SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf ·...

25
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI FRM/FISE/46-01 12 JANUARI 2009 SILABUS Fakultas : Ilmu Sosial dan Ekonomi Jurusan / Program Studi : Pendidikan Sejarah/ Ilmu Sejarah Mata Kuliah : Historiografi Indonesia Kode : SSJ 1213 SKS : Teori : 2 sks Praktik : - sks Semester : Genap (IV) Mata Kuliah Prasyarat : Tidak Ada. Dosen : H.Y. Agus Murdiyastomo, M.Hum. Danar Widiyanta, M.Hum. I. Deskripsi Mata Kuliah. Mata kuliah ini disajikan dengan maksud agar mahasiswa dapat memahami perkembangan penulisan sejarah di Indonesia sejak awal perkembangannya sampai pada perkembangan terakhir. Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan sejarah Indonesia di setiap periodisasi perkembangannya. II. Standar Kompetensi. Memahami tahap-tahap perkembangan Penulisan Sejarah di Indonesia dari Zaman Kerajaan hingga sekarang. III. Sumber Bahan. A. Wajib. Soedjatmoko, et.al., An Introduction to Indonesian Historiography, Ithaca : Cornell University Press, 1975. Taufik Abdullah dan Abdurrachman Suryomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arah dan Perspektif, Jakarta : Gramedia, 1985. B. Pendukung. Graaf H.J De., Historiografi Hindia Belanda, Jakarta : Brathara, 1971 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, yogyakarta : Bentang,1995 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1982. _________, Indonesian Historiography, Yogyakarta : Kanisius, 2001.

Transcript of SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf ·...

Page 1: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

FRM/FISE/46-01 12 JANUARI 2009

SILABUS

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ekonomi Jurusan / Program Studi : Pendidikan Sejarah/ Ilmu Sejarah Mata Kuliah : Historiografi Indonesia Kode : SSJ 1213 SKS : Teori : 2 sks Praktik : - sks Semester : Genap (IV) Mata Kuliah Prasyarat : Tidak Ada. Dosen : H.Y. Agus Murdiyastomo, M.Hum. Danar Widiyanta, M.Hum.

I. Deskripsi Mata Kuliah. Mata kuliah ini disajikan dengan maksud agar mahasiswa dapat memahami perkembangan

penulisan sejarah di Indonesia sejak awal perkembangannya sampai pada perkembangan terakhir. Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan sejarah Indonesia di setiap periodisasi perkembangannya.

II. Standar Kompetensi. Memahami tahap-tahap perkembangan Penulisan Sejarah di Indonesia dari Zaman Kerajaan

hingga sekarang. III. Sumber Bahan. A. Wajib. Soedjatmoko, et.al., An Introduction to Indonesian Historiography, Ithaca : Cornell University Press, 1975. Taufik Abdullah dan Abdurrachman Suryomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arah dan Perspektif, Jakarta : Gramedia, 1985. B. Pendukung. Graaf H.J De., Historiografi Hindia Belanda, Jakarta : Brathara, 1971 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, yogyakarta : Bentang,1995 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1982. _________, Indonesian Historiography, Yogyakarta : Kanisius, 2001.

Page 2: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Taufik Abdullah dan Edi Sedyawati, Sejarah Indonesia Penilaian Kembali Karya Utama

Sejarawan Asing, Jakarta : PPKB LPUI, 1997

IV. Skema Pembelajaran.

Pert. ke

Kompetensi Dasar Materi Pokok Kegiatan Pembelajaran Sumber Bahan

1 Orientasi Penyampaian silabus, tugas dan kontrak belajar.

2 Memahami perkembangan penulisan sejarah di Indonesia pada masa tradisional.

Sistem pemerintahan Kerajaan Mataram

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

3 Kedudukan Pujangga

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

4 Ciri-ciri Historiografi Tradisional

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

5 Babad Tanah Djawi

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

6 Hikayat Melayu dan Sejarah Melayu

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

7 Unsur Pokok Historiografi Tradisional

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

8 Ujian Tengah Semester

Ujian dalam bentuk Essay.

9 Memahami perkembangan penulisan sejarah pada historiografi modern

Hadirnya Bangsa Barat

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

10 Tradisi Tulisan dan Tradisi Lisan

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

11 Ciri-ciri Historiografi Tradisional

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

Page 3: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

12 Penulis dan Karyanya

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

13 Historiografi Masa Revolusi

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

14 Seminar Sejarah Nasional I

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

15 Kecenderungan Penulisan Sejarah Indonesia

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

16 Kesimpulan Refleksi bersama.

V . Komponen Penilaian

No Komponen Penilaian Bobot (%)

1 Partisipasi Kuliah 10 %

2 Tugas 15 %

3 Ujian Tengah Semester 30%

4 Ujian Akhir Semester 45%

Jumlah 100 %

Mengetahui Yogyakarta, 13 Februari 2010 Ketua Jurusan/Program Studi Dosen Pengampu Makul Mudji Hartono, M.Hum. Danar Widiyanta, M.Hum. NIP. 131405901 NIP. 19681010 199403 1 001

Page 4: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN EKONOMI

FRM/FISE/46-01 12 JANUARI 2009

SILABUS

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ekonomi Jurusan / Program Studi : Pendidikan Sejarah/ Ilmu Sejarah Mata Kuliah : Historiografi Indonesia Kode : SSJ 1213 SKS : Teori : 2 sks Praktik : - sks Semester : Genap (IV) Mata Kuliah Prasyarat : Tidak Ada. Dosen : H.Y. Agus Murdiyastomo, M.Hum. Danar Widiyanta, M.Hum.

I. Deskripsi Mata Kuliah. Mata kuliah ini disajikan dengan maksud agar mahasiswa dapat memahami perkembangan

penulisan sejarah di Indonesia sejak awal perkembangannya sampai pada perkembangan terakhir. Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan sejarah Indonesia di setiap periodisasi perkembangannya.

II. Standar Kompetensi. Memahami tahap-tahap perkembangan Penulisan Sejarah di Indonesia dari Zaman Kerajaan

hingga sekarang. III. Sumber Bahan. A. Wajib. Soedjatmoko, et.al., An Introduction to Indonesian Historiography, Ithaca : Cornell University Press, 1975. Taufik Abdullah dan Abdurrachman Suryomiharjo, Ilmu Sejarah dan Historiografi : Arah dan Perspektif, Jakarta : Gramedia, 1985. B. Pendukung. Graaf H.J De., Historiografi Hindia Belanda, Jakarta : Brathara, 1971 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, yogyakarta : Bentang,1995 Sartono Kartodirdjo, Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indonesia, Jakarta : Gramedia, 1982. _________, Indonesian Historiography, Yogyakarta : Kanisius, 2001.

Page 5: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Taufik Abdullah dan Edi Sedyawati, Sejarah Indonesia Penilaian Kembali Karya Utama

Sejarawan Asing, Jakarta : PPKB LPUI, 1997

IV. Skema Pembelajaran.

Pert. ke

Kompetensi Dasar Materi Pokok Kegiatan Pembelajaran Sumber Bahan

1 Orientasi Penyampaian silabus, tugas dan kontrak belajar.

2 Memahami perkembangan penulisan sejarah di Indonesia pada masa tradisional.

Sistem pemerintahan Kerajaan Mataram

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

3 Kedudukan Pujangga

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

4 Ciri-ciri Historiografi Tradisional

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

5 Babad Tanah Djawi

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

6 Hikayat Melayu dan Sejarah Melayu

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

7 Unsur Pokok Historiografi Tradisional

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

8 Ujian Tengah Semester

Ujian dalam bentuk Essay.

9 Memahami perkembangan penulisan sejarah pada historiografi modern

Hadirnya Bangsa Barat

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

10 Tradisi Tulisan dan Tradisi Lisan

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

11 Ciri-ciri Historiografi Tradisional

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

Page 6: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

12 Penulis dan Karyanya

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

13 Historiografi Masa Revolusi

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

14 Seminar Sejarah Nasional I

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

15 Kecenderungan Penulisan Sejarah Indonesia

Kuliah mimbar, diskusi, dan tugas

Sumber Wajib dan pendukung.

