SIFAT KIMIA DAN ANATOMI SERTA … contoh uji makroskopis 2 Penyiapan contoh uji kekuatan tarik bambu...

42
SIFAT KIMIA DAN ANATOMI SERTA PENGARUHNYA TERHADAP KEKUATAN TARIK PADA LIMA JENIS BAMBU DWI PREMADHA LESTARI DEPARTEMEN HASIL HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Transcript of SIFAT KIMIA DAN ANATOMI SERTA … contoh uji makroskopis 2 Penyiapan contoh uji kekuatan tarik bambu...

*

SIFAT KIMIA DAN ANATOMI SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP KEKUATAN TARIK PADA LIMA JENIS BAMBU

DWI PREMADHA LESTARI

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

**

**

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Sifat Kimia dan

Anatomi serta Pengaruhnya terhadap Kekuatan Tarik pada Lima Jenis Bambu

adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber

informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak

diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam

Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Januari 2014

Dwi Premadha Lestari

NIM E24090070

**

ABSTRAK

DWI PREMADHA LESTARI. Sifat Kimia dan Anatomi serta Pengaruhnya

Terhadap Kekuatan Tarik pada Lima Jenis Bambu. Dibimbing oleh

NARESWORO NUGROHO dan DEDED SARIP NAWAWI.

Bambu merupakan bahan pengganti kayu untuk memenuhi kebutuhan

sebagai bahan untuk bangunan dan mebel. Penggunaan bahan baku yang sesuai

dengan sifat dasarnya akan memberikan manfaat yang lebih besar. Informasi sifat

dasar bambu menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan bahan yang efisien.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sifat anatomi dan kimia lima

jenis bambu terhadap kekuatan tarik. Penelitian ini menggunakan lima jenis

bambu, untuk menganalisis holoselulosa, selulosa, lignin dan jumlah ikatan

pembuluh dan hubungannya dengan kekuatan tarik. Sampel uji diambil dari

masing-masing bagian ruas dan buku, bagain pangkal, tengah dan ujung. Hasil

penelitian menunjukan proporsi selulosa terhadap holoselulosa dan kadar lignin

yang tinggi berkontribusi terhadap kekuatan tarik yang tinggi juga. Berdasarkan

sifat anatominya tipe dari ikatan pembuluh dan luas proporsinya berpengaruh

terhadap besarnya kekuatan tarik. Bambu betung, andong dan tali merupakan

bambu yang baik untuk dijadikan bahan baku konstruksi.

Kata kunci : bambu, Sifat kimia, sifat anatomi, kekuatan tarik

ABSTRACT

DWI PREMADHA LESTARI. The Chemical and Anatomical Properties of Five

Bamboos Species and Its Influence on Tensile Strength. Supervised by

NARESWORO NUGROHO and DEDED SARIP NAWAWI.

Bamboo is an alternative material of timber for building construction and

furniture. It is due to some advantages, such as, fast growing, easy to process,

high strength, and relatively cheap. The information of basic characteristic of

bamboo is very important regarding to effective utilization of bamboo, This

research aims to study the variation of tensile strength and its rellation on

chemical cell well component of bamboos. Five bamboos species were subjected

to analysis of its hollocellulose, cellulose, lignin, vascular bundles and tensile

strength. Experiment sample were taken from internode and node of base, middle,

and top section. The results showed that the tensile strength of bamboo was

influenced by chemical components and vascular bundles. The high content of

alpha-cellulose to holocelluose, and lignin contributed to high tensile strength of

bamboo. Anatomically, type of vascular bundles and its proportion also has a

positive effect to the strength of bamboo. Based on this research showed that

betung, andong, and tali were good to be used for construction material

Keywords: bamboo, chemical properties, anatomical bamboo, tensile strength

**

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Hasil Hutan

SIFAT KIMIA DAN ANATOMI SERTA PENGARUHNYA

TERHADAP KEKUATAN TARIK PADA LIMA JENIS BAMBU

DEPARTEMEN HASIL HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

**

**

Judul Skripsi : Sifat Kimia dan Anatomi serta Pengaruhnya terhadap Kekuatan

Tarik pada Lima Jenis Bambu

Nama : Dwi Premadha Lestari

NIM : E24090070

Disetujui oleh

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof. Dr. Ir. I Wayan Darmawan, M.Sc

Ketua Departemen

Tanggal Lulus :

Judui Skripsi: Sifat Kimia dan Anatomi serta Pengaruhnya terhadap Kekuatan Tarik pada Lima Jenis Bambu

Nama : Dwi Premadha Lestari NIM : E24090070

Disetujui oieh

Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc Pembimbing I Pembimbing II

M.Sc

Tanggal Lulus : or~9 201

**

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena

rahmat, hidayah dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian dan

penyusunan skripsi yang berjudul Sifat Kimia dan Anatomi serta Pengaruhnya

terhadap Kekuatan Tarik pada Lima Jenis Bambu. Skripsi ini membahas tentang

pengaruh sifat anatomi dan kimia lima jenis bambu terhadap kekuatan tarik, yang

dilakukan pada batang yang berbeda (pangkal, tengah, dan ujung) bagian buku

(node) dan ruas (internode).

Penulis mengucapkan terima kasih kepada kedua orang tua Bapak Karyono,

Ibu Sri Warsiati dan Kakak Aryo Waskito yang telah memberikan semangat,

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Naresworo Nugroho

dan Bapak Ir. Deded Sarip Nawawi, M.Sc atas bantuan dan bimbingan dalam

mengerjakan skripsi ini. Ucapan terima kasih disampaikan pula kepada teman-

teman Fahutan 46 khususnya THH 46, sahabat dan semua pihak yang telah

membantu pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi.

Penulis sepenuhnya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

kesempurnaan. Harapan penulis semoga skripsi ini dapat memenuhi tujuan

penyusunan serta memberikan manfaat bagi pembaca sekalian. Semoga karya

ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2014

Dwi Premadha Lestari

**

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Bahan 2

Alat 2

Lokasi 2

Prosedur Penelitian 2

Penyiapan contoh uji makroskopis 2

Penyiapan contoh uji kekuatan tarik bambu 3

Pengujian komponen kimia bambu 4

Analisis data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Kadar Polisakarida Penyusun Dinding Sel 6

Kadar Lignin 9

Ikatan Pembuluh 11

Kekuatan Tarik 15

Pengaruh Sifat Kimia dan Anatomi Bambu terhadap Kekuatan Tarik 16

SIMPULAN DAN SARAN 20

Simpulan 20

Saran 20

DAFTAR PUSTAKA 20

DAFTAR LAMPIRAN 22

RIWAYAT HIDUP 30

vi

**

DAFTAR TABEL

1 Ringkasan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu ampel 12 2 Ringkasan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu andong 13 3 Ringkasan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu betung 14 4 Ringkasan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu mayan 15 5 Ringkasan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu tali 16 6 Nilai keteguhan kuat tarik bilah bambu ampel, andong, betung, mayan

dan tali pada ruas dan buku 16

DAFTAR GAMBAR

1 Pola pemotongan contoh uji maroskopis anatomi 3 2 Pola pemotongan contoh uji keteguhan kuat tarik 4 3 Kadar holoselulosa lima jenis bambu 6 4 Kadar holoselulosa lima jenis bambu pada pangkal, tengah, ujung 7 5 Kadar holoselulosa lima jenis bambu pada ruas dan buku 7 6 Kadar alfa selulosa 8 7 Kadar alfa seluloa lima jenis bambu pada pangkal, tengah, ujung 8 8 Kadar alfa seluloa lima jenis bambu pada ruas dan buku 9 9 Kadar lignin 9

10 Kadar lignn lima jenis bambu pada pangkal, tengah, ujung 10 11 Kadar lignin lima jenis bambu pada ruas dan buku 10 12 Makroskopis anatomi ruas bambu ampel 11 13 Makroskopis anatomi buku bambu ampel 11 14 Makroskopis anatomi ruas bambu andong 12

15 Makroskopis anatomi buku bambu andong 12 16 Makroskopis anatomi ruas bambu betung 13 17 Makroskopis anatomi buku bambu betung 13

18 Makroskopis anatomi ruas bambu mayan 14 19 Makroskopis anatomi buku bambu mayan 14 20 Makroskopis anatomi ruas bambu tali 15 21 Makroskopis anatomi buku bambu tali 15 22 Kekuatan tarik bambu,kadar alfa selulosa terhadap holoselulosa dan

lignin 16

DAFTAR LAMPIRAN

1 Regresi komponen kimia bambu 22

2 Matriks korelasi hubungan sifat kimia dan kekuatan tarik bambu 30

3 Matriks korelasi hubungan sifat kimia dan kekuatan tarik bambu 30

vi

*

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bambu yang termasuk famili poaceae merupakan tumbuhan yang sudah

dikenal oleh masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat pedesaan yang pada

umumnya digunakan sebagai bahan pengganti kayu untuk memenuhi kebutuhan

sebagai bahan untuk bangunan atau mebel. Bambu dipilih sebagai bahan alternatif

kayu untuk bahan konstruksi bagunan karena bambu memiliki beberapa

keunggulan, yaitu cepat tumbuh, mudah didapat, harga murah, buluh panjang dan

mudah diolah, serta pada arah sejajar serat mempunyai sifat mekanik yang lebih

baik dibandingkan dengan kayu (Idris et al. 1994). Potensi bambu yang baik ini

diharapkan menjadi alternatif bahan untuk mengurangi tekanan permintaan

masyarakat terhadap kayu.

