Sistem Bikameral

30

Click here to load reader

Transcript of Sistem Bikameral

Page 1: Sistem Bikameral

Sistem dua kamarDari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Belum DiperiksaLangsung ke: navigasi, cari

Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan Perwakilan Rakyat.

Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.

Federalisme

Beberapa negara, seperti Australia, Amerika Serikat, India, Brasil, Swiss, dan Jerman, mengaitkan sistem dua kamar mereka dengan struktur politik federal mereka.

Di AS, Australia dan Brazil, misalnya, masing-masing negara bagian mendapatkan jumlah kursi yang sama di majelis tinggi badan legislatif. Tidak peduli perbedaan jumlah penduduk antara masing-masing negara bagian. Hal ini dirancang untuk memastikan bahwa negara-negara bagian yang lebih kecil tidak dibayang-bayangi oleh negara-negara bagian yang penduduknya lebih banyak. (Di AS, kesepakatan yang menjamin pengaturan ini dikenal sebagai Kompromi Connecticut.) Di majelis rendah dari masing-masing negara, pengaturan ini tidak diterapkan, dan kursi dimenangkan semata-mata berdasarkan jumlah penduduk. Karena itu, sistem dua kamar adalah sebuah metode yang menggabungkan prinsip kesetaraan demokratis dengan prinsip federalisme. Semua suara setara di majelis rendah, sementara semua negara bagian setara di majelis tinggi.

Dalam sistem India dan Jerman, majelis tinggi (masing-masing dikenal sebagai Rajya Sabha dan Bundesrat), bahkan lebih erat terkait dengan sistem federal, karena para anggotanya dipilih langsung oleh pemerintah dari masing-masing negara bagian India atau Bundesland Jerman. Hal ini pun terjadi di AS sebelum Amandemen ke-17.

Sistem dua kamar kebangsawanan

Di beberapa negara, sistem dua kamar dilakukan dengan menyejajarkan unsur-unsur demokratis dan kebangsawanan.

Contoh terbaik adalah Majelis Tinggi (House of Lords) Britania Raya, yang terdiri dari sejumlah anggota hereditary peers. Majelis Tinggi ini merupakan sisa-sisa sistem kebangsawanan yang dulu pernah mendominasi politik Britania Raya, sementara majelis yang lainnya, Majelis Rendah (House of Commons), anggotanya sepenuhnya dipilih. Sejak beberapa tahun lalu telah muncul usul-usul untuk memperbarui Majelis Tinggi, dan sebagian

Page 2: Sistem Bikameral

telah berhasil. Misalnya, jumlah hereditary peers (berbeda dengan life peers) telah dikurangi dari sekitar 700 orang menjadi 92 orang, dan kekuasaan Majelis Tinggi untuk menghadang undang-undang telah dikurangi.

Sebuah contoh lain dari sistem dua kamar kebangsawanan adalah House of Peers Jepang, yang dihapuskan setelah Perang Dunia II.

Wajah Parlemen Indonesia: Unikameral, Bikameral, ataukah Trikameral? Sebuah Analisis Peran Kamar dalam Sistem Perwakilan Rakyat di IndonesiaPosted on Mei 27, 2009 by aniasafitriWajah Parlemen Indonesia: Unikameral, Bikameral, ataukah Trikameral? Sebuah Analisis Peran Kamar dalam Sistem Perwakilan Rakyat di   Indonesia

Eksistensi dari lembaga perwakilan rakyat (parlemen) di sebuah negara yang menganut trias politica merupakan sebuah keharusan. Hal ini dilakukan sebagai check and balances diantara lembaga lain, yaitu eksekutif dan yudikatif. Demikian pula yang terjadi di Indonesia, dimana terdapat lembaga perwakilan rakyat yang sudah digagas sebelum masa kemerdekaan Indonesia. Keinginan berparlemen di Indonesia muncul pada masa kolonial Belanda, dimana pada saat itu terbentuklah Volksraad (Dewan Rakyat) sebagai sebuah lembaga perwakilan, meskipun pada tataran prakteknya Volksraad tidak dapat dibilang sebagai lembaga perwakilan rakyat karena hak-hak sebagai sebuah parlemen tidak bisa terpenuhi.

Setelah kemerdekaan Indonesia, lembaga perwakilan rakyat pun kemudian dilaksanakan oleh KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat) yang pada mulanya komite ini dibentuk hanya untuk membantu tugas presiden sebelum terbentuk MPR dan DPR (sesuai dengan Aturan Peralihan Pasal IV UUD 1945). Akan tetapi, muncul tuntutan-tuntutan agar KNIP diubah fungsinya sebagai lembaga parlemen. Pertanyaannya disini adalah mengapa harus ada MPR? Padahal sudah ada DPR, dimana DPR merupakan representasi dari rakyat sesuai dengan namanya. Alasan dibentuknya lembaga yang disebut sebagai MPR ini adalah karena adanya keinginan untuk membentuk sebuah lembaga tertinggi negara yang memegang kedaulatan rakyat, dan di dalam lembaga tertinggi negara ini Presiden memberikan pertanggungjawabannya. Sedangkan DPR hanya merupakan wadah wakil dari partai politik saja yang lolos dalam pemilihan umum, tetapi tidak bisa menampung orang-orang non parpol. Oleh karena itu, DPR belum bisa dikatakan sebagai perwakilan seluruh rakyat.

Kemudian pada masa RIS, parlemen di Indonesia menganut sistem bikameral. Hal ini ditunjukkan dengan adanya adanya Senat dan DPR RIS. Senat mewakili negara-negara bagian sedangkan DPR RIS dianggap mewakili seluruh rakyat Indonesia. Sistem bikameral ini diterapkan di masa RIS karena pada masa itu Indonesia merupakan negara federal bukan negara kesatuan. Namun, hal ini tidak berlangsung lama. Pada masa UUDS 1950, Indonesia kemudian menganut sistem unicameral, dimana hanya ada satu kamar yaitu MPRS, sesuai dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1950 yang dikeluarkan oleh Presiden Soekarno.

Page 3: Sistem Bikameral

Di masa kepemimpinan Presiden Soeharto, MPR mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR mempunyai fungsi dan wewenang yang sangat penting. MPR membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara dan juga memilih serta melantik presiden dan wakil presiden. Anggota MPR ini terdiri dari anggota DPR dan golongan fungsional yang terdiri dari utusan daerah dan TNI. Pada masa orde baru ini memang bertekad untuk melaksanakan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Akan tetapi pada kenyataannya, MPR malah sering dijadikan sebagai lembaga yang melegitimasi tindakan pemerintah.

Semenjak jatuhnya Presiden Soeharto, maka banyak tuntutan dari kalangan reformis untuk melakukan juga reformasi di dalam konstitusi. Tuntutan mereka adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945, yang selama orde baru dianggap suatu hal yang sakral yang tidak boleh diotak-atik lagi karena merupakan karya para founding parents yang mempunyai nilai sejarah tak terhingga. Kemudian dilakukanlah amandemen terhadap UUD 1945, dimana UUD 1945 sebelum diamandemen dianggap terlalu koruptif dan terlalu otoritarian. Amandemen ini dilakukan sebanyak 4 kali pada periode 1999-2002. Amandemen UUD 1945 ini pun akhirnya berimplikasi juga terhadap lembaga perwakilan di Indonesia. Dalam amandemen UUD 1945 tersebut menghasilkan sebuah lembaga baru yaitu Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Amandemen ini juga mengubah kedudukan MPR yang dulunya sebagai lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara, yang kedudukannya sama dengan lembaga tinggi negara lainnya.

