuhkan waktu sekitar 4 hingga 5 hari.

Setelah itu, sel T pembantu bermigrasi dari sistem limfatik menuju

jaringan tempat terjadinya infeksi. Sepanjang ekstravasasi sel T

pembantu terstimulasi lebih lanjut oleh molekul adhesi pada proses

ekstravasasi dan terdiferensiasi menjadi sel T efektor yang berlainan,

bergantung pada jenis jaringan yang dituju.

Di dalam jaringan, sel T efektor yang mengenali antigen akan

mengeluarkan sitokina seperti TNF-α untuk mengaktivasi sel endotelial

agar terjadi sekresi selektin-E, VCAM-1 dan ICAM-2 dan kemokina RANTES.

Semuanya itu untuk merekrut lebih banyak sel T efektor, monosit dan

granulosit. TNF-α and IFN-γ yang disekresi sel T pembantu yang telah

teraktivasi juga bersifat sinergis dengan proses peradangan berupa

ekstravasasi.

Komponen humoralPeran antibodi dalam sistem kekebalan, antara lain :[8]

Untuk infeksi intraselular, virus dan bakteri terlebih dahulu perlu

mengikat molekul tertentu yang terdapat pada permukaan sel target.

Antibodi dapat mencegah terjadinya ikatan tersebut. Hal ini juga

sekaligus mencegah masuknya toksin yang disekresi oleh patogen ke

dalam sel.

Page 270: Sistem Imun Full

Antibodi yang menempel pada permukaan patogen akan

mempercepat dikenalinya patogen tersebut oleh fagosit, oleh karena

fagosit dilengkapi dengan pencerap fragmen konstan yang mengikat

antibodi pada area konstan C

Antibodi yang terikat pada permukaan patogen dapat mengaktivasi

protein dari komponen komplemen.

IMUNOLOGI DASAR : ANTIGENDiposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Antigen adalah sebuah zat yang merangsang respon imun,

terutama dalam menghasilkan antibodi. Antigen biasanya berupa

protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul

lainnya, termasuk molekul kecil (hapten) yang bergabung dengan

protein-pembawa atau carrier.

Reaksi antigen dan antibodi

Kespesifikan reaksi antara antigen dan antibodi telah ditunjukkan melalui

penelitian-penelitian yang dilakukan oleh Landsteiner. Ia menggabungkan

radikal-radikal organik kepada protein dan menghasilkan antibodi

terhadap antigen-antigen tersebut. Keputusan yang diperolehi

menunjukkan antibodi dapat membedakan antara kelompok berbeda

pada protein ataupun kumpulan kimia yang sama tetapi berbeda

kedudukan.

Ikatan kimia antara antigen dan antibodiTerdiri dari ikatan non kovalen, (seperti ikatan hidrogen, van der Waals,

elektrostatik, hidrofobik), sehingga reaksi ini dapat kembali ke semula

(reversible). Kekuatan ikatan ini bergantung kepada jarak antara paratop

dan bagian-bagian tertentu pada epitop.

Reaksi pelarutan (precipitation)

Antara antibodi khusus dengan antigen larut seperti protein. Penelitian

yang dilakukan oleh Heidelberger dan Kendall menunjukkan reaksi ini

dapat optimum pada zona kesetaraan (equivalence zone) di mana

antibodi dan antigen terbentuk pada kondisi yang paling sesuai untuk

membentuk satuan ikatan (lattice). Pada zona antibodi berlebih (antibody

excess zone) dan zona antigen Berlioz (antigen excess zone) maka

Page 271: Sistem Imun Full

pembentukan satuan ikatan tidak optimum dan masih terdapat antibodi

atau antigen bebas yang tidak terdapat dalam larutan.

Reaksi pembekuan (aglutinasi)

Antara antibodi khusus dengan antigen partikulat seperti bakteria, sel dll.

Prinsip-prinsip reaksi pembekuan adalah sama seperti reaksi pelarutan.

Di dalam percobaan di atas antibodi spesifik terhadap antigen dicairkan

dalam satu set telaga piring mikrotiter (baris atas), kemudian antigen

pada kepekatan yang sama ditambah kepada setiap telaga yang

mengandung antibodi. Selepas eraman untuk jangka masa yang sesuai

telaga-telaga dicerap untuk melihat sama ada terdapat pembentukan

aglutinat (baris kedua). Keputusan yang diperolehi menunjukkan terdapat

aglutinat terbentuk dalam telaga 2 – 5 dan tidak dalam telaga-telaga lain.

Dalam telaga pertama aglutinat tidak terbentuk walaupun terdapat

banyak antibodi kerana nisbah antigen:antibodi tidak optimum untuk

pembentukan aglutinat. Kepekatan antibodi adalah terlalu tinggi

berbanding antigen. Ini dipanggil sebagai fenomenon prozon. Dalam

telaga 6 dan 7 kepekatan antibodi adalah terlalu rendah dan tidak cukup

untuk untuk menghasilkan aglutinat. Dalam percubaan di atas titer

antibodi terdapat pada telaga 5 kerana ini ialah cairan tertinggi yang

menghasilkan tindak balas positif, iaitu penglutinatan. Rajah sebelah

bawah menunjukkan mekanisme tindak balas penghemaglutinatan tak

terus (indirect hemagglutination reaction). Dalam kaedah ini antigen larut

diselaputkan ke permukaan eritrosit dan kehadiran antibodi terhadap

antigen tersebut dikesan.

Mendakan dalam tiub

Tindak balas pemendakan juga boleh dilakukan dalam medium separa

pepejal seperti gel dan prinsip tindak balas adalah sama seperti tindak

balas dalam larutan. Kaedah ini boleh dilakukan dalam tiub atau atas

slaid.

Rajah di atas menerangkan prinsip pemendakan dalam tiub. Dalam

kaedah pertama (gambar atas) larutan antigen ditambah kepada tiub

yang mengandungi antibodi. Selepas eraman garis mendakan akan

terbentuk pada zon kesetaraan antara larutan antigen dan antibodi.

Page 272: Sistem Imun Full

Kaedah kedua (gambar tengah) menunjukkan tindak balas pemendakan

dalam gel. Antibodi dicampurkan dengan gel dan dibekukan dalam tiub.

Kemudian antigen ditambah dan tiub tersebut dieram. Antigen akan

menyerap masuk ke dalam gel dan membentuk satu cerun kepekatan dan

garis mendakan (precipitin line) terbentuk di mana terdapat zon

kesetaraan wujud. Lebih dari satu garis mendakan akan terbentuk jika

terdapat lebih dari satu antigen yang dicam oleh antibodi. Gambar ketiga

menunjukkan peralihan garis mendakan (pseudomigration) yang berlaku

semasa eraman. Ini berlaku kerana semasa eraman lebih banyak antigen

akan menyerap masuk ke dalam gel dan bahagian di mana terdapat zon

kesetaraan akan bertukar kerana kepekatan antibodi dalam gel adalah

malar. Rajah ini juga menunjukkan di mana zon antigen dan antibodi

berlebih wujud dalam gel tersebut.

Kaidah imunoserapan bulatan

Kaidah ini berguna untuk menentukan kehadiran atau menentukan

kepekatan antigen. Dalam rajah di bawah kepekatan IgG dalam sampel

ditentukan menggunakan kaedah ini. Anti-IgG dicampurkan dengan gel

dan dibekukan di atas slaid. Kemudian telaga-telaga ditebuk di dalam gel

tersebut dan satu set piawai IgG ditambah ke dalam telaga. Selepas

eraman garis mendakan berbentuk bulatan akan terbentuk di keliling

setiap telaga dan diameter bulatan ini bergantung kepada kepekatan

antigen (IgG) yang ditambah. Satu lengkok piawai diplot dan jika terdapat

satu telaga yang mengandungi IgG yang tidak diketahui kepekatannya,

kepekatan IgG dalam sampel tersebut boleh ditentukan berdasarkan

diameter garis mendakan yang terdapat keliling telaga tersebut dan

lengkok piawai yang ada.

Kaidah Ouchterlony

Kaidah ini berguna untuk menentukan perhubungan antigen (antigenic

relationship). Corak pertama di atas menunjukkan tindak balas seiras

(reaction of identity) yang berlaku apabila epitop-epitop pada antigen 1

dan 2 yang dicam oleh antibodi adalah sama. Dalam tindak balas kedua

epitop-eitop yang terdapat pada antigen 1 dan 3 adalah berbeza dan tidak

dikongsikan. Ini menghasilkan corak tindak balas tak seiras (reaction of

non-identity). Jika terdapat epitop-epitop yang dikongsikan antara dua

Page 273: Sistem Imun Full

antigen dan pada masa yang sama terdapat epitop-epitop unik pada satu

antigen, corak separa iras (reaction of partial identity) akan terhasil.

Dalam corak ketiga, antigen 1 dan 4 mempunyai epitop-epitop yang

sepunya, tetapi antigen 1 mempunyai epitop-epitop unik yang dicam oleh

antibodi dan ini akan menghasilkan pacu (spur). Dalam corak keempat,

antibodi hanya mengcam epitop pada antigen 1 yang tidak mempunyai

epitop yang dikongsikan dengan antigen 5.

Kaidah imunojerapan berpaut enzim (ELISA)

Kaidah ini tergolong ke dalam asai imunoenzim kerana melibatkan tindak

balas enzim dengan substrat. Kaedah ELISA terus digunakan untuk

mengesan kehadiran antigen sementara kaedah tak terus digunakan

untuk mengesan kehadiran antibodi.

Rajah di atas menunjukkan prinsip ELISA untuk mengesan kehadiran

antibodi. Telaga piring mikrotiter diselaputkan dengan antigen (berwarna

biru) kemudian sampel ujian ditambah. Jika terdapat antibodi spesifik

(berwarna merah) untuk antigen dalam sampel tersebut ia akan

bergabung dengan antigen. Kehadiran antibodi ini dikesan menggunakan

antibodi sekunder (biru) berlabel enzim (kuning). Selepas penambahan

substrat, warna produk ditentukan berdasarkan serapan dan nilai serapan

ini adalah berkadaran dengan kuantiti antibodi yang tergabung kepada

antigen.

Kaidah pemblotan Western

Kaidah pemblotan Western digunakan untuk mengesan kehadiran

antigen. Dalam kaedah ini antigen tercampur dipisahkan menggunakan

elektroforesis gel. Kemudian antigen-antigen tersebut dipindahkan

kepada membran pepejal menggunakan arus elektrik. Kehadiran antigen

spesifik pada membran dikesan menggunakan antibodi spesifik untuk

sesuatu antigen.

Rajah di atas menunjukkan antigen-antigen yang terpisah selepas

elektroforesis (warna kuning) yang kemudian dipindahkan kepada

membran. Kehadiran antigen spesifik pada membran dikesan dengan

antibodi spesifik berlabel dan warna boleh dibangunkan menggunakan

tindak balas enzim-substrat. Kehadiran antigen-antigen ini dibandingkan

Page 274: Sistem Imun Full

dengan satu gel lain (warna cokelat) yang diwarnakan untuk mengesan

semua antigen dalam sampel.

Kaidah pewarnaan berpendarfluor

Kaidah ini menggunakan antibodi spesifik berlabel pendarfluor seperti

fluorescein isothiocyanate (FITC). Rajah di bawah menunjukkan

pengesanan bakteria menggunakan antibodi berpendarfluor. Antibodi

berlabel FITC dicampurkan dengan sampel (E. coli) dan kemudian sampel

dicerap menggunakan mikroskop pendarfluor.

Penangkapan dan Presentasi Antigen

Respons imun spesifik dimulai ketika reseptor pada limfosit mengenali

antigen. Limfosit B dan T mengenali jenis antigen yang berbeda. Reseptor

di limfosit B yaitu antibodi yang terikat di membran (membrane-bound

antibody) dapat mengenali berbagai makromolekul (protein, polisakarida,

lipid, dan asam nukleat) serta bahan-bahan kimia kecil yang terlarut atau

terdapat di permukaan sel. Sebaliknya, limfosit T hanya dapat mengenali

fragmen peptida dari antigen protein, dan hanya jika peptida tersebut

dipresentasikan oleh molekul tertentu di sel pejamu.

Pengenalan antigen oleh limfosit T

Sebagian besar limfosit T mengenali antigen peptida yang terikat dengan

molekul major histocompatibility complex (MHC) yang terdapat di antigen-

presenting cell (APC). Pada setiap individu, berbagai klon sel T dapat

mengenali suatu peptida apabila peptida tersebut dipresentasikan oleh

MHC. Sifat sel T ini disebut sebagai restriksi MHC (MHC restriction). Setiap

sel T mempunyai spesifisitas ganda. Hal ini berarti T cell receptor(TCR)

mengenali peptida antigen dan juga mengenali molekul MHC yang

membawa peptida tersebut.

Sel yang berfungsi khusus untuk menangkap antigen mikroba dan

mengikatnya supaya dapat dikenali oleh limfosit T dinamakan antigen-

presenting cell (APC). Limfosit T naif memerlukan presentasi antigen oleh

APC agar dapat memulai respons imun.

Penangkapan antigen protein oleh APC

Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh

APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons

imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui

Page 275: Sistem Imun Full

kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan

pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC

yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut

sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak

efisien untuk menstimulasi sel T.

Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit

dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk

antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan

mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal

mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak

ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu

dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis

factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel

dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit

terlepas dari epitel.

Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di

kelenjar getah bening yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan

mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke pembuluh limfe dan menuju ke

kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit

bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC

yang dapat menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul

MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan diekspresikan di permukaan

APC.

Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan

ikat/parenkim, mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur

dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen terlarut di saluran limfe

diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening, sedangkan

antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa.

Antigen protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan

dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat bertemu dengan

limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar

getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel

T naif di kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba

Page 276: Sistem Imun Full

masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di

kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.

Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun

tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating

dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi

limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons

sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,

terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi

sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis

mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua

jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan

mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi

makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan

mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;

proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.

Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari

mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.

IMUNOLOGI DASAR: ANTIGEN PRESENTING CELL (APC)Diposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Antigen-presenting Cel  (APC) atau sel aksesori adalah sel asing

yang menampilkan antigen kompleks dengan major

histocompatibility complex (MHC) pada permukaannya. T-sel

dapat mengenali kompleks mereka menggunakan T-sel reseptor

(TCRs). Sel ini memproses antigen dan menyajikan untuk T-sel.

Fungsi utama sel sebagai sel penampil antigen (antigen-presenting cell)

terdapat pada sifat fagositik yang mengikat antigen yang terlepas dari

mekanisme pertahanan awal dan menampilkan fragmen protein dari

antigen tersebut pada kompleks MHC bagi sel T dan sel B.Antigen yang

diikat oleh sel dendritik akan ditelan ke dalam sitosol dan dipotong

menjadi peptida untuk kemudian diekspresikan menuju ke permukaan sel

sebagai antigen MHC.

Antigen protein dari mikroba yang memasuki tubuh akan ditangkap oleh

APC, kemudian terkumpul di organ limfoid perifer dan dimulailah respons

imun (lihat Tabel 7-1). Mikroba masuk ke dalam tubuh terutama melalui

Page 277: Sistem Imun Full

kulit, saluran gastrointestinal, dan saluran napas. Epitel merupakan

pertahanan fisik terhadap infeksi. Epitel mengandung sekumpulan APC

yang tergolong dalam sel dendrit. Di kulit, sel dendrit epidermal disebut

sebagai sel Langerhans. Sel dendrit di epitel ini masih imatur karena tidak

efisien untuk menstimulasi sel T.

Antigen mikroba yang memasuki epitel akan ditangkap oleh sel dendrit

dengan cara fagositosis (untuk antigen partikel) atau pinositosis (untuk

antigen terlarut). Sel dendrit memiliki reseptor untuk berikatan dengan

mikroba. Reseptor tersebut mengenali residu manosa terminal (terminal

mannose residue) yang terdapat pada glikoprotein mikroba namun tidak

ada pada glikoprotein mamalia. Ketika makrofag dan sel epitel bertemu

dengan mikroba, sel tersebut mengeluarkan sitokin tumor necrosis

factor (TNF) dan interleukin-1 (IL-1). Sitokin tersebut bekerja pada sel

dendrit yang telah menangkap antigen dan menyebabkan sel dendrit

terlepas dari epitel.

Sel dendrit mempunyai reseptor terhadap kemokin yang diproduksi di

kelenjar getah bening yang penuh dengan sel T. Kemokin tersebut akan

mengarahkan sel dendrit untuk masuk ke pembuluh limfe dan menuju ke

kelenjar getah bening regional. Selama proses migrasi, sel dendrit

bermaturasi dari sel yang berfungsi menangkap antigen menjadi APC

yang dapat menstimulasi limfosit T. Bentuk dari maturasi ini yaitu molekul

MHC dan ko-stimulatornya disintesis dan diekspresikan di permukaan

APC.

Jika suatu mikroba berhasil menembus epitel dan memasuki jaringan

ikat/parenkim, mikroba tersebut akan ditangkap oleh sel dendrit imatur

dan dibawa ke kelenjar getah bening. Antigen terlarut di saluran limfe

diambil oleh sel dendrit yang berada di kelenjar getah bening, sedangkan

antigen di dalam darah diambil oleh sel dendrit yang berada di limpa.

Antigen protein dari mikroba yang masuk ke dalam tubuh akan

dikumpulkan di kelenjar getah bening sehingga dapat bertemu dengan

limfosit T. Sel T naif bersirkulasi terus-menerus dan melewati kelenjar

getah bening paling tidak satu kali sehari. Proses pertemuan APC dan sel

T naif di kelenjar getah bening sangat efisien. Jika suatu antigen mikroba

Page 278: Sistem Imun Full

masuk ke dalam tubuh, respons sel T terhadap antigen ini akan dimulai di

kelenjar getah bening regional dalam 12-18 jam.

Berbagai jenis APC mempunyai fungsi yang berbeda dalam respons imun

tergantung sel T (T cell-dependent immune response). Interdigitating

dendritic cells merupakan APC yang paling poten dalam mengaktivasi

limfosit T naif. Sel dendrit tidak hanya menyebabkan dimulainya respons

sel T namun juga mempengaruhi sifat respons tersebut. Misalnya,

terdapat beberapa jenis sel dendrit yang dapat mengarahkan diferensiasi

sel T CD4 naif menjadi suatu populasi yang berfungsi melawan suatu jenis

mikroba. Sel APC yang lain yaitu makrofag yang tersebar di semua

jaringan. Pada respons imun selular, makrofag memfagosit mikroba dan

mempresentasikannya ke sel T efektor, yang kemudian mengaktivasi

makrofag untuk membunuh mikroba. Limfosit B yang teraktivasi akan

mencerna antigen protein dan mempresentasikannya ke sel Thelper;

proses ini berperan penting dalam perkembangan respons imun humoral.

Selain itu, semua sel yang berinti dapat mempresentasikan antigen dari

mikroba di dalam sitoplasma kepada sel T sitotoksik.

Sel APC berperan penting dalam memulai respons sel T CD8 terhadap

antigen mikroba intraselular. Sebagian mikroba (misalnya virus) dapat

menginfeksi sel pejamu dengan cepat dan hanya dapat diatasi dengan

cara penghancuran sel tersebut oleh sel T sitotoksik. Virus dapat

menginfeksi semua jenis sel pejamu (tidak hanya APC saja), dan sel-sel ini

tidak dapat memproduksi sinyal yang diperlukan untuk mengaktivasi sel

T. Mekanisme yang terjadi pada keadaan ini adalah sel APC memakan sel

yang terinfeksi dan mempresentasikan antigen ke limfosit T CD8. Hal ini

disebut sebagai cross-presentation, artinya suatu jenis sel (yaitu APC)

mempresentasikan antigen dari sel lain (yaitu sel yang terinfeksi)

kemudian mengaktivasi limfosit T naif sehingga menjadi spesifik untuk

antigen tersebut. Sel APC yang memakan sel terinfeksi juga dapat

mempresentasikan antigen ke limfosit T CD4.

Jenis APCProfessional APCsTerdapat 3 tipe utama  professional antigen-presenting cell:

Page 279: Sistem Imun Full

Dendritic cells (DCs),  Sel dendritik (dendritic cell, DC) adalah

monosit yang terdiferensiasi oleh stimulasi GM-CSF dan IL-4,dan

menjadi bagian sistem kekebalan mamalia. Bentuk sel dendritik

menyerupai bagian dendrita pada neuron, namun sel dendritik tidak

bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai perantara

sistem kekebalan turunan menuju sistem kekebalan tiruan.

Macrophages,

B-cells,

Certain activated epithelial cells

Non-professionalA non-professional APC

Fibroblasts (kulit)

Thymic epithelial cells

Thyroid epithelial cells

Glial cells (otak)

Pancreatic beta cells

Vascular endothelial cells

Jenis-jenis antigen presenting cell (APC)

No Jenis APC Lokasi MobilitasReseptor Fc/C3

MHC kelas II

Presentasi

kepada

1.2.3.

