sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

28

Click here to load reader

description

perjanjian internasional

Transcript of sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

Page 1: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Konstitusi merupakan hukum tertinggi dalam penyelenggaraan

ketatanegaraan suatu negara oleh karenanya pembuatan perjanjian internsional

yang merupakan salah satu dari aktivitas penyelenggaran negara sudah seharusnya

didasarkan atas ketentuan yang terdapat dalam konstitusi. Konstitusi juga

mempunyai fungsi sebagai fondasi dalam penyusunan sistem hukum negara, oleh

karena itu pembuatan perjanjian international juga menjadi bagian dalam sistem

konstitusi. Sementara ini masih terdapat perbedaan pendapat baik di antara pakar

hukum maupun praktisi penyelenggara pemerinrtahan negara mengenai dasar-

dasar konstitusional yang mengatur pembuatan perjanjian internasional.

Perbedaan yang menyebabkan pandangan yang beragam tersebut mempunyai

implikasi baik praktis dan teoritis dalam memberi dasar pengaturan tentang

perjanjian internasional1.

Sebuah perjanjian internasional pada hakekatnya adalah merupakan

penuangan kesepakatan yang diambil oleh para pihak, dalam hal ini antar negara

yang membuat perjanjian tersebut. Dengan demikian, dalam sebuah perjanjian

internasional terceminkan kehendak dua pihak. Setiap negara mempunyai aturan

yang berbeda tentang siapa yang berhak untuk mewakili negara tersebut dan dari

1 Dr. Harjono, SH., MCL, 2012, Opini Juris Volume 04 Dirjen Hukum dan Perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri - Perjanjian Internasional Dalam Sistem UUD 1945, hal: 8.

Page 2: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

2

wakil itu pulalah pihak negara lain mendapatkan kepastian bahwa memang

pihaknya telah bertemu dan mengadakan kesepakatan dengan wakil yang sah2. Di

Indonesia, satu-satunya landasan hukum pembuatan perjanjian hanyalah Pasal 11

UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan

Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian

dengan negara lain.

Ketentuan dalam Pasal 11 UUD 1945 tersebut, yang menyangkut

perjanjian internasional, sangat sumir dan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan.

Apa yang dimaksud dengan kata membuat, dan apa saja yang meliputi kata

perjanjian, menghendaki penjelasan dan penelitian lebih lanjut. Setelah itu

dikeluarkanlah Surat Presiden R.I. no.2826/HK/60, 22 Agustus 1960, tentang

Pembuatan perjanjian dengan negara lain sebagai usaha untuk menjelaskan

ketentuan Pasal 11 UUD 1945.

Menurut Surat Presiden tersebut hanya perjanjian-perjanjian yang

terpenting saja yang dapat mempengaruhi haluan politik luar negeri seperti

perjanjian-perjanjian persahabatan, persekutuan, perubahan wilayah, kerjasama

ekonomi, kerjasama teknik atau kerjasama pinjaman yang harus disampaikan ke

DPR untuk mendapatkan persetujuan sebelum disahkan Presiden, sedangkan

perjanjian-perjanjian dengan materi lain yang biasanya dalam bentuk persetujuan

hanya disampaikan ke DPR untuk diketahui setelah disahkan Presiden.

Dengan demikian ada perjanjian yang disahkan oleh Presiden setelah

disetujui DPR dengan undang-undang dan persetujuan yang disahkan sendiri oleh 2 Ibid, hal: 9

Page 3: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

3

Presiden dengan Keputusan Presiden. Surat Presiden tersebut yang merupakan

satu-satunya usaha penjelasan dari Pasal 11 UUD 1945 ditinjau dari segi hukum

tidak mempunyai kekuatan mengikat karena hanya berbentuk surat. Di samping

itu ketentuan untuk merumuskan suatu kategori perjanjian yang materinya

berisikan hal-hal atau ikatan yang akan mempengaruhi politik luar negeri akan

menimbulkan permasalahan bagi perjanjian dari materi yang sama yang dianggap

tidak akan mempengarui haluan negara3.

Pada dasarnya Pasal 11 UUD 1945 tidak membedakan bentuk perjanjian.