Perubahan terhadap lembaga perwakilan di Indonesia itu kemudian menimbulkan suatu wacana yang sampai saat ini masih menimbulkan perdebatan. Apakah yang sebenarnya yang dianut oleh parlemen di Indonesia, apakah bikameral atau trikameral dengan melihat eksistensi dan fungsi dari tiga lembaga tinggi negara DPR, DPD, dan MPR tersebut?

Sebelumnya, lebih baik kita menilik sebentar bagaimana proses amandemen UUD 1945 terkait dengan lembaga perwakilan rakyat di Indonesia. Perdebatan mengenai lemabga perwakilan ini ada dua hal, yaitu mengenai kedudukan MPR dan juga adanya pembentukan dua kamar (DPD sebagai sebuah kamar baru). Mengenai MPR, tekad kuat untuk meniadakan kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan oleh Presiden dengan memanfaatkan MPR sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang tidak terbatas terjadi di dalam proses amandemen UUD 1945 ini. Oleh karena itu, menurut fraksi-fraksi MPR di Panitia AdHoc III dan I ingin mereformasi MPR secara total.

Kemudian terjadi perdebatan-perdebatan mengenai MPR. Pertama, MPR tidak perlu dibentuk sebgai lembaga sebab kewenangannya bersifat incidental sehingga pimpinan MPR dapat dirangkap secara langsung secara bergantian oleh pimpinan DPR dan DPD. Kedua, pendapat yang mengatakan masih perlunya MPR sebagai lembaga dengan pimpinan dan secretariat tersendiri. Alasannya, Pasal 2 ayat (1) hasil perubahan mengatakan, MPR terdiri dari anggota DPR dan anggota DPD. Jadi yang bergabung bukan lembaganya tetapi para anggotanya. Dengan demikian, MPR merupakan lembaga tersendiri. Maswadi Rauf mengusulkan MPR berubah menjadi semacam join session seperti Congress di Amerika Serikat yang bertemu dalam waktu tertentu, yaitu bergabung dalam satu rapat gabungan di MPR.

Terkait dengan kedudukan DPD sebagai kamar baru di dalam UUD 1945 hasil amandemen, pada proses pembentukannya ada juga perdebatan. Para tim ahli mengusulkan sistem perwakilan dua kamar atau bikameral, dimana DPR dan DPD memiliki kedudukan yang sama dan sejajar dalam fungsi-fungsinya sebagai lembaga perwakilan. Prof. Dr. Maswadi

Page 4: Sistem Bikameral

Rauf, Prof. Dr. Soewoto Mulyosudarmo, dan Prof. Dr. Ramlan Surbakti sama-sama mengusulkan agar DPD sebagai satu kamar kedudukannya sejajar dengan kamar DPR.

Lalu, bagaimanakah sebenarnya wajah parlemen di Indonesia saat ini? Bagaimana kedudukan MPR, DPR, dan DPD sebenarnya, apakah Indonesia menganut sistem unikameral, bikameral, ataukah trikameral? Untuk menjawab pertanyaan ini baiknya kita mengetahui dahulu pengertian dari unikameral, bikameral, dan trikameral ini serta melihat kedudukan MPR, DPR, dan DPD serta fungsi-fungsinya.

Unikameral terdiri dari satu kamar parlemen, sedangkan bikameral terdiri dari dua kamar yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri. Dalam struktur parlemen nasional pada unikameral tidak dikenal adanya dua badan yang terpisah seeprti adanya DPR dan Senat, ataupun majelis tinggi dan majelis rendah. Fungsi dewan atau majelis legislatif dalam sistem unikameral terpusat pada satu badan legislatif tertinggi dalam struktur negara. Bikameral biasanya terdiri dari Majelis Rendah dan Majelis Tinggi (yang kemudian dalam penerapan di negara-negara penganut bikameral, namanya berbeda-beda, tidak musti Majelis Rendah dan Majelis Tinggi). Salah satu alasan mengapa negara menganut sistem bikameral ini adalah adanya kebutuhan akan perlunya suatu keseimbangan yang lebih stabil antara pihak eksekutif dan legislatif. Trikameral berarti bahwa struktur organisasi parlemen nasional terdiri atas tiga badan yang masing-masing mempunyai fungsi sendiri-sendiri.

Pada perkembangannya, bikameral dapat dibagi lagi menjadi beberapa bentuk lagi. Giovanni Sartori membagi sistem parlemen bicameral menjadi tiga jenis, yaitu sistem bicameral yang lemah (soft bicameralism), sistem bicameral yang kuat (strong bicameralism), dan perfect bicameralism. Soft bicameralism terjadi apabila kekuatan salah satu kamar jauh lebih dominan atas kama lainnya. Sedangkan strong bicameralism terjadi apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat. Sedangkan perfect bicameralism terjadi ketika kekuatan diantara kedua kamarnya betul-betul seimbang.

Menurut Arend Lijphart, bahwa ada tiga prasyarat dari weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan minoritas. Dengan demikian kedua kamar memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan wewenang, serta akan bersatu dalam sebuah joint session untuk menjalankan fungsi-fungsi tersebut.

Penerapan sistem bikameral itu, dalam prakteknya, sangat dipengaruhi oleh tradisi, kebiasaan dan sejarah ketatanegaraan negara yang bersangkutan. Seperti halnya negara federasi, negara kesatuan juga bertujuan melindungi wilayah tertentu, melindungi etnik dan kepentingan-kepentingan khusus dari golongan rakyat tertentu (seperti kelompok kepentingan, golongan minoritas dan sebagainya) dari suara mayoritas (tirani mayoritas).

Setelah melihat pengertian dari sistem kamar di dalam parlemen, kemudian kita akan beranjak pada fungsi ataupun tugas dari MPR, DPR, dan DPD sehingga nantinya kita bisa melihat sebenarnya Indonesia menganut sistem kamar yang mana. Adapun tugas dari MPR diantaranya adalah mengubah dan menetapkan UUD, melantik Presiden dan Wakil Presiden berdasarkan pemiliha umum dalam Sidang Paripurna MPR, memutuskan usul DPR berdasarkan putusan MK untuk memberhentikan Presiden dan/ atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah Presiden dan/ atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyapaikan penjelasan di dalam sidang Paripurna MPR. Jika dilihat fungsi MPR seperti itu,

Page 5: Sistem Bikameral

maka tampak bagaimana MPR sekarang sudah tidak sekuat dulu lagi pada masa Orde Baru, ada pengurangan wewenang di dalam tubuh MPR.

Fungsi dari DPR sesuai dengan pasal 20 A adalah Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan; dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat; serta selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas.

DPD dapat mengajukan RUU kepada DPR yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dna pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumberdaya eknomi lainnya serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah (pasal 22d ayat 1). DPD ikut membahas sejumlah RUU yang diajukan dalam bagian pertama di atas, serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama (Pasal 22 D ayat 2). DPD dipilih langsung oleh rakyat seperti halnya dalam anggota DPR.

