Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian...

9
FOTO: DOK. KELUARGA PRAMONO PERGULATAN KEINDONESIAAN SIAUW 100 TAHUN SIAUW GIOK TJHAN

Transcript of Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian...

Page 1: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

FO

TO

: D

OK

. KE

LU

AR

GA

PR

AM

ON

O

PERGULATAN KEINDONESIAAN SIAUW

1 0 0 T A H U N S I A U W G I O K T J H A N

Page 2: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

6 APRIL 2014 | | 55

Bagi sebagian orang Tionghoa di Indonesia mulai akhir 1940-an hingga pertengahan 1960-an, Siauw Giok Tjhan adalah tokoh yang aktif terlibat dalam gagasan mengindonesiakan orang Tionghoa. Ia percaya golongan Tionghoa yang sudah hidup bergenerasi di Indonesia berhak mendapatkan status suku setara dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Untuk melebur ke dalam bangsa Indonesia sebagai suku, menurut Siauw, orang Tionghoa tak perlu menghilangkan ciri ketionghoaannya. Demi tujuan itu, ia membentuk Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) pada 13 Maret 1954. Baperki banyak membangun sekolah. Juga mendirikan perguruan tinggi swasta pertama: Universitas Baperki, yang kemudian menjadi Universitas Res Publica (Ureca). Dalam kepemimpinan Siauw, Baperki condong mendekat ke sumbu kekuasaan, yang berorientasi kiri. Akibatnya, pada 15 Oktober 1965, setelah terjadi tragedi Gerakan 30 September, kampus Ureca di Grogol dibakar massa. Tanggal 23 Maret lalu tepat 100 tahun kelahiran Siauw. Tempo ingin menyajikan kembali pergumulan hidupnya dan tulisan yang menampilkan kesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica.

AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua, Bogor, Minggu dua pekan lalu. Santap malam 300-an peserta reuni itu baru saja usai. Suasana kangen-kangen-an kemudian menjadi khidmat. Pembawa acara meminta hadirin yang rata-rata ber-usia di atas 60 tahun itu berdiri dari kursi-

nya. Para opa dan oma mengambil posisi siaga. Tatkala musik dari alat pemutar ter-dengar, mereka pun menyanyikan lagu In-donesia Raya. Ada yang bersemangat, ber-nyanyi sambil menempelkan tangan ka-nan ke dada kirinya.

Nuansa kebangsaan Indonesia memang kental terasa di acara Reuni Ke-8 Alum-ni Universitas Res Publica (Ureca) itu. Se-lain menampilkan tetarian kontemporer Sunda dan Bali, acara memperdengarkan lagu-lagu nasional oleh paduan suara Ge-rakan Pemuda Perhimpunan Indonesia Tionghoa. Peserta temu kangen ini adalah orang-orang yang pada 1959-1965 menem-puh pendidikan di universitas yang didiri-kan organisasi kemasyarakatan Tionghoa masa itu: Badan Permusyawaratan Kewar-ganegaraan Indonesia (Baperki).

Acara reuni kali ini menjadi lebih istime-

wa karena bertepatan dengan 100 tahun kelahiran Siauw Giok Tjhan, Ketua Umum Baperki yang juga penggagas berdirinya Ureca. Siauw lahir pada 23 Maret 1914 di Ka-pasan, Surabaya, Jawa Timur.

Baperki awalnya banyak terlibat dalam dunia pendidikan. Pada November 1957, Perdana Menteri Djuanda melarang seko-lah asing menerima murid warga negara Indonesia. Akibatnya, puluhan ribu anak Tionghoa yang semula belajar di sekolah milik Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) terka-tung-katung—tidak bisa meneruskan seko-lah.

Siauw bersama Baperki bergerak cepat. Mereka mendirikan Yayasan Pendidikan dan Kebudayaan. Siauw membuka seko-lah-sekolah untuk menampung anak-anak Tionghoa. Baperki juga mendirikan uni-versitas swasta pertama di Indonesia, yaitu Universitas Baperki. Pemicunya adalah ba-nyak anak Tionghoa tak bisa melanjutkan studi lantaran kuota bagi etnis Tionghoa masuk universitas negeri hanya 2 persen. Pada 1962, Universitas Baperki berganti nama menjadi Universita Res Publica.

Yang menarik, universitas ini membuka mata kalangan Tionghoa yang saat itu ma-sih memiliki kewarganegaraan Cina untuk memahami segi keindonesiaannya. Nan-cy Widjaja, 70 tahun, salah satunya. Dite-mui Tempo, Nancy bercerita bahwa ia la-hir di Garut, Jawa Barat, tapi orang tuanya, pasangan pedagang batik di pasar Garut, adalah warga negara Cina. Pendidikan da-sar hingga menengah ia tempuh di sekolah THHK, sekolah Chung Hwa di Garut, dan dilanjutkan ke Hoa Qiao Bandung.

Nancy bercerita, pada 1960-an, orang tuanya berencana pulang ke Cina. Ia sendi-ri saat itu ingin melanjutkan studi ke sana dan menggapai cita-cita sebagai penyiar ra-dio Beijing. Namun cita-citanya kandas lan-taran, saat pecah kerusuhan anti-Cina di Garut pada 13 Mei 1963, kobaran api mem-bakar rumahnya. Harta benda orang tua-nya musnah.

Ibu Nancy meminta ia bersabar sampai uang untuk pulang ke Cina terkumpul kem-bali. Dia diminta membantu berdagang ba-tik. Namun ayahnya, yang cukup berpen-didikan, tidak setuju. Sang ayah ingin Nan-cy terus bersekolah. Akhirnya Nancy didaf-tarkan ke Ureca. ”Di tempat lain tak mung-kin diterima karena saya WNA,” dia me-nambahkan.