Sebaliknya Surat Presiden 2826 membedakan antara perjanjian yang penting yaitu

treaty dan perjanjian dalam bentuk agreement atau persetujuan. Pengesahan

perjanjian dilakukan oleh Presiden dengan undang-undang sedangkan pengesahan

persetujuan cukup melalui Keputusan Presiden ( Keppres)4.

Salah satu perjanjian internasional yang disahkan dengan undang-undang

adalah International Covenant on Civil and Political (ICCPR) ydan diundangkan

dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005.

Persoalan-persoalan yang muncul terkait arti undang-undang pengesahan

suatu perjanjian internasional khususnya ICCPR inilah yang menjadi pokok utama

penulisan ini.

B. Rumusan Masalah

3 Boer Mauna, 2005, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: PT. Alumni, hal: 163.

4 Ibid, hal: 168

Page 4: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

4

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka tulisan ini hanya berupaya

mengkaji:

1. Bagaimana proses pengesahan International Covenant on Civil and

Political Rights (ICCPR) ke dalam perundang-undangan nasional?

2. Apakah dengan adanya proses pengesahan tersebut serta merta membuat

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) menjadi

self-executing atau non-self-executing?

BAB II

Page 5: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

5

PEMBAHASAN

A. Proses pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) ke dalam perundang-undangan nasional

Sebagai anggota aktif masyarakat internasional, Indonesia juga membuat

perjanjian-perjanjian baik dengan negara-negara lain maupun dengan organisasi-

organisasi internasional ataupun subjek-subjek hukum internasional lainnya.

Perjanjian-perjanjian tersebut bukan saja dalam bentuk bilateral, juga dalam

rangka kerjasama regional di samping perjanjian-perjanjian multilateral yang

bersifat umum ataupun khusus5 .

Ditinjau dari segi materi, perjanjian-perjanjian yang dibuat Indonesia

meliputi hamper semua bidang, baik itu politik, hukum, ekonomi, keuangan,

perdagangan maupun kerjasama di bidang kebudayaan, ilmu pengetahuan dan

teknologi. Sepanjang tidak bertentangan denan kepentingan nasional, Indonesia

telah menjadi pihak pada perjanjian-perjanjian multilateral dalam rangka

partisipasinya untuk menunjang dan mengokohkan keserasian dalam kehidupan

dan hubungan antar bangsa6.

Pembuatan dan pengesahan perjanjian internasional antara Pemerintah

Indonesia dengan pemerintah negara-negara lain, organisasi internasional dan

subjek hukum internasional lain adalah suatu perbuatan hukum yang sangat

penting karena mengikat negara dengan subjek hukum internasional lainnya. Oleh

5 Boer Mauna, Op.cit, hal: 162.6 Ibid.

Page 6: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

6

sebab itu pembuatan dan pengesahan suatu perjanjian internasional dilakukan

berdasarkan undang-undang7.

Sebelum adanya Undang-Undang No. 24 tahun 2000 tentang Perjanjian

Internasional, kewenangan untuk membuat perjanjian internasional seperti

tertuang dalam Pasal 11 Undang Undang Dasar 1945, menyatakan bahwa

Presiden mempunyai kewenangan untuk membuat perjanjian internasional dengan

persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Pasal 11 UUD 1945 ini memerlukan suatu

penjabaran lebih lanjut bagaimana suatu perjanjian internasional dapat berlaku

dan menjadi hukum di Indonesia. Untuk itu melalui Surat Presiden No.

2826/HK/1960 mencoba menjabarkan lebih lanjut Pasal 11 UUD 1945 tersebut8.

Pengaturan tentang perjanjian internasional selama ini yang dijabarkan

dalam bentuk Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tertanggal 22 Agustus 1960,

yang ditujukan kepada Ketua Dewan Perwakilan Rakyat, dan telah menjadi

pedoman dalam proses pengesahan perjanjian internasional selama bertahun-

tahun9. Pengesahan perjanjian internasional menurut Surat Presiden ini dapat

dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden, tergantung dari materi

yang diatur dalam perjanjian internasional. Tetapi dalam prateknya pelaksanaan

dari Surat Presiden ini banyak terjadi penyimpangan sehingga perlu untuk diganti

dengan Undang-Undang yang mengatur secara khusus mengenai perjanjian

internasional.