Perdebatan kemudian dimulai, apakah yang sebenarnya dianut oleh Indonesia, bikameral, soft bicameralism, ataukah trikameral? Selain itu, perdebatan juga terjadi seputar bagaimana sebenarnya kedudukan MPR itu, apakah hanya sebuah joint session ataukah memang masih perlunya MPR sebagai sebuah lembaga negara yang masih harus tetap dipertahankan?

Setelah tadi melihat perdebatan sebelum terjadinya amandemen, maka kita akan melihat perdebatan mengenai sistem kamar setelah dilakukannya amandemen. Pertama, saya akan membahas mengenai kedudukan MPR terlebih dahulu. Seperti yang juga diperdebatkan sebelum amandemen, setelah amandemen juga masih diperdebatkan kedudukan MPR, apakah masih diperlukan atau tidak. Memang sekarang fungsi MPR tidak lagi sekuat pada masa Orde Baru. Menurut, Reni Dwi Purnomowati, SH, MH., MPR tidaklah tepat jika dikatakan sebagai sebuah lembaga. Alasannya antara lain adalah bahwa MPR bukan lagi pemegang kedaulatan rakyat lagi. Selain itu, menurutnya wewenang MPR untuk mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar itu hanya bersifat insidental, meskipun hal ini terlihat sebagai hal yang penting. Wewenang ini bukan hal yang harus dilakukan setiap hari. MPR juga sudah tidak lagi mempunyai kewenangan penting lagi dalam memilih Presiden, sehubungan dengan adanya pemilihan presiden langsung yang diatur dalam Pasal 6A UUD 1945 hasil amandemen. Mengenai wewenang MPR untuk melakukan impeachment juga menurutnya bukanlah hal yang selalu terjadi.

Pendapat berbeda dikemukakan oleh ketua MPR periode 2004-2009, Hidayat Nur Wahid, yang menyatakan pentingnya keberadaan MPR sebagai lembaga negara. Hidayat Nur Wahid mengatakan bahwa pendapat yang menyatakan MPR hanya sebagai forum dan tidak dapat dilembagakan merupakan pendapat yang tidak berdasar dan tidak mempunyai argumentasi yang kuat. Menurutnya, sebenarnya fungsi dan kewenangan MPR yang sekarang substansinya menyangkut hal-hal yang sangat penting dan mendasar dalam kehidupan bernegara.

Kemudian terkait dengan DPD, banyak perdebatan mengenai hal ini, tentunya mengenai fungsi, wewenang, dan kedudukan DPD yang lemah, bahkan terkesan berada di bawah

Page 6: Sistem Bikameral

subordinasi dari DPR. DPD sendiri dibentuk dengan tujuan untuk menyuarakan aspirasi rakyat daerah dan diharapkan dengan dibentuknya sistem ini, kepentingan rakyat daerah dapat terakomodasikan sehingga diharapkan dapat menghindari kesenjangan dan ketidakadilan antara pusat dan daerah dan diharapkan pula dengan sistem ini dapat mencegah disintegrasi bangsa.

Kewenangan DPD mengalami banyak diskriminasi dalam Perubahan Ketiga UUD 1945. Pada pasal 7A dan 7B ayat (1) sampai dengan ayat (6) mengenai usulan pemberhentian Presiden hanya bisa dilakukan berdasarkan usul DPR tanpa melibatkan DPD sebagai elemen penting dari lembaga legislatif. Pasal 7C hanya disebutkan Presiden tidak dapat membubarkan DPR, tetapi tidak disebutkan Presiden tidak dapat membubarkan DPD.

Selain itu, di dalam pernyataan perang, damai, dan perjanjian internasional tidak disebutkan adanya pemibatan unsure DPD. Dalam hal ini hanya Presiden dan DPR lah yang dilibatkan. Seharusnya, DPD yang juga memiliki tingkat legitimasi yang sama dengan DPR, juga memiliki hak dan kewenangan tak berbeda untuk terlibat pengambilan keputusan sekrusial itu. Karena, ketika perang dinyatakan oleh seseorang presiden, masyarakat sipil di tingkat lokal pasti akan mendapat akibatnya.Pasal 22 D ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas rancangan undang-undang anggaran pendapatan dan belanja negara. Hal ini memperlihatkan bahwa dalam fungsi anggaran DPD juga mempunyai fungsi yang sangat terbatas, yaitu terbatas pada memberikan pertimbangan kepada DPR dalam proses pembahasan rancangan undang-undang APBN.

Sekali pun DPD merupakan representasi daerah, dalam fungsi rekrutmen atau pengisian jabatan publik DPR jauh lebih superior. Misalnya, peran DPR begitu besar dalam pengangkatan Hakim Agung serta pengangkatan dan pemberhentian anggota Komisi Yudisial. Di samping itu, beberapa agenda kenegaraan juga mensyaratkan pertimbangan DPR, seperti: pengangkatan Duta dan menerima penempatan duta negara lain.

Dari uraian di atas maka dapat dilihat bahwa kewenangan DPD amat nimimalis dibandingkan dengan DPR. Di sisi institusional DPR adalah pemegang mandat legislasi bersama-sama dengan Presiden; mempunyai fungsi pengawasan; dan mempunyai fungsi budgenting. DPD disini hanya terlihat sebagai “lembaga pemberi pertimbangan agung” kepada DPR. Selain itu, DPD juga tidak mempunyai proteksi konstitusional karena adanya kemungkinan untuk dibubarkan oleh Presiden, seperti yang telah disinggung dalam uraian sebelumnya. Anggota DPD dan DPR sama-sama dipilih langsung oleh rakyat, bahkan dianggap sebagai representasi wakil rakyat dari daerah langsung bukan wakil dari partai politik, tetapi DPD dan DPR tidak mempunyai hak dari sisi institutsional yang sama.

Tidak hanya rentan secara institusional, DPD juga lemah secara personal. Bila anggota-anggota DPR dilindungi dengan hak imunitas di dalam konstitusi, maka anggota DPD tidak mempunyai garansi konstitusi demikian. Hak imunitas bagi anggota DPD baru hadir dalam UU Susunan dan Kedudukan DPR, DPD, dan DPRD. Labih jauh, hak-hak lain yang dimiliki anggota DPR semuanya dijamin dalam UUD 1945, sedangkan hak-hak anggota DPD hanya diatur dalam UU Susduk. Perbedaan hierarki peraturan tersebut secara nyata menggambarkan inferiornya DPD di hadapan DPR.

Kewenangan DPD yang sangat kerdil di hadapan DPR menghilangkan salah satu fungsi kehadiran DPD, sebagai fungsi internal kontrol parlemen. Dominannya DPR menjadikan

Page 7: Sistem Bikameral

DPR sebagai lembaga yang hanya dapat dikontrol oleh kekuatan eksternal, misalnya Presiden dan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan kontrol internalnya hanya muncul dari diri internal DPR sendiri. Kontrol internal ini dapat dilakukan melalui dinamika politik fraksi-fraksi di DPR.