Interdigitating dendritic   cellsSel LangerhansVeiled cells

Parakorteks KGBKulitSaluran limfe AktifAktifAktif +++

++++++

Sel TSel TSel T

4.Follicular   dendritic cells Folikel KGB Statik + – Sel B

5. Makrofag

Medula KGBHati (sel Kupffer)Otak (astrosit)

AktifStatikStatik +++

++++++

Sel T dan B

6.

Sel B (khususnya bila teraktivasi)

Jaringan limfoid Aktif

Ig permukaan + Sel T

Keterangan: KGB = kelenjar getah bening, Ig = imunoglobulin.

Page 280: Sistem Imun Full

(sumber Chapel H, Haeney M, Misbah S, Snowden N, 2001)

Sel APC mensintesis molekul MHC kelas II secara terus-menerus di

retikulum endoplasma. Selama berada di dalam retikulum endoplasma,

molekul MHC kelas II dicegah untuk berikatan dengan peptida di dalam

lumen oleh suatu protein yang dinamakan MHC class II-associated

invariant chain. Invariant chain ini mengandung suatu sekuens yaitu class

II invariant chain peptide (CLIP) yang berikatan erat denganpeptide-

binding cleft pada MHC kelas II. Invariant chain tersebut juga

mengantarkan MHC kelas II ke endosom untuk berikatan dengan peptida

antigen eksogen yang telah diproses. Endosom mengandung protein yang

dinamakan DM, fungsinya untuk melepaskan CLIP dari molekul MHC kelas

II, sehingga peptide-binding cleft akan terbuka untuk menerima peptida

antigen. Jika MHC kelas II dapat berikatan dengan peptida, akan terbentuk

kompleks yang stabil dan menuju ke permukaan sel. Namun jika molekul

MHC tidak dapat berikatan dengan peptida tersebut, molekul ini menjadi

tidak stabil dan dihancurkan oleh protease di dalam endosom. Suatu

antigen protein akan dipecah menjadi banyak peptida, tetapi hanya

sedikit (satu atau dua) peptida yang dapat berikatan dengan molekul MHC

individu tersebut. Oleh sebab itu, hanya peptida ini yang dapat

menimbulkan respons imun pada individu tersebut sehingga

disebutimmunodominant epitopes.

Antigen endogen (termasuk antigen virus) akan diproses di retikulum

endoplasma dan dipresentasikan oleh molekul MHC kelas I kepada sel T

CD8+, sedangkan antigen eksogen diproses di lisosom (endosom) dan

dipresentasikan oleh molekul MHC kelas II kepada sel T CD4+

Sel APC tidak hanya mempresentasikan peptida antigen kepada sel T,

tetapi juga berfungsi sebagai ”sinyal kedua” untuk aktivasi sel T. Antigen

merupakan sinyal pertama, sedangkan sinyal kedua adalah mikroba atau

APC yang berespons terhadap mikroba. Peran penting dari sinyal kedua

ini adalah untuk menjaga agar respons imun spesifik hanya timbul

terhadap mikroba dan tidak terhadap bahan-bahan non infeksius yang

tidak berbahaya. Berbagai produk dari mikroba dan respons imun non

spesifik dapat mengaktifkan APC untuk mengekspresikan sinyal kedua

bagi aktivasi limfosit. Sebagai contoh, berbagai bakteri menghasilkan

lipopolisakarida (LPS). Pada saat bakteri ditangkap oleh APC, LPS akan

menstimulasi APC tersebut. Sebagai respons, APC mengekspresikan

Page 281: Sistem Imun Full

protein permukaan yang disebut ko-stimulator. Ko-stimulator ini akan

dikenali oleh reseptornya di sel T. Sel APC juga mensekresi sitokin yang

akan dikenali oleh reseptor sitokin di sel T. Ko-stimulator dan sitokin

bekerja bersama dengan pengenalan antigen oleh T cell receptor (TCR)

untuk merangsang proliferasi dan diferensiasi sel T. Dalam hal ini, antigen

adalah sinyal pertama, sedangkan kostimulator dan sitokin merupakan

sinyal kedua.

DAFTAR LENGKAP INTERLEUKIN, ASPEK KLINIS DAN ASPEK BIOLOGISNYADiposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Satu komentar

Daftar Lengkap Interleukin, Aspek Klinis dan Aspek

BiologisnyaInterleukin adalah kelompok sitokin (disekresi protein ) yang

pertama kali terlihat untuk diekspresikan oleh sel darah putih

( leukosit ). Interleukin jangka berasal dari (antar-)“sebagai

sarana komunikasi”, dan (-leukin) “berasal dari fakta bahwa

banyak dari protein yang diproduksi oleh leukosit dan bertindak

atas leukosit”. Interleukin diproduksi oleh berbagai sel tubuh.

Fungsi dari sistem kekebalan tubuh tergantung di bagian besar

padainterleukin, dan jarang kekurangan dari sejumlah dari

mereka telah dijelaskan, lengkap dengan penyakit autoimun atau

defisiensi imun. Mayoritas interleukin disintesis oleh helper CD4+

T lymphocytes, serta melalui monosit, makrofag, dan sel endotel.

Interleukin mempromosikan pengembangan dan diferensiasi T, B,

dan sel-sel hematopoietik.

Proses terjadinya penyakit dan berbagau reaksi inflamasi tubuh

tergantung dari interaksi yang terdapat diantara virus atau bakteri dan sel

yang terdapat pada sistemimmune. Interaksi ini diperantarai oleh sitokin

dan kemokin yang diproduksi oleh sel asal atau juga sel pendatang yang

terdapat pada daerah keradangan. Sel yang menghasilkan sitokin adalah

macrophage/monocyt, dendritic sel, limposit,neutropil, sel endothelial dan

fibroblast .Sitokin adalah suatu sentral patogenesa yang akan meningkat

Page 282: Sistem Imun Full

jumlahnya bila terdapat suatu penyakit.sitokin adalah protein larut , ia

adalah mediator yang dihasilkan oleh sel dalam suatu reaksi radang atau

imunologik yang berfungsi sebagai isyarat antara sel sel untukmengatur

respon setempat dan kadang kadang juga secara sistemik.Sitokin

mempengaruhi peradangan dan imunitas melalui pengaturan

pertumbuhan,mobilitas dan diferensiasi lekosit dan sel sel lainnya.

Sitokin adalah sentral patogenesa yang akan meningkat jumlahnya bila

terdapatsuatu penyakit. Sitokin adalah protein larut , ia adalah mediator

peptide yang dihasilkan oleh seldalam suatu reaksi radang atau

imunologik , sitokin bereaksi pada penyembuhan host akibat cedera dan

berfungsi sebagai isyarat antara sel sel untuk mengaturrespon setempat

dan kadang kadang juga secara sistemik. Sitokin yang dihasilkan oleh

limfosit disebut dengan limfokin dan yang diproduksioleh macrophage

atau monosit disebut dengan monokin. Dalam fungsinya sebagaisignal

interseluler, sitokin mengatur respon inflamasi local dan sistemik.

Umumnya sitokin bertindak sebagai parakrin ( secara local dekat dengan

sel yangmemproduksinya ) atau secara autokrin yaitu langsung bereaksi

pada sel yang memproduksinya. Sitokin memodulasi reaksi pejamu

terhadap antigen asing atau agentpenyebab cedera dengan cara

mengatur penyembuhan. Mobilitas dan diferensiasileukosit beserta sel

selnya. Interaksi yang komplek antara limfosit, sel radang danelemen

seluler lainnya didalam jaringan juga dimediatori oleh sitokin.Sitokin

membantu dalam regulasi dan perkembangan sel sel imun efektor,

komunikasi antarsel atau langsung sebagai efektor. Umumnya sitokin

disintesa dan disekeresikan dalam bentuk peptide atauglikoprotein

dengan BM ( berat molekul ) rendah.

Aktifitas sitokin yang sangat spesifik, memudahkan dalam pendeteksian

dan identifikasinya, terutama dengan perkembangan tehnologi sekarang

ini.Beberapa sitokin diberi nama sesuai dengan aktifitas biologiknya,

misal; macrophace activation factor ( MAF), macrophage migration

inhibiting factor ( MIF). Leukositderived chemotactic factor

(CTX),limpotoxin ( LT), dan osteoclast activating factor( OAF).

Berdasarkan jenis sel penghasil utamanya, sitokin dibedakan dalam

monokinsebagai hasil dari monosit atau macrophage dan limfokin sebagai

Page 283: Sistem Imun Full

hasil dari limposit. Interleukin adalah sitokin proinflamasi yang berasal

dari sel T dan diproduksi utamaoleh sel dengan fenotip Th1/Th0 tetapi

bukan pada sel dengan fenotipe Th2. Namun sebagian besar sitokin sudah

diubah namanya menjadi interleukin, sesuai dengan peranannya dalam

komunikasi antara leukosit.

Dengan kemajuan teknologi dan pengetahuan yang demikian pesat

hingga saat ini interleukin telah diidentifikasi sebanyak 35 jenis

interleukin berdasarkan fungsi, sumber, Target Receptors dan  target cells

Daftar Lengkap Interleukin, Aspek Klinis dam Aspek Biologisnya Interleukin-1 adalah sebutan bagi beberapa polipeptida sitokina IL-

1α, IL-1ß dan IL-1Ra, yang memainkan peran penting dalam regulasi

sistem kekebalan dan respon peradangan. IL-1α dan IL-1ß masing-

masing memiliki berkas genetik IL1A, dan IL1B,pada kromosom 2

deret yang sama yaitu 2q14, dan merupakan sitokina pleiotropik hasil

sekresi monosit dan makrofaga berupa prohormon, sebagai respon

saat sel mengalami cedera, oleh karena itu menginduksi apoptosis.

Interleukin-1 (IL-1) merupakan keluarga dari polipeptida dengan

berbagai kegiatan biologis. Setidaknya dua produk gen yang berbeda

telah dikloning, ada mungkin lebih. Keluarga IL-1 manusia memainkan

peran penting dalam patogenesis banyak penyakit dan fungsi sebagai

mediator kunci dari respon host terhadap tantangan infeksi, inflamasi,

dan imunologi yang berbeda. IL-1 Recombinant mouse (pI 5) dan

recombinant human (pI 7) yang digunakan untuk mengkonfirmasi

beberapa sifat biologis IL-1” s tetapi penyelidikan yang cukup besar

diperlukan sebelum kegiatan tertentu (unit biologis per miligram

protein) ditetapkan untuk setiap bentuk IL-1 human. Beberapa

kegiatan IL-1 biologis seperti induksi hati fase akut sintesis protein

telah dibuktikan dalam invertebrata dalam evolusi limfosit. IL-1 adalah

sangat inflamasi dan meningkatkan konsentrasi metabolit asam

arakidonat, terutama prostaglandin E2, di otak, otot, kondrosit, dan

fibroblas sinovial. Sintesis leukotrien juga terlibat dalam mekanisme

Page 284: Sistem Imun Full

kerja pada jaringan tertentu. Kloning dan ekspresi gen IL-1 human

akan memperluas pemahaman kita tentang IL-1 dalam berbagai

penyakit melalui sistem deteksi peningkatan dan penggunaan probe

cDNA, pengembangan antagonis IL-1, serta penggunaan IL-1 sebagai

immunomodulator, saat ini sedang dipertimbangkan. Beberapa pakar

menganggap bahwa defisiensi genetik IL1A berperan dalam

reumatoid artritis dan Alzheimer. IL-1ß merupakan sitokina yang diiris

oleh ICE, dan berperan di dalam aktivitas selular seperti proliferasi,

diferensiasi dan apoptosis. Induksi COX-2 pada sitokina ini di dalam

sistem saraf pusat ditemukan sebagai penyebab hipersensitivitas

yang memberikan rasa sakit.

IL-1raIL-1ra adalah protein asam amino 152 yang berfungsi sebagai

inhibitor spesifik dari dua anggota fungsional lainnya dari family, IL-1α

dan IL-1β. Gen manusia untuk IL-1ra adalah lengan panjang dari

kromosom 2 dalam kedekatan terhadap gen untuk IL-1α dan IL-1β.

Fakta genetis mengindikasikan bahwa IL-1ramenyimpangdariIL-1 gen

leluhur sebagai kejadian awal duplikasi parsial pada evolusi

vertebrata.  IL–1ra memnagi sekitar 26% sekuen asam amino

homologidengan IL–1b dan 19% homolog dengan IL–

1a. Sebuah struktur tiga-dimensi dariIL–1ra mirip dengan IL-1a dan IL–

1b dan ada sebagai rangkaian rantai β anti-paraleldiselenggarakan

dikonfigurasi barel β ketat.IL-1ra mengeblok aksi dari ligan fungsional

IL-1α dan IL-1β melalui inhibisi kompetitif pada tingkat reseptor IL-1.

IL-1ra mengikat dengan afinitas sama atau lebih besar dibanding

dengan IL-1α dan IL-1β ke reseptor IL-1 yang terikat membran tipe

I(80kd). IL-1ra tidak berikatan dengan afinitas tinggi ke reseptor IL-

1(68 kd) tipe 2.Setelah pengikatan IL-1 ke reseptornya, terjadi signal

intraseluler setelah kompleks heterodimer dibentuk antara reseptor

tipe 1 dan protein kedua esensial yang dikenal sebagai protein asesori

IL-1. IL-1ra akan berikatan dengan afinitas tinggi ke reseptor IL-1 tipe

1 namun gagagl untuk menggunakan protein asessory IL-1. Hal ini

menempati binding-site reseptor IL-1 yang terikat membran dan

mencegah aktivitas seluler oleh IL-1α atau IL-1β oleh inhibisi sterik.

Interleukin-2, IL-2 (T Cell Growth Factor, TCGF, lymphokine)

adalah sejenis sitokina yang disebut hormon leukositotropik,yang

berperan sebagai stimulan dalam proliferasi sel B dan sel T.IL-2

Page 285: Sistem Imun Full

ditelisik mempunyai fungsi yang serupa dengan IL-15.IL-2 berperan

dalam apoptosis sel T yang teraktivasi bukan oleh antigen,

hal ini penting untuk mencegah autoimunitas, sedangkan IL-15

berperan dalam pemeliharaan sel T memori.

Interleukin-3, IL-3 (multi colony stimulating factor, MULTI-CSF,

MCGF, MGC79398,

MGC79399 adalah sebuah hormon berjenis sitokina dari kelompok inte

rleukin yang

mempunyai potensi untuk memicu proliferasi beragam sel

hematopoietik menjadi sel progenitor mieloid,

termasuk memicu proliferasi beragam sel mieloid seperti eritrosit,

megakariosit, granulosit, monosit dan sel dendritik. IL-3

berperan dalam pelbagai aktivitas selular, seperti perkembangan sel,

diferensiasi sel dan apoptosis, serta memiliki potensi neurotropik.

Umumnya IL-3 disekresi oleh sel T yang

teraktivasi sebagai respon imunitas untuk menstimulasi lebih banyak 

sel T dari sumsum tulang.

Interleukin-4, IL-4 (BSF1, BCGF1, BCGF-1, MGC79402)

adalah sitokina pleiotropik yang disekresi oleh sel T yang

telah teraktivasi menjadi sel TH2, bersama-sama dengan IL-5 dan IL-

13.IL-4 berperan dominan dalam sistem kekebalan dan

merupakan faktor yang

penting dalam perkembangan hipersensitivitas,dengan fungsi selular 

yang banyak tumpang-tindih dengan IL-13. IL-4 adalah sitokin

pleiotropik tinggi yang mampu untuk mempengaruhi diferensiasi sel

Th. Sekresi awal dari IL-4 mengakibatkan polarisasi dari diferensiasi

sel Th ke arah sel yang menyerupai Th2. Sel tipe Th2 mensekresikan

IL-4nya sendiri, dan diikuti produksi autokrin dari IL-4 yang

mendukung proliferasi sel. Sel Th2 yang mensekresi IL-4 dan IL-10

mengakibatkan supresi dari respon Th1 oleh penurunan regulasi

produksi dari IL-12 yang diturunkan dari makrofag dan menghambat

diferensiasi dari sel tipe Th-1.IL-4 adalah glycoprotein yang diproduksi

oleh sel Th2 matang dan sel dari sel mast atau basofil. IL-4

mengendalikan respon Th-2, memediasi perekrutan dan aktivasi dari

sel mast, dan menstimulasi produksi antibodi IgE melalui diferensiasi

dari sel B ke sel yang mensekresi IgE. IL-4 telah diketahui

Page 286: Sistem Imun Full

memiliki efek penghambatan padaekspresi dan

pelepasan sitokin proinflamasi. Sitokin ini mampu menghambat atau

menekan sitokin yang berasal dari monosit, termasuk IL-1, TNF-a, IL-

6, IL-8, danMacrophage Inflammatory Protein (MIP)-1a. Sitokin ini juga

telah diketahui untuk menekan aktivitas

sitotoksik makrofag, membunuh parasit, dan produksi nitric oxide

yang diturunkan dari makrofag. Berkebalikan dengan efek inhibisi

pada produksi sitokin proinflamasi, ini menstimulasi sintesis dari

inhibitor sitokin IL-1ra.Efek imunologi dari IL-4 pada keadaaan infeksi

bakteri sangat kompleks dan belum dipahami dengan sempurna. IL-4

terbukti meningkatkan pembersihanPseudomonas Aeruginosa dari

jaringan paru pada model eksperimen dari bakteri pneumoni Gram

Negatif. Pada model infeksi bakteri gram positif, IL-4 ditemukan

memiliki aktivitas seperti faktor pertumbuhan untuk Staphylococcus

aureus,berakibat pada infeksi sistemik dan peningkatan kematian dari

sepsi bakteri. Peranan dari IL-4 pada keberadaan dari infeksi sistemik

belum cukup diketahui dan akan memerlukan investigasi klinik

tambahan.IL-4 dapat mempengaruhi keragaman dari struktur sel. Hal

ini dapat mempotensiasi proliferasi endotelium vaskular danfibroblas

kulit namun mengakibatkan penurunan proliferasi astrosit manusia

dewasa dan sel otot polos vaskular. Selain itu, IL-4 menginduksi

respon sitotoksikkuat terhadap tumor. Dalam sebuah penelitian

terhadap 63 pasien dengan stadiumIV Non-small cell lung

cancer, data pada pengobatan dengan rekombinan IL-4manusia

tampaknya menunjukkan kemungkinan respon terkait dosis.37 IL-

4 dapat berperan dengan menstabilkan penyakit dan memodifikasi

tingkat pertumbuhantumor di

samping untuk menginduksi penyusutan tumor dan kematian

sel tanpa menyebabkan efek samping berat, penelitian ini

menunjukkan menunjukkan peranajuvan untuk IL-4 dalam

pengobatan penyakit ganas.

Interleukin-5, IL-5 (eosinophil colony-stimulating factor, EDF, TRF)

adalah sitokina sekresi sel TH yang

berperan dalam perkembangan dan diferensiasi sel B dan eosinofil.

Peningkatan rasio IL-5 dilaporkan terkait dengan asma dan

sindrom hipereosinofilik,  seperti eosinofilia. Tingginya rasio IL-5

Page 287: Sistem Imun Full

juga ditemukan pada penderita penyakit Graves dan tiroiditis

Hashimoto.

Interleukin-6 (Interleukin 6, Interferon beta-2, IFNB2, B cell

differentiation factor, B cell stimulatory factor 2, BSF2,

Hepatocyte stimulatory factor, HSF, Hybridoma growth factor, HGF, IL-

6) adalah sitokina yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma

darah, terutama pada fase infeksi akut atau kronis, dan

menginduksi respon peradangan transkriptis melalui pencerap IL-6

RA, menginduksi maturasi sel B.dan pencerap gp130. IL-6 telah lama

dianggap sebagaiproinflamasi sitokin yang diinduksi oleh LPS bersama

dengan TNF-a dan IL-1. IL-6sering digunakan sebagai penanda untuk

aktivasi sistemik dari sitokin proinflamasi.Seperti

banyak sitokin lainnya, IL-6 memiliki kedua sifat, baik proinflamasi,

maupunanti-inflamasi. Meskipun IL-6 adalah

penginduksi kuat dari respon protein fase akut,ia juga memiliki sifat

anti-inflamasi.39 Bukti terbaru yang dihasilkan dari tikus yang

dihilangkan IL-6 telah menunjukkan bahwa IL-6, seperti anggota lain

dari family ligan reseptor gp130, terutama bertindak sebagai

suatu sitokin anti–inflamasi.Setelah terikat ke reseptor α spesifik,

kompleks IL-6 dengan sinyal ubiquitin unit transduksi sinyal gp130. IL-

6 termasuk dalam famili dari ligan reseptor gp130 yang meliputi IL-

11, faktor inhibisi leukemia, ciliary neurotrophic factor, oncostatin M,

dan cardiotrophin-1. Karena molekul-molekul peptida menggunakan

reseptorseluler umum, mereka berbagi banyak gambaran fisiologis

yang diakibatkan oleh IL-6. IL-6 menurunkan sintesis IL-1 dan TNF-

α. IL-6 melemahkan sintesis dari sitokinproinflamasi ketika memiliki

sedikit efek pada sintesis dari sitokin anti-inflamasiseperti IL-

10 dan Transforming Growth Factor-β (TGF–β). IL-

6 menginduksi sintesis dari glukokortikoid dan meningkatkan

sintesis IL-1ra dan mengeluarkan reseptorTNF larut pada sukarelawan

manusia. Pada saat yang sama, IL-6 menghambat

produksi dari sitokin proinflamasi seperti GM–CSF, IFN–γ, dan MIP–

2. Hasil dari efekimunologi ini menempatkan IL-6 diantara kelompok

sitokin anti-inflamasi.

