Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

8

Click here to load reader

Transcript of Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

Page 1: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

1

Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

Oleh: Abdul Hafiz Harahap

Buku dan Gerakan Literasi

Ada ungkapan yang mengatakan bahwa “sebuah buku tidak pernah berdiri sendiri”. Dari ungkapan itu benar adanya kalau buku lahir dari rangkaian kata, kalimat dan paragraf buku-buku lain yang dicerna oleh seorang pembaca kemudian dengan ide dan kreativitasnya menuliskannya kembali dalam untaian-untaian kalimat menjadi paragraf dan akhirnya menjadi sebuah buku. Maka tak dapat dipungkiri bila dikatakan buku yang terbit saat ini sejatinya merupakan hasil pembacaan atas buku-buku yang terbit di masa lalu.

Saat ini begitu banyak bermunculan penulis-penulis yang bukunya menjadi best seller. Di dalam negeri pada tahun 2011 lalu hingga kini, sebut saja misalnya buku motivasi berjudul 7 Keajaiban Rezeki karya Ippho D. Santosa (Elex Media Komputindo), novel Manusia Stengah Salmon karya Raditya Dika (Gagas Media), novel Negeri 5 Menara karya A. Fuadi (Gramedia Pustaka Utama), buku kumpulan catatan CEO PLN berjudul Dua Tangis Ribuan Tawa karya Dahlan Iskan (Elex Media Komputindo) dan masih banyak lagi sederetan nama penulis dan judul yang menjadi best seller setiap tahunnya.

Ramainya bermunculan buku-buku baru diiringi penulis-penulis mungkin juga baru memberikan indikasi bahwa dunia perbukuan Indonesia mulai menampakkan kemajuan dan perkembangan. Saat ini lebih dari seribu penerbit yang terdaftar di Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) meski tidak semua penerbit tersebut memiliki produktifitas tinggi seperti Gramedia Pustaka Utama, Mizan, Elex Media Komputindo, dan sebagainya.

Perkembangan perbukuan di tanah air ini berbarengan dengan gencarnya upaya-upaya berbagai elemen dalam mengkampanyekan gerakan literasi kepada masyarakat seperti yang dilakukan oleh Masyarakat Literasi Indonesia (MLI). Keberadaan MLI bertujuan membangun masyarakat berbasis pengetahuan dengan mengemban misi membebaskan bangsa Indonesia dari buta aksara; membina masyarakat Indonesia menjadi masyarakat yang gemar membaca, dan; mempersiapkan bangsa Indonesia untuk menjadi masyarakat informasi.

Selain MLI, masih ada gerakan literasi yang dilakukan Forum Taman Bacaan Masyarakat (FTBM) yang saat ini diketuai oleh Heri Hendrayana Harris atau yang lebih dikenal dengan nama pena Gol A Gong, penulis yang telah menghasilkan

Page 2: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

2

karya-karya spektakuler seperti ‘Balada si Roy’ yang jadi best seller di tahun 90-an dan pendiri Rumah Dunia, dengan aktivitas yang sedang berjalan yaitu “Gempa Literasi” melalui TBM yang ada di seluruh Indonesia.

FTBM adalah sebuah organisasi yang berusaha membangun jalinan kerjasama antar Taman Bacaan Masyarakat (TBM) seluruh Indonesia dalam rangka mewujudkan semangat mengembangkan kegiatan membaca yang jumlahnya mencapai 5000-an yang tersebar di seluruh Indonesia. Melalui misinya sebagai organisasi yang demokratis, mandiri, dan profesional dalam rangka mewujudkan TBM sebagai pusat pembelejaran dan pembudayaan kebiasaan membaca masyarakat, sehingga terbentuk masyarakat gemar belajar (learning society) yang bebas dari keterbelakangan dan kemiskinan, FTBM mengejewantahkannya dalam cakupan misi membantu keberhasilan gerakan pemberantasan buta aksara dengan menjadikan TBM sebagai sarana pemeliharaan keaksaraan masyarakat agar aksarawan baru tidak menjadi buta aksara kembali; memprakarsai, memfasilitasi, dan mengembangkan berbagai usaha pembinaan dalam rangka meningkatkan sumber daya TBM, yang meliputi organisasi, sarana prasarana, koleksi bacaan dan pengelola, dan; mewadahi, menyalurkan aspirasi, dan prakarsa pengelola TBM dalam upaya meningkatkan minat baca masyarakat. Bahkan saat ini FTBM mulai menggiatkan aktifitas “dari membaca ke menulis” melalui kegiatan pelatihan menulis bagi pengelola TBM.