Melihat uraian di atas, terjawablah bagaimana wajah parlemen di Indonesia, tetapi belum terjawab apa yang sebenarnya sistem kamar yang dianut oleh parlemen di Indonesia. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., setelah Perubahan Keempat UUD 1945, keberadaan MPR yang selama ini disebut sebagai lembaga tertinggi negara itu memang telah mengalami perubahan yang sangat mendasar, akan tetapi keberadaannya tetap ada sehingga sistem yang kita anut tidak dapat disebut sistem bikameral ataupun satu kamar, melainkan sistem tiga kamar (trikameralisme). Ada juga Saldi Isra yang berpandangan bahwa dengan adanya kewenangan yang masih dimilik MPR, di samping kewenangan konstitusional yang dimiliki DPR dan DPD, maka sebenarnya Indonesia menganut sistem tiga kamar.

Sebelum saya menjawab pertanyaan apakah sebenarnya sistem kamar yang dianut oleh Indonesia, saya akan mengajak pembaca untuk melihat sebentar sistem kamar di Amerika Serikat. Sistem kamar di parlemen Amerika Serika terdiri dari dua kamar, lebih tepatnya strong bicameralism, yaitu Senate dan House of Representative. Lembaga legislatif di Amerika Serikat disebut Congress. Senate terdiri dari dua orang perwakilan untuk setiap negara bagian. Masa jabatan Senator adalah enam tahun, namun satu senator dari tiap negara bagian dipilih setiap dua tahun sekali. Sedangkan masa jabatan House of Representative adalah empat tahun.

House of Representative dan Senate memiliki kewenangan yang seimbang. Setiap isu harus dibahas oleh kedua kamar secara bergantian dan keduanya mempunyai wewengan penuh untuk mengambil keputusan. Bila keputusan diantara keduanya berbeda, akan diadakan sidang gabungan untuk menyelesaikan perbedaan ini. Dalam fungsi legislasi, kedua kamar memiliki kekausaan untuk mengajukan rancangan undang-undang dalam semua hal, kecuali pajak yang hanya boleh diajukan oleh House of Representatives. Secara tradisi, anggaran negara akan diajukan oleh House of Representatives. Senate, berwenang untuk menyetujui perjanjian-perjanjian internasional dan menyetujui nominasi kandidat presiden (hal ini tidak diatur dalam kosntitusi, hanya sebuah tradisi).

Hal ini sangat berbeda dengan Indonesia, dimana DPD tidak mempunyai kekuatan yang seimbang dengan DPR. DPD secara implicit berada di bawah Presiden dan DPR. DPD Mempunyai fungsi legislasi yang terbatas, hanya sebatas memberikan pertimbangan saja kepada DPR. Oleh karena itu, tidak mungkin sistem kamar di Indonesia dapat dikatakan sebagai strong bicameralism, layaknya sistem kamar di Amerika. Lalu apakah sebenarnya yang dianut oleh Indonesia?

Secara logika memang benar bahwa Indonesia mempunyai tiga kamar jika dilihat dari eksistensi keberadaan lembaga. MPR yang hanya dianggap sebagai joint session, toh mempunyai lembaga tersendiri, ada ketua dan wakil ketua, ada tata tertib dan kode etik, serta mempunyai wewenang yang ditetapkan di dalam UUD 1945. Akan tetapi, ketika dihubungkan dengan proses legislasi maka memang MPR tidak mempunyai fungsi legislasi layaknya fungsi legislasi yang terdapat dalam tubuh DPR. Oleh karena itu, saya tidak setuju dengan pendapat bahwa Indonesia menganut sistem tiga kamar (trikameral).

Page 8: Sistem Bikameral

Dengan merujuk teori dari Giovanni Sartori, seperti yang telah diungkapkan di atas, maka saya melihat bahwa Indonesia menganut sistem weak bicameralism. Dengan alasan bahwa kedua kamar yang ada yaitu DPR dan DPD tidak mempunyai wewenang yang seimbang. DPD tidak mempunyai fungsi legislasi layaknya DPR. Fungsi budgeting nya pun terbatas. DPD tidak bisa menjadi lembaga pengontrol bagi DPR. DPD hanya memberikan pertimbangan bagi RUU yang terkait dengan hal-hal tertentu seperti yang telah disebutkan di atas.

Selain itu, saya juga melihat dari pandangan Arend Lijphart, bahwa tiga prasyarat dari weak bicameralism yaitu wewenang konstitusional kedua kamar, metode pemilihan anggota, dan kemungkinan kamar kedua memang ditujukan untuk mewakili golongan minoritas. Kalau dilihat dari prasyarat tersebut maka Indonesia jelas menganut weak bicameralism. Alasannya adalah wewenang konstitusional antara DPR dan DPD itu berbeda. DPR mempunyai wewenang yang lebih besar daripada DPD. Selain itu, DPD merupakan wakil dari utusan daerah. Namun, yang menjadi permasalahan adalah kedudukan MPR itu, apakah MPR hanya sebuah joint session atau sebagai sebuah lembaga sendiri. Kalau saya mengatakan bahwa MPR hanya sebuah joint session antara DPR dan DPD maka kriteria Arend Lijphart mengenai weak bicameralism ini akan terpenuhi, tetapi kalau MPR dipandang sebagai sebuah lembaga maka Indonesia bukan termasuk weak bicameralism.

Menurut hemat saya, MPR hanya menjadi sebuah joint session saja. Meskipun sekarang keberadaan MPR itu ada tetapi tugas dan wewenangnya hanya insidental saja. Saya bahkan berpendapat secara ekstrem kalau MPR itu selama periode 2004-2009 ini hanya melakukan tugas pelantikan wakil presiden dan wakil presiden saja. Sedangkan tugas dan wewenang yang lain tidak dijalankan karena memang wewenang itu tidak diperlukan untuk dilakukan saat ini. Saya melihat tidak perlunya adanya keberadaan sebuah lembaga MPR itu. Untuk melantik presiden dan wakil presiden terpilih itu hanya membutuhkan waktu satu hari saja. Untuk tugas yang lain yaitu untuk impeachment dan mengubah dan menetapkan UUD 1945, sesuai dengan pendapat Reni Dwi Purnomowati, hal ini hanya tugas yang insidental. Untuk melakukan tugas mengubah dan menetapkan UUD 1945, menurut saya, bisa dilakukan oleh ketua DPR atau membentuk sebuah panitia khusus, tidak perlu adanya MPR. Soal masalah kepemimpinan sidang misalnya, bisa dilakukan bergantian antara ketua DPR dengan ketua DPD.

Jadi, kesimpulan terakhir saya adalah Indonesia menganut sistem weak bicameralism atau soft bicameralism. Dengan alasan yang telah saya uraikan diatas. Oleh karena itu, untuk saya melihat perlunya adanya penguatan dari DPD itu sendiri terkait dengan fungsi-fungsinya, terutama dari fungsi legislasinya. Hal ini kemudian bisa menjadikan penyeimbang bagi DPR. DPR tidak bisa seenaknya saja menetapkan UU, karena ada pengontrol dari DPD. Strong bicameralism, menurut saya, menjadi sebuah harapan untuk bisa menciptakan check and balances di dalam lembaga parlemen itu sendiri.

sumber:

Deliar Noer & Akbarsyah, 2005, KNIP: Komite Nasional Indonesia Pusat Parlemen Indonesia 1945-1950 (Jakarta: Yayasan Risalah)

Laporan Penelitian, Struktur Organisasi dan Kerangka Prosedural bagi Penyempurnaan Rancangan Kelembagaan DPD RI: Suatu Studi Pendahuluan oleh

Page 9: Sistem Bikameral

Sarta Arinanto, dkk, dikeluarkan oleh Parliamentary Reform Initiatives DPD Empowerment Sekretariat Jenderal DPD RI bekerja sama dengan United Nations Develompnet Programme 2006.

