SID - Perjalanan Gagasan, Pengembangan, dan Pemanfaatan...

14
Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012 Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 1 Perjalanan Gagasan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Sistem Informasi Desa (SID) untuk Perencanaan Pembangunan Desa Lestari Elanto Wijoyono COMBINE Resource Institution, Yogyakarta, [email protected] KATA KUNCI: desa, komunitas, sumber daya, data, informasi, jaringan I. PENDAHULUAN I. 1. Data dan Perencanaan Pemerintah tidak pernah memungkiri bahwa data merupakan bahan pokok bagi perencanaan program pembangunan. Jika data lemah maka perencanaan tidak akan tepat. Lemahnya kualitas data, lemahnya keakuratan data, dan penyediaan yang tidak tepat waktu menjadi permasalahan yang sering terjadi di jajaran institusi pemerintahan. Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sleman Tri Endah Yitnani mengakui permasalahan itu juga terjadi di dalam dinamika kerja Pemerintah Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal itu disampaikan dalam “Lokakarya Data Pilah (Perempuan dan Anak) dalam Sistem Informasi Kabupaten Sleman” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan IDEA (http://ideajogja.or.id/ ) di Sleman pada tanggal 2 Februari 2012 lalu. Tri Endah melontarkan pendapat bahwa permasalahan data itu muncul akibat sejumlah sebab. Mekanisme pengumpulan data sektoral di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sering tidak terpusat dan tidak konsisten. Belum ada format baku dalam sistem pelaporan dari setiap SKPD yang sesuai dengan kebutuhan data. Jadi, sering dijumpai data yang tumpang tindih (overlap) dan tidak sinkron. Dari sisi non-teknis, penyebab munculnya permasalahan data juga dipicu oleh kesadaran dan komitmen SKPD dalam pengelolaan data masih kurang. Hal ini dianggap muncul karena langkah pembinaan dan pengembangan staf pemerintah belum mencakup pada fokus pengelolaan data dan informasi. Alasan klasik yang muncul adalah keterbatasan dana, baik untuk upaya pengembangan kapasitas staf maupun untuk pengembangan sistem informasi yang lebih baik. Sebagai pejabat teras Bappeda Kabupaten Sleman, Tri Endah juga menegaskan bahwa tidak adanya peraturan daerah yang mengatur tentang tata kelola data, seperti peraturan daerah tentang statistik, juga menjadi salah satu penyebab ketidakrapian sistem pengelolaan data di jajaran institusi pemerintah kabupaten. Dalam sesi tanya jawab, pendapat Tri Endah diiyakan oleh staf Bappeda Kabupaten Sleman yang hadir dalam lokakarya. Ketidakrapian dan ketidaksinkronan data yang terjadi di jajaran institusi pemerintah kabupaten dipicu oleh tidak konsistennya koordinasi yang diarahkan oleh pemerintah pusat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik mengatur bahwa ada perbedaan kewenangan pengelolaan data. Data statistik dasar sepenuhnya diselenggarakan pengelolaannya oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data statistik sektoral dikerjakan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau bersama dengan BPS. Kemudian, ada yang disebut dengan data statistik khusus yang bisa dilaksanakan pengelolaannya oleh lembaga, organisasi, atau pun perorangan dan unsur masyarakat lainnya secara mandiri atau bersama dengan BPS. Dalam pelaksanaannya, sensur untuk penyusunan data statistik dasar hanya menjadi kewenangan BPS. Masih sangat sulit untuk menciptakan komitmen kuat dari setiap SKPD bisa memberikan data tepat waktu, baik ke

Transcript of SID - Perjalanan Gagasan, Pengembangan, dan Pemanfaatan...

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 1

Perjalanan Gagasan, Pengembangan, dan Pemanfaatan Sistem Informasi Desa (SID) untuk Perencanaan Pembangunan Desa Lestari Elanto Wijoyono COMBINE Resource Institution, Yogyakarta, [email protected] KATA KUNCI: desa, komunitas, sumber daya, data, informasi, jaringan I. PENDAHULUAN I. 1. Data dan Perencanaan Pemerintah tidak pernah memungkiri bahwa data merupakan bahan pokok bagi perencanaan program pembangunan. Jika data lemah maka perencanaan tidak akan tepat. Lemahnya kualitas data, lemahnya keakuratan data, dan penyediaan yang tidak tepat waktu menjadi permasalahan yang sering terjadi di jajaran institusi pemerintahan. Sekretaris Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Sleman Tri Endah Yitnani mengakui permasalahan itu juga terjadi di dalam dinamika kerja Pemerintah Kabupaten Sleman di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal itu disampaikan dalam “Lokakarya Data Pilah (Perempuan dan Anak) dalam Sistem Informasi Kabupaten Sleman” yang diselenggarakan oleh Perkumpulan IDEA (http://ideajogja.or.id/) di Sleman pada tanggal 2 Februari 2012 lalu. Tri Endah melontarkan pendapat bahwa permasalahan data itu muncul akibat sejumlah sebab. Mekanisme pengumpulan data sektoral di setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) sering tidak terpusat dan tidak konsisten. Belum ada format baku dalam sistem pelaporan dari setiap SKPD yang sesuai dengan kebutuhan data. Jadi, sering dijumpai data yang tumpang tindih (overlap) dan tidak sinkron. Dari sisi non-teknis, penyebab munculnya permasalahan data juga dipicu oleh kesadaran dan komitmen SKPD dalam pengelolaan data masih kurang. Hal ini dianggap muncul karena langkah pembinaan dan pengembangan staf pemerintah belum mencakup pada fokus pengelolaan data dan

informasi. Alasan klasik yang muncul adalah keterbatasan dana, baik untuk upaya pengembangan kapasitas staf maupun untuk pengembangan sistem informasi yang lebih baik. Sebagai pejabat teras Bappeda Kabupaten Sleman, Tri Endah juga menegaskan bahwa tidak adanya peraturan daerah yang mengatur tentang tata kelola data, seperti peraturan daerah tentang statistik, juga menjadi salah satu penyebab ketidakrapian sistem pengelolaan data di jajaran institusi pemerintah kabupaten. Dalam sesi tanya jawab, pendapat Tri Endah diiyakan oleh staf Bappeda Kabupaten Sleman yang hadir dalam lokakarya. Ketidakrapian dan ketidaksinkronan data yang terjadi di jajaran institusi pemerintah kabupaten dipicu oleh tidak konsistennya koordinasi yang diarahkan oleh pemerintah pusat. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik mengatur bahwa ada perbedaan kewenangan pengelolaan data. Data statistik dasar sepenuhnya diselenggarakan pengelolaannya oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Data statistik sektoral dikerjakan oleh instansi pemerintah secara mandiri atau bersama dengan BPS. Kemudian, ada yang disebut dengan data statistik khusus yang bisa dilaksanakan pengelolaannya oleh lembaga, organisasi, atau pun perorangan dan unsur masyarakat lainnya secara mandiri atau bersama dengan BPS. Dalam pelaksanaannya, sensur untuk penyusunan data statistik dasar hanya menjadi kewenangan BPS. Masih sangat sulit untuk menciptakan komitmen kuat dari setiap SKPD bisa memberikan data tepat waktu, baik ke