Terlepas dari apa yang dilakukan oleh FTBM, sebagai masyarakat yang memiliki kebiasaan membaca maka sudah selayaknya secara perlahan membarengi membaca dengan aktivitas menulis, terutama bagi pelajar, mahasiswa dan akademisi. Tanpa menulis, maka makna literasi masihlah pincang dan belum sempurna karena literasi bila dimaknai sebagai kemampuan untuk membaca dan menulis bukan saja mampu membaca dan menulis seperti layaknya siswa sekolah dasar, tapi lebih dari itu. Kemampuan literasi yang dimiliki masyarakat diharapkan akan membentuk karakter insan yang memiliki jiwa dan semangat kewirausahaan dengan mengaedepankan ide-ide yang kreatif. Ketika hal ini sudah terbangun maka masyarakat itu telah bergerak maju dari ranah information society menuju ranah knowledge society.

Program 3K IKAPI

Artikel yang dilansir pada website milik Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) mengangkat sebuah isu mengenai literasi dengan membumikan 3K (Karakter, Kewirausahaan, dan Kreativitas) yang mana dalam artikel tersebut dituliskan bahwa IKAPI sedang merancang program memajukan dunia perbukuan Indonesia

Page 3: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

3

melalui kegiatan yang mengarah langsung pada penyiapan generasi membaca dan generasi menulis. Isu kecerdasan atau melek literasi mengemuka dalam diskusi pengurus pusat IKAPI sebagai isu yang dibawa sejalan dengan program pemerintah di bidang pendidikan.

Saat ini isu yang mencuat dalam dunia pendidikan kita adalah isu Karakter, Kewirausahaan, dan Kreativitas (Ekonomi Kreatif). Isu ini akan menjadi tema besar pada buku-buku pendidikan, baik buku teks maupun buku pengayaan untuk diintegrasikan ke dalam mata pelajaran maupun tema-tema pengembangan diri. Dalam hal ini tentulah kegiatan baca-tulis menjadi penopang setiap kegiatan yang bermuara pada penerbitan buku.

Ada wacana IKAPI akan mengangkat isu dengan tagline Indonesia Baca Buku (IBB). IBB menjadi program yang dipersiapkan untuk menanamkan literasi dasar (basic literacy) yang berfokus pada generasi muda, terutama anak-anak sekolah melalui program pelatihan mini, bantuan buku-buku, dan juga kampanye minat baca-tulis. Untuk itu, IKAPI akan mengembangkan kerja sama dengan perusahaan/institusi nonpenerbitan sebagai ranah kegiatan corporate social responsibility. Jelas kegiatan ini akan melibatkan kerja sama dengan berbagai pihak dengan misi membumikan literasi.

Program 3K IKAPI tersebut meski masih dalam tataran isu namun sudah memberikan sinyal menggembirakan bahwa IKAPI akan merespon semua aktivitas yang berkenaan dengan membaca dan menulis. Situasi inilah yang seharusnya menjadi momentum bagi masyarakat khususnya yang berada dalam lingkungan akademis untuk mulai melakukan pergeseran dari seorang pembaca menjadi seorang penulis. Kesulitan-kesulitan yang selama ini menjadi kendala dalam proses menulis mungkin sudah dapat teratasi dengan banyaknya pelatihan-pelatihan menulis dari berbagai sumber dan kelak menjadi program IKAPI. Begitu pula dengan kendala sulitnya menembus penerbit tampaknya sudah menunjukkan titik terang bahwa menerbitkan karya tulisan dalam bentuk buku akan semakin mudah. Tentu saja harus tetap menjadi perhatian utama adalah menulis dengan tulisan yang baik dan berkualitas. Apalagi saat sekarang ini di mana teknologi penerbitan yang semakin berkembang tidak lagi memberi batasan kepada siapa pun untuk dapat menerbitkan tulisannya.