Di Ureca, Nancy benar-benar seperti

Page 3: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

56 | | 6 APRIL 2014

anak yang baru belajar bahasa Indonesia. ”Di sekolah Chung Hwa, pengantarnya ba-hasa Mandarin. Bahasa Indonesia itu baha-sa asing yang diajarkan hanya dua kali da-lam seminggu.” Tidak hanya mengajarkan bahasa Indonesia, bagi Nancy, Ureca juga mengindonesiakan dirinya. ”Pikiran saya jadi berubah 180 derajat. Buat apa lagi pu-lang ke Tiongkok, yang asing sama sekali? Saya mulai sadar bahwa saya lahir dan be-sar di Indonesia. Akar saya di sini.”

Keputusan Nancy itu membuat ayahnya marah. ”Bahkan saya akan diputuskan hu-bungan keluarga. Lebih-lebih ketika pecah peristiwa Oktober 1965 karena di seluruh Garut hanya ada tiga perempuan yang ma-suk Ureca, jadi sangat dikenal,” kata Nan-cy, yang pada 2003-2013 menjadi Ketua Pe-rempuan Inti. Peristiwa 1965 itu juga yang mengakhiri kuliah Nancy di Fakultas Sas-tra Ureca di Kampus A Grogol. Pada 15 Ok-tober 1965, kampus itu diserbu massa dan dibakar karena dianggap berkaitan de-ngan kaum kiri. Ureca di Jakarta dan ca-bang-cabangnya di Surabaya, Semarang, Yogyakarta, dan Medan serta sekolah-se-kolah yang didirikan Baperki ditutup.

* * *BETULKAH Ureca berpihak pada ga-

gasan kiri? Apa gagasan Siauw Giok Tjhan yang membuatnya ditangkap dan dipen-jara tanpa proses pengadilan selama 12 ta-hun? Siauw Tiong Djin mengaku tidak me-ngenal dekat ayahnya. Sebab, ketika sang ayah ditangkap pada 4 November 1965, ia masih berusia 9 tahun. Pertemuan dengan ayahnya hanya terjadi di ruangan besuk di Rumah Tahanan Salemba, Kamp Satuan Tugas Kebayoran Baru, Rumah Tahanan Militer Lapangan Banteng, dan Penjara Nir-baya (Interniran dalam Keadaan Bahaya) Jakarta Timur.

”Awalnya saya penasaran ingin berta-nya. Di sekolah, saya sering mendengar bahwa Baperki sebagai organisasi komu-nis harus diganyang dan orang-orang ko-munis pengkhianat bangsa harus dipenja-ra selama-lamanya,” kata Tiong Djin.

Jawaban panjang-lebar yang disampai-kan Siauw Giok Tjhan menambah rasa ingin tahu Tiong Djin. Sepulang dari pen-jara, ia membaca pidato dan tulisan Siauw yang disimpan rapi oleh ibunya, Tan Gien Hwa. Tiong Djin juga bertanya kepada te-man-teman seangkatan ayahnya tentang apa yang dilakukan dan tujuan perjuangan

Menurut Tiong Djin, berdasarkan pene-lusurannya terhadap beragam naskah pi-dato, risalah, dan tulisan Siauw, juga doku-men Baperki, komunisme tidak pernah di-canangkan sebagai obyek perjuangan po-litik organisasi itu. ”Yang didambakan Sia-uw adalah perwujudan masyarakat sosial-isme ala Indonesia seperti yang diformu-lasikan Presiden Sukarno dan yang sesuai dengan UUD 1945,” ucap Tiong Djin.

Lebih lanjut, Tiong Djin mengatakan Ba-perki merupakan organisasi kemasyara-katan yang terbuka. Adanya orang-orang PKI di Baperki karena organisasi itu meng-anut asas Nasionalis-Agama-Komunis (Na-sakom). Kebijakan Baperki, kata Tiong Djin, juga tidak 100 persen seirama dengan PKI. Konsep ekonomi yang menjadi sumbang-sih Siauw, yang kemudian masuk ke Kete-tapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Se-mentara (Garis-garis Besar Haluan Negara) pada 1963, adalah konsep modal domestik yang bertolak belakang dengan konsep PKI bahwa semua harus diambil alih negara.

”Konsep Siauw itu mengawinkan so- sialis me dan kapitalisme. Ekonomi Indo- T

EM

PO

/DIA

N T

RIY

UL

I H

AN

DO

KO

politik Siauw. Aktivitas itu terhenti saat ia harus ke Australia untuk kuliah pada 1973.

Pertemuan Tiong Djin dengan Daniel S. Lev, guru besar Washington University yang tengah merampungkan biografi pe-juang hak asasi manusia Yap Thiam Hien pada 1988, menguatkan niatnya menulis ri-wayat hidup sang ayah. Dengan bimbingan Herbert Feith dan Barbara Hatley dari Mo-nash University dalam melakukan peneliti-an obyektif dan penulisan akademis, Tiong Djin menyusun disertasi berjudul Siauw Giok Tjhan: Bicultural Leaders in Emerging Indonesia, yang rampung pada 1998. Pada 1999, ia meraih gelar PhD dalam ilmu poli-tik di Monash University.

Melalui disertasi yang kemudian diter-bitkan Penerbit Hasta Mitra menjadi buku berjudul Siauw Giok Tjhan: Perjuangan Se-orang Patriot Membangun Nasion Indone-sia dan Masyarakat Bhineka Tunggal Ika ini, Tiong Djin ingin meluruskan sejarah yang telah memojokkan sang ayah. Menurut Tiong Djin, ayahnya bukan anggota atau anggota rahasia Partai Komunis Indonesia sebagaimana dituduhkan.