7 http://perjanjianinternational.blogspot.com/2012/04/kemungkinan-perjanjian-internasional-di.html diakses pada tanggal 4 januai 2013.8 Surat Presiden No. 2826/HK/1960, tanggal 22 Agustus 1960.9 Mochtar Kusumaatmadja,2003, Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni, hal: 56-57

Page 7: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

7

Hal ini kemudian yang menjadi alasan perlunya perjanjian internasional

diatur dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2000. Dalam Undang Undang No. 24

Tahun 2000, adapun isi yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah:

1. Ketentuan Umum

2. Pembuatan Perjanjian Internasional

3. Pengesahan Perjanjian Internasional

4. Pemberlakuan Perjanjian Internasional

5. Penyimpangan Perjanjian Internasional

6. Pengakhiran Perjanjian Internasional

7. Ketentuan Peralihan Ketentuan Penutup

Dalam pengesahan perjanjian internasional terbagi dalam empat kategori,

yaitu:

1. Ratifikasi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian

internasional turut menandatangani naskah perjanjian internasional;

2. Aksesi, yaitu apabila negara yang akan mengesahkan suatu perjanjian

internasional tidak turut menandatangani naskah perjanjian;

3. Penerimaan atau penyetujuan, yaitu pernyataan menerima atau menyetujui

dari negara-negara pihak pada suatu perjanjian internasional atas

perubahan perjanjian internasional tersebut;

4. Selain itu juga ada perjanjian-perjanjian internasional yang sifatnya self-

executing (perjanjian-perjanjian internasional yang penerapannya tidak

memerlukan ratifikasi tetapi hanya cukup dengan proses penandatanganan

saja).

Page 8: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

8

Dalam suatu pengesahan perjanjian internasional penandatanganan suatu

perjanjian tidak serta merta dapat diartikan sebagai pengikatan para pihak

terhadap perjanjian tersebut. Penandatanganan suatu perjanjian internasional

memerlukan pengesahan untuk dapat mengikat. Perjanjian internasional tidak

akan mengikat para pihak sebelum perjanjian tersebut disahkan. Seseorang yang

mewakili pemerintah dengan tujuan menerima atau menandatangani naskah suatu

perjanjian atau mengikatkan negara terhadap perjanjian internasional,

memerlukan surat kuasa (Full Powers)10. Pejabat yang tidak memerlukan surat

kuasa adalah Presiden dan Menteri.

Tetapi penandatanganan suatu perjanjian internasional yang menyangkut

kerjasama teknis sebagai pelaksanaan dari perjanjian yang sudah berlaku dan

materinya berada dalam lingkup kewenangan suatu lembaga negara atau lembaga

pemerintah, baik departemen maupun non-departemen, dilakukan tanpa

memerlukan surat kuasa.

Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah dilakukan sepanjang

dipersyaratkan oleh perjanjian interansional tersebut. Pengesahan suatu perjanjian

internasional dilakukan berdasarkan ketetapan yang disepakati oleh para pihak.

Perjanjian internasional yang memerlukan pengesahan mulai berlaku setelah

terpenuhinya prosedur pengesahan yang diatur dalam undang-undang11.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang atau

keputusan Presiden12. Pengesahan dengan undang-undang memerlukan

10 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, Pasal 7.11 Ibid, Pasal 8.12 Ibid, Pasal 9.

Page 9: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

9

persetujuan DPR13. Pengesahan dengan keputusan Presiden hanya perlu

pemberitahuan ke DPR14.

Pengesahan perjanjian internasional dilakukan melalui undang-undang

apabila berkenaan dengan:

1. Masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;

2. Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara;

3. Kedaulatan atau hak berdaulat negara;

4. Hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

5. Pembentukan kaidah hukum baru;

6. Pinjaman dan/atau hibah luar negeri15.

Di dalam mekanisme fungsi dan wewenang, DPR dapat meminta

pertanggung jawaban atau keterangan dari pemerintah mengenai perjanjian

internasional yang telah dibuat. Apabila dipandang merugikan kepentingan

nasional, perjanjian internasional tersebut dapat dibatalkan atas permintaan DPR,

sesuai dengan ketentuan yang ada dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2000.