Interleukin-8, IL

8adalah hormon golongan kemokina berupa polipeptida dengan mass

Page 288: Sistem Imun Full

a sekitar 8-10 kDa yang digunakan untuk proses dasar,

pengikatan heparin, peradangan dan perbaikan jaringan. Ciri khas IL-8

terdapat pada dua residu sisteina dekat N-terminus yang

disekat oleh sebuah asam amino. Tidak seperti sitokina umumnya, IL-

8 bukan merupakan glikoprotein. IL-8

diproduksi oleh berbagai macam sel, termasuk monosit, neutrofil, sel

T, fibroblas, sel endotelial dan sel epitelial, setelah terpapar antigen

atau stimulan radang (ischemia dan trauma). Dua bentuk IL-8 (77

CXC dan 72 CXC) merupakan sekresi neutrofil pada saat teraktivasi.

Produksi IL-8 yang

berlebihan selalu dikaitkan dengan penyakit peradangan,

seperti asma, leprosy,psoriasis dll. IL-8

juga dapat menginduksi perkembangan tumor

sebagai salah satu efek angiogenik yang ditimbulkan,

selain vaskularisasi. Dari beberapa kemokina yang

memicu kemotaksis neutrofil, IL-8 merupakanchemoattractant yang

terkuat. Sesaat setelah terpicu, neutrofil menjadi aktif dan

berubah bentuk oleh karena aktivasi integrin dan sitoskeleton aktin.

Basofil, sel T, monosit dan eosinofil

juga menunjukkan respon kemotaktik terhadap IL-8

dengan terpicunya aktivasi integrin yang

dibutuhkan untuk adhesi dengan sel endotelial pada saat migrasi.

Interleukin-10 (human cytokine synthesis inhibitory factor, TGIF,

IL10A, MGC126450, MGC126451, IL-10, CSIF) adalah sitokina yang

banyak disekresi oleh monosit, yang

memiliki efek pleiotrofik pada sistem kekebalan dan peradangan.

Pertama kali IL-10

dikenal karena kemampuannya untuk menghambat aktivasi dan

fungsi efektor dari sel T, monosit dan makrofaga.Fungsi rutin IL-10

tampaknya terutama menghambat atau meniadakan respon peradang

an, selain mengendalikan perkembangan dan diferensiasi sel B, sel

NK, sel TH, sel T CD8, mastosit, granulosit, sel dendritik,

keratinosit dan sel endotelial, dan bersifat imunosupresif terhadap sel

mieloid. IL-10 adalah sitokin anti-inflamasi dalam respon imun

manusia. Sitokin ini adalah inhibitor kuat dari sitokin Th1, termasuk IL-

2 dan IFN-γ. Aktivitas ini berperan untuk penunjukkan awal sebagai

Page 289: Sistem Imun Full

faktor inhibisi sintesis sitokin.44-46 Selain aktivitasnya sebagai sitokin

linfosit Th2, IL-10 adalah juga merupakan deactivator kuat dari

sintesis sitokin pro inflamasi monosit/makrofag. IL-10 adalah terutama

disintesis oleh sel Th2 CD41, monosit, dan sel-sel B dan bersirkulasi

sebagai homodimer yang terdiri dari dua erat dikemas protein 160-

asam amino proteins. Setelah melibatkan reseptor sel 110-kd yang

berafinitas tinggi, IL-10 menghambat TNF-α yang dihasilkan

monosit/makrofag, IL-1, IL-6, IL-8, IL-12, granulocyte colony-

stimulating faktor, MIP-1α, dan MIP-2α. IL-10 menghambat ekspresi

permukaan sel molekul Major Histocompatibility Complex kelas II,

molekul aksesori B7, dan pengenalan LPS dan molekul sinyal CD14.

Hal ini juga menghambat produksi sitokin oleh neutrofil dan sel

Natural Killer. IL-10 menghambat translokasi nukleus Nuclear Factor

kB (NF-kB) setelah LPS stimulation dan meningkatkan degradasi dari

messenger RNA untuk cytokines proinflamasi. Selain aktivitas

tersebut, IL-10 melemahkan ekspresi permukaan dari reseptor TNF

dan meningkatkan pelepasan reseptor TNF ke dalam sirkulasi

sistemik.IL-10 mudahterukur dalam sirkulasi pada pasien

dengan penyakit sistemik dan berbagai kondisi inflamasi. IL-10

harus tersedia dalam konsentrasi yang memadai untuk memiliki

pengaruh fisiologis pada respon host terhadap inflamasi sistemik.

Telah dibuktikan bahwa pasien yang mengekspresikan tingkat tinggi

dari IL-10 dan mengurangi TNF-α lebih mungkin untuk meninggal

akibat meningococcemia dan berbagai infeksi komunitas

lainnya.Respon IL-10 yang tidak memadai secara fisiologis setelah

injuri sistemik mungkin juga memiliki konsekuensi yang

merugikan. Konsentrasi paru yang rendah dari IL-10 pada pasien

dengan Acute Lung Injury menunjukkan bahwaARDS lebih

mungkin untuk dikembangkan. Administrasi IL-10 pada model

hewaneksperimen endotoksemia meningkatkan survival.50 Relawan

manusia yangdiberikan IL-10 setelah kesulitan endotoxin menderita

lebih sedikit gejala sistemik,respon neutrofil, dan produksi sitokin

dibandingkan subjek kontrol yang diber placebo. Selain itu, tikus yang

memiliki delesi genetik dari gen IL-10 lebih rentan terhadap shock

yang diinduksi endotoksin dibanding tikus normal. IL-10 pada

umumnya melindungi host dari inflamasi sistemik setelahinjuri yang

Page 290: Sistem Imun Full

diinduksi toksin, tetapi membuat host rentan untuk mati dari

infeksi luar biasa dalam berbagai studi

eksperimental.60,61 Pengamatan ini harus dipertimbangkan ketika

memberikan sitokin anti-inflamasi pada kedokteran klinik.Tikus yang

mengalamai knockout IL-1- secara spontan berkembang menjadi

Enteritis Inflamasi Kronik yang menyerupai Inflammatory bowel

disease pada manusia. Hal ini menunjukkanbahwa

konsentrasi endogen IL-10 penting dalam membatasi respon inflamasi

terhadap bakteri terkait usus. Untuk alasan ini, IL-10 sedang dalam uji

klinis sebagaiterapi anti–inflamasi untuk Inflammatory bowel disease

di antara indikasi potensi lainnya

Interleukin 11  IL-11 adalah sitokin peptida nonglycosylated 178-

asam amino yang awalnya terisolasi dari hematopoietik

microenvironment. IL-11 memiliki banyak sifat IL-6, termasuk

penggunaan umum dari kompleks ligan reseptor gp130sebagai jalur

sinyal transduksi. IL-11 berikatan dengan reseptor α IL-11 yang

unikdan kemudian kompleks dengan membran sel gp130 dari sel

target. IL-11 pada awalnya digambarkan sebagai faktor

pertumbuhan hematopoietik dengan aktivitaskhusus

dalam stimulasi dari thrombopoiesis. IL-11 baru-baru ini telah

disetujuiuntuk penggunaan klinis sebagai agen restoratif

trombosit setelah supresi sumsum tulang akibat induksi

kemoterapi. Hal ini telah menjadi jelas bahwa IL-11 memilikiaktivitas

imunoregulator pentingyang terpisah dari faktor

pertumbuhanhematopoietik kuat. IL-11 telah terbukti untuk

melemahkan IL-1 dan sintesis TNFdari makrofag dengan

meningkatkan regulasi inhibisi sintesis NF–

kB dalammacrophage/monocyte cell line. Penghambatan NF-

kB mencegah NF-kB dari translokasi ke inti dimana fungsi NF-kB

sebagai aktivator transkripsi untuk sitokinproinflamasi. IL-11 juga

telah dibuktikan untuk menghambat sintesis dari IFN–γ dan IL-

2 oleh sel T CD4+. Fungsi IL-11 sebagai sitokin tipe Th2, dengan

induksi IL-4 danpenghambatan sitokin tipe Th1. IL-11 tidak

menginduksi sintesis IL-10 atau TGF–β.Hal ini mengindikasikan bahwa

IL-11 adalah inhibitor langsung dari limfosit Th1 dan tidak beraktivitas

Page 291: Sistem Imun Full

secara tidak langsung melalui induksi IL-10. IL-11 jarang terukur

dalam sirkulasi sistemik tetapi telah terdeteksi dan aktif secara

fisiologis di daerah lokal peradangan, seperti arthritis

inflamasi atau inflammatory bowel disease. IL-11saat ini sedang

dalam uji klinis sebagai imunomodulator untuk sejumlah inidikasi

klinis yang berpotensi

Interleukin 12, IL-12 adalah sejenis sitokina yang

biasanya disekresi oleh DC, MAC dan sel B limfoblastoid (NC-37),

sebagai respon terhadap stimulasi antigen. IL-12

disebut juga sebagai faktor stimulan sel T,

karena berperan dalam diferensiasi sel T CD4 menjadi sel TH0 yang

kemudian berkembang menjadi sel TH1. Sel T efektor yang

memproduksi IL-12 disebut sel T CD30. IL-12

juga stimulan bagi sitokina IFN-γ dan TNF-α. Stimulasi IFN-

γ dilakukan dengan mengurangi efek sitokina IL-4 yang

menjadi regulator IFN-γ. Lebih lanjut, produksi IFN-

γ akan meningkatkan kadar IP-10 yang bersifat anti-

angiogenik (menghambat pertumbuhan pembuluh darah baru).

Interleukin-13, IL-13 adalah sebuah protein

dengan fungsi sitokina yang disekresi berbagai sel,

tetapi terutama oleh sel TH2. Berbagai efek biologis IL-13,

seperti halnya IL-4,

terkait dengan sebuah faktor transkripsi yaitu STAT6.  IL-13, sebuah

modulator in vitro dari monosit manusia dan fungsi sel

B, yang disekresikan oleh Limfosit T yang teraktivasi. Sitokin ini

adalah protein nonglikosilasi 132-asam amino dengan berat molekul

sekitar 10 kd. Gen IL-13 manusia telah dipetakan di dekat gen IL-

4 sepanjang 4.5–kilobase urutan DNA pada kromosom 5q31,

menunjukkan asal-usul yang umum. IL-13 dan IL-

4 memiliki reseptor seluler umum (Reseptor tipe 1 IL-4), dan

ini berperan untuk banyaknya persamaan antara keduasitokin anti-

inflamasi ini. IL-4 dan IL-13 hanya berbagi 20% sampai

25% homologiasam amino utama, tetapi regio α-heliks utama

yang sangat penting untuk aktivitasmereka

sangat homologous.Perbedaan fungsional utama antara IL-4 dan IL-

13terletak pada efek mereka pada sel T. IL-4 adalah mediator yang

Page 292: Sistem Imun Full

dominan pada diferensiasi, proliferasi, dan aktivitas sel Th2,

sedangkan IL-13 memiliki efekminimal pada fungsi sel-T.IL-13 dapat

menurunkan produksi TNF, IL-1, IL-8, dan MIP-1α oleh monosit dan

mempunyai efek mendalam pada ekspresi molekul permukaan pada

monosit dan makrofag. IL-13 meningkatkan ekspresi permukaan sel

dari β2 integrin dan antigen Major Histocompatibility Complex (MHC)

kelas II dan menurunkan ekspresi CD14 dan reseptor Fcγ. IL-13

menghambat aktivasi NF-kB pada makrofag dan melindungi dari

kematian yang diinduksi LPS pada hewan models.IL-13 menekanLung

Inflammatory Injury setelah deposisi kompleks

imunIgG. Administrasi eksogen dari sitokin anti-inflamasike

dalamparu-parutikus setelah deposisi kompleks

imunIgGmengungkapkan bahwa aktivitas inhibitor terbesar

ditunjukkan oleh IL-13 dan IL-10, diikuti oleh IL-4 dan IL-6. Peran

potensial dariIL-13di kedokteran klinismasih harusdidefinisikan.

Daftar Lengkap  Interleukins:Nam

aSumber

Target receptors

Target cells Fungsi

IL-1

macrophages, B cells, monocytes,dendritic cells

CD121a/IL1R1, CD121b/IL1R2

T helper cells co-stimulationB cells maturation & proliferationNK cells activation[

macrophages, endothelium, other

inflammation small amounts induce acute phase reaction, large amounts induce fever

IL-2 Th1-cells

CD25/IL2RA, CD122/IL2RB, CD132/IL2RG

activatedT cells and B cells, NK cells, macrophages, oligodendrocytes

stimulates growth and differentiation of T cell response. Can be used in immunotherapy to treat cancer or suppressed for transplant patients. Has also been used in clinical trials (ESPIRIT. Stalwart) to raise CD4 counts in HIV positive patients.

IL-3

activated T helper cells,[35] mast cells, NK cells, endothelium, eosinophils

CD123/IL3RA, CD131/IL3RB

hematopoietic stem cells

differentiation and proliferation of myeloid progenitor cells  to e.g. erythrocytes, granulocytes

mast cells growth and histamine release

IL-4

Th2 cells, just activated naive CD4+ cell, memory CD4+ cells, mast cells, macrophages

CD124/IL4R, CD132/IL2RG

activated B cells

proliferation and differentiation, IgG1 and IgE synthesis. Important role in allergic response (IgE)

T cells proliferationendothelium  

IL-5Th2 cells, mast cells, eosinophils

CD125/IL5RA, CD131/IL3RB

eosinophils productionB cells differentiation, IgA production

IL-6 macrophages, Th2 cells, B cells, astrocytes, endothelium

CD126/IL6RA, CD130/IR6RB

activated B cells differentiation into plasma cellsplasma cells antibody secretionhematopoietic stem cells

differentiation

Page 293: Sistem Imun Full

T cells, others

induces acute phase reaction, hematopoiesis, differentiation, inflammation

IL-7

Bone marrow stromal cells and thymus stromal cells

CD127/IL7RA, CD132/IL2RG

pre/pro-B cell, pre/pro-T cell, NK cells

differentiation and proliferation of lymphoid progenitor cells, involved in B, T, and NK cell survival, development, and homeostasis, ↑proinflammatory cytokines

IL-8 or CXCL8

macrophages, lymphocytes, epithelial cells, endothelial cells

CXCR1/IL8RA, CXCR2/IL8RB/CD128

neutrophils, basophils, lymphocytes Neutrophil chemotaxis

IL-9Th2 cells, specifically by CD4+ helper cells CD129/IL9R T cells, B cells

Potentiates IgM, IgG, IgE, stimulates mast cells

IL-10

monocytes, Th2 cells, CD8+ T cells, mast cells, macrophages, B cell subset

CD210/IL10RA, CDW210B/IL10RB

macrophages cytokine productionB cells activation mast cells  

Th1 cellsinhibits Th1 cytokine production (IFN-γ, TNF-β, IL-2)

Th2 cells Stimulation

IL-11 bone marrow stroma IL11RAbone marrow stroma

acute phase protein production, osteoclast formation

IL-12

dendritic cells, B cells, T cells, macrophages

CD212/IL12RB1, IR12RB2

activated [35] T cells,

differentiation into Cytotoxic T cells with IL-2,[35] ↑ IFN-γ, TNF-α, ↓ IL-10

NK cells ↑ IFN-γ, TNF-α

IL-13activated Th2 cells, mast cells, NK cells IL13R

TH2-cells, B cells, macrophages

Stimulates growth and differentiation of B cells (IgE), inhibits TH1-cells and the production of macrophage inflammatory cytokines (e.g. IL-1, IL-6), ↓ IL-8, IL-10, IL-12

IL-14T cells and certain malignant B cells   activated B cells

controls the growth and proliferation of B cells, inhibits Ig secretion

IL-15

mononuclear phagocytes (and some other cells), especially macrophages following infection by virus(es) IL15RA

T cells, activated B cells

Induces production of Natural killer cells

IL-16

lymphocytes, epithelial cells, eosinophils, CD8+ T cells CD4

CD4+ T cells (Th-cells) CD4+ chemoattractant

IL-17T helper 17 cells (Th17)

CDw217/IL17RA, IL17RB

epithelium, endothelium, other

osteoclastogenesis, angiogenesis, ↑ inflammatory cytokines

IL-18 macrophages CDw218a/IL18R1Th1 cells, NK cells

Induces production of IFNγ, ↑ NK cell activity

IL-19 – IL20R   –

IL-20 – IL20R  regulates proliferation and differentiation of keratinocytes

IL-21activated T helper cells, NKT cells IL21R

All lymphocytes, dendritic cells

costimulates activation and proliferation of CD8+ T cells, augment NK cytotoxicity, augments CD40-driven B cell proliferation, differentiation and isotype switching, promotes differentiation of Th17 cells

IL-22 – IL22R  

Activates STAT1 and STAT3 and increases production of acute phase proteins such as serum amyloid A, Alpha 1-antichymotrypsin and haptoglobin in hepatoma cell lines

IL-23 – IL23R  Increases angiogenesis but reduces CD8 T-cell infiltration

IL-24 – IL20R   Plays important roles in tumor

Page 294: Sistem Imun Full

suppression, wound healing and psoriasis by influencing cell survival.

IL-25 – LY6E  

Induces the production IL-4, IL-5 and IL-13, which stimulate eosinophil expansion

IL-26 – IL20R1  

Enhances secretion of IL-10 and IL-8 and cell surface expression of CD54 on epithelial cells

IL-27 – IL27RA  Regulates the activity of B lymphocyte and T lymphocytes

IL-28 – IL28R  Plays a role in immune defense against viruses

IL-29 –    Plays a role in host defenses against microbes

IL-30 –     Forms one chain of IL-27

IL-31 – IL31RA  May play a role in inflammation of the skin

IL-32 –    

Induces monocytes and macrophages to secrete TNF-α, IL-8 and CXCL2

IL-33 –    Induces helper T cells to produce type 2 cytokine

IL-35 regulatory T cells    Suppression of T helper cell activation

IL-36 – Regulates DC and T cell responses          

IMUNOLOGI DASAR: SITOKIN DAN ASPEK KLINISNYADiposting pada Maret 18, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Sitokin adalah protein yang dibuat oleh sel-sel yang

mempengaruhi perilaku sel-sel lain. Sitokin bertindak pada

reseptor sitokin tertentu dalam sel yang mereka pengaruhi.

Sitokin merupakan protein-protein kecil sebagai mediator dan

pengatur immunitas, inflamasi dan hematopoesis.  Sitokin adalah

salah satu dari sejumlah zat yang disekresikan oleh sel-sel

tertentu dari sistem kekebalan tubuh yang membawa sinyal

antara sel-sel lokal, dan dengan demikian memiliki efek pada sel-

sel lain  Sitokin dihasilkan sebagai respon terhadap stimulus

sistem imun. Sitokin bekerja dengan mengikat reseptor-reseptor

membran spesifik, yang kemudian membawa sinyal ke sel melalui

second messenger (tirosin kinase), untuk mengubah aktivitasnya

(ekspresi gen).Respon-respon terhadap sitokin diantaranya

meningkatkan atau menurunkan ekspresi protein-protein

membran termasuk reseptor-reseptor sitokin, proliferasi, dan

sekresi molekul-molekul efektor. Sitokin bisa beraksi pada sel-sel

yang mensekresinya atau aksi autokrin, pada sel-sel terdekat dari

Page 295: Sistem Imun Full

sitokin disekresi atau aksi parakrin. Sitokin bisa juga beraksi

secara sinergis dua atau lebih sitokin beraksi secara bersama-

sama atau secara antagonis sitokin menyebabkan aktivitas yang

berlawanan.