”Ayah saya tidak pernah masuk PKI. Dari proses pemeriksaan pun tidak didapatkan pengakuan satu tokoh PKI yang pernah me-nyumpah Siauw masuk menjadi anggota PKI,” kata Tiong Djin, yang datang ke Jakar-ta dari kediamannya di Melbourne, Aus-tralia, untuk reuni Universitas Res Publica, dua pekan lalu. ”Tidak terbukti juga kalau Baperki onderbouw PKI.”

Anak-anak Siauw Giok Tjhan: Siauw May Lan (kiri), Siauw May Lie, Siauw Tiong Tjing, Siauw Tiong Ho, Siauw Tiong Djin, dan Siauw Lee Ming saat acara 100 tahun Siauw Giok Tjhan di Cisarua, Bogor, 23 Maret lalu.

Page 4: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

6 APRIL 2014 | | 57

1 0 0 T A H U N S I A U W G I O K T J H A N

nesia harus dibangun atas dasar pengem-bangan modal yang dimiliki para peda-gang Indonesia, siapa pun pedagang itu, tanpa mempedulikan latar belakang ra-snya,” ujar Tiong Djin.

* * *SALAH satu sumbangan besar Siauw

Giok Tjhan adalah pemikiran dalam debat isu kewarganegaraan. Siauw adalah salah seorang pelopor konsep integrasi. Menu-rut keyakinan Siauw dan kelompok integ-rasionis, masalah diskriminasi rasial terha-dap orang Tionghoa hanya bisa hilang jika terwujud Nasion Indonesia yang ber-Bhin-neka Tunggal Ika. Semua suku, termasuk suku Tionghoa, harus mengintegrasikan diri ke tubuh Nasion Indonesia melalui ke-giatan politik, sosial, dan ekonomi.

Suku Tionghoa merupakan tuntutan Baperki. Alasannya, pada 1950, golongan Tionghoa sudah hidup bergenerasi di Indo-nesia sehingga berhak mendapatkan status

suku setara dengan suku lain, seperti Jawa, Sunda, Melayu, Batak, dan Ambon. Sebagai satu suku, orang Tionghoa tak perlu meng-hilangkan ciri ketionghoaannya. Untuk tujuan menjadikan sebanyak-banyaknya suku Tionghoa yang menyeberangi jemba-tan menjadi bangsa Indonesia yang utuh, Baperki dibentuk pada 13 Maret 1954.

Konsep integrasi ini ditentang kubu pen-dukung konsep asimilasi. Menurut konsep ini, pembauran dalam segala lapangan se-cara aktif dan bebas merupakan terapi yang tepat untuk menyelesaikan persoal-an yang dialami golongan Tionghoa. Sepu-luh tokoh mencanangkan konsep asimila-si ini pada 26 Maret 1960. Salah satu tokoh kelompok ini adalah Junus Jahja, pentolan Chung Hua Hui, perkumpulan Tionghoa di Belanda, yang justru membubarkan per-kumpulan eksklusif itu.

Kelompok asimilasionis ini kemudian melahirkan Lembaga Pembinaan Kesatu-an Bangsa (LPKB) pada 12 Maret 1963 saat digelar Musyawarah Asimilasi di Jakarta. Dalam buku Catatan Orang Indonesia, Ju-nus menyebutkan Sukarno membenarkan konsep asimilasi alias pembauran ini. Per-kataan Bung Karno yang dikutip Junus ada-

lah, ”Saya membenarkan usaha pemuda-pemuda untuk memecahkan masalah mi-noritas dengan jalan asimilasi dan menghi-langkan eksklusivisme dalam tubuh bang-sa Indonesia.”

Harry Tjan Silalahi, 80 tahun, anggo-ta LPKB yang masih tersisa, menyebutkan tuntutan Baperki agar masyarakat Tiong- hoa tetap menjadi suku merupakan ke-munduran. ”Itu berarti mereka masih ingin menjadi minoritas,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and Inter-national Studies, Jakarta Pusat.

Konfl ik antara pro-integrasi dan pro-asi-milasi terus berlanjut. Presiden Sukarno hadir dalam Kongres Ke-8 Baperki di Isto-ra Senayan pada 14 Maret 1963. Dalam sam-butannya, Sukarno mengatakan, ”Baperki itu satu perkumpulan yang baik; tegas ber-diri di atas Pancasila; tegas membantu ter-laksananya Amanat Penderitaan Rakyat; tegas berdiri di atas Manipol-Usdek. Baper-ki adalah salah satu dari Revolusi Indone-sia. Oleh karena itu saya datang.”

Harry mengatakan memang tidak ter-bukti Siauw anggota PKI. ”Tapi Siauw itu pasti orang kiri, jalan pikirannya Marxis-me,” ujarnya. Lagi pula, kata Harry, hanya D

OK

. KE

LU

AR

GA

Siauw Giok Tjhan (ketiga dari kanan) bersama pimpinan Baperki Aceh, 1955.

Page 5: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

58 | | 6 APRIL 2014

Marxisme yang mau menerima orang Tion-ghoa waktu itu. Kenyataannya, Siauw ma-suk Partai Sosialis pada Desember 1945 dan ia berada di kelompok Amir Sjarifuddin. Sebagai pendukung Amir, otomatis Siauw termasuk kelompok sayap kiri, yang kemu-dian berganti nama menjadi Front Demo-krasi Rakyat (FDR).