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 2

bappeda maupun ke publik. Padahal, sesuai dengan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 050/1266/I/Bangda tanggal 3 Oktober 2005 tentang Pelaksanaan Sistem Informasi Profil Daerah (SIPD), setiap daerah harus membuat SIPD. Pengelolaan data ke dalam SIPD ditujukan untuk memenuhi kebutuhan data dan informasi dalam penyusunan perencanaan pembangunan, dari tingkat daerah hingga pusat. Faktanya SKPD berada pada posisi sulit, ketika BPS selalu hanya mampu menyediakan data dasar yang terlambat satu tahun (n-1). Sebagai misal, pada periode tahun program 2012, pada pertengahan tahun 2012 BPS baru bisa menerbitkan data statistik tahun 2011. Padahal, pada periode yang sama, setiap SKPD harus sudah membuat perencanaan program kerja untuk periode tahun 2013. SKPD tak bisa kemudian menggunakan data sektoral yang dikelolanya untuk dijadikan sebagai data dasar dalam perencanaan program kerja. Sebabnya, data dasar yang diakui untuk perencanaan pembangunan adalah data BPS. Padahal, data statistik dasar yang diterbitkan oleh BPS tidak bisa terbarui setiap saat. Selain itu, kerumitan yang muncul ketika data sektoral yang dipakai dalam proses perencanaan adalah perbedaan data antar SKPD. Perbedaan ini bisa muncul akibat adanya keragaman metode dan indikator pendataan yang digunakan oleh setiap SKPD. Pada akhirnya, data yang kemudian terhimpun di dalam SIPD hanya bisa berstatus sebagai data sementara atau asumsi sementara. Data terbaru yang dapat ditunjukkan pun tidak bisa bersifat realtime. SIPD Kabupaten Sleman (http://sipd.slemankab.go.id/) hingga awal tahun 2012 ini masih menampilkan data tahun 2008 sebagai data terbaru. SIPD Kabupaten Klaten (http://profil.klatenkab.go.id/) sudah mampu menampilkan data terbaru per 2011, tetapi tidak seluruhnya terisi. Sumber data yang tertampilkan berasal dari setiap SKPD, tanpa bisa tahu tentang indikator dalam penghitungan atau pendataannya. Diskusi di atas tidak fokus hanya ke dalam

urusan penyediaan data di sistem pemerintah daerah. Lebih utama dari itu semua adalah bahwa jika sistem informasi yang dikelola oleh pemerintah daerah tak bisa menyediakan data yang baik kualitasnya, akurat, dan mutakhir, maka akan berdampak pada kualitas pengambilan keputusan di tingkat daerah. Logikanya, akan sulit untuk melakukan perencanaan pembangunan yang optimal dan berkualitas dengan kondisi seperti ini. I. 2. Posisi Desa dan Konsekuensinya Ketika berbicara tentang dampak yang potensial muncul akibat kondisi di atas, maka entitas desa menjadi kelompok utama yang harus diperhatikan. Walaupun dalam tingkat yang sama, kabupaten dan kota adalah daerah otonom, tetapi memiliki perbedaan karakter pertumbuhan ekonomi. Kota cenderung mengalami surplus pertumbuhan, sehingga ada banyak titik menjadi sumber pertumbuhan. Kota punya masalah pada dampak dari pertumbuhan itu. Sementara kabupaten memiliki desa-desa dalam jumlah besar dan bercorak agraris. Desa-desa umumnya memiliki keterbatasan input, proses, dan output pertumbuhan ekonomi (Sutoro Eko, 2009). Ketika perencanaan di tingkat kabupaten tidak optimal berdasarkan data yang berkualitas, desa menjadi kelompok yang paling rentan sebagai penerima dampak. Pasalnya, desa sudah menjelma menjadi objek pembangunan yang dikelola oleh banyak instansi pemerintah. Beragam instansi turun ke desa dengan perencanaan programnya masing-masing, yang diarahkan dari pusat dan diteruskan oleh dinas di tingkat kabupaten. Sutoro Eko (2009) menyebutkan ada sejumlah kementerian yang mengelola program dengan desa sebagai objek atau sasaran. Kementerian Kesehatan memiliki program “Desa Siaga”. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral memiliki kegiatan “Desa Mandiri Energi”. Kementerian Pariwisata memiliki program “Desa Wisata”. Kementerian Pertanian memiliki “Desa

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 3

Mandiri Pangan”. Sementara, desa sebagai kesatuan masyarakat hukum atau organisasi pemerintahan yang memiliki otonomi ini berada di bawah kewenangan perencanaan program yang diarahkan oleh Kementerian Dalam Negeri. Pada sejumlah lembaga atau kementerian lain, seperti Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Pekerjaan Umum, dan Kementerian Pendidikan Nasional mengelola program-program kegiatan yang berada pada ranah perdesaan. Diskusi bersama pemerhati politik desa dan adat Yando Zakaria pada 3 Februari 2012 di Bantul menunjukkan akibat dari itu semua. Sebuah desa saat ini bisa memiliki sejumlah agenda program yang didatangkan dari luar oleh institusi, baik institusi pemerintah maupun non-pemerintah yang berbeda. Di dalam sebuah desa pun muncul ada banyak kelompok untuk banyak program. Setiap program itu mengelola kegiatan dan anggarannya masing-masing. Situasinya pun menjadi rumit. Dalam satu desa pun muncul lebih dari satu perencanaan pembangunan dan lebih dari satu perencanaan anggaran. Padahal, dalam proses musyawarah pembangunan desa (musrenbangdes), desa harus bisa membuat satu perencanaan pembangunan. Sementara, dari hasil kegiatan bersama kelompok-kelompok di desa, setiap SKPD yang menjadi turunan fungsi kementerian di tingkat kabupaten akan mendorong dilakukannya perencanaan sektoral. Perencanaan sektoral yang didasarkan pada data sektoral yang dikelola oleh setiap SKPD itu akan dijadikan landasan perencanaan pembangunan yang dilaksanakan oleh di tingkat kabupaten. Jadi, pertanyaannya, bagaimana mungkin perencanaan melalui musrenbangdes bisa tersambungkan isi kepentingannya dengan perencanaan di tingkat kabupaten? Pada tahap ini, desa akan selalu menjadi kelompok yang paling lemah posisi tawarnya. Dalam pengelolaan pemerintahan di desa, lembaga desa sudah pasti mengetahui situasi dan kondisi umum di desa, termasuk ragam

masalah yang ada. Hal itu kemudian selayaknya menjadi dasar untuk perencanaan pembangunan di tingkat desa. Mekanismenya, perencanaan itu harus dilakukan berdasarkan data. Ketersediaan data di tingkat desa ini pun mutlak diperlukan ada di setiap desa. Namun, faktanya, tidak semua desa di Indonesia mampu memenuhi ketersediaan data ini. Data yang dimaksud adalah data yang bisa benar-benar mewujudkan gambaran situasi atau masalah yang ada di desa. Desa pun kemudian akan terjebak pada situasi yang sama sekali tidak menguntungkan. Pada tingkat kabupaten, perencanaan pembangunan memiliki masalah pada penentuan dasar untuk pengambilan keputusan; apakah memakai data dasar BPS atau memakai data sektoral SKPD. Di tengah ketidakpastian itu, pemerintah kabupaten akan tetap mengesahkan rencana pembangunan untuk wilayah kabupaten tersebut. Sementara, dari sisi mekanisme perencanaan pembangunan, ada proses musrenbang yang dilangsungkan secara berjenjang dari tingkat desa, kecamatan, hingga kabupaten. Desa tidak pernah tahu, ketika rencana pembangunan daerah disahkan, data mana yang sejatinya digunakan sebagai dasar pengambilan keputusan; apakah data hasil musrenbang, data program-program SKPD yang ada di desa, atau ada dasar lain yang tidak berada di jalur tersebut. Ketika rencana pembangunan dan rencana anggaran yang diputuskan di tingkat kabupaten, atau pun pusat, itu tidak sesuai dengan situasi umum dan masalah di desa, lembaga desa sulit untuk melakukan tuntutan. Masalah utamanya adalah desa tak memiliki ketersediaan data yang terkelola baik yang dapat dijadikan bukti penggunaannya sebagai landasan perencanaan pembangunan desa. Data di desa akan selalu masih dalam kondisi terserak, baik di lembaga pemerintah desa maupun di kelompok-kelompok kerja di tingkat desa yang mengelola data sektoralnya masing-masing. Harus ada solusi yang dibangun untuk mengeluarkan desa dari kerumitan ini.