Sitokin dibagi dalam sitokin imunologi yaitu tipe 1 (IFN-γ, TGF-β), dan tipe

2 (IL-4, IL-10, IL- 13), yang mendukung respon antibodi. Fokus utama yang

menarik adalah bahwa sitokin dalam salah satu dari dua-set sub

cenderung untuk menghambat dampak yang timbul dari pada yang lain.

Disregulasi kecenderungan ini masih dalam studi intensif atas peran yang

mungkin dalam patogenesis gangguan autoimun. Beberapa sitokin

inflamasi diinduksi oleh stres oksidan. Fakta bahwa sitokin, sendiri

memicu pelepasan sitokin lainnya dan menyebabkan stres oksidan juga

meningkat, membuat mereka penting dalam inflamasi kronis. Disregulasi

sitokin-sitokin baru-baru ini telah dibagi menjadi dua kelompok yaitu ada

bersifat memacu dan menghambat. Bersifat memacu yaitu sesuai dengan

populasi sel yang fungsi mereka mempromosikan: sel T helper 1 atau 2.

Kategori kedua sitokin memiliki peran dalam pencegahan berlebihan

tanggapan kekebalan pro-inflamasi, termasuk IL-4, IL-10 dan TGF-β (untuk

beberapa nama). Sitokin merupakan sinyal penting yang dihasilkan oleh

sel-sel tubuh untuk dapat mengaktifkan kerja sel yang lain, sehingga jenis

dari sitokin yang disekresikan oleh sel akan memberikan efek pada sel

targetnya. Beberapa penyakit autoimun ditandai dengan perubahan

komposisi Th1 vs Th2 dan keseimbangan IL-12/TNF-α vs IL-10. Pada

beberapa penyakit seperti RA, MS, DM tipe 1, penyakit tiroid autoimun,

dan Crohn’s, keseimbangan bergeser menuju Th1 (IL-12 & TNF-α),

sedangkan aktifitas Th2 (IL-10) berkurang. Pada SLE berkaitan dengan

pergeseran ke Th2 (IL-10), sedangkan produksi IL-12 dan TNF-α oleh Th1

sangat kurang. pada gambar berikut ini menjelaskan pada penyakit DM

tipe 1 yang diperantarai oleh sitokin yang dihasilkan sampai terjadinya

kerusakan sel-sel beta pakreas.

Sitokin adalah salah satu dari sejumlah zat-zat yang dikeluarkan oleh sel-

sel yang spesifik sistem kekebalan yang membawa sinyal lokal antara sel,

dan dengan demikian memiliki efek pada sel-sel lain. Sitikin adalah

kategori yang menandakan molekul yang digunakan secara luas dalam

komunikasi selular berupa protein, peptida atau glikoprotein. Istilah

Page 296: Sistem Imun Full

sitokin meliputi keluarga besar dan beragam regulator polipeptida yang

dihasilkan secara luas di seluruh tubuh oleh sel asal embryological yang

beragam.

Respon-respon terhadap sitokin diantaranya meningkatkan atau menurunkan ekspresi protein-protein membran (termasuk reseptor-reseptor sitokin), proliferasi, dan sekresi molekul-molekul efektor.Sitokin bisa beraksi pada sel-sel yang mensekresinya (aksi autokrin), pada sel-sel terdekat dari sitokin disekresi (aksi parakrin). Sitokin bisa juga beraksi secara sinergis (dua atau lebih sitokin beraksi secara bersama-sama) atau secara antagonis (sitokin menyebabkan aktivitas yang berlawanan).

Pada dasarnya, istilah “sitokin” telah digunakan untuk merujuk kepada

agen immunomodulating (interleukin interferon, dll.). Berisi data yang

bertentangan tentang apa yang disebut sitokin dan apa yang disebut

hormon. Anatomi dan struktural perbedaan antara sitokin dan klasik

hormon yang memudar seperti kita belajar lebih banyak tentang masing-

masing. Klasik protein hormon yang beredar dalam konsentrasi nanomolar

(10) yang biasanya bervariasi oleh kurang dari satu urutan besarnya.

Sebaliknya, beberapa sitokin seperti IL-6 beredar di picomolar 

konsentrasi yang dapat meningkatkan hingga 1,000-fold selama trauma

atau infeksi. Distribusi luas sumber selular sitokin mungkin fitur yang

membedakan mereka dari hormon. Hampir semua tercampur sel, tapi

terutama endo/epitel sel dan makrofaga  adalah tempat produksi IL-1, IL-

6, dan TNF-α. Sebaliknya, hormon klasik, seperti insulin, dikeluarkan dari

kelenjar (misalnya, pankreas). Terminologi saat ini merujuk sitokin

sebagai agen immunomodulating. Namun, penelitian lebih lanjut

diperlukan di daerah ini mendefinisikan sitokin dan hormon.

Sitokin masing-masing memiliki reseptor sel-permukaan yang

cocok. Kaskade sinyal intraselular berikutnya kemudian mengubah fungsi

sel. Ini mungkin termasuk upregulation dan / atau downregulation dari

beberapa gen dan faktor-faktor transkripsi mereka, sehingga dalam

produksi sitokin lainnya, peningkatan jumlah reseptor permukaan untuk

molekul lain, atau penindasan efek mereka sendiri dengan inhibisi umpan

balik.

Page 297: Sistem Imun Full

Sitokin Anti–inflamasi adalah

serangkaian molekul immunoregulator yang

mengontrol respon sitokin proinflamasi. Sitokin bekerja dalam kaitan

dengan inhibitorsitokin spesifik dan reseptor sitokin yang larut untuk

mengatur respon kekebalan tubuh manusia. Peran fisiologisnya dalam

peradangan dan peran patologis pada

kondisiinflamasi sistemik semakin diketahui. Sitokin anti-

inflamasi mayor termasuk antagonis reseptor interleukin (IL) -1, IL-4, IL-

6, IL-10, IL-11, dan IL-13. Reseptor Sitokin spesifikuntuk IL-1, Tumor

Necrosis Factor–α, dan IL-18 juga berfungsi sebagai inhibitor sitokinpro

inflamasi. Sifat anti–inflamasi sitokin dan

reseptor sitokin yang larut adalah fokusdari kajian

ini. Penggunaan terapi saat ini dan masa depan dari anti-

inflamasi sitokinjuga dikaji.

Respon Imun manusia diatur oleh jaringan yang sangat

kompleks dan rumit darielemen kontrol. Yang menonjol

diantara komponen-komponen regulasi ini adalahsitokin anti-inflamasi dan

inhibitor sitokin spesifik. Dalam

kondisi fisiologis, sitokininhibitor ini berfungsi sebagai

elemen imunomodulator yang membatasi efek yang berpotensi menjadi

injuri dari reaksi inflamasi berkelanjutan atau yang berlebihan.Dalam

kondisi patologis, mediator anti-inflamasi ini dapat baik (1) memberikan

kontrol yang kurang atas aktivitas proinflamasi dalam penyakit

yang dimediasi imun atau (2)kompensasi berlebihan dan

menghambat respon imun, menjadikan host beresiko terhadap infeksi

sistemik

Keseimbangan dinamis dan berubah terus terjadi

antara sitokin proinflamasi dan komponen anti–inflamasi dari sistem imun

manusia. Regulasi inflamasi oleh sitokin

daninhibitor sitokin bersifat rumit oleh fakta bahwa

sistem imun memiliki jalur berlebihan dengan beberapa elemen yang

memiliki efek fisiologis yang sama. Selain itu, dengan

pengecualian potensi dari interleukin (IL) -1 receptor antagonist (IL–1ra),

semua sitokinanti-inflamasi memiliki setidaknya beberapa sifat

proinflamasi juga. Efek murni darisitokin tergantung

pada waktu pelepasan sitokin, lingkungan lokal di mana ia

bekerja,keberadaan elemen kompetitor atau sinergis,

kepadatan reseptor sitokin, dan responjaringan

Page 298: Sistem Imun Full

terhadap setiap sitokin. Inilah yang membuat penelitian mengenai sifat

biologissitokin yang begitu mempesona.

 

Gangguan dari jaringan regulasi sitokin oleh genetik, lingkungan,

atau mikrobatelah memiliki konsekuensi yang sangat merusak. Sitokin

anti-inflamasi mayor dan peran spesifik mereka pada penyakit

manusia akan menjadi fokus dari tinjauan singkat ini. Inhibitor Sitokin

ini telah terbukti efektif dalam berbagai kondisi klinis yang ditandaioleh

peradangan yang berlebihan. Potensi terapinya digunakan

dalam berbagai keadaan inflamasi lainnya juga akan dijelaskan.

 

Prinsip sitokin anti-inflamasi dan inhibitor sitokin dijelaskan dalam tabel

1,2. Definisi fungsional dari Sitokin antiinflamasi pada ulasan ini adalah

kemampuan dari sitokin untuk menghambat sintesis IL-1, Tumor Necrosis

Factor (TNF), dan sitokin proinflamasi utama lainnya.

 

Limfosit T helper CD4+ dapat diferensiasi menjadi subset dikotom yang

fungsional dari sel Th tergantung pada lingkungan mikros dari sel. Sel

Helper CD4+ yang memproduksi sitokin ke dalam sel tipe Th1 dan Th2

pada basis sitokin yang diproduksi.9,10 Sistem fungsional serupa baru-baru

ini dideskripsikan dengan sel T sitotoksik CD8+(Sel T1 CD8+ dan T2

CD8+).

 

Sel tipe Th1 mensekresikan IL-2, TNF-α, dan interferon-γ dengan kadar

tinggi. Aktivitas ini mengaktivasi makrofag dan sel promotor yang

dimediasi respon imun melawan patogen intraseluler yang invasif. Sel tipe

Th2 memproduksi berbagai macam sitokin anti-inflamasi, termasuk IL-4,

IL-5, IL-6, IL-10, dan IL-13. Keduanya sel TH1 dan Th2 memproduksi lebih

sedikit jumlah dari TNF-α, Granulocyte-Macrophage Colony-stimulating

Factor(GM-CSF), dan IL-3. Sitokin tipe Th2 meningkatkan respon imun

humoral melawan patogen ekstraseluler. Penghambatan saling silang

antara sitokin tipe Th-1 dan Th-2 mempolarisasi fungsional respon sel Th

ke dalam sel yang memediasi respon imun humoral. Regulasi dari aktivasi

Page 299: Sistem Imun Full

sel T oleh sitokin anti-inflamasi adalah elemen kontrol awal yang krusial

pada proses ini (Gambar 1)

Efek dari sitokin tertentu pada sel yang diberikan tergantung pada sitokin,

kelimpahan ekstraseluler nya, kehadiran dan kelimpahan dari reseptor

komplementer pada permukaan sel, dan sinyal hilir diaktifkan oleh

reseptor mengikat; dua faktor terakhir dapat bervariasi menurut jenis sel.

Sitokin adalah ditandai dengan cukup “redundansi”, dalam banyak sitokin

muncul untuk berbagi fungsi yang sama.

Generalisasi fungsi sitokin sangat sulit dijabarkan. Meskipun demikian,

dampak klinisnya dapat dikelompokkan sebagai berikut:

autokrin: jika sitokin yang bekerja pada jenis yang sama sel yang

mengeluarkan.

parakrin: jika target dibatasi untuk sel-sel dari tipe yang berbeda di

sekitar langsung sekresi sitokin.

Hal ini tampaknya menjadi paradoks yang mengikat sitokin antibodi

memiliki efek kekebalan yang lebih kuat daripada sitokin saja. Hal ini

dapat menyebabkan untuk menurunkan dosis terapeutik.

Sekresi berlebihan sitokin dapat memicu sindrom berbahaya yang dikenal

sebagai badai sitokin, ini mungkin telah menyebabkan efek samping yang

parah selama percobaan klinis dari TGN1412.

Klasifikasi Sel Sitokin

Sitokin adalah nama umum, nama yang lain diantaranya limfokin (sitokin

yang dihasilkan limfosit), monokin (sitokin yang dihasilkan monosit),

kemokin (sitokin dengan aktivitas kemotaktik), dan interleukin (sitokin

yang dihasilkan oleh satu leukosit dan beraksi pada leukosit lainnya).

Sitokin berdasarkan jenis sel penghasil utamanya, terbagi atas monokin

dan limfokin.

Makrofag sebagai sel penyaji antigen (Antigen Presenting Cell / APC),

mengekspresikan peptida protein Mayor Histocompatibility Complex

(MHC) klas II pada permukaan sel dan berikatan dengan reseptor sel T

(Tcr), sel T helper. Makrofag mensekresi Interleukin (IL)-1β, IL-6, IL-8, IL-

12, dan TNF-α.

Page 300: Sistem Imun Full

Pada sel T terdiri atas dua kelompok yaitu kelompok sel Th1 memproduksi

Interleukin-2 (IL-2), Interferon-γ (IFN- γ) dan Limfotoksin (LT). Kelompok

sel Th2 memproduksi beberapa interleukin yaitu IL-4, IL-5, IL-6, IL-10.

Klasifikasi Struktural

Homologi struktural telah mampu membedakan antara sebagian

sitokin yang tidak menunjukkan tingkat redundansi sehingga

mereka dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis:

Keempat famili α-helix bundel  sitokin Anggota memiliki struktur

tiga dimensi dengan empat bundel α-heliks. Famili ini dibagi menjadi

tiga sub-keluarga subfamily IL-2

1. subfamili  interferon (IFN)

2. subfamili IL-10

Yang pertama dari ketiga subfamili adalah yang terbesar. Hal

itu berisi beberapa non-imunologi sitokin termasuk eritropoietin

(EPO) dan thrombopoietin (TPO). Juga, empat bundel α-helix

sitokin dapat dikelompokkan menjadi sitokin rantai panjang dan

rantai pendek.

Famili IL-1  yang primer termasuk  IL-1 and IL-18

Famili IL-17 , yang belum sepenuhnya ditandai, meskipun sitokin

anggota memiliki efek khusus dalam mempromosikan proliferasi T-sel

yang menyebabkan efek sitotoksik

Klasifikasi Fungsional

Sebuah klasifikasi yang terbukti lebih berguna dalam praktek klinis dan

eksperimental adalah pembagian sitokin imunologi ke orang-orang yang

meningkatkan respon imun seluler yaitu tipe 1 (IFN-γ, TGF-β, dll), dan tipe

2 (IL-4, IL-10, IL -13, dll) adalah yang mendukung respon antibodi.

Fokus utama yang menarik adalah bahwa sitokin dalam salah satu dari

dua sub-set cenderung untuk menghambat dampak yang timbul dari

lainnya. Disregulasi dari kecenderungan ini berperan dalam patogenesis

gangguan autoimun.

Beberapa Sitokin inflamasi diinduksi oleh stres oksidan. Fakta bahwa sitokin sendiri memicu

pelepasan sitokin lainnya dan juga menyebabkan stres oksidan meningkat membuat sitokin

berperan penting dalam peradangan proses kronis.

Page 301: Sistem Imun Full

Sitokin   Imun

Selektif dan Aktivitasnya

Sel penghasil Sel target Fungsi

GM-CSF   Sel   Th Sel-sel   progenator

Pertumbuhan   dan differensiasi monosit dan DC

IL-1α  IL-1β  MonositMakrofagSel – sel BDC Sel   – sel Th co-stimulasi

Sel   – sel B Maturasi   dan proliferasiSel   – sel NK Aktivasibervariasi   Inflamasi,   fase respon akut, demam

IL-2   Sel-sel   Th1Pengaktifan   sel T dan B, sel-sel NK

Pertumbuhan,   proliferasi,aktivasi

IL-3  Sel-sel   ThSel-sel   NK Sel   pokok

Pertumbuhan   dan differensiasi

Sel   mast Pertumbuhan   dan pelepasan histamin

IL-4   Sel-sel   Th2 Pengaktifan   Sel B

Proliferasi   dan differensiasi lgG1   dan sintesis Ig E

Makrofag   MHC   klas IISel-sel   T Proliferasi

IL-5 Sel-sel Th2 Pengaktifan sel B

Proliferasi dan   differensiasi sintesis lgA

IL-6

MonositMakrofagSel-sel Th2Sel-sel stromal Pengaktifan sel B

Differensiasi sel   plasma

Sel plasma Sekresi antibodiSel pokok DifferensiasiBervariasi Respon fase akut

Il-7Stroma sumsum,timus Sel pokok

Differensiasi   kedalam progenitor sel T dan B.

IL-8MakrofagSel endotelium Neutrofil-neutrofil Kemotaksis

IL-10 Sel-sel Th2 Makrofag Produksi sitokinSel-sel B Aktivasi

IL-12 MakrofagSel-sel B Pengaktifan sel-sel   TcDifferansiasi CTL   (dengan IL-2)

Sel-sel NK Pengaktifan

IFN-α Leukosit BervariasiReplikasi virus,   ekspresi MCH I

IFN-β Fibroblas BervariasiReplikasi virus,   ekspresi MCH I

Page 302: Sistem Imun Full

IFN-γSel-sel Th1Sel-sel Tc, sel-sel   NK Bervariasi Replikasi virus

Makrofag Respon MHCPengaktifan sel B Perubahan Ig   menjadi IgG2aSel-sel Th ProliferasiMakrofag Eliminasi patogenMIP-1α Makrofag Monosit, sel-sel T KemotaksisMIP-1β Limfosit Monosit, sel-sel T KemotaksisTGF-β Sel T, monosit Monosit, Makrofag KemotaksisPengaktifan   makrofag Sintesis IL-1Pengaktifan sel B Sintesis lgABervariasi Proliferasi

TNF-αMakrofagSel mast, sel-sel   NK Makrofag

Ekspresi CAM dan   sitokin

Sel tumor Sel mati

TNF- β Sel Th1 dan Tc Fagosit-fagositFagositosis, tidak   ada produksi

Sel tumor Sel mati

Reseptor Sitokin

Dalam beberapa tahun terakhir, reseptor sitokin telah banyak menyita

perhatian para ahli dibandingkan dengan sitokin itu sendiri, sebagian

karena karakteristiknya yang luar biasa, dan sebagian karena defisiensi

reseptor sitokin secara langsung berkaitan dengan melemahnya

immunodefisiensi.

Dalam hal ini, dan juga karena redundansi dan pleiomorpishm sitokin,

pada kenyataannya merupakan konsekuensi dari reseptor homolog

sitokin, banyak para ahli berfikir bahwa klasifikasi reseptor akan lebih

berguna secara klinis dan eksperimental. Sitokin bekerja pada sel-sel

targetnya dengan mengikat reseptor-reseptor membran spesifik. Reseptor

dan sitokin yang cocok dengan reseptor tersebut dibagi ke dalam

beberapa kelompok berdasarkan struktur dan aktivitasnya.

Klasifikasi reseptor sitokin berdasarkan pada struktur tiga-

dimensi yang dimiliki.

Reseptor sitokin tipe 1 ( Haemopoitin Growth Factor

family ) 

Anggota-anggotanya memiliki motif tertentu pada ekstraseluler asam-

amino domain. Contoh, IL-2 reseptor memiliki rantai –γ (umumnya

Page 303: Sistem Imun Full

untuk beberapa sitokin lain) yang kurang sehingga secara langsung

bertanggung jawab atas x-linked Severe Combined Immunodeficiency

(X-SCID). X-SCID menyebabkan hilangnya aktivitas kelompok sitokin

ini.

Reseptor sitokin tipe 2 ( Interferon )

Anggota-anggotanya adalah reseptor-reseptor terutama untuk

interferon. Reseptor-reseptor kelompok interferon memiliki sistein

residu (tetapi tidak rangkain Trp-Ser-X-Trp-Ser) dan mencakup

reseptor-reseptor untuk IFNα, IFNβ, IFNγ.

Reseptor sitokin tipe 3 ( Tumor Necrosis Factor family )

Anggota-anggotanya berbagi sistein-ekstraseluler yang umumnya

banyak mengikat domain, dan termasuk beberapa non-sitokin lain

seperti CD40, CD27, dan CD30, selain yang diberi nama (TNF).

Reseptor kemokin 

Reseptor kemokin mempunyai tujuh transmembran heliks dan

berinteraksi dengan G protein. Kelompok ini mencakup reseptor untuk

IL-8, MIP-1, dan RANTES. 1 Reseptor kemokin, dua diantaranya beraksi

mengikat protein untuk HIV (CXCR4 dan CCR5), yang juga tergolong

ke dalam kelompok ini.

Immunoglobulin (Ig) superfamili 

Immunoglobulin (Ig) yang sudah ada seluruhnya pada beberapa sel

dan jaringan dalam tubuh vertebrata, dan berbagi struktural homologi

dengan immunoglobulin (antibodi), sel molekul adhesi, dan bahkan

beberapa sitokin. Contoh, IL-1 reseptor.2

Reseptor TGF beta 7

Anggotanya dari transformasi faktor pertumbuhan beta superfamili,

yang tergolong kelompok ini, meliputi TGF-β1, TGF-β2, TGF-β3.2

Reseptor sitokin bisa keduanya merupakan membran berbatas dan

larut. Reseptor sitokin yang larut umumnya secara ekstrim sebagai

pengatur fungsi sitokin.2 Aktivitas sitokin bisa dihambat oleh

antagonisnya, yaitu molekul yang mengikat sitokin atau reseptornya.