Ketika PKI meleburkan Partai Sosialis dan Partai Buruh Indonesia ke dalam PKI, Siauw termasuk yang tidak bergabung. Dalam buku yang ditulis Tiong Djin, alas-an Siauw: karena fungsinya sebagai wakil golongan minoritas lebih baik dilakukan di luar PKI. Sementara Partai Sosialis dan FDR bubar, Siauw memilih tetap berada di Badan Pekerja Komite Nasional Indone-sia Pusat sebagai wakil golongan minori-tas tak berpartai. Setelah Peristiwa Madi-un, Siauw ditangkap karena pernah menja-di anggota FDR. Dia ditahan di penjara Wi-rogunan, Yogyakarta.

Harry Tjan melihat kepemimpinan Siauw saat menjabat Ketua Baperki cende-rung ke kiri. Apalagi ketika Baperki turun ke politik praktis dengan ikut Pemilihan Umum 1955, yang ditentang banyak pendi-ri Baperki yang berorientasi kanan, seper-ti P.K. Ojong. Menurut Harry, alasan Baper-ki ikut pemilu agar perwakilan golongan minoritas Tionghoa di Dewan Perwakilan

Rakyat yang mendapat jatah delapan kursi dipilih, bukan ditunjuk. ”Ini memang ma-sih bisa diterima karena ada logikanya.”

Namun, begitu kebijakan Baperki lebih condong ke kiri, banyak kalangan Tiong- hoa gelisah, takut menjadi kambing hitam. Pasalnya, ada anggapan Baperki sama de-ngan Tionghoa karena anggota Baperki pada 1963 mencapai lebih dari 250 ribu (sekitar 10 persen dari total jumlah orang Tionghoa), sebanyak 99 persen adalah orang Tionghoa. Harry menyebut hubung-an Baperki-PKI sebagai simbiosis dalam po-litik. Dia memberi contoh Baperki kerap ikut acara PKI. Jumlah pelajar sekolah Ba-perki yang puluhan ribu menjadi andalan PKI untuk menunjukkan kekuatannya.

”Kampus Baperki itu menjadi asrama CGMI (Consentrasi Gerakan Mahasiswa In-donesia) dan Perhimi (Perhimpunan Ma-hasiswa Indonesia). Tak mengherankan kalau diserbu oleh kesatuan aksi mahasis-wa,” ucap Harry.

Bekas Ketua Dewan Mahasiswa Ureca Sie Ban Hauw kepada Tempo mengatakan ia menolak anggapan bahwa kampusnya me-mobilisasi massa untuk kegiatan politik. Menurut dia, Dewan Mahasiswa merupa-kan organisasi intra-universitas. Kalaupun ada pengerahan massa, kata Sie, hanya un-tuk kegiatan budaya, seperti ketika ada Asi-an Games, Ganefo, atau Kongres Baperki.

”Sedangkan untuk demonstrasi politik dikoordinasi mahasiswa yang menjadi ang-gota organisasi ekstra-universitas, seperti

CGMI, Perhimi, dan PMKRI, tanpa permi-si kepada pihak universitas,” ujar Sie, yang masuk Ureca pada 1959 di Fakultas Teknik karena ditolak masuk Institut Teknologi Bandung.

Sahabat dekat Siauw, Go Gien Tjwan, 94 tahun, yang kini tinggal di Amsterdam, Be-landa, menepis keras tuduhan orang seper-ti Harry Tjan, yang menganggap Siauw se-bagai komunis. ”Jelas tidak mungkin Siauw komunis! Mana mungkin seorang komu-nis bisa memimpin Baperki begitu lama, sementara isi Baperki itu sebagian besar adalah para kapitalis kecil,” katanya sam-bil tertawa saat ditemui Tempo di kediam-annya di kawasan Max Havelaarlaan, Am-stelveen.

Menurut Go, Baperki bukan partai po-litik ataupun organisasi kemasyarakatan. ”Baperki adalah sebuah badan musyawa-rah untuk mencapai mufakat, antara lain dengan cara groot gemengde deal, jalan te-ngah kebijaksanaan politik. Dan itu adalah jalan tengah yang menjadi nilai kebudaya-an Tionghoa,” kata Go.

Lelaki yang menjadi dosen senior seja-rah Asia modern di Universiteit van Am-sterdam ini menambahkan, ”Anggota Ba-perki adalah siapa saja, tanpa memperhi-tungkan latar belakang ras, ideologi, dan politik. Adam Malik dari Murba, K. Woedo-jo anggota PKI dan tokoh SOBSI, atau Wino-to dari Partindo adalah anggota dewan pe-nasihat Baperki. Ini jelas menggambarkan bagaimana karakter dan visi Baperki yang tidak eksklusif.”

Tapi baik Go maupun Harry Tjan sepakat satu hal mengenai Siauw: kesederhanaan-nya. Go ingat, pada 1946, ia bersama Siauw pergi ke Yogyakarta bertemu dengan Su-karno. Bung Karno melihat Siauw memakai kemeja dengan kerah yang robek di sana-sini. ”Sukarno bilang Siauw tidak pantas memakai baju robek demikian. Ia kemudi-an memberi dua bungkusan kemeja.”

Harry Tjan juga mengakui kesederhana-an lelaki asal Kapasan itu. ”Saya tidak me-ngenal Pak Siauw secara personal karena kami berbeda usia 20-an tahun.” Namun, berdasarkan observasi Harry, Siauw ada-lah pemimpin yang baik dan ikhlas ber-juang supaya orang keturunan Tionghoa yang telah memilih ikut Indonesia terlin-dungi haknya. ”Semoga dia beristirahat dengan tenang,” kata Harry.

● DODY HIDAYAT, LEA PAMUNGKAS (AMSTERDAM),

DIAN YULIASTUTI

Siauw (tengah, membelakangi) bersama mahasiswa Ureca di kampus Grogol, Jakarta, 1964.