16 Kesimpulan Refleksi bersama.

V . Komponen Penilaian

No Komponen Penilaian Bobot (%)

1 Partisipasi Kuliah 10 %

2 Tugas 15 %

3 Ujian Tengah Semester 30%

4 Ujian Akhir Semester 45%

Jumlah 100 %

Mengetahui Yogyakarta, 13 Februari 2009 Ketua Jurusan/Program Studi Dosen, Mudji Hartono, M.Hum. Danar Widiyanta, M.Hum. NIP. 131405901 NIP. 132093043

Page 7: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

TUGAS MATA KULIAH HISTORIOGRAFI INDONESIA 1. Membuat Summary dari bacaan terpilih.

Setiap mahasiswa membuat summary dari bacaan terpilih.

2. Membuat makalah kelompok.

Kelas dibuat 14 kelompok, secara berurutan membuat makalah tentang materi 2-7 dan 9-15.

3. Presentasi makalah.

Semua kelompok harus melakukan presentasi makalahnya, dan dilakukan penilaian proses.

4. Belajar.

Page 8: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

A HISTORY OF MODERN INDONESIA Oleh: Ml.C. Ricklefs Penerbit: Macmillan Press, London, 1981, vi

35 hal., bibliografi dan indeks Penulisan sejarah Indonesia memasuki perspektif baru. Yakni

tatkala Jacob Cornelis van Leur (1908-1942), dalam disertasi doktoralnya di Leiden 1934,

mengkritik pandangan Eropa-sentris dalam penyusunan sejarah. Pada 1939, dikecamnya pula

buku Geschiedenis van Nederlandsch Indie susunan F.W. Stapel, yang memandang Indonesia

semata-mata "dari dek kapal, jendela loji dan anjungan rumah dagang" (J.C. van Leur,

Indonesian Trade and Society, 1955). Sejak itu ahli sejarah menyadari pentingnya rekonstruksi

historiografi tanah air kita, dengan menekankan aspek-aspek bangsa Indonesia sendiri, sehingga

sejarah Indonesia tidak identik dengan kisah kegiatan kolonial (Willem Philippus Coolhaas, A

Critical Survey of Studies on Dutch Colonial History, 1960). Dewasa ini bermunculan buah pena

sejarawan Barat dengan wajah Indonesia sentris. Misalnya: John David Legge, Indonesia, edisi

ke-3, 1980 Bernhard Dahm, History of Indonesia in the Twentieth Century, 1971 dan buku M.C.

Ricklefs yang kini dibicarakan. Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs, guru besar sejarah Universitas

Monash (Australia), meraih Ph.D. di Universitas Cornell (1973) dengan tesis Jogjakarta under

Sukan Mangkubumi 1749-1792: A History of the Division of Java (diterbitkan Oxford University

Press, 1974). Semasa mengajar di School of Oriental and African Studies (London), Ricklefs

menyusun katalog manuskrip Nusantara bersama Petrus Voorhoeve (1977). Ia menulis Modern

Javanese Historical Tradition (1978), dan menguraikan islamisasi Jawa dalam buku Nehemia

Levtzion, Conversion to Islam (1979). Pengetahuannya yang mendalam tentang Indonesia

menyebabkan Ricklefs dipercayai Prof. Dr. Daniel George Edward Hall (1891-1979) untuk

menyempurnakan buku A History of South-East Asia, edisi ke-4, 1981. Dalam menulis A History

of Modern Indonesia, Ricklefs memakai gaya bercerita. Uraiannya enak dibaca, tanpa diganggu

catatan kaki. Isi buku dikelompokkan dalam enam bagian The Emergence of the Modern Era (5

bab) Struggles for Hegemony (4 bab) The Creation of the Colonial State (3 bab) Tbe Emergence

of the Idea of Indonesia (3 bab) The Destruction of the Colonial State (2 bab) Independent

Indonesia (3 bab). Ricklefs memulai uraianrlya dari kedatangan Islam. Di kebanyakan daerahdi

Indonesia, agama ini disebarkan oleh orang Indonesia sendiri. Perdagangan merupakan unsur

penting dalam penyebaran itu. Tak lupa dibahasnya peranan tasawuf. Islam memasuki

kehidupan rakyat dengan cara damai. Memang ada juga perang, tapi ditegaskan Ricklefs bahwa

hal itu lebih bermotifkan persoalan dinasti, strategi dan ekonomi. Setelah membahas

pertumbuhan kerajaan Islam, dari Aceh sampai Ternate ia menguraikan berbagai aspek budaya,

sastra dan tradisi keagamaan. Diulasnya pula kontak-kontak pertama bangsa Indonesia dengan

orang Eropa, terutama Portugis dan Belanda. Meski datang belakangan, pengaruh Belanda

cepat menggeser pengaruh Portugis. Sebab utamanya, kata Ricklefs, Portugis gagal membuat

Page 9: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

tempat berpijak yang permanen di Jawa. Tapi Portugis banyak mempengaruhi jalannya sejarah:

perubahan jalur niaga akibat jatuhnya Malaka, serta peletakan penyebaran Nasrani di Indonesia

Timur. Istilah-istilah Portugis memperkaya bahasa Nusantara: kemeja, pita, peniti, sepatu,

lemari, bendera, lentera, jendela, meja, mentega, pesta,keju, terigu, ronda, serdadu, algojo,

onar, peluru, bola, boneka, dadu, gereja, sekolah, tempo, minggu, roda, sepeda, kereta, pesiar,

nona, antero, tembakau. Musik keroncong merupakan pembastaran musik Portugis. Abad XVII

dan XVIII merupakan era pertarungan hegemoni antara Belanda dan kerajaan-kerajaan Islam.

Bangsa Indonesia ternyata cukup alot, sehingga pembentukan suatu negara kolonial baru

dimulai pada abad XIX ! Sampai saat ini anak didik kita di sekolah-sekolah masih disuguhi mitos

palsu "350 tahun Pax Neerlandica". Kenyataannya, pada tahun 1800 Belanda baru berkuasa di

Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur, Ujungpandang dan Ambon. Seluruh Jawa

baru jatuh ke tangan Belanda pada 1830, akhir Perang Diponegoro. Sekitar 1840 Belanda mulai

memalingkan perhatian ke daerah luar Jawa. Perkembangan industri di Eropa menyebabkan

penjajah itu mengincar sumber bahan baku dan minyak bumi. Ricklefs cukup merinci perluasan

pengaruh dan kekuasaan Belanda di seluruh tanah air kita, pada akhir abad XIX dan awal abad

XX. Negara kolonial Nederland Indie yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke baru

tercapai pada 1910. Agaknya Ricklefs mengambil tahun itu, sebab pada 1910 Belanda mulai

memberlakukan Hukum Kekawulaan Belanda (Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap).

Lihat juga: G.J. Resink Indonesia's History between the Myths (1968), serta Soedjatmoko, A

pproacb to Indonesian History wards an Open Future (1960). Gerakan-gerakan nasional XX, baik

yang berdasarkan Islam maupun "sekular", diuraikan cukup baik, sebelum penulis membahas

akhir 'zaman Belanda' yang kisah pendudukan Jepang. Sejarah Indonesia sejak proklamasi

kemerdekaan kelompokkannya ke dalam revolusi (1945-1949) eksperimen demokrasi (1950-

1957) demokrasi terpimpin (1958-1965) Orde Baru (sejak 1966). Yang menarik, uraian Rickle tak

hanya berkisar pada masalah itik. Melainkan juga ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan

aspek-aspek lain masyarakat kita. Misalnya, dari 1900 sampai 1930 produksi gula meningkat

empat kali, teh harnpir sebelas kali. Sejak 1860 minyak bumi ditemukan di Langkat, dan

diproduksi mulai 1892. Pada 1901 minyak ditambang di Kalimantan. Tahun 1900 jenis karet

Havea brasiliensis diimpor untuk mengimbangi jenis karet asli Ficus elastica, yang mulai

diusahakan 1864. Tahun 1930 Indonesia mensuplai separuh karet dunia. PEMBANGUNAN rel

kereta api pada 1867 sepanjang 25 km di seluruh Indonesia, meningkat menjadi 7.425 km pada

1930 Arel persawahan meluas 1,8 kali di tahun 1930, dibandingkan dengan tahun 1885.

Populasi rakyat Indonesia 35,7 juta di tahun 1905 48,3 (1920) 59,1 (1930). Lalu meningkat 70

juta pada 1939 77,2 (1950) 85,4 (1955) 97,02 (1961) dan 118,4 juta di tahun 1971. Lebih

Page 10: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

menarik lagi, dalam buku Ricklefs ini terkandung penggambaran warna Islam yang lebih nyata

dalam perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs menegaskan, era 'Indonesia 'modern' dimulai sejak

kedatangan Islam. Agama ini mempersatukan suku-suku Nusantara menjadi satu 'kesatuan

sejarah yang padu' (a coberent historical unit). Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam

menjadi simbol identitas pribumi dan pembangkit daya juang, seperti juga pernah ditegaskan

Prof. Dr. George McTurnan Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952), serta Prof.