Selama berlangsungnya respon imun, fragmen-fragmen membran

reseptor terbuka dan bersaing untuk mengikat sitokin.

Tipe Reseptor SitokinTipe Contoh Struktur Mekanisme

Page 304: Sistem Imun Full

Reseptor   sitokin

Reseptor tipe 1

  Reseptor tipe 1 interleukin

  Reseptoreritropoietin

  Reseptor GM-CSF   d. Reseptor

faktor interleukin   Reseptor G-CSF   Reseptor prolakin   Reseptor faktor

penghambat leukemia

Tergantung pada motif   ekstraseluler-asam amino domain mereka. Yang dihubungkan sampai Janus   Kinase (JAK) family dari tirosin kinase

JAK phosphory late   dan mengaktifkan protein-protein pada lintasan transduksi sinyalnya.

Reseptor tipe 2

  Reseptor tipe 2 interleukin   Reseptor interferon α / β   Reseptor gamma interferon

Imunoglobin   superfamili

  Reseptor interleukin-1

  CSF 1   C Reseptor  ReseptorInterleuki

n 18

Berbagi homologi   struktural dengan imunoglobin-imunoglobin (antibodi), sel molekul-molekul   adhesi dan bahkan berapa sitokin.

Reseptor tumor   nekrosis faktor family

  CD27   CD30   CD40   CD120   Reseptor

Lymphotoxin betaSistein-kaya akan   ekstraseluler mengikat domain

Reseptor kemokin

  Reseptor interleukin 8

  CCR1   CXCR4   Reseptor MCAF   Reseptor NAP-2

Tujuh transmembran heliks

G   protein-berpasangan

Reseptor TGF beta

  Reseptor TGF beta 1   Reseptor TGF beta 2

Interleukin-1 adalah sebutan bagi beberapa polipeptida sitokina IL-

1α, IL-1ß dan IL-1Ra, yang memainkan peran penting dalam regulasi

sistem kekebalan dan respon peradangan. IL-1α dan IL-1ß masing-

masing memiliki berkas genetik IL1A, dan IL1B,pada kromosom 2

deret yang sama yaitu 2q14, dan merupakan sitokina pleiotropik hasil

sekresi monosit dan makrofaga berupa prohormon, sebagai respon

Page 305: Sistem Imun Full

saat sel mengalami cedera, oleh karena itu menginduksi apoptosis.

Interleukin-1 (IL-1) merupakan keluarga dari polipeptida dengan

berbagai kegiatan biologis. Setidaknya dua produk gen yang berbeda

telah dikloning, ada mungkin lebih. Keluarga IL-1 manusia memainkan

peran penting dalam patogenesis banyak penyakit dan fungsi sebagai

mediator kunci dari respon host terhadap tantangan infeksi, inflamasi,

dan imunologi yang berbeda. IL-1 Recombinant mouse (pI 5) dan 

recombinant human (pI 7) yang digunakan untuk mengkonfirmasi

beberapa sifat biologis IL-1” s tetapi penyelidikan yang cukup besar

diperlukan sebelum kegiatan tertentu (unit biologis per miligram

protein) ditetapkan untuk setiap bentuk IL-1 human. Beberapa

kegiatan IL-1 biologis seperti induksi hati fase akut sintesis protein

telah dibuktikan dalam invertebrata dalam evolusi limfosit. IL-1 adalah

sangat inflamasi dan meningkatkan konsentrasi metabolit asam

arakidonat, terutama prostaglandin E2, di otak, otot, kondrosit, dan

fibroblas sinovial. Sintesis leukotrien juga terlibat dalam mekanisme

kerja pada jaringan tertentu. Kloning dan ekspresi gen IL-1 human

akan memperluas pemahaman kita tentang IL-1 dalam berbagai

penyakit melalui sistem deteksi peningkatan dan penggunaan probe

cDNA, pengembangan antagonis IL-1, serta penggunaan IL-1 sebagai

immunomodulator, saat ini sedang dipertimbangkan. Beberapa pakar

menganggap bahwa defisiensi genetik IL1A berperan dalam

reumatoid artritis dan Alzheimer. IL-1ß merupakan sitokina yang diiris

oleh ICE, dan berperan di dalam aktivitas selular seperti proliferasi,

diferensiasi dan apoptosis. Induksi COX-2 pada sitokina ini di dalam

sistem saraf pusat ditemukan sebagai penyebab hipersensitivitas

yang memberikan rasa sakit. Dari percobaan yang dilakukan terhadap

manusia dan hewan, ada peranan yang kuat dari IL-1 sebagai

mediator stimulasi hilangnya tulang pada penyakit periodontal. IL-1

adalah mediator utama terhadap respon inflamasi yang dihasilkan

oleh banyak sel yang berbeda, termasuk makrofag, sel-sel endotel,

sel-sel B, fibroblas, sel-sel epitel, astrocytes, dan osteoblas. IL-1

dihasilkan sebagai respon terhadap mikroorganisme, bakteri toksin,

komponen komplemen atau injuri jaringan. Salah satu aksi terpenting

dari IL-1 adalah kemampuannya untuk menginduksi sitokin lain, dan

IL-1 muncul sebagai bagian jaringan sitokin dengan sifat self-

Page 306: Sistem Imun Full

regulating dan self-suppressing Pada awalnya IL-1 ditemukan sebagai

faktor yang bisa menginduksi terjadinya demam, sebagai pengontrol

limfosit, meningkatkan jumlah sel-sel sumsum tulang dan

menyebabkan degenerasi komposisi tulang. Sekitar tahun 1984-1985,

IL-1 ditemukan oleh para ahli bahwa sebenarnya terdiri dari dua

protein yang terpisah, sekarang disebut dengan IL-1α dan IL-1β. IL-1α

dan IL-1β merupakan pro-inflamatori sitokin yang terlibat dalam

pertahanan imun melawan infeksi. IL-1α dan IL-1β keduanya

dihasilkan oleh makrofag, monosit, dan sel-sel dendrit. Mereka

dibentuk sebagai bagian penting terhadap respon inflamasi tubuh

melawan infeksi. Sitokin-sitokin ini meningkatkan ekspresi faktor-

faktor adhesi pada sel-sel endotel untuk memungkinkan

transmigrasinya leukosit-leukosit, sel-sel yang melawan patogen, ke

tempat infeksi dan berkumpul di pusat pengatur suhu hipotalamus,

dan menyebabkan peningkatan suhu tubuh atau demam. Dengan

demikian IL-1 disebut endogenous pyrogen. IL-1 juga penting dalam

pengaturan hematopoesis IL-1 diketahui menstimulasi fibroblas untuk

menghasilkan kolagenase. IL-1 dikenal paling berpotensi menginduksi

proses demineralisasi tulang dan sinergis dengan tumor necrosis

factor α dalam menstimulasi resorpsi tulang terutama dalam

mengubah matriks jaringan ikat. Kadar IL-1 diketahui meningkat pada

gingiva periodontitis dewasa dibandingkan dengan individu yang

secara klinis sehat atau mengalami gingivitis ringan. IL-1 juga

meningkat pada periodontitis aktif dibandingkan dengan inflamasi

yang stabil.

Interleukin-2, IL-2 (T Cell Growth Factor, TCGF, lymphokine)

adalah sejenis sitokina yang disebut hormon leukositotropik,yang

berperan sebagai stimulan dalam proliferasi sel B dan sel T.IL-2

ditelisik mempunyai fungsi yang serupa dengan IL-15.IL-2 berperan

dalam apoptosis sel T yang teraktivasi bukan oleh antigen, hal ini

penting untuk mencegah autoimunitas, sedangkan IL-15 berperan

dalam pemeliharaan sel T memori.

Interleukin-3, IL-3 (multi colony stimulating factor, MULTI-CSF,

MCGF, MGC79398, MGC79399 adalah sebuah hormon berjenis

sitokina dari kelompok interleukin yang mempunyai potensi untuk

memicu proliferasi beragam sel hematopoietik menjadi sel progenitor

Page 307: Sistem Imun Full

mieloid, termasuk memicu proliferasi beragam sel mieloid seperti

eritrosit, megakariosit, granulosit, monosit dan sel dendritik. IL-3

berperan dalam pelbagai aktivitas selular, seperti perkembangan sel,

diferensiasi sel dan apoptosis, serta memiliki potensi neurotropik.

Umumnya IL-3 disekresi oleh sel T yang teraktivasi sebagai respon

imunitas untuk menstimulasi lebih banyak sel T dari sumsum tulang.

Interleukin-4, IL-4 (BSF1, BCGF1, BCGF-1, MGC79402) adalah

sitokina pleiotropik yang disekresi oleh sel T yang telah teraktivasi

menjadi sel TH2, bersama-sama dengan IL-5 dan IL-13.IL-4 berperan

dominan dalam sistem kekebalan dan merupakan faktor yang penting

dalam perkembangan hipersensitivitas,dengan fungsi selular yang

banyak tumpang-tindih dengan IL-13.

Interleukin-5, IL-5 (eosinophil colony-stimulating factor, EDF, TRF)

adalah sitokina sekresi sel TH yang berperan dalam perkembangan

dan diferensiasi sel B dan eosinofil. Peningkatan rasio IL-5 dilaporkan

terkait dengan asma dan sindrom hipereosinofilik,  seperti eosinofilia.

Tingginya rasio IL-5 juga ditemukan pada penderita penyakit Graves

dan tiroiditis Hashimoto.

Interleukin-6 (Interleukin 6, Interferon beta-2, IFNB2, B cell

differentiation factor, B cell stimulatory factor 2, BSF2, Hepatocyte

stimulatory factor, HSF, Hybridoma growth factor, HGF, IL-6) adalah

sitokina yang disekresi dari jaringan tubuh ke dalam plasma darah,

terutama pada fase infeksi akut atau kronis, dan menginduksi respon

peradangan transkriptis melalui pencerap IL-6 RA, menginduksi

maturasi sel B.dan pencerap gp130  IL-6 merupakan sitokin

pleiotropik yang diproduksi oleh banyak tipe sel seperti monosit,

fibroblas, sel-sel endotel, dan limfosit T dan B. IL-6 tidak diekspresikan

secara terus-menerus, melainkan banyak diinduksi dan diproduksi

sebagai respon terhadap sejumlah rangsangan inflamatori seperti IL-

1, TNF-α, produk-produk bakteri, dan infeksi virus. Sitokin ini

mempunyai fungsi yang berbeda, meliputi differensiasi dan/atau

aktivasi makrofag dan sel-sel T, sel-sel pertumbuhan dan differensiasi

sel-sel B, stimulasi hematopoesis dan differensiasi neural.

Interleukin-8, IL 8  adalah hormon golongan kemokina berupa

polipeptida dengan massa sekitar 8-10 kDa yang digunakan untuk

proses dasar, pengikatan heparin, peradangan dan perbaikan

Page 308: Sistem Imun Full

jaringan. Ciri khas IL-8 terdapat pada dua residu sisteina dekat N-

terminus yang disekat oleh sebuah asam amino. Tidak seperti sitokina

umumnya, IL-8 bukan merupakan glikoprotein. IL-8 diproduksi oleh

berbagai macam sel, termasuk monosit, neutrofil, sel T, fibroblas, sel

endotelial dan sel epitelial, setelah terpapar antigen atau stimulan

radang (ischemia dan trauma). Dua bentuk IL-8 (77 CXC dan 72 CXC)

merupakan sekresi neutrofil pada saat teraktivasi. Produksi IL-8 yang

berlebihan selalu dikaitkan dengan penyakit peradangan, seperti

asma, leprosy, psoriasis dll. IL-8 juga dapat menginduksi

perkembangan tumor sebagai salah satu efek angiogenik yang

ditimbulkan, selain vaskularisasi. Dari beberapa kemokina yang

memicu kemotaksis neutrofil, IL-8 merupakanchemoattractant yang

terkuat. Sesaat setelah terpicu, neutrofil menjadi aktif dan berubah

bentuk oleh karena aktivasi integrin dan sitoskeleton aktin. Basofil, sel

T, monosit dan eosinofil juga menunjukkan respon kemotaktik

terhadap IL-8 dengan terpicunya aktivasi integrin yang dibutuhkan

untuk adhesi dengan sel endotelial pada saat migrasi.

Interleukin-10 (human cytokine synthesis inhibitory factor, TGIF,

IL10A, MGC126450, MGC126451, IL-10, CSIF) adalah sitokina yang

banyak disekresi oleh monosit, yang memiliki efek pleiotrofik pada

sistem kekebalan dan peradangan.[1]Pertama kali IL-10 dikenal karena

kemampuannya untuk menghambat aktivasi dan fungsi efektor dari

sel T, monosit dan makrofaga.Fungsi rutin IL-10 tampaknya terutama

menghambat atau meniadakan respon peradangan, selain

mengendalikan perkembangan dan diferensiasi sel B, sel NK, sel TH,

sel T CD8, mastosit, granulosit, sel dendritik, keratinosit dan sel

endotelial, dan bersifat imunosupresif terhadap sel mieloid.

Interleukin 12, IL-12 adalah sejenis sitokina yang biasanya

disekresi oleh DC, MAC dan sel B limfoblastoid (NC-37), sebagai

respon terhadap stimulasi antigen. IL-12 disebut juga sebagai faktor

stimulan sel T, karena berperan dalam diferensiasi sel T CD4 menjadi

sel TH0 yang kemudian berkembang menjadi sel TH1. Sel T efektor

yang memproduksi IL-12 disebut sel T CD30. IL-12 juga stimulan bagi

sitokina IFN-γ dan TNF-α. Stimulasi IFN-γ dilakukan dengan

mengurangi efek sitokina IL-4 yang menjadi regulator IFN-γ. Lebih

Page 309: Sistem Imun Full

lanjut, produksi IFN-γ akan meningkatkan kadar IP-10 yang bersifat

anti-angiogenik (menghambat pertumbuhan pembuluh darah baru).

Interleukin-13, IL-13 adalah sebuah protein dengan fungsi sitokina

yang disekresi berbagai sel, tetapi terutama oleh sel TH2. Berbagai

efek biologis IL-13, seperti halnya IL-4, terkait dengan sebuah faktor

transkripsi yaitu STAT6.

Tumor Necrosis Factor-alpha (TNF-α)

Penyakit-penyakit inflamasi tulang kronis, seperti rheumatoid arthritis,

penyakit periodontal, dan aseptik periprosthetik osteolisis,

dikarekteristikkan dengan hilangnya tulang sekitar jaringan

pendukung gigi disebabkan meningkatnya osteoklastik resorpsi

tulang. Resorpsi ini banyak diperantarai oleh peningkatan produksi

lokal sitokin pro-inflamatori seperti TNF-α.

Tumor necrosis factor juga merupakan sitokin multipotensial yang

mempunyai berbagai efek biologik dan diketahui mempunyai efek

yang mirip seperti IL-1. TNF-α diproduksi terutama oleh makrofag

terhadap respon agent seperti lipopolisakkarida. TNF-α dan IL-1

keduanya diketahui beraksi pada sel-sel endotel untuk meningkatkan

perlekatan polimorfonuklear neutrofil dan monosit, sehingga

membantu untuk mengumpulkan sel-sel tersebut masuk ke dalam

lokasi inflamasi

Molekul-molekul TNF-α menstimulasi resorpsi tulang dengan

menginduksi proliferasi dan differensiasi progenitor-progenitor

osteoklas dan mengaktifkan formasi osteoklas secara tidak langsung.

TNF-α juga sebagai mediator proses destruksi jaringan dengan

menstimulasi kolagenase dan degradasi kolagen tipe I oleh fibroblas

sehingga memicu destruksi jaringan periodonsium.

Osteoklas merupakan sel-sel multinukleat yang dibentuk dengan

proses peleburan progenitor-progenitor mononuklear di dalam

monosit atau makrofag yang diperoleh dari colony-forming units

granulacyte-macrophage (CFU-GM). Suatu penelitian mengidentifikasi

ada dua cara pengaktifan osteoklas dalam proses osteoklastogenesis.

Pertama, diaktifkannya macrophage-colony stimulating factor (M-

CSF), melalui reseptornya c-Fms, dan yang kedua diaktifkan oleh

RANKL melalui reseptornya, RANK.

TNF-α, seperti molekul-molekul stimulasi osteoklas lainnya,

Page 310: Sistem Imun Full

merangsang produksi RANKL oleh sel-sel stroma, dan juga

menginduksi sekresi RANKL oleh limfosit T, limfosit B, dan sel-sel

endotel untuk menginduksi formasi osteoklas secara tidak langsung.

TNF-α juga menstimulasi produksi M-CSF oleh sel-

sel stroma.15Osteoclast differentiation factor (ODF, disebut juga

RANKL/TRANCE/OPGL) menstimulasi progenitor-progenitor osteoklas

pada monosit/makrofag menjadi osteoklas dengan adanya

macrophage colony-stimulating factor (M-CSF). Eksposur kronik TNF-α

meningkatkan osteoklastogenesis melalui dua mekanisme yang

berbeda (Gambar 4). TNF-α pertama kali mempengaruhi

osteoklastogenesis pada prekusor-prekusor osteoklas di dalam

sumsum tulang oleh sel-sel dasar untuk berdifferensiasi menjadi c-

Fms+/CD11b+/RANK+/- progenitor-progenitor osteoklas melalui

mekanisme independent RANKL/RANK. Prekusor-prekusor osteoklas ini

kemudian masuk ke dalam pembuluh darah dan jaringan perifer

kemudian berdifferensiasi menjadi osteoklas yang matang

(mekanisme dependent) berperan mempercepat proses resorpsi

tulang. Sebagai contoh, TNF-α bisa menginduksi berbagai sel,

termasuk sel-sel sinovial, sel-sel T, dan osteoblas/sel-sel stroma,

untuk meningkatkan ekspresi mereka terhadap RANKL, yang

mengikat RANK pada permukaan prekusor-prekusor

osteoklas dan menginduksi differensiasi prekusor-prekusor osteoklas.

TNF-α juga bisa mengikat reseptornya pada permukaan prekusor-

prekusor osteoklas dan secara tidak langsung menginduksi

differensiasi mereka menjadi osteoklas-osteoklas matang, kemudian

meningkatkan aksi RANKL yang diinduksi secara tidak langsung

Interferon –Gamma (IFN-γ)

IFN-γ, merupakan sitokin yang kritis terhadap imun alami dan imun

adaptif dalam melawan virus dan infeksi bakteri intraselluler dan

untuk mengontrol tumor. Ekspresi IFN-γ dihubungkan dengan

sejumlah penyakit autoinflamatori dan autoimun. Hal yang paling

penting dari IFN-γ dalam sistem imun adalah kemampuannya untuk

menghambat replikasi virus secara langsung, Namun, yang paling

terpenting, adalah pengaruh immunostimulator dan

immunomodulatornya.

IFN-γ berbeda dalam hal biokimia dan biologiknya dibandingkan

Page 311: Sistem Imun Full

dengan IFN-α dan IFN-β, dimana keduanya dihasilkan oleh sel-sel yang

terinfeksi virus, IFN-γ dihasilkan selama respon imun berlangsung oleh

adanya antigen spesifik sel-sel T dan natural killer cells (sel-sel NK)

yang dikumpulkan oleh IL-2. Pengaruh yang ditimbulkannya termasuk

mengaktifkan makrofag untuk meningkatkan fagositosis dan

kemampuan membunuh sel-sel tumor seperti juga mengaktifkan dan

meningkatkan pertumbuhan sel-sel T sitolitik dan sel-sel NK.

Contoh aktivitas IFN-γ adalah:

1. Meningkatkan presentasi antigen oleh makrofag

2. Mengaktifkan dan meningkatkan aktivitas lisosom di dalam

makrofag

3. Meningkatkan aktivitas sel Th2

4. Mempengaruhi sel-sel normal untuk meningkatkan ekspresi

molekul-molekul MHC klas I

5. Mempromosikan adhesi dan mengikat leukosit-leukosit yang

bermigrasi

6. Mempromosikan aktivitas sel NK

7. Mengaktifkan APCs dan merangsang differensiasi Th1 dengan

pengaturan transkripsi faktor T.

IFN-γ meregulasi ekspresi antigen MHC klas I, dan menginduksi MHC klas

II dan ekspresi reseptor Fcγ pada makrofag dan sel-sel lainnya termasuk

sel-sel limfoit, sel-sel endotel, sel-sel mast dan fibroblas sehingga IFN-γ

mempengaruhi kemampuan sel-sel tersebut untuk menyajikan antigen.