FO

TO

: D

OK

. KE

LU

AR

GA

Page 6: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

6 APRIL 2014 | | 59

1 0 0 T A H U N S I A U W G I O K T J H A N

BATU-BATU melayang menghujani kampus Universitas Res Publica yang terletak tak jauh dari Rumah Sakit Sin Ming Hui, Grogol. Maha-siswa di dalam kampus pun membalas lempar-an itu. Perang batu antara mahasiswa Univer-sitas Res Publica (Ureca) dan massa liar yang

tak diketahui asalnya itu tak terelakkan di pagi menjelang siang pada 15 Oktober 1965.

Peristiwa itu masih membekas dalam memori Khouw Thian Hong atau Benny G. Setiono, 71 tahun. Siang itu, sebagai maha-siswa Fakultas Ekonomi Universitas Res Publica, ia turut mem-pertahankan kampus. Umurnya masih 22 tahun saat itu. Benny ingat ia menggenggam rantai sepeda di tangan. Sedangkan ma-hasiswa Ureca yang lain membawa apa pun.

Seingat Benny, di antara massa yang datang, ada beberapa yang mengenakan atribut organisasi ekstrakampus, Persatu-an Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI), telanjur merangsek, melompati gerbang setinggi dada orang dewasa. Benny dan kawan-kawannya tak kuasa melawan mereka. Pintu gerbang besi itu bisa didobrak dengan ditarik truk.

”Apalagi setelah terdengar tembakan oleh tentara, terpaksa kami mundur,” ujar Benny kepada Tempo.

Massa penyerbu semakin beringas. Mereka membakar ge-dung Kampus A yang dibangun sendiri oleh tangan para maha-siswa dan dosen universitas yang semula bernama Universitas Baperki itu. Setelah puas meluluhlantakkan Kampus A, massa menjarah Kampus B, yang berada di kawasan Slipi.

Perlawanan juga dikisahkan oleh Tan Ping Ien, Wakil Ketua Dewan Mahasiswa saat itu. Ia mengkoordinasi puluhan maha-siswa untuk ”ronda” mengamankan kampusnya. Dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, Tan bercerita ma-hasiswa sudah mendapat informasi tentang rencana penyerbu-an kampus mereka. Beberapa aktivis mahasiswa dari PMKRI, Himpunan Mahasiswa Islam, dan Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia datang dan meminta mahasiswa lain membubarkan diri demi keselamatan mereka.

”Pada pukul 14.00, mereka datang tergopoh-gopoh mene-mui saya dan memberi tahu akan ada aksi besar menghancur-kan Ureca,” tulis Tan Ping Ien. Informasi ini disampaikan kepa-da mahasiswa yang lain. Mereka pun menutup kampus. ”Kami tidur bergilir dan minum banyak kopi.”

Keesokan paginya, dengan mata yang masih ”pedas” karena kurang tidur, Tan berkeliling memeriksa. Ternyata rombong-an wartawan sudah datang lebih dulu. Mereka tiba mendahu-lui massa yang akan segera datang. Dua aktivis mahasiswa, Tjio Keng Liong dari PMKRI dan Ayub Sani dari HMI, dengan berli-nang air mata meminta Tan Ping Ien dan kawan-kawannya se-

gera pergi daripada mati konyol. Tak berapa lama, beberapa jip dan truk militer datang. Tak kurang dari 20 tentara masuk ke kampus. Melihat itu, Keng Ling dan Ayub pergi.

Mayor CI Santoso, yang mengomandani para tentara, me-minta Tan Ping Ien mundur, tapi diabaikan. Tak berapa lama, suara gemuruh datang mengiringi bus-truk yang mengangkut massa berjaket kuning, biru, dan hijau. Dengan penuh amarah, mereka meneriakkan yel-yel untuk membakar Ureca. Saat itu-lah batu mulai berhamburan. Tan tetap bertahan hingga Ma-yor Santoso marah dan menodongkan pistolnya. ”Perintahkan semua temanmu mundur. Tak ada gunanya melawan. Mereka bukan mahasiswa. Rekan-rekanmu bukan tandingan.”

Laboratorium di beberapa fakultas meledak dan hangus ter-bakar. Menurut Tan, ada kelompok massa yang naik ke lantai 2 dan membakar secara serentak gedung yang mereka bangun.

SIAPA MEMBAKAR KAMPUS RES PUBLICA?

Kampus Ureca dicap sebagai kampus ”kiri” yang terafi liasi dengan komunis dan Cina. Benny mengakui Consentrasi Ge-rakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) memang berkembang pe-sat di kampus itu, tapi dia menampik jika Ureca disebut sarang CGMI.

Kabar soal banyaknya anggota CGMI di kampus itu dibenar-kan Go Gien Tjwan, Sekretaris Yayasan Pendidikan dan Kebu-dayaan Baperki, yang saat kejadian itu berada di sana. Menurut Go dalam buku Ureca Berperan dalam Pembangunan Bangsa, kampus memang menjadi tempat menginap para peserta per-temuan akbar CGMI yang berasal dari luar Jawa. ”Mereka ter-paksa karena diusir dari stadion olahraga Senayan,” tulis Go.

Harry Tjan Silalahi, yang menjadi Sekretaris Jenderal Front Pancasila waktu itu, kepada Tempo mengatakan tidak menge-nal siapa yang menyerbu Ureca. Yang pasti, kata Harry, para penyerbu adalah aktivis kesatuan mahasiswa yang antikomu-nis. ”Mereka tersinggung oleh pernyataan Aidit, ’Kalau CGMI tidak mau membubarkan HMI, pakai sarung saja’,” ucap Harry di kantornya di Centre for Strategic and International Studies, Selasa pekan lalu. ● DIAN YULIASTUTI

Perusakan kampus Ureca, 15 Oktober 1965.

