sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam...

210

Transcript of sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam...

Page 1: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii
Page 2: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas PementasanBaris Kupu-Kupu

Oleh :DEWA KETUT WISNAWA

IDA BAGUS GEDE CANDRAWAN

Penerbit PÀRAMITA Surabaya

Page 3: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Katalog Dalam Terbitan (KDT)Religiusitas Pementasan

Baris Kupu-Kupu

Surabaya: Pàramita, 2018viii + 200 hal ; 148 x 210 mm

ISBN : 978-602-204-678-3

Oleh :DEWA KETUT WISNAWA

IDA BAGUS GEDE CANDRAWAN

Layout & Cover :

I Putu Suada

Penerbit & Percetakan :“PÀRAMITA”

Jl. Menanggal III No. 32, Surabaya 60234Email: [email protected]://www.paramitapublisher.com

Telp. (031) 8295555, 8295500, Fax : (031) 8295555

Pemasaran “PÀRAMITA”Jl. Letda Made Putra 16, Denpasar

Telp. (0361) 226445, Fax : (0361) 226445

Cetakan Pertama 2016

Page 4: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu iii

KATA PENGANTAR

Atas asung kreta waranugraha Ida Sang Hyang Widhi penulis dapat menyelesaikan penulisan buku ini. Buku ini merupakan himpunan dari Disertasi penulis. Kemudian dirasakan bahwa himpunan tulisan ini baik pula jika diketahui oleh kalangan yang lebih luas. Paling tidak akan menambah bahan bacaan bagi mereka yang ingin meningkatkan pemahamannya mengenai berbagai tarian sakral yang ada di Bali. Oleh karena itu dengan segenap keberanian yang ada, penulis menyusun buku ini dengan judul “Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu”.

Akhir kata, karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman penulis, Penulis yakin masih banyak kekurangan dalam buku ini, Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan buku ini.

Denpasar, 25 Agustus 2018

Penulis

Page 5: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupuiv

Page 6: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu v

SAMBUTAN REKTOR

Om SwastyastuDalam Rangka meningkatkan pemahaman terhadap

tarian sakral yang berkaitan dengan ajaran agama Hindu, maka dibutuhkan buku-buku yang mampu membuka wawasan bagi umat Hindu khususnya. Kita menyadari bahwa ajaran agama Hindu sangat luas dan komplek, tidak mungkin dipelajari dalam waktu yang relatif singkat. Oleh karena itu dibutuhkan berbagai metode dan sarana yang dimaksud dengan mengkaji berbagai sumber yang berkaitan dengan tarian sakral dalam ajaran agama Hindu.

Kami menyambut baik dengan terbitnya buku ini sebagai hasil penelitian Disertasi yang dilakukan oleh Dr. Dewa Ketut Wisnawa,S.Sn.,M.Ag. Dengan harapan mampu memberikan sumbangan pemikiran terhadap tarian yang sakral yang di Bali. Kami berharap agar penelitian-penelitian serupa dapat diteruskan oleh peneliti-peneliti lain dan dapat bermanfaat dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di era globalisasi saat ini.

Selaku Rektor Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar, sudah selayaknya bersyukur dan berterimakasih atas segala jerih payah penulis sehingga layak untuk diterbitkan. Dengan hadirnya buku ini tidak hanya memperkaya kepustakaan IHDN Denpasar, tetapi juga khasanah ilmu pengetahuan di bidang Seni terutama yang berkaitan dengan agama khususnya agama Hindu. Melalui sambutan ini saya sampaikan ucapan

Page 7: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupuvi

selamat atas terbitnya buku ini yang berjudul “Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu”.

Om Santih, Santih, Santih, Om

Denpasar, 24 Agustus 2018

Prof. Dr. Drs. I Gusti Ngurah Sudiana, M.Si

Page 8: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu vii

DAFTAR ISIKata Pengantar ................................................................ iSambutan Rektor ............................................................. vDaftar Isi .......................................................................... vii

Bab I Pendahuluan ........................................................ 1 Latar Belakang Masalah ....................................... 1

Bab II Kajian Pustaka, Konsep, Teori, Dan Model Penelitian .............................................................. 11 2.1 Kajian Pustaka ................................................ 11 2.2 Konsep......... .................................................... 16 2.2.1 Religiusitas ............................................. 17 2.2.2 Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ........ 19 2.2.3 Upacara Pujawali .................................... 27 2.2.4 Pura Dalem Dasar ................................... 30 2.3 Teori ................................................................ 34 2.3.1 Teori Estetika .......................................... 35 2.3.2 Teori Religiusitas .................................... 39 2.3.3 Teori Interaksionalisme Simbolik ........... 42 2.4 Model Penelitian ............................................. 44

Bab III Bentuk Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu Pada Upacara Pujawali Di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Pakraman Bungkulan .......... 47 3.1 Sejarah Tari Baris Kupu-Kupu ........................ 49 3.2 Perlengkapan Pakaian Tari Baris Kupu-Kupu 55 3.3 Prosesi Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ..... 64 3.4 Persiapan .......................................................... 65 3.5 Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ................. 68 3.6 Upakara yang Digunakan dalam Pementasan Tari Baris Kupu–kupu ...................................... 77

Page 9: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupuviii

Bab IV Aspek-Aspek Religius Tari Baris Kupu-Kupu Pada Upacara Pujawali Di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan ................................................... 102 4.1 Aspek Penyucian .............................................. 102 4.2 Aspek Ungkapan Terima Kasih ....................... 104 4.3 Aspek Budaya .................................................. 107 4.4 Aspek Estetis Religius ..................................... 108 4.5 Aspek Pendidikan ............................................ 116 4.6 Aspek Sosiologis .............................................. 119 4.7 Aspek Untuk Memohon Kesuburan ................. 121

Bab V Implikasi Nilai Religiusitas Dalam Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu Pada Upacara Pujawali Di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan .............. 124 5.1 Implikasi Tri Hita Karana ............................... 126 5.2 Implikasi Estetika ............................................. 139 5.3 Implikasi Kepemimpinan ................................. 142 5.4 Implikasi Tatwa ................................................ 145 5.5 Implikasi Etika ................................................. 166 5.6 Implikasi Psikologis ......................................... 169 5.7 Implikasi Religiusitas ....................................... 169 5.8 Refleksi ............................................................ 185 5.9 Temuan Penelitian ............................................ 186

Bab VI Penutup ................................................................ 190 6.1 Simpulan .......................................................... 190 6.2 Saran ................................................................ 168

Daftar Pustaka ................................................................. 193Glosarium ......................................................................... 198

Page 10: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 1

BAB IPENDAHULUAN

Latar Belakang MasalahPulau Bali sudah tidak asing lagi bagi wisatawan luar

maupun dalam negeri. Pulau kecil dan indah ini, terkenal dengan julukan pulau dewata. Kemasyuran pulau Bali di mata dunia ditunjang oleh keindahan alam dan berbagai kesenian yang bermutu tinggi, maka dari itu tidak mengherankan di antara wisatawan yang datang ke Bali ingin mempelajari kebudayaan Bali secara mendalam seperti belajar menari dan bahkan ada yang menetap di Bali. Berbicara mengenai seni budaya Bali adalah meliputi berbagai unsur kesenian baik yang bersifat sakral maupun sekular seperti seni tari, seni tabuh, seni suara, dan seni bangunan. Di antara berbagai jenis seni tersebut, seni tari merupakan suatu seni yang telah lama melekat pada kehidupan masyarakat, baik itu kehidupan sosial maupun kehidupan keagamaan.

Masyarakat yang mendiami pulau Bali penuh dengan aktivitas religius, maka dapat diduga pulau Bali diberi nama Bali bukan suatu kebetulan, tetapi suatu nama yang menagndung makna religius atau ritual. Oleh karena, kata “Bali” dalam bahasa Sanskerta berarti upacara kurban yang ditunjukkan kepada manifestasi Tuhan dalam wujudnya sebagai “Bhuta”. Ritual ini disebut dengan upacara Bhuta Yajña atau juga disebut dengan Wali yang berarti upacara atau ritual.

Karya seni dan budaya Bali pada awalnya muncul sebagai suatu kewajiban yang patut dilaksanakan oleh kelompok profesi tertentu dalam upaya mempersembahkan bakti yang sempurna kepada Tuhan lewat kegiatan keagamaan (Granoka, 1998:35). Tarian dan karawitan diciptakan untuk mengungkap ekspresi kebahagiaan menyambut turunnya para Dewata pada saat

Page 11: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu2

pelaksanaan upacara di Pura, seni rupa yang diterjemahkan dalam lukisan dan pahatan selalu tampil dalam berbagai kelengkapan asesoris yang tercermin dalam arsitektur bangunan tempat suci, sajen sebagai sarana untuk menyambung komunikasi spiritual, sedangkan nyanyian kidung dikumandangkan untuk mengungkapkan puja dan puji atas kesejahteraan yang dilimpahkan para Dewata.

Wujud seni pada setiap upacara atau yajña sebagian besar berdasarkan pada tradisi masing-masing daerah. Kebiasaan adat setempat ikut memberikan pengaruh terhadap variasi pelaksanaan ajaran agama. Sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran pokok agama Hindu, tidaklah merupakan hambatan bagi perkembangan agama Hindu itu sendiri. Rasa toleransi serta supelnya agama Hindu terhadap adat kebiasaan setempat telah terpelihara dengan baik, sejak mulai masuknya agama Hindu di Indonesia sampai sekarang. “Agama Hindu dengan ajarannya untuk mendekatkan diri kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, ada empat jalan yang disebut Catur Marga, yakni Karma marga dengan berbuat tanpa memperhitungkan hasil, Bhakti marga dengan jalan menyerahkan diri kepada-Nya, Jnana marga dengan mempelajari, mengamalkan ilmu pengetahuan yang benar dan Raja marga dengan jalan pemusatan pikiran melalui tapa, brata” (Titib, 2001:45).

Seniman merasa yakin bahwa karya yang di persembahkan hampir sama dengan sikap seorang Pandita tatkala melakukan puja mantra dalam suatu upacara. ”Tari dipandang seirama dengan gerak tangan mudra Sang Pandita, tabuh senada dengan suara genta Sang Pandita, dan kidung seiring dengan puja mantra Sang Pandita. Oleh karena itu seringkali persembahan tari, gamelan, dan kidung dilakukan bersamaan dengan Sang Pandita saat melakukan pemujaan” (Granoka, 1998:40). Manusia pada umumnya selain pelaku seni, juga adalah penikmat seni. ”Dalam seni teater, berbagai lakon yang melandasi penciptaan seni

Page 12: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 3

dikemas dengan baik sehingga mudah dinikmati dan disimak untuk mengisi wawasan berpikir.

Aryasa (1996:3) menyatakan bahwa “seni sakral” sering dapat berkonotasi memiliki arti; Suci atau kesucian, magis, super natural power pantang dilanggar sebab membahayakan, kekuatan sakti, angker atau keramat dan melindungi. Pada dasarnya nilai sakral ini lahir dalam hubungan kegiatan sistem kepercayaan di kalangan umat Hindu dan amat kuat pengaruh tradisi lokal sehingga terdapat variasi bentuk yang beragam pula.

Parmajaya (2007:1) menjelaskan bahwa manusia yang lahir ke dunia, pada dasarnya adalah seniman. Hal ini dapat diasumsikan bahwa setiap manusia yang lahir dan hidup di dunia pasti akan selalu berhubungan dengan dunia seni. Berbicara masalah seni sakral, banyak kalangan yang mengatakan bahwa seni sakral dibentuk oleh dua aspek, yaitu kreativitas daya seni dan agama. Kedua aspek di atas kadangkala sulit untuk dibedakan, mana yang tergolong seni sakral, dan mana yang tergolong seni sekuler. Hal ini dimungkinkan kegiatan seni yang dipentaskan oleh umat Hindu di Bali tidak bisa lepas dari ritual keagamaan yang mendukungnya atau dengan kata lain sekecil apapun pementasan kesenian yang di pentaskan oleh umat Hindu, pasti dilengkapi dengan ritual keagamaan atau sarana yang sekecil apapun bentuknya. Dengan demikian pementasan kesenian tidak memandang apakah kaitannya dengan pelaksanaan adat ataupun pelaksanaan upacara keagamaan.

Penggunaan tari dalam sistem pemujaan sebagaimana dikenal dalam lingkungan umat Hindu di Bali bukan sebagai unsur pemeriah ritual, tetapi lebih dari pada itu tari-tarian digunakan dalam mengiringi ritual berfungsi sebagai simbol metafisik yang mewakili hal yang transendental. Tari memiliki fungsi simbolik untuk mengilustrasikan aktivitas Tuhan seperti gambaran atau diilustrasikan dalam lukisan atau patung Siwa Nataraja. Dalam berbagai literatur dinyatakan bahwa gendang

Page 13: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu4

yang ada di leher tongkat Trisula Siwa melambangkan pertama atau dentuman yang terjadi pada awal penciptaan. Sedangkan api yang ada di tangan kiri merupakan simbol bahwa suatu saat bumi ini dihancurkan atau di pralina kembali seperti awal penciptaan.

Pendapat seperti itu memperkuat anggapan bahwa agama dan budaya dalam perjalanan sejarahnya selalu bersinergi. Kesenian tari Baris Kupu-Kupu sebagai produk budaya Bali, selalu dikaitkan dengan agama. Fenomena itu bisa dipahami, karena sebagaimana dikemukakakan Titib (2007) di Bali sinergi agama Hindu dengan budaya Bali mampu meningkatkan dan mengembangkan kualitas budaya Bali itu sendiri. Dalam sinergi itu, tampak agama Hindu sebagi titik sentral atau pusat yang menjiwai semua aspek budaya Bali. Agama Hindu bersinergi melalui : (1) Sistem bahasa, yakni bahasa Sanskerta dan Jawa Kuno; (2) Sistem pengetahuan; (3) Sistem sosial seperti desa pakraman dan subak; (4) Sistem peralatan hidup dan teknologi; (5) Sistem mata pencaharian masyarakat; (6) Sistem religi, yaitu agama Hindu menghargai kepercayaan local, dan (7) Sistem kesenian seperti seni wali atau sakral, seni bebali atau dapat berfungsi sebagai seni sakral, dapat pula untuk kegiatan profan, dan seni balih-balihan atau hanya untuk hiburan.

Dikemukakan pula bahwa agama Hindu memberi nafas hidup dan pencerahan terhadap budaya Bali. Sinergi antara agama Hindu dan budaya Bali, jalin-menjalin bagaikan kain tenun ikat, saling memperkuat dan saling memperkuat dan saling memberikan sumbangan yang tidak dapat dipisahkan. Sinergi ini bahkan bagaikan sekeping mata uang logam, di satu sisi adalah agama dan di sisi yang lainnya adalah budaya. Bila dipisahkan sisi yang satu dengan sisi yang lainnya, mata uang tersebut tidak lagi memiliki nilai.

Sementara itu, Koentjaraningrat (1980:228-229), mengatakan masyarakat Bali yang dikenal sangat religius,

Page 14: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 5

memiliki budaya yang luluh dengan religi. Religi merupakan salah satu unsur kebudayaan yang sangat kompleks dan berkembang di berbagai tempat di seluruh dunia. Menurut Koentjaraningrat, jika dilihat dari sisi bentuk religi di sebagian besar bangsa di dunia, maka pada umumnya dapat terlihat adanya beberapa unsur pokok dari religi tersebut yaitu antara lain, emosi keagamaan atau getaran jiwa, sistem kepercayaan, sistem upacara keagamaan, kelompok keagamaan atau kesatuan-kesatuan sosial yang mengonsepsikan dan mengaktifkan religi beserta sistem upacara-upacara keagamaan.

Lebih Jauh Koentjaraningrat mengemukakan, semua aktivitas manusia yang berhubungan dengan religi, selalu berlandaskan atas suatu getaran jiwa, yang kerap disebut religious emotion atau emosi keagamaan. Emosi keagamaan ini menyebabkan sesuatu benda, suatu tindakan, atau suatu gagasan, mendapat suatu nilai keramat, atau sacred value, dan dianggap keramat.

Dalam kehidupan religi Hindu di Bali, tidak bisa dilepaskan dari unsur-unsur kesenian. Setiap kegiatan upacara Yajña, tidak bisa lepas dengan berbagai macam seni. Oleh karena keterlibatan beraneka ragman seni, maka penampilan upacara Yajña menjadi meriah dan khidmat. Para penari dalam konsep ngayah mempersembahkan kesenian sebagai wujud bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Persembahan tersebut merupakan salah satu bentuk Yajña. Para seniman lewat seniman lewat seni ingin mewujudkan rasa bhaktinya dan pengabdiannya sebagai wujud kerinduan ingin bertemu dengan sumber seni yaitu Hyang Siwa (Suamba, 2003:3).

Perpaduan antara budaya dengan agama Hindu di Bali sangat jelas, baik terwujud dalam bentuk tempat pemujaan maupun dalam bentuk keseniannya. Hal itu juga bisa dapat dilihat pada setiap ada upacara Yajña apalagi upacara besar dan dianggap penting diisi dengan pertunjukan kesenian, baik

Page 15: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu6

seni yang memiliki katagori seni wali dan bebali maupun seni yang bersifat balih-balihan yang mementingkan hiburan. Jenis kesenian tersebut jika dilihat dari berbagai sisi tampak mendapat pengaruh dari budaya luar. Hal itu antara lain bisa dilihat dari busana tarinya. Adanya cat emas, manik-manik, dan bahan hiasan lainnya merupakan budaya luar yang diserap ke dalam budaya Bali. Kenyataan itu, senada dengan Geriya (2008:110), yang mengatakan bahwa kebudayaan Bali sejak masa lampau sampai sekarang, merupakan kebudayaan yang terbuka, artinya suatu kebudayaan yang bisa menerima pengaruh kebudayaan luar. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Bali telah berkomunikasi dengan berbagai etnis Nusantara seperti dengan suku Sasak (Lombok), Makasar, Bugis, Jawa, Melayu, Madura, Cina, Arab, India dan lain-lain. Hubungan antaretnis itu menyebabkan pula terjadinya sentuhan kebudayaan dari masing-masing budaya etnis itu sehingga di dalam kebudayaan Bali tampak berbagai pengaruh, baik melalui bahasa, bentuk arsitektur, ragam bentuk makanan, bentuk pakaian, hiasan-hiasan atau ornament dan sebagainnya.

Lebih jauh Geriya (2008:134) mengemukakan, kesenian dalam masyarakat Bali sangat terkait dengan upacara keagamaan dalam hal ini agama Hindu. Dikatakan demikian karena dalam kepercayaan masyarakat Bali, setiap kesenian dan seniman yang menghasilkan karya seni, diharapkan mempunyai taksu. Taksu merupakan roh atau kekuatan magis dari kesenian yang bersangkutan sehingga penampilannya menjadi hidup. Dalam Kontek kepercayaan masyarakat Hindu Bali, taksu dapat dikatakan sebagai penyatuan unsur sekala dan niskala atau penyatuan antara unsur mikrosmos dan makrokosmos. Konsep taksu sangat penting dalam kehidupan keagamaan masyarakat Hindu di Bali, hal ini terbukti dari adanya pelinggih taksu pada setiap merajan atau sanggah milik keluarga.

Page 16: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 7

Adanya pelinggih taksu tersebut menunjukan sebuah bukti bahwa sauatu karya seni termasuk Tari Baris Kupu-kupu, dalam kehidupan berkesenian adalah persembahan kepada Sang Maha Pencipta yaitu Ida Sang Hyang Sang Hyang Widhi Wasa. Oleh karena itu, keterkaitan seni termasuk Tari Baris Kupu-Kupu dengan agama Hindu dalam masyarakat Bali menyatu padu dan sulit dipisahkan. Hampir setiap karya seni senantiasa terkait dengan upacara dalam upaya memperoleh taksu. Kemudian sebagai ucapan terimakasih, para seniman melakukan persembahan seni kepada Sang Maha Pencipta dalam hal ini yang memberi anugrah taksu. Hal itu membuktikan, hubungan antara kebudayaan Bali dengan agama Hindu memiliki kaitan yang erat karena keduannya sering luluh dan sulit dipisahkan.

Secara tradisional, Bali telah memiliki proses penciptaan seni yang terkait sengan satyam atau kebenaran, siwam atau kesucian, dan sundaram atau estetika. Bandem (2006) mengemukakan, bredasarkan ideologi siwam, satyam dan sundaram tadi lahirlah kesenian Bali dalam tiga katagori, yaitu seni wali, bebali, dan balih-balihan. Penelitian yang dilakukan Bandem pada tahun 1992, menunjukkan bahwa 70% kesenian Bali bersifat wali dan bebali dan hanya 30% bersifat balih-balihan atau sekuler. Kesimpulan itu membuktikan bahwa motivasi terkuat bagi seniman untuk menciptakan kesenian Bali termasuk Tari Baris Kupu-Kupu adalah agama Hindu.

Pernyataan Bandem rupanya bisa dipahami karena dalam kenyataanya, sebagaian besar upacara agama Hindu di Bali, dipandang kurang sempurna jika tanpa kehadiran seni terutama seni tari. Kesenian Bali memang sudah dipandang sebagai salah satu unsur kebudayaan Bali yang menduduki peringkat paling menonjol, karena kesenian merupakan unsur yang paling penting dan sentral. Hal itu disebabkan, dalam sistem kesenian terkait keseluruhan terkait keseluruhan unsur seperti: sistem religi, sistem pengetahuan, bahasa, sistem

Page 17: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu8

kemasyarakatan, sistem mata pencaharian dan teknologi (Oka dalam Wicaksana, 2007:1).

Seni tidak hanya digunakan sebagai hiburan, melainkan juga sebagai sarana dan pelengkap peristiwa ritual, pengikat solidaritas suatu komunitas dan penunjang faktor ekonomi sebagian kecil masyarakatnya. Pada dasarnya di Bali kesenian merupakan persembahan, ibadah dan sekaligus ekspresi estetik. Pertautan yang erat serta hubungan yang timbal-balik antara jenis-jenis kesenian dengan upacara dan aktivitas agama, membuat kesenian Bali sebagai seni keagamaan dan bukanlah kesenian untuk seni semata-semata. Kesenian begitu integral dengan totalitas kehidupan masyarakat Hindu di Bali, sehingga alunan gamelan ibarat denyut nadi pulau ini dan gerak tarinya ibarat ritme kehidupan yang kaya nuansa dengan cita rasa keindahannya.

Berawal dari adanya sistem religi kemudian kelompok keagamaan dan kelompok masyarakat Hindu yang ada di Bali, melalui para senimannya yang terhimpun dalam kelompok sekaa, seperti sekaa-sekaa kesenian dalam himpunan krama banjar, dadia, desa Pakraman berusaha untuk berkreativitas melalui proses penciptaan berbagai bentuk karya seni. Desa Bungkulan terkenal dengan seni dan budayanya yang masih kental sampai sekarang salah satunya kesenian sakral yang selalu dipentaskan saat upacara keagamaan. Desa Bungkulan berada di Kabupaten Buleleng yang memiliki historis yang panjang seperti kebudayaan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yang selalu dipentaskan saat pujawali di Pura Dalem Dasar.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu dapat dilogikakan secara nyata hingga saat ini dengan masa kekinian atau modern masih tetap dipertahankan sebagai suatu tradisi secara turun temurun, tentu di dalam tradisi tersebut terdapat bentuk dan nilai-nilai yang terkandung. Dengan demikian, tari ini seolah menjadi tradisi yang terkenal dan dipandang oleh kalangan

Page 18: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 9

masyarakat setempat. Cara pandang masyarakat tersebut tentu berbeda-beda, ada yang memandang tradisi tersebut secara utuh baik filosofi, etis, dan estetis. Aspek filosofi memandang tradisi tersebut dari sudut bagaimana terjadinya, pelaksanaan serta sarana, dan prasarana dalam melaksanakan tradisi tersebut. Masyarakat yang memandang dari segi etis dan estetis tentu aspek etika dan keindahan dari tradisi tersebut yang menjadi pusat perhatian.

Pengamatan pada awal penelitian, ditemukan bahwa pementasan Tari Baris Kupu-Kupu harus selalu dipentaskan saat upacara pujawali di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan dan sudah menjadi tradisi dan kewajiban bagi masyarakat Desa Bungkulan. Masyarakat mengakui bahwa selama ini tidak berani untuk tidak mementaskan Tari Baris Kupu-Kupu ini saat pujawali di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan karena akan terjadi bencana dan tentunya pelaksanaan pujawali tidak dapat dikatakan benar atau baik. Dengan demikian sejak dahulu sampai seterusnya pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini akan selalu dipentaskan saat pujawali di pura Dalem Dasar desa Bungkulan.

Tari Baris Kupu-Kupu merupakan tari yang unik dan sakral yang hanya terdapat di Desa Bungkulan sesuai dengan aslinya menggunakan sarana yang tradisional. Sebab, sekarang ini sudah terdapat tarian yang sejenis yaitu tari kreasi kupu-kupu tetapi sudah dimodifikasi sedemikian rupa. Namun, Tari Baris Kupu-Kupu yang ada di Desa Bungkulan masih seperti aslinya yaitu sarananya masih menggunakan pakaian sederhana dan dari daun kelapa yang sudah kering dibentukkan menyerupai sayap kupu-kupu. Bentuk tariannya masih didominasi dengan bentuk tarian yang masih kuno dan terkesan gerakannya meniru gerakan kupu-kupu. Tentunya hal ini sangat menarik perhatian pelaku seni dan ilmuan untuk meneliti dan mengamati lebih dalam, demikian juga dengan penelitian ini akan berusaha mengamati dan meneliti lebih dalam untuk mengungkapkan

Page 19: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu10

secara rinci bagaimana struktur pementasan, sarana pementasan, sejarah, nilai-nilai dan tingkat religiusitas masyarakat di Desa Bungkulan.

Sehubungan dengan hal di atas, Desa Bungkulan sebagai lokasi penelitian ini dilakukan yaitu di Banjar Sema, dalam pelaksanaan upacara agama selalu mementaskan Tari Baris Kupu-Kupu pada saat upacara pujawali akan berlangsung. Sampai sekarang pelaksanaan tari tersebut tetap menjadi bagian dari kegiatan keagamaan umat Hindu di Bungkulan khususnya di Pura Dalem Dasar, tetapi jika dicermati labih dalam pelaksanaan Tari Baris Kupu-Kupu di Desa Pakraman Bungkulan berbeda dengan daerah lain salah satu yang dapat dicermati dari perbedaan tersebut yakni dalam pementasan tari ini di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan selalu menggunakan pelepah daun kelapa sebagai sarana untuk pelaksaan tarian, ini bertujuan untuk penggunaan sarana seolah-olah kupu-kupu dalam tarian memiliki alamnya sendiri sehingga berkaitan dengan kehidupan kupu-kupu yang sebenarnya, hal ini yang mencerminkan pementasannya unik. Mencermati hal tersebut, maka perlu diteliti lebih jauh mengenai Religiusitas Pementasan Tari Baris Kupu-kupu pada Upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.

Page 20: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 11

BAB IIKAJIAN PUSATAKA, KONSEP, TEORI

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian PustakaMelakukan penelitian ilmiah diperlukan langkah-langkah

peninjauan terhadap kepustakaan dalam bentuk skripsi maupun beberapa buku untuk mendapatkan sumber-sumber yang jelas dan yang terkait dengan permasalahan yang diangkat. Sumber data kepustakaan yang dipakai oleh peneliti akan dapat bermanfaat sebagai pendukung atau pustaka pembanding, sehingga menunjukkan perbedaan arah penelitian untuk menghindari kesamaan kajian dalam penelitian. Suprayoga dan Tabroni (2001:13) menyatakan bahwa kajian kepustakaan meliputi pengidentifikasian secara sistematis penemuan dan analisis-analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi-informasi yang berkaitan dengan masalah penelitian.

Kajian pustaka dalam penelitian ini, digunakan sebagai bahan perbandingan, mencari sumber pendukung atau panduan yang terkait dengan penelitian ini. Adapun kajian pustaka yang digunakan sebagai kajian pustaka adalah hasil penelitian maupun buku yang berkaitan dengan penelitian yang dilakukan.

Suparsa (2008) dalam karya tulisnya yang berjudul “Pementasan Tari Barong Brutuk pada Saat Purnama Kapat Lanang di Pura Puseh Baleagung Desa Pakraman Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli”. Tari Barong Brutuk merupakan tari sakral atau wali yang dipersembahkan dalam upacara Purnama Kapat Lanang, yaitu saat bulan Purnama sasih kapat. Berfungsi untuk memohon kesuburan alam Desa Pakraman Trunyan beserta isinya. Kustum Tari Barong Brutuk terbuat dari Keraras yaitu daun pisang kering. Untuk bedak dipergunakan dari tanah liat putih, kunir, tepung beras dan minyak

Page 21: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu12

wangi. Adapun topeng yang diperankan Tapel Paturun yang disebut Due Brutuk atau Due Tapel. Cambuk yang dipergunakan sebagai senjata terbuat dari bahan serat-serat kulit pohon waru dan sebagai batang cambuk terbuat dari lidi dari pohon enau. Penelitian ini dipakai untuk mengkaji konsep Barong.

Perbedaan penelitian ini dengan Suparsa terletak pada jenis penarinya, penelitian Suparsa menekankan pada sakralisasi atau penyucian sebagai suatu ritual yang suci. Pelaksanan ini sebagai bentuk tradisi yang harus dilaksanakan karena berhubungan dengan semua upacara Yajña yang ada di desa Trunyan. Adapun perbedaan penelitian di atas dengan penelitian yang dilakukan ini adalah mengenai konsepsi tari sakral yang ada di Bali yang berhubungan dengan religiusitas umat Hindu di Bali.

Berdasarkan penjelasan tersebut tentunya penelitian Suparsa memiliki kontribusi sebagai bahan acuan dalam membahas konsep tari yang berhubungan dengan religiusitas atau ketaatan serta kepercayaan masyarakat mengenai pelaksanan tradisi ini atau sarana upacara ini. Upacara atau proses yang berhubungan dengan keberadaan dari suatu tari yang disakralkan.

Atmaja (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Nilai Pendidikan Agama Hindu dalam Pementasan Tari Ngigel Desa pada Upacara Ngusaba Desa Sarin Tahun Di Desa Padangbulia Kecamatan Sukasada Buleleng”. Hasil penelitiannya menggambarkan yaitu: Tari Ngigel desa dipentaskan di Madya Mandala pura desa dengan menggunakan busana pekir serta didukung dengan upakara atau upacara. Pementasan tari Ngigel Desa dilaksanakan pada saat pelaksanaan upacara ngusaba desa sarin tahun yaitu purnama sasih kapat atau sekitar bulan Oktober. Fungsi pementasan tari Ngigel Desa meliputi fungsi teologis, penyucian, ucapan terimakasih, dan pelestarian seni budaya. Nilai pendidikan yang terkandung dalam pementasan

Page 22: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 13

tari Ngigel Desa meliputi nilai teologis, nilai psikologis, nilai sosiologis, nilai estetis, filosofis, religius, dan kesuburan.

Adapun kontribusi hasil penelitian Atmaja terhadap penelitian yang dilakukan adalah sebagai bahan banding dan pedoman dalam mengkaji pementasan Tari Baris Kupu-Kupu, sehingga nantinya didapatkan data konkrit dan dapat dipahamin. Hal ini dikarenakan dari segi substansi isi dan pementasannya memiliki kedekatan dan persamaan persepsi, yaitu sama-sama dipentaskan di areal pura dan berfungsi sebagai pelengkap dalam pelaksanaan upacara agama Hindu.

Wiratama (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “Pementasan Tari Baris Cina dalam Pemujaan Ratu Tuan di Desa Pakraman Renon Denpasar (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”. Berdasarkan hasil analisis diperoleh hasil bahwa Tari Baris Cina memiliki semangat kepahlawanan yang sampai sekarang dipelihara dengan baik oleh masyarakat Renon. Pertunjukan Tari Baris Cina ini diiringi oleh gambelan Gong Beri. Pementasan Tari Baris Cina berkaitan dengan upacara dan selalu dipertunjukkan pada waktu piodalan atau upacara di Pura Dalem, Puseh dan Desa, Pura Belanjong dan banyak lagi di pura lainnya.

Kontribusi penelitian Wiratama terhadap penelitian yang dilakukan adalah sebagai bahan banding dan sebagai kajian tambahan dalam memahami fungsi pementasan tari baris kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema. Hal ini dikarenakan bahwa keduanya memiliki fungsi pelengkap pada awal upacara Pujawai akan berlangsung. Dengan demikian akan mampu memberikan pemahaman tentang status tradisi maupun upacara Yajña.

Yuliani (2011) dalam penelitiannya yang berjudul “Upacara Ngunya Barong Pada Sasih Kanem di Desa Pakraman Abiansemal Dauh Yeh Cani, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung (Kajian Sosio-Religius)”. Penelitian ini menjelaskan

Page 23: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu14

bahwa Fungsi upacara Ngunya Barong terdiri dari (a) fungsi sosial, (b) fungsi Religius yaitu memperkokoh ketahanan mental, (c) fungsi Pelestarian Seni Budaya yaitu selalu melibatkan anak-anak generasi muda dalam upacara, (d) fungsi ekonomi yaitu agar penghasilan dari hasil bumi stabil, (e) Fungsi Estetika yaitu dari banten, Dharma Gita, Gambelan, Suara Genta, mantra atau puja, dan suara kulkul. (f) Fungsi Pendidikan terdiri dari pendidikan Sradha, Pendidikan bhakti, Pendidikan Ritual, Pendidikan sosial masyarakat, Pendidikan tentang keharmonisan, Pendidikan kearah persaudaraan. Adapun makna Sosio-religius yaitu (a) makna religius, (b) makna pendidikan dan pewarisan nilai-nilai keagamaan, (c) makna Kekerabatan, (d) makna Solidaritas sosial, (e) makna pelestarian seni dan budaya, (f) makna kesucian, (g) makna kesakralan, dan (h) makna penolak bala.

Kontribusi terhadap penelitian yang dilakukan adalah sebagai bahan bandingan dalam mengkaji dan memaknai keyakinan yang dilakukan oleh masyarakat Banjar Sema dalam pelaksanaan Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu. Hal ini dikarenakan bahwa pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini memiliki nilai sakral seperti apa yang diucapkan oleh Bandem dalam bukunya.

Suardika (2011) dalam penelitianya yang berjudul “Pementasan Tari Kakelik Pada Upacara Piodalan Di Pura Gede Pemayun Desa Pakraman Banyuning Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”. Dalam penelitianya menjelaskan bahwa Bentuk pementasan Tari Kakelik yang dilaksanakan pada piodalan agung Pura Gede Pemayun Banyuning dilakukan berawal dari jaba pura atau nista mandala pura kemudian menuju Jaba Tengah atau Madya Mandala dan seterusnya ke Utama Mandala atau Jeroan pura yang dalam setiap langkah penari menaburkan beras kuning berisi uang kepeng. Selain menaburkan beras tersebut penari

Page 24: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 15

membawa keris pula untuk menunjuk pasutri di Jaba Tengah dan Utama Mandala pura yang nantinya menjadi trance atau tidak sadarkan diri. Fungsi Tari Kakelik yaitu (a) Fungsi Penyucian, (b) Fungsi Ungkapan Rasa Terima kasih dan ungkapan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, (c) Fungsi Pelestarian Seni Budaya, (d) Fungsi estetik religious, (e) Fungsi Pendidikan, (f) Fungsi Sosiologis. Makna Tari Kakelik yaitu: (a) Makna Filsafat Tari Kakelik, (b) Makna Pembelajaran Sikap bhakti, (c) Makna Pendidikan Sosial Budaya, (d) Makna Sosial, (e) Makna Estetika tercermin dalam upacara tersebut adalah gerak tari, sarana tari dan peran dalam Tari Kakelik yang hanya ditarikan di pura Gede Pemayun Kelurahan banyuning juga digunakan sebagai faktor tercapainya kesucian dalam suatu Yajña. (f) Makna Kesakralan Tari terlihat dari bentuk Tarian yang masih bersifat alami dan penokohan serta maksudnya yang berbeda dengan tari lainnya yang tidak berani tidak dipentaskan pada upacara Piodalan agung di Pura Gede Pemayun.

Kontribusi beberapa kajian pustaka tersebut di atas digunakan sebagai bahan bandingan, acuan serta sebagai pedoman dalam mengkaji Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu pada Upacara pujawali di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Pakraman Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.

Adiputra, (2015) dalam penelitiannya yang berjudul “Pementasan Tari Baris Mamedi dalam Upacara Ngaben di Kecamatan Penebel Kabupaten Tabanan”. Hasil penelitiannya menjelaskan bahwa tari Baris Mamedi sebagai wujud tari upacara yang sakral, pengawal Sanghyang Panca Durga di Setra Gandamayu, hal ini bertujuan untuk nyomya atau nyupat untuk mengubah sifat buruk menjadi sifat baik. Selain itu tujuannya adalah untuk mengantarkan roh yang sudah meninggal yang mana tari ini sebagai identitas ngaben gede yang menunjukkan status sosial masyarakat tersebut. Tari baris ini juga disebut dengan Baris Ketujeng yang dalam pementasannya selalu

Page 25: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu16

berhubungan dengan alam gaib melalaui sakralisasi penari dan sarana yang dipergunakan dalam pementasan yang dilakukan di kuburan melalui upacara mamungkah. Tari ini sudah mengalami pemunahan di beberapa desa Pakraman yang ada di Tabanan akibat adanya perubahan sistem ngaben yang dilakukan oleh krama adat yakni dari ngaben niri menjadi ngaben masal dengan tingkatan ngaben Madya. Dengan demikian disimpulkan bahwa bentuk pementasan Tari Baris Mamedi melalui beberapa tahapan yang diawali dengan upacara mamungkah dilanjutkan dengan masolah di sepanjang jalan dari kuburan menuju tempat bade dengan jumlah penari antara lima sampai sembilan orang dan semua penari adalah laki-laki. Tari baris ini merupakan sebuah identitas budaya agama dalam upacara agama Hindu di tabanan khususnya di Kecamatan Penebel yang mengukuhkan sikap religius, saling menghargai dan memberi warna tersendiri terhadap upacara agama Hindu. Pementasan tari baris ini memiliki makna multilapis yaitu makna religius magis, simbolik, teologis, budaya, dan ekonomi.

Kontribusi penelitian Adiputra terhadap penelitian ini adalah sebagai bahan pembanding terutama dalam hal konsep, metodelogi dan kesamaan dalam kajian yaitu sama-sama mengkaji tentang tari Baris. Tari baris merupakan kesenian yang sakral di Bali dalam hal hubungan dengan upacara keagamaan, sehingga penelitian ini sangat bermanfaat untuk membantu memperoleh data yang sahih atau valid mengenai pementasan Tari Baris Mamedi seperti yang dipaparkan oleh penelitian Adiputra.

2.2 KonsepKonsep merupakan salah satu syarat yang harus ada

dalam kegiatan penelitian, atau penulisan karya ilmiah. Hal ini, disebabkan konsep mampu menggambarkan sejumlah variabel

Page 26: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 17

terhadap topik yang diteliti. “Konsep juga dipakai menjabarkan hasil-hasil penelitian sebelumnya dan dibandingkan dengan penelitian yang akan dilaksanakan, guna menjawab permasalahan yang akan diteliti” (Juliari, 2007:10). Konsep penting dalam penelitian ilmiah, karena kejelasan konsep dapat menyebabkan terjadinya interaksi positif antara peneliti dengan pembaca. Jelasnya pengutaraan konsep definisi atau istilah tersebut akan memperlancar komunikasi antara peneliti dan pembaca yang ingin mengetahui isi tulisan atau isi penelitian. Dalam penelitian ini ada sejumlah konsep yang diperlukan untuk menjelaskan variabel-variabel penelitian.

Berdasarkan pemaparan tersebut maka konsep dalam penelitian ini adalah pendapat, pengertian atau sumber yang berkaitan dengan penelitian yang sedang dilaksanakan sehingga relevan degan penelitian yang sedang dilaksanakan. Dengan demikian adapun konsep yang menjadi acuan dalam penelitian yang dilaksanakan ini adalah sebagai berikut.

2.2.1 ReligiusitasMenurut Y.B Mangun Wijaya bahwa pada mulanya segala

sastra adalah religius. Dikatakan bahwa agama lebih menunjuk kepada kelembagaan. Kebaktian kepada Tuhan, atau kepada dunia atas dalam aspeknya yang resmi, sedangkan religiusitas lebih melihat aspek yang di dalam lubuk hati. Riak getaran hati nurani pribadi, sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain (1998:11).

Secara sederhana dapat dijelaskan bahwa orang yang religius merupakan individu yang mempunyai religiusitas. Dalam bahasa Inggris kata agama diterjemahkan dengan religion, kata sifatnya adalah religious, dan religiusitas sepadan dengan kata religiousity. Religiusitas yang sama dengan religiousity merupakan kata yang dapat dipergunakan untuk menunjuk kadar ketaqwaan atau keimanan kepada ajaran agama.

Page 27: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu18

Selain itu pula dalam kehidupan sosial religi masyarakat berkembang pula sistem keyakinan. Koenjaraningrat (1982:43) menyatakan bahwa “Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tetang sifat Tuhan, wujud dari alam gaib terjadi alam semesta. Tanah akhirat wujud dari ciri-ciri kekuatan sakti, roh nenek moyang, roh alam Deva, roh jahat, hantu dan mahluk halus lainya. Sistem kepercayaan, keyakinan yang menyangkut sistem nilai dan sistem norma keagamaan, ajaran kesusilaan, tingkah laku manusia semua terkandung dalam kitab suci, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis”.

Dikaitkan dengan religius agama Hindu, maka dalam buku Upadesa dijelaskan bahwa “keyakinan atau kepercayaan itu itu disebut dengan istilah Panca Sradha. Panca artinya lima, dan Sradha artinya keyakinan atau kepercayaan yang terdiri dari: (1) Percaya terhadap Ida Sang Hyang Widhi; (2) Percaya adanya Atma; (3) Percaya adanya Hukum Karmapala; (4) Percaya adanya Punarbhawa; dan (5) Percaya adanya Moksa” (PHDI, 1986:14). Berdasarkan beberapa sumber maka sistem religi yang mengandung bayangan tentang wujud alam gaib, Deva-Deva, makhluk alus, kekuatan sakti, zaman akhirat, kekuatan roh nenek moyang dan lain-lain yang terwujud dari gagasan dan pikiran manusia itu sendiri. Oleh sebab itu timbul suatu keinginan untuk membina hubungan yang harmonis yang diaktualisasikan dalam bentuk ritual upacara dan pemujaan.

Koentjaraningrat (1997:53-54) menyatakan religi adalah suatu sistem kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional. Religi adalah segala sistem tingkah laku manusia untuk mencapai suatu maksud dengan cara menyadarkan diri pada kemauan dan kekuasaan mahluk-mahluk halus seperti: roh-roh, dewa-dewa, dan sebagainya yang menempati alam.

Ancok dan Suroso (2001) mendefinisikan religiusitas sebagai keberagamaan yang berarti meliputi berbagai macam

Page 28: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 19

sisi atau dimensi yang bukan hanya terjadi ketika seseorang melakukan perilaku ritual atau beribadah, tapi juga ketika melakukan aktivitas lain yang didorong oleh kekuatan supranatural. Sumber jiwa keagamaan itu adalah rasa ketergantungan yang mutlak atau sense of depend. Adanya ketakutan-ketakutan akan ancaman dari lingkungan alam sekitar serta keyakinan manusia itu tentang segala keterbatasan dan kelemahannya. Rasa ketergantungan yang mutlak ini membuat manusia mencari kekuatan sakti dari sekitarnya yang dapat dijadikan sebagai kekuatan pelindung dalam kehidupannya dengan suatu kekuasaan yang berada di luar dirinya yaitu Tuhan. http://jalurilmu.blogspot.com/2011/10/religiusitas.html#ixzz43J1Xz9N4 tanggal 6 September 2016.

2.2.2 Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

1. PementasanTim Prima Pena (t.t : 851), menyatakan pementasan asal

katanya pentas, yang artinya panggung tinggi untuk pertunjukan (bermain sandiwara dsb.); sedangkan pementasan adalah menampilkan pertunjukan di pentas. Selanjutnya menurut Tim Redaksi (1988:651), menyatakan pementasan adalah proses, cara, perbuatan mementaskan.

Surya (1992:42) menyatakan bahwa pementasan berasal dari kata pentas, muncul, gerakan yang ditonjolkan di suatu pagelaran dalam iringan tertentu, mempunyai tema atau alur cerita yang bersifat menghibur maupun mengiringi suatu upacara tertentu. Keberadaan berbagai jenis tari di Bali merupakan suatu seni yang dipentaskan dalam berbagai kegiatan. Selanjutnya, Tim Penyusun (2002:117) menyatakan pengertian pementasan sebagai pergelaran, sehubungan dengan pementasan tari dinyatakan sebagai pergelaran kesenian yang diwujudkan dalam gerak tubuh manusia.