Dengan diaktifkannya MHC klas II pada sel-sel endotel, sel-sel ini

kemudian menjadi peka terhadap aksi sel-sel T sitolitik spesifik klas II.

Secara fisiologi pembentukan osteoklas diatur oleh sitokin-sitokin utama

osteoklastogenik M-CSF dan RANKL. Bagaimanapun, kondisi fisiologik

yang terjadi, seperti selama berlangsungnya inflamasi, infeksi, dan

defisiensi estrogen, resorpsi tulang secara signifikan distimulasi

sehubungan dengan penambahan produksi faktor-faktor disregulasi pro-

dan anti- osteoklastogenik, termasuk IFN-γ, yang menjadi pusat mediator

imun adaptif.

Peran Sitokin IL-17 Dalam Berbagai Penyakit

IL-17 adalah sitokin pro-inflamasi yang dihasilkan terutama oleh

limfosit T atau prekursornya. Sistem sinyal IL-17 terdapat di berbagai

Page 312: Sistem Imun Full

jaringan, seperti kartilago sendi, tulang, meniskus, otak, jaringan

hematopoietik, ginjal, paru, kulit dan usus. Ligan famili IL-17 dan

reseptornya penting dalam menjaga homeostasis jaringan dalam

keadaan sehat maupun sakit di bawah naungan sistem imun.

Beberapa anggota famili IL-17 telah ditemukan dimana setiap

anggota tersebut merupakan produk transkripsi gen tertentu yang

bersifat unik. Anggota famili yang menjadi prototipe adalah IL-17A.

Karena kemajuan teknologi sekuens genom manusia dan proteomik,

lima anggota tambahan telah dikenali dan digandakan: IL-17B, IL-17C,

IL-17D, IL-17E dan IL-17F. Sedangkan reseptor-reseptor untuk anggota

famili IL-17 yang ditemukan sejauh ini adalah IL-17R, IL-17RH1, IL-

17RL (receptor-like), IL-17RD and IL-17RE. Namun, hingga saat ini

spesifisitas ligan kebanyakan reseptor ini masih belum jelas.

Beberapa penelitian telah membuktikan peran IL-17 dalam

patogenesis berbagai penyakit. Sitokin ini telah lama dipelajari

memiliki keterlibatan dalam patogenesis psoriasis dan produksi

keratinosit atas sitokin tertentu. Sejumlah sel Th17 meningkat di

darah tepi danlesi kulit akut dermatitis atopik. Selain penyakit-

penyakit kulit, sel-sel endotel sinovial dan kondrosit yang

mengekspresikan IL-17R ditemukan pada kebanyakan pasien dengan

berbagai tipe artritis.

Pengaruh IL-17 terhadap fungsi sel dan perannya dalam

patofisiologi penyakit. Untuk setiap pengaruh kunci IL-17, tipe target

sel yang terlibat dan produk yang dilepaskannya sebagai respon

terhadap IL-17. Setiap pengaruh biologik dikaitkan dengan sebuah

kondisi sebagai contoh dimana IL-17 ditemukan. CRP = C-reactive

protein. MMP = matriks metaloproteinase. RANKL = receptor activator

of nuclear factor-B ligand. Penelitian lain menunjukkan bahwa infiltrasi

sel Th17 pada saluran nafas pasien asma berkaitan dengan aktifitas

sel T yang disertai oleh inflamasi neutrofilik.

Ditemukan pula peningkatan sel-sel T yang menghasilkan IL-17

pada pasien tuberkulosis paru yang aktif. IL-17 juga memicu produksi

yang berlebihan atas autoantbodi dan sel mononuklear darah tepi IL-6

pada pasien nefritis lupus.

Page 313: Sistem Imun Full

Sebaliknya, pasien dengan kandidiasis mukokutan kronik justru

mengalami penurunan produksi IL-17 yang berkaitan dengan sel

T¬h17.

Peran Sitokin Dalam rinitis Alergi Perubahan/polarisasi sel Th0 menjadi sel Th1 atau Th2 dipengaruhi

oleh jenis antigen yang merangsang, dosis antigen, tipe sel penyaji

antigen yang terlibat,lingkungan mikro sitokin yang ada dan sinyal

kostimulator yang diterima sel T serta faktor genetik.

Pada infeksi intrasel dihasilkan satu set sitokin yang disebutsitokin

tipe 1 yang diproduksi antara lain oleh sel Th1 yaitu IFN-∂ dan IL-2.

Penelitian lebih lanjut ditemukan berbagai sitokin lain seperti IL-4,

IL-5, IL-9 danIL-13 yang diproduksi oleh sel Th2. Sitokin IFN-∂ dianggap

sebagai prototipesitokin Th1 sedangkan IL-4 merupakan protipe

sitokin Th2.

Pada individu yang atopik, sel T CD4+ (Th0) cenderung akan

mengalami polarisasi menjadi sel Th2 yang akan melepaskan

kombinasi khas berbagai sitokinyang disebut pula sebagai sitokin tipe

2 antara lain antara lain IL-3, IL-4, IL-5, IL-9, IL-10, IL-13 dan GM CF

yang sifatnya mempertahankan lingkungan proatopik yaitu

menginduksi sellimfosit B untuk memproduksi IgE. Pada infeksi intra-

seldihasilkan satu set sitokin yang disebut sitokin tipe 1 yang

diproduksi antara lainyang diproduksi oleh sel Th1, yaitu:IFN-∂ dan IL-

2.Sitokin IL-4 pada manusia merupakan suatu glycoprotein yang

diproduksioleh sel Th2, sel mast dan sel basofil. Produksi IL-4 cepat

dan bersifat transien,dapat dideteksi dalam w aktu 1-5 jam dan

ekspresinya hilang setelah 24-48 jam.

Efek sitokin IL-4 selain pada perkembangan Th2 adalah

mengarahkan sel B untuk memproduksi IgE dan IgG4. Seperti

diketahui IgE merupakan kunci untuk terjadinya penyakit atopi.

Sitokin IFN-∂ selain diproduksi oleh sel Th1 yang teraktifasi juga oleh

sel NK dan sel T cytotoxic karena itu sering disebut sitokin tipe 1.

Dilaporkan bahwasebagai pemicu aktifasi sel Th1 adalah reaksi silang

kompleks reseptor sel T,sedangkan sel NK sebagai pemicunya adalah

sitokin yang dihasilkan olehmakrofag berupa TNF-a dan IL-12 dan IFN-

Page 314: Sistem Imun Full

∂ sendiri. Dalam respon primernya terhadap rangsangan antigen,

aktifasi sel Th0 ditentukan oleh pengaruhlingkungan mikrositokin

yang ada. Secara bersamaan IFN-∂ dan IL-12 terlibatdalam

menentukan diferensiasi sel Th0 untuk menjadi fenotipe Th1.

Sitokin IL-12, merupakan bioaktif yang yang diproduksi oleh

monosit-makrofag yang teraktifasi dan sel-sel penyaji antigen (APC)

yang lain. Yang merupakan sumber utamanya adalah sel-sel dendrit

yang memproses danmenyajikan antigen terlarut (soluble) pada sel T.

Sel dendrit merupakan sel penyaji antigen kunci yang mengaktifkan

sel T naive dan dapat dikatakan seldendrit merupakan pengatur

diferensiasi sel Th1. Peran tersebut terutama setelahdendrit

mengalami maturasi akibat paparan mikroba atau sinyal bahaya kuat

yanglain . Sel dendrit yang sudah matur berkurang kemampuan

endositosisnya,sedangkan kemampuan presentasi antigennya

meningkat dengan mengubahekspresi reseptor, berada di limfonodi

regional dan meningkatkan produksi sitokinimunoregulator termasuk

IL-12. Sinyal bahaya ditransduksikan oleh tool likereceptor (TLR) yang

diekspresikan pada sel dendrit dan sistem imun lain. Sinyal bahaya ini

cenderung memacu respon imun Th1 dengan memacu sel dendrit

untuk memproduksi sejumlah besar IL-12 dan meningkatkan sitokin

tipe 1 yang lain.

Produksi sitokin IL-12 sangat dipengaruhi oleh mediator sitokin

lingkungan yangterdapat selama berlangsungnya respon imun.

Mediator yang meningkatkan produksi IL-12 adalah IFN-∂ dan TNF-ß,

sedangkan yang menghambat produksinya adalah IL-4, IL-13, TGF-B

dan IL-10. Di antara mediator-mediator tersebut IFN-∂ merupakan

stimulator produksi IL-12 yang paling kuat. Sementaraitu diketahui IL-

12 mempunyai efek memicu produksi IFN-∂, meskipun secarainvitro

untuk mendapatkan kadar IL-12 yang terukur diperlukan IFN-∂.

ProduksiIL-12 oleh makrofag dan neutrofil dapat dipicu secara

langsung olehlipopolisakarida (LPS) dan produk lain dari

mikroorganisme patogen. Dengandemikian sitokin IL-12 terbukti

merupakan salah satu pengatur sentral imunitasseluler yang

mengaktifkan sel NK, juga merupakan mediator esensial utama untuk

diferensiasi sel Th0 (naive) ke Th1 dan secara langsung memacu

sekresi IFN-∂oleh sel Th1 dan sel NK. Sementara itu IL-12 secara aktif

Page 315: Sistem Imun Full

terpicu di dalammakrofag dan monosit oleh IFN-∂ sehingga respon Th1

distabilkan oleh suatu jalur feedback positif. Gangguan kerja sitokin

IL-12 mengakibatkan tidak adarespon Th1 yang persisten, sementara

itu produksi IL-12 oleh monosit dapatditekan oleh sitokin lain

termasuk IL-4 dan IL-10 yang merupakan produksi selTh2.

Sitokin Th2 diduga merupakan inhibitor IL-12, tetapi hubungan

antarasitokin Th2 dengan IL-12 sebenarnya lebih kompleks. Misalnya

IL-4 dan IL-13akan menekan produksi IL-12 bila kedua sitokin tersebut

ditambahkan saatstimulasi monosit tetapi preinkubasi yang lama

dengan kedua sitokin tersebut (IL-4 dan IL-13) akan memicu produksi

IL-12 yang tinggi. Mediator lain yang penting pada penyakit alergi,

yaitu PGE2 dan histamin, ternyata juga mempunyaiefek menekan

produksi IL-12.

Heterogenitas sel Th (Th1 dan Th2) sekarang dapat diterima secara

luaskarena perbedaan tersebut menjelaskan penyimpangan imunitas

yaitu hubungantimbal balik antara imunitas humoral dan seluler dan

menjelaskan terjadinya penyakit alergi sebagai akibat produksi

berlebihan oleh sel Th2. Sementara itudiketahui bahwa sitokin Th1

(IFN- ∂) dapat menghambat produksi sitokin Th2(IL-4) dan sebaliknya,

sitokin Th2 (IL-4) dapat menghambat produksi sitokin Th1(IFN-∂).

Dilaporkan bahwa sel Th0 (CD4+) yang sudah mengalami diferensiasi

penuh menjadi sel efektor Th1 atau Th2 akan memproduksi sitokin

yang relatif tetap, demikian juga sel Th memori yang sudah

mengalami polarisasi. Akan tetap isel Th memori yang belum

mengalami polarisasi (sel Th resting) profil sitokinnya dapat diubah

sesuai dengan lingkungan mikro-sitokin yang ada, dengan

demikiansel memori Th2 menghasilkan sitokin Th1 jika diaktifkan

bersamaan dengan IL-12 yang merupakan pemicu IFN-∂ yang poten.

Suatu penemuan yangmenunjukkan bahwa profil sitokin dari populasi

sel memori relatif fleksibel dandapat dirubah (reprogrammed)

merupakan suatu konsep penting dan mempunyaiarti yang bermakna

untuk pengobatan penyakit alergi.Kemampuan sitokin IL-12 untuk

merubah kembali respon imun Th2menjadi respon imun TH1 telah

disemonstrasikan baik secara invitro maupuninvivo. Secara in vitro

diperlihatkan bahwa IL-12 mengahambat produksi IL-4 dalam suatu

Page 316: Sistem Imun Full

kultur darah tepi penderita alergi dan menekan produksi IgE

olehmonosit darah tepi.

Penelitian lain menunjukkan bahwa IL-12 menekan sintesis IL-4dan

IL-10 secara spesifik dan meningkatkan produksi IFN-∂ pada sel T

CD4+ pada penderita rinitis alergi.

References

1. Gilman A, Goodman LS, Hardman JG, Limbird LE (2001). The

pharmacological basis of therapeutics. Goodman & Gilman’s. New

York: McGraw-Hill. 

2. Dinarello CA (August 2000). “Proinflammatory cytokines”. Chest 118

(2): 503–8.

3. Chen HF, Shew JY, Ho HN, Hsu WL, Yang YS (October 1999).

“Expression of leukemia inhibitory factor and its receptor in

preimplantation embryos”. Fertil. Steril. 72 (4): 713–9.

4. Vlahopoulos S, Boldogh I, Casola A, Brasier AR (September 1999).

“Nuclear factor-kappaB-dependent induction of interleukin-8 gene

expression by tumor necrosis factor alpha: evidence for an antioxidant

sensitive activating pathway distinct from nuclear

translocation”. Blood 94 (6): 1878–89.

5. Boyle JJ (January 2005). “Macrophage activation in atherosclerosis:

pathogenesis and pharmacology of plaque rupture”. Curr Vasc

Pharmacol 3 (1): 63–8.

6. Cannon JG (December 2000). “Inflammatory Cytokines in

Nonpathological States”.News Physiol. Sci. 15: 298–303.

7. Saito S (2001). “Cytokine cross-talk between mother and the

embryo/placenta”. J. Reprod. Immunol. 52 (1–2): 15–33.

8. David F, Farley J, Huang H, Lavoie JP, Laverty S (April 2007).

“Cytokine and chemokine gene expression of IL-1beta stimulated

equine articular chondrocytes”.Vet Surg 36 (3): 221–7.

9. Carpenter LR, Moy JN, Roebuck KA (March 2002). “Respiratory

syncytial virus and TNF alpha induction of chemokine gene expression

involves differential activation of Rel A and NF-kappa B1″. BMC Infect.

Dis. 2: 5.

10. Tian B, Nowak DE, Brasier AR (2005). “A TNF-induced gene

expression program under oscillatory NF-kappaB control”. BMC

Genomics 6: 137.

Page 317: Sistem Imun Full

11. Gaffen SL (August 2009). “Structure and signalling in the IL-17

receptor family”.Nat. Rev. Immunol. 9 (8): 556–67.

PERANAN SEL DENDRITIK DALAM SISTEM IMUNDiposting pada Maret 2, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Sel dendritik (dendritic cell, DC) adalah monosit yang

terdiferensiasi oleh stimulasi GM-CSF dan IL-4,dan menjadi

bagian sistem kekebalan mamalia. Bentuk sel dendritik

menyerupai bagian dendrita pada neuron, namun sel dendritik

tidak bekerja pada sistem saraf, melainkan berperan sebagai

perantara sistem kekebalan turunan menuju sistem kekebalan

tiruan.

Page 318: Sistem Imun Full

Para ilmuwan telah lama mencari “penjaga gerbang” dari respon

kekebalan tubuh di mana manusia dan hewan lainnya membela diri

terhadap serangan oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya. Bruce

Beutler dan Jules Hoffmann menemukan protein reseptor yang dapat

mengenali seperti mikroorganisme dan mengaktifkan kekebalan bawaan,

langkah pertama dalam respon kekebalan tubuh. Ralph Steinman

menemukan sel-sel dendritik dari sistem kekebalan tubuh dan

kemampuan mereka yang unik untuk mengaktifkan dan mengatur

imunitas adaptif, tahap selanjutnya dari respon imun selama

mikroorganisme yang dibersihkan dari tubuh.

Penemuan dari tiga pemenang Nobel telah mengungkapkan bagaimana

fase bawaan dan adaptif dari respon imun diaktifkan dan dengan

demikian memberikan wawasan baru ke dalam mekanisme penyakit.

Karya mereka telah membuka jalan baru untuk pengembangan

pencegahan dan terapi terhadap infeksi, kanker, dan penyakit inflamasi.

Dua garis pertahanan dalam sistem kekebalan tubuh

Kita hidup di dunia yang berbahaya. Mikroorganisme patogen (bakteri,

virus, jamur, dan parasit) mengancam kita terus tapi kita dilengkapi

dengan mekanisme pertahanan yang kuat. Baris pertama pertahanan,

imunitas bawaan, dapat menghancurkan menyerang mikroorganisme dan

memicu peradangan yang memberikan kontribusi untuk menghalangi

serangan mereka. Jika mikroorganisme menerobos garis pertahanan,

imunitas adaptif dipanggil untuk beraksi. Dengan sel T dan sel B,

menghasilkan antibodi dan sel-sel pembunuh yang menghancurkan sel

yang terinfeksi. Setelah berhasil memerangi serangan infeksi, sistem

kekebalan tubuh kita adaptif mempertahankan memori imunologi yang

memungkinkan mobilisasi lebih cepat dan kuat dari pasukan pertahanan

saat serangan mikroorganisme yang sama. Ini garis pertahanan dua

sistem kekebalan tubuh memberikan perlindungan yang baik terhadap

infeksi tetapi mereka juga menimbulkan risiko. Jika ambang batas aktivasi

terlalu rendah, atau jika molekul endogen dapat mengaktifkan sistem,

penyakit inflamasi dapat mengikuti.

Komponen dari sistem kekebalan tubuh telah diidentifikasi langkah demi

langkah selama abad 20. Berkat serangkaian penemuan dianugerahi

Page 319: Sistem Imun Full

Hadiah Nobel, kita tahu, misalnya, bagaimana antibodi yang dibangun dan

bagaimana sel T mengenali zat asing. Namun, sampai karya Beutler,

Hoffmann dan Steinman, mekanisme yang memicu aktivasi kekebalan

bawaan dan menengahi komunikasi antara imunitas bawaan dan adaptif

tetap misterius.

Penemu sensor kekebalan bawaan

Jules Hoffmann membuat penemuan perintis pada tahun 1996, ketika ia

dan rekan kerja menyelidiki bagaimana lalat buah memerangi infeksi.

Mereka memiliki akses ke lalat dengan mutasi pada beberapa gen

berbeda termasuk pulsa, gen yang sebelumnya ditemukan untuk terlibat

dalam pembangunan embrional oleh Christiane Nüsslein-Volhard (Nobel

1995). Ketika Hoffmann terinfeksi buahnya lalat dengan bakteri atau

jamur, ia menemukan bahwa mutan Pulsa meninggal karena mereka tidak

bisa me suatu pertahanan yang efektif. Ia juga dapat menyimpulkan

bahwa produk dari gen Tol terlibat dalam penginderaan mikroorganisme

patogen dan aktivasi Tol yang dibutuhkan untuk berhasil pertahanan

terhadap mereka.

Bruce Beutler sedang mencari reseptor yang dapat mengikat bakteri

produk, lipopolisakarida (LPS), yang dapat menyebabkan syok septik,

sebuah kondisi yang mengancam kehidupan yang melibatkan stimulasi

berlebihan dari sistem kekebalan tubuh. Pada tahun 1998, Beutler dan

koleganya menemukan bahwa tikus tahan terhadap LPS memiliki mutasi

pada gen yang sangat mirip dengan gen Toll dari lalat buah. Ini reseptor

Toll-like (TLR) ternyata menjadi reseptor LPS sulit dipahami. Ketika

mengikat LPS, sinyal diaktifkan yang menyebabkan peradangan dan,

ketika LPS dosis yang berlebihan, syok septik. Temuan ini menunjukkan

bahwa mamalia dan lalat buah menggunakan molekul yang mirip untuk

mengaktifkan imunitas bawaan ketika menghadapi mikroorganisme

patogen. Sensor imunitas bawaan akhirnya telah ditemukan.

Penemuan Hoffmann dan Beutler memicu ledakan penelitian dalam

kekebalan bawaan. Sekitar selusin TLRs yang berbeda kini telah

diidentifikasi pada manusia dan tikus. Setiap salah satu dari mereka

mengenali jenis tertentu dari molekul umum pada mikroorganisme.

Individu dengan mutasi tertentu dalam reseptor-reseptor ini membawa

Page 320: Sistem Imun Full

peningkatan risiko infeksi sementara varian genetik lain dari TLR dikaitkan

dengan peningkatan risiko untuk penyakit peradangan kronis.

