Sinusitis Maksilaris Odontogen

22
BAB I PENDAHULUAN Sinusitis merupakan penyakit dengan persentase yang signifikan di dalam populasi dan dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang. Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus sinusitis maksilaris. Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus maksila adalah prosesus alveolaris tenpat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe. Curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas 1

description

Referat Sinusitis Maksilaris Odontogen

Transcript of Sinusitis Maksilaris Odontogen

Page 1: Sinusitis Maksilaris Odontogen

BAB I

PENDAHULUAN

Sinusitis merupakan penyakit dengan persentase yang signifikan di dalam populasi dan

dapat menyebabkan morbiditas jangka panjang.

Sinus maksilaris, yang secara anatomi berada di pertengahan antara hidung dan rongga

mulut merupakan lokasi yang rentan terinvasi organisme patogen lewat ostium sinus maupun

lewat rongga mulut. Sinusitis dentogen dapat mencapai 10% hingga 12% dari seluruh kasus

sinusitis maksilaris.

Sinusitis dentogen merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar sinus

maksila adalah prosesus alveolaris tenpat akar gigi rahang atas, sehingga rongga sinus

maksila hanya dipisahkan oleh tulang tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa

tulang pembatas. Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau inflamasi

jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke sinus atau melalui pembuluh darah

dan limfe.

Curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila kronik yang mengenai satu

sisi dengan ingus purulen dan napas berbau busuk. Untuk mengobati sinusitisnya, gigi yang

terinfeksi harus dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup bakteri

anaerob. Seringkali perlu dilakukan irigasi sinus maksila.

1

Page 2: Sinusitis Maksilaris Odontogen

BAB II

PEMBAHASAN

ANATOMI DAN FISIOLOGI

Sinus membentuk rongga di dalam beberapa tulang wajah dan diberi nama sesuai

dengan letaknya, yaitu sinus maksilaris, sinus sfenoidalis, sinus frontalis dan sinus

etmoidalis. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernafasan yang mengalami modifikasi,

dan mampu menghasilkan mukus, dan bersilia, sekret disalurkan ke dalam rongga hidung.

Pada orang sehat sinus terutama berisi udara.

2

Page 3: Sinusitis Maksilaris Odontogen

Sinus maksila merupakan sinus paranasal yang terbesar. Sinus maksila mulai

terbentuk pada bulan ketiga kehamilan. Pertama terbentuknya rongga udara diawali dengan

invaginasi dari nasal epitelium ke arah infundibulum etmoid, kemudian berhenti diantara

kedua tulang etmoid, prosesus uncinatus dan bulae etmoid. Pada bulan kelima kehamilan,

sinus maksila mencapai pembentukan optimalnya. Saat lahir, sinus maksila bervolume 6-8

ml, kemudian sinus berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal,

yaitu 15-20 ml saat berusia antara 12 sampai 14 tahun.

Sinus maksila berbentuk piramid. Dinding anterior sinus ialah permukaan fasial os

maksila yang disebut fossa kanina, dinding posteriornya adalah permukaan infra-temporal

maksila, dinding medialnya ialah dinding lateral rongga hidung, dinding superiornya ialah

dasar orbita dan dinding inferiornya ialah processus alveolaris dan palatum. Ostium sinus

maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris

melalui infundibulum etmoid.

Dari segi klinis yang penting diperhatikan dari anatomi sinus maksilaris adalah :

1. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu permolar

(P1 dan P2), molar (M1, M2 dan M3), dan caninus (C), bahkan akar-akar gigi tersebut

dapat menonjol ke dalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas

menyebabkan sinusitis.

2. Sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita.

3. Ostium sinus maksila terletk lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya

tergantung dari gerak silia. Drainase harus melalui infundibulum yang sempit.

Infundibulum yaitu bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat

radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan

selanjutnya menyebabkan sinusitis.