Konstruksi bambu sudah teruji tahan terhadap gempa (Purwito 2008), dan

hal ini mestinya berkaitan dengan sifat mekanis bambu yang sangat baik. Sifat

mekanis bambu dipengaruhi oleh jenis, umur, bagian batang, letak dan jarak ruas

pada batang (Frick 2004). Dalam jaringan sel penyusun bambu, lapisan

sklerenkim, ikatan pembuluh dan serat berperan penting terhadap sifat mekanis

bambu (Janssen 1981, Liese 1980, Haris 2008). Berdasarkan komponen kimianya,

selulosa dan lignin lebih berperan terhadap kekuatan serat dibandingkan dengan

hemiselulosa (Winandhi dan Rowell 1984), dan selulosa dianggap yang paling

bertanggung jawab terhadap kekuatan serat karena merupakan polimer linier

dengan derajat polimerisari tinggi (Sjostrom 1991).

Penggunaan bahan baku yang sesuai dengan sifat dasarnya akan

memberikan manfaat yang lebih besar. Informasi sifat dasar bambu (sifat anatomi,

kimia, fisis, dan mekanis) menjadi dasar pertimbangan dalam penggunaan bahan

yang efisien. Sifat anatomi dapat memengaruhi sifat porositas, permeabilitas, fisis

dan mekanis bambu. Sifat kimia yang berkaitan dengan sifat dasar komponen

kimia dan penyusun bambu, akan memengaruhi sifat-sifat lainnya seperti sifat

fisis, keawetan, dan kekuatan bambu, sementara itu, sifat fisis dan mekanis

bambu merupakan sifat yang seringkali tidak bisa dipisahkan terkait dengan

kekuatan bambu sebagai bahan. Menurut Grosser dan Liese (1973) berdasarkan

sifat anatominya bambu dibagi ke dalam tipe ikatan pembuluh (vascular bundle)

yang berbeda satu sama lain, yang dapat menyebabkan perbedaan sifat-sifatnya

lainnya. Oleh sebab itu, penelitian sifat anatomi dan kimia bambu serta kaitannya

dengan sifat mekanis menjadi salah satu upaya untuk lebih memahami

karakteristik bambu sebagai bahan baku konstruksi.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sifat anatomi dan

kimia lima jenis bambu terhadap kekuatan tarik. Pada bagian buku (node) dan

ruas (internode) dari posisi batang berbeda (pangkal, tengah, dan ujung).

1

**

Manfaat

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi sifat-sifat dasar

(kimia, anatomi, dan mekanis) pada ruas (internode) dan buku (node) pada lima

jenis bambu. Penelitian ini juga sangat penting untuk aplikasi konstruksi, karena

dapat digunakan untuk menentukan faktor koreksi dari sifat mekanis dari batang

yang berbeda (pangkal, tengah dan ujung).

METODE PENELITIAN

Bahan Penelitian

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lima jenis bambu yang

berumur diatas 3 tahun, yaitu Bambu Ampel (Bambusa vulgaris), Bambu Andong

(Giganctochloa psedoarundinaceae), Bambu Betung (Dendrocalamus asper),

Bambu Mayan (Gigantochloa robusta), Bambu Tali (Gigantochloa apus), bahan-

bahan kimia yang terdiri dari etanol 95 %, benzena, asam nitrat 3.5 %, sodium

klorit, asam asetat 10 %, larutan 17.5 % dan 8 %, Phloroglucin, asam klorida

35%, dan air destilata.

Alat Penelitian

Alat yang digunakan antara lain alat pemotong, Willey mill, peralatan

penyaring serbuk, timbangan, oven dengan suhu 102 ± 3 ⁰C, gelas ukur, gelas

piala 100 ml, wadah plastik tertutup, cawan porselen kapasitas 50-100 ml,

erlenmeyer 300 ml, erlenmeyer 125 ml, erlenmeyer 1000 ml, botol rendaman,

pengaduk kaca, pipet volume, electric muffle furnace dengan suhu 525 ± 25 ⁰C,

desikator, thimbel ekstraksi, sokhlet diameter 30-40 mm kapasitas 100 ml,

kondensor, filter flask 1000 ml, buchner funnel, alat pemanas air, water bath,

glass filter porosity medium, constant temperature bath, kertas lakmus,

mikroskop, komputer, software Motic Image Plus 2.0 ML, kaliper, timbangan,

kamera digital dan Universal Testing Machine (UTM) merk instron.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Kimia Hasil Hutan, Laboratorium

Sifat Dasar Kayu, Laboratorium Rekayasa dan Desain Bangunan Kayu,

Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Kampus IPB Darmaga Bogor.

Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari – Mei 2013 dan dilanjutan pada

Oktober 2013.

Prosedur Penelitian

Penyiapan contoh uji makroskopis bambu

Pengujian makroskopis anatomi bambu dilakukan pada penampang

lintang, tangensial dan radial batang bambu berukuran 2 x 1 x 1 cm³ yang

diambil dari masing-masing bagian tengah batang bambu dan dipisahkan antara

bagian ruas dan buku. Pengamatan menggunakan mikroskop perbesaran 10 kali

dan foto penampang dengan software Motic Image Plus 2.0 ML. Arah serat,

2

**

vascular bundle dan luasnya dihitung serta diukur diameternya. Perhitungan luas

ikatan vaskular bundle dilakukan pada seluruh penampang pada bagian ruas dan

buku, sedangkan pengukuran diameter hanya diambil sebanyak 40-50% dari

ikatan pembuluh secara acak pada masing-masing penampang. Luas ikatan

pembuluh dihitung menggunakan rumus luas ellips.

Pengamatan tipe ikatan pembluh (vascular bundle) berdasarkan Grosser

dan Liese (1971), dibedakan menjadi 5 tipe, yaitu Tipe I terdiri atas 1 baris berkas

pembuluh di bagian tengah dengan selubang sklerenkiem yang terdiri dari

metaxylem, floem dan ruang antar sel. Tipe II terdiri atas 1 baris berkas pembuluh

di bagian tengah dengan selubang skelrenkiem, selubang pada ruang inrtaselluler

(protoxilem) lebih besar dari 3 bagian lainnya. Tipe III terdiri atas 2 bagian 1

rantai pembuluh di bagian pusa dengan sellubang sklerenkiem dan 1 berkas serat

yang terpisah. Tipe IV terdiri atas 3 bagian serat pembuluh pada bagian pusat

dengan selubang sklerenkim yang kecil dan 2 berkas serat bagian dalam dan luar

yang terpisah. Tipe V merupakan tipe yang terbuka mewakili tipe berikutnya

sebagai hasil evolusi.

Gambar 1 Sampel pengamatan anatomi makrokopis.

Penyiapan contoh uji kekuatan tarik bambu

Contoh uji kekuatan tarik diambil dari bagian tengah bambu dengan

kondisi contoh uji tanpa buku (Gambar 3) dan batang yang terdapat buku

(Gambar 4). Ukuran sampel dibuat berdasarkan ASTM D 143-94 (2008) yang

dimodifikasi. Pengujian kekuatan tarik bambu dilakukan dengan menggunakkan

UTM merk Instron. Sampel uji bambu dibuat dengan ukuran panjang 30 cm dan

lebar 2 cm, sedangkan tebalnya mengikuti tebal bambu. Data penelitian diolah,

dianalisis korelasinya menggunakan Microsoft Excel 2007 dan XLSTAT 2013.05.

3

**

30 cm

(a)

node (buku)

(b)

Gambar 2 Sampel pengujian kekuatan tarik (a) ruas, (b) buku.