Page 29: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu20

2. Tari Baris Kupu-KupuTari baris adalah salah satu tari dari berjenis-jenis tari

upacara penting di Bali dan digolongkan ke dalam tari sakral atau wali. Bandem (1996:49), menyatakan bahwa para seniman dan budayawan di Bali pada tahun 1971 menggolongkan kesenian tari menjadi tiga golongan, yakni seni atau tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan.

Tari wali adalah tarian sakral dan hanya dipentaskan saat upacara dewa yajña atau upacara persembahan untuk Ida Hyang Widhi Wasa di pura tertentu. Tari wali dikeramatkan oleh umat Hindu yang penggunaannya untuk mengiringi serta melengkapi jalannya upacara agama Hindu atau pujawali. Tari wali dikeramatkan karena dianggap mempunyai kekuatan gaib yang dipengaruhi oleh alam semesta sehingga tidak dapat dipertunjukkan sebagai hiburan belaka. Bila dipentaskan selalu diiringi dengan bebanten, mantra atau doa dan peralatan yang disucikan, serta penarinya para deha teruna yang masih muda belia atau perawan dan sudah disucikan atau di winten.

Bandem (tt: 18) menyatakan bahwa tari wali adalah sebuah tarian yang gerak-geriknya ritmis yang diwujudkan melalui ekspresi jiwa manusia dan bernilai budaya merupakan salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali. Tarian ini bukan saja sebagai hiburan, tetapi lebih dalam lagi sebagai sarana dalam upacara yajña.

Sementara itu, Putra (1980: 11) menyatakan bahwa:Dahulu kala orang-orang sudah mengenal yang

namanya tari, tetapi mereka belum mengenal secara jelas tentang tari itu. Mereka menari bebas seperti orang kesurupan, kadang-kadang tidak tentu arah dan namanya. Mereka bergerak-gerak atau menari karena rasa bhaktinya kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Ida Bhatara) terutama saa-saat mereka melakukan upacara pemujaan.

Page 30: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 21

Kemudian setelah perkembangan pemikiran manusia mereka berkeinginan untuk menjadikan gerak-gerik itu sebagai tarian yang juga dapat dipandang dengan baik dan indah. Di samping yang utama untuk pelengkap upacara keagamaan. Pada akhirnya semakin berkembang sehingga tari Bali dapat kita bagi dalam tiga bagian, yaitu: tari wali, tari bebali, dan tari balih-balihan, yang nantinya digunakan untuk sarana dan pelengkap dalam upacara keagamaan.

Sementara itu, Parmajaya dan Giri (2007: 45) menyatakan bahwa di Bali tarian sakral pada umumnya dikenal dengan istilah tari wali. Tari wali yang ada di Bali memiliki ragam dan jenis yang banyak sekali, sebab hampir di setiap desa pakraman atau desa adat di Bali memiliki tarian wali. Tarian wali pada umumnya adalah tarian yang dalam proses pementasannya tidak menggunakan lakon atau cerita, serta difungsikan khsusus sebagai pengiring atau pelengkap upacara keagamaan, baik dewa yajña, manusia yajña, rsi yajña, pitra yajña, dan bhuta yajña.

Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa tari wali adalah jenis tarian yang dikeramatkan oleh umat Hindu, yang digunakan untuk mengiringi serta melengkapi jalannya upacara agama Hindu atau piodalan, dan mempunyai kekuatan gaib yang dipengaruhi oleh alam semesta, sehingga tidak dapat dipertunjukkan sebagai hiburan belaka. Bila dipentaskan selalu diiringi dengan banten, mantra atau doa dan peralatan yang sudah disucikan atau di winten, yang gerak-geriknya ritmis diwujudkan melalui ekspresi jiwa manusia dan bernilai budaya yang merupakan salah satu bagian penting dari kehidupan masyarakat dalam pelaksanaan upacara agama Hindu.

Tari wali yang ada di Bali banyak sekali macamnya, sebab hampir setiap dewa yang ada di Bali memiliki tarian wali, seperti di Desa adat Camenggaon Desa Celuk. Tari wali yang dipentaskan adalah tari Sanghyang Dedari karena tarian

Page 31: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu22

ini sangat dikeramatkan oleh masyarakat di sana, tetapi, kalau dilihat berdasarkan sumber tertulis, masih banyak jenis tari wali lainnya.

Menurut Tusan (1971: 3-4) tari wali itu banyak jenisnya, antara lain (1) Tari Sanghyang, (2) Tari Baris, (3) Tari Topeng Sidakarya, (4) Tari pendet, dan banyak lagi macam tari wali yang ada di masing-masing daerah atau desa-desa, tetapi pada dasarnya sama tujuannya hanya berbeda nama dan aspirasi gerak tari dan tabuhnya. Sementara itu, Putra (tt: 7-14) menyatakan bahwa tari wali selain dalam bentuk tari rejang, juga ada jenis tari lain, yaitu (1) tari Sanghyang, (2) tari Baris, (3) tari topeng Sidhakarya, (4) tari Barong, dan tari Pendet.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa macam-macam tari wali memang banyak jenisnya seperti tari Sanghyang, tari Baris, tari topeng Sidakarya, tari Pendet, tari Rejang, tari Barong, dan Sanghyang Dedari.

Menurut Parmajaya dan Giri (2007: 49) penampilan seni tari wali atau sakral yang paling diutamakan adalah kekuatan magis atau kekuatan supra natural dan unsur religius dari bentuk tarian yang dipentaskan. Berdasarkan ungkapan di atas, maka secara umum seni tari sakral memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut.

a. Ungkapan tarian meniru gerak ritmis yaitu gerakan alam, seperti gerak tumbuhan, binatang, gerak air, gerak angin, gerak api, peredaran matahari, dan sebagainya. Memperhatikan hal di atas, maka hal ini membuktikan bahwa tarian sakral diciptakan tanpa penataan koreografer yang ketat, sehingga gerakan tarinya dikatakan sangat sederhana.

b. Gerakan ritmis dilakukan dengan spontanitas melalui curahan jiwa penarinya.

Page 32: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 23

c. Dalam setiap penampilannya, tarian sakral selalu dirasakan suasana mistis, magis, dan religius.

d. Ekspresi tari erat kaitannya dengan peristiwa yang menjadi tujuan pementasannya, yaitu sebagai ungkapan rasa cinta atau bhakti, hormat, sayang terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa.

e. Tarian sakral biasanya ditarikan oleh banyak orang.f. Instrumen musik dan vokal dalam ungkapan yang sangat

sederhana, tetapi sangat menggugah perasaan orang yang menonton atau menikmati pementasan kesenian sakral tersebut.

g. Sering terjadi pengulagan gerak dan musik, dengan tujuan untuk mempercepat terciptanya suasana mistis, magis, dan reigius.

Sementara itu, Putra (tt: 7) menyatakan bahwa ciri-ciri tarian sakral adalah sebagai berikut.

1) Tidak pernah diupah atau disewa serta hanya dipertunjukkan dalam kaitannya dengan pelaksanaan upacara agama.

2) Berfungsi sebagai pelaksana atau pemuput karya penutup upacara agama)

3) Membawa atau menggunakan alat-alat upacara yang khas atau khusus seperti perlengkapan canangsari, pasepan, tetabuhan dan sebagainya

4) Tarian wali atau sakral ada juga yang dipasupati seperti tarian Sanghyang tetapi kebanyakan oleh karena tidak bertujuan untuk memiliki kekuatan gaib dalam menarik perhatian penonton, maka ia hanya berfungsi sebagai pelengkap upacara keagamaan.

Jika diperhatikan klasifikasi tari di atas, maka di kalangan masyarakat Hindu di Bali kesenian wali merupakan salah satu aspek vital dari kehidupan spiritual masyarakat. Oleh karena

Page 33: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu24

demikian maka kesenian wali ini sangat disucikan karena dianggap memiliki kekuatan magis serta mengandung nilai-nilai religius Hindu.

Menurut Bandem (dalam Yudhabakti, 2005:32) kesenian wali yang masih hidup dewasa ini memiliki beberapa ciri sebagai berikut.

(1) Kesenian wali pada umumnya melibatkan benda-benda keramat yang disucikan atau secred objek. Benda-benda ini bisa berupa sesajen, perwujudan dewa-dewi, topeng-topeng dan perlengkapan upacara lainnya seperti tombak, keris dan sebaganya, yang secara umum oleh masyarakat pendukung diperlakukan secara khsusus, terutama pada saat meyimpannya di tempat yang disucikan untuk menjaga kesakralannya.

(2) kesenian sakral memerlukan upacara-upacara ritual yang dilaksanakan dengan persembahan sesajen. Sesajen ini berfungsi untuk persembahan, untuk mengantarkan bhakti umat kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, atau bisa juga sebagai sarana atau alat untuk mengundang roh atau kekuatan gaib untuk turun ke dunia menyaksikan upacara yang dilaksanakan oleh umat manusia.

(3) Para pelaku kesenian sakral pada umumnya terdiri atas orang-orang pilihan atau selected performance. Dalam pementesan tarian Sanghyang misalnya, para penari dibatasi pada anak-anak gadis yang belum mengalami menstruasi atau bisa juga orang-orang yang ”kepingit” atau dipilih berdasarkan sabda Tuhan atau ada juga tarian hanya bisa dimainkan oleh para pemangku atau orang yang sudah disucikan.

(4) Kesenian wali hanya boleh dipentaskan di tempat-tempat suci atau secred space seperti di halaman pura, perempatan jalan dan tempat yang dianggap suci lainnya. Tari rejang

Page 34: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 25

atau barus upacara misalnya hanya boleh ditarikan di halaman pura, sehingga boleh dikatakan bahwa kesenian wali ini dalam pementasannya sangat diikat oleh waktu dan tempat. Contoh lain adalah seperti tarian Sanghyang hanya boleh dipentaskan pada saat kliwon, kajeng kliwon atau hari-harri khusus lainnya.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri kesenian sakral selain diperuntukkan untuk mengiringi upacara keagamaan, dalam pementasannya selalu menggunakan sarana alat berupa saji, serta dianggap memiliki kekuatan magis atau supra natural power yaitu kekuatan yang ada di luar batas kekuatan manusia.

Tari atau Seni bebali adalah tarian seni sakral dan dipentaskan dalam kaitan dengan upacara adat tertentu. Tari ini sifatnya seni sakral, dapat berfungsi dalam upacara tertentu dan sekaligus bisa sebagai tari hiburan seperti misalnya Tari Topeng, Wayang, dan lain-lain.

Tari atau seni balih-balihan adalah seni hiburan, dapat dipesan tanpa ada kaitannya dengan upacara. Tari-tarian ditempatkan pada aksis tertentu dari tri mandala, yaitu (1) pembagian ruang atas utama atau ruang yang nilai kualitatifnya besar, (2) madya atau ruang yang nilai kualitasnya menengah dan (3) nista atau ruang yang nilai kualitasnya terkecil, tergantung pada apakah tarian itu sakral atau sekuler. Tari Sakral dipentaskan di jeroan atau bagian paling dalam, bagian utama, atau jaba tengah atau bagian tengah, madya dan tarian sekuler dipentaskan di jaba tandeg atau bagian paling luar, bagian nista. Lebih lanjut Dibia (1978: 26), mengatakan bahwa yang termasuk ke dalam tari wali atau sakral adalah tari Rejang, tari Sanghyang, tari Pendet, dan tari Baris Upacara. Tari-tarian ini hanya boleh disajikan pada fungsinya sebagai pelaksanaan upacara dan upakara agama.

Page 35: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu26

Tari Baris ditarikan oleh sejumlah penari laki-laki antara 4 (empat) sampai 64 (enam puluh empat) orang penari. Kini di Bali terdapat bermacam-macam tari baris yang satu sama lainnya mempunyai keunikan masing-masing, nama-namanya sesuai dengan senjata, kostum serta perlengkapan lainnya yang dibawa seperti ; Baris Ketekok Jago, Baris Dadap, Baris Presi, Baris Gede, Baris Pendet, Baris Bajra, Baris Tamiang, Baris Kupu-Kupu, Baris Bedil, Baris Cina, Baris Omang, Baris Jojor, Baris Jangkang, dan Baris Demang.(Dibia, 1978: 35-36).

Dinas kebudayaan (2000:30) menyatakan bahwa tari baris adalah salah satu tari-tarian klasik atau tradisional Bali yang sudah tua umurnya yang hingga kini masih tetap mempunyai fungsi yang amat penting terutama di dalam upacara keagamaan masyarakat Hindu Bali. Para ahli tari Bali memperkirakan bahwa tari baris berasal dari seni bebarisan pada zaman Majapahit di Jawa Timur. Semula baris merupakan tarian pengawal istana dan kemudian menjadi suatu sajian suci pada berbagai kegiatan agama.

Parmajaya (2007:9) menyatakan bahwa tarian merupakan ungkapan jiwa manusia sebagai media gerak ritmis yang dapat menimbulkan daya pesona bagi orang yang menikmatinya. Dari ungkapan kejiwaan manusia melalui cetusan akan rasa emosional disertai dengan kehendak yang selanjutnya disalurkan melalui gerak ritmis, maka akan menghasilkan sebuah karya cipta yang berbentuk suatu karya seni.

Mencermati penjelasan beberapa pendapat di atas, maka dapat disimpulkan mengenai pengertian tari yaitu suatu proses kreasi manusia yang diwujudkan melalui gerak tubuh dengan tujuan untuk dipertunjukan. Dinas Kebudayaan dalam Buku Tari Wali (2000:33) menyatakan bahwa pementasan tari baris kupu-kupu adalah suatu tarian yang gerakannya menirukan gerak-gerik kupu-kupu dan penarinya menggunakan sayap kupu-kupu (yang dulunya kipas). Dalam pertunjukannya, Baris Kupu-

Page 36: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 27

kupu diiringi dengan Gambelan Gong. Baris yang biasanya dipentaskan dalam kaitannya dengan upacara dewa yajña. Dengan demikian Tari Baris ini merupakan tari yang mengikuti sikap kupu-kupu baik dari peralatan maupun geraknya.

Mencermati tentang pengertian masing-masing di atas, maka dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan pementasan tari Baris Kupu-Kupu adalah suatu pergelaran kesenian berupa perwujudan gerak ritmis manusia, yang modelnya didisainer seperti kupu-kupu yang sedang menghempaskan sayapnya.

2.2.3 Upacara Pujawali Upacara merupakan bagian dari yajña dan wujud

dari bhakti atau penyerahan diri secara tulus ikhlas. Dalam melaksanakannya tanpa mengharapkan imbalan atau balas jasa yang direalisasikan melalui yajña atau korban suci yang disebut dengan upacara yajña. Mengenai upacara banyak pendapat dan definisi yang menjelaskan tentang keberadaan upacara.

Upacara merupakan kegiatan manusia untuk menghubungkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa (Tim, 1992: 27). Adapun menurut Sura (1998/1999: 38) “Upacara adalah rangkaian acara yang diurut secara sistematis formalistik”. Upacara berasal dari dua suku kata “upa” artinya dekat atau mendekati dan “cara” berakar kata “car” yang memiliki arti harmonis, seimbang, dan selaras, jadi upacara memiliki arti : “Dengan keseimbangan, keharmonisan, dan keselarasan dalam diri, maka kita dapat mendekatkan diri dengan Tuhan Yang Maha Esa

Wijayananda (2004:49) menyatakan bahwa pelaksanaan upacara dapat melalui berbagai macam cara dan aturan-aturan atau etika yang dituangkan dalam wujud upakara untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Selain itu pelaksanaan upacara hendaknya dilandasi dengan bhakti atau penyerahan

Page 37: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu28

diri dengan segenap ketulus ikhlasan dari lubuk hati yang dalam. Jadi upakara merupakan sarana penunjang yang penting dalam pelaksanaan upacara yajña.

Dari pengertian upacara yang dijelaskan di atas, maka dapat didefinisikan tentang pengertian upacara pujawali. Ngurah, dkk (1999:176) menyatakan upacara pujawali merupakan salah satu bentuk pelaksanaan Dewa Yajña yaitu suatu korban suci yang dilaksanakan oleh umat Hindu ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para Dewa. Bagi umat Hindu khususnya, korban suci itu berbentuk banten, banten yang menjadi salah satu bentuk persembahan ini sesungguhnya suatu wujud nyata ungkapan rasa terima kasih yang tulus iklas kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, terutama meyakinkan getaran-getaran nurani bahwa hidup dan kehidupan sebagai manusia sangat tergantung kepada-Nya.

Ungkapan rasa terima kasih kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, kemudian melandasi umat Hindu dalam melaksanakan yajña atau korban suci dijelaskan dalam Bhagavadgita II. 12-13 sebagai berikut .

istam bhogam hi vo dava dasyate yajñabhawitah,Tuir dattan aprodayani’bhyo yo bhumkte stana eva sahTerjemahannya:Dipelihara oleh yajña para Dewa akan memberikan kamu kesenangan yang kau inginkan, ia yang menikmati pemberian-pemberian ini, tanpa memberikan balasan kepadan-Nya adalah pencuri (Pudja, 2005:75).

yajñasistasinah santo mueyanto sarvakilbisaih bhunyateTeti agham papa ya pacanty atmakaranatTerjemahannya:Orang-orang yang baik yang makan apa yang tersisa dari yajña, mereka itu terlepas dari segala dosa, akan

Page 38: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 29

tetapi mereka yang jahat yang menyediakan makan bagi kepentingan diri sendiri adalah makan dosanya sendiri (Pudja, 2005:76).

Berdasarkan sloka di atas sudah sangat wajarlah setiap umat Hindu yang mengakui Kemahakuasaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, akan berbuat segala sesuatunya sesuai dengan kemampuan serta keadaan untuk melaksanakan yajña kepada-Nya. Namun, yang paling penting dalam melaksanakan yajña itu adalah adanya rasa yang tulus iklas yang terlahir dari lubuk hati yang paling dalam atau suci bersih, bukan berdasarkan besar kecilnya yajña yang dilaksanakan. Bhagavadgita, III.2 yang menyatakan betapa sederhananya yajña itu boleh dilaksanakan.

Patram puspam phalam toyam yo me bhaktya,Prayocehati tad sham bhaktyapahrtam asnami prayatatmanah

Terjemahannya:Siapapun dengan ketulusannya mempersembahkan kepadaku daun, bunga, api, Buah-buahan dan air, persembahan yang didasari dengan cinta yang keluar dari hati yang suci, Aku terima (Pudja, 2005:123)

Memerhatikan sloka-sloka di atas maka dalam melaksanakan upacara piodalan atau pujawali harus dengan didasari rasa tulus ikhlas. Dalam agama hindu, setiap upacara keagamaan atau perayaan memiliki dasar filsafat, tujuan dari upacara keagamaan Hindu adalah untuk membantu perkembangan kualitas moral. Sebuah materi yang simbolik pada dewa saat pemujaan, dengan ketulusan hati dan pengabdian, adalah upacara agama umat Hindu yang akan mengarahkan umat Hindu untuk melayani diri sendiri dan merupakan sebuah kebaikan. Sama halnya dengan upacara lain seperti pemberian

Page 39: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu30

amal untuk memupuk kedermawanan dan berpuasa akan membimbing kita untuk mengendalikan diri.

Dari uraian diatas, maka sehingga dapat di simpulkan bahwa upacara pujawali adalah cara untuk mengucapkan rasa terima kasih umat Hindu kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bahwa pemujaan pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa merupakan alat yang efektif untuk mengejar keagamaan dan spiritual dalam agama Hindu. Hal ini melambangkan kebijaksanaan dan pengalaman para Rsi Hindu selama berabad-abad. Bagaimana pun juga, dalam menggunakannya sebagai alat kita tidak dapat melihat tujuannya yang jelas para Rsi yang terdahulu. Berangkat dari penjelasan tersebut di atas yang dimaksud dengan pujawali di Pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan yang mementaskan Tari Baris Kupu-Kupu yang mana tari ini hanya dipentaskan di pura Dalem Dasar ini yaitu saat pujawali atau Piodalan saja. Sedangkan di pura-pura lainnya tidak dipentaskan.

2.2.4 Pura Dalem DasarSebelum beranjak membahas tentang Pura Dalem Dasar,

maka terlebih dahulu akan diuraikan secara singkat mengenai pengertian pura. Tempat suci dalam Agama Hindu di Bali disebut dengan pura. Memuja kebesaran Tuhan merupakan salah satu kewajiban bagi seorang penganut suatu agama, selain itu pemujaan juga merupakan wujud bhakti umat kepada Tuhan. Pada umumnya setiap agama tentu mempunyai tempat untuk beribadah atau tempat suci masing-masing. Demikian pula hanya dengan Agama Hindu mempunyai tempat suci sebagai tempat untuk mengagungkan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa beserta dengan manifestasinya yang disebut pura. Sura (1991:62) diuraikan juga sebagai berikut bahwa untuk memuja Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai aspeknya dibangun tempat pemujaan, tempat itu adalah bangunan suci yang dibangun ditempat yang suci. Tempat suci untuk memuja

Page 40: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 31

Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa atau manifestasinya dan atma sidha dewata atau roh suci leluhur, di samping dipergunakan istilah pura untuk menyebut tempat suci atau tempat pemujaan, juga istilah kahyangan dan parhyangan.

Titib (2003:91) menyatakan bahwa sebelum digunakan istilah pura sebagai tempat pemujaan atau tempat suci disebut dengan istilah Kahyangan atau Hyang. Prasasti-prasasti yang menyatakan hal ini adalah (1) prasasti Sukawana yang merupakan prasasti dari zaman Bali kuno dan merupakan data tertua yang ditemui di Bali pada tahun 882 masehi, (2) prasasti Turunyan yang ditemukan pada tahun 891 masehi ada disebutkan “....sang hyang di Turunyan” yang artinya tempat suci di Turunyan dan (3) prasasti pura Kehen (tanpa tahun) disebutkan pemujaan kepada Hyang Karimama, Hyang Api dan Hyang Tanda yang artinya tempat suci untuk Dewa Karimama, tempat suci untuk Dewa Api dan tempat suci untuk Dewa Tanda.

Istilah pura mulai dikenal sekitar abad ke-10 yang ditandai dengan kedatangan Empu Kuturan di Bali yang membawa perubahan besar dalam tata keagamaan di Bali. Empu Kuturan sebagai salah seorang rokhaniawan yang datang dari Jawa Timur sekitar tahun (1019-1042) semasa pemerintahan Raja Airlangga, beliau mengajarkan tentang pembangunan sad kahyangan jagat Bali, membuat kahyangan pura catur loka pala dan kahyangan rwa bhineda di Bali, beliau juga memperbesar Pura Besakih dan mendirikan meru, gedong dan beberapa bangunan lainnya.

Pada zaman Bali Kuno sebelum kedatangan dinasti Dalem di Bali, istana-istana raja disebut dengan istilah Keraton atau Kedaton. Dalam lontar Usana Bali terdapat kata pura tetapi kata pura itu belum berarti tempat suci atau tempat pemujaan melainkan berarti sebagai kota, benteng atau pasar. Hal ini terjadi, karena pada saat pemerintahan dinasti Sri Kresna Kepakisan di Bali mengikuti tradisi yang terjadi di Majapahit, sehingga istilah keraton Dalem di Samprangan disebut dengan Lingga Arsa

Page 41: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu32

Pura, keraton di Gelgel disebut dengan Sueca Pura dan keraton di Kelungkung disebut dengan Semara Pura, namun sekarang istana raja atau rumah keluarga pembesar disebut puri.

Pada periode pemerintahan Dalem Baturenggong di Gelgel (1460-1550 M) datanglah Danghyang Nirarta di Bali adalah untuk mengabadikan dan menyempurnakan kehidupan agama Hindu di Bali, yang pada saat itu di Bali terjadi kerancuan tentang kepercayaan yang disebabkan adanya peralihan paham keagamaan dari paham keagamaan sebelum kedatangan Empu Kuturan ke paham-paham keagamaan yang diajarkan oleh Empu Kuturan yaitu antara pemujaan Dewa dengan pemujaan Roh leluhur, sehingga timbulah pura untuk memuja roh suci leluhur dan pura untuk memuja dewa, yang sulit dibedakan secara fisik. Perkembangan lebih lanjut kata pura digunakan sebagai tempat suci di samping kata kahyangan atau parhyangan dengan pengertian sebagai tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya dan Bhattara atau Dewa Pitara (roh suci leluhur).

Buku Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu I-XV disebutkan bahwa pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan prabhawannya serta atman sidha dewata atau roh suci leluhur. Disamping kata pura juga digunakan istilah kahyangan atau parahyangan untuk menyebut tempat suci.

Pura adalah tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa-Nya dan atma sidha dewata atau roh suci leluhur. Pura diklasifikasikan menjadi (1) pura kahyangan desa, (2) pura sad kahyangan dan (3) pura kahyangan jagat, pada awalnya pura berarti benteng, istana atau keraton, setelah kata istana diganti menjadi kata puri, maka pura dikhususkan menjadi tempat suci.

Sudirga (2004:128) dinyatakan bahwa pura adalah tempat suci umat Hindu untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa

Page 42: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 33

selain itu pura juga merupakan benteng umat Hindu yang bersifat rokhani agar terlepas dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan sehari-hari. Dibia (1986:4) dinyatakan bahwa pura adalah suatu tempat yang khusus dipakai untuk dunia kesucian dengan dikelilingi oleh tembok atau pagar untuk memisahkan dengan dunia sekitar yang dianggap tidak suci.

Ditinjau dari beberapa pengertian pura di atas, bahwa pura adalah suatu tempat suci yang terdiri dari beberapa bangunan yang dikelilingi oleh pagar pembatas sebagai tempat untuk memuja, mengagungkan dan memohon waranugraha atau keselamatan, rejeki, kedamaian, kesejahteraan dan lain-lain kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa maupun kepada roh suci leluhur atau Atma Sidha Dewata, pura juga merupakan benteng bagi umat Hindu yang bersifat rokhani agar terlepas dari pengaruh-pengaruh yang kurang baik dalam kehidupan sehari-hari.

Menurut Titib (2003:91), pura adalah tempat pemujaan bagi umat Hindu, istilah pura berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kota atau benteng, tapi sekarang berubah arti menjadi tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi. Sebelum dipergunakan kata pura untuk menamai tempat pemujaan atau tempat suci dipergunakan kata Kahyangan atau Hyang. Pura merupakan tempat suci untuk memuja dan mendekatkan diri kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa karena kebesaran dan kemahakuasaannya sehingga dipersonifikasikan dalam wujud Pura sebagai media untuk mendekatkan diri kehadapan-Nya.

Lebih lanjut, Titib (2003:93) menyatakan bahwa istilah Pura berasal dari bahasa Sankekerta yang artinya kota atau benteng yang berasal dari urat kata "pur", kata "Pur" artinya kubu atau benteng. Namun dalam perkembangan selanjutnya pengertian pura menjadi lebih luas. Istilah pura dengan pengertian sebagai tempat pemujaan bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali, tampaknya berasal dari zaman yang tidak

Page 43: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu34

begitu tua. Pada mulanya istilah pura yang berasal dari kata Sanskerta yang berarti kota atau benteng yang sekarang berubah menjadi tempat pemujaan Ida Sang Hyang Widhi.

Soebandi (2007:65) membedakan Pura berdasarkan atas fungsinya Pura dikelompokan menjadi dua yaitu: 1) Pura Jagat yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat memuja Sang Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawa-Nya. 2) Pura Kawitan yaitu Pura sebagai tempat suci untuk memuja Atmasiddhadevata atau roh suci leluhur. Berkenaan dengan Tradisi Mendem Bunga yang dilaksanakan di Pura Dalem Pucak. Menurut Ardana (2001:12) Pura Dalem merupakan bagian dari pura Khayangan Tiga yang diperuntukan sebagai tempat stana dan pemujuaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam menifestasinya sebagai Dewa Siwa.

Sehubungan dengan penelitian yang dilaksanakan mengenai tempat pementasan Tari Baris Kupu-Kupu, yang dilaksanakan di Pura Dalem Dasar bukan merupakan Pura Khayangan Tiga, tetapi merupakan Pura Pemaksan yang diempon oleh seleruh umat Hindu di Banjar Sema Desa Pakraman Bungkulan.

2.3 TeoriKeberadaan teori dalam suatu penelitian sangatlah

penting dan harus ada untuk membedah dan mengkaji suatu permasalahan yang akan diteliti seperti pendapat Nasution (2003:4) bawah “teori dapat menunjukkan hubungan antara fakta dan dapat menyusun fakta-fakta dalam bentuk sistematis sehingga dapat dipahami. Teori dapat berfungsi sebagai pemberi orentasi atau arah kepada peneliti dengan membatasi fakta-fakta yang luas dipelajari dari kenyataan di dunia luas”. Hal tadi dipertegas kembali oleh pendapatnya Redana (2006:251) “Teori dimanfaatkan sebagai pemandu agar fokus penelitian sesuai dengan kenyataan di lapangan”.

Page 44: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 35

Selain itu, landasan teori juga bermanfaat untuk memberikan gambaran umum tentang latar penelitian dan sebagai bahan pembahasan hasil penelitian.

Teori dapat juga dimanfaatkan untuk menyistematiskan dan mengorganisasikan pengalaman sehari-hari, serta dari kesistematisan pengorganisasian pengalaman sehari-hari kemudian diharapkan dapat mengembangkan suatu hipotesa khusus yang diberikan kepada tes emperik melalui proses penelitian. Sugiyono (2007:79) menyatakan bahwa teori adalah seperangkat konstruk atau konsep, definisi dan proposisi yang berfungsi untuk melihat fenomena secara sistematik, melalui spesifikasi hubungan antar variabel, sehingga dapat berguna untuk menjelaskan dan meramalkan fenomena. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

2.3.1 Teori Estetika Kata “estetika” berasal dari kata “aesthesis” dalam

bahasa Yunani berarti percerapan, persepsi, pengalaman, perasaan, pemandangan. Kata ini untuk pertama kali dipakai oleh Buangarten (1762) seorang filsuf Jerman untuk menunjukkan cabang filsafat yang berurusan dengan seni dan keindahan.

Gie (1996:49) menyatakan salah satu persoalan pokok dalam teori keindahan ialah mengenai sifat dasar dari keindahan: apakah keindahan merupakan sesuatu yang ada pada benda indah ataukah hanya terdapat dalam alam pikiran orang yang mengamati benda itu. Penjelasan terhadap masalah ini dalam sejarah estetika menimbulkan dua kelompok teori yang terkenal sebagai teori objektif dan teori subjektif tentang keindahan. Terdapat dua pandangan dalam teori keindahan yaitu: (1) pandangan pertama, secara mengesankan dan dengan bahasa yang sangat indah, yang

Page 45: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu36

dikemukakan dalam wawancara simposium sebagai pendirian Sokrates. Menurut pandangan ini yang indah adalah benda material umpamanya tubuh manusia, lebih jauh lagi manusia diajak untuk ingat pada yang lebih indah dari pada tubuh yaitu jiwa. Semua keindahan hanya ikut ambil bagian pada yang indah pada dunia idea itu, sama halnya seperti ide kebenaran, kebaikan, ataupun segitiga. 2) Pandangan kedua, dinyatakan bahwa yang indah dan sumber segala keindahan adalah yang paling sederhana, umpamanya nada yang sederhana, warna yang sederhana. Yang dimaksud dengan “sederhana“ ialah bentuk dan ukuran yang tidak dapat diberi batasan lebih lanjut berdasarkan sesuatu yang “lebih sederhana” lagi. Oleh karena itu, keindahan semacam itu bersifat terpilah-pilah.

Di samping kemampuan dasar umum yang bertumpu pada cipta, rasa, dan karsa kreativitas kesenian dalam kehidupan masyarakat, memerlukan tiga kemampuan fisik yaitu kemampuan mengolah beragam input sebagai objek seni, baik unsur alam atau unsur budaya atau ontologis, kemampuan mengolah atau memanajemen proses kreasi, baik dalam wujud inovasi maupun adaptasi atau epistemologi dan kemampuan menyajikan hasil karya seni yang utuh dalam identitas, kualitas, kokoh dalam dasar-dasar estetika, apresiatif serta bermanfaat bagi publik atau aksiologi. Secara spesifik kesenian Bali yang bermutu tinggi selalu terbingkai dalam konsep taksu. Suatu inner power yang dimiliki secara individual atau kolektif.

Plato dalam Gie (1996:50) menegaskan, keindahan terletak dalam suatu hubungan diantara sesuatu benda dengan alam pikiran seseorang yang mengamati nya seperti misalnya yang berupa menyukai atau menikmati benda itu. Jadi, sesuatu benda mempunyai ciri tertentu dan ciri itu dengan melalui penerapan muncul dalam kesadaran seseorang sehingga menimbulkan rasa menyukai atau menikmati benda

Page 46: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 37

itu. Teori hubungan ini pada umumnya digolongkan sebagai teori subjektif pula walaupun kiranya tidak begitu tepat, karena hubungan itu menyangkut keduanya, baik objek atau benda maupun subjek atau pengamat.

Disadari atau tidak, di dalam kehidupan sehari-hari semua umat manusia yang masih diikat oleh karma membutuhkan keindahan. Ketika manusia terampil dalam mengekspresikan diri di depan sesamanya ia akan melakukan dan mewujudkannya ke dalam bentuk-bentuk yang bernilai estetis. Penilaian terhadap kualitas estetis juga sering kali ditentukan oleh etika atau norma baik-buruk yang berlaku di lingkungan budaya tempat asal seseorang. Kualitas keindahan suatu objek sering kali akan kehilangan makna jika di dalamnya terdapat unsur-unsur yang bertentangan dengan etika yang ada. Oleh karena itu, di lingkungan budaya tertentu menikmati keindahan juga memberikan kesenangan sesuai dengan norma baik-buruk yang berlaku. Estetika Hindu pada intinya merupakan cara pandang mengenai keindahan yang diikat oleh nilai-nilai agama Hindu yang didsarkan atas ajaran-ajaran kitab suci Weda (Triguna, 2003: 94).

Menurut Djelantik (1990: 7) estetika tidak bisa dalam keseluruhannya dibahas secara ilmiah, tetapi di samping itu memerlukan pendekatan secara falsafah. Dengan pendekatan falsafati dapat diusahakan untuk mengerti suatu pendirian, pendapat, dan norma-norma yang diperlukan seorang pengamat untuk penilaian karya seni. Akan tetapi, pendekatan yang demikian, walaupun dapat memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang tertentu, sekaligus bisa membingungkan.

Lain halnya dengan jawaban yang diperoleh dengan pendekatan secara ilmiah, pendekatan falsafati tidak selalu memberi hanya satu jawaban saja, tetapi bisa memberi beraneka jawaban yang semuanya mengandung kebenaran,

Page 47: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu38

tergantung dari segi pandangan falsafah yang dianutnya. Kenyataan sudah memang demikian, penilaian karya seni adalah suatu kegiatan dimana bisa terdapat banyak perbedaan faham antara para ahli, para sastrawan, para budayawan, malahan justru anatar para seniman sendiri. Namun demikian, usaha untuk mempelajari falsafah keindahan yang sangat rumit, tidak kurang pentingnya daripada pendekatan estetika secara ilmiah. Pendekatan secara ilmiah sangat berguna dalam pengamatan atau observasi dan untuk pembahasan atau analisis hasil-hasil dari observasi itu, pendekatan yang lain melengkapi pengertian kita melalui renungan, dan menerapkan kemampuan kita untuk membuat sintesa atau kesimpulan, mernyusun serta merumuskan pandangan yang terintegrasi, terpadu, yang mencakup segala aspek-aspek dari permasalahannya.

Ilmu estetika mengandung dua aspek, yaitu aspek ilmiawi scientific aspect dan aspek filsafati philosophical aspect. Dalam melakukan penelitian aspek ilmiawi dari ilmu estetika mempunyai cara-cara kerja atau metodelogi yang sama seperti ilmu pengetahuan yang lain pada umumnya, yakni (a) observasi atau pengamatan, (b) analisis atau pembahasan, (c) eksperimen atau percobaan. Dalam kegiatan ini, ilmu estetika dapat mencari bantuan dari beberapa ilmu pengetahuan lain, seperti ilmu fisika, ilmu matematika, ilmu faal, biologi, pscychologi, dan lain sebagainya.

Aspek falsafati dari ilmu estetika menggunakan metodelogi yang lain, yakni melakukan komparasi (perbandingan), analisis (pembahasan), asosiasi (pengkaitan), analogi (persamaan), sintesis (penggabungan) dan kesimpulan. Setelah hasil-hasil itu direnungkan dan diketemukan, misalnya beberapa kali kesimpulan yang sama, dapat disusun suatu teori yang mencakup suatu permasalahan tertentu, dan yang berguna untuk menemukan pemecahan persoalan yang serupa.

Page 48: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 39

Berkenaan dengan penelitian ilmiah ini, teori estetika digunakan untuk mengkaji keindahan pementasan Tari Baris Kupu-kupu pada upacara pujawali di pura dalem dasar Banjar Sema Desa Pakraman Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng untuk membedah bagaimanakah sebenarnya pementasan dari tari tersebut, karena pada hakikatnya dalam pelaksanaannya ditandai dengan konsep pelaku maupun peralatan yang digunakan, maka dari untuk menelaah prosesi yang dikemas dalam bentuk simbol-simbol oleh masyarakat Banjar Sema, Desa Pakraman Bungkulan, Kecamatan Sawan, Kabupaten Buleleng digunakan teori simbol makna dengan pelaksanaan di lapangan.

2.3.2 Teori ReligiusitasTeori Geertz yang dijadikan landasan dalam penelitian ini

adalah teorinya tentang agama, dengan penelitian ini digunakan sebutan “Teori Religiusitas Geertz” dengan mengambil istilah dari Religious atau yang berhubungan dengan agama; (Echols & Shadily, 1995:476). Lebih lanjut Koentjaraningrat dalam Triguna (1984:75) menguraikan banyak teori yang mencoba menerangkan bagaimana azas religi pada berbagai suku bangsa di dunia terjadi, seperti: (1) Teori yang pendekatannya berorientasi pada keyakinan religi, (2) Teori yang dalam pendekatannya berorientasi kepada sikap manusia terhadap alam gaib, (3) Teori-teori yang pendekatannya berorientasi kepada upacara religi, (4) Teori yang pendekatannya menggunakan kombinasi tiga poin di atas.

Walaupun unsur-unsur dasar itu atau komponen-komponen relegi kelihatannya berbeda-beda, tetapi dalam pelaksanaannya satu dengan yang lainnya saling berhubungan serta saling memengaruhi. Untuk memahami hubungan timbal balik di antara unsur-unsur atau komponen-komponen relegi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Page 49: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu40

Bagan II. IUnsur-unsur atau Komponen-komponen Religi

(Sumber: Kontjaraningrat, 1997:203)

Memperhatikan bagan di atas, maka terlihat jelas hubungan timbal balik diantara unsur-unsur atau komponen-komponen relegi tersebut. Yang menjadi pusat atau pangkal dari kelakuan keagamaan adalah emosi keagamaan, karena getaran jiwa dapat dirasakan secara langsung oleh seseorang sehingga kelakuan keagamaan dilaksanakan melalui dengan sujud bhakti atau berusaha dekat dengan Tuhan, wujud dari bayangan Tuhan kemudian berpengaruh terhadap sistem kepercayaan yang hidup dalam masyarakat dalam bentuk seni dan budaya, serta aturan atau norma yang mengikat kesatuan masyarakat setempat.

Koentjaraningrat (1997:43 ) menyatakan bahwa sistem religi terdiri atas lima komponen yang saling berkaitan erat satu sama lain. Kelima komponen itu adalah (1) Emosi keagamaan; (2) Sistem keyakinan; (3) Sistem ritus dan upacara; (4) Peralatan Ritus dan Upacara; dan (5) Umat agama. Emosi

Page 50: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 41

keagamaan menyebabkan manusia mempunyai sikap serba religius merupakan suatu getaran yang menggerakkan jiwa manusia. Sistem keyakinan dalam suatu religi berwujud pikiran dan gagasan manusia yang menyangkut keyakinan dan konsepsi manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud alam gaib, dunia akhir, roh nenek moyang, dewa-dewa, hantu serta sistem nilai, sistem norma, kesusilaan, dan dokrin religi lainnya yang mengatur tingkah laku manusia. Sistem keyakinan tersebut biasanya terkadang dalam kesusasteraan suci, baik yang tertulis maupun lisan, seperti dongeng dan mitologi. Sistem ritus dan upacara dalam suatu religi berwujud tindakan manusia dalam melaksanakan kebaktiannya terhadap Tuhan, dewa-dewa, nenek moyang atau mahluk lainnya. Dalam sistem ritus dan upacara biasanya digunakan sarana dan peralatan upacara. Komponen kelima adalah umat atau kesatuan social yang menganut sistem keyakinan tersebut.

Berbeda dengan hal itu, Elliade (dalam Susanto, 1987:44-45) mengatakan bahwa agama berfungsi untuk membangkitkan dan menjaga kesadaran akan dunia yang lain. Kehidupan religius menuntun kesadaran akan pertengkaran antara Yang Kudus dan yang profan. Yang Kudus adalah yang sungguh-sungguh nyata, penuh kekuatan, sumber semua kekuatan, dan energi. Yang Kudus adalah “Yang Maha Lain”, yang trenseden, suatu realitas yang bukan milik dunia ini, walaupun dimanifestasikan di dalam dan melalui dunia. Manusia religius berusaha untuk selalu tinggal dekat dengan dewa-dewanya, yaitu pengada-pengada super natural yang kudus, yang menganungerahkan ada kepadanya.

Berdasarkan penjelasan beberapa ilmuan di atas dapat ditegaskan bahwa teori religiusitas memfokuskan pandangannya bahwa religi adalah sebutan suatu agama yang didalamnya terdapat emosi keagamaan yang mencakup didalamnya system keyakinan, pralatan, sistem upacara dan kelompok.

Page 51: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu42

Berangkat dari hal tersebut keberadaan tari baris Kupu-Kupu tersebt merupakan bentuk dari religiusitas masyarakat termuat dari adanya emosi keagamaan yang dituangkan dari system kepercayaan masyarakat terhadap pementasan tari tersebut. Adanya pralatan yang disakralkan, adanya ritual atau upacara yang mengiringinya dan adanya kelompok yang mendukungnya. Oleh karena itu, teori ini membantu mengupas permasalahan masalah pada bagian kedua yaitu mendeskripsikan aspek-aspek apa saja yang terkandung dalam pementasan tari Baris Kupu-Kupu dalam upacara Pujawali di pura Dalem Dasar di desa Pakraman Bungkulan.

2.3.3 Teori Interaksionalisme SimbolikTeori interaksionalisme simbolik menurut Mead, (dalam

Supratiknya, 1993:156) bahwa aspek internal juga dikaji untuk bisa memahami perilaku sosial, namun hal tersebut bukanlah merupakan minat khususnya. Justru dia lebih tertarik pada interaksi, dimana hubungan di antara gerak isyarat (gesture) tertentu dan maknanya, memengaruhi pikiran pihak-pihak yang sedang berinteraksi. Menurut terminologi Mead, gerak isyarat yang maknanya diberi bersama oleh semua pihak yang teribat dalam interaksi adalah merupakan satu bentuk simbol yang mempunyai arti penting atau a significant symbol. Kata-kata dan suara lainnya, gerakkan-gerakan fisik, bahasa tubuh atau body language, baju, status, kesemuaannya merupakan simbol yang bermakna.

Teori ini berkembang pesat pada dasa warsa terakhir ini. Teori Interaksionisme Simbolik ini berakar pada pemikiran Dewey tentang “pragmatisme” atau “instrumentalisme” dan Psikologi Sosial George Herbert Mead. Dalam teori ini dijelaskan bahwa setiap pemisahan atas teori dan praktek, sains dan etik, putusan faktual dan putusan evaluatif dan sejenisnya harus ditolak. Selanjutnya teori ini dikembangkan oleh Blumer, seorang mahaguru di Universitas California, Berkeley. Blumer

Page 52: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 43

mengembangkan teori ini lebih lanjut (Veeger, 2003: 221).Blumer dalam Veeger (2003: 221) menyebutkan bahwa

ada lima konsep utama yang mendasari teori ini. Lima konsep utama ini merupakan inti dari masa yakni: pertama, adalah konsep tentang “diri” (self). Dalam konsep ini dinyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang sadar akan dirinya sendiri atau an organism having a self. Kedua adalah konsep perbuatan atau action. Ketiga adalah konsep objek atau object. Keempat adalah konsep interaksi sosial. Konsep yang kelima adalah konsep join action. Konsep join action ini sesungguhnya merupakan istilah lain dari social act yang dikemukakan oleh George Herbert Mead dalam Veeger (2003: 221) bahwa aksi kolektif yang lahir di mana perbuatan-perbuatan masing-masing peserta dicocokkan dan diserasikan satu sama lain.