Dr. Harry Jundrich Benda (The Crescent and the Rising Sun, 1958). Kebangkitan nasional abad ini

dipelopori oleh Sarekat Islam yang menggema di seantero kepulauan. Dengan membaca buku

karya Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs ini, semoga kita terstimulasi untuk lebih membenahi

penulisan sejarah tanah air kita. Nia Kurnia Sholihat Irfan

Kumpulan Resensi Buku di Majalah TEMPO

oleh Nia Kurnia Sholihat Irfan:

TEMPO, 21 Juni 1980

BULAN SABIT DAN MATAHARI TERBIT:ISLAM INDONESIA PADA MASA PENDUDUKAN JEPANG

Harry Jundrich Benda (terjemahan Daniel Dhakidae)

Pustaka Jaya, Jakarta, 1980, 344 halaman

SEJARAH Islam Indonesia relatif tidak mendapat perhatian, bahkan tidak jarang para sarjana

memberikan tempat lebih kecil kepada gerakan-gerakan Islam dalam pertumbuhan

nasionalisme Indonesia. Demikian konstatasi Prof. Dr. Harry Jundrich Benda dalam pengantar

bukunya The Crescent and the Rising Sun: Indonesian Islam under the Japanese Occupation

1942-1945 (The Hague, 1958), yang terjemahannya kini kita bicarakan.

Prof.Benda yang wafat tahun 1972 pada akhir hayatnya menjabat Guru Besar Sejarah Asia

Tenggara di Universitas Yale, Amerika Serikat. Karyanya ini merupakan sumbangan sangat

berharga bagi penulisan sejarah Indonesia terutama periode mutakhir. Bagian Pertama,

"Warisan Kolonial" (tiga bab), merupakan uraian situasi Indonesia, khususnya umat Islam, pada

masa-masa terakhir kekuasaan Belanda. Pokok permasalahan diuraikan pada Bagian Kedua,

"Pendudukan Jepang" (lima bab).

Page 11: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Dalam Bab Satu, "Dasar-dasar Politik Belanda terhadap Islam", Prof.Benda mengklasifikasi

masyarakat Islam Indonesia dalam tiga kelompok yang disarankan Clifford Geertz dalam buku

The Religion of Java (Chicago, 1955), yaitu abangan, priyayi, dan santri. Dia juga menguraikan

ulasan politik Belanda terhadap Islam yang dirumuskan Christiaan Snouck Hurgronye. Meskipun

klasifikasi Geertz mengandung kelemahan dan mengundang kritik (antara lain Harsya Wardana

Bachtiar, “The Religion of Java: A Commentary”, dalam Majalah Ilmu-Ilmu Sastra Indonesia,

V(1), 1973), kenyataannya kelompok priyayi perlu ditinjau secara khusus, setidak-tidaknya

dalam pembahasan mengenai pandangan Snouck tentang Islam. Snouck merekomendasikan

bahwa untuk mengalahkan pengaruh Islam di Indonesia, kaum priyayi harus diberi pendidikan

Barat, sehingga terjauhkan dari agamanya (geemancipeerd van het Islam stelsel).

Prof.Benda melukiskan pembagian Islam oleh Snouck menurut dua aspek yang dapat

dipisahkan: Islam religius dan Islam politik (h. 44). Sebenarnya Snouck melihat Islam memiliki

tiga aspek: sebagai religi (godsdienstig), sebagai sistem sosial kemasyarakatan

(maatschappelijk), dan sebagai sistem kenegaraan (staatkundig). Dalam rekomendasinya

kepada pemerintah Belanda Snouck menyarankan agar terhadap yang pertama pemerintah

bersikap netral dan jangan ikut campur. Terhadap yang kedua, pemerintah memberikan

kelonggaran, malahan jika perlu dibantu sebagai upaya ‘mengambil hati umat Islam’. Tetapi

terhadap yang ketiga, Snouck mengharap pemerintah jangan sekali-kali memberikan toleransi

dan harus selalu siaga untuk menumpasnya. Kenyataannya, buah fikiran Snouck ini turut

mewarnai garis politik kolonial baru yang dikenal dengan ‘politik etis’.

Pemisahan yang dilakukan Snouck antara agama dan politik dalam Islam, menurut Prof. Benda

tidak realistis, bahkan tidak mencerminkan sifat universal agama ini. Pemisahan agama dan

politik, kata Prof. Benda, hanya merupakan fenomena sementara Islam dalam masa

kemerosotannya. Dalam masa kesadaran Islam hal itu tak dapat berlangsung lama (hh. 50-51).

Ketidaktepatan tafsiran Snouck itu dijelaskan dalam Bab Dua, "Renesans Islam Indonesia".

Pengarang menguraikan kebangkitan Islam yang dinamis, sehingga pada awal abad ke-20 Islam

Indonesia tumbuh lebih luas daripada batasan abad ke-19 yang menjadi dasar analisis dan

rekomendasi Snouck. Gema pemikiran para reformis Islam di Timur Tengah, seperti Jamaluddin

Al-Afghani dan Muhammad Abduh, terwujud di Indonesia dalam bentuk organisasi Sarekat

Islam dan Muhammadiyah. Pada gilirannya gerakan-gerakan reformis ini menimbulkan reaksi

baru dalam bentuk kebangunan kaum tradisionalis yang dipelopori Nahdatul Ulama.

Page 12: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Sesungguhnya sejak tahun 1930-an sudah muncul peringatan-peringatan terhadap politik

Belanda. Misalnya Prof. George Henri Bousquet dari Perancis, yang menilai pemerintah Belanda

terlalu lemah menghadapi Islam dan meremehkan ‘bahaya politik’ yang dikandung gerakan

sosio-religius seperti Muhammadiyah (lihat: M. Natsir, “Oleh-oleh dari Algiers”, Capita Selecta,

Vol.1, 1955). Namun api telah terlalu menjalar sehingga sukar dipadamkan. “Kekurangpahaman

tentang gerakan pembaharuan Islam menyebabkan politik pemerintah Hindia Belanda terhadap

Islam menjadi impoten,” komentar Prof. Dr. Willem Frederik Wertheim yang turut memberikan

Kata Pengantar dalam buku Prof. Benda ini. Juga perlu kita garisbawahi bahwa Jong Islamieten

Bond yang didirikan H. Agus Salim dan kawan-kawannya tahun 1925 memberikan fenomena

baru yang barangkali tidak terbayangkan oleh Snouck, yaitu munculnya para modernis Islam

dari kalangan priyayi!

Dalam Bab Tiga, "Tantangan dan Jawaban", Prof. Benda mengungkapkan bertambah

mantapnya gerakan Islam, dengan bersatunya kelompok modernis dan kelompok tradisionalis

dalam wadah MIAI (Majlis Islam A’la Indonesia) pada bulan September 1937. Dibayangi

ketakutan perang melawan Jepang, Belanda mulai menyadari kebutuhan memperoleh sekutu di

kalangan Islam. Hal ini ditandai dengan membuka Sekolah Penghulu di Jawa Barat, subsidi yang

cukup besar bagi jemaah haji, serta perangko amal bagi kepentingan Muhammadiyah. Namun

keharusan sejarah agaknya tak dapat ditahan. “Matahari Terbit” melanda Nusantara dan

menghapuskan Hindia Belanda.