Untuk menghitung besar keteguhan tarik sejajar serat menggunakan rumus:

τ Tr // = Pmaks

𝐴

Keterangan:

τ Tr // = Keteguhan tarik sejajar serat (kgf/cm²)

Pmaks = Beban tarik maksimum (kgf)

A = Luas penampang terkecil (cm²)

Pengujian kadar komponen kimia bambu

Pengujian sifat kimia bambu dilakukan pada kadar komponen kimia

dinding sel (holoselulosa, selulosa, hemiselulosa, dan lignin). Sampel uji serbuk

bambu berukuran 40-60 mesh dibuat melalui proses penggilingan dan

penyaringan. Kadar air serbuk diukur sebagai faktor koreksi berat sampel yang

diuji. Sebelum pengujian kadar komponen kimia dinding sel, serbuk bambu

diekstraksi dengan metode sokhletasi menggunakan 300 ml campuran pelarut

etanol-benzena (1:2). Ekstraksi dilakukan selama 6-8 jam atau hingga pelarut

dalam sokhlet berwarna bening. Ekstraksi dilanjutkan berturutan dengan

menggunakan etanol 95% selama 4 jam, dan ekstraksi air panas selama 3 jam.

Setelah ekstraksi, sampel dicuci dengan 500 ml air aquades panas.

Penentuan kadar air bambu (ASTM Standard D 2016)

Serbuk sebanyak 2 gram ditempatkan pada cawan porselen yang telah

diketahui bobotnya kemudian dimasukan ke dalam oven dengan suhu 103±2 ºC

selama 24 jam untuk menghilangkan seluruh air. Sampel dimasukan ke dalam

desikator selama 15 menit dan ditimbang.

Kadar air dihitung dengan rumus :

Kadar air (%) = [𝐵𝐴−𝐵𝐾𝑇]

𝐵𝐾𝑇 𝑋 100 %

4

**

Keterangan :

BA = Bobot awal (g)

BKT = Bobot kering tanur serbuk (g)

Kadar lignin (TAPPI T 222 om 88)

Serbuk bambu bebas zat ekstraktif sebanyak ± 0,5 g dimasukkan dalam

gelas piala dan tambahkan 5 ml larutan asam sulfat 72 %. Penambahan dilakukan

secara perlahan dan bertahap, sampel diaduk dan suhu dijaga pada 2 ± 1⁰C.

Setelah tercampur sempurna, gelas piala disimpan pada suhu 20 ± 1 ⁰C selama 3

jam dan diaduk sesekali. Reaksi dilanjutkan pada konsentrasi asam sulfat 3 %

yaitu dengan penambahan air destilata 191 ml. Hidrolisis dilakukan pada suhu

121 ⁰C selama 30 menit dengan alat autoclave. Lignin disaring dengan air

destilata panas hingga bebas asam. Lignin dikeringkan dalam oven pada suhu 103

± 2 ⁰C hingga beratnya konstan dan ditimbang. Kadar lignin dihitung dengan

rumus:

Kadar Lignin (%) = 𝐴

𝐵 𝑋 100 %

Keterangan:

A = Bobot lignin (g)

B = Bobot kering serbuk bambu (g)

Kadar holoselulosa (Browning 1967)

Serbuk bambu bebas zat ekstraktif sebanyak 2 g dmasukkan dalam

erlemeyer 250 ml, dan ditambahkan 80 ml air destilata, 1 g sodium klorit dan 0,5

ml asam asetat glasial. Sampel dipanaskan dalam water bath pada suhu 70 ⁰C.

Setelah 1 jam, ditambahkan lagi 1 g sodium klorit dan 0.5 ml asam asetat glacial

ke dalam sampel. Penambahan tersebut diulangi setiap 1 jam reaksi sampai total

penambahan sebanyak lima kali. Holoselulosa disaring dengan kertas saring yang

telah diketahui bobotnya. Holoselulosa dibilas dengan air destilata panas. Setelah

filtrat bening, sampel ditambahkan 25 ml asam asetat 10 %, kemudian dibilas lagi

hingga bebas asam. Sampel dioven pada suhu 103 ± 2 ⁰C hingga berat konstan

.Kadar holoselulosa dihitung dengan rumus:

Holoselulosa (%) = 𝐴

𝐵 𝑋 100 %

Keterangan:

A = Bobot holoselulosa (g)

B = Bobot kering serbuk bambu (g)

Kadar alfa selulosa (Browning 1967)

Sebanyak 2 g serbuk holoselulosa dimasukkan dalam erlemeyer 250 ml,

kemudian ditambahkan 16 ml larutan NaOH 17.5 % pada suhu 20 ⁰C dan diaduk.

Pada saat reaksi 5, 10, dan 15 menit, ditambahkan 5 ml larutan NaOH 17.5 %

dan dibiarkan sampai total waktu 45 menit. Sampel disaring dan dibilas dengan

menggunakan 125 ml NaOH 8 % dan pembilasan diusahakan berlangsung selama

5

**

5 menit. Sampel disaring dengan menggunakan kertas saring dan dibilas dengan

air destilata. Setelah filtrat berwarna bening, sampel dibilas dengan 50 ml asam

asetat 10 % dan dicuci dengan air hingga bebas asam. Sampel dikeringkan dalam

oven bersuhu 103 ± 2 ⁰C dan ditimbang. Kadar alfa selulosa dihitung dengan

rumus:

Alfa selulosa (%) = 𝐴

𝐵 𝑋 100 %

Keterangan:

A = Bobot Alfa selulosa (g)

B = Bobot kering serbuk bambu (g)

Analisis Data

Data diolah dan dianalisis korelasi menggunakan XLSTAT 2013.5.05. untuk

melihat kecenderungan dari bagian pangkal ke ujung disajikan dalam bentuk

grafik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Polisakarida Penyusun Dinding Sel

Holoselulosa merupakan fraksi total dari karbohidrat yang terdiri atas

selulosa dan hemiselulosa. Holoselulosa merupakan fraksi dominan penyusun

dinding sel bambu dengan proporsi sekitar 66.39-77.58% dengan rataan dari lima

jenis bambu 71.95% (Gambar 3). Oleh sebab itu kadar dan sifat kimia polisakarida

penyusun dinding sel ini berperan penting terhadap sifat lainnya seperti kerapatan,

kembang susut, dan sifat mekanis (Rowell 1984). Gambar 3 menunjukkan pula

bahwa perbedaan jenis bambu memiliki kadar holoselulosa yang berbeda, dan

kadar holoselulosa tertinggi dimiliki oleh bambu ampel, sedangkan kadar

holoselulosa terendah terdapat pada bambu tali.

Gambar 3 Kadar holoselulosa lima jenis bambu.

Selain antar jenis, perbedaan kadar holoselulosa terjadi pula antar bagian

dalam batang bambu yang sama. Distribusi kadar holoselulosa berbeda dari

60

65

70

75

80

Ampel Andong Betung Mayan Tali

77.58

74.76

68.66

72.40

66.39

Kad

ar H

olo

selu

losa

(%

)

Jenis Bambu

6

**

bagian pangkal ke ujung (Gambar 4), walaupun distribusnya tidak

berkecenderungan dengan konsisten. Secara umum, tiga jenis bambu (andong,

betung, dan mayan) memiliki kadar holoselulosa pada bagian pangkal lebih tinggi

dibandingkan dengan bagian ujung, sedangkan pada bambu ampel dan tali

sebaliknya. Hal ini diduga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan selama

pertumbuhan bambu. Jika dianalogikan dengan pertumbuhan pohon berkayu,

perbedaan kadar komponen kimia dinding sel dapat dipengaruhi oleh adanya

tekanan eksternal seperti yang terjadi pada kayu reaksi (Heygreen dan Bowyer

2003, Sjostrom 1991). Oleh sebab itu, penelitian distribusi kadar komponen kimia

yang dikaitkan dengan tekanan pertumbuhan pada bambu akan menjadi topik

lainnya yang menarik.

Perbedaan posisi antara bagian ruas dan buku pada batang bambu juga

memiliki kadar holoselulosa berbeda. Pada bagian ruas, kadar holoselulosa

tertinggi dimiliki oleh bambu ampel yaitu sebesar 76.32%, sedangkan terendah

pada bambu tali dengan besar kadar holoselusa 66.76%. Pada bagian buku, kadar

holoselulosa tertinggi pada bambu ampel yaitu sebesar 78.83%, dan terendah pada

bambu betung yaitu sebesar 64.25%. Secara umum, kecuali pada bambu andong,

bagian ruas memiliki kadar holoselulosa sedikit lebih rendah dibandingkan

dengan bagian buku (Gambar 5).