3

Page 4: Sinusitis Maksilaris Odontogen

Kompleks Osteo-Meatal (KOM)

Pada sepertiga tengah dinding lateral hidung yaitu di meatus media, ada muara-muara

saluran dari sinus maksila, sinus frontal dan sinus etmoid anterior. Daerah ini rumit dan

sempit, dan dinamakan komples osteo-meatal (KOM) yang terdiri dari infundibulum etmoid

yang terdapat di belakang prosesus unsinatus, resesus fontalis, bula etmoid, dan sel-sel

etmoid anterior dengan ostiumnya dan ostium sinus maksila.

Sistem mukosiliar

Seperti pada mukosa hidung, di dalam sinus juga terdapat mukosa bersilia dan palut

lendir di atasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir

menuju ostium alamiahnya mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya.

Fungsi sinus paranasal :

Sampai saat ini belum ada penyesuaian pendapat mengenai fisiologi sinus paranasal.

Tetapi beberapa teori mengemukakan fungsinya sebagai berikut :

1. Sebagai pengatur kondisi udara

2. Sebagai penahan suhu

3. Membantu keseimbangan kepala

4. Membantu resonansi suara

5. Peredam perubahan tekanan udara

6. Membantu produksi mukus untuk membersihkan rongga hidung

4

Page 5: Sinusitis Maksilaris Odontogen

SINUSITIS MAKSILARIS

Sinusitis maksilaris biasanya menyusul suatu infeksi saluran napas atas ringan. Alergi

hidung kronik, benda asing, dan deviasi septum nasi merupakan faktor-faktor predisposisi

lokal yang paling sering ditemukan. Deformitas rahang wajah, terutama palatoskisis dapat

menimbulkan masalah pada anak. Anak-anak ini cenderung menderita infeksi nasofaring atau

sinus kronik dengan angka insidens yang lebih tinggi. Sedangkan gangguan geligi

bertanggung jawab atas sekitar 10% infeksi maksilaris akut.

GEJALA KLINIS

Gejala infeksi sinus maksilaris berupa demam, malaise, dan nyeri kepala yang tak

jelas yang biasanya reda dengan pemberian analgetik biasa seperti aspirin. Wajah terasa

bengkak, penuh, dan gigi terasa nyeri pada gerakan kepala mendadak, misalnya sewaktu naik

atau turun tangga. Seringkali terdapat nyeri pipi khas yang tumpul dan menusuk, serta nyeri

pada palpasi dan perkusi. Sekret mukopurulen dapat keluar dari hidung dan terkadang berbau

busuk. Batuk iritatif non- produktif seringkali ada.

PEMERIKSAAN FISIK

Selama berlangsungnya sinusitis maksilaris akut, pemeriksaan fisik akan

mengungkapkan adanya pus dalam hidung, biasanya dari meatus media, atau pus atau sekret

mukopurulen dalam nasofaring. Sinus maksilaris terasa nyeri pada palpasi dan perkusi.

Transiluminasi berkurang bila sinus penuh cairan.

5

Page 6: Sinusitis Maksilaris Odontogen

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Gambaran radiologik sinusitis maksilaris mula-mula berupa penebalan mukosa,

selanjutnya diikuti opasifikasi sinus lengkap akibat mukosa yang membengkak hebat, atau

akibat akumulasi cairan yang memenuhi sinus. Akhirnya terbentuk gambaran air-fluid level

yang khas akibat akumulasi pus yang dapat dilihat pada foto tegak sinus maksilaris. Oleh

karena itu radiogram sinus harus dibuat dalam posisi telentang dan posisi tegak, yaitu dua

posisi yang paling menguntungkan untuk mendeteksi sinus maksilaris. Screening mode

ultrasound juga disebut sebagai metode diagnostik non-invasif yang aman. Pemeriksaan

lebih lanjut mungkin dapat memerlukan hitung darah lengkap dan biakan dari hidung.

