Shivering Post Op

21
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Salah satu efek samping yang sering dijumpai pasca anestesia baik dengan anestesia umum maupun regional adalah menggigil pasca anestesia (post anesthesia shivering). Menggigil menyebabkan pasien merasa tidak nyaman bahkan nyeri akibat regangan bekas luka operasi, serta dapat meningkatkan kebutuhan oksigen. 1,2 Menggigil dapat menyebabkan efek fisiologi yang merugikan, seperti vasokonstriksi perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali, peningkatan produksi karbondioksida, menurunnya saturasi oksigen arteri, metabolisme obat yang menurun, terganggunya faktor-faktor pembekuan, menurunnya respon imun, meningkatnya pemecahan protein dan iskemik otot jantung. Menggigil juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial, tekanan intraokular serta mengganggu ibu dalam proses persalinan. Selain itu menggigil juga menimbulkan gambaran artefak pada monitor pasien sehingga dapat mengganggu pemantauan pasien. 1,2 1

description

Shivering Post Op

Transcript of Shivering Post Op

BAB IPENDAHULUAN

1.1Latar BelakangSalah satu efek samping yang sering dijumpai pasca anestesia baik dengan anestesia umum maupun regional adalah menggigil pasca anestesia (post anesthesia shivering). Menggigil menyebabkan pasien merasa tidak nyaman bahkan nyeri akibat regangan bekas luka operasi, serta dapat meningkatkan kebutuhan oksigen.1,2Menggigil dapat menyebabkan efek fisiologi yang merugikan, seperti vasokonstriksi perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali, peningkatan produksi karbondioksida, menurunnya saturasi oksigen arteri, metabolisme obat yang menurun, terganggunya faktor-faktor pembekuan, menurunnya respon imun, meningkatnya pemecahan protein dan iskemik otot jantung. Menggigil juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial, tekanan intraokular serta mengganggu ibu dalam proses persalinan. Selain itu menggigil juga menimbulkan gambaran artefak pada monitor pasien sehingga dapat mengganggu pemantauan pasien.1,2Angka kejadian menggigil pasca anestesi cukup sering terjadi, berkisar antara 5% hingga 65%. Kejadian ini berhubungan dengan jenis obat yang digunakan selama anestesi yaitu thiopental (65%), eter (31%), halothan (20%), enfluran dan isofluran (15%) serta propofol (13%). Selain faktor diatas, hal-hal lain juga berhubungan dengan terjadinya menggigil pasca anestesi.1Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi menggigil pasca anestesi antara lain adalah menjaga suhu tubuh tetap normal selama tindakan pembedahan atau memberikan obat-obatan. Penggunaan obat-obatan adalah cara yang sering dilakukan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca anestesi.2Penghangatan secara aktif terhadap pasien merupakan suatu cara yang dapat digunakan, meskipun hasilnya tidak selalu efektif karena menggigil pasca anestesi tidak selalu terjadi pada pusat pengaturan suhu. Obat yang sering dipakai untuk mengatasi menggigil antara lain petidin, klonidin, dan tramadol. Sampai saat ini sudah banyak penelitian untuk mengatasi menggigil pasca anestesia spinal, namun kebanyakan di antaranya adalah menggunakan jalur intravena. Dengan melakukan pencegahan terhadap menggigil akan mencegah timbulnya kerugian kerugian pada pasien.1,2,3

1.2 Batasan MasalahReferat ini membahas tentang definisi, patofisiologi, dan penatalaksanaan menggigil pasca anestesia atau post anesthesia shivering (PAS).

1.3 Tujuan PenulisanTujuan penulisan referat ini adalah :1. Mengetahui dan memahami tentang menggigil pasca anestesia dan penatalaksanaannya.2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di Bagian Ilmu Anestesiologi.3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik di Bagian Anestesiologi RSUD dr.Moh. Saleh Probolinggo.