BU

KU

UR

EC

A, B

ER

PE

RA

N D

AL

AM

PE

MB

AN

GU

NA

N B

AN

GS

A

Page 7: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

60 | | 6 APRIL 2014

KWA Sioe Ing, 64 tahun, menunjuk rumah berpa-gar besi hitam kecokelatan yang berkarat di Gang Ka-pasan Dalam 2 Nomor 18, Kapasan, Simokerto, Su-

rabaya. Menurut sesepuh Kapasan itu, ru-mah yang tepat berada di seberang rumah-nya tersebut tak berpenghuni. Rumah itu

tampak tidak terawat. Permukaan jendela dan lantai terasnya dipenuhi debu. Plafon-nya juga sudah jebol. Seingat Kwa Sioe Ing, rumah itu sudah berulang kali direnovasi. ”Kalau tidak salah, dulu memang ditempa-ti orang Baperki,” ujarnya.

Anak keenam Siauw Giok Tjhan, Siauw Tiong Djin, membenarkan bahwa kakek-nya pernah menempati rumah di ujung

gang di Kapasan itu. Rumah itu dekat Boen Bio, klenteng terbesar di Jawa Timur.

Oei Hiem Hwie, 72 tahun, yang mengaku masih kerabat Siauw, membenarkan bah-wa rumah keluarga Siauw dekat dengan Boen Bio. Tapi itu bukan milik ayah Siauw, melainkan milik Kwan Sin Liep, mertua-nya. Kwan adalah pengusaha totok serta ahli kungfu dan astrologi Cina. ”Itu ling-kungan elite di pinggiran jalan raya,” kata bekas wartawan Terompet Masyarakat yang kini menjadi Pembina Yayasan Meda-yu Agung itu saat ditemui di kediamannya di Jalan Medayu, Rungkut, Surabaya.

Dalam memoarnya yang terbit sepekan sebelum ia wafat, Lima Zaman: Perwujud-an Integrasi Wajar, Siauw bercerita tentang masa kecilnya di Kapasan. Ia lahir dalam keluarga campuran, baba-totok. Ayahnya, Gwan Swie, juga lahir di sana dan menjadi yatim-piatu pada usia 11 tahun. Sang ayah tak masuk sekolah milik Tiong Hoa Hwee Kwan (THHK), tapi memilih kursus baha-sa Inggris karena lebih gampang mendapat pekerjaan. Selain bergaul dengan orang-orang Belanda, Gwan Swie, yang menga-gumi Sun Yat Sen, berkawan dengan tokoh

KISAH SANG PENDIRI HARIAN RAKJAT

Siauw Giok Tjhan tumbuh dalam keluarga yang menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Dia menjadi wartawan sampai anggota parlemen. Ia adalah pendiri Harian Rakjat.

KO

LE

KS

I P

ER

PU

SN

AS

Harian Rakjat.

Page 8: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

6 APRIL 2014 | | 61

1 0 0 T A H U N S I A U W G I O K T J H A N

Tionghoa peranakan yang berkiblat pada nasionalisme Cina. Salah satunya The Ping Oen, Direktur Koran Pewarta Soerabaia.

Gwan Swie kerap berjumpa dengan put-ri pertama Kwan Sin Liep. Perempuan itu bernama Kwan Tjian Nio. Gwan Swie jatuh hati. Mulanya lamarannya ditolak men-tah-mentah oleh Kwan karena latar bela-kang Gwan Swie yang peranakan. Tapi ke-kerasan hati Kwan luruh juga. Ia meneri-ma Gwan Swie menikahi putrinya, dengan syarat anak mereka harus bersekolah di THHK. Pada 23 Maret 1914, lahirlah Siauw Giok Tjhan.

* * *SIAUW tumbuh dalam keluarga yang

menggabungkan norma Barat, Tionghoa peranakan, dan totok. Saat usia Siauw em-pat tahun, sang kakek memasukkan cucu pertamanya itu ke sekolah THHK di be-lakang Boen Bio. Pada umur lima tahun, Siauw terserang sakit keras. Kwan pun me-nyerahkan cucunya kepada Toapekong di Klenteng Kampung Dukuh.

Saat Kwan pulang ke Cina, Gwan Swie memindahkan Siauw ke sekolah ELS. Tat-kala kembali, Kwan kaget mengetahui sang cucu tidak bisa berbahasa Cina. Ia kemudi-an mengharuskan Siauw mengurus toko sepulang sekolah di Hogere Burgerschool (HBS).

Krisis ekonomi di Surabaya memaksa Kwan memilih menutup toko, menjual

asetnya, melunasi semua utangnya, dan pulang ke Cina. Tekanan ekonomi itu mem-buat kesehatan Tjian Nio menurun. Ia pun wafat karena perdarahan pada 1932. Enam bulan kemudian, Gwan Swie, yang meng-idap darah tinggi, menyusul istrinya. Jadi-lah Siauw dan adiknya, Siauw Giok Bie, ya-tim-piatu pada usia 18 dan 14 tahun.

Agar tak menyusahkan kehidupan ke-rabat dan keluarganya, Siauw menjual pe-rabot rumahnya untuk membeli dua sepe-da motor roda tiga Relieg. Dari penyewa-an angkutan yang dikenal sebagai Atax itu, Siauw bertahan hidup. Dalam kondisi itu-lah ia berkenalan dengan Liem Koen Hian, yang 30 tahun berselisih usia dengannya

Liem Koen Hian adalah Pemimpin Re-daksi Sin Tit Po. Liem pula yang memper-kenalkan Siauw dengan Dr Soetomo, yang mendirikan Indonesian Study Club. Dari kedua orang inilah Siauw pertama belajar tentang nasionalisme Indonesia dan me-nyadari Indonesia tanah airnya. Ia juga ter-tarik pada program Partai Bangsa Indone-sia yang dipimpin Soetomo, yang mengan-jurkan semua golongan minoritas menye-lesaikan masalahnya.