International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) selaku

perjanjian internasional sebelum diimplementasikan dalam hukum nasional

terlebih dahulu harus melewati tahap ratifikasi selanjutnya disahkan. Pengesahan

dari ICCPR tersebut dalam bentuk Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 tentang

Pengesahan Kovenan Internasional Tentang Hak Sipil dan Politik.

13 Ibid, Pasal 10.14 Ibid, Pasal 11.15 Ibid, Pasal 10.

Page 10: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

10

B. Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights

(ICCPR) ke dalam perundang-undangan nasional tidak serta merta

berlaku (non-self-executing), bisa sebagai alat bantu bagi para hakim

untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional

Pemahaman mengenai perjanjian internasional self-executing dan non-self-

executing di Indonesia sangat berbeda dengan pemahaman umum mengenai

perjanjian internasional ini. Perbedaan pemahaman ini menimbulkan “kekacauan”

terhadap definisi yang sebenarnya dari perjanjian internasional self-executing dan

non-self-executing.

Perjanjian self-executing adalah perjanjian internasional yang secara ipso

facto dapat diterapkan di pengadilan nasional suatu negara tanpa memerlukan

implementing legislation16. Selanjutnya perjanjian non-self-executing diartikan

sebagai perjanjian internasional yang tidak dapat diterapkan secara langsung di

pengadilan tanpa adanya implementing legislation yang dibuat oleh lembaga

eksekutif.

Dari sisi epistemologi yaitu mengapa perjanjian internasional dibedakan

antara perjanjian internasional self-executing dan non-self-executing.

Permasalahan ini selanjutnya dikembalikan pada sistem hukum dari tiap-tiap

negara terkait dengan bagaimana status perjanjian internasional dalam sistem

hukum nasional mereka, apakah lebih tinggi atau lebih rendah dari hukum

16 Thomas Buergenthlm, 1992, Self-Executing and Non-Self-Executing Treaties in National and International Law, Extract from the Recueil der Cours, Volume 235, Martinus Nijhoff Publisher, the Netherlands, hal: 368 (Dalam disertasi hukum Wisnu Aryo Dewanto berjudul “Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional”, hal: 48).

Page 11: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

11

nasional mereka. Pada umumnya untuk mengetahui status ini, maka hal yang

harus dicermati adalah konstitusi di tiap-tiap negara. Ada konstitusi negara yang

mengatur mengenai kedudukan perjanjian internasional, namun ada juga

konstitusi negara yang tidak mengatur kedudukan tersebut sama sekali. Perbedaan

dalam memandang primacy hukum ini memunculkan dua jenis negara yaitu

negara dengan pandangan monisme dan negara dengan pandangan dualisme, yang

pada akhirnya menciptakan sifat self-executing dan non-self-executing dari

perjanjian internasional yang diratifikasi. Pada akhirnya, dalam tahapan

implementasi dilihat bagaimana perjanjian internasional dibedakan antara

perjanjian internasional self-executing dan non-self-executing. Jika melihat teori

Montesqiueu mengenai pemisahan kekuasaan, berdasarkan fungsi maka

kewenangan untuk menginterpretasikan hukum adalah tugas dari lembaga

yudikatif. Demikian pula dengan penginterpretasian perjanjian internasional di

mana hal tersebut menjadi kewenangan dari pengadilan, dalam hal ini adalah

hakim17.

Berbicara mengenai perjanjian internasional self-executing dan non-self-

executing pada hakikatnya membicarakan tentang apakah di dalam sistem hukum

nasional suatu negara, perjanjian internasional, tanpa implementing legislation,

memiliki legal effect secara langsung di pengadilan atau tidak. Jika perjanjian

internasional tersebut memiliki legal effect secara langsung, maka hakim dapat

menggunakan pasal-pasal di dalam perjanjian internasional tersebut sebagai dasar

17 Wisnu Aryo Dewanto, dalam disertasi hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional Self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional”, hal: 46.

Page 12: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

12

hukum untuk menyelesaikan kasus-kasus yang diajukan. Sebaliknya, jika tidak

memiliki legal effect secara langsung, maka hakim tidak boleh menggunakan

pasal-pasal di dalam perjanjian internasional tersebut tanpa adanya peraturan

pelaksana (implementing legislation)18.