Interaksi di antara beberapa pihak tersebut akan tetap berjalan lancar tanpa gangguan apapun manakala simbol yang dikeluarkan oleh masing-masing pihak dimaknakan bersama sehingga semua pihak mampu mengartikannya dengan baik. Hal ini mungkin terjadi karena individu-individu yang terlibat dalam interaksi tersebut berasal dari budaya yang sama, atau sebelumnya telah berhasil memecahkan perbedaan makna. Namun, tidak selamanya interaksi berjalan mulus. Ada pihak-pihak tertentu yang menggunakan simbol yang tidak signifikan-simbol yang tidak bermakna bagi pihak lain. Akibatnya orang-orang tesebut harus secara terus menerus mencocokkan makna dan merencanakan cara tindakan mereka.

Berangkat dari penjelasan teori interaksionalisme simbolik yang memandang bahwa dari adanya interaksi simbol didalam suatu bentuk atau pementasan memunculkan suatu dampak atau implikasi. Dengan demikian teori ini sangat tepat membantu penelitian ini untuk membedah permasalahan yang ketiga yaitu mengkaji religiusitas yang terkandung di dalam pementasan tari Baris Kupu-Kupu di pura Dalem Dasar Desa Pakraman

Page 53: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu44

Bungkulan. Dengan bantuan teori ini diperoleh interaksi masyarakat, interaksi simbolikum yang tidak terlihat melalui sistem keyakinan yang dibangun oleh masyarakat setempat.

2.4 Model PenelitianBerdasarkan yang telah dipaparkan di atas, dan sehubungan

dengan penelitian yang dilaksanakan ini, berdasarkan teori yang digunakan dalam penelitian ini maka dapat diajukan kerangka berpikir sebagai berikut.

Gambar 2.1Model Penelitian

Page 54: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 45

Keterangan: Garis hubungan langsung dari sub pokok sebelumnya

Garis yang memiliki hubungan timbal balik antara kedua belah pihak

Penjelasan:Agama Hindu yang menjadi dasar menjalankan ajaran

agama adalah tiga kerangka dasar agama Hindu yaitu: tattwa, susila dan acara yang ketiganya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak bisa dipisah-pisahkan. Ketiga kerangka dasar ini akan bersinergi menyatu dengan kearifan lokal sebelumnya, sehingga melahirkan tradisi keagamaan yang kesemuanya itu memuja semua unsur alam. Oleh karena agama Hindu memercayai adanya satu Tuhan yang menguasai unsur alam termasuk seluruh penjuru mata angin dengan segala kekuatan sepiritual yang dirangkai kedalam aktifitas keagamaan.

Berdasarkan tiga dasar agama Hindu tersebut dalam aktivitas keagamaan Hindu di Bali selalu bersamaan dengan proses pementasan sutau seni tari sebagai bagian dari acara agama Hindu di Bali. Seni tari sudah menjadi satu kesatuan dalam rangkaian ritual keagamaan di Bali karena memiliki makna dan fungsi yang berhubungan degan religiusitas umat Hindu. Salah satu yang yang dibicarakan tersebut adalah pementasan seni tari sakral, yang selalu menjadi pementasan seni yang harus dipentaskan dalam setiap kegiatan Panca Yajña. Berhubungan dengan hal tersebut demikian juga pementasan seni Tari Baris Kupu-Kupu yang ada di Desa Pakraman Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng keberadaanya sebagai seni tari sakral dalam pelaksanan upacara Dewa yajña atau pujawali di Pura Dalem Dasar desa Pakraman Bungkulan.

Pementasan seni tari ini merupakan suatu keharusan dan kewajiban bagi masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan karena memiliki dan berhubungan dengan sejarah, nilai dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, pementasan ini juga dipentaskan hanya

Page 55: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu46

saat upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan dan tidak dipentaskan di tempat lainnya. Tentu hanya atas dasar inilah peneliti merasa tertarik untuk melakukan proses penelitian lebih dalam mengenai keberadaan dari Tari Baris Kubu-Kupu di Desa Pakraman Bungkulan. Dalam hal ini untuk mengkaji tingkat kepercayaan atau religiusitas masyarakatnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut terdapat tiga permasalahan pokok yaitu penelitian menekankan pada prosesi pementasan tari, baik yang berhubungan dengan tari itu sendiri maupun yang berhubungan dengan kaitannya dengan upacara pujawali di Pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan. Kemudian pada bagian kedua adalah penelitian di lakukan unutk mengetahui fungsi-fungsi apa saja yang terkandung dari pementasan Tari Baris Kupu-Kupu pada saat upacara pujawali di Pura Dalem Dasar Bungkulan. Kemudian yang terakhir adalah mencari tahu dampak-dampak religiusitas yang ditimbulkan dari adanya pementasan Tari Baris Kupu-Kupu tersebu, sehingga dengan tiga pokok permasalahan tersebut diharapkan hasil penelitian ini dapat menghasilkan keseimbangan kehidupan manusia dengan sesama manusia dan manusia dengan alam.

Page 56: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 47

BAB IIIPEMENTASAN TARI BARIS KUPU-KUPU DALAM UPACARA PUJAWALI DI PURA DALEM DASAR BANJAR SEMA DESA

BUNGKULAN

Proses penciptaannya semua karya seni selalu dihubungkan dengan berbagai kekuatan yang tidak mampu atau dimiliki oleh kekuatan manusia, sehingga dengan keyakinan bahwa semua yang ada di alam semesta ini datangnya dari Ida Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Esa, maka wajib hukumnya bagi setiap umat Hindu untuk mengadakan persembahan-persembahan kehadapan-Nya. Salah satu bentuk dan wujud persembahan yang dilakukan oleh umat Hindu dapat berupa beraneka ragam karya seni yang sesuai dengan ide dan konsep yang diimajinasikan oleh para seniman yang ada di Bali. Di dalam menciptakan berbagai macam karya seni, umat Hindu di Bali selalu bermuara pada konsep filosofis, yaitu pandangan mengenai keberadaan suatu objek, sesuai dengan konsep seni sakral yang mendapatkan tempat dan posisi amat penting dalam kegiatan ritual keagamaan umat Hindu di Bali khusunya, melalui konsep alam makro dan mikro dalam sistem keyakinan filsafat Hindu.

Terkait dengan integritas kedudukan ide dan pola pikir masyarakat Hindu dalam berkesenian, maka dapat dipahami bahwa kedudukan ide dalam hubungan ini adalah berkaitan dengan cita-cita dalam wujud abstraksi total. Adapun pola pikir adalah merupakan penjabaran ide, melalui simbolisme pola pikir yang tergambar lebih nyata sebagai adigium pokok-pokok pikiran yang dituangkan ke dalam bentuk dan ragam kesenian yang selalu identik dengan kehidupan keagamaan umat Hindu.

Page 57: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu48

Terkait dengan cara pengembangan seni sakral seperti di atas, maka kegiatan upacara melahirkan spontanitas dinamika kreativitas seni dan budaya dalam bentuk visualisasinya terdapat banyak ragam corak menurut tradisi lokal. Karakter karya seni yang berstatus sakral ini biasanya difungsikan untuk melindungi umat dari berbagai macam wabah penyakit yang akan menimpa masyarakat. Seperti pada bentuk kesenian sakral berupa seni Tari Baris Kupu-kupu misalnya, fungsi Tari Baris Kupu-Kupu adalah sangat berarti dalam kehidupan masyarakat Desa Bungkulan karena suatu upacara magis boleh jadi kurang sempurna tanpa adanya tarian, nyanyian, maupun sarana-sarana lain yang memang diperlukan yang ditampilkan dalam Tari Baris Kupu-Kupu serta merupakan cerminan dinamika kehidupan masyarakat baik kehidupan sosial maupun cultural dan merupakan bentuk komunikasi masyarakat.

Kesenian sakral juga dipandang melindungi umat Hindu dari berbagai macam penderitaan bhatin untuk menerima pesan dan kesan dunia gaib, serta setiap pendukung luluh pula atas kesadarannya memahami arti tarian sakral yang didukungnya tersebut. Mulai tingkat yang paling sederhana sampai kepada tingkat analisis akademis, dua dimensi wajah dari kesenian sakral sepanjang sejarah peradaban manusia dapat dilihat dan selalu muncul di dalam komunitas masyarakat pendukungnya. Wajahnya yang pertama adalah wajah universal, artinya aturan-aturannya berlaku umum dan universal serta dapat dinikmati oleh setiap umat manusia. Kedua adalah wajahnya yang berlaku khusus, yaitu kesenian sakral yang selalu dihubungkan dengan masalah-masalah sakral seperti tarian wali di Bali.

Tari Baris Kupu-Kupu merupakan salah satu bentuk seni klasik Bali yang mempunyai bentuk-bentuk gerak yang indah dan abstrak, sehingga mampu mengantarkan imajinasi penonton ke dalam bentuk ekspresi yang digambarkan melalui gerak penarinya. Tarian ini merupakan salah satu kesenian tradisional

Page 58: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 49

dengan bentuk tarian sangat berbeda kalau dibandingkan dengan bentuk tari sakral lainnya. Sebelum membahas satu persatu mengenai bentuk pementasan maka akan didefinisikan konsep pementasan. Menurut Aryasa (1996:24) pementasan dalam hubungannya dengan tari adalah suatu pertunjukan tari atau seni gerak tubuh manusia dalam suatu upacara keagamaan. Adapun menurut Tim penyusun (2002:117) menyatakan pengertian pementasan sebagai pergelaran, sehubungan dengan pementasan tari dinyatakan sebagai pembelajaran kesenian dalam yang diwujudkan dalam gerak tubuh manusia. Dengan demikian, bentuk pementasan Tari Baris Kupu-Kupu dalam upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng adalah sebagai berikut.

3.1 Sejarah Tari Baris Kupu KupuKeberadaan sejarah merupakan bagian yang sangat

penting dalam setiap aktivitas dan kejadian yang terjadi di dalam kehidupan masyarakat karena, hal tersebut akan menjadi bukti dan pendidikan secara tidak langsung untuk kehidupan di masa mendatang. Seperti halnya Tari Baris Kupu-Kupu memiliki catatan sejarah tersendiri walau secara kenyataan tidak dapat ditemukan secara tertulis baik dalam bentuk lontar maupun catatan lainnya mengenai pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yang terdapat pada upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan tersebut. Namun, untuk dapat mewujudkan gambaran secara umum mengenai sejarah Tari Bari Kupu-Kupu tersebut peneliti akan mengupas dari berbagai sumber termasuk tokoh agama, tokoh penari, pelaku penari dan masyarakat yang mengetahui tentang Tari Baris Kupu-kupu tersebut.

Menurut keterangan Widiarta (wawancara, 3 Juli 2016) menjelaskan bahwa Tari Baris Kupu-kupu merupakan salah satu bentuk tari sakral yang mencerminkan kehidupan masyarakat di zaman lampau yang masih diwarisi hingga saat sekarang

Page 59: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu50

ini, tari Baris Kupu-kupu adalah tari baris yang melukiskan kupu-kupu pada saat terbang, tarian ini dimainkan oleh lima orang penari dengan rangkaian dua pasang penari dan satu orang lagi sebagi telikan atau pelik. Tari Baris Kupu-Kupu melambangkan ideologi kepemimpinan yang digambarkan dalam gerak, sistem dan struktur tari baris Kupu-Kupu ini. Seperti pada penjelasan sebelumnya bahwa tari baris ini adalah tari yang sangat disakralkan dan harus dilaksanakan setiap ada Piodalan di pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan. Berdasarkan nilai sejarah tari ini sudah ada sejak jaman kerajaan Buleleng yang mana pada pembahasan sebelumnya telah dikaitkan dengan sistem kerajaan Buleleng sehingga memiliki kedekatan dengan tari sakral lainya. Seperti dapat diperhatikan dari pormasi, gerak dan sistem tari ini adanya teologi kepemimpinan yang sebenarnya sebuah ideologi pada zaman dahulu yang diharapkan ideologi ini terus dapat dilestarikan, dipahami, dan diaplikasikan.

Pada gerak tarian dimana para penari keluar satu persatu dengan saling berputar mengelilingi daun kelapa yang sudah ditancapkan berjumlah lima buah, kemudian pada bagian inti tarian satu penari berada di tengah Pelik kemudian penari lainnya melakukan gerakan tarian maju dan kedepan, menghadap kedepan dan kebelakang, kemudian pada akhir tarian salah satu penari yang ditengah berada paling depan untuk masuk menyudahi tarian sedangkan penari terakhir menghadap membelakangi penari lainnya seperti sedang mengawasi situasi di belakang. Adanya pola sistem kepemimpinan yang selalu berada ditengah-tengah masyarakatnya, memimpin, mengatur, mengendalikan masyarakatnya, kemudian pemimpin memberdayakan masyarakatnya untuk ikut mengawasi dan menjaga kedamaian, keamanan dan ketertiban. Hal itulah yang sebenarnya terdapat dalam tari Bari Kupu-Kupu ini yang ingin disampaikan

Page 60: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 51

kepada generasi selanjutnya. Sistem nilai yang demikian merupakan sistem teologi kepemimpinan agama Hindu yaitu kepemimpinan Asta Brata, dan sistem kepemimpinan lokal daerah Buleleng.

Selanjutnya menurut keterangan Teken (wawancara, 3 Juli 2016) menyatakan bahwa tari Baris Kupu-kupu yang terdapat di Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng berfungsi untuk mengiringi upacara Dewa Yajña, yang dimana tari ini telah dilaksanakan secara turun temurun sejak pelaksanaan upacara piodalan di Pura Dalem Dasar. Bandem (1983:116) menyatakan bahwa tari Baris Kupu-kupu diciptakan sekitar tahun 1773, yang proses terciptanya bersumberkan dari inspirasi antara Legong Keraton dengan kupu-kupu. Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan tari yang dimainkan, dimana dalam gerakannya lebih banyak menggunakan gerakan Tari Legong Keraton dan gerakan kupu-kupu, tetapi pakaian yang dikenakannya adalah pakaian Tari Baris, bentuk dan karakter Tari Baris Kupu-kupu ini masih dipelihara dan dilestarikan sampai kini dengan didukung oleh adanya keyakinan masyarakat Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng terhadap tarian ini, keyakinan masyarakat di Desa Bungkulan bahwa Tari Baris Kupu-kupu haruslah dipentaskan pada saat piodalan di Pura Kahyangan Tiga, terutama di Pura Dalem Dasar Banjar Sema, suatu ketika Pernah dalam Piodalan Ageng di Pura Dalem Dasar tidak dipentaskan tarian ini, mengakibatkan terjadinya bencana yang berkepanjangan yang dialami oleh warga masyarakat, sehingga masyarakat tidak berani mengambil resiko yang lebih besar untuk tidak mementaskan tarian ini.

Secara umum Agama Hindu memiliki tiga unsur yang terdiri dari unsur ritual, emosional dan seni, dimana ketiganya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam

Page 61: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu52

setiap aktifitas keagamaan, hal ini dapat penulis cermati dari setiap upacara yajña yang dilaksanakan di Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng selalu memiliki unsur ritual, emosional keagamaan dan seni. Secara ritual keagamaan umat Hindu di Desa Bungkulan melaksanakan kegiatan upacara keagamaan yang disesuaikan dengan sastra dresta, kuna dresta dan loka dresta tanpa berani menambahkan ataupun menguranginya, sedangkan jika dicermati dari emosional keagamaannya, dapat penulis cermati dari kekhusukan dan rasa antusias warga untuk ngayah dan ngaturang bakti yang didasari oleh rasa tulus ikhlas tanpa pamrih, kenyataan ini terlihat dari banyaknya krama atau warga yang datang dan mengikuti prosesi piodalan di Pura Dalem Dasar, Banjar Sema Desa Bungkulan, Semangat kegotong-royongan warga masih jelas terlihat, saling bahu membahu untuk dapat ngaturang ayah ke Pura Dalem Dasar. Jika ditinjau dari unsur seninya, dapat cermati dari beberapa sudut pandang seperti di bawah ini.

1. Seni Bangunan, jika dilihat dari seni bangunan atau arsistektur pura, dapat di cermati bahwa Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan mengandung nilai seni yang tinggi yang merupakan warisan dari leluhur masyarakat disana. Bangunan pura masih terlihat asri dan mengandung nilai sejarah yang tinggi, walaupun sudah ada beberapa renovasi tetapi masyarakat tidak berani mengubah ukuran dan bentuknya, semuanya disesuaikan dengan bentuk aslinya yang disesuaikan menurut asta kosala kosali, keunikan lain dapat penulis cermati dari seni ukir yang terdapap pada bangunan pura dan candi bentar, ukiran bangunannya masih menampakkan bentuk dan ciri khas Buleleng. Berikut disajikan foto Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan yang merupakan tempat pementasan Tari Baris Kupu-Kupu.

Page 62: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 53

Foto 3.1Tempat Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi :Wisnawa, 2016

2. Seni Upakara, Jika dilihat dari seni upakara nya dapat cermati dari upakara yang dipersembahkan dalam rangkaian upacara piodalan agung yang diselenggarakan di Pura Dalem Dasar. Dapat mencermati dari seni tetuasan dan seni merangkai banten serta atribut-atribut yang dipakai dalam upacara piodalan ini. Dari seni tetuasan dan reringgitan yang merupakan simbol dan pengejawantahan dari bahasa weda, masyarakat Desa Bungkulan tidak berani gegabah dalam membuat tetuasan dan reringgitan banten. Jika di cermati dari tata cara merangkai banten ayaban, masyarakat Desa Bungkulan masih kuat memegang sastra dresta dan kuna dresta, rangkaian upakara nya disesuikan dengan petunjuk sastra yang disampaikan oleh pengelingsir atau jero sarati yang ada di Desa Bungkulan, serta tradisi yang sudah ada di sana tanpa berani menambahkan ataupun menguranginya.

Page 63: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu54

3. Seni Ritual, jika dicermati dari ritual keagamaannya, upacara piodalan di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng memiliki banyak keunikan jika dibandingkan dengan kegiatan upacara yajña di tempat lain.

4. Seni Suara, dalam acara upacara piodalan di pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan, banyak terdapat usur seni suara yang meliputi seni Dharma Gita yang meliputi seni makekidungan, sekar alit, sekar agung dan palawakia.

5. Seni Tabuh, bagaimanapun seni tabuh memegang peranan yang sangat penting dalam setiap pelaksanaan upacara yajña, seberapapun besarnya upacara yajña yang dilakukan tanpa diiringi dengan suara tabuh maka yajña yang dilakukan belumlah terasa lengkap, seni tabuh disini berperan sangat penting di dalam mengiringi prosesi upacara maupun untuk mengiringi pementasan tari sakral yang dilakukan untuk melengkapi upacara yajña.

6. Seni Tari, Bentuk tarian yang biasanya digunakan untuk mengiringi prosesi upacara yajña adalah tari sakral, tarian ini hanya dipentaskan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai pelengkap pelaksanaan yajña. Jika dibandingkan dengan jenis tari sakral lainya. Tari Baris Kupu-kupu memiliki kesamaan dengan tari baris yang lainnya.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas memang secara pastinya para informan tidak mengetahui kapan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini dipentaskan, siapa penciptanya tidak dapat diketahui. Akan tetapi, sebenarnya pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini sudah diwariskan sejak masyarakat sudah melakukan pemujaan di pura Dalem Dasar desa Bungkulan ini. Sifatnya sangat sakral dan hanya dapat dipentaskan di pura Dalem Dasar desa Bungkulan saja dan harus dipentaskan. Artinya tari Baris Kupu-Kupu jika tidak dipentaskan akan

Page 64: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 55

terjadi mala petakan dan mara bahaya bagi masyarakat di Desa Bungkulan secara umum. Dalam perjalanan sejarahnyanya sampai sekarang ini bentuk tarian tidak mengalami perubahan hanya bentuk pakaian, gambelannya dan sarana penunjangnya mengalami perubahan yang mana tidak jauh dari pada bentuk aslinya.

Terutama dalam hal ini adalah sarana pakaiannya yang dahulu menggunakan krasi atau daun pisang yang kering dan kain penari yang seadanya sekarang sudah dilengkapi dengan beberapa hiasan. Demikian juga sarana bantennya dahulu hanya menggunakan banten seadanya kini ada penambahan yang memperkaya maksud, makna dan tujuannya.

3.2 Perlengkapan Pakaian Tari Baris Kupu-kupu Perlengkapan pakaian Tari Baris Kupu-Kupu pada

dasarnya sangatlah sederhana seperti yang dijelaskan beberapa informan sebelumnya dikarenakan keadaan dan situasi pada zamannya. Akan tetapi, perlengkapan sarana pakaian sampai saat ini mengalami penambahan agar memperidah daya tarik dan seninya baik dari kelengkapan kainnya, aksesorisnya dan sebagainya. Pada intinya sarana penari memiliki beberap unsur pokok yaitu baju, celana, topi, dan sayap. Pada mulanya sayap yang dipergunakan menggunakan sarana daun kelapa yang sudah kering, tetapi pada pementasan terakhir tahun lalau adalah menggunakan gabungkan kain seperti halnya penari kupu-kupu kreasi. Menurut keterangan Sumadana (wawancara, 3 Agustus 2016) menyatakan bahwa Tari Baris Kupu-Kupu yang terdapat di Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupeten Buleleng dipentaskan oleh lima orang penari yang masih remaja dan masih perjaka, kelima penari ini terdiri dari dua pasang sebagai baris kupu kupu dan satu orang sebagai pelik. Berikut disajikan foto penari dalam bentuk penari tunggal yaitu.

Page 65: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu56

Foto 3.2Busana Penari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Penyarikan Tari Baris Kupu-Kupu, 2013

Tari Baris Kupu-kupu menggunakan kostum atau pakaian tari yang merupakan kombinasi dari tiga jenis pakaian antara lain memakai sayap, bapang, kemeja putih, lamak, sabuk, awiran, dan celana panjang. Adapun tata riasnya memakai make up agar kelihatan cantik dan menarik bagi penonton serta merupakan salah satu wujud bhakti Kehadapan Ida Bhatara yaitu mempersembahkan segala sesuatu yang terbaik dan

Page 66: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 57

terindah kehadapan Ida Bhatara. Dalam Cudamani dijelaskan bahwa kostum dan tata rias dari tarian baris merupakan unsur yang sangat penting, karena dari tata rias penonton akan bisa membedakan atau mengetahui setiap karakter yang akan dibawakan oleh seorang penari. Selanjutnya juga ditegaskan oleh pernyataan Sumadana (wawancara, 3 Agustus 2016) yang menyatakan bahwa jika dilihat dari jenis pakaiannya, Tari Baris Kupu-kupu memakai beberapa jenis pakaian.

Berdasarkan foto dan tanda penomeran pada foto di atas, maka dapat dijelaskan tentang atribut yang dimaksud dalam pementasan Tari Baris Kupu-kupu, yaitu sebagai berikut:

1. Gelungan, Gelungan ini selain dipergunakan oleh Penari Taris Baris Kupu-Kupu juga merupakan penutup kepala yang biasanya dipakai dalam pementasan Tari Legong Keraton. Berikut disajikan contoh Gelungan.

Foto 5.3Gelungan yang dipakai oleh penari Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Page 67: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu58

2. Kemeja Putih Tangan Panjang. Kemeja ini dibuat dari kain yang disesuaikan dengan karakter yang akan dibawakan oleh masing-masing penari. Berikut disajikan foto baju kemeja putih tangan panjang.

Baju lengan panjang berwarna putih. Baju ini depergunakan pada bagian badan penari yaitu sebagai penutup badan.

Foto 5.4Kemeja Putih Tangan Panjang yang di gunakan oleh Penari Tari

Baris Kupu-kupu. (Dokumentasi : Wisnawa, 2016)

3. Bapang atau Neekband adalah penutup leher yang bentuknya melengkung yang terbuat dari kain beludru yang dihiasi

Page 68: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 59

dengan macam-macam hiasan dengan prada atau mote. Berikut disajikan foto Bapang atau Neekband.

Foto 5.5Bapang atau Neekband

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

4. Lamak yang terbuat dari kain prade dan digantungkan dileher serta dihiasi dengan bermacam-macam hiasan. Lamak di pergunakan juga dalam bangunan suci agama Hindu seperti padmasana, Tugu Karang, Meru, piasan, apit lawang, penjor dsb. Lamak ini adalah lambang keindahan atau Sundaram, Jika lamak ini, ditiup angina akan bergoyang-goyang kekanan kekiri ini menandakan suatu keindahan, kegembiraan, sehingga dalam tari bali ada di ciptakan dengan judul tari cilinaya. Cili itu cantik dan indah. Lamak dalam tari baris kupu-kupu di taruh atau di gantungkan di dada penari. Berikut disajikan foto lamak.

Page 69: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu60

Foto 5.6Lamak yang dipergunakan Oleh Penari Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

5. Sabuk, sabuk ini berbeda dengan sabuk biasa, karena sabuk ini dihiasi dengan beberapa ilustrasi serta dipakai di atas stagen.

6. Awiran adalah selendang prada yang digantungkan dileher dan atau diikatkan dibawah ketiak. Berikut disajikan foto awiran.

Page 70: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 61

Foto 5.7Awiran yang diperguankan oleh Penari Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

7. Celana panjang putih. Celana panjang berwarna Putih. Celana ini dipergunakan paling bawah badan manusia. Celana ini berfungsi sebagai lambang keperkasaan bagi prajurit (kepahlawanan). Berikut disajikan foto celana panjang putih.

Foto 5.8Celana Putih Panjang yang diperguanakan oleh

Penari Tari Baris Kupu-Kupu. (Dokumentasi : Wisnawa, 2016)

Page 71: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu62

8. Kipas sebanyak 8 (delapan) buah yang dibawa oleh dua pasang penari.

9. Gelang Kana. Gelang kana ini juga berbentuk segitiga seperti bentuk segitiga seperti bentuk, gelungan, stewel, gelang kana ini depergunakan pada pergelangan penari baris Kupu-kupu melambangkan keseimbanganhati-hati dalam mengambil suatu keputusan. Berikut Disajikan foto gelang kana

Foto 5.9Gelang Kana yang dipergunakan oleh Penari Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

10. Semayut. Semayut yang digunakan pada dada si penari Baris Kupu-Kupu yang berfungsi sebagai pengikat, penguat kebersamaan. Jika dicari dalam prajurit adalah siap untuk melaksanakan tugas sebagai pengawal yang kuat, patuh dengan aturan dan harus kuat tidak terkalahkan dengan musuh. Berikut Disajikan foto semayut.

Page 72: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 63

Foto 5.10Semayut yang dipergunakan oleh Penari Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

11. Keris adalah senjata yang tajam yang pada Zaman kerajaan adalah senjatanya dari pada pengawal, mahapatih untuk alat berperang dan untuk membela diri dari serangan musuh. Tetapi zaman sekarang ini di pergunakan oleh pecalang desa pakraman yang melambangkan juga suatu kekuatan. Jika dalam Tari kupu-kupu ini dipergunakan di punggung penari sebagai lambang keperkasaan. Berikut disajikan foto Keris.

Foto 5.11Keris yang di pergunakan oleh Penari Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumen: Wisnawa, 2016

Page 73: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu64

Busana dan sarana yang dibawa oleh masing-masing penari Tari Baris Kupu-kupu merupakan unsur yang sangat penting karena penonton bisa membedakan setiap karakter dari tarian Baris Kupu-kupu itu. Warna kostum juga merupakan ciri untuk membedakan karakteristik yang dibawakan oleh penari, lebih-lebih jika dilihat dari raut muka penari maka penonon akan bisa membedakan karakteristik antara satu penari dengan penari yang lainnya.

3.3 Prosesi Pementasan Tari Baris Kupu-kupuTari merupakan ungkapan perasaan manusia yang

dinyatakan dengan gerakan-gerakan tubuh manusia. Dari pengertian tersebut tampak dengan jelas bahwa hakekat daripada tari adalah gerak. Sehubungan dengan hal tersebut dalam buku Kamus umum Bahasa Indonesia dinyatakan bahwa: “Tari adalah gerakan badan (tangan dan sebagainya) yang berirama dan biasanya diiringi dengan bunyi-bunyian (seperi musik, gamelan)”. Poerwadarminta, (1976 : 1020). Gerak-gerak dari bagian tubuh manusia yang disusun selaras dengan irama musik serta mempunyai maksud tertentu. Selanjutnya dalam buku pendidikan seni tari disebutkan bahwa “seni tari adalah ungkapan nilai-niliai keindahan dan keluhuran lewat gerak dan sikap”. (Wardhana, 1990:8)

Tari Baris Kupu-kupu menurut keterangan Suaryata (wawancara, 3 Agustus 2016) menyatakan bahwa salah satu bentuk tarian yang digunakan untuk mengiringi sajian atau persembahan kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa, beserta manifestasi beliau yang dalam hal ini adalah Ida Bhatara-Bhatari yang melinggih di Pura Dalem Dasar, Desa Bungkulan, disamping itu tarian ini juga dipersembahan kepada para leluhur yang ngaturang ayah di Pura Dalem Dasar ini, keyakinan tentang tarian ini adalah merupakan tradisi yang sudah diwarisi secara turun temurun. Keyakinan masyarakat tentang tarian ini sangat

Page 74: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 65

kuat, tarian ini haruslah dipentaskan pada saat adanya Piodalan di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan.

Menurut keterangan Widiarta (wawancara, 4 Agustus 2016) menyatakan hal ini pernah terjadi pada suatu saat ketika sedang berlangsung piodalan di Pura Dalem Dasar tidak dipentaskan Tari Baris Kupu-kupu akan tetapi diganti dengan tarian yang lain sehingga mengakibatkan adanya suatu wabah yang berkepanjangan, sehingga masyarakat merasa takut, lalu untuk menaggulanginya maka dibuatlah upacara Guru Pidukha di Pura Dalem Dasar. Setelah kejadian itu masyarakat tidak berani lagi untuk mengubah tradisi yang sudah mereka warisi secara turun temurun. Pementasan Tari Baris Kupu-kupu hanya diselenggarakan pada saat adanya piodalan di Pura Dalem Dasar. Hal ini sudah merupakan keyakinan bahwa setiap upacara tidak satupun selesai tanpa disertakan Tari Baris Kupu-kupu ini.

Berdasarkan keterangan Sumadana (wawancara, 3 Agustus 2016) menjelaskan bahwa prosesi pementasan Tari Baris Kupu-kupu dilaksanakan sebanyak dua kali yaitu pada saat selesai ngaturang banten piodalan dan pada saat diadakan upacara pengelebar. Tarian ini di pentaskan di Jeroan Pura, tepatnya di ajeng linggih Ida Bhatara.

3.4 Persiapan Setiap pementasan suatu pertunjukan seni memerlukan

stage atau tempat pementasan, terlebih lagi pementasan tari sakral, tempat pementasan tarian ini disebut kalangan. Setiap kalangan tari di Bali memiliki dasar kepercayaan tersendiri, hal ini tergantung dari jenis tari apa yang dipentaskan. Menurut keterangan Teken (wawancara, 4 Agustus 2016) menyatakan bahwa pementasan Tari Baris Kupu-kupu yang berlokasi di jeroan pura memiliki persyaratan yang cukup luas, kalangan dibuat berdasarkan pengier-ider Dewata Nawa Sanggha atau Para Dewa yang bersthana di sembilan arah mata angin

Page 75: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu66

yang masih diyakini oleh umat Hindu. Menurut keyakinan umat Hindu selatan merupakan arah gunung dan merupakan turunnya Bhatara Kabeh, serta utara (laut) adalah merupakan dasar untuk di buat kalangan. Jadi kalangan untuk pertunjukan tari biasanya memanjang dari selatan ke utara dan para penari dapat mempersembahkan tariannya kehadapan Ida Bhatara Kabeh dan para leluhur. Namun sekarang yang menjadi standar pementasan tari bukan saja arah utara dan selatan, namun bagi beberapa pertunjukan yang bersifat wali biasanya berhadapan dengan pelinggih. Pada tahap persiapan ini selain seperti yang dijelaskan sebalumnya yiatu menentukan lokasi pementasan dengan tujuan agar sesuai dengan sistematika tarian baik posisi penari, posisi gambelan, posisi banten, posisi masyarakat yang sembahyang dan posisi sarana penari, oleh karena pada tahap ini semua pelaksanaan atau rangkaian tarian ini sudah siap pada saat upacara Pujawali. Pada saat pemangku pura atau sulinggih melakukan pemujaan rangakian tarian sudah siap melaksanakan tariannya tanpa nantinya mempermasalahkan masalah lokasi pementasan yang sempit atau tidak luas. Pada masa persiapan yang perlu dipersiapkan adalah:

1. Banten untuk penyucian gambelan, penari dan sarana penari yang sudah dibersihkan sebelum upacara puncak piodalan atau sebelum pementasan dilaksanakan.

2. Mempersiapkan posisi gambelan yang berada di sebelah kanan penari dan para tokoh masyarakat dan para umat berada di samping kiri dan belakang penari.

3. Mempersiapakan daun kelapa yang tidak di potong ujungnya yang sudah kering. Kemudian daun kelapa gading atau kuning ditancapkan berbentuk bundar sesuai posisi penari nantinya melakukan tarian yang persisnya berbentuk persegi lima.

4. Melakukan penyucian terhadap para penari dan penabuh dengan saranan banten yang sudah dipersiapkan.

Page 76: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 67

Daun kelapa yang sudah kering ini berjumlah lima buah sesuai dengan jumlah para penari yang berasal dari daun kelapa kuning atau gading yang dipergunakan sebagai media para penari yang nantinya dikelilingi oleh masing-masing penari. Selain dari pada itu daun kelapa juga dipergunakan nantinya sebagai sayap para penari yang diikatkan dilengan masing-masing penari yaitu di kedua lengannya. Foto sebelum pementasan Tari Baris Kupu-Kupu dapat dilihat pada gambar 3.12 berikut.

Foto 5.12Persiapan sebelum pementasan Tari Baris Kupu-kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Penggunaan Daun kelapa sebagi ideologi kebijaksanaan maksudnya adalah dari pementasan ini diharapkan masyarakat memiliki kebijaksanaan. Hal ini diperlihatkan dalam penggunaan sarana daun kelapa kuning yang dipergunakan untuk tiang atau posisi penari dan juga dipergunakan untuk sayapnya. Hal ini berarti bahwa dimana bumi dipijak disana langgit dijunjung. Sistem ini seperti yang digambarkan dari penari pertama keluar dilanjutkan dengan penari selanjutnya

Page 77: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu68

selalu mengitari daun kelapa yang ditancapkan berjumlah lima buah. Maksudnya adalah hendaknya dalam aktivitas kehidupan bersosial, beragama, berpolitik dan sebagainya didasarkan pada kebijaksanaan. Bijaksana terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, terhadap alam dan dalam situasi apapun.

Meneladani kebijaksanaan pohon kelapa seorang seniman pada zaman dahulu mempergunakan daun kelapa sebagai sarana dalam pementasan tari sakral ini, yang sebenarnya tersembunyi suatu filosofi dan makna didalamnya. Sarana ini diharapkan mampu membentuk manusia yang bijaksana dan dapat membuat dirinya sendiri dan orang lain terangkat kehormatannya. Sebab kehormatan pohon kelapa sangatlah tinggi dimana buah kelapa selalu ada dalam sarana upacara Panca Yajña, ada hampir pada setiap tanah di bumi ini karena banyak memiliki manfaat dan kegunaan. Demikian juga manusia mampu memberikan manfaat kepada diri sendiri dan orang lain di mana pun berada.

Sebelum pementasan Tari Baris Kupu-kupu dilaksanakan, maka semua penari dan sekeha gong yang mengiringi tarian ini disucikan terlebih dahulu, prosesi upacara penyucian ini dilaksanakan bersamaan dengan persembahyangan bersama, setelah itu baru disucikan sarana prasarana yang akan digunakan dalam pementasan Tari Baris Kupu-kupu ini. Penggunaan sejajen pada setiap pertunjukan seni baris di Bali merupakan suatu bukti, betapa eratnya hubungan Tari Baris dengan Agama Hindu di Bali.

3.5 Pementasan Tari Baris Kupu-kupu Setelah proses persiapan tersebut selesai barulah menginjak

proses pementasan tari yang mana akan diberikan kode atau arahkan dari para pemuput acara baik Jro Mangku Gede maupun Sulinggih. Tari baris Kupu-Kupu ini merupakan tari yang sangat unik dan dari sudut pandang sejarahnya sudah ada sejak jaman kerajaan Bali Utara atau kerajaan Singaraja. Jika ditinjau dengan

Page 78: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 69

nilai dan fungsinya tari baris ini merupakan hasil karya yang mengambarkan bagaimana sistem kepemimpinan seorang pemimpin dalam menjaga dan melindungi masyarakatnya. Pada dasarnya Tari Baris Kupu-Kupu adalah hasil karya yang memang mengambarkan bagaimana sistem kepemimpinan raja Buleleng sejak pertama ada kerajaan Buleleng.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu terkait dengan sistem teologi kepemimpinan Asta Brata sebagaimana tersirat dalam kitab Menawa Dharmasatra sloka 4 menyebutkan.

Indranila yamarkanam Agnecca warunasya ca,

Candrawitteca yocaiwa mantara nirhrtya cacwatih.Terjemahannya : Untuk memenuhi maksud dan tujuan itu, Raja harus memiliki sifat-sifat partikel yang kekal dari Dewa Indra, Wahyu, Yama, Surya, Agni, Waruna, Candra, dan Kuwera (Pudja, 1995:43).

Asta Brata artinya delapan ajaran utama tentang kepemimpinan yang merupakan petunjuk Sri Rama kepada Bharata (adiknya) yang akan dinobatkan menjadi Raja Ayodhya. Asta Brata disimbulkan dengan sifat-sifat mulia dari alam semesta yang patut dijadikan pedoman bagi setiap pemimpin. Asta Brata ini dapat dijadikan petunjuk dan dasar pengelolaan manajemen terutama manajemen hubungan antar personal (human relation), dalam usaha mencapai suatu tujuan, tanpa mengabaikan rasa kemanusiaan dari semua pihak baik pemimpin maupun yang dipimpin. Melihat keberadaan ajaran Asta Brata ini digubah ribuan tahun dan merupakan hasil pemikiran yang sangat tinggi dari Guru Besar (Begawan) pada masanya, dan kini diwarisi kepada kita sekalian.

Berdasarkan penjelasan konsepsi kepemimpinan Asta Brata pada dasarnya teologi kepemimpinan yang menjadi

Page 79: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu70

ideologi yang terdapat pada pementasan Tari Baris Kupu-Kupu belum banyak diketahui oleh masyarakat tetapi hanya beberapa tokoh saja mengetahuinya. Melalui penelitian ini diharapkan khalayak umum mengetahui bahwa inilah alasan mengapa tari Bari Kupu-Kupu disakralkan oleh umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan karena banyaknya nilai teologi agama Hindu di dalamnya. Dari nilai teologi tersebut menjadi ideologi mendasar untuk menyakini, mempercayai dan meneruskan dari generasi ke generasi.

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng memiliki kesamaan dengan pementasan tari baris lainnya. Berikut foto saat berlangsungnya pementasan Tari Baris Kupu-kupu.

Foto 3.13Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Jeroan Pura

Dokumentasi : Penyarikan Tari Baris Kupu-Kupu, 2013

Page 80: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 71

Menurut keterangan Selamat (wawancara, 4 Agustus 2016) menjelaskan tentang susunan acara pementasan tarian Baris Kupu-kupu yaitu sebagai berikut.

1. Pembukaan Tarian atau Pengambilan Posisi TarianPembukaan tarian merupakan bentuk awal pengambilan

posisi para penari sesuai dengan penomoran para penari. Hal ini seperti yang disampaikan informan Teken (wawancara, 4 Agustus 2016) menjelaskan bahwa Pada tahap pembukaan para penari memerhatikan posisi daun kelapa yang sudah ditancapkan dengan urutan satu sampai lima seperti pada sketsa berikut ini.

Gambar Sketsa 3.1Sketsa posisi penari dari posisi daun kelapa

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Page 81: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu72

Pada gambar di atas memperlihatkan pada areal tarian sudah dipersiapkan lima buah daun kelapa kuning yang sudah kering tepat pada posisi dan penomoran masing-masing. Para penari akan mengikuti dimana posisi daun kelapa tersebut ditempatkan dengan berbagai urutan tarian yang sudah ditetapkan. Tarian pembukaan dimulai dari salah satu penari atau penari dengan nomor (1) akan keluar posisi daun kelapa dengan nomor urut pertama atau (1) kemudian melakukan gerakan tari kupu-kupu berputar satu kali menggelilingi daun kelapa kemudian berdiri tepat di belakang daun kelapa atau tepat membelakangngi tempat dimana keluar penari selanjutnya. Setelah itu barulah muncul penari selanjutnya atau penari nomor dua dimana saat muncul penari kedua, penari pertama berjalan merubah posisi tepat berada di depan daun kelapa sedangakn penari kedua mengambil posisi di belakang daun kelapa tepat dimana posisi penari pertama sebelumnya berdiri.

Menginjak pada bagian selanjutnya muncul penari yang ketiga dimana secara bersamaan penari pertama berputar diikuti dengan penari kedua mengelilingi daun kelapa pertama satu kali putaran dimana penari pertama langsung menuju daun kelapa kedua dalam posisi di belakang daun kelapa, sedangkan penari kedua mengambil posisi di depan daun kelapa pertama dimana posisi penari pertama berada sebelumnya, demikian juga dengan penari ketiga berada di belakang daun kelapa pertama dimana posisi penari kedua sebelumnya berdiri.

Pada bagian selanjutnya muncul penari yang keempat secara bersamaan para penari sebelumnya melakukan putaran yaitu penari pertama berada di depan daun kelapa kedua dan penari kedua berada di belakang daun kelapa kedua, penari ketiga berada di depan daun kelapa pertama dan penari keempat berada di belakang daun kelapa pertama. Selanjutnya muncul penari yang kelima yaitu secara bersamaan melakukan semua penari merubah posisi dengan berputar mengelilingi daun kelapa

Page 82: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 73

yaitu penari pertama menuju daun kelapa kelima tepat berada di depan daun kelapa kelima, penari kedua menuju daun kepala keempat berada di depan daun kelapa, penari ketiga berada di depan daun kelapa ketiga, penari keemmpat berada di depan daun kelapa kedua sedangkan penari kelima berada di depan daun kelapa pertama seperti pada sketsa gambar berikut ini.

Gambar Sketsa 3.2Sketsa posisi penari dari posisi daun kelapa

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Seperti pada gambar sketsa di atas menggambarkan bahwa demikianlah pembukaan pengambilan posisi para penari pada bagian awal dimana secara prinsipnya penari mengambil posisi tersebut didahului dengan cara keluar bergantian dan selanjutnya melakukan gerakan mengelilingi daun kelapa sambil mengambil posisi sempurna seperti gambar di atas. Setiap gerakan tarian

Page 83: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu74

dalam setiap pengambilan posisi tarian tersebut para penari melakukan gerakan seperti halnya gerakan kupu-kupu dengan mengepakkan sayap sambil mengikuti suara gambelan.

2. Tarian IntiSetelah semua penari berada pada posisi dimana daun

kelapa berada sesuai penjelasan sebelumnya, maka barulah melangkah pada tahap tarian inti. Tarian inti seperti penjelasan informan Teken (wawancara, 4 Agustus 2016) menjelaskan bahwa sebenarnya tarian inti sifatnya atau gerakannya sangatlah sederhana hanya beberapa gerakan penari yang mengepaskan atau mengkebaskan sayapnya berulang-ulang dalam setiap langkahnya, gerakan kaki berayun-ayun atau disebut dengan Ngenjot dengan gerakan tangan seperti halnya tarian baris lainnya atau disebut dengan agem dan ngeed. Pada dasarnya pada bagian pembukaan bentuk tabuhan diberinama tabuhan pepeson, sedangkan pada bagian inti tabuhannya disebut Pengawak dan pengecet, demikian juga saat penutupan tabuhannya bernama Pekaad.

Mencermati penjelasan informan tersebut di atas dapat dipahami bahwa gerakan Tari Baris Kupu-Kupu pada dasarnya sebuah tarian yang gerakanya sangat sederhana namun memiliki arti tersendiri. Seperti lebih lanjut penjelasan informan Sumadana (wawancara, 3 Agustus 2016) menjelaskan bahwa pada bagian inti para penari melakukan gerakan maju tiga langkah dari posisi awal kemudian berputar-putar sebanyak satu kali sampai kembali pada posisi semula ke arah kanan. Selanjutnya sambil melakukan tarian kupu-kupu perlahan-lahan penari kerlima mengambil posisi ditengah-tengah dan penari lainnya dengan jarak yang sama berada di samping penari kelima. Tarian selanjutnya adalah penari yang di tengah mengebaskan sayapnya berulang-ulang sedangkan penari lainnya yang mengelilingi penari kelima melakukan gerakan maju mundur sambil mengebaskan

Page 84: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 75

sayapnya ke arah penari kelima kemudian berputar sebanyak tiga kali sambil megebaskan sayapnya makna berputar tiga yakni keseimbangan bhuana agung. Setelah itu penari yang mengelilingi panari kelima berbalik badan melakukan gerakan maju mundur sambil megebaskan sayapnya sebanyak tiga kali. Setelah itu penari kelima keluar dari pormasi dan berputar sebanyak satu kali dan barulah dari posisi daun kelapa kelima berputar sampai posisi daun kelapa pertama kemudian penari berada pada posisi semula.