Siauw lantas bergabung dengan partai

baru yang didirikan Liem, Partai Tionghoa Indonesia (PTI), pada 1932. Ia tercatat se-bagai pendiri termuda partai itu. Masuk-nya Siauw ke PTI berarti ia meninggalkan sebagian besar peranakan Tionghoa yang ketika itu berkiblat ke Belanda, kelompok Chung Hua Hui, dan kelompok Sin Po, yang berkiblat ke Cina.

Setamat HBS pada 1933, Siauw tidak me-lanjutkan sekolah. Ia menjadi wartawan Mata Hari, yang didirikan Kwee Hing Tjiat di Semarang pada 1934. Mata Hari menjadi trompet PTI. Siauw ditugasi sebagai peng-hubung dengan tokoh yang diasingkan Be-landa, seperti Tjipto Mangunkusumo dan Sukarno. Siauw menghormati kedua tokoh itu dan menganggap mereka gurunya.

Pada 1937 itu, pemimpin PTI berganti. Liem, yang pindah ke Batavia, melepaskan jabatan Ketua PTI kepada Tjoa Sik Ien. Se-dangkan jabatan pemimpin redaksi di Sin Tit Po diberikan kepada Tan Ling Djie. Ada-pun Siauw menjadi kepala cabang Mata Hari di Surabaya. Dipengaruhi Tan dan Tjoa, Siauw menjadi pendukung Marxisme dan mengagumi Mao Tse Tung.

Kembali ke Semarang, Siauw tinggal di rumah ahli ekonomi teman baik Moham-mad Hatta, Khouw Bian Tie. Di situ ia berte-mu dengan Tan Gien Hwa, anak kedua Tan Peng Hoat, pedagang dari Pemalang. Siauw dan Tan, yang saat itu berumur 18 tahun, pun menjalin hubungan. Mereka menikah pada 1940, lalu pindah ke rumah yang tak jauh dari kantor Mata Hari.

Ketika Kwee mendadak meninggal, jabat-an pemimpin redaksi diambil alih Siauw. Di bawah Siauw, Mata Hari jadi lebih radikal. Selain mendukung nasionalis Cina, Siauw memasukkan tulisan yang mendukung In-donesia merdeka.

* * *SAAT Panitia Persiapan Kemerdekaan

Indonesia (PPKI) yang diketuai Sukarno terbentuk, Liem Koen Hian menjadi sa-lah satu dari 63 anggotanya. Liem meng-hubungi Siauw, Tan, dan Tjoa untuk mem-buat formulasi yang mewakili kepenting-an golongan Tionghoa. Liem menyampai-kan pendapatnya dalam rapat PPKI pada 1 Juni 1945, hari yang dikenal sebagai hari lahir Pancasila. Butir-butir yang diusul-kan Liem diserap ke Undang-Undang Da-sar 1945. Tatkala Proklamasi dibacakan Su-karno-Hatta, Siauw memobilisasi dukung-an golongan Tionghoa bagi Negara Repub-

Rumah kelahiran Siauw Giok Tjhan yang terletak di Kapasan Dalam Gang 2 Nomor 18, Simokerto, Surabaya.

TE

MP

O/D

EW

I S

UC

I R

AH

AY

U

Page 9: Siapa Membakar Kampus Res Publica – Tempo - …gelora45.com/news/SGT100Th_TEMPO.pdfkesaksian mengenai pembakaran Universitas Res Publica. AUDITORIUM Hotel Seruni 3 di kawasan Cisarua,

62 | | 6 APRIL 2014

TE

MP

O/L

EA

PA

MU

NG

KA

S

lik Indonesia. Pasca-kemerdekaan, mulai berlaku sis-

tem multipartai. Siauw, yang sudah dekat dengan golongan Marxis, masuk ke Partai Sosialis. Ia pun menjadi dekat dengan Amir Sjarifuddin. Siauw diminta Amir aktif di seksi penerangan, yang sebenarnya dipe-nuhi orang Sjahrir di Partai Sosialis yang beraliran kanan.

Aktivitas politik Siauw makin dalam. Pada 3 Maret 1947, ia diangkat menjadi ang-gota Badan Pekerja Komite Nasional Indo-nesia Pusat (BP KNIP), sebagai satu-satu-nya wakil Tionghoa. Ia juga menjadi dele-gasi Indonesia dalam Inter Asia Conferen-ce di New Delhi, India, bahkan menjabat sekretaris delegasi. Dalam konferensi itu, Indonesia dikecam delegasi Cina yang me-nyebut Indonesia negara kejam yang mela-kukan penindasan terhadap warga Cina. Siauw, yang berbicara di forum itu, mem-bela posisi Indonesia. Ia mengatakan keke-cewaannya terhadap Cina yang tidak men-jalankan prinsip San Min Chu I, yang men-junjung solidaritas tinggi sesama negara baru.

Pada 3 Juli 1947, terbentuk Kabinet Amir Sjarifuddin. Amir mengangkat Siauw men-jadi Menteri Urusan Minoritas. Siauw ikut ditangkap setelah meletusnya pemberon-takan Partai Komunis Indonesia di Madi-un pada 1948. Padahal ia tidak ikut gerbong Amir, yang menyatakan diri bergabung de-ngan PKI. Siauw memilih menjadi anggota BP KNIP wakil nonpartai.