Sulitnya Menerbitkan Buku

Ketika kebiasaan menulis – misalnya cerpen – menjadi bagian aktivitas rutin seseorang karena begitu banyak ide-ide cerita yang seakan luber dari kepalanya

Page 4: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

4

maka bisa dibayangkan sudah berapa lusin karya tulisan yang sudah dihasilkannya hanya mendekam dalam storage di komputer maupun laptop si penulis, padahal belasan bahkan lusinan cerpen tersebut bila diterbitkan sekaligus sudah dapat menjadi buku kumpulan cerpen. Terpendamnya cerpen-cerpen itu pasalnya adalah karena naskah cerpen-cerpen tersebut tidak pernah dikirimkan kepada redaksi majalah ataupun surat kabar karena si penulis tidak memiliki kepercayaan diri yang kuat akan kualitas karyanya, atau bisa jadi si penulis sudah sering mengirimkan karya-karyanya namun belum pernah sama sekali dimuat dan diterbitkan oleh media yang dituju. Walhasil, karya-karya yang sebenarnya mungkin berkualitas tersebut tidak dapat dinimkmati oleh publik. Padahal tidak dimuatnya karya tersebut hanya karena pihak redaktur majalah dan surat kabar menilai karya yang mereka terima tidak sesuai dengan segmen pasar yang mereka tuju.

Begitu pula bagi seorang dosen yang dituntut sepatutnya mampu melahirkan karya ilmiah dalam bentuk buku selain artikel ilmiah yang wajib dimuat pada jurnal ilmiah yang memiliki ISSN maupun tulisan-tulisan lain seperti opini pada surat kabar. Kondisinya tidak berbeda jauh dengan karya cerpen yang tak kunjung terbit atau kalaupun terbit setelah beberapa bulan setelah dikirimkan ke meja redaksi majalah dan surat kabar, buku yang dihasilkan melalui proses yang relatif lama oleh si penulis (dosen) belum tentu akan diterima untuk diterbitkan oleh penerbit tertentu, apalagi penerbit yang sudah memiliki nama tersohor. Selain jumlah antrian yang banyak, naskah buku yang dikirimkan belum tentu sesuai dengan selera pasar atau dianggap tidak memiliki kemampuan menembus pasar dengan baik karena temanya yang tidak populer. Hal inilah yang menjadi momok bagi penulis buku secara umum. Di sisi lain, ada nilai khusus yang diperoleh bagi seorang dosen yang dapat menerbitkan buku karyanya, yaitu akan memperoleh angka kredit (cum) sejumlah 40-50. Sangat besar bila dibandingkan dengan perolehan angka kredit bila hanya mengikuti seminar-seminar yang jumlahnya cuma 1-5 saja. Untuk menyiasati hal tersebut, akhirnya buku karya dosen yang sudah siap terbit itupun diterbitkan melalui penerbitan yang dimiliki oleh universitas tempat si penulis menjadi dosen dengan oplah yang relatif sedikit. Memang, buku akan terbit juga dan angka kredit pun diperoleh, namun buku yang mungkin sebenarnya dapat diminati dan dinikmati oleh masyarakat luas tidak tercapai karena jumlah yang minim. Sebaliknya, bila buku tersebut diterbitkan oleh penerbit yang telah memiliki nama maka oplah minimumnya adalah 3000 eksemplar dan akan terdistribusi ke seluruh tanah air di samping adanya royalty sebesar 8-10 persen dari harga brutto per eksemplarnya.