Berikut ini sketsa pepeson Tari Baris Kupu-Kupu.

Gambar Sketsa : 3.3Gerakan pertama pepeson Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Page 85: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu76

Gambar Sketsa : 3.4Gerakan kedua pepeson Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Gambar Sketsa : 3.5Gerakan ketiga pepeson Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Page 86: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 77

Gambar Sketsa : 3.6Gerakan keempat pepeson Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Gambar Sketsa : 3.7Gerakan kelima pepeson Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Page 87: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu78

Gambar di atas merupakan teknik lantai pada pepeson Tari Baris Kupu-Kupu yang menggambarkan suatu kebersamaan saling isi mengisi antara yang satu dengan yang lain. Setelah posisi di atas, dilanjutkan dengan pengawalan. Posisi pengawalan yang menunjukkan kebersamaan seperti sketsa berikut ini.

Gambar Sketsa 3.8Kebersamaan dalam Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Gerakan dengan posisi di atas adalah sebagai berikut. 1. Mengibaskan kedua sayapnya yang bertujuan adalah

suatu keseimbangan. Posisi sayap seimbang bertujuan keseimbangan dunia ini atau alam semesta

2. Gerakan berputar mengitari ujung daun kelapa tiga(3) kali kalau dicari dalam ajaran agama Hindu di sebut dengan ngutarayana atau sampai matahari kembali mengorbit di lintang utara.

3. Gerakan kaki ngenjot, yaitu1. Kaki kanan dan kiri bergantian maju kedepan berbentuk

silang

Page 88: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 79

2. Gerakan kedua tangan menglibaskan sayap yang bertujuan di dunia ini ada rwabhineka

3. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang.

Gerakan yang kedua yaitu pengawak dan pengecer. Berikut ini sketsa posisi tersebut.

Gambar Sketsa 3.9Sketsa Pengecet Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Gerakan pengecer meliputi:

1. memutar, yaitu memutari pelih pemain (pimpinan penari ada di tengah)

Page 89: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu80

2. lagi gerakan memanjat mengabaskan kedua tangan3. gerakan kaki ngenjot (ini dilakukan berulang-ulang)

Puncak pengecet:1. Gerakan penarinya bergantian di lakukan gerakan naik dan

turun2. Jika pimpinannya gerakannya naik anggotanya turun3. Gerakan ini dilakukan berulang-ulang

Gerakan yang terakhir pada tarian inti yaitu gerakan pekaad yakni penari dari arah kanan ke kiri. Berikut ini gambar dari gerakan pekaad tersebut.

1.

Gambar Sketsa :3.10Gerakan Pertama dari gerakan pekaad

Dokumen : Wisnawa 2016

Page 90: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 81

2.

Gambar Sketsa : 3.11Gerakan Kedua dari gerakan pekaad

Dokumentasi : Wisnawa 2016

Pada gerakan pekaad ini adalah diiringi dengan tabuh gilak.

1. Gerakan yang dilakukan mengebaskan tangan dan gerakan kakinya lebih cepat yaitu tarinya akan mau ending (berakhir).

Page 91: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu82

2. Bagian tengah ini komposisinya yang berbentuk satu garis adalah pimpinan penarinya paling belakang yang mencerminkan adanya pola sistem kepemimpinan yang berada dibelakang masyarakat yang mengendalikan masyarakatnya, kemudian pemimpin memberdayakan masyarakatnya untuk ikut mengawasi dan menjaga kedamaian, keamanan dan ketertiban. Hal itulah yang sebenarnya terdapat dalam tari Bari Kupu-Kupu ini yang ingin disampaikan kepada generasi selanjutnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pada bagian inti ada beberapa gerakan sederhana, tetapi memiliki arti yang luas. Gerakan tersebut seperti gerakan berkumpul, saling bercengkrama, saling mengejar dan melindungi pemimpinnya. Penari yang berada di tengah-tengah diibaratkan penari pemimpin yang selalu dilindungi oleh pasukannya. Hal tersebut seperti pada gambar sketsa berikut.

Gambar Sketsa 3.12Sketsa posisi penari dari posisi daun kelapa

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Page 92: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 83

Seperti pada gambar sketsa di atas mengambarkan bahwa setelah adanya gerakan berputar sebanyak satu kali penari kelima berada di bagian tengah-tengah diantara penari lainnya kemudian penari melakukan gerakan mengebaskan sayapnya berulang-ulang, sedangkan penari selain penari kelima melakukan gerakan maju dan mundur sambil mengebaskan sayapnya ke arah depan tepatnya diposisi penari kelima sebanyak tujuh kali. Setelah itu melakukan balik badan dan mengebaskan sayapnya ke arah luar selain penari kelima sebanyak tiga kali. Setelah itu penari selain penari kelima melakukan gerakan mengelilingi penari kelima sebanyak tiga kali sampai penari kelima keluar dari pormasi dan melakukan gerakan berkeliling sebanyak satu kali sampai pada posisi semua gerakan saat pembukaan.

Foto 3.14Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

Dokumentasi: Wisnawa, 2016

Page 93: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu84

Pada foto di atas terlihat dengan jelas ketika pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yang diambil dari salah satu sudut. Tarian ini dibawakan oleh penari yang masih kategori anak-anak. Penari terlihat sangat antusias dan bersemangat dalam menarikan Tari Baris Kupu-Kupu.

3. Tarian PenutupPada bagian penutup ini gerakan tariannya sangatlah

singkat dengan tuntunan gambelan pekaad dimana secara keseluruhan tarian ini sekitar 1,5 jam saja. Pada bagian penutup diperkirakan hanya 10 menit saja yaitu dengan gerakan berputar sebanyak satu kali sampai pada posisi semula dan setelah sampai diposisi semua bersama-sama mengepaskan sayapnya ke arah tengah-tengah. Setelah itu berputar lagi sekali dan dipimpin oleh penari kelima masuk dan menyudahi tarian tersebut dengan diikuti penari selanjutnya. Hal ini seperti apa yang disampaikan informan Sumadana (wawancara, 3 Agustus 2016) menjelaskan bahwa pada bagian penutup hanya beberapa gerakan mengebaskan sayap ke arah tengah lalu berputar sambil dipimpin penari kelima untuk masuk diarah awal dengan diikuti oleh penari selanjutnya. Adapun penari pertama yang pada saat posisi masuk menghadap kedepan atau membelakanggi pintu masuk dengan posisi berjalan mundur sampai keluar di daun kelapa nomor pertama.

Memerhatikan penjelasan informan tersebut sudah sangat jelas mengambarkan bahwa gerakan tarian pada bagian penutupan ini terdiri dari gerakan berbaris membentuk barisan lurus sambil mengerakkan sayapnya ke arah tengah, berputar bersama-sama sampai pada gerakan keluar dari areal tarian yang dipimpin oleh penari kelima dan penari pertama menutup semua tarian dengan gerakan berjalan membelakangi penari yang lainnya sampai keluar di daun kelapa yang pertama dimana tarian ini dimulai. Untuk lebih jelasnya peneliti akan menyajikan dalam bentuk gambar sketsa berikut.

Page 94: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 85

Gambar Sketsa 3.13Sketsa posisi penari dari posisi daun kelapa

Dokumentasi : Wisnawa, 2016

Seperti pada gambar sketsa di atas gerakan terakhir menjelaskan kewaspadaan dari pasukan kupu-kupu saat melakukan perjalanan yaitu pasukan terakhir selalu melakukan pengawasan terhadap situasi di belakang sementara pemimpin berjalan menunjukkan arah kedepan sambil diikuti oleh penari lainnya. Gerakan ini sifatnya luas dan bernilai sakral bagi umat Hindu di desa Bungkulan sehingga tarian ini harus dipentaskan saat Pujawali di pura Dalem Dasar Banjar Sema desa Bungkulan.

Secara garis besar dasar-dasar Tari Bali dibagi menjadi 3 bagian yaitu Agem, Tandang, dan Tangkep. Djayus dalam Teori Menari Bali menyatakan dasar tari Bali adalah Agem,

Page 95: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu86

Tandang, dan Tangkep. Sebagai gambaran lebih jelas mengenai aspek dasar tari Bali akan dijelaskan sebagai berikut Agem adalah sikap pokok yang mengandung suatu maksud tertentu yaitu suatu gerak pokok yang tidak berubah-ubah dari satu sikap pokok ke sikap pokok yang lain. Agem terdiri dari bermacam-macam bentuk misalnya, mungkah lawang, ngerajasinga, nepuk kampuh, ngeteg-pinggel, dan lain-lain. Tandang adalah cara memindahkan suatu gerakan pokok kegerakan pokok yang lain, sehingga menjadi satu rangkaian gerak yang bersambungan. Tandang terdiri dari Abah yaitu perpindahan gerak kaki menurut komposisi tari; dan tangkis yaitu perkembangan tangan seperti luknagasatru, nerudut dan ngelimat. Tangkep adalah mimik yang memancarkan penjiwaan tari yaitu suatu ekspresi yang timbul melalui cahaya muka. Tangkep terdiri dari beberapa macam, misalnya : luru, yaitu rasa gembira yang luar biasa yang diwujudkan dengan mimik; encahcerunggu, perubahan dari suatu mimik kemimik yang lain, dan maniscerungu, adalah senyum sambil mendelikan mata. Tangkep itu adalah sangat menentukan kematangan tari tanpa penjiwaan, tari tidak tampak hidup. Demikianlah agem, tandang dan tangkep merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

3.6 Upakara yang Digunakan dalam Pementasan Tari Baris Kupu–kupu

Koentjaraningrat, (1978: 256) yang menjelaskan bahwa upacara biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan seperti tempat atau gedung pemujaan (mesjid, gereja, stupa, pura, dan lain-lainnya), Patung Dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian suci seperti gong, seruling, gambelan suci, tarian sakral dan lain-lain pada para pelaku upacara sering kali mengenakan pakaian yang dianggap mempunyai sifat suci seperti jubah suci, jubah biksu.

Page 96: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 87

Menurut keterangan Teken (wawancara, 4 Agustus 2016) menyatakan adapun jenis sesajen yang digunakan untuk gelungan, antara lain Canang Ajenga ,Pesucian, Lekesan, Penyeneng, Tetabuhan, Arak, Berem, Dupa, Segehan Sembilan Tanding, Rokok lima batang, canang seperlunya. Ditempat pementasan atau kalangan dihaturkan sesajen sebelum pertunjukan dimulai yaitu Segehan Sembilan Tanding, Canang Sari Satu Tanding, Tetabuhan, (Air, Arak, Berem), Dupa.

Pada gambelan juga dihaturkan sesajen, karena mengiringi Baris Kupu-kupu antara lain: Peras, Daksina, Segehan Mancawarna, Pipis Tapisan, Ketipat Dampulan, Biyu Mas, Telur Itik Satu Butir, Tetabuhan (Air, Arak, Barem), Dupa, Sesari Daksina, Sesari Peras. Berikut Foto Banten yang digunakan saat dimulainya pertunjukkan Tari Baris Kupu-Kupu.

Foto 3.15Banten yang dipergunakan saat dimulainya pertunjukan Tari Baris

Kupu-KupuDokumentasi : Wisnaswa, 2016

Page 97: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu88

Semua upakara dan upacara ini dihantarkan oleh seorang pemangku Pura Dalem Dasar dan terbiasa melaksanakan upacara ini. Kesemua sesajen yang dipersembahkannya ini bertujuan untuk mengkramatkan kesakralannya baik alat yang dipergunakan maupun para penarinya agar benar-benar menjadi suci. Karena baris ini mempunyai peranan yang terpenting untuk mengiringi upacara Dewa Yajña.

Sehubungan dengan pendapat tersebut di atas, jika dicermati sesungguhnya sesajen merupakan pengorbanan suci yang dilakukan oleh umat Hindu dan ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan Para Dewa. Maksud dari sesajen ini adalah untuk menyatakan rasa terima kasih kehadapanNya atau kepada seluruh manisfestasi-Nya, oleh karena sesajen, sebab banten tidak lepas dari pertunjukan Tari wali tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sesajen adalah merupakan pengorbanan suci yang dilakukan oleh umat Hindu untuk ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widh Wasa serta para dewa untuk memberikan keselamatan lahir batin. Penggunaan sesajen ini bukan saja pada saat pertunjukan, bahkan mulai diadakan latihan-latihan. Begitu pula pada sekaha Baris Kupu-kupu di desa Bungkulan setiap mengadakan latihan, sebelumnya mengadakan persembahyangan dengan sesajen atau bebanten yang sederhana di sebuah pura di mana latihan itu diadakan. Prosesi upacara pementasan Tari Baris Kupu-kupu langsung dipimpin oleh pemangku pura tersebut dengan tujuan memohon keselamatan kepada Ida Sang Hyang Widh Wasa supaya selama mengadakan latihan dapat berjalan dengan baik dan lancer, oleh karena itu setiap ada upacara tidak lepas dengan sesajen, sebab sesajen itu merupakan pengorbanan suci yang sering disebut yajña.

Adapun sesajen yang dipersembahkan atau disampaikan ke hadapan Ratu Bagus Panji dan Ratu Ayu Pudak Mas Tegal yang diyakini menempati gelungan tersebut yang dapat memberikan

Page 98: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 89

kekuatan secara niskala hingga mempunyai pengaruh yang besar terhadap keyakinan para penari serta sekeha lainnya. Hal ini disebut dengan taksu.

Kata taksu dalam bahasa Bali mempunyai arti abstrak dan konkret. Arti yang pertama adalah kekuatan suci untuk meningkatkan intelektualitas. Taksu merupakan kekuatan suci yang berasal dari Tuhan yang dapat diperoleh melalui upacara ritual. Kekuatan suci atau spiritual ini muncul dalam dunia seni dan di bidang profesi lainnya dan sangat dibutuhkan oleh semua orang dari berbagai bidang profesi.

Kata-kata dalam bahasa Jawa Kuno atau Kawi yang paling dekat dengan taksu adalah caksu, caksuh, chaksur semua berasal dari bahasa Sanskerta yang berati mata, kemampuan untuk memahami dan persepsi (Zoetmulder,1982:153). Dua kata lain yang juga terkait adalah dwiyacaksuh dan dibyacaksus yang berati memiliki persepsi kuat alami (1982:222). Kata-kata ini mengisyaratkan bahwa dampak dari kehadiran taksu dapat ditangkap melaui persepsi.

Uraian tentang kata taksu di atas baru sebatas etimologis dan belum mencerminkan semua yang terkandung di dalamnya. Jika diperhatikan lebih jauh, taksu sekaligus merupakan energi atau kekuatan, daya pukau atau pesona wibawa dan karisma. Semuanya tercakup menjadi satu dalam taksu, oleh sebab itu sungguh tidak mudah untuk mendapatkan padanan kata taksu dalam bahasa lain (Sarad, 2000:22).

Kebanyakan orang di Bali setuju atau sejalan dengan pengertian yang diberikan di atas. Windya (wawancara, 4 Juli 2016) seniman Topeng asal Carangsari, misalnya, mengatakan bahwa dirinya setuju dengan kata caksu; cak berarti suar; dan su berarti baik (luwih). Sesuatu yang metaksu biasanya disuarakan oleh orang lain dan bukan oleh orang bersangkutan.

Walaupun taksu begitu penting dalam berbagai aspek seni dan budaya Bali, taksu dapat dikatakan tidak pernah menjadi

Page 99: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu90

fokus pembahasan dalam banyak karya-karya tulis yang terbit hingga 1960-an. Kebanyakan penulis terdahulu lebih memfokuskan investigasi pada materi atau fisik bukan pada unsur-unsur spiritual atau kekuatan magis, dari seni dan budaya Bali. Dance and Drama In Bali oleh Bery. deZoete dan Walter Spies (1973), Island of Bali oleh Migue Covarrubias (1937), dan Trance in Bali (1966) oleh Jane Belo adalah tiga karya tulis penting yang menyinggung taksu hanya secara sepintas atau bahkan tidak menyebutnya sama sekali.

Dalam usahanya untuk memahami rahasia seni pertunjukan Bali, khususnya drama tari topeng, Margare Coldiron menyatakan bahwa taksu adalah sebuah konsep yang cukup rumit dan sulit untuk dijelaskan (2004:92) Sangat mungkin hal ini disebabkan oleh adanya persepsi dan pengalaman yang berbeda tentang taksu yang dimiliki ataupun dialami oleh setiap orang di kalangan masyarakat Bali. Dalam disertasinya berjudul “Topeng in Bali: Change and Continuities in Traditional Dramatic Genre,” Elisabeth Young mencoba memberikan definisi taksu (1980:91) dengan “semacam kekuatan atau inspirasi, yang berasal dari kehadiran Tuhan, dan kekuatan ini terpancar dari dalam diri seseorang.” Dalam buku Kaja dan Kelod; Tari Bali Dalam Transisi, I Made Bandem dan Frederik Eugene deBoer memaparkan ciri taksu sebagai inspirasi bagi para pemain.

Melalui karya-karya ilmiah tersebut, para penulis di atas menunjukkan tiga hal penting tentang taksu ke-Tuhan-an dan spiritualitas, daya atau energi, dan inspirasi. Berdasarkan ide-ide tersebut kiranya dapat dibangun sebuah batasan sederhana tentang taksu, yaitu kekuatan spiritual atau energi yang dapat merangsang munculnya inspirasi. Batasan seperti ini menunjukkan bahwa taksu adalah kekuatan yang berasal dari kuasa Tuhan atau energi yang dianugrahkan oleh Hyang Kuasa. Untuk mendapatkan kekuatan spiritual ini, setelah menguasai teknis atau aspek fisik yang dibutuhkan oleh satu bidang

Page 100: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 91

pekerjaan atau profesi, seseorang harus melakukan berbagai upaya kontemplasi spintual yang tidak mudah. Jika perlu seseorang harus melakukan meditasi atau pemujaan dengan doa dan sesaji. pegabdian seni yang tinggi atau profesional berdisiplin yang akan mampu mendapatkan kekuatan spiritual ini . '

Sebuah film dokumenter berjudul Bali: Seen and Sekala-Niskala & taksu (2002), oleh Anna Ivara, menyajikan komentar atau diskusi menarik tentang taksu Diskusi ini melibatkan sejumlah orang dari berbagai bidang dan profesi seperti agung Rai (Seni Rupa), Ida Bagus Alit Suryadi, Ida Ayu Mas Raka, dan I Gusti Ayu Puspawati (pariwisata), Ida Bagus Anom dan I Ketut Rina (penari), I Gede Suda (dalang), Luh Ketut Suryani (dokter), dan Cokorda Rai Djeswa (dukun). Berdasarkan pengalaman dan perspektif masing-masing pembicara memberikan pernyataan singkat mengenai taksu. Sungguh menarik bahwa para pembicara ini menyinggung empat poin penting. Pertama semua setuju bahwa taksu adalah suatu kekuata niskala yang tak terlihat, dan yang berasal dari kekuatan Tuhan; taksu sangat terkait dengan anugrah Tuhan. Kedua, kebanyakan dari pembicara ini setuju bahwa taksu adalah suatu energi dan menyatakan bahwa ketika seseorang memiliki energi seperti ini akan dapat berbuat seperti dalam keadaan trans. Ketiga, semua pembicara menyatakan bahwa dapat merasakan kehadiran taksu walaupun tidak tahu persis bagaimana caranya untuk mendapatkan kekuatan suci tersebut. Akhirnya, para pembicara ini juga setuju bahwa taksu lebih dari karisma. Kehadiran energi spiritual ini dapat meningkatkan karisma dan daya pesona seseorang, sehingga kehadirannya akan menarik perhatian besar. Meskipun singkat dan beragam. komentar-komentar dari para pembicara di atas mewakil pendapat umum orang Bali tentang taksu. Lagi pula komentar tersebut menunjukkan sifat kaniskalaan atau transendental taksu dalam tradisi budaya Bali.

Page 101: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu92

Di Negara Barat, mungkin banyak orang yang membandingkan taksu dengan “stage presence” atau karisma. Tetapi taksu lebih dari itu karena di dalamnya ada melibatkan hubungan antara kekuatan Tuhan melalui prosesi ritual dan olah spiritual Kepemilikan taksu kadang-kadang tidak selamanya terkait dengan kemampuan atau penguasaan teknis. Ada pemain. atau pelaku seni pertunjukan yang nyaris sempurna dalam kemampuan teknis tetapi penampilannya di atas pentas tidak memancarkan suatu kekuatan ekstra, sementara ada yang kurang terampil dalam olah teknis tetapi sajiannya mampu memancarkan suatu kekuatan ekstra sehingga penyajiannya bisa memikat hati atau menarik perhatian setiap penonton.

Pada tanggal 23 Desember 2007, Pusat Kreativitas Seni atau Geria Olah Kreativitas Seni (GEOKS) Singapadu atau Gianyar menyelenggarakan diskusi informal bertajuk “taksu Bali Dalam Seni dan Budaya” Diskusi ini diadakan untuk memperingati hari ulang tahun GEOKS yang ketiga. Dihadir oleh seniman, sarjana, dan tokoh-tokoh agama, tujuan utama dari diskusi ini adalah untuk membangun pemahaman yang komprehensif dan berbagi cara pandang tentang taksu. Para pembicara utama yang diundang dalam diskusi ini adalah Ida Pedanda Gede Putra Telabah (pendeta dan teologi), I Nyoman Erawan (seniman perupa), dan I Made Bandem (budayawan dan pemikir seni), dengan moderator oleh penulis sendiri sebagai pemilik GEOKS (Prof. I Wayan Dibia). Dengan tujuan untuk memeroleh tambahan pendapat dari masyarakat luas tentang taksu, diskusi ini juga disiarkan oleh Radio Republik Indonesia (RRI) Stasiun Denpasar-Bali. Pembicara dan peserta diskusi ini telah mensepakati sedikitnya delapan butir penting tentang taksu.

Pertama, taksu pada dasarnya adalah kekuatan spiritual atau aura yang kehadirannya dapat meningkatkan kemampuan intelektualitas, membawa kekuatan magis untuk meningkatkan

Page 102: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 93

kualitas kinerja, dan untuk menjamin kualitas suatu hasil kerja profesional. Masyarakat Hindu Bali umumnya menganggap taksu sebagai kekuatan suci dari Tuhan, Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang kepemilikannya dapat dicapai melalui berbagai cara, dan salah satu yang paling umum dilakukan orang adalah melalui olah spiritual termasuk doa dan prosesi ritual.

Kedua, taksu menyangkut tidak hanya bidang seni tetapi juga semua bidang profesi. Keberadaan tempat suci taksu di setiap tempat pemujaan keluarga menunjukkan pentingnya taksu dalam berbagai aspek kegiatan dan kehidupan sosio-kultural masyarakat Hindu-Bali.

Ketiga, kekuatan taksu mungkin muncul pada orang misalnya pendeta atau pemangku, seniman, dukun atau balian, guru, dokter, supir, politisi, dan lain-lain), pada objek material (benda seni, alat-alat, perlengkapan, dan Iain-lain), dan pada tempat (rumah, tahap, museum, galeri). Diinginkan oleh semua bidang dan pada semua profesi, kehadirannya dan ketidakhadiran taksu sangat diyakini dapat berdampak luar biasa pada kualitas karya seni dari seniman dan atau layanan yang diberikan oleh para profesional.

Keempat, kata taksu berasal dan kata Jawa Kuna (Kawi) caksu yang berarti “mata” atau “sesuatu yang terkait dengar pengelihatan” Kata dalam bahasa Jawa Kuna lainnya, kecaksu berarti “harus dilihat” (Zoetmulder, 1982:291). Hal ini sangat menunjukkan bahwa dampak dari kekuatan taksu, baik dalam karya seni maupun kegiatan sosial budaya lainnya hanya dapat dicerap melalui mata.

Kelima, embrio taksu dimiliki oleh setiap orang sejak lahir meskipun setiap individu memiliki cara yang berbeda untuk mengaktifkan kekuatan suci yang sudah ada dalam dirinya. Disarankan bahwa cara terbaik untuk mengaktifkan kekuatan taksu dengan jalan minta bimbingan dari para rohaniawan atau guru.

Page 103: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu94

Keenam, kepemilikan taksu tidak bersifat permanen. atau dijamin seumur hidup. Untuk sementara, seseorang atau sebuah objek dapat memilikinya, tetapi kekuatan taks: bisa hilang setiap saat. Kepemilikan terhadap kekuatan spiritual sangat ditentukan oleh situasi tertentu dan kondis pikiran seseorang. Juga mungkin terjadi seseorang memiliki taksu untuk satu hal sehingga dia dapat melahirkan suartu hasil karya atau suatu pekerjaan dengan hasil luar biasa tetapi di lain waktu atau bidang profesi lain, bisa saja tidak memiliki taksu sama sekali.

Ketujuh, taksu adalah sebuah istilah yang memiliki-konotasi positif (kekuatan suci) yang secara esensi sangaat berbeda dengan guna-guna, pengeger, dan penangkeb, yang semuanya adalah semacam “alat: atau "aji-ajian" buatan manusia yang pada umumnya memiliki konotasi negatif dalam budaya Bali. Seniman di Bali pada umumnya memiliki suatu kepercayaan bahwa untuk mendapatkan taksu seseorang harus menghindari penggunaan semua jenis “aji-ajian” buatan manusia.

Kedelapan, meskipun taksu adalah konsep budaya yang secara spesifik lahir dari tradisi budaya Bali, konsep kekuatan suci ini, yang dapat memberikan tingkat kecerdasan tertentu dan kekuatan magis untuk semua profesi, kekuatan sejenis taksu juga dikenal dalam tradisi budaya lain di berbagi belahan duma. Di luar Bali, termasuk dalam budaya Barat stage presence adalah istilah yang paling umum digunakan untuk merujuk pada kehadiran dan kekuatan suci ini.

Banyak orang yang percaya bahwa taksu adalah sinar suci yang membuat sesuatu menjadi hidup dan berjiwa sebuah karya seni yang telah diberkahi taksu akan memancarkan suatu kekuatan daya pikat, dan karya ini akan menjadi benda mati ketika tidak ada taksu di dalamnya Ketika menyaksikan suatu pertunjukan yang punya taksu, musik atau tari misalnya, penonton di Bali bisa melihat hal ini, sehingga dapat merasakan

Page 104: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 95

perbedaan antara pertunjukan yang dengan atau tanpa taksu. Sebuah sajian musik dan pertunjukan tari yang kering, kosong, dan membosankan dianggap tidak memiliki taksu. Istilah yang lazim digunakan oleh warga masyarakat Bali untuk merujuk kepada pertunjukan yang kering dan membosankan, karena tanpa taksu, adalah matah yang berarti mentah atau tidak masak. Ketika hal ini terjadi, semua penonton akan mengalihkan perhatian dan menjauh dari aktivitas di atas panggung. Akan tetapi, ketika sebuah pertunjukan yang benar-benar hidup dan berjiwa, berkat kehadiran taksu, para penonton akan menyambut dengan penuh perhatian dan semua mata penonton akan tertuju kepada sajian pertunjukan tersebut, menyaksikan dengan tatapan mata yang tajam, dan terbawa hanyut Sebuah istilah dalam bahasa Bali yang digunakan untuk merujuk pada suatu pertunjukan yang menarik dan memikat, karena diberkati dengan kekuatan taksu, adalah lebeng yang berarti matang. Beberapa juga menunjuk pertunjukan yang menawan dan mempesona seperti ini sebagai bolih-balihan ma taksu.

Taksu mungkin bisa dibandingkan dengan rasa dalam konsep India. Dalam tradisi Bali, kehadiran taksu dapat memberikan energi dan kekuatan untuk orang atau benda Hal ini mirip dengan apa yang mungkin diakibatkan oleh kehadiran rasa terhadap banyak aspek seni dan budaya India; memberikan kekuatan khusus, energi, dan tentu saja rasa meskipun taksu Bali tidak mungkin mewujudkan prinsip yang sama dengan sembilan rasa yang ada dalam konsep India, seperti yang dijelaskan dalam kitab Natyasastra, taksu memiliki kualitas esensi beraroma, potensi mempesona dan magnetik. Dalam seni, taksu menambah kualitas mempesona dan beberapa kekuatan magnetik untuk karya seni dengan cara yang sama bahwa rasa memberi rasa, penyusunan kualitas penting yang mendasari semua makanan (Schwartz 2004:7). Tanpa taksu, karya seni akan seperti makanan tanpa rasa, karena tidak adanya rasa, sehingga tidak

Page 105: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu96

akan bisa memberikan kepuasan apapun kepada penikmatnya. Karya seni tanpa taksu adalah seperti lilin tanpa api, tidak dapat menghasilkan panas ataupun cahaya untuk menerangkan kegelapan, atau seperti manusia tanpa jiwa (roh menjadikannya sosok tubuh yang mati.

Pandangan dan pendapat tentang taksu yang diberikan oleh para ahli seperti yang dijelaskan di atas. Menunjukkan bahwa taksu pada dasarnya energy yang memiliki kekuatan dasyat yang bukan saja sangat menentukan melainkan juga bisa merubah sesuatu yang biasa menjadi luar biasa, oleh sebab itu di kalangan masyarakat Bali banyak yang memandang keberadaan taksu seperti angin, banyak orang bisa menangkap dan merasakna kehadiran atau ketiadaannya namun tidak pernah melihat rupa dan wujdunya secara nyata.

Mencermati hasil keterangan informan bila dihubungkan konsep yajña di Bali sesungguhnya sesajen yang digunakan dalam Tari Baris Kupu-kupu ini sejalan dengan pelaksanaan ajaran Agama Hindu, walaupun di daerah lain ada perbedaan namun artinya sama. Berdasarkan hal di atas, maka benar-benar dapat memancarkan kesucian atau sakral karena Baris Kupu-kupu dipergunakan sebagai pelengkap upacara piodalan. Menurut Arnita (2002:7-12) dijelaskan bahwa kekuatan alam semesta ini berjumlah 8 buah uraian pengetahuan sebagai berikut

1. Dinamika : Kekuatan yang menghasilkan terjadinya gerak. Contoh: molekul terdiri dari unsur atom-atom dari ion-ion, ion-ion dari electron dan proton.

2. Statik : Kekuatan penyebab benda-benda tidak bergerak, tidak berubah bentuk dan tidak berubah tempat. Contoh : tulisan tinta, lukisan, gambar-gambar pada kain dan planet-planet mengelilingi matahari.

Page 106: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 97

3. Magnetik : Kekuatan tarik-menarik (pada kutub berlawanan) tolak menolak pada kutub sejenis. Contoh : bumi mempunyai daya tarik magnetis disebut gravitasi, sehingga air laut serta penghuni bumi tidak terlempar ke angkasa, padahal bumi bulat dan berputar cepat.

4. Kemika : Kekuatan yang menyebabkan berubahnya beberapa unsur menjadi satu atau sebaliknya. Contoh : dalam tubuh manusia adanya air liur, empedu, enzim-enzim perut yang mengubah makanan menjadi sel tubuh, sisanya menjadi kotoran. Barang-barang tambang seperti air, minyak di bumi juga kekuatan kemika.

5. Elektrika : Kekuatan listrik seperti dalam tubuh = biolektrika. Contoh : hubungan Kundalini: Siwadara atau ubun-ubun-Ida Pinggala atau Cakra Sumsumnal sumsum tulang belakang merupakan Gardu-gardu pengatur listrik dalam tubu manusia.

6. Bionika : Kekuatan untuk hidup benda-benda ciptaan Tuhan, seperti manusia, hewan, tumbuh-tumbuhan, bila kekuatan hidup habis, apa yang hidup akan mati.

7. Genetika : Kekuatan untuk berkembang biak seperti : manusia beranak, binatang beranak atau bertelur, tumbuh-tumbuhan berakar, bertunas, biji, stek, spora. Binatang satu sel memecah diri seperti amuba, bakteri.

8. Mistika : Kekuatan yang belum dapat diselidiki secara ilmiah.

Hal tersebut di atas juga dijelaskan oleh Suarta (1979:10) dengan tegas dikatakan bahwa "Keseimbangan kehidupan alam

Page 107: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu98

semesta yang sangat kuat memiliki konteks dengan kepercayaan yang disebut animisme yaitu kekuatan yang dimiliki oleh unsur-unsur benda di dunia ini".

Jika berbicara tentang waktu pementasan Tari Baris Kupu-kupu yang disakralkan oleh umat Hindu tidak sembarangan terlebih Tari Baris Kupu-kupu ini sangat disucikan maka pementasannya pun mempergunakan perhitungan Ala Ayuning Dewasa atau hari baik dan penentuan hari baik ini dilakukan dengan jalan musyawarah masyarakat yang ada di Desa Pakraman Bungkulan. Berbicara mengenai waktu pementasan di pura Dalem Dasar adalah saat piodalan yaitu pada saat mesucian yaitu puncak acara tepatnya pada rabu Kliwon Pahang setelah pelaksanan Mendak Nyawang, Ngiderin Bhawana, tari pendet pemekasan dan mebiasa setelah itulah Tari Baris Kupu-kupu ini dilaksanakan.

Menurut Widiarta (wawancara, 3 Juli 2016) berdasarkan saat pementasan Tari Baris Kupu-kupu dipura Dalaem Dasar mengambarkan bahwa tidak sembarang waktu pementasan tari tersebut karena termasuk tari sakral atau tari wali. Adapun waktunya sesuai dengan dudonan acara atau susunan pelaksanan ritual sehingga fungsi dan makna serta tujuanya tidak lepas dan bermanfaat bagi masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan.

Berdasarkan pandangan di atas dipertegas kembali oleh Koentjaraningrat, (1978:256) yang mejelaskan bahwa upacara biasanya dipergunakan bermacam-macam sarana dan peralatan seperti tempat atau gedung pemujaan misalnya mesjid, gereja, stupa, pura, dan lain-lainya, Patung dewa, patung orang suci, alat bunyi-bunyian suci seperti; gong, seruling, gambelan suci, tarian sakral dan lai-lain pada pelaku upacara sering kali menggenakan pakaian yang dianggap mempunyai sifat suci seperti jubah suci, jubah biksu, gelungan, dan lain-lain. Semua sesajen yang dipersembahkanya ini bertujuan untuk mengkramatkan kesakralanya baik alat yang dipergunakanya

Page 108: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 99

maupun para penarinya agar benar-benar menjadi suci karena Baris ini mempunyai peranan yang terpenting untuk mengiringi upacara Dewa Yajña.

Sehubungan dengan pendapat tersebut di atas, jika dicermati sesungguhnya sesajen merupakan pengorbanan suci yang dilakukan oleh umat Hindu dan ditujukan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi dan Para Dewa. Maksud dari sesajen ini adalah untuk menyatakan rasa terima kasih kehadapannya atau kepada seluruh manisfestasi-Nya. Sesajen tersebut dibuat dari berbagai jenis materi atau bahan-bahan yang ada, kemudian ditata dan diatur sedemikian rupa sehingga berwujud aturan atau persembahan yang indah dilihat, mempunyai fungsi simbolis dan makna filosofis keagamaan yang mendalam. Dalam Bhagavadgita Bab IX sloka 26 menyebutkan tentang unsur-unsur pokok persemambahan itu adalah :

Patraṁ Puspaṁ phalaṁ toyaṁ yo me bhaktyā prayacchati tad ahaṁ bhaktyupahŗtam aśnāmi prayatātmanah.

Terjemahan:Siapapun yang mempersembahkan kepada-Ku dengan penuh pengabdian selembar daun, setangkai bunga, sebutir buah ataupun setetes air. Aku terima persembahan yang dilandasi kasih sayang dan hati yang murni itu.

Oleh karena sesajen atau banten tidak lepas dari pertunjukan Tari Wali tersebut. Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa sesajen adalah merupakan pengorbanan suci yang dilakukan oleh umat Hindu untuk ditujukan kepada Ida Sang Hyang Widh Wasa serta para dewa untuk memberikan keselamatan lahir batin. Berikut adalah sesajen yang dipergunakan saat akhir pementasan Tari Baris Kupu-Kupu.

Selanjutnya menurut keterangan Teken (wawancara, 3 Juli 2016) Tujuan dari penggunaan Banten saat akhir pementasan Tari

Page 109: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu100

Baris Kupu-Kupu adalah untuk memberikan labaan yang yang diyakini merasuki para penari tersebut yang dapat memberikan keselamatan hingga berakhirnya pementasan. Berikut disajikan foto yang digunakan saat akhir pementasan Tari Baris Kupu-Kupu.

Foto 5.16Banten Pejati, Canang dan Segehan yang dipergunakan pada akhir

pementasan Tari Baris Kupu-KupuDokumentasi : Wisnawa, 2016

Penggunaan sesajen ini bukan saja pada saat pertunjukan, bahkan mulai diadakan latihan-latihan. Prosesi upacara pementasan Tari Baris Kupu-kupu langsung dipimpin oleh pemangku pura tersebut dengan tujuan memohon keselamatan kepada Ida Sang Hayang Widhi Wasa agar selama mengadakan latihan dapat berjalan dengan baik dan lancar serta sebagai ucapan terimakasi yang mendalam atas segala anugerah Ida Sang Hyang Widhi maka patutlah sebagai umat manusia melaksanakan yajña dengan cara melakukan pemujaan serta

Page 110: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 101

mempersembahkan sebagian kecil dari anugerah-Nya dengan hati yang tulus dan ikhlas. Pada intinya manusia harus berterima kasih pada Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan Yang Maha Esa dengan yajña. Mengenai tujuan yajña untuk mencetuskan rasa terima kasih dijelaskan dalam Bhagavadgita III.11.

Dewān bhāvayatānena te devā bhāvayantu vaḥ parasparaṁ bhāvayantaḥ śreyaḥ param avāpsyathaTerjemahan :Dengan melakukan ini engkau memelihara kelangsungan para dewa,Semoga para dewata juga memberkahimu,Dengan saling menghormati seperti itu,Engkau akan mencapai kebajikan tertinggi.

Bhagavadgita III.16 evaṁ pravartitaṁ cakraṁ nānuvartayatῑha yaḥ aghāyur indriyārāmo moghaṁ pārtha sa jῑvatiTerjemahan :Di dunia ini, Mereka yang tidak ikut membantu memutar roda kehidupan ini, Pada dasarnya bersifat jahat, Memperturutkan nafsu semata dan mengalami penderitaan wahai Partha

Oleh karena itu setiap pelaksanaan upacara tidak lepas dengan sesajen skarena sesajen itu merupakan pengorbanan suci yang sering disebut yajña.

Page 111: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu102

BAB IVASPEK-ASPEK RELIGIUS TARI BARIS

KUPU KUPU PADA UPACARA PUJAWALI DI PURA DALEM DASAR BANJAR SEMA

DESA BUNGKULAN

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Banjar Sema Desa Bungkulan yang merupakan sebuah persembahan rasa seni yang memiliki nilai sakral, bukan saja sebagai wujud seni namun memiliki nilai tersendiri yang diyakini oleh umat Hindu di Banjar Sema Desa Bungkulan. Adapun aspek-aspek religius pementasan Tari Baris Kupu-kupu seperti berikut ini.

4.1 Aspek Penyucian Aspek pertama dari pementasan Tari Baris Kupu-Kupu

dalam upacara puajawali di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan, yaitu sebagai mediasi untuk menyucikan diri dan penyucian alam. Hal ini didasarkan bahwa orang yang benar-benar suci baru diterima persembahannya, disamping itu yajña tersebut dianggap suci jika diawali dengan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu, dengan maksud menolak hal-hal yang negatif.

Beranjak dari penyataan informan di atas, maka dapat dikatakan bahwa pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yang merupakan salah satu tarian sakral yang memiliki kekuatan secara sekala dan niskala dan diyakini oleh masyarakat sebagai tarian pembawa berkah secara lahir maupun bathin, oleh sebab itu tarian ini dilakukan dengan sangat hati-hati, baik dari segi penarinya, penabuhnya serta sarana upacaranya, hal ini bertujuan untuk menjadikan agar tarian ini benar-benar memiliki kekuatan dan kesucian untuk menyucikan alam semesta beserta isinya.

Proses untuk memperoleh kesucian ini diawali dari

Page 112: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 103

kesucian para penarinya, dimana para penari yang dipilih benar benar memiliki aura kesucian secara sekala dan niskala, secara sekala kesucian ini dilihat dari kesucian jasmaninya, artinya dalam proses para penari diberikan upacara penyucian terlebih dahulu, sedangkan secara niskala pemilihan ini dipilih melalui metunyang atau atas pilihan Ida Bhatara-Bhatari lewat para pemangku. Mengingat yang dipuja adalah Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang maha suci, maka hendaknya sarana pemujaan dan para bhakta pun dalam keadaan suci atau bersih. Hal ini sesuai dengan ini dari kitab suci Manawa Dharma Sastra.V.109 yang menyatakan sebagai berikut:

Adhirgatram suddhyanti manah satyena suddhyantiWidyatapobhyam bhutatma budhis juanena suddhyanti

Terjemahannya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikran disucikan dengan kebenaran, jiwa manusia dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dengan pengetahuan yang benar (Pudja dan Sudharta, 2002)

Selanjutnya juga dipertegas dalam Manawa Dharma Sastra.V.111 yang menyatakan sebagai berikut:

Tarjanasam maniman ca sarwa syacma mayasya ca bhasmanabhirmridaCa iwa abjamasmamayam caiwa ajatam canupaskritam.

Terjemahannya:Orang bijak mengatakan bahwa semua benda-benda yang terbuat dari logam permata dan segala yang dibuat dari batu dibersihkan dengan abu, tanah dan air (Pudja dan Sudharta)

Page 113: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu104

Mencermati kedua sloka di atas, hendaknya segala sesuatu mesti dibersihkan dengan tujuan meningkatkan atau menjaga nilai kegunaannya. Memerhatikan keterangan informan dan sloka di atas, maka pementasan Tari Baris Kupu-Kupu untuk menyucikan Bhuana Alit dan Bhuwana Agung karena tarian ini dipilih dan diproses melalui proses penyucian. Dengan adanya prosesi penyucian ini maka diyakini Tari Baris Kupu-Kupu memiliki nilai-nilai kesucian dan mampu menyucikan alam semesta beserta isinya.

4.2 Aspek Ungkapan Terima KasihPementasan Tari Baris Kupu-Kupu sebagai ungkapan puji

syukur dan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karuni dan waranugrah yang diberikan kepada umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan. Hal ini dimaksudkan melalui kesuburan dan kesalamatan yang didapat oleh umat Hindu, sudah sepantasnya menyampaikan rasa terima kasih yang sedalamnya, karena tanpa karunia-Nya manusia tidak akan berarti apa-apa.

Sehubungan dengan keterangan informan di atas bila dihubungkan dengan konsep yajña adalah merupakan sesuatu yang wajib dilaksanakan oleh seluruh umat manusia. Subagiasta (1995:35) menyatakan bahwa adapun yang menjadi dasar dari adanya yajña itu yang menyebabkan pelaksanaan yajña itu merupakan sesuatu yang wajib dilakukan oleh umat Hindu antara lain karena (1) alam semesta ini dengan segala isinya tercipta adalah berdasarkan atas yajña, (2) Adanya ajaran Tri Rna yang mengatakan bahwa setiap orang yang lahir ke dunia ini terikat oleh adanya 3 jenis hutang karma yaitu Dewa Rna, Pitra Rna dan Resi Rna. Hal ini diuraikan dalam kitab Bhagawad Gita (III,10 dan 11) Yang berbunyi:

Page 114: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 105

Saha yajñāḥ prajāḥ sŗştvā,Purovāca prajāvatih,Anena praşavisyadhvam,Eşa wo’stw işța kāmandhuk.

Devām bhāvayatānena,Te devā bhāvayantu vaḥ,Parasparaṁ bhāvayantaḥ,śreyaḥ param awāpsyatha

Terjemahannya: Pada jaman dahulu kala prajapati menciptakan manusia dengan yajña dan berbeda dengan ini engkau akan mengembang dan menjadi kamadhuk dari keinginanmu. Kamadhuk adalah sapi dewa indra yang akan memenuhi sema keinginanmu (Pudja, 2005)Dengan ini kamu memelihara para Dewa dan dengan ini pula para dewa memelihara dirimu, jadi dengan memelihara satu sama lain, kamu akan mencapai kebaikan yang maha tinggi (Pudja, 2005).