Sel yang mengontrol kekebalan adaptif

Ralph Steinman menemukan, pada tahun 1973, tipe sel baru yang ia

sebut sel dendritik. Ia berspekulasi bahwa hal itu bisa menjadi penting

dalam sistem kekebalan tubuh dan melanjutkan untuk menguji apakah

sel-sel dendritik dapat mengaktifkan sel T, jenis sel yang memiliki peran

penting dalam kekebalan adaptif dan mengembangkan memori imunologi

terhadap zat yang berbeda. Dalam percobaan kultur sel, ia menunjukkan

bahwa kehadiran sel-sel dendritik menghasilkan tanggapan yang jelas

dari sel T untuk zat-zat tersebut. Temuan ini awalnya ditanggapi dengan

skeptis tapi pekerjaan berikutnya oleh Steinman menunjukkan bahwa sel

dendritik memiliki kapasitas yang unik untuk mengaktifkan sel T.

Penelitian lebih lanjut oleh Steinman dan ilmuwan lainnya melanjutkan

untuk menjawab pertanyaan tentang bagaimana sistem imun adaptif

memutuskan apakah atau tidak itu harus diaktifkan ketika menghadapi

berbagai zat. Sinyal yang timbul dari respon imun bawaan dan dirasakan

oleh sel dendritik yang ditampilkan untuk mengontrol aktivasi sel T. Hal ini

memungkinkan untuk sistem kekebalan tubuh untuk bereaksi terhadap

mikroorganisme patogen sambil menghindari serangan pada molekul

tubuh sendiri endogen.

Dari penelitian dasar untuk penggunaan medis

Penemuan yang dianugerahi Hadiah Nobel 2011 telah memberikan

wawasan baru ke dalam aktivasi dan regulasi sistem kekebalan tubuh

kita. Mereka telah memungkinkan pengembangan metode baru untuk

mencegah dan mengobati penyakit, misalnya dengan vaksin melawan

infeksi dan ditingkatkan dalam upaya untuk merangsang sistem

kekebalan tubuh untuk menyerang tumor. Penemuan ini juga membantu

kita memahami mengapa sistem kekebalan tubuh dapat menyerang

jaringan kita sendiri, sehingga memberikan petunjuk untuk pengobatan

penyakit inflamasi

Fungsi utama sel sebagai sel penampil antigen (antigen-presenting cell)

terdapat pada sifat fagositik yang mengikat antigen yang terlepas dari

Page 321: Sistem Imun Full

mekanisme pertahanan awal dan menampilkan fragmen protein dari

antigen tersebut pada kompleks MHC bagi sel T dan sel B. Antigen yang

diikat oleh sel dendritik akan ditelan ke dalam sitosol dan dipotong

menjadi peptida untuk kemudian diekspresikan menuju ke permukaan sel

sebagai antigen MHC.

Sel dendritik memiliki beragam prekursor hemopoetis dan bermigrasi

menuju jaringan yang berbeda sesuai dengan perbedaan fungsi, morfologi

dan fenotipe.Beberapa jenis sel dendritik disebut secara khusus menurut

lokasi jaringan migrasi:

Sel dendritik folikular – pusat germinal pada folikel limfa

sekunder. Sel dendritik folikular ( follicular dendritic cell, FDC) adalah

sejenis sel dendritik yang tidak diketahui asal muasalnya. Sel

dendritik folikular berdiam pada jaringan folikel pada

sistem limfatik.FDC memiliki pencerap Fc yang dapat mengikat

kompleks imun dengan sangat lama. Sel FDC mempunyai peranan

yang sangat penting untuk memilah-milah sel B yang teraktivasi

sepanjang respon kekebalan. Beragam sel B terikat dengan sel FDC

melalui proses yang sangat panjang.

Interdigitating cell (IDC) – zona antarfolikular pada nodus limfa

dan timus

Sel Langerhans – epidermis

Veiled cell (VC) – limpa aferen

Mucosal dendritic cell – mucosal-associated lymphoid tissue

(MALT)

Sel dendritik folikular

Sel dendritik folikular (follicular dendritic cell, FDC) adalah sejenis sel

dendritik yang tidak diketahui asal muasalnya. Sel dendritik folikular

berdiam pada jaringan folikel pada sistem limfatik.

FDC memiliki pencerap Fc yang dapat mengikat kompleks imun dengan

sangat lama. Sel FDC mempunyai peranan yang sangat penting untuk

memilah-milah sel B yang teraktivasi sepanjang respon kekebalan.

Beragam sel B terikat dengan sel FDC melalui proses yang sangat

panjang.

Page 322: Sistem Imun Full

Sel dendritik yang terus-menerus komunikasi dengan sel-sel lainnya pada

tubuh. Komunikasi ini dapat mengambil bentuk kontak langsung sel-sel

yang didasarkan pada interaksi protein permukaan sel. Contoh ini

termasuk interaksi B7 reseptor sel dendritik dengan CD28 hadir pada

limfosit. Namun, interaksi sel-sel juga dapat dilakukan jarak jauh melalui

sitokin.

Sebagai contoh, merangsang sel dendritik ” in vivo” dengan mikroba

ekstrak menyebabkan sel dendritik yang dengan cepat mulai

memproduksi IL-12. IL-12 adalah sinyal yang membantu mengirim naif sel

CD4 T menuju Th1 fenotipe.

Konsekuensi akhir adalah priming dan aktivasi sistem kekebalan tubuh

untuk serangan terhadap antigen yang sel dendritik pada permukaannya.

Namun, ada perbedaan dalam sitokin diproduksi tergantung pada jenis sel

dendritik. DC limfoid memiliki kemampuan untuk menghasilkan jenis-1

IFN’s, yang merekrut lebih diaktifkan makrofag agar fagositosis dalam

jumlah besar.

Page 323: Sistem Imun Full

Sel dendritik juga diklasifikasi menurut profil fenotipe imunologis,

misalnyaplasmacytoid dendritic cell (pDC) yang mempunyai ekspresi

CD123+.

Sel dendritik pertama kali ditemukan oleh Ralph M. Steinman, Dinah S.

Lustig, dan Zanvil A. Cohn pada tahun 1972.Pada saat itu ditemukan

sejumlah sel pada organ limpa yang diperkirakan berasal dari sel

prekursor pada sumsum tulang atau bagian dari limpa yang disebut

pulpa merah.Sel yang ditemukan dapat melekat pada permukaan gelas

dan plastik, dan disebut dendritik karena mempunyai fitur morfologis

fantastis berupa kemampuan untuk menampilkan berbagai proses selular

dari beragam ukuran danbentuk.Pada percobaan in vitro lebih lanjut, sel

dendritik tidak menunjukkan sifat dan fungsi seperti limfosit, makrofaga

atau sel retikular non-fagositik.

Stimulasi kurkumin pada DC akan meluruhkan ekspresi CD80, CD86 dan

MHC II, bukan MHC I, dan membuat DC sangat efektif untuk menelan

antigen dengan proses endositosis.

Lintasan sel dendritik pada silsilah limfosit

Kemungkinan adanya hubungan yang sangat dekat antara DC dan

monosit kembali diperbincangkan setelah beberapa penemuan yang

menyebutkan adanya sel prekursor yang berkembang menjadi DC dan sel

limfoid. Untuk itu, istilah, sel dendritik limfoid, dimaksudkan untuk

mengacu pada jenis dari sel dendritik yang berasal dari silsilah prekursor

limfosit.

Pada awalnya, istilah, limfoid, digunakan pada model tikus untuk

menjelaskan beberapa fitur sel dengan prekursor yang sama dengan sel

T. Fitur ini menunjukkan karakteristik yang berbeda dengan yang terdapat

pada sel mieloid, khususnya pada ekspresi fenotipe CD11b, CD13, CD14,

dan CD33.

Di dalam darah, prekursor sel dendritik limfoid dapat berupa sel yang

mirip seperti sel plasma dengan ekspresi CD4+ dan CD11c+, atau berupa

sel progenitor yang mempunyai potensi untuk terdiferensiasi menjadi sel

T atau sel NK. Sel progenitor semacam ini banyak tersebar pada jaringan

limfoid sekunder dan kelenjar timus.

Page 324: Sistem Imun Full

Sel dendritik limfoid juga dapat berkembang dari sel progenitor lain dari

kelenjar timus, yang terstimulasi oleh sitokina IL-3, dan dari sel prekursor

pada kelenjar amandel yang distimulasi oleh ligan CD40. Perkembangan

terakhir menunjukkan bahwa IL-2 dan IL-5 dapat menstimulasi sel

progenitor berekspresi CD34+ menjadi sel dendritik yang mempunyai

beberapa sifat seperti sel NK.

Namun tidak satu pun sel dendritik limfoid dapat terdiferensiasi dari sel

prekursor, oleh stimulasi GM-CSF.

Berbagai macam fungsi dilaksanakan oleh DC limfoid, seperti

mencetuskan seleksi negatif pada kelenjar timus, costimulatory bagi sel T

CD4+ dan CD8+. Baru-baru ini DC limfoid pada manusia ditemukan

merupakan aktivator sel TH2.

Di dalam sumsum tulang belakang, ditemukan sekelompok sel progenitor

tiomosit CD10 dengan masing-masing ekspresi tambahan

CD34+ CD38+ yang memiliki kapasitas diferensiasi menjadi sel T, sel B, sel

NK dan DC, namun tidak dapat menjadi sel mieloid. Sel progenitor dengan

fenotipe tanpa ekspresi CD10 merupakan prekursor dari sel mieloid.

Sehingga ekspresi CD10 dianggap sebagai molekul yang diperlukan bagi

diferensiasi sel T, sel B, sel NK dan DC.

DC limfoid tersebar di seluruh bagian tubuh, termasuk pada medulla timik

dan area sel T pada semua organ limfoid. Pada area sel T masih terdapat

jenis DC lain, seperti DC sentinel dan DC migratori yang membawa Ags

dari jaringan. DC limfoid pada area sel T memiliki kemampuan untuk

menginduksi apoptosis pada sel T melalui mekanisme fasL18 atau CD30L

dan meredam kemungkinan oto-aktivasi sel T dengan sekresi IL-10. Oleh

karena itu DC limfoid sering disebut sebagai regulator daripada stimulator

fungsi efektor sistem kekebalan.

Protein penghambat HIV dalam sel dendritik

Para peneliti dari Universitas California Los Angeles (UCLA) menemukan

dua protein dalam sel dendritik yang menghambat pengeluaran virus

(budding) dari sel tersebut, sehingga melindungi sel lain agar tidak

tertular. Penelitian ini diterbitkan dalam versi internet sebelum diterbitkan

dalam jurnal Federation of American Societies for Experimental Biology.

Page 325: Sistem Imun Full

Sel dendritik terlibat dalam pengintaian dan perlindungan kekebalan pada

awal terinfeksi HIV. Sel tersebut terutama terletak pada kulit, jaringan

mukosa (misalnya tenggorokan atau usus) dan kelenjar getah bening.

Apabila sel dendritik menghadapi HIV, mereka memakai protein yang

disebut DC-SIGN untuk menjebak virus dan membawanya ke sel CD4

untuk memicu tanggapan kekebalan.

Apabila HIV menginfeksi sel CD4, unsur genetik virus digandakan dan

dibungkus, lama-kelamaan budding dari sel bergerak menulari sel lain.

Walaupun sel dendritik dapat tertular HIV, budding tidak terjadi.

Shen Pang, PhD, lektor divisi biologi dan kedokteran gigi Fakultas

Kedokteran Gigi UCLA dan Qiuwei Wang, mahasiswa pascasarjana yang

bekerja dengan Pang, mengamati DC-SIGN secara lebih cermat untuk

melihat apakah protein tersebut mencegah sel dendritik membuat HIV

baru.

Pang menemukan bahwa kehadiran DC-SIGN bersamaan dengan DC-

SIGNR, protein yang serupa, menghambat pengeluaran HIV dari sel

dendritik sebanyak 95 hingga 99,5 persen. Tim Pang berpendapat bahwa

protein tersebut mengganggu kemampuan HIV untuk menyelesaikan

proses perakitan pada selaput luar sel dendritik sehingga

mencegah budding. Pang mendorong para peneliti lain untuk menyelidiki

bagaimana pengetahuan ini dapat menolong upaya untuk menghasilkan

vaksin HIV yang efektif.

References:

Banchereau J, Steinman RM (March 1998). “Dendritic cells and the

control of immunity”. Nature 392 (6673): 245–52.

Sallusto F, Lanzavecchia A (2002). “The instructive role of dendritic

cells on T-cell responses”. Arthritis Res. 4 Suppl 3: S127–32

Liu YJ (2005). “IPC: professional type 1 interferon-producing cells

and plasmacytoid dendritic cell precursors”. Annu. Rev. Immunol. 23:

275–306

Ohgimoto K, Ohgimoto S, Ihara T, Mizuta H, Ishido S, Ayata M, Ogura

H, Hotta H (2007). “Difference in production of infectious wild-type

measles and vaccine viruses in monocyte-derived dendritic

cells”. Virus Res 123 (1): 1–8.

Page 326: Sistem Imun Full

Merad M, Ginhoux F, Collin M. Origin, homeostasis and function of

Langerhans cells and other langerin-expressing dendritic cells. Nat

Rev Immunol. 2008;8:935–947

Wollenberg A, Wen S, Bieber T. Phenotyping of epidermal dendritic

cells: clinical applications of a flow cytometric

micromethod. Cytometry. 1999;37:147–155

Guttman-Yassky E, Lowes MA, Fuentes-Duculan J, Whynot J,

Novitskaya I, Cardinale I, et al. Major differences in inflammatory

dendritic cells and their products distinguish atopic dermatitis from

psoriasis. J Allergy Clin Immunol. 2007;119:1210–1217

Bayry J, Lacroix-Desmazes S, Kazatchkine MD, Hermine O, Tough

DF, Kaveri SV. Modulation of dendritic cell maturation and function by

B lymphocytes. J Immunol. 2005 Jul 1;175(1):15-20.

Stary G, Bangert C, Stingl G, Kopp T. Dendritic cells in atopic

dermatitis: expression of FcepsilonRI on two distinct inflammation-

associated subsets. Int Arch Allergy Immunol. 2005;138:278–290

Banchereau J, Steinman RM. Dendritic cells and the control of

immunity. Nature. 1998 Mar 19;392(6673):245-52.

Larsen JM, Steen-Jensen DB, Laursen JM, Søndergaard JN, Musavian

HS, Butt TM, Brix S.  Divergent pro-inflammatory profile of human

dendritic cells in response to commensal and pathogenic bacteria

associated with the airway microbiota. PLoS One. 2012;7(2):e31976.

Epub  2012 Feb 21.

An intercellular adhesion molecule-3 (ICAM-3) -grabbing nonintegrin

(DC-SIGN) efficiently blocks HIV viral budding 10.1096/fj.07-9443com

 

ASPEK KLINIS DAN ASPEK BIOLOGIS TOLL-LIKE RECEPTOR (TLRS)Diposting pada Maret 4, 2012 oleh Indonesia Medicine Meninggalkan komentar

Page 327: Sistem Imun Full

Toll-like receptor (TLRs) adalah protein yang memainkan peran

kunci dalam sistem kekebalan bawaan. TLR adalah tunggal,

membran-spanning, non-katalitik reseptor yang mengenali

molekul struktural berasal dari mikroba. Setelah mikroba

menghaancurkan dan memasuki pertahanan fisik seperti kulit

atau mukosa saluran usus, TLRs mengaktifkan respon sel

kekebalan tubuh. TLR diberi nama berdasarkan karakteristik

protein yang dikodekan oleh gen Tol diidentifikasi pada

Drosophila pada tahun 1985 oleh Christiane Nüsslein-Volhar. Gen

tersebut, ketika bermutasi, membuat lalat Drosophila terlihat

tidak biasa.

TLRs adalah jenis pattern recognition receptor (PRR) dan mengenali

molekul yang luas dimiliki oleh patogen tetapi dibedakan dari molekul

host yang disebut sebagai pathogen-associated molecular patterns

(PAMPs). TLRs bersama dengan Interleukin-1 reseptor membentuk

superfamili reseptor, yang dikenal sebagai “Interleukin-1 Receptor/Toll-

Like Receptor Superfamily”. Semua anggota keluarga ini memiliki

kesamaan dengan TIR yang disebut TIR (Toll-IL-1 receptor) domain. Tiga

sub kelompok TIR (Toll-IL-1 receptor) domain. Protein dengan

subkelompok 1 TIR (Toll-IL-1 receptor) domain adalah reseptor untuk

interleukin yang diproduksi oleh makrofag, monosit, dan sel dendritik dan

semua memiliki ekstraseluler Imunoglobulin (Ig) domain. Protein dengan

sub kelompok 2 TIR (Toll-IL-1 receptor) domain adalah TLRs klasik, dan

mengikat secara langsung atau tidak langsung dengan molekul berasal

dari mikroba. Sebuah subkelompok ketiga TIR (Toll-IL-1 receptor) domain

terdiri dari protein adaptor yang eksklusif sitosol dan memediasi sinyal

dari protein dari sub kelompok 1 dan 2.

Page 328: Sistem Imun Full

TLRs hadir dalam vertebrata, maupun avertebrata. Blok bangunan

molekul dari TLRs diwakili pada bakteri dan tanaman, dan reseptor pola

tanam pengakuan dikenal diperlukan untuk pertahanan host terhadap

infeksi. Para TLRs adalah salah satu komponen yang paling kuno dalam

sistem kekebalan tubuh. Dalam beberapa tahun terakhir TLRs

diidentifikasi juga dalam sistem saraf mamalia. Anggota keluarga TLR

terdeteksi pada glia, neuron dan sel-sel progenitor saraf di mana mereka

mengatur sel

Toll-like receptor (TLR) yang telah teridentifikasi terdiri dari 13 reseptor,

nomor dari 1 sampai 13. Fungsi umum TLR adalah untuk mendeteksi

sinyal yang menunjukkan adnya infeksi. TLRs digunakan oleh sel-sel

kekebalan penduduk terutama di membran kulit dan lendir, situs alami

dari masuknya patogen. Untuk menghadapi ancaman organisme menular

yang sangat bervariasi, TLR yang menyajikan sejumlah besar struktur di

lokasi yang berbeda. Setelah dirangsang oleh sinyal dari mikroba reseptor

mengirimkan sinyal melalui jalur yang berbeda dengan inti sel di mana

mereka mengaktifkan respon imun, menyebabkan peradangan.

TLR telah memberikan kontribusi untuk identifikasi sinyal , asal virus atau

bakteri dan peran mereka dalam perlindungan terhadap penyakit yang

berbeda. Aspek biologi dan aspek klinis TLRs dengan implikasinya dalam

Page 329: Sistem Imun Full

penyakit autoimun dan mekanisme imunopatagonesisa dalam proses

peradangan dalam sistem imun mulai banyak diungkapkan

TLR berpartisipasi dalam pertahanan pertama terhadap serangan patogen

dan memainkan peran penting dalam inflamasi, regulasi sel imun,

kelangsungan hidup/survival, dan proliferasi. Sampai saat ini, dikenal 13

anggota dari keluarga TLR yang telah diidentifikasi, yaitu TLR1, TLR2,

TLR4, TLR5, dan TLR6 terletak pada permukaan sel, dan TLR3, TLR7,

TLR8, dan TLR9 terlokalisasi ke kompartemen endosomal/lisosomal.

Pada penyakit autoimun, sistem kekebalan tubuh bereaksi terhadap

organisme yang yang seharusnya untuk melindungi, sebaliknya

komponen diri yang abnormal diidentifikasi sebagai benda asing oleh

sistem kekebalan tubuh melakukan serangan sel-sel sistem kekebalan

tubuh normal dari individu. Autoantibodies ditemukan dalam darah

pasien, tanda tangan ini merusak diri reaktivitas.

Studi terbaru menunjukkan peran dari aktivasi TLRs dalam genesis

beberapa penyakit autoimun, termasuk lupus eritematosus sistemik (SLE).

SLE adalah penyakit autoimun kronis yang ditandai dengan produksi

autoantibodi besar diarahkan terhadap komponen inti sel, menyebabkan

gangguan kulit, dan sendi dan pembuluh darah viseral dalam bentuk

terburuknya.

Untuk bergerak di sekitar lingkungan mereka, bakteri menggunakan

struktur seperti flagela cambuk bernama, terutama terdiri dari flagellin

monomer. Pengenalan flagellin oleh TLR5 sinyal adanya bakteri patogen

dan pada gilirannya memicu respon imun yang melindungi tubuh

terhadap infeksi bakteri yang serius.

Pada penelitian, tikus yang tidak memiliki TLR5 tidak terlalu rentan

terhadap infeksi, kecuali mereka juga kekurangan TLR4, yang mengakui

senyawa bakteri yang berbeda. Dengan demikian, kerja sama antara TLRs

berbeda kadang-kadang penting untuk perlindungan yang optimal

terhadap infeksi.

Dua pendekatan yang berbeda untuk mempelajari biologi TLRs

menggambarkan kompleksitas dari sistem bawaan perlindungan terhadap

infeksi:

Page 330: Sistem Imun Full

Efek-efek efek terkait dengan hilangnya kontrol dari aktivitasnya.