Implementing legislation merupakan peraturan perundang-undangan yang

dibuat oleh lembaga legislatif atau parlemen yang berfungsi sebagai persetujuan

atas tindakan ratifikasi dari pemerintah yang di dalamnya biasanya memberikan

pengaturan lebih lanjut mengenai bagaimana berlakunya perjanjian internasional

di dalam sistem hukum nasional. Implementing legislation merupakan cirri khusus

dari ke-dualisme-an suatu negara. Selain itu, ketiadaan pengaturan hubungan

antara hukum internasional dan hukum nasional di dalam konstitusi negara

menjadi ciri lain dari sifat dualisme. Pembentukan Implementing legislation

menjadi kewenangan penuh dari lembaga legislatif karena peraturan pelaksana

selalu berupa undang-undang.

Di dalam UUD 1945 maupun Undang-Undang sebenarnya, ketidakhadiran

hukum internasional secara eksplisit sudah menjelaskan ke-dualisme-an Indonesia

karena keutamaan hukum yang digunakan sebagai sumber hukum formal bagi

hakim adalah hukum nasional, bukan hukum internasional. Indonesia tidak

menganut sistem pemisahan kekuasaan secara murni tetapi juga tidak menganut

sistem pemisahan kekuasaan secara checks and balances19.

18 Ibid, hal: 46-47.19 Ibid, hal: 23

Page 13: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

13

Jika menelaah Pasal 9 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000

tentang Perjanjian Internasional, setiap peratifikasian suatu perjanjian

internasional dapat dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.

Namun, baik undang-undang pengesahan ataupun keputusan presiden sama sekali

tidak berhubungan langsung dengan pemberlakuan norma-norma hukum

internasional ke dalam bagian hukum nasional sebelum ada peraturan

pelaksananya.

Kewenangan untuk membuat dan meratifikasi perjanjian internasional

mutlak dimiliki oleh Presiden, tetapi ketika Presiden akan meratifikasi, Presiden

wajib mendapat persetujuan dari DPR. Persetujuan ini memiliki implikasi yang

besar karena DPR tidak hanya menyetujui keinginan Preseiden begitu saja, namun

DPR dapat mengajukan persetujuan dengan syarat, seperti reservation,

understandings dan declarations, atau bahkan DPR dapat menolak keinginan

Presiden tersebut.

Dari penjelasan di atas, International Covenant On Civil and Political

Rights (ICCPR) merupakan salah satu perjanjian internasional yang bersifat non-

self-executing. Hal ini terlihat dari Pasal 2 ayat (2) dari Kovenan tersebut yang

menyatakan bahwa:

Each State Party to the present Covenant undertakes to take the necessary steps, in accordance with its constitutional processes and with the provisions of the present Covenant, to adopt such laws or other measures as may be necessary to give effect to the rights recognized in the present Covenant.

Adapun setelah proses pengesahan yang dilakukan oleh pemerintah, tidak

menjadikan International Covenant On Civil and Political Rights (ICCPR) ini

Page 14: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

14

serta merta berlaku secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus

ditransformasikan terlebih dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-

undangan yang diakui di Indonesia, dalam hal ini adalah undang-undang. Dengan

kata lain, harus menggunakan implementing legislation.

Implementasi kaidah-kaidah hukum internasional di Indonesia sebenarnya

tidak terlalu menjadi beban bagi para hakim di Indonesia karena para hakim

memang tidak diwajibkan untuk menggunakan hukum internasional sebagai salah

satu sumber hukum yang dipakai untuk memutus perkara karena tidak dikenal

dalam hirarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, khususnya di dalam

Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan.

Walaupun perjanjian internasional non-self-executing tidak memiliki

kekuatan hukum secara langsung di pengadilan, perjanjian internasional ini dalam

praktiknya khususnya di Indonesia dapat digunakan oleh hakim sebagai alat bantu

untuk menginterpretasikan peraturan hukum nasional yang tidak linear dengan

kewajiban-kewajiban internasional yang diatur dalam perjanjian internasional.

Jika tidak mau, maka kaidah-kaidah hukum internasional tersebut tidak mungkin

dapat diterapkan dan tentu saja tidak berlaku secara efektif di pengadilan-

pengadilan nasional Indonesia20.