Mencermati dari apa yang diuraikan dalam Bhagavadgita di atas dapat penulis cermati bahwa manusia sebagai mahluk tertinggi sudah sewajarnya menyadari akan keberadaannya yang tercipta dan dipelihara atas dasar yajña, oleh sebab itu yajña adalah sesuatu yang wajib untuk dilaksanakan sesuai dengan kemampuan masing-masing. Mencermati dari latar belakang yajña serta tujuan dari yajña itu sendiri, maka selaku mahluk yang memiliki derajat yang paling tinggi wajib untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada beliau, tanpa adanya Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasi-Nya. Untuk mengungkapkan rasa terima kasih kita kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah dengan melaksanakan yajña, ada empat cara untuk melakukan yajña, yaitu yajña yang berupa

Page 115: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu106

Karma marga, Bakti Marga, Jnana Marga dan yoga marga. Jika di hubungkan dengan penelitian ini, maka pementasan Tari Baris Kupu-Kupu adalah salah satu dari keempat jalan menuju tuhan yaitu Karma Marga. Dengan melakukan Karma Marga melalui pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini umat Hindu khususnya ingin mengungkapkan rasa terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala limpahan anugrah yang beliau berikan kepada umat Hindu.

Beranjak dari pemahaman tersebut di atas sesungguhnya bagi umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan dalam mengadakan pemujaan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa adalah dengan jalan memuja beliau dengan media ritual berupa pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Dalem Dasar. Adapun dasar keyakinan umat Hindu tersebut mengacu pada sumber ajaran agama Hindu yang terdapat dalam Bhagavadgita yang menyatakan bahwa dengan cara apa pun Aku kau sembah, asal didasari dengan perasaan yang suci dan tulus ikhlas, maka sembahmu akan aku terima, terlebih lagi jika yang tersurat dalam kitab suci Bhagavadgita sebagai berikut:

man-manā bhava mad-bhaktomad-yājī māṁ namaskurumām evaiṣyasi satyaṁ tepratijāne priyo 'si me

Terjemahannya:Pusatkanlah pikiranmu padaku, berbhakti padaku,Bersujud padaku, aku berjanji engakau akan tiba padaku, Aku berjanji setulusnya padamu sebab engkau Ku kasihi (Pudja, 2005)

Mencermati isi dari sloka di atas, maka dapat ditarik suatu pemahaman yaitu hendaknya manusia selalu memuja dan mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, karena

Page 116: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 107

itu merupakan ungkapan kasih kepada-Nya. Bila dihubungan dengan keterangan para informan, maka dapat disimpulakan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Desa Bungkulan juga sebagai ungkapan terima kasih kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala waranugrah-Nya. Selain bentuk rasa terima kasih kepada Tuhan juga sebagai bentuk syukur kepada lelhhur dan raja terdahulu yang sudah memberikan keturunannya dan masyarakatnya keselamatan, daerah dan tempat yang subur, makmur dan perlindungan sejak zaman dahulu sehingga sekarang masyarakat atau keturunannya menikmati. Dengan demikian masyarakat wajib memberikan persembahan kepada Tuhan, para dewa dan leluhur persembahan yang suci agar selalu dalam lindunganya.

4.3 Aspek BudayaBeranjak daripada sistem keberagamaan umat Hindu

maka tidak dapat lepas dengan yang namanya unsur seni budaya. Hal ini dikarenakan seni budaya merupakan wadah dalam melaksanakan aktifitas ritual keagamaan. Seni merupakan produk hasil cipta, rasa, dan karsa manusia yang dituangkan melalui ide fikiran ke dalam sebuah bentuk karya, oleh karena pada dasarnya semua orang membutuhkan seni di dalam kehidupannya, dengan demikian wajib hukumnya untuk setiap manusia memelihara dan melestarikan semua karya seni yang ada. Sehubungan dengan pelestarian kesenian terdapat sebuah seni budaya dalam bentuk pementasan Tari Baris Kupu-Kupu.

Tari Baris Kupu-Kupu sebagai pelestarian unsur seni dan budaya. Hal ini dikarenakan tari tersebut merupakan produk budaya dari masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan yang disakralisasikan dalam pementasannya. Selanjutnya juga dinyatakan bahwa kesenian ini merupakan warisan dari leluhur yang memiliki unsur religi dalam pelaksanaan upacara pujawali, dimana dalam konsep pelaksanaannya selalu berlandaskan pada

Page 117: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu108

konsep desa dresta dan kuna dresta yang tetap berlandaskan pada nilai-nilai ajaran agama Hindu.

Mencermati penjelasan di atas bila kita kaitkan dengan sumber susastra yang ada, yaitu menurut Subagiastha (1997:64) menegaskan bahwa segala konsep pelaksanaan agama Hindu di Bali selalu bertalian dengan dresta yang ada, dengan demikian apa pun jenis dresta yang dilaksanakan patut dipertahankan demi mempertahankan nilai-nilai budaya yang ada, oleh karena itu maka dapat dicermati bahwa pementasan Tari Baris Kupu-Kupu merupakan suatu wahana dalam pelestarian nilai seni dan budaya yang ada di Bali.

4.4 Aspek Estetis RelegiusHasil penelitian yang berdasarkan teknik analisa data yang

telah ditetapkan, bahwa masyarakat Hindu di Desa Bungkulan dalam berkomunikasi dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan tidak hanya melalui hubungan spiritual, namun juga melalui media-media tertentu. Hal ini merupakan hakikat hidup manusia yang universal yaitu sebagai makhluk yang menggunakan simbol sebagai alat komunikasi.

Media-media yang digunakan sebagai alat komunikasi oleh umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan khususnya adalah dengan tarian dan ritual dalam bentuk-bentuk seperti itu tersirat atau terpadu antara emosi keagamaan, etika, kebenaran, estetika dan filosofis yang menjadi kekuatan sebuah simbol yaitu simbol pengejawantahan dari pemikiran manusia yang merupakan bagian dari kekuatan yang maha besar yaitu Tuhan Yang Maha Esa.

Hal ini sesuai dengan pernyataan Dibia (2000:3-7) dalam Linggih, (2010:3) bahwa untuk pemahaman terhadap suatu karya seni yang terkait dengan religi atau estetis religius yang juga disebut seni sakral, tidak bisa lepas dengan ruang pikir kehinduan. Konsep seni dalam ruang pikir manusia Hindu

Page 118: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 109

khususnya Bali sangat terkait dengan sifat kemahakuasaan Tuhan yang meliputi tiga unsur penting, Satyam atau kebenaran, Siwam atau kebaikan atau kesucian, dan Sundaram atau keindahan. Cara pandang berdasarkan rumusan ini memperlihatkan bahwa setiap kesenian Bali khususnya yang berbentuk kesenian ritual, mengandung rasa indah atau sundaram, ketuhanan yang sejati atau satyam, mengandung unsur kesucian atau Siwam sekaligus kebenaran atau satyam.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu mengandung unsur keindahan, hal ini dapat diperhatikan dari gerakan para penari yang dibentuk sedemikian rupa sehingga ketika dilakukan pementasan membuat umat yang melihatnya merasa terpesona. Unsur seni lain yang terkandung dapat dilihat dari tata cara penggunaan pakaian dan tata rias penari yang melambangkan nilai-nilai keindahan.

Bila dicermati mengenai apa yang dipaparkan oleh informan jika kita hubungkan dengan konsep kesenian sudah barang tentu mengandung nilai keindahan. Menurut Volket (dalam Gie, 1976:50) menegaskan bahwa tentang pemaduan dua bentuk teori estetis yang objektif dan ini pengalaman yang subjektif menyatakan empat ukuran yang menjadi tanda pengenal dari karya seni yang dianggap memuaskan secara estetis yaitu keselarasan antara bentuk dan isi, kekaya rayaan hal penting menurut manusia mebawa masuk ke dunia khayal dan menyajikan suatu kebulatan yang utuh.

Memerhatikan pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap kesenian yang ada di Bali memiliki banyak fungsi, seperti halnya Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan menampilkan aspek keindahan dalam wujud bentuk, rupa, dan penampilannya. Aspek religius estetis pada Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan adalah mengejawantahan rasa seni yang diberikan oleh Tuhan dengan mengabdikan seni tersebut kepada sang pencipta seni itu sendiri

Page 119: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu110

dengan didasarkan keyakinan dan rasa syukur.Aspek Estetik Religius Tari Baris Kupu-Kupu di Pura

Dalem Dasar mengandung beraneka ragam kaidah dan unsur-unsur lain dari berbagai agama di dunia yang dapat digolongkan menjadi 5 sebagai berikut.

1) Aspek KeyakinanAspek ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana

orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran doktrin-doktrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi sering kali juga di antara tradisi-tradisi dalam agama.

Sesuai dengan aspek keyakinan, maka keyakinan Umat Hindu penyungsung Pura Dalem Dasar yang mempraktekkan Tari Baris Kupu-Kupu pada Piodalan agung dapat dibuktikan dengan dilakukannya pemujaan yang pada hakikatnya untuk memuja Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Pemujaan yang dilakukan menunjukkan bahwa penyungsung Pura Dalem Dasar mempunyai keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan.

Membahas pengertian ke-tuhan-an beserta manifestasinya kiranya tidak terlepas dari filsafat atau tattwa yang terkandung, karena hal tersebut membahas hal yang menyangkut kebenaran dari realitas yang tertinggi. Secara etimologi kata filsafat berasal dari kata “philo”, “shopos”, “philo” artinya cinta dan “shopos” itu sendiri berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Sehingga dapat diartikan bahwa filsafat itu adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan.

Max Muller (1974:104) dalam ajaran agama Hindu filsafat di sebut dengan tattwa, kata “tattwa” berasal dari bahasa sanskerta yaitu berasal dari akar kata “twa” itu sendiri berarti

Page 120: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 111

sifat, sehingga dapat disimpulkan bahwa “tattwa” mempunyai pengertian “keituan”. Dari pengertian tattwa ini kita memperoleh dan mengetahui ajaran yang paling mendasar bahkan dengan mempelajari tattwa kita akan tahu sebab atau sumber dari segala sumber dalam ajaran agama Hindu, yaitu Brahman atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai sumber yang utama sesuai yang tersirat dalam sloka berikut:

Tatah pramugraha brahma brhautam yatha nikatam sarwa Bhutaeshu sudham wiswasyaikam pari westi taram isam tamJnativam rta bhawati

Terjemahannya :Siapapun yang telah menyadari dia menghayati Ke-Tuhanan bahwaBrahma itu lebih besar dari alam semesta, berkeadaan maha besar, tidak terbatas, berada dalam tubuh setiap mahluk meliputi seluruh alam semesta dan adalah menjadi penguasa alam semesta, maha dia menjadikan keadaan abadi (Sugiarto dan Pudja, dalam Surya Dharma, 2002:60).

Sloka ini sebagai bukti bahwa sumber kebenaran, kebijaksanaan dan kesucian yang utama terletak di alam semesta ini pada Tuhan Yang Maha Esa, namun walau demikian Tuhan tidak pernah terlihat, diraba, pendeknya Tuhan tidak terjangkau oleh Panca Indra kita akan tetapi Tuhan diyakini keberadaannya, seperti yang termuat dalam Bhagavadgita VIII.20. Yang menyatakan sebagai berikut:

paras tasmāt tu bhāvo’nyo’vyakto’vyaktāt sanātanah yah sa sarveşu bhūteşu naśyatsu na vinaśyati

Page 121: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu112

Terjemahannya:Lebih tinggi dari semua yang tak nyata ini adapula yang tak nyata, kekal abadi. Tidak termusnahkan walau semua yang lainnya musnah sirna (Pudja; 2005).

Dari sloka tersebut di atas diuraikan ajaran kesunyataan tentang hakikat Tuhan yang tidak nyata, dan yang nyata muncul dari yang tidak nyata dan kembali pada yang tidak nyata pula atau maya. Dengan keterbatasan itulah, maka tidak ada yang mempertanyakan apakah dan siapakah Tuhan itu? karena apabila menjawab pertanyaan tersebut adalah sama dengan memaksa diri untuk mendefenisikan Tuhan yang begitu abstrak, sedangkan secara teori apabila sudah berbicara tentang defenisi haruslah lengkap dan benar-benar memberikan gambaran yang jelas. Tuhan yang mencakup segala yang ada, luas dan mutlak, dan tidak terjangkau oleh pikiran manusia, sehingga setiap defenisi tentang Tuhan selalu tidak lengkap dan kabur, oleh karena itu manusia berusaha menggambarkan Tuhan menurut kemampuan alam pikirannya walaupun penggambaran tersebut terkadang tidak sesuai dengan apa yang tersirat di dalam kitab suci.

Sesuai dengan uraian di atas Tuhan Yang Maha Esa dimohonkan untuk hadir dalam suatu tempat dan dalam hal ini beliau di sebut dengan Sang Hyang Widhi Wasa, karena beliaulah yang menakdirkan atau beliau yang maha kuasa. Wajowasito (1969:270) Kata Widhi berarti kekuatan takdir atau Tuhan Maha Kuasa. Dalam implementasinya untuk mentakdirkan atau untuk menggambarkan Kemahakuasaan Tuhan, umat Hindu khususnya yang ada di Bali mempergunakan berbagai sarana seperti banten juga diaktualisasikan dengan adanya pratima sebagai media atau sarana pengembangan diri kepada yang Maha Kuasa sehingga dalam hal ini nilai kebenaran tattwa akan sangat kelihatan dengan adanya penggambaran manusia terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa lewat manifestasinya sebagai Dewa

Page 122: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 113

atau Bhatara bersthana pada setiap penjuru mata angina, yang merupakan keyakinan umat Hindu hanya keadaan yang Sunya yang memiliki sifat yang mutlak tentang kebenaran beragama melalui berbagai ritual sebagai pengejewantahan rasa bhakti kepada yang Maha Pencipta.

Dalam kaitannya dengan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar adalah bagaimana kepercayaan umat Hindu Penyungsungnya terhadap adanya menifestasi Tuhan yang di puja untuk memohon keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan, kesuksesan, kesehatan, serta untuk menetralisasi sifat-sifat negative dan memanfaatkan sebesar mungkin untuk menciptakan keharmonisan serta keseimbangan Parahyangan atau hubungan yang harmonis antara Penyungsung Pura dengan Tuhan.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Bungkulan di Desa Pakraman Bungkulan juga bertujuan menuntun jalan pikiran para Penyungsungnya untuk memperdalam kepercayaan atau sradha kepada Tuhan. Lebih lanjut dalam setiap kehidupan manusia tentunya mendambakan rasa damai dan ketentraman, sehingga manusia akan mencari sumber kedamaian tersebut yang mana sumber ketentraman dan kedamaian tersebut adalah Tuhan itu sendiri, hal ini selaras dengan yang tersurat dalam Bhagavadgita II. 66 sebagai berikut:

Nāsti buddhir ayuktasyaNa cāyuktasya bhāvanāNa cābhāvayatah śāntirAśāntasya kutaḥ sukham

Terjemahannya :Orang yang tidak mempunyai hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak mungkin memiliki kecerdasan rohani dan pikiran yang mantap. Tanpa pikiran yang mantap tidak mungkin ada kedamaian, tanpa kedamaian bagaimana mungkin ada kebahagiaan (Pudja; 2005).

Page 123: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu114

Berdasarkan kutipan sloka di atas jelas sekali sumber dari kedamaian adalah kecerdasan rohani, yang mana kecerdasan rohani yang dimaksud adalah kecerdasan yang berupa kesadaran akan hakikat sang diri serta sumber Maha Utama. Dengan memiliki pikiran yang mantap, otomatis perlahan pikiran-pikiran positif muncul dari dalam diri, dengan pikiran yang positif akan tercipta pula suasana yang kondusif, tentram dan damai, dengan meyakini tentang manifestasi Tuhan yang melinggih atau berstana pada Pura Dalem Dasar diharapkan mampu menciptakan kecerdasan rohani serta pemikiran yang mantap guna meningkatkan Sradha kepada Tuhan sehingga dengan keyakinan yang mantap terhadap eksistensi Tuhan serta keyakinan akan adanya Karmaphala maka akan tercipta prilaku yang positif menuju tercapainya hubungan yang harmonis antara Penyungsung dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

2) Aspek Pengetahuan KeagamaanAspek ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang

yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan sekecil apa pun tentang dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan adalah syarat bagi penerimanya walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu berstandar pada keyakinan. Seseorang lebih dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan yang amat sedikit. Demikian juga dengan pengungsung Pura Dalem Dasar ini, tidak banyak memahami tentang pengetahuan agama tetapi, dapat merasakan adanya suatu kekuatan yang menimbulkan keyakinan yang sangat kuat ditambah lagi dengan kejadian-kejadian yang terjadi diluar batas pikiran manusia, sehingga menambah keyakinan para penyungsungnya.

Page 124: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 115

3) Aspek KonsekuensiKonsekuensi komitmen agama berlainan dari empat

aspek yang sudah diuraikan di atas. Aspek ini mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Istilah “kerja” dalam pengertian theologies digunakan disini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas batasan mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

Bagi semua agama dapat dikatakan bahwa theology atau kepercayaan keagamaan adalah jantungnya keyakinan. Theologi terdapat di dalam seperangkat kepercayaan mengenai kenyataan terakhir, mengenai alam dan kehendak-kehendak supernatural, sehingga aspek-aspek lain dalam agama menjadi koheren. Ritual atau kegiatan-kegiatan yang menunjukkan ketaatan seperti dalam persekutuan atau sembahyang tidak dapat dipahami kecuali jika kegiatan-kegiatan itu berada dalam kerangka kepercayaan yang mengandung dalil bahwa ada suatu kekuatan yang besar yang harus disembah. Sama pula halnya, masuk akal bila kita menyembah seorang penganut yang acuh tak acuh terhadap religius, tetapi bukan seorang skeptis atau, penganut yang tidak memiliki pengalaman religius masih tetap tidak memiliki kepercayaan agama, tampaknya disebut pisikotik. Sebenarnya penganut yang melakukan perbuatan tercela berselang seling dengan perbuatan baik berdasarkan agama tetap dipandang religius, tetapi demikian halnya bagi eteistikal. Jadi, dimensi kepercayaan dapat dianggap penting secara khusus, tetapi seringkali tidak cukup untuk menggambarkan aspek komitmen terhadap agama.

Glock dan Stark (1965) sebagaimana dikutip oleh Root (1979) menunjukkan lima aspek pengukuran kadar keagamaan

Page 125: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu116

yaitu aspek idiologikal atau kepercayaan, ritual atau praktek keagamaan, eksperiencial atau pengalaman. Aspek idiologi atau kepercayaan dan keyakinan menunjukkan tingkat kesetujuan seseorang terhadap kepercayaan yang dianutnya. Aspek ritual atau praktek keagamaan adalah frekuensi partisipasi dan ketaatan terhadap agama yang dianutnya. Aspek pengalaman keagamaan menunjuk kepada dan sesuatu perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang dengan Tuhan. Pada aspek pengetahuan menggambarkan seberapa jauh orang yang beragama mengetahui dokrin-dokrin atau dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, tradisi-tradisi dan norma-norma agama yang dianutnya. Adapun aspek konsekuensional menunjukkan seberapa jauh komitmen dan kehidupan sehari-hari sesuai dan selaras dengan aspek lainnya. Dalam hal ini pementasan Tari Baris Kupu-Kupu pura Dalem Dasar mempunyai komitmen untuk menjaga dan mengajegkan Tari Baris Kupu-Kupu dari masa ke masa pada piodalan agung di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan. Penyungsung pura Dalem Dasar mempunyai keyakinan yang sangat kuat, sehingga sampai saat ini masih melestarikan kebudayaan yang ada di pura Dalem Dasar.

4.5 Aspek PendidikanBerdasarkan teknik analisa data yang telah ditetapkan,

bahwa Tari Baris Kupu-Kupu sebagai media pendidikan agama Hindu di mana gerak tari dan cerita dari tari tersebut memberikan pembelajaran kepada seluruh masyarakat bahwa bersikap adil dalam diri sendiri sangat penting, sikap menghormati diri sendiri dengan selalu berbuat baik dengan membekali diri dengan ilmu pengetahuan guna dapat mendasari diri dengan kebenaran untuk bisa mencapai tujuan tertinggi yaitu bersatu dengan Tuhan.

Tari Baris Kupu-Kupu biasanya dipentaskan dalam rangkaian upacara pujawali di Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman Bungkulan, yang digunakan sebagai penyempurna

Page 126: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 117

pelaksanaan yajña. Disamping itu yajña hanya bisa terlaksana jika didahului dengan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu, hal ini ditegaskan secara tattwa atau hakikatnya bertujuan untuk menurunkan atau menghadirkan Ida Bhatara yang bersthana di Pura Dalem Dasar dengan maksud supaya mau menerima segala persembahan yajña.

Dilihat dari segi tattwa nya, pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yang merupakan tarian sakral dalam ritual keagamaan sangat penting untuk dilaksanakan, karena tarian sakral adalah merupakan personifikasi dari sikap mudra, Kenyataan ini sesuai dengan sejarah tari sakral, secara mitologinya diciptakan oleh Dewa Brahma dan sebagai dewa tarinya adalah Dewa Siwa yang dikenal dengan tarian kosmisnya yaitu Siwa Natya Raja. Pada saat itu Dewa Siwa memutar dunia ini dengan gerakan mudra yang memiliki kekuatan gaib, dengan isyarat dari sikap tangan, tubuh dan kaki maka kekuatan gaib dari dewa-dewa dan Alam Semesta akan ditarik seperti seorang hipnotoseur menggerakkan objeknya. Setiap sikap tangan dan gerakan anggota tubuhnya memberikan arti dan mengandung kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan keindahan rupa ataupun pakaian, tetapi juga didasarkan pada arti sikap sikap simbolik dari berbagai jenis gerakan mudra yang ditampilkan dari tarian tersebut .

Umat Hindu dibali mengaplikasikan sikap mudra ini sikap mudra ini melalui dua bentuk yaitu sikap gerakan mudra yang dilakukan oleh para Sulinggih dalam memimpin yajña, dan sikap mudra yang ditampilkan dalam gerakan gerakan tari. Atas dasar kenyataan ini maka dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan yang ada di Bali hendaknya selalu diikuti oleh pementasan tari sakral, hali ni juga ditegaskan dalam lontar Kusuma Dewa no 1804 Gedung Kirtya, 30 hal 37a dan b sebagai berikut.

Samangkana kramane mangaturang aci – aci pengodalan

Page 127: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu118

ring kahyangan, yan huwus sira pandita maweda ngastawa, angaturang odalan ring dewa mwah ring Bhatara bhatari, tumurun ida mabyasa, dewane malinggih ring pamikulan sami ,Ida Bhatara Taya malinggih ida ring pasamuhan sami, Ring padmasana ring putih, kahiring Ida antuk Dewane sami, mailehan ring kahyangan,Saupecaran idane jun pere, umbul umbule masurat naga, tunggule masurat wandara sakti, reronteke nesikian masurat geruda, ungkulin pajeng pagut, cecepan dadua, medaging we, pucung 4, medaging sajeng mentah, 2 rateng 2, jagi tabuhangwuse mailehan dewane malinggih Ida Ring Panggungane ne utama, Ida Bhatara Taya malinggih ida ring panggungan sarwa arak twake ring pucung, tabuhakena maring jaba., Semalih ngaturang pependetan sadya luh muani, tua bajang,, raris kakuluhin sami mabhakti. Katunasang kakuluh antuk pemangku ika, ne ring dewa mwah kakuluh ring Bhatara, wus akekuluh raris makidung warga sari, kenak kayun Ida batara mwah Hyang Dewa

Terjemahnnya: Beginilah tata cara menghaturkan pengaci atau banten piodalan di kahyangan, setelah sang sulinggih memuja stawa, menghaturkan banten piodalan kepada para Dewa maupun ida Bhatara bhatari, maka turunlah beliau ke parhyangan, Para dewa berstana di pelinggih masing masing, Ida Bhatara Taya bersthana di bale pengaruman, di padmasana putih, diiringi oleh semua Dewa Mengelilingi Kahyangan,, alat upacara untukbeliau, adalah jun pere, umbul umbul yang bergambar naga, kober yang bergambar kera sakti, rerontek yang satunya bergambar garuda, diatasnya payung kembar, caratan berisi air dua buah, botol empat buah, dua yang berisi tuak dan yang lainnya

Page 128: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 119

berisi arak, akan di tabbuhang setelah para dewa berputar dan bersthana di bale panggungan utama, ida Bhatara Taya bersthana di bale panggungan yang utama dengan disuguhkan arak dan tuak memakai botol. Kemudian tabuhkanlah arak dan tuak itu dijabayan, kemudian di persembahkan lah pependetan dengan sserentak oleh laki dan perempuan, tua maupun muda, kemudian di mohonkan tirta kakuluh lalu smuanya mebhakti, dimohonkan tirtha kekuluh oleh para pemangku, bak kepada Dewa Maupun Bhatara bhatari, wus akekuluh raris makidung warga sari, senanglah hati para Dewa dan Bhatara Bhatari.

Menyimak seperti yang telah diuraikan dalam Lontar Kusuma Dewa di atas bila mengingatkan kepada kita betapa pentingnya pementasan tari sakral dalam setiap pelaksanaan upacara yajña. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh umat Hindu di Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman Bungkulan yang selalu mementaskan Tari Baris Kupu-Kupu saat pelaksanaan upacara pujawali di Pura Dalem Dasar. Aspek pendidikan sangatlah jelas dalam pementasan ini yaitu mengajarkan kepada masyarakat bahwa dengan persatuan dapat mengalahkan segala permasalahan, dengan persatuan dapat membangun suatu masyarakat yang kuat dan makmur. Selain itu terdapat aspek mencerdaskan masyarakat dalam menghadapi segala permasalahan harus selalu memohon petunjuk restu atau berkah dari Tuhan, para dewa dan leluhur terlebih dahulu baik pekerjaan apaun yang dilakukan agar selalu dalam keadaan selamat dan sesuai dengan tujuan.

4.6 Aspek SosiologisBeranjak dari pemahaman tentang aktivitas keagamaan

yang bertalian dengan konsep relegi yang dianut oleh umat Hindu di Bali, sudah barang tentu memiliki keterkaitan dengan sistem

Page 129: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu120

sosial di masyarakat karena dalam pelaksanaannya melibatkan komponen masyarakat setempat, begitupula dengan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yang dilaksanakan di Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman Bungkulan. Pementasan tari tersebut melibatkan beberapa aspek sosial di luar seni, sebagai bukti nyatanya dapat diperhatikan pada tahap persiapan pementasan yang selalu diiringi dengan penyiapan sarana upakara yang dilakukan secara bersama-sama dengan semangat simakrama atau gotong-royong. Hal ini tentu dikerjakan dengan adanya kesadaran secara bersama-sama oleh masyarakat setempat dan sekaligus mampu menjaga takaran nilai sosial masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan.

Sehubungan dengan pernyataan informan, bila dikaitkan dengan keberadaan seni sebagai salah satu aspek pendukung keberagamaan umat Hindu sebagaimana yang dinyatakan oleh Bandem (1996:28) sebagai refleksi dan validasi sosial. Pada hakikatnya manusia baru mampu melaksanakan aktivitas keagamaannya dengan kerjasama sosial dalam masyarakat.

Mencermati keterangan di atas maka dapat disimpulkan tentang aspek sosiologis yang terkadung dalam pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yaitu tentang sistem sosial dalam melaksanakan ritual secara bersama-sama. Rangkaian pelaksanaan upacara yang melibatkan beberapa komponen masyarakat seperti Sekaa Gong, Sekaa Santi, Sekaa Ngigel dan Sekaa Banten hendaknya selalu bisa menjaga komunikasi yang baik dengan berlandasan pada ajaran Tri Kaya Parisudha supaya pelaksanaannya selalu dalam keadaan harmonis. Adanya keterpaduan beberapa komponen ini merupakan suatu bukti bahwa pementasan Tari Baris Kupu-Kupu memiliki aspek sosial yang sangat tinggi yang selau bisa dikembangkan untuk tetap dilestariakan dalam pelaksanaan upacara yajña di Pura Dalem Dasar.

Aspek yang sangat penting dalam pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini adalah membangun jiwa-jiwa masyarakat

Page 130: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 121

tentang kehidupan bersama-sama membagun masyarakat dan keluarga yang rukun, damai dan sejahtera. Tari yang dipentaskan saat upacara suci mengakibatkan masyarakat lebih menyakini dan memahami isi pementasan yaitu mengenai kewajiban mempertahankan kerukunan antara sesama sebagai bentuk bhakti kepada leluhur terdahulu yang sudah memberikan tempat, wilayah dan tempat tinggal agar terus dijaga dengan baik. Kehidupan sosial orang bali yang terkenal dengan ramah, baik saling membantu itulah yang tersirat dalam pementasan tari Baris Kupu-kupu ini selain dari aktivitas nyatanya dengan kepengurusan tari Baris Kupu-kupi dan berkaitan dengan kelompok musik, kelompok upacara dan sebagainya sehingga timbul suatu keakraban antara kelompok kesenian sehingga berdampak baik seluruh masyarakat alinnya.

4.7 Aspek Untuk Memohon KesuburanSalah satu aspek dari pelaksanaan pementasan Tari

Baris Kupu-kupu adalah untuk memohon kesuburan. Hal ini didasarkan bahwa sebagian besar umat Hindu di Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng adalah bermata pencaharian pertanian, melalui ritual dalam Tari Baris Kupu-kupu umat Hindu memohon anugrah supaya dilimpahkan kesuburan terhadap hasil pertaniannya. Hal ini merupakan suatu inisiasi upacara dalam rangkaian menjaga hubungan yang harmonis dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, sehingga beliau senantiasa melimpahkan karunia-Nya.

Beranjak dari pernyataan tersebut sudah barang tentu agama Hindu di Indonesia dan di Bali pada khususnya selalu memegang teguh konsep Tri Hita Karana jika dilihat dalam konsep harmoni yang menjadi filsafat orang Hindu di Bali yaitu Tri Hita Karana yakni menyangkut hubungan yang harmonis antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia serta manusia dengan alam lingkungan. Dengan demikian konsep

Page 131: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu122

harmoni dengan totalitas perpaduan antara aspek vertikal yaitu Tuhan dan horisontal yaitu manusia dan alam. Ketiga aspek ini menimbulkan adanya hubungan yang berkaitan dengan sitem pemujaan, sistem kekerabatan serta sistem kemasyarakatan dalam masyarakat Bali.

Banyak seniman Bali yang menggunakan tema berdasarkan Tri Hita Karana sebagai sumber ide penciptaan seni hal ini disebabkan karena Tri Hita Karana secara visual merupakan sebuah konsep yang sangat menumental dan bersifat adiluhung. Pancaran nilai estetik yang sangat tinggi memberikan daya tarik yang sangat kuat bagi para seniman Bali untuk mengangkatnya sebagai sumber inspirasi dalam proses penciptaannya. Para seniman Bali sangat tertarik mengangkat Tri Hita Karana di Bali sebagai sumber ide penciptaan karya seni karena upacara-upacaranya sangat unik dan ertistik dengan penuh variasi yang ditemukan, dalam setiap upacara-upacara yang ada di Bali.

Originalitas dalam penciptaan karya ini adalah tidak meniru sebuah karya yang telah ada, tetapi menciptakan sebuah karya dengan sumber ide yang berlandaskan Tri Hita Karana.

Wiana (2004:148) mengemukakan, pentingnya melakukan ritual, karena upacara merupakan kulit yang menjadi pembungkus media susila dan tattwa agama, Masyarakat Bali tidak pernah terlepas dari ritual agama Hindu yang selalu mencari keseimbangan dalam hampir setiap kegiatan hidupnya.

Melalui ritual yang dilaksanakan dalam pementasan Tari Baris Kupu-kupu adalah merupakan simbolisasi terhadap harapan masyarakat agar tercapainya kesejahtraan dan kesuburan dalam hidup ini, kesejahtraan serta kesuburan adalah sebagai bentuk keyakinan masyarakat. Kesuburan dan kesejahtraan masyarakat akan dengan mudah tercapai apabila masyarakat mampu menjaga keselarasan hubungan dalam konsep Tri Hita Karana. Kesuburan dan kesejahtraan dalam kehidupan manusia di dunia akan dapat tercapai apabila diawali dengan

Page 132: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 123

menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan tuhannya. Jika Manusia mampu menjaga hubungan manusia dengan tuhan yang diwujudkan dengan mengaplikasikan ajaran ajaran agama yang dianutnya sehingga manusia memiliki kesadaran mental dan jasmani sehingga manusia mampu menyadari hakikat dirinya adalah sama dimata Tuhan. Setelah kesadaran akan dirinya muncul, maka dia akan mampu menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia lainnya serta mampu menjaga hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam sekitarnya. Jadi, kesejahtraan dan kesuburan hidup manusia adalah merupakan wujud nyata dari keharmonisan konsep Tri Hita Karana. Tari Baris Kupu-kupu merupakan salah satu simbol kemakmuran, karena di dalam masyarakat yang makmur maka semua mahluk hidup akan dapat hidup secara berdampingan.

Dalam mengembangkan Tri Hita Karana, fasilitas umat harus lebih difungsikan untuk melakukan pemujaan yang lebih intensif kepada Tuhan.

Page 133: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu124

BAB VIMPLIKASI NILAI RELIGIUS DALAM

PEMENTASAN TARI BARIS KUPU-KUPU PADA UPACARA PUJAWALI DI PURA

DALEM DASAR

Sesuai dengan penjelasan prosesi pementasan dan fungsi yang sudah dijelaskan sebelumnya, maka makna yang terkandung dalam pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng merupakan wujud dan rasa bhakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan dilaksanakan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu diyakini dapat mendatangkan keselamatan dan ketenangan bhatin. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Tim Penyusun, 1991:619), makna berarti: (1) arti, (2) maksud pembicaraan atau penulis, pengertian yang diberikan kepada suatu bentuk keharusan. Bermakna berarti mempunyai atau mengandung arti penting atau dalam.

Makna adalah suatu konsep yang paling bernilai dalam kehidupan masyarakat, menurut Mudji Sutrisno (dalam Sutariani, 2003:14) bahwa makna adalah sebuah kata adalah objek dilambangkan. Kata menunjukkan sesuatu yang dapat diyakini kebenarannya. Ajaran agama Hindu memuat tiga kerangka dasar yang menjiwai setiap aspek kehidupan beragama, ketiga Aspek itu memiliki hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan, hal ini sesuai dengan apa yang ungkapkan dalam lontar Tapeni Yajña dalam Sudarsana ( 1998:22) sebagai berikut.

“ Ih…Sira sang Umara Yajña, Rengenan rumuhun pewarah nira Dewi Tapeni, Yan sira mahyun anangun Yajña, Eling akena rumuhun den apened, Apan Yajña adruwe Tattwa,

Page 134: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 125

yan Yajñanta tan manut ring Tattwannia tan bina kadi Wang Wuta, Mangkana juga kang Yajña adruwe Sesana, Yan tan manut ring sesanania, sama juga kadi Wang Wisu Tuli, Elingakena Yajña ika adruwe Dudonan, Yan tan manggeh ring anggania ika ingaranan Rumpuh, kadang lurung Yajñanta, Tan bina kadi yajña kutang ring margi”.

Terjemahannya:Hai…. Engkau yang membuat Yajña, Dengarlah dahulu sabdaku Dewi Tapeni, Jika engkau ingin membuat Yajña dengarlah dahulu dengan seksama sebab yajña itu memiliki Tattwa, jika yajñamu tidak sesuai dengan Tattwanya, sama halnya seperti orang buta, Begitu pula Yajña itu memiliki Sesana atau aturan atau ethika, jika tidak sesuai dengan sesananya, sama juga seperti orang bisu dan tuli, dan ingatlah yajña itu memiliki dudonan atau rangkaian, jika tidak sesuai dengan dudonannya itu disebut Lumpuh, tidak berguna Yajña-mu, tidak ada bedanya seperti yajña yang dibuang di jalanan (Sudarsana, 1998)

Menyimak dari kutipan lontar di atas dapat disimpulkan bahwa tingkat pemahaman dan keyakinan terhadap ajaran agama bisa dicapai apabila terjadi keselarasan pemahaman antara unsur tattwa, ethika dan ritual. Adapun dalam pelaksanaan kegiatan agama di dalam kehidupan sehari hari ketiga kerangka dasar agama Hindu ini tetap dijadikan sebagai pedoman, demikian halnya pementasan Tari Baris Kupu-kupu yang merupakan tarian sakral sudah barang tentu memiliki nilai tattwa, ethika dan ritual yang sangat besar, berikut ini implikasi nilai religiusitas yang terkandung dalam Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng.

Page 135: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu126

5.1 Implikasi Tri Hita KaranaAgama Hindu tersusun atas Tri Kerangka Dasar Agama,

yaitu Tattwa, susila atau etika dan ritual atau upacara. Untuk mengetahui ajaran agama Hindu, dapat dipelajari Tiga Kerangka tersebut secara benar, agar tidak terjadi salah pandang terhadap ajaran Hindu. Ketiga ajaran Hindu ialah Tattwa, Susila, dan Acara merupakan satu rangkaian yang tidak dapat dipisahkan, karena bila salah satu tidak terkait, maka belum dapat dikaitkan ajaran Hindu.

Falsafah Tri Hita Karana bisa disebut sebagai ideologi, karena dalam falsafah itu mengandung antara lain pedoman perjuangan untuk mewujudkan cita-cita dan ada sejumlah ajaran mendasar mengenai perjuangan itu. Menurut Wiana (2004:141) secara substantif, ajaran Tri Hita Karana sudah ada di tingkat nasional bahkan internasional dengan nama “konsep hidup seimbang”. Sementara itu, menurut Jaman (2006:18) istilah Tri Hita Karana berasal dari bahasa Sanskerta, yaitu dari kata “Tri Hita” dan “Karana”. “tri” berarti “tiga”, “hita” berarti “baik, senang, gembira, lestari”, dan “karana” berarti penyebab atau sumbernya sebab. Dengan demikian, “Tri Hita Karana” berarti tiga unsur yang merupakan sumbernya sebab yang memungkinkan timbulnya kebaikan. Ketiga unsur itu adalah unsur Jiwa atau Atma; unsur tenaga atau kekuatan atau prana dan unsur badan wadah atau sarira. Dengan demikian, Tri Hita Karana adalah perwujudan kesejahteraan dan kebahagiaan yang terdiri dari unsur Ida Sang Hyang Widhi atau Tuhan (Super Natural Power), manusia (Microcosmos), dan alam semesta atau Bhuwana Agung (Macrocosmos). Hal ini menjadi pola dasar tatanan kehidupan umat Hindu, yang dijadikan budaya perilaku sehari-hari dalam berbagai aktivitas, sehingga muncul konsep mengajarkan pola hubungan yang harmoni atau selaras, serasi dan seimbang di antara ketiga sumber kesejahteraan dan kebahagiaan, yang terdiri dari unsur: (1) Parhyangan,

Page 136: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 127

harmonis antara manusia dengan Sang Pencipta (Brahman); (2) Pawongan, harmonis antara manusia dengan sesama manusia (microcosmos); dan (3) Pelemahan, harmonis antara manusia dengan Bhuwana Agung (macrocosmos). Adapun Penjelasan lebih jauh tentang falsafah Tri Hita Karana tersebut dapat diuraikan sebagai berikut.

5.1.1 ParhyanganKetiga unsur yaitu Parhyangan, Pawongan dan Palemahan

sesungguhnya tidak bisa dibedakan secara dikotomis atau dipisah-pisahkan begitu saja. Menurut Ardana (2007:61), ketiga unsur tersebut harus menyatu terpadu membentuk sikap hidup dalam Tri Hita Karana. Hal itu disebabkan hubungan anatara manusia dengan manusia dan manusia dengan alam lingkungan. Dengan demikian, jika meningkatnya kualitas hubungan manusia dengan Tuhan maka meningkat pula hubungan antara manusia dengan manusia dan hubungan manusia dengan alam.

Argumen ini juga didukung oleh sesanti, manava seva is madava seva yang artinya malayani manusia juga melayani Tuhan. Hubungan harmonis antara manusia dengan Tuhan antara lain diwujudkan dengan melakukan upacara atau ritual. Lebih jauh Wiana (2004:148) mengemukakan, pentingnya melakukan ritual, karena upacara merupakan kulit yang menjadi pembungkus media susila dan tattwa agama. Dalam kehidupan mengembangkan Tri Hita Karana, fasilitas umat harus lebih difungsikan untuk melakukan pemujaan yang lebih intensif kepada Tuhan.

Dalam kehidupan umat Hindu di Bali, upacara keagamaan sering disamakan pengertiannya dengan Yajña, sehingga setiap upacara disebut juga Yajña. Dua istilah itu sering digendengkan sehingga acapkali diucapkan atau ditulis upacara Yajña. Seperti sudah banyak ditulis dalam berbagai media, di Bali ada dikenal istilah Panca Yajña. Satu di antara Panca Yajña itu adalah

Page 137: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu128

Dewa Yajña. Salah satu bentuk pelaksanaan upacara Dewa Yajña adalah pujawali di Pura Kahyangan Jagat. Pujawali itu ada dilakukan berdasarkan perhitungan tahun Chandra atau sasih dan ada pula dilakukan berdasarkan pawukon. Pujawali atau sering disebut piodalan yang dilakukan berdasarkan Sasih dilangsungkan setahun sekali pada bulan purnama atau tilem. Pujawali yang berdasarkan perhitungan pawukon digelar pada wuku-wuku tertentu setiap 210 hari (Wiana,1995:8).

Ditinjau dari segi filsafat memuja Tuhan bisa dilakukan dimana-mana. Akan tetapi bukan berati Pura tidak penting untuk dipelihara. Supaya dapat memuja Tuhan lebih khusuk terutama bagi masyarakat kebanyakan maka keberadaan Pura terasa sangat penting. Titib (2003:88-89) mengemukakan Pura merupakan simbol atau replika dari kosmos atau alam sorga atau kahyangan. Hal ini bisa dilihat dari bentuk atau struktur, relief, gambar dan ornament pada sebuah Pura. Adanya keyakinan itu, merupakan salah satu alas an, mengapa umat Hindu di Bali termasuk loyal bila diajak membangun Pura.

Berbiacara tentang fungsi Pura menurut keputusan seminar kesatuan tafsir terhadap aspek-aspek agama Hindu, yakni sebagai tempat memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa atau manifestasi-Nya dan Atma Sidha Dewata atau roh suci leluhur. Di Bali, Pura dikelompokkan dengan tujuan meningkatkan pengertian dan kesadan umat terhadap Pura sebagai tempat suci. Dasar pengelompokkan Pura di Bali, yakni tattwa agama Hindu yang berpokok pangkal pada konsepsi ketuhanan “ekam sat wipra bahudha vadanti” yang artinya hanya satu Tuhan Yang Maha Esa orang arif bijaksana menyebutnya dengan banyak nama, “Brahman Atman Aikyam” artinya Brahman dan Atman hakikatnya menunggal. Disamping itu berdasarkan pada prabhawa Hyang Widhi Wasa dan atau Atma Sidha Dewata yang dipuja di Pura tersebut, Pura juga bisa dibedakan menjadi beberapa jenis Pura juga didasarkan

Page 138: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 129

pada panyiwi Pura tersebut dan warga atau clan (Tim Redaksi Bali Post, 2006:5-7). Berdasarkan fungsinya, Pura di Bali digolongkan menjadi dua kelompok yaitu (1) Pura Jagat yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawa-Nya atau Manifestasi-Nya; (2) Pura Kawitan yaitu Pura yang berfungsi sebagai tempat suci untuk memuja Atma Sidha Dewata atau Roh Suci Leluhur.

Berdasarkan karakterisasinya, Pura di Bali digolongkan menjadi empat kelompok yaitu (1) Pura Kahyangan Jagat merupakan Pura tempat pemujaan Hyang Widhi Wasa dalam segala Prabhawa-Nya atau manifestasi-nya seperti Pura Sad Kahyangan dan Pura Jagat lainnya; (2) Pura Kahyangan Desa atau teritorial yaitu Pura yang disungsung oleh desa adat; (3) Pura Swagina atau Pura fungsional yaitu Pura yang penyiwinya terikat oleh ikatan swaginanya (kekaryaannya) yang mempunyai profesi sama dalam system mata pencaharian hidup seperti Pura subak, Pura melanting dan yang sejenisnya; dan (4) Pura Kawitan yaitu Pura yang penyiwinya ditentukan oleh ikatan “ wit” atau leluhur berdasarkan garis kelahiran atau genealogis, seperti sanggah atau merajan, Pretiwi, Ibu, Panti, Dadia, Batur Penataran Dadia, Dalem Dadia, Pedharman dan yang sejenisnya.