Bagian Kedua karya Prof. Benda, terdiri atas lima bab, membahas masa pendudukan Jepang,

sesuai dengan judul bukunya. Bagian ini dicatat dari sumber tangan pertama, terutama dari

harian berbahasa Indonesia dan dari berkala tahun-tahun tersebut. Masuknya Jepang ke

Indonesia membuka era baru dalam tingkah laku politisi Indonsia. Jika di zaman Belanda penjara

dan pembuangan merupakan hukuman paling kejam, di zaman Jepang penyiksaan dan

kematian dijatuhkan bagi mereka yang dicurigai tidak taat. Jika di zaman Belanda dikenal istilah

'kooperasi dan non-kooperasi', di zaman Jepang perbendaharaan istilah politik bertambah

dengan 'kolaborasi'. Dan rupanya Jepang telah merumuskan politiknya terhadap Islam jauh hari

sebelumnya.

Sejak pertengahan tahun 1920-an lembaga studi dan majalah yang membahas masalah Islam

telah muncul di Jepang. Pada November 1939 suatu pameran dan kongres Islam diadakan di

Page 13: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Tokyo dan Osaka. Delegasi MIAI dari Indonesia juga turut hadir. Segera seusai kongres, seorang

ahli Islam, Prof. Kanaya, berangkat ke Indonesia untuk memperkuat ikatan umat Islam kedua

bangsa. Sesudah Jepang menduduki Indonesia, pendekatan terhadap Islam Indonesia terus

gencar: menekankan persamaan Shinto dan Islam mengenai konsep hakkoichiu (‘persaudaraan

sejagad’), silaturahmi dengan para pemuka MIAI, membuka Kantor Urusan Agama (Shumubu),

menjamu para pemimpin Islam di Hotel Des Indes yang mewah, dan menampilkan ‘haji-haji

Tokyo’ seperti Abdulhamid Ono, Abdulmunim Inada, Muhammad Taufik Suzuki, Yusuf Saze.

Bahkan ada tentara Jepang yang ikut bersembahyang di mesjid-mesjid! Jika organisasi lain tak

diizinkan membuat majalah, Soeara MIAI sejak Januari 1943 diizinkan terbit.

Para tokoh Islam mempunyai senjata moral dengan mengemukakan prasyarat kerjasama

dengan ‘penyembah berhala’ itu: asalkan agama Islam tidak diganggu. Maka terjadilah

permainan ‘kucing-kucingan’ para tokoh Islam yang mencoba mengambil manfaat dari

‘kerjasama’ itu. Prof. Benda mengemukakan bahwa pada zaman Jepang elite Islam memperoleh

bagian yang lebih besar dibandingkan dengan yang diperoleh pada zaman Belanda (h.169).

Kaum Muslimin juga berperan dalam pembentukan tentara lokal. Pada Juli 1943 para kiai dilatih

kemiliteran di Jakarta, dan latihan korps perwira Indonesia, Oktober 1943, melibatkan jumlah

kiai yang cukup besar.

Menurut Prof. Benda, kelompok Islam mendapat dukungan yang jauh lebih besar di desa-desa

dibandingkan dengan kaum nasionalis ‘sekuler’. Itulah sebabnya ketika mendirikan angkatan

bersenjata Indonesia yang pertama, penguasa Jepang memalingkan muka kepada Islam.

Bendera Peta bukanlah Merah-Putih, melainkan Bulan-Sabit di atas Matahari-Terbit, melukiskan

perang suci Islam Indonesia terhadap imperialis Barat yang Kristen (hh. 174-175).

Sangat menarik mengikuti bagaimana cara Jepang memandulkan MIAI. Shumubu sering

melangkahi MIAI dalam mendekati para ulama. Usaha para pemimpin MIAI untuk mengadakan

rapat umum tidak diizinkan. Meskipun MIAI berhasil mengusahakan berdirinya Baitul-Mal,

organisasi itu terus dikuras sehingga yang tinggal hanya kantor pusatnya di Jakarta. Akhirnya,

September 1943, pemerintah pendudukan Jepang memberikan status hukum kepada

Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama beserta cabang-cabangnya di Jawa, dan sebulan

kemudian MIAI terpaksa bubar.

Sebagai pengganti MIAI, dibentuk wadah Majelis Syuro Muslimin Indonesia, dengan singkatan

Page 14: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Masyumi yang mirip-mirip nama Jepang, dengan Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama sebagai

tulang punggungnya. Berbeda dengan MIAI, Masyumi mempunyai keanggotaan yang

meyakinkan di seluruh Jawa. Menurut Prof. Benda, Jepang tetap mengharapkan penggalangan

kaum Muslimin demi tujuannya (h. 216). Pendekatan Jepang ini dimanfaatkan pula oleh

Masyumi untuk membentuk pasukan Hizbullah (Laskar Allah) pada bulan Januari 1945.

Bahkan sampai saat-saat terakhir menjelang kejatuhannya, Matahari Terbit berusaha menarik

Bulan Sabit ke dalam orbitnya. Pada tanggal 1 Mei 1945 Gunseikan memutuskan hari Jumat

libur setengah hari bagi kantor pemerintah. Pada 11 Juni, Al-Qur’an dicetak pertama kalinya di

bumi Indonesia. Dan pada 8 Juli, Universitas Islam Indonesia didirikan dengan Abdul Kahar

Muzakkir sebagai ketua. Setelah proklamasi kemerdekaan, universitas ini dipindahkan dari

Jakarta ke Yogyakarta.

Sayang sekali kita tidak menikmati peristiwa bulan Juni dan Juli 1945 dengan cukup mendetil

dalam buku ini. Padahal, bulan-bulan itu penuh dengan kejadian yang menentukan ‘posisi’ Islam

dalam zaman Indonesia merdeka. Betapa gigihnya para tokoh Islam dalam Dokuritsu Junbi

Cosakai memperjuangkan Islam sebagai dasar negara, dan betapa gigihnya pula para tokoh

nasionalis ‘sekuler’ menolaknya, sehingga muncul Piagam Jakarta 22 Juni 1945 sebagai titik

kesepakatan.

Kekurangan buku Prof. Benda ini adalah hanya membahas perkembangan Islam di Jawa.

Terhadap terjemahan Daniel Dhakidae patut kita acungkan jempol. Sayangnya penerjemah

tidak sedikit pun memberikan informasi siapa Prof. Dr. Harry Jundrich Benda. Dan alangkah

baiknya jika buku ini dilengkapi dengan indeks.

Akhirnya, ada baiknya kita merenungkan kata pengantar W. F. Wertheim dalam permulaan

buku ini. Kekuatan-kekuatan yang mencoba menggunakan Islam untuk mencapai tujuan

politiknya, tulis guru besar Universitas Amsterdam itu, pada gilirannya akan dimanfaatkan oleh

politisi Islam untuk mencapai tujuan yang sangat berbeda dengan tujuan kekuatan tersebut.

Bulan Sabit terlalu besar untuk menjadi satelit siapa pun!***

TEMPO, 25 April 1981

Page 15: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

KUNTALA, SRIWIJAYA DAN SUWARNABHUMI

Prof.Dr.Slametmulyana

Idayu, Jakarta, 1981, 356 halaman

KERAJAAN Sriwijaya kebanggaan masa silam Indonesia. Kekuasaannya melampaui batas

geografis tanah air kita, berabad-abad mendominasi pelayaran dan perdagangan antarbangsa,

satu-satunya negara Asia Tenggara abad tengah yang banyak diberitakan kronik Arab dan Cina.

Namun penyusunan sejarahnya belum tuntas. Maklum Sriwijaya baru dikenal dalam

historiografi modern pada tahun 1918, berkat tulisan George Coedes, Le Royaume de Crivijaya.