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 4

II. GAGASAN PEMBANGUNAN DAN PENGEMBANGAN SISTEM INFORMASI DESA II. 1. Impian dari Pelosok Desa Desa Terong di Dlingo, Bantul, DIY termasuk wilayah yang mengalami kerusakan paling parah akibat guncangan gempabumi pada tanggal 27 Mei 2006. Kejadian di hari Sabtu pagi itu meluluhlantakkan sebagian besar bangunan di desa yang berada di wilayah perbukitan dengan ketinggian 325 – 350 meter dari permukaan laut itu (Ambar Sari Dewi dan M. Amrun, 2010). Kantor pemerintah desa juga ambruk, rata dengan tanah. Sebagian besar dokumen berserakan dan tak terselamatkan karena seminggu setelah gempabumi, hujan turun deras hampir tanpa henti. Kepala Desa Terong Sudirman Alfian mengisahkan kembali peristiwa itu di ruang kerjanya di Desa Terong pada 6 Februari 2012 yang baru lalu. Sudirman ingat benar, hanya dokumen pertanahan milik desa yang selamat karena tersimpan di dalam almari yang jatuhnya tertelungkup, bagian pintu berada di bawah, sehingga isinya luput dari siraman air hujan. Usai kejadian itu, desa seolah dibangun kembali dari nol. Cukup banyak kesulitan yang dihadapi oleh pemerintah Desa Terong untuk mengelola proses pemulihan desa tanpa ada dokumen data yang bisa digunakan. Peristiwa itu memberikan pelajaran mendalam bagi Sudirman dan staf pemerintah Desa Terong tentang pentingnya data di desa. Ada satu pengalaman menarik yang sering diceritakan oleh kepala desa yang menjabat sejak tahun 1994 ini. Suatu hari pada beberapa tahun yang lalu, ada seorang nenek tua datang ke kantor pemerintah desa untuk mengurus Kartu Tanda Penduduk (KTP). Sudirman yang menemui langsung warganya itu menanyakan apakah nenek tersebut membawa KTP lama atau Kartu Keluarga (KK). Nenek itu menjawab tidak membawa. Lalu, Sudirman menanyakan kapan tanggal lahir nenek. Tak disangka, nenek itu

menjawab:

“..nalika Gunung Kelud njeblug, kula sampun saged angon wedhus..”

(“..ketika Gunung Kelud meletus, saya sudah bisa menggembala kambing..”) “Jika siapa saja yang menjadi kepala desa”, Sudirman menantang, ”akan diberi tanggal lahir kapan?”

Ada pemahaman mendasar yang kemudian menjadi kuat dalam benak Sudirman bahwa dalam situasi normal pun data penting bisa sulit untuk dicari atau dimanfaatkan. Apalagi pada situasi sulit atau darurat, data penting bisa semakin sulit untuk dikelola dan tidak segera menyelesaikan persoalan. Dirinya memiliki gagasan sederhana untuk menerjemahkan visinya itu. Mencontohkan jika kantor desa bisa seperti minimarket. Orang datang bisa langsung masuk dan memilih barang atau layanan secara mandiri. Orang itu kemudian bisa langsung menuju kasir untuk membayar. Kasir bisa dengan cepat mencari data barang atau layanan yang dibeli oleh orang tersebut karena semuanya sudah tersimpan dalam basis data minimarket yang dikelola dengan komputer. Transaksi yang tercatat dalam jumlah berapapun pun dengan cepat kemudian dapat dilakukan. Semua bisa selesai hanya dalam hitungan beberapa menit. Jauh ke utara dari daerah Dlingo, di lereng tenggara Gunungapi Merapi, ada satu desa bernama Desa Balerante. Desa yang masuk wilayah administratif Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten itu memiliki seorang staf pemerintah desa yang memiliki visi hampir sama dengan Sudirman di Desa Terong. Jainu namanya; menjabat sebagai kepala dusun dan Kepala Urusan Pemerintahan Desa Balerante. Tahun 2006, Gunungapi Merapi erupsi dan menyebabkan ribuan warga yang tinggal di lereng Merapi harus mengungsi. Tak terkecuali warga Desa Balerante. Ambar Sari Dewi dan M. Amrun (2010) dalam wawancaranya mencatat bahwa dirinya

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 5

sebagai staf pemerintah desa sangat kesulitan untuk memberikan data penduduk secara akurat kepada petugas pemerintah kabupaten yang bertanggung jawab mengelola bantuan untuk warga. Jainu yang adalah satu-satunya staf desa setempat yang bisa mengoperasikan komputer pun mengalami kesulitan mengolah data yang diminta karena tak tahu cara yang efektif untuk mengerjakannya. Akibatnya, bantuan untuk warga Desa Balerante tidak dapat tersalurkan dengan optimal. Agak mirip dengan Sudirman yang menerjemahkan visinya dengan analogi minimarket. Jainu mencoba menerjemahkan visinya tentang gagasan pengelolaan data desa yang efektif dan efisien itu seperti layaknya manajemen data dan informasi di rumah sakit. Orang yang datang ke rumah sakit untuk menjenguk pasien dapat menanyakan di ruang apa pasien di rawat kepada petugas. Petugas rumah sakit dapat dengan mudah mencari informasi tentang pasien tersebut dan menyampaikannya kepada orang yang akan menjenguk. Rumah sakit pun memiliki data rekam medis yang tersimpan baik untuk setiap orang yang pernah dirawat di sana. Setiap orang dapat dengan mudah dan cepat diketahui riwayat kesehatannya berdasarkan data rekam medis itu. Semuanya dapat dilakukan dengan rinci dan lengkap untuk setiap individu. II.2. Proses Panjang Membangun Harapan Seakan mustahil membayangkan impian staf pemerintah desa dari pelosok yang jauh dari sarana berteknologi canggih bisa terwujud. Kedua desa pelopor pemikiran Sistem Informasi Desa (SID) itu tidak memiliki kemampuan mandiri untuk mewujudkan gagasannya menjadi kenyataan. Namun, keduanya kemudian mampu menggunakan potensi lain yang dimiliki untuk bisa mendekatkan impian itu menjadi kenyataan. Dengan mengoptimalkan jejaring pertemanan, arah menuju visi dapat didekatkan. Desa Terong pada pertengahan dekade 2000-