Selain kelompok Pura yang mempunyai fungsi dan karekterisasi seperti tersebut di atas, terdapat pula Pura yang berfungsi untuk memuja Tuhan atau prabhawanya dan memuja Atma siddha dewata atau Roh Suci Leluhur. Palinggih penyawangan yang terdapat di kantor-kantor, sekolah-sekolah dan sejenisnya dengan itu dapat dikelompokan ke dalam kelompok Pura jagat atau umum karena sebagai tempat pemujaan Prabhawa tertentu dan Sang Hyang Widhi Wasa. Pura, juga bisa diumpamakan sebagai puting susu lembu. Dalam tubuh lembu, semuanya mengandung susu, namun untuk mendapatkan air susu tersebut, orang-orang yang terbatas hanya bisa memerah lewat puting susunya.

Page 139: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu130

Demikianlah, Tuhan sesungguhnya ada dimana-mana, namun bagi orang-orang yang masih terbatas, baru merasa sreg kalau menghaturkan sembah bakti di Pura. Menjaga hubungan yang harmonis dengan Tuhan tidak selalu bebrbentuk pemujaan dengan cara menghaturkan sembah. Hal itu disebabkan, untuk berbakti kepada Tuhan bisa dilakukan dengan melakukan seva, atau pelayanan. Banyak bentuk pelayanan kepada Tuhan, anatara lain dengan mempersembahkan seni tari.

Dengan demikian orang yang membawakan tari sakral juga termasuk persembahan. Dalam melakukan upacara, haruslah dilaksanakan dengan lascarya, yaitu benar-benar dijalankan dengan tulus ikhlas. Kalau dilakukan dengan di dahului atau di akhiri dengan pertengkaran baik antara suami dengan istri, maupun antara orangtua dengan anak, maka upacara itu berati sia-sia. Demikian pula pahala upacara Yajña telah diilustrasikan dalam epos Mahabharata. Salah satu penggalan cerita itu disampaikan kembali oleh I Ketut Mastra dari Jl. Cok Agung Tresna No 33 Denpasar, melalui kolom Surat Pembaca yang dimuat Bali Post, 8 Maret 2005. Dalam tulisannya yang diberi judul “Dengarkan Jawaban Tuhan”itu, Mastra mengemukakan cerita yakni ketika para Pandawa mengadakan upacara Aswaweda Yajña. Selaku penasihat, Sri Krishna memberitahukan bahwa apabila Yajña tersebut diterima oleh Tuhan, maka aka nada jawaban Tuhan berupa tanda-tanda alam atau tanda lainnya. Ternyata upacara belum berphala, meski sudah dilangsungkan beberapa lama. Penyebabnya adalah karena Dewi Drupadi mempunyai pikiran yang tidak etnis terhadap pandita yang mengantarkan jalannya Yajña tersebut. Tentang kualitas Yajña, maka aspek susila atau etika sangat penting diperlihatkan, karena akan diyakini amat menentukan kualitas dan pahala upacara.

Berikut salah satu pelaksanaan upacara Yajña khususnya di Desa Pakraman Bungkulan.

Page 140: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 131

Foto 5.1Suasana setelah dilaksanakannya persembahyangan di Pura Dalem

Dasa Desa Pakraman BungkulanDokumentasi : Wisnawa,2016

5.1.2. Pawongan Menurut Ardana (2007:64) nilai-nilai budaya yang

masih tertanam kuat dalam kehidupan masyarakat Bali antara lain nilai kebersamaan. Nilai kebersamaan dalam masyarakat Bali adalah nilai yang dapat mewujudkan solidaraitas sosial yang dapat mewujadkan soalidaritas sosial yakni anatara lain paras-paros artinya senasib, sepenanggungan baik di kala suka maupun duka. Sagilik, saguluk, salunglung, sabayantaka artinya ringan sama dijinjing, berat sama dipikul. Nilai –nilai kebersamaan itu sering diucapkan oleh I Ketut Kodi, seorang penari Tari Topeng dan dalang yang juga dosen Institut Deni Indonesia (ISI) Denpasar mengatakan sering menyampaikan pesan-pesan tentang pentingnya persatuan dan kesatuan itu.

Page 141: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu132

Persatuan itu akan bisa terlaksana, jika umat memang benar-benar menerapkan Falsafah Tri Hita Karana khususnya dalam aspek Pawongan. Demikian pula dalam sebuah keluarga, hubungan yang harmonis antara orang tua dengan anak perlu diciptakan. Hal itu akan bisa terwujud, jika orang tua berhasil mendidik anaknya menjadi seorang anak yang memilik kualitas suputra. Mengapa anak yang suputra itu penting, oleh karena kelahiran anak yang berkualitas, sangat penting bagi keluarga dan masyarakat, seperti disebutkan dalam canakya Nitisastra III.14 (Darmayasa, 1995:25) Sebagai berikut.

Ekenapi suvrksenaPuspitena sugandhitaVasitam tadvanam sarvamSuputrena kulam yathaTerjemahannya :Seluruh hutan menjadi Wangi hanya karena ada sebuah pohon dengan bunga indah dan harum semerbak. Begitu juga halnya kalau di dalam keluarga terhadap seorang anak yang suputra.

Kemudian Canakya Nitisatra III.16 menyebutkan sebagai berikut.

Ekenapi suputrenaVidya yuktena sadhuinaAhladitam kulam sarvamYatha candrena sarvariTerjemahannya :Sebagaimana bulan menerangi malam hari dengan cahayanya yang terang menyejukkan, begitulah seorang anak suputra yang berpengetahuan rohani, insyaf akan dirinya dan bijaksana. Anak suputra ini menyebabkan seluruh keluarganya selalu dalam kebahagiaan.

Page 142: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 133

Agar dapat melahirkan anak yang suputra peran seorang ibu sangat penting. Pentingnya peran perempuan sebagai ibu rumah tangga diakui tokoh-tokoh Hindu. Ada yang mengemukakan sifat-sifat feminis yang dianugrahkan alam kepada kaum perempuan memeberi kemampuan khas kepadanya untuk melakukan tugas pengasuh, pendidikan, pemberi kasih sayang, cinta kasih, kesabaran, ketabahan, dan kesetiaan. Bahkan ada pula yang mengatakan, bahwa tidak ada bangsa yang dapat membangun tanpa membina perkembangan fisik, mental, serta spiritual kaum wanitanya. Generasi penerus dibentuk oleh Ibu-ibu masa kini.

Susastra Hindu banyak mengemukakkan bahwa untuk melahirkan anak yang suputra, seorang Ibu harus memperhatika anaknya sejak berada dalam kandungan. Seperti dikatakan Pitana (2005:36), meskipun umat Hindu di Bali sudah banyak yang baik, tetapi tetap memerlukan pencerahan yang bersumber dari Veda, bukan hanya dari lontar saja. Pencerahan itu menurut Wiana sangat penting karena seseorang yang masih awidya atau berada dalam kegelapan, akan mudah tergoda oleh glamournya keduniawian. Jika hawa nafsu itu dihumbar, yang terjadi adalah kekacauan. Di dalam salah satu tulisannya berjudul mendidik dan melatih hawa nafsu dimuat Bali post, 9 Desember 2003.

Kejatan, kebrutalan, perilaku kasar, penipuan, perampokan asrt public dengan segala cara dan semua jenis perilaku sesungguhnya berasal dari gejolak hawa nafsu yang tidak terdidik dan terlatih. Bahkan sebaliknya, hawa nafsu itu justru mendapatkan peluang yang semakin banyak untuk dimanjakan. Ia tidak terdidik dan terlatih untuk patuh pada arahan pikiran dan kesadaran budhi. Struktur diri yang ideal adalah besarnya kadar spiritual atau spiritual question menguatkan kecerdasan intelektual atau Intelectual question untuk mengendalikan kadar emosi atau emosion question.

Page 143: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu134

Pada bagian lain, Wiana (2004:141) memberi contoh bahwa hawa nafsu ibarat kuda yang kalau tidak terdidik dan terlatih akan memporak-porandakan kereta sehingga tujuan perjalanan tidak akan pernah sampai. Demikian pula Wiana mengingatkan, hasil iptek sekarang ini banyak yang menyimpang dari tujuannya, di bawah ditampilkan cuplikan artikelnya.

Dalam kitab katha upanisad nafsu itu diibaratkan kuda. Kuda yang kuat namun tidak terlatih dengan baik tentunya dapat melarikan kereta dengan semena-mena. Hal itu dapat memporak porandakan kereta itu sendiri sehingga tidak dapat mencapai tujuan semestinya. kalau kuda yang kuat itu patuh pada kendali kusirnya tentunya sangat baik. Pada zaman industri dewasa ini banyak sekali rekayasa yang menghasilkan benda-benda yang justru mengobarkan hawa nafsu. Padahal tujuan iptek adalah memberi kemudahan hidup secara kepada umat manusia

Sebagai manusia ciptaan Tuhan hendaklah dapat mengerti mengenai kemanusiaan, perilaku anatara sesame manusia, yang tidak terbatas pada golongan sendiri namun hendaknya bersifat universal, menciptakan kasih saying, kedamaian untuk bersama-sama melenyapkan kebodohan, kemiskinan serta penderitaan.

“Om, Sarve bhavantu sukhinaḥSarve santu nirāmayāḥSarve bhadrāṇi paśyantuMā kashchit duḥkha bhāgbhavetOṁ Shāntiḥ, Shāntiḥ, Shāntiḥ”

Terjemahan :Ia Hyang WidhiDemoga semuanya memperoleh kebahagiaanSemoga semuanya memperoleh kebahagiaanSemoga semuanya memperoleh kebajikan dan saling pengertianSemoga semuanya terbebas dari penderitaan

Page 144: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 135

Berhasilnya penerapan ideologi Tri Hita Karana, tentu saja kasih sayang sangat diperlukan. Jika semua orang memiliki kasih sayang maka hubungan antara manusia dengan manusia akan berlangsung dengan konsep Yajña. Menurut Wiana (2004:150), Dalam pengamalan Tri Hita Karana, hubungan manusia dengan manusia haruslah saling beryajña. Yajña dalam pengertian luas, bukan saja melakukan upacara tetapi, juga saling tolong menolong yang dilandasi rasa kasih sayang tentang pentingnya kasih sayang dan persatuan antar sesama.

5.1.3 Pelemahan Alam dan manusia memiliki hubungan yang timbal balik.

Umat Hindu memiliki keyakinan, bahwa dunia beserta isinya diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Hubungan yang bersifat timbal balik antara manusia dan alam yang diciptakan oleh Tuhan haruslah selalu dijaga. Putra dalam Atmaja (2003:124) menggambarkan hubungan antara manusia dengan alam dan Tuhan seperti dapat dilihat pada Bagan 5.1.

Bagan 5.1Hubungan antara manusia dengan alam dan Tuhan

(Sumber : Atmaja, 2003:124)

Page 145: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu136

Untuk mewujudkan tujuan hidup manusia mencapai dharma, artha, kama dan moksha terlebih dahulu wajib melakukan bhuta hita atau bhuta Yajña. Mengutip Agastya Parwa Wiana menjelaskan, bahwa Bhuta Yajña itu dilangsungkan dengan tujuan mengembalikan unsur-unsur alam dengan melestarikan tumbuh-tumbuhan. Ini artinya bhuta Yajña tidaklah berkonotasi pembantaian atau pemusnahan sumber alam termasuk sumber hayati. Penggunaan sumber hayati tersebut justru diamanatkan untuk melestarikannya. Penggunaan tumbuh-tumbuhan dan hewan, adalah sebagai sarana upacara Hindu yang memiliki arti simbolis yang merupakan unsur yantra yang akan memvisualisasikan nilai-nilai tattwa, susila, dan acara. Tetapi ada cara lain untuk menghindari penggunaan sumber hayati langka dan terancam punah yaitu menggantinya dengan sarana lain yang ditentukan dalam sasatra agama Hindu.

Kepercayaan masyarakat Desa Pakraman Bungkulan masih memegang tradisi kuna, meskipun pada kenyataannya sudah menerima beberapa pengaruh baru yang dewasa ini berkembang. Dalam hal ini adalah pelestarian tari kuna yang secara terus-menerus dilestarian oleh masyarakat di desa pakraman Bungkulan yaitu Tari Baris Kupu-Kupu. Meskipun telah banyak pengaruh pembaharuan di bidang seni tari di Bali namun tidak pernah tergantikan posisi Tari Baris Kupu-Kupu dalam upacara Piodalan atau Pujawali agung di Pura Dalem Dasar karena Tari Baris Kupu-Kupu itu telah ada sejak nenek moyang masyarakat kelurahan banyuning dan telah melekat menjadi satu dengan Sradha seluruh masyarakat.

Kaitannya dengan Pura Dalem Dasar, filsafat ketuhanan yang disiratkan memiliki rangkuman perjalanan sejarah yang cukup panjang dari sejarah keberadaan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman Bungkulan. Tari Baris Kupu-Kupu tersebut adalah tari yang telah menjadi satu bagian yang tidak terpisahkan dari Piodalan Pura Dalem Dasar di

Page 146: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 137

Desa Pakraman Bungkulan karena Tari Baris Kupu-Kupu ini merupakan yang utama dari pelaksanan Piodalan di Pura Dalem Dasar tersebut. Pura Dalem Dasar merupakan pura peninggalan sejarah kerajaan Buleleng yaitu Panji sakti yang memiliki nilai Religius yang sangat mulia begitu juga halnya dengan Tari Baris Kupu-Kupu memiliki makna ajaran-ajaran suci tuhan melalui gerak dan seni instrinsik serta gerak badan yang indah di pandang oleh mata manusia.

Menurut Wiana (2005:55) menyatakan bahwa secara leksikal Tri Hita Karana berarti tiga penyebab kesejahteraan. Tri artinya tiga, Hita artinya sejahtera, Karana artinya penyebab. Pada hakikatnya Tri Hita Karana mengandung pengertian tiga penyebab kesejahteraan itu bersumber pada keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, manusia dengan alam lingkungannya manusia dengan sesamanya yang merupakan unsur-unsur Tri Hita Karana. Unsur-unsur Tri Hita Karana ini meliputi Sanghyang Jagatkarana Bhuana. Unsur-unsur Tri Hita Karana itu terdapat dalam kitab suci Bhagavad Gita (III.10) berbunyi sebagai berikut.

"Sahayajñah pŗajāh sŗiştwa pura wāca prajāpatih anena praşawisy dhiwan eşa wo'stiwistah kāmadhuk’’

Terjemahan: Sesungguhnya sejak dahulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yajña, berkata dengan cara ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah memenuhi keinginanmu sendiri.

Berdasarkan sloka Bhagavad-Gita tersebut ada tampak tiga unsur yang saling beryajña untuk mendapatkan yaitu terdiri dari Prajapati artinya Tuhan Yang Maha Esa, Praja artinya manusia sebagai wahana penerapan Tri Hita Karana. Penerapan Tri Hita Karana dalam kehidupan umat Hindu sebagai wujud

Page 147: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu138

menjaga keharmonisan dapat dilakukan dengan menjaga antara lain (1) Hubungan antara manusia dengan Tuhannya yang diwujudkan dengan Dewa yajña seperti halnya yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan dapan upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar yang senantiasa melaksanakan upacara Dewa yajña dengan tujuan untuk menjaga keharmonisan hubungan dengan Tuhan; (2) Hubungan manusia dengan alam lingkungannya yang diwujudkan dengan Bhuta yajña hal ini dibuktikan oleh masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan dengan menjaga kebersihan dan pelestarian tanaman-tanaman melalui kegiatan gotong-royong, hal ini disamping bertujuan untuk menjaga kesehatan lingkungan juga merupakan sebagai wujud nyata dalam upaya menjaga keharmonisan hubungan antara manusia dengan lingkungan karena masyarakat Desa Bungkulan menyadari akan pentingnya alam bagi kehidupan manusia. (3) Hubungan antara manusia dengan sesamanya diwujudkan dengan Pitra, Resi, dan Manusa Yajña.

Selain itu, usaha nyata yang dilakukan dalam mewujudkan kerukunan umat beragama melalui konsep Tri Hita Karana juga dibuktikan dengan kegiatan gotong-royong bersama warga, salah satunya dengan saling membantu apabila salah satu warga ada yang memiliki kegiatan upacara ataupun kegiatan diluar kegiatan keagamaan lainnya.

Berdasarkan pemaparan tersebut di atas maka dapat diisimpulkan sebagai berikut: (1) Kerukunan umat beragama dari aspek Prahyangan atau hubungan manusia dengan Tuhan dapat dilihat dari hubungan harmonis pada masyarakat melaksanakan persembhayangan di Pura Dalem Dasar yang terdapat di Desa Pakraman Bungkulan dan pura-pura lainnya pada hari-hari besar keagamaan maupun hari-hari tertentu seperti purnama dan tilem, masyarakat sangat antusias untuk mempersiapkan dan melaksanakan rangkaian upacara dan upakara. Hal lain dapat juga dilihat dari semangat masyarakat dalam melaksanakan

Page 148: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 139

Dana Punia untuk pembangunan Pura, (2) kerukunan umat beragama dari aspek Pawongan atau hubungan manusia dengan manusia dapat dilihat dari hubungan harmonis pada saat upacara terlaksana di Desa Bungkulan, seperti contoh pada saat upacara tiga bulanan banyak masyarakat menghadiri pelaksanaan upacara tersebut dengan menghargai dan menghormati serta menjaga kelancaran pelaksanaan upacara, (3) kerukunan umat beragama dari aspek Palemahan atau hubungan manusia dengan lingkungan dapat dilihat dari hubungan harmonis pada saat pelaksanaan kebersihan dan gotong royong untuk menjaga kesehatan lingkungan.

Selain daripada ajaran Tri Hita Karana di atas terdapat juga ajaran kesucian yaitu ajaran Panca Nyama Brata yaitupengendalian diri dapat menuntun mencapai keabadaian. Sama halnya dengan ajaran Catur Purusa Artha ajaran Panca Nyama Bratha yang terdapat pada Tari Baris Kupu-Kupu mengajarkan bahwa untuk mencapai kebahagian yang tertinggi yaitu bersatu dengan Brahman adalah berawal dari pengendalian tingkat dasar atau membersihkan dari dalam diri sendiri. Dengan kata lain untuk mencapai Tuhan tanpa keyakinan tidaklah sampai. Pengendalian diri adalah suatu cara membersihkan diri dalam tingkat rohani yang ditunjukkan dengan gerakan pembersihan dari jaba pura menuju ke jeroan pura. Adapun ajaran Catur Purusa Arta dalam Tari Baris Kupu-Kupu mengajarkan bahwa untuk mencapai Tuhan hendaknya berlandaskan dharma baik dalam mencari arta, melaksanakan kewajiban, tugas dan tangung jawab seperti yang ditunjukkan pada reruntutan tari yaitu semua berawal dari dasar yaitu Dharma.

5.2 Implikasi Estetika Setiap manusia mempunyai rasa keindahan terhadap

sesuatu yang dipandangnya. Alam dengan aneka ragam isinya mempunyai nilai keindahan dan tergantung pada cara manusia

Page 149: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu140

itu sendiri dan begitu pula budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia mempunyai nilai-nilai keindahan dan estetika.

Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata aesthetis yang berarti perasaan atrau sensitivitas. Keindahan memang erat sekali hubungannya dengan selera, perasaan dan dalam bahasa Jerman disebut gescmack dan dalam bahasa Inggris disebut sence yang artinya segala pemikian filosofis tentang seni (Wadjiz Anwar, 1980:9).

Manusia dalam mewujudkan rasa bhaktinya itu tidak akan merasa puas hanya dengan mengucapkan tanpa dinyatakan bhaktinya itu. Semua perasaan dan ucapan itu dilahirkan dalam bentuk nyata yaitu dalam bentuk tari, sehingga pikiran dan perasaan yang abstrak itu terlukis dalam bentuk nyata ke dalam Bentuk atau gerak tari yaitu Tari Baris Kupu-Kupu. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa seni itu terpusat pada hati nurani manusia yang paling dalam.

Manusia selalu menggambarkan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan simbo-simbol tertentu sesuai dengan alam pikiran dan tingkat budaya yang terpatri dalam hati nuraninya. Keinginan untuk menggambarkan Ida Hyang Widhi Wasa selalu diukir dengan indah dalam bentuk reringgitan atau tetuasan yang terdiri dari berbagai macam corak untuk melambangkan kebesaran Hyang Widhi. Cinta kasih melahirkan simbol-simbol dan hiasan-hiasan, yang pada akhirnya dapat mengembangkan imajinasi sehingga melahirkan rasa seni.

Pada pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar terlihat adanya makna keindahan sebagai akibat rasa bhakti dan rasa cinta manusia dalam menghubungkan diri ke hadapan Ida Hyang Widhi Wasa. Makna keindahan yang tercermin dalam upacara tersebut adalah gerak tari, sarana tari dan peran dalam Tari Baris Kupu-Kupu yang hanya di tarikan di Pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan. Demikian implikasi estetika

Page 150: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 141

atau seni yang dapat di gambarkan di dalam pementasan Tari Baris Kupu-Kupu yang berwujud dalam gerak tari maupun sikap masyarakat penyungsung. Di samping sebagai persembahan kepada Ida Hyang Widhi Wasa, makna estetika atau seni dapat juga digunakan sebagai faktor tercapainya kesucian dalam suatu Yajña.

Dibia (2000:3-7) dalam Linggih, (2010:3) bahwa untuk pemahaman terhadap suatu karya seni yang terkait dengan religi atau estetis religius yang juga disebut seni sakral, tidak bisa lepas dengan ruang pikir kehinduan. Konsep seni dalam ruang pikir manusia Hindu khususnya Bali sangat terkait dengan sifat kemahakuasaan Tuhan yang meliputi tiga unsur penting, Satyam atau kebenaran, Siwam atau kebaikan atau kesucian, dan Sundaram atau keindahan. Cara pandang berdasarkan rumusan ini memperlihatkan bahwa setiap kesenian Bali khususnya yang berbentuk kesenian ritual, mengandung rasa indah atau sundaram, ketuhanan yang sejati atau satyam, mengandung unsur kesucian atau Siwam sekaligus kebenaran atau satyam.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu mengandung makna keindahan, makna keindahan sangat jelas yaitu perpaduan antara seni tari dengan seni teater karena ada gerak tari seperti tari gambuh yang klasik dan ada juga doalog berupa tanya jawab bahkan ada monolog yang dilakukan oleh salah satu pemeran. Hal ini menujukan keindahan kesenian ini karena adanya perpaudan dua seni yang sudah terjadi sejak masa silam selain itu juga keindahan ini akan mengispirasi kesenian yang lainnya. Estetika ini bermakna membangkitkan kejiwaan manusia agar semakin halus dan bernilai sertaberdaya guna yang lebih baik dalam berkarya, bersosial serta berbudaya, memiliki karakter yang mulia.

Temuan yang dibahas dalam pembahasan temuan selanjutnya adalah adanya implikasi keindahan atau estetika. Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa esensi keindahan

Page 151: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu142

terlihat dari sebuah gerak tari, struktur pementasan, sarana penunjang dan sebagainya. Pementasan tari Bari Kupu-Kupu memberikan dampak secara langsung yaitu merasakan keindahan dari pementasan tersebut yang dirasakan melalui indra pengelihatan dan indra pendengaran, indra pengelihatan melihat keindahan sarana yang diperguanakan seperti sarana pakaian dan sarana daun kelapa. Adapun indra pendengaran berasal dari suara gambelan atau tabuh yang mengiringi pementasan sampai selesai.

Keindahan pada dasarnya dapat membentuk suatu karakter manusia cenderung menjadi lebih halus, humoris dan damai, maka dari itu tentunya implikasi Pementasan tari Bari Kupu-Kupu ini memberikan dampak pembentukkan karakter manusia menjadi manusia yang beradab, halus dan sopan. Manusia dalam mewujudkan rasa bhaktinya itu tidak akan merasa puas hanya dengan mengucapkan tanpa dinyatakan bhaktinya itu. Semua perasaan dan ucapan itu dilahirkan dalam bentuk nyata yaitu dalam bentuk tari, sehingga pikiran dan perasaan yang abstrak itu terlukis dalam bentuk nyata ke dalam Bentuk atau gerak tari yaitu Tari Baris Kupu-Kupu. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa seni itu terpusat pada hati nurani manusia yang paling dalam.

5.3 Implikasi KepemimpinanSetiap pemimpin memiliki kewenangan untuk mengatur,

mengkondisikan serta mengambil suatu arah kebijakan yang dianggap perlu, untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan demi terwujudnya kesejahteraan bersama, yang dalam agama Hindu dikenal dengan Moksartham Jagadhitaya Ca Iti Dharma berdasarkan dharma.

Kewibawaan adalah sebuah sifat yang setiap orang pasti memiliki baik para tokoh tua, pemimpin ataupun pemuda. Adapun

Page 152: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 143

jabatan adalah merupakan Swadharma seorang pemimpin, tokoh tua dan tokoh pemuda dalam melaksanakan tugasnya. Seorang pemimpin dalam melakukan Swadharmanya dengan benar harus mampu berlaku arif dan berwibawa. Seorang pemimpin yang arif dan berwibawa akan di hormati dan di kagumi oleh bawahannya. Dengan kearifan dan kewibawaan, seorang pemimpin akan mendapat simpati dari yang dipimpinnya. Bawahan akan menjadi patuh serta tunduk kepada apa yang diperintahkan oleh pemimpinnya. Dalam Yajurveda XIII. 30 dan Rgveda I. 3.12, dikutip (Titib dan Sapariani, 2007:56-59) dinyatakan:

“Acchinnapatrah pra ja anuviksasva”

Terjemahannya :“Wahai pemimpin, lindungilah warga negaramu, tanpa merugikan mereka”.

“Maho arnah Sarasvati pra cetayati ketuna, dhiyo visva vi rajati”.

Terjemahannya:“Om Sarasvati, lambang kemurnian sumber kekuatan intelektual, dengan kebijaksanaan-Mu inspirasi bagi kami, mari ambil bagian dalam perbuatan-perbuatan mulia kami”.

Pemimpin yang memiliki karismatik atau wibawa akan sangat menentukan keberhasilannya untuk menggerakkan dan memerintah orang lain. Di berbagai pranata sosial dari berbagai kultur kebudayaan, kewibawaan masih dipandang sebagai sesuatu yang sangat dihormati, sehingga dengan berbagai

Page 153: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu144

upaya seorang tokoh berusaha untuk tampil berwibawa atau paling tidak akan dianggap berwibawa. Dengan fasilitas yang dimiliki dan dengan kekayaan seseorang berusaha untuk tampil sesempurna mungkin di depan publik. Tentunya dengan sarana dan prasarana yang serba mewah yang dimilikinya saat ini sudah dianggap mewakili suatu kewibawaan.

Seperti yang dijelaskan konsep kepemimpina di atas memiliki makna yang sarat dengan konsep kepemimpinan yang dijelaskan sebelumnya dalam pementasan tari baris Demang ini adalah konsep kepemimpinan yang cerdik dan bijaksana dalam menyelesaikan suatu permaslahan. Seperti yang dijelaskan dalam buku Gradar bahwa tari ini isinya tentang politik raja dalam melawa raja melayau sehingga raja mengajak patih-patihnya dan prajuritnya untuk berlatih dan bersiap mengalahkan kerajaan melayau. Pendekatan inilah yang dimiliki raja dalam menghipun kekuatan dalam mengalahkan lawan-lawan kerajaan untuk memperluas dan mempertahankan kekuatan kerajaan. Dalam pementasan ini mengajarkan kepada masyarakat agar mampu memimpin dirinya sendiri yaitu menjadi pemimpin yang cerdas dan cerdik dalam menyelesakain segala permasalahan bukan saja pintar yang dimilikii melainkan cerdas dan semangat.

Terkadang setiap orang gampang putus asa dalam menghadapi masalah karena hanya mengandalkan kepintarannya saja tanpa memikirkan kecerdikan, berupa akal, siasat, dan sebagainya yang tentunya ke arah yang baik tidak merugikan orang lain. Dengan kecerdasan segala permasalahan akan bisa diselesaikan, hal inilah yang tersirat dalam pementasan tari baris demang agar manusia mampu menyadari bahwa setiap manusia sebenarnya adalah pemimpin baik memimpin dirinya sendiri dan orang lain dalan keluarga kecil, besar, masayrakat, kelompok samapi negara, amak manusia tersebut harus cerdas dan cerdik dalam melihat masalah dan mencari jalan keluarnya.

Page 154: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 145

5.4 Implikasi Tattwa Tari Baris Kupu-kupu biasanya dipentaskan dalam

rangkaian upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan, yang digunakan sebagai penyempurna pelaksanaan yajña. Disamping itu yajña hanya bias terlaksana jika didahului dengan pementasan Tari Baris Kupu-kupu, hal ini ditegaskan secara tattwa atau hakikatnya bertujuan untuk menurunkan atau menghadirkan Ida Bhatara yang bersthana di Pura Dalem Dasar dengan maksud supaya mau menerima segala persembahan yajña.

Dilihat dari segi tattwanya, pementasan Tari Baris Kupu-kupu yang merupakan tarian sakral dalam ritual keagamaan sangat penting untuk dilaksanakan, karena tarian sakral adalah personifikasi dari sikap mudra, Kenyataan ini sesuai dengan sejarah tari sakral, secara mitologinya diciptakan oleh Dewa Brahma dan sebagai dewa tarinya adalah Dewa Siwa yang dikenal dengan tarian kosmisnya yaitu Siwa Natya Raja. Pada saat itu Dewa Siwa memutar dunia ini dengan gerakan mudra yang memiliki kekuatan gaib, dengan isyarat dari sikap tangan, tubuh dan kaki maka kekuatan gaib dari dewa-dewa dan Alam Semesta akan ditarik seperti seorang hipnotoseur menggerakkan objeknya. Setiap sikap tangan dan gerakan anggota tubuhnya memberikan arti dan mengandung kekuatan, sehingga tarian ini tidak semata-mata mementingkan keindahan rupa ataupun pakaian tetapi juga didasarkan pada arti sikap sikap simbolik dari berbagai jenis gerakan mudra yang ditampilkan dari tarian tersebut . Umat Hindu dibali mengaplikasikan sikap mudra ini sikap mudra ini elalui dua bentuk yaitu sikap gerakan mudra yang di lakukan oleh para Sulinggih dalam memimpin yajña, dan sikap mudra yang ditampilkan dalam gerakan gerakan tari. Atas dasar kenyataan ini maka dalam setiap pelaksanaan ritual keagamaan yang ada di Bali hendaknya selalu diikuti oleh pementasan tari sakral,

Page 155: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu146

hali ni juga ditegaskan dalam lontar Kusuma Dewa no 1804 Gedung kirtya, 30 hal 37a dan b sebagai berikut.

Samangkana kramane mangaturang aci – aci pengodalan ring kahyangan, yan huwus sira pandita maweda ngastawa, angaturang odalan ring dewa mwah ring bhatara bhatari, tumurun ida mabyasa, dewane malinggih ring pamikulan sami, Ida bhatara Taya malinggih ida ring pasamuhan sami, Ring padmasana ring putih, kahiring Ida antuk Dewane sami, mailehan ring kahyangan,Saupecaran idane jun pere, umbul umbule masurat naga, tunggule masurat wandara sakti, reronteke nesikian masurat geruda, ungkulin pajeng pagut, cecepan dadua, medaging we, pucung 4, medaging sajeng mentah, 2 rateng 2, jagi tabuhangwuse mailehan dewane malinggih Ida Ring Panggungane ne utama, Ida Bhatara Taya malinggih ida ring panggungan sarwa arak twake ring pucung, tabuhakena maring jaba., Semalih ngaturang pependetan sadya luh muani, tua bajang,, raris kakuluhin sami mabhakti. Katunasang kakuluh antuk pemangku ika, ne ring dewa mwah kakuluh ring bhatara, wus akekuluh raris makidung warga sari, kenak kayun Ida batara mwah Hyang Dewa

Terjemahnnya:Beginilah tata cara menghaturkan pengaci atau banten Piodalan di kahyangan, setelah sang Sulinggih memuja stawa, menghaturkan banten Piodalan kepada para Dewa maupun ida Bhatara bhatari, maka turunlah beliau ke parhyangan, Para dewa berstana di pelinggih masing masing, Ida Bhatara Taya bersthana di bale pengaruman, di padmasana putih, diiringi oleh semua Dewa Mengelilingi Kahyangan,, alat upacara untukbeliau, adalah jun pere, umbul umbul yang bergambar naga,

Page 156: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 147

kober yang bergambar kera sakti, rerontek yang satunya bergambar garuda, diatasnya payung kembar, caratan berisi air dua buah, botol empat buah, dua yang berisi tuak dan yang lainnya berisi arak, akan di tabbuhang setelah para dewa berputar dan bersthana di bale panggungan utama, ida Batara Taya bersthana di bale panggungan yang utama dengan disuguhkan arak dan tuak memakai botol. Kemudian tabuhkanlah arak dan tuak itu dijabayan, kemudian di persembahkan lah pependetan dengan sserentak oleh laki dan perempuan, tua maupun muda, kemudian di mohonkan tirta kakuluh lalu smuanya mebhakti, dimohonkan tirtha kekuluh oleh para pemangku, bak kepada Dewa Maupun Bhatara bhatari, wus akekuluh raris makidung warga sari, senanglah hati para Dewa Dan Bhatara Bhatari.

Menyimak uraian dalam Lontar Kusuma Dewa di atas betapa pentingnya pementasan tari sakral dalam setiap pelaksanaan upacara yajña. Hal ini seperti yang telah dilakukan oleh umat Hindu di Banjar Sema Desa Bungkulan yang selalu mementaskan Tari Baris Kupu-kupu sebelum pelaksanaan upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar, yang secara tattwa memiliki makna untuk menurunkan dan meyakini keberadaan Ida Sang Hyang Widhi Wasa supaya menyaksikan persembahan yajña yang dilaksanakan.

Tari Baris Kupu-Kupu merupakan warisan budaya Hindu yang ada di Desa Pakraman Bungkulan, digunakan untuk mensucikan Buhwana Agung dan Bhawana Alit selain dari pada itu juga sebagi inti pelaksanan Piodalan di Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman Bungkulan. Masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan merasa nyaman hidup berdampingan dengan rukun, penuh pengertian dan saling menghormati

Page 157: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu148

antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Upacara tradisional yang merupakan peninggalan Hindu kuna, tetap dilaksanakan oleh masyarakat Desa Pakraman Bungkulan tanpa adanya interpensi dari pihak lain dalam membangun kesejahteraan dan ketenteraman di Desa Bungkulan. Melaksanakan upacara di Pura Dalem Dasar bagi masyarakat pengemponnya adalah penghormatan terhadap para leluhur, membangun Pura Dalem Dasar adalah salah satu cara untuk berbakti kepada para leluhur.

Banten Raka tersebut di atas berbentuk kerucut, menurut masyarakat Bungkulan sebagai simbol dari gunung, mengandung makna sebagai stana Dewata atau kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa. Pemangku yang memimpin upacara pemujaan, memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa beserta seluruh manifestasi-Nya, agar berkenan memberikan anugerahnya kepada keluarga yang melaksanakan upacara agar selamat dan sejahtera, serta leluhur yang menjadi bersih dari segala macam kotoran dan naik ke Kahyangan bersatu dengan Ida Sang Hyang Widi Wasa.

Dalam Bhagavata Purana disebutkan ada sembilan bakti yang patut dilaksanakan. Swami Sivananda menyebutkan kesembilan bakti itu disebut nawawida bakti yang artinya pengetahuan tentang sembilan bakti yaitu: sravanam, kirtanam, Smaranam, pada sewanam, dasyam, arcanam, wandanam, sakhyam, dan atmaniwedanam. Dalam Bhagawata Purana VII.5.23, Sembilan bakti itu disebutkan dalam sloka sebagai berikut.

śravaṇaṁ kīrtanaṁ viṣṇoḥsmaraṇaṁ pāda-sevanamarcanaṁ vandanaṁ dāsyaṁsakhyam ātma-nivedanam

Page 158: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 149

Adapun penjelasan kesembilan bakti itu adalah sebagai berikut.

1. SravanamKata sravanam berasal urat kata “sru” yang artinya

mendengar dan “nam” berarti memuja. Dengan demikian, demikian, “sravanam” berati berbakti atau memuja Tuhan dengan mendengar cerita-cerita suci keagamaan. Cerita-cerita suci yang dimaksudkan disini adalah cerita yang terdapat dalam itihasa dan purana. Rasa bakti itu akan akan dapat meningkatkan kesempurnaan atman menuju brahman. Wiana ( 1995:134) mengatakan, bentuk bakti ini pernah dilakukan oleh Raja Parikesit ketika mendapat kutukan dari Resi Srenggi putra Bhagawan Srengga. Dalam cerita itu dituturkan. suatu hari Parikesit mengunjungi pertapaan Bhagawan Srengga. Raja Parikesit seharusnya disambut hangat oleh tuan rumah. Namun Bhagawan Srengga tidak menyambut tamunya sebagaimana mestinya, karena sedang menjalankan monabrala dan sedang bersamadi duduk. Parikesit tentu saja menjadi marah dan kebetulan menemui bangkai ular. Saking marahnya, Parikesit mengalungkan bangkai ular itu di leher Bhagawan Srengga, dan kemudian beliau kembali lagi ke istana. Mengetahui hal itu, Bhagawan Srengga marah dan mengutuk Parikesit agar dalam waktu tujuh hari mati dipatuk ular.

Hubungan yang tegang antara Brahmana dan Ksatria itu menggoncangkan sorga. Pihak sorga kemudian mengutus Bhagawan Naradha untuk menyelesaikan kasus itu. Naradha kemudian menugaskan Bhagawan Suka (putra Wyasa) untuk menyempurnakan atma Parikesit dengan cara melakukan Sravanam selama tujuh hari. Saat itu, Parikesit sudah mengetahui kutukan Bhagawan Srengga sehingga ia membuat tempat khusus untuk menyelamatkan diri. Bhagawan suka membaca berbagai cerita yang terdapat dalam kitab suci Veda dan raja Parikesit

Page 159: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu150

mendengar dengan rasa penuh bakti tanpa tujuan lain. Pada hari ketujuh, atma Parikesit sudah sempurna pada saat itulah datang naga Taksaka yang menjelma sebagai ulat kecil yang melekat pada sebuah biji jambu yang disuguhkan kepada Raja Parikesit. Begitu ulat itu berubah menjadi naga Taksaka, atman Parikesit telah memasuki alam Paramaatman. Parikesit tidak kena kutuk, karena naga Taksaka ketika mematuk badan sang raja tanpa atman atau jiwa. Pada epos Ramayana dikisahkan pula tentang sebagai berikut.

Anoman tidak mau menerima uang atau barang berharga. Anoman hanya minta agar diri sang Rama memasuki tubuhnya dan tinggal di dalam hatinya. Nah, makna cerita yang didapatkan di sana adalah bahwa Anoman tidak memerlukan benda-benda keduniawian. Yang lebih diperlukan adalah agar Rama sebagai awatara menunggal dengan dirinya. Mendengar cerita itu, selain terhibur juga merasa mendapat pengetahuan baru. Ya, katakanlah mendapat pencerahan.

2. KirtanamKirtanam artinya menghafal. Menghafal dengan jalan

menyanyikan lagu-lagu atau kidung- kidung suci keagamaan. kidung suci itu berisi pujian terhadap kemahakuasaan dan sifat-sifat Tuhan serta mengulang-ulang nama-nama agung Tuhan. Wiana (1995:137) mengemukakan, dengan menyebut nama agung Tuhan berulang-ulang, diharapkan menghasilkan getaran-getaran suci yang dapat membangkitkan kekuatan atman. Bangkitnya kekuatan atman mendekati brahman akan dapat melahirkan jiwa dimana kekuatan nafsu atau indria dapat terkuasai dengan baik.

Lebih jauh Wiana mengatakan, Kirtanam yang dilagukan dengan sungguh-sungguh dan terus menerusakan akan mengantarkan manusia pada suatu kehidupan manusia yang

Page 160: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 151

bahagia. Dengan Kirtanam, itu berati melakukan bakti guna membuka pintu padma hredaya untuk menstanakan kekuatan Tuhan pada diri. Kirtanam akan dapat membentuk struktur rohani yang ideal, yaitu atman menguasai budhi. Budhi menguasai manah dan manah menguasai indria. Struktur jiwa yang ideal ini dijelaskan di dalam kitab Bhagavadgita III.42 (Pudja, 2005:10) sebagai berikut.

indriyāṇi parāṇy āhurindriyebhyaḥ paraṁ manaḥmanasas tu parā buddhiryo buddheḥ paratas tu saḥ

Terjemahan :Orang mengatakan panca indria itu lebih besar dari pada badan, lebih besar dari padanya adalah nurani, lebih besar dari nurani adalah intelek, tetapi lebih besar dari intelek adalah Dia (Atma).

Pada epos Ramayana dituturkan yang berhasil melakukan kirtanam adalah Rsi Narada dan Ratnakara. Diceritakan, pada suatu hari, Narada menyanyikan nama-nama Rama yang hidup pada Zaman Tretayuga. Nama Rama dikidungkan berulang-ulang tiada henti selama perjalanan. Pada zaman itu, hiduplah seorang pemburu bernama Ratnakara, putra Rsi Pracethasa. Meskipuan putra seorang Rsi, Ratnakara sering merampok bahkan tidak segan-segan membunuh, Ia suka merampok karena masa kecilnya sangat menderita. Semasih anak-anak, ia bermain-main jauh dari rumahnya karena terlalu jauh, Ia lupa mencari jalan pulang, la menangis dan kemudian dipungut oleh seorang pemburu diasuh oleh seorang pemburu, Ratnakara menjadi seorang pemburu. Setelah menikah, Ratnakara memiliki banyak anak. Hasil dari berburu tidak cukup untuk membiayai hidupnya, karena itu ia merampok besar-besaran untuk mendapatkan penghasilan tambahan.

Page 161: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu152

Nah saat itu, Rsi Narada karena payah dan mengantuk, salah mengucapkan nama “Rama” menjadi “mara” karena salah ucap Narada diancam bahaya. Ratnakara pun mencegat Naradha dan merampok wina, alat musik yang dibawa Naradha. Narada sadar dirampok, karena merasa telah melakukan kekeliruan. Kemudian ia kembali mengulang nama Rama dalam hati dengan penuh rasa bakti. Kekuatan kirtanam yang diucapkan secara manasika itu menggetarkan kekuatan atrma yang ada dalam diri Ratnakara. Ratnakara tiba- tiba sadar akan dosa-dosanya, kemudian menjatuhkan dirinya di kaki Narada. Narada kemudian menjadi guru Ratnakara. Ratnakara diberi pelajaran tentang yoga dan samadhi. Ratnakara lalu bertapa bertahun-tahun sehingga seluruh tubuhnya ditutup oleh sarang semut.

Beberapa lama kemudian, sarang semut dibongkar dan Ratnakara tetap tekun bersamadhi. Ratnakara kemudian didiksa untuk menjadi seorang Rsi. Oleh karena Ratnakara dilahirkan dari sarang semut Narada memberi nama baru yaitu Walmiki. Kata Walmiki berasal dari bahasa Sanskerta walmika yang artinya sarang semut. Rsi Walmiki kemudian dikenal sebagai penyusun epos Ramayana yang memiliki syair 25.000 sloka.

Kidung itu menyiratkan, bahwa umat melakukan pemujaan ditujukan kepada Tuhan dengan melantunkan kidung dan menghaturkan sesajen Persembahan terdapat pula pada kekawin yang sudah populer karena sering dilantunkan saat acara pemuspan atau menghaturkan sembah yang dipetik dari kekawin Arjuna Wiwaha salah satu baitnya berbunyi.

Ong Sembah ning antha, Tinghalanaa de triloka sarana.Wahya dyatmika sembahing hulun ijeng ta tan hana waneh.Sang lwir agni sakeng tahen kadi minyak sakeng dadhi kita,Sang saksat metu yan wwang hamuter tutur pinahayu.

Page 162: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 153

Dalam Buku kakawin Arjuna Wiwaha yang diterbitlkan oleh yayasan A.A. Panji Trisna, Singaraja bait kakawin di atas diterjemahkan ke dalam bahasa Bali sebagai berikut.

Ratu Sang Hyang Maha Suci, Pangabaktyan tityang inista suryanin ugi,Santukan padukan bhatara jagat tiga. Sekala Niskala bhaktin tityangRing paduka bhatara, tan wenten bina. Paduka bhatara kadi api metu, Saking Taru, kadi lengis metu saking santen cokor idewa. Paduka bhatara nyalantara medal, yening wenten anak nggineng kajagrane kabaos rahayu

(Yayasan A.A Panji Trisna, tt:101-102).

Jika diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia secara bebas kurang lebih artinya sebagai berikut.