Kemampuan untuk mengintegrasikan berbagai sinyal diterima

secara bersamaan untuk menghasilkan respon imun yang optimal.

TLRs diyakini berfungsi sebagai dimer. Meskipun TLRs tampak berfungsi

sebagai homodimers, TLR2 bentuk heterodimer dengan TLR1 atau TLR6,

masing-masing dimer memiliki spesifisitas ligan yang berbeda. TLRs

tergantung pada co-reseptor lainnya untuk sensitivitas ligan penuh,

seperti dalam kasus pengakuan TLR4 tentang LPS, yang membutuhkan

MD-2. CD14 dan LPS-Binding Protein (LBP) yang diketahui untuk

memudahkan penyajian LPS untuk MD-2. Protein adaptor dan kinase yang

menengahi TLR sinyal yang telah ditargetkan. Selain itu, germline

mutagenesis acak dengan ENU telah digunakan untuk menguraikan jalur

TLR sinyal. Jika diaktifkan, TLRs molekul adaptor merekrut dalam

sitoplasma sel untuk menyebarkan sinyal. Empat molekul adaptor yang

diketahui terlibat dalam signaling. Protein ini yang dikenal sebagai

MyD88, Tirap atau juga disebut Mal), Trif, dan Trem . Adapter

mengaktifkan molekul lain dalam sel, termasuk protein kinase tertentu

(IRAK1, IRAK4, TBK1, dan Ikki ) yang memperkuat sinyal, dan akhirnya

menyebabkan induksi atau penekanan gen yang mengatur respon

inflamasi. Secara keseluruhan, ribuan gen diaktifkan oleh sinyal TLR, dan

secara kolektif, TLRs merupakan salah satu pintu gerbang paling

pleiotropic untuk modulasi gen.

Toll-like receptors (TLRs) juga memainkan peranan penting dalam

memediasi respon sistemik terhadap invasi patogen selama terjadi sepsis.

Bagaimanapun juga, peranan TLRs dalam perkembangan sepsis dan jejas

organ yang berhubungan dengan sepsis (sepsis-related organ injury)

masih tetap dalam perdebatan. TLRs diekspresikan pada

monosit/makrofag; ekspresi TLR ini mungkin tidak dengan mudah menjadi

respon spesifik ligan pada lingkungan. Fakta bahwa sinyal TLR dapat

membuat TLRs mengenali mediator berbahaya yang diinduksi oleh

pathogen penginvasi adalah berhubungan dengan respon positif untuk

inflamasi di antara populasi sel yang berbeda. Mekanisme ini dapat

berperan terhadap disfungsi organ dan mortalitas yang terjadi saat sepsis.

Pemahaman yang lebih baik mengenai biologi TLRs dapat

mengungkapkan pendekatan terapi terbaru pada sepsis

Page 331: Sistem Imun Full

13 Jenis Toll-Like Receptor Dengan berbagai Aspek Klinisnya TLR 1. TLR 1 adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor (TLRs)

tergadap pola pengenalan resepotror dari sistem imun bawaan (innate

immune system). TLR1 dikenal patogen terkait pola molekul dengan

spesifisitas untuk bakteri gram positif. TLR1 juga telah ditetapkan

sebagai CD281 (cluster diferensiasi 281). TLRs mempunyai kesamaan

struktural dan fungsional. Kakter patogen terkait pola molekul

(PAMPs) yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi

sitokin yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif.

Berbagai TLRs menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Gen ini

ubiquitously disajikan, dan pada tingkat lebih tinggi dari gen TLR

lainnya. Transkrip panjang yang berbeda mungkin disebabkan dari

penggunaan situs polyadenylation alternatif, dan / atau dari splicing

alternatif, telah dicatat untuk gen ini. TLR1 dikenal sebagai

peptidoglikan dan (triacyl) lipoprotein dalam konser dengan TLR2

(sebagai heterodimer) . Hal ini ditemukan pada permukaan makrofag

dan neutrofil.

TLR 2. Toll-like receptor (TLRs) 2 juga dikenal sebagai TLR-2 adalah

protein pada manusia yang dikodekan oleh gen TLR2. TLR2 juga telah

ditetapkan sebagai CD282 (cluster diferensiasi 282). TLR-2 berperan

dalam sistem kekebalan tubuh. TLR-2 adalah protein membran,

reseptor, yang diekspresikan pada permukaan sel tertentu dan

mengakui zat asing dan berlalu pada sinyal yang sesuai dengan sel-

sel sistem kekebalan tubuh. Protein yang dikode oleh gen ini adalah

anggota dari keluarga Toll-like receptor (TLRs), yang memainkan

peranan penting dalam patogen dan aktivasi kekebalan bawaan.

PAMPs yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi

sitokin yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif.

Berbagai TLRs menunjukkan variasi pola yang berbeda ekspresi. Gen

ini diekspresikan paling banyak dalam leukosit darah tepi, dan

memediasi respon host terhadap bakteri Gram-positif dan ragi melalui

stimulasi dari NF-kB

Page 332: Sistem Imun Full

TLR 3. Toll-like receptor 3 (TLR3) juga dikenal sebagai CD283

(cluster diferensiasi 283) adalah protein yang pada manusia

dikodekan oleh gen TLR3. TLR3 adalah anggota keluarga Toll-like

receptor (TLRs) dalam reseptor pengenalan pola sistem kekebalan

tubuh bawaan. TLR3 adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor

(TLRs) reseptor yang memainkan peranan penting dalam pengakuan

patogen dan aktivasi kekebalan bawaan. TLRs sangat dilestarikan dari

Drosophila kepada manusia dan berbagi kesamaan struktural dan

fungsional. TLR mengenali patogen terkait pola molekul (PAMPs) yang

disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang

diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs

berbagai menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Reseptor ini

paling banyak disajikan di plasenta dan pankreas, dan terbatas pada

subpopulasi dendritik dari leukosit. TLR 3 dikenai oleh  dsRNA yang

berhubungan dengan infeksi virus, dan menginduksi aktivasi NF-kB

dan produksi tipe I interferon. Hal demikian dapat berperan dalam

pertahanan host terhadap virus. TLR3 mengenali RNA untai ganda,

suatu bentuk informasi genetik yang dibawa oleh beberapa virus

seperti reoviruses. TLR 3 menginduksi aktivasi NF-kB meningkatkan

produksi interferon tipe I yang sinyal sel-sel lain untuk meningkatkan

pertahanan antivirus mereka. RNA untai ganda juga dikenali oleh

reseptor sitoplasmik RIG-I dan MDA-5. TLR3 menampilkan peran

protektif pada model tikus aterosklerosis. Selain itu. Aktivator TLR3

menunjukkan efek pada sel-sel pembuluh darah manusia

TLR 4. Toll-like receptor 4 (TLR4)  adalah protein yang pada

manusia dikodekan oleh TLR4 gen . TLR 4  Mendeteksi lipopolisakarida

dari bakteri Gram-negatif bakteri dan dengan demikian penting dalam

aktivasi sistem imun alami .  TLR4 juga telah ditetapkan

sebagai CD284 ( cluster diferensiasi284). Protein yang dikode oleh

gen ini adalah anggota dari keluarga Pulsa seperti (TLR) reseptor,

yang memainkan peranan penting dalam pengakuan patogen dan

aktivasi kekebalan bawaan .  TLRs sangat diwariskan

Drosophila kepada manusia berbagi kesamaan struktural dan

fungsional.  TLR4 juga mengenali patogen terkait pola molekul

( PAMPs ) yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi

sitokin yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. 

Page 333: Sistem Imun Full

TLRs berbagai menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Reseptor ini

paling banyak diproduksi di plasenta , dan dalam myelomonocytic

subpopulasi dari leukosit . Telah terlibat dalam transduksi sinyal

peristiwa yang disebabkan oleh lipopolisakarida (LPS) ditemukan di

sebagian besar bakteri gram negatif . Mutasi pada gen ini telah

dikaitkan dengan perbedaan respon LPS. Juga, beberapa varian

transkrip gen ini telah ditemukan, namun potensi penyandi protein

dari kebanyakan mereka tidak pasti

TLR 5. Toll-like receptor 5 (TLR5) juga dikenal sebagai TLR5, adalah

protein yang pada manusia dikodekan oleh TLR5 gen. Protein yang

dikode oleh gen ini adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor 4

(TLR4) yang memainkan peranan penting dalam pengenalan patogen

dan aktivasi kekebalan bawaan . TLRs sangat diwariskan Drosophila

kepada manusia dengan berbagi kesamaan struktural dan fungsional.

MTLRs5 mengenali pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) 

yang disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin

yang diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. TLRs

berbagai menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Produk gen ini

diekspresikan dalam sel myelomonocytic, dan mengenali flagellin

bakteri, komponen utama dari flagela bakteri dan faktor virulensi. The

activation of this receptor mobilizes the nuclear factor NF-κB and

stimulates tumor necrosis factor-alpha production.  Aktivasi reseptor

ini memobilisasi faktor nuklir NF-kB dan merangsang produksi

nekrosis faktor alfa tumor produksi.  TLR5 mengenali flagellin .

Flagellin adalah monomer protein yang membentuk filamen dari

flagela bakteri, ditemukan di hampir semua bakteri motil. Ada daerah

yang sangat kuat dalam protein flagellin antara semua bakteri,

memfasilitasi pengakuan flagellin oleh reseptor kuman-line dikodekan

seperti TLR5

TLR 6. Toll-like receptor 6 (TLR6) adalah protein yang pada

manusia dikodekan oleh gen TLR6. TLR6 juga telah ditetapkan

sebagai CD286 (cluster diferensiasi 286). Protein yang dikode oleh

gen ini adalah anggota dari reseptor Pulsa seperti (TLR) keluarga yang

memainkan peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi

kekebalan bawaan. TLRs sangat dilestarikan dari Drosophila kepada

manusia dan berbagi kesamaan struktural dan fungsional. Mereka

Page 334: Sistem Imun Full

mengenali pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) yang

disajikan pada agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang

diperlukan untuk pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs

berbagai menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Reseptor ini

secara fungsional berinteraksi dengan pulsa seperti reseptor 2 untuk

memediasi respon seluler untuk lipoprotein bakteri

TLR 7. Toll-like receptor 7 (TLR7), juga dikenal sebagai TLR7,

adalah protein yang pada manusia dikodekan oleh gen TLR7.

Orthologsare ditemukan pada mamalia dan burung. TLR7 adalah

anggota dari keluarga Pulsa seperti (TLR) reseptor yang memainkan

peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi kekebalan

bawaan. TLRs sangat dilestarikan dari Drosophila kepada manusia dan

berbagi kesamaan struktural dan fungsional. Mereka mengenali

pathogen-associated molecular patterns (PAMPs) yang disajikan pada

agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang diperlukan untuk

pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs berbagai

menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Gen ini terutama

dinyatakan dalam paru-paru, plasenta, dan limpa, dan terletak di

dekat anggota keluarga lainnya,, TLR8 pada kromosom X. TLR7

human mengenali single stranded RNA atau RNA berantai tunggal di

endosomes, yang merupakan fitur umum dari genom virus yang

diinternalisasi oleh makrofag.

TLR 8. Toll-like receptor 8 (TLR8) adalah protein yang pada

manusia dikodekan oleh gene TLR8 gene. TLR8 juga telah ditetapkan

sebagai CD288 (cluster differentiation288). Protein yang dikode oleh

gen ini adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor yang

memainkan peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi

kekebalan bawaan. TLRs diwariskan dari Drosophila kepada manusia

dan berbagi kesamaan struktural dan fungsional. Mereka mengenali

pathogen-associated molecular patterns (PAMPs)) yang disajikan pada

agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang diperlukan untuk

pengembangan imunitas yang efektif. Para TLRs berbagai

menunjukkan pola yang berbeda ekspresi. Gen ini terutama

dinyatakan dalam paru-paru dan leukosit darah tepi, dan terletak di

dekat anggota keluarga lainnya, TLR7, pada kromosom X. TLR8

mengenali G-rich oligonucleotides.

Page 335: Sistem Imun Full

TLR 9. Toll-like receptor 9 (TLR9) adalah protein yang pada

manusia dikodekan oleh gene TLR9. TLR9 juga telah ditetapkan

sebagai CD289 (cluster differentiation289). TLR9 adalah anggota

dari family Toll-like receptor yang memainkan peranan penting dalam

pengenalan patogen dan aktivasi kekebalan bawaan. TLRs diberi

nama untuk tingkat tinggi konservasi dalam struktur dan fungsi

terlihat antara TLRs mamalia dan transmembran Tol protein

Drosophila. TLRs adalah transmembran protein, diekspresikan pada

permukaan sel dan kompartemen endocytic dan mengenali pathogen-

associated molecular patterns (PAMPs) yang disajikan pada agen

infeksi dan memulai sinyal untuk menginduksi produksi sitokin yang

diperlukan untuk kekebalan bawaan dan kekebalan adaptif

berikutnya. Berbagai TLRs  menunjukkan pola yang berbeda ekspresi.

Gen ini secara khusus disajikan dalam jaringan sel kekebalan kaya,

seperti limpa, kelenjar getah bening, sumsum tulang dan leukosit

darah perifer. Studi pada tikus dan manusia menunjukkan bahwa

reseptor ini menengahi respon seluler untuk dinucleotides CpG

unmethylated dalam DNA bakteri untuk me-mount respon imun

bawaan. TLR9 mengenali urutan CpG unmethylated dalam molekul

DNA. Situs CpG relatif jarang (~ 1%) pada genom vertebrata

dibandingkan dengan genom bakteri atau DNA virus. TLR9

diekspresikan oleh sel banyak dari sistem kekebalan tubuh seperti sel-

sel dendritik, limfosit B, monosit dan alami pembunuh (NK) sel. TLR9

intrasel, dalam kompartemen endosomal dan fungsi untuk

mengingatkan sistem kekebalan tubuh dari infeksi virus dan bakteri

dengan mengikat DNA kaya motif CpG. Sinyal TLR9 menyebabkan

aktivasi sel memulai pro-inflamasi reaksi yang menghasilkan produksi

sitokin seperti type-I interferon dan IL-12.

TLR 10. Toll-like receptor 10 (TLR10) adalah protein yang pada

manusia dikodekan oleh gene TLR10. TLR10 juga telah ditetapkan

sebagai CD290 (cluster diferensiasi 290). Protein yang dikode oleh

gen ini adalah anggota dari keluarga Toll-like receptor yang

memainkan peranan penting dalam pengakuan patogen dan aktivasi

kekebalan bawaan. TLRs diwaruiskan dari Drosophila kepada manusia

dan berbagi kesamaan struktural dan fungsional. Mereka mengenali

pathogen-associated molecular patterns (PAMPs)) yang disajikan pada

Page 336: Sistem Imun Full

agen infeksi, dan memediasi produksi sitokin yang diperlukan untuk

pengembangan imunitas yang efektif. Berbagai TLRs bmenunjukkan

pola yang berbeda ekspresi. Gen ini paling sangat disajikan dalam

jaringan limfoid seperti limpa, kelenjar getah bening, timus, dan

amandel. Fungsi pastinya tidak diketahui. Varian transkrip beberapa

alternatif disambung pengkodean protein yang sama telah ditemukan

gen ini

TLR 11. Toll-like receptor 11 (TLR11) adalah protein yang dikodekan

oleh gen TLR11. TLR 11 termasuk keluarga Toll-like receptor dan the

Interleukin-1 receptor/Toll-like receptor superfamily. Dengan

mengenali pola molekul hadir pada mikroba, hal ini membantu

menyebarkan respon kekebalan host. TLR 11 menjadi peran penting

baik dalam respon imun bawaan dan adaptif, melalui aktivasi Tumor

necrosis factor-alpha, Interleukin 12 (IL-12) respon, dan Interferon-

gamma (IFN-gamma) sekresi . TLR 11 khusus mount suatu respon

kekebalan terhadap dua mikroba yang berbeda: Toxoplasma gondii

(T. gondii) dan Escherichia coli uropathogenic (E. coli).

TLR 12. TLR12 asam amino 911-926 dari tikus. Toll-like receptor

pada mamalia terdiri dari keluarga protein transmembran ditandai

dengan beberapa salinan mengulangi leusin kaya di ekstraseluler

domain dan IL-1 dalam domain sitoplasmik. Sinyal TLRs melalui

molekul adaptor . Keluarga TLR adalah mediator filogenetis

dilestarikan dari kekebalan bawaan yang sangat penting bagi

pengenalan mikroba. Sebagian besar spesies mamalia memiliki antara

sepuluh dan lima belas jenis TLRs. TLRs fungsional 10(TLR1-10) telah

diidentifikasi pada manusia. Manusia juga menyandikan gen TLR11

mengandung beberapa kodon dan protein yang tidak disajikan.

Namun, tikus dan tikus TLR11 yang fungsional, dan TLR11 fungsi

human hilang selama evolusi. Sejarah menunjukkan ekspresi TLR

telah paling ekstensif dipelajari dalam sistem kekebalan tubuh. Secara

keseluruhan, TLRs yang disajikan dalam sel kompeten kekebalan

tubuh, termasuk makrofag, sel dendritik, neutrofil, sel epitel mukosa

dan sel endotel dermal. Namun, TLRs juga telah diidentifikasi di

banyak jenis sel lain dan lokasi anatomi jaringan di mana mereka

dinyatakan baik konstitutif atau diinduksi selama infeksi. TLR12

menampilkan pola yang berbeda ekspresi dalam makrofag, hati,

Page 337: Sistem Imun Full

ginjal, kandung kemih dan sel epitel. TLR12 tidak merespon ligan TLR

yang diketahui.

TLR 13. Toll-like receptor 11 (TLR11) adalah anggota baru dari 

famili Toll-like receptor . Untuk menjelaskan dasar ekspresi gen

molekul murin  TLR13 , aktivitas TLR13 gene promoter yang dikenalii.

Laporan analisan gen  gen  dan EMSA menunjukkan bahwa transkripsi

gen TLR13  diatur melalui three cis-acting elements yang berinteraksi

dengan Ets2, Sp1, dan PU.1 faktor transkripsi. Selanjutnya, pekerjaan

kami menunjukkan bahwa faktor-faktor transkripsi dapat bekerja

sama berpuncak pada transkripsi maksimal dari gen TLR13.

Sebaliknya, NF-kB tampaknya bertindak sebagai penghambat TLR13

transkripsi. Over-ekspresi Ets2 menyebabkan peningkatan tajam

dalam aktivitas transkripsional TLR13 promotor, namun, lebih-ekspresi

NF-kB p65 secara dramatis menghambatnya. Selain itu, INF-β mampu

bertindak sebagai transkripsi TLR13 , tetapi sinyal diaktifkan dari

LPS/TLR4 dan PGN/TLR2 sangat menghambat promotor gen TLR13.

Dengan demikian, temuan ini mengungkapkan mekanisme regulasi

genTLR13 , sehingga memberikan informasi tentang fungsi TLR13

dalam respon kekebalan terhadap patogen.

Inilah 13 Jenis Toll-Like Receptor yang telah teridentifikasiRecep

tor Ligand(sLigand

location Adapter(s) Location

TLR 1multiple triacyl lipopeptides Bacteria MyD88/MAL

cell surface

TLR 2 multiple glycolipids

Bacteria MyD88/MAL cell surface

Page 338: Sistem Imun Full

multiple lipopeptides Bacteria

multiple lipoproteins Bacteria

lipoteichoic acid Bacteria

HSP70Host cells

zymosan (Beta-glucan) Fungi

Numerous others

TLR 3

double-stranded RNA, poly I:C viruses TRIF

cell compartment

TLR 4

lipopolysaccharide

Gram-negative bacteria

MyD88/MAL/TRIF/TRAM

cell surface

several heat shock proteins

Bacteria and host cells

fibrinogen host cells

heparan sulfate fragments host cells

hyaluronic acid fragments host cells

nickel

Numerous others

Page 339: Sistem Imun Full

TLR 5 flagellin Bacteria MyD88cell surface

TLR 6multiple diacyl lipopeptides

Mycoplasma MyD88/MAL

cell surface

TLR 7

imidazoquinoline

small synthetic compounds

MyD88

cell compartment

loxoribine (a guanosine analogue)

bropirimine

single-stranded RNA

TLR 8

small synthetic compounds; single-stranded RNA MyD88

cell compartment

TLR 9

unmethylated CpG Oligodeoxynucleotide DNA Bacteria MyD88

cell compartment

Page 340: Sistem Imun Full

TLR 10 unknown unknown

TLR 11 Profilin

Toxoplasma gondii MyD88

cell compartment

TLR 12 unknown unknown ?

TLR 13[28] unknown Virus MyD88, TAK-1

cell compartment

.