Setelah Konferensi Meja Bundar, Siauw kembali ke Jakarta. Ia memulai lagi kegiat-an jurnalistiknya. Ia bertemu dengan Oei Tiang Tjoei, pemilik percetakan Hong Po. Oei dendam kepada pesaingnya, Injo Beng Goat, Direktur Ken Po dan Star Weekly. Ia bersedia menjual percetakan Hong Po ke-pada Siauw dengan harga murah, tapi sya-ratnya koran Siauw harus mengalahkan Ken Po dan Star Weekly. Pada Januari 1950, Siauw menerbitkan mingguan Sunday Cou-rier untuk menyaingi Star Weekly. Siauw dengan keluarga tinggal di percetakan itu. Ia dan istri serta lima anak-anaknya harus tidur di meja-meja kantor.

Siauw May Lie, 71 tahun, anak kedua Siauw, mengenang pengalaman itu. ”Adik saya yang masih kecil sering terguling ja-tuh dari meja,” kata May Lie kepada Tem-po. Pada Januari 1951, Siauw menerbitkan mingguan Soeara Rakyat. Enam bulan ke-mudian, ia mengubah mingguan itu menja-

di harian sehingga bernama Harian Rakjat. Kebanyakan wartawan Harian Rakjat juga bekerja untuk Sunday Courier. Salah satu-nya Njoto, pemimpin penting CC PKI.

Usaha komersial Harian Rakjat yang ter-nyata kurang berhasil membuat Siauw me-lepaskannya. Njoto, yang terlibat dari awal, bersedia mengambil alih. Terhitung 31 Ok-tober 1953, Siauw tidak lagi menjadi Pe-mimpin Redaksi Harian Rakyat. Saat men-jadi anggota parlemen, ia menyewa rumah milik B.R. Motik, pedagang kaya yang ak-tivis PSI, di Jalan Tosari 70, Jakarta Pusat. Keluarga ini tinggal di sana ketika Siauw di-tangkap pada 4 November 1965 dan diusir Angkatan Darat pada 1966.

Siauw ditahan tanpa proses pengadilan selama 12 tahun. Mulai 1966 hingga 1975, ia ditahan berpindah-pindah rumah tahan-an. Pada September 1975, Siauw dipulang-kan ke rumahnya dan menjadi tahanan kota. Pada Agustus 1978, Siauw resmi dibe-baskan. Di kartu tanda penduduknya ter-cantum kode eks-tapol. Atas izin Wakil Pre-siden Adam Malik, yang juga temannya, Si-auw berangkat ke Belanda untuk menjala-ni operasi mata yang terserang glaukoma.

* * *

MAY LIE, lulusan Kedokteran Universitas Beijing yang tinggal di Belanda sejak 1978, mengingat kedatangan ayah dan ibunya di Amsterdam, Belanda. Saat itu, ia baru dua bulan datang dari Cina dan membuka kli-nik akupunktur di Egidiusstraat 121, Bos en Lommer, Amsterdam. Terletak di pinggiran Amsterdam yang dihuni imigran Turki dan Maroko, rumah sederhana ini kini ditem- pati Siauw Tiong Hian, anak keempat Siauw yang meneruskan praktek May Lie.

May Lie ingat, di Belanda, tempat seha-rusnya Siauw berobat, sang ayah malah disibukkan oleh banyak acara. Ia menda-tangi semua undangan dan memenuhi per-mintaan Amnesty International, yang ikut mendorong pembebasannya, tur keliling Eropa untuk memperkenalkan demokra-si. ”Dia seperti mengejar waktu yang hilang selama di penjara,” katanya. Selain meme-nuhi undangan, Siauw menulis buku, yang tak bisa dilakukan di penjara. ”Saya sering dibangunkan oleh suara mesin ketik. Bia-sanya Ayah mulai mengetik sebelum pukul 6 dan baru berhenti pada pukul 23. ”

May Lie sendiri meraih gelar dokter pada 1966 di Beijing. Ia kemudian melanjutkan ke sekolah spesialis akupunktur. Dia ting-gal di Beijing sampai Revolusi Kebudaya-an berakhir pada 1977. May ingat, di malam sebelum keberangkatannya ke Cina, sang ayah meninggalkan pesan agar May kem-bali lagi ke Indonesia.

”Saya bertanya kepada Ayah mengapa kita harus bertahan di Indonesia kalau ti-dak diterima di sini?” ujarnya. Seingat May, sang ayah menjawab, ”Justru kita ha-rus memperjuangkan hak yang adil untuk menjadi bagian masyarakat Indonesia ini.” Mendengar penjelasan itu, May Lie berjan-ji kepada ayahnya untuk pulang ke Indone-sia. Janji itu ditunaikan May.

Sejak November tahun lalu, ia pindah ke Indonesia. May Lie masih ingat detik ke-matian ayahnya. ”Pada 20 November 1981 malam, saat Belanda dilanda angin topan, ayah saya memenuhi undangan makan malam di rumah guru besar politik Vrije Universitiet. Ayah juga akan memberikan ceramah di depan para mahasiswa seja-rah dan ahli Indonesia di Universitas Lei-den. Tapi, 30 menit sebelum ceramah ten-tang kegagalan pemerintah Indonesia da-lam demokrasi, Ayah meninggal karena se-rangan jantung.”

● DODY HIDAYAT, LEA PAMUNGKAS (AMSTERDAM),

DIAN YULIASTUTI, DEWI SUCI RAHAYU (SURABAYA)

1 0 0 T A H U N S I A U W G I O K T J H A N

Rumah Siauw di Egidiusstraat 121, Bos en Lommer, Amsterdam.