Ya, Tuhan yang maha suci, lihatlah sembah bakti hamba yang nista ini. Paduka bhatara penguasa tiga dunia. Lahir-batin sembah hamba kepada paduka Bhatara, tidak ada yang lain. Paduka bhatara ibarat apa yang keluar dari kayu, seperti minyak yang keluar dari santan. Paduka bahatara muncul dengan nyata. Jika ada orang yang membicarakan tutur tentang kerahayuan atau dharma.

Dalam Kakawin Arjuna Wiwaha tersebut di atas, yang dimaksud Paduka Bhatara adalah Sanghyang Siwa. Dengan demikian, jika sering melantunkan bait kakawin di atas, maka itu artinya seseorang telah melakukan kirtanam.

Page 163: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu154

3. Smaranam Kata Smaranam berasal dari bahasa Sanskerta dari urat

kata”smrt” artinya mengingat. Wiana(1995:140) mengatakan, kata ini merupakan asal mula kata smrti yaitu kitab suci Veda yang bersumber dari kitab Sruti. Yang dimaksud Smaranam adalah berbhakti kepada Tuhan dengan jalan selalu mengingat Tuhan atau manifestasinya. Semakin kuat mengingat keberadaan Tuhan, makin kuat pula kekuatan getaran kesucian Tuhan mempengaruhi totalitas dari pemujanya, maka kekuasaan suci itulah yang akan menggerakan segala aktivitas pemuja. Mengingat nama-nama Tuhan dalam berbagai nama dan rupa disebut namasmaranam.

Pragina mengingat nama-nama Tuhan tentu ketika ia memanjatkan doa atau puja stawa, baik sebelum sedang maupun pada akhir pementasan. Dengan adanya upacara Yajña, maka umat kembali mengingat nama-nama Tuhan. Lebih-lebih saat melantunkan atau mendengar mantra Kramaning Sembah yang diucapkan pemimpin upacara.

5. Arcanam Umat Hindu di Desa Bungkulan menyelenggarakan

pementasan Taris Baris Kupu-Kupu dengan pemujaan melalui arca yang memang dibenarkan menurut Hindu. Sivananda (2003:118-119) mengatakan patung merupakan penyangga bagi seorang calon seorang spiritual dalam awal-awal spiritualnya. Sivananda mengatakan sebagai berikut.

Sebuah gambaran atau wujud perlu untuk pemujaan pada tahap awal yang merupakan simbol luar dari tuhan sebuah peringatan dari tuhan. Gambaran material mengingatkan akan pemikiran mental. Kemantapan pikiran diperoleh dengan pemujaan gambaran. Si pemuja akan di hubungkan dengan pemikiran yang tak terbatas maha kuasa, maha

Page 164: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 155

tahu, kemurnian, kesempurnaan, kebebasan dan berada dimana-mana. Tak mungkin bagi semua orang untuk memutuskan pikiran pada Yang Mutlak atau Tak terbatas. Wujud yang nyata di perlukan bagi masyarakat luas untuk melakukan konsentrasi. Untuk menyatakan Tuhan di mana-mana dan untuk melaksanakan kehadiran Tuhan tidak memungkinkan bagi orang awam. Pemujaan patung merupakan bentuk pemujaan yang paling mudah bagi manusia modern.

Mengacu pada uraian Sivananda di atas, maka umat Hindu saat melakukan pemujaan melalui patung atau gambar bukan berarti memuja berhala sebagaimana sering dituduhkan orang. Pemujaan melalui media patung atau arca disebut arcanam. Wiana (1995:144) mengemukakan, kata arcanam berasal dari bahasa Sanskerta yang terdiri dari kata “arca” atau arcanam yang artinya pemujaan. Kata nam artinya menghormat yang berarti memuja. Dalam pelaksanaannya, arcanam adalah memuja dan menghormat tuhan melalui media arca atau pratima. Arca adalah suatu lambang yang dipakai media untuk memuja Tuhan, karena Tuhan maha gaib.

Mengacu pada uraian tersebut, maka umat Hindu di Desa Bungkulan menyelenggarakan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu juga didorong oleh rasa bakti kepada Tuhan Yang Masa Esa atau manifestasinya.

5. WandanamKata Wandanam artinya memuja. Dalam wandanam

disebutkan suatu bentuk bakti yang dilakukan dengan jalan membaca cerita suci keagamaan, sloka-sloka serta mantra suci Veda dan sastra. Cerita suci dibaca dengan penuh keikhlasan untuk mengikuti jalan cerita dan ayat-ayat suci tersebut. banyak cerita keagamaan ditampilkan secara mitologis. Menurut Swami Sivananda, tujuan pembacaan mitologi keagamaan yakni

Page 165: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu156

untuk mengendapkan penonjolan rasio yang berlebihan dalam menghayati kesucian agama. Letak penghayatan agama adalah di kekuatan rasio. Meraih kesucian Tuhan tidak dapat dengan ketajaman rasio semata-mata. Bahkan kalau rasio mendominisasi proses menimbulkan keragu-raguan dalam meyakini kesucian Tuhan Yang Maha Esa. Ketajam rasio dalam penghayatan agama hanya merupakan unsur pembantu agar dalam proses keagamaan jangan sampai tanpa arah, atau kehilangan pegangan yang benar.

Dalam Kekawin Sutasoma pada sargah 139, bait 5 ditulis sebagai berikut.

Rwaneka dhatu winuwus Buddha Wiswa,Bhinneki rakwa ring apan kena parwanosen,Mangka ng jinatwa kalawan S’iwatatwa tunggalbhinneka tunggal ika tan, han dharma mangrwa.

Terjemahannya :Konon Budha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggalTerpecah belah itu tapi satu jualah, tiada kerancuan dalam kebenaran.

Sesanti “Bhineka Tunggal Ika” berati “beranekaragam tapi satu” sudah menjadi pengetahuan umum karena terpatri dalam lambang Negara Burung Garuda. Akan tetapi untuk memahami makna yang lebih lengkap dari sesanti itu yakni mesti dilengkapi dengan kalimat “Tan Hana Dharma Mangrwa” yang bermakna “Tiada Pengabdian Yang Mendua” sesungguhnya menjelaskan prinsip yang mendasari kehidupan dari satu bangsa yang Bhineka Tunggal Ika. Manusia penghuni Nusantara memang terdiri dari beranekaragam suku,agama dan latar belakang sosial, tetapi sesungguhnya di dalam dirinya bersemayam nilai-

Page 166: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 157

nilai perekat kebersamaan, yakni kesadaran akan pengabdian terhadap Tuhan Yang Maha Esa, kepada manusia yang adil dan beradab,terhadap keberlangsungan hidup bersama yang kemudian oleh Ir. Soekarmo disebut Sebagai Pancasila.

Mengacu pada uraian tersebut, maka umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan diharapkan melalui membaca ajaran suci akan dapat memberikan kesucian pikiran, ketenangan batin dan pengetahuan rohani yang lebih luas serta masyarakat kepada sesama dan lingkungan hidupnya untuk selalu mempelajari, mendalami serta menghayati dan memaknai kebersamaan sesuai dengan sesanti “Tan Hana Dharma Mangrwa” untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Sikap bhakti Wandanam ini sangat dibutuhkan oleh masyarakat untuk menciptakan keharmonisan di lingkungan keluarga dan sosial kemasyarakatan.

6. Dasyam. Kata Dasyam berati mengabdi atau melayani Tuhan Yang

Maha Esa. Dalam Praktek kehidupan beragama di bali, ada istilah ngayah, yaitu suatu kegiatan mengabdi secara utuh, tulus ikhlas dengan penuh rasa bhakti. Ngayah ini bertujuan untuk dapat merasakan Rahmat Tuhan dengan jalan mengabdikan diri pada kegiatan yang bertujuan untuk mendekatkan diri diri pada Tuhan Yang Maha Esa. Mengapa dasyam disebut jalan bakti menurut Wiana (1995:154) karena dasyam itu rasa ego atau ahamkara dilepaskan atau ego dikekang sekuat mungkin.

Menurut Wiana (2004:148) ngayah dalam kegiatan umat Hindu di bali merupakan tradisi mendarah daging. Dalam kegiatan ngayah, pada umunya orang melepaskan atribut dari dirinya sehingga rasa bersatu dengan Tuhan akan tumbuh secara perlahan. Banyak orang tidak akan puas kalau dapat melakukan suatu pekeriaan tertentu yang berakitan langsung dengan kegiatan upacara.

Page 167: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu158

Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan saat Pandawa menggelar upacara Aswameda Yajña. Bhima dan Arjuna ditugaskan mencari segala keperluan untuk upacara. Arjuna ditugaskan mencari isi hutan, sedangkan Bhima bertugas mencari berbagai jenis ikan di laut. Bhima terlebih dahulu mohon ijin kepada Dewa Baruna yang menguasai samudera. Ternyata semua jenis ikan bersedia menjadi korban bahkan meminta agar dirinya dijadikan korban untuk Yajña. Semua Ikan Mengatakan, Bahwa Menjadi Korban Sebuah Yajña Adalah Pengorbanan Yang Mulia

Mengabdi kepada Tuhan dapat pula dilakukan melalui pengabdian kepada sesama, seperti kepada guru kerohanian, raja atau pemerintah ataupun kepada orang tua yang melahirkan. Kesemuanya itu adalah perwujudan Tuhan. Artinya, tanpa ada kekuatan dan kekuasaan Tuhan yang ada di dalamnya, semuanya itu tidak akan berati apa-apa.

Demikian pula Gatotkaca. Ia bersedia mengorbankan nyawanya ketika ditugaskan melawan Karna dalam perang Bharatayuddha. Gatotkaca gugur di medan perang, mencapai kesempurnaan melalui jalan berbhakti kepada orang tua, Negara dan Tuhan (dalam wujud Sri Krishna) melalui jalan dasyam. Dalam Ramayana, Anoman dipandang mencapai kesempurnaan melalui pengabdiannya kepada Rama melalui dasyam, karena kesetiannya itu, Anoman diberi nama Ramoma Rama. Roma artinya bulu. Setiap bulu anoman bertuliskan nama Rama. Bahkan ketika Anoman ditawarkan hadiah, ia tidak minta harta benda, tetapi hanya minta agar Rama memasuki dirinya manunggal dengan junjungannya. Rama pun mengabulkan permohonan Anoman, sehingga putra Dewi Anjani itu mencapai kesempurnaan.

Tentang Dasyam yang jika disamakan maknanya dengan ngayah rupanya tidak sing lagi bagi penari Tari Baris Kupu-Kupu. Bahwa hampir semua pementasan Tari Baris Kupu-kupu adalah Ngayah yang merupakan sebuah cerminan sikap bakti kepada Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Page 168: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 159

7. PadasewanamPadasewanam berasal dari kata “pada” yang artinya

kaki dan seva”artinya melayani. Kemudian kata “nam” artinya memuja. Dengan demikian Padasewanam dimaksudkan berbakti ke hadapan Brahman dengan mengabdi pada kaki Padma beliau. Pada proses berbakti ini Brahman seolah-olah berwujud, semata-mata untuk menumbuhkan rasa bakti ke hadapan-Nya.

Tentang Wujud sikap Padasevanam yang dilakukan oleh penari Tari Baris Kupu-Kupu misalnya menghormati dan melaksanakan ajaran orang suci seperti pendeta atau pedanda, pinandita atau pemangku. Selain itu juga dengan memberikan pelayanan, memberikan dana punia, untuk kesejahteraan hidup orang suci, sehingga beliau dapat melaksanakan tugasnya untuk keselamatan umat manusia dan seisi alam semesta ini.

8. Sakhyanam Sakhyanam berasal dari kata “sakha” yang artinya

sahabat. Dengan demikian, Sakhyanam adalah berbakti ke hadapan Brahman seperti hubungan sahabat dekat. Bakti ini dapat dilakukan oleh orang yang atmanya telah menguasai budhi, manah dan indria. Penguasaan budhi manah dan indria ini dapat dilakukan apabila kekuatan atman dapat digerakkanoleh kegiatan rohani yang terus-menerus.

Wiana (1995:162) mengatakan, bahwa contoh Sakhyanam ini dapat dilihat pada sikap Arjuna dan krisnha dalam epos Mahabharata. Jika dilihat dari hubungan biologis, Krishna dan Arjuna bersaudara misan, karena ayah Krishna yaitu basudewa bersaudara dengan Dewi Kunti (Ibu Arjuna). Hubungan kekerabatan semakin erat lagi, ketika Arjuna mempersunting Dewi Subadra, adik Krishna. Sebagaimana dalam cerita disebutkan, bahwa Arjuna dan Krishna sering berduaan bagaikan teman akrab. Akan tetapi sesungguhnya, Krishna adalah awatara Wisnu, dan hal itu baru diketahui Arjuna menjelang perang

Page 169: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu160

Bharatayuddha di tegal Kuruksetra. Ketika Arjuna merasa bimbang menghadapi perang karena harus melawan guru, kakek yang dikasihi, Krishna lalu meberi penglihatan rohani dan menunjukkan jati dirinya yakni Tuhan Yang Maha Esa. Saat itulah baru Arjuna mengetahui, bahwa yang dianggap teman akrab selama ini adalah awatara Tuhan.

9. AtmanivedanamAtmanivedanam artinya pemujaan yang dilakukan dengan

penyerahan diri ke hadapan Brahman. Penyerahan diri kepada Brahman dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu Markata Nyaya dan Marjara Nyaya. Markata Nyaya merupakan menyerahkan diri ke hadapan Brahman seperti seekor anak kera yang era-erat berpegang pada perut induknya tanpa rasa takut walaupun melompat kemana-mana. Sedangkan Marjaya Nyaya adalah penyerahan diri seperti anak kucing kepada induknya. Induknya mencengkarp anaknya di mulut membawa pergi menuju tempa yang dianggap aman. Dalam bakti ini, manusia tidak aktif kepada Brahman, tatapi yang sepenuh menentukan kemana nasib bhaktanya yang dianggap paling tepat sesuai denga tingkatan karma yang dilakukuan.

Pembelajaran yang terkandung dalam pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar adalah sangat kompleks dan mendalam. Namun, pementasan yang telah dilaksanakan secara turun temurun berdasarkan tradisi Hindu ini, telah diketahui oleh umat Hindu sebagai wujud rasa bhakti kepada Tuhan beserta segala manifestasi-Nya. Pembelajaran sikap bhakti merupakan prilaku real dalam kehidupan sehari-hari yang diwujudkan dalam berbagai bentuk. Adapun makna yang pertama adalah untuk memindahkan pengetahuan dan mencekatkan masyarakat, sebagai suatu hal yang tak dapat diabaikan dalam mempertahankan dan memajukan masyarakat. Dengan sistem ini dimaksudkan pula membiasakan dalam memindahkan aktivitas

Page 170: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 161

pengetahuan itu sendiri, termasuk pula kebiasaan-kebiasaan yang berlaku norma-norma dan dengan menjadikan anak didik itu berguna dalam mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan, di samping menambah pertumbuhan sikap, dapat menyesuaikan diri dalam masyarakat untuk hidup bersama dan maju. Dengan demikian masyarakat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan melakukan pemujaan terhadap Ida Bhatara yang disthanakan di Pura Dalem Dasar.

Pemberian pemaknaan terhadap Tari Baris Kupu-Kupu oleh masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan merupakan bentuk nyata rasa bhakti, sujud dan menempatkan sang pencipta di hati yang paling dalam melalui salah satu bentuk tari yang bernilai seni dan bermakna spiritual tinggi. Dengan mementaskan Tari Baris Kupu-Kupu ini seorang penari akan semakin menyakini betapa kuasanya tuhan dapat menciptakan segala yang sudah di nikmati, selain dari para penari masyarakat yang mengikuti pementasan akan merasa terpanggil dengan mengaungkan karya Tuhan yang maha dasyat. Dengan rasa tersebut setiap orang akan memiliki rasa Bhakti yang tinngi ini dibuktikan dalam perayaan Piodalan atau Pujawali agung maupun biasa di Pura Dalem Dasar seluruh masyarakat berduyun-duyun datang ke Pura Dalem Dasar untuk menghaturkan Bhakti atau ngayah hinga upacara Piodalan selesai. Masyarakat akan merasa senang dan lengan bila sudah dapat tangkil atau ngayah di Piodalan Pura Dalem Dasar sampai selesai, sehingga seluruh pekerjaan dapat terselesaikan dengan baik karena masyarakat telah dengan sadar dan atas kemauannya sendiri datang untuk ngayah dan bekerja bersama dengan masyarakat lainnya. Masyarakat yang datang beraneka ragan dari anak-anak, orang dewasa bahkan orang yang sudah tua sehinga upacara Piodalan yang dilaksanakan di Pura Dalem Dasar terlihat penuh dengan spiritual dan kasih sayang.

Tari Baris Kupu-Kupu banyak memberikan kontribusi bagai masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan dalam hal

Page 171: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu162

membangkitkan rasa Bhakti, tenggang rasa, kerja sama dan lain sebaginya. Selain dari pada itu Tari Baris Kupu-Kupu juga membangkitkan semangat mejaga budaya Bali atau tradisi Bali dengan mengembangkan atau mempelajari seni budaya miliki Bali agar tidak terjadi kepunahan.

Hasil penelitian yang berdasarkan teknik analisa data yang telah ditetapkan, bahwa respon masyarakat sangat tinggi terhadap pementasan Tari Baris Kupu-Kupu. Sosial budaya masyarakat dalam pementasan Tari Baris Kupu-Kupu pada Piodalan di Pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan bahwa masyarakat sangat antusias bekerja bhakti atau ngayah dengan bersama-sama dan saling tolong menolong tanpa mengharapkan imbalan atau pamrih.

Berdasarkan hasil observasi yang dilaksanakan dari awal sampai diadakan analisis data, maka diperoleh hasil penelitian bahwa Tari Baris Kupu-Kupu sebagai sarana umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan untuk meningkatkan antusiasme masyarakat dalam rangka Piodalan angung di Pura Dalem Dasar dalam memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa tampak pada partisipasi umat dengan tulus ikhlas dan tolong menolong mempersiapkan sarana upacara dan menghias pura yang dilandasi dengan konsep ngayah. Semangat masyarakat bekerja bhakti tanpa sedikit mengeluh bahkan bahu membahu dan saling pengertian menyelesaikan tugasnya masing-masing dan bila belum ada yang terselesaikan dikerjakan secara bersama-sama.

Hal ini sejalan dengan pendapat Suka (2009:5) dalam hubungan manusia dengan Tuhannya adalah terpulang kepada manusia Hindu bukanlah manusia yang terasing secara inter-personal (hubungan horizontal antara yang satu dengan yang lainnya) atau sosio-kultural. Berkaitan dengan kedua sudut pandang (point of view) itulah maka konsep ngayah sangat relevan sebagai konteknya dengan kehidupan sosioreligius-kultural Hinduisme.

Page 172: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 163

Berdasarkan uraian di atas, maka diperoleh hasil penelitian yang berdasarkan teknik analisa data yang telah ditetapkan, bahwa Sosial budaya masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan dipengaruhi oleh perubahan unsur-unsur budaya yang berkembang, wujud budaya aktivitas dan wujud budaya material. Perubahan tersebut berkaitan dengan ajaran Tattwa yang menyangkut tentang konsep ketuhanan yang diyakini masyarakat Desa Bungkulan di mana dewa atau bhatara yang bersthana di Pura Dalem Dasar. Selain itu, upacara Pujawali yang dilaksanakan di Pura Dalem Dasar di mana sarana upakara, menghias pura dan proses upacaranya dilaksanakan oleh masyarakat dengan tulus ikhlas dan tolong menolong yang dilandasi dengan konsep ngayah.

Mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna adalah manusia, sebab jika dibandingkan dengan mahluk lain manusia memiliki kelebihan yakni pikiran (idep) dengan kemampuan berfikir manusia bias membedakan antara yang baik dan buruk, subha asubha karma, sehingga bisa mengubah dan memperbaiki hidupnya. Dalam Sarasamuscaya sloka 2 disebutkan sebagai berikut

Ri sakwehning sarwa Bhuta, ikang janma wwang juga wenang gumawayaken ikang cubhacubhakarm, kuneng panetasakena ring cubhakarma juga ikangcubhakarma, phalaning dadi wwang.

Terjemahannya:Diantara semua mahluk hidup, hanya menjadi manusia sajalah yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah perbuatan buruk kedalam perbuatan yang baik, demikian pahalanya menjadi manusia (Kajeng ; 2003).

Page 173: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu164

Sura (1992:2) Pada hakikatnya manusia dalam berprilaku cenderung dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor bawaan (intern) dan faktor lingkungan (ekstern).

1. Faktor bawaan maksudnya adalah faktor yang berasal dari dalam diri yang mendorong manusia untuk bertingkah laku ataupun berbuat sesuatu yang kita kenal dengan istilah karakter ; dan

2. Sedangkan faktor lingkungan adalah faktor yang berasal dari luar diri manusia seperti pendidikan, dan pengalaman yang di dapat.

MPLA Bali (1990:19) menyatakan bahwa disisi lain manusia adalah mahluk sosial yang tidak bisa hidup tanpa bantuan orang lain, tanpa melakukan interaksi sosial, oleh sebab itu setiap kelompok kehidupan manusia mempunyai cara-cara tertentu untuk mengatur hubungan antara hidup dengan hiudpnya. Dengan tidak membedakan suatu kehidupan bermasyarakat dalam kelompok kecil maupun yang besar, maka di dalam mengatur hubungan itu tentu memerlukan aturan-aturan yang didasari atas nilai-nilai menngenai apa yang baik atau sebaliknya apa yang dianggap tidak baik atau patut. Aturan-aturan merupakan patokan mengenai apa yang boleh diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat, sehingga aturan-aturan tersebut membatasi sikap dan tingkah laku manusia yang satu dengan yang lainnya.

Aturan-aturan itu hidup dan berkembang di dalam masyarakat serta diterima sebagai suatu keharusan oleh anggota masyarakat, karena setiap dari masyarakat menganggap pentingnya suatu pembatasan, sebab kehidupan yang bebas tanpa batas tidak dikenal di dalam suatu kehidupan bermasyarakat serta masyarakat merasa perlu adanya pembatasan guna lancarnya kehidupan bermasyarakat dan terselenggaranya kepentingan anggota masyarakat yang satu dengan yang lainnya. Kesadaran

Page 174: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 165

tentang adanya aturan-aturan yang hidup dan mengikat dalam hidup bermasyarakat syarat untuk terciptanya suasana kehidupan yang tertib, aman, dan damai. Terkait dengan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar ini merupakan salah satu wahana untuk memupuk dan membina rasa persaudaraan dan persatuan masyarakat.

Makna Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar adalah sebagai pusat Komunikasi sosial antara agama, bagi umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan, juga berpengaruh terhadap peroses adaptasi umat Hindu dari berbagai daerah yang datang untuk mengikuti upacara di Pura Dalem Dasar memiliki adat dan budaya yang tidak sama, kidung pengiring upacara dan lagu dalam pengucapan mantera juga berbeda. Dengan berkumpul dalam suatu upacara, maka terjadi peroses adaptasi atau penyesuaian sehingga umat dari berbagai daerah akan menumbuhkan sikap saling mengerti, menghargai, menghormati, dan menumbuhkan semangat rasa persaudaraan sesama umat Hindu, khususnya di daerah Buleleng. Artinya, Pura Dalem Dasar tidak hanya berfungsi sebagai tempat untuk memuja Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasinya, dan tempat menyelenggarakan upacara-upacara ritual, tetapi juga memiliki fungsi sosial itu diantaranya untuk menunjukan identitas kelompok, memperkuat solidaritas antar umat Hindu, mengintensifkan solidaritas umat Hindu dan fungsi adaptasi.

Manusia pada hakikatnya adalah makhluk sosial, makhaluk yang senantiasa idup bersama dan ingin meujudkan keselarasan, keserasian, dan keharmonisan, maka keselarasan, keserasian dan keharmonisan perlu tetap di jaga. Manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa idup sendiri, tanpa bantuan orang lain. Artinya manusia berkewajiban untuk menghormati dan menghargai masyarakat lainnya agar tercipta keharmonisan dan kebahagiaan.

Page 175: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu166

Pelaksanaan upacara dan ritual di Pura Dalem Dasar baik itu Piodalan maupun upacara, selalu dihadiri oleh umat Hindu Khususnya di Desa Pakraman Bungkulan. Dalam pelaksanaan ritual dan upacara tersebut umat menggunakan berbagai macam peralatan upacara, seperti banten, pakaian sembahyang, gamelan yang menunjukan identitas sebagai umat Hindu. Secara sosiologis identitas itu menunjukan perbedaan antara umat Hindu yang lainnya. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa umat Hindu merupakan suatu komunitas yang tersendiri dengan cara hidup, baik dalam kehidupan sosial kemasyarakatan maupun keberagamaan.

Ritus dan upacara di Pura Dalem Dasar juga berfungsi untuk meningkatkan solidaritas kelompok. Solidaritas berarti rasa kesetia kawanan, senasib-sepenanggungan sehingga mau bersama-samamenanggung penderitaan dengan kawan yang kena musibah, kesukaran atau tertindas. Dengan demikian, pelaksanaan upacara di Pura Dalem Dasar yang dihadiri oleh umat Hindu dari berbagai daerah di Buleleng, bahkan dari luar daerah Buleleng meningkatkan solidaritas antarumat. Hal ini menunjukan, melalui semangat kegotongroyongan dan kekeluargaan, baik dalam persiapan upacara maupun pada saat upacara berlangsung, misalnya pada waktu Piodalan, umat Hindu bebas dari kota-kota wilayah darimana berasal sehingga tampak rasa kebersamaan. Hal ini muncul karena masyarakat beranggapan bahwa aktivitas ritual yang dilaksanakan adalah aktivitas bersama.

5.5 Implikasi Etika Tari Baris Kupu-kupu Disamping memiliki nilai tattwa

yang sangat tinggi, tarian ini mengandung nilai ethika. Nilai ethika yang terdapat dalam pementasan tari baris Kupu-kupu ini adalah nilai ketulusan, Pementasan Tari Baris Kupu-kupu yang dilakukan oleh umat Hindu di pura Dalem Dasar Desa

Page 176: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 167

Bungkulan ini dibawakan dengan didasari oleh rasa tulus ikhlas ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, ketulusan hati para penari ini akan memberikan pahala yang sangat besar kepada masyarakat desa bungkulan pada umumya dan para penari serta para penabuh pada khususnya. Adapun nilai etika yang bias dipetik dari pementasan Tari Baris Kupu-kupu yaitu dari tempat pementasannya yang dilaksanakan di utama mandala, karena secara etika segala jenis tarian yang bersifat sakral mesti dipentaskan di utama mandala. Hal ini sejalan dengan apa yang di uraikan dalam Kitab Slokantara sloka no 19 (4) sebagai berikut.

Kalinganya, ika sang sadhujana, yan sira maweh punyadana, yadyapi akedika tuwi,paweh nira irikang dana, magawe sukha ning manah ikang dinanan, makakarana suddha ning hati sang maweh dana, suddha ngaranya hening, mamangguh ika phala magong sang maweh dana, mapa ta pada nika, kadyangga ning wiji ning waringin tunggal, melejik ta ya wekasan, iningu pwa yenu padita, ri wekasan sangsaya magong, teher pinakapanghoban ing wwang, wenang ta yenungsiring janma kanistha-madhyamottama, mangkana tang punyadana yan akedik, yan dinuluran manah suddha, magong phalanya de bhatara.

Terjemahannya:Walaupun dana itu berjumlah kecil dan tidak berarti tatapi jika diberikan dengan hati suci, akan membawa kebaikan yang tidak terkira sebagai halnya sebuah biji pohon beringin.Meskipun dana yang diberikan oleh seorang saleh itu kecil, pasti akan menimbulkan kebahagiaan di hati penerima, jika dana ini disertai oleh ketulusan hati si penderma, maka hasil yang diterima oleh si penderma itu akan tidak

Page 177: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu168

terkira besarnya. Ini dapat di umpamakan dengan sebutir biji beringin, yang jika sekali tumbuh dirawat dan dipupuk dengan baik akhirnya akan bertambah besar. Adapun ini merupakan tempat berteduh bagi semua orang yang datang mencari perlindungan, baik mereka itu kelahiran rendah, menengah, atau tinggi. Demikianlah jika dana kecil itu diberikan dengan hati suci, tuhan akan membalas dengan kebaikan yang tak ada taranya (Kajeng).

Sloka ini sejalan dengan apa yang diuraikan dalam Sarasamuccaya sloka 210 dan 211 sebagai berikut.

Avajna ya diyate, yad evasraddhayapi ca, Tad ahur adhanam danam, munayah satyavadinah. Yapwan awajna sampe budhhining aweh dana, tan sraddha Kunang, tan abungah mituhu hananing karma phala,kanis tadana ngaranik, kanistaphala ika jemah, ling sang pandita.

Terjemahannya: Apabila sedekah itu diberikan dengan penghinaan dan kemarahan, dengan tidak tulus ikhlas serta tidak percaya akan adanya hukum karmaphala, maka pemberian itu adalah sedekah yang hina, dan amat rendah pulalah pahalanya kelak. Demikian kata orang pandai – pandai (Kajeng)

Menyimak uraian di atas maka dapat di cermati tentang nilai ketulusan dan nilai sakralisasi dalam setiap pemetasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng. Ketulusan hati umat Hindu yang dilakukan dalam setiap persembahannya akan memberikan pahala yang sangat besar dalam kehidupan ini maupun dalam kehidupan yang akan datang .

Page 178: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 169

5.6 Implikasi PsikologisPementasan Tari Baris Kupu-kupu yang dipersembahkan

ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa diharapakan dapat membawa keselamatan, kedamaian, ketenangan dan kesuburan bagi umat Hindu di Banjar Sema, Desa Bungkulan, hal ini dikarenakan persembahan tarian ini dapat membawa umat menjadi tenang, tenang dan nyaman dalam melaksanakan aktivitas upacara keagamaan. Hal ini dapat dilihat ketika proses pementasan umat merasa khusuk dalam menghubungkan diri ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Melalui pementasan Tari Baris Kupu-kupu membuat rasa gundah akan terjadi sesuatu yang aneh menjadi hilang, karena umat meyakini telah melakukan persembahan yang terbaik ke hadapan beliau. Umat Hindu di Banjar Sema, Desa Bungkulan sangat meyakini bahwa pementasan tari tersebut wajib dilaksanakan dalam rangkaian upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar, dan jika tidak dipentaskan akan terjadi bencana terhadap upacara yang berlangsung dan nantinya berpengaruh secara langsung pada pikiran dan perasaan masyarakat setempat.

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu sebagai bagian dari kesenian sakral selalu dikaitkan dengan aspek teologis sehingga bias dimaknai sebagai suatu pesembahan yang bias menghantarkan bhakti umat Hindu ke hadapan Sang Hyang Hyang Widhi Wasa. Disamping itu dapat digunakan untuk menjaga kedamaian dan ketengan pikiran umat Hindu dalam melaksanakan yajña. Dengan demikian secara psikologis umat Hindu dituntut untuk selalu percaya tentang kesakralan Tari Baris Kupu-kupu dan supaya mementaskannya setiap pelaksanaan upacara Pujawali di Pura Dalem Dasar.

5.7 Implikasi Religiusitas Religius berhubungan dengan agama, menurut Geertz

dalam ”Religion as a cultural system” agama atau kepercayaan

Page 179: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu170

dapat didefinisikan sebagai bahwa sebuah sistem simbol yang berperan, membangun suasana hati dan motivasi yang kuat, pervasif, dan tahan lama di dalam diri manusia dengan cara, merumuskan konsepsi tatanan kehidupan yang umum, dan membungkus konsepsi-konsepsi ini dengan suatu aura faktualitas semacam itu hingga, suasana hati dan motivasi tampak realistik secara unik (Pals, 2001:414).

Berdasarkan pada teori Geertz disimpulkan bahwa religi atau kepercayaan adalah merupakan simbol perlambang dari setiap insani yang berperan memberikan kekokohan hati serta memberikan dorongan dan bertahan lama, dalam artian selalu melekat dalam jiwa sanubari. Esensi yang terkandung dalam Religi menurut Geertz sangat erat kaitannya dengan unsur budaya yang memiliki kesakralan yang mengokohkan keteguhan hati sebagai simbol terbentuknya tatanan yang dirancangnya. Penelitian ini memiliki beberapa implikasi religiusitas yakni: (1) Menghilangkan kekotoran atau pengaruh mala, (2) Menetralisasi keluarga dari malapetaka, (3) Meningkatkan sradha dan bhakti. Dari ketiga fungsi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Menghilangkan kekotoran atau pengaruh malaAlam ini mempunyai dua aspek yaitu aspek positif dan

negatif. Aspek positif dapat dilihat bahwa alam adalah sebagai sumber hidup Manusia. Tanpa alam, Manusia tidak dapat hidup dan dari unsur-unsur alam ini Manusia mendapatkan kemakmuran. Aspek negatif dapat dilihat sebagaimana pada waktu kemarau panjang, bencana alam yang menyengsarakan kehidupan Manusia. Hal ini dalam Hindu disebut dengan ”Rwa Bhineda” yaitu dua unsur alam yang berlawanan, tetapi mempunyai persamaan keutamaan dan merupakan asal mula dari segala yang ada atau Purusa dan Prakerti. Jadi alam terbentuk dengan adanya dua aspek positif dan negatif. Menyembah Bhuta Kala bukan berarti menyerahkan sepenuhnya kepada alam,

Page 180: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 171

tetapi menghormati alam dalam segi aspek positif dan negatif, sehingga Manusia selalu hidup bahagia harmonis dengan alam lingkungannya. Menghormati Bhuta Kala berarti memotivasi untuk melestarikan alam lingkungan. Walaupun pementasan Tari Baris Kupu-kupu ditujukan kepada Sang Hyang Widhi Wasa, bukan kepada Bhuta Kala, sebagaimana disebutkan dalam BhagavadGita VII : 22 yaitu sebagai berikut.

Sa taya sraddhaya yuktahTasyo radhanam ihateLabhare ca tatah kamanMayai wa wihitan ni tah

Terjemahannya:Berpegang teguh pada kepercayaan ituMereka berbakti pada keyakinan itu pulaDan dari padanya memperoleh harapan merekaYang sebenarnya hanya dikabulkan oleh-Ku

Berdasarkan pada petikan sloka tersebut di atas, bahwa dalam melaksanakan pemujaan, persembahan, penghormatan, bhakti yang didasari atas keyakinan suci untuk mendapatkan kedamaian dan ketentraman akan terlaksana dan terkabul oleh-Nya. Apabila dilihat, pementasan Tari Baris Kupu-kupu ditujukan kepada Tuhan untuk menghormati Bhuta Kala atau Bhatara Kala, agar tidak mengganggu orang sukerta atau pihak keluargannya, sehingga dengan melaksanakan Upacara ruwatan dengan lakon murwakala, segala yang kotor dan pengaruh mala akan hilang.

2. Menetralisasi keluarga dari malapetakaMengenai malapetaka adalah merupakan gambaran

kesengsaraan, penderitaan bahkan bahaya hidup yang besar dan berat. Sebagaimana halnya masyarakat Bali, pementasan

Page 181: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu172

Tari Baris Kupu-kupu adalah wujud nyata untuk menetralisasi keadaan alam dari pengaruh negatif atau mala.

Di dalam Bhagawad Gita III : 12 disebutkan sebagai berikut.

Istan bhagan hi wa dewaDasyante yajña bhawitahTair datotan apradayaibhyoYo bhunkte stena ewa sahTerjemahannya:Sesungguhnya keinginan untuk mendapatKesenangan telah diberikan kepadamu olehDewa-dewa karena Yajñamu, sedangkanIa yang telah memperoleh kesenanganTanpa memberi Yajña sesungguhnya adalah pencuri.

Dari petikan sloka di atas tergambarkan bahwa untuk menghilangkan kekotoran, untuk mendapatkan kesenangan serta untuk mengembalikan kondisi seperti semula hanya dengan jalan Yajña atau Upacara ritual. Tetapi bagi orang yang berbudi rendah hal itu selalu dilanggar dan orang seperti itu dikatakan sebagai pencuri.

“Yajña”, artinya korban suci yaitu korban yang dilandasi oleh kesucian hati, ketulusan dan tanpa pamrih. Yajña mengandung pengertian yang sangat luas lebih luas dari pengertian Upacara. Yajña merupakan pusat alam semesta, Tuhan Yang Maha Esa menyatakan bahwa alam semesta ini diciptakan atas dasar Yajña, selanjutnya beliau bersabda supaya setiap Manusia mengikuti jejak-Nya, orang yang tekun melakukan Yajña memperoleh kemuliaan dan kemakmuran.

Dari kitab suci Atharvaveda dijelaskan tentang tujuan Beryajña yakni :

Uttistha brahmanaspate,Devan yajnena bodhaya

Page 182: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 173

Ayuh pranam prajam pasunKirtim yajamanam ca vurdhaya

(Atharvaveda XIX. 63. 1)Terjemahannya:Ya Tuhan Yang Maha Esa, penguasa pengetahuan, bangkitlah dan bangunkan para dewata dengan sarana pengorbanan (Yajña). Tambahkanlah usia, daya hidup, keturunan, kekayaan, hewan dan kemasyuran. Buatlah para pelaksana Yajña menjadi makmur.

Makna dari sloka di atas tampak sesuai dengan kenyataan pada masyarakat Desa Bungkulan bahwa pementasan Tari Baris Kupu-kupu memiliki esensi positif terhadap kehidupan masyarakat. Disamping sebagai penolak bala dari pengaruh Mala yaitu pengaruh negatif, juga sebagai ungkapan rasa syukur terhadap Tuhan, karena beban yang membelenggu masyarakat telah dinetralkan melalui pementasan Tari Baris Kupu-kupu. Pementasan Tari Baris Kupu-kupu dianggap mewakili sebagai penebusan hutang atas dosa yang telah diperbuat meskipun dengan ketidaksengajaan.

3. Meningkatkan Sradha dan Bhakti“Sradha” berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti

kepercayaan, keyakinan. Keyakinan yang dimaksud pada kajian ini adalah keyakinan terhadap Tuhan dan yang berkaitan dengan pementasan Tari Baris Kupu-kupu. Sradha di dalam agama Hindu diklasifikasikan menjadi lima kepercayaan yakni: 1) Percaya dengan adanya Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi, 2) Percaya dengan adanya atman atau jiwa, 3) Percaya adanya hukum karma phala, 4) Percaya adanya reinkarnasi atau samsara, 5) Percaya adanya moksa atau pembebasan dari lingkaran kehidupan.

Adapun “bhakti” berasal dari bahasa Sanskerta yang mempunyai pengertian pelayanan yang tulus kepada Guru alam

Page 183: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu174

semesta yakni Tuhan itu sendiri. Lalu berkembanglah pelayanan yang tulus itu ditujukan kepada Dewa dan alam lingkungan. Banyak cara yang dilakukan untuk melaksanakan pelayanan atau mencurahkan rasa bhakti itu misalnya dengan persembahyangan, beryajña, Upacara, bekerja, dan sebagainya. Namun, dalam kontek bhakti dalam catur marga menurut ajaran Hindu disebut sebagai bhakti marga yoga artinya jalan untuk mempersatukan diri kepada Tuhan, manifestasinya dan ciptaannya melalui rasa cinta kasih yang tulus. Di dalam Rg Veda I. I0. 2. diuraiakan

“yat sanoh anum aruhad,bhury aspasta kartvam,tad indro artham cetati,yuthena vrsnir ejati”

Terjemahannya:Tuhan Yang Maha Esa melindungi mereka yang bhakti, yang meningkatkan diri secara bertahap dengan berbagai aktivitas. Tuhan Yang Maha Esa akan hadir dengan barbagai kemahakuasaannya untuk menganugrahkan keberuntungan.

Sradha dan bhakti merupakan suatu bentuk kepercayaan kepada Tuhan dengan jalan melakukan pelayanan yang tulus dan ikhlas sebagaimana pementasan Tari Baris Kupu-kupu yang dilaksanakan oleh masyarakat Desa Bungkulan. pementasan Tari Baris Kupu-kupu merupakan wujud realitas sradha dan bhakti masyarakat untuk menghindari bahaya dan malapataka. Melaui konsep kearifan lokal, sradha dan bhakti dilakukan oleh masyarakat setempat dengan melaksanakan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Hindu yang dilandasi oleh sikap eling, sabar, cinta kasih, dan ikhlas. Dari keempat landasan tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut pikiran eling adalah sikap yang melandasi pikiran dari mana sebenarnya Manusia itu ada, apa yang

Page 184: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 175

harus dilakukan, untuk mencapai keharmonisan, ketentraman dan kedamaian. Sikap ini akan menumbuhkan sikap mawas diri dan rendah hati. Pikiran sabar adalah sikap yang tenang, tidak tergesa-gesa, tidak khawatir akan sesuatu, penuh dengan kesetabilan. Alon-alon pasti kelakon artinya dengan perlahan kita memiliki tujuan pasti akan terlaksana. Bagi masyarakat Jawa masalah waktu bukanlah menjadi masalah penting, yang terpenting adalah tercapainya suatu tujuan. Pikiran cinta kasih adalah kemampuan batin yang dapat menerima kenyataan. Jadi bukan nerimo atau menerima kepasrahan dalam batin yang tidak keberdayaan. Nerimo artinya keiklasan menerima sesuai dengan keyakinan atau sradha bahwa semuanya Tuhanlah yang mengatur.

Ikhlas adalah sikap batin yang merelakan apa saja. Di dalam rasa ikhlas ada kesanggupan untuk melepaskan segala yang dimilikinya jika keadaan yang membuatnya demikian, jika tuntutan serta tanggung jawab nasib mengaturnya. Masyarakat Hindu mempunyai empat sikap sebagai ciri bahwa masyarakat Hindu memiliki keyakinan atau sradha dan bhakti yang tinggi akan adanya Tuhan sebagai Maha pengatur, pengasih, penyayang dan pelindung sebagai halnya pementasan Tari Baris Kupu-kupu. Didalam Bhagavad Gita IX. 27 diuraikan sebagai berikut.

”yat karoşi, yat aśnaśi yat juhoşi dadāsi yat,yat tapasyasi kaunteya tat kuruśva mad-arpaņam”

Terjemahannya:Apapun yang engkau kerjakan, engkau makan, engkau persembahkan, engkau dermakan dan disiplin diri,apapun yang engkau laksanakan, lakukanlah semua itu,Wahai Arjuna, hanya bhakti kepadaKu.

Konsep Bhagavad Gita ini jika dikaitkan dengan kesadaran rasa bhakti serta sradha kepada Tuhan dalam masyarakat Jawa

Page 185: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu176

pada umumnya dan Desa Bungkulan khususnya sangatlah tepat. Sloka ini salah satu konsep yang dapat menjembatani dan mempertebal keyakinan untuk menimbulkan prilaku yang eling, sabar, cinta kasih, dan ikhlas. Sradha dan bhakti masyarakat Hindu kepada Tuhan ditumbuhkan oleh konsep bahwa Tuhan adalah Sangkan Paraning Dumadi artinya asal dan kembali kepadanya.

Keberadaan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar sebagai hasil budaya spiritual Hindu mengandung unsur kesakralan, terlihat dari bentuk Tarian yang masih bersifat alami dan penokohan serta maksudnya yang berbeda dengan tari lainnya. Keeksisan Tari Baris Kupu-Kupu ini masih sangat bersifat alami karena masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan tidak berani tidak dipentaskan pada upacara Piodalan agung di Pura Dalem Dasar, hal tersebut didasari oleh konsepsi supra natural power yaitu kekuatan dari luar batas kemampuan manusia, fenomena tersebut mencerminkan bahwa Tari Baris Kupu-Kupu sebagai hasil budaya spiritual Hindu yang di wariskan secara turun-temurun tidak boleh di rubah keberadaanya namun tetap dilestarikan dengan tidak menghilangkan atau merubah unsur-unsur yang terkandung di dalamnya, baik dari segi bentuk arsitektur dan keberadaanya, yang perlu di tingkatkan adalah spiritual di dalam diri masyarakat desa Pakraman Bungkulan untuk mewaris pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman Bungkulan dengan upaya kebersaman, untuk meningkatkan rasa spiritual keagamaan masayarakat secara relegius.

Hal ini sependapat dengan Wiana (2009:10) yang menyatakan bahwa tempat pemujaan sebgai hasil budaya spiritual Hindu adalah segai tempat pemujaan Tuhan adalah hasil budaya umat Hindu didalam menjabarkan konsepsi pemujaan kepada Tuhan agar atma sebgai sumber dari sumber kehidupan pada diri manusia yang disebut bhuana alit. Pura sebagai hasil budaya

Page 186: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 177

Hindu yang menjabarkan lebih rinci tatacara mewujudkan Sradha dan Bhakti umat Hindu kepada Tuhannya.