Kronik Cina abad ke-7 dan ke-8 memberitakan negeri atau kerajaan di ‘laut selatan’ bernama

Shih-li-fo-shih. Kronik abad ke-9 sampai ke-14 memberitakan negeri San-fo-tsi. Berdasarkan

beberapa prasasti yang menyebut nama ‘Sriwijaya’, Coedes mengidentifikasi Sriwijaya sebagai

nama negeri dan kerajaan yang ditransliterasikan menjadi Shih-li-fo-shih atau San-fo-tsi. Dan

lahirlah teori: Kerajaan Sriwijaya berdiri sejak abad ke-7 sampai ke-14.

Buku terbaru Prof.Dr.Slametmulyana ini, bekas dekan Fakultas Sastra Universitas Indonesia,

banyak memberikan sumbangan berharga bagi penyusunan sejarah Sriwijaya. Karya filolog

terkemuka ini diharapkan dapat merangsang pemikiran baru.

Dengan argumentasi meyakinkan, pengarang melokasikan negeri Sriwijaya (Shih-li-fo-shih) di

Palembang dan negeri Malayu (Mo-lo-yu) di Jambi. Pelokasian Malayu ditunjang oleh prasasti

Amoghapasa di Jambi yang menyebutkan negeri Malayu. Penelitian geomorfologi Dinas

Purbakala, 1954, yang membuktikan Jambi abad ke-7 terletak di pantai dan ideal bagi

persinggahan kapal, ternyata cocok dengan uraian pendeta I-tsing (634-713) tentang pelabuhan

Malayu.

Pelokasian Sriwijaya di Palembang memiliki bukti-bukti tak terbantah. Uraian I-tsing bahwa

Sriwijaya di tenggara Malayu dan di muara sungai besar. Penelitian geomorfologi bahwa

Palembang abad ke-7 berlokasi di pantai. Sebagian besar prasasti Sriwijaya ditemukan di

Palembang. Dan yang terpenting, prasasti Telaga Batu di Palembang merinci nama jabatan yang

hanya mungkin ada di pusat pemerintahan: putra mahkota, selir raja, senapati, hakim, para

menteri, sampai pembersih dan pelayan istana.

Page 16: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Ini perlu ditegaskan karena para penyusun Sejarah Nasional Indonesia (Jilid II, Zaman Kuna) —

buku standar dari Dep. P&K— terlalu gegabah menjatuhkan vonis: ibukota Sriwijaya bukan di

Palembang. Mereka kiranya wajib meruntuhkan argumentasi Prof. Slametmulyana.

Pengarang juga menguraikan perluasan wilayah Sriwijaya berdasarkan prasasti-prasasti dan

uraian I-tsing. Akhir abad ke-7, raja Sriwijaya Dapunta Hyang Sri Jayanasa menaklukkan Bangka,

Lampung, Malayu (Jambi), Sumatera Timur, Semenanjung Malaka, Muangthai Selatan. Prasasti

Kota Kapur (Bangka) menyebutkan pada 686 tentara Sriwijaya berangkat menyerbu Jawa.

Menurut pengarang, yang ditaklukkan adalah Jawa Barat, terbukti dari adanya prasasti

berbahasa Melayu di Bogor. Prasasti Sriwijaya memang berbahasa Melayu, dan tak mungkin

raja Jawa atau Sunda mengeluarkan prasasti dengan bahasa itu. Tapi mengapakah pengarang

ragu menyimpulkan bahwa Jawa Tengah pun pernah dikuasai Sriwijaya?

Di Jawa Tengah banyak prasasti berbahasa Melayu: Sojomerto, Gandasuli, Dieng, Bukateja,

Candi Sewu. Prasasti Sojomerto (ditemukan tahun 1963) menyebut Dapunta Selendra, pendiri

Wangsa Sailendra. Gelar ini sama dengan gelar raja Sriwijaya, Dapunta Hyang. Prasasti

Gandasuli menyebut pembesar Sailendra bergelar Sida, gelar yang tak dimiliki pembesar Jawa.

Yang jelas, itu adalah gelar pembesar Sriwijaya seperti tercantum pada prasasti di Palembang

(Johannes Gijsbertus de Casparis, Prasasti Indonesia II, 1956, h.5). Pengarang mengatakan

Dapunta Selendra berasal dari Sumatera Selatan (h.148). Seharusnya pengarang lebih tegas

mengatakannya dari Sriwijaya. Tumbuhnya Wangsa Sailendra di Jawa Tengah abad ke-8 berkat

penaklukan daerah ini oleh Sriwijaya. Tidak mustahil, Dapunta Selendra adalah salah seorang

keturunan Dapunta Hyang yang diberi daerah kekuasaan di Jawa Tengah.

Prasasti Nalanda (860) menyebutkan bahwa Balaputradewa raja Suwarnadwipa adalah

keturunan Sailendra dari Jawa. Dari prasasti Siwagreha (856) diketahui bahwa Balaputra

mengungsi dari Jawa lantaran kalah perang melawan Wangsa Sanjaya. Sangat mustahil seorang

pengungsi dari Jawa diterima orang Sriwijaya menjadi raja jika tak ada hubungan famili! Para

ahli sejarah seperti George Coedes, Frederik David Kan Bosch, Muhammad Yamin, Oliver

William Wolters, menduga ibu Balaputra adalah putri Sriwijaya. Tapi tak ada sumber sejarah

mengatakan demikian. Kiranya alasan yang tepat adalah bahwa Wangsa Sailendra berasal dari

Sriwijaya. Jadi Balaputradewa kembali ke daerah nenek moyangnya. Wajar jika ia memiliki hak

atas tahta Sriwijaya.

Page 17: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Tapi Prof. Slamet membuat ‘teori baru’ dalam bukunya ini. Menurutnya, Kerajaan Sriwijaya

runtuh pada abad ke-8 karena ditaklukkan Wangsa Sailendra. Lalu Balaputradewa mendirikan

kerajaan baru pada abad ke-9 di Jambi bernama Suwarnadwipa. Nama ini bersinonim dengan

Suwarnabhumi yang ditransliterasikan San-fo-tsi dalam kronik Cina.

Teori Prof. Slamet bertentangan dengan sumber sejarah yang mengatakan Kerajaan Sriwijaya

masih ada pada abad ke-11. Prasasti di India yang dikenal dengan Piagam Leiden menyebutkan

raja Sriwijaya tahun 1006 bernama Sri Marawijayatunggawarman, putra raja Sri

Cudamaniwarman keluarga Sailendra. Sudah tentu raja ini keturunan Balaputradewa.

Konsekuensinya, Suwarnadwipa pada prasasti Nalanda adalah Kerajaan Sriwijaya. Kedua nama

raja Sriwijaya dalam Piagam Leiden cocok dengan nama-nama raja San-fo-tsi, Se-li-chu-la-wu-ni

dan Se-li-ma-la-pi, dalam kronik Sung-shih (Sejarah Dinasti Sung). Tahunnya pun cocok. Jadi San-

fo-tsi yang diberitakan kronik Sung-shih adalah Kerajaan Sriwijaya.

Untuk menutupi kelemahan teorinya, pengarang mengatakan Piagam Leiden itu menyesatkan

karena, katanya, bertentangan dengan berita Al-Mas`udi bahwa Sriwijaya merupakan negeri

bawahan (h.182). Entah buku Al-Mas`udi mana yang dibaca pengarang. Yang jelas, Abu Hasan

Al-Mas`udi dalam catatannya Murujuz-Zahab wa Ma’adinul-Jawhar (943) tak pernah

mengatakan demikian. Justru dari keterangan Al-Mas`udi dan musafir-musafir Arab lainnya kita

mengetahui bahwa negeri paling utama di Asia Tenggara abad ke-10 adalah Sriwijaya.

Namun saya sependapat dengan pengarang bahwa San-fo-tsi dalam kronik Chu-fan-chi (Catatan

Negeri Asing, ditulis oleh Chau Ju-kua pada 1225) bukanlah Kerajaan Sriwijaya-Palembang,

melainkan Kerajaan Malayu-Jambi (hh.188-189). Chu-fan-chi mengatakan Palembang sebagai

negeri bawahan San-fo-tsi. Uraian Chu-fan-chi tentang pelabuhan San-fo-tsi sama dengan

uraian I-tsing tentang Malayu dan cocok dengan penelitian geomorfologi tentang Jambi.