Deny Indrayana, (2008), Negara Antara Ada dan Tiada: Reformasi Hukum dan Ketatanegaraan (Jakarta: Kompas)

Valina Singka Subekti, (2008), Menyusun Konstitusi Transisi: Pergulatan Kepentingan dan Pemikiran dalam Proses Perubahan UUD 1945, (Jakarta: PT Raja Grafindo)

Jimly Asshidddiqie, (2006), Pergumulan Peran Pemerintah dan Parlemen dalam sejarah: Telaah Perbandingan Konstitusi Berbagai Negara, (Jakarta: UI-Press)

Laurens Tato (ed.) (2006), Untuk Apa DPD RI, (Jakarta: Kelompok DPD di MPR RI)

Hidayat Nur Wahid, Peran MPR Pasca Perubahan UUD NRI tahun 1945, disampaikan dalam kuliah umum Mahasiswa FISIP UI “Fungsi dan Kedudukan MPR RI dalam Sistem Keparlemenan Indonesia Pasca Amandemen UUD NRI tahun 1945”), Jakarta, tanggal 6 Mei 2009

Zainal Arifin Mochtar dan Saldi Isra (ed.), (2009), Jalan Berliku Amandemen Komprehensif: dari Pakar, Politisi hingga Selebriti, (Jakarta: Kelompok DPD RI)

sistem pemerintahan Bikameral “ Sistem Pemerintahan Bikameral”

A.Pengertian Sistem Pemerintahan

Istilah sistem pemerintahan berasal dari gabungan dua kata sistem dan pemerintahan.

Kata sistem merupakan terjemahan dari kata system (bahasa Inggris) yang berarti susunan,

tatanan, jaringan, atau cara. Sedangkan Pemerintahan berasal dari kata pemerintah, dan yang

berasal dari kata perintah.

Dalam memahami dalam arti yang luas, pemerintahan adalah perbuatan memerintah

yang dilakukan oleh badan-badan legislatif, eksekutif, dan yudikatif di suatu Negara dalam

rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara. Sedangkan dalam arti yang sempit,

pemerintahan adalah perbuatan memerintah yang dilakukan oleh badan eksekutif beserta

jajarannya dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan negara.

Berdasarkan pemahaman dan pengertian kata sistem dan pemerintahan tersebut,maka

Sistem pemerintahan dapat diartikan sebagai suatu tatanan utuh yang terdiri atas berbagai

Page 10: Sistem Bikameral

komponen pemerintahan yang bekerja saling bergantungan dan memengaruhi dalam

mencapaian tujuan dan fungsi pemerintahan.

B.Sistem Pemerintahan Bikameral

Sistem dua kamar adalah praktik pemerintahan yang menggunakan dua kamar

legislatif atau parlemen. Jadi, parlemen dua kamar (bikameral) adalah parlemen atau lembaga

legistlatif yang terdiri atas dua kamar. Di Britania Raya sistem dua kamar ini dipraktikkan

dengan menggunakan Majelis Tinggi (House of Lords) dan Majelis Rendah (House of

Commons). Di Amerika Serikat sistem ini diterapkan melalui kehadiran Senat dan Dewan

Perwakilan Senat.

Indonesia juga menggunakan sistem yang agak mendekati sistem dua kamar melalui

kehadiran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang terdiri dari Dewan Perwakilan

Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), meskipun dalam praktiknya sistem ini

tidak sempurna karena masih terbatasnya peran DPD dalam sistem politik di Indonesia.

Pemerintahan di Indonesia tidak menganut sistem bikameral karena tidak adanya 

majelis tinggi (upper house) atau senat dan majelis rendah (lower house). Meskipun telah ada

lembaga Dewan Perwakilan Daerah (DPD), hal itu tidak berarti DPD adalah yang menjadi

majelis tinggi, dan menganut sistem bikameral.  Karena pada dasarnya, DPD secara institusi

memiliki fungsi legislasi yang sangat terbatas dan tidak sama dengan Dewan Perwakilan

Rakyat(DPR).

Keseimbangan kewenangan antara DPR dan DPD menjadi sarana bagi upaya

mewujudkan praktek bikameral yang kuat. Praktek bikameral yang kuat akan memberikan

kontribusi yang signifikan bagi prospek demokrasi bangsa kita. Bila posisi tawarnya

seimbang maka keduanya akan memiliki peran yang sama dalam proses pengambilan

keputusan hingga tahap akhir. Faktanya, DPD tidak berwenang membuat undang-undang,

kewenangannya hanya memberikan pertimbangan kepada DPR dalam fungsi legislasi untuk

bidang tertentu, lalu ikut membahas namun tidak ikut dalam tahap akhir penetapannya.

Demikian pula halnya dengan bidang anggaran dan pengawasan, sangat sedikit

cakupan kewenangannya. Ada rumor yang berkembang bahwa apabila DPD memiliki power

Page 11: Sistem Bikameral

yang sama dengan DPR, dikhawatirkan akan terjadi kemandegan dalam proses pengambilan

keputusan di legislatif serta potensial menimbulkan konflik politik antara kedua lembaga

dimaksud.

Argumentasi yang demikian barangkali terlalu berlebihan karena DPD yang sama

kuat dengan DPR justru mempermudah pelaksanaan tugas-tugas parlemen. Di samping itu,

secara kuantitas, jumlah anggota DPD tidak lebih dari 1/3 jumlah anggota DPR (pasal 227

ayat 2, UU No.27 Tahun 2009). Artinya bahwa dengan jumlah yang tidak sebanding, kecil

kemungkinan DPD akan menghambat proses pengambilan keputusan legislatif.

C.Kesimpulan

Dalam praktek bikameral di Indonesia, posisi tawar DPD terhadap DPR masih sangat

lemah karena cakupan kewenangan yang dimiliki oleh DPD sangat sempit. Padahal, anggota

DPD dipilih secara langsung oleh rakyat dalam pesta demokrasi yang dinamakan Pemilu.

Dengan demikian DPD memiliki legitimasi yang cukup kuat, bahkan lebih kuat bila

dibandingkan dengan DPR yang dipilih berdasarkan Daerah Pemilihan (DAPIL) dalam

wilayah provinsi sedangkan DPD dipilih menurut wilayah provinsi.

Artinya wilayah pemilihan DPD lebih luas bila dibandingkan dengan wilayah

pemilihan DPR.Berdasarkan argumentasi yang dibangun, maka setidaknya ada 2 (dua) hal

yang dapat disarankan yakni:

 pertama, MPR perlu mengamandemen UUD 1945 guna mengakomodir hal-hal yang

berkaitan dengan perimbangan kewenangan antara DPR dan DPD. Berhubung komposisi

MPR didominasi oleh anggota DPR maka saran tersebut sekaligus ditujukan kepada DPR

agar rela menyeimbangkan kewenangannya dengan DPD.

 Kedua, apabila DPR belum memiliki sikap tersebut, diharapkan agar komponen-

komponen politik intermediary seperti media massa, LSM, kaum intelektual, dan lain

sebagainya mampu mengontrol bahkan dapat mendesak DPR guna melakukan perubahan

dimaksud.