Setiap manusia mempunyai rasa keindahan terhadap sesuatu yang dipandangnya. Alam dengan aneka ragam isinya mempunyai nilai keindahan dan tergantung pada cara manusia itu sendiri dan begitu pula budaya yang merupakan hasil cipta, rasa dan karsa manusia mempunyai nilai-nilai keindahan dan estetika. Estetika berasal dari bahasa Yunani yaitu kata aesthetis yang berarti perasaan atrau sensitivitas. Keindahan memang erat sekali hubungannya dengan selera, perasaan dan dalam bahasa Jerman disebut gescmack dan dalam bahasa Inggris disebut sence yang artinya segala pemikian filosofis tentang seni (Wadjiz Anwar, 1980:9).

Manusia dalam mewujudkan rasa bhaktinya itu tidak akan merasa puas hanya dengan mengucapkan tanpa dinyatakan bhaktinya itu. Semua perasaan dan ucapan itu dilahirkan dalam bentuk nyata yaitu dalam bentuk tari, sehingga pikiran dan perasaan yang abstrak itu terlukis dalam bentuk nyata ke dalam Bentuk atau gerak tari yaitu Tari Baris Kupu-Kupu. Dari kenyataan ini, dapat dikatakan bahwa seni itu terpusat pada hati nurani manusia yang paling dalam.

Manusia selalu menggambarkan Tuhan atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan simbo-simbol tertentu sesuai dengan alam pikiran dan tingkat budaya yang terpatri dalam hati nuraninya. Keinginan untuk menggambarkan Hyang Widhi Wasa selalu diukir dengan indah dalam bentuk reringgitan atau tetuasan yang terdiri dari berbagai macam corak untuk melambangkan kebesaran Hyang Widhi. Cinta kasih melahirkan simbol-simbol dan hiasan-hiasan, yang pada akhirnya dapat mengembangkan imajinasi sehingga melahirkan rasa seni.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu mengandung unsur keindahan, hal ini dapat diperhatikan dari gerakan para penari yang dibentuk sedemikian rupa sehingga ketika dilakukan

Page 187: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu178

pementasan membuat umat yang melihatnya merasa terpesona. Unsur seni lain yang terkandung dapat dilihat dari tata cara penggunaan pakaian dan tata rias penari yang melambangkan nilai-nilai keindahan.

Bila dicermati mengenai apa yang dipaparkan oleh informan jika kita hubungkan dengan konsep kesenian sudah barang tentu mengandung nilai keindahan. Menurut Volket (dalam Gie, 1976:50) pemaduan dua bentuk teori estetis yang objektif dan ini pengalaman yang subjektif menyatakan empat ukuran yang menjadi tanda pengenal dari karya seni yang dianggap memuaskan secara estetis yaitu keselarasan antara bentuk dan isi, kekaya rayaan hal penting menurut manusia mebawa masuk ke dunia khayal dan menyajikan suatu kebulatan yang utuh.

1. Timbulnya Keyakinan Aspek ini berisikan pengharapan-pengharapan dimana

orang yang religius berpegang teguh pada pandangan teologis tertentu, mengakui kebenaran dokrin-dokrin tersebut. Setiap agama mempertahankan seperangkat kepercayaan dimana para penganut diharapkan akan taat. Walaupun demikian, isi dan ruang lingkup keyakinan itu bervariasi tidak hanya di antara agama-agama, tetapi sering kali juga di antara tradisi-tradisi dalam agama.

Sesuai dengan aspek keyakinan, maka keyakinan Umat Hindu yang mempraktekkan Tari Baris Kupu-Kupu pada Piodalan agung dapat dibuktikan dengan dilakukannya pemujaan yang pada hakikatnya untuk memuja Kebesaran Tuhan Yang Maha Esa. Pemujaan yang dilakukan menunjukkan bahwa penyungsung Pura Dalem Dasar mempunyai keyakinan yang kuat akan adanya Tuhan.

Membahas pengertian ke-tuhan-an beserta manifestasinya kiranya tidak terlepas dari filsafat atau tattwa yang terkandung,

Page 188: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 179

karena hal tersebut membahas hal yang menyangkut kebenaran dari realitas yang tertinggi. Secara etimologi kata filsafat berasal dari kata “philo”, “shopos”, “philo” artinya cinta dan “shopos” itu sendiri berarti kebenaran atau kebijaksanaan. Sehingga dapat diartikan bahwa filsafat itu adalah cinta akan kebenaran atau kebijaksanaan.

Max Muller (1974:104) dalam ajaran agama Hindu filsafat disebut dengan tattwa, kata “tattwa” berasal dari bahasa sanskerta yaitu berasal dari akar kata “twa” itu sendiri berarti sifat, sehingga dapat disimpulkan bahwa “tattwa” mempunyai pengertian “keituan”. Dari pengertian tattwa ini kita memperoleh dan mengetahui ajaran yang paling mendasar bahkan dengan mempelajari tattwa kita akan tahu sebab atau sumber dari segala sumber dalam ajaran agama Hindu, yaitu Brahman (Ida Sang Hyang Widhi Wasa) sebagai sumber yang utama sesuai yang tersirat dalam Rg Weda.II.13.2 sebagai berikut :

Tatah pramugraha brahma brhautam yatha nikatam sarwa Bhutaeshu sudham wiswasyaikam pari westi taram isam tamJnativam rta bhawati

Terjemahannya :Siapapun yang telah menyadari dia menghayati Ke-Tuhanan bahwaBrahma itu lebih besar dari alam semesta, berkeadaan maha besar, tidak terbatas, berada dalam tubuh setiap mahluk meliputi seluruh alam semesta dan adalah menjadi penguasa alam semesta, maha dia menjadikan keadaan abadi (Sugiarto dan Pudja, dalam Surya Dharma, 2002:60).

Sloka ini sebagai bukti bahwa sumber kebenaran, kebijaksanaan dan kesucian yang utama terletak di alam semesta ini pada Tuhan Yang Maha Esa, namun walau demikian Tuhan

Page 189: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu180

tidak pernah terlihat, diraba, pendeknya Tuhan tidak terjangkau oleh Panca Indra kita akan tetapi Tuhan diyakini keberadaannya, seperti yang termuat dalam Bhagavadgita VIII.20. Yang menyatakan sebagai berikut.

paras tasmāt tu bhāvo’nyo’vyakto’vyaktāt sanātanahyah sa sarveşu bhūteşu naśyatsu na vinaśyati

Terjemahannya:Lebih tinggi dari semua yang tak nyata ini adapula yang tak nyata, kekal abadi. Tidak termusnahkan walau semua yang lainnya musnah sirna (Pudja; 2005).

Dari sloka tersebut di atas diuraikan ajaran kesunyataan tentang hakikat Tuhan yang tidak nyata, dan yang nyata muncul dari yang tidak nyata dan kembali pada yang tidak nyata pula (maya). Dengan keterbatasan itulah, maka tidak ada yang mempertanyakan apakah dan siapakah Tuhan itu karena apabila menjawab pertanyaan tersebut adalah sama dengan memaksa diri untuk mendefenisikan Tuhan yang begitu abstrak, sedangkan secara teori apabila sedah berbicara tentang defenisi haruslah lengkap dan benar-benar memberikan gambaran yang jelas. Tuhan yang mencakup segala yang ada, luas dan mutlak, dan tidak terjangkau oleh pikiran manusia, sehingga setiap defenisi tentang Tuhan selalu tidak lengkap dan kabur. Oleh karena itu manusia berusaha menggambarkan Tuhan menurut kemampuan alam pikirannya walaupun penggambaran tersebut terkadang tidak sesuai dengan apa yang tersirat di dalam kitab suci.

Sesuai dengan uraian di atas Tuhan Yang Maha Esa dimohonkan untuk hadir dalam suatu tempat dan dalam hal ini beliau disebut dengan Sang Hyang Widhi Wasa, karena beliaulah yang menakdirkan atau beliau yang maha kuasa. Wajowasito (1969:270) Kata Widhi berarti kekuatan takdir atau Tuhan Maha

Page 190: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 181

Kuasa. Dalam implementasinya untuk mentakdirkan atau untuk menggambarkan Kemahakuasaan Tuhan, umat Hindu khususnya yang ada di Bali mempergunakan berbagai sarana seperti banten juga diaktualisasikan dengan adanya pratima sebagai media atau sarana pengembangan diri kepada yang Maha Kuasa sehingga dalam hal ini nilai kebenaran atau nilai tattwa akan sangat kelihatan dengan adanya penggambaran manusia terhadap Ida Sang Hyang Widhi Wasa lewat manifestasinya sebagai Dewa atau Bhatara bersthana pada setiap penjuru mata angina, yang merupakan keyakinan umat Hindu hanya keadaan yang Sunya yang memiliki sifat yang mutlak tentang kebenaran beragama melalui berbagai ritual sebagai pengejewantahan rasa bhakti kepada yang Maha Pencipta.

Dalam kaitannya dengan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar adalah bagaimana kepercayaan umat Hindu Penyungsungnya terhadap adanya menifestasi Tuhan yang di puja untuk memohon keselamatan, kemakmuran, kesejahteraan, kesuksesan, kesehatan, serta untuk menetralisasi sifat-sifat negative dan memanfaatkan sebesar mungkin untuk menciptakan keharmonisan serta keseimbangan Parahyangan atau hubungan yang harmonis antara Penyungsung Pura dengan Tuhan.

Lebih lanjut dalam setiap kehidupan manusia tentunya mendambakan rasa damai dan ketentraman, sehingga manusia akan mencari sumber kedamaian tersebut yang mana sumber ketentraman dan kedamaian tersebut adalah Tuhan itu sendiri, hal ini selaras dengan yang tersurat dalam Bhagavadgita II. 66 sebagai berikut.

Nāsti buddhir ayuktāsyaNa cāyuktāsya bhāvanāNa cābhavāyatah sāntirAsāntasya kutah sukham

Page 191: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu182

Terjemahannya :Orang yang tidak mempunyai hubungan dengan Tuhan Yang Maha Kuasa, tidak mungkin memiliki kecerdasan rohani dan pikiran yang mantap. Tanpa pikiran yang mantap tidak mungkin ada kedamaian, tanpa kedamaian bagaimana mungkin ada kebahagiaan (Pudja;2005).

Dari kutipan sloka di atas jelas sekali sumber dari kedamaian adalah kecerdasan rohani, yang mana kecerdasan rohani yang dimaksud adalah kecerdasan yang berupa kesadaran akan hakikat sang diri serta sumber Maha Utama. Dengan memiliki pikiran yang mantap, otomatis perlahan pikiran-pikiran positif muncul dari dalam diri, dengan pikiran yang positif akan tercipta pula suasana yang kondusif, tentram, dan damai, dengan meyakini tentang manifestasi Tuhan yang melinggih atau berstana pada Pura Dalem Dasar diharapkan mampu menciptakan kecerdasan rohani serta pemikiran yang mantap guna meningkatkan Sradha kepada Tuhan sehingga dengan keyakinan yang mantap terhadap eksistensi Tuhan serta keyakinan akan adanya Karmaphala, maka akan tercipta prilaku yang positif menuju tercapainya hubungan yang harmonis antara Penyungsung dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

2. Timbulnya Pengetahuan KeagamaanAspek ini mengacu kepada harapan bahwa orang-orang

yang beragama paling tidak memiliki sejumlah pengetahuan sekecil apapun tentang dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, kitab suci, tradisi-tradisi. Dimensi pengetahuan dan keyakinan adalah syarat bagi penerimanya walaupun demikian, keyakinan tidak perlu diikuti oleh syarat pengetahuan, juga semua pengetahuan agama tidak selalu berstandar pada keyakinan. Seseorang lebih dapat berkeyakinan kuat tanpa benar-benar memahami agamanya, atau kepercayaan bisa kuat atas dasar pengetahuan

Page 192: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 183

yang amat sedikit.Demikian juga dengan pengungsung Pura Dalem Dasar

ini, tidak banyak memahami tentang pengetahuan agama tetapi dapat merasakan adanya suatu kekuatan yang menimbulkan keyakinan yang sangat kuat ditambah lagi dengan kejadian-kejadian yang terjadi diluar batas pikiran manusia, sehingga menambah keyakinan para penyungsungNya.

3. Adanya KonsekuensiKonsekuensi komitmen agama berlainan dari empat

aspek yang sudah diuraikan di atas. Aspek ini mengacu kepada identifikasi akibat keyakinan keagamaan, praktek, pengalaman dan pengetahuan seseorang dari hari kehari. Istilah “kerja” dalam pengertian theologies digunakan disini. Walaupun agama banyak menggariskan bagaimana pemeluknya seharusnya berpikir dan bertindak dalam kehidupan sehari-hari, tidak sepenuhnya jelas batasan mana konsekuensi-konsekuensi agama merupakan bagian dari komitmen keagamaan atau semata-mata berasal dari agama.

Bagi semua agama dapat dikatakan bahwa theology atau kepercayaan keagamaan adalah jantungnya keyakinan. Teologi terdapat di dalam seperangkat kepercayaan mengenai kenyataan terakhir, mengenai alam dan kehendak-kehendak supernatural, sehingga aspek-aspek lain dalam agama menjadi koheren. Ritual atau kegiatan-kegiatan yang menunjukkan ketaatan seperti dalam persekutuan atau sembahyang tidak dapat dipahami kecuali jika kegiatan-kegiatan itu berada dalam kerangka kepercayaan yang mengandung dalil bahwa ada suatu kekuatan yang besar yang harus disembah. Sama pula halnya, masuk akal bila kita menyembah seorang penganut yang acuh tak acuh terhadap religius tetapi bukan seorang skeptik. Atau, penganut yang tidak memiliki pengalaman religius masih tetap tidak memiliki kepercayaan agama, tampaknya disebut pisikotik. Sebenarnya

Page 193: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu184

penganut yang melakukan perbuatan tercela berselang seling dengan perbuatan baik berdasarkan agama tetap dipandang religius, tetapi demikian halnya bagi eteistikal. Jadi, dimensi kepercayaan dapat dianggap penting secara khusus, tetapi seringkali tidak cukup untuk menggambarkan aspek komitmen terhadap agama.

Glock dan Stark (1965) sebagaimana dikutip oleh Root (1979) menunjukkan lima aspek pengukuran kadar keagamaan yaitu aspek idiologikal kepercayaan, keyakinan), ritual (praktek keagamaan, eksperiencial (pengalaman). Aspek idiologi (kepercayaan, keyakinan) menunjukkan tingkat kesetujuan seseorang terhadap kepercayaan yang dianutnya. Aspek ritual (praktek keagamaan) adalah frekuensi partisipasi dan ketaatan terhadap agama yang dianutnya. Aspek pengalaman keagamaan menunjuk kepada dan sesuatu perasaan, persepsi-persepsi dan sensasi-sensasi yang dialami seseorang dengan Tuhan. Adapun aspek pengetahuan menggambarkan seberapa jauh orang yang beragama mengetahui doktrin-doktrin atau dasar-dasar keyakinan, ritus-ritus, tradisi-tradisi dan norma-norma agama yang dianutnya. Adapun aspek konsekuensional menunjukkan seberapa jauh komitmen dan kehidupan sehari-hari sesuai dan selaras dengan aspek lainnya. Dalam hal ini pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Pura Dalem Dasar mempunyai komitmen untuk menjaga dan mengajegkan Tari Baris Kupu-Kupu dari masa kemasa pada Piodalan agung di Pura Dalem Dasar di Desa Pakraman Bungkulan. Penyungsung Pura Dalem Dasarmempunyai keyakinan yang sangat kuat, sehingga sampai saat ini masih melestarikan kebudayaan yang ada di Pura Dalem Dasar.

Memperhatikan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa setiap kesenian yang ada di Bali memiliki banyak fungsi, seperti halnya Tari Baris Kupu-Kupu di Desa Pakraman Bungkulan memiliki fungsi dalam menampilkan aspek keindahan dalam wujud bentuk, rupa, dan penampilannya.

Page 194: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 185

5.8 RefleksiPenelitian ini sudah jelas menunjukan bahwa pementasan tari

baris Kupu-Kupu di Desa Bungkulan telah dilaksanakan secara turun temurun setiap upacara Pujawali di pura Dalem Dasar. Mayarakat tidak berani jika Tari Baris Kupu-Kupu tidak dipentaskan karena akan mengakibatkan suatu musibah menurut kepercayaan masyarakat setempat. Tari Baris Kupu-Kupu ini diciptakan sekitar tahun 1773, yang proses terciptanya bersumber dari inspirasi antara Legong Keraton dengan Kupu-Kupu. Hal ini dapat dilihat dari gerakan-gerakan tari yang dimainkan, dimana dalam gerakannya lebih banyak menggunakan gerakan tari legong keraton dan gerakan Kupu-Kupu.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu memiliki fungsi sebagai ungkapan puji syukur dan rasa terima kasih ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atas segala karunia dan waranugraha yang diberikan kepada umat Hindu di Desa Pakraman Bungkulan. Hal ini dimaksudkan melalui kesuburan dan keselamatkan yang didapatkan oleh umat Hindu, sudah sepantasnya menyampaikan terima kasih yang sedalamnya.Tari Baris Kupu-Kupu juga berfungsi sebagai pelestarian unsur seni dan Budaya. Hal ini dikarenakan tari tersebut merupakan produk budaya dari masyarakat di desa Pakraman Bungkulan yang disakralisasikan dalam pementasan.Selanjutnya, juga dinyatakan bahwa kesenian ini merupakan warisan leluhur yang memiliki unsur religi dalam pelaksanakan upacara Pujawali, dimana dalam konsep pelaksanaannya selalu berlandaskan pada konsep desa dresta dan kuna dresta yang tetap berlandaskan pada nilai-nilai ajaran agama Hindu.

Berdasarkan hasil temuan penelitian yang sudah dipaparkan di atas dapat diberikan beberapa refleksi terhadap semua kalangan masyarakat di Desa Pakraman Bungkulan agar selalu senantiasa menjaga tradisi asli dari Desa Bungkulan karena merupakan jati diri dan identitas seni dari Desa Bungkulan. Walaupun banyak kebudayaan, kesenian ajaran agama Hindu yang masuk dari berbagai wilayah dengan membawa budayanya agar apa yang masuk supaya mampu diakulturasikan dan lebih menonjolkan tradisi dan budaya setempat

Page 195: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu186

dengan mempertimbangkan perkembangan zaman.Dengan adanya penelitian ini diharapkan semua kalangan dapat

memperhatikan perubahan besar di Desa Bungkulan dari berbagai sudut,baik sudut pendidikan, pengetahuan, budayanya, tradisi, politik, agama, ekonomo maupun sosial. Dengan demikian, tradisi budaya yang ada di Desa Bungkulan tetap terpelihara sampai sekarang dan diketahui oleh masyarakat seterusnya.

5.9 Temuan Penelitian Dari seluruh data penelitian yang telah dideskripsikan di atas,

terdapat beberapa temuan hasil penelitian sebagai berikut. Tari Baris Kupu-kupu merupakan salah satu bentuk tari sakral

yang mencerminkan kehidupan masyarakat di zaman lampau yang masih diwarisi hingga saat sekarang ini, tari Baris Kupu-kupu adalah tari baris yang melukiskan kupu-kupu pada saat terbang, tarian ini dimainkan oleh lima orang penari.

Pementasan tari baris kupu-kupu yang merupakan salah satu tarian sakral memiliki kekuatan sekala dan niskala dan di yakini oleh masyarakat Banjar Sema Desa Pakraman Bungkulan pementasan Tari Baris Kupu-Kupu harus selalu dipentaskan saat upacara pujawali di Pura Dalem Dasar Desa Bungkulan dan sudah menjadi tradisi dan kewajiban bagi masyarakat Desa Pakraman Bungkulan. Tari Baris Kupu-Kupu diyakini sebagai pembawa kehidupan, berkah secara lahir dan bathin oleh sebab penarinya, penabuhnya, sarana upacara, lamanya pementasan tidak sembarangan terlebih Tari Baris Kupu-kupu ini sangat disucikan Hal ini bertujuan untuk menjadikannya tarian ini benar-benar memiliki kekuatan dalam kesucian untuk menyucikan alam semesta beserta isinya. Dengan demikian sejak dahulu sampai seterusnya pementasan Tari Baris Kupu-Kupu ini akan selalu dipentaskan saat pujawali di pura Dalem Dasar desa Pakraman Bungkulan.

Pementasan tari Baris Kupu-kupu ini mempergunakan ujung daun kelapa yang di tancapkan pada tempat pementasan tari baris

Page 196: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 187

kupu-kupu yang berjumlah 5 (lima) karena meneladani pohon kelapa tersembunyi filosofi dan makna di dalamnya yakni saat pementasan Tari Baris Kupu-Kupu di Desa Pakraman Bungkulan pada dasarnya terdapat sistem ideologi kebijaksanaan. Maksudnya adalah dari pementasan ini diharapkan masyarakat memiliki kebijaksanaan. Hal ini diperlihatkan dalam penggunaan sarana daun kelapa kuning yang dipergunakan untuk tiang atau posisi penari dan juga dipergunakan untuk sayapnya. Hal ini berarti bahwa dimana bumi dipijak disana langgit dijunjung.

Sistem ini seperti yang digambarkan dari penari pertama keluar dilanjutkan dengan penari selanjutnya selalu mengitari daun kelapa yang ditancapkan berjumlah lima buah. Maksudnya adalah hendaknya dalam aktivitas kehidupan bersosial, beragama, berpolitik dan sebagainya didasarkan pada kebijaksanaan. Bijaksana terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, terhadap alam dan dalam situasi apapun. Kehormatan pohon kelapa di mana selalu hadir dalam Panca Yajña.

Meneladani kebijaksanaan pohon kelapa seorang seniman pada zaman dahulu mempergunakan daun kelapa sebagai sarana dalam pementasan tari sakral ini, yang sebenarnya tersembunyi suatu filosofi dan makna didalamnya. Sarana ini diharapkan mampu membentuk manusia yang bijaksana dan dapat membuat dirinya sendiri dan orang lain terangkat kehormatannya. Sebab kehormatan pohon kelapa yang sangatlah tinggi dimana buah kelapa selalu ada dalam sarana upacara Panca Yajña, ada hampir disetiap tanah di bumi ini karena banyak memiliki manfaat dan kegunaan. Demikian juga manusia mampu memberikan manfaat kepada diri sendiri dan orang lain di mana pun berada.

Pementasan Tari Baris Kupu-Kupu sebagai simbol ekspresi seni sesuai dengan setting pementasan untuk menyambut para dewa dengan berbagai unsur keindahan yang tercermin dalam upacara tersebut yang berupa gerak tari, sarana tari dan peran dalam Tari Baris Kupu-Kupu yang hanya di tarikan di Pura Dalem Dasar Desa Pakraman Bungkulan. Berbagai sarana seperti pakaian, gerak yang meliputi

Page 197: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu188

agem, tandang, dan tangkep dan seni instrinsik serta gerak badan yang indah di pandang oleh mata manusia. Unsur keindahan sebagai akibat rasa bhakti dan rasa cinta manusia dalam menghubungkan diri ke hadapan Ida Hyang Widhi Wasa.

Pementasan Tari Baris Kupu-kupu sebagai sarana komunikasi budaya. semua aktivitas upacara termasuk seni sebagai simbol ekspresi untuk menyampaikan pesan nilai agama kepada pelaku upacara. Untuk memahami hubunganTari Baris Kupu-Kupu dengan Tuhan dapat digambarkan sebagai berikut.

Garis hubungan langsung dari sub pokok sebelumnya

Garis yang memiliki hubungan timbal balik antara kedua belah pihak

Page 198: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 189

Penjelasan : Berdasarkan bagan diatas, dapat dijelaskan tentang temuan

penelitian Tari Baris Kupu-Kupu adalah sebagai berikut dimulai dari rantai kehidupan Kupu-Kupu. Kupu-Kupu mengalami fase perkembangbiakan melalui proses penyerbukan sehingga terjadi pembuahan akhirnya menetas menjadi telur. Setelah itu telur menetas menjadi ulat kecil, berkembang menjadi ulat besar sampai menjadi ulat yang dewasa. Setelah menjadi ulat dewasa mengalami proses perkembangbiakan selanjutnya berubah menjadi kepompong. Kepompong ini secara perlahan akan berubah menjadi Kupu-Kupu. Fase kehidupan Kupu-Kupu berlangsung seperti itu secara terus-menerus.

Perkembangan ilmu dan teknologi sangat mempengaruhi dimensi atau cara pandang manusia terhadap segala hal termasuk Kupu-Kupu. Ideologi Kupu-Kupu dapat dimaknai sebagai manifestasi Tuhan yaitu Ida Sang Hyang Widhi Wasa dalam wujud Ciwa. Ciwa menurunkan wahyunya kepada umat manusia di dunia melalui Tari Baris Kupu-Kupu. Keindahan Tari Baris Kupu-Kupu dimaknai oleh para seniman sebagai karya seni yang adiluhung. Sehingga dapat ditarikan melalui gerak tubuh diiringi musik gamelan oleh para penari. Tari Baris Kupu-Kupu ini pula dipercaya memiliki nilai religius sebagai penyeimbang antara alam semesta beserta isinya atau lebih dikenal bhuana agung dan bhuana alit.

Kepercayaan yang tinggi terhadap Tari Baris Kupu-Kupu karena adanya Teo-Estetik, artinya dalam Tari Baris Kupu-Kupu selain merupakan sebuah tari wali juga terkandung filsafat keindahan. Keindahan dapat dilihat dari gerak tubuh para penari, pakaian yang digunakan, iringan music gamelan serta simbol yang terdapat dalam Tari Baris Kupu-Kupu. Tari Baris Kupu-Kupu dipentaskan saat dilaksanakannya upacara keagamaan. Selain memiliki nilai Teo-Estetik, Tari Baris Kupu-Kupu juga mengandung nilai Estetik bagi pemujanya karena kesakralan Tari Baris Kupu-Kupu masyarakat sangat menjunjung tinggi keberadaannya. Sehingga Tari Baris Kupu-Kupu di puja di Pura Dalem tempat bersthananya Dewa Ciwa. Tari Baris Kupu-Kupu diharapkan dapat mengharmoniskan hubungan timbal balik alam semesta beserta isinya.

Page 199: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu190

BAB VIPENUTUP

6.1 SimpulanBerdasarkan hasil analisis data yang telah dilakukan pada

bab IV di atas, maka dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

6.1.1 Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng adalah merupakan tradisi yang sudah diwarisi secara turun-temurun dari leluhurnya, setiap pelaksanakan upacara piodalan di Pura Dalem Dasar selalu diikuti dengan pementasan Tari Baris Kupu-kupu. Tradisi ini sangat diyakini oleh masyarakat di Banjar Sema Desa Bungkulan, masyarakat meyakini dengan pementasan Tari Baris Kupu-kupu ini akan dapat mendatangkan kesucian dan kesuburan dalam kehidupan masyarakat di Banjar Sema Desa Bungkulan. Prosesi pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng dilaksanakan dalam upacara piodalan, pementasan tarian ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu pada saat setelah nganteb banten piodalan dan pada saat diadakan upacara pengelebar atau nyineb Ida Bhatara.

6.1.2 Berkenaan dengan pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema, Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan memiliki beberapa aspek-aspek religius, yaitu sebagai berikut: (1) aspek penyucian, maksudnya memohon kesucian dalam pelaksanaan upacara pujawali supaya tidak terjadi gangguan. (2) aspek ungkapan terima kash yaitu dengan pementasan ini bukti

Page 200: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 191

rasa syukur terhadap tuhan telah diberikan keindahan (3) aspek budaya yaitu tari bari Kupu-kupu ini unutk menjaga budaya dan tradisi local desa Bungkulan. (4) aspek estetis religious yaitu tari ini membangkitkan keyakinan dari pementasan seni (5) aspek pendidikan tentunya tari ini mmeberikan pendidika budaya dan agama kepada umat Hindu dan pendidikan lainnya. (6) aspek sosiologis yaitu tari ini memberikan keberuntungan unutk meningkatkan rasa sosial sesama umat Hindu untuk bergotong royong. (7) aspek memohon kesuburan yaitu dengan pementasan tari ini sekaligus umat memohon kesuburan baik kesuburan pertanian, perkebuanan dan kelautan.

6.13 Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng mengandung implikasi nilai religiusitas yang sangat tinggi, diantaranya (1) Implikasi Tri Hita Karana yaitu pementasan ini akan mengharmoniskan hubungan manusia dengan Tuhan, Manusia dengan sesame manusia dan manusia dengan alam. (2) Implikasi sikap bhakti yaitu dengan adanya kesakralan tari ini menimbulkan sikap mencintai dan berbhakti. (3) Implikasi sosial budaya yaitu dengan pementasan ini menimbulakan rasa bersama-sama menjaga warisan budaya leluhur. (4) Implikasi estetika yaitu dengan pementasan tari ini menimbulkan rasa mencintai keindahan shingga muncul pelaku seni yang baru. (5) Implikasi kesakralan tari yaitu dengan terus dipentaskan setiap pujawali akan menimbulkan keyakinan dan kesakralan pada tari. (6) implikasi kepemimpinan yaitu dalam pementasan tari Baris Kupu-kupu ini diajarkan sebagai seorang pemimpin sehingga banyak muncul pemimpin dari desa Bungkulan. (7)

Page 201: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu192

Implikasi tatwa yaitu dengan adanya tari ini masyarakat memiliki pengetahuan tentang seni dan agama Hindu. (8) Implikasi ethika dapat dilihat dari ketulusan dan tempat pementasan yang selalu mengacu pada nilai sakralisasi suatu kegiatan yaitu dilakukan di utama mandala, (9) Implikasi psikologis yaitu berdampak pada kejiwaan umat Hindu yang senantiasa mencintai dan menjaga budaya dan agama Hindu. (10) implikasi religiusitas yaitu berdampak pada sradha dan bhakti umat di desa bungkulan.

6.2 Saran Berdasarkan atas pembahasan dan kesimpulan di atas,

dalam kesempatan ini penulis mengajukan saran-saran dengan harapan semoga mendapat pengkajian untuk masa yang akan datang, sehingga kajian ini menjadi semakin sempurna. Adapun saran-saran yang ingin penulis sampaikan adalah sebagai berikut:

6.2.1 Kepada peneliti selanjutnya diharapkan agar bersedia meneliti kembali tentang pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng agar nantinya dapat diketemukannya suatu pemecahan yang lebih spesifik demi pemahaman yang lebih jelas untuk dimasa yang akan datang.

6.2.2 Pementasan Tari Baris Kupu-kupu di Pura Dalem Dasar Banjar Sema Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan Kabupaten Buleleng, karena tradisi ini mengacu pada susastra Hindu, yang apabila dilanggar akan menyebabkan malapetaka bagi orang yang melanggarnya maupun desa yang bersangkutan, maka hendaknya dipertahankan sebagai sebuah nilai seni budaya.

Page 202: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 193

DAFTAR PUSTAKA

Adiputra. I Nyoman Arjana. 2015. Pementasan Tari Baris Mamedi dalam Upacara Ngaben di Kecamatan Penebel Kabupaten Buleleng. Tesis: IHDN Denpasar.

Ali H, Muhammad. 1992. Guru Dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Bayu.

Ardana. 2000. Pura Kahyangan Tiga. Pemprop Bali.Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian. Edisi Revisi 5.

Jakarta: PT. Rineka Cipta.Arikunto Suharsini, 2006. Prosedur Penelitian Sutau Pendekatan

Praktik. Jakarta: Rineka Cipta.Aryasa, I Wayan Madra. 1996. Seni Sakral. Jakarta: Direktorat Jendral

Bimbingan Masyarakat Hindu dan Budha.Atmaja, I Gusti Ngurah Made Arya Putra. 2008. Nilai Pendidikan

Agama Hindu dalam Pementasan Tari Ngigel Desa Pada Upacara Ngusaba Desa Sarin Tahun di Desa Padangbulia Kecamatan Sukasada Buleleng.

Azwar, Saifuddin. 1999. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Bandem, I Made. 1996. Tari Bali. Yogyakarta: Kanisius.Bungin, Burhan. 2001. Metodologi Penelitian Sosial, Format-format

Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press

Depdikbud. 1994. Kurikulum Pendidikan Agama Hindu Sekolah Menengang. Jakarta. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Depdikbud. 2004. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Dibia, I Wayan. 1999. Seni Diantara Tradisi dan Moderenisasi. Denpasar: Institut Seni Indonesia.

Djamarah, Syaiful Bahri. 2002. Psikologi Belajar. Jakarta:Rineka Cipta.

Page 203: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu194

Djelantik, A.A.M. 1992. Pengantar Dasar Ilmu Estetika Jilid II Falsafah Keindahan dan Kesenian. Denpasar: STSI Denpasar

Gay, Liang.2001.Garis Besar Estetik (Filsafat Keindahan). Yogyakarta: Karya.

Geriya, I Wayan, 2008. Transformasi Kebudayaan Bali: Memasuki Abad XXI. Surabaya: Paramita.

Golu, W. 2002. Metodelogi Penelitian. Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.

Granoka, Ida wayan, 1997. Memori Bajra sandhi – Perburuan Ke Prana Jiwa, Denpasar: Sanggar Bajra sandhi.

Iqbal, Hasan. 2002. Metodologi Penelitian dan Aplikasinya. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Jaman, I Gede, 2006. Tri Hita Karana: Dalam Konsep Hindu, Denpasar: PustakaBali Post

Juliari Putu Ayu Dewa, 2007. Profesionalisme Guru Dalam Pembelajaran. Insan, Cendikia, Surabaya.

Kadjeng. I Nyoman. 2003. Sarasamuscaya. Surabaya: Paramita.Koentjaraningrat.1980. Beberapa Pokok Antropologi Sosial.

Jakarta:Dian Rakyat. Koentjaraningrat. 1982. Antropologi I. Jakarta: DjambatanKoentjaraningrat. 1987. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta.

Universitas Indonesia Pers.Koentjaraningrat. 1997. Pengantar Antropologi Pokok-Pokok

Etnografi II. Jakarta Rineka Cipta.Licin, I Nyoman. 1996. Tinjauan Pertunjukan Tari Baris Kupu-kupu

dalam Pelaksanaan Upacara Dewa Yajna di Desa Lumbanan, Kecamatan Sukasada, Kabupaten Buleleng.

Margono. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Mikkelsen, Britha, 1999. Metode Penelitian Partisipatoris dan Upaya-upaya Pemberdayaan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Moleong, Lexy. J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Page 204: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 195

Moleong, Lexy. J. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi I. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy. J. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif Edisi Revisi II. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Nasikum.2003. Sistem Sosial Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo persada.

Nasution, S. 1996. Berbagai Proses dalam Proses Belajar dan Mengajar. Jakarta: PT Bumi Aksara

Nasution, S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Jakarta: Bumi Aksara.

Nawawi, Hadari. 2005. Metode Penelitian Bidang Sosial. Jakarta: Gadjah Mada University Press.

Ngurah, dkk. 1999. Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi. Surabaya: Paramita.

Nurjanah, Nunuy at. Al. 2000. Pelaporan Penelitian Kualitataif (Kumpulan Makalah). Bandung: Program Pengembangan Bahasa S-3. Universitas Pendidika Indonesia.

Pals, Daniel. L. 2002. Dekonstruksi Kebenaran. Yogyakarta: IRCisoR.Parmajaya, I Putu Gede. 2007. Seni Sakral. Denpasar: Fakultas

Dharma Acarya Institut Hindu Dharma Negeri Denpasar.Poerwadarminto. 1993. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta:

Balai Pustaka. Pudja, Gede. 2005. Bhagavadgita. surabaya: Paramita.Pudja, G & Tjokorda Rai Sidharta. 2002. Manawa Dharmacastra

(Manu DharmaSastra). Jakarta: CV. Pelita Nursamtama Lestari.

Redana, Made, 2006. Panduan Praktis Penulisan Karya Ilmiah dan Proposal Riset IHDN Denpasar.

Riduwan, 2004. Belajar Mudah Penelitian untuk Guru, Karyawan dan Peneliti Pemula. Bandung: Alfabet.

Salim, Agus. 2001. Teori dan Paradigma Penelitian Sosial (dari Denzin Guba dan Penerapannya) Yogyakarta: PT. Tiara Wacana.

Page 205: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu196

Sudikan, Setya Yuwana, 2001. Metode Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta: Uresa Unipress bekerja sama dengan Citra Wacana.

Soebandi, I Ketut. 1983. Sejarah Pembangunan Pura-pura di Bali. Denpasar: Kayu Mas Agung.

Soebandi, I Ketut. 1986. Babad Gusti Ngurah Tambahan. BungkulanSoemargono, Soejono. 2004. Louis O. Kattsoff. Pengantar Filsafat.

Yogyakarta: Tiara Wacana. Suardika, I Komang. 2011. Pementasan Tari Kakelik Pada Upacara

Piodalan Di Pura Gede Pemayun Desa Pakraman Banyuning Kecamatan Buleleng Kabupaten Buleleng (Kajian Bentuk, Fungsi, dan Makna)”. Tesis IHDN Denpasar

Sudharta, Tjok Rai. 2001. Upadesa Tentang Ajaran-ajaran Agama Hindu. Surabaya: Paramita.

Sudirga dkk.2007. Widya dharma Agama Hindu. Ganeca Exact.Sugiyono. 2007. Metode Penelitian Pendidikan. Bandung: Alfabeta Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatakan

Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. bandung: Alfabeta.Subagiasta, I Ketut. 1996. Acara Agama Hindu (Modul). Jakarta:

Departemen Agama dan Universitas Terbuka.Sukerta, Made. 2008. Kajian Pendidikan Keberagamaan dalam

Upacara Ngrebeg di Pura Dalem Desa Pakraman Belayu, Kecamatan Marga, Kabupaten Tabanan.

Susanto,P. Hari. 1987. Mitos Menurut Pemikiran Mircea Elliade. Jakarta: Kanisius.

Suprayoga dan Tobroni. 2001. Metodologi Penelitian Sosial-Agama. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Suparsa, Kadek. 2008. Pementasan Tari Barong Brutuk pada Saat Purnama Kapat Lanang di Pura Puseh Baleagung Desa Pakraman Trunyan, Kecamatan Kintamani, Kabupaten Bangli.

Sura, dkk. 1999. Agama Hindu Sebuah Pengantar. Denpasar: CV Kayumas Agung.

Page 206: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 197

Tim Penyusun, 1998. Himpunan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-Aspek Agama Hindu I - XV. Pemerintah Provinsi Bali.

Tim Penyusun , 2002. Kamus Istilah Agama Hindu. Pemerintah Provinsi Bali.Tim Penyusun , 2000. Tari Wali. Denpasar: Dinas Kebudayaan Propinsi Bali.Tim Penyusun,1992. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua.

Jakarta: Departemen Pendidikan Dan Kebudayaan.Tim Redaksi Bali Post, 2006. Mengenal Pura Sad Kahyangan &

Kahayangan Jagat. Denpasar: Pustaka Bali PostTitib. I Made. 2003. Teologi dan Simbol-simbol Dalam Agama Hindu.

Surabaya: Paramita.Triguna, Ida Bagus Nyoman Yudha (ed). 1997. Sosiologi Hindu.

Dirjen Bimas Hindu dan Budha.Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

22 Tahun 2006, tentang Standar Isi Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah.

Wiana, I Ketut, 1995. Yajna dan Bhakti: Dari Sudut Pandang Hindu. Denpasar: Pustaka Manikgeni.

Wiana, I Ketut. 1997. Cara Belajar Agama Hindu Yang Baik. Denpasar: Yayasan Dharma Naradha.

Wiana, I Ketut. 2000. Makna Upacara Yajna Dalam Agama Hindu. Surabaya: Paramitha.

Wijayananda, 2004. Makna filosofis dan Upakara. Surabaya: Paramitha

Yudhabakti, I Made & Watra, I Wayan. 2007. Filsafat Seni Sakral dalam Kebudayaan Bali. Surabaya: Paramita

Yuliani, Ni Made. 2011. Upacara Ngunya Barong Pada Sasih Kanem di Desa Pakraman Abiansemal Dauh Yeh Cani, Kecamatan Abiansemal, Kabupaten Badung (Kajian Sosio - Religius). Tesis IHDN Denpasar.

Page 207: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu198

GLOSARIUM

Bebanten : rentetan sajian atau sesajen yang digunakan sebagai sarana pemujaan bagi pemeluk agama Hindu di Bali

Bebali : salah satu jenis tarian di Bali yang fungsinya untuk mengiringi upacara keagamaan tetapi dapat juga ditonton seperti tari Topeng, Bondres, dll

Bhuta : makhluk yang memiliki tugas menjaga ketentraman alam dan kehidupan serta memiliki tingkatan di bawah manusia

bhuta yajña : korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kepada para bhutakala atau makhluk halus yang telah berjasa dalam menjaga ketentraman dalam kehidupan

Dadia : kelompok sosial-religius di Bali berdasarkan silsilah keluarga besar atau kulagotra

deha teruna : sebutan untuk para remaja di Bali dalam hubungannya dengan sistem sosial-religius

dewa rna : hutang manusia kepada para dewa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah menciptakan manusia dan kehidupan di dunia ini

dewa yajña : korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kepada para dewa atau Ida Sang Hyang Widhi Wasa sebagai realisasi dari ajaran dewa rna

Gamelan : alat musik tradisional Bali dan Jawa yang digunakan untuk mengiringi tarian

Jeroan : salah satu areal pura sebagai bagian dari konsep luar-dalam atau jaba-jero

Karawitan : salah satu jenis seni di Bali yang menekuni bidang tari dan tabuh

Kidung : salah satu bagian dari kesusastraan Bali yang

Page 208: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu 199

dilagukan dan digunakan untuk mengiringi upacara keagamaan selain pupuh dan kakawin

krama banjar : sistem sosial-religius masyarakat Bali dalam suatu daerah (RT) di bawah tingkat desa

kuna dresta : tradisi atau kebiasaan yang sifatnya turun-temurun sejak dahulu

loka dresta : tradisi atau kebiasaan yang sifatnya turun-temurun yang berlaku pada daerah tertentu saja

Mandala : daerah atau wilayah seperti ajaran Hindu di Bali mengenal utama mandala, madya mandala, dan nista mandala

manusia yajña : korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kepada sesama manusia, baik dengan materil maupun nonmateril

Meru : salah satu bentuk bangunan sebagai tempat melakukan pemujaan, di Bali meru terdapat di pura

Mudra : suatu gerakan tertentu yang seperti tarian dan juga digunakan oleh pendeta di Bali dalam memuja Tuhan

Ngayah : konsep atau ajaran pengabdian yang tulus suci serta tidak mengharapkan imbalan misalnya ketika melakukan kegiatan pembersihan di pura

Nista : tingkatan suatu yajña atau tempat yang paling luar atau sederhana setelah tingkatan utama dan madya

Pakraman : konsep kehidupan bermasyarakat di Bali dengan dicirikan adanya Pura Kahyangan Tiga yang meliputi Pura Bale Agung, Pura Puseh, dan Pura Dalem

Pandita : orang suci yang sudah mengalami proses dwijati atau lahir kedua kalinya parhyangan :

Page 209: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii

Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu200

tempat suci untuk memuja Ida Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya

pitra rna : hutang kepada leluhur yang harus dibayar dengan yajña karena leluhur atau orang tua yang sudah melahirkan ke dunia

pitra yajña : korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kepada para resi atau guru yang telah berjasa memberikan ilmu pengetahuan sebagai penjabaran dari rsi rna

Pralina : persembahan yang digunakan dalam melaksanakan yajña

Pujawali : kegiatan upacara keagamaan yang dilakukan dalam periode tertentu

Pura : tempat persembahyangan bagi agama Hindu resi rna : hutang kepada para resi atau guru yang telah

berjasa memberikan pengetahuan kepada kita dan hutang ini dibayar dengan yajña

rsi yajña : korban suci yang tulus iklas yang ditujukan kepada para resi atau guru yang telah berjasa memberikan ilmu pengetahuan sebagai penjabaran dari rsi rna

Sajen : persembahan yang digunakan dalam melaksanakan yajña sastra dresta : tradisi atau kebiasaan yang sudah berjalan secara turun-temurun dan berdasar atas sastra

Sekaa : organisasi tradisional Bali baik yang bergerak dalam bidang keagamaan, kesenian, maupun bidang lain

Tabuh : salah satu wujud kegiatan berkesenian di Bali, yaitu seni musik gamelan tradisional Bali

Wali : salah satu jenis tarian yang meliputi wali, bebali, dan balih-balian yang sifatnya sakral untuk mengiringi upacara keagamaan

Winten : proses sakralisasi atau penyucian yang dilakukan dengan upacara

Page 210: sim.ihdn.ac.idsim.ihdn.ac.id/app-assets/repo/repo-dosen-021904104837-91.pdf · Katalog Dalam Terbitan (KDT) Religiusitas Pementasan Baris Kupu-Kupu Surabaya: Pàramita, 2018 viii