Gambar 4 Kadar holoselulosa lima jenis bambu pada bagian pangkal, tengah,

dan ujung.

Gambar 5 Kadar holoselulosa lima jenis bambu pada ruas dan buku.

0

20

40

60

80

Ampel Andong Betung Mayan Tali

76

.32

73

.52

73

.07

72

.15

66

.76

78

.83

75

.99

64

.25 72

.64

66

.01

Kad

ar H

olo

selu

losa

(%

)

Jenis Bambu

Ruas

Buku

76

.10

78

.52

78

.12

75

.94

76

.76

71

.58

75

.25

64

.90

65

.83

72

.23

73

.81

71

.15

65

.94

63

.58

69

.65

0

20

40

60

80

100

Pangkal Tengah Ujung

Kad

ar H

olo

selu

losa

(%

)

Posisi

Ampel

Andong

Betung

Mayan

Tali

7

**

Fraksi polisakarida penyusun dinding sel terbesar adalah selulosa, yang

dalam penelitian ini diukur sebagai kadar alfa-selulosa. Kadar alfa selulosa lima

jenis bambu yang diteliti berkisar 36.60 - 40.72% dengan nilai rata-rata 38.53%.

Bambu betung memiliki kadar alfa selulosa tertinggi, sedangkan kadar alfa

selulosa terendah dimiliki oleh bambu tali (Gambar 6).

Seperti halnya dengan kadar holoselulosa, terdapat perbedaan distribusi

kadar alfa selulosa pada bagian pangkal, tengah dan ujung dari batang jenis

bambu dengan kecenderungan yang berbeda-beda. Bambu ampel memiliki kadar

alfa selulosa berkecenderungan menurun dari bagian pangkal ke bagian ujung,

dan kecenderungan sebaliknya ditunjukkan oleh bambu andong (Gambar 7).

Sementara itu, kadar alfa selulosa bambu mayan dan tali memiliki kadar alfa

selulosa tertinggi pada bagian tengah dan terendah pada bagian ujung, sedangkan

bambu betung memiliki kadar alfa selulosa yang hampir seragam pada bagian

pangkal hingga ujung batang.

Gambar 6 Kadar alfa selulosa lima jenis bambu.

Gambar 7 Kadar alfa selulosa lima jenis bambu bagian pangkal, tengah, dan

ujung.

Perbedaan kadar alfa selulosa yang lebih konsisten terdapat antara bagian

ruas dan buku. Kadar alfa selulosa bagian ruas lebih tinggi dibandingkan dengan

bagian buku (Gambar 8). Pada ruas bambu betung memiliki nilai kadar alfa

34

35

36

37

38

39

40

41

Ampel Andong Betung Mayan Tali

38.39 38.44

40.72

38.49

36.60

Kad

ar A

lfa

Selu

losa

(%

)

Jenis Bambu

41

.59

37

.73

35

.8437

.23 3

8.9

5

39

.1440

.70

40

.78

40

.67

38

.47 39

.89

37

.11

36

.92

37

.91

34

.98

30

32

34

36

38

40

42

44

Pangkal Tengah Ujung

Kad

ar A

lfa

Selu

losa

(%

)

Posisi

Ampel

Andong

Betung

Mayan

Tali

8

**

selulosa tertinggi yaitu sebesar 42.36%, sedangkan bambu tali memiliki nilai

kadar alfa selulosa terendah dengan besar nilai 38.02%. Pada buku bambu betung

memiliki nilai kadar alfa selulosa tertinggi yaitu sebesar 39.07% dan tali memiliki

nilai kadar alfa selulosa terendah yaitu sebesar 35.18%.

Gambar 8 Kadar alfa selulosa lima jenis bambu pada bagian ruas dan buku.

Kadar lignin

Lignin terdapat diantara sel-sel dan di dalam dinding sel yang berfungsi

sebagai perekat untuk mengikat sel-sel bersama-sama. Pembentukan lignin

disebut lignifikasi dan merupakan tingkat terakhir dari perkembangan sel-sel

tumbuhan berkayu. Menurut Dransfield dan Wijaya (1995) bambu memiliki

kadar lignin sebesar 20-30%, sedangkan penelitian yang telah dilakukan oleh

Gusmailina dan Sumadiwangsa (1988) pada 10 jenis bambu di Jawa Timur

menunjukkan bahwa lignin yang terkandung dalam bambu berkisar antara 19.8–

26.6 %. Lignin merupakan perekat alami yang menghubungkan serat selulosa.

Oleh karena itu dapat diduga bahwa dengan semakin tingginya kadar lignin maka

kekuatan bambu akan semakin tinggi sehingga baik untuk digunakan sebagai

bahan baku konstruksi.

Kadar lignin kelima jenis bambu yang diteliti berkisar 22.36-27.76%

dengan nilai rataan 25.24% (Gambar 9). Bambu andong dan bambu tali memiliki

kadar lignin yang lebih besar dibandingkan dengan bambu betung, ampel, mayan.

Kadar lignin terendah dimiliki oleh bambu mayan.

Gambar 9 Kadar lignin pada lima jenis bambu.

0

10

20

30

40

50

Ampel Andong Betung Mayan Tali

39

.33

40

.85

42

.36

39

.88

38

.02

37

.44

36

.02

39

.07

37

.11

35

.18

Kad

ar A

lfa

selu

losa

(%

)

Jenis Bambu

Ruas

Buku

0

5

10

15

20

25

30

Ampel Andong Betung Mayan Tali

23.37

27.7625.34

22.36

27.35

Kad

ar L

ign

in (

%)

Jenis Bambu

9

**

Bila dilihat dari distribusi kadar lignin dari bagian pangkal ke ujung kelima

jenis bambu tidak memiliki kecenderungan yang jelas (Gambar 10). Bambu

ampel dan mayan memiliki kadar lignin terendah pada bagian pangkal, sedangkan

bambu tali memiliki kadar lignin tertinggi pada bagian ujung. Sementara itu

distribusi kadar lignin pada bambu andong dan betung relatif tidak banyak

berbeda.

Distribusi yang beragam ditunjukkan pula antara bagian ruas dan buku dari

keima jenis bambu yang diteliti. Kadar lignin bagian ruas dari bambu ampel,

andong, dan betung lebih tinggi dibandingkan dengan bagian bukunya, sedangkan

bambu mayan dan tali memiliki kadar lignin yang lebih tinggi pada bagian buku

dibandingkan dengan bagian ruasnya (Gambar 11). Dari kelima jenis bambu,

bagian ruas bambu andong memiliki kadar lignin tertinggi (28.29%), dan bambu

mayan memiliki kadar lignin terendah (18.90%). Pada bagian buku, kadar lignin

tertinggi terdapat pada bambu andong (27.24%) dan terendah pada bambu ampel

(23.17%).

Gambar 10 Kadar lignin lima jenis bambu pada bagian pangkal, tengah, dan

Ujung.

Gambar 11 Kadar lignin lima jenis bambu pada ruas dan buku.

Ikatan Pembuluh

Ikatan pembuluh bambu merupakan suatu lapisan dasar bambu yang

membentuk sebuah jaringan dasar (Dansfield dan Wijaya 1995). Ikatan

pembuluh pada masing–masing jenis bambu berbeda baik dalam bentuk,

19

.05

26

.66

24

.4028

.93

27

.02

27

.35

24

.85

25

.61

25

.56

18

.43 2

4.7

1

23

.96

26

.82

23

.53 3

1.7

2

0

5

10

15

20

25

30

35

Pangkal Tengah Ujung

Kad

ar li

gnin

(%

)

Posisi

AmpelAndongBetungMayanTali

0

5

10

15

20

25

30

Ampel Andong Betung Mayan Tali

23

.57

28

.29

26

.19

18

.90

25

.20

23

.17 27

.24

24

.49

25

.83

29

.51

Kad

ar L

ign

in (

%)

Jenis Bambu

Ruas

Buku

10

**

ukuran, susunan dan jumlah. Pengamatan tipe ikatan vaskular dilakukan pada

penampang aksial, radial dan tangensial terhadap bambu ampel, andong,

betung, mayan, dan tali pada bagian tengah di ruas dan buku.

(a) (b) (c)

Gambar 12 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada ruas bambu ampel.

(a) (b) (c)

Gambar 13 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada buku bambu ampel.