Jadi ada dua kerajaan (Sriwijaya dan Malayu) yang disebut San-fo-tsi. Patut diingat, kronik Cina

sering menyebut suatu negeri atau kerajaan dengan nama pulaunya. Sebelum abad ke-15 Pulau

Sumatera bernama Suwarnadwipa atau Suwarnabhumi, artinya ‘pulau emas’. Kiranya Prof.

Slamet benar ketika mengidentifikasi nama San-fo-tsi dengan Suwarnabhumi. Tapi beliau lupa

bahwa itu nama pulau. Wajar jika berita tentang San-fo-tsi ada yang cocok untuk Sriwijaya-

Palembang dan ada yang cocok untuk Malayu-Jambi. Kedua kerajaan ini sama-sama disebut

San-fo-tsi karena memang terletak di Sumatera. Seperti halnya kerajaan-kerajaan di Jawa

Page 18: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

disebut She-po (transliterasi dari nama Jawa).

Adapun runtuhnya Sriwijaya bisa dilacak sebagai berikut. Setelah kerajaan itu lumpuh akibat

serangan Cola pada 1025 (prasasti Tanjore), negeri Malayu yang sejak abad ke-7 menjadi

bawahannya bangkit kembali. Kronik Ling-wai-tai-ta mencatat utusan Jambi ke Cina pada 1079,

1082, 1088. Sepanjang abad ke-12 kiranya Malayu merebut banyak daerah dari tangan Sriwijaya

yang kian lemah. Pada 1183 kekuasaan Malayu telah sampai ke Semenanjung Malaka (prasasti

Grahi). Menurut Sung-shih, utusan terakhir Sriwijaya ke Cina datang pada 1178. Tiba-tiba kronik

Chu-fan-chi tahun 1225 mencatat Palembang sebagai bawahan Malayu. Boleh dipastikan,

Kerajaan Sriwijaya runtuh akhir abad ke-12 atau sekitar tahun 1200 (antara 1178 dan 1225)

karena ditaklukkan oleh Kerajaan Malayu! Ini merupakan antitesis terhadap teori Prof. Slamet

yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-8. Sekaligus antitesis terhadap pendapat umum ahli

sejarah yang menganggap Sriwijaya runtuh abad ke-14.

Jadi yang disebut San-fo-tsi abad ke-13 dan ke-14 adalah Kerajaan Malayu. Kitab

Nagarakretagama (1365) pupuh XIII menyebutkan seluruh daerah di Sumatera sebagai ‘Bhumi

Malayu’. Selama ini ahli sejarah menganggap San-fo-tsi sinonim dari Shih-li-fo-shih (Sriwijaya).

Akibatnya kebesaran Kerajaan Malayu tidak mendapat tempat dalam buku sejarah. Malayu

yang jaya abad ke-13 disangka Sriwijaya.

Prof. Sukmono melokasikan Sriwijaya di Jambi lantaran banyak berita San-fo-tsi yang cocok

untuk Jambi (Tentang Lokalisasi Sriwijaya, 1958). Prof. George Coedes yang melokasikan

Sriwijaya di Palembang masih perlu menulis: Whether it had its center at Palembang or at

Jambi... (The Indianized States of Southeast Asia, 1968, h.179). Prof. Oliver William Wolters

dalam dua bukunya, Early Indonesian Commerce (1967) dan The Fall of Srivijaya (1970),

menduga ibukota Sriwijaya mula-mula di Palembang lalu pindah ke Jambi. San-fo-tsi dalam

kronik Chu-fan-chi diartikannya ‘Srivijaya, now meaning Malayu-Jambi’. Kalimat Wolters ini

jelas aneh, sebab bagaimanapun Sriwijaya dan Malayu dua kerajaan yang berbeda, tak boleh

disamakan begitu saja. Semua kesimpangsiuran di atas lantaran satu sebab: mereka

menganggap berita-berita San-fo-tsi selalu menyatakan Sriwijaya.

Sejarah Dinasti Ming abad ke-14 mengatakan ‘San-fo-tsi dahulu disebut Kan-to-li’. Kan-to-li

adalah negeri abad ke-5 sebelum Malayu dan Sriwijaya. Karena San-fo-tsi zaman Ming adalah

Malayu, lokasi Kan-to-li tentu di Jambi. Perlu dicatat, banyak nama tempat yang berasal dari

Page 19: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

nama tempat di India. Huruf prasasti di Asia Tenggara serupa dengan di Kuntala, dekat Mysore

(J.G. de Casparis, Indonesian Palaeography, 1975, h.13). Pendapat Prof. Slamet sungguh

menarik dan patut dipertimbangkan: nama Kuntala (Kuntali) diambil sebagai nama negeri di

Jambi abad ke-5 yang ditransliterasikan Kan-to-li. Lama-kelamaan nama Kuntal mengalami

metatesis menjadi Tungkal, nama daerah di Jambi.***

TEMPO, 27 November 1982

A HISTORY OF MODERN INDONESIA

Merle Calvin Ricklefs

Macmillan, London, 1981, 335 halaman

PENULISAN sejarah Indonesia memasuki perspektif baru tatkala Jacob Cornelis van Leur (1908-

1942), dalam disertasi doktoralnya di Leiden tahun 1934, mengkritik pandangan Eropa-sentris

dalam penyusunan sejarah. Pada tahun 1939, dikecamnya pula buku Geschiedenis van

Nederlandsch Indie susunan Frederik Willem Stapel, yang memandang Indonesia semata-mata

“dari dek kapal, jendela loji dan anjungan rumah dagang” (J.C. van Leur, Indonesian Trade and

Society, 1955).

Sejak itu para ahli sejarah menyadari pentingnya rekonstruksi historiografi tanah air kita dengan

menekankan aspek-aspek bangsa Indonesia sendiri, sehingga sejarah Indonesia tidak identik

dengan kisah kegiatan kolonial (Willem Philippus Coolhaas, A Critical Survey of Studies on Dutch

Colonial History, 1960). Dewasa ini bermunculan buah pena sejarawan Barat dengan wajah

Indonesia-sentris. Misalnya, John David Legge, Indonesia, edisi ke-3, 1980; Bernhard Dahm,

History of Indonesia in the Twentieth Century, 1971, serta buku karya M.C. Ricklefs yang kini

dibicarakan.

Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs, guru besar sejarah Universitas Monash, Australia, meraih Ph.D. di

Universitas Cornell tahun 1973 dengan tesis Jogjakarta under Sultan Mangkubumi 1749-1792: A

History of the Division of Java (diterbitkan Oxford University Press, 1974). Semasa mengajar di

School of Oriental and African Studies, London, Ricklefs menyusun katalog manuskrip Nusantara

bersama Petrus Voorhoeve tahun 1977. Dia menulis buku Modern Javanese Historical Tradition

(1977), dan menguraikan islamisasi Jawa dalam buku Nehemia Levtzion (Ed.), Conversion to

Page 20: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Islam (1979). Pengetahuannya yang mendalam tentang Indonsia menyebabkan Ricklefs

dipercayai Prof. Dr. Daniel George Edward Hall (1891-1979) untuk menyempurnakan buku A

History of South-East Asia, edisi ke-4, 1981.

Dalam menulis A History of Modern Indonesia, Ricklefs memakai gaya bercerita (narasi).

Uraiannya enak dibaca tanpa diganggu catatan kaki. Isi buku dibagi menjadi enam bagian: The

Emergence of the Modern Era (5 Bab), Struggles for Hegemony (4 Bab), The Creation of the

Colonial State (3 Bab), The Emergence of the Idea of Indonesia (3 Bab), The Destruction of the

Colonial State (2 Bab), dan Independent Indonesia (3 Bab).

Ricklefs mengawali uraiannya dari kedatangan Islam. Di kebanyakan daerah di Indonesia, agama

ini disebarkan oleh orang Indonesia sendiri. Perdagangan merupakan unsur penting dalam

penyebaran itu. Tak lupa dibahasnya peranan tasawuf. Islam memasuki kehidupan rakyat

dengan cara damai. Memang ada juga perang, tapi ditegaskan Ricklefs bahwa hal itu lebih

bermotifkan persoalan dinasti, strategi dan ekonomi. Setelah membahas pertumbuhan

kerajaan-kerajaan Islam, dari Aceh sampai Maluku, pengarang juga menguraikan berbagai aspek

budaya, sastra dan tradisi keagamaan.