6Foto polos Water’s

Page 7: Sinusitis Maksilaris Odontogen

PENATALAKSANAAN

1. Medikamentosa

Sinusitis maksilaris akut umumnya diterapi dengan antibiotik spektrum luas seperti

amoksisilin, ampisilin, eritromisin plus sulfonamid, dengan alternatif lain berupa

amoksisilin/klavulanat, sefaklor, sefuroksim, trimetoprim plus sulfonamid. Dekongestan

seperti pseudoefedrin dan tetes hidung poten seperti fenilefrin atau oksimetazolin juga dapat

digunakan. Kompres hangat pada wajah dan analgetik seperti aspirin dan asetaminofen

berguna untuk meringankan gejala.

Pasien biasanya memperlihatkan tanda-tanda perbaikan dalam dua hari, dan proses

penyakit biasanya menunjukkan kesembuhan dalam 10 hari, walaupun konfirmasi radiologik

dalam hal kesembuhan total memerlukan waktu dua minggu atau lebih.

2. Nonmedikamentosa

Kegagalan penyembuhan dengan suatu terapi aktif mungkin menunjukkan organisme

yang tidak lagi peka terhadap antibiotik, atau antibiotik tersebut gagal mencapai lokulasi

infeksi. Pada kasus tersebut ostium sinus dapat sedemikian mengalami edematosa sehingga

drainase sinus terhambat dan terbentuk suatu abses sejati. Bila demikian, terdapat indikasi

irigasi antrum segera. Jalur insersi trokar pada irigasi antrum maksilaris biasanya di bawah

konka inferior. Jalur alternatif adalah melalui pendekatan sublabial dimana jarum ditusukkan

lewat celah bukalis gusi menembus fossa insisiva. Kemudian larutan salin hangat dialirkan ke

dalam antrum maksilaris melalui jalur ini, dan pus akan didorong keluar melalui ostium

alami.

SINUSITIS MAKSILARIS O D O NTOGEN

Bentuk penyakit geligi-maksilaris yang khusus bertanggung jawab pada 10 persen

kasus sinusitis yang terjadi setelah terdapat gangguan pada gigi.

7

Page 8: Sinusitis Maksilaris Odontogen

ETIOLOGI

Penyebab tersering adalah ekstraksi gigi molar, biasanya molar pertama, dimana

sepotong kecil tulang di antara akar gigi molar dan sinus maksilaris ikut terangkat. Nathaniel

Highmore yang mengemukakan tentang membran tulang tipis yang memisahkan gigi geligi

dari sinus pada tahun 1651, “Tulang yang membungkus antrum maksilaris dan

memisahkannya dengan soket geligi tebalnya tidak melebihi kertas pembungkus.”

Infeksi gigi lain seperti abses apikal atau penyakit periodontal dapat menimbulkan

kondisi serupa. Gambaran bakteriologik sinusitis dentogen ini didominasi terutama oleh

infeksi bakteri gram negatif. Karena itulah infeksi ini menyebabkan pus yang berbau busuk

dan akibatnya timbul bau busuk dari hidung. Prinsip terapi adalah pemberian antibiotik,

irigasi sinus, dan koreksi gangguan geligi.

PATOFISIOLOGI

Sinusitis adalah penyakit yang multifaktorial, dimana antrum maksila mempunyai

hubungan yang sangat dekat dengan akar gigi premolar dan molar atas dan sering terlihat

pada pemeriksaan radiologi oral dan fasial. Hubungan ini dapat menimbulkan problem klinis,

seperti infeksi yang berasal dari gigi dan fistula oroantral dapat naik ke atas dan

menimbulkan infeksi sinus.

Kejadian sinusitis ini dipermudah oleh adanya faktor-faktor predisposisi baik lokal

maupun sistemik.

Sinusitis dentogen dapat terjadi melalui dua cara :

1. Infeksi gigi yang kronis dapat menimbulkan jaringan granulasi di dalam mukosa sinus

maksilaris, hal ini akan menghambat gerakan silia ke arah ostium, dan berarti

8

Page 9: Sinusitis Maksilaris Odontogen

menghalangi drainase sinus. Gangguan drainase ini akan mengakibatkan sinus mudah

mengalami infeksi.