an sudah memiliki stasiun radio siaran komunitas bernama Menara Siar Pedesaan (MSP) FM. Radio siaran komunitas ini menjadi anggota Jaringan Radio Komunitas Yogyakarta (JRKY). Studio radio ini berada di kompleks balai Desa Terong. Sudirman dan sejumlah staf pemerintah desa juga merupakan penyiar radio komunitas itu. Sementara, Jainu yang tinggal di Desa Balerante di lereng Merapi memiliki hubungan pertemanan dekat dengan pegiat radio siaran komunitas Lintas Merapi FM yang berada di desa tetangga, Desa Sidorejo. Radio komunitas ini secara administratif termasuk dalam keanggotaan Jaringan radio Komunitas Jawa Tengah (JRKJateng). Namun, pegiatnya cukup banyak berinteraksi dengan JRKY. COMBINE Resource Institution (http://combine.or.id) sebagai lembaga yang fokus dalam ranah manajemen informasi untuk penguatan komunitas sejak awal dekade 2000-an banyak berkegiatan dengan jaringan radio siaran komunitas. Sejumlah pegiat di COMBINE adalah pegiat di jaringan radio siaran komunitas, baik di tingkat lokal maupun regional. Lingkup kegiatan yang berada dalam satu ranah inilah yang kemudian berhasil mempertemukan ketiga pihak; Desa Terong, Desa Balerante, dan COMBINE untuk duduk bersama merumuskan gagasan tentang Sistem Informasi Desa (SID). Pertemuan awal dilakukan dalam tahun 2008, lebih merupakan curah gagasan, yang dilakukan di sekretariat COMBINE di Yogyakarta. Dari seri diskusi bersama kedua desa itu, tim COMBINE kemudian bersepakat untuk mendukung inisiatif kedua desa tersebut membangun Sistem Informasi Desa. COMBINE yang memiliki sejumlah program kegiatan di pengembangan teknologi informasi pada saat itu memiliki beberapa program yang searah dengan gagasan Sistem Informasi Desa (SID). COMBINE di tahun 2008 sedang dalam proses membangun sistem informasi sumber daya yang disebut Lumbung Daya, bekerjasama dengan Serikat

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 6

Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) yang berpusat di Salatiga, Jawa Tengah. COMBINE juga sedang dalam proses membangun sistem informasi harga dan stok komoditas pertanian bertajuk Pasar Tani bersama Yayasan Lestari Mandiri di Boyolali. Mulai tahun 2009 pun, program yang sudah berjalan itu kemudian coba digabungkan dengan gagasan Sistem Informasi Desa (SID). Desa Terong di Bantul dan Desa Balerante di Klaten otomatis menjadi dua desa percontohan awal. COMBINE pun melakukan langkah perumusan konsep dasar dan langkah pembangunan SID yang direncanakan dalam beberapa tahap. Sebagai sebuah platform, SID kemudian dirumuskan dibangun dengan strategi untuk melayani komunitas dalam unit desa. Pemerintahan di tingkat desa sebagai muara sistem pengelolaan data dan informasi di tingkat desa menjadi pelaku pengelola sistem, sekaligus sebagai agen perubahan di tingkat komunitas. Sumber daya kemudian diterjemahkan dalam tiga bagian utama, yakni penduduk, keuangan, dan aset/sumber daya. Penerapan SID bisa dilakukan secara mandiri oleh suatu desa. Namun jika diterapkan secara bersama oleh desa-desa dalam suatu wilayah administratif (kecamatan/kabupaten) maupun kawasan dengan kesamaan kepentingan hutan/laut/gunung) maka akan bisa digunakan untuk melakukan konservasi dan atau pengembangan suatu kawasan secara terpadu. Pembangunan dan pengembangan SID sebagai sebuah platform diarahkan untuk bisa dilakukan dalam kerangka kerja 5 tahun. Tahun 1 (pertama) adalah tahap menemukan model sistem yang telah digunakan di tingkat desa dan merintis pengembangan sistem yang lebih baik untuk komunitas, yakni SID. Tahap ini telah dikerjakan dalam periode tahun 2010. Tahun 2011 adalah tahun kedua program, yang diarahkan untuk bisa menerapkan SID di tingkat desa dengan mengintegrasikan ketiga bagian/module data yang dikelola; kependudukan, keuangan, dan aset/sumber daya. Pada tahun kedua ini juga

direncanakan bisa dilakukan langkah inisiasi penerapan SID di wilayah perkotaan. Tahun 3 (tiga), yang bisa direncanakan untuk periode 2012, memiliki agenda untuk menerapkan SID dalam skala wilayah, jejaring antar satuan komunitas desa/kelurahan, baik di perdesaan maupun perkotaan. Dalam tahun ketiga ini pula diharapkan SID telah dapat diujicoba kebermanfaatannya dalam skala kawasan, dalam konteks hubungan desa - kota. Tahun 4 (empat) SID diarahkan telah teruji dalam skala antar wilayah, baik di perdesaan maupun di perkotaan, untuk mempertegas kebermanfaatannya dalam jejaring informasi sumber daya antar komunitas lintas batas. Tahap keempat ini menjadi tonggak menuju tingkat nasional, sehingga promosi besar SID untuk skala nasional dapat dilakukan pada periode yang diharapkan dapat dilakukan di tahun 2013 ini. Dalam periode ini pula, sebagai sebuah platform bersama, SID ditargetkan telah dapat dirilis sebagai aplikasi terbuka (open source). Jika tahap-tahap tersebut telah dapat berjalan, maka di tahun 5 (kelima), COMBINE dapat berperan mengawal penerapan SID sebagai platform besar bernama Lumbung Komunitas di kawasan perdesaan dan perkotaan dalam skala nasional. Selama tahun 2011, beberapa target yang diancangkan dapat dibangun dalam tahun yang berbeda coba dibangun dan dikembangkan dalam satu tahun kegiatan. Pilihan ini dilakukan dengan argumen bahwa tahun 2011 sekaligus dapat menjadi dasar pengembangan pada tahun-tahun berikutnya, baik di ranah teknis aplikasi SID maupun di ranah manajemen program kegiatan. Tahun 2011 diawali dengan inisiasi pengembangan dan pemanfaatan SID dalam jejaring desa - kota. Kemudian, tahun 2011 menjadi periode pengembangan teknis aplikasi SID yang mencakup integrasi ketiga module. Dalam proses integrasi ini juga dilakukan proses integrasi dengan sistem resmi yang digunakan oleh pemerintah, dalam hal ini adalah aplikasi Data Dasar Keluarga (DDK) Profil Desa Kelurahan dan aplikasi kependudukan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dukcapil).

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 7

Tahap ujicoba penerapan SID sebagai platform Lumbung Komunitas di kawasan perkotaan dipilih tidak dilakukan dalam tahun 2011. COMBINE memutuskan untuk fokus dulu dalam tahap ujicoba penerapan dan pengembangan SID di kawasan perdesaan. Bahkan, memasuki tahun 2012, ujicoba SID di perdesaan telah dapat diarahkan pada skala kawasan, jejaring antar desa di satu wilayah perdesaan (kabupaten/kawasan). Pada ranah teknis aplikasi software SID, dengan telah dikembangkannya SID versi 2.0 yang mencakup olah data-informasi kependudukan, keuangan, dan aset, sekaligus dicoba diarahkan pada rilisnya sebagai sebuah aplikasi terbuka (free and open source software). Inisiasi komunitas teknologi informasi untuk mendukung penerapan dan pengembangan SID sebagai aplikasi terbuka dimulai diinisasikan pada awal tahun 2012 ini. Pada sisi lain, pada ranah pemanfaatan, SID ditargetkan telah dapat digunakan sebagai alat pendukung proses analisis sumber daya komunitas dan membantu komunitas dalam proses perencanaan pembangunan komunitas berbasis aset. III. PEMANFAATAN SISTEM INFORMASI DESA III. 1. Landasan Politis dan Sosiologis

“..di setiap desa, data itu pasti ada, walaupun belum tentu benar. Masalah terbesar bagi desa adalah desa tak bisa menyiapkan data yang bisa dipanggil dengan cepat untuk pelayanan kepada masyarakat. Jadi, kita harus membangun sistem yang baru, mudah dipanggil, dan bisa dipertanggungjawabkan. Itulah awal munculnya gagasan Sistem Informasi Desa..”