Kemudian pengarang kontak-kontak pertama bangsa Indonesia dengan Eropa, terutama

Portugis dan Belanda. Meski datang belakangan, pengaruh Belanda cepat menggeser pengaruh

Portugis. Sebab utamanya, kata Ricklefs, Portugis gagal membuat tempat berpijak yang

permanen di Jawa. Tapi Portugis banyak mempengaruhi jalannya sejarah: perubahan jalur niaga

akibat jatuhnya Malaka, dan penyebaran agama Nasrani di bagian timur Indonesia. Musik

keroncong merupakan pembastaran musik Portugis. Kata-kata Portugis telah memperkaya

bahasa kita: kemeja, saku, pita, beludru, renda, bantal, peniti, sepatu, lemari, pigura, bendera,

lentera, jendela, meja, garpu, mentega, keju, terigu, bolu, kaldu, kantin, ronda, armada,

serdadu, peluru, meriam, rantai, algojo, mandor, onar, bola, biola, boneka, dadu, gereja, padri,

sekolah, bangku, pena, tinta, tempo, minggu, roda, sepeda, kereta, pesiar, pesta, nona, permisi,

serutu, lelang, antero, sisa, palsu, tembakau.

Abad ke-17 dan ke-18 merupakan era pertarungan hegemoni antara Belanda dan kerajaan-

kerajaan Islam. Bangsa Indonesia ternyata cukup alot, sehingga pembentukan suatu negara

kolonial baru dimulai pada abad ke-19! Sampai saat ini anak didik kita di sekolah-sekolah masih

disuguhi mitos palsu “350 tahun dijajah Belanda”. Padahal kenyataannya, pada tahun 1800

Page 21: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

(awal abad ke-19) Belanda baru berkuasa di Jawa Barat, sebagian Jawa Tengah dan Jawa Timur,

Makassar dan Ambon. Seluruh Jawa baru dikuasai Belanda tahun 1830, akhir Perang

Diponegoro.

Pada dasawarsa 1830-1840 Belanda mulai memalingkan perhatian ke daerah luar Jawa.

Perkembangan industri di Eropa menyebabkan Belanda mengincar sumber bahan baku mineral

dan minyak bumi. Ricklefs merinci perluasan pengaruh dan kekuasaan Belanda di seluruh tanah

air kita pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Negara kolonial Nederlandsch Indie (Hindia

Belanda) yang berwilayah dari Sabang sampai Merauke baru tercapai pada tahun 1910.

Agaknya Ricklefs mengambil tahun itu, sebab pada tahun 1910 Belanda mulai memberlakukan

Hukum Kekawulaan Belanda (Wet op het Nederlandsch Onderdaanschap) yang menyeragamkan

hukum dan aturan di seluruh Hindia Belanda. Lihat: Gertrudes Johan Resink, Indonesia’s History

between the Myths (1968), serta Soedjatmoko, An Approach to Indonesian History towards an

Open Future (1960).

Gerakan-gerakan nasional awal abad ke-20, baik yang berdasarkan Islam maupun ‘sekular’,

diuraikan cukup mendetail, sebelum Ricklefs membahas masa akhir ‘zaman Belanda’ yang

disusul kisah pendudukan Jepang. Sejarah Indonesia sejak proklamasi kemerdekaan

dikelompokkannya ke dalam empat periode: revolusi (1945-1949); eksperimen demokrasi

(1950-1957); demokrasi terpimpin (1958-1965); Orde Baru (sejak 1966).

Yang menarik, uraian Ricklefs tak hanya berkisar pada masalah politik, melainkan juga ekonomi,

sosial, budaya, pendidikan, dan aspek-aspek lain masyarakat Indonesia. Misalnya, dari 1900

sampai 1930 produksi gula meningkat empat kali, teh hampir sebelas kali. Sejak tahun 1860

minyak bumi ditemukan di Langkat, dan diproduksi mulai tahun 1892. Pada tahun 1901 minyak

bumi mulai dieksploitasi di Kalimantan. Tahun 1900 jenis karet Havea brasiliensis diimpor untuk

mengimbangi jenis karet asli Ficus elastica yang mulai diusahakan sejak tahun 1864. Pada tahun

1930 Indonesia mensuplai separoh karet dunia.

Indonesia merupakan negara kedua di Asia yang mengenal kereta api sesudah India.

Pembangunan rel kereta api pertama pada tahun 1867 sepanjang 25 km di seluruh Indonesia

meningkat menjadi 7425 km pada tahun 1930. Areal persawahan meluas 18 kali di tahun 1930

dibandingkan dengan tahun 1885. Populasi rakyat Indonesia 35,7 juta ditahun 1905; 48,3

(1920); 59,1 (1930), lalu meningkat 70 juta tahun 1939; 77,2 (1950); 85,4 (1955); 97,02 (1961)

Page 22: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

dan 118,4 juta tahun 1971.

Lebih menarik lagi, dalam buku Ricklefs ini tergambar warna Islam yang lebih nyata dalam

perjalanan sejarah Indonesia. Ricklefs menegaskan bahwa era ‘Indonesia modern’ dimulai sejak

kedatangan Islam, yang membuat Nusantara menjadi satu kesatuan sejarah yang padu (a

coherent historical unit). Dalam melawan hegemoni kolonial, Islam menjadi simbol identitas

pribumi dan pembangkit daya juang, seperti juga pernah ditegaskan Prof.Dr. George McTurnan

Kahin (Nationalism and Revolution in Indonesia, 1952) serta Prof.Dr. Harry Jundrich Benda (The

Crescent and the Rising Sun, 1958). Kebangkitan nasional awal abad ke-20 dipelopori Sarekat

Islam yang menggema di seantero kepulauan, bukan oleh Budi Utomo yang hanya terbatas di

Jawa saja.

Dengan membaca buku karya Prof. Dr. Merle Calvin Ricklefs ini, semoga kita terstimulasi untuk

lebih membenahi penulisan sejarah tanah air kita.***

TEMPO, 1 OKTOBER 1983

TINJAUAN KRITIS TENTANG SEJARAH BANTEN

Prof.Dr. Hoesein Djajadiningrat

Djambatan, Jakarta, 1983, 400 halaman

DAERAH-DAERAH Nusantara dan Asia Tenggara umumnya memiliki kronik sejarah lokal dengan

berbagai istilah: babad (Jawa), hikayat (Melayu), patturioloang (Makassar), prawatsat (Thai),

bangsawatar (Kamboja), quoc-su (Vietnam), dan sebagainya. Penulisan kronik semacam itu

umumnya bertujuan mempertinggi wibawa penguasa di mata rakyatnya, atau untuk

memperoleh legitimasi bagi dinasti yang baru berkuasa. Fakta sejarah yang disajikan biasanya

bercampur dengan dongeng dan mitos, sehingga kebenaran beritanya harus dikonfirmasikan

dengan sumber sejarah yang lebih sahih.

Namun tradisi lokal itu tak dapat diabaikan sebagai salah satu sumber sejarah. Pada hakikatnya

dongeng dan mitos sengaja ditambahkan untuk mengagungkan tokoh sejarah yang diceritakan.

Jadi babad atau hikayat tersebut disusun berdasarkan fakta sejarah yang pernah terjadi. Adalah

tugas para ahli untuk memisahkan fakta sejarah dari dongeng dan mitos yang membumbuinya.

Page 23: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

Naskah Sajarah Banten, yang disusun tahun 1662-1663 dalam bentuk tembang macapat,

merupakan obyek penelitian salah seorang putra terbaik Indonesia, Pangeran Aria Hoesein

Djajadiningrat (1886-1960), sebagai disertasi doktor dalam bidang Bahasa dan Sastra Nusantara

pada Universitas Leiden tahun 1913. Disertasi yang berjudul Critische Beschouwing van de

Sadjarah Banten itu dipromotori oleh Prof.Dr.Christiaan Snouck Hurgronje. Buku yang kini kita

bicarakan adalah terjemahan disertasi itu, dalam rangka kerja sama Lembaga Ilmu Pengetahuan

Indonesia (LIPI) dengan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV).