Ruas bambu ampel pada penampang aksial didominasi ikatan pembuluh

tipe III dan IV. Pada bagian buku penampang aksial didominasi ikatan pembuluh

tipe IV, dan yang membedakan ikatan pembuluh bagian ruas dan buku terlihat

pada bentuk ikatan vaskular. Pada bagian ruas, ikatan vascularnya berbentuk

setengah ellips lebih besar dibagian atas, sedangkan pada buku setengah ellips

lebih besar pada bagian bawah (Gambar 12 dan 13). Pada penampang radial dan

tangensial ruas bambu ampel, tidak terlihat ada perbedaan, dan ikatan pembuluh

antar keduanya sejajar. Ikatan pembuluh pada bagian buku terlihat seperti ada

yang terputus dari setiap vaskular, dari penampang tangensial serat seperti ada

yang terputus, membelok dan bercabang. Baik pada bagian ruas maupun buku,

ikatan pembuluh vaskular semakin ke arah dalam semakin sedikit tetapi

ukurannya semakin besar. Proporsi luas ikatan pembuluh bambu ampel lebih

besar pada bagian ruas dibandingkan dengan bagian buku. Ringkasan jumlah dan

luas ikatan pembuluh pada ruas dan buku bambu ampel disajikan pada Tabel 1.

11

1 mm 1 mm 1 mm

1 mm 1 mm 1 mm

**

Tabel 1 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu ampel

Parameter Ruas Buku

Luas penampang foto (mm²) 2.07 2.07

Jumlah ikatan pembuluh 13 14

Jumlah ikatan pembuluh (/mm²) 6.28 6.76

Diameter min. (mm) 0.18 0.15

Diameter max. (mm) 0.46 0.51

Luas rata-rata (mm²) 0.06 0.06

Luas total (mm²) 0.78 0.84

Proporsi luas (%) 37.68 40.57

(a) (b) (c)

Gambar 14 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada ruas bambu andong.

(a) (b) (c)

Gambar 15 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada buku bambu andong.

Ruas bambu andong pada penampang aksial didominasi oleh ikatan

pembuluh tipe III dan IV, sedangkan penampang aksial pada buku didominasi

oleh ikatan pembuluh tipe IV. Proporsi ikatan pembuluh semakin membesar ke

bagian dalam dan semakin sedikit jumlah ikatan pembuluhnya. Penampang radial

dan tangensial pada ruas, arah ikatan pembuluh tidak ada pembeda, namun untuk

bagian buku, ikatan pembuluh terlihat ada yang menyambung dan ada beberapa

ikatan pembuluh yang tidak menyambung satu dengan lainnya (Gambar 14 dan

15). Baik pada ruas maupun buku, ikatan pembuluh vaskular semakin ke arah

dalam semakin sedikit tetapi ukurannya semakin besar. Proporsi luas ikatan

pembuluh bambu andong lebih besar pada bagian ruas dibandingkan dengan

bagian buku. Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh pada ruas dan buku

bambu andong disajikan pada Tabel 2.

12

1 mm 1 mm 1 mm

1 mm 1 mm 1 mm

**

Tabel 2 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu

andong

Parameter Ruas Buku

Luas penampang foto (mm²) 2.07 2.07

Jumlah ikatan pembuluh 8 13

Jumlah ikatan pembuluh (/mm²) 3.86 6.28

Diameter min. (mm) 0.20 0.11

Diameter max. (mm) 0.65 0.65

Luas rata-rata (mm²) 0.10 0.05

Luas total (mm²) 0.80 0.65

Proporsi luas (%) 38.64 31.40

(a) (b) (c)

Gambar 16 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada ruas bambu betung.

(a) (b) (c)

Gambar 17 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada buku bambu betung.

Ruas bambu betung pada penampang aksial didominasi oleh tipe ikatan

pembuluh III dan IV. Pada buku ikatan pembuluh didominasi oleh tipe ikatan

pembuluh IV. Proporsi ikatan pembuluh pada ruas dan buku hampir sama,

semakin ke dalam ikatan pembuluh semakin membesar dan semakin sedikit

(Gambar 16 dan 17). Penampang radial dan tangensial pada ruas, serat bambu

tidak tampak perbedaan, sedangkan pada buku serat bambu ini terlihat ada

perbedaaan, ada beberapa ikatan vaskular yang sendiri dan ada beberapa yang

terputus. Pada arah tangensial, ikatan vaskular bambu ada yang terlihat

membelok. Distribusi ikatan pembuluh dari foto maksroskopis bambu betung

diringkas dalam Tabel 3. Proporsi luas ikatan pembuluh bambu betung pada ruas

memliki nilai paling tinggi dibandingkan pada buku.

13

1 mm 1 mm 1 mm

1 mm 1 mm 1 mm

**

Tabel 3 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu betung

Parameter Ruas Buku

Luas penampang foto (mm²) 2.07 2.07

Jumlah ikatan pembuluh 10 11

Jumlah ikatan pembuluh(/mm²) 4.83 5.31

Diameter min. (mm) 0.16 0.15

Diameter max. (mm) 0.62 0.44

Luas rata-rata (mm²) 0.06 0.05

Luas total (mm²) 0.60 0.55

Proporsi luas (%) 28.98 26.57

(a) (b) (c)

Gambar 18 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada ruas bambu mayan.

(a) (b) (c)

Gambar 19 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada buku bambu mayan.

Ruas bambu mayan didominasi oleh ikatan pembuluh tipe III dan pada

buku bambu mayan didominasi oleh ikatan pembuluh III dan IV. Proporsi ikatan

pembuluh tipe III lebih mendominasi pada ruas dan jumlahnya lebih banyak,

sedangkan pada buku didominasi ikatan pembuluh tipe IV. Penampang radial dan

tangensial pada ruas masih terlihat jelas serat bambu yang saling bersambungan,

sedangkan pada buku, antar ikatan vaskularnya ada yang tidak bersambunga atau

terpisah (Gambar 18 dan 19). Propori luas terendah dimiliki oleh bagian buku.

Ringkasan jumlah dan ikatan pembuluh pada ruas dan buku bambu mayan

disajikan pada Tabel 4

14

1 mm 1 mm

1 mm

1 mm 1 mm 1 mm

**

Tabel 4 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu mayan

Parameter Ruas Buku

Luas penampang foto (mm²) 2.07 2.07

Jumlah ikatan pembuluh 6 6

Jumlah ikatan pembuluh (/mm²) 2.89 2.89

Diameter min. (mm) 0.39 0.20

Diameter max. (mm) 0.53 0.77

Luas rata-rata (mm²) 0.16 0.12

Luas total (mm²) 0.96 0.72

Proporsi luas (%) 46.37 34.78

(a) (b) (c)

Gambar 20 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada ruas bambu tali.

(a) (b) (c)

Gambar 21 Foto penampang aksial (a) penampang radial (b) penampang

tangensial (c) pada buku bambu tali.

Ruas bambu tali pada penampang aksial didominasi oleh ikatan pembuluh

III dan IV, sedangkan pada buku penampang aksialnya didominasi oleh ikatan

pembuluh IV. Pada penampang radial tangensial terlihat adanya ikatan pembuluh

yang memotong antar bagian (Gambar 20 dan 21). Hal ini yang membedakan

penampang bidang horizontal bambu tali pada bagian ruas dan buku. Proporsi

luas tertinggi dari bambu tali dimiliki ruas. Ringkasan jumlah dan ikatan

pembuluh pada ruas dan buku bambu tali disajikan pada Tabel 5.

15

1 mm 1 mm 1 mm

1 mm 1 mm 1 mm

**

Tabel 5 Ringkasan jumlah dan luas ikatan pembuluh ruas dan buku bambu tali

Parameter Ruas Buku

Luas penampang foto (mm²) 2.07 2.07

Jumlah ikatan pembuluh 17 9

Jumlah ikatan pembuluh (/mm²) 8.21 4.34

Diameter min. (mm) 0.12 0.16

Diameter max. (mm) 0.52 0.61

Luas rata-rata (mm²) 0.04 0.07

Luas total (mm²) 0.68 0.63

Proporsi luas (%) 32.85 30.43

Kekuatan tarik

Kekuatan tarik sejajar serat bambu merupakan kekuatan bambu dalam

kemampuan menahan gaya-gaya yang cenderung menyebabkan bambu itu

terlepas satu dengan yang lainnya (Anas 2012). Pengujian dilakukan pada kelima

bilah bambu dengan tiga kali pengulangan. Kekuatan tarik sejajar serat pada

kelima jenis bambu pada ruas berkisar antara 1036 – 3471 kgf/cm², dan pada

buku berkisar antara 967 – 2505 kgf/cm². Hasil pengujian keteguhan tarik sejajar

serat dinyatakan dalam nilai rataan disajikan pada Tabel 6.