Wawancara Kepala Desa Terong Sudirman Alfian, 6 Februari 2012

Kita memahami bahwa perekonomian dunia

semakin berbasis pada informasi dan pengetahuan. Pegiat pembangunan masyarakat pasti merasa prihatin terhadap fakta adanya ketimpangan dalam akses informasi dan komunikasi antara masyaraat di negara maju dan negara miskin. Hal ini yang kemudian mendorong banyak pihak untuk membangun agenda teknologi informasi dan komunikasi untuk pembangunan. Dipadukan dengan pendekatan pembangunan secara partisipatif maka akan membuktikan bahwa komunitas adalah pihak yang paling mengetahui tentang dirinya sendiri dan hal apapun yang ada di dekatnya. Pihak luar yang selama ini banyak berperan menentukan apa yang dibutuhkan komunitas, seringkali salah. Ternyata, pemerintah bukanlah pihak yang paling mengerti. Komunitas juga punya kemampuan untuk melakukan verifikasi langsung terhadap masalah-masalah yang ditemui. Bahkan, dengan sedikit dukungan dari pihak luar, komunitas dapat menyelesaikan masalah-masalah itu sendiri. Jadi, sudah saatnya untuk meletakkan dasar informasi rakyat sebagai landasan pembangunan. Di sini akan terjadi komunikasi pengetahuan di tingkat komunitas dan lintas komunitas, sehingga terbangun keberdayaan. Semua itu harus dimulai dari kemandirian dan kedaulatan atas data dan informasi. (Mulya Amri, 2007). Diskusi dengan pemerhati politik desa Yando Zakaria di Bantul pada 3 Februari 2012 lalu menegaskan pemahaman bahwa sudah pasti jaringan informasi adalah kemajuan bagi desa. Dengan tersedianya data kependudukan, dan keluarga, dan sebagainya yang lebih mudah diakses oleh komunitas atau masyarakat maka desa akan semakin punya peluang untuk maju. Jadi, pembangunan dan pengembangan SID adalah keniscayaan, tanpa tidak meninggalkan perhatian pada faktor-faktor lain yang mempengaruhi. Setelah reformasi terjadi di sistem politik tanah air, desa sedikit banyak telah berubah. Saat ini, lembaga desa adalah lembaga yang dipilih langsung pimpinannya oleh rakyat. Ada lembaga perwakilan dalam Badan

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 8

Perwakilan Desa (BPD). Keebebasan berserikat dan berkumpul dalam organisasi di desa terbuka luas. Jadi, SID akan sangat optimal ketika diletakkan dalam lembaga pemerintah desa. Desa sebagai muara dari seluruh kegiatan dan perencanaan desa akan menjadi simpul utama dalam pengelolaan SID. Namun, hal itu tetap tanpa meninggalkan partisipasi komunitas lain yang ada di desa.

Diagram 1: Hubungan ketersediaan data dengan tiga aspek yang dipengaruhi (masukan dalam diskusi dengan Yando Zakaria, 3 Februari 2012) Dalam perencanaan pembangunan, demikian lanjutan masukan Yando Zakaria dalam diskusi tersebut, SID harus bisa menjadi alat pengendali perencanaan pembangunan, mulai dari tingakt desa hingga supradesa. Sebabnya, sudah ada ketersediaan data di tingkat desa. Jadi, SID dala konteks perencanaan pembangunan akan bisa menjadi alat kontrol dan konsolidasi bagi komunitas desa. Dengan SID, desa akan mewujud menjadi satu komunitas, satu desa, satu rencana, satu anggaran. Dalam ranah ini, desa kemudian akan memiliki penegasan tentang perannya dalam pembangunan. Pembangunan desa adalah pembangunan yang dilakukan oleh desa itu sendiri. Sementara, akan tetap ada ranah pembangunan perdesaan yang akan dilaksanakan oleh pemerintah melalui SKPD yang bertugas. Memang faktanya pada saat ini kita bisa menjumpai beragam aplikasi dan model sistem informasi yang ditawarkan dan dijalankan di tingkat desa. Namun, kita bisa

bedah dan analisis, apakah semua itu memang benar-benar sistem informasi. Sebagai contoh, aplikasi Data Dasar Keluarga (DDK) Profil Desa dan Kelurahan, itu dari sudut pandang manajemen informasi tidak bisa disebut sebagai sistem informasi. DDK Profil Desa dan Kelurahan hanyalah formulir pendataan yang menghasilkan data statis dan tidak bisa digunakan langsung untuk pengambilan keputusan di tingkat desa. Data dalam DDK Profil Desa dan Kelurahan ditujukan untuk konsumsi pemerintah pusat dan baru bisa digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan di tingkat nasional. SID berbeda karena sejak dari tingkat desa sudah merupakan sistem informasi. Data yang ada di dalam SID akan bisa selalu terbarukan dan langsung bisa digunakan untuk dasar pengambilan keputusan. Dalam konteks ini, tentu saja, harus ada pemastian bahwa dalam praktiknya SID apakah benar dapat mengubah arah pemanfaatan data yang semula hanya mengarah ke pemerintah. Apakah data dalam SID juga dapat dimanfaatkan oleh warga? Pada titik ini, SID akan muncul sebagai sebuah solusi.

Diagram 2: Solusi pengembangan Sistem Informasi Desa (SID) (masukan dalam diskusi dengan Yando Zakaria, 3 Februari 2012)

Data apa saja yang

dibutuhkan desa (SID)

Bagaimana data

dikumpulkan?

Bagaimana data

digunakan?

Bagaimana data diolah dan

disimpan?

Keterse-diaan data

Situasi umum/masalah

di desa

Mekanisme perencanaan

pembangunan

Kelancaran pelayanan

publik

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 9

III. 2. SID dalam Penerapannya Hingga awal tahun 2012 ini, ujicoba SID telah dilakukan di sejumlah wilayah kabupaten. Pemilihan desa yang dijadikan wilayah ujicoba ini didasarkan pada pemilihan yang dilakukan dalam observasi tim COMBINE. Selain itu, SID juga diujicobakan di sejumlah desa lain yang merupakan dampingan lembaga selain COMBINE. Hal ini sebagai langkah ujicoba pula dalam ranah penerapan SID sebagai sebuah sistem terbuka yang dapat dimanfaatkan oleh siapa saja. Konsep Lumbung Komunitas yang dibangun melalui penerapan Sistem Informasi Desa (SID) diujicobakan di enam wilayah kabupaten sejak tahun 2010. Enam kabupaten yang terletak di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Tengah, meliputi:

1. Kabupaten Bantul, D.I. Yogyakarta: Desa Terong, Desa Gilangharjo, dan Desa Mulyodadi.

2. Kabupaten Gunungkidul, D.I. Yogyakarta: Desa Nglegi, Desa Girikarto.

3. Kabupaten Sleman, D.I. Yogyakarta: Desa Hargobinangun, Desa Glagaharjo, Desa Kepuharjo

4. Kabupaten Klaten, Jawa Tengah: Desa Balerante, Desa Panggang, Desa Talun, Desa Kendalsari, Desa Tangkil, Desa Tlogowatu, Desa Sidorejo, Desa Tegalmulyo

5. Kabupaten Magelang, Jawa Tengah: Desa Tejosari, Desa Pagergunung, Desa Jumoyo, Desa Sirahan

6. Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah: Desa Kandangan

Jumlah desa peserta program di kelima wilayah tersebut tidak sama. Dari seluruh desa di atas, penerapan SID memiliki empat desa percontohan utama yang memiliki fokus pengembangan SID secara lebih khusus. Pengembangan secara khusus ini diarahkan pada rencana pemanfaatan SID

untuk mendukung tema-tema perencanaan pembangunan tertentu sesuai karakteristik wilayah desa. Empat desa percontohan itu meliputi:

1. Desa Terong, Dlingo, Bantul, D.I. Yogyakarta: fokus pada SID untuk pelayanan administrasi kependudukan, pengurangan risiko bencana, dan persiapan pemilihan lurah desa. SID Terong online dapat dilihat di http://terong-bantul.web.id.

2. Desa Nglegi, Patuk, Gunungkidul, D.I. Yogyakarta: fokus pada SID untuk program penanggulangan kemiskinan (fasilitasi bersama tim IDEA). SID Nglegi online dapat dilihat di http://nglegi-gunungkidul.web.id.

3. Desa Talun, Kemalang, Klaten, Jawa Tengah: fokus pada SID untuk pelayanan administrasi kependudukan dan pengurangan risiko bencana. SID Talun online dapat dilihat di http://talun-klaten.web.id.

4. Desa Kandangan, Kandangan, Temanggung, Jawa Tengah: fokus pada SID untuk pelayanan administrasi kependudukan dan pengelolaan data kesehatan desa. SID Kandangan online dapat dilihat di http://kandangan-temanggung.web.id.

Setiap SID yang diujicobakan di setiap desa dirancang sebagai aplikasi offline yang dapat dioperasikan dengan komputer yang tidak harus terhubung dengan jaringan internet. Namun, seluruh SID yang digunakan memiliki potensi untuk dihubungkan dengan jaringan internet karena aplikasi SID memang didesain sebagai aplikasi berbasis internet. Pada situasi saat ini, belum semua desa di wilayah ujicoba telah terhubung dengan internet. Fokus pemanfaatan SID di setiap desa wilayah ujicoba saat ini adalah proses pembangunan basis data dan pemanfaatannya untuk pelayanan publik. Pengembangan dan pemanfaatan SID untuk ranah yang lebih luas, termasuk optimalisasi SID versi online akan menjadi tahap kegiatan selanjutnya setelah internalisasi SID dalam jaringan lokal telah

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 10

dapat utuh dipahami dan dimanfaatkan. Untuk mempermudah akses warga ke SID, ada sejumlah strategi konvergensi media yang dapat dilakukan oleh desa. Desa Terong melakukan konvergensi SID dengan sejumalh pertemuan warga, siaran radio komunitas, dan SMS center. Desa Nglegi juga mengaktifkan layanan SMS center yang terpasang di SID untuk mempermudah akses warga terhadap SID, walaupun warga tersebut tidak memiliki komputer. Strategi konvergensi ini akan terus dikembangkan oleh COMBINE bersama komunitas teknologi informasi yang diinisiasikan untuk mendukung proses pengembangan SID seterusnya ke depan sebagai free and open source software. Pada tahun 2012, konsep Lumbung Komunitas melalui penerapan SID akan diujicobakan ke lebih banyak desa di beberapa wilayah baru. Proses pengembangan di wilayah program terdahulu akan tetap dilanjutkan. SID sangat terbuka untuk dapat diterapkan oleh siapapun, lembaga manapun, yang dapat bekerjasama dengan lembaga pemerintah desa membangun dan memanfaatkan SID. Profil pelaksanaan dan pengembangan SID dapat dilihat di situs http://lumbungkomunitas.net. IV. VISI JANGKA PANJANG SID; PENGELOLAAN SUMBER DAYA LESTARI Singgih Susilo Kartono, seorang pengusaha industri kreatif di Temanggung, memandang desa sebagai miniatur sebuah negara. Desa memiliki rakyat, pemerintahan, wilayah, sumber daya, dan landasan ekonomi. Namun, desa selama ini selalu “diabaikan”. Pembangunan struktur sosial ekonomi dipandangnya rapuh karena bertumpu peada pembangunan struktur sosial ekonomi perkotaan. Desa yang jumlahnya banyak secara kuantitas selalu menerima paling sedikit, paling akhir, dan paling buruk atau jelek. Sementara, kota yang jumlahnya sedikit selalu menerima paling banyak, paling awal, dan paling baik. Dalam prosesnya menuju

tahap modern, desa lebih banyak melakukan konsumsi daripada produksi. Dalam pada itu, Singgih memandang sektor pertanian dan kerajinan dapat memandu perubahan desa secara lebih optimal. Pertanian akan memerlukan intensifikasi teknologi dan kerajinan akan memerlukan intensifikasi tenaga kerja. Sektor kerajinan seperti yang digiatkan oleh Singgih di Desa Kandangan, Temanggung, telah mampu mengintensifkan tenaga kerja dengan teknologi tepat guna, sumber daya lokal, dan pasar eksport. Dengan model pengelolaan sumber daya secara intensif, pembangunan struktur sosial ekonomi yang berbasis desa, akan menjadikannya lebih stabil. Economicology, konsep yang dikembangkan oleh Singgih Kartono. Dia menggunakan prinsip lebih sedikit kayu dan lebih banyak kerja. Singgih mengembangkan kerajinan kayu yang fungsional dan berukuran kecil. Ukuran kecil akan menggunakan lebih sedikit kayu, sehingga menyelamatkan lebih banyak pohon. Fungsional membangun pasar yang lebih luas sebagai produk yang bernilai guna. Bahan kayu menggunakan sumber daya lokal yang terbarui untuk memenuhi kebutuhan yang selalu ada. Kerajinan menggunakan intensifikasi tenaga kerja, teknologi tepat guna, investasi rendah, dan pasar eksport. Prinsip itu memungkinkan Singgih dan timnya menebang lebih sedikit pohon dan menanam lebih banyak pohon. Semakin banyak produksi kerajinan kayu yang dibuatnya maka akan lebih banyak pohon yang ditanam. Ada proses redefinisi terhadap sumber daya dan lingkungan. Hubungan antara manusia dan alam harus muncul dalam konteks kehidupan (life) yang tentunya akan memiliki batas (limit), sehinga agar lestari maka harus ada keseimbangan (balance) dalam pengelolaannya. Dalam lokakarya “Memikir Ulang Desa Kota; Jalan Menuju Kelestarian” yang diadakan di kediaman Singgih Kartono di Desa Kandangan, Temanggung pada awal Maret 2011 lalu, berlangsung diskusi untuk membangun visi hubungan desa dan kota