Yang menjadi masalah adalah pengetahuan hakim-hakim tentang

perjanjian-perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh pemerintah

20 Wisnu Aryo Dewanto, 2012, Opini Juris Volume 04 Dirjen Hukum dan perjanjian Internasional Kementrian Luar Negeri - Memahami Arti Undang-Undang Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia, hal: 28.

Page 15: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

15

Indonesia, khususnya bagi mereka yang jauh sekali dari pusat pemerintahan,

apakah mereka memahami tentang kewajiban-kewajiban internasional yang

diemban oleh Indonesia sebagai konsekuensi dari peratifikasian perjanjian-

perjanjian internasional tersebut. Hakim dalam memutus perkara harus

mendasarkan pada konstruksi berfikir hukum yang obyektif, selain menegakkan

hukum juga menegakkan keadilan. Konstruksi berfikir menegakkan hukum

melihat dari sisi perbuatan, sedangkan konstruksi berfikir menegakkan keadilan

menelaah dari sisi alas an-alasan mengapa perbuatan tersebut dilakukan21.

Sistem peradilan nasional Indonesia harus berubah dan berkembang kea

rah yang lebih baik karena saat ini batas antar negara sudah semakin terbuka,

artinya bahwa keluar masuknya barang, jasa dan orang dari satu negara ke negara

lain semakin mudah sehingga memerlukan hakim-hakim yang mampu dan

memiliki pengetahuan hukum yang berdimensi internasional. Tidak bisa hanya

mengandalkan peraturan-peraturan hukum nasional karena kasus-kasus yang

berdimensi internasional yang ad adi Indonesia sudah semakin banyak. Salah satu

contohnya pelanggaran hak berpendapat dan berekspresi yang diatur dalam

ICCPR, dan banyak kasus berdimensi internasional lainnya yang tidak terkuak

secara umum, apalagi Indonesia terlibat dalam berbagai kerjasama internasional.

Oleh karena itu, hakim-hakim harus memperkaya diri mereka dengan kemampuan

hukum internasional dengan mengetahui perjanjian-perjanjian internasional yang

telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia sehingga para hakim juga memahami

21 Ibid, hal: 29.

Page 16: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

16

kewajiban-kewajiban internasional yang harus diemban oleh Indonesia sebagai

negara peserta dari perjanjian-perjanjian tersebut.

Page 17: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

17

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) sebagai salah satu

perjanjian internasional yang diadopsi oleh Indonesia, tidak dapat diberlakukan

secara langsung oleh hakim di pengadilan karena harus ditransformasikan terlebih

dahulu ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan yang diakui di Indonesia,

dalam hal ini undang-undang. Dengan kata lain, semua perjanjian yang bersifat

non-self-executing pemberlakuannya harus menggunakan implementing

legislation yang berupa undang-undang. Oleh karena itu, untuk bisa ICCPR

berlaku utuh di Indonesia perlu peraturan khusus untuk menjabarkannya secara

lebih detail .

Page 18: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

18

DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Mauna, Boer. 2005. Hukum Internasional – Pengertian, Peranan dan Fungsi

dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni.

Suryokusumo, Sumaryo. 2008, Hukum Perjanjian Internasional. Jakarta:

PT.Tatanusa.

Website:

http://perjanjianinternasional.blogspot.com/2012/04kemungkinan-perjanjian-

internasional-di.html diakses pada tanggal 4 Januari 2013.

http://jurnalhukum.blogspot.com/2008/01/perjanjian-internasional-2.html diakses

pada tanggal 4 Januari 2013.

Konvensi Internasional:

International Covenant on Civil and Political Rights 1966 (ICCPR)

Undang-Undang:

Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2000 tentang

Perjanjian Internasional.

Sumber Lain:

Wisnu Aryo Dewanto, 2012, Opini Juris Volume 04 Dirjen Hukum dan perjanjian

Internasional Kementrian Luar Negeri - Memahami Arti Undang-Undang

Pengesahan Perjanjian Internasional di Indonesia

_________________, Disertasi Hukum yang berjudul “Perjanjian Internasional

self-Executing dan Non-Self-Executing di Pengadilan Nasional” di Pascasarjana

Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

Page 19: sistem hukum nasional dalam kaitannya dengan pengesahan ICCPR

19