Sayang sekali, panitia penerjemah tidak menganggap perlu mengenalkan pengarang kepada

pembaca. Padahal generasi sekarang tidak banyak yang mengetahui peranan beliau. Perlu

dicatat, buku ini telah menobatkan Hoesein Djajadiningrat sebagai putra Indonesia pertama

yang memperoleh gelar doktor, dan sekaligus menyadarkan para ilmuwan Belanda masa itu

bahwa kaum bumiputra mampu meraih jenjang tertinggi dunia ilmu pengetahuan asalkan diberi

kesempatan.

Prof.Dr. P.A. Hoesein Djajadiningrat, putra bupati Serang, pernah menjadi anggota Raad van

Indie (semacam dewan penasehat) di zaman Belanda, serta kepala Shumubu (semacam

departemen agama) di zaman Jepang. Dia merupakan anggota Dokuritsu Junbi Cosakai yang

menyusun UUD 1945. Di saat wafatnya, dia menjabat ketua Lembaga Kebudayaan Indonesia, di

samping tugas guru besar pada Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Karangan-karangan Prof.

Hoesein tersebar dalam berbagai bahasa, antara lain kamus Aceh-Belanda dan uraian tentang

Islam di Indonesia dalam buku Kenneth W. Morgan, Islam the Straight Path, 1958.

Disertasi Prof. Hoesein terdiri atas empat bab. Pada Bab Pertama diuraikan isi Sajarah Banten.

Bab Kedua menganalisis bagian yang tergolong fakta sejarah, dan Bab Ketiga mengupas bagian

yang berupa legenda. Dalam Bab Keempat Prof. Hoesein menerangkan ciri pokok penulisan

sejarah Jawa.

Gaya penulisan Sajarah Banten mengikuti tradisi asli bangsa Aria, yaitu menceritakan suatu

kisah melalui percakapan antara dua orang tertentu. Bentuk semacam ini banyak dijumpai pada

karya sastra klasik India dan Persia. Misalnya, cerita Mahabharata yang disusun dalam bentuk

percakapan Waisampayana kepada Janamejaya. Kisah 1001 Malam digubah melalui percakapan

putri Syahrazad kepada raja Syahriar. Demikian pula Sajarah Banten merupakan percakapan

Page 24: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

antara dua orang yang bernama Sandimaya dan Sandisastra.

Sajarah Banten yang meliputi 66 pupuh dibagi Prof. Hoesein menjadi dua bagian. Bagian

pertama (pupuh 1-16) isinya mirip dengan Babad Tanah Jawi: menceritakan Kerajaan Galuh dan

Majapahit, penyebaran Islam oleh Wali Songo, serta tumbuhnya kerajaan-kerajaan Demak,

Pajang, dan Mataram. Bagian kedua (pupuh 17-66) khusus menceritakan Kerajaan Banten pada

masa pemerintahan Maulana Hasanuddin, Maulana Yusuf, Maulana Muhammad, Sultan

Abulmafakhir, dan Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa). Diuraikan juga

perluasan pengaruh Banten ke Sumatera bagian selatan, serta hubungan Banten dengan

Mataram.

Yang dianalisis oleh Prof. Hoesein hanya bagian kedua Sajarah Banten—bagian yang

berhubungan dengan negeri itu. Semua berita diuji kebenarannya dengan menggunakan

sumber sejarah yang lain sebagai pembanding. Begitu cermatnya Prof. Hoesein meneliti pupuh

demi pupuh, sehingga tidaklah aneh jika gelar doktor tahun 1913 itu beliau raih dengan pujian

(cum laude).

Dengan menggunakan catatan Portugis dan Belanda mengenai Banten, serta

membandingkannya terhadap tradisi lokal yang lain, Prof. Hoesein merekonstruksikan isi

Sajarah Banten yang merupakan fakta sejarah: Penyebaran Islam di Jawa Barat dilakukan

pertama kali oleh Sunan Gunung Jati dan putranya, Maulana Hasanuddin. Kemudian

Hasanuddin menjadi raja Banten yang pertama (1552-1570). Pada masa pemerintahan Maulana

Yusuf (1570-1580), putra Hasanuddin, Banten menaklukkan Pakuan Pajajaran. Maulana Yusuf

digantikan putranya, Maulana Muhammad (1580-1596), yang gagal menaklukkan Palembang.

Penyerangan ke Palembang yang menyebabkan gugurnya Maulana Muhammad bertepatan

dengan kedatangan orang Belanda yang pertama kali di pelabuhan Banten pada bulan Juni

1596.

Kemudian Banten diperintah putra Maulana Muhammad, Pangeran Ratu (1596-1651), dengan

dibantu oleh Pangeran Arya Ranamanggala. Pada masa inilah Belanda merebut Jaketra (Jakarta)

tahun 1619. Usaha Susuhunan Mataram untuk mengusir Belanda dari Jaketra tahun 1628-1629

menemui kegagalan. Pangeran Ratu mengutus duta kepada Sarip Jahed di Mekkah yang

mewakili Sultan Rum (Turki) untuk meminta gelar sultan. Maka Pangeran Ratu memperoleh

gelar Sultan Abulmafakhir Mahmud Abdulkadir, raja di Jawa yang pertama kali memakai gelar

Page 25: SILABUS - staffnew.uny.ac.idstaffnew.uny.ac.id/upload/132093043/pendidikan/SILABUS+HIST+INDO.pdf · Diharapkan pula mahasiswa dapat menjelaskan ciri-ciri dan keistimewaan penulisan

sultan. Pada saat Sajarah Banten disusun tahun 1663, Banten diperinah oleh cucu Pangeran

Ratu, Sultan Abulfath Abdulfattah (Sultan Ageng Tirtayasa) yang sedang gigih melawan Belanda.

Prof. Hoesein juga menguraikan latar belakang isi Sajarah Banten yang tidak merupakan fakta

sejarah. Misalnya, silsilah Sunan Gunung Jati dari Nabi Adam dan Nabi Muhammad, yang

bertujuan memuliakan salah seorang Wali Songo, serta cerita pernikahan Maulana Hasanuddin

dengan putri Pajajaran, yang tentu bertujuan memposisikan Banten sebagai kesinambungan

dari kerajaan Hindu itu. Bukankah Demak juga menghubungkan diri dengan Majapahit?

Akan tetapi, tidak semua pendapat Prof. Hoesein tahan uji. Dalam disertasi ini Prof. Hoesein

menyamakan Sunan Gunung Jati dengan Faletehan dari Pasai. Identifikasi ini diamini oleh

banyak ahli sejarah. Baru pada tahun 1957, sejarawan Belanda Rudolf Arnold Kern mencoba

menyangkal pendapat umum itu. Namun waktu itu argumentasinya belum cukup kuat.

Penyaman Sunan Gunung Jati dengan Faletehan (Fatahillah) terus berlangsung sampai

ditemukannya naskah Purwaka Caruban Nagari pada tahun 1970 di Cirebon. Naskah yang

ditulis abad ke-17 itu mengemukakan bahwa Faletehan menantu Sunan Gunung Jati. Faletehan

atau Fatahillah, panglima Demak yang mendirikan kota Jakarta, berasal dari Pasai, dan nama

aslinya Fadillah Khan. Adapun Sunan Gunung Jati, penguasa Cirebon dan salah seorang Wali

Songo, merupakan keturunan Pajajaran, dan nama aslinya Syarif Hidayatullah. Dan adalah

Sunan Gunung Jati, bukan Fatahillah, yang merupakan ayah Maulana Hasanuddin dari Banten.

Terlepas dari masalah di atas, disertasi Prof. Hoesein Djajadiningrat ini layak dibaca oleh mereka

yang berminat meneliti peninggalan tertulis nenek moyang kita yang sangat banyak itu. Hampir

setiap daerah di tanah air kita memiliki catatan yang sejenis dengan Sajarah Banten, yang

menanti penggarapan para ahli, guna mengisi kekosongan historiografi bangsa kita.***