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 11

yang ideal dalam 20 tahun. Tiga gambaran visi dihasilkan dalam lokakarya. Pertama, menggambarkan hubungan desa dan kota yang mutualistik dengan landasan pengetahuan untuk membangun kreativitas dan kesadaran ekologis dalam pengelolaan sumber daya lingkungan. Gambaran visi yang kedua adalah bangunan rumah sebagai wujud dari bangunan keinginan yang harus dibangun dan dikelola bersama, tanpa ada aspek atau usur yang lebih dipentingkan daripada unsur yang lain. Situasi itu dapat mulai dibangun dari lingkungan keluarga yang mampu menumbuhkan kesadaran ekologis sejak dini agar dinamika pengembangan pengetahuan dan teknologi yang digunakan di desa dan kota bisa terbangun secara tepat guna. Ketiga, adalah gambaran adanya wilayah “ambang” antara desa dan kota. Didi Sugandi, peneliti senior COMBINE Resource Institution, dalam lokakarya menyebutkan bahwa wilayah itu bisa berupa ruang, tapi lebih tepat mewujud sebagai satu entitas yang menyediakan apa yang terbaik dari kota dan apa yang terbaik dari desa dalam satu konteks tautan ruang dan waktu. Mencermati pertumbuhan penduduk dunia, World Study Urban Policy Agenda melansir data bahwa ada perkembangan yan signifikan pada jumlah penduduk perkotaan di negara berkembang, terutama Asia dan Afrika. Pada tahun 1980, persentse penduduk perkotaan di negara berkembangan hanya 29% (atau 27% di Asia). Pada tahun 2000, persetase tersebut meningkat menjadi 41% (atau 38% di Asia). Dalam tahun 2020 diprediksikan, jumlah penduduk negara berkembang yang hidup di kota mencapai persentase 52% (atau 50% di Asia). Sementara, data Badan Pusat Statistik di Indonesia menampilkan pada tahun 1980 ada 78% penduduk yang hidup di perdesaan. Angka ini menurun pada tahun 1990 menjadi 69%. Dengan asumsi pertumbuhan penduduk desa di Indonesia hanya 1,2% per tahun maka dalam tahun 2010, jumlah penduduk desa di Indonesia adalah 48% dari seluruh jumlah penduduk negara ini. Menarik untuk memperhatikan rasio persentase tersebut jika disandingkan dengan jumlah kota dan desa

yang ada di Indonesia. Sebab apa yang melatarbelakangi perubahan tersebut? Pola perpindahan penduduk seperti apa yang kemudia harus dipegaruhi atau dikelola? Apa pula dampak perubahan tersebut terhadap kelestarian sumber daya dan lingkungan, baik di perdesaan maupun di perkotaan? Perubahan di atas meminta perhatian yang lebih mendasar tentang apa yang sebenarnya terjadi di desa dan kota. Nas (1989) mengatakan bahwa oposisi antara kota dan desa sulit untuk dihapuskan dan telah mengakar dalam sejarah pemikiran filosofis dan sosiologis. Dikotomi abadi ini justru memecah sosiologi menjadi dua, yakni perdesaan dan perkotaan. Dikotomi kota dan desa mempegaruhi secara kuat cara mengatasi masalah migrasi. Seringkali pembangunan desa dipropagandakan secara salah untuk mencegah pertumbuhan perkotaan dan masalah-masalah metropolitan. Migrasi harus diletakkan dalam konteks struktural sebagai karakteristik seluruh organisasi kelembagaan suatu masyarakat pada semua tingkatan dan semua sektor. Migrasi desa – kota, desa – desa, dan kota – desa (seperti transmigrasi), kota – kota, dan migrasi internasional (seperti tenaga kerja ke luar negeri) semua kini harus dipelajari dengan menggunakan kerangka yang sama. Pada akhirnya, dikotomi antara desa dan kota hanya memainkan peranan yang tidak cukup penting. Harus ada kerangka untuk mengambil perspektif dari tingkat nasional atau bahkan yang lebih tinggi. Prinsip yang mendasar, terlepas dari dikotomi ruang yang muncul, satu hal yang harus dijadikan sasaran perhatian adalah prinsip pengurangan jejak karbon (ecological footprint). Pakar Perkotaan Marco Kusumawijaya dalam catatan pribadinya ke penulis pada 15 Maret 2011 menegaskan bahwa hal itu dapat dikurangi dengan membangun sistem produksi dan konsumsi sedekat mungkin. Caranya adalah dengan meningkatkan efisiensi produksi dan mengurangi konsumsi (dengan prinsip kecukupan/enough dan tidak berlebihan/not more). Jadi, penting untuk kemudian

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 12

membangun sistem (atau dapat mewujud sebagai “ambang”) yang memungkinkan membawa unsur terbaik ke dalam kota dan sebaliknya. Namun, semua itu bukan untuk tujuan “eksport”, yang jauh dan berarti meningkatkan jejak karbon. Bagaimana menjadikan setiap ruang atau kawasan bisa self-sufficient adalah lebih utama. Dalam kasus yang kita kenal dalam bahasan atau studi ini, ruang atau kawasan itu bisa se-desa, antar desa di sekeliling kota terdekat, dan dengan kota terdekat itu sendiri. Membangun konsep sistem di atas dapat dipelajari dari diskusi tentang arkeologi budaya Indonesia untuk dapat memahami ruang pemahaman dan karakter masyarakat Nusantara dalam mengelola lingkungan dan sumber daya yang dimilikinya secara bersama-sama. Van Ossenbruggen (1917) mencoba membuktikan berlakunya tesis Durkheim dan Mauss tentang asal-usul mancapat di Jawa. Pengertian istilah mancapat berasal dari persekutuan antara sebuah desa dengan empat desa-desa tetangganya yang terdekat dan letaknya kira-kira sesuai dengan keempat arah mata angin. Di antara kelima permukiman itu terdapat kesepakatan untuk bekerjasama dalam kehidupan mereka sehari-hari. Fenomena ini berasal dari bentuk-bentuk organisasi ruang berdasarkan konsep mikrokosmis. Kelima titik itu bukan sembarang titik, tapi titik sakral yang berkaitan dengan lima unsur dasar alam semesta (tanah, api, air, udara, dan eter). Jadi, mancapat dapat diartikan sebagai sebuah pat (satuan ruang) yang disucikan dengan cara membaginya menjadi empat bagian. Santoso (2008) mengajukan pendalaman pemahaman terhadap struktur keruangan tersebut, bahwa dimensi pengertian mancapat tidak terbatas pada sifatnya yang sakral, tetapi juga mempunyai kaitan erat dengan kehidupan sosial penghuni tempat tersebut. Dimensi sosial inilah yang sebenarnya membentuk konsep mancapat, bukan dimensi teritorial. Jadi, dapat diasumsikan, proses pembentukan mancapat tidak dimaksudkan untuk menentukan batasan teritorial dari sebuah permukiman, melainkan untuk menjalin garis-