2. Kuman dapat menyebar secara langsung, hematogen, atau limfogen dari granuloma

apikal atau kantong periodontal gigi ke sinus maksila.

GEJALA KLINIS

Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena merupakan ciri khas

sinusitis akut, kadang nyeri juga dirasakan di tempat lain (referred pain). Nyeri di pipi

menandakan sinusitis maksila. Sering juga dikeluhkan rasa berat di bagian wajah, Pada

sinusitis maksila kadang terdapat nyeri alih ke gigi dan telinga.

Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang

menyebabkan batuk dan sesak pada anak.

DIAGNOSIS

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan

penunjang.

Pemeriksaan fisik yang dilakukan adalah inspeksi, palapsi, transiluminasi, rhinoskopi

anterior dan posterior. Pada inspeksi diperhatikan adalah pembengkakan di pipi sampai

kelopak mata bawah yang berwarna kemerah-merahan dapat menunjukkan sinusitis maksila

akut. Pada palpasi, terdapat nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan

adanya sinusitis maksila. Pada pemeriksaan transiluminasi, manfaatnya terbatas sehingga

sudah sangant jarang dilakukan. Pemeriksaan ini hanya dilakukan untuk memeriksa sinus

maksia dan frontal bila tidak tersedia pemeriksaan radiologik. Apabila transiluminasi tampak

gelap di daerah infraorbita, kemungkinan antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal

atau terdapat neoplasma di dalam antrum. Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus

9

Page 10: Sinusitis Maksilaris Odontogen

maksila, akan tampak terang pada transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak

adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila.

Pada pemeriksaan fisik dengan rhinoskopi anterior dan posterior, dan pemeriksaan

naso-endoskopi sangat dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khasnya

adalah adanya pus di meatus medius. Naso-endoskopi juga dapat mempermudah dan

memperjelas pemeriksaan karena dapat melihat bagian-bagian yang rumit termasuk KOM.

Pemeriksaan penunjang yang penting adalah foto polos dan CT scan. Pada foto polos

diambil dalam posisi Water’s, PA, dan lateral. Foto polos ini umumnya hanya mampu

menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan frontal. Kelainan akan terlihat

perselubungan, batas udara-cairan (air fluid level) atau penebalan mukosa.

CT scan merupakan gold standard diagnosis sinusitis karena mampu menilai anatomi

hidung dan sinus, adanya penyakit dalam hidung dan sinus secara keseluruhan dan

perluasannya. Namun karena pemeriksaan ini mahal, maka hanya dikerjakan untuk sinusitis

kronik yang tidak membaik dengan pengobatan atau pre-operasi sebagai panduan operator

saat melakukan operasi sinus.

Dapat juga dilakukan pemeriksaan ke dalam sinus maksila dengan menggunakan

endoskop (sinuskopi). Endoskop dimasukkan melalui lubang yang dibuat di meatus inferior

atau fossa kanina. Dengan endoskop dapat dilihat kondisi sinus yang sebenarnya, selanjutnya

dapat dilakukan irifasi sinus untuk terapi.

10

Page 11: Sinusitis Maksilaris Odontogen

11

CT Scan potongan coronal

Page 12: Sinusitis Maksilaris Odontogen

PENATALAKSANAAN

1. Kausatif ; Atasi masalah gigi.

2. Konservatif ; medikamentosa : Antibiotika, dekongestan, antihistamin, kortikosteroid, dan

irigasi sinus.

3. Operatif. Beberapa macam tindakan bedah sinus yaitu antrostomi meatus inferior,

Caldwel-Luc, etmoidektomi intra dan ekstra nasal, trepanasi sinus frontal, dan bedah sinus

endoskopik fungsional.

Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF) merupakan perkembangan pesar dalam

bedah sinus. Teknik bedah ini pertamakali diajukan oleh Messerklinger dan dipopulerkan

oleh Stammberger dan Kennedy. BSEF adalah operasi pada hidung dan sinus yang

menggunakan endoskopi dengan tujuan menormalkan kembali ventilasi sinus dan

mucociliare clearance. Prinsip BSEF adalah membuka dan membersihkan KOM sehingga

drainase dan ventilasi sinus lancar secara alami.

KOMPLIKASI

Komplikasi sinusitis telah menurun secara nyata sejak ditemukannya antibiotik.

Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut atau pada sinusitis kronis dengan

eksaserbasi akut, berupa komplikasi orbita atau intrakranial.

1. Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan dengan mata

(orbita). Yang paling sering adalah sinusitis etmoid, kemudian sinusitis frontal dan

maksila. Penyebaran infeksi terjadi melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum.

Kelainan yang dapat timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiosteal,

abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus kavernosus.

2. Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses ekstradural atau subdural, abses

otak dan trombosis sinus kavernosus

12

Page 13: Sinusitis Maksilaris Odontogen

Komplikasi juga dapat terjadi pada sinusitis kronis, berupa :

1. Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paing sering timbul akibat sinusitis frontal dan

biasanya ditemukan pada anak-anak. Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul

fistula oroantral atau fistula pada pipi.

2. Kelainan paru, seperti bronkitis kronik dan bronkiektasis. Adanya kelainan sinus

paranasal disertai dengan kelainan paru ini disebut sinobronkitis. Selain itu dapat juga

menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sukar dihilangkan sebelum sinusnya

disembuhkan.

13

Page 14: Sinusitis Maksilaris Odontogen

BAB III

KESIMPULAN

Sinusitis yang disebabkan oleh penyakit gigi-geligi merupakan kasus yang cukup

banyak ditemukan, sekitar 10% hingga 12% dari kasus sinusitis maksilaris. Sinusitis

odontogen perlu dicurigai pada pasien dengan gejala sinusitis maksilaris yang memiliki

riwayat infeksi gigi-geligi atau dento-alveolar surgery yang resisten terhadap terapi sinusitis

standard.

Diagnosis dilakukan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan rinoskopi anterior,

posterior, nasoendoskopi, serta pemeriksaan penunjang berupa transiluminasi, ronsen, CT-

Scan, dan MRI. Biasanya diagnosis sinusitis maksilaris dentogen memerlukan pemeriksaan

gigi-geligi lengkap dan evaluasi klinis termasuk pemeriksaan radiogram. Kausa terbanyak

termasuk abses gigi dan penyakit periodontal lainnya, perforasi sinus akibat ekstraksi gigi

(kebanyakan molar), atau infeksi sekunder yang disebabkan oleh benda asing di intra-antral.

Penatalaksanaannya meliputi mengatasi masalah gigi, terapi medikamentosa berupa

antibiotik, dekongestan, antihistamin, dan kortikosteroid, serta irigasi sinus dan tindakan

operatif.

14

Page 15: Sinusitis Maksilaris Odontogen

DAFTAR PUSTAKA

1. Boies LR, Adams GL. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi VI. Jakarta: Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 1997.

2. Farhat. Peran Infeksi Gigi Rahang Atas pada Kejadian Sinusitis Maksila di RSUP H.

Adam Malik Medan. Dept. Ilmu Kesehatan THT, Bedah Kepala, dan Leher FK

USU/RSUP H. Adam Malik Medan. 2006. p. 386-92.

3. Mehra P, Murad H. Maxillary Sinus Disease of Odontogenic Origin. Otolaryngologic

Clinic of North America. 2004. p. 347-64.

4. Saragih AR. Rinosinusitis Dentogen. Dept. THT FK USU. Odentika Dental Jurnal

Vol.12 No.1; 2007. p.81-4.

5. Soepardi EA, Iskandar N, Bashiruddin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan

Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala, & Leher. Edisi VI. Jakarta: Balai Penerbit FKUI;

2007

15