Selain karena ketatnya seleksi yang dilakukan oleh pihak penerbit terhadap naskah-naskah buku baik fiksi maupun non-fiksi, beberapa penerbit sudah

Page 5: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

5

memiliki agenda dalam setahun untuk menerbitkan buku-buku dengan tema tertentu dan ditulis oleh penulis-penulis populer yang sudah dimintai kesediaannya menulis dengan tema-tema populer, bahkan pihak penerbit sudah memprediksikan buku dengan tema-tema yang diusungnya memiliki kemampuan mencapai tingkat penjualan yang baik bahkan best seller. Untuk mengetahui kriteria penilaian naskah dan penulis yang dilakukan oleh penerbit, berikut adalah skema penilaian yang biasanya dilakukan penerbit untuk memberikan penilaian naskah berdasarkan popularitas penulis dan tema yang diangkat:

Dari skema tersebut dapatlah diketahui bahwa antara penulis dan tema yang diusungnya merupakan hubungan yang sangat kuat. Meski demikian bila posisi seorang penulis berada pada kuadran ketiga bukan berarti tulisan yang dihasilkan tidak dapat diterbitkan. Masih ada cara lain untuk tetap dapat melihat cantuman nama penulis yang tidak atau belum populer atau tidak mengangkat tema yang sedang populer (baca: buku indie) pada sampul buku yang tentunya juga memiliki ISBN (International Standard Book Number) dan KDT (Katalog Dalam Terbitan) serta endorsement dari orang tertentu. Lantas, bagaimana caranya? Shelf publishing atau Publishing On Demand (POD) adalah caranya. Sebuah cara – baru di Indonesia – untuk menerbitkan karya tulis dalam bentuk buku sebagaimana yang diterbitkan oleh penerbit-penerbit ternama.

Solusi Penerbitan dengan POD

Kesulitan menembus dapur penerbit tersohor bukanlah alasan mematahkan semangat untuk menerbitkan karya-karya yang sudah ada. Selain yang biasa dilakukan oleh para dosen menerbitkan bukunya melalui penerbitan kampus, saat ini sudah ada alternatif lain untuk menerbitkan buku melalui sistem POD atau Publishing On Demand seperti yang ditawarkan oleh beberapa website dengan memberikan solusi yang relatif baru untuk melakukan penerbitan karya-karya dalam bentuk buku. Ini bermuara dari kemajuan teknologi percetakan. Sebuah buku saat ini tidak lagi harus melalui cara, prosedur, dan kuantitas konvensional

Page 6: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

6

dengan hitung-hitungan bisnis bahwa sebuah buku harus dicetak minimal 2000 atau 3000 oleh sebuah penerbit kemudian didistribusikan ke toko buku. Dari sana juga memuat berapa hitungan angka yang harus dibagi ke berbagai pihak, seperti operasional, penulis, distributor, toko buku, sampai bayar rekening listrik kantor dan parkir kendaraan.

Publishing On Demand atau biasa disebut POD (penerbitan sesuai permintaan) adalah memberikan layanan menerbitkan buku sesuai permintaan atau pesanan. Sesuai pesanan yang dimaksud adalah tidak menentukan minimum order (on demand). Jadi, penulis dapat memesan atau menerbitkan buku dengan sistem POD ini sesuai keinginannya, dengan oplah “semaumu”. Mulai satu eksemplar hingga jumlah yang tidak terbatas.

Publishing On Demand (POD) dimaksudkan untuk melayani penerbitan buku mulai dari tahap pra-cetak hingga cetak (jadi buku). Layanan tersebut antara lain, editing, lay out (tata letak), desain cover, ISBN, dan cetak sesuai kebutuhan. Pada website tersebut juga dibuatkan ilustrasi perhitungan biaya untuk penerbitan buku yang diinginkan oleh si pemesan. Bahkan untuk membantu mempromosikan buku yang diterbitkan dengan menampilkannya di website dan facebook penerbit sebagai upaya membantu memperkenalkan buku yang diterbitkan tersebut kepada masyarakat luas, terutama melalui internet.

Lantas, kemudian muncul pertanyaan. Semudah itukah menerbitkan buku? Arul Khan, seorang Pengamat Cyberculture, Direktur Eksekutif Lembaga Pengkajian Studi dan Informasi (LePSI) mengatakan bahwa yang harus dipastikan adalah sebuah konten yang kita tulis untuk diterbitkan dalm bentuk POD atau indi haruslah konten yang baik. Untuk membahas konten yang baik ini ada di ruang dan waktu khusus. Konten yang baik akhirnya buku yang dicetak terbatas pun akan tetap menjadi bahan bacaan yang bagus dibaca dan berarti untuk orang lain. Meski yang membelinya hanya 5 orang, toh 5 orang itu sudah bisa mengambil manfaatnya.