garis penghubung antara permukiman-permukiman yang berdekatan berdasarkan hubungan sosial-religius. Jadi, dia tidak harus mengandung batasan teritorial. Hal yang dipentingkan adalah dimesi sosial-religius dari ruang sebagai instrumen untuk memandu arah dalam bertindak secara sosial. Harus dipahami walaupun ada beberapa kemiripan antara hubungan negaragung – mancanegara yang mengelilinginya dalam tata kelola pemerintahan Mataram, konsep mancapat sendiri bukanlah bagian dari sebuah sistem administrasi negara. Mancapat adalah konsep yang tumbuh dari kehidupan kolektif masyarakat perdesaan. Ada banyak kasus serupa yang dapat dijumpai di Nusantara sebagai perbandingan studi. Jika dalam masyarakat petani/sawah muncul “pembagian lima” atau “Kesatuan lima” maka di masyarakat ladang muncul “pembagian tiga” atau “kesatuan tiga”. Pembagian ini lebih menekankan pada independensi ruang dan egaliter. Prinsip ini di Sunda dikenal dengan ‘tritangu‘, di Minang sebagai ‘tigo sejarangan‘, dan di Batak sebagai ‘dalian na tolu‘. Namun, prinsip tradisional ini luntur dan hilang sejal awal abad XX ketika pemerintah Hindia Belanda memberlakukan sistem administrasi kelurahan dan kecamatan. Pada tahun 1898, di dunia barat, Ebenezer Howard menyajikan satu gagasan baru dalam tata perencanaan dan pengelolaan ruang perkotaan. Konsep Garden City diperkenalkan sebagai sebuah ruang hunian yang manusiawi dalam skala kota kecil atau menengah. Kota tersebut memiliki potensi untuk memberikan lapangan kerja yang cukup bagi warga yang hidup di dalamnya. Warga kota akan dimudahkan dengan kedekatan posisi dan interaksi yang dihubungkan dengan jaringan transportasi sirkular. Sekeliling kota akan berfungsi sebagai ruang penyangga yang menyediakan kebutuhan hidup warga kota, dengan beragam pemanfaatan lahan untuk pertanian, peternakan, dan ruang alami lainnya. Gagasan itu muncul dari satu skema yang dinamakan sebagai “The Three Magnet” yang menggambarkan karakter kota (town), desa (country), dan satu ruang yang disebut

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 13

kota – desa (town – country). Kota-kota berkonsep Garden City ini dapat tumbuh dalam satu jaringan interaksi mutualistik dan saling melengkapi, sehingga potensi sosial dan ekonomi sebagai peluang kerja bagi warga tetap terbangun. Konsep tersebut muncul sebagai Social City dan masih tetap relevan untuk diterapkan dalam memikir ulang tata perencanaan dan pengelolaan kota – wilayah masa kini (Peter Hall dan Colin Ward, 1998). Dalam konteks desa, apa kemudian yang bisa dilakukan, walaupun tidak lagi melakukan dikotomi mana yang baik tinggal di desa atau di kota? Pengelolaan data desa menjadi satu hal penting dan utama sebagai pintu masuk. Marco Kusumawijaya dalam catatan pribadinya ke penulis tertanggal 15 Maret 2011 menegaskan bahwa data desa dapat dibangun dan digunakan untuk meningkatkan pelayanan di dalam desa, sehingga orang “betah” tinggal di desa. Oleh karenanya, produktivitas dapat meningkat, sehingga mengurangi ketergantungan terhadap kota. Data desa juga perlu dikelola secara optimal untuk membangun kesadaran tentang sumber daya desa; apa keterbatasan dan potensi pengembangannya dalam perspektif produksi dan konsumsi yang lestari. Data desa perlu didinamisasi melalui perbincangan atau forum berbagi pikiran, baik dengan jaringan internal desa maupun eksternal desa untuk merangsang kolaborasi dan inovasi baru. Satu hal penting yang harus dibangun sebagai satu langkah studi adalah bagaimana agar data desa dapat memuat data migrasi. Baik jika sistem pengelolaan data desa dapat memuat data migrasi mulai dari tempat tujuan, jumlah orang, jumlah transaksi barang-uang-lainnya, jumlah eksport-import, dan sebagainya. Atas dasar ini mungkin dapat dicari pola migrasi baru yang lebih ramah lingkungan (dengan prinsip migrasi sesedekat mungkin dan sesedikit menghasilkan karbon), serta migrasi yang lebih produktif. Studi ini belum cukup pernah secara rinci dan kritis diperhatikan sebagai hard-fact hubungan desa dan kota; yakni berbagai dimensi/ukuran migrasi desa – kota. Salah satu ujung pencarian studi ini

adalah mencoba menata kembali hubungan desa – kota dengan menata migrasi orang, barang, dan jasa di antara ruang-ruang tersebut. Proses membangun dinamika pengetahuan dapat disisipkan dengan memanfaatkan data atau informasi yang sudah ada. Data dan informasi lain dapat digali lebih banyak secara partispatif dan terjalin dalam komitmen. Perlu dibangun satu ruang atau prasarana untuk mewadahi proses interaksi agar terjadi percikan atan lompatan aksi – reaksi yang kreatif. Sistem informasi lokal semacam SID yang dibangun ini harus dirancang untuk memenuhi peran dan fungsi tersebut. Elanto Wijoyono Koordinator Program Lumbung Komunitas – Sistem Informasi Pengelolaan Sumber Daya Desa di COMBINE Resource Institution, Yogyakarta http://combine.or.id http://lumbungkomunitas.net Daftar Rujukan Website Badan Pusat Statistik. http://www.bps.go.id/ diakses pada tanggal 22 Februari 2012. SIM Profil Daerah Kabupaten Klaten. http://profil.klatenkab.go.id/ diakses pada tanggal 22 Februari 2012. Sistem Informasi Profil Daerah Pemerintah Kabupaten Sleman. http://sipd.slemankab.go.id/ diakses pada tanggal 22 Februari 2012. Peraturan dan Undang-Undang Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 12 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan dan Pendayagunaan Data Profil Desa dan Kelurahan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 1997 tentang Statistik Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan

Seminar Nasional “Bangun Desa dengan Data” Yogyakarta, 23 Februari 2012

Jagongan Media Rakyat (JMR) 2012 | http://jmr2012.combine.or.id 14

Pustaka Amri, Mulya. 2007. Dalam Akhmad Nasir et.al. 2007. Media Rakyat; Mengorganisasi Diri melalui Informasi. Yogyakarta: COMBINE Resource Institution. Dewi, Ambar Sari dan Muhammad Amrun. 2010. Membangun Sistem Informasi Desa. http://issuu.com/kombinasi/docs/sid diakses pada tanggal 22 Februari 2012. Eko, Sutoro. 2009. Mempersatukan RUU Desa dan RUU Pembangunan Perdesaan. Makalah disampaikan dalam Seminar “Bergerak menuju Desa dan Bergerak dari Desa” Dies ke-44 Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa (STPMD) “APMD” Yogyakarta, 16 November 2009. http://www.apmd.ac.id/publikasi.php?pid=11 diakses pada tanggal 22 Februari 2012. Hall, Peter dan Colin Ward. 1998. Sociable Cities; The Legacy of Ebenezer Howard. John Wiley and Sons. Nas, P.J.M. 1989. Kota dan Desa di Indonesia; Sebuah Pandangan Skeptis. Dalam P.J.M. Nas, e.t.al.. 2007. Kota-Kota di Indonesia; Bunga Rampai. Diterjemahkan oleh Nin Bakdisoemanto, et.a.. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Halaman: 586 – 601. Santoso, Jo. 2006. [Menyiasati] Kota Tanpa Warga. Jakarta: Penerbit KPG dan Centropolis Universitas Tarumanegara. Santoso, Jo. 2008. Arsitektur-kota Jawa; Kosmos, Kultur, dan Kuasa. Jakarta: Centropolis Universitas Tarumanegara. Wijoyono, Elanto. 2011. Desa Kota Lestari. Lumbung Komunitas. http://lumbungkomunitas.net/2011/03/desa-kota-lestari/ diakses pada tanggal 22 Februari 2012.