.

Tabel 6 Nilai keteguhan tarik (kgf/cm²) bilah bambu ampel, andong, betung,

mayan, dan tali pada ruas dan buku

Sampel Tr // (kgf/cm²)

Ampel Andong Betung Mayan Tali

Ruas 1036 3057 3471 2488 2856

Buku 2110 2505 1764 967 1597

Rataan 1573 2781 2752.5 1727.5 2226.5

Keteguhan tarik sejajar serat tertinggi terdapat pada bambu andong (2781

kgf/cm²) sedangkan keteguhan tarik sejajar serat terendah terdapat pada bambu

ampel (1573 kgf/cm²). Hasil dari pengujian kekuatan tarik ini diduga adanya

perbedaan arah serat yang terjadi pada saat pertumbuhan bambu ampel,

khususnya pada bagian ruas bambu ampel. Dilihat secara morfologi, ruas buluh

bambu ampel bentuk kelurusan buluhnya tidak lurus sama seperti jenis bambu

lainnya. Demikian pula panjang ruas bambu ampel lebih kecil dibanding jenis

bambu lain. hal ini yang diduga yang membuat kekuatan tarik pada ruas bambu

ampel lebih rendah dibandingkan dengan kekutan pada bagian bukunya. Hasil ini

juga sesuai dengan pernyataan Anas (2012) bahwa kekuatan tarik bambu tali lebih

besar dibandingkan dengan dari bambu ampel, yang diduga dipengaruhi oleh

besarnya luas proporsi ikatan pembluh pada masing-masing bambu.

16

**

Pengaruh Sifat Kimia dan Anatomi Bambu terhadap Kekuatan Tarik

Kekuatan tarik bambu dipengaruhi oleh komponen kimia dinding sel

bambu yang terdiri atas lignin, selulosa, dan hemiselulosa. Pada komponen kimia

bambu tersebut, lignin dan alfa selulosa sangat mempengaruhi kekuatan tarik

bambu. Lignin merupakan perekat alami yang menghubungkan serat selulosa,

sedangkan selulosa memiliki struktur penyusun yang linier. Oleh karena itu dapat

diduga bahwa dengan semakin tingginya kadar lignin dan alfa selulosa maka

kekuatan tarik bambu akan semakin tinggi pula. Sementara itu hemiselulosa tidak

terlalu berpengaruh terhadap kekuatan tarik bambu. Hal ini diduga karena

hemiselulosa memiliki struktur yang amorf dan ikatan antar serat yang lemah

sehingga semakin tinggi kadar hemiselulosa maka kekuatan tarik yang dihasilkan

akan semakin rendah.

Dilihat dari komponen kimianya, bambu ampel dan bambu mayan

memiliki kadar holoselulosa, alfa selulosa dan lignin tinggi, sedangkan bambu

betung, andong, dan tali memiliki kadar holoselulosa, alfa selulosa dan lignin

yang lebih rendah. Walaupun pada umumnya sifat mekanis dipengaruhi oleh

kadar komponen kimia penyusun dinding sel, akan tetapi antara selulosa,

hemiselulosa dan lignin memiliki kontribusi yang berbeda. Hal ini karena ketiga

komponen kimia dinding sel tersebut memiliki sifat kimia yang berbeda.

Terhadap kekuatan tarik, selulosa atau alfa selulosa memegang peranan sangat

besar diikuti oleh lignin, dan mungkin hemiselulosa dalam bentuk kontribusi yang

lebih kecil (Winandhi dan Rowell 1984). Oleh sebab itu khususnya untuk

polisakarida dinding sel, kontribusi selulosa terhadap sifat mekanis kayu

ditentukan pula oleh relatif proporsinya terhadap polisakarida total dalam dinding

sel (holoselulosa).

Pada Gambar 22 dapat dilihat bahwa terdapat kecenderungan jenis bambu

dengan proporsi alfa selulosa dalam holoselulosa yang tinggi memiliki kekuatan

tarik yang tinggi pula. Bambu andong, betung dan tali memiliki kekuatan tarik

tinggi yang sejalan dengan tingginya proporsi alfa selulosa dalam dinding sel.

Akan tetapi secara keseluruhan, kekuatan mekanis bambu dipengaruhi oleh

kombinasi dari proporsi kadar alfa selulosa dalam holoselulosa, dan kadar lignin.

Bambu tali dan andong, walaupun memiliki kadar proporsi alfa selulosa tidak

jauh berbeda dengan bambu mayan, akan tetapi bambu tali dan andong memiliki

kekuatan tarik yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan bambu mayan. Hal ini

karena bambu andong dan tali memiliki kadar lignin yang lebih tinggi

dibandingkan dengan bambu mayan. Pengaruh kombinasi antara kadar lignin

dengan proporsi alfa selulosa terhadap kekuatan tarik bambu ditunjukkan pula

oleh bambu andong dan bambu betung. Kedua jenis bambu ini menunjukkan

kekuatan tarik yang setara, tetapi dipengaruhi oleh kombinasi yang berbeda yaitu

bambu andong memiliki proporsi alfa selulosa lebih tinggi dan kadar lignin lebih

rendah dibandingkan dengan bambu betung, sedangkan bambu betung memiliki

proporsi alfa selulosa yang lebih rendah tetapi kadar lignin yang lebih tinggi

dibandingkan dengan bambu andong.

17

**

Gambar 22 Kekuatan tarik bambu, kadar alfa selulosa terhadap holoselulosa,

kadar lignin, dan jumlah vaskular.

0

1000

2000

3000

Ampel Andong Betung Mayan Tali

1573

2781 2618

1728

2227

Ke

tegu

han

Tar

ik (

kgf/

cm²)

0

10

20

30

40

50

60

70

Ampel Andong Betung Mayan Tali

49.55 51.57

60.38

53.22 55.35

Kad

ar A

lfa/

ho

lose

lulo

sa (

%)

0

5

10

15

20

25

30

Ampel Andong Betung Mayan Tali

23.37

27.7625.34

22.36

27.35

Kad

ar L

ign

in (

%)

0

1

2

3

4

Ampel Andong Betung Mayan Tali

3.2

6

2.5

4

2.5

4

1.4

5

3.1

4

Jum

lah

Vas

kuar

/ m

Jenis Bambu

18

**

Pada dasarnya sifat fisis dan mekanis kayu atau bambu sangat ditentukan

oleh struktur jaringan serat dan polimer penyusun serat dalam kayu atau bambu.

Dalam bambu proporsi jaringan vaskular berperan pada kekuatan bambu.

Keberadaan ikatan pembuluh bervariasi dalam jumlah dan bentuk, baik arah

horizontal maupun aksial (vertikal) dari batang. Ikatan pembuluh vaskular pada

kelima jenis bambu bagian ruas didominasi oleh tipe ikatan pembuluh III dan IV,

dan pada bagian buku didominasi ikatan pembuluh vaskular tipe IV. Vaskular

dengan ikatan pola III dan IV relatif memiliki sklerenkiem yang hampir sama,

walaupun memiliki jumlah rantai serabut yang berbeda. Oleh karena itu kekuatan

tarik tertinggi dimiliki oleh bagian ruas.

Selain itu, arah serat pada daerah buku tidak semua lurus, karena bagian

serat berbelok ke dalam, dan sebagian kecil keluar (Bahtiar 2008, Dirga 2012).

Tipe ikatan pembuluh vaskular III memiliki kekuatan lebih tinggi dibandingkan

dengan tipe ikatan pembuluh vaskular tipe IV. Hal ini karena tipe IV merupakan

pola yang memerlukan ruangan yang relatif lebih tebal sedangkan pola III

merupakan pola yang lebih sederhana dan memerlukan ruangan lebih sempit.

Semakin sempit dinding buluh bambu maka terlihat ukuran dan jumlah ikatan

pembuluh vaskular juga akan semakin kecil. (Grosser dan Liese 1973, Nuryatin

2012).