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1Termoregulasi NormalTemperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,537,5oC pada suhu lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi.4,5Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif yang dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output, takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokular. Definisi hipotermia adalah temperatur inti 10oC lebih rendah di bawah standar deviasi ratarata temperatur inti manusia pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan yang normal (2835oC). Kerugian pasca operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah infeksi pada luka operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung yang juga berhubungan dengan terjadinya hipotermia perioperatif.4,5Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon eferen. Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer. Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas. Sistem termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen: termosensor dan jalur saraf aferen, integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.4,5,62.1.1 Termosensor dan Jalur Saraf AferenInput termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor termal terdapat pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan memberikan kontribusi terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls pada suhu 2530oC. Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A. Reseptor panas mengeluarkan impuls pada suhu 4550oC dan berjalan pada serabut saraf tipe C.5Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Termoregulasi terhadap dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat reseptor panas. Reseptor dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan input aferen yang berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus.

Gambar 1. Alur kontrol termoregulasi

2.1.2 Hipotalamus Pusat IntegrasiMekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang berada di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara integral dan hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa ahli membaginya dalam saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh pada area preoptik hipotalamus. Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior, formatio retikularis, dan medula spinalis.4,5Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer dengan stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang berasal dari reseptor dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,5oC dibawah nilai normal, neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas, dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas.4,5Temperatur setpoint didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,737,1oC. Setpoint ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan pada manusia sangat unik. Pada manusia setpoint ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh sekitar 36,2oC sampai menjelang pagi, meningkat lebih dari 1oC menjelang malam. Pada tumor intrakranial seperti spaceoccupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan peningkatan temperatur setpoint dengan mekanisme yang belum jelas.4,5,6

2.1.3 Respon EfektorRespon termoregulasi ditandai dengan: pertama, perubahan tingkah laku yang secara kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan peningkatan ratarata metabolisme.4,5,6Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat mengindikasikan adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks serebri tanpa melalui hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha mencari penghangat atau memakai penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku terhadap dingin didasari oleh besarnya signal panas yang diterima kulit.6Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar dibawah ini.5,6

Gambar 2. Mekanisme kontrol termoregulasi2.2PatofisiologiTindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai dengan peningkatan ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap dingin. Hampir semua obatobat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur inti pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,01,5oC selama satu jam pertama anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan epidural menurunkan ambang vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi ukurannya kurang dari 0,6oC dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di atas ketinggian blok.6Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung berinteraksi dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh terhadap termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional tidak diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan pengaruh blokade regional pada jalur informasi termal aferen.5,6

Gambar 3. Ambang regulator pada manusia normal

Gambar 4. Ambang termoregulator pada keadaan teranestesi

2.3Menggigil Pasca Anestesia Menggigil pasca anestesia (Post Anesthec Shivering/PAS) didefinisikan sebagai suatu fasikulasi otot rangka di daerah wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang berlangsung lebih dari 15 detik. Menggigil terjadi jika suhu daerah preoptik hipotalamus lebih rendah daripada suhu permukaan tubuh. Jaras eferen menggigil berasal dari hipotalamus posterior yang berlanjut menjadi middle forebrain bundle. Pada menggigil yang terjadi pasca anestesia spinal (PAS) memang sedikit sulit dibedakan dengan tremor pasca operasi (post operative tremor/POT) yang merupakan suatu cetusan yang serupa dengan PAS. Pada POT, gerakan involunter tidak selalu didahului dengan keaadaan hipotermia, sehingga dalam keadaan pasien normotermia juga dapat mengalaminya. Biasanya hal ini berhubungan dengan sisa kadar gas anestesia yang masih ada dalam tubuh. Tremor pasca operasi dapat dibedakan dengan PAS melalui pemeriksaan EMG.3,4,5Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara pasti. Menggigil pasca anestesi diduga paling sedikit disebabkan oleh tiga hal yaitu:61. Hipotermi dan penurunan core temperature selama anestesi yang disebabkan oleh karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan. Panas yang hilang dapat melalui permukaan kulit dan melalui ventilasi. Kehilangan panas yang lebih besar dapat terjadi bila kita menggunakan obat anestesi yang menyebabkan vasodilatasi kutaneus. 2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau jenis pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari produk-produk tersebut.3. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus.