Tetapi jangan pula lengah dengan jasa publishing services yang marak menawarkan diri dengan label “penerbit” ini. Perhatikan (1) bagaimana kualitas pengelolaan mereka dengan melihat rekam jejak si pengelola dengan seksama. Diharapkan dengan si pengelola punya pengalaman dalam dunia penerbitan atau percetakan akan mampu memberikan layanan yang sesuai dengan apa yang diharapkan. (2) Untuk itu perlulah banyak-banyak bertanya kepada siapa saja yang sudah pernah memakai jasa publishing services tersebut. Jangan karena semangat tinggi karena mau nerbitin naskah dan akan punya buku perdana membuat mata kita buta untuk langsung order ke penyedia jasa tersebut. (3) Kalaupun kita mengeluarkan uang, perhatikan apakah uang itu layak atau tidak

Page 7: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

7

dan atau akan digunakan sesuai dengan kebutuhan atau tidak. Pastikan dengan sangat teliti berapa jumlah uang untuk keperluan X, berapa yang untuk keperluan Y, dan berapa yang untuk keperluan Z. Syukur-syukur kalau ada perjanjian hitam di atas putih. Tapi, kalau uang sudah keluar, kita tidak teliti, dan hasilnya membuat kecewa ya jangan marah-marah belakangan. (4) Di sinilah perlunya membaca, memahami, atau bertanya soal apa yang dibayar dan apa yang didapat. Tak ada salahnya kita teliti dahulu seseksama mungkin sebelum kecewa di kemudian hari.

Berikut adalah dua dari sekian banyak penerbit yang menawarkan jasa shelf publishing atau POD, yaitu Nulis Buku (http://www.nulisbuku.com/homepage) dan Titah Surga (http://selfpublishing.web.id/).

Penutup

Meski proses seleksi penerbit yang ketat dalam menyetujui naskah sebuah buku untuk dapat diterbitkan bukan lagi suatu halangan, namun aktivitas literasi khususnya menulis tidaklah dapat dilakukan asal jadi saja. Kualitas tulisan tetap menjadi ukuran apakah karya yang dihasilkan akan memberikan manfaat bagi yang membacanya sehingga calon pembaca akan menjadi penentu apakah buku tersebut akan dibeli atau tidak, atau apakah buku tersebut akan dipinjam dari perpustakaan atau tidak. Karena itu kualitas tulisan menjadi kriteria utama bagi penulis agar bukunya dibeli pembaca atau dipinjam oleh pemustaka (user). Melihat pada munculnya shelf publishing maupun Publishing On Demand (POD) saat ini di Indonesia maka ke depannya pembaca dan pemustaka akan berkata “Kualitas dan pribadi penulis akan tercermin dari apa yang ditulisnya”.

Daftar Bacaan:

Gong, Gol A. Dan Irkham, Agus M. 2012. Gempa Literasi: Dari Kampung Untuk Nusantara. Jakarta: Gramedia.

Huda, Miftachul. 2010. Self Publishing: Kupas Tuntas Rahasia Menerbitkan Buku Sendiri. Yogyakarta: Samudra Biru.

http://www.indonesiabuku.com/?p=1069/

http://www.nulisbuku.com/

http://www.selfpublishing.web.id/

Page 8: Sinergi Gerakan Literasi dengan Publishing On Demand

8

http://www.media.kompasiana.com/buku/2011/10/23/angin-neraka-penerbit-indi-sistem-pod-atau-angin-surga-penerbit-mayor/

http://www.forumtbm.net

http://www.bit.lipi.go.id/masyarakat-literasi/

Biodata Penulis:

Nama : Abdul Hafiz Harahap

Pendidikan : - S1 Ilmu Perpustakaan dan Informasi FS USU (S.Sos.)

- S2 Ilmu Komunikasi Konsentrasi Ilmu Informasi

dan Perpustakaan UNPAD (M.I.Kom.)

Pekerjaan : - Staf Perpustakaan USU

- Dosen Prodi Ilmu Perpustakaan dan Informasi FIB USU