  BAHASAN KRITIS TENTANG SISTEM BIKAMERAL,                       PEMILIHAN PRESIDEN LANGSUNG DAN MAHKAMAH

Page 12: Sistem Bikameral

KONSTITUSI

                                                                                   IBerdasarkan kewenangan yang diberikan oleh pasal 37 UUD 1945 sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 MPR telah melakukan tiga kali perubahan UUD 1945 dengan menghasilkan perubahan Pertama dalam Sidang Umum MPR 1999, perubahan Kedua dalam Sidang Tahunan 2000 dan perubahan Ketiga dalam Sidang tahunan bulan November tahun 2001 yang telah lalu.   

Tuntutan terhadap perubahan konstitusi atau UUD dikarenakan tidak ada satu sistem

ketatanegaraan yang digambarkan dalam konstitusi atau UUD sudah sempurna pada saat

dilahirkan, karena dia adalah produk zamannya.

    UUD 1945 adalah produk masanya, sebagai hasil pemikiran para negarawan penyusunnya

pada waktu itu. Dalam kurun waktu perkembangannya mungkin saja terasa sesuatu yang

perlu diubah dalam UUD 1945 sebagai perangkat sistem ketatanegaraan Indonesia.

Maka sesuai dengan perkembangan zaman dan dinamika ketatanegaraan telah terjadi

pergeseran materi muatan dalam rangka perubahan UUD 1945, seperti misalnya gagasan

tentang Bikameral, pemilihan Presiden langsung dan Mahkamah Konstritusi. Tulisan singkat

ini mencoba mengangkat ketiga hal tersebut dalam seminar akademik yang diselenggarakan

oleh Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro (UNIGORO)

                                                                                II

Salah satu materi muatan dalam rangka perubahan ketiga UUD 1945 adalah mengenai posisi

MPR tidak lagi sebagai lembaga tertinggi negara dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia

pasca Pemilihan Umum 2004. Berdasarkan perubahan tersebut, maka pada masa yang akan

datang lembaga parlemen dikembangkan menjadi dua kamar (bikameral). Kedua kamar

parlemen itu akan dinamakan DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) dan DPD (Dewan

Perwakilan Daerah) dengan tetap mempertahankan  MPR sebagai nama forum persidangan

bersama antara kedua kamar parlemen tersebut.

Perubahan ketiga UUD 1945, akan lebih mempertegas dianutnya sistem pemerintahan

presidensiil, karena dihapusnya konsep lembaga tertinggi negara MPR tempat Presiden harus

bertanggung jawab sebagaimana lazim ditemui dalam sistem pemerintahan parlementer. Di

samping itu, perubahan ini akan pula mempertegas dianutnya sistem pemisahan kekuasaan

dan prinsip “checks and balances” di antara lembaga-lembaga tinggi negara.

Permasalahannya apakah sistem bikameral akan cocok atau sesuai dalam praktek

ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang, kendatipun sistem bikameral kini

merupakan materi muatan dari konstitusi baru Indonesia hasil perubahan ketiga UUD 1945.

Sebagaimana diketahui, Parlemen mempunyai dua macam sistem yaitu unikameral dan

Page 13: Sistem Bikameral

bikameral. Unikameral berarti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memakai kamar-

kamar, namun menggunakan komisi. Sementara dalam sistem bikameral, parlemen memiliki

dua kamar, yaitu DPR dan Senat. DPR sering disebut House of Representative atau Majelis

Rendah (Lower House). Sedangkan Senat disebut juga Majelis Tinggi (Upper House).

Lazimnya, sistem bikameral dan unikameral mengacu pada DPR atau Parlemen, dan tidak

mengacu pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam sistem bikameral, DPR

adalah salah satu kamar dalam parlemen. Sedangkan dalam sistem unikameral, DPR itu

sendiri adalah parlemen.

Sistem bikameral biasanya dianut oleh negara-negara yang berbentuk federasi seperti

Amerika Serikat. Dengan sistem ini negara-negara bagian dalam federasi tersebut terwakili

dalam parlemen melalui senat, sementara kamar lainnya (House of Representative) adalah

perwakilan rakyat secara keseluruhan. Bila kedua kamar tersebut berkumpul barulah disebut

kongres. Namun demikian, ada sejumlah negara berbentuk kesatuan seperti Inggris dan

Belanda yang juga menganut sistem Bikameral. Di Belanda misalnya, satu kamar (Majelis

Tinggi) merupakan perwakilan dari kaum bangsawan, sementara kamar yang lain (Majelis

rendah) adalah perwakilan penduduk secara keseluruhan.

Dalam praktek ketatanegaraan, baik legislatif bikameral maupun legislatif unikameral

masing-masing mempunyai kelebihan dan keuntungan sebagaimana tergambar di bawah ini.

A.    Kelebihan/keuntungan dalam sistem legislatif bikameral adalah kemampuan anggota

untuk:

1.    Secara resmi mewakili beragam pemilih (misalnya negara bagian, wilayah, etnik, atau

golongan);

2.    Memfasilitasi pendekatan yang bersifat musyawarah terhadap penyusunan perundang-

undangan;

3.    Mencegah disyahkannya perundang-undangan yang cacat atau ceroboh; dan

4.    Melakukan pengawasan atau pengendalian yang lebih baik atas lembaga eksekutif.

B.    Beberapa keuntungan dalam sistem legislatif unikameral, meliputi:

1.    Kemungkinan untuk dengan cepat meloloskan Undang-Undang (karena hanya satu badan

yang diperlukan untuk mengadopsi Rancangan Undang-Undang sehingga tidak perlu lagi

menyesuaikan dengan usulan yang berbeda-beda).

2.    Tanggung jawab lebih besar (karena anggota legislatif tidak dapat menyalahkan majelis

lainnya apabila suatu Undang-Undang tidak lolos, atau bila kepentingan warga negara

terabaikan).

Page 14: Sistem Bikameral

3.    Lebih sedikit anggota terpilih sehingga lebih mudah bagi masyarakat untuk memantau

mereka; dan

4.    Biaya lebih rendah bagi pemerintah dan pembayar pajak.

Dalam konteks ketatanegaraan di negara Kesatuan republik Indonesia dewasa ini,

berdasarkan UUD 1945 di tingkat pusat dikenal adanya dua badan perwakilan rakyat yakni

MPR dan DPR. Namun demikian, tidaklan berarti sistem ketatanegaraan Indonesia dewasa

ini menganut parlemen bikameral, karena MPR dan DPR mempunyai fungsi yang berbeda.

Fungsi MPR antara lain adalah menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD), dan Garis-Garis

Besar Haluan Negara (GBHN) serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 3 dan Pasal

6 ayat 2 UUD 1945). Sementara fungsi DPR adalah menyusun Undang-Undang (UU),

mengawasi pemerintah dan menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

bersama Presiden. Karena itu dengan telah dilakukan perubahan ketiga UUD 1945 oleh MPR

dalam Sidang Tahunan MPR tahun 2001 yang telah lalu dan dihapusnya MPR sebagai

lembaga maka dalam praktek Ketatanegraan Indonesia yang akan datang badan legislatif

akan terdapat dua lembaga, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan

Daerah (DPD).