Menggigil dapat terlihat berbeda derajat dan intensitasnya. Kontraksi halus dapat terlihat pada otot-otot wajah khususnya otot masseter dan meluas ke leher, badan dan ekstremitas. Kontraksi ini halus dan cepat, tetapi tidak akan berkembang menjadi kejang.6Derajat berat ringannya menggigil secara klinis dapat dinilai dalam skala 0 4 yaitu:0 : Tidak ada menggigil.1 : Tremor intermiten dan ringan pada rahang dan otot-otot leher.2 : Tremor yang nyata pada otot-otot dada.3 : Tremor intermiten seluruh tubuh.4 : Aktifitas otot-otot seluruh tubuh sangat kuat dan terus menerus

Menggigil dapat menimbulkan efek yang berbahaya. Aktivitas otot yang meningkat akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida. Kebutuhan oksigen otot jantung juga akan meningkat, dapat mencapai 200% hingga 400%. Hal ini tentunya akan sangat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik yang jelek seperti pada pasien dengan gangguan kerja jantung atau anemia berat, serta pada pasien dengan penyakit paru obstruktif menahun yang berat.4Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi. Yang mana anestesi spinal menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan transfer panas antar kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia bervariasi, meliputi berikut ini:5 Usia ekstrim (Anakanak dan orangtua) Kehamilan Suhu ruangan Lama dan jenis prosedur bedah Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll) Status hidrasi Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin

2.4 Penatalaksanaan Menggigil2.4.1Penatalaksanaan NonfarmakologisMetode untuk mencegah penurunan temperatur inti, seperti menaikkan temperatur lingkungan, pemberian cairan hangat intravena dan penggunaan forced warm air blankets dalam periode operasi dan pasca operasi seharusnya digunakan pada pasien yang berisiko. Penggunaan alat ini tidak efektif dan jarang digunakan dalam praktik klinis karena membutuhkan waktu satu jam untuk proses penghangatan sebelum digunakan. Tindakan penghangatan yang terlalu berlebihan justru dapat menyebabkan pasien mengalami keringat yang banyak dan tidak nyaman.7Penghangatan pasif, termasuk menggunakan kain katun dapat digunakan preoperatif untuk mengurangi pelepasan panas ke lingkungan. Melapisi permukaan tubuh dengan penghangat pasif sangat penting dan lebih efektif. Bagaimanapun, penghangatan pasif atau dengan penambahan penghangat lain tidak memperbaiki konservasi panas secara signifikan dan sistem penghangat pasif tidak efektif dalam jangka waktu lama, terutama pasca operasi besar.7Sistem forced air-warming sangat baik untuk mempertahankan suhu tubuh dalam batas normotermia pada prosedur pembedahan. Pembedahan yang berlangsung lama dan akan efektif khususnya bila digunakan intraoperatif pada pasien yang mengalami vasodilatasi. Alat ini meningkatkan temperatur inti introperatif sehingggi mengurangi kejadian pascaanestesi dan ketidaknyamanan pasien.7,8Strategi khusus untuk pengendalian temperatur tubuh adalah sebagai berikut:7,81. Mempertahankan temperatur ruang operasi yang sesuai dengan usia dewasa yaitu 24-26oC.2. Menggunakan gas inspirasi yang hangat dengan menggunakan penghangat humidifiers, alat ini dapat mengurangi kehilangan panas tetapi tidak untuk pencegahan.3. Menggunakan sistem penghangat konveksi dengan forced warm air.4. Menggunakan selimut penghangat, untuk mengurangi kehilangan panas, cairan intravena dan cairan irigasi harus dihangatkan terlebih dahulu di atas temperatur tubuh (cairan intravena 40oC; cairan untuk irigasi 40oC).5. Menggunakan lampu penghangat secara langsung dapat menyebabkan kulit menjadi merah terutama daerah dada, wajah, dan leher karena alat ini mempunyai densitas yang tinggi pada termoreseptor.2.4.2Penatalaksanaan FarmakologisHampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada periode durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis optimal obat-obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum jelas. Sebagian besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Pethidine pada dosis minimum 0,35 mg/kg merupakan opioid paling efektif pada penatalaksanaan shivering pasca anestesi, dengan tingkat keberhasilan 95%. Fentanyl dan alfentanyl juga mempunyai beberapa efek walaupun mempunyai durasi yang lebih pendek daripada pethidine. Doxapram, suatu agen yang biasanya digunakan sebagai stimulasi nafas juga efektif pada dosis 0,2 mg/kg.9,10,11