Pada Gambar 22 dapat dilihat pula adanya kecenderungan jenis bambu

dengan jumlah dan proporsi luas ikatan pembuluh vaskular yang tinggi memiliki

kekuatan tarik yang tinggi pula. Bambu andong, betung, dan tali memiliki

kekuatan tarik tinggi yang sejalan dengan tingginya jumlah ikatan vaskular. Akan

tetapi secara keseluruhan, kekuatan mekanis bambu dipengaruhi oleh kombinasi

dari distribusi jumlah vaskular dan proporsi luas ikatan vaskular. Semakin rapat

ikatan pembuluh bambu, maka kekuatan tarik semakin tinggi. Wangaard (1950)

menyatakan bahwa keteguhan tarik sejajar sangat tergantung kepada kekuatan

serabut (sifat kohesi) dan dipengaruhi oleh dimensi kayu, elemen penyusun dan

susunannya dalam kayu, dan Janssen (1981) mengemukakan bahwa kekuatan

tarik tergantung kepada presentase sklerenkim yang dimiliki bambu. Bambu tali

dan andong, memiliki jumlah vaskular tidak jauh berbeda dengan bambu mayan,

akan tetapi bambu tali dan andong memiliki kekuatan tarik yang jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan bambu mayan. Hal ini karena bambu andong dan tali

memiliki proporsi luas vaskular yang lebih tinggi dibandingkan dengan bambu

mayan baik itu antara ruas dan bukunya. Pengaruh kombinasi antara jumlah

vaskular dengan proporsi luas ikatan vaskular terhadap kekuatan tarik bambu

ditunjukkan pula oleh bambu betung. Jenis bambu ini menunjukkan kekuatan

tarik yang tinggi, tetapi dipengaruhi oleh kombinasi yang berbeda yaitu bambu

betung memiliki jumlah vaskular yang lebih rendah pada ruas tetapi tinggi pada

buku dibandingkan dengan bambu andong dan bambu tali.

19

19

**

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Sifat anatomi bambu menunjukan bahwa bagian ruas didominasi oleh

ikatan pembuluh vaskular tipe III dan IV dengan besar luas proporsi berkisar

34.76-40.00%, sedangkan pada bagian buku didominasi oleh ikatan pembuluh

vaskular tipe IV dengan besar luas proporsi berkisar 33.57-35.90%. Komponen

kimia dinding sel bambu menunjukkan kadar lignin berkisar 22.36-27.76%,

holoselulosa 64.25-77.58%, dan alfa selulosa terhadap holoselulosa yaitu 49.55-

60.38%. Bambu andong memiliki keteguhan kekuatan tarik tertinggi sebesar 2781

kgf/cm² dan berkaitan dengan tingginya proporsi kadar alfa selulosa dan kadar

lignin. Jenis bambu yang memilik jumlah vaskular dan proporsi luas vaskular

terhadap sifat mekanis dengan kekuatan tarik tertinggi adalah bambu andong dan

bambu tali.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengujian mekanis

lainnya baik pada uji sambungan bambu dan pada laminasi bambu. Juga perlu

dilakukan penelitian yang sama pada jenis bambu dengan jumlah sampel yang

sama agar pemanfaatan bambu lebih optimal.

DAFTAR PUSTAKA

Achmadi SS. 1990. Kimia Kayu. Bogor: Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan, Direktorat Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas

Ilmu Hayat IPB.

Anas A. 2012. Karakteristik Bilah Bambu dan Buluh Bambu Utuh Pada Bambu

Ampel dan Bambu Tali. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

[ASTM] American Society for Testing and Materials. 2008. Standard Methods of

Testing Small Clear Speciments of Timber (Secondary Methods). Serial

Designation D 143-94. Philadelphis: ASTM.

Bachtiar G. 2008. Pemanfaatan Buluh Bambu Tali Sebagai Komponen Pada

Konstruksi Rangka Batang Ruang. [disertasi]. Bogor [ID]: Institut

Pertanian Bogor.

Browning BL. 1967. Methods of Wood Chemistry. Interscience Publ. New York.

Dirga S. 2012. Karakteristik Bilah Bambu dan Buluh Bambu Utuh Pada Bambu

Gombong dan Bambu Mayan. Bogor [ID]: Institut Pertanian Bogor.

Dransfield S, Widjaja EA. 1995. Plant Resources of South East Asia (PROSEA)

No.7: Bamboos. Lieden: Backhuys Publisher.

Frick H. 2004. Ilmu Konstruksi Bangunan Bambu, Seri Konstruksi Arsitektur 7.

Yogyakarta: Kanisius.

Grosser dan Liese W. 1973. Bamboo Classification. Journal of the Arnold

Arboretum 54:2

Gusmailinda dan Sumadiwangsa S. 1988. Analisis Kimia Sepuluh Jenis Bambu

Dari Jawa Timur. Jurnal Penelitian Hasil Hutan 5 (5): 290-293.

20

**

Haris A. 2008. Pengujian Sifat Fisis dan Mekanis Buluh Bambu Sebagai

Konstruksi Menggunakan ISO 22157-1: 2004 [Skripsi]. Fakultas

Kehutanan IPB. Tidak Diterbitkan

Haygreen JG, Bowyer JL. 2003. Forest Product and Wood Science: An

Introduction. 3rd Edition. Iowa: Iowa State University Press / Ames.

Idris AA, Anita F, Purwito. 1994. Penelitian Bambu Untuk Bahan Bangunan.

Dalam: Strategi penelitian Bambu di Indonesia. PUSPITEK Serpong,

21-22 Juni 1994.

Janssen JJA. 1981. The Relationship Between the Mechanical Properties and The

Biological and Chemical Composition of Bamboo. Dalam Higuchi, T.

(Ed.), Proceedings of the Congress Group 5.3, Productions and

Utilization of Bamboo and Related Species, XVII International Union

Forest Research Organization Word Congress Kyoto, Japan. (hlm: 27-

32).

Liese W. 1985. Anatomy of Bamboo. Proceedings Workshop Bamboo Research

in Asia, Singapore 28-30 May 1980. International Development

Research Center. Ottawa.

Nuryatin N. 2012. Pola Ikatan Pembuluh Bambu sebagai Penduga Pemanfaatan

Bambu [Disertasi]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Tidak Diterbitkan

Purwito. 2008. Standarisasi Bambu sebagai Bahan Bangunan Alternatif Pengganti

Kayu. Dalam: Prosiding PPI, 5 November 2008. Pulitbang BSN.

Rowell RM, Norimoto M. 1987. Acetylation of bamboo fiber. Mokuzai

Gakkaishi.

33(11):907-910.

Rowell R. 1984. The Chemistry of Solid Wood. Washington: American

Chemical Society.

Sjostrom E. 1991. Wood Chemistry, Fundamentals and Applications. New York:

Springer.

[TAPPI] Technical Association of Pulp & Paper Industry. 1991. TAPPI Test

Methods. Atlanta: TAPPI Press.

Wangaard FF. 1950. The Mechanical Properties of Wood. New York: John

Willey & Sons, Inc.

Winandhi JE, Rowell R. 1984. Chemistry of Wood Strength. In: Rowell R. Editor.

1984. The Chemistry of solid wood. Washington: American Chemical

Society. Pp. 211-255.

21

Lampiran 1 Matriks koreralsi ikatan pembuluh vascular dan kuat tarik

Lampiran 2 Regresi sifat penyusun dinding sel

Regression of variable % Alpha terhadap holoselulosa:

Analysis of variance: Source DF Sum of squares Mean squares F Pr > F

Model 29 3813,839 131,512 35,003 < 0.0001

Error 60 225,428 3,757 Corrected Total 89 4039,267

Posisi / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant

2 vs 3 2,539 5,073 2,403 < 0.0001 Yes

2 vs 1 2,046 4,089 2,403 0,000 Yes

1 vs 3 0,493 0,984 2,403 0,590 No

Tukey's d critical value:

3,399 Category LS means Groups 2 55,544 A 1 53,497

B

3 53,005 B

kuat tarik jumlah vaskular bundle proporsi vaskular bundle

kuat tarik 1

jumlah vaskular bundle 0.350469898 1

proporsi vaskular bundle 0.225442604 -0.14323849 1

22

Ruas/Buku / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant

1 vs 2 3,119 7,632 2,000 < 0.0001 Yes

Tukey's d critical value:

2,829 Category LS means Groups 1 55,575 A 2 52,456 B

Jenis bambu / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant

3 vs 1 10,829 16,760 2,813 < 0.0001 Yes

3 vs 2 8,807 13,631 2,813 < 0.0001 Yes

3 vs 4 7,160 11,082 2,813 < 0.0001 Yes

3 vs 5 5,035 7,792 2,813 < 0.0001 Yes

5 vs 1 5,794 8,968 2,813 < 0.0001 Yes

5 vs 2 3,773 5,839 2,813 < 0.0001 Yes

5 vs 4 2,126 3,290 2,813 0,014 Yes

4 vs 1 3,669 5,678 2,813 < 0.0001 Yes

4 vs 2 1,647 2,549 2,813 0,093 No

2 vs 1 2,022 3,129 2,813 0,022 Yes

Tukey's d critical value:

3,978

23

Category LS means Groups

3 60,382 A

5 55,347

B 4 53,221

C

2 51,574

C 1 49,553 D

Regression of variable Alpha-selulosa:

Analysis of variance:

Source DF Sum of squares Mean squares F Pr > F

Model 29 652,336 22,494 16,935 < 0.0001

Error 60 79,698 1,328 Corrected Total 89 732,034

Posisi / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant

2 vs 3 1,504 5,053 2,403 < 0.0001 Yes

2 vs 1 0,067 0,226 2,403 0,972 No

1 vs 3 1,436 4,827 2,403 < 0.0001 Yes

Tukey's d critical value: 3,399 Category LS means Groups 2 39,051 A 1 38,984 A

3 37,547 B

24

Ruas/Buku / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant

1 vs 2 3,125 12,863 2,000 < 0.0001 Yes

Tukey's d critical value: 2,829

Category LS means Groups

1 40,090 A

2 36,965 B

Jenis bambu / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant

3 vs 5 4,117 10,716 2,813 < 0.0001 Yes

3 vs 1 2,333 6,074 2,813 < 0.0001 Yes

3 vs 2 2,280 5,935 2,813 < 0.0001 Yes

3 vs 4 2,225 5,792 2,813 < 0.0001 Yes

4 vs 5 1,892 4,924 2,813 < 0.0001 Yes

4 vs 1 0,108 0,282 2,813 0,999 No

4 vs 2 0,055 0,143 2,813 1,000 No

2 vs 5 1,837 4,781 2,813 0,000 Yes

2 vs 1 0,053 0,139 2,813 1,000 No

1 vs 5 1,783 4,642 2,813 0,000 Yes

Tukey's d critical value: 3,978

25

Category LS means Groups 3 40,718 A 4 38,493

B

2 38,438

B 1 38,385

B

5 36,602 C

Regression of variable Holoselulosa:

Analysis of variance:

Source DF Sum of squares Mean squares F Pr > F

Model 29 3439,791 118,613 36,705 < 0.0001

Error 60 193,894 3,232 Corrected Total 89 3633,685

Posisi / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant 1 vs 3 1,822 3,926 2,403 0,001 Yes 1 vs 2 1,578 3,400 2,403 0,003 Yes 2 vs 3 0,244 0,526 2,403 0,859 No Tukey's d critical value:

3,399

Category LS means Groups 1 73,089 A 2 71,511

B

3 71,267 B

26

Ruas/Buku / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant 1 vs 2 0,821 2,167 2,000 0,034 Yes Tukey's d critical value:

2,829

Category LS means Groups 1 72,366 A 2 71,545 B

Jenis bambu / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant 1 vs 5 11,193 18,679 2,813 < 0.0001 Yes 1 vs 3 8,921 14,888 2,813 < 0.0001 Yes 1 vs 4 5,181 8,646 2,813 < 0.0001 Yes 1 vs 2 2,822 4,710 2,813 0,000 Yes 2 vs 5 8,371 13,969 2,813 < 0.0001 Yes 2 vs 3 6,099 10,178 2,813 < 0.0001 Yes 2 vs 4 2,359 3,937 2,813 0,002 Yes 4 vs 5 6,012 10,033 2,813 < 0.0001 Yes 4 vs 3 3,740 6,241 2,813 < 0.0001 Yes 3 vs 5 2,272 3,791 2,813 0,003 Yes Tukey's d critical value:

3,978

27

Category LS means Groups

1 77,579 A

2 74,757

B 4 72,398

C

3 68,658

D 5 66,386 E

Regression of variable Lignin:

Analysis of variance:

Source DF Sum of squares Mean squares F Pr > F

Model 29 1884,555 64,985 479,658 < 0.0001

Error 60 8,129 0,135 Corrected Total 89 1892,684

Posisi / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant 3 vs 1 2,983 31,391 2,403 < 0.0001 Yes 3 vs 2 1,093 11,504 2,403 < 0.0001 Yes 2 vs 1 1,890 19,887 2,403 < 0.0001 Yes Tukey's d critical value:

3,399

Category LS means Groups 3 26,597 A 2 25,504

B

1 23,614 C

Ruas/Buku / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

28

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant 2 vs 1 1,619 20,860 2,000 < 0.0001 Yes Tukey's d critical value:

2,829

Category LS means Groups 2 26,048 A 1 24,429 B Jenis bambu / Tukey (HSD) / Analysis of the differences between the categories with a confidence interval of 95%:

Contrast Difference Standardized difference Critical value Pr > Diff Significant 2 vs 4 5,403 44,035 2,813 < 0.0001 Yes 2 vs 1 4,396 35,826 2,813 < 0.0001 Yes 2 vs 3 2,427 19,778 2,813 < 0.0001 Yes 2 vs 5 0,413 3,369 2,813 0,011 Yes 5 vs 4 4,989 40,666 2,813 < 0.0001 Yes 5 vs 1 3,982 32,457 2,813 < 0.0001 Yes 5 vs 3 2,013 16,410 2,813 < 0.0001 Yes 3 vs 4 2,976 24,257 2,813 < 0.0001 Yes 3 vs 1 1,969 16,047 2,813 < 0.0001 Yes 1 vs 4 1,007 8,209 2,813 < 0.0001 Yes Tukey's d critical value:

3,978

Category LS means Groups

2 27,766 A

5 27,353

B 3 25,339

C

1 23,371

D 4 22,363 E

29

Lampiran 2 Matriks korelasi hubungan ikatan pembuluh vaskular terhadap kekuatan tarik bambu

kuat tarik jumlah vaskular bundle proporsi vaskular bundle

kuat tarik 1

jumlah vaskular bundle 0,350469898 1

proporsi vaskular bundle 0,225442604 -0,14323849 1

Lampiran 3 Matriks korelasi hubungan sifat kimia terhadap kekuatan tarik bambu

Lignin Holoselulosa Alpha-selulosa

Hemi

selulosa

% Alpha thd

holo-

selulosa

% Hemi thd

holo-selulosa

Kekuatan

Tarik

Lignin 1

Holoselulosa 0.14 1

Alpha-selulosa -0.40 0.14 1

Hemi selulosa 0.23 0.97 -0.10 1

% Alpha thd holo- selulosa -0.22 -0.92 0.24 -0.98 1

% Hemi thd holo-selulosa 0.22 0.92 -0.24 0.98 -1 1

Kekuatan Tarik -0.03 0.25 0.49 0.14 -0.07 0.07 1

30

**

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 22 Juni 1991. Penulis merupakan

anak kedua dari dua bersaudara dari keluarga Bapak Karyono dan Ibu Sri

Warsiati. Pada tahun 2009 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor dan pada tahun

yang sama diterima sebagai mahasiswa jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas

Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, melalui jalur Undangan Seleksi Mahasiswa

IPB (USMI). Selama menjadi mahasiswa penulis telah mengikuti kegiatan

praktek lapang yaitu Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) pada tahun

2011 di Gunung Tangkuban Perahu dan Cikeong, Garut, pada tahun 2012 penulis

mengikuti kegiatan Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) dengan lokasi di Hutan

Pendidikan Gunung Walat, KPH Cianjur, Taman Nasional Gunung Halimun

Salak, dan PGT Sindangwangi, kemudian pada tahun 2013, penulis mengikuti

kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) di Industri rumahan PD. Wijaya Kayu,

Ciampea - Bogor. Selain aktif mengikuti perkuliahan, penulis juga aktif dalam

kepanitiaan kegiatan kampus. Penulis merupakan anggota Divisi Kelompok Minat

Rekayasa Desain dan Bagunan Kayu pada tahun 2010 dan merupakan pengurus

Himpunan Mahasiswa Hasil Hutan (HIMASILTAN) Divisi Kelompok minat pada

tahun 2011. Penulis juga pernah menjadi asisten praktikum dendrologi hutan di

Fakultas Kehutanan. Selain itu, penulis berhasil mendapatkan prestasi di bidang

olahraga, yaitu juara 3 dan juara 2 cabang basket putri pada FORCUP 2011 dan

FORCUP 2012. Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Kehutanan,

penulis melaksanakan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul “Sifat

Kimia dan Anatomi serta Pengaruhnya terhadap Kekuatan Tarik pada Lima Jenis

Bambu” dibawah bimbingan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS. dan Ir. Deded Sarip

Nawawi, M.Sc.

31