Dengan kata lain, yang disebut sebagai badan legislatif adalah suatu badan yang bersifat

bikameral yang memiliki dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai kamar

yang satu, dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagai kamar yang lain. Dua macam badan

legislatif ini diperlukan untuk mengakomodasi kepentingan politik dan kepentingan daerah

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang akan datang.

Di dalam menjalankan fungsi dan wewenangnya, kedua badan legislatif itu bisa berjalan

sendiri-sendiri, tetapi bisa juga bersidang bersama untuk membahas persoalan yang dianggap

penting. Persidangan bersama antara badan legislatif itulah yang disebut sebagai MPR.

Dengan demikian, dengan dihapuskannya MPR sebagai lembaga, keberadaan MPR tetap

diperlukan, yaitu sebagai forum bersama antara DPR dan DPD. Dengan kata lain, MPR

sebagai forum, dan bukan sebagai lembaga. Karena sebagai forum, maka MPR tidak perlu

lembaga, tetapi hanya merupakan sidang gabungan (join session) antara kedua lembaga

legislatif. Adapun ketua sidang dalam sidang gabungan itu, dipilih berdasarkan kesepakatan

anggota dari dua badan legisltif tersebut.  Sistem bikameral adalah wujud institusional dari

lembaga perwakilan atau parlemen sebuah Negara yang terdiri atas dua kamar (majelis).

Majelis yang anggotanya dipilih dan mewakili rakyat yang berdasarkan jumlah penduduk

secara generik disebut majelis pertama atau majelis rendah, dan dikenal juga sebagai House

Page 15: Sistem Bikameral

of Representatives. Majelis yang anggotanya dipilih atau diangkat dengan dasar lain (bukan

jumlah penduduk), disebut sebagai majelis kedua atau majelis tinggi dan di sebagaian besar

negara (60%) disebut sebagai Senat.

Kecuali dalam periode yang pendek pada masa RIS di tahun 1950, Indonesia selalu

menganut sistem unikameral. Maka keberadaan majelis kedua dalam sistem perwakilan tidak

mudah dapat dicerna dan dipahami oleh masyarakat termasuk banyak para elit politik dan

kaum intelektual di Indonesia. Seperti pemilihan presiden langsung, juga Pilkada langsung,

yang pada awalnya banyak yang menentang dan meragukan apakah cocok untuk diterapkan

di Indonesia, demikian juga dengan DPD.

Sistem Parlemen Bicameralism

Parlemen unikameral pada umumnya cocok dengan negara kesatuan dengan penduduk yang homogen atau dengan kata lain  jumlah penduduknya sedikit. Sedangkan parlemen bikameral lebih cocok dan hidup pada negara sistem pemerintahan federal, namun tidak menutup kemungkinan juga negara kesatuan (unity) tetap dapat menggunakan sistem parlemen yang bikameral.

Kesimpulan umum yang dapat ditarik  dalam kaitannya sistem penerapan bikameral di negera federal dan kesatuan, di dasarkan pada penelitian yang telah dilakukan olleh Andrew S Ellis (2001) sebagai berikut:

1. Semua negara federal memiliki dua majelis;2. Negara-negara kesatuan terbagi seimbang, sebagian memilih unikameral dan sebagian lagi

bikameral;

3. Sebagian besar negara dengan jumlah penduduk yang besar memiliki dua majelis: demikian pula sebagian besar negara yang memiliki wilayah luas memiliki dua majelis.

ada dua alasan mengapa para penyusun konstitusi memilih sistem bikameral. Pertama adalah untuk membangun sebuah mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances) serta untuk pembahasan sekali lagi dalam bidang legislatif. Alasan kedua adalah untuk membentuk perwakilan yang dapat  menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak

Page 16: Sistem Bikameral

cukup terwakili oleh majelis pertama. Secara khusus, bikameralisme telah digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai untuk daerah-daerah di dalam lembaga legislatif. Hasil dari kesenjangan representasi di majelis kedua amat bervariasi di dalam berbagai sistem di dunia.

Untuk pembagian parlemen hanya dikenal dua bagian kamar,  sebagai kamar parlemen yang merancang dan membuat legislasi. Meskipun negara itu terdiri dari tiga kamar, seperti di Indonesia, tetapi pada dasarnya di dominasi oleh dua kamar majelis yang memilki kekuatan tertinggi dalam mensahkan undang-undang.

Sistem parlemen bikameral digunakan untuk menganalisis negara yang menggunakan dua kamar majelis dalam parlemennya, yang terdiri dari kamar pertama/ first chambers dan kamar kedua/ second chamber yang biasanya mewakili kamar dari perwakilan territorial. Di negara Amerika Serikat kamar kedua diwakili oleh senat, dianggap sebagai majelis tinggi/ upper chambers. Beberapa pakar mengemukakan pengertian parlemen bikameral antara lain.

1. Henry Campbell Black, Bicameral system : A term applied by Jeremy Bentham to the division of e legislative body into two chamber, as in the United States Government (Senate and House).

2. Bicameral system : A legislature which has two chamber rather than one (a unicameral system), providing checks and balances and lessening, the risk of elective dictatorship. At the birth of the United, Benjamin Franklin wrote that “aplural legislature is as necessary to good government as a single executive (Brewer’s Politics A Phrase And Fable Dictionary)”

3. Bicameral : The division of legislative or judicial body into two components or chambers. The U.S. Congress is a bicameral legislature, since its divided into two houses, the Senate and the House of Representative (Patricia A. Lewis: 1984)).

4. Second Chambers : Historically second chambers are rooted in the medieval idea of representation of orders or ESTATES. The various sosial orders were considered to require representation in different methods of selection (Bogdanor: 1991)

5. H.R. Daeng Naja (2004: 114) , yang dimaksud dengan bicameral adalah terdapatnya wakil “orang dan ruang” dalam suatu parlemen yang diwujudkan dalam suatu lembaga baik untuk wakil orang maupun wakil ruang.

6. Robert Endi Jaweng (Toni Andrianus Pito, 2006: 199) mengemukakan parlemen bicameral yakni parlemen yang berisi dua kamar berbeda secara umum dikenal diisi oleh lower chamber dan second/ upper chamber, bahwa para anggota melakukan aktifitas pertemuan dalam dua kamar yang terpisah, terutama soal legislasi, sebagai lawan dari parlemen unikameral yang hanya berisi satu kamr yang tunggal

Second chamber atau Upper House di berbagai negara dikenal dengan variasi nama yang bermacam-macam.  Di Inggris dengan nama House Of Lords; di Switzerland, Council Of State (Standerat), Di Jerman, Bundesrat, Di Malaysia, Dewan Negara, dan sebagian besar, seperti di Australia, Amerika Serikat, Canada, Perancis, masing-masing dinamakan dengan Senate.

Mengenai kamar kedua atau second chamber seorang utilitarian, John Stuart Mill (1994: 406-408) dalam bukunya Representative Government mengemukakan  “but the houses need not both be of the same composition; they may be intended as check on one another. One being supposed democratic, the other will naturally be constituted with aview to its being some

Page 17: Sistem Bikameral

restraint upon democracy.’ Kemudian ia juga berpendapat, ‘If one House represents populer feeling, the pther should represent personal merit, tested and guaranteed by actual public service, and fortified by practical experience. If one is the People’s Chamber, the other

should be the Chamber of Statesmen.”