Tabel 1. Obat anestesi untuk terapi dan profilaksis menggigil pasca anestesi

BAB IIIRINGKASAN

Menggigil pasca anestesia (Post Anesthec Shivering/PAS) didefinisikan sebagai suatu fasikulasi otot rangka di daerah wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang berlangsung lebih dari 15 detik. Menggigil pasca anestesia (post operative shivering) merupakan keadaan yang hampir selalu menyertai anestesi umum dan regional, yang dapat menimbulkan berbagai masalah dan ketidaknyamanan terhadap pasien, sehingga langkah tepat perlu dilakukan untuk mencegah serta mengobatinya.Pentingnya penatalaksanaan menggigil pasca anestesia baik secara nonfarmakologis, seperti menaikkan temperatur lingkungan, pemberian cairan hangat intravena dan penggunaan forced warm air blankets maupun terapi farmakologis seperti pemberian pethidine, sehingga dapat mengurangi komplikasi pada pasien yang menjalani pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. De Wi' e J., Sessler D.I. Perioperative Shivering: Physiology and Pharmacology. Anesthesiology 2002; 96(2): 467-4842. Buggy D.J., Crossley A.W.A. Thermoregulation, Mild Perioperative Hypothermia and Post Anesthetic Shivering. BrJ Anaesth 2000; 84(5):615-628.3. Crossley AW. Postoperative shivering. Br J Hosp Med 1993; 49: 20484. Sessler D.I., Mild Perioperative Hypothermia. New England Journal of Medicine. 1997; 336(24): 1730-37.5. Collins V.J. Temperature Regulation and Heat Problem. In: Physiologic and Pharmacologic Bases of Anesthesia. Ed.Vincent J. Collins, 1st ed. Baltimore: Williams & Wilkins. 1996. P.316-3446. Sessler D.I. Temperature Monitoring. In: Millers Anesthesia. Ed. Ronald D.Miller, 6th ed. Philadelphia: Elsevier. 2005. P. 1571-1597.7. Ba' acharyaka Pradip K., Ba' acharya L., et.al. Post Anesthesia Shivering (PAS): A Review, Indian J. Anaesth, 2003; 47(2): 88-938. Smith T, Pinnock C, Lin T. Fundamentals of Anesthesia. 3rd. Post Operative Management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009; 679. Schwarzkopf KR, Hoff H, Hartmann M, Fritz HG. A comparison between meperidine, clonidine and urapidil in the treatment of postanaesthetic shivering. Anesthesia and Analgesia 2001; 92 :257-6010. Bhatnagar S, Saxena A, Kannan TR, Punj J, Panigrahi M, Mishra S. Tramadol for postoperative shivering: a double-blind comparison with pethidine. Anaesthesia and Intensive Care 2001; 29 :149-5411. Powell RM, Buggy DJ. Ondansetron given before induction of anesthesia reduces shivering after general anesthesia. Anesthesia and Analgesia 2000; 90 :1423-7

1