Giovanni sartori (1997: 184) juga membedakan sistem bikameral dalam tiga jenis yang diklasifikasikan berdasarkan perbandingan kekuatan antara the lower chamber dan the upper chamber yaitu

1. Sistem bicameral yang lemah (asymmetric bicameralism atau weak bicameralism/ soft bicameralism), yaitu apabila kekuatan salah satu kamar, jauh lebih dominan atas kamar lainnya.

2. Sistem bicameral yang kuat (symmetric bicameralism atau strong bicameralism), yaitu apabila kekuatan antara dua kamarnya nyaris sama kuat.

3. Perfect bicameralism yaitu apabila kekuatan diantara kedua kamarnya betul-betul seimbang.

Parlemen yang kekuatannya nyaris sama kuat dianggap dapat memberi kekuatan kepada parlemen sehingga parlemen tersebut dikatakan ideal. Sementara bikameral yang lemah dianggap hilangnya kontrol diantara kedua kamarnya, sehingga tak jauh bebeda dengan bentuk lain dari parlemen unikameral. Demikian halanya perfect bicameralism bukan pula pilihan yang ideal, karena kekuasaan antara majelis rendah dan majelis tinggi memang seakan melancarkan fungsi kontrol antara kamar diparlemen, tetapi juga dapat menyebabkan kebuntuan dalam tugas parlemen.

Disamping pembagian bikameral berdasarkan tingkatan kekuatannya,  Giovanni Sartori (1997) juga membagi corak  bikameral berdasarkan komposisi atau struktur keanggotaan diantara kedua kamar tersebut:

1. Bikameral yang unsurnya sama (similar bicameralism), parlemen dengan unsur atau komposisi yang sama diantara kedua kamarnya juga akan berubah wujud menjadi unikameral.

2. Bikameral yang unsurnya agak berbeda (likely bicameralism).

3. Bikameral yang unsurnya sagat berbeda (differentiated bicameralism),

komposisi parlemen yang terlalu berbeda juga akan menyebabkan kebuntuan proses kerja parlemen, karena terlalu heterogennya aspirasi dari masyarkat.

Page 18: Sistem Bikameral

Dalam rangka menuju bikameralisme yang ideal , harus berintegrasi antara strong bicameralism dengan likely bicameralism. Kongres di Amerika Serikat sebagai salah satu contoh nyata dari perpadua ideal tesebut, yang mana House of Repsentatives-Nya berbagi kewenangan dan saling kontrol dengan senat untuk melaksanakan fungsi parlemen, tetapi tidak sampai saling menjegal. Unsur-unsur kongresnya-pun terjaga dengan memadukan antara  sistem kepartaian di House of Representatives dan representasi bagian di senat.

Di negara Indonesia sendiri yang terjadi saat ini, pasca-amandemen UUD NRI 1945, jika dikatakan kita menganut bikameral. Nampaknya, dengan melihat fungsi DPD sebagai kamar kedua (second chamber) atas perwakilan territorial, hanya dapat mengajukan usulan rancangan undang-undang, memberikan pertimbangan kepada DPR atas perancangan undang-undang.

Berdasarkan tugas dan fungsi dari DPD, dapat dikatakan kamar tambahan (yang posisinya lemah) dibandingkan tugas dan kewenangan DPR itu sendiri, sebagaimana ditegaskan dalam UUD NRI 1945. Dengan demikian negara Indonesia berada pada tingkatan weak bicameralism, walaupun secara komposisi unsur parlemennya berbeda (ada yang dari perwakilan partai politik, dan ada yang berasal dari representasi territorial).

Kelemahan- kelemahan Parlemen Bikameral Dalam Penerapannya Bagi Negara Hukum

Indonesia.

1.      Tidak Seimbangnya Wewenang Antara DPR dan DPD

Antar lembaga yang satu dengan yang lain memeliki wewenang yang berbeda dan tidak

seimbang terutama dalam bidang legislasi dan pengawasan terhadap pelaksanaan UU

2.      DPD lebih bersifat komplementer terhadap DPR

3.      Tidak Jelasnya Mekanisme Untuk Mengatasi Konflik Antara DPR dan DPD 

Selain kelemahan-kelemahan yang telah diuraikan diatas masih ada beberapa kekurangan

yang mengakibatkan lemahnya system bicameral di Indonesia, antara lain :

a.       Representasi anggota DPD, meskipun di dalam UUD 1945 telah disebutkan bahwa DPD

mewakili representasi daerah, namun demikian dengan hanya empat orang dan dan

jumlahnya sama untuk setiap provinsi maka untuk daerah yang terotorialnya dan

berpenduduk padat, sangat tidak sesuai dengan prinsip keterwakilan jika disbanding dengan

provinsi yang berpenduduk lebih sedikit.

b.      Akuntabilitas anggota DPD sebagai wakil daerah, dalam menjalankan tugasnya sebagai

wakil daerah dengan posisi lembaga DPR yang asimetris dan lemah menjadikan DPD sulit

dan lemah dalam menjaga akuntabilitasnya.

c.       Tata tertib DPD, sebagai salah satu badan dalam lembaga legislative bicameral, maka sudah

seharusnyalah jika alat kelengkapan DPD sama dengan alat kelengkapan DPR.

d.      Sekretariatan DPD, yang akan memberikan pelayanan administrasi dan subtantif untuk

mendukung efektivitas pelaksanaan fungsi dan tugas DPD.

Page 19: Sistem Bikameral

KesimpulanBerdasarkan pembahasan parlemen bikameral dalam negara hukum Indonesia dapat di

simpulkan bahwa terdapat perubahan – perubahan yang mendasar  menyangkut lembaga

perwakilan rakyat, yaitu sebagai berikut : 

Pertama.   komposisi MPR yang mempermasalahkan penambahan utusan golongan dan daerah

menuntut untuk menjadikan MPR sebagai institusi perwakilan rakyat dalam arti

sesungguhnya.

Kedua.     unsure utusan golongan membuka peluang pengisian anggota MPR bukan melalui pemilihan

umum melainkan dengan pengangkatan.

Ketiga.     komposisi anggota MPR yang terdiri dari anggota DPR ditambah utusan daerah dan utusan

golongan membuat susunan keanggotaan MPR menjadi dua yaitu anggota MPR yang

merangkap menjadi anggota DPR dan anggota MPR yng bukan anggota DPR yaitu utusan

daerah dan utusan golongan.

Keempat. komposisi keanggotaan MPR tersebut membawa konsekuensi yang sangat besar.

Kelima.    komposisi MPR diatas dengan tugas dan wewenang yang ada membawa implikasi minimnya

peranan MPR dalam aktivitas ketatanegaraan Indonesia sebab tugas MPR sebagai

representasi rakyant dalam mengontrol aktivitas presiden telah delakukan oleh DPR sehingga

praktis MPR hanya bersidang sekali dalam lima tahun. (PSHK, 2002)

Selain itu juga terdapat kelemahan – kelemahan perlemen bicameral dalam penerapan

bagi Negara Hukum Indonesia, yaitu seperti tidak seimbangnya wewenang antara DPR dan

DPD, DPD lebih bersifat komplementer terhadap DPR, tidak jelasnya mekanisme untuk

mengatasi konflik antara DPR dan DPD.

Page 20: Sistem Bikameral